WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya : BASTIAN TITO
EPISODE : RAHASIA LUKISAN TELANJANG
*********
LANGIT terang cerah tiada
berawan. Matahari bersinar megah.
Serombongan burung-burung pipit berarak
dari arah tenggara lalu lenyap di langit
sebelah barat. Seorang pemuda gagah
berjalan lenggang kangkung seenaknya di
satu lamping gunung. Keterikan sinar
matahari tiada diperdulikannya. Bahkan
sambil berjalan itu dia bersiul-siul entah
membawakan lagu apa. Suara siulannya
menggema sepanjang jalan seantero lamping
gunung.
Bila seorang tokoh silat dunia persilatan
mendengar suara siulan yang keras tiada
menentu itu, segera dia akan maklum bahwa
orang yang mengeluarkan siulan itu bukan
lain daripada Wiro Sableng, pemuda gagah
yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212.
Di satu tempat Wiro hentikan langkahnya. Dia
memandang ke bawah. Luar biasa sekali
keindahan alam yang dilihatnya. Pohon-
pohon menghijau di kejauhan. Di utara dua
buah gunung menjulang tinggi laksana
raksasa penjaga negeri. Di barat sebuah
sungai laksana seekor ular besar meliuk-liuk
memantulkan cahaya putih perak karena
ditimpa sinar matahari.
Wiro menyeka peluh yang mencucur di
keningnya dengan ujung sapu tangan putih
penutup kepalanya. Setelah puas menikmati
pemandangan yang indah itu dia melanjutkan
perjalanan kembali dan kali ini dengan
mempergunakan ilmu lari Seribu Kaki
sehingga dalam sekejap saja puluhan tombak
sudah dilewatinya. Dia berharap akan sampai
sesenja-senjanya hari, ke tempat tujuan yaitu
Goa Belerang. Kiai Bangkalan telah
menyuruhnya datang. Orang tua sakti itu
telah menjanjikan akan menurunkan semacam
ilmu pengobatan kepadanya.
Memasuki satu tikungan jalan di dekat kaki
gunung, Wiro memperlambat larinya. Jalan di
tikungan itu sempit sekali. Di sebelah kanan
terdapat jurang batu yang curam terjal serta
luas dan dalam. Seseorang yang jatuh ke
sana jangan harap akan hidup sampai di
dasar jurang. Kalaupun dia hidup, ke luar dari
dasar jurang pasti akan sia-sia!
Dari memperlambat larinya, tiba-tiba Wiro
Sableng berhenti. Tepat di tikungan jalan itu
dilihatnya duduk mencangkung seorang laki-
laki tua berambut putih. Badannya kurus
sekali. Demikian kurusnya hingga keadaannya
tak ubah seperti tengkorak atau jerangkong
hidup!
Yang membuat Wiro Sableng heran ialah apa
yang tengah dikerjakan si orang tua tak
dikenal itu. Sambil duduk mencangkung, orang
tua ini menghadapi sebuah pigura kain putih
yang lebarnya satu meter sedang panjangnya
hampir satu setengah meter. Pigura kain putih
itu disandarkan pada sebuah batu. Di atas
terletak sehelai daun pisang. Di sebuah daun
pisang ini terdapat cairan kental
berkelompok-kelompok beraneka ragam
warnanya.
Si orang tua membetulkan letak pigura kain
putih di hadapannya. Kemudian dengan ujung
jari telunjuk tangan kanan diaduk-aduknya
kelompok-kelompok cairan berwarna di atas
daun pisang. Dengan jari yang berselomotan
cairan berwarna itu, si orang tua mulai
menggurat-gurat di atas kain putih. Demikian
asyiknya sehingga dia tidak mengetahui
agaknya bahwa dia tidak sendirian berada di
situ.
Wiro terus memperhatikan dengan tak
bersuara. Guratan-guratan yang dibuat si
orang tua kelihatannya dilakukan seenaknya
dan asal-asalan saja. Tapi betapa terkejutnya
Pendekar 212. Lewat setengah jam kemudian
di atas kain putih itu, meski belum begitu
jelas, terlihat gambaran seorang perempuan
tengah berbaring di atas tempat tidur dalam
sebuah kamar yang bagus. Ternyata si orang
tua adalah seorang pelukis yang lihai tetapi
juga aneh! Lihai dan aneh karena dia melukis
dengan ujung jari telunjuk, dengan cairan-
cairan berwarna yang diletakkan di atas daun
pisang dan di tempat sepi begitu rupa, di
bawah teriknya sinar matahari!
Agar bisa memperhatikan lebih jelas, tapi juga
untuk tidak mengganggu si orang tua, maka
Wiro Sableng melompat ke satu batu tinggi
dan duduk di situ. Si orang tua berdiri dan
mundur beberapa langkah untuk meneliti
lukisannya.
"Ah… bagus sekali… bagus sekali! Bocah itu
tentu akan senang melihatnya!" Suara orang
tua ini kecil halus seperti perempuan.
Wiro Sableng leletkan lidahnya. Ternyata si
orang tua telah melukis seorang perempuan
telanjang yang berbaring di atas sebuah
tempat tidur dalam kamar yang bagus.
Perempuan itu cantik sekali, rambutnya
panjang menjela ke lantai kamar yang
ditutupi permadani. Tubuhnya yang tiada
tertutup pakaian demikian bagus dan
mulusnya. Mau tak mau berdebar juga hati
Pendekar 212 melihat lukisan itu. Aneh orang
yang demikian tua mempunyai daya cipta
yang merangsang begitu rupa. Dan siapa pula
bocah yang dimaksudnya dalam ucapannya
tadi, yang katanya akan senang melihat
lukisan itu? Seorang bocah hendak melihat
lukisan perempuan telanjang? Betul-betul
keblinger, pikir Wiro. Dalam pada itu siapakah
manusia ini? Sementara itu si orang tua
kelihatan menambah beberapa guratan pada
lukisannya. Wiro Sableng memperhatikan
terus. Si orang tua tengah menuliskan
serangkaian kalimat pada sudut kanan
sebelah bawah lukisannya. Karena jauh Wiro
tak dapat membacanya. Penuh rasa ingin
tahu akan apa yang ditulis si orang tua, Wiro
Sableng hendak melompat turun. Tapi niatnya
dibatalkan karena di kejauhan didengarnya
suara gemeletak roda kereta meningkahi
derap kaki-kaki kuda. Sesaat kemudian
kelihatanlah sebuah kereta putih yang ditarik
oleh dua ekor kuda meluncur ke arah
tikungan. Di bagian depan dan sisi kereta ada
empat penunggang kuda yang berpakaian
keprajuritan. Mendekati tikungan rombongan
itu bergerak perlahan. Si orang tua masih juga
asyik dengan lukisannya. Apakah dia tidak
mendengar suara kedatangan kereta dan
derap kaki-kaki kuda itu? Bahkan ketika
rombongan tersebut berhenti di tikungan, si
orang tua masih saja tidak berpaling. Apakah
dia tuli? Penunggang kuda di sebelah muka
kereta turun dari kudanya. Dia memandang
sejenak pada lukisan yang tersandar di batu
lalu dengan sikap hormat menegur si orang
tua.
"Bapak, kuharap kau sudi ke pinggir sedikit
agar kereta bisa lewat." Orang tua itu
mencelupkan jari telunjuk tangan kanannya ke
cairan berwarna putih di daun pisang lalu
melanjutkan menulis rentetan kalimat di sudut
bawah sebelah kanan lukisan. Prajurit itu
menduga si orang tua tuli. Maka dia
melangkah ke samping dan menegur lagi lebih
keras disertai isyarat-isyarat tangan. Tapi
tetap saja si orang tua tidak mau perduli,
bahkan palingkan kepala sedikitpun tidak!
Dari dalam kereta terdengar suara seseorang.
"Pengawal, ada apakah kereta berhenti?"
"Kita mendapat sedikit rintangan Raden Mas
Cokro," jawab prajurit yang turun dari kuda.
Dari jendela kereta kemudian keluar kepala
seorang laki-laki berparas gagah, berkumis
rapi dan mengenakan belangkon yang bagus.
Begitu sepasang mata laki-taki ini membentur
lukisan di tepi jalan di tikungan itu, maka
tertariklah hatinya. Dengan segera dia turun
dari kereta. Digeleng-gelengkan kepalanya.
"Lukisanmu luar biasa bagusnya, orang tua,"
kata lakilaki ini. Untuk pertama kalinya orang
tua bertubuh jerangkong itu palingkan kepala.
Dia tersenyum sedikit pada laki-laki
berpakaian dan berbelangkon bagus lalu
meneruskan lagi pekerjaannya.
"Orang tua, aku tertarik sekali dengan
lukisanmu ini. Apakah kau sudi menjualnya?"
Meski pekerjaannya belum selesai, tapi
melihat sikap orang demikian jumawa maka si
orang tua hentikan pekerjaannya, menyeka
ujung jarinya lalu berdiri dan tersenyum lagi.
"Terima kasih atas rasa kagummu Raden
Mas. Tapi sayang, lukisan ini bukan untuk
dijual…" Raden Mas Cokro menatap paras
orang tua itu.
"Aku sanggup membayar mahal. Kau tetapkan
saja harganya…" Orang tua itu gosok-
gosokkan kedua telapak tangannya.
"Mohon dimaafkan Raden Mas. Lukisan ini
tidak dijual. Kalau kau sudi, aku bersedia
buatkan yang lain."
"Tapi aku sangat tertarik pada yang satu ini,"
kata Raden Mas Cokro.
"Menyesal sekali…"
"Akan kubeli lima puluh ringgit."
"Maaf Raden Mas…"
"Seratus ringgit!"
"Ah… sungguh penghargaanmu besar sekali.
Namun tak dapat kukabulkan Raden Mas…"
"Kalau begitu biar kubeli dua ratus ringgit!"
Raden Mas Cokro mengeluarkan sebuah
kantong kain dari sakunya sementara keempat
pengawalnya saling pandang dan kerenyitkan
alis keheranan. Meski lukisan itu bagus luar
biasa tapi dua ratus ringgit belul-betul harga
yang gila! Dan bila mereka ingat gaji mereka
yang tak sampai setengah ringgit satu
minggu, menciut hati keempat prajurit itu!
Gilanya pula ditawar semahal itu si orang tua
kurus kering tidak mau menjual lukisannya!
"Ini terimalah." kata Raden Mas Cokro seraya
mengacungkan kantong yang dipegangnya.
Dua ratus uang ringgit di dalam kantong itu
bergemerincingan suaranya. Tapi lagi-lagi si
orang tua gelengkan kepala.
"Walau dibeli seberapa mahalpun, lukisan ini
tak dapat kujual Raden Mas. Mohon
maafmu…" Raden Mas Cokro kelihatan kurang
senang dengan sikap si orang tua. Maka
berkatalah dia,
"Apa dengan harga semahal itu kau tetap tak
mau menjualnya pada Adipati Pamekasan?"
"Ah…" Si orang tua menjura dalam-dalam.
"Tak tahunya aku tengah berhadapan dengan
Adipati Pamekasan," katanya. Dihelanya nafas
panjang lalu sambungnya,
"Benar-benar ini satu kehormatan besar
bagiku Adipati Cokro. Namun benar-benar
pula aku mohon dimaafkan, lukisan ini kubuat
bukan untuk mau dijual. Aku akan buatkan
lukisan lain yang lebih bagus untukmu. Dan
kau tak perlu membayar mahal… Kau pasti
tak akan kecewa Raden Mas…" Tapi Raden
Mas Cokro memang sudah kecewa.
Dibalikkannya tubuhnya lalu melangkah
masuk kembali ke dalam kereta.
"Lain kali kalau ada kesempatan aku akan
temui kau, orang tua. Di mana tempat
tinggalmu?" tanya Raden Mas Cokro lewat
jendela kereta. Si orang tua menghela nafas
lagi. Sambil tersenyum dia menjawab,
"Aku seorang pengembara luntang lantung,
Raden Mas. Aku tak punya tempat kediaman
yang tetap. Bila lukisan yang kubuat untukmu
nanti sudah selesai, aku akan antarkan sendiri
ke Pamekasan…" Raden Mas Cokro betul-betul
kecewa dan juga penasaran. Ditutupkannya
tirai jendela kereta. Lalu diperintahkannya
anak buahnya melanjutkan perjalanan! Si
orang tua kembali duduk mencangkung
melanjutkan pekerjaannya. Di atas batu tinggi
Wiro Sableng tak habis pikir dan garuk-garuk
kepalanya. Dua ratus ringgit! Bukan sedikit!
Harga tawaran yang semahal itu ditolak oleh
si orang tua. Betul-betul manusia ini aneh
sekali! Mendadak Wiro Sableng mendengar
suara kaki yang berlari cepat. Belum lagi
sempat dia berpaling sesosok tubuh tahu-
tahu telah berdiri di samping si orang tua.
Hebat sekali gerakan orang ini. Begitu
terdengar suaranya begitu dia muncul di
depan mata. Karena manusia ini tentunya
memiliki kepandaian tinggi, maka Wiro
Sableng memperhatikan dengan seksama.
Orang ini berbadan sangat gemuk tapi pendek.
Demikian gemuknya hingga dagu dan dadanya
menjadi satu. Manusia tak berleher ini
berambut gondrong yang dikuncir ke atas.
Pakaiannya bagus dan di bagian dada
terdapat sebuah saku besar empat persegi.
Yang tidak sedap dipandang ialah wajahnya.
Mukanya yang berminyak itu bermata lebar
merah, hidung besar, bibir tebal dan tak bisa
mengatup hingga gigi-giginya yang besar
serta kuning kelihatan menjorok ke luar.
"Ha… ha… ha. Ini betul-betul satu lukisan
yang bagus luar biasa!" berkata si gemuk
yang baru datang ini. Bola matanya yang
merah berkilat-kilat meneliti lukisan yang
tersandar di batu. Si orang tua yang tengah
meneruskan pekerjaannya tidak berpaling.
Terus saja dia menuliskan rentetan katakata
pada bagian bawah kanan lukisan itu.
"Orang tua! Lukisan ini harus kau berikan
padaku!" kata si gemuk dengan suara keras
lantang hingga mengumandang di seantero
lamping gunung dan memantul ke dalam
jurang batu. Hebat sekali tenaga dalam
manusia ini! Namun kehebatan ini seperti
tiada terasa dan tiada diperdulikan oleh si
orang tua. Si gemuk pendek melangkah
mendekati orang tua itu. Dia gusar karena
kemunculannya di situ dianggap sepi. Bahkan
apa yang dikatakannya tadi tiada diambil
perhatian oleh si orang tua!
"Orang tua! Apa kau tidak dengar ucapanku
tadi?!" bentak si gemuk. Barulah orang tua itu
berpaling. Sepasang alis matanya yang putih
dan agak jarang naik ke atas. Ketika kedua
alis itu turun maka sekelumit senyum
tersungging di bibirnya.
"Ah, kalau mataku tak salah lihat… bukankah
saat ini aku tengah berhadapan dengan salah
seorang Dua Iblis Dari Selatan?" SI GEMUK
terkesiap karena tiada menyana kalau orang
tua kurus kering itu mengetahui dirinya.
Menurut taksirannya, pastilah si orang tua itu
bukan manusia sembarangan.
"Bagus sekali kau kenali aku!" kata si gemuk.
"Ini membuat aku tak banyak cerewet untuk
meminta lukisan itu padamu!" Si orang tua
tertawa panjang. Siapakah manusia gemuk
itu? Dalam dunia persilatan di daerah selatan
pada masa itu dikenal dua orang sakti
bersaudara yang berkepandaian tinggi. Yang
seorang berbadan kurus kerempeng bermuka
jelek menyeramkan. Dia berjuluk Iblis Kurus.
Yang kedua berbadan gemuk pendek juga
bermuka buruk seram dan bergelar Iblis
Gemuk. Dan Iblis Gemuk inilah yang tengah
berhadapan dengan si orang tua itu! Iblis
Gemuk dan Iblis Kurus keduaduanya lebih
dikenal dengan sebutan Dua Iblis Dari Selatan.
Di mana ada Iblis Kurus biasanya di situ juga
hadir Iblis Gemuk. Entah mengapa sekali ini
cuma seorang yang muncul. Dan dalam dunia
persilatan keduanya adalah tokoh-tokoh
golongan hitam yang berhati jahat sehingga
pantas sekali julukan 'Iblis' itu bagi keduanya!
Di samping berhati jahat, Iblis Gemuk
mempunyai kesukaan mengumpulkan barang-
barang antik seperti senjata-senjata kuno,
patung-patung dan lukisan. Pada waktu dia
melihat lukisan yang dibuat si orang tua
maka hatinyapun tertariklah dan dia musti
mendapatkan lukisan itu. Tentu saja bukan
dengan jalan membeli, tapi menurut caranya
sendiri yaitu kekerasan.
Setelah meneliti paras Iblis Gemuk sebentar,
maka menjawablah si orang tua,
"Lukisan ini tak bisa kuberikan padamu, atau
pada siapapun."
"Setelah tahu siapa aku apakah kau berani
menolak?!" ujar Iblis Gemuk.
"Ah sudahlah pekerjaanku masih belum
selesai. Kuharap kau jangan ganggu aku, Iblis
Gemuk." Si orang tua memutar kepalanya
kembali dan hendak meneruskan
pekerjaannya. Tapi Iblis Gemuk segera
membentak keras.
"Suka atau tidak suka lukisan itu musti kau
serahkan padaku! Kalau tidak kau akan
menyesal orang tua…!" Si orang tua menarik
nafas dalam. Lalu tanpa mengacuhkan Iblis
Gemuk lagi dia hendak meneruskan kembali
pekerjaannya. Marahlah Iblis Gemuk. Dengan
tumit kaki kirinya hendak didorongnya orang
tua itu ke samping. Tapi belum lagi tumit itu
sampai, si orang tua sudah berkelit dan
berdiri. Iblis Gemuk terkejut Meski acuh tak
acuh tapi gerakannya untuk
mengenyampingkan orang tua tadi adalah
salah satu jurus yang dinamakan Menggeser
Bukit yang tidak mudah untuk dikelit. Ini
membuat Iblis Gemuk tambah marah dan
serta merta pukulkan tangan kirinya ke arah
dada orang tua yang kurus kering macam
jerangkong itu!
"Manusia tidak tahu diri!" bentak si orang tua
mulai marah,
"Lekas kau pergi dari sini…!"
"Aku akan pergi tapi sesudahnya
menghadiahkan satu pukulan padamu dan
mendapatkan lukisan itu!" Si orang tua
menggerendeng lalu papasi jotosan lawan
dengan lambaikan tangan kanannya ke muka!
Iblis Gemuk menjadi kaget sewaktu merasakan
bagaimana sambaran angin yang keluar dari
tangan si orang tua membuat bukan saja
pukulannya membelok ke samping tapi
sekaligus membuat tubuhnya terhuyung-
huyung sampai empat lahgkah ke belakang!
"Orang tua badan tengkorak! Cepat terangkan
siapa kau sesungguhnya?!" bentak Iblis
Gemuk. Si orang tua tertawa pendek.
"Tak perlu kau tahu namaku. Lekas tinggalkan
tempat ini sebelum aku betul-betul marah!"
"Manusia jerangkong sialan! Terpaksa tulang-
tulang di badanmu kubikin berantakan!" Habis
berkata begitu Iblis Gemuk segera menyerbu
ke muka dan kirimkan serangan yang ganas.
Dalam tempo yang singkat maka terjadilah
pertempuran yang hebat di tikungan jalan
yang sempit itu. Di samping mereka,
menunggu jurang batu yang luas dan dalam.
Salah saja membuat gerakan atau terpukul
oleh lawan atau terpeleset, tak ampun lagi
pasti akan jatuh ke dalam jurang!
Pertempuran telah berjalan delapan jurus.
Wiro geleng-gelengkan kepala. Tak dinyana si
orang tua yang kurus kering itu memiliki
gerakan yang demikian sebat dan entengnya.
Beberapa kali dia melihat bahwa orang tua ini
mempunyai peluang untuk menjatuhkan
tangan jahat terhadap lawannya, namun tiada
dipergunakan. Nyatalah bahwa orang tua ini
berhati demikian polosnya sehingga
menghadapi lawan yang terangterangan
hendak bermaksud buruk kepadanya, dia
masih belum mau lepaskan tangan keras!
"Iblis Gemuk! Apakah kau masih belum mau
angkat kaki dari sini?!"
"Kunyuk kurus kering! Terima jurus Memukul
Gunung Menentang Bukit ini!" teriak Iblis
Gemuk. Tinju kanannya menderu ke arah
batok kepala lawan sedang kaki kanan
serentak dengan itu menendang ke arah dada!
Belum lagi pukulan dan tendangan itu sampai,
anginnya saja sudah menderu dahsyat! Buukk!
Terdengar menyusul suara keluhan tinggi.
Tubuh Iblis Gemuk terbanting ke belakang,
punggungnya menghantam gundukan batu di
atas mana Wiro Sableng duduk, kemudian
melosong jatuh duduk di tanah. Nafasnya
megapmegap ketika berdiri. Masih untung dia
terbanting ke samping kanan, kalau ke
samping kiri pastilah akan terlempar masuk
jurang dan tamat riwayatnya.
"Masih belum cukup peringatan yang
kuberikan padamu Iblis Gemuk?!" tanya si
orang tua. Iblis Gemuk berkemak kemik.
Mukanya pucat. Nyatalah dia telah menderita
luka di dalam yang cukup parah akibat
pukulan lawan yang tadi menghantam dada
kirinya!
"Bangsat tua! Kau tunggu di sini! Hari ini
juga Dua Iblis Dari Selatan akan menunjukkan
jalan ke akhirat padamu!" Si orang tua
tertawa mengekeh.
"Kau mau panggil kambratmu si Iblis Kurus…?
Silahkan… silahkan! Masa ada tamu yang
bakal datang aku hendak pergi tinggalkan
tempat ini? Pekerjaankupun belum selesai!"
Iblis Gemuk meludah ke tanah lalu berkelebat
tinggalkan tempat itu, sedang si orang tua
seperti tiada terjadi apa-apa kembali
meneruskan pekerjaannya! Di atas batu yang
tinggi Wiro Sableng memutar otaknya
berusaha mengingat-ingat siapa adanya
orang tua yang berkepandaian tinggi itu.
Belum lagi berhasil mendadak entah dari
mana datangnya, tahu-tahu Wiro Sableng
melihat di bawahnya telah berdiri seorang
nenek-nenek berbadan bungkuk berambut
putih yang mukanya buruk sekali. Karena Wiro
sama sekali tiada mendengar kedatangan
perempuan ini nyata sekali dia memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi luar biasa! Setelah
memperhatikan sejenak lukisan yang
tersandar di atas batu maka perempuan tua
renta ini menegur bertanya,
"Orang tua, apakah kau melihat dua orang
kawanku lewat di sini…?" Tidak seperti
biasanya, sekali ini begitu ditegur maka orang
tua itu hentikan pekerjaannya dan berpaling.
Matanya yang sudah dimakan umur itu
meneliti dengan seksama sedang keningnya
berkerenyit.
"Hanya ada seorang yang lewat di sini
barusan," jawab si orang tua.
"Iblis Gemuk, apakah dia yang kau
maksudkan?"
"Bukan!" jawab perempuan tua itu. Dia melirik
pada lukisan yang tersandar di batu.
"Itu kau yang membuatnya?"
"Betul."
"Bagus sekali! Kuharap pada tanggal satu
bulan muka lukisan itu harus kau bawa ke
Gunung Sumpang dan menyerahkannya
padaku! Kau dengar?"
"Tentu saja dengar. Tapi menyesal sobat,
lukisan ini tak bisa kuberikan pada siapa-
siapa!"
"Aku tak perduli!" sentak si perempuan
bongkok.
"Umurmu memang kulihat sudah lanjut! Tapi
tentu kau tak ingin buru-buru mampus!
Karenanya jangan banyak mulut! Lukisan ini
harus kau bawa ke Gunung Sumpang pada
tanggal satu bulan di muka!"
"Tidak mungkin!"
"Kau membantah?!" Orang tua berbadan kurus
gelengkan kepala.
"Jangankan diminta, dibeli pun aku tidak
sudi!"
"Kalau begitu kau ingin cepat-cepat mati!"
"Sobat, Iblis Gemuk meminta lukisan ini. Aku
tidak berikan. Adipati Pamekasan berniat
membelinya dua ratus ringgit, aku tidak jual.
Sekarang kau juga menghendakinya. Tetap
saja aku tak bisa memberikan!"
"Kalau begitu kau berikanlah nyawamu!"
sahut si perempuan tua seraya mundur satu
langkah dan siap-siap untuk kirimkan satu
pukulan.
"Tahan dulu sobat!" ujar si orang tua
berbadan kurus.
"Sesungguhnya ada apakah hingga kau begitu
menginginkan lukisan itu?!"
"Itu kau tak perlu tanya! Aku mau lukisanmu
habis perkara! Ayo, kau mau serahkan apa
tidak?!"
"Lucu! Sungguh lucu!"
"Apa yang lucu?!" sentak si perempuan
bungkuk bermuka keriput.
"Lukisan begini rupa banyak orang yang
menginginkannya, apa itu bukan lucu?!"
"Orang tua, jangan kau banyak cingcong.
Lekas serahkan lukisan itu kalau tidak
nasibmu akan seperti ini!" Habis berkata
begitu perempuan tersebut pukulkan tangan
kirinya ke arah batu di atas mana Wiro
Sableng duduk sembunyi sejak tadi! Byur!
Sekali pukul saja maka hancurlah bagian
dasar batu besar yang tinggi itu. Bagian
atasnya laksana pohon tumbang, rubuh ke
bawah dan menggelinding ke dalam jurang
dengan suara menggemuruh. Wiro sendiri
begitu merasa bagian bawah batu hancur
segera melesat dan berpindah ke puncak batu
yang lain! Si orang tua tarik nafas panjang-
panjang dan gelenggelengkan kepala.
"Pukulan yang bagus luar biasa! Pukulan
yang hebat!" katanya memuji. Kemudian
dipandanginya paras perempuan di
hadapannya.
"Sungguh mataku yang telah tua ini tidak
bisa mengenali orang! Mulanya aku masih
bersangsi, tapi melihat pukulan Penghancur
Baja yang kau lepaskan itu tadi kini aku yakin
bahwa aku betulbetul berhadapan dengan
Nenek Rambut Putih yang terkenal itu!" Jika
si orang tua kenali nama gelarannya ini tidak
mengherankan si perempuan bungkuk
berambut putih. Tapi adalah membuat dia
diam-diam merasa kaget sewakZtu si orang
tua mengetahui nama pukulan yang tadi
dilepaskannya!
"Kalau kau sudah tahu tingginya langit
luasnya lautan, apakah kau masih banyak
cerewet tak mau serahkan lukisan itu?!"
"Langit memang tinggi, laut memang luas!
Tapi apakah semua itu dapat melebihi tinggi
dan luasnya budi manusia yang berhati
luhur?" Terkejut Nenek Rambut Putih
mendengar ucapan itu.
"Lekas beri tahu siapa kau!" sentaknya. Si
orang tua geleng-gelengkan kepala.
"Manusia tetap manusia sekalipun dia punya
seribu nama! Manusia tak perlu agul-agulkan
nama terhadap sesama manusia. Karena dia
dilahirkan tiada bernama…!"
"Cacing kurus! Aku tak punya waktu lama!
Terpaksa lukisan itu kuambil sekarang juga!"
kata Nenek Rambut Putih. Habis berkata
demikian laksana kilat dia melompat
menyambar lukisan perempuan telanjang yang
tersandar di batu. Namun mendadak sontak
perempuan tua itu merasakan lengan
kanannya nyeri seperti orang kesemutan!
Ternyata si orang tua telah melepaskan satu
sentilan ujung jari ke arahnya!
"Jadi kau punya ilmu yang diandalkan hah?!"
lengking Nenek Rambut Putih. Tanpa
sungkan-sungkan lagi dia segera menyerang.
Maka untuk kesekian kalinya di jalan
menikung yang sempit itu terjadi lagi
pertempuran. Kini lebih seru dari pertempuran
antara si orang tua dengan Iblis Gemuk
sebelumnya. Sepuluh jurus berlalu sangat
cepat. Tubuh kedua orang yang bertempur
boleh dikatakan lenyap berubah menjadi
bayang-bayang. Batu-batu kerikil
berhamburan, debu jalanan beterbangan. Wiro
Sableng memperhatikan dengan mata tak
berkedip. Nenek Rambut Putih gerakannya
sangat gesit. Setiap pukulan atau tendangan
yang dilancarkannya hebat luar biasa serta
mendatangkan angin yang bersiuran. Tapi
lawannya juga tak kalah hebat, malah
sesudah lewat sepuluh jurus Nenek Rambut
Putih berhasil didesaknya ke tepi jurang!
"Perempuan tua, jika kau tak mau tinggalkan
tempat ini secara baik-baik pasti riwayatmu
akan tamat di dasar jurang sana!" Nenek
Rambut Putih kertakan rahang-rahangnya. Dia
melompat ke sebuah batu datar dan dari sini
lancarkan satu tendangan ganas. Lawannya
berkelit gesit ke samping. Akibatnya
tendangan itu melanda sebuah batu di
hadapan Nenek Rambut Putih. Batu itu hancur
berkepingkeping! Si orang tua badan
jerangkong terkejut melihat hal ini. Rupa-
rupanya lawan benar-benar inginkan jiwanya.
Maka segera dirubah permainan silatnya.
Dalam sekejap saja tubuhnya lenyap dan
membuat Nenek Rambut Putih kebingungan
sendiri! Bret! Si nenek tersurut mundur.
Pakaiannya di pinggang robek besar dan kulit
badannya terasa dingin sedang di
hadapannya manusia yang menjadi lawannya
tertawa-tawa dan menegur,
"Kita tak ada permusuhan. Sebaiknya lekas
tinggalkan tempat ini!" Tenggorokan Nenek
Rambut Putih kelihatan turun naik.
Kegemasan nyata sekali terlihat pada
parasnya yang tua keriputan. Dia menyadari
bahwa manusia itu bukan tandingannya.
Meski demikian untuk menutupi rasa malunya,
Nenek Rambut Putih berkata,
"Sayang aku tengah mencari dua orang
sahabatku. Kalau tidak, sampai seribu jurus
pun aku akan ladeni kau." Si orang tua ganda
tertawa.
"Permusuhan tanpa alasan bisa dicari,"
sahutnya
"Berlalulah…!"
"Tanggal satu di bulan muka lukisan itu harus
sudah kau sampaikan ke Gunung Sumpang!
Kalau tidak aku dan kawan-kawan tak akan
memberi ampun padamu, orang tua!"
"Aku tidak punya kesalahan apa-apa padamu.
Perlu apa minta-minta ampun segala?!"
menyahuti si orang tua. Tapi Nenek Rambut
Putih telah berkelebat dan menghilang dari
tempat itu! Baru saja Nenek Rambut Putih
lenyap di balik tikungan sebelah kanan, maka
dari tikungan sebelah kiri terdengar seruan
nyaring,
"Orang tua keparat! Aku datang untuk
menagih jiwamu!" TERNYATA yang datang
bukan lain daripada Iblis Gemuk yang tadi
telah bertempur dengan si orang tua berbadan
kurus. Kali ini dia datang bukan sendirian,
tapi bersama seorang laki-laki berbadan
tinggi yang kurus luar biasa, lebih kurus dari
si orang tua sendiri. Keadaan tubuhnya serta
tampangnya yang mengerikan persis seperti
jerangkong hidup. Seperti Iblis Gemuk,
manusia ini pun menguncir ke atas rambutnya
yang gondrong dan dia bukan lain daripada
Iblis Kurus, kakak kandung dan kakak
seperguruan Iblis Gemuk. Iblis Kurus memang
memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih
tinggi daripada Iblis Gemuk. Karena itulah
Iblis Gemuk telah mencari kakaknya itu di kaki
gunung dan membawanya ke tempat si orang
tua melanjutkan pertempuran yang telah
terjadi sebelumnya! Si orang tua yang tadi
sudah hendak mencangkung untuk
melanjutkan pekerjaannya, mendengar suara
seruan nyaring itu segera berdiri.
"Hem… kau betul-betul datang menepati janji,
Iblis Gemuk!" kata si orang tua sambil melirik
pada Iblis Kurus. Iblis Kurus memandang
mencemooh.
"Adikku, apakah ini manusianya yang telah
berani turunkan tangan lancang
terhadapmu?!"
"Betul, memang dia bangsatnya!" sahut Iblis
Gemuk. Iblis Kurus memperhatikan lukisan di
belakang si orang tua. Lukisan itu memang
bagus sekali serta merangsang. Tidak salah
kalau adiknya demikian tertarik dan
menginginkannya.
"Manusia kurus cacingan macam ini saja kau
tidak sanggup menghadapi. Betul-betul
membuat nama besarku menjadi luntur!" Si
orang tua tertawa dingin.
"Tampang dan tubuhmu jauh lebih buruk dari
aku, Iblis Kurus. Karenanya tak perlu mencela
orang lain…"
"Kakakku, kurasa tak perlu kita bicara
panjang lebar dengan bangsat tua ini. Mari
kita musnahkan dia!" ujar Iblis Gemuk. Si
orang tua tertawa mengekeh.
"Nyalimu melembung besar kembali Iblis
Gemuk! Tentu kau mengandalkan kakakmu ini,
bukan?!"
"Orang tua keparat! Ajal sudah di depan mata
masih bisa bicara sombong!" Si orang tua
berpaling pada Iblis Kurus lalu berkata,
"Sobat, nama besar kalian berdua sudah lama
kudengar. Antara kita tak ada permusuhan…"
"Sesudah kau berani berlaku lancang terhadap
adikku, apakah itu bukan berarti
permusuhan?!" potong Iblis Kurus.
"Itu salah adikmu sendiri!" sahut orang tua
itu dengan nada sabar.
"Dia inginkan lukisanku. Aku menolak. Dia
memaksa malah lakukan kekerasan. Salahkah
kalau aku memberi sedikit pelajaran
padanya?!"
"Tapi tidak seorangpun yang boleh turun
tangan seenaknya terhadap Dua Iblis Dari
Selatan!" tukas Iblis Gemuk. Si orang tua
tertawa mengejek.
"Sifat manusia memang banyak yang aneh,"
katanya.
"Ingin menggebuk orang lain, tapi digebuk
tidak mau!" Iblis Kurus rangkapkan tangan di
muka dada.
"Orang tua, sebaiknya kau serahkan saja
lukisan itu pada adikku. Niscaya kami Dua
Iblis Dari Selatan tidak akan bikin urusan
menjadi panjang!" Orang tua itu geleng-
gelengkan kepala.
"Heran," katanya,
"mengapa di dunia ini masih banyak
manusia-manusia yang ingin memaksakan
kehendaknya terhadap orang lain…"
"Kau mau serahkan lukisan itu atau tidak?!"
bentak Iblis Kurus.
"Kalau begitu lekas terangkan namamu! Aku
tidak pernah membunuh manusia tanpa tahu
nama atau julukannya sekalipun manusia tak
berguna macam kau!" Si orang tua tertawa
panjang tapi kali ini tawanya bernada rawan.
"Seharian ini banyak sekali orang-orang yang
ingin tahu namaku," katanya.
"Padahal semua manusia dilahirkan tidak
bernama…"
"Jangan ngaco! Lekas beritahu namamu!"
hardik Iblis Kurus sambil maju satu langkah.
Sebagai jawaban maka kali ini orang tua aneh
itu keluarkan serangkaian nyanyian: Puluhan
tahun mengembara Tiada berumah tiada
bertempat tinggal Delapan penjuru angin
penuh dengan keindahan Bukankah pekerjaan
baik, melukis segala yang indah? Mendengar
suara nyanyian itu terkejutlah Dua Iblis Dari
Selatan. Mereka saling pandang sejenak.
"Jadi rupanya kaulah Si Pelukis Aneh yang
selama ini malang melintang dalam dunia
persilatan?!" ujar Iblis Kurus. Hatinya
berdebar juga mengetahui siapa adanya
manusia di hadapannya, tapi dia tidak takut
Si orang tua yang memang Si Pelukis Aneh
adanya mengusap-usap dagunya.
"Sungguh tiada diduga hari ini Dua Iblis Dari
Selatan akan berhadapan dengan Si Pelukis
Aneh akan pasrahkan jiwanya di tanganku!" Si
pelukis Aneh tertawa panjangpanjang.
"Rupanya hari ini aku terpaksa mencabut
pantangan membunuh yang sejak lama
kulakukan. Orang lain hendaki jiwaku, mana
mungkin aku berpangku tangan…?!"
"Bagus! Sekarang terima jurus pertama ini
kunyuk tua!" teriak Iblis Kurus dan dengan
serta merta menyerang ke muka.
Dibandingkan dengan Iblis Gemuk yang
kepandaiannya sudah tinggi maka Iblis Kurus
jauh lebih tinggi lagi ilmu silatnya. Tahu
menghadapi lawan yang tangguh maka Iblis
Kurus keluarkan jurus-jurus terhebat dari ilmu
silatnya sehingga dalam waktu yang singkat
serangannya laksana hujan bertubi-tubi
melanda tubuh Si Pelukis Aneh! Dalam lima
jurus pertama Si Pelukis Aneh dibikin terdesak
hebat. Kesempatan ini dipergunakan oleh Iblis
Gemuk untuk bergerak mengambil lukisan
perempuan telanjang yang tersandar di batu!
Meski dalam keadaan terdesak, si Pelukis
Aneh masih sempat melihat gerakan lawannya
yang satu itu. Maka dengan melengking tinggi
orang tua ini melompat sejauh dua tombak
lalu menukik laksana kilat dan lancarkan satu
tendangan ke arah Iblis Gemuk. Iblis Gemuk
terpaksa batalkan niatnya untuk mengambil
lukisan itu dan buru-buru menyingkir karena
angin tendangan lawan deras dan bahayanya
bukan olah-olah! Baru saja Si Pelukis Aneh
jejakkan kakinya di tanah, maka Iblis Kurus
telah menyerbunya dengan dua tendangan,
dua pukulan! Namun kali ini Si Pelukis Aneh
telah rubah permainan silatnya. Matanya
yang tajam dan penuh pengalaman itu sudah
melihat kelemahan-kelemahan ilmu silat
lawan. Maka sekali tubuhnya berkelebat, Iblis
Kurus merasakan desakan serangan yang
hebat sekali membuat dia selangkah demi
selangkah dan jurus demi jurus terdesak
hebat. Dia sama sekali tak dapat melihat
gerakan lawan dan tahu-tahu tangan atau
kaki orang tua itu sudah berada dekat kepala
atau tubuhnya! Hanya dengan mengandalkan
ilmu meringankan tubuhnya yang
sempurnalah maka dia masih sanggup
elakkan semua serangan lawan itu! Tapi
sampai beberapa lama dia sanggup
bertahan?! Iblis Kurus menjadi gemas sekali.
Semakin lama seakan terdesak dia. Gerakan
lawan yang campur aduk tak bisa dilihatnya
mengacaukan serangan serta jurus-jurus
pertahanannya yang terlihai. Iblis Kurus
keluarkan keringat dingin sewaktu dirinya
didesak hebat ke tepi jurang! Setiap dicobanya
untuk melompat ke samping selalu dia
berhadapan dengan tendangan-tendangan
atau jotosan-jotosan lawan yang menyambar
di muka hidungnya hingga dia terpaksa
membatalkan niatnya untuk melompat ke
samping! Dalam pada itu, detik demi detik
tepi jurang semakin dekat juga. Dalam jurus
pertempuran yang kelima belas tepi jurang
yang terjal itu hanya tinggal beberapa
langkah saja lagi di belakangnya!
"Gemuk! Lekas bantu aku!" teriak Iblis Kurus.
Mendengar ini Iblis Gemuk yang memang
sejak tadi sudah punya niat untuk mengeroyok
si orang tua yang sebelumnya telah
menghajarnya segera cabut senjata dari balik
pakaian. Senjatanya ini berbentuk pedang tapi
bergerigi seperti gergaji. Karena senjata ini
ditimpa dan dilapisi emas murni maka sinar
kuning kelihatan menderu sewaktu pedang itu
membabat ke arah punggung Si Pelukis Aneh!
Si Pelukis Aneh yang tengah mendesak gencar
Iblis Kurus menjadi terkejut sewaktu
merasakan sambaran angin yang deras
datang menerpanya dari belakang! Didahului
dengan satu lambaian tangan kanan yang
mendatangkan angin keras, maka Si Pelukis
Aneh dengan cepat memutar badan
menghadapi serangan pedang berbentuk
gergaji di tangan Iblis Gemuk! Kesempatan ini
dipergunakan oleh Iblis Kurus untuk melompat
ke samping menjauhi tepi jurang batu lalu
dengan cepat mencabut pula senjatanya yang
bentuknya sama dengan yang di tangan Iblis
Gemuk. Melihat pengeroyokan curang ini, Wiro
Sableng menjadi penasaran. Segera dia
hendak melompat dari atas puncak batu untuk
membantu si orang tua. Tapi tindakannya tak
jadi dilakukan karena pada saat itu dilihat si
kakek telah berkelebat dan kini di tangannya
memegang pelepah pisang yang berdaun
lebar di mana sebelumnya dia meletakkan
cairan-cairan aneka warna yang dipergunakan
untuk melukis! Dengan mempergunakan benda
ini sebagai senjata maka si orang tua
menghadapi kedua lawannya dengan hebat
luar biasa! Karena daun pisang itu lebar
sekali, ditambah dengan saluran tenaga
dalam yang tinggi maka setiap benda itu
berkilat menderulah angin deras luar biasa
yang menerpa setiap serangan pedang Iblis
Gemuk dan Iblis Kurus! Dua sinar kuning
senjata pengeroyok bergulung-gulung ganas.
Agaknya Dua Iblis Dari Selatan itu mulai
mengeluarkan jurus-jurus terlihai dari ilmu
pedang mereka.
"Bagus! Bagus! Keluarkan seluruh
kepandaianmu! Aku mau lihat!" seru Si Pelukis
Aneh. Daun pisang di tangannya bergerak kian
kemari melumpuhkan sama sekali setiap jurus
serangan yang dilancarkan. Yang membuat
Pendekar 212 Wiro Sableng jadi leletkan lidah
ialah karena tak sekalipun pedang-pedang di
tangan lawan sanggup membuat satu goresan
pada daun pisang. Dan yang paling luar biasa
ialah meski digerakkan demikian cepatnya dan
dipergunakan sebagai senjata namun cairan-
cairan aneka warna yang ada di daun pisang
itu tidak satu tetespun yang tumpah atau
meleleh! Benarbenar luar biasa kehebatan Si
Pelukis Aneh! Dalam mengagumi kehebatan
orang tua itu tiba-tiba terdengar pekikan
setinggi langit. Ternyata daun pisang di
tangan Pelukis Aneh telah menerpa dada Iblis
Kurus. Pedangnya mental sedang tubuhnya
terpelanting sampai beberapa tombak dan
celakanya terus terguling ke tepi jurang!
Dengan salah satu tangannya Iblis Kurus coba
memegang sebuah batu runcing yang
menonjol di tepi jurang. Tapi pukulan daun
pisang yang dialiri tenaga dalam yang tadi
menghantam dadanya telah melumpuhkan
sama sekali kekuatan Iblis Kurus. Meski dia
berhasil memegang batu runcing itu dan
menahan dirinya agar tidak jatuh ke dalam
jurang namun sia-sia saja. Sesaat kemudian
pegangannya terlepas dan tak ampun lagi
tubuhnya melayang masuk jurang. Batu-batu
runcing menantinya di dasar jurang! Untuk
kedua kalinya terdengar jeritan Iblis Kurus.
Yang sekali ini lebih mengerikan! Melihat
kakaknya yang berilmu lebih tinggi menemui
kematian begitu rupa, Iblis Gemuk jadi
bergidik. Berdua dia tak sanggup menghadapi
Si Pelukis Aneh, apalagi seorang diri! Maka
tanpa pikir panjang dan tanpa tunggu lebih
lama Iblis Gemuk segera ambil langkah
seribu! Si Pelukis Aneh tertawa mengekeh.
Diambilnya pedang Iblis Kurus yang
menggeletak di tanah.
"Orang jahat, matamu sudah tak layak hidup
lebih lama, Iblis Gemuk!" teriak Si Pelukis
Aneh lalu lemparkan pedang ke arah Iblis
Gemuk yang tancap gas larikan diri! Pedang
itu menancap tepat di pertengahan punggung
Iblis Gemuk terus menembus sampai di luar
ujung pada dadanya! Tamatlah riwayat Dua
Iblis Dari Selatan! Si Pelukis Aneh mengusap
mukanya. Ditariknya nafas dalam-dalam lalu
dia duduk menjelapok di tanah dan
memandangi lukisannya. Kemudian tanpa
palingkan kepala dari lukisan itu, dia berseru,
"Orang yang sembunyi di atas batu tinggi
harap turun!" Kagetlah Wiro Sableng.
Pendekar ini garuk-garuk kepalanya. Lalu
tanpa sungkan-sungkan lagi keluar dari
persembunyiannya dan melompat turun.
PENDEKAR 212 Wiro Sableng jejakkan
sepasang kaki di tanah tanpa keluarkan
sedikit pun suara. Begitu dia berdiri di
hadapan si orang tua segera dia menjura dan
berkata,
"Aku yang muda merasa beruntung sekali
dapat bertemu dengan tokoh silat terkenal di
delapan penjuru angin." Pelukis Aneh tidak
palingkan kepalanya dari lukisan yang tengah
dipandangnya.
"Siapa namamu…?"
"Wiro."
"Apa kau punya gelar?" Wiro Sableng yang
tak mau tonjolkan diri menjawab dengan
gelengan kepala. Lantas Si Pelukis Aneh
bertanya lagi,
"Kenapa kau sembunyi di atas batu sana?"
"Aku tak ingin mengganggumu, orang tua."
"Bagus, kau tahu peradatan juga rupanya."
Untuk pertama kalinya Si Pelukis Aneh
palingkan wajah dan meneliti Wiro Sableng
sejurus. Lalu dia memandang lagi pada
lukisannya dan menggoyangkan kepala.
"Menurutmu apakah lukisanku ini bagus?"
tanya Si Pelukis Aneh.
"Bagus luar biasa," jawab Wiro Sableng. Si
Pelukis Aneh tertawa pendek.
"Kalau lukisan ini kuberikan padamu, apakah
kau mau menerimanya…?" Wiro berpikir
sejenak. Adipati Pamekasan telah menawar
lukisan itu sampai dua ratus ringgit, Si orang
tua tidak menjualnya. Iblis Gemuk dan Iblis
Kurus menemui kematian karena inginkan
lukisan itu. Nenek Rambut Putih dibikin
kelabakan sewaktu memaksakan kehendaknya
atas lukisan itu. Maka adalah mustahil kalau
kini Si Pelukis Aneh hendak berikan lukisan
perempuan telanjang itu kepadanya! Wiro
menjawab,
"Ah, hatimu terlalu baik orang tua. Aku yang
rendah ini mana berani menerima buah
ciptaanmu yang bagus luar biasa ini?!" Si
Pelukis Aneh tertawa dan usap-usap dagunya.
"Manusia kerap kali tertipu oleh pandangan
matanya," berkata Si Pelukis Aneh.
"Apa yang kelihatan bagus itu belum tentu
betul-betul bagus. Bukankah begitu…?" Wiro
anggukkan kepala.
"Kau mengangguk! Tapi apa kau bisa beri
satu contoh daripada sesuatu yang kelihatan
bagus namun nyatanya buruk?" Pertanyaan si
orang tua yang tiada terduga membuat Wiro
Sableng jadi garuk-garuk kepalanya. Di
kejauhan dilihatnya sebuah gunung hijau
membiru. Dia kemudian menunjuk ke arah
gunung itu.
"Kau lihat gunung yang jauh itu, orang tua?"
"Ya… ya…, aku lihat."
"Dari sini kelihatannya bagus sekali. Biru
kehijauan. Tapi coba kita mendekatinya.
Gunung yang bagus itu tak lebih daripada
pohon-pohon besar liar, semak-semak
belukar, tanah, batu-batu dan lain
sebagainya." Pelukis Aneh tertawa.
"Kau betul! Otakmu cerdik. Tentu kau murid
seorang yang bijaksana. Siapakah gurumu
orang muda?" Wiro Sableng tak menjawab.
Dia tak bisa menjawab. Dia tahu betul kalau
gurunya Eyang Sinto Gendeng akan marah
sekali bila namanya digembar-gembor di
luaran. Maka akhirnya pemuda ini menjawab
dengan senyumsenyum,
"Pengalaman adalah guru yang paling baik
dan bijaksana bagi setiap manusia…" Si
Pelukis Aneh kerenyitkan kening dan menatap
paras si pemuda lekat-lekat. Sesaat kemudian
mengumandanglah suara tertawa orang tua
ini di seantero lamping gunung dan jurang
batu.
"Tong kosong selalu berbunyi nyaring. Tong
penuh tak akan mengeluarkan suara nyaring!
Orang berilmu tinggi akan bersikap rendah
bijaksana, orang berilmu sedikit sering jual
tampang, jual pamer dan bermulut besar.
Kuharap saja bocah itu kelak akan
mempunyai sifat macammu, Wiro!" Telah dua
kali dengan ini si orang tua menyebut 'bocah'.
Maka bertanyalah Wiro,
"Pelukis Aneh, siapakah yang kau maksudkan
dengan bocah itu?"
"Calon muridku!" jawab Si Pelukis Aneh.
Kemudian ditelitinya lukisan di hadapannya.
Wiro memperhatikan pula dengan seksama.
Lukisan perempuan telanjang itu betul-betul
bagus luar biasa. Betul-betul seperti melihat
manusia hidup di depan mata. Memandang
lama-lama Wiro Sableng menjadi jengah
juga.
"Tadi kulihat Adipati Pamekasan hendak
membeli lukisan ini sampai dua ratus ringgit.
Kenapa kau tidak menjualnya?" tanya Wiro. Si
Pelukis Aneh tertawa.
"Bacalah tulisan di sudut kanan bawah."
katanya. Wiro Sableng baru ingat pada tulisan
itu. Tadi waktu memandang lukisan matanya
hanya terpukau pada tubuh telanjang si
perempuan cantik saja. Kini diperhatikannya
bagian yang dikatakan si orang tua. Pada
sudut bawah sebelah kanan lukisan terdapat
tulisan berbunyi: Lukisan ini kuwariskan
kepada calon muridku: Wira Prakarsa. Wiro
manggut-manggut
"Calon muridmu itu, di manakah sekarang?"
"Tentu saja di rumahnya." sahut Si Pelukis
Aneh.
"Umurnya baru sepuluh tahun. Kelak pada
umur duabelas tahun baru dia kuambil jadi
murid."
"Lalu apa perlu lukisan perempuan telanjang
ini hendak kau serahkan padanya?" tanya Wiro
tak mengerti,
"Ah… itu satu hal yang aku tak bisa
terangkan, orang muda." Wiro maklum tentu
ada apa-apanya. Namun demikian, pendekar
ini berkata pula,
"Begitu selesai apakah lukisan ini akan kau
berikan pada calon muridmu itu?" Pelukis
Aneh gelengkan kepala,
"Aku tidak terlalu bodoh." jawabnya.
"Sekarang saja orang-orang jahat sudah pada
memaksa dengan kekerasan untuk inginkan
lukisan ini. Kalau diberikan saat ini pada
bocah itu pasti bisa berabe. Nanti pada dua
tahun di muka baru kuberikan."
"Dua tahun di muka calon muridmu itu baru
berumur duabelas tahun. Bagaimanapun dia
tetap masih disebut anak-anak. Apakah
memberikan lukisan yang begini macam ke
padanya bukan merupakan satu hal yang
tidak pada tempatnya…?!" Si Pelukis Aneh
tertawa.
"Aku sudah bilang segala sesuatu yang bagus
itu seringkali menipu kita. Dan di dalam
seribu satu keanehan dunia, kita manusia ini
tahu apa?!" Wiro maklum kalau si orang tua
adalah seorang yang pandai dan bijaksana. Di
samping itu mempunyai sifat aneh sehingga
tak salah kalau dunia persilatan memberi
gelar Si Pelukis Aneh kepadanya!
"Wiro." berkata Pelukis Aneh.
"Kalau aku tak salah raba agaknya kau
tengah dalam satu perjalanan atau
pengembaraan. Tengah menuju ke manakah
kau sebetulnya?" Wiro Sableng merasa
bimbang untuk mengatakannya terus terang
bahwa sesungguhnya saat itu dia tengah
menuju Goa Belerang untuk menemui Kiai
Bangkalan. Maka pendekar ini menjawab,
"Manusia macamku ini berjalan hanya
sepembawa kaki saja, orang tua." Setelah
bicara-bicara beberapa lamanya akhirnya
Wiro Sableng minta diri dan meneruskan
perjalanan. Sampai di kaki gunung, matahari
bersinar semakin terik. Tanpa perdulikan
keterikan yang membakar jagat itu, Pendekar
212 Wiro Sableng teruskan perjalanannya
dengan mempergunakan ilmu lari cepatnya,
dan sambil bersiul-siul. Ketika dia berada di
sebuah kaki bukit, mendadak di puncak bukit
dilihatnya dua titik kuning laksana bintang
malam bergerak cepat ke arah selatan. Wiro
hentikan larinya guna dapat meneliti lebih
jelas. Dua buah titik itu sangat jauh, tapi Wiro
yakin itu adalah dua orang manusia yang
tengah berlari cepat. Wiro memperhatikan
terus. Dua titik kuning itu menuruni bukit di
sebelah selatan terus laksana terbang menuju
ke daerah berbatu-batu dan terus lagi ke
pegunungan di mana sebelumnya Wiro
berada. Akhirnya dua titik kuning itu lenyap di
batas pemandangan Pendekar 212 Wiro
Sableng. Sewaktu Wiro ingat akan Si Pelukis
Aneh yang ditemuinya di lamping pegunungan
itu, mendadak hatinya menjadi berdesir, lebih
cepat kalau dikatakan berdebar! Dua titik
kuning itu pasti dua orang berkepandaian
tinggi yang mempergunakan ilmu lari cepat.
Dan keduanya mungkin pula orang-orang
jahat yang sengaja pergi ke gunung itu untuk
melakukan perbualan yang tidak baik
terhadap Si Pelukis Aneh. Wiro merutuki
dirinya sendiri karena sampai berpikir begitu
jauh. Diputarnya badannya hendak
melanjutkan perjalanan namun langkah.yang
dibuatnya tertahan-tahan olen rasa
kebimbangan. Akhirnya Pendekar 212
membalikkan diri lalu berlari cepat kejurusan
selatan. Dua kali peminum teh baru Wiro
Sableng sampai ke tikungan jalan di lamping
gunung. Dan betapa terkejutnya Pendekar 212
sewaktu dia sampai di tempat itu! Larinya
dengan serta merta terhenti. Sepasang
kakinya laksana dipakukan ke bumi! Matanya
menyipit, dada menggemuruh, kedua tinju
terkepal sedang rahang terkatup rapat-rapat!
"Terkutuk!" desis Pendekar 212. Dia berlutut di
hadapan tubuh Si Pelukis Aneh yang
menggeletak di tikungan jalan. Tubuh orang
tua ini mengerikan sekali. Mulai dari kepala
sampai ke kaki ditancapi oleh puluhan paku
berwarna kuning yang terbuat dari besi
berlapiskan emas. Benda-benda yang
merupakan senjata rahasia hebat ini pastilah
mengandung racun yang luar biasa jahatnya
karena saat itu Wiro melihat tubuh Si Pelukis
Aneh berada dalam keadaan gembung
membiru. Yang mengerikan ialah apa yang
tercengkeram di tangan kanan Si Pelukis Aneh
yang sudah tidak bernyawa itu. Pada jari-jari
tangan kanannya tergenggam sebuah
kutungan lengan yang tertutup kain kuning!
Warna lain ini mengingatkan Wiro pada dua
titik kuning yang dilihatnya sebelumnya.
Melihat kepada bentuknya pastilah potongan
lengan jubah seseorang. Tidak dapat tidak
rupanya telah terjadi lagi pertempuran di
tempat itu antara Si Pelukis Aneh dan dua
orang berpakaian kuning yang dilihat Wiro di
kejauhan yaitu sewaktu di kaki bukit sebelah
utara. Meski menemui kematian di tangan dua
pengeroyok namun Si Pelukis Aneh masih
sanggup membetot putus lengan kiri salah
seorang lawannya hingga tanggal dan dalam
matinya masih mencengkeran lengan itu! Wiro
Sableng tersentak sewaktu dia ingat pada
lukisan perempuan telanjang. Tapi lukisan itu
telah lenyap dari situ! Pasti dua manusia
berpakaian kuning pengeroyok Si Pelukis Aneh
itulah yang telah mencurinya! Wiro berdiri
perlahan. Dia tak berani menyentuh tubuh Si
Pelukis Aneh meski dirinya kebal terhadap
segala macam racun. Dia harus menggali
sebuah lubang dan mengubur orang tua itu.
Tengah dia memandang berkeliling mencari
tempat yang baik mendadak Wiro melihat
sepasang kaki kecil tersembul di balik
unggukan batu yang terletak tak berapa jauh
dari tepi jurang. Cepat-cepat Pendekar 212
melangkah ke batu itu. Di sini ditemuinya
seorang anak kecil berpakaian
compangcamping, menggeletak tak bergerak.
Kepalanya ada benjut besar. Sewaktu
diperiksa ternyata dia cuma pingsan. Setelah
ditolong dan diurut-urut dadanya akhirnya
anak ini siuman. Begitu siuman begitu dia
menangis. Tampangnya tolol sekali!
"Namamu tentu Wira." tegur Pendekar 212.
Anak itu hentikan tangis dan seka kedua
matanya lalu memandang pada Wiro Sableng.
Sewaktu dia melihat tubuh Si Pelukis Aneh
maka anak ini kembali menangis lebih keras.
Setelah reda Wiro menanyakan bagaimana dia
sampai berada di tempat itu. Dengan terhenti-
henti oleh sesenggukan maka si anak memberi
penuturan. Namanya memang Wira Prakarsa,
calon murid Si Pelukis Aneh. Katanya dia
tengah bermainmain di depan rumah sewaktu
dua orang berpakaian kuning bertampang
mengerikan mendatanginya. Salah seorang
dari mereka langsung mendukungnya dan
membawanya lari luar biasa cepatnya.
Sepanjang jalan orang yang mendukungnya
itu tiada henti menanyakan di mana letak
pegunungan yang biasanya didatangi oleh
calon gurunya. Karena tak tahan dipukuli
akhirnya dia memberi tahu. Dan sewaktu
sampai di tempat Si Pelukis Aneh maka
langsung saja kedua orang berpakaian kuning
itu menyerang calon gurunya. Menurut
penuturan si anak lama sekali ketiga orang
itu bertempur. Kemudian ada sambaran angin
yang menyerempetnya hingga membuat dia
terpelanting. Kepalanya membentur batu lalu
dia tak ingat apa-apa lagi! Wiro maklum kini
apa yang telah terjadi.
"Apa kau pernah melihat kedua orang itu
sebelumnya?" Wira Prakarsa menggeleng.
"Tadi kau katakan muka kedua orang itu
mengerikan sekali. Bisa kau mengatakan apa-
apa yang mengerikan itu?" Si anak seka lagi
sepasang matanya lalu menjawab dengan
masih sesenggukan.
"Yang mendukungku matanya cuma satu,
berewokan. Kawannya juga berewokan,
bermata besar merah dan tak punya kuping…"
Wiro Sableng merenung. Tak pernah dia
bertemu dengan dua manusia macam itu, juga
tak pernah mendengar tentang ciri-ciri mereka
sebelumnya.
"Apakah kau tahu apa yang dibuat gurumu di
sini sebelum dia meninggal?"
"Dia melukis. Katanya lukisan itu untukku. Di
dalam lukisan itu ada…" Si anak tarik kembali
lidahnya dan tak teruskan bicara.
"Ada apa…?" tanya Wiro ingin tahu.
"Tidak, tak ada apa-apanya." Menyahuti si
anak, lalu kembali dia menangis. Pendekar
212 Wiro Sableng semakin yakin bahwa di
dalam lukisan itu musti ada apa-apanya. Ada
tersembunyi satu rahasia besar yang cuma Si
Pelukis Aneh dan calon muridnya itu yang
tahu. Apakah beberapa tokoh silat tahu
rahasia itu sehingga mereka menginginkan
lukisan tersebut? Ataukah cuma tertarik pada
kebagusan lukisan perempuan bertelanjang itu
belaka? Tapi agaknya dua manusia
berpakaian kuning yang telah membunuh Si
Pelukis Aneh bukan cuma tertarik pada
kebagusan lukisan. Mungkin sekali mereka
telah mengetahui rahasia apa yang
terkandung dalam lukisan itu! Setelah
menggali sebuah lobang besar dan mengubur
Si Pelukis Aneh maka Wiro Sableng
mendukung Wira Prakarsa lalu membawanya
berlari kembali pulang ke rumahnya. Ternyata
anak ini adalah anak seorang petani miskin
yang saat itu masih belum kembali dari
ladangnya.
"Wira," kata Pendekar 212 sambil pegang
kepala si anak.
"Karena pemilik sah lukisan itu adalah kau,
maka aku akan mencarinya sampai dapat dan
mengembalikannya padamu…" Anak itu
manggut-manggut dengan tampangnya yang
tolol. Sewaktu meninggalkan si anak,
Pendekar 212 tak habis pikir bagaimana Si
Pelukis Aneh telah memilih anak yang begitu
tolol untuk calon muridnya. Tapi bila dia ingat
pula bahwa dia sendiri dulunya adalah
seorang anak yang tolol geblek maka segala
pikiran yang bukan-bukan tentang Si Pelukis
Aneh maupun anak tadi segera lenyap.
"Kalau dia tolol karena dia masih anak-
anak," ujar Wiro dalam hati.
"Aku yang sudah dedengkot begini rupa masih
sableng! Masih mending anak itu!" *** Satu
bulan kemudian dunia persilatan dilanda
kehebohan. Tokoh-tokoh silat terkenal dari
delapan penjuru angin dan partai-partai
persilatan berusaha keras untuk mendapatkan
sebuah lukisan telanjang yang mengandung
rahasia besar. Siapa yang berhasil
mendapatkan lukisan itu dan memecahkan
rahasia besar yang tersembunyi pasti akan
sangat beruntung karena di dalam lukisan itu
terkandung semacam ilmu silat dan ilmu
kesaktian yang hebat luar biasa dan sukar
dicari tandingannya di delapan penjuru angin!
Mula-mula lukisan itu jatuh ke tangan
sepasang Elmaut Kuning. Lalu berpindah
tangan pada beberapa orang tokoh silat.
Terakhir sekali kabarnya kembali jatuh ke
tangan sepasang Elmaut Kuning. Dan dalam
tempo satu bulan itu telah belasan tokoh silat
menjadi korban. Satu partai besar hancur
lebur semua gara-gara lukisan perempuan
telanjang yang mengandung rahasia besar itu!
PENDEKAR 212 Wiro Sableng tengah berlari di
antara rapatnya pohon-pohon dan semak
belukar di dalam sebuah rimba belantara
sewaktu satu suara dengan santar
menggeledek membentaknya.
"Berhenti!" Wiro terkesiap dan hentikan
larinya. Belum lagi dia sempat berpaling
tahu-tahu sesosok tubuh telah berdiri di
hadapannya. Orang ini berjanggut putih yang
panjangnya sampai ke dada. Selempang kain
putih menutupi badannya. Pada sisi kiri kanan
tergantung dua buah bumbung bambu.
"Dewa Tuak!" seru Pendekar 212. Hatinya
gembira tapi juga bersangsi. Manusia di
hadapannya kelihatan tambah tua dari dulu
pertama sekali ditemuinya. Tapi meski
demikian masih tetap tegap kuat (Tentang
siapa adanya Dewa Tuak ini harap baca serial
Pendekar 212 yang kedua yaitu: Maut
Bernyanyi di Pajajaran). Wiro Sableng
menjura dalamdalam. Orang tua di
hadapannya tertawa gelak-gelak lalu
mengangkat salah satu bumbung bambu dan
meneguk tuak di dalamnya sampai lepas
dahaganya. Setelah menyeka mulutnya yang
berselomotan tuak maka Dewa Tuak berkata,
"Beratus hari mencarimu, saat ini baru
bertemu!" Diam-diam Wiro mengeluh. Apakah
orang tua ini masih hendak melaksanakan
niatnya tempo hari yaitu memaksa
menjodohkannya dengan muridnya?! Untuk
mengetahuinya maka Wiro cepat-cepat
bertanya,
"Apakah kau masih juga hendak memaksakan
niatmu tempo hari, Dewa Tuak…?"
Dewa Tuak angkat lagi bumbung tuak dan
meneguknya beberapa kali. Kemudian
digelengkan kepalanya perlahanlahan.
Mukanya kelihatan merah oleh hangatnya
minuman yang diteguknya itu. Melihat
gelengan kepala ini Pendekar 212 merasa lega
sedikit. Namun demikian apa pula gerangan
yang membuat si orang tua berkata bahwa
telah beratus hari dia mencari-cari dirinya?
"Aku tahu… aku tahu dulu itu aku telah
berlaku picik! Soal jodoh mana bisa
dipaksakan?!" Dewa Tuak tertawa gelak-gelak.
"Kalau begitu tengah menuju ke manakah kau
saat ini, Dewa Tuak?"
"Kau sendiri tengah menuju ke mana Wiro?"
Wiro tak mau menceritakan bahwa dia sedang
mencari lukisan perempuan telanjang yang
tengah dihebohkan dunia persilatan waktu itu.
Namun demikian Dewa Tuak telah
mengetahuinya dan berkata,
"Ah, rupanya kau juga telah ikut-ikutan
terlibat dalam mencari lukisan itu, orang
muda?" Wiro terkejut.
"Kunasihatkan padamu agar segera
mengundurkan diri saja. Lukisan itu hanya
mendatangkan malapetaka, lain tidak!
Belasan tokoh silat telah menemui ajalnya.
Satu partai besar telah musnah gara-gara
lukisan itu! Apa kau juga ingin mati percuma
hanya karena lukisan telanjang itu?!"
"Tapi lukisan itu ada sangkut pautnya dengan
diriku, Dewa Tuak…"
"Eh, sangkut paut bagaimana?" tanya Dewa
Tuak heran. Maka Wiropun menuturkan
pertemuannya dengan Si Pelukis Aneh serta
janjinya terhadap Wira Prakarsa yaitu calon
murid Si Pelukis Aneh itu. Dewa Tuak menarik
nafas panjang.
"Memang, itu sudah menjadi tugasmu orang
muda. Dunia persilatan tak akan tenteram
sebelum lukisan itu kembali pada pemiliknya
yang sah…" Keduanya berdiam diri sebentar.
"Dewa Tuak, apakah kau sudah mendengar
tentang muridmu?" tanya Wiro.
"Sudah… sudah! Aku gembira melihat dia kini
berada dan bertapa di Goa Dewi Kerudung
Biru. Dia beruntung sekali bertemu dan
ditolong bahkan diambil murid oleh Dewi
Kencana Wungu tempo hari. Terakhir sekali
aku bertemu katanya dia hendak mempersuci
diri, mengundurkan diri dari segala urusan
duniawi." Wiro Sableng termenung mendengar
keterangan Dewa Tuak itu. Ingat dia akan
masa beberapa tahun yang lewat, berdua-
duaan dengan Anggini, murid Dewa Tuak itu.
"Sekarang marilah ikut aku," kata Dewa Tuak.
"Ikut ke mana Dewa Tuak?"
"Ikut sajalah."
"Terima kasih. Tapi aku ada urusan yang
penting. Kau sendiri sudah maklum."
"Justru aku ajak kau untuk pergi ke satu
tempat yang ada sangkut pautnya dengan
lukisan yang tengah kau cari itu!" ujar Dewa
Tuak. Mendengar ini maka Wiro tidak
membantah. Keduanya segera meninggalkan
tempat itu memasuki lebih dalam rimba
belantara yang jarang didatangi manusia!
Menjelang tengah hari kedua orang ini sampai
di bagian rimba belantara yang paling lebat.
Pohon-pohon sangat besar dan rapat
tumbuhnya. Suasana lengang sunyi sedang
sinar matahari tak sanggup menembus
lebatnya daun-daun pohon yang tumbuh di
situ. Udara sejuk seperti di malam hari
layaknya! Dewa Tuak melompat ke cabang
sebuah pohon yang tinggi. Wiro sampai di
cabang dan berdiri di samping Dewa Tuak,
terkejutlah dia. Sekira dua puluh tombak di
bawah sebelah sana dilihatnya sebuah
pondok kayu yang beratap rumbia.
"Pondok siapakah itu?" tanya Wiro. Dewa
Tuak palangkan jari telunjuk di atas bibir lalu
dengan suara perlahan dia berbisik,
"Ikut aku dan jangan keluarkan suara!" Dewa
Tuak lantas melompat ke cabang pohon yang
lain. Melompat lagi, melompat lagi dan
akhirnya mendarat di atas wuwungan atap
rumbia tanpa keluarkan suara sedikitpun.
Dalam pada itu Wiro Sableng sudah berada
pula di sampingnya. Meskipun atap rumbia itu
cukup kuat namun tanpa mereka
mengandalkan ilmu meringankan tubuh
pastilah atap itu akan roboh! Dewa Tuak
membungkuk dan dengan hati-hati membuat
sebuah lubang di atas atap. Dia memberi
isyarat agar Wiro melakukan hal yang sama.
Maka Wiro pun buat satu lubang di atas atap
itu. Keduanya kemudian mengintai ke dalam
pondok. Karena di dalam pondok agak gelap
maka mula-mula Wiro tak melihat apa-apa.
Kemudian matanya yang mengintai itu
melihat seorang perempuan tua berambut
hitam legam berdiri terbungkuk-bungkuk di
sudut pondok. Kedua matanya meram tapi
mulutnya yang kempot berkomatkamit. Wiro
hendak menanyakan kepada Dewa Tuak siapa
adanya nenek-nanek itu tapi dia khawatir
suaranya terdengar oleh si nenek maka lantas
dia pergunakan ilmu menyusupkan suara.
Namun belum sempat dia ajukan pertanyaan
mendadak pintu pondok terpentang lebar dan
dua orang masuk ke dalam. Keduanya
ternyata neneknenek keriputan berbadan
bongkok. Yang satu berambut biru, yang
kedua berambut putih. Di bahu masing-
masing memanggul dua sosok tubuh yang
agaknya telah ditotok kaku tidak berdaya.
Melihat si nenek berambut putih kagetlah Wiro
Sableng karena perempuan tua ini bukan lain
Nenek Rambut Putih yang sebelumnya telah
dilihatnya di puncak gunung melawan Si
Pelukis Aneh. Dan lainnya itu pastilah Nenek
Rambut Biru dan Nenek Rambut Hitam!
"Pemimpin!" ujar Nenek Rambut Biru,
"Inilah bangsatbangsat yang kau inginkan
itu!" Nenek Rambut Hitam yang rupanya
menjadi pemimpin kedua nenek lainnya itu
memandang dingin pada kedua laki-laki yang
menggeletak di muka kakinya.
"Buka jalan suara mereka!" perintahnya.
Nenek Rambut Biru lepaskan totokan pada
jalan suara kedua orang itu. Begitu jalan
suaranya terbuka maka salah seorang dari
dua laki-laki itu membentak,
"Iblis betina, kau rupanya yang jadi biang
racun! Lekas lepaskan totokanku dan kawan-
kawanku!" Nenek Rambut Hitam tertawa
melengking-lengking.
"Ketua Partai Angin Timur, aku akan
bebaskan kalian berdua jika kau beritahu di
mana sarangnya Sepasang Elmaut Kuning!"
Terkejutlah Wiro Sableng. Kalau laki-laki yang
seorang itu adalah ketua sebuah partai,
pastilah ilmunya tinggi sekali! Dan dari situ
dapat pula diukur tingginya ilmu Nenek
Rambut Biru dan Rambut Putih yang telah
berhasil menawan ketua partai itu bersama
seorang kawannya.
"Ada apa kau tanyakan sarang kambratku
itu?!" balas menanya Ketua Partai Angin
Timur.
"Bedebah! Aku tak suruh kau bertanya
setan?!" bentak Nenek Rambut Hitam. Plaak!
Tamparan Nenek Rambut Hitam melayang
melanda sang Ketua, membuatnya
tergelimpang dan terguling di lantai pondok.
Dua buah giginya mencelat mental sedang
bibirnya pecah! Paras Ketua Partai Angin
Timur membesi. Nyata kemarahan
menggelegak dalam dirinya, tapi karena
ditolok maka yang bisa dilakukannya ialah
memaki habishabisan! Nenek Rambut Putih
menjambak rambut Ketua Partai Angin Timur
dan menyentakkannya hingga laki-laki itu
berdiri kembali di hadapan, pemimpinnya!
"Lekas terangkan di mana sarang Sepasang
Elmaut kuning!" hardik Nenek Rambut Hitam.
Ketua Partai Angin Timur mendengus!
"Maksudmu untuk mencari lukisan telanjang
itu tak akan berhasil, iblis betina!"
"Keparat betul! Kau mau bilang apa tidak?!"
Lagi-lagi Ketua Partai Angin Timur
mendengus.
"Aku tidak tahu!" sahutnya.
"Sekalipun tahu aku tak akan bilang
padamu!" Nenek Rambut Hitam marah sekali.
Diulurkannya tangannya. Sekali remas saja
maka hancurlah telapak dan jari jari tangan
kanan sang Ketua! Laki-laki itu menjerit
kesakitan dan memaki habis-habisan!
Kawannya keluarkan keringat dingin.
"Itu masih belum apa-apa," ujar Nenek
Rambut Hitam.
"Kalau kau tetap membangkang tak mau
kasih keterangan, seluruh tubuhmu akan
kubikin hancur! Lekas katakan!"
"Nenek Rambut Hitam, kawanku itu betul-
betul tidak tahu letak sarangnya Sepasang
Elmaut Kuning," berkata kambrat Ketua Partai
Angin Timur.
"Kau tak usah berbacot!" bentak sang nenek.
"Kalau dia tak tahu kau tentu tahu ya?!"
Pucatlah wajah laki-laki itu.
"Ayo lekas kalian katakan! Kalau tidak kalian
akan disiksa sampai setengah mampus!"
teriak Nenek Rambut Biru.
"Nenek Rambut Hitam! Kalian dan kami
masing-masing satu golongan, kenapa
berbuat sejahat ini?" Nenek Rambut Hitam
tertawa melengking,
"Kalau kau dan kambratmu tidak mau binasa
percuma lekas beri keterangan!"
"Kalian penggal pun kami berdua, tetap aku
tak bisa kasih keterangan!"
"Aku mau lihat!" ujar Nenek Rambut Hitam.
Sekali dia gerakkan tangan kanannya maka
tanggallah lengan kiri Ketua Partai Angin
Timur! Laki-laki ini melolong laksana srigala
lapar, mengerikan sekali! Pendekar 212 Wiro
Sableng bergidik.
"Dewa Tuak, aku tak bisa melihat kekejaman
terkutuk itu berjalan lebih lama!" kata Wiro.
Dia bergerak cepat hendak menerobos atap.
Tapi lebih cepat dari itu si orang tua yang
memanggul dua buah bumbung bambu
memegang lengannya dan menjawab dengan
ilmu menyusupkan suara seperti yang
dilakukan oleh Wiro waktu berkata padanya
tadi.
"Biarkan, kita lihat saja! Ketua Partai Angin
Timur tidak beda dengan tiga orang nenek
serta seorang kawannya itu! Mereka sama-
sama dari golongan hitam tukang bikin
kejahatan di dunia persilatan! Biar saja
mereka saling bunuh! Kita menonton saja!"
"Tapi Ketua Partai Angin Timur berada dalam
keadaan tak berdaya!" tukas Wiro Sableng.
"Perduli amat! Sudahlah kita lihat saja!"
bentak Dewa Tuak pula. Wiro Sableng
menggerutu dalam hati lalu dia mengintai lagi
lewat lobang.
"Ayo! Apa kau masih tidak mau kasih
keterangan?!" Si Nenek Rambut Hitam
membentak. Jawaban Ketua Partai Angin
Timur adalah suara raungan yang
mengerikan! Nenek Rambut Hitam berpaling
pada kawan Ketua Partai Angin Timur.
"Jaliwarsa! Kau tentu tak ingin menerima
nasib macam kambratmu itu, bukan?!"
Pucatlah wajah laki-laki yang bernama
Jaliwarsa.
"Apa maksudmu Nenek Rambut Hitam…?"
"Kau tentu tahu! Lekas katakan di mana
tempat kediaman Sepasang Elmaut Kuning!"
"Demi setan aku tidak tahu sama sekali Nenek
Rambut Hitam…" Nenek Rambut Hitam
mendengus marah. Dia berpaling pada anak
buahnya.
"Rambut Biru! Cungkil mata kirinya!" perintah
Nenek Rambut Hitam.
"Tobat! Jangan…!" teriak Jaliwarsa.
"Kalau begitu lekas buka mulut!" sentak
Nenek Rambut Hitam. Jaliwarsa menangis
macam anak kecil. Meratap mengatakan
bahwa dia betul-betul tidak tahu di mana
letak sarang Sepasang Elmaut Kuning.
"Tak ada ampun bagimu! Cungkil matanya!"
bentak Nenek Rambut Hitam. Maka Nenek
Rambut Biru melompat ke muka. Dua buah
jarinya menusuk lurus ke mata kiri Jaliwarsa.
Terdengar suara mengerikan sewaktu biji
mata laki-laki itu mencelat bersama semburan
darah yang disusul oleh suara melolong
Jaliwarsa yang laksana gila karena kesakitan!
PEREMPUAN iblis!" teriak ketua Partai Angin
Timur yang menggeletak di lantai pondok.
"Kalian bunuhlah kami! Biar kami bisa jadi
setan dan mencekik batang leher kalian!"
Nenek Rambut Hitam tertawa mengekeh.
"Nyalimu boleh juga, kunyuk sialan! Kalian
minta mampus cepat-cepat, baiklah! Kalian
memang tidak berguna hidup lebih lama!"
Nenek Rambut Hitam pegang kedua kaki
Ketua Partai Angin Timur dan Jaliwarsa.
Sekali kedua tangannya bergerak maka
mencelatlah tubuh kedua orang laki-laki itu ke
atas atap. Serentak dengan itu si nenek
berseru,
"Tukangtukang intip keparat, terima ini!"
Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut bukan
main. Tak sangka kalau si nenek begitu lihai
sehingga sudah mengetahui kehadirannya
bersama Dewa Tuak di atas atap! Wiro dan
Dewa Tuak cepat melompat ke samping. Pada
saat itu pula atap pondok bobol dihantam
dua tubuh yang dilemparkan Nenek Rambut
Hitam! Tubuh Ketua Partai Angin Timur
menghantam sebuah pohon, pinggangnya
hancur dan jatuh ke tanah tanpa nyawa!
Kawannya menyangsang sebentar di sebuah
pohon lain, lalu jatuh bergedebuk di tanah
dengan kepala pecah! Maklum kalau tiga
perempuan tua berbadan bungkuk itu sudah
mengetahui kedatangannya bersama Wiro,
maka Dewa Tuak segera melompat turun,
masuk ke dalam pondok lewat atap yang
bobol. Wiro menyusul dan berdiri di
sampingnya. Kelima orang itu saling menyapu
dengan pandangan mata masing-masing.
Diam-diam ketiga nenek itu mengagumi
kegagahan tampang Wiro Sableng meskipun
kegagahan itu agak dibayangi oleh mimik
ketololan! Sedang masing-masing mereka
sama kerenyitkan kening sewaktu melihat
Dewa Tuak membawa dua buah bumbung
bambu yang agaknya berisi cairan. Cairan
apa mereka tak bisa menduga.
"Siapa kau?!" tanya Nenek Rambut Hitam.
"Dan kau juga?!" katanya sambil goyangkan
kepala pada Wiro Sableng. Dewa Tuak tak
segera menjawab melainkan mengangkat
salah satu dari bumbung bambu dan meneguk
isinya beberapa kali. Perlu diketahui kedua
bumbung itu tidak ditutup. Meski dibawa
berlari bagaimanapun kencangnya atau
dibawa melompat namun satu tetes pun tuak
itu tidak tumpah. Ini adalah berkat kehebatan
tenaga dalam Dewa Tuak yang sudah
mencapai tingkat kesempurnaannya! Nenek
Rambut Hitam merasa gusar sekali karena
pertanyaannya tak segera dijawab. Tapi
karena maklum bahwa si orang tua
berjanggut itu bukan seorang yang bisa
dianggap remeh maka dia cuma memandang
saja dengan mata mendelik!
"Sobat-sobatku," kata Dewa Tuak kepada tiga
orang nenek,
"Sebelum kita bicara-bicara apakah tidak
lebih bagus kalau kalian mencicipi tuakku ini
dulu?" Nenek Rambut Hitam terkesiap
seketika. Diperhatikannya orang tua di
hadapannya lebih teliti. Kemudian,
"Kalau aku tak salah duga, apakah kau
manusia yang bergelar Dewa Tuak?!" Dewa
Tuak usut-usut janggutnya yang panjang
sampai ke dada lalu tertawa dan meneguk lagi
tuaknya beberapa kali.
"Aku memang doyan tuak, tapi aku bukan
dewa!"
"Sejak puluhan tahun belakangan ini kau
lenyap dari dunia persilatan! Tahu-tahu kini
muncul unjukkan tampang! Tentu ada yang
menyebabkannya! Apakah kau yang sudah tua
karatan ini telah terlibat pula dalam urusan
mencari lukisan perempuan telanjang itu?!"
Dewa Tuak tertawa gelak-gelak.
"Rupanya di dalam otakmu hanya lukisan itu
saja yang teringat nenek bangkotan! Kita
yang sudah tua-tua begini bukan tempatnya
lagi mengurus segala macam persoalan
duniawi!"
"Lantas perlu apa kau datang ke sini dan
mengintip tak tahu adat?! Dan cecunguk hijau
ini apamu?!" Wiro Sableng keluarkan suara
bersiul sewaktu dirinya disebul cecunguk hijau
lalu tertawa geli!
"Orang muda! Nyalimu cukup besar untuk
berani tertawa di hadapanku!"
"Tertawa saja apa susahnya?!" ujar Wiro lalu
tertawa lagi lebih keras hingga pondok itu
terdengar hebat! Kagetlah Nenek Rambut
Hitam dan kedua anak buahnya. Tiada
dinyana kalau si anak muda memiliki tenaga
dalam yang sehebat itu!
"Kau tanyakan dia?" ujar Dewa Tuak seraya
tuding Wiro dengan ibu jarinya.
"Dia adalah calon mantuku yang tidak jadi!"
Lalu orang tua ini tertawa bekakakan sampai
kedua matanya berair. Wiro cuma cengar-
cengir mendengar ucapan Si Dewa Tuak.
"Cepat terangkan mengapa kau berada di
daerah ini?!" Saat itu untuk pertama kalinya
Nenek Baju Biru buka suara,
"Pemimpin, bukan tak mungkin bangsat-
bangsat ini tengah mencuri dengar
percakapan kita tadi dengan Ketua Partai
Angin Timur dan Jaliwarsa. Disangkanya
mereka akan dapat diam-diam mencuri
dengar keterangan sarang Sepasang Elmaut
Kuning!" Nenek Rambut Putih menimpali,
"Bukan tak mungkin pula mereka tahu banyak
tentang soal lukisan itu, pemimpin!" Ucapan-
ucapan anak buahnya itu termakan oleh
Nenek Rambut Hitam. Maka segera dia
memerintah,
"Rambut Biru! Kau ringkus si tua bangka itu!
Dan kau Rambut Putih, bekuk cecunguk hijau
itu!" Nenek Rambut Biru memang lebih tinggi
kepandaiannya dari Rambut Putih maka dia
disuruh meringkus Dewa Tuak.
"Perempuan-perempuan keriputan! Kalian
betul-betul tidak tahu adat!" gerutu Dewa
Tuak lalu cepat-cepal menyingkir ke samping
kanan, mengelakkan totokan yang dilancarkan
Nenek Rambut Biru! Sambil mengelak Dewa
Tuak angkat bumbung bambunya hingga
ujungnya dengan tiada terduga menyerang ke
arah pinggang lawan! Tapi Nenek Rambut
Biru tidak berkepandaian rendah! Penasaran
melihat totokannya lewat, dengan satu jeritan
keras dia menyerang kembali! Maka terjadilah
pertempuran yang hebat. Nenek Rambut Putih
di lain pihak maju menghadapi Wiro Sableng.
Dengan memandang enteng dia lakukan
serangan dan sekali menyerang dia yakin
akan sanggup meringkus si pemuda hidup-
hidup. Tapi alangkah terkejutnya ketika
sambil tertawa lawannya berkelit dengan
mudah bahkan berkata mengejek,
"Ah, jurus seperti ini telah kulihat kau
pergunakan untuk menyerang Si Pelukis
Aneh!"
"Bocah hijau! Ada hubungan apa kau dengan
Si Pelukis Aneh?!" tanya Nenek Rambut Putih.
Wiro tertawa. Bukan dia menjawab
pertanyaan si nenek malah berkata,
"Orang tua semacammu ini sepantasnya
banyak bikin ibadat dan sucikan diri!
Bukannya malang melintang bikin kejahatan
dan ikut campur segala macam urusan
duniawi!"
"Kentut ingusan. Atas nasihatmu itu aku akan
hadiahkan jurus Ekor Naga Mematuk Cakar
Garuda Berkiblat! Terimalah!" Gerakan si
nenek sebat sekali. Tubuhnya tinggal
bayangan dan tahu-tahu tiga jari tangan
kanannya menotok ke dada, sedang lima jari
kiri mencakar ke arah muka. Cakaran yang
datangnya lebih dulu itu sebenarnya hanya
tipuan belaka karena serangan yang
sebenarnya ialah totokan pada dada! Bila
lawan coba hindarkan mukanya dari cakaran
maka kecepatan totokan tangan akan
ditambah dua kali lipat! Dan celakanya
Pendekar 212 kini kena tertipu! Begitu melihat
lima jari mencakar di depan hidung dia segera
buang kepala ke belakang dan kaki kanan
menderu ke arah si nenek. Namun di saat itu
si nenek sudah melesat ke samping, sedang
tiga jari tangannya dengan kecepatan luar
biasa menderu ke arah dada Wiro Sableng!
Penasaran sekali karena dia tahu bahwa
totokan yang lihai itu tak mungkin dikelit
maka Wiro hantamkan tangan kanannya dari
atas ke bawah! Dua lengan pun beradu! Si
nenek berseru keras. Dia tersurut sampai dua
tombak, mukanya pucat bahkan terkejut.
Nenek Rambut Hitam segera maklum bahwa
tenaga dalam anak buahnya itu jauh
rendahnya dari si pemuda. Ini adalah satu hal
yang tak pernah disangkanya. Dan ketika dia
memandang ke lengan Si Rambut Putih,
lengan neneknenek itu kelihatan bengkak
membiru sedang lengan Wiro Sableng hanya
berbekas merah sedikit! Kemudian dilihatnya
pula pertempuran si rambut biru dengan Dewa
Tuak. Anak buahnya itu tengah dibikin sibuk
bahkan dipermainkan malah! Gusarlah Nenek
Rambut Hitam. Segera dia berseru,
"Kalian berdua jangan bikin malu aku! Kuberi
kesempatan tiga jurus lagi! Jika kalian tak
bisa meringkus kunyuk-kunyuk itu, kalian
akan tahu rasa!" Mendengar seruan Si
Rambut Hitam, Rambut Putih dan Rambut
Biru jadi takut sekali. Keduanya segera
loloskan setagen yang melilit di pinggang
masing-masing lalu menyerang dengan lebih
sebat! Dua setagen yang merupakan senjata
ampuh itu tak ubahnya laksana dua ekor ular
besar yang meliuk-liuk sebat kian kemari,
kadang-kadang bergerak cepat membelit
pinggang, kadang-kadang menotok jalan
darah bahkan kadang-kadang mematuk ke
arah kedua mata! Dan semua itu terjadi
bertubi-tubi laksana kilat. Betapapun Wiro
dan Dewa Tuak percepat gerakan silat mereka,
namun tetap saja keduanya dibikin terdesak
dan tak sanggup ke luar dari gulungan
setagen lawan!
"Setagen sialan," gerendeng Pendekar 212.
Baik dia maupun Dewa Tuak kini segera
merubah sikap. Kalau tadi mereka cuma
main-main dan mengejek lawan mereka, maka
setelah terdesak hebat dan terkurung setagen
yang berbahaya itu, mereka mulai lancarkan
serangan-serangan balasan sehingga
pertempuran berjalan semakin hebat! Dalam
tempo yang singkat lima jurus telah lewat.
Nenek Rambut Hitam penasaran sekali
melihat kedua anak buahnya tiada sanggup
meringkus lawan masingmasing, padahal tiga
jurus yang ditentukannya telah berlalu!
"Kalian berdua mundurlah!" bentaknya marah.
Nenek Rambut Biru segera melompat mundur.
Namun karena agak gugup ketakutan oleh
bentakan pemimpinnya, dia menjadi sedikit
lengah dan akibatnya ujung selendangnya
berhasil ditarik oleh Dewa Tuak sehingga
robek! Dewa Tuak tertawa gelak-gelak! Di lain
pihak Nenek Rambut Putih begitu melompat
begitu dirasakannya sekujur tubuhnya tak
sanggup digerakkan. Ketika ditelitinya
ternyata lawannya telah melibat sekujur
badannya dengan setagennya sendiri!
Pucatlah paras nenek tua ini. Dia maklum
bahwa pemuda itu berilmu tinggi sekali dan
kalau bermaksud jahat pastilah sudah sejak
tadi dia kena celaka! Nenek Rambut Hitam
maju ke hadapan kedua orang itu.
"Bagus!" katanya.
"Rupanya kalian memiliki ilmu yang
diandalkan! Aku mau lihat! Apakah kalian
maju berdua atau seorang-seorang?!" Dewa
Tuak mendengus.
"Bagusnya berdua sekaligus biar lekas
kubereskan!" Dewa Tuak tertawa lagi dan
meneguk tuaknya beberapa kali.
"Dengar Rambut Hitam," kata Dewa Tuak
pula.
"Mainmain dengan dua orang anak buahmu
itu sudah cukup. Lain kali saja kau kami
hadapi…!"
"Kentut tua bangka! Katakan saja kau tidak
punya nyali menghadapi Nenek Rambut
Hitam!" Dewa Tuak ganda tertawa. Dia
berpaling pada Wiro Sableng dan berkata,
"Mari kita pergi!" Tapi baru saja dia bergerak
Nenek Rambut Hitam sudah melompat ke
hadapannya dan kirimkan satu serangan yang
luar biasa dahsyatnya. Kalau saja si orang
tua tidak bersikap waspada pastilah dadanya
akan kena jotosan keras dan mukanya
disambar cakaran dahsyat! Marahlah Dewa
Tuak melihat kenekatan si nenek.
"Dasar tua bangka geblek! Masih saja
mengikuti amarah membabi buta!"
"Jangan banyak ribut setan tua! Makan jariku
ini!" Dengan lebih ganas lagi Nenek Rambut
Hitam menyerbu ke muka. Lima jari tangan
kanan bergerak ke perut sedang lima jari
tangan kiri mencengkeram ke muka Dewa
Tuak. Angin serangan ini bukan main
derasnya. Dewa Tuak memaklumi bahwa
dibandingkan dengan kedua anak buahnya
sekaligus, si nenek yang satu ini jauh lebih
berbahaya! Dewa Tuak melompat ke belakang
dan putar kedua bumbung tuaknya. Maka
punahlah kedua serangan Nenek Rambut
Hitam! Sebelum si nenek menyerang lagi Dewa
Tuak berseru,
"Wiro kau layanilah perempuan bongkok jelek
ini!" Terkejutlah Nenek Rambut Hitam dan dua
nenek lainnya sewaktu Dewa Tuak menyebut
nama si pemuda.
"Manusia-manusia keparat! Kau berani main-
main terhadapku?!" sentak Nenek Rambut
Hitam.
"Siapa yang main-main? Kau tanya aku
jawab!" sahut Dewa Tuak.
"Apakah kau manusianya yang bernama Wiro
Sableng?! Yang bergelar Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212?!" tanya Nenek Rambut Hitam.
"Ah, perlu apa segala macam nama, segala
macam gelar! Majulah! Kuharap kau yang tua
mau memberikan sedikit pelajaran padaku si
bocah hijau!" sahut Wiro pula. Meski Wiro
tidak mengaku terus terang siapa dia adanya
namun Nenek Rambut Hitam yakin bahwa
pemuda itu memang Wiro Sableng si Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212! Sejak berbulan-
bulan belakangan ini dia telah mendengar
tentang munculnya seorang pemuda gagah di
dunia persilatan, yang bernama Wiro Sableng
berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Banyak tokoh silat golongan hitam yang
berilmu tinggi mati konyol di tangannya.
Bahkan terakhir sekali, Dewi Siluman Dari
Bukit Tunggul, kabarnya juga telah menemui
kematian di tangan pendekar muda ini! Mau
tak mau si Nenek Rambut Hitam menjadi
gentar juga. Untuk mengelakkan baku bantam
dengan si pemuda tapi tanpa kehilangan
muka maka Nenek Rambut Hitam berpaling
pada Dewa Tuak dan berkata lantang,
"Kalau kau tak punya nyali untuk
menghadapiku, sebaiknya segera angkat kaki
dari sini!" Dewa Tuak yang sudah dapat
menduga hati perempuan itu tertawa dan
berkata,
"Aku yang tak punya nyali atau kau yang
takut hadapi kawanku itu?" Nenek Rambut
Hitam tertawa bergetar.
"Orang muda! Tadinya aku hanya berniat
untuk meringkusmu hidup-hidup! Tapi karena
kau begitu berani menantangku, terpaksa
umurmu cuma sampai hari ini saja!" Sesudah
berkata begitu si nenek menerjang ke muka.
Wiro bergerak cepat. Mengelak dan lancarkan
serangan balasan yang anginnya saja
membuat si nenek mengeluh! Tenaga dalam si
pemuda jauh lebih tinggi dari yang
dimilikinya. Dalam tempo dua jurus Nenek
Rambut Hitam tak sanggup lagi lancarkan
serangan-serangan bahkan musti
mempertahankan diri dan dalam jurus
keempat terdesak hebat ke pojok pondok!
Tiba-tiba si nenek melengking dahsyat!
Tubuhnya lenyap dan jurus permainan
silatnya berubah sama sekali. Serangannya
gencar tiada terduga. Gerakan kaki dan
tangannya mendatangkan angin bersiuran dan
tipu-tipunya berbahaya mematikan! Inilah
ilmu silat tangan kosong yang dinamakan
Ilmu Silat Delapan Kaki Delapan Tangan yang
telah dipelajari Nenek Rambut Hitam dari
mendiang gurunya! Ilmu Silat Delapan Kaki
Delapan Tangan memang patut dikagumi.
Nyatanya selama lima jurus Wiro Sableng
dibikin bingung dan musti berhati-hati. Meski
ilmu meringankan tubuh serta tenaga
dalamnya jauh di atas si nenek namun
gerakan lawan yang tiada terduga-duga itu
mematahkan pertahanannya! Dan dua jurus di
muka satu hantaman telapak tangan si nenek
berhasil mampir di dada Pendekar 212! Wiro
merasakan dadanya sakit dan nafasnya sesak.
Dia maklum kalau saja dia tidak lebih tinggi
tenaga dalamnya dari si nenek pastilah dia
akan mendapat luka di dalam yang amat
berbahaya! Di lain pihak Nenek Rambut Hitam
tidak kepalang tanggung. Dia menyerbu lagi
dengan lebih gencar! Tangan dan kakinya
laksana bertambah menjadi beberapa pasang
lagi! Dan kembali Wiro Sableng terdesak!
Dewa Tuak kerenyitkan kening. Hanya
sebegitukah kehebatan Pendekar 212 sehingga
menghadapi ilmu silat si nenek dia sudah
dibikin kewalahan demikian rupa?! Si nenek
sendiri juga tiada menyangka bahwa dia akan
berhasil memukul lawannya. Diam-diam dia
merasa berada di atas angin kini! Tiba-tiba
Wiro menyurut sejauh satu tombak.
"Ha… ha! Apakah nyalimu sudah lumer orang
muda?!" ejek Nenek Rambut Hitam.
"Ah, jangan lekas-lekas berbesar hati sobat
tua! Kau rasakan dulu pukulanku ini!" sahut
Wiro. Serentak dengan itu dia sudah alirkan
sebagian tenaga dalamnya ke ujung tangan
kanan. Tangan itu dikepal dan diangkat ke
atas. Didahului oleh satu bentakan nyaring,
Wiro Sableng pukulkan tangannya ke arah si
nenek. Begitu memukul begitu jari-jari tangan
yang mengepal membuka kembali! Inilah
Pukulan Kunyuk Melempar Buah yang tak
asing lagi! Nenek Rambut Hitam terkejut
sekali sewaktu merasakan gelombang angin
keras laksana batu besar melanda ke arahnya.
Sambil pukulkan kedua tangannya sekaligus
untuk menangkis dia cepat-cepat jungkir balik
lalu membuang diri ke samping! Braaak!
Dinding pondok di belakang si nenek pecah
dan berhamburan! Tergetarlah hati Nenek
Rambut Hitam melihat kehebatan pukulan itu.
Setelah tenangkan hatinya dia maju
menghadapi lawannya kembali. Dan pada
saat itu untuk pertama kalinya Wiro Sableng
membuka jurus pertempuran dengan
menyerang lebih dahulu! Si nenek dibikin
gelagapan kini. Serangannya selalu mengenai
tempat kosong sedang pertahanannya saat
demi saat semakin mengendur. Bila dia tidak
kuat lagi menghadapi pemuda itu maka tanpa
malu-malu Nenek Rambut Hitam lepaskan
setagen dan cabut tusuk konde emas dari
rambutnya! Dengan kedua senjata itu dia
menyerang Wiro Sableng. Setelah bertempur
dua jurus maka Wiro segera mengetahui
bahwa tusuk konde yang kecil di tangan
kanan si nenek jauh lebih berbahaya daripada
setagen di tangan kanannya! Semakin lama
pertempuran semakin seru. Tibatiba si nenek
hentikan gerakannya dan memandang bingung
karena lawannya lenyap seperti ditelan bumi!
"Aku di sini, Rambut Hitam!" Terdengar suara
Wiro di belakangnya! Nenek Rambut Hitam
kertakkan geraham dan secepat kilat
membalikkan tubuh. Tapi begitu tubuhnya
membalik maka, plaaak…! Telapak tangan
kanan Wiro Sableng menghantam keningnya!
Perempuan tua itu melengking kesakitan.
Tubuhnya mencelat menghantam dinding
pondok. Pemandangannya gelap, kepalanya
terasa pening sedang keningnya sakit bukan
main! Kedua anak buah Nenek Rambut Hitam
terkejut! Belum pernah mereka melihat
pemimpin mereka dihajar demikian rupa!
Selama ini tak pernah seorang pun yang
sanggup menghadapi Nenek Rambut Hitam
tanpa mendapat celaka! Dan yang membuat
mereka lebih terkejut lagi ialah sewaktu
melihat kening pemimpin mereka.
"Pemimpin, keningmu!" seru Nenek Rambut
Biru. Nenek Rambut Hitam usap keningnya.
Kening itu sakit sekali dan panas, tapi tidak
terluka. Namun apakah yang menyebabkan
Rambut Biru demikian terkejutnya? Tak lain
karena akibat pukulan telapak tangan kanan
Wiro tadi kini di kening Nenek Rambut Hitam
tertera tiga deretan angka yaitu 212! Dewa
Tuak tertawa gelak-gelak dan cegluk…
cegluk… cegluk, dia lalu teguk tuaknya.
"Rambut Hitam, sobatku telah hadiahkan tiga
buah angka di keningmu! Apakah kau masih
belum mau mengaku kalah?!" Berubahlah
paras Nenek Rambut Hitam! Dia maklum apa
yang telah terjadi kini. Pukulan 212 yang
mengguratkan angka telah menimpa
keningnya. Tiga deretan angka itu tak akan
bisa dihilangkan seumur hidupnya! Nenek
Rambut Hitam menggerutu macam singa
lapar!
"Anak haram jadah mampuslah!" lengking si
nenek. Tangan kanannya diangkat tinggi-
tinggi ke atas dan mulutnya berkomat-kamit.
Seluruh pondok itu dengan tibatiba dilanda
hawa yang amat dingin menyembilu. Wiro
sendiri yang tak mengerti apa yang tengah
terjadi sampaisampai bergeletar tubuhnya
dilanda hawa dingin itu. Geraham-
gerahamnya bergemeletukan. Melihat ada
kelainan ini secepat kilat Dewa Tuak berseru,
"Wiro cepat menghindar! Bangsat keriput ini
mau lepaskan pukulan Salju Kematian!" Habis
berteriak begitu Dewa Tuak secepat kilat
meneguk tuaknya. Dalam pada itu Nenek
Rambut Hitam melengking nyaring dan
hantamkan tangan kanannya ke arah Wiro
dan Dewa Tuak! Satu gelombang benda putih
yang bentuknya putih seperti salju, menderu
amat dingin ke arah kedua orang itu. Dewa
Tuak runcingkan mulutnya yang
menggembung lalu menyembur ke muka!
Terdengar suara laksana air bah sewaktu
semburan tuak dan pukulan salju kematian
saling beradu. Bumi seperti mau kiamat. Dewa
Tuak cepat tarik lengan Wiro Sableng lalu
melompat ke atas atap menerobos melewati
lobang besar. Dari sebuah cabang pohon
kemudian Wiro melihat bagaimana pondok itu
hancur lebur dan setengahnya tertimbun oleh
lapisan salju putih! Wiro memandang
berkeliling dengan cepat. Ketiga nenek itu
tidak kelihatan. Pendekar 212 lalu putar
kepala ke cabang di samping. Dia terkejut
sewaktu melihat Dewa Tuak duduk bersila di
atas cabang dengan pejamkan mata. Wajah
orang tua ini pucat sekali. Rupanya bentrokan
ilmu pukulan tadi telah membuat si orang tua
menderita luka di dalam yang parah juga.
Lama Dewa Tuak bersila seperti itu. Sewaktu
dia buka kedua matanya kembali, cepat-cepat
diambilnya sebutir pil dan ditelannya. Sesaat
kemudian wajahnya yang pucat telah normal
lagi seperti biasa! Dewa Tuak tarik nafas
panjang, geleng-gelengkan kepala dan
leletkan lidah sewaktu memandang ke pondok
yang kini tertimbun salju kematian itu!
"Ternyata benar perempuan busuk itu telah
mendapatkan ilmu Pukulan Salju Kematian!"
kata Dewa Tuak seakan-akan pada dirinya
sendiri.
"Kelihatannya masih kurang sempurna. Tapi
sudah demikian luar biasa…!" Wiro sendiri
diam-diam bergidik juga melihat pukulan
yang bernama Salju Kematian itu. Tenaga
dalam Dewa Tuak berada jauh di atas Nenek
Rambut Hitam, tapi pukulan Salju Kematian
yang dilepaskan si nenek membuat Dewa Tuak
menderita luka yang cukup hebat!
"Meski seseorang memiliki tenaga dalam yang
sepuluh kali lebih tinggi, tapi jangan coba-
coba berani adu kekuatan dengan pukulan
salju kematian itu." Dewa Tuak gelenggeleng
kepala kembali.
"Aku tak mengerti, bagaimana keparat betina
itu berhasil memiliki ilmu Salju Kematian. Itu
adalah salah satu dari beberapa ilmu pukulan
yang pernah menggetarkan dunia persilatan
dan menjadi rajaraja ilmu pukulan!"
"Jika ilmu semacam itu dipergunakan untuk
kejahatan bisa berbahaya," kata Wiro pula.
"Itulah yang aku kuatirkan," desis Dewa Tuak.
Diam-diam Wiro ingin sekali menghadapi
Nenek Rambut Hitam itu kembali. Apakah
ilmu pukulan Sinar Matahari-nya sanggup
menghadapi ilmu pukulan Salju Kematian itu?
"Dewa Tuak, apa yang kita buat sekarang?"
tanya Wiro.
"Aku bermaksud meneruskan perjalanan
mencari lukisan telanjang itu…" Tak ada
jawaban. Wiro berpaling. Astaga! Dewa Tuak
tak ada lagi di sampingnya. Dia mencari-cari
tapi orang tua itu tiada kelihatan.
"Dewa Tuak! Di mana kau?!" teriak Wiro
memanggil. Tetap tak ada jawaban. Wiro
hendak melompat turun. Tapi tiba-tiba pada
batang pohon di mana dia berada dilihatnya
sebaris tulisan 'Pergilah ke Utara!'. Pasti itu
adalah tulisan Dewa Tuak. Maka tanpa
menunggu lebih lama Wiro segera melompat
dari atas pohon. MATA yang cuma sebuah itu
memandang tanpa berkedip pada lukisan
perempuan telanjang yang terletak di atas
meja. Digelengkannya kepalanya lalu
dirobahnya letak lukisan itu dan ditelitinya
kembali. Dirobahnya lagi, ditelitinya lagi,
demikian sampai satu jam lebih. Akhirnya dia
menjadi penasaran sekali dan memaki habis-
habisan.
"Keparat betul! Keparat betul!"
"Mata Picak!" satu suara menegur laki-laki
yang memaki-maki itu.
"Lama-lama kau bisa jadi gila!" Elmaut
Kuning Mata Picak palingkan kepala dan
mendelikkan matanya yang cuma satu.
"Kuping Sumplung! Kau bisanya mengejek
saja!" kata si Mata Picak.
"Perlu apa tergesa-gesa? Toh lukisan itu
sudah ada di tangan kita. Dan lambat laun
pasti kita akan berhasil membongkar rahasia
yang terkandung di dalamnya!"
"Tolol betul kau Kuping Sumplung!" sentak
Mata Picak.
"Apa kau tidak tahu dunia persilatan kalang
kabut? Tokohtokoh persilatan kasak-kusuk
mencari-cari lukisan ini? Ingat waktu lukisan
ini dirampas oleh Awan Langit tempo hari?
Aku khawatir lukisan yang mengandung ilmu
silat hebat ini akan dirampas orang lain lagi
sebelum kita berhasil memecahkan
rahasianya!"
"Tapi marah-marah dan memaki begitu mana
mungkin kau bakal bisa menecahkannya!" ujar
Elmaut Kuning Kuping Sumplung. Keduanya
bukan lain daripada dua tokoh silat golongan
hitam yang bergelar Sepasang Elmaut Kuning.
Merekalah yang telah membunuh Si Pelukis
Aneh dan melarikan lukisan perempuan
telanjang. Lukisan itu telah lama berada di
tangan mereka namun tak seorang pun dari
mereka yang berhasil memecahkan
rahasianya. Lukisan itu telah berpuluh-puluh
jam mereka teliti mereka jungkir balikkan,
namun tetap saja tak dapat mereka
membongkar rahasia ilmu silat yang menurut
keterangan terkandung dalam lukisan itu!
Jangan-jangan Si Pelukis Aneh hanya menipu
saja! Lukisan ini tak ada apa-apanya! Elmaut
Kuning Kuping Sumplung perhatikan lengan
kirinya yang buntung akibat dibetot putus
oleh Si Pelukis Aneh sewaktu bertempur
beberapa bulan yang lalu! Dia kemudian
tertawa dingin dan berkata,
"Kau sekarang yang jadi orang tolol! Kalau
lukisan ini tak ada apa-apanya masakan
orang tua keparat itu sampai-sampai mau
mengadu jiwa!" Elmaut Kuning Mata Picak
jambak-jambak rambutnya.
"Tapi sialan sekali! Masakan sampai saat ini
kita tak bisa memecahkan rahasianya?!"
Kuping Sumplung duduk di sebuah bangku
batu. Ditatapnya sebentar lukisan di
hadapannya. Dia sendiri sebenarnya heran
juga karena sampai sedemikian lama tak
sanggup membongkar rahasia lukisan
tersebut.
"Apakah kau sudah meneliti kayu pigura
lukisan itu?!" bertanya Elmaut Kuning Kuping
Sumplung.
"Setiap sudut lukisan ini sudah kuteliti. Juga
bagian belakangnya!" sahut Mata Picak.
"Agaknya kita membutuhkan seseorang yang
bisa membuka rahasia lukisan ini…" desis
Kuping Sumplung.
"Tapi siapa manusianya?!" tanya Mata Picak.
"Satusatunya manusia yang tahu rahasia
lukisan ini adalah Si Pelukis Aneh sendiri! Dan
dia sudah mampus di tangan kita!"
"Siapa tahu calon muridnya juga
mengetahui…" kata Kuping Sumplung pula.
Elmaut Kuning Mata Picak tertegun.
"Mungkin juga…" desisnya.
"Kalau begitu kita datangi anak itu kembali
dan paksa dia memberi keterangan!" ujar
Kuping Sumplung seraya berdiri dari
duduknya.
"Tempat anak itu ratusan kilo dari sini…"
"Soal jauh bukan halangan!" potong Kuping
Sumplung.
"Ada hal lain yang aku khawatirkan," ujar
Mata Picak.
"Apa?"
"Kalau kita pergi berarti kita harus membawa
lukisan ini. Dan kau tahu sendiri! Puluhan
orang-orang persilatan mengincar-incar
lukisan ini! Kita bisa konyol sendiri dikeroyok
beramai-ramai!" Elmaut Kuning Kuping
Sumplung tertawa dingin.
"Apa nyalimu sudah keropok?!" ejeknya
dengan pencongkan hidung. Mata Picak
menjadi gusar.
"Mulutmu kelewat tekebur, Kuping Sumplung!
Meski kita berilmu tinggi namun aku tak mau
terlibat dengan manusia-manusia yang
membikin kita jadi berabe dan tambah urusan!
Di lain hal kita musti mengakui bahwa di atas
kita masih ada tokoh-tokoh persilatan yang
benar-benar lihai dan kosen! Apakah kau mau
kehilangan satu lenganmu lagi?!" Merah-lah
paras Elmaut Kuning Kuping Sumplung. Dia
balikkan badannya dengan cepat hendak
tinggalkan tempat itu. Tapi mendadak di
ambang pintu goa langkahnya tertahan dan
parasnya berubah.
"Mata Picak! Lekas ke sini!" seru Kuping
Sumplung. Mata Picak heran mendengar nada
seruan kawannya itu. Dia melangkah cepat ke
pintu goa dan terkejut. Goa di mana mereka
berada itu terletak di satu dasar lembah yang
penuh dengan batu-batu besar. Di balik batu-
batu yang bertebaran di lembah kelihatan
banyak sekali orang laki-laki yang berseragam
hitam. Di tangan masing-masing tergenggam
sebatang golok besar berbentuk empat segi
seperti golok penjagal babi! Menurut taksiran
Mata Picak, orang-orang yang ada di lembah
itu semuanya berjumlah sekitar duapuluh
orang! Melihat kepada golok-golok besar
empat persegi di tangan mereka yang
berkilau-kilau ditimpa sinar matahari, melihat
pula kepada pakaian seragam hitam yang
mereka kenakan, Sepasang Elmaut Kuning
segera mengenali siapa mereka itu adanya.
"Kroco-kroco sialan ini pasti hendak
membalaskan sakit hati ketua mereka," desis
Mata Picak.
"Kurasa demikian. Agaknya mereka belum
tahu letak tempat kita ini. Apakah perlu kita
segera bertindak…?" tanya Kuping Sumplung.
Mata Picak manggut-manggut. Dengan
tersenyum aneh dia melangkah ke luar dari
goa. Kuping Sumplung mengikut di belakang.
Tiba-tiba Elmaut Kuning Mata Picak melesat
ke balik sebuah batu besar. Dalam kejap itu
pula terdengar suara keluhan pendek. Di lain
kejap dari balik batu itu melesatlah sesosok
tubuh berpakaian hitam, laksana terbang ke
udara dan kemudian jatuh di atas sebuah
batu besar dalam keadaan tulang belulang
hancur berantakan! Belasan manusia
berpakaian hitam-hitam yang ada di lembah
batu itu terkejut dan lari ke batu besar di
mana kawan mereka menggeletak mengerikan
tanpa nyawa! Semuanya terkejut dan berubah
paras masing-masing. Dan darah mereka
tersirap sewaktu di lembah batu itu
mengumandang dua buah suara tertawa yang
menggidikkan! Ketika mereka palingkan
kepala, semuanya melihat dua orang berjubah
kuning berewokan berdiri di atas sebuah batu
yang menjulang lima tombak tingginya!
"Sepasang Elmaut Kuning!" seru mereka
hampir serentak. Elmaut Kuning Mata Picak
dan Kuping Sumplung tertawa lagi cekakakan.
Tiba-tiba Mata Picak hentikan tawanya dan
bertanya membentak,
"Siapa yang menjadi pemimpin rombongan
tikus-tikus busuk ini?!" Seorang laki-laki
berbadan tegap, berkumis melintang, dada
berbulu, melompat ke muka dan menuding
keren.
"Kalian berdua turunlah untuk menerima
kematian!" Sepasang Elmaut Kuning saling
pandang lalu untuk kesekian kalinya tertawa
lagi gelak-gelak.
"Apakah kau mimpi atau mengigau di siang
bolong?!" sentak Kuping Sumplung.
"Ketuamu sudah mampus di tangan kami!"
"Ketua Perguruan Seberang Kidul boleh
lenyap. Tapi Perguruan Seberang Kidul tak
dapat dimusnahkan dari muka bumi ini…!"
"Kalau begitu kami Sepasang Elmaut Kuning
akan menggusur Perguruan Seberang Kidul
hari ini juga hingga cuma tinggal nama!"
"Tak usah bermulut besar! Lekas turun!" teriak
si kumis melintang. Dia dan kawan-kawannya
adalah anak-anak murid Perguruan Seberang
Kidul. Ketua mereka telah menemui kematian
di tangan Sepasang Elmaut Kuning gara-gara
terlibat dalam perebutan lukisan perempuan
telanjang!
"Tikus-tikus busuk! Ketahuilah kalian akan
melepas jiwa di sini!" teriak Mata Picak dan
serentak dengan itu, diikuti oleh kambratnya
si Kuping Sumplung dia melompat ke bawah.
Belasan laki-laki bersenjata golok besar dan
berpakaian seragam hitam segera mengurung
dan dengan serempak menyerbu Sepasang
Elmaut Kuning! Maka terjadilah pertempuran
yang amat hebat di lembah berbatu-batu itu.
"Kalian mencari mati!" seru Mata Picak.
"Bangkai kalian akan membusuk di sini! Akan
digerogoti burung-burung pemakan mayat!"
bentak Kuping Sumplung! Lalu keduanya
dengan berbarengan hantamkan tangan kanan
ke muka. Dua larik sinar kuning menderu.
Puluhan benda berwarna kuning yang
berbentuk paku beterbangan gencar ke arah
anak-anak murid Perguruan Seberang Kidul
yang hendak menuntut balas kematian ketua
mereka.
"Paku Emas Beracun!" pekik anak-anak murid
Perguruan Seberang Kidul. Yang
berkepandaian tinggi putar golok mereka
dengan sebat menangkis. Yang lain-lain
berserabutan menghindar. Tapi serangan
senjata rahasia paku emas beracun dari kedua
tokoh silat golongan hitam itu luar biasa
sekali, tak sanggup ditangkis, sukar dikelit!
Dua kelompok anak-anak murid Perguruan
Seberang Kidul roboh bertumpukan. Mereka
berkelojotan sebentar lalu diam meregang
jiwa! Tubuh masing-masing penuh ditancapi
paku-paku emas beracun! Dua belas orang
yang masih hidup dengan kalap membabi-
buta menyerang Sepasang Elmaut Kuning.
Dua belas golok besar menderu bersirebut
cepat! Laksana hujan menerpa ke arah dua
manusia yang diserang! Sepasang Elmaut
Kuning ganda tertawa. Keduanya hantamkan
tangan kembali ke muka. Dan terdengar lagi
pekikan-pekikan manusia yang dilanda
serangan senjata rahasia itu. Delapan orang
menggeletak roboh! Delapan jiwa melayang!
"Kawan-kawan larilah!" seru seorang dari
empat anak murid Perguruan Seberang Kidul
yang masih hidup. Maka serentak dengan itu
keempatnya keluar dari kalangan pertempuran
dan melarikan diri.
"Mau lari ke mana?!" bentak Mata Picak.
"Kalian musti ikut sama-sama kawan kalian
ke neraka!" Lalu menyusul selarik sinar
kuning menderu ke punggung keempat orang
yang lari menyelamatkan jiwa itu. Sinar
kuning menyambar! Keempatnya mencelat
mental dan menjerit, lalu roboh menyusul
kawan-kawan mereka! Seperti yang dikatakan
oleh Elmaut Kuning Kuping Sumplung tadi,
maka kini Perguruan Seberang Kidul betulbetul
hanya tinggal nama saja lagi!
"Manusia-manusia tolol!" desis Mata Picak
seraya sapukan pandangannya pada mayat-
mayat yang bertebaran di atas dan di antara
batu-batu di lembah itu. Kuping Sumplung
sebaliknya bertanya,
"Bagaimana? Kurasa makin cepat kita
berangkat ke tempat anak itu, makin baik!"
"Anak mana maksudmu?" tanya Mata Picak.
"Calon muridnya si Pelukis Aneh!"
"Ah, rencanamu itu perlu dipikirkan masak-
masak dulu!" sahut Mata Picak seraya
melangkah ke goa. Dengan hati penasaran
Kuping Sumplung melangkah di belakangnya.
Baru saja Mata Picak sampai di mulut goa
tiba-tiba meledaklah suaranya,
"Celaka! Lukisan itu lenyap!" Kedua orang itu
melesat masuk ke dalam goa! Lukisan
perempuan telanjang yang sebelumnya
terletak di atas meja kini tak ada lagi di
tempat itu!
"Bangsat kurang ajar! Siapa yang berani-
beranian jadi maling di sarangku?!" teriak
Mata Picak lari ke luar goa dan melompat ke
atas sebuah batu yang tinggi. Sewaktu dia
sampai di atas batu dan memandang
berkeliling, di jurusan timur dilihatnya sesosok
tubuh berlari cepat sekali. Dan sosok tubuh
itu memboyong sebuah benda empat persegi
yang bukan lain daripada lukisan perempuan
telanjang adanya! MANUSIA yang melarikan
lukisan perempuan telanjang itu bertubuh
kecil katai. Dia mengenakan jubah merah
yang panjang sekali hingga menjelajela
sepanjang larinya. Debu, pasir, dan batu-batu
kerikil beterbangan dilanda angin jubah
manusia katai ini. Hebatnya manusia ini
larinya luar biasa cepatnya. Dalam sekejap
mata, dia sudah ke luar dari dalam lembah
batu. Pohon-pohon di kiri kanan yang
dilaluinya laksana terbang! Tiba-tiba dia
merasa ada yang mengejar di belakangnya.
Dia berpaling dan melihat dua manusia
berjubah kuning laksana kilat berlari ke
arahnya. Si katai terkesiap dan tancap gas,
berlari lebih cepat. Lewat sepeminum teh
seketika dia menoleh lagi ke belakang, kedua
pengejarnya ternyata hanya tinggal beberapa
puluh langkah saja lagi! Manusia katai ini
merutuk.
"Celaka! Kedua bangsat itu betul-betul lihai!"
Dan bila kedua pengejar yang bukan lain
daripada Sepasang Elmaut Kuning adanya
hanya tinggal lima belas langkah di
belakangnya maka si katai segera robah ilmu
larinya. Gerakan kakinya menjadi lambat dan
tidak teratur, tapi anehnya bagaimana pun
sepasang Elmaut Kuning mempercepat lari
mereka, tetap jarak mereka tak berobah dari
lima belas langkah! Itulah ilmu lari yang
disebut Seribu Kaki Menipu Jarak yang telah
dikeluarkan oleh manusia katai. Ilmu lari
semacam ini hanya beberapa tokoh silat saja
yang memilikinya!
"Heran!" kata Elmaut Kuning Kuping
Sumplung.
"Jarak kita demikian dekatnya tapi kenapa
tidak bisa mengejar bangsat itu?!"
"Kurasa dia memiliki ilmu lari Seribu Kaki
Menipu Jarak," sahut Mata Picak yang
berpengalaman lebih luas dan
berpemandangan tajam.
"Berhenti!" teriak Kuping Sumplung. Tapi
mana si katai mau hentikan larinya! Marahlah
Mata Picak. Hilang kesabarannya.
"Berhenti! Kalau tidak aku akan lepaskan
pukulan Paku Emas Beracun!" Tergetarlah hati
si katai. Tapi untuk berhenti dia juga tidak
mau. Dia lari terus dan berusaha memperlebar
jarak!
"Bedebah laknat!" maki Mata Picak. Tangan
kanannya diangkat ke atas dan dihantamkan
ke muka. Si katai menoleh sewaktu
dirasakannya sambaran angin dingin
menyambar di belakangnya. Melihat selarik
sinar kuning dan paku-paku emas menderu ke
arahnya dengan segera dia jatuhkan diri.
Sambil bergulingan dia membalas dengan
satu pukulan tangan kosong yang
mendatangkan angin panas yang luar biasa
dahsyatnya! Sepasang Elmaut Kuning tersirap
kaget dan buru-buru menghindar.
"Badan kate, jubah merah panjang dan
pukulan angin panas! Pastilah maling ini Si
Katai Bisu!" teriak Mata Picak. Dan ketika dia
memandang ke muka, manusia katai itu sudah
dua puluh tombak jauhnya. Bersama Kuping
Sumplung dia mengejar kembali! Di satu
pendakian, mendadak si katai hentikan larinya
dan kaget sekali. Jalan buntu dan di
depannya kini terbentang sebuah jurang yang
lebar dan tak mungkin untuk dilompati. Selain
lebar juga dalam dan curam!
"Ha-ha! Kau mau lari ke mana maling
laknat?!" teriak Kuping Sumplung. Tapi Si
Katai Bisu tidak kehilangan akal. Laksana
seekor burung walet dia melompat ke cabang
sebuah pohon.
"Turun!" teriak Mata Picak.
"Serahkan lukisan itu dan berlutut! Niscaya
kuselamatkan jiwamu!"
"Ha-hu… ha-hu… ha-hu!" Si Katai Bisu
keluarkan suara.
"Ayo turun lekas!" teriak Kuping Sumplung.
"Ha-hu… ha-hu… ha-hu!"
"Kurang ajar! Kalau begitu kau mampuslah!"
Mata Picak angkat tangan kanannya.
"Ha-hu!" Si Katai Bisu menunjuk ke dadanya
lalu menunjuk ke lukisan perempuan telanjang
kemudian tertawa dan mencibir! Mata Picak
yang tak mengerti apa maksud manusia itu
siap untuk memukulkan tangannya ke atas.
Tiba-tiba Si Katai Bisu lindungi dirinya
dengan lukisan perempuan telanjang! Mata
Picak terkesiap kaget dan batalkan
serangannya. Kini dia maklum apa maksud
dari gerak-gerik dan sikap Si Katai Bisu tadi.
Yaitu jika dia meneruskan melancarkan
pukulan Paku Emas Beracun maka paku-paku
itu akan merusak lukisan perempuan
telanjang karena Si Katai Bisu
mempergunakan lukisan itu untuk melindungi
dirinya! Mata Picak memaki hahis-habisan.
Tiba-tiba Kuping Sumplung melompat ke
muka dan memukul. Braak! Pohon di mana Si
Katai Bisu berada patah dan tumbang. Tapi Si
Katai Bisu sudah melompat ke pohon lain!
"Setan alas!" Mata Picak melesat ke depan
dan lancarkan satu serangan dari jarak satu
tombak. Si Katai Bisu dengan ha-hu-ha-hu
menghindarkan diri sambil pergunakan
lukisan perempuan telanjang untuk menangkis
serangan lawan. Mau tak mau Elmaut Kuning
Mata Picak tak berani lancarkan serangan
yang terlalu ganas terhadap lawannya karena
khawatir akan merusak lukisan!
"Kuping Sumplung! Serang bangsat itu dari
belakang!" teriak Mata Picak marah sekali.
Elmaut Kuning Kuping Sumplung segera
berkelebat dan menyerang Si Katai Bisu dari
belakang, sedang dari muka Mata Picak
kembali menyerbu! Namun Si Katai Bisu tidak
menjadi gugup! Tanpa tedeng aling-aling dia
putar lukisan perempuan telanjang seputar
badannya. Karena lukisan itu kini dialiri
tenaga dalam oleh Si Katai Bisu maka bukan
saja putaran lukisan mengeluarkan angin
dahsyat sekali, tapi juga merupakan serangan
balasan yang sekaligus memapaki serangan
Sepasang Elmaut Kuning! Dalam waktu yang
singkat sepuluh jurus telah berkecamuk!
Sepasang Elmaut Kuning menyumpah-
nyumpah tak ada hentinya. Tiba-tiba Elmaut
Kuning Mata Picak mendapat akal. Sewaktu
pertempuran berjalan seru-serunya dia
memukul ke bawah ke arah kaki lawan.
Pukulan ini membuat Si Katai Bisu melompat
ke udara. Melihat ini dengan cepat Mata Picak
menyusul dengan satu serangan ke arah
selangkangan tapi lukisan lebih cepat lagi
menerpa ke arah kedua tangannya kemudian
berputar lagi ke belakang menyambar lengan
kiri Kuping Sumplung yang hendak menotok
punggung Si Katai Bisu! Hampir tiga puluh
jurus berlalu maka berserulah Elmaut Kuning
Mata Picak pada kambratnya.
"Keluarkan jurus Elmaut Menggila!" Kedua
manusia berjubah kuning itu mundur
setombak lalu dibarengi dengan jerit pekik
dahsyat yang laksana merobek gendang-
gendang telinga keduanya menyerbu kembali
dalam satu jurus aneh! Lambat laun suara
pekik dan jerit yang datangnya dari pelbagai
penjuru itu membuat Si Katai Bisu menjadi
gugup dan panik gerakan-gerakan silatnya!
Tiba-tiba tangan kanan Elmaut Kuning Mata
Picak memukul ke muka. Si Katai Bisu sambut
serangan itu dengan sambaran lukisan. Tapi
gerakan lawan nyatanya hanya tipuan belaka.
Karena begitu lukisan menderu secepat kilat
Mata Picak tarik pulang serangannya dan
ganti dengan satu tendangan ke arah
pinggang. Pada saat yang sama dari belakang
Elmaut Kuning Kuping Sumplung lancarkan
pula satu serangan ganas ke arah kepala. Si
Katai Bisu menggerung lalu membuang diri ke
samping kanan. Lukisan disabetkan dengan
cepat ke bawah sedang dengan tangan kanan
dia kebutkan bagian bawah jubahnya.
Serangkum angin merah menyambar ke arah
Kuping Sumplung membuat manusia ini
batalkan serangan dan terpaksa melompat
selamatkan diri! Di lain pihak Elmaut Kuning
Mata Picak yang tidak berani adu kekuatan
dengan lukisan yang menyambar kakinya,
terpaksa tarik pulang tendangannya. Namun
Mata Picak menjadi gugup sewaktu melihat
bagaimana ujung pigura lukisan menyambar
ganas ke arah matanya tak sanggup dikelit!
Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan
matanya hanyalah dengan pergunakan lengan
untuk menangkis. Ini berarti dia akan
merusakkan lukisan itu di samping lengannya
yang dipakai menangkis tentu akan terluka
pula! Tapi walau bagaimanapun Elmaut
Kuning Mata Picak lebih baik melihat lukisan
itu rusak, toh nanti bisa diperbaiki lagi. Juga
merasa lebih baik lengannya mendapat luka
daripada harus kehilangan matanya yang
cuma tinggal satu-satunya! Maka diapun
angkat lengan kirinya dengan cepat. Braak!
Kayu pigura lukisan perempuan telanjang
patah dan sudutnya menganga. Lengan kiri
Elmaut Kuning Mata Picak juga patah! Dia
mengeryitkan kesakitan kemudian dengan
kalap menyerbu ke muka kirimkan pukulan
Paku Emas Beracun! Rasa sakit membuat dia
tidak perduli lagi apakah pukulannya yang
dahsyat itu akan menghancurkan lukisan di
tangan lawan! Melihat datangnya serangan
yang dahsyat dari lawan, Si Katai Bisu
melompat empat tombak dan dari atas
kebutkan jubah merahnya. Segelombang sinar
merah laksana topan prahara memapasi
serangan Elmaut Kuning Mata Picak. Belasan
paku kuning beracun yang melesat ke arah
manusia katai itu luruh, bahkan beberapa di
antaranya ada yang membalik menyerang
Mata Picak sendiri, membuat manusia ini
dengan cepat menghindar ke samping
selamatkan diri! Si Katai Bisu membalikkan
badan dengan cepat sewaktu di belakangnya
terasa sambaran angin dingin. Namun kasip!
Belasan paku kuning telah dilepaskan Kuping
Sumplung! Jaraknya sudah dekat sekali, tak
mungkin ditangkis tak bisa dikelit! Si Katai
Bisu menggerung. Dia ambil keputusan untuk
berjibaku dan tendangan kaki kanannya ke
kepala Kuping Sumplung sedang tangan
kanan mendorong ke muka! Sedetik kemudian
terdengar jerit tercekik dari Si Katai Bisu!
Sembilan paku emas beracun menancap di
dadanya. Tiga di antaranya langsung
menembus jantung! Tak ampun lagi begitu
jatuh di tanah, nafasnya lepas sedang sekujur
badannya kelihatan menggembung biru! Di
lain pihak meski dia dapat menyelamatkan
kepalanya dari tendangan maut Si Katai Bisu
namun Elmaut Kuning Kuping Sumplung tak
sempat menghindarkan diri dari sambaran
angin pukulan yang dilepaskan Si Katai Bisu.
Tubuhnya mencelat beberapa tombak. Kalau
saja tubuh itu tidak membentur patahan
pohon yang tadi dipukulnya, pasti Elmaut
Kuning Kuping Sumplung akan melayang ke
dasar jurang batu! Kuping Sumplung
muntahkan darah segar lalu roboh pingsan!
Mata Picak segera menyambar lukisan yang
rusak piguranya lalu memanggul tubuh
Kuping Sumplung dan meninggalkan tempat
itu dengan cepat. DI SEBELAH utara kelihatan
Gunung Merapi menjulang tinggi penuh
kemegahan. Hari itu adalah hari ke duapuluh
satu bulan kedua perjalanan Wiro Sableng
dalam mencari lukisan perempuan telanjang.
Saat itu dia tengah menuju ke sebuah kota
kecil yang terletak di selatan kaki Gunung
Merapi. Di satu jalan yang sepi Pendekar 212
hentikan larinya dan berjalan seperti biasa.
Jauh di hadapannya dilihatnya seorang laki-
laki tua berpakaian compang-camping
berjalan melenggang-lenggok dengan
seenaknya. Di tangannya ada sebuah kaleng
berisi batu yang setiap saat diguncang-
guncangnya hingga mengeluarkan suara
bergerontangan. Di ketiak kirinya terkempit
sebuah tas daun pandan. Yang membuat Wiro
diam-diam jadi tertegun ialah karena dalam
dua kejapan mata saja tahu-tahu orang tua
berpakaian compang-camping itu sudah
berada di hadapannya. Wiro sunggingkan
senyum. Tapi orang tua aneh itu terus saja
melangkah seenaknya dan hendak memapasi
Wiro. Maka Pendekar 212 pun menegur
bertanya,
"Orang tua, apakah ini jalan yang menuju ke
kota Paritsala?" Orang tua itu hentikan
langkahnya. Tanpa menoleh pada si pemuda
dia membuka mulut,
"Siapa tanya siapa?" Lalu tangannya
digoyangkan dan kaleng berisi batu berbunyi
berkerontangan. Wiro tersenyum lagi.
"Namaku Wiro. Aku dalam perjalanan ke
Paritsala. Apakah aku menempuh tujuan yang
betul?" Perlahan-lahan orang tua itu putar
kepalanya dan memandang Wiro Sableng dari
atas sampai ke kaki.
"Ah… melihat kepada air mukamu rupanya kau
tengah mengkhawatirkan tentang suatu
barang yang hilang…" Dan habis berkata
begitu orang tua ini kerontang-kerontangkan
lagi kaleng di tangan kanannya. Tentu saja
Wiro Sableng terkejut mendengar ucapan si
orang tua dan menduga-duga siapa adanya
manusia ini.
"Coba ulurkan telapak tangan kirimu!" si
orang tua tibatiba memerintah. Wiro Sableng
meragu seketika. Dia tidak kenal dengan
orang tua itu dan disuruh ulurkan telapak
tangan kirinya. Mau apakah? Namun akhirnya
karena ingin tahu Wiropun ulurkan telapak
tangan kirinya. Si orang tua memperhatikan
telapak tangan itu lalu dengan telunjuk
tangan kirinya diikutinya guratan-guratan
garis pada telapak tangan pemuda itu. Wiro
Sableng terkejut sewaktu jari telunjuk itu
menyentuh telapak tangannya, telapak tangan
itu seperti ditindih oleh sebuah batu besar
yang ratusan kati beratnya! Tahu kalau orang
hendak mencoba kekuatannya maka Wiro
segera kerahkan tenaga dalamnya ke telapak
tangan kiri itu. Si orang tua terus juga
mengikuti garis-garis pada telapak tangannya
dan Wiro merasa tangannya tergetar hebat.
Dia lipat gandakan tenaga dalamnya.
Keringat dingin berpercikan di keningnya dan
sedikit tenaga dalamnya ditindih hebat oleh
tenaga dalam si orang tua. Bagaimanapun
dia mempertahankan pastilah telapak
tangannya akan terpukul ke bawah! Namun di
saat itu untunglah si orang tua menarik ujung
jarinya dan sambil batuk-batuk dia berkata,
"Orang muda, masa depanmu penuh rintangan
dan kesulitan-kesulitan. Kulihat garis-garis di
telapak tanganmu itu penuh dengan garis-
garis bahaya yang selalu mengikuti
perjalanan nasibmu! Tapi kau tak perlu
khawatir. Bagaimanapun sulitnya,
bagaimanapun besar bahaya kau kelak akan
berhasil melewati semuanya." Orang tua aneh
kerontangkan kalengnya beberapa kali lalu
meneruskan,
"Garis percintaanmu tidak begitu bagus. Ini
disebabkan karena kau punya sedikit sifat
mata keranjang, tidak boleh lihat perempuan
cantik…" Kaleng berisi batu berkerontang lagi.
Wajah Pendekar 212 kelihatan merah
menjengah! Dan si orang tua bertanya,
"Kau tengah menuju ke Paritsala?"
"Betul orang tua," jawab Wiro.
"Kunasihatkan agar dibatalkan saja…"
"Memangnya ada apakah?"
"Kesulitan. Kesulitan! Kau selalu ditunggu
kesulitan dan bahaya di mana-mana…"
"Tapi seorang kawanku menganjurkan agar
pergi ke utara…," kata Wiro yang ingat akan
petunjuk yang diberikan Dewa Tuak. Orang tua
itu tertawa tawar sambil
kerontangkerontangkan kalengnya lalu hendak
menindak meninggalkan tempat itu.
"Orang tua, kuucapkan terima kasih atas
petunjukmu. Sebelum berpisah sudilah kau
terangkan namamu…" Orang tua itu
kerontang-kerontangkan kalengnya dan
dengan melangkah acuh tak acuh dia
meninggalkan Wiro Sableng sambil bernyanyi:
Orang-orang menyebutku Si Segala Tahu. Tapi
betapa tololnya aku, namaku sendiri aku tidak
tahu… Dua kalimat dalam lagu yang
dibawakan orang tua aneh itu terus diulang-
ulangnya sampai akhirnya dia lenyap di
kejauhan. Wiro Sableng berdiri terlongong-
longong. Orang persilatan mana yang tak
tahu dan tak pernah mendengar tentang orang
tua aneh yang bernama Segala Tahu itu? Ilmu
silatnya tinggi tapi jarang dipergunakan. Dia
mengembara ke mana-mana tapi jarang bisa
ditemui orang. Jika dia berpapasan dengan
seseorang pastilah dia akan mengatakan
sesuatu. Dan apa yang dikatakannya itu
selalu betul. Itulah sebabnya dia diberi nama
Segala Tahu oleh orangorang dunia
persilatan. Wiro merasa beruntung sekali
dapat bertemu dengan orang tua itu. Dia
segera melanjutkan perjalanan. Di satu
persimpangan jalan dia hendak membelok ke
kanan yaitu sesuai dengan petunjuk Si Segala
Tahu agar jangan terus ke Paritsala. Belum
lagi dia sempat membelok ke kanan, di
belakangnya terdengar derap kaki-kaki kuda
dan gemeletak suara kereta. Wiro berpaling,
sepuluh orang penunggang kuda hitam
memacu kuda masing-masing dengan cepat,
mengawal sebuah kereta putih yang ditarik
oleh dua ekor kuda putih. Debu mengepul
sepanjang jalan. Rombongan itu terdiri dari
penunggang-penunggang kuda berpakaian
hitam. Pada bagian dada baju mereka
terpampang gambar kepala burung garuda.
Pada bagian samping kereta putih juga
terdapat gambar semacam itu. Dan sewaktu
Wiro memperhatikan jendela kereta, sekilas
dilihatnya seraut wajah perempuan muda
berparas cantik sekali. Kereta lewat dengan
cepat tapi Wiro masih terkesiap melihat paras
jelita itu. Mata perempuan itu laksana sinar
bintang timur di malam cerah! Wiro
memandang ke jurusan lenyapnya kereta. Dan
lupalah Pendekar 212 akan ucapan Si Segala
Tahu tadi. Tanpa disadarinya dia telah
menempuh jalan vang ditempuh rombongan
itu. Hari telah petang sewaktu Wiro Sableng
memasuki Paritsala. Di hadapan sebuah
bangunan berbentuk panjang dilihatnya kereta
putih tadi. Sepuluh ekor kuda hitam pun
tertambat di halaman. Karena bangunan itu
adalah rumah penginapan maka Wiro Sableng
pun segera menuju ke sana. Baru saja
Pendekar 212 berdiri di tangga bawah pintu
penginapan, seorang pelayan muncul.
Umurnya sudah agak lanjut.
"Orang muda, apakah kau berniat menginap di
sini?"
"Betul" sahutWiro.
"Sayang sekali. Seluruh kamar sudah disewa
orang…"
"Seluruh kamar?" ujar Wiro heran. Dia
menggoyangkan kepalanya ke arah kereta dan
kuda-kuda hitam di halaman.
"Apakah rombongan pemilik kereta itu yang
telah menempatinya?"
"Ya."
"Berapakah jumlah kamar di penginapan ini?"
"Enam belas… Mengapa?"
"Rombongan itu jumlahnya tidak sampai
enam belas orang," kata Wiro.
"Pasti ada kamar yang masih kosong
untukku…"
"Sudah kubilang semua kamar diambil oleh
rombongan itu. Majikanku memerintahkan
agar menolak siapa saja yang hendak
menginap di sini…" Wiro Sableng garuk-garuk
kepalanya,
"Kalau begitu aku musti cari penginapan lain,"
katanya setengah menggerutu.
"Di sini tak ada lagi penginapan lain."
"Hem…" Wiro menggumam.
"Terpaksa kau menolong menyediakan satu
kamar buatku. Gudang buruk-pun tak jadi
apa."
"Tak mungkin orang muda. Seluruh
penginapan ini sampai ke gudang telah
disewa oleh rombongan itu!" Wiro Sableng
jadi penasaran.
"Apa kau kira aku tak sanggup membayar
sewa untuk sebuah gudang tua? Atau kau
minta sogok agaknya heh?!" Paras orang tua
pelayan penginapan itu berubah kesal.
"Kuharap kau tak usah memaksa-maksa dan
bicara lantang. Salah-salah kau bisa berabe!"
Wiro keluarkan suara bersiul.
"Kenapa bisa jadi berabe, Bapak?" tanya
pemuda ini
"Ah! Tak usah kau banyak tanya!" Pelayan itu
putar tubuh hendak masuk kembali tapi Wiro
mencekal bahunya hingga dia tak bisa
bergerak.
"Katakan dulu kenapa bisa jadi berabe!" desis
Wiro ke telinga pelayan itu. Dan si pelayan
mendadak merasa kecut sewaktu merasakan
bagaimana telapak tangan Wiro yang berada
di bahunya membuat tubuhnya seperti mau
amblas ke lantai!
"Orang muda, seluruh penginapan ini telah
disewa oleh Ketua Perguruan Garuda Sakti.
Dia dan rombongannya tengah menuju ke
puncak Gunung Merapi. Di sana akan
dilangsungkan perkawinan anak gadisnya
dengan seorang pemuda, anak Ketua
Perguruan Merapi…" Wiro angguk-anggukkan
kepalanya. Dia ingat pada sekilas bayangan
raut wajah gadis jelita yang dilihatnya tewat
jendela kereta.
"Sekarang kau lekaslah berlalu dari sini. Kau
tahu, Ketua Perguruan Garuda Sakti galak luar
biasa! Sekali dilihatnya ada yang bikin ribut
di hadapannya pasti akan kena tamparannya.
Dan manusia tampangmu ini sekali tampar
saja pasti kepalamu menggelinding!" Wiro
tertawa gelak-gelak.
"Kurang ajar! Siapa yang berani bikin ribut di
sini!" Tibatiba satu suara garang membentak
dan sesaat kemudian seorang laki-laki
berbadan tinggi tegap sudah berdiri di
ambang pintu. Dia berpakaian hitam dan di
bagian dada bajunya ada gambar kepala
burung garuda putih. Dia berdiri bertolak
pinggang dan beliakkan mata kepada Wiro.
Pelayan penginapan berdiri dengan muka
pucat!
"Pemuda hina dina! Lekas angkat kaki dari
sini! Kalau tidak, kupuntir kepalamu sampai
putus!"
"Hak apakah kau mengusirku?!" tanya Wiro
dengan senyum mengejek. Marahlah si tinggi
besar. Tangan kanannya dengan cepat
diulurkan menjambak rambut Wiro Sableng.
Begitu terjambak segera hendak dipuntirnya.
Tapi terkejut si tinggi besar ini bukan alang
kepalang sewaktu jari-jari tangannya yang
menjambak itu dirasakannya laksana
memegang sebuah area batu yang ratusan
kati beratnya dan keras luar biasa, tak
sanggup tangannya memuntir!
"Mampus!" teriak si tinggi besar itu seraya
sentakkan tangannya! Sekali menyentak
maksudnya hendak ditanggalkannya kepala
Wiro dari badannya, sekurang-kurangnya
rambut pemuda itu akan berserabutan dari
batok kepalanya. Tapi apa yang terjadi
kemudian betul-betul tak diduga oleh si tinggi
besar. Belum lagi dia sempat menyentakkan
tangannya tahu-tahu satu totokan melanda
jalan darah di dadanya! Si tinggi besar
mengeluh tertahan. Sebelum tubuhnya roboh
tergelimpang dalam keadaan kaku, Wiro cekal
kuduk laki-laki itu dan melemparkannya ke
sebuah pohon di halaman penginapan. Tubuh
si tinggi besar menyangsrang di antara
cabang pohon, tak bisa bergerak, tak dapat
turun! Orang itu memaki-maki. Wiro
sebaliknya tertawa gelak-gelak dan tinggalkan
tempat itu! Sepasang mata yang bersinar-
sinar mengintai di balik jendela sebuah kamar
penginapan dan mengikuti kepergian Pendekar
212. KETIKA dia menempuh jalan yang
menuju ke luar kota, Wiro mendengar suara
derap kaki kuda datang mendekatinya dari
arah belakang. Menyangka bahwa yang
datang ini adalah kawan-kawan si tinggi
besar tadi segera Wiro berlindung di balik
sebatang pohon. Nyatanya si penunggang
kuda adalah pelayan penginapan tadi.
Pelayan ini hentikan kudanya di tengah jalan
dan memandang kian ke mari. Jelas
dilihatnya tadi Wiro berada di jalan itu. Tapi
tiba-tiba tenyap entah ke mana.
"Hai! Kau mencari aku?!" tanya Wiro dari balik
pohon. Si pelayan tergagap kaget Wiro keluar
dari balik pohon.
"Lekas ikut bersamaku!" kata si pelayan.
"Ikut ke mana?" tanya Wiro heran.
"Jangan bertanya dulu. Kita tak punya banyak
waktu. Sebentar lagi anak-anak murid
Perguruan Garuda Sakti pasti akan datang ke
sini! Lekas naik di belakangku!"
"Aku tak percaya padamu. Mungkin kau mau
menipu?!" Di kejauhan terdengar derap kaki
kuda banyak sekali!
"Lekaslah!" kata si pelayan lagi. Parasnya
pucat tanda cemas. Akhirnya Wiro melompat
juga ke atas punggung kuda di belakang si
pelayan.
"Bapak," bisik Wiro waktu mereka berlalu
dengan cepat,
"Kalau kau menipuku, aku akan gantung kau,
kaki ke atas kepala ke bawah!" Sesaat
kemudian keduanya meninggalkan jalan itu
dengan cepat. Lewat sepeminum teh pelayan
penginapan hentikan kudanya di satu tempat.
Hari telah senja dan berangsur gelap. Wiro
Sableng memandang berkeliling. Ternyata dia
berada di bagian belakang bangunan
penginapan. Melihat ini Wiro menjadi curiga
dan segera cekal tangan si pelayan.
"Jika bukan bermaksud jahat, kenapa kau ajak
aku ke sini?!" desis Wiro Sableng.
"Kalau aku betul-betul menipumu kau boleh
betot batang leherku!" jawab si pelayan. Wiro
hendak buka suara kembali tapi tak jadi.
Pintu belakang penginapan terbuka dan dua
orang berpakaian hitam-hitam dengan
gambar kepala burung garuda pada dadanya
melangkah cepat ke kandang kuda. Dengan
menunggangi dua ekor kuda, keduanya
meninggalkan bagian belakang penginapan
dan lenyap ditelan kegelapan malam. Suara
kaki-kaki kuda mereka juga menyusul lenyap
ditelan hembusan angin malam di kejauhan!
"Ikut aku!" kata pelayan itu.
"Tunggu!" jawab Wiro.
"Terangkan dulu apa arti semua ini!"
"Orang muda, aku sendiri tidak tahu apa-apa.
Aku cuma diperintahkan. Percayalah aku tidak
menipumu! Siapapun tak ada yang bermaksud
jahat padamu!"
"Dari siapa kau terima perintah! Dan apa saja
perintah itu?!" tanya Wiro Sableng lagi,
"Kita tak punya waktu banyak. Lekas ikuti
aku!" Wiro Sableng di belakang si pelayan.
Sepasang bola matanya berputar liar waspada
kian kemari sambil melangkah. Mereka masuk
lewat dapur penginapan. Suasans sunyi
senyap. Satu-satunya makhluk hidup yang
kelihatan ialah seekor kucing yang tengah
menggerogoti sebuah tulang ayam. Si pelayan
dengan hati-hati membuka sebuah pintu yang
berhubungan dengan ruangan lain di bagian
belakang penginapan. Ternyata ruangan itu
adalah sebuah gudang tempat menyimpan
segala macam perabotan rongsok. Dari sini,
pelayan itu membawa Wiro Sableng melewati
sebuah ruangan lagi dan akhirnya mereka
sampai di sebuang gang. Pelayan memberi
isyarat agar Wiro lebih cepat melangkah
mengikutinya. Lima langkah dari ujung gang
yang di kiri kanannya terdapat deretan pintu-
pintu kamar, si pelayan berhenti dan berpaling
pada Wiro.
"Bukalah pintu kamar di ujung sebelah kanan
itu dan masuk ke dalam! Orang yang kau
temui di dalam kamar itu adalah orang yang
memerintah aku!" Wiro Sableng hendak
menanyakan. Wiro memaki dalam hati. Sambil
garuk-garuk kepala dia melangkah mendekati
pintu kamar di ujung kanan. Ketika
didorongnya ternyata pintu itu tak terkunci.
Wiro masuk ke dalam dengan cepat dan
merapatkan pintu kembali. Begitu sampai di
dalam kamar, terkesiaplah Pendekar212! Di
hadapannya berdiri seorang dara berkulit
kuning langsat, berparas cantik sekali. Kedua
matanya bersinar laksana bintang timur. Dia
berpakaian biru berbungabunga merah yang
bagus sekali potongannya. Pada rambutnya
yang digulung ke atas itu tersisip tusuk konde
dari emas yang berukir-ukir kepala burung
garuda. Sang dara melangkah ke dekat Wiro.
Dikuncinya pintu kamar. Berada sedekat itu
Wiro Sableng kembang-kempis hidungnya
mencium bau harum yang keluar dari
sekujurnya tubuh sang dara! Dara jelita ini
kemudian melangkah kembali ke tengah
kamar.
"Saudari apakah artinya ini?" tanya Wiro
Sableng. Betapapun dia tidak mengerti tapi
berdiri di hadapan si jelita itu hatinya senang
sekali. Tadinya dia menyangka akan menemui
seorang laki-laki bertampang galak tapi tak
dinyana kini dia berhadapan seorang gadis
jelita. Dan Wiro ingat, dara jelita ini adalah
gadis dalam kereta putih yang dilihatnya di
tengah jalan tadi sore!
"Saudara, apakah kau bisa bicara dengan
ilmu menyusupkan suara?" si gadis bertanya
perlahan. Wiro Sableng terkejut
"Apaan pula ini?" tanyanya dalam hati. Tapi
kepalanya dianggukkannya juga. Kemudian
dengan ilmu menyusupkan suara si gadis
berkata,
"Aku telah saksikan apa yang kau lakukan
ternadap anak murid ayahku di depan
penginapan ini tadi. Kurasa kau adalah orang
yang bisa menjadi tuan penolongku…"
"Hem…," Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Pertolongan apakah yang bisa kulakukan
untukmu? Kalau aku tidak salah duga kau
adalah anak gadisnya Ketua Perguruan
Garuda Sakti." Si gadis anggukkan kepala.
"Aku dan ayah serta sepuluh orang anak-
anak muridnya tengah dalam perjalanan ke
puncak Gunung Merapi…"
"Pelayan itu mengatakan bahwa kau hendak
melangsungkan perkawinan di sana dengan
anak laki-laki Ketua Perguruan Merapi."
"Betul, bagus kalau dia mengatakan hingga
aku tak perlu panjang lebar menerangkannya
padamu," jawab si jelita. Lalu sambungnya,
"Perkawinanku dengan anak lakilaki Ketua
Perguruan Merapi adalah secara paksa!
Ayahku yang memaksa. Aku tak kuasa
menolak paksaan itu di samping aku tak ingin
pula menjatuhkan nama besar ayah! Di lain
hal aku sama sekali tidak mencintai anak
Ketua Perguruan Merapi. Aku ingin
perkawinan ini dibatalkan tanpa memberi
malu pada ayah dan juga untuk
menghindarkan agar jangan sampai ada
pertumpahan darah antara perguruan ayahku
dengan Perguruan Merapi."
"Kalau kau tak suka pada anak laki-laki
Ketua Perguruan Merapi dan tak berdaya
menolak paksaan ayahmu, kenapa tidak
larikan diri saja?!" tanya Pendekar 212 pula.
"Kau lihat sendiri. Selama satu bulan terakhir
ini akananak murid ayah menjagaku dengan
keras. Ayah sendiri bersikap waspada karena
mungkin dia sudah dapat meraba maksudku
hendak lari. Di samping itu aku khawatir pihak
Perguruan Merapi menuduh ayahkulah yang
telah sengaja menyembunyikanku. Sebenarnya
ayah sendiri mendapat tekanan dari mereka."
Wiro merenung sejenak.
"Apakah kau punya kekasih? Seorang pemuda
yang kau cinta?!" tanya Wiro seenaknya, Anak
Ketua Perguruan Garuda Sakti itu kelihatan
merah parasnya. Tapi dengan terus terang dia
kemudian anggukkan kepala. Parasnya
kemudian berubah sedih. Dia berkata,
"Kekasihku telah ditangkap. Disiksa dan
dikurung di sebuah goa batu…" Dan di mata
yang bersinar seperti bintang timur itu Wiro
Sableng kini melihat dua butir air mata
laksana berlian mengambang di kelopak mata
si gadis.
"Lantas apakah yang bisa kutolong padamu,
Saudari?" tanya Wiro.
"Menolong agar perkawinanku bisa batal!"
"Aku orang tolol, mana mungkin sanggup
melakukan itu?" tanya Wiro seraya garuk-
garuk kepala.
"Sekarang bukan saatnya berpura-pura,
Saudara. Pertolongan dan budi baikmu tak
akan kulupakan seumur hayat." Wiro berpikir,
lalu,
"Kau ingin kularikan sekarang?!" tanya Wiro
mengambil keputusan pendek.
"Jangan. Ketua Perguruan Merapi akan salah
sangka dan curiga pada ayah. Bukan mustahil
mereka akan mengambil jalan kekerasan! Di
samping itu nama besar ayah akan luntur
karena berilmu tinggi dan punya anak buah
banyak tapi tak sanggup menjaga anak.
Apalagi menjelang hari-hari perkawinan itu…"
"Berabe juga kalau begini," kata Wiro. Dipijit-
pijitnya keningnya.
"Kapan upacara perkawinanmu dilakukan di
puncak Merapi?"
"Lusa siang. Jam dua belas tepat!" jawab si
gadis. Wiro berpikir-pikir lagi.
"Baiklah," kata Pendekar 212 kemudian.
"Aku sudah dapat satu cara yang baik untuk
membatalkan perkawinanmu. Aku akan
muncul tepat pada saat upacara
pernikahanmu. Mudah-mudahan kita berhasil.
Sebelum pergi apakah aku boleh tahu
namamu…?" Sang dara belum sempat
menjawab tiba-tiba pintu kamar diketuk orang
dengan keras dan di luar terdengar suara
lantang.
"Permani! Buka pintu cepat." Kedua orang di
dalam kamar terkejut. Paras si gadis pucat
pasi. Wiro Sableng memandang berkeliling.
Agaknya tak mungkin untuk bersembunyi di
kamar itu. Tapi begitu matanya membentur
jendela, Wiro segera melompat. Tanpa suara
dibukanya jendela itu dan dalam detik itu juga
dia sudah tenyap di luar sana setelah terlebih
dulu menutupkan daun jendela kembali!
"Permani!" Ketukan pada pintu kini berganti
dengan gedorangedoran. Sang dara cepat-
cepat membuka pintu kamar. Seorang laki-laki
bermuka klimis bermata merah dan berbadan
tinggi tegap masuk ke dalam. Sepuluh kuku-
kuku jari tangannya berwarna putih dan
panjang sekali! Inilah Ketua Perguruan Garuda
Sakti yang bernama Manik Tunggul. Dia
memandang sekeliling kamar dengan matanya
yang besar penuh teliti. Permani berdiri di
hadapan laki-laki dengan hati berdebar.
"Kau menyembunyikan seseorang di sini,
Permani?!" tanya Manik Tunggul. Permani
tertawa.
"Kecurigaan ayah terhadap anak sendiri
keterlaluan sekali!" kata gadis itu.
"Siapa dan untuk apa pula aku
menyembunyikan seseorang dalam kamar
ini?!" Manik Tunggul memandang ke loteng
lalu memeriksa setiap sudut kamar bahkan
memeriksa kolong tempat tidur!
"Sepuluh orang anak murid ayah mengawalku
siang malam. Mereka berkepandaian tinggi!
Jika seseorang masuk ke sini masa mereka
tidak tahu?" ujar Permani. Manik Tunggul
masih belum percaya akan ucapan anaknya
itu. Dia melangkah ke jendela dan
membukanya. Di luar suasana sunyi dan
gelap. Dua orang anak muridnya tampak
berdiri di bawah sebuah pohon. Mereka
tengah berjaga-jaga. Laki-laki ini menutupkan
jendela kembali.
"Permani, menjelang hari perkawinanmu ini
kuharap kau jangan bikin hal yang bukan-
bukan. Jangan beri malu ayahmu! Kecuali
kalau kau ingin melihat pecahnya permusuhan
antara aku dengan Ketua Perguruan Merapi!"
"Ayah, meski aku tidak suka pada calon
suamiku itu, tapi mengingat kepadamu aku
tak bisa berbuat lain daripada patuh atas
segala kemauanmu…" kata Permani dengan
tundukkan kepala. Manik Tunggul tepuk bahu
anaknya.
"Kau anak yang berbakti," kata Ketua
Perguruan Garuda Sakti itu kemudian
melangkah ke pintu meninggalkan kamar. ***
Malam itu di sebuah dangau tua di tengah
sawah, Wiro Sableng duduk termenung!
Usahanya mencari lukisan perempuan
telanjang masih belum selesai. Mengapa dia
kini sengaja melibatkan diri dalam urusan
orang lain? Mengapa dia telah menerima
permintaan tolong gadis anak Ketua
Perguruan Garuda Sakti itu? Bukankah ini
berarti dia mencari sengketa, menghadapi dua
buah Perguruan sekaligus?! Wiro Sableng
merutuki dirinya sendiri. Tiba-tiba dia ingat
pada nasihat Si Segala Tahu. Orang tua itu
telah melarangnya pergi ke Paritsala. Dia tak
menghiraukannya. Dan kini dia terjerumus
dalam persoalan rumit penuh bahaya yang
sengaja di cari-carinya sendiri! Paras jelita
dan senyum menggiurkan anak gadis Ketua
Perguruan Garuda Sakti itulah mungkin yang
telah memukaunya hingga bersedia turun
tangan berikan bantuan! Dan Pendekar 212
teringat pada ucapan Si Segala Tahu,
"kau punya sifat mata keranjang, tidak boleh
lihat perempuan cantik…" Wiro menyeringai
dan sambil garuk-garuk kepala,
direbahkannya badannya di lantai dangau. DI
PUNCAK Gunung Merapi. Sebuah panggung
kayu jati yang diberi berukir-ukir serta hiasan
gaba-gaba dikelilingi oleh sebuah panggung
besar yang lebih rendah dan berbentuk
lingkaran, mengelilingi panggung kayu jati
tadi. Pada bagian sebeleh utara panggung
berbentuk lingkaran terdapat sebuah podium.
Di depan podium ini terletaklah sebuah
pelaminan. Seorang pemuda berpakaian
bagus duduk di pelaminan ini. Pakaiannya
yang bagus, topi tingginya yang bertaburan
berlian, segala apa yang dipakainya, semua
itu tak dapat menyembunyikan parasnya yang
buruk dan cekung. Dialah Sokananta, anak
Ketua Perguruan Merapi, calon suami
Permani! Tamu-tamu yang banyak hadir di
situ rata-rata adalah orang-orang dunia
persilatan dan beberapa di antara mereka
merupakan tokoh-tokoh yang disegani!
Sebentar lagi, pengantin perempuan akan
dibawa naik ke atas podium dan upacara
perkawinan segera akan dilangsungkan.
Sementara menunggu munculnya sang
pengantin maka Tunggul Manik bicara-bicara
dengan calon besannya yaitu Bogananta,
Ketua Perguruan Merapi. Bila upacara
pernikahan selesai, para tamu akan dijamu
makan minum dan sambil menyaksikan
pertandingan-pertandingan silat yang sengaja
diadakan sebagai kebiasaan di atas panggung
besar kayu jati! Tiba-tiba terdengar suara
tiupan seratus buah seruling. Dari sebuah
bangunan keluarlah pengantin perempuan,
diiringi oleh dayang-dayang. Semua mata
yang memandang kepada sang pengantin ini
tak satupun yang tak memuji kecantikan
paras Permani! Dilihat kepada rupa memang
ada juga di antara para tamu yang merasa
kurang cocoknya kedua pengantin itu. Tapi
memandang kepada nama besar Ketua
Perguruan Merapi maka ketidakcocokan itu
menjadi sirna. Siapa yang tak kenal dengan
Bogananta? Siapa yang tak kenal dengan
Sokananta yang berilmu tinggi?! Begitu
pengantin perempuan menginjakkan kaki di
atas panggung di depan podium maka
pengantin laki-laki pun berdiri dan suara
seruling berhenti. Serentak para hadirin pun
berdiri pula. Upacara pernikahan segera akan
dilangsungkan, dipimpin oleh seorang tua
bernama Wararayan. Di kalangan dunia
persilatan di masa itu Wararayan sangat
terkenal dan telah puluhan kali memimpin
upacara perkawinan. Siapa-siapa yang
dinikahkan di bawah pimpinannya pastilah
kedua mempelai akan hidup bahagia! Satu
menit telah berlalu. Wararayan belum juga
muncul. Para hadirin terutama Bogananta dan
Manik Tunggul serta Sokananta kelihatan
gelisah. Permani yang berdiri dengan
menundukkan kepala juga tampak gelisah.
Tapi apa yang digelisahkannya tidak sama
dengan apa yang digelisahkan orang-orang di
situ. Dia gelisah karena sampai saat itu orang
yang hendak menolongnya belum juga
kelihatan! Apakah pemuda itu tidak datang?
Atau terlambat atau sesat di jalan? Atau
mendapat celaka?! Telah lewat sepeminum
teh. Para hadirin mulai berbisik-bisik. Rasa
malu yang amat sangat membuat kulit muka
Manik Tunggul merah laksana saga. Apalagi
karena dialah yang bertanggung jawab
mengatur kelancaran upacara pernikahan itu.
Di lain pihak Bogananta juga kelihatan merah
parasnya, tapi bukan karena malu melainkan
merasa terhina! Dalam suasana tegang
gelisah itu tiba-tiba dari balik sebuah batu
karang besar di tepi kawah kelihatan muncul
seorang berjubah biru. Manik Tunggul tersirap
kaget. Jubah biru adalah pakaian yang biasa
dikenakan oleh Wararayan! Apakah manusia
ini Wararayan? Tapi kenapa dia muncul dari
balik batu karang itu? Dan waktu diperhatikan
langkah si jubah biru ini, terkejutlah Manik
Tunggul serta para hadirin. Langkah si jubah
biru demikian enteng, laksana kapas
diterbangkan angin! Kemudian bila si jubah
biru sudah berada dekat, maka tersiraplah
darah Manik Tunggul dan semua orang. Si
jubah biru ternyata bukan Wararayan! Tapi
anehnya jubah yang dipakainya itu dikenali
sekali oleh Manik Tunggul sebagai milik
Wararayan? Apakah yang telah terjadi dengan
Wararayan? Di mana orang tua itu berada dan
siapa pula manusia yang datang ini?! Si jubah
biru memiliki paras yang dilapisi dengan
tanah liat. Rambutnya yang gondrong acak-
acakkan diikat dengan robekan-robekan kain
berbagai bentuk dan warna. Di tangan kirinya
ada sebuah pecahan kaca rias bersudut
runcing sedang di tangan kanannya
menggenggam sebatang tombak pendek dari
batu hitam yang banyak terdapat di sekitar
kawah gunung. Si jubah biru langsung menuju
ke podium. Anak-anak murid Perguruan
Merapi dan Perguruan Garuda Sakti segera
hendak turun tangan, tapi ketua masing-
masing memberi isyarat. Semuanya mundur
kembali namun dalam posisi mengurung si
jubah biru. Akan tetapi Permani begitu dia
melihat si jubah biru ini, meskipun parasnya
kotor bercelemongan tanah liat dan rambut
awut-awutan tak karuan, namun dia masih
bisa mengenali. Si jubah biru ini bukan lain
pemuda gagah yang dua hari lalu telah bicara
dengan dia di dalam kamar penginapan,
bukan lain orang yang diharapkannya sebagai
tuan penolongnya! Hati dara ini lega sedikit.
Tapi apaapaan dia berbuat macam orang gila
begini rupa? Tiba-tiba si jubah biru alias Wiro
Sableng alias Pendekar 212 keluarkan suara
macam orang tua dan menggigil,
"Uh… uh… dinginnya! Dingin sekali!" Dan
kedua tangannya didekapkan di dada sedang
geraham-gerahamnya bergemeletukan persis
macam orang kedinginan! Di samping itu
karena suaranya sengaja dialiri tenaga dalam
yang hebat, maka suaranya itu menggetarkan
liang telinga para hadirin, menggetarkan
lantai panggung yang mereka injak! Semua
orang heran campur terkejut! Hari sepanas
itu. Matahari bersinar terik. Bagaimana
manusia satu ini menggigil begitu rupa dan
bilang dingin?!
"Jubah biru!" bentak Manik Tunggul.
"Manusia atau setankah kau?!"
"Hai… aku bicara soal dinginnya hari. Apakah
kau tidak merasa? Apakah kalian semua di
sini tidak kedinginan? Uh.. uh…!" Semua orang
saling pandang.
"Jubah biru, lekas terangkan siapa kau. Dan
dari mana kau dapatkan jubah milik
Wararayan itu?!" Kembali Manik Tunggul buka
suara keras. Wiro Sableng dengan menahan
geli di dalam hati purapura meneliti parasnya
di dalam kaca di tangan kiri. Kemudian
sambil tuding-tudingkan tombak batu hitam
di tangan kanan dia berkata,
"Anak-anakku… kalian semua dengarlah!"
"Persetan manusia edan!" hardik Bogananta
beringas.
"Kau kira kami ini apamu sampai memanggil
kami anakanakmu?!" Si jubah biru tidak ambil
perduli. Malah dia tudingkan tepat-tepat
tongkat hitamnya ke hidung Ketua Perguruan
Merapi itu.
"Kalian dengar dulu… jangan ganggu
bicaraku. Siapa yang bertindak lancang akan
celaka seumur hidup. Akan dirundung malang
selama hayat! Akan dikutuk dewa-dewa di
khayangan!" Lalu Wiro Sableng pura-pura
menggigil kedinginan lagi!
"Dingin… uh… dingin sekali! Di dasar kawah
udara hangat tapi di atas sini dingin bukan
main! Uh…!"
"Manusia gila! Kalau kau tak segera angkat
kaki dari sini kutekuk batang lehermu!" ancam
Manik Tunggul.
"Aku bukan manusia… bukan manusia!" kata
Wiro lantang keras hingga setiap orang yang
mendengar tergetar dadanya!
"Aku adalah titisan dewa di khayangan! Aku
penghuni Gunung Merapi ini. Segala sesuatu
yang ada dan terjadi di gunung ini di bawah
pengawasanku! Kalian tahu hai manusia-
manusia ceroboh, pesta perkawinan yang
kalian rayakan di sini tanpa meminta izin
pada dewa-dewa di khayangan telah membuat
dewa-dewa marah semua! Kalian hendak
dikutuk! Hendak disapu dengan angin topan
dari puncak Gunung Merapi ini. Tapi dengan
memandang aku, dewa-dewa masih sanggup
beri ampun pada kalian…"
"Keparat pendusta!" bentak Manik Tunggul.
"Kau kira kami bisa dikelabui oleh orang gila
macammu?!" Wiro Sableng menyeringai dan
keluarkan suara mengekeh. Dalam hatinya dia
memaki!
"Aku pendusta katamu?! Aku orang gila
bilangmu…?! Kau akan lihat… akan lihat!"
kata Wiro pula dengan suara keras. Dia
melangkah seringan kapas ke tepi kawah yang
terletak dua puluh tombak dari panggung.
Jarak yang duapuluh tombak itu dicapainya
dengan beberapa kali gerakan kaki saja
hingga semua orang menjadi tertegun! Di tepi
kawah Wiro komat-kamitkan mulut. Dalam
hati dia geli sekali. Kemudian tongkat pendek
batu hitam di tangan kanannya di acung-
acungkan ke udara dan pecahan kaca rias di
putar-putarnya kian kemari! Kemudian
terdengarlah kumandang suaranya yang
menggelegar ke dasar kawah dan dipantulkan
kembali ke atas.
"Wahai dewa-dewa di khayangan! Kalian telah
menyaksi–kan sendiri bagaimana hari ini di
hadapanku ada manusia-manusia yang
hendak mengotori tempatmu yang ada di
bawah pengawasanku. Kalian dengar sendiri
bagaimana manusia-manusia itu mengatakan
aku sebagai pendusta, sebagai tukang
kelabuh, sebagai orang gila! Demi
memandang mukaku, demi menjaga kesucian
tempat ini dan demi kebesaran namamu,
kuharap perlihatkanlah kekuatanmu!
Hukumlah mereka…!" Wiro putar-putarkan
kedua tangannya ke udara.
"Hukumlah mereka wahai dewa!" seru Wiro
lagi dan seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke
ujung kedua tangan. Diam-diam Pendekar ini
lepaskan pukulan Angin Puyuh. Maka
mengaunglah suara angin makin keras. Para
tamu yang bukan orang-orang persilatan tak
ampun lagi jatuh berpelantingan. Bogananta,
Manik Tunggul dan mereka yang mengerti
silat segera kerahkan tenaga dalam agar tidak
ikut terpelanting. Tapi makin lama deru angin
semakin dahsyat dan keras! Hiasan-hiasan
dan gaba-gaba di atas panggung serta
podium tanggal beterbangan, tak ketinggalan
kain penutup pelaminan. Topi tinggi yang
dikenakan pengantin laki-laki tak urung
mental dan kelihatanlah kepalanya yang
berambut jarang!
"Tahan!" teriak Manik Tunggul seraya
melompat ke muka dan lepaskan satu pukulan
tangan kosong ke arah si jubah biru! Tapi
terkejutnya bukan main dan melabrak dirinya
sendiri! Dia melompat ke samping dan sesaat
kemudian dia sudah berada di hadapan Wiro.
Pakaiannya berkibar-kibar, tubuhnya tergetar
dilanda angin puyuh yang keluar dari tangan
sang Pendekar 212!
"Jubah biru, hentikan semua ini! Aku mau
bicara padamu!" Berada sedemikian dekat
Manik Tunggul melihat bagaimana gerakan
kedua tangan dan posisi kedua kaki si jubah
biru bukan lain daripada sikap seorang ahli
silat! Maka hatinya yang tadi sedikit tergetar
kini menjadi curiga. Walau bagaimanapun si
jubah biru ini adalah manusia biasa seperti
dia, bukan dewa atau titisan dewa!
"Tahan!" teriak Manik Tunggul sekali lagi.
"Aku mau bicara!" Wiro tertawa mengekeh dan
mendongak ke langit.
"Dewa-dewa, aku mohon hentikanlah
kemurkaanmu." Maka sesaat kemudian deru
angin yang dahsyat itu mengendur perlahan
dan akhirnya sirna. Tanpa perdulikan Manik
Tunggul yang ada di sampingnya Wiro
melangkah kembali ke atas panggung di
depan podium sambil tertawa mengekeh-
ngekeh!
"Masih untung, masih untung dewa mau
mengampuni kalian manusia-manusia
sombong!" kata Wiro. Dia melirik ke samping.
Manik Tunggul berada di dekatnya. Dan Wiro
buka mulut kembali,
"Itu baru sepersepuluh dari kekuatan dewa.
Kalau sampai seperlimanya saja pasti kalian
semua sudah tak ada di sini! Sudah terbang
laksana daun kering dan mampus!" Wiro
komat-kamit dan acungkan pecahan kaca ke
muka.
"Sekarang kalian dengar semua!" serunya
menggeledek.
"Dewa telah mengampuni kalian orangorang
sombong! Tapi dewa juga minta imbalan
pengampunan itu. Telah lima ratus tahun
lebih kawah Gunung Merapi tempat dewa yang
suci ini tak pernah dibersihkan dengan darah
suci seorang dara! Telah lima ratus tahun
lebih khayangan tidak menerima korban suci!
Maka hari ini dewa memerintahkan aku, dan
aku memerintahkan kamu semua di sini untuk
menyerahkan pengantin perempuan
kepadaku!" Wiro memandang berkeliling.
Semua orang dilihatnya terkejut. Bogananta,
Manik Tunggul dan Sokananta mendelik
memandang kepadanya. Cuma seorang yang
kelihatan tenang dan berlega hati. Orang ini
bukan lain Permani. Si gadis sudah maklum
kini akan rencana pemuda yang menyamar
itu.
"Kalian dengar? Pengantin perempuan harus
diserahkan padaku…!" Wiro melangkah
mendekati Permani. Tapi baru satu langkah,
Manik Tunggul sudah memapasinya.
"Jubah biru! Aku tidak percaya kau titisannya
dewa! Kau tidak bisa lain daripada manusia
dajal keparat! Kalau kau maukan anakku,
silahkan! Tapi makan dulu sepuluh kuku ini!"
Habis berkata begitu Ketua Perguruan Garuda
Sakti melompat ke muka. Kedua tangannya
berkelebat cepat! WIRO Sableng terkejut
melihat datangnya serangan dua tangan yang
mencengkeram dengan dahsyat itu. Buru-buru
dia melompat ke belakang dan kiblatkan
tombak batu hitam di tangan kanannya
memapasi serangan lawan! Kini Manik
Tunggul-lah yang terkejut! Serangan yang
dilancarkannya tadi adalah jurus Sepuluh Jari
Sakti Menggarap Gunung, merupakan satu
jurus serangan yang lihai dari ilmu silatnya.
Tapi si jubah biru mengelakkannya dengan
cepat bahkan kalau dia tidak cepat menarik
pulang kedua tangannya pastilah akan
dihantam oleh tombak batu di tangan si jubah
biru! Wiro tertawa mengekeh.
"Manusia sombong dan kotor hendak melawan
titisan dewa?I" ejeknya.
"Kau akan tahu rasa!" Malu bercampur
amarah yang meluap Manik Tunggul siap
menyerang kembali. Tapi di saat itu sesosok
tubuh melompat ke depan dan satu seruan
terdengar,
"Ketua Perguruan Garuda Sakti, biar aku calon
mantumu tunjukkan bakti padamu! Biar aku
yang ringkus manusia kentut dewa itu!" Sreet!
Sokananta, anak Ketua Perguruan Merapi, si
pengantin laki-laki yang akan jadi suami
Permani cabut pedangnya lalu tanpa tedeng
aling-aling menyerbu kirimkan satu tusukan
satu babatan! Pendekar 212 tertawa gelak-
gelak dan elakkan serangan pedang dengan
satu putaran tombak batu. Dengan penasaran
Sokananta susul dua tusukan kilat dan dua
tebasan sekaligus! Wiro putar lagi tombak
hitamnya dalam jurus Titiran Terbang Ke
Langit. Melihat gerakan lawan yang
memapasi mentah-mentah serangannya
bukan main dongkolnya Sokananta. Dia ambil
keputusan untuk adu senjata dan adu tenaga
dalam sekaligus! Trang! Trak! Tombak batu
hitam di tangan kanan Wiro Sableng patah
dua. Sebaliknya pedang di tangan Sokananta
terlepas mental, tangannya tergetar hebat dan
pedas membuat dia mengerenyit kesakitan. Di
lain kejap ketika dia hendak melompat
menyambar pedangnya terkejutlah putera
Ketua Perguruan Merapi ini. Pedangnya yang
tadi terlepas mental ternyata sudah berada di
tangan lawannya! Gelaplah muka Sokananta
ditelan rasa malu dan kegeraman yang
menyala! Bogananta mungkin orang yang
paling terkejut di antara semua orang!
Sokananta adalah anak kandung
gemblengannya sendiri. Meski tenaga
dalamnya masih belum mencapai tingkat
kesempurnaannya tapi tak bisa dianggap
ringan, dan di samping itu seluruh ilmu
silatnya telah dikuasai oleh Sokananta!
Bagaimana kini dia bisa dipecundangi dalam
satu gebrakan itu aja? Untuk tidak membuat
anaknya kehilangan muka maka Bogananta
berseru memerintahkan anak-anak buahnya
nenyerang si jubah biru. Di lain pihak Manik
Tunggul segera pula memerintahkan anak-
anak buahnya. Enam belas orang bertomba ke
depan podium bukan saja mengurung Wiro
tapi dengan serentak menyerangnya! Pendekar
212 tertawa dan keluarkan suara bersiul.
Begitu gelombang serangan datang
menggempurnya, pemuda ini melompat ke
udara dan sewaktu menukik turun, kembali
terdengar jerit empat orang pengeroyok.
Keempatnya menggelinding ke tanah dalam
keadaan pingsan. Dan di depan podium,
empat orang lainnya berdiri mematung karena
di totok oleh Wiro dengan bagian belakang
yang tumpul dari patahan tombak batu
hitamnya! Melihat ini baik Bogananta maupun
Manik Tunggul segera maklum bahwa si jubah
biru bukanlah tandingan anak-anak murid
mereka. Bahkan ketinggian ilmu silatnya
belum tentu berada di bawah mereka!
"Bangsat!" bentak Bogananta marah.
"Rupanya kau sengaja datang mengacau ke
sini! Lekas berlutut atau aku akan urus jalan
ke akhirat bagimu!" Wiro tertawa gelak-gelak.
"Terhadap titisan dewa kau berani main
perintah seenaknya! Makan pukulanku ini!"
bentak Wiro pura-pura marah lalu lancarkan
satu pukulan yang sebenarnya hanya satu
kepura-puraan saja. Dia tiada permusuhan
dengan semua orang di situ, karenanya dia
tak punya niat untuk turun tangan jahat!
Maklum bahwa tenaga dalam lawan hebat
luar biasa, Bogananta cepat-cepat
menghindar sewaktu angin pukulan
menyambar ke arahnya dan dengan jurus
Naga Menyelinap Dari Balik Rimba Belantara,
Ketua Perguruan Merapi ini kembali menyerbu!
Wiro tak melihat gerakan lawan tahu-tahu
tubuhnya sudah berada dekat sekali dan tinju
kiri kanan sudah berada di depan hidung!
Hanya sedetik Pendekar 212 terkesiap melihat
jurus serangan yang tak terduga dari lawan.
Sekejap kemudian tangan kirinya sudah
bergerak dan pecahan kaca rias bersudut-
sudut runcing melesat ke arah tenggorokan
Bogananta!
"Keparat!" maki Bogananta. Dia pergunakan
tangan kanan memukul kaca itu hingga
hancur lebur, sebaliknya tinju kiri
diteruskannya ke arah muka lawan! Namun
serangan ini telah berkurang kecepatannya
karena gerakan yang dibuatnya waktu
memukul hancur kaca tadi! Dan dengan
sendirinya tangan kiri Bogananta menjadi
makanan yang empuk bagi Pendekar 212.
Namun karena dia tak punya niat turun
tangan jahat maka Wiro cuma tarik lengan
laki-laki itu, memuntirnya dengan cepat!
Begitu tubuh Bogananta terputar, Wiro segera
menotok punggungnya. Keluh kesakitan yang
hendak keluar dari mulutnya Bogananta sirna
di tenggorokannya karena tubuhnya keburu
kaku dilanda totokan Pendekar212!
Tercekatlah hati Manik Tunggul. Ilmu silat
dan kepandaian calon besannya itu dua
tingkat lebih tinggi dari dia! Berarti adalah
mencari konyol kalau dia coba pula turun
tangan! Tapi agar tidak dicap pengecut, Ketua
Perguruan Garuda Sakti ini segera lompat ke
depan Wiro. Begitu menyerang dia keluarkan
jurus ilmu silatnya yang paling hebat yaitu
Seribu Garuda Mengamuk! Kedua tangan
Manik Tunggul terkembang ke samping
laksana sayap burung garuda. Sekali tubuh
kena terpukul pasti hancur remuk! Dari
mulutnya keluar suara berkuikkuik macam
suara garuda sedang di samping memukul,
kedua tangannya secepat kilat bisa berobah
mencengkeram setiap bagian tubuh lawan!
Satu jurus Pendekar 212 kena dirangsak ke
sudut panggung dekat para tamu duduk. Tapi
memasuki jurus kedua sekali berkelebat
terdengarlah keluhan Ketua Perguruan Garuda
Sakti itu. Tubuhnya terhuyung-huyung ke
muka. Sepasang kakinya laksana tiada
bertulang. Tubuhnya tergelimpang di
panggung. Wiro telah menotok kedua urat
kakinya sekaligus sehingga Manik Tunggul
laksana lumpuh tak sanggup berdiri! Wiro
memandang berkeliling dengan tawa berderai.
Tamu-tamu dilihatnya dicekam oleh rasa
kejut dan takut. Inilah saatnya untuk
melarikan Permani, pikir Wiro. Segera dia
hendak melompat ke tempat sang dara.
Namun dari panggung sebelah timur melesat
sesosok tubuh berjubah hitam. Lesatannya
sangat ringan luar biasa dan tanpa suara
tahu-tahu dia sudah di atas panggung kayu
jati! Manusia berjubah hitam ini ternyata
seorang perempuan separuh baya yang
berparas cantik sekali. Namun sekali melihat
sinar matanya, Wiro segera maklum bahwa
manusia ini di samping tinggi ilmu silatnya
juga mempunyai hati jahat! Tiba-tiba jubah
hitam menunjuk cepat-cepat ke arah Wiro
Sableng!
"Manusia yang mengaku titisan dewa, harap
datang ke hadapanku!" Suara perempuan ini
besar parau dan menggetarkan liang telinga.
Wiro mengagumi kehebatan tenaga dalam
perempuan ini. Siapakah dia pikir Wiro dan
tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang
yang tak boleh dibuat main-main, Pendekar
212 segera melompat ke panggung kayu jati!
Semua mata kini ditujukan ke panggung, pada
kedua orang itu!
"Aku tak suka bikin urusan dengan manusia
yang sembunyikan tampangnya di balik
penyamaran! Lekas perlihatkan mukamu yang
sebenarnya dan buka jubah biru itu!" Wiro
kaget namun dia tertawa.
"Kupuji ketajaman matamu! Tapi harap kau
suka terangkan siapa kau dan apa maksudmu
jual lagak di atas panggung ini!" Tentu saja Si
Jubah Hitam marah sekali. Dia tahan
kemarahannya dan berkata datar,
"Ketahuilah, aku datang untuk menagih
hutang jiwa!"
"Ohh… kukira kau berdiri di sini hendak
membela kedua ketua perguruan itu."
"Aku tak ada sangkut paut dengan mereka!
Aku adalah kakak seperguruan Dewi Kala
Hijau yang kau bunuh beberapa tahun yang
lalu!" (Tentang siapa adanya Dewi Kala Hijau
harap baca serial Wiro Sableng yang berjudul
Neraka Lembah Tengkorak). Kaget Wiro
Sableng bukan alang kepalang! Dewi Kala
Hijau yang pernah dibunuhnya tempo hari
ilmunya tinggi luar biasa. Dan kini kakak
seperguruannya datang menuntut balas! Tentu
ilmunya lebih hebat lagi! Tapi meskipun
demikian mana pemuda ini merasa jerih.
Malah dia tertawa dan berkata,
"Kau datang kurang cocok waktunya,
perempuan gagah. Sekarang bukan saatnya
menagih segala macam hutang, apalagi
hutang jiwa!" Dengan acuh tak acuh Wiro
bertindak mendekati Permani, tapi dari
samping Sokananta telah memapasi. Di
tangannya kiri-kanan kini tergenggam dua
bilah pedang mustika yang berkilauan ditimpa
sinar matahari! Begitu memapas begitu anak
Ketua Perguruan Merapi ini kiblatkan kedua
senjatanya. Wiro yang maklum bahwa dua
batang pedang itu bukan pedang biasa tak
mau bertindak ceroboh. Anginnya saja sudah
memerihkan kulitnya. Dia melompat mundur
mengelak dan pada saat dia berada dekat
Bogananta secepat kilat Wiro mencabut
pedang yang tergantung di pinggang kiri
Ketua Perguruan Merapi itu! Kini sibuklah
Sokananta. Dia terdesak hebat ketika salah
satu pedangnya dibikin mental. Muka pemuda
berambut jarang ini pucat lesu sewaktu ujung
pedang ayahnya yang di tangan Wiro
menyambar laksana kilat dan merobek besar
pakaian di bagian dadanya! Dalam dia
terkesiap kaget dan kecut itu, Wiro lepaskan
pukulan tangan kosong. Tak sempat mengelak
tahu-tahu Sokananta telah merasakan
tubuhnya kaku tegang tak bisa bergerak lagi!
"Sudah cukup aku melihat pertunjukanmu!"
kata satu suara di samping Wiro.
"Sekarang kau hadapi Si Jubah Hitam." Sekali
mengusap mukanya maka semua orangpun
gegerlah. Muka yang tadi cantik menawan
hati itu kini berubah menjadi muka tengkorak
yang membuat bulu kuduk menggerinding!
Didahului oleh satu lengkingan dahsyat, Si
Jubah Hitam pukulkan tangan kanannya ke
depan. Gelombang angin keras melanda
Pendekar 212. Wiro bersuit nyaring dan
berkelebat dengan cepat tapi dari samping Si
Jubah Hitam susul dengan pukulan tangan
kiri! Pendekar 212 terkurung di antara dua
angin pukulan sekaligus!
"Sialan!" maki Wiro. Dengan serta merta
pendekar ini angkat kedua tangannya dan
dorongkan ke muka dalam jurus pukulan yang
bernama Benteng Topan Melanda Samudera!
Dua pukulan dahsyat yang mengandung
tenaga dalam hebat luar biasa saling bergulat
tindih menindih! Semua orang yang
menyaksikan adu kekuatan tenaga dalam ini
menahan nafas dengan tegang. Jarang sekali
pertempuran yang begini hebat mereka
saksikan! Si Jubah Hitam kernyitkan kening
tengkoraknya. Di kening Wiro sebaliknya
kelihatan butiran-butiran keringat. Braak!
Lantai kayu jati yang diinjak oleh Pendekar
212 hancur roboh!
"Celaka!" keluh Pendekar 212. Ternyata
tenaga dalam lawan tidak berada di
bawahnya, malah satu dua tingkat berada di
atasnya! Dengan bersuit nyaring Wiro
melompat mundur sejauh dua tombak lalu
jungkir balik sampai tiga kali berturut-turut
dan jatuhkan diri di lantai dan seterusnya
berguling cepat! Dengan demikian baru dia
berhasil menolak dan melebur serangan
tenaga dalam Si Jubah Hitam yang sangat
dahsyat itu!
"Gila betul!" maki Wiro dalam hati. Kalau
dihadapi terus manusia bermuka tengkorak ini
meski belum tentu dia bisa dikalahkan dengan
mudah tapi bisa berabe! Maka dengan cepat
Wiro melompat menyambar tubuh Permani!
Tapi celaka, begitu tubuh sang dara berada di
atas bahu kirinya, enam orang telah
mengurungnya. Mereka adalah tokoh-tokoh
silat yang menjadi tamu dan bersahabat baik
dengan kedua Ketua Perguruan yang kini
berada dalam keadaan ditotok tak berdaya!
Dengan demikian manusia yang mengeroyok
Wiro berjumlah tujuh ditambah dengan Si
Jubah Hitam! Si Jubah Hitam tertawa
panjang.
"Enam manusia tak tahu diri! Kalian mundur
semua! Nyawa pemuda itu hak milikku!"
"Perempuan muka tengkorak!" jawab seorang
di antara yang enam sambil melintangkan
senjatanya yaitu sebuah ruyung perak.
"Urusanmu, urusanmu! Kami juga punya
kewajiban untuk membunuh manusia yang
hendak menculik anak gadis sahabat kami!"
"Di hadapan Iblis Tengkorak kalian berani jual
tampang petantang petenteng! Pergilah
semua!" Si Jubah Hitam yang mengaku
bergelar Iblis Tengkorak dorongkan kedua
tangannya ke muka! Gelombang angin yang
dahsyat menyambar. Laksana daun-daun
kering keenam tokoh silat itu terpelanting ke
luar panggung! Dua orang muntah darah.
Empat lainnya melingkar pingsan di tanah!
Sewaktu orang-orang itu bertengkar mulut
dan sewaktu Iblis Tengkorak menggempur
keenam tokoh silat, maka kesempatan ini
dipergunakan oleh Wiro untuk berlalu dengan
cepat. Tapi lebih cepat lagi, tahu-tahu Si
Jubah Hitam Iblis Tengkorak sudah berada di
depannya! Dan sekaligus lancarkan sejurus
serangan ganas! Wiro berkelit gesit dan
selundupkan satu tendangan ke perut lawan!
Tapi dengan sigap Iblis Tengkorak hantamkan
tangan kanannya ke bawah. Karena tenaga
dalam lawan lebih tinggi, Wiro terpaksa tarik
pulang tendangannya dan sebagai gantinya
kirimkan serangan Kunyuk Melempar Buah.
"Apakah tak ada ilmu pukulanmu yang lebih
berguna?!" ejek Iblis Tengkorak. Dan sekali dia
kebutkan lengan jubah hitamnya maka
buyarlah serangan Wiro Sableng yang
berkekuatan dua per tiga tenaga dalamnya
itu!
"Hebat sekali iblis betina ini!" rutuk Wiro.
Tubuh Permani diturunkannya, kemudian
diiringi oleh satu bentakan nyaring dia
menyerbu ke muka. Tubuhnya hanya
merupakan bayang-bayang! Dua gelombang
angin pukulan melanda Iblis Tengkorak,
masing-masing pukulan Orang Gila Mengebut
Lalat dan pukulan Angin Es. Angin besar
menderu-deru, mengibarkan jubah hitam Iblis
Tengkorak. Sedang udara mendadak sontak
menjadi dingin luar biasa. Semua orang
menggigil bergemeletukan geraham mereka!
Tapi Iblis Tengkorak ganda tertawa. Dua
tangan memukul ke muka. Dua larik sinar
hitam menggebu! Wiro meraung! Tubuhnya
mental sampai empat tombak, pakaiannya
robek hampir di setiap bagian sedang dari
hidung dan sela bibirnya kelihatan darah ke
luar! Tak ayal lagi Wiro segera telan dua butir
pil. Matanya beringas galak. Dan sewaktu Iblis
Tengkorak datang mendekat dengan tertawa,
Pendekar 212 segera sambut dengan pukulan
Sinar Matahari.
"Aha! Pukulan Sinar Matahari!" seru Iblis
Tengkorak.
"Inilah yang kutunggu!" Tangan kanannya
bergerak membuat lingkaran, kemudian
laksana kilat dihantamkan ke muka!
Terdengar suara laksana guntur! Satu
gelombang angin hitam bergerak berputar
bergulung-gulung lalu menghantam ke muka
laksana topan prahara! Sinar putih perak
pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan
Pendekar 212 tiada berdaya dan terbuntal
dalam gelungan-gelungan angin hitam
pukulan lawan untuk kemudian melesat
kembali menyerang dirinya sendiri, sekaligus
bersama serangan angin pukulan lawan!
Itulah pukulan Raja Angin Mengamuk yang
telah dilepaskan oleh Iblis Tengkorak!
"Tobat." keluh Pendekar 212! Tangan
kanannya bergerak sebat! Selarik sinar putih
yang menyilaukan mata berkiblat dan, …
Buum! Satu letusan yang luar biasa kerasnya
terdengar! Puncak Gunung Merapi bergetar!
Suara letusan yang dipantulkan kembali oleh
dasar kawah tak kalah hebatnya sehingga
semua orang di situ merasakan dunia laksana
mau kiamat! Iblis Tengkorak terkejut besar.
Jantungnya mendenyut sakit sedang kedua
lututnya agak tertekuk! Ketika dia
memandang ke depan dilihatnya pemuda itu
berdiri dengan tubuh bergetar, muka pucat
pasi dan sepasang mata merah sedang di
tangan kanannya tergenggam sebuah kapak
bermata dua, yang gagangnya terbuat dari
gading dan berbentuk kepala naganagaan!
Terkesiaplah Iblis Tengkorak melihat
kehebatan senjata lawan! Kapak Maut Naga
Geni 212 nyatanya bukan senjata kosong
belaka! Pukulan Raja Angin Mengamuk yang
dilepaskan tadi adalah pukulan paling hebat
dan ganas yang dimilikinya! Selama sepuluh
tahun memiliki ilmu pukulan itu tak satu
lawan gagahpun yang sanggup
menghadapinya! Tapi kini seorang lawan
berusia muda sekali dengan Kapak Naga Geni
212 berhasil memusnahkan pukulannya itu!
Kedua mata Pendekar 212 terbuka perlahan.
Satu seringai maut tersungging di bibirnya.
Parasnya yang selama ini macam paras anak-
anak dan tolol kini berubah total
menggidikkan! Sinar matanya laksana
menembus tembok baja!
"Iblis Tengkorak!" desis Wiro Sableng.
"Kalau hari ini aku tak sanggup memisahkan
kepala dan badanmu, biarlah aku
mengundurkan diri dari dunia persilatan
selama-lamanya!" Sebenarnya pemuda ini
sudah terluka di dalam. Tapi begitu Kapak
Naga Geni 212 berada di tangannya satu
aliran sejuk keluar dari gagang kapak dan
memberi kekuatan baru padanya meskipun
luka di dalam yang dideritanya tidak bisa
dikatakan sembuh! Perempuan muka
tengkorak tertawa dingin.
"Keluarkan semua ilmu simpananmu. Kalau
kau punya sepuluh senjata cabut sekaligus
agar tidak mati penasaran! Sekali Iblis
Tengkorak inginkan nyawa seseorang pasti
tak bisa lepas. Tak perduli apakah kau punya
tiga kepala enam tangan!"
"Manusia sombong! Kalaupun aku mampus di
tanganmu tapi kejahatan tak akan sanggup
menumbangkan kebenaran!"
"Jangan mengigau di siang bolong! Hari ini
gelar Pendekar Kapak Maut Geni 212 akan
kuhapus dari dunia persilatan!" Iblis
Tengkorak menggembor macam kerbau
marah. Tubuhnya lenyap dan tahu-tahu dua
belas serangan telah menyerbu Wiro Sableng!
Yang diserang tak tinggal diam. Begitu Kapak
Naga Geni 212 berkiblat maka suara menderu
laksana suara ribuan tawon merangsang
telinga! Sedang dari mulut sang pendekar
melengking suara siutan nyaring yang tak
menentu dan menusuk gendang-gendang
telinga! Kejut Iblis Tengkorak bukan alang
kepalang. Putaran angin kapak tak sanggup
diterobos oleh pukulan-pukulan yang
dilancarkannya. Sebaliknya angin kapak itu
memerihkan mata serta kulitnya. Dan
ditambah pula oleh suara mengaung serta
siulan yang tiada hentihentinya menusuk
liang telinganya, membuat gerakangerakannya
kacau balau! Dengan penasaran dan kalap,
dalam jarak sedekat itu Iblis Tengkorak
lepaskan pukulan Raja Angin Mengamuk. Tapi
cepat-cepat dia tarik pulang tangan kanannya
karena jurus putaran kapak yang bernama
Pecut Sakti Menabas Tugu yang dilancarkan
oleh Pendekar 212 hampir saja membuat
tangan kanannya terbabat putus! Semua
orang yang menyaksikan tak dapat lagi
melihat wujud tubuh kedua manusia yang
bertempur itu. Menyaksikan lama-lama mata
mereka menjadi sakit dan kepala masing-
masing menjadi pusing! Telah dua kali Iblis
Tengkorak tukar ilmu silatnya namun tetap
saja dia kena didesak! Tubuhnya telah mandi
keringat dingin. Tiba-tiba dengan licik
manusia muka tengkorak ini menyelundup ke
belakang tubuh Pendekar 212 dan dari
belakang ini lancarkan satu serangan maut
yang ganas! Tapi Wiro sudah lebih dahulu
rasakan datangnya angin serangan yang
dingin di punggungnya. Dengan lancarkan
jurus Di Balik Gunung Memukul Halilintar Wiro
balikkan badan! Iblis Tengkorak tak mengira
lawannya akan mengetahui posisinya dan
bisa menyerang secepat itu. Dengan gugup
dia mengelak. Wiro susul dengan jurus
Membuka Jendela Memanah Rembulan yang
tak asing lagi. Tangan kirinya membabat ke
pinggang lawan. Jubah hitam masih bisa
berkelit tapi serangan yang lebih ganas tak
dapat dihindarkannya yaitu serangan kapak
yang laksana anak panah melesat menyambar
ke arah batang lehernya! Craas! Darah
memancur. Tubuh Iblis Tengkorak roboh ke
lantai panggung. Kepalanya menggelinding
mengerikan! Semua orang menjadi gempar!
Dan ketika mereka memandang lagi ke atas
panggung, Wiro Sableng sudah tak ada.
Bahkan kemudian mereka menyadari bahwa
Permani pun tak ada lagi di hadapan podium!
Untuk kedua kalinya semua orang menjadi
gempar! INIKAH Goanya?" tanya Wiro seraya
melompat turun dari punggung kuda. Dalam
perjalanan melarikan diri bersama Permani
mereka berhasil mendapatkan dua ekor kuda
hitam milik anak-anak murid Perguruan
Garuda Sakti. Permani anggukkan kepala lalu
turun pula dari kudanya. Sebuah batu yang
sangat besar menyumpal mulut goa. Wiro
Sableng kerahkan tenaga dalam. Setelah
bekerja keras beberapa lamanya baru batu
besar itu bisa disingkirkan. Didahului oleh
Permani keduanya masuk ke dalam.Ternyata
goa itu cuma delapan tombak dalamnya.
"Kanda Panuluh!" Tiba-tiba mengumandang
pekik Permani. Dara ini laksana diburu sctan
lari ke depan dan meraung keras. Menangis
sambil tiada hentinya menyebut nama tadi!
Wiro Sableng berdiri termangu. Seorang
pemuda yang berada dalam keadaan
menyedihkan tersandar ke dinding goa.
Tangan dan kakinya diikat dengan rantai besi
yang dipakukan ke dinding kuat sekali. Dia
hanya mengenakan sehelai cawat. Sekujur
tubuhnya penuh oleh guratan-guratan merah
yang dalam bekas cambukan. Mukanya babak
belur. Bibir pecah, pipi lecet, sedang kedua
mata bengkak menggembung. Pada bawah
mata dan hidung kelihatan noda-noda darah
yang telah membeku! Dan Permani menangis
memeluki tubuh pemuda itu. Wiro menggigit
bibir. Dia maklum kalau pemuda itu sudah
tiada bernafas lagi. Tiba-tiba Wiro berteriak,
"Jangan!" Dan secepat kilat melompat ke
muka menangkap tubuh Permani.
"Bunuh diri tak ada gunanya!" seru Wiro.
Menyadari bahwa pemuda kekasihnya telah
mati maka tadi Permani hendak benturkan
kepalanya ke dinding goa. Untung Wiro masih
sempat menghalanginya.
"Tenanglah Permani," bisik Wiro coba
menghibur.
"Tidak! Lepaskan aku Wiro! Lepaskan!" teriak
sang dara keras dan meronta-ronta laksana
orang gila!
"Jangan mengambil jalan sesat!"
"Tak perlu aku hidup lebih lama! Orang yang
kukasihi telah tiada!" Lengking Permani.
"Lepaskan! Biar aku bunuh diri Wiro!
Lepaskan!" Karena Permani adalah seorang
gadis yang mendapat didikan ilmu silat dari
ayahnya maka dengan susah payah baru Wiro
berhasil menotok tubuhnya hingga dia lemas
dan disandarkan ke dinding. Suara tangisnya
menyayat hati. Wiro melepaskan dengan
paksa rantai-rantai yang mengikat tangan
serta kaki Panuluh lalu membaringkan
pemuda itu di lantai goa. Permani tutupkan
kedua matanya, tak tahan melihat keadaan
kekasihnya itu.
"Apakah ayahmu yang melakukan kekejaman
ini?" tanya Wiro.
"Sokananta! Dia dan orang-orangnyalah yang
melakukan!"
"Bangsat itu akan dapat ganjaran dariku
kelak!" desis Wiro Sableng. Dia memandang ke
luar goa.
"Masih ada waktu untuk menguburkan
jenazahnya petang ini sebelum senja datang.
Apakah kau bisa menahan hati? Kalau tidak,
aku tak bisa melepaskan totokanmu…"
Permani tak menjawab. Suara tangisnya
memenuhi seluruh goa. Wiro Sableng
memanggul mayat Panuluh dan membawanya
ke luar goa. Satu jam kemudian ketika dia
masuk, Permani masih juga menangis
meskipun kedua matanya yang seperti bintang
timur itu kini telah menjadi bengkak. Wiro
duduk bersandar di hadapannya, tak berkata
apa-apa. Kalau sudah letih tentu dia akan
hentikan sendiri tangisnya, pikir Wiro. Senja
telah turun dan malampun tiba. Di luar angin
malam yang dingin merambas masuk ke
dalam goa. Wiro merasakan perutnya yang
sudah lapar menjadi tambah perih oleh
hembusan angin dingin itu. Bila tangis
Permani sudah mereda maka Wiro berkata,
"Aku akan cari makanan buat kita. Kau
tunggulah di sini! Berteriak keras-keras kalau
ada apa-apa!" Kemudian Wiro berdiri dan
melangkah. Belum lagi dia mencapai mulut
goa mendadak di luar sana, dalam kegelapan
malam didengarnya suara semak belukar
bergesekan dan suara langkah-langkah kaki
yang banyak sekali. Sesaat kemudian
kelihatanlah beberapa sosok manusia bergerak
ke arah goa. Wiro yang maklum akan
datangnya bahaya segera menyongsong ke
luar goa. Jika terjadi pertempuran satu lawan
banyak di dalam goa dia bisa kepepet! Yang
datang berjumlah lima belas orang. Orang
pertama dikenali Wiro adalah bukan lain dari
Sokananta, kemudian Bogananta, menyusul
Manik Tunggul. Yang lainlainnya adalah
anak-anak murid Perguruan Merapi dan
Perguruan Garuda Sakti. Semuanya mencekal
pedang! Ketika Wiro Sableng memandang ke
ujung kanan, samarsamar di kegelapan malam
dilihatnya orang yang keenam belas! Orang ini
tak dikenal dan tak dilihat sebelumnya waktu
di puncak Gunung Merapi. Tubuhnya gemuk
luar biasa seperli bola api, lucunya celana
panjang dan bajunya sangat kecil sekali,
hampir-hampir tak dapat menutupi tubuhnya
yang macam kerbau buntak itu. Manusia
berkepala botak ini memegang seuntai tasbih
di tangan kirinya dan mulutnya senantiasa
komat-kamit tak bisa diam! Tiba-tiba Manik
Tunggul melangkah besar-besar ke hadapan
Wiro dan membentak nyaring,
"Mana anakku?!" Wiro sunggingkan senyum
sinis lalu menunjuk pada kuburan baru yang
tanahnya masih merah.
"Tanyakanlah pada makam baru itu!"
Terkejutlah Manik Tunggul serta yang lain-
lainnya.
"Bangsat rendah! Anakku kau bunuh?!" Manik
Tunggul menggeram dan sepuluh kuku-kuku
tangannya menyambar ke muka tapi dielakkan
dengan gesit oleh Wiro.
"Mari kita satai beramai-ramai jahanam ini!"
teriak Bogananta seraya kiblatkan pedang dan
kirimkan satu tusukan ke leher Wiro.
Sokananta dan dua belas orang lainnya
segera menyerbu! Empat belas batang pedang
berserabutan dan sepuluh jari berkuku
panjang mencakar dengan ganas! Satu-
satunya orang yang tak ikut menyerang ialah
si gemuk pendek yang memegang tasbih. Dia
memperhatikan saja sambil mulutnya terus
berkomatkamit!
"Tahan!" teriak Wiro sambil melompat mundur
ke pintu goa. Tapi yang menyerangnya terus
memburu!
"Sialan! Kalau kalian tak mau hentikan
serangan ini jangan menyesal!" Bogananta
dan yang lain-lainnya tak ambil perduli. Wiro
cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari
pinggangnya. Wuut! Sinar putih menyilaukan
menderu, suara laksana ribuan tawon
menggerung dan empat anak buah Perguruan
Merapi menjerit roboh mandi darah. Yang
lain-lainnya tersurut mundur sampai lima
langkah! Mereka menjadi kecut dan bimbang
untuk menyerbu kembali!
"Manik Tunggul!" kata Wiro dengan suara
keras sehingga semua orang mendengar.
"Anakmu masih hidup. Tapi kehancuran hati
yang dideritanya membuat nasibnya lebih
buruk daripada seseorang yang telah
mendahuluinya!"
"Kalau masih hidup di mana dia sekarang?"
tanya Sokananta lantang.
"Durjana cacingan tak usah buka mulut! Aku
tidak bicara pada kau!" tukas Wiro. Kelamlah
paras Sokananta ditelan kemarahan!
"Lalu ini kuburan siapa?!" tanya Manik
Tunggul.
"Jangan pura-pura tidak tahu, Manik
Tunggul! Masa kau lupa pada seorang
pemuda bernama Panuluh, yang ditawan dan
disiksa setengah mati oleh durjana cacingan
itu lalu disekap di goa ini sampai akhirnya
menemui kematian dalam cara yang
mengerikan?!" Kagetlah Manik Tunggul. Dia
berpaling pada Sokananta. Tapi saat itu
Sokananta sudah membentak Wiro kembali,
"Lekas katakan di mana calon istriku!" Wiro
tertawa gelak-gelak.
"Kekasihnya kau tawan, kau siksa sampai
mati! Apakah kau masih punya muka untuk
mengawini gadis itu?!" Rahang Sokananta
kelihatan terkatup rapat-rapat. Manik Tunggul
masih memandang pada Sokananta, lalu
bertanya,
"Calon menantuku, apakah yang diucapkan
bedebah ini betul?!" Sokananta tertawa.
"Namanya saja manusia bedebah. Masa
bicaranya bisa dianggap betul? Setelah dia
melarikan Permani di depan hidung kita
apakah bangsat ini masih bisa dipercaya?!
Dia hendak mengelabuhi kita dan mengadu
domba kita satu sama lain!" Wiro
menggerendeng.
"Keparat, dosamu sudah lewat takaran! Lekas
kau dan kambrat-kambratmu angkat kaki dari
sini! Kalau tidak kau bakal menjadi manusia
pertama yang bakal kubelah kepalanya
sesudah empat krocomu itu!"
"Bangsat rendah! Jangan kira kali ini kau bisa
lolos dari liang kubur yang telah kau gali
sendiri!" Sokananta palingkan kepala ke arah
laki-laki gemuk yang memegang tasbih.
"Tasbih Kumala, kau tunggu apalagi?!"
Manusia gemuk pendek kepala botak
menyeringai. Mulutnya dalam menyeringai itu
masih terus juga berkomat-kamit! Sekali dia
bergerak, tubuhnya sudah berada di samping
Sokananta.
"Inikah tampang manusianya yang kau minta
aku untuk membereskannya, Soka?" tanya
Tasbih Kumala dengan mata menyelidik dari
atas ke bawah. Sokananta mengangguk.
Tasbih Kumala tertawa gelak-gelak. Hebat
sekali suara tertawanya, laksana merobek
langit di malam hari itu! Tasbih Kumala
melirik pada senjata yang di tangan Wiro lalu
membentak,
"Pemuda bau pupuk! Betul kau orangnya yang
bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212?!"
"Sobat," sahut Wiro,
"melihat kepada gelarmu pastilah kau seorang
tokoh silat yang ternama. Aku hormati kau.
Tapi harap jangan ikut campur urusan orang!
Karena kau tak kuundang untuk datang ke
sini, sebaiknya segera angkat kaki!"
"Bapak moyangmu!" bentak Tasbih Kumala,
dia melangkah ke muka.
"Tunggu dulu!" seru Manik Tunggul.
"Sebelum kita mengeremus budak keparat ini,
aku harus tahu dulu beberapa hal!"
"Ah, kau hanya menambah panjang umurnya
beberapa detik saja, Manik Tunggul!" kata
Bogananta.
"Sokananta, betul kau yang menangkap dan
menyiksa Panuluh, lalu menyekapnya sampai
mati di dalam goa ini?!" Sokananta jadi
beringasan!
"Kenapa antara kita musti berprasangka yang
bukan-bukan?!" Wiro menengahi,
"Manik Tunggul, kau juga ikut bertanggung
jawab atas kematian Panuluh! Kau yang
memaksa anak gadismu untuk kawin dengan
jahanam cacingan ini! Kau gila nama besar!
Kau pengecut kelas satu yang mau menjual
anak sendiri karena ditekan oleh Ketua
Perguruan Merapi…"
"Tutup mulutmu!" teriak Manik Tunggul
marah. Tiba-tiba Sokananta berteriak beri
komando. Maka Bogananta, Tasbih Kumala
dan anak-anak murid Perguruan Merapi
segera menyerbu. Manik Tunggul tetap berdiri
dengan bimbang. Dua orang anak buahnya
karena melihat Ketua mereka berdiam diri,
tidak berani masuk ke dalam pertempuran!
Mendadak dari dalam goa terdengar seruan
perempuan,
"Wiro! Wiro! Kaukah yang bertempur itu?
Wiro…!" Mengenali bahwa itu adalah suara
anaknya yang ternyata masih hidup, legalah
hati Manik Tunggul dan pikiran jernih
menyeruak di dalam kepalanya kini. Tiba-tiba
dia melompat ke muka dan berteriak,
"Sokananta bajingan! Kaulah yang jadi biang
racun! Kau harus mampus di tanganku!"
Sepuluh kuku-kuku jari dengan ganas
menyambar Sokananta! Karena tak diduga
akan diserang sehebat itu dan secara tiba-
tiba oleh calon mertuanya sendiri maka
Sokananta yang mengeroyok Wiro Sableng tak
punya kesempatan untuk mengelak! SEKEJAP
lagi sepuluh kuku jari Manik Tunggul akan
mengeremus hancur muka Sokananta, tiba-
tiba, Wuut! Sebuah pedang menyambar
dahsyat ke arah kedua lengan Ketua
Perguruan Garuda Sakti itu!
"Manik Tunggul manusia ular kepala dua!
Akulah lawanmu!" Ketika berpaling ke kanan
ternyata yang menyampokkan pedang tadi
adalah Bogananta! Mendidihlah darah di
kepala Manik Tunggul!
"Bogananta keparat! Kau sama saja dengan
anakmu!" Maka kedua orang itupun
bertempurlah satu lawan satu dengan
hebatnya. Tapi di samping tenaga dalamnya
lebih rendah dan lawan bersenjatakan pedang
pula maka lima jurus kemudian Manik
Tunggul-pun kena didesak! Di lain pihak Wiro
yang dikeroyok oleh Sokananta dan Tasbih
Kumala serta tujuh orang lainnya berkelebat
cepat, bertahan dengan hebat dan sekali-
sekali lancarkan serangan balasan yang
ganas! Meski dia telah merobohkan dua orang
anak murid Perguruan Merapi, namun
keadaannya tak bisa dikatakan di atas angin.
Sokananta dan yang lain-lainnya bukan apa-
apa. Tasbih Kumala-lah yang tak bisa
dianggap remeh! Setiap senjatanya berkelebat,
satu gelombang angin yang laksana gunung
beratnya menerpa Pendekar 212! Dapat
dibayangkan bagaimana jadinya kalau tubuh
seseorang kena dilanda oleh tasbih sakti itu!
Dua jeritan terdengar. Dua anak murid Manik
Tunggul yang ikut mengeroyok Bogananta
mandi darah dilanda pedang.
Pada jurus keenam tadi dalam pertempuran
satu lawan satu, Manik Tunggul telah didesak
hebat oleh Bogananta. Kedua anak buahnya
turun membantu dalam jurus kesembilan
mereka kena dihantam Bogananta. Dan kini
dalam jurus kesepuluh kembali Manik Tunggul
didesak hebat! Pada saat Wiro Sableng
berhasil merobohkan lagi dua orang
pengeroyoknya, maka pada saat itu pula
terdengar jeritan Manik Tunggul! Tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang dengan kedua
tangan memegangi dada yang robek besar
dibabat ujung pedang. Darah membanjir. Pada
saat tubuhnya melingkar di tanah, detik itu
pula nyawanya lepas!
"Jahanam!" teriak Pendekar 212. Dari
mulutnya terdengar suara bentakan
menggeledek. Tubuhnya melesat enam tombak
ke samping. Kapak Naga Geni 212 berkiblat
memancarkan sinar putih dan menebar suara
bergaung.
"Ayah, awas!" teriak Sokananta. Bogananta
memang sudah melihat datangnya sambaran
senjata lawan. Dengan cepat dia angsurkan
pedang mustikanya ke depan untuk
menangkis! Trang! Terdengar suara senjata
beradu. Pedang di tangan Bogananta patah
dan mental. Di kejap itu pula terdengar
lolongannya macam kerbau disembelih!
Batang lehernya hampir putus terbabat mata
kapak, tubuhnya roboh ke tanah! Wuut! Satu
sambaran angin mendera ke arah punggung
Pendekar 212. Wiro melompat ke muka dan
balikkan badan, sekaligus kiblatkan kapak.
Yang menyerangnya ternyata Tasbih Kumala!
"Manusia-manusia keparat!" kertak Wiro.
"Satu nyawa Manik Tunggul harus dibayar
dengan nyawa kalian semua!" Dari mulut
Pendekar 212 kemudian terdengarlah
kumandang suara siulan yang menggidikkan
bulu roma! Jurus-jurus silatnya dengan serta
merta berubah total. Tiga pekikan terdengar,
menyusul kemudian dua pekikan lagi! Lima
korban terhampar di tanah! Kecutlah nyali
Tasbih Kumala dan lebih-lebih Sokananta.
Hanya mereka berdua kini yang masih hidup!
Dan itupun tak lama. Dua jurus di muka si
gemuk pendek Tasbih Kumala keluarkan
seruan kesakitan. Lengan kanannya yang
memegang tasbih terbabat buntung.
Buntungan bersama tasbih mencelat ke udara!
Kapak Naga Geni 212 berbalik dan, cras!
Terpisahlah kepala dan badan Tasbih Kumala!
Lumerlah nyali Sokananta! Tanpa tunggu
lebih lama pemuda ini balikkan tubuh dan
ambil langkah seribu!
"Jahanam cacingan! Kau mau minggat ke
mana?! Tempatmu toh di neraka!" Wiro
gerakkan tangan kirinya. Siap untuk lepaskan
pukulan Sinar Matahari. Tapi dibatalkannya.
Sebagai gantinya dia lepaskan satu totokan
jarak jauh yang ampuh! Tak ampun lagi tubuh
Sokananta yang lari kencang itu mendadak
sontak menjadi kaku tegang! Permani
meratap memeluki mayat ayahnya. Wiro telah
melepaskan totokan gadis itu. Kegelapan
malam, angin dingin yang mencucuki tulang-
tulang sungsum, tebaran mayat di mana-
mana serta suara tangis Permani merupakan
hal-hal yang tidak enak bagi Wiro Sableng.
Setelah menunggu beberapa lamanya Wiro
kemudian berkata,
"Tak ada gunanya tangis itu, Permani. Tak
ada gunanya membuang-buang air mata lebih
banyak! Kejadian begini sudah ditakdirkan
menjadi nasibmu oleh Yang Kuasa. Masuklah
ke dalam goa…" Gadis itu sadar. Perlahan-
lahan dia berdiri dan menyeka kedua
matanya. Setindak dia hendak melangkah ke
mulut goa, pandangannya membentur
Sokananta yang tegak kaku akibat totokan
Wiro. Maka menggemuruhlah amarah
Permani. Dengan segera dia mencabut sebilah
keris yang tersisip di pinggang ayahnya dan
berlari ke arah Sokananta seraya berteriak,
"Bangsat! Kaulah yang jadi biang racun
segala-galanya!"
"Permani!" seru Sokananta dengan keras tapi
gemetar.
"Ampunilah selembar nyawaku ini."
"Ini ampun untukmu!" teriak Permani garang
dan keris bereluk tujuh di tangan kanannya
dihunjamkannya keraskeras ke dada pemuda
itu. Sekejap lagi ujung keris akan menembus
dada Sokananta, sebuah tangan yang kuat
mencekal lengan Permani!
"Lepaskan tanganku!" teriak si gadis kalap.
Karena Permani seorang yang mempelajari
ilmu silat serta memiliki tenaga dalam yang
cukup ampuh agak sukar juga bagi Wiro
menahan gadis itu.
"Dengar Permani! Kematian dengan tusukan
keris seperti ini terlalu enak baginya!" kata
Wiro.
"Bangsat ini musti diberi ganjaran yang
setimpal…!" Gelora amarah Permani menyurut.
Dua bola matanya memandang besar-besar ke
arah Wiro. Dan dia kemudian maklum apa
yang dikatakan Wiro adalah benar.
Dilemparkannya keris di tangan kanan. Lalu
dijambaknya rambut Sokananta dan
diseretnya ke dalam goa. Dengan rantairantai
besi yang dulu pernah mengikat Panuluh,
Permani membelenggu kedua tangan dan kaki
Sokananta.
"Permani, kau mau bikin apa…?!" tanya
Sokananta. Keringat dingin membasahi
sekujur badannya. Gadis itu tak menjawab.
Dia lari ke luar goa. Sewaktu masuk lagi di
tangannya ada seutas akar gantung
sepanjang satu setengah tombak. Permani
putar-putarkan akar gantung itu di atas
kepalanya.
"Permani…" Suara seruan Sokananta putus
dilanda bunyi akar gantung yang mendera
dadanya. Pakaiannya yang bagus robek, kulit
dadanya tergurat lecet dan berdarah! Puluhan
kali di dalam goa itu terdengar suara
cambukan-cambukan yang dahsyat!
Sokananta telah lama pingsan. Parasnya
hancur tak dapat dikenali lagi dan
bergelimang darah. Pakaiannya robek-robek,
sekujur kulit badannya pecahpecah bermandi
keringat dan darah! Bila matahari mulai naik
di pagi keesokannya, maka di depan mulut
goa itu kelihatan sebuah kuburan baru lagi.
Kuburan Manik Tunggul yang berdampingan
dengan kuburan Panuluh. Di bagian kepala
kedua kuburan itu diletakkan dua buah batu
besar dan pada batu itu dengan dua ujung
jari-jari tangannya Wiro telah menggurat
nama kedua orang itu.
"Kau akan kembali ke kota?" tanya Wiro
Sableng yang berdiri di samping Permani dan
tengah memandangi dua kuburan bertanah
merah itu. Si gadis gelengkan kepalanya.
"Memang tak ada gunanya ke Paritsala. Lebih
baik terus langsung pulang ke kota
kediamanmu…"
"Tidak, aku tak akan kembali pulang." Wiro
kernyitkan kening.
"Lalu…?"
"Aku akan tinggal di sini. Akan bertapa di
goa…" Wiro hendak tertawa tapi tak jadi. Dia
berkata,
"Ibumu akan susah bila kau tak kembali…"
"Setelah ayah meninggal, aku cuma sebatang
kara di dunia ini…"
"Jadi ibumu juga sudah meninggal?" Permani
mengangguk.
"Kau tak punya kerabat atau saudara?"
"Tidak…"
"Tapi hendak bertapa dalam umur semudamu
ini betulbetul belum masanya, Permani. Kau
menyia-nyiakan masa mudamu dan juga
masa depanmu!"
"Masa muda dan masa depanku tak ada lagi
sejak orang yang kucintai masuk di bawah
tumpukan tanah merah itu…" sahut Permani
dan butir-butir air mata berjatuhan melewati
kelopak kedua matanya. Wiro Sableng
menghela nafas. Sungguh sayang dara
secantik ini memutuskan untuk jadi pertapa.
Tapi bagaimana dia bisa melarang? Diam-
diam diperhatikannya paras Permani dari
samping dan ketika gadis itu memutar kepala
ke arahnya, pandangan mereka saling beradu
untuk beberapa lamanya.
"Dunianya Panuluh berakhir sampai di tempat
ini, Wiro," bisik Permani.
"Aku akan tinggal di sini sampai akhirnya
nanti pada suatu ketika duniaku pun akan
berakhir pula di sini, di hadapan kuburnya…"
Wiro Sableng merasa terharu sekali. Betapa
agungnya nilai-nilai cinta sejati, pikir pemuda
ini.
"Di samping bertapa, aku akan memperdalam
ilmu silat yang pernah diwariskan ayah…"
"Itu sudah semestinya…" kata Wiro perlahan.
Hatinya tetap menyayangkan keputusan gadis
itu untuk tinggal di goa itu dan bertapa
sekalipun sambil memperdalam ilmu silatnya.
"Dunia ini penuh dengan orang-orang jahat.
Setiap kejahatan kadangkala dibarengi
dengan ilmu yang tinggitinggi. Aku khawatir
tinggal di sini kau bakal menemui nasib
buruk…" Permani menatap paras pemuda itu
sebentar lalu tundukkan kepalanya dan untuk
beberapa lamanya suasana diliputi kesunyian.
"Aku akan mencuci tangan di anak sungai tak
jauh dari sini. Sebentar aku kembali…" kata
Wiro. KETIKA berjalan kembali ke goa sehabis
membersihkan tangan dan beberapa bagian
tubuhnya Wiro tersentak kaget. Telinganya
yang tajam mendengar suara ribut-ribut
seperti suara orang berkelahi yang diselingi
suara tertawa gelak-gelak! Tanpa membuang
waktu dia berlari cepat. Begitu sampai di
depan goa, terkejutlah murid Eyang Sinto
Gendeng ini! Dilihatnya Permani tengah
bertempur melawan seorang laki-laki berjubah
kuning yang tangannya cuma satu.
Sebenarnya tak bisa dikatakan pertempuran.
Lebih tepat kalau dikatakan bahwa Si Jubah
Kuning bertangan buntung itu tengah
mempermain-mainkan Permani serta kurang
ajar dan sambil tertawa-tawa. Setiap kali dia
bergerak tangan kanannya meraba ke bagian-
bagian tubuh Permani yang terlarang hingga
gadis ini mengamuk penuh amarah. Tapi
semua serangannya luput! Tak jauh dari
tempat terjadinya perkelahian tegak berdiri
orang kedua, juga berjubah kuning dan cuma
punya satu mata alias picak! Dia menyaksikan
perkelahian itu dengan gelak tawa gembira.
"Ayo Sumplung! Robek saja pakaiannyal Biar
mataku yang cuma satu ini bisa lihat
kebagusan tubuhnya! Ah…! Sudah lama
mataku tak melihat tubuh telanjang! Ha… ha…
ha!" Di samping si mata picak ini, tersandar ke
sebatang pohon, kelihatan sebuah lukisan
perempuan telanjang. Lukisan itu sudah agak
kotor dan kayu pigura bagian bawahnya ada
bekas sambungan! Seperti kawannya, diapun
memelihara berewok. Kalau tadi Wiro sudah
demikian terkejutnya melihat pertempuran
antara Permani dan si tangan buntung maka
melihat lukisan telanjang itu puluhan kali dia
lebih terkejut! Tak bisa tidak kedua manusia
berjubah kuning ini adalah Sepasang Elmaut
Kuning yang telah membunuh Si Pelukis Aneh
dan mencuri lukisan perempuan telanjang itu!
Ditambah dengan menyaksikan apa yang
diperbuat si tangan buntung terhadap
Permani maka menggemuruhlah amarah Wiro
Sableng.
"Iblis-iblis kesasar! Dicari-cari tidak ketemu!
Sekarang tahu-tahu kalian muncul di depan
hidungku!" Serentak dengan itu Wiro Sableng
segera melompat ke hadapan si tangan
buntung! Kedua manusia berjubah kuning itu
memang bukan lain dari Sepasang Elmaut
Kuning adanya. Bagaimana mereka bisa
sampai ke tempat itu? Seperti telah
diceritakan sebelumnya, mereka diam di
sebuah goa yang terletak di lembah berbatu-
batu. Karena sebegitu jauh mereka belum juga
bisa membongkar rahasia yang tersembunyi di
dalam lukisan perempuan telanjang maka
keduanya akhirnya memutuskan untuk pergi
ke kampung tempat kediaman calon murid Si
Pelukis Aneh yaitu Wira Prakarsa. Mereka
menduga anak itu pasti mengetahui rahasia
tersebut dan kemudian memaksanya untuk
memberi keterangan! Di samping itu, diam
lamalama di lembah batu sudah terasa tidak
aman bagi Sepasang Elmaut Kuning. Anak-
anak murid Perguruan Seberang Kidul dan Si
Katai Bisu telah mengetahui tempat
persembunyian mereka tersebut. Meski orang-
orang itu telah berhasil mereka kirim ke
akhirat namun bukan tak mustahil banyak lagi
tokoh-tokoh silat akan mendatangi mereka
untuk menuntut balas ataupun mencuri
lukisan yang ada di tangan mereka. Maka
keduanyapun berangkatlah meninggalkan
lembah batu. Dalam perjalanan mereka
melewati tempat di mana Permani berada dan
yang saat itu tengah berdiri di depan makam
Panuluh dan ayahnya. Melihat gadis cantik di
tengah daerah liar begitu rupa, tentu saja
Sepasang Elmaut Kuning jadi tertarik. Nafsu
bejat merangsang keduanya dan Elmaut
Kuning Kuping Sumplung 'turun tangan' lebih
dulu hingga akhirnya terjadilah pertempuran!
Sepasang Elmaut Kuning bukan kepalang
terkejut mereka sewaktu mendengar bentak
memaki Wiro Sableng. Lebih-lebih Kuping
Sumplung yang saat itu tengah menjamahi
tubuh Permani sambil tertawa mengekeh! Dia
dengan cepat menyurut mundur sewaktu
merasa satu angin mendorongnya dengan
hebat hingga kalau saja dia tidak lekas-lekas
kerahkan tenaga dalamnya pastilah akan
dibuat mencelat mental!
"Pemuda gondrong hina dina!" bentak Kuping
Sumplung.
"Siapa kau?!"
"Kau dan kambratmu yang bermata satu itu
pastilah Sepasang Elmaut Kuning!"
"Hem… matamu cukup tajam untuk mengenali
kami. Lekas terangkan siapa kau dan apakah
mau mencari mampus sengaja membuat
kericuhan di sini?!" Wiro tertawa mengejek.
"Mataku bukan cuma cukup tajam mengenali
tampang-tampang kalian, tapi juga
mengetahui bahwa kalianlah bangsat-
bangsatnya yang telah membunuh Si Pelukis
Aneh lalu melarikan lukisan perempuan
telanjang itu! Dan kini kau yang berkuping
sumplung bertangan buntung berani bikin
kurang ajar terhadap kawanku!"
"Ho… ho, jadi kau adalah kawannya si cantik
ini?! Kalau begitu biar kau kubikin mampus
lebih dulu agar kami berdua tak banyak
rintangan untuk menikmati tubuhnya nanti!"
Elmaut Kuning Kuping Sumplung tutup
ucapannya dengan serangan tangan kanan
yang hebat dan berkekuatan sepertiga tenaga
dalamnya. Satu kali pukul dia berharap akan
dapat membuat pemuda itu menemui ajalnya,
sekurang-kurangnya luka parah dan cacat
seumur hidup! Tapi bukan main kejut Kuping
Sumplung ketika melihat bagaimana pemuda
itu bukan saja berhasil mengelakkannya tapi
juga ganti membalas dengan satu serangan
yang ganas! Elmaut Kuning Kuping Sumplung
melompat ke samping. Tangan kanannya
kirimkan jotosan angin keras sedang kaki
kanan serentak dengan itu menendang ke
pinggang. Inilah jurus yang dinamakan Dua
Palu Sakti Melanda Mega. Angin serangannya
saja hebatnya bukan olah-olah! Pendekar 212
Wiro Sableng melompat satu setengah tombak
ke udara. Tendangan maut lawan lewat,
sebaliknya dengan tangan kirinya Wiro
sengaja memapasi lengan lawan. Elmaut
Kuning Kuping Sumplung kertakkan rahang!
Seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke tangan
kanan! Sebagai seorang tokoh silat yang
ditakuti di delapan penjuru angin, Kuping
Sumplung merasa bahwa tenaga dalamnya
jauh lebih tinggi dari lawan. Dia sengaja
mengambil keputusan untuk bentrokan lengan
dengan lengan dan memastikan lengan
lawannya akan patah! Di lain pihak memang
bentrokan inilah yang dikehendaki Wiro
Sableng! Sekejap kemudian lengan kedua
orang yang bertempur itupun beradu! Wiro
Sableng mengerenyit. Lengannya tergetar
sakit. Kulitnya keriputan dengan serta merta.
Sebaliknya dari mulut Elmaut Kuning Kuping
Sumplung terdengar suara pekik setinggi
langit. Dia melompat dua tombak ke
belakang. Lengannya yang beradu kelihatan
terkulai bergoyang-goyang! Ternyata tulang
lengannya telah patah! Untung daging lengan
itu hanya sebagian saja yang hancur, kalau
tidak pasti di saat itu juga lengan kanan
Kuping Sumplung akan putus dua! Namun
demikian keadaan Kuping Sumplung adalah
parah sekali! Tak mungkin baginya untuk
meneruskan pertempuran! Bahkan mungkin
lengannya itu tak bisa dipergunakan lagi
untuk selama-lamanya! Dengan menggigit
bibir menahan rasa sakit, Kuping Sumplung
totok beberapa urat di pangkal bahunya. Rasa
sakitpun hilang. Melihat kambratnya dibikin
demikian rupa marahlah Elmaut Kuning Mata
Picak! Berewoknya meranggas kaku karena
luapan amarah itu! Di samping marah dia
juga terkejut karena tidak menyangka bahwa
pemuda bertampang tolol itu berkepandaian
sedemikian tingginya! Dengan langkah-
langkah besar Mata Picak maju ke hadapan
Pendekar 212 Wiro Sableng!
"Budak anjing hina dina!" bentaknya,
"Aku tak begitu senang membunuh manusia
yang aku tidak tahu siapa adanya! Lekas
terangkan namamu!" Wiro tertawa bergelak
dan bertolak pinggang.
"Bicaramu keren sekali, Mata Picak," sahut
Wiro. Dia melirik pada Elmaut Kuning Kuping
Sumplung yang duduk menjelepok di tanah
sambil berusaha mengobati lengannya yang
patah.
"Namaku kau tak perlu tahu. Tapi apakah kau
kenal dengan tiga buah angka ini?!" Habis
berkata begitu Wiro pukulkan telapak tangan
kanannya ke arah dada Mata Picak. Selarik
angin menyambar panas!
"Kurang ajar!" maki Mata Picak seraya
menyingkir ke samping. Dia terkejut ketika
mendengar suara jeritan di belakangnya.
Sewaktu berpaling dilihatnya Kuping
Sumplung yang menjelepok di tanah
terjerongkang ke belakang, menggeletak di
tanah tanpa bergerak lagi! Dan di keningnya
yang saat itu menjadi hitam jelas kelihatan
tiga buah angka putih 212! Tergetarlah hati
Elmaut Kuning Mata Picak! Sejak hampir satu
tahun belakangan ini dia telah mendengar
tentang munculnya seorang pendekar yang
berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!
Belasan tokoh silat golongan hitam menemui
ajal di tangannya! Bahkan banyak pula partai-
partai silat yang hancur diobrak-abrik
Pendekar 212! Pendekar itu sudah merupakan
momok paling ditakuti oleh tokoh-tokoh silat
golongan hitam. Dan kini tiada dinyana dia
sendiri berhadap-hadapan dengan Pendekar
212 itu! Lebih tidak dinyana lagi ialah bahwa
Pendekar 212 itu adalah seorang pemuda
belia bertampang tolol! Dan telah merampas
jiwa kawannya, di depan mata kepalanya
sendiri! Mata Picak yang berotak cerdik dan
tahu bahwa pemuda itu bukan lawan enteng
serta mengkhawatirkan pula akan lukisan
perempuan telanjang, sambil tertawa dan
berbatuk-batuk berkata,
"Ah… ah… dengan seorang gagah! Nama
besarmu sudah sejak lama kudengar,
Pendekar 212!" Lalu dengan rangkapkan
tangan di muka dada dia meneruskan,
"Sebenarnya antara kita tak ada permusuhan,
tak ada silang sengketa bahkan di hari ini
baru bertemu muka. Gerangan apakah yang
membuatmu sampai demikian tega merampas
nyawa sahabatku?!" Wiro tertawa gelak-gelak.
"Kalau tak ada hujan masakan ada geledek!"
kata Wiro.
"Kambratmu itu telah berani berlaku kurang
ajar terhadap sahabatku…"
"Hem…," Mata Picak menggumam dan tarik
nafas panjang.
"Sahabatku itu memang ceriwis dan tak boleh
lihat perempuan cantik! Tapi kurasa dia
sudah menebus kekurangajarannya itu dengan
nyawanya sendiri? Sekarang antara kita tak
ada apa-apa lagi. Aku akan pergi dan di lain
hari kuharap bisa bertemu dengan kau lagi!"
"Mana bisa kau pergi seenaknya!" Terkejutlah
Mata Picak mendengar ucapan Wiro.
"Kau telah membunuh Si Pelukis Aneh dan
mencuri lukisan yang tersandar di pohon itu!
Untuk itu kau patut menerima hukuman!"
Paras Mata Picak berubah membesi.
"Agaknya kau punya sangkut paut dan
hubungan tertentu dengan Si Pelukis Aneh…"
"Ada hubungan atau tidak, kau tak usah
ambil perduli. Yang penting kau musti
serahkan lukisan itu kepadaku! Sedang
sebagai hukuman karena telah membunuh Si
Pelukis Aneh, kau harus cungkil biji matamu
yang tinggal satu itu!" Elmaut Kuning Mata
Picak tertawa terbahak-bahak.
"Aku sudah relakan kematian sobatku.
Sekarang kau minta barang yang bukan
milikmu. Menyuruh aku mencungkil mataku
sendiri! Sungguh keterlaluan! Nama besarmu
terpaksa kulenyapkan dari muka bumi hari ini
juga!" Begitu selesai bicara Mata Picak
menggembor dan menerjang ke muka. Dalam
sekejap saja kedua orang ini sudah terlibat
dalam satu pertempuran dahsyat. Gerakan
Mata Picak hebat sekali, tubuhnya lenyap.
Hanya bayangan sinar kuning jubahnya saja
yang kelihatan menelikung mengurung tubuh
Pendekar 212! Di lain pihak begitu diserang
lawan Wiro segera maklum bahwa Mata Picak
ilmu silat dan kesaktiannya lebih tinggi dari
Kuping Sumplung. Karenanya dengan berhati-
hati Wiro melayani lawannya ini. Dalam
tempo yang singkat sepuluh jurus sudah
berlalu! Elmaut Kuning Mata Picak membentak
nyaring dan tukar permainan silatnya dengan
jurus-jurus yang disebut Elmaut Menggila.
Untuk lima jurus lamanya Wiro Sableng
bertahan mati-matian. Lima jurus kemudian
Pendekar 212 mulai terdesak! Sambil
keluarkan suara bersiul Wiro percepat
gerakannya tapi dia terkejut ketika di
sekelilingnya terdengar suara, wutt… wutt…
wutt… wutt! Selarik sinar hijau melingkarinya
dan mengeluarkan angin dingin yang
menyembilu sekujur tubuh Pendekar 212! Wiro
tak tahu senjata apa yang di tangan lawan,
karena gerakan yang dibuat Mata Picak
sangat cepat luar biasa! Dalam pada itu detik
demi detik kekuatan tubuhnya semakin
mengendur sedang setiap serangannya
senantiasa terbendung oleh lingkaran sinar
hijau! Breet! Wiro merasa dadanya laksana
dipalu! Dia melompat mundur. Parasnya
berubah. Pakaian putih di bagian dadanya
robek besar. Belum sempat dia berbuat
sesuatu apa, tiba-tiba Mata Picak sudah
menyerangnya lagi. Meski sekilas tapi Wiro
berhasil melihat senjata-senjata di tangan
lawannya. Senjata itu ternyata adalah sebuah
kebutan yang terbuat dari bulu-bulu halus
berwarna hijau! Wuuut! Kebutan itu menderu
lagi dengan hebatnya. Dua tiga kali Wiro
lepaskan pukulan yang mengandung tenaga
dalam hebat tapi senjata sakti di tangan
lawan benar-benar mematikan dan
membuyarkan pukulan-pukulan tangguhnya
itu. Wiro mulai memaki-maki dalam hati.
Suara siulan mengumandang aneh dari sela
bibirnya! Tangan kanan menyelinap datar kian
kemari. Tiba-tiba jarijari tangan itu telah
berubah menjadi putih dan kukukukunya
laksana kilauan perak mendidih!
"Mata Picak ayo tangkis pukulan Sinar
Matahari-ku ini!" teriak Wiro Sableng.
Mendengar nama pukulan itu, Elmaut Kuning
Mata Picak lipat gandakan tenaga dalamnya
dan mendahului menyerang. Tapi di saat itu
pula Wiro sudah turunkan tangan kanannya!
Wuss! Mata Picak terpekik! Kebutan di
tangannya mental dan hancur bertaburan
sedang tangan kanannya hangus hitam
laksana terbakar! Buru-buru manusia ini
alirkan tenaga dalamnya ke tangan yang
terluka, telan sebutir pil dan atur jalan darah!
Untuk menolak racun pukulan dia kemudian
menotok urat besar di bahunya! Diam-diam
Wiro memuji kehebatan daya tahan manusia
ini. Seseorang yang tersambar pukulan Sinar
Matahari biasanya tak ada ampun lagi, pasti
akan menggeletak mati!
"Anjing hina dina! Bersiaplah untuk mampus!"
teriak Mata Picak. Mulutnya berkomat-kamit,
kedua tangan diangkat ke atas dan
memancarkan sinar kekuningkuningan.
Melihat ini Wiro segera cabut Kapak Maut
Naga Geni 212. Lalu Elmaut Kuning Mata
Picak pukulkan kedua tangannya ke muka.
Terdengar suara menderu laksana topan
prahara. Dua gelombang sinar kuning
melesat. Puluhan Paku Emas Beracun
bertaburan menyambar ke arah tubuh
Pendekar 212 Wiro Sableng! Kapak Naga Geni
212 berkiblat membuat gerakan setengah
lingkaran! Sinar putih menyilaukan menggebu
ke muka memapasi dua gelombang sinar
kuning yang melesatkan puluhan paku-paku
emas beracun. Laksana daun kering dihembus
angin puting beliung demikianlah
bermentalannya senjata rahasia sakti Elmaut
Kuning Mata Picak itu! Mata Picak tersirat
kaget. Mukanya pucat laksana mayat! Selama
sepuluh tahun ini tak satu kekuatan lawanpun
yang sanggup menumbangkan pukulan Paku
Emas Beracunnya itu demikian hebatnya!
Apalagi serangan itu tadi dengan
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya!
Melihat ini dan memaklumi bahwa naga-
naganya dia akan mencari penyakit jika
meneruskan pertempuran maka tak ayal lagi
Mata Picak segera melompat mundur,
menyambar lukisan perempuan telanjang dan
larikan diri dengan cepat!
"Hai! Jalan ke neraka bukan ke situ Mata
Picak!" seru Wiro Sableng. Dia mengejar
dengan sebat. Enam langkah di belakang
lawan Wiro buat gerakan Burung Walet
Menembus Awan. Tubuhnya melesat di udara
dan ketika turun tahu-tahu sudah
menghadang larinya Mata Picak!
"Keparat! Mampuslah!" hardik Mata Picak dan
lepaskan pukulan Paku Emas Beracun dengan
tangan kirinya! Tapi sekali ini dia terlambat!
Belum lagi paku-paku itu berlesatan, Kapak
Naga Geni 212 sudah membabat dan, cras!
Putuslah lengan kiri Mata Picak! Manusia ini
meraung kesakitan. Tubuhnya terasa panas.
Dari buntungan tangannya mengalir hawa
aneh yang menggidikkan bulu kuduknya. Pasti
racun Kapak Naga Geni 212 telah mulai
menggerayangi tubuhnya! Dengan kalap Mata
Picak hantamkan lukisan perempuan telanjang
ke kepala Wiro Sableng. Wiro menangkis.
Braak! Kayu lukisan itu hancur berantakan.
Bagian bawah dari lukisan robek sepanjang
setengah jengkal! Mata Picak makin
penasaran dan kirimkan satu tendangan kilat
ke bawah perut lawan! Kapak Naga Geni
menderu turun. Untuk kedua kalinya terdengar
suara cras! Untuk kedua kalinya pula
terdengar raungan Mata Picak. Betisnya telah
terbabat putus. Tak ampun lagi tubuhnya
tergelimpang ke tanah. Beberapa saat
lamanya dia menggelepar-gelepar macam
ikan meregang nyawa. Kemudian tubuhnya
tak bergerak lagi tanda rohnya melayang
sudah!
Wiro Sableng usap-usap lengannya yang
dihantam pigura lukisan. Lengan itu lecet dan
bengkak, tapi tidak mengkhawatirkan.
Diambilnya lukisan yang terhampar di tanah
dan kembali ke depan goa.
Permani tak kelihatan di situ. Tentu di dalam
goa, pikir Wiro. Dia masuk ke dalam. Tapi
sang dara juga tak kelihatan. Diperhatikannya
Sokananta yang terbelenggu di dinding.
Sekujur tubuhnya bergelimang darah.
Mukanya hancur. Ketika didekati dan
diperhatikan oleh Wiro, ternyata manusia itu
sudah tak bernafas lagi! Pembalasan yang
setimpal telah didapatnya!
Wiro keluar dari goa dan berseru memanggil
Permani. Tak ada jawaban. Dia memandang
kian kemari. Pada saat itulah dilihatnya
sederet tulisan di atas tanah. Wiro terkejut
dan membacanya: "Permani berjodoh untuk
jadi muridku, pengganti Anggini. Sampai
jumpa, Dewa Tuak." Membaca tulisan di atas
tanah itu, legalah hati Wiro Sableng. Dia
bersyukur Dewa Tuak melakukan hal itu.
Bukan saja Permani kelak bakal mendapat
pelajaran ilmu silat dan ilmu kesaktian yang
tinggi, tapi yang lebih penting bagi Wiro ialah
bahwa gadis itu tak jadi meneruskan niatnya
untuk hidup sebagai pertapa!
Wiro mendongak ke langit. Matahari telah
tinggi, hampir mencapai titik kulminasinya.
Wiro kemudian memperhatikan lukisan di
tangan kirinya. Kayu piguranya telah hancur
bagian bawah. Wiro berpikir, apakah perlu dia
memperbaiki kayu pigura yang hancur itu dan
menjahit bagian lukisan yang robek, kemudian
baru membawanya ke tempat kediaman Wira
Prakarsa, calon murid Si Pelukis Aneh itu? Dia
menimbang-nimbang. Lukisan itu selama dua
bulan belakangan ini telah diperebutkan oleh
belasan tokoh silat dan beberapa buah partai
serta perguruan. Membawanya secara terang-
terangan pastilah akan mencari kesulitan
karena lukisan diincar oleh hampir semua
tokoh-tokoh silat, terutama mereka dari
golongan hitam! Pendekar 212 garuk-garuk
kepala.
Akhirnya Wiro Sableng mendapat akal.
Dibukanya keempat sisi kayu pigura lukisan
itu satu demi satu. Dengan menggulung
lukisan itu dan menyimpannya di balik
pakaian pasti akan aman dalam perjalanan.
Ketika kayu pigura sudah dilepaskan, ketika
Wiro hendak menggulung lukisan itu, jari-jari
tangannya merasakan kain lukisan itu
bergeser-geser. Diperhatikannya dengan teliti.
Ternyata di bawah kain lukisan perempuan
telanjang itu, terdapat lagi sebuah kain lain
yang putih bersih. Tentunya ini sebagai alas
saja pikir Wiro. Tapi tak sengaja tiba-tiba
kain putih di bagian bawah itu menjulai ke
bawah dan tersingkap.
Terkesiaplah Wiro Sableng sewaktu melihat
bagian pada kain yang disangkanya cuma
sebagai alas itu ternyata terdapat tulisan-tulisan banyak sekali dan juga gambargambar orang bermain silat! Dan ketika diteliti ternyata semua tulisan dan gambar-gambar itu adalah sebuah ilmu silat aneh yang mengandung jurus-jurus luar biasa hebatnya!
Wiro geleng-gelengkan kepala. Rupanya inilah rahasia besar yang disembunyikan Si Pelukis Aneh dalam lukisan perempuan telanjang itu.
Pantas saja Si Pelukis Aneh tak mau menjualnya tempo hari pada Adipati Pamekasan meskipun sudah ditawar duaratus ringgit. Sungguh cerdik sekali orang tua itu menyembunyikan ilmu silat yang hendak diwariskannya pada calon muridnya! Wiro meneliti lagi pelajaran silat yang tertulis di kain putih itu. Si Pelukis Aneh menamakan ilmu silatnya itu Ilmu Silat Selusin Jurus Aneh. Sesuai dengan namanya, maka seluruh pelajaran berjumlah dua belas jurus tapi bisa dipecah-pecah sampai puluhan anak jurus! Wiro harus mengakui kehebatan ilmu silat yang ditulis oleh Si Pelukis Aneh itu. Tak dapat tidak, siapa yang mempelajarinya pasti akan menjadi seorang tokoh besar yang dikagumi dalam dunia persilatan! Sebagai seorang pendekar berhati polos jujur, Wiro tak mau mencuri mempelajari ilmu silat itu.
Perlahan-lahan digulungnya kedua kain itu sekaligus. Sesaat kemudian diapun sudah berlalu dari situ.
TAMAT
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusartikelnya keren kak jangan lupa mampir ya kak http://bit.ly/ReviewBukuSuksesNulis
BalasHapus