WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya : BASTIAN TITO
EPISODE : SILUMAN TELUK GONGGO
************
MATAHARI bersinar terik
membakar jagat. Pemuda berambut gondrong
berpakaian serba putih dengan ikat kepala
juga kain putih merasakan tenggorokannya
kering. Peluh membasahi sekujur tubuhnya.
Dia merasa bersyukur karena sepeminuman
teh berlalu akhirnya dia sampai di sebuah
kampung. Paling tidak dia bisa minta air
segar pada penduduk. Tapi kebetulan di mulut
jalan di temuinya sebuah kedai.
Pemuda ini masuk ke dalam kedai dan
memesan minuman. Untuk mengurangi rasa
panas dia berkipas-kipas sambil menunggu
pesanan. Pada saat itulah tiga orang
penunggang kuda berhenti di depan kedai.
Sejenak si gondrong perhatikan ke tiga
pendatang ini. Kelihatannya seperti orang-
orang yang tengah mengadakan perjalanan
jauh dan ingin melepaskan lelah sambil
membasahi tenggorokan. Si gondrong
palingkan kepala tak perdulikan orang-orang
itu.
Ketika pelayan meletakan minuman di
hadapan si pemuda, tahu-tahu ke tiga
penunggang kuda tadi sudah melompat dan
berdiri di hadapannya. Sekilas si pemuda
melirik, lalu acuh tak acuh dia terus berkipas-
kipas. Salah satu tangannya menjangkau
gelas minuman. Tapi gerakannya tertahan
oleh bentakan salah seorang tamu di
sampingnya.
"Jadi menurutmu ini bangsatnya?!" Yang
membentak ini berusia sekitar tiga puluh
tahun, berambut pendek, memelihara berewok
dan berbadan tinggi kekar.
Lelaki di sampingnya, seorang tua berambut
kelabu, memandang sejenak pada pemuda
rambut gondrong, sejurus kemudian dia
anggukan kepala.
"Memang dia bangsatnya. Aku pasti betul!"
kata si rambut kelabu.
Lelaki ke tiga seorang pemuda berbadan
tegap lantas saja membuka mulut: "Jika dia
malingnya tunggu apa lagi?!"
Sret! Dari balik pinggangnya pemuda ini cabut
sebilah golok dan mengacungkannya ke arah
pemuda berambut gondrong yang duduk di
belakang meja.
Seperti seorang buta dan tuli layaknya, si
gondrong ini seolah-olah tak melihat orang-
orang di sekitarnya atau tak mendengar
percakapan-percakapan di dekatnya. Dia terus
saja berkipas-kipas dan malah kini
mengambil gelas berisi minuman.
"Setan! Kau berani berlagak tolol pilon di
depan kami!" sentak pemuda yang memegang
golok. Tangan kanannya di ayunkan. Prang!
Gelas di tangan pemuda gondrong papas
berantakan. Sebagian isinya tumpah
membasahi meja serta pakaian pemuda ini.
Bagian bawah gelas yang papas di tebas
golok tajam masih berada dalam genggaman
tangan kiri pemuda itu. Di dalamnya masih
berada sedikit sisa minuman. Si gondrong
goleng-goleng kepala lalu menyeringai. Dari
mulutnya keluar suara siulan. Lalu
seenanknya sisa minuman yang masih ada
dalam gelas yang tinggal sepotong itu
diteguknya sampai habis!
Semua tamu yang ada di kedai melengak
heran tetapi diam-diam juga menjadi tegang.
Sebaliknya tiga lelaki yang berada di hadapan
si gondrong jadi naik pitam. Dan pemuda
yang memegang golok kembali menghardik:
"Pencuri ternak! Kau memang di cincang!"
Untuk kedua kalinya golok besar itu
berkelebat. Kali ini dibacokan ke kepala si
gondrong. Beberapa orang tamu
mengeluarkan seruan tegang karena sudah
membayangkan sesaat lagi akan belahlah
kepala pemuda berambut gondrong itu
dihantam golok!
Tetapi gilanya manusia yang dirinya terancam
bahaya maut itu justru kelihatan tenang-
tenang saja. Malah cengar-cengir.
Namun apa yang terjadi kemudian benar-
benar merupakan satu kejutan.
Sedetik sebelum golok besar itu menghantam
sasarannya, terdengar pekikan keras. Golok
kelihatan mencelat ke atas dan menancap di
langit-langit kedai. Pemuda yang tadi
memegang senjata itu terhuyung empat
langkah ke belakang sambil pegangi siku
tangan kanannya. Entah kapan si gondrong
ini bergerak tahu-tahu dia telah menangkis
serangan maut yang dilancarkan bahkan
memukul tangan sambungan siku orang yang
inginkan jiwanya!
"Pelayan! Ambilkan minuman baru. Rasa
hausku belum habis, tahu-tahu ada saja
monyet kesasar yang datang mengganggu!" Si
gondrong berseru memanggil pelayan sambil
salah satu kakinya dinaikan keatas kursi.
"Bangsat pencuri! Berani kau mencelakai
adikku!" Tiba-tiba lelaki berewok hantamkan
tinju kanannya yang besar kuat ke dada si
gondrong.
"Buk!
Tinju tepat mendarat dengan kerasnya di dada
si gondrong. Tapi yang menjerit kesakitan
bukannya pemuda itu, malah justru si
berewok. Tubuhnya terjajar ke belakang dan
tangan kanannya kelihatan merah bengkak!
Marah dan kesakitan si berewok berteriak
"Laknat! Sekalipun kau punya ilmu setan, aku
mau lihat apa kau kebal senjata!" Sebilah
belati di cabutnya dari pinggang lalu secepat
kilat ditikamkannya ke arah si pemuda.
Seperti tadi waktu di serang dengan golok, tak
kelihatan pemuda rambut gondrong itu
bergerak tahu-tahu golok sudah mental dan
penyerang kena di hantam. Kali inipun terjadi
hal yang sama. Lelaki berewok menjerit
kesakitan ,belati ditangannya mental ke udara
dan menancap di langit-langit kedai, tepat
disamping golok!
"Pelayan! Mana minuman baru! Lekas, aku
benar-benar kehausan!" teriak si gondrong.
Sampai saat itu sedikitpun dia tidak beringsut
dari kursi yang di didukinya!
Kini semua orang dalam kedai itu serta merta
menjadi maklum. Pemuda berpakaian putih,
berambut gondrong, bertampang lugu bahkan
seperti agak sinting ini, bukan manusia
sembarangan.
Pelayan datang setengah berlari membawakan
minuman. Kali ini digelas besar.
Setelah meneguk isi gelas sampai
setengahnya, si gondrong hembuskan nafas
panjang. Perlahan-lahan dia palingkan
kepalanya ke arah lelaki tua berambut kelabu
yang tegak di samping mejanya dengan mulut
menganga dan tampak terkesiap.
Si gondrong sunggingkan senyum. "Orang tua
berambut kelabu. Apa kau juga hendak turun
tangan terhadapku?!"
"Maling ternak, kau tunggulah disini! Sekali
kulaporkan yang kau lakukan, orang-orang
Adipati Japara akan datang menghajar dan
menangkapmu!".
Orang tua berambut kelabu menjawab sambil
mengancam. Tampaknya dia tak punya nyali
untuk ikut-ikutan turun tangan.
Si gondrong tertawa.
"Gila! Tuduhanmu sungguh tidak enak. Maling
ternak! Maunya kupecahkan mulutmu dan
juga dua kembarmu itu! Menuduh seenaknya.
Tanpa alasan, tanpa bukti. Tak ada saksi!"
"Saksiku adalah mataku sendiri! Aku masih
belum buta! Memang kau yang mencuri
selusin kerbau yang ku gembalakan di tepi
hutan Manuk!"
"Cc…cc…cc…" si gondrong leletkan lidah.
"Benar kau belum buta, orang tua. Tapi
mungkin sudah lamur. Kau pasti salah lihat!"
"Tidak mungkin! Lekas katakan dimana kau
sembunyikan kerbau-kerbau curian itu!"
Si gondrong geleng-gelengkan kepala.
"Dengar orang tua. Namaku WIRO SABLENG.
Mungkin aku pemuda gendeng, tapi bukan
pencuri kerbau!"
"Bukan pencuri kerbau! Puah! Pencuri kerbau
bukan, tapi maling kerbau ya!" mendamprat
pemuda yang sambungan sikunya copot.
Si rambut gondrong yang ternyata adalah
pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk
kepalanya. Dia berpaling pada si rambut
kelabu. "Orang tua, coba kau jelaskan dulu
apa yang sebenarnya terjadi."
"Tidak perlu!" potong lelaki berewok. "Jelas
kau malingnya. Ayahku tak mungkin salah
lihat!"
"Oh, jadi si rambut kelabu ini ayahmu," ujar
Wiro. "Yang ini pasti adikmu. Dengar berewok.
Mencuri selusin kerbau bukan soal mudah.
Paling sedikit harus dilakukan oleh tiga
orang. Kalian lihat sendiri. Aku disini cuma
sendirian."
"Jangan coba mengelabui kami. Kawan-
kawanmu saat ini tentu tengah menggiring
kerbau-kerbau itu ke satu tempat!"
Lama-lama murid Eyang Sinto Gendeng ini
jadi jengkel juga. Seumur hidup malang-
melintang di dunia persilatan baru hari itu
dituduh jadi maling, pencuri kerbau! Kembali
digaruk-garuk kepalanya. "Mau percaya atau
tidak, terserah. Aku tidak mencuri kerbau
kalian. Aku tak pernah berada di sekitar Gili
Manuk. Aku datang dari timur dan…"
"Memang mana ada maling mau mengaku!"
tukas si rambut kelabu memberengut.
Wiro Sableng menyeringai dingin dan si
berewok kembali membuk mulut: "Tanda-
tanda yang kami ikuti menuju ke tempat ini.
Disini ayahku menemukanmu. Ciri-ciri pencuri
itu tepat seperti dirimu…"
"Mungkin ayahmu hanya melihat dari jauh"
Wiro coba membela diri.
"Jauh atau dekat bukan soal. Yang jelas kau
memang telah melarikan kerbau-kerbau
kami!"
"Berewok. Jika kau tetap menuduhku sebagai
pencuri, berarti kau tak bakal menemukan
pencuri sebenarnya. Kau benar-benar akan
kehilangan kerbau-kerbaumu…Jika katamu
pencuri itu menuju kejurusan sini, tentu dia
atau mereka masih belum jauh dari sini.
Kalian masih punya kesempatan untuk
mengejar!" Habis berkata begitu Wiro berdiri
dan berkata pada adik si berewok. "Mari
kusambungkan kembali tulang sikumu."
"Tak perlu!" jawab si pemuda sambil pegangi
tangannya yang cidera.
"Ya, memang tak perlu," kakaknya yang
berewok menimpali beringas. Lalu dia
mengajak adik dan ayahnya segera melapor
ke Kadipaten.
"Kalian ayah dan anak sama saja keras
kepalanya. Lebih baik untuk sementara kalian
jadi patung saja, supaya tidak
menggangguku!" Dengan bergerak cepat Wiro
Sableng menotok ke tiga orang itu hingga tak
mampu lagi bergerak. Setelah membayar
minumannya dia lambaikan tangan pada ke
tiga beranak itu dan melangkah pergi.
"Maling kerbau! Jangan lari kau!" teriak si
berewok.
"Bangsat pencuri!" adiknya menimpali. "Sekali
engkau lari ke ujung dunia akan kukejar dan
kucincang!"
Sang ayah tak ketinggalan berteriak:
"Petugas-petugas Kadipaten akan menangkap
dan menghajarmu!"
Mereka ingin mengejar namun tak mampu
bergerak. Akhirnya hanya bisa memaki-maki
sementara Wiro sudah tak kelihatan lagi.
JAUH di sebelah timur tampak menjulang
gunung Muryo. Dengan mempergunakan ilmu
lari "kaki angin" pendekar itu lari kencang
kejurusan itu. Tujuannya adalah Japara.
Disitu dia akan mencari keterangan mengenai
suatu tempat yang hendak didatanginya.
Sang surya mulai condong kebarat. Di depan
sana terbentang daerah berbukit-bukit.
Sebagaimana lazimnya keadaan alam, jika
ada bukit-bukit maka di situ akan terdapat
pula lembah-lembah.
Wiro berdiri di puncak sebuah bukit,
memandang berkeliling. Lembah dan bukit di
daerah itu tampak hijau subur, tetapi masih
liar belum dibuka manusia. Sesaat kemudian,
ketika dia siap untuk meneruskan perjalanan,
mendadak langkahnya tertahan.
Jauh di bawah sana, di dasar salah satu
lembah dilihatnya dua penunggang kuda
tengah menggiring serombongan kerbau. Tak
dapat dipastikan berapa jumlah binatang itu,
namun Wiro yakin bahwa ternak tersebut
pastilah kerbau curian, milik ke tiga beranak
di kedai yang tadi menuduhnya sebagai
pencuri.
Sesaat Wiro berpikir. Lalu tanpa tunggu lebih
lama dia segera berlari menuruni bukit.
Sesampainya di lembah diam-diam dia
mengikuti kedua penggiring ternak itu. Mereka
masih muda-muda. Seorang diantaranya
berpakaian putih-putih, berambut gondrong
dan memakai ikat kepala sapu tangan putih.
Sepintas lalu ciri-cirinya memang sama
dengan Wiro. Murid Sinto Gendeng ini merutuk
dalam hati. Inilah pangkal Tidak salah kalau
orang tua berambut putih itu menuduh bahwa
dialah yang telah mencuri selusin kerbau
mereka!
Walau yakin kedua pemuda itu pencuri, namun
Wiro tidak segera turun tangan. Dia terus
mengikuti perjalanan mereka dari balik semak
belukar. Hal ini tidak sulit dilakukan.
Walaupun menunggang kuda, tapi karena
harus menggiring kerbau, dua pemuda itu
terpaksa bergerak perlahan.
"Dimana kita akan istirahat?" tanya pemuda
penunggang kuda berambut gondrong.
"Kita tidak akan istirahat Kunto. Jika
kemalaman di jalan bisa berabe!"
Si gondrong yang bernama Kunto menyahuti:
"Kau selalu kawatir kemalaman. Mengapa
tidak lewat jalan umum saja? Dalam waktu
dua jam kita akan sampai ke kota. Dan
menikmati hasil penjualan kerbau-kerbau ini!"
Sang kawan tidak kelihatan senang. Dia
berkata: "Kau masih terlalu hijau untuk jadi
pencuri ternak. Lewat jalan umum memang
lebih cepat tapi sama saja dengan
menyerahkan batang lehermu pada petugas-
petugas Kadipaten. Aku yakin pemilik ternak
ini telah melapor ke Kadipaten!"
Kunto tertawa. "Ario, kaulah yang tolol. Apa
kau tidak tahu kalau orang-orang Kadipaten
hanya mau mendengar laporan dan minta
uang pada si pelapor tapi tidak pernah
melakukan sesuatu? Apalagi mengurusi
kerbau. Kecuali jika pemilik kerbau itu
menjanjikan separoh dari kerbaunya yang
hilang akan diberikan pada mereka!"
"Ya, aku tahu hal itu," jawab Ario. "Tapi aku
tetap tak mau cari penyakit. Kalau tidak
melapor ke Kadipaten bukan mustahil pemilik
kerbau itu mengumpulkan orang sedesa dan
mengejar kita. Sekali tertangkap kita akan
mereka gebuk sampai lumat!"
Kunto terdiam sesaat. Lalu bertanya: "Kalau
kau sudah takut begitu lalu bagaimana kita
membawa ternak ini langsung ke kota dan
menjualnya seolah-olah milik kita?"
"Aku tidak tolol dan tidak akan melakukan
seperti itu. Ternak ini aku titipkan dulu di luar
kota di tempat Sumengkar. Kita cari pembeli
di kota, jika harga cocok baru di bawa ke
tempat Sumengkar."
"Susah-susah ke kota bagaimana kalau
kerbau itu aku saja yang membeli?" tiba-tiba
satu suara meimpal.
Tentu saja Kunto dan Ario kaget bukan main!
Keduanya sesaat saling pandang. Setan atau
manusiakah yang barusan bicara? Keduanya
lalu sama-sama berpaling ke belakang. Tak
ada siapa-siapa. Memandang berkeliling juga
tak seorangpun kelihatan. Aneh. Jelas mereka
mendengar suara, tapi dimana orangnya? Ario
dan Kunto kembali saling pandang. Keduanya
menunjukan wajah takut.
"Kudengar daerah sekitar sini banyak
dedemitnya," bisik Kunto seraya rapatkan
kudanya ke kuda kawannya. "Jangan-
jangan…"
"Mungkin kita cuma salah dengar," sahut Ario.
"Tiupan angin kadang-kadang seperti suara
manusia. Apalagi kalau kita sedang
melamun."
"Kita tidak sedang melamun, Ario. Suara
manusia mana bisa sama dengan suara desau
angin. Kalau bukan suara manusia itu tadi,
pasti suara setan. Mari kita bergerak lebih
cepat!"
Kedua orang itu segera menghalau kerbau-
kerbau di depan mereka.
"Hai! Tunggu dulu!" tiba-tiba suara tadi
kembali terdengar. Lebih jelas dan lebih keras.
"Kalian belum menjawab pertanyaanku!"
Kunto menggigil sekujur tubuhnya. Dia ingin
menghambur duluan meninggalkan tempat itu.
Ario pegang hulu goloknya. Dengan mata liar
dia memandang berkeliling lalu membentak
dengan suara bergetar: "Setan atau
manusiakah yang bicara!? Harap tunjukan
muka!"
Terdengar suara tawa bergelak. Tiba-tiba
semak belukar di samping kiri jalan tersibak.
Seorang pemuda berambut gondrong sambil
cengar-cengir menyeruak keluar. Dia bukan
lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Siapa kau?!" sentak Ario. Kunto segera
lenyap rasa takutnya ketika dilihatnya yang
muncul ternyata hanya manusia biasa dan
sendirian pula.
"Aku manusia biasa, bukan setan bukan
dedemit. Kalian belum jawab pertanyaanku.
Mau jual kerbau-kerbau ini padaku?"
Dalam hati Ario membatin. Pemuda di
depannya itu memperlihatkan tindak tanduk
seperti orang kurang waras. Maka dia
bertanya: "Kau bergurau atau bagaimana,
sobat?!"
"Orang mau beli kerbau dibilang bergurau!"
Wiro menggerutu.
"Kau punya uang untuk membeli ternak ini
semua?!" Kunto ajukan pertanyaan.
Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan sebuah
kantong kulit. Ketika digoyangnya kantong itu
mengeluarkan suara berdering. Kunto dan Ario
saling pandang. Kunto mendekati kawannya
dan berbisik: "Jika bisa dibereskan disini kita
tak usah susah-susah ke kota"
Ario mengangguk.
"Kalau kau punya tiga puluh ringgit perak, kau
boleh ambil semua kerbau ini!" berkata Ario.
"Ah, itu terlalu mahal sobat," kata Wiro
Sableng. "Terlalu mahal untuk kerbau-kerbau
kurus tak berdaging yang seperti binatang
sakit ini. Apalagi kerbau curian pula!"
Paras Ario dan Kunto kontan berubah.
"Pemuda asing. Apa maksudmu mengatakan
kerbau curian?" bentak Ario.
"Siapa mengatakan apa?" tanya Wiro.
Kunto jadi jengkel. "Barusan kau menuduh
kami pencuri kerbau!"
"Aku tidak menuduh begitu. Aku cuma bilang
kerbau ini kerbau curian…"
"Sudah! Tak usah bicara panjang lebar. Kalau
kau sanggup bayar dua puluh ringgit perak
kau boleh ambil kerbau-kerbau ini!"
"Itu juga masih keliwat mahal sobat," kata
Wiro sambil timang-timang uang di dalam
kantong.
"Lalu kau mau bayar berapa?!" bentak Ario.
"Setengah ringgit perak kurasa sudah cukup
pantas untuk selusin kerbau ini!"
"Kurang ajar! Kau hendak mempermainkan
kami! Bajingan tengik!" Kunto menarik tali
kekang kudanya hingga binatang ini
melompat kehadapan Wiro.
"Siapa yang kurang ajar? Siapa yang bajingan
tengik? Siapa pula yang main-main?" tukar
Wiro. Dari dalam kantong kulit di
keluarkannya sebuah mata uang perak.
Dengan kedua tangannya enak saja dia
mematahkan uang perak itu hingga terbelah
dua. Tentu saja ini membuat Ario dan Kunto
terkejut. Karena mematahkan uang perak
dengan tangan biasa merupakan suatu hal
yang mustahil.
Ario jadi curiga. Jika pemuda asing yang
seperti kurang waras ini memiliki kepandaian
tinggi, bukan tak mungkin dia adalah seorang
jagoan dari Kadipaten yang sengaja
menyamar untuk membuntuti mereka.
"Orang muda, apakah kau petugas Kadipaten?
Atau dari Kotaraja?" tanya Ario.
Wiro Sableng tertawa dan garuk-garuk
kepalanya.
"Aku bukan petugas Kadipaten. Apalagi
Kotaraja. Aku datang kemari untuk membeli
kerbau kalian. Nah ini uangnya setengah
ringgit. Terimalah!"
Wiro lalu lemparkan potongan uang yang tadi
di belahnya ke arah Kunto. Lemparan itu
kelihatannya biasa-biasa saja, perlahan.
Tetapi begitu mengenai dada Kunto langsung
lelaki ini menjerit kesakitan. Kesakitan dan
marah Kunto segera hendak cabut goloknya.
Tapi heran! Celaka! Dia tidak bisa
menggerakkan tangannya. Juga bagian-
bagian tubuhnya yang lain. Sekujurnya
badannya kaku tegang! Masih untung dia bisa
membuka mulut dan berteriak: "Ario! Bangsat
ini menotokku!"
Kagetlah Ario. Tanpa menunggu lebih lama
dia segera mencabut goloknya dan
membabatkan senjata ini ke kepala Pendekar
212 Wiro Sableng.
"Bajingan tengik! Kau betul-betul ingin
mampus!"
"Puah! Kalianlah yang perlu di hajar!"
damprat Wiro.
Dia menunduk. Golok Ario berkelebat di atas
kepalanya. Sesaat kemudian Ario terdengar
menjerit dan seperti Kunto tubuhnyapun kini
kaku kejang dihantam totokan. Tanpa
perdulikan jeritan dan caci maki kedua orang
itu Wiro membelintangkan Keduanya diatas
kuda milik Kunto. Dia sendiri lalu naik ke atas
kuda Ario lalu menggiring kedua pencuri itu
bersama selusin kerbau menuju kampung
dimana Kunto dan Ario telah mencuri
binatang-binatang tersebut.
Hari telah malam ketika Wiro sampai di kedai
di mulut jalan itu. Tapi di dalam kedai orang
banyak masih berkumpul menyaksikan pemilik
kerbau dan kedua anaknya yang masih berdiri
tegak dalam keadaan kaku. Tak ada satu
orangpun yang tahu bagaimana caranya
melepaskan totokan mereka. Banyak yang
mencoba dengan jalan mengurut-urut atau
memukul-mukul, tetapi sia-sia. Akhirnya
semua orang hanya bisa melihat saja tanpa
bisa berbuat sesuatu. Dalam keadaan itulah
Wiro muncul dan masuk kembali kedalam
kedai. Serta merta banyak orang menyingkir.
Bukan saja mereka merasa takut terhadap
pemuda ini, tetapi juga kaget melihat dua
sosok tubuh yang dilemparkan Wiro ke lantai
kedai. Apa pula yang telah terjadi, pikir
semua orang.
Orang tua berambut kelabu membuka mulut
siap untuk memaki. Tapi Wiro cepat menutup
mulutnya dengan tangan kiri sementara dua
anaknya memandang dengan mata melotot,
beringas tetapi tak berani keluarkan suara.
Kalau saja Keduanya tidak dalam keadaan
tertotok, pastilah keduanya sudah menyerang
Wiro.
"Orang tua," kata Wiro pula. "Kau lihat
pemuda gondrong yang menggeletak di depan
kakimu itu? Selintas tampang dan
perawakannya mirip aku, bukan?"
Si rambut kelabu sejenak memandang pemuda
yang terbujur di lantai dalam keadaan
tertotok itu. "Apa maksudmu? Siapa mereka?"
tanya orang ini begitu Wiro lepaskan
tekapannya dari mulut lelaki itu.
"Merekalah yang mencuri kerbaumu. Yang
gondrong itu bernama Ario. Temannya Kunto.
Kerbau-kerbaumu ada di luar kedai!"
"Kurang ajar! Jadi!"
"Jadi ya jadi!" kata Wiro sambil senyum-
senyum. "Sekarang kalian baru percaya kalau
aku bukan pencuri. Nah kalian mau berbuat
apa terhadap mereka. Mau ke Kadipaten
memang itu baiknya. Mau di gebuk lebih dulu
asal tidak sampai mampus, aku tak mau ikut
campur!"
Habis berkata begitu Wiro lantas lepaskan
totokan pada tubuh orang tua itu dan kedua
anaknya. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia
berkelebat ke pintu.
"Hai, tunggu dulu!" seru orang tua pemilik
kerbau. Dia dan kedua anaknya mengejar ke
pintu. Namun sampai di luar dia hanya
melihat kegelapan. Selusin kerbau mereka
berkeliaran di halaman kedai.
KIRA-KIRA setengah hari perjalanan dari
gunung Muryo di sebelah tenggara terdapat
sebuah bukit kecil yang amat rimbun di
tumbuhi semak belukar dan pepohonan liar.
Menurut penduduk yang tinggal jauh dari situ,
konon tak pernah seorang manusiapun sejak
tiga puluh tahun silam berani berada dekat
bukit itu. Apalagi coba mendatanginya.
Pohon-pohon jati yang tumbuh disitu amat
bagus jenisnya. Namun tak seorangpun
penebang kayu yang mau datang kesitu untuk
menebangnya. Kenapa sampai terjadi
demikian tentu ada sebab-musababnya.
Menurut orang-orang tua yang tahu kisahnya,
sebelum tiga puluh tahun yang lalu, bukit itu
seperti bukit-bukit lainnya di sekitar situ
banyak di datangi orang. Kemudian terbetik
berita bahwa setiap orang yang berani datang
ke bukit itu pasti tak akan kembali lagi. Entah
hilang kesasar entah mati. Yang jelas orang
atau mayatnya tak pernah di temui kembali.
Selama bertahun-tahun terjadi hal semacam
itu hingga penduduk takut. Bukit itu di anggap
angker. Tak seorangpun lagi berani datang
dekat-dekat ke situ. Dan entah siapa yang
mulai menamakannya, bukit satu itu lalu
diberi nama Bukit Hantu!
Pada malam-malam tertentu, terutama ketika
sedang gelap bulan, dari puncak bukit
terdengar suara pekik jerit aneh mengerikan.
Sekali-sekali suara jeritan itu diseling oleh
lolongan anjing. Karena diketahui tak
seorangpun diam di bukit itu.
Namun hari itu terjadi satu kelainan yang
bisa di katakan satu keluar biasaan. Sewaktu
awan kelabu bergerak dan berarak dari arah
tenggara, seorang penunggang kuda
berpakaian mewah tampak memacu kuda
tunggangannya menuju Bukit Hantu. Apakah
dia seorang asing yang tidak tahu angker dan
bahayanya memasuki daerah itu? Tetapi dari
gerak-gerik dan caranya orang ini
menunggangi kuda menempuh jalan agaknya
dia mengetahui betul seluk beluk daerah
tersebut. Sekurang-kurangnya pernah
mendatangi tempat itu sebelumnya.
Di pertengahan lereng Bukit hantu, orang ini
hentikan kudanya. Sesaat dia memandang
berkeliling, lalu mengelus tengkuk kudanya
sambil bergerak turun.
"Kembalilah pulang. Cukup kau mengantarkan
aku sampai di sini…"
Sang kuda, yang sejak tadi dari kaki bukit
menunjukan sikap aneh, tiba-tiba menaikkan
kedua kakinya tinggi-tinggi dan meringkik
keras, lalu membalikkan tubuh dan lari
meninggalkan tuannya.
Orang berpakaian bagus dan mahal itu
menghela nafas dalam. Paling tidak usianya
sudah mencapai lima puluh tahun. Meskipun
tampangnya sudah mulai keriputan tapi juga
membayangkan sifat keras dan buas!
Tak lama sesudah kudanya pergi, orang ini
melanjutkan perjalannnya menuju puncak
bukit dengan jalan kaki. Kira-kira
sepeminuman teh lagi dia akan sampai ke
puncak Bukit Hantu, jalan yang di tempuhnya
mulai tidak sesukar sebelumnya. Semak
belukar hampir tak ada sama sekali seperti
pernah di tebang dan di rapikan orang.
Bahkan di hadapannya kini muncul satu jalan
kecil dan rata menuju ke puncak. Dimulut
jalan kecil mendadak sontak sepasang kaki
orang ini berhenti melangkah dan laksana
dipakukan ketanah!
Dia sudah mendengar seribu satu macam
kangkeran yang ada di bukit itu. Tapi adalah
tidak menduga sama sekali kalau apa yang di
saksikannya di hadapannya saat itu benar-
benar akan membuat tubuhnya mengeluarkan
keringat dingin! Tiga puluh tahun yang silam,
selagi dia masih seorang pemuda,
pemandangan itu belum ada. Pastilah apa
yang kini dilihatnya berasal dari puluhan
manusia yang pernah dikabarkan hilang di
Bukit Hantu!
Berdiri disitu maulah laki-laki ini
membalikkan tubuh dan lari meninggalkan
bukit tersebut. Namun sesuai dengan
ketentuan, hari itu adalah "Hari Perjanjian".
Dia harus datang sesuai dengan sumpahnya.
Kalau dia mungkin, makhluk aneh mengerikan,
yang selalu mendatanginya setiap malam
Jum'at akan datang lagi kepadanya dan
sekali ini untuk mencekiknya sampai mati,
mencopot kepalanya!
Agaknya tak ada jalan kembali. Memutar
haluan berarti mati secara mengerikan.
Sekilas tebayang olehnya istri serta keempat
orang anak yang disayanginya. Dia akan
meninggalkan mereka semua untuk selama-
lamanya demi memenuhi sumpah tiga puluh
tahun yang lewat. Tapi tak apa. Dia coba
menghibur diri. Toh istri dan anak-anaknya
kini hidup bahagia dalam sebuah rumah besar
dan mewah, harta berlimpah, sawah lading
luas, ternak berkandang-kandang. Semua
kekayaan itu tak akan habis sampai tujuh
turunan.
Dikatupkannya mulut rapat-rapat. Dengan
menetapkan hati serta pikiran dan melangkah
maju kembali. Jalan kecil di hadapannya
tampak memutih. Putih oleh tulang belulang
manusia beraneka bentuk. Dan di atas jalan
tulang belulang inilah kakinya melangkah.
Kedua tepi jalan kecil itu dibatasi dengan
puluhan tengkorak kepala manusia. Tubuhnya
terasa bergetar. Dia terus melangkah.
Perutnya terasa mual. Akhirnya dia sampai di
ujung jalan. Dihadapannya tegak kini sebuah
bangunan kecil yang keseluruhannya terbuat
dari tulang belulang manusia. Berapa puluh
atau berapa ratus manusiakah yang telah jadi
korban di atas bukit ini? Dari sela-sela
dinding tulang kelihatan merambas asap
aneka warna. Hidungnya dilanda oleh bau
aneh. Bau harum aneh yang menggidikkan
karena berbaur jadi satu dengan bau anyir
busuk!
Bangunan kecil itu mempunyai sebuah pintu
yang tidak tertutup. Dari tempatnya berdiri,
lelaki tadi dapat melihat kedalam. Di dalam
bangunan tulang ini tampak duduk seorang
lelaki kurus bermuka dahsyat. Jika dia masih
benar seorang manusia maka wajahnya
adalah sepuluh kali lebih mengerikan dari
wajah setan! Manusia ini memiliki rambut
putih panjang yang menutupi Sebagian
wajahnya. Di belakang tikar kecil dimana
manusia ini duduk terdapat lima buah
belanga. Di dalam belanga ada cairan
masing-masing berwarna hitam, merah, biru,
ungu dan hijau. Dari setiap belanga mengepul
asap yang warnannya sesuai dengan cairan di
dalamnya.
Orang itu menggerakkan kepalanya. Rambut
putih yang menutupi sebagian wajahnya
tersibak. Kini kelihatanlah keseluruhan
wajahnya yang mengerikan itu.
Lelaki di ambang pintu serasa terbang
semangatnya sewaktu si muka setan tiba-tiba
mengeluarkan suara seperti lolongan srigala
di malam buta. Begitu kerasnya lolongan itu
hingga bangunan tulang belulang serta tanah
yang di pijak terasa bergetar. Anehnya mulut
si muka setan sedikitpun tak kelihatan
membuka!
Sesaat kemudian terdengar suaranya: "Bagus!
Kau datang tepat pada waktunya Sonya!
Sebelum kau melangkah ke hadapanku,
sebelum kau memasuki bangunan ini,
tanggalkan dulu pakaian bagusmu dan pakai
ini!" Ternyata suara si muka setan halus
seperti perempuan, hanya saja mengandung
pengaruh yang hebat luar biasa. Dari balik
pakaiannya yang seperti jubah berwarna
hitam di keluarkannya satu stel pakaian butut
penuh tambalan dan bau apek. Pakaian itu
dilemparkannya kehadapan orang di ambang
pintu yang dipanggilnya dengan nama Sonya.
Setelah lebih dulu menjura, Sonya mengambil
pakaian butut bau itu. Dibukanya pakaian
yang dikenakannya, dilemparkannya jauh-jauh
lalu dikenakannya pakaian yang diberikan si
muka setan. Setelah berganti pakaian diapun
masuk ke dalam bangunan tulang.
"Duduk!"
Si muka setan tudingkan jarinya yang kurus
dan berkuku panjang. Sonya lalu duduk di
hadapannya.
"Ceritakan dengan singkat garis kehidupanmu
sejak tiga puluh tahun silam kau
meninggalkan bukit ini!" kata si muka setan
pula.
Sonya menelan ludahnya baru menjawab:
"Berkat ilmu yang Datuk ajarkan aku telah
menjadi kaya raya. Aku kawin dan punya
empat orang anak."
"Kau senang? Bahagia…?"
Sonya mengangguk.
"Pada detik kau duduk di hadapanku ini, kau
telah dan harus meninggalkan kesenangan
dan kebahagiaan itu!"
"Aku tahu Datuk," jawab Sonya.
"Kau bakal dapat kebahagiaan lain! Asal saja
kau tempuh cara hidup seperti yang
kututurkan tiga puluh tahun yang lewat!"
"Aku akan tempuh Datuk."
"Lengkap dengan syarat utamannya!"
"Lengkap dengan syarat utamannya, "
mengulang Sonya.
"Bagus. Sekarang coba kau katakan syarat
utama itu!"
"Syarat utama itu ialah setiap permulaan
tahun baru aku harus membunuh anakku yang
paling kecil dan melemparkannya ke dalam
laut." Suara Sonya bergetar.
"Bagus! Ternyata kau betul-betul masih ingat
syarat utama itu!" kata sang Datuk pula. Lalu
dari mulutnya keluar suara tawa aneh
menggidikkan. Kemudian sambil menuding ke
belakang dia bertanya: "Adakah kau melihat
lima buah belanga itu?"
"Ada Datuk."
"Berdirilah!"
Sonya berdiri.
"Di dalam belanga itu terdapat cairan
berlainan warna. Masing-masing cairan harus
kau minum sebanyak tiga teguk. Sebagian
sisanya diguyurkan ke kepala dan badanmu.
Segera mulai dengan belanga di ujung kiri!"
Sonya melangkah mendekati belanga di ujung
kiri. Di situ terdapat cairan berwarna merah
pekat, kental dan mengepulkan asap. Sesuai
dengan perintah sang Datuk muka setan maka
diminumnya cairan itu sebanyak tiga teguk.
Belum lagi minum, baru mencium bau cairan,
Perutnya sudah terasa mual dan
tenggorokannya mau muntah.
"Kau ragu Sonya?!" suara sang Datuk bernada
menegur dan mengancam Sonya segera
meneguk cairan busuk itu tiga teguk. Lalu
menyiram kepala dan badannya dengan
cairan yang sama. Kemudian dia mendekati
belanga kedua dan seterusnya.
"Sudah Datuk," suara Sonya seperti tercekik.
"Bagus. Sekarang duduk di hadapanku!"
Dengan sekujur kepala serta pakaian basah
kuyup dan berbau busuk, Sonya duduk
kembali di hadapan si muka setan.
"Pejamkan matamu Sonya!"
Sonya Menurut dan pejamkan matanya.
"Sekarang buka!"
Sonya buka kedua matanya. Pandangan
matanya kini membersit aneh. Liar
menyeramkan. Bagian mata yang tadi putih
kini kelihatan merah.
"Bagaimana perasaanmu?" bertanya Datuk.
"Tubuhku terasa hangat. Sangat ringan. Di
samping itu ada perasaan aneh, yang aku
tidak tahu, menyelimuti diriku…"
"Itu bukan perasaan aneh. Kau harus dapat
menerangkannya. Ayo!"
Sonya berpikir kemudian menjawab. "Betul.
Bukan perasaan aneh. Perasaan itu adalah
nafsu. Nafsu untuk membunuh. Nafsu untuk
ingin melihat kematian manusia lain secara
mengerikan!"
Orang tua berambut putih panjang bermuka
setan tertawa panjang. "Bukan hanya nafsu
untuk membunuh Sonya! Bukan hanya hasrat
untuk melihat kematian yang menyeramkan.
Tapi ada lagi satu nafsu kini mendekam
dalam tubuhmu. Nafsu kotor!"
Sonya mengangguk aneh.
"Ya. Nafsu kotor," katanya mengulang. "Nafsu
terhadap perempuan," sambungnya dengan
suara berdesis.
Kembali sang Datuk keluarkan suara tertawa
panjang.
"Bila kau sudah meninggalkan tempat ini, kau
harus hidup menurut kehendak hatimu Sonya.
Menurut nafsu yang kini tertanam dalam
dirimu! Kau boleh membunuh semaumu. Kau
boleh mengumbar nafsumu terhadap
perempuan mana saja yang kau inginkan!
Tentunya kau pilih yang cantik-cantik bukan
Sonya? Tak perduli anak atau istri orang.
Apalagi janda…hik…hik…hik!"
Sonya hanya bisa mengangguk.
"Sebelum pergi kau harus tinggal disini
selama satu minggu. Sesudah itu baru kau
boleh pergi. Dengar Sonya?"
"Tentu Datuk."
"Kelak jika ilmu itu telah kau kuasai, dunia
luar akan menjadi geger! Dan tak satu tokoh
silat atau orang saktipun di dunia luar yang
dapat mengalahkanmu! Itulah kehebatan ilmu
siluman cipataanku!" Sang Datuk tertawa lagi
panjang dan lama.
Sonya ikut tertawa.
Tiba-tiba sang Datuk hentikan tawanya dan
berdiri.
"Kau akan tinggal selama tujuh hari disini.
Selama tujuh hari kau akan tidur bersamaku,
melayaniku sambil aku mengajarkan ilmu
padamu. Kau dengar dan mengerti Sonya?"
"Dengar Datuk, tapi kurang mengerti…"
Sang Datuk menyeringai dan tertawa kembali.
Tiba-tiba dia buka jubah hitamnya dan kini
dia tegak berdiri dihadapan Sonya dalam
keadaan tanpa pakaian sama sekali!
Sonya terbeliak kaget. Dari sosok tubuh
telanjang yang berdiri di hadapannya itu tidak
disangkanya kalau sang Datuk ternyata
adalah seorang perempuan!
"Datuk, jadi kau…"
"Hik…hik…hik. Aku memang seorang
perempuan Sonya. Kau kecewa tubuhku tidak
sebagus tubuh perempuan muda…?!"
"Ti…tidak Datuk," sahut Sonya. Walau yang
dilihatnya memang hanya tubuh tinggal kulit
pembalut tulang. Perut dan dada keriput.
"Sekarang kau harus lebih dulu melayaniku
Sonya…"
Meski tubuh itu jelek luar biasa, tapi nafsu
aneh mendekam dalam dirinya telah
membakar birahi Sonya. Dia mengangguk dan
melangkah mendekat. Lalu seperti seekor
singa lapar dirangkulnya tubuh sang Datuk.
Keduanya segera saja berguling di lantai!
PAGI hari kedelapan. Sonya duduk di hadapan
sang Datuk muka setan.
"Semua ilmu baru cipataanku telah kau
kuasai Sonya. Sebelum kau meninggalkan
tempat ini akan kutegaskan lagi Beberapa hal
kepadamu. Pertama begitu turun dari bukit ini
kau harus pergi ke TELUK GONGGO di pantai
utara. Aku telah membangun sebuah tempat
di sana yang dapat kau tinggali sebagai
istana. Dari luar pintu bangunan itu hanya
merupakan sebuah goa buruk, mudah saja
mencarinya.
Hal kedua yang akan kuberitahukan ialah
selama dunia terkembang kau tak bakal
mengalami kematian. Kecuali jika terjadi dua
hal. Pertama Kau tak boleh kena air hujan.
Jika itu sampai terjadi ilmu siluman yang kau
miliki akan luntur dan seseorang dengan
mudah bakal dapat membunuhmu! Pantangan
kedua yang bisa menyebabkan kematianmu
ialah binatang itu…"
Datuk muka setan mendongak ke atas langit-
langit bangunan. Di sana di dalam sebuah
sangkar yang terbuat dari tulang-tulang iga
manusia tampak seekor burung nuri merah.
"Nyawamu adalah juga nyawanya Sonya.
Dengan kata lain kau baru bisa mati kalau
seseorang membunuh burung itu!"
"Bagaimana kalau binatang itu sewaktu-
waktu sakit dan mati. Apakah aku juga akan
mati Datuk?"
"Tidak, kau tidak akan mati. Cuma mampus!
Karenanya kau harus rawat dia baik-baik!"
kata Datuk sambil tertawa gelak-gelak. "Dan
jangan lupa syarat utama tempo hari. Kau
tidak diperkenankan menjenguk anak istrimu;
Pada hari Pertama pergantian tahun kau baru
boleh mendatangi mereka, tapi hanya untuk
membunuh anakmu yang paling kecil! Tahun
berikutnya anakmu yang paling muda, begitu
seterusnya. Jika keempat anakmu sudah
habis maka kau harus mencari anak orang
lain tapi yang berusia tidak boleh lebih dari
tiga tahun!"
Sonya mengangguk tanda mengerti.
"Jika kau lalai melaksanakan syarat itu maka
siluman peliharaanku akan mendatangimu.
Menyiksamu selama tujuh tahun sebelum
menamatkan riwayatmu!" Sang Datuk lalu
mengambil burung Nuri dalam sangkar dan
menyerahkannya pada Sonya. "Bawa ini dan
simpan di istanamu di Teluk Gonggo. Sebelum
kau pergi ada satu hal yang akan terjadi
Sonya."
"Hal apakah Datuk?" tanya Sonya sambil
mengambil burung Nuri.
"Nanti kau akan lihat sendiri. Jika hal itu
sudah terjadi kau bakarlah bangunan ini
dengan segala apa yang ada di dalamnya!
Dengan segala apa yang ada di dalamnya!
Ingat itu baik-baik!"
Selesai berkata begitu Datuk muka setan
menyeringai aneh. "Kau puas melayaniku
selama satu minggu Sonya?"
"Puas Datuk." Diam-diam Sonya menduga
sang Datuk akan menyuruhnya lagi melayani
nafsu gilanya. Sang Datuk melolong panjang.
"Bagus. Kalau begitu aku akan mati dengan
perasaan tenang!" Selesai berkata begitu sang
Datuk hantamkan tinju kanannya ke
kepalanya sendiri!
Prak!
Tak ampun lagi kepala itu pun pecah. Darah
dan otak berhamburan. Tubuhnya terguling
tanpa nyawa. Sonya kaget bukan main.
Tubuhnya bergetar dan dari sela bibirnya
tiba-tiba melesit suara tertawa aneh disusul
suara lolongan seperti srigala. Dia tertawa
menyaksikan kematian menyeramkan gurunya
sendiri!
Sesuai dengan pesan sang guru, semua yang
ada di dalam bangunan harus di musnahkan!
—-
BUKIT HANTU……..?" kata orang kedai sambil
memandang tamunya yang duduk mengunyah
nasi di hadapannya.
Wiro mengangguk.
"Orang muda, rupanya kau belum pernah
mendengar berita atau cerita tentang bukit itu
hingga menanyakan jalan terdekat menuju ke
situ!"
"Banyak sekali yang kudengar pak."
"Kalau begitu pikiranmu kurang sehat. Selama
ini tak seorangpun berani dekat-dekat kesana,
apalagi bermaksud mengunjunginya. Siapa
yang berani mendekati bukit itu tak pernah
kembali. Jangankan kau yang punya satu
nyawa, sekalipun kau punya tiga nyawa pasti
ketiga nyawamu bakal melayang!"
"Sudahlah pak, kalau kau tak keberatan
tunjukan saja arahnya. Soal mati biar aku
yang tanggung akibatnya."
Pemilik kedai angkat bau. Dia menunjuk lewat
pintu kedai. "Lihat gunung itu?"
Wiro manggut.
"Itu gunung Muryo. Pergilah ke arah tenggara.
Di sana akan kau temui daerah berbukit-bukit.
Bukit paling tinggi itulah Bukit Hantu!"
Selesai makan, Wiro membayar apa-apa yang
dipesannya lalu cepat-cepat meninggalkan
tempat itu diikuti pandangan pemilik kedai.
"Masih ada saja orang yang mencari mati di
dunia ini!" gumamnya.
Dengan mengandalkan ilmu larinya, tak lama
Setelah matahari pagi naik, Pendekar 212
Wiro Sableng sudah sampai di puncak Bukit
Hantu. Ternyata dia terlambat. Hanya
sepenanakan nasi sebelumnya Sonya
meninggalkan tempat itu. Yang ditemuinya
hanyalah tumpukan tulang belulang yang
menghitam jadi arang. Ketika diperhatikannya
lebih teliti, dibawah tumpukan tulang belulang
putih itu dilihatnya sesosok tubuh manusia
yang telah gosong. Dengan sebatang cabang
kayu kecil disibakannya tulang-tulang itu.
"Pasti ini si keparat Datuk Siluman," kata Wiro
dalam hati. "Sialan. Aku terlambat. Seseorang
telah duluan membunuhnya!" Meskipun bukan
dia yang turun tangan namun murid Eyang
Sinto Gendeng ini merasa lega juga karena
manusia penimbul malapetaka besar bagi
dunia persilatan telah tamat riwayatnya.
Karena tak ada hal lain yang akan
dilakukannya maka Wiro segera meninggalkan
Bukit Hantu sambil bersiul-siul. Jalan yang
ditempuhnya justru yang sebelumnya juga
ditempuh oleh Sonya!
Satu bulan yang lalu, beberapa tokoh silat di
wilayah timur telah meminta bantuan
Pendekar 212 untuk memusnahkan Datuk
Siluman yang bercokol di Bukit Hantu. Hidup
matinya manusia jahat ini amat menentukan
ketentraman dunia persilatan. Bukan rahasia
lagi bahwa diketahui Datuk Siluman itu telah
menciptakan suatu ilmu hitam yang amat
hebat, dan kelak akan menimbulkan
malapetaka dahsyat bilamana tidak segera
dicegah. Nyatanya kini Datuk golongan hitam
itu telah menemui ajalnya. Seseorang telah
menghancurkan batok kepalanya lalu
membakar sang Datuk bersama tempat
kediamannya. Siapakah yang telah melakukan
hal itu? Jago atau tokoh silat dari mana?
Tentu saja Wiro tidak mengetahui kalau Datuk
Siluman sengaja bunuh diri setelah lebih dulu
mewariskan semua ilmu hitam yang
dimilikinya kepada murid tunggalnya yang
cuma di gembleng selama satu minggu yaitu
Sonya.
Kita tanggalkan dulu perjalanan Wiro dan
mengikuti perjalanan Sonya. Saat itu dia
tengah menuju ke pantai utara, yaitu sesuai
dengan perintah gurunya. Dia berada sekitar
dua jam perjalanan di depan Wiro. Menjelang
tengah hari Sonya sampai di tepi sebuah
telaga berair jernih. Dia berhenti di situ dan
duduk di bawah pohon yang rindang. Burung
Nuri dalam sangkar tulang yang jadi pautan
nyawanya di letakan di tanah dijaganya hati-
hati.
Udara yang panas seperti saat itu membuat
dia ingin turun ke telaga dan mandi. Tapi dia
khawatir kalau-kalau disekitar situ ada
binatang buas yang selagi dia mandi
menyergap burung Nurinya. Sekali burung itu
disergap binatang buas maka putus pulalah
nyawanya!
Setelah hilang letihnya, Sonya bersiap
meninggalkan tepian telaga. Pada saat itulah
lapat-lapat didengarnya suara rentak kaki
kuda dan gemeletak roda-roda kereta. Sonya
menyelinap dan bersembunyi ke balik pohon
besar. Tak lama kemudian kelihatanlah
serombongan penunggang kuda mengawal
sebuah kereta barang. Begitu melihat telaga
berair jernih dan sejuk, lelaki gemuk
berpakaian bagus yang duduk di samping
kusir kereta berseru: "Kita istirahat dulu di
sini!"
Maka rombonganpun berhentilah.
Lelaki gemuk berpakaian bagus itu adalah
seorang saudagar kayu yang tengah
membawa barang dagangannya menuju
Jepara. Namanya Raden Mas Kuncoro.
Bersamanya ikut lima orang pengawal yang
dipimpin oleh Rah Brojo, seorang jago silat
berkepandaian tinggi. Memang meskipun
masa itu daerah Jawa Tengah cukup aman,
tetapi saudagar seperti Raden Mas Kuncoro
mana berani mengangkut barang tanpa
pengawal. Sudah lazim para pedagang
menyewa pengawal-pengawal berkepandaian
tinggi demi keselamatan harta dan nyawa
selama perjalanan.
Sang saudagar turun dari kereta. Setelah
meneguk air sejuk dari dalam sebuah kantong
kulit yang dibawanya, diapun melangkah ke
tepi telaga guna mencuci muka serta kakinya.
Saat itulah pandangannya menangkap sosok
tubuh Sonya yang berdiri di balik pohon besar
sambil memegangi sebuah sangkar aneh
berisi Nuri merah.
Raden Mas Kuncoro adalah seorang saudagar
yang gemar memelihara burung. Di tempat
kediamannya sengaja dia membangun sebuah
bangunan besar dimana dipeliharanya
puluhan jenis burung yang bagus-bagus.
Melihat Sonya berdiri memegangi burung Nuri
tertariklah hatinya. Dia seperti tidak melihat
kelainan pada tampang dan pakaian Sonya.
Pikirannya hanya tertuju pada burung dalam
sangkar tulang. Sementara rombongan duduk
di tepi telaga sebelah lain, Kuncoro
melangkah mendatangi Sonya.
"Burung Nuri itu bagus sekali," Raden Mas
Kuncoro menyapa. Sambil tersenyum.
Sonya diam saja.
"Burungmu?"
"Ya, Kenapa?" Sonya balik bertanya.
"Bagus sekali. Bagus sekali. Belum pernah
aku melihat Nuri seperti satu ini." Saudagar
itu membungkuk agar dapat melihat binatang
itu lebih jelas. "Sangkarnya Kenapa aneh
begini?"
"Bagiku tidak aneh," sahut Sonya kaku.
Kuncoro mengangkut kepalanya. Sikap pemilik
burung itu dianggapnya tidak ramah.
Membuatnya tidak enak. Ketika
diperhatikannya tampang Sonya hatinya
tambah tidak enak. Ada rasa ngeri melihat
wajah manusia itu. Lalu pakaiannya yang
kotor penuh tambalan dan bau busuk yang
membersit dari tubuh orang itu.
"Dengar saudara," kata Kuncoro. "Aku
seorang penggemar burung. Kau mau menjual
Nuri ini?"
Sonya seperti kaget. Tetapi sesaat kemudian
dia tersenyum. Senyum aneh di mata sang
saudagar.
"Katakan saja harganya pasti kubayar," kata
Raden Mas Kuncoro seraya meraba sabuk
uang di pinggangnya.
"Burung ini tak kujual," kata Sonya tandas.
"Sepuluh ringgit emas!" kata Raden Mas
Koncoro tak tanggung-tanggung. Sepuluh
ringgit emas adalah harga gila dan amat
mahal untuk seekor burung meskipun sebagus
Nuri itu. Tapi bagi seseorang yang senang
akan suatu benda harga bukan menjadi
persoalan. Apalagi bagi seorang seperti
saudagar itu. Sepuluh ringgit emas bukan
apa-apa baginya. Dengan tenang Kuncoro
keluarkan sabuk uangnya.
Sonya pencongkan mulut dan berkata: "Lima
puluh ringgit emas pun burung ini tak akan
kujual!"
Saudagar itu terkesiap sejenak. Dia berpikir-
pikir. Lalu sambil tersenyum dia berkata:
"Begini saja saudara, kau ikut kerumahku. Di
sana kau boleh pilih tiga ekor Nuri yang sama
seperti ini. Kemudian kutambah dua puluh
ringgit emas dan serahkan Nuri itu padaku!"
Sang saudagar merasa pasti kali ini Sonya
akan menyetujui. Tapi jawaban Sonya
membuat dia terkejut.
"Sekali aku bilang burung ini tidak dijual,
tetap tak akan kujual. Kau tidak tuli bukan?!"
"Tiga burung Nuri ditambah tiga puluh ringgit
emas!" kata Raden Mas Kuncoro sambil
mengangkat kedua tangannya.
"Sekalipun nyawamu nanti kau berikan padaku
burung ini tak akan kujual!" sahut Sonya dan
memutar tubuh meninggalkan tempat itu.
Kuncoro memegang bahunya.
"Tawaranku masih belum selesai. Aku bisa
menaikkannya lagi. Berapa kau suka,
saudara? Kau jangan main-main…."
Sonya hentikan langkahnya, berpaling
menghadapi Kuncoro. Sepasang matanya
membersitkan sinar aneh. Sinar menggidikkan.
"Siapa bilang aku main-main. Aku akan
buktikan bahwa aku tidak main-main. Nah
mampuslah!"
Sonya mengangkat tangan kanannya. Lima
jari tangan kanannya yang berkuku panjang
terpentang mengerikan. Lalu terdengar pekik
Raden Mas Kuncoro. Tubuhnya roboh ditepi
telaga. Mukanya hancur mengerikan. Hampir
tak dapat dikenali lagi. Hidungnya tanggal
dan mulutnya robek. Itulah keganasan "Cakar
Siluman", ilmu yang telah dipergunakan
Sonya untuk menamatkan sang saudagar
hanya dengan sekali gerakan saja!
Mendengar jeritan Kuncoro dan melihat sosok
tubuh saudagar itu roboh ke tanah, lima
pengawal tersentak kaget dan melompat
mendatangi. Rah Brojo paling depan. Matanya
membeliak melihat kematian sang saudagar.
Suaranya bergetar, rahangnya menggembung.
"Orang asing! Pasal apakah maka kau sampai
membunuhnya begini keji?!"
"Tak ada pasal tak ada lantaran!" jawab
Sonya.
"Kenapa kau lalu membunuhnya?"
"Karena aku ingin membunuhnya. Habis
perkara!"
"Kalau begitu kau adalah iblis edan yang
harus dihajar!"
Rah Brojo hantamkan satu jotosan ke dada
Sonya. Gerakannya cepat dan keras. Yang di
serang tertawa aneh. Sinar mengerikan
kembali membersit di kedua matanya. Dia
berkelit mengelakkan jotosan lawan. Di lain
kejap sambil dibarengi teriakan
"Mampuslah!", tangan kanannya kirimkan
cakaran ke muka kepala pengawal itu.
Sebagai kepala pengawal kereta dagang Rah
Brojo memiliki ilmu silat tinggi ditambah
segudang pengalaman. Cepat-cepat dia
menghindar ke samping. Cakaran lawan
berhasil dielakkannya. Tapi kelima jari tangan
itu tiba-tiba saja membalik cepat dan
memburu ke mukanya. Kali ini Rah Brojo tak
sanggup lagi berkelit. Jeritannya yang
terdengar. Tubuhnya terhempas ke tanah. Dia
mati dengan muka rusak mengerikan seperti
yang barusan dialami Raden Mas Kuncoro.
"Manusia biadab! Bersiaplah untuk mati!"
teriak seorang pengawal kereta. Bersama tiga
kawannya, dengan bersenjatakan golok dan
dibantu pula oleh kusir kereta yang
memegang sepotong besi panjang , mereka
serentak mengurung dan menyerbu Sonya!
Dikeroyok lima begitu rupa Sonya menunggu
dengan keluarkan suara aneh. Dengan tangan
kiri masih tetap memegang sangkar tulang,
lelaki ini berkelebat. Kelima penyerangnya
terkesiap ketika mendapatkan orang yang
menjadi sasaran lenyap dari hadapan mereka.
Senjata masing-masing malah ada yang
saling beradu satu sama lain. Belum habis
rasa kaget mereka tiba-tiba terdengar
bentakan:
"Mampuslah!"
Setelah itu suara pekik terdengar susul-
menyusul. Empat pengawal tersungkur di
tanah dengan muka hancur mengerikan. Satu-
satunya yang masih hidup yakin kusir kereta,
yang lumer nyalinya, tanpa tunggu lebih lama
segera putar badan ambil langkah seribu.
Tapi nasibnya cuma tertunda tiga langkah.
Pada langkah ke empat lima jari tangan
dengan ganas berkelebat di depannya. Untuk
kesekian kalinya lima jari siluman meminta
korban!
Sonya membersihkan tangannya yang penuh
darah. Lalu dia menggeledah pakaian para
korban. Setiap uang dan benda berharga yang
ditemuinya diambilnya. Jumlah terbanyak
yang didapatnya adalah dari tubuh Raden
Mas Kuncoro.
Pendekar 212 Wiro Sableng yang sampai di
tempat itu dua jam kemudian merasa heran
menemukan beberapa ekor kuda dan kereta
tanpa kelihatan seorang manusiapun. Namun
keheranannya itu berubah menjadi rasa
terkejut sewaktu menemui tujuh mayat yang
bergelimpangan di tepi telaga. Semuanya mati
dengan muka hancur mengerikan!
Murid Sinto Gendeng ini mengrenyit, geleng-
geleng kepala dan garuk rambutnya.
Apa yang sebenarnya telah terjadi di sini?
Rombongan itu di serang rampok? Lalu
mengapa kereta barang tidak di ganggu?
"Gila!" maki Wiro dalam hati.
Setelah mengurus jenazah itu sebisa yang
dilakukannya dia lalu lanjutkan perjalanan. —-
Sonya sengaja menempuh hutan belantara
agar lebih cepat sampai ke tujuan yaitu Teluk
Gonggo di pantai utara. Namun sewaktu
malam tiba dan Perutnya terasa lapar, mau
tak mau dia segera mendatangi kampung
terdekat.
Kampung Waringin merupakan kampung
ramai karena terletak dipersimpangan tiga
jalan arus perdagangan. Kampung ini tidak
beda dengan sebuah kampung kecil. Disini
terdapat sebuah rumah makan yang bagian
belakangnya disewakan untuk penginapan.
Kesinilah Sonya pergi untuk mengisi perutnya.
Di dalam rumah makan saat itu telah banyak
pengunjungnya. Kedatangan Sonya tentu saja
menarik perhatian tamu dan pemilik kedai.
Bajunya yang kotor penuh tambalan dan bau
badannya yang busuk membuat semua orang
merasa jijik dan menjauhi. Tapi Sonya
mengambil tempat duduk tanpa perdulikan hal
itu.
"Pengemis dari mana yang berani-beranian
masuk ke kedaiku!" kata pemilik kedai dalam
hati dengan mendongkol. Mula-mula hendak
disuruhnya Sonya keluar. Tapi ketika
dilihatnya wajah Sonya yang membayangkan
sinar aneh, beratlah dugaannya bahwa Sonya
adalah seorang pengemis berotak miring.
Agar tidak terjadi keributan maka pemilik
kedai ini membiarkan saja Sonya duduk
disalah satu sudut.
Sonya berseru memanggil pelayan dan
memesan makanan. Setelah mendengar
makanan apa yang diminta oleh tamunya,
maka bertanyalah pelayan rumah makan itu.
"Pengemis, apakah kau punya cukup uang
untuk membayar harga makanan mahal yang
kau pesan?"
Air muka Sonya tampak berubah. Kelam
membatu dan sepasang matanya
membersitkan sinar menggidikkan.
"Katakan berapa harga kepalamu. Aku akan
bayar detik ini juga!" kata Sonya pada si
pelayan.
Karena ngeri, si pelayan cepat-cepat memutar
tubuh. Ucapan Sonya ini membuat semua
orang tambah memperhatikannya dan juga
burung Nuri dalam sangkar aneh yang
diletakannya di atas meja.
Kebetulan saat itu di rumah makan tersebut
terdapat rombongan Adipati Cokroningrat dari
Leles. Sambil menyantap makanannya Adipati
memperhatikan gerak-gerik Sonya. Sekali-
sekali dia berbisik pada pembantu yang
duduk di sampingnya. Selesai makan sang
Adipati mengatakan sesuatu pada
pembantunya itu dan si pembantu lalu berdiri,
melangkah ke hadapan Sonya yang saat itu
asyik menggerogoti paha ayam goreng.
"Pengemis," demikian pembantu Adipati
menegur. "Selesai makan harap kau menemui
atasanku. Adipati Leles. Beliau ingin bicara
soal burung yang kau bawa ini."
Tidak menjawab apa-apa, seperti tidak
mendengarkan orang bicara, Sonya terus saja
melahap paha ayam. Pembantu Adipati itu
kembali ke tempatnya. Mereka menunggu
sampai Sonya selesai makan. Setelah selesai
makan dan kelihatannya Sonya masih tetap
saja duduk tenang-tenang di tempatnya
Cokroningrat berkata pada pembantunya.
"Mungkin dia lupa. Panggil lagi. Suruh ke
sini."
Si pembantu datangi Sonya sekali lagi.
"Pengemis, seperti kataku tadi lekas kau
menghadapi Adipati!"
Sepasang mata Sonya menyipit.
"Jika dia yang perlukan aku, suruh dia
merangkak kemari!"
Kata-kata itu diucapkan Sonya dengan suara
lantang hingga semua orang dalam rumah
makan ikut mendengar dan terkejut
mendengar ucapan yang berani serta kurang
ajar itu. Adipati Leles sendiri kelihatan
berubah wajahnya. Serta merta, merasa
terhina, dia berdiri dan mendatangi meja
Sonya. Dia menyeret sebuah kursi dan duduk
di hadapan lelaki yang diduganya pengemis
itu.
"Kata-katamu tadi kasar dan kurang ajar. Kau
tak tahu tengah berhadapan dengan siapa,
pengemis bau?"
"Berlalulah dari hadapanku. Atau
kusemburkan seribu kata hina dan kotor di
mukamu?!"
Rahang Cokroningrat menggembung.
Sebetulnya ingin sekali dia menampar muka
pengemis itu. Tapi mengingat dia ada satu
maksud maka ditahannya kemarahannya. Dia
melirik pada burung Nuri merah.
"Burung ini milikmu?"
Sonya mengangguk. Sikapnya tak acuh.
"Sangkarnya aneh. Dari tulang. Tulang
kambing atau tulang kerbau?"
Sonya menyeringai. "Itu bukan tulang
kambing. Bukan tulang kerbau. Bukan tulang
binatang. Itu tulang belulang manusia!"
Adipati Cokroningrat terkejut. Diperhatikannya
lagi sangkar itu. Dia memang belum pernah
melihat tulang belulang manusia. Tapi kalau
itu dikatakan tulang-tulang manusia tak
percaya dia. Pengemis ini agaknya berotak
miring.
"Dengar, burung itu tak pantas kau pelihara.
Kau pasti tak bisa merawatnya. Jual saja
padaku…"
"Oh, itu rupanya maksudmu," ujar Sonya dan
lagi-lagi sambil menyeringai. "Berapa kau
sanggup membelinya, Adipati?"
"Dua ringgit perak!"
Sonya tertawa gelak-gelak.
"Setan, Kenapa pengemis ini tertawa! Dasar
gila!" maki Cokroningrat dalam hati.
Dari balik pakaiannya Sonya mengeluarkan
dua ringgit emas dan meletakkannya di atas
meja.
Terkejutlah sang Adipati. Juga semua orang
yang ada di situ. Siapa menduga kalau
pengemis edan macam begitu memiliki dua
ringgit emas?!
Malu dan terhina Adipati Leles dan berkata.
"Baiklah, akan kubayar tiga ringgit emas!"
Sonya kembali mengeruk pinggang
pakaiannya. Dikeluarkannya tiga ringgit emas
dan diletakannya di atas meja.
"Sudah, kubeli Nurimu enam ringgit emas!"
Adipati itu cepat-cepat meletakan enam
ringgit emas di hadapan Sonya. Sebaliknya
Sonyapun keluarkan enam ringgit emas dan
menyodorkannya ke hadapan Cokroningrat!
Kini marahlah Adipati itu. Tapi dia berusaha
menahan diri. "Katakan berapa kau mau jual
burung itu!"
Sonya tertawa. Sebuah kantong kulit
digebrakannya di atas meja. Ini adalah
kantong milik saudagar Kuncoro yang telah
dibunuh dan dirampoknya. Kantong itu
digoyang-goyangnya. Terdengar suara
berdering.
Di dalam kantong itu terdapat lebih dari
seratus ringgit emas. Kau mau…?
Gelaplah muda Cokroningrat. Dia benar-benar
dibikin malu.
"Pengemis hina dina! Mulut dan sikapmu
benar-benar keterlaluan!"
"Ambil uangmu dan berlalu dari hadapanku
Paduka Adipati sialan!"
"Haram jadah. Kalau kau bukan orang sinting
sudah kupecahkan batok kepalamu!"
"Sinting atau tidak, biar aku beri pelajaran
manusia kurang ajar ini!" Yang berkata adalah
pembantu Adipati. Tapi sang Adipati cepat
menarik pembantunya. Setelah mengambil
uangnya yang enam ringgit dari atas meja dia
kembali ke tempat duduknya semula. Dia tak
mau terjadi keributan dalam rumah makan
itu. Dia berbisik pada pembantunya: "Kita
hadang dia ditengah jalan." Sang pembantu
mengerti dan mengangguk.
"Aneh, kenapa lampu pada mati?" ujar pemilik
rumah makan. Dia memanggil pelayan dan
menyuruh agar lampu di hidupkan. Karena tak
ada jawaban maka lampu-lampu itu
dihidupkannya sendiri.
Ketika seluruh rumah makan terang
benderang kembali maka terkejut dan
hebohlah semua orang yang ada disitu.
Betapakan tidak! Pelayan rumah makan
kedapatan menggeletak di lantai dengan muka
hancur mengerikan. Nyawanya tak
disangsikan lagi pasti sudah melayang. Di
seberang sana, Adipati Cokroningrat beserta
pembantunya mengalami nasib yang sama.
Mati dalam keadaan masih duduk di kursi
masing-masing, muka hancur, hidung tanggal,
biji-biji mata berbusaian dan bibir robek.
Tubuh sang Adipati dan pembantunya berada
dalam keadaan kaku tegang, begitu juga si
pelayan yang malang. Nyatalah bahwa
ketiganya telah ditotok sebelum dibunuh!
Memandang ke sudut ruangan, pengemis aneh
tadi dan juga burung Nurinya tak ada lagi
disitu. Di meja hanya ada sekeping uang
perak. Sesuai dengan harga makanan yang
dipesannya.
Sonya tak mau melewati Jepara karena dia
ingin lekas-lekas sampai di Teluk Gonggo.
Dengan ilmu larinya yang aneh, yang
dipelajarinya secara aneh dari datuk Siluman,
pada hari ke tiga dia sampai pada suatu
daerah liar penuh dengan batu-batu. Disini
angin bertiup Sangat keras. Satu pertanda
bahwa tak lama lagi dia akan sampai di
daerah pantai.
Menjelang rembang petang, ketika dia
mendongak memandang langit, berubahlah
paras Sonya. Dari arah tenggara berarak cepat
awan tebal hitam. Dalam waktu singkat
mendung telah menyungkup udara sedang
dikejauhan kilat tampak mulai menyambar,
sesekali diselingi suara gelegar guntur.
Dia berhenti berlari, memandang berkeliling
mencari tempat untuk berteduh bila hujan
turun. Tak ada sebatang pohonpun yang
tumbuh di daerah berbatu-batu itu. Sekalipun
ada tak mungkin dia bisa berlindung tanpa
terkena air hujan.
Angin bertiup tambah kencang.
Sonya tambah cemas.
Burung dalam sangkar tulang kelihatan
gelisah. Binatang ini menggelepar kian kemari
dan mengeluarkan suara aneh, membuat
Sonya bertambah kecut.
Dalam keputus asaannya Sonya berlari
kencang kejurusan timur. Memang nasibnya
baik. Kira-kira sepeminuman teh berlari
disalah satu lamping bukit batu ditemuinya
sebuah lobang setinggi dada. Tak menunggu
lebih lama dia segera memasuki lobang ini.
Hanya beberapa saat saja setelah dia masuk
ke dalam lobang hujan lebat turun laksana
dicurahkan dari langit!
Sonya menarik nafas lega. Wajahnya yang
tadi pucat karena ketakutan kini berdarah
kembali. Dia coba masuk lebih jauh ke dalam
lobang agar jangan sampai terkena tampiasan
atau percikan air hujan. Angin bertiup keras
dan dingin. Akhhirnya dia duduk menjeleplok
dalam lobang itu. Setelah duduk beberapa
lama Sonya merasakan sesuatu yang aneh.
Hawa dingin dari luar tidak terasa lagi
meskipun angin masih terus bertiup. Di
sekitarnya teras hangat. Di samping itu
hidungnya mencium bau harum semerbak. Tak
syak lagi hawa hangat dan bau harum itu
pastilah datang dari dalam lobang. Mungkin
ada makhluk penghuni di dalam sana? Tapi
mengapa lobang itu tampak gelap dan seperti
buntu?
Sambil terus membawa burung Nuri dalam
sangkar, perlahan-lahan Sonya masuk
membungkuk-bungkuk lebih jauh kedalam
lobang. Tambah ke dalam tambah hangat
terasa udara dan bau harum semakin keras.
Di sebelah atas lobang batu itu tampak
tambah meninggi hingga kalau tadi dia harus
membungkuk-bungkuk, kini dia dapat berjalan
seperti biasa.
Langkahnya terhenti di hadapan sebuah batu
besar hitam dan rata. Semula disangkanya dia
sudah sampai diujung lobang dan buntu.
Namun sewaktu diperhatikannya baik-baik,
disamping kanan batu ditemuinya sebuah
celah sepemasukan tubuh manusia. Sonya
melangkah mendekati celah. Hati-hati dia
mengulurkan kepalanya, mengintai ke ruang di
belakang batu.
Sepasang mata Sonya membesar ketika
menyaksikan pemandangan yang hampir tak
dapat dipercayanya. Tepat dibelakang batu
hitam itu terdapat sebuah tangga terbuat dari
batu mar-mar putih, menurun menuju sebuah
ruangan empat persegi yang lantainya
dihampari permadani merah berbunga-bunga.
Di atas permadani itu duduk seorang lelaki
tua bermuka putih, berambut kelabu menjela
bahu. Di hadapannya bersila seorang
perempuan berpakaian kuning polos yang
wajahnya tak dapat dilihat oleh Sonya karena
duduk memunggungi batu.
Pada saat itu terdengar si orang tua berambut
kelabu berkata:
"Muridku, batapapun seseorang mendalami
ilmu silat dan kesakitan harus pula
mempelajari ilmu yang menyangkut
keagamaan serta segala sesuatu yang ada
hubungannya dengan budi nurani manusia
luhur. Itu semua akan menjadi semacam
kendali baginya untuk mempergunakan
kepandaian silat serta kesaktiannya hanya
untuk maksud kebaikan semata, bukan untuk
berbuat jahat. Agama dan hati nurani luhur
mengingatkan seseorang untuk tidak
menyeleweng dari rel kebenaran, menjaganya
agar jangan menjadi sesat! Karena itulah
meski saat ini kau telah memiliki ilmu silat
yang tinggi, namun kau belum mengizinkan
kau meninggalkan tempat ini guna mencari
musuh besarmu. Soal balas dendam soal
mudah Dwiyana. Kau harus tinggal disini
selama dua tahun lagi guna mempelajari
agama dan seluk beluk budi luhur. Sambil
belajar itu semua kau sekaligus dapat pula
melatih dan memperdalam ilmu silatmu.
Bukankah itu lebih baik bagimu?"
"Jika Eyang berpendapat begitu tentu itu
memang lebih baik. Dan saya akan menurut
saja…" jawab perempuan berpakaian kuning.
Kini mengertilah Sonya. Kedua orang itu
adalah guru dan murid. Dan sang murid dapat
dipastikannya adalah seorang gadis. Meski
dia belum dapat melihat paras gadis itu,
namun satu hawa jahat telah menggerayangi
diri Sonya. Sepasang matanya memancarkan
sinar aneh. Ujung lidahnya tiada henti
dileletkan membasahi bibir sedang cuping
hidungnya kembang kempis. Nafsu kotor mulai
membakar manusia dengan cepat!
"Nah muridku, kuharap kau tidak kecewa
dengan keputusanku ini," kata sang guru.
"Sama sekali tidak Eyang," menyahuti murid
yang bernama Dwiyana. "Malah saya
menghaturkan banyak terima kasih atas
perhatian dan petunjuk Eyang. Apa yang
Eyang lakukan semata adalah untuk kebaikan
saya."
Sang guru mengangguk-angguk. Lalu batuk-
batuk beberapa kali. Sesaat dia memandang
ke arah batu hitam di atas ruangan. Dia
tampak tersenyum lalu buka mulut:
"Kalau ada tamu di luar sana, megapa berdiri
saja? Silahkan masuk………."
Sonya terkesiap. Dia menahan nafas. Si
rambut kelabu itu rupanya memiliki indera
keenam. Dengan menyeringai kemudian Sonya
memasuki celah. Batu lalu melangkah
menuruni anak tangga demi anak tangga. Si
orang tua memberi isyarat pada muridnya.
Dwiyana berdiri lalu duduk di sudut ruangan.
Di ujung ruangan Sonya hentikan langkah.
Sesaat pandangannya saling beradu dengan
mata orang tua itu. Sebuah lampu kecil
kelihatan terletak di sebuah ruangan lain, lalu
sebuah pendupaan yang mengeluarkan asap
harum. Sonya melirik pada Dwiyana. Ternyata
gadis itu memiliki paras cantik. Tambah
berkobarlah nafsu terkutuk dalam tubuh murid
Datuk Siluman ini! Perlahan-lahan dia
melangkah ke hadapan orang tua yang duduk
bersila di atas permadani merah. —-
Sekali saja melihat paras Sonya baik si orang
tua maupun Dwiyana segera mengetahui
bahwa manusia bertampang buruk bengis
yang mengenakan baju dekil bertambal-
tambal ini bukan seorang manusia baik-baik.
Sinar matanya menunjukkan hal itu. Namun
demikian si orang tua penghuni goa batu
mempersilahkan tamunya duduk dengan sikap
ramah.
"Tamu aneh yang datang membawa burung
Nuri dalam sangkar aneh, apakah kau seorang
pemburu?"
"Namaku Sonya. Aku bukan pemburu," jawab
Sonya dengan nada kaku. "Kau sendiri siapa?"
dia balik bertanya.
Yang ditanya tersenyum.
"Orang memanggilku Malaikat Berambut
Kelabu. Tapi walau bagaimanapun aku
hanyalah seorang manusia biasa. Seorang tua
peot keriput yang sudah dimakan usia.
Namaku Akik Mapel."
Sonya seperti tidak acuh mendengar jawaban
itu. Dia lebih tertarik pada gadis yang duduk
di sudut ruangan. Dia berpaling pada Dwiyana
dan memandang lekat-lekat. Dipandang
begitu rupa dengan hati kesal Dwiyana
tundukkan kepala.
Untuk kesekian kalinya Sonya basahi lagi
bibirnya dengan ujung lidah. Akik Mapel juga
mulai merasa tak suka dengan tindak tanduk
tamu yang tidak diundang ini.
"Gadis itu muridmu?" tanya Sonya .
Akik Mapel mengangguk. Sejak tadi dia telah
mencium bau busuk yang keluar dari tubuh
dan pakaian Sonya. Masih untung ruangan itu
diasapi dengan ramuan pengharum.
"Di luar hujan. Aku terpaksa berteduh di sini,"
menerangkan Sonya.
"Aku tahu. Sebenarnya kau datang dari mana
dan hendak menuju kemana?"
Sonya mengerling lagi pada Dwiyana. Lalu
angkat bahu. "Aku tidak tahu datang dari
mana dan kau mau kemana."
"Ah, itu adalah lucu," kata adik Mapel. Dia
menggoyangkan kepalanya pada muridnya.
"Lekas hidangkan minuman untuk tamu kita."
"Tak usah. Aku tak haus," jawab Sonya cepat.
Dia khawatir kalau-kalau Akik Mapel sudah
menaruh curiga dan memasukkan sesuatu ke
dalam minumannya. Dia malah kini berpikir-
pikir apa segera saja bertindak mengumbar
keinginan jahat terkutuknya.
"Burung itu milikmu?" tiba-tiba Akik Mapel
bertanya.
"Lalu punya siapa lagi? Apa kau
menginginkannya?!"
"Tidak. Sama sekali tidak. Aku hanya ingin
tahu mengapa binatang itu bersangkar aneh."
"Di dalam dunia ini memang banyak hal aneh-
aneh, Akik Mapel. Dan semua keanehan itu
berakhir pada kematian!"
Kata-kata Sonya itu membuat Akik Mapel
kerenyitkan kening.
"Betul tidak, Akik Mapel?"
Akik Mapel batuk-batuk sebelum menjawab.
"Mungkin…mungkin betul," jawabnya. Diam-
diam dia mulai meragukan apakah sang tamu
memiliki otak sehat.
"Nah, bagaimana kalau saat ini kukatakan
bahwa sebentar lagi akan terjadi satu
keanehan yang berkahir pada kematian?"
"Maksudmu Sonya?"
"Bahwa sebentar lagi kau bakal mati di
tanganku?!"
Akik Mapel menatap wajah tamunya. Sinar
aneh dilihatnya memancar dari sepasang
mata Sonya.
"Kau hendak melakukan keanehan yang mahal
Sonya. Kalau tidak mau kukatakan gila!"
Sonya tertawa gelak-gelak. Lalu disusul oleh
suara lolongan panjang seperti raungan
srigala!
Tiba-tiba laksana kilat tangan kanannya yang
berkuku panjang meluncur kedepan,
mencengkeram ke muka Akik Mapel. Orang
tua ini kaget bukan kepalang. Cepat-cepat
tangan kanannya diangkat ke atas untuk
melindungi muka sekaligus menepis serangan
lawan. Maka terjadilah bentrokan dua lengan
yang menimbulkan suara keras!
Akik Mapel merasakan lengannya sakit dan
panas. Tubuhnya terhuyung, hampir jatuh
terbanting ke atas permadani. Di hadapannya
dilihatnya Sonya tertawa menyeringai.
Menandakan bahwa manusia bermuka setan
ini memiliki kepandaian amat tinggi.
Setelah menenangkan hatinya, Akik Mapel
berkata: "Sonya, aku sejak tadi menduga
bahwa kedatanganmu kemari tidak membawa
maksud baik. Ternyata dugaanku terbukti!"
Sonya kembali tertawa panjang. "Apa kau tuli
kakek-kakek pikun? Sudah kukatakan bahwa
kau akan mati ditanganku!"
Sekali lagi Sonya menggerakkan tangan
kanannya yang berkuku panjang. Melancarkan
serangan "cakar siluman" yang sebelumnya
telah meminta lebih dari setengah lusin
korban. Menyadari bahwa lawannya yang
berilmu tinggi itu benar-benar ingin
mencelakainya, orang tua itu beringsut ke
belakang sambil tundukan kepala. Begitu
melompat bangun dia tendangkan kaki
kanannya ke kepala lawan!
Sonya keluarkan suara lolongan srigala haus
daging dan darah manusia. Walaupun kaki
kanan Akik Mapel sudah menderu dekat di
depan keningnya, tapi dia sama sekali tidak
membuat gerakan untuk mengelak. Namun
tiba-tiba dia tampak menggerakkan kedua
tangannya. Sesaat kemudian Akik Mapel
tersentak kaget ketika merasakan bagaimana
pergelangan kaki kanannya tahu-tahu telah
dicekal lawan amat kuatnya. Betapapun dia
berusaha melepaskan kakinya namun sia-sia
belaka.
Akik Mapel tekuk lutut sambil miringkan
tubuh ke bawah. Tinju kirinya menderu ke
dada lawan sedang tangan kanan
menemplang ke batok kepala Sonya. Inilah
gerakan yang dinamakan "beringin sakti
tumbang."
Akan tetapi sebelum kedua tinjunya itu
mencapai sasaran, Akik Mapel merasakan
pergelangan kakinya dipuntir sakit sekali dan
tubuhnya melayang berputar di udara,
kemudian terlempar ke dinding ruangan batu!
Jika saja orang tua itu bukan seorang tokoh
silat yang lihay, niscaya tubuhnya akan remuk
ketika melabrak dinding batu yang luar biasa
kerasnya itu!
Tanpa kehilangan akal karena dilemparkan
begitu rupa, Akik Mapel ulurkan kedua
tangannya ke depan untuk menyentuh dinding
batu dengan telapak tangan lalu
mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya
yang tinggi, kakek ini jatuhkan diri, seterusnya
bergulingan di lantai. Dengan cara begini dia
berhasil menyelamatkan diri.
Sonya tertawa mengekeh dan perlahan-lahan
bangkit dari duduknya.
"Eyang, biar aku yang menghajar manusia
busuk ini!" Dwiyana tiba-tiba melompat dan
bergerak mendekati Sonya.
"Kembali ke tempatmu Dwiyana! Kalau belum
kugebuk dia, belum puas hatiku!" sahut sang
guru. Dia sudah dapat mengukur kehebatan
lawannya dan diam-diam menyadari kalau
ketinggian ilmunya belum bisa menandingi
ilmu manusia muka setan ini, apalagi
muridnya. Karena itu dia mencegah tindakan
Dwiyana.
"Betul sekali ucapan gurumu. Gadis cantik
molek, sebaiknya kau tetap di sudut sana.
Sayang kalau tubuhmu yang mulus itu
tergores luka. Apalagi kalau sampai kena
gebuk!"
"Sonya!" tukas Akik Mapel. "Aku beri
kesempatan padamu untuk meninggalkan goa
ini. Kalau tidak, aku akan betul-betul
menggebukmu sampai babak belur!"
Sonya hanya tertawa. Dia pejamkan kedua
matanya dan berdiri tanpa bergerak. "Kakek
pikun. Kau mau menggebukku? Silahkan!"
Mau tak mau Akik Mapel jadi tambah marah
dan penasaran. Didahului suara menggembor
orang tua ini menerjang. Gerakan tubuhnya
mengeluarkan deru angin deras. Kedua
tangannya didorongkan ke depan. Dua larik
angin bersiur keras. Ruangan batu bergoyang
laksana dilanda lindu. Sonya terhuyung-
huyung.
"Setan alas!" maki Sonya marah ketika angin
deras serbuan Akik Mapel membuat sangkar
dan burung di dalamnya terlepas dari
pegangannya dan mental ke sudut ruangan. Di
saat itu pula telapak tangan Akik Mapel telah
menghantam ke arah keningnya, siap untuk
menghancurkan kepala Sonya.
Sampai saat itu Akik Mapel mempunyai
anggapan bahwa Sonya adalah seorang
berilmu tinggi tetapi berotak miring.
Karenanya sewaktu serangannya dirasakannya
betul-betul akan menamatkan riwayat
lawannya itu, timbullah perasaan tak tega di
hati orang tua ini. Dia tarik pulang tangannya
dan sebagai ganti mengirimkan totokan kilat
ke arah pangkal leher.
Sonya mendengus. Dia tahu apa artinya kalau
totokan untuk sempat mendarat di
sasarannya. Untuk kesekian kalinya manusia
muka iblis ini keluarkan suara lolongan
srigala. Suara lolongannya lenyap sedetik
kemudian. Tubuhnya pun ikut lenyap! Akik
Mapel terkesiap kaget.
Sebelum orang tua itu mengetahui di mana
lawannya berada, satu hantaman menghajar
tubuhnya sebelah belakang. Akik Mapel
mengeluh tinggi. Tubuhnya terhantar di
permadani. Tulang punggungnya sebelah
kanan hancur! Dengan susah payah dia
mencoba bangun sementara di hadapannya
Sonya berdiri dengan sikap mengejek. Tangan
kanan bertolak pinggang sedang tangan kiri
memegang sangkar tulang.
"Manusia gila keparat! Terima ini!" Tiba-tiba
terdengar bentakan Dwiyana. Murid Akik
Mapel yang sudah tidak sabaran ini
menyerbu.
Sonya yang hendak menyerang Akik Mapel,
terpaksa batalkan gerakannya ketika
merasakan siuran angin serangan datang dari
samping. Cepat dia berkelit dan berpaling, lalu
menyeringai.
"Gadis galak, sebaiknya kau tetap di sudut
sana. Aku tak ingin membuat tubuhmu yang
mulus jadi luka. Aku sendiri yang akan rugi
nanti jadinya!"
"Setan! Jaga batang lehermu!" teriak Dwiyana
dengan muka merah. Hatinya geram karena
serangan tangan kosongnya dapat dielakkan
lawan dengan mudah. Tidak menunggu lebih
lama gadis ini segera cabut sebilah pedang
mustika terbuat dari perak yang tersisip di
belakang punggungnya. Serangkum sinar
putih berkiblat ketika senjata ini di babatkan
ke leher Sonya dengan dahsyat.
Di saat muridnya menggempur dengan
pedang, Akik Mapel tidak tinggal diam. Dia
lepaskan satu pukulan sakti bernama "sinar
pelangi". Patut diketahui, ilmu pukulan ini
lebih dari sepuluh tahun dipelajari dan
diyakini oleh kakek sakti itu, dan merupakan
satu dari sekian banyak pukulan sakti yang
terkenal dan pernah menggegerkan dunia
persilatan. Apalagi saat itu Akik Mapel
mengepulkan lebih tiga perempat kekuatan
tenaga dalamnya untuk Melancarkan pukulan
tersebut!
Tujuh warna pelangi berkiblat. Ruangan baru
bergoncang keras.
Wuus !
Sinar pukulan sakti itu menyapa ke seluruh
bagian tubuh Sonya. Di kejap itu pula
terdengar bentakan keras. Dwiyana merasakan
selarikan angin menyambar ke arahnya,
membuat pedangnya tergeser ke samping.
Tubuhnya terdorong ke belakang sampai
beberapa langkah. Penasaran gadis ini susul
serangannya yang tadi buyar dengan satu
tusukan. Namun dia harus cepat menjauhkan
diri kalau tidak pukulan gurunya sendiri akan
menghantamnya.
Akik Mapel hampir tidak percaya ketika
melihat bagaimana Sonya mampu mengelak
dan bertahan terhadap pukulannya. Selama
malang melintang di dunia persilatan, tak
satu lawanpun sebelumnya yang sanggup
bertahan terhadap pukulan "sinar pelangi".
"Apakah masih ada pukulan saktimu yang
lain?" tanya Sonya mengejek yang membuat
Akik Mapel serasa di panggang. Sebelum dia
sempat membuka mulut, dilihatnya muridnya
sudah menyerbu kembali dengan serangan
pedang perak.
Melihat amukan si gadis Sonya mundur
beberapa langkah. Begitu sambaran senjata
lawan lewat, cepat dia dorongkan tangan
kanannya ke dada Dwiyana hingga gadis ini
jatuh terguling di lantai.
"Bedebah kurang ajar! Terkutuk!" teriak
Dwiyana. Gerakan tangan Sonya tadi bukan
hanya sekedar mendorong, tetapi sekaligus
sengaja meremas payudara si gadis. Dwiyana
melompat beringas dan siap menyerbu
kembali.
"Sudah! Kau tidurlah enak-enak di sudut
sana!" kata Sonya lalu jentikkan jari telunjuk
tangan kanannya. Selarik asap hitam panjang
yang tak ubahnya seperti seutas tali meluncur
ke arah Dwiyana dan berputar bergelung-
gelung di sekitar kepala si gadis.
Dwiyana menghantam dengan tangan kirinya.
Angin pukulannya keras sekali. Tetapi asap
hitam itu tak mampu dimusnahkannya malah
kini gelungannya semakin menyempit,
membuat gadis ini terpaksa mundur ke sudut
ruangan yang diinginkan Sonya. Dalam pada
itu detik demi detik Dwiyana merasakan kedua
kelopak matanya menjadi berat, kepalanya
pusing dan pemandangannya berkunang.
Akhirnya secara aneh gadis ini terduduk di
sudut ruangan batu. Kedua matanya terpejam.
Punggungnya tersandar. Sikapnya persis
seperti orang sedang tidur duduk!
Akik Mapel terbeliak melihat kejadian ini.
Seumur hidup baru sekali itu dia melihat ilmu
aneh begitu rupa. Hatinya berdebar. Bukan
karena takut menghadapi lawan yang jauh
lebih hebat dari dia, tetapi karena sudah
dapat menduga apa sebenarnya maksud
Sonya memperlakukan Dwiyana seperti itu.
Dari balik pakaiannya Akik Mapel cepat
keluarkan tasbih yang terbuat dari untaian
mutiara. Tasbih ini pernah di rendam selama
tiga tahun hingga dari putih kini warnannya
kelihatan biru gelap dan memancarkan sinar
angker.
Sesaat Sonya perhatikan benda di tangan
lawannya lalu tertawa menyeringai.
"Hai, itu senjatamu Akik Mapel?" ujar Sonya.
Tahu-tahu dia sudah berkelebat untuk
merampas mutiara tersebut. Tapi hal ini tidak
terlalu mudah untuk melakukannya. Akik
Mapel mengelak sebat. Sesaat kemudian
segulung sinar biru menggidikkan melabrak ke
arah delapan bagian tubuh Sonya!
Serangan tasbih itu memang hebat dan
ganas. Dan Akik Mapel jarang sekali
mengeluarkan senjata andalannya ini kalau
tidak dalam keadaan Sangat berbahaya dan
terdesak.
Yang diserang keluarkan suara menggereng
laksana singa lapar terluka. Dia menyelusup
di antara gulungan sinar biru. Memang hebat
sekali murid Datuk Siluman ini. Dia masih
sanggup menyelamatkan diri dari gempuran
sinar maut itu. Bahkan kembali mencoba
untuk merampas mutiara di tangan Akik
Mapel. Ketika untuk kesekian kalinya dia tidak
mampu untuk merampas tasbih itu, marahlah
manusia muka setan ini!
Sonya pindahkan sangkar burung ke tangan
kanan dan lambaikan tangan kirinya.
Terdengar suara mendesis. Asap hitam pekat
keluar berguling dari telapak tangannya,
menderu dan membungkus ke arah kepala
Akik Mapel. Si orang tua terbatuk-batuk, tak
tahan oleh bau sengit asap hitam aneh. Dia
kerahkan tenaga dalam dan menghembus ke
depan. Tak terlambat. Tubuhnya dirasakannya
menciut, makin kecil, makin pendek.
Sebaliknya tubuh Sonya dilihatnya bertambah
besar dan menjadi tinggi. Dia merasa seperti
seekor siput atau seekor semut yang baru
keluar dari lubang.
"Celaka, ilmu iblis apa pula ini!" keluh orang
tua itu.
"Akik Mapel! Lihat mukaku! Pandang mataku!"
kata Sonya. Suaranya lantang, menggema
dalam ruangan batu itu. Semula dia ingin
membunuh kakek ini. Tapi Selintas pikiran
muncul dalam benaknya.
Akik Mapel yang sudah terpengaruh oleh
kekuatan iblis mengikuti apa yang dikatakan
lawannya. Dia mendongak dan memandang ke
wajah Sonya. Menatap sepasang mata itu.
"Katakan siapa aku! Katakan lekas!" terdengar
suara Sonya.
"Kau Sonya…….Sonya!" sahut Akik Mapel.
"Sonya siapa?!"
"Sonya majikanku. Kau tuan besarku!"
"Dan kau sendiri Sekarang siapa huh?!"
"Aku….? Tentu saja hamba sahayamu," jawab
Akik Mapel.
Sonya tertawa gelak-gelak.
"Sebagai hamba sahaya kau harus turut
setiap perintah majikan. Kau mengerti Akik
Mapel!"
"Mengerti. Aku mengerti Sonya!"
"Bagus!" Sonya lalu lambaikan tangan kirinya.
Asap hitam sedikit demi sedikit lenyap. Wajah
Akik Mapel yang sebelumnya berwarna putih
polos kini kelihatan menghitam akibat ilmu
siluman lawannya.
"Sekarang kau Pergilah keluar! Tunggu aku di
mulut goa!" kata Sonya pula. "Tapi berikan
dulu tasbih itu!"
Akik Mapel menurut. Senjata mustikannya
diserahkan pada Sonya lalu dia melangkah
keluar ruangan.
"Hai tunggu dulu," seru Sonya.
"Apa lagi Sonya?"
"Sialan! Mulai saat ini Panggil aku Paduka.
Mengerti….?"
"Baik. Aku akan Panggil kau Paduka….."
Dengan terbungkuk-bungkuk Akik Mapel
meninggalkan tempat itu. Ilmu siluman telah
merubah jalan pikiran sehatnya. Dia berdiri di
mulut goa seperti yang di perintahkan.
Pandangan matanya kuyu. Di luar hujan
masih terus turun dengan lebatnya.
Di dalam ruangan batu Sonya melangkah
mendekati Dwiyana. Dipandangnya wajah
gadis yang sedang "tertidur" itu.
Diletakkannya sangkar burung ke lantai. Lalu
tangan kanannya dilambaikan ke wajah
Dwiyana. Asap hitam berguling-gulung
membungkus kepala si gadis. Lalu dia
tersentak bangun dan terbatuk-batuk. Sonya
lambaikan tangannya. Asap hitam lenyap.
Matanya dan mata Dwiyana saling pandang.
"Dwiyana. Lihat mukaku. Pandang mataku….."
Dwiyana mengangkat kepalanya dan menatap
wajah serta mata Sonya.
"Mulai hari ini kau menjadi gadis
peliharaanku, mengerti?"
Dwiyana mengangguk.
"Kau harus melayani apa mauku!"
Dwiyana kembali mengangguk.
"Kau harus Panggil aku Paduka!"
Si gadis mengangguk lagi.
"Sekarang berdiri!"
Dwiyana berdiri.
"Tanggalkan pakaianmu!"
Di luar kesadaran akal sehatnya yang telah di
sungkup oleh kekuatan iblis, Dwiyana mulai
membuka pakaiannya. Setiap gerakan gadis
ini di saksikan Sonya tanpa berkesip dan lidah
menjulur basah. Akhirnya Dwiyana berdiri di
hadapannya tanpa selembar benang pun
menutupi auratnya.
Sonya tertawa panjang. Hidungnya kembang
kempis.
"Melangkah lebih dekat kesini, Dwiyana….."
Dwiyana mendatangi.
"Lebih dekat lagi!"
Si gadis maju hingga tubuhnya beradu dengan
badan Sonya. Buah dadanya yang kencang
tertekan rata sewaktu Sonya merangkul
punggungnya dengan penuh nafsu.
"Sekarang kau harus meninggalkan pakaianku,
Dwiyana…."
Si gadis menurut. Dia ulurkan kedua
tangannya dan membuka pakaian Sonya satu
demi satu.
Dipukau oleh ilmu siluman, sampai jauh
malam Dwiyana terus saja melayani nafsu
terkutuk Sonya yang seperti tidak ada
ujungnya itu. Sementara di luar sang guru
duduk termenung. Tak beda seperti seekor
anjing yang bertugas menjaga pintu, dan tak
berani masuk ke dalam tanpa izin
majikannya. Malang sekali nasib guru dan
murid itu. TUJUH HARI sesudah meninggalkan
Bukit Hantu maka sampailah Sonya ke Teluk
Gonggo. Selama perjalanan itu belasan
manusia telah menjadi korban keganasan ilmu
silumannya. Beberapa orang berkepandaian
tinggi dan beberapa perempuan berparas
cantik dibawanya ketempat kediamannya yang
baru, yang kelak bakal menjadi satu markas
atau sarang sumber malapetaka yang
menimpa dunia persilatan. Umumnya orang-
orang lelaki yang dibawanya itu adalah jago-
jago silat kelas satu yang berhasil
ditundukkannya dan diperbudaknya. Sedang
orang-orang perempuan sebelumnya telah
diperkosanya secara keji untuk kemudian
dijadikannya perempuan peliharaan pemuas
nafsunya.
Malapetaka besar itu segera menjadi
kenyataan sebulan kemudian. Dunia persilatan
delapan penjuru angin menjadi geger ketika
terjadi pembunuhan besar-besaran secara
mengerikan atas tiga partai silat. Seisi partai
mulai dari sang ketua sampai murid partai
yang paling rendah bahkan pelayan, mati
dibunuh dengan cara yang sama. Yaitu muka
hancur. Itulah kebiadaban ilmu "cakar
siluman".
Kemudian beberapa tokoh terkenal dunia
persilatan lenyap secara aneh sedang
beberapa lainnya ditemukan mati dengan
muka hancur rusak hampir sulit untuk
dikenali. Selama berbulan-bulan peristiwa
yang menggemparkan itu berjalan terus tanpa
diketahui siapa biang pelakunya. Beberapa
orang sakti mempunyai dugaan bahwa segala
malapetaka mengerikan itu tak dapat tidak
hanya bisa dilakukan oleh satu orang yakin
Datuk Siluman dari Bukit Hantu. Beramai-
ramai mereka mengadakan perundingan lalu
menyerbu ke puncak Bukit Hantu. Namun
yang mereka temui hanyalah reruntuhan
bangunan tulang yang telah menghitam jadi
arang. Sesosok tubuh yang merupakan
tengkorak acak-acakan terjepit di bawah
reruntuhan itu.
"Kalau Datuk Siluman sudah mati, berarti ada
seorang manusia iblis lainnya yang menjadi
biang racun kejahatan ini. Tapi Siapakah
dia?" tanya seorang tokoh sambil memandang
pada kawan-kawannya.
"Tidak dapat tidak dia punya sangkut paut
tertentu dengan Datuk Siluman." Jawab tokoh
yang lain.
"Kalau manusia itu seorang muridnya, kurasa
itu mustahil." Ikut bicara jago silat lainnya.
"Setahuku Datuk Siluman tak pernah punya
murid."
Dengan perasaan kecewa tokoh-tokoh silat itu
akhirnya meninggalkan Bukit Siluman.
Minggu demi minggu berlalu, berganti bulan
ke bulan. Bencana yang menimpa dunia
persilatan semakin hebat. Disamping terbunuh
dan diculiknya tokoh-tokoh silat tingkat
tinggi, disamping musnahnya beberapa partai
persilatan, juga diketahui lenyapnya gadis-
gadis atau perempuan-perempuan cantik dari
kampung, desa dan kota.
Usaha-usaha yang dilakukan tokoh-tokoh
sakti dunia persilatan untuk mencari dan
mengejar pelaku yang telah membuat
keonaran keji itu, sebegitu jauh masih
menemui jalan buntu. Rasa cemas kini
menyelimuti seantero rimba persilatan. Namun
tidak ada yang berputus asa.
Pada permulaan awal bulan dua belas para
tokoh silat itu mengadakan pertemuan rahasia
di suatu tempat di utara Sragen. Baru saja
pertemuan hendak dibuka tiba-tiba di pintu
yang dikunci terdengar suara ketukan.
Brajapati, seorang tokoh silat dari pantai
selatan yang memimpin pertemuan itu
memandang berkeliling. Semua undangan
telah duduk di kursi masing-masing. Berarti
tak ada yang harus ditunggu atau datang
terlambat. Semua hadirin menjadi tidak enak.
Dan ini jelas terbayang di wajah masing-
masing. Siapa gerangan yang mengetuk pintu
itu?
Perlahan-lahan Brajapati berdiri dari kursinya
dan melangkah ke pintu. Meski tokoh-tokoh
silat lainnya masih tetap duduk di tempatnya
masing-masing tetapi rata-rata secara diam-
diam mereka telah berjaga-jaga kalau sampai
tiba-tiba terjadi hal yang tidak diinginkan.
Tiga langkah dari ambang pintu Brajapati
berhenti.
"Siapa di luar?" tanya jagoan ini sambil
tangan kanannya diangkat ke atas, siap
melepaskan satu pukulan tangan kosong.
"Aku…." Terdengar sahutan dari balik pintu.
"Aku siapa?" bentak Brajapati.
"Perbolehkan aku masuk…."
"Katakan dulu siapa kau!" jawab Brajapati.
Tenaga dalamnya dilipat gandakan dan
dialirkan ke tangan kanannya yang siap
menghantam.
"Aku Hang Juana dari Tegal Alas. Bukankah
kalian ingin mengetahui siapa yang selama
ini menimbulkan bencana dalam dunia
persilatan? Lekas buka pintu!"
Brajapati dan beberapa tokoh silat di situ
sebelumnya memang sudah pernah
mendengar nama Hang Juana. Itu sekitar
sepuluh tahun yang silam. Dia dikenali
sebagai seorang kakek yang ahli membuat
berbagai macam senjata, terutama senjata
pesanan perwira-perwira kerajaan.
Tanpa ragu-ragu Brajapati membuka daun
pintu dengan tangan kirinya. Dibawah
pandangan sekian banyak pasang mata,
seorang kakek berpakaian butut rombeng
masuk terbungkuk-bungkuk. Dia berdiri di
ujung meja pertemuan dan memandang
berkeliling.
"Orang tua, Silahkan duduk," Brajapati
menarik sebuah kursi.
Hang Juana menggeleng.
"Aku tak bisa lama-lama di sini," kata si
kakek pula.
"Kenapa?" tanya Brajapati. Karena Hang
Juana tak mau menjawab maka dia
melanjutkan ucapannya: "Tadi kau
mengeluarkan ucapan yang mengatakan
seolah-olah kau tahu siapa yang menjadi
biang racun penimbul malapetaka selama
ini…."
Hang Juana mengangguk. "Orangnya masih
ada sangkut paut dengan Datuk Siluman dari
Bukit Hantu…"
"Memang sudah kami duga!" kata beberapa
tokoh silat hampir bersamaan.
"Siapa manusianya dan di mana sarangnya?"
tanya Brajapati.
"Manusianya bernama………."
Tiba-tiba laksana ada angin besar melabrak
masuk, semua lampu yang ada di ruangan itu
padam! Bau busuk menebas menusuk hidung.
Ucapan Hang Juana terputus digantikan
jeritan yang mengerikan.
Brajapati melihat sesosok bayangan
berkelebat di hadapannya. Secepat kilat
jagoan dari pantai selatan ini hantamkan
tangan kanannya ke depan. Sesiur sinar putih
menderu ke arah tubuh yang berkelebat. Tapi
yang diserang serta merta lenyap dari
pemandangan. Dilain kejap justru terdengar
pekik Brajapati setinggi langit. Lalu suasana
di ruangan yang gelap gulita itu menjadi
sunyi senyap seperti di pekuburan.
Ketegangan menggantung di udara hitam.
"Hidupkan lampu!" Seseorang berteriak.
Beberapa orang segera menyalakan lampu di
empat sudut ruangan. Begitu lampu menyala
maka semua tokoh silat yang ada di situ
melengak ngeri!
Dua sosok tubuh menggeletak di lantai
ruangan pertemuan. Mereka adalah Hang
Juana dan Brajapati. Keduanya tak bergerak
dan tak bernapas lagi. Muka mereka yang
berselomotan darah terlalu ngeri untuk
dipandang.
Meski semua yang hadir di situ adalah tokoh
silat kelas satu berilmu tinggi, namun
menyaksikan kematian Hang Juana dan
Brajapati begitu rupa tak urung membuat hati
tercekat ngeri. Dada berdebar dan lutut
bergetar. Dua korban manusia siluman itu kini
menggeletak di depan mereka. Untung mereka
masih hidup. Karena sebenarnya jika mau
manusia iblis itu pasti mampu melakukan hal
yang sama terhadap mereka semua!
Khawatir akan menyusul terjadinya hal-hal
yang tak diingini, dengan membawa mayat
Brajapati dan Hang Juana semua tokoh silat
yang hadir segera meninggalkan tempat itu.
Dengan demikian untuk kesekian kalinya gagal
pulalah usaha untuk menyelidiki siapa adanya
manusia penyebar malapetaka itu. —-
BULAN PURNAMA telah sejak lama lenyap
terlindung di balik gumpalan awan hitam.
Bintang-bintang pun menghilang satu demi
satu. Saat itu mendekati tengah malam. Jika
pertengahan malam kali ini berlalu maka
berarti untuk ke sekian kalinya dunia
memasuki tahun baru, memasuki usia baru.
Bumi Tuhan ini bertambah tua juga.
Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara
lolongan anjing. Pada saat itulah sesosok
tubuh kelihatan lari memasuki Tegaltritis dari
jurusan timur. Tak lama kemudian sampailah
orang ini di samping sebuah tembok tinggi
satu bangunan yang paling bagus dan mewah
di kampung tersebut. Tanpa menoleh ke kiri
atau ke kanan orang ini langsung masuk ke
halaman depan dengan melompati tembok.
Gedung besar di hadapannya sunyi senyap
tanda semua penghuni sudah tidur lelap.
Hanya pada beberapa tempat terdapat lampu-
lampu kecil menyala. Sekali menggenjot tubuh
orang ini kemudian melompat ke genting
bangunan. Dengan menerobos genting dan
langit-langit dia masuk ke dalam gedung,
sampai ke sebuah kamar dimana terdapat dua
buah tempat tidur berkelambu putih dan biru
muda.
Di atas tempat tidur berkelambu putih, tiga
orang anak kelihatan tidur dengan
nyenyaknya. Sesaat orang yang barusan
menerobos masuk itu memperhatikan wajah
ketiga anak itu. Dadanya terasa sesak
menggemuruh. Cepat-cepat dia berpaling dan
melangkah ke dekat tempat tidur yang
berkelambu biru.
Di atas tempat tidur yang satu ini berbaring
nyenyak seorang perempuan. Wajahnya
membayangkan keletihan dan keputus-asaan
hingga lebih tua dari usia sebenarnya. Meski
demikian kecantikannya masih belum pupus.
Disamping perempuan itu bergelung seorang
anak lelaki berusia dua tahun. Rambutnya
hitam, alis matanya tebal. Kembali orang di
luar kelambu merasakan dadanya sesak.
Dipejamkannya kedua matanya.
"Haruskah kulakukan ini….? Haruskah
kulakukan?!" Pertanyaan itu menghujam
berulang kali dalam hatinya.
Tiba-tiba ada satu bayangan wajah manusia
yang maha mengerikan menjelma di ruang
matanya.
"Ingat sumpah utamamu Sonya! Ingat. Itu
harus kau lakukan! Harus! Kalau tidak aku
akan bangkit dari alam kematian. Makhluk
peliharaanku akan menyiksamu selama tujuh
tahun!"
Lelaki di samping tempat tidur itu ternyata
adalah Sonya. Kedua tangannya terkepal.
Rahangnya mengatup kencang. Perlahan-
lahan Dibukanya kembali kedua matanya. Kini
pada sepasang mata itu kelihatan membersit
sinar aneh. Sinar ganas jahat. Kebimbangan
yang tadi menguasai hatinya serta merta
lenyap. Sonya menyibakkan kelambu biru.
Ditanggalkannya pakaiannya. Lalu dibetotnya
pakaian perempuan di atas tempat tidur yang
bukan lain adalah istrinya sendiri. Perempuan
itu terkejut dan bangun dari tidurnya. Belum
sempat dia menjerit, Sonya sudah menutup
mulutnya dan menaiki tubuhnya. Sonya kini
memperkosa istrinya sendiri sampai akhirnya
perempuan itu pingsan!
Setelah melampiaskan nafsunya Sonya segera
membungkus anak lelaki yang ada di atas
tempat tidur anaknya sendiri lalu melompat
ke atas langit-langit kamar. Sesaat kemudian
ketika perempuan itu siuman dan
mendapatkan anaknya tak ada lagi maka
diapun menjerit: "Anakku! Anakku! Tolong…
penculik!"
Hari itu murid Eyang Sinto Gendeng sampai di
sebuah kota kecil bernama Nganglek. Rasa
haus membuat dia melangkahkan kaki
memasuki sebuah kedai minuman. Di jalan
besar yang di laluinya itu terdapat dua buah
kedai. Yang satu besar dan bersih, lainnya
kecil serta kotor. Wiro hendak memasuki kedai
yang besar ketika di kedai kecil sebelah sana
dilihatnya suatu hal yang menarik. Pendekar
ini segera memutar langkah menuju kedai
buruk itu. Dia duduk disebuah sudut agak
dalam.
Dekat pintu kedai duduk dua orang laki-laki
berpakaian hitam bermuka kumal tak terurus.
Pada lengan masing-masing memakai gelang
akar bahar besar. Satu benda yang sudah
dapat dipastikan gagang senjata menonjol di
balik pinggang pakaian keduanya. Mereka
memperhatikan Wiro dengan pandangan mata
tajam.
"Hanya seorang pemuda kampung tolol. Tak
perlu di curigai," berbisik lelaki bermuka hitam
kepada kawan di sebelahnya.
Kawannya yang mempunyai cacat besar bekas
luka di pipi kiri masih memandang beberapa
lama pada Wiro. Akhirnya memalingkan muka
dan kembali memperhatikan ke arah pintu
seperti ada yang tengah di tunggu.
Wiro meneguk minumannya. Tak selang
beberapa lama masuklah seorang lelaki
berbadan kurus pendek. Begitu masuk dia
langsung menemui dua orang berpakaian
serba hitam tadi. Mereka bicara berbisik-bisik.
Lelaki muka hitam mengeluarkan beberapa
keeping uang perak yang kemudian
diserahkannya pada si kurus pendek. Orang
yang menerima uang ini segera berlalu.
Wiro membayar minumannya. Ketika dia
keluar dari kedai di lihatnya si kurus tadi
sudah berada di ujung jalan. Agar tidak
menimbulkan kecurigaan dua orang di dalam
kedai, Wiro sengaja mengambil jalan yang
berlawanan. Namun di balik sebuah bangunan
cepat pendekar ini berputar dan Dilain saat
dia sudah melangkah cepat mengejar si kurus.
Lelaki kurus pendek itu ternyata menuju ke
tepi sungai. Di sebuah tikungan sungai yang
ditumbuhi pohon-pohon bambu amat lebat,
tertambat sebuah perahu. Orang ini hentikan
langkahnya. Seorang lelaki berbadan tinggi
kekar melompat enteng dari dalam perahu dan
bicara dengan si kurus. Yang terakhir ini
kemudian cepat-cepat tanggalkan tempat itu.
Setelah menunggu beberapa lamanya, Wiro
keluar dari balik rerumpunan pohon bambu.
Dia berdiri ditepi sungai dengan sikap seperti
seorang hendak menyeberang. Ketika dia
melirik ke arah perahu, ternyata di balik atap
perahu kelihatan tiga pasang kaki. Sementara
itu lelaki tinggi besar yang masih tegak di
tebing sungai memperhatikan Pendekar 212
dengan mata melotot penuh selidik. Wiro
justru melangkah mendekatinya.
"Saudara, aku ingin menyeberang. Apakah kau
bisa membawaku ke tepi sungai sebelah
sana?" berkata Wiro.
Si tinggi besar ini bernama Prakunto. Dia
memandang Wiro dari rambut gondrong
sampai ke kakinya yang kotor, melirik pada
tiga kawannya dalam perahu lalu tertawa
bergelak.
"Pangeran dari mana yang berani
memerintahku seenaknya?"
"Oh…oh…oh! Aku bukan pangeran, sobat.
Agaknya kau khawatir soal ongkos. Jangan
takut. Aku punya uang untuk membayar.
Sebutkan saja berapa ongkosnya sampai ke
seberang!"
Kembali Prakunto tertawa gelak-gelak.
"Monyet gondrong! Aku tak butuh uangmu.
Lekas minggat dari sini!"
"Ah, jangan begitu sobat. Kau tolonglah aku
menyeberang," pinta Wiro pula.
"Manusia edan! Kau berani memaksaku?!"
"Tidak. Aku tidak memaksa. Tapi minta
tolong!"
Prakunto ulurkan tangannya meraba dada
Wiro Sableng hingga pemuda ini bergelinyang
kegelian.
"Ngg…kulihat dadamu cukup kekar," kata
Prakunto pula. "Begini saja. Bagaimana kalau
kita adakan perjanjian baku jotos. Kalau aku
menang serahkan seluruh uang yang ada
padamu dan berlalu dari sini!"
"Bagaimana kalau aku yang menang?" balik
bertanya Wiro.
Prakunto tertawa meledak diikuti oleh ke tiga
kawannya yang ada dalam perahu.
"Kalau kau yang menang, jangankan ke
seberang sana, ke nerakapun kau akan ku
antar!"
"Baik! Bagaimana caranya adu jotos ini….?"
"Kita saling pukul tiga kali. Siapa yang nanti
jatuh atau terhuyung ke belakang berarti
kalah!"
"Ah, mudah sekali itu…," kata Wiro sambil
senyum-senyum.
"Siapa yang mulai memukul lebih dulu?!"
"Silahkan kau yang memukulku lebih dulu,"
jawab Prakunto yang tidak memandang
sebelah mata pada pemuda bertampang
dungu di hadapannya itu.
Wiro melangkah ke hadapan Prakunto.
Diulurkannya tangannya ke dada si tinggi
besar ini, meraba-raba beberapa lamanya
hingga Prakunto menjadi kesal.
"Aku suruh kau memukul dadaku. Bukan
memijat-mijat. Tolol!" hardik Prakunto.
"Ah, dadamu keliwat lunak. Seperti agar-agar.
Aku khawatir sekali pukul saja dadamu bisa
murak berantakan. Nanti kau tak bisa balas
memukulku. Bagusnya kau saja yang
memukulku lebih dulu!"
Prakunto benar-benar jadi naik darah
mendengar ucapan Wiro Sableng. Sementara
ke tiga kawannya sudah keluar dari perahu
dan tegak mengelilingi mereka.
"Pemuda ingusan! Mulutmu sombong sekali!"
sentak Prakunto.
"Eh, jadi adu jotos ini tidak diteruskan?
Nyatanya kau Cuma seorang pengecut. Badan
saja yang tinggi kekar tapi nyali selembek tahi
ayam!"
Diejek begitu Prakunto jadi naik pitam. Tiga
kawannya juga tampak marah.
"Kau Bersiaplah. Sekali pukul nyawamu akan
kubuat melayang!" kata Prakunto.
Wiro mundur beberapa langkah dan berdiri
sambil tolak pinggang. "Silahkan pukul.
Jangan salah. Pilih tempat yang empuk!"
Tinju kanan Prakunto mengepal besar dan
kokoh. Dari jarak dua langkah tinjunya itu di
ayunkan sekuat-kuatnya ke dada Pendekar
212 Wiro Sableng.
Buk!
Terdengar suara bergedebuk keras sewaktu
tinju yang besar itu mendarat di dada Wiro.
Baik Prakunto maupun tiga kawannya sudah
sama membayangkan bagaimana jotosan itu
akan membuat Wiro terlempar, roboh muntah
darah dan melayang ke akherat.
Tapi jangankan terjungkal atau terhuyung,
serambutpun tubuh pendekar itu tidak
bergeming. Di lain pihak Prakunto merasakan
tinjunya mendarat di sebuah permukaan
selembut kapas. Membuat lelaki ini ternganga
keheranan.
"Heh, kau rupanya punya ilmu juga….," ujar
Prakunto seraya menyeringai. "Tapi tunggu,
masih ada dua pukulan lagi. Jaga pukulanku
yang kedua!" Lalu untuk kedua kalinya
Prakunto hantamkan tinju kanannya yang
beratnya tak kurang dari lima puluh kati.
Untuk kedua kalinya pula terdengar suara buk!
Dan untuk kesekian kalinya si tinggi besar itu
terheran-heran karena sasaran yang
dihantamnya terasa demikian lembut. Dia
memandang pada Wiro dengan mata meloncat
sementara murid Eyang Sinto gendeng itu
cuma cengar cengir tak acuh.
"Pukulan terakhir sobat!" seru Prakunto.
"Keluarkan seluruh tenagamu, luar dalam.
Pukullah lebih keras. Masakan manusia
setinggi dan sebesarmu ini pukulannya tidak
terasa apa-apa, seperti orang menggelitik
saja!"
Muka Prakunto merah padam. Dia merasa
malu terutama terhadap ketiga kawannya.
Tenaga dalamnya disalurkan seluruhnya ke
tangan kanan hingga mempunyai daya
hantam sebat dua ratus kati. Jangankan
tubuh manusia, tembok tebal atau kepala
kerbaupun pasti hancur luluh.
"Kau sudah siap?!" tanya Prakunto. Tinju
kanannya tampak bergetar.
"Sudah sejak tadi-tadi sobat!" sahut Wiro
seenaknya.
Prakunto kertakkan rahang.
"Mampuslah!" bentak Prakunto. Berbarengan
dengan itu tinju kanannya berkelebat deras
sampai mengeluarkan suara menderu.
Mendarat tepat di dada kiri Pendekar 212,
pada bagian jantungnya!
Terdengar satu jeritan setinggi langit!
Prakunto berdiri terbungkuk-bungkuk. Tangan
kirinya tiada henti mengusap tangan kanan
yang tadi di pakai meninju. Kalau dua kali
Pertama tadi memukul dada lawan
dirasakannya lunak lembut, tetapi kali yang
ketiga dada pemuda itu seperti berubah
menjadi dinding karang yang luar biasa keras
dan atosnya. Dua buah jari tangan kanannya
patah, kulitnya terkelupas dan mengucurkan
darah di beberapa bagian.
"Bagaimana sobat? Kau telah memukulku tiga
kali. Kini giliranku!" kata Wiro.
"Baik, baik….," kata Prakunto menahan sakit
dan malu. Dia berdiri memasang kuda-kuda.
Wiro mundur mengambil ancang-ancang
untuk memukul. Tiba-tiba salah seorang
kawan Prakunto mendekati lelaki itu dan
berbisik: "Kunto, kita tak ada waktu melayani
pemuda edan ini lebih lama. Sebentar lagi
kereta itu akan tiba. Kau mau didamprat dan
digebuk Jakasempar? Seberangkan saja dia
agar tidak mengganggu kita lebih lam!"
"Tapi aku toh musti melayaninya!" sahut
Prakunto.
"Persetan! Seberangkan dia!"
Prakunto berpikir sejenak.
"Hai, mengapa kalian ini? Aku sudah siap
memukul!" Wiro berseru.
"Sobat, biarlah. Walau kau belum memukul
tapi aku mengaku kalah. Aku akan antarkan
kau ke seberang," kata Prakunto pula.
Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepalanya.
Dia melompat ke dalam perahu. Hanya
sebentar saja dia pun sampai ke seberang
sungai. Wiro ucapkan terima kasih dan naik
ke darat sementara Prakunto mengayuh
perahunya kembali ke seberang yang lain.
Hanya sesaat dia mencapai tepi sungai,
sepuluh orang berkuda sampai di tempat itu.
Rombongan ini di pimpin oleh lelaki muka
hitam yang dilihat Wiro di kedai di Nganglek.
"Bagaimana Jaka….?" tanya Prakunto pada si
muka hitam yang bernama Jakasempar.
"Kalian bersiap. Cari tempat berlindung yang
baik. Sebentar lagi kereta itu akan lewat.
Ingat, gadis itu tak boleh mendapat cidera
barang sedikitpun!"
Maka keempat belas orang itupun
bersembunyi di tempat yang terpencar di
tikungan sungai. Kira-kira sepeminuman the
berlalu, di kejauhan terdengar suara rentak
kaki-kaki kuda dan gemeletak roda kereta.
Tak lama kemudian dari balik tikungan
muncullah sebuah kereta putih, dikawal oleh
sepuluh prajurit Kadipaten dibawah pimpinan
seorang lelaki tua gagah bernama Wilacarta.
Begitu kereta memperlambat jalannya karena
memasuki tikungan maka terdengarlah ringkik
binatang penarik kereta itu. Lima pisau
terbang menghambur dan menancap di kaki
dua ekor kuda penarik kereta dan
Membuatnya tersungkur. Kereta hampir saja
terbalik ke dalam sungai. Bersamaan dengan
itu Jakasempar dan anak buahnya
berlompatan dari tempat persembunyian
masing-masing, langsung menyerbu prajurit-
prajurit pengawal dengan senjata terhunus!
Daerah luar kota Jepara akhir-akhir ini
memang kurang aman. Karenanya melihat
kemunculan belasan orang bermuka bengis
itu, Wilacarta segera maklum kalau
rombongan tengah dihadap perampok. Tapi
karena saat itu dia dan anak buahnya sama
sekali tidak membawa uang atau harta
berharga Kecuali mengawal Sri Ayu Pandan,
Putri Adipati Jepara, maka penghadangan itu
terasa agak aneh dimata Wilacarta. Namun
saat itu tak ada waktu untuk berpikir panjang.
Orang tua gagah ini berteriak memberi
semangat pada anak buahnya. Lalu mencabut
pedang dari pinggang. Dia sama sekali tidak
menduga justru rombongan yang menghadang
itu memang tidak hendak merampok harta
atau uang, melainkan hendak menculik puteri
Adipati Jepara. Setelah gadis itu di tangan
mereka, Jakasempar akan meminta uang
tebusan dalam jumlah besar.
Pertempuran berkecamuk hebat. Pihak
Kadipaten selain kalah jumlah, lawan yang
mereka hadapi rata-rata memiliki kepandaian
silat tinggi hingga dalam tempo singkat dua
orang prajurit roboh mandi darah.
Ketika tadi kereta menyungkur tanah karena
dua kuda yang menariknya roboh, dari dalam
kereta terdengar pekik perempuan. Tirai
jendela tersingkap dan tampaklah satu kepala
berambut hitam legam berwajah rupawan.
Dialah Sri Ayu Pandan, puteri Adipati Jepara.
Belum habis kejut sang gadis akibat
tersungkurnya kereta, tiba-tiba dari semak
belukar dilihatnya berlompatan manusia-
manusia bertampang bengis bersenjata golok
atau pedang dan mereka ini langsung
menyerang para pengawal. Takutnya puteri
Adipati ini bukan kepalang. Dia berteriak tiada
henti.
Wilacarta putar pedangnya dengan sebat. Dia
berhasil merobohkan seorang lawan dan
melukai seorang lainnya. Ketika dilihatnya
Jakasempar bergerak mendekati kereta, kepala
pengawal ini segera menghadang. Namun dia
tak mampu menghalangi lebih jauh karena
secepat kilat tiga orang anak buah
Jakasempar melompat kehadapannya dan
langsung menyerbu.
Kusir kereta yang merasa ikut bertanggung
jawab atas keselamatan puteri majikannya,
dengan bersenjatakan sepotong besi panjang
menyerang Jakasempar dari samping.
Serangan itu dengan mudah dapat dielakkan
oleh Jakasempar. Sebagai balasan
Jakasempar menghadiahkan satu tusukan
golok yang ganas. Karena memang tidak
memiliki kepandaian silat apa-apa, kusir
kereta itu akhirnya menemui ajal dengan dada
ditembus golok.
Jakasempar menendang pintu kereta hingga
tanggal berantakan. Di dalam sana Sri Ayu
Pandan menyudut ketakutan. Jakasempar
tersenyum menyeringai melihat tubuh mulus
dan wajah cantik gadis itu. Dalam benaknya
sudah muncul pikiran kotor. Puteri itu diculik
dan dimintai tebusan uang dalam jumlah
besar. Tapi apa salahnya sebelum
dikembalikan pada orang tuannya akan
dipakai sebagai pemuas nafsu lebih dulu?
"Gadis cantik. Kau tak usah takut. Mari ikut
aku…" kata Jakasempar seraya mengulurkan
tangan untuk menarik Ayu Pandan. Namun
sebelum jari-jari tangannya sempat
menyentuh tubuh gadis itu mendadak dari
samping melesit sebuah benda besar.
Jakasempar cepat bersurut mundur. Benda itu
menghantam tangga kereta dan ternyata
adalah sosok tubuh seorang anak buahnya
sendiri yang telah menjadi mayat!
Terkejut bukan kepalang, Jakasempar
palingkan kepala. Dan membeliaklah mata
manusia muka hitam ini. Enam langkah di
hadapannya berdiri pemuda rambut gondrong
yang sebelumnya pernah dilihatnya di kedai
Nganglek. Pakaiannya basah kuyup. Apakah
dia yang telah melemparkan tubuh anak
buahnya itu tadi?
Pemuda berpakaian kuyup itu adalah Wiro
Sableng. Sesampainya di seberang tadi, dia
pura-pura berlalu, tapi diam-diam menyelinap
ke balik semak-semak dan mengintai. Dia
yakin sekali orang-orang yang ditemuinya di
kedai dan di tepi sungai itu tengah
merencanakan sesuatu. Sesuatu yang jahat.
Dan keyakinannya itu tak lama kemudian
menjadi kenyataan. Yaitu dengan munculnya
kereta putih yang telah ditunggu untuk di
hadang. Pada saat pertempuran sedang
berkecamuk, Wiro terjun kesungai, berenang
menyeberang. Itulah sebabnya pakaiannya
basah kuyup.
"Bangsat! Pemuda ini memang sudah
kucurigai sejak dari Nganglek!" kertak
Jakasempar. Dia melangkah mendekati Wiro
dan membentak: "Keparat! Kau berani
mencampuri urusanku! Berarti kau berani
mampus!"
Wut!
Golok besar di tangan Jakasempar menderu.
Membabat ke dada Wiro Sableng. Ketika Wiro
berhasil mengelakkan serangan itu, serta
merta serangan kedua dan ketiga datang
susul menyusul laksana kilat! Kiranya kepala
rampok ini memiliki ilmu golok yang lihai. Dia
mengharap dalam beberapa gebrakan saja
akan dapat mencincang tubuh lawannya.
Namun dia tidak tahu, dengan siapa hari itu
dia berhadapan.
Jakasempar membuka jurus kedua dengan
serangan berantai kembali. Wiro berkelebat
cepat diantara taburan sinar golok lawan.
Awal jurus ketiga pendekar ini mempercepat
gerakannya hingga tubuhnya hanya
merupakan bayang-bayang dan Jakasempar
mejadi bingung karena kehilangan lawan.
Sambaran goloknya terus menerus
menghantam tempat kosong.
Selagi Jakasempar kebingungan Wiro
hantamkan tangan kanannya ke kening
penjahat ini. Jakasempar menjerit. Tubuhnya
terbanting ketanah tak sadarkan diri.
Keningnya yang memang sudah hitam kini
tampak tambah hitam karena hangus. Dan
pada kening itu kini tertera tiga deretan angka
212! Dari mata, hidung serta mulutnya
mengalir darah!
Tiga orang anak buah Jakasempar yang
melihat pemimpin mereka dicelakai begitu
rupa dengan cepat menyerang.
"Manusia-manusia tak berguna. Bisanya
cuma membuat keonaran! Majulah bila minta
digebuk!" kertak Wiro Sableng. Begitu ketiga
lawannya berlompatan menyerang maka
terdengarlah plak, plak, plak! Tiga tamparan
mendarat di kening mereka. Ketiganya
menggeletak di tanah menerima nasib seperti
pemimpin mereka.
"Pemuda keparat! Makan pedangku ini!" satu
suara membentak. Dikejap yang sama satu
tebasan pedang menyambar batang leher
Pendekar 212. Wiro keluarkan suara bersiul
dan melompat kebelakang. Yang
menyerangnya dengan ganas itu ternyata
Prakunto. Ditangannya tergenggam sebilah
pedang berlumuran darah. Dengan pedang itu
dia telah membunuh dua prajurit Kadipaten
dan melukai parah Wilacarta. Orang tua itu
kini tergeletak dekat roda kereta, dengan
menahan sakit bukan kepalang dan darah
masih mengucur di bekas lukanya.
"Hai! Rupanya kau masih belum puas dengan
adu jotos tadi?!" mengejek Wiro.
"Baku jotos dan pedang lain, sobat!" jawab
Prakunto sambil tusukan pedang yang
digenggamnya di tangan kiri karena tangan
kanannya cidera akibat adu jotos dengan Wiro
tadi.
Wiro keluarkan satu siulan lagi. Dia berkelit ke
kiri. Begitu ujung pedang lewat di
sampingnya, Wiro gerakan tangan kanan
memukul siku Prakunto. Lelaki ini terpekik
karena sambungan sikunya terlepas. Dia
kembali menjerit sewaktu tapak tangan
Pendekar 212 menghantam keningnya hingga
hangus. Prakunto terbujur di tanah, melintang
di atas tubuh Jakasempar!
Ketika Wiro memandang berkeliling ternyata
pertempuran sudah selesai. Kusir kereta dan
beberapa prajurit Kadipaten tewas. Yang lain-
lainnya termasuk Wilacarta menderita luka-
luka. Dipihak penjahat empat orang mati, dua
orang melarikan diri sedang delapan lainnya,
diantaranya Jakasempar dan Prakunto
menderita luka-luka dan pingsan.
Dari dalam kereta masih terdengar jeritan-
jeritan Sri Ayu Pandan yang masih diselimuti
ketakutan. Wiro mendatangi.
"Hentikan jeritanmu. Pertempuran sudah
berhenti. Tak ada yang harus ditakutkan lagi!"
berkata Wiro.
Puteri Kadipaten itu turunkan kedua
tangannya yang tadi dipakai untuk menutupi
muka. "Kau…kau siapa?" tanyanya masih
takut dan curiga.
Wiro garuk-garuk kepala. Sebelum dia
memberi jawaban, dari belakangnya seseorang
berkata: "Pendekar 212, ikutlah bersamaku."
Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede
ini terkesiap kaget dan berpaling.
Dihadapannya berdiri seorang kakek-kakek
yang mata kirinya picak sedang disampingnya
tegak seorang anak lelaki berusia sekitar lima
belas tahun, berpakaian serba putih dan
berparas cakap. Jika seseorang mengenali
julukannya, maka orang itu pasti bukanlah
manusia sembarangan.
"Orang tua, kau siapa ….?" Tanya Wiro.
"Siapa aku nanti kuterangkan. Yang penting
kau harus ikut aku Sekarang juga!"
"Heh? Ikut kau? Kemana? Jalan-jalan…..?"
tanya Wiro bergurau.
"Jangan banyak tanya dan jangan bergurau.
Waktuku amat singkat," jawab orang tua mata
picak.
"Ngg…kalau begitu kau pergilah sendirian.
Siapa sudi turut denganmu. Aku masih ada
tugas mengurusi orang-orang Kadipaten ini!"
"Biar muridku yang mengurus mereka," kata si
picak. "Kepentinganku ada hubungannya
dengan malapetaka yang menimpa dunia
persilatan saat ini!"
Ucapan itu membuat Wiro Sableng yang
barusan hendak melangkah tubuh berbalik
kembali.
"Apa katamu orang tua….?!"
Si orang tua tak menjawab melainkan
memutar tubuh. Setelah mengatakan sesuatu
pada anak lelaki di sebelahnya, dia lalu
cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Tampaknya dia melangkah biasa saja. Namun
hanya sesaat dia telah lenyap di tikungan
jalan. Dengan garuk-garuk kepala Wiro
Sableng terpaksa mengejar si mata picak aneh
itu. Ternyata orang tua ini menuju Jepara.
HARI masih pagi. Sinar sang surya masih
kuning kemerahan tanda belum lama keluar
dari tempat peraduannya. Sura Gandara
berdiri di ambang pintu rumah makannya,
memperhatikan pelayan-pelayan membereskan
bagian depan rumah makan itu. Di Jepara,
Sura yang berbadan gemuk macam kerbau
bunting itu terkenal sebagai pemilik rumah
makan paling besar, paling lezat tetapi murah
harganya.
Dari dalam sabuknya di keluarkan secuil
tembakau dan kertas. Maka mulailah dia
menggulung sebatang rokok klinting. Baru
saja dia menyalakan rokok itu, tiba-tiba
berubahlah parasnya.
Di seberang jalan tampak empat orang
berpakaian jubah putih yang di bagian
dadanya terpampang sulaman bunga teratai
besar berwarna merah darah.
"Empat Teratai Darah………." kata Sura
Gandara dalam hati. Rasa tak enak segera
menyungkupi dirinya. Sekitar satu tahun yang
lewat empat manusia itu pernah datang ke
rumah makannya. Kedatangan mereka hanya
membuat keonaran. Rumah makan waktu itu
menjadi centang perenang porak poranda
akibat dipakai sebagai tempat perkelahian
oleh Empat Teratai Darah melawan musuhnya
Empat Naga Hitam. Meskipun kali ini
Kedatangan mereka belum tentu akan berbuat
keonaran lagi, namun tetap saja Sura Gandara
merasa cemas. Buktinya pagi-pagi sekali,
selagi rumah makan masih belum buka,
mereka sudah muncul. Tentu ada apa-apanya.
Sura Gandara tak bisa berpikir lebih panjang
karena keempat orang itu sudah berdiri di
hadapannya.
Sura menjura hormat. Dengan senyum yang
dipaksakan dia berkata: "Satu kehormatan
lagi bahwa kalian orang-orang gagah sudi
datang ke tempatku. Sebenarnya rumah
makan masih belum buka dan masih kotor.
Jika orang-orang gagah tidak keberatan
dengan keadaan ini, Silahkan masuk."
Kakek-kakek bermuka putih bernama Sumo
Kebalen yang menjadi pemimpin Empat
teratai Darah anggukkan kepala sedikit lalu
masuk diikuti ketiga adik seperguruannya.
"Suasana begini tak jadi apa," kata Sumo
Kebalen seraya duduk. "Yang penting cepat
hidangkan makanan dan minuman yang
lezat!"
"Orang gagah Sumo Kebalen. Jangan
khawatir. Apa yang kau minta akan segera di
hidangkan," jawab Sura Gandara. "Mungkin ini
suatu kelancangan. Tapi jika aku yang hina
buruk ini boleh bertanya, gerangan apakah
yang membuat empat orang gagah muncul
pagi-pagi begini di Jepara?"
"Kami tengah menunggu seseorang.
Karenanya selagi kami makan kuharap kau
berdiri di depan pintu. Larang setiap orang
yang mau masuk. Kecuali orang yang kami
tunggu itu …."
"Celaka, pasti akan terjadi lagi keonaran di
tempat ini," keluh Sura Gandara ketika
mendengar keterangan Sumo Kebalen tadi.
Namun dia masih kepingin tahu. Karenanya
dia bertanya kembali. "Maaf Sumo. Siapakah
manusianya yang orang gagah tunggu ini?"
"Seorang lelaki bermata buta sebelah.
Namanya Rangga Lelanang. Sudah. Kau
jangan banyak tanya Sura! Lekas hidangkan
makanan. Kami sudah lapar!"
"Baik, baik…." Jawab Sura sambil manggut-
manggut. Lalu dia berteriak memanggil
pelayan. Selesai memberi perintah, sesuai
yang dikatakan Sumo Kebalen, pemilik rumah
makan ini kemudian pergi berdiri di pintu
masuk, berjaga-jaga.
Orang kedua dalam Empat Teratai Darah
adalah seorang nenek-nenek berbadan tinggi
kurus bernama Supit Inten. Nenek-nenek ini
merupakan saudara seperguruan Sumo
Kebalen. Dalam dunia persilatan bukan
rahasia lagi bahwa kedua tokoh ini menjalani
hidup bersama tanpa kawin alias kumpul
kebo.
Orang ketiga dan keempat adalah dua gadis
kembar berbadan langsing. Paras mereka
sebenarnya tidak begitu cantik. Tetapi karena
pandai memoles muka berhias berlebihan
maka jadinya lumayan juga. Gadis pertama
bernama Inang Pini sedang adiknya Inang
Resmi.
Pada dasarnya Empat Teratai Darah tidak
dapat dikatakan sebagai tokoh-tokoh silat
golongan putih. Mereka seringkali diketahui
bersekutu dengan jago-jago golongan hitam.
Dalam malang melintang di rimba persilatan
mereka tak pernah berpisah. Hari itu mereka
datang ke rumah makan Sura Gandara untuk
menunggu Kedatangan seorang musuh
bernama Rangga Lelanang, yaitu kakek-kakek
lihay yang pernah menghina almarhum guru
mereka sewaktu diadakan pertemuan antara
tokoh-tokoh silat golongan hitam di puncak
gunung Merapi dua tahun yang lalu.
Tidak seorangpun dari Empat Teratai Darah
sebelumnya pernah melihat atau bertemu
dengan Rangga Lelanang. Namun ciri-ciri si
kakek ini sudah mereka ketahui jelas dari
sang guru sebelum menutup mata delapan
belas bulan yang lalu. Dengan memakai
seorang perantara Empat Teratai darah
mengirimkan sepucuk surat undangan kepada
Rangga Lelanang guna datang ke rumah
makan itu, untuk menyelesaikan soal malu
besar penghinaan tempo hari.
Selagi Empat Teratai Darah sedang asyik
menyantap makanan lezat di atas meja, pada
saat itu pulalah Wiro Sableng dan si kakek
mata picak bernama Lor Gambir Seta sampai
di tempat itu.
Si kakek sebenarnya tak ingin singgah karena
ingin lekas-lekas sampai ke tempat tujuan.
Tapi Wiro sudah tak tahan lapar dan
memaksa masuk ke rumah makan. Dengan
jengkel si kakek terpaksa mengikuti. Tetapi
baru saja mereka sampai di depan pintu, Sura
Gandara sudah menyongsong dengan sikap
menghadang.
"Harap dimaafkan, rumah makan belum buka.
Datang saja nanti kalau matahari sudah mulai
naik," berkata Sura Gandara.
Wiro Sableng melirik ke dalam rumah makan.
Lalu menyeringai dan berkata: "Kalau betul
rumah makan ini belum buka kenapa kulihat
ada empat kunyuk sedang enak-enakan
makan di dalam sana?!"
Paras Sura Gandara berubah. Kalau saja
ucapan Wiro tadi sempat terdengar oleh
Empat Teratai Darah bisa berabe.
"Orang muda, harap kau jangan bicara
seenaknya. Empat orang itu adalah tamu-
tamu istimewa…"
"Hai, tamu-tamu istimewa macam
bagaimana?" tanya Wiro. "Kulihat mereka
biasa-biasa saja. Cuma mungkin memang
sedikit aneh. Si kakek itu bermuka putih
seperti singkong rebus. Si nenek sudah peot
tapi agak genit. Dua gadis seperti topeng
yang diberi pupur tebal….!"
Si gemuk Sura Gandara maju dan mencekal
kerah kemeja Wiro. "Gondrong! Jaga mulutmu
kalau tak mau Celaka…."
Lor Gambir Seta menepuk bahu Wiro dan
berkata agar mereka mencari rumah makan
lain saja. Tetapi pendekar kita tetap tak
bergerak. Pemilik rumah makan itu menjadi
marah. Ketika dia hendak menampar, tiba-
tiba pandangannya lekat pada wajah Lor
Gambir Seta yang bermata picak. Agaknya
manusia inilah musuh besar yang tengah di
tunggu-tunggu Empat Teratai Darah. Maka
cepat-cepat dia melepaskan cekalannya dan
membungkuk dalam-dalam.
"Mohon dimaafkan. Aku tidak melihat
dalamnya laut tingginya gunung. Kalian
berdua Silahkan masuk…"
Wiro tersenyum sedang Lor Gambir Seta
kerenyitkan kening. Perubahan sikap Sura
Gandara yang tiba-tiba ini pasti ada apa-
apanya. Namun dia tak bisa berpikir panjang
karena Wiro sudah melangkah masuk ke
dalam rumah makan sambil bersiul-siul.
Mendengar suara siulan, Empat Teratai Darah
yang asyik bersantap angkat kepala. Dua
sosok tubuh tampak masuk mengikuti pemilik
rumah makan. Ketika melihat Lor Gambir
Seta, Sumo Kebalen serta merta hentikan
makannya. Begitu juga tiga saudara
seperguruannya.
"Orang yang kita tunggu telah datang," bisik
pemimpin Empat Teratai Darah itu.
Sementara itu Wiro serta Lor Gambir Seta
telah mengambil tempat duduk di bagian lain
rumah makan. Ketika pelayan datang untuk
melayani mereka tiba-tiba Sumo Kebalen
berseru: "Tak ada seorang tamu lain boleh
dilayani tanpa izinku!"
Pelayan terkejut dan cepat-cepat masuk
ketika dilihatnya Sumo Kebalen pelototkan
mata.
Wiro Sableng pencongkan mulut dan batuk-
batuk. Sementara orang tua bermata picak
duduk tenang-tenang saja, memandang keluar
jendela.
"Kakek, kau kenal empat kunyuk itu…?" bisik
Wiro.
Tanpa palingkan kepalanya dari jendela si
kakek mata satu menjawab: "Mereka Empat
Teratai Darah".
Wiro manggut-manggut. Saat itu
pandangannya membentur sebuah kaleng
kosong di dekat meja. Maka pendekar ini
mulai bertingkah batuk-batuk, mengeluarkan
suara seperti orang mau muntah dan meludah
beberapa kali ke dalam kaleng itu.
Sumo Kebalen tahu kalau apa yang dilakukan
Wiro itu tidak lain hanya untuk menghinanya.
Wajahnya yang putih tampak mengelam.
Tanpa berdiri dari duduknya dia berkata:
"Adik-adikku. Kurasa terlalu banyak meja dan
kursi malang melintang dalam ruangan ini.
Coba kalian tolong rapikan!"
Dari tempat duduk masing-masing, Supit
Inten, Inang Pini dan Inang Resmi
memukulkan telapak tangan ke arah meja dan
kursi yang ada disitu. Hebat sekali. Benda-
benda itu berpentalan ke tepi ruangan hingga
bagian tengah rumah makan itu kini terbuka
lapang.
"Bagus!" seru Sumo Kebalen. Lalu dia berdiri
dan melangkah ke tengah ruangan. Sambil
bertolak pinggang dia memandang ke jurusan
kakek mata picak yang duduk di dekat Wiro.
"Rangga Lelanang! Jangan kau pura-pura
tidak tahu kami!"
Wiro berpaling pada Lor Gambir Seta. Orang
jelas bicara padanya tapi si kakek ini duduk
tenang-tenang saja tanpa berpaling
sedikitpun.
Merasa dianggap remeh tak diperdulikan,
Sumo Kebalen melompat ke hadapan Wiro dan
Gambir Seta. Tangan kanannya menggebrak
meja hingga hancur berkeping-keping. Gilanya
Lor Gambir Seta masih saja tak bergeming
dari tempat duduknya sementara Wiro mulai
naik darah.
Wiro menatap wajah Sumo Kebalen sesaat
lalu berkata: "Pangeran tua bermuka putih
dari mana yang pagi-pagi begini mengamuk
di rumah makan orang? Kau kemasukan atau
mabuk tuak?!"
Sepasang mata Sumo Kebalen seperti hendak
melompat keluar. Rahangnya menggembung.
Wiro berdiri dari kursinya. Lor Gambir Seta
masih seperti tadi. Diam tak bergerak. Supit
Inten dan dua gadis kembar berdiri dari kursi
masing-masing.
"Bocah bau apek. Kau menyingkirlah dari
hadapanku. Sekali lagi kau berani buka mulut,
kubanting tubuhmu sampai melesak di lantai
rumah makan ini!"
Habis berkata begitu Sumo Kebalen lalu
gerakan tangan kirinya mendorong bahu
Pendekar 212 Wiro Sableng. Dorongan itu
kelihatannya biasa-biasa saja. Tetapi
nyatanya mengandung tenaga dalam dahsyat
yang sanggup merobohkan tembok batu Sumo
Kebalen sengaja hendak memberi pelajaran
pada pemuda yang dianggapnya kurang ajar
itu. Sekali dorong pasti si gondrong ini
mencelat mental. Tetapi betapa kagetnya
manusia muka putih ini!
Wiro sudah maklum kalau dari getaran hawa
yang keluar dari telapak tangan Sumo
Kebalen, orang itu bukan hanya sekedar
mendorong biasa saja. Tapi bermaksud
hendak mencelakakannya! "Orang tua," kata
Wiro seraya menghadang tangan dengan
tangan kirinya, "Kalau bicara tak usah pakai
pegang-pegang segala. Aku bukan
perempuan!"
Sesaat kemudian, telapak tangan Pendekar
212 saling beradu dengan telapak tangan
Sumo Kebalen. Kagetlah kepala Empat Teratai
Darah ini. Telapak tangannya terasa panas,
lengannya bergetar keras.
Satu tenaga dorongan yang hebat membuat
tubuhnya terhuyung tiga langkah. Paras Sumo
Kebalen membesi. Kalau tadi dia hanya
mengerahkan seperempat tenaga dalamnya
saja maka kini dia lipatkan gandakan menjadi
dua kali atau setengah dari seluruh kekuatan
tenaga dalam yang dimilikinya. Tapi
celakanya malah kini dia dibuat terjajar
empat langkah!
"Keparat!" maki Sumo Kebalen. Dia tak mau
dibuat malu dipecundangi seorang pemuda
tak di kenal yang bertampang gendeng. Maka
kini dia alirkan seluruh tenaga dalamnya ke
tangan kanan. Tapi untuk ketiga kalinya
pimpinan Empat Teratai Darah ini tampak
terhuyung. Malah kini sampai enam langkah.
Wiro telah kerahkan dua pertiga tenaga
dalamnya.
Meski sadar kini kalau pemuda itu bukan
sembarangan namun Sumo Kebalen tetap
membentak untuk menutup malunya:
"Bangsat! Apa kau muridnya manusia
bernama Rangga Lelanang ini?!" Kalau sang
murid memiliki kepandaian yang begitu tinggi
tentu sang guru lebih hebat lagi.
"Aku bukan muridnya!" jawab Wiro. "Nah, kau
mau tanya apa lagi?!"
Sumo Kebalen kini palingkan kepalanya pada
kakek yang duduk di samping Wiro.
"Tua bangka mata picak! Jangan kau pura-
pura tuli! Empat Teratai Darah datang ke sini
untuk membalas sakit hati penghinaan yang
kau lakukan terhadap guru kami dua tahun
lalu di puncak Merapi!"
Si orang tua mata satu tetap tak bergerak
atau memalingkan kepala. Mendidihlah
amarah Sumo Kebalen. Seumur hidup belum
pernah dia di hina orang begitu rupa, apalagi
di hadapan adik-adik seperguruannya.
"Edan!" maki Sumo Kebalen. Kaki kanannya
bergerak menendang. "Kau makan kakiku ini
Rangga Lelanang"
Karena tendangan kepala Empat Teratai Darah
itu adalah tendangan maut, tentu saja kali ini
si kakek mata satu tak bisa berdiam diri lagi.
Dengan gerakan enteng tapi cepat dia
melompat dari kursi. Tendangan menghantam
kursi yang tadi didudukinya hingga hancur
berantakan. Ketika kembali hendak mengejar,
Sumo dapatkan si kakek mata satu sudah
berdiri menghadang gerakannya. Untuk
pertama kali dia membuka mulut.
"Sumo Kebalen! Aku bukan Rangga Lelanang.
Namaku Lor Gambir Seta. Aku sama sekali tak
ada urusan dengan kalian ataupun guru
kalian. Atau juga dengan nenek moyang
kalian!" "Bangsat tua! Jangan dusta!"
Sesosok tubuh melompat ke hadapan Lor
Gambir Seta. Inang Pini. Menyusul Inang
Resmi dan nenek-nenek bernama Supit Inten.
"Kami yakin kaulah yang telah menghina guru
kami di puncak Merapi dua tahun lalu!"
Lor Gambir Seta tersenyum. "Gadis, parasmu
cukup cantik. Tapi tidak berkesesuaian
dengan mulutmu yang kurang ajar! Aku jauh
lebih tua darimu. Apa gurumu sebelum
mampus tidak pernah memberi pelajaran budi
pekerti padamu?!"
Inang Pini yang memang sudah dirasuk nafsu
balas dendam menjawab dengan mencabut
pedangnya.
"Mulutku tak seberapa kurang ajarnya, mata
picak! Pedangku justru lebih kurang ajar!"
Habis berkata begitu Inang Pini gerakkan
pergelangan tangan kanannya dan mata
pedang berkiblat ganas ke arah batang leher
Lor Gambir Seta.
Si kakek goleng-goleng kepala. "Bakatmu
rupanya memang untuk jadi orang kurang
ajar. Jangan salahkan aku kalau terpaksa
harus memberi pelajaran!"
Lor Gambir Seta bergerak sewaktu pedang
lawan hanya tinggal seperempat jengkal dari
batang lehernya. Tubuhnya lenyap. Pedang
lawan menebas tempat kosong. Bersamaan
dengan itu terdengar keluhan Inang Pini.
Gadis itu kini tampak tertegun kaku tak bisa
bergerak lagi. Satu totokan lihay telah
bersarang di tubuhnya.
"Bagus! Kau sudah beri pelajaran pada adikku
mata picak! Kini aku yang ganti memberi
pelajaran padamu!"
Yang berseru adalah Supit Inten. Dia tutup
ucapannya dengan satu pukulan
mengemplang ke batok kepala Lor Gambir
Seta.
"Ah, kau pun nenek sama saja tololnya
dengan adikmu tadi! Biar aku sekalian beri
pelajaran padamu!" jawab Lor Gambir Seta.
Tubuhnya berkelebat. Tangannya bergerak dan
terdengar keluhan Supit Inten. Detik itu pula
tubuhnya tampak kaku tegang seperti Inang
Pini!
"Ada lagi yang minta diberi pelajaran?!" tanya
Lor Gambir Seta.
Baru saja orang tua ini berkata Inang Resmi
datang menyerbu. Dia menghantamkan kedua
tangannya sekaligus. Dari telapak tangan
kanan melesat sinar merah sedang dari
telapak tangan kiri menghambur dua lusin
senjata rahasia berbentuk paku rebana
berwarna hitam. Senjata rahasia ini
sebelumnya telah di rendam dalam racun ular
selama satu tahun. Siapa saja yang terkena
paku rebana ini pasti akan menemui kematian
dalam waktu satu jam!
Menurut Sumo Kebalen, paling tidak enam
dari dua lusin senjata rahasia adik
seperguruannya akan dapat menghantam
tubuh Lor Gambir Seta yang dianggapnya
Rangga Lelanang itu. Memang dalam ilmu
melemparkan senjata rahasia Inang Resmi
telah di gembleng khusus selama tiga tahun
dan merupakan yang terlihay di antara Empat
Teratai Darah.
Lor Gambir Seta maklum kalau bahaya besar
mengancamnya. Si gadis benar-benar
inginkan nyawanya. Sambil melompat dan
berseru nyaring, kakek itu pukulkan tangan
kirinya. Dua lusin paku rebana hitam mencelat
ke atas, menancap pada langit-langit rumah
makan yang terbuat dari papan. Sinar merah
yang tadi juga di lepaskan si gadis, mengenai
tempat kosong, terus melabrak dinding rumah
makan hingga hancur berhamburan. Sura
Gandara, si pemilik rumah makan menyumpah
panjang pendek dalam hati. Hari itu bukan
keuntungan yang didapatnya, malah bencana
yang merugikan!
Inang Resmi gigit bibirnya. Dua lusin paku
rebana tidak berhasil. Dia akan coba tiga
lusin sekaligus. Masakan tak ada yang dapat
menghantam tubuh lawan? Gadis ini sudah
siap melepaskan senjata rahasianya sebanyak
tiga puluh enam buah ketika tiba-tiba dia
terkesiap karena dilihatnya lawannya lenyap
dari hadapannya.
"Bangsat tua, kau bersembunyi di mana?!"
bentak Inang Resmi. Tiba-tiba gadis ini
mengeluh pendek. Tubuhnya terhuyung ke
depan lalu tak bergerak lagi. Punggungnya
dilanda totokan lihay. Membuat dia kaku
tegang dengan masih menggenggam tiga
lusin paku rebana hitam.
Ketua Empat Teratai Darah mengeluh dalam
hati. Tidak disangkanya kakek mata picak ini
begitu lihaynya. Namun menyerah tidak ada
dalam kamusnya.
"Rangga Lelanang! Kalau tidak ku bunuh kau
hari ini biar aku mati bunuh diri!" teriak Sumo
Kebalen.
Si kakek ganda tertawa. "Tak pernah kulihat
manusia setololmu!" katanya. Lalu dengan
sikap tak perduli dia menarik sebuah kursi
dan duduk seenaknya.
Sumo Kebalen menggereng. Lalu keluarkan
suara bentakan dahsyat. Seluruh bangunan
rumah makan bergetar. Pemilik rumah makan
yang gemuk macam kerbau bunting itu
ketakutan, apa lagi pelayan-pelayan.
Lor Gambir Seta melompat ke samping.
Dinding di belakangnya hancur berantakan.
Sumo Kebalen potong gerakan lawan dengan
satu tendangan ke arah perut. Tetapi
tendangan ini hanya tipuan belaka karena
secepat kilat dia susupkan satu jotosan ke
pangkal leher lawan. Namun Lor Gambir Seta
agaknya memang bukan tandingan kakek
muka putih ini.
Sewaktu tendangan lawan dilihatnya
mengapung Lor Gambir Seta segera maklum
kalau serangan itu tipuan belaka. Kemudian
ketika dilihatnya jotosan datang dengan
deras, si picak ini cepat tundukkan kepala dan
sekaligus menghantam paha kanan lawan
dengan lututnya. Sumo Kebalen terpental. Dia
bergulingan di lantai lalu cepat tegak kembali.
Namun belum sempat dia mengimbangi diri
satu totokan hinggap di dadanya, membuat
dia kini kaku tak berdaya. Empat Teratai
Darah kini tertegak di tengah rumah makan
dalam keadaan kaku tegang tak bisa
bergerak. Cukup lucu menyaksikan keadaan
mereka saat itu.
Sumo Kebalen kerahkan tenaga dalamnya ke
dada untuk membuyarkan totokan. Tapi
totokan itu bukan totokan sembarangan.
Kalau bukan Lor Gambir Seta sendiri yang
memusnahkannya, totokan itu baru lenyap
setelah tiga jam.
"Keparat kau Rangga Lelanang! Pengecut!"
maki Sumo Kebalen. "Lepaskan totokan ini.
Mari kita berkelahi sampai seribu jurus!" Lor
Gambir Seta tidak perdulikan ucapan orang,
sebaliknya Wiro Sableng tertawa gelak-gelak
dan mencibir ke arah Sumo Kebalen.
"Kambing muka putih," katanya. "Lagakmu
hebat betul. Hendak berkelahi seribu jurus.
Nyatanya kau sudah jadi pecundang di bawah
sepuluh jurus!" Saking marahnya Sumo
Kebalen lantas meludahi Wiro Sableng. Meski
sudah mengelak namun tampiasan air ludah
masih sempat memercik di muka pendekar ini.
"Sialan. Benar-benar sialan!" maki Wiro.
Dibetotnya ujung jubah Sumo Kebalen hingga
robek. Kakek muka putih ini terbanting ke
lantai dan memaki panjang pendek. Wiro seka
ludah di mukanya dengan robekan pakaian si
kakek. Lalu robekan pakaian itu diludahinya
berulang-ulang, setelah itu dibuntalnya bulat-
bulat dan disumpalkannya ke mulut Sumo
Kebalen hingga kakek ini megap-megap,
tercekik dan sulit bernapas. "Pendekar 212,"
kata Lor Gambir Seta, "Kalau kau hendak
mengisi perut cepatlah! Kita tak punya waktu
banyak."
Wiro berteriak memanggil pelayan yang
datang dengan ketakutan. Makanan dan
minuman yang di pesan segera di hidangkan.
Wiro langsung menyantapnya. Lalu dia ingat
pada orang tua di sebelahnya. "Hai, kau tidak
makan?"
Yang ditanya menggeleng. "Kau saja yang
makan. Dan cepat"
Sementara itu Supit Inten, Inang Pini dan
Inang Resmi tidak hentinya berteriak memaki-
maki. Tapi baik Wiro maupun Lor Gambir Seta
tidak perdulikan.
"Rangga Lelanang!" teriak Supit Inten. "Aku
bersumpah akan memisahkan kepala dan
tubuhmu!"
"Nenek-nenek tolol! Namanya bukan Rangga
Lelanang, tapi Lor Gambir Seta!" jawab Wiro.
"Rupanya si mata picak itu terlalu pengecut
untuk mengakui namanya yang asli!" menukas
Inang Resmi.
"Kalian bertiga perempuan-perempuan
cerewet. Tak bisa diam! Mengganggu
makanku saja!" damprat Wiro. Lalu dari
dalam mangkok sayur diambilnya tiga buah
melinjo dan dilemparkannya ke arah ke tiga
perempuan itu. Langsung saja ketiganya jadi
terbungkam tak bisa bicara lagi!
Sumo Kebalen yang megap-megap di lantai
jadi terbeliak. Kini disaksikannya sendiri,
nyatanya pemuda rambut gondrong yang
dianggapnya tolol itu memiliki kepandaian
menotok yang luar biasa. Pasti ilmunya tidak
kalah dari si mata picak itu.
Selesai makan Wiro melangkah mendekati
Sumo Kebalen dan memeriksa pakaian kakek
muka putih ini. Dan kantong jubah sebelah
kanan Wiro menemukan beberapa keping uang
emas dan perak. Wiro mengambil sekeping
uang perak menyodorkannya pada Sura
Gandara.
"ini pembayar harga makanan dan minuman.
Lebih dan cukup" Lalu diangsurkannya lagi
sekeping uang perak. "Dan ini untuk pembayar
ganti kerusakan rumah makanmu!"
Si gemuk Sura Gandara yang tahu jelas dari
mana asal uang itu tentu saja tidak berani
menerimanya.
"Hai, ambillah!" kata Wiro.
"Aku tak berani, itu uang Sumo Kebalen. Nanti
aku dihajarnya" jawab Sura Gandara.
"Kalau dia berani berbuat begitu, beritahu
aku. Aku akan ganti menghajarnya!" sahut
Wiro pula. Lalu dua keping uang perak itu
disusupkannya ke dalam saku pakaian pemilik
rumah makan. Sura Gandara merasa seolah-
olah mengantongi bara panas! SANG surya
telah jauh menggelincir ke barat. Sinarnya
yang sebelumnya putih memerah dan
memerihkan jagat kini telah berubah redup
kekuning-kuningan. Pada saat itu Wiro
Sableng dan orang tua bermata satu sampai
di sebuah pedataran berumput liar. Di ujung
pedataran menunggu sebuah hutan belantara.
Sejauh itu berjalan baik Wiro maupun si orang
tua tak satu pun pernah bicara.
Wiro mengikuti saja si mata satu itu
memasuki rimba belantara. Setelah masuk
sejauh perjalanan dua kali peminuman teh, di
pertengahan rimba nampak sebuah pondok
kecil. Dinding dan atap bangunan ini sudah
bolong-bolong. Keadaan pondok reyot ini
hanya menunggu roboh saja lagi. Dugaan
Wiro bahwa si kakek akan menuju ke pondok
tersebut tidak meleset. Pintu pondok
mengeluarkan suara berkereketan ketika
dibuka. Kedua orang ini masuk dan si kakek
menutupkan pintu kembali.
Wiro memandang berkeliling. Tak ada jendela
atau lobang angin. Lama-lama terasa pengap
di dalam situ. Di mana-mana abu menebar. Di
sudut-sudut pondok tampak labah-labah
membuat sarangnya.
"Perlu apa kita masuk ke sini kalau cuma
tegak dan membisu begini rupa?" tanya Wiro
akhirnya kesal.
Orang tua itu tak menjawab. Dia berdiri tanpa
bergerak dengan kepala setengah mendongak.
Kelihatannya dia seperti tengah memasang
telinga tajam-tajam.
"Kita menunggu seseorang di sini?" tanya
Wiro lagi.
Tetap tidak ada jawaban, ini menjengkelkan
murid Sinto Gendeng. Ketika dia hendak
membuka mulut kembali tiba-tiba Lor Gambir
Seta melangkah ke salah satu sudut pondok.
Dilihatnya orang tua ini menggerakkan jari-
jari tangannya, menekan salah satu bagian
dari tiang pondok yang sudah lapuk dimakan
bubuk.
Wiro terkejut dan hampir tak percaya ketika
tiba-tiba lantai pondok yang terbuat dari
papan itu membuka di sebelah tengah dan di
bawahnya kelihatan sebuah tangga batu,
menurun menuju sebuah gang.
Lor Gambir Seta melangkah menuruni tangga
setelah terlebih dulu memberi isyarat pada
Wiro agar mengikuti. Melihat sikap si mata
satu ini yang terus-terusan terasa aneh, mau
tak mau lama-lama pendekar kita jadi curiga.
Dia tak mau mengikut turun dan tetap di
tempatnya.
"Lekas masuk!" kata Lor Gambir Seta ketika
dilihatnya Wiro tak bergerak.
Wiro menggeleng.
"Terus terang aku mulai curiga terhadapmu,
orang tua!"
"Curiga atau tidak lekas masuk. Aku tak
punya waktu lama!"
"Soal waktu itu urusanmu. Cukup aku
mengikutimu sampai di sini. Selamat tinggal"
Wiro putar tubuh dan siap melangkah keluar
pondok. Namun ucapan si kakek membuatnya
kemudian batalkan niat.
"Kau ingin melihat dunia persilatan musnah di
tangan manusia jahat itu? Kau ingin
pembunuhan, penculikan dan pemerkosaan
berlangsung terus sampai kiamat? Hingga
kelak pada suatu ketika aku dan juga kau
bakal menjadi korban keganasannya?"
Wiro jadi garuk-garuk kepala. Lalu menjawab:
"Kakek aneh, kalau kau memang punya
maksud baik, kenapa kau terlalu banyak
merahasiakan segala sesuatunya padaku?
Kau selalu menutup mulut. Tak pernah
menjawab setiap kutanya. Bukan mustahil kau
memang Rangga Lelanang seperti yang
dikatakan oleh Empat Teratai Darah!"
"Siapa diriku setiap orang boleh menduga
seribu cara seribu macam. Maksud baikku
terhadap dunia persilatan tak ada artinya.
Tidak beda dengan setetes air yang
dicemplungkan ke dalam lautan. Kalau kau
tak mau ikut aku, perduli setan. Asal jangan
kau nanti menyesal seumur hidup sampai ke
liang kubur!"
Habis berkata begitu Lor Gambir Seta kembali
menuruni tangga batu. Wiro bersiul, garuk-
garuk kepala.
Tiba-tiba dari mulut gang sebelah bawah
tangga batu menggema satu suara halus tapi
amat jelas.
"Pendekar 212 jangan terlalu banyak
bercuriga. Kau berada di tengah-tengah
orang-orang yang satu haluan…"
"Heh… siapa pula yang bicara itu?" tanya Wiro
Sableng. Dilihatnya Lor Gambir Seta terus
melangkah menuruni tangga. Akhirnya
pendekar kita melangkah juga mengikuti kakek
mata satu itu. Begitu sampai di anak tangga
terakhir, bagian atas lobang tertutup dengan
sendirinya. Keadaan kini jadi gelap gulita.
Tapi Lor Gambir Seta melangkah cepat seperti
dalam terang saja, seolah-olah dia punya
mata lebih dari satu! Wiro setengah memaki
tetapi juga penuh rasa ingin tahu mengikuti
terus. Lorong itu ternyata amat panjang.
Akhirnya mereka sampai di hadapan sebuah
pintu batu berwarna putih. Wiro berpikir-pikir
siapa gerangan orang yang tadi mengeluarkan
suara halus tapi jelas itu. Pasti orangnya ada
di belakang pintu itu. Dan pastilah dia
seorang manusia luar biasa karena sanggup
mengirimkan suara sedemikian jauh.
Lor Gambir Seta mengetuk pintu batu itu.
Pintu bergeser ke samping secara aneh. Di
belakang pintu kelihatan sebuah lorong
panjang diterangi lampu-lampu minyak.
Keduanya memasuki lorong. Pintu batu putih
di belakang mereka menutup dengan
sendirinya. Pada ujung lorong muncul sebuah
pintu batu yang kali ini berwarna merah.
Seperti tadi kembali Lor Gambir Seta
mengetuk pintu batu ini tiga kali. Pintu
terbuka.
Di hadapan Wiro tampak sebuah ruangan
amat besar yang keseluruhan lantai, dinding
dan langit-langitnya tertutup permadani
berbunga-bunga. Di ujung kamar terdapat
sebuah jendela. Jauh di belakang jendela
tampak sebuah sungai dengan air terjun yang
tinggi. Segala sesuatunya di luar jendela itu
adalah rimba belantara yang tak pernah
dijejaki manusia.
Yang menarik perhatian Wiro saat itu ialah
dua orang yang berada di samping kanan
ruangan besar. Yang satu seorang kakek
berbadan gemuk macam gentong, tetapi
mengenakan pakaian yang kekecilan.
Orang ini berbaring melunjur di atas sebuah
kursi malas. Sebatang pipa terselip di sela
bibirnya. Asap pipa itu menaburkan bau yang
tidak sedap.
Di sebelah si gemuk duduklah seorang tua
berjanggut putih. Di pangkuannya terletak dua
buah bumbung tuak. Meskipun orang ini agak
membelakang, tapi Wiro segera mengenalinya.
"Dewa Tuak!" Wiro berseru memanggil.
Orang yang dipanggil tidak berpaling,
melainkan keluarkan suara tertawa bergelak,
lalu berkata: "Cepatlah masuk Wiro. Agar kita
bisa lebih lekas berunding mengatur rencana."
Wiro kerenyitkan kening. Sesaat dia
memandang pada Lor Gambir Seta. Selagi si
mata satu ini menutup pintu batu merah, Wiro
melangkah ke hadapan kakek janggut putih
yang dipanggilnya Dewa Tuak, lalu menjura
dalam, dan juga menjura pada Si gemuk di
kursi malas. Menurut dugaan Wiro si gemuk
inilah tadi yang telah mengirimkan suara
jarak jauh.
"Duduk…" si gemuk mempersilahkan. Suaranya
halus. Wiro duduk di kursi yang terletak di
samping Dewa Tuak sementara Lor Gambir
Seta mengambil kursi lain.
"Guru, harap maafkan," kata Lor Gambir Seta
pada si gemuk yang menghisap pipa. "Dua
bulan mencari baru aku berhasil menemui
pemuda ini."
"Ah, ternyata si gemuk ini guru si picak," kata
Wiro dalam hati.
Si gemuk menyedot pipanya dalam-dalam,
lalu meniupkan asap tampak dia membuka
mulut. Wiro menyangka si gemuk ini hendak
mulai bicara. Ternyata dia menguap lebar-
lebar dan lama sekali.
"Jika satu jam saja kalian terlambat, pasti
aku sudah tidur lagi. Dan segala sesuatunya
akan percuma saja karena aku tak akan
bangun dalam tempo enam kali bulan
purnama!" kata si gemuk pula. Suaranya
halus dan sember.
"Dapatkah kita mengatur rencana sekarang?"
tanya Dewa Tuak sambil usap-usap bumbung
tuaknya.
Si gemuk untuk kedua kalinya menguap lebar
dan panjang hingga matanya tampak berair.
"Dewa Tuak," Wiro menyeling. "Mohon
dijelaskan dengan orang gagah dari manakah
saat ini aku berhadapan dan siapa nama atau
gelarnya. Lalu bagaimana pula kita sampai
bisa bertemu di sini."
"Semuanya telah diatur," memberitahu Lor
Gambir Seta.
"Ya, ya. Diatur untuk satu rencana besar,"
sambung Dewa Tuak.
"Jelasnya rencana besar apa?" tanya Wiro
kembali.
Si gemuk berdehem beberapa kali. "Aku akan
terangkan anak muda. Aku akan terangkan."
Dia menoleh pada Dewa Tuak. "Coba
terangkan dulu siapa aku ini padanya…."
Dewa Tuak mengangguk lalu berkata, "Wiro,
saat ini kita berada di tempat kediaman tokoh
paling tua di dunia persilatan. Umurku lebih
dari delapan puluh tahun. Tapi si gemuk ini
berusia dua kali umurku…."
"Buset!" terlompat kata-kata itu dari mulut
Wiro secara tak sengaja saking kagetnya.
Menyadari ketidaksopanannya buru-buru
pemuda ini minta maaf. Dan Dewa Tuak
melanjutkan penjelasannya. "Dia tokoh silat
paling tua. Juga paling gemuk. Beratnya
hampir dua setengah kwintal. Di samping itu
dia mendapat cap sebagai manusia paling
malas di seluruh dunia karena sifatnya yang
doyan tidur, itu sebabnya dalam dunia
persilatan dia diberi nama Si Raja Penidur!"
Terbelalaklah Wiro Sableng ketika mendengar
siapa adanya si gemuk itu. Selagi di gembleng
di puncak gunung Gede oleh gurunya Eyang
Sinto Gendeng, sang guru pernah
menerangkan bahwa satu-satunya manusia
yang dianggap paling tinggi ilmu
kepandaiannya dalam dunia persilatan ialah
seorang lelaki gemuk bergelar Si Raja Penidur.
Usianya sudah amat lanjut. Karena sifatnya
yang pemalas dan suka tidur, dia jarang
muncul dalam rimba parsilatan, karenanya
kurang di kenal. Menurut Eyang Sinto Gendeng
kalau sekali Raja Penidur ini tidur maka tiga
sampai empat bulan mungkin belum bangun-
bangun sekalipun gunung meletus dibawah
ranjangnya.
Kini Wiro tahu itulah sebabnya Lor Gambir
Seta selalu mendesak agar cepat-cepat dalam
perjalanan. Wiro benar-benar tidak menduga
kalau hari itu dia bakal bertemu muka dengan
tokoh nomor satu itu.
"Sekarang soal rencana," kata Si Raja Penidur.
Tapi ucapannya terputus karena lagi-lagi
menguap dan kucak-kucak mata. "Meskipun
aku bisanya cuma tidur dan malas-malasan di
sini, tapi apa yang terjadi di dunia persilatan
tidak luput dari perhatianku. Beberapa tokoh
silat berkunjung ke sini tiga bulan lalu dan
menerangkan semua kejadian di luar sana.
Kejadian-kejadian yang benar-benar
menggegerkan, biadab terkutuk serta tak
mungkin dibiarkan lebih lama." Si gemuk ini
berhenti sesaat untuk menguap, baru
meneruskan.
"Menurut hematku hanya ada satu manusia
yang memiliki ilmu siluman dan mampu
terbuat seperti itu yakin Datuk Siluman dari
Bukit Hantu. Maka kusuruh muridku Lor
Gambir Seta untuk melakukan penyelidikan.
Siapa sebenarnya keparat biang bencana itu
dan di mana dia bercokol. Ternyata diketahui
Datuk Siluman sudah mati. Tertembus di
bawah runtuhan rumahnya, atau dibunuh
orang atau bunuh diri. Ini memberi pengertian
bahwa ada seorang lain yang jadi penimbul
malapetaka itu, dengan ilmu mirip sekali
seperti yang di miliki Datuk Siluman. Dan
penyelidikan muridku ternyata tidak sia-sia….
Ah… aku mengantuk. Tak tahan beratnya mata
ini. Aku mau tidur…."
"Guru!" berkata Lor Gambir Seta. "Jika kau
tidur percumalah semua ini!"
Si Raja Penidur menguap, lalu mengulet dan
geleng-gelengkan kepalanya berulang kali
untuk membuang kantuk. Setelah menyedot
pipanya dalam-dalam baru dia melanjutkan:
"Bangsat penimbul malapetaka keji itu
bernama Sonya. Dia bercokol di sebuah goa
yang bangunan dalamnya tidak beda dengan
tempatku ini. Goa itu terletak di Teluk
Gonggo!" Si gemuk kembali menguap. "Sonya
memiliki ilmu siluman yang luar biasa.
Mungkin dia bukan murid Datuk Siluman
karena sejauh kuketahui Datuk Siluman tidak
punya murid. Tetapi tidak bisa tidak manusia
biadab ini pasti memiliki hubungan dengan
Datuk Siluman. Ilmu hitamnya lebih tinggi
dari langit, lebih dalam dari lautan. Dan
celakanya dia tidak bisa mati, tidak bisa
dibunuh!"
Wiro batuk-batuk lalu berkata: "Raja Penidur,
aku tolol ini mohon penjelasanmu. Bagaimana
ada manusia yang tidak dapat dibunuh, tidak
bisa mati! Setiap makhluk hidup pasti mati.
Itu hukum Yang Kuasa!"
Dewa Tuak dan Lor Gambir Seta tersenyum.
Rupanya kedua orang ini sudah tahu banyak
tentang manusia bernama Sonya itu.
"Apa yang kau katakan itu memang benar,
orang muda," jawab Raja Penidur. "Tapi
Sonya bukan manusia biasa lagi, tak dapat
disebutkan manusia. Dia malah sudah
melebihi siluman. Dan hanya akan mati bila
kita mengetahui titik kelemahannya atau
pantangannya. Kabarnya dia punya dua
pantangan. Aku cuma tahu satu, sialan betul!"
Raja Penidur kembali menguap. Dia
memandang pada Lor Gambir Seta dan
berkata: "Muridku, jelaskan padanya
pantangan itu."
Lor Gambir Seta mengangguk. "Ketinggian
ilmu kesaktian dan kehebatan ilmu kebal
manusia siluman ini akan punah bilamana
tubuhnya terkena air hujan."
Wiro garuk-garuk kepala sedang Dewa Tuak
kerenyitkan kening sambil usap-usap
janggutnya yang putih.
"Aneh dan hampir tak masuk akal…" kata
Dewa Tuak.
"Memang setiap ilmu siluman selalu
diselimuti keanehan," kata Lor Gambir Seta.
Raja Penidur menyambung. "Rasanya Sonya
tidak sendirian. Selain memelihara puluhan
perempuan culikan, dia juga dikelilingi oleh
tokoh-tokoh silat baik dari golongan putih
maupun hitam. Mereka menjadi budaknya di
luar sadar. Perempuan-perempuan malang itu
harus diselamatkan. Juga tokoh-tokoh silat
golongan putih. Terhadap mereka dari
golongan hitam kalian tak usah ragu-ragu
bertindak. Jika selama ini mereka sukar diatur
dan sulit dibasmi, kali ini kalian punya
kesempatan untuk turun tangan. Persoalannya
kuserahkan pada kalian bertiga…."
"Raja Penidur," berkata Wiro. "Kau bilang
persoalannya kini pada kami bertiga. Jika
tokoh-tokoh silat kawakan sebelumnya tak
berhasil membekuk manusia siluman itu,
bagaimana mungkin aku yang masih hijau ini
bisa turun tangan?"
Si gemuk tertawa mengekeh. "Jangan terlalu
merendahkan diri orang muda. Siapa yang
tidak tahu Sinto Gendeng? Siapa yang tidak
pernah dengar muridnya yang berjuluk
Pendekar 212? Aku yakin kalian bertiga bisa
bekerjasama membantai manusia siluman
terus lagi pula ingat akan satu ujar-ujar.
Kapal besar belum tentu tenggelam oleh
ombak besar. Tetapi mungkin tenggelam oleh
bocor kecil. Dewa Tuak, ingat, kau bertugas
membawa air hujan dalam bumbung
bambumu itu!"
Dewa Tuak usap-usap bumbung bambunya.
"Ah, malang nian nasibku kali ini. Agaknya
aku terpaksa puasa minum tuak selama
menjalankan tugas ini!"
"Lor Gambir Seta, kau punya tugas
menyelamatkan tokoh-tokoh golongan putih
yang disekap di Teluk Gonggo. Dan Wiro, kau
berkewajiban membasmi mereka yang dari
golongan hitam!"
"Lalu bagaimana dengan perempuan-
perempuan yang puluhan itu dan kabarnya
cantik-cantik? Siapa yang dapat tugas
menyelamatkan?" tanya Wiro.
Dewa Tuak tertawa gelak-gelak. Lor Gambir
Seta senyum-senyum sedang Si Raja Penidur
kembali menguap.
"Mereka sudah barang tentu harus
diselamatkan. Aku percaya kau bisa
mengaturnya Wiro," jawab Si Raja Penidur
kemudian.
"Kau sendiri tidak ambil bagian dalam tugas
besar ini?"
"Aku…?" ujar Raja Penidur ketika mendengar
pertanyaan Wiro itu. Dihembuskannya asap
pipanya jauh-jauh. "Perlu apa aku turun
tangan mencapaikan diri. Lebih enak tidur di
sini!" Dia menguap kembali.
"Kalian saksikan sendiri," kata Lor Gambir
Seta sambil menggoyangkan kepala ke arah
gurunya yang sudah pulas. "Baru delapan
minggu yang lalu dia bangun setelah tidur
selama empat bulan. Dan kini sudah pulas
lagi. Untung kita lekas sampai di sini. Kalau
tidak berarti dunia persilatan akan terus
tenggelam dalam malapetaka sampai
beberapa bulan dimuka!"
Wiro hanya garuk-garuk kepala. Telah banyak
dilihatnya tokoh-tokoh silat bersifat aneh.
Tapi si gemuk satu ini nomor satu aneh!
ANGIN bertiup kencang, memapasi lari tiga
ekor kuda yang dipacu menuju ke utara. Dari
debu yang melekat di tubuh kuda serta para
penunggangnya nyata bahwa mereka telah
menempuh perjalanan jauh. Sekeluarnya dari
rimba belantara mereka memasuki daerah
berpasir yang ditumbuhi pohon kelapa.
Orang-orang ini adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng, Lor Gambir Seta dan Dewa Tuak.
Mereka menghentikan kuda masing-masing di
ujung bukit pasir yang terjal.
"Kita berhenti di sini. Perjalanan dilanjutkan
dengan jalan kaki," kata Lor Gambir Seta
seraya melompat turun dari punggung kuda,
diikuti dua orang lainnya.
"Tapi ada beberapa hal penting yang harus
kuterangkan pada kalian. Sonya manusia
siluman berhati iblis itu memiliki ilmu-ilmu
luar biasa. Tiga di antaranya amat berbahaya.
Pertama yang disebut Cakar Siluman.
Karenanya dalam menghadapinya nanti
jangan terlalu dekat. Ilmunya yang kedua
bernama Asap Jalur Penidur. Jika seseorang
sampai terlingkar oleh asap tersebut pasti
akan menjadi lemah dan jatuh tidur, ilmu
ketiga, ini yang paling berbahaya ialah Asap
Tenung Siluman. Siapa yang sampai
menciumnya pasti berubah jalan pikirannya
dan merasa bahwa dia adalah budak atau
hamba sahaya Sonya. Dengan demikian Sonya
bisa menyuruhnya berbuat apa saja!
Karenanya begitu berhadapan dengan
manusia siluman itu harus dapat
menyiramkan air pantangan berupa air hujan
ke tubuhnya!"
Setelah memandang berkeliling sejenak Lor
Gambir Seta memberi isyarat untuk
meneruskan perjalanan. Pada saat dia dan
Wiro mulai melangkah, di sebelah belakang
Dewa Tuak keluarkan dua buli-buli kecil dari
balik pakaiannya. Seperti telah diketahui,
karena dua bumbung bambu yang dibawanya
kini di isi air hujan maka dia terpaksa
membawa tuak kegemarannya di dalam buli-
buli tersebut. Dibukanya tutup buli-buli lalu
mendongak dan mulai meneguk minuman itu.
Tiba-tiba Dewa Tuak turunkan buli-bulinya
dan menyemburkan air minuman dalam
mulutnya ke depan. Delapan buah pisau
terbang yang meluncur ke arah Lor Gambir
Seta dan Wiro Sableng runtuh ke tanah.
"Bangsat! Siapa yang berani membokong!"
bentak Dewa Tuak. Wiro dan Lor Gambir Seta
terkejut, cepat berpaling dan baru menyadari
bahwa keduanya baru saja diselamatkan oleh
kakek janggut putih itu.
"Pisau itu melesat dari arah bawah tebing
pasir! Pasti pembokong itu ada di sana" kata
Dewa Tuak. Buli-buli tuaknya di simpan lalu
dia melompat ke bawah bukit pasir, diikuti
Wiro dan Lor Gambir Seta.
Selagi ketiganya melayang di udara. Tiga
lusin pisau terbang menderu lagi ke arah
mereka.
"Keparat!" maki Wiro. Tangan kanannya
dlpukulkan ke depan. Lor Gambir Seta dan
Dewa Tuak juga dorongkan telapak tangan
kanan. Tiga puluh enam pisau maut itu
mental, jatuh ke pasir.
"Bangsat! Lekas keluar dari balik batu" teriak
Wiro. Dia melihat jelas, serangan pisau itu
keluar dari balik sebuah batu besar. Ketika
ditunggu tak ada yang keluar, Wiro lepaskan
pukulan "Kunyuk Melempar Buah". Satu
gumpal angin keras laksana batu karang
menghantam batu besar itu dengan
dahsyatnya hingga hancur berantakan. Di saat
itu pula terdengar suara jeritan. Di balik batu
besar yang telah hancur tampak tiga lelaki
bermuka hitam.
Yang satu menggeletak dengan dada hancur.
Dua lainnya masih untung hanya menderita
luka dalam. Setelah terhuyung sesaat,
keduanya lantas cabut senjata dan menyerbu
ke arah Wiro dan kawan-kawan.
"Mereka pasti budak-budak Sonya" seru Lor
Gambir Seta dan berkelebat menotok lawan
yang menyerangnya. Sebaliknya Wiro tak
memberi ampun. Orang yang coba
menebaskan senjatanya ke lehernya dihantam
di bagian dada dengan jotosan tangan kiri
hingga muntah darah dan terkapar di pasir.
"Muka hitam!" sentak Lor Gambir Seta seraya
menjambak rambut orang yang berhasil
ditotoknya. "Sebelum kau jadi budak manusia
siluman bernama Sonya, apakah kau dari
golongan hitam atau putih?!"
"Apa perdulimu, mata picak?!" jawab si muka
hitam.
Lor Gambir Seta menggereng. Dewa Tuak
membisikkan sesuatu kepadanya. Lor Gambir
Seta lalu berkata: "Nyawamu kuampuni. Tapi
lekas beri tahu di mana sarangnya Sonya I"
Si muka hitam tertawa. "Baik, tapi lepaskan
dulu totokanmu!"
Tanpa curiga Lor Gambir Seta lepaskan
totokan di tubuh si muka hitam. Tetapi begitu
totokannya terlepas secepat kilat si muka
hitam hantamkan tinjunya ke batok kepala
sendiri! Dia menggeletak mati dengan kepala
rengkah.
"Kalian saksikan sendiri!" ujar kakek mata
picak itu antara terkesiap dan juga penasaran.
"Dia sudah menjadi kerbau yang sangat,
patuh pada Sonya. Lebih suka bunuh diri dari
pada berkhianat!"
Ketiganya lalu melanjutkan perjalanan
menempuh pedataran pasir penuh pohon
kelapa. Selang beberapa lama mereka sampai
di tepi pantai berbentuk cekung setengah
lingkaran. Angin laut bertiup lembut dan air
laut tampak tenang. Burung elang
beterbangan di udara. Pemandangan di sini
indah sekali. Inilah Teluk Gonggo. Di sini
pulalah manusia siluman Sonya membuat
markasnya. Tapi di sebelah mana?
Ketiga orang itu bergerak dengan hati-hati.
Bukan mustahil mereka bakal mendapat
rintangan-rintangan maut lainnya dari budak-
budaknya Sonya. Mereka mendekati daerah
berbatu-batu di bagian teluk sebelah kanan.
Biasanya di tempat seperti Ku terdapat lobang
atau celah yang dijadikan pintu masuk. Di
bagian yang menghadap ke laut, mereka tidak
menemukan apa-apa. Ketiganya berputar
menyelidiki bagian belakang bebukitan batu
ini.
"Hai, itu ada lobang!" Wiro tiba-tiba berseru
dan menunjuk pada sebuah lobang di sela-
sela dua batu besar. Ketiganya segera menuju
ke situ. Ternyata mulut lobang tertutup oleh
satu sarang gonggo (labah-labah) yang luar
biasa besarnya.
"Lobang buntu. Tak mungkin ada yang
memakai sebagai jalan masuk!" kata Wiro
garuk-garuk kepala.
"Celaka! Perangkap setan apa pula ini!" kata
Lor Gambir Seta. Tubuhnya dan juga tubuh
Wiro sudah terhisap sampai sebatas pinggul.
Melihat kedua kawannya itu menghadapi
bahaya besar Dewa Tuak cepat keluarkan
benang sutra putih saktinya yang selalu
dibawanya.
"Bertahanlah! Lihat benangku ini!" seru Dewa
Tuak. Benang itu meluncur ke bawah
langsung melibat pinggang serta dada Wiro
dan si kakek. Untuk dapat menarik keduanya
dari hisapan pasir maut itu Dewa Tuak
kerahkan seluruh tenaga luar dan dalam.
Sekali sentak, tubuh Wiro dan Lor Gambir Seta
berhasil di tarik keluar.
"Kurang ajar! Licik!" maki Wiro begitu
selamat.
"Dewa Tuak, dua kali kau menyelamatkan jiwa
kami. Kami menghaturkan terima kasih," kata
Lor Gambir Seta sementara Wiro cengar-
cengir.
Dewa Tuak angkat bahu dan menjawab:
"Bukan saatnya kita berbasa basi dengan
segala peradatan!
Lor Gambir Seta menghela nafas panjang. Dia
memandang ke lobang batu yang ada sarang
gonggonya.
"Aku yakin, inilah pintu masuk ke sarangnya
Sonya."
"Tapi ada serang gonggonya begitu, mana
mungkin?" ujar Wiro.
"itu bukan sembarang gonggo. Aku akan
buktikan," kata Lor Gambir Seta. Diikuti oleh
kedua orang itu dia menghampiri mulut
lobang. Membaui manusia di dekatnya,
gonggo besar itu mulai menggerakkan kaki-
kakinya. Pandangan matanya membuas dan
dari mulutnya keluar sebentuk lidah aneh
bercabang dua berwarna hijau berkilat-kilat
tanda mengandung racun jahat.
Lor Gambir Seta mengambil sehelai sapu
tangan. Benda ini di buntalnya lalu
dilemparkan ke serang gonggo. Secepat kilat
binatang ini menyambar dan menghancur
luluhkannya.
Wiro membungkuk mengambil sebuah batu
sebesar setengah kepalan. Batu ini
dilemparkannya ke sarang gonggo. Seperti
sapu tangan tadi, batu ini pun di lumat
hancur oleh gonggo itu dalam waktu singkat!
Mata Pendekar 212 membeliak menyaksikan
hal ini.
"Hebat…! Hebat!" kata Dewa Tuak. "Aku mau
tahu apakah binatang ini doyan tuakku!" Lalu
diteguknya tuak dalam buli-buli. Tiga teguk
berturut-turut. Tegukan pertama dan kedua
ditelannya. Tegukan ketiga tetap dalam mulut
dendengan mengerahkan tenaga dalam tuak
itu disemburkannya ke arah gonggo di lobang
batu.
Kepala binatang itu hancur. Tubuhnya remuk
berkeping-keping. Kaki-kakinya menggelepar
dan putus-putus. Sarangnya musnah. Sesaat
kemudian terjadilah hal yang aneh. Baik
gonggo maupun sarangnya berubah menjadi
asap hitam untuk kemudian musnah tak
berbekas.
"Gonggo siluman!" desis Wiro.
Lor Gambir Seta memberi isyarat. Ketiganya
segera menyelinap ke dalam lobang dengan
sangat hati-hati. Ternyata lobang itu tidak
seberapa dalam. Langkah mereka terhenti oleh
sebuah pintu papan.
"Awas, kurasa ini pintu siluman dengan
berbagai senjata rahasia," kata Dewa Tuak
memperingatkan.
Lor Gambir Seta mengangguk. Dia memberi
tanda agar kedua orang itu bertiarap. Lalu
tangan kanannya di pukulkan ke depan.
"Braak!"
Pintu papan hancur berantakan. Dikejap itu
pula beralur lima puluh batang golok terbang
di atas tubuh ketiga orang yang bertiarap itu.
Begitu senjata-senjata maut itu lewat, ketiga
orang tersebut cepat melompat dan
menerobos masuk lewat pintu yang hancur.
Mereka sampai ke sebuah ruangan besar yang
penuh dengan puluhan manusia. Di hadapan
mereka berdiri kira-kira dua puluh orang lelaki
dan setengah lusin perempuan yang
kesemuanya bermuka hitam. Mereka adalah
tokoh-tokoh silat golongan putih dan hitam
yang telah diculik dan di jadi kan budak oleh
Sonya. Dengan muka hitam begitu rupa sulit
bagi Wiro dan kawan-kawan untuk mengenali
mereka. Ini berarti mereka tidak mengetahui
yang mana tokoh golongan hitam dan mana
tokoh golongan putih yang harus mereka
selamatkan.
Di belakang jejeran orang-orang Itu, di satu
lantai yang agak tinggi, duduklah seorang
lelaki berusia setengah abad, berwajah luar
biasa seramnya. Rambutnya awut-awutan,
kumis dan cambang bawuk tidak terurus.
Sepasang matanya menyorot ganas. Dia
mengenakan pakaian buruk dekil penuh
tambalan. Tubuh dan pakaiannya ini menebar
bau yang sangat busuk!
Di sekeliling si bau busuk ini, duduk
bersimpuh lima belas orang perempuan.
Karena muka mereka tidak hitam maka dapat
di saksikan bahwa mereka semua adalah
gadis-gadis berwajah cantik. Dan yang
membuat Pendekar 212 jadi sesak nafas
sedang Dewa Tuak serta Lor Gambir Seta
menjadi jengah ialah bahwa kelima belas
gadis itu tak satu pun mengenakan pakaian
alias bertelanjang bulat!
Dari balik sebuah ruangan tiba-tiba muncul
seorang gadis yang parasnya cantik di antara
semua gadis di ruangan itu. Dia melangkah
tanpa pakaian menghampiri lelaki berpakaian
buruk dekil itu dan langsung duduk di
pangkuannya.
"Gila betul!" kata Wiro dalam hati.
Gadis itu bukan lain adalah Dwiyana, murid
Akik Mapel. Akik Mapel sendiri saat itu duduk
di sudut ruangan bersama yang lain-lainnya.
Mereka siap menyerbu tiga orang yang baru
datang itu, hanya menunggu perintah majikan
mereka.
Lor Gambir Seta berbisik pada Wiro dan Dewa
Tuak: "Keparat yang berpakaian rombeng
busuk Sonya yang harus kita lenyapkan. Kita
harus bertindak cepat!"
Sebelum ketiga orang ini bergerak tiba-tiba di
antara orang banyak menyeruak empat
manusia bermuka hitam. Satu laki-laki dan
tiga perempuan.
Meski tidak dapat mengenali wajah mereka
tetapi dari jubah putih berbunga teratai merah
yang mereka kenakan, Wiro Sableng serta Lor
Gambir Seta segera mengetahui bahwa
keempat orang ini bukan lain adalah Empat
Teratai Darah yang beberapa hari lalu pernah
bentrokan dengan mereka di sebuah rumah
makan. Bagaimana keempat orang ini tahu-
tahu sudah berada di sarangnya Sonya?
Tiga jam setelah ditotok oleh Lor Gambir Seta,
totokan di tubuh Empat Teratai Darah punah
dengan sendirinya. Penuh rasa dendam,
keempatnya bermaksud untuk menemui
seorang tokoh silat golongan hitam guna
minta bantuan. Dalam perjalanan itulah
mereka berpapasan dengan Sonya.
Mengetahui bahwa Empat Teratai Darah
merupakan kelompok berkepandaian tinggi
dan cukup terkenal dalam dunia persilatan
maka Sonya segera menyerang mereka dengan
asap tenung siluman. Dalam keadaan tak
sadar keempat orang itu kemudian dibawanya
ke Teluk Gonggo.
"Rangga Lelanang! Dan kau pemuda gondrong
sedeng" membentak kepala Empat Teratai
Darah yakni Sumo Kebalen. "Dicari-cari tidak
ketemu. Akhirnya hari ini kalian datang
mengantar nyawa!"
"Hai! Kau rupanya "sahut Wiro seraya
mencibir.
"Kalau aku tidak salah dulu mukamu putih
macam kain kafan. Sekarang kenapa berubah
jadi pantat dandang?!" Wiro lalu tertawa
gelak-gelak dan diam-diam tangan kanannya
meraba gagang Kapak Maut Naga Geni 212
yang tersembunyi di balik pakaiannya.
Di sampingnya Dewa Tuak keluarkan buli-
bulinya dan "gluk-gluk-gluk", dia meneguk
minuman itu seenaknya seolah-olah sedang
berada di tempat perjamuan. Lor Gambir Seta
sendiri sejak tadi sudah siapkan pukulan
tangan kosong di tangan kiri sedang di tangan
kanannya kini tergenggam sebuah senjata
aneh yakni sebuah tanduk kerbau yang amat
besar dan runcing salah satu ujungnya.
"Pendekar 212" bisik Lor Gambir Seta. "Ingat,
kita harus bertindak cepat. Musuh-musuh
golongan hitam harus disingkirkan dulu
sebelum Sonya turun tangan."
Wiro mengangguk.
Sumo Kebalen menggereng marah mendengar
ucapan Wiro tadi. Dia melompat diikuti tiga
adik seperguruannya. Wiro dan Lor Gambir
Seta siap menyongsong.
Wiro cabut senjatanya. Sinar putih berkiblat
ketika Kapak Maut Naga Geni 212 mulai
beraksi. Terdengar suara mengaung laksana
seribu tawon mengamuk. Dilain kejap Empat
Teratai Darah sudah menggeletak di lantai.
Mereka menemui ajal tanpa mengeluarkan
sedikit suara pun saking cepatnya sambaran
senjata Wiro. Dan mereka tidak pernah tahu
senjata apa yang telah menamatkan riwayat
mereka.
Lor Gambir Seta tertegun melihat gebrakan
kilat yang dibuat Wiro. Orang tua mata satu
ini sudah sejak lama mendengar kehebatan
pendekar gondrong ini, tapi baru hari ini dia
menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Jika saja bukan di tempat itu terjadinya,
pastilah dia akan berseru memuji.
Sementara itu Dewa Tuak yang sudah tahu
banyak tentang Wiro tertawa gelak-gelak dan
teguk tuaknya. Begitu suara tawanya lenyap
tempat itu telah berubah jadi kacau balau.
Gadis-gadis yang telanjang berpekikan, lelaki-
lelaki bermuka hitam menggembor marah.
Sonya bertepuk tiga kali dan berteriak:
"Hamba Sahayaku! Bunuh tiga bangsat
pangacau itu!" Laksana air bah orang-orang
bermuka hitam serta merta menyerbu. Dewa
Tuak semburkan tuak dari mulutnya. Dua
orang penyerang berteriak roboh dengan tubuh
bergelimpangan darah. Teman-temannya
yang berhasil menyelamatkan diri segera
mengeroyok Dewa Tuak. Tokoh silat berusia
80 tahun ini putar kedua bumbung bambunya.
Tiga orang musuh lagi terjelepak oleh
serangan yang tidak mereka duga ini.
Baik Wiro maupun Dewa Tuak serta Lor
Gambir Seta tidak dapat mengetahui mana
para penyerang yang berasal dari golongan
hitam dan mana dari golongan putih.
Karenanya sebelum pertempuran berlangsung
lebih jauh Lor Gambir Seta berteriak:
"Manusia-manusia muka hitam berasal dari
golongan putih dengar. Kami tidak mau
kesalahan tangan. Lekas mundur, selamatkan
diri kalian!"
Tapi otak manusia-manusia golongan putih
itu telah terjebak dalam Ilmu siluman Sonya
hingga tak satu dari mereka yang ambil peduli
dan mendengar perintah itu.
Dewa Tuak menyemburkan tuaknya terus
menerus. Tabung bambu dihantamkannya
kian kemari. Selagi musuh menghindar Dewa
Tuak pergunakan kesempatan ini untuk
mendekati Sonya.
Sonya melompat ke samping kiri. Matanya
tidak lepas pada genangan air di lantai. Dari
tempat yang dirasakannya aman, dia
keluarkan ilmu silumannya yang bernama
"Asap Jalur Penidur. Asap kecil hitam melesat
bergulung-gulung, melejit ke arah Dewa Tuak,
Lor Gambir Seta dan Wiro Sableng.
"Lekas menyingkir" teriak Lor Gambir Seta.
SAMBIL berteriak Lor Gambir Seta melompat
keluar menjauhi kalangan pertempuran. Dalam
mundur menjauh ini dia sempat menotok dua
lawan bermuka hitam yang menurut
dugaannya adalah dari golongan putih.
Pendekar 212 babatkan kapak saktinya ke
depan. Asap siluman yang menyerbunya
terpental dan buyar hingga dia selamat dari
malapetaka. Lain halnya dengan Dewa Tuak.
Tokoh kawakan ini hantamkan tangan kirinya
ke atas. Asap hitam buyar namun dari
samping membalik kembali dan menyerbu ke
arahnya!
"Celaka!" keluh Dewa Tuak ketika
dirasakannya kepalanya mendadak pusing
dan sepasang matanya menjadi berat laksana
dicantoli batu Dia menahan nafas dan
kerahkan tenaga dalam. Lututnya goyah dan
tubuhnya mulai menghuyung. Namun dia
masih sanggup bertahan dengan menutup
seluruh inderanya.
Melihat Dewa Tuak dalam bahaya Wiro segera
bertindak cepat. Didahului teriakan
menggelegar murid Eyang Sinto Gendeng ini
berkelebat. Tiga orang terjungkal. Dua bobol
perutnya, satu lagi hampir tanggal lehernya.
Selagi tubuhnya mengapung di udara, Wiro
lepaskan pukulan sinar matahari yang panas
dan menyilaukan. Asap siluman yang hampir
menguasai Dewa Tuak musnah. Dewa Tuak
sendiri terpental dan jadi kalang kabut ketika
sebagian janggut putihnya terbakar oleh
pukulan sinar matahari.
"Gila! Edan! Ooala" teriak Dewa Tuak dan
cepat padamkan janggutnya yang terbakar.
"Kurang ajar!" kutuk Sonya geram. Sedang
matanya membersitkan sinar maut. Tak dapat
dipercayanya kalau hari itu semua asap-asap
ilmu silumannya dapat di musnahkan lawan,
satu hal yang tak pernah kejadian
sebelumnya.
Sonya mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke
udara lalu kedua telapak tangannya disatukan
dan saling digesek.
"Gorda! Keluarlah! Bunuh pemuda berambut
gondrong itu!"
Serangkum asap hitam keluar dari celah
kedua telapak tangan manusia siluman itu
mengeluarkan suara mendesis. Asap itu
kemudian berubah menjadi sesosok makhluk
yang luar biasa seram dan besarnya.
Kepalanya menyondok langit-langit ruangan
yang tingginya hampir tiga meter itu.
Sepasang matanya yang merah hampir
sebesar buah kelapa. Mulutnya menyeringai
memperlihatkan barisan gigi-gigi raksasa. Dia
melangkah mendekati Wiro. Setiap langkah
yang dibuatnya menggoyangkan lantai
ruangan!
Tiba-tiba makhluk bernama Gorda ini ulurkan
kedua tangannya yang besar dan panjang,
berbulu dan berkuku runcing. Wiro meskipun
agak tergetar tapi cepat babatkan Kapak
Naga Geni 212. Didahului sinar putih perak,
senjata mustika itu membabat salah satu
tangan Gorda. Makhluk ini menggerung dan
melangkah mundur. Tangan kirinya hampir
putus dan anehnya mengeluarkan darah
seperti darah manusia.
Menyadari bahwa senjatanya hanya mampu
menciderai lawan maka murid Eyang Sinto
Gendeng ini segera menggenjot tubuhnya dan
melayang ke udara. Sekali lagi Kapak Maut
Naga Geni 212 berkilat.
"Craass!"
Terdengar seperti suara ratusan srigala
melolong serentak. Kepala makhluk siluman
itu menggelinding. Darah bergenangan.
Namun sesaat kemudian sosok tubuh siluman
itu lenyap. Darahnya yang membasahi lantai
pun ikut lenyap tiada bekas!
Sonya terkesiap melihat apa yang terjadi
hingga dia lengah ketika Pendekar 212 Wiro
Sableng kini menerjang ke arahnya dan
membacokkan Kapak Maut Naga Geni 212.
Sonya tak punya kesempatan untuk mengelak.
Senjata warisan Eyang Sinto Gendeng itu
mendarat di dadanya dan "trang!" Terdengar
bunyi keras. Tubuh Sonya tak bergerak sedikit
pun. Kapak Naga Geni 212 laksana
menghantam dinding baja yang maha atos.
Inilah untuk pertama kalinya senjata mustika
sakti itu tidak mempan menghadapi
kehebatan ilmu kebal siluman yang di miliki
Sonya. Dewa Tuak dan Lor Gambir terbeliak.
Saking kagetnya Wiro sampai lupa penjagaan
dirinya. Dia. terkesiap dengan mulut
ternganga. Justru saat itulah Sonya
melompatinya dengan tangan kanan
lancarkan serangan "Cakar Siluman yang
sudah sama diketahui kehebatannya.
Jangankan tubuh manusia, tembok besi pun
pasti hancur dibuatnya. Kini Pendekar 212 lah
yang tidak punya kesempatan untuk
selamatkan diri.
Satu detik lagi muka Wiro Sableng akan
hancur remuk diremas cakaran siluman itu,
tiba-tiba dari samping menderu air hujan
yang disemburkan Dewa Tuak! Ketika air
hujan itu menyirami tubuhnya, terdengar
suara seperti air disiramkan di atas bara
panas. Pakaiannya melepuh, kulit dan
dagingnya mengelupas matang mengepulkan
asap dan mengumbar bau menjijikkan!
Dewa Tuak semburkan sekali lagi air hujan
dalam mulutnya. Tubuh Sonya bergetar hebat.
Mukanya yang angker kelihatan seperti
membesar. Pipinya menggembung dan
mulutnya tertutup rapat-rapat. Tiba-tiba
mulut itu membuka dan terdengarlah
jeritannya yang mengerikan sepasang
matanya membeliak. Dia lari bangun jatuh
seputar ruangan, kadang-kadang bergulingan.
Orang-orang bermuka hitam yang
keseluruhannya telah ditotok oleh Lor Gambir
Seta tampak berdiri gelisah. Sementara dari
ruangan sebelah di mana gadis-gadis cantik
tadi berkumpul, terdengar suara mereka
memekik aneh.
"Lekas kau selesaikan manusia siluman itu
Wiro!" kata Lor Gambir Seta.
Pendekar kita ragu sejenak. Sambil pandangi
Sonya dan kapaknya.
"Tak usah ragu. Hantamlah!" kata kakek mata
picak itu.
Wiro bergerak. Kapak Naga Geni 212
berkelebat. Untuk kedua kalinya senjata itu
menghantam tubuh Sonya. Kalau tadi sama
sekali tidak mempan, maka sekarang kelihatan
bagaimana senjata itu hampir membabat
putus pinggang Sonya. Anehnya dari luka
besar di tubuhnya itu sama sekali tidak
mengeluarkan darah.
Sonya terhuyung-huyung, lantai yang
diinjaknya laksana roboh. Tubuhnya
terjungkal. Dari tubuh itu kini mengepul asap,
makin tebal dan makin hitam. Dari mulutnya
menggelepar jeritan dahsyat. Jeritan yang
tidak beda dengan lolongan srigala. Begitu
lolongan itu berhenti maka putuslah nyawa
manusia siluman ini.
Bersamaan dengan matinya Sonya, maka
lenyap pulalah segala macam ilmu siluman
yang menguasai tokoh-tokoh silat yang ada
di ruangan itu, yang selama ini menjadi budak
Sonya, disuruh membunuh dan menculik.
Wajah-wajah yang tadinya hitam berkilat
secara aneh kini perlahan-lahan berubah
menjadi muka manusia wajar. Mereka tampak
terheran-heran begitu lepas dari kungkungan
ilmu siluman. Memandang wajah-wajah
mereka, Wiro, Dewa Tuak dan Lor Gambir Seta
segera mengenali mana-mana tokoh silat dari
golongan putih. Murid Si Raja Penidur itu
segera melepaskan totokan di tubuh mereka.
Begitu bebas dari totokan, mereka semua
menjura dalam-dalam dan tiada hentinya
mengucapkan terima kasih. Beberapa di
antara mereka ada yang berkaca-kaca
matanya.
Wiro memandang pada empat tokoh golongan
hitam yang ada di tempat itu masih dalam
keadaan tertotok. "Apa yang akan kita
lakukan terhadap mereka?" tanya Wiro.
"Jika mereka menyesal atas segala perbuatan
mereka di masa lampau dan selanjutnya mau
menempuh hidup baik, aku akan beri ampunan
pada mereka!" jawab Lor Gambir Seta.
Tanpa ditanya lagi empat tokoh silat itu
serempak membuka mulut, mohon ampun dan
berjanji untuk menempuh hidup baru yang
benar. Lor Gambir Seta lalu lepaskan totokan
mereka. Keempatnya menjura, mengucapkan
terima kasih lalu tinggalkan tempat itu.
Dewa Tuak menghela nafas dalam lalu teguk
tuaknya. Dia menyumpah dan bantingkan
buli-buli itu ke lantai.
"Sialan! Tuakku habis!" keluhnya. "Mati aku…!"
Wiro tertawa gelak-gelak sedang Lor Gambir
Seta cuma mengulum senyum.
"Aku tak betah lagi di sini. Aku harus pergi.
Aku harus dapatkan tuak! Kalau tidak bisa
mati!"
"Aku pun harus pergi sekarang," berkata Lor
Gambir Seta.
"Hai tunggu!" Wiro tiba-tiba berseru.
"Ada apa lagi pendekar?" tanya Lor Gambir
Seta sementara Dewa Tuak terus-terusan
menggerutu.
"Bagaimana dengan gadis-gadis cantik di
ruangan sebelah itu?" tanya Wiro.
Dewa Tuak memandang sebentar pada Lor
Gambir Seta. Dewa Tuak kedipkan mata lalu
kedua tokoh silat itu sama-sama tertawa
mengekeh. Kakek yang kebakaran janggut itu
lantas berkata: "Kami sudah tua bangka,
mana pantas mengurusi boneka-boneka itu.
Kau uruslah mereka. Tapi ingat, jangan main
gila. Jangan berbuat apa yang dilakukan
manusia siluman bernama Sonya itu"
Selesai berkata begitu Dewa Tuak berkelebat
pergi. Disusul oleh Lor Gambir Seta.
"Tunggu dulu!" seru Wiro. Tapi kedua tokoh
itu sudah lenyap.
Wiro garuk-garuk kepala. Perlahan-Lahan dia
melangkah ke ruangan sebelah. Ruangan itu
di tutup oleh sebuah pintu. Wiro membuka
daun pintu. Begitu pintu terbuka
berpekikkanlah keenam belas gadis cantik
tanpa pakaian di dalam sana. Kalau
sebelumnya mereka tidak merasa malu sama
sekali, setelah Sonya mati dan ilmu
silumannya sirna, maka kini setelah
kesadarannya pulih, gadis-gadis itu jadi
kalang kabut. Mereka berusaha menutupi
aurat masing-masing dengan kedua tangan.
Tentu saja mereka tak dapat menyembunyikan
banyak. Wiro menutup pintu dan kembali ke
ruangan semula. Dia memandang pada tokoh-
tokoh silat golongan putih yang masih di situ.
"Dengar, kita butuh pakaian untuk gadis-gadis
itu…" kata Wiro.
Seorang lelaki bermuka putih maju. Dia bukan
lain adalah Akik Mapel alias Malaikat
Berambut Kelabu.
"Pendekar," katanya, "Di bawah ruangan ini
ada sebuah gudang. Sonya menyimpan segala
macam barang di situ, termasuk pakaian
gadis-gadis itu. Aku akan segera
mengambilnya."
"Cepatlah agar gadis-gadis itu tidak
kedinginan," kata Wiro pula.
Akik Mapel menekan sebuah tombol rahasia.
Lantai ruangan terbuka. Tampak sebuah
tangga menuju ke sebuah ruangan. Orang tua
ini segera masuk. Di sini dia mengambil enam
belas potong pakaian perempuan. Ketika
hendak keluar kepalanya membentur sesuatu.
Mendongak ke atas dilihatnya burung Nuri
Merah dalam sangkar tulang. Akik Mapel tahu
betul binatang ini adalah peliharaan
kesayangan Sonya. Tak dapat membalas
dendam terhadap pemiliknya, sebagai
gantinya Akik Mapel membanting sangkar
tulang Itu ke lantai dan menginjak mati
burung di dalamnya.
Setelah mengenakan pakaian, enam belas
orang gadis itu keluar dari dalam ruangan.
Rata-rata mereka mengucurkan air mata,
termasuk Dwiyana, murid Akik Mapel. Gadis
ini kemudian memimpin kawan-kawan
senasibnya menghaturkan terima kasih pada
Wiro Sableng.
Pendekar kita jadi jengah dan sambil garuk-
garuk kepala berkata: "Aku tak berani
menerima ucapan terima kasih kalian. Ada
orang lain yang lebih pantas menerimanya.
Dialah yang mengatur rencana penyelamatan
ini. Orangnya berjuluk Si Raja Penidur!
Tentu saja gadis-gadis itu tidak tahu siapa
adanya Raja Penidur. Sebaliknya para tokoh
silat yang ada tampak melengak kaget.
Mereka tidak menyangka kalau manusia
paling lihay di dunia persilatan itu masih
hidup.
"Kalau begitu sebaiknya kita menyambanginya
di tempat kediamannya," mengusulkan Akik
Mapel. Semuanya setuju. Akik Mapel
memimpin jalan, diikuti para tokoh silat, lalu
Wiro Sableng yang diapit oleh keenam belas
dara-dara cantik itu. Dia berjalan sambil
senyum-senyum.
"Eh, ada apakah?" berpaling Akik Mapel.
"Ah, kalian orang-orang tua jalan terus
sajalah. Biarkan kami orang-orang muda
berjalan di belakang sini seenaknya," jawab
Wiro Sableng.
Akik Mapel hanya bisa angkat bahu. Yang lain-lainnya mengulum senyum. Dan mereka berjalan terus. Teluk Gonggo semakin jauh di belakang mereka.
Selesai
Komentar
Posting Komentar