WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya : BASTIAN TITO
EPISODE : SEPASANG IBLIS BETINA
**********
MATAHARI yang tadi
bersinar amat terik kinin sinarnya itu pupus di
telan awan hitam yang datang berarak dari
arah timur. Sesaat kemudian langitpun
mendung hitam. Hujan rintik-rintik mulai
turun disertai sambaran kilat dan gelegar
guntur. Sekali lagi kilat menyabung. Sekali
lagi pula guntur menggelegar membuat
seantero bumi bergetar. Dan hujan rintik-rintik
kini berganti dengan hujan lebat. Demikian
lebatnya hingga tak beda seperti dicurahkan
saja layaknya dari atas langit. Sekejap saja
segala apa yang ada di bumi menjadi basah.
Laut menggelombang, sungai menderas
arusnya, sawah-sawah tergenang air.
Selokan-selokan kecil banjir.
Di antara semua itu bertiup angin dingin yang
mencucuk sampai ke tulang-tulang sungsum.
Di kala setiap orang berada di tempat
kediamarn masing-masing, di kala semua
orang berusaha mencari tempat berteduh
guna menghindari hujar; lebat itu, maka di
samping sebuah bukit batu kelihatanlah dua
sosok bayangan kuning berkelebat lari dengan
amat cepatnya. Seolah-olah kedua orang itu
tidak memperdulikan lebatnya hujan, tidak
mengacuhkan deras dinginnya tiupan angin.
Juga sama sekali tidak mau ambil perhatian
terhadap batu-batu licin yang mereka lompati
dalam lari mereka yang laksana terbang
cepatnya.
Dan adalah lebih mengherankan lagi karena
kedua orang berpakaian kuning itu nyatanya
dua orang gadis cantuk jelita. Dari paras
mereka yang hampir bersamaan itu jelas
keduanya bersaudara atau satu kakak satu
adik. Saat itu mereka berhenti di satu bagian
bukit yang terjal. Pakaian mereka yang bagus
dan panjang menjela sudah basah kuyup oleh
siraman air hujan. Demikian pula rambut
hitam panjang yang tersanggul rapi di atas
kepala masing-masing. Pakaian yang basah
itu melekat ketat ke tubuh mereka hingga
jelas kelihatan membayang keluar potongan
badan mereka yang bagus ramping. Keduanya
memandang berkeliling. Mata mereka yang
tajam berusaha menembus tabir hujan dan
kabut yang tebal.
"Heran," kata salah seorang dari mereka.
"Kemana kaburnya pemuda itu…."
"Kalau dia sampai bertemu dengan lain orang,
dan menuturkan apa yang diketahuinya
tentang diri kita sebelum kita berhasil
merungkusnya, celakalah kita, kakak!"
Gadis baju kuning yang dipanggilkan kakak
menggigit bibirnya. Di wajahnya yang bulat
telur itu jelas terlihat rasa cemas yang amat
sangat.
"Kurasa dia belum lari jauh, adikku. Mari!"
Maka kedua gadis itupun berkelebat dan di
lain kejap sudah lenyap dari tempat itu.
Kemudian kelihatan keduanya berlari cepat di
dalam lebatnya hujan ke arah kaki bukit
sebelah timur. Meski tiupan angin keras sekali
memampasi lari mereka, namun itu tidak
mengurangi kecepatan lari masing-masing! Di
kaki bukit keduanya melompati sebuah anak
sungai. Kilat tibatiba menyambar lagi. Gadis
baju kuning yang berlari di sebelah belakang
berseru, "Kakak! Tunggu!"
"Hai ada apakah, Dewi?" tanya gadis yang lari
di depan seraya menghentikan larinya dan
berbalik!
"Waktu kilat menyambar tadi, kulihat di
sebelah sana ada sebuah pondok. Siapa tahu
…"
"Mari kita selidiki,"ujar sang kakak yang
bernama Nilamaharani sambil menarik lengan
adiknya yang bernama Nilamahadewi.
Dalam waktu yang singkat kedua gadis itu
telah sampai di pondok yang tadi terlihat di
kejauhan dalam terangnya sembaran kilat. Di
ambang pintu pondok yang tertutup berdiri
seorang tua berkerudung kain sarung yang
telah kumal dan apak baunya.
Si orang tua kelihatan terkejut sekali karena
tahu-tahu di hadapannya berdiri dua orang
gadis berparas jelita.
"Ka . . . kalian . . . siapa?" tanya orang tua ini
gugup. Dia kawatir kalau dua gadis itu bukan
manusia sungguhan.
Bukannya menjawab, sebaliknya
Nilamahadewi bertanya membentak, "Orang
tua! Apa kau lihat seorang pemudi baju putih
lewat di sini?"
"Ti .., tidak," jawab si orang tua masih gugup.
"Jangan dusta!" Nilamaharani membentak
dengan melototkan kedua matanya.
"Sungguh aku tidak dusta . . . ".
"Kita geledah pondoknya!" kata Nilamaharani
lalu menggerakkan tangan kirinya dan si
orang tua terpelanting jatuh.
"Jangan!" seru orang tua itu. Dia cepat
berbangkit dan hendak menghalangi.
"Tua bangka tidak tahu diri!" bentak
Nilamaharani dan menendang pinggul si
orang tua hingga mencelat mental dan
melingkar pingsan di halaman pondok di
bawah siraman hujan lebat.
Dengan kakinya yang lain Nilamaharani
menendang pintu pondok hingga bobol. Begitu
pintu hancur dan terpentang lebar sesosok
tubuh berpakaian putih kelihatan menghambur
lewat jendela samping.
"Itu dia!" teriak Nilamahadewi.
"Kau mau lari ke mana hah?" ujar
Nilamaharani seraya mengulurkan tangannya
mencekal leher pakaian si pemuda. Tapi
pemuda ini lebih cepat lagi. Dengan satu
gerakan kilat dia membungkuk lalu memutar
larinya ke lain jurusan. Tapi justru dia salah
tindak karena arah larinya itu memapasi
Nilamahadewi yang datang dari samping. Kini
dia terkurung di tengahtengah.
"Kalian ini manusia-manusia macam
apakah?!" si pemuda berkata dengan suara
keras.
"Sesudah menipu aku kalian inginkan jiwaku
pula!" Pemuda ini berumur sekitar dua puluh
tahun.
Wajahnya cakap dan kulitnya kuning.
Nilamaharani tertawa bergumam. Ada
bayangan yang aneh di balik tawanya itu.
Dan bayangan aneh ini membuat si pemuda
merasa ngeri.
"Orang muda, jangan banyak mulut. Sudah
menjadi ketentuan bahwa kau harus mati di
tangan kami!"
"Tapi aku tidak punya kesalahan apa-apa
terhadap kalian. Bahkan aku telah turutkan
kemauan kalian. Tapi ketika aku tahu bahwa
kalian …"
"Plaak!"
"Heh, kuat juga kau ya?!" kata Nilamaharani.
Dia melompat, membungkuk menangkap salah
satu kaki si pemuda lalu melemparkan
pemuda itu ke arah sebatang pohon waru. Tak
ampun lagi kepala pemuda itu hancur,
otaknya berhamburan. Nyawanya putus
sebelum tubuhnya jatuh melingkar di akar
pohon!
"Baru lega hatiku sekarang," kata
Nilamaharani. Di betulkannya gelungan
rambutnya. Dia berpaling pada adiknya dan
saat itu Nilamahadewi berkata.
"Mari kita tinggalkan tempat ini."
Keduanya segera meninggalkan tempat
tersebut tapi belum jauh tiba-tiba
Nilamaharani menghentikan larinya.
"Astaga!"
"Ada apa?" tanya Nilamahadewi.
"Orang tua itu."
"Kenapa dia?"
"Mungkin pemuda itu telah membuka rahasia
padanya."
"Kalau begitu …" ujar Nilamahadewi seraya
membalikkan tubuh. Sesaat kemudian dia
sudah berada kembali di depan pondok.
"Lekas bereskan dia, adikku. Aku sudah tak
tahan dinginnya udara gila ini!"
Nilamahadewi tak perlu disuruh dua kali. Dia
sudah tahu apa yang harus dilakukannya.
Kepala orang tua yang masih menggeletak
pingsan itu ditendangnya hingga rengkah. ***
HUTAN Bintaran terkenal sebagai hutan yang
banyak binatang perburuannya. Mulai dari
kelinci sampai pada rusa-rusa muda yang
amat jinak. Karena itulah Adipati-adipati di
Jawa Tengah dan setiap orang yang gemar
berburu, kerap kali melakukan perburuan di
hutan tersebut. Sekali waktu putera Adipati
Muntilan bersama dua orang pembantunya
berangkat ke hutan Bintaran untuk berburu.
Menjelang tengah hari mereka telah berhasil
membunuh tiga ekor kelinci, menjebak hidup-
hidup seekor tupai berbulu merah. Tepat
sewaktu matahari mencapai titik tertingginya,
putera Adipati itu duduk melepaskan lelahnya
di tepi sebuah telaga.
"Sejuk sekali air telaga ini," kata putera
Adipati itu sambil merendamkan kedua
kakinya ke dalam air telaga. "Telaga apakah
ini namanya paman?"
Salah seorang pembantu yang sudah agak
lanjut usianya menjawab, "Kalau saya tidak
salah, ini Telaga Puteri Intan Dewi." Lalu
dituturkannya sedikit cerita tentang sampai
bagaimana telaga itu diberi nama demikian.
Baru saja pembantu itu menyelesaikan
ceritanya, di tepi telaga yang terletak di
seberang mereka muncullah seekor anak rusa.
Binatang ini memandang kian kemari lalu
melangkah lebih dekat ke tepi telaga dan
mencelupkan mulutnya ke dalam air.
Cepat-cepat Aryo Darmo, putera Adipati
Muntilan itu, mengambil busurnya. Ketika
anak panah hendak dilepaskannya, selintas
pikiran timbul dalam hatinya. Anak rusa itu
bagus sekali bulunya. Coklat berbintik-bintik
putih besar-besar. Hatinya pun tak tega untuk
membunuh binatang itu. Karena kelihatannya
anak rusa ini cukup jinak, maka Aryo Damar
akhirnya memutuskan untuk menangkapnya
hidup-hidup.
Aryo Darmo berdiri dan mengambil jalan
memutar. Sesaat kemudian dia sudah
mengendapendap di belakang anak rusa itu.
Pemuda ini pernah belajar ilmu silat dari
ayahnya. Karenanya dia bisa bergerak cepat.
Begitulah, ketika tinggal beberapa langkah
lagi, Aryo Darmo laksana seekor harimau
melompat menerkam anak rusa itu.
Tapi si anak rusa lebih cepat lagi. Dengan
gesit dia melompat ke samping hingga Aryo
Darmo menangkap angin. Kalau dia tidak
mempergunakan kedua tangannya untuk
jungkir balik pasti tubuhnya akan terjun ke
dalam telaga!
Yang membuat Aryo Darmo menjadi
penasaran ialah anak rusa itu tidak lari jauh,
tapi berdiri sekitar enam tujuh langkah dari
hadapannya, memandang kepadanya dengan
mengendipendipkan sepasang matanya,
seolah-olah menantang putera Adipati
Muntilan itu untuk menangkapnya. Untuk
kedua kalinya Aryo Darmo melompat. Hampir
pemuda ini berhasil menangkap tengkuk
binatang itu, si anak rusa melompat binal dan
lari ke dekat serumpun semak belukar yang
terletak sepuluh langkah dari si pemuda.
"Sialan!" maki Aryo Darmo dengan kesal. "Kau
mau lari ke mana hah?! Kau musti dapat
kutangkap hidup-hidup!" Maka dikejarnya
binatang itu.
Demikianlah kejar mengejar terjadi hingga
tanpa disadari Aryo Darmo telah berada jauh
dalam rimba belantara yang lebat. Penuh
lelah dan juga kesal pemuda ini akhirnya
mendudukkan dirinya di satu akar pohon.
Sewaktu dia memandang ke kiri dilihatnya
anak rusa tadi berdiri pula tak berapa jauh
darinya dan mengedip-ngedipkan sepasang
matanya. Ini membuat hati Aryo Darmo
tambah kesal.
"Binatang celaka! Kalau tak dapat kutangkap
hidup-hidup bangkaimupun tak jadi apa!"
Lalu dicabutnya kerisnya dan dilemparkannya
ke arah binatang itu.
Si anak rusa yang rupanya tahu bahaya,
siang-siang sudah melompat berpindah
tempat hingga keris yang dilemparkan luput
dan menancap di sebatang pohon.
Benar-benar kini Aryo Darmo menjadi naik
darah. "Binatang celaka! Ke manapun akan
kukejar kau!" Setelah mengambil kerisnya
dikejarnya kembali anak rusa itu. Dengan
demikian semakin jauhlah dia masuk ke
dalam rimba belantara yang lebat. Sementara
itu tanpa setahu Aryo Darmo, dua pasang rata
sejak tadi mengikuti gerak geriknya.
Di satu tempat yang agak gelap karena
rapatnya pohon-pohon dan semak belukar
yang tumbuh tiba-tiba anak rusa yang dikejar
Aryo Darmo lenyap dari pemandangan.
Pemuda ini menghentikan larinya dan
memandang berkeliling. Kemudian
didengarnya suara lengking binatang itu. Di
lain kejap pemuda ini menjadi terkejut
sewaktu di hadapannya muncul dua orang
dara jelita berpakaian kuning. Salah seorang
dari mereka memegang anak rusa yang sejak
tadi di kejar-kejarnya.
"Saudara, apakah kau menginginkan binatang
ini?" tanya dara yang memegang rusa. Di
bibirnya terlukis sekuntum senyum.
"Betul," jawab Aryo Darmo. Lalu tanyanya,
"Kalian berdua siapa? Kenapa berada dalam
rimba belantara begini rupa?"
"Aku Nilamaharani dan ini adikku
Nilamahadewi," jawab sang dara masih
dengan senyumnya yang memikat, "Kalau
kami berikan anak rusa ini padamu, sebagai
gantinya kau mau berikan apa?"
"Ah, kau baik sekali saudari. Beri tahu di
mana rumahmu, kelak akan kusuruh
orangorangku untuk mengantarkan baju-baju
bagus dan perhiasan-perhiasan indah kepada
kalian berdua, Eh, kalian ini kakak beradik,
bukan?"
Nilamaharani mengangguk. "Tempat
kediaman kami mungkin sukar dicari oleh
orang-orang suruhanmu. Kecuali kalau kau
tak berkeberatan ikut bersama kami untuk
mengetahuinya."
"Tentu saja aku tidak keberatan," jawab Aryo
Darmo. Sudah barang tentu mana ada
pemuda yang ; menolak begitu saja ajakan
dara berparas secantik ' Nilamaharani itu?
"Tapi", kata Nilamahadewi, "tempat kami
buruk, hanya sebuah goa batu".
"Itu bukan soal", sahut Aryo Darmo.
"Kalau begitu kau peganglah anak rusa ini
dan mari kita berangkat", kata Nilamaharani
pula.
Aryo Darmo menerima anak rusa yang
diberikan Nilamaharani lalu ketiganyapun
meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan
mereka tak hentinya bercakapcakap. Demikian
gernbiranya Aryo Darmo dapat berkenalan
dengan dua dara jelita itu hingga boleh
dikatakan dia hampir tak perduli dengan si
anak rusa. Kalau saja anak rusa itu bukan
ditangkap dan diberikan oleh Nilamaharani,
mungkin sudah sejak tadi-tadi dilepas
dilemparkannya.
Mereka tiba di luar rimba belantara. Di
hadapan mereka kini terbentang satu daerah
berbukit-bukit. Kedua dara itu berlari menuju
ke sebuah bukit di sebelah barat, diikuti oleh
Aryo Darmo. Memperhatikan cara lari kedua
dara kakak beradik itu maklumlah si pemuda
bahwa keduanya orang-orang berilmu.
Dengan mengandalkan ilmu lari yang
diajarkan ayahnya, dicobanya menyamai lari
keduanya, namun siasia belaka. Dan diam-
diam Aryo Darmo jadi tambah tertarik pada
dara-dara ini.
Setibanya di lereng bukit yang di tuju.
Nilamaharani menyibakkan serumpun semak
belukar lebat. Maka kelihatanlah sebuah goa
batu yang amat, bersih dan luas.
"Inilah tempat kediaman kami. Harap kau
jangan . . . ".
"Ah, tempat kalian bersih dan bagus", kata
Aryo Darmo memotong. Lalu setelah
dipersilahkan dia pun masuk. Ruangan yang
dimasukinya harum semerbak, diterangi oleh
sebuah pelita aheh yaitu sepotong kayu yang
ujungnya berapi dan memancarkan sinar
kehijauan, tertancap kedinding. Ternyata di
situ ada dua buah ruangan dan keduanya
sama sekali tidak seperti ruangan dalam goa.
"Silahkan duduk", kata Nilamaharani. Ketika
Aryo Darmo duduk membelakanginya, dara ini
mengedipkan matanya pada adiknya.
Melihat isyarat ini Nilamahadewi berkata,
"Saudara kau duduklah terus. Aku hendak
keluar sebentar"
Aryo Darmo mengangguk. Belum sempat dia
bertanyakan mau ke mana gadis itu,
Nilamahadewi sudah lenyap di mulut goa.
Aryo Darmo tinggal sendirian di ruangan itu
karena sebelumnya Nilamaharani sudah
masuk ke ruangan yang satu lagi.
Pemuda ini memandang berkeliling. Kemudian
pandangannya di tujukan pada pelita kayu
aneh yang tertancap di dinding. Dia tak habis
mengerti bagaimana ada sepotong kayu yang
dibakar terang begitu rupa tanpa habis-
habisnya yang apinya mengeluarkan sinar
kehijauan dan berbau harum pula. Selagi dia
memperhatikan begitu rupa dilihatnya sinar
api tiba-tiba mengecil. Sebaliknya bau harum
bertambah-tambah, membuat pemuda ini
merasa adanya aliran hawa aneh di dalam
darah di sekujur tubuhnya. Semakin lama
semakin santar juga bau harum itu dan detik
demi detik Aryo Darmo semakin terangsang
dibuatnya.
Dari ruangan dalam Nilamaharani muncul.
Aryo Darmo berpaling dan… Untuk beberapa
saat lamanya nafasnya terasa terhenti. Kedua
matanya menyipit. Lalu cepat-cepat
dipalingkannya kepalanya. Terdengar suara
tertawa kecil. Dan Nilamaharani melangkah ke
hadapan pemuda itu. Aryo Darmo masih
memandang ke jurusan lain, tak berani
melihat kepada dara ini.
Sewaktu Nilamaharani muncul tadi, bukan
saja nafas pemuda itu serasa terhenti tapi
dadanya ikut berdebar dan darahnya
bergejolak. Betapakan tidak! Dara itu telah
berganti pakaian dengan sehelai pakaian
sutera kuning yang amat tipis hingga jelas
kelihatan potongan tubuh dan pakaian
dalamnya. Senyum yang dilayangkannyapun
lain dan aneh. Ini dirasakan betul oleh Aryo
Darmo, membuat rangsangan aneh yang
menjalari tubuh pemuda itu semakin menjadi-
jadi.
"Kau melamun agaknya, saudara Aryo," ujar
Nilamaharani.
Pemuda itu memalingkan kepalanya sedikit.
"Adikmu pergi ke manakah?" tanya putera
Adipati Muntilan itu.
"Ah, dia kenapa dipikirkan? Biar saja dia pergi
ke manapun tak usah kita ributkan."
Aryo Darmo terdiam. Dia tak mengerti
mengapa si dara harus bicara begitu.
"Aku telah menyediakan minuman untukmu di
ruangan dalam," kata Nilamaharani.
"Terima kasih. Kenapa musti susah??"
"Jangan pakai peradatan segala. Mari kita
masuk ke dalam," ajak Nilamaharani.
Aryo Darmo hendak menjawab agar minuman
itu dibawa saja ke tempat itu. Namun sebelum
itu terucapkan Nilamaharani telah menarik
lengannya dan membawanya masuk ke
ruangan dalam. Di ruangan ini ada pelita
kayu yang aneh yang sinarnya lebih suram
dari ruangan sebelumnya. Segala sesuatunya
kelihatan samar-samar. Dan dalam kesamar-
samaran itu Aryo Darmo masih dapat melihat
kalau saat itu dirinya dibawa ke arah sebuah
pembaringan.
"Maharani, apakah maksudmu membawaku ke
sini?" tanya Aryo Darmo dengan suara
bergetar.
"Aryo, kau tahu apa maksudku", jawab
Nilamaharani berbisik ke telinga si pemuda
hingga hembusan nafasnya terasa hangat di
pipi Aryo Darmo. Kemudian pemuda ini
merasakan lengan kiri sang dara melingkar di
pinggangnya.
"Maharani kau …"
Ucapan itu tidak terteruskan oleh Aryo Darmo
karena saat itu Nilamaharani mendekatkan
parasnya ke wajahnya dengan amat berani.
Kemudian dirasakannya bibir gadis itu
menempel di atas bibirnya.
"Maharani, aku …"
Lagi-lagi Aryo Darmo tak bisa meneruskan
kalimatnya. Kedua lututnya goyah,karena
diberati tubuh gadis itu. Akhimya keduanya
terguling ke atas pembaringan.
"Kau tahu apa maksudku, Aryo. Kau laki-laki,
aku perempuan. Jangan jadi orang bodoh!"
"Tapi …"
"Tidak ada tapi-tapian Aryo."
Dan sikap malu serta pikir panjang Aryo
Darmo cukup cuma sampai di situ. Laksana
seekor ular besar yang kelaparan pemudaa itu
menggeliat atas pembaringan dan nmerangkul
tubuh Nilamaharani sekeras-kerasnya seperti
mau melunyahkan dara itu sampai ke tulang-
tulangnya. Desau nafas panas dan tertawa
berguman Nilamaharani membakar darah
Aryo Darmo, membuat dia berlaku lebih berani
lagi. Pada puncak keberanian yang dilakukan
Aryo Darmo, tiba-tiba terdengarlah suara
teriakan pemuda itu laksana geledek.
"Maharani, kau … !"
Teriakan yang menggetarkan empat dinding
ruangan itu dibarengi pula dengan pekik
Nilamaharani.
Aryo Darmo tidak menunggu lebih lama.
Disambamya pakaiannya lalu melompat dari
pembaringan.
"Aryo! Kembali!" teriak Nilamaharani.
Mana pemuda itu mau kembali! Apa yang
dilihat dan diketahuinya tak akan membuat
dia kembali meski didepannya saat itu,
menghadang setan kepala sepuluh sekalipun!
Malah pemuda ini memaki beringas.
"Manusia keparat! Terkutuklah kau jadi
puntung neraka!" Dia terus menghambur ke
pintu goa.
Tapi baru saja dia berada di luar, di
sampingnya terdengar satu suara bentakan,
"Pemuda bangsat! Kau berani bermulut kotor
terhadap saudaraku. Terimalah kematianmu!"'
"Wuuut"!
Selarik angin deras menyambar ke arah Arya
Darmo! ***
DENGAN sebat Aryo Darmo melompat ke
samping sehingga serangan mendadak yang
berbahaya itu berhasil dielakkannya. Ketika
dia berpaling satu serangan lagi melesat ke
arahnya dan untuk kedua kalinya berhasil
dikelitnya.
"Manusia laknat! Tentunya kau juga sama
terkutuknya dengan kakakmu!" bentak Aryo
Darmo.
Habis membentak begitu dengan tak kalah
hebat dia mengirimkan serangan balasan
berupa satu tendangan ke uluhati lawannya
yang bukan lain Nilamahadewi adanya!
Serangan maut itu dengan mudah dapat
dielakkan oleh si dara yang kemudian
melancarkan serangan balasan yang amat
berbahaya. Terlambat sedikit saja pastilah
kepala Aryo Darmo akan dihantam satu
jotosan keras. Pemuda itu menjadi tercekat
hatinya. Dari gerakan serangan serta angin
pukulan lawan dia tahu bahwa gadis itu
memiliki kepandaian yang lebih, bahkan jauh
lebih tinggi darinya. Pada dasarnya bukan hal
itu yang membuat Aryo Darmo merasa takut
dan ngeri. Tapi apa yang diketahui dan yang
telah dilihatnya beberapa saat yang lalulah
membuat pemuda ini kemudian tak mau lagi
melayani Nilamahadewi, tapi terus memutar
tubuh dan lari meninggalkan tempat tersebut.
"Adikku jangan biarkan bangsat itu kabur!"
terdengar teriakan Nilamaharani dari sibakan
semak belukar di mulut goa.
"Tentu saia kakakku!" sahut Nilamahadewi.
Dengan mempergunakan ilmu lompat lihay
yang bernama "katak sakti melompati
gunung" maka tubuhnya melesat tinggi ke
udara dan, di lain saat sudah berada beberapa
tombak di hadapan Aryo Darmo.
"Tubuh kasarmu boleh pergi, tapi nyawamu
tinggalkan di sini," kata Nilamahadewi dengan
seringai buruk.
"Perempuan dajal! Kau kira aku takut
padamu?" sentak Aryo Darmo. Tubuhnya
berkelebat melancarkan satu pukulan tangan
kosong dari jarak delapan langkah. Sebelum
pukulan tangan kosong tersebut sampai, dia
membuat satu lompatan sebat dan tahutahu
tangan kirinya telah menderu ke batok kepala
Ni lamahadewi.
"Uh! Jurus "angin berhembus pintu menutup"
yang begini buruk hendak kau andalkan?!"
kata Nilamahadewi dengan tertawa mongejek.
Dan memang dengan amat mudah gadis itu
berhasil mengelakkan serangan yang
dilancarkan Aryo Darmo. Penuh penasaran si
pemuda mengirimkan serangan susulan yang
bernama "empat dewa murka". Serangan ini
mempergunakan kedua tangan dan kaki yang
digerakkan susul menyusul dan kehebatannya
cukup membuat kagum karena tubuh Aryo
Darmo dalam menyerang itu hanya tinggal
bayangbayang saja.
"Jurus empat dewa murka!" seru Nilamaharani
yang datang dari belakang dengan
mengeluarkan suara dari hidung. Sekali
tangannya bergerak, serangkum angin
menderu dahsyat. Aryo Darmo terpaksa
membatalkan setengah bagian terakhir dari
serangannya sewaktu dirasakannya hawa
dingin meniup punggungnya. Dengan cepat
dia melompat ke samping, tapi masih kurang
cepat. Pukulan lawan menyerempet bahu
serta lengan kirinya. Aryo merasakan bagian
tubuhnya yang tersambar angin amat dingin
itu menjadi kaku tegang tak bisa digerakkan
lagi sedang hawa dingin mencucuk
menyembilu membuat gigi-giginya
bergemeletakan!
"Celaka!", keluh pemuda itu dalam hati.
Keringat dingin memercik dikeningnya. Kedua
dara berbaju kuning sementara itu hanya
beberapa langkah saja di hadapannya dan
sama-sama siap melancarkan serangan
terakhir yang mematikan.
"Sreet!"
Aryo Darmo menggerakkan tangannya
mencabut sebilah keris bereluk tujuh dari
pinggangnya. Sinar jingga keluar dari badan
senjata itu tanda benda tersebut bukan
senjata sembarangan.
"Kalau kau punya sepuluh keris, cabutlah
sekaligus!" kata Nilamaharani mengejek.
Aryo Darmo mengertakkan rahang.
"Perempuan terkutuk! Matilah bersama
kesombongan dan kebejatanmu!" teriak
pemuda itu lalu dengan cepat mengirimkan
serangan ganas.
Sinar jingga berkiblat berputar-pubat bukan
saja menyambar ke arah Nilamaharani tapi
juga sekaligus ke arah Nilamahadewi. Untuk
daerah sekitar Muntilan, permainan keris Aryo
Darmo sudah terkenal hebat di samping
ayahnya sendiri. Tapi hari itu kehebatannya
tidak dipandang sebelah matapun oleh kedua
dara berbaju kuning itu. Bahkan dengan
senyum mengejek mereka maju mendekat lalu
melesat di antara sambaran keris dan di lain
kejap terdengarlah dua kali suara bergedebuk
yang dibarengi dengan jeritan Aryo Darmo.
Pemuda itu tersungkur di tanah. Tubuhnya
bergerak-gerak beberapa kali lalu diam tak
berkutik lagi untuk selama-lamanya.
Nilamaharani menarik nafas lega.
"Apakah dua orang bujang-bujangnya yang
ada di tepi telaga perlu kita bunuh pula,
kakak?" bertanya Nilamahadewi.
"Kurasa tak perlu. Mereka tak tahu apa-apa,"
jawab Nilamahadewi sambil memperhatikan
tubuh Aryo Darmo, pelipis kirinya rengkah
sedang bahu kanannya hancur. "Pemuda
tolol," desis gadis itu. "Aku katakan padanya
akan menyelamatkan dirinya dari kematian
bila dia melakukan apa yang aku mau. Tapi
dia kabur dari kamar itu …!"
Nilamahadewi tak berkata apa-apa. Dia tahu
sekalipun putera Adipati itu menuruti
kehendak kakaknya, kelak dia tetap akan
dibunuh juga. Akhirnya ketika dilihatnya
kakaknya berlalu dari situ diapun mengikuti,
*** Ketika mayat Aryo Darmo diusung oleh
dua orang pembantunya memasuki halaman
Kadipaten Muntilan, saat itu Adipati Muntilah
Jala Wisena tengah mengadakan pembicaraan
dengan beberapa orang Lurah. Tentu saja
mereka terkejut bukan main melihat dua orang
pembantu Kadipaten muncul membawa
usungan.
Jala Wisena yang di masa mudanya dikenal
sebagai "Orang Gagah Dari Muntilan" berdiri
dari kursinya.
"Ada apa? Siapa yang kalian bawa ini?" tanya
Adipati itu dan sebelum kedua pembantu
tersebut menjawab sudah disingkapkannya
daun-daun pisang yang menutupi sosok
tubuh di atas usungan kayu.
"Anakku!" teriak Jala Wisena menggelegar
keras sewaktu dilihatnya siapa yang menjadi
mayat dan menggeletak di atas usungan itu.
Empat orang Lurah yang hadir di situ bagai
terpaku di tempat masing-masing karena
terkejut dan ngeri melihat kepala putera
Adipati mereka yang rengkah bergelimang
darah.
"Apa yang telah terjadi?! Lekas katakan apa
yang terjadi?!" tanya Jala Wisena.
"Kami sendiri tidak tahu, Adipati", jawab salah
seorang pembantu.
Marahlah Jala Wisena mendengar jawaban
itu. "Tidak tahu bapak moyangmu! Anakku
pergi berburu bersama kalian!". Satu
tamparan kemudian melayang kepipi
pembantu itu membuat dia hampir
terjerongkang di lantai.
"Ayo kau! Lekas beri keterangan atau mau
kehajar pula?!" bentak Jala Wisena pada
pembantu yang satu lagi.
"Benar Adipati, memang kami berdua
mengantarkan Raden Aryo Darmo berburu ke
hutan Bintaran. Sesampainya di Telaga Intan
Dewi kami berhenti dan pada waktu itu
muncullah seekor anak rusa. Raden Aryo
menyuruh kami menunggu di tepi telaga
sedang dia sendiri pergi menangkap anak
rusa itu. Karena lama ditunggu-tunggu dia
tidak kunjung kembali kami jadi kawatir lalu
pergi mencarinya. Ketika kami temui dia,
Raden Aryo terhantar di tanah dalam keadaan
sudah tak bernafas."
"Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan
terkutuk begini rupa?!"
"Mungkin sekali dia telah dihadang perampok,
Adipati," kata salah seorang Lurah.
"Di sekitar Bintaran sama sekali tak pemah
ada perampok, bahkan malingpun tidak!"
jawab Jala Wisena. Kemudian matanya tertuju
pada jari manis tangan kanan anaknya. Di
jari manis pemuda itu masih kelihatan
sebentuk cincin emas berbatu hijau. Ini satu
pertanda bahwa Aryo Darmo bukan dibunuh
oleh perampok.
"Barangkali musuh lama yang membalaskan
dendam kesumat," kata seorang Lurah pula.
"Boleh jadi," sahut Jala Wisena dengan
mengeretakkan geraham-gerahamnya. "Tapi
seingatku anakku tak pemah punya musuh
atau silang sengketa dengan lain orang."
Kemudian dia berpaling pada pembantu tadi
dan berkata, "Antarkan aku ke tempat kau
menemui mayatnya. Aku akan selidiki apa
yang sebenarnya telah . . . ".
Adipati Muntilan itu tak sempat meneruskan
kata-katanya karena dari pintu ruangan
dalam terdengar jerit istrinya yang kemudian
lari ke arah mayat puteranya yang masih
menggeletak di atas usungan. Ratap tangis
istrinya membuat hati Adipati Muntilan ini
laksana disayat-sayat dan di lain pihak gelora
amarahnya semakin membara. Sesudah
jenazah anaknya dibawa masuk dan istrinya
dapat dipertenang maka bersama keempat
orang Lurah dan diantar oleh seorang
pembantunya berangkatlah Adipati Jala
Wisena menuju ke hutan Bintaran.
"Di sinilah saya menemukan mayat Raden
Aryo, Adipati" kata pembantu Kadipaten
bilamana mereka sampai di tempat yang
dituju.
Adipati Jala Wisena memperhatikan keadaan
di tempat itu. Noda-noda darah kelihatan
jelas. Semak-semak banyak yang rubuh tanda
di situ telah terjadi perkelahian. Kemudian
sepasang mata Adipati Muntilan ini terbentur
pada sebuah benda yang segera diambilnya.
Benda itu adalah keris milik puteranya.
Sambil menimang-nimang senjata itu Adipati
ini berpikir-pikir. Dia yakin sekali kalau di situ
telah terjadi perkelahian. Tapi antara anaknya
dengan siapa? Perampok sudah jelas bukan.
Di samping itu dia tahu anaknya memiliki
kepandaian yang cukup bisa diandalkan. Jika
dia kalah dalam perkelahian dan menemui
kematian, nyatalah lawannya seorang yang
berilmu tinggi. Mungkin sekali daerah sekitar
situ tempat kediamannya seorang sakti yang
tak mau tempatnya dikotori oleh orang luaran
hingga akhirnya si orang sakti memergoki
puteranya dan membunuh pemuda itu.
Bersama kelima orang itu Adipati Jala Wisena
kemudian menyelidiki daerah yang banyak
bukitbukitnya itu. Dia berhenti di satu tempat
di mana, dengan jelas dilihatnya bekas-bekas
tapak kaki. Di tempat ini agaknya juga telah
terjadi perkelahian. Dia memandang
berkeliling dan tak melihat hal-hal lain yang
mencurigakan. Namun baik Adipati Jala
Wisena maupun empat orang Lurah serta
pembantu Kadipaten itu, tak seorangpun yang
menyadari kalau saat itu mereka tengah
menjadi incaran dua pasang mata yang
tersembunyi di balik semak belukar lebat.
"Bagaimana pendapatmu?" tanya pemilik
salah sepasang mata itu yang bukan lain
adalah Nilamahadewi adanya.
"Adipati tua ini tampangnya boleh juga. Tapi
terlalu banyak orang begini pasti sia-sia.
Atau mungkin kau mau mencoba?"
"Kau pancinglah yang lain-lainnya. Aku
sendiri nanti akan menipu Adipati itu,
membawanya ke goa masuk lewat jalan
belakang".
Setelah berunding maka kedua gadis itupun
masuk ke dalam goa kembali sementara di
luar sana Adipati Jala Wisena masih terus
menyelidik tempat sekitar situ dengan
seksama. Sepeminum teh berlalu . . . .
"Kita selidiki tempat lain . . . ", kata Jala
Wisena setengah putus asa.
Baru saja Adipati Muntilan itu bergerak
hendak meninggalkan tempat itu bersama
rombongannya mendadak entah dari mana
datangnya melesatlah sebuah benda putih di
hadapan mereka dan menyangsang di
serumpunan semak belukar. Jala Wisena
cepat mengambil benda itu yang temyata
adalah segulungan kertas. Ketika dibuka, di
bagian dalam gulungan terdapat tulisan yang
berbunyi:
"Kalau ingin tahu siapa pembunuh puteramu,
suruhlah orang-orangmu ke Telaga Intan
Dewi, Kau sendiri harus pergi ke sebelah
barat." Jala Wisena memperlihatkan surat itu
pada keempat Lurah. Untuk beberapa lamanya
mereka saling berpandangan dan diam dalam
jalan pikiran masing-masing.
"Kalau bukan seorang yang berilmu tinggi
pasti tak bakal sanggup melemparkan
gulungan surat ini," kata Jala Wisena.
"Saya khawatir ini hanyalah tipuan belaka
Adipati," kata salah seorang Lurah.
"Mungkin," sahut Adipati Muntilan lalu berpikir
sejenak. "tetapi mungkin pula petunjuk dari
seorang yang tak mau memperlihatkan diri."
Dan setelah menimbang lebih dalam akhirnya
lakilaki itu memutuskan untuk mengikuti
petunjuk dalam surat tersebut. Keempat Lurah
itu beserta pembantunya disuruhnya pergi ke
jurusan telaga sedang dia sendiri menuju ke
barat. Menuju ke bagian barat berarti
meninggalkan kaki-kaki bukit dan masuk
kembali ke hutan Bintaran sebelah timur.
Daerah ini di selimuti kegelapan karena sinar
matahari boleh dikatakan tak dapat
menembus lebatnya pohon-pohon dan semak
belukar yang tumbuh di sana. Belum jauh dia
memasuki bagian hutan tersebut tiba-tiba dia
dikejutkan oleh suara teriakan perempuan
minta tolong. Cepat Jala Wisena menuju ke
arah datangnya teriakan itu. Seorang dara
jelita berpakaian kuning dilihatnya terhampar
di bawah sebatang pohon besar. Mukanya
pucat pasi dan membayangkan rasa takut
yang amat sangat. Pakaian kuningnya
tersingkap demikian rupa hingga jelas
kelihatan pahanya yang putih mulus.
"Gadis muda, apakah yang terjadi?", tanya
Adipati Muntilan seraya memapah gadis itu
berdiri. Diam-diam dia amat mengagumi
kejelitaan paras si gadis.
"Sa . . . satu makh . . . makhluk aneh hendak
menyergapku," jawab gadis itu seraya bangun
dan membetulkan pakaiannya yang
tersingkap.
"Bagaimana sampai kau tersesat ke dalam
rimba belantara ini?"
"Aku . . . aku mengejar kupu-kupu … aduh!
Kakiku sakit sekali!". Gadis itu kelihatan
terhuyung-huyung hendak jatuh. Adipati Jala
Wisena cepat menopangnya.
"Rumahmu jauhkah dari sini?".
"Tidak . . . tak berapa jauh. Tapi …. kakiku
terkilir dan sakit sekali. Tak bisa berjalan. Oh
…. tolonglah!"
"Mari kuantarkan kau ke tempatmu", kata Jala
Wisena lalu dipapahnya pinggang gadis itu
dan diajaknya berjalan. Tapi si gadis lagi-lagi
mengeluh kesakitan.
"Aku tak bisa berjalan. Sakit sekali. Tolonglah
dukung …. aaa."
Adipati dari Muntilan itu jadi serba salah.
Tidak ditolong gadis itu kelihatannya
menderita sekali. Ditolongnya berarti dia
harus mendukung tubuh gadis itu dan ini
membuat hatinya berdebar dan darah dalam
tubuhnya mengalir lebih cepat dari biasanya.
"Aduh …. tolonglah," terdengar lagi gadis
pakaian kuning itu mengeluh.
Akhirnya Jala Wisena tak bisa berbuat lain
daripada mendukung si gadis dan
membawanya ke sebuah tempat di kaki bukit
yang ditunjukkan.
"Melangkahlah ke pohon beringin itu," kata
gadis baju kuning. Jala Wisena melangkah ke
pohon yang dimaksudkan.
"Tolong tarik akar gantung yang berdempetan
di sebelah kanan."
Jala Wisena melakukan lagi apa yang
dikatakan si gadis. Aneh! Begitu dua buah
akar gantung yang berdempetan ditariknya
maka terdengar suara berderak dan batang
pohon beringin di hadapannya yang sebelah
bawah kelihatan terbuka sebuah pintu. Si
gadis menyuruhnya masuk. Dengan heran dan
penuh tidak mengerti Jala Wisena masuk ke
dalam. Pintu di belakangnya kemudian
tertutup dengan sendirinya. Jala Wisena
seorang yang banyak pengalaman dalam
dunia persilatan. Tak syak lagi dia bahwa
gadis itu adalah murid seorang sakti yang
diam di tempat tersebut.
Jala Wisena menuruni sebuah tangga batu.
Mereka sampai di satu pelataran yang
luasnya cuma satu kali satu meter dan di
hadapan pelataran itu terdapat sebuah tangga
yang menuju ke sebuah pintu yang terbuka.
Sinar terang menyeruak dari ruangan di
belakang pintu tersebut.
"Itu tempatku," kata gadis yang didukungnya.
Jala Wisena menaiki anak tangga demi anak
tangga dan akhirnya sampai diambang pintu
yang terbuka. Hampir tidak percaya laki-laki
ini sewaktu melihat ruangan yang amat bagus
di hadapannya. Ruangan itu adalah sebuah
kamar lengkap dengan pembaringan.
"Baringkan aku di tempat tidur itu," pinta si
baju kuning.
Adipati Muntilan membaringkan gadis
tersebut diatas tempat tidur.
"Terima kasih," kata gadis itu sambil
melontarkan satu senyum yang mempesona.
"Gadis, kau ini siapakah sebenamya dan
tinggal dengan siapa di sini?" tanya Adipati
Jala Wisena.
"Sebelum aku menjawab, sudilah kau yang
telah menolongku memberi tahu siapa kau
adanya," kata gadis itu pula, padahal
sesungguhnya dia sudah tahu betul siapa
adanya Jala Wisena.
"Aku Jala Wisena, Adipati Muntilan."
"Astaga!" si gadis kelihatan terkejut. "Aku
telah berlaku lancang menyuruhmu
seenaknya.
Tidak tahunya kau seorang berpangkat tinggi
harapkan sudi memaafkan kelancanganku
Adipati."
Jala Wisena tertawa kecil.
"Bagaimana Adipati sampai berada di hutan
Bintaran?"
Jala Wisena tak segera menjawab. Akhirnya
dia berkata juga, "Aku tengah mencari
seseorang."
"Siapa?"
"Pembunuh puteraku".
Bola mata gadis yang terlentang di tempat
tidur itu membesar dan bertambah bagus
kelihatannya.
"Bau apakah ini?" tanya Jala Wisena sewaktul
hidungnya dihambur bau harum semerbak.
Dia memandang berkeliling karena
dirasakannya kamar itu bertambah suram dari
sewaktu mulamula dia memasukinya.
Pandangannya sampai pada sebuah lampu
aneh yang terbuat dari kayu yang ditancapkan
ke dinding kamar.
"Duduklah di tepi tempat tidur ini, Adipati."
Jala Wisesa memalingkan kepalanya. "Terima
kasih" katanya. "Aku harus pergi sekarang".
"Kenapa terburu-buru? Aku berjanji akan
membantu mencari pembunuh puteramu. . . "
Karena sebelumnya yakin bahwa gadis itu
adalah murid seorang sakti maka tentu dia
dan gurunya kenal baik seluk beluk daerah
sekitar bebukitan di situ dan hutan Bintaran.
"Tadi kau katakan ada makhluk aneh yang
hendak menyergapmu. Makhluk apa
gerangan?"
"Tubuhnya tinggi besar, mukanya amat
mengerikan karena ditumbuhi tanduk dan
giginya besat-besar merupakan taring. Ngeri
sekali … Tak mau aku mengingat-ingatnya
Adipati. Kuharap kau jangan bertanyakan
tentang makhluk itu lagi …."
"Kau tentu tak tinggal sendirian di sini …."
"Betul, tapi sudah sejak lama guruku pergi
bertapa dan sampai saat ini masih belum
kembali."
"Siapakah gurumu?" tanya Jala Wisena.
"Sayang aku dipesan untuk tidak
memberitahukannya kepada siapapun," jawab
gadis itu.
Dia menggerakkan tubuhnya sedikit dan
pakaiannya di sebelah bawah tersingkap
membuat betis dan sebagian pahanya
menyembul keluar.
"Sejak beliau pergi, aku sendirian di sini.
Semuanya serba sepi, Adipati. Tak ada kawan
untuk penghibur hati.
Sementara itu Jala Wisena merasakan ada
hawa aneh yang mengungkungi dirinya. Aliran
darahnya tidak seperti biasanya. Akhir
diputuskannya untuk pergi dari situ.
"Sebelum aku pergi kuharap kau sudi memberi
tahu namamu."
"Namaku Nilamahadewi…"
"Baiklah, sampai bertemu lagi Nila … "
"Tunggu, jangan pergi dulu!" ujar gadis itu
seraya bangkit dan duduk di tepi tempat tidur.
"Aku harus menyuguhkan minuman untukmu."
"Ah, tak usah pakai segala macam peradatan
Nila!"
"Tapi …" Nilamahadewi berdiri dengan
terhuyung-huyung. .
"Kau mau ke mana, sebaiknya berbaring saja
agar sakit kakimu lekas sembuh," kata
Adipadi Jala Wisena seraya hendak
memegang bahu Nilamahadewi karena
dilihatnya gadis itu hampir jatuh terjerembab.
Namun sebelum tangannya memegang bahu
itu tiba-tiba tangan si gadis menyelinap
dalam satu gerakan totokan yang lihay. Tak
ampun lagi sekujur tubuh Jala Wisena
menjadi kaku tegang!
"Nila, apa-apaan ini?!" seru Jala Wisena.
Nila Mahadewi tertawa mengikik. Tangannya
bergerak kembali dan untuk selanjutnya
Adipati itu tak bisa membuka suara lagi
karena urat lehernya sudah kena ditotok!
Dalam keadaan tak berdaya Jala Wisena
dibaringkan di atas tempat tidur. Sepasang
mata Adipati Muntilan ini membeliak besar
sewaktu dilihat dan dirasakannya jari-jari
tangan Nilamahadewi satu demi satu
membuka pakaian yang melekat ditubuhnya!
*** Matahari telah condong ke barat. Empat
orang Lurah dan seorang pembantu Kadipaten
Muntilan yang sejak tadi berada di tepi Telaga
Puteri Intan Dewi mulai merasa gelisah.
"Jangan-jangan kita sudah kena tipu," kata
salah seorang dari mereka.
"Bagaimana kalau kita kembali saja ke tempat
tadi?" mengusulkan yang lain.
Akhirnya kelimanya meninggalkan telaga
tersebut dan kembali ke tempat di mana
mereka telah berpisah dengan Adipati Jala
Wisena. Tapi…
"Gusti Allah!" jerit salah seorang Lurah yang;
berada di paling depan. Langkahnya terhenti,
demikian juga langkah yang lain-lainnya.
Namun itu cuma seketika karena kelimanya
kemudian berhamburan ke hadapan tubuh
Adipati Jala Wisena yang menggeletak di
tanah tanpa pakaian dengan muka hancur tak
bernyawa lagi! ***
DESA tembilangan merupakan satu desa yang
subur makmur dan penduduknya hidup
tenteram. Hari itu boleh dikatakan seluruh
penduduk bersenang hati karena nanti malam
akan diadakan pesta besar di rumah Kepala
Desa yaitu pesta perkawinan anak laki-lakinya
yang tertua dengan seorang gadis desa yang
berwajah ayu, berkulit hitam manis.
Di halamaw depan telah di bangun sebuah
panggung untuk tempat pertunjukan wayang
golek. Hiburan semacarn ini jarang terjadi di
desa itu. Karena itulah senang hati penduduk
jadi bertambah-tambah. Meskii pertunjukan
itu beberapa jam lagi baru akan dimulai tapi
telah banyak orang—terutama anak-anak—
yang berkumpul di sekitar panggung.
Kira-kira sepeminuman teh sesudah bedug
magrib ditabuh orang maka kelihatanlah
penduduk desa Tembilangan dan desa-desa
tetangga datang, berbondong-bondong
menghadiri pesta perkawinan itu. Tak ada
seorang tamupun yang tak memuji kecantikan
pengantin perempuan. Dan tak ada seorang
tamupun yang tidak merasa kagum akan
kegagahan wajah pengantin laki-laki. Seperti
pinang dibelah dua, satu bulan satu matahari,
demikianlah orangorang memberikan
perumpamaan.
Sementara itu di atas panggung, ki dalang
telah mulai menjalankan tugasnya. Malam itu
sengaja dipilihnya cerita pewayangan yang
termasyhur yaitu cerita Bharatayuda. Semua
orang menonton dengan penuh perhatian.
Semakin larut malam, semakin asyik cerita
yang dibawakan oleh ki dalang. Suasana
tegang terjadi sewaktu Werkudara atau yang
dikenal dengan panggilan Bima yaitu salah
seorang dari lima bersaudara Pandawa,
muncul ke tengah kancah perang saudara itu,
berhadapan dengan tokoh Kurawa yang tak
asing lagi yakni Duryudana atau Suyudana.
"Yoy Suyudana! Ambillah gadamu. Mari kita
bertempur!" kata Bima.
Suyudana menggereng. "Memang saat inilah
yang aku tunggu-tunggu, Werkudara!"
Maka kedua orang itupun berhadap-
hadapanlah dengan, masing-masing
memegang sebuah gada di tangan. Sebelum ki
dalang melanjutkan kisah pewayangan yang
penuh ketegangan itu tiba-tiba berkelebatlah
dua bayangan kuning di atas kepalanya yang
dibarengi dengan ucapan persis seperti yang
diucapkan ki dalang tadi yaitu, "Memang saat
inilah yang aku tunggu-tunggu…!"
Tentu saja semua orang jadi terkejut. Ki
dalang menghentikan penuturannya. Semua
memandang ke hadapan panggung di mana
berdiri dua orang dara berbaju kuning yang
parasnya cantik sekali. Untuk sejenak lamanya
suasana sunyi sepi. Sunyi sepi yang tidak
enak.
"Ah, tamu-tamu dari manakah yang datang
dengan menirukan ucapanku?" bertanya ki
dalang.
Salah seorang dara berpakaian kuning tertawa
panjang sedang yang satu lagi beliakkan
matanya dan membentak. "Tutup mulutmu!
Kami tak ada urusan dengan kau!"
Kebopamenang, Kepala Desa yang
mengadakan pesta perkawinan berdiri dari
kursinya dan melangkah ke hadapan dara-
dara jelita itu.
"Gadis-gadis cantik, siapa gerangan kalian?
Mengapa datang dengan cara begini rupa?"
"Kebopamenang, kau kembalilah ke tempatmu!
Kami tak punya urusan dengan kau!" si dara
yang di samping kanan menjawab.
Tentu saja ucapan itu membuat merah
parasnya si kepala desa, apalagi dara itu tadi
terangterangan menyebut namanya seenaknya
saja padahal dia telah berusia lebih dari
enam puluh!
"Ada urusan atau tidak nyatanya kau dan
kawanmu telah mengganggu jalannya pesta
perkawinan ini," kata Kebopamenang pula.
"Oh, begitu."
"Ya! Dan karena aku juga merasa tak ada
urusan dengan kalian berdua, kuharap kalian
suka angkat kaki dari sini!"
Kedua gadis itu tertawa panjang-panjang.
"Ketahuilah! Kami berdua utusan orang-orang
Kurawa, datang ke sini untuk mengambil
pengantin laki-laki!"
"Jangan membanyol tak karuan di sini!"
sentak Kebopamenang.
"Eh, siapa yang membanyol?!" ujar si dara
yang di sebelah kiri.
"Dengar! Ini bukan perjamuannya orang-orang
gila! Pergilah dari sini!"
"Mulutmu keliwat sembrono, Kebopamenang!
Aku Nilamahadewi akan memberi sedikit
pelajaran padamu!"
Habis berkata begitu, entah kapan tangannya
bergerak tahu-tahu "plaak"! Sebuah tamparan
menghantam mulut si kepala desa hingga
bibirnya pecah dan sebuah giginya tanggal!
"Gadis keparat!" teriak Kebopamenang marah
bukan main. Tangan kanannya yang
membentuk tinju laksana kilat dipukulkan ke
batok kepala Nilamahadewi.
"Tua bangka tolol! Pergilah ke atas panggung
sana!" seru Nilamahadewi. Kedua tangannya
digerakkan ke muka. Begitu lengan si kepala
desa berhasil ditangkapnya terus diputar dan
sesaat kemudian tubuh kepala desa itu benar-
benar dilempar melayang ke atas panggung,
melabrak sebagian wayang-wayang golek lalu
terus menubruk ki dalang hingga suasana di
atas panggung jadi hiruk centang perentang!
Semua orang kaget bukan main. Beberapa
diantaranya ada yang maju ke muka untuk
memberi hajaran pada gadis-gadis yang
berani berlaku kurang ajar itu. Tapi! Apa yang
hendak mereka lakukan itu tidak kesampaian.
Sebaliknya mereka menjadi tambah kaget
bukan main karena saat itu kedua gadis
berpakaian kuning tadi sudah tidak ada! Dan
lebih lebih kaget lagi karena pengantin laki-
lakipun lenyap dari pelaminan sedang
pengantin perempuan tampak menjerit-jerit!
"Kalian mau bawa ke mana aku?!" tanya
pemuda yang dilarikan itu. Tubuhnya berada
di atas bahu kiri Nilamaharani dan dalam
keadaan tertotok. Namanya Mahesa Munggul.
Dialah pemuda yang menjadi menantu kepala
desa Kebopamenang yang kini dilarikan oleh
Nilamaharani dan adiknya.
"Jangan kawatir, kau tak akan kehilangan
masa pengantin barumu, Mahesa Munggul …"
"Aku tak kenal kau dari mana kau tahu
namaku? Apa maksudmu melarikan diriku?!"
Nilamaharani tertawa.
"Kau tidak mengenal aku itu tidak perlu!
Malam pengantin baru kelak bakal kau temui
bersamaku …". Kembali Nilamaharani hendak
tertawa tapi tak jadi karena adiknya
memotong dengan ilmu penyusupan suara,
"Kakakku! Jangan bicara terlalu ceroboh
seperti itu!"
"Apa maksud malam pengantin baru
bersamamu itu!" kembali Mahesa Munggul
mengajukan pertanyaan. Meskipun dirinya
dipanggul oleh seorang dara jelita serta
ucapan dara itu bisa membuat hati seorang
pemuda bergelora, tapi saat itu Mahesa
Munggul merasa sangat tidak enak.
"Sudahlah, kau jangan banyak tanya!" kata
Nilamaharani pula.
Tak lama kemudian Mahesa Munggul melihat
dirinya di bawa masuk menyeruak sebuah
semak belukar. Dia heran sekali karena
sesudah itu ternyata dia memasuki sebuah
ruangan yang diterangi dengan sebuah pelita
aneh. Belum habis rasa herannya itu dia
sudah dibawa pula memasuki satu kamar
bagus dan dirinya dibaringkan di atas tempat
tidur yang empuk. Bau harum yang aneh dan
merangsang menabur hidung pemuda itu.
Dilihatnya api pelita di dalam ruangan
bertambah kecil sedang bau rarum yang
merangsang makin bertambah-tambah.
"Lepaskan totokan di tubuhku," Mahesa
Munggul berkata dengan suara keras. Dia
merasa heran kemana perginya dara baju
kuning yang satu lagi.
Sebaiknya Nilamaharani melontarkan senyum
memikat dan duduk di tepi tempat tidur. Di
pegangnya lengan pemuda itu dan berkata,
"Dengar Mahesa. Kalau kau bersikap menurut
akan kuselamatkan jiwamu. Kalau kau keras
kepala…"
"Kau mau berbuat apa terhadapku?!"
"Ah, jangan bicara membentak begitu padaku,
Mahesa…" kata Nilamaharani. Tiba-tiba
dibungkukkannya kepalanya. Bibirnya
menyentuh bibir pemu,da itu.
Seorang pemuda sudah barang tentu tak akan
menolak jika dicium oleh dara jelita seperti
Nilamaharani. Tapi di saat itu Mahesa
Munggul merasakan satu keanehan yang
mendirikan bulu tengkuknya.
Nilamaharani tertawa kecil. Nafasnya jelas
memburu dan memanasi wajah Mahesa
Munggul. Diciumnya lagi pemuda itu dengan
penuh nafsu sedang tangannya merayap ke
bawah pinggang. Jika saja Mahesa Munggul
saat itu tidak berada dalam keadaan ditotok
mungkin dia sudah melompat dari atas
tempat tidur itu!
"Gadis hina dina! Lekas kau lepaskan
totokanku!" teriak Mahesa Munggul
menggeledek.
Nilamaharani tertawa lagi, tertawa lagi dan
tangannya menjalar semakin berani… semakin
berani hingga sekujur tubuh Mahesa Munggul
menggeletar dilanda rangsangan yang tak
pemah dirasakannya sebelumnya. Ketika
Nilamaharani melepaskan totokan di
tubuhnya, pemuda ini sudah lupa daratan den
lupa segala apa yang dimarah dan
dingerikannya. Dengan keberingasan seorang
pemuda yang ditelan nafsu birahi, ditariknya
tubuh Nilamaharani ke atas tempat tidur,
Dipeluknya ketat-ketat laksana seekor ular
menggelung hendak meramuk mangsanya.
Gadis itu tertawa dan menggeliat-liat.
Sementara itu pelita kayu yang menancap di
dinding detik demi detik semakin kecil dan
suram hingga akhirnya ruangan itu menjadi
gelap. Hal ini tidak terperhatikan lagi oleh
Mahesa Munggul yang benaknya sudah
tertutup nafsu. *** Sebuah gerobak barang
yang memuat segala macam sayur mayur
meluncur di jalan buruk yang menuju ke desa
Tembilangan. Saat itu pagi had. Udara
sepanjang jalan terasa segar. Gerobak itu
dikemudikan oleh seorang laki-laki separuh
baya. Di sampingnya duduk seorang anak
laki-laki empat belas tahun.
"Menurut ayah, apakah anak kepala desa
yang jadi pengantin itu dilarikan oleh makhluk
jadi-jadian yang menyaru gadis cantik?"
"Aku tidak tahu, nak. Tapi apa yang terjadi ini
benar-benar luar biasa. Sejak malam tadi
seluruh penduduk ikut membantu mencari
Mahesa Munggul, dan sampai pagi ini
pemuda itu masih belum berhasil ditemukan…"
"Kemungkinan… jangan-jangan dia sudah
dibunuh, ayah."
"Huss! Mulutmu enak saja bicara begitu!"
kata ayah si anak.
Tapi baru saja dia berkata demikian tiba-tiba
kuda penarik gerobak yang dikemudikannya
meringkik keras dan menaikkan kedua kaki
depannya hingga gerobak sayur itu hampir
saja terbalik bersama isi-isinya.
Laki-laki perngemudi gerobak dan anaknya
melompat dari atas gerobak. Di tengah jalan
beberapa langkah di hadapan mereka
tergelimpangan sesosok tubuh laki-laki yang
tidak mengenakan pakaian barang selembar
benangpun. Sekujur tubuhnya penuh dengan
benjat benjut bekas pukulan. Dengan langkah
gemetar, pengemudi gerobak sayur itu
mendekati sesosok tubuh di tengah jalan itu.
Meski sebagian besar muka orang yang
terhantar di tengah jalan itu rusak serta
dilumuri darah tapi pengemudi gerobak masih
bisa mengenali siapa dia adanya. Bahkan
anak laki-lakinya yang juga mengenali
berteriak,
"Ay… ayah! Ini adalah Mahesa Munggul! Anak
kepala desa kita!" ***
DI PUNCAK-PUNCAK dan lereng-lereng bukit
sejak pagi tadi kelihatan berkelebat kian
kemari satu makhluk kuning. Dari jauh
kelihatannya seperti seekor burung raksasa
yang tengah mencari-cari mangsa untuk
pengisi perutnya. Tapi bila didekati temyata
dia bukan lain seorang manusia juga adanya
yaitu seorang nenek-nenek berjubah kuning.
Dengan mengandalkan ilmu meringankan
tubuh serta ilmu larinya yang hebat dia
berkelebat kian ke mari seolah-olah ada
sesuatu yang sedang diselidik dan dicarinya.
Dengan terbungkuk-bungkuk dia berdiri di
puncak sebuah bukit yang paling tinggi lalu
memandang berkeliling.
"Heran," katanya dalam hati, "seluruh bukit
bahkan sampai ke hutan Bintaran telah
kuselidik. Tapi di mana kedua murid murtad
itu berada?"
Nenek-nenek ini memandang lagi berkeliling.
Matanya yang hampir putih dan kabur itu
lebih tajam dari mata seekor burung elang.
Tapi ketajaman yang dimilikinya kali ini tak
berdaya untuk menjalankan tugasnya.
Sampai rembang petang, bahkan sampai
matahari tenggelam dan siang berganti
malam, nenek-nenek itu masih juga berkelebat
kian ke mari. Namun akhirnya dia tahu apa
yang dilakukannya itu adalah sia-sia belaka.
Maka dia kembali ke puncak bukit ang paling
tinggi dan duduk bersila disitu bersemedi.
Sewaktu bintang gumintang mulai
bersembulan di angkasa raya, sewaktu
rembulan tampak memunculkan dirinya di
langit biru maka dari puncak bukit yang
paling tinggi itu terdengarlah suara nyanyian
yang menggema ke seluruh penjuru bahkan
menyejak masuk ke dalam hutan Bintaran
membuat urung-burung hantu yang tadinya
mengeluarkan suara yang menegakkan bulu
roma kini diam gelisah. Seluruh bebukitan dan
hutan belantara, seluruh epekatan malam
serta siuran angin dingin, telah dicengkam
oleh suara nyanyian itu.
Hidup sebatang kara
Penuh sedih dan derita
Tapi punya dua murid murtad celaka
Lebih sedih lebih derita Diam sebentar,
terdengar suata helaan nafas panjang, lalu
untuk kedua kalinya kembali terdengar suara
nyanyian itu.
"Hidup sebatang kara
Penuh sedih dan derita
Tapi punya dua murid murtad celaka
Lebih sedih lebih derita
Dari pagi sampai malam
Delapan penjuru sudah kuperiksa
Entah di mana mereka berada
Namun aku tak putus asa
Yang salah yang jahat dan kotor
Pasti akan musnah
Karena isi dunia ini punya Tuhan Yang Kuasa
Kalau kini belum bertemu
Kelak nanti akan kutemu
Kebenaran akan datang
Hukum akan jatuh
Namun masih ada satu jalan
Jika dua murid murtad datang minta ampun
Hukuman Tuhan pasti akan lebih ringan …."
Demikianlah sampai larut malam suara
nyanyian itu masih juga terus terdengar dari
puncak bukit diulang-ulang dari baris
pertama sampai baris terakhir. Menjelang
dinihari, di sebuah tempat rahasia di salah
satu bukit dua orang gadis berpakaian kuning
duduk saling pandang. Mereka adalah
Milamaharani dan adiknya Nilamahadewi.
"Aku yakin suara nyanyian yang bergema
sejak permulaan malam tadi adalah suara
guru. Bagaimana pendapatmu? Apa yang
harus kita lakukan?" bertanya Nilamahadewi
kepada kakaknya.
Nilamaharani merenung sejenak. Lalu
katanya:
"Kita tunggu saja. Lambat laun dia tentu akan
letih sendiri dan pergi meninggalkan tempat
ini."
Sang adik menggeleng.
"Kita sama tahu sifat guru," katanya "sekali
dia melakukan sesuatu sampai kapanpun tak
akan dihentikannya sebelum berhasil!".
"Dia tak tahu tempat rahasia kita ini."
"Tapi aku yakin sekali bahwa dia sudah
mengetahui yang kita diami di daerah
berbukit-bukit ini. Sampai berapa lama kita
bisa menunggu di sini? Sampai mati
kelaparan karena kehabisan makanan?".
Apa yang dikawatirkan oleh adiknya itu cukup
disadari oleh Nilamaharani.
"Memang kita tak bisa bertahan selamanya di
sini. Namun sekali kita keluar, dia pasti
melihat kita. Dan celakalah kita!"
Nilamahadewi tertawa.
"Kenapa kau tertawa?" tanya kakaknya.
"Kata-kata yang kau ucapkan menunjukkan
bahwa kau takut terhadapnya. Sekecil itukah
nyalimu?"
Paras Nilamaharani kelihatan menjadi merah.
Dia berdiri dengan cepat.
"Sejak dilahirkan aku bukan bangsa manusia
pengecut! Sekalipun ada sepuluh Ni Mindi
Julurkbalen di luar sana aku tidak takut! Mari
keluar!"
Nilamahadewi memegang lengan kakaknya.
"Jangan terburu kesusu, kakakku. Kita tunggu
sampai matahari terbit…
"Selagi di luar gelap siapa tahu kita bisa
lolos," kata Nilamaharani pula.
"Ah, lagi-lagi kau menunjukkan
kepengecutanmu!"
"Sudah diam! Baik aku akan turut ucapanmu!"
bentak Nilamaharani.
Sementara itu di luar sana masih terdengar
terus suara nyanyian. "Hidup sebatang kara
…. penuh sedih dan derita… *** Sewaktu sang
surya menyingsing di ufuk timur, dari puncak
bukit yang paling tinggi di daerah itu, nenek-
nenek berjubah kuning yang telah menyanyi
sepanjang malam, melihat dua buah titik
kuning d lereng sebuah bukit yang terletak
jauh di sebelah barat.
"Nah . . . . nah . . . , nah …. Akhirnya dua
murid murtad itu keluar juga dari
persembunyian mereka," berkata si nenek
dalam hati. Kerut-kerut keriput diwajahnya
kelihatan bertambah banyak dua kali dari
sebelumnya sedang sepasang matanya yang
mengabur memantulkan sinar aneh. Tanpa
membuang tempo lagi nenek-nekek ini segera
berdiri dan menggerakkan kedua kakinya.
Kelihatannya sepasang kakinya yang kurus
kering itu cuma melangkah biasa. Tapi
hebatnya dalam waktu yang singkat dia
sudah berada jauh dari puncak bukit di mana
dia berada sebelumnya.
Laksana seekor burung walet, nenek-nenek itu
"terbang" ke jurusan terlihatnya dua titik
kuning tadi.
"Murid-murid murtad! Jangan kalian
melarikan diri!" si nenek tiba-tiba berteriak.
Hebat sekali, suaranya menggema ke seantero
bebukitan laksana suara guntur mendera
daerah itu!
"Ni Mindi Jalurkbalen! Buka matamu lebar-
lebar! Kami sama sekali tidak melarikan diri!"
Nenek-nenek yang bernama Ni Mindi
Jalurkbalen membeliakkan matanya karena
rasa kaget yang tidak terperikan. Suara
teriakan balasan itu tak kalah kerasnya
dengan teriakannya tadi.
"Tenaga dalamnya sudah jauh pesat! Pantas
dia bisa berbuat seenak waduknya," kata Ni
Mindi Jalurkbalen. Di samping itu dia menjadi
marah sekali karena bekas muridnya itu
beraniberanian menyebut namanya secara
kurang ajar! Dipercepatnya larinya. Di lain
ketika pada akhirnya Ni Mindi Jalurkbalen dan
Nilamaharani serta Nilamahadewi saling
bertemu dipuncak sebuah bukit sementara
sang surya sudah muncul keseluruhannya,
menerangi jagat.
Untuk beberapa lamanya Ni Mindi Jalurkbalen
berdiri dengan mulut menganga dan mata
membeliak. Kemudian terdengarlah
kumandang suara tertawanya.
"Nah …. nah …. nah ! Sungguh lucu! Sungguh
aneh! Sudah terbalikkah dunia ini? Atau iblis
menipu mataku?".
"Tua renta tak tahu diri! Hentikan tawamu!"
sentak Nilamaharani.
"Kurang ajar! Berani kau membantah
gurumu?!"
"Mengapa tidak? Dan kalau kau tak lekas
angkat kaki dari sini jangan menyesal umurmu
cuma sampai hari ini!"
"Hem, begitu?! Jangan keliwat sombong
murid-murid laknat! Tadinya masih
kusediakan sedikit pengampunan bagi kalian.
Tapi setelah melihat kekurang ajaran dan
kesombongan kalian jangan harapkan belas
kasihanku!"
"Siapa yang butuh belas kasihanmu?!", tukas
Nilamahadewi.
Ni Mindi Jalurkbalen mengertakkan
rahangnya. Untuk seketika pipinya yang
kempot kelihatan menggembung.
"Sebelum hukuman kujatuhkan, jawab dulu
satu pertanyaanku!" berkata nenek-nenek itu.
"Kenapa kalian jadi seperti ini? Apakah kalian
sudah gila?!"
"Betul!" jawab Nilamaharani. "Kami memang
sudah pada gila. Demikian gilanya hingga
memutuskan bahwa nenek buruk macammu
ini sebaiknya dilenyapkan saja dari muka
bumi karena merusak pemandangan!"
"Betul-betul murtad! Betul-betul murtad!
Kalian mampuslah!", teriak Ni Mindi
Jalurkbalen lalu memukulkan kedua
tangannya ke arah dua kakak beradik itu! Dua
gelombang sinar hijau menderu dahsyat! ***
PUKULAN yang dilepaskan Ni Mindi
Jalurkbalen adalah pukulan "kelabang ijo"
yang amat berbahaya. Sekali salah satu
bagian tubuh tersambar ilmu pukulan itu
kontan sekujur badan akan matang hijau dan
orangnya akan mati detik itu juga. Jangankan
manusia, satu batu karang yang atospun akan
hancur dilanda pukulan tersebut!
Dengan mengeluarkan suara tertawa mengejek
seakan-akan mereka hanya menghadapi
seorang lawan bangsa kroco, Nilamaharani
dan adiknya melompat ke samping lalu
dengan cepat mendorongkan tangan kanan
masing-masing ke arah guru mereka!
Wuss!
Wuss!
Dua larik sinar hijau yang lebih pekat dan
lebih keras menyambar si nenek. Ni Mindi
Jalurkbalen terkejut bukan main.
Jelas ilmu pukulan yang dilancarkan bekas
kedua muridnya itu adalah ilmu pukulan
"kelabang ijo" juga yang dulu memang pernah
diajarkannya kepada mereka. Tetapi mengapa
pukulan-pukulan kelabang ijo mereka luar
biasa dahsyatnya padahal sewaktu
melepaskan pukulan kelabang ijo tadi Ni
Mindi Jalurkbalen telah mengerahkan hampir
tiga perempat tenaga dalamnya!
"Kalau tidak mendapat gemblengan dari
seorang sakti lainnya niscaya mereka tak
bakal dapat meyakini ilmu pukulan itu
sedemikian luar biasa hebatnya," membatin Ni
Mindi Jalurkbalen.
Segera seluruh tenaga dalamnya dialirkan
seluruhnya ke tangan hingga perbawa pukulan
kelabang hijaunya lebih dahsyat dari semula!
Sewaktu pukulan-pukulan kelabang ijo itu
saling bentrokan, terdengarlah suara ledakan
yang amat dahsyat. Langit di atas mereka
laksana mau runtuh, puncak bukit bergetar,
liang telinga masingmasing menjadi pengang
untuk beberapa ketika lamanya.
Ni Mindi Jalurkbalen terhuyung satu langkah
ke belakang sedang di depannya Nilamaharani
dan Nilamahadewi tertawa gelak-gelak.
"Begitulah jadinya kalau seorang nenek-nenek
tua mau jual tampang memamerkan ilmu
pukulan kelabang ijo yang belum sempurna!",
kata Nilamaharani menggejek.
Ni Mindi Jalurkbalen mengertakan rahangnya.
Kalau saja geraham darn gigi-giginya masih
menumbuhi gusinya pastilah dari mulutnya
saat itu keluar suara berkeretakan saking
geramnya.
"Murid-murid murtad! Sekalipun kau punya
sepuluh kepala seratus kesaktian, jangan kira
aku tak sanggup memusnahkan kalian!", teriak
Ni Mindi Jalurkbalen. Lalu laksana seekor
burung walet dia melompat ke muka. Dua
tangan terkembang ke samping. Perlu
diketahui bahwa dalam dunia persiatan
nenek-nenek ini dikenal dengan julukan "Si
Walet Sakti" karena jurus-jurus dan gerakan
silatnya kebanyakan hampir bersamaan
dengan gerakan seekor burung walet.
"Jurus walet meminta jiwa yang hendak
dipamerkan?!" ejek Nilamahadewi ketika
melihat gerakan yang dibuat gurunya itu.
"Ini bukan jurus apa-apa, murid murtad! Tapi
jurus kematianmu! Nah, mampuslah!"
Tubuh Ni Mindi Jalurkbalen lenyap dari
hadapan kedua gadis itu dan sesaat kemudian
dua buah kepalan laksana palu godam
menderu ke arah batok kepala Nilamaharani
dan Nilamahadewi!
Dua kepala merunduk secepat kilat. Dua
lengan berkelebat ke udara! Terdengarlah
suara beradunya lengan kiri kanan Ni Mindi
Jalurkbalen dengan lengan murid-muridnya.
Dan terdengar pula keluhan pendek nenek-
nenek itu sewaktu merasakan lengannya sakit
bukan main. Dia jungkir balik di udara. Sambil
jungkir balik begitu Si Walet Sakti mengeruk
jubah kuningnya dan dikejap itu menderulah
dua lusin benda kuning sebesar uang ringgit
berbentuk bulan sabit, menyerang kedua
kakak beradik itu dari dua belas jurusan!
Selama malang melintang di dunia persilatan
kalau bukan tokoh-tokoh lihay, jarang sekali
orang yang sanggup mengelit atau menangkis
lemparan senjata rahasia itu. Namun hari ini
untuk kesekian kalinya Ni Mindi Jalurkbalen
dibikin kaget karena dengan mengebutkan
lengan-lengan pakaiannya, kedua lawannya
berhasil membuat mental duapuluh empat
senjata rahasia yang amat diandalkannya itu!
Tergetarlah kini hati si nenek. Namun sudah
barang tentu ia tak akan meninggalkan
tempat itu walau bagaimanapun juga.
"Ni Mindi Jalurkbalen," kata Nilamaharani
dengan menyunggingkan senyum sinis,
"Apakah kau masih belum sadar bahwa kau
betul-betul seorang nenek-nenek yang tak
layak hidup lebih lama di dunia ini?"
"Iblis dajal! Makan ini!" teriak Si Walet Sakti
dengan amarah menggelegak.
Terdengar suara mendesing dan sebuah besi
hitam yang ujungnya diganduli lima buah
kaitan sepanjang tiga jengkal melesat ke
mulut Nilamaharani.
Yang diserang terkejut karena sebelumnya tak
pernah mengetahui kalau gurunya memiliki
senjata dahsyat itu. Dengan satu gerakan
aneh gadis ini membantingkan dirinya ke
samping. Tubuhnya menjungkir kepala ke
bawah kaki ke atas dan salah satu kakinya
dengan cepat kemudian menendang batang
besi tempat mencantelnya lima kaitan itu.
"Jurus iblis menendang rembulan!" seru Ni
Mindi Jalurkbalen ketika dia melihat dan
mengenali gerakan yang dibuat Nilamaharani.
Saking kagetnya dia sampai tak sempat lagi
menarik pulang senjatanya. Kalau saja
senjata itu tidak dipegangnya dengan erat
niscaya terlepas sewaktu tendangan
Nilamaharani menghantam batang besi
dengan kerasnya, membuat batang besi itu
bengkok.
"Murid dajal! Jadi kalian telah menuntut
pelajaran pada Iblis Penggoncang Bumi
hah?!" Nilamaharani tertawa tinggi, begitu
juga adiknya.
"Nah . . . nah … nah! Bagus! Pantas kelakuan
kalian seperti dia selagi muda! Pantas kalian
jadi manusia-manusia binal terkutuk macam
begini. Pantas kalian berubah menjadi…"
"Anjing tua! Tutup mulutmu!" bentak
Nilamahadewi. Dia menjentikkan tangan
kanannya dan segulung angin padat sebesar
kepalan, laksana sebuah batu melesat ke
mulut Ni Mindi Jalurkbalen, membuat nenek-
nenek itu tak meneruskan ucapannya dan
lekas-lekas melompat ke samping.
"Kakakku!" kata Nilamahadewi. "Mari lekas
kita lenyapkan tua renta sialan ini sebelum
dia bicara yang bukan-bukan."
Dua gadis itu berkelebat cepat dan
menggempur Ni Mindi Jalurkbalen dengan
seranganserangan beruntun yang amat
cepatnya. Nenek-nenek yang telah berumur
puluhan tahun itu mulai merasakan tekanan
kurungan yang berbahaya. Jurus demi jurus
dirinya semakin terdesak.
"Celaka! Celaka diriku! Celaka dunia
persilatan kalau aku tak behasil membunuh
manusiamanusia nista ini! Lebih baik aku
mati bersama-sama mereka!" kata Ni Mindi
Jalurkbalen. Saat itu dia sudah bertempur
hampir dua ratus jurus. Jubah kuningnya
sudah banyak yang bobol robek kena
sambaran jari-jari atau jotosan lawan.
Sekujur tubuhnya sakit, dua buah tulang
iganya patah sedang di lain pihak kedua
lawannya kelihatan masih segar bugar!
"Sepasang Iblis Betina!" seru Ni Mindi
Jalurkbalen menyebut nama julukan kedua
muridnya yang murtad itu. "Mari kita sama-
sama ke neraka!"
Dari dalam saku jubahnya dikeluarkannya
sebuah bola berwarrra kuning lalu secepat
kilat dibantingkannya ke tanah. Terdengar
suara ledakan dan di saat itu seluruh puncak
bukit tertutup oleh asap kuning yang pekat!
"Dewi! Tutup jalan pemafasanmu dan lekas
lari!" teriak Nilamaharani.
Kedua gadis itu menutup jalan pernafasannya
lalu meninggalkan tempat itu dengan cepat. Di
belakang mereka terdengar suara tertawa Ni
Mindi Jalurkbalen.
"Kalian mau lari ke mana? Tubuh kalian
sudah kena asap wesi kuning! Jangan harap
umur kalian lebih panjang dari sepeminum
teh!".
Ucapan itu ditutup dengan suara batuk-batuk
si nenek. Benda yang dipecahkannya tadi
adalah sebuah bola kuning yang berisi racun
wesi kuning yang amat jahat. Jangankan
tercium, sedikit saja kulit bersentuhan dengan
racun yang meresap dalam asap tersebut,
niscaya sekujur kulit akan menjadi cacat dan
orangnya akan menemui kematian dalam
tempo sepeminuman teh dengan keadaan
tubuh yang mengerikan karena kulitnya
mengelupas. Dengan mengeluarkan senjata
pembunuh yang dahsyat itu Ni Mini
Jalurkbalen telah memutuskan untuk bunuh
diri dan sekaligus yakin bahwa kedua
muridnya yang murtad tupun ikut menemui
ajal. Namun sampai matinya nenek-nenek
yang bergelar Si Walet Sakti ini tidak
nengetahui bahwa maksudnya itu menemui
kegagalan. Pengorbanannya sia-sia belaka!
Dengan mempergunakan ilmu lompatan "katak
sakti melompati gunung", Nilamaharani dan
adiknya berhasil keluar dari kepungan asap
beracun. Begitu keluar dari bahaya maut
tersebut mereka menyaksikan bagaimana
pakaian yang mereka pakai robe krobek akibat
asap beracun sedang kulit mereka melepuh,
mengelupas merah laksana binatang dikuliti
dan sakitnya tidak terperikan.
"Percepat larimu, Dewi!" seru Nilamaharani.
"Kalau kita terlambat sampai ke goa celakalah
kita!"
"Obat pemusnah racun itu masih kau simpan
di tempat dulu?" tanya Nilamahadewi.
Suaranya bergetar oleh kekawatiran dan
karena menahan sakit yang menyelimuti
sekujur tubuhnya.
"Hem…" jawab Nilamaharani berguman. Meski
ilmunya lebih tinggi satu tingkat dari adiknya
namun dia tidak sanggup menahan rasa sakit
akibat racun wesi kuning. Tak lama kemudian
keduanya sampai di goa rahasia tempat
kediaman mereka. Nilamaharani masuk ke
dalam kamar. Dengan kuku jarinya yang
panjang runcing dicungkilnya batu mar-mar
pada dinding sebelah kanan kamar.
Terlihatlah sebuah benda hitam berbentuk
tombo! Gadis ini menekan tombol itu dan
sesaat kemudian dinding di samping, kiri
terbuka secara aneh. Pada celah yang terbuka
itu kelihatanlah sebuah ruangan berkotak-
kotak seperti sebuah lemari. Semuanya ada
tiga kotak. Pada kotak sebelah bawah
terdapat setumpukan pakaian dan perhiasan,
kotak kedua berbagai macam senjata, sedang
kotak teratas bersusun berbagai macam botol.
Nilamaharani berjingkat dan setelah meneliti
susunan botol-botol yang ada di kotak
teratas, lalu di ambilnya dua buah botol. Botol
pertama berisi cairan berwarna kuning muda,
botol yang satu lagi berisi cairan kuning tua
dan kental.
Sementara itu tanpa di suruh Nilamahadewi
telah menyiapkan empat gelas air putih.
Kakaknya kemudian menuangkan masing-
masing tiga tetes cairan kuning muda ke
dalam dua buah gelas, lalu diaduk rata-rata
dan diteguk sampai habis oleh kedua gadis
itu. Rasa sakit yang menyelubungi mereka
dengan serta merta berangsur lenyap. Kini
tinggal kulit tubuh yang masih mengelupas
merah mengerikan. Tiga tetes cairan kuning
pekat kemudian dimasukkan ke dalam dua
buah gelas dan diaduk rata. Kedua gadis itu
kemudian melangkah ke sudut kamar sebelah
kiri. Nilamaharani menginjak sebuah batu
mar-mar di lantai dan di sampingnya
terbukalah sebuah lobang yang merupakan
tangga menuju ke sebuah kolam yang bagus
sekali. Dua gelas air yang telah dicampur
dengan obat kuning pekat dimasukkan ke
dalam kolam. Kelihatanlah dua gelungan asap
membumbung ke langit-langit ruangan,
baunya anyir.Tanpa menunggu lebih lama dua
kakak beradik itu menceburkan dirinya ke
dalam gulungan asap kuning tersebut.
Beberapa saat kemudian asap kuning itupun
sirna. Kini kelihatanlah kedua orang gadis itu
dalam keadaan basah kuyup. Tapi ajaib,
sekujur kulit tubuh mereka yang tadi
terkelupas merah kini telah kembali seperti
sediakala!
Mereka melompat dari dalam kolam.
"Untung sekali guru kita Iblis Penggoncang
Bumi memberikan obat-obat itu tempo hari.
Kalau tidak tamatlah riwayat kita …." kata
Nilamahadewi.
"Jangan keburu berbesar hati!" potong
kakaknya. "Kita masih belum keluar dari
bahaya maut! Kita harus bersemedi selama
tiga hari untuk mengeluarkan sisa-sisa racun
wesi kuning dari paru-paru kita!"
Kedua gadis itu naik ke tingkat atas kembali.
Setelah memasukkan botol-botol obat dan
menutup celah yang merupakan lemari itu,
maka keduanya mencari tempat untuk mulai
bersemedi selama tiga hari. Begitulah
dahsyatnya racun wesi kuning. Bagaimana
dengan Ni Mindi Jalurkbalen? Orang tua yang
malang ini terpaksa meregang nyawa di
puncak bukit tanpa mengetahui bahwa
pengorbanan yang dilakukannya adalah sia-
sia belaka. ***
DI MALAM yang gelap gulita tanpa bintang
tanpa rembulan, hanya angin malam yang
bertiup menyilir dingin, kelihatan satu sosok
bayangan hitam berkelebat gesit di luar
tembok kota-raja. Dia sampai di tembok
sebelah tenggara. Tanpa suara dan tanpa
diketahui oleh lima orang pengawal yang ada
di situ, sosok tubuh itu melompat ke atas
tembok yang tingginya enam tombak, dari situ
terus melompat turun memasuki kotaraja,
melompat dari satu pohon ke lain pohon, dari
satu atap rumah ke lain atap rumah sampai
akhirnya tak lama kemudian dia sudah berada
di wuwungan Istana!
Siapakah manusia yang demikian hebat ilmu
mengentengi tubuhnya hingga sanggup
melompat di atas atap dan dari pohon ke
pohon begitu rupa? Untuk menjawab
pertanyaan itu kita harus kembali pada tiga
hari sebelumnya.. . .
Di sebuah kampung kecil bernama Sukablabak
yang terletak setengah hari perjalanan dari
Muntilan, pada tengah malam yang kelam
pekat, dalam sebuah pondok berdinding
kayang beratap rumbia duduklah seorang laki-
laki bertubuh kecil, bermuka cekung. Dia
memelihara kumis yang tebal melintang
berkeluk ke atas. Demikian tebalnya dia punya
kumis hingga amat tidak pantas dibandingkan
dengan mukanya yang kecil cekung. Sepasang
matanya yang besar senantiasa tak bisa
diam, berputar-putar ke segenap , penjuru
pondok. Jelas ini menandakan rasa
ketidaksabaran menyamaki dirinya.
"Ini sudah lewat tengah malam, Pandemang.
Kenapa dia masih belum muncul?" laki-laki
berkumis melintang itu bertanya pada seorang
yang bertubuh tinggi besar di sampingnya
bertampang keras kasar. Di pinggangnya kiri
kanan tersisip masing-masing sebilah golok
empat persegi besar macam golok pejagal
temak. Rambutnya gondrong, memelihara
kumis serta berewok.
"Mungkin dia mendapat halangan, Pangeran,"
jawab orang bertubuh tinggi besar bernama
Pandemang. "Tapi percayalah, dia pasti
datang menepati janjinya. Bukankah kita
sudah memberikan uang serta perhiasan
banyak padanya?"
"Bukan kita, tapi aku!" tukas si kumis
melintang yang dipanggilkan Pangeran itu.
"Ya, aku," kata Pandemang pula.
"Aku, aku, bukan aku kau!" berkata lagi
Pangeran itu.
"Ya, maksud hamba Pangeran," kata
Pandemang. Hatinya kesal. Tapi dia sudah
tahu dan terbiasa dengan sifat sang Pangeran
yang seperti itu, keras, kepala, lekas marah
dan tak boleh bicara salah terhadapnya
hadapnya meski kebanyakan dia sendiri yang
tidak mengerti dimaksud orang.
"Aku tunggu sampai sepeminuman teh lagi,"
kata Pangeran itu, "kalau dia masih belum
datang, terpaksa kubatalkan rencana semula.
Dan kau Pandemang, kau harus minta kembali
uang serta perhiasan itu padanya
"Ah …. ah …. ah …. ! Aku sejak dari tadi sudah
berada di sini, Pangeran Ranablambang!"
tiba-tiba terdengar satu suara.
Ranablambang dan Pandemang sama-sama
berbalik dengan cepat dan astaga! Orang yang
mereka tunggu-tunggu temyata sudah duduk
menjelepok enak-enakan di sudut pondok di
belakang mereka dan tertawa gelak-gelak
hingga seluruh pondok itu menjadi bergetar.
"Bagaimana kau bisa masuk ke sini tanpa
tahu kami?" tanya Ranablambang heran.
Pangeran ini dan juga Pandemang bukanlah
orang-orang yang tidak tahu ilmu silat dan
kesaktian. Telinga dan mata mereka sudah
terlatih baik. Tapi nyatanya orang yang
mereka tunggu sudah nyelonong masuk ke
pondok itu tanpa mereka ketahui!
Si baju hitam menghentikan gelak tawanya
dan menunjuk ke atas. "Lewat atap itu,"
katanya menjawab pertanyaan Pangeran
Ranablambang seraya menunjuk ke atap
pondok. Dan ketika sang Pangeran serta
Pandemang memandang ke atas kelihatanlah
bagaimana atap pondok itu sudah berlobang
besar!
Pangeran Ranablambang jadi melengak.
"Tak percuma kau digelari Dewa Maling Baju
Hitam," katanya kemudian. Si baju hitam
kembali memperdengarkan suara tertawanya
lalu berdiri dengan perlahanlahan.
"Sebaiknya kita mulai saja dengan urusan kita
Pangeran. Nah, katakanlah apa maumu yang
sebenarnya menyuruh aku datang ke mari."
Pangeran Ranablambang melangkah lebih
dekat ke hadapan laki-laki berpakaian hitam
itu lalu berkata dengan amat pelahan. "Aku
ingin kau mengambil Tombak Trisula dari
kamar Sri Baginda d Istana . . . . "
"Tombak Trisula?!" ujar Dewa Maling.
"Sst…jangan bicara keliwat keras!" ujar
Pangeran Ranablambang. "Kau harus berhasil
Dewa Maling. Tombak itu sangat kubutuhkan
agar aku bisa menduduki singgasana. Karena
memasuki Istana tidak gampang, apalagi
senjata itu di simpan di satu tempat rahasia
di dalam kamar Sri Baginda."
"Kau tunjukkan saja tempat rahasia itu, aku
pasti berhasil mengambil senjata yang kau
inginkan," kata Dewa Maling pula.
"Jangan menganggap remeh orang-orang di
Istana," kata Ranablambang mendesis. "Kau
dengarlah penjelasanku. Tiga langkah dari
pintu kamar Sri Baginda terdapat sebuah
lampu kuna yang terbuat dari perak,
tergantung di dinding pada sebuah paku
besar. Tekanlah paku itu tiga kali berturut-
turut maka dinding kamar yang terletak di
depan lampu itu yaitu pada bagian atas
kepala peraduan Baginda akan terbuka dan di
dalamnya ada sebuah lemari besi. Lemari ini
tidak mempunyai kunci tapi hanya akan
terbuka bila kau menekan sebuah tombol
merah di bagian samping kanannya. Di bagian
ini terdapat dua belas buah tombol merah.
Ingat, yang harus kau tekan ialah tombol
merah yang kesembilan dari tepi muka lemari.
Bila tombol itu sudah kau tekan—cukup satu
kali tekan saja—maka pintu lemari besi akan
terbuka dan di dalamnya kau dapat melihat
Tombak Trisula itu. Tapi sekali-kali jangan
kau segera mengambilnya. Begitu lemari
terbuka, akan terdengar, suara mendesis
halus. Tunggu sampai desis itu berhenti, dan
terus tunggu sampai sebuah tombol putih
muncul dengan sendirinya di bagian atas
lemari sebelah dalam. Sesudah itu baru kau
bisa mengambil Tombak Trisula. Dan sebelum
pergi jangan lupa
"Tunggu dulu!" bisik Dewa Maling Baju Hitam.
Dan detik itu pula tubuhnya melesat
menembus lobang atap dan lenyap di luar
sana.
"Ada apa?!", seru Pangeran Ranablambang
dan Pandemang terkejut. Keduanya cepat
membuka pintu dan melompat keluar. Mereka
melihat Dewa Maling berlari laksana terbang
ke jurusan selatan.
"Kalian tunggu saja di pondok!" masih
terdengar suara Dewa Maling di kejauhan
sebelum tubuhnya lenyap ditelan kepekatan
gelap malam.
Pangeran Ranablambang dan pembantu
kepercayaannya cuma bisa saling pandang
penuh tanda tanya di dalam hati masing-
masing. Yang mereka lakukan tidak lain
hanyalah tetap menunggu di pondok tersebut
sebagaimana yang dipesankan oleh Dewa
Maling Baju Hitam. Hampir tiga kali
peminuman teh barulah Dewa Maling kembali
dan segera dihujani pertanyaan oleh Pangeran
Ranablambang serta Pandemang begitu
mereka masuk ke pondok.
"Waktu kau memberi keterangan tadi," kata
Dewa Maling, "aku melihat bayangan
seseorang di atas atap sana. Aku melompat
ke atas tapi aneh begitu sampai di luar, orang
itu lenyap! Aku tak percaya kalau
pemandangan telah menipuku. Karenanya
seluruh daerah ini kuselidik, tapi tetap
bangsat itu tak berhasil kutemui!".
"Mungkin sekali dia mata-mata Mahapatih,"
kata Pandemang.
Ketiga orang itu berdiam diri beberapa
lamanya… Kemudian kelihatan Pangeran
Ranablambang menggelengkan kepalanya.
"Tidak mungkin", katanya, "tak seorang mata-
mata kerajaanpun yang sanggup naik ke atas
atap itu tanpa kita ketahui. Apalagi dengan
hadirnya Dewa Maling di sini!"
"Kurasa mungkin aku salah lihat", kata Dewa,
Maling. Maksudnya berkata demikian ialah
agar mereka jangan terlibat lebih lama dalam
segala macam dugaan itu. Meski hatinya
sendiri kurang enak, Dewa Maling kemudian
berkata. "Lanjutkanlah keteranganmu,
Pangeran."
"Sesudah tombol putih muncul di dalam
lemari sebelah atas kau baru boleh
mengambil Tombak Trisula itu. Dan sebelum
pergi jangan lupa untuk menekan lebih dulu
tombol putih itu."
"Pangeran," kata Dewa Maling Baju Hita pula,
"jika kau tahu dengan jelas seluk beluk
penyimpanan senjata tumbal kerajaan itu,
mengapa tidak kau sendiri yang mencurinya?"
Pangeran Ranablambang memuntir-muntir
kumisnya yang tebal melintang lalu tertawa
pelahan. "Masing-masing kita sudah
ditakdirkan punya pekerjaan dan tugas
sendiri-sendiri."
katanya. Yang sebenarnya ialah dia tak
mempunyai nyali untuk melakukan hal itu
karena Istana penuh dijaga oleh pengawal-
pengawal klas satu dan hulubalang-
hulubalang istimewa yang berilmu tinggi. Di
atas semua itu Mahapatih Jayengrono adalah
yang berbahaya. Sekali saja dia gugup dan
membuat kesalahan dalam melakukan
pencurian itu pasti tamatlah riwayatnya.
"Perlu aku ingatkan padamu, Dewa Maling.
Istana penuh dengan orang-orang
berkepandaian tinggi, terutama Mahapatih
Jayengrono. Jangan kau salah tindak karena
Istana terutama kamar Sri Baginda penuh
dengan alat-alat rahasia".
"Sri Baginda bagaimana?"
"Dia tak perlu kau kawatirkan. Dia tengah
mengadakan perjalanan ke daerah."
"Baik, tapi apa yang kulakukan ini musti ada
ubi ada talasnya Pangeran," kata Dewa Maling
pula.
"Kau tak perlu kawatir!" kata Pangeran
Ranaolambang. Dari dalam sabuknya
dikeluarkannya sebuah kantong kulit dan
diajukannya ke hadapan Dewa Maling.
"Terima ini. Limapuluh keping uang emas.
Kelak jika kau sudah berhasil menjalankan
apa yang aku perintahkan, kau bakal
mendapat jabatan tinggi dalam Istana!".
Dewa Maling tersenyum. Disambutnya kantong
uang itu. Disimpannya di balik pakaian
hitamnya.
"Kalau Tombak Trisula sudah berada di
tanganku, ke mana musti kuantar?"
Pangeran Ranablambang mengatakan nama
tempat maka sesaat kemudian ketiga orang
itu meninggalkan pondok tersebut.
Pangeran Ranablambang adalah putera Sri
Baginda yang memerintah Kesultanan
Surakerto pada masa itu. Sebenarnya dia
tidak boleh memakai gelar atau sebutan
Pangeran karena dia cuma seorang putera
dari salah satu selir Sri Baginda. Namun
dengan penuh congkak dan ketinggian hati
Ranablambang telah mempredikatkan dirinya
dengan sebutan itu. Dasar orang tak tahu
diuntung, meski dia tak punya hak untuk
menggantikan Sri Baginda, namun di hatinya
sudah sejak lama bergejolak niat untuk
menduduki singgasana. Maka ketika
diketahuinya bahwa setiap pewaris takhta
kerajaan harus menerima Tombak Trisula
sebagai syahnya dia menjadi Raja, segera
diaturnya rencana untuk mencuri senjata
tumbal kerajaan itu. Untuk melakukannya
sendiri Ranablambang tidak bernyali meski
dia memiliki kepandaian yang tinggi. Maka
melalui seorang pembantu kepercayaannya
yakni Pandemang, disuruhnyalah laki-laki itu
menemui seorang tokoh silat golongan hitam
yang dikenal dengan nama gelaran Dewa
Maling Baju Hitam. ***
DENGAN mengandalkan ilmu lari serta ilmu
meringankan tubuhnya ditambah dengan
pakaian hitam dan kegelapan malam yang
turut membantunya, dengan mudah pada
akhirnya Dewa Maling sudah berada di atas
wuwungan Istana. Meski dia sudah diberi tahu
jelas setiap liku-liku Istana dan tempat
penyimpanan Tombak Trisula, namun dia tak
mau memandang enteng orangorang yang
ada di dalam Istana. Terutama Mahapatih
Jayengrono yang berumur setengah abad
lebih itu, ilmu kepandaiannya tak bisa dibuat
main!
Dari tempatnya berada saat itu Dewa Maling
dapat melihat kira-kira lima puluh orang
pengawal tingkat rendah berada di sekeliling
Istana. Kemudian ditambah lagi dengan dua
puluh hulubalang yang berkepandaian tinggi.
"Berabe juga," kata Dewa Maling dalam hati.
Tapi dia sudah mempunyai akal. Laksana
seekor burung walet dia melompat ke satu
bagian yang gelap di halaman samping
Istana. Dengan mengendap-endap didekatinya
seorang pengawal. Sekali totok saja pengawal
itu sudah tak berdaya. Di tempat gelap di
bukanya pakaian pengawal itu lalu setelah
membuka pakaiannya pula, dengan cepat
dikenakannya pakaian si pengawal.
Di tangga Istana di temuinya seorang
hulubalang. Setelah menjura pada hulubalang
itu dia berkata, "Mapatih Jayengrono
mengharapkan kedatangan hulubalang
dengan segera karena ada satu urusan
penting."
Karena yang menyampaikan pesan itu
seorang bawahannya tentu saja sang
hulubalang tidak menaruh curiga.
"Di mana Mapatih berada?"
"Ikutilah saya," jawab si pengawal alias Dewa
Maling.
Maka hulubalang itupun mengikuti pengawal
tersebut. Sampai di tempat gelap Dewa Maling
tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan secepat
kilat menotok pangkal leher sang hulubalang.
Dalam keadaan tak berdaya hulubalang itu
dilucutinya pakaiannya. Dengan menyamar
sebagai seorang hulubalang, dengan mudah
Dewa Maling memasuki Istana, langsung
menuju di mana terletaknya kamar Sri
Baginda.
Di pintu kamar berdiri dua orang hulubalang
berkepandaian tinggi. Dewa Maling tidak
takuti mereka. Tetapi membuat kekerasan
sama saja dengan mengundang datangnya
bahaya. Dengan langkah gagah Dewa Maling
sampai di hadapan kedua hulubalang itu.
"Kalian bersiap-siaplah. Sebentar lagi
Mapatih Jayengrono akan datang ke sini
menggeledah kamar Sri Baginda," kata Dewa
Maling.
Kedua hulubalang itu heran. Salah seorang
dari mereka bertanya, "Memangnya ada
apakah?"
"Kau yang mengawal kamar ini apa masih
belum tahu? Betul-betul keterlaluan kalian!
Apa saja yang kalian buat di sini?".
Semakin heran kedua hulpbalang itu dan
mereka bertanya lagi: "Ada apakah?!". .
"Seorang jahat di ketahui telah menyelinap
masuk ke dalam kamar ini!" kata Dewa Maling
pula. "Apa?!" ujar dua hulubalang terkejut
hampir bersamaan.
"Manusia-manusia tolol! Kalian tidur saja di
sini! Lihatlah pintu di belakang kalian yang
terbuka itu!"
Mendengar ucapan itu kedua hulubalang
tersewt serentak membalikkan tubuh. Begitu
mereka ke dalam. Dengan cepat kemudian
pintu kamar diutupkan kembali. Sesuai
dengan keterangan Pangeran Ranablambang,
tiga langkah di sebelah kanan pintu, pada
dinding tergantunglah sebuah lampu dari
perak bakar berukir-ukir bagus sekali
buatannya. Dewa Maling Baju Hitam menekan
paku besar di mana lampu itu tergantung, tiga
kali berturutturut. Di belakangnya erdengar
suara barang bergerak. Ketika dia berpaling
ilihatnya dinding kamar di atas kepala
peraduan Sri Baginda terbuka dan tampaklah
sebuah lemari besi. Cepat Dewa Maling
melangkah ke hadapan lemari. Di telitinya
sejenak lalu dilihatnya deretan tomboltombol
merah di samping kanan lemari besi itu,
emuanya ada 12 buah.
Dengan hati-hati Dewa Maling menekan
tombol merah yang kesembilan dari sebelah
muka lemari. Ia menunggu dengan berdebar.
Lalu dilihatnya pintu lemari terbuka dan di
dalamnya tampaklah sebuah tombak pendek
yang ujungnyz bercabang tiga. Sinar senjata
mustika tumbal kerajaan itu bukan saja
menerangi seluruh lemari, tapi jugz menyeruak
sampai•ke muka Dewa Maling, menyilaukan
mata laki-laki ini.
Sewaktu pintu lemari besi itu terbuka, terde
ngarlah suara mendesis. Begitu suara
mendesis pada bagian atas lemari sebelah
dalam muncullah sebuah tombol putih. Inilah
saat di mana Dewa Maling harus mengambil
Tombak Trisula diulurkannya tangannya
mengambil senjata mustika tumbal kerajaan
itu.
Pada saat Dewa Maling mengambil Tombak
Trisula, di luar kamar dua orang hulubalang
sampai di hadapan pintu. Setiap dua jam
sekali, hulubalang-hulubalang yang mengawal
pintu kamar Sri Baginda selalu diganti. Tentu
saja kedua hulubalang ini terheran melihat
kamar itu tiada berpengawal sama sekali.
"Ke mana hulubalang-hulubalang yang
seharusnva ada di sini?!" tanya salah seorang
dari mereka.
"Aku kawatir ada sesuatu yang tidak beres.
Kau menyelidiklah ke ujung gang sebelah
sana, aku akan memeriksa kamar Sri
Baginda".
Dengan cepat hulubalang yang satu itu
membuka pintu kamar. Di dalam kamar, Dewa
Maling yang bertelinga tajam telah
mendengar percakapan kedua hulubalang itu.
Maka dengan cepat dia menyelinap di
samping pintu sebelah kiri. Sewaktu pintu
terbuka tubuhnya tertutup oleh daun pintu.
Dan selangkah lagi hulubalang itu masuk ke
dalam kamar Dewa Maling mengayunkan
tinjunya ke batok kepala hulubalang itu.
Dengan mengeluarkan keluhan pendek si
hulubalang tersungkur di lantai. Dewa Maling
cepat keluar dari kamar itu.
Tapi…!
Wutt…!
Angin keras menyambar perutnya. Dia terkejut
bukan main dan terpaksa. melompat ke
belakang mencari selamat. Yang
menyerangnya ternyata adalah hulubalang
yang tadi di sangkanya telah jatuh pingsan.
"Kurang ajar! Makan ini!" kertak Dewa Maling
lalu mengirimkan satu tendangan ke dada
lawan.
"Sret"!
Si hulubalang mencabut pedangnya dan
memapas kaki Dewa Maling dengan senjata
itu. Mau tak mau Dewa Maling terpaksa
menarik pulang kakinya kembali. Dengan
beringas dia melompat dan dari atas
mengirimkan satu pukulan tangan kosong
yang dahsyat. Namun lagi-lagi lawannya
sanggup berkelit. Angin pukulan menghantam
lantai kamar. Permadani yang menutupi lantai
itu robek bertaburan sedang lantai batu
pualam hancur berkeping-keping dan seantero
kamar bergetar laksana di goncang lindu!
Si hulubalang begitu mengelak dengan sigap
melancarkan serangan. Pedangnya berkiblat
empat kali berturut-turut!
"Setan alas!" maki Dewa Maling penasaran.
Tangan kanannya yang memegang Tombak
Trisula digerakkan.
"Trang!"
Pedang di tangan si hulubalang patah dua.
Hulubalang itu berseru kaget dan lekas
melompat ke belakang. Namun lebih cepat
dari gerakannya itu, Tombak Trisula meluncur
menusuk dadanya. Hulubalang tersebut
mengeluh pendek. Sesudah itu tubuhnya
terguling di atas permadani dengan tiga
lobang luka di dadanya!
Di luar terdengar suara langkah-langkah kaki
mendatangi. Dewa Maling menuju ke pintu
dengan cepat. Justru pada saat itu
hulubalang-hulubalang Istana yang
berkepandaian tinggi tengah memasuki Antu
kamar. Tanpa pikir panjang Dewa Maling
memegang daun pintu dan
membantingkannya. Tiga orang hulubalang
tak keburu mengelak. Dada dan tubuh mereka
dihantam daun pintu dengan kerasnya.
Ketiganya kontan roboh tak sadarkan diri
dengan hidung masing-masing bercucuran
darah!
Sewaktu Mapatih Jayengrono dan lima orang
hulubalang sampai di kamar tersebut, Dewa
Maling sudah melarikan diri lewat jendela.
"Jaga dengan ketat seluruh tembok kotaraja!"
kata Mapatih Jayengrono. Sehabis memberi
perintah itu dia segera melompati jendela dan
lenyap. Jayengrono berumur setengah abad
lebih. Dalam ilmu dan kesaktian dia termasuk
golongan tokoh-tokoh yang disegani. Otaknya
yang cerdik segera dapat menarik kesimpulan
bahwa seorang maling tingkat tinggi pastilah
tidak akan melarikan diri lewat jalan biasa.
Karenanya, begitu tiba di halaman samping
Istana, Jayengrono tak ayal lagi segera
melompat ke atas wuwungan. Apa yang
diduganya ternyata tidak meleset. Begitu dia
menginjakkan kakinya di atas wuwungan,
pada ujung atap Istana sebelah utara
dilihatnya dalam kegelapan berkelebat
sesosok tubuh berpakaian hulubalang.
Sebelumnya Mapatih Jayengrono sudah diberi
tahu bahwa pencuri yang menyusup ke dalam
Istana itu menyamar atau berpakaian sebagai
seorang hulubalang!
Dengan mengertakkan geraham, Mapatih ini
segera lari di sepanjang atap mengejar maling
tersebut. Sementara itu sambil lari dilihatnya
belasan hulubalang dan puluhan pengawal-
pengawal tingkat tinggi telah bertebar
berjaga-jaga di setiap sudut. Dapat dipastikan
bahwa si pencuri tak akan bisa lolos begitu
saja!
Sewaktu Mapatih Jayengrono sampai di ujung
atap sebelah utara Istana, dia jadi amat
penasaran karena orang yang dikejarnya
lenyap tiada bekas. Di bawah dilihatnya dua
orang hulubalang dan sembilan pengawal klas
satu berjaga-jaya.
"Tak mungkin pencuri itu lolos dari sini tanpa
diketahui orang-orang di bawah sana", kata
Jayengrono dalam hati. "Pasti dia
bersembunyi di sekitar sini."
Baru saja sang patih kerajaan berpikir begitu,
di ujung barat di dengamya suara hiruk pikuk
dan seruan, "Api! Api!"
Ketika Jayengrono berpaling ke barat, benar
saja, dilihatnya atap Istana tenggelam dalam
kobaran api.
"Pengawal-pengawal klas II dan klas III lekas
padamkan api! Yang lain-lain tetap di tempat!
Ini adalah pancingan musuh!" teriak
Jayengrono dengan suara lantang
mengandalkan tenaga dalam hingga terdengar
ke segala pejuru.
Dengan matanya yang tajam Jayengrono
memandang teliti ke segenap penjuru,
terutama ke tempat-tempat yang gelap.
"Heran, ke mana perginya maling itu." kata
sang patih pada dirinya sendiri. Lalu
berserulah dia, "Maling edan! Sebaiknya
menyerahlah! Kau sudah terkurung, tak
mungkin bisa kabur!".
Baru saja Mapatih Jayengrono berseru
demikian, mendadak di bawahnya terdengar
teriakan, "Itu dia malingnya! Lekas kejarl Itu
dia malingnya …. lekas kejar!"
Tak ayal lagi para hulubalang dan pengawal-
pengawal yang ada di situ segera ikut
mengejar. Mapatih Jayengrono segera pula
hendak menggerakkan kakinya. Tapi sekilas
pikiran timbul dalam benaknya yang cerdik
dan berpengalaman. Dia tetap ditempatnya
dan memandang ke bawah dengan seksama.
Dari tempatnya berdiri itu jelas dilihatnya
hulubalang yang tadi berteriak dan menunding
sambil berlari, memperlambat larinya hingga
akhirnya dia tinggal seorang diri di belakang!
"Pasti dia bangsatnya!" kertak Jayengrono.
Tanpa membuang tempo lagi dia melompat ke
bawah. Selagi tubuhnya melayang di udara,
mendadak tampak belasan benda berkilauan
menyambar kearahnya. Temyata hulubalang
dibawah sana telah melemparkan senjata-
senjata rahasia kepada sang patih.
"Maling besar! Jangan harap kau bisa lolos
hidup-hidup dari sini!", teriak Javengrono.
Tangan kirinya dipukulkan kelawan. Belasan
senjata rahasia yang menyerangnya
berpelantingan. Di bawahnya terdengar
kekehan si hulubalang yang memang bukan
lain adalah Dewa Maling adanya.
"Jayengrono, kau memang cerdik. Kejar dan
tangkaplah aku!".
Dewa Maling Baju Hitam berkelebat ke tembok
Istana yang saat itu sudah tak dijaga lagi
karena hulubalang-hulubalang dan para
pengawal telah berlarian mengejar "maling"
yang tadi diteriakinya!
"Ayo kejar aku!" tantang Dewa Maling kembali
begitu dia menginjakkan kakinya di atas
tembok.
Sebagai jawaban, sambil melesat mengejar,
Mapatih Djajengrono melepaskan satu
pukulan tangan kosong yang hebat. Tembok
Istana hancur berantakan, tapi Dewa Maling
sudah lenyap dari situ. Hanya suara
kekehannya terdengar di pohon besar di luar
tembok Istana.
"Kurang ajar! Kau mau lari ke mana bah?!"
kertak Jayengrono dan segera menyusul.
Kedua orang itu untuk beberapa lamanya
saling kejar mengejar di atas atap-atap
rumah penduduk dan kemudian, untuk kedua
kalinya Jayengrono kehilangan orang
kejarannya itu di sebelah timur Kotaraja.
Ke mana pulakah lenyapnya Dewa Maling saat
itu? Sesungguhnya dia tak berada iauh dari
sang patih kerajaan Dengan mengandalkan
ilmunya yang dinamakan "cecak merayap di
atap",
Dewa Maling laksana seekor cecak
"menempelkan" dirinya di bawah ujung atap
rumah penduduk yang gelap!
Sewaktu dilihatnya patih itu pergi ke jurusan
lain segera Dewa Maling bergerak kejurusan
yang berlawanan dan akhirnya sampai di
temook Kotaraja yang dikawal ketat. Para
pengawal yang bertugas di sini disamping
berjaga-jaga mereka juga asyik membicarakan
tentang menyusupnya seorang maling lihay
yang berhasil mencuri senjata mustika tumbal
kerajaan. Dewa Maling tidak takutkan
pengawal-pengawal ini malah dengan sikap
keren dia melangkah ke hadapan mereka dan
membentak,
"Kalian kunyuk-kunyuk dogol semua! Kawan-
kawan kalian bertempur mati-matian di depan
mesjid mengeroyok maling penyusup! Kalian
enak-enakan ngobrol di sini! Lekas bantu
mereka! Biar aku yang berjaga-jaga di tempat
ini!"
Mendengar bentakan yang menggeledek itu,
tanpa curiga dan banyak tanya para pengawal
dan hulubalang-hulubalang yang ada di situ
segera lari menuju ke tempat di mana
dikatakan terjadi pertempuran hebat.
"Dasar manusia-manusia tolol!" ujar Dewa
Maling penuh geli. Kemudian segera
dilompatinya tembok tinggi batas kerajaan
dan dalam tempo yang singkat dia sudah
lenyap di kegelapan malam.
Namun belum lagi sepeminuman teh berlalu
Dewa Maling merasa ada seseorang yang
mengejarnya di belakang. Dan belum sempat
dia memalingkan kepala, satu bentakan
nyaring terdengar sejarak sepuluh tombak di
belakangnya.
"Jangan harap kau bisa kabur seenaknya,
bangsat pencuri!" PADA WAKTU prajurit-
prajurit pengawal dan para hulubalang lari
secepatnya menuju ke mesjid, mereka
berpapasan dengan Mapatih Jayengrono.
"Kalian mau ke mana?!" tanya sang patih
heran.
"Di depan mesjid tengah terjadi pertempuran,
Maling yang mencuri Tombak Trisula sedang
dikeroyok. Kami kesana untuk memberikan
bantuan", menerangkan salah seorang
hulubalang. Heranlah Mapatih Jayengrono.
Dia barusan lewat menyelidik di depan mesjid
dan di sana tak terjadi keributan apa-apa,
apalagi pertempuran.
"Kalian telah kena tipu!" kata Jayengrono
pula. "Dari siapa kalian tahu ada pertempuran
di depan mesjid?"
"Seorang hulubalang klas satu
mengatakannya pada kami!"
"Kalian tolol semual," bentak sang patih gusar
bukan main.
Diikuti oleh pengawal-pengawal serta
hulubalang-hulubelang itu dia segera menuju
ke tembok timur.
"Mana dia?!" tanya Jayengrono dengan mata
membeliak.
"Tadi . . . , tadi . . . . dia bilang akan berjaga-
jaga di si…"
"Plaak!"
Tamparan Patih Jayengrono mendarat di pipi
hulubalang itu hingga ucapannya yang
tergagap-gagap ketakutan terputus sampai di
situ. Setelah memaki habis-habisan, tanpa
membuang tempo sang patih segera
melompati tembok kerajaan dan lenyap dari
pemandangan orang-orang tersebut. Kurang
dari sepeminuman teh dia berlari, didepannya
dilihatnya seorang berpakaian hulubalang
berlari dengan sebat sekali. Nyatalah orang
itu memiliki ilmu lari yang lihay dan di
samping itu, Jayengrono merasa gembira
karena inilah manusia yang dicari-carinya.
Mahapatih yang berumur setengah abad lebih
ini segera mengerahkan pula ilmu larinya
yang tak kalah hebat dan dalam tempo
singkat dia berhasil mendekati orang yang
dikejarnya dalam jarak sepuluh tombak. Maka
mebentaklah dia,
"Jangan harap kau bisa kabur seenaknya,
bangsat pencuri!"
Orang yang lari di depan terkejut dan
memalingkan kepalanya. Ternyata dia
memanglah Dewa Maling Baju Hitam.
"Jayengrono! Kau keliwat setia mengikutiku
terus-terusan. Aku akan beri hadiah atas
kesetiaanmu itu! Ini terimalah!" kata Dewa
Maling. Lalu dalam jarak kurang dari delapan
tombak dia menghantamkan tangan kanannya
ke belakang. Mapatih Jayengrono yang
tengah lari kencang tak punya kesempatan
untuk menangkis, dengan serta merta
membuang diri ke samping kiri.
Wuss!
Angin pukulan lawan lewat di sampingnya,
keras dan panas bukan main.
"Braak!
Angin pukulan yang lewat terus menghantam
sebuah pohon besar. Bukan saja pohon itu
menjadi hangus hitam sampai ke ranting-
rantingnya tetapi juga tumbang dengan
mengeluarkan suara bergemuruh.
"Kau berkelit dari seranganku, Jayengrono!
Berarti kau masih mau hidup. Kalau mau
terus bernafas kunasihatkan padamu agar
kembali ke Kotaraja!"
Mahapatih Jayengrono mendengus. Dalam
jarak sedekat itu kini dia bisa melihat jelas
wajah si pencuri. Hatinya terkejut. Tak di
sangkanya yang melarikan Tombak Trisula itu
adalah Dewa Maling Baju Hitam, seorang
tokoh pencuri yang terkenal lihay di dunia
persilatan. Pantas saja dia sanggup melarikan
senjata tumbal kerajaan itu.
"Sebelum kuterima nasihatmu, kau dengar
dulu nasihatku!" menjawab Jayengrono.
"Lekas serahkan kembali Tombak Trisula. Dan
kepalamu itu akan selamat dari kehancuran!"
Dewa Maling tertawa gelak-gelak mendengar
ucapan Patih itu.
"Kau jauh dari sarangmu, Mapatih! Kalau
bicara jangan kelewat sombong!"
"Lekas kembalikan Tombak Trisula itu!"
"Silahkan ambil sendiri!" sahut Dewa Maling
Baju Hitam seenaknya dan sambil
menimangnimang Tombak Trisula yang
dipegangnya di tangan kiri.
Mapatih Jayengrono gusar bukan main.
Namun dia tak segera turun tangan. Ada
beberapa hal yang harus diketahuinya.
Pertama, meski Dewa Maling terkenal sebagai
pencuri klas wahid yang tak ada
bandingannya di dunia persilatan namun
bagaimana dia bisa berhasil mencuri Tombak
Trisula sedang senjata mustika itu di simpan
di tempat yang paling tersembunyi dan penuh
dengan senjata-senjata rahasia yang
mengancam jiwa setiap orang yang berani
mengambilnya secara sembarangan?
Hal kedua yang ingin diketahui oleh Mapatih
Jayengrono ialah apakah ada seseorang yang
bersembunyi di belakang pencuri itu dan
sekaligus memberi tahu seluk beluk
penyimpanan Tombak Trisula, dengan kata
lain seorang telah memperalat Dewa Maling
Baju Hitam!
"Dewa Maling, untuk apa olehmu Tombak
Trisula tumbal kerajaan itu? Sekalipun kau
memilikinya jangan harap kau bakal bisa
menjadi Raja!"
Kembali Dewa Maling tertawa gelak-gelak.
"Aku mau jadi raja atau mau jadi setan
pelayangan, itu bukan urusanmu, Mapatih!"
sahutnya.
"Jika kau mau mengembalikan senjata itu dan
menerangkan siapa orang yang berdiri di
belakangmu, aku akan bikin habis persoalan.
Dan di samping itu aku akan berikan hadiah
besar untukmu."
"Sudahlah Mapatih. Kau kembalilah ke
Kotaraja. Kenapa memusingkan benda yang
bukan milik bapak moyangmu?"
Marahlah Mapatih Jayengrono.
"Aku bertanggung jawab atas segala apa yang
terjadi di Kerajaan!" katanya. "Kalau kau tetap
keras kepala, jangan harap kau bakal melihat
matahari pagi!"
"Kalau begitu kau yang sebetuinva buru-buru
inginkan mati, Jayengrono! Marilah kutolong
kau mencari jalan ke neraka!". Habis berkata
begitu Dewa Maling Baju Hitam melompat dan
menyerang dengan mempergunakan Tombak
Trisula. Senjata mustika bermata tiga itu
menusuk sebat ke dada Mapatih Jayengrono.
"Trang!"
Bunga api berpercikan.
Dewa Maling Baju Hitam kaget bukan main.
Dia hampir tak melihat kapan lawannya itu
mencabut pedang yang tergantung di
pinggang kirinya dan tahu-tahu senjata itu
sudah berada di tangannya, dipakai untuk
menangkis serangan Tombak Trisula! Memang
dalam ilmu pedang, Mapatih Jayengrono
memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Pada
umur tigapuluh lima tahun dia sudah dijuluki
sebagai "Raja Pedang Dari Pajang" dan kini
dalam umur setengah abad lebih ternyata
ilmu kepandaiannya semakin tinggi!
Meski Dewa Maling terkejut bukan main, tapi
sang patihpun tak kurang kagetnya. Sewaktu
bentrokan senjata tadi, lengannya tergetar
keras dan kesemutan. Bahkan ketika
ditelitinya salah satu bagian mata pedangnya
telah rompal akibat beradu dengan Tombak
Trisula!
Melihat betapa ampuhnya senjata mustika
yang dipakai tumbal kerajaan itu, Patih
Jayengrono maklum bahwa saat itu dia tak
boleh membuang-buang waktu. Maka begitu
menyerang dia segera mengeluarkan ilmu
pedangnya yang paling hebat dan selama ini
menggetarkan dunia persilatan di Jawa
Tengah!
Di lain pihak Dewa Maling memaklumi pula
bahwa dalam ilmu silat bersenjata dia hanya
akan sanggup melayani Raja PPdang Dari
Pajang itu dalam tempo yang singkat. Untuk
itu dia harus mengandalkan kegesitan atau
mengusahakan menghantam pedang lawan
dengan Tombak Trisula, atau cepat-cepat
angkat kaki dari situ dengan mempergunakan
tipu muslihat! Namun meski bagaimanapun
kegusaran yang ada di hati Dewa Maling
membuat laki-laki ini memutuskan untuk
melayani terlebih dulu sang patih sampai
beberapa puluh jurus. Demikianlah maka
kedua orang berilmu tinggi itu saling
bertempur dengan hebatnya dalam gelapnya
malam. Dua puluh jurus berlalu. Saat itu Dewa
Maling sudah berada di bawah angin.
Serangan pedang lawan datang bertubi-tubi,
kadang-kadang mencurah laksana air hujan.
"Bangsat tua ini lihay betul!", maki Dewa
Maling Baju Hitam dalam hati. Dalam
keadaan begitu rupa dia melompat
menjauhkan diri seperti orang yang hendak
mengambil langkah seribu.
"Mau lari ke mana, manusia jahat?!", bentak
Mapatih Jayengrono. Lalu dengan satu
gerakan kilat memburu melompat dan
mengirimkan dua bacokan ganas. Namun
sekali ini sang patih telah tertipu.
Gerakan yang dibuat oleh Dewa Maling tadi
sama sekali bukan untuk melarikan diri, tapi
justru untuk memancing lawan. Sewaktu
Jayengrono melompat ke arahnya dengan
membacokkan pedang, laksana seekor kelinci
dengan gesit Dewa Maling melompat ke
samping lalu menyelinapkan satu tusukan
tombak ke bagian tubuh sebelah bawah lawan
yang tidak terjaga.
Karena bacokannya mengenai tempat kosong
dengan sendirinya serangan balasan Dewa
Maling membahayakan sekali bagi
Jayengrono. Derigan sebat patih ini
membabatkan pedangnya ke bawah karena
dalam posisi begitu rupa cara itulah satu-
satunya bagi dia untuk dapat menyelamatkan
jiwanya! Justru memang inilah yang di
kehendaki oleh lawannya. Melihat lawan
membabatkan senjata ke bawah, Dewa Maling
dengan keras memukulkan Tombak Trisula ke
atas menyongsong senjata lawan! Raja
Pedang Dari Pajang terkejut namun kasip. Tak
ada kesempatan lagi untuk menghindarkan
bentrokan senjata tersebut.
"Trang!"
Pedang di tangan Mapatih Jayengrono patah
dua. Jayengrono cepat melompat mundur
sedang di hadapannya Dewa Maling tertawa
mengekeh, tangan kanan memelintangkan
Tombak Trisula di depan dada sedang tangan
kiri bertolak pinggang.
"Jayengrono! Sayang kau terlalu keras kepala!
Sudah ditakdirkan bahwa kau tak bakal
melihat matahari esok pagi!".
Dewa Mating menerjang ke muka.
Tombak Trisula berkiblat menderu.
Jayengrono berusaha menangkis sedapat-
dapat nya dengan sisa patahan pedang yang
masih ada di tangannya sedang tangan kiri
melepaskan satu pukulan tangan kosong yang
dahsyat. .
"Keparat!" maki Dewa Maling karena dia tak
menyangka kalau lawan yang sudah tak
berdaya itu masih memiliki pukulan sakti
yang hampir saja menghantam dirinya kalau
dia tidak lekas-lekas menyingkii dan
memaksanya membatalkan serangan mautnya
tadi!
"Walau bagaimanapun kau tak bakal bisa
membawa lari Tombak Trisula itu, pencuri
jahat!" kata Jayengrono yang masih besar
nyalinya meski kini sudah bertangan kosong.
Dewa Maling berkomat-kamit. Dalam
marahnya dia merasa sudah cukup lama
melayani patih Pajang itu. Dari dalam baju
hitamnya yang terlindung oleh pakaian
hulubalang dikeluarkannya sebuah benda
hijau berbentuk suling. Dengan kedua tangan
terpentang Jayengrono menunggu waspada.
Senjata di tangan kiri lawan merupakan
senjata aneh baginya. Tiba-tiba Dewa Maling
meletakkan salah satu ujung benda hijau
berbentuk suling itu di ujung bibirnya dan
meniup. Satu suara melengking tajam
menusuk anak telinga menggema di
keheningan malam. Asap hijau yang ditaburi
manik-manik merah menyala mencurah ke
arah Jayengrono. Dalam kagetnya patih
Pajang ini tak sempat lagi menyingkir. Begitu
asap hijau bertabur manik-manik merah
menyambar hidungnya, patih ini terbatuk-
batuk, dari tenggorokannya terdengar suara
seperti mau muntah. Kedua lututnya goyah
dan akhirnya tubuhnya tergelimpang pingsan.
Dewa Maling Baju Hitam tertawa perlahan.
"Jayengrono, kalau aku tidak membunuhmu
sekarang bukan berarti aku memiliki belas
kasihan tefiadapmu! Racun jahat yang ada
dalam tubuhmu akan membuat kau menderita
batuk darah seumur hidup! Dirimu akan
tersiksa, dan itu jauh lebih jahat dari pada
kematian!"
Kembali Dewa Maling tertawa perlahan.
Kemudian dengan memboyong Tombak
Trisula, dia berkelebat cepat meninggalkan
tempat itu.Kira-kira Dewa Maling sudah
berlalu sejauh seratus tombak, satu bayangan
putih entah dari mans datangnya tahu-tahu
sudah berada di tempat itu. Melihat sosok
tubuh patih Jayengrono yang terhampar di
tanah, orang ini memaki.
"Sialan, aku terlambat!" ORANG berpakaian
putih itu membungkuk di samping tubuh
Jayengrono. Wajah sang patih kelihatan
membiru sedang dari sela bibirnya keluar
busa kental dan leher bengkak menggembung.
"Racun jahat," kata orang berpakaian putih
dalam hati. Telapak tangan kanannya di
tekankan ke perut Jayengrono sedang jari-jari
tangan kiri mencengkeram leher patih itu.
Sesaat kemudiankelihatan tubuh Jayengrono
menggeliat, lalu melejang-lejang. Dari
mulutnya semakin banyak keluar busa dan
kini busa itu berwarna kehijauan. Kemudian
terdengar perutnya menggereok dan sang
patih muntah dua kali berturut-turut.
Orang berpakaian putih merasa lega melihat
manusia yang ditolongnya muntah. Dia
maklum, kalau Jayengrono tidak muntah
begitu rupa, niscaya nyawa sang patih tak
mungkin di selamatkannya. Tapi dia tahu
bahwa sampai di situ keselamatan
Jayengrono masih belum terjamin
sepenuhnya. Setelah mengalirkan hawa panas
dan hawa dingin ke dalam aliran darah sang
patih lalu diambilnya dua butir obat dan
dimasukkannya ke dalam mulut patih itu.
Setelah yaktn bahwa kini tak ada lagi racun
jahat yang mengendap dalam tubuh atau
jalan nafas Jayengrono, laki-laki berpakaian
putih itu sebelum meninggalkan tempat
tersebut dengan jari-jari tangan kanannya
menggurat tanah membuat tulisan.
Sementara seisi Istana Pajang heboh oleh
tercurinya Tombak Trisula serta lenyap tak
diketahui ke mana perginya Mapatih
Jayengrono, malam yang dingin telah
berganti dengan siang, fajar telah
menyingsing di timur.
Tubuh Mapatih Jayengrono yang selama
beberapa jam terhantar di tanah kelihatan
bergerak. Sepasang matanya membuka
perlahan. Akhirnya patih ini siuman dan duduk
menjelepok di tanah. Mula-mula dia heran
menyaksikan di mana dia berada saat itu.
Namun bila dia ingat apa yang telah terjadi
barulah dia sadar. Dia memandang berkeliling
dan pada waktu itulah pandangannya
membentur pada barisan-barisan tulisan yang
tertera di tanah di ujung kakinya.
Kembalilah ke Istana.
Tentang Tombak Trisula tak usah
dikawatirkan.
Mudah-mudahan dapat kukembalikan dalam
waktu yang singkat.
Pendekar 212. Pendekar 212," desis
Jayengrono. Dia tak pernah kenal orang itu
tapi di seluruh Jawa Tengah namanya sudah
tersohor sebagai seorang pendekar berusia
muda yang amat tinggi ilmu silat serta
kesaktiannya, yang bertualang dari situ
daerah ke daerah lain menjalankan tugas
membela kebenaran dan keadilan, menolong
siapa saja yang tertindas dan mendapat
bahaya. Kemudian Jayengrono ingat pula
bagaimana Dewa Maling Baju Hitam telah
meniupkan racun jahat kepadanya hingga dia
roboh pingsan. Tentu Pendekar 212 itulah
yang telah menolongnya. Perlahan-lahan
Jayengrono berdiri. Dendam kesumatnya
terhadap Dewa Maling amat besar, tapi dia
tak bisa berbuat suatu apa selain berharap
bahwa Pendekar 212 Wiro Sableng benar-
benar bisa mengambil dan mengembalikan
tombak tumbal Kerajaan itu. Dengan harapan
itulah Jayengrono meninggalkan tempat
tersebut dan kembali ke Istana Pajang. ***
Kira-kira setengah hari perjalanan dari Pajang
terdapatlah sebuah lembah liar. Dulunya
lembah ini adalah sebuah lembah subur. Tapi
sewaktu banjir melanda daerah itu, segala
kesuburan lembah tersebut ikut tersapu.
Bahkan sebuah kuil yang terdapat di situ ikut
menjadi korban, hampir keseluruhannya
diterjang banjir. Kini sisa-sisa kuil tersebut
masih berdiri meskipun sudah tak beratap lagi
dan dinding-dinding sebagian besar hanya
tinggal sepotongsepotong. Boleh dikatakan
sejak lembah itu berubah menjadi lembah liar,
tak seorang manusiapun yang datang ke
sana. Namun di hari itu adalah aneh karena
di depan bekas-bekas runtuhan kuil kelihatan
dua ekor kuda besar tengah merumput.
Terlindung di balik reruntuhan tembok kuil
berdiri dua orang laki-laki.
Yang satu bertubuh kecil bermuka cekung.
Kumisnya tebal melintang. Yang seorang lagi
kebalikannya berbadan besar tegap. Mereka
berdua adalah Pangeran Ranablambang dan
pembantu kepercayaannya yaitu Pandemang.
"Aku kawatir kalau-kalau si Dewa Maling
gagal mencuri tombak itu," kata Pangeran
Ranablambang.
"Mana mungkin, Pangeran. Dia seroang cerdik,
punya seribu akal dan berilmu tinggi pula,"
menyahut Pandemang seraya mengusap-usap
dagunya yang lebat ditumbuhi berewok.
"Tapi dia bisa saja silap, lupa akan seluk
beluk mengambil senjata itu."
"Percayalah Pangeran, Dewa Maling pasti
berhasil mengambil Tombak Trisula. Kalau
tidak percuma dia mendapat julukan hebat
begitu rupa."
Untuk beberapa lamanya Pangeran
Ranablambang tak berkata apa-apa sampai
pada akhirnya di tepi lembah dilihatnya satu
titik hitam muncui mendatang dengan cepat.
"Itu dia," kata Pangeran Ranablambang
gembira.
Pandemang memandang ke arah yang
ditunjuk. Titik hitam itu semakin dekat dan
ternyata memang dia adalah Dewa Maling
Baju Hitam yang telah menanggalkan pakaian
hulubalangnya.
"Bagaimana? Berhasil?!" pertanyaan itu
cepat-cepat diajukan oleh Pangeran
Ranablambang pada Dewa Maling begitu
Dewa Maling sampai di hadapannya.
"Beres Pangeran! Beres!" jawab Dewa Maling
dengan tertawa lebar.
Gembiralah Pangeran Ranablambang. Dia
tertawa lebih lebar dari Dewa Maling lalu
menepuk-nepuk bahu Dewa Maling dan
bertanya, "Mana keluarkanlah. Berikan padaku
cepat."
Dari balik pakaian hitamnya Dewa Maling
mengeluarkan senjata tumbal kerajaan itu dan
menyerahkannya pada Pangeran
Ranablambang. Setelah meneliti benda itu
sebentar lalu sang pangeran cepat-cepat
menyimpannya di balik pakaiannya.
"Mari Dewa Maling, kau bakal mendapat
hadiah besar dariku," kata Pangeran
Ranablambang. Dia melangkah kekudanya.
Dari dalam sebuah kantong kulit yang
tergantung di leher binatang itu
dikeluarkannya dua buah kantong kain. "Yang
ini berisi barang-barang perhiasan, emas dan
batu-batu permata. Kantong yang satu ini
berisi uang! Terimalah!"
Dewa Maling cepat mengulurkan tangan
menyambut hadiah besar itu. Setelah
menyimpan baik-baik kedua kantong tersebut
maka bertanyalah dia.
"Bagaimana dengan janjimu hendak
mengangkat aku jadi orang berpangkat di
Istana?" Ranablambang tersenyum.
"Kau tak usah kawatir Dewa Maling. Segera
takhta Kerajaan sudah berada di tanganku
pangkat apapun yang kau inginkan pasti
kuberi. Sekarang rencana kita itu masih cukup
panjang untuk diwujudkan meski Tombak
Trisula sudah berada di tangan kita …."
"Apalagi yang harus kita laksanakan,
Pangeran?" bertanya Dewa Maling.
"Pertama-tama kita harus melenyapkan
Mapatih Jayengrono …. ".
Dewa Maling tertawa gelak-gelak.
"Kenapa kau tertawa?" tanya Pangeran
Ranablambang heran.
"Soal diri Mapatih Jayengrono, kau tak usah
khawatir, Pangeran! Tak usah kawatir! Dia
sudah kubikin beres!"
"Maksudmu?!"
Dewa Maling lalu menerangkan
pertempurannya dengan Jayengrono dan
bagaimana dia pada akhirnya berhasil
merobohkan tokoh tinggi Istana Pajang itu.
Bukan main gembiranya Ranablambang.
Berkali-kali dipujinya Dewa Maling.
"Kalau begitu", kata sang pangeran pula,
"malam ini juga aku sudah bisa
menggerakkan balatentara Surabaya untuk
menggempur Istana!"
Ranablambang mengangguk-angguk
kemudian katanya. "Dengar Dewa Maling.
Pasukanpasukan akan memasuki Kotaraja
dari pintu selatan. Sebelum itu beberapa
orangku yang ada di dalam Kotaraja akan
menimbulkan kebakaran. Kau sendiri terserah
apakah mau ikut menggempur bersama-
samaku atau datang seorang diri
"Karena ada sedikit urusan, biarlah aku
datang seorang diri, Pangeran …." jawab Dewa
Maling.
"Baiklah kalau begitu. Sampai bertemu di
Kotaraja malam ini!"
"Sampai ketemu," balas Dewa Maling lalu
meninggalkan tempat itu.
Sesudah Dewa Maling lenyap dikejauhan
Pangeran Ranablambang dan Pandemang
naik ke kuda masing-masing.
"Apa kataku, Pangeran," berkata Pandemang.
"Dewa Maling pasti berhasil mendapatkan
Tombak Trisula itu!"
Pangeran Ranablambang tak berkata apa-apa
melainkan menepuk pinggul kudanya agar lari
lebih kencang.
"Agar lebih cepat sebaiknya kita ambil jalan
memotong saja Pandemang," kata Pangeran
Ranablambang.
"Baik, Pangeran", menyetujui si pembantu.
Maka kedua orang itupun membelok
memasuki sebuah jalan kecil. Pangeran
Ranablambang di sebelah depan sedang
pembantunya mengikut dari belakang.
Ada kira-kira sepeminuman teh mereka
menempuh jalan liar kecil itu sewaktu di
depan mereka terdengar suara siulan
membawakan lagu tak teratur dan tak
menentu nadanya, tiada beda dengan anak-
anak yang baru pandai bersiul. Yang anehnya
suara siulan itu masuk ke telinga kedua
penunggang kuda dan menggetarkan
gendang-gendang telinga mereka.
"Siapa pula yang berada di daerah liar dan
bersiul begitu rupa?", ujar Pangeran
Ranablambang pada Pandemang.
"Ada kelainan dalam suara siulan ini,
Pangeran." memperingatkan Pandemang.
"Aku juga merasakan", kata Pangeran
Ranablambang dan mulai memperlambat lari
kudanya. "Karena itu bersikap waspadalah,
Pandemang."
Setelah dua kali peminuman teh jauhnya
mereka menempuh jalan kecil itu rasa heran
semakin bertambah. Betapakah tidak, sudah
sejauh itu tetap mereka masih belum juga
memapasi atau melihat orang yang bersiul
sedang suara siulan tetap santar datangnya
dari sebelah muka!
"Seorang biasa tak mungkin dapat bersiul
seaneh ini," membatin Ranablambang.
Dirabanya pinggangnya untuk memastikan
bahwa Tombak Trisula masih berada di situ.
Setelah satu kali peminuman teh lagi berlalu
bertanyalah Pangeran Ranablambang.
"Bagaimana Pandemang, apakah kita teruskan
juga menempuh jalan kecil ini?"
"Terserah Pangeran. Menurut hamba
sebaiknya kita kembali saja."
"Tapi sudah jauh begini kepalang tanggung,"
kata Ranablambang. Dia berpikir sejenak lalu.
"Biar kita teruskan saja. Aku kepingin tahu
siapa manusianya yang bersiul itu."
Maka keduanyapun memacu kuda masing-
masing kembali.
Tak selang berapa lama di hadapan mereka
tampaklah seseorang duduk di tepi jalan,
bersandar ke sebatang pohon. Kedua kakinya
diulurkan ke depan. Orang inilah yang tengah
asyik bersiul-siul seenaknya. Bahkan ketika
Pangeran Ranablambang dan Pandemang
sampai di tempat itu, dia terus saja bersiul-
siul, seolah-olah tidak pernah tahu atau tidak
perduli akan kehadiran kedua penunggang
kuda itu.
"Hanya seorang pemuda tolol gila, kiranya
Pandemang. Kukira siapa!" kata
Ranablambang pada pembantunya.
Pandemang juga jadi mendongkol ketika
menyaksikan orang yang bersiul itu adalah
seorang pemuda berpakaian putih,
bertampang tolol dan berambut gondrong.
"Orang edan, minggirlah! Beri kami jalan!"
membentak Pandemang.
Di bentak demikian rupa si pemuda bukannya
hentikan siulan, malah semakin
memperkencangnya hingga baik Pangeran
Ranablambang maupun Pandemang terpaksa
menutup jalan pendengaran masing-masing
agar telinga mereka tidak menjadi sakit
pengang!
"Pemuda hina dina!" bentak Pandemang lagi
penuh marah, "berani kau bersikap kurang
ajar terhadap kami! Kupecahkan kepalamu!"
Pandemang melompat dari kudanya. Tinjunya
yang keras besar laksana palu godam
diayunkan ke kepala pemuda itu. ***
"PANDEMANG! Tahan dulu," seru Pangeran
Ranablambang.
Mau tak mau mendengar seruan itu
Pandemang menghentikan gerakannya. Dia
berpaling dan bertanya heran.
"Mungkin dia tuli, Pandemang. Hingga tak
mendengar ucapan kita!"
"Sekalipun tuli tapi dia tokh tidak buta,
Pangeran!"
Ranablambang mengambil sekeping uang
perak. Sambil melemparkan uang itu ke depan
kaki pemuda yang duduk di tanah dia berkata,
"Pemuda, kalau kau hanya seorang pengemis,
ambillah uang itu dan menyingkirlah lekas!"
Si pemuda menghentikan siulannya. Sebagai
ganti dari mulutnya kini keluar suara tertawa
membahak, membuat dua ekor kuda yang ada
di situ menjadi gelisah dan mengeluarkan
suara ringkikan ketakutan.
"Apa kata hamba, Pangeran! Pemuda ini
memang pantas diberi hajaran!" kata
Pandemang.
Ranablambang kali ini juga sudah menjadi
gusar sehingga sewaktu pembantunya itu
kembali mengayunkan tangan memukul kepala
si pemuda, dia tak menghalangi lagi.
"Braak!"
Suara itu dibarengi dengan keluhan tinggi
Pandemang. Entah kapan si pemuda bergerak,
tahu-tahu pukulan Pandemang meleset dan
menghantam pohon di belakangnya hingga
patah dan tumbang dengan mengeluarkan
suara berisik. Pandemang sendiri mengeluh
kesakitan. Tinju kanannya kelihatan merah
lecet. Dan ini membuat laki-laki itu naik ke
kepala amarahnya. Masih dengan
mengandalkan tangan kosong Pandemang
menerjang ke muka menyerbu si pemuda
berpakaian putih.
Yang diserang ganda tertawa lalu berkelit ke
samping. Setiap serangan yang dilancarkan
oleh Pandemang tak satupun mengenai
sasarannya. Ini membuat Pandemang
semakin naik pitam sedang lawannya terus
menerus tertawa mengejek. Akhirnya
Pandemang tak menunggu lebih lama lagi.
Dua bilah golok besar yang senantiasa
tergantung di pinggangnya kiri kanan
dicabutnya. Sesaat kemudian sepasang
senjata itu laksana hujan mencurah menderu-
deru ke arah pemuda berbaju putih. Dalam
keadaan begitu rupa si pemuda tak bisa
main-main seperti tadi lagi. Dia musti
bertindak cepat kalau tidak mau dapat celaka.
Didahului oleh suara siulan yang melengking
tinggi laksana mau merobek gendang-
gendang telinga, pemuda itu berkelebat. Di
lain kejap tubuhnya lenyap menjadi
bayangbayang dan Pandemang kini bingung
sendiri karena tak dapat melihat di mana
lawannya berada.
"Buuk!"
Pandemang berteriak kesakitan. Tubuhnya
terhuyung-huyung ke depan hampir jatuh
menelungkup karena satu pukulan keras
mendarat di punggungnya. Untung saja
pukulan itu hanya mengandalkan tenaga
kasar, kalau disertai tenaga dalam niscaya
Pandemang akan konyol detik itu juga.
Dengan beringas Pandemang membalikkan
tubuh. Dua bilah goloknya membacok susul
menyusul namun lagi-lagi dia hanya
menyerang tempat kosong. Sebelum dia dapat
memastikan di mana musuhnya berada, satu
pukulan lagi mendarat di ulu hatinya.
Pandemang mengeluh pendek. Perutnya mual
seperti mau muntah. Ketika satu tamparan
menghajar mukanya, tak ampun lagi laki-laki
bertubuh besar tinggi ini terhuyung nanar dan
menggeletak pingsan di tanah!
Untuk beberapa lamanya Pangeran
Ranablambang tertegun heran di atas
punggung kudanya. Dia tahu betul tingkat
ilmu kepandaian Pandemang. Tidak
sembarang orang bisa mengalahkannya,
apalagi secepat dan secara main-main seperti
yang dilakukan si pemuda.
"Pemuda rambut gondrong! Siapakah kau
sebetulnya?" bertanya Ranablambang.
"Aku adalah Ranablambang!", jawab pemuda
itu seenaknya dengan cengar cengir, lalu
meneruskan. "Anak seorang gundik yang ingin
menjadi raja! Yang telah mencuri Tombak
Trisula tumbal kerajaan!".
Merahlah paras Ranablambang. Dihunusnya
kerisnya dari balik pinggang. Lalu dengan
gerakan enteng melompat turun dari
punggung kuda. Selagi tubuhnya melayang di
udara dia sudah mengirimkan satu serangan
yang hebat membuat pemuda rambut
gondrong terpaksa buruburu menyingkir.
Sesaat kemudian terjadilah pertarungan yang
seru di jalan kecil itu. Ternyata
Ranablambang lebih tinggi ilmu silatnya dari
Pandemang. Gerakan-gerakannya gesit.
Serangannya cepat sebat. Tiap-tiap ilmu silat
yang dimainkannya licik dan berbahaya. Kalau
saja lawannya tidak hati-hati dan
berpengalaman mungkin sudah sejak tadi tadi
dia mendapat celaka. Tiga puluh jurus
berlalu. Meski berada di atas angin
Ranablambang masih belum berhasil untuk
merobohkan lawannya. Untuk mempercepat
maksudnya mempecundangi lawan pada jurus
ketigapuluh-dua Pangeran ini mengeluarkan
Tombak Trisula. Dengah keris di tangan kiri
dan tombak Trisula di tangan kanan dia
melanjutkan menggempur si pemuda.
"Ha . . . ha … ! Senjata curian yang hendak
kau andalkan Pangeran! Sungguh keterlaluan!"
ejek pemuda rambut gondrong. Sambil berkelit
dijangkaunya golok besar milik Pandemang.
Dengan satu gerakan yang sebat, golok itu
disapukannya terdepan. Ranablambang
mengelak cepat dan dari samping
mengirimkan satu tusukan keras dengan
Tombak Trisula. Tapi dia kaget karena
lawannya tak ada lagi di tempat semula.
Dalam kebingungan begitu rupa satu benda
keras menghantam kepalanya sebelah
belakang. Sang Pangeran mengeluh pendek.
Pemandangan mandangan berbinar-binar.
Tanah yang dipijaknya, laksana amblas dan
sesaat kemudian dia tergelimpang pingsan
menyusul Pandemang. Pemuda berambut
gondrong tertawa perlahan. Diambilnya
Tombak Trisula dari genggaman
Ranablambang; lalu diselipkannya di
pinggang di balik bajunya. *** Para pengawal
di pintu gerbang Kotaraja sebelah timur
terkejut dan juga heran sewaktu menyaksikan
seorang pemuda asing dengan menunggangi
kuda membawa dua sosok tubuh yang
diletakkan di atas punggung seekor kuda
gandengan. Kejut serta keheranan mereka
bertambah lagi bilamana mengenali bahwa
dua orang yang ada di punggung kuda
gandengan itu adalah Pangeran
Ranablambang dan pembantunya yang
bernama Pandemang.
"Bukalah pintu gerbang!", kata si pemuda.
Di saat itu selusin pengawal sudah
mengurung pemuda ini, bersiap-siap untuk
menangkapnya.
"Turun dari kuda dan serahkan dirimu lekas!"
kata pemimpin pengawal.
Si pemuda memaki dalam hati.
"Para pengawal! Kalian tidak tahu apa-apa!
Karena itu jangan banyak bacot! Lekas buka
pintu gerbang! Aku harus menghadap Mapatih
Jayengrono selekasnya!"
"Katakan dulu siapa kau! Kotaraja berada
dalam keadaan darurat! Tidak sembarang
orang boleh masuk! Apa lagi kau datang
membawa Pangeran Ranablambang beserta
pembantunya dalam keadaan begini rupa!"
"Bicaramu keren amat, sobat!" ujar si pemuda
rambut gondrong. "Sekali kuadukan pada
Mapatih Jayengrono pasti kau bakal
mendapat hukuman!"
"Tak perlu mengancam! Lekas serahkan
dirimu!"
"Kalian mau buka pintu gerbang ini atau
tidak!" bentak si pemuda kesal.
"Sompret! Berani membentak!" damprat
kepaIa pengawal lalu melompat untuk
menyentakkan kaki pemuda itu. Namun
sebelum maksudnya kesampaian si pemuda
telah lebih dulu menghantamkan tumitnya ke
dada kepala prajurit itu hingga tubuhnya
mencelat mental dan jatuh duduk di tanah!
Melihat itu sepuluh prajurit pengawal segera
menghunus pedang masing-masing dan
mengeroyok si pemuda sementara seorang
prajurit pengawal lainnya menyelinap masuk
ke Kotaraja guna melaporkan kejadian itu
pada atasannya.
Ketika lima orang hulubalang sampai ke
tempat itu, mereka amat terkejut menyaksikan
bagaimana sepuluh prajurit pengawal
berhamparan di depan pintu gerbang. Ada
yang merintih kesakitan, ada yang
menggeletak pingsan sedang pemuda rambut
gondrong masih tetap berada di punggung
kuda dengan senyum-senyum kecil seolah-
olah tak ada terjadi apa-apa di situ!
"Orang gendeng!" bentak salah seorang
hulubalang. Diikuti oleh orang kawannya dia
segera mencabut pedangnya membabat ke
depan! Lima senjata maut berkelebat kencang!
"Tahan!" terdengar satu bentakan memerintah
keras.
Lima hulubalang kerajaan menghentikan
gerakan mereka. Yang datang adalah seorang
lakilaki yang sudah berumur tapi masih
kelihatan gagah. Melihat orang ini, pemuda
rambut gondrong segera melompat turun dari
atas kudanya dan menjura hormat seraya
berkata:
"Mapatih Jayengrono… aku yang rendah
datang untuk menepati janji yang kutulis
malam tadi."
Mula-mula Jayengrono keheran-heranan atas
ucapan pemuda yang tak dikenal itu. Namun
bila dia ingat apa yang dialaminya semalam,
segera dia sadar.
"Apakah kau Pendekar 212 …?" sang patih
bertanya.
"Betul, Mapatih," jawab si pemuda yang
ternyata adalah Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 Wiro Sableng.
Jayengrono memandang berkeliling pada para
hulubalang dan pengawal-pengawal pintu
gerbang yang mulai siuman. "Kalian ceroboh
semua! Tidak mengenali siapa adanya
pemuda ini!
Dialah yang menyelamatkan Pajang! Yang
datang untuk mengembalikan Tombak Trisula
yang telah dicuri itu!"
Tentu saja semua prajurit dan hulubalang
yang ada di situ menjadi kaget bukan main.
Mana mereka menyangka kalau, si pemuda
berambut gondrong bertampang tolol itu
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang
selama ini sangat terkenal dalam dunia
persilatan. Dengan cepat mereka membuka
pintu gerbang Kotaraja lebar-lebar.
Jayengrono membawa Wiro Sableng ke
gedung Kepatihan. Begitu duduk berhadap-
hadapan Jayengrono segera bertanya.
"Pendekar, apakah kau berhasil mendapatkan
kembali Tombak Trisula?"
Wiro Sableng mengangguk. Dari balik baju
putihnya dikeluarkannya Tombak Trisula.
Jayengrono menerima senjata itu. Setelah
menelitinya sebentar, berserulah Mapatih
Pajang itu.
"Ini Tombak Trisula palsu!"
Wiro Sableng terkejut dan tersentak dari
kursinya.
"Bagaimana Mapatih tahu …?" tanya Pendekar
212.
"Sepintas lalu memang kelihatan seperti yang
asli," kata Jayengrono. "Tapi jika diperhatikan
akan kentara sinarnya redup dan buatannya
kasar! Kalau kau tak percaya lihat aku
buktikan!"
Jayengrono mengambil sebilah pedang
pajangan yang tergantung di dinding ruangan
itu. Dengan pedang itu kemudian ditetaknya
Tombak Trisula! Tombak tersebut langsung
terpotong dua!
"Lihat!" kata Jayengrono pula. "Pedang
mustika milikkupun tak mungkin bisa
memapas Tombak Trisula. Ini hanya sebilah
pedang biasa sanggup memotongnya jadi
dua!"
"Kalau begitu aku telah tertipu!" kata Wiro
Sableng sambil menggaruk-garuk kepalanya
yang berambut gondrong. Dan di dalam hati
pemuda ini memaki setengah mati.
"Aku tak salahkan kau, Pendekar 212." berkata
Mapatih Jayengrono, "sebelumnya kau tak
pernah melihat Tombak Trisula yang asli . . . .
". Setelah saling berdiam diri beberapa
lamanya bertanyalah Jayengrono. "Apa yang
harus kita lakukan sekarang?"
"Sebaiknya bawa masuk Ranablambang dan
pembantunya. Kita bisa tanyai mereka,"
menganjurkan Wiro.
Jayengrono menyetujui anjuran itu. Lalu
kedua orang tersebutpun di bawa masuk ke
ruangan itu tanpa dilepaskan totokan di tubuh
masing-masing.
"Pangeran Ranablambang," kata Mapatih
Jayeiigrono yang masih mau menyebut
"pangeran" terhadap pengkhianat itu, "karena
kedokmu sudah terbuka tak ada gunanya. kau
bersembunyisembunyi lagi. Jawablah setiap
pertanyaanku dengan jujur. Di mana Tombak
Trisula yang asli kau sembunyikan?!"
"Apa?!"
"Di mana Tombak Trisula yang asli kau
sembunyikan?" mengulang Jayengrono.
Ranablambang yang bermuka kecil tekung itu
memandang tepat-tepat pada Jayengrono,
lalu pada potongan-potongan tombak yang
menggeletak di lantai ruangan dan akhirnya
berkata, "Aku tidak mengerti maksudmu".
"Kau lihat potongan senjata itu? Bentuknya
persis seperti Tombak Trisula tapi adalah
palsu!"
"Palsu atau tidak itu bukan urusanku,
Mapatih!" kata Ranablambang pula.
"Kau telah menyuruh Dewa Maling Baju Hitam
untuk mencuri senjata tumbal kerajaan itu.
Ketika kau kutangkap tombak tersebut ada
padamu dan temyata palsu. Kau atau si
pencurikah yang telah menukarnya dengan
yang palsu?" yang berkata ini adalah Wiro
Sableng.
"Orang gendeng, aku tidak ada urusan
denganmu! Aku tidak sudi menjawab
pertanyaan orang gila!"
Wiro Sableng tertawa perlahan dan menjawab.
"Bagaimanapun gilanya diriku, tapi aku tidak
segilamu, Ranablambang. Seluruh Pajang
tahu kalau kau cuma anak seorang gundik.
Tapi mengapa menyebut diri sebagai
pangeran. Dan lebih dari itu berhasrat hendak
jadi raja pula! Mana yang lebih gila, aku atau
kau?!"
Merahlah muka Ranablambang mendengar
ucapan itu.
"Lekas beritahu di mana Tombak Trisula yang
asli!" sentak Jayengrono.
"Aku tidak tahu!"
"Jangan berdalih, Pangeran!"
"Kalau dia tak mau menjawab secara baik-
baik, aku ada cara yang paling bagus untuk
membuatnya bicara, Mapatih," kata Wiro pula.
"Mapatih," membuka suara Pandemang.
"Pangeran Ranablambang tidak berdusta. Dia
betulbetul tidak tahu apa yang kau
maksudkan dengan Tombak Trisula asli dan
yang palsu".
"Lantas apa yang kau ketahui, orang gagah?"
tanya Wiro Sableng.
"Bangsat rendah, kelak aku akan memenggal
batang lehermu!", kata Pandemang mendesis.
"Sebelum kau memenggal lehernya, kau musti
selamatkan dulu kau punya batang leher
sendiri! Ayo katakan apa yang kau ketahui!"
bentak Jayengrono.
"Aku tak mau bicara!" jawab Pandemang.
"Baik, tak apa", kata sang patih pula.
Dipanggilnya beberapa orang hulubalang lalu
di suruhnya jebloskan kedua orang itu ke
dalam penjara.
"Aku mempunyai dugaan, Mapatih", kata Wiro
Sableng begitu dia tinggal berdua dengan
Jayengrono.
"Dugaan apa?"
"Mungkin sekali Dewa Maling Baju Hitamlah
yang punya pekerjaan. Dicurinya Tombak
Trisula yang asli lalu kepada Ranablambang
diserahkannya yang palsu . . . .".
"Dugaanmu bukan mustahil," ujar Mapatih
Jayengrono. "Bisakah kau membantuku
kembali untuk mendapatkan Tombak Trisula
yang asli itu?".
Sebagai jawaban Wiro Sableng berdiri lalu
berkata, "Akan aku usahakan, Mapatih."
"Usahakanlah sebelum Sri Baginda kembali
dari daerah. Kalau tidak aku bisa berabe!"
"Jangan kawatir Mapatih, mudah-mudahan
berhasil." kata Wiro Sableng. Meskipun
ruangan itu mempunyai pintu untuk keluar
masuk tapi pemuda ini dengan seenaknya
memilih jendela untuk jalan lewat
meninggalkan ruangan tersebut. ***
SEHABIS meninggalkan kuil tua di lembah liar
itu, Dewa Maling Baju Hitam tak hentinya
merasa geli dalam hati akan kebodohan
pangeran Ranablambang yang telah kena
ditipunya. Di samping ahli mencuri, Dewa
Maling adalah seorang licik yang teramat
jahat hatinya. Begitu Tombak Trisula berada
di tangannya segera dia pergi ke seorang
tukang tempa dan disuruhnya membuat
sebuah tombak yang bentuknya persis seperti
Tombak Trisula yang asli. Kemudian Tombak
Trisula yang palsu itulah yang diserahkannya
pada Ranablambang.
"Dasar tolol!", kata Dewa Maling dalam hati,
"kini aku punya kesempatan untuk jadi Raja
Pajang! Jadi Raja Pajang! Jadi Raja, bukan
main!".
Saking gembira dan geli akan ketololan
Ranablambang di puncak sebuah bukit Dewa
Maling tertawa gelak-gelak seorang diri.
"Orang gila dari manakah yang tertawa
disiang bolong begini rupa!" satu suara tinggi
membentak. Dua sosok bayangan bekelebat!
Dewa Maling Baju Hitam terkejut,
menghentikan tawanya dan memandang
berkeliling. Berubahlah paras Dewa Maling
Baju Hitam sewaktu melihat dua orang gadis
berjubah kuning berdiri dikiri kanannya. Siapa
yang tak kenal dengan Sepasang Iblis Betina
yang berparas cantik tapi berhati lebih kejam
dari iblis?!
Untuk menghilangkan rasa terkejut dan
kegentaran hatinya Dewa Maling buru-buru
menjura hormat dan berkata.
"Ah, Sepasang Iblis Betina kiranya. Harap
dimaafkan kalau suara tertawaku mengganggu
ketenteraman kalian. Tapi hari ini aku benar-
benar gembira…"
"Apa yang menyebabkan kau gembira?" tanya
Nilamaharani.
"Anu . . . . hem …. aku menemukan sebuah
kantung berisi perhiasan", jawab Dewa Maling
dan sesudah itu laki-laki ini memaki
ketololannya dalam hati. Mengapa dia harus
menjawab begitu rupa?
Bukankah seribu jawaban lainnya bisa
diberikannya. Hatinya tercekat sewaktu
Nilamaharani bertanya lagi. "Mana coba
kulihat kantung itu!"
Dengan masih memaki dalam hati Dewa
Maling mengeluarkan kantung yang
dimaksudkannya lalu diserahkannya pada
Nilamaharani. Si gadis memeriksa isi kantung
itu. Ternyata memang isinya perhiasan.
"Nasibmu memang beruntung, Dewa Maling.
Namun sayang benda ini bukan rejekimu.
Iblis-iblis di neraka telah menentukan agar
perhiasan ini diserahkan padaku!".
Berubahlah paras Dewa Maling.
"Ah, rupanya memang demikian" kata Dewa
Maling, "tapi lebih cocok lagi kalau perhiasan
itu kita bagi dua saja …"
"Tutup mulut licikmu!" Nilamahadewi
menukas. "Sekarang ayo lekas serahkan
Tombak Trisula yang asli kepadaku!"
Dewa Maling Baju Hitam laksana disengat
kalajengking. Dia undur beberapa langkah lalu
tertawa.
"Kau bicara apakah, Iblis Betina?"
Nilamahadewi balas tertawa tapi penuh
kesinisan. Dan gadis ini kemudian
membentak. "Kau jangan berpura-pura pilon!
Jangan berlagak tidak tahu! Ayo lekas
serahkan Tombak Trisula itu!" Nilamahadewi
mengulurkan tangan kanannya.
"Tombak Trisula? Tombak Trisula apa …? Aku
betul-betul tidak mengerti!" kata Dewa Maling
masih berpura-pura sedang hatinya tambah
tidak enak. Naga-naganya bahaya
perselisihan tak mungkin lagi dihindarkan.
Walau bagaimanapun dia tak bakal
menyerahkan Tombak Trisula tersebut. Yang
membuat dia heran ialah bagaimana Iblis
berbaju kuning ini mengetahui bahwa Tombak
Trisula tumbal Kerajaan yang asli ada
padanya!
Nilamahadewi mendengus dan pandangan
matanya berubah angker.
"Tombak Trisula yang kau curi dari Istana
Pajang! Ayo, kau masih mau dusta?!"
"Oh … sungguh telingamu tajam sekali,
sungguh matamu terang sekali!" sahut Dewa
Maling pula sambil memainkan senyum. "Jika
tombak tersebut yang kau maksudkan, sayang
telah kuserahkan pada Pangeran
Ranablambang karena dialah yang menyuruh
aku untuk mencurinya."
"Dan sebagai upahnya kau dihadiahi perhiasa
dalam kantong tadi bukan? Yang kau katakan
kau temui di tengah jalan?!" ujar
Nilamaharani.
Nilamahadewi menimpali. "Terhadap lain
orang kau boleh bicara dusta! Tapi terhadap
kami awas!"
"Sungguh mati Tombak Trisula sudah
kuserahkan pada Pangeran Ranablambang.
Pembantunya yang bernama Pandemang
menyaksikan sendiri hal itu", kata Dewa
Maling masih mempertahankan kedustaannya
sedapat-dapatnya.
Nilamahadewi tertawa tinggi.
"Memang… memang telah kau serahkan pada
si Ranablambang, tapi bukan tombak Trisula
yang asli, melainkan yang palsu!".
Berobahlah paras Dewa Maling Baju Hitam.
Tanpa membuang tempo lagi dia berkata,
"Maafkan aku Sepasang Iblis Betina. Karena
masih ada lain urusan aku mohon diri!"
Habis berkata begitu Dewa Maling Baju Hitam
cepat-cepat hendak berlalu. Tapi…
"Eeee … ee… ee! Mau ke mana Dewa Maling?!
Apa kau tidak punya telinga? Mana Tombak
Trisula itu?!" tanya Nilamahadewi dan cepat
menghadang jalan Dewa Maling.
"Maaf Iblis Betina, aku tak bisa bicara
panjang lebar lagi. Jika kau inginkan Tombak
Trisula, mintalah langsung pada Pangeran
Ranablambang."
"Kurang ajar! Masih berani mempermainkan
aku!" teriak Nilamahadewi marah. Dia
menerjang ke depan seraya mendorongkan
telapak tangan kirinya. Serangkum angin
keras menyambar ke dada Dewa Maling Baju
Hitam. Yang diserang cepat berkelit,
menjatuhkan diri lalu berguling aneh di tanah
dan sesaat kemudian dia sudah berada lima
belas tombak jauhnya dari kedua dara berbaju
kuning itu!
"Caramu lari boleh juga! Tapi jangan harap
bisa kabur mentah-mentah dari hadapanku!"
kertak Nilamahadewi. Dengan mempergunakan
ilmu lompatan yang disebut "katak sakti
melompati gunung", tubuhnya laksana terbang
di udara dan sesaat kemudian sudah
menghadang di hadapan Dewa Maling Baju
Hitam.
Kaget Dewa Maling Baju Hitam bukan alang
kepalang. Tahu bahwa pertempuran tak dapat
dihindar dan untuk laripun tak mungkin,
begitu berhadap-hadapan Dewa Maling segera
mengirimkan satu tendangan ke uluhati
Nilamahadewi. Serangan ini dengan mudah
bisa dikelit oleh Nilamahadewi namun dia
terperdaya. Tendangan yang dilancarkan
lawan hanyalah tipuan belaka karena di saat
dia bergerak mengelak, satu jotosan keras dari
samping kiri hampir saja meremukkan batok
kepalanya kalau dari jurusan lain kakaknya
tidak datang membantu!
"Dasar iblis! Beraninya main keroyok!" bentak
Dewa Maling marah dan penasaran.
"Kau berani memaki, bagus! Kupuntir
lehermu!" teriak Nilamaharani.
"Majulah kalian berdua! Aku tidak takut!"
jawab Dewa Maling Baju Hitam. Baru saja dia
berkata begitu selarik sinar berkilauan
menyambar membuat kedua lawannya
tersentak kaget dan mundur!
Temyata Dewa Maling Baju Hitam telah
mengeluarkan Tombak Trisula dan dengan
senjata itu menyerang kedua lawannya.
Karena Tombak Trijula adalah senjata sakti
yang tak bisa dibuat main maka
Nilamaharani dan adiknya harus berlaku hati-
hati. Masih untung tombak mustika itu berada
di tangah lawan seperti Dewa Maling, kalau di
tangan seorang lawan yang jauh lebih tinggi
kelihayannya pasti mereka akan mengalami
kesulitan. Menghadapi Dewa Malingpun saat
itu keduanya tak mau bertindak gegabah.
Tombak Trisula di tangan Dewa Maling
bersiut-siut laksana hujan mencurah.
Sepasang Iblis Betina bergerak gesit. Hanya
bayangan warna baju mereka yang kuning kini
yang kelihatan berkelebat kian kemari. Dewa
Maling mempercepat putaran serahgannya.
Dia tahu dirinya berada di atas angin dan
kedua lawan tak berani maju mendekatinya.
Enam jurus berlalu.
Tiba-tiba terdengar suara dua pekik yang
keras dan menegakkan bulu roma. Di saat itu
pula bayangan-bayangan kuning lenyap dari
hadapan Dewa Maling. Sepasang Iblis Betina
laksana gaib. Dewa Mating berlaku cerdik. Dia
tak mau menghentikan putaran tombak yang
sekaligus melindungi tubuhnya. Sambil terus
berbuat begitu sepasang matanya berputar
memandang berkeliling dengan tajam.
Sebelum dia berhasil mengetahui di mana
kedua lawannya berada mendadak setiup
angin dingin berhembus keras dari samping
kiri.
Dewa Maling terkejut. Tombak Trisula hampir
saja terlepas dari tangan kanannya. Namun
dia selamat dari pukulan "es iblis" yang amat
berbahaya yang telah dilepaskan oleh
Nilamaharani dari atas cabang pohon di
sebelah kiri sana. Sebenarnya tombak mustika
itulah yang telah menyelamatkan Dewa
Maling. Kalau hanya mengandalkan
kekuatannya sendiri mungkin dia sudah
mendapat celaka saat itu.
Baru terlepas dari bahaya maut itu, Dewa
Maling dibikin kaget lagi oleh kiblatan sinar
kuning yang datang dari samping kanan.
Sekali lagi Tombak Trisula dibabatkannya.
Meskipun kali ini untuk kedua kalinya dia
berhasil menyelamatkan diri namun Dewa
Maling menjadi gugup sewaktu dari depan
dan dari belakang kembali setiup angin dingin
luar biasa menyambar dan dari depan selarik
sinar kuning menderu. Hanya ada dua jalan
untukc menyelamatkan diri dari dua serangan
ganas meminta jiwa itu.
Pertama memutar Tombak Trisula. Namun ini
masih memberi kesempatan salah satu
serangan akan melanda tubuhnya Dewa
Maling yaitu bila gerakannya menangkis kalah
cepat dengan perbawa dua serangan tersebut.
Cara kedua ialah dengan melompat ke atas!
Dan cara inilab memang yang paling baik.
Tanpa membuang tempo lagi Dewa Maling
menjejakkan kedua kakinya. Sambil memutar
Tombak Trisula di sekeliling tubuhnya, Dewa
Maling melesat ke udara setinggi tujuh
tombak.
"Buk"!
Satu pukulan keras menghantam bahu kanan
Dewa Maling. Tulang selangkanya patah
remuk. Jerit Dewa Maling setinggi langit.
Ketika dia terguling di tanah dan bangun
dengan tertatih-tatih baru disadarinya bahwa
Tombak Trisula tak ada lagi dalam
genggaman tangan kanannya!. Dia
memandang ke depan. Senjata mustika itu
kini dilihatnya berada di tangan Nilamaharani
yang berdiri dengan bertolak pinggang dan
menyunggingkan senyum mengejek!
Dewa Maling menggerutu setengah mati! Pada
waktu dia melompat ke udara tadi.
Nilamaharani yang berada di belakangnya
tanpa diperhitungkan lagi oleh Dewa Maling,
telah menyusupkan satu pukulan tapi tangan
yang keras dan sekaligus berhasil merampas
Tombak Trisula dari tangan Dewa Maling.
"Manusia-manusia haram jadah," maki Dewa
Maling secara menggerakkan tangan
mengeluarkan senjatanya yakni sebuah suling
berwarna hijau, dan mendekatkannya ke bibir.
Sebelum Dewa Maling meniup senjata itu,
Nilamaharani telah menyerbu dengan Tombak
Trisula!
"Keparat!", maki Dewa Maling. Dia terpaksa
melompat jauh dan sejak detik itu tak punya
kesempatan lagi untuk mempergunakan suling
hijaunya karena setiap saat dia dibikin sibuk
oleh serangan Tombak Trisula yang menderu
ditambah pula dengan pukulan-pukulan
tangan kosong Nilamahadewi yang ikut bantu
kakaknya!
"Kalau aku bertahan terus, lama-lama aku
bisa mampus percuma di sini," membatin
Dewa Maling Baju Hitam.
Sambil mengelakkan satu tusukan tombak
yang dilancarkan Nilamaharani, dengan
gerakan yang tidak kelihatan oleh kedua
lawannya, Dewa Maling mengambil sebuah
benda sebesar tutup botol berwarna hitam.
"Betina-betina edan!" teriak Dewa Maling Baju
Hitam kemudian. "Jika kalian benar-benar
lihay, tangkislah senjata rahasiaku ini!"
Lalu dengan tangan kirinya Dewa Maling Baju
Hitam melemparkan benda tersebut.
Nilamaharani juga menyangka bahwa benda
hitam itu betul-betul satu senjata rahasia, tak
ayal lagi segera menyapu dengan Tombak
Trisula. Begitu benda hitam dan Tombak
risula beradu, terdengar suara letupan dan
asap hitam yang amat tebal bertebar dengan
cepatnya di seluruh tempat, menghalangi
pemandangan mata yang bagaimanapun
tajamnya.
"Kurang ajar! Kita tertipu!" seru Nilamaharani.
Dan betul saja. Ketika asap hitam lenyap,
Dewa Maling Baju Hitampun tak tampak lagi
mata hidungnya di situ! ***
SETELAH berhasil menyelamatkan diri dari
kematian di tangan Sepasang Iblis Betina dan
mengobati lukanya, dalam hati Dewa Maling
Baju Hitam timbullah dendam kesumat untuk
menuntut balas. Di samping itu dia bertekat
bulat untuk mendapatkan Tombak Trisula
kembali. Namun disadarinya bahwa kedua hal
itu tak mungkin terlaksana kalau hanya
dengan mengandalkan dirinya sendiri. Untuk
itu Dewa Maling Baju Hitam segera menemui
beberapa orang kawan satu alirannya. Maka
sewaktu hari menjelang malam, bersama
orang-orang itu dia berunding di satu pondok,
mengatur rencana batas dendam dan
merampas Tombak Trisula. Mereka berjumlah
empat orang, termasuk Dewa Maling sendiri.
Di samping kanan Dewa Maling duduk seorang
laki-laki bertubuh kecil pendek atau lebih
tepat kalau di katakan katai. Si katai ini
berkepala botak licin berkilat berlawanan
dengan kepalanya yang licin plontos itu,
mukanya penuh ditumbuhi berewok atau
cambang bawuk yang meranggas liar karena
tak pernah dicukur. Siapakah adanya pemuda
ini?
Dia adalah Warok Kate, seorang pemimpin
rampok jahat yang bersarang di hutan
Jatiluwak. Ilmunya tinggi karena dulu dia
adalah seorang murid pertapa sakti yang
kemudian menyeleweng jadi orang jahat.
(Mengenai Warok Kare ini bacalah jilid ke 1
cersil : Pedang Sakti Keris Ular Mas; karangan
Bastian)
Orang kedua yang duduk di sebelah kiri Dewa
Maling Baju Hitam ialah seorang laki-laki
yang cuma punya satu mata. Matanya yang
sebelah kanan hanya merupakan rongga
hitam yang mengerikan. Seperti Warok Kare,
diapun memelihara berewok yang teramat
lebat. Tampangnya bukan saja seram tapi
juga bengis kejam. Dia bernama Baraka Seta,
yang mendapat julukan Buaya Mata Satu Dari
Kali Progo karena bersama beberapa anak
buahnya dia sejak lama menjadi buaya sungai
yang ditakuti. Siapa atau perahu mana saja
yang melewati Kali Progo, pastilah, akan
dirampok dan para penumpangnya dibunuh
dengan semena-mena sekalipun mereka
menyerahkan barang-barang secara sukarela.
Orang ketiga duduk di depan Maling Baju
Hitam. Tubuhnya kurus tinggi, wajahnya
senantiasa pucat macam orang mau, mati
besok sedang sepasang matanya selalu saja
berair. Dia mengenakan jubah ,' ungu gelap.
Namun tak satu orangpun yang tahu. Dia
dikenal dengan nama gelaran yaitu Setan
Ungu Muka Pucat. Manusia ini bukan bangsa
maling atau perampok ataupun buaya air.
Namun dia merupakan seorang tokoh
golongan hitam yang banyak hubungan rapat
dengan orang-orang jahat.
"Nah, kalian sudah tahu jelas siapa musuh
yang bakal kita hadapi. Kedua Iblis Betina itu
memang sakti dan berkepandaian tinggi. Tapi
dengan tipu daya serta jumlah kita yang
berempat ini masakan keduanya bisa
berkutik?!"
"Memang, aku sendiri punya dendam kesumat
terhadap mereka sejak tiga bulan lewat," kata
Buaya Mata Satu Kali Progo.
"Nah, apalagi kalau begitu! Dendam kesumat
apakah?" tanya Dewa Maling pula.
"Suatu hari anak buahku merampok habis-
habisan sebuah perahu dagang di muara Kali
Progo. Tahu-tahu muncullah kedua iblis
haram jadah itu mempreteli hasil rampokan
mereka. Anak buahku melawan. Lima orang
dibunuh mentah-mentah, seorang masih
sanggup melarikan diri dengan jalan
menyelam di sungai secara diam-diam lalu
melaporkan kejadian itu kepadaku. Sewaktu
aku mendatangi muara sungai, bangsat-
bangsat betina itu sudah kabur bersama
barangbarang rampokan!"
Sunyi sejenak, lalu terdengar Warok Kate
bertanya. "Kapan kita akan mendatangi
tempat mereka?"
"Malam ini juga, Warok. Lebih cepat lebih
baik!" jawab Dewa Maling Baju Hitam.
"Sret"!
Warok Kate mencabut golok besar
dipinggangnya. Sambil meraba-raba bagian
yang amat tajam dari senjata itu dan sambil
menyeringai dia berkata,
"Tenanglah, golok! Malam ini kau bakal
minum darah segar! Lalu dengan tertawa
mengekeh disarungkannya senjata tersebut ke
tempatnya kembali.
"Mari kita berangkat", kata Dewa Maling Baju
Hitam seraya berdiri.
Sebelum tiga orang lainnya sempat ikut
berdiri dari ambang pintu terdengar suara
menegur.
"Seorang tamu datang, masakan tuan rumah
hendak pergi begitu saja? Sungguh tak ada
peradatan!"
Dewa Maling Baju Hitam terkejut. Dia saling
pandang seketika dengan ketiga kambratnya
lalu memandang ke pintu dan membentak.
"Siapa di luar?!"
"Seorang tamu".
"Siapa nama dan datang dari mana?" tanya
Dewa Maling lagi. Sambil bertanya begitu
diberikannya isyarat pada Warok Kate untuk
keluar lewat pintu belakang dan menyelidik.
"Aku datang dari Kotaraja." terdengar sahutan
si tamu malam yang masih berada di luar
pondok. "Aku diutus oleh Mapatih Jayengrono
untuk bicara empat mata dengan kau, Dewa
Maling."
Dewa Maling memberi isyarat sekali lagi dan
kini Buaya Mata Satu. Dari Kali Progo serta
Setan Ungu Muka Pucat keluar pula
meninggalkan tempat itu hingga Dewa Maling
tinggal
seorang diri.
"Sebelum kuizinkan kau masuk, sebutkan dulu
kau punya nama!" kata Dewa Maling.
"Amat pentingkah namaku bagimu, Dewa
Maling?!"
"Penting atau tidak aku harus tahu! Lekas
katakan!"
"Namaku Wiro Sableng!"
Bagai dipakukan kedua kakinya ke lantai
pondok demikianlah terkejutnya Dewa Maling
Baju Hitam. Dia memandang berkeliling dan
diam-diam merasa menyesal mengapa telah
menvuruh ketiga kambratnya meninggalkan
pondak hingga dia tinggal sendirian di situ
dalam kekhawatiran yaitu setelah mendengar
orang di luar pondok menyebutkan namanya.
"Pendekar 212 Wiro Sableng!" kata Dewa
Maling pula. "Aku tidak menyangka kalau kau
ada hubungan dengan Mapatih Jayengrono.
Ada perlu apakah kau mencariku?"
"Aku sudah bilang ingin bicara empat mata
dengan kau."
"Kau tak usah kawatir pembicaraan kita akan
didengar orang. Tiga kawanku sudah kusuruh
pergi. Masuklah!" kata Dewa Maling dan
diam-diam dikeluarkannya seruling hijau
yang berisi racun jahat lalu menunggu Wiro
Sableng di depan pintu. Begitu si tamu masuk
akan segera disemburnya dengan racun
tersebut.
Di luar pondok, Warok Kate dan Buaya Mata
Satu Dari Kali Progo serta Setan Ungu Muka
Pucat merasa amat heran. Meskipun dia jelas
mendengar percakapan antara Dewa Maling
dengan tamu yang mengaku bernama Wiro
Sableng itu, tapi ketiganya sama sekali tidak
melihat Pendekar 212 Wiro Sableng!
Sementara itu di dalam pondok Dewa Maling
sudah siap-siap dengan suling hijaunya yang
beracun. Dia tersentak seperti disengat kala
sewaktu tahu-tahu dibelakangnya terdengar
suara orang menegur.
"Ah! Aku tak tahu kalau kau menunggu di
pintu depan. Harap maafkan karena aku
masuk lewat pintu belakang!"
Dewa Maling menoleh. Seorang pemuda
berambut gondrong dilihatnya berdiri
menutupkan pintu sambil menyeringai
kepadanya.
"Kau …. kau Pendekar 212 Wiro Sableng?"
tanya Dewa Maling.
Pemuda itu menggaruk kepalanya lalu
mengangguk.
Selama ini Dewa Maling hanya mendengar
nama dan kehebatan Pendekar 212 Wiro
Sableng dan tak pernah melihat orangnya.
Kini berhadapan dengan pemuda berambut
gondrong dan bertampang seperti orang dogol
itu mana dia mau percaya kalau pemuda
itulah Pendekar 212 Wiro Sableng? Rasa ngeri
yang sebelumnya menyungkup diri Dewa
Maling dengan serta merta lenyap. Dan
suaranyapun kembali garang, beringas.
"Katakan urusanmu!"
Wiro Sableng melangkah beberapa tindak lalu
baru menjawab.
"Urusanku sedikit sekali, Dewa Maling. Hanya
dengan tiga patah kata."
"Bilang!"
"Kembalikan Tombak Trisula!"
Sepasang bola mata Dewa Maling memandang
menyorot pada pemuda di hadapannya.
"Betul kau di utus oleh Jayengrono?" Wiro
mengangguk.
Dewa Maling tertawa gelak-gelak hingga
seluruh pondok bergetar.
"Aneh!" kata Dewa Maling pula. "Seorang
pendekar yang selama ini ditakuti dan
menggetarkan dunia persilatan kiranya hanya
kacung buruk seorang Patih belaka!"
Di ejek demikian rupa Pendekar 212 Wiro
Sableng bukannya marah malah ikut tertawa
gelak-gelak hingga Dewa Maling merasa
bagaimana lantai pondok yang dipijaknya jadi
bergetar keras!
"Kacung atau apapun kau bilang yang penting
lekas serahkan padaku Tombak Trisula!" kata
Wiro kemudian setelah menghentikan
tawanya.
"Aku kawatir senjata itu tidak kau sampaikan
pada sang patih, tapi kau boyong sendiri!"
ujar Dewa Maling pula.
Wiro menyeringai.
"Lekas serahkan apa yang kuminta!"
"Tombak Trisula sudah kuberikan pada
Ranablambang. Patih itu menipumu. Tentu
dia bermaksud mengadu domba kau dengan
aku!"
Wiro tertawa lalu berkata, "Trisula yang kau
berikan pada Pangeran khianat itu adalah
yang palsu! Mana yang asli?"
"Hem, rupanya kau tahu juga mana asli mana
palsu. Dengar sobat, jika aku terangkan yang
sebenarnya padamu apakah kau mau segera
angkat kaki dari sini!"
"Belum tentu."
"Jangan keras kepala! Sepuluh macammu bisa
kuhantam sekaligus!" ancam Dewa Maling.
"Dua puluh macammu sanggup kulabrak
dalam satu jurus!" balas Wiro seenaknya.
"Trisula yang asli telah dirampas oleh
Sepasang Iblis Betina." kata Dewa Maling
dengan geram. "Sekarang angkat kaki dari
hadapanku!"
"Jangan bicara bohong, Dewa Maling!"
memperingatkan Wiro Sableng.
Saat itu pintu belakang dan pintu depan
pondok terbuka. Warok Kate dan Buaya Mata
Satu berdiri di belakang Pendekar 212 sedang
dari pintu depan masuk Setan Ungu Muka
Pucat. Seraya menutupkan pintu Setan Ungu
Muka Pucat berkata:
"Manusia keras kepata macam dia ini
pantasnya diberi hajaran saja, Dewa Maling!"
Wiro Sableng mengeluarkan suara bersiul dan
menggoyangkan kepalanya pada Setan Ungu
Muka Pucat lalu berkata.
"Manusia muka sepucat kain kafan! Untung
kau membuka mulut bicara! Kalau tidak pasti
aku sudah menyangka kau adalah mayat
hidup!" Habis berkata begitu Wiro Sableng
tertawa gelak-gelak.
"Bedebah!" bentak Setan Ungu Muka Pucat
dengan amat marah. Darahnya naik ke kepala
tapi parasnya masih tetap saja pucat pasi.
Dia maju ke muka. Dengan jari-jari tangannya
yang berkuku panjang hendak dicengkeramnya
muka Pendekar 212. Namun gerakannya itu
terhenti oleh seruan Dewa Maling Baju Hitam.
"Jangan kesusu, sobatku! Kalau dia mau
bergabung dengan kita, kita ampunkan
jiwanya."
Dewa Maling berpaling pada Wiro dan
bertanya. "Bagaimana? Kau bersedia ikut
kami ke tempat Sepasang Iblis Betina guna
merampas Tombak Trisula?!"
"Siapa sudi?!" sahut Wiro tegas. "Kau bangsat
manusia licik. Juga kawan-kawanmu yang
tiga ini. Dan aku tetap yakin bahwa senjata
mustika itu ada padamu!"
"Kalau begitu mampuslah bersama
keyakinanmu itu!" bentak satu suara di
belakang Pendekar 212. Satu benda kemudian
terdengar bersiur ke arah pemuda ini. Tanpa
menoleh, dari suara sambaran angin Wiro
Sableng dapat mengetahui bahwa yang
menyerangnya dari belakang adalah Warok
Kate. Dengan cepat pemuda itu bergerak ke
kanan. Bila dirasakannya senjata lawan lewat,
secepat kilat dia berbalik dan menendangkan
kaki kanannya. Maka terdengarlah keluh
kesakitan Warok Kate. Golok besar yang
dipakainya untuk menyerang terlepas mental
sedang lengannya sakit bukan main akibat
tendangan lawan!
"Kalau mau menyerang, dari depan, sobat!
Bukan secara licik seperti itu!"
Kini terbukalah mata semua orang yang ada
di situ. Warok Kate seorang kepala rampok
berilmu tinggi dan luas pengalaman.
Bagaimana dia bisa dihajar hanya dalam satu
gebrakan saja?! Rupanya nama Wiro Sableng
yang digelari Pendekar 212 tidak kosong
belaka!
"Kawan-kawan! Mari kita kermus bangsat
kurang ajar ini!" teriak Dewa Maling Baju
Hitam.
Dengan senjatanya yang berbentuk suling
hijau dia mengirimkan satu tusukan ke dada
Pendekar 212.
Kalau tadi dia merencanakan untuk
menyembur muka pemuda itu dengan racun
senjata tersebut, kini hal itu tak berani
dilakukannya karena khawatir akan
mencelakakan kawan sendiri. Tusukan yang
dilancarkan Dewa Maling adalah satu tusukan
kilat yang berbahaya. Namun tidak demikian
mudah untuk merobohkan murid Eyang Sinto
Gendeng dengan satu kali serangan kilat itu.
Sambil berkelit Wiro menerpa ke arah Setan
Ungu Muka Pucat yang hendak
membokongnya dari samping.
"Buk!"
Dua kepalan sama-sama beradu. Setan Ungu
Muka Pucat terkejut dan menggigit bibir agar
keluh kesakitan tidak keluar dari mulutnya.
Tubuhnya terhuyung dan ketika diperhatikan
ternyata kulit tangannya telah lecet merah!
Melihat ini Setan Ungu Muka Pucat segera
mengeluarkan senjatanya yakni sebuah tasbih
berwarna ungu. Sementara itu Buaya Mata
Satu Dari Kali Progo telah pula mencabut
pedang besar sedang Warok Kate setelah
mengambil senjatanya yang tadi terlepas,
terus pula menyerbu. Dalam pondok yang
sempit itu dengan tangan kosong Pendekar
212 dikeroyok oleh empat tokoh silat
golongan hitam yang berkepandaian tinggi.
Wiro tahu adalah gila kalau dia menghadapi
keempat lawannya dengan terus
mengandalkan tangan kosong. Dalam dua
atau tiga jurus pasti tubuhnya akan kena
"disate" senjata-senjata lawan. Karena dia tak
bisa menggerakkan tangan untuk melepaskan
pukulan pukulan sakti maka tanpa membuang
waktu lagi pemuda ini segera mencabut
Kapak Maut Naga Geni 212 dan balik
pinggangnya. Sinar putihpun berkiblat!
"Awas Kapak Naga Geni 212!" seru Setan
Ungu Muka Pucat memberi ingat
kawankawannya.
Peringatan itu tak ada gunanya karena sesaat
kemudian terdengar suara "cras" yang
dibarengi dengan pekik Baraka Seta atau
Buaya Mata Satu Dari Kali Progo. Tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang, dada mandi
darah. Tersandar ke dinding pondok dan
akhirya roboh ke lantai tanpa. berkutik lagi.
Kekalapan Dewa Maling Baju Hitam melihat
kematian kambratnya membuat dia
melupakan keselamatan kawan-kawannya
yang masih hidup. Dehgan serta merta
ditiupnya sulingnya. Sinar hijau bertabur
manik-manik merah menyembur ke arah
Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro sudah
maklum betapa jahatnya racun dalam sinar
itu, dengan serta merta menyapukan Kapak
Naga Geni 212 ke kiri. Keseluruhan sinar hijau
dan manik-manik merah tersapu ke kiri di
mana Setan Ungu Muka Pucat berada. Tak
ampun lagi begitu racun tersebut tercium
olehnya, Setan Ungu Muka Pucat terbatuk-
batuk beberapa kali. Dari mulutnya terdengar
suara seperti mau muntah. Tubuhnya
tergelimpang. Mukanya berubah biru sedang
dari sela bibir membasahi ludah.
"Dewa Maling! Tindakanmu gegabah sekali!"
teriak Warok Kate yang jadi penasaran
melihat Setan Ungu Muka Pucat yang tak
mungkin diselamatkan lagi jiwanya. "Terpaksa
kubatalkan niat untuk ikut bersamamul Kau
bertempurlah seorang diri melawan pemuda
itu!".
Habis berkata demikian Warok Kate memutar
tubuh dan melabrak pintu pondok, lenyap di
kegelapan malam. Melihat ini lumerlah nyali
Dewa Maling Baju Hitam. Segera pula dia
memutar tubuh. Tapi Wiro Sableng mana mau
memberi kesempatan lari pada yang satu ini.
Sebelum Dewa Maling mencapai pintu, Kapak
Naga Geni 212 telah membabat putus salah
satu kakinya. Dewa Maling terbanting di tanah
dan menjerit-jerit kesakitan.
"Kalau kau terangkan di mana Tombak Trisula
yang asli, aku akan selamatkan jiwamu." kata
Wiro.
"Setan alas! Aku sudah bilang senjata itu
dirampas oleh Sepasang Iblis Betina ….!"
"Di mana tempat kediaman mereka?"
"Tanyalah sama setan neraka!" jawab Dewa
Maling. Racun Kapak Naga Geni 212 masuk
ke jantungnya dan detik itu juga manusia
inipun meregang nyawa! Wiro menggeledah
pakaian Dewa Maling. Tombak Trisula tak
ditemuinya. ***
MENURUT keterangan yang didapat oleh
Pendekar 212 Wiro Sableng, tempat kediaman
Sepasang Iblis Setina terletak di daerah
berbukit-bukit di seberang hutan Bintaran.
Lima hari mengadakan penyelidikan dia
samasekali tak berhasil menemukan sarang
kedua gadis jahat tersebut. Selama ini Wiro
telah mendengar perbuatan-perbuatan kejam
yang pernah dilakukan oleh Sepasang Iblis
Betina. Ada hal yang mengherankannya,
kenapa justru laki-laki muda dan yang
bertampang gagah yang selalu menjadi
korban kedua gadis tersebut?
Hari keenam berlalu. Wiro Sableng
memutuskan bila sampai hari ketujuh dia
masih belum berhasil menemukan kedua
orang yang dicarinya itu, dia akan
meninggalkan tempat tersebut dan mencari
keterangan lain yang lebih jelas mengenai
mereka.
Demikianlah pada pagi hari ketujuh itu Wiro
Sableng baru saja selesai mandi di dalam
Telaga Puteri Intan Dewi yang terletak di
hutan Bintaran sewaktu sepasang kaki putih
mulus dilihatnya melangkah lembut di antara
semak-semak jauh di hadapannya. Pemuda
itu cepat naik ke darat dan mengenakan
pakaiannya, lalu menunggu dengan tenang.
Namun ketenangan hati pendekar muda ini
hanya sejenak. Dadanya berdebar sewaktu
pemilik kaki yang bagus tadi muncul di balik
sepatang pohon besar. Ternyata dia adalah
seorang dara berparas cantik sekali. Wiro
mengingat-ingat beberapa orang gadis cantik
yang pemah ditemuinya. Namun harus
diakuinya bahwa yang satu ini adalah yang
paling cantik yang pernah dilihatnya. Gadis
ini mengenakan pakaian berbentuk jubah
pendek berwama biru tua berbungabunga
kuning. Di tangan kirinya ada sebuah kendi
besar. Dara ini kelihatan terkejut dan
menghentikan langkahnya sewaktu sepasang
matanya yang bersinar beradu pandang
dengan Pendekar 212.
"Di pagi yang segar, bertemu dengan seorang
dara jelita. sungguh indah sekali rasanya
hidup ini …." kata Pendekar 212 laksana
seorang penyair. Dia tersenyum.
"Nona, siapakah kau?" tanya Wiro Sableng
seraya melangkah mendekati si gadis. Sang
gadis undur beberapa tindak. Wiro tertawa.
"Kau datang ke sini tentu untuk mengambil
air. Ambillah. Dan kau tak usah perduli aku
kalau memang tak sudi bicara atau takut
padaku. Aku tak akan mengganggumu."
Pemuda ini membalikkan badan dan
merapikan pakaiannya. Di dengarnya gadis itu
melangkah ke tepi telaga. Lalu didengamya
suara kendi dimasukkan ke dalam air telaga.
Sewaktu Wiro Sableng berpaling, dilihatnya
gadis itu memandang tepat-tepat padanya. Si
gadis membuang muka sewaktu pandangan
mereka saling bentur.
"Kalau dilihat membuang muka. Orang
melengah memperhatikan …" kata Wiro dalam
hati.
Kemudian tanpa acuhkan gadis itu dia
melangkah pergi. Adalah satu hal yang
membuat dia terkejut sewaktu di dengamya
gadis itu berseru. "Saudara, tunggu …. !"
Wiro Sableng berpaling. "Ada apakah?"
"Kau jangan jalan ke arah sana…."
"Eh… Terima kasih atas nasihatmu. Kalau aku
boleh tanya memangnya kenapa ….?" tanya
Wiro.
"Daerah sebelah sana berbahaya." jawab si
gadis seraya bangkit dari tepi telaga karena
kendi yang di isinya telah penuh dengan air.
"Hem, begitu? Banyak binatang liarnya?"
tanya Wiro lagi.
"Bukan." jawab si gadis. "Di situ daerah
kediaman dua gadis jahat."
Wiro Sableng melangkah ke hadapan si gadis.
"Darimana kau tahu?"
"Aku tahu apa yang terjadi di sini dari guruku.
Beliau yang menceritakan".
"Siapa nama gurumu?" tanya Wiro lagi.
"Maaf, tak bisa kuberi tahu."
"Kau tahu betul tempat kediamannya
Sepasang Iblis Betina itu?"
Si gadis menggeleng. "Tapi percayalah…"
katanya. "mereka sering muncul di jurusan
yangtadi hendak kau tempuh."
"Kau dan gurumu tinggal di sekitar sini?"
"Ya. Setiap hari aku ke sini mengambil air."
Wiro Sableng hendak menanyakan sesuatu
tapi tak jadi. Di belakangnya, kira-kira lima
tombak jauhnya, di dengamya suara gemerisik
rantingranting. Dia berpaling dengan cepat
lalu melompat ke jurusan ranting dan semak
belukar. Jelas dilihatnya bayangan kuning
berkelebat. Namun aneh ketika dia sampai di
situ bayangan tersebut lenyap laksana ditelan
bumi. Wiro ingat pada keterangan yang
diterimanya yaitu bahwa Sepasang Iblis
Betina senantiasa mengenakan jubah kuning.
Bukan mustahil bayangan kuning tadi adalah
bayangan salah seorang dari mereka. Dengan
perlahan-lahan dia kembali menemui si gadis.
Di lihatnya gadis ini berdiri menggigil dengan
muka pucat.
"Tak usah kawatir. Tak ada apa-apa…." kata
Wiro menenangkan.
"Waktu aku bicara tadi, sekelebatan kulihat
sesosok tubuh berbaju kuning. Aku takut
sekali, saudara. Pasti dia! Pasti gadis jahat
itu …."
"Kau ditipu pemandanganmu sendiri, nona."
kata Wiro meski hatinya sendiri tidak enak.
"Aku sudah memeriksa tempat sekitar situ.
Tak ada siapa-siapa."
"Aku harus kembali cepat-cepat. Tapi … tapi,
aku takut pulang sendirian."
"Mari kuantar." kata Wiro Sableng pula.
Tanpa banyak cerita lagi kedua orang itu
mening galkan tempat tersebut. Tak selang
berapa lamanya, dihadapan serumpun semak
belukar lebat gadis itu berhenti. Dengan
tangan kanannya disibakkannya semak-semak
tersebut lalu berpaling pada Wiro dan berkata,
"Masuklah!"
"Tempat tinggalmu di sini ….?"
Jawaban si gadis tak terdengar. Wiro
menyetuak di antara semak-semak lalu masuk
ke dalam. Dia melangkah mengikuti gadis itu
menyusuri sebuah lorong batu yang bersih
dan bagus hingga akhirnya sampai di sebuah
ruangan besar yang diterangi oleh sebuah
pelita aneh. Pelita itu merupakan sebuah kayu
hijau yang ditancapkan di dinding ruangan.
Bau harum aneh menyentuh penciuman Wiro
Sableng. Dia memandang berkeliling. Ruangan
itu indah sekali. Si gadis menyuruhnya duduk.
Berada sendirian di dalam ruangan itu Wiro
merasakan ada kelainan dengan aliran
darahnya: Untuk beberapa lamanya
diperhatikannya pelita aneh di dinding yang
dilihatnya semakin redup cahayanya sedang
bau harum semakin mempengaruhi dirinya.
Darahnya menyentak-nyentak dan nafasnya
memburu panas. Semua ini menimbulkan
tanda bahaya dalam hati Wiro: Segera
dikerahkannya tenaga dalam dan ditutupnya
penciumannya.
Selang beberapa ketika si gadis muncul
kembali. Dia mengenakan pakaian yang sama
dengan sebelumnya namun kali ini kelihatan
lebih tipis hingga sinar lampu yang redup
sekalipun sanggup merambas memperlihatkan
sekujur tubuhnya. Sepasang mata Pendekar
212 Wiro Sableng menyipit.
"Gurumu mana…?" tanya Wiro.
"Aku lupa mengatakan sesuatu tentang
guruku," kata gadis itu seraya duduk di
hadapan Pendekar 212.
"Ada apa dengan dirinya?"
"Dia kejam sekali. Sejak aku dewasa tak
pernah boleh berhubungan dengan laki-laki.
Kau tentu tahu bagaimana perasaan seorang
dara yang sudah menginjak alam dewasa
seperti aku ini…."
"Aku mengerti…" sahut Wiro, "tapi mengapa
gurumu bertindak demikian?"
"Aku sendiri tidak tahu . . . . ", jawab gadis itu
sambil menundukkan kepala.
"Gurumu melarang kau berhubungan dengan
laki-laki. Lantas kenapa kau berani membawa
aku ke mari?"
"Beliau sedang bertapa. Lusa baru kembali."
"Hem . . . . ", gumam Wiro. Seorang gadis
cantik, berpakaian tipis menggiurkan dan
menyatakan perasaannya tentang kerinduan
terhadap seorang laki-laki kepada seorang
laki-laki. Aliran darah Wiro Sableng semakin
menggelora panas. Denyut nadinya tambah
cepat. Dan di antara ke semua itu perasaan
adanya bahaya semakin besar. Dia ingat
bagaimana dulu dia tenggelam dalam pelukan
tubuh telanjang seorang dara yang kemudian
dara itu ternyata hendak merenggut jiwanya.
Apakah gadis yang satu inipun hendak
berbuat begitu pula.
"Eh, kau masih belum menerangkan namamu."
Kata Wiro memecah kesunyian di antara
mereka.
"Sebutkan namamu dulu," sahut si gadis
merajuk.
"Aku Wiro."
Si gadis mengangkat kepalanya. "Wiro apa?"
tanyanya.
"Wiro Sableng."
Meski bibir si gadis merekahkan senyum
namun sepasang mata Wiro Sableng tak bisa
ditipu. Pada bola-bola mata gadis di
hadapannya itu ada pantulan sinar aneh saat
itu dan genta tanda bahaya semakin keras
mengumandang di telinganya, menyuruhnya
berhati-hati.
"Namamu sendiri siapa, nona . . . . ?", tanya
Wiro setelah dia mempertenang diri sementara
itu jalan pemafasan hidungnya masih terus
ditutup.
"Nilamaharani . . . . ", kata gadis itu
menyebutkan namanya.
"Nama bagus," puji Wiro. Lalu dilihatnya
gadis itu berdiri dan sinar pelita hijau kembali
merambasi tubuhnya yang bagus.
"Aku sudah menyiapkan minuman di dalam.
Mari masuk ke ruang sana, Wiro," kata
Nilamaharani. Nafasnya menghembus panas
di wajah Pendekar 212.
Wiro berdiri dan mengikuti gadis itu. "Jika ini
adalah satu tipuan nona …." kata murid Eyang
Sinto Gendeng ini dalam hati, "kau bakal
mampus percuma."
Ruangan yang mereka masuki juga diterangi
oleh pelita aneh bersinar redup. Satu-satunya
perabotan yang ada di situ hanyalah sebuah
tempat tidur. Bagian kepala tempat tidur yang
bagus berseperai kuning itu berbentuk meja
panjang di mana terletak dua buah cangkir.
Wiro merasa tidak enak begitu melihat wama
seperai di hadapannya, namun seolah-olah
tak ada apa-apa dengan tenang dia duduk di
tepi terlipat tidur sewaktu Nilamaharani
mempersilahkannya. Meski saat itu perasaan
adanya bahaya semakin keras namun sebegitu
jauh Wiro Sableng belum mengetahui siapa
sebenarnya dara jelita yang bernama
Nilamaharani itu.
"Silahkan minum, Wiro!" kata Nilamaharani
sambil menyerahkan salah satu cangkir ke
tangan Pendekar 212. Kaki kirinya di
pangkukan di atas kaki kanan hingga betis
dan pahanya yang putih tersingkap
menantang.
Wiro Sableng mendekatkan bibir cangkir ke
bibimya. Matanya melihat cairan teh wangi
yang ada dalam cangkir itu berwama aneh,
agak berminyak-minyak di sebelah atasnya.
Dia yakin minuman itu telah dicampur dengan
racun jahat namun selama Kapak Naga Geni
212 masih tersisip di pinggangnya, selama
senjata ampuh penangkal segala macam
racun itu masih ada padanya, dia tidak takut
racun jahat apapun di atas dunia ini.
Tanpa ragu-ragu diteguknya teh itu sampai
habis. Perutnya terasa hangat. Kemudian dari
gagang Kapak Naga Geni 212 dirasakannya
hawa dingin menyelusup ke dalam perutnya.
Untuk beberapa ketika dia merasa seperti
digelitik kemudian segala sesuatunya seperti
biasa kembali. Hawa dari Kapak Naga Geni
212 telah punahkan racun jahat dalam
perutnya!
"Tehmu enak sekali dan terima kasih." kata
Wiro waktu mengembalikan cangkir kepada
Nilamaharani. Untuk beberapa lamanya kedua
orang itu berdiam diri.
"Wiro…"
"Hem…?"
"Dapatkah kau membayangkan bagaimana
jadinya jika satu aliran arus sungai terus
menerus dibendung…?"
"Pertanyaanmu agak aneh," sahut Wiro. "Tapi
memang aku bisa membayangkan".
"Dapat pula kau bayangkan bagaimana
akibatnya?".
"Air akan naik dan lambat laun walau
bagaimanapun kuatnya bendungan pasti akan
meledak pecah."
Nilamaharani menganggukkan kepalanya.
"Itulah yang terjadi selama ini dengan diriku,
Wiro. Guruku melarang aku berhubungan
dengan laki-laki. Melarang … melarang dan
akhirnya sewaktu aku berhadapan dengan
seorang laki-laki, dengan seorang pemuda
macammu ini, aku tidak tahan Wiro. Mungkin
ini adalah ucapan yang tidak pantas tapi aku
benar-benar tidak tahan…"
Wiro Sableng menggeser duduknya sewaktu
Nilamaharani menangis tersedu-sedu.
"Kau seorang yang suka berterus-terang,"
kata Pendekar 212 pula seraya memegang
bahu gadis itu. Betapa lembutnya daging
tubuhnya. "Aku senang pada orang yang
bersifat seperti itu."
"Kau senang pada diriku, Wiro?"
"Ya."
"Oh…"
Nilamaharani menjatuhkan kepalanya kepada
Pendekar 212 dan dirangkulnya pemuda itu
erat-erat. Wiro mengelus punggung gadis ini.
Perlahan-lahan dibukanya jalan
pernafasannya. Terciumlah betapa harumnya
rambut Nilamaharani. Diciumnya kepala gadis
itu. Tiba-tiba dengan kebinalan seorang gadis
yang telah berubah laksana seekor singa
kelaparan, Nilamaharani merangkul tubuh
Wiro dan menggulingkannya di pembaringan.
"Kau harus melakukannya untukku, Wiro. Kau
harus melakukannya untukku…" Sepasang kaki
Nilamaharani melejang-lejang, menggapai di
sela-sela kaki Wiro Sableng. Nafasnya
membara.
Untuk sekejap Wiro Sableng lupa diri.
Nafsunya menggelora. Kedua tangannya
menggerayang di atas tubuh si gadis. Tapi
tiba-tiba laksana disengat ratusan
kalajengking secara sekaligus. Wiro Sableng
tersentek dari atas pembaringan. Matanya
memandang membelalak pada tubuh
Nilamaharani yang terbaring di atas tempat
tidur yang saat itu hampir tiada tertutup lagi!
"Manusia dajal hina dina! Jadi .., jadi kau
adalah seorang laki-laki …?! Gila! Terkutuk!"
teriak Wiro Sableng.
Nilamaharani memekik marah. Dia melompat
hendak menangkap tubuh pemuda itu dengan
kedua tangannya yang terpentang lebar. Tapi
Wiro membantingkannya ke dinding. Untuk
kedua kalinya Nilamaharani memekik dan
yang sekali ini dari kedua tangannya
menyambar dua larik sinar kuning.
"Pukulan es iblis!" seru Wiro. "Jadi kau salah
seorang dari Sepasang Iblis Betina, hah?"
Nilamaharani memekik lagi macam kuda
meringkik. Wiro mengangkat tangan kanannya
dan secepat kilat memukul ke muka. Sinar
putih bertabur dan ruangan itu menggelegar
sewaktu pukulan sinar matahari yang
dilepaskan Wiro berhantaman dengan pukulan
"es iblis" yang dilancarkan Nilamaharani.
"Pendekar 212, takdir sudah menentukan
bahwa riwayatmu berakhir di tempat ini!"
"Manusia banci keparat. Dosamu tujuh kali
lebih besar dari pelacur! Mampuslah!" teriak
Wiro seraya melepaskan pukulan sinar
matahari sekali lagi.
"Wutt"!
Satu sinar yang menyilaukan memapas
pukulan sinar matahari. Satu benda bermata
tiga hampir saja menyambar leher pemuda itu
kalau dia tidak lekas-lekas melompat ke
belakang. Ketika dia memandang ke depan di
samping Nilamaharani yang saat itu sudah
mengenakan pakaian, berdiri seorang gadis
berjubah kuning yang parasnya secantik
Nilamaharani. Dan di tangannya tergenggam
sebuah tombak bermata tiga. Tombak Trisula!
Senjata mustika inilah yang telah memapas
musnah pukulan sinar matahari Wiro tadi!
"Bergundal baju kuning!" bentak Wiro. "Kau
tentunya juga seorang laki-laki seperti dajal
satu ini…"
"Tutup mulut kotormu, bangsat!" teriak si
jubah kuning yang memang adalah
Nilamahadewi. Dia menerjang ke muka seraya
melancarkan satu tusukan dengan Tombak
Trisula. Di lain pihak Nilamaharani menyusul
dengan satu serangan pukulan sakti yang
hebat. Satu teriakan dahsyat keluar dari mulut
Pendekar 212.
Terdengar suara menggaung. Sinar putih
berkiblat dan "trang"! Tombak Trisula di
tangan Nilamahadewi terlepas mental.
"Kakak! Pemuda ini bukan tandingan kita!
Lekas lari lewat jalan rahasia!" seru
Nilamahadewi pada kakaknya. Kedua "gadis"
itu lari ke sudut ruangan dan sama-sama
menekan dua buah tombol rahasia. Dua buah
pintu terbuka dan keduanya segera
menghambur masuk ke pintu itu. Namun
Pendekar 212 lebih cepat lagi. Tubuhnya
laksana terbang. Dari mulutnya keluar suara
suitan nyaring dan Kapak Naga Geni 212
membabat ke muka. Kedua kakak adik itu
menjerit dan tergelimpang di mulut pintu
rahasia. Pinggang masing-masing hampir
putus dilanda Kapak Naga Geni 212. Untuk
seketika mereka masih kelihatan bergerak-
gerak sesudah itu kaku tegang untuk selama-
lamanya.
Pendekar 212 Wiro Sableng membungkuk
mengambil Tombak Trisula yang tercampak di
lantai sementara Kapak Naga Geni sudah
disisipkannya ke balik pakaian putihnya. Dia
melangkah mendekati mayat Nilamahadewi.
Dengan ujung Tombak Trisula
disingkapkannya jubah kuning sebelah bawah
"gadis" itu.
"Edan!" maki Pendekar 212. "Dia juga lakilaki!
Sialan!"
Tanpa menunggu lebih lama lagi Wiro
Sableng keluar meninggalkan tempat itu.
Sepasang Iblis Betina telah menemui ajalnya.
Dan Tombak Trisula harus segera
diserahkannya pada Mapatih Jayengrono di
Istana Pajang.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar