WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya : BASTIAN TITO
EPISODE : PENDEKAR TERKUTUK PEMETIK BUNGA
******
SAMPAI menjelang tengah malam pesta
perkawinan puteri Ki Lurah Rantas Madan
dengan putera Ki Lurah Jambar Wulung masih
kelihatan meriah. Tamu-tamu duduk di kursi
masing-masing sambil menikmati hidangan
dan minuman yang diantar para pelayan serta
sambil menikmati permainan gamelan dan
suara pesinden Nit Upit Warda yang lembut
mengalun membawakan tembang "Kembang
Kacang."
Kedua mempelai yang berbahagia yaitu Ning
Leswani dan Rana Wulung kelihatan duduk
diantara para tamu dibarisan kursi paling
depan, tepat dimuka panggung. Ki Lurah
Rantas Madan duduk di samping Rana Wulung
bersama istrinya sedang Ki Lurah Jambar
Wulung di sebelah Ning Leswani juga bersama
istrinya.
Karena masing-masing mempelai yang kawin
adalah anak-anak lurah dari dua desa yang
berdekatan maka dengan sendirinya suasana
perkawinan meriah dan besar-besaran. Malam
itu adalah malam pesta perkawinan yang
pertama dan besok lusa akan dilanjutkan
dengan pesta perkawinan yang kedua dan
ketiga.
Pada menjelang dinihari di mana udara
dinginnya mencucuk tulang-tulang sampai ke
sungsum, tamu-tamu sudah banyak yang
pulang.
Beberapa orang yang masih disana sudah
mengantuk bahkan banyak yang tertidur
seenaknya di kursi. Para pemain gamelan di
bawah pimpinan Ageng Comal tak
ketinggalan ketularan kantuk sehingga Ageng
Comal menghentikan permainan sampai di
situ.
Ki Lurah Rantas Madan dan Ki Lurah Jambar
Wulung bersama istri masing-masing berdiri
dari kursi mereka dan disertai beberapa orang
lainnya kemudian melangkah mengiringi
kedua penganten masuk ke dalam rumah
besar yang tentunya terus ke dalam kamar!
Namun, belum lagi rombongan ini mencapai
tangga langkan rumah, dari atas atap
mendadak berkelebat satu sosok tubuh
manusia, melompat ke atas panggung! Kedua
kakinya menjejak taron (salah satu alat bunyi-
bunyian dalam permainan gamelan) sedang
kedua tangan berkacak pinggang.
Jarak atap rumah dan lantai panggung
demikian tingginya tapi manusia tadi
melompat ke atas taron tanpa menimbulkan
suara sedikitpun. Bahkan taron itu sama
sekali tidak bergerak ataupun bergeser!
Orang ini masih muda belia, berbadan agak
kurus dan tinggi.
Rambutnya gondrong sampai ke bahu. Pada
parasnya yang gagah itu terbayang sifat
buas, apalagi jika diperhatikan sepasang bola
matanya hal itu akan lebih kentara lagi.
Pemuda ini mengenakan jubah hitam yang
sangat panjang sehingga menjela-jela di atas
taron dan lantai panggung. Jubah hitam ini
disulam dengan bunga besar-besar berwarna
kuning. Pada belakang kain penutup
kepalanya tertancap sebuah bunga kertas
yang juga berwarna kuning.
Melihat alat bunyi-bunyian diinjak seenaknya
demikian rupa oleh seorang pemuda tak
dikenal, tentu saja Ageng Comal menjadi
marah sekali. Pemimpin kesenian gamelan ini
maju melangkah sambil membentak.
"Pemuda kurang ajar! Turun dari taron itu
sebelum kupatahkan batang lehermu!"
Seringai menggurat di wajah si pemuda. Dari
mulutnya meledak suara tertawa yang
menggetarkan dan menggidikkan serta
membuat liang telinga seperti ditusuk-tusuk!
Suara tertawa itu, yang didahului oleh suara
bentakan Ageng Comal tadi dengan serta
merta membuat semua orang berpaling.
Tamu-tamu yang duduk terhenyak tidur di
kursi terbangun oleh kedahsyatan tertawa si
jubah hitam dan semua mata ditujukan
adanya.
Beberapa orang yang mengenali ciri-ciri
pemuda di atas taron itu berseru kaget.
"Pendekar Pemetik Bunga!"
Maka suasana itupun mendadak sontak
menjadi gempar penuh ketegangan. Yang
memiliki senjata segera menggerakkan tangan
bersiap sedia menjaga segala kemungkinan.
Ki Rantas Madan berbisik pada menantunya,
"Rana, bawa istrimu ke dalam, cepat!"
Sedang Ki Lurah Jambar Wulung berbisik pula
pada istrinya, "Wiri, cepat masuk ke dalam.
Bawa besanmu serta…"
Rana Wulung yang memang pernah
mendengar dan mengetahui siapa adanya
manusia bergelar "Pendekar Pemetik Bunga"
itu segera memegang lengan istrinya lalu
membimbing Ning Leswani. Istri Ki Lurah
Jambar Wulung serta besannya mengikuti di
belakang mereka.
Namun baru saja mereka bergerak satu
langkah, pemuda jubah hitam di atas taron
membentak garang.
"Siapa berani meninggalkan tempat ini berarti
mampus!"
Semua yang melangkah jadi berhenti.
Ki Lurah Jambar Wulung hendak melangkah
kea rah panggung, besannya – Rantas Madan
– memegang lengannya dan berbisik, "Jangan
tempuh jalan kekerasan, Ki Lurah Jambar.
Manusia ini tinggi ilmunya dan berbahaya.
Biar aku yang bicara…"
Habis berkata demikian Ki Lurah Rantas
Madan maju ke depan panggung. Dia menegur
dengan nada seramah mungkin.
"Pendekar Pemetik Bunga, kedatanganmu
sungguh tak kami duga. Kalau kau ke sini
hendak memberikan restu ucapan selamat
kepada puteri dan menantuku, sebelumnya
aku haturkan terima kasih."
"Ah..," Pendekar Pemetik Bunga rangkapkan
tangan di muka dada kemudian tertawa
bergelak-gelak. Matanya yang menyipit
hampir terpejam karena tertawa itu. Dan
dalam tertawa itu sesungguhnya kedua
matanya memandang tajam kepada Ning
Leswani yang cantik jelita. Disekanya ujung
bibirnya dengan telapak tangan.
"Orang tua, kau sedikit lebih ramah dari
besanmu," kata Pendekar Pemetik Bunga pula.
"Tapi ketahuilah, aku datang ke sini bukan
buat kasih ucapan selamat tapi sebaliknya."
Pendekar Pemetik Bunga untuk kesekian
kalinya tertawa lagi gelak-gelak.
"Aku datang untuk menjemput puterimu, Ki
Lurah," katanya. "Dia sudah ditakdirkan
menjadi milikku!"
Berubahlah air muka orang banyak terutama
Rantas Madan, Jambar Wulung, Rana Wulung
dan Ning Leswani. Suasana sehening
dipekuburan.
Tegang mencekam.
Ki Lurah Jambar Wulung tak dapat lagi
menahan hati dan luapan amarahnya.
"Setan alas! Lekas angkat kaki dari sini kalau
tidak ingin kupecahkan batok kepala
sintingmu itu!"
Pendekar Pemetik Bunga mendengus.
"Mulutmu keliwat besar, Ki Lurah. Kau
andalkan ilmu apakah?!" bentak Pendekar
Pemetik Bunga.
Sebagai jawaban, Jambar Wulung melompat
ke atas panggung. Laki-laki ini tidak memiliki
ilmu kesaktian dan tak pernah menuntut ilmu
kebathinan. Namun dalam ilmu silat luar dia
sudah menjajakinya sampai tingkat teratas.
Karenanya tidak mengherankan gerakannya
melompat ke atas panggung tadi gesit dan
enteng. Namun Pendekar Pemetik Bunga
menyaksikan gerakan itu dengan sikap sinis
dan air muka mengejek.
Matanya yang tajam dan pengalamannya
yang dalam sekilas saja sudah melihat dan
mengetahui bahwa Ki Lurah Jambar Wulung
hanya memiliki ilmu silat luar, tak mempunyai
isi apa-apa!
Di lain pihak, begitu kedua kakinya menginjak
lantai panggung, begitu Jambar Wulung
berkelebat mengirimkan serangan. Meski ilmu
silatnya ilmu silat yang tak memiliki tenaga
dalam, namun serangan yang dilancarkannya
menimbulkan angin deras.
"Huh, segala silat picisan. hendak
diandalkan!" ejek Pendekar Pemetik Bunga.
"Makan sikutku ini, Ki Lurah!" Manusia ini
kelihatan menggeserkan kaki kirinya sedikit
dan tahu-tahu terdengar suara, "ngek!"
Suara itu keluar dari mulut Jambar Wulung.
Tubuh Ki Lurah ini terpelanting menabrak
gong besar di sudut panggung sebelah kanan,
terus jatuh ke bawah panggung bersama alat
bunyi-bunyian itu dengan menimbulkan suara
hiruk pikuk.
Begitu terhampar di tanah Jambar Wulung tak
bangun lagi alias pingsan. Dua tulang iganya
telah hancur remuk di makan sikut Pendekar
Pemetik Bunga!
Melihat ayahnya dibuat demikian rupa,
naiklah darah Rana Wulung.
Tapi sebelum dia bergerak, mertuanya – Ki
Lurah Tantas Madan – cepat memegang
bahunya. Orang tua ini segera mendahului
hendak melompat ke panggung tapi di atas
panggung dilihatnya Ageng Comal sudah
berhadap-hadapan dengan Pendekar Pemetik
Bunga!
"Pemuda keparat! Biang racun pengacau!
Jaga kepalamu!"
Ageng Comal dengan mempergunakan
pukulan gong menyerbu ke muka. Pemuda
yang diserang rundukkan kepala. Begitu
pukulan gong berdesing di atasnya, cepat
sekali tangan kirinya meluncur ke muka.
Ageng Comal yang juga pernah mendalami
ilmu silat melihat serangannya lewat serta
menyaksikan serangan balasan lawan dengan
sigap memiringkan tubuh ke kiri. Serentak
dengan itu lutut kanannya dilipat
menyongsong pukulan lawan!
Secara ilmu luar, memang walau
bagaimanapun kepalan tak akan menang
melawan lutut. Dan adalah sangat berbahaya
bagi seorang yang menyerang dengan tinju
bila dia meneruskan niatnya menyerang lutut
yang keras dengan tinjunya! Namun Pendekar
Pemetik Bunga sama sekali tidak menarik
pulang serangannya!
"Ageng Comal!! Lekas tarik tanganmu!" teriak
seorang dibawah panggung berteriak memberi
peringatan.
Tapi, "Braak!"
Kasip sudah!
Pemimpin kesenian gamelan itu menjerit.
Tubuhnya terguling pingsan di lantai
panggung. Tulang tempurung lututnya hancur,
kakinya sendiri teruntai-untai hampir putus!
Semua mata melotot. Semua muka pucat den
semua mulut melongo!
Bagaimanakah tidak! Pemuda jubah hitam di
atas panggung itu merobohkan lawannya
tanpa bergeser satu langkahpun!
Di lain kejap seorang lain telah melompat
pula ke atas panggung.
Orang itu adalah Rantas Madan yang sudah
sejak tadi tak dapat lagi menahan hati
panasnya.
Pendekar Pemetik Bunga lontarkan
pandangan mengejek pada orang tua itu.
"Kau juga mau cari penyakit hah?!" hardiknya.
"Selagi masih ada waktu berlututlah minta
ampun! Hukumanmu pasti kuperingan!," kata
Rantas Madan. Pendekar Pemetik Bunga
tertawa mengekeh.
"Jangan ngaco, orang tua! Kalau mau konyol
marilah!" Tentu saja ditantang demikian rupa
membuat Ki Lurah Rantas Madan semakin
berkobar kemarahannya. Tanpa menunggu
lebih lama laki-laki ini yang pernah menuntut
ilmu kesaktian di Gunung Simping menerkam
ke muka.
Dalam jarak satu meter saja serangannya
sudah menimbulkan angin bersiuran yang
tajam dan menerpa ke arah Pendekar Pemetik
Bunga.
Yang diserang maklum bahwa lawannya yang
seorang ini berbeda dengan dua orang yang
terdahulu. Tanpa menghentikan tertawanya
tadi, Pendekar Pemetik Bunga lantas
mengangkat dan melambaikan tangan kirinya
ke muka. Setiap angin keras yang
menggetarkan panggung bersuit memapas
tubuh Ki Lurah Rantas Madan. Serangannya
dengan serta merta buyar dan tubuhnya
sendiri kemudian terangkat ke udara setinggi
lima tombak, hampir menyundul atap
panggung!
Dengan cekatan Ki Iurah Rantas Madan
jungkir balik di udara kemudian dengan
gerakan kilat menukik dan menghantamkan
tangan kanannya ke arah lawan! inilah jurus
"Walet Menukik Lembah!"
Pemuda bertampang gagah tapi buas garang
itu terkejut sekali sewaktu merasakan angin
panas menyerang kepalanya! Cepat-cepat dia
rundukkan tubuh sebatas pinggang dan balas
mengirimkan pukulan jarak jauh dengan
tangan kanan.
Ki Lurah Rantas Madan terdengar menjerit.
Tubuhnya mental ke atas, melabrak dan
membobolkan atap panggung, lenyap dari
pemandangan untuk kemudian terdengar
gedebuk tubuhnya sembilan tombak di tanah
di belakang panggung! Waktu jatuh kepalanya
lebih dahulu, tulang lehernya patah!
Nyawanya lepas. Ning Leswani dan beberapa
perempuan yang ada di sana menjerit!
Bersama ibunya temanten perempuan itu
hendak lari memburu ayahnya namun Rana
Wulung dan seorang lainnya, menahan
mereka.
Rana Wulung seorang pemuda terpelajar yang
tak kenal satu jurus ilmu silatpun! Namun
menyaksikan kematian ayah serta mertuanya
itu gelaplah pemandangannya! Keris
perhiasan penganten yang tersisip di
pinggang segera dicabut. Ketika melompat ke
atas panggung kaki kanannya hampir
terserandung!
"Ho-ho! Temanten juga mau ikut-ikutan
minta digebuk?!" teriak Pendekar Pemetik
Bunga.
"Kubunuh kau keparat!" bentak Rana Wulung
menggeledek. Keris di tangan kanannya
ditusukkan sekeras-keras dan secepat-
cepatnya ke dada Pendekar Pemetik Bunga.
"Budak tolol!" maki Pendekar Pemetik Bunga.
Sekali pemuda jubah hitam itu gerakkan
tangannya maka keris yang dipegang Rana
Wulung sudah kena dirampas, dijepit di
antara jari tengah dan jari telunjuk tangan
kanannya!
Suata tertawa Pendekar Pemetik Bunga
kemudian terdengar mengumandang
diseantero panggung. Kemarahan dan sakit
hati Rana
Wulung tiada terperikan. Dengan kedua tinju
terpentang dia menyerbu ke muka.
"Edan betul!" bentak Pendekar Pemetik
Bunga. "Masih tak melihat tingginya gunung
dalamnya lautan!" Dan manusia ini segera
menyongsong serangan Rana Wulung dengan
tendangan maut yang mengarah lambung!
Kalau saja Rana Wulung seorang yang
mengetahui sedikit ilmu silat, dalam posisinya
seperti saat itu sebenarnya dia masih
sanggup dan punya kesempatan untuk
mengelak atau berkelit atau sekaligus
melompat cepat ke samping. Tapi sayang,
pemuda ini tidak tahu apa-apa tentang
persilatan dan kaki maut Pendekar Pemetik
Bunga sementara itu semakin dekat
menyambarnya ke perut si pemuda.
Setengah kejapan lagi pasti robeklah perut
Rana Wulung. Ning Leswani menjerit. Ibu
Rana Wulung juga menjerit untuk kemudian
jatuh pingsan sebelum sanggup menyaksikan
apa yang bakal dialami anaknya!
Beberapa orang mengeluarkan seruan
tertahan. Agaknya tak satupun yang bisa
berbuat apa-apa! Agaknya sudah nasib Rana
Wulung bakal menemui kematiannya pada
hari pernikahannya itu! DI SAAT ajal sudah di
depan mata, di saat maut hendak merenggut
maka tiada terduga, di saat itu pula dari
bawah panggung sebelah barat melesat
sebuah benda yang mengeluarkan cahaya
berkilau. Benda ini melesat ke arah kaki
kanan Pendekar Pemetik Bunga yang mencari
maut di perut Rana Wulung!
Tentu saja Pendekar Pemetik Bunga menjadi
terkejut dan terpaksa menarik pulang
serangannya. Benda yang berkilau itu lewat
dan menghantam taron sehingga alat bunyi-
bunyian ini terbalik dan hancur berantakan!
Benda apakah yang sehebat itu dan siapa
gerangan yang melemparkannya? Siapa yang
telah menolong Rana Wulung dari kematian?!
"Pembokong licik! Cepat unjukkan diri," teriak
Pendekar Pemetik Bunga marah sekali.
Sepasang matanya yang buas menyapu ke
arah barang panggung.
Di bagian barat panggung berdiri beberapa
orang. Mata Pendekar Pemetik Bunga yang
tajam tidak berhasil kali ini menduga siapa
gerangan manusia yang telah melemparkan
senjata rahasia tadi.
Dengan marah Pendekar Pemetik Bunga
mengangkat tangan kanannya ke udara dan
berteriak, "Kalau tidak ada yang mengunjuk
diri, semua yang ada di panggung barat pasti
kubikin mampus!"
Seorang laki-laki tua yang berdiri di belakang
sebuah kursi di bagian barat panggung
berbatuk-batuk beberapa kali. Laki-laki ini
berpakaian bagus dan bertopi tinggi yang
dihiasi manik-manik. Jelas ini menunjukkan
bahwa dia adalah seorang bangsawan atau
hartawan. Dia mengangkat kursi yang di
depannya ke samping dan melangkah ke muka
panggung, berhenti sejarak dua tombak dari
panggung.
"Cepat beri tahu siapa kau!" bentak Pendekar
Pemetik Bunga. Tangan kanannya masih
belum diturunkan dan kini telapaknya yang
terbuka diarahkan pada orang tua berpakaian
bogus.
"Aku hanya seorang tamu yang mengunjungi
pesta perkawinan ini, orang muda…."
"Hem… cuma seorang tamu saja berani
campur tangan! ilmu melemparkan senjata
rahasia pengecut tadikah yang kau
andalkan?!"
Orang tua itu berbatuk-batuk lagi.
"Meski cuma tamu buruk begini," katanya,
"Aku juga adalah sahabat baik dari tuan
rumah dan besannya. Sungguh tidak enak
sekali melihat nasib sahabat-sahabat yang
nahas tanpa bersedia turun tangan!"
"Oo begitu? Bagus!" ujar Pendekar Pemetik
Bunga pula.
"Sanggupkah kau menerima pukulan tangan
kananku?!" Orang tua berpakaian bagus itu
tertawa dingin.
"Orang muda, nyalimu memang besar sekali.
Sayang kejahatanmu dan kebuasanmu jauh
lebih besar lagi sehingga aku yang tua ini
terpaksa tak bisa berpangku tangan…"
"Orang gendeng yang tak tahu gunung
Semeru di depan hidung!
Terima pukulan Tapak Jagat ini!"
Si orang tua cepat menyingkir ke samping
waktu Pendekar Pemetik Bunga
menghantamkan telapak tangan kanannya
kedepan.
Semua orang terkejutnya bukan olah-olah
sewaktu melihat bagaimana tanah bekas
tempat si orang tua berpakaian bogus tadi
menjadi berlubang besar di landa ilmu
pukulan 'Tapak Jagat' si pemuda jubah
hitam. Pasir berterbangan, kursi-kursi jungkir
balik berpatahan sedang bumi bergetar! Kalau
saja si orang tua tidak cepat menyingkir tak
dapat dibayangkan apa yang bakal terjadi
dengan dirinya! Namun di saat itu semua
orang dan Pendekar Pemetik Bunga sendiri
sama memaklumi bahwa si orang tua
bukanlah orang tua sembarangan!
Tidak sembarang orang yang sanggup
mengelak dari pukulan 'Tapak Jagat" itu!
"Orang tua, apakah kau masih tetap berlaku
pengecut tak mau kasih tahu nama?!"
"Ah, namaku atau siapa aku kau tak perlu
tahu. Aku tanya, apakah kau sudi angkat kaki
dari sini atau tidak?!"
"Sombong betul" tukas Pendekar Pemetik
Bunga. "Jangan kira aku jerih terhadapmu.
Silahkan naik ke atas panggung!"
Si orang tua menghela nafas panjang dan
menggosok-gosok kedua tangannya.
"Rupanya memang aku harus turun tangan
tidak tanggung-tanggung," katanya pelahan
tapi cukup terdengar oleh semua orang.
"Betul! Memang dalam dunia persilatan tidak
boleh tanggung-tanggung!" menimpali
Pendekar Pemetik Bunga. "Kalau kau berani
cari perkara, kau tak boleh tanggung-
tanggung untuk pasrahkan jiwa!"
Dan sekejap kemudian kedua orang itupun
sudah berhadap-hadapan di atas panggung,
disaksikan puluhan pasang mata, disaksikan
oleh Rana Wulung yang saat itu menyingkir ke
sudut panggung. Rana tiada kenal siapa si
orang tua. Namun dia maklum kalau orang
tua ini berilmu tinggi dan Rana Wulung
berharap moga-moga si orang tua benar-
benar bisa menjadi tuan penolongnya.
"Apakah kau masih punya simpanan senjata
rahasia tadi, orang tua?" tanya Pendekar
Pemetik Bunga.
Si orang tua tertawa dan balas mengejek.
"Kalau kau punya senjata keluarkalah, biar
kuhadapi dengan tangan kosong!"
"Sombong betul!" bentak Pendekar Pemetik
Bunga. Tanpa beranjak dari tempatnya dia
lepaskan dua pukulan tangan kosong yang
dahsyat. Panggung itu tergetar keras. Si
orang tua bersuit nyaring dan melompat tiga
tombak. Dari atas cepat berkelebat mencari
posisi baru dan balas mengirimkan dua
jotosan yang tak kalah hebatnya. Dalam
sekejapan saja kedua orang itu sudah terlibat
dalam pertempuran seru. Lima jurus berlalu
cepat!
Pendekar Pemetik Bunga penasaran sekali
melihat ketangguhan lawan. Didahului dengan
bentakan nyaring dia mempercepat permainan
silatnya. Tubuhnya hanya merupakan bayang-
bayang kini dan dua jurus di muka dia sudah
berhasil mendesak lawannya.
"Terima jurus kematianmu, orang tua!" seru
Pendekar Pemetik Bunga. Dan kejapan itu
pula pukulannya yang menyilang aneh
membabat ke pinggang si orang tua. Yang
diserang cepat menyingkir sewaktu melihat
serangan ganas itu dan menusukkan dua
jarinya ke muka, ke arah mata Pendekar
Pemetik Bunga! Inilah jurus "Mencungkil
Mata" yang ganas.
Pendekar Pemetik Bunga tentu saja tak mau
kedua biji matanya dimakan dua jari lawan. Di
lain pihak dia juga tak mau tarik pulang
pukulannya yang ganas. Karenanya dengan
cepat pemuda itu miringkan tubuh ke kiri.
Sekaligus gerakannya Itu mempercepat
perbawa serangan tengannya ke arah
pinggang lawan.
Si orang tua sadar kalau tusukan jari
tangannya tak bakal mancelakai lawan
sebaliknya dirinya terancam bahaya besar,
lekas-lekas menjejak panggung dan melompat
ke atas. Begitu lolos dari gebukan lengan
maut, si orang tua laksana alap-alap menukik
ke bawah dan lepaskan satu tendangan dua
pukulan.
Jurus "Menembus Kabut Mengintip Rembulan"
yang dilancarkan si orang tua dikenal baik
oleh Pendekar Pemetik Bunga. Sambil tertawa
mengejek dan menyebut jurus itu, si pemuda
berkelit lincah lantas kirimkan pukulan tangan
kiri kanan yang mengarah empat jalan darah
berbahaya dari si orang tua!
Meski masih dalam terkejut karena lawan
mengetahui jurus yang dimainkannya namun
si orang tua tiada ayal untuk lekas-lekas
menghindar dari serangan lawan!
"Orang tua, melihat jurus Menembus Kabut
Mengintip Rembulanmu tadi, ada hubungan
apakah kau dengan Rah Kuntarbelong? Lekas
jawab!
Apa kau muridnya, hah?!"
Si orang tua menindih rasa terkejutnya. Tak
sangka kalau lawan bisa menduga nama
gurunya!
Dan Pendekar Pemetik Bunga sesaat
kemudian tertawa bergelak.
"Tidak menyahut berarti betul!" katanya.
"Bagus sekali kalau begitu. Aku memang
punya urusan yang belum diselesaikan dengan
Rah Kuntarbelong!
Sebagai permulaan kurasa ada gunanya lebih
dahulu bikin penyelesaian dengan muridnya!"
"Jangan banyak mulut Pendekar terkutuk!"
bentak si orang tua.
"Tahu pukulan apa yang bakal kulepaskan
ini?!" Pendekar Pemetik Bunga kerenyitkan
kening dan memandang tajam ke muka. Si
orang tua dilihatnya berdiri dengan kaki
merenggang. Lengan kiri lurus ke bawah, tinju
mengepal sedang tangan kanan diangkat
tinggi-tinggi di atas kepala.
Lengan kanan itu kelihatan berwarna biru.
"Ah cuma pukulan Kelabang Biru…" ejek
Pendekar Pemetik Bunga tapi diam-diam dia
kerahkan tiga perempat bagian tenaga
dalamnya ke tangan kanan karena dia sudah
pernah tahu kehebatan pukulan Kelabang Biru
yang mengandung racun jahat itu yakni
sewaktu berhadapan di selatan tempo hari
melawan Rah Kuntarbelong. "Lekaslah
keluarkan supaya kau sendiri melihat bahwa
ilmu pukulanmu itu tak lebih dari kentut
belaka!"
Geraham si orang tua bergemeletakan diejek
demikian rupa. Seluruh tenaga dalamnya
sudah terpusat di lengan dan lengan sampai
ke ujung ujung jari sudah berwarna sangat
biru.
Tiba-tiba terdengarlah teriakan yang seperti
mau merobek gendang-gendang telinga. Si
orang tua kelihatan menghantamkan lengan
kanannya ke depan. Selarik sinar biru dengan
ganas menggebu ke arah Pendekar
Pemetik Bunga. Di saat itu pula Pendekar
Pemetik Bunga sudah menggerakkan tangan
kanan melepaskan pukulan "Tapak Jagat"
yang diandalkan dengan tiga perempat tenaga
dalamnya!
Begitu dua angin pukulan bertemu
terdengarlah suara berdentum laksana gunung
meletus! Tiang-tiang panggung patah, lantai
dan keseluruhan panggung ambruk! Alat
bunyi-bunyian yang ada di atas panggung
berhamburan, Rana Wulung mental ke luar
panggung dan roboh tak sadarkan diri
sewaktu panggungnya menghantam batang
sebuah pohon!
Kedua orang yang bertempur, sewaktu
panggung roboh cepat mencelat meninggalkan
panggung. Dan ketika mereka berdiri kembali
berhadap-hadapan kelihatanlah bagaimana
pucatnya paras si orang tua. Satu pertanda
bahwa saat itu dia menderita luka di dalam
yang parah sekali. Sebaliknya Pendekar
Pemetik Bunga berdiri sambil melontarkan
senyum mengejek pada lawannya.
"Jika kau masih gila untuk menempuh jalan
kekerasan, jangan harap nyawamu akan
tertolong!"
Si orang tua tahu, jika dia mengerahkan
tenaga dalamnya untuk meneruskan
pertempuran, pastilah akan mencelakai dirinya
sendiri yang saat itu sudah terluka parah di
bagian dalam. Tapi untuk menyerah atau
meninggalkan tempat itu adalah bertentangan
sekali dengan hati dan jiwa satrianya!
Dicobanya mempertenang diri dan mengatur
jalan nafas serta aliran darah. Tapi dia tak
berhasil. Nafas dan aliran darahnya sudah tak
karuan lagi!
"Budak, keluarkan kau punya senjata!" bentak
si orang tua.
"Ah, kalau kau mau keluarkan senjata
silahkan, tak usah memancing segala!" sahut
si pemuda dengan tertawa bergelak.
Mendengar ini si orang tua tak sungkan-
sungkan lagi untuk menanggalkan sabuk
hitam yang ditaburi mutiara dari
Pinggangnya.
"Lusinan tokoh-tokoh jahat sudah mampus
dimakan sabuk mutiara ini, budak terkutuk!
Kini kau adalah korban selanjutnya!"
"Tak usah bicara panjang lebar! Lekas
majulah!" bentak si pemuda dan dalam hati
dia berpikir-pikir sampai di mana, kehebatan
sabuk mutiara itu.
Si orang tua menggeru. Dia maju dua
langkah. Sabuk itu dipegangnya di tangan
kiri. Nyatalah dia seorang kidal. Dia
menggeru lagi untuk kedua kalinya. Dan pada
kali yang ketiga sambil melompat ke muka si
orang tua sapukan sabuk mutiaranya.
Kedahsyatan sabuk mutiara itu sangat
mengejutkan Pendekar Pemetik Bunga!
Tubuhnya laksana dilanda bertubi-tubi oleh
ombak sebesar gunung. Dengan kerahkan
tenaga dalam dan andalkan ilmu mengentengi
tubuhnya yang tinggi dia berhasil mengelak
sebat.
Namun tak urung akhirnya dia kena di desak.
"Setan alas!" maki pemuda itu. Untung saja
lawannya sudah terluka di dalam yang
teramat parah sehingga gerakan-gerakannya
agak lamban.
Melihat bahwa lawannya agak jerih dan
terdesak, si orang tua mempercepat
gerakannya. Tiba-tiba Pendekar Pemetik
Bunga membungkuk dan kemudian berdiri lagi
dengan memegang tepi jubah hitamnya. Sekali
dia mengebutkan tepi jubah hitam itu, hawa
yang sangat pengap menyambar dahsyat
memapaki angin pukulan yang keluar dari
sabuk mutiara si orang tua! Si orang tua
merasa kepengapan menyambar hidungnya.
Nafasnya yang memang sudah tidak normal
kini menjadi tambah tak teratur. Ternyata
sabuk mutiara yang sangat diandalkannya
tiada sanggup menghadapi kehebatan jubah
hitam lawan! Semakin lama tubuhnya
semakin lemah, dadanya sesak dan
pemandangannya mengabur!
"Pemuda keparat, lihat ini!" seru si orang tua.
Tangan kanannya lenyap ke dalam saku baju
dan ketika ke luar lagi maka selusin senjata
rahasia yang menyilaukan menyambar ke arah
si pemuda.
Pendekar Pemetik Bunga tarik jubahnya ke
atas tinggi-tinggi lalu mengebutkannya ke
bawah dengan cepat. Angin pengap yang
dahsyat menyambar. Lima senjata rahasia
lawan berpelantingan. Tujuh lainnya di sapu
dan membalik menyerang pemiliknya sendiri!
Malangnya si orang tua tak menyangka dan
tak sempat mengelak, Tubuhnya tak ampun
lagi ditembusi ke tujuh senjata rahasia
miliknya sendiri! Orang tua itu mengeluarkan
pekikan yang menyayat hati! Tubuhnya
tergelimpang di tanah. Dia mati dengan mata
membeliak! Mati dengan sabuk mutiara masih
di tangannya.
Pendekar Pemetik Bunga tertawa mengekeh.
Betapa menjijikkan dan mengerikan. Dia
melangkah ke hadapan mayat si orang tua
dan membungkuk, Sabuk mutiara
direnggutkannya dari tangan kiri mayat lalu
dipakainya di pinggang.
Dibalikkannya badannya. Matanya
memandang sekilas pada Ning Leswani yang
berdiri dengan tubuh gemeter dan muka pucat
pasi.
Kemudian dia memandang berkeliling. Dan
serunya . "Siapa lagi yang inginkan mampus
silahkan maju dengan cepat."
Tak satu orangpun yang bergerak dari
tempatnya.
Sambil tertawa panjang Pendekar Pemetik
Bunga melangkah mendekat Ning Leswani. Si
gadis cepat menyurut mundur. "Gadis manis,
kau tak perlu takut padaku! Kau harus tahu,
kunyuk yang bernama Rana Wulung itu tidak
pantas jadi suamimu. Lebih pantas jika kau
ikut aku…"
"Manusia biadab! Pergi…!" teriak Ning
Leswani. Pendekar Pemetik Bunga
menyeringai. Dia maju melangkah. Ibu Ning
Leswani yang coba menghalanginya sambil
berteriak-teriak dengan sekali tepis saja
tersungkur ke tanah.
"Pergi!" teriak Ning Leswani lagi.
"Ya, kita pergi sama-sama manisku!" sahut
Pendekar Pemetik Bunga dengan mata yang
memancarkan nafsu menggelora. Diulurkannya
tangannya untuk meraih pinggang gadis itu.
Justru pada saat itulah terdengar bentakan
yang sangat nyaring.
"Pendekar terkutuk! Tarik tanganmu…!"
PENDEKAR Terkutuk Pemetik Bunga hentikan
gerakan tangannya yang hendak menjamah
tubuh Ning Leswani. Kepalanya di putar.
Sepasang matanya membentur sosok tubuh
seorang laki-laki tua berbadan bungkuk,
berambut dan berjanggut putih. Orang tua
yang berselempang kain putih ini berdiri
dengan sebatang tongkat bambu kuning di
tangan kanan.
"Siapa kau?" bentak Pendekar Pemetik Bunga.
Yang ditanya menyeringai dan ketuk-ketukkan
tongkat bambu kuningnya ke tanah. Ketukan
ini membuat semua orang merasa bagaimana
tanah yang mereka pijak menjadi bergetar.
Bambu kuning di tangan si orang tua pastilah
satu senjata yang sangat hebat. Dan orang-
orang yang masih ada di situ, yang membenci
terhadap Pendekar Pemetik Bunga merasa
punya harapan kembali atas kemunculan si
orang tua berselempangan kain putih ini.
"Lekas jawab!" bentak Pendekar Pemetik
Bunga. "Kalau tidak kau akan mati percuma!"
Si janggut putih ketuk-ketukkan lagi tongkat
bambu kuningnya ke arah tanah. Matanya
yang kecil memandang tajam pada si pemuda
jubah hitam.
"Ratusan hari turun gunung, puluhan minggu
mengarungi lembah dan bukit, berbulan-bulan
menyeberangi sungai memasuki hutan
belantara akhirnya kau kutemui juga. Heh…
he… he… he… he …!"
"Kau masih belum mau beri tahu siapa
namamu, orang tua? Jangan menyesal!"
"Namaku tidak penting, manusia bejat. Yang
penting ialah apa kau masih ingat kebiadaban
yang kau lakukan di desa Srintil beberapa
bulan yang silam…?"
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga kerutkan
kening. Sepasang alis matanya menaik.
"Sembilan laki-laki tak berdosa kau bunuh.
Dua diantaranya adalah muridku. Empat
orang perempuan di desa itu kau bawa kabur,
kau perkosa lalu kau bunuh! Kau lupa itu
semua…?!"
"Hem…." Pendekar Pemetik Bunga manggut-
manggut beberapa kali. "Tidak, aku tidak
lupa," katanya dengan terus terang.
"Bagus sekali kalau kau tidak lupa!" ujar si
orang tua. Dan bambu di tangan kanannya di
ketuk-ketukkannya lagi. Tanah kembali
bergetar. "Orang-orang desa telah datang
kepadaku mengadukan kebiadabanmu itu…."
"Berapa uang suap yang diberikan orang-
orang desa padamu untuk mencariku orang
tua?!" ejek Pendekar Pemetik Bunga.
Wajah si orang tua kelihatan menjadi merah.
Dia tertawa dingin.
"Sekalipun mereka tidak datang ke puncak
gunung Bromo, memang sudah sejak lama
aku berniat turun tangan membekuk batang
lehermu…!"
Pendekar Pemetik Bunga tertawa gelak-gelak,
"Oh jadi kau adalah Datuk Bambu Kuning dari
gunung Bromo?!"
Si orang tua kini balas tertawa panjang-
panjang sambil tangan kirinya mengusap-
usap janggut putihnya yang panjang menjela
sampai ke dada.
"Kalau sudah tahu siapa aku, mengapa tidak
lekas-lekas bertobat dan bunuh diri? Atau
masih perlu aku memecahkan kepalamu
dengan bambu kuning ini?!"
"Kentut!" maki Pendekar Pemetik Bunga
dengan muka membesi penuh marah.
"Kalau aku kentut, kau tahinya!" kata Datuk
Bambu Kuning pula dan tertawa lagi panjang-
panjang seperti tadi.
Naiklah darah Pendekar Pemetik Bunga.
"Manusia tolol yang tidak tahu gunung
Semeru berdiri di muka hidung, terima
kematianmu dalam tiga jurus!" teriak
Pendekar Pemetik
Bunga sambil menyerbu dengan sabuk
mutiara milik korbannya tadi.
Datuk Bambu Kuning terkejut melihat sabuk
itu. "Eh, itu adalah
senjata Kidal Boga, murid Rah Kuntarbelong.
Dari mana kau dapat, manusia bejat?!"
"Tanya pada setan di neraka nanti!" sahut
Pendekar Pemetik
Bunga seraya sabetkan sabuk mutiara ke arah
lawan. Angin laksana gunung gelombang
menerpa Datuk Bambu Kuning.
Datuk Bambu Kuning cepat menghindar.
"Rupanya kau bukan saja manusia bejat
tukang bunuh dan tukang perkosa tapi juga
pencuri kesiangan huh!" Datuk Bambu Kuning
kiblatkan tongkat bambu kuningnya.
Serangkum angin yang bukan main
dahsyatnya menyambar dan menahan
serangan angin sabuk. Debu dan pasir
beterbangan akibat angin kedua senjata sakti
itu!
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga tak kurang
kejutnya ketika merasakan serangan sabuknya
menjadi tak berarti sewaktu tongkat bambu
kuning di tangan lawan menyambuti
gempurannya itu! Dengan serta merta pemuda
ini percepat gerakannya. Dalam sekejap Datuk
Bambu Kuning terbungkus oleh serangan
sabuk mutiara.
Namun sekali si orang tua memekik keras dan
sekali dia putar tongkat bambunya dalam
jurus yang aneh maka keluarlah dia dari
kurungan serangan senjata lawan! Kini
gempuran tongkat bambu itulah yang
membungkus tubuh Pendekar Pemetik Bunga!
Si pemuda tiada habisnya menggerutu dan
memaki dalam hati sewaktu mendapatkan
dirinya terdesak hebat oleh gempuran lawan.
Apalagi sewaktu jurus kedua berakhir dan
sewaktu Datuk Bambu Kuning tertawa
mengejek dan berkata. "Jurus ketiga ini
adalah jurus kematianmu, manusia bejat!
Bukan jurus kematianku!" Dan permainan
tongkat bambu kuningnya semakin dipercepat
dan semakin dahsyat. Sinar kuning
bergulung-gulung menyelimuti tubuh si
pemuda!
"Setan alas keparat!" maki Pendekar Pemetik
Bunga. Dengan gerakan yang sulit sekali dia
membungkuk. Sabuk mutiara diputar sebat
melindungi tubuh sedang tangan kiri diulurkan
untuk menjangkau tepi jubah hitamnya.
Dengan dua senjata di tangan yaitu tepi jubah
di tangan kiri dan sabuk mutiara di tangan
kanan, Pendekar Pemetik Bunga berdiri
kembali menghadapi lawannya. Sabuk mutiara
mengeluarkan gelombang angin yang laksana
gunung besarnya sedang tepi jubah hitam
menghamburkan angin pengap yang sanggup
menyesakkan jalan pernafasan yang
menyendat tenggorokan serta liang hidung!
Dalam jurus ketiga itu kelihatanlah
bagaimana gempuran Datuk Bambu Kuning
menjadi lamban. Orang tua itu berteriak keras
dan kerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Namun sia-sia saja. Dirasakannya dadanya
menjadi sesak, lobang-lobang hidungnya
laksana tersumbat.
Sukar baginya untuk bernafas! Menanggapi
hal ini si orang tua segera atur jalan darah
dan tutup pemafasannya. Tubuhnya lenyap
sewaktu dia mempercepat gerakannya!
Namun kedahsyatan angin pengap yang
menderu dari tepi jubah memang tidak
kepalang tanggung. Sebentar saja serangan-
serangan bambu kuning lawan sudah
dibendungnya. Gerakan Datuk Bambu Kuning
kembali menjadi lamban sewaktu orang tua
itu tidak bisa mempertahankan lagi menutup
jalan nafasnya terus-terusan sedang
sementara itu pertempuran sudah berjalan
lima jurus!
Pendekar Pemetik Bunga kembali keluarkan
suara tertawa sewaktu dia tahu bahwa dirinya
telah berada di atas angin. "Ha…ha…! Kau
disuruh turun gunung oleh penduduk desa
hanya untuk mencari kematian saja Datuk
Bambu Kuning!"
"Pendekar terkutuk jangan terlalu besar
harapan!" kertak Datuk Bambu Kuning. Diam-
diam tiga perempat dari tenaga dalamnya
dikerahkan ke dada.
Tiba-tiba, "Bluuss!"
Selarik asap kuning menyembur dari mulut si
orang tua! Pendekar Pemetik Bunga terkejut
bukan main dan cepat tutup jalan nafasnya.
Keterkejutan dan saat menutup jalan nafas
tadi membuat gerakannya mengendur.
Sewaktu din menghindar ke samping sambil
babatkan sabuk mutiaranya memapasi
semburan asap kuning, bambu di tangan
kanan lawan datang menderu!
Si pemuda kebutkan tepi jubahnya. Celaka!
Asap kuning itu tak sanggup dibikin buyar
oleh angin pengap tepi jubah hitamnya!
Pendekar Pemetik Bunga menjerit setinggi
langit. Tubuhnya lenyap dan sesaat kemudian
dia berhasil ke luar dari serangan lawan yang
bukan kepalang dahsyatnya tadi. Sewaktu
berdiri mengatur jalan darah dan nafasnya
kembali, diam-diam pemuda ini keluarkan
keringat dingin juga!
"Kau kira kau bisa lari dari sini, manusia
bejat?!" hardik Datuk Bambu Kuning.
Mulutnya membuka dan asap kuning
menyembur lagi ke muka lawan. Pendekar
Pemetik Bunga kembali tutup jalan nafasnya
dan melompat ke samping. Serangan kebutan
tepi jubah dan sambaran sabuk mutiara
dilakukannya berbarengan sekaligus ke arah
lawan. Si orang tua melompat tiga tombak ke
atas dan sewaktu turun kembali
menyemburkan asap kuning dari mulutnya!
Pendekar Pemetik Bunga menjadi kewalahan
kini. Kewalahan dan merutuk! Di samping itu
tak habis heran kesaktian apakah yang
dikandung oleh asap kuning yang keluar dari
mulut lawannya sehingga angin pengap jubah
hitam dan angin sabuk mutiara tiada sanggup
membuyarkannya!
Tiba-tiba pemuda itu menggereng macam
harimau. Tubuhnya melesat ke muka. Angin
pengap menyerang ketenggorokan Datuk
Bambu Kuning sedang sabuk mutiara menerpa
dari atas ke bawah!
Si orang tua ganda tertawa menghadapi
serangan ini Bambu kuningnya diputar-putar,
tiba-tiba dikiblatkan demikian rupa
"Sreet!"
Sabuk mutiara di tangan kanan Pendekar
Pemetik Bunga kena disambar den terlepas
mental dari tangan pemuda itu! Si pemuda
sendiri dengan jungkir balik susah payah baru
berhasil ke luar dari sambaran tongkat bambu
serta semburan asap kuning yang dilepaskan
lawan!
Matanya membeliak, mulutnya komat kamit.
Mukanya mengelam sewaktu si orang tua
melangkah perlahan mendekatinya dengan
tertawa sedingin salju!
"Nyawa anjingmu hanya tinggal beberapa
detik saja, pemuda terkutuk!" kata Datuk
Bambu Kuning. "Sejak hari ini dunia
persilatan akan bersih dari noda kekotoran
manusia macam kau!"
"Aku masih belum menyerah keparat!" bentak
Pendekar Pemetik Bunga. Mulutnya masih
komat-kamit. Matanya dengan waspada
memperhatikan setiap gerak yang dibuat
Datuk Bambu Kuning.
"Aku memang tak suruh kau menyerah, "
sahut Datuk Bambu Kuning dengan tertawa
sedingin tadi. "Aku cuma perlu nyawa
anjingmu!"
"Soal nyawa soal mudah," tukas Pendekar
Terkutuk Pemetik Bunga.
Diam-diam dia salurkan seluruh tenaga
dalamnya ke ujung jari telunjuknya.
Sesaat kemudian ujung jari itu menjadi hitam
legam dan mengeluarkan sinar menggidikkan.
"Orang tua edan, kau lihat jari ini?! "
Datuk Bambu Kuning memandang dengan
kerenyit kulit kening pada jari telunjuk tangan
kanan Pendekar Pemetik Bunga. Darahnya
tersirap, mukanya berubah.
Pendekar Pemetik Bunga tertawa mengekeh.
"Kenapa mukamu menjadi pucat, kunyuk
tua?!"
Datuk Bambu Kuning tidak menyahut.
Mukanya bertambah pucat dan matanya
melotot memandang tajam-tajam pada jari
telunjuk si pemuda.
Ketika jari telunjuk itu dan ibu jari si pemuda
membuat lingkaran. Datuk Bambu Kuning
berseru kaget. "Ilmu Jari Penghancur Sukma!"
Dengan serta merta Datuk Bambu Kuning bagi
dua aliran tenaga dalamnya. Sebagian ke
ujung tongkat bambu den sebagian lagi ke
dada!
"Makan jariku ini, Datuk keparat!" seru
Pendekar Pemetik Bunga.
Dikejap itu juga dia menjentikkan jari
telunjuknya. Satu gelombang angin hitam
menderu laksana topan prahara, menyereng ke
arah Datuk Bambu Kuning. Di saat yang sama
Datuk Bambu Kuning sapukan tongkat di
tangan kanan dan semburkan asap kuning!
Datuk Bambu Kuning berteriak kaget ketika
melihat angin pukulan bambu kuning dan
sambaran asap kuningnya buyar berantakan
dilanda angin hitam lawan. Dan angin hitam
yang menggidikkan ini terus melesat ke
arahnya. Datuk Bambu Kuning cepat
menyingkir tapi kasip!
Orang tua itu mencelat beberapa tombak
jauhnya ketika angina hitam menyambar
tubuhnya. Dan terdengarlah jeritnya
melengking langit!
Datuk Bambu Kuning terguling-guling di
tanah. Sekujur tubuhnya hitam hangus!
Nyawanya tidak ketolongan lagi, putus kejap
itu juga!
Pendekar Pemetik Bunga mengatur jalan
nafas dan aliran darahnya kembali. Sewaktu
dia menggerakkan kakinya baru disadariya
bahwa kedua kakinya itu telah tenggelam ke
dalam tanah sedalam lima senti! Bila pemuda
ini melangkah mendekati Ning Leswani,
kembali terdengar makian gadis itu.
Makian yang kemudian disusul dengan jeritan.
Tak ada satu orangpun yang berani
menghalangi dan berbuat suatu apa ketika
Ning Leswani dipanggul oleh Pendekar
Pemetik Bunga dan dilarikan!
Sampai pagi, sampai ketika matahari muncul
di utuk timur desa masih diselimuti oleh
kehebohan atas apa yang telah terjadi!
Ki Lurah Rantas Madan den Rana Wulung
bersama kira-kira selusin penduduk, dengan
membawa berbagai senjata dan menunggangi
kuda coba mencari jejak Pendekar Pemetik
Bunga. Namun ke mana manusia durjana itu
hendak dicari?! Menjelang tengah hari, mereka
sudah berbisik-bisik sesama mereka bahwa
tak mungkin mereka akan menemui Ning
Leswani. Kalaupun bertemu, tentu gadis itu
sudah rusak kehormatannya!
Dan seandainya pula mereka berhasil
menyergap Pendekar Pemetik Bunga, belum
tentu mereka sebanyak itu bisa membekuk
batang lehernya!
Rantas Madan tahu suasana yang dirasakan
anggota-anggota rombongannya. Dia
berunding dengan Rana Wulung dan akhirnya
diambil keputusan untuk pulang saja.
Terik matahari membakar kulit di siang itu.
Rana Wulung dengan muka pucat
menunggangi kudanya di samping Rantas
Madan. Hati pemuda ini hancur sudah!
Dendam kesumatnya terhadap Pendekar
Pemetik Bunga tak akan pupus selama
hidupnya!
Ketika rombongan melalui lereng sebuah bukit
dalam perjalanan pulang itu, ada sesuatu
yang menarik perhatian Rana Wulung. Dia
berpaling pada Rantas Madan.
"Bapak, kau lihat burung-burung gagak yang
beterbangan di puncak bukit itu."
Ki Lurah Rantas Madan terkejut lalu
memandang ke puncak bukit di atasnya.
Beberapa burung gagak hitam dilihatnya
terbang berputar-putar naik turun di atas
puncak sana. Berdebar hati laki-laki ini. Lalu
dihentikannya rombongan.
"Kita ke sana!" mengambil keputusan Rantas
Madan. Masing-masing kemudian memacu
kuda mereka ke puncak bukit. Rana Wulung di
depan sekali. Di puncak bukit pemuda ini
menghentikan kudanya dan meneliti ke mana
turunnya burung-burung gagak tadi. Diikuti
oleh anggota-anggota rombongan yang lain
Rana Wulung bergerak ke arah serumpunan
semak belukar lebat. Waktu dia mencapai
semak itu, empat ekor burung gagak terbang
ke udara.
Rana Wulung melompat dari kudanya dan lari
ke balik semak belukar lebat.
"Tuhanku!" seru pemuda itu. Lututnya goyah.
Matanya membeliak.
Tiba-tiba laksana orang kalap dia melompat
ke muka sambil berseru nyaring . "Nining!
Nining!"
Ning Leswani terhampar di atas rerumputan.
Tak selembar benangpun yang menutupi
auratnya. Tubuh yang telanjang ini sudah
tiada nafas lagi dan sebagian sudah
berlubang-lubang dipatuk gagak-gagak hitam
pemakan bangkai! Tubuh yang malang itulah
yang dipeluk Rana Wulung. Namun cuma
sebentar saja. Sewaktu Rantas Madan dan
rombongan lainnya sampai ke situ, Rana
Wulung sudah jatuh pingsan!
Rantas Madan sendiri hampir-hampir tak kuat
pula menyaksikan pemandangan itu! Hampir
tak sanggup melihat anak kandung yang
dikasihinya menemui kematian dalam cara
yang mengenaskan begitu rupa. Mulutnya
komat kamit. Tenggorokannya turun naik.
"Anakku…." desis laki-laki itu. Dia berlutut.
Beberapa orang menarik Rana Wulung dari
atas tubuh Ning Leswani. Rantas Madan
cepat membuka bajunya dan menutupi aurat
anaknya dengan baju itu. Air matanya
berlinang. Dendam kesumat seperti mau
memecahkan dadanya saat itu! MUNCULNYA
Pendekar Pemetik Bunga menyebar maut,
darah dan noda benar-benar menggemparkan
dunia persilatan. Kekejaman dan kebejatan
terkutuk yang dilakukannya selama malang
melintang beberapa bulan belakangan ini
benar-benar merupakan satu tantangan bagi
dunia persilatan, terutama mereka dari
golongan putih. Hal ini tak dapat dibiarkan
lama, dan berlarut-larut. Beberapa tokoh silat
utama dari golongan putih kabarnya telah
turun tangan membuat perhitungan dengan
Pendekar Pemetik Bunga. Tapi apa yang
terjadi kemudian benar-benar membuat dunia
persilatan tambah geger!
Bagaimanakah tidak! Semua tokoh-tokoh silat
yang berani bikin perhitungan itu disikat
mentah-mentah oleh Pendekar Pemetik
Bunga.
"Ilmu Jari Penghancur Sukma" yang dimiliki
pemuda terkutuk itu menjadi biang momok
mengerikan bagi dunia persilatan, apalagi
bagi orang-orang yang tidak mengerti silat
sama sekali! Tiap kota dan desa, tiap
kampung dan pelosok diselimuti rasa
ketakutan dan cemas. Takut dan cemas kalau
Pendekar Pemetik Bunga akan muncul
mendadak di daerah mereka, menyebar maut
dan menebar noda di kalangan penduduk
yang tak berdosa!
Kejahatan, kebejatan dan seribu satu macam
perbuatan terkutuk yang dilakukan oleh
Pendekar Pemetik Bunga itu telah sampai
pula ke puncak gunung Merbabu.
Saat itu tengah hari tepat. Matahari berada
dititik tertingginya.
Keterikan sinar matahari tiada terasa di atas
puncak gunung yang ditutupi halimun sejuk
itu. Asap belerang dari kawah gunung
bergulung-gulung ke atas, bercampur jadi
satu dengan halimun dan menutupi
pemandangan.
Di satu bagian dari puncak gunung Merbabu,
di dalam sebuah ruangan batu, diterangi oleh
sebuah pelita kecil kelihatan duduk seorang
laki-laki tubuhnya kurus sekali, hampir tinggal
kulit pembalut tulang.
Tubuh yang kurus ini ditutupi dengan sehelai
selempang kain putih. Melihat kepada air
mukanya yang penuh dengan keriputan itu
nyatalah bahwa manusia ini umurnya sudah
lanjut sekali. Tapi anehnya, rambut dan
janggutnya yang panjang sampai ke pinggang
itu masih berwarna hitam legam dan berkilat-
kilat ditimpa sinar pelita.
Orang tua ini adalah Begawan Citrakarsa.
Saat itu dia tengah bersemedi mengheningkan
cipta rasa dan menutup semua inderanya.
Ketika matahari menggelincir ke titik
tenggelamnya, ketika sinar kuning emas
berpadu dengan sinar kemerahan menyaputi
langit di ufuk barat barulah Begawan itu
menyelesaikan semedinya. Dibukanya kedua
matanya, dibukanya segenap inderanya.
Kemudian perlahan-lahan Begawan ini berdiri
dari duduknya dan melangkah ke pintu.
Dari pintu batu tempat dia berdiri itu dapat
dilihatnya keseluruhan puncak Gunung
Merbabu. Sebagian dari puncak Gunung
Merbabu itu telah diselimuti lagi oleh kabut
belerang dan halimun. Di kaki gunung
menghampar sawah ladang. Jauh di sebelah
selatan mengalir sebatang anak sungai.
Begawan Citrakarsa menghela nafas dalam.
Betapa indahnya bumi buatan Tuhan. Tapi
betapa sayangnya, bumi yang indah dan suci
itu telah dikotori oleh segala macam
kemaksiatan, segala macam kemesuman,
kejahatan, kebejatan!
Begawan Citrakarsa masuk kembali ke dalam
ruangan batu. Dari dinding ruangan batu
diambilnya sebilah keris lalu disisipkannya ke
balik selempangan kain putih di pinggangnya.
Dengan sedikit lambaian tangan Begawan
Citrakarsa memadamkan pelita dalam
ruangan batu itu. Dia melangkah ke pintu
kembali. Di luar puntu terdapat sebuah batu
besar.
Dengan mempergunakan tangan kirinya
Begawan ini menggeser batu itu hingga
menutupi pintu ruangan batu. Batu besar itu
beratnya ratusan kati, tapi sang Begawan
hanya menggesernya dengan mempergunakan
tangan kiri! Sampai dimana kehebatan tenaga
dalam Begawan bertubuh kurus yang hanya
tinggal kulit pembalut tulang itu sungguh tak
dapat dijajaki!
Bila angin dari timur bertiup sejuk. Bila bola
penerang jagat hanya seperenam bagiannya
saja lagi yang kelihatan di ufuk barat sana
dan bila puncak gunung Merbabu hampir
keseluruhannya terselimut halimun maka
Begawan itupun menggerakkan kakinya.
Sepasang kaki yang kurus kering itu dengan
lincah dan dengan kecepatan yang luar biasa
berlari di tepi kawah dengan seenaknya.
Sekali-sekali melompati jurang batu yang
lebarnya sampai tiga – empat tombak.
Bersamaan dengan lenyapnya sang surya ke
tempat peraduannya maka bayangan Begawan
Citrakarsa pun tak kelihatan lagi di puncak
gunung Merbabu itu. * * * Tikungan jalan itu
terletak di tempat yang ketinggian. Sinar
matahari panasnya seperti mau memanggang
kulit. Burung-burung kecil yang berlindung di
balik daun-daun pepohonan berkicau tiada
hentinya seakan-akan turut gelisah oleh
panasnya hari sehari itu.
Pemuda berambut gondrong di atas cabang
pohon duduk dengan sepasang mata yang
terus menatap ke liku-liku jalan di kaki bukit.
Sudah satu jam hampir dia berada di cabang
pohon itu dan apa yang ditunggunya masih
juga belum muncul. Kekesalan hatinya
dicobanya melenyapkan dengan bersiul-siul.
Ada satu keluarbiasaan, cabang pohon yang
diduduki pemuda itu kecil sekali. Jangankan
manusia, seekor kucingpun bila duduk di situ
pastilah cabang itu akan menjulai ke bawah.
Tapi anehnya, diberati oleh tubuh pemuda
berambut gondrong itu, jangankan menjulai,
bergerak sedikitpun cabang pohon itu tidak!
Kalau si pemuda bukannya seorang sakti
mandraguna yang memiliki ilmu meringankan
tubuh yang hebat, pastilah hal itu tak bisa
kejadian.
Sepeminuman tah berlalu. Si pemuda
memandang lagi ke kaki bukit, ke arah liku-
liku jalan.
"Sialan, apa kunyuk-kunyuk itu tidak jadi
melewati jalan ini?! Sialan be…"
Tiba-tiba pemuda itu hentikan makiannya.
Bola matanya membesar dan dibibirnya
menggurat seringai tajam. Jauh di bawah
bukit, diantara pohon-pohon di liku-liku jalan
dilihatnya sebuah kereta yang ditarik oleh dua
ekor kuda putih, dikawal oleh selusin
penunggang kuda. Debu menggebu ke udara.
Pemuda itu kini tertawa-tawa sendirian.
Hatinya gembira. Yang ditunggunya telah
kelihatan di bawah sana, dan pasti akan
melewati tikungan jalan dimana dia
menunggu saat itu.
Kira-kira dua kali peminuman teh maka
terdengarlah derap kaki-kaki kuda dan
gemerataknya suara roda kereta mendekati
tikungan jalan.
Karena tikungan itu mendaki, maka
pengemudi kereta dan penunggang
penunggang kuda agak memperlambat lari
kuda masing-masing.
Pada saat itulah pemuda rambut gondrong
yang duduk di cabang pohon mengeluarkan
suara memerintah yang menggeledek!
"Berhenti!"
Beberapa ekor kuda yang di muka sekali
meringkik terkejut. Pengemudi dan pengawal
kereta kagetnya bukan main. Semua anggota
rombongan menghentikan kuda masing-
masing. Dan melihat gelagat yang tidak baik,
setiap anggota rombongan bersikap waspada.
"Semua laki-laki yang ada di sini, termasuk
pengemudi kereta kuharap segera angkat kaki
tinggalkan tempat ini. Berlalu dengan cepat!"
Begitu si pemuda memerintah. Dan dia masih
juga duduk di cabang pohon seenaknya.
Penunggang kuda yang paling muka yang
bertindak sebagai pimpinan rombongan
mendongak ke atas dan bertanya dengan
membentak.
"Orang asing! Kau siapa?!"
"Buset! Kau punya nyali membentak aku hah?
Apa kau punya jiwa rangkap!"
Si penunggang kuda mendengus. "Caramu
memerintah nyatalah bahwa kau mempunyai
niat jahat!"
"Betul sekali sobat! Karenanya lekaslah
tinggalkan tempat ini kalau kalian semua
tidak mau cilaka!"
Penunggang kuda yang bertindak sebagai
pemimpin rombongan melihat sikap dan
tempat di mana pemuda rambut gondrong itu
duduk sesungguhnya sudah sejak tadi
mengetahui bahwa manusia asing itu seorang
yang berilmu sangat tinggi. Namun dengan
mengandalkan jumlah yang banyak,
mengandalkan kawan-kawannya yang rata-
rata memiliki ilmu silat, nyalinya tidaklah
menjadi kendor menghadapi si pemuda
rambut gondrong!
"Kalau kau seorang perampok, cari saja orang
lain untuk dirampok! Salah-salah riwayatmu
bisa tamat sampai di sini, sobat"
Pemuda di atas cabang pohon tertawa gelak-
gelak. Suara tertawanya menggetarkan
tikungan jalan itu, juga menggetarkan hati
dua belas penunggang kuda! Bahkan suara
tertawa itu telah membuat satu tangan halus
menyibakkan tirai kereta den memunculkan
sebuah kepala perempuan muda belia
berwajah cantik berkulit halus mulus.
"Manusia-manusia tolol! Orang sudah kasih
ampun den kasih selamat kalian punya jiwa
tapi malah berlagak jago!" bentak orang di
atas cabang pohon! "Silahkan cabut senjata
kalian agar kalian semua tidak mampus
percuma!"
Habis berkata begitu si pemuda laksana
seekor alap-alap melompat turun. Tubuhnya
berkelebat cepat dan terdengadah jeritan yang
menggidikkan! Tiga penunggang kuda
terpelanting dari punggung kuda masing-
masing. Kepala ketiganya hancur remuk
dimakan tendangan kaki kanan pemuda tadi!
Yang sembilan orang lainnya, tambah satu
dengan pengemudi kereta dengan serentak
segera mencabut golok masing-masing.
Tanpa menunggu lebih lama yang sembilan
orang segera menyerbu sedang pengemudi
kereta dengan golok melintang di muka dada
tetap berada di atas kereta.
Sebentar saja hujan golok menyelubungi si
pemuda. Pemuda itu berdiri di tengah-tengah
siuran golok dengan bertolak pinggang dan
sambil tertawa-tawa. Sekali-sekali dia
membuat sedikit gerakan. Meskipun sedikit
gerakan itu sekaligus berhasil mengelakkan
sembilan serangan golok yang menderu-deru.
Tiba-tiba pemuda itu membentak nyaring.
Tubuhnya merunduk di antara bacokan dan
tebasan golok. Pekik lolong terdengar susul
menyusul.
Empat pengeroyoknya berpelantingan dan
bergeletakan tanpa nyawa di tengah jalan.
Yang lima orang lainnya kejut serta kaget
mereka bukan olah-olah.
'Tegal Ireng!" teriak pemimpin rombongan.
"Larikan kereta dari sini cepat! Aku dan yang
lain-lainnya menahan bangsat ini!"
Kusir kereta tak ayal lagi segera sentakkan
tali kekang. Dua ekor kuda melonjak dan
melompat ke muka. Sementara itu lima golok
menyerbu pemuda rambut gondrong dengan
ganasnya. Tapi yang diserbu ganda tertawa.
Dia membuat lompatan setinggi tiga tombak.
Dua orang pengeroyoknya jungkir balik di
makan tendangan. Bersamaan dengan Itu
tangan kanannya dihantamkan ke arah dua
ekor kuda penarik kereta yang segera hendak
lari meninggalkan tempat itu. Gelombang
angin yang sangat dahsyat Menghantam
hancur delapan kaki binatang itu sehingga
kuda dan kereta angsrok kejalanan. Ringkik
kuda terdengar tiada hentinya sedang dari
dalam kereta melengking jeritan perempuan!
Pemimpin rombongan, dengan sangat
penasaran cabut lagi sebatang golok dari
pinggangnya. Dengan sepasang golok,
bersama dua orang kawannya dia menyerbu
kembali!
"Kunyuk-kunyuk tolol! Nyali kalian memang
patut kupuji! Tapi kalian adalah manusia-
manusia tidak berguna! Karenanya pergilah ke
neraka!"
Pemuda rambut gondrong kebutkan tepi jubah
hitamnya. Serangkum angin pengap
menyerang ke arah tenggorokan ketiga
lawannya. Manusia-manusia itu
mengenduskan suara seperti tercekik sewaktu
tubuh mereka mental dilanda angin dahsyat.
Dari mulut masing-masing menyembur darah
segar. Nyawa ketiganya lepas bersamaan
dengan rubuhnya tubuh mereka ke tanah!
Pemuda berambut gondrong yang
mengenakan jubah hitam berbunga-bunga
kuning tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba
dirasakannya sambaran angin di belakangnya.
Dibalikkannya tubuhnya dengan cepat.
Sebatang golok laksana anak panah melesat
ke arah batok kepalanya! Kurang ajar betul!"
teriak pemuda berjubah hitam. Dia gerakkan
tangan kanannya. Lihai sekali golok maut itu
berhasil ditangkapnya lalu dilemparkannya ke
arah kereta.
Laki-laki yang menjadi kusir kereta, yang tadi
melemparkan golok itu kepada si pemuda
dengan serta merta melompat dari kereta
yang sudah angsrok itu dan bergulingan di
tanah. Golok menancap di bangku kayu pada
bagian depan kereta!
Kusir kereta yang menyadari bahwa dirinya
kini tinggal sendirian, melihat serangannya
tidak mengenai sasaran jadi lumer nyalinya.
Tanpa banyak cerita kusir ini segera ambil
langkah seribu seraya berteriak. "Den Ayu
Galuh Warsih lekas lari selamatkan dirimu!"
"Kunyuk tengik!" teriak pemuda berjubah
hitam sambil keluarkan dengusan. "Kalau
mau lari, larilah sendiri ke neraka!"
Sekali pemuda ini lambaikan tangan
kanannya, kusir kereta itu mental
menghantam pohon dilanda angin dahsyat
yang ke luar dari telapak tangan si pemuda!
Di saat itu pintu kereta sebelah kanan terbuka
lebar-lebar dan seorang gadis bertubuh
ramping, berkulit hitam manis yang memiliki
wajah mempesona ke luar dengan paras
pucat. Lututnya gemetar. Bulu kuduknya
merinding melihat sosok-sosok mayat
pengawalnya yang bertebaran di mana-mana,
mati dalam keadaan mengerikan!
Gadis itu menyurut beberapa langkah sewaktu
pemuda berjubah hitam melangkah
mendekatinya.
"Ah, dewiku, kenapa takut padaku?" ujar si
pemuda dengan mengulum senyum. "Namamu
Galuh Warsih bukan? Dan kau anaknya Sentot
Sastra dari Kaliurang, betul?"
Galuh Warsih menyurut lagi beberapa langkah.
Pada tampang yang gagah dari si pemuda,
pada sunggingan senyumnya nyata kelihatan
sifat kebuasan, sifat kejalangan!
Gadis ini terpekik sewaktu sekali lompat saja
si pemuda sudah berada dihadapannya.
"Saudara, kau siapa? Mengapa membunuh
pengawal-pengawalku?!"
Meski takutnya bukan main namun Galuh
Warsih masih bernyali mengajukan pertanyaan
itu.
Yang ditanya tertawa.
"Ah.., itu satu pertanyaan yang pantas
dijawab," katanya. Tangan kirinya
ditopangkannya ke sanding belakang kereta.
"Namaku tak seberapa perlu dewiku sayang.
Aku cukup dikenal dengan gelar Pendekar
Pemetik Bunga."
Paras Galuh Warsih laksana kain kafan, putih
seperti tiada berdarah. Sebaliknya pemuda
yang mengaku bergelar Pendekar Pemetik
Bunga tertawa gelak-gelak.
"Dan kalau dewiku bertanyakan mengapa aku
membunuh pengawal-pengawalmu itu adalah
karena mereka sedeng semua! Disuruh angkat
kaki dari sini agar selamat malah minta
mati!"
"Ayahku Bupati Kaliurang pasti akan
menyuruh pancung kepalamu atas semua
kejahatan inil"
Pendekar Pemetik Bungs tertawa mengekeh.
"Sudahlah," katanya, "di tempat bangkai-
bangkai berserakan ini kita tak usah banyak
bicara.
Kau ikut aku, Galuh Warsih. Kita pergi ke bukit
sebelah sana…"
"Tidak!"
"Di bukit sana ada sebuah pondok!"
'Tidak, aku tidak mau! Aku tidak sudi ikut
sama kau manusia biadab!" teriak Galuh
Warsih.
"Di situ, di pondok itu nanti kau akan
merasakan sorga dunia yang tiada taranya
dewiku manis…." Dengan tertawa gelak-gelak
Pendekar Pemetik Bunga maju mendekati
Galuh Warsih. Si gadis cepat menyambar kayu
patahan papan kereta dan dengan kedua
tangannya menghantamkan kayu itu ke kepala
Pendekar Pemetik Bunga, Pemuda berhati
bejat itu ganda tertawa. Dia merunduk dan
begitu maju, sekaligus dia sudah merangkul
pinggang Galuh Warsih.
Galuh Warsih menjerit melolong-lolong. Kedua
tangannya tiada henti mendambuni punggung
dan menjambaki rambut gondrong Pendekar
Pemetik Bunga. Tapi pemuda itu tiada perduli.
Malah dengan tertawa dan bersiul-siul
gembira laksana angin cepatnya tubuh Galuh
Warsih dilarikan ke puncak sebuah bukit di
sebelah timur!
Hampir sepeminum teh kemudian maka
pondok kayu itu sudah kelihatan dari jauh.
Nafsu yang menghempas-hempas pembuluh
darah dan menegangkan sekujur tubuh
Pendekar Pemetik Bungs membuat manusia
terkutuk itu tancap gas tambah percepat
larinya agar lekas-lekas sampai ke pondok itu
dan agar lekas pula melampiaskan nafsu bejat
terkutuknya!
Tapi betapa terkejutnya Pendekar Pemetik
Bunga sewaktu makin dekat ke pondok itu
sepasang telinganya menangkap suara
nyanyian.
Yang lebih mengejutkan ialah karena suara
nyanyian itu keluarnya dari dalam pondok
kayu dihadapannya itu! Dua tahun dilepas
pergi,
Dua tahun turun gunung,
Dua tahun berbuat keji,
Dua tahun tak tahu untung.
Lima tahun belajar percuma
Lima tahun dididik tiada guna
Kehancuran dimana-mana
Pembunuhan di mana-mana
Semua karena buta hati dan buta mata
Semua karena buta rasa
Percuma bagusnya gunung
Percuma tingginya gunung
Kalau meletus bencana di mana-mana
Anak manusia lupa daratan
Anak manusia membuat kebejatan
Apakah selusin nyawa di badan?
Apakah ilmu setinggi awan? Pendekar Pemetik
Bunga hentikan larinya. Galuh Warsih yang
masih mendambun-dambun punggungnya,
yang masih berteriak-teriak meskipun
suaranya parau segera ditotoknya.
Dipasangnya telinganya sedang kedua
matanya memandang tajam-tajam ke arah
pintu pondok yang terbuka. Tak satu sosok
manusiapun yang dapat dilihatnya dari
tempat dia berdiri.
Namun suara nyanyian tadi kembali
terdengar. Terdengar dan keluar dari pondok
itu! Dua tahun dilepas pergi,
Dua tahun turun gunung…. Ada suatu rasa
aneh menyelinapi hati Pendekar Pemetik
Bunga. Rasa aneh ini bukan saja hanya
sekedar menyelinap, tapi juga membuat
hatinya menciut-ciut dan dadanya berdebar.
Dia melangkah kembali, pelahan kini.
Mata memandang tajam, ke pintu pondok
yang terbuka, sikap penuh waspada.
Lima tombak dari hadapan pondok, untuk
kedua kalinya Pendekar Pemetik Bunga
hentikan langkah. Bayangan seseorang dapat
dilihatnya melangkah ke pintu. Dalam kejapan
mata kemudiannya maka terbenturlah
pandangannya pada tubuh seorang laki-laki
tua bertubuh kurus kering berselempang kain
putih. Janggut dan rambutnya yang hitam
menjelang panjang sampai ke pinggang.
"Guru!" seru Pendekar Pemetik Bunga.
Tubuh Galuh Warsih segera diturunkannya
dari pundak, didudukkannya di bawah
sebatang pohon lalu dia sendiri berlari dan
berlutut dihadapan orang tua yang berdiri di
ambang pintu pondok.
Si orang tua, yang bukan lain dari Begawan
Citrakarsa adanya menyapu paras muridnya
dengan pandangan mata sedingin salju
setajam pisau!
"Betulkah kau ini si Wirapati?"
Masih berlutut, Pendekar Pemetik Bunga
angkat kepalanya. "Betul guru. Masakan guru
lupa sama murid sendiri!" Diam-diam
Pendekar Pemetik Bunga atau Wirapati
merasa bergidik jugs melihat cara
memandang gurunya.
"Guru…!"
Begawan Citrakarsa tidak perdulikan seruan
kaget muridnya melainkan meneruskan,
"Mataku masih belum kabur, telingaku masih
belum tuli. Otakku masih belum tumpul!
Wirapati yang pernah kegembleng lima tahun
di puncak Gunung Merbabu sudah tidak ada di
atas bumi ini…"
"Guru!" seru si murid sekali lagi.
Begawan Citrakarsa tetap tak ambil perduli
seorang pemuda terkutuk yang di delapan
penjuru angin dikenal sebagai Pendekar
Pemetik Bunga!
Berubahlah paras Pendekar Pemetik Bunga
alias Wirapati. Dia membathin, rupanya apa
yang telah dilakukannya sejak turun gunung
dua tahun yang silam sudah diketahui oleh
gurunya. Dia berpikir-pikir mencari akal,
apakah yang bakal dikatakannya pada
Begawan itu.
"Selama ini aku dikenal sebagai tokoh silat
golongan putih yang mengutamakan ilmu
untuk kebaikan, dan welas asih. Dunia
persilatan menyegani dan menghormatiku!
Tapi kini dari delapan penjuru angin umpat
dan kutuk serapah dilontarkan kepadaku!
Keningku dicoreng cemoreng oleh rasa malu
yang tiada terkira! Semua itu adalah akibat
perbuatan bejatmu, Wirapati! Perbuatan
terkutukmu!"
"Guru," kata Pendekar Pemetik Bunga dengan
cepat. Akal busuk sudah didapatnya saat itu
"Rupanya guru telah tertiup oleh segala fitnah
yang dilontarkan manusia-manusia biang
racun! Lima tahun murid dididik dan
digembleng oleh guru masakan sesudahnya
turun gunung murid mau membuat kekotoran
yang mencemarkan nama guru itu?! Semua
fitnah belaka, guru! Percayalah! Justru murid
malang melintang di dunia persilatan untuk
membasmi kaum penjahat dan golongan
hitam…!"
Begawan Citrakarsa tertawa tawar. "Kaukah
yang difitnah atau engkau yang memfitnah,
Wirapati? Gadis yang kau sandarkan di pohon
itu cukup menjadi bukti! Kalau kau mau
menipu aku, tunggulah sampai mataku buta!"
Pendekar Pemetik Bunga tidak kehabisan
akal. Dia segera buka mulut pula, "Guru salah
duga. Gadis itu adalah anak Bupati Sentot
Sastra dari Kaliurang yang barusan murid
tolong dan lepaskan dari tangan penculik-
penculik dan perampok-perampok!"
Lagi-lagi Begawan Citrakarsa tertawa tawar.
"Lidah tidak bertulang memang bisa diputar
balik!" katanya. "Tapi mataku tidak bisa
diputar balik, Wirapati! Aku saksikan sendiri
apa yang terjadi di tikungan jalan tadi!
Masihkah kau mau berdusta di dalam
kebejatanmu?!"
Kini Wirapati alias Pendekar Pemetik Bunga
tak bisa berkata apa-apa lagi. Mulutnya
terkatup rapat-rapat
"Tak perlu kau berlutut dihadapanku Wirapati!
Sejak arang cemar kau corengkan ke mukaku,
sejak itu pula aku tak mengakuimu lagi
sebagai murid!"
Rahang Pendekar Pemetik Bunga menonjol
bergemeletak.
"Kejahatanmu laksana laut tidak bertepi!
Dosamu sudah tak sanggup ditakar lagi!
Sekarang berdirilah! Dan katakan cepat, cara
mati bagaimana yang kau inginkan?!"
Kaget Pendekar Pemetik Bunga bukan alang
kepalang!
Dipandangnya paras Begawan Citrakarsa.
Mimik dan sorotan mata si orang tua jelas
menyatakan bahwa apa yang diucapkannya
itu bukan main-main!
"Guru…."
"Aku bukan gurumu!" bentak Begawan
Citrakarsa.
Perlahan-lahan Pendekar Pemetik Bunga
berdiri.
"Guru, kau betul-betul hendak membunuhku?"
tanya pemuda itu, "atau cuma main-main
saja … ?"
"Bicara soal kematian bukan bicara main-
main budak terkutuk!" hardik Begawan
Citrakarsa.
"Bersiaplah untuk mampus!"
Begawan itu angkat tangan kanannya.
Kemudian laksana kilat dipukulkan ke muka!
"Wuss!"
Asap putih mengepul dahsyat melanda ke
arah Pendekar Pemetik Bunga. Melihat
gurunya mengeluarkan ilmu dahsyat yang tak
pernah dikenalnya atau diajarkan kepadanya
sebelumnya, yakinlah Pendekar Pemetik
Bunga bahwa si orang tua betul-betul
bertekat hendak menghabisi nyawanya! Tak
ayal, sebelum tubuhnya diserempet asap putih
yang mengandung hawa sangat panas itu, si
pemuda segera melompat ke samping sampai
dua tombak!
"Bagus! Kau masih bisa mengelak! Tapi
nyawamu tetap harus minggat ke neraka
murid laknat!" gertak Begawan Cirakarsa.
Tubuhnya berkelebat. Kini kedua tangannya
yang kurus memukul bersama-sama.
Sinar putih berbuntal-buntal menyambar
Pendekar Pemetik Bunga! Serangan ganas ini
membuat Pendekar Pemetik Bunga melompat
sampai tiga tombak ke atas dan berseru
nyaring, "Orang tua aku masih menaruh
hormat pada kau! Hentikan seranganmu!"
"Hormat nenek moyangmu!" maki Begawan
Citrakarsa beringas. Kedua tangannya kembali
melesatkan buntalan sinar putih. Pendekar
Pemetik Bunga cepat-cepat menukik
menyelamatkan diri.
Wirapati atau Pendekar Pemetik Bunga jadi
beringas pula kini.
"Begawan!" serunya lantang, "jika kau tak
hentikan senuigan, terpaksa aku mengadu jiwa
dengan kau! Harap jangan menyesal!"
Begawan Citrakarsa tidak perdulikan ucapan
bekas muridnya.
Tubuhnya berkelebat cepat. Angin bersiuran,
debu beterbangan dan atap rumbia pondok di
atas bukit itu terbang bertaburan akibat keras
dahsyatnya angin serangan sang Begawan!
Pendekar Pemetik Bunga penasarannya bukan
main. Kutuk serapah tiada henti-hentinya
dikeluarkan dalam hati. Kalau saja dia tidak
memiliki tenaga dalam dan ilmu membentengi
tubuh yang tinggi sempurna, pastilah dalam
dua jurus saja dirinya sudah konyol mati kena
digebuk salah satu lengan sang Begawan
atau tersambar asap putih yang panas
beracun itu!
Dalam tempo yang singkat, murid dan guru
itu sudah bertempur delapan jurus. Keduanya
kelihatan sama-sama gesit dan sama-sama
lihai.
Namun memasuki jurus kedua belas walau
bagaimanapun Pendekar Pemetik Bunga tiada
sanggup lagi bertahan. Sekali tubuhnya kena
dilanda jotosan Begawan Citrakarsa, tubuhnya
mencelat mental membobolkan dinding kajang
dan melingkar di lantai tanah dalam pondok!
Begawan Citrakarsa tidak menunggu sampai
di situ saja. Mulutnya berkomat kamit.
Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi.
Tangan itu berwarna merah kini.
Dan sewaktu tangan itu dipukulkan ke muka,
lidah api yang dahsyat menyambar laksana
topan prahara! Dalam sekejapan mata saja
pondok itu tenggelam dalam kobaran api!
'Tamatlah riwayatmu murid terkutuk!,' Begitu
Begawan Citrakarsa membatin. Tapi si orang
tua menjadi kaget bukan main sewaktu
matanya melihat sosok tubuh bekas muridnya
itu berdiri tak jauh dari pondok yang tengah
terbakar. Muka Pendekar Pemetik Bunga
kelihatan agak pucat tanda jotosan Begawan
Citrakarsa tadi telah menyebabkan luka yang
cukup parah di bagian dalam tubuhnya!
Begawan Citrakarsa sendiri diam-diam
merasa heran melihat pemuda itu masih
sanggup berdiri meski dengan muka pucat
pasi.
Jotosan yang dilancarkan tadi
mempergunakan hampir setengah bagian
tenaga dalamnya, namun pemuda itu tidak
menemui ajalnya! Apakah selama turun
gunung malang melintang berbuat kejahatan
bekas muridnya itu juga telah memperdalam
ilmu silat dan ilmu kesaktiannya?!
Begawan Citrakarsa tidak mau menunggu
lebih lama. Tidak mau memberi kesempatan.
Makin lekas dia berhasil membunuh muridnya
itu, berarti makin cepat dia mencuci tangan
dan membersihkan diri dari rasa malu yang
melekat selama ini! Karenanya sang Begawan
segera melompat ke muka kembali, menyerbu
laksana seekor singa jalang yang kelaparan!
Dari jarak beberapa meter sebelum tubuhnya
sampai kehadapan si pemuda, Begawan
Citrakarsa sudah lancarkan dua pukulan dan
dua tendangan jarak jauh yang hebat!
Pendekar Pemetik Bunga saat itu tengah
alirkan tenaga dalam kebagian dada yang
terluka dan atur jalan darah serta nafas.
Melihat datangnya serangan ini dia terpaksa
menghindar cepat sambil melepaskan pukulan
"Tapak Jagat".
Begawan Citrakarsa tertawa mengejek. Ilmu
pukulan 'Tapak Jagat' itu dialah yang
menciptakan dan mewariskan kepada
Wirapati, masakan kini mempan dipakai untuk
melawan penciptanya sendiri. Namun tawa
mengejek si orang tua berubah dengan
keterkejutan!
Begawan Citrakarsa sampai mengeluarkan
seruan tertahan. Angin pukulan yang
ditimbulkan oleh pukulan 'Tapak Jagat" itu
dahsyatnya bukan main, lebih dahsyat
daripada jika dia sendiri yang melepaskannya!
Padahal Wirapati saat itu diketahuinya
sedang terluka akibat jotosannya tadi!
Jelaslah si pemuda benar-benar telah
menuntut ilmu kesaktian pada seorang tokoh
utama dunia persilatan selama dia malang
melintang dua tahun belakangan ini!
Si orang tua kini tidak mau memberi ampun
lagi dan tak mau memperpanjang waktu!
Lengking yang menggidikkan ke luar dari
tenggorokannya. Bumi laksana dilanda lindu.
Telinga Pendekar Pemetik Bunga laksana
ditusuk dan kepalanya berdenyut pusing!
Lengkingan yang ke luar dari mulut Begawan
Citrakarsa tiada kunjung henti sedang tubuh
orang tua ini boleh dikatakan sama sekali
tidak kelihatan lagi ujudnya, hanya
bayangannya saja yang laksana angin
bergulung-gulung menyelimuti tubuh Pendekar
Pemetik Bunga. Dan di antara angin serangan
yang bergulung-gulung itu serangan kaki
tangan datang laksana hujan membadai!
Inilah ilmu ciptaan Begawan Citrakarsa yang
dinamakan "Seribu Angin Seribu Badai"
Hebatnya memang bukan alang kepalang!
Tapi sang Begawan jadi komat kamit beringas
sewaktu dua jurus berlalu dan tak satu
jotosan atau hantaman lengan ataupun
tendangan kakinya yang berhasil mengenai
tubuh lawan. Malah tiba-tiba dirasakannya
dia laksana menyerang gunung batu yang
menjungkir balikkan kembali setiap
serangannya sedang sambaran angin aneh
terasa memengapkan liang hidung serta
tenggorokannya! Orang tua ini terpaksa tutup
jalan nafas dan melompat ke luar dari
kalangan pertempuran.
Dilihatnya bekas muridnya itu berlutut di
tanah sedang tangannya kiri kanan tiada
hentinya mengebut-ngebutkan tepi jubah
hitamnya. Dari tepi jubah hitam itulah ke luar
angin pengap yang ganas, membuat sang
Begawan tidak berani kembali menyerang
atau mendekat!
Tiba-tiba Begawan ini ingat pada ilmu "Asap
Putih Pencari Raga" yang dimilikinya serta
diyakininya selama tujuh tahun! Cepat-cepat
dia melentingkan kedua telapak tangan ke
muka.
Didahului oleh teriakan menggeledek maka
dua larik asap putih yang menyilaukan
melesat ke muka. Setengah jalan dua larikan
asap itu berpencar menjadi dua lusin dan
kedua lusinnya menyerang ke arah dua puluh
empat jalan darah kematian di tubuh
Pendekar Pemetik Bunga!
Pendekar Pemetik Bunga kebutkan tepi
jubahnya sekencang-kencangnya dan cepat
bergulingan di tanah. Untung sekali dia telah
berguling menjauh begitu rupa karena angin
pengap yang dilepaskannya tadi kali ini tiada
sanggup menahan serangan "Asap Putih
Pencari Raga" yang dilepaskan Begawan
Citrakarsa. Dan ketika pemuda itu berdiri lalu
menoleh cepat ke tanah bekas tempat dia
berada waktu diserang tadi, mau tak mau
keringat dingin memercik dikuduknya!
Betapakah tidak! Di tanah mata kepalanya
sendiri menyaksikan 24 buah lobang sedalam
setengah jengkal akibat serangan bekas
gurunya tadi! Sang Begawan mengeluarkan
tertawa mengekeh.
"Kematianmu sudah hampir dekat murid
terkutuk!," katanya. "Setan neraka mungkin
sudah tak sabar menunggumu. Cacing-cacing
kuburan tentu ingin lekas-lekas menggerogoti
dagingmu…!"
"Orang tua gendeng! Jangan bermulut besar
bicara ngaco! Sekali aku bilang mengadu
nyawa padamu, jangan harap kau bisa
membunuhku tanpa kau punya nyawa anjing
juga turut minggat ke neraka jahanam!" Habis
berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga cabut
bunga kuning yang terbuat dari kertas dari
balik ikatan rambut di kepalanya!
"Ooo… bunga kertas buruk itukah yang kau
andalkan untuk membunuhku?!" ejek Begawan
Citrakarsa dengan memencongkan hidung.
"Kau boleh mengejek kunyuk keriput!" serapah
Wirapati alias Pendekar Pemetik Bunga.
"Sebentar lagi roh busukmu akan terbang
dibawa bunga maut ini!"
"Cuma bunga kertas mainan bocah-bocah
siapa takutkan?!" ejek Begawan Citrakarsa dan
dengan serta merta dia kiblatkan kedua
tangannya, kembali memancarkan serangan
"Asap Putih Pencari Raga."
Kali ini Pendekar Pemetik Bunga tidak
menghindar. Dia berdiri menunggu. Pada saat
asap putih hendak memancar seperti tadi,
dengan cepat pemuda itu menekan tangkai
bunga kertas yang dipegangnya. Serta merta
bertaburanlah gulungan sinar kuning. Bila
asap putih dan sinar kuning itu bertemu di
udara maka terdengarlah suara berdentum
yang amat dahsyat. Jagat laksana goncang.
Asap putih dan sinar kuning berpalun-palun,
gelung menggelung laksana beberapa ekor
ular raksasa yang tengah berkelahi gigit
menggigit! Asap putih lambat laun lenyap
dirambas dan ditelan sinar kuning untuk
kemudian terus menyerang Begawan
Citrakarsa. Kejut orang tua sakti ini bukan
alang kepalang. Dia melompat ke samping
tapi agak terlambat karena sebagian lengan
kirinya kena tersambar sinar kuning itu!
Dengan serta merta lengan sang Begawan
menjadi kuning pekat!
Pendekar Pemetik Bunga tertawa terbahak-
bahak.
"Sinar kuning itu mengandung racun dahsyat!
Dalam tempo satu jam nyawamu pasti
konyol!"
Begawan Citrakarsa mengambil sebutir pil dan
menelannya dengan cepat.
"Ha… ha, jangankan pil tahi kambing itu! Obat
dari kayanganpun tak bakal sanggup
memunah racun dilenganmu itu. Begawan
goblok!"
Naik darah si orang tua meluap sampai ke
kepala. Mukanya kelam membesi. Racun
kuning ditangan kirinya dirasakannya mulai
merambas mendekati pangkal bahu. Tak ayal
lagi Begawan Citrakarsa pergunakan tangan
kanannya memutar dan membetot lengan
kirinya itu!
"Kraak!"
Sungguh menggidikkan sewaktu persendian
bahu itu lepas dan daging berserabutan, urat-
urat berbusaian menyemburkan darah!
Pendekar Pemetik Bunga sendiri meremang
bulu kuduknya melihat perbuatan sang
Begawan!
"Jangan kira meski aku cuma dengan satu
tangan kini kau bisa lepas dari kematian,
Wirapati keparat!" kata Begawan Citrakarsa.
"Otakmu memang sudah miring, Begawan!"
kata Wirapati pula. "Tak satu kekuatanpun
yang sanggup menandingi bunga kertas
kuning ini!" Begawan Citrakarsa tidak
menjawab apa-apa melainkan tangan
kanannya menyelinap ke balik selempang kain
putih di pinggangnya.
Sebilah keris bereluk dua belas yang
memancarkan sinar sangat merah kini
tergenggam di tangan Begawan itu. lnilah
keris "Pancasoka" yang mempunyai
keampuhan luar biasa! Jangankan daging
manusia, batu karang pun jika ditusuk pasti
akan hancur lebur!
Sebagai bekas murid Begawan Citrakarsa
dengan sendirinya Wirapati tahu betul
kehebatan senjata ini. Dia meragu apakah kini
bunga kertas kuningnya akan sanggup
menghadapi keris Pancasoka itu.
Karenanya untuk menjaga segala
kemungkinan Pendekar Pemetik Bunga segera
membuka ikatan sabuk mutiara milik Kidal
Boga yang tempo hari dibunuhnya. "Kau lihat
keris ini Wirapati?!"
"Ah… tak usah banyak omong! Majulah biar
kau juga dapat kehebatan sabuk mutiara ini!"
tukas Wirapati!
Menggelegaklah kemarahan sang Begawan.
Dia melompat ke muka.
Keris Pancasoka berkiblat kian kemari. Sinar
merah laksana lidah api menyerang ganas.
Setiap serangan merupakan rangkaian yang
sekaligus menjurus ke arah dua belas bagian
tubuh lawan! Inilah kehebatan senjata itu!
Wirapati tidak pula tinggal diam. Sabuk
mutiara diputar laksana kitiran. Gelombang
angin menderu-deru sedang bunga kertas
ditangan kanan tiada hentinya mengeluarkan
sinar kuning yang mengandung racun jahat!
Namun dua senjata ditangan Wirapati hampir
tiada daya menghadapi keris bereluk dua
belas di tangan kanan Begawan Citrakarsa.
Ditambah lagi dengan amukan si orang tua
yang dahsyatnya bukan olah-olah.
Kalau saja satu tangannya tidak cedera
buntung pastilah amukannya itu tak akan
tertahan-tahan oleh Wirapati.
Dengan keris ditangan kanan orang tua itu,
pertempuran sudah berkecamuk selama enam
puluh jurus! Daya tahan dan kegesitan
Begawan Citrakarsa meski dirinya sudah
terlalu parah memang patut dikagumi! Dalam
pada itu dia sudah berhasil pula mendesak
dan memepet lawannya sampai kedekat
reruntuhan pondok yang terbakar!
Dengan kertakkan geraham kemudian
membentak keras, Wirapati percepat
gerakannya dan keluarkan jurus-jurus dahsyat
yang mengandung tipu-tipu ganas licik
mematikan! Tapi Begawan Citrakarsa yang
sudah makan asam garam pertempuran yang
sudah puluhan tahun punya pengalaman
dalam dunia persilatan mana bisa kena
ditipu!
"Setan alas!" maki Pendekar Pemetik Bunga.
"Kunyuk tua haram jadah," makinya lagi
dalam hati. Dengan mempergunakan jurus
"Menyapu Awan Menerjang Mega," pemuda ini
akhirnya melompat ke luar dari kalangan
pertempuran!
"Pemuda terkutuk!" teriak Begawan Citrakarsa,
"Kau mau lari ke mana?!"
"Aku tidak lari iblis tua!" bentak Pendekar
Pemetik Bunga. Dia cepat-cepat tusukkan
kembali bunga kertasnya ke sela rambut di
kepala, sabuk mutiara tetap dipegang di
tangan kiri menjaga segala kemungkinan.
Saat itu jarak antara mereka terpisah sejauh
lima meter.
"Begawan keparat! Mari kita buat perjanjian!"
Tiba-tiba Pendekar Pemetik Bunga ajukan
usul.
"Heh, sudah mau hampir mampus bikin
segala macam usul! Apakah itu bukan cuma
ulur waktu mencari kesempatan lari…?!" ejek
Citrakarsa.
"Sompret tua, aku berjanji! Jika kau sanggup
terima pukulanku, aku akan bunuh diri
dihadapanmu!"
Begawan Citrakarsa tertawa mengekeh-
ngekeh. "Bunuh diri terlalu enak buatmu,
Pendekar terkutuk!"
Si pemuda penasaran bukan main. Tapi dia
berkata lagi, "Kalau begitu kau terpaksa
mampus percuma orang tua! Dunia persilatan
akan gempar bila mengetahui, seorang tokoh
silat bernama Citrakarsa dibunuh oleh
muridnya sendiri…!"
Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga
tertawa panjang dan menggidikkan. Tangan
kanannya diacungkan ke muka, mulut
berkomat-kamit sedang ibu jari dan telunjuk
mendadak dengan cepat berobah menjadi
hitam!
Teganglah paras Begawan Citrakarsa. Selama
di puncak Gunung Merbabu dia telah
mendengar bahwa bekas muridnya yang
murtad itu telah memiliki sejenis ilmu yang
sangat sakti dan berbahaya! Apakah ini
agaknya ilmu kesaktian yang hendak
dilancarkannya, hendak dipakai menyerang?!
Jari tetunjuk dan ibu jari Pendekar Pemetik
Bunga atau Wirapati semakin hitam legam
dan mengeluarkan sinar mengerikan sedang
paras sang Begawan semakin tegang,
sebaliknya Pendekar Pemetik Bunga tertawa
terus tiada hentinya!
"Ilmu Jari Penghancur Sukma ini sudah
menelan puluhan tokoh-tokoh silat!" kata si
pemuda yang tiba-tiba hentikan tertawanya,
"tokoh-tokoh silat yang tolol geblek sengaja
mencari mampus!"
"Hah!" kejut Begawan Citrakarsa. "Murid
murtad, dari mana kau dapat ilmu bejat itu?!"
Wirapati alias Pendekar Pemetik Bunga
tertawa lagi panjang-panjang.
Jari telunjuk dan ibu jarinya mulai bergerak
membentuk lingkaran siap untuk dijentikkan
ke muka. Begawan Citrakarsa cepat-cepat
alirkan seluruh tenaga dalamnya ke keris yang
ditangan kanan sehingga senjata itu
menyinarkan cahaya merah yang sepuluh kali
menyilaukan dari semula!
Pendekar Pemetik Bunga memperlahan
tertawanya. "Selusin keris Pancasoka
ditanganmu, tiada nanti kau sanggup
menahan serangan jariku ini, Begawan
keriput!"
"Laknat terkutuk! Jiwamu atau nyawaku!"
teriak Begawan Citrakarsa. Laksana anak
panah tubuhnya melesat ke muka. Keris
Pancasoka mengiblatkan sinar merah yang
dahsyat! Pohon-pohon dan daun-daun di kiri
kanan hangus berkepulan. Lidah api yang
laksana naga raksasa menyambar dalam
kecepatan luar biasa ke arah Pendekar
Pemetik Bunga!
Yang diserang mendengus mengejek.
Tubuhnya tidak sedikitpun bergerak! Kakinya
tak satupun yang bergeser membuat langkah
mengelak!
Sebaliknya hanya jari telunjuk dan ibu jari
tangan kanannya saja yang tiba-tiba
menjentik ke muka. Maka pada detik itu juga
didahului oleh angin keras laksana topan
prahara, menderulah gelombang sinar hitam,
menyapu dan menerjang lidah api keris
Pancasoka!
Begawan Citrakarsa yang melihat gelombang
apinya membalik menyerang dirinya sendiri
berteriak kaget dan melompat ke samping
sejauh dua tombak. Tapi dari samping sinar
hitam melanda dengan dahsyatnya! Orang tua
ini terguling-guling di tanah. Tubuhnya
hangus hitam dan mengepulkan bau daging
yang terpanggang! Bahkan keris Pancasoka
yang saat itu masih tergenggam ditangan
kanannya juga hangus menjadi hitam!
Pendekar Pemetik Bunga meringkik macam
kuda menjadi jalang melihat dedemit!
Kemudian dia tertawa gelak-gelak
menyaksikan mayat gurunya yang
menggeletak tanpa nyawa beberapa tombak di
hadapannya itu! Benar-benar si Wirapati ini
murid murtad yang tiada tara kekejamannya!
Tiba-tiba dia memutar tubuh dan tertawa lagi
gelak-gelak sewaktu melihat tubuh Galuh
Warsih yang masih duduk bersandar di batang
pohon, tiada bergerak karena tadi telah
ditotoknya. Dia melangkah mendekati gadis
itu.
"Dewiku," katanya seraya berlutut dihadapan
Galuh Warsih, "kau sudah lihat bagaimana
kehebatanku bukan?"
"Pemuda keparat, pergi! Jangan dekati aku!"
teriak Galuh Warsih. Meski dia ditotok dan
tubuhnya tak bisa bergerak sedikitpun namun
pendengarannya tetap terbuka dan mulutnya
masih bisa bicara.
Pendekar Pemetik Bunga menyeringai.
Hidungnya kembang kempis.
Nafasnya panas memburu, diburu oleh nafsu
yag menggejolak!
Diulurkannya tangannya membelai pipi gadis
itu dan Galuh Warsih memaki lagi, menjerit-
jerit!
"Kulitmu halus sekali, Galuh."
"Pemuda setan! Pergi, jangan sentuh
tubuhku!" teriak Galuh Warsih.
"Ah… apakah tampangku betul-betul seperti
setan?" tanya si pemuda dengan cengar-
cengir. Dan dialusnya lagi pipi gadis itu.
Galuh Warsih yang karena tidak bisa
menggerakkan tangan atau kakinya, penuh
kegemasan diludahinya muka pemuda itu.
Pendekar Pemetik Bunga malah tertawa.
Diambilnya ujung angkin Galuh Warsih,
dengan angkin itu disekanya ludah yang
membasahi mukanya.
"Ludahmu seharum bunga semanis madu,
kenapa musti disembur ke mukaku? Bukankah
lebih baik disemburkan ke dalam mulutku?
Ha… ha… ha…!"
"Kulit pipimu demikian halusnya, Galuh," kata
si pemuda dan dicuilnya dagu si gadis. "Tentu
kulit tubuhmu lebih mulus lagi…"
Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga
segera elus bahu Galuh Warsih. Berdiri bulu
kuduk si gadis sebaliknya semakin
menggejolak darah muda Pendekar Pemetik
Bunga. Tangan yang mengelus bahu itu kini
turun ke dada. Air mata berlelehan di pipi
Galuh Warsih. Dia tahu, tak satupun yang
bisa dilakukannya menghadapi perlakuan
bejat itu. Dia sadar apa yang bakal terjadi
dengan dirinya. Tak sanggup lagi dia menjerit,
tak kuasa lagi dia berteriak karena suaranya
sudah habis ditelah keparauan!
"Gadis manis, kenapa musti menangis?" tanya
Pendekar Pemetik Bunga.
"Pemuda terkutuk…," suara Galuh Warsih
antara terdengar dan tiada, "aku rela dibunuh
daripada diperlakukan begini rupa…"
"Heh…?!" Pendekar Pemetik Bunga hela nafas
dan kerutkan kening tanda heran. "Kau tahu
manis, perempuan-perempuan yang mati
gadis kalau dia bisa bicara di liang kubur,
pastilah dia minta dihidupkan kembali!
Hidup kembali untuk merasakan kenikmatan
hidup antara laki-laki dan perempuan! Kau
yang hidup kepingin mati…? Lucu…. Mari
dewiku, kini ke balik semak-semak sana! Di
situ ada rumput, biar kita bisa tidur bergulung
lebih nikmat…!"
"Pergi! Jangan sentuh aku!" suara Galuh
Warsih mengandung keputusasaan.
"Oh, kau tak mau ke balik semak-semak itu,
Galuh? Tak apa… tak apa… di sinipun aku tak
keberatan!" Pendekar Pemetik Bunga ulurkan
tangan kanannya kembali dan "breet!"
Kain penutup dada Galuh Warsih robek besar.
Dadanya tersingkap lebar. Sepuluh jari tangan
Pendekar Pemetik Bunga dengan terkutuknya
laksana gila menggerayang menjamahi dada
itu. meremas seakan-akan hendak
menghancur luluhkannya! Sejak kemarin senja
sampai siang hari itu Kadipaten Kaliurang
tampak sibuk sekali. Senja kemarin lima orang
pembantu Bupati Sentot Sastra telah dikirim
ke Kaliprogo wetan untuk menyelidiki kenapa
Galuh Warsih sampai sesenja itu tidak
kunjung muncul di Kaliurang. Pada tengah
malam kelima pembantu Bupati yang
menunggangi kuda itu berhenti di satu
tikungan di lamping bukit. Di bawah
penerangan bintang-bintang dan bulan sabit
mereka menyaksikan tebaran mayat
pengawal-pengawal Bupati yang adalah juga
kawan-kawan mereka. Semuanya mati dalam
cara yang mengenaskan dan menggidikkan.
Sebagian besar hancur kepalanya atau bobol
dada serta perutnya. Kereta yang menjadi
tumpangan anak gadis Bupati Sentot Sastra
angsrok di tengah jalan sedang dua ekor kuda
penarik kereta hancur keempat kaki masing-
masing! Ketika seorang diantara yang lima itu
meloncat turun dan memeriksa kereta,
ternyata kereta itu kosong.
"Aku tidak melihat Tegal Ireng!" kata salah
seorang dari mereka.
"Aku juga! Di mana kusir kereta itu?"
"Mungkin dia satu-satunya yang selamat… "
Tapi ketika menyelidik ke tikungan yang
menurun di sebelah sana mereka kemudian
menemui mayat kusir kereta itu menggeletak
menelungkup di tanah tanpa nyawa!
"Aku tak dapat menduga apa yang
sesungguhnya terjadi di sini! Kalau
rombongan Den Ayu Galuh Warsih dihadang
perampok, mengapa kawan-kawan kita mati
dalam keadaan demikian rupa? Dan kaki-kaki
kuda yang hancur itu?!"
"Aku sendiri tak dapat membayangkan apa
yang terjadi dengan Den Ayu Galuh Warsih,"
menyahuti pembantu Bupati Kaliurang yarg
lain, "Dia diculik, itu pasti sudah!"
"Diculik dan dirusak kehormatannya?!"
menambahkan yang lain. "Kalau begitu kita
harus cari jejak-jejak si penculik!"
"Di malam buta begini bukan pekerjaan
mudah mencari jejak-jejak manusia! Lagi pula
siapapun manusia-manusianya yang
melakukan perbuatan biadab ini pastilah dia
berilmu Tinggi! Orang berilmu tinggi tidak
terlalu bodoh untuk mau tinggalkan jejak!"
"Lantas kita bikin apa kalau sudah begini?!"
"Kembali saja ke Kaliurang dan beri
keterangan pada Bupati Sentot?"
"Kalau kau mau disemprot, kembalilah
sendiri!"
Sepi beberapa lamanya. Kesepian yang
membuat bulu kuduk kelima orang itu
menggerinding, ditambah lagi dengan tiupan
angin bukit di malam buta yang dingin itu.
"Sebaiknya kita teruskan saja perjalanan ke
Kaliprogo wetan," mengusulkan seseorang.
Tapi tak ada seorangpun yang menerima dan
menyetujui usul itu.
Kelimanya kemudian mencari tempat yang
baik, agak jauh dari tikungan jalan,
menyalakan api unggun, berkemah di situ
menunggu sampai pagi.
Esok paginya, dengan sedapat-dapatnya
kelima orang itu memperbaiki kereta yang
rusak. Mayat kawan-kawan mereka yang
berjumlah dua belas ditumpuk sebisa-bisanya
di dalam dan di atas atap kereta. Dua
diantara lima pembantu Bupati itu duduk di
depan kereta, satu memegang kendali. Kuda
keduanya dipakai sebagai kuda-kuda penarik
kereta karena kuda-kuda milik kawan-kawan
mereka yang menemui ajal itu tak seekorpun
yang hidup dan ada sekitar situ!
Kedatangan kelima orang itu dengan
membawa kereta yang ditumpuki dua belas
mayat yang mengerikan tentu saja
menggemparkan seisi Kadipaten, bahkan
menggemparkan seluruh Kaliurang!
Wajah Bupati Sentot Sastra membeku
mengelam. Kedua tangannya mengepal. Dia
melangkah mundar mandir. Kepanikan yang
amat sangat membuat dia tak sanggup
membuka mulut! Sebaliknya di dalam kamar
istrinya terdengar menangis meraung-raung.
"Mana anakku! Mana anakku!" pekik ratap
perempuan itu. "Galuh! Galuh Warsih, di mana
kau anak? Oh Galuh! Tuhan! Di mana anakku
Tuhan"
Tenggorokan Bupati Sentot Sastra turun naik.
Dadanya menggelora.
Kematian kedua belas pengawal Kadipaten itu
membuat kepalanya serasa mau pecah oleh
luapan darah! Di samping itu yang membuat
dia tak bisa diam dan seperti mau gila ialah
karena tidak mengetahui di mana anak
gadisnya saat itu atau apa yang telah terjadi
dengan Galuh Warsih! Melihat kepada
kenyataan yang terjadi, pasti nasib Galuh
Warsih tidak lebih baik dari kedua belas anak
buahnya itu! Kepada siapakah kemarahan
yang meluap itu hendak dilepaskannya?
Hendak dilampiaskannya?!
Laki-laki ini melangkah terus mundar mandir!
Setahunya sekitar perjalanan antara Kaliurang
dan Kaliprogo wetan tak ada gerombolan
rampok jahat! Lantas siapakah yang telah
melakukan kebiadaban terkutuk itu?! Siapa
yang menculik anak gadisnya? Anak tunggal
satu-satunya yang menjadi kesayangan
tambatan hati?! Dan sementara itu telinganya
tiada henti mendengar ratap tangis istrinya
yang bukan saja menyayat hati tapi juga
membuat darah di dalam tubuhnya semakin
bergejolak mendidih!
Di langkan kadipaten itu, pada sisi-sisi
tangga sebelah atas terdapat masing-masing
sebuah arca Batara Wisnu yang duduk di atas
seekor burung rajawali yang tengah
mengembangkan sayapnya. Mungkin karena
luapan amarah yang tak terkendalikan dan
tak tentu kepada siapa dilampiaskan,
ditambah pula mendengar ratap tangis
istrinya di dalam, maka sewaktu melawati
arca itu untuk kesekian kalinya, tiba-tiba
Bupati Sentot Sastra menghantamkan tinju
kanannya!
"Braak!"
Arca Batara Wisnu hancur berkeping-keping!
Itulah ilmu pukulan "Genta Kematian." Kalau
arca batu yang keras itu sekali pukul saja
sanggup dibikin hancur berkeping-keping,
maka jika dipukulkan kepada manusia
tentulah tak dapat dibayangkan bagaimana
akibatnya!
Sementara itu, para pembantu Sentot Sastra
yang berdiri dilangkan Kadipaten itu masing-
masing sama merasa takut dan cemas.
Khawatir mereka kalau-kalau dalam amarah
gelap mata seperti itu, diri mereka pula yang
bakal ketiban pulung dihantam sang Bupati!
Tiba-tiba laksana halilintar di siang hari
layaknya berteriaklah Sentot Sastra. Semua
pembantu-pembantunya yang berjumlah lima
belas orang diperintahkannya untuk bersiap-
siap.
"Kita akan ulangi lagi penyelidikan!"
teriaknya.
"Kau Darjakumara, bersama enam orang
lainnya menyelidik kejurusan Kaliprogo wetan
den sekitarnya. Aku dan yang lain-lain ke
timur! Kalian harus berhasil mencari jejak
manusia yang telah melakukan kebiadaban
ini! Harus berhasil membekuk batang
lehernya! Siapa yang kembali sebelum
dapatkan itu manusia durjana akan kubunuh!
Sekarang siapkan kudaku!"
Seorang pembantu Sentot Sastra segera
berlalu untuk menyiapkan kuda sang Bupati
sedang yang lain-lainnya segera pula
meninggalkan langkan Kadipaten guna
mengambil kuda masing-masing dan
mempersiapkan segala sesuatu yang
diperlukan dalam perjalanan mencari manusia
biang penimbul malapetaka itu. Mereka
masing-masing menyadari bahwa pencarian
itu tidak akan berhasil dalam tempo yang
singkat, tapi memakan waktu berhari-hari.
Selang beberapa ketika lima belas
penunggang kuda ditambah dengan Sentot
Sastra sendiri sudah berkumpul di halaman
Kadipaten.
Mereka siap menunggu perintah dan langkah-
langkah terakhir yang harus mereka lakukan.
Bupati Sentot Sastra menyapu paras kelima
belas orang anak buahnya itu lalu berkata,
"Sekali lagi kalian ingat baik-baik. Kalian
musti temukan bangsat itu dan seret dia
hidup-hidup ke sini! Jika tak berhasil
menemuinya, lebih baik tidak usah kembali!
Kalian menger…."
Bupati Sentot Sastra tidak teruskan
ucapannya. Sepasang matanya kini tidak lagi
menyaputi paras pembantu-pembantunya
satu demi satu melainkan dialihkan ke lereng
bukit di sebelah selatan. Sentot Sastra
seorang yang berilmu cukup tinggi sehingga
meskipun jarak bukit dengan tempatnya
berada saat itu terpisah hampir dua ratus
tombak namun sepasang telinganya lapat-
lapat mendengar suara siulan aneh yang
menggelombang tiada nada dalam lagu tak
menentu!
Lima belas pasang mata pembantu-pembantu
Sentot Sastta sama dialihkan pula ke lereng
bukit di sebelah selatan itu. Dan dikejauhan
kelihatanlah sesosok tubuh laki-laki berlari
sangat cepatnya laksana angin! Yang anehnya
ialah pada pundak kiri laki-laki ini terpanggul
sebuah peti yang melihat kepada besarnya
pasti puluhan kati beratnya!
Sewaktu semua orang itu pertama kali melihat
manusia yang berlari cepat tersebut, jarak
mereka demikian jauhnya namun dalam
beberapa kejapan mata kemudian tahu-tahu
si manusia pemanggul peti sudah berada di
halaman Kadipaten dihadapan Bupati Sentot
Sastra dan pembantu-pembantunya!
Ternyata manusia pemanggul peti kayu itu
seorang pemuda berambut gondrong,
bertampang keren dan punya pandangan mata
yang tajam menyorot. Peti yang dipundaknya
beratnya puluhan kati tapi dia berdiri seakan-
akan peti itu sama sekali tidak ada di
pundaknya! Pemuda tak dikenal ini kemudian
hentikan siulannya. Begitu siulan berhenti
maka dari celah-celah papan peti yang tidak
begitu rapat menyebarkan bau busuk yang
seperti mau meranggas bulu hidung, membuat
nafas sesak dan mau muntah. Lima belas
pembantu Sentot Sastra yang tak tahan
segera menutup hidung sedang Sentot Sastra
sendiri dengan ilmunya yang sudah tinggi
tutup jalan pernafasannya.
Si pemuda rambut gondrong yang tak dikenal
menggaruk-garuk kepalanya beberapa kali.
Sikapnya ini membuat Bupati Sentot Sastra
kehilangan kesabarannya dan hendak
mendamprat. Namun sebelum mulutnya
terbuka si pemuda asing sudah buka suara
bertanya.
"Apakah aku berhadapan dengan Bupati
Kaliurang yang bernama Sentot Sastra?"
"Jawab dulu kau siapa?!" sentak sentot
Sastra.
"Siapa aku tidak penting, " katanya. "Aku
datang membawa peti ini untukmu."
"Peti apa?! Apa isi peti itu!"
Si pemuda menghela nafas dalam dan rawan.
"Peti ini membawa berita buruk bagimu,
Bupati."
"Jangan bicara berbelit-belit! Turunkan peti
itu, aku mau lihat isinya!"
Si pemuda garuk lagi kepalanya yang
berambut gondrong lalu dengan sikap acuh
tak acuh turunkan peti kayu yang berat dari
pundaknya.
Bersamaan dengan itu Sentot Sastra
melompat dari punggung kuda.
Dia maju mendekati peti. Sebelum melangkah
lebih dekat dia tiba-tiba ajukan satu
pertanyaan, "Apakah seseorang menyuruhmu
mengirimkan peti ini padaku?!"
Si pemuda tertawa aneh dan angkat bahunya.
Sentot Sastra penasaran dan gusar sekali
melihat sikap pemuda tak dikenal ini. Dia
berpaling pada anak buahnya den
memerintah, "Buka peti itu!"
Yang diperintah turun dari kudanya. Dengan
masih menutup hidung karena tak tahan
dilanda bau busuk yang amat sangat itu dia
melangkah mendekati peti kayu lalu dengan
tangan kiri yang gemetaran dibukanya kayu
penutup peti! Begitu peti terbuka bau busuk
yang lebih dahsyat menyambar hidung. Ketika
memandang ke dalam peti kayu itu semua
orang mengeluarkan seruan tertahan dan
mata masing-masing melotot besar laksana
mau berlompatan dari rongganya!
Di dalam peti itu terbujur sesosok tubuh
manusia bertelanjang bulat. Kulitnya sudah
membiru dan memar. Di beberapa bagian
kelihatan bekas penganiayaan. Dan manusia
yang sudah menjadi mayat busuk ini tiada
lain adalah Galuh Warsih, anak kandung
Bupati Sentot Sastra sendiri! Maka
menggunturlah bentakan Sentot Sastra!
"Kurung dan cincang sampai lumat manusia
ini!"
Begitu perintah terdengar begitu lima belas
golok panjang yang berkilauan ditimpa sinar
matahari dicabut dari sarungnya! Sentot
Sastra sendiri sudah lebih dahulu melompat
ke muka dengan senjatanya yaitu sepasang
pedang ungu!
Melihat dirinya diserang mendadak begitu
rupa, pemuda rambut gondrong segera
berseru.
"Tunggu! Tahan dulu! Aku belum kasih
keterangan!"
"Iblis bermuka manusia biadab terkutuk!
Kasihlah keterangan pada hantu kuburmu
nanti!" teriak Sentot Sastra! Dan sesudah itu
tujuh belas senjatapun berkiblatlah menyerang
kesatu sasaran yaitu tubuh pemuda berambut
gondrong! Pemuda berambut gondrong
membentak gusar.
"Manusia tolol! Geblek sedeng! Orang datang
baik-baik. Malah disambut dengan ujung
senjata! Gila betul!"
Makian ini tentu saja membuat Sentot Sastra
dan kelima belas anak buahnya menjadi
semakin ganas dan kalap. Bagi mereka tidak
bisa tidak pemuda asing itulah yang telah
membunuh dan merusak kehormatan Galuh
Warsih!
Tujuh belas senjata berlomba-lomba, menderu
dahsyat menggempur si pemuda. Pemuda itu
dalam setengah jurus saja sudah terkurung
rapat!
"Manusia-manusia tolol! Apakah kalian tidak
mau hentikan serangan dan beri kesempatan
aku kasih keterangan?!"
"Anjing kurap, mampuslah!" damprat Sentot
Sastra dan sepasang pedangnya membacok
dari dua jurus yang berlawanan sedang lima
belas golok anak buahnya saling berlomba
mencari sasaran di tubuh si pemuda!
"Manusia-manusia tak tahu diri! Jika kalian
tidak mau hentikan kegilaan ini, jangan
menyesal!"
Si pemuda membentak laksana geledek,
keluarkan satu siulan aneh yang menusuk dan
menyakitkan liang telinga. Dalam kejap itu
pula tubuhnyapun lenyap dari pemandangan.
Sepasang pedang Sentot Sastra dan lima
belas golok anak buahnya membabat angin
kosong, saling bentrokan satu sama lain dan
menimbulkan suara nyaring, bunga-bunga api
bergemerlapan!
Mendengar suara ributnya bentakan-bentakan,
mendengar suara berkecamuknya senjata di
halaman rumah, Karsih Wardah, istri Bupati
Sentot Sastra terkesiap, dia hentikan
tangisnya dan dengan senggak-sengguk lari
ke langkan. Betapa terkejutnya sewaktu
menyaksikan suaminya dan lima belas orang
pembantu Kadipaten tengah mengeroyok
seorang pemuda berambut gondrong tak
dikenal yang hanya bertangan kosong dan
terpaksa berkelebat kian kemari guna
mengelakkan serangan-serangan yang sangat
ganas itu!
Belum habis herannya Karsih Wardah melihat
pertempuran yang berkecamuk itu, maka dua
matanya yang telah sembab karena menangis
membentur pada sebuah peti besar yang
terletak di tanah. Sementara itu lobang
hidungnya dirambas oleh bau busuk yang tak
dapat dipastikan dari mana asalnya!
Sentot Sastra dan anak-anak buahnya mana
mau ambil peduli peringatan si rambut
gondrong malah dia memerintahkan agar
menggempur pemuda rambut gondrong itu
lebih hebat lagi!
"Dasar bodoh, dasar geblek buta mata!" maki
si pemuda. Sambil berguling di tanah
disambarnya papan besar penutup peti. "Ayo
manusia-manusia keblinger, majulah!" Dan
ketika Sentot Sastra bersama pembantu-
pembantunya masih juga kalap menyerang
maka si pemuda lemparkan penutup peti itu
ke arah mereka. Sentot Sastra cepat
melompat ke samping tapi tiga orang
pembantunya yang tak sempat mengelak
terjerongkang di tanah sewaktu dada mereka
dilabrak penutup peti.
Dengan bertolak pinggang dan sambil
tertawa-tawa si pemuda rambut gondrong
berkata mengejek.
"Masih buta mata gelap pikiran, silahkan
maju lagi!" Rahang Sentot Sastra
bergemeletakan. Mulutnya mengeluarkan
suara menggeram.
Bupati Kaliurang ini berteriak keras, "Bentuk
barisan roda maut!"
Maka kedua belas orang anak buahnya segera
bergerak cepat membentuk lingkaran. Sekali
Bupati itu berteriak memberi isyarat maka
kedua belas orang itupun bergeraklah berlari
lari cepat dalam lingkaran yang makin lama
makin menciut sedang senjata masing-masing
membabat dari dua beias jurus, diseling
dengan tikaman atau tusukan dan diperhebat
oleh kiblatan sepasang pedang Bupati Sentot
Sastra.
Pakaian putih dan rambut gondrong si
pemuda berkibar-kibar oleh sambaran
senjata. Debu dan pasir beterbangan ke udara
sedang barisan roda maut semakin menciut
juga!
"Orang tolol memang susah dikasih pelajaran
kalau tidak digebuk!"
"Berbacotlah sepuasmu manusia laknat!
Sebentar lagi tubuhmu akan berkeping cerai
berai!" teriak Sentot Sastra.
Baru saja ia habis berkata begitu si pemuda
bersiut nyaring.
Tubuhnya berkelebat dua kali. Suara seperti
orang tercekik terdengar susul menyusul! Dan
sewaktu Sentot Sastra merasa bahwa cuma
dirinya saja kini yang sendirian mencak-
mencak mengirimkan serangan maka laki-laki
ini segera melompat ke luar dari kalangan
pertempuran!
Kemudian bila dilayangkannya pandangannya
berkeliling maka tiada terkirakan kagetnya!
Kedua belas pembantunya berdiri laksana
patung tak bergerak-gerak karena masing-
masing mereka sudah kena ditotok oleh
pemuda yang sangat lihai itu!
Nyatalah bagi Sentot Sastra bahwa pemuda
itu tinggi sekali ilmunya dan bukan
tandingannya. Kalau saja dia ingin
mencelakai diri dan orang-orangnya pastilah
tidak sukar bagi pemuda itu untuk
melaksanakannya!
Namun gelap mata karena menyangka keras
bahwa pemuda itulah yang menjadi
pembunuh anak kandungnya serta
menamatkan pembantu-pembantunya di
tikungan jalan antara Kaliurang dan Kaliprogo
wetan, ditambah lagi saat itu istrinya Karsih
Wardah dilihatnya lari menghambur den
menubruk peti di mana mayat Galuh Warsih
terbujur dan berteriak-teriak macam orang
hilang ingatan, maka meski dua belas anak
buahnya ditotok tak bergerak, meski tiga
lainnya menggeletak pingsan, namun Sentot
Sastra tetap membara dadanya, tetap
berkobar nyalinya untuk dapat membunuh
menamatkan riwayat si pemuda! Karenanya
disaat pemuda itu berdiri tolak pinggang, dan
tertawa-tawa, Sentot Sastra segera menyerbu
kembali dengan sepasang pedang ungunya.
Permainan sepasang pedang Bupati Kaliurang
itu memang patut dipuji. Apalagi kini dia
mengeluarkan jurus-jurus simpanan yang
sangat diandalkannya. Dua gulung sinar ungu
yang laksana sepasang naga membungkus
sekujur tubuh pemuda rambut gondrong dari
atas ke bawah!
Namun agaknya, walau bagaimanapun
kehebatan ilmu pedang sang Bupati, walau
bagaimanapun lihai dan sukar diduga tipu-
tipu ilmu silatnya tetap saja dia tak dapat
menghajar si pemuda! Jangankan menebas
atau membacok tubuh lawannya, menggores
atau merobek bajunya sajapun Sentot Sastra
tidak sanggup!
"Bupati Sentot Sastra!" seru si pemuda.
"Apakah kau masih gelap mata mau
meneruskan pertempuran ini?!"
"Iblis neraka tutup mulut! Sebelum kutebas
kau punya batang leher, sebelum kucungkil
kau punya jantung dan hati, pertempuran ini
sampai kiamatpun tak akan kuhentikan!"
"Hebat sekali nyalimu!" memuji si pemuda
sejujurnya namun mimiknya melontarkan
senyum sinis! "Tapi aku dan kau tiada
permusuhan, mengapa musti bertempur begini
rupa?!"
"Tidak ada permusuhan bapak moyang
setanmu!" bentak Sentot Sastra penuh
beringas!
"Anakku kau rusak kehormatannya, kau
bunuh!"
"Tobat… tobat!"
Si pemuda pukul-pukul keningnya dengan
telapak tangan kiri. "Justru aku datang ke sini
untuk mengantar mayat anakmu yang kutemui
di bukit! Eh, malah-malah aku yang dituduh
jadi pembunuh! Dituduh tukang perkosa!
tobat!"
"Tak usah membual atau jual mulut!"
"Siapa membual, siapa jual mulut?!"
"Sesudah melakukan perbuatan terkutuk, kau
pura-pura berbuat baik dan cuci tangan
huh?!"
"Buset!" Si pemuda garuk-garuk kepata dan
mengomel. "Kalau tahu bakal ketiban pulung
begini, tidak nanti aku mau susah-susah
bawa mayat kau punya anak ke mari, Bupati!"
"Sudah! tak perlu banyak rewel! Pokoknya kau
harus serahkan batang lehermu!" teriak Sentot
Sastra dan serentak dengan itu kembali dia
menyerbu si pemuda.
Yang diserang geleng-gelengkan kepala.
Sewaktu pedang ungu itu dengan segala
kehebatannya memapas dari kiri kanan, siap
membabat putus tubuh si pemuda menjadi
tiga kutungan maka si pemuda geser kakinya
satu langkah. Serentak dengan itu kedua
tangannya bergerak cepat hampir tak
kelihatan, memukul badan kedua pedang
Sentot Sastra berseru keras, ia merasa terkejut
sewaktu menyaksikan bagaimana sepasang
pedangnya lepas dan mental dari tangannya!
Sebaliknya si pemuda tertawa gelak-gelak.
"Kalau masih punya niat main amuk-amukan,
silahkan ambil kembali pedangmu, Bupati!"
Mengelam muka Sentot Sastra mendengar
ejekan yang sekaligus merupakan tantangan
itu. Karena malu dia tidak ambil kedua
senjata itu melainkan kerahkan tenaga
dalamnya ke tangan kiri kanan terus ke
ujung-ujung jari!
"Heemm… pukulan apakah yang kau hendak
lancarkan?" mencemooh si pemuda!
Sentot Sastra merutuk dalam hatinya.
"Meski kesaktianmu setinggi langit, jangan
harap kau sanggup menerima pukulan Genta
Kematian-ku ini!" kata Bupati Kaliurang itu
pula.
Dengan menyebutkan nama ilmu pukulan
yang diyakininya selama tujuh tahun itu dia
berharap si pemuda akan kaget dan menciut
nyalinya.
Tapi apa lacur! Malah si pemuda tertawa
bekakakan ketika mendengar nama ilmu
pukulannya itu!
"Setahuku genta adalah semacam klenengan
yang dikalungkan di leher sapi atau kerbau!
Itukah nama ilmu pukulanmu? Tentunya kau
berguru pada seekor sapi? Ha… ha… ha…!"
Kekalapan Sentot Sastra bukan alang
kepalang. Bentakannya mengguntur. Kedua
lengannya bergetar dan terpentang. Sekejapan
mata kemudian tubuhnya lenyap dalam
lompatan kilat setinggi tiga tombak.
Sewaktu melewati si pemuda dia kirimkan dua
tendangan sekaligus! Si pemuda merunduk
dan pada waktu itulah gerakan lihai yang
mengandalkan ilmu mengentengi tubuh yang
sempurna, Sentot Sastra balikkan tubuh dan
hantamkan kedua kepalannya ke kepala
lawan!
Si pemuda yang merasakan angin pukulan
sangat keras menerpa belakang kepalanya
bersuit nyaring, rundukkan kepala dan secepat
kilat putar tubuh!
Muka Bupati Sentot Sastra dari Kaliurang itu
mendadak sontak menjadi pucat pasi sewaktu
lima jari tangan kanan pemuda lawannya
laksana japitan baja, sekaligus mencekal
kedua lengannya sehingga tak sedikitpun dia
bisa berkutik! Dan bukan itu saja, dari jari-jari
tangan itu dirasakannya aliran aneh yang
sejuk dingin menjalar ke lengannya, terus ke
bahu dan sekujur tubuhnya! Luapan amarah
yang membakar dan menggelorai darahnya
kini menggendur. Pikiran jemih kini muncul
dibenaknya. Tubuhnya lemah lunglai, keringat
dingin memercik dikeningnya. Akhirnya Sentot
Sastra jatuh duduk menjelepok di tanah
sewaktu pemuda itu lepaskan cekalan pada
kedua lengannya!
"Orang muda, siapakah kau sebetulnya?"
tanya Sentot Sastra. Nada suaranya kini tidak
keras dan tidak bernada marah lagi seperti
tadi-tadi.
Si pemuda tertawa.
"Aku datang ke sini bukan untuk mengobral
nama atau kasih keterangan siapa aku, tapi
untuk menolong mengantarkan mayat
anakmu."
Sentot Sastra memutar kepalanya ke arah
peti. Istrinya dilihatnya terkulai pingsan di
tepi peti itu, sedang dua belas pembantu-
pembantunya sampai itu saat masih berdiri
mematung dalam keadaan tertotok!
Sang Bupati kembali palingkan kepala pada si
pemuda. Lama dia menatap paras pemuda
itu. Dan pada paras yang masih muda belia
itu kini dapat dilihatnya sifat kesatria gagah
perkasa dan kejujuran.
"Orang muda, kau betul-betul tidak
melakukan perbuatan terkutuk terhadap
anakku?"
Si pemuda gelengkan kepala.
"Lantas siapa yang melakukannya?"
Si pemuda angkat bahu. "Akupun tengah
mencarinya! Dunia persilatan kini dihebohkan
oleh munculnya seorang pendekar terkutuk
berjubah hitam dengan bunga-bunga kuning.
Nama aslinya aku tidak tahu tapi dia digelari
sebagai Pendekar Pemetik Bunga!"
"Pendekar Pemetik Bunga!" mengulang Sentot
Sastra. "Yaaa… aku pernah dengar tentang
manusia durjana itui Tapi dulu dia cuma
malang melintang di barat, kini tahu-tahu
muncul di sekitar sini…!"
"Kunyuk lapar perempuan begitu, di mana ada
perempuan cantik pasti di situ dia muncul
unjuk tampang bikin kejahatan!" menyahuti si
pemuda.
Perlahan-lahan Sentot Sastra berdiri kembali.
Kedua tangannya mengepal.
"Aku akan cari bangsat itu sampai dapat dan
habiskan nyawanya!"
Pemuda rambut gondrong naikkan kedua alis
matanya.
"Jangankan kau, gurunya sendiri yang jauh
lebih sakti sanggup dibunuhnya!"
"Lantas apakah aku akan berpangku tangan
melihat anakku dibunuh dan dirusak begini
rupa?!" tanya Sentot Sastra hampir berteriak.
"Aku hargai keberanianmu, Bupati," memuji si
pemuda. "Tapi keberanian yang hanya
mengendalikan nafsu besar kekuatan nihil,
adalah keberanian buta. Kau akan mati sia-
sia ditangannya!"
"Kematian bukan apa-apa bagiku! Semua
manusia nantinya akan mati juga…"
"Terserah padamu, Bupati. Aku cuma kasih
nasihat! Mungkin nasihatku tidak ada
harganya." Sentot Sastra termangu-mangu
beberapa lamanya.
Tiba-tiba dia berseru sewaktu dilihatnya
pemuda di hadapannya putar tubuh hendak
berlalu.
"Orang muda, tunggu! kau mau ke mana?"
"Aku masih ada urusan lain. Sampai jumpa
Bupati."
"Kau masih belum terangkan namamu."
Pemuda itu tertawa lagi. Begitu murah
tertawa baginya. "Aku sudah bilang namaku
tidak penting."
"Tenting atau tidak penting itu bukan urusan.
Tapi padaku kau tetap harus kasih tahu. Dan
pembantu-pembantuku ini kau harus lepaskan
totokannya kembali!"
"Pijit saja tengkuknya satu-satu, pasti
totokannya lepas," memberi tahu si pemuda.
"Sudahlah, kalau kau penasaran lihat saja
bagian kepala dari peti kayu itu. Di situ
tertulis namaku!" kata si pemuda pula. Cepat-
cepat Sentot Sastra melangkah ke bagian
kepala peti di dalam mana mayat anaknya
terbujur. Yang ditemui Bupati ita di sana
bukan tulisan atau huruf yang membentuk
nama, melainkan pada kayu di kepala peti itu
tertera tiga buah angka yaitu 212.
"Dua satu dua!" seru Sentot Sastra kaget.
"Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212."
Dipalingkannya kepalanya.
Kejutnya bertambah-tambah. Pemuda tadi
sudah tak ada lagi di tempat itu! Sentot
Sastra geleng-gelengkan kepalanya tiada
henti.
Tidak sangka dia akan berhadapan dengan
pendekar bersifat kocak yang kadangkala
seperti orang sinting, tapi bertampang keren
dan berhati jujur, penolong manusia-manusia
yang tertindas, penghancur kejahatan, momok
tokoh-tokoh silat golongan hitam!
"Pantas, pantas… kiranya dia. Pantas mana
aku sanggup menghadapinya!" kata Sentot
Sastra pula dan dia melangkah mendapatkan
istrinya yang pingsan di tepi peti. Dua puluh
tahun yang silam….
Tak berapa jauh dari kaki Welangmanuk
terdapat sebuah pedataran tinggi yang subur.
Kebun sayur mayur terbentang menghijau di
mana-mana.
Bila seseorang berdiri di atas pedataran tinggi
ini dan memandang ke bawah maka
tampaklah pemandangan yang sangat indah
dari lembah Manukwilis. Di atas pedataran
tinggi itu terletaklah sebuah bangunan dari
tembok yang selain besar juga sangat bagus
bentuknya. Keseluruhan bangunan ini dicat
putih dan dipagari dengan tembok setinggi
lima tombak. Untuk masuk ke halaman dalam
bangunan cuma ada sebuah pintu. Pintu ini
juga terbuat dari batu yang hanya bisa dibuka
secara rahasia. Kalau bukan orang yang
berilmu sangat tinggi jangan harap bisa
masuk ke dalam halaman bangunan karena di
atas tombak yang tingginya lima tombak itu
masih ditancapi lagi dengan besi-besi runcing
berduri-duri panjang setinggi tiga tombak!
Bangunan atau gedung apakah sesungguhnya
yang terdapat di belakang tembok itu dan
siapakah pemiliknya? Konon kabarnya gedung
itu adalah sebuah biara. Biara itu kini diketuai
oleh seorang Biarawati bernama Wilarani.
Biarawati ini sudah lanjut usianya, hampir
mencapai enam puluh tahun. Dulunya semasa
muda dia merupakan seorang gadis cantik
yang tersiar harum ke mana-mana
kecantikannya itu. Kebahagiaan hidup muda
remajanya hancur luluh sewaktu kekasih yang
dicintainya lari meninggalkannya dan kawin
dengan seorang anak bangsawan kaya raya
sedangkan Wilarani sendiri adalah anak
petani miskin.
Keputusasaan karena patah hati itu membawa
akibat yang mendalam bagi Wilarani. Orang
tuanya berusaha mencarikan jodoh lain
untuknya, namun kegetiran percintaan yang
telah dialami oleh Wilarani, yang membawa
dirinya masuk kedalam lembah makan hati
dan kesengsaraan bathin tak dapat lagi
ditawar-tawar dengan obat apapun, sekalipun
dengan pemuda-pemuda gagah lainnya,
sekalipun puluhan pemuda-pemuda sekitar
tempat kediamannya dan dari jauh-jauh
datang melamar serta tergila-gila kepadanya!
Bagi Wilarani dunia ini sudah bukan apa-apa
lagi. Di matanya cinta murni itu, cinta suci
sejati hanya ada dalam mulut, tidak dalam
kenyataan! Dalam keputusasaan karena patah
hati, dalam kehancuran bathin dan kegelapan
pemandangan, apalagi sewaktu kedua orang
tuanya meninggal dunia, maka Wilarani yang
saat itu sudah berumur hampir tiga puluh dan
pemuda-pemuda yang dulu menggilainya tapi
tak kesampaian memetik bunga harum
sekuntum itu telah mulai menyiarkan ejekan-
ejekan bahwa dia kini sudah menjadi
"perawan tua", akhirnya Wilarani mengambil
keputusan untuk meninggalkan rumah dan
kampung halaman tempat kelahirannya.
Dia pergi tanpa tujuan. Hampir satu tahun dia
malang melintang tiada karuan. Keadaannya
sudah demikian menyedihkan, pakaian
compang-camping dan tubuh kurus sakit-
sakitan. Hanya satu bukti kehidupan masa
mudanya yang sampai saat itu masih
dimilikinya, yaitu parasnya yang cantik. Paras
itu masih belum pupus kejelitaannya meski
pada tepi-tepi matanya telah timbul garis-
garis ketuaan dan pada pipi yang agak
cekung mulai membayang kerenyut-kerenyut.
Dan kecantikan yang masih belum pupus
inilah yang membuatnya suatu ketika
dihadang oleh segerombolan rampok-rampok
buas di tengah rimba belantara. Dia diseret
kesarang rampok. Pimpinan rampok
memerintahkan pembantu-pembantunya yaitu
beberapa orang perempuan untuk
memandikan dan membersihkan tubuh
Wllarani, memberinya pakaian yang bagus
dan harum-haruman. Wilarani tahu apa arti
itu semua, namun daya apa yang akan
dibuatnya untuk mempertahankan diri serta
kehormatannya?! Dia dimasukkan ke dalam
sebuah kamar yang sangat bagus dan tak
lama kemudian pemimpin rampok bertampang
buruk buas bercambang bawuk menjijikkan
masuk ke dalam kamar itu!
Si kepala rampok bersinar-sinar sepasang
bola matanya.
Dibasahinya bibirnya dengan ujung lidah dan
berkata disertai seringai buruk dan hidung
kembang kempis.
"Ternyata kau seorang perempuan jelita! Ahh…
kecantikanmu tidak kalah dengan gundik-
gundikku yang paling cantik disini!"
Kepala rampok itu melangkah mendekati
Wilarani yang berdiri dengan lutut gemetar
serta muka pucat pasi di sudut kamar.
"He… he… kenapa menyudut ketakutan? Aku
bukan macan yang mau menelanmu bulat-
bulat! Tap! laki-laki kuat yang akan
merangkulmu penuh nikmat! Ha… ha… ha…!"
Kemudian peluk dan ciumanpun datang
bertubi-tubi atas diri Wilarani. Perempuan itu
menjeri-jerit tiada hentinya dan mendorong si
kepala rampok hingga terjerongkang ke tepi
tempat tidur!
Kepala rampok itu duduk di tepi tempat tidur
dan tertawa cengar-cengir. Wilarani lari ke
pintu tapi pintu itu dikunci!
"Perempuan," kata si kepala rampok.
"Parasmu cantik, tubuhmu halus mulus. Aku
tak mau gunakan kekerasan padamu.
Karenanya turut saja apa mauku! Ayo buka
pakaianmu biar aku bisa lekas-lekas lihat
keindahan tubuhmu!"
"Laki-laki durjana! Lepaskan aku! Keluarkan
aku dad sini!"
Si kepala rampok tertawa gelak-gelak.
Dia bangkit dari tempat tidur.
"Kalau tak mau buka baju sendiri berarti
terpaksa aku yang telanjangi kau!" katanya.
Diterkamnya Wilarani. Jari-jari tangannya
yang besar-besar bergerak kian kemari
merobeki seluruh pakaian yang melekat
ditubuh Wilarani! Perempuan itu menjerit!
Menjerit dan menjerit!
Mendadak di luar terdengar pula suara jeritan.
Terdengar lagi susul menyusul tiada henti dan
dibarengi dengan suara beradunya senjata!
Belum habis kejut si kepala rampok tahu-tahu
pintu kamar di dalam mana dia berada
bersama Wilarani untuk melampiaskan nafsu
terkutuknya ditendang bobol dari luar dan
sesaat kemudian sesosok tubuh menerobos
masuk ke dalam!
Yang masuk ternyata seorang nenek-nenek
tua berkepala botak berjubah putih. Di
tangannya sebelah kanan tergenggam seikat
sapu lidi!
"Iblis tua dari manakah yang berani membuat
kekacauan di sini?!" bentak si kepala rampok
dengan beringas!
Si nenek tertawa melengking-lengking.
"Iblis tua dari neraka, kunyuk berewok!"
balasnya membentak. "Aku diutus oleh setan-
setan neraka untuk minta kau punya jiwa!"
Dan habis berkata begini si nenek sapukan
sapu lidi di tangan kanannya! Kepala rampok
terkejut sekali! Dia tak menyangka kalau sapu
lidi itu adalah satu senjata ampuh yang dapat
melepaskan angin pukulan laksana badai
hebatnya!
Sambil membentak garang laki-laki itu segera
cabut goloknya yang mempunyai panjang
satu setengah meter dan lebar hampir satu
jengkal!
Si nenek ganda tertawa melihat senjata
lawannya. Dan sewaktu kepala rampok itu
menerjang dengan satu tebasan lihai
mematikan, si nenek kepala botak
melengking-lengking lagi, berkelebat cepat
dan tebasan golok kepala rampok hanya
melanda angin kosong!
Kejut si kepala rampok bukan olah-olah.
Jurus yang dilancarkannya tadi adalah jurus
"Ekor Naga Menebas Gunung!" Selama ini tak
satupun manusia yang selamat dad
serangaonya yang dahsyat itu. Tapi si nenek
kepala botak mengelakkannya dengan mudah
dan sambil tertawa melengking-lengking!
Belum lagi habis kejut kepala rampok ini
tahu-tahu ujung sapu lidi si nenek menusuk
laksana kilat ke mukanya. Kepala rampok
berseru kaget dan mundur cepat ke belakang.
Tapi punggungnya tertahan tembok kamar!
Dan sementara itu ujung sapu lawan memburu
terus ke mukanya!
Terdengar jeritan laki-laki itu!
Seluruh mukanya hancur berlubang-lubang
laksana dipantek ratusan paku. Matanya telah
buta dan darah membanjir membasahi
mukanya yang mengerikan itu! Dia melolong
laksana srigala haus darah.
Kedua telapak tangan menekap muka.
Tubuhnya kemudian jatuh terjerembab ke
lantai, menggelepar-gelepar beberapa kali lalu
menggeletak tiada nyawa lagi!
"Perempuan kau lekas ikut!" berseru si nenek
kepala botak pada Wilarani.
Wilarani yang masih dikungkung rasa terkejut
dan ngeri tidak segera bergerak mengikuti
kata-kata si nenek! Sementara itu di luar
terdengar suara puluhan kaki datang berlari
mendekati kamar itu!
"Ayo lekas!" teriak si nenek. "Nenek, kau
siapakah? A… aaaku…."
"Perempuan geblek! Sekarang bukan saatnya
bertanya!" Si nenek kepala botak segera
sambar tubuh Wilarani, memondangnya
dibahu kiri lalu lari ke pintu dengan cepat.
Tapi begitu dia sampai di ambang pintu, kira-
kira dua puluh orang anak buah rampok
sudah menghadang dengan berbagai senjata
di tangan!
"Ini dia kunyuk tua berkepala botak yang
telah membunuh sebelas orang kawan-kawan
kita!" teriak rampok yang terdepan!
Beberapa orang dibarisan terdepan itu yang
telah memandang ke dalam kamar sama
berteriak kaget! "Anjing tua ini juga telah
bunuh pemimpin kita!"
"Serbu!"
"Kalau mau mampus cepatlah maju!" teriak si
nenek. Dibarengi dengan suara tertawanya
yang melengking-lengking maka sapu lidi di
tangan kanannya disapukan ke muka! Lima
rampok dibarisan terdepan terpekik! Tubuhnya
rebah dengan muka berlumuran darah!
Kawan-kawannya yang lain menjadi tambah
kalap dan laksana air bah menyerbu
menerobos ambang pintu, dengan serentak
kiblatkan senjata masing-masing ke arah si
nenek yang sampai saat itu masih
memondong tubuh Wilarani di atas pundak
kirinya. Wilarani sendiri saat itu sudah tidak
sadarkan diri alias pingsan!
"Rampok-rampok bejat! Kalian memang tak
perlu dikasih hidup!" seru si nenek! Didahului
dengan tendangan kaki kanan yang
mengeluarkan angin dahsyat si nenek putar
sapunya sekeliling tubuh!
Maka susul menyusullah suara pekik kematian
belasan rampok! Yang masih hidup tidak
punya nyali lagi meneruskan mengeroyok si
nenek yang mereka anggap bukannya manusia
tapi benar-benar iblis! Mereka yang masih
hidup ini segera ambil langkah seribu. Tapi si
nenek mana mau kasih ampun! Meski rampok-
rampok itu sudah lari beberapa jauhnya,
dengan kebutan sapu lidinya yang sakti itu
semua perampok yang larikan diri jungkir
balik berpelantingan den menemui
kematiannya!
Sewaktu Wilarani siuman didapatinya dirinya
berada dalam sebuah kamar yang bagus dan
si nenek kepala botak berjubah putih
dilihatnya duduk di sebuah kursi goyang,
duduk asyik menggoyang-goyangkan
tubuhnya sambil tertawa-tawa dan makan
sepotong roti.
Wilarani bangkit dari pembaringan di mana
dia ditidurkan. Sewaktu dia meneliti dirinya
ternyata dia telah mengenakan baju jubah
putih yang bagus berenda-renda setiap
tepinya.
Si nenek terus juga bergoyang-goyang di kursi
itu terus juga memakan rotinya.
"Nenek…"
"Akh… kau sudah siuman Wilarani? Bagus-
bagus!"
Wilarani terkejut sewaktu si nenek menyebut
namanya. Darimana perempuan tua ini tahu
dirinya. Sedangkan dia sendiri baru kali ini
bertemu muka.
"Kau tidak perlu heran bila aku mengenal
namamu," bicara lagi si nenek. Lalu
dicampakkannya tepi roti yang keras lewat
jendela kamar.
Wilarani memandang sekilas lewat jendela itu.
Di luar dilihatnya tembok putih yang sangat
tinggi menghalangi pemandangan. Pada
bagian atas tembok terdapat besi-besi berduri
setinggi beberapa tombak. Kemudian
perempuan ini alihkan kembali pandangannya
pada si nenek yang duduk di kursi goyang,
lalu berdiri dan melangkah kehadapan si
nenek.
Dihadapan nenek kepala botak ini Wilarani
menjura hormat dan berkata.
"Nenek, meski aku tidak kenal kau tapi kau
telah selamatkan aku dari perbuatan terkutuk
dan kebejatan! Aku yang buruk ini haturkan
terima kasih sedalam-dalamnya…"
Si nenek tertawa gelak-gelak. Dari atas meja
disampingnya diambil lagi sepotong roti yang
terletak di dalam piring. Wilarani menyadari
betapa perutnya sangat lapar sewaktu
dilihatnya roti yang di atas meja itu. Tapi si
nenek tidak menawarkan kepadanya.
"Kau duduk saja kembali ke pembaringan itu,"
memerintah si nenek.
Wilarani menurut dan duduk di tepi tempat
tidur.
Karena si nenek tidak berkata-kata dan asyik
terus menggerogoti rotinya maka bertanyalah
Wilarani. "Nenek, apakah aku yang rendah ini
boleh tahu siapa kau adanya dan di mana aku
berada saat ini?!"
Si nenek habiskan dulu rotinya baru
menjawab.
"Siapa aku?! He, itulah yang aku sendiri tidak
tahu!" Lalu nenek itu tertawa terlengking-
lengking.
Wilaranitak habis heran. Nenek kepala botak
ini agaknya seorang sakti yang aneh
misterius.
Dalam pada itu si nenek membuka lagi
mulutnya, berkata. "Orang-orang juga sering
bertanya seperti kau. Siapa aku?! siapa aku?!
Dan aku selalu bilang pada mereka aku
sendiri tidak tahu! Kadang-kadang ada yang
keliwatan mendesak, tanya terus, tanya terus!
Lalu aku jawab aku adalah seorang nenek-
nenek buruk berkepala botak!" Kembali si
nenek tertawa melengking-lengking!
Mau tak mau Wilarani ikut pula tertawal
"Ha…," si nenek hela nafas. "Kau bisa juga
tertawa ya? Kata orang kalau banyak tertawa
bisa awet muda! tapi aku yang sudah tua
semakin banyak tertawa semakin keriputan!
Semakin jelek!"
Wilarani tertawa cekikikan. Tapi tertawanya
itu ditahan-tahan karena khawatir si nenek
akan marah! Terhadap orang bersifat aneh
musti berlaku hati-hati, demikian membathin
Wilarani.
"Wilarani!" berkata si nenek sesudah roti
kedua dihabiskannya. "Di mana kau berada
saat ini pun, kau tak perlu tahu! Yang penting
yang musti kau ketahui ialah bahwa kau
harus diam di sini bersamaku selama dua
puluh tahun!"
Kagetlah Wilarani.
"Nenek, apa maksudmu…?!" tanya Wilarani.
Lama si nenek berdiam diri, memandang
lurus-lurus ke tembok kamar dihadapannya
seakan-akan pandangannya itu hendak
menembus ketebalan tembok itu.
"Selama dua puluh tahun itu kau sama sekali
tidak boleh meninggalkan tembok ini, tidak
boleh keluar dari tembok yang membatasi
gedung ini! Jika kau melanggar pantangan itu,
hukuman yang berat akan jatuh atas dirimu
dan kau akan disekap selama empat puluh
tahun dipenjara di bawah tanah yang gelap
gulita!"
Berubahlah paras Wilarani mendengar ucapan
si nenek. Dia membathin jika si nenek
membawanya ke sini dengan maksud jahat
mengapa dia telah ditolong dari tangen
perampok-peramok itu? Tapi kini sesudah
ditolong kenapa pula dia musti tinggal selama
dua puluh tahun dalam gedung itu tak boleh
keluar dan jika melanggar pantangan akan
disekap dipenjara bawah tanah selama empat
puluh tahun?! Sungguh aneh! Aneh tapi diam-
diam juga menggidikkan Wilarani! Kalau dia
mengikuti kehendak si nenek, berarti dua
puluh tahun kemudian dia sudah menjadi
nenek-nenek pula dan dalam keadaan masih
perawan, perawan tua! Sebaliknya bila dia
membantah, dia akan disekap empat puluh
tahun dalam penjara bawah tanah, ini berarti
pada saat dia dibebaskan nanti usianya
sudah mencapai tujuh puluh tahun!
"Aku tahu apa yang kau pikirkan dalam
benakmu!" berkata tiba-tiba si nenek. "Dan
kau juga musti tahu banyak hal tentang dunia
luar, tentang dunia persilatan! Apa yang kau
ketahui tentang dunia luar, tentang dunia
persilatan?!"
"Banyak nenek…."
"Coba sebutkan!"
Wilarani bungkam. Dia memang banyak
mengetahui seluk beluk dunia luar semenjak
pengembaraannya meninggalkan kampung
halaman dan tahu pula bahwa dunia luaran
itu penuh dengan tokoh-tokoh persilatan
kalangan hitam serta putih meskipun dia
bukanlah seorang yang telah
mencemplungkan diri dalam dunia persilatan.
Si nenek menyeringai.
"Kau bilang tahu banyak! Tapi kau tidak
dapat menuturkannya!" kata si nenek kepala
botak yang sampai saat ini masih belum
diketahui namanya oleh Wilarani.
"Kau tahu Wilarani, dunia yang sekarang ini
tidak sama dengan sewaktu mula-mula Gusti
Allah menjadikannya! Dulu dunia ini begitu
suci! Tapi kini keindahan itu telah lenyap tak
digubris manusia-manusia bertangan kotor
berhati jahat! Kekotoran terjadi dimana-mana,
kejahatan terjadi di mana-mana, kemesuman,
ketidakadilan, penindasan, pembunuhan.
Dunia kacau! Apalagi dalam kalangan
persilatan. Dunia persilatan telah terpecah
dua menjadi dua golongan. Golongan putih
atau golongan yang mengutamakan kebaikan
serta membantu sesama manusia, golongan
yang bercita-cita luhur demi menenteramkan
bumi Tuhan ini! Sebaliknya golongan hitam
mempunyai tindakan dan cita-cita yang
berlawanan dengan golongan putih! Mereka
membuat kejahatan, kemaksiatan,
kemesuman, penindasan sampai kepada
pembunuhan. Semakin hari semakin banyak
juga jumlah golongan hitam ini balk yang
menjadi perampok, maupun yang menjadi
bergundal-bergundal kaum bangsawan atau
kerajaan, atau yang bertindak malang
melintang seenaknya sendiri saja melakukan
kejahatan tanpa pertanggungan jawab!
Demikian banyaknya penganut golongan
hitam hingga golongan putih menjadi terdesak
dan kewalahan bahkan boleh dikatakan kini
menjadi banyak yang tidak berdaya
menghadapi bergajul-bergajul golongan hitam
itu. Dan hampir keseluruhan tokoh-tokoh silat
golongan hitam atau putih itu adalah laki-
laki! Kaum laki-laki telah mencoba untuk
menentramkan dunia ini tapi tidak berhasil.
Golongan hitam telah membuat keonaran di
mana-mana. Membuat ribuan manusia rakyat
jelata hidup dalam kecemasan dan ketakutan
dalam menghadapi hari besok dan besoknya
lagi! Kaum laki-laki telah tidak berhasil
menciptakan apapun di dunia ini demi
keselamatan hidup bersama. Ketidakadilan,
kekacauan, segala macam kejahatan,
pokoknya seribu satu macam kegagalan telah
dibuat kaum laki-laki!
Melihat kepada kenyataan itu semua maka
aku yang sudah pikun ini yang sudah tak
selembar rambutpun tumbuh di batok
kepalaku ini, merasa bahwa kini sudahlah
saatnya bagi kaum perempuan untuk bangun,
untuk bangkit menggantikan kedudukan kaum
laki-laki yang telah menemui kegagalan itu!
Kaum perempuan harus bangun sebagai
penegak keadilan, pembasmi kejahatan dan
musti bisa menciptakan satu dunia yang
aman tenteram dan damai!"
Lama si nenek terdiam, lama pula Wilarani
termangu merenungkan ucapan-ucapan si
nenek.
"Tapi nenek," berkata Wilarani, "apakah cita-
cita luhur itu mungkin berhasil..?"
Si nenek tertawa gelak-gelak dan
menggoyang-goyangkan kursi yang
didudukinya.
"Kenapa tidak mungkin katamu?! Apa selama
ini cuma kaum laki-laki yang bisa menjagoi
dunia persilatan? Apa cuma orang laki-laki
yang bisa main silat dan memiliki ilmu
kesaktian?! Apa cuma orang laki-laki yang
becus mainkan pedang atau keris atau golok?!
Kentut semua kalau orang berpikir begitu!
Justru orang laki-laki kalau tidak dibrojotkan
sama perempuan pasti tidak ada di dunia ini.
Bukan begitu…?!" Si nenek tertawa
melengking-lengking.
Wilarani tak dapat pula menahan rasa gelinya
lalu tertawa cekikikan.
"Memang… memang untuk melaksanakan dan
mewujudkan cita-cita itu tidak mudah,
memakan waktu lama dan penuh
pengorbanan! Kita haruslah menghubungi
tokoh-tokoh silat wanita golongan putih yang
masih hidup saat ini. Mereka pasti mau diajak
bersama. Seperti si Sinto Weni yang diam di
puncak Gunung Gede. Dulu dia menjagoi
dunia persilatan selama puluhan tahun,
ilmunya tinggi, dihormati kawan dan ditakuti
lawan! Kabarnya kini dia sudah
mengundurkan diri dari dunia persilatan dan
membersihkan diri di puncak gunung itu.
Namun jika aku menyambanginya dan
tuturkan cita-citaku, pasti dia mau
bergabung.
Sifatnya sangat aneh, macam orang gila!
Karena itu di dunia persilatan dia dikasih
gelar si Sinto Gendeng! Nah, kalau kita punya
tokoh-tokoh wanita macam Sinto Gendeng itu,
masakan aku tak sanggup mewujudkan cita-
citaku?!"
Si nenek kepala botak memalingkan kepalanya
pada Wilarani.
"Bagaimana? Kau pilih dua puluh tahun
tinggal di sini dan ikut bersamaku atau di
sekap empat puluh tahun di bawah tanah?!"
Wilarani merenung lama sekali.
Hidupnya di dunia luar sana sejak ditinggal
kekasihnya memang sudah tak punya arti
apa-apa. Di dunia ini dia hanya sebatang
kara.
Orang tua sudah meninggal, sanak saudara
tidak punya. Dunia penuh dengan kekalutan
dan kejahatan yang selalu memburu manusia-
manusia tak berdosa! Lagi pula sejak
kekasihnya lari kawin itu keputusasaan yang
mendalam membuat Wilarani kehilangan
kepercayaan pada laki-laki!
Baginya laki-laki tiada lain seorang penipu
yang bercinta dengan mulut dan kemudian
melarikan diri bila menemui perempuan lain
yang lebih cantik! Yang keturunan orang baik-
baik, bangsawan kaya raya!
Diingatnya pula pertolongan serta jasa besar
yang telah diberikan si nenek kepadanya!
Setelah merenung lagi beberapa lama maka
akhirnya Wilarani membuka mulut bersuara.
"Baiklah nenek tua, aku akan tinggal
bersamamu di sini selama dua puluh tahun!"
"Bagus!" Si nenek kepala botak tertawa
dengan gembiranya. Dia bergoyang-goyang
beberapa lamanya di atas kursi goyangnya
kemudian berkata. "Besok pagi kau akan
kumandikan dengan air kembang dua puluh
rupa! Dan mulai besok kau ku angkat menjadi
muridku! Ku akan didik kau selama dua puluh
tahun! Bila otakmu cerdas dan rajin, punya
kemauan, kau kelak kuangkat jadi murid
kepala, mengepalai lima puluh janda-janda
dan gadis-gadis yang sudah kukumpulkan di
sini."
Wilarani berdiri dari pembaringan dan
menjura dihadapan si nenek kepala botak.
"Nenek, aku haturkan terima kasih karena
menaruh kepercayaan padaku dan telah sudi
mengambil aku jadi muridmu."
Nenek itu manggut-manggut di kursi
goyangnya.
Dia bertepuk tiga kali.
Pintu kamar terbuka. Seorang perempuan
muda berparas ayu, berjubah dan bertutup
(berkerudung) kain putih masuk ke dalam
kamar itu, menjura di hadapan si orang tua.
"Biarawati Sembilan belas siap menunggu
perintah," kata perempuan ini.
"Umumkan pada seisi Biara Pensuci Jagat
bahwa besok akan ada upacara pemandian
biarawati baru yang akan kuangkat menjadi
muridku secara resmi!"
"Baik Eyang," menjura perempuan berjubah
dan berkerudung kepala kain putih kemudian
berlalu.
Si nenek yang dipanggil Eyang oleh Biarawati
Sembilanbelas tadi menepuk tangannya dua
kali. Pintu terbuka lagi. Seorang perempuan
muda yang berparas cantik dan juga
mengenakan jubah serta kerudung kepala kain
putih memasuki ruangan.
Seperti Biarawati Sembilanbelas dia menjura
dan berkata,
"Biarawati Tigapuluhdua siap menunggu
perintah."
Dan si nenek berkata, "Perintahkan biarawati-
biarawati di bagian dapur menyediakan
makanan untuk kawanmu yang baru ini!"
Biarawati Tigapuluhdua mengerling pada
Wilarani sebentar kemudian mengangguk.
Setelah menjura dia segera pula
meninggalkan kamar itu. Dua puluh tahun
sesudah Wilarani dating pertama kali di Biara
Pensuci Jagat…
Kamar itu diselimuti kesunyian. Hampir tak
ada perbedaan dengan masa-masa di
duapuluh tahun yang silam. Hanya dua
manusia yang ada di dalam kamar itulah
yang kelihatan banyak berubah.
Nenek kepala botak kelihatan semakin tua.
Kedua mata serta pipinya mencekung, keriput-
keriput ketuaan sukar untuk dihitung berapa
banyak menggores di mukanya. Umurnya
sudah lebih dari sembilan puluh tahun.
Namun suara dan tutur katanya tetap keras
dan tegas dan pandangan matanya setajam
ujung pedang! Dihadapan nenek tua kepala
botak ini duduk seorang permpuan berusia
setengah abad. Rambutnya hampir putih
semuanya. Pada parasnya juga jelas kelihatan
gurat-gurat ketuaan. Namun gurat-gurat
ketuaan ini tiada sanggup memupus
kecantikan yang dimilikinya sejak masa
mudanya.
"Muridku Wilarani," berkata si nenek. "Dua
puluh tahun sudah berlalu, dua puluh tahun
sudah lewat. Rasanya cepat sekali. Kalau
tidak melihat kepada tampang-tampang dan
perubahan yang terjadi di diri kita rasanya
masa dua puluh tahun itu seperti hari kemarin
saja. Dua puluh tahun mendidikmu dan
memberi banyak tugas padamu tidak
mengecewakanku! Sebagian besar dari cita-
cita yang kita rintis sudah kelihatan buahnya.
Telah banyak tokoh-tokoh golongan hitam
dan rampok-rampok rimba hijau yang kita
musnahkan. Cuma sayang beberapa tokoh
silat perempuan golongan putih yang kita
harapkan bantuannya hilang lenyap tiada
kuketahui. Entah mati, entah sembunyi atau
bertapa mempersuci diri! Eyang Sinto
Gendeng, itu jago perempuan yang memiliki
kesaktian luar biasa ketika kusambangi ke
Gunung Gede, tak ada di pertapaannya! Tapi
kita jangan kecewa. Cita-cita kita untuk
meneteramkan dunia ini, untuk mensucikan
jagat milik Tuhan ini agar kembali pada
keadaan sewaktu semulanya dulu, harus kita
laksanakan!
Beberapa tokoh silat perempuan sudah
sepakat dengan kita untuk mengambil alih
penenteram dunia ini dari tangan laki-laki.
Mereka diantaranya Dewi Kerudung Biru dan
Dewi Lembah Bulan Sabit.
Sekalipun aku tak ada nanti usaha dan cita-
cita kita musti terus dijalankan karena selama
dunia ini berputar, selama itu pula kejahatan
dan kekacaubalauan berlangsung! Sekarang
jumlah biarawati yang ada di dalam Biara
Pensuci jagat ini sudah berjumlah seratus
orang. Seratus satu dengan kau dan seratus
dua dengan aku. Lima puluh dari
biarawatibiarawati itu adalah angkatan tua
yang seangkatan dengan kau tapi
dibandingkan dengan kau, ilmumu jauh lebih
tinggi. Kau sudah mewariskan seluruh ilmuku,
Wilarani. Yang lima puluh lainnya adalah
biarawati dari golongan baru, yang masih
muda-muda. Kau dan kawan-kawanmu harus
ajarkan ilmu kesaktian aku pernah ajarkan
pada mereka.
Bila tiba saatnya mereka harus disebar di
seluruh pelosok guna menjalankan tugas yang
dibebankan oleh cita-cita kita bersama!"
Si nenek kepala botak memandang ke langit-
langit kamar. Ketika kepalanya diturunkan
kembali dia bicara lagi maka suaranya
bernada rawan.
"Wilarani, hari ini sudah tiba saatnya bagiku
untuk menerangkan siapa namaku."
Wilarani memandang serius pada gurunya.
"Selama ini kau memanggil aku dengan
sebutan nenek. Biarawati-biarawati lainnya
memanggilku dengan sebutan Eyang, namun
siapa aku tetap tak satupun dari kalian yang
tahu!" nenek ini terbatuk-batuk beberapa kali
baru meneruskan.
"Namaku Supit Jagat. Nama Supit Jagat ini
bukan ibu atau bapakku yang memberikannya
tapi guruku sendiri jadi, nenek guru bagimu!
Guruku itu sendiri namanya adalah Supit
Jagat pula! Ketika dia mau meninggal dunia
dia memberi pesan agar namanya itu kuambil
sebagai nama..! sebelumnya aku tiada
bernama dan beliau cuma memanggilku
dengan sebutan "upik." Dan beliau juga
berpesan agar jika aku mempunyai murid
nanti, maka murid itu harus menukar namanya
dengan Supit Jagat! Di samping aku, Biara
Pensuci Jagat ini ada seratus orang muridku.
Aku tidak membedakan mereka dengan kau!
Tapi dari kenyataan kau adalah murid yang
paling cerdas, rajin, patuh serta yang paling
tinggi ilmunya! Karena itulah nama Supit
Jagat kuwariskan kepadamu dan musti kau
pakai mulai detik ini juga. Kau mengerti?"
Wilarani mengangguk.
Supit jagat atau nenek berkepala botak itu
berdiri dan melangkah ke dinding di mana
tergantung sapu lidi yang merupakan
senjatanya yang sangat sakti. Diambilnya
sapu itu lalu dia melangkah ke hadapan
Wilarani.
"Muridku, seikat sapu lidi ini bernama Sapu
Jagat. Ini merupakan senjata sakti yang
merupakan salah satu senjata utama diantara
senjata yang termashyur di dunia persilatan!
Senjata ini kuwarisi dari guruku dan hari ini
kuwariskan kepadamu!"
Tentu saja Wilarani hampir tak percaya
mendengar ucapan gurunya itu.
"Ayo, terimalah!," kata Supit Jagat yang
berkepala botak.
Dan Supit Jagat yang berambut putih
(Wilarani) ulurkan kedua tangannya menerima
seikat sapu lidi itu. Sewaktu telapak
tangannya menyentuh sapu lidi itu Wilarani
merasakan adanya satu keanehan. Pada
kedua telapak tangannya menjalar hawa yang
sangat sejuk, terus ke lengan, terus menjalar
ke seluruh kakinya. Dan pada detik itu pula
tubuhnya terasa ringan laksana mengapung di
awan! Sapu Jagat ternyata telah memberikan
satu kekuatan baru yang hebat pada Wilarani
sewaktu kedua tangannya menyentuh senjata
itu!
"Terima kasih, guru," kata Wilarani dengan
penuh khidmat dan menjura sampai beberapa
kali.
Si nenek tertawa perlahan. Ada kelainan pada
tertawanya kali ini.
Paras yang tua keriput dimakan umur
sembilan puluh tahun itu kelihatan rawan,
sepasang mata yang biasanya menyorot
tajam kini kelihatan sedikit redup.
Tiba-tiba Eyang Supit Jagat membentak.
"Sekarang tutup kedua matamu rapat-rapat,
Supit!"
Supit Jagat atau Wilarani segera menutup
kedua matanya sebagaimana yang
diperintahkan. Dalam dia berpikir-pikir apa
yang hendak dilakukan gurunya tiba-tiba
laksana petir menyambar, satu tamparan
keras melanda pipinya sebelah kiri! Tak
ampun lagi Wilarani rebah ke lantai tiada
sadarkan diri!
Sewaktu dia sadarkan diri dan mengucek-
ngucek kedua matanya, Wilarani terkejut bikan
main. Eyang Supit Jagat dilihatnya
menggeletak di lantai. Kedua matanya
terpejam dan nafasnya tiada lagi!
"Guru!" pekik Wilarani.
Tapi mana sang guru bisa mendengar karena
memang nyawanya sudah putus. Dan
membuat Wilarani atau Supit Jagat baru ini
lebih heran ialah ketika merasakan tubuhnya
enteng luar biasa dan tenaga dalamnya
berlipat ganda sampai beberapa kali! Urat-
urat di dalam tubuhnya laksana kawat dan
pemandangan serta pendengarannya menjadi
tajam sekali!
Ingatlah Wilarani kejadian sewaktu gurunya
menyuruh dia memejamkan mata! Sang guru
diam-diam melakukan satu tamparan dahsyat
dan disertai dengan tamparan itu sekaligus
dia telah menyalurkan seluruh tenaga dalam
ke tubuhnya untuk kemudian dia sendiri
menghembuskan nafas penghabisan,
meninggal dunia!
Supit Jagat mendukung tubuh Eyang Supit
Jagat ke atas pembaringan. Pada waktu
itulah di lantai dilihatnya segulung kertas.
Supit Jagat mengambil gulungan kertas itu. Di
situ ada sebarisan kalimat yang berbunyi,
"Surat ini baru boleh dibuka besok siang
tengah hari tepat."
Esok harinya tepat di tengah hari ketika sang
surya bersinar terik di titik kulminasinya maka
di dalam Biara Pensuci Jagat seratus satu
biarawati berkumpul di ruangan besar.
Sebelumnya pada pagi hari jenazah guru
mereka telah dikuburkan di taman di bagian
muka gedung Biara.
Suasana sunyi sepi dalam ruangan besar itu.
Sunyi sepi serta masih diselimuti rasa duka
cita karena berpulangnya guru mereka yang
juga merupakan Ketua Biarawati.
Wilarani yang kini sudah mewariskan nama
Supit Jagat tapi belum diketahui oleh
biarawati-biarawati di situ berdiri dari
kursinya.
"Biarawati Satu," katanya, "Harap datang ke
sini dan bacakan surat yang ditinggalkan oleh
Ketua kita."
Biarawati Satu, seorang yang sudah lanjut
usianya berdiri. Dari Wilarani diterima
segulung kertas. Dia melangkah ke mimbar
dan membuka gulungan kertas itu. Kemudian
terdengarlah suaranya membacakan isi surat
yang dibuat Eyang Supit Jagat sebelum
matinya. Muridku sekalian,
Jika kalian membaca suratku ini maka aku
sudah tidak ada, sudah dikubur di dalam
tanah, kembali pada Tuhan yang
menciptakanku dan kalian semua!
Meski kini cuma kuburku yang kalian lihat,
meskipun aku tidak berada lagi diantara
kalian namun cita-cita kita yang luhur untuk
menenteramkan dunia ini dari segala
malapetaka dan kegagalan yang dibuat oleh
kaum lakl-laki, harus tetap kalian lanjutkan!
Selama aku hidup diantara kalian, kita semua
berada dalam keadaan rukun tenteram penuh
persatuan. Bila kini aku sudah tidak ada,
kerukunan dan ketenteraman serta persatuan
itu harus kalian pupuk terus. Jika kalian
pecah dan berselisih, berarti hancurnya cita-
cita yang hendak kita laksanakan dan dalam
kuburku aku akan mengutuk kalian sebagai
murid-murid murtad!
Suratku ini juga kutulis untuk menerangkan
sedikit tentang diriku. Selama ini kalian
memanggilku dengan sebutan Eyang atau
guru atau nenek. Puluhan tahun hidup
bersamaku kalian tidak tahu siapa namaku.
Namaku adalah Supit Jagat.
Pada hari ini namaku itu kuwariskan kepada
Biarawati Wilarani. Untuk selanjutnya dia
berhak memakai nama itu dan di hari ini pula
kuresmikan dia sebagai Ketua kalian yang
baru!
Kepadanya telah kuwariskan senjata sakti
bernama Sapu Jagat!
Siapa-siapa diantara kalian yang kecewa
dengan keputusanku ini, siapa-siapa diantara
kalian yang tidak senang, sebelum kalian
menjadi pengkhianat-pengkhianat, lebih baik
kalian angkat kaki tinggalkan Biara Pensuci
Jagat ini atau rohku akan ke luar dari liang
kubur untuk mencekik kalian semua! Surat itu
selesai dibaca oleh Biarawati Satu kemudian
diserahkan kembali kepada Wilarani atau
yang kini bernama Supit Jagat dan menjadi
Ketua Biara Pensuci Jagat!
Supit Jagat menggulung surat itu baik-baik.
Dia berdiri di mimbar, memandang berkeliling
kemudian berkata, "Mungkin ada diantara
saudara-saudaraku yang ingin bicara atau
mengeluarkan pendapatnya?"
Tak ada satu orangpun yang menjawab. Tapi
diantara para biarawati-biarawati itu
terdengar suara saling berbisik-bisik. Supit
Jagat bertanya sekali lagi. "Tidak ada yang
mau bicara dan keluarkan pendapat?
Terutama mengenai pengangkatanku oleh
mendiang guru kita sebagai Ketua Biara?"
"Boleh aku bicara?"
Tiba-tiba terdengar suara dari balik gang
besar yang menjadi salah satu ruangan luas
itu. Semua biarawati termasuk Supit Jagat
terkejutnya bukan main, karena suara itu
adalah suara Iaki-laki! Dan seperti diketahui
dalam Biara Pensuci Jagat itu, tak ada satu
orang laki-lakipun yang ada atau diam di
sana! Semua mata dengan serta merta merta
diarahkan ke belakang tiang besar. Dan
seorang laki-laki melangkah seenaknya
menuju ke mimbar! LAKI-LAKI ini masih muda
belia. Rambutnya gondrong menjela-jela
sampai ke bahu. Parasnya gagah, sikapnya
waktu melangkah meski acuh tak acuh dan
seenaknya namun mengandung kewibawaan
dan keperkasaan. Enam langkah dari mimbar
dia berhenti dan menjura pada Supit Jagat
kemudian melayangkan senyuman pada
puluhan biarawati-biarawati yang duduk di
ruangan itu.
Semua orang membathin siapakah adanya
pemuda ini dan cara bagaimanakah dia bisa
masuk ke dalam gedung Biara Pensuci Jagat?
Pintu gerbang dikunci, seseorang yang tak
tahu rahasia membuka pintu itu, meski
bagaimanapun hebat serta tinggi ilmunya
niscaya dia tak sanggup membukanya!
Melompati tembok juga mustahil. Tembok
halaman saja tingginya lima tombak dan
ditambah besi-besi panjang berduri setinggi
tiga tombak! Di samping itu apakah
kedatangan pemuda asing tak dikenal ini
membawa maksud baik atau niat jahat?!
Akan tetapi Supit Jagat meski keterkejutannya
serta rasa tidak enak menyelinapi hatinya,
namun melihat si pemuda menjura hormat
kepadanya dia balas menganggukkan kepala,
tapi tetap tutup mulut menunggu sampai si
pemuda bicara duluan.
"Apakah saat ini aku berhadapan dengan
Ketua Biara Pensuci Jagat?!" tanya pemuda
itu.
Melihat pada pertanyaan yang diajukan ini
Supit Jagat segera mengetahui bahwa
pemuda itu belum berada lama di ruangan
tersebut.
Paling lama sejak ketika Biarawati Satu
membaca bagian terakhir dari surat mendiang
Ketua Biara yang lama.
"Betul orang muda, kau memang berhadapan
dengan Ketua Biara Pensuci Jagat," menjawab
Supit Jagat.
"Ah… syukur. Syukur kalau begitu….' Si
pemuda garuk kepalanya dua kali.
"Orang muda harap terangkan siapa kau.
Bagaimana caramu bisa masuk ke gedung ini
dan apakah membawa niat baik atau buruk?"
tanya Supit Jagat.
Pemuda itu tertawa malu macam anak kecil.
"Namaku buruk," katanya, "jadi tak usahlah
aku beri tahu pada Ketua Biara Pensuci
Jagat. Mohon maaf. Apalagi aku orang tolol
dan banyak mencap aku ini berotak miring…. "
Biarawati Lima, seorang nenek-nenek
berbadan sangat gemuk yang punya penyakit
darah tinggi lekas naik darah, berdiri dari
kursinya dan membentak.
"Pemuda sedeng! Di sini bukan tempat
melawak! Lekas katakan apa maksudmu
menyelinap ke sini. Jika kau membawa niat
jahat kupatahkan batang lehermu dan
kulemparkan mayatmu ke luar tembok!"
Si pemuda naikkan kedua alis matanya.
"Galak betul! Galak betul!" katanya. "Aku
datang ke sini bukan untuk melawak. Kau
lihat sendiri ibu tua, tak ada satu hal lucupun
yang aku buat. Tak ada satu orang disini
yang tertawa! Bagaimana kau bisa bilang aku
melawak?!"
Beberapa arang Biarawati tertawa sembunyi-
sembunyi. Biarawati Lima merah mukanya
lalu berseru pada Supit Jagat, "ketua, harap
izinkan aku menghajar pemuda edan ini!"
Ketua Biara Pensuci Jagat lambaikan tangan
memberi isyarat agar mempersabar diri. Dia
maklum kalau si pemuda bisa menyelinap
masuk ke dalam gedung, pastilah dia bukan
sembarang orang!
"Orang muda, kuharap kau bisa bicara
seperlunya mengingat di mana kau berada
saat ini dan mengingat pula kau adalah tamu
yang tidak diundang," berkata Supit Jagat.
"Sekarang harap terangkan apa maksud
kedatanganmu ke sini."
"Aku datang membawa maksud baik dan
persahabatan," kata si pemuda.
"Hem, begitu? maksud baik dan persahabatan
macam manakah kiranya?" tanya Ketua Biara
Pensuci Jagat pula.
Si pemuda memandang dulu berkeliling lalu
kembali palingkan kepala pada Supit Jagat.
"Ketua", katanya, "kau saksikan sendiri,
sebagian besar dari biarawati-biarawati di sini
adalah perempuan-perempuan muda dan
cantik-cantik…."
"Pemuda kurang ajar! Mulutmu pantas untuk
disumpal dengan ujung pedangku!" bentak
seorang biarawati. Tapi Ketua Biara Pensuci
Jagat kembali lambaikan tangan memberi
isyarat agar anak buahnya itu tidak bertindak
kesusu dan duduk kembali ke kursinya.
Kepada si pemuda sang Ketua berkata,
"Teruskan ucapanmu!"
Setelah terbatuk-batuk beberapa kali baru si
pemuda membuka mulutnya kembali. "Kerbau
sekandang bisa dikurung! Harimau berlusin-
lusin bisa disekap! Tapi kecantikan
perempuan tak bisa dikurung, tak bisa
disembunyikan, tak bisa disekap! Betul atau
tidak…?!"
Diam-diam Ketua Biara yang baru ini menjadi
gemas juga dalam hatinya. "Orang muda,
ucapanmu terlalu berbelit-belit! Bicara saja
secara singkat tapi jelas!"
Si pemuda hela nafas dan garuk kepala
beberapa kali. Beberapa orang biarawati dari
golongan tua berdiri dari kursi dan berseru,
"Ketua, kehadiran pemuda ini lebih lama tidak
menyenangkan kami! Harap beri izin kami
untuk mengusirnya!"
Pemuda itu memandang pada beberapa orang
biarawati itu. "Kalian punya hak untuk
mengusirku! Tapi alangkah memalukan bila
nanti kalian tahu kedatanganku secara baik-
baik ini disambut dengan pengusiran!"
"Baik atau jahat maksud kedatanganmu, kami
tidak suka kau hadir di sini."
"Eh, apakah kau yang menjadi Ketua di sini?"
ejek si pemuda.
Merahlah muka si biarawati.
Dia segera hunus pedangnya dan melompat
mengirimkan satu serangan ganas. Si pemuda
sedikit pun tidak bergerak! Malahan dengan
sikap acuh tak acuh dia berpaling pada Ketua
Biara Pensuci Jagat.
Sementara tebasan pedang datang
menyerangnya dia berseru, "Ketua! Sungguh
penyambutan yang memalukan. Bukannya aku
disuguhi minuman malah dikasih tebasan
pedang!"
Angin pedang menyambar tanda senjata maut
sudah berkelebat dekat sekali! Tapi si pemuda
masih juga memandang pada Ketua Biara
Pensuci Jagat seakan-akan tak perduli atau
tak tahu apa-apa kalau dirinya diserang!
Namun!
Seruan tertahan bahkan kaget memenuhi
ruangan itu. Seratus pasang mata melotot.
Biarawati yang menyerang si pemuda
kelihatan berdiri terhuyung-huyung sedang
pedang yang tadi dipakainya untuk menyerang
kini kelihatan berada dalam tangan si
pemuda! Jurus yang dimainkan Biarawati
Tujuhbelas tadi adalah jurus yang cukup lihai
dalam ilmu pedang Biara Pensuci Jagat. Tapi
si pemuda menghancur leburkannya dalam
satu gebrakan saja dan dengan sikap acuh
tak acuh, sambil bicara dengan Ketua mereka!
Betul-betul hebat!
Biarawati golongan muda yang sejak tadi
tertarik akan kecakapan tampang si pemuda
kin! semakin tertarik melihat ketinggian ilmu
pemuda itu. Dan dalam hati masing-masing
mereka membathin siapakah gerangan
pemuda ini?!
"Ketua Biara Pensuci Jagat," kata si pemuda,
"kedatanganku ke sini dengan maksud baik
dan bersahabat, tapi orangmu telah
menyerangku!
Orang lain mungkin sudah kalap dan tak
terima perlakuan ini! Tapi aku orang tolol dan
rendah, tak apa-apa. Ini soal biasa!
Perempuan kalau sudah beringas memang
suka menyerang duluan!"
Dengan tertawa-tawa pemuda itu memutar
tubuhnya dan melangkah kehadapan biarawati
yang tadi menyerangnya. Dia membungkuk
sedikit lalu mengangsurkan senjata itu seraya
berkata.
"Harap kau suka terima pedangmu kembali
dan maaf kalau aku bikin kau jadi kalap. "
Biarawati itu tak berkata apa-apa. Diambilnya
pedangnya kemudian berlalu dengan cepat.
"Orang muda, jika kau betul-betul datang
dengan niat baik dan bersahabat, bicaralah
seringkas mungkin!"
Pemuda itu mengangguk.
'Tadi aku sudah bilang bahwa kecantikan itu
tak bisa disembunyi-sembunyikan, tak bisa
dibendung dengan tembok setinggi apapun!
Kecantikan sebagian besar biarawati biarawati
di sini telah diketahui oleh dunia luar dan
tokoh-tokoh persilatan! Telah sampai ke
telinga seorang tokoh golongan hitam
bergelar Pendekar Pemetik Bunga…. "
Si pemuda tak bisa teruskan keterangannya
karena sampai di situ suasana di ruangan
tersebut menjadi ribut! Terpaksa Ketua Biara
memberi tanda untuk menenangkan suasana.
Dan si pemuda meneruskan keterangannya
pula.
"Jika kalian di sini pada gaduh mendengar
nama Pendekar Pemetik Bunga berarti kalian
sudah tahu manusia macam apa dia adanya!"
Pemuda itu palingkan kepalanya pada Supit
Jagat. "Ketua Biara," dia berkata lagi, "aku
mendapat kabar bahwa manusia terkutuk itu
berada di sekitar sini akhir-akhir ini. Dan
kabarnya lagi, dia akan mendatangi Biara ini
untuk melaksanakan perbuatan-perubatan
mesumnya selama ini!"
Suasana tegang dan sunyi laksana
dipekuburan mencekam ruangan besar itu.
Di dalam kesunyian yang tegang itu, diam-
diam Biarawati Satu berkata kepada Ketua
Biara Biara Pensuci Jagat dengan ilmu
menyusupkan suara.
"Ketua, hatiku tetap bercuriga pada pemuda
ini. Aku yakin dia datang bukan dengan
maksud baik. Apa yang diucapkannya cuma
omong kosong belaka."
"Yang aku herankan ialah bagaimana dia bisa
masuk kesini," menyahuti Supit Jagat. "Meski
ilmu tinggi tapi selama puluhan tahun tak ada
satu tokoh silatpun yang sanggup masuk ke
Biara ini, apalagi tanpa setahu kita!"
Biarawati satu bertanya, "Apa perlu aku suruh
beberapa orang-orang kita untuk menyelidik
sekeliling tembok dan pintu gerbang?!"
"Lakukanlah!" kata Supit Jagat pula.
Maka sepuluh orang biarawati angkatan muda
segera keluar meninggalkan ruangan itu.
Pemuda rambut gondrong tersenyum.
Matanya tidak buta. Dia telah melihat tadi
mulut Biarawati Satu dan Ketua Biara Pensuci
Jagat bergerak-gerak. Pasti ada yang
dibicarakan kedua orang itu, dan pasti
menyangkut dirinya.
"Ketua Biara Pensuci Jagat," kata sipemuda
seraya rangkapkan kedua tangan di muka
dada. "Rupanya kau dan biarawati-biarawati
di sini sangat bercuriga padaku."
"Tentu saja," sahut Supit Jagat. "Kau datang
tanpa diundang, masuk dan bicara seenaknya,
tidak mau terangkan diri!"
"Apakah kau tidak percaya kalau Pendekar
Pemetik Bunga akan mendatangi tempatmu
ini…?"
"Dia boleh datang dengan maksud jahat. Tapi
dia musti tinggalkan kepala di sini!"
Sipemuda tertawa bergelak.
"Nama Biara Pensuci Jagat memang sudah
lama dikenal dalam dunia persilatan.
Ketuanya Supit Jagat memang sakti luar
biasa. Tapi jangankan kau, gurumu sendiripun
tiada sanggup menghadapi Pendekar Pemetik
Bunga!"
"Kau menghina guru dan Ketua kami!" teriak
beberapa Biarawati. Mereka menyerbu si
pemuda. "
Supit Jagat tidak berusaha menahan. Dia
ingin lihat sampai dimana kehebatan pemuda
berambut gondrong itu. Sepuluh pedang
menyambar dengan mengeluarkan suara angin
bersiuran. Karena yang menyerang itu adalah
biarawati-biarawati dari golongan tua yang
ilmunya sudah sempurna maka kehebatan
serangan itu tidak terkirakan dahsyatnya.
Dalam sekejapan mata tidak bisa tidak tubuh
si pemuda akan tersatai!
Atau akan terputus berkeping-keping!
"Sungguh memalukan!" seru si pemuda. "Di
sarang sendiri biarawati-biarawati yang
katanya mau mensucikan dunia ini dari
segala kekotoran, menyerang main keroyok!"
"Bagi manusia-manusia edan tak tahu
peradatan dan kurang ajar, tak perlu merasa
malu!" sentak salah seorang dari biarawati
yang menyerang.
Sekejap kemudian ruangan besar itu
bergemuruh oleh suara beradunya sepuluh
badan pedang yang menimbulkan bunga api
yang terang sekali!
Semua orang berseru kaget. Ketua Biara
Pensuci Jagat membuka matanya lebar-lebar.
Tapi si pemuda yang tadi hendak dikermus
lenyap dari pemandangan, entah kemana!
Tiba-tiba terdengar suara salah seorang
biarawati. "Hei! Lihat! Manusia itu sudah
bergantung pada kawat lampu!"
Semua kepalapun mendongak ke langit-langit
di atas ruangan! Ternyata betul. Pemuda
berambut gondrong itu bergantung di langit-
langit ruangan dengan tangan kirinya
memegangi kawat kecil lampu yang
menerangi ruangan besar itu! Kalau dia tidak
memiliki ilmu mengentengi tubuh yang tinggi
luar biasa, pastilah kawat itu akan putus!
"Pemuda edan!" pekik seorang biarawati,
"jangan kira aku dan kawan-kawan tidak
sanggup mengejar kau ke atas sana!"
Sepuluh tubuh berjubah putih laksana anak-
anak panah melesat ke atas dan serentak itu
pula kirimkan serangan pedang yang lebih
ganas yaitu jurus "Menabas Gunung Menusuk
Rembulan"
Terdengar suara bersiut-siut dan sedetik
kemudian disusul oleh suara jatuhnya lampu
minyak besar yang tergantung di langit-langit
ruangan! Kacanya dan semprongnya pecah
bertebaran, minyak tumpah membasahi lantai!
Sepuluh pedang biarawati-biarawati tadi
nyatanya telah menabas putus kawat lampu
hingga jatuh pecah berantakan ke lantai.
Dan hebatnya lagi saat itu si pemuda sudah
berdiri lagi di tempatnya semula sebelum
diserang pertama kali tadi. Berdiri diantara
pecahan kaca dan minyak lampu sambil
tertawa-tawa rangkapkan tangan di muka
dada!
Penasaran sekali sepuluh biarawati segera
menukik dan hendak lancarkan serangan
untuk ketiga kalinya!
Tapi kali ini Ketua Biara Pensuci Jagat cepat
berseru. "Tahan!"
Meski hati gusar tapi sepuluh biarawati
hentikan serangan namun ketika turun
kelantai kembali tetap membentuk posisi
mengurung si pemuda!
"Para biarawati harap kembali ke tempat,"
perintah Ketua Biara Pensuci Jagat. Sepuluh
biarawati turun perintah itu. Mereka
sarungkan pedang masing-masing dan duduk
kembali ke tempat semula.
Disaat itu pula sepuluh biarawati yang tadi
disuruh menyelidik keluar gedung kembali
memasuki ruangan.
Dengan ilmu menyusupkan suara Ketua Biara
Pensuci Jagat hendak bertanya pada
biarawati-biarawati itu, tapi mendadak si
pemuda sudah mendahului!
"Bagaimana?" tanyanya. "Apa kalian menemui
tembok pagar yang bobol atau pintu gerbang
yang rusak?!"
Sepuluh biarawati itu tiada perdulikan
pertanyaan si pemuda melainkan melangkah
ke hadapan Ketua mereka dan melaporkan
bahwa tidak ada satu tanda yang
mencurigakanpun di luar sana. Semuanya
beres dan rapi! Ketua Biara Pensuci Jagat
anggukkan kepala dan suruh sepuluh
biarawati itu kembali ke tempat masing-
masing.
"Pemuda," berkata sang Ketua. "Ilmu yang
barusan kau pamerkan…"
"Ah…!" memotong pemuda itu. "Siapa yang
pamerkan ilmu!" tanyanya. "Orang diserang
toh musti mengelak? Siapa sih orangnya yang
mau ditusuk-tusuk dengan pedang? Yang mau
dicincang? Kucing budukpun pasti larikan diri
atau mengelak!"
Tenggorokan Supit Jagat turun naik beberapa
kali. Kemudian dia berkata lagi. "Meski
ilmumu setinggi gunung sedalam lautan,
meski pengalamanmu saluas bumi, tapi jika
kau datang ke sini dengan membawa niat
jahat, jangan harap kau bisa keluar hidup-
hidup dari sini!"
Si pemuda menghela nafas.
"Apakah kalian di sini tuli semua? Apa aku
sejak tadi cuma bicara dengan tonggak-
tonggak mati?!" katanya. Lalu dia
meneruskan. "Pertama datang aku sudah
bilang bahwa maksudku ke sini adalah
membawa niat baik dan bersahabat! Bahkan
aku kasih keterangan pada kalian di sini
bahwa Biara ini dan kalian semua sedang
terancam bahaya! Bahaya itu datangnya
belum tentu tapi pasti datang! Bahaya
Pendekar Pemetik Bunga! Tapi kalian
bukannya percaya, malah bercuriga padaku!
Malah menyerang aku! Aku yang edan apa
kalian yang keblinger!"
"Kalau kau datang betul membawa niat baik
dan bersahabat, mengapa datang tidak
memberi tahu lebih dulu? Mengapa lancang
masuk dengan diam-diam ke tempat orang?!"
Si pemuda tertawa.
"Kalian sedang rapat! Sedang adakan
pertemuan! Kalau aku datang dengan
mengetuk pintu gerbang sana atau berteriak-
teriak memberi salam, pastilah akan
mengganggu rapat kalian."
"Kau memang sudah mengganggu kami!"
semprot Biarawati Lima yang memang sejak
tadi belum habis rasa penasarannya.
Si pemuda angkat bahu.
Dipalingkannya tubuhnya pada Ketua Biara
Pensuci Jagat, dan berkata.
"Ketua, jika kau dan semua orang di sini
menganggap aku telah mengganggu kalian
dan mengacaukan suasana pertemuan ini
mohon dimaafkan. Aku tak akan mengganggu
lebih lama."
Pemuda itu menjura dua kali di hadapan Supit
Jagat. "Cuma jangan menyesal kalau
keteranganku nanti terbukti benar!"
Pemuda ini menjura satu kali pada barisan
biarawati-biarawati yang duduk berjejer-jejer
di kursi lalu segera hendak putar badan
tinggalkan ruangan itu!
Mendadak biarawati gemuk tadi berteriak.
"Ketua! Bukan mustahil pemuda ini sendiri
Pendekar Pemetik Bunga itu!"
Supit Jagat tercekat hatinya. "Ya, bukan tak
mungkin," katanya membathin. Cepat-cepat
dia bertepuk tiga kali dan keseluruhan
biarawati yang duduk di kursi berdiri cepat,
menyebar di seluruh tepi ruangan, menjaga
jendela-jendela dan menjaga pintu-pintu! Tak
mungkinlah bagi si pemuda untuk
meninggalkan tempat itu kini!
Lebih-lebih ketika terdengar suara. "Sret…
sret…, sret…!" Suara pedang yang dicabut dari
sarungnya! Seratus pedang kini melintang di
tangan! Si pemuda memandang berkeliling
ruangan dengan kerenyitkan kulit kening.
"Apa-apaan ini?!" tanyanya membentak.
"Jika kau tidak mengaku bahwa kau adalah
Pendekar Pemetik Bunga sendiri, jangan harap
kau bisa keluar hidup-hidup dari sini!" hardik
Ketua Biara Pensuci Jagat.
"Eeeeee… kenapa memaksa aku yang bukan-
bukan?!"
"Jangan banyak bacot! Mengaku atau
mampus?!" Yang membentak kali ini adalah
Biarawati Lima.
Si pemuda geleng-geleng kepala. "Tidak
sangka biarawati-biarawati yang berhati suci
jujur bisa bicara membentak dan galak, serta
agak kotor!"
Biarawati Lima melompat ke muka.
Pedangnya diacungkan tepat-tepat ke arah
hidung si pemuda. Dia berpaling pada Supit
Jagat. "Ketua, tunggu apa lagi?!"
"Pemuda, kau sungguh tidak mau mengaku
diri?!" bertanya Ketua Biara Pensuci Jagat.
"Kalau aku tidak mengaku, aku mau dibikin
mampus! Kalau aku mengaku bahwa aku
Pendekar Pemetik Bunga, seribu kali lebih
mampus! Kuharap kalian semua suka berpikir
pakai otak dan jangan galak-galakan! Tak ada
perlunya! Kalau aku Pendekar Pemetik Bunga
sudah sejak tadi terjadi kemesuman di
ruangan ini!"
Ketua Biara Pensuci Jagat menimbang
ucapan si pemuda. Memang betul juga, kalau
pemuda ini adalah Pendekar Pemetik Bunga
tentu sudah sejak tadi terjadi hal-hal yang
mengerikan!
"Sekarang, apakah kalian mau memberi jalan
padaku untuk keluar dari sini?!" terdengar si
pemuda bertanya.
"Sebelum kau terangkan siapa kau punya
nama, berasal dari mana dan juga terangkan
gelarmu, baru kami akan izinkan kau berlalu
dari sini!" kata Supit Jagat pula.
Pemuda itu garuk-garuk kepalanya. Tiba-tiba
meledaklah tertawanya! Lantai, dinding,
langit-langit den tiang ruangan bergetar oleh
kumandang tertawanya yang panjang ini.
Setiap hati manusia yang ada di situ,
termasuk Ketua Biara Pensuci Jagat sendiri
ikut tergetar oleh kehebatan suara tertawa si
pemuda!
"Kenapa kau tertawa?!" bentak Ketua Biara
Pensuci Jagat.
"Siapa yang tidak bakal geli dan ketawa!"
menyahut si pemuda.
"Mula-mula kalian tanya siapa aku? Siapa
namaku. Siapa gelarku dan sekarang tanya
aku berasal dari mana atau tinggal di mana?!
Persis pertanyaan-pertanyaan begitu macam
muda mudi yang sedang pacar-pacaran!"
Merahlah paras Ketua Biara Pensuci Jagat.
"Tak dapat dihindarkan lagi bahwa lantai
ruangan ini akan basah oleh darahmu,
pemuda bermulut kurang ajar!" teriak sang
Ketua. Dia gerakan tangan memberi isyarat.
Dan selangkah demi selangkah, seratus
biarawati dari angkatan tua dan muda,
dengan pedang ditangan masing-masing,
maju mendekati si pemuda!
Gilanya pemuda itu masih juga berdiri
tertawa-tawa di tengah ruangan, memandang
berkeliling dan garuk-garuk rambutnya yang
gondrong!
Tiba-tibaseratus pekikkan laksana guntur
yang hendak meruntuhkan gedung biara itu
berkumandang! Seratus pedang berkiblat!
"Buset!" Si pemuda membentak tak kalah
nyaring. Diiringi dengan suitan yang
memekakkan telinga dia melompat tinggi-
tinggi ke atas, kepalanya hampir menyundul
langit-langit. Dalam tubuh mengapung begitu
rupa pemuda ini berseru, "Ketua, harap kau
sudi hentikan serangan ini dulu!"
"Serang terus!" sebaliknya Ketua Biara
Pensuci Jagat berteriak.
"Aku tak mau kesalahan. tangan dan cari
permusuhan dengan kalian! Kita adalah
sama-sama satu golongan!"
"Jangan ngaco!" tukas Biarawati Lima.
"Ketua Biara, aku betul-betul tidak mau bikin
cilaka orang-orangmu!" berseru lagi si
pemuda.
Tapi sang Ketua Biara tak mau ambil perduli
malah membentak lebih keras agar orang-
orangnya menggempur pemuda itu. Puluhan
biarawati melesat ke atas, puluhan pedang
berkelebat!
Pemuda itu menggerendeng dalam hatinya.
Kedua telapak tangannya dikembangkan
dengan cepat kemudian dipukulkan ke bawah!
Maka angin dahsyat laksana topan menderu
ke bawah memapasi serangan-serangan
lawan. Betapapun puluhan biarawati-
biarawati itu bersikeras menyerbu ke atas dan
kerahkan tenaga dalam serta ilmu
meringankan tubuh mereka namun tiada
berhasil. Mereka laksana tertahan oleh satu
dinding baja yang tak kelihatan. setiap
mereka melesat ke atas, tubuh mereka kembali
mental ke bawah berpelantingan, banyak yang
mendeprok jatuh duduk!
Heranlah sang Ketua Biara Pensuci Jagat
menyaksikan hal ini. Ilmu apakah gerangan
yang dimiliki pemuda itu, demikian dia
membathin.
Melihat betapa orang-orangnya mengalami
kesia-siaan, tiada hasil melakukan serangan
mereka maka Supit Jagat sendiri segera turun
dari mimbar dan berseru, "Pemuda, turunlah!
Hadapi aku!"
"Ah… Ketua Biara, sungguh satu kehormatan
yang kau sendiri juga mau turun tangan pada
budak hina ini," dan sementara itu sepasang
mata si pemuda melirik ke pintu di ujung
kanan yang kini tiada terjaga lagi karena
keseluruhan biara di ruangan itu ambil bagian
menyerangnya.
"Tapi," melanjutkan si pemuda sementara
kedua telapak tangannya masih terus juga
dipukulkan berkali-kali ke bawah memapasi
serangan-serangan lawan, "harap maaf, saat
ini aku tidak punya kesempatan untuk main-
main dengan kau! Lagi pula aku anggap kita
semua ini adalah orang satu golongan!
Sampai jumpa Ketua Biara!"
Pemuda itu melompat ke samping lalu
menukik ke arah pintu. Penasaran sekali
Ketua Biara Pensuci Jagat lepaskan satu
pukulan jarak jauh yang dahsyat!
"Braak!"
Sebagian tiang pintu yang besarnya lebih dari
sepemeluk tangan hancur lebur.
Tapi si pemuda sudah lenyap!
"Kejar!" teriak Supit Jagat. "Kita musti
tangkap manusia itu hidup atau mati!"
Maka ruangan besar itupun kosong
melomponglah kini. Semua biarawati
termasuk Supit Jagat rnenghambur ke luar.
Seluruh halaman diperiksa. Pintu gerbang
dibuka dan belasan biarawati mengejar keluar
dan belasan lainnya melompat ke atas atap,
namun si pemuda lenyap tiada bekas!
Supit Jagat memerintahkan orang-orangnya
untuk kembali masuk ke dalam Biara. Dan
waktu mereka memasuki ruangan pertemuan
tadi, semuanyapun terkejutlah!
Di lantai ruangan, dikursi-kursi dan di
beberapa bagian dinding ruangan sebelah
bawah bertebaran puluhan deretan angka 212.
"Dua satu. Dua!" desis Supit Jagat. Ketua
Biara Pensuci Jagat ini memandang
biarawati-biarawati angkatan tua. Ya, hanya
mereka yang seumur dengan dialah yang
mengerti apa arti angka 212 itu sedang
biarawati-biarawati angkatan muda hanya
melongo tak mengerti!
Ketua Biara Pensuci Jagat memberi isyarat
pada kira-kira sepuluh orang biarawati
angkatan tua agar mengikutinya masuk ke
dalam sebuah kamar.
Ketua Biara ini duduk di kursi goyang yang
dulu menjadi kursi kesayangan Ketua mereka
yang telah meninggal dunia. "Sekarang kita
sudah tahu siapa adanya pemuda itu,"
berkata Supit Jagat. "Dia bukan lain dari Wiro
Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212,
murid Eyang Sinto Gendeng dipuncak gunung
Gede yang menurut guru kita tempo hari
merupakan kawan baiknya!"
"Kalau begitu," menyela Biarawati Lima yang
bertubuh gemuk pendek dan yang tadi paling
gemas terhadap pemuda itu, "keterangan
yang diberikannya bukan omong kosong
belaka!"
"Betul!" Supit Jagat anggukkan kepala.
"Kalau dia memang golongan kita sendiri,
sama-sama golongan putih," kata Biarawati
Sembilan. "Kenapa tidak siang-siang dia
terangkan diri…?!"
"Pemuda itu memang aneh," menyahut Ketua
Biara Pensuci Jagat.
"Kadang-kadang orang menganggapnya
pemuda gila, edan kurang ingatan! Kalau
kalian kenal pada gurunya, gurunya Eyang
Sinto Gendeng itu lebih gila lagi! Gila dan
edan, bicara seenaknya! Bahkan dalam
bertempur menyabung nyawapun dia tertawa-
tawa atau bersiul-siul seperti yang kalian
lihat tadi! Sinto Gendeng ataupun muridnya
yang tadi memang bukan orang-orang yang
suka agul-agulkan nama atau obral gelar di
mana-mana.
Kurasa itulah sebabnya pemuda tadi tidak
mau kasih keterangan siapa dia sebenarnya!"
Sunyi beberapa lamanya.
"Ketua, bagusnya kita segera bersiap-siap
menjaga segala kemungkinan atas datangnya
Pendekar Pemetik Bunga itu!"
"Ya. Biarawati Satu, kau atur semuanya.
Perketat penjagaan! Tambah alat-alat rahasia
di sekitar tembok dan pintu gerbang!"
"Perintah akan kami jalankan, Ketua," sahut
Biarawati Satu, lalu bersama kawan-
kawannya yang lain segera meninggalkan
tempat itu setelah terlebih dahulu menjura
memberi hormat.
Sementara itu dua orang biarawati muda yang
kelelahan mencari-cari Wiro Sableng di luar
tembok halaman dan yang bekerja di bagian
dapur biara segera langsung menuju ke
bagian dapur itu. Sesudah minum melepaskan
dahaga mereka bermaksud akan meneruskan
pekerjaan mereka sehari-hari di dapur. Namun
betapa terkejutnya kedua biarawati sewaktu
masuk ke dalam dapur, mereka mendapatkan
seorang pemuda yang bukan lain Wiro
Sableng Pendekar Maut Naga Geni 212 tengah
duduk di sebuah kursi dengan angkat kaki dan
melahap nasi! Asyik makan dan menggeragoti
paha ayam goreng sisa malam tadi!
Segera keduanya hendak berteriak. "Ssst…" .
Wiro Sableng letakkan jari telunjuknya di atas
kedua bibirnya sedang mulutnya saat itu
menggembung penuh nasi. Tapi mana dua
biarawati tak mau berdiam diri. Keduanya
sama hendak berteriak lagi dan menghambur
dari dapur. Wiro tak dapat berbuat lain. Dia
hantamkan dua jari tangan kanannya ke
muka! Dengan serta merta tubuh kedua
biarawati itu berhenti mematung, mulut
mereka yang tadi hendak berteriak terbuka
lebar-lebar tapi tak satu suarapun yang
keluar!
Itulah ilmu totokan jarak jauh yang lihay
sekali telah dilepaskan oleh murid Eyang Sinto
Gendeng! Dan selanjutnya seperti tak ada
kejadian apa-apa, seperti dirumahnya sendiri
Wiro Sableng meneruskan melahap
makanannya! Selesai makan dan meneguk air,
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini
segera tinggalkan dapur itu.
Sewaktu empat orang biarawati yang juga
bekerja di dapur memasuki dapur, keempatnya
terkejut mendapatkan dua kawan mereka
berdiri tak bergerak sedang mulut menganga.
Nyatalah mereka telah ditotok. Segera totokan
itu dilepaskan.
"Siapa yang menotok kalian?!"
"Pemuda itu!"
"Maksudmu Wiro Sableng?! Pendekar 212?!"
"Ya!" sahut yang seorang.
Yang seorang lagi memberi keterangan, "Kami
haus dan mau minum lalu melanjutkan tugas
sehari-hari. Tahu-tahu pemuda itu sudah
nongkrong di kursi sana, melahap nasi dan
makan daging ayam!"
"Pantas dicari-cari di luar gedung tidak ada!
tak tahunya nongkrong di dapur! Pemuda
lapar!"
Ketika hal itu dilaporkan kepada Ketua Biara
Pensuci Jagat mula-mula dalam terkejutnya
Supit Jagat setengah tak percaya.
Namun kemudian tiba-tiba meledaklah suara
tertawanya. Biarawati-biarawati yang datang
melapor itupun akhirnya ikut-ikutan pula
tertawa! Gadis berbaju kuning ringkas itu
menghentikan larinya di tepi kali berair jernih
dengan batu-batu besar di tengah-tengahnya
bertebaran laksana pulau-pulau kecil.
Disibakkannya rambutnya yang mengurai di
kening dan disekanya keringat yang
membasahi kuduknya. Dihelanya nafas dalam,
nafas yang ditarik dengan disertai rasa
keputusasaan dan kegemasan!
Dua hari yang lalu dia sudah berhasil
menemui jejak manusia yang dicarinya.
Kemarin dia bahkan telah menguntit manusia
itu tapi hari ini sesampainya di tepi kali itu,
bayangan manusia yang dikejarnya kembali
lenyap laksana ditelan bumi, laksana amblas
masuk ke dalam kali!
Penuh letih akhirnya gadis ini dudukkan diri di
tepi kali, di atas sebuah batu hitam. Dia
memandang ke hulu sungai. Satu
pemandangan yang indah untuk disaksikan.
Sementara itu angin bertiup pula sepoi-sepoi
basah. Di luar sepengetahuan gadis berbaju
kuning ini, menyelam antara kelihatan dan
tidak, berenang seekor ular kali sebesar
lengan. Kaki-kaki si gadis yang berkulit putih
mulus dan bagus, yang sebagiannya masuk ke
dalam air, itulah yang telah menarik perhatian
sang ular dan membuatnya segera berenang
ke arah mangsanya ini!
Setengah langkah ular itu berada dari kedua
kakinya, barulah si gadis sadar. Cepat dia
tarik kedua kaki dari dalam air. Sang ular
dengan ganas terus mengejar naik ke atas
batu. Tapi nasibnya malang. Kali ini gadis
baju kuning pergunakan kaki kirinya untuk
menendang!
Binatang itu mencelat mental. Kepalanya
hancur. Tubuhnya menggelepar-gelepar
seketika lalu mati dan dihanyutkan arus
sungai.
Gadis baju kuning itu berumur sekitar 19
tahun. Sepasang matanya bening dan jeli.
Parasnya bujur telur dan ayu, tak
membosankan untuk dipandang. Di atas
sepasang matanya yang bening jeli itu
berpeta dua buah alis laksana bulan sabit
bagusnya!
Namun di balik keayunan paras itu, di
belakang kejelitaan wajah itu samar-samar
kelihatan satu rasa duka derita yang berpaut
dengan rasa dendam kesumat!
Lima hari yang lalu dia masih berada di Goa
Blabakan. Dan hari itu dia berhadap-hadapan
dengan gurunya. "Empu, murid minta
diizinkan untuk meninggalkan pertapaan
untuk beberapa waktu…"
Empu Tumapel memandangi paras muridnya
beberapa lama.
"Pelajaran yang kuberikan padamu masih
belum selesai, Sekar," berkata sang guru, "Kau
ingat bahwa lima tahun lagi baru kau boleh
meninggalkan Goa Blabakan ini?"
"Murid ingat, guru. Murid tidak lupa," sahut
Sekar. "Tapi kabar yang murid terima dari
orang desa yang datang kemarin siang…. Guru
tentu dapat memakluminya."
Dan gadis itu menyeka air mata yang meleleh
dipipinya. "Aku tidak mengajarkan kau
menangis, Sekar! Aku mengajarkan kau ilmu
silat, Ilmu kesaktian, ilmu bathin, Ilmu
menguatkan jiwa, lahir dan bathin! Bukan
Ilmu menangis!" Sekar seka lagi sisa-sisa air
matanya dan hentikan tangis.
"Murid tahu, guru. Tapi guru juga musti
maklum. Ayahku dibunuh. Ibuku dan adik
perempuanku diperkosa lalu dibunuh!
Dapatkah hati seorang perempuan
menghadapi semua ini tanpa air mata? Dan
karena peristiwa itulah murid minta izin
kepada guru untuk meninggalkan pertapaan
ini beberapa lamanya guna mencari manusia
terkutuk itu!"
Empu Tumapel merenung dan setelah
menghela nafas dalam diapun berkata,
"Sekalipun kuizinkan padamu pergi, sekalipun
kau bertemu dengan manusia itu, belum tentu
kau berhasil menghadapinya Sekar. Belum
tentu kau dapat membalaskan sakit hati dan
dendam kesumatmu!"
'°Murid tahu, manusia itu sakti luar biasa!
Tapi demi menuntut kebenaran, demi arwah
orang tua dan adikku, dengan doa restu guru
serta pertolongan Tuhan, murid yakin murid
akan sanggup menghadapinya! Tapi guru,
apakah ilmu meskipun sakti luar biasa jika
dipergunakan untuk kejahatan akan sanggup
menghadapi kebenaran dan kekuatannya
Tuhan?!"
Empu Tumapel yang berumur enam puluh
tahun terdiam oleh ucapan muridnya itu.
"Kau akan mati percuma di tangan manusia
itu, Sekar," katanya setelah berdiam diri
beberapa lama.
"Tidak, guru. Sekalipun aku mati, aku akan
mati dengan puas. Puas karena aku telah
membela keadilan, menghancurkan kejahatan.
Aku akan mati syahid guru!"
"Baik… baiklah muridku," kata Empu Tumapel.
Dibelainya kepala muridnya itu. Dan dalam
jubahnya dikeluarkan seuntai rantai baja yang
panjangnya dua meter. Pada ujung rantai baja
ini terdapat sebuah bola baja berduri.
Keseluruhan senjata ini memancarkan sinar
putih dan hawa dingin tanda senjata itu
bukan senjata sembarangan.
"Kuizinkan kua pergi, Sekar. Dan bawalah
senjata Rantai Petaka Bumi ini. Mudah-
mudahan kau berhasil…"
Sekar berlutut di hadapan gurunya.
"Terima kasih guru… Terima kasih guru juga
mempercayakan dan meminjamkan senjata ini
padaku…."
Lamunantentang saat lima hari itu serta
merta buyar sewaktu dari hulu sungai Sekar,
si gadis berbaju kuning, melihat sesosok
bayangan putih berlari cepat di atas kali,
hanya sekali-sekali kakinya menjejak batu-
batu yang banyak bertebaran di atas kali.
Cepat Sekar berdiri dan menunggu penuh
waspada. Orang yang berlari hentikan larinya
dan berdiri di atas sebuah batu besar sejarak
satu-dua meter di hadapan gadis itu.
"Eh, saudari, kau berada sendiri di tepi kali ini,
ada apakah?!" Sekar menatap paras pemuda
yang tampan itu. Sewaktu dia memperhatikan
rambut gondrong yang menjela sampai ke
bahu si pemuda, berdetak hatinya! Bukan
tidak mustahil manusia ini adalah Pendekar
Pemetik Bunga yang tengah dicarinya dan kini
telah bertukar pakaian. Dia sendiri memang
tidak pernah melihat jelas tampang Pendekar
Terkutuk itu!
Menimbangbegini. Sekar segera keluarkan
"Rantai Petaka Bum!" dari balik pakaiannya,
terus menyerang dengan ganas! Si pemuda
terkejut!
"Gila betul! Ditanya baik-baik dijawab dengan
serangan!" Cepat-cepat dia menghindar.
Angin dingin menyambar tubuhnya sewaktu
Rantai Petaka Bumi lewat di depan dadanya!
"Saudari, itu senjata sakti! Jangan dibuat
main-main!"
"Tutup mulut! Justru dengan senjata inilah
akan kuhancurkan kepalamu pemuda bejat!"
Si pemuda keluarkan siulan dan tertawa
gelak-gelak. Inilah ciri-ciri khas dari pendekar
yang tak asing lagi yaitu Wiro Sableng si
Pendekar 212!
"Kenal belum, ketemupun baru kali ini sudah
bisa menyumpahiku pemuda bejat! Kau mimpi
atau apa?!"
"Keparat, terima kematianmu dalam tiga
jurus!"
Sekar menyerang dengan dahsyat. Rantai
Petaka Bumi menyapu dengan mengeluarkan
suara dahsyat laksana halilintar, menebarkan
angin laksana topan hingga air kali
bermuncratan dan batu-batu kali yang
tersambar bola baja berduri itu hancur
berantakan!
"Saudari!" seru Wiro Sableng. "Kau ini main-
main atau bagaimana?" Pemuda ini terpaksa
jungkir balik di atas kali menghindari
serangan senjata lawan yang dahsyat. Dan
sebelum kedua kakinya menjejak disalah satu
batu kali. Rantai Petaka Bumi itu sudah
menyapu lagi ke arah kakinya!
"Hebat!" seru Wiro Sableng benar-benar
kagum.
"Ya, hebat! Memang hebat! Sebentar lagi
kepalamu akan dibikin hebat oleh bola baja
berduri ini!" tukas Sekar.
Wiro Sableng terpaksa jungkir balik sekali
lagi. Seorang yang memiliki ilmu mengentengi
tubuh sempurna biasa saja pasti tak akan
sanggup melakukan dua kali jungkir balik itu.
Tapi Pendekar 212 ilmu mengentengi
tubuhnya sudah lebih tinggi dari
kesempurnaan!
Si gadis melihat serangannya melanda angin
kosong jadi penasaran sekali. Saat itu jurus
kedua. Tanpa tedeng aling-aling dia
melompat ke muka lebih dekat pada si
pemuda dan putar Rantai Petaka Bumi dengan
jurus "Bumi Dilanda Lindu!"
Jurus ini memang hebat luar biasa, padahal si
gadis baru mewarisi setengahnya saja dari
gurunya! Karena tak ingin melawan dan
karena tak mau membuat si gadis cilaka, lagi
pula merasa tidak ada permusuhan apa-apa,
maka Wiro Sableng sejak tadi hanya
mengelak, sekalipun tak balas menyerang.
Gesit sekali Pendekar dari Gunung Gede ini
melompat ke tepi kali.
"Saudari harap tahan dulu seranganmu!"
"Jangan banyak rewel Pendekar Terkutuk
Pemetik Bungai Kau tetap musti kubunuh!
Arwah orang tua dan adikku tak akan tenang
di alam baka sebelum nyawa anjingmu
kurenggut dari tubuh keparatmu!" Lantas si
gadis melompat pula ke tepi kali.
"Hai! Kalau begitu kau salah duga, gadis baju
kuning!" kata Wiro Sableng pula. "Aku
bukannya Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga!"
"Tak perlu dusta! Kau kira bisa selamat
dengan jual mutut begitu rupa?!"
"Aku tidak dusta! Apa kau pernah lihat aku
memetik bunga dan bunga apa? Bunga
matahari atau bunga mawar atau…."
"Bunga bola baja kematianmu ini, laknat!"
sentak Sekar. Dan kembali dia menyerang
secara ganas.
Pendekar kita terpaksa mengelak lagi dan
lompat ke cabang sebatang pohon.
"Kalau keliwat kesusu bisa tidak beres
saudari. Aku masih belum habis bicara!
Kuharap kau suka simpan itu senjata dan
mari kita bicara baik-baik…"
Bukannya si gadis baju kuning simpan senjata
meiainkan bola baja berduri itu
diluncurkannya ke batang pohon di atas mana
Wiro Sableng berada.
"Kraak!"
Batang pohon hancur dan tumbang. Pendekar
212 sendiri sudah lompat ke pohon yang lain!
Gemas sekali Sekar segera melompat ke
pohon itu! Dan di atas cabang pohon yang
tak seberapa besar itu maka kini terjadilah
pertempuran yang seru! Namun Wiro Sableng
tetap tidak mengadakan perlawanan atau
balas menyerang. Ini membuat si gadis jadi
penasaran.
"Ayo, pemuda keparat! Kenapa diam saja?!
Apa nyalimu sudah lumer?! Keluarkan
senjatamu!"
Lama-lama diserang gencar demikian rupa
Wiro Sableng kewalahan juga. Dia Iompat ke
bawah. Sekar sebatkan rantai baja ke
pinggang si pemuda. Dengan gesit Wiro
Sabieng mengelak kesamping lalu gerakkan
tangan kanannya!
Sekar terpelanting dari cabang pohon akibat
betotan Wiro Sableng pada rantai bajanya.
Ketika dia turun ke tanah dengan jungkir
balik, Rantai Petaka Bumi sudah berada di
tangan Wiro Sableng!
"Kembalikan senjataku!" teriak Sekar.
Wiro Sableng tertawa dan bersiul-siul. Rantai
baja yang panjangnya dua meter itu
dililitkannya di pinggangnya. Lalu dengan
bertolak pinggang dia berkata. "Silahkan
ambil sendiri, nona manis!"
Tiada terkirakan geramnya murid Empu
Tumapel itu. Tapi dasar bernyali besar,
dengan tangan kosong dis menerkam ke muka
dan lancarkan satu jurus aneh bernama
"Kabut Pagi Menelan Embun."
Jurus ini dilakukan dengan gerakan yang
sangat cepat hingga waktu menyerang itu
tubuh Sekar lenyap laksana kabut tipis! Tapi
mata Pendekar Sakti 212 tak dapat ditipu.
Betapapun cepatnya gerakan lawan namun
dalam kelebatan itu masih sanggup dilihatnya
bagaimana kedua tangan lawan terkembang
hendak mencengkeram muka sedang sepasang
kaki menendang ke dada dan ke
selangkangan!
Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede
itu dengan gerakan kilat miringkan tubuhnya
ke samping. Sewaktu tumit lawan masih akan
menyerempet pinggulnya dengan cepat di
tangkapnya ujung kaki si gadis dan
dibantingkan ke atas! Sekar jungkir balik di
udara! tapi jatuhnya tetap berdiri! Hidung
gadis ini kembang kempis. Mukanya merah
kelam karena marah! Hatinya geram karena
sadar tiada akan sanggup menghadapi
pemuda yang sangat tinggi ilmu silatnya itu!
"Kau letih eh?!"
"Diam!" lengking Sekar.
"Saudari, dalam hidup ini, dalam segala hal
manusia itu tidak boleh serba kesusu…."
"Jangan jual kentut!"
"Juga jangan suka lekas marah penasaran…."
"Diam!" teriak Sekar hingga suaranya
menggema diseantero kali.
Si pemuda tertawa dan geleng-gelengkan
kepala. Dia berpikir bagaimana caranya
menghadapi gadis galak macam yang satu
ini.
Tiba-tiba dia dapat akal.
"Saudari, kalau kau tetap keras kepala tak
bisa bicara baik-baik aku akan pergi dari sini
dan larikan senjatamu!"
"Ke ujung bumipun kau lari aku akan kejar!"
Wiro Sableng angkat bahu dan garuk-garuk
kepala!
"Tak pernah aku ketemu gadis yang keras
kepala dan tak mau mengerti macammu ini,
saudari!"
"Kembalikan senjataku"
"Aku akan kembalikan. Tapi kalau kau
pergunakan lagi untuk menyerangku…?"
"Kau tahu itu senjata milik, siapa?"
"Aku tidak tanya!"
Sekar memaki-maki!
"Kalau guruku Empu Tumapel tahu senjatanya
dibuat main dan dihina, pasti nyawamu yang
cuma selembar tak akan aman'"
"Heh… jadi kau muridnya Empu Tumapel?!
Akh… orang tua itu adalah kawan main
kelerengku sewaktu masih kecil. Dan kau tahu,
dia suka main curang. He…. He… he…!"
Marahlah Sekar. Dia menyerbu dengan
kerahkan seluruh bagian tenaga dalamnya ke
lengan. Tapi kali ini Wiro Sableng tidak
tinggal diam. Lebih cepat dari serangan si
gadis baju kuning, lebih cepat pula sepasang
jari telunjuknya menotok jalan darah di tubuh
si gadis! Maka mematunglah Sekar, tapi
telinga masih bisa mendengar dan mulut
masih bisa bicara! Wiro Sablang tertawa
cengar cengir.
"Sebetulnya aku tidak punya waktu banyak,
tapi kau bikin perjalananku terhalang!
Menyerang membabi buta tanpa alasan…."
"Diam! Lekas lepaskan totokan ini!"
"Sabar gadis manis! Kalau kau marah dan
membentak begitu parasmu makin cantik,
tahu…?!"
Wajah Sekar bersemu merah.
"Kau menyangka bahkan menuduh aku tetah
membunuh orang tua serta adikmu! Apakah
kau punya alasan? Punya bukti!"
Sekar diam.
"Kau bilang aku Pendekar Pemetik Bunga!
Kau yakin betul?!"
Sekar tetap diam Wiro Sableng tertawa.
"Dengar saudari, semua tuduhanmu salah
belaka! Justru aku tengah dalam perjalanan
mencari manusia yang bergelar Pendekar
Pemetik Bunga itu."
"Kau dusta!" tukas Sekar.
"Terserah. Tapi aku tak punya waktu lama
melayanimu! Pertumpahan darah akan segera
terjadi di Biara Pensuci Jagat! Aku tak boleh
terlambat!"
"Kembalikan dulu senjataku dan lepaskan
totokan ini!" Wiro Sableng buka lilitan Rentai
Petaka Bumi dari pinggangnya. Dilepaskannya
totokan di tubuh Sekar lalu diserahkan rantai
baja itu kepada si gadis kemudian segera
balikkan tubuh.
"Tunggu!" seru Sekar.
Wiro Sableng hentikan langkah.
"Tadi kau bilang bahwa kau dalam perjalanan
mencari Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga.
Apa kau tahu di mana manusia itu berada…?"
"Tahu atau tidak tahu memangnya kenapa?!"
"Aku juga punya urusan yang harus
diselesaikan dengan manusia bejat itu…."
"Ya, kau sudah bilang tadi. Jadi maksudmu
mau sama-sama seperjalanan dengan aku
heh?!"
Untuk kesekian kalinya paras si gadis jadi
bersemu merah. "Kuharap kau jangan bicara
keliwat kurang ajar, saudara!" bentak Sekar.
"Sudahlah, kita tak banyak waktu! Kalau mau
sama-sama memburu itu manusia biang
racun penimbul bahala, lekaslah!"
"Kau jalan duluan," kata Sekar yang hatinya
masih bimbang dan bercuriga terhadap si
pemuda. Dia khawatir kalau Wiro Sableng
adalah benar-benar Pendekar Terkutuk
Pemetik Bunga yang hendak menipunya.
"Tak perlu tanya! Jalanlah!"
Pendekar 212 bersiul dan pencongkan
hidungnya. Sekali dia berkelebat maka
tubuhnya sudah melompat lima tombak ke
muka. Sekar tidak tinggal diam, segera pula
dia kerahkan ilmu larinya untuk mengikuti
Wiro Sableng. Ketua Biara Pensuci Jagat
terkejut ketika melihat jarum alat rahasia di
dalam kamarnya bergerak-gerak! Segera
ditekankannya sebuah tombol di tepi tempat
tidur. Dua buah pintu rahasia terbuka dan
delapan orang biarawati muncul.
Kedelapannya menjura lalu berpaling ke arah
alat rahasia yang dituding oleh Ketua mereka.
"Atur pengurungan!" kata Ketua Biara itu
pula. "Lima puluh di dalam, lima puluh di
luar! Yang datang ini mungkin orang yang kita
tunggu-tunggu!"
Delapan biarawati menjura lagi lalu
meninggalkan kamar Ketua mereka. Supit
Jagat, Ketua Biara memandang lagi ke jarum
alat rahasia.
Jarum itu kini kelihatan diam tak bergerak-
gerak, tapi sesaat kemudian kelihatan
bergerak lagi.
Kali ini ketua Biara itu segera membentak,
"Tamu di atas atap, silahkan turun unjukkan
diri!"
Baru saja Supit Jagat berkata begini maka
terdengarlah suara menggemuruh! Atap dan
langit-langit kamar amblas roboh! Diiringi
oleh suara tertawa bekakakan sesosok tubuh
berjubah hitam melompat turun dalam
gerakan yang sangat enteng! Yang datang
ternyata betul Pendekar Pemetik Bunga!
"Ha… he… sungguh satu kehormatan dapat
berkunjung ke Biaramu ini, Supit Jagat!" .
Baru saja Pendekar Pemetik Bunga berkata
demikian empat dinding kamar amblas ke
dalam lantai dan kini terbukalah satu ruangan
besar.
Disetiap tepi ruangan berbaris dua lapis
biarawati-biarawati angkatan tua dan
angkatan muda berseling-seling! Kesemuanya
dengan pedang di tangan!
"Hem…" Pendekar Pemetik Bunga memandang
berkeliling. Tidak ada bayangan rasa terkejut
pada parasnya. "Rupanya sudah ada
persiapan untuk menyambut kedatanganku!"
katanya.
Ketua Biara Pensuci Jagat tertawa mengekeh.
"Nama kotormu sudah lama kami dengar.
Noda busuk yang kau tebar di mana-mana
sudah sejak lama hendak kami putus! Nyawa
bejatmu sudah sejak lama ingin kami kirim ke
neraka jahanam! Tapi hari ini agaknya kami
tak perlu susah-susah turun tangan ke luar
Biara! Malaekat maut rupanya telah
membawamu ke sin!!"
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga rangkapkan
tangan di muka dada.
"Betapa indahnya susunan kata-katamu.
Supit Jagat!" berkata Pendekar Pemetik
Bunga. "Tapi ketahuilah, aku datang ke sini
bukan dibawa oleh malaekat maut, sebaliknya
justru mengantarkan malaekat maut yang
ingin cepat-cepat naerenggut nyawa kalian!
Dan…." Pendekar bertampang buas ini batuk-
batuk beberapa kali. "Dan menyedihkan sekali,
rupanya hanya kroco-kroco tua macammu
yang ditakdirkan mampus!
Biarawati-biarawati muda belia musti
dihadiahkan untukku!"
"Kurasa matamu belum buta Pendekar
Terkutuk!" sahut Supit Jagat.
"Belum buta untuk melihat orang-orangku
yang berdiri, dalam satu barisan maut, belum
buta untuk melihat pedang-pedang yang
melintang!"
"Aku memang tidak buta!" Pendekar Pemetik
Bunga memandang lagi berkeliling. "Tapi
sebaiknya biarawati-biarawati muda itu tak
usahlah ikutikutan bertempur! Mereka akan
mati percuma sebelum merasakan betapa
nikmatnya hidup di dunia ini! Betapa
nikmatnya berada dalam pelukanku! Betapa
nikmatnya tidur bersa…."
Sebilah pedang meluncur tepat di depan
hidung Pendekar Pemetik Bunga, membuat
pemuda ini tersurut satu langkah dan terputus
kata-katanya!
"Apakah lidahmu kelu hingga tak bisa
teruskan buka mulut?" ejek Supit Jagat.
"Ketua Biara Pensuci Jagat! Kau adalah
manusia yang musti mati pertama kali di
dalam gedung ini! Darahmu akan mensucikan
lantai biara ini!"
Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga
buka gulungan sabuk mutiara di pinggangnya
sedang tenaga dalam dialirkan tiga perempat
bagiannya ke tangan kanan! Dua tangaa
itupun kemudian bergerak dengan serentak!
Pukulan"Tapak Jagat" menggebu dahsyat di
barengi oleh gelombang angin yang keluar
dari sabuk mutiara! Gedung bergoncang, bumi
laksana dilanda lindu! Tapi disaat itu Ketua
Biara Pensuci Jagat sudah berpindah tempat
dan dengan satu lengkingan keras dia
memberi isyarat agar lima puluh biarawati
yang ada di ruangan itu segera menyerang!
Maka berkecamuklah pertempuran yang bukan
olah-olah dahsyatnya! Lima puluh pedang
menderu! Satu-satunya lawan yang diserang
berkelebat ganas balas menyerang! Dan dalam
setiap kelebatan musti ada jatuh korban di
pihak biarawati. Yang menemui ajalnya ini
justru biarawati-biarawati angkatan tua yang
sudah berumur! Rupanya Pendekar Pemetik
Bunga benar-benar hanya akan menumpas
biarawati-biarawati tua sebaliknya
membiarkan hidup biarawati-biarawati muda
belia untuk kemudian akan dilalap dirusak
kehormatannya!
Ketika hampir separoh dari biarawati
angkatan tua menemui ajalnya, ketika lantai
diruangan terbuka itu sudah licin dan amis
oleh baunya darah maka Supit Jagat segera
membentak. Dia tak mau lebih banyak jatuh
korban dipihaknya! "Semuanya mundur!"
Perintah yang laksana geledek ini dipatuhi
oleh setiap biarawati.
Semuanya mundur ke tepi dan di tengah
ruangan besar itu kini hanya Ketua Biara
serta Pendekar Pemetik Bunga saja yang
berdiri berhadap-hadapan dalam jarak
delapan tombak. Di lantai bertebaran belasan
tubuh biarawati-biarawati tua yang telah
menemui ajalnya!
"Kebinatanganmu sudah lebih dari binatang!
Kebejatanmu sudah melewati batas!
Kebiadabanmu seluas luatan! Dosamu
setinggi gunung!
Segera keluarkan senjatamu, manusia
terkutuk!"
Pendekar Pemetik Bunga menyeringai.
"Rupanya Ketua Biara sendiri yang hendak
turun tangan?! Bagus!" ujar Pendekar Pemetik
Bunga. "Tapi kalau tadi aku dikeroyok
puluhan bergundal-bergundalmu aku hanya
bertangan kosong, masakan menghadapi kau
seorang diri musti pakai senjata segala?!"
"Kau akan binasa bersama kecongkakanmu
manusia dajal!" Marah sekali Ketua Biara
Pensuci Jagat itu. Maka pada saat itu juga
dikeluarkannya senjatanya yaitu seikat sapu
lidi yang bernama Sapu Jagat, warisan dari
Ketua Biara yang terdahulu!
Melihat senjata yang dikeluarkan lawannya
adalah seikat sapu lidi maka Pendekar
pemetik Bunga tertawa memingkal!
"Nenek Ketua, kau mau menyapu atau
bertempur? Sapu lidi buruk itukah
senjatamu?! Lucu sekali… betul-betul lucu!"
Supit Jagat maju tiga langkah.
Tiba-tiba dia sapukan sapu lidinya ke arah
lawan! Pendekar Pemetik Bunga berseru
kaget. Berubahlah parasnya! Angin yang ke
luar dari sapu lidi itu dahsyatnya laksana
badai prahara, seperti menghancur leburkan
sekujur tubuhnya! Secepat kitat dia segera
melompat ke samping sampai empat tombak!
Tapi Ketua Biara tidak kasih kesempatan,
segera pula dia memapas dengan senjatanya!
Ketika lima belas jurus dia terkurung rapat
oleh sambaran Sapu Jagat yang dahsyat itu,
menggeramlah Pendekar Pemetik Bunga.
Pukulanpukulan
"Tapak Jagat" dan kebutan "Angin Pengap"
tepi jubahnya sama sekali tidak mempan
menerobos gulungan angin sapu lidi lawan!
Pada jurus kedua puluh satu Pendekar
Pemetik Bunga memekik tertahan sewaktu
ujung sapu menyerempet dadanya dan
membuat jubah hitamnya robek besar!
Tidak tunggu lebih lama Pendekar Pemetik
Bunga segera cabut kembang kertas kuning
yang menancap di kepalanya. "Semua tutup
jalan nafas atau ke luar dari sini!" teriak Supit
Jagat karena dia maklum bahwa kembang
kertas itu mengandung racun yang sangat
dahsyat! Biarawati-biarawati angkatan muda
segera tinggalkan ruangan sedang biarawati-
biarawati angkatan tua tetap di tempat.
Pertempuran kini telah berjalan tiga puluh
empat jurus dan yang memengkalkan
Pendekar Pemetik Bunga ialah racun kuning
yang setiap detik menggebu ke luar dari
bunga kertasnya sama sekali tidak sanggup
menerobos angin sapu lidi sang ketua Biara
malahan kalau dia tidak berhati-hati, racun
bunga kertas itu sering kali dihantam
membalik ke dirinya sendiri!
Di saat pertempuran berjalan semakin
dahsyat, di saat tubuh kedua orang itu hanya
merupakan bayang-bayang yang dibungkus
oleh sinar kuning serta lingkaran-lingkaran
angin Sapu Jagat maka tiba-tiba terdengarlah
suara siulan siulan nyaring yang tak menentu
yang kemudian disusul oleh suara nyanyian
seseorang!
Hanya biarawati-biarawati di tepi kalangan
pertempuran yang berani mendongak ke atas,
ke arah datangnya suara nyanyian itu sedang
mereka yang bertempur meskipun hati
masing-masing tercekat mendengar nyanyian
ini namun tiada berani palingkan muka! Anak
laki-laki hamil dalam perut perempuan
Itu namanya anugerah Tuhan
Anak laki-laki lahir dari rahim perempuan
Itu namanya kuasa Tuhan
Anak laki-laki dibesarkan perempuan
Itu namanya kasih sayang
Laki membunuh perempuan
Itu namanya dosa besar
Laki-laki memperkosa perempuan
Itu namanya terkutuk
Menuntut ilmu buat kebaikan
Itu namanya bijaksana
Menuntut ilmu buat kejahatan
Itu namanya kesetanan
Dua tahun turun gunung
Malang melintang kelantang keluntung
Di timur membunuh
Di barat memperkosa
Di selatan membunuh dan memperkosa
Di utara memperkosa dan membunuh
Dosa setinggi gunung
Dosa di mana-mana
Kejahatan sedalam lautan
Kejahatan dimana-mana
Guru sendiri turun gunung
Dibunuh dengan kepala dingin
Itu namanya laknat kualat Pendekar Pemetik
Bunga yang merasa bahwa nyanyian itu
ditujukan kepadanya mengerling sekilas dan di
atas loteng yang bobol dari mana dia
menerobos masuk tadi dilihatnya dua orang
duduk berjuntai di atas tiang palang. Yang
seorang laki-laki berpakaian putih, dialah
yang menyanyi tadi.
Yang seorang lagi gadis cantik berpakaian
kuning!
Biarawati-biarawati yang ada di tepi ruangan
yang juga melihat ke atas loteng segera
mengenali pemuda yang bernyanyi itu yakni
bukan lain daripada Wiro Sableng Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212! Karenanya
mereka tidak ambil perduli. Sementara itu dari
kalangan pertempuran terdengar lagi pekik
Pendekar Pemetik Bunga. Ujung Sapu Jagat
telah melanda untuk kedua kalinya bagian
dada, sehingga jubah yang sudah robek kini
robek tambah besar. Kulit dada pemuda itu
sendiri kelihatan tergurat merah, sakitnya
bukan main!
Di atas loteng Sekar yang sudah sejak tadi tak
dapat menahan melompat turun, tapi
lengannya dicekal erat-erat oleh Wiro Sableng.
"Jangan bodoh! Jika kau mengetengahi
pertempuran itu salah-salah kau bisa kena
gebuk sapu Ketua Biara atau kena tersambar
racun jahat bunga kertas Pendekar Pemetik
Bunga!"
"Aku tidak takut mati! Biar mati asalkan
pemuda terkutuk itu mampus ditanganku!"
Sekar hendak melompat lagi tapi lengannya
tetap dicekal Pendekar 212 dan Wiro tak
perdulikan rutukan yang dikeluarkan gadis itu.
"Lihat saja dulu, Sekar! Sekarang belum
saatnya kita turun tangan!"
"Tapi kalau bangsat itu mampus di tangan
Ketua Biara. Aku akan menyesal percuma
seumur hidup!"
Wiro tertawa.
"Pendekar Terkutuk itu belum keluarkan ilmu
simpanannya, jangankan si Ketua, guru Ketua
Biara itupun tak bakal sanggup
menghadapinya!"
Sekar ingat akan ucapan Empu Tumapel yaitu
tentang ilmu "Jari Penghancur Sukma" yang
dimiliki Pendekar Pemetik Bunga! Karenanya
dia terpaksa ikuti nasihat Wiro dan tetap
duduk di samping pemuda itu di atas loteng.
Pertempuran di bawah sana sudah
berkecamuk enam puluh empat jurus!
"Crass!"
Pendekar Pemetik Bunga lompat ke luar dari
kalangan pertempuran sewaktu sapu lidi
senjata lawan membabat putus tangkai bunga
kertas sedang bunganya sendiri robek-robek
bertaburan!
"He… he… he… bersiaplah untuk menghadap
setan kuburan pemuda terkutuk!" kata Ketua
Biara Pensuci Jagat pula. Pendekar Pemetik
Bunga, yang biasanya menyahuti setiap
ejekan lawannya dengan beringas kini
bungkam seribu bahasa. Bola matanya
bersinar tapi kelopak matanya kelihatan
menyipit dan mencekung sedang tampangnya
buas dan mulutnya berkemik! Dia berdiri di
tengah ruangan dengan sepasang kaki
merenggang.
Tiba-tiba kelihatanlah ibu jari dan jari
telunjuk tangan kanannya memancarkan sinar
hitam! Pendekar 212 yang berada di atas
loteng tersentak kaget dan berseru keras.
"Ketua Biara Pensuci Jagat! Lekas
menghindar! Kau tak bakal sanggup
menghadapi ilmu Jari Penghancur Sukma itu!"
Tapi Supit Jagat tidak ambil peduli. Malah
dengan tubuh laksana gunung karang dia
tetap berdiri di tempat dan kerahkan seluruh
tenaga dalamnya ke sapu lidi di tangan
kanan!
Ibu jari dan jari telunjuk Pendekar Pemetik
Bunga mulai membentuk lingkaran. Sinar
hitam jari-jari itu menggidikkan.
"Ketua Biara, lekas menghindar!" seru Wiro
sekali lagi. Namun tetap Supit Jagat tidak
bergerak dan hadapi lawannya dengan penuh
ketabahan!
"Edan betul!" teriak Wiro Sableng!
Pendekar 212 bersuit nyaring. Tak seorangpun
yang melihat kalau tangannya sebelah kanan
saat itu sudah berubah menjadi putih laksana
perak menyilaukan!
Di lain kejap Pendekar Pcmetik Bunga
jentikkan jari telunjuknya.
Dihadapannya Supit Jagat hantamkan pula
sapu lidinya dalam satu jurus tusukan yang
dahsyat!
Larikan sinar hitam yang dahsyat
menggidikkan menggebu ke arah Supit Jagat.
Sinar hitam ini dipapasi oleh angin membadai
yang berwarna putih agak kelabu dari sapu
sang Ketua Biara! Hebatnya, sebelum dua
sinar maut itu sama-sama berbenturan, dari
atas loteng satu sinar putih yang panas dan
sangat menyilaukan memapak di tengah-
tengah kedua sinar tadi!
Itulah Pukulan Sinar Matahari yang telah
dilancarkan oleh pendekar 212 dari atas
loteng!
Tiga dentuman yang berkumandang secara
serentak menggetarkan bumi. Dunia laksana
mau kiamat! Dinding-dinding ruangan pecah-
pecah, banyak yang ambruk! Tiang-tiang
gedung biara beberapa diantaranya runtuh
bergemuruh! Loteng amblas! Biarawati-
biarawati yang ada di dalam gedung segera
berlompatan ke luar termasuk Pendekar
Pemetik Bunga dan Supit Jagat, Wiro Sableng
sendiri sabelumnya telah melesat
meninggalkan loteng bersama Sekar. Sewaktu
kedua orang ini sampai di halaman muka,
keduanya mendapatkan Ketua Biara dan
Pendekar Pemetik Bungs telah berhadap-
hadapan kembali!
Diam-diam Pendekar 212 berunding dengan
Sekar. Kemudian Wiro berseru, "Ketua Biara,
harap kau suka memberi kesempatan padaku
untuk turun tangan menjajal pemuda yang
katanya berilmu setinggi gunung sedalam
lautan dan congkak ini!"
Supit Jagat setelah melihat kehebatan ilmu
Jari Penghancur Sukma lawannya menyadari
bahwa dia tak akan sanggup menghadapi
Pendekar Pemetik Bunga! Seruan Pendekar
212 tadi adalah kesempatan yang paling baik
baginya untuk mengundurkan diri tanpa
kehilangan muka.
"Pendekar 212, jika kau memang punya
urusan tertentu dengan manusia keparat ini
silahkan maju!"
"Licik!" teriak Pendekar Pemetik Bunga.
Matanya beringas memandangi Wiro Sableng.
Pendekar 212 sebaliknya tertawa mengejek!
"Dalam kamus kehidupanmu, rupanya kau
masih kenal arti kata licik heh? Apakah kau
juga tahu apa artinya kebejatan? Apa arti
terkutuk dan apa arti kualat serta dosa?!"
Merah padam paras Pendekar Pemetik Bunga!
"Kunyuk bermuka manusia, kau siapa? Apa
kepentinganmu mencampuri urusan orang
lain?!"
"Apa kepentinganku? Banyak… banyak sekali
sobat! Kau bisa tanya nanti pada iblis-iblis
penjaga kubur atau setan-setan di neraka…"
Habis berkata begini Wiro Sableng tertawa
bekekekan.
"Anjing kurap yang tak tahu diri, makan jariku
ini!" Sinar hitam berkiblat melanda Wiro
Sableng!
Pendekar 212 yang sudah punya rencana
tersendiri tidak memapasi serangan lawan
dengan seluruh tenaga dalamnya. Dia tak
ingin manusia terkutuk itu mati dalam tempo
singkat!
Sambil lancarkan pukulan sinar matahari dia
melompat setinggi enam tombak. Dari bawah
Pendekar Pemetik Bunga kebutkan lengan
jubahnya!
Dua lusin bola-bola hitam menderu ke arah
Wiro Sableng. Yang diserang menyambut
dengan pukulan "Benteng Topan Melanda
Samudera." Dua puluh empat bola-bola hitam
itu meledak dan udara tertutup kabut hitam!
Pendekar 212 yang tahu maksud licik
lawannya, begitu kabut hitam menutupi
pemandangan segera jungkir balik dua kali
berturut-turut. Bila dalam sekejapan mata
kemudian dia sudah ke luar dari kabut hitam
itu maka kelihatanlah Pendekar Pemetik
Bunga melarikan diri ke arah pintu gerbang
biara. Lima orang biarawati yang menjaga
pintu itu sekali jentikan jari saja segera
dibikin meregang nyawa oleh Pendekar
Pemetik Bunga.
Pemuda ini kemudian bergerak cepat menekan
tombol rahasia pembuka pintu. Tapi Pendekar
212 tahu-tahu menghadang dihadapannya!
"Mau lari ke mana sobat?!" bentak Wiro
Sableng.
Sebenarnya Pendekar Pemetik Bunga
bukanlah seorang pengecut.
Namun melihat ilmu "Jari Penghancur Sukma"
yang dilancarkan terhadap Wiro Sableng tiada
mempan sama sekali maka lumerlah nyalinya!
Kegusaran membuat Pendekar Pemetik Bunga
menjadi kalap, apalagi dalam keadaan
kepepet begitu rupa. Dia menyerbu membabi
buta! Tangan kiri mengebutkan sabuk mutiara
sedang tangan kanan kembali lancarkan ilmu
"Jari Penghancur Sukma"
Wiro tetap tak mau sambuti serangan dahsyat
itu dengan kekerasan.
Dia jatuhkan diri ke tanah, bergulingling cepat
mendekati lawan sebelum larikan sinar hitam
menyerempet tubuhnya untuk kemudian tahu-
tahu dia sudah berada di belakang Pendekar
Pemetik Bunga!
Pendekar Pemetik Bunga membalikkan badan
secepat kilat. Tapi begitu tubuhnya berbalik,
begitu dua ujung jari melanda urat besar
dipangkal lehernya! Tak ampun lagi pemuda
terkutuk ini menjadi kaku tegang tubuhnya!
"He… he…. Apakah kini kau bisa jual tampang
pamerkan segala ilmu silat dan kesaktianmu,
manusia terkutuk?!" ejek Wiro Sableng.
"Bangsat rendah! Kelak kau akan rasakan
pembalasanku…!"
Sementara itu Sekar yang melihat musuh
besarnya berada dalam keadaan tertotok
segera datang berlari dan keluarkan Rantai
Petaka Bumi.
"Manusia bermuka iblis! Hari ini lunaslah
hutang jiwa orang tua dan adikku!"
"Wuut!"
Rantai baja dengan bola baja berduri menderu
ke arah kepala Pendekar Pemetik Bunga!
Pendekar ini membeliak besar kedua matanya,
keringat dingin berbutir-butir di keningnya!
Dari mulutnya ke luar jerit ketakutan setinggi
langit!
Sesaat lagi bola berduri itu akan menghantam
hancur remukan kepala Pendekar Pemetik
Bunga, satu tangan memukul ke depan dan
bola berduri lewat setengah jengkal di alas
kepala si pemuda yang sudah ketakutan
setengah mati.
"Wiro! Apa-apan kau?!" sentak Sekar karena
Wiro-lah yang membuat serangan mautnya
tak mengenai sasaran!
"Jangan bodoh, Sekar! Mati dalam tempo
yang singkat terlalu enak buat manusia
macam dia!" Wiro berpaling pada Ketua Biara
Pensuci Jagat dan beberapa biarawati yang
ada di situ. "Bukankah demikian?" ujarnya.
Supit Jagat tertawa mengekeh.
"Kita jebloskan saja dia ke dalam sumur
binatang berbisa!", mengusulkan Supit Jagat.
Wiro tertawa dan gelengkan kepala.
Dipegangnya dagu Pendekar Pemetik Bunga
lalu tanyanya, "Sobat, apakah kau pernah
memikirkan bagaimana sakitnya sekujur
tubuhmu bila jalan darahmu menyungsang
terbalik?!"
Pucat pasilah muka Pendekar Pemetik Bunga.
"Demi Tuhan, aku minta agar dibebaskan! Aku
bertobat. Betul-betul tobat…! Aku betul-betul
tobat…! Aku mohon keadilan!" kata Pendekar
Pemetik Bunga. Kepalanya dipalingkan pada
Supit Jagat, mohon belas kasihan. Dan saat
itu dia mulai menangis merengek-rengek
macam anak kecil!
"Kau mohon keadilan dan mohon
pengampunan?" tanya Supit Jagat dengan
tertawa-tawa.
"Ya, dan aku akan bertobat," sahut Pendekar
Pemetik Bunga.
"Baik, kami akan ampuni kau punya jiwa. Tapi
ada syaratnya!"
"Apapun syaratnya akan aku terima," kata
Pendekar Pemetik Bunga tanpa ragu-ragu.
Ketua Biara Pensuci Jagat tertawa,
"Syaratnya mudah saja. Cungkil sendiri kau
punya jantung dan serahkan padaku!"
Pendekar Pemetik Bunga menangis meraung-
raung minta diampuni. Matanya menjadi
bengkak dan merah.
"Pendekar 212, sebaiknya lekas saja dimulai
penjatuhan hukuman atas dirinya!" kata Supit
Jagat.
"Betul, makin cepat makin baik!"
Wiro membelai-belai rambut Pendekar
Pemetik Bunga dengan senyum-senyum.
"Kasihan.., kasihan…." katanya. Kemudian
dua jari tangannya bergerak melakukan
totokan di beberapa bagian tubuh Pendekar
Pemetik Bunga.
Semua orang menunggu apa yang bakal
terjadi. Pendekar Pemetik Bunga sudah
seputih kain kafan tampangnya, keringat
mengucur mulai dari kulit kepala sampai ke
kaki! Mula-mula dia tak merasakan apa-apa.
Tapi kemudian kepalanya terasa sampai sakit.
Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh!
Peredaran darah dalam tubuhnya tidak
normal lagi. Berdenyut membalik! Dan
lolongan-lolongan yang mengerikan ke luar
tiada hentinya dari mulut laki-laki itu.
Beberapa saat kemudian Wiro lepaskan
totokan di tubuh pemuda terkutuk itu. Kini
rasa sakit semakin menjadi-jadi. Dunia ini
seperti menyungsang di mata Pendekar
Pemetik Bunga. Dia lari sana lari sini,
berteriak tak karuan, mencak-mencak,
berguling di tanah! Beberapa menit berlalu
darah mulai mengucur dari kedua lobang
hidung, mata serta telinganya!
Wiro berpaling pada gadis baju kuning di
sebelahnya "Sekar, jika kau mau turun tangan
inilah saatnya. Tapi jangan bunuh dia
sekaligus!"
Rahang-rahang Sekar bergemeletakkan. Dia
maju satu langkah. Rantai Petaka Bumi
diputar-putar. Melihat ini Pendekar Pemetik
Bunga lari jauhkan diri.
Tapi "wuutt!"
Bola baja berduri menderu.
Pendekar Pemetik Bunga berteriak. Kupingnya
yang sebelah kanan putus! Darah mengucur
lebih banyak. Sekali lagi bola baja itu
berdesing dan kali yang kedua ini sasarannya
adalah telinga sebelah kiri Pendekar Pemetik
Bunga! Keganasan dendam Sekar tidak
sampai di situ saja, bola bajanya menderu
lagi menghantam hidung si pemuda hingga
hidung itu hancur melesak dan tampang
Pendekar Pemetik Bunga sungguh mengerikan
untuk dipandang!
"Sudah cukup, Sekar?!" tanya Wiro Sableng.
"Belum!" jawab gadis itu pendek dan beringas.
Sementara itu Pendekar Pemetik Bunga sudah
terhampar di tanah dekat tembok, megap-
megap dan masih menjerit-jerit! Di antara
jeritan itu terdengar lagi deru bola baja
berduri dua kali berturut-turut! Yang pertama
menghantam tangan kanan Pendekar Pemetik
Bunga, tangan yang telah puluhan kali
melakukan kejahatan membunuh manusia-
manusia tak berdosa! Hantaman yang kedua
melanda tepat pada anggota rahasia di
antara selangkangan Pendekar Pemetik Bunga
yang selama dua tahun telah puluhan kali
merusak kehormatan perempuan terutama
gadis-gadis berparas cantik!
Tubuh Pendekar Pemetik Bunga
mengegelepar-gelepar. Nyawanya masih
belum putus, hampir diambang sekarat!
"Ketua Biara Pensuci Jagat, bagaimana
dengan kau?," tanya Wiro.
Supit Jagat tertawa sedingin salju. Ingat dia
pada orang-orangnya yang telah menemui
ajal di tangan pemuda itu. Dia maju
selangkah.
"Pendekar terkutuk! Apakah kau masih bias
mendengar suaraku?!"
"Uh…uh.."
"Hem bagus… Meski matamu tak dapat
melihat karena genangan darah tapi
dengarlah aku akan lukis parasmu seindah
mungkin dengan sapu lidiku ini!"
Habis berkata demikian, Supit Jagat tusukkan
ujung sapu lidinya ke muka Pendekar Pemetik
Bunga! Jeritan pemuda itu terdengar lagi, tapi
tidak sekeras tadi. Suaranya sudah sember
dan mukanya mengerikan lebih kini! Tusukan
Sapu Jagat membuat mukanya itu laksana
dipanteki dengan ratusan paku!
Pendekar Pemetik Bunga menggelepar-
gelepar. Berguling ke kiri dan ke kanan,
bergelimang darah serta debu. Kematiannya
sungguh mengerikan. Namun mungkin itu
belum seimbang dengan kejahatan-kejahatan
yang paling terkutuk yang pernah
dilakukannya selama dua tahun.
T A M A T
Komentar
Posting Komentar