WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya : BASTIAN TITO
EPISODE : TIGA SETAN DARAH DAN CAMBUK API ANGIN
***********
PEMUDA baju biru itu berdiri dengan
gagahnya di puncak bukit. Angin dari timur
bertiup melambai-lambaikan rambutnya yang
gondrong menjela bahu. Sepasang matanya
sejak tadi hampir tiada berkesip memandang
lekat-lekat ke arah utara di mana berdiri
dengan megahnya pintu gerbang Kotaraja.
Sudah hampir setengah hari dia berada di
puncak bukit itu. Sudah jemu dan letih
matanya memandang terus-terusan ke arah
pintu gerbang. Namun manusia-manusia yang
ditunggunya belum juga kelihatan muncul.
Sebetulnya dia bisa menuruni bukit itu dan
langsung memasuki Kotaraja. Tapi dia ingat
pesan gurunya, di Kotaraja penuh dengan
hulubalang-hulubalang Baginda, bahkan
tokoh-tokoh silat kelas satu pentolan-
pentolan Istana, banyak orang sakti berilmu
tinggi sehingga menyelesaikan perhitungan di
dalam Kotaraja sama saja mencemplungkan
diri ke dalam jebakan dimana dia tak mungkin
lagi akan keluar. Kalaupun ada jalan ke luar
maka itu ialah jalan kepada kematian! Dia
menunggu lagi. Sekali-sekali dia memandang
ke jurusan lain untuk menghilangkan
kejemuan dan kelesuan matanya. Kemudian
bila dia memandang pada dirinya sendiri,
memperhatikan tangan kirinya yang buntung
sebatas siku maka disaat itu ingatlah dia
akan ucapan gurunya sewaktu dia hendak
meninggalkan pertapaan.
"Hari ini kuperbolehkan kau meninggalkan
tempat ini, Pranajaya. Tapi kelak dikemudian
hari kau musti kembali kemari untuk menuntut
satu ilmu baru yang sekarang ini kugodok.
Kau pergi dari sini dan musti berhasil mencari
ketiga manusia yang telah membunuh kau
punya bapak…. Tempo hari aku sudah pernah
terangkan. Kau masih ingat siapa nama
julukan ketiga manusia itu?"
"Mereka adalah Tiga Setan Darah, guru,"
jawab Pranajaya.
"Betul," kata sang guru.
"Ketiganya berada di Kotaraja. Sudah sejak
lama kuketahui hidup di sana sabagai
bergundal-bergundalnya Baginda. Tapi ingat
Prana! Sekali-kali jangan selesaikan
perhitunganmu dengan mereka di dalam
Kotaraja. Itu barbahaya besar karena Kotaraja
penuh dengan tokoh-tokoh silat kelas satu
yang menjadi kaki tangan Baginda…"
"Dengan bekal ilmu yang guru, wariskan serta
pedang Ekasakti yang guru berikan tak satu
lawanpun yang saya takutkan di atas bumi
ini. Apalagi saya tahu bahwa saya berada di
atas kebenaran!" Empu Blorok tersenyum dan
rangkapken kedua tangannya dimuka dada.
"Aku sedang mendengar ucapan jantanmu,"
kata Empu Blorok pula.
"Tapi walau bagaimanapun membuat
kegaduhan di dalam Kotaraja sangat
berbahaya bagi keselamatan jiwamu. Di
samping itu aku mengingat pula akan tugas
yang hendak kuberikan padamu. Jadi Prana,
ringkas kata kau musti membereskan Tiga
Setan Darah di luar Kotaraja, bagaimana
caranya terserah kau." Sang murid manggut-
manggutkan kepalanya.
"Tadi guru menyebutkan satu tugas untukku…
Mohon penjelasan lebih lanjut," kata
Pranajaya.
"Bila perhitunganmu dengan Tiga Setan Darah
telah selesai maka kau harus pergi ke Pulau
Seribu Maut." Pranajaya tak pernah
mendengar tentang pulau itu dan tidak pula
tahu di mana letaknya. Maka diapun
menanyakannya.
"Pulau itu," menjawab Empu Blorok, "terletak
diujung timur pulau Jawa. Di situ bercokol
seorang manusia bernama Bagaspati.
Dulunya dia adalah kawan baikku. Tapi
kemudian mencuri sebuah senjata mustikaku
dan melarikan diri. Dengan senjata mustika
itu dia membuat keonaran di mana-mana dan
berbuat kejahatan! Kau harus mengambil
senjata muutika itu kembali dari tangannya
Pranajaya. KaIau dia banyak rewel, kau tahu
apa, yang musti dilakukan!"
"Baik guru," kata Pranajaya lalu tanyanya.
"Senjata apakah yang telah dicuri oleh
Bagaspati itu?"
"Sebuah cambuk, Prana. Cambuk Api Angin
namanya!"
"Tugas dari guru akan aku jalankan. Mohon
doa restu," kata Pranajaya. Ketika dia hendak
pamitan Empu Blorok berkata, "Tunggu
sebentar Prana. Masih ada yang hendak
kuterangkan padamu." "Soal apa guru?."
"Soal dirimu. Kau lihat tangan kirimu yang
buntung itu…?" Prana memperhatikan tangan
kirinya lalu mengangguk. Aneh terasa baginya
kalau saat itu gurunya bicara soal tangan itu,
padahal sudah sejak belasan tahun dia
berada bersama Empu Blorok dan sang guru
tak pernah bicara apa-apa soal tangannya
yang buntung itu.
"Waktu bapakmu dibunuh," berkata Empu
Blorok.
"Dia sedang tidur di atas balai-balai di
sampingmu. Tiga Setan Darah menyerbu
masuk dan salah seorang diantara mereka
segera membacokkan sebilah pedang!
Bapakmu seorang yang berilmu tinggi. Begitu
dia merasakan sambaran angin senjata maut
itu dia segera melompat. Dia berhasil
mengelakkan bacokan pedang namun
akibatnya ujung pedang terus menyambar
lenganmu dan membabat putus sikumu. Kau
saat itu masih orok, Prana… Bapakmu
kemudian dikeroyok bertiga dan menemui
ajalnya. Sebelum Tiga Setan Darah
mencincangmu, kakakku Empu Krapel berhasil
menyelamatkanmu dan menyerahkanmu
kepadaku. Sayang kakakku itu sudah menutup
mata, kalau tidak tentu dia gembira melihat
kau sudah dewasa dan gagah begini!"
Pranajaya terdiam seketika. Dendam membara
di lubuk hatinya. Lalu tanyanya.
"Yang manakah diantara Tiga Setan Darah
yang telah membacok bapakku sewaktu beliau
sedang tidur itu. Empu…?"
"Aku kurang tahu, Prana" sahut Empu Blorok.
"Keterangan kakakkku waktu membawa kau ke
sini kurang jelas." Karena tak ada lagi yang
akan dibicarakan maka Pranajaya berkata,
"Murid minta diri, guru. Muhon, doa
restumu…." Empu Blorok mengangguk.
Dipandanginya muridnya itu sambil akhirnya
Pranajaya hilang dikejauhan. Pranajaya
memandang lagi untuk kesekian kalinya ke
arah pintu gerbang Kotaraja. Suasana tidak
berubah seperti tadi-tadi. Dua pengawal
berdiri di sisi-sisi pintu gerbang, masing-
masing memegang sebatang tombak. Tak ada
yang lalu lalang. Pintu gerbang itu diselimuti
kesunyian.
"Sampai berapa lama lagi aku musti
menunggu?" tanya Pranajaya pada dirinya
sendiri. Hatinya kesal. Sebenarnya dia tidak
takut memasuki Kotaraja untuk lekas-lekas
membuat perhitungan dengan Tiga Setan
Darah. Malah ini adalah satu permulaaan
baginya untuk menjajaki sampai di mana
ketinggian ilmu silat dan kesaktiannya ysng
dimilikinya serta sampai di mana pula
kehebatan tokoh-tokoh silat di Kotaraja itu!
Namun dia musti patuh pada pesan gurunya
dan tidak boleh bertindak gegabah. Empu
Blorok lebih berpemandangan luas. Dan dia
musti menunggu terus. Manunggu sampai
Tiga Setan Darah keluar dari pintu gerbang
Kotaraja. Menurut keterangan yang didapat
Pranajaya dari seorang pengawal istana yang
disogoknya dengan sekeping emas, hari itu
Tiga Setan Darah akan meninggalkan
Kotaraja, pergi ke satu tempat di selatan
untuk satu keperluan penting. Atau mungkin
pengawal istana itu telah menjual keterangan
dusta kepadanya? Letih berdiri akhirnya
Pranajaya duduk di tanah, bersandar ke
sebatang pohon. Sepasang matanya
senantiasa ditujukan ke pintu gerbang
Kotaraja itu. SEMENTARA itu di Kotaraja ……….
Orang itu berdiri di halaman belakang istana.
Dia telah menyelidik ke kandang kuda dan
tiga ekor kuda yang kulit serta bulu tengkuk
dan ekornya dicelup merah telah dilihatnya di
dalam kandang kuda istana yang besar itu.
Hatinya lega. Ini satu pertanda bahwa Tiga
Setan Darah masih berada di dalam istana.
Orang ini menunggu siambil membayangkan
hadiah apa yang kira-kira bakal diberikan
Tiga Setan darah kepadanya kelak. Dua
pengawal di pintu belakang Istana menjura
hormat sewaktu tiga orang berjubah merah,
berambut dan bermuka yang dicat merah
melewati pintu itu, melangkah cepat menuju
kandang kuda. Orang laki-laki tadi segera
mendekati Tiga Setan Darah. Setelah menjura
dia berkata, "Bolehkah aku bicara dengan
kalian…?" Tiga Setan Darah yang paling tua
menghentikan langkahnya dan hendak
mendamprat. Saat itu bersama dua orang
kawannya dia hendak berangkat untuk satu
urusan panting tapi kini ada seseorang yang
mengganggu. Ini sangat menggusarkannya.
Sewaktu melihat bahwa laki-laki yang berkata
tadi itu adalah seorang pengawal Istana yang
dikenalnya, Tiga Setan Darah tertua ini surut
jugs sedikit amarahnya.
"Ada perlu apa kau?!" tanyanya kasar.
"Ada keterangan panting yang bakal
kusampaiken Tiga Setan Darah."
"Hemm… Coba katakan cepat," kata Setan
Darah tertua sambil mengerling pada dua
orang kawannya.
"Seorang asing hendak berbuat jahat tarhadap
kalian bertiga…."
"Hah… apa?!"
"Malam tadi aku tengah makan di kedai,"
menuturkan pegawai Istana itu. Namanya
Camar Pawang.
"Lalu ada seorang asing mendekatiku dan
berkata jika aku bisa kasih keterangan tentang
Tiga Setan Darah dia akan memberikan
hadiah sekeping emas. Aku segera maklum
bahwa orang asing itu bukan bermaksud baik-
baik terhadap kalian bertiga. Kuambil emas
itu dan kuberikan sedikit keterangan
kepadanya. Keterangan palsu!"
"Apa yang itu orang asing tanya dan apa
yang kau terangkan padanya?" tanya Tiga
Setan Darah kedua.
"Dia tanya kalau-kalau aku tahu bila kalian
bertiga meninggalkan Istana dan keluar dari
Kotaraja."
"Apa, jawabmu?" tanya Setan Darah Ketiga.
"Kuberikan keterangan dusta. Kukatakan
bahwa Tiga Setan Darah hari ini akan pergi ke
satu tempat di selatan untuk satu urusan
penting…" Setan Darah pertama melototkan
mata. Saat itu dia dan kawan-kawannya
memang hendak berangkat ke satu tempat
untuk menjalankan tugas Baginda, tapi bukan
ke selatan melainkan ke daerah barat
Kotaraja.
"Aku tidak percaya!" kata Setan Darah
pertama, "Coba, mana emas itu, aku mau
Iihat!" Camar Pawang mengeruk sakunya dan
mengeluarkan sekeping kecil emas yang
diterimanya dari orang asing itu.
Setan Darah pertama mengambil kepingan
emas itu, memperhatikannya lalu sambil
menimang-nimang emas itu dia bertanya,
"Bagaimana ciri-ciri orang asing itu?!"
"Dia masih muda, Tampangnya cakap, berbaju
biru dan tangan kirinya buntung. Di balik baju
birunya, di sebelah punggung menyembul
ujung gagang pedang…."
"Hem…" Setan Darah pertama menggumam.
Dia anggukanggukkan kepala beberapa kali.
"Ada lagi yang hendak kau katakan?" Camar
Pawang menggeleng.
"Kalau begitu kau tunggu apa lagi?! Cepat
berlalu dari hadapan kami!" bentak Setan
Darah pertama. Camar Pawang mundur satu
langkah dan memandang pada kepingan emas
yang masih ditimang-timang Setan Darah
Pertama.
"Emas itu..," kata Camar Pawang.
"Emas bapak moyangmu!" semprot Setan
Darah Kedua,
"Sudah untung kau tidak kami gebuk, masih
mau minta emas! Pergi!" Camar Pawang
memandang pada Setan Darah Pertama.
Manusia bermuka merah ini tertawa mengekeh
daw membalikkan badannya sambil
memasukkan kepingan emas ke dalam saku
jubahnya. Camar Pawang menelan ludah.
Sudah dibayangkannya dia bakal mendapat
hadiah dari Tiga Setan Darah, tapi malah
emas yang diterimanya dari si orang asing
kini diambil oleh manusia bermuka merah itu!
Camar Pawang menyumpah habis-habisan
dalam hatinya dan meninggalkan tempat itu.
Di depan pintu kandang kuda, Setan Darah
Pertama hentikan langkah dan bertanya pada
kedua orang kawannya.
"Apa pendapat kalian?" tanyanya. Setan
Darah kedua mengusap dagunya lalu berkata,
"Jika keterangan kunyuk kepala dua itu betul
pastilah orang asing itu menunggu kita di
satu tempat di daerah selatan…"
"Aku merasa heran juga," membuka mulut
Setan Darah Ketiga, "seingatku kita tak
pernah bikin urusan dengan seorang pemuda
bertangan buntung. Apa maksud manusia itu
mencari keterangan tentang kita sebenarnya?"
Setan Darah Pertama merenung sejenak.
"Kalau mau, kita masih ada waktu untuk
menyelidik ke selatan." Dua orang kawannya
menyetujui hal itu. Ketiganya segera
mengambit kudanya masingmasing.
ANGIN dari timur bertiup lagi melambai-
lambaikan rambut dan lengan kiri baju biru
yang dikenakan Pranajaya. Bila untuk
kesekian kalinya pemuda ini memandang lagi
ke arah utara maka membesilah parasnya. Air
muka dan hatinya menjadi tegang. Tiga
penunggang kuda kelihatan ke luar dari pintu
gerbang Kotaraja. Kuda-kuda dan
penunggangnya berwarna merah. Meski jauh
sekali, namun melihat kepada jumlah
penunggang-penunggang kuda itu dan
melihat kepada warna pakaian mereka, Prana
segera maklum bahwa mereka bukan lain
daripada Tiga Setan Darah yang memang
sedang dittunggutunggunya sejak tadi! Tiga
manusia yang telah membunuh ayahnya!
Waktu penantian berakhir sudah! Saat
pembalasan kini tiba! Tanpa menunggu lebih
lama Pranajaya segera berdiri. Kemudian
sekali dia gerakkan kedua kakinya, maka
pemnda ini sudah lenyap dari puncak bukit.
Tubuhnya laksana angin topan berlari
kencang menuruni lereng bukit ke arah liku
jalan yang kelak bakal dilalui Tiga Setan
Darah. Demikian cepat larinya hingga kedua
kakinya laksana tak pernah menginjak bumi!
ltu adalah berkat ilmu lari dan ilmu
mengentengi tubuh hebat yang telah
dikuasainya! Pranajaya sampai diliku jalan
lebih dahulu dari Tiga Setan Darah. Pemuda
ini menunggu dengan hati tegang tapi tetap
tenang. Dia maklum Tiga Setan Darah
manusia-manusia berilmu tinggi karenanya
dia tidak boleh bertindak ceroboh. Suara
derap kaki kuda terdengar semakin dekat
akhirnya muncullah penunggangpenunggang
kuda itu satu derni satu di tikungan jalan.
"Berhenti!" teriak Pranajaya sambil angkat
tangan kanannya. Tiga Setan Darah sama-
sama hentikan kuda masingmasing dan
memandang menyorot pada pemuda yang
berdiri di tengah jalan dihadapan mereka.
Keterangan Camar Pawang tidak dusta. Benar
pemuda yang diterangkan ciri-cirinya itulah
yang saat ini menghadang mereka. Parasnya
cakap, rambut gondrong, berpakaian biru dan
tangan kirinya buntung sebatas siku sedang
dibalik punggurig kelihatan menyembul
gagang pedang.
"Pemuda tangan bunting!," kata Setan Darah
pertama dengan suara keras.
"Apa-apaan ini?!" Pranajaya menyapu
tampang-tampang ketiga manusia itu. Lalu
tanyanya dengan membentak, "Kalian Tiga
Setan Darah?!" Prana bertanya untuk
meyakinkan.
"Sompret!" maki Setan Darah Kedua. "Siapa
kau yang berani menghalangi perjalanan
kami! Apa sudah bosan hidup?!"
"Aku Pranajaya!" memberitahu si pemuda.
Setan Darah tertua menyeringai dan
mengeluarkan suara mengekeh.
"Orang muda, kami memang Tiga Setan Darah
yang terkenal itu. Ada maksud apa kau
menghadang kami! Dari pegawai Istana yang
kau sogok dengan sekeping emas itu kami
mendapat keterangan yang kau mau cari
urusan! Apa betul!" Sebelum Pranajaya
menjawab, Setan Darah Ketiga sudah
membuka mulut, "Orang hina! Lekas angkat
kaki dari sini sebelum kupuntir kepalamu!"
"Rupanya dia tidak tahu tengah berhadapan
dengan siapa..!" kata Setan Darah Kedua.
Pranajaya berdiri dengan sepasang kaki
terkembang. Sinar di matanya semakin
menyorot sedang di air mukanya
membayangkan kebencian dan dendam yang
meluap!
"Tiga Setan Darah! Kalian tentunya betum
melupakan peristiwa beberapa belas tahun
yang silam. Ingat waktu kalian mengeroyok
dan membunuh secara pengecut seorang
bernama Wijaya?! " Tentu saja Tiga Setan
Darah terkejut. Ketiganya saling mengerling
kemudian Setan Darah Ketiga menjawab,
"Manusia buntung, kami masih ingat. Apa
sangkut pautmu dengan peristiwa itu?!"
"Aku adalah anak orang yang kau bunuh itu!"
jawab Pranajaya tanpa tedeng aling-aling.
"Oh… begitu?!," desis Setan Darah Pertama.
"Kawan-kawan!" seru Setan Darah Kedua,
"tentunya pemuda buruk ini adalah bayi yang
kita bacok buntung tangannya dulu itu!"
"Betul!" sahut Prana. Dia maju satu langkah.
"Yang mana diantara kalian yang
membacokku?!" Setan Darah Pertama tertawa
bekakakan.
"Pemuda ingusan, apakah kemunculanmu kali
ini hendak menuntut balas atas kematian kau
punya bapak dan karena kehilangan lengan
kirimu itu?!!" Pranajaya menggeleng perlahan.
"Lahtas?!" tanya Setan Darah tertua dengan
heran.
"Aku datang bukan buat menuntut balas,"
kata Pranajaya, "tapi untuk, meminta jiwa
busuk kalian!" Tiga Setan Darah sama-sama
tertawa membahak.
"Pemuda buntung," ejek Setan Darah kedua,
"kau mimpi di siang bolong!" Setan Darah
Pertama menimpali,
"Bapakmu Yang punya dua tangan kami bikin
mampus! Kau yang punya satu mau jual
tampang!" Setan Darah Ketiga tidak tinggal
diam
"Mungkin kau kepingin cepat-cepat ketemu
bapakmu di neraka?" tanyanya. Dan ketiga
manusia bermuka merah itu tertawa lagi
terbahakbahak.
"Manusia-manusia muka kepiting rebus,"
sentak Pranajaya dengan geram, "silahkan
turun dari kuda kalian. Atau mungkin kalian
mau mampus di atas kuda masing masing"?
Merahlah Tiga Setan Darah mendengar
ucapan Pranajaya itu Setan Darah Pertama
kebutkan lengan jarbah sebelah kanan.
Serangkum sinar merah menyarnbar dahsyat
ke arah Pranajaya. Pasir dan debu jalanan
beterbangan saking hebatnya serangan ini.
Pranajaya cepat menghindar ke samping dan
begitu sinar merah lewat di sebelahnya segera
pula pemuda ini hantamkan tinju kanannya ke
arah Setan Darah Pertama. Satu gelombang
angin yang padat dan keras menggumpal
menyerang ke arah tenggorokan Setan Darah
pertama. Ini adalah pukulan "angin sewu"
Setan Darah pertama tidak mengelak
sebaliknya tetap berdiri di tempat dan
lambaikan tepi jubah sebelah kiri. Sekali pukul
saja maka buyarlah angin pukulan jarak jauh
Pranajaya! Tapi betapa kagetnya si muka
merah ini karena begitu buyar, buyaran angin
pukulan itu kembali menyerangnya. Malah kini
lebih dahsyat lagi dari yang pertama tadi
karena kali ini pecahan angin pukulan itu
sekaligus menyerang ke arah dua belas jalan
darah yang mematikan ditubuhnya! Setan
Darah Pertama berseru nyaring lalu melompat
tiga tombak ke udara. Laksana seekor alap-
alap tubuhpya menukik ke arah Pranajaya dan
sedetik kemudian kedua orang itu sudah
berhadapan dalam jarak tiga langkah.
"Setan Darah Pertama, biar aku yang kermus
pemuda keparat itu!," teriak Setan Darah
Ketiga. Setan Darah Pertama tidak ambil
perduli. Dengan ganasnya dia menyerang. Jari
telunjuk dan jari tengah tangan kanannya
menusuk ke muka.
"Makan jariku ini, laknat!" teriaknya. Serangan
ilmu jari "pencungkil karang" memang hebat
dan ganas. Jangankan tulang atau daging
manusia, batu karang yang atos sekalipun
akan berlobang dan hancur kalau ditusuk oleh
sepasang jari itu! Dan kini sepasang jari itu
menyerang ke mata kiri kanan Pranajaya!
Pranajaya hanya melihat lawan menggerakkan
tangan kanannya sedikit dan tahu-tahu
sepasang jari lawan sudah di depan
hidungnya! Pemuda ini cepat rundukkan
kepala. Dia berhasii melewatkan tusukan dua
jari yang berbahaya itu dan di saat yang
bersamaan sekaligus pukulkan tinju kanannya
ke muka! Setan Darah Pertama melihat
serangannya yang mematikan tadi dapat
dilewati segera pergunakan tepi telapak
tangan kanannya uatuk menghantam bahu
Pranajaya! Kedua orang itu sama-sama
mempunyai kesempatan untuk mengelak.
Namun keduanya lebih monginginkan untuk
meneruskan serangan masing-masing dan
menghindar secara ambilan saja. Maka dalam
kejap yang bersamaan tinju kanan Pranajaya
melanda dada lawan sedang tepi telapak
tangan kanan Setan Darah Pertama mendarat
dengan kerasnya di bahu kiri Pranajaya!
Kedua orang ini sama-sama mengeluh sakit.
Pranajaya terguling di tanah. Setan Darah
Pertama terjajar beberapa langkah ke
belakang den jatuh duduk! Mukanya pucat
pasi. Dadanya sakit dan serasa melesak ke
dalam membuat sesak nafasnya. Cepat-cepat
manusia muka merah ini bersila di tanah dan
kerahkan tenaga dalamnya serta atur jalan
nafas. Diam-diam dia terkejut melihat
Pranajaya dapat berdiri kembali meskipun
dengan tubuh termiring-miring! Pukulan
telapak tangan kanannya tadi mengandalkan
lebih dari separo tenaga dalamnya, tapi si
pemuda masih sanggup berdiri dan masih
hidup Di lain pihak Pranajaya merasakan
tuang bahunya laksana patah! Badannya
miring ke kiri sewaktu berdiri. Kalau saja dia
tidak memiliki kekuatan tenaga dalam yang
sempurna pastilah jiwanya sudah melayang!
Prana memperhatikan Setan Darah Pertama
yang saat itu tegak kembali dengan
pandangan mata menyorotkan maut! Manusia
ini ternyata memiliki ilmu yang tinggi sekali!
Pukulan jotos sewu yang disangkakannya
akan merenggut nyawa lawan kiranya cuma
membuat manusia muka merah itu terhampar
jatuh duduk di tanah! Dua orang Setan Darah
lainnya yang sudah gatal-gatal tangan
mereka untuk segera turun tangan mengurung
Pranajaya dari kiri kanan.
"Biar aku yang pecahkan kepala bangsat ini
sendirian!" teriak Setan Darah Pertama
beringas.
"Ah! Kunyuk buntung ini terlalu bagus untuk
mampus ditanganmu sendirian," jawab Setan
Darah Kedua.
"Biar kami bantu!" Maka tanpa menunggu
lebih lama kedua orang itu segera menyerbu.
Setan Darah Pertama tidak berkata apa-apa.
Meski hatinya beringas tapi dia memaklumi
dan melihat kenyataan sendiri bahwa pemuda
rambut gondrong berbaju biru itu tidak
berilmu rendah. Karenanya sewaktu dua
kawannya itu menyerbu Setan Darah Pertama
diam saja. Menghadapi tiga lawan tangguh
begitu rupa membuat Pranajaya harus
bergerak dengan cepat dan berlaku lebih hati-
hati. Tubuhnya hampir lenyap dalam
telikungan bayangan jubah merah ketiga
lawannya. Tiada terasa lima belas jurus telah
berlalu. Setan Darah Pertama mengkal bukan
main.
"Kawan-kawan ternyata tikus buntung ini
punya ilmu yang diandalkan juga!" dia
berseru.
"Bagaimana kalau kita bentuk barisan tiga
bayangan siluman?!" Setan Darah yang dua
orang lainnya menyetujui. Dan pada jurus
yang keenam belas itu maka ketiganya segera
melancarkan serangan hebat yang dinamakan
barisan tiga bayangan siluman. Setan Darah
Pertama setengah merunduk.
Seranganserangannya selalu mengarah bagian
kedua kaki lawan sedang Setan Darah Kedua
menyerang bagian tengah tubuh Prana dan
Setan Darah Ketiga seperti seekor burung
elang melompat ke atas, menukik ke bawah
dan selalu melancarkan serangan ke bagian
kepala Pranajaya. Dalam setiap saat
ketiganya bisa berganti tempat dan
mengambil alih kedudukan masing-masing,
terutama bila salah seorang dari mereka
diserang oleh lawan! Begitulah, setiap
Pranajaya mengelak atau menyerang salah
seorang dari mereka, maka yang dua lainnya
dengan cepat sekali datang memburu
mengirimkan seranganserangan maut! Lima
jurus pertama setelah bertempur dengan
segala kehebatan yang ada maka sedikit demi
sedikit mulai kendurlah perlawanan
Pranajaya. Pemuda bertangan satu itu kini
bertahan mati-matian, namun tetap dia
terkurung rapat dan terdesak hebat! Tiba-tiba
Prana ingat pedang dipunggungnya. Dia
adalah seorang pemuda berhati jantan
kesatria, yang akan menghadapi lawan
bertangan kosong dengan tangan kosong
pula. Namun menghadapi pengeroyokan tiga
musuh besar itu, di dalam keadaan yang
kepepet pula, dia merasa bahwa mencabut
pedangnya saat itu bukanlah suatu tindakan
yang pengecut. Sambil berteriak, "Lihat
pedang!" maka Pranajaya cabut pedangnya.
Sedetik kemudian satu sinar putih menggebu
membabat ketiga jurusan, membuat dengan
serta merta buyarnya barisan tiga bayangan
siluman! Sambil bersurut mundur Tiga Setan
Darah memperhatikan pedang Ekasakti yang
memancarkan sinar putih di tangan
Pranajaya. Setan Darah Kedua berbisik pada
kawan-kawannya, "Heh, pedang itu pasti
senjata mustika! Kita musti dapat
merampasnya !"
"Jangan pikir soal senjata itu dulu" jawab
Setan Darah Pertama.
"Yang penting tangkap bangsat ini hidup-
hidup. Aku ada rencana tersendiri untuk
menamatkan riwayatnya. Kalian….
" Setan Darah Pertama tidak sempat
mengakhiri ucapannya. Saat itu Pranajaya
sudah menyerbu. Sinar putih dari pedang
bertabur ganas. Ketiga manusia itu cepat
menghindar dan masing-masing mereka
segera cabut senjata. Setan Darah Pertama
mengeluarkan sepasang tombak bermata dua.
Setan Darah Kedua mengeluarkan sepasang
gada sedang Setan Darah Ketiga
mengeluarkan sepasang golok. Kesemua
senjata ini berwarna merah dan kesemuanya
merupakan senjata-senjata mustika sakti !
Percaya akan kehebatan pedang Ekasaktinya,
Pranajaya teruskan menyerang ketiga lawan
itu. Trang…. trang…. trang….! Tiga kali pedang
putih itu beradu dengan senjata-senjata
lawan. Bunga api bertebaran dan Pranajaya
terkesiap kaget! Senjata-senjata lawan
mempunyai kehebatan yang luar biasa.
Untung saja pedang Ekasakti dipegangnya
erat-erat, kalau tidak dalam bentrokan tiga
kali berturut-turut tadi itu pastilah senjatanya
akan terlepas! Sementara itu Tiga Setan darah
sudah tegak memencar. Satu lengkingan
nyaring keluar dari tenggorokan Setan Darah
Kedua. Maka, tiga manusia muka merah itu
dengan serta merta menyerbu ke arah
Pranajaya !
PERTEMPURAN manusia tiga lawan satu itu,
kecamukan enam senjata lawan satu pedang
berlangsung penuh kehebatan dan
mendebarkan. Sedikit saja seseorang
membuat gerakan yang salah pastilah salah
satu bagian tubuh mereka akan dimakan
senjata. Sinar merah jubah dan senjata-
senjata Tiga Setan Darah bergulung-gulung
membungkus tubuh dan senjata Pranajaya.
Berkali-kali pemuda ini nyaris kena tebasan
golok atau tusukan tombak atau hantaman
gada ketiga lawannya. Jika saja Pranajaya
tidak memiliki ilmu mengentengi tubuh yang
sempurna serta kegesitan yang luar biasa,
sudah sejak tadi-tadi mungkin dia akan
mienjadi pecundang. Prana berkelebat laksana
bayang-bayang. Pedang putihnya membabat
kian kemari dalam rangkaian jurus-jurus lihai
yang dipelajarinya secara sempurna dari
Empu Blorok. Sepuluh jurus telah berlalu.
Kemudian lima jurus lagi dan Tiga Setan
Darah masih belum sanggup membuktikan
kehebatan nama baser mereka selama ini.
Malah pada jurus keduapuluh satu, Setan
Darah Ketiga berseru tertahan dan menyurut
mundur! Ternyata jubah merahnya robek besar
disambar ujung pedang lawan! Masih untung
kulit dadanya tidak kena diserempet !
"Bedebah!" rutuk iaki-laki itu.
"Jangan harap kau bisa bernafas sampai tiga
kali kejapan mata!" Dengan amarah yang
meluap Setan Darah Ketiga memutar
sepasang goloknya dalam jurus yang aneh
dan menyerbu Pranajaya.
"lngat Setan Darah Ketiga!" teriak Setan Darah
Pertama.
"Pemuda ini aku mau tangkap hidup-hidup!"
"Lebih bagus kalau dicincang lumat saja!"
sahut Setan Darah Ketiga.
"Aku yang jadi pemimpin kalian!" teriak Setan
Darah Pertama marah.
"Kau harus ikut apa yang ku katakan!"
Setan Darah Ketiga menindas kemarahannya
sedapat-dapatnya. Menekan luapan amarah
karena dia menyadari bahwa dia musti tunduk
pada Setan Darah Pertama. Pertempuran seru
berkecamuk lagi. Agaknya kini Tiga Setan
Darah telah mengeluarkan pula jurus-jurus
ilmu silat mereka yang lihai dan banyak tipu-
tipu liciknya. Lima jurus berlalu maka
Pranajaya mulai pula terdesak. Trang!
Pranajaya tak bisa mengelakkan peraduan
senjatanya dengan senjata Setan Darah
Pertama. Sebelum bunga api yang
bergemerlap lenyap, sebelum murid Empu
Blorok itu sempat menarik senjatanya maka
sepasang gada dan golok Setan Darah lain-
lainnya sudah datang menjepit pedang
Ekasakti di tangan Pranajaya. Prana kerahkan
tenaga dalamnya. Dengan sekuat tehaga
dicobanya melepaskan pedang dari jepitan
enam senjata lawan! Tapi sia-sia! Pedang
Ekasakti meskipun pedang mustika namun
tiada berdaya di jepit oleh enam senjata
mustika lawan! Pedang itu laksana lengket.
Prana keluar keringat dingin. Dia tahu, tak
ada jalan lain baginya kecuali melepaskan
pedangnya pada gagang pedang,
menyerahkan bulat-bulat senjatanya ke
tangan lawan! Setan Darah Pertama tertawa
mengekeh.
"Sekarang kau baru tahu siapa kami hah?!"
"Tikus buntung hendak bernyali besar
beginilah jadinya!" ejek Setan Darah Ketiga.
Tiba tiba, tiada terduga dengan bergantungan
pada gagang pedang yang dijepit lawan,
tubuh Pranajaya melesat ke muka. Kaki
kanannya menendang dan karena tidak
menyangka, Setan Darah Pertama tidak
keburu menghindar! Setan Darah Pertama
mengeluh tinggi. Tubuhnya mencelat beberapa
tombak, terguling di tanah. Dua tulang iganya
telah patah dilanda tendangan Pranajaya!
"Anjing buduk!" maki Setan Darah Kedua
begitu melihat kawannya kena dihantam
lawan. Tanpa menunggu lebih lama manusia
ini segera hantamkan gagang gadanya yang
di tangan kanan ke pangkal leher. Ini adalah
satu totokan yang dahsyat. Karena tak keburu
menghindar tak ampun lagi Pranajaya rebah
ke tanah dalam keadaan tubuh kaku laksana
patung! Setan Darah Pertama melangkah
tertatih-tatih ke hadapan Pranajaya.
"Bagaimana lukamu?" tanya Setan Darah
Kedua.
"Bangsat ini telah mematahkan dua tulang
igaku," jawab Setan Darah Pertama setengah
menggeram.
"Detik ini juga dia akan terima balasannya!"
Habis berkata begitu Setan Darah Pertama
lancarkan satu tendangan ke arah tulang
rusuk Pranajaya. Pemuda ini menggelinding
beberapa tombak jauhnya. Tiga tulang iganya
patah! Meski tubuhnya tertotok tiada berdaya
namun perasaan masih tetap ada dan
mulutnya masih bisa mengeluarkan suara
erangan kesakitan! Setan Darah Pertama
masih belum puas.
"Ini satu lagi!" katanya dan untuk kedua
kalinya.kaki kanannya mengirimkan satu
tendangan. Kali ini yang jadi sasaran adalah
muka Pranajaya. Pemuda ini berusaha
menahan jeritan yang hendak melesat dari
tenggorokannya meski bibirnya pecah, dua
buah giginya patah dan hidungnya
mengucurkan darah kental panas ! Setan
Darah Pertama memburu lagi. Ketika dia
hendak menendang sekali lagi, Setan Dareh
Kedua memegang bahunya.
"Kali ini dia bisa mampus! Apa kau lupa akan
rencanamu sendiri?!" Setan Darah Pertama
menarik pulang kaki kanannya. Dirabanya
sebentar tulang rusuknya yang patah
kemudian dia berteriak,
"Setan Darah Ketiga, ambil tali!" Setan Darah
Ketiga melemparkan seutas tali kepada laki-
laki itu.
"Pemuda edan!" kata Setan Darah Pertama
sambil belutut dihadapan Pranajaya yang
saat itu megap-megap.
"Sebentar lagi kau akan rasakan bagaimana
enaknya meluncur di tanah! Kalau tubuhmu
kuat kau akan hidup sampai ke Kotaraja. Tapi
kalau tidak, kau akan mampus di tengah
jalan!" Habis berkata begitu Setan Darah
Pertama segera mengikat pergelangan tangan
kanan Pranajaya dengan tali. Ujung tali yang
lain diikatkannya ke leher kudanya. Pranajaya
keluarkan keringat dingin. Dia tahu nasib apa
yang bakal diterimanya! Pemuda ini berteriak,
"Setan Darah keparat! Bunuh aku sekarang
juga!" Setan Darah Pertama tertawa.
"Kau memang akan mampus, kunyuk
buntung!" jawab Setan Darah Pertama.
"Akan mampus, tapi dengan cara perlahan-
lahan! Sepanjang jalan menuju ke ajalmu kau
dapat saksikan keindahan pemandangan
daerah sekitar sini! Bukankah enak mati cara
begitu?!" Setan Darah Pertama naik ke atas
kudanya. Tiba-tiba dia ingat sesuatu dan
memandang berkeliling.
"Mana pedangnya?!"
"Aku sudah ambil!" jawab Setan Darah Ketiga.
"Bagus!" Setan Darah pertama tepuk pinggul
kuda merahnya dengan keras. Binatang itu
meloncat ke muka siap untuk berlari kencang
dan menyeret tubuh Pranajaya mulai dari liku
jalan itu sampai ke Kotaraja. Namun disaat
itu dari muka kelihatan berkelebat sesosok
bayangan putih disertai dengan suara tertawa
lantang yang bernada mengejek.
"Kekejamanmu sangat keterlaluan Tiga Setan
Darah!" kata pendatang baru ini dengan
membentak. Tiga Setan Darah Pertama dan
kedua kawannya dengan serta merta
mengehentikan kuda masing-masing.
Sepasang mata Tiga Setan Darah Pertama
memandang ke muka dengan menyorot.
Mulutnya terkatup rapat-rapat dan kedua
rahangnya mengatup menonjol!
"Cindur Rampe!" hardik Setan Darah Pertama.
"Setahuku kau ada tugas di sselatan yang
harus kau jalankan! Silahkan berlalu dan
jangan ikut campur urusan kami!" Cindur
Rampe, seorang resi golongan hitam yang
juga menjadi kaki tangan pembantu Baginda.
Kekejamannya tiada banyak beda dengan Tiga
Setan Darah namun antara resi ini dengan
ketiga Setan Dorah sejak lama terdapat
perselisihan-secara diam-diam. Perselisihan
ini sebenamya adalah akibat bersaing ingin
menjilat Baginda. Dalam satu pertemuan
pernah Cindur Rampe menantang Tiga Setan
Darah. Hampir terjadi pertempuran hebat
namun tokoh-tokoh istana lainnya berhasil
mencegah mereka. Namun sejak itu pula
diantara mereka semakin memuncak
permusuhan, laksana api dalam sekam yang
sewaktu- waktu bisa meledak! Cindur Rampe
mengelus-elus janggutnya yang pendek
macam janggut kambing. Sambil sunggingkan
senyum mengejak dia berkata, "Tentu pemuda
malang itu akan kau seret ke Kotaraja. Semua
orang akan melihat kekejamanmu. Kau akan
dapat nama dan kira-kira berapa puluh ringgit
pula kau akan dapat upah dari Baginda?!"
Setan Darah Kedua penasaran sekali. Dia
majukan kudanya satu langkah.
"Soal kekejaman kau tidak lebih baik dari
kami resi muka kambing!" sentak Setan Darah
Kedua. Cindur Rampe tertawa dingin.
"Cindur Rampe, kuharap segera berlalu. Aku
muak melihat tampangmu!" menyambungi
Setan Darah Ketiga. Resi itu tertawa lagi. Lalu
katanya,
"Aku sendiri sudah sejak lama kepingin
muntah melihat mukamu yang macam
kepiting rebus!" Setan Darah Pertama
kertakkan geraham.
"Cindur Rampe, agaknya kau sengaja
mencari-cari perselisihan terbuka! Mungkin
masih belum puas dengan pertengkaran
dalam pertemuan tempo hari?!"
"Ah… rupanya kau masih belum lupakan hal
itu!" kata Cindur Rampe. Dia melirik sebentar
pada Pranajaya yang megap-megap hampir
kehabisan nafas.
"Selama matahari masih terbit di timur,
selama air sungai masih mengalir ke laut.
Tiga Setan Darah tak pernah melupakan hal
itu!"
"Bagus sekali jika demikian!" menyahuti
Cindur Rampe.
"Kuharap di lain kesempatan kita bisa
menyelesaikannya!" Setan Darah Pertama
mengekeh.
"Menentang kami sama dengan menentang
angin topan! Menentang Tiga Setan Darah
sama dengan menentang gunung karang!
Jangan terlalu pongah dan buta resi muka
kambing!"
"Nama kalian memang sudah kesohor, apalagi
kebejatan dan kekejaman kalian! Tapi kalau
cuma cecunguk-cecungkuk macammu, sepuluh
orangpun aku akan layani!" Naiklah darah
Tiga Setan Darah.
"Rupanya kau mau mampus sekarang juga,
resi keparat!" bentak Setan Darah Kedua. Dia
melompat ke muka dan kirimkan satu
serangan tangan kosong! Cindur Rampe
melompati ke samping sambil tertawa.
"Jangan terlalu kesusu monyet muka merah!
Ini hari aku masih ada urusan. Di lain ketika
aku tak akan sungkan-sungkan lagi untuk
menerabas batang lehermu dan dua
kambratmu itu! Ini kukembalikan
seranganmu!" Habis berkata begitu Cindur
Rampe kebutkan lengan jubahnya. Selarik
angin panas mengebu ke arah Setan Darah
Kedua. Pukulan yang dilepaskan Cindur
Rampe adalah pukulan ireng weliung yang
kehebatannya sudah dimaklumi oleh Tiga
Setan Darah. Karenanya Setan Darah Kedua
melompat dua tombak ke atas.
"Wuss !"
Angin pukulan menghantam pohon kayu di
tepi jalan. Kejap itu juga batang kayu itu
hangus hitam sampai ke ranting-rantingnya!
Terkejutlah Tiga Setan Darah. Rupa-rupanya
resi Cindur Rampe betul-betul inginkan jiwa
mereka! Setan Darah pertama dan ketiga
segera melompat dari kuda masing-masing,
siap untuk mengeroyok resi itu. Tapi Cindur
Rampe sudah berkelebat cepat dan
meninggalkan tempat itu sambil berseru,
"Sampai nanti Tiga Setan Darah. Kuharap
kalian suka bersabar menunggu saat kematian
kalian!"
"Anjing buduk! Jangan lari!" teriak Setan
Darah Kedua. Tapi Cindur Rampe sudah
lenyap dari pemandangan. Setan Darah
Pertama memaki dan menyumpah nyumpah.
"Lain hari kita tak perlu kasih hati pada si
muka kambing itu!," katanya. Dia melompat
kembali ke atas kudanya diikuti oleh dua
orang kawankawannya. Ketika kuda Setan
Darah Pertama bergerak, maka tubuh
Pranajaya mulai terseret. Tubuh pemuda
murid Empu Blorok ini akan terseret
sepanjang perjalanan menuju Kotaraja. Bila
Pranajaya bernasib baik, dia akan tetap hidup
sampai di Kotaraja. Jika tidak nyawanya akan
lepas di tengah jalan dan dia akan menemui
kematian dalam keadaan yang mengerikan.
Sampai di manakah kekuatan tubuh manusia
menahan siksaan yang kejam luar biasa itu?
KALI WELANGMANUK telah dua hari yang lalu
mereka seberangi. Lembah Manukwilis di
mana terletak Gedung Biara Pensuci Jagat
telah jauh di belakang mereka. Kedua orang
itu berlari dalam kecepatan yang luar biasa.
Kadangkala menyeberangi kali-kali kecil,
kadangkala mendaki dan menuruni bukit dan
saat itu keduanya barusan saja keluar dari
sebuah rimba belantara. Matahari telah
sampai ke ubun-ubun mereka tatkala
keduanya sampai di satu persimpangan jalan.
Pemuda rambut gondrong hentikan larinya.
Orang yang disampingnya juga melakukan hal
yang sama. Ketika pemuda itu membalikkan
badannya maka sepasang mata merekapun
saling bertemu. Si pemuda mengukir senyum
dibibirnya dan berkata, "Agaknya kita terpaksa
berpisah di sini, Sekar." Si gadis berpakaian
ringkas kuning tidak menjawab. Kedua
matanya yang bening masih balas menatap
pandangan si pemuda. Dan si pemuda segera
bisa memaklumi. Dari sinar mata gadis itu di
ketahuinya bahwa perpisahan itu merupakan
satu hal yang berat bagi si gadis. Sambil
tertawa si pemuda berkata, "Di lain ketika aku
berharap kita bisa bertemu loagi, Sekar." Dia
menjura sedikit dan berkata lagi, "Jangan
lupa sampaikan salam hormatku pada
gurutnu Empu Tumapel…." "Wiro..," si gadis
membuka mulut untuk pertama kalinya.
Suaranya perlahan, setengah berbisik. "Kau
sendiri mau terus ke manakah?" tartyanya.
"Aku… ah… Manusia macamku ini pergi
membawa kakinya saja. Mengembara tiada
tentu tujuan."
"Mengembara adalah satu hal yang kucita-
citakan sejak aku berhasil menuntut balas
kematian ibu bapak dan saudarasaudaraku,"
kata Sekar pula.
"Tapi kau musti kembali ke tempat gurumu!
Kau pernah bilang waktu di tepi sungai tempo
hari. Ingat…" Sekar ingat. Dalam perjalanan
mereka meninggalkan Biara Pensuci Jagat
suatu malam mereka berkemah di tepi sungai
yang banyak sekali ikannya. Sambil menikmati
ikan panggang, mereka bicara-bicara dan
Sekar telah menceritakan tentang gurunya di
Goa Blabak, tentang segala hal mengenai
dirinya. Malam sejuk di tepi sungai itu tak
akan pernah dilupakan oleh Sekar. Semenjak
hidup, semenjak turun ke dunia luar pada
malam itulah dia benar-benar merasakan
bahwa dirinya adalah seorang gadis. Seorang
gadis yang disaat itu untuk pertama kalinya
merasakan betapa indahnya berada di
samping seorang pemuda. Betapa
romantisnya. Dan Sekar ingat sewaktu Wiro
memegang dan meremas-remas jari
tangannya. Waktu, Pendekar 212 itu
memeluknya, merangkulnya erat-erat dan
sewaktu pemuda itu melumas bibirnya dengan
ciuman yang mesra, hangat menyentak-
nyentakkan darahnya! Ingat pula bagaimana
dia bergayut dan tak mau melepaskan tubuh
si pemuda dan seperti orang mabuk anggur
mereka melakukan apa yang mereka bisa
lakukan. Semuanya itu kemudian berakhir
tanpa penjelasan karena semua itu dimulai
dengan kesadaran yang berapi-api!
"Aku bisa menunda kembali kepertapaan,"
kata Sekar
"Keberatan kalau aku ikut sama-sama dengan
kau….?" Wiro Sableng tertawa.
"Tentu saja tidak," kata Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212 ini meskipun hatinya tidak
menyetujui hal itu.
"Tapi kau musti ingat Sekar. Mengembara
dalam dunia persilatan bukan berarti
berjalan-jalan melihat-lihat pemandangan!
Pengembaraan di dunia persilatan adalah
persoalan hidup atau mati!"
"Aku toh juga orang persilatan, Wiro."
"Betul. Namun kini belum masanya kau
memulai pengembaraan. Yang penting kau
musti kembali ke tempat gurumu dulu." Sekar
menggeleng. Wiro Sableng garuk-garuk
kepalanya. Kemudian katanya,
"Sekar, jangan jadi anak kecil. Salah-salah
kita bisa bertengkar. Aku berjanji akan
menyambangimu di Goa Blabak. Nah,
sekarang kau tempuh jalan yang sebelah
kanan dan aku yang sebelah kiri, yang menuju
ke Kotaraja."
"Aku ikut dengan kau ke Kotaraja," berkata
Sekar.
"Busyet!" kata Wiro Sableng dalam hati dan
digaruknya lagi kepalanya.
"Bisa berabe Sekar. Bisa berabe!," katanya
pada gadis itu.
"Gadis secantikmu ini kalau masuk ke
Kotaraja pasti semua mata laki-laki akan
melotot! Kalau terjadi apa-apa dengan dirimu
bagaimana…?!"
"Aku tidak takut," kata gadis sembilan belas
tahun itu. Wiro menghela nafas dalam dan
angkat bahu.
"Kotaraja penuh dengan tokoh-tokoh silat
kelas satu! Aku tak ingin terjadi apa-apa
dengan kau…"
"Kalau kita tidak berbuat kejahatan kenapa
musti takut masuk ke Kotaraja?," ujar si
gadis. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi
dia melangkah memasuki jalan sebalah kiri.
Wiro Sableng geleng-gelengkan kepalanya.
Segera dia hendak berlalu dari persimpangan
jalan itu menempuh jalan sebelah kanan. Tapi
hatinya menjadi bimbang. Dipandangnya
punggung Sekar. Gadis itu melangkah dengan
langkah tetap bahkan kini mulai berlari. Wiro
Sableng akhirnya membalikkan langkah dan
berlari menyusul Sekar. PENDEKAR 212 dan
Sekar baru saja keluar dari sebuah kedai
sehabis mengisi perut sewaktu di jalan
dihadapan mereka menderu derap kaki tiga
ekor kuda merah. Tiga penunggangnya laki-
laki mengenakan jubah merah, berambut
panjang merah dan bermuka merah. Yang
membuat kedua orang ini terkejut bukanlah
karena memandang muka-muka yang aneh
serta lucu itu tapi adalah sewaktu
menyaksikan bagaimana dibelakang kuda
yang paling depan ikut terseret sesosok tubuh
laki-laki bertangan buntung! Pakaian birunya
hancur robek-robek. Kulitnya mengelupas,
mukanya tiada dapat dikenali lagi.
Keseluruhan tubuh manusia itu bergelimang
darah dan debu. Tak dapat dipastikan apakah
dia masih hidup atau sudah mati!
"Biadab!" desis Sekar sewaktu ketiga
penunggang kuda itu berlalu.
"Aku tak bisa membiarkan kekejaman itu,
Wiro!" Sekar segera hendak melompat ke
muka dan mengejar. Tapi Wiro Sableng cepat
memegang lengan gadis ini.
"Jangan bodoh, Sekar!" katanya.
"Kita tidak tahu siapa tiga manusia bermuka
merah itu. Juga tidak kenal siapa itu laki-laki
yang diseret. Mungkin laki-laki ini seorang
jahat!"
"Aku tidak yakin, justru manusia-manusia
muka merah itulah yang bertampang buas
kejam!"
"Aku tahu, tapi jangan bertindak gegabah,
Sekar. Ini Kotaraja!"
"Persetan dengan Kotaraja!" tukas si gadis.
"Sudah tak usah ngomel. Mari kita ikuti
mereka!" ujar Wiro pula. Keduanya segera
meninggalkan tempat itu. Tiga penunggang
kuta itu memasuki sebuah gedung tua tak
berapa jauh dari Istana. Laki-laki yang diseret
dengan kuda tadi dibawa ke dalam. Kemudian
gedung itupun sunyi senyap.
"Kita masuk ke dalam Wiro," bisik Sekar.
"Kataku jangan gegabah," kata Pendekar 212
dengan pelototkan mata. Di seberanginya
jalan dan ditemuinya seorang pejalan kaki di
seberang jalan itu.
"Saudara kau lihat tiga penunggang kuda
tadi?" tanya Wiro. Orang itu mengangguk.
Bulu tengkuknya masih meremang mengingat
apa yang disaksikannya tadi.
"Siapa ketiga manusia itu?" tanya Wiro
Sableng lagi.
"Mereka adalah Tiga Setan Darah."
"Tiga Setan Darah…?" ujar Wiro. Pasti itu
nama julukan mereka pikir Wiro. Dan dari
nama julukan ini nyatalah bahwa memang
mereka bukan manusia baik-baik! Kemudian
tanpa ditanya orang tadi berkata lagi.
"Mereka adalah kaki tangan pembantu-
pembantu Baginda. Manusia kejam luar
biasa…!"
"Kenapa Baginda memelihara setan-setan
macam mereka?!" tanya Wiro.
"Untuk menjaga keamanan Istana dan
Kerajaan. Tapi Baginda tidak tahu kebejatan
pembantu-pembantunya itu…"
"Kenapa rakyat tidak mau kasih tahu?"
"Kalau mau mampus boleh saja!" jawab laki-
laki itu.
"Kau kenal siapa itu orang yang diseret
dengan kuda?" Laki-laki itu menggeleng. Wiro
Sableng kembali menyeberang jalan menemui
Sekar.
"Kau bicara apa dengan dia?" Wiro
menerangkan dengan cepat lalu kedua orang
ini segera hendak menyeberang memasuki
halaman gedung tua tapi mereka segera
berlindung cepat-cepat di balik sebatang
pohon besar karena dari samping gedung
ketiga penunggang kuda tadi kelihatan
memacu kudanya masing-masing
meninggalkan gedung! Begitu mereka lenyap
di kejauhan, Wiro dan Sekar segera memasuki
halaman gedung. Mereka menuju ke samping
dan berhenti dihadapan sebuah pintu kayu.
Wiro memandang berkeliling. Suasana sepi
sunyi. Tanpa raguragu Pendekar 212 ulurkan
tangan mendorong pmtu kayu itu. Aneh
sekali! Meski pintu itu terbuat dari kayu
namun Wiro tak berhasil mendorongnya
dengan sekuat tenaga luar! Setelah
mengerahkan seperempat dari tenaga
dalamnya baru pintu kayu itu berkereketan
dan terbuka sedikit demi sedikit.
Begitu daun pintu kayu itu terbuka lebar maka
tiba-tiba dari hadapan mereka berdesing lima
buah senjata berbentuk anak panah berwarna
merah!
"Sekar! Awas!" teriak Pendekar 212. Cepat-
cepat pemuda ini menarik lengan si gadis ke
samping. Lima senjata rahasia berbentuk
panah berdesing di atas kepala dan di muka
hidung mereka. Dua dari panah merah itu
menancap dibatang sebuah pohon. Sesaat
kemudian batang pohon itu sampai ke
cabang-cabang, ranting dan daun-daunnya
menjadi merah! Nyatalah bahwa senjata-
senjata ratiasia itu mengandung racun yang
amat jahat! Paras Sekar berubah pucat
sedang Pendekar 212 dengan leletkan lidah
berkata pelahan, "Keparat betul! Tempat ini
pasti penuh dengan senjata rahasia. Kita
harus hati-hati Sekar." Wiro menyuruh gadis
itu berdiri lebih ke samping. Kemudian dengan
kaki kirinya pendekar ini menendang pintu
kayu itu sekuat tenaga. Pintu bobol hancur
berantakan dan pada detik itu pula selusin
senjata rahasia yang sama bentuknya dengan
tadi melesat di. depan mereka. Beberapa
diantaranya menancap lagi dibatang pohon
yang sama! Pendekar 212 menyeringai.
"Lihai juga," katanya pelahan.
"Sebaiknya kau tunggu di sini Sekar…"
"Aku ikut bersamamu!" kata Sekar tegas.
"Di dalam gedung tua ini pasti lebih banyak
bahaya. Jangan jadi orang tolol!" Gadis
berbaju kuning ini tidak ambil perduli ucapan
si pemuda melainkan tanpa tedeng aling-
aling terus masuk melewati pintu yang tadi
telah ditendang bobol. Mau tak mau Wiro
juga melangkah mengikuti. Seperti suasana di
luar, dibagian belakang gedung itupun
diselimuti kesunyian. Keseluruhan gedung
tidak terpelihara. Tembok hijau berlumut.
Halaman ditumbuhi semak-semak dan rumput
liar.
Dengan sikap berhati-hati kedua orang ini
melangkah menuju ke tangga yang
berhubungan dengan pintu belakang gedung.
Wiro berjalan di depan. Ketika salah satu
kakinya menginjak tanah di dekat anak tangga
yang terbawah tanah itu dirasakannya
mencekung aneh dan lembut. Wiro cepat tarik
kakinya dan melangkah mundur!
"Ada apa?" tanya Sekar dengan berbisik.
Pendekar 212 tidak menjawab melainkan
melangkah menghampiri sebuah pot bunga
besar yang bunganya sudah mati karena tak
pernah disiram. Pot bunga yang besar itu
dilemparkannya ke tanah di kaki anak tangga
yang tadi dipijaknya. Pada detik itu juga
terdengar satu ledakan. Tanah di kaki anak
tangga bermuncratan ke atas. Anak tangga
terbawah hancur berkeping-keping. Wiro
meraih pinggang Sekar dan menjatuhkan diri
ke tanah. Tubuh mereka kotor tersembur
tanah dan kepingan batu tangga!
"Gedung setan apa ini?!" rutuk Wiro sambil
berdiri dan membersihkan pakaiannya. Dia
berpaling pada Sekar dan berkata, "Aku sudah
bilang kau tak usah ikut-ikutan ke Kotaraja.
Kini kau lihat sendiri!"
"Tak usah bertengkar terus-terusan, Wiro"
menyahuti murid Empu Tumapel itu.
"Kita harus cepat mencari laki-laki tangan
buntung berbaju biru yang tadi dibawa ke
sini!" Wiro garuk-garuk kepalanya. Dia
memandang ke pintu di bagian belakang
gedung itu dan berpikir-pikir bahaya apa lagi
yang bakal dihadangnya bila dia menaiki
anak tangga dan membuka pintu itu! Dalam
dia berpikir-pikir demikian tiba-tiba dilihatnya
Sekar mengirimkan satu pukulan jarak jauh ke
arah pintu belakang gedung. Angin pukulan
menderu dahsyat dan…
Braak!
Pintu itu pecah berantakan.
Sekar dan Wiro menunggu. Tak ada terjadi
apa-apa.
"Aku tak percaya kalau pintu itu tidak
menyembunyikan rahasia maut!" kata Wiro
Sableng. Dijangkaunya sebuah arca kecil yang
sudah puntung di dekat tangga sebelah
kanan. Arca itu kemudian digelindingkannya
di atas lantai yang menuju ke pintu. Begitu
arca mencapai pintu, lantai di muka pintu itu
terbuka, arca lenyap jatuh ke dalam sebuah
lobang dan lantai kembali menutup!
"Gedung edan!" rutuk Wito Sableng.
"Kau masih punya nyali untuk masuk
kedalamnya?!"
"Mengapa tidak?!" ujar Sekar.
"Aku kagum dengan keberanianmu," puji Wiro
sejujurnya.
"Bersiaplah, kita melompat ke dalam lewat
pintu itu. Kerahkan seluruh ilmu mengentengi
tubuhmu. Lantai di dalam gedung itu bukan
mustahil perangkap semua!" Kedua orang ini
bersiap-siap untuk menerobos pintu yang
sudah bobol. Mendadak pada saat itu pula di
halaman depan terdengar derap kaki kuda.
Keduanya terkejut.
"Mereka kembali!" bisik Sekar. Gadis ini
segera keluarkan senjatanya yaitu besi
berantai yang ujungnya diganduli bola besi
berduri. Inilah senjata "Rantai Petaka Bumi"
yang dahsyat. Wiro berpikir cepat. Dia
mendapat satu akal lalu menggamit dan
berbisik pada Sekar, "Cepat lompat ke atas
genteng!" Si gadis melotot.
"Apa kau tidak punya nyali menghadapi
mereka? Manusiamanusia terkutuk semacam
itu harus dilenyapkan dari muka bumi, Wiro!
Kalau kau takut pergilah sendiri ke loteng
sana!" Wiro menggerendeng.
"Kita belum tahu siapa yang datang itu!
Kalau benar mereka, dari atas genteng kita
bisa mengintai bagaimana mereka masuk ke
dalam gedung!" Sekar hendak mengatakan
sesuatu. Tapi Wiro Sableng sudah membetot
lengannya dan melompat ke atas genteng
bersama-sama!
Keduanya menunggu. Suara kaki-kaki kuda
berhenti sebentar, lalu terdengar lagi
memasuki halaman samping.
"Bukan mereka," desis Wiro dan Sekar
memalingkan kepalanya ke halaman samping.
YANG DATANG ternyata seorang penunggang
kuda berkepala gundul. Sepasang matanya
juling. Hidungnya sangat pesek, hampir sama
rata dengan pipinya yang gembrot. Tangan
dan kakinya sangat pendek sedang tubuhnya
katai sekali. Yang lucunya manusia ini cuma
memakai cawat, kulitnya hitam legam dan
pada ketiak sebelah kirinya terkempit sebilah
bambu berbentuk pikulan!
"Monyet terlepas dari mana ini?!" bisik Wiro
Sableng.
"Dia bukan manusia sembarangan Wiro,"
desis Sekar.
"Kau kenal dia?" tanya Wiro.
"Guruku pernah bilang manusia yang berciri-
ciri macam dia. Melihat pada senjata yang
dikempitnya aku yakin dia mustilah Si Setan
Pikulan!"
"Buset! Apa tidak ada gelaran yang lebih jelek
dari Setan Pikulan itu?!" seringai Wiro.
Penunggang kuda yang datang itu memang
Setan Pikulan. Nama sebenarnya Munding
Sura. Dia hentikan kuda di depan lobang
besar di muka tangga pintu belakang.
Diperhatikannya lobang itu sebentar lalu dia
memandang berkeliling. Diangguk-
anggukannya kepalanya. Kemudian
diperhatikannya pintu belakang yang hancur
sambil mengusap-usap kepalanya yang
botak.
"Tiga Setan Darah!" Setan Pikulan berteriak.
"Apa kalian ada di dalam?!" Suara teriakan
Setan Pikulan kerasnya bukan main,
menggetarkan seantero halaman belakang
gedung tua itu, menggetarkan genteng di
mana Wiro dan Sekar berada.
"Tenaga dalarnnya hebat sekali," bisik Wiro
pada Sekar.
"Ah, rupanya kalian tak ada di rumah!"
terdengar Setan Pikulan berkata. "Sayang
sekali! Sayang sekali! Ada dua orang tamu
dari jauh, tuan rumah tidak ada! Sayang
sekali!"
Wiro dan Sekar sama terkejut dan saling
berpandangan Mereka yakin dua orang tamu
yang dimaksudkan oleh manusia kate itu
pastilah diri mereka sendiri. Belum habis kejut
kedua orang ini di bawah terdengar bentakan
Setan Pikulan.
"Cecunguk-cecunguk yang di atas genteng,
lekas turun! Mataku yang juling tak bisa
ditipu! Ayo turun!" Sekar segera bergerak
hendak melompat turun. Tapi Wiro menarik
bajunya kuningnya.
"Biar aku yang turun," kata murid Eyang Sinto
Gendeng ini. Kemudian murid Eyang Sinto
Gendeng ini dengan cepat melompat turun.
Mata juling Si Setan Pikulan memperhatikan
cara dan gerakan melompat si pemuda dan
juga memperhatikan ketika sepasang kaki
Wiro menginjak tanah. Telinganya yang tajam
sama sekali tiada mendengar sedikit suarapun
dari beradunya kaki dan tanah. Wiro Sableng
menjura sewajarnya dan dengan senyum
ramah dia berkata,
"Kalau aku tak salah, bukankah saat ini aku
berhadapan dengan orang gagah yang dijuluki
Setan Pikulan?" Setan Pikulan menyeringai.
"Rupanya matamu tajam juga orang muda.
Harap beritahu siapa kau."
"Ah…, aku ini seperti yang kau katakan tadi,
cuma cecunguk biasa saja…" jawab Wiro.
"Kenapa sembunyi di atas atap dan kenapa
kawanmu cecunguk yang satu lagi itu tidak
mau turun?!" Wiro tertawa dan berseru, "Sekar,
turunlah." Sewaktu Sekar turun dan berdiri di
samping Wiro Sableng maka menyeringailah
Setan Pikulan.
"Ternyata seorang gadis cantik!" katanya.
Dibasahinya bibirnya dengan ujung lidah
sedang kedua matanya yang juling semakin
juling karena memandang dekat-dekat pada
paras Sekar yang cantik jelita.
"Melihat kepada tindak tandukmu pastilah
kalian datang ke sini bukan dengan maksud
baik. Apa lagi penghuni rumah tidak ada.
Kalian tahu apa yang bakal dilakukan Tiga
Setan Darah jika mereka mengetahui ada
cecungkuk-cecunguk yang sembunyi dan
membuat kerusuhan di rumahnya?"
"Harap jangan salah sangka Setan Pikulan.
Kami ke sini sebetulnya mengejar seorang
pencuri. Tapi dia lenyap entah ke mana…!"
kata Wiro berdusta. Setan Pikulan tertawa
mengekeh.
"Sama aku tak usah bicara dusta! Lekas
terangkan siapa kalian dan apa maksud
kalian ke sini!! Kalian musti tahu bahwa Tiga
Setan Darah adalah kambratku dan aku
berhak turun tangan menghukum kalian bila
kalian ternyata bersalah!"
"Kalau kau kawannya Tiga Setan Darah, tentu
kau juga seorang tokoh Istana!" ujar Wiro.
"Apa aku tokoh Istana atau bukan tak perlu
tanya!." sentak Setan Pikulah.
"Lekas jawab pertanyaanku tadi!"
"Kami cecunguk!" sahut Wiro.
"Kau sendiri tadi sudah bilang!" Marahlah
Setan Pikulan.
"Seharusnya kubetot putus lidahmu, pemuda
hina dina!" hardik Setan Pikulan.
"Tapi dengar… kalau kau mau tinggalkan
gadis cantik ini buatku, aku tak mau bikin
panjang urusan. Aku tak akan laporkan pada
Tiga Setan Darah bahwa kalian telah
mongobrak-abrik rumahnya ini…!" Mendengar
ini Sekar menjadi naik pitam.
"Biar aku betul-betul monyet sekalipun, aku
tidak sudi menjadi mangsa bejatmu!" Setan
Pikulan tertawa. Wiro berpikir sebentar lalu
dengan ilmu menyusupkan suara dia berkata
pada si gadis, "Sekar, aku ada akal. Kita tipu
setan kate ini menunjukkan di mana laki-laki
buntung itu disekap. Kau musti purapura
marah…" Pendekar 212 memandang pada
Setan Pikulan lalu berkata, "Aku akan
tinggalkan gadis ini padamu. Dia memang
tidak berguna. Tapi harus ada imbalannya…!"
"Wiro! Apa kau sudah gila?!" teriak Sekar
pura-pura marah dan melototkan mata. Wiro
tak ambil perduli.
"Bagaimana?" tanyanya pada Setan Pikulan.
"Katakan maumu!."
"Seorang kawanku telah dilarikan oleh Tiga
Setan Darah dan disekap di gedung tua ini.
Aku tak tahu di bagian mana. Gedung ini
penuh senjata senjata rahasia dan perangkap-
perangkap! Kalau kau mau menunjukkan di
mana kawanku itu dan mengeluarkannya dari
sini, gadis tak berguna ini kuserahkan
padamu…!"
"Baik!" Setan Pikulan terima syarat itu. Untuk
kesekian kalinya dibasahinya lagi bibirnya
sebelah barah. Sementara itu Sekar memaki-
maki Wiro Sableng tiada hentinya. Setan
Pikulan melompat dari kudanya.
"Bagaimana aku yakin kalau kalian tidak
menipuku?!" tanya manusia kate berkepala
gundul ini.
"Kau terlalu curiga, Setan Pikulan! Kalau aku
menipumu berarti aku tak bisa
menyelamatkan kawanku yang disekap oleh
Tiga Setan Darah." jawab Wiro Sableng.
"Betul juga," kata Setan Pikulan.
"Tapi untuk benar-benar meyakinkan biar
kulakukan ini dulu…" Dan dengan satu
gerakan cepat luar biasa Setan Pikulan
menusukkan jari telunjuknya ke urat dipangkal
leher Sekar. Saat itu juga tubuh si gadis
menjadi kaku tegang tak bisa bergerak. Wiro
memaki dalam hati.
"Ikut aku!" Setan Pikulan berkata. Lalu
melesat memasuki pintu belakang yang tadi
sudah didobrak dengan pukulan jarak jauh
oleh Sekar.
"Ruangan dalam ini penuh dengan alat dan
senjata rahasia. Perhatikan langkahku!" kata
si kate kepala gundul. Dia melangkah enam
tindak ke kanan. lalu menyusuri tepi dinding
hingga akhirnya sampai dihadapan sebuah
pintu berwarna hitam. Pada tepi pintu itu
terdapat sebuah titik putih besar setengah
kuku jari kelingking. Dengan ujung jarinya
Setan Pikulan menunjuk.
"Cepat masuk!" teriak Setan Pikulan. Wiro
Sableng melompat masuk ke dalam kamar itu.
Begitu masuk begitu pintu di belakangnya
menutup kembali. Manusia kate itu berpaling
pada Wiro.
"Kau lihat pintu dinding sana?" Wiro
mengangguk.
"Kalau kau melangkah sepanjang lantai ini ke
sana, kau akan kejeblos masuk ke dalam
liang batu! Kita harus bergerak sepanjang tepi
dinding sebelah kiri! Mari…" Sambil menyusuri
lantai di tepi dinding sebelah kiri Wiro
Sableng bertanya,
"Mengapa Tiga Setan Darah memasang
demikian banyak alat dan senjata rahasia
serta perangkap di gedung tua ini?!"
"Itu tak perlu kau tanyakan. Bukan
urusanmu!" sahut Setan Pikulan. Setan
Pikulan membuka pintu dihadapannya. Kamar
kedua itu kosong lagi. Dan dinding sebelah
muka mereka kelihatan sebuah pintu lain.
"Kali ini kita musti menyusuri tepi lantai di
samping kanan," kata Setan Pikulan. Wiro
mengikuti tanpa banyak bicara. Kamar ketiga,
keempat dan kelima dalam gedung itu kosong
semua.
"Mungkin sekali kawanmu itu disekap di ruang
batu karang di bawah tanah!" kata Setan
Pikulan.
"Apakah kau tahu tempat itu?" tanya Wiro
Sableng. Si kate merenung sejenak.
"Ikuti aku," katanya. Mereka ke luar dari
kamar nomer lima itu. Di kamar nomer enam
mereka berhenti. Setan Pikulan meneliti lantai
kamar dengan sepasang matanya yang juling.
Kemudian dia mendangak ke atas. Pada
langit-langit kamar kelihatan tergantung
sebuah kawat yang ujungnya diganduli lampu
minyak yang besar sekali. Setan Pikulan
melompat ke atas dan menarik kawat itu satu
kali. Aneh sekali tiba tiba lantai di samping
kanan ruangan membuka dan sebuah tangga
batu kelihatan. Keduanya melangkah ke tepi
liang itu. Ruang di bawah sana agak gelap
hanya diterangi oleh sebuah pelita. Samar-
samar Wiro Sableng melihat sesosok tubuh
menggeletak di lantai ruangan. Pakaiannya
tak kelihatan apa warnanya tapi tangan
kirinya buntung.
"Itu kawanmu?" tanya Setan Pikulan. nBetul."
"Lekaslah turun, sebelum Tiga Setan Darah
kembali ke sini kita musti tedah meninggalkan
tempat ini!" Tanpa pikir panjang Wiro Sableng
segera menuruni anak tangga. Begitu dia
menginjakkan kaki di lantai ruangan batu
karang dia terkejut sewaktu di atas
didengarnya suara tertawa bergelak Setan
Pikulan.
"Manusia tolol geblek! Aku tahu kau mau
menipu! Sekarang kau sendiri yang masuk
perangkap! Kau akan mampus di ruang batu
karang itu! Mayatmu akan busuk!"
"Bedebah keparat!" teriak Wiro. Dia melompat
kembali ke atas. Tapi secepat kilat Setan
Pikulan melesat ke udara, menarik kawat
gantungan lampu dan dengan serta merta
lantai di ruangan itu tertutup kembali!
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 masuk
perangkap sudah!
SETAN PIKULAN melesat dari pintu menuju ke
halaman belakang gedung. Ketika dia
melangkah kehadapan Sekar, gadis ini yang
tubuhnya masih kaku tegang karena ditotok
segera bertanya, "Mana kawanku?" Munding
Sura alias Setan Pikulan tertawa buruk.
"Kalian kira aku ini kambing tolol yang bisa
ditipu mentah-mentah?" ujarnya. Dia berdiri
dekat-dekat dihadapan Sekar. Kepalanya
cuma sampai kepinggang gadis itu.
"Dengar gadis molek," kata Setan Pilarlan
seraya usap perut Sekar dengan tangan
kirinya.
"Manusia kurang ajar!" maki Sekar.
"Lepaskan totokanku, cepat!" Setan Pikulan
tertawa gelak-gelak.
"Gadis molek, siapa-siapa manusia yang
berani menipuku pasti kukirim ke akherat!
Kawanmu telah kujebloskan ke dalam ruang
batu karang…!" Setan Pikulan tertawa lagi.
Sekar kaget bukan main mendengar
keterangan ini. Dia tahu sendiri bahwa Wiro
Sableng bukan pemuda sembarangan. Ilmu
Silat dan kesaktiannya tinggi sekali. Dia
bahkan telah menyaksikan kehebatan pemuda
itu di Biara Pensuci Jagat sewaktu bertempur
melawan Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga,
tapi kenapa kini dia bisa terjebak dan masuk
ke dalam perangkap ruang batu? Apakah ilmu
Setan Pikulan jauh tebih tinggi dari Wiro?
Atau mungkin manusia kate bermuka buruk ini
telah membokong dan menipu Wiro secara
pengecut?
"Terhadapmu gadis molek…," berkata lagi si
kate kepala gundul, dia berjingkat dan
mengulurkan tangannya mengelus dagu Sekar.
Gadis ini memaki habis-habisan. Setan
Pikulan tertawa bergelak. Dan akhirnya Sekar
meludahi muka manusia buruk itu.
"Sompret kau!" bentak Setan Pikulan. Tapi dia
tidak sebenarbenarnya marah. Dengan
tertawa-tawa ditariknya ujung baju kuning
Sekar dan disekanya mukanya yang disembur
ludah itu.
"Kalau kau tidak secantik ini pasti sudah
kuremas hancur kau punya, muka! Kau
kuampuni tapi musti ikut ketempatku! Untuk
selanjutnya kau akan jadi perempuan
peliharaanku!"
"Bedebah keparat. Lekas lepaskan totokanku
kalau tidak kelak jiwamu tak akan kuampuni!"
Setan Pikulan tertawa gelak-gelak.
"Kau galak sekali. Aku mau lihat apakah di
tempat tidur kau juga akan segalak ini…. He…
he…he…?!" Sekar memaki dan meludahi lagi
muka laki-laki kate itu. Setan Pikulan tak
menunggu lebih lama. Dilakukannya lagi satu
totokan yang membuat mulut Sekar menjadi
bungkam bisu tak bisa mengeluarkan suara
lagi! Kemudian secepat kilat manusia kate itu
meraih pinggang Sekar, melompat ke atas
kudanya dan meninggalkan tempat itu.
SEMENTARA itu di ruang batu karang di
bawah gedung kediaman Tiga Setan Darah….
Begitu Wiro Sableng melompat dan sampai di
anak tangga teratas, lantai di atasnya
tertutup dengan cepat! Pendekar ini memaki
habis-habisan. Diterjangnya lantai di atas
tangga itu dengan satu tendangan keras yang
disertai aliran tenaga dalam. Jangarrkan
bobol, berbekaspun tendangannya itu tidak!
Penasaran sekali Wiro Sableng alirkan
separoh dari tenaga dalamnya ke kaki dan
untuk kedua kalinya dia menendang lagi.
Lantai karang yang merupakan langit-langit
ruang batu itu keras dan atosnya bukan olah-
olah. Tendangan Wiro Sableng hanya senggup
membuat langit-langit itu tergetar sedikit
saja!
"Sialan!" gerutu Pendekar 212. Kini seluruh
tenaga dalamnya dialirkan ke kaki. Dengan
bentakan dahsyat pendekar ini menendang ke
atas. Ruang batu itu bergoncang! Tapi bagian
yang ditendang tidak mengalami perobahan
sedikitpun! Wiro menghela nafas dalam.
Keringat dingin mengucur dikeningnya. Penuh
penasaran pemuda ini salurkan seluruh tenaga
dalamnya ke tangan kanan sampai tangan itu
tergetar. Kedua kakinya merenggang. Dalam
keadaan seperti itu, bila dia berdiri di tanah
pastilah kedua kakinya akan melesak sedalam
lima atau sepuluh senti. Tapi di atas lantai
karang yang atos itu, hal itu tidak terjadi.
Perlahan-lahan jari-jari tangan pendekar 212
menekuk membentuk tinju.
"Ciaaat!" Didahului dengan bentakan
menggeledek itu Wiro Sableng pukulkan
tangan kanannya ke atas. Jari-jari yang
terkepal membuka. Satu gumpalan angin
keras laksana batu besar bergulung-gulung
dan melesat menghantam bagian atas
ruangan batu didekat kepala tangga! Inilah
pukulan kunyuk melempar buah! Ruang batu
itu bergoncang dahsyat. Angin pukulan
memantul kembali, memadamkan pelita yang
terletak di lantai. Dan ruangan batu kurang itu
dengan serta merta menjadi gelap gulita.
Tangan di depan matapun tak kelihatan ! Wira
Sableng menggerendeng, memaki diri sendiri,
memaki akan ketololannya sendiri.
Seharusnya dia memperhitungkan bahwa
pukulannya itu tadi akan dapat memadamkan
pelita di ruang batu itu. Dia berpikir-pikir
untuk melepaskan pukan sinat matahari. Tapi
Wiro khawatir kalau-kalau pukulannya itu
juga tidak mempan dan akan membalik
menghantam dirinya sendiri serta manusia
yang menggeletak di ruangan itu! Sejak
masuk ke dalam ruang batu karang itu baru
Wiro ingat pada laki-laki bertangan buntung
yang tadi hendak ditolongnya. Wiro
melangkah perlahan-lahan sampai akhirnya
kedua kakinya menyentuh tubuh laki-laki itu.
Dia berlutut. Digoyang-goyangnya tubuh laki-
laki itu. Tiada suara. Tubuh itu basah oleh
keringat dan gelimangan darah. Wiro
meletakkan telapak tangan kanannya di dada
laki-laki itu. Lama sekali baru dia berhasil
merasakan degupan jantung yang sangat
halus dan pelahan! Ternyata manusia itu
masih hidup. Dengan cepat Wiro Sableng
salurkan tenaga dalamnya melalui dada dan
pergelangan tangan kanan laki-laki itu.
Seperempat jam berlalu. Masih tak ada reaksi
apa-apa. Mungkin manusia itu tak ada
harapan lagi untuk diselamatkan jiwanya,
pikir Wiro. Tubuhnya sudah keringatan.
Mengerahkan tenaga dalam selama
seperempat jam tanpa terputus-putus
merupakan hal yang sangat berat, kurang
hati-hati salah-salah bisa membuat diri
sendiri menjadi rusak di dalam! Ketika
sepeminuman teh lewat maka baru terasa
laki-laki itu memberikan reaksi. Tubuhnya
bergerak sedikit. Kemudian terdengar suara
erangannya. Erangan yang hampir tak
kedengaran. Wiro kerahkan lagi tenaga
dalamnya sampai tubuhnya menjadi lemas.
Dia tersandar kedinding dan mengatur jalan
nafas serta darahnya. Kemudian telinganya
mendengar erangan laki-laki itu lebih keras.
Erangan kesakitan yang mengeriken!
"Di mana aku?" lapat-lapat Wiro mendengar
laki-laki itu bertanya.
"Sobat, kau sudah siuman?"
"Kau siapa…?" desis laki-laki itu.
"Apa kau bisa membuka matamu?"
"Ya, sedikit. Tapi semua gelap sekali!"
"Ya, ruangan ini memang gelap. Ruang batu
karang yang tak beda dengan liang kubur!
Kita sama-sama bernasib sial! Disekap di
tempat terkutuk ini…"
"Kenapa kita bisa disekap di sini….. Siapa
yang menjebloskan kita…?"
"Ya. Namaku Pranajaya…"
"Meski kau terkurung di sini, nasibmu
sebenarnya masih untung Prana," kata Wiro.
Pranajaya menghela nafas dalam.
"Kau kuat sekali. Kurasa jarang ada manusia
yang sanggup bertahan dan masih hidup
diseret dengsn kuda seperti kau."
"Aku… aku diseret dengan kuda…?" tanya
Prana.
"Ya. Sudahlah, sebaiknya kau duduk bersila.
Atur jalan nafas, aliran darah dan tenaga
dalammu…" "Tidak mungkin…," desis Prana.
"Seluruh tubuhku tidak punya tenaga
sedikitpun. Tulang-tulangku serasa remuk!"
"Kau begitu berbaring sajalah sementara aku
mencari akal bagaimana kita bisa ke luar dari
tempat terkutuk ini!" kata Pendekar 212.
"Kau masih belum menerangkan namamu,"
ujar Pranajaya.
"Panggil aku Wiro….."
"Kau juga seorang dari dunia persilatan?"
"Sudah, aku bilang berbaring sajalah," potong
Wiro.
"Aku musti berpikir. Kita musti ke luar dari
tempat celaka ini!" Pranajaya menutup
mulutnya. Sekujur tubuhnya sakit tiada
terkirakan. Sedikit demi sedikit dalam
keadaan berbaring itu dicobanya mengatur
jalan nafas, darah dan tenaga dalamnya.
"Plaak!"
Wiro memukul keningnya sendiri. Tangan
kanannya mengeruk saku pakaiannya. Dari
dalam saku ini diambilnya sebuah kantong
kecil berisi beberapa buah pil. Diambilnya
sebutir
"Aku sampai lupa Prana, ngangakan mulutmu.
Telan obat ini. Seperempat jam mungkin kau
bisa lebih kuatan……" Dalam gelap itu
Pranajaya mengangakan mulutnya dan Wiro
mencari-cari dengan tangannya mulut
pemuda itu. Bila bertemu maka
dimasukkannya pil itu ke dalam mulut
Pranajaya.
Beberapa menit kemudian……
"Rasa sakitku agak berkurang…" kata Prana
pelahan.
"Syukur……"
"Saudara Wiro bagaimana…" Pranajaya tidak
meneruskan pertanyaannya. Di dalam gelap
itu dirasakannya Wiro berdiri. Kemudian
tubuhnya didukung den dibawa ke salah satu
sudut ruangan.
"Apa yang hendak kau lakukan?" tanya
Pranajaya. Wiro tak menjawab. Dia
melangkah ke tengah ruangan kembali. Dari
balik pakaiannya dikeluarkannya sebuah batu
hitam yang bertuliskan angka 212 serta
Kapak Maut Naga Geni 212. Senjata sakti ini
memancarkan sinar yang menerangi ruang
batu itu. Meski tidak cukup terang tapi Wiro
dapat melihat di mana pelita yang tadi padam
terletak. Mata kapak dan batu hitam diadu
satu sama lain. Lidah api menyembur ke arah
pelita dan pelita itupun menyala kembali.
Ruang batu karang menjadi terang benderang.
Kini kedua manusia itu baru bisa meneliti
paras dan diri masing-masing. Paras
Pranajaya mengerikan untuk dipandang. Kulit
mukanya hampir keseluruhannya mengelupas,
demikian juga kulit sekujur badannya. Salah
satu telinganya hampir sumplung, hidung
lecet. Pakaian robek-robek. Kulit kepala ada
yang mengelupas dan darah, keringat serta
debu membungkus tubuh Pranajaya mulai
dari ujung rambut sampai ke kaki! Pendekar
212 kertakkan rahang menahan hatinya yang
seperti terbakar melihat keadaan tubuh laki-
laki bertangan buntung itu. Kesalahan apakah
yang telah dibuatnya sampai disiksa demikian
biadabnya? Wiro tak mau berpikir lebih lama.
Saat itu yang musti dilakukan ialah mencari
jalan ke luar. Dengan Kapak Naga Geni 212
ditangan Wiro Sableng melangkah menuju ke
tangan batu paling atass. Dia memandang
pada Pranajaya dan berkata, "Kalau senjataku
ini tiada sanggup menghancurkan langit-
langit ruangan batu karang ini berarti kita
akan mampus di sini sobat." Pranajaya tak
berkata apa-apa. Hatinya kecut, dan sedingin
es. Wiro mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Kapak Naga Geni di putar-putar di
atas kepala. Senjata itu mengeluarkan angin
yang deras dan suara mengaung laksana deru
ribuan tawon. Angin senjata membuat api
pelita mati lagi. Pada saat itu terdengar
bentakan menggeledek dan di saat yang
bersamaan pula terdengar suara
"buumm!"
Ruang batu bergoncang keras. Wiro
terhuyung-huyung, tubuhnya dihujani oleh
guguran dan puing-puing batu karang.
Pranajaya terpelantihp dan terhampar di
lantai ruang betu. Ketika Wiro memandang ke
atas dia berseru girang, "Prana, kita berhasil!"
Ternyata batu karang tebal yang atos keras
yang menjadi atap ruang batu itu tiada
sanggup menghadapi Kapak Naga Geni 212.
Sekali Wiro menghantamkan senjata
pemberian gurunya itu maka hancur leburlah
atap batu karang. Lobang baser terbuka tepat
di atas anak tangga paling atas. Pendekar
212 memasukkan kapaknya ke balik pinggang
kemudian turun ke bawah kembali,
mendukung tubuh Pranajaya dan
mepinggalkan ruangan batu karang itu
dengan cepat. Tapi sewaktu mereka sampai di
halaman belakang, seorang penunggang kuda
bermuka merah, berambut dan berjubah merah
tahu-tahu muncul menghadang mereka. Setan
Darah Pertama!
PADA WAKTU Setan Pikulan keluar dari
pekarangan gedung tua membawa lari Sekar,
maka di ujung jalan di belakangnya tiga
penunggang kuda muncul. Mereka bukan lain
Tiga Setan Darah yang baru saja kembali dari
luar Kotaraja.
"Hai, kalau aku tak salah lihat itu si kepala
gundul Setan Pikulan!" seru Setan Darah
Pertama.
"Betul!" menyahut Setan Darah Kedua.
"Dia memboyong perempuan dan keluar dari
rumah kita! Apa yang telah terjadi?!" Tiga
Setan Darah sama memacu kuda masing-
masing lebih cepat namun Setan Pikulan
sudah lenyap dari pemandangan mereka
sewaktu ketiganya sampai di depan pintu
halaman gedung tua.
"Kalian berdua kejar manusia itu," perintah
Setan Darah Pertama.
"Aku akan menyelidiki tempat kita. Pasti
terjadi apaapa yang tak diingini!" Setan Darah
Kedua dan Ketiga segera meninggalkan
tempat itu sedang Setan Darah Pertama
dengan cepat memasuki halaman gedung
kediamannya. Apa yang disangkakannya
ternyata betul! Pintu samping ditemuinya
melompong bobol. Belasan senjata rahasia
berbentuk panah bertebaran di tanah dan
beberapa lainnya menancap di batang pohon
Setan Darah Pertama memaki dalam hati.
"Apa ini si kate kepala gundul itu yang
melakukannya?" manusia bermuka merah ini
membathin.
"Kalau betul kelak aku akan kasih pelajaran
pada manusia keparat itu!" Dilewatinya pintu
yang telah bobol itu dan ketika sampai di
halaman belakang kekagetannya bertambah-
tambah sewaktu menyaksikan tanah dari anak
tangga sebelah bawah pintu belakang hancur
berantakan sedang pintu belakang itu sendiri
juga bobol pecah!
"Setan alas! Setan alas!" maki manusia muka
merah itu. Dia memandang berkeliling dan
merasa heran karena dia tidak melihat arca
yang seharusnya berada di halaman itu! Siapa
yang melakukan ini semuanya? Apa yang
sebenarnya telah terjadi. Dan Setan Pikulan
yang tadi dilihatnya ke luar dari pintu
halaman, memboyong seorang perempuan?!
Sudut mata Setan Darah Pertama menangkap
satu gerakan. Cepat-cepat dia palingkan
kepala. Sepasang mata Setan Darah Pertama
melotot. Dihadapannya berdiri seorang
pemuda berambut gondrong, berpakaian
putih-putih. Dia tidak kenal dengan pemuda
ini. Yang membuat Setan Darah Pertama
begitu terkejut ialah karena pemuda ini
memanggul Pranajaya yang sebelumnya telah
disekapnya dalam ruang batu karang! Setan
Darah Pertama berpikir cepat. Jika si pemuda
asing ini adalah kawan Pranajaya dan
menolong Prana keluar dari ruang batu
karang, pastilah dia yang telah
menghancurkan pintu samping dan pintu
belakang gedung kediamannya. Dan di dalam
gedung pasti pula dia telah membuat
kerusakan yang lebih hebat lagi. Lantas, apa
pula hubungan Setan Pikulan yang tadi
dilihatnya ke luar dari halaman gedung
dengan memboyong seorang perempuan?!
Setan Darah Pertama jadi bingung sendiri!
Matanya menatap tajam. Kalau betul pemuda
belia ini yang telah membebaskan Pranajaya
dari dalam ruang batu maka ini adalah hal
yang sangat tak bisa dipercaya oleh Setan
Darah Pertama. Untuk masuk ke dalam
gedung tua saja seseorang harus melalui
rintangan-rintangan senjata rahasia yang
bisa membawa maut! Kalaupun dia sanggup
masuk ke dalam, belum tentu dia tahu rahasia
bagaimana membuka pintu ruang batu
karang. Mungkin dia mempergunakan ilmu
kesaktian dan membobolkan pintu ruang
batu? Selama bertahun-tahun tak ada satu
kekuatanpun yang sanggup mendobrak pintu
ruang batu karang itu. Apalagi manusia muda
bertampang dogol seperti yang saat itu berdiri
memanggul tubuh Pranajaya dihadapannya.
Di lain pihak Pendekar 212 Wiro Sableng
memandang pula tepat-tepat kepada Setan
Darah Pertama. Dia ingat manusia inilah yang
telah menyeret Pranajaya tadi sepanjang
jalan. Dia tenangtenang saja dan tidak perlu
terkejut melihat si muka merah ini. Cuma
yang diam-diam membuat dia khawatir ialah
karena saat itu dia sama sekali tidak melihat
Sekar! Tak ada dugaan lain selain bahwa
gadis itu pasti sudah dilarikan oleh si kate
Setan Pikulan!
"Pemuda asing, siapa kau?!" bentak Setan
Darah Pertama dengan suara menggeledek.
Sekaligus dia hendak menunjukkan bahwa dia
bukan manusia sembarangan. Wiro Sableng
cengar cengir seenaknya.
"Jangan cengar cengir tak karuan! Cepat
beritahu siapa kau dan mengapa nyalinu
begitu besar membuat keonaran di sini?!"
"Wiro….," Pranajaya berbisik.
"Manusia muka kepiting rebus ini adalah
musuh besarku! Salah satu dari Tiga Setan
Darah…." Wiro tertawa mendengar ucapan
"kepiting rebus" itu.
"Setan alas!" sentak Setan Darah Pertama.
"Kau kira kau berhadapan dengan siapakah
berani tertawa seenak perutmu?!"
"Masakah orang tertawa saja tidak boleh!"
sahut Wiro Ssbleng. Darah Setan Darah
Pertama naik ke kepala
"Kalau kau masih bicara bertele, nyawamu
akan kukirim menghadap setan neraka!"
ancam Setan Darah Pertama dan tangan
kanannya dinaikkan ke atas, siap untuk
melancarkan satu pukulan tangan kosong!
"Sabar… sabar sobat!" kata Wiro.
"aku adalah kawan pemuda ini. Sebagai
kawan, sepantasnya aku menolong bila dia
mendapat kesukaran…. Bukan begitu Tiga
Setan Darah?!"
"Hemm… manusia buruk macammu rupanya
sudah tahu juga berhadapan dengan siapa
saat ini!" ujar Setan Darah Pertama.
"Karena kau kawan pemuda itu, terpaksa
kalian berdua kuseret kembali ke ruang batu
karang!"
Habis berkata demikian Setan Darah Pertama
lentingkan kelima jarinya ke muka. Lima larik
sinar merah menyambar ke arah lima bagian
tubuh Wiro Sableng! Inilah ilmu totokan jarak
jauh bernama totokan lima jari yang sangat
lihai sekali! Pendekar 212 Wiro Sableng
keluarkan suara bersiul. Sekali melompat ke
samping, lima sinar totokan itu dapat
dihindarkannya sekaligus! Ini membuat Setan
Darah Pertama menjadi gusar.
"Punya sedikit ilmu saja hendak diandalkan!"
ejeknya.
"Aku mau lihat sampai di mana
kedikjayaanmu bocah konyol!." Serentak
dengan itu Setan Darah Pertama melompat
dari kudanya.
"Silahkan turunkan dulu kunyuk dibahumu
itul" kata Setan Darah Pertama.
"Tiga Setan Darah, meski kau seorang bejat
yang sebenarnya tidak pantas hidup di dunia
ini, tapi aku tak punya permusuhan
denganmu. Harap minggir beri jalan….!"
"Kentut bapak moyangmu!" teriak Setan Darah
Pertama.
"Lekas turunkan pemuda itu, dalam satu jurus
nyawamu pasti akan minggat dari badan!"
Sebenarnya Wiro bukan tak mau baku hantam
dengan manusia terkutuk ini, tapi karena dia
mengkhawatirkan keselamatan Sekar dan
musti mencari gadis itu maka sekali ini
diusahakannya untuk menghindari
pertempuran. Tapi agaknya si muka kepiting
rebus tak memberi kesempatan terhadapnya.
Dan ini membuat murid Eyang Sinto Gendeng
itu mulai luntur pula kesabarannya.
"Iblis muka merah!" bentak Wiro Sableng.
"Untuk menghadapi kau kenapa musti susah-
susah turunkan tubuh kawanku ini segala?"
Mendidihlah darah Setan Darah Pertama.
Seumur hidupnya tak pernah dia mendapat
hinaan demikian.
"Kalau begitu kalian akan mampus sama-
sama!" teriaknya lantang.
Setan Darah Pertama kebutkan kedua lengan
jubahnya. Dua angiri merah yang amat
dahsyat menderu ke arah Wiro Sableng.
Dalam jarak dua tombak saja panasnya sudah
memerihkan kulit.
"Awas Wiro, pukulan itu beracun!" membisik
Pranajaya. Lalu tambahnya
"Manusia ini bukan sembarangan, ilmunya
tinggi. Lebih baik kau sandarkan aku ke pohon
sana….!"
"Ah, tak usah khawatir sobat..," jawab Wiro.
Satu tombak dua larikan sinar merah itu
menyambar kearahnya dengan membentak
nyaring Pendekar 212 berkelebat. Tubuhnya
lenyap dari hadapan Setan Darah Pertama.
Kaget Setan Darah Pertama bukan main-
main. Tak tahu dia gerakan kilat apa yang
dipergunakan oleh si pemuda lawannya
hingga lebih cepat dari kejapan mata pemuda
itu sudah lenyap dari pemandangannya.
Cepat-cepat dia membalik. Wiro dan Prana
dilihatnya sudah berada di pintu samping.
"Kau mau lari ke mana bedebah?!" bentak
Setan Darah Pertama dan memburu dengan
cepat seraya lancarkan satu jotosan jarak
jauh yang hebat. Serangan ini membuat murid
Eyang Sinto Gendeng melompat ke samping
lalu membalik.
"Iblis muka merah, kali ini aku tidak ada
waktu untuk melayanimu. Kelak di lain hari
kita bakal berhadapan kembali!"
"Cuma nyawamu yang bisa pergi dari sini
keparat!" teriak Setan Darah Pertama. Dia
memburu lagi. Tapi langkahnya terhenti. Wiro
telah melepaskan satu pukulan yang
mendatangkan angin yang amat hebat,
membuat pasir di halaman itu menggebu
laksana kabut tebal menderu ke arah Setan
Darah Pertama membuat pemandangannya
tertutup. Ketika dia menerobos kabut pasir itu
dengan cepat, Wiro Sableng dan Pranajaya
sudah lenyap! Setan Darah Pertama
menyumpah habis-habisan. Orang-orang yang
berada di tengah jalan cepat-cepat
menghindar ke tepi sewaktu Setan Pikulan
memacu kudanya dengan kecepatan yang luar
biasa. Debu beterbangan di belakang diterpa
oleh keempat kaki kuda tunggangan manusia
bertubuh kate itu. Seorang pejaian kaki
berkata pada kawannye di tepi jalan.
"Lihat, si kate kepala gundul itu membawa
seorang perempuan lagi!"
"Ya, parasnya cantik sekali!" Sahut kawannya.
Diangkatnya bahunya lala berkata lagi,
"Manusia dajal itu rupa-rupanya tak pernah
bosan dengan perempuan. Di gedungnya
sudah belasan perempuan yang jadi
peliharaannya! Kini satu lagi bakal menjadi
korban kebejatan nafsunya. Kasihan
perempuan itu…"
"Aku sangat menyesalkan Baginda. Beliau…"
Laki-laki itu tak meneruskan kata-katanya
karena di belakangnya terdengar derap kaki-
kaki kuda. Keduanya berpaling.
"Ini lagi…," kata laki-laki tadi pelahan.
"Bergundal-bergundal Baginda. Mereka tidak
ada beda dengan Si Setan Pikulan!" Dua
penunggang kuda itu berlalu dengan cepat.
Mereka bukan lain dari Setan Darah Kedua
dan Ketiga yang tengah mengejar Setan
Pikulan! Di sebuah gedung kecil di pinggiran
Kotaraja, Munding Sura alias Setan Pikulan
menghentikan kudanya.
"Ah, manisku. Kita sudah sampai!" katanya
seraya mendukung Sekar dan melompat dari
kudanya. Di ruang dalam tiga orang
perempuan muda yang cantik-cantik tengah
duduk berbicara Mereka adalah sebagian dari
peliharaanpeliharaan Setan Pikulan. Ketiganya
memandang pada Setan Pikulan dan
perempuan yang ada dalam dukungannya.
Mereka tak berkata dan tak berbuat apa-apa
selain hanya memandang. Dan di dalam hati
masing-masing, mereka sudah tahu apa yang
bakal dialami parempuan yang dibawa Setan
Pikulan itu ketika mereka melihat laki-laki itu
melangkah menuju ke kamar di ujung
ruangan! Kemudian pintu kamar itupun
tertutuplah.
Di dalam kamar…….
Setan Pikulan menutupkan pintu dengan tumit
kakinya. Dengan tertawa mengekeh-ngekeh
manusia ini membaringkan Sekar di atas
tempat tidur. Kemudian dia melangkah ke
meja dan meneguk tuak dari dalam sebuah
kendi. Minuman keras ini dengan serta merta
menghangati tubuh dan menambah gelora
nafsu terkutuk Setan Pikulan. Dengan
memegang kendi itu di tangan dia melangkah
kembali ke tempat tidur dan duduk di samping
Sekar.
"Ah, parasmu yang cantik basah oleh keringat
dan debu. Biar aku bersihkan…. kata Setan
Pikulan. Lalu dengan tangan kirinya
diusapnya kening serta pipi Sekar. Gadis ini
memaki dalam hati. Hanya itu, yang bisa
dilakukannya. Dia tak bisa membuka mulut
ataupun menggerakkan anggota badannya
karena telah ditotok. Cuma mimik mukanya
yang menyatakan demikian. Setan Pikulan
meneguk tuaknya kembali.
"Eh, kau tentu haus" Setan Pikulan
mengedipkan matanya beberapa kali. Lalu
dibukanya totokan pada tubuh Sekar. Gadis
itu kini bisa bicara dan mendengar tapi
tubuhnya tetap kaku tak bisa digerakkan.
"Ini, minumlah, kau tentu haus manisku!"
"Manusia biadab! Lepaskan totokanku!
Keluarkan aku dari sini!" teriak Sekar.
"Kau masih saja galak," desis Setan Pikulan
dan mencubit dagu Sekar.
"Ini minum!," katanya. Bibir kendi
didekatkannya ke bibir gadis itu. Sekar
mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tapi
kemudian dia mendapat akal. Dibukanya
mulutnya sedikit. Tuak di dalam kendi itu
diteguknya dua kali. Setan Pikulan tertawa
gembira. Tapi tiba-tiba ! Tuak yang sudah
diteguk tadi tiba-tiba disemburkan kembali
oleh Sekar dan karena tidak diduga sama
sekali oleh Setan Pikulan, laki-laki,ini tak
sempat lagi menghindar! Dia berteriak
kesakitan dan melemparkan kendi di
tangannya ke dinding. Kendi pecah
berantakan isinya membasahi lantai! Untung
saja Sekar dalam keadaan ditotok sehingga
dia tak bisa mengalirkan darah dan tenaga
dalamnya! Jika saja semburan tuak tadi
disertai dengan aliran tenaga dalam niscaya
hancur dan butalah mata Setan Pikulan.
Namun demikian semburan tadi sudah cukup
membuat matanya sakit sekali dan untuk
beberapa saat lamanya tak bisa membuka
kedua matanya itu! Sambil mengeringi
mukanya yang basah dan mengucakngucak
kedua matanya Setan Pikulan memaki habis-
habisan!
"Gadis gila! Kalau kau tidak sekurang ajar itu
terhadapku pasti aku akan perlakukan kau
baik-baik. Tapi kini kau akan rasakan
sendiri !" Setan Pikulan mengucak lagi kedua
matanya. Pemandangannya sudah terang kini.
Kedua matanya yang juling memandang
dengan berapi-api. Tiba-tiba
dibungkukkannya kepalanya. Maka habislah
seluruh tubuh Sekar diciuminya. Gadis itu
menjerit tiada henti.
"Menjeritlah sampai lidahmu copot!" kata
Setan P,kulan dengan tertawa mengekeh.
Ciumannya datang lagi bertubi-tubi.
Kemudian bukan hanya ciuman saja lagi.
Sepasang tangan manusia kate ini membuat
dua kali gerakan.
"Breet!"
"Breet!"
Pakaian kuning yang dikenakan Sekar robek
besar. Dadanya tersingkap lebar!
"Dadamu bagus dan putih sekali!" seru Setan
Pikulan seperti gila. Dan kemudian betul-betul
macam orang gila muka dan bibirnya
melumasi dada Sekar yang sampai saat itu
masih menjerit-jerit. Sekar menjerit lagi lebih
keras sewaktu sepasang tangan Setan Pikulan
menggerayang meremasi dadanya !
"Braak !"
Pintu kamar terpentang lebar. Salah satu
papannya pecah! Kaget Setan Pikulan bukan
olah-olah! Sebelum dia berpaling, dari pintu
sudah membentak satu suara .
"Munding Sura! Hentikan perbuatan kotormu
itu!"
BEGITU berpaling begitu Setan Pikulan alias
Munding Sura hendak mendamprat marah.
Tapi sewaktu melihat siapa yang berdiri
dihadapannya dia hanya mengeluarkan suara
menggerendeng. Di belakang laki-laki yang
masuk ke dalam kamar itu masih ada seorang
lainnya. Setan Pikulan bangkit dari tempat
tidur.
"Kalau tidak memandang kepada nama besar
serta hubungan kita sesama tokoh-tokoh
pembantu Baginda, pasti aku sudah tendang
kau ke luar dari kamar ini Setan Darah
Kedua!" Setan Darah Kedua tertawa
bergumam. Dia rangkapkan tangan di muka
dada sementara kawannya melangkah ke
sampingnya. Sepasang mata Setan Darah
Kedua menatap tubuh yang tergeletak di atas
tempat tidur. Hatinya terkesiap juga
memandangi paras cantik dengan tubuh
dalam keadaan setengah telanjang itu! Seperti
Setan Pikulan, diapun seorang yang suka
perempuan!
"Setan Darah, lekas katakan apa maksud
kedatangan kalian !"
"Sewaktu memasuki ujung jalan kau kelihatan
ke luar dari tempat kediaman kami membawa
perempuan itu!" kata Setan Darah Kedua.
Kepalanya digoyangkannya sedikit ke arah
Sekar.
"Ada perlu apa kau ke tempat kami dan siapa
ini perempuan?!"
"Siapa ini perempuan bukan urusanmu!"
jawab Setar Pikulan.
"Kalau kau memandang mukaku, aku juga
matih mau memandang muka padamu, Setan
Pikulan," kata Setan Darah Kedua.
"Kuharap kau tak usah bicara kasar!" Setan
Darah Kedua tertawa dingin. Setan Darah
Ketiga buka mulut,
"Melihat caramu ke luar dari gedung kami dan
melarikan perempuan ini jelas sudah kau
membuat apa-spa yang tak diingini d tempat
kami!" Setan Pikulan meludah ke lantai.
"Aku ke sana sebetulnya untuk menyambangi
kalian…"
"Itu satu kehormatan." memotong Setan
Darah Kedua dengan nada sinis.
"Kalian tidak ada. Pintu samping kutemui
dalam keadaan hancur. Senjata-senjata
rahasia bertancapan di pohon dan bertebaran
di tanah. Halaman belakang kacau balau dan
pintu belakang gedung kalian juga , kutemui
dalam keadaan terpentang bobol…."
"Hemmm…," gumam Setan Darah Ketiga.
"Siapa yang melakukannya?!"
"Mana aku tahu!" sahut Setan Pikulan.
"Jangan dusta Munding Sura!" sentak Setan
Darah Kedua.
"Hanya beberapa orang saja yang tahu
rahasia masuk ke gedung itu, diantaranya
kau!"
"Jadi kau menuduh aku membuat kerusakan
di gedung itu?"
"Aku tanya siapa yang melakukan, bukan
menuduh!" sahut Setan Darah Kedua ketus.
"Aku sudah bilang tidak tahu! Dan sekali
tidak tahu, tetap tidak tahu. Sekarang
silahkan angkat kaki dari sini!"
"Baik Munding Sura. Tapi ingat…" ujar Setan
Darah Ketiga.
"Bila nanti terbukti kau berbuat…"
"Tak usah mengancam sompret!" maki Setan
Pikulan. Setan Darah Ketiga melangkah maju.
Setan Darah Kedua menarik lengan jubahnya
dan berkata pada Setan Pikulan, "Sekarang
memang baru cuma ancaman. Kelak kalau
kami tahu bahwa kau betul-betul telah
membuat keonaran di tempat kami, ancaman
itu akan menjadi kenyataan, Munding!"
Munding Sura yang bergelar Setan Pikulan
tertawa mencemooh!
"Dasar manusia-manusia tidak tahu diri!"
katanya. "Kalian tahu, sewaktu aku datang ke
sana ada dua cecunguk yang sembunyi di
atas genteng! Satu diantaranya gadis ini,
yang lain seorang pemuda! Aku paksa mereka
turun dan paksa agar memberi keterangan.
Mereka menerangkan tengah mencari seorang
kawan yang kalian seret ke tempat kalian!
Mereka bermakpud membebaskannya! Aku
pikir kalau manusia itu adalah musuhmu
maka pasti yang dua lainnya adalah
kambratnya juga. Si gadis, kutotok dan
kawannya kutipu kujebloskan dalam ruang
batu karang di dasar gedung! Kalian dengar
semua itu?! Seharusnya kalian berterima kasih
padaku dan bukan mengoceth tak karuan!
Sekarang berlalu dari hadapanku sebelum
kesabaran habis!" Setan Darah Kedua menarik
lengan baju kawannya. Keduanya sama–
sama melangkah ke pintu. Tapi tiba-tiba
Sekar berseru. "Setan Darah! Jangan kena
ditipu oleh bangsat kepala botak ini!" Tentu
saja kedua Setan Darah itu sama hentikan
langkah dan balikkan badan!
"Apa yang diterangkannya semua adalah
dusta!"
"Heh, begitu…?!"
"Gadis edan apa mulutmu mau kupecahkan?!"
bentak Setan Pikulan.
"Berani kau bicara lagi betul-betul
kupecahkan mulutmu!"
"Biarkan dia bicara, Munding Sura!" kata
Setan Darah Kedua.
"Tapi kau lepaskan dulu totokanku!" kata
Sekar.
"Aku akan terangkan apa yang telah
diperbuatnya ditempatmu! Dan bukan itu saja,
aku akan bersedia ikut dengan kalian!"
"Ah…," Setan Darah Kedua mengusap-usapkan
kedua telapak tangannya satu sama lain.
"Satu usul yang baik! Memang kau telah
pantas bersamaku daripada kambratku yeng
kate buruk ini!" Marahlah Setan Pikulan.
"Saat ini aku tidak memandang nama besar
atau mukamu lagi Setan Darah keparat! Tidak
perduli meski kita sama-sama orang Istana!"
"Gadis itu sudah membuka kedok
kedustaanmu!"
"Dia yang dusta! Bohong besar!"
"Dusta atau tidak tapi aku percaya
omongannya. Dan aku dengar dia sendiri yang
mau ikut bersamaku!" Setan Darah Kedua
mengekeh. Mulut Setan Pikulan komat kamit.
"Boleh," katanya.
"Silahkan bawa gadis itu. Tapi begitu
tanganmu menyentuh tubuhnya, kepalamu
akan hancur lebih dulu!" Setan Darah Kedua
tertawa bergelak.
"Nama besar Setan Pikulan memang sudah
lama kami dengar, Tapi hendak manantang
Tiga Setan Darah yang kesohor sama saja
seperti biduk kecil yang hendak melawan
gelombang sebesar gunung!" Kini Setan
Pikulan yang tertawa mangekah.
"Orang sombong memang terlalu sering lupa
diri! Kita walau bagaimanapun masih sama
sama manusia. Aku bukan biduk dan kalian
bukan gunung! Bicara jangan ngaco!"
"Agaknya jalan kekerasan tak bisa
dihindarkun, Setan Pikulan!" kata Setan Darah
Ketiga sambil usut-usut lengan jubahnya.
"Kukira demikian, Lagi pula memang sudah
sejak lama aku ingin membuktlkan sampai di
mana kehebatan nama Tiga Setan Darah itu.
Jangan-jangan cuma bangsa kroco bau terasi
saja! Apalagi sekarang cuma ada dua orang!"
"Kita akan saksikan siapa yang kroco
manusia buruk!" sahut Setan Darah Kedua.
Dia berpaling pada kawannya dan berkata,
"Kau lepaskan totokan gadis itu, biar aku
yang kasih pelajaran pada manusia jenis
kacoak ini!" Setan Darah Ketiga melompat ke
arah tempat tidur. Dua jari tangannya siap
untuk melepaskan totokan di tubuh Sekar, tapi
dari samping Setan Pikulan tidak tinggal
diam. Tubuhnya yang kate melasat ka muka
satu tendangan yang dahsyat dilancarkannya
ke arah tangan Setan Darah Ketiga. Tentu
saja Setan Darah Ketiga tidak mau ambil
risiko hancur tangannya. Cepat-cepat dia tarik
pulang tangannya, menggeser kaki dan
kebutkan lengan jubahnya sebelah kiri!
Selarik sinar merah menyambar ke arah
selangkangan Setan Pikulan! Ini adalah satu
serangan yang benar-benar mematikan! Tapi
si kate kepala gundul bukan manusia kemarin.
Dia membentak dan melompat ke atas. Dari
atas dia kirimkan satu jotosan dan satu
tendangan! Setan Darah Ketiga merunduk
sementara sinar pukulannya tadi telah
melanda dan menghancurkan tembok kamar!
Di ruang sebelah terdengar pekikan beberapa
orang perempuan! Serangan gencar Setan
Pikulan menjadi batal sewaktu dari samping
Setan Darah Kedua tusukkan dua jari
tangannya ke rusuk. Setan Pikulan yang tahu
betul kehebatan dua jari itu cepat menghindar
dan sekaligus dua tangannya dipukulkan ke
muka! Setan Darah Kedua cepat-cepat buang
diri ke samping sewaktu melihat dua
gelombang angin hitam ke luar dari jotosan-
jotosan lawannya.
"Ilmu pukulan sepasang tinju hitammu tiada
berguna terhadapku manusia buruk!" ejek
Setan Darah Kedua. Sementara kawannya
baku hantam dengan Setan Pikulan. Setan
Darah Ketiga pergunakan kesempatan untuk
membebaskan Sekar dari totokan. Namun kali
yang kedua inipun tidak berhasil karena saat
itu Setan Pikulan sudah menyambar
senjatanya yang ampuh yang menyebabkan
dia sampai dijuluki Si Setan Pikulan dalam
dunia persilatan. Senjatanya itu bukan lain
ialah sebuah pikulan dari bambu! Meskipun
dari bambu tapi karena merupakan senjata
sskti maka kekuatannya lebih hebat dari baja!
Setan Darah Ketiga cepat-cepat buang diri ke
samping sewaktu ujung pikulan menusuk ke
kepalanya. Setan Darah Kedua mengomel.
"Tolol!," makinya,
"lepaskan dia dengan totokan jarak jauh!"
Habis berkata begitu Setan Darah Kedua
segera keluarkan sanjatanya yaitu sepasang
gada. Dalam ilmu mengentengi tubuh dan
tenaga dalam serta kegesitan bergerak Setan
Pikulan tidak di bawah kedua Setan Darah itu,
apalagi saat itu pikulan saktinya sudah
berada di tangan. Namun menghadapi dua
lawan yang berada dalam jarak terpisah di
mana dia musti pula melindungi Sekar agar
jangan sampai gadis itu berhasil dibebaskan
lawan dari totokannya maka ini adalah satu
hal yang cukup menyulitkan bagi Si Setan
Pikulan! Setiap saat dia harus membagi
serangan pada kedua lawan dan melindungi
Sekar! Setan Pikulan putar senjatanya laksana
titiran.Pikulan itu dimainkan dalam jurus-
jurus silat toya. Angin deras dan suara
mengaung memenuhi kamar itu. Namun
senjata lawan yang dihadapi Setan Pikulan
bukan pula senjata biasa! Bagaimanapun dia
mempercepat gerakannya dan mendesak
Setan Darah Kedua dengan hebat namun pada
jurus kesembilan belas Setan Pikulan tak
berhasil menghalangi Setan Darah Ketiga
melepaskan satu pukulan tangan kosong jarak
jauh yang membuat terlepasnya totokan di
tubuh Sekar! Begitu bebas secepat kilat gadis
itu merapikan pakaiannya.
"Saudari, kau menghindarlah ke sudut sana!
Tunggu sampai kami membereskan monyet
kontet ini!," kata Setan Darah Kedua. Sekar
merasa syukur bahwa hasutannya termakan
oleh kedua Setan Darah sehingga kini dia
lepas dari totokan. Dia tahu baik Setan
Pikulan maupun manusia-manusia bermuka
dan berjubah merah itu tiada beda satu sama
lain. Dia berpikir-pikir apakah akan masuk ke
gelanggang pertempuran untuk turut
mengeroyok Setan Pikulan yang telah
membuat kekejian terhadapnya atau lebih
baik menyingkir dulu dari situ sebelum timbul
pula urusan baru dengan manusia-manusia
iblis bermuka merah itu! Si gadis mengambil
keputusan yang terakhir. Apa lagi dia ingat
bahwa sewaktu dibawa lari oleh Setan Pikulan
dari gedung kediaman Tiga Setan Darah tadi,
sahabatnya Wiro Sableng masih tertinggal di
sana, dikurung dalam ruang batu karang.
Maka gadis ini cepat-cepat melompat ke
pintu. Namun apa lacur! Bersamaan dengan
itu sesosok tubuh melompat pula dari luar
dan cepat berhadap-hadapan dengan Sekar
diambang pintu itu !
MANUSIA ini berambut gondrong, bermuka
dan berjubah merah parsis seperti yang
dikenakan dua orang Setan Darah yang
tengah bertempur di dalam kamar. Pasti tidak
manusia ini adalah kawan dari dua Setan
Darah lainnya itu pikir Sekar. Di lain pihak
manusia yang berdiri diambang pintu yang
memang Setan Darah Pertama adanya
menduga keras bahwa Sekar adalah
perempuan yang tadi terlihat dilarikan oleh
Setan Pikulan dari gedungnya. Meskipun dia
tertarik sekali akan kecantikan si gadis
dihadapannya namun saat itu Setan Darah
Pertama masih diliputi kemarahan yang
meluap yaitu sesudah dia menyaksikan
kerusakan-keruasakan di gedungnya serta
dibikin seperti main-mairan sewaktu
bertempur melawan Pendekar 212.
"Kalian tolol semua!" bantak Setan Darah
Pertama sewaktu menyaksikan dua kawannya
yang mengeroyok Setan Pikulan tapi
mendapat tekanan-tekanan yang hebat
bahkan sesungguhnya sudah mulai terdesak.
"Menghadapi si kate keling ini saja tidak
mampu!" Di saat itu Setan Pikulan mengamuk
dengan hebatnya. Senjatanya bersiur-siur.
Dua ujung pikulan menyambar dan memapas,
kadang-kadang menusuk ganas dalam jurus-
jurus gencar yang penuh dengan tipu-tipu
yang membahayakan keselamatan kedua
Setan Darah. Mendengar bentakan Setan
Darah Pertama, Setan Darah Ketiga segera
cabut sepasang goloknya. Pertempuran dalam
kamar itu bertambah hebat. Tapi sepasang
mata Setan Darah Pertama bisa melihat
bahwa kedua kambratnya itu masih berada di
bawah angin, Si kate kapala gundul berkelebat
ganas hampir tak kelihatan. Pikulannya
menderu-deru bahkan anginnya sampai
mengibarngibarkan jubah yang dipakainya!
Tanpa tunggu lebih lama Setan Darah
Pertama segera bergerak ke tengah ruangan.
Kasempatan ini lekas dipergunakan olah Sekar
untuk meninggalkan tempat itu. Tapi Setan
Darah Pertama berseru.
"Hai gadis manis! Tunggu dulu! Kau mau ke
mana?!" Sakar tak menyahuti malah tancap
gas larikan diri tapi satu sambaran angin
menyapu kedua kakinya, membuat kaki gadis
itu menjadi kaku tegang dan laksana
dipakukan ke lantai tak dapat bergerak lagi!
Setan Darah Petema telah melepaskan
totokan jarak jauh yang lihai sekali, Sekar
sendiri tak tahu kalau dirinya akan diserang
dari belakang begitu rupa maka kini dia
terpaksa tegak di lantai tak berdaya!
Dikerahkannya tenaga dalamnya ke kaki untuk
membuyarkan totokan Setan Darah Pertama,
tapi sia-sia belaka!
"Tahan dulu! Aku mau bicara!" Setan Darah
Pertama berseru. Kedua orong kawannya
segera melompat ke tepi kamar. Dengan
pandangan berapi- api Setan Derah Pertama
memanndang pada Setan Pikulan.
"Munding Sura kaukah yang membuat
keonaran di tempatku?!" Munding Sura alias
Setan Pikulan tertawa tawar.
"Kau dan dua kambratmu ini sama saja
menuduh seenaknya. Kau kira….."
"Setan Darah Pertama," ujar Setan Darah
Kedua.
"Kita tak perlu banyak bicara dengan kunyuk
hitam ini. Kami sudah tahu memang dia
sengaja mencari urusan terhadap kita, Dia
telah menyelundup ke tempat kita!" Setan
Pikulan tertawa lagi.
"Tentu saja nyalimu tambah besar karena
satu kambratmu telah datang, lagi ke sini,"
katanya.
"Sebelum terlambat apakah kalian masih mau
teruskan urusan gila ini?!"
"Kunyuk hitam!" hardik Setan Darah Pertama.
"Tiga Setan Darah tak pernah bikin urusan
setengah-setengah! Kawan-kawan, bersiap
membentuk barisan tiga bayangan siluman!."
Maka Tiga Setan Darahpun segera membentuk
barisan yang sangat diandalkan mereka itu. Di
lain pihak Setan Pikulan yang sudah
memaklumi kehebatan ilmu silat lawan-
lawannya itu segera pasang kuda-kuda baru.
Dan sebelum barisan tiga bayangan siluman
bergerak Setan Pikulan sudah berteriak-keras
dan berkelebat bersama senjatanya! Setan
Darah Pertama bergeser ke samping
mengelakkan sambaran senjata Setan Pikulan
yang melanda ke arah pinggangnya. Manusia
bermuka merah ini kemudian merunduk
dengan cepat dan kirimkan serangan berantai
ke arah kedua kaki lawan. Setan Darsh Ketiga
melesat ke atas, menukik lagi dan laksana
seekor .burung elang tiada hentinya
melancarkan pukulan-pukulan maut ke kepala
Setan Pikulan! Barisan tiga bayangan siluman
ini memang cukup terkenal dikalangan tokoh-
tokoh Kotaraja. Setan Pikulan sendiri juga
sudah tahu tapi baru kali ini menyaksikannya
dan disaat itu dirinya pula yang menjadi
bulan-bulanan! Namun Setan Pikulan bukan
pula tokoh silat kemarin. Tubuhnya berkelebat
laksana bayang-bayang, menerobos dan
mengelak diantara hujan serangan lawan
sedang senjatanya menderu kian kemari.
Kegesitan ditambah dengan keampuhan
jurus-jurus silat yang dimainkannya banyak
sekali menolong Setan Pikulan sehingga meski
dikeroyok tiga dalam sepuluh jurus dia masih
bisa bertahan bahkan dua tiga kali berturut-
turut membagi serangan pada ketiga
lawannya. Lambat laun Tiga Setan Darah
dibikin sibuk. Barisan tiga bayangan siluman
tiada berarti lagi. Ketiganya kini mulai
terdesak! Setan Darah Pertama memaki dalam
hati! Untung saja pertempuran itu tidak terjadi
di tempat terbuka, tidak disaksikan umum!
Kalau saja orang luar tahu, pasti nama besar
Tiga Setan Darat akan menjadi luntur! Setan
Darah Pertama keluarkan sepasang tombak
bermata dua dari balik jubahnya. Melitat ini
dua Setan Darah yang lain yang tadi sewaktu
membentuk tiga bayangan siluman telah
memasukkan senjata mereka, kini segera pula
mengeluarkan senjata masing-masing
kembali!
Setan Pikulan kertakkan rahang. Tiga pasang
senjata di tangan musuh-musuhnya itu
adalah senjata-senjata mustika sakti. Dia
bersangsi apakah kini dia akan sanggup
menghadapi manusiamanusia bermuka merah
itu! Setan Pikulan coba memancing dengan
ucapan agar musuhnya tidak bertempur
secara mengeroyok. Maka dia pun berkata,
"Nama Tiga Setan Darah memang tersohor!
Tapi hari ini aku sendiri menyaksikan bahwa
mereka cuma bangsa bunglonbunglon bernyali
rendah bangsa pengecut kelas wahid! Tokoh-
tokoh silat yang beraninya main keroyok!"
"Mengocehlah seenakmu manusia kontet!
Sebentar lagi gadaku ini akan membuat
otakmu bertaburan." hardik Setan Darah
Kedua serayra putar-putarkan gadanya.
"Setan Darah Pertama, tunjukkanlah bahwa
kau bukan seorang pengecut! Mari kita
bertempur satu lawan satu sampai seribu
jurus!" Setan Darah Pertama tertawa gelak-
gelak.
"Sampai seribu jurus katamu?! Tiga juruspun
kau belum tentu bisa bertahan manusia
kacoak!"
"Huh! Betapa memalukan kalau dunia
persilatan mengetahui bahwa Tiga Setan
Darah beraninya cuma main keroyok! Persis
macam anjing-anjing kurap yang mengeroyok
seekor kucing yang ditakutinya!" Marahlah
Setan Darah Pertama mendengar cacian
anjing kurap itu. Dia berikan isyarat pada dua
kawannya. Serentak dengan itu ketiganya
segera menyerbu Setan Pikulan. Enam senjata
laksana taburan hujan menderu mencari
sasaran ditubuh Setan Pikulan. Yang
dikeroyok mempertahankan diri dengan sebat.
Sepuluh jurus berlalu. Keringat telah
membasahi tubuh Setan Pikulan yang cuma
mengenakan cawat itu! Gerakan dan putaran
pikulannya semakin sebat namun
sesungguhnya daya pertahanan manusia ini
jurus demi jurus semakin lemah. Beberapa
kali ujung-ujung pikulannya beradu dengan
salah satu senjata lawan membuat senjata itu
kadang-kadang hampir terlepas dan
genggamannya yang licin oleh keringat!
"Ha… ha… ha…! Sampai berapa lama lagikah
kau akan sanggup bertahan Munding Sura?!"
Mengejak Setan Darah Pertama.
"Sampai batok kepalamu hancur oleh ujung
senjataku ini!" sahut Setan Pikulan seraya
tusukkan ujung pikulannya ke kepala lawan.
Setan Darah Pertama sampokkan tombaknya
yang ditangan kanan untuk menangkis tapi
senjata lawan berputar cepat dan kini ujung
yang lain menotok ke dadanya dengan sangat
cepat! Setan Darah Pertama kertakkan rahang!
Dia bersurut satu langkah dan dibantu oleh
Setan Darah Kedua, keduanya menangkis
serangan Setan Pikulan. Tiga senjata
bentrokan satu sama lain mengeluarkan suara
keras. Tiga tangan tergetar! Begitu senjatanya
membentur senjata lawan, Setan Darah
Pertama cepat pergunakan ujung tombaknya
yang bermata dua untuk menjepit ujung
pikulan. Dia berhasi! Segera tombak hendak
diputarnya. Tapi Setan Pikulan tidak bodoh!
Pikulan digerakannya dari atas ke bawah.
Ujung yang lain menderu ke bawah perut
Setan Darah Pertama. Di saat yang sama pula
Setan Pikulan melompat ke atas karena kedua
kakinya! Genap dua puluh jurus sudah! Setan
Pikulan benar-benar sudah mandi keringat.
Tiba-tiba dia menjerit keras. Senjatanya
menyapu membuat satu lingkaran sedang dari
balik cawatnya dikeluarkannya sejenis senjata
rahasia berbentuk paku rebana!
"Awas paku rebana beracun!" teriak Setan
Darah Pertama. Tiga Setan Darah masing-
masing kebutkan lengan jubah mereka. Sinar
merah yang keluar dari ujung lengan jubah itu
membuat mental sembilan buah paku-paku
rebana yang dilepaskan Setan Pikulan!
"Licik!" maki Setan Darah Pertama.
"Kalian kunyuk-kunyuk muka merah yang
pengecut kelas wahid!" semprot Setan Pikulan.
Dan kembali diputarnya senjatanya dengan
sebat. Namun serangan-serangannya tiada
berarti. Daya tahannya semakin kendur. Pada
jurus ke duapuluh sembilan kedua ujung
senjatanya sekaligus beradu dengan gada
serta tombak lawan.
Di detik itu pula sepasang golok Setan Darah
Ketiga membabat dari atas ke bawah hendak
menetak pangkal lehernya dari dua jurusan.
Tak ada cara lain yang paling baik untuk
menghindarkan diri dari pada menjatuhkan
badan kebawah. Dan memang inilah yang
dilakukan oleh si kate Munding Sura. Sambil
jatuhkan diri manusia yang berjuluk Setan
Pikulan ini kirimkan satu tendangan ke arah
bawah perut Setan Darah Ketiga! Setan Darah
Ketiga keliwat yakin bahwa bacokan sepasang
goloknya akan berhasil sehingga dia
melupakan pertahanan dirinya sendiri!
Kecepatan turun golok-golok itu tak dapat
rnendahului kecepatan jatuhnya tubuh Setan
Pikulan. Golok Setan Darah Ketiga beradu
satu sarna lain sebaliknya tendangan Setan
Pikulan cuma sedikit saja dapat
dilaksanakannya.
"Buuk!"
Tendangan Setan Pikulan mendarat di pinggul
kiri Setan Darah Ketiga. Manusia ini
terpelanting beberapa tombak dan untuk
beberapa lamanya tergelimpang di lantai
kamar merintih kesakitan! Meski berhasil
mengelakkan serangan gotok-golok maut tadi
dan mernbuat Setan Darah Ketiga melingkar
di lantai namun posisi Setan Pikulan sendiri di
saat itu tidak menguntungkan sama sekali!
Salah satu ujung pikulannya telah dijepit
sepasang tombak bermata dua dan dalam
keadaan tubuh masih membungkuk di lantai
begitu rupa sukar bagi Setan Pikulan uratuk
melepaskan jepitan senjata lawan atas
senjatanya. Hanya ada dua keputusan yang
harus diambil oleh Setan Pikulan. Melepaskan
senjatanya atau memutar Pikulan itu sambil
mengerahkan tenaga dalam! Setan Pikulan
merasa lebih baik memutar senjatanya
sekalipun pikulan itu akan patah daripada
menyerahkan senjata tersebut mentah-mentah
ke tangan lawan! Setan Pikulan gerakkan
kedua tangannya !
"Kraak!"
Pikulannya benar-benar patah!
"Bedebah!" maki Setan Pikulan. Salah satu
dari patahan pikulan itu dihantamkannya ke
arah Setan Darah Pertama tapi dapat
dielakkan. Patahan yang kedua ditusukkannya
ke muka Setan Darah Kedua, namun dia
keliwat kesusu! Di saat melemparkan patahan
senjata yang pertama kepada Setan Darah
Pertama, Setan Pikulan tak dapat mengontrol
posisinya, tak dapat melihat posisi lawan
lainnya. Justru diwaktu dia menyodokkan
patahan pikularn maka Setan Darah Kedua
lebih cepat dari itu setan Darah Kedua
hantamkan ujung gadanya ke dada Setan
Pikulan.
"Buuuk!!"
" Setan Pikulan mengeluh tinggi. Tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang. tersandar ke
dinding lalu melosoh duduk ke lantai,
muntahkan darah segar! Mukanya menjadi
pucat laksana kain kafan dan nafasnya
megap-megap! Setan Darah Pertama tertawa
terkekeh-kekeh. Perlahan-lahan dia
melangkah mendekati Setan Pikulan.
"Ha… ha… Nyatanya memang kau cuma
manusia jenis kacoak! Apakah saat ini kau
masih sanggup memperlihatkan kehebatanmu
huh!"
"Setan alas mampuslah!" teriak Setan Pikulan.
Tangan kanannya memukul ke muka. Seberkas
sinar hitam menyambar ke arah Setan Darah
Pertama, membuat manusia muka merah ini
memaki dan cepat-cepat menghindar ke
samping. Setan Pikulan sendiri kembali
muntahkan darah segar. Dengan beringas
Setan Darah Pertama angkat salah satu
tombaknya tinggi-tinggi, siap untuk
ditancapkan ke batok kepala Setan Pikulan!
"Tunggu dulu!," Setan Darah Ketiga berseru.
Penasaran Setan Darah Pertama membentak
"Tunggu apa lagi, sompret!"
"Kematian yang begitu cepat terlalu bagus
baginya, Setan Darah Pertama!"
"Hem, kau punya rencana apa?!"
"Kau bisa merasakan dan membayangkan
bagaimana seorang jago silat yang ditakuti
cacat seumur hidup, tak bisa lagi memainkan
silat dan ilmu kesaktiannya?! Cacat seumur
hidup! Lebih mengertikan dari kematian
sobat!"
"Cepat bilang terus terang rencanamu!" tukas
Setan Darah Pertama penasaran. Setan Darah
Ketiga tertawa sedingin es. Dia melangkah ke
hadapan Setan Pikulan yang tersandar di
dinding antara sadar dan tiada.
"Inilah rencanaku Setan Darah Pertama!" seru
Setan Darah Ketiga. Serentak dengan itu
sepasang goloknya berkelebat.
"Craas!"
Buntunglah kedua tangan Setan Pikulan.
Dacah muncrat. Setan Pikulan meraung keras
lalu rubuh di lantai bermandikan darah! Setan
Darah Ketiga tertawa panjang-panjang. Dia
memandang pada kedua koleganya dan
berkata, "Dia akan hidup terus! Tapi hidupnya
akan dirongrong oleh rasa kenyerian! Dendam
kesumat yang membara! Namun tak satu
apapun yang akan bisa dilakukannyal Karena
dia cacat selama-lamanya!" Meledaklah tawa
Tiga Setan Darah itu. Setan Darah Pertama
menepuk-nepuk bahu Setan Darah Ketiga.
"Betul! Betul sekali katamu! Dia tidak
marnpus, tapi hidupnya lebih mengerikan dari
pada benar-benar mampus! Sekarang mari
kita tinggalkan tempat sialan ini! Di luar ada
seorartg gadis jelita menunggu kita. Kita
bawa dia ke gedung dan suruh dia membuka
bajunya satu demi satu! Kalau tidak mau kita
yang tolong membukanya….!"
Suara tertawa ketiga manusia itu meledak lagi
di dalam kamar itu! Ketiganya menuju ke
pintu! Setan Darah Pertama tanpa banyak
cerita segera menotok tubuh Sekar, sehingga
tubuh gadis ini kaku tegang tak bisa bergerak
tak bisa buka suara! Tiba-tiba Setan Darah
Kedua hentikan langkah.
"Tunggu dulu..", katanya.
"Kita semua tahu dirumah ini Setan Pikulan
punya banyak, perempuan peliharaan! Cantik-
cantik! Di mana mereka semua?!"
"Heh?!" Setan Darah Pertama yang
memanggul tubuh Sekar kerenyitkan kening.
"Terserah kalau kau mau cari perempuan-
perempuan itu Aku tetap yang ini!," kata Setan
Darah Pertama pula kemudian. Setan Darah
Kedua memandang pada kambratnya yang
seorang lagi.
"Kau bagaimana?," tanyanya.
"Aku tetap tinggal bersamamu di sini," jawab
Setan Darah Ketiga. Setan Darah Pertama
tertawa.
"Puaskan dirimu di sini sobatsobat, tapi
jangan lupa untuk datang ke gedung kita. Kita
masih ada tugas, mencari Pranajaya, anak si
Wijaya keparat itu!" Kedua Setan Darah
anggukkan kepala. Begitu Setan Darah
Pertama berlalu bersarna Sekar, mereka
segera memeriksa kamarkamar di dalam
rumah itu. Dalam kamar yang paling belakang
akhirnya mereka menemui juga perempuan-
perernpuan peliharaan Setan Pikulan.
Semuanya rnasih muda-muda dan berparas
rata-rata cantik, bertubuh rnontok molek!
Kedua Setan Darah berdiri diambang pintu,
memandag kepada rnereka dengan hidung
kembang kempis dan mata bersinar-sinar.
Perempuan-perempuan muda itu berjumlah
empat orang semuanya. Mereka memandang
dengan ketakutan pada manusia-manusia
diambang pintu itu. Setan Darah Kedua
menyengir.
"Kalian tak usah takut pada kami. Kami jauh
lebih baik daripada si kate kepala gundul itu!"
Setan Darat Ketiga yang sudah tak sabaran
berbisik, "Masingmasing kita kebagian dua
orang. Kau pilih yang mana…?" Setan Darah
Kedua meneliti sebentar lalu menjawab, "Yang
baju ungu dan baju biru itu…."
"Sompret kau pilih yang cantik semua!"° desis
Setan Darah Ketiga.
"Begini saja, kau boieh ambil si baju ungu
dan salah seorang lainnya, aku si baju biru
dan satu orang lainnya pula. Atau
sebaliknya!"
"Baik," Setan Darah Kedua mengangguk. Dia,
melompat ke muka. Empat perempuan itu
menjerit. Setan Darah Kedua segera
merangkul perempusn baju ungu dan salah
seorang kawannya sedang Setan Darah Ketiga
menarik si baju biru bersrama kawannya yang
keempat.
"Di sini saja, sobat?!" tanya Setan Darah
Kedua
"Sinting kau! Kau pindah ke kamar sebelah
sana!" Dengan tertawa-tawa Setan Darah
Kedua memboyong dua orang perempuan
cantik itu dan membawanya ke kamar
sebelah!
PENDEKAR 212 wiro sableng membawa
Pranajaya ke luar Kotaraja sebelah tenggara.
Dia berhenti di tepi sebuah telaga dan
membaringkan tubuh pemuda itu di atas
rerumputan. Dia sudah sejak lama siuman
tapi keadaannya masih menyedihkan. Wiro
memberikan sebutir pil lagi kepada pemuda
itu kemudian menyandarkannya ke sebatang
pohon. Dengan sehelai sapu tangan yang
sudah dibasahkan dengan air telaga
dibersihkannya seluruh luka-luka di tubuh
Pranajaya. Setengah jam kemudian
disuruhnya pemuda itu mengatur jalan nafas
serta darah. Ketika disuruhnya mengatur
tenaga dalam Pranajaya masih tak mampu.
Wiro Sableng berlutut di belakang pemuda itu.
Kedua telapak tangannya ditempelkannya di
punggung pemuda itu. Lalu perlahan-lahan
Wiro mulai alirkan tenaga dalamnya. Lima
menit kemudian.
"Coba kerahkan lagi," kata Wiro. Pranajaya
kerahkan tenaga dalamnya, memusatkannya
kepertengahan perut! Dia berhasil berseru
gembira!
"Wiro Tenaga dalamku telah pulih!" Murid
Empu Blorok ini melompat ke udara berjundgir
balik beberapa kali lalu turun kembali dengan
kedua kaki lebih dahulu mencapai tanah!
"Gerakan dan ilmu mengentengi tubuhmu
hebat sekali Prana," puji Wiro. Pranajaya
tersenyum jumawa.
"Ini semua adalah berkat pertolonganmu.
Kalau kau tidak ada pasti aku sudah mampus!
Aku berhutang budi dan berhutang nyawa
padamu!" Wiro Sableng bersiul.
"Hutang budi dan hutang nyawa itu
sebetulnya tak pernah ada di dunia ini,
saudara Prana," sahut Wiro Sableng. "Kau
tahu, budi baik itu Tuhan yang
memasukannya ke dalam hati nurani kita. Dan
nyawa itu Tuhan yang punya! Jadi kepada
Tuhanlah kita semua berhutang!" Pranajaya
tertawa.
"Walaubagaimanapun aku tetap merasa
berhutang besar sekali padamu. Kuharap
Tuhan memanjangkan umurku dan bisa
membalas semua pertolonganmu…" Wiro
Sableng geleng-gelengkan kepalanya.
Ditepuknya bahu Prana dan berkata, "Di
samping nasib baik dan pertolongan Tuhan,
tentunya kau seorang tokoh silat yang sakti,
Prana."
"Ah, aku cuma manusia biasa saja. Pemuda
gunung yang tak tahu apa-apa…!" jawab
Pranajaya rendahkan diri. Wiro tertawa.
"Seorang pemuda gunung yang dogol pasti
sudah mampus diseret dengan kuda! Kau
tidak dan masih hidup!" Prana angkat bahu.
"Sekarang terangkan kenapa sampai kau
mengalami nasib demikian," kata Wiro
Sableng pula.
"Aku dilepas oleh guruku untuk mencari Tiga
Setan Darah. Mereka telah membunuh
bapakku dan salah seorang dari mereka
membacok buntung lengan kiriku ini! Di
samping itu. Empu Blorok juga menugaskanku
mencari senjata mustika miliknya yang dicuri
oleh seorang sahabatnya bernama
Bagaspati."
"Senjata apa yang dicuri itu?" kepingin tahu
Wiro.
"Sebuah cambuk bernama Cambuk Api
Angin."
"Namanya hebat, pasti itu senjata dahsyat
sekali," ujar Wiro.
"Kau sudah tahu di mana itu si Bagaspati
bercokol?" tanya Wiro kemudian. Pranajaya
mengangguk.
"Di Pulau Seribu Maut," jawab pemuda tangan
buntung itu.
"Pulau Seribu Maut? Di mana itu? Aku tak
pernah dengar!"
"Menurut guruku terletak di ujung timur Pulau
Jawa…"
"Cukup jauh dari sini," kata Wiro.
Prana mengangguk lagi.
"Aku bernasib sial," katanya.
"Tiga Setan Darah ternyata sangat tinggi
ilmunya dan belum apa-apa aku sudah kena
disikat mereka. Tapi demi arwah ayah, sampai
serahkan jiwapun aku tetap musti bisa
membereskan ketiga bangsa itu!" Prana
berdiri dari duduknya.
"Kau mau ke mana?!" tanya Wiro.
"Kembali ke Kotaraja untuk-mencari Tiga
Setan Darah!" Wiro berdiri pula.
"Dengan pakaian macam ini kau mau masuk
ke Kotaraja?" Prana memandang ke dirinya.
Seluruh pakaian birunya sudah hancur robek-
robek, kotor oleh darah dan debu. Pemuda ini
menggigit bibir. Wiro tertawa.
"Aku ada satu stel persediaan pakaian,"
katanya. Dari balik punggungnya Pendekar
212 mengeluarkan sebuntal pakaian.
"Ini, pakailah," Wiro melemparkan pakaian itu.
Prana menyambutnya. "Terima kasih," kata
pemuda ini lalu cepat-cepat berganti pakaian
di balik semak belukar.
"Aku juga akan ke Kotaraja," kata Wiro
"Seorang sahabatku lenyap tak tentu entah ke
mana. Aku musti cari dia!"
"Kalau begitu kita pergi sama-sama," ujar
Pranajaya.
"Tiga Setan Darah musti mampus
ditanganku!," murid Empu Blorok ini kepalkan
tinju tangan kanannya.
"Salah seorang dari mereka telah merampas
pedang warisan guruku! Mereka musti benar-
benar mampus!" Wiro menepuk bahu
Pranajaya.
"Sudah sobat, mari kita berangkat!" Kedua
pendekar itu meninggalkan telaga. Dengan
ilmu lari cepat masing-masing keduanya
menuju kembali ke Kotaraja. Di saat itu
matahari telah menggelincir ke ufuk barat.
Diam-diam Pranajaya memperhatikan gerak
dan cara lari Wiro Sableng. Pemuda ini
bermata tajam dan berpikiran cerdas. Dia
segera mengetahui kalau saat itu Wiro hanya
mengeluarkan setengah bagian saja dari
kecepatan ilmu larinya sedang dia sendiri
sudah mempergunakan keseluruhan kecepatan
ilmu lari warisan Empu Blorok! Jika Wiro mau
pastilah dia akan ketinggalan jatuh di
belakang. Diam-diam Pranajaya membathin
siapa dan murid guru sakti dari manakah
sesungguhnya Wiro? Empu Blorok pernah
menerangkan tentang tokoh-tokoh silat
ternama di rimba persilatan. Tapi tak pernah
menyebut-nyebut seorang pendekar muda
bernama Wiro. Dalam berpikir dan berlari itu
akhirnya mereka telah sampai di pintu
gerbang Kotaraja. Wiro Sableng
memperlambat larinya.
"Kulihat ada kelainan di pintu gerbang saat
ini," kata Wiro. Pranajaya memperhatikan ke
arah pintu gerbang. Apa yang diucapkan Wiro
memang betul. Pada pintu gerbang Kotaraja
kelihatan sepuluh orang pengawal, padahal
sebelumnya cuma ada dua orang yang berdiri
di situ.
"Aku mendapat firasat mereka hendak
membuat urusan dengan kita..," kata
Pranajaya.
"Kita lihat saja. Jika betul tak usah ragu-
ragu untuk memberi sedikit hajaran pada
mareka, Prana!" Begitu sampai di pintu
gerbang Kerajaan ke sepuluh pengawal pintu
gerbang berjejer rapi, masing– masing
memalangkan tombak. Salah seorang dari
mereka maju membentak.
"Berhenti!" Wiro Sableng dan Pranajaya
hentikan lari masing-masing. Mereka
memperhatikan, rata-rata tampang pengawal-
pengawal itu bengis semua. Yang tadi
membentak berpaling pada salah seorang
kawannya dan bertanya,
"Apakah ini kunyuk-kunyuk yang tadi kau
lihat melarikan diri dari Kotaraja?!" Pengawal
yang ditanya mengangguk. Meski sudah
berganti pakaian namun pengawal itu masih
dapat mengenali Pranajaya dan juga Wiro
Sableng.
Pengawal yang tadi bertanya palingkan
kepala kembali pada Wiro dan Prana. Dia
segera hendak buka mulut berikan perintah
namun Wiro Sableng dengan cengar cengir
mendahului.
"Pengawal, omongmu seenaknya saja! Kau
kira kami ini apa pakai memaki kunyuk
segala?! Coba kacakan mukamu di telapak
kakiku ini dulu, baru nanti kau tahu apa kami
yartg kunyuk atau kau yang monyet!" Habis
berkata begitu Wiro Sableng angkat tinggi-
tinggi kaki kanannya dan diajukan tepat-tepat
ke muka si pengawal yang tadi memaki. Tentu
saja marah pengawal ini bukan alang
kepalang!
"Bangsat rendah! Kau lebih pantas mampus
dari pada ditangkap hidup-hidup!" Pengawal
ini secepat kilat tusukkan tombaknya kepada
Wiro Sableng. Pendekar 212 ganda tertawa.
"Sompret betul!," makinya kemudian.
"Orang suruh berkaca malah menyerang! Ini
makan kakiku!" Hampir tak kelihatan
bagaimana cepatnya gerakan kaki murid
Eyang Sinto Gendeng itu, tahu-tahu
tendangannya sudah mendarat didagu si
pengawal!.Pengawal itu terpelanting jauh,
tombaknya mental, mulutnya berdarah dan
tubuhnya melingkar di muka pintu gerbang
tanpa kabarkan diri! Melihat ini sembilan
pengawal lainnya segera menyebar
mengurung!
"Bedebah laknat!," kata salah seorang dari
mereka, "lebih baik kalian serahkan diri. Kalau
tidak nyawa kalian pasti tidak ketolongan!"
"Siapa yang minta tolong soal nyawa padamu
tikus pintu gerbang!" damprat Wiro.
"Ulurkan kedua tangan kalian!" perintah
pengawal yang seorang itu sambil
mengeluarkan segulung tali besar.
"Kalian harus kami seret kehadapari Tiga
Setan Darah!"
"Oh, jadi manusia-manusia muka kepiting
rebus itu yang menyuruh kalian menghadang
kami di sini?!" bentak Pranajaya.
"Tak usah banyak bacot! Ulurkan kedua
tangan kalian!" Wiro Sableng, palingkan
kepala pada Prana dan kedapkan matanya.
Lalu pada pengawal itu dia berkata, "Kalau
betul Tiga Setan Darah yang memerintahkan
kalian untuk menangkap kami, kami tak bisa
berbuat apa-apa selain serahkan diri…" Dan
Pendekar 212 ulurkan kedua tangannya pada
pengawal itu seraya berkata,
"Tapi saudara, kawanku cuma punya satu
tangan, apakah kau akan ikat juga dia….?!"
"Aku bilang tak usah banyak mulut!" sentak si
pengawal. Tali yang ditangannya dengan
cepat digulung dan mengikat kedua
pergelangan tangan Wiro Sableng erat-erat.
Mendadak sepasang lengan yang sudah
terikat itu bergerak. Terdengar satu pekikan.
Tubuh si pengawal mental ke udara,
terbanting ke atas atap pintu gerbang
Kotaraja, mengeluh sebentar lalu merosot
jatuh ke tanah dengan mengeluarkan suara
bergedebuk! Delapan pengawal bergerak cepat
ke arah Wiro Sableng. Delapan tombak
berkiblat, berkilau kuning dibawah sorotan
sinar matahari sore! Pendekar 212 Wiro
Sableng tertawa aneh. Kedua tangannya
bergerak cepat tiada henti. Disekitarnya
terdengar suara, "plak… plak… plak" dan
hanya dalam tempo lebih dari sekejapan mata
saja kedelapan pengawal itu sudah
bertumpukan di tanah, pingsan dihantam
tamparan Wiro Sableng! Pranajaya, si murid
Empu Blorok hampir, tak percaya melihat apa
yang disaksikannya itu. Delapan orang
sekaligus dibikin roboh pingsan dalam tempo
demikian singkatnya! Benar-benar dia kagum
sekali! Dia berdiri terlongong-longong!
"Sobat!," Wiro menepuk bahunya.
"Jangan jadi patung. Mari! Kau tokh mau
buru-buru ketemu dengan Tiga Setan Darah?!"
Prana baru sadar. Tanpa banyak bicara
segera dia berlari menyusul Wiro Sableng.
Tiba-tiba Wiro hentikan larinya.
"Kita bodoh," katanya, "di Kotaraja ini kita tak
boleh berlari. Semua orang tentu akan
menujukan perhatiannya pada kita." Keduanya
meneruskan perjalanan dengan melangkah
cepat. Mereka sampai dihadapan gedung tua
kediaman Tiga Setan Darah. Dan di saat itu
pula Wiro Sableng ingat sesuatu. Dia
berpaling pada Pranajaya.
"Sobat, aku baru ingat. Kawanku itu pasti
tidak berada di sini! Waktu aku mendukungmu
ke luar dari ruang batu, dia telah lenyap.
Musti si Setan Pukulan yang telah
melarikannya! Keparat betul!"
"Kau tahu ke mana kira-kira kawanmu itu
dilarikan?" tanya Prana. Wiro gelengkan
kepala dan menggerendeng,
"Aku akan cari keterangan," katanya.
"Sementara itu coba kau selidiki dulu gedung
tua ini. Dalam waktu kurang sepeminum teh
aku pasti kembali ke sini!" Prana menyetujui
usul Wiro.
"Hati-hati," memperingatkan Wiro.
"Gedung tua ini banyak jebakan dan senjata
rahasianya!" Pranajaya mengangguk lalu
cepat-cepat memasuki halaman gedung
kediaman Tiga Setan Darah. Di pintu samping
yang sebelumnya telah didobrak Wiro,
Pranajaya berhenti dan merenung sejenak.
Kalau gedung tua itu banyak jebakan dan
alat-alat rahasianya, maka menurut dia jalan
yang seaman-amannya untuk masuk ke
dalam gedung itu ialah lewat genteng! Maka
tanpa pikir lebih jauh lagi, murid Empu Blorok
ini dengan ilmu mengentengi tubuhnya yang
cukup sempurna segera melompat ke atas
atap gedung tua! Kedua kakinya menginjak
genteng gedung tanpa menimbulkan suara
sedikitpun!
"Setan Darah durjana! Rupanya kau bukan
cuma tukang jagal manusia tapi juga laknat
terkutUk tukang rusak kehormatan
perempuan!"
Habis berteriak begitu Pranajaya menyerbu
turun ke dalam. Genteng pecah bertaburan,
beberapa papan panglari patah!
SEPERTI telah dituturkan Setan Darah
Pertama dengan memboyong murid Empu
Tumapel meninggalkan tempat kediaman
Setan Pikulan. Manusia bermuka merah ini
langsung membawa Sekar ke gedungnya,
membaringkan gadis itu di lantai salah
sebuah kamar. Gedung tua itu hampir tidak
berperabotan bahkan satu tempat tidurpun
tak terdapat di sana! Saat itu Sekar masih
berada dalam keadaan tertotok. Tak satupun
yang dapat dibuat Sekar sewaktu dengan
nafas kembang kempis dan nafsu
menggelegak Setan Darah Pertama sambil
menyeringai buruk membuka pakaian gadis itu
satu demi satu! Gadis itu tertelentang di
lantai kamar tanpa sehelai pakaianpun
menutupi tubuhnya yang mulus itu kini.
Senjata pemberian Empu Tumapel "Rantai
Petaka Bumi" yang ditemui Setan Darah
Pertama melilit di pinggang Sekar, diletakkan
Setan Darah Pertama di sudut kamar. Setan
Darah Pertama membasahi bibirnya dengan
ujung lidah. Sepasang matanya laksana
dikobari api, memandang tak berkedip pada
tubuh Sekar yang menggeletak di lantai.
"Tubuh bagus… tubuh bagus! He… he… he…
he….!" Setan Darah Pertama menyeringai.
Kemudian tanpa menunggu lebih lama
manusia bermuka merah ini membuka
jubahnya. Jubah itu dilemparkannya ke sudut
kamar! Sepasang tombak bermata dua dan
pedang milik Pranajaya diletakkannya dekat
kepala Sekar. Manusia ini baru saja berbaring
dan menggelungi tubuh Sekar dengan kaki dan
tangannya sewaktu laksana halilintar di siang
hari bolong dia mendengar suara bentakan
menggeledek dan bobolnya genteng di atas
kamar itu!
"Setan Darah durjana! Rupanya kau bukan
cuma tukang jagal manusia tapi juga laknat
terkutuk tukang rusak kehormatan
perempuan!"
Seperti seekor singa Setan Darah Pertama
melompat dan menyambar pedang Ekasakti di
atas lantai. Berdiri bulu kuduk Pranajaya
menyaksikan manusia yang berdiri tanpa
pakaian dihadapannya itu! Berdiri bulu kuduk
bukan karena ngeri tapi karena merasa sangat
geramnya ! Di lain pihak Setan Darah Pertama
tidak pula kurang geramnya. Ternyata
manusia yang menerobos masuk lewat
genteng kamar bukan lain Pranajaya, pemuda
tangan buntung yang memang tengah
dicaricarinya!
"Budak bedebah! Dicari-cari tidak ketemu,
sekarang datang sendiri antarkan nyawa!"
"Iblis bejat!" balas membentak Pranajaya.
"Bertiga dan mengeroyok kau memang unggul,
tapi sekarang kita satu lawan satu!" Setan
Darah Pertama tertawa buruk! Diacungkannya
pedang Ekasakti yang ditangan kanannya.
"Kau lihat pedang ini huh?! Senjata milikmu
ini sendiri yang akan menebas kau punya
batang leher!" Habis berkata begitu Setan
Darah Pertama menerjang ke muka.
Tangannya bergerak, pedang menderu ke arah
Pranajaya. Cepat-cepat si pemuda bertangan
buntung melompat ke samping dan lepaskan
pukulan angin sewu! Setan Darah Pertama
yang tahu kehebatan ilmu pukulan tangan
kosong ini buru-buru menyingkir dan
menyambar jubah merahnya di sudut kamar!
Kesempatan ini dipergunakan oleh Pranajaya
untuk mengirimkan pukulan jotos sewu, satu
ilmu pukulan yang diwarisinya dari Empu
Blorok yang tak kalah hebatnya dengan ilmu
pukulan angin sewu tadi! Angin keras pukulan
Pranajaya membuat jubah Setan Darah
Pertama mental sehingga pemiliknya tak
berhasil mengambilnya! Dengan memaki
terpaksa Setan Darah Pertama melompat lagi
ke samping! Sewaktu Pranajaya mengintip di
atas genteng dan menginjakkan kaki di lantai
kamar itu sekaligus dia mengetahui bahwa
gadis yang menggeletak di lantai kamar
berada dalam keadaan tertotok. Karenanya
ketika Setan Darah Pertama melompat ke
samping, pemuda ini cepat cepat pergunakan
tangan kirinya untuk melepaskan totokan di
tubuh Sekar! Begitu tubuhnya lepas dari
totokan begitu Sekar berteriak,
"Saudara awas!" Pranajaya mendengar suara
sambaran angin dibelakangnya. Secepat kilat
pemuda ini jatuhkan diri ke muka. Pedang
Ekasakti membabat setengah jengkal di atas
bahu kanannya! Prana terus menggulingkan
diri dan dalam gerakan yang sudah
diperhitungkan pemuda ini dalam berguling
berhasil menyambar sepasang tombak
bermata dua milik Setan Darah Pertama! Di
lain pihak Sekar dengan sangat cepat segera
mengenakan pakaiannya yang tadi sudah
dipereteli Setan Darah Pertama. Dia merasa
heran melihat pemuda bertangan buntung itu
masih hidup malah dalam keadaan segar
bugar. Apakah Wiro telah berhasil menolong
pemuda ini? Tapi Wiro sendiri di mana
sekarang?! Sekar tidak bisa berpikir
lamalama. Begitu mengenakan pakaian, gadis
ini segera mengambil Rantai Petaka Bumi
miliknya yang diletakkan Setan Darah
Pertama di sudut kamar! Sementara itu si
pemuda tangan buntung terdengar
membentak, "Iblis muka merah!" Prana
acungkan sepasang tombak bermata dua
yang keduanya sekaligus digenggamnya di
tangan kanan.
"Kita samasama bersenjata sekarang!
Mungkin senjata yang ditanganku ini yang
akan lebih dulu mengambil nyawa pemiliknya
sendiri!" Setan Darah Pertama kertakkan
geraham. Tubuhnya berkelebat. Pedang di
tangan manusia ini menabur sinar putih.
Jurus yang dikeluarkan Tiga Setan Darah
hebatnya luar biasa sekali karena dalam saat
itu juga Pranajaya segera terbungkus
serangan-serangan pedang Ekasakti miliknya
sendiri! Pranajaya membentak keras. Gerakan
murid Empu Blorok ini tak kalah sebat.
Tubuhnya lenyap laksana bayang-bayang saja
kini dan dua tombak bermata dua di
tangannya menderu-deru. Dalam jurus
pertama yang luar biasa hebatnya itu,
senjata-senjata mereka beradu sampai empat
kali berturut-turut dan memercikkan bunga
api yang menyilaukan mata!
"Saudara! Kuharap kau suka mundur!" tiba-
tiba Pranajaya mendengar seruan gadis yang
tadi dilepaskannya totokannya.
"Manusia iblis laknat terkutuk ini harus
mampus ditanganku!" Pranajaya mengerling
dan melihat Sekar berdiri sambil memutar-
mutar sebuah senjata berbentuk rantai yang
ujungnya diganduli bola besi berduri! Tanpa
perdulikan seruan si gadis Prana terus
kirimkan serangan-serangan gencar terhadap
Setan Darah Pertama. Dalam pertemuannya
pertama kali di luar Kotaraja, Pranajaya
memang tiada sanggup menghadapi Setan
Darah Pertama, karena dia dikeroyok tiga.
Namun,kali ini pertempuran jauh berbeda,
satu lawan satu! Dan keluar biasaannya lagi
ialah karena mereka bertempur dengan
memegang senjata milik lawan masing-
masing!
"Saudara! Mundurlah!" seru Sekar tidak sabar
sewaktu pertempuran gencar itu memasuki
jurus ke tiga. Gadis ini sudah tak dapat
menahan kesabaran den dendam kesumatnya
terhadap Setan Darah Pertama, manusia yang
telah menelanjangi dan hampir saja merusak
kehormatannya!
"Tidak bisa saudari!" seru Pranajaya
membalas.
"Bangsat yang satu ini musti mampus
ditanganku!"
"Nyawanya miliku!" teriak Sekar dan dia
melompat ke muka sambil menyabetkan
Rantai Petaka Bumi. Senjata itu menderu
laksana angin topan, membuat kedua orang
yang bertempur terpaksa sama melompat
mundur ! Pranajaya penasaran sekali. Dia
berpaling.
"Saudari kuharap, kau jangan mencampuri
urusan ini. Kau telah selamat, sebaiknya
lekas-lekas berlalu tinggalkan tempat ini!"
"Berlalu?!" sahut Sekar ketus!
"Sebelum kupecahkan kepala bangsat
bermuka iblis ini aku tak akan tinggalkan
tempat ini!"
"Aku tahu kebejatan yang telah dilakukannya
yang membuat kau begitu inginkan jiwanya,"
kata Pranajaya.
"Tapi itu tak seberapa…."
"Tak seberapa katamu?!" sentak Sekar dengan
mata melotot!
"Manusia macam apa kau ini?! Perbuatan
mesum terkutuk kau katakan hal yang tak
seberapa!" Sementara kedua orang itu
berdebat, Setan Darah Pertama memutar otak.
Dia cuma seorang diri di situ, menghadapi
dua lawan yang sama-sama inginkan jiwanya.
Meski kedua lawan itu kini saling bertengkar
namun bukan tidak mustahil keduanya akan
sama-sama menggempurnya bersirebut cepat
mencabut jiwanya! Dalam pertempuran
beberapa jurus tadi Setan Darah Pertama
telah pula dapat mengukur kehebatan
Pranajaya. Satu lawan satu memang sukar
juga baginya untuk menghadapi pemuda
tangan buntung itu ! Satu-satunya jalan yang
paling baik bagi Setan Darah Pertama saat itu
ialah kabur dari situ dan kembali lagi bersama
dua orang konco-konconya! Tanpa pikir
panjang manusia bermuka merah ini segera
menyambar jubahnya dan melompat ke atas
genteng! Tapi kejut Setan Darah Pertama
bukan olah-olah sewaktu dari atas genteng
dari mana Pranajaya menerobos tadi bersiur
angin laksana badai, melanda ke arahnya
membuat tubuhnya terhempas hampir jatuh
duduk di lantai kamar jika dia tidak cepat
melompat ke samping dan jungkir balik dua
kali berturut-turut. Sebelum dia mendongak
ke atas sepasang telinga Setan Darah
Pertama mendengar suara tertawa gelak-
gelak! Sesosok tubuh muncul di atas atap dan
duduk di palang kayu!
"Dua muda mudi bertengkar rebutkan jiwa
manusia busuk! Si busuk cari kesempatan
untuk larikan diri! Ha…. ha…. ha…. ha!" Prana
dan Sekar menengadah ke atas genteng dan
kedua orang ini sama-sama berseru,
"Wiro!"
Sekar terkejut sewaktu melihat Pranajaya
kenal pada Wiro Sableng. Setan Darah
Pertama memandang penuh amarah meluap
ke atas genteng itu. Orang yang tertawa dan
bicara serta duduk di atas itu bukan lain dari
pemuda rambut gondrong yang sebelumnya
telah membebaskan dan melarikan Pranajaya
dari ruang batu karang yang kemudian
bertempur sebentar dengan dia lalu larikan
diri! Sambil kenakan jubahnya dengan cepat
Setan Darah Pertama yang sebenarnya sudah
semakin menciut nyalinya melihat kemunculan
lawan baru ini, membentak keras,
"Bagus sekali! Semua musuhmusuhku sudah
lengkap di sini! Silahkan turun pemuda
sedeng!"
"Mulutmu terlalu besar! Apakah kambrat-
kambratmu yang dua orang lainnya juga ada
di sini heh?!"
"Tak usah banyak mulut! Jika punya nyali
silahkan turun. Kalau tidak lekas minggat dari
sini!" Mendengar ini Wiro Sableng tertawa
gelak-gelak. Penasaran sekali Setan Darah
Pertama berteriak memancing.
"Kalau kau tak berani baku hantam di sini,
aku masih bersedia melayanimu di halaman
luar!"
"Bertempur di halaman luar lalu cari
kesempatan untuk larikan diri lagi…?!" Wiro
Sableng tertawa lagi gelak-gelak! Setan Darah
Pertama mendamprat dalam hati karena
pancingannya diketahui lawan. Agaknya dia
tak punya kesempatan lain daripada harus
menghadapi ketiga musuhmusuhnya itu atau
sekurang-kurangnya salah seorang dari
mereka! Diam-diam Setan Darah Pertama
salurkan seluruh tenaga dalamnya pada kedua
ujung tangannya. Tiba-tiba dia membentak
garang! Satu tangan meninju ke atas, tangan
yang lain menjentik ke arah Pranajaya dan
Sekar! Selarik besar sinar merah yang sangat
panas menderu ke arah Pendekar 212 yang
duduk ongkang-ongkang di atas atap kamar
sedang lima larikan kecil sinar merah yang
merupakan totokan-totokan beracun
menyambar laksana kilat ke arah Sekar dan
Pranajaya. Sekar putar Rantai Petaka Bumi,
Prana menghindar ke samping sambil
kiblatkan sepasang tombak bermata dua milik
Setan Darah Pertama! Di atas genteng Wiro
kelihatan gerakkan tangan kirinya. Satu angin
dingin menderu memapasi angin merah panas
Setan Darah Pertama dan membuat buyar
serangan manusia muka merah itu. Penuh
beringas Setan Darah Pertama melompat ke
atas dan menyerang dengan pedang Ekasakti
milik Pranajaya! Kini Wiro Sableng gerakkan
tangan kanannya. Gumpalan angin keras
menyambar ke arah Setan Darah Pertama.
Inilah pukulan kunyuk melempar buah yang
tak asing lagi dari Pendekar 212. Meski cuma
mempergunakan setengah bagian saja dari
tenaga dalamnya dalam melancarkan pukulan
ini, namun tak urung Setan Darah Pertama
terkejut hebat dan cepatcepat menyingkir ke
samping dan kembali turun ke lantai. Keringat
dingin memercik di muka manusia yang
berwarna merah itu. Nyalinya benar-benar
menciut! Ilmu pukulan apakah yang dimiliki
dan telah dilepaskan tadi oleh si pemuda di
atas genteng itu yang demikian hebatnya
sehingga dia tiada sanggup menerimanya?!
"Setan muka merah, apakah kau betul-betul
tidak tahu di mana dua kambratmu yang lain
berada?!" tanya Wiro Sableng dari atas. "Di
mana mereka berada itu bukan urusanmu!"
jawab Setan Darah Pertama keras sekedar
untuk melenyapkan rasa bergidiknya. Wiro
tertawa.
"Rupanya kau sendiri kurang begitu tahu. Biar
aku tunjukkan di mana mereka berada!," kata
Pendekar 212 pula. Kedua tangannya
kelihatan ke luar dari lowongan genteng.
Sesaat kemudian bila tangan itu bergerak
turun maka dua sosok tubuh manusia
berjubah merah laksana dua batang pisang
melesat ke bawah, jatuh dengan keras di atas
lantai kamar dihadapan Setan Darah
Pertama ! Muka Setan Darah Pertama berubah
pucat. Bulu kuduknya berdiri. Kedua
kambratnya itu menggeletak di lantai dengan
kepala pecah, darah dan otak bermuncratan !
Sewaktu meninggalkan Pranajaya tadi, Wiro
berhasil mencari keterangan di mana letak
tempat kediaman Setan Pikulan. Karena lebih
mengawatirkan keselamatan Sekar maka
Pendekar 212 memutuskan lebih baik saat itu
saja dia langsung ke tempat si Setan Pikulan.
Tapi apa yang ditemuinya di situ
mengejutkannya. Setan Pikulan menggeletak
di sebuah kamar! Kedua tangannya buntung
putus. Manusia ini tiada bergerak-gerak tapi
masih hidup megap-megap. Dalam berpikir-
pikir apa yang telah terjadi dengan Setan
Pikulan dan terus mencari di mana Sekar
berada akhirnya dia mendobrak sebuah kamar
dan menemui Setan Darah Kedua tengah
merusak kehormatan dua orang perempuan
muda!
"Setan alas benar!" teriak Wiro. Hanya dalam
dua jurus saja Setan Darah Pertama dibikin
tak berdaya di makan totokan Wiro. Mula-
mula manusia ini tak mau menerangkan di
mana kawannya yang lain berada tapi setelah
dipaksa akhirnya Wiro mengetahui juga dan
mendapatkan Setan Darah Ketiga di kamar
sebelah, juga tengah merusak kehormatan dua
orang perempuan muda! Nasib Setan Darah
Ketiga tidak beda dengan kawannya yang
terdahulu. Satu jurus bertempur manusia ini
segera kena ditotok oleh Wiro dan sekligus
keduanya dibawa oleh Wiro ke gedung tua
tempat kediaman Tiga Setan Darah.
Kedatangannya di sana disambut oleh
suasana yang tak terduga pula! Sekar dan
Prana dilihatnya saling bertengkar sedang
Setan Darah Pertama dalam keadaan
telanjang bulat siap-siap hendak melarikan
diri! Untuk beberapa lamanya muka Setan
Darah Pertama masih memucat dan kedua
lututnya goyah menyaksikan kematian dua
orang koleganya itu di muka hidungnya
sendiri. Putus asa karena mengetahui tak ada
jalan untuk lari serta kalap melihat kematian
kawan-kawannya, maka Tiga Setan Darah
Pertama kiblatkan pedang Ekasakti dan
mengamuk menerabas Sekar serta Pranajaya!
Maka pertempuran seru segera terjadi.
"Sekar sebaiknya kau mundur saja!" Wiro
berseru dari atas genteng.
"Tidak bisa Wiro. Bangsat ini hampir saja
merusak kehormatanku!," jawab Sekar seraya
putar senjatanya dengan sebat.
"Aku mengerti. Tapi kau telah diselamatkan
oleh Prana sedang Prana mempunyai dendam
kesumat belasan tahun terhadap bangsat itu!
Ayahnya dibunuh oleh Setan Darah Pertama
itu!" Akhirnya Sekar mengalah juga dan ke
luar dari kalangan pertempuran.
Keputusasaan, kekalapan dan nyali yang telah
melumer itulah yang bersarang di diri Setan
Darah Pertama. Laksana banteng terluka
manusia berjubah merah ini mengamuk hebat
dan ganas sekali. Serangan-serangannya
berbahaya dan penuh tipu-tipu licik. Namun
itu semua tiada arti bagi Pranajaya yang
menghadapi musuhnya itu dengan hati panas
pula tapi kepala dingin penuh ketenangan !
Sembilan belas jurus berlalu cepat. Wiro
bersiul-siul seenaknya.
"Pertempuran hebat!" seru pemuda dari
gunung Gede itu.
"Ayo Prana! Lawanmu sudah mulai
kewalahan! Satu dua jurus di muka pasti
senjata milik iblis yang ditanganmu itu akan
merenggut nyawanya!" Apa yang dikatakan
Pendekar 212 menjadi kenyataan. Dalam jurus
keduapuluh satu laksana seorang penari
Pranajaya meliuk mengelakkan sambaran
pedang Ekasakti yang dibabatkan Setan Darah
Pertama kepinggangnya. Pedang itu membalik
lagi dengan ganasnya. Prana geser kedua kaki
dan tusukkan sekaligus kedua tombak yang
dalam genggamannya ke muka Setan Darah
Pertama. Iblis bermuka merah ini rundukkan
kepala! Tapi tusukan tadi cuma tipu belaka,
karena begitu pedang lawan lewat dan
tusukan tombaknya tersorong ke muka dengan
serta merta Pranajaya gebukkan sepasang
tombak itu ke kepala Setan Darah Pertama!
Setan Darah Pertama melompat ke samping!
Tapi betapapun cepatnya dia tetap terlambat.
Meski bisa selamatkan kepala namun dia tak
sanggup menghindarkan bahunya dari
hantaman senjata miliknya sendiri itu !
"Kraak!"
Tulang bahu Setan Darah Pertama yang
sebelah kanan hancur remuk! Setan Darah
Pertama melolong macam anjing! Tubuhnya
miring dan terjerongkang ke lantai. Dalam
keadaan seperti itu dia masih hendak
menyapukan pedang di tangan kanannya ke
kaki Prana, tapi senjata itu terlepas dari
tangannya yang sudah tak ada daya kekuatan
lagi! Empat mata tombak ditekankan oleh
Pranajaya ke batang leher Setan Darah
Pertama. Tenggorokan manusia muka merah
ini kelihatan turun naik. Muka nya
mengerenyit dan keringat membasahi sekujur
tubuhnya.
"Setan Darah!," desis Pranajaya.
"Apa kau masih ingat saat-saat sewaktu kau
membunuh ayahku dulu?! Apa kau masih
ingat sewaktu tangan kiriku ini kau
buntungkan dulu?!"
"Orang muda..," ujar Setan Darah Pertama,
"kasihani diriku yang buruk ini! Kalau kau
ampunkan jiwaku, kelak aku akan berikan
hadiah besar serta jabatan tinggi di Istana !"
Prana tertawa. Wiro Sableng mengekeh.
"Jangan dengar mulut kentut iblis itu, Prana!"
memperingatkan Wiro. Pranajaya
mengangguk.
"Manusia macam dia siapa yang mau
percaya!," menyahuti pemuda bertangan
buntung itu. Prana lemparkan ke samping dua
tombak milik Setan Darah Pertama dan
membungkuk cepat mengambil pedangnya!
Setan Darah Pertama gerakkan tubuhnya
sedikit tapi ujung pedang kini menggantikan
empat mata tombak yang menekan batang
lehernya !
"Apa yang dulu kau lakukan terhadap
bapakku, kini akan kau rasakan sendiri, Setan
Darah!"
"Craas!"
Setan Darah Pertama meraung setinggi langit.
Pedang Ekasakti membabat buntung
mengerikan! Setan Darah Pertama
melejanglejang! Dia berteriak, "Bunuh aku!
Bunuh saja segera !"
"Rupanya kunyuk muka merah itu tidak takut
mampus, Prana!" ejek Wiro dari atas genteng.
"Ya, karena dia akan ketemu dengan setan-
setan yang jadi kambrat-kambratnya di
neraka!" sahut Pranajaya. Kemudian dengan
tak ampun lagi pemuda itu tusukkan ujung
pedangnya ke batang leher Setan Darah
Pertama. Manusia ini mengeluarkan suara
seperti ayam disembelih. Tubuhnya masih
melejang-lejang beberapa lama kemudian
diam tak bergerak-gerak lagi tanda nyawanya
sudah lepas meninggalkan tubuh!
"Sobat-sobat, urusan kita di sini sudah
selesai. Mari segera tinggalkan tempat sialan
ini!" seru Wiro Sableng. Sekar dan Prana
saling berpandangan sebentar, kemudian si
gadis melompat ke atas genteng disusul oleh
Pranajaya. Namun baru saja ketiga orang itu
sampai di halaman luar, terkejutlah mereka.
Kira-kira lima puluh orang prajurit Kerajaan
telah mengurung tempat itu dan delapan
manusia aneh berdiri memencar, memandang
dengan pandangan yang menggidikkan ke
arah mereka. Salah seorang dari yang delapan
ini berteriak. Suaranya melengking macam
perempuan.
"Tikus-tikus bermuka manusia! Jangan harap
kalian bisa berlalu hidup-hidup dari sini!"
MANUSIA yang berteriak itu adalah seorang
laki-laki berkepala sangat besar dan botak
tapi berbadan kecil dan pendek. Namanya
Gonggoseta. Pandangannya bengis dan
membayangkan maut! Pranajaya, Sekar dan
Wiro Sableng memandang berkeliling
memperhatikan manusia-manusia itu satu
demi satu.
"Celaka sobat," bisik Pranajaya.
"Mereka pastilah tokohtokoh silat kelas satu,
orang-orangnya Istana!"
"Kita memang lagi sialan," gerendeng
Pendekar 212. Sepasang matanya dengan
tenang menyapu delapan sosok tubuh
manusia-manusia aneh yang terpencar
mengurung mereka. Orang kedua sesudah
Gonggoseta ialah seorang kakek-kakek yang
hanya mengenakan cawat dan keseluruhan
tubuhnya mulai, dari kaki sampai ke muka
dicoreng moreng dengan sejenis cat berbagai
warna. Tampangnya mengerikan untuk
dipandang. Namanya Bagulpraksa tapi dia
lebih dikenal dengan julukan Harimau
Siluman. Manusia ketiga bernama Sangaji,
bertubuh tinggi langsing kurus dan berjanggut
biru. Di dunia persilatan dia dikenal dengan
gelar Si Janggut Biru. Yang ke empat, yang
berdiri di ujung kanan sendirian agak terpisah
dari lain-lainnya ialah seorang neneknenek
tua keriput bertelinga lebar. Telinganya yang
lebar ini membuyut ke bawah dan kelihatan
jadi tambah lebar karena diganduli oleh
anting-anting aneh yang besar luar biasa dan
berbentuk arit. Dia bukan lain tokoh silat
Istana yang dikenal dengan nama julukan Si
Telinga Arit Sakti. Wiro sapukan
pandangannya pada tokoh silat lain yang
berada di sebelah kiri ini berdiri memencar
empat orang lainnya. Yang pertama seorang
laki-laki berjubah hitam tapi yang mukanya
dicat putih sehingga tampangnya cukup
menggidikkan untuk dipandang! Jika tidak
salah menduga, menurut keterangan yang
pernah didengar Pendekar 212 maka manusia
ini adalah Hantu Hitam Muka Putih tokoh
silat golongan hitam yang berhati sejahat
iblis! Orang yang selanjutnya berdiri dengan
tubuh terbungkukbungkuk. Sepuluh kuku-kuku
jarinya panjang sekali dan berwarna hitam
legam. Dialah Si Cakar Iblis tokoh silat yang
merajai daerah selatan Jawa Timur! Manusia
ke tujuh adalah satu-satunya marusia yang
dikenal oleh Pranajaya yaitu Cindur Rampe
manusia yang muncul sewaktu dia hendak
diseret oleh Tiga Setan Darah ke Kotaraja
beberapa waktu yang lalu! Cindur Rampe
seorang resi kejam yang juga memelihara
janggut kambing berwarna putih. Manusia
terakhir ialah seorang laki-laki bermata picak
dan berambut panjang macam perempuan,
digulung di atas kepala! Namanya tidak satu
orangpun yang tahu. Dia dikenal dengan
julukan Si Picak Dari Utara. Jelaslah bahwa ke
delapan orang itu bukan manusiamanusia
sembarangan. Ini segera diketahui oleh Wiro
dan kawankawan. Bagi mereka yang delapan
ini lebih berbahaya dari lima puluh prajurit-
prajurit Kerajaan yang mengurung halaman
gedung itu! Si kepala besar badan kecil.
pendek Gonggoseta maju selangkah
kehadapan kehadapan ketiga orang itu dan
membuka mulut lagi, "Kalian semua musti
mampus di sini! Kalian dengar tikus-tikus
bermuka manusia?!" Pendekar 212 Wiro
Sableng memandang sebentar pada Sekar dan
Pranajaya lalu kemba ia palingkan muka
menghadapi Gonggoseta. Dan disaat itu
Gonggoseta kembali membentak, "Kalian
hanya diberi kesempatan untuk menerangkan
nama masing-masing agar tidak mampus
secara penasaran!"
Wiro Sableng mengulum senyum dan buka
mulut dengan suara lunak, "Ah, rasa-rasanya
kami yang disebutkan tikus-tikus bermuka
manusia ini tidak mempunyai permusuhan
dengan sobat-sobat semua."
"Sompret!" semprot Gonggoseta.
"Jangan sebut kami sobatsobatmu!" Wiro
garuk-garuk kepala lalu manggut-manggut.
"Lantaran apakah yang membuat kalian
semua ingin jiwa kami?! Kenalpun baru hari
ini!" Gonggoseta tertawa melengking dan
memandang pada kawan-kawannya.
"Sobat-sobatku!" serunya, "kalian dengar
omongan tikus gondrong itu?! Mereka tak ada
permusuhan dengan kita! Tidak mengerti
mengapa kita semua inginkan jiwa mereka!
Cuah!" Gonggoseta meludah ke tanah!
"Apa kalian masih belum tahu tengah
berhadapan dengan siapa saat ini?!"
"Ah," Wiro angkat bahu, "justru itu memang
yang kami kepingin tahu!" Gonggoseta
kembali keluarkan tertawa melengking.
"Aku Gonggoseta..," dia terangkan nama lalu
satu demi satu menyebutkan nama atau gelar
tujuh orang kawannya.
"Kami semua adalah tokoh– tokoh Istana,
hulubalang-hulubalang Kerajaan!" Wiro
Sableng manggut-manggut.
"Tidak disangka-sangka…," ujar pendekar ini.
"Setan alas, apa yang tidak kau sangka!"
sentak Gonggoseta sementara kambrat-
kambratnya yang lain tetap menunggu dengan
tenang.
"Tidak disangka-sangka kalau hari ini kami
akan bertemu dengan tokoh-tokoh silat
Istana! Dengan tokoh-tokoh yang berjulukan
hebat semua! Sungguh satu kehormatan bagi
kami!" Gonggoseta tertawa melengking.
Kawan-kawannya terdengar menggerendeng.
"Cuma kami belum tahu, urusan apakah yang
membuat kalian semua inginkan jiwa kami?!"
tanya Wiro.
"Tikus busuk! Jangan pura-pura tidak tahu!
Kalian telah membunuh Setan Pikulan dan
Tiga Setan Darah. Mereka adalah kawan-
kawan kami!"
"Kalian salah sangka!" jawab Wiro cepat.
"Kami tidak membunuh Setan Pikulan…"
"Jangan jual kentut!" hardik Gonggoseta. Wiro
Sableng tertawa, "Siapa yang jual kentut!"
jawabnya.
"Kentut puteri yang paling cantikpun dijagat
ini tak ada yang orang akan mau beli!" Paras
Gonggoseta dan tujuh kawannya menegang
membesi. Ini adalah satu penghinaan! Mereka
dipermain-mainkan! Di lain pihak Pranajaya
menggigit bibir! Bagaimana Wiro masih bisa
bergurau menghadapi bahaya macam begini?!
Pemuda bertangan buntung ini sudah sejak
tadi-tadi mengeluh dalam hati. Dia ingat
pesan gurunya. Kotaraja penuh dengan tokoh-
tokoh silat berilmu tinggi. Berurusan dengan
mereka berarti mati! Prana melirik pada
Sekar. Gadis baju kuning ini dilihatnya juga
berada dalam ketegangan. Gonggoseta maju
lagi selangkah!
"Sret!"
Dari balik punggungnya manusia kepala besar
ini cabut sebilah golok empat persegi panjang
yang lebarnya satu setengah jengkal! Senjata
ini berkilauan ditimpa sinar matahari sore!
"Sebut nama kalian masing-masing cepat!
Atau kalian mampus penasaran!"
"Dengar Gonggoseta," menyahuti Wiro
Sableng.
"Kami tidak dusta, kami sama sekali tidak
membunuh Setan Pikulan."
"Jika bukan kalian lantas siapa?! Juga siapa
yang membunuh Tiga Setan Darah di dalam
sana?!" Wiro angkat bahu.
"Mana kami tahu," jawabnya Dia memandang
ke langit di sebelah barat.
"Gonggoseta, hari sudah sore. Matahari
sebentar lagi mau tenggelam. Beri kami jalan.
Sebaiknya kalian lekas mencari dan
menyelidik siapa sebenarnya pembunuh
kawan-kawanmu itu sebelum hari menjadi
malam dan sebelum dia lari jauh…" Tubuh Si
Cakar Iblis kelihatan semakin membungkuk ke
muka. Dari mulutnya terdengar suara
menggerendeng. Lalu katanya, "Gonggoseta,
kuku-kuku jariku sudah tak sabar untuk
cepat-cepat mengkermus manusia-manusia
keparat ini! Kita semua sudah tahu bahwa
mereka yang menamatkan riwayat Tiga Setan
Darah. Tunggu apa lagi?!" Habis berkata
begitu Si Cakar Iblis menggerendeng keras.
Kedua tangannya yang berkuku panjang
menyambar ke muka Wiro Sableng! Cepat-
cepat Pendekar 212 melompat ke samping!
Wiro maklum, walau bagaimanapun kini
pertempuran tak dapat dihindarkan. Tujuh
orang tokoh-tokoh silat lainnya dilihatnya
telah bergerak pula, masing-masing keluarkan
senjata! Karenanya Pendekar 212 ini tidak
sungkan-sungkan lagi! Tangan kiri
menghantam ke muka ke arah Cakar Iblis
sedang tangan kanan menyelinap mencabut
Kapak Naga Geni 212 Sekar dan Prana tidak
pula tinggal diam melainkan cabut Rantai
Petaka Bumi dan Pedang Ekasakti! Begitu
serangannya luput, penuh penasaran Si Cakar
Iblis balikkan badan dan kembali menyerang
dengan jurus yang lebih hebat dari pertama
tadi. Namun betapa kagetnya manusia ini
sewaktu tubuhnya menjadi limbung disambar
serangkum angin yang ke luar dari pukulan
tangan kiri Wiro Sableng! Dua diantara tokoh-
tokoh silat Istana itu yakni Si Telinga Arit
Sakti dan Hantu Hitam Muka Putih berseru
kaget sewaktu melihat senjata yang
digenggam Wiro Sableng.
"Kapak Naga Geni 212!" seru mereka hampir
bersamaan. Yang lain-lainnya tersentak kaget!
Mereka belum pernah melihat senjata yang
pernah menggegerkan dunia persilatan itu,
cuma mendengar-dengar saja! Sungguh tak
dapat dipercaya kalau hari ini mereka
menyaksikan senjata mustika sakti itu berada
dalam tangan seorang pemuda berambut
gondrong bertampang dogol anak-anak! Rasa
heran tak percaya itu tidak berjalan lama dan
berubah menjadi keterkejutan dan kemarahan
yang amat sangat sewaktu Kapak Maut Naga
Geni 212 berkiblat dan meminta korban
pertama yaitu Si Picak Dari Utara! Si Picak
Dari Utara menjerit keras dan tubuh dengan
dada mandi darah dihantam kapak sakti itu
laksana ratusan tawon mengaung, anginnya
menderu-deru sedang dari mulut Pendekar
212 mulai terdengar suara siulan yang
diseling dengan suara tertawa aneh dan
bentakan-bentakan! Bila siulan itu terdengar,
bila suara tertawa aneh menyeling inilah satu
pertempuran besar yang dahsyat! Tubuhnya
sudah lenyap ditelan kecepatan geraknya dan
ditelan bayang-bayang gerakan tujuh
pengeroyoknya. Sekar dan Pranajaya putar
senjata masing-masing dan menghadapi tiga
orang pengeroyok sementara Wiro yang
berpunggung-punggungan dengan mereka
menghadapi empat pengeroyok lainnya! Lima
puluh prajurit Kerajaan mengurung dalam
bentuk lingkaran. Mereka memang sudah
diberitahu untuk mengambil posisi demikian
dan tidak turut menyerang!
"Rapatkan serangan!" teriak Gonggoseta
karena sampai lima jurus di muka tak
satupun yang sanggup mereka lakukan untuk
membobolkan pertahanan ketiga orang
pendekar itu! Dalam jurus ketujuh Harimau
Siluman mengurung persis macam harimau
dan dari mulutnya mengepul asap tujuh warna
yang mengerikan!
"Tutup jalan nafas!" teriak Wira memberi
ingat. Sekar dan Pranajaya segera melakukan
hal itu. Tapi Sekar terlambat. Hidungnya
keburu menghendus hawa beracun asap tujuh
warna itu. Tak ampun pemandangannya
menjadi gelap dan tubuhnya melosoh gontai.
Di saat itu Si Janggut Biru secepat kilat
tusukkan tongkat besinya ke perut gadis itu
"Trang! "
Bunga api memercik!
Tusukan tongkat besi Si Janggut Biru
terpapas ke samping karena dilanda badan
pedang Ekasakti di tangan Pranajaya!
Jurusjurus berikutnya semakin seru!
Limapuluh prajurit hampir tak sanggup
melihat dengan jelas gerakan-gerakan mereka
yang bertempur itu saking cepatnya! Harimau
Siluman masih juga mengeluarkan asap
beracunnya dari mulut. Penasaran sekali Wiro
Sableng berteriak, "Harimau Siluman, silahkan
makan asapmu sendiri!" Habis berkata begitu
Wiro pukulkan tangan kirinya. Pukulan angin
puyuh yang dikerahkan dengan setengah
bagian tenaga dalam itu hebatnya bukan
main. Asap tujuh warna yang dihembuskan
Harimau Siluman menjadi buyar berantakan
untuk kemudian menyerang pemiliknya
sendiri! Harimau Siluman menggerung.
Tubuhnya jatuh duduk di tanah, hidung dan
mulut serta matanya mengeluarkan darah
akibat diterpa racun asap tujuh warna.
Manusia ini keluarkan. sebutir pil penawar
racun, tapi sebelum pil itu sempat ditelannya,
racun asap tujuh warna sudah merambas ke
jantung dan paru-parunya. Tak ampun lagi
Harimau Siluman menggeletak mati di tanah!
Di saat yang sama Wiro Sableng mendengar
suara jeritan Pranajaya! Ketika dia menoleh
dilihatnya pemuda itu terhuyunghuyung
dengan tangan terluka parah dihantam
senjata berbentuk arit di tangan Si Telinga Arit
Sakti !
"Mampuslah!" teriak Telinga Arit Sakti.
Aritnya menyambar ke leher Prana yang saat
itu sudah tak bersenjata lagi karena tadi telah
terlepas sewaktu lengannya dihantam ujung
arit! Prana jatuhkan diri. Dia selamat. Tapi
sewaktu arit itu berkiblat membalik kembali,
murid Empu Blorok ini tiada sanggup lagi
menghindar.
Si Telinga Arit Sakti tertawa mengekeh.
"Wuss! "
Telinga Arit Sakti berseru kaget dan lompat
tujuh tombak ke atas. Satu sinar putih telah
melabrak ke arah tubuhnya. Panasnya bukan
main dan menyilaukan mata. Belum lagi dia
turun ke tanah disebelah sana sebelas orang
prajurit Kerajaan terdengar menjerit dan rubuh
ke tanah dengan tubuh hangus tiada nyawa!
"Pukulan Sinar Matahari!" teriak Si Telinga
Arit Sakti. Mukanya masih pucat. Yang lain-
lainnya juga mendadak sontak menjadi ngeri!
"Pemuda keparat, apakah kau murldnya Si
Sinto Gendeng?!" bentak Hantu Hitam Muka
Putih !
"Tanya pada penjaga neraka!" jawab
Pendekar 212. Sekali Kapak Naga Geni di
tangannya berkelebat maka terdengarlah pekik
Hantu Hitam Muka Putih! Kepalanya hampir
terbelah dua. Mukanya yang dicat putih kini
menjadi merah ditelan noda darah! Tubuhnya
angsrok saat itu juga ke tanah ! Gonggoseta
menerjang kalap. Golok empat seginya yang
amat besar itu membabat empat kali berturut-
turut! Sambil mengelak gesit Wiro berteriak,
"Prana, bawa Sekar dari sini! Tunggu aku di
tepi telaga di luar Kotaraja. Cepat!"
"Tidak mungkin, Wiro…," jawab Prana.
"Aku tak sanggup melakukannya. Racun arit
perempuan keparat itu telah menyesakkan
nafas dan melemahkan sekujur badanku! Sekar
sendiri entah masih hidup entah tidak….."
Pendekar 212 kertakkan rahang. Dia melirik
pada tubuh Sekar yang melingkar di tantah
dan putar Kapak Naga Geninya untuk
menerabas serangan tongkat Si Janggut Biru
dan cakar maut Si Cakar Iblis! Meski cuma
melirik sekilas namun mata Wiro Sableng
yang tajam masih bisa memastikan bahwa
Sekar saat itu masih bernafas, cuma
keadaannya memang kritis akibat telah
mencium asap beracun yang dihembuskan
oleh Harimau Siluman. Dengan tangan kirinya
Wiro cepat mengambil dua butir pil dari balik
pakaian putihnya.
"Prana!." serunya.
"Lekas telah pil ini dan berikan satu kepada
Sekar."
Melihat ini Gonggoseta segera berusaha untuk
menghalang! Dua butir pil yang melesat ke
arah Prana hendak ditendangnya dengan kaki
kanan namun tangan kiri Wiro Sableng
bergerak lebih cepat ke arah manusia pendek
berkepala besar ini. Selarik sinar menyilaukan
menyambar Gonggoseta!
"Pukulan sinar matahari!" seri Si Telinga Arit
Sakti.
"Gonggoseta, lekas lompat menghindar!"
memperingatkan perempuan sakti ini.
Mendengar peringatan itu dan maklum akan
kehebatan pukulan sinar matahari yang tadi
sudah disaksikannya sendiri. Gonggoseta
cepat menghindar ke samping, namun
terlambat! Kaki kanannya kurang lekas ditarik
pulang! Terdengar lolongan Gonggoseta, Kaki
kanannya itu melepuh hangus dan
mengeluarkan asap sewaktu dilanda pukulan
sinar matahari. Tubuhnya terpelanting tiga
tombak. Dikerahkannya tenaga dalamnya,
dikeluarkannya sejenis obat untuk menolak
luka besar dan rangsangan racun yang
menjalar dari kaki kanannya! Namun semua
itu sia-sia. Tak satu kekuatan apapun
agaknya yang sanggup mengobati kakinya
yang hangus, tak ada satu obat penawarpun
yang sanggup memusnahkan racun pukulan
sinar matahari! Gonggoseta meraung-raung
dan bergulingan di tanah, kemudian tubuhnya
tak bergerak-gerak lagi tanda nyawanya lepas
sudah! Kehebatan pukulan sinar matahari
yang dilepaskan Wiro tidak saja hanya
meminta korban jiwanya Gonggoseta tapi juga
seperti tadi, diseberang sana terdengar lagi
pekik kematian enam orang prajurit yang
tersambar pukulan sinar matahari!
Keenamnya laksana daun-daun kering
disambar angin keras, berpelantingan dan
mati seketika itu juga! Meski dalam keadaan
tangan terluka parah, bahkan kalau tidak hati-
hati tangannya sendiri bisa tersambar
pukulan sinar matahari namun dengan susah
payah akhirnya Pranajaya berhasil juga
menyambut dua butir pil yang dilemparkan
Wiro. Obat itu segera ditelannya dan yang
satu lagi dimasukkannya dengan cepat ke
dalam mulut Sekar. Melihat kematian kawan
mereka yang ke empat itu semakin meluaplah
kemarahan dan dendam maut tokoh-tokoh
silat lainnya yaitu Si Telinga Arit Sakti, Cindur
Rampe, Cakar Iblis serta Si Janggut Biru.
Keempatnya mengurung Wiro dengan rapat.
Tongkat besi Si Janggut Biru laksana taburan
hujan menderu-deru menyambar ke seluruh
tubuh Pendekar 212. Kuku-kuku jari Si Cakar
Iblis yang mengandung racun yang sangat
dahsyat tiada hentinya mencari sasaran
dibagianbagian tubuh Wiro yang berbahaya.
Arit ditangan Si Telinga Arit Sakti berkelebat
cepat memapas kian kemari sedang Cindur
Rampe tiada hentinya lepaskan pukulan ireng
weliung yang mendatangkan angin dahsyat
berwarna hitam dan beracun! Dan bagaimana
keempat tokoh-tokoh silat utama ini tidak
menjadi dibikin tambah mengkal karena
semua serangan maut mereka itu sampai
sepuluh jurus di muka masih belum sanggup
merubuhkan Pendekar 212. Jangankan
merubuhkan, untuk melukai sedikit saja salah
satu bagian tubuh murid Eyang Sinto Gendeng
itupun mereka tiada sanggup! Dan lebih
membuat mereka penasaran betul ialah
karena dari mulut Pendekar 212 tiada
hentinya ke luar suara siulan yang sekali-
sekali diselingi oleh suara tertawa bernada
mengejek! Pil yang diberikan oleh Wiro
Sableng kepada Prana memang mengandung
khasiat yang luar biasa. Obat itu Eyang Sinto
Gendeng sendiri yang meramunya. Pada
waktu pertempuran dijurus ke sepuluh
berkecamuk hebat-hebatnya maka Prana
mulai merasakan keadaan tubuhnya puluh
kembali. Lukanya tiada terasa sakit lagi dan
darah yang mengucur berhenti. Ketika dia
berpaling pada Sekar, dilihatnya gadis itu
membuka kedua matanya dan menggerakkan
kepala.
"Prana, lekas tinggalkan tempat ini! Bawa
Sekar!" berseru lagi Wiro. Pranajaya
mengambil pedang Ekasakti yang tercampak
di tanah lalu berdiri. Apa yang dilakukannya
bukanlah mengikuti ucapan Wiro melainkan
terus menyerbu ke dalam kalangan
pertempuran !
"Pemuda tolol!" damprat Wiro.
"Disuruh selamatkan diri malah bertempur!"
Prana tidak berkata apa-apa melainkan terus
babatkan pedangnya ke arah Cakar Iblis di
sebelah kiri Wiro. Kalau sendiri tadi empat
tokoh silat Istana itu tiada sanggup
menghadapi Wiro maka ditambah dengan
munculnya Pranajaya kini keempat tokoh silat
itu menjadi terdesak total! Tubuh keempatnya
terbungkus sinar pedang dan sinar kapak dan
agaknya pertahanan mereka itu tak akan
berjalan lebih lama. Dalam waktu singkat
pasti sekurang-kurangnya salah seorang dari
mereka akan menjadi korban lagi!
"Tahan! Hentikan pertempuran ini!" teriak
Cindur Rampe seraya melompat ke luar dari
kalangan. Sejak mulanya dia memang tak
mau ikut-ikutan membela kematian Tiga
Setan Darah karena antara dia dengan Tiga
Setan Darah sendiri mempunyai perselisihan
yang belum terselesaikan. Namun karena tak
ingin dicap pengecut terpaksa juga Cindur
Rampe pergi bersama yang lain-lainnya itu
untuk membuat perhitungan dengan Wiro dan
kawan-kawannya.
"Apa maumu Cindur Rampe?!" tanya Wiro
dengan melintangkan kapak di muka dada
sementara Sekar saat itu sudah berdiri di
sampingnya dengan Rantai Petaka Bumi di
tangan kanan.
"Antara kami dan kalian tak ada permusuhan.
Karenanya tak perlu pertempuran gila ini
diteruskan…!" Wiro tertawa tawar.
"Tadipun aku sudah bilang! Tapi kalian
semua tidak mau dengar! Sayang empat
orang kawan kalian sudah melayang jiwanya!"
Cindur Rampe berpaling pada kawan-
kawannya dan memberi isyarat untuk berlalu.
Si Janggut Biru sudah hendak mengikuti
Cindur Rampe tapi tak jadi kaena saat itu
terdengar bentakan Si Telinga Arit Sakti.
"Cindur Rampe resi keparat! Apakah nyalimu
sepengecut begini?! Apa kau relakan begitu
saja empat kawan kita menemui kematian ?!"
Paras Cindur Rampe menjadi merah.
"Perempuan edan!" balasnya membentak,
"jangan bicara seenak perutmu! Kalau kau
dan yang lain-lainnya mau meneruskan
pertempuran ini, silahkan! Kalian mencari
mampus!" Cindur Rampe langkahkan kedua
kakinya.
"Kalau begitu biar kau yang mampus lebih
dulu pengecut!" teriak Telinga Arit Sakti dan
perempuan ini segera melabrak Cindur Rampe.
Kedua orang itupun terlibatlah dalam satu
pertempuran seru. Wiro tertawa rnengekeh.
Dia berpaling pada Prana dan Sekar,
"Kawan-kawan mari kita tinggalkan tempat
ini," katanya.
"Biar saja mereka baku hantam satu sama
lain!"
"Kalian tak akan berlalu dari sini tikus-tikus
keparat!" Wiro putar kepala. Yang membentak
adalah Si Cakar Iblis. Tubuhnya merunduk,
kedua tangannya yang berkuku-kuku panjang
diulurkan ke muka. Di sampingnya Si Janggut
Biru berdiri dengan hati bimbang, apakah
akan berlalu dari situ atau meneruskan lagi
pertempuran. Cakar Iblis menggerung dahsyat!
Sepuluh kuku jari tangannya rnengeluarkan
sinar hitam dan sedetik kemudian sepuluh
sinar hitam itu mencurah ke arah Wiro.
Pendekar 212 sabetkan Kapak Naga Geni ke
muka. Sepuluh larikan sinar hitam buyar tapi
di lain kejapan sepuluh kuku-kuku jari Si
Cakar Iblis tahu-tahu sudah berada di depan
muka Pendekar 212! Wiro Sableng terkejut
sekali dan menyurut kebelakang! Sepuluh kuku
hitam itu memburu laksana kilat! Dan
terdengar kekeh Si Cakar Iblis,
"Kau tak akan bisa selamatkan jiwamu dari
jurus sepuluh ular berbisa berebut buah ini!"
katanya.
Wiro memaki Dia melompat ke belakang tapi
secepat lompatannya itu begitu pula cepatnya
sepuluh kuku itu memburunya lagi !
"Mampuslah!" Teriak Si Cakar Iblis dan kedua
tangannya laksana kilat menggapai ke muka
Pendekar 212. Terdengar satu jeritan !
Pendekar 212 usap parasnya dan
memperhatikan bagaimana Si Cakar Iblis
berdiri terhuyung-huyung! Kedua lengannya
terpapas buntung dilanda mata kapak di
tangan Wiro dalam satu jurus serangan
balasan yang amat luar biasa hebatnya !
"Manusia keparat… maki Si Cakar Iblis. Darah
memancur dari kedua pergelangan tangannya.
"Sekalipun kau menang, jiwamu tidak akan
aman! Aku akan mampus dan akan jadi setan!
Akan mencekik batang lehermu…."
"Sialan! Sudah mau mati masih omong
besar!" damprat Wiro Sableng. Sekali kaki
kanannya bergerak maka mentallah Si Cakar
Iblis ! Wiro berpaling pada Si Janggut Biru.
"Bagaimana? Mau coba-coba rasanya
mampus sobat?!" tanya Wiro pula. Si Janggut
Biru meludah ke tanah. Tanpa berkata apa-
apa segera ditinggalkannya tempat itu. Wiro
memandang pada Si Telinga Arit Sakti yang
tengah bertempur hebat dengan Cindur
Rampe.
"Bertempurlah terus sampai salah seorang
dari kalian mampus!" seru Wiro. Lalu dengan
cepat bersama Sekar dan Prana dia berlalu
dari situ. Tak satu prajurit kerajaanpun yang
berani dan bernyali menghalangi mereka !
Sementara itu Si Telinga Arit Sakti berteriak
keras, "Cindur Rampe! Hentikan pertempuran
ini! Kita harus kejar ketiga bangsat itu!"
Cindur Rampe melompat mundur.
"Aku masih mau hidup Arit Sakti!" kata Cindur
Rampe pula.
"Kalau kau mau mengejar mereka silahkan!"
Cindur Rampe berkelebat meninggalkan
tempat itu. Si Telinga Arit Sakti memaki
habis-habisan. Bila dia tinggal seorang diri
dan menyaksikan lima mayat kawan-
kawannya yang menggeletak mati di halaman
gedung itu, diam-diam diapun merasa kecut
dan menyadari bahwa seorang diri tak akan
ada gunanya dia mengejar ketiga manusia itu.
Akhirnya perempuan sakti ini berkelebat dan
lenyap kejurusan timur!
WAKTU mereka menghentikan lari masing-
masing, ketiganya telah berada jauh di luar
Kotaraja. Mereka saling pandang dan Wiro
membuka pembicaraan dengan senyum di
bibir.
"Sobat-sobat, ke mana kita sekarang?" Sekar
tidak memberikan jawaban. Pranajaya
memperhatikah paras gadis ini sebentar lalu
berkata, "Aku akan terus ke timur. Ke Pulau
Seribu Maut, mencari Cambuk Api Angin milik
guruku yang telah dilarikan oleh Bagaspati!"
Wiro manggut-manggut. Dia merenung
sejenak lalu berkata, "Pulau Seribu Maut,
Cambuk Api Angin. Bagaspati.. nama-nama
yang hebat. Perjalananmu ke ujung Jawa
Timur pasti merupakan suatu hal yang
menarik. Saudara Prana, kau keberatan bila
aku ikut bersamamu….?" Pranajaya berseru
gembira.
"Memang itu yang aku harapharapkan Wiro.
Jalan jauh banyak dilihat, kawan seiring sukar
didapat!" Wiro Sableng tertawa.
"Bagaimana dengan kau Sekar?" tanya murid
Eyang Sinto Gendeng itu. Prana memandang
lekat-lekat pada gadis itu. Di balik
pandangannya itu tersembunyi suatu
perasaan kecemasan. Dan perasaan itu
semakin jelas kelihatan sewaktu Wiro berkata,
"Kau musti kembali ke tempat gurumu…." Tapi
si gadis justru gelengkan kepala.
"Aku ikut bersamamu… bersama kalian…" kata
Sekar. Wiro Sableng kerenyitkan kening.
"Pengalamanmu di Kotaraja kurasa cukup
memberikan gambaran bagaimana penuhnya
dunia ini dengan seribu satu macam bahaya
dan kejahatan! Perjalanan ke Pulau Seribu
Maut pasti lebih berbahaya dari
pengalamanmu di Kotaraja."
"Apakah kau terlalu menganggap aku ini
orang perempuan bangsa kurcaci yang takut
segala macam bahaya?!" tukas Sekar. Wiro
berpaling pada Pranajaya yang sampai saat
itu masih memandang pada Sekar.
"Dia memang pintar omong!," kata Wiro pula.
"Adatnya keras. Mautnya dia musti maunya
juga! Urusan laki-laki mau disamakan dengan
urusan perempuan…."
"Sudah!" potong Sekar seraya membalikkan
badan memunggungi kedua pemuda itu. Wiro
Sableng tertawa dan garuk-garuk kepalanya.
"Yang aku khawatirkan," kata Pendekar 212
pula, "kalau-kalau gurumu kelak akan salah
sangka dan menduga kami yang menjebloskan
kau ke dalam persoalan rumit penuh bahaya
ini!"
"Soal guruku itu soalku dengan beliau. Yang
penting sekarang kita sama-sama pergi ke
Pulau Seribu Maut. Apa aku sebagai orang
persilatan tidak boleh mencari pengalaman?"
"Tentu saja boleh" sahut Wiro sementara
Pranajaya sampai saat itu tak sepatahpun
membuka mulut selain memandang seperti
tadi-tadi pada Sekar.
"Tapi sekarang belum saatnya," menyambungi
Wiro.
"Kau tak berhak melarangku Wiro. Siapapun
tak berhak melarang ke mana aku mau
pergi…!"
"Berabe! Berabe!" ujar Wiro Sableng.
"Bagaimana Prana, kita ajak dia…?"
Pranajaya angkat bahu.
"Terserah padamu, Wiro." Wiro Sableng tarik
dan hembuskan nafas panjang.
"Baik Sekar, kau boleh ikut bersama kami!
Tapi ingat, kalau terjadi apa-apa dengan kau
dan kami tak sanggup- menolongmu, jangan
kelak menyesalkan kami berdua…!" Maka tak
lama kemudian ketiga orang itupun kelihatan
berkelebat dan dengan mengeluarkan ilmu lari
masing-masing mereka tinggalkan tempat itu
dengan sangat cepat. MALAM itu malam yang
ketiga bagi rombongan yang terdiri dari tiga
orang itu dalam perjalanan mereka menuju
Pulau Seribu Maut di ujung timur pulau Jawa.
Mereka berhenti di tepi sebuah anak sungai
berair jernih. Langit bersih kebiruan. Bintang-
bintang bertaburan dan bulan sabit
memperindah suasana malam yang sejuk itu.
Pranajaya memasukkan empat potong kayu
kering ke dalam api unggun lalu melangkah
perlahan ke tepi sungai. Di lihatnya gadis itu
duduk di sebuah batu besar, tengah melamun
seorang diri. Prana datang mendekat. Untuk
beberapa lamanya tidak satupun dari mereka
yang bicara. Si pemuda memandang ke langit
lepas. Dia mendapat bahan untuk membuka
pembicaraan, "Bagus betul malam yang sekali
ini." Sekar memandang ke atas,
memperhatikan bulan sabit dan bintang-
bintang yang bertaburan lalu menganggukkan
kepalanya.
"Wiro belum kembali?" tanya gadis itu.
"Belum," sahut Prana. Hatinya menciut. Sekar
lebih banyak memperhatikan seorang lain
yang tak ada di situ daripada kehadiran
dirinya di sampingnya di atas batu itu. Dan
Prana sendiri tidak tahu ke mana pula Wiro
pergi. Dua malam yang lalupun pemuda itu
selalu pergi tanpa memberi tahu ke mana.
Seakan-akan kepergiannya itu merupakan hal
yang disengaja. Pranajaya berdehem
beberapa kali untuk menghilangkan sekatan
yang menyesakkan lehernya. Dipandanginya
paras jelita Sekar dari samping. Betapa
indahnya paras itu dipandang dibawah
naungan malam yang disinari bulan sabit dan
bintang gumintang.
"Kau masih belum memberikan jawaban apa-
apa atas ucapanku malam pertama yang lalu,
Sekar…," berkata Pranajaya. Suaranya sekali
ini tiada bernada ditelan sendiri oleh gema
gemetar suaranya itu. Sekar memandang ke
hulu sungai lalu menundukkan kepalanya.
"Apakah tak akan pernah ada balasan?" tanya
Pranajaya. Si gadis memandang lagi ke hulu
sungai lalu membuka mulut, "Dalam
perjalanan ini bukan persoalan cinta yang
musti dipikirkan Prana…"
Suara Sekar pelahan, hampir seperti berbisik
namun begitu mengiang telinga Pranajaya
kedengarannya Paras pemuda ini membeku
merah. Ditundukkannya kepalanya.
"Kurasa bukan disitu sesungguhnya dasar
jawabanmu, Sekar," ujar pemuda itu pula
"Lalu….?"
"Kau mencintai dia…?" tanya Prana seberani
mungkin.
"Dia siapa?"
"Tak usah berpura-pura…." Sekar memandang
pemuda itu sebentar.
"Maksudmu Wiro?" tanyanya. Si pemuda
anggukkan kepala. Sekar tertawa.
"Suara tertawamu aneh, Sekar," bisik
Pranajaya.
"Seolah-olah membenarkan pertanyaanku
tadi." Sekar diam.
"Aku memang bukan apa-apa jika
dibandingkan dengan Wiro…."
"Kau tak usah cemburu Prana"
"Terus terang saja dalam persoalan ini aku
cemburu padanya. Aku iri," kata Pranajaya
dengan hati laki-laki.
"Tapi kecemburuan dan iri hatiku itu tidak
menyebabkan aku menjadi buta atau lupa diri
atau mempunyai maksud yang buruk-buruk
terhadap kalian berdua. Aku cemburu dan iri
pada Wiro, tapi aku menghormati dan
menghargainya sebagai seorang sahabat.
Sebagai seorang manusia kepada siapa aku
berhutang budi serta nyawa. Bahkan lebih
dari itu aku mengganggap Wiro bukan orang
lain, tapi sudah sebagai saudara kandung
sendiri…." Sekar masih diam dan Pranajaya
meneruskan ucapanucapannya.
"Aku menyadari kenyataan Sekar. Kenyataan
bahwa aku bukan apa-apa jika dibandingkan
dengan dia. Ilmunya tinggi, parasnya gagah
dan jasmaninya tidak mempunyai cacat apa-
apa. Yang lebih utama dia adalah seorang
laki-laki berhati jantan, luhur dan kudus…..
Jika kau mau berterus terang Sekar, aku tak
akan membuka-buka lagi persoalan ini. Aku
akan lebih bahagia dan bangga jika kalian
bisa hidup berdua dan berbahagia…."
"Antara aku dan Wiro tak ada hubungan apa-
apa, Prana," memotong Sekar.
"Tak sepantasnya kau bicara sampai sejauh
itu." Pranajaya memandang ke langit di
atasnya. Diperhatikannya bulan sabit dan dia
berkata .
"Mungkin, tapi kau tak bisa menipu dirimu
sendiri! Sekar. Kau tak bisa mendustai kata
hatimu. Kau mencintai dia….." Sekar
tundukkan kepalanya memperhatikan jari-jari
kakinya yang mungil bagus.
"Aku tak ingin membicarakan persoalan ini
lebih lanjut Prana."
"Jadi tak ada jawaban darimu? Tak ada
jawaban berarti suatu penolakan Sekar…" Sepi
menyeling. Pranajaya menunggu sampai
beberapa lamanya. Dipandanginya paras
Sekar seketika. Dan bila tak ada juga jawaban
dari gadis itu maka Prana memutar tubuh dan
perlahan-lahan meninggalkan tempat itu.
Sekar memalingkan kepalanya. Di
pandanginya tubuh yang berjalan itu,
dipandanginya kaki yang melangkah itu,
dipandanginya kepala yang tertunduk itu dan
dipandanginya tangan kiri yang buntung itu.
Hati gadis ini memukul-mukul. Suaranya
serak parau sewaktu mulutnya mernanggil,
"Prana…" Panggilan itu laksana satu kekuatan
gaib yang membuat kedua kaki Pranajaya
berhenti melangkah dan tubuhnya berhenti
berjalan. Si pemuda palingkan kepala.
Diantara keputus-asaan yang menyelimuti
wajahnya di malam sejuk itu kelihatan
sekelumit pengharapan. Dan matanya
memandang sayu pada si gadis, menunggu
ucapan selanjutnya.
"Prana….."
"Ya, Sekar…"
"Bersediakan kau menunda pembicaraanmu
ini sampai berakhirnya tugasmu di Pulau
Seribu Maut nanti…?"
Si pemuda.merenung sejenak. Lalu jawabnya,
"Aku bersedia Sekar meski aku tahu mungkin
tak ada harapan sama~sekali bagiku…."
"Mungkin yang orang duga tak selalu
mungkin pada kenyataan, Prana," kata Sekar.
Pranajaya murid Empu Blorok coba
merenungkan ucapan gadis itu. Kemudian
sekelumit senyum tersungging dibibirnya.
"Kuharapkan saja demikian, Sekar," kata
Prana. Lalu ditinggalkannya tempat itu.
DI PAGI HARI yang kesembilan ketiga orang
itu kelihatan berdiri di tepi pantai di ujung,
timur pulau Jawa. Di laut kelihatan gugusan
pulau-pulau. Ada yang berkelompok-
kelompok, ada yang terpisah menyendiri.
Perahu-perahu nelayan kelihatan di
manamana. Angin dari laut bertiup,
melambai-lambaikan rambut serta pakaian
mereka. Pranajaya menunjuk ke sebuah teluk
sempit dan berkata, "Di situ ada
perkampungan nelayan. Kita bisa mencari
keterangan di mana letak Pulau Seribu Maut
dan sekalipun menyewa perahu serta membeli
perbekalan." Wiro mengangguk. Ketiganya
segera menuju ke perkampungan itu. Seorang
nelayan tua mereka temui tengah memperbaiki
jala di teluk itu. Prana menyalaminya lalu
bertanya, "Bapak, yang manakah di antara
pulau-pulau di tengah laut sana yang
bernama Pulau Seribu Maut?" Pertahan-lahan
nelayan tua, itu mengangkat kepalanya dan
membuka topi pandannya. Dipandanginya
Pranajaya, lalu Wiro dan Sekar.
"Kau bertanyakan Pulau Seribu Maut nak?"
ujar nelayan tua ini. Prana mengangguk.
"Kalau tak tahu jelasnya kira-kira saja,"
berkata Wiro. Si nelayan hela nafas dalam.
"Umurku enam puluh tahun nak. Dan hari
inilah baru kudengar ada seorang yang
bertanya di mana letak Pulau Seribu Maut,"
Nelayan itu hela nafas dalam sekali lagi.
"Apakah kalian hendak menuju ke sana?"
"Betul" sahut Prana.
Mata yang sudah agak mengabur di mana
umur dari nelayan tua itu memperhatikan
ketiga manusia itu dengan lebih teliti.
"Kalian tentunya orang-orang dunia
persilatan. Tidak heran kalau kalian bernyali
menanyakan letak pulau itu. Urusan apakah
gerangan yang membawa kalian begitu
berniat meriuju ke snna?"
"Ah tak ada apa-apa, pak. Cuma kepingin
tahu saja," jawab Prana. Si nelayan tertawa.
"Kepingin tahu dan menemui kematian di
sana…? Nak, dengar… hanya manusia-
manusaa yang mau lekaslekas mati saja yang
berhajat pergi ke Pulau Seribu Maut…."
"Namanya memang menyeramkan," kata Wiro
sambil usapusap dagu.
"Tapi sebetulnya ada kehebatan apakah di
sana sampai pulau itu demikian ditakuti
orang-orang?"
"Ah, kalian bukan orang-orang sini. Kalian
tidak tahu, Nak…. di situ bersarang
gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh
seorang bernama Bagaspati. Setiap perahu
atau kapal yang lewat diselat Madura ini
pasti dirampok, manusia-manusianya
dibunuhi. Kampungku inipun tak urung
menjadi korban kejahatan Bagaspati dan anak
buahnya. Perempuanperempuan kami diambil
dan dibawa ke Pulau Seribu Maut. Satu kali
seminggu kami musti menyiapkan dan
memberikan bahan-bahan makanan kepada
mereka. Kami tak bisa berbuat apa-apa nak.
Kalau melawan berarti mati….."
"Kenapa tidak pindah ke kampung lain?"
tanya Sekar.
"Lebih berabe lagi!" jawab si nelayan.
"Kalau kami berani pergi dari sini, semua
penghuni kampung dari yang kecil sampai tua
macamku ini akan dibunuh! Begitu Bagaspati
mengancam…"
"Pernah berhadapan muka dengan manusia
Bagaspati itu?" tanya Prana.
"Pernah dan pernah ditampar. Tiga hari aku
tak bisa meninggalkan tempat tidur karena
masih pening di landa tamparannya."
Wiro Sableng mengulum senyum.
Diperhatikannya beberapa buah perahu yang
berada di tepi pantai itu.
"Perahu-perahu bapak?" tanya Wiro. Si
nelayan mengangguk.
"Bisa kami sewa sebuah?"
"Untuk pergi ke Pulau Seribu Maut?!."
"Ya." Nelayan tua geleng-gelengkan
kepalanya.
"Aku memang sudah tua dan hampir masuk
liang kubur. Tapi walau bagaimanapun aku
tak mau cari urusan yang bisa mempercepat
kematianku! Tak ada satu orangpun yang
akan mau menyewakan perahunya ke Pulau
Seribu Maut. Tak ada satu pemilik perahupun
yang akan mengantarkan kalian ke sana.
Pulau Seribu Maut adalah pulau kematian!"
"Kalau begitu bapak terangkan saja
letaknya."
"Tidak bisa nak… tidak bisa…" Si nelayan lalu
cepat-cepat meninggalkan ketiga orang itu.
Yang ditinggalkan saling berpandangan lalu
pergi ke pusat kampung. Dan sebagaimana
yang dikatakan nelayan tua tadi, tak ada
seorang pemilik perahupun yang mau
menyewakan perahunya, apalagi mengantar
mereka ke Pulau Seribu Maut. Juga ketiganya
tak berhasil mencari keterangan di mana kira-
kira letak pulau angker tersebut.
"Penduduk di sini sialan semua!" gerutu Wiro
Sableng.
"Pada mati ketakutan! Kurasa mencari dan
pergi ke tempat seorang puteri cantik tidak
sesukar ini! Cuma mencari Kepala bajak saja
begini susah! Geblek!"
"Kita tak bisa salahkan penduduk Wiro," ujar
Prana.
"Kalau begini kita terpaksa bikin perahu
sendiri atau rakit!" kata Wiro mengalih
pembicaraan. Prana mengangguk.
"Rakit kurasa lebih baik daripada perahu.
Ombak di selat ini cukup besar…"
Menjelang tengah hari maka di tengah laut
lepas di selat Madura itu kelihatanlah sebuah
rakit yang laksana "terbang" memecah
gelombang air laut, melaju dalam kecepatan
yang luar biasa, semakin lama semakin jauh
dari pantai ! Beberapa nelayan yang perahu
mereka kebetulan dilewati oleh rakit itu
tersentak kaget. Mereka hampir-hampir tak
dapat mempercayai pandangan mata mereka.
Apakah mereka telah mengimpi di siang
bolong yang panas terik itu atau telah melihat
jin-jin laut gentayangan di depan mereka?!
Betapakan tidak! Tiga orang mereka lihat
berada di atas rakit itu. Satu diantaranya
gadis cantik jelita. Meski ombak tidak besar
tapi untuk mengarungi lautan dalam
kecepatan yang demikian rupa dan dengan
sebuah rakit pula benar-benar mustahil,
benar-benar tak bisa mereka percaya! Dan
yang lebih tidak dapat mereka percayai ialah
karena dua orang pemuda yang ada di atas
rakit itu mempergunakan tangan-tangan
mereka sebagai pendayung yang membuat
rakit tersebut laksana terbang!
"Jangan-jangan jin-jin laut yang kita lihat ini,
Warana," kata seorang nelayan pada
kawannya yang berada dalam sebuah perahu
jauh dimuka rakit itu. Dia dan kawannya
sama-sama mengusap mata berkalikali.
"Hai, lihat! Mereka menuju ke sini!" seru
Warana.
"Celaka kita! Kayuh yang cepat Warana
sebelum jin-jin laut itu datang mencekik kita!"
Warana dan kawannya segera menyambar
pendayung. Tapi belum lagi kedua kayu
pandayung mereka mencelup ke dalam air
laut, rakit yang berisi tiga manusia itu sudah
berhenti dihadapan mereka! Paras kedua
nelayan itu pucat pasi. Meski yang mereka
lihat adalah benar-benar manusia, namun
rasa tak percaya tetap membuat mereka
menyangka bawa tiga manusia di atas rakit
itu adalah jin-jin laut yang datang
menganggu mereka!
"Saudara, yang manakah Pulau Seribu Maut?"
bertanya laki-laki muda yang bertangan
buntung. Baik Warana maupun nelayan yang
satu lagi hanya terduduk bermuka pucat
dalam perahu mereka tanpa bisa membuka
mutut. Wiro memandang keheranan, juga
Sekar.
"Hai, apa kalian tak dengar orang bertanya?!"
seru Wiro Sableng. Warana membuka mulut
tapi tak ada suara yang ke luar.
"Kalian seperti orang yang ketakutan!" ujar
Wiro. Prana juga melihat bayangan ketakutan
itu pada wajah kedua nelayan tersebut. Dia
tak tahu apa sebabnya dan dia tak mau
perduli. Dia bertanya lagi .
"Di mana letak Pulau Seribu Maut ?!"
"Saudara-saudara… apa kalian… kalian…"
Warana tak berani meneruskan ucapannya.
Ketika dilihatnya kawannya mencelupkan
pendayung segera dilakukannya hal yang
sama. Perahu mereka segera bergerak tapi
kemudian terhenti dengan tiba-tiba. Kedua
nelayan itu pergunakan seluruh tenaga untuk
mendayung namun tetap saja perahunya
hanya mengapung dan sedikitpun tak bisa
bergerak. Ternyata Wiro Sableng telah
memegang ujung belakang perahu mereka dan
semakin menjadi-jadilah takut kedua orang
itu. Mereka berteriak-teriak dan lari sana lari
sini dalam perahu mereka. Ikan-ikan yang
berhasil mereka tangkap berhamburan
kembali ke dalam laut!
"Nelayan-nelayan geblek! Apa kalian sudah
gila semua teriakteriak tak karuan?!" bentak
Wiro.
"Tolong! Tolong …. !" teriak Warana.
Kawannya meniru berteriak macam itu pula.
"Saudara-saudara kami bukan rampok atau
bajak!" seru Pranajaya. . Wiro garuk-garuk
kepalanya dan melangkah kehadapan Warana.
"Keblinger betul! Orang tanya Pulau Seribu
Maut kenapa jadi teriak-teriak minta
tolong ?!"
"Tolong jin laut! Tolong… !"
Wiro, Prana dan Sekar saling berpandangan.
Sekar kemudian berbisik pada Prana,
"Keduanya menyangka kita jin laut…!" Wiro
Sableng menjambak rambut Warana dan
menepuk-nepuk pipi nelayan ini.
"Kau kira kami ini bukannya manusia apa?!
Sompret! Kami manusia-manusia macam kau
saudara! Ayo jawab kenapa kalian teriak-
teriak dan di mana letak Pulau Seribu Maut?!"
Dijambak demikian rupa Warana semakin
memperkeras teriakannya.
"Manusia tak berguna pergilah!" sentak Wiro
Sableng seraya melepaskan jambakannya.
Begitu dilepas begitu Warana sambar
pendayung dan bersama kawannya mengayuh
cepat meninggalkan rakit itu. Meledaklah
tertawa ketiga orang itu sewaktu Sekar
berkata, "Tentu saja, mana mereka mau
percaya bahwa kita adalah manusiamanusia
seperti mereka. Tak ada orang yang berakit di
laut dan dengan kecepat laksana angin!" Wiro
seka kedua matanya yang basah oleh air
mata karena tertawa itu. Dia memandang
berkeliling dan tarik nafas dalam.
"Agaknya tak ada satu manusiapun yang bisa
kasih keterangan di mana letak Pulau itu…"
kata Wiro.
"Kita musti cari sampai dapat!" Prana
kertakkan rahang. Wiro memandang pada
Sekar. Gadis itu dilihatnya memandang ke
arah utara tanpa berkesip.
"Apa yang kau perhatikan?" tanya Wiro. Sekar
tak menjawab dan dia masih memandang
kejurusan utara itu. Wira putar kepala
mengikuti pandangan Sekar. Jauh di tengah
laut lepas di lihatnya dua buah pulau yang
besarnya dipemandangan mata mereka cuma
sebesar ujung jari kelingking saja.
"Bagaimana kalau kita arahkan rakit kita ke
sana?" mengusulkan Sekar. Wiro dan Prana
saling pandang dan sama menyetujui. Dan
rakit itupun menggebulah di atas air laut
yang muncrat di belah bagian muka rakit.
Detik demi detik kedua pulau itu semakin
dekat juga.
"Salah satu dari pulau-pulau itu banyak elang
elang lautnya Wiro," kata Prana. Wiro Sableng
memandang pada pulau yang sebelah kanan.
Di atas pulau itu memang keiihatan banyak
beterbangan burung-burung.
"Itu bukan burung elang, Prana. Tapi gagak
hitam pemakan mayat!" seru Wiro tiba-tiba
ketika, matanya yang tajam dapat mengenal
burung-burung itu. Prana pelototkan mata.
"Sekar, putar kemudi ke arah pulau itu!" kata
Prana. Dan sesaat kemudian rakit itupun
meluncur berputar ke arah pulau yang sebelah
kanan. Semakin dekat semakin jelas keadaan
pulau itu. Beberapa buah perahu besar dan
kapal kelihatan berada di sekitar teluk yang
sempit.
"Hai benda apa itu?!" mendadak sontak Sekar
berseru. Wiro dan Prana berpaling ke arah
yang ditunjuk Sekar. Sebuah benda hitam
yang sangat besar.meluncur pesat ke arah
mereka.
"Ikan raksasa!" seru Sekar pula. Wiro Sableng
memandang tak berkesip. Benda hitam besar
itu memang seperti kepala seekor ikan. Tapi
bukan ikan betul-betul. Wiro masih coba
meneliti dengan seksama ketika tiba-tiba
sekali benda itu lenyap dari permukaan air.
"Aku merasa tidak enak," desis Prana.
"Kita musti waspada," kata Wiro. Baru saja
dia habis berkata begini tahu-tahu benda
hitam yang luar biasa besarnya itu sudah
muncul dihadapan rakit mereka. Bagian
tengahnya laksana seekor buaya raksasa
membuka dan "plup" sekaligus menelan rakit
serta ketiga penumpangnya!
"Celaka!" seru Prana. Tapi suaranya lenyap
ditelan katupan yang menutup. Wiro mernukul
lengan tinjunya kian ke mari. Terdengar suara
bergetar tapi aapa yang dipukulnya itu sama
sekali tidak hancur !
"Gila, apa-apa ini!" teriak Pendekar 212.
Dia tak bisa melihat Sekar ataupun Prana.
Ruang di mana mereka terkurung sangat gelap
bahkan tangan di depan matapun tidak
kelihatan. Pendekar 212 keluarkan Kapak
Naga Geni dan batu hitam untuk membuat
penerangan. Namun sebelum tangannya
menyentuh senjata sakti itu tiba-tiba
terdengar suara mendesis. Sekejap kelihatan
sinar biru. Prana dan Sekar berseru lalu
terdengar suara jatuhnya tubuh kedua orang
itu ! Sinar biru Ienyap. Wiro yakin itu adalah
hawa beracun yang telah disemprotkan ke
dalam ruangan gelap itu. Kepalanya terasa
pusing dan pemandangannya tak karuan. Dia
seperti melihat ribuan bintang begemerlap,
seperti melihat tali-tali yang melingkar-
lingkar berkilauan dan menusuk-nusuk ke arah
matanya. Pendekar 212 segera kerahkan
tenaga dalam dan tutup semua inderanya.
Satu menit kemudian dia berhasil menolak
hawa beracun itu lalu dengan cepat keluarkan
dua butir pil dan dengan merangkak dia
berhasil mencari tubuh Sekar dan Prana lalu
memasukkan pil anti racun ke dalam mulut
keduanya. Mendadak terdengar suara
berkereketan dan ruangan itu di mana Wiro
berada seperti dihamparkan. Kemudian
sebuah pintu terbuka. Pendekar 212 segera
jatuhkan diri diantara tubuh Prana dan Sekar.
Saat itu keduanya sudah mulai sadar. Wiro
segera membisiki, "Berbuatlah pura-pura
pingsan terus! Jangan lakukan apa-apa
sebelum kuberi tanda!" Terdengar lagi suara
berkereketan kemudian tubuh mereka terasa
menggelindung dan jatuh di atas pasir yang
panas dihangati oleh sinar matahari.
Perlahan-lahan Wiro Sableng buka ke dua
matanya. Saat itu terdengar suara seseorang
tertawa bergelak.
"Surengwilis! Jadi inikah manusia-
manusianya yang katamu kasak kusuk cari
keterangan tentang pulau kita?!"
"Betul pemimpin!" terdengar jawaban
seseorang. Wiro Sableng membuka matanya
lebih lebaran.
Dan dihadapannya, beberapa tombak jauhnya
dilihatnya antara belasan manusia-manusia
berbadan tegap, berdiri seorang laki-laki yang
luar biasa tinggi dan besar badannya.
Menurut taksiran Wiro manusia ini mungkin
lebih dua meter tingginya! Tampangnya
beringas buas dan amat menyeramkan,
ditutupi oleh berewok yang lebat dan
berangasan! Sepasang matanya besar dan
merah. Hidung juga besar tapi picak. Dia
mengenakan jubah hitam bergaris-garis putih.
Di pingggangnya tergantung sebilah pedang
panjang. Yang menarik perhatian Wiro ialah
tengkorak kepala manusia yang menjadi
kalung dan tergantung di leher laki-laki ini.
"Hem…," si tinggi besar berkalung tengkorak
manusia itu menggumam. Dia memandeng
berkeliling, "Apa ada diantara kalian yang
kenal pada mereka?!" Tak ada suara jawaban.
"Kalau begitu mereka adalah manusia-
manusia tidak berguna!" ujar si tinggi besar.
"Penggal kepala kedua laki-laki itu! Yang
perempuan biarkan hidup! Dia cukup bagus
untuk disuruh menari telanjang malam ini dan
tidur bersamaku!" Beberapa kaki kelihatan
melangkah kehadapan ketiga orang itu. Wiro
berbisik pada kedua-kawannya, "Sekarang,
sobat-sobat!" Maka ketiga manusia yang
berpura-pura pingsan itu segera melompat
dari tanah di mana mereka menggeletak !
KEJUT semua orang yang ada di situ bukan
kepalang! Tapi anehnya si tinggi kekar malah
keluarkan suara tertawa mengkeh.
"Ha . . . ha! Kalian kira mataku bisa ditipu
huh?!" Sadarlah Wiro dan kawan-kawannya
bahwa ucapan si tinggi kekar memerintahkan
anak-anak buahnya untuk memenggal kepala
mereka adalah pancingan belaka. Pendekar
212 menggerendeng dalam hati.
"Sebelum kalian mati kuharap kalian mau
kasih keterangan," berkata si tinggi besar
yang berjubah hitam bergaris-garis putih.
Tangan kanannya ditekankan ke ujung gagang
pedang.
"Ada keperluan apa kau mencari tempat ini?!"
"Apakah ini Pulau Seribu Maut?!," balas
menanya Pranajaya. Si tinggi kekar tertawa
lagi.
"Kalian memang sudah berada di Pulau yang
kalian cari! Pulau di mana kalian akan
melepas nyawa masing-masing?" Tersiraplah
darah Prana dan Sekar. Pendekar 212 tetap
tenangtenang saja. Prana memandang lekat-
lekat pada si tinggi kekar.
"Aku mencari manusia bernama Bagaspati.
Apakah kau orangnya!"
"Setan alas! Kowe berani sebut nama
pemimpin kami seenak perutmu! Terima
mampus!" Satu hardikan datang dari samping
dan satu sambaran angin menderu ke arah
leher Prana. Pemuda ini cepat-pepat
menyingkir ke samping. Ujung sebilah
kelewang menderu di muka hidungnya !
"Tahan!" seru laki-laki bertubuh tinggi kekar.
Orang yang tadi menyerang dengan kelewang
bersurut mundur. Si tinggi kekar pelototkan
mata pada Pranajaya.
"Manusia tangan buntung!," katanya, "aku
memang Bagaspati! Menyebut namaku berarti
mati! Tapi kau masih punya waktu untuk
memberi keterangan ada keperluan apa kau
dan kawan-kawanmu mencari pulau kami!"
"Kedatanganku atas tugas guruku!"
"Hem…. aku sudah duga bahwa kau dan
kawan-kawanmu manusia-manusia dari dunia
persilatan! Terangkan apa tugasmu dan siapa
gurumu!" ujar si tinggi besar Bagaspati.
"Aku diperintahkan untuk mengambi! Cambuk
Api Angin yang telah kau curi dari guruku!"
Bagaimanapun Bagaspati menekan rasa
terkejutnya namun pada air mukanya jelas
kelihatan perubahan.
"Apakah kau muridnya Empu Blorok?!"
tanyanya membentak. Prana anggukkan
kepala.
"Mana cambuk itu?! Lekas serahkan padaku!"
Meledaklah tertawa bekakan Bagaspati.
Tanah yang dipijak bergetar saking hebatnya
suara tertawa yang disertai tenaga dalam itu.
"Nyalimu sungguh besar tangan buntung!,"
kata Bagaspati seraya melangkah kehadapan
Prana.
"Sreet !"
Tiba-tiba Bagaspati cabut pedang
panjangnya. Senjata ini berwarna hitam legam
bersinar yang menggidikkan. Dia hentikan
langkahnya dua tombak dihadapan Prana lalu
membentak, "Lekas sebut kau punya nama!
Aku tak biasa membunuh manusia dunia
persilatan tanpa tahu namanya!" Sebagai
jawaban Pranajaya cabut pula pedang
Ekasaktinya. Sinar putih berkilau ke luar dari
senjata mustika itu.
"Aku datang hanya untuk mengambil Cambuk
Api Angin. Kalau kau menghadapinya dengap
kekerasan tak ada jalan lain daripada
menabas batang lehermu!"
"Bedebah sontoloyo!" teriak Bagaspati marah.
Pedang hitamnya berkelebat ganas, menderu
ke arah tubuh Pranajaya, sekaligus
merupakan tiga buah serangan berantai yang
dahsyat !
Murid Empu Blorok tidak tinggal diam. Prana
segera kiblatkan senjatanya. Pedang putih
dan pedang hitam beradu mengeluarkan suara
keras dan memercikkan bunga api ! Terdengar
seruan Prana. Pedang Ekasakti terlepas dan
mental dari tangannya. Sekejap kemudian
senjata itu sudah berada di tangan kiri
Bagaspati!
"Ha… ha…. ha…. Gurumu keliwat sembrono
manusia tangan buntung! Murid masih
berilmu cetek disuruh mencari Bagaspati!"
Bagaspati angkat tangan kanannya tinggi-
tinggi.
"Sebut namamu cepat!" perintahnya. Pedang
hitam ditangan kanan sementara itu
perlahanlahan mulai turun, siap diletakkan ke
kepala Pranajaya.
"Bagaspati," terdengar satu suara dari
samping, "Sebelum kau bunuh kawanku ini,
harap beri kesempatan padaku untuk
bicara…..!" Bagaspati palingkan kepala
dengan penuh kegusaran.
"Rambut gondrong, kau bakal terima mampus
sesudah kematian kawanmu ini!" Pendekar
212 Wiro Sableng tersenyum.
"Kami datang secara damai untuk meminta
kembali pedang yang telah kau pinjam dari
Empu Blorok. Apakah pantas seorang
bernama besar sepertimu menyambut
kedatangan kami dengan perlakuan seperti
ini?"
"Pemuda geblek! Pulau ini adalah Pulau
Seribu Maut! Kematian bisa terjadi setiap
detik! Siapa yang menyebut nama Bagaspati
dengan kurang ajar berarti mati!" kata
Bagaspati dengan membentak marah dan
muka merah.
"Ah …. kau masih saja sebut-sebut perkara
mati dan mampus," menukasi Pendekar 212
sambil cengar cengir seenaknya.
"Kawanku sudah bilang bahwa kami datang
ke sini untuk minta kembali Cambuk Api
Angin. Soal mati atau mampus bisa diurus
kemudian kalau kau sudah serahkan cambuk
itu padanya! Malah-malah kini kau rampas
pedang kawanku!"
"Pemimpin! Yang satu ini biar aku yang
bereskan!" satu manusia bertubuh tegap maju
dengan kapak besar ditangan kanan.
Namanya Surengwilis. Dialah yang telah
mengetahui kedatangan Prana dan kawan-
kawan yang kemudian melaporkan pada
Bagaspati. Bagaspati anggukan kepala.
"Lekas bereskart dia, Sureng!"
"Sobat kalau kau punya senjata silahkan
keluarkan. Aku tak begitu senang membunuh
manusia bertangan kosong!" bentak
Surengwilis yang saat itu sudah berdiri
dihadapan Wiro Sableng. Wiro Sableng garuk
kepala.
"Aku tak ada senjata. Bisa pinjam pedang
hitammu, Bagaspati?!" Tentu saja kemarahan
Bagaspati si kepala bajak laut menjadi naik
ke kepala.
"Sureng! Lekas bunuh manusia keparat itu!"
teriaknya. Kapak di tangan Surengwilis
menderu laksana topan. Detik senjata itu
berkiblat, detik itu pulalah terdengar jeritan
Surengwilis. Tubuhnya mencelat mental
beberapa tombak dan kapak yang tadi
dipegangnya tahu-tahu sudah berada di
tangan Wiro Sableng! Semua mata melotot
besar seperti tak percaya melihat kejadian itu.
Di ujung sana Surengwilis mencoba bangun
dari tanah. Dia berdiri gontai seketika sambil
memegangi dadanya. Mulutnya membuka
seperti hendak mengatakan sesuatu tapi yang
ke luar dari mulut itu bukan suara melainkan
darah kental dan segar. Sesaat kemudian
tubuh Surengwilis melosoh pingsan ke tanah!
"Anak-anak tangkap hidup-hidup keparat ini!"
perintah Bagaspati penuh kemarahan. Habis
berkata begitu dia segera menyerang Prana
dengan pedang di tangan. Satu tusukkan
cepat dikirimkannya kepada Prana. Ketika si
pemuda bersurut ke samping kanan Bagaspati
membabat dengan pedang Ekasakti yang
ditangan kirinya. Namun saat itu satu senjata
aneh berkelebat ke arah kepalanya, membuat
Bagaspati cepat-cepat urungkan serangan.
Ketika dia berpaling senjata aneh itu
membalik lagi dan menderu ke perutnya !
Yang menyerang pemimpin bajak ini bukan
lain Sekar dengan senjata Rantai Petaka
Bumi. Kegusaran dan kemarahan Bagaspati
tiada terkirakan. Dia membentak keras dan
sekaligus tebar serangan pada Prana dan
Sekar! Sewaktu Bagaspati memerintahkan
anak-anak buahnya menangkap Pendekar 212
maka lima manusia bertubuh katai maju ke
muka. Masing-masing mereka memegang
sebuah jala hitam. Satu diantara kelimanya
berteriak memberi komando maka lima pasang
tangan bergerak dan lima buah jala hitam
menebar mulai dari kaki sampai ke kepala
Wiro Sableng. Pendekar 212 gerakkan kedua
tangannya sekaligus! Angin deras memapasi
lima buah jala itu tapi anehnya jala-jala itu
tiada sanggup dibikin mental oleh pukulan
dahsyat sang pendekar! Dengan kecepatan
luar biasa salah satu dari jala mernjerat
tangan Wiro Sableng. Murid Eyang Sinto
Gendeng ini betot tangannya untuk menarik
jala dan si katai yang memegangnya namun
tahu-tahu jala itu bergerak cepat dan kini
menjirat sampai ke bahu! Dikejap yang sama
jala kedua menjirat kaki kiri Wiro Sableng.
Jala ketiga melibat pinggang, jala ke empat
membungkus kepala sampai ke dada, jala ke
lima melingkar di betis kaki kanan. Terdengar
lagi teriakan salah satu dari lima manusia
katai itu dan semua mereka menggerakkan
tangan masing-masing. Maka sekali tarik saja
tubuh Pendekar 212 tergelimpang dan
bergulingan di tanah. Seluruh tubuh mulai
dari kaki sampai ke kepala terjerat jala!
Pendekar 212 kerahkan tenaga dalam ke ujung
dua tangannya. Tapi kejut Wiro Sableng tidak
terkirakan sewaktu. menghadapi kenyataan
bahwa dia tak sanggup merobek atau
membobolkan jala itu dengan sepeuluh jari-
jari tangannya Wiro lipat gandakan tenaga
dalamnya. Tetap sia-sia belaka! Malah
libatan jala semakin ketat. Tubuh Wiro
terhempas ke sebuah pohon. Lima manusia
katai anak buah Bagaspati segera
mengurungnya. Masing-masing mereka siap
membungkuk untuk menotok tubuh Pendekar
212.
Wiro pejamkan mata. Mulutnya komat kamit.
Pada saat sepuluh ujung jari hendak melanda
menotok badannya maka terdengarlah
bentakan yang luar biasa kerasnya.
"Ciaat !"
Dua larik sinar putih yang panas dan sangat
menyilaukan menderu! Lima manusia katai
mencelat dan meraung. Ketika tubuh mereka
terhempas ke tanah kelihatanlah bagaimana
pakaian dan kulit mereka melepuh hangus dan
hitam. Kelimanya tiada berkutik lagi tanda tak
satupun saat itu dari manusia-manusia katai
ini yang masih bernafas! Wiro telah lepaskan
dua pukulan sinar matahari sekaligus !
Melihat Lima Jala Sakti, demikian nama
kelima manusia katai itu menemui kematian
maka seluruh anak buah Bagaspati segera
menggempur Pendekar 212. Di lain pihak
Bagaspati sendiri saat itu tengah mendesak
hebat Pranajaya yang bertangan kosong dan
Sekar yang bersenjatakan Rantai Petaka Bumi.
Paling lama kedua muda mudi ini hanya akan
sanggup bertahan sebanyak lima jurus!
Pendekar 212 memandang berkeliling. Kira-
kira enam puluh orang anak buah Bagaspati
yang memegang berbagai macam senjata
mengurungnya sangat rapat. Wiro tak dapat
menduga sampai di mana kehebatan ilmu
silat bajak-bajak laut ini. Jika mereka cuma
mengandalkan ilmu silat luaran, jumlah
mereka terlalu banyak untuk mengeroyok satu
orang musuh. Salah-salah mereka bisa baku
hantam membunuh kawan sendiri. Dengan
pandangan tenang, Pendekar 212 menyapu
muka-muka bajak laut yang semakin maju
dan memperketat pengurungan.
"Kalian mau main keroyok?!" kertas Wiro.
"Boleh!" kedua telapak tangan dipentang ke
muka.
"Tapi sebelum kalian mulai, aku masih satu
peringatan pada kalian! Jika kalian semua
berjanji mau hidup menjadi orang baik-baik,
menghentikan kerja sebagai bajak laut,
niscaya aku ampuni jiwa kalian!" Seorang
bajak berbadan tegap yang cuma memakai
celana dan berbadan penuh bulu meludah ke
tanah!
"Jangan mengigau pemuda keparat!"
semprotnya.
"Tubuhmu akan tercincang lumat!" Wiro
Sableng tertawa dan keluarkan siulan dari
sela bibirnya.
"Pulau ini Pulau Seribu Maut! Berat kalian
yang keras-keras kepala akan mati dalam
seribu cara! Majulah!" Si dada berbulu
memandang berkeliling.
"Kawan-kawan! Mari berebut pahala
menghabiskan nyawa busuk manusia edan
ini!" Habis berkata begitu dia keluarkan suara
melengking hebat dan enam puluh manusia
laksana lingkaran air bah datang menyerang !
Wiro membentak dahsyat. Pulau itu serasa
bergoncang, liangliang telinga laksana
ditusuk! Meskipun hati tergetar namun
keenam puluh bajak itu terus juga menyerang!
Puluhan senjata berserabutan!
"Manusia-manusia tolol! Pergilah!" teriak
Wiro Sableng. Kedua tangannya diputar di
atas kepala, demikian cepatnya laksana
titiran. Dari kedua telapak tangan Pendekar
212 menderu-deru angin dahsyat. Pasir
beterbangan, daun-daun pepohonan luruh
gugur! Sembilan belas bajak laut yang paling
muka merasakan tubuh mereka seperti
ditahan oleh dinding keras yang tak dapat
dilihat mata. Kejut mereka bukan main. Dan
belum lagi habis kejut itu Wiro tiba-tiba
membentak sekali lagi! Kesembilan belas
orang bajak laut itu berpelantingan laksana
daun kering disapu angin! Pukulan yang
dikeluarkan Pendekar 212 tadi adalah pukulan
angin puyuh! Bajak-bajak yang lain dengan
kalap melompat ke muka dan babatkan
senjata masing-masing. Wiro Sableng
membentak lagi. Dan belasan bajak kembali
terpelanting! Suasana menjadi kacau balau
kini. Mereka berteriak-teriak tapi tak berani
maju ke muka sekalipun saat itu Wiro sudah
hentikan pukulan angin puyuhnya!
"Kenapa pada teriak-teriak macam monyet
terbakar ekor?!" tanya Wiro mengejek.
"Ayo majulahl Bukankah kalian mau
mencincang aku?!" Mendadak Pendekar 212
mendengar suara beradunya senjata dan
suara seruan Sekar. Sewaktu dipalingkannya
kepalanya, Wiro masih sempat melihat
bagaimana pedang hitam ditangan Bagaspati
berhasil memapas putus Rantai Petaka Besi
yang menjadi senjata Sekar. Pedang hitam itu
kemudian laksana kilat membabat ke perut si
gadis. Sekar tak punya kesempatan mengelak
karena saat itu perhatiannya telah terpukau
oleh putusnya senjatanya serta rasa sakit
yang menjalari lengan kanannya akibat
beradu senjata tadi! Pranajaya yang melihat
bahaya itu dengan kalap dan dengan tangan
kosong lepaskan pukulan angin sewu ke arah
Bagaspati. Tapi tiada guna. Babatan pedang
Bagaspati datang terlalu cepat dan Bagaspati
sendiri masih sempat putar pedang Ekasakti
di tangan kirinya untuk melindungi dirinya
dari pukulan angin sewu itu! Satu jari lagi
pedang hitam di tangan kanan Bagaspati
akan merobek perut dan membusaikan usus
Sekar maka dari samping menderu selarik
sinar putuh yang dahsyat! Demikian
dahsyatnya sehingga Bagaspati terpaksa tarik
pulang tangan kanannya dan melompat ke
belakang beberapa tombak !
"Wuss !"
Pukulan sinar matahari menggebu di depan
hidung pemimpin bajak laut itu! Mata
Bagaspati kelihatan tambah besar dan
tambah merah tapi air mukanya pucat pasi!
Dia sadar terlambat sedikit saja dia
metompat tadi pastilah dia akan konyol
dilanda sinar putih pukulan lawan!
Kemarahan Bagaspati tiada terkirakan. Lebih-
lebih melihat belasan anak buahnya
bergeletakan pingsan di mana-mana dan yang
masih hidup berdiri dengan muka pucat di
tempat masing-masing, sama sekali tidak
menyerang atau mengeroyok Wiro Sableng !
"Keparat! Kenapa kalian melongo semua?!
Lekas bereskan setan alas yang satu ini!"
Anggota-anggota bajak laut itu bimbang
seketika. Namun karena ngeri pada
kemarahan serta hukuman yang kelak bakal
mereka terima dari pimpinan merta, dua puluh
orang diantaranya segera maju dan serentak
menyerang.
"Manusia tolol! Kalian minta mampus saja!"
teriak Wiro. Dengan serta merta dia pukulkan
tangan kirinya. Sinar putih untuk kesekian
kalinya menderu. Dan pukulan sinar matahari
yang sekali ini meminta korban enam belas
jiwa bajak-bajak laut itu. Pekik maut
terdengar di mana-mana !
"Siapa yang mau mampus dan ikut perintah
Bagaspati silahkan maju!" teriak Wiro. Tak
satu anggota bajakpun yang bergerak di
tempatnya. Jangankan bergerak, berdiripun
lutut mereka sudah goyah! Sementara
Bagaspati berpikir-pikir pukulan apakah yang
telah dilepaskan Wiro Sableng, maka si
pendekar dari Gunung Gede ini palingkan
kepalanya pada pemimpin bajak laut itu.
"Bagaspati, jika kau berjanji akan
mengembalikan Cambuk Api Angin, dan
berjanji membubarkan gerombolan bajak
yang- kau pimpin selama ini lalu kembali jadi
manusia baik-baik, masih belum terlambat
bagimu untuk kuberi ampun!" Bagaspati
tertawa mengejek.
"Kepongahanmu setinggi gunung!" jawabnya.
"Meski ilmumu setinggi langit seluas lautan,
Bagaspati tak akan sudi menyerah padamu
kecuali kalau kau yang terlebih dulu serahkan
jiwa padaku!" Wiro Sableng bersiul dan
tertawa gelak-gelak.
"Kau bisa juga bersyair Bagaspati. Kalau
betul-betul hatimu sekeras batu tidak
mempunyai kesadaran, kelak kau terpaksa
bersyair di neraka! Silahkan mulai!"
"Cabut senjatamu setan alas!" bentak
Bagaspati.
"Ini senjataku Bagaspati!" Wiro acungkan
kedua tangannya.
"Kalau begitu aku akan mampus penasaran!"
Bagaspati lemparkan pedang Ekasakti yang di
tangan kirinya. Pedang mustika milik Prana
itu menderu laksana kilat ke arahnya. Wiro
miringkan kepalanya sedikit. Pedang putih
lewat di sampingnya dan menancap di batang
pohon kelapa! Prana cepat mengambilnya.
"Wiro, biar aku yang bikin perhitungan dengan
manusia ini!"
"Ah, kau tak usah mengotori tangan dengan
darah manusia maling ini, Prana," kata Wiro
pula dengan suara keras lantang.
Prana sadar bahwa Wiro telah menolongnya
dari satu kedudukan yang merugikan. Dia
tahu bahwa dia tak bakal sanggup
menghadapi Bagaspati. Dengan berkata
demikian Wiro bukan saja telah menolongnya
tapi sekaligus membuat dia tidak kehilangan
muka sama sekali !
"Ayo seranglah!" teriak Wiro ketika Bagaspati
masih dilihatnya berdiri tak bergerak.
"Kau terlalu cepat-cepat ingin mati rupanya
setan alas!" desis Bagaspati. Tubuhnya
membungkuk ke muka. Kedua kakinya
melesak ke dalam tanah sampai dua dim. Ini
satu tanda bahwa dia tengah kerahkan tenaga
dalam dan siap untuk melancarkan serangan
yang dahsyat! Didahului dengan teriakan
macam serigala melolong di malam buta
maka Bagaspati melesat ke muka. Dua
tendangan dahsyat menderu ke arah perut dan
kepala Pendekar 212 sedang pedang hitam
membuat satu jurus yang mengandung lima
serangan berantai !
"Ciaat!
" Wiro lepaskan pukulan kunyuk melempar
buah. Meski pukulan ini berhasil membuat
tendangan lawan batal namun pukulan itu
sendiri kemudian dibikin buyar oleh sambaran
angin pedang Bagaspati! Penasaran sekali
Wiro dalam jurus kedua membuka serangan
dengan jurus membuka jendela memanah
rembulan. Lengan kanan dipukulkan
melintang dari atas ke bawah sedang tangan
kiri meluncur ke atas dalam gerakan vang
cepat laksana kilat sukar dilihat mata dan
terdengarlah seruan tertahan Bagaspati!
Betapakan tidak. Detik itu juga dirasakannya
pedang hitamnya telah terlepas dari tangan,
ditarik oleh satu betotan yang dahsyat! Dan
bila dia memandang ke depan dilihatnya
senjata itu sudah berada di tangan Wiro
Sableng !
"Ha…. ha, bagaimana Bagaspati?! Akan kita
lanjutkan pertempuran ini?!" Muka Bagaspati
mengelam merah.
"Setan alas. Kau datang ke sini untuk mencari
Cambuk Api Angin bukan?! Baik! Aku akan
keluarkan senjata itu. Tapi bukan untuk
diberikan padamu huh! Tapi untuk bikin kau
mati konyol!" Bagaspati selinapkan tangan ke
dalam jubahnya. Sesaat kemudian maka
ditangannya tergenggam sebuah cambuk
berhulu gading, berwarna merah. Bagaspati
mengekeh.
"Ini ambillah!" Cambuk Api Angin di tangan
Bagaspati berkelebat mengeluarkan angin
laksana topan dan semburan lidah api yang
luar biasa panasnya!
"Prana! Sekar Lekas menyingkir!" teriak Wiro
seraya buang diri ke samping beberapa
tombak! Cambuk Api angin menderu dahsyat
menghantam pohon kelapa di belakang Wiro.
Pohon kelapa ini terbabat putus dan baik
putusan yang mental di udara maupun yang
masih tinggal tertanam di tanah, semuanya
hangus ditelan api! Diam-diam Pendekar 212
leletkan lidah. Di saat itu pula Cambuk Api
Angin menderu kembali. Wiro kiblatkan
pedang hitam milik Bagaspati. Sementara itu
dia melihat bagaimana anak-anak buah
Bagaspati yang ada menyingkir sejauh
mungkin! Pedang hitam dan cambuk Api
Angin saling bentrokan! Api menyembur! Wiro
berseru kaget dan cepat-cepat lepaskan
pedang hitam di tangannya! Pedang itu
berubah menjadi merah, terbakar api Cambuk
sakti !
"Keparat!," maki Wiro dalam hati.
"Hebat sekali Cambuk Api Angin itu!" Cambuk
Api Angin datang bergulung-gulung. Suaranya
seperti petir susul menyusul! Pendekar 212
menjadi sibuk! Melompat kian kemari dengan
cepat, jungkir balik di udara dan berguling di
tanah! Semua itu untuk hindarkan diri dari
serangan Cambuk Api Angin yang ganas!
Pranajaya sendiri tiada menduga Cambuk Api
Angin demikian hebatnya. Diam-diam pemuda
ini merasa khawatir apakah Wiro akan
sanggup bertahan sampai lima jurus di muka
Pakaian Wiro dilihatnya sudah kotor dan
robek-robek. Rambutnya yang gondrong
acakacakan, mukanya berselemotan tanah!
Dan cambuk sakti itu masih juga menderu-
deru, mengejar ke mana Wiro berkelebat! Dua
jurus di muka Pendekar 212 benar-benar
dibikin sibuk sekali malah terdesak hebat dan
dipaksa bertahan mati-matian! Di dalam
ketegangan pertempuran yang menyesakkan
dada itu tiba-tiba terdengarlah gelak tertawa
yang aneh dan suara siulan menggidikkan tak
menentu iramanya! Dalam kejap itu pula sinar
putih, kelihatan menabur angin yang
memerihkan kulit menderu sedang suara
seperti ratusan tawon terdengar datang dari
segala jurusan dan tubuh Wiro Sableng
sendiri lenyap dari pemandangan! Bagaspati
putar Cambuk Api Angin lebih cepat.
Dentuman macam suara petir terdengar tiada
henti. Angin laksana topan menggebu dan
lidah api hampir setiap saat menyembur
ganas! Namun kini gerakan-gerakan yang
dibuat Cambuk sakti itu tidak leluasa seperti
tadi lagi. Cambuk Api Angin tertahan dalam
telikungan putih sinar Kapak Naga Geni 212
ditangan Wiro Sableng ! Bagaimanapun
Bagaspati rubah jurus-jurus silat dan
percepat permainan cambuknya tetap saja dia
merasa semakin kepepet.
"Terima jurus naga sabatkan ekor ini
Bagaspati!" seru Wiro. Bagaspati hanya
mendengar suara Wiro saja. Serangan Wiro
yang bernama jurus naga sabatkan ekor itu
sama sekali tidak sanggup dilihatnya karena
cepatnya ! Dan tahu-tahu…
"Craas!"
Lalu terdengar lolongan Bagaspati. Cambuk
Api Angin terlepas dari tangan kanannya.
Tangan kanan itu sendiri tercampak ke tanah,
buntung dibabat Kapak Maut Naga Geni 212
sampai sebatas bahu ! Darah menyembur
kental dan merah. Bagaspati macam orang
gila menjerit-jerit dan lari sana lari sini,
seradak seruduk macam orang celeng! Racun
Kapak Naga Geni mulai menjalari pembuluh-
pembuluh darahnya. Ketika pemandangannya
berkunang dan lututnya goyah tak ampun lagi
pemimpin bajak ini melosoh ke tanah,
berguling-guling dan menjerit-jerit tiada
henti! Semua anak buahnya memandang
dengan penuh ngeri !
"Bunuh saja aku! Bunuh!" teriak Bagaspati
karena tidak sanggup merasakan sakit yang
menggerogoti dirinya akibat serangan racun
yang sudah menyusup ke seluruh tubuhnya!
Bagaspati masih terus berteriak dan
berguling-guling sampai beberapa saat di
muka namun kemudian ketika nyawanya
lepas, maka tubuh itupun menggeletak tak
berkutik lagi! Bagaspati mati dengan tubuh
menelentang mulut berbusah dan mata
melotot ke langit! Sungguh menggidikkan
memandang tampangnya! Pendekar 212 tarik
nafas dalam. Sekali tiup saja maka lenyaplah
noda darah pada mata Kapak Naga Geni 212.
Dia melangkah dan mengambil Cambuk Api
Angin.
"Senjata hebat," katanya sambil geleng
kepala. Lalu Cambuk Api Angin itu
diberikannya pada Pranajaya.
"Terima kasih Wiro" kata Prana dengan penuh
gembira tapi juga haru. Di saat itu Wiro
Sableng sudah melangkah kehadapan
anggota-anggota bajak yang masih hidup.
Jumlah mereka tak lebih dari tiga puluh lima
orang kini.
"Kalian semua sudah lihat sendiri betapa
mengerikan kematian itu!" seru Wiro dengan
suara lantang.
"Kuharap ini menjadi pelajaran yang baik!
Berjanjilah bahwa kalian mau meninggalkan
pulau ini, berhenti jadi bajak laut dan hidup
sebagai manusia baik-baik. Banyak pekerjaan
baik seperti jadi nelayan, petani atau
berdagang! Dan atas janji kalian itu kami
bertiga akan ampunkan nyawa kalian!"
Hening sejenak. Salah seorang anggota bajak
tiba-tiba jatuhkan diri berlutut. Kawan-
kawannya juga kemudian menyusul berlutut.
Wiro garuk-garuk kepala.
"Buset! Orang suruh berjanji kenapa pada
berlutut? Memangnya aku ini Tuhan
disembahsembah! Bangun semua!" teriak
Wiro. Semua anggota banjak itu cepat bangkit
berdiri. Pada paras mereka kelihatan rasa
tunduk dan kesadaran serta niat untuk
kembali hidup sebagai orang baik-baik.
"Tampang-tampang kalian aku kenal semua!
Ingat! Kalau kelak ada diantara kalian yang
masih kutemui hidup dalam jalan jahat, kalian
tahu hukuman apa yang bakal kalian terima!"
Wiro berpaling pada kedua kawannya.
"Sudah saatnya kita tinggalkan tempat ini
kawan-kawan." Prana dan Sekar mengangguk.
Ketika ketiganya hendak berlalu salah seorang
bekas anggota bajak berseru,
"Tunggu !"
"Ada apa?!" tanya Wiro.
"Di pulau ini ada satu gudang besar berisi
timbunan barang dan uang. Apa yang akan
kami lakukan dengan benda-benda itu?!"
"Busyet kenapa jadi tolol?! Kalian bagi-bagi
saja sama rata dan jadikan modal buat hidup
baik-baik!" sahut Wiro. Seorang bekas anak
buah Bagaspati lainnya berkata, "Kami tidak
keberatan memberikan separoh dari harta dan
uang itu pada kalian bertiga!" Pendekar 212
berpaling pada. kedua kawannya lalu
tersenyum.
"Terima kasih sobat! Kami datang ke sini
bukan buat cari harta atau uang, tapi Cambuk
Api Angin. Senjata itu telah kami temui dan
kami musti pergi!"
Ketika rakit mereka diseret ke tepi pantai,
bekas-bekas anak buah Bagaspati itu
menawarkan akan mengantarkan mereka ke
pantai Jawa tapi mereka menolak.
"Rakit ini cukup baik dan lebih cepat
jalannya," jawab Wiro. Dan betapa anehnya
bagi bekas anak-anak buah Bagaspati itu
sewaktu menyaksikan rakit tersebut meluncur
dalam kecepatan luar biasa, padahal tenaga
penggeraknya hanya tangan-tangan Wiro dan
Prana yang dibuat sebagai pengganti dayung!
PANTAI Jawa telah berada dihadapan mereka
dan tak lama kemudian, diwaktu sang surya
mulai kemerahan warnanya di ufuk barat
maka sampailah mereka di ujung timur Pulau
Jawa.
"Kita telah sampai sobat-sobatku!" seru Wiro.
Dia yang pertama sekali melompat ke
daratan. "Dan ini adalah saat perpisahan
kita." Prana dan Sekar sama-sama terkejut.
Wiro sebaliknya tertawa.
"Tugasmu telah selesai bukan, Prana?
Cambuk Api Angin sudah berhasil ditemui…."
"Tapi Wiro….." Ucapan Prana ini dipotong oleh
Wiro.
"Di lain hari kelak kita pasti akan jumpa lagi
sahabat-sahabat. Ada satu hal yang ingin
kukatakan pada kalian." Wiro memandang
Sekar dan Prana berganti-ganti dengan
senyum-senyum.
"Kalian ingat malam bulan sabit waktu kita
berhenti di tepi anak sungai dulu itu?" Prana
dan Wiro saling panda mengingat-ingat dan
begitu ingat masing-masing mereka sama
memandang pada Wiro.
"Maaf saja, aku mencuri dengar apa yang
percakapkan saat itu…." Paras Sekar dan
Prana menjadi merah dengan serta merta.
Keduanya sama tundukkan kepala. Mereka
ingat malam di tepi sungai waktu mereka
membicarakan soal cinta itu.
"Sobat-sobatku, kalian boleh saja buat seribu
janji. Tapi kalian pertama-tama musti kembali
ke tempat guru kalian! Urusan jodoh guru
kalian musti diberi tahu…." Paras kedua orang
itu semakin memerah. Wiro tertawa bergelak.
"Nah sobat-sobatku, setamat tinggal.
Kudoakan agar kalian bahagia."
"Wiro tunggu dulu!" seru Prana dan Sekar
hampir bersamaan. Namun tubuh Pendekar
212 sudah berkelebat. Prana merasakan
tepukan pada bahunya sedang Sekar merasa
cuilan pada dagunya! Sewaktu memandang
berkeliling. Wiro Sableng sudah tiada lagi!
"Aku tak akan melupakan dia." desis Prana.
"Kelak bila aku punya anak laki-laki, aku akan
namakan dia Wiro." Prana putar kepalanya.
Pandangannya bertemu dengan pandangan
Sekar. Meski cuma pandang memandang, tapi semua itu menimbulkan satu kekuatan gaib yang membuat mereka saling melangkah mendekat untuk kemudian saling berpeluk.
Laut, langit dan matahari sore menjadi saksi betapa mesranya pelukan itu.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar