WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAKMAUT NAGA GENI 212
Karya : BASTIAN TITO
EPISODE : PENDEKAR DARI GUNUNG FUJI
**********
SUARA siulan Pendekar 212 berhenti,
berganti dengan decak penuh kagum. Saat itu
dia berada di kaki Gunung Fuji, memandang
gunung berketinggian lebih dari 11.000 kaki
yang sebagian besar dikelilingi salju abadi.
Wiro rapatkan kerah baju tebalnya. Musim
dingin segera berakhir namun di kaki gunung,
udara seperti tidak mengalami perubahan
walau matahari tampak terang benderang. Di
sekelilingnya pohon-pohon Sakura bertebaran.
Kebanyakan tertutup salju tipis.
Dari dalam saku baju Wiro keluarkan sebuah
botol terbuat dari kaleng putih, lalu membuka
tutupnya dan meneguk isinya.
Wajahnya yang tadi pucat, kini tampak
kemerahan. "Kalau saja aku bisa dapatkan
tuak, rasanya pasti lebih segar dari sake ini.
Tapi masih untung masih ada sake dari pada
tidak sama sekali, bisa mati kedinginan,
Uhh…!"
Wiro masukan botol minuman ke sakunya.
Ketika hendak meninggalkan tempat,
langkahnya terhenti oleh suara kaki kuda.
Wiro berpaling dan melihat seekor kuda coklat
polos tak berapa jauh dari dirinya. Seekor
binatang liar yang kesasar. Tapi ketika
mendekat, ada pelana. Berarti dugaannya
salah. Wiro dekati kuda coklat tadi.
Langkahnya terhentak ketika melihat noda
merah di pelana dan badan kuda. Ketika
memperhatikan tanah, juga terdapat bercak
merah. Bercak darah!
Pendekar 212 melangkah menuju arah darah
di tanah. Noda itu lenyap di dekat
serumpunan belukar basah. Dia kembali ke
arah semula dan melacak darah dari arah kiri.
Darah itu ternyata menuju ke arah Gunung
Fuji yang menjadi tujuannya. Kuda itu masih
menggesek-gesekan lehernya tapi tidak
meringkik lagi. Wiro melangkah mendekati,
usap-usap leher dan memperhatikan bercak
darah di pelana. Wiro mengusap bercak di
pelana lalu memperhatikan. Memang bercak
darah.
Dengan dedaunan yang dipetik di sekitar situ,
Wiro bersihkan noda darah, lalu dengan
menepuk leher kuda, ia berujar, "Sobatku kau
tentu sebelumnya membawa tuanmu yang
terluka. Tapi entah di mana dia sekarang.
Saat ini biar aku yang menjadi tuanmu.
Antarkan aku ke Gunung Fuji," setelah itu
pendekar 212 langsung melompat ka atas
pelana dan menuju ke arah timur.
Walaupun jalan mendaki dan licin, namun
karena mengikuti jalan kecil yang sudah
dibuat orang sebelumnya, kuda coklat itu
mampu berlari cepat. Ketika matahari tepat
berada di atas Wiro, ia telah berada ratusan
kaki ke arah timur. Di sebuah ujung terlihat
rumah kayu. Di serambinya yang luas tampak
empat sosok tengah mengelilingi tubuh yang
terbaring di lantai, berbantalkan kain tebal.
Ketika mendengar suara kuda mendekati,
keempat orang itu segera berpaling. Dua
orang melompat, dan yang seorang berseru.
"Pembunuh itu berani datang lagi!"
Dua orang menggerakkan tangannya ke
punggung. Terdengar suara gemeresek hampir
bersamaan.
Dua orang tadi sudah berada di halaman
rumah yang tertutup salju tipis. Tangan
keduanya sudah memegang sebilah katana
(pedang panjang) yang berkemilau terkena
sinar matahari.
Saat Wiro sampai di hadapan mereka, kedua
orang itu sudah siap menyerang. Dua bilah
pedang berkelebat. Pendekar 212 berseru lalu
meloncat dari atas pelana kuda. Dua katana
menderu, dan kuda coklat itu meringkik saat
dua sabetan mengenai tubuh kuda. Darah
mengucur dari leher dan tubuh kuda sambil
terus menjauh menuju ka arah barat.
"Tunggu dulu!" seru Wiro ketika melihat dua
pemuda sedang menghadang dan siap
menyerangnya.
Kedua pemuda itu sesaat tampak ragu, tapi
akhirnya mereka menghentikan langkah.
Sesaat mereka saling berpandangan lalu
memperhatikan Wiro penuh curiga. Sementara
itu dari dalam rumah terdengar suara halus
bergetar.
"Apa yang terjadi murid-muridku…?"
"Sensei! Kau tak boleh bicara. Kau terluka
berat!" yang menjawab adalah seorang gadis
berwajah bulat yang rambutnya dikuncir
sebahu. Yang bertanya tadi adalah seorang
tua dengan kimono biru gelap dan terbaring di
lantai serambi. Bagian tubuhnya dibalut
dengan kain tebal. Kain ini tampak basah
oleh darah! Ternyata si orang tua sedang
menderita luka cukup parah. Kedua orang
yang dari tadi berada di sana sudah sadar
jika yang dipanggil sensei itu sulit
disembuhkan. Namun nyatanya masih bisa
mengeluarkan suara.
"Aku bertanya apa yang terjadi Akiko…?"
Gadis bernama Akiko yang duduk sambil
mengusapi kening gurunya yang terluka parah
itu menahan nafas sesaat lalu dekatkan
kepala ke telinga orang tua itu. "Salah
seorang dari pembunuh itu datang lagi,
sensei…"
"Pembunuh itu datang lagi katanya…? Tidak
mungkin… Tidak mungkin Akiko!" Dengan mata
yang masih tertutup, orang tua yang
dipanggil dengan sebutan sensei ini berkata
pada muridnya yang satu. "Ichiro, apa betul
yang dikatakan Akiko tadi?"
Pemuda di samping kanan seorang tua
memandang ke arah halaman di mana dua
saudara seperguruannya dengan katana
dalam genggaman dua tangan, tengah
menghadapi seorang pemuda yang barusan
melompat dari kuda. "Memang ada yang
datang sensei. Pakaian dan kuda yang
ditungganginya sama dengan salah seorang
pembunuhmu. Namun aku meragukan dugaan
dua saudara. Orang yang datang ini adalah
Gaijin… (sebutan untuk orang asing)."
"Gaijin… Orang asing maksudmu?" Orang tua
yang terbaring berbantalkan gulungan kain
batuk-batuk beberapa kali. Dari sela bibirnya
tampak ada darah yang keluar.
Akiko cepat menyeka darah itu dengan sehelai
sapu tangan seraya berbisik. "Sensei, jangan
bicara lagi…"
Tapi si orang tua tidak perdulikan. "Aku ingin
melihat siapa yang datang. Aku memang
tengah menunggu seseorang sejak tiga tahun
lalu.."
Lalu, walaupun dengan susah payah, orang
tua itu berusaha mengangkat kepalanya.
Namun lehernya terkulai dan kepalanya jatuh
kembali ke atas gulungan kain. "Sensei…!"
Akiko terpekik.
"Anak-anak…, bawa aku ke dojo (ruangan
tertutup tempat berlatih silat)… Kalau aku
memang ditakdirkan harus mati, aku ingin
mati di ruang latihan itu…"
"Baik sensei, kami akan lakukan apa yang kau
minta…" jawab Ichiro.
Sementara itu di halaman rumah yang
tertutup salju tipis, salah seorang pemuda
yang memegang katana tukikkan ujung
pedangnya hampir mencium panah. Dalam
ilmu pedang di Jepang, ini merupakan salah
satu kedudukan senjata yang sangat
berbahaya. Karena ujung pedang yang
kelihatannya jauh dari sasaran itu tiba-tiba
bisa melesat membabat kaki, pinggang atau
perut, bisa juga menebas leher atau
menghantam kepala!
"Pemuda asing! Katakan siapa dirimu?! Apa
keperluanmu datang ke mari?!"
"Namaku Wiro Sableng! Aku datang untuk
menemui Horoto Yamazaki, seorang tua yang
bergelar Pendekar Pedang Matahari!" jawab
Wiro. Lalu dia melirik ke arah serambi rumah
di mana dia melihat ada seorang tua
terbaring didampingi seorang gadis dan
seorang pemuda. Wiro menduga, orang tua itu
pastilah orang yang hendak ditemuinya. Apa
yang tengah terjadi di serambi sana?
Kemudian pemuda di samping si orang tua
tambak berdiri dan berteriak. "Kunio! Kenichi!
Bantu kami menggotong sensei ke ruang
latihan!" Dua pemuda yang tengah
menghadang Pendekar 212 Wiro Sableng
menatap tajam ke arah Wiro lalu keduanya
saling memberi isyarat. Yang satu segera
berbalik dan lari ke arah serambi. Satunya
lagi menyusul, namun sebelum pergi sempat
berkata.
"Pemuda asing! Tetap di tempatmu! Jangan
kau berani bergerak, walaupun hanya satu
langkah!"
Wiro tidak menjawab, tapi dalam hati dia
berkata. "Setan! Jauh-jauh aku datang
ratusan ribu langkah, sampai di sini malah
diperintah tidak boleh melangkah!" Ketika
pemuda itu berlari ke serambi, tanpa peduli
Wiro melangkah pula ke arah bangunan.
Empat orang murid menggotong sensei
mereka ke dalam dojo Di sebelah dalam
ternyata bangunan itu luas sekali dan
memiliki tempat latihan beralaskan tatami
(alas lantai berbentuk kotak-kotak).
Berbagai macam senjata terdapat di sudut-
sudut dan dinding ruangan.
Sang guru dibaringkan di tengah dojo, di atas
sebuah kasur jerami. Ketika itulah keempat
murid menyadari bahwa ada orang lain di
ruangan itu. Mereka berpaling ke arah pintu
dojo dan keempatnya menjadi marah. "Gaijin
kurang ajar!" membentak Kunio Ota lalu
melompat ke ambang pintu di arah mana Wiro
tengah melangkah masuk. Sambil menghunus
pedangnya, pemuda ini kembali menghardik.
"Kami tidak mengundangmu masuk! Aku
malah sudah memperingatkan agar kau tidak
boleh bergerak satu langkah pun!"
Wiro menyeringai dan bungkukkan badan lalu
berkata, "Shitsurei shimasu, ga… (maafkan
saya, tapi) di luar sana dingin sekali. Lagi
pula saya datang untuk menemui tuan rumah
di sini…"
Telinga orang tua yang terbaring di atas kasur
jerami mendengar suara Pendekar 212 Wiro
Sableng.
Sebelum murid-muridnya yang marah
melakukan sesuatu, orang tua ini cepat
membuka mulut.
"Kunio, orang yang kau bentak itu… Apakah
dia orang asing yang kau maksudkan…?"
"Betul sensei!" sahut Kunio Ota. "Dia telah
berlaku lancang, masuk ke dalam ruangan
ini!"
"Maafkan kalau ini tindakan yang kurang
sopan!" Wiro menyahuti. "Namun saya datang
dari jauh.
Dari negeri ribuan pulau di selatan untuk
menemui tuan rumah! Bagaimana saya bisa
menemuinya kalau bergerak satu langkah pun
tidak diizinkan?!"
Tiga pemuda murid si orang tua bergumam
marah. Hanya Akiko yang tampak tenang dan
memandang ke arah Wiro tanpa emosi sama
sekali. "Orang asing, mendekatlah ke mari…"
orang tua itu tiba-tiba berkata.
Ketika Wiro melangkah, Kunio Ota masih
berusaha menghalangi. Namun tubuh pemuda
ini merasa ada hawa aneh keluar dari tubuh
Wiro yang membuat tubuhnya terdorong dan
kakinya terhuyung dua langkah. Begitu Wiro
lewat, dia cepat-cepat menyusul namun tidak
berani menghalangi lagi.
Wiro sampai di hadapan orang tua yang
terbaring di atas kasur jerami. Merasakan
orang sudah ada di dekatnya, orang tua itu
membuka sepasang matanya yang sipit.
"Ah, kau memang pemuda asing Gaijin,
katakan namamu! Dari mana kau datang, apa
keperluanmu…?!"
"Saya Wiro Sableng. Saya datang dari Tanah
Jawa, negeri seribu pulau jauh di selatan.
Saya datang membawa pesan dan surat dari
guru saya. Apakah saya…" Wiro untuk
pertama kalinya melihat darah yang
membasahi kain merah yang menutupi perut
orang tua itu. "Astaga! Kau terluka parah
orang tua!" seru Pendekar 212.
"Jangan perdulikan apa yang terjadi atas
diriku. Teruskan ucapanmu… orang muda!"
kata si tua.
"Apakah saya berhadapan dengan Yamazaki
san? Seorang samurai besar dan jago pedang
berjuluk Pendekar Pedang Matahari…?"
Orang tua itu tersenyum. Sepasang matanya
membesar sedikit. "Samurai…" desisnya.
"Pendekar Pedang Matahari…" sambungnya.
"Semua itu nama besar yang tidak ada
harganya lagi…"
"Sensei!" seru sang murid bernama Ichiro
Loki. "Jangan berkata seperti itu!"
Hiroto Yamazaki alias Pendekar Pedang
Matahari tersenyum kecut. "Hari ini aku si tua
yang dulu begitu diagungkan kini sudah
dikalahkan oleh dua orang lawan. Apa aku
masih pantas menyandang semua nama besar
itu? Pemuda asing siapa nama gurumu..?"
"Saya diutus oleh guru. Guru saya bernama
Eyang Sinto Gendeng dari puncak Gunung
Gede di Tanah Jawa sebelah barat…"
Mendengar keterangan pendekar 212 itu,
untuk pertama kalinya muka pucat si tua
berkimono itu tampak cerah. Dia tersenyum
lebar. "Sungguh satu kehormatan sebelum
mati aku bertemu dengan murid kawan
lamaku. Anak muda, kalau kau benar murid
Sinto Gendeng sahabatku itu, perlihatkan dulu
tanda pengenalmu!"
Wiro yang sebelumnya sudah dipesan oleh
guru Sinto, mendengar ucapan Yamazaki
segera menyingkapkan baju tebal dan baju
putih yang dikenakannya. "Ah…, inezumi
(rajah atau tatto) itu 212…. aku percaya kau
memang murid kawan lamaku," kata si orang
tua begitu melihat angka 212 di dada Wiro.
Namun kemudian ia menyambung. "Tapi tatto
seperti itu mudah dipalsukan dan ditiru orang.
Perlihatkan senjatamu…" Murid Sinto Gendeng
meragu. Lalu ia selinapkan juga tangannya ke
balik pakaian.
Begitu tangan kanan itu keluar dari balik
pakaian maka berkelibatlah sinar putih perak
menyilau di ruangan latihan itu. Empat murid
Hiroto Yamazaki terkesiap melihat Kapak
Maut Naga Geni 212 yang ada dalam
genggaman Wiro. Belum pernah mereka
melihat senjata mustika sedemikian
mengesankan dengan sinar yang angker
seperti itu.
"Kau memang murid sahabatku Sinto
Gendeng…" kata Yamazaki . "Waktuku tidak
lama lagi. Serahkan surat Sinto Gendeng yang
kau bawa…!"
"Yamazaki-san .. surat akan saya berikan.
Tapi bagaimana jika terlebih dahulu kamu
mengizinkan aku memeriksa lukamu?
Keselamatanmu lebih penting dari pada surat
yang kubawa…"
Hiroto Yamazaki kembali sunggingkan
senyum. Lalu membuka mulut. "Ada ujar-ujar
yang mengatakan: Seorang kesatria baru
menguasai sepenuhnya kehidupan seorang
Samurai bila dia selalu siap menghadapi
kematian. Karena itu kau tak usah memikirkan
keselamatanku Wiro-san.
Aku justru beruntung diberi kesempatan dewa
untuk bertemu denganmu. Mana surat itu…?!"
"Sensei," tiba-tiba Kunio Ota membuka mulut.
"Siapapun adanya pemuda ini saya tetap
menaruh curiga. Dia muncul dengan kuda
milik pembunuhmu. Saya melihat noda darah
di punggung kuda. Mustahil tidak ada
kaitannya dengan kedua pembunuh itu…!"
"Wiro-san… bisakah kau menjawab ucapan
muridku itu?" Orang ini sebenarnya percaya
penuh dengan pemuda itu, namun dia juga
ingin semua muridnya mendengar penjelasan
langsung dari Wiro sendiri.
"Kuda coklat itu saya temui di kaki Gunung
Fuji. Binatang itu bersikap jinak dan aku
tunggangi sampai kemari. Saya tidak tahu
siapa pemiliknya…"
"Bukan mustahil pemuda ini kawanan
pembunuh dan disuruh menyamar untuk
memastikan kematian sensei atau
bagaimana…" kata Ichiro Loki
"Mungkin juga ia diminta menyelidiki sesuatu
di sini!" untuk pertama kalinya murid
perempuan bernama Akiko Besso
mengeluarkan suara.
Wiro garuk-garuk kepala. Dia menjawab.
"Segala kecurigaan bisa terjadi. Saya pikir
tidak perlu diperpanjang lagi. Guru kalian
sedang sakit parah…" Dari balik bajunya Wiro
keluarkan sebuah lipatan kertas pada Hiroto
Yamazaki. "Terimalah, ini surat dari guru
saya…" Yamazaki menerima dan membuka
dengan tangan gemetar lalu membacanya.
Sahabatku Hiroto
Aku mengharapkan kau dalam keadaan baik-
baik dan sehat. Dunia ini kadang terasa
sempit, kadang terasa luas dan jauh. Seperti
halnya kita. Ternyata aku hanya mampu
mengutus muridku untuk menemuimu di kaki
Gunung Fuji yang sejuk dan indah ini. Sesuai
janji kita empat puluh tahun silam, muridku
memberi petunjuk mengenai Pukulan Sinar
Matahari. Itu jika kau bermaksud memilikinya.
Untuk keperluan itu kau tidak perlu ganti
imbal apa-apa. Ini sesuai dengan kepribadian
seorang samurai yang tidak kenal pamrih.
Sahabatmu
Sinto Gendeng Hiroto Yamazaki menurunkan
tangannya dan meletakkan surat Sinto di atas
dadanya. "Aku bahagia… aku bisa pergi
dengan tenang," lalu dia berpaling kepada
Pendekar 212 dan berkata, "Wiro-san aku
tidak mungkin lagi punya waktu mempelajari
Pukulan Sinar matahari yang hebat itu…, jika
kamu tidak keberatan dan mereka mau,
ajarkanlah pada murid-muridku. Mungkin
dengan ilmu itu mereka bisa membuat
perhitungan dengan pembunuhku…" lalu satu
demi satu Yamazaki memperkenalkan nama
muridnya itu.
Wiro membungkuk. "Akan aku lakukan apa
yang kau minta Yamazaki -san."
"Bagus… aku punya firasat hanya kau yang
bisa membantu muridku menghadapi orang
Lembah Hozu yang jahat dan kejam. Lebih
dari itu, aku mendapatkan petunjuk seorang
pendekar akan muncul di Gunung Fuji ini.
Seorang yang pantas disebut dengan
Pendekar Gunung Fuji. Kaulah orangnya Wiro-
san…"
Wiro tak berani menjawab. Diam-diam dia
melirik kepada murid Yamazaki. Kelihatan
sekali dari raut muka mereka tidak senang
dengan ucapan gurunya itu. Ketika Wiro
menegakkan badan kembali, terdengar jeritan
Akiko Besso. Tiga murid lainnya ikut berseru.
Wiro menatap sosok dan wajah Yamazaki.
Kedua matanya tertutup. Orang tua itu tidak
bergerak dan tidak bernafas lagi.
Salju turun lagi perlahan-lahan. Pendekar 212
Wiro Sableng duduk di tangga depan rumah
kediaman mendiang Hiroto Yamazaki. Di
salah satu ruangan di dalam sana, empat
orang murid Yamazaki tengah bersembahyang
dihadapan abu sang guru yang diperabukan
tiga hari lalu.
Wiro teguk sake dalam botol kaleng. Ketika
baru saja dia menyimpan botol minuman itu
ke dalam saku baju tebalnya, dibelakangnya
dia mendengar langkah langkah kaki
mendatangi. Wiro berpaling. Ichiro Loki, Kunio
Ota dan Kenichi Asano melangkah dari
ruangan dalam. Wiro berdiri menyambut
ketiga pemuda itu. Dia belum melihat Akiko.
Gadis itu mungkin masih bersembahyang di
dalam.
"Gaijin!" menegur Kunio Ota, "Kami tidak suka
melihat kau masih ada di tempat ini! Apakah
itu belum jelas bagimu?"
"Cukup jelas Ota-san. Saya hanya menunggu
keputusan dari kalian mengenai ucapan
mendiang Yamazaki-san. Yaitu menyangkut
ilmu Pukulan Sinar Matahari yang beliau
minta untuk diajarkan pada kalian. Jika
kalian suka…?"
"Kami cukup punya kepandaian. Kami sudah
memutuskan bahwa kami tidak perlu segala
macam pelajaran ilmu pukulan dirimu!"
menukas Kunio Ota.
"Apakah Akiko Bessho berpendapat begitu
juga?" Tanya Wiro. "Cukup satu saja murid
Pendekar Pedang Matahari berkata. Itu berarti
berlaku dan mewakili semuanya!" jawab Kunio
Ota pula.
"Jika memang begitu keputusan kalian, saya
tidak memaksa. Saya hanya menjalankan
pesan guru saya dan pesan sensei kalian.
Sekarang saya minta diri…" Wiro
membungkuk. Ichiro dan Kenichi balas
membungkuk. Hanya Kunio Ota yang tidak
mau balas menghormat. Ketika Wiro berbalik
dan hendak melangkah pergi tiba-tiba
pemuda ini berkata, "Tunggu dulu!"
Wiro berpaling dan menunggu. "Kau datang
dengan maksud hendak mengajarkan sesuatu
pada sensei. Sebelum menghembuskan nafas,
sensei meminta agar kau mengajarkan ilmu
Pukulan Matahari pada kami. Tampaknya kau
ini seperti seorang yang luar biasa. Memiliki
kepandaian tinggi, bahkan merasa lebih tinggi
dari guru kami sendiri!"
"Saya tidak mengatakan maupun merasa
begitu!" jawab Wiro. "Seperti saya katakan,
saya hanya menjalankan pesan. Jika kalian
merasa tidak perlu atau tidak suka tidak
menjadi apa."
Kunio Ota berbisik-bisik dengan dua pemuda
lainnya. Yang dua mengangguk-angguk. Lalu
Kunio berkata. "Sebelum kau pergi, kami ingin
melihat dulu sampai di mana kepandaianmu
dalam ilmu bela diri, dan kami tidak suka
sebagai orang asing kau merasa lebih hebat
dari kami di negeri kami sendiri!"
"Saya tidak merasa lebih hebat. Karenanya
tidak ada gunanya kalian menguji saya,"
jawab Wiro.
"Kalau hanya untuk menunjukkan kebodohan,
mengapa jauh-jauh datang kemari!" mengejek
Kunio Ota, lalu pemuda ini tertawa diikuti oleh
dua kawannya.
"Terima kasih atas tertawa kalian yang tidak
sedap didengar dan dilihat!" Wiro bungkukkan
diri lalu memutar langkahnya. Tahu-tahu
Kunio Ota sudah menghadang di depannya.
Diam-diam Wiro merasa kagum akan
kecepatan gerakan orang ini dan hampir
tanpa suara.
"Kami menantangmu! Kami menunggu di dojo.
Jangan kau berani menolak karena itu berarti
penghinaan bagi kami!"
Pendekar 212 menyeringai. "Justru bagiku
yang menantang adalah pihak yang
menghina!" Jawab Wiro kasar dan kini mulai
jengkel. Dia melewati ketiga pemuda itu lalu
sebelum mereka masuk ke dalam ruang
latihan yang besar, murid Sinto Gendeng
sudah lebih dulu berada di situ!
"Silakan siapa di antara kalian yang hendak
menunjukkan kebolehannya lebih dulu. Aku
orang bodoh hanya siap menerima petunjuk!"
Lalu Wiro melompat ke tengah dojo.
Kunio Ota maju ke hadapan Wiro. "Dengan
tangan kosong atau pakai senjata?" murid
Hiroto Yamazaki itu bertanya.
"Aku lebih suka tangan kosong!" jawab Wiro
sambil usap-usapkan telapak tangannya satu
sama lain.
Baru saja Wiro menyahut demikian, Kunio Ota
langsung berteriak keras dan menghantam
dengan tangan kanannya ke arah muka
Pendekar 212. Dari suara angin pukulan
lawan, murid Sinto Gendeng segera
memaklumi kalau Kunio Ota menggabungkan
kekuatan tenaga dalam dan tenaga luarnya
dalam melancarkan serangan. Hal semacam
ini jarang dilakukan orang karena memang
tidak mudah untuk menjalankannya.
Wiro angkat tangan kirinya untuk menangkis.
"Bukk!" Dua lengan saling beradu. Wiro
Sableng terpental hingga menghantam dinding
sedang Kunio Ota jatuh duduk di atas tatami.
Murid Sinto Gendeng merasakan lengannya
sakit bukan kepalang. Rasa sakit ini anehnya
menjalar cepat ke sekujur tubuh hingga dia
menggigil seperti orang kedinginan. Ketika
diperhatikannya lengan kanannya, lengan itu
tampak bengkak merah dan biru!
Wiro memaki panjang pendek dan merasa
menyesal mengapa tadi dia hanya
mengerahkan tenaga dalamnya sedikit saja
sehingga dia kini mendapat cedera.
Sebenarnya Wiro sangat menghormati
keempat murid Hiroto Yamazaki itu, apalagi
gurunya Eyang Sinto Gendeng telah berpesan
agar mampu membawa diri sebaik-baiknya di
negeri orang. Wiro sesaat tegak diam sambil
usap-usap lengan kanannya yang mendenyut
sakit.
Kunio Ota melompat berdiri di atas tatami.
Dengan sikap dan air muka penuh mengejek
dia berkata.
"Kalian lihat sendiri! Dengan kemampuan
seperti itu dia menyombongkan diri hendak
memberi pelajaran pukulan sakti pada kita!
Kepalanya malah tambah besar karena sensei
menyebutnya Pendekar Gunung Fuji! Cuah!"
Kunio Ota meludah ke lantai. "Gaijin!
Siapapun kau adanya kami harap kau segera
meninggalkan tempat ini! Kami hendak
meneruskan sembahyang menghormati arwah
guru…!"
Wiro mengangguk. Dia melangkah ke hadapan
meja sembahyang di mana disimpan abu
Hiroto Yamazaki. Dia membungkuk dalam-
dalam beberapa kali. Lalu memutar tubuh dan
tinggalkan tempat itu.
Begitu Wiro lenyap, Kenichi Asano berkata.
"Mari kita teruskan sembahyang. Kunio Ota,
kau yang tua di antara kita. Kau yang
memimpin upacara…" Lalu Kenichi, Akiko dan
Ichiro memberi jalan pada Kunio untuk maju
ke hadapan meja sembahyang. Tetapi orang
yang diminta untuk memimpin acara
sembahyang itu tetap diam saja di tempatnya.
"Apa yang terjadi?" Tanya Akiko heran, begitu
juga Kenichi. Ichiro Loki memeriksa sekujur
tubuh Kunio, mengangkat-angkat kedua
tangannya. Setiap diangkat, kedua tangan itu
kembali ke kedudukannya semula secara kaku.
Kenichi dekatkan telinga kirinya ke dada
Kunio. "Aku mendengar detak jantungnya! Dia
masih hidup! Tapi mengapa tidak bisa
bergerak tidak bisa bersuara?" ujar Kenichi
sesaat kemudian, seraya memandang heran
pada saudara-saudara seperguruannya.
"Aku ingat sejenis ilmu aneh yang datang dari
daratan Tiongkok dan mulai dikembangkan di
negeri ini…" berkata Kenichi.
"Maksudmu ilmu menotok jalan darah?" tanya
Ichiro.
Kenichi mengangguk, "Kunio bukan hanya
ditotok jalan darahnya sehingga kaku, tapi
jalan suaranya juga terbendung hingga dia
tak sanggup bicara!"
"Lalu siapa yang menotoknya?" tanya Akiko.
"Ya! Siapa…?!" ikut bertanya Ichiro.
"Siapa lagi kalau bukan si gaijin itu!" sahut
Kenichi.
"Ah mana mungkin!" tukas Ichiro. "Aku tidak
melihat pemuda asing itu menggerakkan
tangannya atau mendekati Kunio. Dia tadi
hanya melangkah ke meja sembahyang lalu
meninggalkan ruangan ini… Bagaimana
mungkin itu bisa terjadi? Atau barangkali ada
hantu di tempat ini?"
"Tidak ada hantu di sini Ichiro. Aku yakin
pemuda itu yang melakukannya. Dia memiliki
kecepatan yang hanya bisa dilakukan oleh
seorang ninja!"
"Kalau begitu dia bukan manusia
sembarangan. Tapi mengapa ketika beradu
pukulan dengan Kunio tadi dia terpental jauh
dan lengannya tampak bengkak wajahnya
memperlihatkan rasa sakit!" kata Akiko pula.
"Hemmm…" Akiko Bessho menggumam. Dia
melangkah memutari tubuh Kunio Ota.
"Bagaimana kita membebaskan Kunio dari
totokan ini. Kenichi…?" Kenichi Asano
mendekati Kunio. Dia memeriksa beberapa
tubuh pemuda itu. Ketika dia menyingkapkan
kerah baju Kunio, dilihatnya ada tanda merah
pada pangkal leher sebelah kiri. Kenichi
kerahkan tenaga dalamnya ke ujung ibu jari
tangan kanan lalu dia mulai mengurut
pangkal leher Kunio. Selang beberapa ketika
Kunio terdengar keluarkan suara keluhan
pendek. Tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh
kalau tidak dipegang oleh Ichiro.
"Kau sadar apa yang kau alami Kunio?"
bertanya Akiko.
"Entahlah. Aku mendengar suara kalian. Tapi
aku tak bisa bergerak, tak bisa membuka
mulut…" jawab Kunio Ota.
"Gaijin itu telah menotok urat besar di
pangkal lehermu!"
"Hah?" Kunio raba pangkal lehernya.
"Bagaimana dia bisa melakukannya? Dia
bukan orang Cina! Hanya pendekar-pendekar
Cina yang punya ilmu kepandaian menotok
orang!"
Kenichi menarik nafas dalam. "Ilmu menotok
itu sudah ada ratusan tahun lalu. Mungkin
lebih dulu dipelajari di negeri si gaijin itu dari
pada di sini. Dia telah memberi pelajaran
padamu dan pada kita.
Paling tidak dia kini membuat mata kita lebih
terbuka. Kurasa waktu kau menjajalnya tadi
dia tidak melayani sepenuh hati…"
Merahlah peras Kunio Ota. "Adik Kenichi, kau
seperti mengejek aku! Aku akan cari orang itu
dan mengajaknya untuk adu kekuatan sampai
seratus jurus!"
Ichiro gelengkan kepala. "Aku tidak setuju.
Ada hal lain yang lebih penting harus kita
lakukan. Mencari dua orang pembunuh
sensei!"
"Kau betul kak Ichiro," menyatakan Akiko.
"Hal itu harus kita bicarakan sekarang! Tetapi
bagaimana kalau kita terlebih dahulu
mengamankan barang-barang pusaka milik
sensei…?"
"Ah…? Kau betul Akiko!" kata Kenichi. "Mari
kita sama-sama masuk ke dalam kamar tidur
sensei…" Lalu keempat orang itu tinggalkan
ruangan sembahyang, menuju ke kamar tidur
mendiang Hiroto Yamazaki. Hanya sesaat
kemudian saja, di dalam kamar itu mendadak
terjadi kegegeran!
Keempat anak murid Hiroto Yamazaki itu
telah menemukan senjata-senjata pusaka
milik guru mereka, yakni sebilah katana dan
seperangkat busur serta anak panah. Tetapi
setelah menggeledah seluruh sudut kamar,
membalik kasur, membongkar lemari dan
memeriksa lapisan-lapisan loteng dan dinding
kamar, mereka sama sekali tidak menemui
sebuah kitab kuno berisi pelajaran Kendo
yang amat langka.
Keempat anak murid yang baru saja ditinggal
mati guru mereka itu saling pandang. "Kitab
itu sangat berharga sekali. Sensei malah
menganggapnya sama berharganya dengan
nyawanya sendiri.
Sensei belum sempat mengajarkan
keseluruhannya pada kita. Dan kini kitab itu
lenyap!" Kenichi Asano berkata sambil
melangkah mundar-mandir dalam kamar.
"Aku punya dugaan keras Gaijin itulah yang
telah mencurinya!" kata Kunio Ota pula seraya
mengepalkan tinjunya!
"Kurang ajar! Kita harus cari dia sampai
dapat!" kata Ichiro Loki. Kunio Ota cabut
pedangnya dari balik punggung lalu
melangkah ke hadapan meja sembahyang di
mana terletak abu Hiroto Yamazaki. Sambil
melintangkan katana di depan dadanya
pemuda ini berkata "Sensei, aku muridmu
Kunio Ota, bersumpah di hadapan abumu
akan memenggal batang leher pencuri itu!"
lalu pemuda ini mendahului yang lain-lainnya
keluar dari ruangan sembahyang itu.
"Aku heran…" Kata Akiko pada Ichiro dan
Kenichi. "Jika memang betul pemuda asing
itu yang mencuri kitab tersebut, bagaimana
mungkin dia mengetahui tempat sensei
menyimpannya. Sejak beliau meninggal,
kamar ini selalu diawasi paling tidak oleh dua
orang di antara kita. Lalu jika dia memang
murid sahabat guru kita, masakan begitu
culas melakukan pencurian…"
"Jangan-jangan dia murid palsu yang
menyamar datang kemari padahal maksud
sebenarnya adalah untuk mencuri kitab itu!"
ujar Ichiro pula.
"Tapi dia telah memperlihatkan bukti-bukti
dirinya pada sensei. Dan guru kita mengakui
kebenaran tanda-tanda yang
diperlihatkannya…"
"Saat itu guru kita tengah dalam keadaan
sekarat," berkata Kenichi. "Besar kemungkinan
dia tidak lagi dapat membedakan mana yang
asli dan mana yang palsu…"
"Jadi pemuda itu datang jauh-jauh hanya
untuk mencuri kitab Kendo milik guru!" kata
Akiko.
"Mungkin itu hanya sebagian kecil saja dari
maksud kedatangannya ke negeri kita ini.
Pasti dia membekal maksud lain yang lebih
jahat!" berkata Ichiro.
"Kalau begitu aku setuju dengan rencana
Kunio. Manusia satu itu harus dipenggal
batang lehernya!" kata Kenichi pula.
"Rencana harus diatur sekarang," kata Ichiro.
"Aku dan Kenichi akan mengejar pembunuh
guru. Akiko, Kunio mencari pemuda asing itu."
"Hati-hatilah kalian berdua," kata Akiko. "Jika
dugaan kita benar bahwa pembunuh guru
adalah kelompok sesat orang-orang Lembah
Hozu, mereka sangat berbahaya. Mereka ahli
memainkan panah beracun!" Kenichi dan
Ichiro mengangguk.
Ichiro berkata, "Beritahu pada Kunio bahwa
aku dan Kenichi akan berangkat besok malam
agar bisa sampai Lembah Hozu dua hari
kemudian. Kita bertemu lagi di sini pada
Gesuyobi (hari Senin) minggu pertama bulan
depan…"
"Baik! Kita bertemu lagi di sini hari Senin
pertama bulan depan…" mengulang Akiko
Bessho.
Malam itu udara tidak seberapa dingin. Di
langit, bulan setengah lingkaran muncul tanpa
tersaput awan. Dua bayangan bergerak cepat
di antara kerapatan pepohonan di Lembah
Hozu. Sesekali terdengar suara burung malam
di kejauhan.
Orang yang lari di depan sesaat berhenti lalu
berbisik kepada kawannya. "Kenichi, sebentar
lagi kita akan memasuki kawasan Lembah
Hozu. Periksa lapisan besi yang menutupi
dada dan punggungmu…"
Kenichi lalu memeriksa baju besi tipis yang
melindungi dada dan punggungnya. Ichiro
melakukan hal yang sama.
"Bagaimana dengan senjata peledak?" Ichiro
kembali berkata. Kenichi memeriksa lima buah
benda bulat sebesar kepalan yang terbuat dari
besi. Kelima benda ini tergantung di
pinggangnya dan merupakan senjata peledak
yang bisa menghancurkan bangunan. Ichiro
juga membekal lima senjata peledak yang
sama.
"Orang-orang Lembah Hozu biasanya suka
minum-minum sampai larut malam. Berarti
kita harus bersabar menunggu sampai
menjelang pagi, pada saat mereka mulai
keletihan dan setengah mabuk…" Kenichi
mengangguk mendengar ucapan Ichiro itu.
Keduanya kemudian bergerak kembali dalam
kegelapan malam dan udara dingin.
Akhirnya kedua orang murid mendiang Hiroto
Yamazaki itu sampai di bibir Lembah Hozu
sebelah selatan. Jauh di bawah sana mereka
melihat nyala obor banyak sekali. Di hadapan
sebuah meja pendek, tampak sekitar sepuluh
orang lelaki berpakaian dan berikat kepala
serba putih duduk berkeliling. Setiap orang
ditemani oleh seorang Geisha (wanita pelayan
pada tempat-tempat tertentu). Semuanya
asyik menyantap makanan dan meneguk
minuman. Sesekali terdengar suara gelak
tawa. Lalu ada seorang perempuan separuh
baya yang duduk agak terpisah memetik
Shamusen (instrumen musik dengan tiga
senar).
"Setahuku kelompok mereka ada tujuh belas
orang, mana tujuh lainnya…?" berbisik Ichiro.
Kenichi tak menjawab, ia memandang ke arah
lembah seperti tengah menghitung-hitung.
"Kau membawa teropong…?" bertanya Ichiro.
Kenichi lalu menyerahkan sebuah teropong
kecil. Ichiro menarik habis teropong satu lensa
ini lalu mengintai ke arah lembah. Satu demi
satu dia mengawasi muka-muka yang ada di
lembah. Dia mengenali wajah orang keempat
dan kesembilan, lalu berbisik pada Kenichi.
"Aku mengenali wajah dua pembunuh sensei.
Mereka ada di bawah sana…"
Kenichi mengangguk. "Mereka ada di sana,
aku tidak sabar lagi Ichiro. Apakah baiknya
kita langsung menyerbu…?"
Baru saja Kenichi berkata begitu, tiba-tiba
terdengar suara suitan panjang dari arah
timur lembah.
Bersamaan dengan itu, sepuluh orang yang
berada di meja bawah sana serentak
melompat berdiri sambil mencabut katana
dari punggung masing-masing. Para Geisha
berlarian ke satu arah.
Perempuan yang memainkan shamusen
berhenti memainkan peralatan musik itu dan
ikut lari ke arah lenyapnya para Geisha.
"Celaka!" bisik Ichiro. "Agaknya mereka telah
mengetahui kedatangan kita." Baru saja Ichiro
Ioki berkata begitu, di atas mereka terdengar
suara berdesing. "Awas, serangan panah!"
teriak Ichiro.
Dia segera menunduk dan cabut katana-nya.
Kenichi juga segera mencabut pedangnya dan
melompat ke balik sebuah pohon besar. Dua
buah anak panah menancap di batang pohon
itu. Ichiro putar pedangnya ketika terdengar
suara berdesing untuk kesekian kalinya.
"Trang…! Trang…!" Dua anak panah runtuh ke
bawah.
"Para pembokong itu ada di atas pohon
sebelah sana!" bisik Ichiro. Dia segera
mencabut senjata peledak yang ada di
pinggangnya. Sebuah anak panah
menghantam bahunya. Untung bagian bahu
itu masih terlindung baju besi yang
dipakainya hingga dia tidak cedera sedikit
pun. Ichiro bergerak dua langkah ke samping
kanan lalu lemparkan senjata peledak ke arah
pohon besar di mana tadi dia melihat
bayangan tiga orang pembokong
bersenjatakan panah.
Terdengar suara berdentum. Nyala terang bola
api berkilat, sesaat keadaan terang
benderang. Di atas pohon besar yang hancur
porak poranda, terdengar jeritan tiga orang.
Ketiganya terlempar jatuh ke tanah dan telah
mati lebih dahulu dalam keadaan terkutung-
kutung sebelum tubuh masing-masing
mencium tanah.
"Kenichi! Orang-orang di lembah berusaha
mencapai tempat ini! Lekas kau cegat dengan
senjata peledak!" berteriak Ichiro ketika
dilihatnya di bawah sana sepuluh lelaki yang
tadi duduk mengelilingi meja kini berlari
sangat cepat menaiki lereng lembah menuju
tempat di mana dia dan Kenichi berada.
Kenichi menyelinap di balik kerapatan
pepohonan lalu loloskan sebuah senjata
peledak. Tak lama kemudian terdengar suara
berdentum di arah timur. Beberapa pohon dan
semak belukar rambas.
Namun tidak terdengar suara jeritan. Di lain
saat malah terdengar orang-orang lembah
berteriak.
"Kurung yang satu ini! Tangkap hidup-hidup!"
Lalu terdengar suara senjata saling beradu
disertai bentakan-bentakan. Ichiro masih
sempat mendengar suara jeritan Kenichi
ketika di hadapannya tiba-tiba muncul enam
orang bersenjatakan pedang. Dia tidak sempat
mencabut senjata peledaknya. Dengan katana
, Ichiro hadapi keenam lawan yang datang.
Namun saat itu sebatang anak panah beracun
yang dilepaskan lawan dari tempat gelap
berhasil menancap di paha kanannya.
Dengan kertakkan rahang menahan sakit,
Ichiro cabut anak panah itu. Namun sebagian
racun panah telah larut dalam aliran
darahnya! "Manusia-manusia Lembah Hozu
keparat! Kalian telah membunuh guru!
Majulah untuk menerima hukuman!" teriak
Ichiro. Terdengar suara tertawa bergelak
dalam gelap. Lalu enam sosok tubuh
melompat. Enam katana menggebrak
berbarengan.
Ichiro menangkis tiga tebasan pedang. Tiga
lainnya dielakkan dengan jalan melompat ke
belakang.
Ketika salah seorang lawan kembali
menyerbu, Ichiro keluarkan suara mengerang
dan katana yang digenggam dengan kedua
tangannya berkelebat ganas. Satu jeritan
menggema dalam kegelapan malam. Orang di
depan Ichiro menggeletak dengan perut robek.
Lima kawannya berteriak marah lalu serempak
menyerang.
"Kita berhasil menangkap yang satu ini!"
terdengar suara orang berteriak.
"Ah! Mereka berhasil menangkap Kenichi!"
keluh Ichiro, lalu putar pedangnya dengan
sebat.
Terdengar suara berdentangan. Tiga sosok
bayangan muncul lagi dari dalam gelap. Kini
ada delapan orang yang mengeroyok Ichiro.
Tak ada kemungkinan bagi pemuda ini untuk
menghadapi begitu banyak lawan. Dia
membuat gerakan seperti katak, melompat
dan berhasil menjauhi para pengeroyok.
Sebelum lawan-lawannya mengejar, dia
segera loloskan sebuah senjata peledak.
"Awas bola peledak!" teriak seseorang.
"Bummmm!" Ledakan keras menggema. Lidah
api muncrat ke berbagai jurusan. Dua jeritan
terdengar bersama rambasnya semak belukar
dan tumbangnya sebatang pohon. Ichiro lari
sekencang yang bisa dilakukannya sementara
luka di paha kanannya terasa semakin sakit.
Kaki kanannya seperti kaku. Dua anak panah
melesat menghantam punggungnya, namun
baju besi yang dikenakannya berhasil
melindungi.
Ichiro lari terus hingga ia sampai di mana dia
dan Kenichi sebelumnya meninggalkan kuda
masing-masing. Ichiro cepat naik ke atas
pelana dan menghambur tinggalkan tempat
itu. Ketika orang-orang Lembah Hozu sampai
di tempat itu, Ichiro sudah terlalu jauh, tak
mungkin dikejar lagi.
Ichiro sampai di tempat kediaman gurunya
sesaat sebelum matahari terbit. Dia langsung
masuk ke dalam kamar dan mengambil
secarik kertas serta alat penulis. Dengan
tubuh panas dingin akibat racun panah yang
mulai bekerja menyerang jantung dan paru-
parunya, Ichiro mulai menulis. Lalu dengan
membawa kertas itu dia masuk ke dalam
ruangan sembahyang dan berlutut di depan
abu gurunya. "Sensei, harap maafkan diriku.
Sebagai murid, aku merasa tidak layak lagi
hidup. Aku tidak dapat membela nama guru.
Aku tidak berhasil menumpas orang-orang
Lembah Hozu. Malah mereka berhasil
menangkap Kenichi. Aku malu untuk hidup
lebih lama. Sensei aku mohon ampunmu… Aku
harus menebus kebodohanku dengan
melakukan Seppuku… (bunuh diri)"
Ichiro letakkan kertas yang tadi ditulisnya di
kaki meja sembahyang, lalu mencabut katana-
nya siap ditikamkan ke perutnya. Tiba-tiba di
saat yang tepat dua tangan kokoh menahan
gerakan tangan Ichiro. Sebelum pemuda ini
jatuh pingsan, dia masih sempat melihat
wajah orang yang barusan mencegahnya
melakukan bunuh diri itu!
Dua orang berkelebat masuk ke dalam
ruangan sembahyang dan keduanya sama
berseru keras ketika melihat tubuh Ichiro
tergeletak menelungkup di atas tatami. Paha
kanannya dibalut. Tak berapa jauh dari situ
tergeletak katana milik pemuda ini. Lalu di
dekat kaki meja sembahyang ada sehelai
kertas bertuliskan huruf-huruf kanji.
Ternyata dua orang yang barusan datang
adalah Akiko Bessho dan Kunio Ota. "Kau
lekas periksa keadaannya! Aku akan membaca
apa yang tertulis di kertas ini!" kata Kunio.
Setelah membantu Akiko membalikkan tubuh
Ichiro, Kunio mengambil kertas di kaki meja
lalu membacanya.
Saudara-saudaraku seperguruan, terlalu
memalukan bagiku untuk hidup. aku bukan
saja gagal menuntut balas terhadap orang-
orang Lembah Hozu yang telah membunuh
sensei, tetapi mereka bahkan berhasil
menangkap Kenichi! Maafkan diriku. Hanya
ada satu jalan untuk menutup rasa malu
menebus kegagalan itu, yakni dengan
melakukan seppuku Ichiro Ioki
"Orang tolol!" maki Kunio sambil membanting
surat itu ke lantai. Lalu dia beringsut
mendekati Akiko yang bersimpuh di lantai,
tengah berusaha menyadarkan Ichiro dari
pingsannya. "Ichiro… Ichiro! Bangun… Ayo
buka matamu!" kata Akiko berulang kali
sambil menepuk-nepuk pipi saudara
seperguruannya itu.
"Ada keanehan kulihat…" berkata Kunio sambil
memandangi sosok Ichiro.
"Apa maksudmu," tanya Akiko.
"Ichiro jelas hendak melakukan harakiri
(bunuh diri). Karena itu dia menulis surat
untuk kita.
Tetapi entah mengapa dia tidak
melakukannya. Paha kanannya dibalut dan
ada rembesan darah.
Mungkin sekali pahanya ditusuk panah
beracun orang-orang Lembah Hozu. Kalau
betul, lalu mengapa saat ini dia masih hidup?
Siapa yang membalut luka beracun di
pahanya?"
Terdengar keluhan pendek. "Dia siuman!"
pekik Akiko gembira. Lalu kembali gadis ini
menepuk-nepuk pipi Ichiro. "Sadar Ichiro…
Sadar! Katakan pada kami apa yang terjadi!"
kata Akiko pula.
Perlahan-lahan Ichiro membuka kedua
matanya. "Dia… di mana… di…dia…?" suara itu
keluar terbata-bata dari mulut Ichiro.
"Dia siapa maksudmu Ichiro?" tanya Kunio.
"Dia… dia… Gaijin itu…"
"Gaijin…?" mengulang Akiko sambil saling
pandang dengan Kunio. "Maksudmu pemuda
asing yang muncul membawa surat untuk
sensei tempo hari…?"
"Betul…"
"Apa yang telah dilakukannya terhadapmu
Ichiro? Katakan apa dia telah berlaku jahat
terhadapmu…?!"
Ichiro membasahi bibirnya yang kering dan
kesat lalu gelengkan kepala. Dia berusaha
bangun dan duduk. Saat itulah dia melihat
paha kanannya dalam keadaan dibalut. "Ah…
pasti dia… Pasti dia lagi yang menolongku.
Dia mencegahku melakukan bunuh diri. Lalu
mengobati luka beracun di pahaku dan
membalutnya… Ah…!"
"Ichiro! Jalan pikiranmu terganggu karena
tekanan jiwa. Mungkin juga akibat racun
panah orang-orang Lembah Hozu. Bagaimana
mungkin orang yang telah kita pastikan
mencuri kitab Kendo milik sensei kini kau
sebut sebagai penolong!?" ujar Kunio pula.
"Sebelum pingsan, aku masih sempat melihat
sekilas wajahnya… Memang dia. Pasti dia!"
"Kau harus beristirahat. Mari kupapah ke
kamar tidurmu," kata Akiko lalu membantu
Ichiro berdiri.
Pada saat itulah seseorang muncul di ambang
pintu. Ichiro yang pertama sekali melihatnya
langsung berseru: "Gaijin…!"
Akiko dan Kunio sama palingkan kepala.
Benar saja. Pemuda asing itu tampak tegak di
sana. Kunio langsung membentak. "Pencuri
kitab! Kau berani datang minta mati!" Tanpa
memberi kesempatan, begitu membentak
Kunio langsung menyerang Pendekar 212 Wiro
Sableng dengan satu jotosan keras yang
diarahkan ke dada kiri. Ini adalah satu
serangan maut karena bisa menghancurkan
jantung orang yang diserang!
"Jepang satu masih belum kapok rupanya…
Apa-apaan dia memakiku pencuri kitab?!" ujar
Wiro dalam hati. Sebelumnya memang Kunio
telah menantang Wiro, bahkan sempat ditotok
menjadi kaku dan gagu. Tapi saat itu kembali
dia menghantam lebih dulu penuh kemarahan.
Murid Sinto Gendeng cepat berkelit hindarkan
serangan berbahaya itu. Sadar orang
mengelak, Kunio ubah pukulannya menjadi
gerakan menjambret. Pendekar 212 terkejut
ketika dia merasakan bagaimana jari-jari
tangan kanan lawan cepat sekali telah
menggenggam dada bajunya. Sebelum dia
sempat berbuat sesuatu, Kunio telah
membantingkan tubuhnya ke lantai ruangan!
"Gila! Bagaimana dia bisa membantingku
secepat kilat seperti itu?" maki Wiro dalam
hati sambil menahan sakit. Selagi Wiro
terhenyak keliangan, kaki kanan Kunio cepat
sekali telah menginjak tenggorokannya. "Di
mana kau sembunyikan buku guru yang telah
kau curi?!"
"Buku… buku apa?" tanya Wiro heran dan
mengernyit sakit.
"Kau pandai berlagak orang asing! Tapi
kepura-puraanmu tidak laku di sini!
Kembalikan buku itu atau hancur lehermu
saat ini juga!"
"Aku tidak tahu menahu tentang segala
macam buku sialan! Bagaimana kau bisa
menuduhku mencurinya?!"
"Karena hanya kau satu-satunya orang luar
yang ada di tempat ini!" jawab Kunio.
"Lalu apakah pencuri itu mesti selalu orang
luar?!" tanya Wiro yang membuat Kunio
melengak marah.
"Ucapanmu berarti menuduh kami anak-anak
murid Hiroto Yamazaki yang mencuri kitab
guru! Benar-benar kurang ajar! Matilah!"
Kunio hentakkan kaki kanannya kuat-kuat ke
batang leher Wiro Sableng.
"Kunio! Jangan bunuh dia," berseru Ichiro.
Tapi kaki kanan Kunio terus saja bergerak.
Dalam keadaan menyangka bahwa pemuda
asing itu benar-benar tidak berdaya dan siap
menemui ajalnya, tiba-tiba Akiko dan Ichiro
melihat bagaimana tangan Wiro yang bebas
dengan sebat menghantam ke arah kaki kiri
Kunio laksana pedang menebas!
Kunio Ota menjerit berjingkat-jingkat.
Kesempatan ini digunakan oleh Wiro untuk
membalikkan diri dan sekaligus
mencengkeram kaki kanan lawan. Kini terjadi
hal luar biasa yang tidak bisa dipercaya Akiko
dan Ichiro. Tubuh Kunio tiba-tiba saja
mencelat keatas. Kepalanya menghantam
tembus langit-langit kamar yang terbuat dari
kertas. Tubuh Kunio kemudian jatuh ke lantai.
Hebatnya, pemuda ini bukan saja mampu
jatuh dengan kedua kaki menginjak tatami
lebih dahulu, tapi seperti membal tubuhnya
kemudian melesat ke arah Wiro. Kedua
tinjunya menderu lebih dahulu. Dengan mudah
Wiro berhasil menangkap kedua tangan
lawannya dan siap untuk membantingkannya
ke lantai.
Namun lagi-lagi Pendekar 212 dibikin
penasaran dan kesakitan, karena tiba-tiba
saja lawan membuat gerak aneh dan kini
malah kedua tangannya yang kena
dicengkeram. Sebelum Wiro sempat lepaskan
diri, tiba-tiba tubuhnya sudah terangkat, lalu
bukk! Tubuh Pendekar 212 dibanting ke lantai!
Belum lagi dia sempat bangun, Kunio jatuh
diri seperti berlutut lalu tinjunya kiri kanan
mendera dada murid Sinto Gendeng.
Meskipun jotosan-jotosan Kunio tidak disertai
kekuatan tenaga dalam, namun kekuatan
tenaga luarnya saja bukan main hebatnya.
Wiro merasakan ada cairan asin dan panas
dimulutnya. Wiro melengak kaget ketika
menyadari dirinya mengalami luka dalam!
Sebelum jotosan-jotosan lawan kembali
bertubi-tubi menghantam dada dan perutnya,
Pendekar 212 susupkan satu sodokan keras ke
perut Kunio. Pemuda ini keluarkan suara
seperti kerbau melenguh.
Di lain saat tubuhnya terjajar dan meluncur di
atas tatami, dan baru berhenti begitu
menabrak sebuah tiang kayu. Sebelum Kunio
sempat bangun, Pendekar 212 sudah
memiting lehernya dan mengangkat tubuh
Kunio hampir dua jengkal dari atas lantai.
"Kau hanya ada satu pilihan Kunio!" desis
Wiro. "Mengaku salah dan minta ampun!"
"Aku memilih mati daripada bertindak seperti
banci!" teriak Kunio. Tangannya coba
menyikut, tapi Wiro semakin mengunci
lehernya.
"Pemuda asing! Kalau kau bunuh dia, aku
bersumpah membunuhmu saat ini juga!" tiba-
tiba Ichiro berteriak. Wiro memang tidak
berniat membunuh Kunio Ota. Begitu pemuda
itu pingsan karena kesulitan bernafas, Wiro
lantas lepaskan cekikannya. Kunio terbujur di
lantai.
Tiba-tiba Wiro menangkap suara berdesing di
samping kirinya disertai kilauan sesuatu yang
menyambar ke arahnya. Wiro cepat jatuhkan
diri dan berguling. Di ujung kamar dia cepat
berdiri.
Di seberangnya, Akiko Bessho tegak
memegang sebilah katana! Jadi gadis inilah
barusan yang coba membabat Pendekar 212
Wiro Sableng. Sewaktu Akiko hendak
menerjang, Wiro cepat menyambar pedang
yang tersembul di balik punggung Kunio.
Lalu, Trang…! trang…! trang…! Suara beradunya
pedang memenuhi ruangan itu.
Serangan Akiko ganas sekali. Gadis ini
pergunakan kedua tangannya untuk
memegang hulu pedang. Dia menyerang
dengan kekuatan penuh! Wiro seperti terdesak
pada permulaannya. Pemuda ini harus
mengakui kehebatan permainan pedang sang
dara. Agar tidak sampai melukai gadis
berwajah bulat ini, Wiro sengaja mainkan
jurus-jurus silat pertahanan.
Namun ketika dia didesak habis-habisan,
murid Sinto Gendeng ini terpaksa keluarkan
jurus-jurus silat orang gila yang dipelajarinya
dari Tua Gila. Gerakannya seolah-olah kacau.
Namun di balik kekacauan itu tersembunyi
suatu kekuatan yang hebat.
Selagi Akiko kerahkan seluruh tenaga untuk
menggempur Wiro, murid Sinto Gendeng
malah mempermainkannya. Dalam satu
gebrakan keras, Wiro berhasil memukul lepas
pedang di tangan si gadis! Akiko menjerit
bukan karena cedera, tapi malu dan
penasaran. Dia lari ke sudut ruangan. Di sini
dia duduk bersila sambil memejamkan mata.
Dia berusaha mengatur jalan darahnya yang
bergejolak. Begitu merasa sudah menguasai
dirinya sepenuhnya kembali, gadis ini
bergulingan di lantai untuk mencapai
pedangnya yang tadi terlepas mental. Lalu
begitu hulu pedang tergenggam dalam kedua
tangannya, gadis ini langsung menyerbu Wiro
kembali.
"Tunggu dulu…!" seru Pendekar 212.
Akiko Bessho tidak peduli seruan orang.
Pedang di tangannya menderu dan berkelebat
laksana kilat. Di antara empat orang
muridnya, mendiang Hiroto Yamazaki
memang telah memberikan ilmu pedang
secara khusus pada gadis ini sehingga sekali
sebilah katana berada dalam genggaman dua
tangannya, maka dirinya bisa berubah laksana
malaikat penyebar maut! "Breettt… bretttt…
bret…!"
Pendekar 212 Wiro Sableng berseru kaget dan
cepat melompat mundur dengan wajah pucat.
Baju putih tebal yang dikenakannya robek
besar di kedua bagian. Robekan ketiga adalah
pada bagian pinggang celananya. Tali celana
ini putus, ketika melompat, tak ampun lagi
merosot ke bawah.
Selagi Wiro menarik celananya ke atas, sambil
meletakkan pedang di tangan kanannya, Akiko
kembali menyerbu.
"Akiko… hentikan seranganmu," teriak Ichiro.
"Bagaimanapun aku berhutang nyawa pada
gaijin itu!" Namun terikan itu tidak ada
gunanya. Ujung pedang Akiko sudah merebas
dan menyambar.
"Breettt!" Lengan kiri pakaian Wiro robek
memanjang dan kali ini tidak hanya
pakaiannya yang robek tapi juga bagian
tubuhnya kena toreh. Darah langsung
mengucur membasahi lengan dan lantai
ruangan.
Rasa sakit dan keadaan terdesak membuat
Pendekar 212 kalap. Dengan tangan kiri yang
masih memegang kolor, Wiro mengangkat
tangan kanan. Dia sudah siap mengerahkan
semua tenaganya dengan penuh. Tapi
mendadak dia terbayang wajah Hiroto
Yamazaki, lalu wajah gurunya Sinto Gendeng.
Wiro kendurkan tenaga dalamnya lalu
menghantam.
Satu gelombang angin menghantam ke depan.
Akiko merasakan tubuhnya terdorong.
Semakin dicoba melawan, semakin keras
tubuhnya terdorong. Gadis ini nekad
melabrak. Akibatnya dia seperti berkelahi
seorang diri sementara lawannya berada
beberapa langkah di depannya.
Akiko Bessho berteriak marah. Dia kerahkan
tenaga dalam ke tangan kanan. Pedang di
tangan kanannya bergetar keras dan
mengeluarkan suara siur. Gadis ini sempat
maju mendekati Wiro namun kemudian justru
jatuh terpelanting di lantai dengan sekujur
tubuh mandi keringat.
Akiko menjerit lagi dan seperti sedang putus
asa, ia membanting pedangnya ke lantai.
"Curang, kamu curang, menggunakan ilmu
sihir. Tidak berani menghadapi ilmu pedang
dengan pedang," teriak Akiko. Wiro hanya bisa
menyeringai mendengar teriakan gadis itu.
Sambil pegang lengan kirinya yang terluka,
dia menuju pintu. Ichiro memegang bahu
Akiko dan membantu gadis itu berdiri. Lalu
kepada Wiro dia berujar, "Maafkan adik
seperguruanku. Aku akan meminta dia
merawat lukamu…"
"Terima kasih," jawab Wiro yang kini lenyap
sudah amarahnya dan mulai kasihan melihat
Akiko.
"Aku bisa merawat lukaku sendiri. Ada dua
hal yang perlu aku katakan pada kalian.
Pertama, aku tidak memiliki ilmu sihir. Kedua,
dan ini yang penting, lekas tinggalkan tempat
ini. Orang-orang Lembah Hozu pasti akan
menyerbu ke mari menuntut balas kematian
teman-teman mereka."
"Jika mereka datang kami akan membunuh
mereka semua!"
"Kami akan mencincang dua pimpinan mereka
yang telah membunuh guru…" kata Ichiro.
"Jangan bodoh. Jumlah mereka lebih banyak
dan mereka sedang menyandera Kenichi,
kalian tidak akan bisa berbuat apa-apa. Lebih
baik mengalah sementara sambil menyusun
langkah baru."
Sehabis bicara, Wiro mengambil kotak berisi
abu Hiroto.
"Hai hendak kau bawa ke mana benda itu,"
teriak Akiko.
Wiro melangkah ke hadapan si gadis lalu
mengulurkan kotak besi pada Akiko seraya
berkata, "Ini benda berharga yang paling
berharga yang harus kalian selamatkan
sebelum orang Hozu menyerbu." Lalu
berpaling kepada Ichiro. "Tolong tinggalkan
tempat ini, jika Kunio masih pingsan dan
mereka datang ke tempat ini, maka dia akan
menjadi sasaran."
Selesai berkata, Wiro langsung meninggalkan
tempat itu dan Ichiro serta Akiko seketika
saling berpandangan. Akhirnya Ichiro
membuka mulut, "Apa yang dikatakan
pemuda asing itu benar.
Selama Kenichi berada di tangan orang
Lembah Hozu, kita tidak bisa berbuat banyak!
Kita musti meninggalkan tempat ini Akiko. Itu
tidak bisa ditawar-tawar lagi!"
Di luar, langit tampak semakin terang dan
sebentar lagi sang surya akan terbit. Dari
kejauhan, dari arah tenggara terdengar suara-
suara bersahut-sahutan. Sepasang mata
Akiko dan Ichiro tampak
sama-sama membesar. "Mereka benar-benar
datang," desis Ichiro. Tanpa bicara lagi ia
langsung memanggul Kunio Ota yang masih
dalam keadaan pingsan. Ichiro memberi tanda
kepada Akiko, namun ragu. Tapi tidak lama
kemudian ia meloncat mengikuti kakak
seperguruannya itu meninggalkan tempat.
"Kita tidak mungkin lari jauh. Sekali mereka
melihat, kita akan dikejar. Sebaiknya
menyelinap dan bersembunyi di Goa
Wanigawa." Akiko setuju lalu mendahului lari.
Mereka menuju kerapatan pepohonan di arah
timur menuju sebuah goa yang tersembunyi di
balik semak belukar. Dari dalam goa bisa
melihat ke arah bekas rumah Hiroto Yamazaki
yang luas. Goa ini disebut Wanigawa yang
berarti "Kulit Buaya" karena bagian dalamnya
bergerujul seperti kulit buaya.
Baru saja mereka memasuki goa,
segerombolan orang-orang Lembah Hozu
yang berjumlah sekitar dua puluh orang
muncul menunggang kuda. "Periksa bangunan
itu!" teriak seorang pemimpin gerombolan.
Lima orang turun dari kuda dan langsung
memeriksa dengan pedang terhunus,
sementara sepuluh orang lainnya mengelilingi
bangunan dengan membawa panah beracun
yang siap membidik siapa saja yang keluar
dari bangunan.
Dua orang Lembah Hozu tampak kuluar dari
bangunan sambil memberi isyarat bahwa
rumah telah kosong, tidak orang dan benda
yang bisa dijarah. "Kurang ajar, mereka pasti
melarikan diri," ujar lelaki bertubuh kurus
yang menunggang kuda putih.
Kawan yang berada di sebelahnya ikut
berteriak, "Bakar bangunan itu!" Maka enam
orang segera melaksanakan perintah. Dalam
waktu sekejap, bekas rumah Hiroto yang
didiami bersama empat muridnya itu hilang
dilalap api.
Di dalam goa Wanigawa, Akiko kepalkan
kedua tangannya. "Aku ingin sekali
membunuh keparat-keparat dari Lembah Hozu
itu. Ichiro perhatikan kuda putih dan lelaki di
sampingnya. Aku ingat betul dia yang
mengeroyok sensei dan membunuhnya…"
"Kau betul Akiko. Yang kurus jangkung itu
adalah Massashigi Sakaji. Kawannya, kalau
tidak salah adalah Minoru Shirota. Mereka
adalah dua dari empat pemimpin Lembah
Hozu. Keduanya sudah terkenal sejak dua
puluh tahun lalu."
"Tanganku sudah gatal ingin membunuh
kedua bangsat itu. Bagaimana jika aku
membokong mereka dengan sumpit beracun?"
Dari balik pakaiannya, Akiko keluarkan sebuah
sumpitan yang terbuat dari kuningan lengkap
dengan pelurunya sebesar ujung jari
berbentuk bulat dan berduri-duri di beberapa
bagian.
"Jangan!" cegah Ichiro. "Jarak mereka terlalu
jauh. Peluru sumpit tidak bisa sampai ke
sana. Di samping itu, tindakanmu sama saja
dengan memberi tahu tempat persembunyian
kita ini." Akiko bantingkan kaki karena kesal.
Tiba-tiba didengarnya Ichiro berseru. "Akiko!
Lihat! Ada seseorang di atas atap bangunan
rumah!"
Bagaimana terkejutnya Ichiro, begitu pula
kagetnya Akiko. Di atas atap bangunan di
bawah sana, pada bagian yang belum sempat
disentuh kobaran api, di balik kepulan asap,
kedua orang ini melihat sosok seorang laki-
laki berpakaian dan berikat kepala putih tegak
bertolak pinggang di atas wuwungan rumah.
Orang-orang Lembah Hozu yang masih ada di
sekitar bangunan itu juga tampak terheran-
heran melihat ada orang di atas atap
bangunan yang mereka bakar. "Ichiro…" kata
Akiko sambil memegang lengan pemuda itu.
"Apakah kau tidak mengenali orang di atas
atap itu? Bukankah dia gaijin bernama Wiro
Sableng itu…?"
Ichiro Ioki usap kedua matanya berulang kali.
"Astaga! Kau betul! Apa yang dilakukan
pemuda asing itu di sana?! Sudah gila dia
agaknya!" ujar Ichiro.
"Dia sengaja mencari mati!" kata Akiko pula.
"Ninja sekalipun tidak berani melakukan hal
seperti itu siang-siang begini!"
"Aku jadi tak habis pikir," kata Ichiro pula.
"Siapa sebetulnya pemuda itu. Sikapnya
selalu merendah dan terkadang tampak
seperti orang tolol!"
Di atas atap bangunan, orang yang berdiri di
sana memang adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Saat itu dengan mengerahkan tenaga
dalamnya hingga suaranya menjadi keras
sekali, Wiro berteriak.
"Orang-orang Lembah Hozu! Kalian semua
dengar! Jika kalian tidak segera
membebaskan Kenichi dan menyerahkan dua
pembunuh Yamazaki-san, maka Lembah Hozu
akan menjadi lembah bangkai bagi kalian!"
Semua orang Lembah Hozu mendongak dan
sama memandang ke atas atap. "Eh, manusia
atau setan gunung yang ada di atas atap
itu?!" berkata salah seorang pimpinan Lembah
Hozu. Lalu dia berpaling pada dua kawan di
sebelahnya. "Masashigi! Minoru! Orang itu
menghendaki diri kalian!"
"Tak pernah kulihat tampang manusia itu
sebelumnya!" berkata Masashigi Sakaji. "Ada
di antara kalian yang mengenalinya?"
Semua orang menggelang.
"Wajahnya seperti bukan orang sini. Logat
bicaranya aneh!" berkata Minoru Shirota. Lalu
sambungnya sambil menyeringai, "Siapapun
dia adanya, aku ingin melihat warna
darahnya! Merah atau hitam… Ha… ha… ha…!"
"Orang-orang Lembah Hozu!" dari atas atap,
Wiro kembali berteriak. "Sebelum para dewa
marah, lekas tinggalkan tempat ini! Ingat
ucapanku! Bebaskan Kenichi dan serahkan
dua pembunuh Yamazaki-san. Aku beri waktu
tujuh hari. Jika siang hari kedelapan Kenichi
dan dua pembunuh itu tidak muncul di ujung
lembah sebelah timur, kalian akan tahu rasa!"
Orang-orang Lembah Hozu berteriak marah
mendengar seruan Wiro itu. Masashigi Sakaji
balas berteriak. "Saat ini kami sudah ada di
sini! Dua orang yang kau tuduh jadi
pembunuh juga ada di sini! Mengapa tidak
langsung menjatuhkan hukuman tapi hanya
bermulut besar?!"
"Aku tidak terlalu tolol mempertaruhkan
nyawa Kenichi!" sahut Wiro.
"Kalau begitu biar nyawa busukmu kami
habisi lebih dulu!" teriak Minoru Shirota.
"Sebelum kau mati, harap jelaskan siapa
dirimu dan apa hubunganmu dengan Hiroto
Yamazaki!"
"Aku penguasa Gunung Fuji!" jawab Wiro
membual dengan suara keras. "Berarti tak ada
seorang pun boleh melawan kehendakku,
kecuali mereka yang sudah bosan hidup dan
ingin jadi bangkai!" teriak Wiro seraya
menunjuk tepat-tepat ke arah Minoru Shirota.
"Penguasa Gunung Fuji" teriak Minoru lalu
meludah ke tanah. Orang-orang Lembah Hozu
lainnya tertawa keras dan sunggingkan
tampang mengejek ke arah Wiro. Masashigi
Sakaji yang sudah tidak sabaran saat itu
memberi isyarat kepada enam orang yang
membawa busur dan panah. Keenam orang ini
langsung cabut anak panah dan rentangkan
tali busur. Enam panah beracun dibidikkan ke
arah Pendekar 212 yang masih tegak di atas
atap bangunan.
Ketika Masashigi jentikkan jari-jari tangan
kanannya, enam orang yang merentang busur
serta merta melepaskan panah masing-
masing. Enam panah beracun melesat ke atas
atap.
Di atas atap tiba-tiba tampak pemuda yang
jadi sasaran telah memegang sebilah katana.
Senjata ini diputar laksana titiran. Enam kali
terdengar suara berdentrang dan enam anak
panah luruh ke bagian bawah bangunan yang
dimakan api.
Kini orang-orang Lembah Hozu baru terbuka
mata mereka. Selagi mereka masih mendelik
menyaksikan kejadian tadi, Wiro Sableng
lemparkan senjata di tangannya ke bawah. Di
lain kejap, salah seorang yang tadi memanah
menjerit keras lalu roboh ke tanah dengan
perut tertembus pedang.
Kini orang-orang Lembah Hozu menjadi
sangat marah. Semua mereka berteriak keras.
Dua orang di atas kuda bergerak mengelilingi
bangunan sambil memutar-mutar tali yang di
ujungnya ada pengait besi. Lima orang yang
memegang panah kembali membidikkan
senjatanya. Yang lain-lain mencabut pedang
lalu mengurung bangunan. "Runtuhkan
bangunan! Jangan sampai bangsat itu lolos!"
teriak Masashigi.
Dua orang yang memegang tali berkait segera
menarik tiang-tiang kayu yang masih utuh.
Dua bagian bangunan langsung ambruk. Atap
bangunan di mana Pendekar 212 berdiri
miring ke kiri.
Selagi dia mengimbangi diri agar tak
terperosok jatuh, lima anak panah beracun
menderu ke arah lima bagian tubuhnya!
Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini
keluarkan bentakan keras. Lalu dari tangan
kanannya tampak memancar sinar berwarna
perak. Ketika tangan itu dihantamkan,
menghamparlah hawa panas disertai
sambaran cahaya menyilaukan! Lima anak
panah mental leleh! Lalu terdengar suara
ledakan dahsyat! "Buummmm!"
Tanah berlapis salju di depan bangunan yang
terbakar, mencuat bertaburan ke udara. Dua
ekor kuda terpelanting dan menjatuhkan
penunggangnya. Di bagian lain terdengar tiga
jeritan lalu tiga sosok tubuh tergeletak hangus
di atas salju! Masashigi dan Minoru dan yang
lain-lainnya masih sempat menyingkir. Tapi
muka mereka kini tampak seputih salju
Gunung Fuji!
Ketika keadaan kembali tenang, semua orang
lagi-lagi dibikin kaget. Kini kaget karena
pemuda yang tadi berada di atas, tak tampak
lagi sosoknya! Para pimpinan orang-orang
Lembah Hozu memandang berkeliling.
Pemuda yang mereka cari tetap tak ada lagi,
laksana amblas ditelan gunung! "Tinggalkan
tempat ini!" Minoru Shirota berteriak memberi
perintah. Orang-orang Lembah Hozu yang
saat itu memang sudah merasa ngeri karena
seumur-umur belum pernah mengalami hal
seperti itu, serta merta bergerak meninggalkan
tempat itu dengan cepat.
Masashigi mendekatkan kudanya ke kuda
Minoru lalu berkata, "Terus terang aku tidak
takut kepada pemuda tadi, walau
kepandaiannya setinggi langit! Tapi untuk
mencegah hal-hal yang tidak diingini, kurasa
kita harus menghubungi nenek sihir Arashi.
Hanya dia agaknya yang bisa menghadapi
kekuatan aneh yang dimiliki pemuda itu!"
"Ya… ya…!" jawab Minoru Shirota. "Nenek
Arashi akan menghancur luluhkan tubuhnya
sampai berbentuk sekepal daging cincang!"
Sementara itu dalam goa, Ichiro dan Akiko
masih terbengong-bengong menyaksikan apa
yang terjadi tadi. "Tak percaya kalau aku
tidak melihat sendiri…" Ujar Ichiro.
"Pemuda asing itu…" desis Akiko. "Apa yang
dikatakan sensei memang mungkin benar
Ichiro….
Seorang pendekar baru telah muncul di
Gunung Fuji… Hawa panasnya terasa sampai
ke dalam goa ini. Kurasa itulah pukulan sinar
matahari yang dikatakan guru. Luar biasa!"
"Hanya para tukang sihir pemilik ilmu hitam
yang mampu melakukan hal seperti itu…" kata
Ichiro.
"Tapi dia bukan tukang sihir…" bisik Akiko,
masih terkagum-kagum. "Ah, ke mana kita
harus mencarinya sekarang? Dia lenyap
begitu saja…!"
Ichiro menatap paras adik seperguruannya
sesaat. Dia tahu apa yang ada dalam benak
dan hati adiknya itu. Sama seperti yang kini
diinginkannya. Tapi dia malu untuk
mengatakan karena sebelumnya dia dan
Kunio serta Kenichi telah menganggap rendah
pemuda itu.
"Jika kalian mencarinya haruslah dengan
maksud yang sama seperti maksudku! Dia
telah mencuri kitab guru dan mencelakai
diriku! Baginya hanya ada satu hal, mati!"
Ichiro dan dan Akiko sama berpaling. Saat itu
Kunio Ota ternyata sudah siuman dari
pingsannya dan tengah tegak bersandar ke
dinding goa.
"Ah! Kunio! Kau sudah sadar…!" seru
Ichiro.Lalu bersama Akiko menghampiri
pemuda itu.
Rumah teh Mangetsu terletak di suatu bukit di
luar Kyoto. Sepanjang hari tempat ini ramai
dikunjungi orang yang ingin melepas
dahaganya. Selain teh yang dihidangkan
memang nikmat, pelayanan di sini pun sangat
baik.
Pendekar 212 duduk di sudut ruangan dekat
jendela. Seorang pelayanan perempuan datang
membawakan pesanannya. Sebelum pergi
pelayan itu menunjuk bangku kosong di
samping Wiro dan bertanya, "Tuan, apakah
ingin saya temani?" Wiro tersenyum. "Arigatoo
Gozaimashita, terima kasih, Saya lebih suka
duduk sendiri." Pelayan itu lalu pergi.
Setelah memandang berkeliling, Wiro
mengangkat cangkir dan meneguk tehnya.
Baru saja ia meletakkan cangkir di atas meja,
di pintu tampak muncul seorang, yang dari
pakaian dan keranjang bututnya, jelas
seorang pengemis. Wajahnya tak kelihatan
karena tertutup tudung jerami lebar.
Begitu pengemis itu melangkah masuk,
seorang pelayan menghadangnya. "Pengemis
tidak boleh berada di rumah teh ini. Lekas
keluar!"
Tenang saja pengemis itu melepaskan lipatan
kecil dan menyerahkan pada si pelayan.
"Maksudmu pemuda asing itu?" Si pelayan
berpaling ke arah Wiro duduk. Si pengemis
mengangguk lalu putar tubuh dan pergi.
Pelayan lalu menghampiri Wiro lalu
meletakkan lipatan kertas di atas meja.
"Pengemis tadi meminta saya menyerahkan
ini kepada Tuan." Meski heran Wiro
mengambil kertas dan membuka lipatannya.
Di situ tertera kalimat pendek berbunyi. Temui
aku di Puri Nanzen, Penting!
"Aneh! Tak ada pengirim. Diakah yang ingin
bertemu?" Murid Sinto Gendeng menggaruk
kepalanya. Wiro cepat-cepat menghabiskan
minumannya. Setelah membayar, ia
meninggalkan rumah teh itu menuju ke bagian
barat kota.
Puri Nanzen sebuah puri besar yang dibangun
oleh pendeta Zen puluhan tahun lalu. Bagian
luarnya dikelilingi pepohonan rimbun,
berumput dengan dua telaga kecil, dan jalan
setapak yang diberi batu-batuan. Untuk
beberapa lamanya Wiro memperhatikan
bangunan itu. Sepi. Tak tampak orang di
sana. Desah angin satu-satunya yang
tertangkap di telinga Wiro.
"Jangan-jangan aku jadi permainan pengemis
sinting," berkata Wiro dalam hati. Dia
melangkah ke tepi telaga di sebelah kanan.
Berhenti di sini, memandang sekeliling baru
melangkah menuju tangga puri. Bagian luar
puri merupakan serambi terbuka yang
mengelilingi bangunan utama. Wiro
melangkah memutari bangunan itu. Akhirnya
dia kembali ke tangga sambil berpikir-pikir.
Bukan mustahil ada orang yang menjebaknya.
Tapi siapa? Orang-orang Lembah Hozu? Dua
hari belakangan ini memang banyak kejadian
yang dihubungkan dengan tindak-tanduk
orang-orang Lembah Hozu.
Wiro duduk beberapa saat. Ketika tidak ada
juga orang yang muncul, dengan kesal
berteriak, "Pengemis bertopi jerami, di mana
kau?" Tidak ada jawaban. Desau angin
menambah dinginnya udara. Pendekar 212
berdiri sambil berteriak dan memaki, "Sialan!
Aku benar-benar kecele!" Wiro langkahkan
kakinya menuruni tangga.
Tiba-tiba dari samping terdengar suara
berdesir. Wiro menoleh. Tiga buah benda
bulat sebesar ibu jari melesat ke arahnya.
Senjata rahasia! Sambil mengerang ia
menghantam dengan satu tangan kosong.
Tiga senjata rahasia mengeluarkan suara
letusan dan buyar di udara. "Mengundang lalu
membokong benar-benar perbuatan rendah!"
teriak Wiro.
Baru saja memaki sebuah benda melesat
berkilauan. Ternyata sebuah katana pendek.
Pendekar 212 cepat melompat ke samping.
Pedang meleset dan menancap di serambi.
"Edan!" maki Wiro, lalu mencabut pedang
yang menancap di tiang sambil menelitinya.
Wiro tidak mengerti maksud pelempar pedang
itu. Dengan kesal akhirnya dihujamkan ke
lantai puri. Saat itulah dia melihat ada
sesuatu melayang di atas pohon besar di
samping puri. Wiro hendak menghantam tapi
cepat sekali lenyap. Saat dikejar hingga di
samping puri, tidak ada apa-apa lagi.
"Yang melayang tadi jelas sosok manusia. Dia
tak mungkin ada bersembunyi di halaman
sini…"
Wiro perhatikan pohon-pohon besar di
sekelilingnya. Jangankan manusia, burung
pun tak ada yang hinggap di pepohonan itu.
"Aku ada di dalam sini" terdengar suara dari
dalam puri. Wiro cepat berpaling. "Siapa di
dalam sana?"
"Masuklah cepat! Aku tak ingin ada orang
melihatmu!" terdengar lagi suara dari dalam
puri, lalu pintu dorong bangunan itu bergeser
ke samping.
Wiro penasaran dan jengkel. Ia siapkan satu
pukulan sakti di tangan lalu melompat
memasuki puri lewat pintu yang terbuka.
Begitu masuk, pintu dorong tertutup kembali.
"Kau!" teriak Wiro ketika melihat sosok
pengemis. "Kau mengundangku ke mari lalu
hendak membunuhku secara pengecut!
Membokong! Apa apaan ini!?"
"Sabar jangan cepat marah Wiro. Mari kita
bicara. Ada beberapa yang perlu kita
rundingkan!" jawab pengemis.
Wiro menundukkan kepala, maksudnya hendak
mengintai wajah di bawah tudung itu. Namun
itu tak perlu dilakukannya karena seketika si
pengemis membuka tudungnya. Ketika melihat
wajah pengemis itu, terkejutlah Wiro. "Akiko!
Aku benar-benar tidak mengenalimu.
Suaramu-pun aku tidak kukenal!"
Gadis murid mendiang Hiroto Yamazaki itu
tersenyum. "Aku tadi bicara dengan suara
perut. Makanya kamu tadi tidak mengenali
suaraku yang seperti laki-laki… Sekarang
suaraku bagaimana…?"
"Ah! Sekarang kudengar suara aslimu. Suara
perempuan. Hai katakan apa-apaan yang
kamu lakukan ini Akiko? Mana yang lain-
lain…?!"
"Sssst… jangan bicara terlalu keras. Di jepang,
dinding dan pohon bisa mendengar…" ujar
Akiko Bessho. "Aku sengaja menyamar karena
di luar sangat gawat. Aku melihat ada
gerakan-gerakan tertentu yang dilakukan
orang Lembah Hozu…"
"Kau betul. Mereka melakukan penyelidikan di
mana-mana. Aku tidak mengerti ada pasukan
resmi membantu mereka…"
"Berarti mereka punya hubungan dengan
penguasa."
"Betul," kata Akiko. "Bukan itu saja. Mereka
melakukan penyelidikan dengan sewenang-
wenang. Beberapa orang mereka siksa, bahkan
ada yang dibunuh…!"
"Apa yang mereka selidiki?" tanya Wiro.
"Apalagi kalau bukan mencari jejak kita?"
jawab Akiko. "Termasuk mencarimu!" kata
gadis itu kemudian. "Semua ini karena
ancaman yang kau katakan sewaktu orang-
orang Lembah Hozu membakar rumah sensei!"
"Astaga! Jadi aku telah melakukan kesalahan
besar…?"
"Aku tidak bilang begitu. Namun itulah
kenyataan yang terjadi. Kita semua harus
hati-hati. Orang-orang Lembah Hozu telah
membayar mata-mata untuk mencari kita…
Apakah kau tidak merasa diikuti orang ketika
menuju kemari…?"
"Heh?!" Wiro memandang lekat-lekat ke arah
Akiko. "Aku tak tahu. Jangan-jangan
kecurigaanmu beralasan!"
"Di samping itu, aku punya masalah dengan
Kunio Ota…," berkata Akiko.
"Apa masalahmu? Bagaimana keadaan
pemuda pemberang itu?"
"Dia tidak setuju ketika aku mengambil
keputusan mencarimu. Dia khawatir…"
"Khawatir atau cemburu…?" Wiro memotong.
Paras Akiko menjadi sangat merah. Wiro
tertawa perlahan.
"Kunio tetap yakin bahwa kau yang mencuri
kitab pelajaran Kendo milik guru. Jika kau
jujur, maukah kau mengatakan bahwa kau
tidak mencari buku pelajaran ilmu pedang
yang langka itu?"
"Siapa dewa yang paling kamu hormati,
Akiko?" tanya Wiro.
"Dewa matahari…," jawab sang dara.
"Nah, demi dewamu itu, aku bersumpah tidak
mencuri buku atau apapun di tempat
kediaman gurumu!"
"Sumpahmu tak ada harganya!" kata Akiko
pula.
"Eh, kenapa begitu?" tanya Wiro heran.
"Kepercayaanmu dan kepercayaanku
berlainan. Bagaimana mungkin kau
mengangkat sumpah dengan kepercayaan
orang lain!?"
"Ah begitu? Kau mungkin benar," kata Wiro
sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Kalau
begitu aku bersumpah atas nama
persahabatan kita! Bisa kau terima sumpahku
sekarang?"
"Masih belum."
"Kenapa?"
"Soalnya kita belum tentu bersahabat. Aku
belum tahu siapa dirimu sebenarnya. Muncul
di sini entah membawa niat jahat atau apa…"
"Ah…" Wiro geleng-geleng kepala.
"Kau keliru Akiko. Jika kau sengaja mencariku
dan menginginkan pertemuan ini, berarti kau
telah menunjukkan rasa persahabatan. Kalau
kau tidak percaya dirimu, apa perlunya
mencari diriku dan menyamar segala!"
"Aku menyamar agar tidak ketahuan orang-
orang Lembah Hozu dan Kunio. Kunio
mengancam membunuhku jika aku
menemuimu," Akiko menutup wajahnya seperti
menahan tangis.
Wiro dekati gadis itu dan pegang bahunya.
"Maafkan kalau aku membuatmu menjadi
marah dan bingung. Tapi aku betul-betul
tidak mencuri sesuatu pun. Justru aku ingin
menyelidiki pencuri itu dan menemukannya
kembali."
Perlahan-lahan Akiko turunkan kedua
tangannya. Sepasang mata bening gadis ini
menatap ke bola mata pendekar 212.
"Betulkah kau hendak membantu menemukan
buku itu kembali?" Tanya sang dara.
Wiro mengangguk. "Tadi kau hendak
merundingkan beberapa urusan. Urusan apa?"
"Urusan pertama tentang kitab yang hilang.
Terima kasih kamu bersedia membantu. Yang
kedua, ini yang penting. Cara menghadapi
orang-orang Lembah Hozu. Kau telah
mengancam dan memberi waktu tujuh hari
kepada mereka. Bisa saja sesuatu terjadi
kepada mereka. Bagaimana membuktikan
ancamanmu? Kau tidak bisa menghadapi
mereka seorang diri. Aku mendengar orang-
orang Lembah Hozu meminta bantuan nenek
Arashi."
"Siapa nenek yang memiliki nama begitu
hebat? Nenek Topan?" tanya Wiro.
"Seorang jago sihir kawakan. Dia bisa
mencabut pohon dengan akarnya lalu
melemparkan ke arahmu!" jawab Akiko.
Wiro keluarkan suara berdecak. "Belum pernah
aku mendengar kehebatan seperti itu, aku
ingin sekali melihatnya!"
"Jangan bicara takabur Wiro-san…"
"Hanya itulah urusan yang ingin kau
bicarakan?" tanya Wiro kemudian.
"Masih ada yang lainnya."
"Apa itu?"
"Bagaimana kita bisa menyelamatkan
Kenichi?"
"Itu memang bukan urusan mudah. Orang-
orang Lembah Hozu itu memang menjaga
Kenichi secara ketat. Kau tak usah
memikirkan…."
"Dia saudara seperguruanku. Bagaimana
mungkin aku tidak memikirkannya?!"
"Jangan salah sangka dulu Akiko. Bicaraku
tadi belum selesai. Urusan Kenichi biar aku
yang mengatur asal kau mau membantu…"
"Aku sendiri hanya punya kemampuan
terbatas…." kata Akiko.
"Ah, kau terlalu merendah. Buktinya kau tadi
menunjukkan kehebatanmu dengan melempar
senjata rahasia serta sebilah katana!"
Merahlah paras Akiko Bessho. "Yang
kulakukan tadi bukan mencelakaimu. Itu untuk
membuktikan bahwa kau seorang yang bisa
diandalkan. Apa yang dikatakan sensei bukan
cerita kosong…"
Wiro tertawa lebar, "Kau tahu Akiko, di
negeriku banyak sekali orang yang pandai
bicara. Tapi perempuan di sana bersikap
diam. Tidak ada yang pandai bicara, apalagi
berkelit lidah sepertimu saat ini… Kalau tadi
pedangmu sempat menembus jantungku, tentu
aku tidak akan pernah mendengar alasan
yang kau katakan, iya kan?"
"Nah, sudah selesaikah urusan ini atau ada
urusan lain?"
"Masih ada satu lagi. Ini yang terakhir."
"Katakanlah!"
"Sebenarnya aku malu menyampaikannya …"
"Katakan saja Akiko," ujar Wiro.
Akiko Bessho diam sesaat. Tampaknya seperti
ragu. "Ah, baiknya kubatalkan saja
mengatakannya kepadamu," kata gadis ini.
Wiro menggeleng. "Memendam sesuatu tidak
baik… Kau tidak percaya padaku. Atau malu.
Bukankah kita bersahabat?" ujar Wiro seraya
mengambil topi jerami lebar dari tangan Akiko
lalu mengenakannya di kepalanya.
"Tampangku pasti seperti pengemis beneran!"
kata Wiro, yang membuat Akiko tertawa geli.
"Sekarang apakah kau tidak akan
mengatakannya?"
"Baiklah, aku akan terus terang saja," jawab
Akiko. "Ini menyangkut pesan gurumu dalam
surat yang dulu kau bawa untuk sensei.
Apakah kau masih bersedia mengajarkan ilmu
pukulan sakti bernama Pukulan Sinar
Matahari itu?"
"Ah..! Itu rupanya!" kata Wiro seraya tertawa
lebar dan garuk-garuk kepala. "Untukmu pintu
selalu terbuka, Akiko. Bagaimana dengan
saudara-saudara seperguruanmu yang lain?"
"Ichiro sebenarnya ingin juga mempelajari
kesaktian itu. Tetapi dia merasa malu karena
sudah terlanjur mengejekmu. Kenichi tak
masuk hitungan karena masih berada dalam
sekapan orang-orang Lembah Hozu. Tinggal
Kunio. Dia pasti akan membunuhku jika tahu
aku menemuimu, apalagi sampai belajar
padamu."
"Hemmmm, begitu? Kau sungguhan ingin
mempelajari Pukulan Sinar Matahari?"
Akiko mengangguk. "Aku ingin pada saat kau
mendatangi Lembah Hozu pada hari
kedelapan, aku sudah menguasai ilmu itu."
"Semua itu tergantung pada tingkat tenaga
dalam yang kau miliki dan kemampuanmu
menghapal bacaan tertentu secara cepat…"
"Aku akan belajar sungguh-sungguh, siang
malam…!"
"Bukan itu saja masalahnya Akiko. Tapi ada
satu hal yang sangat berat dan kurasa tak
mungkin kau lakukan…"
"Apakah itu? Apa yang harus aku lakukan?"
"Orang yang akan mempelajari pukulan sakti
tersebut harus dalam keadaan tanpa
pakaian…"
"Apa?!" Akiko Bessho tersentak. "Gila! Aku
harus telanjang?! Ilmu macam apa itu!
Persetan dengan ilmu itu! Lebih baik aku tak
mendapatkannya!" sang dara tampak berang
dan membalik membelakangi Wiro.
Pendekar 212 tertawa mengekeh. Akiko cepat
membalik. "Mengapa kau tertawa?!" tanya
Akiko gusar.
"Kau seperti anak kecil! Percaya saja apa
yang kukatakan tadi!"
"Jadi… Apa maksudmu sebenarnya?"
"Untuk belajar pukulan sakti itu tidak perlu
harus telanjang segala! Aku hanya bergurau!
Senang melihat pipimu merah kalau marah!"
"Gaijin kurang a…" Akiko tidak teruskan
ucapannya.
Di hadapannya Wiro memberi isyarat. Ketika
Wiro melangkah keluar dari puri, Akiko
mengikuti.
Di salah satu halaman Puri Nanzen terdapat
dua buah batu yang masing-masing hampir
dua kali besar kepala manusia. Wiro menunjuk
pada batu sebelah kanan. "Alirkan tenaga
dalammu ke tangan sebelah kanan, lalu pukul
batu itu."
"Kau hendak menguji atau bagaimana?"
"Terserah kau mau bilang apa. Tapi aku harus
melihat dulu tingkat tenaga dalammu. Aku
percaya kau pasti sudah memiliki tingkat
yang tinggi, nah cobalah…!"
Perut Akiko tampak mengempis, bibirnya
terkatup rapat. Kedua kakinya menekuk dan
tubuhnya turun perlahan. Tangan kanan
diangkat ke atas. Lalu terdengar bentakan
keras keluar dari mulutnya.
Bersamaan dengan itu tangan kanannya
memukul. "Praaakkk!" Batu hitam di sebelah
kanan yang jadi sasaran hancur berantakan.
"hebat!" memuji Wiro. Dia membungkuk dan
memungut serta memperhatikan pecahan-
pecahan batu. "Kau mempunyai dasar tenaga
dalam yang baik. Malam nanti kita mulai
latihan…"
"Terima kasih," kata Akiko, seraya menjura
beberapa kali. Lalu gadis itu bertanya,
"Sebagai imbalan, apakah yang harus
kulakukan untukmu?"
Murid Sinto Gendeng menatap wajah bulat di
depannya beberapa saat. Lalu senyum
menyeruak di mulutnya. Akiko jadi curiga.
Buru-buru gadis ini berkata, "Jangan kau
berani meminta yang bukan-bukan…!"
"Aku ingat pada kepandaianmu mengubah
suara tadi. Maukah kau mengajarkannya
padaku?"
Tiba-tiba Wiro mendengar suara berucap,
"Wiro-san, gurumu jelas-jelas dalam suratnya
mengatakan tidak ada pamrih. Mengapa
sekarang kau justru meminta imbalan…?"
"Astaga! Itu suara Hiroto Yamazaki!" ujar
Wiro dalam hati. Terkesima tapi juga tampak
merah mukanya, pemuda ini berpaling ke kiri
dari arah mana tadi dia mendengar suara itu
datang.
"Kau mencari siapa?" tanya Akiko dengan
senyum di bibir.
"Aku barusan mendengar…" Wiro tak
meneruskan ucapannya. Di hadapannya, Akiko
tampak berusaha menahan tawa. Kini Wiro
sadar apa yang telah terjadi. Akiko tadi pasti
telah mempergunakan kepandaian berbicara
dengan perutnya, meniru suara mendiang
gurunya! Mau tak mau Wiro hanya bisa
menyengir.
Sambil garuk kepala, pemuda ini serahkan
topi jerami kembali pada Akiko. Belum sempat
topi itu disentuh si gadis, tiba-tiba terdengar
suara berdesing. Wiro berteriak memberi
peringatan. Akiko melompat ke samping
kanan, Wiro ke arah kiri. Dua bilah golok
pendek menderu dan menancap ditopi jerami
yang masih berada dalam genggaman
Pendekar 212.
Pada saat itu pula lima orang berpakaian
merah melayang turun dari atas dua buah
pohon besar yang ada di taman Puri Nanzen.
Akiko keluarkan seruan kaget. "Komplotan
pembunuh bayaran Teruko!"
Lima orang berpakaian serba merah menyebar
mengurung Akiko dan Wiro. Mereka terdiri dari
empat orang laki-laki yang wajahnya dilumuri
pupur berwarna merah sedang rambut dicukur
pendek berdiri dan juga berwarna merah.
Orang kelima ternyata seorang nenek berpipi
cekung tetapi masih memiliki rambut hitam
lebat disanggul rapi. Mukanya celemongan
tidak karuan.
Meski jelas kelima orang itu tidak bermaksud
baik, namun murid Sinto Gendeng masih bisa
bergurau. "Kalian ini para pemain sandiwara
kabuki (semacam sandiwara tradisional
Jepang) mengapa bisa kesasar ke mari…?!"
"Pemuda asing gila! Apa dia tidak tahu
gelagat tengah menghadapi siapa!" Akiko
Bessho memaki dalam hati. Gadis ini
gerakkan kedua kakinya membuat kuda-kuda.
Tangan kanannya tergantung sedemikian
rupa, siap untuk mencabut katana yang
tersembunyi di punggung pakaiannya.
Empat lelaki berambut merah keluarkan suara
mendengus marah mendengar ucapan Wiro
tadi.
Sebaliknya si nenek malah keluarkan suara
tertawa cekikikan! Dia mengerling genit ke
arah Wiro lalu berpaling pada Akiko.
"Mendiang Hiroto Yamazaki pasti tidak
tenteram di akhirat melihat murid
perempuannya bersuka-sukaan dengan
seorang pemuda asing!"
"Tua bangka kurang ajar! Tampangmu jelek,
mulutmu kotor!" teriak Akiko marah. Tangan
kanannya mulai bergerak ke arah punggung.
Perempuan berwajah celemongan ganda
tertawa. "Mukaku memang jelek, mulutku suka
usil! Hikk… hik…hik..!" jawab si nenek. Lalu
sambungnya, "Tapi banyak lelaki suka
padaku, Hikk… hik…hik…!"
"Aku tidak heran!" menyahuti Akiko. "Siapa
yang tidak kenal dengan nenek Teruko!
Perempuan binal yang sudah jadi pelacur
sejak usia empat belas tahun!"
"Anak perawan! Mulutmu sudah kelewatan!
Anak-anak, bunuh dia!" perintah Teruko pada
keempat anak buahnya. "Sreet…!" empat bilah
katana pendek dicabut berbarengan. Empat
lelaki bermuka dan berambut merah itu
langsung mengurung Akiko. Si nenek sendiri
sambil tertawa-tawa melangkah mendekati
Wiro, kedipkan matanya dan berkata, "Pemuda
asing, tampangmu cukup menawan. Jika
malam ini kau mau menginap di rumahku, aku
akan ampunkan kau punya nyawa. Siapa
namamu sayang…?"
Sambil berkata begitu enak saja dan cepat
sekali si nenek mencuil dagu Wiro. Murid
Sinto Gendeng merasakan tengkuknya
merinding. "Kau ini siapa? Kenal pun baru
kali ini, mengapa enak saja bicara soal
pengampunan nyawaku?" tanya Wiro.
Si nenek tertawa dan kedipkan lagi matanya.
"Namaku Teruko. Aku ketua komplotan Teruko
yang bisa disewa untuk melakukan apa saja!
Saat ini aku mendapat pekerjaan untuk
membunuhmu dan gadis itu! Apa kau tidak
berterima kasih kalau aku kini
mengampunimu?"
"Perlu apa mengampuni diriku? Apa aku
punya kesalahan padamu?"
"Oooo…" Wiro ikut-ikutan runcingkan mulut.
"Siapa yang menyewa kalian?"
"Itu rahasiaku! Tapi di atas ranjang malam ini
mungkin aku akan mengatakannya!" jawab si
nenek lalu tertawa tersipu-sipu.
"Tidak kau katakan pun aku sudah tahu. Pasti
orang-orang Lembah Hozu!"
"Ah, ternyata otakmu cerdas. Aku suka
pemuda-pemuda cerdas sepertimu…" kata
nenek Teruko pula.
Saat itu terjadi perkelahian antara Akiko
dengan empat anak buah Teruko. Seperti
diketahui, Akiko adalah satu-satunya murid
pewaris ilmu pedang paling pintar dari Hiroto
Yamazaki. Katana yang tergenggam di kedua
tangannya menderu ganas menghadapi empat
pedang pendek keempat pengeroyoknya. Para
pengeroyok yang tidak menyangka bakal
mendapatkan perlawanan keras, sambil
berteriak-teriak memperapat kurungan dan
lancarkan serangan-serangan berantai.
Untuk beberapa lamanya Akiko sanggup
membendung serangan empat lawannya,
tetapi setelah berkelahi lebih dari sepuluh
jurus, walaupun sempat melukai lengan salah
seorang pengeroyok, pada akhirnya gadis ini
mulai terdesak. Keselamatannya terancam.
"Hentikan serangan kalian! Jangan main
keroyok!" teriak Wiro. Masih dengan
memegang topi jerami yang ditancapi dua
bilah golok, Wiro segera melompat ke tengah
pertarungan. Namun ada seorang menarik
pinggang celananya. Ketika dia berpaling,
ternyata nenek Teruko yang melakukan! Nenek
itu tersenyum dan lagi-lagi kedipkan mata!
"Tua bangka sialan!" maki Wiro dalam hati.
Lalu dia membentak, "Perintahkan empat
anak buahmu menghentikan pengeroyokan!
Lalu cepat pergi dari sini!" Dalam keadaan
marah Wiro hampir tidak sadar kalau tangan
si nenek masih memegangi pinggang
celananya. Tiba-tiba tangan itu cepat sekali
menyusup ke dalam celana Wiro.
Pendekar 212 tergagap kaget. Hampir saja
anggota terlarangnya disentuh jari-jari tangan
kurang ajar nenek Teruko. Saking marahnya,
Wiro langsung gebukkan topi jerami di tangan
kanannya ke muka Teruko! Perempuan tua itu
tertawa cekikikan. Dia terpaksa menarik
tangan kanannya yang jahil. Sambil mundur
dua langkah, dia silangkan lengan kiri untuk
menangkis gebukan topi jerami.
"Braakkk!" Topi jerami milik Akiko itu hancur
berantakan. Dua bilah golok yang tadi
menancap di topi mencelat ke udara. Begitu
senjata itu jatuh ke bawah, nenek Teruko
melompat keatas. Di lain kejap, kedua golok
itu sudah berada dalam genggaman si nenek!
Dan hebatnya, sesaat kemudian senjata itu
telah dilemparkannya ke arah Akiko Bessho,
padahal saat itu si gadis berada dalam
keadaan terdesak hebat!
Akiko bukannya tidak melihat kedatangan dua
golok yang menyebar ke arahnya. Dia tidak
bisa berbuat apa-apa karena saat itu empat
lawan menyerbu dengan dahsyat! Kalau
pedangnya dipakai untuk menangkis dua
golok, tubuhnya tidak terlindung lagi dari
gempuran pedang para pengeroyok!
Dalam keadaan genting seperti itu, tiba-tiba
terdengar suara teriakan Pendekar 212.
"Akiko! Tangkis dua golok terbang!"
Bersamaan dengan itu, murid Eyang Sinto
Gendeng dorongkan kedua tangannya ke arah
empat pengeroyok yang berpakaian dan
berwajah serta berambut merah. Dua
gelombang pukulan sakti bernama "Dewa
Topan Menggusur Gunung" yang didapatnya
dari Tua Gila, seorang sakti dari pulau
Andalas, menghantam dahsyat. Empat orang
murid nenek Teruko berteriak kaget saat
menyadari tubuhnya laksana terseret badai.
Mereka berusaha bertahan sambil mengejar
Akiko dengan ujung senjata masing-masing.
Tapi, "Wusssss!" Keempat lelaki itu mencelat
mental, bergulingan di tanah dan untuk
beberapa saat tergeletak dengan muka merah
mereka tampak babak belur! Salah seorang
mencoba berdiri, tapi terhuyung-huyung dan
batuk beberapa kali. Dari mulutnya meleleh
darah, lalu lelaki itu roboh kembali.
"Trang… trang…!" Seperti yang diteriakkan
Wiro, Akiko kini mampu mempergunakan
pedangnya untuk menghantam mental dua
golok pendek yang tadi dilemparkan nenek
Teruko. Selamatkan gadis ini dari serangan
maut. Akan halnya nenek Teruko si kepala
komplotan kegetnya bukan kepalang. Dia
memang gusar melihat Akiko lolos dari
kematian. Namun yang membuatnya tersirap
adalah pukulan sakti yang dilepaskan
Pendekar 212, yang sempat membuat empat
anak buahnya terpental dan babak belur
terkapar di halaman puri.
"Pemuda asing ini luar biasa! Ilmu
pukulannya tidak kalah dengan nenek Arashi.
Ada hubungan apa pemuda ini dengan nenek
sihir itu! Ah, aku benar-benar bisa jadi hitome
bore (cinta pada pandangan pertama)
padanya! Jika aku bisa memanfaatkan dirinya,
tidak sulit menjadi orang nomor satu di negeri
ini!"
Nenek Teruko maju dua langkah mendekati
Pendekar 212. Tanpa pedulikan lagi empat
anak buahnya yang cedera, si nenek berkata,
"Anak muda, ternyata kau memiliki pukulan
sakti sehebat badai. Apa sangkut pautmu
dengan nenek Arashi?"
Wiro yang pernah mendengar nama nenek
tukung sihir itu menjawab, "Aku tidak ada
sangkut paut dengan segala macam nenek-
nenek, termasuk denganmu!"
"Ah, jangan begitu anak muda. Dengar… aku
bersedia menjadikan kau sebagai wakilku.
Kita bekerja sama, gajimu enam tail perak
sebulan! Pasti kau mau menerima!"
"Wiro-san! Jangan terpancing!" teriak Akiko.
"Pasti aku menolak!" sahut Wiro, membuat si
nenek terperangah.
"Anak bodoh, setahun bekerja denganku, kau
bisa membangun puri sebagus puri Nanzen
ini! Apa itu tidak hebat?"
"Aku tidak suka jadi orang hebat. Nenek, aku
minta kau meninggalkan tempat ini dan
jangan ganggu kami lagi!" kata Wiro.
"Enak saja kau berucap begitu…!"
"Lalu maumu apa?"
"Kuberi susu kau minta jelaga. Kuberi madu
kau minta racun! Sekarang bersiaplah untuk
mati!" kata nenek Teruko. Lalu dari balik
pakaiannya dia mengeluarkan senjata tombak
aneh. Ujung satunya berupa sebilah pedang
pendek, sedang ujung lainnya berbentuk bulat
penuh dengan lobang kecil.
Melihat ini, Akiko segera mendekati Wiro dan
berbisik. "Hati-hati dengan ujung tombak
berbentuk bulat. Di dalamnya tersimpan racun
yang bisa membuat mata buta serta menutup
jalan nafas!"
"Terima kasih, kalau begitu lekas kita tutup
jalan nafas dan kau berdiri dekat pohon
sana!" kata Wiro. Sebagai pendekar yang
sudah kebal terhadap segala jenis racun,
sebenarnya Wiro tidak khawatir. Namun murid
Sinto Gendeng tidak mau menganggap rendah
orang.
"Wutttt!" Nenek Teruko kiblatkan senjatanya.
Dari lobang kecil pada ujung berbentuk bola
serta merta menebar benda berbentuk butir
pasir halus. Begitu menyentuh udara meletus
dan berubah menjadi asap hitam yang baunya
busuk luar biasa, membuat jalan pernafasan
sesak dan mata perih.
Selagi asap menutup pemandangan, si nenek
pergunakan kesempatan tusukkan ujung
pedang ke arah perut lawan!
Pendekar 212 berseru keras. Tubuhnya
melesat ke udara setinggi satu setengah
tombak. Dari atas dia langsung melepas
pukulan kosong. Tapi cepat sekali nenek
menyambar ke arah pergelangan tangannya.
Selagi Wiro menarik kembali serangannya,
senjata lawan sudah menyemburkan asap
lagi.
Wiro merasakan jalan pernafasannya sesak.
Kaki kirinya melesat mencari sasaran nenek
Teruko. Si nenek cepat sekali menundukkan
kepala dan tiba-tiba tombak dengan cepat
menusuk ke atas selangkangan Wiro. "Nenek
gila, gerakannya cepat sekali," maki Wiro.
Mau tidak mau dia membuang diri ke
samping. Untuk menghindari serangan, dia
langsung melepas serangan "Kunyuk
Melempar Buah".
Nenek Teruko gusar besar melihat
serangannya yang susul menyusul mampu
dielakkan lawan.
Asap beracunnya tidak berhasil mencelakakan
pemuda itu. Dan kini dari atas kini dia
merasakan ada gundukan batu raksasa yang
siap menimbunnya. Sambil memutar
tombaknya, nenek melompat mundur. Tangan
kirinya dipukulkan ke atas. Dia memang
memiliki pukulan sakti mengandung tenaga
dalam tinggi. Tapi begitu pukulannya bertemu
dengan pukulan lawan, menjeritlah wanita tua
bermuka celemongan ini. Tangan kirinya
terkulai lemas, lalu terbanting di tanah. Dia
tidak lagi bisa menggerakkannya!
"Celaka! Apa yang terjadi dengan tanganku
ini!" si nenek mengeluh dalam hati. Selagi
kebingungan seperti itu, tendangan Wiro
sampai di badan tombak yang ada di tangan
kanannya.
Tak pelaklagi, pedang itu terpental jatuh di
atas rumput taman puri Nanzen dalam
keadaan bengkok!
Nenek Teruko berseru tegang. Empat anak
buahnya terkesiap kaget. Saat itu Pendekar
212 telah menjejakkan kedua kakinya di atas
tanah kembali sambil bertolak pinggang dan
berkata. "Kalau pelajaranku tadi belum
membuatmu kapok, bersiaplah menerima
pelajaran susulan!"
Wajah nenek Teruko membesi. Pandangan
matanya garang sekali. Dia berteriak keras.
Tangan kanannya sesaat kemudian bergerak
ke punggung dan memegang sebilah katana.
"Kalau kau mampu mengalahkanku dalam
ilmu kendo, baru aku mengaku kalah!
Keluarkan senjatamu!"
Wiro memberi isyarat kepada Akiko yang tegak
dekat pohon. "Biar aku yang melayani nenek
buruk itu" ujar sang dara sambil cabut
pedangnya. "Pinjami aku katana-mu," ujar
Wiro. Meski tidak senang karena ingin sekali
mencoba kehebatan nenek Teruko, akhirnya
Akiko lemparkan juga pedangnya pada Wiro.
"Kau akan menerima pelajaran berikutnya
dariku nenek Teruko…" kata Wiro sambil
menyeringai, begitu katana ada dalam
genggaman tangannya. Tidak seperti orang-
orang Jepang, Wiro memegang pedang hanya
dengan sebelah tangan. Si nenek balas
menyeringai. Melihat Wiro hanya memegang
pedang dengan sebelah tangan, perempuan
tua ini merasa dihinakan sekali. Padahal Wiro
memang tidak bisa memegang pedang dengan
dua tangan!
Didahului jeritan keras, nenek Teruko memulai
serangan. Pedangnya membabat setengah
lingkaran.
Wiro menyeruduk maju. Gerakannya jelas
sangat berbahaya karena senjata lawan dapat
memenggal leher dan pinggang saat itu juga.
Tapi saat pedang lawan hendak menyentuh
tubuhnya, tiba-tiba Wiro terhuyung ke kiri dan
menyeruduk ke kanan. Gerakan-gerakan itu
seperti orang mabuk. Tapi anehnya, dua kali
serangan nenek Teruko dapat dielakkannya!
Inilah kehebatan silat yang dipelajari dari Tua
Gila.
"Iblis! Aku lebih baik melakukan harakiri
(bunuh diri) jika tidak bisa mencincang
tubuhmu!" teriak nenek Teruko marah. Dari
mulutnya keluar jeritan tinggi. Senjata di
tangannya kembali membabat.
Pendekar 212 membuat gerakan aneh. Lalu
tangan kanannya yang memegang pedang
tampak menggebrak ke depan, memotong arah
sambaran senjata lawan. Sesaat pedang akan
beradu, si nenek tiba-tiba meluncurkan
pedangnya ke bawah!
Wiro kaget melihat gerakan tidak terduga ini.
Cepat dia melompat ke belakang. Tapi ujung
pedang nenek masih sempat menyambar
lengan baju sebelah kanan! "Breet!" Lengan
baju itu robek besar.
Si nenek keluarkan suara tertawa nyaring.
"Sekarang baru bajumu! Sebentar lagi
perutmu yang robek," kata si nenek sesumbar.
Wiro mencibir. "Lihat pedang!" teriaknya, lalu
memainkan jurus-jurus langka dari ilmu silat
orang gila. Sambil berkelahi dari mulutnya
muncul suara siulan!
"Bagus, Menyanyilah terus! Nyanyianmu itu
adalah nyanyian kematian yang
mengantarkanmu ke pintu kematian," kata
nenek Teruko pula.
Tapi nenek malah keluarkan seruan keras
ketika ujung pedang lawan menyambar tepat
di depan hidungnya! Tengkuknya terasa
dingin. Dia tahu betul, kalau mau, pemuda itu
bisa membuat hidungnya sumplung! Hati
nenek Teruko mulai mendua.
Dia putar katana-nya dengan sebat. Suara
pedang menderu-deru laksana titiran
menggempur ke arah lawan. Tiba-tiba nenek
sadar bahwa gempurannya tidak akan
menghasilkan apa-apa, karena lawannya
sudah tidak ada lagi di depannya!
"Jangan lari!" teriak nenek Teruko.
"Siapa yang lari nek! aku di sini!"
Nenek Teruko berpaling. "Keparat!" pemuda
lawannya sedang duduk enak-enakan di atas
batu di taman yang berumput sambil
meneguk sebotol sake!
Dengan pedang di tangan nenek Teruko
melompat ke arah Wiro, sementara Wiro
dengan tenang menutup kembali botol
minumannya. Saat itulah pedang di tangan
nenek Teruko menyambar. Wiro lemparkan
botol sake ke udara. Dia jatuhkan diri ke atas
batu. Begitu senjata lawan lewat, dia cepat
melompat menyambut botol dan
membabatkan pedangnya ke bawah.
Dari tempatnya berdiri, Akiko berdecak kagum
dan geleng-geleng kepala melihat akrobat
maut Wiro. Kekagumannya ternyata tidak
hanya sampai di situ. Tiba-tiba, untuk
pertama kalinya, Wiro benar-benar melakukan
serangan. Pedang di tangan pemuda itu
lenyap berubah menjadi sinar putih dan
mengeluarkan suara bersiuran. Nenek Teruko
mundur morat-marit.
"Wuuuut!" Pedang Wiro menyambar gulungan
konde di kepala. Konde itu terlepas mental!
Kini kelihatanlah rambut asli yang tadi
tertutup di bawah konde itu. Ternyata rambut
si nenek sudah putih semua! Wiro tertawa
tergelak-gelak melihat rambut palsu nenek
terpental, sementara rambut aslinya yang
putih tergerai awut-awutan.
Sebaliknya wajah nenek Teruko tampak kelam
membesi. Kuduknya basah oleh keringat
dingin.
Sepasang matanya membara. Mimiknya
seperti seekor ular yang hendak menerkam
mangsanya.
Nenek Teruko maju dua langkah. Tiba-tiba
nenek tua itu menjatuhkan dirinya, berlutut
lalu membungkuk dalam-dalam seraya
berkata, "Aku mengaku kalah!" lalu laksana
kilat kedua tangannya yang memegang
pedang menghujamkan senjata itu ke
perutnya!
"Trangg!" Hanya seujung kuku pedang itu
akan menembus perut si nenek, Pendekar 212
lemparkan pedang di tangannya. Senjata itu
berhasil menghantam lepas pedang yang
hendak dipakai harakiri oleh nenek.
Nenek Teruko angkat kepalanya. Sepasang
matanya memandang tidak berkedip ke arah
Wiro. Jelas perempuan tua ini berusaha
sekuat-kuatnya tidak mengeluarkan air mata.
Perlahan-lahan dia kemudian berdiri. "Terima
kasih! Aku benar-benar tidak akan melupakan
pelajaran darimu!" lalu dia membungkuk
dalam-dalam.
"Tunggu dulu!" seru pendekar 212 ketika si
nenek meninggalkan tempat sambil mengajak
anak buahnya. Nenek Teruko menghentikan
langkahnya dan berpaling pada Wiro. "Aku
dan Akiko tahu sesungguhnya kau bukan
wanita jahat. Aku perlu bantuanmu….!"
Si nenek menjura. "Aku berhutang budi dan
nyawa padamu. Bantuan apa yang kau
inginkan, silakan katakan!" Wiro lalu
mengajak nenek mendekat pohon tempat
Akiko berdiri. Ketiga orang itu tampak
membicarakan sesuatu dengan serius.
Lembah Hozu berada dalam keadaan gelap,
sunyi dan dingin. Nenek Teruko mendorong
tubuh Akiko yang terikat kedua tanganya dan
ditekuk di belakang punggung. Di sampingnya,
berjalan seorang anak buahnya yang
berpakaian serba merah, muka dilumuri pupur
merah sedangkan rambutnya juga berwarna
merah. Di tengah lembah si nenek berhenti
melangkah. Dia memandang berkeliling. Di
balik kerapatan pepohonan tampak bangunan
tanpa dinding. Namun dia tidak melihat
seorang pun.
"Aneh…," kata si nenek perlahan tapi cukup
terdengar oleh Akiko. "Tidak ada obor,
bangunan itu kosong melompong, tak satu
pun kelihatan. Apa yang terjadi?!"
Akiko berpaling pada perempuan tua itu. Lalu
sunggingkan senyum dan berkata, "Tidak ada
yang aneh! Hari ini adalah hari kedelapan.
Hari terakhir jatuhnya ancaman pemuda asing
yang oleh guruku dijuluki Pendekar Gunung
Fuji! Orang-orang Lembah Hozu yang
membayarmu pasti sudah pagi-pagi kabur
ketakutan! Ternyata mereka manusia
pengecut!"
Baru saja gadis itu berkata demikian tiba-tiba
terdengar suara suitan nyaring disusul
melayangnya beberapa sosok tubuh dari
pepohonan. Dan enam orang bersenjatakan
panah sudah mengepung nenek Teruko, Akiko
dan anak buah nenek. Masing-masing
mengarahkan sebatang anak panah beracun
ke ketiga orang itu.
Lalu terdengar satu suara. "Orang-orang
Lembah Hozu tidak ada yang pengecut!
Lidahmu pantas dicabut nona Akiko!"
Bersamaan dengan itu muncul sosok
berpakaian putih berikat pinggang dan kepala
kain merah. Orang ini adalah Masashigi
Sakaji, salah seorang pembunuh Hiroto
Yamazaki.
Begitu melihat pembunuh gurunya, Akiko
berteriak marah dan dalam keadaan tangan
terikat kebelakang ia berusaha mendekati
Masashigi Sakaji. Tapi nenek Teruko cepat
mencekal leher pakaiannya. "Manusia banci!
Kau mengeroyok dan membunuh guruku! Aku
menantangmu bermain pedang sampai
seratus jurus! Mana kawanmu satu lagi?!"
Sakaji tertawa terkekeh. Dia mendekati si
gadis lalu, "Plaaak!" Tamparannya melayang
ke pipi Akiko.
Gadis itu terpekik dan dari pipinya
mengucurkan darah. "Pengecut busuk!" teriak
Akiko lalu meludahi muka Sakaji dengan ludah
bercampur darah.
Masashigi Sakaji, orang kedua di Lembah
Hozu seperti dipanggang rasa marah. Setelah
membersihkan mukanya dengan lengan
pakaian langsung saja dia mencabut katana.
"Tunggu!" ujar nenek Teruko seraya maju ke
depan.
"Apa maumu Teruko," sentak Masashigi.
"Gadis ini berada dalam kekuasaanku. Jika
kau melunasi sisa pembayaranku, silakan mau
berbuat apa saja padanya!"
"Tua bangka tidak tahu diri! Datang tidak
memberi laporan apa-apa sekarang minta
bayaran! Apa hasilmu memata-matai murid
Yamazaki dan pemuda asing itu?!"
"Tiga anak buahku tewas. Masih untung aku
bisa menangkap hidup-hidup gadis ini
sebagai imbalan! Sekarang kau menyerapah
tidak karuan! Aku mau bicara dengan Minoru
Shirota dan Sumio Matsuura! Antarkan aku
kepadanya!" nenek Teruko memandang
beringas kepada Masashigi Sakaji.
Ingin sekali Sakaji mengepruk kepala nenek
bermuka celemongan itu. Tapi mengingat ada
hubungan sangat akrab dengan orang-orang
Lembah Hozu, yaitu Sumio Matsuura, lagi
pula nenek menerima tugas langsung dari
Sumio, maka Sakaji menahan diri. Dia
menggoyangkan kepala memberi tanda. Orang
yang membawa panah menurunkan busur
masing-masing. Dengan muka masam
Masashigi memberi isyarat nenek
mengikutinya.
Dalam gelap malam, rombongan itu
melangkah memasuki hutan cukup jauh,
akhirnya tampak nyala lampu di sebelah
depan. Lalu kelihatan beberapa buah
bangunan. Sayup-sayup terdengar suara
pedang beradu. Begitu mendekati bangunan di
rimba pinus itu, terkejutlah Akiko melihat apa
yang telah berlangsung di halaman samping
salah satu bangunan. Kenichi Asano, saudara
seperguruannya sedang melatih orang-orang
Lembah Hozu ilmu pedang kendo yang jelas-
jelas ciptaan dari Hiroto Yamazaki. Lebih
mengejutkan lagi, sesekali Kenichi melihat
buku yang terletak di atas batu. Lalu
melanjutkan latihan lagi. Dan buku di atas
batu itu adalah milik Yamazaki yang hilang!
Apa sesungguhnya yang terjadi? Bukankah
Kenichi menjadi tawanan orang-orang
Lembah Hozu? Mengapa justru dia yang
melatih dan memberikan ilmu pedang
bersama-sama? Lebih dari itu bagaimana
buku berharga itu bisa sampai di tempat itu?
"Kenichi!" teriak Akiko tidak tahan dan tidak
sabar lagi. Kenichi yang sedang latihan
pedang terkejut dan berpaling. Wajahnya
mendadak berubah pucat. Suaranya bergetar.
"Akiko… apa yang terjadi atas dirimu?
Bagaimana kau bisa ke tempat ini?"
Akiko menatap wajah saudara seperguruannya
itu beberapa saat lalu menjawab. "Apa yang
terjadi atas diriku dan bagaimana aku bisa
sampai di tempat ini tidak penting Kenichi!
Justru aku ingin meminta penjelasanmu! Apa
yang kau lakukan di tempat ini? Bukankah
kau tawanan orang-orang Lembah Hozu?! Kau
juga harus menjelaskan bagaimana buku milik
sensei berada di tempat ini!"
"Di sini bukan tempat dan saatnya bertutur
cakap!" satu suara dari balik bangunan. Tiga
orang muncul dari balik kegelapan. Di sebelah
depan adalah Sumio Matsuura, pemimpin
orang-orang Lembah Hozu. Di belakangnya
mengikuti Minoru Shirota, orang ketiga dalam
komplotan.
Di samping kiri Sumio melangkah terbungkuk-
bungkuk seorang perempuan tua, jauh lebih
tua dari nenek Teruko, mengenakan pakaian
aneh karena diganduli tabung bambu
sepanjang sejengkal.
Nenek itu juga memiliki tongkat bambu
berwarna aneh, setengah biru setengah merah.
Sepasang mata perempuan tua ini tidak bisa
diam, selalu berputar-putar dan jelalatan ke
sana ke mari. Inilah orang yang disebut nenek
Arashi alias nenek Topan atau nenek Badai.
Sejak bentrok dengan Pendekar 212, orang-
orang Lembah Hozu meminta nenek ahli sihir
itu membantu menjaga segala kemungkinan.
Sumio berpaling ke nenek Teroko dan
menegur. "Sahabatku Teruko! Kau datang
membawa tawanan berwajah cantik. Kalau
tidak salah, bukankah dia murid perempuan
satu-satunya dari Hiroto?"
"Kau betul Sumio. Untuk dapat
menangkapnya harus mengorbankan tiga
anak buahku!"
"Hemmmm……, begitu…?" ujar Sumio.
Sepasang matanya menatap tidak bergesip ke
arah anak buah nenek Teruko yang berambut
dan bermuka merah. "Apa yang kau lakukan
terhadap gadis ini?" tanya Sumio.
"Kalau kau membayar lunas saja bayaranku,
gadis ini jadi milikmu! Terserah mau kau
jadikan apa! Menjadi gundikmu atau
membunuhnya!"
"Jangan melakukan hal yang bukan-bukan
terhadap adik seperguruanku!" satu suara
menegur dengan keras. Yang berkata ternyata
Kenichi Asano.
Minoru Shirota mendehem beberapa kali.
"Asano-san, sejak kau menjadi bagian dari
kami, lupakan sebutan dan hubungan adik-
kakak seperguruan!"
"Tapi…" memotong Kenichi.
"Tidak ada tapi-tapian! Tugasmu di sini
adalah melatih ilmu pedang, tidak
mencampuri dalam urusan kami lainnya!"
"Kenichi… Jadi kau…" ujar Akino tidak bisa
melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba
dipotong oleh Sumio.
"Dugaanmu benar nona Akiko. Saudara
seperguruanmu telah menjadi saudara
seperguruan kami. Dia mengajarkan ilmu
pedang ciptaan gurumu!"
Mata Akiko terbelalak memandang ke arah
Kenichi. Yang dipandang menoleh ke jurusan
lain.
"Kenichi, jadi kau yang mencuri buku guru.
Lalu bergabung dengan manusia jahat
Lembah Hozu! Malah kau gunakan buku itu
sebagai dasar untuk melatih! Kau benar-benar
pengkhianat busuk paling keji di dunia ini!
Terkutuk!"
Paras Kenichi seputih kertas. Tubuhnya
bergetar. Sesaat pemuda itu tampak bimbang.
Lalu dia berkata kepada Misuo, "Saya minta
kebebasan bagi Akiko. Kalau kalian
mencelakainya, aku tidak akan teruskan
pelajaran ilmu silatnya. Buku itu akan kubawa
dan aku akan tinggalkan tempat ini!"
Baik Sumio, Minoru dan Sakaji sama-sama
tertawa mendengar ucapan Kenichi. "Kami
membayarmu besar untuk bergabung bersama
kami dan membawa buku pedang itu. Jika
kau berniat pergi silakan. Tapi terpaksa kau
harus meninggalkan sesuatu di sini,
nyawamu!" kata Sumio.
"Tidak ada satu orang pun di sini bisa
memaksaku! Kalau kau mencelakaiku dan
juga gadis itu, kalian tidak akan mendapatkan
ilmu pedang ciptaan mendiang guruku itu
seutuhnya!"
"Apa maksudmu?!" tanya Sumio keras.
"Sebelum ke mari, aku telah merobek
sebagian dari buku itu. Yang separoh bagian
belakang aku sembunyikan di suatu tempat,
separuhnya lagi itulah yang aku bawa ke
mari!"
"Hemm… bagus sekali perbuatanmu Kenichi!"
kata Sumio. Tampangnya menunjukkan
kemarahan.
"Kamu mengkhianati ke kiri dan ke kanan!
Silakan ambil buku itu dan minggat dari sini!
Tapi seperti kataku tadi, nyawamu tinggal di
sini!"
Tiba-tiba ada suara berteriak. "Ada penyusup
di atap!"
Suara suitan terdengar bersahut-sahutan.
Belasan orang-orang Lembah Hozu dengan
berbagai macam senjata segera mengurung
bangunan di sebelah kiri di mana tampak dua
sosok tubuh merayap di atas atap. Minoru
Shirota dan Masashigi Sakaji ikut berkelebat
mendekati bangunan.
Sedang Sumio dan nenek Arashi tetap di
tempat masing-masing.
Dalam gelapnya malam Akiko tidak mengenali
siapa adanya kedua orang itu. Namun setelah
memandang dengan seksama, kagetlah gadis
ini. Dua orang di atas atap sana bukan lain
Ichiro Ioki dan Kunio Ota. "Ichiro… Kunio…"
desis Akiko. "Kenapa kalian senekad itu?!"
"Manusia-manusia tolol!" di samping Akiko
nenek Teruko ikut menyerapah. Lalu
sambungnya,
"Nona Akiko, sesuai perjanjian, tugasku hanya
sampai di sini. Hidup matimu sekarang ada di
tangan sendiri!"
Setelah berkata begitu nenek Teruko langsung
hendak berkelebat pergi. Tapi tahu-tahu nenek
Arashi sudah mencegatnya sambil tertawa
mengekeh. "Mau lari ke mana kau Teruko?
Sumio mungkin tidak mendengar, tapi aku
tidak tuli. Ucapanmu tadi cukup jelas mampir
di kedua telingaku!"
"Aku tidak mengerti maksud ucapanmu!" kata
nenek Teruko, padahal wajahnya tampak
berubah.
Nenek Arashi tertawa panjang. "Kau dibayar
bukan untuk berkhianat! Kau layak mampus
duluan Teruko!" Nenek Arashi menghembus
kuat-kuat ke depan.
"Wusss!" Asap hitam mendadak menebar di
tempat itu, kemudian bergulung dan sesaat
kemudian berubah membentuk sepasang
tangan hitam panjang yang laksana kilat
menyambar ke arah batang leher nenek
Teruko!
"Sepasang Tangan Iblis!" teriak nenek Teruko
ketika mengenali ilmu sihir yang dikeluarkan
nenek Arashi. Cepat-cepat ia jatuhkan diri ke
tanah, cabut katana yang ada di balik
punggungnya, lalu sambil bergulingan di
tanah, perempuan tua ini sapukan pedangnya
membabat sepasang kaki nenek Arashi!
"Wusss!" Untuk kedua kalinya mengebu asap
dari mulutnya. Kali ini asap berwarna putih.
Ketika nenek Teruko melihat ke depan,
tersiraplah darah perempuan tua ini. Asap
putih tadi telah berubah membentuk sosok
tubuh perempuan tua yang jelas mirip sekali
dengan dirinya! Jalan pikiran nenek Teruko
serta merta menyangka bahwa dia tengah
menyerang dirinya sendiri.
Cepat dia tahan serangan pedangnya. Justru
saat itu nenek Arashi kirimkan satu tendangan
ke arah kepala. Yang terakhir ini tidak punya
kesempatan lagi untuk berkelit selamatkan
kepalanya!
Sementara itu di atas atap, dalam keadaan
gugup karena penyusupannya diketahui, Ichiro
dan Kunio segera menyulut api untuk
membakar bangunan. Baru saja api menyala
dan mulai membakar atap, dari bawah enam
anak panah beracun melesat ke atas atap.
"Awas panah beracun!" teriak Ichiro yang
mendengar lebih dulu suara desingan anak-
anak panah itu lalu cepat-cepat jatuhkan diri
sama rata dengan atap.
Akan halnya Kunio, pemuda ini juga sempat
jatuhkan diri tapi kakinya terpeleset. Tak
ampun lagi, Kunio menggelinding ke bagian
atap sebelah bawah. Pemuda ini jungkir balik
dua kali berturut-turut lalu turun di tanah
dengan kaki lebih dulu. Namun begitu
menginjak tanah, tiga ujung katana tiba-tiba
menuding di depan hidung, pelipis kiri dan
kepala bagian belakangnya!
Yang memegang pedang di sebelah depan
bukan lain Masashigi. "Murid Yamazaki, aku
hargai keberanianmu menyusup ke tempat
kami! Tapi untuk itu kau harus membayar
mahal!" Masashigi putar pergelangan
tangannya.
"Craass!" Ujung katana merobek pipi kiri
Kunio. Darah mengucur, tapi pemuda ini
berusaha keras untuk tidak menjerit.
Tangannya bergerak hendak menghunus
pedangnya, namun pengurung di samping kiri
babatkan senjatanya, membuat Kunio
terpaksa tarik pulang tangannya kembali.
Sekarang pemuda ini sama sekali tak berdaya
di bawah ancaman tiga pedang maut!
Ketika nenek Teruko hendak berkelebat pergi,
Akiko Bessho cepat dan dengan mudah
membuka ikatan tangannya yang memang
ikatan bohongan. Dara ini langsung mencabut
katana-nya dan menyerbu ke tempat di mana
Kunio tegak dalam keadaan tidak berdaya.
Masashigi merasakan ada angin dingin
menyambar punggungnya. Katana yang
ditudingkannya di depan hidung Kunio segera
diputar dengan gerakan membabat ke
belakang. "Trang!" Katana milik Masashigi
saling bentrokan dengan katana di tangan
Akiko. Gadis ini melompat ke kiri sambil
berteriak keras. Pedangnya berkiblat. Orang
yang memegang pedang dan menudingkan ke
bagian belakang kepala Kunio menjerit.
Pinggang kirinya sampai ke perut robek besar.
Orang ini langsung roboh, menggeliat
beberapa kali lalu tewas!
Ilmu pedang matahari yang sudah diwarisi
Akiko dari Hiroto Yamazaki memang luar
biasa hebat dan ganasnya. Jika saja saat itu
dia bukan berhadapan dengan tokoh-tokoh
Lembah Hozu, mungkin dalam beberapa
gebrakan saja dia akan berhasil membereskan
lawan-lawannya.
Namun Masashigi Sakaji dan Minoru Shirota
bukan orang-orang sembarangan. Walaupun
dengan cara mengeroyok, kedua orang ini
telah berhasil merobohkan dan menewaskan
Hiroto Yamazaki yang dikenal dengan julukan
Pendekar Pedang Matahari. Padahal selama
bertahun-tahun Yamazaki menjadi tokoh
nomor satu dalam kendo di seluruh kawasan
Jepang.
Kita kembali pada perkelahian antara dua
nenek, yaitu Teruko dan Arashi. Saat itu
nyawa nenek Teruko terancam oleh tendangan
maut yang dilancarkan nenek Arashi ke arah
kepalanya tanpa dia mampu menangkis atau
berkelit.
Dalam keadaan yang sangat kritis itu tiba-
tiba dari samping melesat satu bayangan
merah. angin deras bersiur dan tubuh nenek
Arashi tergontai keras lalu terjajar ke
samping. Tendangannya hanya mengapung di
udara. Nenek Arashi terkejut besar ketika
melihat yang barusan mendorongnya hingga
terjajar begitu rupa adalah anak buah nenek
Teruko yang berpakaian serba merah, bermuka
serta berambut merah.
Sumio Matsuura tak kalah kagetnya
menyaksikan hal ini. Dia tahu betul Teruko
memiliki empat orang anak buah yang
berkepandaian tinggi. Namun kepandaiannya
itu tidak cukup ampuh untuk dapat membuat
nenek Arashi terpelanting begitu rupa! Maka
kedua orang itu pun menjadi curiga.
"Bangsat! Siapa kau sebenarnya?!" sentak
Sumio Matsuura.
Sepasang mata nenek Arashi berputar-putar
dan berkilat-kilat saking marahnya.
"Setahuku, anak buah perempuan kampret ini
mememiliki rambut merah pendek! Yang satu
ini mengapa berambut gondrong!?"
Terdengar tawa nenek Teruko. Sambil bangkit
berdiri perempuan tua ini berkata, "Mata
kalian cukup tajam! Gaijin, perlihatkan dirimu
yang asli!"
Si "anak buah" lalu buka baju dan pakaian
merahnya. Di balik pakaian merah itu ternyata
ada sehelai pakaian putih. Baju yang tidak
terkancing memperlihatkan dada penuh otot.
Di dada itu terpampang rajah tiga buah
angka. Orang ini pergunakan baju merah yang
barusan dibukanya untuk menyeka wajahnya
yang berlumuran pupur merah dan juga
membersihkan rambutnya. Kelihatan kini
wajahnya, ternyata wajah seorang pemuda
asing!
Walau wajah itu bersih dan kelihatan jelas
kini, namun baik Sumio maupun nenek Arashi
tetap tidak mengenali karena sebelumnya
mereka memang belum pernah melihat orang
ini. Namun sesaat kemudian nenek Arashi
mulai dapat menduga-duga.
"Kau yang jadi pimpinan orang-orang Lembah
Hozu?!" tiba-tiba pemuda itu maju satu
langkah ke hadapan Sumio dan ajukan
pertanyaan.
Meledaklah amarah Sumio Matsuura.
Tangannya bergerak hendak mencabut pedang
tapi nenek Arashi memberi isyarat. Perempuan
ini lalu maju ke hadapan si pemuda lalu
menegur, "Apakah kau orangnya yang
digembar-gemborkan sebagai Penguasa
Gunung Fuji?"
"Kau memang tengah berhadapan dengan
Pendekar Gunung Fuji, Arashi!" yang
menjawab adalah nenek Teruko.
"Bangsat tua! Diam!" hardik Arashi. "aku
tidak bertanya padamu!" lalu dia berpaling
pada si pemuda, "Jawab pertanyaanku!"
Yang ditanya menyeringai. "Siapapun diriku
tidak perlu dipersoalkan! Jika kalian semua
mau selamat, bebaskan Kenichi, serahkan dua
pembunuh Hiroto Yamazaki. Setelah itu kalian
boleh pergi dari sini!"
Nenek Arashi pelototkan matanya lalu tertawa
bergelak. Sumio Matsuura juga ikut tertawa
bekakakan. "Seekor rubah kesasar yang masih
bau apak mau jual lagak di depanku!"
mengejek nenek Arashi.
"Jauh-jauh kesasar ke mari hanya untuk
mengantar nyawa!" menimpali Sumio.
"Perlihatkan kehebatanmu padaku!" tantang
Arashi.
"Kau meminta! Aku mengabulkan!" sahut si
pemuda. Laksana kilat tangannya menyelinap
ke pinggang. Lalu berkilatlah sinar putih
panas menyilaukan. Hanya sesaat, karena
sesaat kemudian pemuda itu lenyap dari
hadapan Sumio dan Arashi. Lalu terdengar
suara menderu dahsyat laksana ribuan tawon
mengamuk. Menyusul terdengar suara jeritan
dua orang Lembah Hozu yang bersama-sama
dengan Masashigi tengah mengancam Kunio
Ota dengan pedang.
Kedua orang itu roboh ke tanah mandi darah,
sedang Masashigi Sakaji masih untung
sempat melompat. Tapi wajahnya tampak
seputih kain kafan ketika melihat bagaimana
pakaiannya di bagian dada robek besar
disambar senjata, entah senjata apa!
Semua orang Lembah Hozu yang ada di
tempat situ sama terkesiap dan ternganga.
Mereka memandang pada pemuda asing
berambut gondrong yang tegak sambil
memegang sebilah senjata berupa kapak
bermata dua! Tiba-tiba Sumio sadar. Dia
tiba-tiba berteriak pada orang-orang yang
ada di sana. "Jangan diam saja, cincang
pemuda asing ini!"
Lalu Sumio mencabut pedangnya. Masashigi
yang barusan lolos dari maut sesaat tampak
ragu.
Namun kemudian segera maju mendekati si
pemuda dengan pedang di tangan. Minoru
Shirota datang dari jurusan lain juga
membekal sebilah katana. Lalu ada enam
orang lainnya yang ikut mengurung lawan
tunggal itu, sementara Sumio kembali
berteriak. "Kalian tunggu apa lagi, cincang
dia!"
"Tunggu!" tiba-tiba nenek Arashi keluarkan
suara. Tubuhnya yang bungkuk melangkah,
sengaja mengelilingi pemuda di hadapannya
beberapa kali. "Cuma orang begini, kenapa
kalian capaikan diri turun tangan. Biar aku
yang membereskannya!"
Habis berkata begitu, nenek Arashi pukulkan
tongkat bambu merah biru ke arah si pemuda.
Terdengar letupan halus disertai munculnya
dua sinar terang, satu biru dan lainnya merah.
Dua sinar ini terpecah menjadi masing-
masing selusin. Nenek Arashi kembali
pukulkan tongkatnya. Duapuluh empat sinar
tiba-tiba berubah jadi potongan-potongan
tangan berkuku panjang yang secara serentak
menyerbu si pemuda. Yang mengerikan,
potongan-potongan tangan itu di bagian
pergelangannya tampak seperti terpotong dan
mengeluarkan darah!
"Ilmu iblis apa ini!" maki si pemuda yang
tentunya Pendekar 212 Wiro Sableng adanya.
Dia membabat dengan Kapak Maut Naga Geni
212. Sinar putih berkiblat. Suara seperti tawon
menderu dan hawa panas menghampar!
Tetapi duapuluh empat potongan tangan
merah biru itu secara aneh melesat kian
kemari menghindari serangan kapak. Lalu
belasan di antaranya mulai berkelebat ke arah
Wiro. Mencakar, membetot, menusuk ke
bagian kepala, dada, perut, bahkan
selangkangannya!
"Breett…breett…breett!"
Pakaian Wiro robek di tiga bagian. Pendekar
ini berteriak kaget lalu cepat-cepat melompat
mundur sambil kembali sapukan senjata
mustikanya. Dua buah tangan sempat kena
bacok tapi tidak mempan, hanya terpental
beberapa jengkal! "Edan!" maki Wiro. Entah
mengapa tengkuknya mulai dingin.
"Bunuh! Bunuh! Cakar! Korek matanya! Korek
jantungnya! Betot hatinya! Copot
kemaluannya!" terdengar suara nenek Arashi
lalu perempuan tua itu tertawa mengekeh.
Seperti kesetanan, murid Sinto Gendeng
ayunkan kapaknya kian kemari. Tetapi
serangan tangan-tangan aneh itu tidak bisa
terbendung. Malah kini satu cakaran sempat
menggapai pipi kirinya.
Meskipun serangan itu tidak begitu telak,
namun pipi Wiro tampak tergurat lalu
mengucurkan darah!
"Iblis! Perempuan iblis!" rutuk Pendekar 212.
Lalu dia ingat. Segala macam ilmu sihir tidak
akan berdaya terhadap api. maka cepat-cepat
Wiro keluarkan batu hitam pasangan Kapak
Maut Naga Geni 212 dari balik pinggangnya.
Batu hitam ini diadukannya kuat-kuat ke
salah satu mata kapak.
Wuusss!
Lidah api menderu, menyambar ke arah
potongan-potongan tangan. Tapi ternyata
semburan api itu tidak beda laksana tiupan
angin saja. Tidak mampu memusnahkan
duapuluh empat potongan tangan berkuku
panjang! Penasaran, Pendekar 212 simpan
batu apinya kembali, pindahkan kapak ke
tangan kiri lalu tangan kanannya dialiri
tenaga dalam penuh! Tangan itu sampai ke
lengan berubah putih laksana perak. Wiro
memukul. "Buummm!"
Lembah Hozu bergetar ketika pukulan sinar
matahari dengan kekuatan tenaga dalam
penuh melabrak ke depan. Orang-orang
lembah cepat menyingkir ketika merasakan
adanya hawa sangat panas menyambar dari
sinar pukulan yang menyilaukan.
Tapi si nenek Arashi hanya ganda tertawa.
Pukulan sinar matahari lewat lalu
menghantam bangunan di belakang sana
hingga hancur porak poranda. Tapi duapuluh
empat potongan tangan tidak satu pun yang
musnah! Malah kini mereka kembali
menyerbu, memaksa Pendekar 212 mundur
terus dan kucurkan keringat dingin.
"Bunuh! Bunuh! Cakar! Cakar! Korek matanya!
Korek jantungnya! Betot hatinya! Copot
kemaluannya!" kembali terdengar suara nenek
Arashi yang disusul tawa kekehnya.
Selagi semua orang menyaksikan bagaimana
nenek Arashi hendak mencelakakan Wiro
dengan ilmu sihirnya, kesempatan ini
dipergunakan oleh Kenichi Asano untuk
mengambil buku ilmu pedang yang
diletakkannya di atas batu waktu melatih tadi.
Namun baru saja buku itu berada dalam
genggamannya, tiba-tiba Masashigi Sakaji
dan Minoru Shirota sudah melompat ke
hadapannya.
Terpaksa murid Yamazaki yang culas ini
cabut pedangnya.
Perkelahian dua lawan satu terjadi. Dalam
beberapa kali gebrakan saja Kenichi sudah
terdesak hebat! Melawan salah satu saja dari
dua tokoh Lembah Hozu itu Kenichi belum
tentu menang, apalagi dikeroyok dua begitu.
"Dua bangsat pembunuh guru! Serahkan
batang leher kalian padaku!" satu teriakan
menggeledek disertai menderunya pedang
menyambar ke arah leher Minoru Shirota.
Yang masuk ke arana pertempuran ternyata
Akiko Bessho.
"Akiko Bessho! Jangan kira aku tidak tega
mencincang tubuhmu yang bagus!" teriak
Minoru marah seraya menangkis serangan si
gadis. Di saat yang sama, Kunio Ota yang
mukanya berlumuran darah, serta Ichiro Ioki
yang baru saja melompat turun dari atas atap
bangunan yang terbakar setelah lebih dahulu
merobohkan seorang lawan, ikut terjun ke
arena perkelahian. Kini pertarungan menjadi
empat melawan dua!
Mula-mula kelompok Akiko tampak
menguasai perkelahian, bahkan mendesak dua
tokoh Lembah Hozu itu, Kenichi bertempur
mati-matian seolah-olah ingin menebus
dosanya. Namun dua lawan yang lebih
banyak pengalaman itu secara perlahan tapi
pasti balas mendesak. Ketika dua orang
Lembah Hozu masuk membantu dan di bagian
lain empat orang lagi mulai menghujani
kelompok Akiko dengan panah-panah
beracun, maka kacau balaulah keadaan ke
empat murid Hiroto Yamazaki itu!
Kunio Ota mengeluh tinggi ketika sebatang
anak panah menembus punggungnya. Ichiro
Ioki terpaksa melompat mundur ketika senjata
salah seorang lawan berhasil memapas
bahunya dan darah membasahi pakaiannya.
Sekujur badannya bergetar kesakitan!
Murid Sinto Gendeng tidak tahu apa yang
harus dilakukannya lagi. Kapak Naga Geni
212 tidak mempan. Pukulan-pukulan saktinya
tidak sanggup membendung serbuan
duapuluh empat potongan tangan! Dalam
keadaan pakaian penuh robek, wajah terluka
serta dada dan bahu berkelukuran, Wiro
terpaksa mundur terus. Sesekali dia harus
melompat kian ke mari untuk menghindari
serangan tangan-tangan sihir yang ganas itu.
"Celaka! Aku tak bisa mundur terus! Tak bisa
menghindar terus!" keluh Wiro. Di depan sana,
dilihatnya Akiko dan saudara-saudara
seperguruannya didesak hebat oleh kelompok
Sumio Matsuura. Semakin kacau pendekar ini
jadinya.
Untuk kesekian kalinya baju pendekar ini robek
besar disambar cakaran sebuah tangan. Kulit
di bawah pakaian yang robek itu terasa perih
tanda dagingnya ikut kena cakar. Masih
untung kuku-kuku yang mencakar itu tidak
mengandung racun. Walaupun demikian,
bukan berarti dirinya akan terlepas dari
cengkeraman maut!
"Gila! Apa lagi yang harus kulakukan!" Wiro
hampir sampai di titik keputusasaan. Kedua
matanya mencari-cari di mana beradanya
nenek Arashi. Otaknya coba berpikir keras.
Kalau ilmu sihirnya tidak bisa dilawan,
mengapa tidak langsung menghajar
sumbernya, yaitu si nenek sihir itu sendiri?
Tapi dari tempatnya berdiri, Wiro sama sekali
tidak melihat perempuan tua itu.
Pandangannya terhalang oleh semacam kabut
tipis yang berwarna biru kemerahan! Itulah
tabir sihir yang keluar dari tongkat di tangan
nenek Arashi.
"Tongkat itu! Tongkat sihir itu yang harus
kuhancurkan!" pikir Wiro. Namun manusia
yang memegang tongkat sama sekali tidak
kelihatan. Tiba-tiba Pendekar 212 ingat. "Ada
satu yang belum kulakukan! Senjata dan
pukulan sakti tidak bisa tembus, tapi suara
sanggup menembus dinding besi dan dinding
karang setebal apapun!"
Wiro melompat mundur sejauh dua tombak.
Lalu tegak dengan dua kaki terkembang.
Gagang Kapak Maut Naga Geni yang
berbentuk kepala naga lengkap dengan
mulutnya ditempelkan ke bibirnya. Jari-jari
tangannya menekan pada enam lobang yang
ada di gagang kapak di bawah kepala naga.
Tenaga dalam dipusatkannya di perut. Lalu
seperti layaknya meniup sebuah seruling, Wiro
mulai meniup bagian mulut kepala naga.
Meniup bukan dengan hawa yang ada dalam
mulut dan tenggorokannya, tetapi dengan
tenaga dalam tinggi yang dikerahkannya dari
perut terus ke dada sampai ke mulut.
Serta merta Lembah Hozu dibuncah oleh
lengking dahsyat yang keluar dari "seruling"
yang ditiup Wiro. Nenek Arashi kernyitkan
kening sewaktu gelombang suara yang
dahsyat menembus asap biru merah terus
mencucuk kedua liang telinganya! Mula-mula
liang telinganya bergetar keras lalu menyusul
rasa sakit yang amat sangat. Kedua
telinganya serasa ditusuk besi panas!
Perempuan tua ini cepat tutup kedua
telinganya. Di lain pihak Wiro terus semakin
kuat meniup.
Jari-jari tangan si nenek ternyata tidak
sanggup melindungi liang-liang telinganya!
Gelombang suara yang keluar dari kapak sakti
terus menerobos. Kalau tadi perhatiannya
dapat dipusatkan pada ilmu sihirnya yang
mampu menciptakan potongan-potongan
tangan yang berwarna merah dan biru, kini
perhatiannya jadi terbagi dan mengendur!
Potongan-potongan tangan itu tampak
bergerak tidak seganas tadi lagi. Sepertinya
mengambang di udara sambil menggapai-
gapai lemah. Lalu satu demi satu jatuh ke
tanah lalu lenyap!
Nenek Arashi bertahan terus! Mulutnya
berusaha merapal sesuatu. Tongkatnya
dipukulkan ke depan. Asap ungu membersit di
udara, namun segera lenyap kembali pertanda
si nenek tidak bisa lagi memusatkan kekuatan
ilmu sihirnya akibat suara lengking Kapak
Naga Geni 212 yang ditiup Wiro. Perempuan
itu malah tersentak kaget ketika dirasakannya
ada cairan meleleh keluar dari kedua liang
telinganya. Darah!
Nenek Arashi berseru tegang. Sepasang
matanya tampak berkilat-kilat dan jelalatan
kian kemari.
Dia masih sempat melihat potongan tangan
terakhir ciptaan sihirnya jatuh ke tanah lalu
lenyap tak berbekas. Si nenek menggeram
marah. Tak ada jalan lain! Dia harus
menyerang pemuda itu.
Tubuhnya yang bungkuk melompat ke depan.
Tongkat merah-birunya menusuk ke arah
Pendekar 212. Justru inilah kesalahan
terbesar si nenek. Kemampuan ilmu sihirnya
tidak sehebat ilmu silatnya.
Begitu si nenek menusuk dengan tongkatnya,
Wiro berhenti meniup. Kapak Maut Naga Geni
212 dibabatkannya ke depan. Nenek Arashi
terpekik ketika merasakan ada hawa panas
menyambar disertai dengan berkelebatnya
sinar yang menyilaukan dan suara menderu.
Dia cepat berkelit ke samping. Tapi terlambat.
Senjata lawan sempat menghantam tongkat
bambunya hingga mental dan berantakan.
Nenek Arashi merasakan tangan kanannya
sakit sekali seperti ditusuk ratusan jarum
panas!
Perempuan itu menggembor marah. Dia
loloskan tabung-tabung bambu yang
menggandul di pinggangnya. Tabung bambu
yang berjumlah enam buah dan saling
dihubungkan dengan ikatan tali ini berisi air
keras yang sangat berbahaya. Sekali
seseorang kena siramannya pasti bagian
tubuhnya akan rusak hancur mengerikan!
Nenek Teruko yang sudah mengetahui isi
tabung itu segera berteriak memperingatkan
pada Wiro.
"Gaijin, hati-hati tabung bambu itu berisi air
keras,! Wuuttt! Byaaarrr… byarrr!"
Enam tabung bambu melesat di udara lalu
secara aneh menderu turun ke arah Wiro. Dua
tabung dari enam tabung itu menumpahkan
air keras ke arah muka dan perut Wiro. Sambil
melompat menjauh, Pendekar 212
menghantamkan kapak mustikanya ke depan.
Sinar menyilaukan berkiblat.
Air keras yang muncrat dari dua tabung
berbalik ke arah nenek Arashi. Empat tabung
lainnya hancur berantakan. Isinya muncrat-
muncrat dan lagi-lagi mengarah ke tubuh dan
muka nenek.
Terdengar jeritan dari nenek tukang sihir itu
berulang kali. Tubuhnya yang bungkuk
langsung jatuh tergelimpang di tanah
menggeliat-geliat. Air keras yang mengenai
tubuh dan mukanya membuat dagingnya
mengkerut, mengepul dan mengeluarkan asap!
Pakaiannya hangus. Sebentar saja nenek
Arashi berubah menjadi mahluk mengerikan.
Dia coba berdiri tapi jatuh kembali. Mencoba
lagi, jatuh lagi. Kali terakhir jatuh, tubuh itu
tidak bergerak lagi!
Melihat kematian nenek Arashi yang menjadi
andalan mereka, Sumio Matsuura dan kawan-
kawannya menjadi gentar. Terlebih ketika
mendengar Pendekar 212 Wiro Sableng
dengan Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan
kanan melangkah ke arah mereka. Sumio,
Masashigi dan Minoru serta hampir duapuluh
orang-orang Lembah Hozu lainnya melompat
menjauhi Akiko, Ichiro yang dalam keadaan
terluka serta Kenichi. Sementara Kunio Ota
tergeletak di tanah dalam keadaan sekarat
akibat racun panah yang menghujam di
punggungnya.
Sumio Matsuura yang melihat keadaan bakal
tidak menguntungkan lagi baginya dan orang-
orangnya, secara tiba-tiba melompat ke arah
Kenichi, orang yang paling dekat dengannya.
Kenichi Asano jadi terganggu pucat ketika
sebilah katana yang dipegang Sumio dari
belakang tiba-tiba sudah membelintang di
tenggorokannya! "Tinggalkan tempat ini atau
kugorok lehernya!" yang mengancam Sumio.
Akiko dan Ichiro terkesiap. Apa yang
dilakukan Sumio begitu cepat sehingga
mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Sebaliknya Pendekar 212 terus melangkah
mendekati. "Satu langkah lagi kau berani
maju, kusembelih pemuda ini!" kembali Sumio
mengancam. Dia tidak main-main.
"Gaijin! Akiko! Ichiro!" tiba-tiba Kenichi
berteriak. "Jangan pedulikan nyawaku! Serang
mereka! Hancurkan mereka, aku rela mati
menebus dosa-dosaku!" Akiko dan Ichiro
saling pandang. Mereka menoleh ke arah Wiro
yang masih terus melangkah mendekati
Sumio.
"Berhenti!" teriak Akiko. Wiro hentikan
langkahnya. Tetapi Sumio yang merasa tidak
bakal bisa lolos, tiba-tiba saja dengan sadis
menggerakkan tangannya yang memegang
pedang. Darah langsung menyembur!
"Kenichi!" teriak Akiko dan Ichiro berbarengan.
Keduanya langsung menyerbu Sumio dengan
pedang di tangan. Begitu Kenichi roboh
bergelimpang, dia tewas dengan tangan kanan
masih memegang buku ilmu pedang milik
gurunya.
"Serahkan durjana satu ini padaku! Kalian
selesaikan urusan dengan Masashigi dan
Minoru!" terdengar suara Wiro keras lalu
pemuda ini berkelebat mendahului ke arah
Sumio Matsuura.
Sebenarnya Sumio merupakan orang pertama
dengan kepandaian tinggi di antara orang-
orang Lembah Hozu. Namun saat itu dirinya
sudah dihantui oleh rasa takut. Ketika kapak
Naga Geni 212 berkelebat, dia hanya
terkesiap. Lalu dengan sangat lambat dia
acungkan pedangnya untuk menangkis.
"Trang!"
Kapak dan pedang beradu. Sumio berseru
kesakitan. Pedangnya patah jadi dua. Lalu
dilihatnya senjata lawan kembali menderu.
Kali ini dia sama sekali tidak punya
kesempatan untuk selamatkan diri. Kapak
Naga Geni 212 membalik. Sumio menjerit
keras ketika salah satu ujung kapak
menghujam dadanya. Kedua tangannya
menggapai-gapai ke udara. Tubuhnya
terbanting. Orang ini kemudian mati dengan
luka di dada. Sebagian tubuhnya hangus!
Melihat kawan mereka tewas begitu rupa,
nyali Masashigi Sakaji dan Minoru Shirota
menjadi leleh. Terlebih anak buah mereka
yang juga ada di sekitar situ. "Minoru, apa
pendapatmu?" bisik Masashigi.
"Aku malu mengatakannya," jawab Minoru.
"Tapi tidak ada pilihan lain, tinggalkan tempat
ini!"
Mendengar ucapan kawannya itu Masashigi
segera berteriak. "Semua yang memegang
panah lekas menyerbu musuh!" Saat itu ada
delapan orang Lembah Hozu memegang busur
panah. Mendengar perintah, mereka segera
merentang busur. Di saat itu pula Masashigi
Sakaji dan Minoru pergunakan waktu untuk
menyelamatkan diri.
Pendekar 212 cepat mengambil tindakan. Dia
berteriak pada Akiko untuk mengejar kedua
orang yang berusaha kabur itu. Dia sendiri
hantamkan pukulan sinar matahari dengan
tangan kiri ke arah orang Lembah Hozu yang
siap melancarkan serangan panah beracun.
"Buummmm!"
Sinar putih menyilau menderu. Hawa panas
menyengat dan di depan sinar terdengar
pekikan kematian. Enam orang Lembah Hozu
mencelat dengan tubuh hangus. Langsung
tewas begitu tergelimpang di tanah. Empat
lainnya selamat tetapi pakaian dan beberapa
bagian tubuh mereka melepuh! "Kawan-
kawan, pemimpin kita melarikan diri, tunggu
apa lagi, segera tinggalkan tempat ini," ujar
salah seorang mereka.
Orang-orang Lembah Hozu segera
berhamburan masuk ke dalam hutan. Wiro
tidak mempedulikan, dia segera melesat ke
kanan ke arah Akiko dan Ichiro yang berhasil
mencegat Masashigi dan Minoru yang
melarikan diri dan kini sedang bertarung satu
lawan satu.
Dengan ilmu pedang yang dimilikinya, Akiko
tidak gentar menghadapi Masashigi Sakaji.
Paling tidak dia akan mempu menghadapi
musuh besar yang telah membunuh gurunya.
Justru dia mengkhawatirkan Ichiro yang
terluka parah saat melawan Minoru. Jika tidak
segera ditolong, Ichiro bisa menemui ajal di
tangan Minoru. Dalam keadaan begitu, tiba-
tiba nenek Teruko meloncat membantu Ichiro.
Di tangan kanannya tergenggam golok
pendek.
"Keparat! Masih di sini bangsat tua ini
rupanya!" maki Minoru. Dia maju selangkah
berusaha membereskan Ichiro lebih cepat.
Tapi gebrakan yang dibuat nenek bermuka
celemotan itu dapat menahan serangan.
Ketika Teruko dan Ichiro maju bersamaan,
Minoru malah terdesak.
Pendekar 212 yang memperhatikan setiap
gerak Akiko berseru. "Nona Akiko, walau
mempelajari baru beberapa hari, mengapa kau
tidak pergunakan jurus sinar matahari?!"
Akiko terkesiap sesaat. Sebaliknya Masashigi
diam-diam merasa terkejut. Apa benar dia
menguasai pukulan yang lebih hebat dari
semua ilmu sihir nenek Arashi? Dilihatnya
Akiko menyilangkan pedang di depan dada.
Sepasang matanya memandang tajam.
Mulutnya bergerak sedang tangan kiri
bergerak ke atas. Wiro melihat tangan itu
berubah keputihan tapi tidak memancarkan
sinar menyilaukan.
"Kerahkan seluruh tenaga dalammu!" teriak
Wiro. Lengan yang memutih itu tampak
laksana sinar, pertanda Akiko sedang
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
"Aku harus mendahului!" kata Masashigi
sambil melompat ke depan dan membabatkan
pedangnya.
"Hantam!" teriak Wiro ketika melihat Akiko
ragu-ragu. Mendengar teriakan itu, si gadis
langsung hantamkan tangan kirinya ke arah
lawan. "Wuss!"
Sinar putih melesat walau kurang putih dan
kurang panas. Di depan sana Masashigi
keluarkan suara keras. Tubuhnya tersapu lalu
terjengkal jatuh. Pakaiannya sebelah depan
hangus dan kulitnya melepuh. Namun pukulan
yang dilepas Akiko yang masih dasar itu tidak
mampu membunuhnya.
Penasaran, Akiko kembali hendak
menghantamkan lagi tangan kirinya. Tapi
saat itu tangannya tidak mengeluarkan sinar
putih lagi.
Wiro cepat berteriak, "Jangan! Pergunakan
pedangmu!"
"Ah!" Akiko sadar belum bisa melepaskan
pukulan sinar matahari untuk kedua kalinya
dalam waktu secepat itu. Maka dengan
pedang di tangan dia menerjang ke Masashigi
yang berusaha bangkit berdiri.
Katana di tangannya menderu, Masashigi
mencoba menangkis. "Traaannng! Celaka!"
keluh Masashigi ketika tangannya tergetar
keras dan pedangnya terpelanting. Sebelum
pedang lawan memburu, dia jatuhkan diri dan
bergulingan di tanah. Tapi orang ini salah
arah. Dia justru bergulingan ke arah Pendekar
212.
Gulingannya terhenti ketika tubuhnya
membentur kaki Wiro. Melihat itu Masashigi
berteriak.
"Bangsat! Aku tidak menyesal mati jika bisa
membunuhmu dulu!" Lalu Masashigi tusukkan
pedangnya ke arah Wiro. Murid Sinto Gendeng
itu tidak berusaha menghindar karena dia
melihat Akiko lebih dahulu berkelebat dan
mengayunkan pedangnya. Darah muncrat di
celana putih Wiro ketika pedang Akiko
menembus dalam leher Masashigi. Pembunuh
Hiroto Yamasaki itu mengerang pendek
menggeliat sesaat, lalu tidak berkutik lagi.
Akiko jatuhkan diri berlutut dan seperti
hendak menangis. "Perempuan Jepang
pantang menangis," ujar Wiro sambil
memegang bahu Akiko. "Apakah kamu tidak
melihat kedua mayat yang membunuh
gurumu."
Mendengar itu Akiko menggenggam erat
pedang di tangannya, berdiri dan membalik.
Saat itu Ichiro seperti kesetanan dibantu
nenek Teruko sedang menghujamkan pedang
ke perut Minoru.
Orang ini mengeluarkan lolongan beberapa
kali sebelum akhirnya roboh mati ke tanah.
Ichiro berdiri terhuyung-huyung. Luka
dibahunya banyak mengeluarkan darah. Akiko
menubruk saudara seperguruannya ini.
Keduanya saling berpelukan dengan dada
sesak menahan tangis.
Ketika selesai berpelukan mereka melihat
sekeliling dan yang terlihat hanya nenek
Teruko satu-satunya yang masih berada di
tempat itu. Bahkan Kunio Ota juga ikut
lenyap! "Eh, kemana dia?!" ujar Akiko, lalu
berpaling pada nenek Teruko.
"Kau tak usah kawatir kehilangan gaijin itu.
Dia sengaja meninggalkan tempat ini lebih
dahulu untuk mengobati luka racun panah
Kunio. Dia pesan akan menunggu kalian di
lereng Gunung Fuji," kata Teruko. "Kalau
begitu kita segera menyusul setelah mengurus
jenazah Kenichi dan mengamankan buku milik
sensei," kata Akiko pula.
Nenek Teruko mengangguk. "Urusanku di sini
sudah selesai, aku minta undur diri…" ujarnya.
Tapi Akiko segera memegang kepala nenek itu
seraya berkata, "Tidak, kau tidak boleh pergi.
Antara kita sekarang ada ikatan utang budi
yang kuat. Kau harus ikut kami ke lereng
gunung Fuji…"
Nenek Teruko tersenyum lebar. "Mana berani
aku menolak permintaanmu, nona Akiko. Aku
sendiri masih ingin sekali bertemu si gaijin
itu. Ilmunya banyak dan aneh-aneh. Siapa
tahu aku kebagian sepertimu, selain itu, hi…
hik… hikkk!" Si nenek tidak teruskan
ucapannya.
"Selain itu apa…?" tanya Akiko Bessho.
"Selain itu … hemmm…, gaijin itu tampan
sekali wajahnya. Hik… hik… kalau aku masih
muda sepertimu, pasti akan aku ikuti ke mana
dia pergi. Sayang aku sudah tua, keriputan
dan jelek. Berdandan saja tidak bisa. Lihat
pupurku yang celemongan, hik… hik…
Komentar
Posting Komentar