WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAKMAUT NAGA GENI 212
Karya : BASTIAN TITO
EPISODE : SEPASANG MANUSIA BONSAI
*********
ANGIN dari danau Biwa bertiup
dingin. Permukaan air danau tampak
bergelombang lembut. Desa Hikone yang
terletak di tepi danau di selimuti kesunyian
walau malam belum sepenuhnya datang
karena di timur masih kelihatan sembulan
sang surya memancarkan sinar kuning
kemerah-merahan.
Sejak beberapa waktu belakangan ini suasana
di desa itu memang kurang tenang. Penduduk
merasa takut oleh kemunculan sekelompok
penjahat pimpinan Numazu yang kabarnya
kini berada di sekitar desa.
Karena itu, ketika terdengar derap kaki kuda
menebus kesunyian dari arah selatan,
penduduk desa yang sedang dilanda
ketakutan itu serta mereka mengunci pintu
dan memeriksa jendela rumah.
Orang-orang lelaki bersiap-siap dengan
senjata masing-masing. Menunggu penuh
waspada. Para istri dan anak-anak
disembunyikan di tempat yang aman. Lalu
beberapa orang lelaki coba mengintai lewat
lobang-lobang kecil yang mereka buat di
dinding.
Di bawah paduan sinar kuning kemerahan
matahari yang hampir tenggelam dan
kegelapan malam yang segera datang
membawa suasana serba hitam, beberapa
penduduk melihat ada tiga orang penunggang
kuda bergerak cepat ke arah danau sebelah
utara. Di sini terletak sebuah gedung besar
milik saudagar muda terkenal dengan nama
Yamada. Ketiga orang tadi ternyata bukan
rombongan penjahat yang ditakuti itu. Dari
pakaian serta topi yang mereka kenakan
ketiganya mudah dikenali sebagai prajurit-
prajurit shogun.
Begitu ketiga penunggang sampai di pintu
gerbang. Empat Orang pengawal cepat
bergerak dan menunggu waspada. Karena
pintu gerbang tertutup, mereka belum tahu
siapa yang datang. Sesaat kemudian
terdengar pintu kayu setinggi dua tombak itu
diketuk orang dengan gagang senjata.
"Buka pintu! kami utusan keluarga shogun
datang untuk menemui saudagar kano
Yamada!".
Setelah tahu siapa yang datang dua orang
pengawal segera membuka palang pintu
gerbang. Dua lainnya cepat membukakan
pintu. Karena pihak yang datang lebih tinggi
kedudukannya dari pada pengawal yang ada
di gedung itu maka ke empat pengawal
menjura dalam-dalam memberi hormat.
"Para tamu silahkan turun dari kuda. Kami
akan memberitahukan majikan kami." Berkata
salah seorang pengawal lalu cepat-cepat dia
masuk ke dalam gedung sementara tiga
kawannya sibuk mencari tambatan bagi ketiga
ekor kuda para prajurit shogun itu.
Tak lama kemudian kelihatan lampu terang
dinyalakan di salah satu bagian gedung.
Setelah itu tampak pengawal yang tadi masuk
bergegas keluar lalu memberitahu bahwa
saudagar Kano Yamada segera siap menerima
mereka.
"Ikuti kami ke ruang tamu," kata si pengawal.
Tiga Prajurit shogun melangkah mengikuti
pengawal tadi tanpa bicara barang sepatah
pun. Lagak gaya mereka berjalan seolah
gedung besar itu milik mereka bertiga.
Mereka harus menunggu cukup lama di
ruangan tamu itu. Ini menyebabkan ketiganya
menjadi jengkel. Wajah jengkel itu jelas
terbaca oleh tuan rumah. Karenanya, begitu
berada di ruangan tamu, hartawan Kano
Yamada segera meminta maaf.
"Aku kurang enak badan. Mungkin masuk
angin, barusan saja selesai di pijat. Harap
maklum kalau kalian menunggu agak
lama…..".
"Yamada-san tentu sudah tahu maksud
kedatangan kami. Jadi kami merasa tidak
perlu banyak bicara." Yang membuka mulut
adalah prajurit berbadan gemuk dan gempal,
bermata tak bisa diam, selalu bergerak liar
kian ke mari. Dia meneruskan ucapannya.
"Perlu kami beritahu Kiuchi-san saat ini
benar-benar habis kesabarannya. Kalau tidak
memandang persahabatan antara orang-
orang tua kedua belah pihak di masa lalu,
bisa-bisa dia berbuat sesuatu yang tidak
enak bagi keluarga di sini."
"Aku tahu, aku tahu …." jawab Kano Yamada,
saudagar muda baru berusia tiga puluhan
tahun itu.
Seorang perempuan masuk ke dalam ruangan.
Kano Yamada segera berkata, "Chieko,
masuklah! Orang perempuan tidak pantas ikut
mendengarkan pembicaraan orang laki-laki.
Lagi pula ini…."
"Yamada-san, tidak usah menyuruh istrimu
pergi. Biarkan dia di ruangan ini agar bisa
mendengar semua pembicaraan…."
Saudagar Kano Yamada walaupun tidak
senang terpaksa anggukkan kepala.
"Yamada-san, katakan kabar apa yang bisa
kami sampaikan pada orang yang mengutus
kami?".
"Kau dan kawan-kawanmu menjalankan tugas
dengan baik," memuji Kano Yamada, sekadar
untuk melunakkan hati para prajurit yang ada
di hadapannya.
"Sayang sekali aku belum mendapat jalan
keluar bagaimana bisa dengan segera
membayar semua uang tuan Kiuchi….. Orang-
orang dari perusahaan pelayaran tidak
bersedia membayar ganti kerugian. Puluhan
bal kain sutera serta ratusan barang-barang
porselen yang kubeli di Cina tenggelam dalam
pelayaran sebelum mencapai pelabuhan
Osaka hanya akan jadi barang-barang tak
berguna… Padahal dengan hasil penjualan
barang-barang itu aku berniat melunasi
semua pinjamanku pada Kiuchi-san….."
"Cerita seperti itu sudah kami dengar dua
minggu lalu. Kami datang ke sini bukan untuk
mendengar cerita yang sama. Tapi untuk
meminta uang majikan kami yang kau pinjam
untuk modal dagangan bulan lalu. Sesuai
perjanjian kau akan mengembalikan pada
awal bulan keempat. Sekarang sudah dua
bulan lewat…"
"Apakah sudah kalian sampaikan pada
majikan kalian bahwa aku bersedia membayar
bunga tinggi untuk keterlambatan pembayaran
hutang itu?"
"Tentu saja sudah!".
"Apa jawab Kiuchi-san?" tanya Kano Yamada.
"Dia tidak perlu segala macam bunga. Tapi
minta uangnya! Seluruhnya! Kalau tidak, ia
akan menyeretmu ke penjara!"
Mendengar ancaman itu, Chieko istri Kano
Yamada segera membuka mulut. "Jangan
lakukan itu, Saya mohon disampaikan pada
majikan kalian agar berbelas hati pada suami
Saya. Kami akan meminjam uang dan
membayar semua hutang itu……."
Kano Yamada membalikkan tubuhnya,
memandang dengan mata membelalak pada
istrinya.
"Chieko! Kau tahu kita sudah mencoba dan
tak ada orang mau memberi pinjaman….."
Pada perajurit yang ada di hadapannya Kano
Yamada segera berkata. "Maafkan kata-kata
istriku tadi….."
"Jadi kau sudah siap untuk masuk penjara?"
tanya si prajurit pula. "Aku sudah meminta
waktu untuk menghadap tuan Yasuaki
Kiuchi……"
"Dia tidak sudi menerimamu. Kecuali….. ini
satu-satunya jalan keluar bagimu. Kau
menyerahkan anak perempuanmu yang masih
bayi itu untuk di jodohkan dengan puteranya
yang juga saat ini masih bayi."
"Aku tidak bisa melakukan hal itu. Aku sudah
katakan alasanku padamu."
Prajurit di hadapan Kano Yamada menyeringai
lalu berkata, "Kau sudah diberi bukan saja
kesempatan tapi juga kehormatan! Kurasa
tidak ada manusia setololmu di atas dunia
ini……"
Mendengar kata-kata itu Kano Yamada
menjadi merah mukanya. Dengan suara
bergetar menahan marah dia berkata. "Kau
kemari untuk menjalankan tugas, bukan untuk
menghinaku! Keluar dari gedung ini!
Sampaikan pada Kiuchi-san. Aku akan
membayar hutangku, kalau perlu dengan
darah dan nyawaku! Katakan padanya aku
tidak takut dijebloskan dalam penjara atau
dikirim ke utara sebagai pekerja paksa
tambang di pegunungan Kitami. Apapun yang
terjadi aku tidak mungkin menyerahkan
puteriku untuk jadi jodoh puteranya!"
"Aku tetap menganggap kau orang paling
tolol Yamada-san!" kata si prajurit tadi
dengan beraninya lalu memutar tubuh sambil
memberi isyarat pada dua kawannya untuk
meninggalkan tempat itu.
Namun sebelum dia sempat melangkah Kano
Yamada telah menghadang jalannya dan
"plak!" satu tamparan mendarat di pipi
prajurit itu. Membuatnya terjajar nanar dan
ada darah keluar dari sudut bibirnya yang
pecah!.
Si prajurit berteriak keras dalam sakit dan
marahnya. Dua kawannya ikut membentak.
Prajurit yang kena tampar menghunus pedang
yang tersisip di pinggangnya. Namun baru
saja senjata itu keluar dari sarungnya, Kano
Yamada mendahului menyerang. Tangan
kanannya melesat ke depan. Pada saat
jotosannya mendarat di dada si prajurit
dengan telak, tangan kirinya cepat
menyambar ke arah pergelangan tangan
lawan.
Dalam satu gerakan kilat Kano Yamada yang
kidal itu berhasil merampas pedang lalu ujung
senjata ini ditekankannya ke bawah dagu
orang. Melihat kawan mereka dipreteli begitu
rupa, dua perajurit lainnya berteriak marah
dan berusaha menyergap.
"Berani kalian mendekat kutembus
tenggorokan manusia satu ini!" ancam Kano
Yamada.
"Kano! Jangan lakukan itu!" seru Chieko. Tapi
sang suami tidak peduli. Dengan tangan
kanannya dicampakannya topi yang ada di
kepala si prajurit, lalu dijambaknya
rambutnya. Ujung pedang di tekankan sedikit
hingga prajurit ini meringis kesakitan.
"Jatuhkan senjata kalian!" perintah Kano
Yamada pada dua prajurit di hadapannya.
Dua prajurit ini tampaknya ragu-ragu. Malah
mereka melirik ke arah Chieko. Kano Yamada
segera dapat membaca apa yang ada di
dalam benak kedua prajurit shogun itu. Maka
dia berkata dengan suara keras.
"Berani kalian mendekati istriku, kubunuh
kawan kalian ini, aku tidak main-main!"
Kano Yamada kembali tekankan ujung
pedang. Kini sedikit lebih keras. Prajurit yang
dijambaknya mengeluh tinggi. Kulit dagunya
terluka, darah mengalir turun membasahi
pedang.
"Turut apa yang dikatakannya! Buang senjata
kalian!" teriak si prajurit. Dua kawannya yang
sadar tidak bisa berbuat apa-apa akhirnya
campakkan pedang masing-masing ke lantai.
"Putar tubuh kalian. Keluar dari ruangan ini!"
perintah Kano Yamada selanjutnya. Ketika
dua prajurit itu melakukan apa yang
dikatakannya, Kano Yamada kemudian
menyuruh prajurit di bawah ancamannya
untuk melangkah ke arah pintu.
Keluar dari ruangan tamu Kano Yamada terus
membawa prajurit itu sampai ke halaman
depan gedung. "Naik ke atas kuda masing-
masing! Jangan berani berbuat yang aku
tidak senang!" Lalu dengan sekuat tenaga
Kano Yamada mendorong prajurit itu hingga
tersungkur ke tanah.
Malangnya, muka jatuh lebih dulu hingga
lecet berkelukur. Beberapa orang pengawal
gedung yang ada di situ hanya terkesima
menyaksikan apa yang terjadi.
"Kano Yamada! Kau berani menjatuhkan
tangan pada prajurit Shogun! Kau akan
rasakan pembalasan dari kami!" gertak
prajurit yang mukanya babak belur.
Kano Yamada masih tetap di tempatnya
sampai tiga perajurit itu lenyap di kejauhan.
Setelah mencampakkan pedang di tangan
kirinya ke tanah, saudagar ini segera masuk
ke dalam gedung.
Chieko Yamada mendatangi. Kedua suami
istri ini segera masuk ke dalam kamar.
"Saya mau bicara dengan Kano…." Kata sang
istri begitu masuk ke dalam kamar.
"Aku juga! Aku tak suka kau mencampuri
urusan ini! Biar aku sendiri yang
menyelesaikan urusan hutang piutang dengan
Yasuaki Kiuchi."
"Mana bisa begitu. Kau suamiku. Apa yang
menjadi persoalanmu menjadi urusan saya
juga.
Kenyataannya sekarang bukan cuma
menyangkut urusan hutang piutang. Tapi kini
malah merembet pada diri anak kita Hatsuko.
Kita harus menemui orang itu."
"Aku sudah berusaha tapi dia menolak!"
"Kalau begitu biar saya yang menemuinya…."
kata Chieko Yamada pula.
Lama Kano Yamada memandangi istrinya itu.
Lalu terdengar suaranya bertanya. "Apa yang
ada dalam benakmu, Chieko? Aku tak bisa
melupakan bagaimana hubunganmu dulu
dengan Yasuaki Kiuchi!"
"Kau jangan terlalu bercemburu Kano. Dulu
kami memang pernah menjalin hubungan
cinta…."
"Dan pernah merencanakan untuk kawin…."
sambung Kano Yamada.
"Betul, tapi itu dulu. Kenyataanya lain. Saya
tidak kawin dengan dia. Kau kini menjadi
suamiku…" potong Chieko.
"Kau menyesal menjadi istriku? Hemmmm….
Yasuaki Kiuchi. Manusia terpandang di negeri
ini karena keluarga sangat dekat dengan
Shogun yang berkuasa….."
"Saya tidak suka kau berkata begitu Kano.
Sejak saya menjadi istrimu hanya kau satu-
satunya laki-laki di hati saya."
"Mulutmu berucap begitu. Namun hatimu tak
pernah bisa melupakan laki-laki itu………"
Chieko Yamada gelengkan kepalanya
berulang-ulang. Perempuan ini seperti mau
sesenggukan ketika berkata, "Dengar Kano.
Saya berharap ada maksud bersih dan baik
dari Yasuaki mau menjodohkan anak kita
dengan putranya….."
"Mungkin saja. Karena dia tidak mendapatkan
dirimu, lalu hubungan yang terputus
disambung kembali dengan menjodohkan
Hatsuko dengan putranya…."
"Saya tidak melihat ada yang salahnya hal
itu. Hanya saja Hatsuko sudah kita jodohkan
dengan putra keluarga Hideo Yukawa…….."
"Seandainya tali perjodohan itu tidak ada,
Kau tentu bersedia menjodohkan Hatsuko
dengan anak lelaki Kiuchi."
"Saya tidak mengatakan begitu" Sahut
Chieko.
"Lalu apa maksudmu menemui laki-laki itu?"
"Untuk menjernihkan suasana. Siapa tahu dia
bisa mengerti keadaan kita yang belum
mampu melunasi pinjaman dalam waktu dekat
ini. Lalu sekaligus menerangkan bahwa
Hatsuko telah kita jodohkan dengan Toshiro,
anak keluarga Yukawa."
Kano Yamada menggeleng. "Tidak," Katanya.
"Aku tidak mengizinkan kau menemui laki-laki
itu.
Aku memilih penjara untuk masalah hutang
itu. Dan aku memilih mati jika ada orang lain
menyentuh anakku, apabila mengambilnya!"
"Kano, kau tahu saat malapetaka telah terjadi
atas diri Yasuaki. Pikirannya terganggu,
tingkah lakunya tampak aneh sejak dia
menderita sakit panas selama dua minggu
akibat patukan ular berbisa di hutan Kiso
beberapa bulan lalu….."
"Dia memang tampak aneh. Katakanlah tidak
waras. Tapi apakah dia tidak memandang
hormat padamu hingga mengancam hendak
memenjarakanku dan memaksa mengambil
Hatsuko sebagai jodoh puteranya?"
"Itulah sebab saya harus menemuinya. Saya
yakin jika saya bisa bicara dengan dia, semua
persoalan bisa diselesaikan dengan baik. Saya
tidak ingin kehilangan kalian berdua. kau dan
Hatsuko….."
Chieko lalu memeluk suaminya dengan erat-
erat. Kano Yamada balas merangkul. Di kamar
sebelah terdengar suara bayi menangis. Dua
suami istri ini lepaskan pelukannya masing-
masing lalu bergegas menuju ke kamar itu.
Seorang pelayan tampak mendukung bayi
kecil berpipi merah sambil menepuk-nepuk
halus punggungnya hingga bayi terdiam dan
tidur kembali.
"Biar saya mendukungnya sebentar…." Kata
Chieko sambil mengulurkan tangan untuk
mengendong puteri kecil anak pertamanya itu.
Si bayi segera saja tertidur lelap dalam
dukungan sang ibu. Setelah yakin bayinya
tidak akan bangun dan menangis lagi, Chieko
Yamada membaringkan anak itu di dalam
sebuah tempat tidur kecil yang hangat.
Kano Yamada tertegun di ujung tebing.
Puluhan kaki di bawahnya membentang laut
Jepang yang ganas. Ujung-ujung runcing batu
karang menyembul di permukaan laut.
Mengerikan. Dia tak bisa lari lagi. Tak
mungkin terjun ke laut karena sama saja
bunuh diri. Tapi dia juga tidak bisa mencari
jalan lain.
Di hadapannya saat itu sepasang harimau
kumbang hitam mengerang keras. Gigi-gigi
bintang ini menggidikkan. Harimau kumbang
yang betina kelihatan berselemotan darah
mulutnya. Itu adalah darahnya sendiri.
Binatang ini sempat mencakar dadanya dan
menerkam bahunya. Si betina ini lebih garang
dari si jantan. Pakaian Kano Yamada basah
oleh keringat dan darah!
Dada Kano Yamada naik turun. Dia tahu dia
tak bakal lolos dari kematian. Tangan
kanannya yang basah oleh darah dan keringat
terasa licin digagang samurai yang
digenggamnya. Pedang itu! Ini satu-satunya
tuan penyelamatnya. Kalau dia mampu
membunuh dua ekor harimau kumbang itu,
sangggupkah dia?
Harimau kumbang betina mengaum keras. Dia
sudah mencium darah calon mangsanya. Ini
agaknya yang membuatnya jadi lebih
beringas. Tiba-tiba binatang ini melompat
menerkam. Kano Yamada berteriak keras.
Samurai di tangannya menderu ke atas,
menyongsong terkaman harimau betina.
Tapi celakanya harimau jantan telah
menyergap pula. Walau Kano Yamada
berhasil membabatkan senjatanya di
pertengahan dada harimau kumbang betina
sehingga bintang ini meraung keras dan darah
memancur dari dadanya yang terkoyak,
serangan harimau kumbang jantan tak dapat
dihindari.
Dua cakar kaki depan mengoyak perut dan
dadanya. Kano Yamada menjerit setinggi
langit. Dalam keadaan mandi darah tubuhnya
terpental dari ujung tebing batu, melayang
jatuh ke bawah. Ombak laut Jepang berdebur
dengan dahsyat. Batu-batu runcing siap
menyambut tubuh Kano Yamada.
Lelaki ini berteriak sekali lagi. Lebih keras dan
lebih menggidikkan dari teriakan pertamanya
tadi.
Kano Yamada terduduk di atas ranjang.
Pakaian tidurnya basah oleh keringat.
Dadanya terasa sesak dan nafasnya memburu.
"Mengerikan sekali mimpiku…." kata lelaki ini
sampai menyeka wajahnya yang basah
dengan ujung baju. Dia memandang ke
samping. Sesaat dia merasa heran. Chieko tak
ada di sampingnya.
Mungkin dia keluar kamar, membuang hajat
kecil atau mengambil air minum. Atau ke
kamar putri mereka di sebelah. Kano Yamada
menunggu sebentar.
"Chieko…." Lelaki ini memanggil, satu kali.
Dua kali, Kali yang ketiga dia melompat turun
dari atas ranjang rendah itu. Seluruh ruangan
diperiksanya. Chieko tidak diketemukan, Kano
Yamada masuk ke kamar tidur puterinya.
Anak itu dilihatnya tertidur nyenyak dalam
ranjang kecilnya sementara pelayan tidur di
atas tatami (alas lantai berbentuk kotak-
kotak).
"Aneh, ke mana perginya perempuan itu….?"
Pikir Kano Yamada sambil melangkah masuk
ke dalam kamar tidur kembali. Dia
memandang seputar kamar. Baju tebal milik
istrinya yang sebelumnya tergantung di sudut
kamar ini tidak ada lagi. Hati Kano Yamada
berdetak.
"Jangan-jangan…." Setengah berlari lelaki ini
keluar dari kamar, terus ke bagian belakang
gedung.
Di sini ada sebuah kandang kuda. Ketika
kandang diperiksanya, debaran di hati Kano
Yamada menjadi semakin keras. Detak
jantungnya seolah menggemuruh.
"Chieko…." desisnya. "Dia pasti ke otsu! pasti!
Nekad sekali perempuan itu!" Di kandang itu
seharusnya ada dua ekor kuda. Miliknya dan
milik istrinya. Kuda milik istrinya ternyata
tidak ada.
Kano Yamada berteriak memanggil pengawal.
Setengah lusin pengawal gedung segera
menghambur datang.
"Istriku tak ada dalam gedung! Kudanya juga
tidak ada di kandang! Siapa di antara kalian
tahu di mana istriku berada?! Atau pergi ke
mana dia?! Jangan ada yang berani dusta!"
Pegawal paling depan kelihatan takut-takut
mau bicara. Tapi salah seorang kawannya
mendorong-dorong punggungnya sambil
berbisik. "Lekas katakan saja sebelum Tuan
Yamada marah…."
"Hmm… benar rupanya ada yang tidak beres,"
kata Kano Yamada dalam hati. Lalu diapun
berteriak marah. "Kalau tidak ada yang berani
bicara satu persatu aku robek mulut kalian!"
"Tuan," pengawal paling depan akhirnya
berkata juga. "Beberapa waktu lalu nyonya
meninggalkan gedung. Dia memerintahkan
kami membuka pintu gerbang. Sebelum dia
pergi kami sempat bertanya mau ke mana
malam-malam begini. Sendirian pula. Istri
tuan tidak menjawab, malah memerintahkan
agar kami cepat menutup pintu. Dia juga
menolak untuk kami kawal. Ketika kami
katakan hendak memberitahukan tuan, dia
marah besar, Kami tidak bisa berbuat apa-
apa. Kami melihat sikap nyonya aneh sekali
malam ini."
"Kalian pengawal tidak becus! Tolol! Walau
dia melarang tapi kalian punya kewajiban
memberitahu!" teriak Kano Yamada. Kaki
kanannya dihentakkan hingga tanah yang
dipijaknya melesat ke bawah.
Habis membanting kaki begitu, Kano Yamada
berkata. "Salah seorang dari kalian lekas
siapkan kudaku! Aku harus mencari dan
mengejarnya sekarang juga!"
"Kalau begitu biar kami ikut!"
"Aku tidak perlu manusia-manusia tolol
seperti kalian!" damprat Kano Yamada, lalu
masuk ke dalam untuk berganti pakaian.
Ketika keluar dia telah mengenakan pakaian
ringkas. Sebilah Katana (pedang panjang khas
Jepang) tergantung di belakang punggungnya.
Sesaat kedua kakinya menuruni tangga
gedung tiba-tiba udara yang tadinya sunyi
tenang berubah. Suara tiupan angin mula-
mula terdengar seperti suara seruling lalu
berubah menjadi gemuruh yang menakutkan.
Pohon-pohon besar yang tumbuh di sekeliling
gedung berderik-derik seperti mau tumbang.
Daun-daunnya gugur berhamburan.
"Badai!" teriak seorang pengawal sambil
berpegangan pada sebuah pilar batu.
"Tuan Yamada sebaiknya jangan pergi dulu!"
menasihatkan seorang pengawal.
Kano Yamada mana mau perduli. Terseok-
seok karena tubuhnya diterpa angin, lelaki ini
melangkah mendekati kudanya yang dipegang
dua orang pengawal. Binatang ini meringkik
keras beberapa kali. Belum sempat Kano
Yamada naik ke punggungnya, tiba-tiba kuda
ini menghambur lari.
"Binatang jahanam!" teriak Kano Yamada
marah. Dia coba mengejar tapi tubuhnya
limbung. Satu putaran angin menghantamnya
dengan keras hingga dia tak kuasa bertahan
dan terhampar ke tanah.
Dua orang pengawal segera menolongnya dan
membawanya masuk ke dalam rumah.
"Tangkap kuda itu. Atau carikan kuda lain!"
perintah Kano Yamada pada para pengawal
yang ada di sekelilingnya.
Seorang pengawal berusia agak lanjut
berkata. "Tuan Yamada lebih baik suka
bersabar sedikit. Kuda itu telah menjadi liar
Tak mungkin ditangkap. Kalaupun bisa sangat
berbahaya bagi tuan menungganginya.
Mencari kuda lain sama sulitnya dengan
menangkap kuda itu…"
Kano Yamada hendak membentak. Namun
akhirnya dia hanya bisa menghenyakkan
tubuhnya di atas sebuah kursi kayu. Di luar
tiupan angin semakin dahsyat. Badai tambah
menggila.
"Chieko! Kamu manusia nekad! Mengapa kau
melakukan semua ini!" kata Kano Yamada
sambil menutup kedua telapak tangannya ke
wajahnya. Terbayang wajah istrinya.
Terbayang pula wajah merah Hatsuko
putrinya. Lalu muncul tampang Yasuaki
Kiuchi. Dengan tangan kanannya entah sadar
entah tidak, Kano Yamada tiba-tiba
menghantam lengan kursi. "Krakkk!" Lengan
kursi itu hancur berantakan. Wajahnya
tampak beringas. "Aku harus pergi! Persetan
dengan badai! Persetan dengan kuda itu! Aku
bisa jalan kaki!"
Kano Yamada melompat ke pintu. "Tuan!"
seru dua orang pengawal. Kawannya yang
tegak dekat pintu berusaha menghalangi tapi
serta merta kena sikut Kano Yamada hingga
orang ini mengeluh tinggi dan terbanting ke
dinding ruangan.
Dalam gelapnya malam, di bawah badai besar
itu Kano Yamada melangkah terhuyung-
huyung menahan kencangnya angin yang
menyambar dari depan, menghantam dari
samping atau dari belakang. Para pengawal
yang melihat kejadian itu sesaat hanya bisa
berdiri melongo. Namun tiga orang diantara
mereka akhirnya memutuskan untuk mengikuti
tuan mereka. Salah seorang dari ketiganya
berteriak tiada henti, berusaha membujuk
sambil mengingatkan.
"Tuan Yamada! Kembali! Terlalu berbahaya
menempuh badai seperti ini! Kembali tuan
Yamada!"
Kano Yamada tidak perduli. Dia melangkah
terus. Badai bertambah dahsyat ketika hujan
mulai turun.
"Tuan Yamada! Ingat putrimu Hatsuko," teriak
pengawal satunya. Sesaat langkah Kano
Yamada tertahan. Tetapi di lain saat lelaki ini
lanjutkan perjalanannya. Kedua tangannya
dikepalkan kencang-kencang.
Di dalam gedung kediamannya yang besar
dan mewah di kota Otsu, Yasuaki Kiuchi
duduk di atas kasur tebal empuk didampingi
oleh dua selirnya yang masih muda-muda dan
cantik. Kepalanya diletakkan di pangkuan
salah satu selir, sementara selir satunya
memegang sebuah piala perak berisi sake. Di
dekat pembaringan terhidang berbagai macam
makanan dan buah-buahan. Lalu sepuluh
langkah di hadapannya duduk seorang gadis
memetik koto (harpa), sebuah peralatan musik
memiliki 13 jalur senar dan diletakkan di
lantai.
Antara gadis pemetik koto dengan Yasuaki
Kiuchi ada seorang gadis penari yang menari
mengikuti irama koto dengan gerakan lemah
gemulai. Kimono yang melilit ditubuhnya
terbuat dari jenis kain yang demikian tipisnya
hingga lekuk tubuh gadis ini membayang
dengan jelas. Keadaan Yasuaki Kiuchi yang
konon masih saudara sepupu Shogun yang
berkuasa pada masa itu tidak beda seperti
kaisar kecil saja.
Saat itu dia sudah setengah mabuk karena
terlalu banyak meneguk sake. Mukanya yang
bulat dan selalu berkeringat kelihatan merah.
Sekali-sekali dia menyeringai sambil salah
satu tangannya mengusap paha selir yang
duduk di sebelahnya. Di luar gedung hujan
turun dengan lebat. Badai masih bersabung di
wilayah utara. Deru angin terdengar
menggidikan.
Ketika sedang asyiknya Yasuaki Kiuchi
menikmati tarian masuklah seorang
pembantu. Merasa terganggu Yasuaki Kiuchi
berteriak marah. Selagi pembantu itu menjura,
dia mengambil piala perak berisi sake dari
tangan selirnya lalu melemparkannya ke arah
si pembantu.
Si pembantu yang tahu gelagat, walau bisa
mengelak tapi tak berani melakukan. Kalau
dia mengelakkan lemparan piala perak itu
sang majikan akan meradang seperti beruang
terluka! Maka dia diam saja menunggu
sampai terdengar suara "buk!" Piala
menghantam dadanya. Dia mengernyit
menahan sakit, tak berani berteriak. Diam-
diam dia merasa beruntung karena
mengetahui bahwa Yasuaki Kiuchi
melemparkan tempat minum perak itu tanpa
menggunakan tenaga dalam. Kalau sampai
dia mengisi piala dengan menggunakan
tenaga dalam, niscaya saat itu dia sudah
muntah darah dan sekarat!
"Maafkan saya Tuan Kiuchi! Kesalahan dan
dosa yang besar mengganggumu. Tapi ada
seorang tamu datang dari jauh…"
"Heh…..?" amarah Yasuaki Kiuchi agak
mereda oleh rasa heran. Dia mendongak pada
selir yang memangku kepalanya lalu
membelai pipi perempuan ini.
"Di luar hujan turun lebat. Di utara aku yakin
ada badai mengamuk. Lalu tiba-tiba saja di
malam buta buruk cuaca begini ada tamu
mencariku! Kuharap saja bukan bangsa setan
atau roh halus dari gunung hantu!" habis
berkata begitu Yasuaki Kiuchi tertawa gelak-
gelak lalu meneguk sake langsung dari sebuah
guci kecil. Sambil menyeka mulutnya dengan
belakang tangan, mata merahnya memandang
pada si pembantu. "Kau sudah tahu siapa
adanya tamu itu?!"
"Dia seorang perempuan…."
"Apa?!" Yasuaki Kiuchi bangkit dari
berbaringannya, duduk di atas kasur,
memandang tak berkedip pada si pembantu.
"Tamunya seorang perempuan. Katanya dari
desa Hikone. Namanya Nyonya Muda Chieko
Yamada……."
Mendengar keterangan si pembantu langsung
saja Yasuaki Kiuchi melompat dari duduknya.
"Di mana dia sekarang?"
"Menunggu di ruangan tamu tuan Kiuchi.
Sekujur tubuh dan pakaiannya basah
kuyup….."
Yasuaki Kiuchi tidak menunggu sampai si
pembantu selesai berucap. Dia bergegas
menuju ruangan tamu. Dua selir dan si
pembantu mengikuti dari belakang. Gadis
pemain koto hentikan petikan dan gadis
penari juga ikut berhenti menari.
Begitu membuka pintu dorongan ruangan
tamu, Yasuaki Kiuchi tertegun melihat sosok
yang ada didalam sana. "Jadi benar kau
rupanya Chieko ….." desis Yasuaki Kiuchi. Dia
berpaling ke belakang. Pada dua selirnya dia
segera berkata "Kalian lekas pergi masuk ke
kamar masing-masing!"
Setelah memperhatikan sejenak perempuan
muda yang basah kuyup di ruangan itu, salah
satu dari dua selir menjadi iri dan cemburu
lalu bertanya "Siapakah perempuan itu yang
rupanya sangat penting hingga kami berdua
disuruh masuk dilupakan begitu saja?"
"Perempuan lancang tidak tahu diri!" bercarut
Yasuaki Kiuchi dengan mata membelalak.
"Berani kau berkata seperti itu?!" Melihat
sikap Yasuaki Kiuchi, dua selir jadi takut dan
cepat-cepat mengundurkan diri. Yasuaki
berpaling pada si pembantu. "Lekas kau temui
pelayan perempuan. Suruh Dia membawa kain
pengering dan pakaian penyalin…."
Setelah si pembantu berlalu, Yasuaki Kiuchi
masuk ke dalam ruangan. Untuk beberapa
lamanya dia melangkah perputar mengelilingi
Chieko Yamada yang tegak ditengah ruangan
dalam keadaan basah kuyup.
"Chieko, ini bukan mimpi! Kau datang di
malam buta ketika cuaca sangat buruk.
Berbasah-basah datang dari jauh. Kau perlu
mengeringkan badan, berganti pakaian dan
berhangat-hangat dengan makanan panas
dan minuman keras…"
"Saya berterima kasih atas kebaikanmu itu
Kiuchi-San…"
"Panggil aku Yasuaki!"
"Waktu saya hanya sebentar. Saya akan
segera pulang jika selesai bicara denganmu…."
"Ini rumahku! Siapa yang berada di dalamnya
harus ikut apa yang aku punya mau!" kata
Yasuaki Kiuchi pula dengan muka sesaat jadi
galak.
Tak lama kemudian seorang pelayan
perempuan datang membawa sehelai kain
pengering dan pakaian untuk bersalin. "Bantu
nyonya Yamada mengeringkan tubuh dan
berganti pakaian," kata Yasuaki Kiuchi pada
si pelayan lalu keluar kamar sambil menutup
pintu.
Tapi begitu berada di luar kamar, dengan
ujung jari kelingkingnya, lelaki ini menusuk
dinding yang terbuat dari kertas hingga
berlobang. Lewat lobang itu, dia mengintip
saat-saat Chieko Yamada membuka
pakaiannya yang basah, mengeringkan
tubuhnya lalu mengenakan pakaian yang
diberikan. Tenggorokan lelaki ini turun naik.
Nafasnya memburu. Lidahnya berulang kali
dijulurkan untuk membasahi bibirnya.
"Sudah selesai tuan Kiuchi," kata pelayan
begitu keluar dari dalam kamar membawa
pakaian basah.
"Kau boleh pergi. Beritahu semua orang agar
tidak berada di sekitar sini…" kata Yasuaki
Kiuchi pula pada pelayan perempuan itu, lalu
masuk ke dalam ruangan di mana Chieko
Yamada berada.
Sambil rangkapkan kedua tangannya di depan
dada, Yasuaki Kiuchi menatap wajah dan
tubuh Chieko tanpa berkedip sampai beberapa
lamanya. "Kau datang di malam buta. Dalam
cuaca buruk. Seorang diri. Jarang ada
perempuan Jepang punya keberanian
sepertimu. Apa kau datang mewakili suamimu
untuk minta maaf karena telah berani
menciderai perajurit Shogun yang aku
kirimkan ke tempat kediamanmu? Mengapa
dia berlaku pengecut tidak datang sendiri…?"
"Saya datang tidak setahu dia," menjelaskan
Chieko.
"Oh, jadi maumu sendiri? Ini sungguh satu hal
luar biasa! Mungkin kau tiba-tiba saja
teringat masa mudamu dulu? Ketika kau
menjalin cinta denganku. Lalu kau lenyap dan
tahu-tahu kawin dengan Kano Yamada. Kau
datang untuk minta maaf…?"
"Ada yang lebih penting dari masa lalu
Yasuaki," kata Chieko pula. "Menyangkut
hutang suami saya dan maksud hendak
menjodohkan puteriku Hatsuko dengan
puteramu."
"Soal hutang suamimu sudah jelas. Dia tidak
sanggup membayar. Aku sudah mengatur
orang untuk memperkarakannya dan
menjebloskannya ke dalam penjara…"
"Jangan lakukan itu Yasuaki. Saya mohon
kau suka memberi waktu…"
"Aku tak punya waktu lagi Chieko. Aku
merasa suamimu sengaja menipu…"
"Usahanya benar-benar sedang ambruk.
Mohon kau mau mengerti…"
"Bagaimana dengan urusan jodoh?" Yasuaki
Kiuchi mengalihkan pembicaraan.
Dari dalam saku kimononya dia mengeluarkan
sebuah botol pipih berisi minuman keras.
Beberapa kali teguk saja minumannya itu
ludas masuk ke dalam tenggorokan.
"Terus terang saja aku suka menjadi besan
denganmu Yasuaki. Tapi Hatsuko sudah
terlanjur diikat jodoh dengan Toshiro, putera
keluarga Yukawa…"
Sepasang mata Yasuaki Kiuchi membeliak.
Botol pipih yang dipegangnya dibantingkan ke
lantai hingga pecah berkeping-keping. "Aku
tahu keluarga Yukawa. Keluarga nelayan
miskin yang hanya mampu mencari nafkah di
danau Biwa! Dengan anak mereka puterimu
kau jodohkan! Sungguh memalukan! Menolak
ikatan jodoh dengan puteraku sama saja
menghina diriku!"
"Yasuaki, harap kau mau mengerti. Kami telah
terlanjur menjodohkan Hatsuko dan Toshiro.
Kalau saja ikatan itu belum ada tentu saya
dan suami merasa senang untuk menjodohkan
Hatsuko dengan puteramu…"
"Chieko! Dua kali dengan ini kau menghinaku!
Pertama waktu kau meninggalkan aku dan
kawin dengan Kano! Kedua sekarang ini.
Menolak ikatan jodoh! Padahal kau datang
untuk mengemis untuk minta agar aku
memberi kelonggaran atas hutang suamimu…"
"Saya tidak mengemis Yasuaki. Kalau kau
tidak mau mempertimbangkan, Kano bersedia
masuk penjara. Kalau perlu saya sekalian kau
jebloskan!"
Yasuaki pandangi wajah Chieko beberapa
saat lalu dia tertawa gelak-gelak sampai
keluar air mata.
Namun sesaat kemudian dia berubah. Kalau
tidak tertawa kini dia mulai sesenggukkan.
Mula-mula perlahan lalu meraung keras.
"Yasuaki…" Panggil Chieko. Perempuan ini
mulai merasa takut "Penyakit gilanya kumat…
Aku harus segera meninggalkan tempat ini.
Yang penting aku sudah bicara padanya…"
Pintu ruangan terbuka. Seorang pembantu
dan dua orang perajurit Shogun masuk. "Kami
mendengar tuan Kiuchi berteriak. Ada
apakah? Apakah tuan baik-baik saja?" tanya
salah seorang perajurit.
"Keluar!" teriak Yasuaki Kiuchi marah sekali
sehingga ketiga orang itu putar tubuh dan
tinggalkan ruangan ketakutan. Yasuaki
bantingkan pintu dorong dengan keras.
"Aku minta diri…" ujar Chieko.
"Kau mau ke mana?" tanya Yasuaki sambil
bersandar ke pintu. "Hikone jauh dari sini
anakku menunggu." Yasuaki Kiuchi
menyeringai aneh. Tiba-tiba kimono yang
melekat di tubuhnya ditanggalkan. Chieko
membuang muka kejurusan lain. "Tanggalkan
pakaianmu Chieko…"
Chieko Yamada sepertinya mendengar petir
menyambar di telinganya. "Yasuaki, kau sadar
apa yang barusan kau katakan?"
"Aku bilang tanggalkan pakaianmu! Layani
diriku malam ini! Hanya itu satu-satunya
jalan menebus pengkhianatanmu dulu dan
pengkhianatanmu kali ini!"
"Kau sakit Yasuaki…! Yasuaki yang aku kenal
dulu tidak akan berlaku sekeji ini!"
Yasuaki Kiuchi tertawa mengekeh. "Aku
memang sakit! Otakku! Hatiku! Jiwaku! Semua
ini kau penyebabnya! Ditambah racun ular
yang tidak bisa dikuras bersih dari otakku!
Lengkap sudah derita sakitku! Malam ini
derita sengsara itu akan kita bagi dua
Chieko!"
Seperti seekor singa kelaparan Yasuaki Kiuchi
menyergap perempuan itu. Chieko berusaha
melawan tapi sia-sia belaka. Menjerit minta
tolong pun tak ada gunanya karena tak ada
yang berani datang ke tempat itu. "Aku lebih
suka kau membunuhku dari pada menerima
noda!" kata Chieko dalam keadaan terlentang
tak berdaya di lantai, ditindih tubuh berat
Yasuaki Kiuchi.
Yasuaki Kiuchi menyeringai. Dua tangannya
bergerak merenggut tali kimono Chieko
Yamada.
Perempuan itu kembali menjerit tapi suara
jeritan semakin lemah lalu dia tak tahu lagi
apa yang terjadi dengan dirinya. Di luar hujan
menderu tambah lebat. Badai masih terus
berkecamuk.
Hujan yang lebat dan badai yang masih
menggila, ditambah malam begitu gelap
membuat pemandangan mata hanya mampu
menembus belasan langkah saja. Seorang
pengawal yang berjalan di samping Kano
Yamada tiba-tiba berteriak dengan mata
melotot memandang ke depan.
"Tuan Yamada! Ada sesuatu mendatangi dari
sebelah depan!"
"Aku sudah tahu," jawab Yamada datar. Dia
memang sudah melihat ada sebuah benda
mendatangi.
Karena hujan dan badai, dia masih belum
dapat memastikan benda apa itu adanya.
Namun dua telinganya mulai menangkap
suara benda bergerak itu. Air hujan yang
membasahi alisnya disekanya dan kedua
matanya dibuka lebih lebar.
"Seekor kuda…" desis Kano. Dia mempercepat
langkahnya. Mendadak saja hatinya yang
sejak meninggalkan Hikone memang sudah
gelisah kini menjadi tidak enak berlipat
ganda. Sosok yang datang dari depan
semakin dekat. Ternyata memang seekor
kuda. Kelihatannya tidak berpenunggang.
Kuda sampai di hadapan Kano Yamada.
Saudagar muda ini mengangkat tangannya
memegang kepala kuda. Binatang ini hentikan
langkahnya dan menjilati tangan lelaki itu
seolah kenal. "Heh, ini kuda Chieko…" kata
Kano dalam hati, ketika dia mengenali
binatang itu. Justru pada saat itu pulalah dia
melihat sesosok tubuh terbujur melintang
diatas pelana. Kimono yang melekat di tubuh
itu robek-robek tidak karuan rupa. Agaknya
hanya ditutupkan begitu saja. Lalu Kano
Yamada melihat rambut tergerai panjang
basah kuyup mengucurkan air hujan di bagian
bawahnya yang terjuntai. Kano Yamada
membungkuk untuk memastikan agar dia bisa
melihat wajah perempuan yang terbujur di
pelana kuda itu. Lalu terdengar raungannya.
"Chieko!!!"
Tiga orang yang menyertai Kano Yamada ikut
berseru kaget. "Nyonya muda, apa yang
terjadi denganmu?" salah seorang di antara
mereka berucap dengan suara gemetar.
Di bawah hujan lebat dan badai yang masih
mendera, Kano Yamada dibantu oleh tiga
orang tadi turunkan sosok Chieko dari atas
kuda. Mereka mencari tempat yang agak
terlindung lalu membaringkan perempuan itu
di sana.
"Chieko…! Chieko!" teriak Kano Yamada
berulang kali. Ditepuknya wajah istrinya itu.
Lalu diletakkannya telinga kirinya di atas
dada. Deru hujan dan badai keras sekali. Dia
tak dapat mendengar apakah jantung istrinya
masih berdetak atau tidak.
Kano Yamada masih meletakkan telinganya di
dada istrinya. Tiba-tiba matanya membesar.
Dia melihat ada cairan merah di bagian perut
Chieko yang mengalir ke tanah bersama air
hujan. Darah!
Darah itu mengucur keluar dari bagian perut
yang ditancapi sebilah tanto!
Raungan Kano Yamada seperti mengalahkan
deru hujan dan badai. "Chieko! Apa yang
terjadi denganmu?! Chieko!" Kano Yamada
peluk tubuh istrinya erat-erat hingga
pakaiannya ikut bersimbah darah. Tiga orang
pengawal hanya bisa tertegun tak tahu mau
berbuat apa.
"Chieko kau barusan dari mana? Siapa yang
melakukan ini?! Chieko! Chiekoooooooo…!
Jawab Chieko! Jangan diam saja!" Kano
Yamada angkat kepalanya ketika dia merasa
ada hembusan hawa keluar dari hidung
istrinya. "Chieko…kau dengar aku Chieko…"
Dua mata Chieko terbuka. Tapi hanya sedikit
lalu tertutup kembali. "Chieko katakan apa
yang terjadi! Kau barusan pergi ke mana?
Siapa yang melakukan kekejian ini?!"
"Ka… Kano. Bi… biar saya me… menerima
nasib buruk ini…" keluar suara Chieko
tersendat dan terputus-putus.
"Tidak! Aku harus tahu siapa yang
menghinamu! Siapa yang membunuhmu!
Bilang Chieko! Kau harus bilang!" Kano
Yamada dekap tubuh istrinya erat-erat.
Diciuminya wajah yang putih pucat dan basah
oleh air hujan itu. "Chieko! Katakan Chieko…"
bisik lelaki ini ke telinga istrinya.
"Kiuchi…" bisik Chieko antara terdengar dan
tidak. "Yasuaki Kiuchi… Dia memperhinakan
diri dan keluarga kita. Dia menodai saya…"
Sekujur tubuh Kano Yamada bergeletar.
Darahnya seperti mendidih. Tulang-
belulangnya laksana di panggang bara api.
"Dia juga yang menusukmu dengan pisau
ini…?"
"Tidak …Se setelah dia menodai saya…, sa…
saya merasa… tidak ada gu… gunanya lagi
hidup ini. Sa… saya merampas senjata itu
dari… se… seorang pengawalnya. Saya
berusaha melakukan harakiri… Saya… Kano
suamiku… Saya mohon kau jaga anak kita
Hatsuko baik-baik…"
"Chieko! Chieko…!" Raungan Kano Yamada
kembali menggelegar. Diguncangnya tubuh
istrinya.
Tubuh itu tak bergerak lagi. Tak ada suara
yang keluar dari mulutnya. Tak ada hawa
hangat keluar dari saluran pernafasannya.
"Chieko! Jangan mati Chieko! Jangan mati!"
teriak Kano Yamada.
Lelaki ini tidak tahu berapa lama dia meratapi
jenazah istrinya itu sampai suaranya menjadi
serak.
Tiba-tiba seolah sadar dia hentikan
ratapannya. Wajahnya kelihatan bengis.
Perlahan-lahan dilepaskannya rangkulannya
pada tubuh Chieko lalu berdiri. Ketika dia
bergerak melangkah, salah seorang pengawal
cepat bertanya.
"Tuan Yamada, kau mau kemana…?"
"Otsu! Aku akan membuat perhitungan dengan
Yasuaki Kiuchi…" jawab Kano Yamada seraya
menekan hulu pedang samurai yang
tergantung di pinggangnya.
"Kami ikut dengan tuan!"
Kano Yamada gelengkan kepala. "Kalian
kembali ke Hikone. Urus jenazah istriku! Jika
dua hari aku tidak kembali, perabukan jenazah
itu. Sebagian tebarkan di danau Biwa,
sebagian lagi disimpan dalam cupu, letakkan
di meja sembahyang rumahku…"
"Tapi tuan Yamada…"
"Srett!" Kano Yamada cabut samurainya. "Aku
pergi. Jika aku tidak kembali bawa Hatsuko
ke Nara. Dia punya seorang bibi keluarga
istriku…" habis berkata begitu Kano Yamada
putar tubuhnya lalu melangkah pergi.
Sebentar saja bayangannya lenyap dalam
kegelapan. Tiga orang pengawal tak bisa
mencegah. Dengan hati-hati mereka
mengangkat tubuh Chieko lalu meletakkannya
di atas pelana.
Hujan telah berhenti. Badai sudah reda. Di
antara tiupan angin yang masih bersisa
keheningan pagi menyapu kota Otsu. Yasuaki
Kiuchi tersentak dari tidurnya ketika sepasang
telinganya mendengar suara dentrangan
senjata di luar sana. Seorang selir yang
menemani Yasuaki Kiuchi malam itu berusaha
merangkulnya ketika dia hendak bangkit dan
turun dari atas ranjang.
"Pagi masih dingin. Saya masih ingin
melayani dan menghangati dirimu…"
"Ada sesuatu terjadi di luar…" jawab Yasuaki
Kiuchi seraya menangkap dan menurunkan
tangan perempuan yang hendak mengusap
bagian bawah perutnya. Lelaki ini cepat-cepat
mengenakan kimononya. Dia melangkah ke
kamar sebelah. Lewat sebuah jendela yang
disibakkan tirainya dia dapat melihat
sebagian halaman depan. Dalam keremangan
pagi disaksikannya seorang lelaki muda
mengenakan kimono kuning bernoda darah
dan basah kuyup mengamuk menghajar
setengah lusin prajurit yang mengeroyoknya.
Keenam perajurit penjaga gedung itu tak
kuasa membendung amukan lawan. Dalam
beberapa kali gebrakan saja lima di antara
mereka roboh bersimbah darah. Agaknya tamu
berkepandaian tinggi itu sengaja tidak mau
membunuh prajurit yang keenam. Sambil
menekankan ujung samurainya ke dada si
perajurit dia berkata. "Suruh keluar Yasuaki
Kiuchi! Katakan aku Kano Yamada dari
Hikone datang untuk mengambil nyawanya!"
Meskipun diancam kematian tapi orang
berseragam prajurit Shogun itu menyeringai
buruk dan mengejek. "Yamada, apa kau kira
bisa lolos dari sini hidup-hidup?"
"Aku tidak minta kau bicara banyak! Lakukan
apa yang aku perintah!" bentak Yamada.
Tapi prajurit di hadapannya malah meludah
dan berkata. "Kalau kau punya nyali silahkan
cari sendiri majikanku!"
"Kau memang manusia tidak berguna!" bentak
Kano Yamada. Samurai di tangan kanannya
menusuk ke depan. Prajurit itu hanya
keluarkan seruan pendek. Ketika Kano
Yamada menarik pedangnya si prajurit
langsung roboh. Darah mancur dari perutnya
yang ditembus pedang.
Dari balik jendela ruangan di tingkat atas
Yasuaki Kiuchi menutupkan tirai kembali.
"Kano Yamada…" desis lelaki ini. "Dia pasti
sudah mengetahui apa yang terjadi dengan
istrinya." Yasuaki keluar dari dalam ruangan
yang terletak di tingkat dua bangunan itu. Dia
masuk ke sebuah kamar di mana tersimpan
berbagai macam senjata. Dia mengambil
sebilah katana. Sebelum menuju ke halaman
lebih dulu dia menarik sebuah genta tiga kali
berturut-turut. Serta merta dari berbagai
jurusan bangunan berhamburan keluar hampir
dua puluh orang prajurit.
Pemimpin mereka seorang bertubuh besar,
berkumis dan berjanggut meranggas
melompat ke hadapan Yasuaki Kiuchi yang
tegak di pintu dalam. "Gapo! Ada penjahat di
pintu gerbang utara. Tangkap dia hidup-
hidup!"
"Kalau memang penjahat mengapa dibiarkan
hidup, tuan Kiuchi?" tanya Gapo seraya
melintangkan golok besar di tangan
kanannya. Pada masa itu rata-rata katana
atau pedang samurai adalah senjata yang
banyak dipergunakan orang. Namun manusia
satu ini agaknya lebih suka mengandalkan
golok besar yang dirampasnya dari seorang
jago silat Cina yang pernah
dipencundanginya.
"Keparat! Lakukan saja apa yang aku
perintah! Jangan banyak tanya!" hardik
Yasuaki Kiuchi mendelik. Si tinggi besar
menjura lalu berkelebat pergi. Yasuaki Kiuchi
dorong daun pintu di hadapannya lalu keluar
menuju ke depan. Ketika dia sampai di luar,
belasan prajurit di bawah pimpinan si tinggi
besar tadi telah mengurung dan mengeroyok
Kano Yamada.
Walaupun dia seorang pedagang, di masa
mudanya Kano Yamada pernah belajar ilmu
pedang dari seorang pandai. Samurai di
tangan laki-laki yang kalap ini berkesiuran
kian kemari. Empat orang perajurit Shogun
terkapar di tanah. Dua lagi menjerit lalu
roboh. Ketika samurai di tangan Kano
Yamada merobohkan prajurit yang ketujuh,
dari samping berkelebat sebilah golok besar
memukul badan pedang samurai di tangan
Kano Yamada. Daya pukul golok itu berat dan
terasa sekali sehingga tangan Kano Yamada
bergetar keras. Dia cepat membalik dan
menghantam dengan senjatanya. Namun
kuda-kudanya goyah.
"Tranggg!" Samurai di tangan Kano Yamada
terlepas mental. Golok besar tadi datang
membalik.
"Brettt!" Pakaian Kano Yamada robek besar di
bagian perut. Dagingnya ikut tergores,
membentuk luka memanjang. Walau tidak
terlalu dalam namun tetap saja mengucurkan
darah. Sambil menahan sakit penuh amarah
dan nekad Kano Yamada melompati Gapo
dengan tangan kosong. Yang diserang
balikkan goloknya lalu dengan satu gerakan
cepat hantamkan gagang golok ke kening
lawan.
Kano Yamada merasa seperti melihat gunung
meletus di depan matanya. Pemandangannya
serta merta gelap dan kedua kakinya goyah.
Tubuhnya tak ampuh lagi jatuh
tergelimpangan. Dia berusaha tidak jatuh
pingsan. Dia melihat belasan kaki di
sekelilingnya. Ujung-ujung senjata. Lalu ada
sepasang kaki berkasut bagus melangkah ke
arahnya. Dia coba mengangkat kepala.
Pemandangannya berkunang. Dia tak dapat
melihat jelas siapa adanya orang itu. Lalu dia
mendengar suara-suara bicara di dekatnya.
"Tuan Kiuchi, saya menunggu perintah. Akan
diapakan orang ini?!" bertanya Gapo.
"Jebloskan dia ke dalam penjara! Dua hari
lagi ada kapal ke utara ke pulau Hokkaido!
Angkut dia bersama penjahat dan orang-
orang hukuman lainnya! Dia pantas menjadi
penghuni tempat kerja paksa di pertambangan
Kitami!" Kano Yamada buka kedua matanya.
Pemandangannya masih kabur. Tapi dia telah
mengenali suara yang barusan bicara. Seperti
mendapat satu kekuatan lelaki ini melompat
dan berteriak.
"Yasuaki Kiuchi!" Kepala perajurit Shogun
angkat tangan kanannya. Siap untuk
menghantam muka Kano Yamada dengan
gagang goloknya. Tapi Yasuaki Kiuchi angkat
tangannya seraya berkata.
"Jangan! Biarkan dia bicara!"
Perlahan-lahan Kano Yamada putar tubuhnya.
Dia melihat bayangan orang berdiri di anak
tangga.
Dia tak bisa melihat jelas namun dapat
memastikan orang itu adalah Yasuaki Kiuchi,
orang yang telah dicapnya sebagai manusia
iblis!
"Yasuaki keparat! Manusia iblis laknat!
Ternyata bukan hanya otakmu saja yang tidak
waras! Jiwa dan hatimu juga bejat!"
"Bangsat tidak bermalu!" balas memaki
Yasuaki Kiuchi. "Tadinya kehormatan yang
diberikan istrimu kuanggap sudah
menyelesaikan urusan hutang piutang di
antara kita! Tapi detik ini aku mengubah
keputusanku…"
"Iblis bajingan! Kau nodai istriku! Dia kembali
sudah jadi mayat!"
"Salah sendiri! Dia berlaku tolol! Melakukan
harakiri!" jawab Yasuaki Kiuchi lalu tertawa
mengekeh.
"Jahanam! Pergilah menghadap Dewa
penjaga neraka!" teriak Kano Yamada. Tangan
kanannya bergerak sangat cepat hingga tak
ada yang sempat berbuat sesuatu. Sebuah
senjata rahasia berbentuk bintang melesat ke
arah Yasuaki Kiuchi. Karena tidak menyangka
Yasuaki tak keburu mengelak. "Tuan Kiuchi!
Awas shuriken! (senjata rahasia berbentuk
bintang)" Gapo berteriak memberi peringatan.
Tapi tak ada gunanya. Senjata rahasia yang
biasa dipergunakan oleh para Ninja itu
melesat deras ke arah kepalanya. Yang dituju
Kano Yamada adalah tenggorokan orang tapi
karena pemandangannya kabur senjata itu
hanya menancap di mata kiri Yasuaki Kiuchi!
Jerit saudara sepupu Shogun yang berkuasa
ini menggelegar mengerikan. Dua orang
prajurit segera melompat berusaha
menolongnya. "Yamada jahanam! Seharusnya
sudah tadi-tadi kupenggal batang lehermu!"
teriak Gapo. Kepala prajurit ini bacokkan
golok besarnya ke arah tangan kanan Kano
Yamada. "Crassss!" Tangan itu putus tepat di
sambungan siku. Untuk kedua kalinya di
tempat itu terdengar raungan manusia!
Setelah ditunggu sampai tiga hari Kano
Yamada tidak kunjung kembali ke Hikone,
sesuai dengan pesan saudagar muda itu pada
para pengawalnya di malam penuh bencana,
maka keluarga Yukawa memutuskan utuk
memperabukan jenazah Chieko Yamada.
Sebagian abu jenasah disimpan di dalam
gedung kediaman keluarga Yamada dan
sebagiannya lagi, seperti yang dimintakan
Kano Yamada, ditebarkan di permukaan
danau Biwa.
Siang itu Hideo Yukawa tampak berkemas-
kemas. Dia membawa serta sebilah samurai
yang selama bertahun-tahun hanya
tergantung di dinding dalam kamar tidurnya.
Kemudian dia masuk ke dalam kamar. Di atas
pembaringan dua sosok bayi tergolek pulas.
Satu lelaki satunya perempuan.
Yang perempuan adalah Hatsuko Yamada,
puteri Kano dan Chieko Yamada yang malang
itu. Bayi lelaki adalah putera Hideo Yukawa
sendiri. Sejak jenazah Chieko Yamada dibawa
pulang oleh tiga orang pengawal, keluarga
Yukawa telah membawanya ke tempat
kediaman mereka di tepi danau.
Unari, istri Yukawa menjaga dan merawat bayi
lelaki yang telah dijodohkan dengan puterinya
itu sebaik-baiknya seperti dia merawat
anaknya sendiri.
Di samping pembaringan duduk seorang
perempuan muda berwajah pucat murung.
Kedua matanya tampak merah karena banyak
menangis. Dialah Unari, istri Hideo Yukawa.
"Aku berangkat ke Otsu sekarang juga. Harap
kau menjaga dua anak itu baik-baik." Kata
Hideo Yukawa.
Unari Yukawa mengangguk. "Kalau kau sudah
tahu apa yang terjadi dengan Kano Yamada
lekas kembali. Sejak beberapa hari ini pasti
hati saya selalu tidak enak. Saya sering
bermimpi buruk setiap saya memicingkan
mata…"
Hideo Yukawa mengangguk. "Aku akan lekas
kembali. Kau tak usah kawatir. Aku sudah
minta para pengawal di gedung keluarga
Yamada untuk melihat-lihat keadaan di sini."
Unari mengantarkan suaminya sampai di pintu
lalu masuk kembali untuk menjaga dua bayi
mungil yang masih tertidur pulas itu.
Meninggalnya Chieko Yamada menyebabkan
suasana berkabung terasa di seluruh desa
Hikone.
Penduduk merasa kehilangan seorang warga
mereka yang selama hidupnya banyak
memberikan berbagai bantuan. Nelayan yang
tinggal di sepanjang tepi danau Biwa telah
dibantu pinjaman untuk membeli perahu.
Sedang para petani di pedalaman mendapat
bantuan uang untuk membeli alat-alat
pertanian serta ternak.
Malam itu banyak penduduk desa terutama
kaum ibu datang ke rumah keluarga Yukawa.
Mereka menemani Unari sampai larut malam.
Semuanya merasa pilu melihat bayi Hatsuko
dan berganti-ganti mereka mendukung bayi
itu sampai akhirnya tertidur nyenyak.
Tak lama setelah satu persatu penduduk desa
meninggalkan rumah Unari Yukawa, keadaan
di tempat itu menjadi sunyi senyap. Di dalam
rumah hanya tinggal satu lampu minyak yang
menyala, yaitu di kamar tidur Unari dan dua
bayi itu. Di luar rumah tiga orang pengawal
kelihatan duduk di bangku kayu, mengobrol
sambil berjaga-jaga. Mereka adalah para
pengawal yang bekerja di gedung keluarga
Yamada. Malam itu, seperti yang diminta
Hideo Yukawa, ketiganya berjaga-jaga di
rumah itu.
"Majikan kita tuan Yamada tak ada kabar
beritanya. Yukawa-san pergi ke Otsu untuk
menyelidik.
Bagaimana kalau diapun tidak kembali pula?"
Seorang pengawal bicara sambil bersandar
dan meluruskan kedua kakinya yang terasa
pegal.
"Aku memang punya firasat buruk tuan kita
tak akan kembali. Sia-sia melawan kekuasaan
Yasuaki Kiuchi…" menyahut kawannya.
"Manusia satu itu, mentang-mentang
saudaranya Shogun bertindak sewenang-
wenang. Malah lebih gila dari Shogun!"
Pengawal ketiga menimpali. "Aku ingin
sekali…" Tiba-tiba dia hentikan ucapannya.
"Ada apa?" tanya dua temannya hampir
berbarengan. "Aku melihat ada seseorang
menyelinap di belakang rumah…" Tiga
pengawal itu serta merta bangkit berdiri.
Mereka bergegas menuju bagian belakang
rumah. Tiba-tiba pengawal di sebelah depan
keluarkan keluhan tinggi. Tubuhnya terlipat ke
depan. Kedua tangannya memegangi dada di
mana menancap sebilah tanto (pisau pendek).
Dua kawannya segera memegangi tubuh
pengawal itu lalu membaringkannya di tanah.
Keduanya segera mencabut senjata.
"Hati-hati, kita menghadapi penyerang gelap
berkepandaian tinggi…" kata salah seorang
pengawal berbisik pada kawannya. "Pisau
pendek itu…" menjawab kawannya. "Aku
mengenalinya. Itu pisau prajurit-prajurit
Shogun!"
"Aneh, ada apa mereka muncul di sini?" tanya
pengawal pertama. Dia memandang ke arah
rumah.
Darahnya berdesir. "Jangan-jangan ada yang
bermaksud jahat terhadap dua bayi itu! Kau
lekas berjaga-jaga di pintu rumah. Aku akan
menyelidik ke bagian gelap sebelah sana. Si
pembokong pasti bersembunyi di tempat itu!"
Kawan yang disuruh segera berkelebat ke arah
rumah. Yang satu lagi bergerak ke tempat
gelap di bawah bayang-bayang hitam sebuah
pohon besar. Lima langkah lagi dia akan
sampai ke semak belukar yang mengitari
pohon, tiba-tiba tiga sosok berkelebat keluar
dari tempat gelap. Yang dua langsung
menyerang si pengawal. Dua pedang
berkelebat dalam kegelapan malam. Satu
pedang lagi membabat ke atas menangkis.
Selagi terdengar suara berdentarangan, sosok
ketiga yang tadi keluar dari kegelapan
bergerak cepat menuju pintu rumah di mana
pengawal kedua berjaga dengan pedang di
tangan.
Pengawal ini terkejut sewaktu melihat ada
satu sosok manusia tinggi besar tahu-tahu
sudah berada di hadapannya. Dia seperti
pernah melihat orang ini sebelumnya. Tapi dia
tak bisa berpikir lebih lama karena saat itu
senjata berupa sebilah golok besar di tangan
si tinggi besar membabat dengan deras ke
arah tenggorokkannya. Dia cepat menangkis
dengan pedangnya.
"Tranggg!" Dua senjata beradu keras di udara.
Si pengawal merasa seolah digebuk satu
balok besar dan berat hingga lututnya tertekuk
dan hampir terhenyak jatuh. Sambil jatuhkan
diri dan berguling, pengawal ini berhasil
selamatkan diri dari tendangan si tinggi
besar. Namun begitu dia berdiri, serangan
berikutnya datang menyusul. Tahu bahwa
lawan memiliki senjata ampuh dan kekuatan
luar biasa, pengawal tadi tak berani
menangkis. Maka dia cepat melompat ke
samping untuk menghindar sambaran senjata
lawan. Namun belum sempat kedua kakinya
menginjak tanah kembali, golok si tinggi besar
melesat ke depan, menembus telak di
lambungnya. Jeritan pengawal ini terdengar
jauh sampai ke pelosok desa dan ke tengah
danau Biwa. Tubuhnya sesaat tersandar ke
pintu.
Dari dalam rumah tiba-tiba terdengar suara
perempuan berseru. "Siapa di luar?! Hideo?
Kaukah itu?!" Pintu rumah lalu terbuka. Sosok
tubuh pengawal yang tengah meregang nyawa
dan tersandar di situ langsung roboh
tergelimpang. Unari Yukawa menjerit keras.
Dia segera menutupkan pintu kembali tapi
terhalang oleh sosok mayat si pengawal. Di
saat bersamaan si tinggi besar melompat
masuk ke dalam rumah.
"Rampok! Rampok!" teriak Unari Yukawa.
Orang di hadapannya menyeringai. Tangannya
bergerak menjambak rambut perempuan itu.
Lalu sekali banting saja Unari Yukawa
terkapar jatuh pingsan. Si tinggi besar lalu
berkelebat ke arah ruangan yang ada cahaya
terang lampu minyak di mana bayi Hatsuko
dan bayi Thosiro berada.
Ketika di kejauhan kelihatan nyala lampu-
lampu lampion mendatangi, si tinggi besar
sudah berkelebat cepat meninggalkan rumah
sambil mendukung dua tubuh bayi yang
masih merah-merah itu.
Dari pedataran tinggi di tepi danau, Hideo
Yukawa siang itu merasa aneh melihat banyak
sekali penduduk desa Hikone berada di sekitar
rumahnya. Penuh rasa tidak enak lelaki ini
memacu kudanya lebih kencang. Begitu
sampai di depan rumah dia melihat wajah-
wajah penduduk yang memandang rawan
sayu ke arahnya. Sesuatu telah terjadi. Dia
tidak melihat istrinya. Mungkin berada di
dalam rumah.
"Ada apa ramai-ramai di sini?" tanya Hideo
Yukawa, begitu melompat turun dari kuda. Dia
memandang berkeliling. Matanya membentur
sosok pengawal yang terkapar tak jauh dari
pintu.
"Mereka? Mereka siapa?"
"Kami tidak tahu. Pagi-pagi buta kami
mendengar suara beradunya senjatanya. Lalu
suara-suara jeritan. Ketika kami mendatangi
dan sampai ke sini kami melihat ada tiga
mayat tergelimpang. Istrimu…"
"Unari! Mana istriku?" teriak Hideo Yukawa.
"Istrimu selamat. Dia ada di dalam ditemani
istri-istri kami. Hanya…."
"Hanya apa…?!" tanya Hideo Yukawa. Karena
tak ada yang menjawab, Hideo Yukawa
langsung saja menghambur masuk ke dalam
rumah. Di satu ruangan di dalam rumah,
Unari tampak terbaring di atas kasur tipis
dikelilingi oleh beberapa perempuan tetangga.
Dua di antaranya tengah merawat luka di
keningnya yang membengkak.
"Unari…" Hideo Yukawa jatuhkan diri di
samping kasur. Mendengar suara suaminya
Unari Yukawa buka kedua matanya.
Perempuan ini menjerit menangis keras. Hideo
cepat memeluk istrinya. "Tenang Unari…
katakan apa yang terjadi…!" bisik Hideo
seraya mengelus belakang kepala Unari. "Bayi
kita Hideo… Toshiro…"
"Toshiro…?"
"Juga Hatsuko, kedua anak itu diculik orang
malam menjelang pagi tadi…" Dari mulut
Hideo Yukawa keluar suara menggembor
keras. Sekujur tubuhnya bergeletar. "Siapa
yang melakukan? Siapa yang menculik
Toshiro?! Siapa yang menculik Hatsuko?
Siapa?!"
Hideo Yukawa lepaskan rangkulannya di
tubuh Unari. Dia berdiri dan melangkah ke
pintu. Begitu sampai di luar dia cabut
samurai di punggungnya lalu berteriak.
"Siapa?! Siapa menculik anak-anak itu?! Akan
kugorok lehernya! Akan kucincang tubuhnya!"
Seorang penduduk desa mendekati. "Hideo!
Tenang! Jangan kalap. Kita semua akan
bantu menyelidik…!"
"Diam!" teriak Hideo Yukawa. Samurai di
tangannya berkelebat. Senjata ini menyambar
di depan hidung tetangga itu. Kalau dia tidak
cepat melompat, entah bagaimana jadinya
dengan hidungnya.
Semua orang yang ada di halaman rumah kini
menjadi takut dan perlahan-lahan bergerak
menjauhi lelaki yang setiap saat bisa saja
tiba-tiba mengamuk.
Gapo mengemudikan kereta kuda itu
memasuki halaman belakang gedung besar
kediaman Yasuaki Kiuchi. Dua orang anak
buahnya mengikuti di belakang. Saat itu sang
surya baru saja mulai naik.
Udara masih terasa diselimuti kesegaran pagi.
Di antara derap suara kaki-kaki kuda, dari
dalam kereta terdengar suara tangisan bayi
tidak henti-hentinya. Di serambi belakang,
Yasuaki Kiuchi tengah menikmati sarapan
paginya ketika dilihatnya kereta itu masuk.
Dia meneguk koohii (kopi) hangatnya.
Seorang pelayan menyodorkan sepiring roti
panggang padanya tapi tak diperdulikan.
Pelayan ini memalingkan kepalanya ke arah
kereta dan jadi terheran-heran mendengar ada
suara tangisan bayi. Beberapa pengawal yang
ada di situ juga merasa aneh.
Yasuaki Kiuchi yang mata kirinya buta akibat
lemparan senjata rahasia Kano Yamada
berdiri dari kursinya. Sesaat dia mengusap
mata kirinya yang kini ditutup dengan
selembar kulit hitam lalu melangkah ke
tangga. Di saat yang sama Gapo sampai di
anak tangga teratas. Setelah menjura terlebih
dahulu kepala prajurit Shogun ini berkata.
"Tuan Kiuchi. Kita berhasil. Dua bayi itu ada
dalam kereta…" Yasuaki Kiuchi tersenyum. Dia
menuruni tangga menuju kereta. Gapo yang
berjalan mendahului singkapkan kain tebal
penutup bagian belakang. Yasuaki Kiuchi
buka kedua matanya lebar-lebar. Dua bayi,
satu lelaki dan satu perempuan terbaring
menangis di atas tumpukan jerami kering.
Ketika dia memperhatikan bayi perempuan,
dalam hatinya Yasuaki Kiuchi berkata. "Bayi
perempuan ini sebetulnya cukup baik untuk
jodoh puteraku. Tapi sayang, orang tuanya
berlaku bodoh! Dijanjikan madu dan bunga
sakura malah membalas dengan racun dan
duri berbisa!" Lalu Yasuaki Kiuchi berpaling
pada Gapo.
"Bagus Gapo! Kau punya pekerjaan bagus!"
kata Yasuaki Kiuchi memuji sambil tepuk-
tepuk bahu Gapo. Si tinggi besar ini
membungkuk berulang kali. "Tapi tugasmu
belum selesai!"
"Saya tahu tuan Kiuchi. Saya siap
menjalankan perintah selanjutnya…" kata
Gapo pula.
"Saat ini juga kau harus berangkat ke
pegunungan Shikoku. Temui datuk gila dunia
persilatan si Nenek Muka Neko. Terangkan
padanya apa yang aku mau. Lalu serahkan
benda ini padanya…"
Dari balik kimononya, Yasuaki Kiuchi
keluarkan sebuah benda panjang yang
ternyata adalah seuntai besi aneh berwarna
hitam yang sudah karatan. Pada kedua ujung
rantai sepanjang lima jengkal ini terdapat
jepitan berbentuk gelang tebal.
Gapo menerima rantai itu. Menurut
taksirannya rantai itu memiliki berat paling
tidak sekitar 25 kati.
Tetapi alangkah kagetnya kepala prajurit
Shogun ini ketika dipegang ternyata benda itu
ringan sekali. Sejak lama sebenarnya Gapo
sudah mengetahui kalau Yasuaki Kiuchi
menyimpan rantai aneh itu. Sudah sejak lama
pula dia ingin memiliki benda ini karena
kekuatan aneh yang tersembunyi di dalam
rantai karatan itu dapat menjadikan rantai
sebagai senjata sakti andalan. Gapo
menerima rantai itu dengan tangan gemetar.
Pikiran khianat merebak dalam otaknya.
"Kalau tak ada hal-hal lainnya, saya mohon
diri," kata Gapo pula.
"Ada satu hal yang perlu aku beri tahu," ujar
Yasuaki Kiuchi. "Orang-orangku melaporkan
bahwa Hideo Yukawa, ayah bayi lelaki itu
kemarin terlihat di Otsu. Selidiki apa yang
dilakukannya. Kalau kau merasa tidak begitu
suka padanya kau boleh membuat perhitungan
sendiri!"
"Saya akan selidiki sekembali dari Shikoku,"
jawab Gapo. "Apakah saya boleh pergi
sekarang?"
Yasuaki Kiuchi mengangguk lalu berkata.
"Jangan lupa mampir dulu di tempat si
penyamak. Dia punya tugas untuk membalut
sekujur tubuh dan kepala bayi itu dengan
pembalut kulit. Benda itu kelak yang bakal
memungkinkan terjadinya kegegeran besar di
negeri Nihon ini!"
"Saya memang akan ke sana. Anak buah saya
sudah menunggu di tempat tukang samak
kulit itu," ujar Gapo pula.
"Dan kau sudah tahu Gapo, apa yang harus
kau lakukan terhadap orang itu begitu dia
selesai membungkus dua bayi dengan
pembalut kulit?"
"Saya tahu tuan Kiuchi," jawab Gapo lalu
melintangkan susunan jari tangan kirinya di
leher dan membuat gerakan menyembelih.
"Kau boleh pergi sekarang," kata Yasuaki
Kiuchi. "Kembali dari pegunungan Shikoku
kau bakal mendapat hadiah besar dariku…"
"Saya tidak mengharapkan hadiah apa-apa
darimu tuan Kiuchi. Tapi jika tuan tidak
marah, sebenarnya sudah lama saya
berhasrat dengan salah seorang selirmu yang
tak pernah datang-datang lagi kemari…"
"Heh, selirku yang mana?" tanya Yasuaki
Kiuchi sambil usap-usap dagu dan senyum-
senyum kecil.
"Maksud saya selir bernama Emiko itu…"
"Emiko… Emiko…?" Tiba-tiba meledaklah tawa
Yasuaki Kiuchi. "Aku tidak tahu, rupanya
sudah lama kau mengincar selirku yang
gemuk tambun itu! Ha…ha…ha! Kau boleh
mengambil babi gembrot berminyak itu Gapo!
Kau boleh memakainya selama kau suka! Asal
saja hidungmu cukup tahan pada bau
ketiaknya! Ha…ha…ha!"
"Terima kasih tuan Kiuchi!" kata Gapo lalu
membungkuk dalam-dalam.
Pegunungan Shikoku walaupun terletak di
sebelah selatan, namun tingkat kedinginannya
tidak kalah dengan pegunungan lain yang
terletak di sebelah utara. Pagi itu di salah
satu puncak pegunungan yang diselimuti salju
kelihatan asap mengepul ke udara. Kepulan
asap ini ternyata datang dari sebuah perapian
yang ada di depan sebuah goa kecil.
Di depan goa duduk seorang nenek
mengenakan mantel bulu beruang. Nenek ini
memiliki tampang aneh karena wajahnya yang
putih keriputan itu menyerupai wajah seekor
kucing. Hidungnya kecil, bagian bawahnya
ditumbuhi bulu-bulu halus. Mulutnya memiliki
barisan gigi-gigi kecil serta lidah pendek
merah. Kedua bola matanya berwarna
kehijauan, dan di sebelah tengah ada bagian
yang berbentuk seperti butiran gandum.
Sepasang telinganya juga kecil, mencuat ke
atas dan berbulu halus putih. Di udara yang
sangat dingin itu setiap hembusan nafas si
nenek membuat terjadinya kepulan kabut
putih. Hampir setiap saat si nenek bermuka
kucing mendongak ke udara sementara kedua
tangannya yang berkuku-kuku panjang
menggumpal-gumpal salju membentuk bola
sebesar kepalan.
"Hari aneh apa pula ini?" si nenek berkata.
"Sedari tadi tak ada seekor burung pun yang
lewat. Apa semua burung sudah pada
mampus?!"
Baru saja si nenek berkata begitu, tiba-tiba
ada seekor kucing mengeong di dekat mulut
goa.
Astaga! Ternyata di situ ada dua ekor kucing
putih yang sejak tadi duduk di belakang si
nenek.
Binatang-binatang ini memiliki bulu yang
sangat tebal, berbadan lebih besar dari kucing
biasa.
Yang satu ada ikatan pita merah pada
lehernya, yang seekor lagi berpita biru.
"Hus! Jangan berisik anak-anak! Nanti benar-
benar tak ada burung yang lewat di tempat
kita! Kalian berdua akan sengsara kelaparan!"
"Meong…. Meong….!"
"Anak-anak sialan!" si nenek memaki sambil
menampar salju di tanah dengan tangan
kirinya. Salju muncrat ke atas. Sebagian
menghantam muka dua ekor kucing itu. Dua
binatang ini mengeong keras lalu melompat ke
atas bahu kiri kanan si nenek. Di sini
keduanya duduk mendekam, tidak berani
bergerak dan juga tidak berani bersuara.
Si nenek kembali mendongak ke langit. Tiba-
tiba sepasang mata kucingnya memancarkan
sinar.
Lehernya ditinggikan dan hidungnya bergerak-
gerak.
"Ada rezeki datang…" kata si nenek muka
kucing sambil menyeringai. Kedua tangannya
sibuk menggumpal salju hingga berubah
menjadi bola kecil sekeras batu. Saat itu
tampak seekor burung hitam terbang tinggi di
udara. Mulut si nenek kembali menyeringai.
Dia tiba-tiba berdiri. Gumpalan bola salju
digenggam di tangan kanan. Burung mulai
mendekat. Si nenek membuat gerakan meliuk-
liuk. Dua kakinya bergeser-geser kian kemari.
Dua tangannya bergerak-gerak. Keadaannya
saat itu tidak beda seperti seorang tengah
menari. Mendadak tubuhnya melesat setinggi
sepuluh kaki. Selagi melayang di udara, nenek
ini membuat gerakan jungkir balik. Pada saat
kepalanya berada di bawah di mana kedua
matanya dapat melihat jelas langit di atasnya,
dia keluarkan suara mengeong, lalu bola salju
di tangan kanannya dilemparkan ke atas
tanpa membidik sedikitpun!
Hebatnya, lemparan salju seperti asal-asalan
itu tepat menghantam burung hitam yang
sedang terbang di udara hingga pecah.
Binatang ini langsung melayang jatuh ke
tanah pegunungan yang tertutup salju tipis.
"Biru! Lekas kau ambil santapan pagi kita
itu!" berkata si nenek muka kucing. Kucing
salju berpita biru di bahu kirinya mengeong
keras lalu melompat turun, lari dengan cepat
ke tempat jatuhnya burung hitam tadi. Tak
lama kemudian, kucing salju berbulu putih itu
kembali pada majikannya si nenek bermuka
putih seperti kucing sambil menggonggong
burung hitam besar di mulutnya.
Burung ini diletakkan di hadapan si nenek.
Si nenek tiba-tiba saja unjukkan wajah kesal
dan mau menangis. Tapi yang keluar dari
mulutnya justru suara tawa mengekeh.
"Meong… meong hik… hik.. hik! Nasib kita
sialan betul hari ini Menunggu lama dengan
perut keroncongan, dapat mangsa ternyata
seekor burung pemakan mayat! Biru, putih,
kau tahu kita berpantang makan burung
nazar!"
"Meong…!Meong…!" dua ekor kucing putih
mengeong seolah mengiyakan.
Si nenek membungkuk. Lalu dengan jari
telunjuk tangan kirinya disentilnya burung
hitam itu.
Sungguh luar biasa. Meski cuma menyentil,
burung hitam itu mencelat jauh hingga
akhirnya lenyap dari pandangan mata. Si
nenek usap-usap kucing putih berpita merah
yang masih nangkring di bahunya. "Kita
terpaksa mencari ikan di telaga beku. Apa
boleh buat. Kemarin ikan, sekarang ikan
lagi…. Ayo Merah kau pimpin jalan. Cari
bagian telaga berlapis es paling tipis…"
Kucing putih berpita merah di bahu si nenek
melompat turun. Binatang itu berlari-lari di
sebelah depan. Temannya si biru mengikuti
dan di sebelah belakang baru si nenek yang
mengenakan mantel dari bulu beruang. Tak
berapa lama kucing merah hentikan langkah.
Binatang ini mengendus-endus tanah berlapis
es keras dan salju di hadapannya lalu
melangkah berputar-putar sambil mengeong
tiada henti. Hal ini rupanya sudah cukup
pertanda bagi si nenek. Sambil berjingkat-
jingkat dan senyum-senyum, perempuan tua
ini bergerak ke bagian yang tadi diputari
kucing berpita merah.
"Hemmm… memang di sini agak tipis lapisan
es bekunya. Aku dapat merasakan…!" kata si
nenek.
Lalu perlahan-lahan dia berjongkok. Mantel
bulunya disingsingkan. Kepalanya
didongakkan dan kedua matanya berkedap-
kedip. Sesaat kemudian terdengar suara
"Serrrrrr…!" Ternyata si nenek enak saja
membuang hajat kecil alias kencing di tempat
dia jongkok itu.
Selesai kencing si nenek bangkit berdiri lalu
melangkah mundur berjingkat-jingkat. Di atas
salju, air kencingnya yang hangat tampak
mengepul begitu bersentuhan dengan lapisan
salju dan lapisan es beku di bawahnya. Bau
pesing menebar di tempat itu. Si nenek
tertawa cekikikan lalu tekap hidungnya. "Gila
tak kusangka kencingku bau sekali… Hik…
hik… hik…!"
Air kencing yang hangat itu merembes ke
bawah menembus salju dan lapisan es.
Sesaat kemudian lapisan es itu kelihatan
mencair, membuka bentuk lobang cukup
besar. Di bawah lobang tampak genangan air.
"Nah, kita tinggal menunggu anak-anak…!"
"Meong! Meong!"
Baru saja dua ekor kucing mengeong begitu,
dari dalam lobang tiba-tiba mencelat seekor
ikan besar. Lalu seekor lagi. Begitu berturut
sampai tiga kali. "Cukup!" si nenek berkata
lalu dengan kaki kanannya yang berkuku
panjang menggeser tumpukan salju hingga
menutupi lobang.
"Anak-anak, kita kembali ke goa. Aku
khawatir terlalu lama api pembakar santapan
akan mati." Si nenek membungkuk mengambil
seekor dari tiga ikan yang menggelepar-
gelepar di atas salju. Dua ekor kucing putih
masing-masing menggonggong seekor ikan
lalu melangkah mengikuti si nenek.
Harum bau ikan panggang masih
menggantung di udara walau ketiga ikan itu
sudah amblas masuk ke dalam perut si nenek
dan dua ekor kucing peliharaannya. Di depan
goa si nenek duduk lonjorkan kaki. Dua ekor
kucing duduk di pangkuannya. Sepasang mata
si nenek kuyu seperti mengantuk.
Tiba-tiba kedua mata itu nyalang besar.
Sepasang telinga kucing si nenek bergerak-
gerak.
"Anak-anak kita akan kedatangan tamu.
Entah siapa mereka aku tidak tahu…" Berucap
si nenek.
"Meong! meong!" Telinga si nenek terus
bergerak-gerak. Seolah dia melihat dengan
telinganya. Mulutnya kembali bersuara.
"Mereka ada tiga orang. Yang satu membawa
kereta berpeluncur besi ditarik beberapa ekor
anjing besar. Dua lainnya memakai sepatu
seluncur terbuat dari besi… Tapi aneh… Aku
seperti mencium ada dua jalan pernafasan
lagi di antara ketiga orang itu. Halus hampir
tidak bersuara…"
"Meong! Meong!"
Tak lama kemudian si nenek buka kedua
matanya. Bersamaan dengan itu di depannya
dilihatnya apa yang tadi diucapkannya.
Seorang tinggi besar mengenakan kopiah dan
mantel bulu tebal mengemudikan kereta es di
tarik enam ekor anjing es. Di bagian belakang
kereta ini ada sebuah peti besar terbuat dari
papan dilapisi seng tebal di sebelah luarnya.
Dua orang lelaki bersepatu selancar es
tampak di sebelah belakang kereta.
Tak lama kemudian rombongan itu sampai di
hadapan si nenek dan dua ekor kucing.
Anjing-anjing penarik kereta serta merta
menyalak begitu melihat dua ekor kucing. Si
biru dan si merah tak kalah beringas. Kedua
binatang ini mengeong keras lalu melompat ke
atas kereta, siap menyerang.
"Anak-anak, kembali ke sini!" berseru si
nenek. Dua ekor kucing es dengan patuh
melompat turun dan kembali ke dekat majikan
tuanya itu.
"Kami mencari datuk dunia persilatan dikenal
dengan panggilan nenek Neko alias nenek
kucing. Kami rasa telah menemuinya…"
Si nenek tertawa lebar. Lelaki tinggi besar itu
bergidik melihat lidah kecil merah dan barisan
gigi-gigi yang tersusun kecil runcing persis
gigi-gigi kucing. "Orang tinggi besar,
terangkan siapa kalian!"
"Namaku Gapo. Kami datang membawa benda
penting dan sangat rahasia…"
"Heh……benda-benda apakah itu?!" tanya si
nenek sambil hembuskan nafas panjang
hingga terlihat seperti ada asap yang
mengepul keluar dari mulutnya.
Gapo mengambil peti besar yang ada di
bagian belakang kereta. Peti ini diletakkannya
di atas salju di hadapan si nenek lalu penutup
peti dibuka. Begitu terbuka, dari dalam peti
terdengar suara tangisan bayi. Si nenek
sampai terlonjak saking kagetnya. Dua ekor
kucing putih mengeong keras.
Si nenek ulurkan kepalanya memandang ke
peti.
"Kalau mereka tidak menangis pasti kukira
dua ekor anak babi siap panggang!" kata si
nenek. "Muka tangan dan kaki serta badan di
balut sejenis kulit yang tak lepas sebelum
sepuluh tahun. Kalau di lepas sebelum itu,
kulit dan dagingnya akan terkoyak!" Si nenek
memandang pada Gapo lalu tertawa hingga
kedua matanya basah. "Prajurit shogun!
Kejahatan biadab macam apa yang kau
tunjukkan padaku saat ini? Hik… hik… hik…!"
"Nenek Neko, ini bukan kejahatan atau
kebiadapan. Ini justru satu percobaan yang
bakal membuat namamu jadi menjulang
dalam dunia persilatan!"
"Aku tidak mengerti!" si nenek tersengguk-
sengguk.
"Kau ditugasi merawat dua bayi ini!"
"Merawat bayi? Gila! Dua orang pula! Aku tak
pernah punya anak. Mana mampu! Bayi-bayi
ini perlu susu!"
"Bagaimana kau merawat dan memberi
makannya terserah. Dua bayi ini harus kau
jadikan dua manusia bonsai yang memiliki
kepandaian tinggi!"
"Aneh! Benar-benar gila! Tapi menarik!
Tapinya lagi aku tak mau melakukannya!"
"Kalau begitu kau bakal mendapat kesulitan!"
"Aku tak pernah mengenal kesulitan dalam
hidup ini!" jawab Nenek Neko.
"Kau berdusta pada dirimu sendiri!" kata
Gapo.
"Eh, katakan siapa yang menugaskanmu!" si
nenek menatap tajam pada Gapo.
"Yasuaki Kiuchi, saudara sepupu shogun yang
tinggal di Otsu…" jawab Gapo.
Mendengar jawaban itu, wajah kucing si nenek
mendadak berubah. Dari mulutnya terdengar
suara halus seperti kucing mengeong
perlahan. "Kalau kau berani menolak,
kekasihmu Kamio Shikero tidak akan pernah
kau temui lagi seumur hidupmu. Bukankah dia
sudah mendapat pengampunan untuk
dikembalikan padamu tujuh belas tahun di
muka?"
"Katakan di mana dia sekarang? Di penjara
mana dia dipendam?" bertanya Nenek Neko
dengan suara ririh.
"Mana aku tahu. Kalau pun tahu, tidak akan
kukatakan padamu!" jawab Gapo.
Nenek Neko terdiam. Wajah kucingnya tampak
murung. Dari sepasang matanya meluncur
turun tetesan air mata. Lalu wajah itu
menyeringai. Seringai berubah menjadi
senyum dan senyum disusul dengan tertawa
mengekeh. Mula-mula perlahan kemudian
semakin kencang. Tiba-tiba suara tawanya
lenyap seperti di renggut setan. "Bayi-bayi ini,
anak siapa mereka?"
"Kau tidak perlu banyak tanya. Ini tugas yang
harus kau laksanakan!" jawab Gapo. Lalu
pada si nenek diserahkannya secarik kertas.
Nenek Neko memperhatikan kertas itu sekilas,
kemudian dijatuhkannya ke pangkuannya.
Gapo memberi isyarat pada dua temannya.
Kedua orang ini lalu menurunkan sebuah peti
dari belakang kereta es, diletakkan di depan si
nenek .
"Peti apa pula ini? Bayi lagi!?!"
"Makanan dan minuman penghangat tubuh,"
jawab Gapo.
"Dan ini tambahan hadiah dari majikanku
Yasuaki Kiuchi!" lalu Gapo melemparkan
sebuah kantong kain berisi uang ke pangkuan
si nenek.
"Aku hidup di pegunungan Shikoku ini tidak
perlu diberi makanan dan uang! Tak ada
gunanya. Aku dan dua ekor kucingku bisa
mencari makanan sendiri. Kalian bawa
kembali peti berisi makanan dan minuman itu.
Uang dalam kantong aku ambil. Bukan
untukku, tapi untuk dua bayi yang menderita
ini. Jika mereka berumur panjang uang itu
mungkin ada gunanya bagi keduanya…"
"Terserah kau mau bilang apa," kata Gapo
puas, lalu dia memberikan tanda pada teman-
temannya agar segera meninggalkan tempat
itu.
"Kalian mau ke mana?" bertanya si nenek.
"Kembali ke Otsu!" jawab Gapo tanpa
menoleh.
"Coba kau ingat, apakah tidak ada sesuatu
yang ketinggalan?"
"Eh, apa maksudmu?" tanya Gapo. Dia
memutar tubuh dan memandang berkeliling.
Dan merasa heran karena memang tidak ada
barangnya yang ketinggalan.
"Nek, apa maksudmu dengan pertanyaan
tadi?" Gapo mengulang.
"Di atas kertas yang ada di pangkuanku
tertulis bahwa kau membawa sebuah rantai.
Dengan rantai itu aku ditugaskan mengikat
lengan bayi-bayi ini. Aku belum menerima
rantainya…"
"Hemmm… itu rupanya," kata Gapo sambil
menyeringai.
"Tuan Yasuaki Kiuchi membatalkan tugas
yang satu itu. Dia lupa mencoret tulisan di
kertas…
Bukankah begitu teman-teman?" Dua anak
buah Gapo mengiyakan.
"Kau berdusta. Kalian berdusta! Serahkan
rantai itu padaku! Aku tahu itu bukan benda
sembarangan. Aku juga tahu kau ingin
mencurinya, mengambilnya secara licik!"
"Dasar nenek sinting! Berani kau menuduhku
seperti itu?" bentak Gapo.
"Aku tidak menuduh yang bukan-bukan.
Rantai itu terikat di pinggangmu, tersembunyi
di balik kimono dan mantel tebalmu!"
"Tua bangka keparat! Kalau saja kau tidak
diberi tugas penting mengurusi dua bayi itu
oleh majikanku, saat ini mau rasanya aku
merobek mulutmu, memecahkan batok
kepalamu!"
"Aku lebih senang jika kau membunuhku detik
ini juga!" kata si nenek. Bersamaan dengan
itu dua ekor kucing mengeong keras.
"Aku tidak akan membunuhmu! Tapi dua ekor
peliharaanmu ini biar kutebas sebagai
hukuman kekurangajaranmu!"
Si nenek tertawa perlahan. "Prajurit-prajurit
Shogun memang terkenal sombong tapi juga
jahat dan culas. Berani kau mendekati dua
ekor kucing itu kau akan terima hajaran yang
menyakitkan dariku!"
"Aku akan laporkan tingkahmu pada tuan
Yasuaki Kiuchi!" mengancam Gapo. Si nenek
tertawa.
Sepasang matanya memancarkan sinar aneh
ketika dilihatnya Gapo mencabut golok besar
dari balik mantel tebalnya lalu melangkah
mendekati dua ekor kucing. Dua ekor kucing
ini segera mendekam merunduk, memandang
galak pada Gapo.
"Wuttt!" Golok besar di tangan Gapo menderu.
Bersamaan dengan itu tubuh si nenek yang
sejak tadi duduk melunjur tiba-tiba melesat ke
udara. Tangan kanannya membeset, bukan
memukul tubuh Gapo atau memukul
lengannya yang memegang golok, tapi justru
dia memukul langsung badan golok yang
dipegang kepala prajurit Shogun itu.
"Traaakkk!" Golok besar kokoh itu patah dua
dan terlepas dari pegangan Gapo. Gapo
sendiri terkejut bukan alang kepalang hingga
keluarkan seruan keras. Belum lagi seruannya
habis si nenek gerakan tangan kanannya yang
berkuku panjang. Lalu
"Trakk…! traakk!" Jari-jari tangan kanan Gapo
berpatahan. Seruan kaget lelaki ini berubah
menjadi jeritan kesakitan setengah mati.
Dua orang anak buahnya yang tadi diam saja
kini ikut menyerbu sambil menghunus pedang.
Si nenek berkelebat. Tangannya kiri kanan
bergerak. "Traaakkkk! Traaakkk!" Tulang
lengan kanan dua prajurit yang memegang
pedang terdengar patah menggidikkan. Seperti
Gapo, keduanya menjerit-jerit kesakitan.
Ketiga orang ini lalu bergerak menjauhi. Gapo
naik ke atas kereta es dan buru-buru hendak
tinggalkan tempat itu. Dua anak buahnya
segera meluncur mengikuti. Tapi tahu-tahu si
nenek sudah lebih dulu melompat ke atas
kereta.
Dia memandang menyeringai pada Gapo. "Aku
bisa mematahkan kaki anjing-anjing penarik
kereta, juga menghancurkan sepatu besi dua
anak buahmu hingga kalian terpaksa pulang
jalan kaki ke Otsu. Aku juga bisa mematahkan
lagi jari-jari tanganmu sebelah kiri. Tinggal
pilih. Atau sebaliknya kau serahkan rantai
besi itu sekarang juga!"
"Keparat sialan!" rutuk Gapo. Dari balik
mantelnya dikeluarkannya besi hitam karatan
yang diterimanya dari Yasuaki Kiuchi, yang
memang sebenarnya harus diserahkan pada si
nenek. Nenek muka kucing tertawa hik-hik-hik
menerima rantai besi itu. Lalu turun dari atas
kereta es. Dia masih tegak berdiri sambil
tertawa-tawa memperhatikan ketiga orang itu
sampai akhirnya mereka lenyap di balik
pedataran salju menurun.
Di atas kereta, Gapo memaki tiada henti di
antara rintihannya. "Jahanam, tidak kusangka
tua bangka keparat itu memiliki koppo (ilmu
mematahkan tulang) begitu hebat. Aduh!
Apakah tanganku bisa sembuh atau tidak?
Tobat sakitnya…!"
Pasar di pusat kota Otsu menjadi ramai ketika
dua makhluk aneh itu muncul bergandengan.
"Lihat! Ada sepasang manusia katai!" seorang
berseru seraya menunjuk.
"Hai! Ada manusia cebol!" seorang lainnya
berteriak. "Bukan katai bukan cebol. Tapi
manusia-manusia bonsai!"
"Lihat kuku-kuku jarinya. Panjang berkeluk!"
"Mereka pakai mantel bulu! Padahal di sini
ada matahari, bukan tempat dingin! Ha… ha…
ha!"
Sebentar saja puluhan orang telah
mengerubungi apa yang mereka sebut sebagai
sepasang manusia katai atau cebol atau
bonsai itu. Di tengah kerumunan orang
banyak, tegak seorang lelaki yang sosok
tubuhnya hanya setinggi pinggul orang biasa.
Wajahnya yang seperti anak-anak tampak
merah oleh sengatan sinar matahari pagi.
Rambutnya hitam dikuncir ke atas. Sekitar
mulutnya ada garis-garis hitam dibuat dari
sejenis cat hingga mukanya yang lucu itu
seperti wajah seekor anak kucing. Dia
mengenakan pakaian mantel panjang terbuat
dari bulu beruang. Sepasang kakinya memakai
kasut tebal terbuat dari kulit. Manusia cebol
ini memelihara kuku panjang berkeluk. Pada
pergelangan tangan kanannya ada sebuah
benda berbentuk gelang tebal terbuat dari
besi. Benda ini bersambungan dengan sebuah
rantai besi berwarna hitam dan karatan.
Bagian tengah rantai ini menjela menyentuh
tanah. Setiap dia bergerak atau melangkah,
besi yang menyentuh tanah keluarkan suara
bergesek tanda benda itu berat sekali. Tapi si
cebol ini mampu menggerakkan tangannya
kian kemari seolah rantai itu enteng saja.
Ujung lain dari rantai yang juga dicantoli
gelang besi bergelung di pergelangan tangan
kiri manusia bonsai kedua. Yang satu ini
ternyata seorang perempuan. Seperti
kawannya, rambutnya dikuncir ke atas. Pipi
dan bibirnya merah. Sekitar mulutnya ada
garis-garis hitam. Bola matanya yang lucu
memandang kian kemari. Dia mengenakan
pakaian ringkas warna merah terang, lalu di
atas pakaian ini dia memakai mantel bulu
beruang. Kedua kakinya mengenakan kasut
dari kulit dan kuku-kuku jari tangannya juga
panjang berkeluk.
"Orang banyak!" manusia bonsai perempuan
berseru. "Mengapa kalian mengerubungi
kami?!"
Orang-orang yang mengelilingi dua manusia
bonsai bersorak. "Yuumoa! Yuumoa! (lucu)"
seru orang banyak. "Kalian berdua yuumoa!"
"Kami berdua Yuumoa?! Apanya yang lucu?!"
tanya manusia bonsai perempuan. Orang
banyak kembali berseru ramai.
"Anak-anak, kalian berdua ini terlepas dari
mana?!" seorang lelaki muda berkepala gundul
bertanya membuat orang banyak tertawa
ribut.
Sepasang manusia bonsai saling pandang lalu
ikut-ikutan tertawa tergelak-gelak. Suara tawa
mereka aneh. Yang lelaki waktu tertawa
keluarkan suara "Huk…huk…huk!" Sedang yang
perempuan tawanya berbunyi "Hik…hik…hik!"
Anehnya, sehabis tertawa mereka
mengeluarkan suara seperti kucing. Meong…
meong!
"Makhluk bonsai aneh!" pemuda gundul
berkata lagi. "Muka dicat seperti kucing, kuku
panjang-panjang lalu keluarkan suara meong!
Tapi kalian bukan kucing kan?"
Orang banyak tertawa gelak-gelak. Si gundul
melanjutkan. "Matahari ada di atas kepala
kalian, udara di sini panas, tapi begonya
kalian pakai mantel bulu segala!"
Manusia bonsai lelaki menunjuk ke arah si
gundul yang tadi mengejek. Biasanya orang
menunjuk dengan jari telunjuk tapi dia
menunjuk dengan jari kelingking. Dan waktu
menunjuk jari kelingking kiri itu sengaja
digerak-gerakkan. "Hai gundul botak!"
Manusia bonsai lelaki berkata dengan suara
keras. Tapi tetap saja suaranya seperti suara
anak-anak. "Kami ini bukan anak-anak tahu?!
Usia kami berdua sudah hampir delapan belas
tahun! Kalau ditambah, jadi tiga puluh enam.
Betulkah hitunganku?! Huk…huk…huk! Meong!"
"Hik…hik…hik…! Meong!" Ikut tertawa manusia
bonsai perempuan.
Orang ramai jadi tertawa riuh rendah. Saat itu
semakin banyak orang datang mengerubungi.
Pemuda gundul tak tinggal diam. Dia segera
menyahuti ucapan manusia bonsai lelaki tadi.
"Makhluk bonsai! Tidak sangka kau pandai
berhitung! Apa kau juga pandai menari?!"
"Gerrrrrrrr!" Orang banyak kembali tertawa.
"Huk…huk…huk! Meong!"
"Hik…hik…hik! Meong!"
"Kalian berdua pasti datang dari daerah
pegunungan! Sampai di kota tak mau melepas
mantel! Jadi kalian rupanya kucing-kucing
pegunungan!" Orang banyak kembali tertawa
keras mendengar ucapan si gundul tadi.
Dua manusia bonsai ikut tertawa nyaring.
Lalu masih sambil terus menunjuk dengan jari
kelingking kiri yang digerak-gerakkan,
manusia bonsai lelaki berkata, "Hai gundul
botak! Aku dengar yang gundul itu biasanya
biksu. Tapi aku tahu kau jelas bukan biksu!
Karena baju dan badanmu bau! Huk… huk…
huk!"
"Hik… hik… hik…!" manusia bonsai yang
perempuan menimpali tawa temannya lalu
menjulur-julurkan lidahnya pada pemuda
gundul itu. Kemudian sambil memencet
hidungnya seolah-olah menahan bau dia
berkata, "Sudah gundul dan bau, tonggos lagi!
Eh sudah begitu jerawatan pula. Mending
jerawat biasa! Tapi jerawat batu! Hik… hik…
hikkk!"
"Huk… huk… huk…!"
Langit di atas pasar itu seolah runtuh oleh
suara tawa puluhan manusia yang berada di
situ ketika mendengar apa yang dikatakan
manusia bonsai perempuan. sementara
pemuda gundul tadi wajahnya yang memang
dipenuhi jerawat besar tampak menjadi sangat
merah.
Seorang lelaki gendut yang berjualan daging
babi di pasar itu sambil usap-usap perutnya
yang melembung berkata, "Manusia cebol
perempuan, kalau umurmu memang delapan
belas berarti kau sebenarnya seorang gadis.
Biar aku memanggilmu dengan sebutan nona
cantik. Nah, nona cantik, walau temanku si
gundul ini kau bilang tonggos dan jerawatan,
tapi apakah kau mau kalau kulamar jadi
istrinya?!"
"Gerrrrr!" Orang banyak semakin riuh. Si
gundul sendiri keluarkan makian panjang
pendek kepada si tukang daging. Tapi
suaranya tenggelam tak terdengar oleh
riuhnya orang sepasar tertawa.
"Orang di pasar ini rupanya tak ada kerjaan!"
kata manusia bonsai lelaki. "Ayo kita pergi
dari sini…!" Dia mengajak temannya pergi.
"Hai, kalian mau ke mana? Kalau mau pergi
dekat-dekat saja aku bersedia menggendong!"
si pedagang babi berseru.
"Kami lapar! Mau cari rumah makan! Di mana
rumah makan yang enak di pasar ini?!" ujar
manusia bonsai perempuan.
"Ah…!" si gendut usap lagi perutnya. "Kalau
mau mencari rumah makan biar aku
tunjukkan. Ikuti aku! Tapi kenalkan dulu
diriku. Namaku Kukuno!"
"Nama jelek!" cibir manusia bonsai
perempuan. "Apa kerjamu?! Jualan apa kau di
pasar ini? Kulihat kau membawa pisau besar!"
"Aku pedagang babi…" jawab si gendut
Kukuno.
"Pantas tampangmu seperti babi!" kata si
bonsai perempuan, yang membuat orang
banyak kembali bersorak tawa riuh rendah.
Si gendut Kukuno kelihatan merah mukanya
tanda marah. Tapi marahnya ditahan saja.
Dia menggerakkan tangan pada kedua
manusia bonsai itu seraya berkata, "Kalian
lapar. Mau makan enak! Ayo ikuti aku! Ada
rumah makan bagus di belakang pasar,
harganya murah."
Begitu sepasang manusia bonsai melangkah
mengikuti Kukuno, orang banyak yang ada di
situ serta merta pula bergerak menuruti.
Mereka tak ubahnya sebuah rombongan
panjang yang tengah melakukan arak-arakan.
Di belakang pasar ada sebuah tanah lapang
kecil. Di ujung lapangan, berdiri sebuah
bangunan kayu tak berdinding. Halamannya
berpagar bambu. Bau busuk yang dibawa
angin menyambar dari arah bangunan ini.
Kukuno justru menyeberangi lapangan menuju
bangunan. Dua manusia bonsai terus
mengikuti. Sebaliknya orang banyak yang
sudah tahu bangunan apa itu adanya
bertanya-tanya apa sebenarnya yang hendak
dilakukan pedagang daging babi itu. pemuda
gundul jerawatan yang juga ada dalam
rombongan tampak tersenyum-senyum.
Diam-diam dia sudah bisa menduga apa yang
hendak dibuat Kukuno.
Si gendut Kukuno membuka pintu pagar lalu
masuk ke dalam. Bangunan itu ternyata
sebuah kandang babi yang cukup luas.
Keadaannya selain sangat kotor juga busuk.
Kotoran babi berhamparan di mana-mana.
Bau busuk menyengat hidung merambas
saluran pernafasan. Beberapa ekor babi
jantan berlari-lari liar melihat begitu banyak
manusia berada di tempat itu. Beberapa ekor
babi betina asyik menyusui anak-anaknya
yang masih merah-merah.
"Nah inilah rumah makan paling sedap di
pasar Otsu!" kata Kukuno pada dua manusia
bonsai yang tegak di sampingnya.
"Bangunannya besar dan bagus. Di mana-
mana ditaruh wewangian…" Sampai di situ
baru mengerti apa sebenarnya yang diperbuat
pedagang babi itu. Mereka semua riuh
tertawa.
Sebaliknya, walau sadar kalau diri mereka
dipermainkan, dua manusia bonsai malah
ikut-ikutan tertawa.
"Dan itu…" kata si gendut Kukuno melanjutkan
permainannya. Dia menunjuk pada kotoran
babi
yang memenuhi kandang. "Itu semua
makanan paling sedap. Kalian tinggal
memilih. Mau makan tenpura (udang goreng)
atau memilih sashimi (irisan ikan mentah)
atau mungkin lebih suka yakizakana (ikan
panggang)! Ha…ha… ! Silakan ambil sendiri.
Makan sepuasnya dan tak usah bayar!"
Orang banyak tertawa tergelak-gelak melihat
tingkah Kukuno sewaktu mengucapkan kata-
kata tadi.
Sepasang manusia bonsai senyum-senyum
dan saling pandang satu sama lain.
Yang laki-laki kedipkan matanya lalu
berpaling pada Kukuno. "Sobatku gendut! Kau
sangat baik hati pada kami. Telah membawa
ke rumah makan yang begini besar dan
bagus… Pelayannya cantik-cantik…
Makanannya seperti katamu lezat sekali. Lalu
kami boleh makan sepuasnya tanpa bayar,
Kami benar-benar beruntung hari ini! Huk…
huk…huk! Meong!"
"Hik…hik…hik! Kau betul, hari ini kita
beruntung sekali!" menimpali manusia bonsai
perempuan sambil menutup mulut dan tertawa
cekikikan. "Tapi bagaimana kau bisa tahu
kalau makanan di rumah makan ini sedap
semua? Apa kau pernah mencoba?! Hik…hik…
hik! Meong!"
Ditanya seperti itu si gendut Kukuno jadi
melengak tak bisa menjawab. "Huk…huk…huk!
Ah! Sobat baru kita ini rupanya cuma
berdusta!" kata manusia bonsai lelaki.
"Kalau begitu tak ada salahnya kita undang
dia makan sama-sama!" ujar manusia bonsai
perempuan. "Hik…hik…hik! Meong!"
Lalu sambil memutar-mutar rantai yang
mengikat lengan mereka, kedua manusia
bonsai ini masuk ke dalam kandang. Tanpa
rasa jijik sedikit pun mereka pergunakan
tangan kiri untuk meraup kotoran babi yang
ada di tanah lalu di dekatkan ke mulut seperti
benar-benar mau melahapnya.
Orang banyak jadi tak bergeming melihat.
"Hai! Tunggu dulu!" seru manusia bonsai
perempuan. "Kita diundang makan besar di
rumah makan ini. Masak kita begitu tidak
tahu diri dan tidak tahu sopan. Sobat kita
yang mau membayar tidak ditawari? Hik…
hik…hik!"
"Huk…huk! Kau betul! Kita telah berlaku
kurang ajar pada sobat gendut kita. Ayo kita
persilahkan dia makan duluan!" jawab
manusia bonsai lelaki. Lalu sebelum Kukuno
sadar apa yang akan terjadi, kedua manusia
bonsai itu melompat kearahnya. Dua tangan
berkelebat ke mulut si gendut.
Dua tumpukan kotoran babi masuk ke dalam
mulut itu. Saat itu juga Kukuno berteriak
tercekik lalu
"Huekkk…!" Pedagang babi ini terlipat ke
depan dan muntah besar!
Orang banyak yang melihat kejadian itu mau
tertawa bergelak tapi jadi kecut ketika dua
manusia bonsai dengan cepat meraup lagi
masing-masing setumpuk kotoran babi.
"Sobatku gendut?
Bagaimana rasanya? Sedap bukan…?" kata
manusia bonsai perempuan.
"Kalau mau tambah silakan makan lagi. Ini…!"
manusia bonsai lelaki melangkah mendekati
Kukuno.
Pedagang babi gendut berteriak keras sambil
goyang-goyangkan tangan kiri dan tutup
mulutnya dengan tangan kanan. "Ah! Sudah
kenyang dia rupanya! Huk…,huk…!"
"Hik…hik! Kalau begitu harus kita tawarkan
pada yang lain. Masakan kita bersantap
enak-enakan sedang di sini banyak para
sahabat yang ikut mengantar!"
Orang banyak yang ada di tempat itu sesaat
jadi mundur. Mereka tentu saja tidak takut
pada dua manusia cebol itu. Tapi kalau
sempat mereka dibuat seperti Kukuno, atau
paling tidak, tubuh dan pakaian mereka
belepotan kotoran babi, siapa mau ambil
risiko?
"Huk…huk!"
"Hik…hik!"
Dua manusia bonsai berkelebat kian kemari.
Keadaan di tempat itu menjadi ramai kacau
balau.
Semua orang berlarian. Namun banyak di
antara mereka yang tak sempat menghindar.
Akibatnya, pakaian, bahkan tubuh atau muka
mereka habis kena diselomoti kotoran babi.
Pemuda gundul paling banyak dapat bagian.
Wajah sampai kepalanya yang plontos
kelihatan tertutup tahi babi.
Beberapa orang yang kebagian kotoran babi
tampak marah. Mereka beramai-ramai
menyerbu dua manusia bonsai untuk
melayangkan tendangan serta jotosan. Sesaat
kemudian terjadilah hal yang tidak diduga.
Dua manusia bonsai berkelebat kian kemari
sambil tertawa hu-hu hi-hi. Siapa saja yang
menyerang mereka pasti mendapat balasan
tendangan kaki, pukulan atau hantaman
rantai besi.
Beberapa orang tersungkur atau terlentang di
atas tanah kandang yang penuh kotoran.
"Kalian mundur semua!" tiba-tiba si gendut
Kukuno berteriak. Golok besar berbentuk
empat persegi yang dipergunakannya untuk
memotong daging babi dan sejak tadi terselip
di pinggang kini terhunus di tangannya.
Semua orang serentak mundur.
"Cincang keduanya Kukuno!"
"Jagal kepala mereka!" teriak yang lain.
Kukuno melompat. "Wuttt!" Golok penjagal
babi di tangannya melesat. Tapi hanya
mengenai tempat kosong karena dua manusia
bonsai lebih dulu melompat ke belakang.
Dengan beringas Kukuno lancarkan serangan
lagi. Masih gagal. Dia kembali menyerbu.
Goloknya bersuitan di udara tapi tak satu pun
serangannya mengena. Ketika dengan kalap
dia babatkan goloknya ke depan, dua manusia
bonsai melompat seolah dengan sengaja
menyongsong sambaran golok. Tubuh mereka
melesat satu ke kiri satu ke kanan.
Bersamaan dengan itu tangan mereka yang
terkait rantai hitam karatan menggebrak ke
atas.
"Trang!" Golok babi di tangan Kukuno mental
patah dua. Selagi si gendut terkesiap kaget.
Tahu-tahu dua manusia katai sudah hinggap
di bahunya kiri kanan. Rantai besi mereka
jeratkan ke leher pedagang daging babi itu
hingga matanya mendelik dan lidahnya
terjulur keluar!
"Huk…,huk! Meong!"
"Hik…hik! Meong!"
Dua tangan menepuk bahu manusia bonsai
lelaki dan perempuan. Lalu di belakang
mereka ada orang berkata. "Sobatku! Jika
kalian terus mencekik lehernya dengan rantai
itu, si gendut ini bakal mati! Kalian bisa
susah nantinya!"
Dua manusia bonsai tadinya tidak peduli.
Tapi suara orang yang bicara terdengar aneh
dialeknya.
Mereka berpaling. Yang perempuan lantas
berkata pada temannya. "Ada orang asing
berambut gondrong! Suara laki-laki tapi
berambut panjang seperti perempuan! Hik…
hik… hik! Meong!"
"Mukanya lucu, pakaiannya juga lucu! Huk…
huk… huk! Meong!"
Orang yang menegur tertawa lebar. "Lihat!
Nafasnya mau keluar dari badan! Mukanya
sudah biru! Huk… huk…huk! Meong! Hik… hik…
hik! Meong!" orang yang barusan menegur
menirukan tawa dan suara meong dua
manusia bonsai hingga keduanya jadi tertawa
tergelak-gelak.
Manusia bonsai lelaki kemudian berkata.
"Gondrong! Siapa bilang kami mau
membunuh si gendut ini! Kami justru mau
bertanya padanya!" Dengan tangan kirinya
manusia bonsai lelaki usap-usap pipi Kukuno
yang memang sudah kelihatan membiru.
Jeratan pada lehernya dikendorkan sedikit.
Kukuno cepat-cepat menghirup udara segar.
"Gendut. aku perlu keterangan darimu. Di
mana aku bisa menemukan seseorang
bernama Gapo? Turut keterangan dia seorang
tentara berkedudukan cukup tinggi…"
Paras Kukuno yang kebiruan tampak berubah.
Orang banyak juga terkejut ketika mendengar
si manusia bonsai lelaki ini bertanya begitu.
Seolah kini ada sesuatu yang ditakuti, mereka
bersurut mundur. Kukuno sendiri tampaknya
tak mau menjawab. Maka manusia bonsai
lelaki kencangkan kembali jeratan lehernya.
"Jang… jangan…" ujar Kukuno. Suaranya
mendesis. "Apa… apa hubunganmu dengan
orang yang kau tanyakan?"
"Kami membawa pesan untuknya…" yang
menjawab manusia bonsai perempuan.
"A… ku tak bisa memberi… tahu…" Jeratan
rantai mengencang. Lidah Kukuno terjulur
panjang.
Kedua tangannya digoyang-goyangkan.
Nafasnya terengah-engah.
"Sekarang kau mau bicara?" tanya manusia
bonsai lelaki. Kukuno mengangguk-angguk
dengan susah payah. "Nah, ayo bicara!"
rantai mengendur, malah setengah dilepas.
Kukuno usap-usap lehernya yang kelihatan
bertanda merah. Lalu dia mulai bicara.
"Orang yang kalian tanya… Dia salah satu
pejabat tinggi di istana Shogun."
"Kau tahu Shogun banyak istananya. Pejabat
bernama Gapo ini berada di istana yang
mana?"
"Nara…" jawab Kukuno meringis. "Lepaskan
rantai ini…"
Dua manusia bonsai melompat turun ke
tanah. Begitu lepas dari jeratan rantai,
Kukuno serta merta putar tubuh. Orang
banyak bergerak bubar. Salah seorang di
antaranya pemuda berkepala gundul tadi. Dia
menyelinap di antara orang banyak, melintasi
tanah lapang dan lenyap di keramaian.
Di kandang babi itu kini hanya tinggal dua
manusia bonsai dan pemuda berambut
gondrong berpakaian putih.
"Kalian berdua masih lapar…" tiba-tiba si
pemuda bertanya.
"Gaijin ini, mengapa kau masih di sini?" tanya
manusia bonsai lelaki.
"Aku ingin berteman dengan kalian. Aku
barusan tanya apakah kalian masih lapar?"
"Tentu saja kami lapar!" jawab manusia
bonsai perempuan. Dia menyentakkan rantai
yang mengikat lengan kirinya. "Ayo kita cari
sendiri rumah makan!"
"Tangan dan pakaian kalian kotor begitu!
Mana ada rumah makan yang mau
menerima?!"
Mendengar ucapan si pemuda asing, dua
manusia bonsai perhatikan tangan dan
pakaian masing-masing.
"Gaijin, kau betul, kami kotor…"
"Dan bau!" sambung si pemuda. Dua manusia
bonsai tertawa hu-hu hi-hi.
"Di dekat sini ada sebuah anak sungai.
Dangkal dan jernih. Kalian bisa membersihkan
diri di sana…" Habis berkata begitu si pemuda
terus saja ngeloyor.
Dua manusia bonsai mengikuti sambil
berbisik-bisik. "Gaijin, menurut temanku ini
kau orang baik pertama yang pernah kami
temui. Siapa namamu? Dari mana asalmu?"
bertanya manusia bonsai perempuan.
"Namaku Wiro Sableng. Aku datang dari
negeri seribu pulau…" menyahuti si pemuda.
"Seribu pulau? Wah, banyak amat!
memangnya ada orang yang pernah
menghitung segitu banyak?!" ujar manusia
bonsai perempuan lalu tertawa cekikikan.
Si pemuda garuk kepalanya lalu bertanya.
"Kalian sendiri punya nama?"
"Aneh kau ini Gaijin…. Setiap manusia tentu
punya nama, termasuk kami. Walau cuma
punya nama jelek!" jawab manusia bonsai
perempuan. "Aku Tsuki dan kawanku ini
Taiyo."
"Kalau tidak salah, Tsuki artinya bulan, dan
Taiyo artinya matahari…"
"Kau pandai Hik… hik!" memuji manusia
bonsai perempuan bernama Tsuki. "Tadi siapa
namamu? Wiro Sa…?"
"Wiro Sableng," menjelaskan murid Sinto
Gendeng.
"Apa ada artinya itu? Wiro apa, Sableng apa?"
bertanya lagi Tsuki.
"Wiro kira-kira artinya satria atau perkasa…"
"Wah hebat! Kau seorang perwira perkasa.
Tapi berambut panjang seperti perempuan.
Hik…hik!" ujar Tsuki.
"Lalu Sableng itu artinya apa?" tanya manusia
bonsai, yang melihat pada umurnya
merupakan seorang gadis remaja.
Mendengar pertanyaan itu, Wiro jadi garuk-
garuk kepala. "Aku tidak tahu mengapa
guruku memberi nama begitu. Sableng artinya
kichigai…"
"Apa? Kichigai? Sinting alias gila?!" kata
Taiyo setengah berseru lalu pemuda cebol ini
tertawa tergelak-gelak.
"Kalau begitu kau sama dengan kami dan
sensei kami!" kata Tsuki pula.
"Sama bagaimana?" tanya Wiro.
"Kami punya sensei orangnya sinting. Kami
murid-muridnya, dengan sendirinya jadi ikut-
ikutan sinting alias gila alias sableng!
Hik..hik..hik! Meong!"
"Meong!" balas Wiro.
Ketiga orang itu sama-sama tertawa riuh.
Wiro sampai di sebuah tempat ketinggian
berbatu-batu. Dia menunjuk ke bawah. "Itu
sungainya," katanya.
Tsuki dan Taiyo memandang ke bawah. Kira-
kira dua puluh langkah di bawah sana
kelihatan sebuah sungai kecil berair jernih.
"Kita mandi!" seru Taiyo.
"Mandi…! Hik, hik… Meong!"
Lalu di luar dugaan Wiro, kedua manusia
bonsai itu membuka mantel dan seluruh
pakaian di bawah mantel itu hingga keduanya
kini bertelanjang bulat. "Gila! Bagaimana ada
manusia tidak punya malu seperti mereka ini!"
ujar Wiro sambil geleng-geleng kepala.
Diperhatikannya bagian bawah perut kedua
manusia bonsai itu. Apa yang dilihatnya
membuat Wiro membatin. "Keduanya memang
bukan anak-anak. Mereka sudah punya
rumput Jepang!" Wiro jadi tertawa lebar.
"Hai, kau kenapa tidak buka pakaian?!" Taiyo
bertanya enak saja.
"Eh, aku… sudah mandi!" jawab Wiro garuk-
garuk kepala.
"Kalau begitu, kau terpaksa kami tinggal!"
Dua manusia bonsai itu mengambil pakaian
yang barusan mereka buka. Ternyata baik
mantel maupun pakaian memiliki kancing-
kancing khusus di salah satu sisinya, hingga
walau ada rantai yang menghalang, mereka
bisa menanggalkannya tanpa kesulitan.
Selagi Wiro tercengang-cengang melihat
perbuatan kedua orang itu, Tsuki dan Taiyo
keluarkan seruan panjang. Lalu tubuh
keduanya melesat ke udara, di lain saat
menukik turun ke bawah sambil melemparkan
pakaian-pakaian mereka ke tebing sungai.
"Byuuur! Byuuur!"
Dua tubuh cebol itu mencebur ke dalam
sungai. Lalu terdengar suara pekik-pekik
mereka seperti anak-anak penuh gembira
bermain di air. "Dua manusia bonsai…" ujar
murid Sinto Gendeng yang memperhatikan dari
tempat ketinggian. "Mereka kelihatan lucu-
lucu. Polos. Di balik kelucuan dan kepolosan
itu ada sesuatu yang aneh. Keanehan gila
berbahaya! Mereka bisa sangat baik seperti
malaikat, tapi juga bisa ganas seperti iblis!
Mereka bukan manusia-manusia biasa! Jelas
mereka memiliki kepandaian tinggi. Paling
tidak, mereka barusan telah memperlihatkan
ilmu meringankan tubuh yang luar biasa! Dan
rantai besi karatan itu bukan besi rongsokan.
Siapa kedua orang cebol ini sebenarnya…?!
Mengapa tangan mereka diikat satu sama
lain?"
Tsuki dan Taiyo ternyata bukan cuma mandi
sambil bermain. Keduanya juga sibuk mencuci
mantel dan pakaian lalu menjemurnya di atas
batu-batu di pinggir sungai. Akibatnya,
Pendekar 212 terpaksa menunggu lama dan
tidak terasa jatuh tertidur. Wiro tidak tahu
berapa lama dia pulas di tempat itu dan
tersentak bangun ketika Taiyo dan Tsuki
mengambil rumput dan mengilik telinganya
kiri kanan!
"Kalian ini apa-apaan?! Hampir kutinggal
pergi. Mandi saja begitu lama!" Wiro
mengumpat.
"Kami bukan cuma mandi. Tapi juga mencuci
pakaian lalu menjemur! Enak sekali tidurmu
sampai ngorok keras!" kata Tsuki.
Wiro menggeliat lalu berdiri. "Kau bilang
barusan mandi, tapi kulihat mukamu dan
muka Taiyo masih celemongan. Cat hitam itu
masih ada di sekitar muka. Mengapa kalian
mencat wajah seperti itu?"
Ketiga orang itu melanjutkan perjalanan
sambil ngobrol. "Guru kami yang
mengecatnya, kami cuma mengikut. Cat
seperti kumis-kumis kucing ini tidak mudah
luntur kalau tidak pakai minyak khusus.
Minyak itu cuma guru yang memiliki."
"Gurumu tentunya seorang aneh tapi punya
ilmu tinggi. Siapa dia? Tinggal di mana?"
"Dia seorang nenek datuk persilatan di Nihon
ini. Siapa namanya kami tidak tahu. Dia
dikenal dengan panggilan Nenek Neko. Artinya
nenek kucing. Mukanya putih dan memang
seperti kucing.
Dia tinggal di pegunungan Shikoku. Sejak
masih orok, kami sudah diambilnya jadi
murid…"
"Sejak orok? Lalu… Apa kalian sudah tahu
siapa orang tua kalian?" tanya Wiro.
Dua wajah manusia bonsai kelihatan murung
menjadi sedih. Mereka menggeleng perlahan.
"Kalian ini adik kakak, atau kembar, atau
bagaimana?"
"Kami tidak tahu, tapi guru menduga kami
berdua tidak ada pertalian darah…"
menerangkan Tsuki.
"Sungguh aneh diri kalian ini. Kalian tidak
tahu siapa diri kalian sebenarnya…"
"Sampai saat ini kami memang tidak tahu
siapa diri kami sebenarnya. Siapa orang tua
kami. Tapi menurut guru, ada seorang yang
mengetahui. Namanya Gapo."
"Gapo, yang kau tanyakan pada si gendut
pedagang babi itu?"
"Betul!" jawab Taiyo. "Menurut guru, dialah
yang sekitar tujuh belas tahun lalu
mengantarkan kami ke tempat guru di
pegunungan Shikoku…. Itu sebabnya kami
harus mencari orang bernama Gapo itu. Dulu
dia tinggal di Otsu ini. Tapi menurut si gendut
itu, Gapo sudah menjadi pejabat tinggi dan
tinggal di Nara. Kami akan ke sana…"
"Kelihatannya memang dia yang tahu asal
usul kalian. Lalu bagaimana sampai kalian
memiliki tubuh katai cebol seperti ini? Apa
sejak lahir sudah begini?"
"Menurut guru, waktu Gapo membawa kami ke
Shikoku, tubuh kami sudah dibalut dengan
sejenis kulit yang tak mungkin dilepas
sebelum sepuluh tahun berlalu. Kalau dipaksa
membukanya, maka daging di tubuh kami
akan ikut koyak terkelupas…"
"Berarti ada seseorang yang sengaja
membalut tubuh kalian. Dengan maksud tidak
baik tentunya!" kata Wiro pula.
"Semua rahasia kehidupan kami ada pada
pejabat di Nara bernama Gapo itu…"
"Turut apa yang aku dengar, Gapo bukan
seorang pejabat baik-baik. Sifatnya culas dan
hatinya jahat. Dia pemeras rakyat, perampas
harta orang lain, perampas anak gadis dan
istri orang. Gundiknya tidak terhitung… Kalian
harus berhati-hati."
"Mengapa harus hati-hati? Kami tidak berniat
jahat terhadapnya. Hanya ingin mencari
keterangan."
"Aku punya dugaan Gapo ikut bertanggung
jawab atas keadaan diri kalian…"
"Kalau itu benar, kami akan bunuh dia!" kata
Tsuki pula. Wajahnya yang lucu mendadak
berubah menyeramkan. "Tapi kalau Gapo
orang jahat, mengapa penguasa tidak
menegur atau menghukumnya?"
Wiro tertawa. "Gapo itu kepercayaan dan
tangan kanan seorang pejabat tinggi di Kyoto
bernama Yasuaki Kiuchi. Orang ini adalah
saudara sepupu shogun yang berkuasa di
negeri ini! Siapa yang berani menindak Gapo!"
"Yasuaki Kiuchi! Untung kau sebut nama itu!
Menurut sensei, orang ini ada sangkut
pautnya dengan apa yang dilakukan Gapo!"
kata Tsuki setengah berseru.
"Kami juga akan cari manusia satu itu!
Membunuhnya jika dia memang punya andil
penyebab segala derita lahir batin diri kami
ini…" berkata Taiyo.
"Guru juga memberi tugas agar kami mencari
seorang bernama Kamio Shikero…"
menerangkan Tsuki.
"Siapa orang itu?" tanya Wiro.
"Kekasih guru di masa muda. Sekarang
kabarnya dipenjarakan di satu tempat tidak
diketahui. Selama ini dirinya yang menjadi
ganjalan hingga guru, walaupun
berkepandaian tinggi tak berbuat banyak.
Yasuaki Kiuchi kabarnya mengancam kalau
guru berbuat macam-macam, maka dia tak
bakal dapat lagi bertemu dengan Kamio
Shikero kekasihnya itu…"
Apa yang terjadi di kandang babi milik
pedagang Kukuno tersiar cepat di seluruh
Otsu, termasuk di rumah makan Puri
Rembulan. Karenanya, tidak mengherankan
ketika Tsuki dan Taiyo yang ditemani Wiro
datang ke tempat itu, para pelayan segera
menolak. Mereka tidak mau terjadi kekacauan.
"Aneh, ada rumah makan menolak tamu!" ujar
pendekar 212 jengkel.
"Ani Wiro…" kata Tsuki. Dia memanggil Wiro
dengan sebutan "ani" yang berarti kakak,
karena sudah merasa dekat dengan sang
pendekar walau belum lama saling kenal.
"Mereka menolak karena melihat kami berdua
cebol jelek begini. Menghina betul! Tapi tidak
apa. Kita berdiri saja di luar sini. Aku
bersumpah suatu hari rumah makan ini tak
bakal ada pengunjungnya!"
"Eh, apa yang hendak kamu lakukan Tsuki?"
tanya Wiro, sementara Taiyo diam anteng-
anteng saja.
"Aku akan halangi semua tamu yang datang!
Gampang saja bukan? Hik…hik! Meong!"
jawab Tsuki lalu tertawa cekikikan. Seorang
lelaki separuh baya berpakaian bagus dan
berambut kelabu muncul di pintu rumah
makan. Dia adalah Susumu, pemilik rumah
makan. Sesaat dia menatap pada Wiro lalu
memperhatikan dua manusia bonsai.
"Kalian berdua telah membuat keonaran di
pasar kota. Aku juga tidak mau kalian berdua
macam-macam di tempat ini. Aku harap
kalian segera pergi. Bawa serta teman kalian
orang asing berambut gondrong ini!"
Tsuki kedip-kedipkan matanya. "Meong!
Hik..hik! Tuan berambut kelabu, siapa kau
ini?" gadis cebol ini bertanya.
"Aku Susumu, pemilik rumah makan!"
Mendadak pendekar 212 tertawa mengakak.
Membuat Susumu dan Tsuki serta Taiyo jadi
terheran-heran.
"Eh, kenapa kamu tertawa…?" tanya Taiyo.
"Di negeriku, Susumu itu berarti tetek atau
payudaramu! Lucu juga nama orang ini!"
Wajah pemilik rumah makan kelihatan merah
padam sedang Tsuki dan Taiyo tertawa gelak-
gelak
"Kuharap kalian suka pergi. Atau aku akan
panggil petugas keamanan untuk mengusir
dengan kekerasan…!"
"Sudahlah kawan-kawan. Kita pergi saja.
Buat apa lama-lama di tempat ini. Dia punya
makanan yang belum tentu enak. Kita punya
uang! Cari saja rumah makan lain!" Kata
Taiyo. Lalu dari balik mantel bulunya
dikeluarkannya dua buah kantong berisi uang
yang diterimanya dari Nenek Neko.
Dari dalam dua kantong kain terdengar suara
berdering.
"Aku sumpahi rumah makanmu tidak laku!"
teriak Tsuki.
Melihat dua kantong uang di tangan Taiyo,
pemilik rumah makan jadi berubah pikiran.
Sepagi itu belum ada tamu pun yang datang.
Dua kantong di tangan si cebol pasti berisi
uang banyak sekali.
Apa salahnya menerima mereka? "Hai tunggu
dulu!" Susumu berkata cepat ketika ketiga
orang itu dilihatnya hendak melangkah pergi.
"Jika kalian berjanji tidak membuat keributan
di sini, aku sudi mempersilakan kalian
istirahat di dalam dan bersantap."
"Siapa yang mau membuat keributan? Kami
ke sini mau cari makan dan bayar!" jawab
Taiyo seraya acungkan dua kantong kain di
tangannya. Suara dering uang dalam kantong
semakin enak terdengar di telinga Susumu.
"Taiyo, orang ini sudah dengar apa yang
terjadi di kandang babi! Itu salah si gendut
Kukuno dan orang banyak! Mereka
menganggap kami ini seperti binatang saja.
Masakan kami disuruh makan kotoran babi!"
kata Tsuki dengan wajah dicemberutkan.
"Kalian bertiga boleh masuk. Silakan masuk!"
kata susumu.
Tsuki, Taiyo dan Wiro saling pandang. Sambil
senyum-senyum ketiganya akhirnya masuk ke
dalam rumah makan. Mereka sengaja memilih
tempat di ruangan tengah yang luas. Semua
orang di dalam rumah makan itu jadi sibuk
melayani. Tak lama kemudian minuman dan
makanan yang dipesan segera dihidangkan.
Tsuki dan Taiyo menungging-nungging
menciumi makanan yang sedap baunya itu.
"Ayo! Tunggu apa lagi! Ini makan besar
namanya!" kata Taiyo. Tiga orang itu segera
bersantap sementara Susumu dan beberapa
pelayan memperhatikan dari kejauhan. Mereka
senyum-senyum geli melihat cara makan
manusia cebol itu. Kalau Wiro makan wajar-
wajar saja, maka Tsuki dan Taiyo membabat
semua makan itu dengan rakus seperti dua
orang kelaparan satu minggu bertemu
makanan lezat. Dalam waktu sebentar saja
semua makanan dan minuman yang ada di
hadapan mereka habis amblas!
"Hai! Siapkan lagi makanan sama
minumannya! Yang banyak! Jangan kuatir
semua kami bayar!" kata Taiyo. Walaupun
terheran-heran, Susumu segera memerintah
pelayan menyiapkan makanan baru. Tak lama
kemudian hidangan datang. Dua manusia
bonsai langsung menghantamnya.
Keduanya seperti balapan.
"Ani Wiro, kau tidak makan…?" tanya Tsuki
melihat Wiro hanya menjulurkan kaki.
"Aku sudah kenyang," jawab Pendekar 212.
"Ah, tubuhmu saja yang besar tapi perut kecil!
Lihat kami, tubuh boleh kecil tapi perut musti
besar! Hik…hik…hik! Meong!"
Murid Sinto Gendeng hanya bisa gelengkan
kepala. Ketika pesanan kedua itu habis, dia
menyangka dua manusia bonsai akan
terduduk kekenyangan. Ternyata tidak. Taiyo
kembali berteriak minta disiapkan lagi
hidangan baru, malah lebih banyak! Pemilik
rumah makan dan semua pelayan yang ada di
situ, termasuk Wiro sendiri, tentu saja jadi
melengak heran. Dua manusia katai makan
sebanyak itu. Masuk ke mana semua
makanan itu? Dua kali pesanan yang mereka
santap tadi yang seharusnya selusin tamu!
Wiro sendiri mulai berpikir-pikir jangan-
jangan dua manusia bonsai sebangsa
makhluk jejadian atau tuyul!
Selagi Tsuki dan Taiyo asyik menyantap
hidangan ketiga, tiba-tiba di luar sana lima
orang berseragam prajurit kota muncul. Yang
sebelah depan begitu melihat Tsuki dan Taiyo
segera saja membentak. "Kalian berdua di sini
rupanya! Sedang enak-enakan makan!"
Tsuki cuma melirik lalu terus makan tak acuh.
Sebaliknya Taiyo teguk minumannya. Sambil
menyeka bibirnya dia bertanya. "Kami
memang lagi makan. Memangnya kenapa?
Mau ikutan? Tapi bayar sendiri! Huk… huk…
huk! Meong!"
"Manusia cebol kurang ajar!" teriak prajurit di
sebelah depan dengan muka merah padam.
Empat kawannya juga tampak marah. "Kami
datang untuk menangkap kalian! Tahu?!"
"Mana kami tahu!" jawab Tsuki konyol lalu
tertawa tergelak-gelak.
Wiro menengahi dengan bertanya. "Apa salah
dua kawanku ini hingga kalian hendak
menangkap mereka?"
"Hem… jadi kau kawan kedua monyet katai
ini! Bagus! Berarti kau juga kami tangkap!
Ikat mereka dan bawa!"
Empat orang prajurit segera maju. Masing-
masing membawa segulung tali. Wiro segera
bangkit berdiri dan menghadang. "Tunggu
dulu. Kau belum memberitahu apa salah
kami!"
Dengan beringas prajurit yang ditanya
menjawab. "Kau membuat keributan di pasar.
Mencederai beberapa orang dan merusak
harta orang!"
"Keributan di pasar memang betul. Tapi kami
tidak mencederai siapapun. Teman-temanku
ini hanya menyuapkan sedikit makanan dan
memupuri orang-orang yang berlaku kurang
ajar mempermainkan mereka. Juga tidak ada
harta orang yang kami rusak!"
"Orang asing! Kau duluan yang aku tangkap!"
"Aku akan mencambukmu sampai seratus kali
biar tahu diri!" Habis berkata begitu, prajurit
ini ayunkan tangan untuk menggebuk Wiro
pada bagian kepalanya. Murid Sinto Gendeng
cepat merunduk lalu mundur. Si prajurit
menjadi kalap karena hantamannya tadi tak
menemui sasaran.
Dia kembali memburu dengan pukulan tangan
kosong. Lagi-lagi gagal. "Keparat! Biar
kuhabisi saja kau sekarang juga!" teriak
prajurit itu marah lalu hunus samurainya. Kali
ini Pendekar 212 tak bisa mengelak terus.
Begitu pedang membabat di atas kepalanya,
murid Sinto Gendeng membuat gerakan
berputar. Kaki kirinya mencuat ke atas.
"Bukkk!"
Kaki kiri Wiro menghantam rahang kanan
prajurit itu dengan telak. Tubuhnya terlempar
empat langkah lalu terbanting pingsan ke
lantai rumah makan. Mukanya tepat jatuh di
atas sebuah piring besar berisi sisa-sisa
bumbu cabe.
"Jangan membuat keributan di sini! Jangan
membuat keributan di sini!" Yang berteriak
adalah
Susumu si pemilik rumah makan. Tapi
agaknya tak ada yang peduli pada
teriakannya. Sementara itu empat prajurit
sudah membuka gulungan tali dan siap
mengikat Tsuki dan Taiyo.
"Ani Wiro!" berseru Tsuki. "Kami berdua belum
selesai makan. Tak ada waktu untuk melayani
empat cecunguk yang mengganggu ini! Tolong
kau layani dulu mereka!"
Empat prajurit cepat bergerak hendak
mengikat Tsuki dan Taiyo, namun gerakan
mereka tertahan.
Satu bayangan berkelebat dan tahu-tahu
empat utas tali itu telah melingkar mengikat
tubuh mereka masing-masing mulai dari
tangan sampai ke kaki! Karena keempatnya
meronta-ronta berusaha melepaskan ikatan
dan tak berhasil, empat prajurit ini akhirnya
jatuh bergedebukan di lantai rumah makan.
Tentu saja mereka berteriak marah dan
memaki habis-habisan.
"Taiyo, aku tidak suka mendengar suara
nyanyian mereka!" berkata Tsuki sambil
melahap sepotong daging.
"Sama!" jawab Taiyo. Lalu tangan kiri Taiyo
dan tangan kanan Tsuki bergerak dua kali.
Terdengar suara "Hekkk…!" Empat kali
berturut-turut, Teriakan dan caci maki empat
prajurit langsung berhenti. Di dalam mulut
mereka menyumpal potongan daging campur
tulang!
"Ah! Aku sudah kenyang!" kata Taiyo sambil
meletakkan guci sake di lantai.
"Aku juga!" kata Tsuki. Taiyo berpaling pada
Wiro. "Kita pergi sekarang"
"Ada baiknya sebelum muncul lagi urusan
baru!" sahut Wiro. Taiyo lalu melangkah
mendekati Susumu. Pada pemilik rumah
makan ini dia menyerahkan uang pembayar
semua makanan. Menurut Wiro, uang yang
dibayarkan itu cukup, malah berlebihan
karena salah satu dari mata uang itu terbuat
dari emas.
Tapi Susumu tiba-tiba berteriak marah.
"Gara-gara kalian rumah makanku jadi rusak.
Lalu enak saja kalian membayar semurah ini!
Semua hidangan dan minuman yang kalian
santap mahal harganya! Serahkan dua buah
kantong itu padaku baru lunas!"
Wiro melangkah mendekati pemilik rumah
makan itu lalu berkata. "Uang dalam dua
kantong itu cukup untuk membeli lima rumah
makan seperti milikmu ini! Termasuk lima
manusia penipu seperti kau!"
"Pemuda asing berambut gondrong! Jangan
ikut campur urusanku! Bukan kau yang
membayar!" sentak Susumu.
Pendekar 212 tersenyum lebar. "Silakan kau
menyelesaikan urusan dengan mereka,"
katanya lalu sambil melangkah ke pintu dia
berpaling pada Tsuki dan Taiyo. "Giliran
kalian sekarang!"
"Susumu, uang yang kami berikan sudah lebih
dari cukup. Lihat berkeliling. Tak ada
barangmu yang rusak. Jangan menipu.
Jangan tamak!" kata Tsuki. Lalu dia
melangkah. Tapi karena Susumu berusaha
menghalangi, gadis bonsai itu dorongkan
tangan kanannya ke perut pemilik rumah
makan itu. Terjadi hal yang hampir tak dapat
dipercaya. Tangan begitu kecil dengan
dahsyat mampu mendorong tubuh besar
Susumu hingga terjajar dan jatuh duduk di
atas sebuah nampan berisi sisa-sisa
makanan.
"Manusia cebol keparat! Berani kau
menjatuhkan tangan kasar kepadaku!" teriak
Susumu marah.
Dia bangkit berdiri, menyambar sebilah
samurai yang tergantung di dinding lalu
membacokannya ke batok kepala Tsuki.
"Meong!" Tsuki dan Taiyo keluarkan suara
kucing mengeong. Bersamaan dengan itu
keduanya jatuhkan diri berguling di lantai.
Rantai besi yang mengikat tangan mereka
memukul ke depan, menghantam sepasang
kaki Susumu.
Pemilik rumah makan ini berteriak setinggi
langit ketika tulang kering kedua kakinya
dihajar besi itu. Tubuhnya terlipat ke depan
lalu jatuh tersungkur babak belur. Tsuki dan
Taiyo tertawa tergelak.
Keduanya melangkah seenaknya menuju pintu.
Di situ Pendekar 212 sudah menunggu sambil
senyum-senyum menyaksikan apa yang telah
dilakukan kedua manusia bonsai itu terhadap
si pemilik rumah makan.
Shogun penguasa tunggal di Jepang pada
masa itu berkedudukan di Kyoto. Di beberapa
kota besar dia memiliki istana, di antaranya
yang terdapat di Nara. Sekitar sembilan tahun
silam, Yasuaki Kiuchi diberi kedudukan tinggi
oleh shogun. Sejak itu dia meninggalkan Otsu,
pindah ke Nara.
Gapo, kepala prajuritnya yang setia dan telah
mengabdi sekian lama, ikut pindah dan
diangkat menjadi salah seorang pejabat tinggi
di Nara.
Malam itu Gapo datang ke tempat kediaman
Yasuaki Kiuchi. "Tuan Kiuchi, turut
perhitunganku bulan ini tepat sekitar tujuh
belas tahun silam saya membawa dua orok
Yamada dan Yukawa itu ke pegunungan
Shikoku. Sesuai pesan kita pada Nenek Neko,
dua anak itu akan dilepas guna menjalankan
tugas…"
"Perhitunganmu tidak berbeda denganku
Gapo," kata Yasuaki Kiuchi sambil mengusap
mata kirinya yang picak.
"Setelah kau mendapat kedudukan sangat
tinggi bahkan berkuasa penuh di Nara ini,
apakah rencana tempo hari akan tetap
dijalankan tuan Kiuchi?"
"Tentu saja! Ada apa dalam otakmu Gapo?
Sesudah kau sekarang jadi pejabat tinggi di
sini, kau melupakan rencana itu begitu saja?
Sudah merasa puas rupanya?!"
"Maafkan saya tuan Yasuaki. Bukan begitu
maksud saya."
"Aku tidak suka mendengar kau mendua hati
Gapo! Ingat itu baik-baik! Dulu di Otsu aku
jadi orang penting. Sekarang di Nara ini aku
jadi orang besar dan berkuasa penuh, kau
tetap jadi tangan kananku! Tapi tujuan dan
cita-cita hidupku bukan cuma sampai di sini.
Apa yang kudapat sekarang hanya sebagai
batu loncatan ke kedudukan yang lebih tinggi.
Jauh lebih tinggi! Aku ingin menjadi
penguasa tunggal di Nihon ini! Beberapa
pejabat tinggi di Kyoto sudah kurembuki.
Mereka hanya menunggu kapan aku
menjalankan rencana. Dan kalau dua anak itu
muncul berarti apa yang aku inginkan sudah
di depan mata!"
"Saya tetap mengabdi padamu sampai kapan
pun juga tuan Kiuchi!" kata Gapo pula.
Di luar ada orang mengetuk pintu. Gapo cepat
berdiri. Begitu pintu dibuka, kelihatan seorang
pemuda berkepala gundul, bermuka jerawatan.
Dia bukan lain adalah pemuda yang pagi tadi
kena dikerjai oleh Tsuki dan Taiyo di Otsu. Si
gundul ini membungkuk tiga kali di depan
Gapo. Gapo bicara sebentar dengan pemuda
gundul itu lalu memberitahu pada Yasuaki
Kiuchi. "Si botak Takuchi, salah seorang
mata-mata kita di Otsu datang untuk
melaporkan sesuatu yang penting."
"Suruh dia menghadapku!" kata Yasuaki
Kiuchi.
Takuchi segera diperintahkan masuk. Setelah
menjura berulang kali, Takuchi lalu bersimpuh
di hadapan Yasuaki Kiuchi. "Saya membawa
kabar penting," kata si gundul ini. Lalu dia
menceritakan kemunculan dua manusia
bonsai di Otsu. Satu lelaki satunya
perempuan. Juga diceritakannya apa yang
terjadi di kandang babi milik Kukuno.
Yasuaki Kiuchi berpaling pada Gapo. "Mereka
akhirnya muncul Gapo. Rencana kita bakal
menjadi kenyataan…" Lalu dia bertanya pada
mata-mata berkepala gundul itu. "Ada lagi
yang hendak kau terangkan?"
Takuchi mengangguk. "Dua manusia bonsai
itu punya seorang kawan. Seorang pemuda
asing berambut gondrong. Agaknya dia bukan
orang sembarangan. Ada dugaan keras dia
memiliki kepandaian tinggi dan aneh-aneh…"
Yasuaki Kiuchi bangkit dari duduknya. "Gapo,
kau pernah tahu atau dengar tentang orang
asing itu?"
"Memang saya pernah mendengar tuan
Kiuchi. Beberapa waktu lalu dia membuat
beberapa kali kegegeran di Kyoto. Dia
bersahabat dengan murid-murid seorang
tokoh silat di Gunung Fuji. Juga mempunyai
hubungan baik dengan orang-orang
perguruan Emerarudo pimpinan Shigero
Momochi.
Bersahabat dengan nenek sakti bernama
Teruko…"
"Tunggu!" Memotong Yasuaki Kiuchi. "Apa
bukan dia pemuda asing yang mendapat
julukan Pendekar Gunung Fuji itu?"
"Saya yakin memang dia tuan Kiuchi," jawab
Gapo.
Yasuaki Kiuchi menggigit bibirnya. "Selama
dia tidak tahu rencana kita, kita akan aman.
Tetapi sekali dia tahu…"
"Tak mungkin dia tahu. Si Nenek Neko mana
berani berbuat macam-macam. Kecuali kalau
dia tidak mau lagi melihat kekasihnya yang
kita sekap di pertambangan tempat kerja
paksa di utara kita keluarkan dari sana hidup-
hidup…"
Yasuaki Kiuchi tertawa. "Aku memang tidak
punya rencana untuk mengeluarkan Shikero
dari sana.
Semua yang kukatakan pada nenek itu
bohong belaka. Sekadar untuk menjinakkan
dirinya…."
Yasuaki Kiuchi hentikan ucapannya. Dia sadar
telah terlalu banyak bicara di depan Takuchi.
"Kau bekerja bagus. Kau boleh pergi.
Beberapa hari di muka seseorang akan
mengantarkan hadiah padamu."
"Terima kasih tuan Kiuchi. Saya mohon diri.
Tapi sebenarnya ada satu hal lagi yang ingin
saya sampaikan. Mungkin tidak ada gunanya.
Saya pergi saja sekarang…"
"Tunggu dulu! Apa yang hendak kau katakan
Takuchi?" tanya Yasuaki Kiuchi. "Sewaktu
menghajar pedagang babi di Otsu itu, saya
dengar dua manusia bonsai menanyakan tuan
Gapo. Mereka ingin tahu di mana tuan Gapo
bisa ditemui…"
Paras Yasuaki Kiuchi dan Gapo kontan
berubah. "Tukang babi itu memberitahu…?"
Takuchi mengangguk. "Nyawanya terancam.
Kukuno akhirnya memberitahu kalau tuan
Gapo sekarang berada di Nara, jadi pejabat
penting Shogun…"
"Kurang ajar si Kukuno itu! Akan kujagal
batang lehernya!" kata Gapo marah sambil
mengepalkan kedua tinjunya. Dia memberi
isyarat pada Takuchi agar segera
meninggalkan tempat itu.
Begitu Takuchi berlalu, Yasuaki Kiuchi
berkata. "Dari siapa manusia-manusia bonsai
itu tahu namamu?"
"Hanya satu orang yang saya curigai tuan
Kiuchi. Si nenek muka kucing Neko!"
"Berarti dua manusia bonsai itu juga sudah
tahu rencana kita. Kalau tidak, mengapa
mereka mencarimu? Padahal tugas yang aku
perintahkan pada si nenek muka kucing itu
lain…"
Gapo terdiam. Akhirnya terdengar dia berkata
dengan suara bergetar. "Saya khawatir
jangan-jangan mereka memang sudah tahu.
Kalau begitu izinkan saya pulang dulu. Saya
harus mempersiapkan sesuatu untuk
mencegah hal-hal yang tidak diingini."
Yasuaki Kiuchi mengangguk. "Sebelum kau
pergi, atur penjagaan di tempat ini. Lipat
gandakan kekuatan para pengawal."
"Akan saya lakukan tuan Kiuchi," jawab Gapo
lalu membungkuk dalam-dalam.
Hutan kecil di tepi jalan yang menghubungkan
Nara di Selatan dan Otsu di Utara berada
dalam keadaan gelap gulita. Namun di suatu
tempat tersembunyi terlihat ada nyala api.
Ternyata itu adalah api unggun kecil. Di
sekeliling api duduk tiga sosok tubuh. Mereka
bukan lain dua sosok bonsai Tsuki dan Taiyo
bersama pendekar 212 Wiro Sableng.
Di tangan kiri Taiyo saat itu ada secarik
kertas yang sudah sangat lusuh. Di atas
tertera panjang tulisan kanji. "Ani, kau bisa
membaca tulisan kanji?" tanya Waiyo pada
Wiro. Pendekar 212 geleng kepala.
"Kertas ini seumur umur kami…" kata Tsuki.
"Di sini tertulis pesan-pesan yang harus
dilakukan oleh guru kami Nenek Neko. Siapa
pemberi tugas tidak tertera. Tapi menurut
guru adalah Yasuaki Kiuchi, saudara Shogun
di Kyoto…"
Wiro mulai tertarik penuturan sahabat
cebolnya itu. Dia menggeser duduk dekat
Taiyo. "Surat ini dibawa oleh orang bernama
Gapo…"
"Apa saja tugas guru kalian dalam kertas
itu?" tanya Wiro kepada Taiyo.
"Pertama, sensei harus mengikat tangan kami
dengan rantai karatan ini. Lalu guru kami
harus merawat hingga tujuh belas tahun. Lalu
guru wajib mendidik kami dalam kepandaian
silat dan ilmu kesaktian. Pada hari kami
dibebaskan, kami harus pergi ke Kyoto untuk
membunuh Shogun.
Shogun hanya bisa dibunuh dengan rantai
hitam yang mengikat tanganku dan tangan
Tsuki. Setelah itu kami harus pergi ke danau
di tepi desa Biwa. Desa itu bernama Hikone.
Di sana kami harus membunuh satu keluarga
bernama Yukawa."
"Selesai? Hanya itu…?" tanya Wiro ketika
Taiyo berhenti membaca tulisan di atas kertas
lusuh itu.
Taiyo mengangguk. "Itu tugas yang harus
dikerjakan guru dan diturunkan kepada kami.
Tapi guru meminta kami melupakan segala
kentut busuk yang tertera dalam kertas ini.
Sebagai gantinya, ia meminta kami mencari
orang yang bernama Gapo. Sebab dia satu-
satunya pembuka jalan siapa sebenarnya
kami ini. Waktu itu kedudukannya adalah
sebagai kepala prajurit Shogun, yang bertugas
di bawah pemerintah Yasuaki Kiuchi. Guru
juga menugaskan kami mencari seorang
bernama Shikero, yang kabarnya disekap
Yasuaki di suatu tempat dan baru dilepas
tujuh belas tahun kemudian, saat kami
meninggalkan pegunungan Shikuko…"
"Tugas dari Yasuaki Kiuchi berlainan dengan
tugas dari guru kalian. Kalau Gapo orangnya
Yasuaki Kiuchi berarti dia juga tahu asal usul
kalian. Tapi aku tidak mengerti mengapa
kalian harus membunuh sekeluarga Yukawa di
Hikone…" ujar Wiro. Dia menatap langit hitam
di atasnya. Tidak juga berhasil memecah
teka-teki. "Jika saja kakek Segala Tahu ada di
tempat ini, pasti dia bisa menolong kita," kata
Wiro.
"Siapa pula orang itu," tanya Tsuki. "Seorang
tua berumur lebih dari delapan puluh tahun.
Matanya buta tapi lebih tajam penglihatannya
dari kita ini. Dia pandai meramal dan melihat
yang bakal terjadi. Sayang dia tidak di sini…"
kata Wiro.
Tiba-tiba terdengar suara gemeletak roda
kereta ditimpali deru kaki kuda. Kedua cebol
itu cepat menginjak-injak perapian. Begitu api
padam, tempat menjadi gelap. Ketiganya
meninggalkan hutan berlari menuju jalan
kecil. "Aku harap yang lewat ini dia," bisik
Taiyo. "Ingat Tsuki, orang ini harus kita dapat
hidup-hidup. Jika sampai mati, kita akan
kehilangan jejak diri kita. Atau kita akan
berhadapan dengan Yasuaki Kiuchi."
Suara kereta kuda semakin cepat. Dua
manusia bonsai berpaling kepada Wiro. "Ani
Wiro. Kau sudah siap?" tanya Tsuki. Pendekar
212 menganggukkan kepala sambil acungkan
seutas tali. Ujung tali itu dikaitkan dengan
ujung pohon yang sudah dipotong lalu
ditegakkan dan ditancapkan di ujung sungai.
Batang pohon besar jatuh. Kuda paling depan
meringkik. Kedua binatang itu langsung
tersungkur begitu lelaki penunggangnya jatuh.
Tidak ampun lagi keretanya terbalik. Tiga dari
empat pengawal yang berada di belakang tak
sempat lagi menghindar dan menabrak bagian
belakang kereta.
"Tuan Gapo keluar dari kereta! Ada komplotan
rampok menyerang kita," salah seorang
pengawal berteriak sambil melompat dari
kuda dan membuka pintu kereta. Seorang
bertubuh besar dan gempal keluar dari kereta
dengan susah payah. Begitu menginjakkan
tanah mulutnya langsung mengumpatkan kata
kutukan serapah.
"Bangsat rendah dari mana yang berani
merampok kita?!" Tangan kanan Gapo
bergerak dan "Wutt" golok besarnya
berkelebat. Saat itu dua sosok berkelebat ke
udara. Lalu menukik ke arah Gapo. Seseorang
berteriak memberi peringatan. Pengawal yang
tadi terpental kini melindungi majikannya
sambil menyibatkan pedangnya ke atas.
"Meong!Meong!"
"Trang! Trang!" Dua pedang di tangan
pengawal itu patah dan mental. Lalu
terdengar jeritan kedua.
Ternyata Tsuki dan Taiyo telah
mempergunakan jari tangannya yang panjang
untuk meremas kedua muka pengawal itu.
Gapo berteriak marah. Bersama dua pengawal,
dia hendak menyerang Tsuki dan Taiyo. Tapi
justru saat itu keluar suara suitan keras.
Tiba-tiba ada puluhan obor mendekat. Lalu
jaring raksasa tidak kelihatan seolah jatuh
dari langit.
"Tsuki! Taiyo! Awas!" teriak pendekar 212.
Tangan kanannya dilibaskan untuk melepas
pukulan sakti Benteng Topan Melanda
Samudera. Tapi terlambat. Ketika pukulan
sampai, jaring sudah menjerat manusia
bonsai. Akibatnya, dalam keadaan terjerat, ia
juga harus menerima pukulan sakti Wiro.
"Celaka aku menyerang mereka," seru Wiro
dalam hati.
Dua manusia bonsai terguling dalam jeratan
jaring tapi keduanya dapat bangkit seperti
tidak terjadi apa-apa. "Bret! Bret!" mereka
pergunakan kuku untuk melepas jaring yang
melilit tubuhnya.
Pukulan pendekar 212 tidak berbekas, murid
Sinto Gendeng itu heran.
Saat itu sambil tertawa bergelak, Gapo
melompat ke depan jaring. Tangannya
melempar bola kecil.
"Dess!" Terdengar letupan halus disusul
dengan menggebubunya asap hijau. Tsuki dan
Taiyo hilang dibungkus asap. Yang terdengar
hanya suara mereka batuk-batuk.
"Kurang ajar," teriak Wiro. Dia berkelebat ke
arah Gapo tapi parasnya jadi berubah. Di
sekelilingnya saat itu ada sekitar selusin
manusia berseragam perwira balatentara
shogun mengurungnya. Enam dari mereka
membidikkan panah beracun. Enam lagi
menodong dengan ujung samurai berkilat. Tak
ada kemungkinan untuk meloloskan diri atau
melawan.
"Sial dangkalan!" maki Wiro. Dia angkat
tangan kanannya hendak menggaruk kepala,
tapi dua buah ujung samurai segera menekan
bahunya. Murid Sinto Gendeng meringis
kesakitan. Dua liang luka mengucurkan darah
membasahi baju putihnya. Lalu sebuah rantai
besi dililitkan ke tubuhnya.
Membuat pendekar 212 benar-benar tidak
bisa berkutik lagi!
Ketika Tsuki dan Taiyo sadar dari pengaruh
asap hijau bola beracun yang dilemparkan
Gapo, mereka dapatkan diri tergeletak di
sebuah ruangan yang lantai serta dinding dan
atapnya terbuat dari batu. Bersama mereka
ada enam orang perwira berseragam pasukan
Shogun. Di situ juga ada Gapo, manusia yang
kini mereka anggap sebagai musuh besar
pemegang kunci rahasia kehidupan mereka.
"Ssstt…" berbisik Tsuki. "Kalau mereka
mengurung kita di sini apa mereka sangka kita
tidak bisa berjibaku membunuh mereka
semua…?"
"Aku juga sudah berpikir begitu," sahut Taiyo.
"Tapi lihat di depan sana. Sahabat kita
terancam keselamatannya!"
Dua manusia bonsai itu bangkit berdiri. Tsuki
usap-usap matanya yang masih terasa perih.
Paras gadis bonsai ini jadi berubah dan
sekujur tubuhnya terasa tegang. Di hadapan
mereka ada sebaris jeruji besi sebesar betis
manusia. Di belakang jeruji besi itu ada
sebuah ruangan di mana Pendekar 212 Wiro
Sableng berada dalam keadaan terikat kedua
tangannya dan dikerek hingga sepasang
kakinya terjingkat ke atas.
Di atas kepalanya ada dua buah busur
lengkap dengan anak panah beracun siap
lepas. Tali-tali busur dua buah panah itu
tertahan oleh sebuah cantelan besi. Jika Wiro
bergerak sedikit saja atau merubah kedudukan
kakinya maka cantelan yang menahan tali
busur akan lepas. Anak panah pertama akan
melesat menghantam batok kepalanya sendiri.
Anak panah kedua yang akan lepas dalam
waktu bersamaan, akan melesat menghantam
dada seorang perempuan tepat pada
jantungnya yang terikat pada sebuah tiang
besi sejarak enam langkah dari hadapan Wiro.
Wiro tidak dapat melihat paras perempuan itu
karena rambutnya yang panjang hitam terjurai
ke depan menutupi wajahnya. Perempuan ini
mengenakan pakaian warna biru. Bagian atas
bajunya robek besar hingga dadanya
tersingkap lebar.
"Manusia bernama Gapo!" tiba-tiba Tsuki
berteriak. "Aku bersumpah membunuhmu dan
semua orang yang ada di sini jika sahabatku
itu menemui ajal karena perbuatanmu ini!"
Gapo tertawa bergelak. "Kau mengawatirkan
keselamatan kawanmu. Bagaimana dengan
calon korban yang perempuan?!"
"Kami tidak mengenal siapa dia! Tapi jika kau
melibatkan orang lain untuk tujuan busukmu,
aku akan mencincang mayatmu sampai
lumat!" Yang menjawab adalah Taiyo.
Gapo terus mengumbar tawa. "Perempuan itu
seorang yang sangat berarti bagi sahabatmu
si pemuda asing. Jika kalian ingin mereka
selamat, hanya ada satu jalan. Kalian harus
melakukan sesuatu seperti yang sudah
dipesankan dan ditugaskan pada guru kalian
si nenek muka kucing!
Kalian punya waktu terbatas. Sampai berapa
lama pemuda asing itu sanggup bertahan
berjingkat terus. Sekali dia menjejakkan
tumitnya rata dengan lantai, cantelan besi
akan lepas dan dua anak panah akan
merenggut nyawa mereka!"
Tsuki dan Taiyo berteriak-teriak mencaci maki
Gapo habis-habisan. Gapo yang kini menjadi
pejabat penting di Nara itu kelihatannya
seperti tidak acuh. Tapi tiba-tiba kedua
tangannya bergerak menghantam. Tsuki dan
Taiyo terpekik. Tubuh keduanya terbanting ke
dinding batu akibat jotosan kiri kanan Gapo
yang mendarat telak di wajah mereka. Tapi
seperti tidak merasakan sakit Tsuki dan Taiyo
melompat lalu menyerang ke arah Gapo
sambil keluarkan suara mengeong keras!
Lima orang perwira Shogun berkelabat
menghadang dengan samurai di tangan. Salah
seorang dari mereka mengancam. "Berani
kalian bergerak sedikit saja, sebuah alat
rahasia akan membetot lepas cantelan
penahan tali busur! Dua orang di ruangan
sana akan menemui ajal dalam sekejapan
mata!
Ayo silahkan berbuat konyol!"
"Bangsat!" maki Tsuki.
"Keparat busuk!" teriak Taiyo. Dua manusia
bonsai itu tak bisa berbuat apa-apa selain
memandang ke arah Wiro dengan penuh
tegang.
"Ani Wiro!" seru Tsuki. "Maafkan kami tak
dapat menolongmu! Tapi kami bersumpah
untuk membunuh habis semua manusia setan
di ruangan ini!"
Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa
berdiam diri dan tarik nafas dalam. Kalau
saja ada yang bisa menotok kedua kakinya,
sampai kiamat pun dia sanggup berjingkat.
"Paling lama aku bisa bertahan satu setengah
hari" membatin Wiro. "Sialan! Selangkangan
dan punggungku terasa gatal. Bagaimana aku
bisa menggaruk! Kalau sampai tubuh dan
kakiku bergerak, tamat riwayatku…"
Wiro memandang ke depan ke arah
perempuan yang juga terancam
keselamatannya. "Aku merasa seperti
mengenali walau tidak melihatnya. Jangan-
jangan… Ya Tuhan! Kuharap jangan dia yang
ada di tiang itu!"
Dengan sebuah alat, Gapo menaikkan dua
buah jeruji besi lalu masuk ke ruangan di
mana Wiro berada. "Pemuda asing bergelar
Pendekar Gunung Fuji! Nama besarmu tak
lama lagi akan terkubur di bumi Nihon!
Sayang jauh-jauh datang kau cuma
mengantar nyawa. Itu akibat ulahmu yang
terlalu suka ikut campur urusan orang lain!"
"Kau manusia paling sialan di dunia ini Gapo!
Jenis kadal penjilat yang mau melakukan apa
saja demi jabatan!"
Gapo ganda tertawa. Dia melangkah ke
hadapan tiang di mana perempuan berpakaian
biru tegak terikat. "Srett!" Dia cabut golok
besar yang tersisip di pinggangnya. "Aku mau
tahu apa kau masih bisa bicara besar dan
keras setelah melihat siapa adanya
perempuan ini!" kata Gapo pula. Lalu dengan
ujung pedangnya disentakkannya rambut
panjang menjurai yang menutupi wajah
perempuan itu. Begitu parasnya tersingkap
terkejutlah murid Sinto Gendeng.
"Akiko Bessho!" teriak Wiro. "Ya Tuhan,
memang dia rupanya!"
"Wiro…" ujar gadis berpakaian biru tersendat.
Mukanya pucat walau dia berusaha berlaku
setenang mungkin. Gapo tertawa bergelak.
"Bagus! Jadi kalian sudah saling kenal satu
sama lain! Ha… ha… ha!"
"Kenapa kau libatkan gadis yang tidak punya
salah apa-apa itu?!" tanya Wiro. Dia berusaha
menekan hawa amarah yang menggelegak
dalam tubuhnya. Gapo menyeringai. Goloknya
disarungkan kembali. (Mengenai gadis
bernama Akiko Bessho ini dapat diikuti
kisahnya dalam dua serial Wiro Sableng
berjudul "Pendekar Gunung Fuji" dan Ninja
Merah").
Saat itu pintu ruangan terbuka. Seorang lelaki
berpakaian sangat mewah masuk sambil
berkipaskipas.
Di belakangnya ada beberapa orang pengawal
berseragam kimono merah. Orang ini hanya
memiliki satu mata. Mata kirinya yang
agaknya cacat, disembunyikan di balik sehelai
kulit tipis warna hitam.
Gapo dan semua perwira shogun yang ada di
ruangan itu segera membungkuk dalam-
dalam. Wiro maupun dua manusia bonsai
sama bertanya-tanya dalam hati siapa
gerangan orang yang baru datang ini. Mereka
tidak menunggu lama. Jawaban segera
didapat dari ucapan Gapo.
"Tuan Yasuaki Kiuchi, saya telah mengatur
semua sesuai dengan petunjuk yang mulia…"
"Yasuaki Kiuchi…" desis Tsuki sambil
menyentakkan tangan kirinya sedikit memberi
tanda pada Taiyo. "Jadi ini manusianya yang
jadi pangkal bahala kesengsaraan kita!"
Yasuaki Kiuchi angguk-anggukkan kepala.
Sikapnya pongah. Dia menyeruak di antara
jeruji besi yang tadinya dinaikkan ke atas oleh
Gapo lalu masuk ke ruangan di mana Wiro
dan Akiko Bessho berada. "Jadi ini manusia
yang bergelar Pendekar Gunung Fuji itu!
Kepalamu berharga ratusan tail emas jika
dapat kuserahkan pada kelompok tokoh-tokoh
silat golongan hitam di Jepang ini.
Keuntunganku berlipat ganda! Kau bisa
kumanfaatkan lebih dulu, lalu mendapatkan
imbalan besar itu. Ha… ha… ha!"
"Pejabat busuk! Di mataku kau tak lebih dari
seorang pelacur laki-laki! Manusia kadal
comberan!"
Tubuh Yasuaki Kiuchi tersentak. Mata
kanannya mendelik besar mendengar kata-
kata Wiro itu. Dia mengulurkan tangannya
meminta golok pada Gapo. Begitu golok
dipegang, ujungnya ditempelkan ke pipi
Pendekar 212.
"Aku kagum akan keberanianmu, Aku mau
lihat apakah kau cukup kuat untuk tidak
menjerit!" Lalu dengan ujung golok itu
Yasuaki Kiuchi menggores pipi kanan Wiro.
Pendekar 212 mengernyit kesakitan. Darah
mengucur ke pipi dan berhenti di sudut
bibirnya.
Yasuakihendak menggores sekali lagi. Tapi
Gapo buru-buru mendekati dan berbisik.
"Jangan terlalu keras, kalau tubuhnya
bergerak karena kesakitan, dia dan gadis itu
akan menemui ajal. Berarti kita akan
kehilangan sandera sebelum rencana
berhasil…"
Perlahan-lahan Yasuaki Kiuchi turunkan
tangannya yang memegang golok. "Kau
betul…" katanya.
"Kita tak perlu cepat-cepat membunuhnya…."
Golok diserahkannya pada Gapo kembali lalu
dia berpaling ke arah Akiko Bessho yang
terikat di tiang. "Hemmm, Dalam keadaan
seperti ini pun dia tetap cantik. Aku benar-
benar dibuat gila…" Yasuaki Kiuchi lalu
melangkah ke hadapan gadis itu dan berkata.
"Nona Bessho, permintaanku tempo hari
masih berlaku. Aku bersedia memberi
pengampunan bagimu jika kau mau kujadikan
salah satu gundikku…"
"Manusia iblis budak nafsu!" semprot Akiko
Bessho. "Di Nara ini ada seribu pelacur! Kau
boleh mengambil semuanya menjadi
gundikmu!" Yasuaki Kiuchi tertawa lebar.
Tangan kirinya tiba-tiba meluncur ke dada
gadis itu, meremas liar kian kemari.
"Jahanam rendah!" maki Akiko lalu
diludahinya muka lelaki itu. Yasuaki Kiuchi
mundur dua langkah. Matanya yang cuma
satu memandang membelalak pada si gadis.
Semua orang mengira penguasa kota Nara itu
akan menjadi marah dan menghajar si gadis
habis-habisan. Ternyata tidak. Ia usap ludah
yang menempel di mukanya dengan tangan
kiri, lalu dijilatnya tangannya.
"Hah, ludahmu pun terasa nikmat…" katanya.
Tiba-tiba dia melompat, merangkul tubuh
Akiko Bessho, mengecup muka, bibir dan leher
gadis itu penuh nafsu. "Manusia jahanam!
Keparat busuk…!"
Setelah puas menciumi gadis itu, Yasuaki
Kiuchi kembali ke ruangan di balik jeruji besi.
Dengan alat rahasianya, Gapo menurunkan
dua buah jeruji besi kembali. Yasuaki Kiuchi
keluarkan kipasnya. Setelah berkipas-kipas
sebentar, dia berkata pada Tsuki dan Taiyo.
"Dua manusia cebol! Dengar baik-baik setiap
ucapanku! Melalui gurumu si nenek muka
kucing aku memberi tugas agar kalian berdua
membunuh shogun di Kyoto dengan Besi
hitam yang mengikat lengan kalian satu sama
lain, itu satu-satunya senjata yang sanggup
membunuh shogun. Kalian tidak punya waktu
banyak. Kawan kalian pemuda asing itu
kurasa hanya sanggup bertahan satu
setengah hari. Mungkin dua hari. Jika dalam
dua hari kalian tidak kembali ke sini
membawa kepala shogun, berarti pemuda itu
dan juga gadis itu akan menemui ajalnya.
Kalian berdua bertanggung jawab atas nyawa
mereka. Mereka akan aku lepaskan jika kepala
shogun kalian serahkan padaku!"
"Enak saja kau ngomong!" teriak Tsuki.
"Kenapa kau ingin membunuh shogun?"
"Betul, padahal kau masih saudara
sepupunya. Dia juga yang memberi kedudukan
tinggi padamu di Nara ini!" menimpali Taiyo.
"Mengapa heran kawan-kawan!" tiba-tiba
Wiro berseru. "Manusia jelek itu ingin jadi
shogun, tega membunuh saudaranya sendiri!
Manusia tidak tahu diri! Mana ada shogun
matanya picak! Ha… ha… ha…!"
"Huk… huk… huk…! Meong!" Taiyo tertawa
bergelak.
"Hik… hik… hik..! Meong!" ikut tertawa Tsuki.
"Setan alas!" rutuk Yasuaki Kiuchi. "Gapo,
lepaskan dua manusia katai sialan itu! Kalian
berdua harus kembali ke sini membawa kepala
shogun. Paling tidak lusa pagi. Dan ingat, aku
benar-benar melepaskan dua sahabatmu itu
kalau kau juga sudah membunuh suami istri
Yukawa di desa Hikone!"
"Mengapa? Mengapa kami harus membunuh
mereka? Kenalpun tidak!" ujar Tsuki.
"Nanti kalian tahu sendiri apa jawabnya!" ujar
Yasuaki Kiuchi lalu tinggalkan tempat itu
diikuti para pengawalnya.
Ketika Gapo melangkah untuk mengantar,
Pendekar 212 berkata. "Gapo, kau telah
merampas senjata mustikaku. Kalau kau tidak
mengembalikannya atau mengembalikannya
dalam keadaan rusak, kau tahu sendiri
akibatnya!"
Gapo menyahut dengan dengusan keras dari
hidungnya. Sewaktu sampai di pintu luar,
Yasuaki Kiuchi berbalik dan bertanya pada
Gapo. "Senjata mustika apa yang disebut-
sebut pemuda asing itu tadi?"
Dalam hatinya Gapo merutuk. "Kalau pemuda
sialan tadi tidak berkata apa-apa, pasti
Yasuaki Kiuchi tidak mengetahui perihal
senjata mustika itu! Sialan! Mungkin belum
jodohku mendapatkannya!"
Dari balik pakaiannya Gapo keluarkan sebuah
benda. Mata semua orang yang ada di situ
menjadi kesilauan oleh sinar yang keluar dari
benda yang dipegang orang kepercayaan
Yasuaki Kiuchi itu.
"Kapak bermata dua!" seru Yasuaki dengan
mata mendelik hampir tak percaya. "Ini
senjata mustika luar biasa! Senjata ini dulu
yang pernah dicuri oleh satu kelompok ninja
hingga menimbulkan kegegeran di seantero
negeri! Gila! Kini senjata itu ada di
hadapanku! Senjata ini jauh lebih hebat dari
rantai hitam yang mampu membunuh shogun
itu!"
Lalu Yasuaki Kiuchi bertanya pada Gapo.
"Kalau sekiranya pemuda itu tadi tidak
menyebut-nyebut benda ini di hadapanku,
apakah kau akan menyerahkannya dengan
sukarela?"
Paras Gapo berubah merah. Tapi dia bisa
berkilah. "Saya sengaja tidak memberitahu
Yang Mulia waktu di ruangan itu. Karena
kalau terjadi apa-apa, pemiliknya hanya tahu
saya dan tidak akan mengganggu Yang
Mulia."
Yasuaki Kiuchi tersenyum. "Kau memang
cerdik Gapo! Aku menghargai kecerdikanmu
itu!"
"Terima kasih Yang Mulia," ujar Gapo seraya
membungkuk dalam-dalam.
"Hebat! Rezeki besar tak terduga!" seru
Yasuaki Kiuchi gembira sekali. Cepat-cepat
senjata yang bukan lain adalah Kapak Maut
Naga Geni 212 milik Wiro Sableng itu
diambilnya.
Tsuki dan Taiyo memperhitungkan, dengan lari
cepat mereka menghabiskan sehari semalam
untuk bisa sampai ke Kyoto. Tapi keduanya
ragu, apakah mungkin waktu yang tersisa bisa
untuk membunuh Shogun.
"Tsuki, aku merasa was-was. Memasuki
kediaman Shogun saja bukan pekerjaan
mudah.
Bagaimana kita bisa membunuh walau kita
punya senjata yang katanya bisa
membunuhnya. Apalagi badan kita cebol,
pasti menarik perhatian orang. Agaknya kita
tidak bisa menolong sahabat kita dan gadis
itu, kasihan…!"
"Diamlah Taiyo! jangan nyerocos terus. Aku
berlari sambil berpikir. Harus ada satu cara
untuk menyelesaikan kasus ini. Shogun
katanya berkuasa dengan cara sewenang-
wenang. Tapi siapa pun orangnya, kita tidak
punya hak untuk membunuhnya. Para
pendekar samurai di Kyoto paling tidak ada
seratus orang! Kita jangan terpengaruh oleh
keadaan yang diciptakan oleh manusia jahat
Yasuaki dan cecunguknya si Gapo itu."
"Lalu apa yang harus kita lakukan,"tanya
Taiyo.
"Tunggulah, aku pasti dapat akal, Taiyo! Aku
dapat!" teriak Tsuki.
"Katakan padaku!"
"Ingat pelajaran dari sensei? Jika kita lemah
dan lawan jauh lebih kuat, jangan hadapi
dengan kekerasan. Pergunakan akal, rangkul
mereka dan jadikan teman sampai ada
kesempatan untuk memukul!"
"Itu ilmu filsafat Tsuki, dalam kenyataan pasti
lain lagi," ujar Taiyo.
Gadis cebol itu menggeleng. "Kita lihat saja
nanti. Kau masih menyimpan kertas butut
yang diberikan Gapo itu?"
Taiyo mengangguk. "Kalau begitu percepat
larimu Taiyo!" kata Tsuki.
Shogun penguasa negeri benar-benar meledak
amarahnya ketika seorang perwira
penghubung memberitahu ada sepasang cebol
ingin menemuinya. "Sepasang cebol ingin
menemuiku, mereka gila. Dan kau sebagai
perwira lebih gila lagi!"
"Plaak!" Satu tamparan keras membuat
perwira itu terpelanting dan mulutnya
mengeluarkan darah segar.
"Saya minta maaf Yang Mulia," kata perwira
itu sambil meraba pipinya yang berdarah,
mengembung bengkak. "Saya mana berani
jika tidak menyangkut keselamatan dan nyawa
yang mulia. Sepasang cebol itu mengatakan
ada yang hendak membunuh Yang Mulia.
Semula saya juga menganggap sepasang
manusia bonsai itu juga tidak waras. Saya
melarang, empat hulubalang mengepruknya!
Eh, keempat pengawal tingkat tinggi itu roboh
dalam sekali gebrak saja! Untung keempatnya
tidak dibunuh!"
Mendengar penjelasan perwiranya, Shogun
yang berparas tinggi, berkumis dan berjanggut
putih itu berubah total. Maka diapun berkata.
"Perwira bawa masuk kedua bonsai itu dan
siapkan selusin pengawal untuk mengikutinya.
Aku akan menerimanya di ruang kaca," ujar
Shogun. Sehabis itu shogun segera masuk ke
ruangan yang dibelah dua oleh dinding kaca.
Keanehan diding ini, meski ada pembatas,
kedua orang yang terpisah masih bisa saling
melihat dan mendengar, dan lagi, tidak
mempan senjata tajam.
Seusai mengantar kedua bonsai, selusin
pengawal itu langsung membungkuk dan
meninggalkan Shogun yang sudah berada di
ruang kaca. Dalam ruang kaca, Shogun
menatap tajam ke arah Taiyo dan Tsuki yang
tangan kanan dan kiri mereka terikat oleh
seuntai rantai karatan. "Rantai itu…" kata
Shogun dalam hati dengan nada berdebar.
"Bagaimana bisa berada dan mengikat
mereka! Agaknya mereka tidak membual ada
yang berusaha membunuhku. Hanya rantai itu
yang sanggup mencabut nyawaku!"
"Dua manusia rantai, kalian berani-beraninya
menemuiku sampai merobohkan empat
perwiraku. Kau memberi tahu pengawal
penghubung ada yang hendak membunuhku?"
Taiyo membungkuk "Benar yang Mulia
Shogun"
"Bagaimana aku mempercayai kalian? Kalian
tidak saja cacat otak, tapi juga cacat jasmani,
kalian kurasa tidak waras!"
"Kami tidak berani membantah keadaan
kami," ujar Taiyo. "Kami datang memberi tahu
pemimpin negeri kami bahwa nyawanya
terancam. Dia hendak dibunuh orang!"
"Kalian tahu siapa pembunuhku?"
Kedua manusia cebol mengangguk. "Kami
berdua Yang Mulia!" Mendengar jawaban itu,
dua belas pengawal Shogun langsung
bergerak berusaha menyergap Taiyo dan
Tsuki.
Tapi gerakan mereka berhenti saat melihat
Shogun memberi isyarat.
"Manusia cebol, apa permusuhanmu denganku
hingga kalian ingin membunuh?"
"Tidak ada Yang Mulia. Kami melaksanakan
perintah seseorang yang tertulis dalam pesan
guru kami tujuh belas tahun lalu."
"Siapa yang menyuruh kalian membunuhku?"
tanya Shogun bergegas.
"Yang Mulia pasti tahu. Dia ada hubungan
darah dengan Yang Mulia. Namanya Yasuaki
Kiuchi, orang Yang Mulia beri jabatan tinggi
di Nara!"
"Kurang ajar! aku tidak percaya dengan
keterangan kalian. Ingat, aku bisa
memerintahkan kepala kalian dicincang
sekarang juga!"
Taiyo mengeluarkan secarik kertas lusuh berisi
pesan-pesan yang ditulis Yasuaki Kiuchi
dalam huruf kanji, dan dibawa oleh Gapo
kemudian dibawa kepada guru mereka si
Nenek Muka Kucing Neko. Lalu Tsuki
menceritakan asal-usul mereka sesuai dengan
yang mereka dengar dari guru mereka. Tidak
lupa menceritakan yang terjadi di Nara saat
ini.
"Kalau kami tidak membawa kepala Yang
Mulia dan menunjukkan kepada Yasuaki dan
Gapo, paling lambat besok pagi, sahabat saya
orang asing itu dan gadis Akikio Bessho akan
menemui ajal!"
Shogun terdiam lama. "Sulit mempercayai
kedua manusia kate ini. Tapi rantai besi ini
bukti keras bahwa mereka tidak berdusta.
Selama tujuh belas tahun mereka tidak bisa
melepaskan diri dari ikatan rantai."
Karena lama Shogun berdiam diri tidak
bicara, maka seorang pengawal kemudian
angkat bicara.
"Yang Mulia, apakah kami diizinkan
meringkus dan menjagal kedua manusia cebol
ini sekarang juga?"
Jawaban yang keluar dari mulut Shogun
mengherankan semua orang yang hadir.
"Salah seorang dari kalian lekas cari orang
yang ahli membuat topeng kulit!"
Akiko Bessho semakin tegang dan cemas luar
biasa ketika melihat tubuh Wiro mulai
bergetar.
"Wiro! Kuatkan dirimu! Bertahanlah! Kau dan
aku tak mau mati konyol di tempat celaka
ini!" teriak si gadis.
Murid Sinto Gendeng memandang seperti
sudah putus harapan. Suaranya terdengar
perlahan.
"Rasanya aku tak sanggup lagi Akiko.
Mungkin sudah takdir kita berdua menemui
ajal di tempat ini…" Tubuh sang pendekar
kembali bergetar. Kedua kakinya sudah tidak
terasa kaki lagi. Hilang rasa dan beberapa
kali tumitnya hampir bergerak jatuh ke bawah.
Sekujur badannya basah oleh keringat.
"Tidak! Jangan putus asa! Bertahanlah Wiro!
Kau pasti bisa! Teman-temanmu itu pasti
datang!"
"Mereka tidak ingin membunuh shogun! Kau
tahu barisan pengawal shogun berlapis-lapis.
Di istananya banyak peralatan rahasia. Tsuki
dan Taiyo saat ini pasti sudah menemui
ajal…"
"Aku tidak mau berpikir seperti itu! Tidak!"
teriak Akiko kembali.
Lalu Wiro melihat ada air mata menetes jatuh
membasahi pipi gadis itu.
"Kau menangis Akiko…"
"Aku menangis bukan karena takut
menghadapi kematian." jawab Akiko Bessho.
"Aku… mungkin bisa puas menghadapi ajal
mati bersamamu. Walau aku akan merasa
lebih bahagia kalau bisa hidup lebih lama di
dekatmu… Mungkin ini cuma sebuah mimpi
yang tidak akan terlaksana sampai saat
kematian datang. Lagipula aku tak pantas
berkata begitu, karena aku ingat Yori. Gadis
itu mencintaimu…" (Mengenai siapa adanya
gadis bernama Yori, harap baca serial Wiro
Sableng berjudul Ninja Merah).
Wiro hanya bisa menelan ludah mendengar
semua ucapan Akiko Bessho itu. Tiba-tiba
pintu di belakang jeruji besi terbuka. Sosok
berpakaian mewah sambil berkipas-kipas
masuk. Dia bukan lain adalah Yasuaki Kiuchi
penguasa tertinggi di Nara. Dengan matanya
yang cuma satu, dia memandang ke arah Wiro
lalu pada Akiko Bessho. Sesaat kemudian
Gapo muncul di sampingnya.
Lalu menyusul beberapa orang perwira
shogun.
"Pemuda asing!" Yasuaki tiba-tiba berkata.
"Apa kau masih sanggup bertahan?!" Wiro
memutar kepalanya sedikit. Memandang ke
arah Yasuaki lalu meludah.
"Keparat! Berani kau menghina Yang Mulia!"
teriak Gapo.
Yasuaki Kiuchi sendiri cuma menyeringai
buruk. Dipegangnya bahu Gapo lalu berbisik.
"Aku tetap mau meniduri gadis itu dulu
sebelum dia menemui ajal…"
"Tapi tuan Kiuchi…"
"Aku sudah menyuruh orang untuk memanggil
dua pelayan perempuan. Gadis itu harus
dimandikan dulu, diberi wewangian dan
pakaian bagus, didandani…"
Di luar tiba-tiba ada suara orang berlari. Lalu
muncul seorang prajurit. "Yang Mulia, dua
orang cebol itu datang. Mereka membawa
sebuah kantong kain berlumuran darah!"
Yasuaki Kiuchi dan semua orang yang ada di
situ menjadi kaget. Dari luar berkelebat masuk
dua sosok tubuh katai. Ternyata memang
Tsuki dan Taiyo! Di tangan kirinya Taiyo
memegang sebuah kantong kain basah oleh
darah dan menebar bau amis.
"Kami datang membawa kepala shogun!" kata
Taiyo.
"Tsuki! Taiyo! Kalian berhasil!" seru Wiro.
"Kau dan kawanmu akan selamat Ani Wiro!"
ujar Tsuki.
Suasana jadi gempar! Serta merta saja
Yasuaki Kiuchi diselubungi berbagai rasa.
Gembira, tidak percaya dan juga ngeri. "Aku
mau lihat!" katanya.
"Tumpahkan isi kantong itu ke lantai!"
perintah Gapo. Beberapa prajurit yang ada di
situ bersurut mundur.
Taiyo letakkan kantong berdarah di lantai.
Lalu dipegangnya bagian bawahnya dan
ditunggingkan.
Sebuah benda yang menyimpratakan darah
menggelinding di lantai, berhenti di depan
kaki Yasuaki Kiuchi. Benda itu adalah
potongan kepala manusia berambut, berkumis
dan berjanggut putih. Dari lehernya yang
putus masih keluar darah. Bau busuk
menghampar di ruangan itu. Yasuaki Kiuchi
keluarkan seruan tertahan.
"Tuan Kiuchi…" bisik Gapo. "Ini memang
kepala shogun…!"
Mata kanan Yasuaki Kiuchi berputar ke arah
rantai besi yang mengikat tangan Tsuki dan
Taiyo. Dia melihat ada noda-noda darah pada
rantai. "Mereka benar-benar menjagal shogun
dengan rantai itu…"
"Kami telah melakukan apa yang diminta.
Sekarang kalian harus melepaskan dua orang
itu!" kata Taiyo.
Yasuaki Kiuchi dan Gapo saling pandang.
Lalu terdengar tawa bergelak keluar dari
mulut Yasuaki Kiuchi. "Aku dan para
pengawal akan segera berangkat ke Kyoto
sekarang juga! Orang-orang kita di sana pasti
sudah mengatur segala sesuatunya…"
"Bagaimana dengan manusia-manusia bonsai
ini Yang Mulia?" tanya Gapo.
"Mereka masih punya satu tugas. Membunuh
suami istri Yukawa di Hikone…" jawab Yasuaki
Kiuchi lalu berpaling pada Tsuki dan Taiyo.
"Hikone cukup jauh di utara! Pemuda asing
itu tak mungkin bisa bertahan lebih lama!"
ujar Taiyo.
"Itu urusan kalian!" jawab Kiuchi seenaknya.
Dari ruangan sebelah tiba-tiba terdengar
teriakan Pendekar 212. "Tsuki! Taiyo!
manusia-manusia dajal itu tak akan
membiarkan kalian hidup! Lekas larikan diri
cari selamat. Kami berdua di sini agaknya
harus menerima takdir menemui kematian!"
Akiko Bessho tercekat dan membeliak besar
mendengar teriakan Wiro itu. Sedang Tsuki
dan Taiyo tampak bergerak-gerak tenggorokan
mereka.
Lalu keluar suara menggembor.
"Kami tidak akan lari Ani Wiro!" seru Taiyo.
"Kami memilih mati sama-sama di tempat
ini!"
"Hik…hik! Meong! Enaknya mati sama-sama!"
kata Tsuki lalu berjingkrak-jingkrak beberapa
kali.
Dua manusia bonsai ini melangkah ke
hadapan Yasuaki Kiuchi sambil putar-putar
rantai besi yang mengikat tangan mereka.
Semua orang yang ada di situ sesaat jadi
terkesiap ketika melihat bagaimana rantai
karatan itu mengeluarkan sinar hitam angker
menggidikkan. Gapo hunus golok besarnya.
Semua perwira yang ada di situ juga cabut
samurai masing-masing. Yasuaki Kiuchi
buang kipas di tangan kanannya. Tangannya
bergerak ke balik pakaian mewahnya, Di lain
kejap satu sinar putih menyilaukan menerangi
ruangan itu, membuat redup cahaya angker
hitam dari rantai besi itu.
Kapak Maut Naga Geni 212 berada dalam
genggaman Yasuaki Kiuchi. Sepasang
manusia bonsai jadi tertegun. Walau mereka
merasa ngeri melihat senjata itu namun
keduanya sudah bertekad sama-sama mati.
Tsuki dan Taiyo siap melompat sambil
menghantamkan besi hitam berkarat. Tapi
pada saat itu pula dari luar melayang tiga
sosok tubuh yang kemudian jatuh saling
tindih di lantai.
Semua orang keluarkan seruan tertahan. Yang
bertumpukan di lantai adalah tiga perwira
berpakaian seragam pasukan shogun. Mereka
hancur terkoyak-koyak, tak bisa dikenali lagi.
Di saat yang sama terdengar suara kucing
mengeong dua kali berturut-turut. Lalu satu
sosok berkelebat masuk. "Meong!Meong!"
"Biru!" seru Tsuki.
"Merah!" teriak Taiyo.
"Sensei!" pekik dua manusia boncel
bersamaan.
Seorang nenek mengenakan mantel bulu
beruang tegak di ruangan itu. Dia bukan lain
adalah si nenek muka kucing Nenek Neko,
orang yang telah memelihara Tsuki dan Taiyo
selama tujuh belas tahun. Di pundaknya kiri
kanan ada dua ekor kucing es berbulu putih.
Yang satu berkalung pita merah pada
lehernya, satunya lagi berpita biru.
"Nenek muka kucing!" bentak Yasuaki Kiuchi
keras walau diam-diam hatinya tergetar.
"Tadinya aku akan mengirim orang untuk
menangkapmu. Kau telah menyalahi tugas
yang aku berikan lewat Gapo. Kau layak
menerima hukuman!"
Nenek muka kucing menyeringai. "Aku bukan
kacungmu, bukan juga budakmu! Mana
mungkin aku terus menerus harus patuh pada
kekuasaanmu?!"
"Nenek keparat!" bentak Gapo. "Beraninya kau
bicara kurang ajar pada Yang Mulia?!"
"Yang Mulia?!" ujar si nenek lalu tertawa
cekikikan. Dua muridnya ikut tertawa.
"Yasuaki Kiuchi, tadinya aku mengira kau
adalah manusia paling bejat di dunia ini.
Ternyata lebih dari itu. Kau iblis paling
durjana di muka bumi!"
"Nenek keparat! Apa kau lupa bahwa nyawa
kekasihmu Shikero ada di tanganku?!"
Si nenek ganda tertawa. "Tadinya aku
memang begitu mendambakan untuk dapat
bersama lelaki itu sebelum ajal menjemput.
Tapi lama-lama aku merasa jengah sendiri.
Sudah tua bangka begini masih saja bercita-
cita seperti seorang jaka dan seorang gadis.
Kau boleh membunuh Shikero sampai seribu
kali! Hik… hik… hik!"
"Jahanam!" teriak Yasuaki Kiuchi.
"Eh kulihat kau memegang senjata luar biasa.
Itu pasti bukan milikmu! Biru! Merah! Lekas
kalian rampas senjata mustika itu!"
"Meong!"
"Meong!"
Dua ekor kucing di bahu si nenek mengeong
keras lalu melesat ke arah Yasuaki Kiuchi.
Penguasa tunggal di Nara ini berusaha
membabatkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke
arah kedua binatang itu.
Namun si merah dan si biru lebih dulu
mencengekeram tangan kanan orang itu.
Yasuaki Kiuchi menjerit keras sewaktu
tangannya habis koyak-koyak digigit dan
dicakar dua ekor kucing. Kapak Maut Naga
Geni 212 terlepas dari genggamannya.
Sebelum senjata itu menyentuh lantai, dua
ekor kucing es bergerak cepat sekali,
menyambuti gagang senjata mustika dengan
mulut mereka.
Di saat yang sama, Gapo ayunkan golok
besarnya untuk membacok dua ekor kucing
itu. Namun dari samping, Tsuki dan Taiyo
tidak dilihatnya melompat ke atas, tahu-tahu
rantai besi berkarat itu sudah menggelung
lehernya.
Dua ekor kucing membawa Kapak Naga Geni
212 ke arah si nenek muka kucing. Perempuan
tua ini membungkuk, cepat mengambil senjata
itu. "Senjata luar biasa! Kurasa tak ada
duanya di dunia ini!" kata si nenek sambil
sipitkan mata tak tahan sinar menyilaukan.
Dia memandang ke depan ketika mendengar
suara "Kraak!" Gapo dilihatnya tertegak
melotot. Lidahnya terjulur keluar. Dari
mulutnya keluar darah kental.
"Huk…huk! Meong!"
"Hik… hik! Meong!"
Tsuki dan Taiyo lepaskan jeratan rantai besi.
Tubuh tanpa nyawa Gapo langsung roboh
tergeletak di lantai. Lima perwira tinggi
shogun yang menjadi kaki tangan Yasuaki
Kiuchi, yang sudah sama-sama
menggenggam samurai, tanpa tunggu lebih
lama segera menyerbu dua manusia bonsai.
Di depan pintu, si nenek muka kucing masih
memandangi Kapak Maut Naga Geni 212
terkagum-kagum.
"Senjata hebat! Luar biasa! Kapan lagi
mencobanya kalau tidak sekarang!"
Dari mulut si nenek keluar lengkingan keras
seperti kucing mengeong. Tubuhnya
berkelebat ke depan. Kapak maut berkiblat
mengeluarkan suara menderu dahsyat serta
menebar hawa panas luar biasa. Terdengar
suara berdentrangan riuh sekali, disusul
dengan pekik jerit kematian. Ketika si nenek
kembali ke tempat tegaknya semula, di lantai
ruangan berkaparan tumpang tindih sosok
tubuh lima perwira tinggi tadi. Semua
menemui kematian dengan kening terbelah
hangus!
"Senjata hebat! Benar-benar luar biasa!" kata
si nenek lagi. Lalu dia memandang ke depan.
Sepasang mata kucingnya membentur sosok
Yasuaki Kiuchi yang tegak tersandar di sudut
ruangan sambil tangan kirinya pegangi
tangan kanan yang hancur akibat koyakan
gigi dan cakar dua ekor kucing peliharaan si
nenek.
"Yang Mulia!" seru si nenek. "Kau bisa
memilih kematian yang kau sukai! Kubelah
keningmu dengan kapak sakti ini? Atau
mampus dikoyak dua ekor kucing
peliharaanku? Atau dicekik dengan rantai besi
sampai hancur lehermu oleh dua anak
manusia yang jadi korban kebuasanmu itu!?
Atau mungkin kau lebih suka aku sendiri yang
menguliti sekujur tubuhmu!?"
Sesaat Yasuaki Kiuchi terdiam tak menjawab.
Tiba-tiba dia melompat menyambar golok
milik Gapo yang tercampak di lantai dengan
tangan kirinya. Orang ini memang memiliki
ilmu memainkan senjata yang hebat dan dia
mampu memainkan senjata dengan tangan
kanan atau tangan kiri.
Serangan pertama Yasuaki Kuchi hanya
mengenai tempat kosong karena si nenek
cepat menghindar. Ketika lawan menyerang
kedua kalinya, Nenek Neko hantamkan Kapak
Naga Geni 212. "Trang!" Golok besar di
tangan kiri Yasuaki mental patah dua. Si
nenek menyeringai. "Kau rupanya memilih
mati dengan kepala terbelah Yang Mulia!
Hik… hik…hik!" tangan si Nenek Neko
bergerak. Tetapi tiba-tiba di luar sana
terdengar suara terompet, menyusul suara
orang berteriak.
"Atas nama shogun di Kyoto, hentikan semua
pertempuran di dalam sana!"
Lalu tiga orang menerobos masuk. Yasuaki
Kiuchi menjadi pucat ketika melihat siapa
yang berada di sebelah depan. Seorang tua
bertubuh tinggi besar bermata biru dan
berkumis kelabu melintang.
Dia adalah kepala balatentara shogun wilayah
selatan yang paling ditakuti. Begitu melihat
Yasuaki Kiuchi, orang ini keluarkan satu
gulungan kertas berwarna merah. Kertas itu
dibukanya lalu diperlihatkan kepada Yasuaki.
"Aku diperintahkan untuk menangkap dan
membawamu ke Kyoto.
Para petinggi di istana shogun telah
menyiapkan hukuman pancung untukmu!"
Yasuaki Kiuchi jatuh terhenyak di lantai,
Kepala tentara bermata biru itu memberi
isyarat pada dua anak buahnya. Yasuaki
segera diringkus. Ketika hendak dibawa pergi,
Tsuki dan Taiyo cepat menghadang. "Kami
minta kau mau menerangkan siapa itu suami
istri Yukawa di Hikone…" kata Taiyo.
Yasuaki tidak menjawab. "Kau ingin
menjawab pertanyaan orang atau tidak?!"
bentak kepala balatentara shogun.
Mata kanan Yasuaki menatap wajah Taiyo
sejenak. Lalu dari mulutnya meluncur kata-
kata yang membuat Taiyo jadi merinding.
"Mereka adalah orang tuamu. Kalau aku tidak
salah ingat, kau diberi nama Toshiro…"
"Kau menyuruh kami membunuh orang tuaku
sendiri! Sungguh biadab!" Taiyo menggembor
keras lalu menyerang.
Kepala balatentara shogun cepat menghalang.
"Hukuman untuknya sudah diatur shogun.
Jangan berani mengubah!"
Taiyo alias Toshiro tegak tersandar ke
dinding. Matanya berkaca-kaca.
Di sebelahnya, Tsuki tegak meneteskan air
mata. "Asal usul Taiyo sudah diketahui.
Bagaimana nasib diriku…" gadis bonsai ini
seolah meratap dalam hati.
Yasuaki melangkah di hadapannya. Tsuki
hanya bisa memandang, tak kuasa membuat
mulut untuk bertanya. Tiba-tiba Yasuaki
Kiuchi hentikan langkah. Dia memandangi
paras Tsuki sesaat lalu berkata.
"Nak, namamu sebenarnya adalah Hatsuko,
Kedua orang tuamu tadinya juga tinggal di
Hikone. Ibumu…" Yasuaki Kiuchi terdiam
sejenak. "Ibumu sudah meninggal. Ayahmu
bernama Kano Yamada. Dia masih hidup. Ada
di tempat kerja paksa di utara… Kalian berdua
sebenarnya sudah dijodohkan satu sama lain
sejak masih bayi." Tsuki alias Hatsuko
menjerit lirih lalu menangis.
Sebelum melanjutkan langkahnya, Yasuaki
berpaling pada potongan kepala manusia
yang tergeletak di lantai. Lalu dia menoleh
kepada kepala balatentara shogun. "Kau
meneriakkan kedatanganmu atas nama
shogun. Lalu kepala siapa itu!?"
"Kepala seorang rampok besar yang
dipancung lalu diberi bertopeng wajah Yang
Mulia Shogun…" jawab kepala balatentara.
"Ada lagi yang hendak kau tanyakan?"
"Aku tertipu…" desis Yasuaki lalu bergerak
tinggalkan tempat itu.
"Hai! Bagaimana dengan kami?!" teriak Wiro
dari ruangan di belakang jeruji besi.
Tsuki dan Taiyo melompat. Keduanya coba
menggoyang jeruji-jeruji besi itu. Tapi tidak
bergeming sedikit pun. "Hanya Gapo dan
Yasuaki yang tahu alat rahasia untuk
menaikkan dan menurunkan besi-besi ini!"
kata Tsuki alias Hatsuko.
"Celaka! Rupanya kami benar-benar akan
menemui ajal di sini!" ujar Wiro.
"Kalian tidak usah khawatir. Kurasa
senjatamu ini bisa menjebol tiang-tiang besi
itu!" tiba-tiba si nenek Neko berkata sambil
melangkah ke arah barisan jalur-jalur besi.
Tangan kanannya diangkat. Kapak Maut Naga
Geni 212 kelihatan bersinar terang benderang
tanda si nenek mengerahkan tenaga
dalamnya. Lalu senjata sakti itu
dibabatkannya menghantam dua tiang besi
sekaligus.
"Trang! Trang!"
"Gila! Benar-benar luar biasa!" seru si nenek.
Dua jeruji besi patah berantakan.
"Sekarang bagaimana kalian melepaskan
ancaman dua panah beracun itu!" ujar Akiko
Bessho begitu Nenek Neko dan dua manusia
bonsai masuk ke dalam ruangan. "Sedikit
saja cantelan besi itu bergerak, habislah kami
berdua!"
Dua manusia bonsai memandang ke arah si
nenek seolah minta tolong. "Anak-anak lekas
ke mari!" si nenek tiba-tiba berseru. Dua ekor
kucing es berbulu putih mengeong dan
mendatangi. Si nenek berjongkok dan usap-
usap punggung si biru dan si merah. "Kalian
lihat dua buah busur dan dua buah anak
panah di atas sana…?"
"Meong…!"
"Meong…!"
"Lekas naik ke atas, gigit dan tahan dua anak
panah itu. Jangan dilepas sebelum aku
beritahu. Ayo lekas lakukan!"
Dua ekor kucing lalu melompat ke atas tiang
tempat Wiro diikat. Seperti yang diperintahkan
si nenek, binatang-binatang ini menggigit ekor
dua anak panah. "Kalian lekas lepaskan
ikatan gadis itu. Aku akan melepaskan ikatan
anak muda ini!" kata nenek muka kucing
kemudian.
Setelah Wiro dan Akiko Bessho diselamatkan
dan semua orang keluar dari ruangan itu, si
nenek berteriak pada dua ekor kucingnya.
"Lepaskan gigitan! Wuttt! Wuttt!" Dua anak
panah melesat deras begitu dua ekor kucing
lepaskan gigitan mereka. Panah pertama
menancap di lantai batu. Panah kedua
menembus tiang yang terbuat dari besi! Wiro
dan Akiko sama-sama berpandangan dan
sama-sama menarik nafas lega.
"Sensei…!" tiba-tiba Tsuki alias Hatsuko
berseru. "Senjata di tanganmu itu,
mungkinkah bisa menghancur lepas ikatan
rantai besi ini?"
Si nenek berpaling pada Pendekar 212 Wiro
Sableng. "Mungkinkah…?" si nenek ikut
bertanya.
"Harus kita coba. Mudah-mudahan bisa.,"
jawab Wiro yang saat itu masih keliangan dan
terduduk di lantai.
"Kalau begitu biar kau yang melakukan," kata
si nenek pula seraya melemparkan Kapak
Maut Naga Geni 212 pada Wiro. Murid Sinto
Gendeng cepat sambut senjata miliknya itu.
Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Dia
meminta dua manusia bonsai tidur sama rata
di lantai. Setelah memperhatikan sejenak, Wiro
ayunkan senjata sakti itu.
Suara berdentrangan terdengar keras sekali
ketika mata kapak menghantam pinggiran
japitan besi di tangan kiri Tsuki alias
Hatsuko. Bunga api memercik tinggi.
"Aku bebas!" teriak Tsuki lalu melompat
berjingkrak-jingkrak kegirangan.
"Hai! Bagaimana aku?!" teriak Taiyo alias
Toshiro.
Sekali lagi kapak sakti itu dibacokkan.
"Trangg!"
"Ani Wiro, terima kasih!" seru Taiyo.
Tubuhnya melesat ke udara dan berjungkir
balik beberapa kali.
Seperti biasanya, udara di puncak pegunungan
Shikoku dingin bukan kepalang. Namun
semua yang ada di dalam gua itu merasa
kehangatan di lubuk hati masing-masing.
Nenek muka kucing Neko menghela nafas
panjang. "Aku dengar Yasuaki Kiuchi sudah
dijatuhi hukuman pancung oleh shogun…"
"Dan kami dengar kekasihmu Shikero atas
perintah shogun juga telah dibebaskan dari
pertambangan kerja paksa di utara, bersama
dengan Kano Yamada, ayah Hatsuko…"
"Kami akan kembali ke Hikone, berkumpul lagi
dengan orang tua kami…" kata Toshiro.
"Kau untung, ayah ibumu masih lengkap. Aku
cuma punya ayah…" kata Hatsuko.
"Jangan sedih Hatsuko. Orang tua Toshiro
akan jadi orang tuamu juga. Malah kau akan
punya dua ayah nantinya!" kata Wiro.
Hatsuko memandang pada Wiro lalu
perlahan-lahan wajahnya memerah.
"Jangan lupa mengundang kami!" menggoda
Akiko Bessho. Nenek muka kucing tertawa
tergelak gelak.
Wiro memandang ke luar gua. "Matahari
sudah tinggi. Orang yang ditunggu bisa saja
datang lebih cepat. Sebaiknya kita jangan jadi
pengganggu."
"Kau betul Wiro," kata Akiko pula. Lalu dia
berpaling pada si nenek lalu berkata. "Nek,
kami minta diri. Jika umur panjang kita bisa
berkumpul lagi sama-sama di tempat ini."
"Ah, kalian seharusnya tak usah buru-buru
pergi. Kalaupun Shikero datang, kalian kurasa
tidak akan mengganggu."
Wiro dan Akiko tersenyum sementara Toshiro
dan Hatsuko juga mulai tertawa-tawa.
Keempat orang ini berdiri saling berpegangan
tangan. Keempatnya saat itu mengenakan
kasut kayu untuk meluncur di atas
pegunungan salju.
"Kami minta diri Nek," kata keempat orang itu
berbarengan.
Lalu Wiro menyeletuk. "Kuharap kau jangan
buru-buru punya anak Nek, biar bisa berpuas-
puas berlama-lama!"
"Eh, tidak kusangka mulutmu begitu konyol
anak muda! Siapa yang mau punya anak?!"
teriak si nenek.
Gua di puncak gunung Shikoku itu laksana
mau runtuh oleh tawa empat orang yang ada
di hadapan si nenek. Nenek Neko akhirnya
mau tak mau ikut-ikutan tertawa, malah
paling keras. "Anak muda, kalau kau suka,
lain waktu kau boleh datang ke mari. Aku
akan mengajarkan satu ilmu yang aku yakin
tak ada di negerimu… Kurasa kau berjodoh
memiliki ilmu itu."
"Nenek Neko, kau baik sekali. Ilmu apakah
itu?" tanya Wiro.
"Koppo, ilmu mematahkan tulang," jawab si
nenek. "Kau mau lihat?"
"Saya pernah lihat Hatsuko dan Toshiro
memperagakannya di Otsu tempo hari…"
"Kau mau lihat lagi?"
"Tentu saja!" jawab Wiro, karena tidak
mengira apa yang akan dilakukan si nenek.
"Ulurkan tangan kananmu!" Murid Sinto
Gendeng menurut saja. Secepat kilat tangan
kanan si nenek bergerak. "Krakk…! Krakk!"
Wiro menjerit setinggi langit. Jari telunjuk dan
jari tengah tangan kanannya patah. Patahan
tulang mencuat keluar!
"Nek… Apa yang kau lakukan ini?!" teriak
Wiro. Sekujur tubuhnya bergetar menahan
sakit. Akiko kelihatan pucat. Tapi Toshiro dan
Hatsuko tampak tertawa hu-hu hi-hi!
"Kemarikan tanganmu!" kata si nenek.
"Hendak kau patahkan lagi!?" ujar Wiro
sambil mengulurkan tangan tapi ragu-ragu.
Begitu tangan sang pendekar terulur, si nenek
meremasnya dengan keras. Kembali Wiro
menjerit.
Tetapi ketika diperhatikannya, ternyata
tangannya sudah utuh seperti semula.
Sakitnya pun serta merta lenyap.
"Ilmu sihir!" kata Pendekar 212 pula.
Si nenek menggeleng. "Bukan, yang aku
perlihatkan tadi adalah ilmu sungguhan. Yang
pertama mematahkan tangan orang. Yang
kedua menyembuhkannya. Nah, kau mau
memiliki ilmu itu?"
Wiro mengangguk. "Tentu Nek. Tentu saja aku
mau, tapi…tapi aku permisi dulu nek…"
"Eh, kau mau ke mana?!" tanya nenek muka
kucing.
"Aku, aduh. Sudah tidak tahan! Aku mau
kencing!" teriak Wiro lalu menghambur keluar
gua.
Toshiro, Hatsuko, Akiko, dan si Nenek Neko
tertawa terpingkal-pingkal.
"Aku diam-diam sudah menghitung. Seharian
di sini, sudah duapuluh tiga kali dia kencing.
Rupanya tidak tahan dingin!" kata si nenek.
Lalu semuanya kembali tertawa riuh.
Komentar
Posting Komentar