Wiro Sableng
Pendekar kapak maut naga geni 212
Episode : Topeng Buat Wiro Sableng
Karya : BASTIAN TITO
**********
SATU
Kuda coklat yang ditunggangi gadis jelita berpakaian biru tiba-tiba meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Si gadis cepat rangkul leher binatang itu dengan tangan kiri sementara tangan kanan mengusap-usap tengkuknya.
"Tenang Guci ……tenang! Tak ada yang perlu ditakutkan!" berkata si gadis.
"Tak ada binatang buas di hutan ini. Tak ada binatang berbisa di rimba belantara ini! Ayo jalan lagi. Kita……"
Baru saja si gadis berucap begitu tiba-tiba terdengar suara bergemerisik di atas pohon di
samping kirinya. Bersamaan dengan itu terdengar suara tawa bergelak, disusul suara bentakan keras lantang.
"Di rimba ini memang tak ada binatang buas!
Tak ada binatang berbisa! Yang ada aku!"
Dua sosok tubuh melayang turun dari atas pohon besar. Begitu menjejak tanah langsung
berkacak pinggang sambil menatap tajam pada sang dara yang berada di atas kuda.
Orang di sebelah kanan memiliki tubuh ramping tinggi, berkulit hitam gelap, memelihata kumis melintang dan cambang bawuk. Pada kedua lengannya terdapat gelang bahar hitam besar. Pada lehernya
tergantung kalung yang juga terbuat dari akar bahar berwarna hitam. Lelaki kedua lebih pendek, beralis tebal, mukanya cekung, kulitnya juga sangat hitam. Kedua orang ini
sama mengenakan pakaian kuning dengan ikat pinggang besar berwarna merah darah.
Walau jelas dari tampang dan gerak-gerik menyatakan mereka bukan orang baik-baik, apalagi menghadang seperti itu tetapi gadis
di atas kuda sama sekali tidak menunjukkan wajah cemas ataupun takut. Setelah menatap dengan pandangan dingin, dia lalu menegur.
"Huh! Kalian ini siapa?!"
"Adikku! Orang sudah bertanya, lekas jelaskan siapa adanya kita!" si tinggi ramping berkumis dan bercambang bawuk di sebelah kanan berkata.
Yang dipanggil adik tersenyum lebar. Kedip-kedipkan matanya pada sang dara lalu membuka mulut.
"Kami adalah penguasa rimba belantara ini……"
"Hebat!" sang dara berseru seperti memuji
tapi pandangan kedua matanya tetap dingin dan mimiknya menunjukkan betapa dia memandang rendah pada kedua orang itu.
"Syuuuukkuuuurrr kalau di situ tahu kami hebat! Terima kasih atas pujianmu Mirasani….."
"Eh! Bagaimana kau bisa tahu namaku?!"
jelas nada suara sang dara menunjukkan rasa terkejut. Tapi wajahnya tetap saja tidak mengalami peubahan.
"Siapa yang tidak tahu Mirasani. Gadis maha cantik di kawasan ini.
Memilih….."
"Sudah! Lekas katakan apa mau kalian!" sang dara memotong ucapan orang dengan bentakan.
"Sabar…..sabar Mira. Apa mau kami pasti akan kami jelaskan. Hanya aku belum selesai dengan penjelasan tentang diri kami berdua,"
menyahut si muka cekung.
"Kami dikenal dengan julukan Sepasang Malaikat Kuning….."
"Apa? Sepasang Malaikat Kuning?!" seru sang dara lalu dia tertawa gelakgelak.
"Aku sih memang belum pernah melihat wajahnya malaikat! Tapi aku yakin betul tampang-tampang malaikat tidak seperi muka
kalian! Ha…ha…ha…! Malaikat
Kuning? Apa kalian yang kuning? Baju….. Ya itu betul! Kurasa gigi kalian juga kuning hah?!"
Dua orang di depan sang dara tampak kerrenyitkan kening lalu ikut-ikutan tertawa gelak-gelak. Si cekung mengangkat tangannya. Lalu pegang bahu si tinggi
ramping di sampingnya seraya berkata "Ini kakakku. Namanya Tumapel Kuning. Dan yang
ini…." si muka cekung tudingkan ibu jari tangan kirinya ke dadanya sendiri, "Adalah Kunapel Kuning! Dan perlu kujelaskan aku adalah calon suamimu!"
Untuk pertama kalinya terlihat wajah si gadis berubah, tapi hanya sekilas. Pandangannya kembali dingin. "Jadi itu rupanya maksud
kalian menghadangku! Ketika bulan tujuh diadakan perlombaan mencari jodoh mengapa kau tidak muncul?!"
Kunapel Kuning manggut-manggut. "Waktu itu kami ada keperluan penting! Lagi pula aku bukan bangsa pemuda-pemuda tolol yang
mau direndahkan dengan segala macam perlombaan konyol itu!"
"Karena itu kau sengaja menghadangku di sini!"
"Tepat sekali Mira….."
"Jangan sebut namaku! Kau tidak pantas jadi suamiku!" bentak Mirasani.
"Hai!" Kunapel Kuning melengak sementara Tumapel hanya sungingkan seringai.
"Tampangku tidak jelek. Lihat, alis mataku saja tebal! Kata orang laki-laki beralis tebal dapat menyenangi istri di atas ranjang!
Ha….ha….ha….!"
"Di mataku kau tak lebih dari seekor kambing bodoh! Pergilah! Kau tidak layak jadi suamiku! Banyak pemuda yang jauh lebih keren darimu dan semua tidak kupandang sebelah mata!"
"Bisa jadi! Tapi kau belum tahu bagaimana bahagianya kalau bermesraan dengan diriku!
Jangan bandingkan aku dengan pemuda-pemuda tolol itu Mira…."
"Mungkin kau pandai merayu perempuan….."
"Nah…..nah! Kalau kau sudah tahu…."
"Tapi ingat! Calon suami yang aku inginkan
bukan yang punya tampang gagah atau pandai merayu! Aku hanya akan memandang kemampuannya dalam ilmu bela diri! Dan
mataku melhat kau tidak memiliki kemampuan itu Katapel!"
"Sialan! Nama adikku Kunapel! Bukan Katapel!" membentak Tumapel Kuning.
"Kunapel atau Katapel sama saja! Sama jelek sama tololnya!" jawab Mirasani.
"Kau belum tahu siapa adikku! Selama tiga tahun terkahir sejak dia ikut bersamaku tak seorang lawanpun sanggup menjatuhkannya!
Kalau kau berusaha menghindar berarti kau menyalahi sumpah yang selama ini kau gembar-gemborkan!"
"Terus terang sebetulnya aku memberi kesempatan pada adikmu untuk tidak berlaku sembrono dan mampu mengukur diri sendiri.
Tapi kalau dia memang mau dibikin babak belur kedua tanganku inipun memang sudah gatal sejak tadi!" jawab Mirasani.
"Kalau adikku sanggup menjatuhkanmu, kau
tak akan mengingkari sumpah dan kawin dengannya?!" tanya Tumapel Kuning.
"Itu sumpahku dan itu yang harus kupenuhi!"
jawab Mirasani pula.
"Kalau begitu kau turunlah dari kudamu! Biar cepat urusan ini diselesaikan dan kita bisa
duduk di pelaminan!" kata Kumapel Kuning pula sambil tertawa lebar.
Sang dara ikut tertawa tapi tawa penuh mengejek. "Untuk mengahdapi orang sepertimu tidak perlu harus turun dari kuda!
Lakukan apa maumu! Silahkan menyerang!
Jika kau sanggup menjatuhkan aku ke tanah aku akan menyerahkan diri sebagai calon istrimu!"
"Menghina sekali! Terlalu menganggap rendah!" ujar Tumapel Kuning tidak senang.
"Tenang saja kakakku! Aku suka calon istri yang seperti ini! Sekali dia kujatuhkan ke tanah akan kurangkul, kupeluk dan kuciumi
sekujur auratnya! Ha….ha….ha!"
Di atas kuda Mirasani mengelus-elus kuduk kuda tunggangannya, membuat agar binatang
itu tetap tenang, tidak takut atau terpengaruh oleh serangan orang.
"Tenang Guci…. Jangan takut. Ikuti isyarat dan perintah yang aku berikan…."
"Mira! Lihat jurus pertama!" Tiba-tiba Kumapel Kuning berseru. Tubuhnya yang kekar melesat ke depan dalam satu lompatan
di mana kaki kanan langsung melancarkan serangan tendangan. Orang ini berlaku cerdik.
Yang diserangnya bukanlah kaki atau tubuh Mirasani, melainkan tulang-tulang rusuk kuda
tunggangan sang dara. Menurut
perhitungannya, jika tendangannya membuat amblas tulang-tulang rusuk binatang itu hingga tergelimpang jatuh, dengan sendirinya Mirasani akan terbawa jatuh. Di situ dia lalu
akan menubruk dan merangkul sang dara, membuatnya tak berdaya! Apa yang ada
dalam benak dan rencana Kunapel Kuning
memang masuk akal dan akan berhasil jika
saja lawan memiliki kepandaian lebih rendah.
Tapi yang kemudian terjadi adalah berlainan
dari yang diharapkan si muka cekung itu.
Tendangan Kunapel Kuning datang menderu
deras, mengarah rusuk kiri kuda coklat
bernama Guci. Di saat yang sama Mirasani
tekankan tumit kirinya ke badan kuda.
Binatang ini maju satu langkah ke depan dan
tiba-tiba sekali kaki belakang sebelah kirinya
melesat ke samping.
Kunapel Kuning berseru kage ketika melihat
kaki kuda menyapu ke bawah, laksana pedang
membabat ke arah betisnya! Cepat-cepat
lelaki ini tarik pulang tendangannya karena
begaimanapun betisnya tak akan tahan
menghadapi benturan keras dengan kaki kuda.
Bersamaan dengan itu tangan kanannya
bergerak. Dua jari menusuk ke arah pangkal
paha Guci. Ini merupakan satu totokan ganas
karena bukan saja dapat membuat kaku
sebagian tubuh Guci, malah bisa membuatnya
lumpuh seumur hidup!
"Totokan jahat!" desis sang dara dalam hati
yang rupanya juga sudah memaklumi bahaya
tusukan dua jari kanan lawan. Kembali tumit
kirinya bergerak menekan badan Guci dua kali
berturut-turut. Kuda besar coklat itu
mendadak memutar tubuhnya setengah
lingkaran. Pinggul yang besar dan keras
binatang itu menghantam pinggul dan bahu
kanan Kunapel Kuning, membuat orang ini
terbanting keras dan hampir jatuh tunggang
langgang kalau tidak cepat mengimbangi diri
dengan gerakan jungkir balik di udara.
Dengan wajah mengelam dan dada turun naik
Kunapel Kuning berdiri di samping kakaknya.
Kedua tangannya terkepal. Mulutnya bergetar
dan pelipisnya menggem-bung.
"Kehebatan gadis ini bukan omong kosong.
Tapi dia hanya menggunakan kudanya.
Kekuatannya sendiri belum kujajal!" berkata
Kunapel Kuning dalam hati.
Maka kini dia siap membuka jurus ketiga
dengan menyerang langsung ke arah si gadis.
Yang ditujunya adalah bagian pinggang
Mirasani. Tetapi ketika si gadis cepat berkelit,
lebih cepat lagi Kunapel Kuning merubah
gerakan serangannya. Yang diincarnya kini
ialah kaki kiri sang dara. Kedua tangannya
melesat ke depan untuk merengut betis
Mirasani dan melontarkan gadis itu dari
punggung kudanya ke tanah!
Di atas kuda sang dara tusuk badan Guci
dengan tumit kiri kuat-kuat hingga binatang
ini meringkik lalu sabatkan kaki depan
sebelah kiri ke belakang.
Bukkk!
Kunapel Kuning yang tidak menduga akan
mendapat serangan berbalik seperti itu tak
punya kesempatan untuk mengelak. Lelaki ini
mencelat mental dan menjerit keras. Tubuhnya
terhantar ke tanah, sulit bergerak ataupun
bagkit karena tulang pinggulnya retak besar!
"Aku sudah memperingatkan sebelumnya!"
berkata Mirasani. "Kau tidak punya tampang
dan kemampuan untuk menjadi calon
suamiku! Jadi jangan menyesal!"
Kunapel Kuning keluarkan suara menggereng,
entah karena sakit entah karena marah. Dia
berpaling pada kakaknya seolah-olah
memberi isyarat agar si kakak melakukan
sesuatu.
"Adikku!" ujar Tumapel Kuning, "Nasibmu sial
sekali. Agaknya akulah yang berjodoh dengan
gadis berbaju biru itu…."
"Sial! Kau yang sialan Tumapel!" teriak si
adik. Sebelumnya tak ada rencana bahwa
kakaknya itu berhasrat terhadap sang dara.
Rupanya setelah melihat kecantikan Mirasani
Tumapel Kuning tertarik juga dan jadi
blingsatan.
"Mirasani!" berseru Tumapel Kuning. "Aku
mendapat firasat bahwa kau berjodoh jadi
istriku! Maksudku istri paling muda karena
sampai saat ini aku sudah punya empat istri
dan lebih dari setengah lusin simpanan!"
"Kau laki-laki hebat!" mulut si gadis memuji
tapi air mukanya menunjukkan rasa jijik. "Apa
yang terjadi dengan adikmu tidak membuka
matamu! Kalau kau ingin mengambilku jadi
istrimu, majulah cepat!"
"Ha….ha….! Akan kurasakan kehangatan
tubuhmu jika bersentuhan!" ujar Tumapel
Kuning. Dia kencangkan ikat pinggang
merahnya. Lalu melangkah maju mendekat.
Dia sengaja datang dari arah kepala kuda.
Kedua kakinya menekan ke tanah kuat-kuat,
tubuhnya melesat ke udara melewati kepala
kuda. Ketika menukik turun tangan kanannya
meluncur cepat ke arah dada Mirasani.
"Manusia cabul kurang ajar!" sang dara
membentak marah. Pandangan matanya
berkilat.
"Aku bukan manusia cabul! Pantas kalau
seorang calon suami menjajaki dulu sampai di
mana kencangnya tubuh calon istrinya!"
menyahuti Tumapel Kuning. Dan gerakan
orang ini memang luar biasa cepatnya hingga
tahu-tahu ujung jarinya sudah menempel di
pakaian biru sang dara. Ketika tangan itu
hendak meremas, di atas punggung kuda
Mirasani jatuhkan dirinya ke belakang sama
rata di atas punggung kuda. Bersamaan
dengan itu kaki kirinya menendang ke atas.
Tumapel Kuning rupanya sudah tahu gelagat.
Tangan kanan yang tadi dipergunakannya
untuk menjamah payu dara Mirasani kini
dipakai sebagai tumpuan pada lutut si gadis.
Begitu lutut Mirasani sempat dipegangnya
maka lutut itu dipergunakan sebagai tumpuan
untuk membuat lompatan ke depan, meluncur
sama rata dengan tubuh Mirasani, malah dia
berada di sebelah atas!
"Kurang ajar!" teriak sang dara ketika
dapatkan tubuhnya hampir kena tindih oleh
Tumapel Kuning. Secepat kilat kedua tinjunya
dipukulkan ke atas. Satu menghantam ulu
hati, satu lagi menderu ke arah dada lawan.
Bluk-bluk!
Dua jotosan keras itu tidak dapat mengenai
sasarannya karena keburu tertangkap dalam
telapak tangan kiri kanan Tumapel Kuning.
"Setan!" maki Mirasani. Perutnya mengumpul
tenaga dalam, ketika dia menyentak ke atas
tak ampun lagi tubuh Tumapel Kuning yang
ada di atasnya terpental, jatuh dua tombak di
sebelah kiri. Mirasani sendiri ikut jatuh
merosot ke samping kiri sosok tubuh kudanya.
"Curang! Kau menggunakan tenaga dalam!"
teriak Tumapel Kuning marah.
DUA
Mirasani tertawa dingin. "Tak ada perjanjian mempergunakan tenaga dalam atau tidak.
Yang jelas kau sudah kujatuhkan! Jadi lekas angkat kaki dari sini. Bawa adikmu yang meringis seperti monyet terbakar ekor itu!"
"Aku tidak akan pergi! Apa kau lupa kalau kau adalah bakal istri mudaku yang kelima?!"
"Tolol dan keras kepala!" maki Mirasani. Tumapel Kuning menyeringai. Kencangkan ikat
pinggang lalu melangkah memutari sang dara. Mirasani menepuk pinggul kudanya.
Binatang ini melangkah menjauh hingga kini
dia berhadapan langsung dengan Tumapel
Kuning di tengah kalangan perkelahian.
"Ayo seranglah!" teriak Mirasani.
Kembali lelaki itu menyeringai. Dia bergerak
mendekat. Saat itu didengarnya adiknya
berseru. "Tumapel, jika kau berhasil
mengalahkan gadis itu, berikan dia padaku.
Aku akan mengganti dengan apa saja yang
kau minta!"
"Boleh-boleh saja Kunapel! Tapi malam
pertamanya tetap bersamaku!" sahut Tumapel
pula lalu dia membuka serangan yang
disambut sang dara dengan cepat.
Perkelahian berkecamuk hebat. Ternyata
Tumapel Kuning memiliki ilmu silat luar yang
tangguh. Dalam empat jurus saja Mirasani
tampak terdesak hebat. Hanya saja karena
Tumapel menyadari kalau sang dara memiliki
kekuatan tenaga dalam lebih tinggi maka dia
tak berani melakukan bentrokan langsung.
Namun dia yakin paling lambat dalam
sepuluh jurus di muka dia akan berhasil
merobohkan sang dara.
Sebaliknya sang dara sendiri walau terdesak
hebat tampak tenang-tenang saja. Memasuki
jurus kedelapan tiba-tiba terjadi perubahan
total. Gempurangempuran Tumapel Kuning
amblas dalam pertahanan tangguh sang dara
lalu di jurus kesembilan Tumapel mulai
terdesak. Serangan-serangan kaki dan tangan
Mirasani merajalela membuat lelaki tinggi
ramping itu harus bertahan mati-matian. Di
jurus kesebelas tinju kanan Mirasani
mendarat di dadanya, membuat Tumapel
Kuning terjajar ke belakang dan mengeluh
menahan sakit. Jurus kedua belas pelipisnya
kena dihantam dari samping hingga
mencucurkan darah.
"Gadis binal! Akan kutelanjangi kau di sini
juga!" teriak Tumapel Kuning marah. Tangan
kirinya bergerak ke balik punggung pakaian
kuningnya. Sesaat kemudian sebilah golok
sepanjang tiga jengkal lebih melintang
berkilat di depan dadanya. "Kau pilih mati
atau menyerah!"
"Begini rupanya kemampuanmu!
Mengandalkan senjata menghadapi
perempuan!"
"Tak ada perjanjian apakah harus dengan
tangan kosong atau pakai senjata! Kalau kau
punya senjata keluarkan saja!"
"Senjataku hanya ini!" jawab Mirasani seraya
mengangkat tangan kanannya.
Sekilas Tumapel Kuning melihat tanda merah
pada telapak tangan kanan si gadis itu.
Mendadak ada rasa tidak enak ketika melihat
tanda itu. Namun karena sudah ditimbun
amarah maka dia langsung saja menyerbu
dengan goloknya. Senjata itu mengeluarkan
suara menderu-deru ketika membelah udara,
menghambur serangan ke arah Mirasani.
Dara berbaju biru itu mundur beberapa
langkah lalu sambil miringkan tubuh dia
kirimkan tendangan terobosan ke arah
lambung lawan. Tumapel Kuning membabat ke
bawah. Sekali golokny menabas kaki sang
dara pastilah kaki itu terputus kutung! Tapi
Mirasani tidak semudah itu dipecundangi.
Sejak masih berumur lima tahun gadis ini
telah mendalami ilmu silat yang diramu dari
tujuh perguruan terkenal di tanah jawa. Dia
membuat gerakan yang menyebabkan mata
golok hanya
lewat seujung kuku di samping betisnya.
Begitu tabasan senjata lawan least kaki yang
menendang terus mencua ke atas,
terdengarlah pekik Tumapel Kuning disertai
suara kraakk!
Tulang ketiak lelaki tinggi ramping itu remuk
dan lengan kanannya kini terkulai. Sakitnya
bukan main sementara goloknya mental entah
ke mana!
"Manusia-manusia tolol! Kalian sudah
menerima bagian masing-masing!" kata sang
dara lalu melangkah mndekati kudanya.
"Tunggu! Kita belum mengadu kekuatan
tenaga dalam!" tiba-tiba terdengar seruan
Kunapel Kuning. Lelaki ini telah berdiri sambil
memasang kuda-kuda, siap untu menghimpun
tenaga dalam di tangan kanan.
Mirasani mencibir. "Kudaku saja tak sanggup
kau hadapi! Masih berani menan-tang!" Lalu
si gadis itu melompat ke punggung Guci dan
membedal kudanya mening-galkan tempat itu.
Suto Klebet duduk berhadap-hadapan dengan
istrinya di ruang tengah gedung kediamannya
yang besar. Dari wajah mereka jelas kedua
suami istri ini sedang diselimuti rasa gundah
kalau tidak mau dikatakan cemas.
Setelah berdiam diri beberapa lamanya
akhirnya Rayu Komala, sang istri, membuka
pembicaraan.
"Yang aku kawatir kangmas, kalau-kalau anak
kita itu akan menjadi perawan tua karena
ulahnya sendiri….." Karena suaminya tidak
menyahuti maka Rayu Komala meneruskan
ucapannya. "Aku tak habis pikir, apa
sebenarnya yang menjadi tujuan Mira.
Mengapa dia jadi sampai membawa sifat
seperti itu. Ada satu lagi kekawatiran-ku. Jika
muncul seorang jago silat dari golongan
hitam, atau tua bangka jahat yang sanggup
merobohkannya, apa jadi nasib anak itu
bersuamikan orang seperti itu….."
Suto Klebet masih diam saja. Istrinya jadi
merengut dan berkata "Jangan diam saja
kangmas. Kita harus mencari jalan. Jangan
cuma berpangku tangan……."
"Aku sama sekali tidak berpangku tangan
Rayu. Akupun sebenarnya cemas. Ingat apa
kata-kata perempuan tua dukun beranak yang
menolongmu melahirkan Mira sembilan belas
tahun lalu…..?
Ketika lahir anak itu membawa tanda merah
pada telapak tangan kanannya. Dukun
beranak itu lalu membisikkan penjelasan
bahwa kelak bayimu akan menjadi seorang
pesilat ampuh, memiliki watak aneh dan kalau
punya suami hanya memilih seorang yang
mempunyai kepandaian lebih tinggi dari dia.
Ucapan dukun beranak itu sekarang terbukti
benar. Seharusnya setelah kita mendapat
penjelasan itu kita tidak menyuruhnya berguru
pada Ki Demang Juru Gampit. Hampir sebelas
tahun orang sakti itu menggemblengnya
hingga dia menjadi pendekar perempuan yang
tangguh. Kita tak bisa menyalahkan Ki
Demang…."
"Betul ucapanmu kangmas. Kita tak bisa
menyalahkan orang tua itu. Tapi jika kita bisa
bicara dengannya dan meminta pendapatnya,
lalu dia memberi petunjuk pada Mira mungkin
gadis itu bisa merubah segala tabiatnya.
Terutama yang menyangkut perjodohan
dirinya. Gadis seusia dia seharusnya sudah
bersuami. Paling tidak sudah memiliki calon
suami. Dan sekarang kau lihat saja kangmas.
Di luar sana ada lagi dua orang pemuda yang
menunggunya, berminat untuk menjajal ilmu
silatnya. Bukan untuk merendahkan orang,
tapi kalau anak kita sampai kawin dengan
lelaki yang tidak tahu juntrungan dan
keturunannya apa tidak malu. Kita turunan
bangsawan, masih punya hubungan dekat
dengan Keraton karena salah seorang adikku
jadi garwo dalem (istri) Sultan, apa tidak
malu kangmas…..?"
"Aku sudah berusaha mencari Ki Demang Juru
Gampit. Tapi orang tua sakti itu lenyap entah
ke mana. Mungkin dia tengah mengelana atau
bertapa di satu tempat tersembunyi. Dan
tentang dua pemuda yang datang itu,
mengapa tidak kau katakan saja anak kita tak
ada di rumah, lalu menyuruh mereka pergi?"
"Bukan Mira berulang kali menyampaikan
pesan. Jika ada yang datang harus diminta
menunggu sampai dia kembali walau itu bisa
satu atau dua hari. Kalau kita abaikan
pesannya dan dia mengetahui, kita bisa
kesalahan lagi….."
Suto Klebet hanya bisa geleng-gelengkan
kepala lalu kedua suami istri itu berdiam diri
sampai di halaman terdengar suara derap kaki
kuda.
"Mira datang….." kata Rayu Komala lalu
bangkit dari kursinya. Suto Klebet mendahului
menuju ruang depan.
Begitu sampai di langkan depan Mirasani
segera melihat dua orang pemuda yang sejak
lama berada dan menungu di situ. Pemuda
pertama mengenakan pakaian hitam, berikat
kepala merah, membekal sebilah keris
dipinggangnya. Wajahnya cukup tampan dan
potongannya menyatakan dia memang
seorang ahli silat.
Pemuda kedua berkulit putih. Sikapnya
tampak halus. Karena memelihara rambut
panjang wajahnya hampir seperti perempuan.
Dia mengenakan pakaian putih sederhana dan
memegang sepotong bambu kuning sebesar
ibu jari. Sudah tahu apa maksud kedatangan
orang, Mira tidak terus ke dalam. Dia
langsung menegur.
"Siapa di antara kalian yang datang lebih
dulu?"
Pemuda berkulit putih cepat berdiri dan
menjura. "Namaku Suryo Kemikis. Aku datang
dari selatan gunung Merapi. Anak murid
perguruan silat Teratai Putih. Guruku….."
Mira mengangkat tangannya. "Aku tidak
butuh keterangan panjang lebar. Aku hanya
ingin tahu apakah kau mampu menghadapiku
sampai sepuluh jurus! Jika aku kalah aku
akan tunduk dan menjadi istrimu….."
Sepasang mata pemuda bernama Suryo
Kemikis berkilat-kilat karena dua hal.
Pertama karena merasa dianggap enteng
menengar Mirasani menyediakan sepuluh
jurus untuknya. Kedua karena melihat
kenyataan bahwa gadis yang namanya tersiat
ke mana-mana itu bukan saja cantik tetapi
juga memiliki potongan tubuh yang
menggiurkan. Betapa bahagianya kalau dapat
memperistrikannya. Dan turunan bangsawan
serta hartawan pula!
Ketika Mirasani mendahului melompat ke
halam depan saat itulah kedua orang tuanya
muncul. Ibunya langsung berseru.
"Mira….. Kau pergi dari pagi. Sebaiknya kau
membersihkan diri dulu lalu makan. Kau perlu
istirahat….anakku!"
"Melayani tamu dua orang ini tidak akan
makan waktu lama ibu. Aku akan
membuktikannya….." Lalu Mirasani
melambaikan tangna, memberi isyarat pada
Suryo Kemikis untuk turun ke halaman depan.
"Sebelum kita mulai…. " Suryo Kemikis
berkata begitu berhadapan dengan Mirasani
"apakah saya berhadapan dengan den ayu
Mirasani? Saya tak mau kesalahan tangan….."
"Bagus! Sikapmu tak mau gegabah, kau
memang berhadapan dengan Mirasani.
Calon istrimu jika kau mampu
mengalahkanku. Kulihat kau membawa
tongkat bambu. Apakah kau akan
bertanding mengandalkan tongkat itu….?"
Si pemuda tersenyum. "Tongkat ini hanya
bawaan iseng saja den ayu. Aku akan
mengadu nasib dengan tangan kosong saja."
Lalu Suryo Kemikis sisipkan tongkat bambu
kuningnya ke pinggang dan pasang kuda-
kuda. "Mohon petunjuk, apakah saya yang
mulai menyerang atau den ayu lebih dulu."
"Karena kau yang minta digebuk, maka kaulah
yang harus menyerang lebih dulu!" sahut
Mirasani.
Suryo Kemikis tersenyum tapi hati pemuda ini
mulai terbakar karena ucapanucapan sang
dara berbaju biru selalu merendahkannya.
Pemdua dari kaki gunung Merapi ini telah
mendalami ilmu silat selama empat belas
tahun pada perguruan silat yag cukup
terkenal yakni Teratai Putih. Perguruan ini
merupakan pecahan dari sebuah perguruan
silat yang sangat rahasia di mana kabarnya
hanya orang-orang yang ada angkut pautnya
dengan Keraton yang boleh berguru. Ketika
Suryo Kemikis bergerak melangkah, membuat
gerakan meliuk yang indah pada pinggang
sementara kedua tangannya diayun-ayunkan
seperti penari maka itulah jurus pertama!
Mirasani menunggu sampai si pemuda berada
cukup dekat. Lalu lengan kirinya dikibaskan,
memotong gerakan lawan. Dia sengaja
mencari bentrokan karena hendak menjajal
kekuatan orang. Tapi Suryo Kemikis yang
sudah mendengar banyak tentang kehebatan
dara ini cepat menarik tangan kanan dan
bersamaan dengan itu susupkan tangan
kirinya dalam gerakan satu sodokan ke arah
ulu hati sang dara.
Mirasani yang diserang tiba-tiba memutar
tubuh, bergerak satu lingkaran penuh dan
wuut! Kaki kiri sang dara membabat ke atas,
menghantam ke arah kepala Suryo Kemikis!
Pemuda itu tersentak kaget. Tidak menyangka
daya capai kaki lawan jauh dan begitu cepat
pula gerakannya. Secepat kilat dia rundukkan
kepala. Kaki lawan least setengah jengkal dari
batok kepalanya. Sambil miringkan tubuh ke
kiri, selagi kaki kiri lawan masih berkelebat di
udara dan seluruh berat tubuh Mirasani hanya
bertumpu pada kaki kanan, Suryo Kemikis
hantamkan kaki kanannya untuk menyapu
kaki lawan yang menginjak tanah. Memang
kalau labrakan ini mengenai sasaran, tubuh
Mirasani pasti akan jatuh!
Tapi betapa terkejutnya Suryo Kemikis ketika
kaki yang hendak diterjangnya itu tiba-tiba
melompat ke atas. Bersamaan dengan itu
tubuh sang dara ikut melesat lalu ada suara
menderu di atas kepalanya. Mendongak ke
atas si pemuda melihat tangan kanan lawan
yang membentuk tinju menjotos deras ke arah
batok kepalanya.
Untuk kedua kalina Suryo Kemikis tundukkan
kepala dan selamat. Namun pukulan lawan
ternyata terus mengejar ke kanan dan
bersarang di bahunya tanpa dia dapat
mengelak lagi. Meskipun Suryo Kemikis
memiliki sejenis ilmu bertahan yang disebut
"Meredam Pukulan Membendung Tendangan"
sehingga ketika pukulan atau tendangan
lawan mengena, daya hantamnya yang keras
dapat dikurangi, tetapi tetap saja pemuda ini
terbanting ke kanan. Untuk mencegah agar
tubuhnya tidak terbanting mencium tanah
Suryo Kemikis cabut tongkat bambunya,
menunjang tubuhnya dengan tongkat itu lalu
berjumpalitan. Di lain kejap dia sudah tegak
enam langkah di depan Mirasani. Tangan kiri
memegang tongkat dengan tubuh tampak
miring ke kanan. Mungkin tulang bahunya
yang patah, paling tidak retak akibat hajaran
sang dara tadi.
"Kau sanggup mengelakkan jurus Kincir
Berputar tapi tidak mampu menghindar jurus
Alu Besi Membobol Lesung!" kata Mirasani
menyebutkan dua jurus yang tadi
dikeluarkannya untuk menempur si pemuda.
Mulutnya menyunggingkan senyum mengejek.
"Saatnya kau meninggalkan tempat ini Suryo
Kemikis!"
"Tidak! Aku belum kalah! Aku belum jatuh
menyentuh bumi!" sahut Suryo Kemikis.
"Bukankah syaratmu adalah kalau bagi siapa
yang tubuhnya roboh menyentuh tanah….?!"
Mirasani tertawa pendek. "Matamu buta
melihat kenyataan! Otakmu tumpul menilai
keadaan! Manusia macammu memang tak
layak jadi suamiku! Majulah jika kau ingin
meneruskan pertandingan! Jangan ragu-ragu
mempergunakan tongkat bambumu sebagai
senjata!"
Ditantang begitu Suryo Kemikis jadi panas.
Rahangnya menggembung. Didahului satu
bentakan pemud aini menyerbu sambil putar
tongkat ambunya demikian rupa hingga
mengeluarkan suara menderu dan cahay
kekuningan bertebar.
"Hemm….Jurus Tabir Kipas itu tak ada
gunanya bagimu! Apalagi untuk
merobohkanku!" ujar Mirasani.
Suryo Kemikis terkejut ketika mendengar
lawan mengetahui bahkan menyebut jurus
serangan yang tengah dilancarkannya. Segera
dia robah jurus yang baru dilancarkan
setengahnya itu. Gerakan tongkatnya kini
langsung menghujam lurus ke arah kepala
sang dara. Sedikit lagi akan sampai tiba-tiba
tongkat itu menukik ke bawah menghujam
dada!
"Jurus Gendewa Jatuh!" seru Mirasani
menyebut jurus yang dimainkan lawan. Lagi-
lagi hal itu membuat Suryo Kemikis terkesiap
sehingga gerakannya menyerang agak
terpengaruh. Saat itulah sang dara berkelebat
ke depan. Tangan kanannya berputar lurus
tapi dalam gerakan agak melintir. Inilah jurus
Alu Besi Membobol Lesung yang dilancarkan
dalam gerakan lurus. Suryo Kemikis melihat
jelas serangan itu namun sama sekali tidak
berkesempatan untuk selamatkan dadanya
yang jadi sasaran.
Buukk!
Terdengar keluhan tinggi disertai mentalnya
tubuh Suryo Kemikis. Pemuda ini
tergelimpang di dekat tangga gedung. Tak
berkutik beberapa lamnya. Ketika dia
mencoba bangkit dari mulutnya menyembur
darah segar. Suryo Kemikis kembali
tergelimpang, kali ini pingsan tak sadarkan
diri lagi!
TIGA
Mirasani sama sekali tidak memperdulikan
apa yang dialami Suryo Kemikis. Dia
berpaling pada pemuda berpakaian hitam
berikat kepala merah yang tegak di anak
tangga gedung memandangi sang dara
dengan pandangan entah kagum entah kecut.
"Giliranmu sekarang!" berseru Mirasani.
Si baju hitam melangkah tenang. Empat
langkah di hadapan Mirasani dia menjura lalu
berkata. "Harap maafkan kalau aku terlalu
bodoh memberanikan diri mencoba nasib….."
Mirasani tersenyum kecil. "Aku senang melihat
sikapmu yang merendah. Tapi kalau bicara
soal nasib, ketahulah nasibmu tak bakal lebih
baik dari pemuda bernama Suryo Kemikis itu!"
Mirasani melangkah pulang balik sambil
berkacak pinggang.
"Kuliaht kau membawa keris! Kau boleh
menggunakan senjata itu menghadapiku!"
"Aku lebih suka kalau diberi petunjuk dengan
tangan kosong saja….."
"Hemmmm Pemuda satu ini sopan sekali
sikapnya. Hanya saying dia pasti tak bisa
mengalahkanku," membatin Mirasani. Lalu dia
bertanya "Siapa namamu, kau datang dari
mana dan siapa guru silatmu?!"
"Namaku buruk saja den ayu. Jalak Turonggo.
Aku datang dari pantai urata. Soal siapa
guruku, mohon maaf, aku sidah dipesan untuk
tidak menjual nama guru ke mana-mana. Lagi
pula kehadiranku di sini adalah kemauanku
sendiri…."
"Bagus! Kau memang orang silat sejati.
Majulah!"
Meskipun agak sungkan namun pemuda
bernama Jlaka Turonggo ini bergerak juga
melancarkan serangan pertama. Meski sikap
dan tutur bicaranya sangat sopan namun
serangannya ternyata ganas. Jurus pertama
itu dibukanya dengan mengelilingi tubuh si
gadis secara cepat lalu tiba-tiba luncurkan
serangan ke arah samping kiri Mirasani.
Walau tidak seperti tadi yakni cepat dapat
menebak dan menyebut jurus serangan lawan,
namun mata Mirasani yang tajam sudah
dapat melihat keganasan serangan lawan. Di
balik keganasan itu matanya yang jeli dan
otaknya yang tajam sekaligus dapat pula
melihat sudur kelemahan serangan si pemuda.
Maka diapun keluarkan seruan tinggi dan
berkelebat. Perkelahian berkecamuk hebat.
Tiga jurus berlalu cepat. Memasuki jurus
keempat mendadak Jalak Turonggo berseru
kaget ketika dia mendaptkan keris yang
sebelumnya terselip di pinggangnya lenyap!
Memandang ke depan dilihatnya senjata itu
sudah berada dalam genggaman tangan kiri
Mirasani! Sadarlah si pemuda, jika sang dara
mau pasti dia sudah dapat menyusupkan
pukulan berbahaya. Maka Jalak Turonggo
rapatkan kedua kakinya, membungkuk sambil
merapatkan kedua belah tangan dan berkata
"Terima kasih atas petunjukmu. Jelas bagiku
den ayu bukan tandinganku. Aku terlalu bodoh
bercita-cita mendapatkan istri sepertimu….."
Pemuda itu membungkuk sekali lagi.
Mirasani tersenyum. Hatinya cukup senang
meliha pemuda yang sangat sopan dan tahu
diri ini. Maka dikembalikannya keris Jalak
Turonggo seraya berkata. "Kau menerima
kekalahan dengan hati lapang. Aku suka
bersahabat denganmu. Sebagai seorang
sahabat aku layak minta tolong…."
"Maksud den ayu?" tanya Jalak Turonggo.
"Tolong bawa tubuh pemuda bernama Suryo
Kemikis itu dari sini….."
Jalak Turonggo sebenarnya merasa tidak
senang dengan permintaan itu, namun
akhirnya dia mengangguk juga lalu
memanggul tubuh Suryo Kemikis yang masih
pingsan dan pergi dari situ. Baru saja Jalak
Turonggo lenyap di kelokan jalan dan Rayu
Komala berseru memanggil anaknya agar
segera masuk kedalam, Mirasani melangkah
cepat ke arah sebuah arca dekat pintu
gerbang halaman sebelah kiri. Di situ tampak
duduk seorang pemuda berpakaian seba putih,
ikat kepalanya juga putih.
Rambutnya yang panjang menjela bahu. Dia
duduk sambil menopangkan dagunya pada
kedua tangan. Wajahnya sebetulnya gagah
tapi lagaknya yang aneh membuat dia seperti
seorang pemuda tolol.
"Sejak tadi aku melihat kau duduk di sini. Apa
keperluanmu?!" Mirasani menegur.
Si pemuda cepat berdiri, menjura hormat,
menggaruk kepalanya, tertawa lebar lalu
menjawab. "Maafkan saya datang tidak
memberi salam. Semua karena kagum melihat
perkelahian hebat tadi….."
"Sudah, tak perlu bicara panjang lebar.
Jawab saja apa yang aku tanya!" tukas
Mirasani.
"Aku yang tolol ini berniat mengikuti jejak dua
pemuda tadi. Siapa tahu….."
"Memang hanya orang tolol yang mau
digebuk! Bersiaplah!" sahut sang dara.
Pemuda berpakaian putih itupun tegak
bersiap-siap. Caranya berdiri tampak lucu.
Tubuh agak miring dan kaki kanan setengah
bersilang dengan kaki kiri. Sikapnya ini
membuat Mirasani jadi jengkel.
"Silahkan menyerang!" hardiknya.
Si pemuda garuk kepalanya. "Tadi di situ
yang berkata mau menggebuk. Biar di situ
saja yang lebih dulu menyerang!"
Gusarlah Mirasani. Sekali lompat saja
tubuhnya melesat ke depan lalu membalik
berputar satu lingkaran dengan kaki
menendang deras.
"Jurus Kincir Berputar yang bagus!" seru si
gondrong menyebut jurus serangan yang
dilakukan sang dara. Terkejutlah Mirasani.
Dara ini langsung hentikan serangannya,
bertolak pinggang dan memandang tajam
pada si pemuda.
"Kau mengenali jurus yang kumainkan! Siapa
kau sebenarnya?!"
"Aku pemuda tolol bernama Wiro Sableng,
datang kesasar dari puncak gunung Gede di
ujung barat pulau Jawa. Guruku seorang
nenek benama Sinto Gendeng…. Harap
dimaafkan kalau aku membuatmu tidak
senang….."
"Jadi kau….. kau Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212?!"
"Begitulah orang memberi gelar pada diriku
yang jelek dan tolol ini!"
Berubahlah paras Mirasani. Dia pernah
mendengar dari gurunya Ki Demang Juru
Gampit bahwa di tanah Jawa ini ada beberapa
tokoh silat yang berkepandaian sangat tinggi.
Banyak di antara mereka yang mengucilkan
diri tidak mau dikenal, tidak mau terlalu
mencampuri urusan dunia persilatan. Namun
ada pula di antara mereka yang malang
melintang berbuat kebajikan, menolong
orang-orang yang tertindas, membasmi
kejahatan. Salah satu di antaranya adalah
yang dikenal bernama Wiro Sableng, seorang
yang kabarnya berperangai aneh lucu dan
bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Namun tidak pernah disangkanya kalau sang
pendekar ternyata adalah seorang pemuda
padahal sebelumnya dia menduga pendekar
itu pastilah seorang yang sudah kakek tua
renta!
"Hai! Kau seperti melamun! Bagaimana ini?
Apakah urusan ini bisa diteruskan….?" Wiro
berseru.
"Ah, hari ini mungkin hari terakhirku
bertanding. Aku punya firasat tak bakal
menang menghadapi pemuda ini!" Mirasani
membatin. Lalu dengan menabahkan hati dia
melangkah menekat. Dari jarak tiga langkah
gadis ini langsung menyerbu, menhujani
Pendekar 212 dengan serangan-serangan
cepat dan ganas.
"Jurus Alu Besi Membobol Lesung….ah itu
jurus Elang Mematuk Puncak Menara…..Eit!
Jurus Ular Keluar Sarang Memagut Mangsa
dan ini jurus Bintang Memagar Rembulan…..
Hebat…. Semua hebat! Tapi lihat akupun bisa
memainkannya! Terdengar seruan Wiro
berulang kali yang membuat Mirasani kaget
tidak kepalang dan lebih kaget lagi ketika
dilihatnya pemuda itu memainkan jurus-jurus
yang dikelaurkannya hingga dirinya menjadi
terdesak dan ketika satu sapuan pada salah
satu kakinya membuat dia kehilangan
keseimbangan, tak ampun lagi dara inipun
jatuh terlentang di tanah! Di langkan rumah
Suto Klebet dan Rayu Komala terbeliak
menyaksikan kejadian itu. keduanya saling
pandang sesaat.
"Kangmas…..Agaknya….."
"Ya…..ya! Ini akhir dari segala-galanya. Anak
kita telah menentukan pilihannya sendiri!"
kata Suto Klebet menyamung ucapan istrinya
lalu keduanya turun ke halaman.
Saat itu Mirasani sudah bangkit berdiri sambil
merapikan pakaiannya. Wajahnya tampak
kemerahan bukan karena malu dikalahan tapi
karena jengah menghadapi pemuda yang kini
sudah resmi menjadi calon suaminya sesuai
dengan apa yang selama ini menjadi kaulnya.
"Kau tahu semua jurus-jurus seranganku! Kau
sanggup memainkannya, malah meredam
dalam bentuk bertahan dan kalau dipakai
menyerang jauh lebih hebat dari yang
kumiliki. Apakah kau pernah menjadi murid
guruku Ki Demang Juru Gampit?!"
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk
kepalanya lalu menggeleng. "Ki Demang Juru
Gampit, gurumu itu adalah seorang tua yang
bersih dan alim, hampir mendekati kesucian
seorang Wali . Aku yang brandalan ini mana
mungkin jadi muridnya!"
"Lalu bagaimana kau bisa tahu semua jurus-
jurusku malah memainkannya dan bahkan
merubuhkanku dengan jurus Meniup Pelita
Mendorong Pohon !"
"Semua hanya kira-kira saja. Tak tahunya
kebetulan tepat. Semua jurus itu kumainkan
lain tidak karena hanya melihat saja lalu
menirukan. Kalau gurumu ada di sini pasti dia
melihat kekurangan jurus-jurusku itu!"
"Pemuda ini pandai, tapi dia selalu bersikap
merendah. Agaknya dia sengaja menutupi
kepandaiannya dengan sikap ketolol-
tololan…." Begitu Mirasani berkata dalam hati.
Lalu tanpa sungkan-sungkan dia memegang
lengan Wiro dan membawa pemuda ini ke
arah kedua orang tuanya yang turun dari
langkan gedung.
Atas permintaan Wiro pernikahan
dilangsungkan dua hari kemudian. Sama
sekali tidka ada pesta susulan. Karenanya
tidak ada tokoh persilatan termasuk Ki
Demang Juru Gampit dan Eyang Sinto
Gendeng. Mirasani berulang kali meminta
pada suaminya aga tetap diadakan pesta
besar-besaran karena sebagai istri dan juga
kedua orang tuanya merasa bangga memiliki
seorang suami yang merupakan pendekar
terkenal dalam dunia persilatan. Tapi karena
Wiro menolak dengan keras terpaksa akhirnya
sama sekali tidak ada pesta ataupun
selamatan diadakan, kecuali acara pernikahan
yang berlangsung cepat dan sangat
sederhana.
EMPAT
Kebahagiaan Mirasani sebagai seorang istri
hanya berlangsung selama satu bulan. Setelah
itu suaminya mulai menunjukkan tindak
tanduk aneh. Berkali-kali Wiro pergi
meninggalkannya tanpa pesan atau
mengatakan ke mana tujuan ataupun
keperluannya. Dua atau tiga minggu kemudian
baru sang suami pulang. Meskipun Mira tak
pernah mengadukan keadaan suaminya pada
kedua orang tuanya, Suto Klebet dan Rayu
Komala diam-diam sudah mengetahui apa
yang berlangsung dalam rumah tangga baru
itu.
Suatu malam Wiro Sableng muncul kembali
setelah selama dua minggu menghilang entah
ke mana. Sebelum sempat ditanya Wiro
meletakkan sebuah kotak berukir di atas meja
dan berkata pada istrinya "Bukalah.
Semuanya untukmu Mira….."
Meskipun hatinya tak suka melihat sikap
suaminya itu namun Mira membuka juga
kotak kayu berukir yang terletak di meja.
Begitu dibuka kelihatanlah isi kotak. Sejumput
perhiasan emas bertahta permata serta
sejumlah ringgit emas!
"Dari mana kau mendapatkan ini kangmas
Wiro?"
Yang ditanya tertawa lebar dan usap-usap
hidung lalu garuk-garuk kepala.
"Pemberian seorang kaya raya di Tegalrojo
yang kutolong," sahut Wiro. Dia menatap
paras istrinya sesaat lalu berkata
"Kelihatannya kau tidak suka menerima
pemberian itu?"
"Tentu saja aku suka kangmas Wiro. Hanya
saja sebetulnya yang aku lebih suka adalah
jika kau selalu berada di rumah bersamaku.
Kita masih pengatin baru. Malam-malam
sering kulewati dengan sepi tanpamu. Apakah
kau tidak bisa menunda segala kepergian
itu….?'
"Kau tahu sendiri Mira. Aku seorang pendekar
pengelana. Mana mungkin aku mengeram
lama-lama di rumah…."
"Aku mengerti kangmas Wiro. Karena itu aku
selalu meminta padamu agar jika kau pergi
aku diajak serta….."
"Pengelanaan seperti yang kulakukan bukan
pekerjaan seorang istri cantik jelita sepertimu
Mira…."
"Tapi kita sama-sama orang persilatan!"
"Tidak Mira. Aku tak akan pernah
mengizinkanmu ikut bersamaku. Terlalu besar
bahayanya…."
"Jika itu yang kangmas cemaskan,
bagaimana dengan usulku tempo hari?
Membuka perguruan silat…."
"Itu usul baik. Namun tidak saat ini Mira,
urusanku di luaran masih banyak."
"Jika memikirkan urusan, perguruan itu tak
akan pernah jadi. Apa susahnya? Yang akan
dijadikan murid hanya orang-orang tertentu.
Dari Keraton Salad an Jogja….. Bahkan guruku
bersedia membantu….."
"Kalau begitu biar kau saja dengan Ki
Demang yang melakukannya. Aku pasti
membantu……"
"Justru aku ingin menonjolkan dirimu. Siapa
tahu penguasa Keraton tertarik padamu dan
memberikan satu jabatan penting. Kepala
Pasukan Kotaraja misalnya….."
Wiro Sableng tertawa lalu merangkul dan
menciumi istrinya. "Kau istri yang baik, mau
memikirkan masa depan suami, tapi Mira
ketahulah, aku tidak suka segala macam
jabatan di Keraton atau di Kerajaan. Aku tetap
seperti ini. lelaki bernama Wiro Sableng, tolol
dan gendeng, mengelana ke mana yang
diinginkan, berbuat kebajikan bagi orang
banyak. Dengar Mira, aku letih, ingin istrahat
dan bermesraan denganmu. Aku begitu
kangen. Aku akan mandi lebih dulu lalu kita
naik ke atas ranjang. Mirasani hanya bisa
mengangguk.
"Besok…..pagi-pagi sekali aku harus pergi ke
selatan. Kabarnya banyak terjadi kejahatan di
wilayah itu. Ada tokoh silat golongan hitam
yang ikut membantu para penjahat….."
Peringatan seribu hari meninggalnya
Tumenggung Campak Wungu dihadiri oleh
banyak tetamu terutama dari pihak pejabat
Keraton termasuk beberapa orang Pangeran.
Di antara para tamu yang datang turut hadir
hartawan Suto Klebet dan istrinya berseta
puteri mereka Mirasani, istri Pendekar 212
Wiro Sableng. Malam itu Mira tampak cantik
sekali, mengenakan kebaya panjang ungu
gelap, kain batik tulis, sanggul berhias tusuk
kundai emas dilengkapi giwang besar serta
seuntai kalung emas berbetuk bunga mawar
dengan sebuah permata di tengah-tengahnya.
Selama upacara selamatan berlangsung
sepasang mata janda almarhum Tumenggung
Campak Wungu tidak henti-hentinya
mengerling pada kalung besar yang melingkar
di leher Mirasani. Begitu upacara resmi
selesai, sang janda mendekati Mirasani dan
kedua orang tuanya, bersalam-salaman
sambil bicara berbasa-basi.
Suatu saat Sularesmi, begitu nama sang
janda berkata pada Mirasani "Anakku Mira
sungguh bagus kalung emasmu. Di mana kau
membelinya? Ah, jika kau bisa memberi tahu
siapa pembuatnya tentu aku mau membuat
yang seperti ini…."
Mirasani hanya tersenyum tersipu. Yang
menjawab adalah ibunya "Jeng Sularesmi
terlalu memuji. Kalung itu biasa-biasa saja.
Suaminya yang memberikan…."
"Ah, suami Mira….." ujar Sularesmi seraya
memandang berkeliling seperti mencari-cari.
"Suaminya tidak hadir jeng Sula. Harap
dimaafkan. Dia masih bertugas di selatan….."
Sularesmi mengangguk-angguk mendengar
penjelasan Rayu Komala itu. Dua hari
kemudian, pada suatu siang, dengan
mengendarai sebuah kereta, janda almarhum
Tumenggung Campak Wungu muncul di rumah
kediaman hartawan Suto Klebet, langsung
disambut oleh Rayu Komala karena memang
saat itu hanya dia sendiri yang berada di
gedung besar itu.
"Tidak memberi kabar terlebih dahulu, tahu-
tahu sudah datang berkunjung sungguh satu
kerhormatan besar bagi saya jeng Sula…."
Kata Rayu Komala seraya memeluk tamunya
lalu membawanya ke ruangan tamu yang
besar dan bagus.
"Apakah jeng Rayu ada baik dan sehat-
sehat….?"
"Berkat doa jeng Sula. Terima kasih. Saya
akan menyediakan minuman…."
"Tidak usah repot. Saya hanya sebentar jeng."
"Ah, kenapa begitu buru-buru….."
"Kedatangan saya hanya ingin menyampaikan
sesuatu."
"Sesuatu mengenai apa jeng Sula?"
"Menyangkut kalung bunga mawar itu…."
"Kalung bunga mawar…..? Oooo…..maksud
jeng Sula kalung yang malam selamatan itu
dipakai oleh puteri saya?"
"Betul sekali."
"Ah, rupanya jeng Sula selalu mengingat-
ingat perhiasan itu….."
Sularesmi tersenyum lalu berkata dengan
suara lebih perlahan seolah-olah takut ada
yang bakal mendengar. "Ketahuilah jeng.
Kalung itu sama betul dengan kalung milik
saya yang hilang dua minggu lalu….."
Paras Rayu Komala serta merta berubah.
"Saya tidak mengerti maksud jeng Sularesmi."
"Dua minggu lalu rumah kediaman kami
dibobol maling. Seorang penjaga terbunuh.
Sekotak perhiasan dan uang emas amblas
dari lemari yang dibongkar paksa. Termasuk
kalung emas bunga mawar bertahta permata
tunggal itu…."
"Maksud jeng Sula kalung itu…."
"Saya tidak mengatakan bahwa kalung itu
adalah milik saya yang hilang. Tapi di dunia
ini saya yakin hanya ada satu kalung seperti
itu. jika saya boleh tahu jeng Rayu, dari mana
Mirasani mendapatkan perhiasan itu? Kalau
tidak salah kata jeng Rayu malam itu….
perhiasan itu pemberian suaminya, pendekar
gagah bernama Wiro itu. Betul begitu….?"
Rayu Komala mengangguk. Hatinya tiba-tiba
saja menjadi tidak enak di samping ada rasa
malu yang membuat wajahnya menjadi
merah.
"Jeng Rayu…." Kata Sularesmi. "Saya tidak
menyangka apalagi menuduh yang bukan-
bukan. Hanya saya ingin jeng Rayu
membantu saya mencari tahu dari mana asal
muasalnya perhiasan itu….."
"Menurut Mira ketika suaminya
menghadiahkan perhiasan itu, suaminya
menyebut perhiasan itu adalah hadiah dari
hartawan di Tegalrejo yang pernah
ditolongnya….."
"Tegalrejo daerah tandus. Tak ada seorang
hartawanpun diam di sana!" kata Sularesmi
pula.
Semakin beubah wajah Rayu Komala, semakin
tidak enak hatinya.
"Jeng Rayu…." Kata Sularesmi sambil
memegang lengan perempuan itu.
"Mungkin saya keliru besar. Anggap saja saya
tidak pernah datang kemari. Lupakan semua
pembicaraan kita barusan. Saya mohon
diri…." Lalu janda Tumenggung itu cepat-
cepat berdiri.
Ketika suatu malam Mirasani menuturkan
peremuan Sularesmi dengan ibunya yang
menyangkut kalung emas bermata berlian itu,
sesaat Pendekar 212 Wiro Sableng tampak
berubah wajahnya. Namun di lain kejap dia
tertawa lebar dan berkata.
"Ada ujar-ujar di dunia ini Mira. Ujar-ujar itu
mengatakan Jika kita tidak punya maka kita
akan dihina. Tapi jika kita punya maka kita
akan difitnah! Itulah agaknya yang terjadi
pada diriku. Aku ingin membahagiakan istri
sendiri dengan hadiah berupa perhiasan. Tapi
orang lain menuduh dan memfitnah yang
bukanbukan…."
"Menurut ibu, janda Tumenggung itu sama
sekali tidak menuduh ataupun memfitnah…."
"Lalu apa maksudnya datang kemari dan
sengaja menebarkan cerita tak masuk akal
itu. Apa cuma dia yang meiliki perhiasan di
dunia ini? Jelas dia hendak memecah belah
rumah tangga kita. Memberi malu pada diriku!
Perempuan macam apa janda Tumenggung
itu!"
Mirasani terdiam beberapa lamanya. Lalu dia
bekata "Ada baiknya kangmas memberi
penjelasan beserta bukti-bukti pada janda
Tumenggung itu mengenai asal usul
perhiasan itu. kalau perlu pergi bersama
hartawan yang kata kangmas menghadiahkan
sekotak perhiasan dan uang itu…"
Wiro menggeleng. Tinjunya yang terkepal
diletakkan di atas meja.
"Dia telah memberi malu diriku! Menghina
dan merendahkan. Memberi malu pada dirimu
juga! Memberi malu seisi rumah ini! Aku tidak
akan menemuinya, apalagi membawa
hartawan itu dan bicara padanya! Ambil kotak
berisi perhiasan dan ringgit emas itu Mira!
Aku akan melakukan sesuatu menurut caraku
sendiri!"
"Apa yang akan kangmas lakukan?!" tanya
Mirasani cemas.
"Kau tak usah kawatir istriku! Aku akan
melakukan sesuatu yang dapat menghapus
malu besar yang dicorengkan perempuan tak
berbudi itu! Di mana kotak itu kau simpan.
Ambil dan bawa kemari. Jangan ada yang
kurang isinya!"
Mau tak mau Mirasani pergi juga mengambil
kotak kayu yang diminta Wiro Sableng itu.
Keesokan paginya terjadi kehebohan yang
menggegerkan di rumah kediaman almarhum
Tumenggung Campak Wungu. Seorang
pelayan menemukan Sularesmi telah jadi
mayat, menggeletak di atas lantai kamar
tidur. Ada bekas cekikan pada lehernya.
Perempuan yang malang ini mati dengan
lidah agak terjulur dan mata mendelik. Di atas
lantai dekat jenazahnya tergeletak, tampak
kotak kayu berukir berisi perhiasan dan ringgit
emas. Pada dinding kamar yang putih bersih
tertera besar-besar tiga deretan angka : 212.
LIMA
Ki Demang Juru Gampit merapikan jubah
putihnya lalu mengambil buntalan kecil yang
ada di atas balai-balai. Dia berpaling pada
anak lelaki berusia sekitar dua belas tahun
yang duduk di sudut rumah dan berkata
"Kaiman, aku pergi sekali ini cukup lama.
Jaga rumah ini baik-baik dan jangan lupa
berlatih terus. Jika kau rajin pasti kau akan
menguasai seluruh kepandaian yang
kuberikan. Seperti pandainya kakakmu yang
bernama Mirasani itu…."
"Ucapan itu akan saya perhatikan kek.
Sebetulnya ingin sekali saya ikut bersama
kakek. Ingin bertemu dengan kakak
seperguruan yang kabarnya cantik sekali
itu….."
Ki Demang tersenyum. "Belum saatnya
muridku. Suatu ketika kau pasti akan bertemu
dengannya. Apakah kudaku sudah kau
siapkan….?"
"Sudah kek. Hai….betulkan kakak Mirasani itu
mempunyai seorang suami yang gagah
perkasa. Memiliki ilmu silat dan kesaktian
luar biasa? Bergelar Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212…..?"
Ki Demang Juru Gampit mengangguk. "Begitu
yang kudengar. Aku sendiri belum pernah
bertemu muka. Namun nama besarnya
menjulang setinggi gunung Merapi. Itulah
sebabnya aku berhasrat menyambangi
muridku. Bisa bertemu dengan Mirasani dan
berjumpa dengan suaminya. Aku pergi
sekarang Kaiman. Jaga rumah baik-baik.
Jangan lupa sembahyang!"
Habis berkata begitu Ki Demang menuruni
tangga kayu rumah kayu sederhana yang
terletak di puncak bukit itu. langkahnya tetap
dan tegap ketika menuju pohon di mana
kudanya ditambatkan. Tetapi langkah ini
serta merta tertahan ketika memandang ke
depan dia melihat di atas kuda miliknya yang
masih tertambat di pohon tampak duduk
seorang pemuda berpakaian putih berikat
kepala putih, berambut gondrong dan
sebatang rokok terselip di sela bibirnya.
Setelah pandangi pemuda tak dikenalnya itu
beberapa ketika maka Ki Demangpun
menegur.
"Anak muda, enak sekali dudukmu di atas
punggung kudaku. Siapakah dirimu….?"
"Apakah aku berhadapan dengan orang tua
bernama Ki Demang Juru Gampit?" Pemuda
yang di tanya bukannya menjawab malah
balik bertanya. Dengan sabar si orang tua
menjawab "Benar. Kau tidak salah. Aku
adalah Ki Demang Juru Gampit. Kau datang
sengaja mencariku!"
"Aku Wiro Sableng. Bergelar Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212. Murid Sinto Gendeng
dari gunung Gede!"
"Astaga!" kagetlah Ki Demang Juru Gampit.
"Aku justru tengah bersiap-siap untuk
menyambangimu dan muridku! Tahu-tahu kau
muncul di sini! Sungguh senang hatiku
bertemu dengan Wiro…." Meski mulutnya
berkata senang tapi hati si orang tua merasa
tidak senang melihat tindak tanduk dan cara
bicara si pemuda yang dilihatnya tidak sopan,
berbau kurang ajar.
"Turun dari kuda itu. mari masuk ke rumah
agar kita bisa berbincang-bincang. Mungkin
kita bisa bersama-sama menuju tempat
kediaman kau dan istrimu…." Ki Demang
mengundang.
Wiro cabut rokok yang terselip di sela bibirnya
lalu mencampakkannya ke tanah. Sekali
bergerak saja dia sudah melompat dan turun
ke tanah.
"Ki Demang, aku kemari bukan untuk
berbincang-bincang…."
"Kalau begitu….. Apa yang bisa kulakukan .
Langsung saja sama-sama pergi saat ini?!"
Wiro gelengkan kepalanya. Sepasang matanya
memandang tak berkesip pada orang tua itu.
Mulutnya membuka dan meluncurlah
ucapannya "Aku datang untuk membunuhmu!"
Ki Demang Juru Gampit sesaat terkesiap lalu
terdengar gelak tawanya berderai.
"Ada-ada saja kau ini Wiro. Kau sadar apa
yang kau ucapkan barusan? Pasti kau
bergurau!"
"Mengenai urusan kematian, aku tidak pernah
bergurau Ki Demang…." Jawab Wiro sambil
menyeringai dan garuk-garuk kepalanya.
"Eh, orang satu ini tampaknya memang tida
bergurau…." Kata Ki Demang Juru Gampit
dalam hati. Maka diapun memancing. "Soal
kematian anak manusia adalah di tangan
Tuhan. Kalau hari ini memang takdirku
sampai umur, aku akan menerima dengan
pasrah. Hanya saja ingin kutanyakan alas an
apa yang membuatmu muncul sebagai
malaikat pencabut nyawa?"
Wiro tertawa bergelak. "Kalau kau tanya soal
alasan, jawabannya bisa seribu satu orang
tua. Apakah kau sudah bersiap untuk
mati…..?"
"Aku sudah siap sejak tadi anak muda! Aku
mempunyai firasat kau sebenarnya bukan…."
Sebelum Ki Demang menyelesaikan
kalimatnya Pendekar 212 Wiro Sableng telah
menyergapnya dengan serangan. Tak bisa
berbuat lain Ki Demang Juru Gampit segera
menghadapi serangan itu dengan tenang.
Mula-mula dia bertahan sampai dua jurus.
Pada jurus ketiga guru Mirasani ini mulai
balas menyerang. Inilah yang ditunggu Wiro
Sableng. Matanya yang tajam memperhatikan
gerakan lawan, meredam dan meniru gerakan
itu sambil menyebutkan jurus yang
dikeluarkan si orang tua. Ki Demang Juru
Gampit tidak kaget melihat lawan bisa
menyebut dan mengenali jurus-jurus yang
dimainkannya. Karena pastilah semua itu
diketahui Wiro dari istrinya. Tetapi orang tua
ini merasa kaget sekali ketika dilihatnya Wiro
Sableng balas menyerang dengan jurus-jurus
ilmu silat yang diciptakannya sendiri! Dan
celakanya jurus-jurus serangan yang
dilancarkan lawan ternyata lebih ganas dan
disertai aliran tenaga dalam tinggi hingga
orang tua itu terdesak hebat!
"Luar biasa! Tak bisa dipercaya!" kata Ki
Demang Juru Gampit dalam hati.
"Terpaksaaku mengeluarkan kesaktian!"
Namun orang tua ini tak mendapat
kesempatan untuk mengeluarkan pukulan-
pukulan saktinya karena serangan lawan
datang tiada henti seperti curahan hujan!
"Jurus Alu Besi Membobol Lesung!" teriak
Wiro dan tiba-tiba sekali tangan kirinya
meluncur menembus pertahanan Ki Demang.
Ki Demang Juru Gampit melihat jelas
datangnya serangan itu. dia menangkis
dengan meng-hantamkan lengan ke atas. Tapi
kalah cepat Jotosan Pendekar 212 Wiro
Sableng melabrak da-danya dengan keras.
Orang tua ini terpental, jatuh terlentang di
tanah. Tulang dadanya remuk. Dua tulang
iganya ikut patah! Melihat hal ini Kaiman
murid Ki Demang yang sejak tadi menyak-
sikan pertempuran berteriak marah dan berlari
ke arah Wiro sambil mengacungkan tinju.
"Manusia jahat tak berbudi! Aku akan
membalas apa yang kau lakukan terhadap
guru!"
Wiro berpaling dan menyeringai.
"Bocah tolol! Jadi kau muridnya tua bangka
ini! bagus! Guru dan murid akan kubunuh
bersama!"
Mendengar ucapan Wiro dan melihat sorotan
mata pendekar itu Ki Demang maklum apa
yang bakal terjadi. Maka diapun berteriak
"Kaiman! Lari…. Lekas lari! Selamatkan
dirimu! Dia bukan tandinganmu!"
Sesaat anak berusia dua belas tahun itu
hentikan langkahnya. Tapi bila dilihatnya
darah yang mengucur di sela bibir gurunya,
amarahnya memuncak kembali. Dia tidak
takut terhadap Wiro. Dia rela mari bersama
gurunya.
"Kaiman! Dengar ucapanku! Lari! Lekas lari!"
"Muridmu hanya akan lari ke neraka Ki
Demang!" ujar Wiro. Lalu dia melompat untuk
menyergap anak itu. Ki Demang Juru Gampit
kumpulkan sisa kekuatannya, melompat dan
menangkap salah satu kaki Wiro Sableng
hingga kedua orang itu kemudian sama-sama
jatuh bergulingan. Dengan satu sentakan
keras Wiro lepaskan kakinya dari cengkeraman
orang. Saat itu dilihatnya anak lelaki tadi tak
ada lagi di situ. Dengan geram Wiro
melangkah mendekati Ki Demang. Orang tua
yang dalam keadaan tak berdaya itu kerahkan
tenaga dalamnya. Tangannya bergetar.
Mulutnya berkomat-kamit membaca sesuatu.
Begitu Wiro datang lebih dekat Ki Demang
hantamkan tangan kanannya! Wuut!
Angin berwarna kebiruan menderu,
menghantam deras ke arah Wiro. Terasa hawa
dingin menggidikkan. Pendekar 212 cepat
melompat ke samping. Dari samping dia balas
menghantam dengan pukulan tangan kanan.
Tampak cahaya putih berkilauan. Udara panas
menebar. Cahaya itu laksana tombak raksasa
menderu menghantam tubuh Ki Demang.
Orang tua itu terpekik. Tubuhnya sebelah
bawah hangus. Gerahamnya bergemelatakan
menahan sakit.
"Pukulan Sinar Matahari…." Desisnya. Dia
sudah lama mendengar kehebatan pukulan
sakti itu. Siapa menduga kalau hari itu dia
akhirnya menemui ajal dengan pukulan itu.
Setelah me-ngerang panjang Ki Demang Juru
Gampit tampak tak bergeming lagi. Nafasnya
melayang sudah!
ENAM
Pesantren Tunggul Kencono merupakan
pesantren paling besar di Jawa Tengah pada
masa itu. Ratusan muridnya bermukiMn di
kaki gunung Sumbing, dekat sebuah lembah
yang subur.
Saat itu baru lepas Maghrib dan anak-anak
murid pesantren tengah bertadarus mengaji di
bangsal besar bangunan induk sambil
menunggu saat sembahyang Isya. Kiai Bangil
Menggolo pimpinan pesantren duduk di
tengah bangsal. Kedua matanya terpejam
sedang tangan kanannya memegang tasbih.
Walau dia tengah berzikir khusuk namun
telinganya yang tajam senantiasa dapat
mendengar bacaan murid-muridnya yang
salah maka sang kiai memberi tahu kesalahan
itu dan meminta si murid mengulang kajinya
sampai betul.
Di antara ramainya gema suara para murid
mengaji tiba-tiba terdengar suara kraak yang
disusul oleh patahnya tiang bangsal di ujung
kanan serta miringnya atap bangsal di bagian
itu!
Suara para murid yang mengaji serta merta
sirap. Semua kepala dipalingkan ke arah tiang
yang patah dan semua mata ditujukan pada
sosok tubuh seorang pemuda berambut
gondrong, mengenakan pakaian putih yang
tegak berkacak pinggang di bawah atap yang
miring.
Kiai Bangil Menggolo terus saja duduk bersila
dan berzikir seolah-olah sama sekali tidak
terpengaruh atau terganggu oleh apa yang
terjadi namun sebenarnya semua keadaan
yang berubah itu tidak lepas dari mata
hatinya.
"Apa yang terjadi….?" Sang Kiai bertanya.
"Seorang pemuda tak dikenal memukul patah
tiang bangsal!" salah seorang murid
menjawab.
Perlahan-lahan sepasang mata Kiai Bangil
Menggolo terbuka dan langsung beradu
pandang dengan pemuda berpakaian putih
berambut gondrong yang tegak dekat tiang
bangsal yang patah.
"Anak muda, betulkah kau yang mematahkan
tiang itu?" bertanya Kiai Bangil Menggolo.
Suaranya datar dan tenang.
"Memang aku yang melakukannya!" menjawab
si pemuda dengan tandas, pongah dan jelas
bernada menantang.
"Hemmm…." Kiai Bangil Menggolo bergumam
dan angguk-anggukkan kepalanya beberapa
kali.
"Apa salah tiang itu hingga kau memukulnya
sampai patah dan merusakbangunan
kediaman kami?!"
Yang ditanya menyeringai lalu menjawab
"Tiang itu memang tidak punya salah! Tapi
pimpinan pesantren Tunggul Kencono ini yang
punya salah dan dosa besar!"
Semua anak murid pesantren terkesiap
mendengar ucapan si gondrong tak dikenal
itu.
Setelah mengusap janggut putihnya beberapa
kali Kiai Bangil Menggolo lalu berucap "Yang
namanya manusia itu tak akan pernah luput
dari dosa dan kesalahan. Tapi apakah kau
bisa mengatakan dosa dan kesalahanku, anak
muda?"
"Kua diketahui berkomplot dengan
pemberontak di daerah timur untuk merebut
tahta, menghancurkan Kerajaan!" jawab si
pemuda.
"Masya Allah!" berucap Kiai Bangil Menggolo.
"Menuduh tanpa bukti sama saja dengan
memfitnah. Selama bertahun-tahun aku tak
pernah meninggalkan pesantren. Selama
bertahun-tahun aku tak pernah berhubungan
dengan dunia luar. Bagaimana tiba-tiba saja
aku dituduh begitu keji? Berkomplot dengan
kaum pemberontak!"
"Untuk menyatakan tuduhan saat ini tak perlu
aku membawa segala macam bukti. Karena
semua bukti sudah berada di tangan Sri
Baginda!"
"Kalau begitu, apakah kau utusan Sri
Baginda? Alat Negara?"
"Bukan hanya sekedar utusan Kiai! Tapi
sekaligus membawa perintah untuk
menghukum matimu saat ini juga!"
Mendengar kata-kata si pemuda, puluhan
murid pesantren serta merta berdiri dengan
sikap siap melindungi pemimpin mereka
bahkan kalau perlu meringkus pamuda tak
dikenal itu. Perlu diketahui pesantren Tunggul
Kencono adalah pesantren di mana para
murid belajar berbagai ilmu agama serta
dakwah. Sama sekali tidak mengajarkan ilmu
silat apalagi segala macam kesaktian. Namun
demikian melihat pimpinan mereka berada
dalam ancaman, para murid pesantren
menjadi marah dan bersiap-siap untuk
menjaga segala kemungkinan. Melihat hal ini
Kiai Bangil Menggolo cepat memberi isyarat,
menyuruh muridnya tenang dan duduk
kembali.
"Anak muda," kata Kiai Bangil Menggolo
seraya berdiri dari duduknya. "Jika Kerajaan
ingin menangkap seseorang apalagi hendak
menjatuhkan hukuman, terlebih dulu orang itu
dibawa kepersidangan pengadilan. Dia akan
ditangkap dengan surat resmi bercap
Kerajaan. Dan yang membawa surat
penangkapan itu paling tidak adalah sejumlah
perajurit berseragam resmi, bersenjata
lengkap! Kau datang seorang diri seperti
gelandangan tak tahu juntrungan. Siapa
sebenarnya kau ini, anak muda?!"
Si gondrong tampakberubah wajahnya
mendengar kata-kata Kiai Bangil Menggolo
itu. namun kemudian dia keluarkan suara
tertawa bergelak.
"Kalau ingin tahu siapa aku, dengar baik-baik
Kiai! Namaku Wiro Sableng! Murid tunggal
Eyang Sinto Gendeng dari puncak gunung
Gede. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212!"
Mendengar keterangan si pemuda terkejutlah
Kiai Bangil Menggolo.
"Nama besarmu memang sudah lama
kudengar. Akupun pernah berbincang-bincang
dengan gurumu dalam suatu pertemuan
beberapa tahun yang silam. Aku yakin ada
kekeliruan…."
"Aku yakin tidak ada kekeliruan!" memotong
Wiro Sableng. "Apakah kau sudah siap untuk
mati?!"
Wiro Sableng turunkan tangan kanannya yang
sejak tadi bertolak pinggang.
"Kiai!" puluhan murid pesantren berseru
tegang dan tanpa depat dicegah mereka
sudah mengelilingi Kiai Bangil Menggolo,
menghadap ke arah si pemuda dengan
pandangan beringas.
"Semua mundur!" seru Kiai Bangil. "Tak ada
yang perlu ditakutkan!" orang tua itu lalu
mendorong murid-muridnya ke samping
sambil melangkah ke arah Wiro berdiri. Saat
itu tiba-tiba Wiro Sableng pukulkan tangan
kanannya ke depan sereaya berteriak "Kiai
Bangil! Ajalmu sudah sampai! Terima pukulan
Sinar Matahari ini sebagai hukumanmu!"
Sinar putih menderu dari tangan kanan Wiro.
Kiai Bangil terpental dua tombak, jatuh ke
lantai bangsal dalam keadaan hangus sekujur
badannya! Anak murid pesantren yang
puluhan orang itu berpekikan. Sebagian
memburu ke arah guru mereka, sebagian lagi
melompat ke arah Wiro. Tapi pemuda itu
telah lenyap!
TUJUH
Pagi cerah, langit bersih membiru, sang surya
bersinar lembut. Embun masih tampak
melekat di dedaunan. Dalam udara segar itu
di kejauhan terdengar suara orang bersiul.
Keras tetapi entah membawakan lagu apa.
Tiba-tiba suara siulan itu lenyap ketika dari
berbagai arah terdengar suitan keras saling
bersahutan. Orang yang bersiul pertama tadi
hentikanlangkahnya dan memandang
berkeliling. Suara suitan terdengar lagi
berulang kali, jelas saling bersahut-sahutan
seperti memberi suatu tanda.
Orang yang tadi bersiul kembali memandang
berkeliling. "Aneh! Suitan seperti itu biasanya
tanda-tanda yang dibuat oleh orang-orang
persilatan! Agaknya ada sesuatu terjadi di
sekitar sini!" begitu orang ini membatin
sambil menggaruk-garuk kepalanya yang
gondrong. Ketika suara suitan-suitan lenyap.
Si gondrong siap melanjutkan perjalanan,
namun langkahnya tertahan ketika tiba-tiba
pula kembali terdengar suara suitan bersahut-
sahutan, lebih keras tanda lebih dekat dan
lebih riuh tanda lebih banyak.
"Edan! Ada apa ini! suitan itu keras
menggetarkan gendang-gendang telinga!
Suitan yang disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi!" si gondrong tepuk-tepuk
telinganya.
Terdengar suara bergemirisik. Si gondrong
cepat membalik. Dari sebatang pohon besar
melayang turun sesosok tubuh. Yang muncul
ternyata seorang tua renta berjanggut putih
sampai ke dada. Dia membawa dua bumbung
bambu. Satu dipanggul satunya lagi
ditenteng. Melihat orang tua ini si gondrong
cepat-cepat menubruk dan jatuhkan diri
seraya berkata " Dewa Tuak . Sungguh
pertemuan yang tidak didugaduga! Ah, kau
tidak seperti tambah tua! Tak pernah tambah
tua! Luar biasa!"
Si orang tua tertawa tapi si gondrong melihat
ada sesuatu tersembunyi di balik tawa itu.
"Pendekar 212 Wiro Sableng! Aku senang
bertemu denganmu! Hanya saja keadaan hari
ini tidak terlalu menggembirakan.
Berdirilah…."
Si gondrong yang ternyata Pendekar 212 Wiro
Sableng berdiri perlahan.
"Dewa Tuak, apakah kau sehat-sehat saja….?"
"Aku sehat dan baik," jawab si orang tua yang
disebut dengan gelar Dewa Tuak itu, yang
merupakan seorang tokoh silat sangat
disegani. "Apakah kau juga baik-baik?"
"Aku sehat, segar bugar!" jawab Wiro seraya
mengacungkan kedua tangan tinggi-tinggi
dengan jari terkepal.
"Syukur kalau begitu. Tapi sehat tubuhmu
tidak sehat bagi banyak orang lain. Dunia
persilatan telah geger oleh tindak tandukmu!"
"Apa maksudmu Dewa Tuak….?" Wiro Sableng
terkejut mendengar ucapan Dewa Tuak.
"Kau masih bisa bertanya Pendekar 212?
Bertanya setelah apa yang kau lakukan,
setelah segala sesuatunya terlambat karena
saat ini lebih dari setengah lusin tokoh silat
telah mengurung tempat ini! Siap untuk
membantaimu?!"
Wiro memandang berkeliling. Astaga! Apa
yang dikatakan Dewa Tuak ternyata tidak
dusta. Di sekelilingnya tampak tegak tujuh
orang, memandang tak berkesip ke arahnya.
Beberapa di antaranya orang-orang itu
dikenalnya. Yang pertama adalah seorang
kakek yang mata kirinya picak. Wiro kenal
sekali dengan orang tua ini yaitu Lor Gambir
Seta , murid tokoh silat nomor satu Si Raja
Penidur .
Yang kedua juga seorang kakek bertubuh
tinggi langsing, dikenal dengan gelar Malaikat
Tangan Besi Dari Puputan, merupakan tokoh
paling ditakuti di kawasan timur. Orang yang
ketiga seorang nenek bermata juling,
mencekal arit di tangan kiri. Wiro ingat pernah
bertemu dengan perempuan tua ini
sebelumnya tapi lupa entah di mana. Orang
keempat seorang pemuda berwajah tirus,
memegang tongkat besi di tangan kiri,
seorang sahabat yang dikenal Wiro dengan
gelar Pendekar Besi Hitam .
Yang kelima seorang lelaki bertubuh kekar
bertelanjang dada bermuka angker karena
penuh cambang bawuk dan guratan bekas
luka di kedua pipinya. Wiro tak kenal manusia
satu ini.
Orang yang keenam berdiri di bawah sebatang
pohon, berpakaian serba hitam. Wajahnya
tidak kelihatan karena tertutup caping bambu.
Tapi dari hulu golok berbentuk kepala
harimau yang tersisip di pinggangnya, murid
Sinto Gendeng segera mengenalnya yakni
seorang tokoh silat dari kawasan barat
bernama Menak Jalantra , bergelar Harimau
Pemakan Jantung . Orang yang terakhir
seorang nenek bermuka garang. Rambutnya
putih jarang, kepalanya hampir sulah. Dia
mengenakan jubah putih dekil penuh
tambalan dan memegang sebuah kaleng
rombeng yang sudah karatan "Pengemis
Hantu …." Desis Wiro Sableng ketika mengenali
nenek berwajah angker seperti hantu itu. Dia
tahu betul semua orang yang ada di situ
adalah tokoh-tokoh silat golongan putih, satu
aliran dengan dirinya sendiri. Tetapi mengapa
semua mereka memandang dengan air muka
yang menunjukkan permusuhan. Sementara
Dewa Tuak dilihatnya beberapa kali menarik
nafas panjang.
"Dewa Tuak…. Ada apa ini sebenarnya?" tanya
Wiro Sableng. "Aku mencium hawa
pembunuhan…."
Dewa Tuak kembali menghela nafas dalam-
dalam lalu membuka mulut. "Aku tak kuasa
menjawab pertanyaanmu, Wiro. Biar para
tokoh itu saja ang memberi tahu…."
Lor Gambir Seta maju selangkah. "Empat
bulan yang lalu kau membunuh Kiai Bangil
Menggolo. Orang tua itu masih keponakan
guruku si Raja Penidur. Guru menugaskanku
untuk meminta pertanggung jawabmu…."
"Aku membunuh Kiai Bangil Menggolo….?!"
Wiro kaget besar dan geleng-gelengkan
kepala. Ketika dia hendak membuka mulut
kembali, Malaikat Tangan Besi Dari Puputan
seudah lebih dulu memotong.
"Tujuh bulan lalu kau membunuh sahabatku
Ki Demang Juru Gampit! Nyawanya adalah
nyawaku juga! Jika kau membunuhnya maka
aku minta kau membunuhku sekalian!"
"Hai! Apa-apaan ini?! Dua orang menuduhku
yang bukan-bukan…..!" seru Wiro.
Pemuda berwajah tirus maju dua langkah dan
tancapkan tongkat besi hitamnya ke tanah.
"Aku Pendekar Besi Hitam! Delapan bulan
silam kau merampok rumah kediaman bibiku
janda almarhum Tumenggung Campak
Wungu! Beberapa minggu kemudian kau
membunuh perempuan itu dan terang-
terangan meninggalkan tanda 212 di dinding
rumah!"
"Oooladalah!" Wiro garuk-garuk kepalanya
dengan kedua tangan. "Tuduhan keji apalagi
yang akan kuterima hari ini….?!" Murid Sinto
Gendeng berpaling pada orang-orang yang
belum angkat bicara.
Nenek bersenjata arit ayunkan senjatanya
beberapa kali lalu bicara dengan suara
membentak "Kau memperkosa dan membunuh
murid tunggalku Sintorukmi! Deretan angka
212 kau torehkan di sekujur tubuhnya yang
telanjang….! Aku akan menicincang tubuhmu
dengan arit ini. Kenalkan diriku Arit Sakti
Pencabut Raga!"
"Gusti Allah!" seru Wiro. Hampir jatuh duduk
dia mendengar tuduhan itu.
"Memperkosa dan membunuh keji itu tak
pernah aku lakukan. Demi Tuhan….!"
"Sumpah pendekar murtad sepertimu siapa
yang mau percaya!" satu bentakan terdengar.
Yang membentak adalah lelaki bertelanjang
dada yang wajahnya penuh cambang bawuk
dan guratan luka. "Kau membunuh adik
kembarku ketika dia bersama rombongan
pasukan Kerajaan mengejar dua tokoh
pemberontak di selatan lima bulan lalu!
Jangan berani membantah! Aku sendiri
menyaksikan kejadian itu!"
"Mati aku…..! Ya Tuhan urusan gila apa ini
semua?!" seru Wiro dengan mulut bergetar.
Harimau Pemakan Jantung gerakkan tangan
kanannya ke pinggang. Sreet! Golok berhulu
kepala harimau terhunus telanjag dari
sarungnya.
"Golokku sudah lama tidak minum darah
langsung dari jantung! Hari ini kau akan
memberinya minuman, Pendekar 212….?"
"Apa…..apa pula dosaku padamu….?" Tanya
Wiro.
"Kau mengobrak-abrik perguruan silatku dua
bulan lalu. Membunuh enam orang muridku.
Ingat peristiwa di Lembah Merak Putih….?"
"Lembah Merak Putih?! Mendengarnyapun
baru sekali ini, apalagi pernah datang dan
melakukan pembunuhan di tempat itu….!"
Harimau Pemakan jantung tertawa. Suara
tertawanya seperti harimau menggereng!
Wiro berpaling pada orang ketujuh. Nenek
sulah bergelar Pengemis Hantu.
"Dan kau nenek….. Apa pula yang hendak kau
tuduhkan padaku….?" Tanya Wiro.
"Satu bulan lalu kau merampas satu karung
uang hasilku mengemis selama bertahun-
tahun. Uang itu tidak jadi soal bagiku karena
mungkin bukan rejekiku. Tapi kau membunuh
serta tiga orang pengemis anak buahku!
Menggurat angka 212 di kening mereka! Keji
dan sombong!"
"Jika aku membunuh orang tidak mungkin aku
berlaku tolol meninggalkan tanda yang mudah
dikenal seperti itu….!"
"Tolol atau cerdik yang jelas ketololan dan
kecerdikanmu berakhir pada kematian!" jawab
si nenek sambil sunggingkan serangai aneh.
"Dewa Tuak!" terdengar suara Lor Gambir
Seta. "Kami ingin tahu di mana kau berdiri.
Kau telah menolong kami mencari pendekar
sesat ini. setelah bertemu apakah kau juga
akan turun tangan bersama kami sesuai
dengan sumpah ksatria para pendekar
golongan putih? Menegakkan keadilan
menghancurkan angkara murka?!"
Dewa Tuak mengeuk tuaknya beberapa kali
lalu batuk-batuk. "Aku sudah tua…. Terlalu
tua untuk ikut turun tangan bersama kalian.
Kalian bertujuh saja sudah cukup, biar aku
yang bangka ini menjadi saksi kematian
seorang sahabat yang sudah kuanggap anak
sendiri. Mati karena perbuatannya yang keji!"
"Jadi kalian semua hendak membunuhku?!"
Wiro bertanya sambil memandang berkeliling.
"Seharusnya tadi-tadi kau sudah menyadari
bahwa hari ini ada Pendekar 212!" sahut si
nenek bergelar Arit Sakti Pencabut Sukma.
"Kalian semua gila!" teriak murid Sinto
Gendeng. Tanpa sadar tenaga dalamnya ikut
mengalir. Akibatnya suaranya terasa
menggetarkan tanah. Tujuh orang tokoh silat
terkejut, tapi hanya sesaat. Di lain kejap ke
tujuhnya sudah menyerbu, tiga senjata
berkiblat. Empat orang menyerang dengan
tangan kosong. Dalam keadaan seperti itu
tangan kosong bisa membunuh lebih cepat
dari pada senjata! Murid Eyang Sinto Gendeng
berseru keras. Kedua kakinya dijejakkan ke
tanah. Tubuhnya melesat setinggi dua tombak
ke udara.
"Ke langitpun kau lari kami kejar!" teriak Arit
Sakti Pencabut Raga seraya susul melompat
dan babatkan senjatanya ke arah dua kaki
Wiro. Pendekar 212 terpaksa membuang diri
berjumpalitan ke kiri. Tapi dari jurusan ini
menderu lengan besi Malaikat Tangan Besi
Dari Puputan, mencari sasaran di batok
kepalanya. Wiro lepaskan pukulan Orang Gila
Mengebut Lalat. Malaikat Tangan Besi
merasakan tangannya bergetar dan tubuhnya
hampir terjengkang ketika angin sakti
melabrak lengan dan sebagian tubuhnya.
Cepat dia turunkan diri ke bawah sementara
Wiro saat itu harus pula menghadapi
sambaran golok Harimau Pemakan Jantung
yang ganas sekali menusuk tepat ke arah
jantungnya. Di saat yang bersamaan
Pengemis Hantu gerakkan kaleng rombeng
berkaratnya ke atas. Sepuluh uang logam
menderu mencari sasaran di tubuh Pendekar
212.
"Mati aku….!" Teriak Wiro dalam hati. Tangan
kirinya segera melepaskan pukulan
pertahanan membentengi tubuh yakni Benteng
Topan Melanda Samudera.
Pemuda cerdik ini sadar sekali kalau pukulan
sakti itu tidak mungkin menyelamatkannya
dari tujuh serangan maut. Maka secepat kilat
tangan kanannya bergerak ke pinggang. Maka
berkiblatlah sinar putih menyilaukan di udara
pagi yang cerah itu desertai suara gaungan
laksana seribu lebah mengamuk!
"Kapak Maut Naga Geni 212! Awas!" teriak
Lor Gambir Seta murid si Raja Penidur.
Tring….tring….tring….tring…. Empat uang
logam yang ditabur Pengemis Hantu sempat
dihantam Kapak Naga Geni 212. Enam lainnya
luruh terkena sambaran angin senjata mustika
itu. menyusul suara trang! Kapak sakti beradu
badan dengan golok mustika di tangan
Harimau Pemakan Jantung. Kagetlah tokoh
silat ini ketika dia merasakan tubuhnya
bergoncang keras hampir terjungkal. Goloknya
bahkan nyaris lepas. Ketika dia meneliti
masih untung senjatanya tidak ada yang
rompal.
"Kurung yang ketat! Jangan biarkan tukang
perkosa, pembunuh dan rampok ini lolos!"
teriak Arit Sakti Pencabut Raga. Di antara
semua penyerang nenek ini yang paling besar
dendam kesumatnya terhadap Wiro.
Wiro putar Kapak Naga Geni dengan sebat.
Tenaga dalamnya dikerahkan penuh.
Tubuhnya laksana batu karang membendung
ombak raksasa. Tampaknya dia akan sanggup
menghadapi badai serangan itu. namun tujuh
lawannya adalah tokoh-tokoh silat kelas satu
yang kepandaian masing-masing rata-rata
sama tingginya.
Dikeroyok begitu tupa, meskipun murid Sinto
Gendeng sempat menghantam roboh Pendekar
Besi Hitam dengan tendangan kaki kanan
hingga pemuda itu pingsan dengan empat
tulang iga patah, namun dalam kecamuk yang
luar biasa hebatnya itu dia tak sempat
mengelak atau menangkis bacokan arit si
nenek bergelar Arit Sakti Pencabut Sukma!
Bahu kanannya luka besar. Darah mengucur
deras. Kapak Baga Geni 212 terlepas dan
jatuh ke tanah! Langsung disambar oleh
Harimau Pemakan Jangtung.
Pendekar dari gunung Gede itu sadar apa
artinya ini. dengan tangan kirinya dia cepat
lepaskan pukulan Sinar Matahari yang
terkenal dahsyat itu. Tujuh orang penyerang
serta merta menyingkir begiut melihat ada
cahaya putih menyilaukan berkiblat diserta
tebaran hawa panas luar biasa. Ketika sinar
putih dan hawa panas sirna tujuh orang yang
mengejar sama mengumpat dan memaki.
Pendekar 212 telah lenyap dari tempat itu.
Semuanya memandang ke arah Dewa Tuak
dan diam-diam menyesalkan mengapa kakek
sakti itu tidak mau turun tangan membantu!
DELAPAN
Kuda coklat itu akhirnya sampai juga ke
puncak gunung Gede. "Kita berhenti di sini
Guci. Aku sudah melihat gubuk kediaman guru
manusia keparat itu. Kau tunggu di sini…."
Mirasani elus-elus tengkuk kudanya lalu
melompat turun. Ketika gubuk kayu di puncak
gunung itu diperiksanya ternyata kosong.
"Keparat! Tak ada siapa-siapa di sini!" maki
Mirasani. Saking jengkelnya hendak
ditendangnya pintu gubuk. Namun tiba-tiba
saja ada suara menegur. "Gadis elok, siapa
yang kau cari! Mengapa marah-marah dan
hendak menendang pintu gubukku?!"
Mirasani cepat berpaling. Suara itu datang
dari atas pohon besar enam langkah di
samping kirinya. Ketika mendongak ke atas
tampaklah sesosok tubuh kurus kering
berbaring di atas cabang pohon, seolah-olah
tengah bergolek berleha-leha di atas ranjang.
Padahal cabang pohon itu hanya sebesar
lengan manusia. Melihat sosok tubuh yang
tergolek di cabang pohon itu Mirasani lantas
berteriak "Kau pasti Sinto Gendeng, guru
Pendekar 212 Wiro Sableng!"
Tubuh di atas cabang pohon tampak bergerak
bangkit. Dari sikap berbaring kini tubuh itu
duduk berjuntal. Ternyata dia adalah seorang
nenek bertubuh tinggi, berkulit sangat hitam.
Tubuhnya boleh dikatakan hanya tinggal kulit
pembalut tulang saking kurusnya. Kekurusan
dan kehitaman yang luar bisa ini membuat
wajahnya angker hampir menyerupai
tengkorak. Apalagi mukanya dan kedua
rongga matanya sangat cekung sementara
rambut dan alis matanya putih. Rambut di
kepalanya sebenarnya tidak dapat lagi
dikatakan rambut karena sangat jarang.
Anehnya nenek angker ini mengenakan lima
buah tusuk kundai terbuat dari perak yang
disisipkan bukan pada rambut tetapi langsung
menancap di kulit kepalanya!
"Ada apa kau mencariku?!" si nenek bertanya.
Ternyata dia meamng Eyang Sinto Gendeng.
Nenek yang berusia hampir seratus tahun dan
merupakan tokoh silat paling ditakuti karena
ketinggian ilmu dan kesaktiannya.
"Siapa bilang aku mencarimu!" jawab
Mirasani dengan ketus dan merengut.
"Aku mencari suamiku!"
"Edan! Apa kau kira aku menyembunyikan
atau menyekap suamimu di sini? Kau kesasar
atau kurang waras?!"
"Muridmu yang tidak waras! Gila! Busuk!
Jahat dan keji!"
"Eh, muridku siapa maksudmu?!" sepasang
mata Sinto Gendeng berkilat tanda si nenek
mulai marah.
"Masih bisa bertanya! Siapa lagi kalau bukan
si sableng bernama Wiro itu! apa ada
muridmu yang lain?!"
Tubuh yang duduk di cabang pohon tiba-tba
saja meluncur ke tanah seolah-olah ada tali
penggelantungnya. Begitu sampai di tanah, si
nenek bukannya berdiri tapi duduk
menjelepok.
"Mendekat ke sini gadis bermulut sembrono!"
ujar Sinto Gendeng seraya mengoyang-
goyangkan jari telunjuknya.
Mirasani hanya mendekat dua langkah.
"Kau mencari muridku atau suamimu?! Bicara
yang betul!"
"Muridmu itu ya suamiku itu!"
"Gila! Muridku masih perjaka! Belum kawin!
Enak saja kau mengakuinya sebagai suami!"
"Nenek pikun! Kau tahu apa tentang muridmu!
Dia mengawiniku sembilan bulan yang lalu!
Ternyata dia bukan pendekar sejati. Tapi
perampok! Pembunuh dan pemerkosa…."
Plaak!
Satu tamparan mendarat di pipi Mirasani.
Gadis ini sampai terpekik. Bukan karena sakit
tapi karena kaget bercampur heran. Si nenek
dan dirinya terpisah hampir tiga langkah dan
perempuan tua itu dalam keadaan duduk
pula. Bagaimana tangannya tiba-tiba bisa
menampar sejauh itu padahal tubuhnya tidak
bergerak barang sedikitpun!
"Berani kau bicara tak karuan, kupecahkan
batok kepalamu!" mengancam Sinto Gendeng.
"Kau telah mengganggu ketenanganku di
puncak gunung ini. Lekas pergi dari sini.
Tempat ini bukan tempat tamasya orang-
orang sinting macammu!"
"Guru dan murid sama sedengnya!" damprat
Mirasani.
Tangan kanan Sinto Gendeng kembali
berkelebat. Tapi kali ini Mirasani lebih
waspada. Begitu tangan bergerak dia cepat
mengelak lalu lancarkan serangan balasan
berupa tendangan ke arah dada si nenek.
Yang diserang tertawa mengekeh. "Aku sudah
lama tidak berolah raga! Serang sepuasmu!
Cari tempat yang empuk. Hik….hik….hik….!"
Ketika tendangannya hampir sampai
mendadak Mirasani merasa seperti ada tenaga
yang mendorong kakinya sehingga
tendangannya tidak mengena. Dia lipat
gandakan tenaganya. Kekuatan yang
mendorong berubah berlipat ganda pula.
Akibatnya Mira jadi terpental dan jatuh ke
tanah!
"Ah…. kau bukan kawan yang baik untuk
berolah raga! Kalau begitu duduk saja di
tanah sana! Dan ceritakan padaku mengapa
kau muncul di sini seperti orang gila. Memaki
dan bicara yang bukan-bukan tentang
muridku!"
Panas dan marahnya Mirasani bukan
kepalang. Cepat dia bergerak bangkit tapi
astaga! Seperti yang dikatakan si nenek dia
hanya bisa duduk di tanah seolah-olah
pantatnya menjadi lengket! Betapapun dia
berusaha mengerahkan tenaga untuk berdiri
tetap saja dia terduduk begitu rupa! Saking
kesal akhirnya Mira hanya bisa terisak
menangis!
"Itu saja kepandaian kaum perempuan!
Menangis! Sungguh memalukan!" mengejek si
nenek. "Tubuhmu boleh kaku tapi mulutmu
tidak bisu! Ayo katakan maksud
kedatanganmu ke mari!"
"Aku mencari muridmu nek…." Jawab Mirasani
sesenggukan. "Sembilan bulan lalu kami
kawin…."
"Sembilan bulan lalu! Lantas apa sekarang
kau jadi bunting! Hik….hik….hik?!"
Mirasani menggeleng. "Kalau sempat aku
hamil, rasanya lebih baik mati saja!"
"Eh, mengapa begitu?!" tanya Sinto Gendeng.
"Aku menyesal menerimanya sebagai suami.
Kalau saja aku tidak berkaul, tidak
dikalahkannya dalam pertandingan itu…."
"Tunggu dulu! Kau bilang kau dikawini
muridku sembilan bulan lalu! Betul….?"
"Betul…."
"Muridku si Wiro Sableng itu?!"
Mirasani mengangguk.
"Dusta gila! Muridku betapapun edannya tak
akan dia kawin begitu saja tanpa memberi
tahuku seperti anjing kawin di jalanan saja!"
"Kau boleh tidak percaya! Tapi demi Tuhan
aku tidak berdusta!" Lalu Mirasani
menuturkan bagaimana asal muasalnya
sampai dia kawin dengan Pendekar 212 Wiro
Sableng.
"Seribu kali kau berkata aku tetap tidak
percaya! Muridku tidak segila itu…."
"Terserah padamu nek. Penuturanku belum
habis. Beberapa bulan setelah kami kawin
baru kuketahui kalau dia ternyata seorang
perampok dan pembunuh keji! Salah seorang
korbannya adalah guruku sendiri. Ki Demang
Juru Gampit!"
"Ah! Ki Demang Juru Gampit katamu?! Dia
adalah sahabat lamaku!"
"Dan bukan cuma guruku yang jadi
korbannya. Banyak lagi tokoh-tokoh silat.
Bahkan dia juga membunuh Kiai Bangil
Menggolo, ketua pesantren Tunggul Kencono!
Merampok! Menculik anak gadis orang lalu
memperkosa dan membunuhnya…..!"
"Tidak…. Muridku tidak akan pernah jadi dajal
seperti itu!" teriak Sinto Gendeng. Tubuhnya
yang sejak tadi duduk tiba-tiba saja berdiri.
Ternyata nenek itu tinggi sekali. Setelah
berdiam diri sesaat maka Sinto Gendeng
ajukan pertanyaan
"Apa maksudmu mencarinya….?!"
"Apalagi kalau bukan membunuhnya! Dia
meninggalkan diriku begitu saja! Membuat
malu kedua orang tuaku! Membunuh
guruku….."
"Kalau begitu kau bermaksud hendak
membunuh suamimu sendiri?!"
"Dia bukan lagi suamiku, tapi iblis yang harus
disingkirkan dari muka bumi!" jawab Mirasani.
"Keliru…. Kau pasti keliru…." Si nenek
gelengkan kepalanya. "Ada yang tidak beres.
Pasti ada yang tidak beres!"
"Kalau ada yang tidak beres, itu adalah
muridmu sendiri!" tukas Mirasani.
"Lepaskan diriku dari pengaruh yang
membuatku kaku ini!"
Sinto Gendeng tidak acuhkan permintaan
orang. Dia mendongak ke langit seolah-olah
merenung. "Kau tidak dapat membunuhnya.
Tidak seorangpun dapat membunuhnya!"
Mirasani mendengus. "Muridmu keparat itu
bukan dewa bukan malaikat! Belasan tokoh-
tokoh silat dari delapan penjuru angin
mencari dan mengejarnya! Semua ingin
membunuhnya! Dan kau tahu apa yang terjadi
satu setengah bulan lalu? Beberapa tokoh
silat termasuk dedengkot bergelar Dewa Tuak
berhasil mengepung muridmu itu di kaki
sebuah bukit! Memang dia berhasil kabur!
Tapi dalam keadaan luka parah dan senjata
mustika miliknya yaitu Kapak Naga Geni 212
dirampas!"
Mendengar kata-kata Mirasani itu berubahlah
para Eyang Sinto Gendeng. Beberapa lamanya
dia melangkah mundar mandir. Lalu berpaling
pada Mira dan berkata "Aku tidak senang
melihatmu di sini! Aku tidak memerlukan
dirimu! Pergilah!" Habis berkata begitu si
nenek lambaikan tangan kirinya lelu
melangkah cepat-cepat memasuki gubuk
kayu, membanting pintu keras-keras.
Lambaian tangan Sinto Gendeng tadi
melenyapkan kekuatan aneh yang membuat
Mirasani menjadi kaku. Cepat dia bangkit.
Sesaat dia memandang ke arah gubuk. Sadar
kalau tak satupun yang bisa dilakukannya
terhadap si nenek, akhirnya Mira melangkah
ke tempat dia meninggalkan Guci, kuda
coklatnya.
Di dalam gubuk, Eyang Sinto Gendeng untuk
beberapa lamanya duduk bersila pejamkan
mata seperti tengah bertepekur. Lalu dia
angkat kepala, memandang ke sudut kamar di
mana tergantung sebuah sangkar berisi seekor
burung merpati abu-abu bermata merah.
" Jantan Apik …." Begitu si nenek menyebut
nama si burung. "Empat tahun lebih kau
menemani aku di sini dengan setia. Hari in
kau boleh kembali ke tempat asalmu di
gunung Iyang. Ada satu pesan penting yang
kau harus sampaikan pada sahabatku Kunti
Kendil ….."
Di dalam sangkar Jantan Apik angguk-
anggukkan kepalanya sambil mengeluarkan
suara menggeru terus menerus. Sinto Gendeng
robek bagian terbersih dari pakaiannya yang
dekil. Dengan sepotong kayu berwarna merah
dia menuliskan sesuatu di atas potongan kain
itu. Lalu kain digulung dan diikatkan ke kaki
kanan Jantan Apik. Setelah mengelus-elus
dan menciumi binatang itu, Sinto Gendeng
membawanya ke luar gubuk.
"Pergilah Jantan Apik. Terbang tinggi-tinggi
agar kau lekas sampai di pegunungan Iyang.
Sampaikan pesanku dan temui betinamu!"
Sinto Gendeng lemparkan burung merpati itu
ke udara. Jantan Apik melesat laksana anak
panah. Burung ini berputar tiga kali di atas
kepala si nenek sebelum melayang cepat ke
arah timur.
SEMBILAN
S into Gendeng terbaring sakit di atas balai-
balai kayu dalam gubuk. Dari mulutnya kerap
kali terdengar suara meracau seperti orang
mengigau.
"Kalau mati terbunuh anak itu akan ku obrak-
abrik dunia persilatan! Kalau mati anak itu
lihat saja….! Lihat saja….!" Sinto Gendeng
batuk-batuk beberapa kali. Lalu "Ah, mengapa
tak ada yang datang. Padahal semua sudah
kusiapkan!" Nenek itu mengangkat tangannya
yang memegang sebuah benda. Benda ini
ternyata adalah sebuah topeng yang terbuat
dari bagian terhalus perut rusa betina.
Sebulan yang lalu dia sendiri yang
menangkap seekor rusa di rimba belantara di
kaki gunung Gede, menyembelihnya dan
mengambil usus besarnya. Usus itu
dikeringkan lalu dijadikan sebuah topeng yang
jika dipakai oleh siapa saja tidak akan
kentara saking tipisnya.
"Satu bulan sudah berlalu. Gila…. Tak ada
yang muncul! Apakah Jantan Apik tidak
sampai ke sana….? Akan kutunggu tiga hari
lagi…. Jika tak ada yang datang terpaksa aku
turun gunung merancah rimba persilatan,
mencari anak itu! Kalau sampai dia mati
terbunuh akan ku obrak abrik dunia
persilatan! Dewa Tuak….. Dewa Tuak! Kau
juga tak akan lepas dari hukumanku! Aku
tidak yakin anak itu melakukan semua
kekejian itu! Aku tidak percaya. Otaknya
mungkin sableng, tapi hatinya seputih kapas!
Aku tahu betul…. Aku tahu betul…."
Begitu Sinto Gendeng meracau berkata-kata
seorang diri hampir setiap hari. Dua hari
setelah itu, suatu pagi, belum pupus embun di
dedaunan pintu gubuk tiba-tiba terbuka. Sinto
Gendeng palingkan kepalanya. Tiba-tiba
laksana ada kekuatan yang
menyembuhkannya si nenek melompat
bangkit, duduk di tepi balai-balai. Matanya
yang cekung memandang ke arah pintu yang
terbuka, mulutnya yang perot menyeringai.
"Gusti Allah! Kau kabulkan permintaan si tua
bangka buruk ini! Terima kasih Tuhan!
Mahesa Edan ! Memang kaulah yang
kuharapkan datang…."
Orang yang datang adalah seorang pemuda
yang paling tinggi berusia sembilan belas
tahun. Wajahnya keren, tapi seperti
mengantuk dan sebentar saja berada di situ
dia sudah tiga kali menguap!
"Mahesa…. Mendekat ke mari!" Sinto Gendeng
melambaikan tangannya. Pemuda itu datang
mendekat. Lalu menjura "Eyang, teima salam
hormatku!"
"Sudah! Jangan memakai segala macam
peradatan. Urusan kita lebih penting!
Menyangkut keselamtan dan jiwa muridku si
Wiro Sableng! Sahabatmu!"
"Guru menerima pesanmu yang dibawa
Jantan Apik. Kebetulan saya berada di puncak
Iyang tengah menyambangi guru. Langsung
saja guru memerintahkan saya ke mari…."
"Bagus…..bagus. Semuanya sesuai dengan
petunjuk dan kehendak Tuhan. Ada bantuan
sangat besar kumintakan padamu Mahesa…."
Mahesa Edan menguap lebar-lebar. Sambil
ucak-ucak matanya yang berair dia bertanya
"Katakan saja Eyang. Tugas darimu sama
saja dengan tugas dari guruku Kunti Kendil!"
"Kau tentu sudah mendengar apa yang terjadi
di dunia persilatan. Muridku si sableng itu
dituduh telah berubah menjadi dajal namaor
satu. Merampok dan membunuh! Menculik dan
memperkosa….!"
"Memang itu yang saya dengar Eyang! Tapi
sulit dipercaya bahwa Wiro akan berbuat
seperti itu!"
"Itulah yang tidak masuk akal bagiku
Mahesa. Apapun yang terjadi anak sableng
itu harus diselamatkan. Ini kewajibanku
sebagai guru. Untuk turun tangan sendiri
dalam usia yang uzur ini rasanya sudah tak
sanggup. Apalagi sakit keparat ini
menyerangku sejak dua minggu lalu. Melihat
kau datang sembuh rasanya penyakitku…."
"Syukur kalau Eyang bisa sembuh. Katakan
apa yang bisa saya lakukan…."
"Kau lihat benda di tanganku ini Mahesa?"
Sinto Gendeng membeberkan benda yang
dipegangnya.
"Saya melihatnya Eyang. Sehelai topeng
aneh…."
Sinto Gendeng lemparkan topeng itu ke arah
Mahesa Edan murid Kunti Kendil seorang
nenek sakti yang diam di puncak gunung
Iyang.
"Bawa topeng itu, cari Wiro. Jika bertemu
suruh dia mengenakan topeng itu! wajahnya
akan berubah. Wajah aslinya akan
tersembunyi. Dengan demikian tak ada lagi
yang akan mengenalinya . tak ada yang akan
memburu dan menghadangnya! Kau bisa
mencari muridku itu bukan?!"
"Saya akan melakukannya Eyang!"
"Bagus! Nah, selagi hari masih pagi,
pergilah!"
"Tidakkah saya harus melakukan sesuatu
untuk mengurangi penyakit Eyang?" tanya
Mahesa lalu kembali menguap.
"Aku sudah sembuh!" jawab Sinto Gendeng
lalu untuk pertama kalinya dia tertawa
cekikikan. Mahesa Edan merasakan
tengkuknya dingin. Gurunya si Kunti Kendil
memiliki wajah sangat angker. Tapi nenek
satu ini jauh luar biasa angkernya.
"Eyang tidak ada pesan-pesan lainnya untuk
Wiro?"
Si nenek merenung sejenak. Lalu berkata
"Bilang padanya, dalam susah pergunakanlah
akal, dalam kesulitan putarlah otak. Tak ada
yang dapat mengalah-kan kebenaran akal
sehat dan otak cerdik!"
"Saya akan sampaikan kata-kata Eyang itu
padanya. Saya minta diri Eyang…."
Sinto Gendeng menyeringai. Lalu anggukkan
kepala.
"Pergilah cepat. Berlarilah seperti dikejar
setan. Hik…hik…hik….."
Gadis berpakaian ungu itu membuka kedua
matanya, menatap langit-langit goa lalu
memasang telinga lebih tajam. Dia kembali
menangkap suara itu. Perlahan-lahan, tanpa
suara dia mengeser tubuhnya mendekati
sosok tubuh pemuda yang terbaring di
samping kirinya dan berbisik "Wiro, aku
mendengar langkah orang mendekati mulut
goa!"
"Aku juga. Sangat samar-samar. Pasti
seorang berkepandiaan tinggi. Lekas tiup api
pelita…." Balas berbisik si pemuda yang bukan
lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Saat
itu dia berada di dalam sebuah goa bersama
Anggini murid tunggal Dewa Tuak. Setelah
kehilangan Kapak Naga Geni 212 dan terluka
parah di bagian bahu, Wiro berhasil melarikan
diri tanpa menyadari bahwa Anggini
mengikutinya. Sebenarnya gadis itu ikut
bersama Dewa Tuak dan tujuh tokoh silat.
Namun karena hatinya meragu bahwa Wiro
benar-benar telah menjadi seorang manusia
jahat maka dia tidak turut mengeroyok si
pemuda. Betapapun juga dia masih
mempercayai Wiro yang secaa diam-diam
dicintainya. Ketika Wiro jatuh tersungkur
kelemasan dalam pelariannya, Anggini segera
menolong muird Sinto Gendeng ini,
menaikkannya ke atas kuda yang sebelumnya
memang telah ditinggalkannya di suatu
tempat. Walaupun tidak menyaksikan dengan
mata kepala mereka namun tujuh tokoh silat
sama menduga bahwa Angginilah yang telah
menolong menyelamatkan orang yang mereka
kejar. Kalau tidak masakan pemuda yang
dalam keadaan terluka itu bisa lenyap seperti
itu. Akibatnya antara para tokoh dengan Dewa
Tuak timbul rasa saling tidak enak.
Lebih dari sebulan Anggini merawat dan
menyembunyikan Wiro di dalam goa itu
hingga lukanya sembuh. Berdampingan sekian
lama membuat rasa cinta kasih Anggini
terhadap di pendekar bersemi kembali.
Sebaliknya Pendekar 212 lebih banyak
menghormati sang dara dan merasa
berhutang budi dan nyawa atas
pertolongannya. Selain itu Wiro menganggap
bahwa saling menolong adalah hal biasa dan
kewajiban dalam dunia persilatan. Kalau saja
pikirannya tidak kacau memikirkan keadaan
dan kapak mustikanya, mungkin murid Sinto
Gendeng itu tidak akan seacuh itu.
Pada saat Anggini meniup mati pelita di
dalam goa, saat itu pula di mulut goa muncul
sosok tubuh seseorang. "Wiro! Aku tahu kau
ada di dalam sana!" Orang di mulut goa
berseru. Anggini memberi isyarat agar Wiro
tak menjawab. Lalu gadis ini membentak
"Siapa kau?!" Tak ada orang bernama Wiro di
sini!"
Orang di mulut goa terkejut karena tidak
menyangka akan mendengar jawaban suara
perempuan.
"Jangan berdusta, aku tahu Pendekar 212
Wiro Sableng ada di dalam sana!"
"Kau pasti tidak tuli! Sudah ditanya mengapa
tidak menerangkan diri?!" kembali Anggini
membentak.
"Namaku Mahesa Edan! Aku sahabat
Pendekar 212. Di utus oleh Eyang Sinto
Gendeng untuk menyerahkan sesuatu!"
Anggini saling pandang dengan Wiro.
"Mungkin orang itu menipu. Janganjangan
salah satu dari para tokoh yang
mengejarmu…." Berbisik Anggini.
"Aku seperti mengenali suaranya. Suruh dia
masuk tiga langkah! Aku akan bersiap-siap
dengan pukulan Sinar Matahari…." Bisik Wiro.
Lalu angkat tangan kanannya. Terasa sakit di
bekas luka yang baru sembuh. Wiro menggigit
bibir dan berusaha menahan sakit. Perlahan-
lahan tangannya mulai tampak menjadi
keputihan tanda pukulan sakti itu muncul dan
siap dipukulkan.
"Orang di mulut goa!" seru Anggini. "Maju
tiga langkah! Jika kau bukan Mahesa Edan
jangan menyesal mampus percuma di tempat
ini!"
"Gila! Kalian mencurigaiku!" memaki orang di
mulut goa tapi dia masuk juga sejauh tiga
langkah.
Setelah lebih dekat begitu rupa Wiro baru
dapat melihat wajah orang itu agak jelas dan
dia segera mengenalinya.
"Sahabatku Mahesa Edan! Selamat datang di
tempat persembunyianku ini!" berseru Wiro
lalu dia bangkit berdiri. Begitu berhadapan
dua sahabat itu saling berangkulan. Wiro
memperkenalkan Anggini pada Mahesa Edan.
Murid Kunti Kendil ini tampak terheran-heran
dan berkata "Adalah aneh! Gurunya si Dewa
Tuak kuketahui ikut bergabung dengan
beberapa tokoh silat mengejarmu! Muridnya
justru menolongmu!"
"Pikiran manusia berbeda-beda! Apa
anehnnya!" sahut Anggini.
Mahesa Edan menyeringai lalu menguap
lebar-lebar.
"Bagaimana kau tahu dan bisa mencariku di
sini?" tanya Wiro.
"Aku berhasil menyirap kabar dari beberapa
sahabat. Setelah malang melintang hampir
satu bulan akhirnya sampai ke mari! Nasibmu
malang betul sahabat! Betul bukan kau yang
jadi dajal penyebar maut dan segala kekejian
yang diburu-buru orang itu…..?!"
"Jika aku percaya dia dajal yang kau
maksudkan itu, sudah dulu-dulu kupenggal
batang lehernya!" Yang menjawab adalah
Anggini.
"Ya….ya, aku tahu. Hati seorang sahabat bisa
lebih bersih menilai. Apalagi seorang gadis.
Hatinya tentu putih bersih….."
Paras Anggini memerah di kegelapan. Tanpa
disuruh dia kemudian menyalakan pelita
kembali. Mahesa Edan kemudian menuturkan
riwayat pesan yang disampaikan Eyang Sinto
Gendeng.
"Gurumu meminta aku menyerahkan benda ini
padamu dan harus segera kau pakai saat ini
juga!"
"Apa itu….?" tanya Wiro.
"Topeng!" jawab Mahesa Edan. Lalu
diserahkannya topeng yang diselipkan di balik
baju.
"Topeng….? Buat apa?!" tanya Wiro lagi.
"Jangan tolol! Saat ini mungkin ada dua lusin
tokoh silat yang mencari dan ingin
membunuhmu! Tampangmu yang sableng itu
dikenal di mana-mana! Apa kau masih bisa
petantang-petenteng di luar tanpa dikenali?
Atau kau kira kau bisa bersembunyi di goa ini
sampai seratus tahun? Sampai kau dan
sahabatmu ini jadi kakek dan nenek?!"
Wiro tertawa geli. Dia garuk-garuk kepalanya.
"Aku mengerti…. Aku tahu apa maksud Eyang
Sinto Gendeng. Terima kasih kau telah
menyampaikannya dengan bersusah payah…."
Wiro mengambil topeng itu, langsung
memakaikannya ke wajahnya. Karena topeng
itu terbuat dari usus rusa yang sama
warnanya dengan kulit muka Wiro, sulit itu
mengetahui kalau saat itu dia memakai
topeng.
"Nah…nah….nah! Setan atau malaikat
sekalipun kurasa tidak akan mengenalimu lagi
Wiro!" kata Mahesa.
Diam-diam Anggini memuji keahlian Eyang
Sinto Gendeng membuat topeng seperti itu.
Wajah Wiro kini berubah sama sekali. Dia
muncul sebagai pemuda lain!
"Ada pesan dari gurumu Wiro. Beliau minta
aku menyampaikan ucapan ini Dalam susah
pergunakan akal, dalam kesulitan putarlah
otak. Tak ada yang dapat mengalahkan
kebenaran akal sehat dan otak cerdik!"
"Eh, apa maksudnya itu?"
"Mana aku tahu?" jawab Mahesa. "Nah,
tugasku sudah selesai. Seharusnya aku bisa
minta diri saat ini. Tapi aku lebih suka kalau
dapat menyaksikan akhir dari semua kejadian
ini! Siapa sebenarnya yang menjadi biang
racun! Aku menyirap beberapa potong kabar.
Mungkin ada baiknya jika kukatakan padamu.
Menurut kabar yang terisar di rimba
persilatan, pemuda yang malang melintang
berbuat kejahatan itu mengaku sebagai
Pendekar 212 memang memiliki wajah serta
cirri-ciri sepertimu…."
"Gila!" maki Wiro sambil kepalkan tinju.
"Bukan itu saja! Dia juga memiliki pukulan
sakti Sinar Matahari!"
Wiro hampir terlonjak mendengar keterangan
Mahesa Edan itu. "Ilmu kesaktian itu hanya
Eyang Sinto gendeng yang memilikinya! Jika
ada orang lain yang menguasainya berabrti
dia mendapatkan dari guruku langsung…."
"Gurumu tak pernah mengambil murid lain.
Berarti dia tak pernah mengajarkan pada
siapapun ilmu pukulan Sinar Matahari itu…."
ujar Mahesa Edan.
Wiro garuk-garuk kepala. "Mungkin dia
mencuri ilmu kepandaian itu…. Sulit
dipercaya! Apa sebenarnya yang terjadi!"
Setelah berdiam sesaat Mahesa Edan
melanjutkan bicaranya. "Para tokoh yang
melakukan pemburuan terhadap Pendekar 212
palsu selama ini tak satupun yang berhasil
menangkapnya hidup atau mati. Bahkan
semua tokoh silat yang menghadangnya
dikalahkan dan dibunuh! Belasan korban telah
jatuh…."
"Akupun jadi korban tuduhan perbuatan
bangsat itu!" ujar Wiro geram. "Ada lagi
keterangan lain yang hendak kau sampaikan
Mahesa."
Murid Kunti Kendil mengagguk. "Diketahui
bahwa Pendekar 212 palsu itu kabarnya
mempunyai seorang istri. Puteri seorang
hartawan ternama yang tinggal di sebelah
timur Kotaraja! Sang istri kabarnya tengah
mencari0carinya karena meninggalkannya
begitu saja dan membuat dirinya dan kedua
orang tuanya malu besar. Gurumu tidak
menceritakan apa-apa tentang istri orang itu.
tapi ada tersiar kabar bahwa sekitar sebulan
lalu istri Wiro palsu itu muncul di puncak
gunung Gede…."
"Mengapa guru tidak menghajarnya?!" uajr
Wiro seenaknya saking kesalnya.
"Perempuan itu tidak punya salah apa-apa.
Malah dia sengaja mencari suaminya untuk
membunuhnya…." Ujar Mahesa pula.
"Lalu apa rencana para tokhon silat terhadap
keparat itu?" bertanya Wiro.
"Semua menduga bahwa dia meninggalkan
istrinya begitu saja, tapi suatu ketika dia
pasti akan muncul untuk menyambanginya.
Karena memang begitu sifat manusia. Sesekali
akan merasa rindu dan ingin berjumpa.
Apalagi dia tidak mengetahu kalau istrinya
berniat menghajarnya sampai mati…."
"Kalau begitu ada baiknya kita melakukan
pengintaian di rumah kediaman istrinya…."
Ujar Wiro. "Bagaimana pendapatmu?"
"Justru aku mendengar berita para tokoh silat
yang mengejar akan melakukan hal yang
sama. Jika kita ikut muncul di sana, kita
harus berhati-hati…."
"Kenapa harus berhati-hati? Bukankah mereka
tidak mengenali tampangku lagi?! Aku harus
datang ke sana! Mereka merampas Kapak
Naga Geni milikku!"
"Aku ikut bersamamu! Ingin aku melihat
sampai di mana kehebatan pendekar itu, yang
mampu menjatuhkan semua tokoh silat!"
berkata Mahesa.
"Aku juga ikut!" berkata pula Anggini.
"Jika Dewa Tuak ada di sana, kau akan
dicurigainya! Dia pasti menanyakan ke mana
kau menghilang satu bulan lebih dan apa saja
yang kau lakukan!" Wiro bicara sambil
menatap paras gadis jelita berbaju ungu itu.
"Soal guruku si Dewa Tuak itu, serahkan saja
padaku! Pokoknya aku harus ikut!"
Wiro pegang bahu Mahesa Edan dan Anggini.
Lalu berkata dengan suara agak tercekat.
"Aku merasa bersyukur dan berterima kasih.
Ketika semua orang di dunia ini mengutuk
dan menginginkan kematianku, ternyata masih
ada dua orang sahabat yang berpolos hati
mau menolong dan ikut bersamaku…."
Mahesa Edan balas menepuk bahu
sahabatnya dan menajwab "Ada sumpah tak
terucap di antara para pendekar dunia
persilatan. Makan satu piring, tidur di tikar
yang sama, mati satu kubur dalam membela
kebenaran!"
SEPULUH
Rumah besar tempat kediaman hartawan Suto
Klebet tampak sepi, kosong dan gelap. Sejak
peristiwa menghebohkan hampir setahun
silam, yaitu dimulai dengan perampokan dan
pembunuhan atas diri janda almarhum
Tumenggung Campak Wungu serta perginya
Mirasani tanpa diketahui arah tujuannya,
maka Suto Klebet telah mengajak istrinya
pindah ke rumah mereka yang lain jauh di
pedalaman. Rumah besar yang ditinggalkan
dalam keadaan tidak terawat itu bukan saja
kini menjadi sunyi dan kotor, tapi jika malam
hari diselimuti kegelapan hampir tak beda
dengan sebuah rumah hantu.
Selama enam bulan pertama memang ada
seorang tua yang menjagai rumah itu, namun
kemudian penjaga ini pulang ke kampungnya,
hanya sesekali saja menengoki rumah
tersebut. Itupun hanya melihat-lihat belaka,
tidak membersihkannya atau melakukan apa-
apa.
Suatu hari, ketika malam baru saja turun di
saat kebetulan penjaga tua itu tengah
menengok rumah tersebut dan bersiap-siap
untuk pergi, seorang penunggang kuda
tampak muncul di pintu gerbang. Orang ini
beberapa lama berdiam diri saja dekat pintu
itu seperti merasa ragu apakah akan masuk
ke dalam atau tidak. Walaupun gelap tapi si
penjaga tua segera mengenali siapa adanya
penunggang kuda itu. Buru-buru dia
mendatangi seraya berseru dan menjura.
"Den Ayu Mirasani! Ya Gusti Allah…. Akhirnya
den ayu kembali juga…."
Si penunggang kuda memang adalah Mirasani,
puteri satu-satunya hartawan Suto Klebet
yang diperistrikan oleh Pendekar 212 Wiro
Sableng palsu.
"Apa yang terjadi dengan rumah besar ini….?"
tanya Mirasani dengan suara bergetar. Si
penjaga menuturkan dengan cepat.
"Kedua orang tua den ayu kini tinggal di
rumah di desa Keminung. Saya siap
mengantarkan den ayu ke sana…."
"Tidak perlu. Selama rumah ini kosong
apakah ada orang yang datang kemari?"
"Banyak den ayu! Banyak sekali!"
"Apa maksudmu banyak? Siapa-siapa
mereka?"
"Saya tidak tahu siapa mereka. Semua tak
ada yang menerangkan diri masing-masing.
Tapi saya tahu mereka adalah orang-orang
kalangan persilatan. Tampang dan pakaian
mereka aneh-aneh…."
"Apa yang mereka perbuat di sini?"
"Mereka menanyakan den ayu. Tapi yang
paling banyak menanyakan suami den ayu.
Karena saya memang tidak tahu maka saya
jawab tidak tahu. Dua bulan lalu suami den
ayu juga muncul di sini. Kebetulan saya
berada di sini…."
Kagetlah Mirasani "Dua bulan lalu….? Apa
yang diperbuatnya di sini….?'
"Hanya melihat dan memeriksa sebentar. Lalu
pergi. Tapi dia ada meninggalkan pesan. Pada
malam hari, hari kelima bulan lima dia akan
datang lagi ke mari. Dia berpesan jika saya
bertemu dengan den ayu agar mengatakannya
pada den ayu…."
"Hari kelima bulan lima. Itu besok malam!"
desis Mirasani.
"Astaga! Betul sekali den ayu! Saya sampai
lupa menghitung hari! Untung sekali den ayu
muncul saat ini hingga saya tidak melalaikan
amanat suami den ayu!"
"Jangan sebut-sebut dia suamiku! Sejak satu
tahun lalu keparat itu bukan lagi suamiku!"
kata Mirasani lalu turun dari kudanya.
"Sembunyikan kuda ini di kebun, lalu kau
boleh pergi…." Mirasani melangkah menuju ke
rumah besar.
Masih terheran-heran mendengar ucapan
Mirasani tadi, tanpa berani berkata apa-apa si
penjaga tua menuntun Guci menuju kebun
jauh di belakang rumah besar yang gelap dan
sunyi.
Hari kelima di bulan kelima adalah hari
Jum'at kliwon! Sejak sore huja turun rintik-
rintik. Cuaca gelap dan dingin. Kesunyian
yang mencengkam sesekali dirobek oleh suara
halilintar yag menggelegar di kejauhan.
Sebuah kamar yang terletak di samping kanan
rumah besar tiba-tiba tampak merambas
sinar terang. Lalu pada beberapa pohon besar
yang banyak mengelilingi tempat itu terdengar
suara berbisik-bisik. "Ada orang menyalakan
lampu…."
"Ya, kita lihat saja…." Ada jawaban berbisik.
"Apa yang ktia lakukan sekarang? Langsung
menggerebek…..?" terdengar suara berbisik
lainnya.
"Jangan tolol! Siapapun yang menyalakan
lampu, dia pasti bukan orang yang kita cari.
Tunggu saja….." Lalu terdengar suara cegluk-
cegluk…. Suara seperti seseorang tengah
minum dengan lahap. Malam merayap terus.
Semakin larut semakin dingin dan tambah
gelap.
"Ah….. jangan-jangan bangsat itu tidak
datang. Dia hanya sengaja menyebar kabar
tipuan…." Kembali terdengar suara berbisik di
atas sebuah pohon.
"Mungkin….. Sekarang sudah hampir lewat
tengah malam. Biar kita tunggu saja sampai
menjelang pagi. Paling tidak sampai orang
yang menyalakan lampu pergi dari sini….."
"Apapun yang terjadi kita semua harus tetap
di sini. Aku yakin bangsat itu akan muncul di
tempat ini. dia tak akan dapat melupakan
istrinya yang cantik itu. Walaupun sang istri
akan menghadangnya dengan senjata di
tangan!"
Suara bisik-bisik lenyap. Suasana kembali
sunyi
Tiba-tiba. "Ada orang datang!"
"Aih…. Memang bangsat itu! Aku kenal sekali
tampangnya…..!" Cegluk-cegluk- cegluk…..
"Tunggu sampai dia berada di jurusan kamar
yang terang…."
Dari arah pintu gerbang rumah besar tampak
melangkah cepat sesosok tubuh berpakaian
putih. Rambutnya yang godrong menjela bahu
bergoyang-goyang ditiup angin malam. Orang
ini melangkah sambil memandang berkeliling,
lalu cepat bergerak ke jurusan rumah yang
terang dan berhenti di depan sebuah jendela
yang tertutup rapat. Di sini orang ini kembali
memandang berkeliling. Lalu terdengar suara
orang ini memanggil perlahan.
"Mira….. Kau di dalam kamar….?"
Sepi. Tak ada jawaban.
"Mira…. Aku suamimu. Wiro!" orang di depan
jendela kembali memanggil.
Lampu di dalam rumah tiba-tiba padam.
Bersamaan dengan itu jendela yang tertutup
di tendang orang dari dalam hingga hancur
berantakan dan terpentang lebar.
Satu bayangan melompat melewati jendela.
Satu bentakan menggeledek di kegelapan
malam.
"Manusia dajal! Aku bukan istrimu! Kau bukan
suamiku! Kau manusia penipu! Rampok besar,
pembunuh dan pemerkosa! Kau datang kemari
menerima mampus!"
Begitu menjejak tanah orang yang melompa
langsung menyerang lelaki yang berada dekat
jendela.
"Mira….. Tenang?! Kau tahu, apapun yang kau
lakukan tak bakal dapat mengalahkanku! Mari
kita bicara dulu secara baik-baik…."
"Bicaralah nanti dengan malaikat maut!"
teriak si penyerang yang bukan lain adalah
Mirasani. Di tangan kanannya kini terhunus
sebilah pedang berkilat! Di atas pohon
terdengar suara berbisik penuh tegang.
"Memang dia!"
"Nyalakan obor dan kurung tempat ini!"
Lalu terdengar suara suitan keras sebagai
tanda.
Selusin obor tiba-tiba menyala. Lima di atas
pohon, tujuh lainnya di bawah di antara
semak belukar. Serta merta tempat itu
menjadi terang benderang oleh cahaya obor.
Dan bukan itu saja. Lebih dari selusin orang
telah mengurung halaman samping di mana
Mirasani dan si gondrong berpakaian putih
berada. Keduanya terkejut bukan kepalang.
Tapi ada lagi tiga orang yang lebih terkejut
dan saling pandang. Ketiganya adalah Wiro
Sableng, Anggini dan Mahesa Edan yang sejak
tadi berada pula di tempat itu dan
bersembunyi di tempat gelap. Begitu cahaya
obor membuat halaman samping itu terang
benderang dan wajah si gondrong berpakaian
putih kelihatan jelas, Pendekar 212 Wiro
Sableng yang kini mengenakan topeng tipis
jadi melengak kaget luar biasa. Potongan
tubuh dan wajah si gondrong di seberang
sana sama sekali dengan dirinya!
"Gila! Bagaimana ini bisa terjadi? Aku tidak
dilahirkan kembar! Mengapa bangsat itu sama
sekali tampangnya dengan diriku?!" Wiro
garuk-garuk kepala dan tangannya yang lain
mengusap wajahnya sendiri. Namun dia tidak
bisa tenggelam dalam keheranan itu karena di
depan sana para tokoh silat yang telah
mengurung sudah bersiap-siap membuat
perhitungan. Mereka adalah Lor Gambir Seta
murid si Raja Penidur, Malaikat Tangan Besi
dari Puputan lalu Pendekar Besi Hitam, Menak
Jelantra alias Harimau Pemakan Jantung,
Pengemis Hantu, Dewa Tuak dan ada lagi
beberapa orang yang tak dikenal tapi dari
cirri-ciri mereka jelas menunjukkan semuanya
adalah orang-orang silat berkepandaian
tinggi!
"Setan dari mana yang malam-malam buta
kesasar ke tampat ini?!" membentak Mirasani
sementara Wiro palsu suaminya tampak tegak
tercekat.
Dewa Tuak maju satu langkah. Matanya sejak
tadi menatap si gondrong tanpa berkesip.
"Urusan kapiran!" katanya dalam hati. "Tidak
mungkin ada dua manusia bernama Wiro
Sableng di atas dunia ini! tapi mataku
menyaksikan sendiri manusia satu ini sama
sekali dengan murid si Sinto Gendeng itu!"
Lalu Dewa Tuak berpaling pada Mirasani.
Setelah berdeham beberapa kali diapun
menjawab.
"Kami bukan setan-setan kesasar perempuan
muda! Seperti kaupun kami muncul di sini
untuk minta nyawa busuk suamimu itu! Kami
datang dua belas orang, tiga belas dengan
dirimu! Rasanya cukup pantas nyawa dajal ini
dibagi tiga belas….!"
"Persetan siapapun kalian! Kalian tidak layak
berada di sini! Soal nyawanya hanyalah aku
yang berhak membunuhnya!" jawab Mirasani.
"Perempuan sundal!" tiba-tiba nenek bergelar
Arit Sakti Pencabut Raga muncul. Sejak tadi
dia sengaja berlindung di tempat gelap.
"Jangan bicara besar di depanku! Kau pura-
pura berseteru dengan dajal itu padahal aku
tahu kau pasti akan membelanya! Jika itu kau
lakukan, kau akan mampus bersamanya!"
"Nenek busuk bermulut kotor!" balas
membentak Mirasani. "Siapa kau?!"
"Siapa aku tak perlu bagimu. Tapi suamimu
itu telah menculik dan memperkosa muridku
Sintorukmi lalu membunuhnya secara biadab!
Katakan apakah kau lebih layak dari aku
untuk membunuhnya?! Katakan! Bangsat
haram jadah!"
Tidak tahan membendung amarah dan
dendam kesumat si nenek langsung
menyerang Wiro Sableng palsu dengan
senjatanya yaitu sebilah arit. Senjata inilah
yang tempo hari berhasil melukai bahu Wiro
asli.
Melihat orang menyerang, Wiro palsu cepat
berkelebat mengelak. Sepasang matanya
memperhatikan gerakan orang. Dua kali lagi si
nenek menyerbu. Dua kali pula Wiro palsu
berhasil selamatkan diri. Memasuki jurus
keempat, dari sikap bertahan tiba-tiba Wiro
palsu kirimkan serangan balasan dan
buk….buk… Tinju kiri kanan melabrak dan dan
perut si nenek hingga perempuan tua ini
terjungkal megap-megap, merangkak di
tanah tak bisa berdiri beberapa lamanya!
Belasan pasang mata terbeliak besar. Dewa
Tuak sampai ternganga heran. Arit Sakti
Pencabut Raga bukanlah tokoh silat kemarin.
Selama bertahun-tahun dia dianggap sebagai
dedengkot persilatan di daerah barat kali
Brantas. Adalah tidak dapat dipercaya, dalam
keadaan memegang senjata andalannya dia
dapat dirobohkan hanya dalam empat jurus!
Berhasil merobohkan lawan, semangat
keberanian Wiro palsu berkobar. Dia
memandang bekeliling lalu berkata "Kalian
semua tokoh-tokoh silat gila keblinger!
Muncul dengan membawa maksud keji untuk
membunuhku! Apa yang telah kulakukan?
Kalian pandai mengarang fitnah! Kalaupun
aku mati di tangan kalian, guruku Sinto
Gendeng tidak akan berlepas tangan!"
"Anjing kurap! Pemuda jahanam itu menyebut
guruku sebagai gurunya!" maki Wiro Sableng
asli sambil kepalkan tinju. Dia hampir hendak
melompat kalau tidak ditahan oleh Mahesa
Edan dan Anggini.
Terdengar kembali suara Wiro palsu "Kalian
datang beramai-ramai. Mengeroyok! Itukah
jiwa kesatria manusia-manusia yang katanya
tokoh persilatan?! Kalau kalian memang
jantan mari berkelahi satu lawan satu sampai
seribu jurus!"
"Manusia iblis! Aku lawanmu yang pertama!"
teriak Pendekar Besi Hitam sambil
melintangkan tongkat bsei hitam di depan
dada.
"Hemm….. Aku tidak kenal padamu!" ujar Wiro
palsu sambil memperhatikan pendekar muda
itu dengan pandangan merendahkan "Fitnah
apa yang hendak kau tuduhkan padaku?!"
"Aku Pendekar Besi Hitam! Setahun lalu kau
merampok rumah kediaman bibiku janda
almarhum Tumenggung Campak Wungu. Kau
juga yang kemudian membunuhnya dan
meninggalkan tanda 212 di dinding kamar!"
"Fitnah keji! Aku tidak akan membiarkanmu
hidup!" teriak Wiro palsu. Dia seperti hendak
menyerang tapi kedua kakinya tetap tak
bergerak. Justru saat itu Pendekar Besi Hitam
sudah mendahului dengan menghantamkan
tongkat besinya ke arah kepala Wiro palsu.
Yang diserang cepat mengelak dan keluarkan
suara tawa mengejek.
"Tongkat Dewa Memukul Puncak Gunung!" seri
Wiro palsu. Kagetlah Pendekar Besi Hitam
ketika mendengar lawan menyebut jurus
serangan yang barusan dilakukannya.
"Ha….ha! Ayo keluarkan seluruh
kepandaianmu! Kalau tidak seelum empat
jurus kau akan melosoh di tanah!"
Dengan hati terbakar dan muka mengelam
Pendekar Besi Hitam membentak garang lalu
menyerbu kembali. Tongkat besinya
mengeluarkan suara menderu dan
memancarkan sinar hitam redup tanda dia
telah mengerahkan tenaga dalam untuk
menyerang itu.
"Tongkat Sakti Menusuk Karang….! Tongkat
Sakti Membobol Bendungan…." Mulut Wiro
palsu tiada hentinya menyebutkan jurus-jurus
serangan yang dimainkan lawan sementara
kedua matanya hampir tidak berkesip melihat
gerakan Pendekar Besi Hitam. Memasuki jurus
kelima tiba-tiba Wiro palsu membuat gerakan
aneh. Terdengar kemudian dia berseru "Lihat!
Aku akan menggebukmu dengan jurus silatmu
sendiri!"
Tubuh Wiro palsu meliuk ke kanan lalu
melesat ke depan. "Tongkat Sakti Menusuk
Karang!" teriaknya lalu memainkan jurus
serangan yang tadi dilancarkan lawan
walaupun hanya menggunakan tangan.
Pendekar Besi Hitam terkejut sekali melihat
kejadian itu. Lawan bukan saja memainkan
jurus tongkat sakti menusuk karang itu
dengan sempurna, malahan gerakannya lebih
cepat dan ganas. Lalu buk!
Pendekar Besi Hitam terlontar dua tombak
sambil semburkan darah segar dari mulutnya.
Tulang dadanya hancur. Tubuhnya melingkar
di tanah, entah mati dntah pingsan!
Dewa Tuak tak dapat menahan hatinya lagi.
Sambil memegang bumbung bambu di tangan
kiri dia berkata "Mari layani aku sejurus dua
jurus…." Wiro palsu tertawa lebar. "Sudah tua
bangka begini masih saja mencampuri urusan
dunia!"
Dewa Tuak ganda tertawa mendengar ejekan
itu lalu teguk tuaknya dua kali. Saat itulah
Menak Jalantra alias Harimau Pemakan
Jantung maju mendahului.
"Dewa Tuak, biarkan aku yang menghajar
dajal keparat ini. akan kucincang tubuhnya
sampai lumat!" Sret! Habis berkata begitu
Harimau Pemakan Jantung cabut golok
saktinya yang berhulu kepala harimau.
Melihat orang memaksa, dengan sabar Dewa
Tuak terpaksa mundur.
SEBELAS
Wiro palsu agak tercekat ketika melihat sinar
angker yang memancar dari golok lawan yang
berpakaian serba hitam dan mengenakan
caping bambu itu.
"Perkenalkan dirimu agar aku bisa
menghajarmu pada bagian-bagian tubuhmu
yang empuk!"
Terpancing oleh kata-kata mengejek Wiro
palsu Harimau Pemakan Jantung sebutkan
gelarnya. Begitu mendengar gelar orang, Wiro
palsu tertawa bergelak.
"Kau rupanya. Jurus apa yang hendak kau
keluarkan manusia harimau bercaping
bambu? Jurus harimau keluar dari goa, jurus
harimau mencengkeram bola dunia atau jurus
macan tutul menyamar rembulan….?"
Kagetlah Harimau Pemakan Jantung begitu
mendengar lawannya menyebutkan jurus-
jurus paling rahasia dari ilmu silatnya.
"Bagus! Kau bisa menyebut jurus-jurus itu
dank au akan mampus dalam jurus-jurus itu!"
Harimau Pemakan Jantung mengembor. Suara
gemborannya tak beda seperti suara harimau
menggereng. Tubuhnya berkelebat, langsung
lenyap dan kini hanya sinar goloknya yang
tampak berputar.
"Golok Sakti Memburu Harimau Sesat!" teriak
Wiro palsu menyebut jurus pembuka serangan
yang dilancarkan lawan. Lalu tubuhnya
menyelusup ke kiri.
Sungguh luar biasa, dia dapat berkelit dari
serangan yang ganas itu padahal Harimau
Pemakan Jantung telah meyakini jurus itu
selama bertahun-tahun. Dengan kertakkan
rahang dia kembali memburu. Enam jurus
berlalu cepat. Tubuh Wiro palsu terbungkus
sinar golok dan tampaknya dia tidak bisa
berbuat suatu apa.
"Kurang ajar!" Wiro palsu menyadari bahaya
yang mengancam dirinya. Tiba-tiba dia
berseru keras. Tubuhnya melesat ke kiri, di
arah mana Mirasani berdiri.
Sebelum tahu apa yang terjadi tahu-tahu
Mira merasakan pedang yang dicekalnya
terlepas dari tangannya. Di lain kejap di depan
sana Wiro palsu tampak sudah berdiri
memegang pedang dan menghambur
menyongsong serangan Harimau Pemakan
Jantung. Tapi dia sama sekali tidak berusaha
dekati lawan, melah dari tempatnya berdiri dia
mulai mainkan jurus-jurus ilmu silat
lawannya sendiri! Hal ini membuat lawan
bukan saja kaget tapi juga bingung karena
tak tahu hendak keluarkan jurus apa untuk
membobolkan jurusnya sendiri!
"Kau takut? Mengapa diam saja?!" Wiro palsu
mengejek.
"Mampus!" teriak Harimau Pemakan Jantung
lalu menyerbu dengan jurus simpanan yaitu
Datuk Harimau Membelah Jantung. Tapi di
depan sana tiba-tiba lawannya bergerak
menghantam dengan jurus harimau keluar
dari goa lalu macan tutul menusuk matahari!
Harimau Pemakan Jantung seperti tak
berdaya dalam ketersiapannya. Pedang di
tangan lawan menusuk deras pada leher di
bagian bawah dagunya! Tokoh silat ini
keluarkan suara seperti ayam dipotong, darah
menyembur lalu roboh ke tanah.
Kakinya menggelepar-gelepar sesaat setelah
itu tak berkutik lagi alias mati! Wiro
tersentak. Bukan ngeri melihat kematian itu
tapi karena ingat si Harimau Pemakan
Jantung itulah yang dulu mengambil Kapak
Naga Geni 212 yang terlepas dari tangannya
ketika dia dikeroyok habis-habisan!
"Gila!" terdengar suara Mahesa Edan. "Jika
begini terus-terusan tokoh silat yang ada di
sini bisa mati konyol semua!" Dia berpaling
pada Wiro yang masih memikirkan kapak
saktinya. "Bagaimana pendapatmu Wiro?!"
"Manusia satu ini memang luar biasa. Tapi
tunggu, aku ingat pesan guru yang kau
sampaikan. Dalam susah pergunakan akal.
Dalam kesulitan putar otak. Tak ada yang
dapat mengalahkan kebenaran akal sehat dan
otak cerdik! Jelas si gondrong yang punya
tampang sepertiku itu memiliki akal dan otak
cerdik…."
"Maksudmu…..?" tanya Anggini.
Wiro asli garuk-garuk kepala. "Dia memang
luar biasa. Tapi kalian saksikan sendiri.
Semua ilmu silat yang dikeluarkannya bukan
kepandaian dia sendiri. Tapi dia justru
memainkan jurus-jurus silat lawan. Dia
menirukannya. Ada sesuatu yang rahasia di
balik keluar biasan itu!"
"Apa maksudmu…..?" tanya Mahesa Edan tak
mengerti.
Wiro kembali menggaruk kepala dan usap
mukanya yang tertutup topeng.
"Maksudku…..enggg….. Pernahkah kau
memikirkan bagaimana kalau kita diserang
lawan dengan ilmu silat kita sendiri? Kita
akan kelabakan! Karena kita memang tidak
pernah mempelajari bagaimana cara bertahan
jika diserang ilmu silat sendiri. Selama ini
semua ilmu silat hanya memusatkan pada
bagaimana jika diserang oleh ilmu silat lain.
Tentu saja memang begitu karena mana ada
pikiran senjata mau makan tuannya sendiri!
Kenyataanya kita melihat bangsat yang punya
tampang sepertiku itu merobohkan lawan-
lawannya dengan mengandalkan ilmu silat
lawannya! Dia sendiri mungkin tidak memiliki
dasar ilmu silat yang andal. Dia hanya
memiliki akal dan otak cerdik! Persis seperti
kata Eyang Sinto Gendeng!"
"Kalau begitu apa yang akan kita lakukan.
Semua orang yang ada di sini termasuk kita
pasti akan dikalahkannya jika berani
menghadapinya!" berkata Anggini.
"Tunggu dulu, apa yang aku rasakan belum
kusampaikan semua," kata Wiro pula. "Ada
satu keanehan dalam ilmu silat yang
dimainkan orang itu. Dia tak pernah
melakukan serangan pertama kali. Tidak
pernah berani melakukan bentrokan senjata.
Juga seperti menghindarkan bentrokan
tangan! Mungkin dia tidak memiliki tenaga
dalam…."
"Mustahil!" bantah Mahesa. "Kalau tidak
memiliki tenaga dalam mengapa dia mampu
melepaskan pukulan sakti sinar matahari
yang menghanguskan itu!"
"Itu yang kepingin aku menyaksikannya!" kata
Wiro.
"Aku berminat sekali untuk menjajalnya!" kata
Mahesa Edan pula.
"Aku juga!" berkata Anggini.
"Tunggu, kita diam saja di sini sambil
menyaksikan beberapa gebrakan lagi…."
"Kalau hanya diam, dua atau tiga tokoh silat
lagi pasti akan dihancurkannya. Aku tak mau
guruku ikut jadi korban!" ujar Anggini.
Wiro garuk-garuk kepala. Di depan sana
dilihatnya Dewa Tuak dan Pengemis Hantu
beserta yang lainnya bergerak dalam bentuk
lingkaran, mengurung Wiro palsu.
"Kalian hendak mengeroyokku?! Pengecut!"
teriak Wiro palsu yang melihat gelagat
berbahaya itu.
Saat itulah Wiro menghambur dari tempat
persembunyiannya. "Tak ada yang akan
mengeroyokmu Wiro! Aku yang akan
menghadapimu. Sendirian! Satu lawan satu!"
Wiro asli menyeruak di antara para tokoh silat
langsung menghadapi Wiro palsu dalam jarak
lima langkah.
"Siapa pula kau anak muda! Wajahmu
sepucat mayat! Belum kugorok lehermu kau
sudah kelihatan seperti tidak berdarah!"
Wiro asli menyeringai. "Aku pacar istrimu itu.
sejak kau meninggalkannya satu tahun silam,
dia telah mengambilku jadi pacar, jadi
kekasihnya!"
"Edan, apa-apaan si Wiro itu…..!" bisik
Anggini pada Mahesa Edan.
"Pemuda kurang ajar! Kenalpun tidak! Berani
kau mempermalukan aku! Mengatakan aku
kekasihmu! Pacarmu!" Mirasani marah sekali
sedang Wiro palsu tampak terkesiap sambil
usap-usap dagu. Hati kecilnya bertanya-
tanya apa betul pemuda pucat berambut
gondrong ini kekasih istrinya? Meski jelas tadi
Mirasani membantah dengan marah tapi
bukan mustahil ada semacam sandiwara
dengan kemunculan si muka pucat ini!
"Jika kau mengaku kekasih istriku, lantas
apakah ada silang sengketa di antara kita?"
bertanya Wiro palsu.
"Pasti ada! Karena setelah satu tahun kabur
tiba-tiba kau muncul di sini! Kangen atau
kebelet pada isterimu hah?! Sebagai seorang
kekasih aku akan mempertahan-kan dirinya.
Kau boleh angkat kaki dari sini!"
"Kau memintaku pergi! Kau takut
menghadapiku!" ujar Wiro palsu seraya
rangkapkan tangan di muka dada.
Wiro asli juga rangkapkan kedua tangan di
dada. "Siapa takutkan dirimu! Jika kau
memang punya nyali silahkan menyerang
lebih dulu. Kau mau keluarkan jurus apa?
Jurus kunyuk melempar buah? Atau orang
gila mengebut lalat? Atau benteng topan
melanda samudera, atau jurus membuka
jendela memandang rembulan yang romantis
itu? ha….ha…..ha…!" Wiro sebutkan jurus-
jurus ilmu silatnya sendiri lalu tertawa gelak-
gelak. Di depannya Wiro palsu tampak
membesi tampangnya. Hatinya panas. Tapi
dia tetap tak bergerak di tempatnya. Diam-
diam hatinya bertanya-tanya.
Siapa sebenarnya pemud aini. Mengapa dia
tahu jurus-jurus silat Pendekar 212 dan
apakah dia benar-benar menyangkanya
sebagai sebagai Wiro Sableng asli murid
Sintto Gendeng dari Gunung Gede?
"Hai! Kau melamun! Atau memang tak berani
melawanku!" Wiro asli berseru.
"Keluarkan seluruh kepandaianmu. Silahkan
kau memilih bagian tubuhku yang paling
lunak!" sahut Wiro palsu dan tetap saja dia
tidak bergerak di tempatnya.
"Bangsat satu ini tidak bisa dipancing
rupanya!" kata Wiro dalam hati. Lalu diapun
mulai pasang kuda-kuda sementara para
tokoh yang ada di situ seperti terlupa akan
urusan besar mereka dengan Wiro asli, dan
hanya tegak memperhatikan apa yang terjadi.
Perlahan-lahan, dengan gerakan yang amat
jelas Wiro mulai mainkan beberapa jurus
serangan. Tapi dianya sendiri sama sekali
tidak melakukan serangan, hanya bersilat di
tempat. Lalu sambil bersilat dia menyebutkan
jurus-jurus yang dilakukannya itu.
"Jurus Anjing Buduk Kawin Di Pasar!" seru
Wiro. Kedua tangannya dihimpitkan satu
sama lain, ditusukkan ke depan lalu mulutnya
keluarkan suara menggonggong. "Lihat, jurus
Monyet Tua Kegatalan!" Lalu Wiro mencak-
mencak sambil kedua tangannya menggaruk
ke seluruh bagian tubuhnya mulai dari kepala
sampai selangkangan! "Dan ini jurus Nenek
Sakti Kencing Di Bawah Pohon!" Kali ini Wiro
nampak berjingkrak-jingkrak lalu mengangkat
tinggi-tinggi kedua kaki celananya seperti
perempuan menyingsingkan kain, setelah itu
dia duduk berjongkok dengan kaki terkembang
dan dari mulutnya terdengar suara menirukan
perempuan kencing Serrrr….serrrr……serrrr.
Suasana yang tadinya tegang kini berubah.
Beberapa orang tersenyum-senyum menahan
geli.
"Kawan kita itu sudah gila agaknya!" Anggini
berkata pada Mahesa.
"Jurus-jurus itu! Aku tahu betul itu bukan
jurus silat Eyang Sinto Gendeng! Apa
sebenarnya dilakukan pendekar konyol itu!"
Dewa Tuak tampak komat kamit. "Dalam
dunia persilatan hanya ada satu pendekar
konyol lucu seperti ini. Ah, apakah dia ……
Jangan-jangan….." Orang tua sakti itu
memandang ke arah Wiro palsu dan Wiro asli.
Dia melihat dua persamaan.
Pakaian putih dan rambut gondrong! Tapi
wajah jauh berbeda. Ini membuat kembali si
kakek menjadi meragu.
"Hai! Ayo serang diriku! Jangan bengong
saja!" Wiro asli berteriak pada Wiro palsu.
Wiro palsu menyeringai. Walaupun orang
tampak seperti mempermainkannya tapi
sepasang matanya tidak berkesip
memperhatikan setiap gerakan yang dibuat
oleh si gondrong di depannya itu.
"Manusia pengecut! Kau hanya berani jual
lagak memperagakan ilmu silat picisan. Tapi
sama sekali tak berani menyerangku!
Menyingkir dari hadapanku!" membentak Wiro
palsu.
Wiro asli tampak marah. "Pengecut?! Aku
pengecut katamu! Lihat, akan kupecahkan
kepalamu dalam tiga jurus!: Wiro berkelebat.
Kedua kakinya menggelusur di tanah, kedua
tangannya yang dihimpitkan satu sama lain
ditusukkan ke depan.
"Jurus pertama!" serunya. "Anjing buduk
kawin di pasar!"
Sesaat Wiro palsu kaget karena dia dapat
merasakan tusukan dua tangan yang saling
berhimpit itu menebar hawa tenaga dalam
yang kuat. Tapi dia tidak takut. Dia sudah
melihat jelas setiap liku gerakan lawan.
Sambil maju selangkah dia berseru
"Aku akan menghancurkanmu dengan jurusmu
sendiri!" Lalu diapun berkelebat mengirimkan
serangan dalam jurus anjing buduk kawin di
pasar itu. Ternyata gerakannya lebih sebat.
Tusukan kedua tangannya datang menghujam
lebih dulu ke arah kepala Wiro asli!
"Celaka!" seru Anggini.
"Ah! Dia akan kena gebuk karena
kekonyolannya sendiri!" Mahesa Edan ikut
keluarkan seruan dan siap melompat dari
persembunyiannya untuk membantu. Tapi apa
yang terjadi kemudian sungguh mengejutkan
semua orang. Didahului oleh suara tawa
bergelak, Pendekar 212 Wiro Sableng asli
tampak membuang diri ke samping. Apa yang
disebut jurus "anjing buduk kawin di pasar"
itu lenyap sama sekali. Kini kelihatan satu
gerakan silat yang mantap. Tubuhnya
merunduk, tangan kanannya menderu ke
depan.
"Jurus Kunyuk Melempar Buah!" teriak Wiro
asli.
Wiro palsu terkejut sekali. Sadar kalau dirinya
tertipu oleh jurus palsu yang dipakai
menyerang tadi dia cepat merubah gerakan,
meniru gerakan serangan yang kini dilepaskan
Wiro. Tapi kali ini dia sial dan terlambat.
Bukkk!
Wiro palsu menjerit keras. Tubuhnya terpental,
perut tertekuk ke depan. Wajahnya sepucat
kertas. Dia tegak dengan tubuh sempoyongan.
"Jurus monyet tua kegatalan!" teriak Wiro
asli.
Dua tangannya menggaruk kian kemari.
Dalam keadaan kesakitan dan terperangah
Wiro palsu coba meniru gerakan lawan tapi
Wiro mendadak sontak telah merubah lagi
gerakannya seraya berseru "Jurus orang gila
mengebut lalat!" Tangan kirinya membabat ke
samping, mengemplang bahu Wiro palsu
dengan keras.
Terdengar suara kraak! Tanda tulang pangkal
lengan orang itu patah. Tubuhnya terpental ke
kiri, di arah mana Mirasani berdiri. Perempuan
muda ini yang sejak tadi tak dapat menahan
hatinya lagi melompat ke depan menjambak
rambut suaminya itu lalu menariknya keras-
keras ke bawah, perempuan ini hantamkan
lututnya!
Praas!
Hidung dan mulut Wiro palsu remuk. Darah
berkucuran.
"Jurus nenek sakti kencing di bawah pohon!"
terdengar kembali teriakan Wiro asli.
Tubuhnya seperti meluncur sedang kedua
kakinya terkembang. Kali ini dia sama sekali
tidak melakukan "tipuan". Apa yang disebut
jurus nenek sakti kencing di bawah pohon itu
benar-benar dilakukannya. Dengan kedua
kakinya dia menjepit tubuh Wiro palsu. Begitu
dia membanting diri ke samping maka tubuh
Wiro palsu ikut terhempas menghantam
tanah. Mukanya makin berkelukuran.
"Mana pukulan sakti sinar mataharimu!
Keluarkan pukulan saktimu itu!" Wiro asli
berteriak. Dia ingin melihat dengan mata
kepala sendiri apa benar manusia yang
memiliki tampang sama dengan dia itu betul-
betul memiliki kesaktian tersebut.
Wiro palsu kertakkan rahangnya. Tangan
kirinya yang masih utuh bergerak lamban ke
atas. Mulutnya yang hancur mengeluarkan
suara seperti menjampai. Lalu dia memukul
ke depan. Sinar putih menyilaukan dan
menghambur hawa panas menderu ke arah
Wiro asli. Murid Sinto Gendeng tidak terkejut.
Yang dilepaskan lawan bukan pukulan sinar
matahari wlaau sinar dan panasnya hampir
menyerupai.
Dan tangan kanan yang melepas pukulan itu
sama sekali tidak berubah menjadi seperti
perak sebagaimana kalau dia melepaskan
pukulan sinar matahari yang asli. Karenanya
tanpa tedeng aling-aling Wiro menghantam
dengan pukulan Benteng Topan Melanda
Samudera. Dia hanya mengerahkan
seperempat tenaga dalamnya.
Itupun sudah cukup untuk menghancur
leburkan pukulan lawan dan membuat Wiro
palsu terhempas jauh. Darah mengucur dari
mulunya! Nenek Arit Sakti Pencabut Raga
yang tadi cidera tapi kini sudah mampu
bangkit berdiri tak mau ketinggalan.
Senjatanya berkilauan dalam cahaya obor.
Craaassss!
Arit yang tajam itu memutus bahu kanan Wiro
palsu. Orang ini meraung setinggi langit.
Kedua kakinya tak sanggup lagi menopang
tubuhnya yang sudah hancur-hancuran itu.
Namun sebelum tubuhnya benar-benar
mencium tanah, dua serangan datang
menggebuk.
Yang pertama kaki kanan Mirasani yang
mengahancurkan selangkangannya hingga
untuk kedua kalinya Wiro palsu menjerit keras
dan mata membeliak. Hantaman kedua adalah
gebukan kaleng rombeng Pengemis Hantu
yang merobek pelipis sampai ke pipi hingga
muka Wiro palsu menjadi sangat mengerikan,
penuh luka dan kucuran darah!
"Tahan! Jangan menghantam membabi buta!
Manusia itu sudah sekarat!" terdengar
teriakan Dewa Tuak.
Semua irang seperti tersentak sadar dan kini
hanya tegak tak bergerak memandangi tubuh
yang terkapar mandi darah dan mengerang.
Erangan itu hanya terdengar beberapa saat
lalu lenyap tanda nyawa orang itu putus
sudah! Kesunyian mencekam. Hanya terdengar
beberapa helaan nafas. Di sebelah kiri tampak
Mirasani tekapkan kedua tangannya ke
wajahnya, berusaha menahan isakan tangis.
Dewa Tuak mendekati Wiro asli.
"Anak muda bermuka pucat! Aku kagumi
kehebatanmu dapat mengalahkan manusia
jahat berilmu tinggi itu!" memuji si kakek.
"Aku mengundangmu minum tuak!"
"Terima kasih kek! Sebenarnya orang itu
biasa-biasa saja bahkan boleh dikatakan
tidak memiliki ilmu silat apa-apa! Tapi dia
memiliki satu kehebatan memang! Dia punya
akal dan otak cerdik. Dia sanggup
memperhatikan dan meniru setiap gerakan
silat lawan. Lalu mempergunakan jurus-jurus
silat itu untuk menumbangkan lawan!"
Dewa Tuak manggut-manggut. Tiba-tiba dia
berkata yang membuat semua orang terkejut
dan memandang dengan mata besar. "Anak
nakal! Sekarang apakah kau tidak akan
menanggalkan topeng yang membungkus
wajahmu itu?!"
Wiro asli tersentak kaget.
"Dan kau muridku yang suka usilan apakah
masih akan terus bersembunyi di tempat
gelap bersama sahabatmu itu?!"
Menyadari gurunya telah mengetahui
kehadirannya di situ Anggini diiringi Mahesa
Edan segera keluar dari tempat
persembunyiannya. Dewa Tuak kembali
berpaling pada Wiro asli.
"Pemuda gendeng! Ayo lekas kau copot
topengmu, tunjukkan tampangmu yang
sebenarnya pada semua tokoh silat yang ada
di sini!"
Wiro garuk-garuk kepala. Akhirnya kedua
tangannya diangkat juga ke muka. Perlahan-
lahan dia melepas topeng yang menutupi
wajahnya. Begitu wajahnya tersingkap semua
orang mengeluarkan seruan tertahan. Bahkan
ada yang segera mencekal senjata, siap
menyerbu. Mirasani sendiri terpekik keras.
"Kau!" seru Mirasani dan memandang dengan
mata terbeliak ke arah Wiro Sableng asli dan
Wiro palsu yang sudah jadi mayat. Seprti tak
dapat mempercayai kedua matanya sendiri!
Begitu juga yang lain-lainnya. Dewa Tuak
tersenyum lebar lalu berkata "Pemuda konyol
satu ini adalah Pendekar 212 Wiro Sableng
yang sebenarnya! Yang itu palsu. Hanya
takdir saja yang melahirkan mereka memiliki
wajah hampir mirip. Dan kemiripan itu
dimanfaatkannya untuk menjadi modal
berbuat jahat.
Ditambah dengan kemampuannya menguasai
setiap jurus silat orang lain dengan hanya
melihat sekali saja maka jadilah dia biang
racun kejahatan yang malang melintang
selama satu tahun….."
"Lalu yang kita keroyok tempo hari siapa?"
bertanya Arit Sakti Pencabut Raga.
"Memang dia juga…." Jawab Dewa Tuak.
"Wiro perlihatkan bekas luka di bahumu…."
Wiro membuka baju putihnya. Mula-mula
kelihatan dadanya yang berterakan angka
212. Lalu tampak bahunya yang ada bekas
lukanya dan masih belum begitu kering.
"Berarti kita telah kesalahan tangan!
Mencelakai kawan segolongan sendiri…. Aku
menyesal…..aku menyesal!" kata si nenek
berulang kali.
Dewa Tuak dan Wiro hanya bisa tersenyum.
Ketika dia berpaling ke kiri dilihatnya
Mirasani tegak dan menatap lekat-lekat ke
wajahnya.
"Sama sekali…..sama sekali. Tidak ada
bedanya!" desis perempuan yang dengan
sendirinya saat itu telah menjadi janda.
"Kalau begitu apakah kau mau mengambilku
jadi pengganti suamimu itu…..?" bertanya
Wiro.
Sepasang mata Mirasani melebar berkilat.
"Ternyata kau tidak sama dengan dia…."
"Eh, mengapa begitu katamu sekarang. Tadi
kau katakan sama sekali!" ujar Wiro.
"Dia tidak memiliki sifat konyol dan mulut
ceplas ceplos sepertimu! Dia tidak suka
mengganggu orang! Tapi…."
"Tapi….." meneruskan Dewa Tuak. "Jika dia
suka padamu kaupun tentu tidak menolak!"
Semua orang tertawa.
Nenek Arit Sakti mendekati Wiro. "Anak
muda," kata si nenek. "Aku menyesal sekali
telah melukaimu waktu itu….. Aku mohon
maafmu!"
"Apa yang terjadi semua karena kesalah
pahaman belaka nek. Justru aku yang harus
minta maaf padamu!"
"Eh, mengapa terbalik begitu?" bertanya si
nenek keheranan.
"Karena terus terang saja, waktu aku
menyebutkan dan memainkan jurus konyol
bernama nenek sakti kencing di bawah pohon
itu, aku membayangkan bahwa dirimulah yang
sedang kencing itu!"
"Anak kurang ajar!" maki Arit Sakti Pencabut
Raga tapi kemudian bersama semua orang
yang ada di situ diapun turut tertawa gelak-
gelak.
"Dewa Tuak….." kata Wiro. "Aku ingin minta
keterangan. Waktu aku kalian serbu tempo
hari, kapakku kena rampas Harimau Pemakan
Jantung. Kau tahu di mana senjata itu
sekarang?"
"Jangan kawatir. Aku simpan baik-baik,"
jawab Dewa Tuak. Lalu dari balik pakaiannya
dikeluarkannya Kapak Maut Naga Geni 212
dan menyerahkannya pada Wiro.
"Terima kasih. Semua telah berakhir kini.
Saatnya kita meninggalkan tempat ini!" kata
Wiro.
"Memang kami semua akan meninggalkan
tempat ini. Tapi kau tetap di siniWiro….." ujar
Dewa Tuak. Sebelum Wiro sempat bertanya
apa maksud kata-kata kakek itu tiba-tiba
Dewa Tuak telah menotok punggungnya
hingga Wiro jadi tertegun kaku,
"Hai! Mengapa kau menotokku Dewa Tuak?!"
"Seperti kataku tadi! Kami semua akan pergi
tapi kau tetap di sini. Pertama untuk
mengurusi jenazah para sahabat. Kedua, yang
lebih penting untuk menemani janda cantik
itu. Ha….ha…..ha…..!"
"Kalian semua konyol!" teriak Wiro.
"Konyol dan kurang ajar!" teriak Mirasani.
Dewa Tuak keluarkan suitan keras. Semua
orang yang ada di tempat itu berkelebat dan
lenyap dalam kegelapan. Obor-obor dibuang
dan berjatuhan di tanah.
Mirasani berpaling pada Wiro. Pendekar
inipun menatap ke arah Mirasani. Dua
pandangan saling beradu. Sesaat Mira
tampak tegang. Tapi ketika Pendekar 212
tersenyum, diapun ikut tersenyum.
"Tolong lepaskan totokan di punggungku…."
Pinta Wiro seraya kedipkan matanya.
"Kau tidak seperti dia kan….?"
"Bukankah kau sendiri tadi mengatakan aku
memang tidak sama dengan manusia paslu
itu….?"
Perlahan-lahan Mirasani gerakkan tangannya
untuk melepaskan totokan di punggung Wiro.
"Tunggu, totokan itu tidak bisa dilepaskan
kalau tubuhku masih aterbungkus pakaian.
Kau harus membuka pakaianku dulu, baru
melepaskan totokan….."
Percaya apa yang diucapkan Wiro maka
Mirasani lalu membuka pakaian si pemuda
kemudian baru melepaskan totokan yang
bersarang di punggung. Begitu totokannya
terlepas Wiro Sableng tertawa gelak-gelak.
"Apa yang kau tertawakan…..?" tanya Mirasani heran.
"Kau tertipu….."
"Tertipu? Tertipu bagaimana?"
"Totokan itu sebenarnya bisa dilepaskan tanpa membuka pakaianku. Aku mendustaimu
karena ingin merasakan sentuhan jari-jari tanganmu secara langsung!
Ha….ha…..ha….."
"Kalau begitu biar kutotok kau kembali!"
Mirasani gerakkan tangan kanannya dengan cepat. Namun sebelum dia sempat menotok
Wiro sudah mencekal lengannya, langsung merangkulnya. Dan Mirasani seperti kena sihir tidak berusaha untuk melepaskan pelukan hangat itu.
Tamat
Emang cerpen wiro sableng selalu hidup dari jaman ke jaman i like it
BalasHapusSalut buat bastian tito 30 th yg lalu aku suka baca cerpennya sampai dengan hari ini
BalasHapus