WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya : BASTIAN TITO
EPISODE : PENDEKAR PEDANG AKHIRAT
***********
Mungkin
ini adalah malam yang paling mengerikan
bagi Wiro Sableng selama dia menginjakkan
kaki dalam rimba persilatan Tiongkok. Segala
sesuatunya gelap, hitam memekat. Hujan
turun dengan lebat, angin bertiup dingin
mengeluarkan suara aneh tiada hentinya.
Sekalisekali guntur menggeledek dan di
kejauhan terkadang terdengar suara lolongan
liar serigala hutan.
Dalam keadaan basah kuyup Wiro berusaha
mencari perlindungan. Saat itu dia berada di
lereng sebuah bukit gundul, sekitar 100 lie
dari tembok besar.
"Hujan gila!" memaki Wiro. Dia lari terus.
Dalam kepekatan itu di kejauhan dilihatnya
satu bayangan hitam sebuah bangunan. Dia
tak dapat memastikan bangunan apa adanya
itu, namun Wiro segera menuju ke sana.
Sesaat kemudian, bila dia sampai ke tempat
tersebut ternyata klenteng yang sudah tidak
terpakai lagi, Wiro mendekam di bawah atap
klenteng yang miring. Hawa
dingin baginya bukan apa-apa tetapi perut
yang kosong keroncongan betul-betul
merupakan siksaan.
Sekilas kilat menyambar. Bumi sekejapan
terang lalu gelap lagi. Ketika sekali lagi kilat
berkiblat tibatiba sepasang mata Wiro yang
tajam melihat sebuah batu empat persegi
yang tebalnya hampir tiga jengkal, lebar dua
meter dan panjang tiga meter. Batu ini
menutupi hampir separuh dari bagian depan
klenteng itu.
Meskipun dia tak mengerti mengapa batu itu
sampai berada di tempat tersebut, dan
kelihatannya di sana, semula Wiro tak mau
ambil perduli. Namun ketika sekali lagi pula
kilat menyambar menerangi tempat itu. Tepat
di atas batu besar itu menggeletak sebuah
tengkorak kepala manusia. Sepasang matanya
yang merupakan dua buah lobang besar,
memandang menyorot mengerikan pada Wiro
sedang mulutnya seolah-olah melontarkan
seringai maut ke arah pendekar ini. Pada batu
besar itu, tepat di bawah tengkorak tadi,
terdapat tulisan yang agaknya dibuat dengan
darah berbunyi: Liang Se-thian (Liang
Akhirat).
"Gila betul! Apa-apaan ini?" membatin Wiro.
Meskipun bulu kuduknya agak merinding juga,
namun dia melangkah maju mendekati batu
besar itu.
Tangannya diulurkan menjamah tengkorak.
Batok tulang kepala itu terasa dingin. Jari-
jari tangan Wiro Sableng bergetar. Wiro
garuk-garuk kepala dengan tangan kiri.
Tangan kanannya kemudian mengangkat
tengkorak tersebut. Maksudnya hendak
ditelitinya. Namun mendadak sontak kelihatan
dua larik sinar hijau yang busuk membersit
dari sepasang rongga mata yang seram dari
tengkorak, menyambar ke muka Wiro. Dari
warna dan baunya sinar tersebut Wiro serta
merta dapat memastikan bahwa sinar ini
mengandung semacam racun yang amat
jahat. Sebenarnya dengan memiliki Kapak
Naga Geni 212 yang dapat memusnahkan
segala macam racun itu, Wiro Sableng tak
usah kawatir. Akan tetapi saking kagetnya,
pemuda ini secepat kilat meloncat sambil
memaki membantingkan tengkorak itu hingga
hancur berkeping-keping.
Secara tak sengaja tengkorak yang
dibantingkan Wiro membentur sebuah tombol
kecil yang terletak di saiah satu sudut batu
besar. Dan belum lagi pemuda ini habis
kejutnya tiba-tiba pula batu besar di
hadapannya bergeser ke samping. Sebuah
lobang gelap terbentang dan dari lobang ini
tiba-tiba sekali melesat sesosok bayangan
disertai mengumbarnya suara tertawa
bekakakan yang amat dahsyat.
Angin kelebatan bayangan tadi demikian
hebatnya hingga membuat Pendekar 212 Wiro
Sableng terhuyung-huyung ke samping, Wiro
cepat berpaling.
Sesosok tubuh yang berpakaian compang
camping kurus kering tiada beda dengan
jerangkong hidup dan di bawah rambutnya
yang panjang awut-awutan terdapat
wajahnya yang menyeramkan macam iblis
ganas. Dia masih terus mengumbar
tertawanya yang seram menggetarkan itu.
Sedang sepasang matanya yang cekung
memandang tidak berkedip pada Pendekar
212.
Wiro Sableng tetapkan hati mengusir rasa
ngeri dan berseru, "Siapa kau?! Manusia apa
bangsa setan pelayangan!"
Orang yang ditanya tidak menjawab. Malah
dia mendongak dan kembali menghamburkan
suara tertawanya yang lantang menyeramkan.
Dia tertawa sepuas-puasnya. Dan bila
tawanya itu berhenti tibatiba dia membuka
mulut.
'"Tiga tahun dipendam tidak membuat aku
mati! Tiga tahun disekap tidak membuat aku
mampus! Tiga tahun dikubur tidak menjadikan
aku modar! Betapa tingginya kekuasaan
Thian!"
Wiro yang tak mengerti makna kata-kata
orang aneh itu jadi garuk-garuk kepala.
Siapakah adanya manusia yang ada di
depannya itu, kalau dia memang manusia?
Apakah dia telah terkurung atau dipendam
dalam liang batu itu selama tiga tahun?
Tanpa makan dan minum tapi toh bisa
hidup." Hanya satu hal yang dapat dipastikan
oleh Wiro yakni orang bermuka hampir seperti
muka tengkorak itu memiliki ilmu yang tinggi.
Ini terbukti dengan angin kelebatannya waktu
keluar dari liang tadi, yang telah membuat
Wiro Sableng terhuyung!
"Budak! Kau kemarilah!" Tiba-tiba orang itu
berseru dan melambaikan tangannya ke arah
Wiro.
Aneh! Seolah-olah ada satu kekuatan gaib
yang menariknya, Wiro kemudian melangkah
ke hadapan orang itu. Dia memperhatikan
pendekar kita dengan matanya yang cekung
seram.
"Heh, kau orang asing? Bukan orang sini! Tapi
sudah, aku tak perduli! Katakan siapa
namamu!"
Wiro sebutkan namanya.
"Locianpwe sendiri siapakah kalau siauwte
boleh tanya?"
"Saat ini kau belum layak mengetahui siapa
diriku. Tapi budak, ketahuilah. Kau telah
menyelamatkanku. "Ujarnya mengatakan.
"hutang emas dapat dibayar, hutang budi
dibawa mati. Membawa mati budi itulah yang
aku tidak sudi. Karena kau telah selamatkan
jiwaku dari liang neraka keparat ini maka aku
akan memberikan tiga jurus ilmu pedang!"
Wiro Sableng jadi kaget.
"Locianpwe…" katanya. "Aku tak merasa
menolongmu, apalagi menyelamatkan
jiwamu?"
"Tidak merasa…?" Orang aneh bermuka dan
bertubuh tengkorak itu kembali tertawa gelak-
gelak. "Kau telah menggeser batu besar itu
hingga kini aku bebas. Tiga tahun lamanya
aku disekap di liang jadah ini! Kalau tidak
ada kau mungkin sampai mati aku akan
mendekam terus di situ! Bukankah itu berarti
kau telah menyelamatkan diriku? Menolong
jiwaku!?"
"Kurasa semua itu terjadi dengan tidak
Sengaja. Hari hujan dan aku tersesat
kemari…."
"Sengaja atau tidak tapi tetap kau adalah
tuan penolongku, budak! Nah sekarang kau
bersiap-siaplah untuk menerima tiga jurus
ilmu pedang dariku!"
"Aku tanya dulu, Locianpwe!" memotong Wiro.
"Tanya apa?"
"Tiga tahun dipendam di dalam liang batu ini,
bagaimana Locianpwe masih bisa hidup?"
"Bukan cuma masih bisa hidup, malah
menambah ilmu kesaktianku."
"Ah, itu hebat sekali! Tapi cobalah Locianpwe
terangkan bagaimana hal itu bisa terjadi.
Manusia biasa tak bakal bisa terus hidup.
Kecuali kalau Locianpwe ini sebangsa jin…!"
Sesaat orang tua bermuka tengkorak itu
mendelik dan mimiknya seperti hendak
menelan Wiro bulat-bulat. Tapi sesaat
kemudian kembali suara tertawanya yang
dahsyat terdengar.
"Terhadap orang yang telah menolong jiwaku
tiada beda seolah-olah aku telah meminjam
nyawamu sendiri. Karenanya apa pun yang
kau bilang aku tak akan marah!"
"Ah, kau terlalu berlebih-lebihan, Locianpwe…"
"Mungkin… mungkin. Sekarang bersiaplah
untuk menerima pelajaran ilmu dariku. Tapi…"
Orang itu sejenak berpikir-pikir.
"Sebelum pelajaran ilmu pedang, sebaiknya
lebih dulu kuberikan sepertiga iwekangku
padamu!"
"Locianpwe, sebenarnya untuk satu
pertolongan yang tidak sengaja itu aku tidak
meminta balas jasa apa…."
"Perduli apa, toh aku memberikannya dengan
sukarela."
"Walaupun begitu aku tetap tak layak
menerimanya."
"Sudahlah, jangan banyak mulut. Lekas duduk
bersila dan hadapkan punggungmu padaku.
Aku akan buka jalan darah tay hwi hiat di
bagian tubuhmu itu!"
Wiro tak bisa berbuat apa-apa selain
mengikuti dan duduk bersila. Si muka
tengkorak kemudian berlutut di belakang Wiro
dan letakkan kedua telapak tangannya pada
punggung pemuda ini. Sesaat kemudian Wiro
merasakan punggungnya menjadi hangat.
Hawa hangat itu terus mengalir menembus
kulit dan daging di punggungnya, mengalir ke
seluruh pembuluh darahnya. Sekira
seperempat jam kemudian dengan butiran-
butiran keringat di kening dan pakaiannya
yang compang-camping basah kuyup, si
orang tua itu buka kedua matanya dan
berdiri. Dia menghela nafas lega.
"Berdirilah!"
Ketika berdiri Wiro merasakan betapa
tubuhnya kini terasa amat mantap dan
enteng. Sebagai seorang pendekar sakti
mandraguna sebelumnya Wiro Sableng telah
memiliki iwekang (tenaga dalam) yang amat
tinggi. Ini ditambah pula dengan sepertiga
bagian tenaga dalam baru dari seorang sakti
misterius itu, dengan sendirinya dapat
dibayangkan bagaimana hebat dan luar
biasanya tenaga dalam yang sekarang dimiliki
oleh Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Eyang
Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu.
"Sekarang kau perhatikan baik-baik. Aku akan
mainkan tiga jurus ilmu pedang yang dahsyat.
Sesudah itu kau menirukannya."
Orang sakti aneh itu rentangkan kedua
kakinya. "Ini jurus pertama. Bernama Cip
hian-jay-hong (Tibatiba muncul pelangi).
Perhatikan baik-baik!" Kemudian, "Jurus
kedua Lo han Ciang-yau (Malaikat
Menundukkan Siluman)" Setelah itu, "Dan ini
jurus terakhir kunamai: Kui-gok-sin-ki atau
Setan Meratap Malaikat Menangis! Nah
sekarang kumainkan sekali lagi satu persatu
dan kau menirukannya."
Wiro manggut-manggut sambil garuk-garuk
kepala dan sepasang matanya memperhatikan
dengan teliti. Bila orang tua tak dikenal ini
selesai memainkan jurus pertama yang
disebut "Tiba-tiba Muncul Pelangi" maka Wiro
pun menirukannya. Demikian seterusnya.
Si orang tua tertawa lebar dan usap-usap
janggutnya yang panjang acak-acakan.
"Budak, ternyata kau memiliki dasar ilmu silat
yang tinggi dan meskipun tampangmu tolol
tapi otakmu cerdas. Hanya dua kali melihat,
kau sudah dapat menirukan masing-masing
jurus ilmu pedang tadi tanpa salah sedikitpun!
Dan dalam gelapnya cuaca begini, kau betul-
betul hebatl Asal kau rajin melatih diri, pasti
kau tak akan dapat dirubuhkan oleh jago
pedang dari negeri mana punl"
Wiro garuk-garuk kepala.
"Nah, untuk sementara segala hutang budi
kurasa sudah terbayar. Cuma hutang nyawa
yang masih belum impas. Di lain hari kelak
aku akan datang membayarnya berikut
bunganya. Selamat tinggal budak…. "
"Locianpwe, tunggu!" Wiro berseru cepat.
"Ada apa pula, budak?!"
"Sudilah Locianpwe mengatakan siapa adanya
manusia jahat yang telah mencelakakan dan
memendam Locianpwe dalam liang batu itui"
"Memangnya kenapa, budak?"
"Aku akan mencarinya guna membalaskan
sakit hati Locianpwe sebagai tanda terima
kasih atas budi baik yang Locianpwe berikan
hari ini padakul"
Si orang tua tertawa gelak-gelak. "Budak,
ternyata kau seorang yang punya hati polos,
budi luhur dan tahu peradatan. Tapi
ketahuilah, soal dendam kesumat dengan
orang yang telah menjebloskan diriku dalam
liang akhirat ini biarlah tetap menjadi
urusanku dan tanggung jawabku!"
"Satu pertanyaan lagi, Locianpwe," kata Wiro.
Tapi astaga! Padahal kata-kata terakhir orang
itu masih ternigiang di telinga Wiro, tapi
sosok tubuhnya sendiri sudah berkelebat
lenyap dari hadapannya. Tadi dia hendak
menanyakan bagaimana selama tiga tahun
terpendam di liang batu itu si orang tua
masih bisa hidup. Tapi yang hendak ditanya
sudah melesat pergi. Wiro melangkah
mendekati lobang batu itu. Gelap. Dia berlutut
dan meluruskan tangannya meraba-raba.
Aneh, dinding liang itu dirasakannya basah
dan berlapis semacam benda lembut. Ketika
dikorek dan diteliti ternyata adalah sejenis
lumut yang dapat dimakan.
"Hemm…" menggumam Wiro. Kini dia
mengerti. Liang batu tersebut ditumbuhi oleh
lumut dan lumut inilah yang menjadi satu-
satunya makanan yang menjadi pengisi perut
orang misterius tadi selama tiga tahun
dipendam di situ!
Perlahan-lahan Wiro berdiri. Di luar hujan
telah mulai reda. Tiba-tiba sepasang telinga
Wiro yang tajam mendengar suara berdesir, di
belakangnya lima pisau terbang menderu ke
arah lima bagian tubuh pendekar ini. Tahu
bahaya mengancam secepat kilat Wiro
jatuhkan diri dan berguling ke sudut ruang ini.
Lima pisau melabrak dinding, sebuah
menancap, empat lainnya jatuh
berkerontangan di lantai.
"Pembokong pengecut! Coba perlihatkan
tampangmu!" teriak Wiro marah.
Dua sosok tubuh kemudian melesat masuk ke
ruangan itu. *** 2 DUA orang yang barusan
melesat masuk itu bertampang garang dan
seram. Rambut merah panjang awut-awutan,
kumis dan janggut berangasan. Mereka
mengenakan jubah hitam. Pada leher masing
masing tergantung sebuah kalung emas yang
mata kalungnya merupakan kepala seekor
harimau tengah mengangakan mulutnya.
"Aku tidak kenal siapa kalian! Sama sekali
tidak ada permusuhan di antara kita. Kenapa
kalian menyerangku?" Wiro menghardik.
Kedua orang itu tidak menjawab. Yang satu
melangkah mendekati liang batu dan
memandang tajam ke dalam. Sesaat
kemudian dia berpaling pada kawannya dan
dengan paras berubah kaget dia berseru,
"Liang batu ini kosong!"
"Hah?!" sang kawan tampaknya juga kaget
sekali dan dengan satu gerakan kilat tahu-
tahu sudah berada di tepi lobang batu.
Memandang ke bawah dilihatnya liang batu
itu benar-benar kosong.
"Pasti bangsat inilah yang telah
melepaskannya!"
Sesaat kedua orang itu memandang melotot
pada Wiro. Salah seorang dari mereka
mendengus, dan buka mulut, "Mengaku!
Bukankah kau yang telah menggeser batu
besar ini dan melepaskan orang yang
dipendam di dalamnya?!"
Wiro Sableng paling benci pada manusia-
manusia yang kasar dan galak serta
memandang rendah orang lain seenak
perutnya. Apalagi barusan kedua orang tak
dikenal itu telah membokongnya dengan satu
serangan maut. Maka pemuda ini pun
menjawab.
"Datang dengan baik, berkata dengan baik,
bertanya dengan baik itulah peradatan dunia
kangouw!"
"Kurang ajar! Budak hina dina macammu ini
hendak memberi kuliah pada kami? Apakah
tidak melihat gunung Thay-san di depan
mata?!"
Sebenarnya Wiro telah jengkel melihat dua
manusia-manusia di hadapannya itu. Namun
ditindasnya rasa jengkel itu dan sebelum dia
menghajar mereka, ingin terlebih dahulu
hendak dipermainkannya. Dia garuk-garuk
kepala, mendelikkan mata dan kerenyitkan
kening lalu memandang berkeliling celingukan.
"Gunung Thay-san, katamu heh! Aku tak
mellihatnyal Kau tentu sudah keblinger sobat!
Gunung Thay-san jauh dari sini. Ribuan lie,
mana aku bisa melihat? Apalagi malam gelap
gulita begini!"
"Bangsat gila! Berani kau mempermainkan
Siang-mo-kiam! Kepalamu menggelinding
detik ini juga!"
Habis membentak begitu, tak tahu kapan dia
mencabut pedang, tiba-tiba saja sinar putih
bertabur di depan hidung Wiro Sableng.
Untung saja pendekar ini waspada dan buru-
buru menyurut tiga langkah.
Kalau tidak niscaya lehernya tersambar putus
dan kepalanya benar-benar dibikin
menggelinding oleh pedang lawan.
"Siang mo-kiam? Sepasang Pedang Iblis?!
Hem, tampang kalian memang pantas disebut
iblis kesiangan!"
Di hadapan Wiro kini kedua orang berjubah
hitam itu masing-masing telah mencekal
sepasang pedang perak. Keduanya berputar-
putar mengelilingi Wiro. Tiba-tiba salah
seorang dari mereka berteriak nyaring dan
detik itu juga empat bilah pedang berkiblat
bersuitan menggempur empat bagian tubuh
Pendekar 212 Wiro Sableng!
Wiro jadi terkesima. Memandang berkeliling
dia tak dapat lagi melihat kedua musuhnya.
Di sekitarnya kini hanya terlihat gulungan-
gulungan sinar putih yang membuntal-buntal
menyelubungi dirinya. Tak satu jalan keluar
pun tampak, sedang buntalan gulungan-
gulungan sinar pedang musuh detik demi
detik semakin menyempit. Pakaian dan
rambut Wiro sampai berkibar-kibar oleh
kerasnya deru angin sambaran empat pedang
lawanl
"Hebat!" mengagumi Wiro dalam hati. Seumur
hidupnya baru hari itu dia melihat ilmu
pedang yang demikian luar biasanya.
Pendekar ini bersuit nyaring dan lepaskan
satu pukulan sakti. Segulung angin menerpa
ke depan memapasi sinar pedang yang
bergulung-gulung.
Terdengar dua seruan tertahan dan kedua
penyerang merasakan tubuh mereka terdorong,
pedang masing-masing menyibak tak karuan.
Mau tak mau keduanya cepat mundur. Namun
serentak kemudian mereka menyerang
kembali. Dan kali ini permainan pedang
mereka berubah amat ganas hingga dalam
waktu singkat terdengar "bret… bret…!" Dua
bagian pakaian putih Pendekar 212 kena
dirobek!
Wiro menggerung marah. Dia bersult nyaring
dan lepaskan pukulan sakti bernama "Benteng
Topan Melanda Samudera". Dia cuma
kerahkan sepertiga bagian tenaga dalamnya,
tetapi karena tadi sebelumnya dia telah
menerima tambahan iwekang dari si orang
tua misterius maka kini daya kekuatan tenaga
dalam itu hebatnya bukan main.
Siang-mo-kiam terpental hampir setengah
tombak.
Memikir sampai di situ maka Wiro kerahkan
ginkangnya yang tinggi dan berkelebat lenyap.
Sebelum kedua musuh tahu di mana dia
berada tahu-tahu salah seorang dari mereka
merasakan pedang di tangan kirinya terbetot
lepas! Dan di lain kejap bila dia memandang
ke depan dilihatnya Wiro telah berdiri dengan
dua kaki terpentang dan pedang melintang di
depan dada!
Saking kagetnya, kedua orang itu sesaat jadi
kesima. Betapa tidak. Selama 20 tahun
malang melintang dalam dunia kangouw
belum ada satu lawan pun yang mampu
berbuat demikian terhadap sepasang Pedang
Iblis. Jangankan untuk merampas pedang,
lolos dari kepungan empat bilah senjata maut
itu pun tiada yang sanggup. Hari ini Sepasang
Pedang Iblis atau Siang-mokiam betul-betul
dibuat
mendelik mata masingmasing.
"Orang asing, siapakah kau sebenarnya?!"
Wiro ganda tertawa.
"Kalian berlututlah minta ampun di depanku,
baru aku kasih tahu nama tuan besarmu ini!"
Wajah kedua orang itu tegang membesi. Mata
mereka laksana dikobari api, saking
marahnya. Penghinaan begini rupa tak pernah
mereka terima sebelumnya.
"Anjing liar! Lekas sebutkan namamul Siang-
mokiam tak pernah membunuh musuh yang
tak bernama!"
Kembali Wiro perdengarkan suara tertawa.
Kali ini bernada mengejek.
"Jika kau tidak mau kasih tahu nama tidak
apa. Berarti kau bakal mati dengan
penasaran! Sekarang beri tahu cepat ke mana
perginya orang yang dipendam di dalam liang
sini?!"
"Katakan dulu apa sangkut paut kalian
dengan dia?!" balik bertanya Wiro.
"Budak keparat ini terlalu banyak bacot! Lebih
bagus kita bereskan saja cepat-cepat dan
bawa kepalanya ke hadapan Dewi sebagai
pertanggungan jawab!" Habis berkata begitu
salah seorang dari dua manusia berjubah itu
mendahului menyerang, tapi kawannya pun
kemudian menyusul pula dalam satu gerakan
kilat. Kini hanya tiga pedang yang datang
menggempur, tapi kehebatannya tetap tiada
kepalang dan sedikit saja Wiro lengah
pastilah akan terkutung-kutung bagian
tubuhnya!
Di lain pihak Wiro memang sudah tunggu dan
mengharapkan serangan ini. Tiga pedang
bertaburan di depan matanya. Dengan tenang
Wiro mainkan jurus pertama ilmu pedang
yang baru diterimanya yakni "Cip-hian jay
hong" atau "Tibatiba Muncul Pelangi". Pedang
perak di tangannya bersuit ke udara
menimbulkan sinar berkilauan hampir selebar
satu tombak dan melengkung!
"Jurus Tiba-tiba Muncul Pelangi!" salah
seorang dari Siang-mo-kiam berseru kaget
dan melompat mundur.
Tapi "tring… tring!"
Pedang kedua orang mental patah ke udara.
Yang satu terhuyung sambil pegangi dadanya
yang koyak besar. Lalu tergelimpang mandi
darah. Kawannya mengerang terduduk di
pojok kiri ruangan sambil pegang lengan
kirinya yang buntung dan berkucuran darah!
Sesaat Wiro sendiri jadi melotot, tak percaya
akan apa yang dilihatnya. Dia barusan telah
memainkan jurus pertama dari ilmu pedang
aneh yang dipelajarinya, bahkan jurus
pertama itu pun belum rampung
keseluruhannya dan tahu-tahu kedua
lawannya telah roboh demikian rupa!
Melihat kawannya mati si jubah hitam yang
lengan kirinya buntung menggembor marah.
Mukanya ganas sekali.
"Keparat! Ada hubungan apa kau dengan
Pendekar Pedang Akhirat Long-sam-kun?!"
"Aku mana tahu segala macam akhiratl
Sebaiknya nanti saja kau lihat sendiri
bagaimana keadaan di akhirat itu!"
"Setan! Jika kau bukan muridnya tua bangka
Long-sam-kun itu tak nanti kau memiliki ilmu
pedang itu! Tapi jangan kira aku takut
padamu! Hari ini aku mengadu jiwa
denganmu! Nyawa kawanku harus kau bayar
dengan nyawa anjingmu!"
Orang itu melompat. Meskipun lengannya luka
parah, buntung dan masih mengucurkan
darah serta cuma memegang satu pedang di
tangan kanan, namtjn masih saja serangan
yang dilancarkannya itu hebat berbahaya.
Wiro berkelebat ke samping dan siap
membalas kembali dengan ilmu pedang yang
baru dikuasainya, namun tiba-tiba serangan
itu ditariknya kembali. Dia tak ingin musuh
kedua ini menemui kematian pula. Lebih
penting bila dia bisa mendapatkan keterangan
mengapa mereka begitu bernafsu
menginginkan jiwanya dan siapakah
sebenarnya Pendekar Pedang Akhirat Long-
sam-kun itu, apakah orang tua yang
dipendam dalam liang batu dan ditolongnya
itu?
Pada saat tebasan pedang lawan lewat, Wiro
kirimkan satu serangan susupan ke arah iga
musuh. Namun ini cuma satu tipuan saja,
karena begitu lawan berkelit dan hendak
membacok ganas, Wiro sudah selundupkan
kaki kanannya. Tendangannya tepat
menghantam pinggul orang itu dan membuat
musuh terpekik melintir dan pedangnya lepas
dari genggaman.
Selagi dia terhuyung-huyung, Wiro jambak
rambutnya yang merah dengan tangan kiri.
"Katakan, siapa yang menyuruhmu inginkan
jiwaku?!"
"Tidak ada yang menyuruhl"
"Keparat, jangan dusta! Jika kau tak mau
bicara…." Wiro Sableng pelintir kepala orang
itu hingga dia merintih kesakitan. "Kau masih
ingin hidup?"
"Percuma saja. Kau sudah bunuh kawanku.
Dan kalaupun aku hidup tiada gunanya."
"Kenapa tiada guna?"
"Pemimpinku akan menghukumku dengan
kematian juga!"
"Hem… sekarang kau nyerocos sendiri. Ayo
katakan siapa pemimpin kalian!" sentak Wiro.
"Baik, aku akan bicara. Tapi lepaskan dulu
jambakanmul" jawab orang itu.
Wiro lalu lepaskan jambakannya pada rambut
musuh. Namun baru saja jambakan
dilepaskan, tibatiba sekali, di luar dugaan
Wiro, orang itu angkat tangan kanannya dan
"brak!" Dia berjibaku.
Kepalanya dipukul sendiri hingga rengkah!
Nyawanya putus detik itu juga!
"Keparat, aku kena ditipu! Manusla tolol!
Diberi hidup inginkan mampus!"
Wiro bantingkan pedang perak ke lantai.
Setelah merenung sejenak dia mendekati
mayat Siang-mokiam dan menanggalkan
kalung emas berkepala harimau itu dari leher
keduanya. *** 3 WIRO SABLENG Sableng
lenggang kangkung memasuki kota Khay-
hong tanpa memperdulikan orang yang
memperhatikannya. Di hadapan sebuah kedai
kecil dia berhenti. Masuk ke sana didapatinya
sudah ada beberapa orang tamu asyik makan
bubur ayam dan meneguk teh hangat. Wiro
mengambil tempat duduk dan sebagaimana
biasa pandangan mata orang kemudian
tertuju penuh perhatian padanya. Selesai
mengisi perut Wiro bermaksud untuk
melanjutkan perjalanan. Dia ingin buru-buru
mencari tahu siapa adanya kedua orang
berkalung emas yang semalam berniat
membunuhnya di bekas reruntuhan klenteng.
Karenanya, setelah membayar harga makanan
dan minuman, segera dikeluarkannya kalung
harimau emas dan diperlihatkannya pada
pemilik kedai.
"Lopek, mungkin kau mengetahui sesuatu
yang berhubungan dengan kalung ini…?"
Sesaat matanya melihat kalung harimau emas
yang digoyang-goyangkan Wiro di tangan
kanannya, paras pemilik kedai serta merta
berubah pucat pasi. Tetamu lain yang juga
ada di kedai itu kelihatan menjadi ketakutan,
beberapa di antaranya segera menyingkir.
"He…?" Wiro tentu saja menjadi heran.
Di hadapannya pemilik kedai jatuhkan diri
berlutut dan menjura berulang kali.
"Mohon dimaafkan aku si orang tolol ini yang
tidak mengetahui gunung Thay-san di depan
mata."
"Lagi-lagi gunung Thay-san!" menggerutu
Wiro di dalam hati.
"Ampunilah selembar jiwaku yang tiada
berharga ini karena aku sebelumnya tidak
mengetahui kalau tayhiap adalah anggota
dari Hun-tiong Houw mo yang termasyur itu."
Habis berkata demikian pemilik kedai itu
lantas keruk sakunya, mengeluarkan beberapa
tail perak yang barusan diterimanya dari Wiro
dan mengembalikannya pada pemuda itu
seraya berkata, "Harap tayhiap sudi
menerimanya kembali. Untuk segala hidangan
yang tak seberapa itu masakan aku berani
meminta bayaran pada tayhiap. Kehadiran
tayhiap di sini sesungguhnya satu kehormatan
besar bagiku…."
"Eh, lopek. Jadi aku ini tak usah
membayar…?"
"Betul… betul…."
Wiro garuk-garuk kepala dan memasukkan
kembali beberapa tail perak itu ke dalam
pakaiannya. Diam-diam dia semakin heran.
"Jika sekiranya tayhiap ingin anggur atau
arak yang baik untuk di perjalanan, aku
segera akan menyediakannya…."
"Tak usah… tak usah," kata Wiro pula seraya
geleng-geleng kepala. Sebenarnya Wiro ingin
menanyakan apa yang dinamakan Hun-tiong
Houw-mo (Siluman Harimau Dari Hun Tiong)
itu. Siapa pemimpinnya dan di mana letak
markasnya. Di samping itu apakah kalung
harimau tersebut merupakan tanda bagi
setiap anggota Hun-tiong Houw-mo. Namun
tentu saja saat ini dia menjadi kebingungan
karena si pemilik kedai telah menganggapnya
sebagai salah seorang anggota dari Hun-
tiong Houw-mo. Tampaknya nama Hun-tiong
Houw-mo begitu ditakuti di Khay-hong. Dan
ini berarti Hun-tiong Houwmo bukanlah
sesuatu yang baik. Setelah merenung sejenak
akhirnya sambil garuk-garuk kepala Wiro
putar tubuh dan tinggalkan kedai itu. Kalung
emas dimasukkannya kembali ke dalam
pakaiannya.
Pada saat dia keluar dari kedai, matahari
telah mulai naik. Wiro memandang berkeliling
di mans kira-kira dia bisa mendapatkan
keterangan tentang spa yang dinamakan Hun-
tiong Hauw-mo itu. Di ujung jalan sebelah
kanan dilihatnya dua orang pemuda berjalan
kaki ke arahnya Wiro menunggu sampai kedua
orang pemuda itu sampai ke dekatnya. Namun
tiba-tiba dari ujung lain sebelah kiri terdengar
gemeletak roda gerobak yang ditingkah oleh
derap kaki-kaki kuda berisik sekali.
Wiro berpaling ke kiri! Sebuah gerobak yang
ditarik oleh dua ekor kuda besar lewat dengan
cepatnya. Di sebelah depan duduk dua orang
lelaki bermuka bengis. Di bagian belakang
yang terbuka duduk pula dua lelaki yang juga
bermuka ganas.
Masing-masing memanggul golok besar pada
punggungnya. Di atas gerobak terdapat
sebuah peti mati berwarna hitam.
Di belakang gerobak ini mengikuti seorang
lelaki separuh bays berpakaian ungu. Di balik
pinggang pakaiannya tersembul gagang
sebilah senjata. Orang ini menunggang seekor
kuda coklat. Sebenarnya tak ada yang
menarik perhatian Wiro atas lewatnya
rombongan pembawa peti mati ini, jika saja
sepasang matanya yang tajam tidak melihat
seuntai kalung emas berkepala harimau yang
tergantung pada leher penunggang kuda
coklat itu.
Wiro memandang berkeliling. Di seberang
jaIan sana dilihatnya tertambat seekor kuda
putih di depan sebuah toko kecil. Tanpa pikir
panjang lagi Wiro segera lari ke seberang
jalan, membuka ikatan kuda pada tiang lalu
melompat ke punggung binatang ini. Baru
saja dia menarik tali kekang kuda tibatiba
dari toko keluarlah seorang dara berbaju
merah. Parasnya yang jelita serta merta
berubah marah.
"Pencuri kuda kurang ajar! Berhentilah jika
tidak kepingin mampus!"
Namun mana Wiro mau perduli. Menoleh pun
tidak. Niatnya sudah bulat untuk mengejar
rombongan pembawa peti mati tadi dengan
cepat.
Melihat teriakannya tidak diacuhkan, dara
baju merah tadi keruk saku pakaiannya dan
sesaat kemudian dua puluh jarum beracun
berwarna hijau melesat menyebar, hampir tak
kelihatan saking cepatnya, menderu ke arah
20 jalan darah di tubuh Wiro Sableng.
Di antara kerasnya derap kaki kuda putih yang
sedang dipacunya itu, Wiro mendengar suara
bersiuran di belakang punggungnya yang
disertal sambaran angin halus. Sebelumnya
dia sudah mendengar bentakan seorang
perempuan. Semua itu sudah jelas
menunjukkan bahwa dia tengah diserang
dengan piauw secara ganas.
Tingkat kepandaian murid Eyang Sinto
Gendeng yang tengah merantau di negeri
orang itu seperti diketahui sudah mencapal
tingkat tinggi. Karenanya meskipun diserang
dari belakang demikian rupa, cukup tanpa
menoleh dia lambaikan tangan melepas
pukulan "Angin Puyuh".
20 piauw beracun yang dilemparkan dara
berbaju merah serta merta mental dan luruh
ke tanah. Sang dara kaget bukan kepalang.
Dia menggembor marah dan melompat
sampai tiga tombak ke depan untuk mengejar
Wiro. Namun tentu saja dia tak dapat
mengejar kuda besar yang larinya cepat luar
biasa itu. Baru saja dia membuat lompatan,
Wiro dan kuda putihnya sudah lenyap di balik
tikungan jalan. Dara ini mengomel setengah
mati. Namun apakah yang bisa dibuatnya…?
Setelah menempuh jarak lebih dari 80 lie,
rombongan yang dibuntuti oleh Wiro Sableng
berhenti di sebuah telaga kecil. Sebenarnya
Wiro sudah gatal untuk buru-buru turun
tangan terhadap rombongan tersebut.
Pertama untuk menyelidiki apa sebenarnya
rahasia yang ada di balik kalung emas
berkepala harimau itu. Apa dan siapa
sebenarnya Hun-tiong Hauw-mo itu dan di
mana markasnya. Apa tujuan komplotan
Siluman Harimau tersebut jika memang dia
merupakan satu komplotan. Lalu apa sangkut
pautnya dengan tua renta aneh yang secara
tak sengaja telah ditolongnya ke luar dari
Hang akhirat malam tadi. Namun karena
memikir mungkin sekali rombongan pembawa
peti mati itu tengah menuju ke markas Hun-
tiong Hauw-mo maka Wiro mempersabar diri
dan terus melakukan penguntitan secara
diam-diam.
Memperhatikan peti mati di atas gerobak dari
tempat persembunyiannya di balik semak-
semak, Wiro jadi berpikir-pikir kembali.
Apakah peti mati itu kosong atau ada isinya?
Jika kosong apa gunanya dibawa demikian
jauh. Kalaupun untuk penguburan jenazah,
adalah terlalu mencapaikan diri harus
memesan peti mati dari tempat yang amat
jauh. Sebaliknya jika dalam peti mati itu
memang ada jenazahnya, kenapa rombongan
membawanya dengan amat tergesa-gesa?
Tidak lazim sama sekali mayat diangkut
begitu sembrono, di atas gerobak yang dipacu
kencang terus menerus, apalagi jalan
demikian buruknya.
Sementara orang-orang dalam rombongan itu
beristirahat sambil meneguk arak, Wiro
Sableng cuma bisa leletkan lidah membasahi
bibir.
Tak lama kemudian rombongan itu dilihatnya
bersiap-siap hendak berangkat kembali. Dan
kembali pula Wiro bersama kuda curiannya
mengikuti orang-orang itu.
Beberapa jam kemudian di ufuk barat sang
surya telah mulai merosot ke titik
tenggelamnya. Warnanya yang tadi putih
menyilaukan dan terik kini kelihatan menjadi
redup kemerah-merahan. Pada saat itulah
rombongan pembawa peti mati memasuki
kota Ci-bun. Mereka langsung menuju sebuah
hotel. Dua orang jongos keluar menyambut
kedatangan mereka. Namun keduanya serta
merta tersurut langkah ke belakang dan pucat
pasi wajah masing-masing. Mata mereka
mendelik memandang kalung kepala harimau
yang tergantung pada leher penunggang kuda
berpakaian ungu. Seolah-olah kedua jongos
hotel ini telah melihat setan kepala sepuluh
yang mengerikan!
Orang yang dipandang dengan mimik
ketakutan itu kelihatan menyeringai. Dia
membuka mulut dan bicara dengan nada
keras. "Untuk malam ini semua kamar hotel
kami sewa. Ini hadiah dua tail perak untuk
kalian. Tapi ingat! Awas jika kalian berani
memberikan satu kamar saja buat siapa pun!"
Habis berkata demikian lelaki baju ungu
lantas lemparkan dua tail perak pada kedua
jongos. Meskipun tadi ketakutan setengah
mati, namun diberi uang dua jongos hotel itu
ulurkan tangan menyambut.
"Loya, apakah peti mati ini perlu diturunkan
juga?" salah seorang dari empat lelaki
bertampang bengis yang mengawal gerobak
bermuatan peti mati bertanya begitu lelaki
berpakaian serba ungu loncat turun dari atas
kuda.
Yang ditanya menjawab sambil memandang
sekeliling halaman hotel. "Gotong ke kamar
tidurku. Kau dan tiga kawanmu harus berjaga-
jaga di luar kamar. Perjalanan kita masih
cukup jauh dan aku tidak ingin terjadi
kesulitan mendadak."
"Perintahmu akan kami jalankan, Loya. Dan
kau tak usah kawatir soal keamanan peti mati
itu. Serahkan saja kepada kami Empat Golok
Kematian…."
Orang itu kemudian putar tubuh dan bersama
tiga kawannya dia menggotong peti mati ke
kamar yang disediakan jongos hotel untuk
lelaki berbaju ungu. Empat Golok Kematian
adalah empat perampok berkepandaian tinggi
yang sering malang melintang di daerah
barat. Rata-rata memiliki tenaga dalam yang
besar. Namun dari cara mereka mengangkat
peti mati tersebut kentara sekali bahwa peti
tersebut amat berat. Apakah sebenarnya
isinya? Bahkan Empat Golok Kematian sendiri
pun tidak mengetahui. Mereka cuma dibayar
untuk mengawal gerobak tersebut ke satu
tempat yang mereka tidak tahu. Sepanjang
perjalanan antara mereka saling bisik-bisik
menduga-duga apa isi peti misterius tersebut.
Hendak menanyakan pada lelaki baju ungu
mereka tidak berani. Mereka tahu betul salah-
salah mulut dan tingkah bukan mustahil
nyawa mereka imbalannya. Meskipun mereka
berjumlah lebih banyak dan rata-rata
berkepandaian tinggi, namun terhadap si baju
ungu berkalung harimau itu mereka laksana
kelinci dengan singa!
Setelah peti mati dimasukkan ke dalam
kamarriya, lelaki berpakaian ungu lantas kunci
pintu dan jendela kamar, memeriksa keadaan
tempat itu lalu duduk bersila di lantai. Di luar
kamar Empat Golok Kematian berjaga-jaga
sedang di pintu halaman dua jongos hotel
tegak pula melakukan penjagaan.
Seekor kelelawar menggelepar di puncak
sebuah pohon, ketika dua jongos yang
mengawal di pintu halaman hotel melihat
seorang penunggang kuda putih mendatangi.
Acuh tak acuh orang ini hendak masuk
melewati pintu halaman begitu saja. Kedua
jongos serta merta menahannya.
"Bukankah bangunan di dalam halaman ini
sebuah rumah penginapan," penunggang kuda
putih bertanya. Dia bukan lain adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng.
Saat itu hari sudah gelap. Dua jongos hotel
tidak begitu jelas melihat wajah penunggang
kuda putih. Namun dari logat bicaranya
kentara sekali kalau orang itu adalah orang
asing.
"Betul dugaanmu cuwi. Tapi harap dimaafkan.
Jika kau bermaksud bermalam di sini
ketahuilah semua kamar hotel telah penuh."
"Penuh? Tak satu pun yang ketinggalan?"
"Tak satu pun!"
"Tapi barusan kalau aku tak salah lihat
serombongan yang terdiri dari lima orang
telah datang kemari. Masakan untuk mereka
berlima ada, untuk aku yang sendiri tidak
ada!"
"Mereka… mereka memborong semua kamar
dalam hotel ini. Harap cuwi mau cari rumah
penginapan yang lain."
"Tubuhku letih, perutku lapar. Aku perlu buru-
buru istirahat. Harap kalian beri jalan!"
"Kami sudah bilang semua kamar penuh.
Harap cuwi mengerti dan jangan kelewat
memaksa?"
"Aku bisa tidur di dapur!"
"Itu tidak mungkin!"
"Kenapa tidak mungkin?" sentak Wiro lantas
gebrak kudanya dan menerobos masuk ke
dalam halaman. Kedua jongos hotel cepat
memburu. Satu menahan tali kekang kuda
putih, satu lagi menarik ekor binatang itu.
Wiro jadi jengkel. Jelas sudah ada apa-apa
yang tak semestinya. "Kalian minta digebuk!"
desis pendekar ini lalu melompat turun dan
hadiahkan masing-masing satu tamparan
pada kedua jongos tersebut.
Karena tamparan cukup keras, kedua jongos
itu melolong kesakitan dan rubuh ke tanah.
Wiro putar tubuh untuk melangkah ke pintu
depan hotel. Baru maju dua tindak, sesosok
bayangan hitam berkelebat. Satu bentakan
terdengar, "Bangsat rendah dari mana yang
berani mengacau di sini?!" *** 4 BERPALING
ke kiri Wiro Sableng melihat seorang lelaki
berpakaian hitam, bertubuh tegap dan punya
tampang garang, berdiri mencekal sebilah
golok besar.
"Siapa kau?" sentak orang ini yang bukan lain
adalah seorang dari Empat Golok Kematian.
Dia melirik pada dua jongos hotel yang
melingkar merintih-rintih di tanah.
"Ah, kau lebih sopan sedikit dari dua kurcaci
konyol in!," jawab Wiro pula.
"Aku datang ke mari untuk menyewa kamar
dan menginap."
"Semua kamar sudah penuh. Kami
memakalinya semua!" jawab orang itu.
Wiro garuk-garuk kepala.
"Jika sudah tahu lekas angkat kaki dari sini!"
"Yang aku belum tahu…" kata Wiro pula
anteng-anteng, "Kalian cuma berlima sedang
hotel ini punya hampir sepuluh kamar.
Masakan penuh semua!"
"Rupanya kau perlu diajar tahu dengan ini!"
orang ketiga dari Empat Golok Kematian itu
jadi naik darah dan babatkan goloknya
kepada Wiro Sableng. Senjata ini besar berat
dan menimbulkan suara bersiuran. Wiro
segera maklum kalau manusia di hadapannya
ini tidak sama dengan jongos hotel tadi.
Cepat dia meluncur mengelit. Ujung golok
lewat satu jengkal dari dadanya.
Melihat serangannya tidak membawa hasil,
orang itu menggembor marah dan membacok
sebat. Tapi lagi-lagi serangannya hanya
mengenai tempat kosong.
"Bangsat, jika kau punya kepandaian
keluarkan senjata!" dia membentak.
Kemudian dia hanya mendengar suara orang
tertawa perlahan dan memandang ke depan,
Wiro Sableng dilihatnya tak ada lagi di
tempat. Belum habis kagetnya tiba-tiba "duk!"
Satu jotosan menghantam punggungnya.
Empat Golok kematian mengeluh dan
tersungkur ke depan. Dia coba mengimbangi
tubuh tapi satu totokan membuat dia tak bisa
bergerak ataupun buka suara! Dalam hatinya
orang ketiga dari Empat Golok Kematian ini
memaki dan penasaran setengah mati.
Seumur hidupnya baru sekarang dia
dipecundangi lawan semuda itul Siapakah
adanya pemuda asing yang lihay ini?
Wiro melangkah mendekati bangunan hotel.
Pintu depan tidak dikunci. Dia langsung
melangkah masuk. Tapi baru masuk dua
tindak, tiga senjata dilihatnya berkelebat ke
arahnya. Satu menyambar ke dada, satu
membabat ke muka dan satu lagi menusuk ke
arah pintu.
Ganas sekali serangan tiga senjata itu. Kalau
saja Wiro tidak lekas melompat ke belakang
niscaya tubuhnya akan mandi darah dan
nyawanya akan putus!
Baru saja Wiro menginjakkan kaki di serambi
depan hotel, tiga sosok tubuh masing-masing
mencekal golok telah mengurungnya. Melihat
kepada tampang dan pakaian mereka Wiro
segera maklum kalau tiga manusia ini
pastilah kambrat-kambrat yang satu tadi.
Saat itu bagian serambi depan hotel tiada
berpenerangan. Dalam suasana gelap begitu
tiga orang tersebut kembali menggempur
Wiro. Serangan tiga golok mereka bukan
sembarangan dan Wiro harus berhati-hati.
"Aku heran, ke mana kawan kita yang
seorang," berbisik salah seorang Empat Golok
Kematian pada teman di sebelahnya.
"Jangan-jangan sudah terjadi apa-apa atas
dirinya."
Menduga sampai di situ ketiga orang tersebut
kemudian putar golok masing-masing dengan
sebat. Sampai seat itu Wiro masih
mengandalkan tangan kosong dan
ginkangnya. Namun serangan tiga golok
makin lama makin gencar dan kurungan
ketiga lawan itu semakin rapat.
"Ilmu golok kalian hebat sekalit Tahan dulu!
Aku mau bicara." Wiro tiba-tiba berseru.
Tapi ketiga orang tersebut tidak mau hentikan
serangan. Mereka menduga kawan mereka
yang seorang telah celaka di tangan pemuda
tak dikenal itu, karenanya mereka
berkeputusan untuk membunuh Wiro.
"Bagusnya kau sebutkan siapa nama dan clarl
mana kau datang agar kau tidak mampus
penasaran," salah seorang dari Empat Golok
Kematian berseru dan goloknya bersiut-siut
mengirim serangan yang tidak berkeputusan.
"Kalau mengandalkan tangan kosong terus
menerus aku bisa mati konyol!" kata Wiro
dalam hati. Sebaliknya untuk mengeluarkan
kapak saktinya saat itu dirasanya masih
belum pada tempatnya. Karenanya ketika
mengelakkan satu bacokan dan dua tusukan
golok ketiga lawannya, dengan menjambret,
patah sebatang cabang pohon yang
panjangnya lebih dari satu meter dan
besarnya selingkaran lengan.
Melihat lompatan yang barusan dibuat oleh
Wiro, yang demikian gesit serta ringan sekali,
ketiga lawannya diam-diam merasa kaget
juga. Semakin jelas bagi mereka bahwa orang
asing berambut gondrong itu bukan manusia
sembarangan. Namun sebagai jago-jago yang
memiliki ilmu silat tinggi serta pengalaman
luas di dunia persilatan, tentu saja mereka
tidak merasa jerih. Sebaliknya tiga manusia
ini kembali menyerbu disertai dengan
bentakan-bentakan dahsyat.
Semula Wiro Sableng akan sambut tiga
serangan itu dengan jurus "Kipas Saku
Menerpa Hujan", yakni salah satu jurus ilmu
silat yang dipelajarinya dari gurunya Eyang
Sinto Gendeng. Namun saat itu selintas
pikiran timbul dalam benaknya. Waktu
menghadapi Siang-mo kiam tempo hari dia
telah mengeluarkan jurus pertama dari ilmu
pedang yang diterima dari manusia aneh
berjuluk Pendekar Pedang Akhirat. Hasilnya
luar biasa, membuat Siang-mo kiam atau
Sepasang Pedang Iblis mandi darah. Kini
bukankah ada baiknya kalau dia mencoba
pula jurus kedua dari ilmu silat aneh
tersebut? Yaitu jurus pedang yang disebut Lo
han Ciang-yau atau Malaikat Menundukkan
Siluman.
Begitulah, sewaktu tiga golok besar berkiblat
untuk membantainya, Wiro lantas putar
cabang di tangannya dalam jurus ilmu pedang
tadi. Tiga lawannya tiba-tiba melihat sesuatu
menghitam di depan mereka yang disertai
dengan suara bersiur yang berat. Hanya
sepasang cabang kayu masakan sanggup
menghadapi tiga golok besar, demikian ketiga
orang dari Empat Golok Kematian itu
berpendapat serta memandang rendah lawan.
Namun apa yang terjadi kemudian betul-betul
mereka tidak menduga.
Pertama sekali anggota Empat Golok
Kematian yang di ujung kanan terpelanting
hampir satu tombak, melingkar di tanah
dengan kepala pecah kena hantaman cabang
kayu di tangan Wiro. Dia mati tanpa
mengeluarkan suara sedikit pun.
Empat Golok Kematian yang berada di tengah
masih sempat mengeluarkan suara keluhan
pendek sewaktu dadanya kena dihantam
cabang kayu, lalu jatuh tergelimpang di tanah,
megap-megap seketika, mengeluh sekali lagi
dan mati.
Yang ketiga masih untung karena hanya
tulang lengannya saja yang remuk dan
goloknya mental ke atas. Orang ini tanpa
tunggu lebih lama segera putar badan dan
ambil langkah seribu.
Sementara itu di dalam hotel sewaktu terjadi
keributan…
Lelaki separuh baya yang berpakaian serba
ungu dan berada dalam salah satu kamar
hotel di mana Juga terletak peti mati hitam,
itu menjadi kaget ketika di luar didengarnya
suara ribut-ribut orang berkelahi. Setelah
mengunci pintu dan jendela kamar itu serta
memadamkan lampu minyak, dengan satu
gerakan yang lihay dia melompat ke atas
panglari. Dari sini dia membuka genteng
kamar dan di lain saat dia sudah berada di
atas atap hotel.
Siapakah sebenarnya orang ini. Dia bernama
Tio Ki-pi, seorang tokoh silat dari propinsi
Ciat kang yang dikenal dengan julukan Thian-
liong-pan atau si Ruyung Naga selama
delapan tahun lebih dia dikenal sebagai
seorang pendekar gagah golongan putlh yang
telah banyak jasanya dalam menolong
manusia-manusia lemah dan tertindas.
Namun sejak beberapa bulan belakangan ini
Tio Ki-pi telah tersesat dan menempuh jalan
salah, ikut bersekutu dengan satu komplotan
manusia jahat.
Di dalam gelapnya malam, dari atas atap
hotel, Tio Ki-pi dapat melihat tiga dari Empat
Golok Kematian tengah mengeroyok seorang
tak dikenal tak berapa jauh dari situ
menggeletak sesosok tubuh yang tak dapat
tidak pastilah anggota Empat Golok Kematian
yang telah kena dipreteli lawan. Di bagian lain
dari halaman itu dua orang jongos hotel
tampak melingkar di tanah.
Segala sesuatunya kemudian begitu cepat
terjadi. Sehingga belum sempat Tio Ki-pi
berbuat sesuatu, berturut-turut terdengarlah
suara bergedebukan, suara keluhan dan jeritan
dua dari Empat Golok Kematian, dilihatnya
menggeletak di tanah sedang yang ketiga lari
pontang-panting sambil menjerit kesakitan.
Sepasang alis mata Tio Ki-pi naik ke atas.
Sesaat mukanya kelihatan tegang. Siapakah
adanya orang di bawah sana yang demikian
lihay dan mengandalkan kepandaiannya untuk
melakukan pembunuhan begitu rupa? Sejenak
jago silat dari Ciat kang ini berpikir.
Kemudian laksana seekor burung walet dia
melayang turun dari atas atap hotel dan
menjejakkan kakinya ditanah tanpa
menimbulkan suara barang sedikit pun.
"Orang asing dari manakah yang telah
menunjukkan keganasan di sini? Harap
beritahukan nama dan gelar!"
Wiro kaget dan cepat berpaling. Jika sampal
sepasang telinga tidak jelas menangkap
kedatangan orang ini jelas dia memiliki ilmu
yang lihay.
"Ah, kiranya kau…!" kata Wiro begitu dia
melihat si baju ungu.
"Kau kenal aku?!" Tio Ki-pi menghardik.
"Cuma kenal tampang. Siapa kau adanya aku
masih belum tahu…" jawab Wiro sambil
nyengir. "Manusia-manusia itu tiada
permusuhan dengan kau. Kenapa kau turun
tangan sekejam itu?" Pendekar 212 garuk-
garuk kepalanya lantas menjawab, "Mereka
mencari urusan yang tak karuan. Masakan
aku mau menginap di hotel ini mereka bilang
semua kamar penuh. Brengsek! Lagi pula,
kalau melihat tampang-tampangnya, yang
dua ini serta yang tadi lari itu tampaknya
bukan manusia baik-baik."
"Mereka adalah Empat Golok Kematian
pembantu-pembantuku!"
"Pembantu-pembantumu…? Ah!" Wiro
gelenggeleng kepala.
"Orang asing. Dari gerak-gerik cecongormu,
aku yakin juga kau bukan manusia baik-baik.
Kedatanganmu kemari membawa satu
maksud yang tersembunyi. Mengapa!"
Wiro tertawa. Kembali tangannya
menggarukgaruk kepalanya. "Kau betul. Jika
aku boleh tanya, apakah isi peti mati yang
ada di dalam hotel itu hingga pembawaannya
dikawal ketat demikian rupa bahkan sampai-
sampai dua manusia tolol itu mau pasrahkan
jiwa mereka?"
Tio Ki-pi berusaha melenyapkan perubahan
air muka kekagetan atas pertanyaan Wiro
yang tidak diduganya itu.
"Oh, kiranya peti mati itulah yang menjadi
perhatianmu? Apakah itu menjadi
urusanmu?!"
"Tentu saja bukan. Tapi kalau semua itu ada
sangkut pautnya dengan kalung emas kepala
harimau yang kau pakai maka itu lain pula
ceritanya!"
"He, tahukah kau apa artinya kalung kepala
harimau ini?" tanya Tio Ki-pi seraya pegang
kalung yang tergantung di lehernya.
Dari balik pakaiannya, Wiro Sableng keluarkan
salah satu kalung kepala harimau emas yang
diambilnya dari Siang mo Kiam. Seraya
menimbang-nimbang benda itu dia berkata,
"Kalungmu tiada beda dengan kalungku.
Bukankah begitu?"
Tio Ki-pi melengak kaget. Sepasang matanya
membeliak besar. "Apakah… apakah kau juga
anggota komplotan Hun-tiong Hauw-mo?"
"Kalau sudah tahu kenapa masih bertanya?"
jawab Wiro keren sambil mendongak ke langit.
Tio Ki-pi memandangi si rambut gondrong ini
dari kepala sampai ke kaki. Hatinya meragu
melihat potongan Wiro. Ditambah pula
dengan keganasan yang dilakukannya
terhadap Empat Golok Kematian. Jika dia
anggota Hun-tiong Houw-mo kenapa
melabrak kawan sendiri? Tapi jika dia bukan
anggota komplotan itu di mana Tio Ki-pi
merupakan pula salah seorang anggotanya,
mengapa pemuda itu bisa memiliki kalung
emas kepala harimau itu?"
"Sobat, jika kau orang sendiri, kenapa
membuat keonaran melakukan pembunuhan
pada orang-orang yang kubayar untuk
mengawal kereta?" Tio Ki-pi ajukan
pertanyaan.
"Kau tidak tahu orang bagaimana sebenarnya
Empat Golok iCematian," jawab Wiro, pula.
"Pimpinan telah menyuruhku secara diam-
diam untuk mengikuti perjalananmu. Ternyata
Empat Golok Kematian mempunyai rencana
busuk. Dia hendak membunuhmu secara
membokong kemudian melarikan apa yang
terdapat dalam peti mati itu!"
Tio Ki-pi seorang yang sudah berpengalaman
dan tak mau lekas percaya pada orang lain.
"Jika betul pimpinan kita telah menyuruhmu,
coba kau beri tahu dari mana kami berangkat
dan ke mana tujuan kami?"
"Soal itu kau tak perlu memancingku.
Sebaiknya kita masuk ke dalam dan istirahat.
Besok pagi-pagi buta harus sudah
melanjutkan perjalanan."
Acuh tak acuh Wiro kemudian melangkah
menuju pintu hotel. Tapi Tio Ki-pi cepat
memotong jalannya dan menahan pada Wiro
dengan tangan kiri. Cara Tio Ki-pi menahan
gerakan Wiro kelihatannya lembut perlahan
saja namun memiliki tenaga yang sanggup
menahan dorongan 200 kati! Tahu kalau
orang hendak menjajaki kepandaiannya, tak
sungkan Wiro kerahkan tenaga dalamnya dan
mendorongkan dadanya ke depan. Akibatnya
Tio Ki-pi terhuyung sampai tiga langkah ke
belakang. Kagetnya jagoan dari Ciat kang ini
bukan kepalang. "Ah, tingkat tenaga dalamnya
lebih tinggi dariku," katanya membathin.
Kemudian dia terbatuk-batuk beberapa kali.
"Sobat, ketahuilah tugas yang diberikan oleh
pimpinan padamu merupakan satu tugas yang
berat dan penuh tanggung jawab. Dunia
persilatan penuh dengan orang-orang jahat
dan penipu licik. Karenanya jika kau betul
anggota Hun-tiong Houw-mo harap kau sudi
mengucapkan sumpah perkumpulan kita!"
Menyadari kalau dia tak bakal bisa
mengucapkan segala macam sumpah
komplotan tersebut maka Wiro tiba-tiba
berpura marah dan menghardik, "Rupanya kau
tidak pandang sebelah mata kepadaku?
Berani kau menguji diriku?"
Diam-diam Tio Ki-pi yakin kini kalau orang
asing berambut gondrong di depannya itu
bukanlah anggota Hun-tiong Houw-mo
karena setiap anggota jika bertemu tapi
sebelumnya belum saling kenal, diharuskan
untuk menguji kebenaran keanggotaannya
dengan mengucapkan sumpah perkumpulan.
Namun untuk bertindak gegabah pada orang
yang disadarinya lebih tinggi kepandaiannya,
Tio Ki-pi tentu saja tidak mau.
"Harap sicu maafkan. Aku bukan memandang
rendah terhadapmu. Semua ini adalah demi
keselamatan dan pengamanan tugas!"
Wiro kertakkan rahang.
"Menyingkirlah," perintahnya. "Kelak akan
kumintakan pada pimpinan agar
keanggotaanmu dalam Hun-tiong Houw-mo
dicabut dan atas kekurangajaranmu ini kau
harus menerima hukuman."
Tio Ki-pi tertawa bergelak.
"Manusia tolol, jangan kira aku akan termakan
oleh tipu busukmu! Kau bukan anggota Hun-
tiong Houw-mo! Selembar nyawamu tak
mungkin kubiarkan terus petantang-
petenteng!"
Habis berkata begitu Tio Ki-pi yang bergelar
Thian liong pian atau Ruyung Naga ini lantas
menggembor. Kedua lututnya menekuk. Tiba-
tiba tangan kanannya dipukulkan ke depan.
Satu larikan besar angin panas menggebu ke
arah Wiro Sableng.
Wiro membentak marah dan balas hantamkan
tangan kanannya ke muka, lepaskan pukulan
sakti bernama, "Benteng Topan Melanda
Samudera" dengan mengandalkan sepertiga
bagian tenaga dalamnya.
Meskipun pukulan itu membuat Tio Ki-pi
mencelat hampir sejauh satu setengah tombak
namun Wiro sendiri terhuyung-huyung.
Tubuhnya laksana terpanggang hingga dia
buru-buru harus melompat selamatkan diri.
Tio Ki-pi bukan alang kepalang kagetnya.
Barusan dia telah melepaskan pukulan
saktinya yang terhebat dan bernama Ngo-lu
gui san atau Lima Petir Membelah Gunung
dengan mengerahkan tiga perempat tenaga
dalamnya. Selama ini boleh dikatakan tak
seorang lawan pun sanggup bertahan
terhadap pukulan sakti itu. Namun nyatanya
musuh di hadapannya itu masih sanggup
selamatkan diri!
Di lain pihak Wiro sendiri tak urung tersentak
kaget pula karena ketika memperhatikan
pakaiannya, baju serta celananya, kelihatan
kehitam-hitaman. Hangus!
Kedua orang itu sesaat saling baku pandang
untuk kemudian sama-sama bergerak
meneruskan baku hantam itu!
Dalam waktu singkat kedua orang itu telah
bertempur enam jurus. Dalam gelapnya
malam hanya bayang-bayang pakaian mereka
saja yang kelihatan. Salah seorang dari
Empat Golok Kematian yang masih hidup
yakni yang tadi ditotok oleh Wiro dan masih
tertegun itu tidak hentinya menaruh
kekaguman, melupakan sendiri nasib dirinya
yang tiada berdaya saat itu.
Tingkat pengalaman dan ilmu mengentengi
tubuh dari Tio Ki-pi alias Thian liong-pian tak
dapat disangsikan lagi ketinggiannya.
Gerakannya gesit enteng. Serangannya
mematikan sedangkan tiputipuannya betul-
betul maut. Namun menghadapi Wiro Sableng
dia betul dibuat jadi gemas penasaran.
Semua serangan dan tipu-tipuan lihaynya
tidak menemui sasaran, yang amat
menjengkelkan ialah karena dilihatnya lawan
menghadapinya dengan sikap cengar-cengir
mengejek.
Tio Ki-pi membentak nyaring. Ilmu silatnya
mendadak berubah dan tubuhnya kini hanya
laksana angin yang menyambar-nyambar kian
kemari.
Diam-diam Wiro merasa kagum juga melihat
kehebatan si baju ungu anggota Hun-tiong
Houw-mo ini. Serta merta dia percepat pula
gerakannya hingga kini mereka hanya laksana
bayang-bayang yang saling berkelebatan kian
ke mari dan sebentar-sebentar lenyap dari
pemandangan karena saking cepatnya
gerakan keduanya.
"Sobat jaga dadamu!" Wiro berseru. Secepat
kilat tangan kanannya memukul ke depan
dalam gerakan yang dinamakan "Kilat
Menyambar Puncak Gunung".
Tentu saja Tio Ki-pi tidak mau menerima
pukulan tersebut mentah-mentah. Dengan
membentak dahsyat jago silat dari Ciatkang
ini meningkatkan tubuh, pergunakan salah
satu kakinya untuk menjejak tanah sehingga
dalam keadaan miring itu tubuhnya tersurut
tiga langkah ke belakang dan di lain kejap dia
sudah maju pula sambil selusupkan satu
tendangan kilat ke perut lawan!
Jurus yang dilancarkan oleh Tio Ki-pi tadi
bernama Hek-hou-wat-sim atau Macan Hitam
Menggerak Hati dan merupakan salah satu
jurus yang hebat dalam ilmu silatnya. Sekali
tendangannya mampir di perut lawan pastilah
akan bobol serta merenggut nyawa. Namun
yang dihadapi Tio Ki-pi saat itu bukanlah
lawan dari tingkatan kurcaci rendah tolol,
sekalipun bertampang goblok macam anak-
anak!
Serangan kedua yang dilancarkan Wiro
disertai teriakan peringatan tadi tak lebih
hanyalah sebuah tipuan belaka. Begitu lawan
bergerak mundur dan kembali menyerang,
murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede
ini serta merta susulkan serangan berikutnya
yang bernama "Di balik Gunung Memukul
Halilintar".
Ketika tendangannya melesat ke depan, Tio
Ki-pi mendadak kehilangan lawan,
serangannya mengenai tempat kosong.
Kemudian sebelum dia berkesempatan
mengetahui di mana Wiro berada tahu-tahu
satu hantaman keras sudah melabrak
punggungnya dari belakang. Demikian
kerasnya hingga jago dari propinsi Ciatkang
itu mencelat tiga tombak, terguling-guling di
tanah. Tapi hebatnya dia cepat kembali
berdiri. Buru-buru Tio Ki-pi mengambil sebutir
pil. Setelah telan benda itu dan pejamkan
mata serta atur jalan darah dan pernapasan,
Tio Ki-pi lantas rasakan tubuhnya segar
kembali meskipun dadanya agak sesak.
"Bangsat! Hari ini aku mengadu jiwa
denganmu!" Tio Ki-pi menggembor marah
lantas keluarkan senjata dari balik jubah
ungunya. Senjata ini adalah sebuah ruyung
berbentuk kepala naga terbuat dari baja putih.
Di beberapa bagian dihiasi dengan duri-duri
beracun. Sekali seseorang kena dihantam
senjata yang beratnya hampir lima puluh kati
ini tak ampun lagi pasti akan mati dalam
keadaan tubuh atau kepala hancur! Dengan
memiliki senjata inilah selama bertahun-tahun
berkelana di dunia persilatan Tio Ki-pi sampai
mendapat julukan si Ruyung Naga (Thian
liong pian). Meskipun malam gelap pekat
namun ruyung baja putih kelihatan berkilat di
tangan Tio Ki-pi.
Sesaat Tio Ki-pi melontarkan pandangan
bengis pada lawannya. Lalu tanpa banyak
bicara lagi orang ini kiblatkan senjatanya.
"Wutt!"
Satu gelombang angin yang amat deras
menerpa Wiro Sableng ketika ruyung baja itu
membabat di depannya. Tubuhnya tergontai-
gontai limbung.
Selagi dia berusaha mengimbangi diri,
secepat kilat ruyung kembali membabat, Wiro
cepat menyingkir namun angin yang keluar
dari senjata lawan masih sanggup
membuatnya terjajar dan tersandar ke gerobak
yang berada di halaman itu.
"Sekarang mampuslah!" teriak Tio Ki-pi
bernafsu dan susul dengan hantaman ruyung
untuk ketiga kalinya.
"Sialan, ganas dan hebat sekali permainan
ruyung kunyuk ini!" maki Wiro dalam hati. Dia
jatuhkan diri seraya mendorong dengan kedua
tangannya ke arah dada serta perut lawan.
Hantaman ruyung baja mengenai gerobak di
belakang Wiro. Kendaraan ini hancur
berkepingkeping. Sebaliknya Tio Ki-pi akibat
dorongan Wiro tadi terpelariting sampai tiga
tombak. Dada dan perutnya seperti dipilin.
Tanpa memperdulikan rasa sakit dengan
nekad dan kalap Tio Ki-pi kembali menyerbu.
Ruyung naganya bersiuran di udara berputar-
putar laksana titiran dan mengurung Wiro
Sableng dari seluruh jurusan!
Diam-diam Wiro jadi mengeluh dan keluarkan
keringat dingin ketika setelah tiga jurus dia
dikepung oleh serangan ruyung lawan ternyata
dia tak bisa keluar dari kepungan itu
sekalipun dia telah kerahkan ilmu
mengentengi tubuh dan segala kegesitannya.
Sebaliknya kurungan sambaransambaran
ruyung semakin ganas dan tambah rapat.
Sekujur tubuhnya laksana ditindih oleh
dinding yang keras gerakannya makin lama
makin lamban!
Tio Ki-pi yang melihat bagaimana lawan
sudah tak berdaya tertawa panjang dan
mengejek.
"Sekarang kau baru tahu siapa adanya Tio Ki-
pi yang berjuluk Thian liong pian ini!" Sekali
dia gerakkan tangan kanannya maka ruyung
baja digenggamannya meluncur menghantam
deras ke arah batok kepala Wiro Sableng!
Tiba-tiba sekali satu sinar putih kelihatan
bertabur dibarengi dengan menderunya suara
macam seribu tawon mengamuk. Sekejap
kemudian terdengar suara berdentang yang
keras dan memerciknya bunga api.
Memperhatikan senjata mustikanya yang
somplak, nyalinya kini betul-betul menjadi
lumer. Memandang ke depan dilihatnya lawan
memegang sebilah senjata berbentuk aneh
dan baru sekali itu disaksikannya. Senjata itu
bukan lain adalah Kapak Naga Geni 212, yakni
sebatang kapak bermata dua, gagangnya
terbuat dari gading dan memancarkan sinar
kemilau menyilaukan!
Tio Ki-pi mengeluh, kenapa dalam
menjalankan tugas penuh tanggung jawab itu
dia musti menemui lawan yang begini
tangguh. Untuk melanjutkan perkelahian
berarti konyol sendiri. Tapi tak mungkin pula
baginya untuk kabur dari situ dengan
meninggalkan peti mati yang ada di dalam
kamar hotel. Lelaki ini jadi bingung sendiri.
Namun dalam bingungnya masih ada
sekelumit pikiran cerdik dalam otaknya.
Tio Ki-pi tiba-tiba menjura dan sambil
tersenyum dia berkata, "Hari ini benar-benar
aku Tio Ki-pi manusia tak berguna ini
mendapat pelajaran dari seorang yang
rupanya tokoh persilatan berkepandaian
tinggi. Aku menghaturkan hormat dan karena
belum mengenal siapa adanya tayhiap harap
sudilah memberi tahu nama dan gelaran."
"Nama dan gelarku tak perlu dipersoalkan.
Yang jelas aku adalah anggota kepercayaan
dari pimpinan Hun-tiong Houw-mo…."
"Tadi pun tayhiap sudah menerangkan…."
"Nah, kalau sudah tahu kenapa masih banyak
tanya?" sentak Wiro. Sepasang matanya
mengawasi waspada karena mungkin manusia
di depannya itu akan melakukan serangan
licik secara tiba-tiba.
"Maksudku cuma akan meminta petunjuk lebih
lanjut dari tayhiap. Jika tayhiap betul-betul
mendapat tugas mendampingiku dari
pimpinan perkumpulan, baiklah kita lupakan
segala apa yang barusan terjadi. Mari kita
masuk ke hotel, untuk bicara lebih lanjut."
"Kunyuk ini mulutnya jadi begitu manis dan
sikapnya jadi baik sekali. Aku harus hati-hati,"
membatin Wiro. Dia tetap tegak di tempatnya.
Tio Ki-pi yang sudah maju dua tindak
berpaling, "Tunggu apa lagi? Apakah tayhiap
tidak percaya padaku? Bukankah jika tayhiap
mau kau dapat membunuhku dengan mudah
seperti membalikkan telapak tangan saja?!"
Wiro merenung sejenak.
"Tadi tayhiap bilang ingin mengetahui isi peti
mati itu…" kata Tio Ki-pi pula.
Akhirnya setelah menyimpan Kapak Naga Geni
212 di balik pinggangnya, Wiro melangkah
juga mengikuti Tio Ki-pi. Mereka memasuki
hotel dari pintu depan. Tio Ki-pi membuka
pintu lebar-lebar, begitu sampai di dalam dia
mempersilahkan Wiro masuk. Baru saja Wiro
berada di bawah pintu tiba-tiba Tio Ki-pi
dengan cepat bantingkan daun pintu keras-
keras dan terus menekannya dengan tangan
kiri hingga Wiro Sableng tergencet antara
ujung daun pintu dan tonggak pintu!
Wiro tahu bahaya apa yang mengancamnya
dalam keadaan begitu rupa. Lebih-lebih
ketika dilihatnya Tio Ki-pi menggerakkan
tangan kanan mencabut ruyung bajanya.
Meskipun senjata itu sudah semplak, namun
kalau sampai kena dihantam tetap saja Wiro
akan menemui kematian!
"Bangsat licik!"' teriak Wiro marah sementara
ruyung baja dilihatnya sudah tergenggam di
tangan lawan, Wiro kerahkan tenaga dalam
dan segala kekuatannya untuk melepaskan
diri dari gencetan pintu. Tangan kirinya yang
berada di sebelah dalam pintu tampak
memutih. Dia membentak garang dan
hantamkan tangan kiri memapasi pukulan
deras ruyung naga lawan.
Pendekar 212 Wiro Sableng ternyata telah
lepaskan pukulan "Sinar Matahari" yang
terkenal kedahsyatannya itu.
Daun pintu dan tiangnya pecah berantakan.
Tio Ki-pi sendiri meraung kesakitan.
Tubuhnya terpental dan tersandar ke dinding
ruangan depan hotel. Tangannya sebatas
lengan hitam hangus sedang ruyung bajanya
menggelinding di lantai.
Senjata ini kelihatan merah laksana digarang
di atas api dan perlahan-lahan meleleh
menghitam.
"Sekarang pergilah kau ke akherat, anjing
busuk!" sentak Wiro dan lepaskan lagi
pukulan Sinar Matahari. Namun dia kalah
cepat. Sinar pukulannya hanya melabrak
musnah dinding ruangan sementara musuh
dengan sebat telah lebih dulu melompat
melabrak jendela terus kabur dan lenyap di
kegelapan malam, Wiro mengomel setengah
mati dan melompat hendak mengejar. Namun
kemudian dia ingat akan peti mati yang
tentunya berada dalam satu kamar di hotel
itu. Maka dia pun putar langkah dan mulai
memeriksa kamar demi kamar.
Di salah satu kamar di tingkat bawah hotel
akhirnya ditemukannya jugs peti mati itu,
menghitam dan misterius dalam kegelapan.
Karena di situ dilihatnya ada lampu minyak
maka Wiro segera menyalakannya. Kamar itu
kini menjadi terang. Wiro melangkah
mendekati peti mati hitam. Setelah meneliti
benda itu beberapa lamanya maka dia mulai
membuka pasak-pasak sekeliling peti itu.
Setelah pasak ditanggalkan masih ada enam
buah sekerup yang harus dibuka. Untuk ini
Wiro pergunakan kapak saktinya mendongket
sekerup tersebut.
Perlahan-lahan dan hati-hati karena tak
mus:ahil benda itu dipasang alat rahasia, di
atas mula-mula kelihatan tumpukan jerami
kering. Hati-hati pula Wiro menyibakkan
jerami ini. Di bawah jerami tampak tumpukan
batu-batu bata merah. Seluruh jerami
disibakkan. Diperiksa sampai ke dasar
ternyata peti mati itu cuma batu bata melulu,
lain tidak!
"Sial dangkalan! Apa-apaan ini," Wiro
menggerutu sendirian. Dia betul-betul tak
mengerti. Dia melangkah memutari peti mati
itu sambil tiada henti menggaruk-garuk
kepala. Kalau cuma sebuah peti mati yang
berisi batu-batu bata melulu, apa perlunya
sampai dikawal oleh seorang tokoh silat
seperti Tio Ki-pi dan Empat Golok Kematian?
Bahkan sampai dua dari mereka mau
mengorbankan jiwa hanya karena peti mati
sialan itu? Wiro jadi tak habis pikir.
Digeledahnya seluruh kamar itu namun tak
menemukan apa-apa yang bisa memberi
petunjuk.
Tiba-tiba Wiro ingat pada salah seorang dari
Empat Golok Kematian yang masih tertotok
kaku di luar sana. Segera ditinggalkannya
kamar itu. Tapi sampai di luar ternyata
manusia yang satu ini sudah lenyap. Kembali
Wiro menggerutu seorang diri.
"Kalau tidak si Tio Ki-pi itu, pasti kawannya
yang satu yang telah melepaskan totokannya
lalu kabur sama-sama!" Wiro menduga dalam
hati. Akhirnya dalam bingungnya pendekar ini
melompat ke atas kuda putih yang dicurinya
dari depan sebuah toko di kota Khay-hong
lalu tinggalkan tempat tersebut.
Kira-kira sejauh 20 lie memacu kuda putih itu,
sepasang telinga tajam Pendekar 212 lapat-
lapat menangkap suara beradunya senjata.
Dihentikannya kudanya dan setelah
memastikan dari arah mana datangnya suara
itu, Wiro turun dari kuda dan lari menuju
sumber suara. Suara beradunya senjata kini
diiringi pula dengan suara gelak tertawa dua
orang lelaki yang ditimpali pula oleh suara
bentakanbentakan marah seorang perempuan.
"Manusia-manusia bangsat hina dina. Kalian
harus bayar kekurangajaran kalian dengan
nyawa masing-masing! Mampuslah!"
Terdengar suara robekannya kain yang disusul
oleh pekik perempuan. Wiro terjang semak
belukar di depannya. Begitu sampai di balik
semak-semak diiihatnya dua orang teiaki
tengah mengeroyok se-orang dara berpakaian
merah. Salah seorang dari lelaki itu, yang
bersenjatakan golok besar dengan
kelihayannya pergunakan ujung senjatanya
untuk merobek-robek pakaian sang gadis
hingga tubuhnya yang berkulit putih halus
kelihatan tersingkap di mana-mana. Leiaki
bergolok besar itu bukan lain adalah orang
kedua dari Empat Golok Kematian yang
sebelumnya telah ditotok oleh Wiro. Sedang
lelaki yang satu lagi bukan lain adalah Tio Ki-
pi alias Thian liong pian!
"Ha… ha! Tiada disangka malam-malam buta
begini setelah ditimpa nasib sial tahu-tahu
dapat rejeki begini besar," kata Empat Golok
Kematian penuh nafsu sedang Tio Ki-pi terus
mendesak dengan tangan kirinya tiada henti
menjamahi dada dan bagian bawah perut
sang dara baju merah yang berada dalam
keadaan tak berdaya itu. Lelaki ini sama
sekali tidak mempergunakan tangan kanannya
karena ternyata tangan kanan itu sampai
sebatas siku telah buntung dan ini
menimbulkan tanda tanya dalam hati Wiro,
apakah yang telah dilakukan manusia
tersebut?
"Bangsatl Kalau tidak dapat mencincang
tubuhmu lebih baik aku bunuh diri," sang dara
baju merah membentak marah ketika lagi-lagi
tangan kiri Tio Ki-pi menjamah bagian bawah
perutnya secara kurang ajar, sedang Tio Ki-pi
dan Empat Golok Kematian sendiri cuma
ganda tertawa.
"Malam-malam buta begini apa pula yang
terjadi di tempat ini?!" pikir Wiro.
Gadis jelita berpakaian merah itu putar
pedangnya dengan sebat. Namun sesaat
kemudian… "trang!" Golok besar orang kedua
dari Empat Golok Kematian berhasil memukul
mental pedang si nona. Dan saat itu juga
kedua lelaki itu bersirebut cepat menubruk
tubuh yang molek itu dengan penuh nafsu.
"Manusia-manusia haram jadah ini memang
sudah saatnya diberi petunjuk jalan ke
neraka!" kertak Wiro Sableng dengan marah.
Didahului oleh satu bentakan keras dia
berkelebat ke depan. *** 5 SEBELUM
menuturkan jalannya perkelahian antara Wiro
dengan Tio Ki-pi serta anggota Empat Golok
Kematian yang hendak melampiaskan nafsu
bejat terhadap gadis berpakaian merah,
marilah kita ikuti dulu bagaimana kedua
manusia brengsek itu sampai berada di
tempat tersebut dan secara berbarengan
mengeroyok sang dara.
Sehabis terkena pukulan "Sinar Matahari"
yang dahsyat dari Wiro Sableng.
Tio Ki-pi lantas kabur dari hotel. Begitu
sampai di halaman luar dilihatnya orang
kedua dari Empat Golok Kematian tegak
seperti patung di bawah sebatang pohon.
Sebagai orang yang sudah berpengalaman Tio
Ki-pi tahu apa yang terjadi dengan orang
bayarannya itu. Segera dilepaskan totokan
yang mempengaruhi Empat Golok Kematian
lantas melanjutkan melarikan diri.
Bagi Empat Golok Kematian begitu bebas darI
totokan tak ada hal lain yang dilakukannya
dari pada ikut kabur menyusul Tio Ki-pi.
Kira-kira lari sejauh sepuluh lie, Tio Ki-pi
berhenti, nafasnya mengengah-engah.
Pemandangannya berkunang. Dia
berpegangan pada pohon supaya tidak jatuh.
"Ada apa?" tanya Empat Golok Kematian
seraya memegang pundak Tio Ki-pi. Begitu
telapak tangannya menyentuh pundak lelaki
itu detik itu pula disentakkannya kembali
saking kagetnya.
Pundak Tio Ki-pi dirasakannya laksana bara!
"Loya, tubuhmu panas sekalil"
"Aku keracunan," desis Tio Ki-pi seraya
mengangkat tangan kanannya yang hitam
hangus akibat keserempet pukulan "Sinar
Matahari" sewaktu terjadi perkelahian dengan
Wiro di hotel tadi. Perlahanlahan dia duduk
bersila di tanah.
"Kelihatannya racun yang amat berbahaya,"
berkata Empat Golok Kematian.
Tio Ki-pi tidak menyahut. Setelah menelan
beberapa butir pil penolak dan pemusnah
racun, jago silat dari Ciatkang ini meramkan
mata, atur jalan darah serta alirkan tenaga
dalamnya ke tangan kanan. Beberapa menit
berlalu. Tubuh dan wajah Tio Ki-pi telah
basah oleh keringat. Namun hawa panas pada
tubuhnya tidak berkurang. Pucat pasilah kini
wajah anggota Hun-tiong Houw-mo ini.
"Tak ada jalan lain," desisnya seraya
membuka kedua mata dan menotok jalan
darah pada bahu kanannya di empat bagian.
Kemudian dia berpaling pada Empat Golok
Kematian dan berkata, "Pinjamkan aku
golokmu."
Empat Golok Kematian maklum apa yang
hendak dilakukan Tio Ki-pi. Memang cuma
itulah satusatunya jalan untuk
menyelamatkan nyawa. Goloknya dicabut dari
sarung dan diserahkan pada Tio Kipi. Dengan
menggigit bibir, Tio Ki-pi lantas tebaskan
senjata itu ke tangan kanannya. Sekali tebas
saja putuslah lengan kanannya yang
keracunan pukulan sakti Wiro Sableng itu.
Darah mengucur kemudian berhenti.
"Apa yang kita lakukan sekarang, Loya?"
bertanya Empat Golok Kematian setelah
beberapa lama berdiam diri.
Tio Ki-pi sendiri sebenarnya juga tidak tahu
apa yang akan diperbuatnya saat itu. Untuk
pergi ke markas Hun-tiong Houw-mo dan
melapor apa yang telah terjadi pada pimpinan
perkumpulan itu sama saja dengan
mengantarkan nyawa. Sebaliknya untuk
kembali ke hotel dan menyelamatkan isi peti
dia tidak pula punya nyali karena sudah
barang tentu Wiro masih ada di sana.
Tiba-tiba Tio Ki-pi ingat pada seorang
kenalan baiknya yang berdiam kira-kira 10 lie
dari tempat itu. Sang kenalan adalah salah
seorang anak murid Kun lun pay yang kini
hidup sebagai guru silat di Siu Kan. Dengan
meminta bantuan tokoh tersebut beserta
lusinan anak muridnya masakan dia tidak
dapat menghajar Wiro dan sekaligus
menyelamatkan peti mati tersebut. Memikir
sampai di situ Tio Ki-pi mendapat semangat
dan harapan besar. Dia segera berdiri.
Saat itu orang kedua dari Empat Golok
Kematian berkata, "Loya, jika memang segala
sesuatunya sudah dianggap selesai maka
kuharap aku dapat menerima bayaran
sebagaimana yang sudah ditetapkan. Aku
tidak meminta semuanya, setengah pun
jadilah."
Tio Ki-pi melotot dan membentak, "Saat ini
bukan tempatnya untuk bicarakan soal uang!
Masih hidup sudah lebih dari untung! Ayo kau
ikut aku ke Siu Kan!"
Sebenarnya orang kedua Empat Golok
Kematian ini sudah tak punya minat lagi
untuk berurusan dengan Tio Ki-pi. Apalagi
mengingat dua saudaranya sudah mati
sedang yang satu lagi kabur entah ke mana.
Namun untuk bentrokan dengan Tio Ki-pi
sekalipun manusia ini telah cacat, Empat
Golok Kematian musti pikir dua kali. Dalam
pada itu Tio Ki-pi kembali membentak dengan
kata-kata, "Apakah kau tidak ingin
membalaskan sakit hati kematian dua
saudaramu?!"
Tanpa menunggu jawaban orang di
hadapannya itu karena dia tahu bahwa Empat
Golok Kematian akan mengikutinya Tio Ki-pi
berkelebat meninggalkan tempat tersebut.
Udara malam terasa dingin. Kegelapan
semakin memekat. Kedua orang tersebut
laksana hantu yang gentayangan di malam
buta. Belum sampai menempuh jarak 10 lie,
Tio Ki-pi yang berpendengaran lebih tajam
dari Empat Golok Kematian tiba-tiba hentikan
lari, lalu berlindung di balik sebuah pohon
besar sambil memberi isyarat pada Empat
Golok Kematian.
"Ada apa?" bertanya Empat Golok Kematian.
"Seseorang mendatangi dari jurusan depan,"
sahut Tio Ki-pi seraya siapkan pukulan sakti
di tangan kanannya. Hati-hati. "Bukan tidak
mungkin si rambut gondrong yang di hotel
itu!"
Beberapa detik menunggu muncullah orang
yang datang dari arah depan itu. Meskipun
malam gelap namun karena jarak mereka
cukup dekat, baik Tio Ki-pi maupun Empat
Golok Kematian segera dapat mengenali
bahwa orang yang ada di hadapan mereka
adalah seorang nona jelita berpakaian merah.
Di balik punggungnya menyembul ujung
gagang pedang.
Melihat kenyataan bahwa yang muncul adalah
seorang gadis berparas cantik, Tio Ki-pi dan
Empat Golok Kematian jadi saling pandang
dan saling maklum jalan pikiran serta
perasaan masing-masing.
"Di tempat sepi dan malam-malam begini
Loya. Siapa yang bakal tahu. Asal saja Loya
tidak menyerakahinya sendirian…" bisik Empat
Golok Kematian.
Tio Ki-pi alias Thian liong-pian menyeringai.
Dia memberi isyrat lalu berseru, "Nonaku
manis, malam-malam begini tengah menuju
ke manakah?"
"Bukankah akan lebih baik jika aku ikut
menemanimu?" menimpali Empat Golok
Kematian.
Keduanya kemudian tertawa gelak-gelak.
Sang nona, begitu mendengar teguran kurang
ajar tersebut bukan kepalang kagetnya. Tapi
dia juga marah.
"Siapa kalian? Bangsa hantu apa dedemit
yang minta dihajar?"
Tio Ki-pi dan pembantunya kembali tertawa
gelak-gelak.
"Nonaku yang cantik, jangan terlalu galak dan
lekas marah. Kami berdua sudah barang tentu
manusia biasa seperti kau. Jika kau kepingin
kenal maka aku adalah Hoa seng, orang kedua
dari Empat Golok Kematian. Sedang ini
Loyaku bernama Tio Ki-pi bergelar Thian liong
pian…. "
Sang dara tidak pernah mendengar nama
Empat Golok Kematian dan juga Tio Ki-pi
atau Thian liong pian. Meskipun memiliki ilmu
silat yang lumayan tingginya namun karena
jarang mengembara maka si nona kurang
begitu kenal akan nama-nama tokoh silat
dalam dunia kangouw, baik dari golongan
putih maupun dari golongan hitam. Dan
karena dia seorang yang bersifat berani
bahkan kadang-kadang suka nekad, kembali
dia menghardik. "Tampaknya kalian bukan
bangsa manusia baik-baik. Lekas menyingkir
jika tidak ingin merasakan gebukanku!"
"Ah… ah… ah! Kataku juga jangan kelewat
galak, nona. Coba perkenalkan dulu siapa kau
adanya. Ke mana tujuanmu. Nanti kami
berdua pasti bersedia mengantarkan kau…"
yang bicara ini adalah Hoa seng orang kedua
dari Empat Golok Kematian. Dan sehabis
berkata demikian enak saja tangan kanannya
mencuil dagu sang dara. Tentu saja nona
baju merah ini bukan kepalang marahnya.
Cepat laksana kilat tamparannya melayang
menghantam muka Hoa seng dan sesaat
membuat laki-laki kurang ajar ini menjadi
berkunang-kunang pemandangannya.
"Seumur hidup baru kali ini aku ditampar
perempuan. Tapi tak apa. Lumayan juga oleh
seorang nona cantik macammu," kata Hoa
seng pula sambil cengar-cengir, meringis dan
tiba-tiba dilompatinya dara baju merah itu,
berusaha merangkulnya dengan bernafsu.
Namun saat itu juga si nona sudah
menghantamkan tinjunya kepada Hoa seng,
membuat lelaki ini terjajar beberapa langkah
ke belakang.
"Hati-hati, sobat. Dia galak dan punya
kepandaian silat yang bisa membuatmu
konyol," kata Tio Ki-pi menyeletuk dan tahu-
tahu tangan kirinya sudah mampir menjamah
dada sang nona.
Kini gadis berbaju merah itu jadi meluap
amarahnya. "Sret!" Dia cabut pedang dan
begitu senjata ini keluar dari sarangnya, satu
babatan dikirirrikannya ke batang leher tokoh
silat propinsi Ciat kang itu.
Serangan sang nona yang demikian ganas
pastilah akan membuat putus leher dan
menggelindingnya kepala Tio Ki-pi bilamana
orang ini terlambat sedikit saja mengelak.
Namun di mata Tio Ki-pi, serangan ini hanya
disambut dengan tawa mengejek. Sekali dia
bergerak, ujung pedang lewat dua jengkal di
samping kepalanya!
Melihat serangannya gagal, nona berbaju
merah jadi semakin meluap amarahnya.
Tio Ki-pi jadi kaget dan tersurut beberapa
langkah. Tidak disangka kalau sang nona
memiliki kepandaian begitu rupa. Hendak
disambutinya dengan pukulan sakti dia
merasa bimbang karena dia tak ingin
mencelakai gadis kepada siapa dia ingin
melampiaskan nafsu bejatnya. Sesaat dia
layani serangan lawan dengan bergerak gesit
kian kemari sambil sekali-sekali menyerang
dengan tangan kosong. Namun agaknya sang
nona tak mau memberi kesempatan dan
dengan cerdik dia sengaja mengirimkan
seranganserangan dari jurusan kanan
sehingga Tio Ki-pi yang tangan kanannya
buntung menjadi cukup kewalahan. Lelaki ini
segera berikan isyarat pada Hoa-seng dan
bekas anggota Empat Golok Kematian ini
segera memasuki kalangan pertempuran
setelah lebih dulu cabut golok kanannya.
Betapa pun lihaynya ilmu pedang yang
dimainkan oleh gadis berpakaian merah
namun dikeroyok dua begitu rupa jurus demi
jurus dia jadi terdesak. Bahkan kedua
lawannya dengan seenaknya mem
permainkannya. Hoa seng pergunakan
goloknya untuk merobek pakaian gadis itu
sedang Tio Ki-pi dengan kurang ajar tiada
hentinya menjamahi bagian-bagian tubuh
tertentu dari si nona dan pada puncaknya Hoa
seng berhasil memukul mental pedang
lawannya. Dalam keadaan tak bersenjata
gadis itu tentu saja betul-betul tak berdaya
lagi. Kesempatan ini memang yang
diharapkan oleh Tio Ki-pi serta Hoa seng.
Serta merta keduanya menubruk gadis itu,
siap untuk melampiaskan nafsu bejat masing
masing. Dan justru pada saat itu pula lah
Wiro Sableng yang sampai di tempat kejadian
itu, Wiro kertakkan rahang.
"Bangsat rendah! Kalian bedua memang layak
mampus detik ini juga!"
Setelah membentak begitu rupa secepat kilat
dia menerjang ke depan.
Tio Ki-pi seorang lihay yang berpendengaran
tajam dan berotak cerdik. Dia laksana
mendengar halilintar ketika mengenal suara
Wiro Sableng. Saat itu dia tengah berguling-
guling di tanah sambil merangkuli tubuh nona
berpakaian merah. Meski nafsunya sudah
meluap-luap namun lebih penting cari
selamat. Secepat kilat dia melompat satu
jotosan menyambar hanya beberapa milimeter
saja clad kepalanya. Di lain ketika Tio Ki-pi
sudah merapat ke balik pohon besar. Wiro
lepaskan satu pukulan sakti. "Krak!" Pohon
itu patah dan tumbang tapi Tio Ki-pi lenyap.
Lain halnya dengan Hoa seng. Meskipun dia
juga dikagetkan oleh suara bentakan Wiro
namun dia bertindak agak ayal. Baru saja dia
putar kepala, mendadak sontak satu kepalan
sudah menderu ke arah mukanya. Hoa seng
hanya sempat keluarkan seruan pendek
karena sedetik kemudian "prak!" Mukanya
hancur, kepalanya rengkah. Otak dan darah
berhamburan! Tamatlah riwayat orang kedua
dari Empat Golok Kematian ini.
Wiro garuk-garuk kepala. Dia amat penasaran
karena untuk kedua kalinya Tio Ki-pi anggota
komplotan Hun-tiong Houw-mo yang
misterius itu masih bisa melarikan diri.
Dengan sebal dia balikkan tubuh. Tapi baru
saja memutar tubuh tahu-tahu ujung sebilah
pedang sudah menempel di tenggorokannya.
Tentu saja pendekar kita jadi melengak kaget.
Memandang ke depan ternyata sang nona
yang barusan ditolongnya itulah yang telah
menodongnya dengan ujung pedang tersebut!
"Heh, apa-apaan ini…!" ujar Wiro membeliak.
Tapi sekali ini dia bukan membeliak kaget
melainkan membeliak bergetar menyaksikan
sepasang payudara sang nona yang putih
membuntal padat, bersembul di robekan-
robekan bajunya! *** 6 DARA berpakaian
merah melintangkan lengan kirinya di atas
dada untuk menutupi auratnya yang terbuka
karena bajunya yang robek-robek besar.
"Pencuri! Jangan kira aku akan minta terima
kasih padamu karena kau telah menolong jiwa
dan menyelamatkan kehormatanku. Lekas
katakan di mana si Putih!"
"Si Putih…? Si Putih apamu?!"
"Setan! Jangan pura-pura tolot! Si Putih
kudaku! Kau telah mencurinya sewaktu
kutambatkan di depart toko di Khay-hong!
Katakan cepat di mana binatang itu!"
"Ah…!" Wiro ingat kini dan tertawa lebar.
"Jangan cengar-cengir tak karuanl Kalau
kuda kesayanganku sampai cedera sedikit
saja, apalagi kau jual, jangan harap nyawamu
akan selamat! Di mana binatang itu?!"
"Sabar Nona, sabar. Jangan terlalu galak.
Mari kita bicara baik-baik."
"Dengan seorang maling tengik macammu tak
perlu bicara baik-baik?" jawab si nona dan
ujung pedangnya masih menempel pada kulit
leher Wiro Sableng. Meskipun mengatakan
pemuda gondrong itu sebagai pencuri tengik
namun sang dara sesungguhnya sudah
mengetahui kelihayan Wiro.
Pertama sewaktu dia menangkis musnah
serangan senjata rahasianya di kota Khay-
hong tadi pagi. Kedua ketika barusan dia
menggebuk kepala Hoa seng hingga konyol
hanya dalam sekejapan mata saja! Di
samping marah pada dasarnya dia agak jeri
juga pada pemuda itu. Karena itulah dia tak
mau ambil risiko dan tetap menodong Wiro
dengan ujung pedangnya.
"Aku memang mungkin bangsa maling tengik,
pencuri picisan," kata Wiro sambil senyum
dan garuk-garuk kepalanya. "Namun
percayalah Nona, aku mencuri kudamu karena
terpaksa…."
"Jangan bicara panjang lebar!" sentak sang
dara.
Wiro ganda tertawa.
"Jika kau bunuh aku, kudamu tak bakal
ketemu lagi. Nah sekarang kau dengarlah
dulu. Pertama aku pun tidak butuh ucapan
terima kasih darimu. Aku berada di sini bukan
untuk menolongmu, nona. Tapi karena
memang mengejar dua bangsat itu, cuma
sayang satu masih bisa lolos…." Habis
berkata begitu Wiro lantas keluarkan kalung
emas kepala harimau. "Coba kau perhatikan
kalung ini. Tanda dari komplotan yang
menamakan diri Hun-tiong Houw-mo.
Manusia yang barusan kabur adalah anggota
komplotan tersebut."
Nona di hadapan Wiro mendelik kaget. "Aku
tak percaya! Mungkin kau sendiri yang jadi
anggota perserikatan dajal itu!"
Wiro geleng-geleng kepala. "Sudahlah, susah
bicara denganmu. Jika kau cari kudamu, itu di
sana di belakang semak belukar…." tak perduli
Wiro kemudian putar tubuhnya hendak
meninggalkan sang dara. Justru si nona
bergerak cepat dan ajukan pertanyaan. "Kau
mau ke mana?!"
"Eh…?" Wiro garuk-garuk kepala. "Aneh,
kenapa kau tanya begitu?"
"Dengar! Komplotan Hun-tiong Houw-mo
telah membunuh kakak lelakiku…."
"Yang aku dengar," memotong Wiro. "… bukan
hanya saudaramu saja yang jadi korban, tapi
banyak. Belasan gadis-gadis kabarnya diculik,
entah untuk dijadikan apa. Apakah kau
kepingin diculik juga oleh komplotan itu!"
"Jangan bicara ngaco belokl" sentak sang
dara jengkel. "Kalau kau mau bekerja sama
denganku, aku tahu sedikit tentang komplotan
itu…."
"Siapa sudi bekerjasama dengan dara
segalakmu? Lagi pula kau punya kepandaian
apa?!" Wiro sengaja mengejek hingga si Nona
jadi penasaran banting-banting kaki. Tangan
kanannya bergerak dan putuslah dua kancing
baju Wiro Sableng.
"Ah… boleh juga ilmu pedangmu, Nona. Tapi
aku sudah saksikan sendiri tadi. Menghadapi
dua pengeroyok itu kau tak mampu berbuat
apa-apa. Sekarang kau mau pinjam tanganku
untuk membantumu menuntut balas kematian
kakakmu pada komplotan Hun-tiong Houw-
mo karena kau sadar tak bakalan mampu
melakukannya sendiri. Sungguh cerdik
otakmu, nona. Tapi tak usah ya…?!"
Dara itu gigit bibirnya. Sepasang matanya
berapi-api. Rahangnya menggembung. Tanpa
bilang apaapa lagi dia putar tubuh dan
melompat ke balik semak-semak. Begitu
dilihatnya kuda putihnya segera saja dia
menaiki binatang ini dan meninggalkan
tempat itu dengan cepat. Sampai suara rintik
kaki kuda putih lenyap di kejauhan barulah
Wiro berlalu pula dari situ. *** Larinya Tio Ki-
pi setelah lolos dari lubang jarum kematian
untuk kedua kalinya dari tangan Pendekar 212
Wiro Sableng tak bedanya seperti orang lari
dikejar setan kepala tujuh! Hampir 20 lie dia
lari terus menerus tanpa memperdulikan ke
mana arah tujuannya. Pakaian ungunya
robek-robek tersangkut semak-semak. Ketika
nafasnya megap-megap dan lidahnya terjulur
keluar barulah lelaki ini hentikan larinya.
Ternyata dia berada di satu daerah berbukit-
bukit yang penuh ditumbuhi pohon-pohon
kapas. Lapat-lapat didengarnya suara air
yang jatuh memercik menimpa batu. Dia
melangkah tertatihtatih ke jurusan itu.
Ditemuinya sebuah sungai dan air terjun kecil.
Tio Ki-pi mencelupkan muka dan kepalanya
dalam air yang dingin itu,
kemudian meneguk air sungai sepuas hatinya.
Tubuhnya dibaringkan di tebing sungai.
Memandang ke langit dia melihat susunan
bintang-bintang yang menunjukkan bahwa
tak lama lagi malam akan digantikan dengan
pagi. Karena terlalu letih Tio Ki-pi akhirnya
tertidur pulas berselimutkan udara malam
yang dingin.
Tio Ki-pi terbangun oleh silaunya sinar
matahari pagi yang jatuh menimpa wajahnya.
Sambil mengucak-ucak mata dia duduk.
Ketika hendak membasuh mukanya dengan air
sungai tiba-tiba kakinya menginjak sehelai
kertas. Ternyata kertas itu bukan kertas biasa,
melainkan sepucuk surat yang ditujukan
kepadanya. Tio Ki-pi.
Hari ini juga kau harus segera kembali ke
markas.
Tertanda
Hun-tiong Houw-mo Surat itu ditulis dengan
tinta merah dan tangan kiri Tio Ki-pi jelas
kelihatan gemetaran memegangnya. Dia tahu
apa artinya kembali ke markas itu. Hukuman
telah menunggunya yang bakal dijatuhkan
oleh pemimpin komplotan. Jika dia melarikan
diri, akan sanggupkah dia untuk melenyapkan
diri selamalamanya? Tapi dari pada
mengantar diri mentah-mentah ke markas
komplotan, lebih mending kabur. Jika dia
sampai di satu daerah yang ratusan lie
jauhnya masakan ketua Hun-tiong Houw-mo
dan anggota-anggotanya akan tahu kalau dia
berada di situ?!
Memikir demikian maka Tio Ki-pi lekas-lekas
cuci muka dan mulutnya lalu melanjutkan
perjalanan menuju ke timur, menjauhi markas
Hun-tiong Houw-mo yang terletak di sebelah
barat. Selama dalam perjalanan itu Tio Ki-pi
senantiasa merasa tak enak. Nalurinya
mengatakan bahwa ada seseorang yang terus
menerus menguntitnya. Dia tak dapat
memastikan siapa, namun yang jelas sang
penguntit bukanlah Wiro Sableng. Karena jika
benar Wiro pastilah pemuda itu siang-siang
sudah melabraknya.
Kadang-kadang Tio Ki-pi hentikan
perjalanannya dan mengambil jalan
memutardengan maksud hendak mengetahui
siapa adanya penguntit tersebut. Namun tak
seorang pun dilihatnya. Sekali-kali jika dia
sedang berlari kencang, dia menoleh ke
belakang. Tetap saja dia tak menampak
siapasiapa. Diamdiam jagoan dari propinsi
Ciat kang ini menjadi mengkirik juga. Dia
baru merasa lega sedikit ketika memasuki
sebuah kota kecil. Karena perutnya lapar
langsung saja dia masuk ke dalam sebuah
warung makanan. Tatkala pelayan datang
menghidangkan pesanannya, sepasang mata
Tio Ki-pi membeliak menyaksikan segulung
kertas yang menancap di atas tumpukan nasi
panas dalam mangkok.
Diambilnya gulungan kertas itu. Begitu dibuka
tampaklah serentetan tulisan yang berbunyi:
Tio Ki-pi.
Apa kau kira kau bisa melarikan diri mencari
selamat?!
Segera kembali ke markas atau kau akan mati
dengan tubuh tercincang detik ini juga! Atas
nama Ketua,
Hun-tiong Houw-mo Tengkuk Tio Ki-pi dingin
laksana diguyur air es. Mukanya sepucat
kertas.
"Siapa yang meletakkan kertas itu di sini?"
bertanya Tio Ki-pi pada pelayan yang
membawa hidangan.
Pelayan itu geleng-geleng kepala. "Percayalah
Loya, saya hampir tak melihat siapa-siapa
pun yang menancapkan kertas itu. Waktu dari
dapur benda itu belum ada…."
Pastilah seorang lihay, amat lihay yang telah
melakukannya. Kalau tidak masakan si
pelayan sampai tidak mengetahui, demikian
Tio Ki-pi membatin. Semakin gelisah dia. Dia
memandang seputar ruangan. Di sudut sana
duduk seorang lelaki muda berpakaian petani.
Di bagian lain seorang kakek berkumis putih.
Tak ada orang lain yang mencurigakannya.
Tak mungkin pula kedua orang itu yang telah
menancapkan gulungan surat dalam nasi.
Karena seleranya boleh dikatakan saat itu
sudah tak ada lagi untuk makan, Tio Ki-pi
lantas berdiri. Membayar harga makanan dan
keluar dari warung. Di depan warung dia
memandang berkeliling. Segala sesuatunya
kelihatan biasa dan tenang-tenang saja.
Lelaki ini mengeluh dalam hati.
"Tak ada jalan lain. Terpaksa kembali ke
markas. Mudah-mudahan saja ketua mau
memberi ampun…."
Maka Tio Ki-pi kembali melanjutkan
perjalanan. Kali ini menuju ke sebelah barat,
ke jurusan di mana terletak markas komplotan
Hun-tiong Houwmo. *** 7 PADA malam gelap
ketika Tio Ki-pi dan Empat Golok Kematian
mengawal gerobak misterius itu, hampir
bersamaan waktunya, di sebuah jalan buruk
kira-kira 50 lie di selatan Khay-hong terlihat
pula sebuah gerobak yang ditarik oleh dua
ekor kuda hitam, dipacu cepat ke jurusan
utara. Satu-satunya orang di atas gerobak ini
adalah kusirnya sendiri. Adalah satu hal yang
luar biasa begitu kita mengetahui bahwa kusir
gerobak itu nyatanya adalah seorang nenek
berambut putih berpakaian rombeng penuh
tambalan. Di bagian belakang gerobak
terdapat timbunan jerami kering.
Meskipun kuda-kuda penarik gerobak itu telah
lari kencang sekali, namun si nenek masih
saja terus mendera punggung binatang-
binatang ini dengan cambuknya sehingga
kedua kuda tersebut lari laksana dikejar
setan.
Di sebelah depan kini kelihatan daerah
pegunungan yang menghitam dalam
kegelapan malam. Inilah yang dikenal dengan
nama Hun-tiongsan. Memasuki daerah
pegunungan yang di sanasini terdapat jurang
batu dalam dan terjal, si nenek bukannya
memperlambat lari gerobak, malah seperti
orang kesetanan kembali dia mencambuk
kuda-kuda penarik gerobak itu!
Siapakah adanya nenek-nenek yang demikian
hebat dan berani luar biasa mengemudikan
gerobak di jalan buruk berbahaya dan dalam
gelap gulitanya malam begitu rupa? Untuk
mengetahuinya mari kita ikuti saja ke mana
tujuan tua bangka misterius ini.
Kira-kira dua kali peminuman teh si nenek
sampai ke puncak Hun-tiong-san. Sebuah
tembok menjulang hampir sepuluh tombak
tingginya. Bagian atasnya ditancapi dengan
tombak-tombak besi. Di salah satu bagian
dari tembok ini terdapat sebuah pintu gerbang
bercat kuning yang pada kiri kanannya ada
dua buah arca harimau tengah mendekam
terbuat dari emas murni! Meskipun belum
diketahui bangunan atau apa yang ada di
belakang tembok tinggi tersebut namun sudah
dapat diduga kiranya puncak Hun-tiong-san
inilah markas Huntiong Houw-mo atau
Siluman Harimau Dari Gunung Hun- tiong!
Si nenek berambut putih hentikan gerobaknya
di depan pintu gerbang kuning. Dengan
gerakan cepat dan enteng dia melompat
turun, lalu bergerak mendekati arca harimau
emas di sebelah kiri. Salah satu jari
tangannya dipergunakan hendak menekan
mata arca harimau emas yang sebelah kanan.
Namun sebelum itu dilakukannya tiba-tiba
didengarnya suara bersiur dan ketika
memandang berkeliling si nenek jadi
melengak. Tiga orang kakek-kakek berpakaian
paderi dilihatnya tahu-tahu sudah
mengurungnya.
"Paderi dari mana yang malam-malam buta
begini masih gentayangan di luaran?!" si
nenek membentak bengis. Sepasang matanya
menyorot galak.
Paderi yang di tengah yang berambut panjang
sedang dua kawannya sama-sama berkepala
gundul menyeringai dan keluarkan suara
tertawa. Suara tertawanya ini perlahan saja,
tetapi si nenek rambut putih merasakan
seolah-olah ada satu kekuatan gaib yang
mendorong dadanya hingga jika saja tidak
lekas-lekas teguhkan kuda-kuda kedua
kakinya pastilah dia akan terhuyung-huyung
beberapa langkah.
"Heh, paderi sialan ini nyatanya memiliki
tenaga dalam yang bisa disalurkan lewat
suara!" membathin nenek rambut putih dan
melirik pada dua paderi lainnya sambil
menimbang-nimbang sampai setinggi mana
pula kehebatan yang dua ini.
Paderi berambut panjang mendongak ke
langit, keluarkan sebuah buli-buli kecil berisi
anggur dan gluk… gluk… gluk. Setelah
meneguk minuman itu tiga kali berturut-turut
dan menyimpan buli-buli kembali di balik
jubahnya, dengan masih mendongak dia
membuka mulut, berkata, "Ada ujar-ujar yang
mengatakan hutang budi bayar budi hutang
nyawa dibayar nyawa!"
"Heh! Kalian ini paderi-paderi gila dari mana
sampai kesasar kemari?! Tahukah kalian apa
artinya jika ada orang-orang luar yang berani
menginjakkan kaki di puncak Hun-tiong-san
ini?!"
Paderi rambut gondrong kembali tertawa
sementara kedua kawannya tampak tidak
sabaran.
"Kami datang kemari bukan untuk mencari
segala tahu. Tapi guna menagih hutang
nyawa! Beberapa waktu yang lalu kau telah
membunuh seorang paderi dari Siauw Lim-si
secara kejam tanpa sebab lantaran.
Karenanya pantas hari ini kau
mempertanggungjawabkannya!"
Nenek rambut putih mendongak dan tertawa
panjang. Sambil berkacak pinggang dia
berkata, "Di puncak Hun-tiong-san ini ada
suatu ketentuan. Siapa-siapa orang luar yang
berani naik kemari berarti mampus! Bisa
datang tak bisa pulang!"
"Segala macam aturan bisa saja dibuatl Tapi
yang kami perlukan adalah nyawa busukmu!"
menyahuti paderi botak di sebelah kanan.
Namanya Tek Bun.
Si nenek rambut putih kembali mengumbar
suara tertawa. "Nyali kalian sungguh besar.
Apakah kalian akan maju berbarengan atau
sendiri-sendiri?"
"Bagi manusia laknat macam kau mengapa
harus memakai segala macam aturan?!"
sentak paderi rambut gondrong. Namanya
Hoa keng.
"Hem… bagus! Dengan demikian aku tak
membutuhkan waktu lama untuk
menyingkirkan kalianbertiga. Memang sudah
lama juga puncak Hun-tiong-san ini tidak
dibasuh dengan darah paderi tengik macam
kalian…!"
"Hun-tiong-san!" paderi botak yang di sebelah
kiri dan bernama Tek Nyo. "Sudah lama kami
mendengar nama keji Hun-tiong Houw-mo.
Hari ini agaknya sudah layak nama itu
dikubur untuk selama-lamanya. Dan kau
warga komplotan terkutuk itu yang bakal
mampus duluan!"
"Paderi keparat! Jangan kelewat takabur!
Makan jariku ini!" Berteriak si nenek rambut
putih dan jentikkan lima jari tangan
kanannya. Lima larik sinar hijau berkiblat.
"Ilmu Jari Kelabang Hijau!" teriak paderi Tek
Bun kaget. "…. Lekas menyingkir!"
Tapi peringatannya itu terlambat.
Di sampingnya terdengar jeritan paderi Tek
Nyo. Berpaling ke samping kelihatan paderi
Tek Nyo terbanting ke tanah. Sebagian
tubuhnya menjadi hijau gelap sedang
kepalanya hancur. Otak dan darah
berhamburan!
"Dan ini untuk kalian berdua!" seru si nenek
rambut putih seraya jentikkan lagi-lagi jari
tangan kanannya. Kembali lima larik sinar
hijau menderu ke arah dua paderi dari Siauw
Lim-si. Tapi sekali ini serangan itu tidak
menemui sasarannya bahkan mendapat
sambutan perlawanan yang hebat.
Begitu melihat lima larik sinar hijau datang
menyerang, paderi Hoa Keng melompat ke
samping seraya kebutkan lengan jubahnya.
Selarik angin deras mendorong tubuh si nenek,
membuat dia terhuyung beberapa langkah
sedang bagian dari serangan ilmu jari
kelabang hijaunya terdorong ke samping.
Di lain bagian begitu melihat serangan, paderi
gondrong Tek Bun keluarkan buli-buli
anggurnya, teguk tiga kali berturut-turut
kemudian menyemburkan minuman ini ke
depan. Meskipun cuma anggur namun
disemburkan dengan kekuatan tenaga dalam
yang ampuh maka serangan benda cair itu
amat berbahaya. Sebagian dari ilmu jari
kelabang hijau bukan saja musnah malah
semburan anggur itu terus menerobos dan
menerpa tubuh si nenek rambut putih!
Perempuan tua ini melengak kaget
menyaksikan bagaimana pakaian rombengnya
menjadi bolong seperti disundut rokok, kulit
tubuhnya menggerayang ngilu, namun untung
saja dia mempunyai semacam ilmu kebal
hingga dia tidak menderita luka.
Baik paderi Hoa Keng maupun Tek Bun
diamdiam merasa kaget menyaksikan
bagaimana semburan anggur yang mengenai
lawan hanya sanggup merobek pakaiannya
saja. Maka berbisiklah paderi Tek Bun pada
kawannya yang ternyata lebih tua. "Hoa
Keng-twako, kita harus hati-hati. Tampaknya
lawan bukan dari tingkat sembarangan!"
Habis berbisik begitu Tek Bun berikan isyarat
dan kedua paderi clad Siauw Lim-si ini
kemudian menyerbu pula serentak dengan
hebatnya.
Nenek rambut putih rupanya sudah rnengukur
pula tingkat kepandaian lawan yang dua ini.
Sejak dulu paderi-paderi dari Siauw Lim-si
memang terkenal kehebatannya. Karenanya
dalam menghadapi dua lawan tangguh itu si
nenek keluarkan jurus-jurus terhebat dari ilmu
silat. "Siluman Harimau" yang dipelajarinya
dari Ketua Hun-tiong Houw-mo.
Serangan dua paderi Siauw Lim-si menggebu-
gebu tiada olah-olah hebatnya. Setelah
berkelebatan cepat selama dua jurus di mana
masingmasing pihak banyak dapat intai
mengintai kelemahan dan kelengahan musuh,
di jurus ketiga si nenek rambut putih
membuka serangan dengan keluarkan jurus
yang bernama Liong hun houw-hong atau
"Awan Naga Angin Harimau".
Dua paderi melihat seolah-olah udara malam
yang gelap semakin pekat menghitam dan
serentak dengan itu terdengar lawan
keluarkan suara macam harimau menggereng,
dan menyusul satu serangan yang membawa
angin laksana tiupan badai!
Untuk menghadapi serangan dahsyat ini yang
membuat tubuh dua paderi jadi tergontai-
gontai paderi Tek Bun sambut dengan jurus
cian-bun-ki long atau "Menolak Serigala di
Depan Pintu" sedang paderi Hoa Keng
menggebrak dengan jurus Po hun kian jit atau
"Menyibak Awan Memandang Matahari".
Kecamuk pertempuran di jurus yang ketiga itu
bukan kepalang. Tanah serasa bergetar.
Masingmasing lawan sama-sama merasa
tertekan dan kemudian terlempar sampai satu
tombak!
"Tiada nyana dua paderi keparat ini memiliki
ilmu yang tangguh!" kata hati nenek rambut
putih. Baru saja dia membatin begitu tiba-
tiba si nenek mendengar suara mengiang di
kedua telinganya. "Putih! Kau harus dapat
melenyapkan dua paderi Siauw Lim-si itu
dalam tiga jurus. Jika tidak berhasil kau
bakal terima hukuman potong salah satu
anggota tubuhmu!"
Suara yang mengiang itu datangnya dari arah
belakang tembok tinggi dan dilakukan oleh
Ketua Komplotan Hun-tiong Houw-mo. Pada
masa itu di dunia kangouw hanya terdapat
beberapa orang tokoh yang memiliki ilmu
mengirimkan suara dari jarak jauh seperti itu.
Dari sini saja sudah dapat dibayangkan
bagaimana tingginya tingkat kepandaian
Ketua Hun-tiong Houw mo dan di samping itu
juga kentara sekali bagaimana pula
kebengisannya terhadap anak buahnya
sendiri!
Nenek rambut putih yang dipanggil dengan
sebutan si Putih menjadi dingin tengkuknya
mendengar perintah pemimpinnya itu. Sambil
berkelebatan kian kemari dia berpikir,
"Bagaimana aku dapat membunuh dua paderi
ini hanya dalam tempo tiga jurus saja? Sulit!
Keduanya memiliki kepandaian yang tinggi…."
Dalam pada itu kembali paderi Tek Bun dan
Hoa Keng melancarkan serangan-serangan
berbahaya, mendesak nenek rambut putih ke
dekat pintu gerbang warna kuning.
"Baiknya aku hadapi mereka dengan jurus hun
in toan-san, lalu jurus jit gwat-bu kong
kemudian baru kususul dengan serangan ilmu
jari kelabang hijau. Jika ini tidak membawa
hasil, celakalah. Biar aku terima nasib,"
demikian nenek rambut putih membatin.
Rupanya jurus-jurus silat yang hendak
dikeluarkannya itu adalah ilmu simpanan
yang paling hebat. Satu jurus berlalu tanpa si
nenek mempunyai kesempatan untuk mulai
menyerang karena dua paderi menyerbunya
dengan amat hebat.
Jurus berikutnya, didahului dengan bentakan
menggeledek nenek itu keluarkan jurus hun-in
toan-san (Awan Melintang Memutus Bukit).
Kehebatan jurus ini segera terlihat karena
bagaimana pun dua paderi Siauw Lim-si
memburu lawannya namun di antara mereka
tetap saja terdapat jarak tertentu yang
memisah hingga setiap serangan yang
dilancarkan tidak pernah sampai. Selagi dua
paderi itu merasa heran campur penasaran, si
nenek keluarkan jurus berikutnya yaitu jit-
gwat-bu-kong atau "Matahari dan Rembulan
Tidak Bersinar".
Paderi Tek Bun dan kawannya tiba-tiba
merasakan tempat sekelilingnya menjadi amat
gelap dan mereka tak dapat melihat di mana
musuh mereka berada. Selagi keduanya
kebingungan begitu rupa tahu-tahuj lima larik
sinar hijau berkiblat di depan mata, demikian
cepatnya hingga dua paderi ini tidak sempat
menyelamatkan nyawa masing-masing.
Mereka cuma sanggup berteriak. "Ilmu Jari
Kelabang Hijau!" Dan sedetik kemudian
keduanya roboh ke tanah, mati dengan kepala
hancur dan hangus hijau!
Nenek rambut putih menghela nafas lega. Dia
membalikkan tubuh, mendekati arca harimau
emas di pintu gerbang sebelah kiri. Ketika
mata sebelah kanan dari harimau ini ditekan
maka pintu gerbang kuning pun terbuka. Si
nenek lompat ke atas gerobak dan membedal
binatang penarik gerobak itu masuk melewati
pintu gerbang. Begitu gerobak masuk pintu
gerbang kuning menutup dengan sendirinya.
Di belakang tembok tinggi di puncak Hun
tiong-san itu ternyata terdapat sebuah
bangunan besar yang keseluruhannya dilapisi
emas hingga meskipun malam hari bangunan
yang seperti istana itu kelihatan
memancarkan sinar berkilau yang amat
menakjubkan. Di mana-mana terdapat arca
berbentuk kepala harimau.
Dua orang berpakaian putih menyambut
kedatangan si nenek dan langsung membawa
gerobak ke bagian belakang bangunan emas
sedang nenek rambut putih sendiri masuk ke
dalam gedung besar lewat pintu depan.
Di sebuah ruangan yang amat bagus, di atas
satu kursi emas duduklah seorang gadis
berparas amat jelita. Dia mengenakan pakaian
sutera warna merah. Seuntai kalung emas
kepala harimau tergantung di lehernya. Di
atas kepalanya yang berambut hitam terdapat
sebentuk mahkota emas yang ditaburi intan
berlian. Meskipun wajahnya cantik rupawan,
namun sepasang matanya kentara sekali
membersitkan sinar kebengisan yang
menggidikkan. Manusia inilah, yang menjadi
Kepala Komplotan Hun-tiong Houw-mo yang
selama beberapa bulan terakhir ini telah
menebar anak-anak buahnya di seluruh
pelosok untuk menimbulkan kekacauan,
melakukan perampokan dan pembunuhan
serta penculikan hingga menggegerkan dunia
kangouw.
Di sekeliling Ketua Hun-tiong Houw-mo
berdiri beberapa orang gadis yang
kesemuanya berparas cantik pula, masing-
masing mengenakan pakaian sutera warna
ungu, biru dan kuning.
Nenek rambut putih menjura di hadapan Ketua
Hun-tiong Houw-mo. "Dewi tugas telah
kuselesaikan. Harap petunjuk dari Dewi lebih
tanjut."
Ketua Hun-tiong Houw-mo yang dipanggil
dengan sebutan "Dewi" itu anggukkan
kepalanya sedikit.
"Betulkan dulu pakaian dan tampangmu, baru
bicara!" sang Dewi membuka mulut. Suaranya
tinggi angkuh.
Nenek rambut putih tanggalkan pakaiannya
yang kotor compang camping, tarik rambut
palsunya yang berwarna putih talu membuka
topeng tipis yang menutupi wajahnya.
Ternyata dia adalah seorang gadis berparas
cantik sekali, berambut panjang hitam yang
digulung dan mengenakan pakaian sutera
warna putih! Di lehernya tergantung kalung
emas kepala harimau! *** 8 DI ANTARA
pembantu-pembantu utama Ketua Hun-tiong
Houw-mo yang kesemuanya adalah daradara
berparas jelita maka dara berpakaian putih
inilah yang paling cantik dan mendatangkan
sedikit rasa iri dalam diri yang lain-lainnya.
Setelah memandang wajah gadis itu seketika
maka bertanyalah Dewi Hun-tiong Houw-mo,
"Koankoan, apakah dalam perjalanan kau ada
bertemu dengan Tio Ki-pi?"
"Tidak satu pun di antara mereka kutemui,
Dewi," jawab si Putih Koan-koan.
Baru saja dia menjawab demikian tiba-tiba
dari luar terdengar seseorang berseru, "Dewi,
aku Tio Ki-pi datang menghadap!"
Sesaat kemudian masuklah Tio Ki-pi alias
Thian liong-plan. Dia menjura di hadapan
Ketua Huntiong Houw-mo yang duduk di
kursinya dan memandang tajam pada tangan
kanan Tio Ki-pi yang kini kelihatan buntung.
"Dewi," kata Tio Ki-pi kemudian sambil
berlutut jatuhkan diri, "Mohon maafmu karena
aku tidak berhasil menyelamatkan gerobak
itu. Bahkan Empat Golok Kematian yang
kusewa untuk membantu mengawal, tiga di
antaranya telah menemui aja!!"
"Sejak semula aku sudah tahu kalau kau tidak
mampu mengamankan dan menjalankan
tugas. Masih untung aku berlaku cerdik,
menyuruh Si Hitam ling-ling untuk membawa
gerobak asli yang berisi emas rampokan milik
Kaisar Boan. Kalau kuserahkan tanggung
jawab padamu, pasti ludaslah semua emas
itu!"
"Ja… jadi Dewi sudah mengetahui semua…?"
tanya Tio Ki-pi dengan suara gemetar dan
muka seputih kain kafan.
Ketua Hun-tiong Houw-mo menyeringai.
Matanya kelihatan berapi-api. "Aku sudah
menerima laporan lengkap tentang tindak
tanduk kegagalanmu! Ling-ling, keluarlah
kemari!"
Sebuah pintu terbuka. Seorang kakek berkumis
putih melangkah masuk dan menjura di
hadapan Dew! Hun-tiong Houw-mo. Sepasang
mata Tio Ki-pi terbelalak. Jika dia tidak salah
kakek ini adalah yang pernah dilihatnya
tempo hari di rumah makan di sebuah kota
kecil di mana dia kemudian menerima
sepucuk surat panggilan dari Ketua Hun-tiong
Houw-mo yang ditancapkan di mangkuk nasi!
"Jadi… kiranya dia…. Celakalah aku!" keluh
Tio Ki-pi.
Kakek berkumis putih tanggalkan pakaian
luarnya dan tarik topeng tipis yang menutupi
wajahnya. Nyatanya kini dia adalah seorang
dara rupawan yang mengenakan pakaian
sutera hitam, salah satu pembantu Dewi
Siluman Harimau. Dari Hun-tiong!
"Tio Ki-pi, tahukah kau apa kesalahanmu?!"
Tio Ki-pi menyembah-nyembah dan seperti
anak kecil dia merengek menangis: "Dewi aku
yang hina ini mohon pengampunanmu. Semua
terjadi di luar kemampuanku…."
Ketua Hun-tiong Houw-mo cuma ganda
tertawa. "Pertama kau telah gagal
menjalankan tugas untuk membawa gerobak
itu ke sini, sekalipun itu hanyalah gerobak
yang bukan berisi emas karena yang asli telah
kuperintahkan pada Koan-koen untuk
membawanya kemari. Kesalahan kedua
setelah menemui kegagalan kau berniat untuk
melarikan diri tapi rencanamu itu diketahui
oleh si Hitam Ling-ling. Pembantuku ini telah
memberi surat peringatan agar kau kembali,
ke markas dengan segera. Namun kau tidak
acuhkan malah nekad hendak terus lari. Itu
kesalahanmu yang ketiga!"
"Dewi, betapa pun juga kasihanilah selembar
nyawaku ini. Jika saja kau mau memberikan
tugas baru untukku pasti akan kulakukan
dengan berhasil."
"Bagaimana kalau tugas baru itu adalah
menyuruh kau membunuh dirimu sendiri…?"
Tio Ki-pi merasakan nyawanya seolah-olah
sudah terbang saja saat itu. Apakah kau
masih merasa pantas mengenakan kalung
kepala harimau lambang tertinggi dari Hun-
tiong Houw-mo itu?" ketua Komplotan
membentak.
Tio Ki-pi buru-buru membuka kalung emas
kepala harimau yang tergantung di lehernya,
kalung pertanda sebagai komplotan Hun-tiong
nouw-mo. Benda ini kemudian diletakkannya
di hadapan sang Dewi.
"Kesalahanmu terlalu besar untuk diampuni
Tio Ki-pi," berkata Dewi Siluman Harimau dari
Gunung Hun-tiong itu. Tampangnya menjadi
bengis total dan pandangan matanya
membersitkan maut. Dia bertepuk tiga kali dan
berseru, "Seret dia ke kamar penyiksaan.
Gantung kaki ke atas kepala di atas tong bara
menyala!"
"Dewi!" seru Tio Ki-pi seraya berlutut dan
menggerung. Namun saat itu tiga orang
pembantu sang Dewi yang juga merupakan
murid-murid berkepandaian tinggi sudah
melompat ke muka, mengurung Tio Ki-pi.
Dalam takutnya yang sudah sampai pada
puncaknya dan dalam keadaan tidak berdaya
untuk selamatkan diri, Tio Ki-pi menjadi
nekad. Lari tidak mungkin, minta
pengampunan juga tidak bisa. Dari pada mati
disiksa lebih dulu, lebih baik menyabung
nyawa. Dan kebencian serta kemarahan yang
meluap bekas tokoh utama dari propinsi Ciat
kang ini tertumpah keseluruhannya pada Dewi
Siluman Harimau yang duduk dengan mimik
bengis di atas kursi kebesarannya.
"Dewi atas semua kesalahan aku rela
menerima hukuman," kata Tio Ki-pi dengan
suara bergetar sambil maju beberapa tindak
mendekati Ketua Hun-tiong Houw-mo itu.
Diam-diam dia kerahkan seluruh tenaga
dalamnya ke tangan kiri, "Namun sebelum aku
menjalani hukuman itu ada satu rahasia besar
yang kurasa perlu kuterangkan padamu…."
Kening Ketua Hun-tiong Houw-mo
mengerenyit.
"Rahasia apa? Katakan lekas!"
"Begini, Dewi…" kata Tio Ki-pi pula dan dia
maju lagi dua langkah. Jaraknya dengan
Ketua Komplotan Siluman Harimau itu hanya
terpisah setengah tombak kini. "Di puncak
Hun-tiong-san ini…." Tiba-tiba dengan
kecepatan luar biasa, dengan mempergunakan
jurus yang dinamakan Teng miaou kin thian
atau "Kucing Sakti Terkam Tikus", Tio Ki-pi
lancarkan satu hantaman dahsyat dengan
tangan kirinya.
Para pembantu Ketua Hun-tiong Houw-mo
berseru kaget namun Ketuanya sendiri
kelihatan tenang-tenang saja di kursinya.
Sesaat lagi pukulan sakti itu akan
menghancur-leburkan sang Dewi, gadis cantik
ini dengan senyum maut bermain di bibir
angkat tangan kanannya.
"Naik!" seru Ketua Hun-tiong Houw-mo. Dan
hebat sekali, angin pukulan Tio Ki-pi tadi
terdorong penuh sedang tubuh Tio Ki-pi
sendiri tiba-tiba terangkat ke udara sampai
dua tombak. Dan ketika sang Dewi
memukulkan telapak tangannya ke pegangan
kursi, maka jatuhlah tubuh Tio Ki-pi ke lantai
dengan keras. Kepalanya pecah, otak
berantakan, darah menghambur!
Beberapa pelayan mengangkat mayat Tio Kipi,
yang lainnya membersihkan lantai. Kemudian
Ketua Hun-tiong Houw-mo memandang
berkeliling pada murid-muridnya yang
berjumlah lima orang itu,
"Aku mendapat firasat bahwa kita sekarang
ini berada dalam keadaan yang tidak
menyenangkan kalau tak mau dikatakan
berbahaya. Pertama orang-orang Kaisar Boan
sudah barang tentu menyelidiki perampokan
segerobak emas yang kits lakukan itu. Lambat
laut bagaimanapun juga pasti mereka akan
mengetahui bahwa kitalah yang telah
melakukannya. Kita tak perlu takut akan
serbuan balatentara Boan kemari karena kita
mempunyai banyak senjata rahasia. Namun
jika Kaisar Boan meminjam tangan orang-
orang kangouw, kita akan cukup direpotkan
oleh mereka. Hal kedua adalah munculnya
seorang pemuda asing sebagaimana yang
diterangkan oleh si Hitam Ling-ling dan si
Putih Koan-koan. Dapat dipastikan bahwa
pemuda itulah yang bernama Wiro Sableng,
yang telah menghancurkan Empat Golok
Kematian dan mencelakai Tio Ki-pi. Mata-
mata kita selanjutnya memberi tahu bahwa
pemuda itu kini tengah mencari tahu di mana
letaknya markas kita. Hal ketiga yang paling
berbahaya ialah lenyapnya Pendekar Pedang
Akhirat Long Sam Kun dari penjara Liang
Akhirat dan matinya Siang-mo-kiam. Saat ini
mungkin dia belum tahu letak markas kita.
Tapi cepat atau lambat dia pasti akan
mengetahui juga!"
Dewi Ketua Hun-tiong Houw-mo itu diam
sejenak. Kemudian melanjutkan kata-katanya,
"Karenanya, sebelum tiga hal itu menjadi
kenyataan yang berbahaya, ada beberapa
tugas yang harus kalian lakukan! Pertama,
kau Ling-ling harus menambah dan menebar
sejumlah mata-mata untuk memperhatikan
gerak-gerik pasukan Kaisar. Kemudian kau si
Biru Bwe Bwe mencari tahu di mana adanya
Pendekar Pedang Akhirat Long Sam kun. Kau
si Ungu Lan-Lan dan si Kuning Ni-nio
mendapat tugas membuat alat-alat rahasia
baru di sekitar puncak Hun-tiong san ini.
Tugas terakhir pada si Putih Koan-koan ialah
membunuh pemuda asing yang bernama Wiro
Sableng itu. Untuk itu kau harus berangkat
saat ini juga, yang lain-lain tunggu
pemberitahuanku lebih lanjut!"
Dara berpakaian sutera putih bernama Koan-
koan menjura dan meninggalkan tempat itu
dengan cepat. *** 9 SAMBIL bersiul-siul
membawakan lagu tak menentu Pendekar 212
Wiro Sableng melangkah lenggang kangkung.
Kadang-kadang sesungging senyum muncul di
ujung bibirnya. Saat itu bukan dia tidak tahu
kalau sudah sejak tadi ada seseorang yang
mengikutinya dari belakang dalam jarak
tertentu. Namun pura-pura tak tahu dia jalan
terus memasuki rimba belantara di kaki bukit
yang menurut keadaannya mungkin belum
pernah didatangi manusia sebelumnya.
Di satu tempat tiba-tiba laksana seekor
burung, dengan gesit dan tanpa suara sama
sekali dia melompat ke sebuah cabang pohon
yang tingginya hampir tiga tombak. Di sini dia
mendekam di balik rerumputan daun dan
menunggu. Tak lama kemudian di bawah sana
dilihatnya ranting-ranting dan semak-semak
bersibakan dan sesosok tubuh menyeruak
mencari jalan.
Pendekar kita tersenyum. Dia memang sudah
menduga dari semula. Orang yang
mengikutinya itu ternyata adalah gadis cantik
yang tempo hari dicuri kudanya. Cuma sedikit
yang menimbulkan tanda tanya dalam hati
Wiro di mana gadis itu meninggalkan kudanya
dan dari mana pula dia mendapat pesalin
pengganti pakaian merahnya yang dulu
robek-robek. Tepat ketika sang dara yang kini
berpakaian putih ringkas dan rambut digulung
di atas kepala sampai di bawah pohon.
Wiro melayang turun hingga si nona menjadi
kaget.
"Ah, sungguh menyenangkan dapat bertemu
denganmu kembali, Nona. Kurasa kau pun
demikian pula bukan?" Wiro menegur sambil
garuk-garuk kepala dan cengar-cengir.
"Siapa sudi bertemu dengan kau!" sang dara
melengos.
"Eh, kalau tak sudi ketemu kenapa dari pagi
tadi kau diam-diam mengikuti? Bukankah itu
maksudnya pingin ketemu…?"
Si Nona tadi merah wajahnya karena jengah.
"Nah, sekarang ringkas saja, Nona. Kenapa
kau mengikutiku?"
"Aku tak mengikutimu, hanya kebetulan saja
kita satu jurusan dan kau di sebelah depan."
"Begitu? Baiklah. Sekarang kau silahkan jalan
di sebelah depan dan aku di belakang!"
Nona itu kelihatan geregetan sekali
mendengar kata dan melihat tingkah Wiro.
"Dengar," katanya serius. "Kau dan aku
mempunyai kepentingan yang sama. Kita
sama menuju gunung Hun-tiong di mana
markas komplotan Hun-tiong Houw-mo
berada. Kau tak tahu jalan dan aku butuh
bantuan. Sekali lagi kutawarkan bagaimana
kalau kita kerja sama?"
Wiro merenung sejenak lalu tersenyum.
"Aku kurang begitu percaya padamu.
Sebelumnya kau hendak menebas batang
leherku. ingat?"
"Itu… itu karena kau telah mencuri kuda
kesayanganku dan… dan…."
"Sudahlah, Nona, kalau kau kepingin jalan
sama-sama denganku aku tak keberatan. Tapi
sesampainya di Hun-tiong san kita urus
persoalan sendiri-sendiri…."
"Aku belum pernah bertemu laki-laki
sesombongmu!" desis nona itu.
"Aku belum pernah bertemu gadis
secantikmu!" jawab Wiro pula dan membuat si
nona jadi betulbetul kepingin menggebuk
pemuda itu.
"Kau… kau terlalu…" kata gadis itu perlahan
dan menggigit bibirnya keras-keras agar air
matanya jangan sampai keluar karena rasa
kesal yang amat sangat itu.
Wiro jadi kasihan juga melihat gadis itu.
"Sudahlah, aku tadi cuma bergurau.
Bagaimana persoalannya sampai saudara
laki-lakimu dibunuh oleh komplotan Hun-
tiong Houw-mo?"
"Suatu hari dia diculik oleh anggota
komplotan itu, hendak dipersembahkan pada
Ketua Hun-tiong Houw-mo yang kabarnya
seorang gadis berparas jelita tetapi
mempunyai nafsu terkutuk luar biasa dan
suka menyimpan pemuda-pemuda gagah di
markasnya. Jika dia sudah bosan, pemuda-
pemuda itu dibunuhnya satu persatu dan cari
yang lain…."
"Jadi Ketua Hun-tiong Houw-mo itu adalah
seorang gadis, seorang perempuan?"
Sang dara mengangguk.
"Seorang gadis cantik dan berkepandaian
tinggi luar biasa."
"Aneh…" Ujar Wiro.
"Apa yang aneh?"
"Jika dia berkepandaian tinggi dan banyak
tokoh-tokoh persilatan yang jatuh di
tangannya sedangkan usianya demikian muda,
sejak umur berapa dia sudah menguasai ilmu
silat dan kesaktian?"
"Aku pun tidak mengerti," menyahut si nona.
"Kira-kira sebulan sesudah saudaraku diculik,
mayatnya ditemukan dalam keadaan rusak di
pinggiran kota…."
"Bagaimana kau tahu bahwa komplotan Hun-
tiong Houw-mo yang membunuhnya?!" tanya
Wiro pula.
"Ada piauw kepala harimau dari emas
menancap di keningnya."
Wiro manggut-manggut.
"Bagaimana sekarang?" si nona ajukan
pertanyaan.
"Apa yang bagaimana?"
"Kau masih tak mau bekerja sama denganku?"
"Apa yang kau ketahui tentang Hun-tiong
Houw-mo?" balik bertanya Wiro.
"Pertama aku tahu jalan terpendek ke puncak
Hun-tiong san tanpa diketahui oleh penghuni
markas komplotan itu."
"Tapi kabarnya markas komplotan itu dipagari
dengan tembok luar biasa tingginya sedang di
pelbagai tempat penuh dengan senjata
rahasia!"
"Itu adalah persoalan kedua," jawab si nona.
"Semasa kecil aku sering diajak kakek guruku
ke puncak Hun-tiong san. Waktu itulah
kutemui sebuah terowongan rahasia yang jika
diikuti akan sampai di salah satu bagian
dalam halaman markas Hun-tiong Houw-
mo…."
"Ah, itu bagus sekali!" ujar Wiro. "Lantas apa
lagi yang kau ketahui…."
"Di samping Ketua Hun-tiong Houw-mo yang
terkenal sakti itu, di sana terdapat juga
beberapa orang pembantunya yang terdiri dari
gadis-gadis cantik dan rata-rata
berkepandaian tinggi!"
"Lain hal…?"
"Tak ada lagi yang kuketahui."
Wiro usap-usap dagunya. "Kau belum
menerangkan siapa namamu, Nona."
Kembali paras sang dara menjadi merah. Tapi
dia menyahut juga. "Panggit aku Pek Lan…."
"Pek Lan…? Ha, kalau tak salah itu artinya
Anggrek Putih! Nama yang bagus! Nah
sekarang
mari kita sama-sama lanjutkan perjalanan…. "
"Kau silahkan jalan duluan," kata Pek Lan
pula. "Eh, bagaimana ini? Katanya bekerja
sama, jalan sama-sama tidak mau…!"
"Jalan saja duluan, aku tunjukkan arah dari
belakang. Sekeluarnya dari rimba ini, puncak
Hun-tiongsan akan segera terlihat!"
Wiro tarik nafas panjang dan geleng-geleng
kepala. Akhirnya dia melangkah juga. Pek Lan
mengikutinya sejauh lima belas langkah di
belakang.
Ketika hampir akan keluar dari hutan
belantara itu tiba-tiba Wiro tersentak kaget
menyaksikan pemandangan beberapa langkah
di hadapannya. Seorang nenek-nenek tak
dikenal, berambut putih berpakaian compang-
camping duduk menjelepok di tanah. Di
tangannya ada sepotong ranting kering.
Dengan ranting ini dia menggurat-gurat
tanah.
Gerakan tangannya acuh tak acuh dan
tampaknya perlahan saja namun guratan yang
terlihat di tanah demikian dalamnya tanpa
mempergunakan tenaga dalam yang tinggi tak
bakal seseorang mampu melakukan hal itu.
Wiro sudah mengetahui baik di tanah airnya
maupun di Tiongkok, orang-orang atau tokoh
persilatan itu banyak yang bersifat aneh.
Karenanya dia sudah menduga kalau nenek
tak dikenal ini pun tentu salah seorang dari
tokoh-tokoh golongan aneh itu. Maka
menjuralah dia dengan penuh hormat dan
menegur dengan lembut.
"Nenek tua rambut putih, maafkan siauwte
mengganggu ketentramanmu. Sudilah nenek
memberi jalan sedikit agar aku dapat
melanjutkan perjalanan."
Sementara itu Pek Lan yang mengikutinya,
dari belakang, begitu melihat ada orang lain
di depan, cepat hentikan langkah, menyelinap
ke balik semak belukar dan menghilang.
Anehnya, ditegur oleh Wiro si nenek
seolaholah tak mendengar dan terus saja
menggurat-gurat tanah dengan ujung ranting
kering. Memikir kalau-kalau pendengaran si
nenek kurang baik maka Wiro menegur lagi.
Kali ini dengan suara lebih keras.
Si nenek tiba-tiba angkat kepalanya.
Kelihatan jelas kini wajah yang mengeriput. Di
lain pihak Wiro melihat bagaimana sepasang
mata si nenek bening bercahaya, bukan
seperti mata seorang yang sudah lanjut usia.
Si nenek sendiri begitu matanya membentur
wajah Wiro, hatinya tercekat dan dalam hati
dia membatin, "Ah… tak kusangka kalau yang
harus kubunuh ini seorang pemuda asing
berparas gagah meskipun tindak tanduknya
macam orang tolol dan lucu…. " Kemudian
nenek ini cepat-cepat tundukkan kepalanya
kembali. Pandangan mata Wiro Sableng
membuat hatinya bergetar.
"Nenek, beri jalan padaku…. " Wiro berkata
lagi.
Tiba-tiba si nenek melompat. Mimiknya jadi
bengis dan dia membentak garang. "Bangsat,
kapan aku kawin dengan kakekmu kau panggil
aku nenek!"
Mendengar ini Wiro hendak meledak tawanya.
Tapi batal karena sambil membentak
dilihatnya si nenek tusukkan ranting kering di
tangannya ke arah dada Wiro. Meskipun cuma
sepotong ranting kering namun bisa
mendatangkan maut karena dialiri tenaga
dalam yang hebat. Wiro berkelit ke samping
dan menghantam dengan tangan kanannya.
"Buk!"
Pukulan tepi telapak tangannya tepat
mengenai lengan si nenek. Ranting terlepas
mental dan si nenek menggigit bibir menahan
sakit. Wiro sendiri merasakan tangannya
seperti kesemutan. Diam-diam pendekar ini
kaget juga dan mulai berlaku lebih hati-hati.
"Aku tiada permusuhan denganmu Nenek,
kenapa kau menyerangku?"
"Mulutmu terlalu kurang ajar. Orang sepertimu
pantas dilenyapkan!"
"Eh, bukankah kau yang duluan bicara segala
macam kawin dengan kakekku. Kau yang
buktinya bermulut usil, Nek!"
Si nenek yang bukan lain adalah si Putih
Koan-koan sebenarnya merasa geli juga
mendengar ucapan Wiro itu, namun berhubung
dia mendapat tugas dari ketuanya untuk
membunuh pemuda asing ini, maka itu tak
dapat ditawar-tawar lagi. Dia tahu kalau
pemuda itu dikabarkan memiliki kepandaian
tinggi dan telah sanggup membunuh Siang
Mo Kiam, dua anggota komplotan Hun-tiong
Houw-mo yang berkepandaian tinggi.
Karenanya dalam serangan kedua dia sengaja
keluarkan jurus hun-in toan-san (Awan
Melintang Mernutus Bukit) yakni jurus
pertama yang sebelumnya telah mengantar
kematian dua paderi Siauw lim-si
berkepandaian tinggi itu.
Wiro kaget ketika melihat bagaimana seolah-
olah lawan dipisahkan oleh satu jarak gaib
yang tak bisa dicapainya padahal si nenek
kelihatan dekat saja di depan matanya.
"Ah, nyatanya kepandaiannya cuma rendah
saja," kata nenek rambut putih alias Koan-
koan begitu melihat jurus yang
dikeluarkannya itu membuat lawan tidak
berdaya. Segera dia keluarkan jurus kedua
yakni "Matahari Dan Rembulan Tidak
Bersinar" atau jit-gwat-bu-kong.
Ketika menghadapi jurus aneh yang pertama
tadi Wiro memang terkesiap namun itu
bukanlah berarti dia menjadi tak berdaya
seperti yang disangka oleh Koan-koan.
Secepat kilat tangan kanannya mendorong ke
depan melancarkan pukulan sakti bernama
"Benteng Topan Melanda Samudera".
Setiup angin bertiup dengan dahsyat seolah
bumi ditiup badai. Kini Koan-koanlah yang
menjadi kaget. Bukan saja dia tak mendapat
kesempatan untuk mengeluarkan jurus "jit
gwat-bu-kong" tetapi jurus "hun-in-toan-
san"nya pun dilabrak musnah sedang dirinya
sendiri terhuyung-huyung beberapa langkah
ke belakang.
Melihat lawan nyatanya memiliki kepandaian
tinggi, tidak serendah yang diduganya, Koan-
koan menjadi marah dan naik pitam. Baginya
jika menghadapi lawan seperti ini hanya ada
satu pilihan, dia yang bakal konyol atau
lawan yang akan meregang nyawa. Karenanya
Koan-koan tanpa tunggu lebih lama lagi
segera keluarkan kesaktiannya yang paling
tinggi yaitu "Ilmu Jari Kelabang Hijau".
Ketika Pek Lan yang mengintip di balik
belukarmelihat si nenek rambut putih jentikkan
lima jarinya yang disusul dengan berkiblatnya
lima larik sinar hijau yang menggidikkan
maka dara itu tersentak kaget dan berseru
memperingati Wiro. "Saudara, awas! Itu
pukulan Ilmu Jari Kelabang Hijau yang ganasl
Lekas menyingkir!"
Wiro tertegun mendengar peringatan itu
sedang Koan-koan sendiri terheran-heran
karena tak menyangka kalau ada orang ketiga
di tempat itu.
Karena belum tahu sampai di mana kehebatan
Ilmu Jari Kelabang Hijau, Wiro turuti juga per
ingatan Pek Lan, menyingkir dua langkah ke
samping dan menghantam dengan pukulan
"Angin Puyuh", tapi apa lacur, pukulan sakti
yang dialiri setengah bagian tenaga dalamnya
itu ternyata punah dilabrak sinar hijau
pukulan lawan. Di lain kejap sinar hijau terus
menyambar ke arah Wiro.
Pek Lan menjerit kaget, "Celaka!" dan dia
sendiri tidak punya kemampuan untuk
menolong Wiro. Meskipun demikian dia cabut
pedangnya dan menyerang ke arah Koan-koan
seraya membentak garang.
"Nenek keparat, jadi kau adalah salah seorang
dari pembantu ketua Hun-tiong Houw-mo
terkutuk itu! Jangan coba mungkir sekalipun
kau bisa menyamar jadi setan! Hanya orang-
orang dari Hun-tiong san yang memiliki ilmu
laknat itu!"
Koan-koan sendiri sebenarnya mengeluh dan
menyesal dalam hatinya telah lepaskan
pukulan
Ilmu Jari Kelabang Hitam yang ganas yang
dilihatnya telah membuat si pemuda tak
berdaya dan bakal meregang nyawa. Pada
dasarnya dia tak ingin membunuh pemuda
yang menarik hatinya ini. Namun untuk
menarik pukulan tersebut sudah kasip dan
dalam pada itu satu serangan pedang dari
seorang gadis cantik tak dikenalnya datang
pula dari samping, membuat dia terpaksa
berkelit, selamatkan batang lehernya.
Melihat pukulan tangkisannya musnah Wiro
kaget sekali dan sebelum sinar hijau melabrak
kepalanya pendekar ini hantamkan tangan
kirinya ke atas. Selarik sinar putih
menyilaukan berkelit ganas dan terdengarlah
suara berdentum!
Nenek rambut putih atau Koan-koan mencelat
mental sampai tiga tombak. Dengan jungkir
balik susah payah baru dia bisa berdiri di
atas kedua kakinya. Dadanya terasa sakit dan
jari-jari tangannya seperti hendak putus.
Wajahnya sepucat kain kafan. Sedang di
depannya Wiro Sableng dilihatnya berdiri
tegak dengan kaki melesak ke tanah sampai
sedalam sepertiga jengkal. Di bagian lain
beradunya dua pukulan sakti itu telah
membuat Pek Lan terbanting ke samping dan
jatuh duduk di tanah. Tapi gadis ini cepat
bangun kembali. Pungut pedangnya dan
kembali menyerbu Koan-koan.
"Bangsat dari Hun-tiong san! Kau harus tebus
nyawa kakakku dengan nyawa anjingmu!"
Pedangnya berkelebat. Tapi saat itu Koan-
koan yang sudah maklum tidak bakal
sanggup menghadapi Wiro sudah putar
langkah dan hendak kabur. Cuma sayang Wiro
lebih cepat menghadangnya.
"Nenek manis, kau mau merat ke mana?
Makan dulu jariku ini."
Sekali totok saja nenek rambut putih alias
Koan-koan tertegun jadi patung, tak bisa
bergerak lagi!
"Hem, sekarang mampuslah!" seru Pek Lan.
Pedangnya turun laksana kilat. Koan-koan
hanya bisa pejamkan mata terima nasib.
"Pek Lan tahan dulu!" Wiro tiba-tiba berseru
dan memegang lengan Pek Lan.
Gadis ini coba berontak. "Apa-apaan kau!
Bangsat ini adalah musuh besarku, yang telah
membunuh kakakku! Musuh besar setiap
orang-orang golongan putihl Kenapa kau
cegah aku membunuhnya?"
"Sabar dulu Pek Lan. Dari dia kita bisa
mengorek beberapa keterangan penting…. "
"Aku tak butuh segala macam keterangan!
Aku butuh nyawanya!" sentak Pek Lan.
"Itu bisa kau lakukan nanti. Tapi aku pun
mempunyai kepentingan sendiri," tukas Wiro
pula. Dia berpaling pada si nenek rambut
putih dan bertanya, "Betul kau anggota Hun-
tiong Houw-mo?"
"Terlu apa itu ditanya !agi! Lihat aku akan
buktikan sendiri!" kata Pek Lan dan dengan
kedua tangannya dirobeknya pakaian luar
Koan-koan. Kini kelihatan pakaiannya sebelah
dalam, pakaian ringkas warna putih sedang di
lehernya tergantung kalung emas kepala
harimau. "Dan ini tampang iblis ini yang asli!"
seru Pek Lan selanjutnya seraya
menanggalkan topeng tipis dari wajah Koan-
koan, Wiro sampai ternganga bengong waktu
menyaksikan wajah di balik topeng nenek-
nenek buruk keriput tadi ternyata adalah paras
yang demikian jelitanya!
"Nona, aku tak mengerti. Kau demikian cantik.
Kenapa menyia-nyiakan hidup dengan masuk
menjadi anggota Hun-tiong Houw-mo?"
Ditegur oleh Wiro selembut itu, Koan-koan
jadi sesenggukan dan tak dapat lagi menahan
air matanya.
"Eh, kenapa jadi menangis?" tanya Wiro.
"Awas, jangan sampai kita termakan tipunya!"
ujar Pek Lan tetap bernafsu.
Wiro bertanya sekali lagi. Sekali ini Koan-
koan membuka mulut memberi keterangan
dengan terisak-isak, "Aku dan juga empat
kawanku yang lain tak pernah menginginkan
untuk hidup sebagai murid Ketua Hun-tiong
Houw-mo. Kami semua terpaksa. Diculik
beberapa tahun yang silam dan tak mungkin
lagi keluar dari genggaman Ketua kami
kecuali kalau kami ingin buru-buru mati!"
"Bangsat! Kau pandai main sandiwara! Toh
kau yang menculik dan membunuh kakakku!?"
"Apakah kakakmu itu masih muda…?" tanya
Koan-koan dengan pandangan rawan.
"Ya."
"Orang-orang muda ditangani sendiri oleh
Ketua kami. Dia yang menyuruh culik
kemudian dia pula yang membunuhnya bila
telah bosan. Aku dan kawan-kawan hanya
menjalankan tugas secara terpaksa karena
kami tak punya daya."
"Kenapa tidak melarikan diri?!" bertanya Wiro.
"Tak ada gunanya. Kami akan segera
tertangkap dan disiksa seumur-umur…."
"Apakah kau punya niat untuk kembali ke
jalan yang benar?" Wiro tanya lagi.
"Aku dan juga kawan-kawan selalu
mengharapkan hal itu. Namun sampai saat ini
kesempatan itu belum ada. Kalaupun ada
tokoh golongan putih tentu siang-siang sudah
membunuh kami. Padahal mereka banyak
yang tidak tahu kehidupan kami yang boleh
dikatakan tersiksa batin sepanjang hari…."
"Siapakah namamu Nona?"
Koan-koan menerangkan namanya.
"Dengar, jika kami berdua membebaskan kau
saat ini…."
"Siapa sudi melepaskan dial" Pek Lan
nyerobot.
Wiro memberi isyarat agar gadis itu diam.
"Rupanya kau sudah tertarik pada
kecantikannya Wiro! Kau akan ditipunya dan
kelak akan dibunuhnya!"
Wiro tak perdulikan kata-kata Pek Lan.
"Dengar Koan-koan," katanya. "Segala apa
yang terjadi antara kita bisa dilupakan, dan
kami berdua mengampuni dirimu. Tapi dengan
syarat kau harus membantu kami. Dan kelak
mengajak pula kawan-kawanmu kembali ke
jalan yang benar. Bertobat dan hidup secara
baik-baik."
Koan-koan tertawa rawan. "Seolah-olah
mimpi ini semua bagiku," katanya. Lalu, "Kau
belum tahu siapa Ketua Hun tiong Houw-mo.
Jika kau bermaksud hendak memusnahkannya
itu adalah satu kesiasiaan belaka…"
"Kita harus coba dan kau musti membantu.
Menghadapi kita beramai-ramai masakan dia
bisa menang…?"
Koan-koan menghela nafas dalam. "Baiklah,
aku berjanji. Tapi apakah kau percaya pada
diriku?"
Wiro memandang sepasang mata sang dara.
Dan pandangan keduanya saling bertemu.
"Aku percaya padamu!" kata Wiro lalu
lepaskan totokan Koan-koan.
Begitu Wiro tepaskan totokan Koan-koan, Pek
Lan kontan berkata, "Mulai saat ini aku tak
mau kenal lagi padamu, Wiro! Kau dengan
urusanmu dan aku dengan urusanku!"
"Pek Lan, kau mau ke mana?" seru Wiro.
Namun gadis yang keras hati itu sudah
berkelebat pergi. Wiro cuma geleng-geleng
kepala.
"Adatnya keras…" kata Wiro.
"Kekasihmu…?" bertanya Koan-koan.
Wiro berpaiing. Sepasang mata mereka
kembali saling bertemu. Koan-koan
merasakan dadanya berdebar dan perlahan-
lahan tundukkan wajahnya. Wiro gelengkan
kepalanya sebagai jawaban.
"Kuharap kau betul-betul dapat dipercaya dan
tidak menipuku," berkata Wiro.
Koan-koan angkat wajahnya yang jetita.
"Asalkan kau bersungguh hati membawaku ke
jalan yang benar, kau suruh apa pun aku pasti
akan melakukan."
"Apakah kau akan lakukan jika aku meminta
kau menciumku saat ini?" kata Wiro pula
bergurau. Tapi di luar dugaan Koan-koan
melompat ke muka, memeluk pemuda itu dan
mencium sang pendekar pada kedua pipinya.
"Aku sudah buktikan!" kata Koan-koan pula
meski wajahnya bersemu merah.
Wiro usap-usap kedua pipinya. "Aku tadi
cuma bergurau. Tapi tak apa…. Ini pertama
kali seorang gadis menciumku lebih dahulu.
Terima kasih untuk ciumanmu itu…"
"Di lain hari aku akan memberikan lebih
dari…!" kata Koan-koan dengan setulus
hatinya. Entah mengapa dia demikian terpikat
pada si gondrong yang baru beberapa saat
saja dikenalnya itu.
"Aku akan lebih berterima kasih," jawab Wiro
pula. "Nah, sekarang mari kita atur siasat."
*** 10 KEADAAN terowongan rahasia seperti
yang diketahui Pek Lan di masa kanak-
kanaknya ternyata kini sudah jauh berubah
sejak puncak Hun-tiong-san dipergunakan
sebagai markas oleh komplotan Huntiong
Houw-mo. Perubahan-perubahan ini telah
menyesatkan Pek Lan dan tanpa diketahuinya
beberapa kali dia telah menyentuh alat-alat
rahasia di dalam terowongan itu.
Melihat adanya tanda dari alat-alat rahasia,
Dewi Siluman Harimau segera memberi
perintah pada dua orang murid atau
pembantunya yakni si Ungu Lan-lan dan si
Biru Bwe-bwe. Meskipun Pek Lan memiliki
ilmu pedang yang tidak rendah, namun
menghadapi kedua gadis tangguh itu, dengan
hanya mempergunakan tangan kosong dalam
tempo dua jurus dia sudah kena diringkus dan
dihadapkan pada Dewi Siuman Harimau.
"Nona, parasmu cantik dan keberanianmu
patut dipuji untuk bernyali masuk ke sarang
kematian ini. Siapakah namamu dan
bagaimana kau bisa tahu terowongan rahasia
di bawah tanah itu?!" Ketua Hun-tiong Houw-
mo ajukan pertanyaan.
Pek Lan yang memang seorang gadis
pemberani, apalagi dihantui dendam kesumat
kematian saudaranya tegak berkacak
pinggang diapit dan diawasi oleh si Biru Bwe-
bwe dan si Ungu Lan-lan.
Ditanya bukannya dia menjawab, malah balas
bertanya dengan sikap congkak nada sinis,
"Hemm.., jadi inilah Ketua Hun-tiong Houw-
mo yang dipanggil dengan sebutan Dewi itu?"
Pek Lan kemudian tertawa panjang.
"Tampangmu juga cantik. Cuma sayang
hatimu lebih busuk dari comberan dan
kejahatanmu lebih ganas dari iblis."
"Dewi! Biar kurobek mulut gadis kurang ajar
ini!" teriak si Hitam Ling-ling.
Ketua Hun-tiong Houw-mo lambaikan tangan
dan berkata, "Nyalinya cukup mengagumkan
Ling-ling. Dan potongan tubuhnya
menunjukkan bakat silat yang bagus. Kau ada
harapan untuk kujadikan murid serta
pembantuku seperti nona-nona yang lain ini."
Pek Lan keluarkan suara mendengus dari
hidung. "Aku datang kemari bukan untuk
menghambakan diri pada iblis macammu ini!"
"Lantas, apa perlumu datang kemari dan lewat
terowongan rahasia segala?"
"Untuk mencincangmu. Kau bertanggung
jawab atas penculikan dan kematian kakak
laki-lakiku."
"Apakah kakakmu yang bernama Oel Siong
Ang itu…? Ah, dia sungguh cakap dan amat
pandai melayaniku di atas tempat tidurt"
"Perempuan cabul! Mampuslah!" teriak Pek
Lan marah sekali dan melompat ke muka
hendak kirimkan tendangan ke kepala Ketua
Hun-tiong Houw-mo. Namun maksudnya ini
tidak kesampaian karena Ling-ling dan Lan-
Ian cepat mencegahnya.
"Dewi, sebaiknya gadis binal ini buru-buru
saja disingkirkan. Kalau tidak bisa bikin
berabe…!" berkata Bwe-bwe.
"Menyingkirkannya soal mudah, muridku. Tapi
bagaimana pendapatmu kalau mukanya kita
cincang hingga wajahnya yang cantik menjadi
lebih buruk dan seram dari muka setan
sehingga seumur-umur tak satu pemuda pun
ingin mendekatinya…."
"Perempuan gila!" sentak Pek Lan. "Jika kau
punya nyali mari kita bertempur sampai
seribu jurus!"
"Gadis sundel!" si Hitam Ling-ling, memaki.
"Kau andalkan apakah berani bicara sombong
terhadap Ketua kami? Membunuhmu jauh
lebih mudah dari pada membalikkan telapak
tangan!"
"Hitam dan Biru! Seret dia ke kamar
penyiksaan!" Dewi Siluman Harimau berteriak.
Namun sebelum kedua muridnya melakukan
hat itu tiba-tiba dari luar berkelebat satu
bayangan putih dan tahutahu si Putih Koan-
koan sudah tegak di ruangan itu. Di bahunya
dia memanggul sesosok tubuh pemuda
berpakaian putih. Begitu melihat pemuda ini
Pek Lan keluarkan seruan tertahan. Si pemuda
yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng! Saat itu Koan-koan telah
mengenakan kembali pakaian samarannya
dan topeng tipisnya. Dia meletakkan sosok
tubuh Wiro di lantai, menjura di hadapan sang
Ketua dan berkata, "Dewi, tugas telah
kujalankan, cuma mohon dimaafkan agak
menyimpang sedikit dari yang diperintahkan.
Semula Dewi menugaskan agar aku
membunuh pemuda ini, namun ketika melihat
dia memiliki paras yang cukup gagah maka
dalam perkelahian aku cuma menotoknya lalu
membawanya kemari dengan harapan siapa
tahu Dewi berkenan padanya!"
Ketua Hun-tiong Houw-mo kerenyitkan
kening. Sepasang alis matanya naik ke atas.
Dia bangkit dari kursi emas dan melangkah
mendekati sosok tubuh Wlro. Dongan ujung
kakinya yang dibungkus dengan kasut sutera
merah dia membalikkan kepala Wiro untuk
dapat menilai wajah pemuda itu lebih jelas.
Ternyata tampang Wiro memang membuat dia
terpikat.
"Ah… aku memang belum pernah dapat
pemuda asing. Kelihatannya dia kuat sekali!"
Sang Dewi tertawa dikulum dan meneguk
ludahnya beberapa kali lalu dengan gembira
menepuk-nepuk bahu Koankoan yang saat itu
sudah menanggalkan pakaian luar serta
topeng tipisnya. "Kau memang muridku yang
bijaksana dan banyak berjasa. Panjang
pikiran dan tahu bagaimana kesenangan guru
serta Ketuamu ini! Bagus sekali Koan-koan,
bagus sekali. Kau gotonglah dia ke kamar
tidurku sekarang juga…."
Baru saja sang Dewi berkata demikian tiba-
tiba hampir tak kelihatan sepasang tangan
Wiro bergerak laksana kilat menangkap salah
satu kaki Ketua Hun-tiong Houw-mo itu. Di
lain kejap terdengar satu bentakan dan tubuh
sang Dewi mencelat mental ke udara! Semua
orang terkejut bukan kepalang.
Ketua Hun-tiong Houw-mo kelihatan jungkir
balik tiga kali di udara kemudian tegak di
lantai kembali. Wajahnya merah laksana bara.
Sepasang matanya berapi-api, menatap pada
Pendekar 212 Wiro Sableng yang berdiri di
samping Koan-koan sambil satu tangan tolak
pinggang, tangan lain garuk kepala dan
tertawa gelak-gelak.
"Tiada dinyana ketua Hun-tiong Houw-mo
begini cantiknya dan pandai main akrobat
pula!" kata Wiro masih terus tertawa-tawa.
"Jadah! Koan-koan kau berani menipuku! Kau
telah bersekongkol untuk mengkhianatiku
hah?!" Ketua Hun-tiong Houw-mo meluap
amarahnya bukan kepalang. Dia berpaling dan
berteriak, "Ringkus murid murtad itu! Aku
akan hadapi bangsat bernama Wiro Sableng
ini!"
Melihat kawan-kawan atau saudara
seperguruannya hendak bergerak, Koan-koan
cepat berseru, "Saudara-saudaraku tunggu
dulu! Bukankah kita sudah sejak lama tersiksa
hidup di puncak Hun-tiong san ini? Bukankah
kita sejak lama ingin meninggalkan tempat
celaka ini dan menempuh hidup di dunia luar
secara wajar dan baik? Bukankah kita sering
menyadari bahwa apa yang kita lakukan dan
diperintahkan oleh Dewi semua bertentangan
dengan hati kecil kita dan perikemanusiaan?
Apakah akan kita rusakkan lebih jauh hidup
kita yang cuma sekali ini di dunia? Hari inilah
saat yang kita tunggutunggu untuk mendapat
kehidupan bebas yang kits rindukan. Hari ini
kebenaran akan menghancurkan malapetaka
yang bersumber di puncak Hun-tiong san ini!
Mari, ikutlah bersamaku untuk kembali pada
hidup yang benar dan keluar dari azab neraka
ini!"
Mendengar kata-kata Koan-koan yang penuh
semangat itu, empat saudara seperguruannya
jadi bimbang. Melihat ini marahlah Ketua
Hun-tiong Houw-mo. Dia berteriak, "Lekas
bunuh murid murtad Itu. Kalau tidak kalian
berempat akan mendapat hukuman berat!"
Empat murid sang Ketua semakin bingung.
"Kesempatan ini hanya sekali, saudara-
saudaraku! Kalau sampai luput, kalian akan
celaka sampai di liang kubur!" berseru Koan-
koan.
"Aku si geblek yang bernama Wiro Sableng ini
akan membantu kalian!" Wiro pentang mulut.
"Aku juga!" teriak Pek Lan.
"Murid jadah! Kau layak mampus duluanl"
Kemarahan Ketua Hun-tiong Houw-mo tak
terkendalikan lagi. Sekaligus dia jentikkan
lima jari tangan kanannya yang sudah dialiri
seluruh tenaga dalam yang ada ke arah Koan-
koan. Gadis ini berseru tegang dan secepat
kilat menyingkir. Dalam pada itu Wiro telah
lepaskan pukulan Sinar Matahari yang
membuat istana emas itu laksana dilabrak
geledek. Satu dentuman terdengar. Semua
orang yang ada di sini terpental ke samping
sedang salah satu dinding ruangan yang
terbuat dari emas meleleh dan berlobang
besar!
Ketua Hun-tiong Houw-mo kaget bukan
kepalang. Ternyata pemuda asing itu memiliki
tenaga dalam yang tidak berada di bawahnya.
Namun dia sama sekali tidak gentar. Dengan
satu lengkingan nyaring dahsyat dia
menerjang ke depan. Begitu cepatnya dia
berkelebat hingga hanya bayangan , merah
pakaiannya saja yang kelihatan.
"Buk!"
Satu jotosan melabrak dada Wiro Sableng,
Pendekar ini terpental sampai satu tombak.
Darah kental kelihatan meleleh di sebelah
bibirnya. Melihat ini Koan-koan jadi
bergeming. Jika sampai Wiro kalah oleh
Ketuanya pastilah dia bakal celaka pula. Dia
melirik pada saudara-saudaranya. Sampai
saat itu mereka masih tertegun dalam
kebimbangan.
Melihat serangannya berhasil Ketua Hun-tiong
Houw-mo kembali melabrak ke depan, sosok
tubuhnya tak kelihatan. Kali ini Wiro bertindak
gesit karena ternyata lawan memiliki ilmu
yang disebut Pek-pian-mo-ing atau Seratus
Bayangan Iblis! Hal ini diketahui Wiro dari
Koan-koan. Untung saja dia telah mendapat
tambahan kekuatan tenaga dalam dan
ginkang dari orang tua misterius yang
berjuluk Pendekar Pedang Akhirat Long Sam
Kun itu, kalau tidak pastilah dia bakal celaka.
Mengingat si orang tua tersebut, setelah
menelan sebutir obat, Wiro segera hadapi
musuhnya dengan jurus silat yang pernah
dipelajari dari kakek itu yakni jurus yang
bernama "Cip-hian-jay-hong" atau "Tiba-tiba
Muncul Pelangi".
Ketua Hun-tiong Houw-mo itu tersurut saking
kagetnya ketika menyaksikan lawannya
keluarkan jurus tersebut bahkan kemudian
mendesaknya dengan jurus yang dikenalnya
bernama "Lo han-cianyau" atau "Malaikat
Menundukkan Siluman".
"Bedebah!" seru Ketua Hun-tiong Houw-mo
seraya menyambut dengan jurus "Pit bun ki
khek" atau "Menutup pintu Menolak Tetamu",
meskipun dia tahu jurus tersebut tak mungkin
sanggup menangkis serangan lawan. "Ada
sangkut paut apa kau dengan Pendekar
Pedang Akhirat?! Ayo lekas jawab!"
"Ini jawabanku!" kata Wiro pula dan mainkan
jurus terakhir setelah dua jurus pertama
sanggup menghantam Ketua Hun-tiong Houw-
mo yang tangguh itu. Jurus ketiga ini
bernama "Kui gok-sin ki" atau "Setan Meratap
Malaekat Menangis". Sang Dewi merasakan
pemandangannya tertutup dan sebelum dia
sempat menjauhkan diri, dua buah pukulan
telah menghantam di tubuhnya, membuatnya
tak ampun terguling-guling di lantai tapi
hebatnya segera pula bangkit berdiri
meskipun dengan terhuyung-huyung dan
muka pucat yang menandakan dia terluka di
dalam.
Dewi Siluman Harimau itu tiba-tiba berteriak
garang. Kedua tangannya bergerak ke
pinggang dan sesudah itu hampir tak
kelihatan kapan dia melemparkannya, sepuluh
piauw emas beracun berbentuk kepala
harimau meluncur pesat ke arah Wiro.
Dari Koan-koan Wiro sudah mengetahui
kehebatan senjata rahasia ini, jangankan
sampai menancap di tubuh, sedikit saja kulit
sampai keno diserempet pastilah korbannya
akan meregang nyawa. Karenanya tanpa
tunggu lebih lama Wiro segera lepaskan
pukulan "Dewa Topan Menggusur Gunung" .
Kehebatan pukulan ini membuat geger. Bukan
saja ke sepuluh piauw emas beracun mencelat
mental tapi sebagian langit-langit gedung dan
sebagian dinding amblas sedang lebih ke atas
lagi atap bangunan ambruk, salah satu tiang
besar patah. Gedung yang berlapiskan emas
itu bergetar dahsyat laksana diguncang
gempa. Koan-koan, Pek Lan, dan murid-murid
Dewi Siluman jatuh berkaparan di lantai
sedang Wiro dan sang Dewi sendiri tergontai-
gontai untuk beberapa lamanya. Wajah sang
Dewi sepucat kertas kini. Jika pemuda asing
itu tidak lekas dapat dibunuhnya pasti dia
bakal celaka pikirnya. Maka diputuskannyalah
untuk mengeluarkan ilmu simpanannya yang
terakhir yakni ilmu siluman atau ilmu sihir
(hoatsut) yang selama ini tak satu orang pun
sanggup menandingnya.
Koan-koan, begitu melihat mulut gurunya
berkomat-kamit dan sepasang matanya
laksana dikobari nyala api, dengan ilmu
menyusupkan suara segera memberi
peringatan, "Awas, dia akan segera
mengeluarkan ilmu sihir silumannya! Hati-
hati!"
Mendengar ini Wiro segera cabut Kapak Naga
Geni 212. Namun sebelum dia sempat memper
gunakan, di depan sana Ketua Hun-tiong
Houw-mo sudah membentak, "Naik!"
Wiro merasakan kedua telapak kakinya tidak
lagi menginjak lantai. Tubuhnya perlahan-
lahan naik ke atas. Dengan sekuat tenaga dia
coba bertahan. Satu pukulan sakti yakni
pukulan "Sinar Matahari" dilepaskan ke arah
lawan kemudian menyusul dia kiblatkan
senjatanya. Namun dua serangannya itu
hanya mengenai tempat kosong dan merusak
gedung yang bagus itu sedang lawannya
sendiri sudah lenyap dari hadapannya.
Ketika Wiro berpaling ke kiri, segulung asap
membuntal ke arahnya. Sedetik kemudian
asap itu berobah menjadi satu makhluk
raksasa, badan manusia berbulu sedang
kepala harimau bertampang ganas dengan
taring-taring luar biasa besarnya. Binatang ini
menggereng. Bangunan itu terasa bergetar.
Koan-koan serta gadis-gadis lainnya sama-
sama menjauhkan diri dengan perasaan ngeri.
"Pemuda itu tak akan sanggup memusnahkan
ilmu siluman dari Ketua…" bisik si Hitam
Ling-ling dengan menggigil.
"Rampas kapak itu!" Dewi Siluman Harimau
memberi perintah pada makhluk sihirnya.
Makhluk ini kembali menggereng dan sekali
dia bergerak
Kapak Naga Geni 212 di tangan Wiro sudah
kena dirampas. Wiro memukul dengan
pukulan "Segulung Ombak Menerpa Karang",
namun pukulan itu seolah-olah lewat di
tempat kosong, tidak menimbulkan apa-apa
pada diri manusia raksasa kepala harimau.
Wiro keluarkan keringat dingin. "Celaka
sekarang mampuslah aku!" keluh pendekar ini.
Dan kembali terdengar Ketua Hun-tiong
Houwmo memberikan perintah, "Bunuh dia
dengan kapak itu."
Makhluk sihiran itu menggereng dan
mengangkat tangan kanannya yang
memegang kapak tinggitinggi. Wiro melompat
selamatkan diri seraya lepaskan pukulan
"Sinar Matahari", tapi tak mempan dan dalam
pada itu tangan kiri raksasa kepala harimau
itu telah mencengkeram pundaknya hingga
dia tak bisa berkutik lagi.
Ketua Hun-tiong Houw-mo tertawa meninggi.
"Bunuh," teriaknya.
Kapak Naga Geni 212 membacok turun ke
arah batok kepala Wiro Sableng.
"Celaka, betul-betul aku mampus juga
akhirnya…. " Wiro cuma bisa membathin
demikian dan tutupkan mata siap menerima
kematian dengan tabah.
Justru di saat yang amat kritis itu terdengar
satu suara berseru, "Siok Eng! Ilmu menakuti
anak-anak apakah yang kau keluarkan ini!"
Selarik sinar biru yang dingin melesat dari
atas reruntuhan atap. Makhluk kepala
harimau menggereng. Kapak Naga Geni 212
lepas dari tangannya dan detik itu pula sosok
tubuhnya lenyap punah!
Jika ada orang yang paling kaget di tempat
itu, maka manusianya adalah Ketua Hun-tiong
Houwmo sendiri yang tadi dipanggil dengan
nama aslinya yaitu Siok Eng!
Wiro juga kaget dan buka sepasang matanya
lebar-lebar. Sesosok tubuh kurus kering
macam jerangkong dilihatnya melayang turun
dari panglari dan segera dikenalinya. Pemuda
ini kontan berteriak: "Locianpwe!" *** 11
TERNYATA orang yang barusan melompat
dari atas langit-langit ruangan bukan lain
adalah kakekkakek sakti bertubuh kurus kering
macam jerangkong yang tempo hari secara
kebetulan pernah ditolong oleh Wiro dari
ruangan batu di mana dia disekap. Dia yang
dikenal dengan Pendekar Pedang Akhirat Long
Sam Kun.
Melihat munculnya si kakek di tempat itu,
kaget Dewi Siluman bukan kepalang. Dia
sudah tahu kalau kakek itu terlepas dari
penjara batu di mana dia disekap selama
bertahun-tahun. Namun adalah tidak
diduganya sama sekali kalau dia akan muncul
di situ demikian cepatnya!
Di lain pihak si kakek tertawa gelak-gelak lalu
berpaling pada Wiro, "Budak, tidak dinyana
bukan kalau hari ini aku telah dapat
membalas hutang nyawa tempo hari
terhadapmu?"
Wiro cepat menjura dan menghaturkan terima
kasih. Dia hendak mengatakan sesuatu namun
saat itu Pendekar Pedang Akhirat telah
berpaling pada Ketua Hun-tiong Houw-mo.
"Siok Eng! Dosa kejahatanmu telah lewat
takaran! Hari ini kau harus
mempertanggungjawabkan semua itu!"
Meskipun saat itu Ketua Hun-tiong Houw-mo
boleh dikatakan sudah pecah nyalinya namun
dengan tetap angkuh dia bertolak pinggang
dan mendamprat!
"Pengemis gila dari mana yang kesasar
kemari! Lekas angkat kaki dari istanaku.
Kalau tidak kubikin berhamburan benakmu!"
Long Sam Kun cuma ganda tertawa
mendengar kata-kata itu. "Kini semua jelas
bagiku, Siok Eng! Tiga tahun yang lalu kau
sengaja menipuku dan menjebloskan diriku ke
dalam liang penjara batu. Dengan berbuat
demikian kau merasa tak ada lagi yang
menghalangi dirimu berbuat kejahatan seenak
perutmu, mendirikan komplotan Hun-tiong
Houw-mo dengan maksud membunuh musnah
tokohtokoh persilatan hingga kau bisa merajai
dunia kangouw! Kau lupa Siok Eng! Kejahatan
tak akan pernah menang dari kebenaran!"
"Tua bangka edan! Namaku bukan Siok Eng!
Lekas minggat dari sini atau…."
Pendekar Pedang Akhirat tertawa bergelak.
"Kau tak mau kupanggil dengan nama aslimu
itu?! Kau hendak menipu dirimu sendiri?
Cukup sejak dari muda kau menipuku dengan
kasih sayang palsu dan penyelewengan. Hari
ini jangan harap kau bisa berbuat lebih
banyak!" Orang tua bertubuh jerangkong itu
maju satu langkah. "Sudah saatnya kau
memperlihatkan tampangmu yang asli, Siok
Eng!"
Habis berkata demikian Long Sam Kun
menyerbu ke depan. Tubuhnya lenyap. Ketua
Hun-tiong Houw-mo membentak garang dan
lepaskan sekaligus pukulan Ilmu Jari
Kelabang Hijau dengan kedua belah
tangannya. Sepuluh larik sinar hijau
menyambar ke arah tubuh Long Sam Kun.
Justru di saat itu pula terlihat satu cahaya
merah menebas dan punahlah serangan Ketua
Hun-tiong Houw-mo. Juga pada detik yang
bersamaan terdengar pekik sang Ketua dan
gelak berderai Pendekar Pedang Akhirat!
"Nah sekarang semua orang bisa melihat
tampangmu yang asli! Selama ini kau telah
menipu dirimu sendiri dan orang lain!"
Memandang pada Ketua Hun-tiong Houw-mo
itu, baik Wiro maupun lima murid-muridnya
bukan kepalang terkejut mereka. Wajah gadis
jelita yang selama ini mereka lihat ternyata
hanyalah sebuah topeng tipis belaka yang
barusan telah direnggutkan oleh Pendekar
Pedang Akhirat Long Sam Kun. Kini wajah
sang ketua yang asli hanyalah wajah peot
cekung penuh kerut dari seorang nenek-nenek
yang berusia sekitar 80 tahun!
Long Sam Kun masih terus mengumbar
tertawanya sambil melintangkan pedang
merah tipis di depan dada.
"Siok Eng! Kau juga punya pedang seperti
yang kupegang ini. Lekas keluarkan dan aku
beri kau kesempatan untuk membela diri."
"Koko…" tiba-tiba membersit ucapan itu dari
sela bibir Ketua Hun-tiong Houw-mo.
Sepasang matanya berkaca-kaca dan
perlahan-lahan dia berlutut di hadapan Long
Sam Kun.
Sesaat hati kakek ini jadi tergetar juga.
Namun cepat dia mendongak, menguatkan
hatinya dan membentak, "Ini bukan panggung
sandiwara, Siok Eng! Kalau kau tak mau
kuberi kesempatan untuk membela diri, kau
bakal lebih menyesal sampai ke pintu gerbang
kematianmu yang terkutuk! Jangan mengemis
cinta dan belas kasihan terhadapku! Apa kau
tidak punya malu?!"
Ucapan itu membuat wajah Siok Eng alias
Ketua Hun-tiong Houw-mo menjadi gelap.
Tiba-tiba dia melompat berdiri. Dari balik
pakaian sutera merahnya nenek ini cabut
sebilah pedang merah yang bentuknya persis
sama dengan pedang yang digenggam oleh
Long Sam Kun!
"Bagus, kau telah menentukan kematianmu
secara lebih rnenyenangkan!"
"Tua bangka keparatl Jangan terlalu takabur.
Kepalamu akan menggelinding lebih dulu!"
teriak Siok Eng marah. Dia menerkam ke
depan. Pedangnya bersuit. Segulung sinar
merah menebas ganas ke arah Long Sam Kun
dalam jurus yang dinamakan hun-tin-coan-
san atau Awang Melintang Memutus Bukit. Ini
merupakan satu jurus dari ilmu pedang naga
kencana yang dimiliki oleh Siok Eng.
Kehebatannya luar biasa. Namun di mata si
tua bangka Long Sam Kun itu bukan apa-apa.
Dia segera sambut dengan jurus ilmu
pedangnya yang sejak 20 tahun silam telah
menggegerkan dunia kangouw di Tiongkok
yakni jurus pertama dari ilmu pedang akhirat
yang bernama "Tiba-tiba Muncul
Pelangi" (Cip hian jay hong).
Wiro yang saat itu tegak sambil memegang
Kapak Naga Geni 212 untuk menjaga segala
kemungkinan jadi geleng-geleng kepala. Dia
telah diberi pelajaran jurus ilmu pedang itu
oleh Long Sam Kun dan bahkan telah pernah
mencobanya sendiri menghadapi, musuh-
musuh tangguh. Tapi jurus "Tiba-tiba Muncul
Pelangi" yang dimainkan si kakek boleh
dikatakan hampir enam kali lebih hebat dari
yang dikuasainya. Mau tak mau pendekar ini
jadi leletkan lidah saking kagum!
Siok Eng sudah tahu kehebatan ilmu pedang
orang yang pernah menjadi kekasihnya, tetapi
kemudian dikhianatinya itu bahkan
dipenjarakannya di liang batu. Adalah tak
bisa dipercayai olehnya kalau setelah tiga
tahun mendekam dalam penjara batu tahu-
tahu ilmu pedang si kakek kini semakin
dahsyat! Karenanya dalam jurus kedua Siok
Eng segera lancarkan serangan dengan
gerakan yang dinamakan Hek-houw wat sim
atau Harimau Hitam Mengorek Hati yang
kemudian disusul dengan gerakan ganas
bernama Sin-liong-pok cui atau Naga Sakti
Menyambar Air.
Pendekar Pedang Akhirat tetap tenang-tenang
saja dan dengan satu gerakan yang sebat,
setelah mengelakkan kedua serangan itu dia
mainkan jurus kelima dari ilmu pedangnya
yang disebut Tiang-hongkoan jit atau
"Pelangi Menutup Matahari".
"Trang!"
Pedang merah di tangan Siok Eng terlepas
mental dan sebelum senjata ini jatuh ke
lantai, ujung pedang di tangan Long Sam Kun
telah menusuk dada Siok Eng, tembus sampai
ke punggung Ketua Komplotan Hun-tiong
Houw-mo ini cuma keluarkan seruan pendek
dan mati dengan mata membeliak. Long Sam
Kun tarik pedangnya dan tubuh Siok Eng
lantas roboh ke lantai. Orang tua itu menarik
nafas dalam, membungkuk mengambil pedang
Siok Eng lalu memandang pada Wiro dan
gadis-gadis yang ada di situ.
Sekali lagi dia menarik nafas dalam lalu
berkata, "Ini satu pelajaran bagi kalian. Ada
kalanya cinta itu harus dikorbankan untuk
suatu kebenaran. Mudah-mudahan kalian
tidak mengalami nasib sepahit diriku ini!"
Habis berkata begitu Pendekar Pedang Akhirat
Long Sam Kun balikkan tubuh.
"Locianpwe, tunggu dulu…." Wiro cepat
memanggil.
"Ah, budak kau masih seperti dulu saja. Seialu
banyak cerewet. Sudah, kau atur saja nona-
nona manis itu. Aku percaya kau akan bakal
bisa membawa mereka ke jalan yang benar,
keluar dari neraka dunia di puncak Hun-tiong
san!"
Si muka jerangkong itu tersenyum kedipkan
matanya pada Wiro dan berkelebat pergi.
Pendekar Kapak Maut 212 geleng-geleng
kepala dan garuk-garuk rambutnya. "Ah,
benar-benar di luar langit masih ada langit
lagi…" katanya dalam hati dan seenaknya
tangan kirinya kemudian sudah melingkar di
pinggang si Putih Koan-koan.
***TAMAT***
Komentar
Posting Komentar