setan dari luar jagat




Wiro Sableng
Pendekar kapak maut naga Geni 212
Episode : Setan Dari Luar Jagat
Karya : BASTIAN TITO
**********
SATU DUA PENUNGGANG kuda itu berhenti di kaki bukit Wadaslintang yang merupakan bukit berbatu-batu hampir tanpa pepohonan. Suasana tampak gersang pada saat mataharihendak tenggelam itu. Kaki bukit dicekam kesunyian. Sesekali terdengar suara tiupan angin di kejauhan, bergaung di sela bebatuan. Pendekar 212 Wiro Sableng mengangkat kepala memandang ke arah puncak bukit batu. Sinar sang surya yang hendak tenggelam membuat bukit batu itu seperti dibungkus warna merah kekuningan. Batu-batu bukit tampak seperti tumpukan emas. Satu pemandangan yang cukup indah sebenarnya. Tetapi diam-diam murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede merasakan adanya keangkeran tersembunyi di bukit Wadaslintang itu. "Anak muda, aku hanya mengantarmu sampai di sini." Yang berkata adalah kakek berpakaian hitam memakai caping bambu. Pada wajahnya sebelah kiri ada cacat bekas luka yang sangat besar dan tak sedap untuk dipandang. "Kenapa tidak terus sampai ke puncak bukit sana?" Tanya Wiro tanpa mengalihkan pandangan kedua matanya dari puncak bukit Wadaslintang. Si kakek menggeleng. "Bukankah kita sudah berjanji?" ujar si kakek yang bernama Poniran. "Kuantar kau sejauh ini sampai kemari tanpa upah tanpa imbalan. Semua demi ikut membantu menghancurkan angkara murka. Kali ini walaupun kau bayar seribu ringgit emas atau emas sebesar kepala, tak nanti aku akan mau menapakkan kaki ke atas bukit itu. Kau lihat cacat di pipi kiriku ini? Bekas hantaman makhluk jahanam itu!" Wiro anggukan kepala. "Setan Dari Luar jagat, itu nama mahluk yang kau maksudkan itu, kek?" Yang ditanya anggukkan kepala dan wajahnya yang cacat membersitkan rasa takut. "Setan Dari Luar Jagat," mengulang Wiro seraya garuk-garuk kepala. "Nama hebat. Tapi apa betul ada mahluk begitu? Setan yang datang dari luar jagat. Jagat yang mana kek?" "Sulit bagiku untuk menerangkan padamu. Kau telah berani datang ke mari. Bahkan hendak naik ke puncak bukit ini. Kau akan menemui makhluk itu, anak muda. Jangan lupa ciri-cirinya. Dan aku berdoa agar kau kembali dengan selamat. Paling tidak dalam keadaan tubuh masih utuh!" "Jadi kau tak akan menungguiku di kaki bukit ini?" tanya Wiro pula. Kakek Poniran menggeleng. "Eh apa maksudmu menggeleng seperti itu?" "Wiro, sebetulnya aku kasihan padamu. Terus terang aku tak yakin kau akan kembali ke kaki bukit ini. Lalu buat apa aku menunggu mayat yang tidak bakal datang?" Wiro pencongkan mulut dan garuk-garuk kepalanya mendengar kata-kata si kakek. "Kalau begitu kau boleh pergi sekarang," kata Wiro pula lalu turun dari kudanya dan menyerahkan tali kekang pada kakek Poniran. "Aku tetap berdoa untuk keselamatanmu!" Wiro tersenyum. Sesaat setelah kakek dan dua ekor kuda itu lenyap dari pemandangannya, Pendekar 212 balikkan tubuh, dengan gerakan enteng, setengah berlari dia melanjutkan perjalanan menuju puncak bukit Wadaslintang. Sambil berlari sesekali Wiro menggenggam hulu Kapak Naga Geni 212 yang terselip di pinggangnya. Setiap dia menyentuh senjata mustika pemberian gurunya itu dia merasakan ada kekuatan dan ketenangan dalam dirinya. Dengan tangkas dia berlari terus, namun semakin tinggi jauh ke atas bukit semakin perlahan larinya karena dia harus berhati- hati. Batu-batu padas itu bukan saja membentuk lereng terjal tapi juga licin berlumut. Ketika baru mencapai pertengahan ketinggian bukit sang surya telah lama tenggelam dan bukit Wadaslintang kini diselimuti kegelapan. Udarapun berubah menjadi sangat dingin. Sepasang kaki Pendekar 212 Wiro Sableng mendadak berhenti melangkah ketika tiba-tiba entah dari bagian bukit sebelah mana datangnya, terdengar suara lolongan aneh. Seperti lolongan srigala hutan, tetapi juga mirip-mirip lolongan manusia! Seumur hidupnya belum pernah Wiro mendengar suara lolongan seperti itu. Tengkuknya terasa dingin dan tubuhnya bergidik. "Gila! Apa yang harus kutakutkan!" Wiro memaki dirinya sendiri. Maka dia kembali melanjutkan perjalanan. Mendaki dan mendaki terus dalam gelapnya malam dan dinginnya udara. Sambil melangkah tangan kirinya terus menggenggam hulu kapak Naga Geni 212. Sebenarnya dia memang telah lama mendengar kedahsyatan makhluk berjuluk "Setan Dari Luar Jagat" itu, juga mendengar kejahatan serta kekejian yang dilakukannya dalam dunia persilatan sejak tiga bulan terakhir ini. Namun jiwa dan sifat seorang pendekar, tak akan percaya sebelum melihat kenyataan dengan mata kepala sendiri. Baru mendaki sejauh dua puluh tombak, dalam kegelapan mendadak Wiro dongak-kan kepala. Hidungnya mencium bau busuk menyambar. Wiro hentikan langkahnya. "Bau kemenyan . . ." bibir sang pendekar bergetar. "Siapa malam-malam begini di tempat seperti ini membakar kemenyan? Jangan-jangan ... Gila! Mana ada setan membakar kemenyan!" Wiro merenung sejenak. Bau kemenyan semakin sangar menyambar hidungnya. Dia berpikir dan menimbang-nimbang. "Apakah akan melanjutkan perjalanan menujupuncak bukit atau mencari sumber bau kemenyan itu. Pendekar ini memutuskan untuk mencari dan mendatangi sumber yang menghambur bau kemenyan. Karenanya dia bergerak ke arah kanan dari jurusan mana bau itu datang dengan keras. Selang beberapa lama, di kejauhan Wiro melihat ada nyala api kecil sekali, seperti titik-titik kecil. Wiro mempercepat langkahnya menghampiri nyala api itu. Beberapa kali kakinya tersandung atau terpeleset di batu licin, membuatnya hampir jauh. Ketika dia akhirnya mencapai nyala api itu, pendekar kita jadi tercekat. Nyala api ternyataadalah bara menyala yang terletak dalam sebuah pendupaan tanah. Di dalam pendupaan itu juga terdapat sepotong besar kemenyan. Benda inilah yang dalam keadaan terbakar menebar bau harum santar dan menggidikkan. Wiro maju satu langkah mendekati pendupaan. Kedua kakinya mendadak seperti dipantek ketika tiba-tiba sekali kembali terdengar suara lolongan aneh tadi. Dekat sekali. Tapi memandang berkeliling pemuda ini tidak melihat manusia atau binatang, atau mahluk apapun! Ketika kedua matanya memandang ke aran pendupaan, astaga! Baru saat itudilihatnya apa yang bertebaran malang melintang di atas bebatuan di sekitar pendupaan. Tulang belulang aneh berwarna hitam seperti arang. Semula sulit bagi Wiro untuk menduga tulang belulang apa adanya itu. Namun begitu matanya mem-bentur beberapa batok tengkorak kepala manusia serta sederetan tulangtulang iga dan selangkangan, jelas sudah semua itu adalah tulang belulang dan potongan-potongan tengkorak manusia! Hanya saja ... mengapa berwarna hitam seperti hangus terbakar? Wiro kembali memandang berkeliling. Mulutnya terkancing sebaliknya kedua matanya dibuka lebar-lebar. Tetap saja dia tidak melihat siapa-siapa kecuali kegelapan. Setelah berpikir sejenak akhirnya dia memberanikan diri berteriak. "Ki sanak yang membakar kemenyan silahkan muncul! Aku ingin berkenalan!" Teriakan pemuda itu bergema dalam kegelapan malam lalu lenyap. Berbarengan dengan lenyapnya gema seruan, di kejauhan tiba-tiba terdengar suara tolongan seperti tadi, hanya kini disusul dengan suara tawa di antara deru angin yang ikut muncul. Lalu ada suara bergemeletakan seperti ada benda jatuh menggelinding. Wiro berpaling ke kiri. Di lamping batu yang terjal sebuah benda bulat menggelinding bergemeletakan, bergulir ke arah pendupaan dan terhenti di antara tumpukan tulang belulang. Benda itu ternyata sebuah tengkorak kepala manusia berwarna hitam. Dari salah satu rongga mata tengkorak menyembul keluar seekor ular hitam bermata merah. Binatang sepanjang tiga jengkal ini menggeliat- geliatkan lehernya beberapa kali lalu meluncur lenyap dalam kegelapan. Wiro hela nafas dalam. Walau hatinya memaki namun diam-diam dia harus mengakui kalau saat itu ketegangan menyelimut dirinya. Perlahan-lahan Pendekar 212 putar tubuhnya, lalu tinggalkan tempat itu, kembali melanjutkan perjalanan menuju puncak bukit batu Wadaslintang. Kalau tadi dari kaki bukit, sebelum matahari terbenam bukit batu itu tampak tidakbegitu tinggi, tetapi setelah berjalan cukup lama dia masih belum mampu mencapai puncaknya. Di satu tempat Wiro bersandar ke dinding batu, berhenti untuk mengusap keringat yang membasahi mukanya padahal udara di bukit itu dingin sekali. Saat diamengusap keringat di mukanya itulah dia melihat tiga tombak dibawahnya, terpisah oleh ketinggian bebatuan yang berbeda, ada nyala api. Persis seperti nyala api yangdilihatnya sebelumnya. "Aneh! Tadi aku melewati tempat itu sebelum sampai ke mari. Mengapa mataku tidak melihat nyala api itu. ..?" Wiro membatin. Dia menengadah dan menghirup udaradalam- dalam. Sama sekali tidak tercium bau kemenyan. Wiro memandang lagi ke bawah sana. Memperhatikan lebih teliti. Ternyata tiga langkah di depan api yang menyala ada satu sosok tubuh duduk mencangkung dalarn hitamnya kegelapan. Meski diatidak dapat melihat jelas siapa adanya sosok tubuh itu namun Wiro yakin yang duduk itu adalah manusia, bukan setan bukan binatang, bukan pula mahluk halus! Maka diapun berseru. "Hai! Siapa di bawah sana?!" Orang yang duduk mencangkung tidak menjawab hanya angkat kepalanya. Astaga! Wiro tercekat. Dia memang tidak dapat melihat jelas wajah orang itu, tapi dia menyaksikan adanya kilatan cahaya merah membersit dari sepasang matanya, seperti sambaran nyala bara api! "Hai! Kenapa tidak menjawab?!" Wiro berseru lagi. Karena masih tidak mendapat jawaban maka Wiro melangkah menuruni batu cadas hingga akhirnya sampai di hadapan orangyang duduk mencangkung di depan sebuah pendupaan tanpa kemenyan. Wiro perhatikan orang ini lekat-lekat. Seorang kakek bermuka cekung panjang, berkulit coklat gelap dan memiliki rambut panjang berwarna kelabu. Tak ada keistimewaan pada orang tua berpakaian serba hitam ini kecuali sepasang matanya yang sangat angker, berwarna merah yang dalam gelap tidak ubah seperti bara menyala. "Kakek," Wiro menegur. Suaranya dan juga sikapnya menyatakan penghormatan. Bagaimanapun juga pendekar berpengalaman ini sudah maklum kalau siapapun adanya orang tua di hadapannya itu pastilah dia bukan orang biasa. Semula dia menyangkaorang ini adalah Setan Dari Luar Jagat yang tengah dicarinya. Tapi dari ciri- ciri yangdilihatnya ternyata jelas bukan. "Kek, apa yang kau kerjakan malam-malam di tempat ini?" Wiro menyambung tegurannya. Yang ditanya menatap si pemuda sesaat lalu geleng-geleng kepala kemudian menunduk. "Kau tinggal di sekitar sini? Penghuni atau penguasa bukit batu Wadaslintang ini?" Yang ditanya kembali menggeleng. "Aneh, dia menggeleng terus," ujar Wiro dalam hati, mulai merasa jengkel. "Kek, kau yang memiliki pendupaan itu dan menyalakan baranya?" Orang tua berambut kelabu tampak membersitkan bayangan seperti marah pada wajahnya. Kedua matanya yang merah seperti berkilau. Tapi kemudian dia lagi-lagi gelengkan kepala. "Jangan-jangan si tua bangka ini tuli! Tapi biar kutanya sekali lagi." Lalu: "Kek, kau tuli atau bagaimana?" Untuk kedua kalinya Wiro melihat si kakek unjukkan air muka marah. Tapi sesaat kemudian dia kembali menggelengkan kepala. Wiro jadi garuk-garuk kepala. "Kau yang membuat pendupaan dan membakar kemenyan dibawah sana?" Gelengan kepala si kakek kuat dan lama sekali. Wajahnya yang cekung tampak mengelam tanda dia juga sangat marah. Wiro usap-usap dagu lalu berkata: "Jangan- jangan kau orangnya atau kaki tangan-nya mahluk bernama Setan Dari Luar Jagat itu!" Si kakek hentakkan kaki kanannya ke batu. Hebat! Bukan saja tidak gampang menghentakkan kaki dalam keadaan jongkok seperti itu, tapi hentakan kaki itu juga membuat Wiro merasakan adanya getaran pada lamping bukit batu di mana dia berada. "Jadi kau bukan penghuni tempat ini! Sama- sama pendatang sepertiku?" Sekarang untuk pertama kalinya si kakek angguk-anggukkan kepala. "Lalu apa maksud kedatangan ke tempat ini?" Wiro bertanya. Si orang tua tudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah Wiro. "Lho! Kau tak mau menjawab pertanyaanku. Malah balik bertanya begitu? Kenapa sih kau tak mau bicara menjawab pertanyaan orang?" Kakek berambut kelabu itu tiba-tiba buka mulutnya lebar-lebar. Wiro memperhatikan. Mulut ompong sama sekali tak bergigi lagi. Tapi bukan hanya ompong. Orang tua ini juga tidak memiliki lidah! Kalau ada sangat pendek dan tersembunyi di ujung kerongkongannya! "Ah, kasihan! Itu rupanya dia tak bisa bicara..." ujar Wiro dalam hati. Lalu dia melangkah lebih mendekati orang tua itu dan ikut jongkok di depannya. "Kek . . ." kata Wiro hendak mengucapkan sesuatu tapi terputus ketika tiba-tiba sekali di kejauhan terdengar suara lolongan menggidikkan. Begitu suara lolongan lenyap menyusul terdengar deru angin sangat deras. Datangnya dari puncak bukit Wadaslintang yang gelap gulita. Bagian bukit dii mana Wiro dan orang tua itu duduk mencangkung seperti dilanda topan. Bukit batu bergetar keras. Si kakek dan Wiro tampak terhuyung-huyung. Pendupaan di atas batu mencelat mental. Deru angin semakin kencang dan dahsyat. Wiro sadar dia tak akan dapat bertahan dan segera akan disapu hantaman angin itu. Di depannya si kakek tampak membuka mulut berulang kali, seperti mengatakan sesuatu tapi tanpa ada suara yang keluar. "Jatuhkan dirimu kek!" seru Wiro sebelum tubuhnya disapu angin. Dia menjatuhkan diri, menelungkuk sama rata dengan batu padas. Terdengar suara menggemuruh ketika satu gelombang angin menyapu mengeri-kan di tempat itu. Wiro cengkeramkan kedua tangannya ke batu, bertahan agar jangan tersapu. Untung dia sudah menjatuhkan diri seperti itu. "Gila! Ini lebih dahsyat dari pukulan angin topan melanda samudera!" membatin sang pendekar membandingkan dahsyatnya tiupan angin yang melanda dengan pukulan sakti warisan Eyang Sinto Gendeng. Di kejauhan kembali terdengar suara lolongan aneh. Hembusan angin dahsyat mendadak lenyap. Wiro palingkan kepala ke kiri. Lalu memandang berkeliling, mencari-cari, tapi kakek rambut kelabu tadi tak ada lagi di situ. "Jangan-jangan dia dilabrak angin dan mental ke bawah!" pikir Wiro. Dia coba mengawasi lereng bukit batu di bawahnya dan memasang telinga. Tak satupun yang tampak dalam gelap itu, juga tak sepotong suarapun yang mampu didengarnya. DUA RUMAH TUA di tikungan sungai itu seperti hendak roboh dimakan usia. Di luar kegelapan mencengkam. Sesekali terdengar desau angin di sela-sela dedaunan pohon yang bertumbuhan di sepanjang sungai dan di sekitar rumah. Sesekali terdengar riak air sungai ketika beberapa ekor ikan menyembul di permukaan air lalu menyelam cepat ke dasar sungai. Di dalam rumah tua yang berlantai kayu dan penuh debu, tiga orang tampak duduk di sudut kanan dekat pintu. Sebuah pelita sangat kecil menyala di tengah-tengah mereka, begitu kecilnya hingga bukan saja tidak dapat menerangi seantero ruangan rumah, tapi juga nyaris tak mampu menerangi wajah-wajah tiga orang tadi. Dua di antara mereka adalah dua orang tua berambut putih. Satunya lagi seorang pemuda berwajah tampan dan berkulit halus seperti perempuan. "Hanya kita bertiga yang datang. Malam telah larut. Apakah kita akan menunggu dua teman lainnya?" Yang bicara adalah orang tua yang duduk dekat pintu, berpakaian putih menyerupai pakaian seorang resi. "Terus terang, aku tak bisa berada lama-lama di tempat ini," membuka mulut kakek berpakaian ungu. "Kalau begitu, sementara menunggu datangnya dua sahabat, bagaimana kalau kita mulai saja berunding!" Mengusulkan pemuda berpakaian biru. Dua orang tua menyatakan persetujuannya. Maka si baju putih mengangsur duduknya agak ke muka dan pembicaraan di rumah tua itupun dimulai. "Kita sudah sama mengetahui bahwa mahluk penimbul bala bernama Setan Dari Luar Jagat itu bermarkas di puncak bukit Wadaslintang di daerah selatan. Tiga orang tokoh daerah selatan pernah nlenyatroni bukit angker itu. Tapi mereka tak pernah kembali lagi. Menurut kabar terakhir, diperoleh kepastian bahwa ketiganya telah tewas di tangan mahluk jahat itu. Berarti sembilan korban tokoh persilatan telah menjadi korban keganasan Setan Dari Luar Jagat. Ditambah korban lainnya seorang Adipati. Diketahui pula bahwa tiga orang gadis di kaki bukit lenyap tanpa diketahui ke mana perginya. Mahluk itu begitu dahsyat sehingga sebegitu jauh tak ada orang-orang dari rimba persilatan mampu menyingkirkannya." "Ageng Kumbara, harap maaf, aku potong ucapanmu," angkat bicara orang tua berpakaian ungu. "Turut yang aku dengar mahluk itu memiliki daya kebal yang luar biasa. Kebal senjata tajam, kebal senjata mustika dan kebal pukulan sakti. Tapi sebagai orang-orang persilatan kite same tahu, setiap ilmu itu pasti ada pantangannya, pasti ada penangkalnya, pasti ada kelemahannya. Aku telah meminta bantuan seorang sahabat untuk coba mencari tahu di mana kelemahan Satan Dari Luar Jagat itu dan menyuruhnya mencari kakek sakti berjuluk Si Segala Tahu. Tapi satu bulan telah lewat, tak ada kabar berita." "Perkenankan saya bicara," kata pemuda berpakaian biru. Namanya Pergola Bumi. "Seorang pertapa yang menjadi Abdi Dalem di Keraton Surokerto pernah bermimpi dan mendapat petunjuk bahwa mahluk bernama Setan Dari Luar Jagat itu hanya mampu dibunuh dengan benda yang juga berasal dari luar jagat. Nah, benda apa itu tak seorangpun yang tahu." Sesaat tiga orang itu terdiam seperti merenung. "Sahabatku Sindu Brama, kalau aku tak salah kau pernah mengemukakan hal yang sama padaku empat minggu yang lalu." Orang tua berpakaian ungu usap mukanya lalu inengangguk. "Betul sekali Ageng Kumbara. Begitu petunjuk yang kudapat, tetapi benda apa yang dimaksudkan tak dapat diketahui jawabnya lebih lanjut. Benda apa saja yang dimaksud dengan benda dari luar jagat. Apakah air hujan, atau sinar matahari, atau cahaya rembulan dapat dianggap sebagai benda dari luar jagat dan mampu menewaskan mahluk itu? Kita perlu petunjuk...." Sindu Brama sesaat perhatikan wajah Jan sikap Ageng Kumbara lalu berkata: "Ageng, kulihat kau seperti memikirkan sesuatu. Dan wajahnya menunjukkan kegelisahan "Terus terang aku memang gelisah. Ada yang aku kawatirkan . . . ." "Kalau kami boleh tahu ....?" bertanya Pergola Bumi. "Sekitar awal bulan lalu, para tokoh di barat pernah mengadakan pertemuan. Maksud pertemuan sama dengan yang kita adakan saat ini. Yaitu untuk mengakhiri petualangan jahat Setan Dari Luar Jagat. Kalau aku tak salah menyirap kabar dalam pertemuan itu diputuskan untuk mengirimkan murid tunggal nenek sakti bernama Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede ke puncak Wadaslintang guna membunuh Setan Dari Luar Jagat itu. Nah, tanpa mengetahui lebih dulu apa kelemahan mahluk itu, bukankah kepergian murid si nenek sakti sama saja dengan mengantar nyawa? Lalu kudengar kabar bahwa pendekar sakti itu telah berangkat menuju puncak Wadaslintang sekitar satu minggu lalu. Saat ini berarti kira-kira dia sudah berada di tempat itu. Kalau dia sampai tewas percuma di tangan Setan Dari Luar Jagat, bukankah berarti kita akan kehilangan seorang tokoh muda yang menyandang nama besar dalam dunia persilatan?" "Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang ... ?" bertanya Sindu Brama. "Saya ada usul. Mudah-mudahan kalian orang tua mau menyetujui," menyahuti Pergola Bumi. "Kemukakan usulmu, pendekar muda," ujar Sindu Brama. "Kami yang tua akan mendengar dan akan menyokong kalau usulmu memang bisa dilaksanakan . . . ." "Saya akan menemui Abdi Dalem Keraton Surokerto yang saya ceritakan tadi. Lalu memintanya untuk melakukan hening cipta rasa kembali guna mendapatkan petunjuk lebih lanjut. Benda luar jagat apa sebenarnya yang dapat menewaskan Setan Dari Luar Jagat. Kalau disetujui, saya akan berangkat ke Kotaraja malam ini juga." "Usulmu masuk akal. Caranya bisa dilaksanakan. Aku menyetujui. Bagaimana denganmu Sindu Brama?" bertanya Ageng Kumbara. "Aku setuju juga. Lalu?" Belum selesai Sindu Brama menyelesaikan ucapannya di luar tiba-tiba terdengar seruan. "Para sahabat, aku sudah menemukan benda yang kalian bicarakan itu. Setan Dari Luar Jagat akan dapat kita tamatkan riwayatnya!" Sesaat kemudian pintu terpentang lebar dan sesosok tubuh masuk ke dalam, kurus tinggi tapi bungkuk. "Datuk Bungkuk!" Tiga orang yang duduk di lantai sama berseru. "Kami memang sedang menunggu-nunggumu. Rupanya kau muncul membawa berita besar!" berkata Sindu Brama. "Ayo duduk dan lekas katakan apa yang kau temukan!" Orang yang dipanggil dengan sebutan Datuk Bungkuk menyeringai sesat. Dia ternyata seorang tua berkumis dan berjanggut lebat memiliki sepasang mata yang satu sangat besar dan satu lagi sangat kecil, seperti tertutup. Tubuhnya tidak bisa berdiri lurus, selalu menekuk bungkuk. Setelah menutup pintu lebih dulu sang Datuk lalu mengambil tempat duduk di lantai di samping Sindu Brama. Nafasnya tampak mengengah, dadanya turun naik. "Izinkan aku mengatur nafas dulu," berkata sang Datuk lalu berulang kali menarik nafas dalam. "Aku berlari seperti dikejar hantu agar dapat sampai ke tempat ini lebih cepat. Aku kawatir kalian sudah pergi ...." Setelah nafasnya tidak menyengal lagi dan debaran pada dadanya menyurut Datuk Bungkuk baru membuka mulut. "Satu minggu lalu ketika diadakan perayaan Maulud di Parangtritis, secara tak sengaja aku bertemu seorang Biksu Budha yang ikut menyaksikan perayaan. Ternyata Biksu ini bukan hanya tahu soal agama, bukan hanya suka menghadiri berbagai perayaan keagamaan atau kepercayaan lain, tapi juga seorang yang arif akan apa yang selama ini terjadi dalam rimba persilatan . . . ." "Ah, penuturanmu sungguh menarik. Teruskanlah Datuk . . ." kata Ageng Kumbara tak sabar ketika Datuk Bungkuk sesaat menghentikan ceritanya untuk mengusap keringat di wajahnya. "Kalian tahu apa yang secara tak kuduga kemudian diberikan Biksu itu padaku ...?" Datuk Bungkuk lanjutkan penuturannya. "Sebuah benda! Menurut sang Biksu dengan mempergunakan benda itu maka musnahlah segala kekuatan dan kekebalan Setan Dari Luar Jagat. Dengan mudah dia bisa dibunuh!" Datuk Bungkuk memandang berkeliling, dan melihat wajah ketiga sahabatnya itu menunjukkan rasa kagum. "Apakah kau me mbawa benda itu saat ini Datuk?" bertanya Pergola Bumi. "Sudah barang tentu! Sudah barang tentu!" sahut sang Datuk penuh bangga. "Bolehkah kami melihatnya?" tanya Ageng Kumbara dan Sindu Brama hampir berbarengan. "Tentu! Aku akan perlihatkan padamu! Jangan kawatir! Benda ini milik kita bersama. Milik barisan kebenaran untuk menghancurkan kejahatan!" jawab Datuk Bungkuk pula. Lalu dia gerakkan tangan kanannya ke pinggang di mana membelit sebuah ikat pinggang besar terbuat dari kulit. Pada bagian kanan ikat pinggang itu ada sebuah kantong besar. Diikuti sorot pandang tiga orang tokoh silat sahabatnya Datuk Bungkuk membuka penutup kantong. Penutup terbuka. Sebuah benda dikeluarkan dari dalam kantong ikat pinggang. Namun sebelum keseluruhan tangan Datuk Bungkuk keluar dari dalam kantong tiba-tiba menghentak suara lolongan aneh dari arah atap bangunan. Bersamaan dengan itu terdengar deru angin sangat dahsyat. Pelita di dalam rumah padam bahkan mental. Rumah tua itu berderak-derak seperti hendak runtuh. Di saat itu pula atap rumah bobol. Sesosok tubuh hitam berkelebat masuk dalam gelap. Sulit untuk dilihat atau diduga siapa adanya. Apalagi keempat orang yang ada di dalam rumah tengah diselimuti rasa kejut dan kaget bukan kepalang. Selagi ketegangan mengguncang rumah dan semua orang yang ada di dalamnya diam tercekat mendadak terdengar jeritan Datuk Bungkuk, keras dan menggidikkan. Lalu sosok tubuh yang tadi masuk kembali berkelebat, meleset ke atas dan lenyap menerobos lewat atap yang jebol! "Sindu Brama, Pergola Bumi, Datuk Bungkuk! Kalian di mana?" berseru Ageng Kumbara di dalam gelap ketika deru angin perlahan-lahan mereda dan di kejauhan terdengar lagi suara lolongan mengerikan itu lalu lenyap. "Saya di sini," jawab Pergola Bumi dengan cepat dari sudut kanan. "Aku di sebelah kirimu, Ageng!" menyahut Sindu Brama dengan suara tertahan tanda masih belum lepas dari rasa kejut. Tapi tak ada sama sekali jawaban dari Datuk Bungkuk. "Datuk Bungkuk .... ?" memanggil Ageng Kumbara. Tetap tak ada jawaban. "Terangi ruangan ini! Nyalakan api!" seru Ageng Kumbara tegang. Ketika api dinyalakan tampaklah Datuk Bungkuk menggeletak di lantai. Muka dan sekujur tubuhnya tampak hangus seperti arang. Tangan kanannya sebatas bahu lenyap alias tanggal dari persendian. "Gusti Allah!" desis Sindu Brama dengan suara bergetar. "Siapa melakukan kekejian ini?!" "Saya, kita semua tadi hanya melihat ada seseorang menerobos atap, masuk ke dalam. Hanya terlihat dua titik merah aneh. Lalu jeritan Datuk Bungkuk ...!" Yang bicara pemuda bernama Pergola Bumi. "Ada yang melihat benda yang dikeluakan dan digenggam Datuk Bungkuk dari dalam kantong ikat pinggangnya?" "Saya tidak melihat. . ." menerangkan Pergola Bumi. "Aku cuma melihat sekelebatan. Sebuah benda hitam, berbentuk agak gepeng. Tak jelas benda apa!" berkata Ageng Kumbara. Sindu Kumbara melangkah mendekati mayat Datuk Bungkuk, berlutut memeriksa kantong pada ikat pinggang sang Datuk. Ternyata kantong kulit itu kosong! TIGA BUKIT WADASLINTANG sekitar dua belas bulan sebelumnya. Sudah hampir empat puluh hari hujan tak pernah turun. Kegersangan menyelimuti daerah selatan. Pepohonan di bebukitan mulai meranggas kering. Siang hari panasnya bukan alang kepalang. Tetapi pada malam hari udara dingin seperti hendak membeku aliran darah. Suatu malam di puncak bukit Wadaslintang. Untuk kesekian kalinya malam itu adalah malam Jum'at Kliwon sejak seorang lelaki tak dikenal menginjakkan kakinya di puncak bukit lalu bersila di atas sebuah batu besar, memulai suatu tapa yang dia sendiri tidak tahu kapan akan berakhirnva. Pada malam Kliwon yang pertama, yaitu tiga hari setelah orang ini memulai tapanya, satu suara gaib menggema di Hang telinganya. "Anak manusia bernama Kondang Panahan, aku penghuni dan penguasa bukit Wadaslintang ini. Tiga hari lalu aku telah menyaksikan kedatanganmu, duduk di atas batu dan mulai bertapa. Apa maksud tujuanmu melakukan tapa ini?" Lelaki yang bertapa dengan mata terpejam tampak bergetar sekujur tubuhnya. Wajahnya berubah pucat tapi kedua matanya tidak dibuka, tetap terpejam. "Eyang⁄ terima kasih kau telah memperhatikan dan mau menemui diriku. Aku Kondang Panahan tidak mempunyai maksud lain dariber tapa di sini, kecuali menginginkan mendapatkan satu ilmu kesaktian luar biasa. Ilmu kesaktian yang lampun tidak memilikinya . . . ." Terdengar suara tertawa dari mahluk yang tidak berwujud. "Manusia selalu ingin mencari kesaktian. Dan kau menginginkan kesaktian luar biasa. Yang tak dimiliki orang lain. Ilmu kesaktian apa misalnya .... ?" "Misalnya ilmu mempan diri. Tak ada senjata atau kesaktian lain yang sanggup mencideraiku . ." "Setelah kau dapatkan ilmu kesaktian itu, apa yang akan kau lakukan?" "Banyak eyang." "Misalnya?" "Membunuh musuh-musuhku, mencari harta kekayaan, menghancurkan siapa saja yang berani menantangku. Tujuan akhir adalah menguasai rimba persilatan. Menjadi tokoh nomor satu ...." "Kau tahu kalau apa yang kau sebutkan itu adalah jalan sesat ... ?" "Aku tahu betul Eyang. Justru itu yang aku inginkan. Dunia ini penuh dengan manusia- manusia yang katanya menempuh jalan benar, hidup untuk kebaikan. Tapi semuanya kuketahui ternyata munafik. Lain kata lain perbuatan. Lain ucapan lain tindakan. Mereka termasuk orang-orang yang akan kubasmi Eyang . . . ." "Kalau begitu silahkan kau meneruskan tapamu. Asal saja kau mau menanggung segala akibat dan tanggung jawabnya." "Jadi Eyang mengijinkan aku meneruskan tapa?" "Ya ... dan mengabulkan apa yang jadi permintaanmu!" "Terima kasih Eyang. Kapan saya akan mendapatkan ilmu itu?" "Seratus hari dari sekarang. Setelah kau menguasai ilmu itu, pada siang hari ujud tubuhmu tetap seperti manusia apa adanya. Tapi begitu matahari tenggelam, kau akan berubah ujud. Tubuhmu akan berubah menjadi sosok yang menakutkan. Kau akan menjadi setan! Begitu matahari terbit maka kau akan kembali pada bentuk aslimu. Saya akan menjadi setan Eyang ..." Kondang Panahan bertanya dengan nada menunjukkan kebimbangan. "Kau akan menjadi setan. Betul!" "Eyang, yang saya inginkan tetap sebagai manusia biasa tapi memiliki kemampuan luar biasa. Saya tidak ingin jadi setan ...." Terdengar suara tertawa sang Eyang. "Anak manusia, kau harus tahu, setiap manusia yang mau melakukan jalan sesat maka sesungguhnya dia sudah menjadi setan, hidup sebagai setan dan akan mati sebagai setan ...." "Kalau begitu . . . ." "Jangan kau berani mengelak! Jangan mencari dalih! Jangan coba menghindar dan jangan coba membatalkan maksudmu semula! Kau sudah berani datang ke tempatku dan harus berani menerima segala akibatnya! Jika kau membangkang maka kau akan mampus menderita mulai detik ini juga. Sebutkan pilihanmu!" "Aku . . . Eyang . . . Biar aku memilih yang pertama, meneruskan bertapa. "Bagus! Tanggalkan seluruh pakaian luarmu!" Kondang Panahan membuka baju dan celana panjangnya. Kini dia hanya mengenakan sehelai celana berbentuk cawat. "Anak manusia kau dengar baik-baik. Seratus hari dimuka aku akan datang lagi ke tempat ini. Tepatnya pada malam Jum'at Kliwon. Kalau sesuatu terjadi padamu sebelum malam aku datang, jangan berani meninggalkan tempat ini. Kau dengar itu anak manusia?" "Aku dengar Eyang dan aku akan mematuhinya," jawab Kondang Panahan. "Satu lagi yang harus kau patuhi. Selama masa bertapa kau tidak diperkenankan makan dan minum...." "Berarti selama seratus hari . . ." "Betul, kau tak boleh makan atau minum selama seratus hari. Mungkin lebih. Jika kau melanggar pantangan itu akibatnya akan kau rasakan sendiri . . ." "Seratus hari. Aku bisa mati Eyang ...." "Kalau umurmu memang pendek sudah pasti kau akan mati! Mati atau hidup kau tetap akan jadi setan . . . ." "Eyang...' "Sudah! Tutup mulutmu! Waktuku bukan hanya untuk mengurusmu!" Bersamaan dengan lenyap ucapan sang Eyang, Kondang Panahan merasakan ada sepasang tangan menekan bahunya kiri kanan. Tubuhnya terasa seperti dipakukan pada batu yang didudukinya. Bahunya seperti dibebani batu yang sangat berat dan dia tak mampu bergerak. Malam itu hujan turun rintik-rintik. Puncak bukit Wadaslintang diselimuti kabut serta udara dingin bukan kepalang. Hari itu adalah hari ke seratus perjanjian Kondang Panahan dengan sang Eyang yang tak berwujud, hanya memperdengarkan suara secara gaib. Seperti seratus hari sebelumnya begitulah keadaan tubuh Kondang Panahan tetap tak bergerak dari duduk bersila di atas batu. Pipinya tampak cekung, kumis, cambang bawuk dan janggutnya meranggas liar. Sepasang matanya yang terpejam juga tampak cekung. Kulitnya hitam legam. Bobot tubuhnya susut jauh, sangat kurus seperti tinggal kulit pembalut tulang saja. Malam semakin larut, semakin sunyi dan semakin dingin. Di langit di arah utara tiba- tiba tampak satu titik terang, bergerak cepat, membentuk ekor panjang dan meluncur ke jurusan timur di mana bukit Wadaslintang terletak. Makin lama benda terang berbentuk titik itu menjadi makin besar, ekornya makin panjang dan tambah dekat ke bukit. Inilah bintang berekor atau lintang ngalih yang menimbulkan cahaya terang saking panasnya. Pada jarak lima ribu tombak di udara Kondang Panahan mulai merasakan kontak aneh dalam tubuhnya. Kontak antara jiwa raganya dengan lintang ngalih di udara. Semakin dekat bintang itu mendatangi, semakin keras goncangan di tubuh Kondang dan ada hawa panas seperti memanggangnya. Tubuhnya yang kurus mengucurkan keringat deras. Pada jarak empat ribu tombak mulai terdengar deru luncuran bintang berekor itu dan semakin keras pula getaran di tubuh Kondang Panahan, semakin panas hawa aneh membakar dirinya! Tiga ribu tombak ... dua ribu tombak ... seribu tombak ... lima ratus tombak ... tiga ratus, seratus .... sepuluh .., satu tombak! Sinar terang merah dan hawa panas luar biasa menyungkup puncak bukit Wadaslintang. Terdengar suara berdentum disusul pekikan dahsyat keluar dari mulut Kondang Panahan, ketika sinar terang panas itu dengan inti sebuah benda sebesar tetampah berwarna hitam menghantam tubuhnya! Wuss! Menyusul terdengar suara seperti benda hancur! Tubuh Kondang Panahan berubah jadi sehitam arang dan mengepulkan asap kelabu. Bukan itu saja, tubuhnya tenggelam melesak ke dalam batu yang sejak seratus hari lalu didudukinya sebagai tempat bertapa. Batu itu tak beda seperti lumpur sawah yang menelan sosok tubuh Kondang Panahan sampai ke ubun-ubun! Megap-megap lelaki ini menggapai-gapai berusaha mengeluarkan diri. Saat itulah terdengar suara tertawa panjang. Sepasang mata Kondang Panahan terbuka lebar. Dia memandang berkeliling. "Eyang ... Kau datang . . ." ujar Kondang Panahan. "Ya ... memang aku telah datang anak manusia. Ayo terus, merayaplah keluar." Dengan susah payah akhirnya Kondang Panahan mampu keluar dari "lumpur" batu yang menenggelamkannya. Tapi begitu tubuhnya keluar terjadi satu keanehan yang mengerikan. Wujud lelaki itu tidak wujud manusia lagi. "Anak manusia ... Mulai detik ini kau telah berubah menjadi setan. Setan Dari Luar Jagat! Itu namamu kini! Lihat kedua tanganmu. Lihat kedua kakimu. Sekujur tubuhmu sampai ke muka. Kau telah berubah . . . ." Mendengar ucapan gaib itu Kondang Panahan terkejut. Dia ulurkan kedua lengannya. Astaga, sepasang lengan itu kini penuh dengan bulu- bulu kasar aneh, hampir menyerupai bulu landak! Kaki, perut dan dadanya juga ditumbuhi bulu serupa. Ketika kedua tangannya diusapkan ke wajahnya, ternyata wajahnyapun telah tertutup bulu yang sama. Kondang Panahan merasakan tengkuknya merinding. Suara gaib terdengar kembali mengumbar tawa. "Kau bisa melihat wajahmu sendiri saat ini. Selain tertutup bulu iblis mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, sepasang matamu kini berwarna merah seperti nyala bara api. Kau menyimpan kekuatan dahsyat yang bisa menghancurkan di kedua matamu itu. Sekujur tubuhmu tidak mempan senjata atau pukulan sakti apapun karena terlindung oleh bulu iblis. Apa yang kau pinta telah terkabul!" "Terima kasih Eyang ... terima kasih . . ." kata Kondang Panahan pula seraya jatuhkan diri berlutut. Sang Eyang tertawa. "Tak perlu berterima kasih padaku. Ilmu yang kau miliki berasal dari luar jagat. Bersumber pada bintang berekor, pada lintang ngalih yang jatuh tepat menimpa dirimu pada Jum'at Kliwon ini. Malam hari kau berubah menjadi setan. Begitu matahari terbit kau akan kembali menjadi manusia biasa di mana kau tidak memiliki ilmu atau kekebalan apapun. Tak seorang dapat mengalahkanmu, apalagi membunuhmu jika kau sudah menjadi Setan Dari Luar Jagat. Karena itu kuanjurkan kau hanya gentayangan di malam hari dan bersembunyi di siang hari ... Sebelum aku pergi aku akan katakan satu kelemahan dalam dirimu. Kau akan menemui kematian bilamana bersentuhan dengan benda dari luar jagat ...." "Kalau boleh aku tahu Eyang, benda apakah itu?" bertanya Kondang Panahan. "Pecahan bintang ngalih atau bintang berekor yang tadi menimpa tubuhmu. Bintang itu adalah semacam batu hitam atos luar biasa. Ketika menghantam tubuhmu, batu itu hancur berantakan. Hawa panasnya membuat seantero pepohon-an di bukit ini menjadi mwti hangus. Kalau kau perhatikan besok, seluruh bukit telah berubah menjadi bukit batu cadas berwarna hitam. Nah, kalau ada di antara pecahan lintang ngalih tadi bersentuhan dengan tubuhmu, tak ampun lagi kau akan menemui kematian detik itu juga . . . ." "Eyang . . ." suara Kondang Pandahan terdengar tercekat. "Tadi Eyang menerang-kan bintang berekor itu pecah ketika mengenai tubuhku. Pecahan itu tentu bertaburan di sekitar tempat ini. Bagaimana aku dapat mengetahui mana yang pecahan bintang dan mana yang bukan ..." "Pecahan bintang berekor itu tidak berada di sekitar tempat ini. Juga tidak di lereng atau di kaki bukit. Daya pental yang luar biasa membuat pecahan-pecahan batu berhamburan jauh tinggi ke udara. Mungkin jatuh di tempat-tempat puluhan ribu tombak dari sini . . . ." Mendengar keterangan sang Eyang, legalah hati Kondang Panahan. "Bagaimana aku harus membalas semua jasa Eyang .... ?" "Aku tak pernah merasa berjasa. Karenanya tidak perlu ucapan terima kasih apalagi balas jasa. Kau meminta jalan hidupmu sendiri, kau yang akan memikul segala tanggung jawab!" Pesanku, jangan lupa membakar kemenyan setiap malam Jum'at Kliwon." "Aku mengerti sekarang Eyang. Satu permohonanku, apakah aku boleh menjadikan bukit Wadaslintang ini sebagai tempat kediamanku ...?" "Kau boleh tinggal di sini sampai maut datang menjemput!" jawab suara gaib sang Eyang. "Apa kau ada pertanyaan lainnya .... ?" "Apakah aku dapat bertemu lagi dengan Eyang?" "Tidak." "Jadi tak mungkin bagiku untuk melihat Eyang dalam bentuk nyata?" tanya Kondang Panahan lagi. "Tidak." "Apakah Eyang dulu pernah hidup seperti manusia biasa di dunia ini?" "Aku pergi sekarang!" kata suara gaib tanpa mau menjawab pertanyaan terakhir Kondang Panahan. Lama setelah Eyang gaib itu meninggalkannya, Kondang Panahan masih terduduk di atas batu. Dia seperti bingung. Apa yang akan dilakukannya sekarang. Turun dari puncak bukit dalam keadaan tubuh seperti itu? Diulurkankannya kedua tangannya yang penuh bulu kasar. Hanya bagian telapak yang tidak ditumbuhi bulu. "Benarkah kini aku menjadi seorang sakti luar biasa?" membatin Kondang Panahan. Diusapnya batu besar yang terletak pada lamping bukit di se belah kirinya. Tinju kirinya dikepalkan. Lalu dipukulkan ke batu. Perlahan saja karena hatinya setengah diliputi kebimbangan. Apa yang kemudian terjadi membuat Kondang Panahan terkejut dan hampir tidak dapat percaya. Batu hitam besar itu hancur berantakan! Perlahan-lahan lelaki itu bangkit berdiri. Untuk pertama kalinya dia merasakan tenggorokannya kering kerontang. Haus sekali. Tapi dia juga lapar sekali. Aku harus mencari air. Mencari makanan. Aku harus turun bukit saat ini juga " BATURADEN merupakan desa paling dekat dengan bukit Wadaslintang, terletak di kaki sebelah timur. Selagi masih menuruni bukit, Kondang Panahan telah meliha satu dua pelita yang masih menyala di desa itu. Maka dia memutuskan menuju ke situ. Penduduk desa kecil tidak seberapa banyak namun rata-rata berpenghasilan tinggi. Setiap penduduk boleh dikatakan memiliki kebun luas, sawah berpetak-petak ditambah tambak- tambak ikan. Karena terkenal dengan kemakmurannya ini maka Baturaden menjadi sasaran penjarahan orangorang jahat. Mulai dari maling sampai perampokan. Untuk melindungi desa dan penduduknya, Kepala Desa mengatur perondaan pada malam hari. Terkadang dia sendiri ikut pergi berjaga-jaga. Kondang Panahan memasuki desa dari arah barat. Desa diselimuti kesunyian. Tapi dari beberapa rumah masih tampak pelita menyala. Dia melewati rumah demi rumah. Sengaja mencari rumah yang paling besar untuk jadi sasaran. Di hadapan sebuah rumah kayu besar berpekarangan luas telaki, ini hentikan langkah. Sebagian dari pekarangan rumah itu merupakan tambak ikan. Ketika Kondang memasuki halaman dan melangkah ke tepi tombak, jelas dia melihat ikan-ikan besar di dalam tambak. Tenggorokannya langsung bergerak-gerak. Tanpa menunggu lebih lama dia langsung mencebur memasuki tambak. Dengan mudah dia menangkapi ikan- ikan mas besar-besar itu. Langsung memakannya! Sebagai manusia biasa Kondang Panahan tak akan mau memakan ikan mentah-mentah. Tetapi karena dirinya telah berubah menjadi setan maka enak saja ikan besar-besar itu ditenggaknya. Selagi asyik menyantap ikan, tahu-tahu muncul dua orang berkerudung sarung. Salah seorang di antaranya langsung berteriak. "Bangsat pencuri ikan! Jangan harap kau bisa lari kali ini! Lekas keluar dari dalam tambak!" Kondang Panahan balikkan tubuh. Dua orang yang datang, yang adalah dua peronda desa yang bertugas malam itu tersentak kaget, langsung mundur dengan tubuh menggigil. Tadinya mereka menyangka menangkap basah seorang pencuri ikan, tetapi ternyata bertemu dengan setan yang tubuhnya penuh bulu dan sepasang mata menyala seperti api! Tidak pikir panjang lagi keduanya lari berhamburan. Satu ke kiri satu ke kanan. Yang ke kiri langsung menuju rumah pemilik tambak, kawannya lintang pukang menuju rumah Kepala Desa. "Kau tidak mabok atau bangun dari mimpi Kendil?" tanya Kepala Desa Baturaden begitu mendapat laporan petugas ronda. "Sama sekali tidak! Saya dan Gonto menyaksikan sendiri. Mahluk itu bukan manusia tapi setan. Sekujur tubuh dan wajahnya tertutup bulu-bulu kasar seperti bulu landak. Sepasang matanya mencelet merah mengerikan! Dan ikan-ikan di tambak milik Waliman enak saja dilahapnya mentah- mentah. Manusia mana ada yang makan ikan mentah Pak Kepala Desa?!" "Aku sudah setengah abad lebih tinggal di Baturaden dan dua puluh tahun jadi Kepala Desa, tak pernah mendengar ada setan di desa ini. Kalau maling dan pencuri memang banyak. Akhir-akhir ini malah ada perampokan segala. Tapi kalau setan seperti yang kau katakan itu Kendil ... Sungguh tak dapat kupercaya!" Meskipun tidak dapat mempercayai keterangan petugas ronda itu, namun Kepala Desa mengambil kain sarungnya juga dan menyambar sebilah kelewang. Keduanya berlari menuju rumah kediaman Waliman. Ketika sampai di sana Kepala desa dan Kendil menyaksikan satu pemandangan yang luar biasa dan mengerikan. Di pinggir tambak menggeletak Gonto. Sudah jadi mayat tanpa kepala karena hanya tinggal hancuran menggidikkan. Di bagian lain, di depan langkah rumah tampak Waliman si pemilik tambak tengah menyerang sesosok tubuh seram penuh bulu dengan sebilah golok. Senjata ini terdengar berdetak-detak menghantami mahluk menyeramkan itu tapi tak satu bacokan, tusukan atau babatanpun yang sanggup melukainya hingga akhirnya Waliman kehabisan tenaga dan jatuh terkulai ketakutan setengah mati. Ketika mahluk itu membungkuk hendak mematahkan batang leher Waliman, Kepala Desa walaupun dengan tubuh gemetar cepat berteriak. "Tahan! Kau ini manusia atau setan! Jika manusia lekas menyerah! Jika setan harap segera meninggalkan tempat ini. Jangan mengganggu dan membunuhi penduduk desa tak bersalah!" Si mahluk menyeramkan balikkan tubuh dan melompat ke hadapan Kepala Desa. Sang Kepala Desa merasakan jantungnya seperti copot. Tangan yang tadi menggenggam kelewang dengan kuat, kini terkulai ke bawah. Sementara itu Kendil petugas ronda yang menemaninya telah melarikan diri ketakutan. "Kau juga minta mampus!" ujar mahluk mengerikan yaitu Kondang Panahan yang berubah wujud menjadi Setan Dari Luar Jagat. "Tunggu! Jangan bunuh aku ,.." teriak Kepala Desa seraya melompat mundur. "Siapa kau sebenarnya? Manusia atau mahluk jejadian?!" "Aku Setan Dari Luar Jagat. Kulihat kau datang membawa kelewang! Ingin membunuhku hah .... ?°" "De ... dengar. Aku Kepala Desa Baturaden. Kau ... kau dilaporkan mencuri ikan. Jika kau sudah mendapatkannya silahkan pergi. Jangan ganggu kami!" "Aku tidak mengganggu siapa-siapa. Aku hanya lapar dan butuh makanan. Tapi dua orang di sini mengeroyokku dengan golok. Satu sudah kubunuh hancur kepalanya. Satu lagi hampir kuhantam kalau kau tidak berteriak tadi . . ." Aku belum mau pergi karena perutku masih belum kenyang. Seratus hari aku tidak pernah makan apa-apa." "Jangan ambil ikanku ..." teriak Waliman si pemilik tambak ikan. "Kalau begitu biar aku ambil nyawamu!" Setan Dari Luar Jagat menjadi marah. Sekali lompat saja dia sudah mencengkram batang leher Waliman. Kraak! Terdengar jelas suara patahnya tulang leher Waliman. Tubuh tanpa nyawa itu dilemparkan Setan Dari Luar Jagat ke dalam tambak lalu dia berpaling menghadapi Kepala Desa. Saat itu sang Kepala Desa sudah putus nyalinya. Sambil lemparkan golok dia memutar tubuh dan ambil langkah seribu! Sejak kejadian mengerikan malam itu di seluruh daerah selatan tersiar berita dari mulut ke mulut tentang munculnya mahluk menyeramkan bernama Setan Dari Luar Jagat. Kejahatan yang dilakukannya kemudian ternyata bukan saja ringan tangan membunuhi orang-orang tak berdosa. tapi banyak pula para jago dari dunia persilatan menjadi korbannya. EMPAT PENDEKAR 212 Wiro Sableng mencapai puncak bukit lewat tengah malam. Tubuhnya terasa letih tetapi semangatnya untuk menyelamatkan dunia persilatan tetap tinggi. Udara dingin tidak menjadi persoalan baginya namun begitu dia mencapai puncak ada satu perasaan aneh menyelimutinya. Seolah-olah ada yang mengikuti gerak-geriknya. Tapi setiap dia memandang berkeliling tak seorangpun dilihatnya. Bintang-bintang di langit tidak dapat menerangi puncak bukit dengan cahayanya yang jauh. Wiro duduk dalam kelam di atas sebuah batu besar. Saat itulah dia mendengar suara. Suara nafas. Suara nafas yang tak mungkin suara nafas manusia karena demikian keras tarikan dan hembusannya. Kembali pemuda ini memandang berkeliling. Tetap saja tidak tidak melihat siapa-siapa. Penciumannya menangkap bau sesuatu. Antara anyir dan busuk, padahal sebelumnya tidak tercium bau apa-apa di situ. Lalu telinganya menangkap sesuatu bergeresek di lamping batu di belakangnya. Sesuatu meluncur perlahan ke arah tengkuknya. Ular, pikir Wiro. Murid Sinto Gendeng ini cepat balikkan diri. Justru saat itu sesuatu mendorong dadanya. Perlahan saja tapi membuat sang pendekar terlempar enam tombak, terguling ke bagian bukit di bawah sana! Sambil berusaha bangkit Wiro Sableng memandang ke depan. Lututnya bergetar, dadanya bergoncang, darah tersirap dan tengkuknya merinding. Belum pernah dia melihat mahluk sedahsyat ini. Inikah Setan Dari Luar Jagat? Mahluk itu maju satu langkah. Gerakan kakinya yang menapak batu jelas menimbulkan getaran. Tubuhnya yang hampir setinggi dua meter itu tertutup bulu-bulu kasar dan menebar bau busuk anyir. Bulu- bulu serupa juga menutupi wajahnya hingga hampir tak kelihatan mana hidung mana mulut. Yang menyembul hanya sepasang mata berwarna merah, menyorot mengerikan. Pandangan mata itu seolah memiliki satu kekuatan luar biasa, membuat Pendekar 212 serasa dihimpit benda sangat berat. Setelah mengerahkan tenaga dalam untuk menolak kekuatan aneh yang menguasai dirinya akhirnya Wiro berdiri langsung memasang kuda-kuda. "Kau ... kau Setan Dari Luar Jagat?!" Wiro bertanya. Suaranya keras tapi jelas agak gagap. Mahluk yang ditanya keluarkan suara menggereng lalu cuh! Dia meludah! Kembali tersirap darah Pendekar 212. Meskipun tempat itu gelap namun dia masih sempat melihat bagaimana ludah mahluk yang jatuh di batu padas membuat batu itu menjadi berlubang! Melihat kenyataan ini Wiro segera siapkan pukulan benteng topan melanda samudera di tangan kiri dan pukulan sinar matahari di tangan kanan. Sepasang mata si mahluk tampak mengerenyit ketika melihat tangan kanan pemuda di hadapannya berubah keputihan seperti perak sampai ke siku. "Anak manusia! Kau datang membawa maksud jahat!" Si mahluk keluarkan bentakan garang. Sambaran angin yang keluar dari lubang hidungnya membuat kedua mata Wiro terasa perih. Hal ini membuat murid Eyang Sinto Gendeng dari puncak gunung Gede ini jadi harus lebih berhati-hati. Hembusan nafas, ludah dan bahkan tadi dia telah merasakan dorongan tangan yang membuatnya terpental dari mahluk ini sungguh sangat berbahaya. "Aku datang bukan membawa kejahatan! Justru untuk memusnahkan kejahatan!" balas membentak Pendekar 212. Setan Dari Luar Jagat tertawa panjang. Begitu tawanya berhenti dari mulutnya keluar suara lolongan seperti lolongan srigala hutan. "Ah, jadi lolongan yang kudengar sebelumnya adalah lolongan mahluk ini ..." membatin Wiro. "Kejahatan mana yang hendak kau musnahkan, anak manusia!" "Kalau kau benar yang dipanggil Setan Dari Luar Jagat maka kaulah kejahatan itu!" jawab Wiro tanpa tedeng aling-aling. "Lagakmu sombong sekali! Apakah kau punya segudang ilmu yang sanggup pembuatku bertekuk lutut?!" "Ilmuku adalah kebenaran. Dan kebenaran itu adalah kekuatan Tuhan!" "Kau menyebut-nyebut name Tuhan. Aku mau lihat kemampuan Tuhanmu di puncak bukit Wadaslintang ini!" Setan Dari Luar Jagat melompat ke sebuah batu besar dan disitu sambil bertolak pinggang dia berkata: "Aku lihat kau sudah menyiapkan pukulan sakti di tangan kiri kanan. Apalagi yang kau tunggu. Ayo cepat menyerangku!" Karena ditantang begitu rupa maka Wiro segera gerakkan tangan kanan, menghantam dengan pukulan sinar matahari! Wuss! Sinar putih menyilaukan berkiblat. Hawa panas luar biasa menghampar menyambar ke arah Setan Dari Luar Jagat. Terdengar suara ledakan keras. Batu hitam besar di mana mahluk menyeramkan itu berdiri hancur berantakan. Hancurannya mencelat ke udara dan ke pelbagai penjuru. Tapi Setan Dari Luar Jagat sendiri tidak kelihatan lagi dari tempat itu! "Edan!" maki Wiro melihat gerakan mahluk yang luar biasa cepatnya itu. Selagi dia mencaricari kemana perginya Setan Dari Luar Jagat mendadak di belakangnya ada sambaran bau anyir dan hembusan nafas tajam. Pendekar 212 Wiro Sableng cepat membalik. Setan Dari Luar Jagat tahu-tahu sudah berada di hadapannya, lemparan seringai menggidikkan sementara cahaya di kedua matanya yang merah tampak membersit ganas. "Kalau kau masih punya ilmu simpanan lain, jangan malu-malu mengeluarkannya. Belasan tokoh silat tak berguna menemui ajal di tanganku! Kau yang paling muda. Karena itu aku memberikan kesempatan lebih banyak padamu!" "Aku mengaku kehebatanmu. Tapi coba kau hadapi yang satu ini!" sahut Wiro penasaran. Dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan. Mulutnya terkatup rapat-rapat. "Lihat serangan!" seru Pendekar 212 seraya hantamkan tangan kanannya ke depan. Begitu tangan dan siku membentuk garis lurus, lima jari yang tadi terkepal serentak dibukakan. Serangkum angin bergulung membentuk buntalan. Laksana batu raksasa menyambar ke arah Setan Dari Luar Jagat. Sesaat tubuh itu tampak tergontai-gontai. "Ilmu mainan anak-anak!" mengejek Setan Dari Luar Jagat membuat Wiro Sableng merutuk setengah mati padahal sekujur tubuhnya telah mandi keringat karena mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam. Dia dorongkan tangan kanannya sekali lagi sambil hentakkan kaki kanan. Bukit batu itu bergetar. Tubuh Setan Dari Luar Jagat semakin keras bergoyang. Tapi ketika dia menipu ke depan, musnahlah serangan "kunyuk melempar buah" yang tadi dilepaskan Wiro. Sebaliknya kini dia merasakan angin pukulannya seperti berbalik menghantam ke arahnya. Murid Sinto Gendeng membentak keras, melompat ke atas untuk menghindari hantaman angin pukulannya sendiri. Dari atas dia lepaskan pukulan "dewa topan menggusur gunung" yakni ilmu pukulan sakti yang didapatnya dari Tua Gila. Puncak bukit Wadaslintang seperti dilanda badai. Setan dari luar jagat angkat kedua tangannya untuk mengimbangi diri, namun tak urung tubuhnya jatuh terhenyak di atas batu. Begitu melihat lawan jatuh Wiro lepaskan lagi pukulan "sinar matahari". Wuss! Kali ini Setan Dari Luar Jagat tak dapat menghindar seperti ketika pertama kali Wiro menggempur dengan pukulan yang sama. Pukulan sakti yang luar biasa panasnya itu mendarat di tubuh Setan Dari Luar Jagat. Mahluk itu terpental ke dinding batu di belakangnya. "Tamat riwayatmu sekarang!" ujar Wiro. Tapi pendekar itu kecele. Perlahan-lahan sambil keluarkan suara menggereng Setan Dari Luar Jagat bangkit berdiri. Ternyata tubuhnya tak kurang suatu apa! Pendekar 212 sempat melotot saking tidak percayanya. Bertahun-tahun malang melintang dalam dunia persilatan diatelah menghadapi berbagai musuh tangguh. Memang ada yang sanggup menahan pukulan "sinar matahari"nya tapi tak urung lawan pasti menglami cidera. Kali ini ternyata Setan Dari Luar Jagat tidak luka sedikitpun, bahkan tak selembar bulu di tubuhnya hangus atau rontok! "Mahluk dajal ini benar-benar kebal luar biasa! Di mana letak kelemahannya?! Aku harus mengetahui. Kalau tidak bisa celaka!" "Masih ada simpanan ilmumu yang lain, anak manusia?!" Setan Dari Luar Jagat ajukan pertanyaan sambil bertolak pinggang. Sesaat Wiro terdiam, marah dan penasaran. Apakah dia harus cabut Kapak Naga Geni 212 saat itu? Melihat lawan hanya terdiam dalam bingung, Setan Dari Luar Jagat turunkan kedua tangannya. Pandangan sepasang matanya tampak menyorot. "Sekarang giliranku, anak manusia! Batok kepala dan jantungmu akan kubor dengan sinar iblis dari luar jagat!" Sepasang mata Setan Dari Luar Jagat membuat gerakan aneh. Satu mengerenyit ke atas, satunya bergerak ke bawah. Dari tenggorokannya terdengar suara menggereng. Sesaat kemudian dua sinar merah, laksana lidah api, melesat berputar-putar seperti bor, menyambar ke kepala dan ke jantung Pendekar 212 Wiro Sableng! Benar-benar luar biasa! Wiro cepat hantamkan kedua tangannya ke depan untuk menghadang dan memusnahkan serangan lawan. Tapi dua lidah api itu sama sekali tidak bergeming apalagi musnah! Dengan kertakkan rahang Wiro lepaskan pukulan sakti bernama "tameng sakti menerpa hujan" ini adalah puku!an yang merupakan pertahanan diri yang sangat ampuh. Selama ini sulit bagi lawan untuk menembus benteng pertahanan ini. Namun alangkah kagetnya murid Sinto Gendeng ketika dua lidah api yang keluar dari sepasang mata Setan Dari Luar Jagat dengan mudah menembus pertahanannya, laksana semudah dua tongkat ditusukkan ke dalam air! Wiro berseru tegang dan jatuhkan diri ke kiri lalu bergulingan di batu. Di belakangnya dua larik sinar bilis terdengar menggeru ketika menerobos batu hitam. Dua buah lobang besar yang mengepulkan asap terlihat jelas di batu itu. Wiro merasakan tengkuknya dingin dan merinding. Mukanya pucat pasi. Sambil melompat bangun dia cabut Kapak Maut Naga Geni 212. "Ha ... ha . . . . Ternyata kau punya senjata!" berseru Setan Dari Luar Jagat sambil perhatikan mata kapak yang mengeluarkan sinar berkilauan dalam gelapnya malam. "Ayo serang! Serang .... Pilih bagian tubuhku yang lembek!" menantang Setan Dari Luar Jagat. "Bagian tubuh yang lembek!" ujar Wiro dalam hati. "Matamu .., kedua matamu bagian yang paling lembek!" Maka didahului oleh bentakan keras murid Sinto Gendeng menerjang. Kapak Naga Geni 212 berkiblat, mengeluarkan suara seperti seribu tawon mengamuk dan sinar putih perak menyilaukan. Salah satu mata kapak menyambar ganas ke arah kedua mata Setan Dari Luar Jagat! "Serangan tak berguna!" ejek Setan Dari Luar Jagat. Tangan kirinya bergerak cepat sekali. Wiro berteriak kesakitan ketika tahu-tahu siku kanannya laksana dihantam palu dan Kapak Naga Geni 212 ditarik lepas tanpa dia mampu mernpertahankan! Dia berusaha mencengkeram leher mahluk itu dengan tangan kiri. Namun satu dorongan membuat tubuhnya terpental menghantam batu. Punggungnya serasa remuk. Sebelum dia sempat bangun Setan Dari Luar Jagat sudah melangkah mendekatinya. Kapak Naga Geni 212 berada di tangan kirinya, dibolang-baling demikian rupa seperti mainan. "Anak manusia! Senjatamu sendiri yang akan merampas nyawamu! Bersiaplah untuk mampus!" berkata Setan Dari Luar Jagat lalu tertawa galak-galak. Wiro berusaha bangkit. Tapi sekujur tubuhnya terasa sakit danseperti lumpuh. "Tamat riwayatku! Ah nasib . . . " Pendekar ini seperti sudah pasrah menghadapi kematian. Namun dia ingat, masih ada satu ilmu yang belum dikeluarkannya. Dalam keadaan maut mencengkam begitu rupa kedua tangannya yang terkulai di atas batu diulurkan ke depan, telapak membuka dan digoyang-goyangkan semampu yang bisa dilakukannya. Mulutnya merapal. Udara dingin di puncak bukit Wadaslintang itu mendadak berubah dingin sepuluh kali lipat! "Uh . . . " Setan Dari Luar Jagat yang sudah terbiasa dengan udara dingin tak urung keluarkan suara menggeru dan bergeletaran sekujur tubuhnya. "Beku ... kaku!" ujar Wiro berulang kali. Namun mahluk itu tidak menjadi beku ataupun kaku. Walaupun udara dingin membuat sekujur tubuhnya ngilu seperti dicucuki jarum, dia melangkah terus sambil tetap bolang-balingkan Kapak Naga Geni 212 di tangan kiri. Penasaran Wiro lipat gandakan sisa tenaga yang ada. Kedua telapak tangan dihantamkan ke arah kaki lawan. Setan Dari Luar Jagat menggerung. Kedua kakinya seperti tenggelam ke dalam lumpur saiju. Tubuhnya menjadi limbung. "Anak manusia kurang ajar! Mampus dan pergilah!" Mulut Setan Dari Luar Jagat menggembung lalu dia meniup ke depan. Angin laksana topan prahara melanda tubuh Wiro Sableng. Dalam keadaan habis daya begitu rupa pendekar ini tak bisa pertahankan diri lagi. Tubuhnya mencelat bersama pecahan- pecahan batu, terguling jauh ke bawah bukit. Di satu tempat dia berhasil menggapai sebuah batu berbentuk lancip. Wiro pegangi batu itu kuat-kuat. Ketika tiupan angin mereda baru dia melepaskan pegangan, tubuhnya langsung roboh. Pendekar ini cepat bangun. Sekujur tubuhnya sakit bukan kepalang. Tulang- tulangnya seperti remuk. Pelipis kirinya luka besar dan mengucurkan darah. Cepat dia pergunakan kain putih pengikat kepala untuk menutupi luka ini. Mengikuti amarah yang membakar dadanya maulah dia naik kembali ke puncak bukit untuk melawan Setan Dari Luar Jagat meskipun dia harus mati percuma! Dan ternyata pendekar ini terhasut dalam kemarahannya. Perlahan-lahan dia melangkah menaiki bukit. Saat itulah dia mendengar seseorang mendatangi seraya berkata. "Lari ... larilah. Kau tak akan menang melawan iblis itu. Larilah! Bawa aku bersama- mu! Kita harus menyelamatkan diri! Suara itu adalah suara perempuan! LIMA SIAPA DISITU...?" tanya Wiro heran dan sambil menahan sakit. Mana dia menyang-ka ada perempuan yang bakal muncul di bukit maut itu. Sesaat kemudian seorang dara berpakaian serba kuning, berambut kusut masai tapi memiliki wajah cantik selangit berdiri di hadapan Wiro. "Kau ini setan atau apa?" "Apakah kau melihat aku seperti setan?!" sang dara tampak merah wajahnya karena marah. Wiro gelengkan kepala. "Mungkin kau anak buahnya Setan Dari Luar Jagat atau…?" "Kita tidak punya waktu lama. Mari tinggalkan tempat ini sebelum mahluk jahanam itu muncul di sini!" "Tidak! Aku harus naik ke puncak bukit kembali. Jahanam itu merampas senjata mustika guruku!" "Jangan tolol! Jika dia sanggup merampas apakah berarti kau sanggup mengambilnya kembali? Jangan-jangan malah nyawamu nanti yang dirampas. Mari!" Wiro menggigit bibir dan garuk-garuk kepala. "Sekujur tubuhku seperti hancur. Aku tak sanggup berjalan . . . ." "Kau bisa merayap. Atau berguling atau merangkak. Yang penting tinggalkan tempat celaka ini . . . ." "Kau pergi sajalah. Biar aku di sini. Matipun aku pasrah!" "Benar-benar manusia tolol! Sudah, mari kubantu memapahmu!" "Tidak. Sebelum aku tahu siapa dirimu ..." "Nanti saja aku terangkan .." Lalu dara berbaju kuning itu cekal lengan Pendekar 212. Wiro terkejut. Ternyata gadis tak dikenal ini memiliki tenaga luar biasa. Ketika dipapah dia merasa bukan seperti dibantu berjalan tapi laksana diajak melayang. Tidak terasa kedua kakinya yang sakit, juga sekujur tubuhnya memiliki kekuatan untuk ikut berlari. Ketika matahari terbit di timur, kedua orang itu mencapai kaki bukit Wadaslintang. Sang dara lepaskan pegangannya pada tubuh Wiro. Kontan si pemuda terjerembab jatuh tak sadarkan diri. "Untung hari sudah siang dan sudah sampai di kaki bukit..." Perempuan muda itu menghela nafas panjang. Dia memandang berkeliling untuk mencari pohon dengan daun- daun lebar yang penuh embun guna dipoleskan ke mulut Pendekar 212. Ketika dia hendak melangkah ke jurusan kiri di mana terdapat serumpun keladi hutan berdaun lebar mendadak terdengar bentakan. "Dara berbaju kuning! Jangan lari! Kau telah membunuh sahabat kami!" Tiga sosok tubuh berkelebat dan langsung mengurung perempuan cantik berpakaian kuning. Yang dikurung hentikan langkah, memandang berkeliling dengan sikap tenang. "Aku tak mengenal kalian bertiga. Mengapa tahu-tahu menuduh aku membunuh orang ini?!" si baju kuning bertanya. "Kenal atau tidak itu bukan persoalan. Pembunuhan kami saksikan sendiri. Pendekar itu langsung roboh begitu kau lepaskan." "Enak betul menuduh! Kapan kalian melihat aku membunuhnya! Pemuda ini pingsan setelah bertempur dengan Setan Dari Luar Jagat di puncak..." "Lalu bagaimana kau bisa bersamanya tanpa kurang suatu apa?" "Aku menemuinya di lereng bukit waktu terguling jatuh. Aku sendiri tengah melarikan diri dari mahluk iblis itu." "Hem ... baik! Kami akan memeriksa dulu keadaan pendekar itu. Pergola bumi coba kau periksa keadaannya!" Lelaki bernama Pergola Bumi yakni pemuda berwajah tampan melangkah tapi cepat dihalangi oleh si baju kuning. "Aku tidak mengizinkanmu memeriksa orang itu. Aku tidak tahu kau dan kawan-kawanmu siapa adanya. Jangan-jangan bukannya hendak memeriksa, tapi justru mau membunuhnya!" Marahlah kakek berpakaian ungu yang tegak dibawah pohon. Dia bukan lain adalah Sindu Brama. Di sebelah kanannya berdiri Ageng Kumbara, kakek berpakaian seperti resi. Seperti dituturkan sebelumnya ketiga orang ini beberapa waktu lalu mengadakan pertemuan rahasia di sebuah rumah tua di tikungan sungai. Setelah kematian Datuk Bungkuk secara misterius malam itu, ketiganya lalu menuju bukit Wadaslintang. Maksudnya adalah untuk mencegat Pendekar 212 Wiro Sableng agar tidak meneruskan perjalanan ke puncak bukit. Ternyata mereka datang terlambat. Murid Sinto Gendeng itu mereka temui di kaki bukit bersama-sama seorang perempuan muda cantik jelita dan mereka sangka berada dalam keadaan mati. "Perempuan muda! Kami bertiga adalah orang-orang persilatan dari golongan putih. Pendekar 212 Wiro Sableng adalah sahabat kami!" Yang bicara adalah Sindu Brama. Terkejutlah perempuan berbaju kuning. "Jadi .... Pemuda ini adalah Pendekar 212 dari gunung Gede ... ?! Ah, sungguh malang nasibnya!" "Jangan berpura-pura kaget! Siapa kau sebenarnya!" bertanya Ageng Kumbara. "Mungkin sekali kau adalah kaki tangannya Setan Dari Luar Jagat ..." berkata Pergola Bumi. Si baju kuning memandang membeliak. "Keji sekali tuduhanmu. Aku Sakuntili, murid Empu Bagananta dari puncak Lawu!" Tiga orang yang ada di tempat itu saling pandang dan sama-sama terkejut. "Aneh," kata Sindu Brama, "Kalau kau betulan muridnya Empu Bagananta, mengapa berada di tempat ini dan tahu-tahu bersama Pendekar 212. Padahal kami tahu sekali sahabat kami itu mengadakan perjalanan seorang diri!" "Tiga minggu lalu aku diculik mahluk iblis itu! Untung aku belum sempat diapa-apakannya. Dua orang gadis telah jadi korban di atas bukit sana. Dirusak kehormatan mereka lalu dibunuh. Malam ini giliranku yang bakal jadi korban. Tapi aku sempat melarikan diri ketika pemuda itu berkelahi melawan Setan Dari Luar Jagat!" "Bagaimana kami bisa mempercayai kata- katamu . . ." ujar Ageng Kumbara pula sambil usap-usap dagunya. "Aku tidak menyuruhmu harus percaya! Kau yang meminta keterangan. Setelah diberi malah bicara bertele! Aku muak melihat manusia-manusia macam kalian. Bukannyamenolong malah menuduh yang bukan-bukan dan bersikap terlalu mau tahu!" "Kalau kami telah bertindak keliru, mohon dimaafkan ..." kata Pergola Bumi, dia hendak melangkah kembali mendekati Wiro Sableng, tapi si jelita bernama Sakuntili lebih cepat lagi menyambar tubuh Pendekar 212 langsung mendukungnya di bahu kiri. "Hai! Hendak kau bawa ke mana sahabat kami?!" berseru Sindu Brama. "Aku yang pertama menolongnya. Aku yang akan melanjutkan pertolongan sampai dia sembuh! Jangan berani menghalangi!" "Lebih baik kau turunkan pemuda itu Sakuntili. Kami lebih berhak dari padamu dalam soal tolong menolong!" ujar Ageng Kumbara pula. "Jika kau yang tua hendak memaksa, aku yang muda tak akan mundur!" Pergola Bumi sebenarnya hendak mengatakan sesuatu guna menghindari pertengkaran. Tetapi orang tua bernama Ageng Kumbara telah terlanjur merasa ditantang. Dia melompat ke hadapan Sakuntili sambil lancarkan serangan ke arah perut. Sambil mendukung Wiro dibahunya Sakuntili berkelit ke kiri dan tiba-tiba sekali kaki kanannya melesat ke arah pinggang lawan. Ageng Kumbara menanti dengan tenang. Begtu kaki Sakuntili hampir mengenai pinggangnya, kakek ini angkat lutut kanan, sambil membungkuk dia kirimkan jotosan terobosan ke dada Sakuntili! Melihat lawan mengangkat lutut untuk melindungi tubuh terpaksa Sakuntili tarik pulang tendangannya dan sekaligus pergunakan lengan kiri untuk menangkis pukulan si kakek. Dua tangan saling bentrokkan. Sakuntili terjajar dua langkah. Ageng Kumbara tak bergeming dari tempatnya berdiri tapi ada tanda merah kebiruan pada lengannya yang tadi beradu dengan lengan lawan! Ageng Kumbara merasa sangat malu. Meskipun semua yang menyaksikan tahu bahwa tenaga dalam si kakek sedikit lebih tinggi dari Sakuntili, namun ternyata perempuan muda itu mempunyai kekuatan tersendiri yang tak dapat dibuat main. Maka si kakek kembali menyerbu dengan gerakan-gerakan kilat dan ganas membuat Sakuntili jurus demi jurus jadi terdesak. Namun walau berhasil mendesak demikian rupa sampai saat itu si kakek masih belum mampu menyentuh tubuh lawan. "Lihat serangan!" tiba-tiba Ageng Kumbara berteriak keras. Tubuhnya lenyap dari pemandangan Sakuntili dan tahu-tahu jotosannya menderu dari samping, mengarah bahu. Jika dia harus mengelakkan serangan itu Sakuntili harus memutar tubuh. Akibatnya tubuh Wiro yang ada di bahunya akan ikut berputar dan jotosan lawan akan menghantam tengkuk atau mungkin juga batok kepala pemuda itu. Guna menghindarkan kemungkinan yang tak diingini itu terpaksa Sakuntili melipat kedua lututnya. Begitu tubuhnya merunduk, perempuan ini lepaskan satu pukulan tangan kosong. Wuss...! Satu gelombang angin luar biasa derasnya menderu menghantam tubuh Ageng Kumbara. Kakek ini berseru kaget, cepat menghindarkan diri dengan jalan melompat. Namun tak urung pinggangnya kebawah masih kena tersapu tiupan angin. Tak ampun lagi kakek ini terpental jungkir balik dan jatuh bergedebuk di tanah! Sakuntili sesaat terkesiap karena tak menyangka pukulan yang dilepaskannya sanggup membuat lawan terpental dan roboh demikian rupa. "Aneh ... bagaimana bisa mental sejauh itu!" membatin Sakuntili. Namun dia tak mau berada lebih lama di tempat itu. Secepat kilat dia memutar tubuh dan tinggal-kan kaki bukit sementara Sindu Brama dan Pergola Bumi melompat mendatangi Ageng Kumbara. Sambil mendukung tubuh Wiro di bahu kanannya, Sakuntili berlari menuju ke timur. Matahari pagi mulai naik. Udara pagi yang sejuk berganti menjadi hawa panas. Di satu tempat yang mendaki, perempuan muda itu merasakan hembusan nafas menggelitik rambut-rambut halus di tengkuknya. Lalu dia mendengar suara seperti orang tertawa. Dekat sekali! Sakuntili hentikan larinya. Memandang berkeliling. Tak ada siapa-siapa di tempat itu. Tapi jelas dia mendengar suara orang tertawa. Dan tiba-tiba suara tawa itu meledak disamping kepalanya! "Kau!" teriak Sakuntili seraya lemparkan tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng ke tanah. Matanya mendelik memandang ke arah Wiro yang begitu dilemparkan langsung melompat jungkir balik dan melayang turun dengan kedua kaki tegak di tanah! "Pemuda kurang ajar! Jadi selama ini kau hanya menipuku! Kau tidak pingsan benaran..." Pendekar 212 Wito Sableng tertawa cekikikan. "Aku lebih suka didukung dan dibawa lari olehmu daripada ditolong tiga orang tadi ..." "Jadi ... ! Kau juga tahu, melihat apa yang tadi terjadi!" Wiro mengangguk. Sakuntili banting-banting kaki. "Tunggu, jangan marah dulu," ujar Wiro coba menyabari. "Sewaktu jatuh dari puncak bukit batu, aku memang babak belur. Begitu juga sewaktu kau papah menuju kaki bukit. Namun sambil berlari aku berusaha mengatur jalan darah dan pernafasan, membentengi bagian- bagian tubuh yang terluka dengan aliran tenaga dalam. Ketika sampai di kaki bukit sebenarnya aku sudah cukup kuat untuk berjalan bahkan berlari. Hanya saja saat itu aku sengaja berpura-pura pingsan!" "Gila! Kenapa kau berlaku begitu?!" "Karena siapa yang tidak suka didukung dara secantikmu. Ha ... ha ... ha .... !" "Pemuda kurang ajar! Kelakuanmu jahat sekali!" "Tunggu dulu, penjelasanku belum selesai Sakuntili. Ehm, betul itu namamu? Kepura- puraanku jadi kacau-balau ketika tiba-tiba muncul tiga orang itu. Tapi ternyata kau tidak meninggalkanku atau menyerahkanku pada mereka begitu saja. Maka aku terus saja pura-pura pingsan. Waktu kakek rambut putih berpakaian putih itu menyerangmu penghabisan kali, pada saat kau melepaskan pukulan tangan kosong, diam-diam aku juga lepaskan pukulan tangan kosong ke arahnya .... !" "Benar-benar gila! Pantas kakek itu mencelat seperti tunggang-langgang seperti itu! Keterlaluan kau!" Wiro masih terus tertawa. "Maafkan. Aku memang suka mengganggu orang. Jika aku mengganggu orang berarti aku senang padanya. Termasuk dirimu. Aku juga ingin menyampaikan terima kasih atas pertolonganmu . . Aku tak akan melupakan- nya. Jika Tuhan mengizinkan tentu aku akan membalas semua budi baikmu itu." Sakuntili tak berkata apa-apa. Mulutnya terkatup rapat. Hatinya masih jengkel karena merasa dipermainkan pemuda itu. "Sebetulnya kemana tadi kau hendak membawaku?" Wiro mengalihkan pembicaraan. "Ke tempat guru di puncak Lawu ...." "Aduh jauhnya. Mengingat kau telah menolongku, aku tidak keberatan pergi bersamamu ke sana. Hanya saja, ada pekerjaan besar yang harus aku selesaikan...." "Maksudmu melenyapkan Setan Dari Luar Jagat?" "Apa lagi!" Sakuntili gelengkan kepala. "Tidak mudah menyingkirkan mahluk itu. Selama tiga minggu berada dalam kekuasaannya, aku menyaksikan sendiri beberapa orang pandai persilatan menemui ajal. Tubuh mereka berubah menjadi mayat mengerikan, hangus seperti potongan kayu yang terbakar!" "Kalau begitu harus dicari jalan bagaimana dapat mengalahkan mahluk itu . . . ." "Justru aku ingin ke Lawu untuk meminta petunjuk guru. Sekaligus memberi tahu bahwa aku berhasil menyelamatkan diri dari tangan Setan Dari Luar Jagat . . . ." "Kalau soal petunjuk, aku punya seorang sahabat. Tempatnya cukup jauh dari sini. Kau menyesal jika tidak berkenalan dengannya!" "Maksudmu kau akan membawa serta aku ke tempat sahabatmu itu?" "Jika kau suka . . ." ujar Wiro seraya kedipkan mata dan garuk-garuk kepala. "Sekali ini aku tidak minta didukung walau kepala ini nyut- nyutan akibat luka besar di pelipis..." Untuk pertama kalinya Wiro melihat Sakuntili tersenyum. Bagi si pemuda itu sudah cukup menjadi pertanda bahwa sang dara bersedia ikut bersamanya. Tanpa banyak cerita lagi Wiro pegang lengan Sakuntili. Keduanya tinggalkan tempat itu. ENAM PERGOLA BUMI, Sindu Brama dan Ageng Kumbara tegak menunggu di taman sebelah timur Keraton. Tak lama kemudian seorang lelaki berbelangkon hitam datang menemui mereka guna menanyakan keperluan ketiga tamu itu. "Kami ingin menjumpai Abdi Dalem bernama Kuntoro Inggih . . ." menerangkan Pergola Bumi. "Kuntoro Inggih saat ini tidak bertugas. Dia mendapat libur satu hari. Harap mencarinya dirumahnya." Atas permintaan Pergola Bumi orang ini kemudian menjelaskan di mana rumah kediaman Kuntoro Inggil. Yakni sebuah kampung kecil di tenggara Kotaraja. Tidak sulit mencari tempat kediaman Kuntoro Inggil. Orang ini dikenal tinggal sendirian di sebuah rumah kecil. Pergola Bumi mengetuk pintu depan. Tak ada jawaban. Diketuk sekali lagi. Tetap tak ada yang membuka pintu. "Mungkin dia tidak di rumah," kata Sindu Brama. "Aku mendapat firasat tidak enak. Pintu itu tidak dikunci!" Dengan tangan kirinya Ageng Kum bara mendorong daun pintu. Nyatanya daun pintu memang terbuka dengan mudah. Orang tua itu memberi isyarat padakedua temannya untuk mengikut masuk ke dalam. Ketiganya hanya satu dua langkah melewati pintu. Di ruangan tengah, yang hanya ada satu meja dan satu kursi, sesosok tubuh tampak duduk terjengkang di kursi. Sekujur tubuh orang ini hangus hitam. Bahkan kursi yang didudukinya ikut menjadi arang. "Kuntoro Inggil ...?" tanya Sindu Brama sambil berpaling pada Pergola Bumi. "Tak dapat saya kenali. Mukanya hitam begini rupa. Tapi tunggu dulu ..." Pemuda itu meneliti jari manis tangan kiri mayat. Disitu dilihatnya sebentuk cincin yang sudah leleh dan hitam. "Memang dia. Saya masih mengenali cincinnya . . ." kata Pergola Bumi dengan suara tercekat. "Kita kehilangan jejak . . ." Sindu Brama menarik nafas dalam. "Diharapkan dia yang bakal memberi tahu tentang benda luar jagat yang dapat membunuh mahluk iblis itu. Nyatanya dia sudah dibunuh. Kematiannya persis sama dengan kematian Datuk Bungkuk. Berarti pembunuhnya orang yang sama!" "Setan Dari Luar Jagat!" ujar Ageng Kumbara pula. PONDOK kayu itu tak banyak perubahan sejak Wiro pertama kali dulu pernah datang ke situ. Reyot seperti mau roboh, atap bolong-bolong dan dinding penuh lubang. "Mari . . ." kata Wiro sambil menarik lengan Sakuntili. "Jauh-jauh berjalan ternyata kau hanya membawaku ke gubuk buruk itu. Perlu apa kita ke sana?!" bertanya sang dara. "Kau lihat saja nanti!" jawab Wiro. "Jangan- jangan kau hendak menipuku!" "Menipu bagaimana?!" "Hendak melakukan sesuatu . . . ." Wiro tertawa lebar. "Kalau aku ingin bersenang-senang dengan dirimu mengapa kubawa ke pondok jelek begini. Banyak tempat yang bagus di kelilingi pemandangan indah. Asal kau mau saja!" Merah Sakuntili oleh kata-kata itu. Akhirnya dia diam saja dan menurut mengikuti Wiro menuju pintu pondok. Empat langkah lagi akan Enencapai pondok kayu di tengah rimba belantara itu, tiba-tiba terdengar suara berkereketan. Pintu pondok terbuka. Sesosok tubuh melesat keluar. "Kakek Lor Gambir Seta!" seru Wiro. Tapi orang itu ternyata bukan orang yang dimaksudkannya. Bukan seorang kakek, melainkan seorang pemuda berpakaian bagus serba putih dan berwajah tampan. Tanpa bilang ba atau bu, pemuda itu langsung menyerang Wiro. Gerakannya laksana kilat dan pukulannya mengeluarkan angin deras. Melihat gerakan lawan serta merasakan angin pukulan, Wiro maklum kalau si pemuda menyerang hanya mengandalkan tenaga luar atau tenaga kasar. "Anak muda! Kau mabok atau kemasukan setan?! Tak ada ujung pangkal mengapa menyerangku?!" seru Wiro. Dia angkat tangan kirinya menangkis. Gerakannya sengaja dibuat perlahan agar bisa bentrokan dengan lawan! Dan memang hal itu yang terjadi. Buk! Dua lengan saling beradu. Murid Eyang Sinto Gendeng merasakan seperti dihantam batangan besi. Mukanya mengerenyit menahan sakit. Lengannya tampak merah kebiruan dan membengkak! Sebaliknya pemuda di hadapannya sunggingkan senyum. Hantaman lengan Wiro dirasakannya seperti kejatuhan segulung kapas! Tidak merasa sakit sama sekali dan tidak menimbulkan bekas pada lengannya! "Orang gagah yang datang dari jauh, membawa kawan seorang dara jelita memikat mata! Aku Aji Perdana tidak mabuk dan tidak kemasukan setan! Hanya perlu berjaga-jaga! Kalian berdua sampai kemari bukan karena kesasar. Tapi memang sengaja datang. Membawa maksud jahat atau maksud baik?!" "Eh . . . ." Wiro menuding dengan tangan kiri sedang tangan kanan garuk-garuk kepala. "Kau bicara seperti seorang pemain sandiwara di atas panggung! Sikapmu keren, tapi diam- diam matamu memandang kawanku dengan penuh perhatian. Kau terpikat padanya ... ?" Merahlah paras pemuda bernama Aji Perdana itu. Hal yang sama terjadi pula pada Sakuntili. Bedanya dalam hati gadis ini memaki habis-habisan. "Katakan apa maksud kalian datang ke tempat ini?" Aji Perdana akhirnya ajukan pertanyaan kembali. "Kami mencari seorang kakek sahabatku. Namanya Lor Gambir Seta. Aku tahu betul, pondok kayu itu jalan menuju ke tempat kediamannya." Berubah paras Aji Perdana mendengar ucapan itu. "Orang gagah, tidak sembarang orang mengetahui keadaan pondok ini. Kau mencari Lor Gambir Seta?" "Betul sekali!" "Kakek itu tidak ada di sini. Dia pergi sejak dua minggu lalu!" "Kalau begitu aku ingin bertemu langsung dengan orang tua paling gemuk dan pal.ing malas di dunia!" "Eh! Siapa maksudmu?!" tanya Aji Perdana kaget. "Siapa lagi kalau bukan Si Raja Penidur!" Kedua mata Aji Perdana melotot memandangi Wiro dan Sakuntili. "Dengar, sebaiknya kalian berdua lekas pergi dari sini. Tidak siapapun bisa menemui Raja Penidur tanpa izin guruku!" "Siapa gurumu?!" tanya Sakuntili yang bicara untuk pertama kalinya. "Kakek bernama Lor Gambir Seta itu ..." jawab Aji Perdana. "Nah ... nah ... nah! Aku ingat sekarang. Kita pernah bertemu beberapa waktu lalu..." "Tadi-tadipun aku sudah mengenali tampangmu, orang gagah!" "Kalau begitu mengapa tidak memberi izin agar kami dapat menemui Si Raja Penidur?" "Itu tidak dapat dijadikan alasan untuk memberi izin. Selama guru tidak ada, selama itu pula tidak ada yang boleh masuk ke tempat kediaman Raja Penidur". "Kami membawa urusan sangat penting!" berkata Sakuntili. "Benar! Ini menyangkut kelangsungan atau kehancuran dunia persilatan!" menambahkan Wiro. "Itupun aku sudah tahu." "Anak sok tahu! Apa sih yang kau ketahui?!" ujar Wiro jadi jengkel. Sebenarnya dia sudah kesal sejak tadi-tadi yaitu ketika tangannya dibuat cidera akibat serangan pemuda bernama Aji Perdana itu. "Apa yang kau ketahui sama dengan apa yang aku ketahui!" "Ah, kau hanya menjual lagak di hadapan gadis kawanku ini. Padahal kau sebenarnya tidak tahu apa-apa!" kata Wiro pula memancing. Pancingannya ternyata mengena. Diejek seperti itu Aji Perdana sunggingkan senyum lebar dan berkata: "Bukankah kalian datang untuk minta petunjuk? Karena dunia persilatan dilanda bahaya besar, berasal dari mahluk bejat berjuluk Setan Dari Luar Jagat. Begitu kan ... ?!" "Tidak begitu kan!" sahut Wiro kembali mengejek. "Habis!" Aji Perdana tampak agak heran. "Aku datang menemui Raja Penidur untuk menanyakan apakah dia merestui kalau dirimu kujodohkan dengan gadis kawanku ini!" "Wiro!" Sakuntili berteriak keras karena terkejut dan juga marah mendengar kata- kata murid Sinto Gendeng itu. Sementara Aji Perdana sendiri tertegun ternganga. "Aku tidak punya waktu berolok-olok!" bentak Aji Perdana. "Siapa bilang aku berolok-olok. Katakan saja kalau kau tidak suka pada gadis ini! Jangan menipu diri sendiri anak muda. Matamu sejak tadi selalu mengerling padanya!" "Manusia brengsek!" murid Lor Gambir Seta menjadi marah. Dia menyergap ke depan seraya memukul dengan tangan kanan. Sekali ini Wiro memang sudah bersiap-siap. Begitu tinju lawan melesat, kedua tangannya berkelebat ke depan menangkap tinju itu lalu meremasnya kuat-kuat. Waktu meremas Wiro kerahkan sedikit tenaga dalamnya. Akibatnya, Aji Perdana yang hanya mengandalkan tenaga luar mengeluh kesakitan. Untuk lepaskan rernasan lawan pemuda ini ayunkan kaki kanannya ke arah selangkangan Wiro. Mur;d Sinto Gendeng lepaskan pegangannya dan cepat melompat ke belakang. Di depannya Aji Perdana kepret-kepretkan tangan kanannya. Jari-jari tangannya tampak bengkak kemerahan! "Curang!" bentak Aji Perdana sementara Wiro tertawa lebar. "Kalau kau memang memiliki tenaga dalam hebat mari mengadu kekuatan tenaga dalam!" "Dengan satu perjanjian!" sahut Wiro. "Jika kau menang kami berdua akan meninggalkan tempat ini. Tapi jika kau kalah, kau harus mengantarkan kami pada Si Raja Penidur! Bagaimana?!" Walaupun tadi dia sudah mengatakan tak akan memperbotehkan Wiro menemui Si Raja Penidur tanpa izin gurunya, namun terpancing oleh tantarlgan orang, Aji Perdana menyetujui perjanjian itu. "Sekarang katakan bagaimana maumu!" kata Aji Perdana pula. "Lha! Sampean yang menantang silahkan sampean yang mengatur acara!" sahut Wiro sambil rangkapkan kedua tangan di depan dada, berpaling sesaat pada Sakuntili dan kedipkan mata kirinya. Panas hati Aji Perdana bukan kepalang. Dia memandang berkeliling. Matanya mencari- cari. Mendadak selembar daun jauh dari atas pohon dan melayang ke bawah. Aji Perdana angkat tangan kirinya. Daun yang melayang tampak tertahan dan seperti tergantung di udara, sama sekali tak bergerak lagi. "Lihat daun!" seru Aji Perdana. "Aku akan mendorong ke jurusanmu dan kau mendorong ke jurusanku! Jika daun itu mendekati tubuhmu sampai sejarak satu langkah berarti kau kalah. Begitu juga sebaliknya. Jika terdorong ke arahku sejarak satu langkah, aku yang kalah. Setuju?!" "Setuju! Tapi dengan satu syarat!" sahut murid Sinto Gendeng tetap tenang dansumggingkan senyum. "Apa?!" "Daun itu tidak boleh berlobang, rusak atau robek, apalagi hancur!" Terkejut Aji Perdana mendengar ucapan Wiro itu. Bagaimana mungkin menghantam daun dengan tenaga dalam tinggi tanpa membuat daun menjadi cacat! Pemuda ini sadar kalau dia telah terjebak. Tapi karena tak mungkin membantah atau menolak maka diapun anggukkan kepala, angkat kedua tangannya dengan telapak membuka ke arah daun yang mengambang di udara. Kedua matanya menatap daun tak berkesip, mulutnya terkancing rapat. Dari perutnya mengalir hawa panas. Daun yang mengambang di udara bergerak cepat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Pendekar 212 menunggu sesaat. Ketika daun mendekati dan tinggal tiga langkah darinya, perlahan- lahan Wiro angkat pula kedua tangannya. Daun yang tadi bergerak kini kelihatan tertahan. Aji Perdana menggembor tanda dia mengerahkan seluruh tenaga dalam yang ada. Daun kembali terdorong ke jurusan Wiro. Tinggal dua langkah dari tubuhnya, daun tampak berhenti lagi. Lalu secara perlahan- lahan membalik dan terdorong ke arah Aji Perdana. Pemuda ini katupkan rahangnya kencang-kencang. Matanya tak berkesip. Butiran-butiran keringat memercik di wajahnya. Pemusatan inderanya terganggu dan terancam buyar ketika di depannya terdengar Wiro keluarkan suara tertawa. "Curang!' teriak Aji Perdana. "Apa yang kau dorong-dorong sahabatku?!" Wiro menegur sambil terus tertawa. "Daun itu tak ada lagi di depanmu!" Aji Perdana memandang ke depan dengan mata dibesarkan. Astaga! Apa yang dikatakan Wiro memang benar, daun itu tak ada lagi di depannya. Kemana perginya?! "Daun yang kau cari menempel di mata kakimu sebelah kiri!" memberi tahu Wiro. Aji Perdana memandang ke bawah. Untuk kedua kalinya dia terkejut. Daun yang dikatakan memang tampak menempel di mata kakinya sebelah kiri. Ketika dia membungkuk untuk mengambil daun itu dengan penuh penasaran dan juga diam-diam merasa sangat malu, mendadak daun itu bergerak ke atas, menyusup ke dalam kaki calana kiri si pemuda, terus meluncur ke atas dan berhenti di antara kedua pahanya. Di sini daun itu bergerak-gerak aneh seperti menggelitik hingga si pemuda meraung-raung kegelian yang amat sangat. Lalu sssrrrrr .... Celananya basah! Di hadapannya Wiro tertawa gelak- gelak. Sakuntili tak dapat pula menahan tawanya. Dia cekikikan sambil menutupi mulut dengan tangan. Merah wajah Aji Perdana seperti kepiting rebus. "Kau kalah sahabatku. Sesuai perjanjian kau haus mengantarkan kami menemui Si Raja Penidur." kata Wiro pula. "Aku mengaku kalah tapi aku tak akan mengantarkan kalian menemui kakek guru..!" sahut Aji Perdana. "Hemm ... Jadi Si Raja Penidur itu kakek gurumu? Eh, mengapa kau mengingkari perjanjian? Tak mau membawa kami menemuinya?" "Karena kau berlaku curang!" "He! Curang bagaimana ... ?!" Yang bertanya adalah Sakuntili karena dia tidak suka melihat pemuda yang tidak menepati janjinya itu. "Kawanmu itu mengeluarkan suara tertawa pada saat mengadu tenaga dalam. Pemusatan pikiranku jadi terganggu!" "Eh, apakah ada perjanjian bahwa waktu mengadu tenaga dalam aku tidak boleh tertawa, atau bicara atau kentut ... ?!" "Kalian berdua silahkan pergi dari sini!" "Kalau kau tidak mau mengantar, kami terpaksa mencari jalan sendiri!" Wiro jadi habis sabar. Lalu memberi isyarat pada Sakuntili. Keduanya melangkah menuju pintu gubuk kayu. "Jika kalian berani memasuki pondok itu, aku terpaksa membunuh kalian berdua!" Aji Perdana mengancam. Wiro dan Sakuntili hentikan langkah. "Sahabat, ada apa sebenarnya dengan dirimu?!" tanya Wiro. "Kalian tidak boleh masuk ke dalam gubuk itu! Apa tidak mendengar dan tidak mengerti? " bentak Aji Perdana. "Kalau begitu katamu, baiklah ..." ujar Wiro seraya kedipkan matanya pada Sakuntili. Selagi dara ini menduga-duga apa yang hendak dilakukan pemuda itu tiba-tiba Wiro berseru: "Kau silahkan masuk duluan Aji Perdana!" Serentak dengan itu Wiro dorongkan tangan kanannya. Angin sehebat badai menderu, menerpa tubuh Aji Perdana. Pondok reyot di belakang sana bergoyang-goyang, pintunya terpentang membuka. Aji Perdana kerahkan seluruh tenaga untuk bertahan, tapi sia-sia saja. Terjadilah satu keanehan. Meskipun bergoyang keras namun gubuk tua lapuk dan reyot seperti mau roboh itu sama sekali tidak mengalami kerusakan dilanda angin pukulan "topan melanda samudera" yang dilepaskan Pendekar 212 Wito Sableng. Sebaliknya Aji Perdana yang mati-matian mengerahkan tenaga dalam dan seluruh kepandaiannya untuk mempertahankan diri akhirnya diseret sambaran angin dan mencelat masuk ke dalam gubuk lewat pintu yang terpentang lebar! Begitu Aji Perdana terpental ke dalam gubuk, Wiro dan Sakuntili cepat menyerbu masuk. Namun sebelum mencapai pintu, dari dalam gubuk tiba-tiba meluncur lidah api. Sakuntili yang lebih dahulu melihat hal ini serta merta berteriak memperingat-kan Wiro. "Ah, pemuda itu memang berniat jahat!" ujar Wiro dalam hati. Setelah jatuhkan diri bertiarap di tanah bersama Sakuntili murid Sinto Gendeng ini balas menghantam dengan pukulan sinar matahari. Lidah api dan sinar putih menyilaukan, sama-sama panas dan dahsyat saling tabrakan di udara, mengeluarkan suara menggelegar. Pada saat itu pula terdengar suara menegur keras, seperti guntur menindas kerasnya suara gelegar bentrokan dua pukulan sakti. "Aji Perdana! Jangan memberi malu! Tidak menghormati tetamu seperti itu!" TUJUH BERSAMAAN DENGAN suara menegur keras tadi berhembus satu gelombang angin yang sangat sejuk. Lidah api meredup dan padam. Sinar perak berkilau pukulan sakti yang dilepaskan Wiro buyar. Dua kekuatan dahsyat yang tadi saling bentrokan lenyap, berganti dengan udara yanq terasa sejuk! Di hadapan Wiro berdiri seorang kakek yang mata kirinya picak. Begitu melihat orang ini Wiro buru-buru menjura hormat dan menyapa: "Kakek Lor Gambir Seta!" Kakek mata picak anggukkan kepalanya sedikit lalu melangkah ke arah gubuk. Saat itu Aji Perdana tampak keluar dari pintu sambil pegangi dada sementara dari sela bibirnya tampak mengucur darah. Si kakek cepat-cepat mendatangi Aji Perdana, mengurut dada pemuda itu lalu bertanya: "Apa yang terjadi di sini, muridku?" "Dua orang itu memaksa menemui kakek guru. Aku sudah melarang . . . ." Kakek bernama Lor Gambir Seta berpaling pada Wiro dan Sakuntili. "Muridku memang sangat patuh dalam menjalankan perintah. Harap maafkan atas semua yang terjadi. Sebelum pergi aku menitip pesan padanya agar tidak mengizinkan siapapun masuk ke tempat kediaman guruku. Ini untuk menghindari agar benda penyelamat dunia persilatan itu tidak jatuh ke tangan orang lain. Aku tidak mengira kau akan muncul ke mari Pendekar 212. Aku meninggalkan tempat kediaman dua minggu lalu justru untuk mencarimu. Mari ikuti aku masuk ke dalam. Aji, kau jalan duluan . . . ." Aji Perdana diikuti Lor Gambir Seta, Wiro lalu Sakuntili memasuki gubuk reyot. Keadaan dalam gubuk itu pengap sekali. Tak ada jendela dan pintu tertutup. Abu menebal di setiap sudut, laba-laba bersarang hampir di segala penjuru. Sakuntili mulai tersengal dan seperti hendak bersin. Lor Gambir Seta melangkah ke salah satu sudut gubuk. Karena sebelumnya sudah pernah berada di situ dan telah menyaksikan apa yang dilakukan si kakek, maka Wiro maklum apa yang akan terjadi. Lor Gambir Seta menekan sebuah tiang bambu. Sakuntili tercengang heran ketika tiba-tiba lantai kayu yang lapuk terbuka ke samping dan kini kelihatan sebuah tangga batu menurun. Aji Perdana menuruni tangga itu, memasuki sebuah gang batu yang amat panjang. Yang lain-lain mengikuti di belakangnya. Rombongan sampai di hadapan sebuah dinding batu berwarna putih yang merupakan pintu di ujung gang. Di sini kakek mata picak menekan salah satu bagian dinding, pintu batu putih lalu terbuka. Di balik pintu batu ini membujur sebuah lorong yang diterangi pelita kecil-kecil. Di ujung lorong terdapat sebuah pintu lagi. Kali ini berwarna merah. Dengan menekan salah satu bagian rahasia Lor Gambir Seta membuka pintu batu itu. Sakuntili tercengang-cengang ketika melihat ruangan di belakang pintu adalah sebuah ruangan sangat luas yang lantai, dinding dan langit-langitnya tertutup hamparan permadani. Di sebelah kanan ruangan ada sebuah jendela besar. Di belakang jendela tampak terbentang rimba belantara yang tak pernah dijejaki manusia, lengkap dengan sebuah air terjun tinggi. Di atas sebuah kursi malas besar yang terletak di tengah ruangan terbujur sesosok tubuh manusia yang gemuk luar biasa. Tubuh gemuk besar ini anehnya mengenakan sehelai pakaian yang jelas tampak kekecilan. Sebatang pipa tak berapi terselip di sela bibir si gemuk. Yang keluar dari mulutnya bukan kepulan asap pipa, tapi suara dengkur yang menggemuruh. Kedua matanya terpejam. Jelas si gemuk ini tengah tertidur nyenyak. "Apa ini orangnya yang bernama Si Raja Penidur ...?" Sekuntili berbisik. Wiro anggukkan kepala. Hatinya cemas. Dia tahu betul kalau sudah tidur, Si Raja Penidur yang merupakan tokoh nomor satu di dunia persilatan ini akan tidur sampai berbulan- bulan. Kata orang yang tahu, sekalipun ada petir menyambar di sampingnya, dia tak akan bangun. Kalaupun terbangun paling-paling hanya bukakan sepasang matanya yang sipit sedikit lalu mendengkur kembali. Lalu apa yang bisa dilakukan si tukang ngorok ini? Dulu sewaktu dunia persilatan dilanda malapetaka besar akibat keganasan seorang sakti jahat bernama Siluman Teluk Gonggo, Si Raja Penidur berhasil ditemui dalam keadaan bangun. Kini…? Wiro garuk-garuk kepala. Kakek mata picak mendehem beberapa kali. "Pendekar 212, aku melihat bayangan rasa cemas di wajahmu. Aku mengerti apa yang kau cemaskan. Tapi percayalah, sebenarnya tak ada yang perlu dicemaskan. Guruku si Raja Penidur telah mengatur segala-galanya." "Dalam keadaan gurumu tidur seperti ini, apa yang bisa kau lakukan kek. Juga apa yang bisa dilakukan oleh gurumu ...?" bertanya Wiro. "Jangan kawatir Pendekar 212, dengar dulu keteranganku," sahut Lor Gambir Seta. Lalu dia menjelaskan. "Suatu malam sekitar empat bulan yang lalu, Si Raja Penidur bermimpi. Ada tiga hal muncul dalam mimpinya itu. Pertama muncul wajah sesosok mahluk yang menyeramkan. Mukanya tertutup bulu-bulu kasar. Sepasang matanya merah. Turut apa yang kemudian terjadi dalam dunia persilatan, mahluk yang terlihat dalam mimpi tersebut banyak kesamaannya dengan mahluk yang kini gentayangan di malam hari dan dikenal dengan nama Setan Dari Luar Jagat. Hal kedua yang muncul dalam mimpi guruku ialah sesosok wajah lagi yakni wajahmu...." "Wajahku?" ujar Wiro tercengang lalu garukgaruk kepala. "Betul. Itu satu pertanda bahwa antara kau dan Setan Dari Luar Jagat akan mengalami adanya satu hubungan . . . ." "Eh, maksudnya aku dan mahluk itu berkomplot melakukan kejahatan atau . . ." "Tidak begitu!" memotong Lor Gambir Seta. "Guru tidak mengatakan begitu. Beliau mengartikan bahwa kelak akan ada kontra antaramu dengan Setan Dari Luar Jagat." Wiro masih tidak mengerti. Maka dia bertanya: "Apa hal ketiga yang muncul dalam mimpi beliau?' "Sebuah batu hitam tipis, berukuran selebar telapak tangan. Menurut petunjuk dalam mimpi batu itu adalah salah sebuah benda yang datang dari angkasa luar. Kemungkinan besar merupakan pecahan dari bintang berekor atau lintang ngalih. Hanya dengan benda itulah Setan Dari Luar Jagat dapat dilumpuhkan bahkan dibunuh!" "Ah, di mana pula bisa didapat batu dari luar jagat itu!" ujar Wiro sambil menggaruk kepala. Kakek mata picak sebaliknya sunggingkan senyum. "Jika tidak ada petunjuk sampai kiamatpun tak ada yang bakal dapat menemukan benda itu. Tapi guruku berhasil mendapat petunjuk ...." "Dan memerintahkan aku untuk mencarinya?" menyelak Wiro. Lor Gambir Seta menggeleng. "Batu itu telah kami temukan. Tenggelam di dasar sungai, tepat dibawah air terjun sana ..." Si kakek menunjuk ke arah air terjun di dalam rimba belantara. "Kalau begitu kita bisa segera membuat perhitungan dengan mahluk iblis itu! Sebelum dia membunuh dan menebar kejahatan lebih banyak!" Yang bicara adalah Sekuntili. "Gadis cantik, siaapakah kau sebenarnya? Kau belum memperkenalkan diri padaku..." bertanya Lor Gambir Seta setelah perhatikan paras Sakuntili sejurus. "Saya Sakuntili. Murid Empu Bagananta dari gunung Lawu . . . ." "Ah ... ah ... Sepuluh tahun lalu ketika aku bertemu dengan Empu Baganat di Lawu, memang kulihat ada seorang gadis kecil tengah mendalami ilmu silat. Tentu gadis yang kulihat itu adalah engkau...." Sakuntili menjura dalam-dalam dan berkata: "Saya jadi ingat sekarang kakek." "Setelah batu itu ditemukan, apa yang akan kau lakukan kek?" Wiro ajukan pertanyaan. "Batu itu akan kuserahkan padamu Pendekar 212. Lalu kewajibanmu adalah mendatangi markasnya Setan Dari Luar Jagat dan membunuhnya dengan batu itu. Sedikit saja tubuhnya tersentuh batu, tamatlah riwayatnya." "Jika memang begitu petunjuk dalam mimpi dan begitu perintah Si Raja Penidur, aku siap melakukan tugas ...." jawab Wiro bersemangat. "Hanya saja aku belum melihat bendanya ...." Lor Gambir Seta memberi isyarat pada Wiro agar mengikutinva. Ternvata kakek mata picak itu melangkah mendekati Si Raja Penidur yang tidur terbadai diatas kursi malas besar. "Bantu aku mengangkat tangan kanan guruku. Batu itu ada di kempitan ketiak kanannya!" "Ala ..." Wiro keluarkan seruan. Hampir terceplos ucapannya tapi cepat-cepat dia menutup mulut. Dilihatnya Lor Gambir Seta mulai mengangkat tangan kanan Si Raja Penidur yang memang bukan olah-olah besar dan beratnya. Ternyata kakek ini kepayahan melakukannya seorang diri. Wiro mendekat dan merrbantu. "Gila! Tangan si gendut ini memang berat sekali!" katanya dalam hati. Setelah kedua orang itu sama-sama kerahkan tenaga dalam baru tangan itu bisa terangkat. Tampaklah ketiak Si Raja Penidur yang basah oleh keringat dan bulu-bulu ditambah daki! Di ketiak itulah justru tampak sebuah batu hitam pipih. Batu dari luar jagat! Ketika Lor Gambir Seta ulurkan tangan kanan untuk mengambil batu, tiba-tiba Si Raja Penidur bergerak. Salah satu matanya tampak membuka sedikit. "Eh ... eh…. Ada apa di sini. Kulihat banyak orang mengelilingku. Eh ... juga ada gadis cantik jelita. Ah ... aku mengantuk sekali. Kepingin tidur . . ." Si Raja Penidur menguap lebar-lebar. Matanya yang tadi terbuka kini menutup kembali. Lalu terdengar kembali suara dengkurnya seperti tadi! Tokoh norror satu dalam dunia persilatan ini kembali tidur pulas! Lor Gambir Seta memberi isyarat pada Wiro. Kedua orang itu kembali mengangkat tangan kanan Si Raja Penidur sampai ketiaknya tersingkap. "Kau yang mengambil batu itu Wiro. Cepat lakukan!" berkata Lor Gambir Seta. Sesaat Wiro merasa bimbang. Bukan bimbang apa-apa. Tapi hati kecilnya merasa jijik. Batu hitam itu basah oleh keringat Si Raja Penidur yang penuh daki. Dan ketiak itu sendiri menebar bau yang merontokkan bulu hidung! "Ayo cepat!" teriak Lor Gambir Seta. "Demi dunia persilatan. . . ." membatin Wiro. Tapi juga memaki dalam hati. Lalu dia ulurkan tangan kiri mengambil batu hitam di atas ketiak. Tangannya terasa basah, perutnya terasa menjadi mual. Tangan Si Raja Penidur diturunkan kembali. "Simpan batu itu baik-baik. Saat ini juga kau harus berangkat ke bukit Wadaslintang ..." Mengikuti perintah si kakek Wiro segera simpan batu hitam itu di balik pakaiannya. Saat itulah Aji Perdana mendekati Lor Gambir Seta dan berkata: "Guru, seharusnya batu hitam itu kau serahkan padaku. Sebagai murid, aku lebih layak melakukan tugas membunuh Setan Dari Luar Jagat dari pada dia…" Lor Gambir Seta terdiam sesaat sementara Wiro dan Sakuntili saling berpandang-an. Si kakek tersenyum dan pegang pundak muridnya. "Aji, aku sangat menghargai baktimu sebagai murid. Tapi apa yang aku lakukan adalah sesuai dengan petunjuk yang didapat guruku, dan juga sesuai dengan perintahnya." Kata-kata yang setengah menjelaskan dan setengah membujuk dari sang guru ternyata tidak dapat diterima oleh Aji Perdana. Dengan muka asam pemuda ini membungkuk dan berkata: "Izinkan aku meninggalkan ruangan. Ada pekerjaan lain yang harus aku selesaikan ...." Habis berkata begitu Aji Perdana lantas tinggalkan tempat itu tanpa menoleh pada Wiro ataupun Sakuntili. Lor Gambir Seta tampak tidak enak. Agar kakek itu tidak merasa malu Wiro cepat-cepat berkata: "Kek, batu dan pesan telah kuterima. Kami berdua mohon diri kecuali jika ada petunjuk lain?" "Makin cepat kalian pergi makin baik ..." menjawab Lor Gambir Seta. "Mohon disampaikan salam kami pada Raja Penidur." Lor Gambir Seta mengangguk mendengar ucapan Sakuntili. Sambil tersenyum dia berkata: "Guru sempat melihatmu tadi walaupun cuma sebentar. Di lain hari jika kau ada kesempatan silahkan datang lagi ke mari. Aku mempunyai firasat sebenarnya banyak hal yang ingin dikatakan beliau padamu . . . ." "Terima kasih, mudah-mudahan saya bisa datang lagi ke mari," jawab Sakuntili pula. Lalu bersama-sama Wiro sang dara tinggalkan ruangan itu. Lor Gambir Seta mengantarkan sampai di pintu batu berwarna putih. Ketika Wiro keluar dari dalam gubuk reyot dan baru beberapa puluh langkah berada di dalam hutan, mendadak tampak seseorang berpakaian putih berdiri di depan mereka. Jelas orang ini sengaja menunggu keduanya di tempat itu. Dan orangnya bukan lain adalah Aji Perdana, murid kakek mata picak Lor Gambir Seta. "Hendak apa pula pemuda brengsek ini menunggu kita di sini ..." berbisik Sakuntili. "Tenang saja, biar aku yang menegur," balas berbisik Wiro. Begitu sampai di hadapan Aji Perdana Wiro berhenti lalu siap untuk menegur. Tapi Aji Perdana membuka mulut lebih dahulu. "Aku ingin bicara!" katanya. Suaranya agak meradang. "Ah, jika kau sengaja mencegat kami di sini dan mengatakan ingin bicara, pasti ada sesuatu yang penting!" kata Wiro pula sambil menyeringai. "Hanya sayang kami tidak ada waktu. Celanamu masih basah oleh air kencing. Masih bau pesing. Sebaiknya kau pergi cebok dulu, ganti celana baru bicara dengan kami!" "Ya ...ya! Aku tak tahan mencium bau pesingmu!" menimpali Sakuntili. Paras Aji Perdana menjadi merah padam. Amarahnya yang tak terkendalikan membuat pemuda ini langsung hantamkan tinju kanannya. Yang diarahnya adalah muka Wiro. Kali ini Pendekar 212 tidak mau memberi hati lagi. Dengan tangan kiri ditangkisnya pukulan Aji Perdana hingga pemuda ini terangkat lima jengkal ke atas. Di saat yang sama Wiro tusukkan dua jari tangan kanannya ke perut si pemuda. Detik itu juga Aji Perdana menjadi kaku tegang tak bisa bergerak. Tetapi perutnya terasa sakit memilin-milin seperti hendak buang air besar. Dari mulutnya keluar suara seperti orang kepedasan. Mukanya dan sekujur tubuhnya keringatan. Persis seperti orang yang berusaha menahan berak! Wiro tertawa lebar. Sambil tepuk-tepuk bahu Aji Perdana dia berkata: "Kalau kau memang mau berak, keluarkan saja. Jangan ditahan- tahan. Ha ... ha ... ha ...!" Lalu Wiro berpaling pada Sakuntili yang juga tertawa geli. Wiro tarik lengan gadis ini. Keduanya tinggalkan tempat itu sambil terus tertawa-tawa. DELAPAN BUKIT BATU Wadaslintang tampak angker di bawah siraman terik sinar matahari. "Sebelum kita naik ke puncak, kurasa aku harus menyerahkan separuh dari batu hitam ini padamu Sakuntili," berkata Pendekar 212. "Terlalu besar bahayanya jika tidak dipagari dengan benda dari luar jagat ini." Wiro keluarkan batu hitam pipih dari balik pakaiannya. Batu itu diletakkannya di atas sebuah batu besar. Dia kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan lalu memukul dengan pinggiran tangan. Batu terbelah dua, hampir sama besar satu dengan lainnya. Setelah masing-masing berbekal sepotong batu, keduanya segera mendaki ke atas bukit. Ada sedikit perasaan tegang dalam diri Wiro. Tegang kalau-kalau batu hitam itu ternyata tidak mempunyai kekuatan apa-apa dalam menghadapi Setan Dari Luar Jagat yang telah disaksikannya sendiri kedahsyatannya. Sebaliknya Sakuntili mendaki bukit dengan satu tekad yakni untuk dapat membalas dendam. Walaupun ketika diculik Setan Dari Luar Jagat belum sempat melakukan sesuatu terhadap dirinya, tetapi seorang adik seperguruannya tewas di tangan mahluk dahsyat itu ketika berusaha menolongnya. "Ada satu keanehan pada mahluk durjana itu . . ." berkata Sakuntili. "Dia tak pernah terlihat pada siang hari . . ." "Mungkin siang hari dipergunakannya untuk tidur atau bersamadi. Malam baru gentayangan mencari korban. Siang atau malam, sekali berada di tempat ini kita harus waspada ..." sahut Wiro pula. Menjelang rembang petang kedua muda mudi itu berhasil mencapai dua pertiga dari ketinggian bukit. Saat itulah keduanya tiba- tiba mendengar suara tiupan seruling yang luar biasa. Tiupan seruling ini terasa mencucuk dan menyakitkan liang telinga. Wiro hentikan langkah dan pasang telinga tajam- tajam. "Mari . . ." katanya pada Sakuntili. Lalu setengah berlari mendaki ke puncak bukit. Semakin ke atas semakin keras suara tiupan seruling dan semakin sakit telinga kedua orang itu. Di balik sebuah batu besar Wiro berhenti dan memandang ke arah , bawah. Hanya beberapa belas tombak dibawah sana nampak duduk seorang lelaki separuh baya berpakaian putih. Dialah yang meniup suling. Dan yang dijadikannya suling bukan lain adalah Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro! "Aneh!" kata Wiro. "Seruling berbentuk kapak itu adalah milikku! Dirampas oleh Setan Dari Luar Jagat. Mengapa kini berada di tangan orang itu! Kau kenal padanya atau pernah melihatnya sebelumnya Sakuntili?" Sang dara yang ditanya gelengkan kepala. "Aku harus merampas senjata mustika itu kembali!" kata Wiro. Lalu keluar dari balik batu besar dan siap untuk mendatangi lelaki berpakaian putih yang duduk meniup Kapak Naga Geni 212. Namun gerakan pendekar ini tertahan ketika tiba-tiba dari balik batu yang lain melompat keluar seorang kakek bermuka panjang cekung, berambut panjang berwarna kelabu. Pakaiannya hitam-hitam. Sepasang matanya menyala merah. Wiro dan Sakuntili cepat-cepat berlindung kembali di balik batu. "Aku pernah menemui orang tua aneh itu suatu malam di bukit ini. Dia tidak bisa bicara. Lidahnya puntung! Kau kenal padanya ...?" "Tidak, melihatpun baru sekali ini. Tapi melihat bagaimana matanya membersitkan sinar merah seperti nyala bara besar dugaan dia punya hubungan tertentu dengan Setan Dari Luar Jagat! Kita keluar atau mendekam di sini saja?" "Biar sembunyi dulu di sini. Kita lihat saja apa ' yang terjadi," jawab Wiro. Begitu melompat dari balik batu, kakek berambut kelabu itu langsung mendekat lelaki di atas batu. Mukanya jelas menunjukkan kemarahan. Tangan kanannya menuding terus menerus dan dari mulutnya terdengar suara: "Haa... hu... ha.... huu…!" Orang di atas batu tampak terkejut, cepat berdiri lalu melompat turun dari batu. Si kakek mengejarnya, terus menunding-nunding dan keluarkan suara ha-hu ha-hu! "Tua bangka gila!" terdengar orang yang memegang Kapak Naga Geni 212 memaki. "Sudah berapa kali kuperingatkan agar tidak datang-datang lagi ke mari!" "Ha ... hu ... ha ... hu!" "Kau mencari celaka paman!" "Ha . . . hu ... ha ... hu!" "Tinggalkan tempat ini. Jangan mencoba yang bukan-bukan. Ilmu yang kau dapat tak akan mempan terhadapku!" "Ha ... hu ... ha ... hu!" Orang tua itu tiba-tiba lancarkan pukulan ke arah kepala lelaki berpakaian putih. Yang diserang merunduk, lalu melompat mundur. Tampaknya dia sengaja tak mau melawan. "Ha ... hu ... !" "Pergi dari sini!" hardik lelaki yang memegang Kapak Naga Geni 212. "Ha ... hu… ha ... hu!" Si kakek kembali menyerang dan kali ini pukulannya berhasil bersarang di perut orang yang jadi sasarannya hingga orang ini jatuh terduduk dan tampak mengerenyit kesakitan. "Ha ... hu… ha ... hu!" si kakek belum puas rupanya. Selagi orang yang jatuh berusaha bangkit, kaki kanannya sudah menderu kirimkan tendangan. Lelaki berpakaian putih sama sekali tidak punya kesempatan untuk mengelak. Tiba-tiba orang ini yang dalam keadaan terjepit-angkat tangan kanannya yang memegang Kapak Naga Geni 212. Suara mengaung seperti suara ratusan tawon mengamuk terdengar merobek udara ketika senjata mustika itu dibabatkan ke atas. "Jangan!" teriak Wiro berseru dari balik batu tanpa sadar. Tapi terlambat! Kapak Naga Geni 212 menderu. Kakek berpakaian hitam meraung setinggi langit ketika kaki kanannya terbabat putus. Potongan kakinya mencelat jauh sedang tubuhnya langsung roboh. Orang tua malang ini menggeliat-geliat beberapa kali, setelah itu tak berkutik lagi. Tubuhnya tampak seperti hangus! Wiro melompat dari balik batu. Sakuntili mengikuti. Lelaki yang memegang Kapak Naga Geni 212 membalik dan jelas dia tampak terkejut ketika melihat Wiro tegak di depannya. "Dari mana kau mendapatkan senjata itu?!" Wiro langsung ajukan pertanyaan. Meskipun jelas wajah lelaki di hadapannya menunjukkan rasa takut, tapi ada kilatan cahaya aneh pada kedua mata orang ini. "Orang bertanya lekas menjawab!" membentak Sakuntili. "Aku ... aku tidak tahu kapak ini berasal dari mana . . . ." "Jangan dusta!" hardik Wiro. "Senjata ... senjata ini kutemukan tergeletak di satu tempat. Aku ... aku tidak tahu kalau ini senjata. Semula hanya menyangka seruling berbentuk aneh. Dan ternyata memang bisa ditiup. Suaranya keras sekali . . . ." "Senjata itu adalah milikku. Dirampas mahluk Siluman beberapa waktu lalu. Serahkan padaku..." "Tapi..." Wiro berkelebat. Sekali tangannya menyambar Kapak Naga Geni 212 sudah berada di tangannya. Dengan cepat Wiro meneliti keadaan senjata warisan Eyang Sinto Gendeng ini. Hatinya lega. Ternyata senjata mustika itu tak kurang suatu apa. Cepat-cepat disimpannya di balik pakaian. "Sekarang katakan siapa kau adanya!" "Aku ... aku penduduk desa di kaki bukit. Tadi pagi datang kemari dan menemukan seruling itu di salah satu lereng bukit batu ..." "Apa yang kau kerjakan di bukit ini? Apa kau tidak tahu kalau tempat ini angker?" Orang itu menggeleng. "Kau belum menjawab apa yang kau kerjakan datang ke mari . . ." "Aku petani musiman. Kalau musim kering seperti saat ini aku lebih suka mencari binatang buruan dari pada bercocok tanam. Ketika berada di lereng bukit sebelah sana... aku melihat ada sesuatu yang berkilau. Ketika aku naik ke sini, kutemui benda yang berkilau itu. Ternyata seruling tadi . . . ." "Siapa namamu ... ?" bertanya Sakuntili. Yang ditanya menatap sesaat sebelum menjawab. Baik Wiro maupun Sakuntili lagi- lagi melihat ada kilatan cahaya aneh pada mata orang itu. "Namaku Konang Panahan . . ." "Apa sangkut pautmu dengan kakek yang barusan kau bunuh itu?" tanya Wiro pula. "Aku ... aku tidak bermaksud membunuhnya. Ternyata seruling itu ganas sekali ..." "Kakek itu muncul dan marah-marah padamu, lalu menyerangmu. Tentu ada silang sengketa di antara katian!" "Dia ... dia pamanku. Seorang guru silat di desa. Lalu mendapat satu ilmu aneh. Kedua matanya menjadi merah bersinar dan kekuatannya luar biasa. Tapi ilmu itu minta imbalan. Lidahnya harus dipotong "Sekarang apa yang akan kau lakukan di tempat ini?" "Aku ... aku tidak tahu!" "Orang tolol!" maki Wiro. "Panggul mayat pamanmu dan tinggalkan tempat ini!" "Aku . . , aku akan melakukannya . . ." jawab Kondang Panahan. Lagi-lagi ada kilatan sinar aneh di kedua matanya ketika dia melihat untuk terakhir kali pada Wiro dan Sakuntili sebelum meninggalkan tempat itu sambil memanggul mayat kakek berambut kelabu. "Aku tidak percaya pada manusia satu itu ..." kata Sakuntili. "Dia berdusta!" sahut Wiro pula. Lalu memandang berkeliling. "Malam masih cukup lama. Kita harus mencari tempat yang baik untuk menunggu. "Sebelumnya aku sudah mengetahui salah satu bagian dari bukit ini, ketika diculik. Sebaiknya kita menunggu di sana . . . ." "Ketika kau diculik . . ." ujar Wiro sambil memegang lengan Sakuntili, "Setan Dari Luar Jagat yang membawamu ke tempat itu. Kalau kita mendekam di sana, sama saja memasukkan diri sendiri ke dalam perangkap maut. Kita cari tempat yang lain sahabatku yang cantik tapi pendek akal ...!" "Kau betul," menyahuti Sakuntili. "Itu untungnya bersahabat dengan pendekar yang panjang akal. Tapi sekaligus juga panjang tangan ..." "Eh, maksudmu?!" tanya Wiro. "Kuperhatikan tanganmu tak bisa diam. Kalau tidak memegang pundakku, kau menyentuh lenganku . . . ." "Ah ... ah .. ah! Rupaya kau ingin aku menyentuh bagian tubuhmu yang lain!" "Pendekar gendeng! Kita bakal menghadapi bahaya besar! Dan kau masih saja bicara melantur di tempat angker ini!" SEMBILAN MENUNGGU tenggelam matahari dan datangnya malam terasa lama sekali. Ketika akhirnya langit di sebelah timur tampak kuning kemerah-merahan tanda sang surya sudah menggelincir memasuki ufuk tenggelamnya, Sakuntili tampak agak tegang. "Kau keluarkan keringat dingin ..." kata Wiro memperhatikan sang dara. "Terus terang aku merasa cemas "Eh, apa yang kau cemaskan?" tanya Wiro. "Bagaimana kalau ternyata batu hitam itu tidak mempan menghadapi kesaktian Setan Dari Luar Jagat?" Kata-kata Sakuntili itu sesaat membuat Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi tak enak. "Si Raja Penidur tidak mungkin akan menipu kita," kata Wiro perlahan. "Dia memang tidak akan menipu siapapun. Tapi bagaimana kalau mimpinya itu yang menipu dirinya ...?" "Berarti kita akan celaka. Akan menemui ajal di tangan mahluk itu malam ini!" kata Wiro pula. Dia berkata sambil tersenyum tapi diam-diam hati kecilnya terasa tidak enak oleh ucapannya sendiri itu. Untuk beberapa lamanya kedua orang ini berdiam diri. Mereka baru tersentak kaget ketika di kejauhan tiba- tiba terdengar suara lolongan panjang. Lolongan seperti campuran raungan manusia dan lolongan serigala hutan. Saat itu hari telah gelap. Malam telah datang! Wiro kenal betul suara lolongan itu. Dadanya berdebar keras. Tengkuknya terasa dingin. Hal yang sama juga dialami Sakuntili. "Jangan tenggelam dalam ketakutan!" akhirnya Wiro berkata. dia memandang berkeliling lalu berkata lagi. "Mari keluar dari tempat ini. Ikuti aku. Dengar, melangkah sambil menunduk, jangan bergerak lebih tinggi dari gugusan batu-batu bukit. Kalau perlu merayap. Terutama di tempat-tempat terbuka "Kurasa kita berlindung saja di satu tempat. Bergerak dalam gelapnya malam membuat kita lebih mudah terlihat oleh mahluk itu. Lalu dia akan mudah sekali membokong atau menyerang kita dengan tiba-tiba⁄" "Kau bertindak cerdik," memuji Wiro. Dia menunjuk ke arah deretan batu-batu bukit yang besar di sebelah kanan, sejarak sepuluh tombak dari tempat di mana mereka berada saat itu. Beringsut-ingsut keduanya bergerak menuju deretan batu-batu besar. Setengah jalan, lima tombak sebelum mencapai gugusan batu-batu besar itu, Wiro berbisik. "Aku mencium batu sesuatu. Anyir busuk ..." "Aku kenal betul bau itu. Bau tubuh Setan Dari Luar Jagat ..." balas berbisik Sakuntili. "Lekas merayap dan menyelinap ke balik de- i retan batu-batu besar . . ." ujar Wiro. Keduanya merayap cepat menuju deretan batu. Mendadak lolongan dahsyat merobek udara di ternpat itu. Sakuntili menggigit bibir menahan pekik. Seperti yang dilakukan Wiro gadis ini jatuhkan diri sama rata dengan batu bebukitan. "Wiro .... lihat di ujung sebelah kanan . . ." bisikan Sakuntili bergetar. Wiro putar kepalanya sedikit. Matanya bergerak ke arah yang ditunjukkan. Nafasnya serta merta tertahan. Mahluk itu! Setan Dari Luar Jagat tampak tegak di sebelah kanan, hanya terpisah belasan tombak dari tempat dia dan Sakuntili mendekam. Sosok tubuh Setan Dari Luar Jagat tampak lebih besar dari sebelumnya. Kepalanya berpaling kian ke mari. Sinar matanyayangmerah membersit mengerikan dan tiupan nafasnya yang busuk terasa menyambar di depan hidung! "Dua anak manusia! Jangan coba bersembunyi! Aku tahu kalian berada di sekitar sini!" tiba-tiba Setan Dari Luar Jagat berteriak. Suaranya membahana di seantero bukit batu. Lalu tampak tangan kanannya bergerak, menghantam ke arah deretan batu- batu besar ke mana sebelumnya Wiro dan Sakuntili bermaksud berlindung. Terdengar suara seperti meledak-ledak. Deretan bebatuan itu hancur berantakan! "Bangsat! Jangan coba menipuku!" Setan Dari Luar Jagat marah karena ternyata di balik reruntuhan batu dia tidak menemukan kedua orang yang dicarinya. Wiro diam-diam siapkan pukulan sinar matahari di tangan kanan. Seluruh tenaga dalam yang dimilikinya dikerahkannya ke tangan itu. Kilau tangannya yang terselubung oleh sinar pukulan sakti menarik perhatian Setan Dari Luar Jagat. Mahluk ini menggereng. Saat itulah Wiro menghantam. Sinar putih menyilaukan menderu dalam gelapnya malam, menghantam dada Setan Dari Luar Jagat dengan tepat. Mahluk itu sesaat tergontai-gontai. "Gila! Memang tidak mempan! Benar-benar tidak mempan!" ujar Wiro sewaktu melihat Setan Dari Luar Jagat usap-usap dadanya yang penuh bulu-bulu kasar seperti bulu landak. Kilatan pada kedua matanya tampak berkilau terang. Didahului oleh suara menggembor mahluk ini meniup keras-keras. Bukit batu itu laksana dilanda badai. Wiro terpelanting dua tombak ke kiri, Sakuntili tercampak ke kanan. Sebelum dara ini sempat berdiri, Setan Dari Luar Jagat membuat lompatan kilat dan tahu-tahu sudah berada di samping Sakuntili! "Kau berani melarikan diri dariku! Jugas bernai bergabung dengan pemuda itu! Kali ini jangan harap bisa lolos anak manusia! Kau akan jadi budak pemuas nafsu semalam suntuk sebelum kepalamu kupisahkan dengan badan!" Setan Dari Luar Jagak ulurkan kedua tangannya. Ternyata tangan itu panjang sekali. Satu kali bergerak saja Setan Dari Luar Jagat telah berhasil meraih dan menangkap pinggang Sakuntili. Gadis ini terpekik. "Sakuntili! Hantamkan batu hitam itu!" teriak Wiro. Sebenarnya sejak tadi Setan Dari Luar Jagat berada di dekatnya, Sakuntili telah berusaha untuk mengeluarkan batu hitam pemberian Wiro. Celakanya batu itu tak ada lagi di balik pinggangnya. Ternyata terjatuh sewaktu tadi tubuhnya terpental oleh tiupan Setan Dari Luar Jagat! Buk ... ! Buk .. .! Buk .... ! Pukulan Sakuntili yang mengandung tenaga dalam tinggi berulang kali menghantam dada dan dagu Setan Dari Luar Jagat. Mahluk ini hanya ganda tertawa. "Buciak pemuas nafsu! Budak pemuas nafsu ...!" ujar Setan Dari Luar Jagat berulang kali sambil tertawa gelak-gelak. Saat itu dia tidak lagi memperdulikan Wiro karena dia tahu apapun yang akan dilakukan oleh pemuda itu tak bakal membuatnya cidera. Namun Setan Dari Luar Jagat jadi palingkan kepala ketika didengarnya teriakan Wiro. "Mahluk iblis Setan Dari Luar Jagat! Lihat ini! Lihat apa yang ada di tanganku!" Wajah berbulu Setan Dari Luar Jagat mengerenyit. Sepasang matanya bersinar lebih terang, namun tiba-tiba meredup. Ada suara menggereng dari tenggorokannya. Dia mundur satu langkah ketika Wiro datang mendekat sambil acungkan tangan kanan yang memegang potongan batu hitam pemberian Lor Gambir Seta murid Si Raja Penidur. "Jahanam ... Pergi kau! Pergi . . ." Setan Dari Luar Jagat meniup ke arah Wiro. Angin sedahsyat badai kembali menderu di puncak bukit itu. Tetapi begitu menyentuh batu, tiba-tiba angin ini membalik kembali, menghantam ke arah Setan Dari Luar Jagat. Mahluk ini berteriak keras. Masih mencekal tubuh Sakuntili dengan tangan kanannya, Setan Dari Luar Jagat melompat ke sebuah batu besar. Dari sini dia lepaskan satu pukulan yang membuat ° batu-batu besar di tempat itu hancur berantakan, tapi seolah-olah terlindung oleh satu kekuatan yang tidak kelihatan, Wiro sama sekali tidak mendapat cidera, hanya tegak tergontai-gontai beberapa saat. Sementara itu di depan sana kembali Setan Dari Luar Jagat berteriak seperti kesakitan sewaktu sebagian dari angin pukulannya berbalik menghantam dirinya sendiri! Sadar kalau mahluk menyeramkan itu ketakutan melihat potongan batu yang ada di tanyah kanannya, Wiro merangsak maju. "Kalau kau berani mendekat, kubunuh gadis ini! Kubunuh!" teriak Setan Dari Luar Jagat. Wiro bukannya mundur atau berhenti, malah melompat mendekat. "Keparat! Rasakan kematian ini!" Setan Dari Luar Jagat cengkeram leher Sakuntili dengan tangan kirinya. Sepasang mata sang dara terbellak, lidahnya terjulur. Wiro lemparkan batu hitam di tangan kanannya dengan mengerahkan tenaga dalam. Batu itu melesat di udara, mengeluarkan suara berdesing, menebar, hawa dingin yang aneh. Tapi lebih aneh lagi, batu yang tadinya hitam itu, ketika melayang di udara tampak menjadi marah laksana terbakar dan pada bagian ekornya terbentuk cahaya terang seperti lidah api. Setan Dari Luar Jagat keluarkan suara melolong dahsyat. "Lintang ngalih ... Lintang ngalih!" jeritnya ketakutan. Tangannya yang tadi siap untuk menghancur remukkan leher Sakuntili diangkat tinggi-tinggi guna menutupi kedua matanya. Mahluk ini seperti ketakutan setengah mati. Sementara tubuh Sakuntili terjatuh ke batu, Setan Dari Luar Jagat kembali keluarkan suara lolongan. Dia hendak melompat menghindari sambaran batu hitam bercahaya nyala api yang datang menyambar ke arahnya. Tapi kedua kakinya terasa berat. Sepasang tangannya yang ditutupkan ke wajahnya juga tak bisa digerakkan lagi seolah-olah menempel ke wajahnya. Setan Dari Luar Jagat melolong sekali lagi. Sekali ini lolongannya terhenti di tengah jalan ketika batu hitam yang dilemparkan Wiro menghantam lehernya dan menancap amblas ke dalam tenggorokannya! Sosok tubuh tinggi besar Setan Dari Luar Jagat roboh bergedebuk ke atas batu, menggelepar-gelepar beberapa kali lalu diam tak berkutik. Dari tubuh itu kemudian menebar bau busuk sekali lalu ada kepulan asap membubung ke udara. Ketika kepulan asap lenyap, sosok tubuh Setan Dari Luar Jagat ikut lenyap. Di bekas tempatnya roboh, tampak tergelimpang sesosok tubuh lelaki berpakaian putih dalam keadaan menelungkup. Sesaat Wiro tidak perhatikan sosok tubuh itu karena dia mementingkan menolong Sakuntili lebih dulu. Ketika dia sadar apa yang terjadi maka cepat-cepat dia mendekati sosok tubuh yang terbujur. "Aku seperti pernah melihat orang ini sebelumnya...." "Wiro, bukankah di . . . ." ° Wiro pergunakan ujung kakinya untuk membalikkan tubuh yang menelungkup. Begitu sosok tubuh ini tertelentang Wiro dan Sakuntili sama-sama terkejut. "Kondang Panahan . . ." desis Wiro. "Dia rupanya . . .!" ujar Sakuntili. Tiba-tiba tubuh lelaki separuh baya bernama Kondang Panahan itu melesat satu setengah tombak ke udara. Dari mulutnya terdengar suara lolongan panjang. Ketika jatuh kembali ke atas batu bukit, tubuh yang tadi tidak cidera apa-apa tahu-tahu kini berubah hitam, penuh luka-luka mengerikan mulai dari muka sampai ke kaki. Bau sangat busuk kembali menebar di tempat itu. Sakuntili seperti mau muntah dan cepatcepat menutup hidung. Wiro meludah berulang kali. "Sebelum muncul setan yang lain, mari tinggalkan tempat celaka ini!" kata Wiro. Keduanya membalikkan tubuh. Ketika melangkah, kaki Sakuntili menendang sesuatu. Sewaktu diperhatikan ternyata potongan batu hitam yang terjatuh. Cepat-cepat Sakuntili memungutnya. "Batu itu tak ada gunanya lagi. Buat apa diambil .... ?" berkata Pendekar 212. "Saat ini memang tak ada gunanya lagi. Tapi siapa tahu di kemudian hari. Paling tidak sebagai kenang-kenangan pertemuan dan pengalaman kita bersama." Wiro manggut-manggut. Tiba-tiba dia hentikan langkah dan berkata: "Bagaimana kalau batu yang kau simpan itu hanya membuat mahluk-mahluk seram dari luar angkasa berdatangan dan mengikuti kemana kau pergi?!" "lh!" Sakuntili terpekik, dan lepaskan batu yang dipegangnya. Wiro cepat sambut batu yang jatuh lalu cepat sekali tangannya menjatuhkan batu itu ke balik dada pakaian Sakuntili hingga batu kemudian tertahan dan terselip dibelahan payudaranya. Tentu saja sang dara menjerit- jerit tak karuan. "Nah, apa kataku! Belum lagi kita meninggalkan bukit ini sudah ada mahluk dari luar jagat yang menggerayangimu! Lihat tangan mahluk menyelinap!" Tangan kanan Wiro meluncur enak saja ke balik dada pakaian sang dara. Meskipun maksudnya untuk mengambil batu hitam yang tadi diselipkannya di belahan dada Sakuntili, tapi mau tak mau tangan yang jahil itu tentu saja menyentuh bagian tubuh dara yang kencang dan mulus itu! "Manusia jahil! Aku bersumpah agar kau benar-benar jadi setan dari luar jagat!" teriak Sakuntili, lalu memukul dada Pendekar 212 Wiro Sableng dan lari menuruni bukit batu. "Aku tahu, kau memang senang jika aku benar-benar jadi setan! Kau minta digentayangi. Betulkan .... ? Ha ... ha... ha ...ha!" "Setan ... ! Setan . . . Setaaannnn... !" teriak Sakuntili. Selesai

Komentar

Postingan Populer