Wiro Sableng
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Episode : Pembalasan Ratu Laut utara
Karya : BASTIAN TITO
********
SATU
DJAROT Pangestu mandi sepuas hatinya di bawah pancuran. Kedua tangannya sibuk menggosok daki tebal yang menyelimuti sekujur muka dan wajahnya yang bertampang menyeramkan oleh sebuah cacat guratan bekas luka yang dalam melintang, mulai dari
mata kiri turun ke bawah dekat hidung sampai bibir.
Seorang lelaki tua terbungkuk-bungkuk mendatangi membawa sebuah sarung lusuh.
" Selamat bagimu Djarot! " kata orang tua itu keras-keras agar dapat meningkahi suara air pancuran yang deras.
Djarot Pangestu berpaling sedikit lalu berkata datar. " Selamat untuk apa!?"
" Bukankah siang ini kau akan keluar dari penjara? Menjadi manusia bebas kembali?! "
Djarot Pangestu menyemburkan air dari mulutnya, mengusap wajahnya yang penuh berewok dan kumis liar, lalu berkata. " Dua puluh tahun jadi bangkai hidup mendekam di
penjara celaka ini ketika akhirnya dibebaskan, apakah itu satu hal yang menggembirakan?!"
Si orang tua bungkuk melemparkan kain sarung bututnya ke atas batu. Dia memandang ke arah kedua kaki Djarot Pangestu di mana seuntai rantai besi yang berat mengikat pergelangan kaki kiri dan kanan lelaki itu satu sama lain. Dua puluh
tahun menjadi budak penjara. Duapuluh tahun pula rantai besi itu telah menggantuli sepasang kaki Djarot pangestu.
" Bagaimanapun di luar sana adalah jauh lebih baik daripada di dalam sini. Kau bisa merasa jadi manusia kembali. Dibandingkan
dengan diriku, pembunuh dan pemerkosa!
Seumur hidup sampai mati aku akan tetap mendekam di sini!" Orang tua itu menarik nafas panjang.
Tidak seperti Djarot, kedua kakinya tidak dirantai. Namun itu bukan berarti dia mempunyai kesempatan untuk lari. Sejak sepuluh tahun lalu, ketika badannya semakin rapuh, rantai seperti itu ditanggalkan dari
kedua kakinya. Dan dengan tubuh serapuh itu mana sanggup dia melarikan diri. Hasrat untuk lari pun sudah tenggelam bersama keuzuran usianya. Lagi pula apa yang diharapkannya di luar sana? Lain dengan Djarot yang saat itu baru mencapai usia sekitar 45 tahun. Setelah membuka bajunya, dengan celana kolor orang tua ini tegak disamping Djarot di bawah pancuran. Tubuhnya langsung
menggigil oleh air gunung yang dingin itu.
Di sela deru air pancuran orang tua itu berkata lagi. " Kau akan bertemu dengan istrimu kembali. Kau akan bahagia Djarot… "
" Setelah duapuluh tahun berpisah, tak ada kabar tak ada berita, apa kau kira perempuan itu masih menungguku? Aku tak akan pulang
ke rumah istriku. Percuma saja! Perempuan itu tak akan ada di situ. Kalaupun ada, dia pasti sudah kawin lagi! Selama aku di sini, tidak satu kali pun dia menjengukku! Istri
macam apa itu! "
" Lalu apa yang akan kau lakukan begitu keluar dari penjara kerajaan ini, Djarot?! "
" Bapak tua, aku pernah menceritakan riwayat
sampai aku dijebloskan ke tempat ini! Nah
kau bisa menerka apa yang akan kulakukan! "
" Mencari Menak Srenggi, Adipati Ambarawa
itu?! "
" Apa lagi kalau bukan itu pak tua! "
" Ah, dia mungkin sudah meninggal. Kalaupun
masih hidup usianya paling tidak sudah
mencapai tujuh puluh tahun. "
" Hidup atau mati aku tetap mencari bangsat
itu. Aku memang manusia keparat di masa
muda. Jadi kepala rampok, raja penyamun
dan pimpinan bajak! Tapi aku tidak pernah
membuat urusan dengan kerajaan! Aku tidak
pernah memberontak! Dan si Menak Srenggi
jahanam itu telah memfitnahku sebagai
gembong pemberontak! Membuat cacat
wajahku dan mengirim aku ke penjara ini
untuk hidup bersama tikus tikus dan kecoak
selama duapuluh tahun!"
Djarot Pangestu keluarkan suara mendengus,
lalu kembali terdengar suaranya meradang.
" Menak Srenggi, aku tahu kau bukan manusia
baik-baik. Hanya pangkatmu sebagai Adipati
yang memberikan kekuasaan padamu untuk
bertindak seenak utilmu! Tapi tunggulah,
utilmu itu, perutmu itu akan kubedol sampai
ususmu berbusaian! Kepalamu akan kugorok! "
" Tapi kalau dia memang sudah mati, apanya
yang akan kau bedol? Usus mananya yang
akan kau busai, Djarot?!" tanya si bapak tua.
" Kalaupun dia sudah jadi tanah, tentu istri
atau anak cucunya masih hidup! Mereka
cukup pantas untuk tempatku membalaskan
dendam kesumat! "
" Ah, aku rasa itu pekerjaan salah Djarot!
Kalau orang yang kau anggap sebagai musuh
besarmu sudah tidak ada, mengapa anak istri
bahkan cucunya yang tidak berdosa jadi
ajang pembalasan dendammu? Lebih baik kau
melupakan masa lalumu. Kau masih muda
dan bisa memulai hidup baru kembali! "
Djarot Pangestu tertawa gelak-gelak. " Bapak
tua… bapak tua. Kau tahu apa tentang hidup
baru!
Hidupku sudah sejak lama terkubur. Sejak
duapuluh tahun lalu! Kalaupun aku masih
hidup, maka hidup baru yang kau maksudkan
itu adalah hidup penuh darah dan nyawa! "
Terdengar suara bergemerincing rantai berat
ketika Djarot menggerakkan kedua kakinya
dan melangkah turun dari batu datar di bawah
air pancuran.
DUA
DESA Kaliwungu merupakan desa berhawa
sejuk. Kebanyakan penduduknya hidup dari
bercocok tanam. Sebagian besar sawah
ladang yang ada di desa itu adalah milik
Menak Srenggi, bekas Adipati Ambarawa yang
kini berusia hampir tujuh puluh tahun.
Meskipun sudah lanjut usia begitu Menak
Srenggi masih kelihatan gagah dan kukuh.
Tubuhnya yang tinggi tidak kelihatan bungkuk
walaupun kalau berjalan dia selalu dibantu
oleh sebuah tongkat berhulu gading putih
kekuningan. Rambut dan kumisnya telah
memutih seperti kapas.
Di samping rumah kayu besar kediaman
Menak Srenggi, terdapat sebuah halaman luas
di mana anak-anak tetangga sering bermain-
main di tempat itu. Pagi itu enam anak
perempuan rata-rata berusia sepuluh tahun
tampak bermain galah asin . Suara pekik tawa
mereka terdengar sampai jauh. Seorang
penumpang kuda berpakaian seperti seragam
pasukan kraton muncul dari arah timur. Di
pinggang kirinya dia membekal sebatang
golok. Di hadapan rumah besar dia berhenti
sejenak. Lalu membawa kudanya mendekati
anak-anak perempuan yang sedang bermain.
" Anak-anak! " Orang itu berseru. Dia
mengangkat tangan kirinya menunjuk ke arah
rumah besar.
" Apakah ini rumahnya Menak Srenggi bekas
Adipati Ambarawa itu? "
Anak-anak yang tengah asyik bermain
hentikan permainan mereka dan hendak
menjawab mengiyakan.
Namun ketika melihat wajah si penunggang
kuda yang bertanya, semuanya jadi tercekat
ketakutan.Ada yang tertegun, ada yang
melangkah mundur. Orang di atas kuda itu
memiliki wajah menyeramkan.Adaguratan
bekas luka di pipi kirinya, membelintang dari
mata kiri sampai ke atas bibir. Mata kirinya
agak mencuat dan berwarna merah.
Kumis serta cambang bawuknya meranggas
liar, ditambah dengan rambutnya yang
panjang awut-awutan maka anak-anak itu
melihatnya seperti melihat setan.
" Hai! Kalian tak perlu takut! Aku hanya
bertanya benar ini rumah Menak Srenggi yang
dulu pernah jadi Adipati Ambarawa…?" Lalu
orang itu melemparkan sekeping uang ke
tanah. " Ambil uang itu untuk membeli
penganan dan bagi-bagi! " katanya.
Salah seorang dari enam anak perempuan itu
memungut uang yang ada di tanah lalu
memberanikan diri menjawab. " Memang
betul. Itu rumahnya kakek Srenggi. "
Seorang anak perempuan berambut hitam
panjang tiba-tiba memotong ucapan
kawannya itu. " Kita tidak tahu siapa orang
itu, mengapa kau lancang menjawab
pertanyaannya?! "
" Gadis cilik berambut hitam. Siapa kau? Apa
masih ada sangkut paut dengan Menak
Srenggi? " orang di atas kuda bertanya.
" Dia cucu kakek Srenggi! " Lagi-lagi yang
menjawab adalah anak perempuan tadi yang
kini tegak sambil memegang kepingan uang.
" Kembali kau bertindak lancang, Muti! "
Anak yang disebut sebagai cucu Menak
Srenggi tampak gelisah dan takut. Lebih lebih
ketika dilihatnya orang berwajah seram di
atas kuda memandang tak berkedip ke
arahnya.
" Hemm… anak ini termasuk salah satu yang
harus kusingkirkan. Tapi dia bisa
kuselesaikan kemudian. Yang penting
mencari jahanam Menak Srenggi itu dulu… "
membatin orang di atas kuda.
" Apakah kakekmu ada di rumah, anak manis? "
tanyanya pada gadis cilik yang dikatakan
sebagai cucu Menak Srenggi itu.
Si anak berambut panjang tidak menjawab.
Lagi-lagi temannya yang tadi malah yang
membuka mulut. " Kakek Srenggi orang tua
yang baik. Kami sering bermain-main
dengannya. Kami suka diberi gulali. Pagi-pagi
begini biasanya kakek Srenggi duduk di kursi
goyang di serambi belakang rumah. Minum
kopi ditemani nenek… "
" Ah! Kau anak pandai. Teruskan permainanmu
dengan kawan-kawan… " kata orang di atas
kuda
Dia mengerling sekilas pada cucu Menak
Srenggi, lalu menyentakkan tali kekang kuda
dan bergerak menuju bagian depan rumah
kayu. Cucu Menak Srenggi memper-hatikan
orang itu beberapa lamanya.
Ketika orang yang diperhatikan turun dari
kudanya gadis kecil ini mendengar teman-
temannya memanggil. Maka dia pun
membalikkan tubuh dan bergabung kembali
dengan kawan-kawannya meneruskan
permainan galah asin .
Setelah main beberapa lamanya, gadis kecil
ini tiba-tiba saja merasa tidak enak. Setiap
saat terbayang kembali olehnya muka seram
orang itu dan mengapa pagi-pagi begitu
mencari kakeknya? Akhirnya gadis kecil itu
keluar dari kalangan permainan dan lari ke
bagian belakang rumah besar.
" Ayu! Kau curang! Sudah kalah mengapa
lari? " seorang temannya berteriak memanggil.
Yang lain berseru: " Mau ke mana Ayu?!"
" Aku pulang dulu! Aku haus! Sebentar aku
kembali lagi! " jawab Ayu Lestari, seraya terus
lari lalu
masuk ke pekarangan belakang rumah lewat
sebuah pintu pagar dari bambu.
Begitu sepasang kaki kecil itu bertindak
masuk ke dalam pekarangan
sejauhlimalangkah, langsung kaki-kaki itu
berhenti laksana dipaku dan dari mulut Ayu
Lestari terdengar pekik keras!
" Kakek…!Nenek…Ibu!! "
TIGA
DI serambi belakang rumah itu menggeletak
tiga sosok tubuh. Dua di antaranya saling
tumpang tindih berangkulan. Yang pertama
adalah kakek Ayu Lestari yaitu Menak Srenggi.
Orang tua ini menggeletak telentang dengan
leher hampir putus sementara darah masih
mengucur dari luka menganga di lehernya itu.
Luka kedua mengoyak perutnya hingga
tampak ususnya menyembul bergerak-gerak.
Ayu Lestari masih sempat mendengar
kakeknya mengerang, lalu nyawanya putus.
Orang tua ini mati dengan mata melotot!
Membelintang di atas dada Menak Srenggi
adalah seorang perempuan tua yang bukan
lain ialah istrinya. Perempuan ini tampak
melejang-lejangkan kaki kirinya beberapa kali.
Tangan kirinya merangkul tubuh si kakek
seolah-olah berusaha melindunginya. Sesaat
kemudian nenek inipun lepas pula nyawanya.
Dua bacokan, satu di punggung, satu lagi di
pangkal lehernya tampak menggidikkan.
Sosok tubuh ke tiga yang membuat Ayu
Lestari menjerit keras adalah sosok tubuh
ibunya sendiri.
Perempuan separuh baya ini tersandar di
terali serambi. Mukanya tertutup gelimangan
darah. Di dadanya tampak satu luka
menganga.
" Gusti Allah…! Gusti Allah…!" terdengar
perempuan ini menyebut nama Tuhannya
beberapa kali.
Lalu lehernya terkulai ke kiri. Nyawanya
melayang.
Ayu Lestari kembali menjerit dan melompat
langsung menubruk ibunya. Dia tidak
memperhatikan lagi bagaimana muka, tubuh
dan pakaiannya jadi berselomotan darah.
Sama sekali tak ada rasa takut dalam diri
anak ini. Dia memeluk mayat ibunya,
menangis dan menjerit keras-keras.
" Ha… ha...! Ini dia! Cucu keparat Menak
Srenggi ini pun harus kusingkirkan! Biar
tuntas semua dendamku!" Terdengar suara
mendengus lalu langkah-langkah kaki
mendatangi. Ayu Lestari lepaskan rangkulan
pada tubuh ibunya dan berpaling.
Beberapa langkah di sebelah kirinya tegak
lelaki berwajah setan itu. Orang yang tadi
datang menunggang kuda dan menanyakan
padanya serta kawan-kawan mengenai
kakeknya. Pakaiannya yang seragam pasukan
keraton itu penuh percikan darah. Darah juga
tampak menempel pada mukanya hingga
tampangnya jadi tambah mengerikan. Di
tangan kanannya ada sebilah golok yang
masih basah dan merah oleh darah! Si muka
setan ini menyeringai. Rahangnya terdengar
bergemeletukan.
" Pembunuh! Orang jahat pembunuh!" teriak
Ayu Lestari. Gadis cilik sepuluh tahun ini
melompat dan melangkah mundur menuju
tangga serambi.
" He…eee! Kowe mau lari ke mana monyet
kecil! " kata si muka setan. Kaki kanannya
bergerak menendang. Duk! Tubuh Menak
Srenggi mencelat ke arah Ayu Lestari. Anak ini
terpekik lalu menghambur ke arah tangga dan
lari ke halaman, tepat pada saat golok besar
di tangan orang itu membabat dan lewat
hanya seujung jari di atas kepalanya!
" Setan alas! Kau kira bisa kabur ke mana
huh?!" Orang itu mengejar. Untung bagi Ayu,
orang yang hendak mengejar tergelincir
kakinya ketika menginjak genangan darah di
lantai. Tubuhnya tersungkur di tangga
serambi. Tapi dia segera bangkit, melompati
pagar rendah halaman belakang lalu
meneruskan mengejar Ayu!
" Pembunuh! Pembunuh! " teriak Ayu Lestari
tiada henti sambil berlari ke arah lapangan di
mana kawan-kawannya masih bermain galah
asin . Kelima gadis cilik itu tentu saja terkejut
mendengar pekik Ayu. Dan lebih terkejut lagi
sewaktu melihat kawan mereka itu berlari
ketakutan. Baju, tangan dan wajahnya
bercelemongan darah. Di belakangnya ada
seorang lelaki mengejar dengan golok di
tangan.
" Pembunuh! Orang jahat itu membunuh kakek
nenek! Membunuh ibuku! Kawan kawan…
Tolong!" teriak Ayu Lestari.
Tapi mana mungkinlimagadis cilik itu
memberikan pertolongan. Mereka malah ikut
menjerit ketakutan lalu lari berserabutan.
Dalam takut dan bingung, salah seorang di
antara mereka malah lari ke arah orang yang
memegang golok. Keduanya saling
bertabrakan. "Setan alas! " Si muka setan
memaki marah. Anak yang jatuh akibat
tabrakan itu langsung ditendangnya di bagian
dada hingga mencelat jauh. Tulang iganya
patah berantakan, jantungnya berhenti
berdenyut.
Anak ini meregang nyawa dengan darah
mengucur dari mulutnya!
Empat gadis kecil lainnya sudah lari jauh ke
ujung lapangan sementara Ayu Lestari
merasakan kedua kakinya seperti kejang
karena ketakutan yang amat sangat. Orang
berewokan yang mengejarnya tambah dekat.
Akhirnya anak ini tak sanggup lagi berlari.
Ayu jatuh terjerembab di tanah. Dan saat itu
si pengejar sampai di tempat itu, langsung
menjambak rambut Ayu Lestari. Tangan
kanannya yang memegang golok membabat
ke arah pinggang.
Ayu Lestari menjerit. Anak ini sudah lebih
dulu pingsan sebelum golok menghantam
tubuhnya!
Di saat itu tiba-tiba ada deru cahaya
kekuningan berkelebat. Menyusul suara trang!
Golok besar di tangan si muka setan terpental
ke atas, hampir lepas dari tangannya. Salah
satu bagiannya yang tajam gompal besar. Di
saat yang bersamaan pula orang ini
merasakan tubuhnya didorong keras hingga
dia hampir terjengkang ke tanah. Tangan
kirinya yang menjambak rambut Ayu Lestari
terkembang dan gadis kecil itu lepas dari
cengkeramannya!
" Bangsat kurang ajar! Siapa yang minta
mampus berani menghalangiku membunuh
bocah itu! " teriak si muka setan marah sekali.
Goloknya diputar sebat.
" Wut… wut… wut…!" Dia membabat tiga kali
berturut-turut, tapi hanya menghantam angin!
EMPAT
" HARAM jadah!" si muka setan kembali
memaki. Ketika dia hendak menghantamkan
goloknya sekali lagi, gerakannya tertahan.
Kedua matanya memandang melotot ke
depan.
Enam langkah di hadapannya berdiri seorang
nenek keriput tapi bersih dan kelimis. Nenek
ini mendukung gadis cilik yang hendak
dibunuhnya itu di tangan kiri sedang tangan
kanan memegang sebatang pipa bulat terbuat
dari besi kuningan. Inilah rupanya senjata si
nenek yang tadi sempat menggebuk golok
besarnya. Pada ujung sebelah atas, pipa
kuningan itu berkeluk membentuk lingkaran
besar sedikit dari kepala manusia.
Nenek itu mengenakan kebaya panjang
berwarna putih. Kainnya juga terbuat dari kain
putih. Rambutnya yang putih disanggul rapi
ke belakang. Di lehernya ada seuntai kalung
yang terbuat dari untaian bunga melati.
Bunga ini menebar bau harum semerbak ke
mana-mana.
" Nenek edan! Siapa kowe?! " bentak si muka
setan.
Yang dibentak malah tersenyum sambil terus
mendukung Ayu Lestari di bahu kirinya yang
saat itu masih berada dalam keadaan
pingsan. Ketika tersenyum, meskipun sudah
begitu tua, ternyata si nenek masih memiliki
barisan gigi-gigi yang utuh dan putih berkilat
seperti mutiara! Dia benar-benar seorang
nenek cantik!
"Yang edan aku atau sampean…?!" si nenek
membuka mulut sementara senyum masih
mengulum di bibirnya.
"Tua bangka sinting! Kau minta mampus!"
teriak si muka setan.
"Djarot Pangestu! Djarot… Djarot…! Mana ada
manusia yang sengaja minta mampus di muka
bumi ini. Aku sekali pun sudah tua renta
begini, masih belum mau mati! Masih ingin
panjang umur dan hidup lama. Hik… hik…
hik…!"
Si muka setan yang memang Djarot Pangestu
adanya jadi terkejut ketika mendengar orang
menyebut namanya.
"Nenek sinting! Siapa kau! Bagaimana bisa
tahu namaku?!" teriak Djarot Pangestu dengan
keras.
"Anak manusia, aku bukan cuma tahu
namamu! Tapi juga tahu asal-usulmu! Baru
saja keluar dari penjara sudah berani dan
tega-teganya menebar maut! Iblis pun tidak
sebiadabmu! Apa dosa anak ini hingga kau
hendak membunuhnya?!" Si nenek bertanya.
Suaranya mendadak keras. Senyumnya lenyap
dan sepasang matanya memandang tajam-
tajam ke arah Djarot Pangestu hingga lelaki
ini diam-diam merasa tergetar hatinya.
"Kalau kau tidak mau memberi tahu siapa
dirimu, maka kau minta mampus secara
percuma! Aku akan membunuhmu bersama
anak itu!"
Tangan kanan Djarot Pangestu bergerak.
Golok besar menderu ganas ke arah leher si
nenek dan sekaligus juga leher Ayu Lestari!
Perempuan tua berpakaian serba putih itu
sedikit pun tidak bergeser dari tempat
tegaknya. Dia mengangkat tangan kanannya
yang memegang pipa kuningan, menyambut
kedatangan golok maut Djarot Pangestu.
"Trang!!!"
Terdengar suara pipa kuningan beradu keras
dengan golok di tangan Djarot Pangestu.
Suara berdentrang itu disertai pula oleh suara
mengalun panjang, keluar dari lobang pipa
kuningan sebelah bawah. Si nenek mendengar
suara alunan itu seperti alunan genta yang
merdu, sebaliknya Djarot Pangestu seperti
mendengar suara dentuman yang meledak-
ledak hingga kedua telinganya terasa sakit!
Selain rasa sakit mendenyut pada kedua liang
telinganya. Djarot Pangestu juga merasakan
saling bentrokan senjata tadi telah membuat
tangan kanannya seperti kaku kesemutan!
Jengkel bercampur marah karena merasa si
nenek mempermainkannya Djarot Pangestu
maju dua langkah lalu kembali dia
menghantamkan goloknya. Kali ini senjata itu
dibabatkan ke arah pinggang si nenek. Ini
cuma satu gerakkan tipuan karena setengah
jalan tiba-tiba arah golok berubah dan kini
membacok ke arah punggung Ayu Lestari.
"Jurus kilat membalik di belakang awan!" Seru
si nenek sambil tersenyum lalu angkat pipa
kuningnya.
Djarot Pangestu sampai batalkan serangan
dan tersurut dua langkah saking kagetnya
ketika mendengar si nenek menyebut jurus
ilmu golok yang barusan dimainkannya.
"Tua bangka sinting ini! Bagaimana dia bisa
tahu jurus ilmu golokku!" ujar Djarot dalam
hati. "Siapa dia sebenarnya…? Jangan-jangan
masih ada pertalian darah dengan guruku
dulu. Tapi… Aku tidak percaya! Kalau tidak
lekas dibereskan naga-naganya tua bangka
ini bisa membuat aku susah!"
Didahului suara membentak Djarot Pangestu
kembali menyerbu dengan goloknya. Kali ini
dia mengerahkan tenaga dalamnya penuh-
penuh ke tangan kanan hingga golok berdarah
yang dipegangnya tampak bergetar keras dan
mengeluarkan suara berkesiuran ketika
dibabatkan.
Dengan tenang si nenek berwajah bersih
cantik mengangkat pipa besi kuningannya.
Gerakan tangannya tampak lemah dan
perlahan saja. Tapi pipa kuningan itu tiba-
tiba terlihat melesat seperti sebuah titiran
dan, "Trang!!Trang!!"
Golok berdarah di tangan Djarot Pangestu
patah dua, mental ke udara. Pipa kuningan
kembali terdengar mengeluarkan suara seperti
genta mengalun sedang di telinga Djarot
Pangestu seperti ada yang menusuk-nusuk!
Tangan kanannya laksana berubah jadi kayu,
kaku tak bisa digerakkan lagi!
Kini kecutlah nyali manusia ini. Dia benar-
benar menyadari kalau si nenek tak dikenal
itu, yang melayaninya sambil mendukung
anak kecil, dan tanpa menggeserkan kedua
kakinya sedikit pun, jelas-jelas adalah
seorang berkepandaian tinggi.
Tanpa pikir panjang lagi Djarot Pangestu
putar tubuhnya dan melompat ke arah
kudanya, siap untuk kabur. Namun baru dua
langkah bergerak tahu-tahu ujung pipa
kuningan yang berbentuk bulat telah
mengalung lehernya hingga dia tak bisa
bergerak lagi, kecuali kalau lehernya mau
terbetot patah!
"Manusia kejam! Hatimu sejahat iblis! Tapi
baru begitu sudah putus nyali dan hendak
melarikan diri. Hik… hik… hik!" si nenek
mengejek lalu tertawa cekikikan.
"Nenek edan! Lebih baik kau bunuh diriku
saat ini juga! Jangan memberi malu diriku
lebih lama!" teriak Djarot Pangestu.
"Hik… hik! Tahu malu juga bergundal iblis
ini!" mengejek lagi si nenek.
"Bunuh saja aku!" teriak Djarot Pangestu
"He… he… he…! Aku tidak akan membunuhmu
saat ini Djarot Pangestu. Bakal ada yang
melakukannya di kemudian hari. Anak
perempuan dalam dukunganku inilah yang
kelak akan memisahkan kepala dan
badanmu…" kata si nenek pula.
"Tua bangka pengecut! Kau tak berani
membunuhku! Pengecut!"
Si nenek tertawa panjang mendengar kata-
kata Djarot Pangestu itu. Dia menggerakkan
pipa kuningannya yang menjerat leher Djarot.
Mendadak sontak Djarot merasakan tubuhnya
terangkat tapi tahu-tahu kepalanya
menghadap ke bawah sedang kaki ke atas!
Dia dapatkan bumi ini seperti terbalik!
Dia merasa seperti digantung kaki ke atas
kepala ke bawah. Ketika dia hendak berteriak
dan memaki, tahu-tahu dia sudah diturunkan
kembali dan pipa kuningan itu tidak lagi
menggelung di lehernya.
"Djarot Pangestu! Lekas berlalu dari
hadapanku! Tinggalkan tempat ini!"
"Nenek sinting! Kau kelak akan menyesal
mengambil keputusan membebaskan diriku
hari ini. Aku bersumpah akan menuntut ilmu
lebih tinggi! Setelah itu kudapatkan aku akan
mencarimu! Dan hari itulah penyesalanmu
berakhir di ujung kematian!"
"Aku sebal melihat tampangmu Djarot!
Disuruh pergi malah bersyair! Pergi sana!"
Nenek cantik itu ketukkan ujung pipa
kuningannya ke tanah. Terdengar suara genta
mengalun keras yang diserai sambaran angin
dari ujung pipa sebelah bawah. Angin aneh ini
menyambar ke arah Djarot Pangestu. Begitu
sambaran angin menghantamnya, tak ampun
lagi Djarot Pangestu terlempar sampai tiga
tombak.
Sambil keluarkan suara cekikikan nenek itu
balikkan tubuhnya. Dia menekankan ujung
pipanya ke tanah. Seperti anak panah lepas
dari busurnya, seperti itu pulalah tubuhnya
tampak melesat dan lenyap di kejauhan
bersama Ayu Lestari yang masih pingsan di
bahu kirinya.
Djarot Pangestu bangkit berdiri dengan muka
pucat. Terpincang-pincang dia setengah
berlari mendapatkan kudanya. Sementara itu
dari berbagai jurusan penduduk desa mulai
berdatangan ke arah rumah Menak Srenggi.
LIMA
NENEK berkebaya putih itu membaringkan Ayu
Lestari di atas pasir pantai yang bersih, di
bawah kerindangan bayang-bayang deretan
pohon kelapa. Walaupun sinar matahari
cukup terik namun angin laut yang sejuk
membuat udara tidak terasa panas.
Untuk beberapa lama nenek itu memandangi
gadis cilik yang masih berada dalam keadaan
pingsan itu lalu berlutut di sampingnya. Dia
mengangkat tangan kanan Ayu Lestari lalu
memperhatikan telapak tangan anak
perempuan itu.
"Ahhh…!" si nenek mendesah kagum. "Apa
yang dikatakan ratu benar adanya. Anak ini
memiliki ruas tangan kanan bertanda silang.
Menurut ratu hanya ada empat orang di jagat
ini memiliki tangan seperti itu.
Satu sudah meninggal seratus tahun silam.
Tiga masih hidup ternyata salah satunya
adalah anak ini! Ah, ternyata mereka bukan
orang-orang sembarangan!"
Setelah memandangi wajah Ayu sekali lagi si
nenek menepuk-nepuk pipi gadis cilik itu
hingga akhirnya Ayu siuman dari pingsannya.
Begitu sadar anak ini langsung menjerit.
Dalam benak dan pelupuk matanya masih
terbayang tiga orang yang dikasihinya itu,
terutama ibunya. Juga masih terpampang
wajah angker Djarot Pangestu yang hendak
membunuhnya. Ayu memejamkan matanya
kembali dan menutup wajahnya dengan kedua
telapak tangannya.
"Anak manis… Berhenti menjerit. Tak ada
yang perlu ditakutkan…"
Ayu mendengar suara itu. Rupanya tadi dia
belum melihat nenek berpakaian putih yang
ada di sampingnya. Perlahan-lahan dia
menurunkan kedua tangannya dan membuka
sepasang matanya. Ketika dia memalingkan
kepalanya ke kiri, pandangannya bertemu
dengan sosok tubuh dan wajah tua tapi
kelimis serta cantik itu.
"Nenek…!" Ayu memanggil, yang terbayang
olehnya adalah neneknya sendiri. Namun
kemudian disadarinya bahwa perempuan tua
itu bukan neneknya. Lalu dilihatnya deretan
pohon kelapa di atas kepalanya, langit biru,
merasakan hembusan angin sejuk dan
mendengar deburan ombak di pasir. Perlahan-
lahan anak ini bangkit duduk, memandang
berkeliling.
"Laut…" katanya heran. Sebelumnya dia
pernah satu kali diajak ayahnya melihat laut.
Ayu memandang pada si nenek. "Nek, kau
siapa…? Mengapa Ayu berada di tepi laut ini?
Ayu takut…! Orang jahat itu… Dia membunuh
ibu… membunuh kakek dan nenek…" Lalu Ayu
Lestari menangis keras.
"Anak, nasibmu memang malang. Ayahmu
meninggal beberapa waktu lalu. Barusan saja
ibu dan nenek serta kakekmu dibunuh orang.
Tapi kau tak boleh menangis dan bersedih
terus-terusan. Aku akan membawamu ke satu
tempat yang indah. Di situ semua akan
mengasihimu, akan menghormatimu. Dan kau
boleh menganggap aku sebagai pengganti
nenekmu yang hilang…"
Lalu si nenek menggendong Ayu Lestari di
bahu kirinya. Sambil mengusut air matanya,
Ayu bertanya, "Aku ingin pulang nek! Bawa
aku pulang nek… Bawa Ayu pulang ke
Kaliwungu…"
"Ayu, di Kaliwungu kau tak punya siapa-siapa
lagi. Itulah sebabnya kau kubawa, sesuai
perintah Ratu…"
"Ratu…? Hai, Ratu katamu nek?" tanya Ayu
Lestari.
"Betul. Ratuku dan Ratumu juga kelak…"
"Aku tak mengerti ucapanmu nek…, ratu apa
yang kau katakan itu?"
"Saat ini kau memang tak perlu mengerti Ayu.
Kau ikut saja bersamaku," kata si nenek pula.
"Ikutmu? Ikut ke mana?"
"Aku akan membawamu ke satu tempat yang
indah. Yang tak pernah kau lihat sebelumnya.
Kerajaan Ratu Laut Utara!"
Semakin tidak mengerti Ayu Lestari akan apa
yang diucapkan si nenek itu. Lalu
dirasakannya si nenek mulai melangkah.
Berjalan ke arah laut. Ketika sepasang kaki si
nenek mulai tenggelam ke dalam air laut, lalu
kainnya mulai basah, Ayu Lestari tersentak
dan berseru. "Nek! Kau salah jalan! Mengapa
melangkah ke dalam. Nanti kita berdua mati
tenggelam…!"
Tubuh si nenek kini tenggelam sebatas
pinggang. Kedua kaki Ayu Lestari mulai
masuk ke dalam air laut.
"Nek!" Pekik Ayu Lestari ketakutan dan ketika
air mulai sampai ke pinggangnya, anak ini
meronta mencoba melepaskan diri, namun tak
berhasil. Air laut kini naik sampai sebahu si
nenek, membasahi punggung si gadis cilik.
"Nek!" pekik Ayu kembali. Di saat itu si nenek
menekan urat besar dipunggung Ayu. Gadis ini
langsung terkulai. Tubuh si nenek melangkah
semakin dalam. Selangkah demi selangkah air
laut naik sampai ke lehernya, lalu naik lagi
sampai muka dan kepala. Rambutnya yang
putih dan juga kepala Ayu Lestari lenyap di
bawah air laut. Kini hanya tinggal tongkat
pipa kuningannya saja yang masih kelihatan.
Sesaat kemudian tongkat itu pun lenyap di
bawah permukaan air laut!
ENAM
NENEK berwajah cantik itu memijat urat besar
di punggung Ayu Lestari. Saat itu juga anak
ini sadarkan diri dan dapatkan sekujur tubuh
dan pakaiannya yang basah kuyup. Dilihatnya
tubuh, rambut serta pakaian putih si nenekpun
basah juga. Ketika dirinya diturunkan dari
dukungan, Ayu Lestari memandang berkeliling
dengan terheran-heran.
"Huah nek! Berada di mana kita ini?!" seru
Ayu Lestari heran dan kagum. Saat itu
didapatinya dirinya berada dalam sebuah
bangunan sangat besar beratap tinggi. Pada
kiri kanan bangunan yang berdinding batu
pualam itu berjejer masing-masing dua belas
buah pilar putih berukiran indah sekali. Lalu
di antara jejeran dua belas tiang ini, pada
pertengahan lantai terbentang sehelai
permadani tebal berwarna biru membujur dari
tangga di sebelah depan bangunan dekat
mana dia dan si nenek berada. Permadani ini
membujur terus ke arah bagian ujung lain dari
bangunan besar itu.
Di sebelah ujung sana tampak tangga terdiri
dari lima undakan, dan diundakan paling atas
lantainya ditutupi sehelai permadani tebal
berwarna merah. Di tengah-tengah ruangan
besar di atas tangga itu terdapat sebuah kursi
besar berukiran kepala naga pada kedua
tangannya dan ukiran kepala burung garuda
pada sandarannya sebelah atas.
Di kiri kanan kursi, sebuah payung tinggi dan
besar serta berjumbai-jumbai benang emas
memayungi kursi besar. Di langit-langit
ruangan menyala puluhan lampu kecil yang
tersusun pada sebuah jambangan indah
terbuat dari perak dan memancarkan sinar
berkilau-kilau, tergantung tepat di atas kursi
besar.
Pada dinding ruangan kiri kanan tampak tiga
buah pintu berwarna putih. Di atas pintu
menyala lampu-lampu aneh berwarna biru,
merah, kuning, hijau, abu-abu dan cokelat.
"Nek, kita ini berada di mana…?" tanya Ayu
Lestari lagi, sambil memegang kebaya si
nenek, dan masih memandang berkeliling
terkagum-kagum. Sementara cuping
hidungnya kembang kempis karena dia
mencium bau yang harum semerbak di tempat
itu.
"Inilah istana Ratu Laut Utara…"jawab si
nenek setengah berbisik.
"Jangan-jangan aku bermimpi…," si gadis cilik
lalu tarik kuat-kuat telinganya sendiri.
"Aduh!" dia terpekik kesakitan. "Ternyata Ayu
tidak bermimpi. Jadi semuanya ini benar
nek…! Nek…"
"Ssst, diamlah! Sudah ada yang menjemput
kita…" bisik si nenek.
Saat itu Ayu Lestari melihat pintu putih yang
di atasnya ada lampu berwarna merah
terbuka, lalu menyusul pintu putih di sebelah
kiri yang ada lampu hijau. Dua orang gadis
berparas cantik berkulit putih, satu memakai
baju panjang warna hijau, satunya warna
merah melangkah ke arah si nenek dan Ayu.
Pakaian yang dikenakan kedua gadis ini
terbuka lebar di bagian punggung dan sangat
rendah di bagian dada sehingga punggungnya
yang putih tersingkap dan sebagian payu
daranya tersembul di ujung atas pakaian
sebelah depan. Pada pinggir kiri pakaian
panjang itu terdapat belahan tinggi sampai ke
pangkal paha. Karenanya, setiap langkah
yang dibuat menyebabkan aurat gadis-gadis
cantik ini tersingkap lebar memperlihatkan
auratnya sebelah kiri, putih dan sangat mulus.
"Nek, bidadarikah yang datang ini……?" tanya
Ayu Lestari. Si nenek tidak menjawab, hanya
tersenyum.
Di hadapan kedua orang itu, gadis baju merah
dan hijau menganggukan kepala dengan
khidmat lalu yang baju merah berkata: "Ayu,
mari ikut dengan saya," lalu dipegangnya
tangan Ayu Lestari.
"Nek…" Ayu memanggil.
"Ikuti saja Roro Merah itu, Ayu. Dia akan
menggantikan pakaianmu yang basah dengan
pakaian yang bagus," berkata si nenek, ketika
dilihatnya Ayu Lestari seperti hendak
menampik. "Kau tak usah takut. Seperti yang
aku bilang, semua orang di sini
menghormatimu dan juga mengasihimu…"
Mendengar kata-kata si nenek itu, baru Ayu
mau melangkah mengikuti dara berbaju
merah.
"Nenek Cempaka, giliranmu ikut saya… Kau
juga harus berganti pakaian," terdengar suara
gadis berbaju hijau. Si nenek tersenyum lalu
melangkah menuju pintu berlampu hijau
mengikuti gadis cantik di depannya.
Tak lama kemudian perempuan tua yang
dipanggil dengan Nenek Cempaka itu tampak
keluar dari pintu berwarna hijau, diiringi oleh
gadis berbaju hijau tadi. Si nenek ternyata
telah bersalin. Kini dia bukan saja
mengenakan sehelai kebaya panjang dan kain
putih, namun wajahnya juga diberi pupur,
pemerah pipi, penghitam alis, serta pewarna
bibir. Nenek yang dasarnya memang cantik ini
jadi tampak lebih segar. Dia melangkah
sambil membawa pipa kuningan di tangan
kiri.
Bersama gadis berbaju hijau Nenek Cempaka
duduk di atas permadani di bawah tangga,
tepat di hadapan kursi besar. Tak lama
kemudian terdengar suara bebunyian
mengalun diiringi oleh suara seperti deburan
ombak di atas pasir pantai. Tirai ungu yang
tergantung di belakang kursi membuka ke
samping.
Di saat itulah tampak seorang gadis
berpakaian biru keluar dari balik tirai. Dia
melangkah mendekati Nenek Cempaka lalu
berkata: "Nenek, kau dipersilahkan masuk."
Nenek Cempaka serta merta berdiri, menaiki
tangga lalu mengikuti gadis baju biru
melangkah melewati tirai yang terbuka. Begitu
lewat, tirai itu pun menutup kembali. Di balik
tirai ternyata ada satu ruangan besar yang
luar biasa bagusnya. Seluruh dinding dilukis
dengan pemandangan laut yang indah,
termasuk tetumbuhan dan binatang-
binatangnya. Di salah satu sudut terletak
sebuah pembaringan dan di atas pembaringan
ini bergolek seorang perempuan muda
berwajah sungguh rupawan.
Kulitnya kuning langsat. Dia memiliki rambut
hitam berkilat. Sepasang matanya bening tapi
menyorotkan pandangan tajam. Perempuan
ini mengenakan pakaian ungu gelap yang
tipis dan di atas kepalanya ada sebuah
mahkota emas bertaburan batu-batu permata.
Kedua lengannya dihiasi dengan kumpulan
gelang yang berderet-deret sampai ke dekat
siku.
Yang menarik ialah sebuah permata sebesar
ujung ibu jari yang melekat di pertengahan
keningnya, seolah-olah membenam dan jadi
satu dengan kulit dan daging keningnya.
Ketika melihat Nenek Cempaka masuk diiringi
gadis baju biru, perempuan di atas
pembaringan bangkit dan duduk bersandar
pada sebuah bantal besar.
Nenek Cempaka cepat menjura penuh hormat,
begitu juga gadis berpakaian biru. Setelah
menghormat gadis ini tinggalkan ruangan.
Kini tinggal si nenek dan perempuan di atas
pembaringan di tempat itu.
"Cempaka…!" perempuan jelita bermahkota di
atas pembaringan memanggil nama tanpa
sebutan nenek. "Aku sudah melihat
kemunculanmu tadi bersama anak itu lewat
ombak sakti penyambung mata. Benar gadis
cilik itu orang yang kita cari?"
"Benar Sri Ratu. Memang dia orangnya. Dia
bernama Ayu Lestari…" Lalu secara singkat si
nenek menuturkan peristiwa yang terjadi di
tempat kediaman Ayu di Kaliwungu.
"Kasihan anak itu. Tapi yang lebih penting
apakah kau sudah meneliti telapak tangan
kanannya…?" tanya perempuan cantik di atas
pembaringan yang dipanggil dengan sebutan
Sri Ratu.
"Sudah Sri Ratu. Sesuai petunjuk Sri Ratu
memang ruas telapak tangan kanan anak itu
ada tanda silangnya…"
"Aku lega sekarang. Berarti kita sudah
menemukan penerus dan pewaris Kerajaan
Laut Utara ini. Berarti aku bisa kembali ke
asalku dan beristirahat dengan tenang…"
"Tapi bukankah menurut Sri ratu kita harus
menunggu tujuh tahun. Yaitu sampai anak itu
berusia tujuh belas…?"
"Betul Cempaka. Tapi masa tujuh tahun tidak
lama. Karena itu kita harus
mempersiapkannya dengan cermat dan tepat
mulai dari sekarang. Itu semua menjadi
tugasmu dan enam gadis pembantuku…"
"Akan saya ingat dan perhatikan serta
jalankan hal itu baik-baik Sri Ratu…"
Tirai ungu terbuka. Gadis berbaju biru masuk,
membungkuk hormat lalu berkata memberi
tahu, "Gadis kecil itu sudah berada di depan
tahta kerajaan. Jika Sri Ratu berkenan melihat
dan menemuinya…"
Sri Ratu mengangguk lalu turun dari
pembaringan.
DI ruang luas yang bertiang besar sebanyak
dua puluh empat buah itu, Ayu Lestari duduk
di depan kursi besar, ditemani oleh Roro
Merah. Gadis cilik itu kini tampak
mengenakan sehelai pakaian baru yang
bagus, dan sampai saat itu masih saja
celingak-celinguk terkagum-kagum
memperhatikan keindahan ruangan besar itu.
Sesaat kemudian dilihatnya tirai ungu terbuka
dan seorang perempuan muda yang luar biasa
cantiknya, mengenakan pakaian ungu tipis
melangkah keluar dari balik tirai diiringi lima
dara masing-masing berpakaian biru, kuning,
hijau, abu-abu dan coklat. Di samping kiri
tampak perempuan tua berpakaian putih itu.
"Eh… Nek…!" seru Ayu Lestari. "Kemarilah!
Aih… Kau habis berdandan, rupanya! Wajahmu
jadi seperti muda dan tambah cantik!" imbuh
Ayu. Si nenek hanya tersenyum sambil
palangkan jari telunjuknya di depan bibir,
memberi tanda agar Ayu Lestari jangan bicara
terus.
Saat itu Ayu melihat perempuan muda berbaju
ungu telah duduk di atas kursi besar
sementara lima gadis tegak di samping kiri
kanan kursi dan si nenek sendiri melangkah
menuruni tangga menjemputnya. Dia memberi
isyarat pada Ayu agar berdiri. Gadis kecil itu
segera berdiri diikuti oleh Roro Merah.
"Nek, siapakah orang yang duduk di atas
kursi besar itu…?" berbisik Ayu Lestari.
"Dialah Ratu Laut Utara… Pemimpin kita di
Kerajaan bawah laut ini…"
Ayu Lestari lantas ingat ketika dia dibawa
melangkah ke dalam laut. "Kerajaan bawah
laut katamu nek? Apakah saat ini kita berada
di bawah laut…? Ayu tidak melihat air laut
sama sekali. Dan kita semua tidak
tenggelam…"
"Betul, kita memang berada di dasar laut,"
jawab si nenek. "Dengar, aku tidak akan
menceritakan apa-apa dulu. Lekas beri
penghormatan pada Sri Ratu…"
Sebagai anak desa, cara penghormatan yang
diketahui Ayu bukanlah menjura atau berlutut,
melainkan mencium tangan orang. Maka
begitu mendengar kata-kata si nenek tadi,
gadis cilik ini segera lari menaiki tangga dan
begitu sampai di hadapan Sri Ratu dia
menyalaminya lalu mencium tangan Sri Ratu.
Nenek Cempaka dan enam orang dara semula
menjadi tercekat khawatir kalau-kalau
tindakan gadis cilik itu tidak berkenan di hati
Sri ratu. Namun ketika mereka melihat Sri
Ratu mengulurkan tangan menyambut salam
Ayu sambil tersenyum, legalah semua orang
yang ada di situ.
Untuk beberapa lamanya, setelah mencium
tangan Sri Ratu, Ayu masih memegangi
tangan itu dan menatap wajah yang cantik
jelita itu. Belum pernah dia melihat
perempuan secantik itu. Mulutnya yang polos
langsung saja menyatakan kekaguman.
"Sri Ratu, wajahmu cantik sekali. Matamu
bagus dan bersinar. Ayu kagum melihatmu…"
Sri Ratu tersenyum lebar. "Anak baik,
kepolosanmu menyatakan kejujuranmu.
Apakah kau ingin punya mata sebagusku…?"
"Tentu saja mau Sri Ratu. Tapi mana mungkin
Ayu bisa punya mata sebagus dan sebening
matamu…"
"Kau akan memilikinya ketika kau berusia
tujuh belas tahun Ayu…"
"Ah, betulkah itu?"
Sri Ratu mengangguk. Lalu bertanya, "Apakah
kau suka tinggal di sini?"
"Suka sekali Ratu. Tapi nenek itu hanya
membawa Ayu sekedar melihat-lihat. Ayu
harus kembali ke Kaliwungu. Ibu Ayu…"
Sampai di situ, anak ini ingat apa yang terjadi
atas diri ibu, nenek dan kakek, serta salah
seorang kawannya yang mati dibunuh Djarot
Pangestu. Wajahnya menjadi merah dan dia
berusaha menahan isakan.
"Ayu, kami semua sudah memutuskan bahwa
kau tidak akan kembali ke Kaliwungu. Jangan
khawatir akan jenazah orang-orang yang kau
cintai itu. Mereka semua sudah ada yang
mengurusnya. Kau tinggal di sini, ikuti segala
petunjuk Nenek Cempaka dan enam
pembantuku…."
Sri Ratu mengusap kepala Ayu Lestari dengan
tangan kirinya. Tangan kanannya ditarik
genggaman Ayu. Saat itulah Sri Ratu melihat
sendiri ruas bersilang pada telapak tangan
gadis kecil itu.
"Kalian boleh pergi sekarang…" kata Sri Ratu.
Nenek Cempaka memegang lengan Ayu
Lestari. Sebelum meninggalkan tempat itu
gadis kecil ini bertanya, "Sri Ratu, kapan Ayu
boleh melihatmu lagi?"
"Tujuh tahun di muka Ayu," jawab Sri Ratu.
Selagi Ayu terheran-heran mendengar
jawaban itu, Sri Ratu sudah membalikkan diri
dan masuk kembali ke bilik tirai ungu
bersama enam gadis jelita pembantunya.
Di ujung ruangan, Ayu Lestari berhenti
melangkah dan berpaling pada Nenek
Cempaka. "Nek, Ayu heran…"
"Apa yang kau herankan Ayu?"
"Menurut cerita-cerita yang pernah Ayu
dengar, yang namanya kerajaan itu pasti ada
pasukannya. Pasti ada prajurit pengawal dan
sebagainya. Tapi Ayu tidak melihat seorang
lelaki pun di sini…."
"Ah, matamu kurang mengawasi," jawab si
nenek. "Cobalah kau memandang berkeliling.
Lalu katakana apa yang kau lihat…" si nenek
mengusap mukanya tiga kali.
Ayu Lestari memandang berkeliling. Dan
heranlah anak ini. Di seputar ruangan dia kini
melihat puluhan prajurit gagah bersenjatakan
pedang dan tombak tegak dengan sikap
mengawal.
"Apa yang kau lihat Ayu?" tanya si nenek.
"Ayu melihat prajurit-prajurit banyak sekali.
Mereka sangat gagah, memegang tombak
putih berkilat, membekal pedang di pinggang
masing-masing. Tapi eh… Kini mereka semua
lenyap Nek, menghilang ke mana mereka?!"
seru Ayu Lestari.
Si nenek menarik tangan anak itu seraya
menjawab, "Itulah salah satu keanehan dan
keajaiban di Kerajaan Bawah Laut ini, Ayu.
Akal manusia biasa tidak akan bisa
memecahkannya."
TUJUH
ORANG tua bertubuh tinggi kurus itu
memandang ke langit. Saat itu tengah hari di
mana sang surya memancarkan sinarnya
dengan terik. Meski dia berada di bukit yang
cukup tinggi namun kesejukan udara di situ
kalah oleh panasnya cahaya matahari.
Awan berarak di sebelah tenggara. Di arah
selatan rombongan burung terbang menuju ke
barat. Di puncak bukit itu suasana sunyi dan
panas. Lelaki tua itu masih menunggu. Tepat
ketika sang surya mencapai titik tertingginya
maka dia pun mematahkan sebatang cabang
pohon kecil lalu laksana kilat berlari ke
puncak bukit.
Di puncak bukit itu terdapat setumpuk
timbunan batu-batu cadas. Dengan cabang
pohon di tangan kanannya orang tua ini
memukul batu-batu itu. Satu demi satu batu
itu mencelat mental, ketika batu terakhir
terlempar jauh, maka di tanah tampak terbujur
sesosok tubuh yang hanya mengenakan
sehelai celana pendek warna hitam. Sosok
tubuh itu sama sekali tidak bergerak. Tak ada
tampak tarikan nafas pada dada atau pun
perutnya. Sekujur tubuhnya mulai dari kaki
sampai ke muka tampak penuh dengan luka-
luka.
"Anak manusia berhati keras! Masih hidup
atau sudah matikah engkau?" Si orang tua
berseru. Tak ada jawaban. Dia lalu
membungkuk mendekatkan telinga kirinya ke
dada di arah jantung. "Luar biasa! Empat
puluh hari ditanam jantungnya masih
berdetak!"
Orang tua itu lalu bangkit dan pandangi sosok
tubuh yang tergeletak sambil geleng-gelngkan
kepalanya.
"Huah!" tiba-tiba orang yang terbujur itu
keluarkan suara keras. Detik itu pula tubuhnya
melompat dan tahu-tahu dia sudah berdiri di
hadapan lelaki tua. Orang ini berbadan tinggi
tapi di hadapan si orang tua, tingginya hanya
sampai ke dadanya.
"Raja Batu Di Batu!" seru orang yang barusan
dikubur di bawah tumpukan puing batu "Aku
berhasil!"
"Kau memang hebat Djarot Pangestu. Selama
seratus limapuluh tahun usiaku, kau adalah
orang kedua yang sanggup lulus dari ujian
berat ini! Sekarang kau menguasai ilmu
kesaktian itu. Kau telah menjadi manusia
batu!"
Ternyata orang yang barusan ditimbun batu-
batu itu adalah Djarot Pangestu. Manusia
jahat yang begitu keluar dari penjara telah
membunuh bekas Adipati Ambarawa dan
istrinya, serta membunuh ibu Ayu Lestari dan
juga membunuh seorang anak kecil tidak
berdosa, kawan Ayu Lestari.
"Terimakasih kakek. Itu semua berkat
keikhlasanmu mewariskan ilmu kesaktian itu
padaku…."
"Dan kekerasan hatimu untuk membalas
dendam!"
Djarot Pangestu mengangguk.
"Dan demi tugas yang aku bebankan padamu.
Membunuh nenek sakti Cempaka itu!"
"Akan aku jalankan tugasmu dengan baik!"
ujar Djarot Pangestu pula. "Sekarang
bolehkah aku mencoba kehebatan ilmu
baruku?"
"Silahkan!" jawab lelaki tua yang disebut
dengan gelar Raja Batu Di Batu.
Djarot Pangestu melangkah mendekati sebuah
batu besar. Kaki kanannya tiba-tiba
ditendangkan.
"Braakkk!!!" Batu besar itu hancur berantakan.
Dia merasa belum puas. Didekatinya sebuah
batu besar lainnya. Lalu dengan tangan
kirinya dihantamnya batu itu, "Braaaakk!!!"
Hal yang sama terjadi. Batu itu pecah
berkeping-keping. Raja Batu Di Batu tertawa
mengekeh.
"Jika kau masih belum percaya, lihat ini!"
kata si kakek berseru. Lalu dia menyambar
sebuah potongan batu sebesar tetampah
seberat hampir lima puluh kati. Batu ini
dihancurkannya ke kepala Djarot Pangestu.
Djarot agak kaget dan berusaha menghindar.
Tapi batu menghantam kepalanya lebih cepat.
Djarot tampak terhuyung-huyung dan dia
menyaksikan bagaimana batu yang
dihantamkan ke kepalanya pecah berantakan.
Dia sendiri merasakan seperti di tepuk pada
kepalanya yang dihantam batu tadi. Tidak
ada luka, benjut pun tidak!
"Raja Batu Di Batu! Aku benar-benar percaya
pada kesaktian yang kini aku miliki. Aku
sangat berterimakasih padamu!" Habis
berkata begitu Djarot Pangestu lalu berlutut di
hadapan orang tua berusia 150 tahun itu.
"Setelah memiliki ilmu kesaktian itu, kau tentu
ingin cepat-cepat menyeberang ke Tanah
Jawa. Membalaskan sakit hatimu pada
Cempaka, meneruskan dendam kesumatmu
dengan menghabiskan sisa turunan Menak
Srenggi yang menurutmu lolos dari kematian
karena ditolong oleh si nenek yang kemudian
mengalahkanmu! Kau boleh pergi sekarang
juga Djarot. Tanah Bugis ini sangat jauh dari
Ambarawa. Kau harus menghabiskan waktu
paling tidak duapuluh hari pelayaran untuk
kembali ke sana."
"Jika Raja Batu Di Batu berkenan, aku
memang akan berangkat saat ini juga…"
"Pergilah, balaskan juga sakit hati dan
dendam kesumatku pada tua bangka bernama
Cempaka itu…"
"Kalau aku boleh tahu Raja Batu Di Batu,
dendam kesumat apakah yang ada antara kau
dengan dia…?" bertanya Djarot.
Lelaki tua itu tertawa lebar. "Urusan tolol di
masa muda. Aku suka dia, dia tidak suka aku.
Itu hal biasa saja. Aku tidak memaksa. Kalau
dia menolak wajar-wajar saja, aku tidak akan
sakit hati. Tapi dia mempermalukan aku di
hadapan orang banyak, di antaranya beberapa
tokoh persilatan di Tanah Jawa.
Kemudian dia kawin dengan pemuda lain.
Dalam keadaan mata gelap, suaminya itu
kubunuh di satu tempat di pantai utara Jawa.
Dia membalas dendam dan membunuh istriku,
padahal istriku saat itu sedang hamil muda.
Nah, apakah tidak pantas kalau hubungan
kita ini membuat aku memintamu mencari dan
membunuhnya? Apalagi kau pun ada silang
sengketa dengan dia!"
"Jangan khawatir Raja Batu Di Batu. Nenek
keparat itu akan mendapatkan hukumannya…
Aku pergi sekarang…!"
"Ada satu hal yang perlu aku beritahukan
padamu sebelum kau pergi, Djarot," berkata
Raja Batu Di Batu. "Turut pendengaranku,
tingkat kepandaian Cempaka saat ini jauh
lebih tinggi dari ketika dulu dia masih muda.
Namun jangan membuatmu menjadi gentar.
Hanya saja ingat baik-baik bahwa sejak
beberapa puluh tahun yang lalu dia telah
bergabung dengan Ratu Laut Utara, yakni
perempuan cantik berkepandaian tinggi yang
menjadi Ratu pada Kerajaan bawah Laut. Jika
kau mencarinya, berati kau harus masuk ke
wilayah kekuasaan Ratu Laut Utara. Dan ini
sangat berbahaya. Kau harus berhati-hati.
Tingkat kepandaian sang Ratu jauh lebih
tinggi dari si nenek itu!"
"Terima kasih atas pemberitahuanmu Raja
Batu Di Batu.. Percayalah, kesaktian yang kau
berikan tak akan kusia-siakan. Aku akan
menghancurkan siapa saja yang berani
menghalangi!"
"Memang ilmu kesaktian batu yang kini kau
miliki membuatmu menjadi seorang manusia
tanpa tandingan. Namun untuk berjaga-jaga
seandainya kau sampai bentrokan dengan
Ratu laut Utara, bawalah ini sebagai bekal.
Kunyah dan hadapi musuhmu, pasti dia akan
kewalahan dan babak belur!"
Raja Batu Di Batu lalu memberikan sebuah
benda berwarna putih, ternyata adalah sebutir
bawang putih. Djarot Pangestu menyimpan
bawang putih itu baik baik di balik pinggang
celananya lalu berlutut dan menyembah tiga
kali di hadapan si kakek baru tinggalkan
puncak bukit itu.
DELAPAN
TUJUH tahun berlalu sejak kedatangan Ayu
lestari yang dibawa nenek Cempaka ke
Kerajaan Bawah Laut di Laut utara. Hari itu di
ruangan besar terdengar suara alunan
gamelan yang tidak berhenti-henti sejak di
atas laut sang surya terbit. Ini satu pertanda
akan ada satu kejadian besar di Kerajaan
Bawah Laut walau keadaan tampak biasa-
biasa saja, yakni yang terlihat oleh mata
biasa hanyalah sang Sri ratu bersama enam
pembantunya yang jelita, lalu nenek Cempaka
dan Ayu Lestari, yang kini telah berubah
menjadi gadis tujuh belas tahun bertubuh
tinggi semampai dan berwajah cantik.
Seperti yang dipersiapkan sejak tujuh tahun
lalu, hari ini adalah hari di mana Sri Ratu
penguasa Laut Utara akan menyerahkan atau
mewariskan kekuasaannya pada Ayu Lestari,
gadis yang kini berusia 17 tahun dan
merupakan satu-satunya yang dianggap
paling tepat untuk mewariskan kekuasaan itu
karena pembawaannya yang dimilikinya sejak
lahir dan tidak mungkin dimiliki oleh orang
lain.
Upacara penyerahan kekuasaan dan
pengangkatan Ayu Lestari menjadi Sri ratu
yang baru berlangsung singkat, hanya dihadiri
oleh Sri ratu sendiri, lalu Ayu Lestari,
kemudian enam pembantu Sri Ratu dan
terakhir adalah orang kepercayaan Sri ratu
yaitu nenek Cempaka. Walaupun upacara
berlangsung singkat namun sangat sakral.
Pada upacara itu pula terjadi hal-hal luar
biasa yang sulit dipercaya oleh akal sehat
manusia biasa, termasuk Ayu Lestari.
"Ayu, hari ini aku bersyukur bahwa aku
akhirnya dapat menyerahkan tahta kerajaan
bawah laut padamu. Pegang dan jalankan
tahta kerajaan ini dengan sebaik-baiknya.
Enam Roro dan nenek Cempaka akan selalu
menjadi pendampingmu yang setia
sebagaimana mereka telah mendampingiku
selama hampir empat ratus tahun…"
"Empat ratus tahun!" ujar Ayu dalam hati.
"Apakah aku juga akan punya umur sepanjang
itu. Empat ratus tahun tanpa wajah berubah
menjadi keriput seperti nenek-nenek!"
Lalu terdengar kembali suara Sri Ratu.
"Sesuai kehendak Sang Pencipta melalui
sumpah kedua orang tuaku, maka aku akan
kembali pada asal dan ujudku semula…" Sri
ratu memandang sesaat pada Ayu, lalu
menoleh pada Roro Cokelat, yaitu dara cantik
berpakaian coklat.
Mendapat isyarat dari sang Ratu, dara ini
tinggalkan tempat itu. Ketika muncul kembali
dia membawa sebuah dulang emas di atas
mana terdapat sebuah anglo berisi arang
merah membara. Anglo ini diletakkan di depan
nenek Cempaka. Si nenek lalu mengeluarkan
sekeping kemenyan dari balik sabuknya dan
menebarkan kemenyan ini di atas bara api.
Serta merta ruangan besar itu dipenuhi bau
harumnya bau kemenyan.
"Cempaka, silakan melafatkan doa…" berkata
Sri Ratu dengan suara bergetar, sementara
enam pembantunya secara bersamaan
tundukkan kepala. Ayu juga ikut-ikutan
menundukkan kepala.
Nenek Cempaka tampak mengangkat kedua
tangannya ke atas. Kedua matanya
dipejamkan sedangkan mulutnya melafatkan
ucapan-ucapan panjang yang tidak
dimengerti oleh Ayu. Lama sekali si nenek
membacakan doanya itu. Begitu doa selesai,
nenek Cempaka membawa Ayu Lestari berdiri
lebih dekat di hadapan Sri Ratu.
Dengan tangan kanannya Sri Ratu memegang
batu permata besar yang selama ratusan
tahun melekat di kulit keningnya. Perlahan-
lahan batu permata yang berkilau-kilauan itu
ditanggalkannya. Pada saat itu di kejauhan
terdengar suara deburan ombak yang luar
biasa kerasnya diserai suara tiupan angin
seperti seruling.
"Pejamkan kedua matamu Ayu…," kata Sri
Ratu.
Ayu pejamkan kedua matanya. Sri Ratu
meletakan batu permata itu di pertengahan
kening Ayu lalu menekannya. Batu itu masuk
ke dalam kulit kening Ayu. Di saat itu pula
Ayu Lestari merasakan kelainan terjadi atas
dirinya. Tubuhnya terasa sangat ringan.
Pendengarannya menjadi luar biasa tajam.
"Kau boleh membuka matamu sekarang Ayu,"
kembali terdengar suara Sri Ratu. Ayu Lestari
membuka kedua matanya. Astaga!
Pemandangannya menjadi luar biasa
tajamnya. Dia kini melihat apa yang selama
ini tak mungkin dilihatnya dengan mata biasa.
"Apa yang kau lihat Ayu?" tanya Sri Ratu.
"Saya…, saya melihat ratusan prajurit di luar
sana. Melakukan pengawalan dengan rapi.
Saya bisa melihat lautan luas di atas sana.
Ada perahu-perahu nelayan. Ada pulau-pulau,
ada burung-burung. Bagaimana ini bisa
terjadi…?"
Sri Ratu tersenyum. "Itu semua hanya bisa
terjadi karena batu permata yang melekat di
keningmu dan juga karena adanya dasar
kekuatan dalam dirimu." Sri Ratu lalu
memandang berkeliling. "Sejak saat ini, Ayu
Lestari adalah Sri Ratu kalian yang baru.
Kalian harus berbakti dan setia padanya.
Sudah saatnya aku pergi dan mengucapkan
selamat tinggal pada kalian…"
Nenek Cempaka dan enam gadis jelita
menjura dalam pada Sri Ratu lalu juga pada
Ayu Lrestari, membuat gadis ini menjadi salah
tingkah. Lalu Sri Ratu melangkah mendekati
nenek Cempaka, merangkul perempuan tua ini
erat-erat. Di kedua mata sang Sri Ratu
tampak keluar merebak air mata. Lalu dia
juga memeluk dan mencium satu persatu
enam gadis pembantunya. Enam gadis ini
juga tampak terharu dan berusaha menahan
isak, sementara nenek Cempaka tertegak
tundukkan kepala. Terakhir sekali Sri ratu
memeluk dan mencium kedua pipi Ayu Lestari.
"Jaga kerajaan kita baik-baik Ayu…"
"Terima kasih atas kepercayaan besar ini Sri
Ratu. Jika sewaktu-waktu Ayu ingin bertemu,
apakah itu bisa dilakukan?"
"Aku akan selalu muncul pada saat-saat
penting. Kau bisa memberi tahu Cempaka jika
kau ingin bertemu denganku. Tanpa diminta,
jika kalian dalam bahaya misalnya, aku akan
muncul mendampingi kalian…"
Sri Ratu melepaskan rangkulannya. Dia
melangkah mundur tiga langkah lalu berkata.
"Ayu, ingat dulu bagaimana kau mengatakan
ingin memiliki mata sebening dan sebagus
mataku? Hari ini kebeningan dan kebagusan
itu telah kau miliki…"
Sebelum Ayu sempat mengatakan sesuatu Sri
Ratu lama menjurai memberi penghormatan
padanya, lalu Sri Ratu lama ini menjauh
sampai sepuluh langkah. Sambil melangkah
dia mengangkat kedua tangannya tinggi-
tinggi ke atas. Sesaat kemudian tampak ada
asap keluar dari tubuhnya. Pakaian ungu tipis
yang membungkus auratnya perlahan-lahan
sirna. Tubuh tanpa pakaian itu kini perlahan-
lahan berubah menjadi pucat, makin pucat
dan akhirnya menjadi putih sama sekali.
Di lain kejap Ayu hampir keluarkan seruan
tertahan kalau saja tidak cepat menutup
mulutnya sendiri. Bagaimanakah tidak! Sosok
tubuh Sri Ratu dilihatnya kini telah berubah
menjadi seekor buaya putih dan perlahan-
lahan meluncur turun ke bawah lalu melata di
atas permadani ruangan.
Sesaat buaya putih itu memandang ke arah
tujuh orang yang tegak tak bergerak itu. Lalu
binatang ini meluncur melewati bagian bawah
kursi besar tahta kerajaan bawah laut,
menuruni lima undakan tangga, meluncur
cepat di sepanjang permadani tebal berwarna
biru dan akhirnya lenyap di ujung ruangan
besar.
Tak lama kemudian terdengar suara seperti
ada benda berat masuk ke dalam air. Ayu
Lestari yang kini memiliki pandangan mata
tajam luar biasa, bukan saja memiliki daya
pandang jauh tapi juga punya daya tembus
yang hebat, arahkan pandangannya ke depan.
Gadis tujuh belas tahun yang kini menjadi Sri
Ratu baru itu melihat bagaimana buaya putih
tadi meluncur masuk ke dalam laut, berenang
cepat ke arah utara dan akhirnya lenyap di
kejauhan.
SEMBILAN
SAMBIL bersiul-siul Pendekar 212 Wiro
Sableng berjalan menimang-nimang
bungkusan daun berisi nasi. Sesekali nasi itu
dilemparkannya ke udara lalu ditangkapnya
kembali. Dia merasa adanya perbedaan udara,
tanda saat itu dia semakin dekat dengan
pantai utara. Udara pedalaman yang penuh
kesegaran pohon-pohon menghijau kini
berganti dengan udara laut yang mengandung
garam. Lapat-lapat pendekar ini mulai
mendengar suara deburan ombak di pasir.
"Ah, laut… laut! Sudah lama sekali aku tidak
melihat laut. Aku akan makan berenak-enak
di tepi pantai sambil memandang ke laut, lalu
berenang sepuas-puasnya. Orang yang
kutunggu paling cepat baru muncul saat
matahari menggelincir ke barat…"
Akhirnya murid Eyang Sinto Gendeng dari
Gunung Gede itu sampai juga ke tepi pantai
Laut Utara. Satu tangan memegang
bungkusan nasi, satunya lagi menggaruk-
garuk kepala, dia tegak di atas pasir,
memandang ke laut yang menyajikan
pemandangan indah sementara air laut dan
buih ombak membasahi kedua kakinya.
Setelah puas tegak-tegak di atas pasir
bermain ombak, Wiro melangkah ke arah
tumbangan pohon kelapa yang tergeletak di
bagian ketinggian lalu duduk di batang kelapa
itu. Sambil terus menatap ke arah laut
perlahan-lahan dia membuka bungkusan nasi
yang sejak tadi dibawanya. Begitu daun
terbuka kelihatanlah nasi putih yang masih
hangat, sepotong ikan bakar lalu sambal
terasi dan dua buah mentimun segar!
"Ah, di mana aku akan mencuci tangan…?"
Wiro memandang berkeliling. "Dicuci dengan
air laut pasti membuat tangan dan nasi ini
jadi asin. Ah sudahlah. Tidak cuci tanganpun
tidak apa-apa! Tidak ada yang marah! Ha…
ha…ha!" Wiro lalu mulai menyantap nasi
bungkusnya. Belum lagi suap pertama sampai
ke mulutnya, sepasang telinganya mendengar
langkah-langkah kaki di belakangnya.
Pendekar ini cepat berpaling dan
pandangannya bertemu dengan sosok tubuh
seorang nenek berambut putih acak-acakan,
berpakaian compang-camping. Langkahnya
terseok-seok. Kalau saja dia tidak bertopang
pada tongkatnya niscaya sudah beberapa kali
dia jatuh tergelimpang. Dan tongkat yang
berada di tangan si nenek bermuka kotor
celemongan ini sungguh aneh di mata murid
Sinto Gendeng.
Seorang nenek rombeng seperti itu membawa
sebatang tongkat yang ujungnya berkeluk.
Tongkat ini terbuat dari pipa kuningan yang
memantulkan sinar kekuning-kuningan akibat
siraman sinar matahari. Walaupun dirinya
jelas tidak terawat namun tampaknya si nenek
telah merawat baik-baik tongkat antiknya itu.
Perempuan tua itu tegak terbungkuk-bungkuk
di hadapan Wiro, bertopang pada tongkat
pipa kuningannya. Dadanya turun naik dan
nafasnya terdengar menyegal. Dia terbatuk-
batuk beberapa kali. Wiro jadi ingat pada
gurunya yaitu Eyang Sinto Gendeng.
Perempuan itu menatap sayu ke arah Wiro
beberapa lamanya. Lalu kedua matanya
berputar dan memandang lekat-lekat pada
nasi di atas daun yang ada di tangan kiri si
pemuda. Tampak dia beberapa kali
menjulurkan lidah, membasahi bibir
sementara tenggorokannya turun naik.
Wiro menunggu sampai si nenek mengatakan
sesuatu. Tapi justru orang itu terus saja tegak
berdiam diri. Dan kedua matanya masih
menatap tak berkesip pada makanan di atas
daun.
"Nek, apakah kau lapar…?" akhirnya Wiro yang
menegur.
Sesaat perempuan tua itu masih memandangi
nasi yang dipegang Wiro. Tak lama kemudian
terdengar suaranya seperti orang menggigil.
"Sudah dua hari aku tidak melihat nasi…"
Wiro menggaruk kepalanya. "Kalau kuberikan
nasi ini padanya, alamat aku Cuma akan
makan angin laut…" kata Wiro dalam hati.
Kembali terbayang wajah gurunya. Akhirnya
tanpa banyak pertimbangan lagi Pendekar 212
pindahkan nasi itu ke tangan kanannya lalu
mengangsurkannya pada si nenek.
"Kau ambillah nasiku ini, nek. Aku sebenarnya
tidak lapar," kata Wiro.
"Kita bagi dua saja nasi itu, anak muda,"
menjawab si nenek seraya maju satu langkah.
"Tidak, kau boleh ambil semua. Ini rezekimu,
jangan menolak…"
Si nenek tertawa sayu. "Aku tidak suka
menerima kebaikan orang tanpa membalasnya
dengan kebaikan pula. Sebungkus nasimu itu
akan kutukar dengan tongkat kuninganku ini!
Bawa ke mari nasi itu dan kau ambil tongkat
ini!"
Wiro tertawa dan gelengkan kepala. "Nasi
sebungkus ini kuberikan dengan ikhlas, tidak
meminta balasan apa-apa."
"Jangan menolak. Tongkat ini adalah
rezekimu!" kata si nenek pula.
"Terima kasih nek. Kau orang yang sangat
memperhatikan budi. Namun aku tak berani
menerima tongkatmu itu. Benda itu lebih
berguna bagi dirimu terutama untuk dipakai
berjalan…"
"Kalau begitu baiklah." Si nenek lalu
mengambil bungkusan nasi. Lalu tanpa
sungkan-sungkan dia duduk di samping Wiro
di atas batang kelapa itu. Tongkatnya
dibelitkan di sampingnya dan dia mulai
menyantap nasi, ikan, sambal terasi dan
mentimun.
Ternyata si nenek makannya "riuh" sekali.
Suara ciplakannya terdengar keras. Pendekar
212 Wiro Sableng hanya bisa melirik
memperhatikan si nenek yang begitu asyik
bersantap. Hanya dalam waktu singkat nasi
sebungkus itu pun tandas ke dalam perut si
nenek. Kini perempuan itu duduk menjulurkan
kakinya. Daun pisang pembungkus nasi
dirapikannya kembali lalu dia berpaling pada
Wiro, dan berkata seraya menyerahkan
bungkusan daun nasi yang telah kosong itu.
"Aku sudah kenyang. Sekarang giliranmu
makan anak muda!" Lalu enak saja
bungkusan itu diletakannya di atas pangkuan
Wiro.
"Perempuan tua ini geblek atau pikun. Nasiku
sudah disikatnya habis, kini bungkusan
kosong itu diserahkannya padaku. Aku
disuruhnya makan!" Wiro membatin.
"Hai, makanlah! Apa kau malu makan di
hadapanku? Aku tadi tidak malu-malu makan
di hadapanmu. Malah suara ciplakanku
terdengar sampai ke dalam laut, sempat
mengejutkan ikan-ikan di sana. Hik…hik…hik!
Nah, selamat makan anak muda!"
"Nek, apa yang hendak kumakan? Bukankah
nasi dalam daun itu sudah kau habiskan
tadi…?"
"Ah, kau pasti menyesal memberikan nasi itu
padaku!" si nenek tampak memancing.
"Sungguh mati aku tidak menyesal. Aku
senang dan ikhlas menolongmu," jawab Wiro
pula.
"Kalau begitu kau makanlah nasi itu!"
"Nasi yang mana nek?"
"Nasi dalam bungkus daun. Yang ada di
pangkuanmu itu! Apa kau melihat bungkusan
nasi yang lain?!"
"Astaga nek, bungkusan ini kosong. Isinya
Cuma tulang ikan. Sebaiknya kubuang saja…"
"Jangan dibuang anak muda. Kau belum
membukanya. Belum melihat isinya.
Bagaimana kau bisa mengatakan daun itu
isinya cuma tulang ikan?"
"Aku tadi melihat kau menyantap habis nasi
itu, ikannya, sambal terasi dan dua potong
ketimun. Yang kau sisakan hanya tulang
ikan…!"
Si nenek tertawa cekikikan.
"Eh, apa pula yang kau tertawakan, nek?"
tanya Wiro.
"Anak muda, kau seolah-olah punya mata
yang bisa menembus daun pisang
pembungkus itu. Hingga begitu yakin isinya
hanya sepotong tulang ikan! Cobalah dulu
kau buka dan periksa. Apa yang kau katakan
mungkin tidak demikian. Nah, apakah kau tak
ingin memeriksanya?"
"Kalau kau bilang begitu, baiklah…" Wiro lalu
membuka bungkusan daun itu. Dan terkejutlah
sang pendekar! Bungkusan yang disangkanya
kosong hanya berisikan tulang belulang ikan
bakar ternyata ketika dibuka yang tampak
adalah nasi putih masih mengepul, sepotong
ikan bakar, sambal terasi, dan dua buah
ketimun segar! Persis seperti yang
sebelumnya dilihat Wiro dan diserahkan pada
si nenek lalu dimakan sampai habis!
Wiro tidak percaya pada matanya sendiri.
Dipegangnya nasi itu. Terasa panas dan
memang nasi betulan. Diangkatnya ikan bakar
itu, diciumnya. Terasa harum segarnya ikan
bakar.
"Itu ikan betulan anak muda! Buah mentimun
itu juga buah betulan! Sambal terasi itu juga
sambal betulan. Jika kau tidak percaya
silahkan peperkan ke matamu! Nanti kau baru
yakin akan ucapanku!
Hik…hik…hik…"
"Nek, kau ini ahli sulap atau tukang sihir…?"
tanya Wiro.
Si nenek tertawa panjang. "Tidak kedua-
duanya, anak muda. Nah kau makanlah!"
katanya. Dengan perasaan penuh ragu Wiro
menyuap nasi dan secuil ikan. Ketika
dikunyah dan ditelannya memang nasi dan
ikan betulan. "Lalu apa yang tadi dimakan
nenek itu?!" tanya Wiro sambil mengunyah
terheran-heran. Sementara si nenek sendiri
duduk tenang-tenang saja memandang ke laut
lepas. Selagi Wiro bersantap dan selagi si
nenek duduk santai begitu rupa, tiba-tiba
terdengar satu bentakan keras.
"Tua bangka keparat! Akhirnya kutemui juga
kau di tempat ini! Jangan kira kau bisa
menipuku dengan menyamar sebagai nenek-
nenek rombeng!"
SEPULUH
KALAU Pendekar 212 Wiro Sableng meskipun
kaget tetap duduk di atas batang kelapa,
sebaliknya si nenek cepat menyambar tongkat
besi kuningannya dan melompat. Wiro segera
melihat perubahan gerak-gerik perempuan tua
ini. Kalau tadinya tampak lamban dan lemah,
kini gerakannya menunjukkan kegesitan penuh
waspada.
"Setelah tujuh tahun berlalu, bangsat ini
muncul kembali! Bagaimana dia tahu diriku!"
si nenek membatin.
Kemudian dia ingat pada tongkat pipa
kuningan yang dipegangnya di tangan kanan.
"Ah, pasti senjataku inilah yang dikenalinya!"
"Tua bangka buruk! Sebelum nyawamu
kukirim ke akherat lekas katakan di mana
cucu perempuan bekas Adipati Ambarawa
Menak Sringgi itu kini berada?!"
"Djarot Pangestu…, Kau bilang aku nenek
buruk, memang aku sudah tua dan jelek. Tapi
dirimu kulihat lebih jelek. Tangan dan
mukamu penuh cacat! Siapa yang telah
menghajarmu sampai hancur-hancuran begini
rupa?" Habis berkata begitu si nenek lalu
tertawa cekikikan.
"Tua bangka sedeng! Lekas katakan di mana
anak perempuan itu berada?!"
"Ada urusan apa kau mencarinya? Apa masih
belum cukup menebar maut menumpah darah
orang-orang tak berdosa?!"
"Puah! Jangan bicara tentang manusia-
manusia tak berdosa! Dosa Menak Sringgi
terhadapku turun temurun sampai ke anak
cucunya. Adalah pantas kalau seluruh darah
daging keturunannya harus kubasmi!" ujar
Djarot Pangestu pula.
"Sampai ke ujung langit sekali pun kau
mencari, tak bakal kau menjumpainya! Dan
kalau kau berhasil menemuinya dia akan
menghajarmu semudah dia membalikkan
telapak tangannya!"
"Begitu…?" kata Djarot Pangestu lalu meludah
ke pasir. "Biar lehermu yang kubalik lebih
dahulu!"
Djarot tutup ucapannya dengan menyerbu dan
lancarkan pukulan tangan kosong ke arah
kepala si nenek. Nenek berambut putih ini
serta merta gerakkan tangan kanannya,
menangkis serangan lawan dengan tongkat
pipa kuningan.
Sebelumnya Djarot Pangestu sudah tahu
kehebatan senjata lawan itu. Namun kini
setelah menguasai ilmu kesaktian yang
didapatnya dari Raja Batu Di Batu di Tanah
Bugis, maka dia bermaksud untuk menjajal
sampai di mana kehebatan ilmu kesaktian itu.
Begitu tangannya memukul, tangan itu
berubah hitam legam dan keras luar biasa
seperti batu!
"Traaaang…!"
Tongkat kuningan dan tangan saling beradu,
mengeluarkan suara berdentrangan yang
keras. Si nenek keluarkan seruan kaget. Bukan
saja tubuhnya terhuyung keras ke belakang
tapi tongkat pipa besi kuningannya tampak
peyok pada bekas yang terkena hantaman
tangan Djarot Pangestu. Sedang lelaki itu
sendiri hanya tampak tergontai-gontai sambil
menyeringai.
"Manusia satu ini pasti sudah berguru pada
seorang sakti mandraguna, sesuai
ancamannya tempo hari…" pikir si nenek.
Walaupun darahnya terkesiap melihat
kehebatan lawan namun dia menunggu
dengan sikap tenang.
Ketika Djarot Pangestu menyerbu kembali, dia
ketukkan tongkat pipanya ke tanah. Terdengar
suara bergema laksana genta mengalun. Satu
gelombang angin yang deras menghantam ke
arah Djarot Pangestu. Wiro turut merasakan
kehebatan angin senjata di tangan si nenek.
Tubuhnya terhuyung ke kiri. Dia cepat
berguling lalu tegak melompat.
"Ilmu kesaktianmu tiada guna, nenek jelek!"
ejek Djarot Pangestu. Dia dorongkan kedua
tangannya. Kedua tangan itu serta merta
berubah menghitam seperti batu.
"Braaak!"
Terdengar suara aneh seperti dua benda keras
saling bentur ketika gelombang angin yang
keluar dari ujung tombak pipa kuningan si
nenek bertemu dengan dua telapak tangan
Djarot Pangestu. Djarot terhempas ke
belakang sebaliknya si nenek terdengar
keluarkan suara mengeluh. Tanah yang
dipijaknya seperti amblas. Tubuhnya
terbanting jatuh sedang mukanya tampak
pucat!
"Sekarang terima kematianmu tua bangka
sedeng!" teriak Djarot Pangestu. Tangan
kanannya laksana palu godam dihantamkan
ke kepala si nenek. Dengan susah payah
perempuan itu melintangkan tongkat pipa
kuningannya di atas kepala guna melindungi
diri.
"Traaaaang!"
Untuk kedua kalinya terdengar suara
berdentrangan. Tongkat pipa kuningan itu
patah dua. Si nenek terpental dua tombak,
terguling di atas pasir dan diguyur oleh
ombak yang memecah di pantai. Selagi dia
mencoba bangkit dengan susah payah, Djarot
Pangestu sudah melompat ke hadapannya.
"Pergi!" teriak si nenek sambil tusukkan jari
telunjuk tangannya ke arah dada lawan.
Djarot pangestu merasa seolah-olah ada besi
panas berputar menusuk tembus ke dadanya.
Jantungnya seperti dibor! Lelaki itu berteriak
kesakitan, keluarkan keringat dingin. Dengan
cepat dia rangkapkan dua tangan di depan
dada. Sepasang matanya membeliak.
Rambutnya yang awut-awutan berjingkrak ke
atas seperti terpanggang. Mukanya dan
sekujur tubuhnya mendadak berubah menjadi
hitam aneh. Hitam mengeras seperti batu.
Rahangnya menggembung dan dari mulutnya
terdengar suara bergemeletakan.
"Pergi!" Teriak si nenek sekali lagi sambil
lipatgandakan tenaga dalamnya. Tusukan
seperti besi berputar kembali menyambar
ganas bagian dada Djarot Pangestu. Tapi kini
seperti mendera tembok baja, tusukan itu tak
dapat terus, malah membalik pada
pemiliknya.
Terdengar pekik si nenek. Tubuhnya jatuh
terguling di atas pasir. Dari mulutnya tampak
mengalir darah segar. Djarot Pangestu
membuat langkah-langkah kaku yang aneh
seolah tubuhnya benar-benar telah berubah
menjadi batu. Begitu sampai di hadapan si
nenek dia angkat kaki kanannya tinggi-tinggi
lalu dihujamkan ke kepala perempuan tua itu!
SEBELAS
NENEK Cempaka meskipun dalam keadaan
terluka parah di sebelah dalam namun masih
sempat melihat datangnya hantaman kaki
Djarot Pangestu yang akan menghujam
kepalanya. Dia berusaha menyingkir. Tapi
seperti ada hawa aneh yang membuatnya tak
mampu bergerak. Perempuan tua ini hanya
pasrah menunggu datangnya maut!
Hanya sesaat lagi tapak kaki Djarot Pangestu
akan menghancurkan kepala si nenek, tiba-
tiba dari samping seperti ada angin puting
beliung yang menyambar. Pasir terbang ke
udara dan air laut muncrat tinggi. Tubuh
Djarot Pangestu yang hanya bertumpu pada
kaki kiri, meskipun tidak terangkat mental dan
hanya terpuntir ke kiri namun ini sudah cukup
menyelamatkan kepala si nenek dari
hantaman kakinya.
Kaki itu kini mendarat di atas pasir pantai.
Untuk kedua kalinya pasir menghambur ke
udara dan di tanah pantai tampak sebuah
lobang besar.
Ketika berpaling ke kanan Djarot Pangestu
saksikan tubuh nenek Cempaka sudah berada
dalam dukungan Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kau muridnya atau siapa! Lekas beri tahu!"
bentak Djarot Pangestu seraya maju dua
langkah. Sampai saat itu wajah dan sekujur
badannya sampai ke kaki masih tampak hitam
membatu.
"Aku dan nenek ini tidak punya hubungan
apa-apa. Sangkut pautku dengan dirinya
adalah sangkut paut kemanusiaan!" jawab
Wiro. "Mengapa kau hendak membunuhnya?!"
"Mengapa aku hendak membunuhnya itu
bukan urusanmu! Lemparkan tubuhnya ke
pasir!" menghardik Djarot Pangestu.
"Kau sudah mengalahkannya, apa masih
belum puas?!"
"Bangsat!" Djarot Pangestu jadi meledak
amarahnya. "Biar kalian berdua kubunuh
sekaligus!" Lalu lelaki ini dorongkan kedua
tangannya keras-keras ke arah murid Sinto
Gendeng yang memanggul si nenek di bahu
kirinya.
Tadi untuk menyelamatkan Nenek Cempaka,
Wiro telah lepaskan pukulan sakti bernama
"Benteng Topan Melanda Samudra".
Sebelumnya, siapa saja yang sempat
tersambar pukulan sakti itu pasti akan
mencelat mental dan kalau tidak remuk
sekujur tubuhnya, paling tidak akan menderita
luka dalam yang parah. Namun kenyataannya
Djarot Pangestu hanya terpuntir ke samping.
Jelas manusia satu ini memiliki ilmu
kepandaian dan kesaktian sangat tinggi.
Kini melihat Djarot hantamkan kedua
tangannya ke arah dirinya yang sedang
memanggul Nenek Cempaka. Pendekar 212
Wiro Sableng tanpa ayal lagi segera lepaskan
Pukulan Sinar Matahari!
Sinar seputih perak dan menyilaukan serta
menebar hawa panas berkiblat menghantam
ke arah angin sakti yang keluar dari dua
telapak tangan Djarot Pangestu. Dua kekuatan
sakti tingkat tinggi saling bentrokan.
Terdengar suara berdentum. Pasir pantai
beterbangan ke udara. Ombak yang bergulung
dan hendak memecah di pantai tersapu dan
membalik kembali ke arah laut.
Pendekar 212 rasakan tubuhnya seperti dijebit
oleh dinding batu dari arah depan serta kiri
kanan. Kedua lututnya goyah. Dia tak
sanggup bertahan akhirnya terpental dua
tombak ke belakang, terhempas di atas pasir
tapi masih sanggup memegang erat tubuh si
nenek hingga keduanya jatuh saling tindih.
Wiro cepat bangkit walau dadanya terasa
sesak dan masih dalam keadaan mendukung
si nenek di bahu kirinya!
Ketika pukulan sinar matahari menghantam,
sesaat tubuh batu Djarot Pangestu yang
berwarna kehitaman itu berubah menjadi putih
dan mengepulkan asap. Kedua matanya
merah membara. Dia menjerit keras sebelum
tubuhnya terhempas ke pasir lalu terguling
sampai delapan langkah. Namun tampaknya
orang ini tidak mengalami cedera. Meskipun
terhuyung-huyung dia berusaha bangkit.
Sekujur tubuhnya yang memutih dan
mengepulkan asap itu mengeluarkan suara
bergemeretakan seperti suara batu bergeser.
"Anak muda…" Wiro mendengar si nenek
berbisik padanya. "Lekas tinggalkan tempat
ini. Kau tak sanggup mengalahkan manusia
itu. Aku tahu ilmu apa yang dimilikinya.
Sebelum terlambat lekas turunkan diriku dan
selamatkan dirimu!"
"Aku tak mungkin meninggalkan kau di sini
begitu saja nek," ujar Wiro. "Keparat itu pasti
akan membunuhmu!"
"Mungkin memang sudah begitu suratan
takdirku!"
"Jangan mendahului kemauan Tuhan nek! Aku
masih punya ilmu simpanan. Juga senjata
mustika untuk menghajarnya!"
"Jangan tolol!" mendamprat nenek Cempaka.
"Sekalipun kau punya segudang kesaktian dan
seribu macam senjata, dia tak akan sanggup
kau kalahkan. Dia manusia batu yang kebal
segala macam pukulan dan senjata. Lekas
kau turunkan diriku!"
"Tidak!" jawab Wiro berkeras, sementara itu di
depannya Djarot Pangestu dengan kedua
tangan terpentang mulai melangkah
mendekat. Kedua tangannya dirangkapkan
secara aneh di depan dada. Dan tubuhnya
yang tadi berwarna keputihan perlahan-lahan
kini kembali menjadi hitam membatu!
"Anak muda kau tolol amat sih!" terdengar
suara Nenek Cempaka kembali. "Tapi
sudahlah, jika kau memang mau menolongku,
cepat melangkah ke dalam laut. Aku melihat
di kejauhan ada dua orang dari para
sahabatku tengah melesat dari dasar laut
menuju ke tempat ini. Mereka tak bisa
mengalahkan lelaki itu, namun keduanya
sanggup menghalangi sehingga kita sempat
menyelinap masuk ke dalam laut! Ayo lekas
masuk ke dalam laut!"
"Nek!" seru Wiro. "Kau memang sakit terluka
di dalam. Tapi kau bukan sakit panas. Lalu
mengapa kau bicara seperti orang
mengigau?!"
"Mengigau macam mana maksudmu?!" Sentak
si nenek. "Lekas lakukan apa yang kubilang.
Waktu kita hanya sedikit!"
"Kau menyuruh aku masuk ke dalam laut! Apa
itu bukan mengigau?! Lalu kau bilang melihat
ada dua dara sahabatmu melesat dari dasar
laut! Apa itu juga bukan mengigau? Aku tidak
melihat siapa-siapa, apalagi dua dara itu…."
Wiro putuskan ucapannya ketika tiba-tiba dari
bawah permukaan laut hampir tak dapat
dipercayanya melesat keluar dua sosok tubuh
berpakaian biru dan hijau. Dan keduanya
ternyata adalah sepasang dara berparas
cantik jelita, berkulit sangat putih dan seperti
berkilauan ditimpa sinar matahari.
Yang membuat Wiro jadi menahan nafas
adalah pakaian kedua dara ini. Sisi kiri baju
panjang yang dikenakan dua dara itu terbelah
tinggi sampai ke pangkal pahanya hingga
sebagian auratnya kelihatan terpampang
ketika angin laut menyibakkan baju mereka!
Sesaat Wiro tegak tertegun sementara Djarot
Pangestu yang semula melangkah mendekati
Wiro untuk beberapa saat lamanya menatap
ke arah kedua gadis itu dengan tajam dan
kedua kaki batunya berhenti melangkah.
Wiro tepuk pantat si nenek. "Pemuda kurang
ajar! Apa-apaan kau ini?!" menghardik si
nenek. "Gadis berbaju hijau dan biru itu.
Mereka yang kau katakan para sahabatmu?!"
"Betul! Tapi sekarang kita tak punya waktu
banyak untuk bicara panjang lebar. Biarkan
dua dara itu menghadang. Kau lekas
melangkah ke dalam laut…"
"Nenek ini begitu memaksa… Aneh! Dia tidak
mengigau. Kalau aku turuti perintahnya apa
aku mau mati tenggelam…?!"
Selagi Wiro berpikir-pikir seperti si nenek
gerak-gerakan kedua kakinya sementara
tangan kanannya menekan punggung murid
Sinto Gendeng. Aneh seperti di dorong oleh
suatu kekuatan gaib, Pendekar 212 terdorong
ke depan dan bagaimana pun dia berusaha
melawan, tetap saja tubuhnya terdorong
malah makin dilawan tambah keras.
Tanpa disadarinya akhirnya Wiro melangkah
ke dalam laut. Makin dalam, makin dalam dan
sewaktu air laut sudah sampai ke dadanya
malah mulai mendekati leher, nenek itu
menekan kuat-kuat salah satu urat besar di
punggung Wiro. Murid Sinto Gendeng terus
melangkah, masuk ke dalam laut dan lenyap
dari pemandangan!
DUA BELAS
MURID Sinto Gendeng itu nyaris tak percaya
kalau tidak dapat mengalami sendiri
bagaimana dirinya bisa melangkah bahkan
melayang di dalam air laut bahkan bernafas
seolah-olah dia berada di udara terbuka saja!
Hanya pemandangannya saja yang mula-
mula terasa agak berkabut dan matanya
sedikit perih. Namun beberapa saat kemudian
dia mampu melihat seterang di luar. Hal ini
tak lain karena totokan aneh yang dilakukan
nenek Cempaka pada bagian punggungnya.
Wiro hendak membuka mulut menanyakan
sesuatu. Tapi sadar berada di dalam laut, dan
khawatir air masuk ke dalam mulutnya, maka
pendekar ini kancing mulutnya rapat-rapat.
Setelah melayang beberapa lama di dalam
laut, nenek yang dipanggul menunjuk jauh ke
bawah, ke arah dasar laut. Wiro memandang
ke arah yang ditunjuk. Dia melihat sebuah
bangunan besar yang memiliki beberapa
atap-atap tinggi berbentuk joglo. Si nenek
terus memberi tanda agar Wiro bergerak ke
arah bangunan itu.
Ketika hampir mencapai bangunan besar
tersebut, dua orang tampak melesat dari
depan. Ternyata dua orang gadis masing-
masing berpakaian merah dan cokelat.
Sebentar saja mereka sudah sampai ke dekat
Wiro. Lalu pendekar ini mendengar ada suara
mengiang di telinganya.
"Ikuti kami..."
Dua gadis tadi memandang sesaat pada Wiro,
lalu berbalik dan berenang mendahului
menuju ke bangunan besar. Begitu sudah
sampai di bawah atap bangunan, air laut
serta merta lenyap dan Wiro dapatkan dirinya
dalam keadaan basah kuyup berada di bagian
depan bangunan besar. Memandang ke dalam
dia melihat satu ruangan bertiang dua belas
buah di kiri kanan, lantainya beralaskan
permadani dan jauh di ujung sana ada sebuah
kursi besar di bawah dua buah payung.
"Nek, segala sesuatunya serba ajaib! Aku tak
habis percaya bagaimana aku bisa mampu
melayang dan bernafas dalam air laut. Lalu di
mana kita berada saat ini....?"
"Kita berada di Kerajaan Bawah Laut, anak
muda. Hanya itu yang bisa kuterangkan saat
ini..." terdengar si nenek menjawab.
Ketika Wiro hendak bertanya lagi, dara
berpakaian cokelat sudah mendatangi dan
berkata, "Serahkan nenek itu padaku!" Lalu
tanpa menunggu dia mengambil nenek
Cempaka dari bahu kiri Wiro dan
memanggulnya menuju sebuah pintu yang
diatasnya ada lampu cokelat. Gadis berbaju
merah memberi isyarat agar Wiro
mengikutinya. Saat itu pakaian Wiro basah
kuyup, begitu juga tadi si nenek. Tapi
mengapa dara yang melangkah di depannya
itu sama sekali tidak basah?
Padahal tadi jelas dia berenang di dalam laut
menyongsong kedatangannya bersama si
nenek.
"Jangan-jangan aku berada di sarangnya
dedemit atau jin laut," pikir Wiro.
"Di dalam kamar ada seperangkat pakaian.
Ganti pakaianmu yang basah. Jika sudah
selesai, keluar dari kamar ini dan duduk
didepan tangga di seberang kursi besar
diujung ruangan..."
"Kau sendiri tidak masuk ke dalam kamar...?"
Wajah sang dara tampak menjadi merah.
"Jika Sri Ratu tidak menganggap dirimu
sebagai seorang tamu yang berjasa dan
terhormat, cukup alasan bagiku untuk
menjatuhkan hukuman atas mulutmu yang
lancang itu!" kata dara berpakaian merah
yang dipanggil dengan nama Roro Merah itu.
Wiro baru sadar kalau ucapannya tadi sangat
menyinggung perasaan si baju merah,
padahal sebenarnya tidak ada maksud apa-
apa. Cepat-cepat dia tundukkan kepala dan
berkata: "Saudari, harap maafkan. Aku ....
hemm... aku tidak bermaksud yang bukan-
bukan. Segala sesuatunya di tempat ini serba
aneh walaupun menakjubkan. Berada seorang
diri di tempat ini, maksudku di kamar itu aku
khawatir melakukan kesalahan dan melanggar
aturan. Tadi si nenek mengatakan aku berada
di Kerajaan Bawah Laut. Apa benar begitu?
Lalu siapa raja di kerajaan ini? Aku benar-
benar mengalami hal-hal yang luar biasa.
Bayangkan, orang tolol sepertiku ini bisa
berjalan di dalam laut, bisa bernafas!
Padahal, jelek-jelek begini, aku bukan turunan
ikan atau kura-kura!"
Mendengar ucapan yang polos dan lucu itu
Roro Merah kini tampak tersenyum.
"Saudara...," katanya.
"Memang benar saat ini kau berada di
Kerajaan Bawah Laut. Kami tidak punya raja
tapi memiliki seorang ratu yang kami sebut
dengan panggilan Sri Ratu Ayu Lestari. Kau
bisa berjalan di dalam laut dan bernafas
seperti di udara biasa karena nenek Cempaka
menotok salah satu urat di punggungmu..."
Pendekar 212 tentu saja tercengang
mendengar keterangan itu. Dia geleng-geleng
kepala. "Ilmu totokan apa yang sungguh luar
biasa itu..." katanya sambil menggaruk
kepala. "Ah, kalian di sini tentunya manusia-
manusia sakti mandraguna. Aku benar-benar
mengaguminya. Dan mohon maaf kalau
dengan sejujurnya aku harus memuji bahwa
kau dan kawanmu tadi, juga dua dara yang
melesat menghadang Djarot Pangestu,
semuanya cantik-cantik dan memiliki
sepasang mata yang luar biasa indahnya.
Cuma, yang aku heran, kalau memang benar
ini sebuah kerajaan, mengapa suasana sepi-
sepi saja? Dan bangunan ini pasti sebuah
istana. Lalu di mana para penjaga? Para
pengawal...?"
"Kau melewati mereka, tapi tidak melihat
mereka. Cobalah memandang berkeliling
sekali lagi..." kata Roro Merah. Wiro lakukan
apa yang dikatakan gadis itu.
"Astaga...!" ucapnya ketika dia menyaksikan
bagaimana ruangan itu mulai dari bagian
depan sampai di sekitar kursi besar di bawah
payung penuh dengan pengawal bersenjata
lengkap.
"Aneh, bagaimana tadi aku tidak melihat
mereka semua...?" Dia memandang berkeliling
sekali lagi.
Mendadak saja muncul rasa kecut dalam
dirinya ketika saat itu dia tidak lagi melihat
para pengawal itu!
"Silakan masuk ke dalam kamar dan ganti
pakaianmu lalu keluar menuju hadapan Tahta
Kerajaan..." berkata Roro Merah.
Di dalam kamar yang dinding dan langit-
langitnya berwarna merah dan harus
semerbak Wiro dapatkan sebuah ranjang yang
sangat bagus. Di atas ranjang ini ada
seperangkat pakaian lelaki terdiri dari celana
panjang dan baju tangan panjang berwarna
merah dengan hiasan berupa sulaman dari
benang emas. Di samping pakaian, terdapat
pula topi tinggi berwarna merah, lalu ikat
pinggang besar berbentuk rantai yang ketika
ditelitinya membuat pendekar ini jadi
melengak karena ikat pinggang itu terbuat
dari emas!
Wiro termangu sesaat. Tak ada hal lain yang
bisa dilakukannya kecuali memang
mengenakan harus pakaian merah itu. Dia
membuka pakaian putih dekilnya yang basah
kuyup. Namun sesaat dia memandang ke
pintu, khawatir ada yang masuk. Dia juga
memandang ke seantero kamar, takut ada
yang mengintip! Akhirnya dengan senyum-
senyum Wiro tanggalkan pakaian putihnya
lalu dengan cepat mengenakan baju dan
celana merah, lengkap dengan ikat pinggang
dan topinya. Kapak Naga Geni 212
diselipkannya di pinggang di bawah baju,
begitu juga batu hitam sakti kawanan kapak
mustika itu.
Di dinding sebelah kiri terdapat sebuah kaca
besar. Wiro pandangi dirinya di dalam kaca
itu dan menyeringai sendiri ketika
menyaksikan tampangnya. "Gagah juga diriku
ini! Tak kalah dari seorang pangeran!
Pangeran Sableng...? Huh!?" Dia tertawa
sendirian lalu melangkah ke pintu. Tapi cepat
berpaling ketika ingat pakaiannya yang
basah. Dan melangkah pendekar kita. 28
Pakaian putih basah itu tadi jelas-jelas
ditanggalkannya dan diletakkannya di lantai.
Tapi kini pakaian itu tak ada lagi di situ,
lenyap tanpa bekas, bahkan bekas-bekas air
pun tak kelihatan lagi di lantai! Dengan tubuh
agak bergetar, Pendekar 212 keluar dari
dalam kamar. Begitu berada di ruangan besar,
di ujung sana dilihatnya nenek Cempaka
bersama Roro Merah telah duduk di hadapan
kursi besar. Di atas sana tampak duduk
seorang dara cantik luar biasa, mengenakan
pakaian ungu yang sangat tipis. Di kepalanya
ada sebuah mahkota emas bertaburkan
permata. sedang di keningnya menempel
sebuah batu permata besar.
Wiro ingat pesan Roro Merah tadi, lalu dia
segera melangkah ke ujung ruangan. Sadar
kalau dia pasti berhadapan dengan Sri Ratu
penguasa Kerajaan Bawah Laut, dan khawatir
berbuat kesalahan lagi maka murid Sinto
Gendeng cepat menjura. Setelah itu dia melirik
pada nenek Cempaka. Perempuan tua ini
dilihatnya baik-baik saja, malah tersenyum
tidak seperti orang yang menderita luka parah
di dalam akibat hantaman Djarot Pangestu
tadi.
Malah dia pun melihat si nenek telah
berdandan hingga wajahnya yang tua itu
tampak cantik, ditambah dengan pakaian
putih yang bagus. Tidak dapat tidak, si nenek
pasti sudah mendapat pengobatan yang
mujarab hingga bisa sembuh secepat itu.
"Nek, kau sehat-sehat saja..." akhirnya Wiro
membuka mulut. Si nenek tersenyum dan
anggukkan kepala. Wiro memandang ke arah
gadis di atas kursi. Ada sinar agung yang
memancar dari sepasang matanya, yang
membuat Wiro tak kuasa menatap lebih lama.
Inilah Sri Ratu Ayu Lestari, dara berusia tujuh
belas tahun, cucu Menak Srenggi yang secara
tidak diduganya sama sekali telah ditunjuk
sebagai penguasa Laut Utara.
Selagi Wiro salah tingkah karena tak tahu
mau berbuat atau berkata apa, terdengar Sri
Ratu berkata, "Saudara, kami ingin
menyampaikan rasa terima kasih karena kau
telah menyelamatkan nenek Cempaka dari
bahaya maut keganasan Djarot Pangestu.
Sebagai balas jasa, katakanlah apa yang kau
inginkan dari kami...?"
Wiro tak menyangka akan mendapat
pertanyaan seperti itu. Sesaat dia menatap
wajah Sri Ratu, tapi sekali lagi sinar yang
keluar dari mata gadis muda itu membuat dia
tak sanggup bertahan dan tundukkan kepala.
Dalam hatinya murid Sinto Gendeng
menggerendeng. "Sialan, belum pernah aku
melihat sinar mata yang begini berwibawa.
Masakan aku tak sanggup memandangnya
lama-lama...?!"
"Maafkan diriku Sri Ratu. Aku tidak meminta
balas jasa apa-apa. Tolong menolong sesama
manusia adalah hal yang lumrah. Apalagi
nenek itu seorang yang baik..." berkata Wiro.
"Lagipula kalian telah berbaik hati
meminjamkan seperangkat pakaian merah
yang bagus ini, lengkap dengan topi dan ikat
pinggangnya. Dari emas pula! Seumur hidup
baru sekali ini aku mengenakan pakaian
sebagus ini!"
Nenek Cempaka tersenyum, begitu juga Sri
Ratu Ayu Lestari. Pada saat itulah tiba-tiba
seorang dara berbaju kuning keluar dari balik
tirai ungu dan berkata, "Sri Ratu, Roro hijau
mengalami cedera berat. Tubuhnya tak
berkutik, entah pingsan, entah tewas! Roro
Biru tengah melarikannya ke mari!"
Sri Ratu, Nenek Cempaka dan Roro Merah
serta merta bangkit berdiri. "Pindahkan
Ombak Penyambung Mata ke ruangan ini!"
berseru Sri Ratu.
Roro Kuning, dara berbaju kuning tadi,
silangkan kedua lengannya di atas kepala.
Mulutnya merapal sesuatu. Ketika kedua
lengan itu ditarik dan dipukulkan ke samping,
Wiro mendadak mendengar suara seperti
ombak berdebur keras. Memandang ke arah
pertengahan ruangan, dia melihat satu
keanehan lagi di tempat itu!
TIGA BELAS
DI tengah ruangan tiba-tiba saja terlihat satu
gulungan ombak besar, membentang lebar tak
bergerak laksana sebuah layar kaca. Di dalam
layar ombak itu Wiro melihat bayangan
seorang dara berbaju biru tengah berenang di
dalam laut, memanggul tubuh kawannya yang
mengenakan pakaian hijau. Dua dara ini yang
sebelumnya dilihat Wiro melesat ke luar dari
dalam laut.
Semua orang Kerajaan Bawah Laut yang ada
di tempat itu tampak cemas. Sri Ratu Ayu
Lestari berpaling pada pembantunya yang
berpakaian kuning dan berkata: "Roro Kuning,
cepat songsong Roro Biru dan katakan agar
segera membawa Roro Hijau ke ruang
pengobatan. Aku akan menyusul ke sana."
Begitu Roro Kuning berlalu, Sri Ratu Ayu
Lestari jentikkan ibu jari dan jari tengah
tangan kanannya. Layar ombak di tengah
ruangan berdesir dan bergulung ke atas.
Sesaat kemudian layar itu menyajikan
pemandangan yang lain.
"Luar biasa…" ujar Wiro kagum dalam hati.
Kini dia melihat pemandangan tepi pantai.
Lalu tampak sosok tubuh manusia batu Djarot
Pangestu tegak berkacak pinggang. Mulutnya
terbuka dan kelihatannya dia seperti tengah
memaki. Perlahan-lahan tubuhnya yang
menghitam dan membatu itu kembali ke
bentuk semula.
Sri Ratu tampak kepalkan tangan kanannya.
Seolah-olah berada seorang diri dia terdengar
berucap: "Wajah dan tubuh aslimu penuh
dengan guratan cacat. Kau boleh berubah
menjadi manusia batu. Tapi aku akan tetap
mengenali Djarot Pangestu! Manusia biadab
pembunuh kakek dan nenekku! Pembunuh ibu
dan seorang kawanku! Hari ini kau muncul di
Laut Utara! Hari ini hari pembalasan bagimu!"
Lalu sang Ratu berpaling pada pembantunya
yang berpakaian merah dan berkata: "Roro
merah kau awasi terus ombak penyambung
mata itu. Aku dan nenek Cempaka akan naik
ke darat untuk menyelesaikan perhitungan
dengan Djarot Pangestu!"
Nenek Cempaka memegang lengan Sri Ratu
Ayu Lestari seraya berkata: "Sri Ratu kita
harus berlaku hati-hati. Djarot Pangestu
bukan manusia seperti tujuh tahun lalu.
Melihat ilmu yang dikeluarkannya ketika
menghadapiku jelas sekarang dia menjadi
manusia sangat berbahaya dan sulit
ditaklukkan. Aku tahu dari siapa dia
mendapatkan ilmu batu sakti itu…"
"Katakan siapa gurunya Nenek Cempaka," ujar
Sri Ratu pula.
"Dari seorang musuh besarku di masa muda.
Namanya Karaeng Watuampu, seorang tokoh
silat sakti mandraguna dari Tanah Bugis,
bergelar Raja Batu Di Batu. Dia memiliki ilmu
batu. Tak ada ilmu lawan yang sanggup
menghadapinya. Biarkan aku dan beberapa
pembantumu menghadapinya lebih dulu…"
Sri Ratu Ayu Lestari walaupun masih sangat
belia, namun selama tujuh tahun dia
mendapat gemblengan dari Sri Ratu terdahulu
dibantu oleh enam Roro dan si Nenek
Cempaka sendiri. Kecerdasan otaknya serta
ketabahan dan kerajinannya mempelajari
semua ilmu telah menjadikannya seorang
gadis muda yang matang dalam ilmu dan
pemikiran.
Sang Ratu gelengkan kepala. "Aku berterima
kasih pada kesetiaan kalian membela diriku
dan Kerajaan Laut Utara ini, Nek. Tapi melihat
bagaimana dia sanggup mencederaimu dan
juga Roro Hijau, aku merasa khawatir.
Lagipula aku melihat ada sebuah titik merah
pada saku pakaiannya sebelah kiri. Cobalah
kau perhatikan…"
Nenek Cempaka letakkan tangan kanannya di
atas kedua matanya seolah-olah seperti
orang yang memandang ke arah sumber yang
tersilau atau sinar matahari. Apa yang
dikatakan Ratu ternyata benar. Dia kini dapat
melihat ada tanda berupa titik merah di saku
kiri pakaian Djarot Pangestu. Pucatlah wajah
si nenek.
"Hanya ada satu benda yang bisa
menimbulkan cahaya peringatan seperti itu…"
desis si nenek. "Benda pantangan yang
sangat berbahaya. Bawang putih…!"
"Kita harus dapat merampas bawang putih
itu!" ujar Sri Ratu. "Tapi sekali kita menyentuh
bawang itu, tubuh kita akan menjadi lumpuh
bahkan nyawa pun tak tertolong lagi…"
"Aku akan merampasnya, Sri Ratu!" ujar Roro
Merah berjibaku.
"Biar aku yang melakukannya!" satu suara
terdengar dari samping. Semua orang
berpaling. Yang barusan bicara bukan lain
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sri Ratu dan Nenek Cempaka saling pandang.
Selagi kedua orang itu belum sempat
memberikan jawaban Wiro sudah melangkah
pergi. Tapi begitu sampai di tangga istana
terdepan dia jadi bingung sendiri. Di
hadapannya, air laut membentang laksana
tembok raksasa.
"Eh, apakah totokan sakti si nenek itu masih
bekerja? Kalau tidak aku bisa konyol di dalam
laut sebelum mencapai permukaan!" Wiro
berpaling pada si nenek. Perempuan tua itu
maklum apa yang dipikirkan dan
dikhawatirkan sang pendekar maka dia pun
berkata, "Tak ada yang perlu kau gelisahkan
anak muda. Tubuhmu masih terlindung oleh
totokan itu!"
Mendengar ucapan itu Pendekar 212 tanpa
ragu-ragu langsung mencebur masuk ke
dalam tembok air. Sesaat setelah Wiro
Sableng meninggalkan Istana Ratu Laut Utara
itu Roro Kuning datang terburu-buru dari
ruangan pengobatan.
"Sri Ratu, mohon maafmu. Saya dan Roro Biru
telah berusaha menolong Roro Hijau, agaknya
nyawanya tidak tertolong lagi…"
Mendengar keterangan itu. Sri Ratu dan nenek
Cempaka segera bergegas menuju Ruangan
Pengobatan sementara Roro Merah tetap
berada di tempat itu guna mengawasi ombak
penyambung mata. Di dalam Ruangan
Pengobatan, Roro Biru tampak cemas tegak di
samping sebuah pembaringan di mana
terbujur sosok tubuh Roro Hijau. Air mata
tampak berurai di pipi Roro Biru. Sri Ratu dan
Nenek Cempaka cepat memeriksa keadaan
tubuh Roro Hijau. Denyutan Jantungnya
perlahan sekali. Wajahnya seputih kertas dan
pada sela bibirnya ada darah mengering. Sri
Ratu menyibakkan dada pakaian Roro Hujau.
Tampaklah warna membiru di payudara Roro
Hijau sebelah kiri. Paras Sri Ratu langsung
berubah. "Kita tak mungkin
menyelamatkannya…" desis Sri ratu tercekat.
"Aku tahu Sri Ratu…" ujar nenek Cempaka
dengan nada sedih. Pukulan ilmu batu Djarot
Pangestu memang luar biasa berbahaya.
Pada saat itu terdengar suara seperti sesuatu
keluar dari air. Lalu ada sesuatu yang
meluncur ke lantai. Ketika semua orang
berpaling, mereka langsung menjura dan
tundukkan kepala seraya berseru berbarengan:
"Sri Ratu! Kau datang…!"
Di lantai ruangan meluncur seekor buaya
putih yang bukan lain adalah penjelmaan Sri
Ratu Kerajaan Laut Utara yang terdahulu.
Buaya ini naik ke atas pembaringan.
Moncongnya menjulur ke arah dada Roro
Hijau. Mulutnya dibuka lalu ludahnya
menjulur dan menjilati payudara sebelah kiri
Roro Hijau.
Selesai melakukan itu buaya putih ini turun
dari pembaringan. Kepalanya ditegakkan
sesaat. Kedua matanya menatap orang-orang
yang ada dalam ruangan itu. Lalu aneh,
terdengar suaranya, suara manusia, suara
perempuan. "Tak usah cemas dan jangan ada
yang menangis. Roro Hijau akan segera
sembuh…"
"Sri Ratu, kami sangat berterima kasih…" kata
Sri Ratu Ayu Lestari seraya menjura dalam-
dalam.
Buaya putih masih menegakkan kepalanya.
Kembali dia keluarkan suara: "Djarot
Pangestu memang manusia sakti.
Kepandaiannya setinggi langit. Tapi
ketahuilah di atas langit ada langit lagi.
Secepatnya pemuda itu berhasil merampas
bawang putih kalian harus segera naik ke
darat untuk membuat perhitungan. Sri Ratu
Ayu Lestari, tangan kananmu yang berjarah
menyilang merupakan satu kekuatan yang
berada di atas langit. Hadapilah musuh
besarmu itu dengan penuh kepercayaan.
Ulurkan tangan kananmu, kembangkan
telapaknya…"
Mendengar perintah sang ratu, Sri Ratu Ayu
Lestari segera ulurkan telapak tangannya.
Buaya putih itu lalu menjilati telapak tangan
kanan Sri ratu Ayu Lestari tujuh kali pulang
balik, lalu kepalanya meluncur turun. Dia
mengucapkan selamat tinggal lalu meluncur
keluar dari ruangan itu diikuti tundukkan
kepala penuh hormat dari semua mereka yang
ada disitu.
Baru saja buaya putih itu berlalu, dari arah
pembaringan terdengar suara tarikan nafas.
Ketika semua orang berpaling, Roro Hijau
ternyata telah duduk di atas pembaringan.
Wajahnya tidak seputih kertas lagi.
EMPAT BELAS
WIRO melesat di dalam air dan dalam waktu
sesaat saja sudah muncul di permukaan laut.
Dalam keadaan badan dan pakaian basah
kuyup dia melangkah menuju pantai lalu
duduk bersila di atas pasir, menghadap ke
arah matahari.
Dua telapak tangan dirapatkan di depan
wajahnya, kedua matanya dipejamkan.
Sikapnya tidak beda seperti orang tengah
bersemedi. Sang Pendekar tidak menunggu
lama. Telinganya menangkap suara orang
mendatangi. Djarot Pangestu!
"Manusia berpakaian merah! Kulihat kau
barusan keluar dari dalam laut! Mengapa
bersemedi di sini?!"
Terdengar suara Djarot Pangestu. Orang ini
memperhatikan tajam-tajam wajah Wiro.
Sepertinya dia pernah melihat pemuda ini
sebelumnya. Yang bersama nenek Cempaka?
Tapi pemuda itu berpakaian putih sedang
yang duduk di atas pasir ini mengenakan
pakaian dan topi merah, ditambah sebuah ikat
pinggang yang membuat Djarot Pangestu
menjadi mendelik karena dia mengenali ikat
pinggang berbentuk rantai itu adalah emas
murni!
Perlahan-lahan Wiro buka kedua matanya.
Kedua telapak tangan masih tetap dirapatkan
di depan wajahnya untuk menutupi karena dia
khawatir sebelum sempat bertindak orang
sudah keburu mengetahui siapa dirinya.
Wiro perhatikan tampang Djarot Pangestu
sesaat. Jelas tampak lelaki ini tengah berpikir
keras, mengingat-ingat. Maka cepat ia
berkata, "Aku Pangeran dari Laut Selatan.
Sengaja bersemedi di sini untuk mendapat
petunjuk di mana letak istana Bawah Laut
Ratu Laut Utara. Barusan aku menyelam
sampai ke dasar laut namun tak berhasil
menemukan istana itu. Aku akan meneruskan
semadiku, jangan mengganggu…!"
"Tunggu dulu! Kenapa kau ingin mengetahui
letak Istana Ratu Laut Utara itu?" bertanya
Djarot Pangestu. "Aku punya dendam kesumat
besar terhadap sang ratu. Dia menculik
kekasihku untuk dijadikan hamba
sahayanya…" jawab Wiro.
"Ah, kalau begitu kita berada dipihak yang
sama!" kata Djarot Pangestu pula.
"Apa maksudmu?!" bertanya Pendekar 212.
"Aku pun punya dendam kesumat terhadap
salah seorang pembantu Sri Ratu. Seorang
nenek jelek bernama Cempaka. Beberapa
waktu lalu aku berhasil melukainya. Seorang
pemuda menyelamatkannya ke dalam laut.
Eh….! Kau! Aku mengenali tampangmu kini
walau kau tutupi dengan kedua tangan!
Bukankah kau pemuda bersama nenek itu…?!"
"Keparat ini mengenaliku!" runtuk Wiro. Tak
ada jalan lain, dia harus bertindak merampas
bawang putih yang ada di saku baju sebelah
kiri Djarot Pangestu sekarang juga!
Dengan satu gerakan cepat Wiro melompat.
Tangan kanannya menyambar. Djarot
Pangestu tersentak kaget, melompat ke
samping dengan cepat.
"Breeettt!!!"
Saku pakaian kiri Djarot Pangestu robek
besar. Wiro berhasil mengambil bawang putih
di dalam saku itu. Namun ketika diteliti
ternyata ada satu ruas bawang yang
terkelupas dan lenyap dari tempatnya!
"Bangsat rendah! Kembalikan bawang putih
itu!" teriak Djarot Pangestu marah sekali. Dia
memeriksa saku pakaiannya yang robek.
Ternyata masih ada satu ruas kecil bawang
putih yang tertinggal dalam sakunya. Namun
hal ini tidak membuat amarahnya jadi
mereda. Serta merta dia menyerbu ke arah
Wiro sambil lepaskan pukulan tangan kosong
yang menderukan angin dahsyat!
Murid Sinto Gendeng sudah berhadapan
dengan Djarot Pangestu sebelumnya. Pukulan
sakti "Benteng Melanda Samudera" bahkan
pukulan "Sinar Matahari" tak mampu
merobohkan manusia ini. Maka dia cepat
menghindarkan diri dari serangan dengan
melompat ke samping lalu cepat-cepat
mencabut kapak Naga Geni 212 dari balik
saku pakaiannya.
Sementara itu di Istana Ratu Laut Utara, Roro
Merah yang terus mengawasi ombak
penyambung mata melihat apa yang telah
dilakukan Wiro. Dia segera memberi tahu
kepada Sri ratu apa yang telah terjadi.
"Sri Ratu, pemuda itu telah berhasil
mengambil bawang putih dari saku Djarot
Pangestu!" Dia sama sekali tidak mengetahui
kalau dalam saku pakaian Djarot Pangestu
masih tertinggal seruas kecil bawang putih!
Mendengar itu Sri Ratu segera memberi
isyarat pada nenek Cempaka dan Roro Merah
serta Roro Biru.
"Ikuti aku. Kita naik ke darat sekarang juga!"
LIMA BELAS
Kembali ke pantai...
"Pemuda keparat! Aku memang sudah
menyangka kau adalah kaki tangan nenek
keparat itu! Kali ini jangan harap bisa lolos
dari tanganku!" Rahang Djarot pangestu
mengembung, matanya membeliak merah.
Namun baru saja Djarot Pangestu berkata
begitu, tiba-tiba dari bawah permukaan laut
melesat empat sosok tubuh. Mereka ternyata
adalah Sri Ratu Ayu Lestari dan Nenek
Cempaka serta Roro Merah dan Roro Biru. Di
saat yang sama puluhan prajurit
bersenjatakan tombak dan pedang dalam
keadaan aneh, yaitu seperti tersamar di
bawah kabut tebal, tampak mengurung
pantai.
"Wuuuttt!!!" Serangan ganas Djarot Pangestu
lewat di samping Wiro. Murid Sinto Gendeng
segera kiblatkan Kapak Maut Naga Geni 212.
Terdengar suara seperti ribuan tawon
mengamuk disertai sambaran sinar perak
putih menyilaukan dan menghamparnya hawa
panas luar biasa.
Sesaat Djarot Pangestu terkesiap juga melihat
kehebatan senjata sakti di tangan lawan.
Namun kemudian dia tampak menyeringai.
Mulutnya berkomat-kamit. Tangan kananya
diangkat. Saat itu juga tangan ini telah
berubah menjadi batu hitam yang atos!
Menyangka musuh hendak merampas
senjatanya, Wiro Sableng tukikkan arah
serangannya ke bawah untuk membacok
lengan lawan.
"Traaang!!!"
Kapak dan tangan saling bentrokan. Bunga
api memercik menyilaukan mata. Djarot
Pangestu terjajar ke belakang tanpa cedera
sedikit pun pada lengannya yang kena
dihantam Kapak Naga Geni 212. Wiro sendiri
terpental empat langkah. Senjata mustikanya
hampir saja terpental dari gengamannya.
Dadanya mendenyut sakit. Mau tak mau Wiro
jadi merasakan dingin tengkuknya melihat
kenyataan ini! Ketika dengan kalap dia hendak
mendahului menyerbu, terdengar Sri Ratu Ayu
Lestari berseru.
"Saudara, serahkan manusia pembunuh bejat
itu padaku!"
Paras Pendekar 212 merah tenggelam. Dia
hampir tak dapat menerima kenyataan kalau
Kapak Naga Geni 212 yang sangat
diandalkannya itu ternyata tidak mempan
menghantam tangan batu Djarot Pangestu.
Karenanya, tanpa banyak bicara murid Sinto
Gendeng terpaksa melompat mundur
walaupun dengan hati jengkel setengah mati!
Djarot Pangestu berpaling ke arah Sri Ratu.
Matanya terpentang lebar ketika melihat aurat
Sri Ratu yang terbayang di balik pakaian
ungu tipis yang dikenakannya. Wajah itu
cantik luar biasa dan sepasang matanya
mendebarkan untuk ditatap.
"Tentunya saat ini aku berhadapan dengan
Ratu Laut Utara yang kesohor itu!" berkata
Djarot Pangestu. Kedua matanya
menggerayangi sekujur tubuh sang ratu.
Pikiran kotornya lantas muncul. Lalu dia
berkata sambil menyeringai. "Dengar Ratu!
Jika kau bersedia hidup bersamaku, aku akan
melupakan segala dendam kesumatku
terhadap nenek jelek pembantumu ini!"
"Manusia kotor! Kau tak lebih dari seekor kutu
busuk! Jangan berani bicara kurang ajar
terhadap ratu kami!" teriak Roro Merah.
"Ah, kau juga dara berbaju merah. Yang itu,
yang berbaju biru juga boleh menjadi
pendampingku di saat aku perlu belaian
tangan kalian. Ternyata kalian berdua tidak
kalah cantik dan berbadan mulus pula! Ha…
ha…ha…! Bagaimana Ratu. Kau terima
permintaanku?!"
"Djarot Pangestu! Dosamu selangit tembus
terhadapku. Dendan kesumatku lebih panas
dari bara neraka! Buka matamu lebar-lebar…
Apa kau tidak mengenali siapa diriku?!" tanya
Sri ratu Ayu Lestari.
"Yang kulihat adalah seorang gadis berkulit
putih mulus, berparas cantik dan tubuhnya
yang bagus terbayang indah menggiurkan di
balik pakaian yang tipis!" jawab Djarot
Pangestu, lalu tertawa gelak-gelak.
"Ah, ternyata kedua matamu walaupun besar
tapi telah mulai lamur. Kepalamu walaupun
keningnya lebar ternyata otaknya sudah mulai
tumpul! Dengar baik-baik Djarot Pangestu.
Aku adalah cucu Menak Srenggi yang kau
bunuh tujuh tahun lalu bersama istrinya di
desa Kaliwungu. Kau juga membunuh ibuku
dan seorang kawanku!"
Tentu saja ucapan Sri ratu itu membuat Djarot
Pangestu terkejut hampir tak percaya. "Dicari-
cari malah muncul sendiri! Eh, gadis cantik,
siapa pun kau adanya aku tetap pada
ucapanku tadi. Hidup bersamaku, akan
kulupakan segala dendam kesumatku dan
kuampuni selembar jiwa nenek jelek itu walau
guruku Raja Batu Di Batu memerintahkan aku
untuk membunuhnya."
Nenek Cempaka jadi terkejut mendengar kata-
kata Djarot Pangestu itu sementara Sri ratu
Ayu Lestari cepat membuka mulut.
"Kau boleh mengatakan hal itu pada penjaga-
penjaga neraka!" sahut Sri Ratu. "Bersiaplah
untuk menerima kematianmu!" Lalu dengan
tangan kanan terpentang Sri Ratu melangkah
mendekati Djarot Pangestu.
Djarot Pangestu sendiri sesaat masih tegak
seperti tertegun. Gadis cilik tujuh tahun lalu
apakah benar kini menjadi Ratu Laut Utara,
yang menurut gurunya Raja Batu Di Batu
memiliki kesaktian luar biasa? "Saat bagiku
untuk menjajalnya! Aku tidak percaya gadis
semuda ini memiliki kehebatan seperti yang
dikatakan guru!"
Sehabis berpikir begitu Djarot Pangestu
hantamkan tangan kanannya ke arah sang
ratu. Yang diincarnya adalah payu dara
sebelah kanan. Dan kurang ajarnya, serangan
ganas itu sebenarnya hanyalah tipuan belaka
karena maksud sesungguhnya adalah hendak
meremas payu dara sang ratu yang menonjol
besar dan kencang! Di samping itu, karena
menganggap enteng orang, Djarot Pangestu
hanya andalkan tenaga luar, sama sekali tidak
mempergunakan tenaga dalam atau pun
keluarkan ilmu batunya.
Sesaat lagi tangan yang kurang ajar itu akan
sempat menyentuh payudara Sri Ratu, tiba-
tiba sang Ratu angkat tangan kanannya. Dari
telapak tangan Sri ratu menyambar asap
putih. Djarot Pangestu berteriak kesakitan,
tarik pulang tangannya dan melompat
mundur. Ketika tangan kanannya diperhatikan
ternyata sebagian kulitnya telah melepuh
lecet!
Berubahlah paras Djarot Pangestu. Namun
bersamaan dengan itu amarahnya juga
menggelegak. Mulutnya merapal jejampai.
Tangan kanan itu serta merta berubah
menjadi batu hitam.
"Ratu keparat! Terima kematianmu!" teriak
Djarot Pangestu. Tangan kanannya berkelebat
menghantam ke arah kepala.
Dengan tenang Sri ratu miringkan tubuh ke
kiri lalu tangan kanannya secepat kilat
melesat ke atas dan tahu-tahu pergelangan
tangan Djarot pangestu sudah kena dicekal!
Djarot Pangestu merasakan tangannya seperti
berada dalam timbunan bara panas.
Terdengar suara berderak! Lapisan batu hitam
aneh yang ada di lengannya merengkah pecah
lalu berjatuhan ke pasir pantai. Djarot
berteriak sekali lagi dan sentakkan cekalan
sang ratu. Begitu terlepas dia segera
melompat jauh.
"Ilmu kesaktianku tidak mempan...!" kata
Djarot Pangestu dalam hati. Nyalinya menjadi
lumer. Namun tiba-tiba saja dia ingat akan
sisa bawang putih yang ada dalam saku
pakaiannya. Dia juga ingat pesan gurunya
Raja Batu Di Batu. Dengan cepat bawang
putih seruas itu dikeluarkannya dari saku lalu
diacungkannya ke arah Sri ratu. Bersamaan
dengan itu jari-jari tangannya meremas
hancur bawang itu hingga kini bau tajam
bawang putih menghampar di tempat itu.
Sri Ratu Ayu Lestari berseru tegang, sedang
nenek Cempaka tercekat sementara Roro
Merah dan Roro Biru serta merta merasakan
tubuhnya bergetar dari lutut menggoyah. Bau
bawang putih yang merasuk ke saluran
pernafasan membuat tubuh mereka menjadi
panas sedang dada mendenyut sakit luar
biasa. Roro Merah dan Roro Biru menjerit
keras, lalu terhuyung dan jatuh tergelimpang
di pasir.
Sri Ratu dan Nenek Cempaka cepat tutup
penciuman mereka dan berusaha keras
bertahan. Namun terlambat! Mereka telah
terlebih dahulu mencium udara yang
mengandung bawang putih, benda yang
merupakan pantangan mematikan bagi orang-
orang Kerajaan Laut Utara.
Di sekeliling tempat itu terdengar suara hiruk
pikuk. Ternyata bawang putih yang berada di
tangan Djarot Pangestu telah pula membawa
pengaruh pada prajurit kerajaan yang terlihat
seperti bayang-bayang itu. Mereka menjerit
dan berserabutan seperti terkurung dalam
ruangan yang terbakar. Lalu satu demi satu
sosok tubuh mereka roboh ke pantai!
ENAM BELAS
Sri Ratu Ayu Lestari angkat tangan kanannya.
Maksudnya hendak melancarkan pukulan.
Tapi dia terkejut sekali ketika dapatkan
tangan kanannya tak mampu digerakkan lagi.
Terasa berat. Tangan itu ternyata telah
lumpuh! Sungguh dahsyat akibat dari
pantangan terhadap bawang putih itu.
Nenek Cempaka sendiri tidak bisa berbuat
apa-apa pula. Kedua telinganya mengiang
sakit dan pemandangan matanya mulai
berkunang-kunang karena kedua matanya kini
mengeluarkan air dan terasa perih.
Djarot Pangestu keluarkan suara tertawa
penuh kemenangan. Dia melangkah
menghampiri Sri Ratu sambil berkata, "Jika
kau dan anak-anak buahmu bersedia hidup
bersama dan melayaniku, kalian akan
kubebaskan dari siksaan bawang putih yang
mematikan ini!" Lalu Djarot Pangestu
acungkan tangannya yang memegang bawang
putih ke arah wajah Sri ratu. Sang ratu
terpekik. Tubuhnya menjadi limbung!
Selagi Djarot Pangestu mengacungkan
bawang putih begitu rupa, Wiro yang saat itu
masih tegak memegang Kapak Naga Geni 212
berpikir dan berkata dalam hati. "Kapakku
jelas tidak mempan terhadap tubuh manusia
keparat itu. Tapi untuk memusnahkan bawang
putih yang dipegangnya masakan tidak
bisa?!"
Berpikir sampai di situ Wiro keluarkan
teriakan keras. Selagi Djarot Pangestu terbagi
perhatian. Murid Sinto Gendeng telah
berkelebat. Kapak Naga Geni 212 menderu
mengiblatkan hawa panas, sinar menyilaukan
dan suara seperti tawon mengamuk.
Djarot Pangestu menyeringai lebar. Dia
biarkan saja tangannya masih mengacung
begitu rupa karena sudah tahu kalau senjata
sakti sang pendekar takkan mempan terhadap
tubuhnya. Namun dia sama sekali tidak
menyangka kalau hantaman hawa panas dan
sinar menyilaukan Kapak Naga Geni 212
membuat hancur dan musnah potongan kecil
bawang putih yang ada dalam pegangan jari-
jari tangannya.
Begitu bawang putih tersingkir lenyap tanpa
bekas, Sri Ratu dan Nenek Cempaka segera
kuasai diri masing-masing kembali. Roro
Merah dan Roro Biru yang tergelimpang
perlahan-lahan tampak bergerak siuman.
Begitu juga puluhan prajurit Kerajaan Laut
Utara yang tadi berjatuhan tumpang tindih
kini bangun lagi dan segera mengurung
tempat itu!
Djarot Pangestu mengerang marah. Kini
seluruh kemarahannya itu ditumpahkan pada
Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Manusia anjing kurap! Kulumat tubuhmu!"
kertaknya. Mulutnya bergerak komat-kamit.
Sekujur tubuhnya mulai dari rambut sampai
kaki mendadak berubah menjadi batu. Setiap
gerakan dan langkah yang dibuatnya
mengeluarkan suara seperti batu berderak!
Begitu kedua tangannya bergerak, Wiro segera
menyingkir. Tapi celaka! Ada hawa aneh yang
membuat kedua kakinya seperti dipantek. Dan
hawa aneh ini keluar dari tubuh batu Djarot
Pangestu!
"Kreteeeekkkk!!!"
Dua tangan batu Djarot Pangestu melesat ke
depan. Wiro berusaha setengah mati untuk
menghindar tapi sia-sia saja!
"Tobat, tamat riwayatku ditangan jahanam
ini!" keluh Wiro. Lalu dia hanya tertegak
pasrah.
Di saat itulah dari samping Sri Ratu Ayu
Lestari datang dengan cepat. Tangan
kanannya dengan telapak terkembang
menggebuk ke arah bahu kiri Djarot Pangestu.
Terdengar suara meletup keras disertai
menggebubunya asap hitam ke udara.
Berbarengan dengan itu terdengar pula jeritan
Djarot Pangestu. Dia terhuyung keras ke
samping kanan. Tubuhnya yang hitam
membatu terdengar berderak lalu tampak
retak-retak. Retakan-retakan itu satu demi
satu jatuh ke pasir.
Ketika lapisan batu hitam itu tanggal
keseluruhannya, tampaklah tubuhnya
mengeluas merah seperti dipanggang! Orang
ini menjerit lagi lalu jatuh terduduk di pasir.
Sri Ratu Ayu Lestari melangkah menghampiri.
"Ini dari ibuku!" teriak sang ratu. Kaki
kanannya menendang perut Djarot Pangestu.
Bukan saja tubuh lelaki itu terpental sampai
tiga tombak, tapi perutnya pun tampak ambrol
mengerikan.
Sri Ratu mendekati lagi. "Ini dari kakek dan
nenekku!" katanya. Sekali lagi kaki kanannya
menendang.
Terdengar suara berderak ketika tulang dada
Djarot Pangestu patah dan remuk.
"Ini dari kawanku!" teriak Ratu kembali.
Tendangannya yang ketiga membabat
pinggang Djarot pangestu. Tubuh Djarot
terlipat dan terhempas ke pasir.
"Dan ini dariku!" teriak Sri Ratu lebih keras.
Tangan kanannya yang memiliki kesaktian
aneh karena adanya dua ruas tangan yang
saling bersilang menggebuk ke arah batok
kepala Djarot Pangestu.
"Praaaakkkk!!!"
Batok kepala itu bukan saja hancur
mengerikan, tapi hancurnya juga mengepulkan
asap hitam menggidikkan. Sri Ratu Ayu
Lestari jatuhkan diri berlutut, tekap wajahnya
dengan kedua tangan dan berusaha keras
menahan tangis. Nenek Cempaka mendatangi,
membantu Sri Ratu berdiri. Setelah hening
sejenak, si nenek berbisik, "Saatnya kita
kembali ke dasar laut, Sri ratu..."
Sri Ratu mengangguk perlahan lalu berpaling
dan memandang ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Untuk sesaat, keduanya saling
bertatapan. Dan untuk pertama kalinya Wiro
merasakan sanggup balas memandang mata
yang bagus bening dan bersinar penuh
wibawa itu.
"Nenek… kita harus membawa pemuda itu ke
istana kembali…" berbisik Sri Ratu.
"Maksudmu Sri Ratu…?" tanya si nenek seraya
memandang sekilas pada wiro.
"Kita harus mengundangnya. Dia memberikan
bantuan besar yang sangat menentukan ketika
dia menghancurkan bawang putih yang
dipegang Djarot Pangestu…."
"Perintahmu akan saya sampaikan padanya.
Namun setelah sampai di Istana nanti layanan
apa yang akan kita berikan padanya?"
Dalam hatinya Sri Ratu Ayu Lestari mengeluh.
"Pembantuku yang tua ini banyak sekali
tanyanya. Apa dia tidak merasakan kalau aku
merasa suka terhadap pemuda itu?
Kedudukanku sebagai Ratu tak
memungkinkan aku mengatakan kepada siapa
pun secara terbuka. Ah… kupikir jauh lebih
baik jadi manusia biasa saja…"
"Sri Ratu, kami mohon petunjukmu lebih
lanjut…" terdengar suara Nenek Cempaka.
Sang ratu tersadar kalau barusan dia dibawa
oleh perasaannya sendiri. Pada saat itu
dilihatnya Wiro melangkah mendatangi.
Sesaat sang pendekar menatap wajah sang
ratu, lalu katanya, "Sri Ratu… Aku ingin
memulangkan baju merah yang bagus ini
padamu. Tapi aku tak punya salinan lain.
Terpaksa aku harus memintanya…"
"Pakaian itu memang untukmu saudara…"
"Terima kasih. Tapi aku harus mengembalikan
ikat pinggang emas ini!" ujar Wiro pula.
"Itupun untukmu juga. Tak perlu
dikembalikan," berkata sang ratu.
Wiro menggeleng. "Aku tidak berani
menerimanya Sri Ratu… Ini ikat pinggang
yang sangat mahal. Orang sepertiku tidak
pantas memakainya, apalagi memilikinya…."
Sri Ratu tidak berikan jawaban. Dia malah
memegang lengan si nenek dan menariknya
melangkah menuju ke dalam laut, diikuti oleh
Roro Merah dan Roro Biru.
Sesaat Wiro tegak tertegun sambil pegangi
ikat pinggang emas. Ketika air laut sampai ke
bahu empat orang itu, Wiro mengejar seraya
berseru, "Sri Ratu, ikat pinggang emas ini.
Ambil kembali! Kau baik sekali! Tapi aku tidak
berani menerimanya…!"
Dikejauhan sang Ratu hanya tampak tersenyum.
"Nenek Cempaka…!" Panggil Wiro.
Si nenek berpaling. Lalu terdengar seruannya.
"Anak muda! Kalau kau ingin mengembalikan ikat pinggang emas itu, silakan mengantar sendiri ke Istana Kerajaan laut Utara!"
Wiro melengak. "Mengantar sendiri…?"
ujarnya. Dia jadi bingung. "Apakah totokan aneh itu masih melekat di punggungku…?" dia bertanya-tanya sendiri. Di depan sana keempat orang itu hanya kelihatan tinggal kepala saja. Ketika empat kepala itu lenyap di bawah permukaan air laut, akhirnya Wiro pun melompat menghamburkan tubuhnya ke dalam laut.
Ternyata totokan sakti Nenek Cempaka masih di punggungnya. Dan ini yang embuatnya bisa bernafas dan melihat seperti biasa di dalam laut. Serta merta Wiro melesat di dalam air menyusul keempat orang menuju istana Ratu Laut Utara.
Tamat
Komentar
Posting Komentar