WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya : BASTIAN TITO
EPISODE : PEMBALASAN NYOMAN DWIPA
**********
KETIKA dia memasuki
Klung-kung, kota itu masih diselimuti embun
pagi. Kesunyian pagi dipecah oleh derap kaki
kuda yang ditungganginya. Sesampainya di
depan pura besar yang terletak
dipersimpangan jalan seharusnya dia
membelok ke kiri. Tapi karena hari masih
terlalu pagi diputuskannya untuk menghangati
perutnya dengan secangkir kopi lebih dulu di
kedai yang terletak tak berapa jauh dari
persimpangan itu.
Meskipun hari masih pagi di dalam kedai
sudah penuh oleh pengunjung. Laki-laki yang
baru datang ini duduk di tempat yang masih
lowong sementara pemilik kedai melayaninya.
Beberapa orang tamu memandang kepadanya
lalu meneruskan menyantap kue-kue atau
menghirup minumannya. Beberapa diantara
mereka meneruskan percakapan yang tadi
terhenti karena kedatangan pengunjung baru
ini.
"Semarak kota Klungkung kini semakin
tambah dengan kedatangannya orang baru
itu," berkata seorang laki-laki sambil
memandang pada cangkir kupinya. Umurnya
kira-kira lima puluhan.
"Sudah seminggu ini tentang penduduk baru
itu saja yang dipercakapkan orang, termasuk
kau." menyahut kawannya.
"Kalau anak-anak muda yang
mempercakapkannya itu bukan soal, tapi kau
yang sudah tua begini, ampun . . . "
Dicabutnya rokok kaungnya dari sela bibir lalu
dihembuskannya jauh-jauh.
Laki-laki yang pertama tertawa. Waktu
tertawa ini kelihatan gigi-giginya yang cuma
tinggal beberapa saja sedang kedua pipinya
mencekung kempot. "Kau salah sahabatku.
Kecantikan seorang perempuan bukan hak
orang muda-muda semata untuk
membicarakannya. Kita yang tua-tua inipun
tak ada salahnya. Dan anak gadis I
Krambangan itu benar-benar cantik luar
biasa. Belum pernah aku sampai setua ini
melihat yang secantik dia."
"Apakah dia secantik bidadari?"
"Ah sobat!" kata laki-laki tua itu sambil
mengelus dadanya, "kau belum bertemu
dengan dia. Nantilah …. kalau kau lihat anak
gadisnya I Krambangan itu hem … Kau akan
menyesal karena terlalu cepat dilahirkan ke
dunia ini hingga ketika dia muncul di
Klungkung ini kau sudah jadi seorang tua
renta, kakek-kakek peot macam terong rebus!"
Beberapa orang tersenyum-senyum
mendengar ucapan itu. Dan orang tua tadi
meneruskan lagi kata-katanya sementara
tamu yang baru datang, sambil menikmati
kopi hangatnya tidak menyia-nyiakan pula
untuk memasang telinga.
"Kau tanya apakah dia secantik bidadari.
Sobat … meski aku belum pernah lihat
bidadari, tapi aku yakin mungkin dia lebih
cantik dari bidadari di kayangan! Kau tahu,
kulitnya kuning langsat, potongan tubuhnya
besar diatas besar di bawah dan langsing di
tengah-tengah. Matanya . . . hem … pernah
kau lihat bintang timur? Sepasang mata anak
gadis I Krambangan itu lebih bagus dari
bintang timur. Lehernya jenjang, pipinya
selalu merah, apalagi kalau kena sinar
matahari persis macam pauh di layang.
Sepasang alisnya tebal hitam seperti semut
beriring, hidungnya mancung kecil macam
dasun tunggal. Dagunya seperti lebah
bergantung … pokoknya segala macam
oerumpamaan yang diberikan orang cocok
melekat pada darinya. Dan kalau dia
tersenyum sobatku, hem … rasa di awan kita
melihatnya …"
"Sudahlah," memotong kawannya. "Habiskan
saja kopimu. Kalau kau terus bicara tentang
anak gadis I Krambangan itu mungkin lewat
tengah hari baru kita sampai ke tempat
pekerjaan!"
Setelah kedua orang tua itu pergi, tamu tadi
berpikir-pikir. Rupanya tentang kecantikan
anak gadis I Krambangan itu sudah tersebar
luas sampai ke pelosok kota Klungkung.
Jangankan orang-orang muda, orang-orang
tua seperti yang dua tadipun masih punya
minat untuk membicarakannya. Dia
memandang ke luar kedai. Matahari telah
agak tinggi. Dihabiskannya kopinya dan
setelah membayar harga minuman serta kue
yang dimakannya orang inipun keluar dari
kedai itu, menunggangi kudanya dengan tidak
tergesa-gesa menuju ke selatan.
Di tepi jalan seorang laki-laki separuh baya
tengah mengukir sebuah patung di depan
rumahnya. Penunggang kuda ini berhenti dan
bertanya letak rumah yang tengah ditujunya.
Setelah mendapat keterangan maka dia pun
melanjutkan perjalanan. Rumah itu kecil
mungil. Keseluruhan papannya baru dicat.
Baru saja dia berhenti dan turun dari
kudanya, pintu muka terbuka, seorang laki-
laki berpakaian bersih keluar, ketika melihat
orang yang turun dari kuda ini, orang itupun
berseru gembira, "Made Trisna!"
"I Krambangan!"
"Sahabat lama! Kedatanganmu laksana
dibawa oleh Dewa-dewa di Swargaloka!
Bagaimana kau bisa tahu aku tirggal di sini?"
"Secara kebetulan saja. Aku bertemu dengan
Ida Bagus Seloka di Denpasar. Dia yang
menerangkan bahwa kau pindah dan menetap
di sini."
"Oh!." I Krambangan manngut-marggut
beberapa kali. "Mari silahkan masuk sahabat.
Tadinya aku hendak ke ladang. Tapi biar
kubatalkan. Seharian ini kita akan bicara
panjang lebar!"
Kedua sahabat lama itupun naik kegatas
rumah Setelah bicara panjang lebar ke barat-
ke timur maka Made Trisna mengutarakan
maksud kedatangannya yang sebenamya.
"Sahabatku I Krambangan, di samping hendak
menyambangimu disini, sebenarnya maksud
kedatanganku ini membawa pula satu maksud
yang sangat baik."
"Gembira sekali aku mendengarnya, Made
Trisna," ujar I Krambangan, "katakanlah apa
maksudmu yang sangat baik itu."
Setelah batuk-batuk beberapa kali baru Made
Trisna membuka mulutnya, "Kau tentu masih
ingat dengan Tjokorda Gde Anyer."
"Oh, siapa yang akan lupa pada manusia
pemberani itu!"
"Nah justru kedatanganku kemari ini ada
sangkut paut dengan dirinya."
"Hem, begitu? Sangkut paut bagaimana,
Made?"
"Dialah yang meminta aku ke sini untuk
menyampaikan salam hormat."
"Ah, aku yang rendah ini mana berani
menerima salamnya?" potong I Krambangan.
"Kau tahu sendiri sifat Tjokorda Gde Anyer.
Baginya semua orang sama, tak ada tinggi
dan rendah tak ada bangsawan dan rakyat
jelata. Nah sahabatku, dia menyuruh aku
kemari untuk tolong menyampaikan salam
hormat di mana dia berhajat untuk meminang
anakmu . . ."
"Maksudmu Ni Ayu Tantri?"
"Tentu! Kau kan tak punya anak lain dari
pada si tunggal Tantri itu."
I Krambangan meneguk ludahnya. "Sungguh
satu kehormatan luar biasa. Tjokorda Gde
Anyer mempunyai hasrat baik untuk melamar
anakku. Setahuku dia juga cuma punya
seorang anak!"
"Betul namanya Tjokorda Gde Jantra.
Parasnya gagah, usianya dua tahun lebih tua
dari anak gadismu. Ringkas kata, kalau
anakmu dijodohkan dengan dia pasti cocok
sekali laksana pinang dibelah dua. Satu bulan
satu mentari."
Sejak sepuluh tahun yang lalu I Krambangan
tak pernah bertemu dengan Tjokorda Gde
Anyer. Sewaktu anak Tjokorda Gde Anyer
masih kecil dia memang pernah melihatnya
dan menurut pendapatnya anak itu tidaklah
gagah parasnya, mukanya senantiasa pucat
macam orang sakit, tubuh kurus dan
kelakuannya nakal bengal luar biasa. Tapi itu
dulu selagi masih kanakkanak. Sekarang
sesudah jadi pemuda mungkin sifatnya telah
berubah dan parasnya menjadi gagah. Karena
I Krambangan lama tak bersuara maka
berkatalah Made Trisna,
"Apa lagi yang kau pikirkan, sahabatku?
Terima saja lamaran itu. Tjokorda Gde Jantra
pemuda gagah anak bangsawan dan kaya
raya. Pasti hidup anakmu akan terjamin dan
bahagia!"
"Memang betul kata-katamu itu Made," jawab
I Krambangan. "Tapi justru mengingat
perbedaan darah turunan antara kami dan
dialah maka rasanya agak malu juga aku
menerima lamarannya itu. Aku rakyat jelata
mana mungkin berbesan dengan orang
bangsawan, sekalipun sebelumnya sudah
saling mengenal."
Made Trisna tertawa. "Sekarang bukan
jamannya berpikir sekolot itu, I Krambangan.
Apalagi kau ingat sifatnya Tjokorda Gde Anyer
yang tak mau membeda-bedakan di antara
manusia."
Kembali I Krambangan berdiam diri beberapa
lamanya.
Lalu: "Anakku Ni Ayu Tantri berparas buruk.
Masakan anaknya Tjokorda Gde Anyer
bersedia mengambilnya jadi kawan hidup …?"
"Kau keliwat merendah, sahabat," kata Made
Trisna pula seraya menggulung sebatang
rokok kaung. "Kecantikan paras anak gadismu
laksana bunga harum semerbak yang
dihembuskan angin ke pelbagai penjuru. Pagi
tadi sebeLum ke sini aku mampir di sebuah
kedai. Dan kau tahu? Pagi-pagi buta begitu
tamu-tamu di situ sudah bicara tentang
kecantikan paras anakmu. Bayangkan!"
I Krambangan mengusap-usap dagunya,
memandang ke arah jalan di mana meluncur
sebuah pedati menarik tumpukan kayu-kayu
bakar. Suara klenengan sapi-sapi penarik
pedati itu terdengar sepanjang jalan.
"Walau bagaimanapun gunjingan orang di
luaran tentang diri anakku, tapi Tjokorda Gde
Jantra sendiri belum pernah bertemu muka
dengan anakku. Jangan-jangan begitu
lamaran kuterima, setelah bertemu tahu-tahu
pemuda itu kecewa dan menyesal!"
"Kalau dia tak pernah melihat paras anakmu
dengan mata kepala sendiri, masakan dia dan
ayahnya sampai memaksaku agar datang
kemari!" kata Made Trisna pula.
Kembali I Krambangan menelan ludahnya.
Akhirnya berkata laki-laki ini. "Beri aku waktu
barang seminggu dua minggu untuk
merundingkan hal ini bersama istriku. Aku
sendiri pada dasarnya setuju, cuma
bagaimanapun aku musti minta pula
pertimbangan istriku. Di samping itu yang
terpenting Tantri pun harus diberi tahu."
Made Tisna manggut-manggut.
"Aku yakin istrimu serta Ni Ayu Tantri
menyetujui pinangan yang kusampaikan ini.
Dua minggu terlalu lama sobat, biar aku
datang minggu depan kemari untuk meminta
jawabanmu. Akur…"
"Baiklah Made. Karena istriku sudah
menyiapkan hidangan pagi di dalam, marilah
kita masuk." Kedua orang itu berdiri lalu
masuk ke ruang tengah.
SEPERTI yang dikatakan Made Trisna, satu
minggu kemudian dia kembali ke Klungkung
menemui I Krambangan untuk meminta kabar
atau jawaban mengenai pinangan yang
disampaikannya tempo hari. Dia yakin betul I
Krambangan akan menerima pinangan
Tjokorda Gde Anyer. Begitu sampai di rumah
sahabatnya itu langsung Made Krisna
menanyakan persoalan.
"Minumlah dulu, Made." kata I Krambangan
mempersilahkan sahabatnya. Bila Made
Trisna sudah meneguk minuman yang
disuguhkan maka I Krambangan baru
membuka persoalan.
"Seperti yang kukatakan tempo hari, pada
dasarnya aku bisa menerima lamaran
Tjokorda GdeAnyer. Bukan saja menerimanya
tapi malah menganggapnya itu satu
penghormatan yang luar biasa mengingat dia
bangsawan kaya raya mau mengulurkan
tangan pada keluargaku bangsa rakyat jelata.
Ketika kubicarakan pada istrikupun, dia
terkejut dan hampir tak percaya. Dan seperti
aku, diapun menyetujui lamaran itu. Namun
setelah kuterangkan pada Tantri, kita
terbentur pada satu persoalan, Made. Hal ini
memang sudah kuduga dari semula, yaitu
sejak kau mengemukakan lamaran satu
minggu yang lalu itu."
"Persoalan apakah yang menjadi halangan
itu, I Krambangan?" tanya Made Trisna pula.
"Dua tahun sebelum kami pindah kesini,
sebenarnya Tantri telah mempunyai pilihan
hati sendiri. Kau tentu mengerti maksud
ucapanku …."
"Maksudmu Tantri telah mempunyai kekasih?"
I Krambangan mengangguk. "Mereka saling
mencinta dan sudah punya rencana untuk
menikah sesudah Hari Raya Galungan
beberapa bulan dimuka. Meski aku orang
tuanya, tapi kau tentu dapat memaklumi
Made, bagaimana aku tak bisa memaksa
Tantri untuk memutuskan hubungannya
dengan itu pemuda yang dicintainya. Terlalu
besar dosanya memutuskan tali kasih
seseorang. Aku kawatir tak akan dirakhmati
Dewa-dewa lagi jika aku berani memutuskan
hubungan kasih anakku."
Lama Made Trisna termenung. Kemudian
berkatalah laki-laki ini, "Kau terlalu banyak
kawatir, sahabatku. Masakan Dewadewa di
kayangan tidak akan merakhmatimu.
Bukankah dengan menikahkan Tantri dengan
Tjokorda Gde Jantra berarti kita membuat
satu kebajikan dan pahala besar?"
"Itu betul Made. Tapi bagaimana dayaku
untuk memutus hubungan Tantri dengan
pemuda yang dikasihinya? Aku sebagai orang
tua benar-benar tidak tega . . . "
"Apakah kau sudah terangkan padanya bahwa
yang melamar adalah Tjokorda Gde Anyer?
Apakah kau terangkan pula orang yang
bagaimana adanya bangsawan kaya raya
itu?"
"Sudah." jawab I Krambangan, "semuanya
sudah. Bahkan kubujuk pula anak itu untuk
mau menerima lamaran tersebut. Tapi sia-sia
belaka, Made."
Untuk kedua kalinya Made Trisna termenung.
Setelah saling berdiam diri beberapa lamanya
kemudian bertanyalah Made Trisna, "Apakah
kau tak melihat cara atau jalan lain agar
Tantri menyetujui perjodohannya dengan
Tjokorda Gde Jantra?"
"Sudah kutempuh berbagai cara Made.
Agaknya memang sukar melembutkan hati
yang sudah diberikan pada seorang lain yang
dikasihi. Kita harus maklum itu karena
kitapun pernah muda …"'
"Sebagai orang tua, apakah kau tidak merasa
itu merupakan satu keingkaran? Menyatakan
bagaimana anakmu tidak berbakti padamu
…?"
I Krambangan menggigit bibirnya. Pertanyaan
itu merupakan satu pukulan baginya. Tapi dia
tersenyum sewaktu menjawab, "Meski aku
orang tuanya. Made, tapi aku juga bisa
melihat sampai batas-batas mana seorang
tua bisa mencampuri urusan pribadi anaknya.
Penolakan yang dikemukakan Tantri bukan
kuanggap sebagai satu keingkaran atau satu
kenyataan bahwa dia tidak berbakti
terhadapku. Kurasa siapa saja mempunyai
hak untuk mengemukakan pendapatnya
mengenai. urusan pribadinya. Apalagi urusan
yang menyangkut masa depan. Kukatakan aku
dan istriku menyetujui lamaran Tjokorda Gde
Anyer. Tapi kita musti sadar pula bahwa
bukan aku atau istriku atau kau atau juga
Tjokorda Gde Anyer yang akan dijodohkan dan
akan menempuh hidup baru berumah tangga
itu, tapi Tantri."
"Betul, betul sekali." sahut Made Trisna cepat-
cepat karena kata-kata I Krambangan itu
menggejolakkan hatinya. "Betul sekali apa
yang kau katakan itu, sahabat. Tapi kita
musti pula menyadari, dunia ini masih belum
terbalik. Kita orang-orang tua mempunyai hak
dan kewajiban untuk memelihara anak kita
dan kalau sudah besar membuat dia berbakti
pada kita, mengikuti apa mau kita karena
niscaya orang tua itu tak ada yang berniat
mencelakakan anaknya. Dunia masih belum
terbalik sahabatku. Masakan kita orang-orang
tua musti mengikuti maunya anak kita, justru
anaklah yang harus patuh dan mengikuti
kemauan orang tuanya!"
"Menyesal sekali, rupanya jalan pikiran kita
sedikit berbeda Made," kata I Krambangan.
"Bagaimana pun aku tak merasa dunia ini
telah terbalik hanya karena aku memberikan
hak untuk menentukan kehidupan masa depan
pada anakku. Dan aku juga menyadari bahwa
memang bukan adat atau pun kebiasaan kita
untuk berlaku seperti itu. Tapi harus disadari
Made, dunia kita di masa lalu tidak sama
dengan dunia orang-orang sekarang. Dunia
orang-orang sekarang tak sama pula dengan
dunia orang-orang di masa nanti. Segala
sesuatunya harus tunduk pada keadaan dan
kehendaknya jaman . . . "
"Dimana orang tua-tua tidak mempunyai
daya apa-apa lagi terhadap anaknya? Dimana
anak-anak sanggup mengatur orang tuanya
dan bukan orang tuanya yang mengatur diri
mereka? Sungguh lucu jaIan pikiranmu. Jika
memang itu pendirianmu, memang sungguh
berbeda jalan pikiran kita sahabat. Dan
adalah sangat disayangkan kalau kau sampai
mau menolak lamaran Tjokorda Gde Anyer.
Kau tahu, I Krambangan. Jika perjodohan ini
jadi, kau sekeluarga akan dibuatkan sebuah
rumah gedung dan disuruh pindah ke
Denpasar. Tentang kehidupan masa tuamu tak
perlu memikirkan, kau hanya ongkang-
ongkang kaki saja karena semua keperluan
dijamin oleh Tjokorda Gde Anyer. Tentang
anakmu … dia akan hidup bahagia bersama
Tjokorda Gde Djantra!"
"Memang sudah kubayangkan betapa
kebahagiaan akan menyelimuti bila Tantri
nikah dengan anak Tjokorda Gde Anyer. Tapi
aku tak punya daya untuk memaksa Tantri."
Made Trisna menjadi putus asa dan
penasaran sekali pada sahabatnya itu. "Kalau
aku boleh bertanya," katanya, "siapa gerangan
pemuda yang dikasihi oleh anakmu itu?
Apakah dia tampan gagah, anak orang
bangsawan tinggi, punya sawah ladang
berhektar-hektar, punya ternak berkandang-
kandang dan punya harta bergudang-gudang,
hingga mata dan hati anakmu tak dapat
dialihkan kepada yang lain lagi?"
"Pemuda itu bernama Nyoman Dwipa. Dia
tinggal di desa Jangersari dan agaknya bagi
Tantri, sawah ladang atau ternak atau harta
kekayaan itu bukan apa-apa kalau
dibandingkan dengan nilai kasih sayang yang
dipadunya dengan Nyoman Dwipa."
Rasa putus asa dan penasaran yang
menggelorai hati Made Trisna lama-lama
berubah menjadi kejengkelan dan rasa muak
yang akhirnya berubah pula menjadi rasa
benci terhadap sahabat lamanya itu.
Dianggapnya I Krambangan keterlaluan tolol!
"Baiklah I Krambangan," kata Made Trisna
seraya berdiri, "kalau begitu putusanmu
memang tak bisa aku memaksa. Tapi terus
terang kukatakan bahwa sebagai manusia
hidup kau terlalu bodoh untuk tidak mau
menerima lamaran Tjokorda Gde Anyer."
"Terserahlah kau mau bilang apa, sahabatku,"
jawab I Krambangan dengan pelahan.
"Mungkin aku memang orang tolol. Tapi aku
yakin dalam ketololan itu aku berpijak pada
kebenaran dan hak pribadi yang tak bisa
diganggu gugat!"
Made Trisna memacu kudanya dengan
kencang. Hatinya mencaci maki habis-
habisan I Krambangan! *** Denpasar sebuah
kota besar dan bagus di pulau Bali. Beberapa
buah pura besar yang sangat indah
bangunannya terdapat di sana. Di tengah-
tengah kota terdapat sebuah gedung besar
yang atapnya berbentuk candi. Tak ada satu
orangpun di Denpasar yang tidak tahu siapa
pemilik gedung bagus dan besar itu. Bahkan
penduduk yang tinggal di pinggiran kotapun
tahu bahwa itu adalah gedung kediaman
bangsawan kaya raya Tjokorda Gde Anyer.
Waktu itu hari telah rembang petang ketika
Made Trisna dan kudanya sampai di pintu
gerbang gedung, langsung masuk ke halaman
dalam, dan menemui Tjokorda Gde Anyer.
Sebelum dia membuka pembicaraan, Tjokorda
Gde Djantra sudah muncul pula hingga
dapatlah ia memberi keterangan sekaligus
pada kedua beranak itu.
Betapa terkejutnya bangsawan dan anak
tunggalnya itu tatkala mendengar penuturan
Made Trisna, tatkala mengetahui bahwa
lamaran mereka ditolak oleh I Krambangan.
Tak perduli alasan apapun yang dikemukakan
I Krambangan, yang nyata ini adalah
merupakan satu penghinaan besar!
"I Krambangan manusia tak tahu diri! Tak
tahu diuntung!" maki Tjokorda Gde Anyer.
Lalu dia berpaling pada anaknya dan berkata,
"Sudah, kau cari saja gadis lain! Di Denpasar
ini, di pulau Bali ini ada ratusan gadis-gadis
yang jauh lebih cantik dari anaknya si
Krambangan itu, yang turunan bangsawan
terpandang, kaya raya!"
Tjokorda Gde Djantra termanggu beberapa
lamanya. Mukanya yang senantiasa pucat
macam orang mau mati besok, saat itu
kelihatan makin tambah pucat! Seperti
ayahnya, pemuda inipun merasa terhina. Tapi
hatinya benar-benar sudah terpaku pada
gadis itu hingga tak mungkin baginya untuk
mencari lain gadis seperti yang dikatakan
ayahnya.
"Kita sudah diberi malu Djantra!" berkata
Tjokorda Gde Anyer. "Kuharap kau jangan
memberi malu yang kedua kalinya.
"Tapi ayah aku tak sanggup hidup bersama
gadis lain."
"Kenapa tidak sanggup? Sepuluh gadis yang
lebih cantik dari si Tantri itu bisa kau ambil
jadi istri sekaligus!" Tjokorda Gde Djantra
berdiri dari kursinya.
"Walau bagaimanapun aku musti dapatkan
gadis itu, ayah. Tidak dengan cara baik-baik
dengan jalan burukpun bisa. Rasa malu yang
kita terima akan kubalas malam ini juga!"
Tjokorda Gde Djantra lantas berlalu dari situ.
Tjokorda Gde Anyer dan Made Trisna saling
berpandangan. Kedua orang ini sudah bisa
menduga apa yang bakal dilakukan oleh
Tjokorda Gde Djantra. Dan berkatalah Made
Trisna, "Kalau betul itu hendak dilakukan oleh
Tjokorda Gde Djantra, kurasa tak ada
salahnya. Itu sudah menjadi adat kebiasaan
kita di sini."
HARI itu sejak petang lingkungan langit di
ataskota Klungkung diselimuti kemendungan.
Gumpalan awan hitam datang bergulung-
gulung tiada hentinya dari arah barat.
Menjelang senja angin keras mulai bertiup,
menerbangkan debu di segala pelosok,
membuat kota tenggelam dalam udara
pengap. Tepat sewaktu sang surya lenyap di
ufuk barat maka hujan deraspun turunlah.
Suaranya menggemuruh ditimpal oleh deru
angin. Setiap telinga yang mendengarnya
merasa ngeri. Sekali-sekali menggelegar
guntur, berkelebat kilat. Dalam tempo yang
singkat parit dan selokan di seluruh kota telah
luber oleh air hujan, sungai-sungai kecil
banjir menerpa segala apa saja yang ada di
sekitarnya. Kadang-kadang hujan itu mereda
sebentar lalu turun lagi dengan lebih lebat.
Dinginnya udara seperti merembas dan
mencucuk sampal ke tulang-tulang sungsum!
Dalam lebatnya curahan hujan, dalam
kerasnya deru angin dan dalam gelapnya
suasana malam yang sangat dingin itu, dari
jurusan timur laksana bayangan setan,
kelihatanlah empat penunggang kuda
memasuki Klungkung. Sesampainya di
persimpangan jalan di depan pura,
keempatnya membelok ke kiri tanpa
mengurangi kecepatan kuda masing-masing.
Air hujan dan lumpur bercipratan di belakang
kaki-kaki ke empat binatang itu.
Hampir mencapai ujung jalan, salah seorang
penunggang kuda menunjuk ke depan dan
berkata, "Yang itu rumahnya! Pergilah, aku
menunggu di sini."
Tiga penunggang kuda lainnya segera
mengeluarkan sapu tangan-sapu tangan besar
yang berwarna hitam dan menutupi paras
mereka dengan sapu tangan itu sebatas mata
ke bawah kemudian ketiganya segera bergerak
ke rumah kecil yang ditunjuk tadi.
Seperti keadaan rumah-rumah di sekitarnya,
rumah yang mereka tuju inipun sunyi senyap,
tak satu lampupun yang menyala tanda
seluruh penghuninya telah tidur nyenyak
dalam kehangatan selimut masing-masing.
Ketiga orang itu turun dari kuda. Setelah
meneliti keadaan sekeliling mereka langsung
ketiganya menuju ke pintu depan. Dengan
mempergunakan sebuah alat, pintu yang
terkunci berhasil dibuka. Hampir tanpa suara
sedikitpun ketiga orang itu masuk ke dalam
rumah. Mata mereka terpentang lebar-lebar
dalam kegelapan. Selangkah demi selangkah
ketiganya bergerak.
"Kurasa yang ini kamarnya," berbisik salah
seorang dari yang tiga lalu mendahului
kawan-kawannya maju ke pintu dan
mengintai. Di dalam kamar gelapnya bukan
main, tapi matanya yang tajam sanggup juga
melihat sesosok tubuh yang terbaring
bergelung diatas tempat tidur.
"Biar aku yang masuk," berkata laki-laki
bertubuh kurus. Didorongnya daun pintu.
Pintu itu mengeluarkan suara berkereketan
tapi suara ini tertelan oleh suara hembusan
angin deras dan hujan lebat. Dengan dua jari
tangan terpentang lurus siap untuk menotok,
laki-laki berbadan kurus ini melangkah
mendekati tempat tidur.
Tiba-tiba orang yang tidur di atas
pembaringan menbalikkan badannya, selimut
yang menutupi sebagian wajahnya terbuka
dan ketika dia bangun dengan cepat orang ini
segera membentak, "Siapa kau?!"
"Keparat! Bukan dia!" rutuk laki-laki yang
mukanya tertutup kain hitam sementara dua
orang kawannya yang berdiri di ambang pintu
berjaga-jaga juga terkejut sekali. Tadinya
mereka menyangka orang yang tidur di atas
pembaringan itu adalah Ni Ayu Tantri, gadis
yang hendak mereka culik. Tapi suara
bentakan itu nyata sekali suara laki-laki! Tak
dapat tidak yang tidur di situ adalah ayah
dari gadis itu!
"Maling rendah! Kau berani masuk ke dalam
rumahku!" terdengar lagi bentakan. Itu adalah
suara bentakannya I Krambangan yang
menyangka manusia yang masuk ke dalam
kamar itu adalah maling! Segera laki-laki itu
melompat menyambar sebilah parang yang
tersisip di dinding. Namun sebelum tangannya
mencapai senjata itu satu pukulan
menyambar dari samping!
I Krambangan dulunya adalah seorang bekas
kepala prajurit kerajaan, dengan sendirinya
memiliki ilmu silat yang cukup bisa
diandalkan, apalagi kalau cuma menghadapi
seorang maling! Mendapat serangan itu
dengan cepat dia melompat ke samping,
berkelit dan menyusupkan satu tendangan ke
dada lawan!
Tapi yang dihadapi I Krambangan bukan
"maling biasa". "Maling" itupun ternyata
memiliki ilmu silat yang lihay. Dengan
mudahnya dia mengelakkan serangan I
Krambangan lalu berkelebat cepat dan "buk".
Tahu-tahu jotosannya melanda dada I
Krambangan.
Orang tua itu mengeluh tinggi. Tubuhnya
terhempas ke dinding. Nafasnya sesak dan
dadanya sakit bukan main. Tapi karena dia
tersandar ke dinding dengan sendirinya dia
mempunyai kesempatan baik untuk
menyambar parang. Cuma dia masih kurang
cepat. Sebelum tangannya berhasil menyentuh
benda itu dari kiri kanan dua pasang tangan
yang kuat-kuat telah mencekal kedua
lengannya. Dia coba berontak tapi tak
berhasil. Sesaat kemudian satu pukulan yang
amat keras mendarat di keningnya. I
Krambangan coba mempertahankan diri
berusaha agar tidak jatuh pingsan. Tapi
pukulan itu terlalu keras. Lututnya tertekuk
dan sewaktu dua orang yang mencekalnya
melepaskannya, laki-laki ini terhempas ke
lantai tanpa sadarkan diri!
Di kamar sebelah, mendengar suara ribut-
ribut itu, dua orang terbangun dari tidur
masing-masing. Mereka adalah Ni Ayu Tantri
dan ibunya. Biasanya Tantri tidur sendirian di
kamar depan tapi karena malam itu ibunya
diserang demam panas, si gadis sengaja tidur
bersama sekalian untuk menjaga perempuan
itu.
"Ada apa, nak …?" bisik Ni Warda, ibunya
Tantri.
"Seperti suara orang berkelahi, bu." jawab
Tantri "Kudengar keluhan ayah … Biar aku
lihat keluar."
Ni Warda menarik pakaian anaknya dan
berkata gemetar: "Jangan, Tantri. Pasti itu
orang-orang jahat. Kalau kau keluar…."
"Tapi ayah bu," ujar Ni Ayu Tantri dengan hati
cemas. Dan baru saja gadis ini berkata
demikian pintu kamar itu terpentang lebar
oleh satu tendangan keras! Ni Warda dan Ni
Ayu Trisna menjerit sewaktu melihat tiga
orang laki-laki bertutupkan kain hitam paras
masing-masing, menyerbu ke dalam kamar
itu! *** Baru saja matahari pagi tersembul di
ufuk timur, seluruh Klungkung sudah heboh
oleh berita yang disampaikan dari mulut ke
mulut yaitu bahwa Ni Ayu Tantri, gadis cantik
yang belum lama ini pindah bersama ayah
dan ibunya telah lenyap diculik orang malam
tadi! I Krambangan dan beberapa orang
penduduk semalam-malaman itu telah
berusaha mencari jejak si penculik, namun
sia-sia belaka. Rata-rata penduduk menduga
bahwa yang menculik Ni Ayu Tantri itu adalah
gerombolan rampok yang bersarang di Bukit
Jaratan karena rampok-rampok itu memang
selalu mengenakan kain hitam penutup muka
bila menjalankan kejahatannya.
Tapi I Krambangan sendiri mempunyai
dugaan lain. Bersama dua orang tetangga,
dengan menunggangi kuda pagi itu dia
berangkat menuju Denpasar. Tak sukar
baginya mencari gedung kediaman Tjokorda
Gde Anyer. Akan Tjokorda Gde Anyer ketika
melihat kedatangan I Krambangan berubahlah
parasnya. Tapi seseat kemudian bangsawan
ini tertawa lebar dan berkata: "Sungguh tak
disangka-sangka kedatanganmu ini, I
Krambangan. Mari silahkan masuk."
"Cukup kita bicara disini saja, Tjokorda Gde
Anyer. . ."
"Eh, kenapa begitu? Tak pantas sekali seorang
yang bakal jadi besanku hanya berdiri …"
"Jangan bicara segala macam soal besan,
Tjokorda Gde Anyer!" potong I Krambangan
pula dengan suara keras. "Panggil anakmu!
Aku ingin bicara dengan dia!"
Tjokorda Gde Anyer memandang tajam-tajam
pada tamunya. "Sobat lama, agaknya satu
kemarahan menyelimuti dirimu. Bicaralah
dengan tenang tak perlu kesusu. Katakan
maksud kedatanganmu, dan maksudmu
hendak bertemu serta bicara dengan anakku.
Dalam pada itu kuharap kau suka masuk agar
kita bisa bicara baik-baik."
Seseorang keluar dari dalam gedung.
Parasnya kusut mungkin kurang tidur. Orang
ini bukan lain Made Trisna. Dia tak dapat
menyembunyikan rasa terkejutnya sewaktu
melihat I Krambangan. Namun seperti
Tjokorda Gde Anyer tadi, diapun lantas
tertawa dan menegur laki-laki itu. I
Krambangan tidak perdulikan orang ini
melainkan memandang menyorot pada
Tjokorda Gde Anyer.
"Agaknya ada sesuatu yang tidak beres, I
Krambangan?!" tanya tuan rumah.
"Ya, memang ada sesuatu yang tidak beres!
Dan berat dugaanku anakmulah yang menjadi
biang ketidak beresan ini!"
"I Krambangan, tuduhanmu agaknya sangat
tidak beralasan! Katakan apa yang telah
terjadi sampai kau bicara begini rupa!"
"Kurasa kau dan juga Made Trisna sudah tahu
apa yang terjadil Aku bisa mengetahui pada
pertama kali aku melihat air muka kalian!
Tapi tak apa saat ini kalian berkura-kura
dalam perahu! Suatu ketika aku akan tahu
kedustaan kalian! Dengar, sesudah
pinanganmu kutolak secara baik-baik
kemarin, malam tadi tiga orang telah
memasuki rumahku dan menculik Ni Ayu
Trisna!"
"Oh! Lalu saat ini hendak kau tuduhkan
bahwa anakkulah yang telah menculik anak
gadismu? Sungguh tuduhan yang sangat
rendah dan tanpa bukti sama sekali!"
"Memang tuduhanku tidak ada bukti. Tapi aku
yakin bahwa anakmulah yang melakukannya!
Sekarang katakan dimana anakmu itu?"
"Dia tak ada di sini, I Krambangan."
"Itu satu bukti bahwa memang anakmu ada
sangkut paut dengan diculiknya Ni Ayu
Trisna!"
"Jangan menuduh sembarangan!" tukas
Tjokorda Gde Anyer dengan marah. "Sekalipun
lamaranku ditolak apa perlunya anakku
menculik anakmu? Sepuluh gadis-gadis yang
lebih cantik dari anakmu bisa didapat oleh
Tjokorda Gde Djantra!"
I Krambangan menyeringai. "Katakan saja di
mana anakmu berada!"
"Sejak siang kemarin dia meninggalkan
rumah! Kemana perginya aku tidak tahu.
Kalau kau tidak percaya silahkan tanya pada
Made Trisna."
"Dengar Tjokorda Gde Anyer!" kata I
Krambangan dengan memandang tajam-
tajam. "Jika aku mendapat bukti-bukti dan
kenyataan bahwa anakmulah yang telah
menculik anakku dan terjadi apa-apa dengan
diri Ni Ayu Tantri, aku akan bunuh dia! Siapa
saja yang berani menghalangi perbuatanku
akan kusingkirkan dari muka bumi ini!
Termasuk kau dan Made Trisna!"
Habis berkata begitu I Krambangan dan dua
orang kawannya memutar tubuh dan segera
meninggalkan gedung itu.
DALAM hujan lebat di malam buta itu empat
orang penunggang kuda meninggalkan rumah
I Krambangan dengan cepat. Dalam waktu
yang singkat keempatnya telah meninggalkan
kota Klungkung. Di satu persimpangan jalan
keempatnya berhenti. Laki-laki bertopeng kain
hitam yang membawa sesosok tubuh
perempuan di pangkuannya berkata pada tiga
orang lainnya, "Kita berpisah di sini."
"Baik Tjokorda Gde Djantra. Hati-hatilah!"
sahut salah seorang dari mereka. Bersama
dua orang kawannya laki-laki ini segera
meninggalkan persimpangan itu sedang yang
seorang tadi menyentakkan tali kekang
kudanya dan menempuh jalan sebelah kanan.
Dua jam lamanya laki-laki ini memacu
kudanya tanpa henti. Sewaktu fajar
menyingsing dia sampai di sebuah lereng
bukit dan memperlambat lari kudanya. Sambil
menunggangi kuda tak henti-hentinya dia
menundukkan kepala memandang paras jelita
dari gadis yang berada dalam keadaan
pingsan di pangkuannya. Di puncak bukit laki-
laki ini berhenti untuk melepaskan lelah
sementara kuda tunggangannya menjilati air
empun dan memakan rumput-rumput liar
yang tumbuh di sekitar sana. Tak lama
kemudian orang itu meneruskan perjalanannya
kembali.
Di tepi sebuah telaga berair bening yang
terletak dua puluh kilo dari Klungkung dan
lima belas kilo dari Denpasar terdapatlah
sebuah pondok. Pondok ini buruk dan tak
terurus. Tapi karena lantai, dinding dan atap
dibuat dari kayu jati, meski tak terurus,
keadaannya masih cukup baik untuk
ditempati.
Tjokorda Gde Djantra menghentikan kudanya
di tepi telaga lalu membawa perempuan yang
diculiknya ke dalam pondok,
membaringkannya di atas sebuah tumpukan
jerami kering yang dibuat demikian rupa
hingga merupakan tempat tidur yang cukup
nyaman. Dibukanya kain hitam yang menutupi
parasnya. Setelah memandangi wajah gadis
itu beberapa lamanya dengan seringai di bibir,
Tjokorda Gde Djantra keluar dari pondok dan
membersihkan diri dalam telaga. Tubuhnya
terasa segar bila dia keluar dari telaga. Ketika
dia masuk ke dalam pondok didapatinya
gadis itu telah siuman dan duduk di tepi
tempat tidur jerami tengah memandang
berkeliling dengan perasaan takut bercampur
heran.
"Kau sudah siuman Tantri … ?"
Ni Ayu Tantri terkejut oleh suara teguran itu
dan memandang ke arah pintu dengan cepat.
Dia tak kenal dengan pemuda berparas pucat
yang berdiri di ambang pintu itu. Tapi bila dia
ingat pada peristiwa malam tadi yakinlah dia
bahwa manusia ini pastilah salah seorang
dari orang-orang jahat yang menculiknya!
Cepat-cepat gadis ini berdiri.
"Kelihatannya kau takut sekali padaku,
Tantri." berkata Tjokorda Gde Djantra.
Yang mengherankan Ni Ayu Tantri ialah
karena pemuda ini mengenal namanya.
Melihat kepada pakaiannya yang bagus
kemungkinan dia seorang pemuda
bangsawan! Tapi siapa dia dan mengapa
telah melakukan penculikan benar-benar tak
bisa dimengerti oleh Ni Ayu Tantri sementara
rasa takutnya semakin bertambah besar detik
demi detik. "
"Siapa kau? Mengapa menculik dan membawa
aku kemari?!" tanya Ni Ayu Tantri.
Tjokorda Gde Djantra tersenyum. Meski suara
itu bernada keras namun sedap sekali
terdengar di liang telinganya.
"Kau tak usah takut Tantri," berkata si
pemuda, "kau memang tak kenal aku tapi aku
kenal padamu. Kurasa namaku telah pernah
kau dengar dalam beberapa hari belakangan
ini."
"Aku tak perduli siapa kau. Yang penting aku
harus meninggalkan tempat ini dan kembali ke
Klungkung dengan cepat!"
"Kau tak akan kembali ke Klungkung Tantri,"
kata Tjokorda Gde Djantra.
Ni Ayu Tantri terkejut. Rasa takut semakin
mencekam dirinya. "Apa … Aku tak akan
kembali ke Klungkung?!" tanyanya.
Tjokorda Gde Djantra tersenyum lalu
menganggukkan kepalanya perlahan-lahan.
"Kau akan kembali ke Denpasar.
Kerumahku. Dan kita akan tinggal bersama-
sama di sana sebagai suami istri yang
berbahagia!"
Pucatlah paras Ni Ayu Tantri. Kini tahulah
gadis ini dengan siapa dia berhadapan. Tidak
bisa tidak pastilah pemuda bermuka pucat ini
Tjokorda Gde Djantra, anak bangsawan yang
telah ditolak lamarannya satu hari yang
lewat! Dan ketika Tantri menyadari apa
maksud penculikan yang dilakukan Tjokorda
Gde Djantra sesudah lamarannya ditolak itu,
merindinglah bulu kuduk Ni Ayu Tantri! Gadis
ini menjerit dan coba menerobos ke pintu.
Tjokorda Gde Djantra memegang lengan gadis
itu dan menariknya ke tengah pondok.
"Tak ada yang harus kau takutkan Tantri,"
kata pemuda itu. "Seharusnya kau bergembira
karena kita akan hidup bahagia! "
"Lepaskan aku!" teriak Tantri seraya
menyentakkan lengannya. Tapi cekalan
Tjokorda Gde Djantra terlalu keras dan erat
untuk bisa dilepaskannya.
"Duduklah dulu ditumpukan jerami itu, Tantri.
Biar kita bisa bicara baik-baik …"
"Aku tak ingin bicara dengan kau! Perbuatan
ini keji sekali! Terkutuk!" teriak Tantri.
Tjokorda Gde Djantra tertawa pelahan.
"Perbuatanku ini keji dan terkutuk?" ujarnya.
"Justru perbuatan pemuda-pemuda Bali yang
gagah dan berhati jantan! Justru hal ini
dibenarkan oleh adat kebiasaan pulau Dewata
ini!"
"Lepaskan aku manusia keji! Lepaskan!"
Sambil menjerit Tantri meninju dada pemuda
itu berulang kali. Tjokorda Gde Djantra
mendorong Tantri keras hingga terbaring di
atas tempat tidur jerami lalu cepat-cepat dia
menutup pintu dan memalangnya sekaligus!
Perlahan-lahan dia melangkah mendekati
Tantri yang menjerit-jerit dan ketakutan
setengah mati.
"Aku tak mengerti," kata Tjokorda Gde Djantra
seraya rangkapkan tangan dimuka dada, "tak
mengerti mengapa kau sampai menolak
lamaranku …"
"Manusia keji keluarkan aku dari sini!"
"Kudengar kau sudah mempunyai seorang
kekasih, Betul?"
"Itu bukan urusanmu! Keluarkan aku dari sini,
Keluarkan!"
"Tak ada gunanya berteriak terus-terusan.
Suaramu yang bagus nanti bisa serak, Tantri."
Ni Ayu Tantri melompat ke pintu. Namun
usahanya untuk melarikan diri sia-sia saja
karena untuk kedua kalinya pemuda
bangsawan itu berhasil mencekal lengannya
dan mendorongnya kembali hingga terbanting
di atas tempat tidur jerami kering.
"Nama pemuda kekasihmu itu Nyoman Dwipa
bukan?"
Tantri tak menjawab melainkan menangis dan
berteriak-teriak.
"Dengar Tantri," berkata lagi Tjokorda Gde
Djantra. "Hidup berumah tangga bersamaku
pasti kau akan bahagia dan tidak tersia-sia.
Segala keperluan hidupmu kujamin penuh."
"Aku tak perlu semua itu! Tutup mulutmu
manusia keji! Keluarkan aku dari sini!"
"Kadang-kadang cinta itu memang membuat
seorang menjadi buta dan tolol tak bisa lagi
berpikiran sehat. Kau hendak sia-siakan hidup
masa depanmu di tangan seorang pemuda
desa yang tak punya apa-apa? Kau hendak
sia-siakan kehidupanmu yang masih panjang
ini hanya karena kasih sayang gilamu …?!"
"Diam!" jerit Ni Ayu Tantri.
"Kekasihku memang tak punya apa-apal Tapi
itu adalah seribu kali lebih baik dari pada
kekejian yang kau lakukan ini! Menculik gadis
yang tidak sudi kawin dengan kau! Cis! Kau
adalah pemuda bangsawan yang paling
rendah di atas dunia ini!"
"Sesudah kau kubawa kemari, sesudah
kulakukan apa-apa atas dirimu, apakah masih
akan menolak nanti untuk kawin denganku?"
tanya Tjokorda Gde Djantra pula dengan
seringai mengejek.
"Aku lebih baik bunuh diri dari pada kawin
dengan kau!" jawab Ni Ayu Tantri blak-
blakan!
"Tolol sekali mau mati muda begitu rupa,"
ejek Tjokorda Gde Djantra lalu melangkah
maju.
"Pergi!" teriak Tantri!
"Tantri, kau sudah dewasa. Kenapa bertingkah
macam anak kecil? Dengar … aku tak akan
melakukan apa-apa atas dirimu jika kau
bersedia menerima lamaranku."
"Lebih baik aku kawin dengan setan dari pada
dengan manusia macammu!" jawab Tantri
pula seraya mundur menjauhi pemuda itu.
Ucapan yang dilontarkan Ni Ayu Tantri adalah
hinaan luar biasa yang tak pernah diterima
pemuda bangsawan itu selama hidupnya.
Mukanya yang senantiasa pucat pasi
mendadak sontak menjadi kelam merah.
Mulutnya terkatup rapat-rapat, rahangnya
bergemeletukan. Tiba-tiba laksana seekor
harimau yang kelaparan pemuda ini
melompat ke muka. Kedua tangannya
bergerak cepat. Ni Ayu Tantri Menjerit.
"Breet! Breet …!"
Suara robekan pakaian terdengar beberapa
kali berturut-turut. Pekik Tantri
mengumandang melengking tinggi.
Kemanapun gadis ini berusaha lari dia tak
dapat menyelamatkan diri dari keganasan
sepasang tangan Tjokorda Gde Djantra yang
merobek-robek pakaiannya itu! Dalam waktu
yang singkat boleh dikatakan gadis itu sudah
seperti tak berpakaian lagi.
Auratnya yang kuning langsat penuh
kemulusan tersingkap di mana-mana,
membuat darah di tubuh Tjokorda Gde Djantra
laksana mendidih!
"Ini kemauanmu sendiri Tantri!" desisnys. "Aku
telah memberi jalan baik-baik padamu!"
"Bunuh aku! Bunuh saja!" teriak Tantri.
Suaranya sudah serak akibat menangis dan
menjerit terus-terusan.
Tjokorda Gde Djantra menyeringai macam
setan muka putih. Sekali tangan kanannya
mendorong ke muka, Ni Ayu Tantri
terpelanting dan jatuh di atas tempat tidur
jerami!
"Terlalu gila kalau aku mau
membunuhmu,Tantri!" kata pemuda itu
dengan mata yang bersinar-sinar penuh
nafsu. Ni Ayu Tantri tahu apa yang bakal
terjadi atas dirinya. Cepat-cepat dia
melompat tapi kembali tangan pemuda itu
membuatnya jatuh tertelentang di atas
tumpukan jerami!
"Jika kau sudah tidak perawan lagi, kau tak
akan bisa menolak kawin denganku, Tantri⁄"
Suara Tjokorda Gde Djantra lebih merupakan
hembusan nafas panas penuh nafsu dari pada
ucapan sebenarnya yang sampai ke telinga
Tantri. Gadis ini coba menghantamkan salah
satu lututnya ke perut si pemuda tapi
Tjokorda Gde Djantra telah menghimpitnya
membuat gadis itu tak punya daya apa-apa
lagi selain dari pada menjerit parau dan
merapatkan kedua pahanya sedapat mungkin!
Namun sampai dimanakah kekuatan seorang
perempuan menghadapi manusia yang
laksana sudah berubah menjadi binatang
buas!
Di luar pondok hujan rintik-riptik turun.
Hembusan angin dingin dan sayu. Keadaan
alam ciptaan Tuhan di sekitar pondok itu
laksana meratap menangisi apa yang telah
terjadi di dalam pondok.
Ni Ayu Tantri menggeletak di atas tumpukan
jerami kering. Tubuhnya yang tak tertutup
selembar benang itu tiada bergerak-gerak.
Sejak kebuasan menimpa dirinya, gadis ini
telah jatuh pingsan.
Di lantai pondok, di samping tumpukan jerami
itu, terbaring Tjokorda Gde Djantra dengan
tubuh mandi keringat, hidung kembang kempis
diburu nafas panas. Perlahan-lahan
diputarnya kepalanya ke arah Ni Ayu Tantri.
Betapa bagusnya tubuh itu. Betapa luar
biasanya kenikmatan yang bisa didapatnya
dari kebagusan tubuh itu. Dengan apa yang
telah diperbuatnya terhadap Ni Ayu Tantri,
bagi Tjokorda Gde Djantra jelas sudah bahwa
baik Tantri sendiri maupun kedua orang
tuanya tak bakal bisa lagi menolak
lamarannya tempo hari.
Memandangi tubuh itu, lama-lama
menggejolak kembali rangsangan nafsu bejat
di sekujur tubuh Tjokorda Gde Djantra. Ketika
dia bangkit dengan pelahan dilihatnya tubuh
itu bergerak sedikit. Sewaktu dia berdiri,
kedua mata Tantri membuka. Telah sadar dia
rupanya dari pingsannya. Dia bangun dengan
cepat, memandang pada tubuhnya sebentar
lalu ketika sepasang matanya membentur
Tjokorda Gde Djantra, dari mulut Ni Ayu Tantri
keluarlah pekik yang mengerikan! Tjokorda
Gde Djantra sendiri sampai berdiri bulu
kuduknya mendengar pekik itu. Sementara dia
masih termanggu-manggu antara dipagut
kengerian dan dirasuk oleh rangsangan yang
mengobari sekujur tubuhnya, tiba-tiba Ni Ayu
Tantri melompat ke arah dinding kayu jati.
"Tantri! Jangan!!" teriak Tjokorda Gde Djantra
menggeledek. Dia melompat dengan sebat.
Tapi nasib! Terlambat sudah!
Kepala Ni Ayu Tantri telah membentur dinding
kayu jati itu dengan amat kerasnya. Terdengar
suara pecahnya batok kepala perempuan itu.
Tubuhnya terkapar ke lantai tanpa berkutik
lagi. Meski bunuh diri bukanlah satu
perbuatan baik, namun Ni Ayu Tantri telah
memperlihatkan bahwa baginya kehormatan
dan kesucian diri adalah jauh lebih berharga
daripada jiwanya!
DI daerah sekitar Denpasar, Gianyar dan
Klungkung tiga rombongan yang masing-
masing terdiri dari sepuluh orang telah
menjelajah melakukan pencarian terhadap Ni
Ayu Tantri yang telah diculik itu. Rombongan
pertama dipimpin oleh I Krambangan
menyelidik daerah sekitar Denpasar.
Rombongan kedua dipimpin oleh Nyoman
Dwipa, kekasih Ni Ayu Tantri, menjelajahi
daerah Gianyar dan sekitarnya. Rombongan
yang terakhir dipimpin oleh Kepala Keamanan
Kota Klungkung yang bernama I Gusti
Wardana. Telah hampir satu minggu ketiga
rombongan itu melakukan penyelidikan namun
sia-sia belaka. Pada hari ke delapan I
Krambangan dengan putus asa meninggalkan
daerah luar kota Denpasar, kembali menuju ke
Klungkung.
Dalam perjalanan pulang ini sengaja I
Krambangan menempuh daerah sebelah timur
laut, menyusur rimba belantara dan kaki-kaki
bukit. Udara panasnya bukan main karena
matahari bersinar dengan terik. Sewaktu
melewati sebuah kaki bukit, I Krambangan
melihat kuda tunggangannya menggerak-
gerakkan sepasang telinganya. Mulutnya yang
berbusah senantiasa tak bisa diam sedang
cuping hidungnya bergerak-gerak. I
Krambangan tahu betul jika binatang itu
berada dalam keadaan seperti itu, ini
merupakan suatu tanda bahwa dia tengah
membaui air segar.
Mulanya I Krambangan tak mau perduli
dengan binatang itu. Lebih cepat kembali ke
Klungkung adalah lebih baik baginya. Siapa
tahu rombongan yang dipimpin oleh Nyoman
Dwipa atau I Gusti Wardana telah berhasil
menemukan anak gadisnya.
"I Krambangan," tiba-tiba seorang anggota
rombongan yang berada di samping I
Krambangan menegur. "Bagaimana kalau kita
berhenti dulu untuk istirahat barang beberapa
ketika? Kalau aku tidak salah, di sebelah sana
terdapat sebuah telaga berair jernih . . . "
Atas ajakan ini akhirnya I Krambangan
membawa rombongan ke arah telaga yang
dikatakan anggota rombongan tadi. Semakin
dekat ke arah telaga, sesuatu bau yang tidak
enak semakin santar menyambar hidung
setiap anggota rombongan.
"Adakah kalian membaui sesuatu?" tanya I
Krambangan.
"Ya. Bau busuk apa ini!" jawab seorang di
belakangnya sambil memandang berkeliling.
Akhirnya rombongan itu sampai di tepi telaga.
"Hai lihat!" seru seorang di antara mereka.
"Ada pondok di tepi telaga sana!"
Memang benar di seberang telaga kelihatan
sebuah pondok kayu. Dan dari pondok inilah
agaknya santar sekali menyambarnya bau
busuk itu. I Krambangan mengernyitkan
keningnya. Tiba-tiba selintas pikiran timbul di
benak orang tua ini. Dadanya berdebar.
Disentakkannya tali kekang kudanya. I
Krambangan memacu binatang itu memutari
telaga hingga akhirnya sampai di depan
pondok. Laki-laki ini melompat turun dari
kudanya dan lari ke pintu pondok. Pintu itu
tidak dikunci. Ketika didorong segera
terpentang lebar dengan menimbulkan suara
berkeret yang membuat suasana tambah ngeri
terasanya oleh I Krambangan. Begitu pintu
terbuka bau busuk menerpa hidung
menyesakkan pernafasan laki-laki itu. Sambil
menutup hidung I Krambangan masuk ke
dalam dan langkahnya terpaku ke lantai
pondok sewaktu matanya membentur sesosok
tubuh perempuan yang menggeletak di atas
lantai.
Hanya seketika I Krambangan terpaku ke
lantai laksana patung. Bila ditelitinya paras
yang rusak itu terpekiklah dia!
"Dewa Agung!"
I Krambangan melompat dan berlutut di
samping sosok tubuh itu. Beberapa orang
anggota rombongan kemudian memasuki pula
pondok kecil itu dan semua mereka terkesiap
ngeri melihat pemandangan di depan mata
mereka! Sosok tubuh yang terhampar di lantai
pondok bukan lain adalah sosok tubuh Ni Ayu
Tantri yang telah jadi mayat. Selain tak
selembar benangpun yang menutupi auratnya,
tubuh itupun sangat rusak, sudah membusuk
bahkan di beberapa bagian sudah ada yang
dimakani ulat! Parasnya yang cantik jelita kini
hanya merupakan satu benda yang
mengerikan untuk dipandang. Keningnya
pecah. Seluruh mukanya yang tertutup darah
kental beku itu sebagiannya telah busuk.
Mata kiri kanan tempat bersarangnya
belatung-belatung yang berjalan kian kemari!
"Dewa Agung⁄" rintih I Krambangan yang
menundukkan kepala dan mencucurkan air
mata karena tak sanggup menyaksikan
keadaan anak gadisnya, "dosa apakah yang
aku buat, kesalahan apakah yang dilakukan
anakku hingga mengalami nasib begini rupa .
. ?"
Rintih atau jeritan hati itu tentu saja tidak
mendapatkan jawaban. Sebaliknya di lubuk
hati I Krambangan seolah-olah muncul
sebuah titik merah yang makin lama makin
besar, makin besar … makin besar dan
akhirnya berubah menjadi satu kobaran api
yang membakar hati dan mendidihkan darah
di sekujur tubuhnya! Kemarahan yang
menyelimuti dirinya membuat tubuh laki-laki
itu bergetar hebat! Rahang-rahangnya
terkatup. Geraham-gerahamnya mengeluarkan
suara bergemeletukan. Tibatiba berteriaklah I
Krambangan laksana geledek dahsyatnya,
membuat semua orang yang ada di situ
menjadi kaget sekali.
"Tjokorda Gde Anyer! Ini semua gara-garamu!
Ini pasti anakmu yang punya perbuatan! Demi
Dewa Agung aku bersumpah untuk membunuh
seluruh keluargamu! Akan kuhirup darah
anakmu yang jahanam itu!"
Bersarnaan dengan berakhirnya teriakan itu,
di luar pondok udara tiba-tiba menjadi gelap.
Langit mendung. Angin menderu keras. Guntur
menggelegar, kilat menyambar dan hujan
lebatpun_ turunlah! Keadaan seperti itu
seolah-olah delapan penjuru jagat dan Dewa-
dewa di Kahyangan telah mendengar teriak
sumpah I Krambangan tadi! *** Saat itu
memang musim hujan. Dalam keadaan basah
kuyup I Krambangan memasuki Denpasar. Di
belakangnya kelihatan empat orang laki-laki
memacu kuda masing-masing. Sejak dari
Klungkung keempat laki-laki itu telah coba
menjernihkan hati serta pikiran I Krambangan
yaitu agar laki-laki itu mencari penyelesaian
menurut jalan wajar. Mereka telah
menasihatkan agar perkara tersebut
diserahkan saja pada Kepala Keamanan Kota
Klungkung yaitu I Gusti Wardana yang sampai
saat itu belum kembali dalam memimpin
rombongan mencari Ni Ayu Tantri. Tapi dalam
keadaan kalap, dalam keadaan darah
mendidih amarah bergejolak mana mungkin
untuk memberi nasihat pada I Krambangan
yang sudah seperti manusia kemasukan setan
itu!
Sambil menyisipkan sebilah keris pusaka
almarhum kakeknya I Krambangan berkata
pada tetangga-tetangga yang ada di
hadapannya, "Nyawa dan kehormatan anak
gadisku harus dibayar oleh seluruh keluarga
Tjokorda Gde Anyer keparat itu! Aku belum
puas kalau tidak dapat menghirup darah
anaknya yang durjana! Kalian tak usah ikut
campur! Ini adalah urusan pribadiku!"
Semua orang segera maklum pasti akan
terjadi peristiwa besar. Maka untuk berusaha
agar jangan sampai terjadi hal-hal yang tak
diinginkan itu, empat orang tetangga telah
berangkat pula sengaja mengikuti I
Krambangan ke Denpasar. Pintu gerbang
besar rumah gedung Tjokorda Gde Anyer
terkunci. Tanpa turun dari kudanya I
Krambangan menggedor pintu itu. Tak berapa
lama kemudian pintu besarpun terbuka.
Seorang pelayan laki-laki memunculkan
kepalanya.
"Bangsat yang bernama Tjokorda Gde Anyer
dan anaknya yang bernama keparat Tjokorda
Gde Djantra itu ada di dalam?!" bentak I
Krambangan.
Bentakan itu mungkin tak membuat si pelayan
kaget. Tapi ucapan I Krambanganlah yang
menjadi terkejut. Pelayan ini ingat pada pesan
majikannya, maka diapun berkata,
"Sayang sekali, majikanku dan keluarganya
pagi tadi telah berangkat ke Tabanan. Beliau
berpesan kalau ada tamu agar kembali saja
minggu depan."
"Hem . . . begitu pesannya?" ujar I
Krambangan.
Pelayan itu menganggukkan kepalanya.
Justru saat itu I Krambangan menggerakkan
kaki kanannya, menendang dengan sekuat
tenaga ke arah kepala pelayan itu. Didahului
oleh satu jeritan kesakitan yang luar biasa, si
pelayan terpelanting dan roboh tak sadarkan
diri lagi! Dengan kaki kirinya I Krambangan
menendang pintu hingga pintu itu terpentang
lebar.
Di depan tangga langkan gedung kediaman
Tjokorda Gde Anyer, laki-laki ini melompat
turun. Empat orang laki-laki lainnya
melakukan hal yang sama dan berdiri di
belakang I Krambangan. Setelah memandang
berkeliling dengan mata yang merah laksana
dikobari nyala api, maka berteriaklah I
Krambangan.
"Anjing busuk yang bernama Tjokorda Gde
Anyer keluarlah untuk menerima mampus!"
Tak ada jawaban I Krambangan berteriak lagi,
lagi dan lagi sampai berulang-ulang! Sewaktu
masih tetap tak ada jawaban maka
menggelegaklah kemarahan laki-laki ini.
Kakinya bergerak! Pot bunga buatan Cina
yang besar dan terletak di langkan itu pecah
berantakan dengan mengeluarkan suara
berisik. Apapun perabotan yang ada di
ruangan muka itu hancur musnah dirusak I
Krambangan sementara empat orang
kawannya tak bisa berbuat apa-apa, apalagi
melarang. Mereka hanya memperhatikan saja
dengan hati cemas.
Satu-satunya benda yang masih utuh di
ruang depan gedung mewah itu ialah lampu
minyak besar yang tergantung di langit-langit.
I Krambangan mengambil sebuah kursi yang
telah patah-patah dan melemparkan ke arah
lampu! Tak ampun lampu itu pecah
berantakan, minyaknya tumpah ke lantai! Dan
pada saat itu pulalah pintu di sudut kanan
terbuka. Seseorang memunculkan diri.
Kemunculan orang ini disambut oleh
dampratan I Krambangan, "Tikus kotor Made
Trisna! Mana majikanmu si anjing Tjokorda
Gde Anyer itu?!"
Paras Made Trisna berubah. Matanya
memandang tajam-tajam lalu katanya dengan
suara lunak, "Sahabatku, I Krambangan."
"Tikus kotor! Berlalu dari hadapanku, lekas
panggil kau punya majikan kalau tidak ingin
mampus! "
"Apa-apaan ini sebenarnya I Krambangan?
Tak ada pasal lantaran kenapa kau mengamuk
di rumah orang … ?!"
"Keparat laknat! Anakku diculik! Dirusak
kehormatannya lalu dibunuh oleh anjing kurap
bernama Tjokorda Gde Djantra! Dan kau masih
bisa bilang tak ada pasal tak ada lantaran…!"
" Krambangan, kau jangan menuduh yang
bukan-bukan!"
"Manusia bedebah! Kau cukup pantas untuk
mampus lebih dulu!" teriak I Krambangan.
Sambil melompat ke muka keris pusaka di
pinggangnya dicabut. Sesaat kemudian
secarik sinar putih menderul Itulah satu
tusukan cepat yang dilancarkan oleh I
Krambangan dengan keris peraknya ke arah
leher Made Trisna!
Melihat orang benar-benar meminta
nyawanya, Made Trisna cepat-cepat
melompat. Serangannya yang mengenai
tempat kosong membuat I Krambangan jadi
tambah gelap. Cepat laksana kilat dia
membalik. Sewaktu I Krambangan hendak
melancarkan serangan maut untuk kedua
kalinya, maka menggemalah satu teriakan
lantang, "Tahan!"
I Krambangan hentikan serangannya dan
berpaling dengan cepat.
"Anjing busuk! Akhirnya kau keluar juga dari
persembunyianmu!" seru I Krambangan.
Paras Tjokorda Gde Anjer mengelam. "I
Krambangan!" katanya menegur, "Apa yang
kau perbuat di sini benar-benar membuat aku
terkejut!"
I Krambangan mendengus keras.
"Apakah hati anjingmu juga terkejut sewaktu
mengetahui anakmu telah menculik dan
merusak kehormatan Tantri dan
membuhuhnya?!"
"A … apa?!" seru Tjokorda Gde Anyer terkejut.
Dan ini adalah satu kepura-puraan.
Sesungguhnya dari Made Trisna dia telah
tahu apa yang terjadi atas diri Tantri.
"Anjing! Kau tak perlu berpura-pura! Kalau
kau tidak takut atas tanggung jawab yang
harus kau pikul perlu apa kau memberikan
pesan dusta pada pelayanmu yang terkapar di
luar sana?!"
"Aku sedang tak enak badan. Sebab itu
kuberikan pesan begitu rupa pada pe …"
"Sudahlah! Dihadapanku kau tak perlu bicara
berpanjang lebar! Bicaralah nanti di liang
kubur!"
Habis berkata demikian I Krambangan
melompat dan keris perak untuk kesekian
kalinya berkiblat mencari maut!
"I Krambangan! Lebih baik kita bicara dengan
tenang dulu!" seru Tjokorda Gde Anyer.
"Aku sudah bilang bicaralah nanti di liang
kubur!" jawab I Krambangan dan serangannya
makin ganas. Di serang bertubitubi begitu
rupa Tjokorda Gde Anyer tak bisa berdiam diri
saja. Bangsawan kaya raya ini segera
mencabut sebilah keris bereluk dua belas dari
pinggangnya. Maka sesaat kemudian
terjadilah pertempuran yang seru! Baik Made
Trisna maupun keempat kawan I Krambangan
tak bisa mencegah atau menghentikan
pertempuran itu. Akhirnya mereka cuma
memperhatikan jalannya pertempuran dengan
hati penuh kekawatiran. Pertempuran yang
hebat itu sudah dapat dipastikan akan
meminta salah satu korban jiwa!
Bagaimanapun hebatnya serangan-serangan
Krambangan pada jurus-jurus permulaan
pertempuran itu namun sudah dapat
dipastikan bahwa Tjokorda Gde Anyer
bukanlah tandingannya. Bangsawan ini
sewaktu terjadi perebutan kekuasaan di
Kerajaan Bali sekitar dua puluh tahun yang
lalu adalah seorang perwira Kerajaan yang
memiliki kepandaian tinggi. Berkat
bantuannya dan beberapa perwira lainlah
kaum pemberontak berhasil ditumpas, takhta
kerajaan berhasil diselamatkan. I Krambangan
sendiri sewaktu pertumpahan darah itu terjadi
hanya memegang jabatan sebagai Kepala
Prajurit Kerajaan, hingga dengan sendirinya
dari kedudukan atau pangkat itu sudah dapat
ditaksir ketinggian tingkat ilmu silat masing-
masing.
Lima jurus berlalu. Serangan-serangan I
Krambangan yang laksana hujan mencurah
itu mulai ditanan dan dibendung oleh keris
bereluk dua belas di tangan Tjokorda Gde
Anver vang nyatanya bukanlah keris
sembarangan pula! Dengan senjata itulah
dulu kabarnya Tjokorda Gde Anyer
menyelamatkan Kerajaan Bali!
Pada jurus kesembilan, dalam satu serangan
yang sangat kalap dan membahayakan dirinya
sendiri, I Krambangan berhasil melukai bahu
kiri lawannya Tjokorda Gde Anyer jadi naik
pitam. Kalau tadi dia cuma bertahan dan
menunggu kesempatan untuk merampas
senjata lawan maka kini diapun tak mau
main-main lagi. Keris ditangannya diputar
demikian rupa, gerakangerakannya berubah
dan dalam satu jurus saja I Krambangan
menjadi dibikin sibuk! Berada dalam keadaan
terdesak bukan membuat I Krambangan
menjadi cemas sebaliknya makin naik darah.
Dia sudah bertekad bulat untuk membunuh
lawannya itu meskipun apapun yang terjadi.
Maka diapun mengeluarkan segala
kepandaian yang ada.
Memasuki jurus keduapuluh sembilan I
Krambangan benar-benar kalang kabut.
Delapan kali saling benturan senjata dengan
lawan telah membuat telapak tangannya
pedas dan sakit. Melihat pada keadaannya
dalam satu dua jurus di muka atau paling
lama tiga jurus lagi, laki-laki ini akan
menemui kekalahannya!
"I Krambangan, kalau kau menyerah dengan
baik-baik, aku bersedia untuk tidak
memperpanjang urusan!" berseru Tjokorda Gde
Anyer.
"Seluruh keluargamu mampus dulu di
tanganku baru aku mau menyerah pada
mayat-mayat busuk kalianl" jawab I
Krambangan.
Tjokorda Gde Anyer jadi penasaran sekali.
Didahului oleh satu bentakan menggeledek dia
membuka jurus ketiga puluh dengan satu
serangan yang hebat. Serangan ini dinamakan
lengan dewa merangkul awan." Mula-mula
kerisnya kelihatan menusuk tajam ke arah
batok kepala lawan. Ketika lawan menangkis,
mendadak lengannya bergerak menghantem ke
leher dalam kecepatan yang luar biasa dan
sukar diduga. Mana diduga kalau serangan
senjata yang dilancarkan oleh tangan kanan,
bisa berubah dengan satu pukulan tangan
kosong yang lihay!
I Krambangan tau bahwa dia tak punya daya
untuk menangkis, tak punya kesempatan
untuk mengelak. Karenanya dengan untung-
untungan laki-laki ini tusukkan kerisnya ke
dada lawan. Tapi posisi Tjokorda Gde Anyer
terlalu jauh untuk dicapai oleh tusukan itu!
Bahkan baru saja tusukan meluncur setengah
jalan, lengan kanan Tjokorda Gde Anyer
membabat deras dan "krak"! Patahlah batang
leher I Krambangan! Sebelum tubuhnya
mencium lantai langkan, nyawanya sudah
lepas!
Kalau tadi keempat orang kawan-kawan I
Krambangan hanya berdiam diri menyaksikan
pertempuran itu dengan kawatir, kini
bagaimanapun juga rasa setia kawan
membuat mereka menjadi marah sewaktu
melihat I Krambangan menggeletak di lantai
tanpa nyawa, Tanpa menunggu lebih lama
keempatnya menghunus keris dan menyerbu!
Made Trisna tidak tinggal diam pula. Maka
kini pecahlah pertempuran empat lawan dua
yang teramat seru tapi yang juga berjalan
duabelas jurus. Satu demi satu keempat
orang itu roboh mandi darah dan mati!
DALAM melarikan kuda hitamnya laksana
diburu setan itu, masih terbayang di pelupuk
matanya upacara pembakaran jenazah Ni Ayu
Tantri. Masih terbayang olehnya upacara
pembakaran jenazah I Krambangan. Lalu
terbayang olehnya upacara pembakaran
jenazah I Krambangan. Lalu terbayang pula
bagaimana Ni Warda, istri I Krambangan
dengan segala ketabahan dan keberanian
yang luar biasa mencebur masuk ke dalam
gejolak api di mana jenazah suaminya
dibakar!
Berhenti di puncak bukit itu dikeluarkannya
sebuah kotak kayu jati yang berukir-ukir dari
balik pakaiannya. Sebelum abu pembakaran
jenazah Tantri dibuang kelaut, pemuda ini
telah memisahkan sebagian abu suci itu dan
menyimpannya di dalam kotak yang indah itu.
Diciumnya kotak itu dan dibisikkannya kata,
"Tantri, aku bersumpah untuk membalas sakit
hatimu dan keluargamu! Bila manusia-
manusia keji itu berhasil kutumpas, akupun
rela untuk menyusulmu!"
Perlahan-lahan dimasukkannya kotak itu ke
balik pakaiannya kembali. Ketika tali kekang
kuda hitam hendak disentakkannya, matanya
melihat seorang penunggang kuda keluar dari
hutan, memasuki jalan kecil di kaki bukit lalu
memacu kudanya ke arah timur. Entah karena
apa timbul kesyakwasangkaan di hati pemuda
di atas puncak bukit terhadap penunggang
kuda di bawah sana. Dia memandang ke
timur. Jika dia bergerak cepat, sekurang-
kurangnya dia akan berhasil menyusul orang
itu dan menunggunya di tikungan dekat jurang
di sebelah timur sana! Setelah
mempertimbangkan sebentar niatnya itu
akhirnya diletakkannya tali kekang dan larilah
kudanya menuju ke timur.
Kira-kira setengah jam kemudian pemuda
berkuda hitam itu sudah berada di tikungan
jalan. Tikungan itu selain patah tajam juga
berbahaya karena di sebelah kirinya terdapat
jurang batu yang sangat dalam. Di balik
sebuah tebing batu di tepi kanan jalan
pemuda ini menunggu dengan sabar sampai
penunggang kuda yang tadi dilihatnya lalu.
Kira-kira lewat sepeminum teh telinga pemuda
ini mulai menangkap suara derap kaki-kaki
kuda di kejauhan. Makin lama suara itu makin
jelas dan keras tanda kuda dan
penunggangnya sudah tambah dekat. Ketika
orang yang dihadangnya itu tinggal beberapa
tombak saja, pemuda berkuda hitam keluar
dari balik tebing batu.
Orang yang dihadang, seorang pemuda
berpakaian bagus, mula-mula tidak menaruh
curiga akan kemunculan seorang penunggang
kuda di hadapannya. Jalan yang ditempuhnya
satu-satu jalan yang menghubungkan
Denpasar jengan daerah luar kota. Jadi
adalah biasa saja kalau berpapasan dengan
orang lain. Namun sewaktu melihat pemuda
berkuda hitam itu sengaja berhenti di tengah
jalan maka syak wasangkalah hatinya.
Pemuda berpakaian bagus itu menghentikan
kudanya dalam jarak lima belas langkah.
Keduanya saling pandang sejurus. Pemuda
yang berpakaian bagus akhirnya membuka
mulut, "Saudara, harap kau suka memberi
jalan."
"Saudara! Apa kau tak dengar orang minta
jalan!" ujar pemuda berpakaian bagus,
berbadan tinggi kurus dan berwajah pucat
pasi. Suaranya mulai keras tanda gusar.
"Jalan ini bukan milikku! Silahkan lewat!" kata
pemuda berkuda hitam tapi dia sama sekali
tidak menepikan kuda tunggangannya!
Melihat ini pemuda berpakaian bagus jadi
penasaran dan membentak: "Siapa kau? Apa
maksudmu menghadang perjalanan orang!!"
Satu seringai tersungging di mulut pemuda
berkuda hitam. "Akui terus terang manusia
muka pucat! Kau tentu bangsatnya yang
bernama Tjokorda Gde Djantra dari Denpasar!"
Ucapan ini membuat pemuda berpakaian
bagus menjadi kaget. Nalurinya
memperingatkan agar mulai detik itu dia
harus berhati-hati karena memang dia adalah
Tjokorda Gde Djantra!
"Katakan dulu kau siapa, baru aku
menerangkan tentang diriku!"
Sebagai jawaban pemuda berkuda hitam
mencabut sebilah keris bereluk tujuh berwarna
coklat tua. Sinar matahari yang terik
membuat senjata ini berkilau memancarkan
sinar kehitaman!
"Silahkan cabut keris di pinggangmu! Aku
yakin kau adalah manusia keji yang bernama
Tjokorda Gde Djantra. Aku Nyoman Dwipa
kekasih Ni Ayu Tantri! Kau harus serahkan
jiwamu saat ini juga sebagai pertanggungan
jawab atas apa yang telah kau lakukan
terhadap gadisku! Juga atas apa yang telah
dialami oleh I Krambangan serta empat orang
kawan-kawannya!"
Kejut Tjokorda Gde Djantra bukan alang
kepalang. Tapi dia tidak gentar. Dia tertawa
gelak-gelak kemudian berkata, "Jadi ini
tampang manusia yang mengaku kekasih Ni
Ayu Tantri? Ha . . . ha … ha! Tampangmu
boleh juga sobat! Tapi kalau kau punya
rencana untuk membunuhku, kau harus
berpikir tiga kali sebelum melakukannyal
Apakah kau punya kepandaian yang bisa
diandalkan? Hidungku membauimu masih bau
pupuk! Sebaiknya pulang saja kembali ke
desamu, cuci kaki dan tidur! Kalau tidak pasti
terlambat sobat!" Dan Tjokorda Gde Djantra
tertawa lagi terbahak-bahak!
Nyoman Dwipa kertakkan rahang-rahangnya
dan majukan kudanya beberapa langkah.
"Tertawalah sepuasmu manusia keji. Kalau
kau sudah mampus hanya setan iblislah yang
akan tertawa menyambutmu di liang kubur!"
Tjokorda Gde Djantra mendengus lalu berkata,
"Aku yakin tentu kau berpikir bahwa akulah
yang telah menculik dan membunuh
kekasihmu itul Semua orang berpikir begitu!
Alangkah tololnya! Sungguh kurang ajar sekali
menuduh orang lain berbuat jahat tanpa
punya bukti-bukti kuat dan nyata!"
"Pemuda keji! Lamaranmu ditolak! Adalah
cukup alasan bagimu untuk menculik Ni Ayu
Tantri!"
Tjokorda Gda Djantra kembali mendengus dan
menjawab,
"Kau kira cuma gadis itu saja yang ada di
pulau Bali ini? Sepuluh gadis-gadis lebih
cantik bisa kuambil sekaligus untuk jadi
istriku, perlu apa aku sampai menculik
perempuan tak berguna dan hina dina itu!"
"Jadi kau tidak mau mengaku bahwa kau
manusia biang racun yang telah melakukan
kejahatan kotor terkutuk itu!"
"Aku katakan padamu sobat! Jangan
menuduh sembarangan!" bentak Tjokorda Gde
Djantra.
Nyoman Dwipa menggerakkan tangan kirinya
ke saku pakaian. Ketika tangan itu keluar lagi
kelihatan memegang sebuah benda bundar
yang ternyata adalah sebuah kancing baju
yang terbuat dari perak.
"Manusia laknat pengecutl Kancing baju ini
ditemukan di pondok di tepi telaga. Kancing
ini sama bentuknya dengan kancing pakaian
yang kau kenakan saat ini! Apakah mulut
busukmu masih mau mungkir!'
Tjokorda Gde Djantra terdiam. Kancing perak
itu memang kancing pakaiannya yang telah
direnggut putus oleh Ni Ayu Tantri sewaktu
dia hendak merusak kehormatan gadis itu!
"Kau terdiam dan tampangmu tambah pucatl
Sekarang bersiaplah untuk mampus!" teriak
Nyoman Dwipa. Tali kekang disentakkannya.
Kuda melompat ke muka dan keris berluk
tujuh di tangan kanannya berkelebat dengan
ganas, mengirimkan satu tusukan ke arah
dada kanan Tjokorda Gde Djantra!
"Trang!!!"
Terdengar suara beradunya senjata sewaktu
Tjokorda Gde Djantra menangkis serangan
lawan dengan keris Bradjaloka bereluk tujuh
belas. Bunga api memercik. Di atas punggung
kudanya Nyoman Dwipa terkejut bukan main!
Daya tangkis lawan kuat luar biasa hingga
bukan saja tangan kanannya tergetar hebat
tapi tubuhnyapun terhuyung-huyung. Kalau
saja tangan kirinya tidak berpegang pada tali
kekang kuda mungkin sekali dia terpelanting
jatuh! Dan yang lebih mengejutkan serta
membuat pemuda ini mengeluh dalam hati
ialah sewaktu melihat bagaimana bagian
yang tajam dari kerisnya yang cuma bereluk
tujuh telah gompal dihantam keris lawan
dalam bentrokan senjata tadi!
Mengetahui sampai dimana tingkat
kepandaian lawan maka tertawalah Tjokorda
Gde Djantra berkakakan seraya melontarkan
ejekan,
"Manusia yang ilmunya cuma sedangkal
comberan hendak jual lagak besar di
hadapanku!"
"Iblis bermuka manusia pucat!" jawab Nyoman
Dwipa, "percuma aku menghadangmu kalau
tidak dapat mencincang seluruh tubuhmu!"
Tjokorda Gde Djantra ganda tertawa. Dia
hendak menangkis lagi sewaktu Nyoman
untuk kedua kalinya melancarkan serangan
dari depan. Tapi kali ini dia tertipu. Serangan
lawannya hanya pancingan belaka. Begitu
Tjokorda Gde Djantra menggerakkan tangan
untuk menangkis, keris di tangan Nyoman
Dwipa berkelebat turun dan membabat ke arah
perut!
"Keparat!" maki Tjokorda Gde Djantra.
Disentakkannya tali kekang kudanya hingga
binatang itu melompat ke depan dan dengari
memiringkan tubuhnya pemuda ini berhasil
mengelakkan sambaran keris lawannya.
Namun Nyoman Dwipa rupanya tidak
kepalang tanggung. Dengan amat cepat
pemuda ini susulkan satu tendangan kaki
kanan!
Masih untung Tjokorda Gde Djantra sempat
berkelit. Tapi kuda tunggangannya bernasib
sial. Tendangan Nyoman Dwipa mendarat
tepat di leher binatang itu. Kuda ini meringkik
keras, mengangkat kedua kaki depannya
tinggi-tinggi ke atas dan membuat
penunggangnya terpelanting jatuh ke tanah!
Tjokorda Gde Djantra seorang pemuda turunan
bangsawan yang telah menuntut ilmu silat
dan kebatinan serta kesaktian pada seorang
sakti di puncak Gunung Agung bernama
Sorablungbung. Di pulau Bali pada masa itu
terdapat tiga orang tokoh silat kawakan yang
sangat tinggi ilmu silat dan kesaktiannya.
Salah seorang di antaranya ialah
Sorablungbung, kemudian Walalang Tjarda
yang diam di Danau Batur. Karena dia sering
mengembara maka jarang sekali dia berada di
Danau tersebut.
Tokoh silat ketiga bernama Menak Putuwengi.
Sejak sepuluh tahun belakangan ini dua
persilatan di Pulau Bali tidak mengetahui ke
mana perginya Menak Putuwengi karena tokoh
silat yang berumur 70 tahun ini lenyap begitu
saja dari dunia persilatan, entah
mengundurkan diri entah telah menemui
ajalnya. Di antara ketiga tokoh silat itu Menak
Putuwengilah yang paling tinggi ilmu
kepandaiannya. Senjatanya segala benda apa
saja yang berbentuk tongkat, baik beberapa
helai lidi atau daun bambu ataupun ranting
kering atau besi, bila berada di tangannya
pasti akan menjadi senjata yang dahsyat.
Karena itulah Menak Putuwengi mendapat
julukan Raja Tongkat Empat Penjuru Angin.
Pernah sekitar lima belas tahun yang lalu
ketiga tokoh itu bertemu di puncak Gunung
Tabanan untuk mengadakan pertandingan
persahabatan, menguji ilmu kepandaian
masing-masing. Dalam pertandingan yang
sangat hebat dan dihadiri oleh tokoh-tokoh
silat di Pulau Bali maka Menak Putuwengi
keluar sebagai jago nomer satu setelah
berturut-turut mengalahkan Sorablungbung
dan Walalang Tjarda. Setelah lima belas
tahun berlalu tak dapat lagi dipastikan siapa
sesungguhnya yang lebih hebat karena di
samping ketiga orang tokoh itu tak pernah
lagi mengadakan pertandingan juga kabarnya
Sorablungbung serta Walalang Tjarda telah
memperdalam ilmu masingmasing hingga
mencapai tingkat yang sangat tinggi.
Sebaliknya Manak Putuwengi lenyap begitu
saja tak diketahui kemana perginya!
Sebagai salah seorang murid Sorablungbung
yang pernah digembleng selama empat tahun,
dengan sendirinya Tjokorda Gde Djantra
memiliki kepandaian yang tinggi. Dan
dibandingkan dengan Nyoman Dwipa yang
cuma berguru pada seorang pertapa yang
tingkat kepandaiannya jauh berada di bawah
Sorablungbung dengan sendirinya Nyoman
Dwipa bukan apa-apa bagi Tjokorda Gde
Djantra. Tapi karena kurang hati-hati meski
tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi
Tjokorda Gde Djantra kena juga dihantam
lawan meski kudanya yang menjadi korban!
Tjokorda Gde Djantra terpelanting ke tanah
tapi berkat ilmu meringankan tubuhnya yang
tinggi dia jatuh dengan kaki lebih dulu dan
tetap berdiri. Kemarahan membuat darahnya
seperti mendidih.
"Setan alas! Kematianmu tak dapat ditawar-
tawar lagi!"
Tjokorda Gde Djantra melompat ke muka,
tangan kiri kanam berkelebat cepat dalam
satu jurus yang hebat! Nyoman Dwipa terkejut
ketika melihat bagaimana kecepatan gerak
lawannya membuat tubuh Tjokorda Gde
Djantra laksana lenyap. Dia cuma merasakan
sambaran angin yang deras dari kiri kanan
maka cepat-cepat pemuda ini melompat turun
dari kudanya.
"Breet!"
"Buuk!"
Dua suara itu terdengar hampir bersamaan.
Yang pertama suara robeknya pakaian
Nyoman Dwipa di sambar ujung keris
Brajaloka sedang suara kedua ialah suara
pukulan dahsyat yang menghantam kepala
kuda hitam milik Nyoman Dwipa. Binatang ini
rubuh dengan kepala pecah, melejang-lejang
beberapa ketika lalu tak bergerak lagi!
"Kudamu sudah duluan, Nyoman Dwipa! Dia
akan menunggumu untuk membawa tuannya
ke neraka!" ejek Tjokorda Gde Djantra!
Sebenarnya sejak bentrokan senjata pertama
kali tadi Nyoman Dwipa telah memaklumi
bahwa tingkat kepandaian ilmu silat dan
tenaga dalam Tjokorda Gde Djantra bukanlah
lawannya. Tapi untuk membatalkan niatnya
menuntut balas tentu saja pemuda itu tidak
sudi! Lebih baik mati secara jantan dari pada
lari atau menyerah secara pengecut!
Dengan mengeluarkan bentakan yang keras
Tjokorda Gde Djantra berkelebat ganas. Seperti
tadi kedua tangannya bergerak cepat. Nyoman
Dwipa bertahan mati-matian. Dalam jurus itu
dia berhasil mengelakkan seluruh serangan
lawan namun pada jurus berikutnya, satu
sampokan yang bertenaga besar sekali
membuat dia tak dapat lagi mempertahankan
kerisnya! Senjata itu terlepas mental dihantam
senjata lawan!
Sambil tertawa gelak-gelak dan sambil
melangkah mendekati Nyoman Dwipa yang
kepepet ke tepi jurang, Tjokorda Gde Djantra
berkata, "Kau akan segera mampus sobat!
Dan kau tahu …? Betapa mengerikannya
kematian itu! Kau lihat keris Brajaloka yang
terbuat dari emas di tanganku ini? He … he..!
Sebentar lagi sobat! Beberapa detik lagi kau
akan segera pergi ke neraka! Ke neraka! Ha . .
Ha . . ha …!"
Tjokorda Gde Djantra mengangkat tangan
kanannya yang memegang keris tinggi-tinggi
sementara dalam keadaan kepepet ke tepi
jurang itu Nyoman Dwipa berusaha mencari
jalan agar dapat menyelamatkan diri! Kalau
lawan menyerang dia sudah nekat untuk
menyerbu ke muka dengan tangan kosong,
menarik tubuh Tjokorda Gde Djantra dan
sama-sama menghambur masuk jurang! Itu
adalah cara yang paling baik menurut
Nyoman Dwipa asal saja dia benar-benar bisa
melakukannya!
Jarak kedua orang itu semakin pendek dan
kini cuma tinggal empat langkah saja lagi.
Antara Nyoman dengan tepi jurang di
tikungan jalan itu hanya satu setengah
langkah saja. Nyoman Dwipa memutuskan
untuk tidak mundur lebih jauh. Dia menunggu
dengan kedua tangan terpentang dan mata
memandang tajam-tajam ke muka, menunggu
kesempatan yang ada!
Mendadak Tjokorda Gde Djantra hentikan
langkahnya dan kembali dia tertawa gelak-
gelak. Bila suara tertawa itu dihentikannya
maka berkatalah dia, "Tidak! Aku tak akan
membunuhmu dengan keris ini! Kau harus
mati dalam kengerian yang luar biasa sobat!
He … he … he, pernahkah kau memikirkan
bagaimana ngerinya bila jatuh ke dalam
jurang di belakangmu itu? Kematian
menunggumu di batu-batu cadas di bawah
sana, tapi selagi tubuhmu melayang menuju
detik-detik kemampusan itu kau akan
dikungkung kengerian yang luar biasa!"
Nyoman Dwipa menggeram mendengar
ucapan dan maksud Tjokorda Gde Djantra
yang ganas itu. Dia tak bisa
menunggu lebih lama! Saat itu juga dia harus
bertindak! Harus menyerbu merangkul tubuh
lawannya walau apapun yang
terjadi! Maka tanpa menunggu lebih lama
Nyoman Dwipa segera melompat ke hadapan
lawannya. Tjokorda Gde Djantra mendengus.
Dengan seringai maut tersungging di
mulutnya pemuda ini memukulkan tangan
kirinya ke depan! Nyoman Dwipa merasakan
satu sambaran angin yang laksana badai
hebatnya! Bagaimanapun dia berusaha untuk
tidak tersapu angin dahsyat itu tapi sia-sia
belaka! Tubuhnya mencelat mental sampai
enam tombak untuk kemudian jatuh ke dalam
jurang diiringi suara kumandang tertawa
Tjokorda Gde Djantra.
DALAM tubuhnya melayang jatuh ke jurang
batu itu Nyoman Dwipa pada mulanya
memang merasa ngeri sekali! Siapa yang tak
akan ngeri menemui ajal apalagi mengetahui
bahwa ajalnya akan sampai begitu tubuhnya
menghantam batu-batu cadas besar di dasar
jurang! Namun bila dia ingat bahwa kematian
yang bakal dihadapinya itu adalah kematian
secara jantan, ditabahkannya hatinya. Dia
percaya pula bahwa rohnya akan berjumpa di
alam akhirat dengan roh Ni Ayu Tantri. Kalau
di dunia mereka tak punya kesempatan untuk
hidup berdampingan, moga-moga di alam
akhirat hal itu akan kesampaian.
Makin jauh ke bawah makin cepat jatuhnya
tubuh pemuda itu. Di atas jurang masih
mengumandang suara tertawa Tjokorda Gde
Djantra. Betapapun tabahnya hati Nyoman
Dwipa namun ketika sekilas matanya
memandang ke bawah jurang, pada batu-batu
besar yang cuma tinggal beberapa tombak
lagi untuk menghancurkan kepala dan tulang-
tulang ditubuhnya, Nyoman Dwipa jatuh
pingsan!
Tapi dalam kehidupan ini kerap kali kita
dihadapkan pada kenyataan-kenyataan bahwa
sebelum ajal berpantang mati. Hal itu pulalah
yang terjadi dengan diri Nyoman Dwipa.
Sewaktu tubuh pemuda itu hanya tinggal
enam tombak saja lagi dari permukaan
sebuah batu cadas yang sangat besar
berkelebatlah satu bayangan putih yang
dibarengi dengan suara seruan, "Dewa
Agung!!!"
Yang berseru ini adalah seorang kakek-kakek
tua renta berpakaian putih. Rambutnya yang
panjang terurai macam rambut perempuan,
janggutnya yang menjela dada serta kumis
bahkan kedua alisnya berwarna putih bersih
macam kapas. Meski umurnya sudah lebih
dari 70 tahun tapi kakek-kakek ini memiliki
tubuh yang masih kekar dan kegesitan yang
luar biasa. Sewaktu dia melinat sesosok tubuh
melayang jatuh ke dalam jurang kejutnya
bukan alang kepalang. Dia tidak tahu apakah
manusia yang jatuh itu masih hidup atau
sudah mati. Meski demikian kakek-kakek ini
segera mengangkat kedua tangannya dan
mendorong ke atas!
Satu gelombang angin padat bertiup
memapasi tubuh Nyoman Dwipa. Untuk
beberapa detik tubuh pemuda itu tertahan di
awang-awang. Untuk mengurangi kekuatan
jatuh tubuh pemuda itu si orang tua
menggerakkan kedua tangannya ke kanan.
Tubuh Nyoman Dwipa terpelanting ke kanan
lalu didorong lagi ke atas dan ketika jatuh
kembali ke bawah orang tua itu
menyambutnya dengan kedua tangan!
Sungguh luar biasa apa yang dilakukan orang
tua ini.
Tubuh Nyoman Dwipa dipanggul di atas bahu
kanan dan sekali berkelebat orang tua itu
sudah lenyap dari pemandangan. Si orang tua
membawa Nyoman Dwipa ke dalam sebuah
goa batu dan setelah diperiksa ternyata
pemuda itu masih bernafas. Kakek-kakek ini
mengurut dada dan kening Nyoman Dwipa
beberapa kali hingga akhirnya pemuda itu
sadar dari pingsannya. Setelah membuka
kedua matanyaı Nyoman Dwipa kemudian
memandang berkeliling. Sekelilingnya ruangan
batu yang bersih. Apakah aku sudah berada di
alam baka, pikir pemuda ini. Tapi bila
matanya membentur tubuh dan paras seorang
tua berpakaian putih-putih, berkumis dan
berjanggut putih heranlah pemuda ini. Orang
tua itu duduk di sebuah batu bundar di tengah
ruangan. Kedua telapak tangannya saling
dirapatkan di muka dada sedang kedua
matanya terpejam. Nyatalah orang tua ini
tengah bersemedi.
Tapi anehnya begitu Nyoman Dwipa
menyalangkan mata dan memandang
terheran-heran berkeliling, tanpa membuka
matanya si orang tua berkata: "Orang muda,
kau tak usah heran. Kau berada di tempat
aman."
"Di manakah saya, bapa? Apa yang telah
terjadi dan siapakah bapa ini …?" tanya
Nyoman Dwipa seraya bangun dari tempat
tidur yang terbuat dari batu.
Tanpa membuka kedua matanya kembali si
orang tua berkata: "Kau berada di tempat
yang aman orang muda. Ketika aku berada di
dalam goa kudengar suara bentakan-bentakan
yang diseling suara tertawa serta suara
beradunya senjata di atas. Aku keluar dari goa
tepat pada saat kulihat sosok tubuhmu
melayang jatuh ke dasar jurang. Selanjutnya
Dewa Yang Agung telah menyelamatkan kau
dari kematian . . .".
Kini ingatlah Nyoman Dwipa akan apa yang
telah terjadi dengan dirinya. Dia bertempur
dengan Tjokorda Gde Djantra kemudian
didorong dengan satu pukulan dahsyat hingga
mencelat mental dan jatuh masuk jurang! Dari
ucapan si orang tua berambut putih meski dia
tadi mengatakan bahwa Dewa Yang Agunglah
yang telah menyelamatkan jiwanya tapi
Nyoman Dwipa sadar bahwa orang tua inilah
yang telah menolongnya dari renggutan maut.
Segera Nyoman Dwipa turun dari tempat tidur
batu, melangkah ke hadapan kakek-kakek itu
dan berlutut seraya berkata, "Orang tua, aku
Nyoman Dwipa menghaturkan terima kasih
yang tak terhingga atas budi pertolonganmu.
Semoga aku kelak bisa membalas hutang
nyawa ini dan semoga Dewa Agung
merakhmatimu. Sudilah kau memberi tahu
namamu agar sewaktu-waktu aku tidak sukar
mencarimu."
Si orang tua tertawa dan menjawab, "Apalah
artinya nama? Kita dilahirkan tanpa nama.
Apa gunanya menyebut-nyebut segala hutang
nyawa karena memang kita manusia
ditugaskan Yang Kuasa untuk menolong
sesama manusia. Orang muda, cobalah kaus
terangkan apa yang telah terjadi atas dirimu
hingga kau jatuh dari tepi jurang."
Nyoman Dwipa lalu menuturkan
pertempurannya dengan Tjokorda Gde Djantra
bahkan diterangkannya juga pangkal sebab
pertempuran itu termasuk kematian I
Krambangan dan empat orang penduduk
Klungkung.
Si orang tua menghela nafas dalam dan untuk
pertama kalinya dia membuka kedua
matanya. Mata itu sipit sekali macam mata
orang Tiongkok tapi menyorotkan sinar yang
tajam penuh wibawa!
"Cinta itu pada dasarnya adalah sesuatu yang
suci. Tapi nafsu selalu membuatnya menjadi
hal yang kotor. Seringkali menusia buta
karena cinta, karena kecantikan paras
perempuan. Kalau sudah begitu segala
sesuatunya yang keji dan kotor bisa terjadi
hingga tidaklah aneh lagi kalau manusia tega
membunuh manusia lain bahkan sahdara
kandungnya sendiri hanya karena cinta."
Nyoman Dwipa termangu diam beberapa
lamanya. Kemudian katanya: "Orang tua
beritahulah namamu. Sebelum meninggalkan
tempat ini kuharap kau suka memberi
petunjuk-petunjuk padaku."
"Kau hendak pergi dan kemudian
melampiaskan lagi sakit hati dendam
kesumatmu itu, Nyoman?"
"Benar, orang tua." jawab Nyoman Dwipa
terus terang.
"Kau tak akan kuat menghadapi Tjckorda Gde
Djantra," kata kakek-kakek itu pula secara
terus terang. "Buktinya pukulan tangan
kosongnya saja sanggup mengirimkan kau ke
liang maut jika saja Dewa Agung tidak
menghendaki agar kau tetap hidup. Kau
mungkin tidak tahu siapa adanya Tjokorda
Gde Djantra. Dia salah seorang murid
Sorablungbung, orang tua sakti yang diam di
puncak Gunung Agung."
Terkejutlah Nyoman Dwipa mendengar
keterangan itu. Pantas saja dia tak sanggup
melawan Tjokorda Gde Djantra. Maka kalau
diteruskannya niat untuk membalas dendam
dengan tingkat kepandaian yany jauh lebih
rendah pastilah akan sia-sia belaka dan
diam-diam pemuda ini mengeluh dalam hati.
Diangkatnya kepalanya yang ditundukkan dan
berkata dengan sungguh-sungguh pada si
orang tua.
"Aku yang bodoh ini mohon petunjukmu orang
tua."
Kakek-kakek itu tertawa. Sampai saat itu
Nyoman Dwipa tidak tahu dengan siapa
sesungguhnya dia berhadapan. Kakek kakek
berambut dan berjanggut putih itu bukan lain
Menak Putuwengi itu tokoh silat yang paling
tinggi ilmu kesaktiannya di antara tokoh-
tokoh silat lainnya sekitar belasan tahun yang
silam!
"Aku tak bisa memberi petunjuk apa-apa
padamu Nyoman," kata Menak Putuwengi
pula.
Pemuda itu merasa kecewa tapi juga heran
ketika melihat dalam berkata itu si orang tua
tersenyum. Dan Menak Putuwengi lantas
berkata, "Aku cuma bisa mengajukan satu
tawaran. Sudikah kau mempelajari permainan
silat ilmu tongkat? Bukan aku sombong,
dalam tempo dua-tiga bulan saja pasti kau
dapat mengalahkan murid Sorablungbung
itu."
Bukan alang kepalang gembiranya hati
Nyoman Dwipa. Dia menjura dalam-dalam
,dan menjawab: "Tentu saja mau. Kalau kau
tak keberatan mulai saat ini aku akan
memanggilmu guru. Sekali lagi aku mohon
agar kau sudi memberitahu namamu, orang
tua…"
"Ah, soal namaku …" kata Menak Putuwengi,
"Sudah sejak belasan tahun dilupakan dunia
persilatan di Pulau Bali ini. Biarlah nanti saja
kuberi tahu padamu. Nah sekarang mari kita
berangkat …"
"Berangkat kemana guru?" tanya Nyoman tak
mengerti.
"Goa ini terlalu sempit dan kurang baik untuk
belajar ilmu silat. Kau lihat pedataran tinggi
di sebelah, timur sana ….?" ujar Menak
Putuwengi seraya menunduk keluar goa.
"Disitu lebih cocok tempatnya."
"Baiklah guru", jawab Nyoman Dwipa seraya
bangkit dan mengikuti gurunya keluar goa.
Ternyata bagian lamping kiri dari jurang
tersebut menuju ke sebuah daerah
pesawangan yang banyak ditumbuhi lalang
lebat. Menak Putuwengi kelihatannya berjalan
lenggang kangkung seenaknya. Tapi
bagaimanapun Nyoman Dwipa mengerahkan
ilmu larinya, tetap saja dia ketinggalan
belasan tombak di belakang!
Sesampainya di pedataran tinggi itu, Nyoman
Dwipa tercengang-cengang melihat indahnya
pemandangan di sekelilingnya.
"Kita mulai saja pelajaran permulaan", kata
Menak Putuwengi. "Coba keluarkan dan
perlihatkan padaku jurus-jurus ilmu silat yang
kau miliki."
Atas perintah gurunya itu maka Nyoman
Dwipa mulai bersilat sampai dua puluh jurus.
"Sudah . . . sudah cukup!" seru Menak
Putuwengi. "Ilmu silatmu jauh dari pada
lumayan. Tapi permulaan yang cukup baik!"
Habis berkata begitu Menak Putuwengi lantas
mematahkan dua buah ranting pohon. Salah
satu diberikannya kepada Nyoman Dwipa
seraya berkata, "Pertama kali ini kuberikan
kau dasar-dasar ilmu tongkat. Kemudian kau
harus melatih diri dalam tenaga dalam dan
meringankan tubuh."
Demikianlah, mulai saat itu Nyoman Dwipa
digembleng oleh tokoh silat klas satu Menak
Putuwengi.
BERDIRI di tepi danau yang dikeiilingi pohon-
pohon besar pada siang hari yang panas terik
itu membuat pemuda pengelana itu ingin
sekali mandi merasakan kesejukan air danau.
Sambil bersiul-siul pemuda ini lalu membuka
pakaiannya. Sesaat kemudian diapun sudah
mencebur masuk ke dalam air danau. Sengaja
dia menyelam dalam-dalam lalu muncul lagi
dipermukaan air danau untuk bernafas lalu
menyelam lagi. Gemikian sampai beberapa
kali. Pada kali yang keenarn dia memunculkan
kepala di permukaan air danau mendadak
sontak berubahlah parasnya oleh rasa kaget
yang bukan alang kepalang!
Dari seluruh tepi danau dilihatnya meluncur
ular hitam berbelang-belang kuning sebesar
betis dan rata-rata panjangnya satu sampai
satu setengah meter! Binatang-binatang itu
dengan sangat cepat berenang ke tengah
danau di mana pemuda berada!
"Gila!" seru pemuda itu lalu kedua kakinya
dihentakkan ke bawah. Dengan mengandalkan
ilmu meringankan tubuhnya yang hebat dari
dalam air pemuda ini sanggup melesatkan
tubuhnya sampai beberapa tombak. Ketika dia
berhasil melompat ke daratan cepat-cepat dia
hendak mengambil pakaiannya! Tapi untuk
kedua kalinya pemuda ini menjadi melengak
kaget karena dari balik semak belukar,
puluhan ekor ular jenis yang sama telah
menyerbunya pula hingga dia tak punya
kesempatan untuk mencapai pakaiannya!
Dengan memaki dalam hati pemuda ini
melompat ke sebuah pohon. Tapi au!
Kakinyamenginjaksesuatu yang bulat dan licin
hingga kalau saja ilmu meringankan tubuhnya
tidak sempurna pastilah dia akan jatuh!
Ketika dia memandang ke bawah, pemuda ini
kertakkan rahang karena benda bulat licin
yang tadi dipijaknya nyatanya adalah seekor
ular hitam berbelang-belang kining. Dan
ketika dia memandang berkeliling, seluruh
pohon serta pohon-pohon di sekitar tempat
itu penuh dengan ular-ular tersebut.
Kemanapun dia mernandang, ke pohon-
pohon, ke tanah dan ke danau seluruhnya
penuh dengan ular! Betul-betul dia tak bisa
mengerti dari mana datangnya puluhan
bahkan ratusan binatang itu! Dari lidahnya
yang bercabang dan berwarna hijau nyatalah
bahwa ular-ular itu mengindap racun yang
amat jahat. Meskipun dia kebal segala macam
racun namun menyaksikan itu mau tak mau
merinding juga bulu tengkuknya! Dan
menyadari dirinya tanpa pakaian begitu rupa
pemuda ini merutuk habis-habisan dalam
hati.
Sementara itu dia tak dapat berdiri lebih lama
di cabang pohon karena sebentar saja belasan
ekor ular telah menyerbunya pula! Tak ada
tempat yang kosong lagi untuk tempat
berpindah! Sambil melompat turun pemuda ini
pukulkan kedua tangannya ke bawah! Angin
deras menderu. Puluhan ular mental dan si
pemuda berhasil turun di tanah yang kini
kosong dari ular-ular itu. Tapi anehnya
binatang-binatang yang kena dihantam dan
dibuatnya mental tadi sama sekali tidak
cedera ataru mati dan dalam waktu yang
singkat bersama kawan-kawannya segera
menyerbu pemuda itu kembali.
Kini pemuda tersebut segera maklum bahwa
binatang-binatang yang dihadapinya itu
bukan ular-ular biasa. Mungkin binatang jadi-
jadian. Dan binatang apapun ular itu adanya
dia musti bisa menyelamatkan diri. Tiga ekor
ular hitam berbelang kuning berhasil melilit
kakinya. Seekor diantaranya mematuk betis
pemuda itu hingga menoeluarkan darah
kehitaman bercampur racun yang tertekan ke
luar akibat hawa tenaga dalam yang ada di
tubuh si pemudar. Sekali dia menggerakkan
tubuh rnaka ketiga ular itu berpelantingan.
Tapi puluhan lainnya menyerbu lagi dengan
dahsyat laksana air bah! Tidak main-main
lagi kini pemuda itu pergunakan ilmu pukulan
sakti yang sangat diandalkannya. Sepasang
tangannya kelihatan putih memerah, sepuluh
kuku jarinya mengeluarkan sinar yang
menyilaukan!
"Wuus! Wuuss!"
Dua larik sinar putih yang panas menderu
dahsyat! Itulah pukulan sinar matahari yang
hebat luar biasa! Puluhan ekor ular menemui
ajalnya mati terkuntung-kuntung dalam
keadaan hangus! Yang masih hidup agaknya
marah sekali melihat kematian kawankawan
mereka. Binatang-binatang ini dengan
mengeluarkan suara mendesis menyerbu si
pemuda dan si pemuda menyambutinya
dengan pukulan-pukulannya yang dahsyat.
Binatang-binatang yang masih hidup
bukannya takut tapi malah terus menyerbu
dengan kalap sehingga pemuda yang berada
dalam keadaan bertelanjang bulat itu menjadi
sibuk sekali! Meski suasana mengerikan sekali
di tempat itu, tapi melihat si pemuda mencak-
mencak telanjang begitu rupa ada juga
kelucuannya!
Menurut dugaan si pemuda sudah lebih dari
seratus ular yang dibunuhnya tapi yang
datang menyerangnya seperti tak ada kurang-
kurangnya malah makin lama makin banyak!
Dalam pada itu ular-ular yang berjalaran di
pohon dengan melilitkan ekorekor mereka di
cabang atau di ranting-ranting pohon,
bergelantungan menyambar si pemuda hingga
si pemuda bukan saja diserang dari bawah
tapi juga dari atas!
"Benar-benar edan!" maki pemuda itu seraya
percepat melancarkan pukulan-pukulan sinar
matahari ke atas dan ke bawah!
Dalam seru-serunya pertempuran antara ular
lawan manusia itu tiba-tiba terdengarlah
seruan, "Sobat! Bertahanlah terus! Aku akan
membantu!"
Baru saja seruan itu berakhir maka disitu
muncullah seorang pemuda berpakaian biru.
Di tangan kanannya ads seikatan jerami tebal
yang ujungnya dibakar. Kobaran api jerami ini
membuat puluhan ular hitam berbelang
kuning menjadi terbiritbirit ketakutan. Tapi
tidak semua binatang itu lari. Puluhan
lainnya menyerbu pemuda baju biru ini. Si
pemuda menghadapinya dengan tenang-
tenang saja. Di tangan kiri pemuda ini ada
sebatang tongkat kecil terbuat dari bambu
kuning.
Dengan memutar-mutar tongkat kecil itu
maka setiap ular yang berani mendekatinya
pasti akan mati dalam keadaan tubuh
terkuntungkuntung! Hebat sekali permainan
tongkat bambu kuning si pemuda hingga
dalam tempo yang singkat puluhan ular hitam
berhasil dimusnahkannya!
"Hebat!" kata pemuda yang pertama dalam
hati lalu menyambar pakaiannya, dengan
cepat mengenakannya kemudian bersama-
sama pemuda baju biru terus memusnahkan
ular-ular yang mengamuk itu. Lebih dari
separoh ular hitam berbelang kuning yang ads
di tempat itu telah musnah menemui
kematiannya. Sementara itu dalam
berlangsungnya pemusnahan binatang-
binatang tersebut terjadilah perkenalan antara
kedua pemuda.
"Namaku Nyoman Dwipa!" kata pemuda
pakaian biru seraya sabatkan tongkat bambu
kuningnya. Dua ekor ular rubuh dengan kepala
pecah. "Darimana ular sebanyak ini!
Bagaimana kau sampai diserang mereka?!"
"Aku sedang asyik-asyikan mand!"
menerangkan pemuda berpakaian putih.
"Ketika menyelam dan muncul di atas air
danau kulihat puluhan ekor ular, entah dari
mans datangnya berenang menyerangku!
Sewaktu aku naik kedaratan ternyata puluhan
binatang itu telah menungguku pula disana.
Gila betul!"
"Hai kau belum menerangkan namamu sobat!"
seru pemuda baiu biru.
"Namaku Wiro Sableng!"
"Kau bukan penduduk sini agaknya!"
"Betul" sahut pemuda baju putih yang bukan
lain dari Pendekar 212 Wiro Sableng adanya!
"Terima kasih atas pertolonganmu, Nyoman!"
"Ular-ular ini benar-benar gila betul!" seru
Nyoman Dwipa yang melihat bagaimana
binatang itu masih terus menyerbu mereka
dengan beraninya! "Sebaiknya mari kita
tinggalkan tempat ini!" Bagaimana Nyoman
Dwipa sampai berada di tempat itu baiklah
kita tuturkan sedikit.
Sebagaimana yang telah diceritakan, sewaktu
jatuh ke dalam jurang Nyoman Dwipa telah
diselamatkan oleh seorang kakek-kakek sakti
bernama Menak Putuwengi. Orang tua ini
kemudian mengambil pernuda itu menjadi
muridnya. Setelah tiga bulan lebih
menggembleng Nyoman Dwipa maka boleh
dikatakan pemuda itu sudah menguasai
pelajaran silat ilmu tongkat si kakek cuma
tentu saja dia musti banyak berlatih agar
mencapai tingkat kesempurnaan. Memasuki
pertengahan bulan yang keempat Menak
Putuwengi mengizinkan muridnya untuk pergi
mencari orangorang yang bertanggung jawab
atas kematian kekasihnya dan I Krambangan
serta beberapa penduduk Klungkung lainnya.
Menak Putuwengi juga memberi nasihet agar
pemuda itu jangan terlalu mengikuti nafsu
dendam kesumat dan kalau bisa jangan
menurunkan tangan maut terhadap siapa pun
selagi masih ada jalan penyelesaian yang
baik!
Demikianlah maka Nyoman Dwipa dengan
bekal ilmu kepandaian yang dipelajarinya dari
Menak Putuwengi meninggalkan tempat
kediaman si orang sakti yang nyatanya masih
hidup, jadi tidak benar seperti yang diduga
dunia luaran bahwa kakek-kakek sakti itu
telah meninggal dunia. Menak Putuwengi
sebenarnya sudah jemu dengan persoalan-
persoalan duniawi karena itulah dia
mengundurkan diri dari dunia persilatan,
membersihkan diri dari dosa dan kesalahan-
kesalahan di masa mudanya serta
memperdalam ilmu silat, ilmu kesaktian dan
kebathinan di dalam goa di dasar jurang itu.
Dalam perjalanannya menuju Denpasar
pemuda itu sengaja melewati hutan belantara
mengambil jalan singkat agar lebih lekas
sampai ke tempat tujuan. Karena melewati
rimba belantara itulah maka dia sampai
bertemu dengan Pendekar 212 Wiro Sableng!
Mulanya dia merasa heran dan kaget sewaktu
menyaksikan seorang pemuda berambut
gondrong basah kuyup dalam keadaan
bertelanjang bulat bertempur melawan ratusan
ekor ular yang sebesar-besar betis. Dilihat
pada gerakan-gerakan serta pukulan-pukulan
yang dilancarkannya dalam memusnahkan
binatang-binatang itu nyatalah dia memiliki
kepandaian tinggi. Tapi mengapa sampai
bertempur telanjang bul!at begitu rupa?!
Nyoman tidak tahu bahwa sewaktu diserang,
Wiro tengah mandi dalam danau.
Sebenarnya Nyoman Dwipa maklum bahwa
tanpa dibantupun pemuda yang bertelanjang
itu pasti akan sanggup memusnahkan semua
ular yang menyerbunya. Tapi bukankah lebih
baik dia turun tangan menolong seraya
mempraktekkan ilmu tongkat yang
dipelajarinya dari Menak Putuwengi? Maka
setelah mengumpulkan lalang serta jerami
kering dan membakarnya dengan tongkat
bambu kuning di tangan kiri Nyoman Dwipa
menyerbu ke dalam pertempuran binatang
lawan manusia itu!
"Wiro! Ayo kita tinggalkan tempat ini!" kata
Nyoman Dwipa kembali.
"Tunggu dulu sobat!" sahut Wiro Sableng,
"aku mempunyai firasat bahwa ular-ular ini
bukan binatang biasa! Mungkin binatang jadi-
jadian, mungkin pula ada pemiliknya.
Bagaimana kalau kita selidiki sama-sama?!"
Baru saja Wiro berkata begitu maka dari
dalam hutan mengumandanglah suara
bentakan menggeledek!
"Manusia-manusia kotor dari mana yang
berani membunuh binatang peliharaanku?!"
Wiro mengeluarkan suara bersiul dan
berpaling pada Nyoman Dwipa.
"Nah, apa kataku!" ujarnya.
BEGITU bentakan lenyap maka dari dalam
hutan belantara keluarlah seorang laki-laki
yang memiliki tampang dahsyat. Kepalanya
panjang, kening menjorok ke depan sedang
leher kecil singkat. Rambutnya hitam legam
tapi cuma sedikit tumbuh di atas batok
kepalanya. Kulit mukanya berwarna hitam dan
berminyak hingga bila disorot sinar matahari
mukanya itu jadi berkilat-kilatl Jika
dibandingkan dengan ular, tampang manusia
ini memang hampir tidak beda! Dia
mengenakan pakaian berbentuk jubah yang
terbuat keseluruhannya dari kulit u!ar. Yang
dahsyatnya di lehernya melilit dua ekor ular
besar yang sudah mati dan dikeringkan!
Begitu sampai di hadapan Wiro Sableng serta
Nyoman Dwipa dan melihat puluhan ekor ular
musnah berkaparan di mana-mana marahlah
manusia yang punya tampang macam ular
itu!
"Keparat-keparat laknat! Tentu kalian sudah
bosan hidup berani membunuh binatang
peliharaanku!"
Sementara Wiro dan Nyoman masih sibuk
menghadapi ular-ular hitam berbelang kuning
maka manusia aneh itu telah menyerbu dan
membagi serangan pada kedua pemuda itu!
Wiro dan Nyoman kaget bukan main karena
serangan si orang aneh sebelum sampai
sudah didahului oleh sambaran angin yang
sekaligus mengarah dua belas jalan darah
kematian di tubuh pemuda-pemuda itu! Baik
Wiro maupun Nyoman Dwipa cepat-cepat
melompat menyelamatkan diri!
Siapakah manusia aneh yang baru muncul
dari rimba belantara dan mengaku sebagai
pemelihara ular-ular yang menyerang kedua
pemuda itu? Di Bali namanya belum dikenal
karena dia seorang pendatang dari pulau
Jawa yang diam-diam menyelusup ke pulau
untuk maksud tertentu. Ki Sawer Balangnipa,
demikian nama orang ini selain memiliki ilmu
silat yang tinggi, juga telah memelihara tiga
ratus ekor ular hitam belang-belang kuning
yang sangat berbisa! Tentu saja dia menjadi
marah setengah mati ketika menyaksikan
bagaimana dua orang pemuda tak dikenal
berani membunuh binatang-binatang
peliharaannya. Maka dengan serta merta dia
melancarkan satu jurus serangan yang
dahsyat yaitu yang bernama "dua raja ular
menyerbu ke langit". Kehebatan jurus
serangan ini sudah kita ketahui di muka yaitu
sebelum pukulan sampai, sambaran angin
telah mendahului menggempur dua bela: jalan
darah kematian di tubuh kedua pemudal
Dengan melancarkan serangan hebat itu Ki
Sawer Balangnipa bermaksud untuk membuat
pemuda-pemuda itu konyol sekaligus detik itu
juga! Tapi betapa terkejutnya dia sewaktu
menyaksikan bagaimana Wiro dan Nyoman
berhasil mengelakkan dua serangannya itu!
Ki Sawer Balangnipa mengeluarkan suara
suitan keras yang menyakitkan telinga!
Anehnya ular-ular yang ada di situ,
mendengar suara suitan itu segera
berserabutan lari ke dalam hutan. Ki Sawer
Balangnipa berdiri dengan bertolak pinggang!
"Kunyuk-kunyuk bermuka manusia! Nyatanya
kalian memiliki ilmu yang diandalkan hingga
aku tahu sampai dimana kelebatan kunyuk-
kunyuk yang berasal dari Pulau Bali ini!"
Nyoman Dwipa marah sekali mendengar
hinaan itu. Tapi Wiro ganda tertawa dan
menjawab, "Kawanku ini memang berasal dari
Pulau Bali, tapi aku bukan! Soal asal tak perlu
dipidatokan di sinil Tapi kalau kau memaki
kami kunyuk-kunyuk bermuka manusia, berarti
kau sama saja dengan monyet-monyet
bermuka setan!". Habis berkata begitu Wiro
tertawa berkakan hingga menggetarkan
seantero tempat! Sekaligus dia hendak
memperlihatkan bahwa suitan yang
menyakitkan telinga dari Ki Sawer Balangnipa
itu cukup bisa ditandinginya dengan suara
tertawanyal Diam-diam Ki Sewer Balangnipa
sendiri terkejut melihat kehebatan tenaga
dalam si pemuda, tapi dia sama sekali jauh
dari gentar!
"Enam puluh tahun hidup baru hari ini ada
tikus busuk yang berani menghina Ki Sawer
Balangnipa!"
"Ah, nyatanya kau juga bukan orang sini!" ujar
Wiro dengan menyengir seenaknya. "Sekarang
kau katakan aku tikus busuk, betul-betul
keterlaluan! Tapi supaya kau tahu diri
memang namamu sesuai dengan tampangmu
macam raja ular penyakitan!" (Sawer = ular,
bhs. Jawa, pen.)
"Bangsat rendah! Kau benar-benar minta
kubikin lumat!"
Tubuh Ki Sawer Balangnipa berkelebat dalam
satu gerakan yang hampir tak kelihatan dan
tahu-tahu sepuluh jari tangannya sudah
mencengkeram ke perut dan ke muka Pendekar
212 Wiro Sableng! Ini adalah jurus serangan
yang bernama "sepasang cengkeram
kehancuran". Sekali cengkeram itu bersarang
di muka Wiro pasti muka pemuda itu akan
hancur mengerikan.
Jika perutnya kena direnggut lima jari tangan
lainnya pasti akan robek dan ususnya
berserabutan keluar! Begitulah kehebatan
jurus "sepasang cengkeram kehancuran"!
Pendekar 212 Wino Sableng memang masih
muda dalam usia tapi sudah cukup punya
pengalaman dalam berbagai pertempuran
menghadapi tokoh-tokoh silat kelas satu di
pelbagai penjuru rimba persilatan! Sewaktu
menerima serangan pertama kali dari Ki Sawer
Balangnipa tadi dia sudah maklum bahwa
orang tua ini bukan seorang yang bisa dibuat
main. Maka dengan cepat pendekar kita
berkelit ke samping seraya lancarkan satu
tendangan kaki kanan ke arah rusuk lawan!
Melihat dua cengkeramannya yang hebat
sanggup dikelit oleh lawan Ki Sawer
Balangnipa penasaran bukan main. Di lain
pihak Wiro Sableng merasakan adanya satu
ancaman yang tersembunyi sewaktu
menyaksikan bagaimana tendangannya yang
hampir menemui sasarannya itu sama sekali
tidak diperdulikan oleh lawan! Mustahil
manusia itu tidak mengetahui bahaya yang
mengancam dirinya!
Satu detik lagi kaki kanan Pendekar 212 akan
mendarat dan menghancurkan tulang-tulang
rusuk lawan, Pendekar 212 Wiro Sableng yang
punya firasat tidak enak mendadak sontak
segera menarik pulang kakinya dan
melancarkan satu pukulan tangan kosong
yang dinamakan pukulan "kunyuk melempar
buah"!
Satu hal yang hebatpun terjadilah!
Adalah satu keuntungan besar bagi Wiro
Sableng menarik pulang tendangannya tadi
karena di saat yang hampir bersamaan Ki
Sawer Balangnipa membab)atkan tepi telapak
tangan kanannya ke bawah dengan deras!
Bukan saja ini satu pukulan tangan yang
amat dahsyat tapi juga diisi dengan kekuatan
sakti yang sanggup membuat batu karang
paling ataspun bisa hancur lebur! Dapat
dibayangkan bagaimana kalau pukulan itu
mengenai kaki kanan Wiro Sableng! Karena
pukulannya mengenai tempat kosong dengan
dendirinya angin pukulan itu terus melanda
tanah! Pasir dan batu-batu berhamburan
sampai beberapa tombak ke samping dan ke
atas. Bumi bergetar dan etika Wiro
memandang ke depan dilihatnya bagaimana
tanah yang kena angin pukulan lawan
berlobtang besar dan berwarna kehitaman!
Diam-diam Pendekar 212 kaget juga karena
sebelumnya tak pernah ia melihat ilmu
pukulan yang begitu hebatnya! Mulai saat itu
dia kerahkan tiga perempat tenaga dalamya
untuk menghadapi lawan. Dari mulutnya
terdegar suara suitan keras dan pada detik itu
juga tubuhya lenyap!
Kalau tadi Wiro yang dibikin terkejut oleh
serangan hebat lawan maka kini Ki Sawer
Balangnipalah yang terkejut bukan main!
Didengamya suitan pemuda itu, lalu tubuh si
pemuda lenyap dari hadapannya dan sesaat
kemudian dirasakannya sambaran angin
serangan yang tajam dari kiri kanan!
Ki Sawer Balangnipa melompat mundur
sampai lima langkah membentak keras dan
maju lagi dalam satu kelebatan cepat
menyambuti serangan Pendekar 212 Wiro
Sableng!
Nloman Dwipa yang menyaksikan
pertempuran diam-diam memuji kehebatan
kedua belah pihak yang bertempur. Kalau saja
dia tidak mendapat gemblengan dari Menak
Putuwengi pastilah matanya akan sakit dan
kepalanya akan pusing melihat kelebatan-
kelebatan mereka yang bertempur yang hanya
merupakan bayang-bayang hitam dari jubah
yang dikenakan Ki Sawer Balangnipa dan
bayangan putih pakaian Pendekar 212 Wiro
Sableng. Kini semakin terbuka mata Nyoman
Dwipa bahwa di atas jagat ini banyak sekali
terdapat tokoh-tokoh silat berkepandaian
tinggi seperti kedua orang itu! Dan diam-diam
Nyoman Dwipa membathin apakah tingkat
kepandaian Tjokorda Gde Djantra setingkat
dengan kedua orang itu. Kalau betul tentu
masih bukan suatu hal yang mudah baginya
untuk bisa mengalahkan musuh besamya itu
dalam tempo sepuluh sampai duapuluh jurus!
Nyoman Dwipa kembali memperhatikan kedua
orang yang bertempur. Sementara itu
telinganya mendengar lengking siulan yang
nyaring luar biasa. Sesudah mengerahkan
tenaga dalam dan menutup pendengarannya
barulah rasa sakit yang menyamaki gendang-
gendang telinganya akibat suara siutan aneh
itu menjadi lenyap! Dan di muka sana
dilihatnya bagaimana Ki Sawer Balangnipa
mulai terdesak oleh serangan-serangan
gencar Pendekar 212.
Dalam jurus keempat puluh Ki Sawer
Balangnipa mulai menyadari bahwa jika dia
terus bertahan dalam posisi demikian rupa
naga-naganya paling lama sepuluh jurus lagi
pasti dia akan kena dihantam lawannya!
Keringat telah membasahi tubuh lakilaki ini,
apalagi karena dia mengenakan jubah yang
terbuat dari kulit ular yang tak tembus air!
"Pemuda gelo! Jika kau sayang nyawa cepat
cabut senjatamu!" tiba-tiba Ki Sawer
Balangnipa berseru dan habis berseru
demikian dia lepaskan dua ekor ular yang
telah dikeringkan dari lehernya! Sepasang
binatang yang sudah mati itu, di tangan Ki
Sawer Balangnipa tak ubahnya kembali
menjadi hidup, menyambar dan meliuk,
mematuk dan menjabat ke arah Pendekar 212.
Dari tubuh ular-ular yang sudah dikeringkan
itu menghampar bau anyir yang menyesakkan
rongga pernafasan sedang dan mulutnya yang
membuka menyambar sinar hijau
menggidikkan. Itulah sinar racun yang jahat
sekali. Menghadapi ini Wiro segera tutup jalan
pernafasannya dan berkelebat lebih cepat
untuk menghindarkan serangan- serangan
sepasang ular kering di tangan lawannya!
Sepuluh jurus lagi berlalu. Agaknya Ki Sawer
Balangnipa mulai mengeluarkan jurus-jurus
ilmu silat simpanannya kanena kelihatan
sekali bagaimana permainan silatnya
berubah. Tubuhnya bergerak gesit laksana
seekor ular besar, meliuk kesana meliuk
kesini!
Pendekar 212 Wiro Sableng mulai berada di
bawah angin! Jurus demi jurus dia semakin
terdesak ke tepi danau membuat pemuda ini
memaki dalam hati.
Dia tengah berpikir-pikir untuk mulai
mengeluarkan ilmu silat "orang gila" yang
dipelajarinya dari Tua Gila ketika salah satu
dari senjata di tangan Ki Sawer Balangnipa
menghantam dadanya!
Pendekar 212 menjerit keras! Tubuhnya
terjerongkang ke belakang dan kecebur masuk
danau!
Dadanya sakit bukan main dan laksana
hancur remuk! Pemandangannya berkunang-
kunang! Untuk beberapa lamanya dia
apungkan diri di permukaan air danau sambil
mengerahkan tenaga dalamnya ke bagian
yang kena dihantam lawan!
Di lain pihak Ki Sawer Balangnipa adalah
hampir tidak percaya akan apa yang
disaksikannya. Seorang yang kena digebuk
ular kering yang menjadi senjatanya, tak
ampun lagi pasti akan menemui kematian
dengan tubuh remuk! Tapi kenyataannya
pemuda itu masih hidup dan mengapungkan
diri di atas air danau!
"Ki Sawer Balangnipa hadapi aku!" satu suara
membentak dari samping dan Nyoman Dwipa
dengn tongkat bambu kuningnya sudah
melompat kehadapan Ki Sawer Balangnipa!
Manusia yang punya tampang seperti ular itu
menyeringai mengejek. "Bagus!" katanya,
"kaupun minta digebuk! Ayo majulah!"
Nyoman Dwipa bolang-balingkan tongkat
bambu kuningnya. Meski tongkat itu kecil saja
tapi deru angin yang keluar akibat putarannya
deras bukan main. Sinar kuning menjulang
panjang hingga diam-diam Ki Sawer
Balangnipa segera maklum bahwa lawannya
yang kedua inipun bukan orang sembarangan
pula!
"Silahkan mulai, Ki Sawer Balangnipa!" kata
Nyoman Dwipa pula. Dia sudah siap dengan
kuda-kuda pertahanan sambil membolang-
balingkan tongkat kecilnya!
"Sialan! Disuruh mulai menyerang lebih dulu
malah menantang sombong!" damprat Ki
Sawer Balangnipa. Dia maju satu langkah
untuk melancarkan sebuah serangan yang
dahsyat.
Di saat pertempuran antara Nyoman Dwipa
dan Ki Sawer Balangnipa hendak pecah tiba-
tiba dari arah danau terdengar seruan keras:
"Nyoman! Biar aku teruskan pertempuranku
dengan manusia bermuka ular penyakitan itu!"
Seruan itu disertai dengan melayangnya kira-
kira selusin ular-ular yang telah mati ke arah
Ki Sawer Balangnipa! Jika saja laki-laki itu
tak lekas menyingkir pasti kepala dan
tubuhnya akan dihantam binatang-binatang
peliharaannya itu sendiri! Ki Sawer
Balangnipa menjadi lupa terhadap Nyoman
Dwipa dan membalikkan tubuh dengan cepat
melompat ketepi danau. Tenaga dalam
dikerahkan seluruhnya ke tangan kanannya
dan sekali dia menyapukan ular di tangan
kanannya itu, maka menderulah satu
gelombang angin yang deras ke arah
Pendekar 212 Wiro Sableng yang mengapung
di tengah danau! Air danau muncrat sampai
setinggi delapan tombak dilanda derasnya
pukulan tangan kosong tersebut tapi Wiro
sendiri saat itu sudah melesatkan tubuhnya
ke tepi danau sebelah kiri. Dadanya
sebenamya masih sakit tapi karena-yakin
bahwa dirinya tak mengalami luka di dalam
maka begitu sampai di daratan pemuda itu
berseru lantang, "Muka ular! Terima pukulanku
ini!"
Terlalu cepat bagi Ki Balangnipa untuk bisa
melihat pukulan apa yang dilepaskan lawan
tahu-tahu "wuus" satu larik sinar putih yang
panas dan menyilaukan matanya menerpa
dahsyat ke arahnyal Manusia yang mukanya
seperti ular itu berseru keras lalu melompat
cepat-cepat ke samping kanan. Tapi tak urung
ular kering yang ditangan kirinya masih
tempat disambar pukulan sinar matahari yang
dilepaskan Wiro Sableng hingga senjata itu
hancur lebur dan hanya bagian ekornya saja
yang masih tergenggam dalam tangan kiri Ki
Sawer Balangnipa!
"Keparat rendah!" maki Ki Sawer Balangnipa
marah luar biasa hingga sepasang matanya
laksana api berkobar! Selagi Pendekar 212
Wiro Sableng belum menjejakkan kedua
kakinya di tanah, dia segera melancarkan
serangan balasan yang tak kalah hebatnya!
Tangan kiri dipukulkan ke depan. Satu
gelombang angin menggebu laksana topan,
siap untuk menyapu dan menghancur leburkan
tubuh Pendekar 212. Yang dilepaskan Ki
Sawer Balangnipa adalah pukulan sakti yang
sangat diandalkannya dan yang jarang sekali
dikeluarkannya jika tidak menghadapi lawan
yang teramat tangguh! Itulah pukulan yang
bernama "sejagat baju".
Jangan kata manusia, batu karangpun jika
dihantam pasti akan hancur jadi debu!
Serangan yang dilancarkan Ki Sawer
Balangnipa tak kepalang tanggung karena
sehabis memukul itu tubuhnya melesat ke
depan dan menyusul serangan pertama tadi
dengan serangan ular kering di tangan
kanannya yang menderu ke arah batok kepala
Pendekar 212 Wiro Sableng!
Pukulan "sejagat baju" membuat tubuh Wiro
Sableng tak dapat melayang turun menjejak
tanah Betapapun dia mengerahkan tenaga
dalamnya serta memukul ke muka dengan
ilmu pukulan "dinding angin berhembus tindih
menindih"
tetap saja tubuhnya tersapu sampai delapan
tombak! Jika dia tak cepat membuang diri ke
samping dengan mempergunakan ilmu
meringankan tubuhnya yang tinggi, pastilah
dia akan menghantarn pohon besar di
belakang sana! Pukulan sejagat baju melanda
pohon besar itu dan pohon-pohon serta
semak belukar di sekitarnya, membuat
semuanya itu tumbang dan tersapu sampai
sepuluh tombak lebih dengan mengeluarkan
suara berisik luar biasa. Air danau yang turut
terserempet pukulan tersebut muncrat setinggi
dua tombak!
Setelah jungkir balik dua kali berturut-turut
Wiro Sableng berhasil mencapai tanah dengan
kedua kaki lebih dahulu. Nafasnya sesak,
tulang-tulang di sekujur tubuhnya serasa
tanggal sedang dari sela bibirnya kelihatan
darah kental! Pemuda ini ternyata telah
terluka di dalam! Cepat-cepat Wiro menelan
butir pil merah lalu duduk tak bergerak,
meramkan mata mengatur jalan nafas dan
tenaga dalam serta mengalirkan hawa sejuk
dari pusarnya ke dada!
Ki Sawer Balangnipa tertawa gelak-gelak
sambil mendekati Wiro Sableng. "Ha! ha!
Sekarang kau baru tahu kehebatan Ki Sawer
Balangnipa! Nah selamat jalan ke neraka,
budak hina dina!"
Ki Sawer Balangnipa mengangkat tongkat
ularnya tinggi-tinggi lalu dihantamkan
secepat kilat ke arah batok kepala Pendekar
212 Wiro Sableng!
"Pengecut! Beraninya menyerang lawan yang
sudah tak berdaya!".
Satu bentakan menggeledek dan selarik sinar
kuiing menderu menangkis ular kering di
tangan Ki Saver Balangnipa. Itulah tongkat
bambu kuningnya Nyoman Dwipa. Pemuda ini
ketika menyaksikan bagaimana Ki Sawer
Balangnipa hendak menamatkan riwayat Wiro
Sableng dalam keadaan pemuda itu tak
berdaya, menjadi sangat geram dan menyerbu
ke muka! Namun sebelum tongkat bambu
kuning di tangan Nyoman Dwipa saling
beradu dengan ular kering di tangan kanan Ki
Sawer Balangnipa, terdengar suara
menggembor yang disusul dengan bentakan
lantang.
"Siapa bilang aku tak berdaya, Nyoman!"
Dan "wuut"!
Selarik sinar putih yang amat menyilaukan
serta panas berkelebat diiringi suara
mengaung macam ratusan tawon mengamuk!
Dan "cras"!
Terdengar kemudian pekik setinggi langit
keluar dari mulut Ki Sawer Balangnipa.
Tangan kanannya sebatas pergelangan lengan
buntung dan memuncratkan darah! Telapak
dan jari-jari tangan yang masih memegang
ular kering tadi, kelihatan mental ke udara lalu
jatuh ke dalam danau, membuat air danau di
tempat jatun berwrrna kemerah-merahan oleh
darahl Apakah yang telah terjadi?
Sewaktu Ki Sawer Balangnipa siap untuk
menamatkan riwayat Wiro Sableng, sebelum
Nyoman Dwipa sempat menangkis senjata Ki
Sawer Balangnipa maka Wiro sableng yang
duduk diam mematung itu tiba-tiba membuat
gerakan cepat luar biasa, mencabut Kapak
Maut Naga Geni 212 dan membabat ke depan!
Maksudnya cuma hendak menabas senjata
lawan tapi tak terduga serangannya itu justru
membuat buntung pergelangan Ki Sawer
Balangnipa! Laki-laki ini menotok jalan darah
di bahu kanan hingga darah berhenti
memancur!
"Pemuda keparat! Kali ini kau menang! Tapi
lain ketika jangan harap kau bisa hidup jika
aku muncul kembali di depan hidungmu!"
Habis berkata begitu Ki Sawer Baangnipa
berkelebat dan lenyap di jurusan timur danau!
Wiro Sableng masukkan Kapak Naga Geni 212
ke balik pakaiannya lalu berdiri dengan
perlahan-lahan. Nyoman Dwipa memegang
bahunya.
"Kau tak apa-apa, Wiro?"
"Aku terluka di dalam," jawab Wiro mengaku
terus terang, "tapi tak begitu berbahaya.
Manusia itu hebat sekali ilmu pukulannya!"
"Tapi kau jauh lebih hebat!" kata Nyoman
Dwipa pula. Dan dalam hati pemuda Bali ini
menyadari sepenuhnya kalau saja dia yang
berhadapan dengan Ki Sawer Balangnipa
pasti akan lebih cepat dirobohkan, bahkan
mungkin akan memenuhi ajal secara
mengenaskan!
"Aku kebetulan lewat di sini dan mendengar
suara ribut-ribut. Ketika kuselidiki kutemui
kau mencak-mencak telanjang bulat melawan
puluhan ular!"
Wiro tertawa sambil garuk-garuk kepalanya
yang berambut basah. Kedua orang pemuda
itu lalu menuturkan riwayat masing-masing.
Wiro Sableng geleng-gelengkan kepala
mendengar cerita Nyoman dan berkata, "Hebat
sekali riwayatmu, Nyoman. Juga
menyedihkan. Manusia macam Tjokorda Gde
Jantra itu memang patut dihajar Sayang aku
ada urusan yang perlu diselesaikan dengan
cepat Kalau tidak pasti aku akan seiring
denganmu. Tapi begitu urusanku selesai aku
segera akan menyusulmu, Nyoman! Ingin
sekali aku melihat tampangnya itu pemuda
yang bernama Tjokorda Gde Jantra!"
"Terima kasih yang kau ada perhatian
terhadap urusanku, Wiro," kata Nyoman Dwipa
pula.
Wiro Sableng sekali lagi mengucapkan terima
kasih dan kedua sahabat baru itu saling
menjura lalu berpisah.
SEPERTI telah dituturkan untuk mempercepat
sampai ke Denpasar, Nyoman Dwipa sengaja
menempuh rimba belantara. Menjelang tengah
hari dia sampai ke kaki sebuah bukit. Bukit itu
jarang didatangi manusia bahkan lewat di
sanapun boleh dikatakan tak ada yang berani
karena dibukit itulah bersarangnya
gerombolan rampok yang dipimpin oleh
seorang bernama Warok Gde Jingga.
Sebenarnya nama asli orang itu adalah Warok
Jingga saja. Namun kemudian ditambah di
tengah-tengah dengan kata "Gde".
Bagi Nyoman Dwipa, bila dia mengelakkan
bukit itu berarti memperpanjang
perjalanannya selama setengah hari.
Meskipun dia sendiri tahu bagaimana
besarnya bahaya jika mendaki bukit tersebut
namun karena ingin cepat-cepat sampai ke
Denpasar dan ingin cepat-cepat melunaskan
sakit hati dendam kesumat yang telah
diindapnya selama beberapa bulan di lubuk
hatinya, maka pemuda itu dengan tekat bulat
sengaja menempuh bukit tersebut.
Beberapa jam kemudian dia sudah sampai
kelereng bukit sebelah selatan. Sekurang-
kurangnya menjelang magrib dia pasti sudah
sampai ke kota tujuannya. Dia harus
memasuki satu rimba belantara sebelum
mencapai kaki bukit di mane membujur jalan
yang menuju ke Denpasar. Hatinya gembira
karena sampai saat itu nyatanya dia tak
mengalami kesukaran apa-apa dalam
menempuh Bukit Jaratan yaitu bukit tempat
bersarangnya gerombolan rampok Warok Gde
Jingga.
Sewaktu Nyoman Dwipa telah menempuh tiga
perempat bagian dari rimba belantara itu,
mendadak di sebelah muka di dengamya suara
bentakan-bentakan dan suara beradunya
senjata. Tak dapat tidak itu pastilah suara
orang yang tengah bertempur. Pemuda ini
percepat larinya. Tak diperdulikannya lagi
bagaiman baju birunya dikait semak belukar.
Tepat di kaki bukit, di tepi jalan besar
kelihatanlah satu pemandangan yang hebat!
Empat orang laki-laki berpakaian prajurit-
prajurit klas satu tengah bertempur
mengeroyok seorang perempuan berpakaian
dan berkerudung kain hitam. Di tepi jalan
sebelah sana berdiri seorang pe-empuan tua
dengan tubuh mengigil sedang dibelakangnya,
di tepi jalan berhenti sebuah kereta. Di bagian
depan kereta, seorang kusir tua duduk dengan
paras pucat pasi!
Perempuan yang parasnya ditutup dengan
kain hitam itu gerakannya gesit sekali.
Pedang perak di tangan kanannya berkelebat
kian kemari, menangkis serangan-serangan
golok panjang ke empat pengenyok bahkan
juga sekaligus balas menyerang dengan
gencarnya!
Namun betapapun hebatnya ilmu pedang
perempuan itu, lawan-lawan yang
dihadapinya adalah prajurit-prajurit klas satu
yang berkepandaian tinggi. Ketika Nyoman
Dwipa datang mereka telah bertempur lebih
dari sepuluh jurus dan si baju hitam berada
dalam keadaan terdesak yang cukup
membahayakan keselamatannya!
"Breet"!
Tiba-tiba salah satu ujung golok panjang
berhasil nembabat putus buhul kain hitam
yang menjadi kerudung si baju hitam! Kini
kelihatanlah paras di balik kerudung itu!
Jangankan Nyoman Dwipa, keempat prajurit
yang bertempurpun terkesiap saking tidak
menyangka kalau paras di balik kerudung itu
nyatanya adalah paras seorang dara yang
jelita dan paras itu kelihatan pucat akibat
sambaran senajata lawan yang hampir saja
membelah batok kepalanya!
Salah seorang prajurit melompat ke muka dan
berseru, "Dara hina dina! Kalau kau tak segera
mengembalikan patung itu, jangan harap kau
akan melihat matahari tenggelam sore nanti!"
Dara jelita berpakaian hitam mendengus dan
meludah ke tanah! Sebagai jawaban dia
kiblatkan pedang peraknya hingga
pertempuran kembali berkecamuk! Tapi kali ini
seperti tadi, lagi-lagi si baju hitam berhasil di
desak, bahkan kini agaknya ke empat prajurit
itu tak mau memberi hati lagi sehingga nyawa
sang dara benar-benar terancam!
Meski dia tak ada sangkut paut dengan
pertempuran yang berkecamuk itu, tapi
Nyoman Dwipa merasa kasihan dan tidak tega
kalau sang dara berbaju hitam sampai
mendapat celaka di ujung golok-golok ke
empat lawannya. Dari balik semak-semak di
mana dia bersembunyi mengintai pertempuran
itu, Nyoman melompat ke tengah kalangan
pertempuran seraya berseru,
"Hentikan pertempuran!"
Karena suara itu disertai aliran tenaga dalam
maka kerasnya mengumandang ke seantero
rimba. Keempat prajurit berpaling terkejut dan
kemudian menjadi marah melihat seorang
pemuda tak dikenal mengganggu serta
mencampuri jalannya pertempuran!
Salah seorang dari mereka memberi isyarat
agar tak usah memperdulikan Nyoman Dwipa.
Maka keempatnya kemudian kembali hendak
menyerbu si gadis baju hitam. Tapi betapa
terkejutnya mereka ketika melihat kenyataan
bahwa dara itu tak ada lagi dihadapan
mereka, sudah lenyap melarikan diri tatkala
perhatian mereka tertumpah pada Nyoman
Dwipa! Dengan sendirinya kemarahan keempat
prajurit itu tertuju pada diri Nyoman Dwipa
kini! Maka langsung saja tanpa banyak bicara
mereka kiblatkan golok panjang menyerang
pemuda itu!
Karena sudah menyaksikan kehebatan
permainan golok keempat orang prajurit itu
Nyoman segera pula bertindak cepat. Golok
pertama yang datang menusuk ke dadanya
dikelit sigap dan tahu-tahu lima jari tangan
kirinya yang dilipat sudah menyelinap ke
mukal Prajurit itu berseru kesakitan! Goloknya
terlepas sedang sambungan sikunya putus
dihantam pukulan Nyoman Dwipa. Sementara
tiga orang prajurit lainnya terkesiap melihat
peristiwa itu, Nyoman Dwipa dengan cepat
menyambuti golok yang jatuh. Lalu dengan
golok itu Nyoman membabat golok-golok di
tangan ketiga lawannya hingga satu demi
satu bermentalan di udara!
Keempat prajurit itu kagetnya bukan alang
kepalang! Tapi dalam hati mereka memaki
habis-habisan. Bahkan salah seorang dari
mereka secara blak-blakan berkata dengan
suara keras penuh amarah.
"Pemuda tak tahu diri! Ada sangkut paut
apakah kau dengan gadis bedebah itu hingga
mencampuri urusan orang lain?!"
Prajurit yang kedua membuka mulut pula,
"Tahukah kau siapa kami dan siapa gadis
berbaju hitam tadi?!"
"Aku memang tak ada sangkut paut apa-apa."
jawab Nyoman Dwipa tenang. "Juga tidak
tahu siapa kalian, apalagi gadis yang kabur
itu!"
"Tindakanmu ceroboh lancang! Tak tahu diri!
Akibatnya bedebah itu berhasil merampas dan
melarikan patung emas yang kami bawa!"
"Patung emas?!" ujar Nyoman.
"Ya, patung emas! Dan kau musti
menggantinya! Kalau tidak kau kami tangkap
dan clihadapkan pada Adipati Surabaya untuk
menerima hukuman!" kata prajurit yang lain.
"Jadi kalian adalah prajurit-prajurit Kadipaten
Surabaya?" tanya Nyoman.
"Tak usah banyak tanya! Lekas serahkan
dirimu!"
"Sobat, sebaiknya kau terangkan dulu asal
musabab sampai kalian mengeroyok gadis itu.
Jika memang dari keteranganmu nanti aku
telah melakukan kesalahan, percayalah aku
akan menebus kesalahanku itu."
Salah seorang dari keempat prajurit lalu mem
berikan keterangan. Mereka adalah utusan
dari Kadipaten Surabaya yang berangkat
menuju ke Bali untuk melamar seorang gadis
anak bangsawan yang tinggal di Denpasar.
Sebagai bawaan, Adipati Surabaya telah
memberikan sebuah patung emas untuk
diserahkan pada keluarga si gadis sebagai
tanda penghormatan. Setelah menyeberangi
lautan, sesampainya di Bali mereka
melanjutkan perjalanan dengan kereta.
Perempuan tua yang ikut bersama keempat
prajurit itu adalah orang yang bakal
menyampaikan lamaran Adipati Surabaya
kepada si gadis.
Sebagai orang asing tentu saja mereka tidak
mengetahui bahwa bukit Jaratan dan daerah
sekitarnya adalah tempat malang
melintangnya gerombolan rampok yang
dikepalai oleh Warok Gde Jingga. Ketika
mereka lewat di kaki bukit di sepanjang tepi
hutan, mereka telah dicegat oleh seorang
perempuan berkerudung kain hitam. Kusir
kereta yang pernah mendengar tentang ciriciri
perempuan itu segera memberi tahu bahwa
dia adalah Luh Bayan Sarti, adik kandung
kepala rampok Warok Gde Jingga yang sangat
ditakuti! Luh Bayan Sarti masih gadis. Karena
memiliki ilmu silat yang tinggi maka dia
selalu melakukan kejahatan seorang diri.
Rupanya rampok betina ini sudah mencium
bahwa rombongan utusan Adipati Surabaya
itu ada membawa benda berharga. Maka
begitu dia melakukan penghadangan dengan
cepat dia menerobos masuk ke dalam kereta
dan berhasil merampas patung emas!
Keempat prajurit Kadipaten Surabaya tentu
saja tidak tinggal diam. Justru mereka telah
diberi kepercayaan untuk melindungi barang
berharga itu. Maka tanpa banyak cerita lagi
segera mereka mengeroyok Luh Bayan Sarti.
Ketika mereka sudah hampir berhasil
menghajar rampok betina itu tahu-tahu
muncullah Nyoman Dwipa memberikan
pertolongan hingga buntut-buntutnya Luh
Bayan Sarti berhasil kabur dengan membawa
serta patung emas!
Kini tahulah Nyoman Dwipa akan kesalahan
yang telah diperbuatnya. Tapi memang siapa
yang bisa menduga kalau gadis secantik Luh
Bayan Sarti itu adalah seorang perampok?
Dan pemuda manakah yang tega membiarkan
seorang dara jelita terancam bahaya mautl!
Setelah merenung sejenak maka Nyomanpun
berkata. "Memang besar salahku! Kurasa
sebelum gadis itu berlalu jauh, sebaiknya kita
lakukan pengejaran. Kalau perlu kita datangi
sarangnya!"
Keempat prajurit Kadipaten Surabaya saling
berpandangan. Kusir kereta yang sejak tadi
berdiam diri karena ketakutan untuk pertama
kalinya buka suara, "Mendatangi sarang
Warok Gde Jingga berarti mencari mati!"
"Kalau begitu kalian tidak menginginkan
patung emas itu kembali?"
"Tentu saja menginginkanl" jawab seorang
prajurit. "Tapi pergi ke sarangnya gerombolan
rampok itu besar sekali bahayanya. Karena itu
kau yang punya gara-gara maka kau sendiri
yang harus pergi ke sana. Kami menunggu di
sini! Kami tak perduli apakah untuk
mendapatkan patung emas itu kau harus
menyerahkan kepalamu!"
"Kalau aku pergi seorang diri dan berhasil
mengambil kembali patung itu, jangan harap
aku akan membawanya ke sini….," kata
Nyoman Dwipa dengan menyeringai.
"Kalau begitu …." kata seorang prajurit
sesudah berpikir-pikir beberapa lamanya,
"aku, kau dan dua orang kawanku berangkat
ke sana. Yang lain tetap tinggal di sini."
Nyoman menyetujui pendapat itu, lalu tanpa
menunggu lebih lama mengajak ke empat
orang itu untuk segera berangkat. Kusir kereta
mendadak membuka mulut, "Saudara-saudara
dengar nasihatku. Adalah sia-sia kalian pergi
mengambil kembali patung emas itu! Warok
Gde Jingga memiliki ilmu silat tinggi sekali. Di
samping itu dia memiliki anak buah yang
banyak. Ditambah dengan Luh Bayan Sarti
maka sekalipun kalian berjumlah lima kali
lebih besar, jangan harap kalian akan
berhasil. Kataku kalian cuma mengantar
nyawa! Sebaiknya kembali dan seret pemuda
biang runyam itu ke hadapan Adipati
Surabaya!"
"Bagiku kemarahan Adipati Surabaya bukan
apa-apa. Kalaupun aku dihukum, kurasa
kalian semua juga tak luput dari hukuman!
Kalau tak ada yang mau ikut, tak apa. Jangan
menyesal kalau patung emas itu jatuh ke
tanganku sedang kalian mendapat hukuman
dari Adipati kalian!"
Nyoman Dwipa cepat berlalu dari situ. Tiga
orang prajurit saling berpandangan. Akhirnya
setelah mengambil senjata masing-masing
yang tadi jatuh di tanah, ketiganya segera
menyusul Nyoman Dwipa.
"Mereka akan mati percuma! Mati percuma!"
desis kusir kereta sambil memperhatikan
kepergian orang-orang itu.
SEORANG anggota rampok yang berada di
puncak sebuah pohon tinggi telah melihat
kedatangan keempat orang itu. Cepatcepat
dia turun dari atas pohon dan memberikan
laporan pada pemimpinnya yaitu Warok Gde
Jingga. Kebetulan saat itu Luh Bayan Sarti
ada pula di situ.
"Coba terangkan ciri-ciri mereka!" kata Luh
Bayan Sarti.
"Yang tiga orang berpakaian seragam, seperti
pakaian prajurit. Yang seorang lagi pemuda
berpakaian biru."
"Hem …." gadis itu mengguman lalu berpaling
pada kakaknya. "Bagaimana pendapatmu?"
tanyanya.
"Biarkan saja mereka datang kemari. Tak ada
tang harus ditakutkanl" sahut si kepala
rampok.
"Memang pendapatkupun demikian," kata Luh
Bayan Sarti lalu menganggukkan kepala pada
anggota rampok yang melapor.
Setelah anggota rampok itu pergi berkatalah
Warok Gde Jingga. "Kau akan berhadapan
kembali dengan tuan penolongmu yang gagah
itu! Bukankah itu yang kau inginkan, Sarti?"
Luh Bayan Sarti menjadi merah parasnya.
"Sebaiknya kita keluar saja menyambut
kedatangan mereka!"
Warok Gde Jingga tertawa lalu mengikuti
diknya keluar rumah besar. Mereka menunggu
di langkan.
Karena telah dipesankan agar keempat
pendatang itu dibiarkan saja, maka ketika
memasuki perkampungan, tak ada seorang
rampokpun yang mengalangi. Nyoman Dwipa
dan ketiga prajurit-prajurit kadipaten itu. Di
halaman rumah besar keempatnya berhenti.
Nyoman melirik sekilas pada Luh Bayan Sarti
lalu berpaling pada laki-laki bertubuh tinggi
besar yang hanya mengenakan celana
panjang hitam. Dadanya yang bidang tertutup
oleh bulu sedang wajahnya diranggasi
cambang bawuk yang lebat kaku.
"Apakah kami berhadapan dengan Warok Gde
Jingga?" tanya Nyoman Dwipa sesudah
terlebih dahulu menjura.
"Orang muda," kata Warok Gde Jingga
"Sungguh nyalimu besar sekali untuk datang
ke mari! Sesudah menolong adikku dari
bahaya dikeroyok oleh prajurit-prajurit hina
dina itu, apakah kedatanganmu ke sini hendak
minta hadiah imbalan?!"
Nyoman Dwipa tertawa, lalu menjawab, "Jauh
dari itu, Warok. Justru aku datang ke sini
untuk menebus kesalahanku terhadap prajurit-
prajurit Kadipaten Surabaya ini. Satu-satunya
jalan untuk dapat menebus kesalahanku itu
ialah meminta kesudianmu untuk mau
menyerahkan kembali patung emas yang telah
dirampas oleh adikmu ini." Nyoman lalu
menggoyangkan kepalanya ke arah Luh Bayan
Sarti.
Gadis itu tertawa cekikikan. Bola matanya
sejak tadi tidak lepas dari memandangi paras
Nyoman Dwipa yang gagah cakap itu.
"Enak betul bicaramu. Sudah lancang dating
kemari, sekarang berani bertingkah! Apakah
kau bersedia menyerahkan selembar nyawamu
sebagai pengganti patung emas itu?!"
Nyoman tertawa lebar. Dalam tertawa itu dia
harus mengakui bahwa paras Luh Bayan Sarti
sungguh jelita. Kulitnya halus mulus. Sungguh
sangat disayangkan dara sejelita ini hidup
menjadi perampok, berbuat kejahatan dan
diam di tengah-tengah manusia-manusia
kasar!
Sementara itu Warok Gde Jingga mengusap-
usap dagunya yang penuh dengan berewok.
"Selembar nyawaku bukan apa-apa," terdengar
suara Nyoman Dwipa menjawab pertanyaan
Luh Bayan Sarti tadi. "Yang penting patung
emas itu harus diserahkan pada ketiga
prajurit ini."
"Kalau begitu biar kutabas dulu batang
lehermu. Kalau sudah kelak patung emas itu
akan kuberikan pada manusiamanusia jelek
ini!"
"Serahkan dulu patung emas itu pada mereka"
ujar Nyoman Dwipa.
Luh Bayan Sarti mendelikkan kedua matanya.
"Sret"! Gadis ini mencabut pedang peraknya.
"Tahan dulu, Sarti!" kata Warok Gde Jingga
sambil memegang bahu adiknya ketika gadis
itu hendak melompat ke hadapan Nyoman
Dwipa. "Sebaiknya kita atur begini saja orang
muda. Karena patung emas itu boleh dibilang
milik ketiga kunyuk-kunyuk Kadipaten
Surabaya ini maka kupersilahkan mereka turun
tangan sendiri. Jika mereka bertiga berhasil
mengalahkanku, kuserahkan patung itu
kembali pada mereka. Tapi kalau mereka
kalah, patung emas itu tetap milikku dan
mereka kubebaskan. Untuk itu kau harus
mempertaruhkan batang lehermu!"
Ketiga prajurit Kadipaten Surabaya terkejut
bukan main. Jangankan mereka bertiga,
sepuluh orangpun mereka belum tentu
sanggup mengalahkan Warok Gde Jingga
yang kesaktian dan ilmu silatnya sangat
tinggi itu! Nyoman Dwipa berbatuk-batuk.
"Warok Gde Jingga," kata pemuda ini, "karena
aku yang punya gara-gara maka biarlah aku
mewakili ketiga prajurit itu untuk memenuhi
permintaanmu tadi."
Warok Gde Jingga tertawa gelak-gelak.
"Kuhargakan nyalimu sobat dan kuberi
kelonggaran padamu! Kau boleh maju
bersama-sama prajurit-prajurit tak berguna
itu!"
"Walau ilmuku sangat dangkal," sahut
Nyoman Dwipa, "tapi mengingat kesalahanku
biarlah aku menghadapimu seorang diri."
"Baik … baik … baik! Jika itu kehendakmu!
Mari kita mulai!" kata Warok Gde Jingga
seraya melompat ke halaman.
Tubuhnya yang tirrggi besar dengan berat
lebih dari tujuh puluh kilo itu tak sedikitpun
menimbulkan suara ketika kedua kakinya
menjejak tanah halaman. Satu pertanda
bahwa ilmu meringankan tubuhnya sudah
mencapai tingkat yang tinggi! Nyoman Dwipa
tak mau kalah siap! Sekali dia berkelebat
maka bayangannya lenyap dan sedetik
kemudian sudah berdiri enam langkah di
hadapan kepala rampok itu! Warok Gde
Jingga terkejut bukan main! Tiada diduganya
pemuda yang dianggapnya sepele itu memiliki
gerakan gesit serta ilmu meringankan tubuh
yang tidak berada di bawahnya!
Melihat kedua orang itu sudah siap untuk
bertempur. Luh Bayan Sarti tiba-tiba
melompat dan berseru, "Kak Gde Jingga! Biar
aku yang mengadapi pemuda sombong ini!
Kau lihat sajalah bagaimana adikmu akan
memberi pelajaran padanya!"
Tanpa menunggu jawaban kakaknya, Luh
Bayan Sarti sudah menghadapi Nyoman
Dwipa, tersenyum sekilas lalu berkata sambil
mengerling dan mencabut pedang peraknya.
"Silahkan kau mulai lebih dulu!".
"Ah, tuan rumahlah yang lebih pantas
memulai," sahut Nyoman Dwipa pula.
"Kuharap kau benar-benar memberi pelajaran
berguna pada orang bodoh macamku ini,
saudari!"
Luh Bayan Sarti tertawa kegenit-genitan. "Kau
hati-hatilah orang muda karena pedangku ini
tidak bermata." Ucapan itu dibarengi si gadis
dengan satu serangan setengah melompat.
Ketika menabas pedang peraknya hanya
merupakan selarik sinar putih yang
mengeluarkan suara bersiur karena saking
cepatnya! Sebelumnya Nyoman Dwipa telah
melihat ilmu pedang gadis itu yakni sewaktu
Luh Bayan Sarti bertempur melawan prajurit-
prajurit. Kadipaten Surabaya. Namun sekali
ini dilihatnya si gadis mengeluarkan jurus
serangan yang lain dari yang lain hingga
Nyoman Dwipa tak mau bersikap memandang
enteng, cepat mencabut tongkat bambu
kuningnya yang kecil dan dengan gesit
berkelebat mengelakkan tabasan yang
mengincar pinggangnya!
Setengah jalan tiba-tiba sekali tabasan yang
dilakukan Luh Bayan Sarti berubah menjadi
satu tusukan tajam ke arah dada. Tusukan ini
sebelum sampai memecah laksana kilat
keempat bagian tubuh Nyoman Dwipa yaitu
kepala, leher, dada dan perut! Ketiga prajurit
Kadipaten Surabaya menahan nafas. Serangan
yang dilancarkan si gadis adalah serangan
hebat luar biasa.
Melihat dekatnya tusukan-tusukan pedang itu
dari tubuh Nyoman Dwipa, ketiganya merasa
cemas kalau-kalau si pemuda kali ini tak
sanggup menvelamatkan dirinya!
"Hebat!" Justru dalam suasana yang tegang
itu Nyoman Dwipa mengeluarkan seruan
memuji. Tubuhnya lenyap menjadi bayang-
bayang biru. Dan di antara bayangan biru itu
bekelebatlah selarik sinar kuning. Itulah
sinarnya bambu kuning di tangan Nyoman
Dwipa.
Melihat lawan memiliki ilmu meringankan
tubuh yang hebat maka Luh Bayan Sarti
kerahkan pula ilmu meringankan tubuhnya
hingga dalam jurus pertama itu keduanya
sudah merupakan baying-bayang saja!
Nyoman tersenyum melihat kecerdikan si
gadis. Segera pemuda ini menggerakkan
bambu kuningnya dalam jurus "gendewa sakti
membentur gunung". Jurus ini mengandalkan
tenaga dalam yang dialirkan ke tongkat
bambu kuning. Dalam jurus kedua terjadilah
hal yang sangat mengejutkan Warok Gde
Jingga.
Sewaktu dalam jurus kedua Luh Bayan Sarti
kembali melancarkan serangan yang hebat,
bambu kuning di tangan Nyoman sudah
bergerak dalam jurus "gendewa sakti
membentur gunung" itu.
Luh Bayan Sarti heran ketika merasakan
bagaimana tetakan pedangnya yang semula
meluncur pesat tahu-tahu dengan tiba-tiba
sekali tersendat laksana diterpa oleh satu
angin yang luar biasa dahsyatnya. Belum
habis rasa herannya itu, bambu kuning di
tangan Nyoman tiba-tiba dilihatnya sudah
berada dekat sekali di samping pedang
peraknya!
Luh Bayan Sarti seorang berpikiran cerdik.
Dari gerakan bambu kuning itu dan
mengetahui bahwa tenaga dalam lawan tinggi
sekali, tahulah dia bahwa Nyoman Dwipa
hendak memukul badan pedangnya dalam
satu pukulan yang hebat dan memungkinkan
pedang perak itu terlepas dari tangannya!
Karenanya dengan sigap gadis ini menaikkan
tangannya ke atas lalu membabat ke samping,
menaebas ke arah batang leher Nyoman
Dwipa!
Di lain pihak Nyoman Dwipa tidak terlalu
bodoh untuk menunggu lebih lama.
Kedudukan tangan dan senjata lawan yang
berada lebih tinggi di atas senjatanya sendiri
justru itulah yang dikehendakinya! Bambu
kuning di tangan pemuda ini menerpa ke atas
Dan tahu-tahu Luh Bayan Sarti merasakan
tangannya yang memegang pedang menjadi
kesemutan. Dia melompat mundur tapi tak
bisa karena pada saat itu bambu kuning di
tangan lawan laksana seekor ular seakan-
akan telah membelit pedangnya. Ketika
Nyoman Dwipa memutar-mutar bambu
kuningnya, pedang perak di tangan gadis
itupun ikut berputar melintir. Luh Bayan Sarti
tak bisa mempertahankan senjata itu kecuali
kalau tangannya mau ikut-ikutan terpuntir
dan tanggal dari persendiannya!
Warok Gde Jingga bukan olah-olah kejutnya
menyaksikan bagaimana adiknya yang
berkepandaian tinggi itu hanya mampu
menghadapi pemuda itu dalam tempo dua
jurus saja. Bahkan dalam dua jurus itu bukan
saja dia dikalahkan tapi senjatanya sekaligus
kena dirampas! Luh Bayan Sarti sendiri
sesudah pedangnya tertarik dan berada
digenggaman Nyoman Dwipa bukan main
marahnya. Tapi dia juga malu sekali. Dengan
paras merah sambil banting-banting kaki
gadis ini memutar tubuh dan meninggalkan
tempat itu.
"Eh, saudari tunggu dulu! Ini kukembalikan
pedangmu!" seru Nyoman Dwipa.
Luh Bayan Sarti tak mau berpaling apalagi
hentikan langkahnya. Dia terus nyelonong ke
langkan rumah Karena orang tak mau
menerima kembali senjatanya maka Nyoman
Dwipa menggerakkan tangan kirinya yang
memegang pedang. Senjata itu lepas dan
mendesing di udara lalu menancap di tiang
langkan rumah, tepat pada saat Luh Bayan
Sarti berada di samping tiang itu!
Luh Bayan Sarti berbalik dan mendelikkan
kedua matanya pada Nyoman Dwipa.
Sebaliknya pemuda itu hanya tersenyum saja,
membuat si gadis benar-benar penasaran
setengah mati. Di cabutnya pedang itu dari
tiang langkan lalu cepat-cepat masuk ke
dalam rumah!
Nyoman berpaling pada Warok Gde Jingga
dan berkata. "Adikmu telah kupercundang.
Karena dia bertindak sebagai wakilmu dan dia
kalah maka kau harus menepati janjimu
Warok. Harap kau segera mengembalikan
patung emas itu pada ketiga prajurit ini…. "
Warok Gde Jingga mengusap-usap dadanya
yang berbulu lebat lalu tertawa gelak-gelak.
"Ingatanmu selalu pada patung emas itu saja.
Dan kau terlalu bangga dengan
kemenanganmu! Terangkan dulu namamu dan
siapa kau sebenarnya …"
"Kalau sudah kuterangkan lantas kau akan
mengembalikan patung itu?!"
Kembali kepala rampok itu tertawa. Dia
melirik pada anak-anak buahnya yang berdiri
mengeliling halaman lalu menggelengkan
kepalanya. "Sesudah aku tahu nama dan
siapa kau adanya, kita main-main sebentar . .
. "
Nyoman tahu apa yang dimaksudkan Warok
Gde Jingga dengan kata "main-main" itu.
Maka dia berkata, "Dan kalau dalam main-
main itu kau mengalami nasib sama dengan
adikmu, apakah kau juga mencari dalih lain
untuk tidak menyerahkan patung emas itu?!"
Merahlah paras Warok Gde Jingga. "Aku tidak
serendah yang kau kirakan, pemuda
sontoloyo!" katanya keras.
"Ah kalau begitu baiklah. Namaku Nyoman
Dwipa dan aku orang kampung. Nah, apakah
kini kita bisa memulai permainan yang kau
maksudkan itu?!"
Warok Gde Jingga menggeram. Tangannya
ditepukkan. Maka dari dalam rumah besar
keluarlah seorang pelayan membawa sebuah
senjata milik Warok Gde Jingga yang
bentuknya aneh dan dahsyat! Belum pernah
Nyoman Dwipa melihat senjata semacam itu.
Anak-anak buah Warok Gde Jingga sendiri
kelihatan saling berbisik karena setahu
mereka, Warok Gde Jingga jarang sekali
mempergunakan senjata itu kalau tidak dalam
keadaan terpaksa atau ketika menqhadapi
lawan yang tangguh luar biasa! SENJATA di
tangah Warok Gde Jingga adalah sebuah toya
besi hitam yang pada kedua ujungnya
digantungi masing-masing tiga buah kaitan
besi yang juga berwarna hitam. Setiap ujung
kaitan besi itu mempunyai tiga anak kaitan
lagi dan masing-masing ujungnya tetah
dicelup dengan racun yang amat jahat selama
tiga tahun. Sekali manusia yang tidak
memiliki kekebalan racun, meskipun memiliki
tenaga dalam bagaimanapun tingginya pasti
akan menemui kematian bila sampai kena
tertusuk oleh ujungujung kaitan itu! Di
samping itu kaitankaitan tersebut merupakan
senjata yang berbahaya karena sanggup
membetot daging atau urat seorang lawan!
Menurut taksiran keseluruhan senjata itu
beratnya lebih dari lima puluh kati. Tapi
Warok Gde Jingga memegangnya tak ubahnya
seperti memegang sebuah ranting kering
belaka!
Nyoman Dwipa tahu benar kehebatan ilmu
suit lawan yang dihadapannya itu. Jauh lebih
tinggi dari ilmu silat Luh Bayan Sarti yang
tadi telah dikalahkannya. Dan melihat kepada
senjata di tangan Warok Gde Jingga, pemuda
ini sudah maklum bahwa senjata itu amat
berbahaya, maka tanpa menunggu lebih lama
segera Nyoman Dwipa pasang kuda-kuda
pertahanan yang bernama "elang menukik
laut". Kedua kaki merenggang agak menekuk
di bagian lutut. Tangan kiri agak
mengembang ke samping sedang tangan
kanan yang memegang tongkat bambu kuning
dipalangkan di muka dada.
"Ayo majulah!" kata Warok Gde Jingga.
"Silahkan tuan rumah memulai lebih dulu."
sahut Nyoman Dwipa.
Kepala rampok dari bukit Jaratan itu
mendengus. Sementara itu anggota-anggota
rampok yang mengelilingi tempat tersebut
membuka mata masing-masing selebar
mungkin untuk menyaksikan pertempuran
yang bakal berlangsung yang tidak bisa tidak
pasti sangat hebat!
"Awas perut!" teriak Warok Gde Jingga tiba-
tiba. Teriakannya ini dibarengi dengan
berkelebatnya tubuh pemimpin rampok itu.
Ujung toya sebelah kanan menderu ke arah
perut Nyoman Dwipa. Ujung-ujung kaitan
berdesing siap untuk membetot dan
membusaikan isi perut pemuda itu!
Nyoman Dwipa melompat ke belakang untuk
mengelak. Di'saat itu pula dengan tak
terduga, cepat sekali ujung toya besi yang
sebelah kiri menyambar ke arah leher pemuda
itu! Kejut Nyoman Dwipa bukan alang
kepalang. Sambil membentak keras pemuda
gemblengan Menak Putuwengi itu miringkan
tubuhnya ke samping dan menggerakkan
tongkat bambu kuningnya, memukul bagian
tengah toya besi di tangan Gde Jingga.
Melihat lawan hendak memukul senjatanya,
kepala rampok itu sengaja tidak mengelak!
Dia beranggapan bahwa sekali tongkat bambu
kuning itu membentur toya besinya pastilah
akan patah dua! Tapi betapa terkejutnya
Warok Gde Jingga sewaktu melihat bukan saja
tongkat lawan tidak patah bahkan sewaktu
bentrokan terjadi, toya besinya terpukul keras
hampir saja terlepas dari genggamannya!
Dengan menggertakkan rahang Warok Gde
Jingga menerjang ke muka. Toya besinya
laksana titiran, menderu dan mengurung
Nyoman Dwipa dari seluruh penjuru!
Sementara itu dari satu tempat yang
terlindung di balik jendela rumah besar,
sepasang mata menyaksikan pertempuran itu
dengan hati cemas. Kecemasan itu tertuju
pada diri Nyoman Dwipa. Kecemasan itu
adalah kalau-kalau si pemuda akan menjadi
korban mendapat celaka di tangan Warok Gde
Jingga. Tapi cetika menyaksikan bagaimana
Nyoman Dwipa dengan tenang melayani
lawannya, orang yang mengntai itu merasa
lega sedikit. Dan orang ini bukan ain Luh
Bayan Sarti, adik Warok Gde Jingga yang
telah dikalahkan oleh Nyoman Dwipa tadi!
Dua puluh jurus telah berlalu. Gerakan-
gerakan Warok Gde Jingga semakin gesit dan
ganas. Toyanya lenyap dalam sambaran-
sambaran sinar hitam yang nengeluarkan
angin dingin serta bersiutan. Debu dan pasir
beterbangan di sekeliling orang-orang yang
bertempur itu! Semakin bertambah jurus demi
jurus, semakin meluap kemarahan Warok Gde
Jingga. Sebagai kepala rampok yang ditakuti
dan punya nama besar dikalangan rimba
persilatan di Pulau Bali, baru kali ini dia
menghadapi lawan yang demikian tanguhnya.
Karena pertempuran itu disaksikan oleh anak-
anak buahnya pula maka tentu saja rasa malu
membuat amarahnya tambah menggelegak!
Amarah yang menggelegak ini tak bisa lagi
dikendalikan karena bagaimana pun dia
menggempur lawan dengan toya besi serta
dibarengi dengan pukulan-pukulan tangan
kosong yang hebat tetap saja menemui kesia-
saan! Akibatnya saat itu semua orang
menyaksikan bagaimana Warok Gde Jingga
bertempur macam kerbau gila atau celeng
kemasukan setan, seradak sana seruduk sini,
melompat sini melompat sana! Keringat
membasahi tubuhnya yang tidak mengenakan
pakaian. Gerakan-gerakannya yang gerabak-
gerubuk itu tambah tak karuan lagi sewaktu
dia dengan kalap terus menggempur marah
karena ujung tongkat bambu kuning Nyoman
Dwipa berhasil memukul ikatan kaitan di
ujung toya sebelah kanan hingga kaitan-
kaitan itu terlepas dan mental!
Tiga puluh lima jurus telah berlalu kini.
"Warok Gde Jingga apakah masih akan
diteruskan pertempuran ini atau cukup sampai
di sini saja?!" berseru Nyoman Dwipa.
Seruan ini membuat darah kepala rampok itu
tambah mendidih. Dia balas berteriak, "Aku
belum kalah! Kalau kepalamu sudah pecah
terpukul toyaku baru pertempuran berhenti!"
Nyoman Dwipa tertawa kecil. Tiga perempat
tenaga dalamnya dialirkan ke tongkat bambu
kuning. Dan ketika tongkat itu membuat satu
sambaran tajam ke bagian tengah toya besi di
tangan Warok Gde Jingga, ketika benturan
keras terjadi, Warok Gde Jingga merasa
tangannya pedas dan sakit bukan main. Dia
tak sanggup lagi mempertahankan toya itu
hingga terlepas dari tangannya dan mental ke
udara! Sewaktu toya itu menggeletak jatuh di
tanah terbeliaklah mata Warok Gde Jingga.
Badan toya yang kena dihantam bambu
kuning temyata telah menjadi bengkok dan
genting hampir putus!
Nyoman Dwipa tersenyum kecil lalu
memasukkan tongkat bambu kuningnya ke
balik pinggang kembali. "Permainan sudah
selesai, Warok. Kuharap kau memenuhi
janjimu, menyerahkan kembali patung emas
yang telah dirampok oleh adikmu!"
Meskipun saat itu Warok Gde Jingga malu
dan marah bukan main, meskipun dia seorang
yang sudah terkenal kejahatannya namun
dalam satu hal kepala rampok ini patut dipuji.
Hal itu ialah sifatnya yang memegang teguh
segala janji yang diucapkannya. Maka dia
memerintah seorang anak buahnya untuk
mengambil patung emas dari dalam rumah.
Benda itu kemudian diserahkannya pada.
Nyoman Dwipa dan Nyoman Dwipa
selanjutnya menyerahkan pada prajurit-
prajurit Kadipaten Surabaya. Bukan main
gembira prajurit-prajurit itu.
Di hadapan Warok Gde Jingga Nyoman Dwipa
menjura dan berkata, "Terima kasih atas
segala pelayanan yang kau berikan. Juga
terima kasih yang kau sudah suka
mengembalikan patung emas itu. Aku dan
prajurit-prajurit ini hendak minta diri
sekarang."
"Prajurit-prajurit itu boleh pergi, tapi kau
tetap di sini, Nyoman!" sahut Warok Gde
Jingga.
"Eh, kenapa begitu Warok?" tanya Nyoman
Dwipa heran.
"Aku mau bicara denganmu," sahut kepala
perampok dari bukit Jaratan itu.
Setelah berpikir dengan cepat, Nyoman Dwipa
kemudian menganggukkan kepala dan
berpaling pada prajurit-prajurit di
sampingnya. "Kalian pergilah, biar aku tetap
di sini dulu."
Setelah mengucapkan terima kasih pada si
pemuda maka prajurit-prajurit itu kemudian
meninggalkan sarang perampok tersebut
dengan cepat. Mereka kawatir kalau-kalau
mendapat kesulitan baru pula di tempat itu.
"Nah, mereka sudah pergi. Apa yang hendak
kau bicarakan, Warok?" tanya Nyoman Dwipa.
"Kita bicara di dalam, Nyoman!" jawab kepala
rampok itu lalu dibawanya Nyoman Dwipa
masuk ke dalam rumah besar.
Sampai di dalam Nyoman dipersilahkan duduk
di satu ruangan yang berperabotan serba
mewah. Warok Gde Jingga memerintahkan
bujang-bujangnya untuk menghidangkan
makanan dan minuman yang tezat-lezat,
Setelah menyantap hidangan itu barulah
Warok Gde Jingga menerangkan maksudnya
menahan Nyoman Dwipa.
"Ilmu silatmu tinggi sekali. Permainan
tongkatmu lihay. Melihat kepada jurus dan
gerak yang kau keluarkan, dan mengetahui
bahwa di Pulau Bali ini cuma ada seorang
tokoh sakti yang memiliki ilmu tongkat yang
hebat luar biasa, apakah kau bukannya murid
orang sakti itu, Nyoman?"
Nyoman Dwipa tertawa.
"Orang sakti manakah maksudmu?" tanyanya.
"Ah, kau pura-pura bertanya pula. Orang tua
gagah yang bernama Menak Putuwengi itu
tentunya!"
Kembali Nyoman Dwipa tertawa. "Guruku
cuma guru silat biasa, Warok. Tokoh temama
seperti Menak Putuwengi itu mana mau
mengangkat aku jadi muridnya?"
Warok Gde Jingga meneguk tuaknya
habishabis lalu berkata, "Baiklah Nyoman,
soal siapa gurumu tak perlu kita bicarakan.
Yang penting adalah kenyataan bahwa ilmu
silatmu amat tinggi dan membuat aku benar-
benar kagum. Bagaimana kalau kita bekerja
sama memimpin orang-orangku yang ada di
seluruh bukit Jaratan ini? Segala hasil yang
kita dapat menjadi milik bersama, kita bagi
dua! Bahkan harta kekayaanku yang ada
sekarang akan kuberikan separohnya
padamu!"
"Rupanya inilah maksud kepala rampok ini
menahanku." kata Nyoman Dwipa pula dalam
hati.
"Terima kasih atas tawaran dan
kepercayaanmu itu. Warok. Tapi menyesal aku
tak dapat menerimanya…."
"Ah! Mari, kau lihatlah dulu gudang
penyimpanan harta kekayaanku. Kalau kau
sudah melihat, pasti kau tak akan mau
menampik lagi tawaranku." kata Warok Gde
Jingga seraya hendak berbangkit dari
duduknya. Nyoman melambaikan tangannya
dan berkata, "Aku percaya harta kekayaanmu
banyak sekali dan tak ternilai harganya,"
kata pemuda ini, "namun sebenarnya ada
banyak urusan yang harus kusalesaikan.
Untuk saat ini aku benar-benar tak bisa
menerima tawaranmu, entah di lain ketika."
Lalu pemuda inipun berdiri dari kursinya.
Warok Gde Jingga kecewa sekali. Kalau saja
Nyoman Dwipa mau ikut bersamanya pasti
seluruh Bali akan berada dalam
genggamannya. Tapi dia tak bisa berbuat
apa-apa. Tak bisa memaksa. Dan pemimpin
rampok inipun lantas berdiri, mengantarkan
tamunya ke ujung halaman. *** Belum lewat
sepeminuman teh lamanya Nyoman Dwipa
meninggalkan bukit Jaratan telinganya dan
perasaannya yang tajam menyatakan bahwa
seseorang saat itu tengah menguntitnya. Di
satu tikungan jalan pemuda ini menghentikan
larinya dan menyelinap bersembunyi di balik
sebatang pohon besar yang bagian bawahnya
ditumbuhi semak belukar lebat. Dia menunggu
dan selang beberapa ketika lamanya penguntit
itupun muncul di tikungan jalan. Betapa
terkejutnya Nyoman ketika melihat bahwa
orang itu ternyata bukan lain dari Luh Bayan
Sarti, adik kandung Warok GdeJingga adanya!
Maka dengan penuh heran pemuda inipun
keluar dari persembunyiannya.
"Selamat berjumpa kembali saudari." kata
Nyoman.
Luh Bayan Sarti terkejut. Parasnya merah
seketika kemudian dicobanya tersenyum dan
berkata, "Aku tengah menuju ke Denpasar. Tak
diduga bertemu denganmu di sini."
Nyoman berpikir apakah ucapan gadis itu
bukan kedustaan belaka?
"Aku sendiri juga tengah menuju ke sana,"
kata Nyoman.
"Betul? Kalau kau tak keberatan . . . . "
Nyoman Dwipa sudah tahu kelanjutan
katakata gadis itu maka diapun memotong.
"Tentu saja aku tak keberatan pergi sama-
sama denqanmu ke Denpasar". Namun dalam
hatinya Nyoman merasa menyesal
mengeluarkan ucapan itu. Maksudnya ke
Denpasar adalah untuk mencari musuh
bebuyutannya. Dan kini dia ke sana bersama
gadis itu, tentu akan mencari tambanan
pekerjaan saja dan salah-salah bisa cari
urusan baru! Dipandanginya paras gadis itu.
Cantik memang. Dan sungguh disayangkan
kalau dara secantik ini menjadi adik kandung
kepala rampok dan ikut-ikutan pula menjadi
perampok!
"Agaknya kau menyesal mengeluarkan ucapan
tadi?" tanya Luh Bayan Sarti tiba-tiba seraya
mengerling pada si pemuda.
Nyoman tertawa lebar-lebar. "Seiring dengan
dara secantikmu dalam perjalanan adalah
satu hal yang menyenangkan," katanya.
"Apakah maksudmu pergi ke Denpasar?"
"Hendak mengunjungi seorang sahabat lama."
jawab Luh Bayan Sarti.
"Kawan atau kekasih?" tanya Nyoman pula.
Paras sang dara kembali menjadi kemerah-
merahan. "Aku tak punya kekasih," katanya
kemudian.
"Oh….!"
"Dan kau sendiri perlu apakah ke Denpasar?
Kau tinggal di situ?" ganti menanya Luh
Bayan Sarti.
"Ada urusan penting," jawab Nyoman. Dia
memandang ke langit lalu berkata. "Kita harus
berangkat cepat-cepat. Sebelum malam musti
sudah sampai di Denpasar."
MEREKA memasuki Denpasar ketika sang
surya baru saja tenggelam di ufuk barat.
Untuk tidak menarik perhatian orang
keduanya memasuki kota dengan jalan kaki
biasa.
"Aku akan mencari penginapan." kata Nyoman
Dwipa. "Bagaimana dengan kau, apakah akan
terus ke tempat sahabatmu itu?"
"Tubuhku letih sekali," sahut Luh Bayan Sarti.
"Rumah sahabatku terletak di sebelah barat
luar kota. Karena kita datang dari jurusan
timur cukup jauh juga untuk mencapai
tempatnya itu. Kurasa sebaiknya aku juga
mencari penginapan. Besok baru meneruskan
perjalanan kerumahnya."
Nyoman menganggukkan kepala. Kini semakin
yakin pemuda ini bahwa kepergian Luh Bayan
Sarti yang katanya hendak menguniungi
sahabat lamanya itu adalah satu kedustaan
belaka. Sepanjang jalan dari bukit Jaratan
sampai ke Denpasar banyak sekali sikap gadis
itu yang dirasakannya aneh. Berulang kali
dilihatnya Luh Bayan Sarti memperhatikannya
secara diam-diam. Bila sekali-sekali mereka
saling berbentur pandangan, paras gadis itu
berubah kemerah-merahan dan kepalanya
ditundukkan atau dipalingkan kejurusan lain.
Nyoman sendiri jadi merasa aneh lama-lama
mempunyai perasaan lain yang membuat
hatinya jadi berdebar. Tapi perasaan itu
dibuangnya jauh-jauh bila dia ingat pada
almarhum kekasih yang dicintainya yaitu Ni
Ayu Tantri. Kepergiannya ke Denpasar justru
untuk menuntut balas kematian gadis itu, juga
kematian ayah dan kawan-kawannya.
Dan kini hati yang mendendam kesumat itu
dibayangi oleh perasaan lain tersebut
membuat Nyoman merasa bahwa seolah-olah
dia telah melakukan pengkhianatan terhadap
Ni Ayu Tantri!
Di sebuah rumah penginapan yang torletak di
pusat kota Nyoman menyewa dua buah
kamar.
Satu untuknya sendiri dan yang lain untuk
Luh Bayan Sarti. Kalau sang dara begitu
masuk ke kamar terus berbaring dan tertidur
pulas maka Nyoman Dwipa terlebih dulu pergi
mandi membersihkan diri. Habis mandi rasa
letihnya agak hilang berganti dengan
kesegaran. Dia memanggil pelayan dan
memesan dua porsi nasi. Yang satu porsi
disuruhnya mengantarkan ke kamar Luh
Bayan Sarti. Sambil menyantap makanannya
Nyoman berpikir-pikir apakah malam itu juga
akan dilakukannya penyelidikan di mana letak
tempat kediaman musuh besamya yang
bemama Tjokorda Gde Jantra itu dan
sekaligus melakukan pembalasan
melampiaskan dendam kesumat yang
dipendamnya selama hampir lima bulan. Atau
ditunggunya sampai besok?
Tengah dia menyantap makanan dan
berpikirpikir itu mendadak pintu kamar diketuk
orang. Nyoman Dwipa meletakkan piringnya di
atas meja lalu membuka pintu. Pelayan
penginapan berdiri di muka pintu itu dan
menerangkan bahwa ketika dia mengantarkan
hidangan ke kamar Luh Bayan Sarti temyata
kamar itu kosong melompong, si gadis tak
ada di dalamnya.
"Saya rasa terjadi hal yang tidak beres."
menerangkan pelayan itu.
Mulanya Nyoman Dwipa menyangka Luh
Bayan Sarti sedang pergi mandi. Tapi
mendengar keterangan pelayan itu dia jadi
terkejut. "Bagaimana kau bisa tahu ada yang
tak beres?"
"Jendela terpentang lebar, engselnya rusak!"
Tanpa menunggu lebih lama Nyoman Dwipa
segera lari ke kamar Luh Bayan Sarti. Apa
yang di terangkan oleh pelayan temyata betul.
Kamar itu kosong, jendela terbuka lebar dan
sebuah engselnya rusak. Buntalan pakaian
milik Luh Bayan Sarti masih tergeletak di atas
pembaringan. Tak ada tanda-tanda bekas
terjadinya perkelahian di kamar itu. Apakah
sesungguhnya yang telah terjadi? Ke mana
perginya Luh Bayan Sarti? Nyoman keluar dari
rumah penginapan. Di luar hari telah malam.
Udara dingin oleh hembusan angin.
Gumpalan-gumpalan awan hitam
menggantung di langit. Setelah melakukan
penyelidikan di sekitar penginapan dan tak
berhasil menemui Luh Bayan Sarti Nyoman
Dwipa kembali menemui pelayan tadi dan
berpesan agar tidak menerangkan peristiwa
itu kepada siapapun. Lalu Nyoman sendiri
kemudian meninggalkan rumah penginapan
itu untuk menyelidiki ke mana lenyapnya
gadis itu. Dalam hati kecilnya dia mengeluh.
Jika betul terjadi apa-apa dengan gadis itu
sedikit banyaknya dia harus bertanggung
jawab. Ini berarti datangnya satu urusan baru
padahal urusannya yang lebih penting yaitu
melakukan pembalasan terhadap Tjokorda Gde
Djantra sampai saat itu masih belum
dilaksanakan!
Hampir dua jam lamanya Nyoman Dwipa
meiakukan penye!idikan di seluruh Denpasar
bahkan sampai ke-pelosokpelosok dan daerah
luar kota. Penyelidikannya sia-sia belaka.
Jangankan orangnya, jejak Luh Bayan Sarti-
pun tak dapat dicarinyal Bayan Sarti-pun tak
dapat dicarinya!
"Berabe kalau begini." keluh Nyoman Dwipa.
Dengan putus asa dan juga mengkal pemuda
ini kembali ke penginapan. *** Apakah
sebenarnya yang telah terjadi dengan Luh
Bayan Sarti?
Ketika petang itu Nyoman dan Luh Bayan
Sarti memasuki Denpasar dari jurusan barat,
seorang penunggang kuda yang tangan
kanannya buntung memapasi mereka. Karena
jalan yang ditempu memang banyak dilewati
orang dan lagi pula saat itu hari sudah agak
gelap maka baik Nyoman maupun Sarti sama
sekali tidak memperhatikan orang-orang yang
mereka papasi, termasuk penunggang kuda
tadi. Namun penunggang kuda ini bukanlah
orang yang lalu lalang biasa saja.
Dia bukan lain dari Ki Sawer Balangnipa, si
manusia yang tampangnya macam ular yang
telah pemah bertempur melawan Nyoman
Dwipa dan Wiro Sableng beberapa waktu yang
lalu! Karena manusia pemelihara ular ini
seorang hidung belang bermata keranjang
maka setiap melihat perempuan pasti tak
akan luput dari pandangan matanya! Begitu
juga ketika dia berpapasan dengan Luh Bayan
Sarti. Melihat paras Sarti yang jetita,
timbullah niat terkutuk dalam hati dan
benaknya!
Namun sewaktu dia memperhatikan pemuda
yang berjalan di samping sang dara, kagetlah
Ki Sawer Balangnipa. Cepat dia mengenali
Nyoman Dwipa sebagai pemuda yang telah
bertempur dengan dia di tepi danau beberapa
waktu yang lalu! Jika gadis itu ada hubungan
apa-apa dengan si pemuda tentu saja dia tak
punya nyali untuk melaksanakan maksud
terkutuknya itu. Tapi sebagai seorang yang
licik, Ki Sawer Balangnipa punya seribu satu
macam akal. Sengaja dia melewati kedua
orang itu sampai beberapa jauhnya kemudian
berbalik kembali dan mengikuti Nyoman serta
Sarti secara diam-diam. Dia sudah menyusun
rencana sebagai berikut. Mula-mula akan
diculiknya gadis berpakaian hitam yang
sangat rnenarik hati dan merangsang nafsu
bejatnya itu! Bila dia sudah dapatkan itu
gadis akan dihubunginya beberapa tokoh-
tokoh silat yanq berada di Denpasar lalu
bersama-sama mereka akan mendatangi
pemuda itu untuk rnelakukan pembalasan
atas kekalahannya tempo hari dalam
pertempuran di tepi danau!
Sewaktu melihat kedua orang itu memasuki
sebuah penginapan, Ki Sawer Balangnipa
berpendapat inilah kesempatan yang baik
baginya untuk segera melaksanakan niat
busuknya itu. Dengan mengandalkan
kepandaiannya yang tinggi Ki Sawer
Balangnipa berhasil memasuki kamar
penginapan di mana Luh Bayan Sarti
terbaring tidur keletihan tanpa mengeluarkan
suara sedikitpun! Karena gadis itu sedang
tidur nyenyak mudah sekali bagi manusia
yang punya tampang seperti ular itu untuk
menotok urat di tubuh Luh Bayan Sarti. Dalam
keadaan masih tertidur gadis itu kemudian
dilarikannya keluar kota.
Kuda yang ditunggangi Ki Sawer Balangnipa
laksana anak panah lepas dari busurnya
dalam gelapan malam. Menjauhi kota dia
berpikir-pikir ke mana akan dibawanya gadis
itu. Akhirnya dia ingat sebuah kuil tua yang
terletak di sebelah barat Denpasar. Kuil itu
sudah sejak lama tidak dipergunakan. Orang
yang lalu lintas memakainya sebagai tempat
beteduh di kala hujan dan panas terik. Segera
laki-laki ini memutar kudanya ke jurusan
barat. Di langit buan sabit muncul setelah
beberapa lamanya bersembunyi di balik awan
hitam tebal. Sinar bulan sabit ini tak sanggup
mengalahkan gelapnya malam di saat itu.
Selewatnya sebuah pesawangan Ki Sawer
Balangnipa membelok memasuki sebuah jalan
berbatu dan mendaki. Kira-kira sepeminuman
teh dia sampai satu persimpangan. Ki Sawer
Balangnipa menghentikan kudanya karena di
antara persimpangan itulah letak kuil tua
yang ditujunya. Pada siang hari dua mulut
jalan yang mengapit kuil tua itu ramai
dilewati orang-orang yang lalu lintas
terutama para pedagang. Tapi pada malam
hari suasana di situ sunyi senyap. Tak satu
orangpun yang berani lewat kecuali prajurit-
prajurit kerajaan yang meronda. Daerah
sekitar situ sering kali menjadi tempat
beroperasinya gerombolan rampok Warok Gde
Jingga dari Bukit Jaratan yaitu kepala rampok
yang telah dikalahkan Nyoman Dwipa
beberapa hari yang lalu.
Dengan memanggul Luh Bayan Sarti laki-laki
itu melangkah memasuki halaman kuil.
Semula dia hendak menurunkan tubuh gadis
itu di bagian depan, tapi setelah berpikir
sejenak akhirnya dia masuk ke bagian dalam
kuil. Di sini keadaan lebih gelap, tapi
dibandingkan dengan di luar keadaan lantai
jauh lebih bersih. Ki Sawer Balangnipa
menyandarkan Luh Bayan Sarti di dinding
kuil. Seringai setan terpampang di wajahnya
yang bermuka binatang itu. Di sekanya peluh
yang mencicir di kening, kemudian dua jari
tangan kirinya bergerak melepaskan totokan
ditubuh gadis itu.
Luh Bayan Sarti membuka kedua matanya.
Kegelapan menghambar di hadapannya.
Kemudian ketika sepasang matanya menjadi
biasa dengan kegelapan itu heranlah gadis
ini. Di manakah aku berada, pikirnya. Dia
memandang sekali lagi berkeliling. Tiba-tiba
tersentaklah dia karena tidak dinyananya
kalau saat itu dekat sekali di hadapannya
duduk mencangkung sesosok tubuh yang
hitam pekat di telan kegelapan. Tak dapat
dipastikan oleh gadis ini apakah yang
dihadapannya itu manusia atau setan tapi
yang jelas paras sosok tubuh itu mengerikan
sekali, macam kepala dan paras seekor ular!
"Mungkin aku bermimpi," pikir Luh Bayan
Sarti. Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Dan
pada saat itu makhluk di hadapannya datang
mendekat, mengulurkan tangannya hendak
menjamah tubuhnya. Di mulutnya tersungging
seringai buruk yang menggidikkan dan dari
sela bibirnya terdengar suara seperti
mengekeh yang amat pelahan sedang dari
hidungnya menghembus nafas panas!
"Siapa kau?!" bentak Luh Bayan Sarti seraya
melompat.
Orang dihadapannya berdiri perlahan-lahan
seraya keluarkan suara tertawa mengekeh.
"Jangan bertanya segalak itu, gadis cantik.
Kau berhadapan dengan Ki Sawer
Balangnipa!"
"Aku tak kenal kau! Lekas angkat kaki dari
dapanku!" Ki Sawer Balangnipa tertawa gelak-
gelak.
"Gadis galak biasanya juga galak di atas
tempat tidur! Sayang di sini tak ada tempat
tidur . . . "
"Bangsat rendah! Kau kira berhadapan dengan
siapakah?!" bentak Luh Bayan Sarti.
"Sreett!!"
Gadis itu cabut pedangnya dari balik pakaian.
Sedetik kemudian tubuhnya sudah berkelebat
dan pedang di tangan kanannya menderu
dalam satu bacokan yang laksana kilat
cepatnya ke batok kepala Sawer Balangnipa.
"Trang!!"
Pedang Luh Bayan Sarti menghantam tembok
kuil hingga hancur berguguran. Entah
bagaimana mendadak sekali Ki Sawer
Balangnipa tahu-tahu lenyap dari hadapan
gadis itu hingga serangan Luh Bayan Sarti
mengenai tempat kosong dan terus melanda
tembok kuil! Gadis itu mengutuk habisibisan
dalam hati. Sewaktu dirasakannya sambaran
angin datang disamping kanannya, gadis ini
cepat membalik seraya kiblatkan pedangnya.
Tapi lagi-lagi dia menghantam tempat kosong
dan sebelum dia bisa berbuat suatu apa,
sebuah totokan bersarang di dadanya
membuat sekujur tubuhnya mendadak sontak
menjadi kaku tegang dalam keadaan masih
memegangi pedang!
Didahului oleh suara tertawa mengekeh maka
anusia bermuka ular itu kembali muncul di
hadapan Luh Bayan Sarti dengan cengar-
cengir seenaknya.
"Senjata ini tak boleh dibuat main", kata Ki
iwer Balangnipa dengan tertawa-tawa lalu
diambilnya pedang dari tangan gadis itu dan
dilemparkannya sudut kuil.
"Bangsat kau lepaskah totokanku atau tidak."
bentak Luh Bayan Sarti.
"Siapa yang mau ambil risiko, nona manis?!"
sahut Ki Sawer Balangnipa. "Sudahlah, kau
tak usah bicara keras-keras yang hanya
mengejutkan setan-setan penghuni kuil tua ini
saja! Di samping itu tak baik berdiri terus-
terusan. Mari kutolong kau berbaring di lantai
sini."
"Setan alas! Kau mau bikin apa?!"
"Mau bikin apa …?" Ki Sawer Balangnipa
mengulang sambil tertawa mengekeh. "Kau
lihat saja nanti. Yang pasti kau bakal
merasakan bagaimana pandainya aku
merubah malam yang dingin ini menjadi
malam yang hangat bagi kita!" Habis berkata
begitu dengan tangan kirinya Ki Sawer
Balangnipa meraih pinggang si gadis dan
membaringkannya di lantai kuil!
"Keparat kalau kau tidak lekas melepaskan
aku, niscaya kau akan menyesal seumur hidup
bahkan menyesal sarnpai ke hang kubur!"
"Ha …. ha, siapa yang akan menyesal
merasakan kemulusan dan kepadatan
tubuhmu! Siapa yang menyesal merasakan
kenikmatan dirimu sebagai seorang
perempuan, seorang perawan?! Ha … ha . . . !
Matipun aku tidak menyesal nonaku!"
Sehabis berkata begitu Ki Sawer Balangnipa
menyelinapkan tangan kirinya ke bawah baju
si gadis! Luh Bavan Sarti laksana disengat
kalajengking sewaktu merasakan bagaimana
jari-jari tangan laki-laki itu menyentuh buah
dadanya!
"Manusia dajal! Rupanya kau belum tahu
siapa aku!"
"Ah sudahlah jangan mengoceh juga," desis Ki
Sawer Balangnipa. Lalu dengan penuh geram
nafsu dibetotnya baju gadis itu hingga
kancing-kancingnya berputusan.
"Keparat! Nyawamu tak akan berampun! Aku
adalah adik Warok Gde Jingga dari Bukit
Jaratan!" Ki Sawer Balangnipa terkejut juga
mendengar ucapan ,gadis itu. Sesaat
kemudian kemheli terdengar suara tertawanya.
"Oh, jadi kau adiknya kepala rampok hina dina
itu? Siapa takutkan dia? Sepuluh manusia
macam dia dijejer di hadapan Ki Sawer
Balangnipa pasti akan kulabrak musnah!"
Lalu tangan laki-laki itu berjerak mengelus
perut Luh Bayan Sarti untuk kemudian dengan
sangat terkutuknya meluncur ke bawah!
"Keparat! Kalau tidak kakakku, kawanku pasti
akan datang menabas batang lehermu!"
"Hem siapakah kawanmu itu?"
"Nyoman Owipa! Dia murid Menak
Putuwengi!"
"Jangan menipuku! Menak Putuwengi sudah
sejak lama lenyap! Sudah mampus!" Dan
gerakan tangan Ki Sawer Balangnipa yang
tadi terhenti kini kembali meluncur! Namun
sebelum tangan terkutuk itu dapat meluncur
lebih jauh, satu bentakan menggeledek dari
ruang depan.
"Terkutuk! Di tempat suci berani bikin kotor!"
Terdengar satu suara siulan melengking langit
dan berbarengan denjan itu selarik angin
keras dan dingin menggidikkan menyambar ke
arah batok kepala Ki Sawer Balangnipa!
KAGETNYA Ki Sawer Balangnipa laksana
melihat dan mendengar petir menyambar di
puncak hidungnya! Kalau saja dia tidak cepat
menjatuhkan diri dan bergulingan di lantai
kuil pastilah kepalanya tak bisa diselamatkan
dari hantaman angin dahsyat tadi! Begitu
berdiri begitu dia membentak!
"Bangsat rendah yang menyerang secara
gelap, coba unjukkan tampangmu!". Tiba-tiba
Ki Sawer Balangnipa melengak karena baru
saja dia habis membentak di belakangnya
terdengar suara tertawa mengekeh.
"Silahkan putar tubuh dan kau akan melihat
tampangku manusia muka ular!"
Ki Sawer Balangnipa membalikkan tubuhnya
dengan cepat! Heran, hebat sekali gerakan
manusia itu hingga dia tak sempat melihat
bayangannyapun dan tahu-tahu sudah berada
di belakangnya! Ketika berhadap-hadapan
dengan manusia itu mendadak menciutlah
nyali Ki Sawer Balangnipa. Betapakan tidak.
Orang yang kini berdiri di depannya bukan
lain pemuda yang tempo hari telah
membunuh puluhan ekor ularnya di tepi
danau! Tapi rasa ngerinya itu tidak
diperlihatkannya. Malah dia menyembunyikan
dengan membentak garang!
"Kau rupanya bangsat haram jadah! Di cari-
cari tak ketemu kini datang sendiri mengantar
nyawa!"
Orang dihadapannya mengeluarkan suara
bersiul. "Apakah tangan kananmu yang
buntung sudah disambung hingga kau
bernyali besar sekali?!"
Ki Sawer Balangnipa marah sekali. "Keparat!
Apa yang kau lakukan tempo hari kini kau
bakal terima balasannya bangsat Wiro
Sableng!"
Habis berkata begitu Ki Sawer Balangnipa
menggerakkan tangan kirinya dan sesaat
kemudian sebuah senjata yang dibuat dari
ular kering menderu ganas ke depan.
Pendekar 212 Wiro Sableng yang tahu
kelihayan lawan meskipun saat itu tangannya
cuma tinggal satu, dengan tidak ayal segera
bergerak menyelamatkan kepalanya. Dilain
pihak Ki Sawer Balangnipa yang sudah pernah
berhadapan dengan si pemuda dan suclah
tahu betapa tingginya ilmu silat serta
kesaktian Wiro Sableng, segera mengeluarkan
jurus-jurus terhebat dari ilmu silatnya. Ular
kering di tangan kirinya laksana hidup
menjadi puluhan banyaknya dan menyerbu ke
seluruh bagian tubuh Pendekar 212 Wiro
Sableng! Yang lebih hebatnya lagi karena dari
mulut ular itu setiap saat menyambar racun
hijau yang amat berbahaya. Meskipun kebal
segala macam racun namun Wiro menutup
penciumannya.
Pertempuran berjalan demikian serunya
hingga Luh Bayan Sarti yang menyaksikan
sampai-sampai lupa diri di mana dia berada
dan apa sesungguhnya yang telah terjadi
sebelumnya atas dirinya. Juga lupa nasib apa
yang bakal menimpa dirinya jika pemuda
berambut gondrong berpakaian putih itu tidak
muncul di saat yang sangat kritis itu!
Untuk menghadapi serangan-serangan ganas
yang bertubi-tubi serta jurus-jurus aneh yang
dilancarkan lawan, Wiro Sableng sengaja
keluarkan jurus-jurus pertahanan ilmu silat
"orang gila" yang dipelajarinya dari Tua Gila.
Jurus-jurus pertahanan tersebut diselingnya
dengan jurus-jurus serangan warisan gurunya
Eyang Sinto Gendeng. Hingga walau
bagaimanapun hebatnya Ki Sawer Balangnipa,
untuk merobohkan pemuda itu sampai seribu
juruspun dia belum tentu bisa melakukannya.
Di lain pihak WiroSablengsendiri maklum pula
yang dia tidak pula akan bisa
mempecundangi lawannya dengan mudah!
Karena itu kedua tangannya kiri kanan mulai
melancarkan pukulan-pukulan sakti yang
mengandung tenaga dalam teramat tinggi! Ki
Sawer Balangnipa mulai kewalahan! Jika saja
gerakannya tidak gesit sudah tiga kali
kepalanya hampir dilanda pukulan lawan!
Jurus kedua puluh ke atas Ki Sawer
Balangnipa sudah terdesak hebat. Ketika
lengan kirinya kena terpukul dan ular kering
yang menjadi senjatanya mental jauh, nyali
manusia ini benar-benar meleleh! Didahului
dengan bentakan dahsyat laki-laki ini
harttamkan tangan kirinya ke depan. Satu
gelombang angin yang amat keras menderu
menyambar ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Itulah pukulan sejagat bayu!
Sewaktu Wiro Sableng berdiri limbung diterpa
angin pukulan, kesempatan itu dipergunakan
oleh Ki Sawer Balangnipa untuk melesat ke
ruangan luar dan sebelum Wiro sempat
mengejar, laki-laki itu sudah lenyap di
kegelapan malam!
Pendekar 212 Wiro Sableng merutuk habis-
habisan. Baginya manusia semacam Ki Sawer
Balangnipa tukang rusak kehormatan
perempuan itu tak ada pengampunan, apalagi
mengingat pertempuran tempo hari di tepi
danau. Tapi saat itu dia tak bisa berbuat
suatu apa karena lagi-lagi Ki Sawer
Balangnipa berhasil pula melarikan diri.
Wiro Sableng masuk ke dalam kuil tua
kembali dan melangkah ke tempat di mana
Luh Bayan Sarti terbujur dengan dada tiada
tertutup dan celana panjangnya merorot
turun. Meskipun keadaan dalam kuil itu gelap
namun sepasang mata Pendekar 212 masih
sanggup menikmati kebagusan buah dada dan
keputihan perut Luh Bayan Sarti. Dengan
mempergunakan jari-jari tangan kirinya Wiro
kemudian melepaskan totokan di tubuh sang
dara.
Begitu tubuhnya terlepas dari totokan, secepat
Kilat Luh Bayan Sarti melompat, merapikan
baju dan celana hitamnya.
"Pemuda tak dikenal, terima kasih atas
pertolonganmu. Harap kau sudi memberi
tahukan nama …" kata Luh Bayan Sarti bila
pakaiannya sudah rapi.
"Aku Wiro Sableng. Kau siapa?"
"Luh Bayan Sarti," jawab si gadis memberi
tahukan namanya. "Sekali lagi terima kasih".
Lalu gadis itu melompat ke pintu kuil.
"Hai tunggu dulu!" seru Wiro Sableng
mengejar. Sekali lompat saja dia sudah
berada di hadapan gadis itu.
"Ada apa?!" tanya Luh Bayan Sarti. "Mohon
dimaafkan kalau aku tak bisa bicara lama-
lama dengan kau. Itu bukan aku tidak tahu
diri dan tak menghargai pertolonganmu, tapi
karena aku harus cepat-cepat kembali ke
kota."
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya yang
berambut gondrong.
"Waktu aku sampai ke sini tadi kudengar kau
menyebut-nyebut nama Nyoman Dwipa. Apa
sangkut pautmu dengan pemuda itu?"
Luh Bayan Sarti tak segera menjawab. Di
tengah perjalanan ke Denpasar, Nyoman
Dwipa menuturkan kepadanya tentang
dendam kesumatnya terhadap seorang
pemuda yang telah membunuh kekasihnya.
Nyoman tidak menerangkan siapa nama
pemuda itu. Tak bukan mustahil pemuda yang
berdiri di hadapannya saat ini adalah musuh
besar Nyoman Dwipa. Kalau tidak mengapa
dia bertanya apa sangkut pautnya dengan
Nyoman Dwipa?
"Katakan dulu apa hubunganmu dengan
Nyoman Dwipa," ujar Luh Bayan Sarti.
Wiro kerenyitkan kening dan kembali
menggaruk kepalanya. Dia tadi bertanya, tapi
malah dijawab dengan balik bertanya.
"Dia sahabatku," jawab Wiro.
"Betul?! "
Wiro tertawa dan berkata, "Ada alasan yang
membuat kau tak percaya ucapanku?!"
"Walau bagaimanapun baru kali ini aku kenal
kau, meski kau adalah tuan penolongku!"
"Ah, jangan sebut-sebut soal pertolongan itu.
Yang penting terangkan di mana Nyoman
Dwipa berada saat ini. Aku ingin bertemu
dengan dia."
"Kenapa ingin bertemu?"
"Eh, kau sangat curiga terhadapku! Dua
sahabat ingin berternu apakah ada larangan?
Kalau aku seorang gadis cukup pantas kau
tidak menyukai pertemuanku dengan pemuda
itu. Tapi toh aku ini laki-laki, sama seperti
Nyoman?!"
"Kau tahu, sahabatku itu datang ke Denpasar
untuk mencari musuh besarnya. Seorang
pemuda yang telah membunuh kekasihnya . . .
"
"Dan kau menduga aku orangnya yang
menjadi musuh besar Nyoman Dwipa itu?!"
Wiro Sableng lantas tertawa gelakgelak. Lalu
diceritakannya pada Luh Bayan Sarti
bagaimana pertama kali dia bertemu dengan
Nyoman dan sama-sama bertempur melawan
Ki Sawer Balangnipa. "Justru aku dalam
perjalanan ke Denpasar mencari dia untuk
menanyakan bagaimana penyelesaian
persoalannya itu."
"Kalau begitu kita sama-sama saja ke
Denpasar," kata Luh Bayan Sarti. Wiro
menyetujui. Kedua orang itu kemudian
berangkat ke Denpasar. *** Mereka sampai di
Denpasar menjelang tengah malam.
Penginapan sunyi senyap, hanya dibeberapa
bagian saja kelihatan lampu masih menyala.
Seorang pelayan membukakan pintu depan
sewaktu diketuk oleh Luh Bayan Sarti.
Setengah mengantuk, pelayan itu berkata.
"Semua kamar terisi. Harap cari saja
penginapan lain."
"Aku memang menginap di sini sebelumnya,"
jawab Luh Bayan Sarti. Diterangkannya bahwa
dia dari luar kota menemui seorang kawan.
"Dan saudara ini …?" tanya pelayan seraya
menunjuk pada Wiro Sableng.
"Dia bisa tidur sekamar dengan kawanku yang
juga sama-sama menginap di sini." sahut Luh
Bayan Sarti.
Pelayan penginapan kemudian membuka pintu
lebar-lebar dan mempersilahkan kedua orang
itu masuk. Nyoman Dwipa saat itu belum
tidur. Dia duduk di tepi pembaringan dalam
kamarnya penuh gelisah memikirkan Luh
Bayan Sarti yang lenyap tak tahu ke mana
perginya. Dalam kegelisahan itu pemuda ini
mendengar suara langkah-langkah kaki
mendekati kamarnya. Dia menyangka itu
adalah langkah tamu yang menginap
dipenginapan itu dan hendak pergi ke
belakang. Tapi dia jadi terkejut sewaktu pintu
kamarnya diketuk orang dari luar. Begitu pintu
dibuka kejut Nyoman Dwipa lebih lagi karena
yang berdiri diambang pintu adalah Luh
Bayan Sarti sendiri dan dibelakang gadis itu
dilihatnya berdiri Wiro Sableng! Rasa terkejut
Nyoman Dwipa sesaat kemudian berubah
menjadi kegembiraan. Karena kurang baik
bicara bertiga-tigaan di dalam kamar maka
Nyoman mengajak kedua orang itu ke tempat
penerimaan tamu dan di sini dia minta agar
Luh Bayan Sarti menceritakan apa
sesungguhnya yang telah terjadi.
Bukan main geram dan marahnya Nyoman
Dwipa sewaktu mendengar bahwa Ki Sawer
Balangnipalah yang telah membuat gara-
gara, menculik Luh Bayan Sarti dan hampir
berhasil merusak kehormatan gadis itu jika
sekiranya Wiro Sableng tidak kebetulan lewat
di depan kuil tua dalam perjalanannya ke
Denpasar.
"Bangsat bermuka ular itu tidak sukar untuk
mencarinya," kata Wiro. "Tapi bagaimanakah
persoalanmu dengan orang yang bernama
Tjokorda Gde Djantra itu … ?"
"Sebenarnya aku bermaksud mengadakan
penyelidikan malam ini jika saja tidak terjadi
peristiwa yang menimpa Luh Bayan Sarti.
Besok pagi akan segera kucari keterangan di
mana tempat kediamannya! Bagaimanapun
nyawa busuk manusia yang satu itu tak bakal
lepas dari kematian!"
Karena hari sudah jauh malam ketiga orang
itu meninggalkan ruang tamu. Luh Bayan
Sarti kembali ke kamarnya sedang Wiro
menumpang tidur di kamarnya Nyoman
Dwipa.
MENJELANG Dinihari hujan rintik-rintik turun
membasahi Denpasar. Dinginnya udara bukan
alang kepalang membuat setiap orang yang
seharusnya sudah bangun saat itu,
menyelimuti tubuhnya kembali dan
meneruskan tidur. Beberapa saat kemudian
fajarpun menyingsing. Bersamaan dengan
munculnya sang surya di sebelah timur hujan
rintik-rintikpun berhenti. Udara kini kelihatan
cerah terang benderang. Suasana dingin
diganti dengan kehangatan sinar sang surya
yang segar. Di jalanjalan dalam kota
Denpasar mulai kelihatan kesibukan orang-
orang dan kendaraan-kendaraan yang lalu
lintas.
Di bagian barat kota dua orang pemuda dan
seorang gadis kelihatan melangkah cepat
menuju ke pusat Denpasar yang ramai. Gadis
berpakaian hitam bukan lain adalah Luh
Bayan Sarti. Pemuda yang berpakaian putih
ialah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Kecantikan paras Luh Bayan Sarti, kecakapan
wajah Nyoman Dwipa serta kegondrongan
rambut yang menjela bahu dari Pendekar 212
Wiro Sableng menjadi perhatian setiap orang
yang memapasi mereka. Kebanyakan orang
segera memaklumi bahwa ketiga orang muda
itu adalah orang-orang dari dunia persilatan.
Menyaksikan orang-orang persilatan di dalam
kota Denpasar bukan soal baru lagi karena
memang banyak dari mereka yang memasuki
kota untuk mengurus keperluan. Bahkan di
Denpasar sendiri terdapat beberapa perguruan
silat sedang di luar kota terletak sebuah
gedung besar tempat berkumpul tokohtokoh
silat yang terkenal di kota itu dan dari lain-
lain kota di Pulau Bali.
Nyoman Dwipa telah mendapatkan keterangan
dimana letak rumah kediaman musuh
besarnya yang bernama Tjokorda Gde Djantra.
Kesanalah ketiga orang menuju dipagi hari
itu. Pintu halaman yang merupakan sebuah
pintu gerbang besar dari gedung kediaman
Tjokorda Gde Djantra masih dikunci.
"Kita dobrak saja!" kata Nyoman Dwipa
seraya siap hendak menendang pintu gerbang
besar itu dengan kaki kanannya.
"Jangan!" kata Wiro cepat. "Itu akan menarik
perhatian orang. Jangan lupa bahwa di
Denpasar ini terdapat juga tokohtokoh silat
klas satu …"
"Siapa takutkan mereka?!" sahut Nyoman
beringas karena dia sudah tak sabaran untuk
segera melampiaskan dendam kesumatnya.
"Bukan itu soalnya, Nyoman. Jika tokoh-
tokoh itu ikut campur sebelum kau berhasil
membalaskan sakit hatimu, berarti cukup
besar juga halangan bagimu. Sebaiknya selagi
tak ada orang sekitar sini kita melompat saja.
Tembok itu tak seberapa tinggi."
Nyoman menyetujui pendapat Wiro. Dengan
mengandalkan ilmu meringankan tubuh
masing-masing ketiga orang itupun
melompati tembok dan sampai di halaman
dalam tanpa kaki-kaki mereka menimbulkan
suara sedikitpun sewaktu menyentuh tanah.
Gedung besar tempat kediaman Tjokorda Gde
Djantra berada dalam keadaan sunyi senyap.
Mungkin penghuninya masih tidur. Namun
saat itu pintu samping tiba-tiba terbuka dan
seorang laki-laki separuh baya berpakaian
bagus muncul membawa dua ekor ayam jago
yang dikempit di ketiak kiri kanan. Orang ini
menghentikan langkah dan memandang heran
campur kaget pada Nyoman Dwipa dan dua
orang lainnya. Dia mengerling sekilas pada
pintu gerbang dan jelas dilihatnya pintu itu
masih dipalang dari dalam. Tak dapat tidak
ketiga manusia tak di kenal itu pasti
memasuki halaman gedung dengan jalan
melompat.
"Orang-orang muda, kalian siapa?!" orang ini
bertanya.
"Katakan dulu dengan siapa kami
berhadapan!" jawab Nyoman Dwipa.
"Aku Tjokorda Gde Anjer, pemilik gedung ini."
Rahang Nyoman Dwipa terkatup rapat-rapat
lalu mulutnya terbuka. "Jadi kau bangsawan
yang bernama Tjokorda Gde Anjer itu …?"
ucapan ini disertai dengan suara mendengus.
"Harap kalian menerangkan siapa kalian
adanya dan punya maksud apa memasuki
rumah orang pagi-pagi begini secara tidak
terhormat?!"
Nyoman Dwipa menyeringai. "Rupanya kau
masih memandang tinggi nilai-nilai
kehormatan, Gde Anjer!" ParasTjokorda Gde
Anjer berubah.
"Apa maksudmu, orang muda?" dia bertanya.
"Masih ingat pembunuhan yang kau lakukan
atas diri I Krambangan dan beberapa orang
kawan-kawannya sekitar lima bulan yang
lewat?!"
Tjokorda Gde Anjer terkejut. Betul-betul
terkejut dia kini karena pertanyaan itu sama
sekali tak diduganya. Sesudah peristiwa itu
terjadi sebenarnya bangsawan ini merasa
menyesal sekali. Dan hari ini muncul seorang
pemuda dengan dua orang kawannya
mengungkap kembali persoalan yang
sebenarnya sudah dilupakannya, sekurang-
kurangnya diusahakannya untuk melupakan!
"Apa sangkut pautmu dengan peristiwa itu
orang muda?" tanya bangsawan tersebut.
Matanya mengawasi ketiga orang itu terutama
Nyoman Dwipa. "Apakah kau anaknya I
Krambangan yang datang untuk menuntut
balas?!"
"Jadi kau siapa?!"
"Pembalasan juga bisa dilakukan oleh apa
yang dinamakan kebenaran! Kau dengar
Tjokorda Gde Anjer?! Hari ini kebenaran
datang untuk minta tanggung jawab atas
nyawa-nyawa manusia yang pernah kau
bunuh lima bulan yang lalu itu!"
"Kalau kau tak ada sangkut pautnya, dengan
peristiwa itu mengapa kini kau muncul untuk
minta pertanggungan jawab segala?!" ujar
Tjokorda Gde Anjer.
"Setiap kebenaran selalu mempunyai sangkut
paut dengan kejahatan!" jawab Nyoman
Dwipa seraya melontarkan senyum mengejek.
Tjokorda Gde Anjer tertawa. Tapi tertawa
pahit. Setelah menarik nafas panjang diapun
berkata: "Sebenarnya aku menyesal terjadinya
hal itu. Tapi keadaan memaksaku untuk
berbuat begitu …"
"Penyesalan selalu datang terlambat, Tjokorda
Gde Anjer. Kalau tidak terlambat namanya
bukan penyesalan!" kata Nyoman Dwipa pula.
Ucapan-ucapan yang dilontarkan Nyoman
Dwipa sejak tadi tak ubahnya seperti pukulan-
pukulan berat yang menghunjam bathin
bangsawan itu.
"Sekarang apa maumu orang muda?!"
"Apakah kau sebagai seorang laki-laki masih
mempunyai hati jantan untuk bertempur
sampai beberapa puluh jurus guna
mempertanggungjawabkan perbuatanmu
tempo hari?!" Tjokorda Gde Anjer tertawa
getir.
Sebagai jawaban bangsawan itu melepaskan
dua ekor ayam jantan yang sejak tadi
dikempitnya. "Sebelum kita bertempur katakan
dulu siapa kau adanya!"
"Namaku Nyoman Dwipa. I Krambangan
adalah calon mertuaku . . . "
"Cuma baru calon?" ejek Tjokorda Gde Anjer
yang membuat wajah Nyoman Dwipa menjadi
merah.
"Kedatanganku ke sini juga untuk mencari
anakmu yang bernama Tjokorda Gde Djantra.
Karena dialah kekasihku menemui kematian
setelah sebelumnya dirusak kehormatannya!
Di mana anakmu itu sekarang?!"
Tjokorda Gde Anjer memutar otaknya dengan
cepat lalu menjawab. "Anakku berada di
Gedung Putih. Jika kau punya nyali silahkan
datang kesitu. Tapi itupun jika seandainya
kau masih punya nyawa setelah bertempur
denganku!"
Nyoman Dwipa tertawa menggeram lalu
mencabut tongkat bambu kuningnya. Tjokorda
Gde Anjer sendiri segera pula mencabut
senjatanya yaitu sebilah keris kuning ber-eluk
duabelas.
"Apakah kau akan maju bertiga?!" tanya
bangsawan itu.
"Aku tidak sepengecut yang kau kirakan, Gde
Anjer. Dulu kudengar kau menghadapi I
Krambangan bersama seorang kaki tanganmu.
Kalau dia ada di sini cepat panggil biar dapat
kubereskan sekaligus!"
"Jangan terlalu congkak orang muda! Aku
sendiripun mungkin cuma sepuluh jurus bisa
kau hadapi! Mulailah!"
"Kau yang hendak mampus silahkan mulai
lebih dulu!" kata Nyoman Dwipa penuh
penasaran karena ucapan ayah musuh
besamya itu.
Senyum mengejek lenyap dari bibir Tjokorda
Gde Anjer pada saat laki-laki ini menerjang
kemuka. Keris di tangan kanan berkelebat dan
menderu ke arah dada Nyoman Dwipa lalu
membabat ketenggorokan dengan teramat
cepatnya hingga hanya sinar senjata itu saja
yang kelihatan! Sungguh hebat serangan yang
dikeluarkan Tjokorda Gde Anjer ini. Itu adalah
jurus serangan yang bernama "menusuk bukit
membabat puncak gunung". Dengan
mengeluarkan jurus itu dia berharap akan
membuat si pemuda kepepet demikian rupa
hingga dia bisa menyusul dengan serangan
kedua yang mematikan!
Nyoman Dwipa meskipun muda belia dan
belum punya pengalaman apa-apa dalam
dunia persilatan tapi dia adalah murid
gemblengan Menak Putuwengi.
Serangan dahsyat Tjokorda Gde Anjer tidak
membuatnya jadi gugup apalagi kepepet!
Dengan membuat langkah mengelak ke
samping dia berhasil membuat serangan
lawan mengenai tempat kosong.
Dan di saat itu pula dengan kecepatan yang
luar biasa pemuda ini balas menyerang.
Tongkat bambu kuningnya bersiuran dafr
tahu-tahu ujungnya menusuk ke perut lawan.
Tjokorda Gde Anjer terkejut bukan main
hingga dia terpaksa membatalkan serangan
susulannya yang sudah direncanakan tadi dan
meloncat mundur ke belakang seraya
menyapukan kerisnya ke muka dengan sebat
sengaja memapas jalannya senjata lawan
dengan maksud memotongnya jadi dua!
Nyoman Dwipa tidak ragu-ragu untuk
meneruskan tusukannya ke perut lawan hingga
sesaat kemudian bambu dan keris itupun
saling bentrokanlah!
Tangan kanan Tjokorda Gde Anjer tergetar
hebat. Bukan saja kerisnya tak sanggup
membabat buntung bambu kuning itu tapi
senjatanya sendiri hampir terlepas mental
karena licinnya bambu dan kerasnya
bentrokan! Diam-diam Tjokorda Gde Anjer
memercikkan keringat dingin di tengkuknya.
Tiada diduganya anak muda yang menjadi
lawannya memiliki tenaga dalam yang ampuh
dan tidak dinyananya senjata lawan yang
cuma sebilah bambu kuning itu nyatanya
sebuah senjata yang tak bisa dibuat main!
Menyadari semua itu Tjokorda Gde Anjer
tanpa menunggu lebih lama segera
mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang
terhebat. Kerisnya mencuit-cuit di udara,
tubuhnya lenyap merupakan bayang-bayang.
Di lain pihak dengan mengertakkan geraham
Nyoman Dwipa mempercepat pula
gerakannya. Dalam tempo yang singkat
belasan jurus telah berlalu. Sinar bamboo
kuning menderu-deru. Detik demi detik sinar
itu semakin rapat mengurung tubuh Tjokorda
Gde Anjer.
Pada jurus keduapuluh lima Nyoman Dwipa
benar-benar sudah berada di atas angin dan
merasa tak ada gunanya lagi dia bertempur
lebih lama dengan lawannya itu. Diiringi oleh
satu hentakan yang menggeledek dan
menyirapkan darah Tjokorda Gde Anjer, bambu
kuning di tangan Nyoman Dwipa membuat
gerakan setengah lingkaran lalu laksana kilat
menusuk ke perut Tjokorda Gde Anjer!
Tjokorda Gde Anjer terpekik! Tubuhnya
terhuyung ke belakang. Kerisnya lepas sedang
kedua tangannya memegangi perutnya yang
robek besar dan memancurkan darah. Sekali
lagi bangsawan ini menjerit lalu tubuhnya
tergelimpang roboh di tanah, ususnya
menggelegak membusai keluar!
Di saat itu pula diambang pintu muncul
sesosok tubuh. Orang ini adalah istri Tjokorda
Gde Anjer. Perempuan ini menjerit lalu lari
menubruk tubuh suaminya yang saat itu
megap-megap menuju sakarat! Pemandangan
itu benar-benar menyayat hati. Namun semua
itu terpaksa dan harus terjadi karena jalinan
hiduplah yang menghendakinya!
KEMANA kita sekarang?" Tanya Luh Bayan
Sarti ketika mereka sudah berada jauh dari
gedung kediaman Tjokorda Gde Anjer.
"Ke Gedung Putih!" sahut Nyoman Dwipa
seraya mempercepat langkahnya.
"Tunggu dulu Nyoman," kata Luh Bayan Sarti
seraya pegang lengan pemuda itu hingga
sesuatu perasaan aneh menyamak di hati
Nyoman. Karena di situ ada Pendekar 212
Wiro Sableng, dengan wajah merah Nyoman
lantas menarik lengannya.
"Ada apa?" tanya Nyoman Dwipa pula.
"Sebaiknya kita jangan pergi kesana,
Nyoman…"
"Memangnya kenapa? Justru musuh besarku
berada di sana!"
"Aku mengerti. Kita tunggu saja bila dia
meninggalkan gedung itu dan baru membuat
perhitungan. Pergi ke sana besar bahayanya!"
Nyoman tertawa.
"Aku memang pemah mendengar tentang
Gedung Putih itu," berkata Wiro Sableng. "Di
situ tempar berhimpunnya tokohtokoh silat
kawakan di seluruh Bali. Jika Tjokorda Gde
Djantra berada di situ pasti di sana terdapat
pula beberapa tokoh silat temama lainnya . .
."
"Aku tidak takut masuk ke sana!" kata
Nyoman.
"Memang, hitung-hitung untuk cari
pengalaman baru." sahut Wiro lalu berpaling
pada Luh Bayan Sarti.
"Aku cuma mengawatirkan kalau-kalau terjadi
apa-apa dengan diri Nyoman sebelum dia
sempat membalaskan sakit hatinya terhadap
Tjokorda Gde Djantra …. "
Wiro tersenyum kecil. "Sepatutnya kau
mengawatirkan keselamatannya, Sarti!" kata
Pendekar ini sehingga baik Nyoman maupun
gadis itu menjadi sama-sama kemerahan
paras mereka. Tanpa banyak perdebatan lagi
akhirnya ketiga orang itupun meianjutkan
perjalanan. Gedung Putih adalah sebuah
gedung besar yang terletak di luar kota
sebelah tenggara. Seperti yang diketahui oleh
Wiro Sableng, memang gedung itu manjadi
pusat pertemuan tokoh-tokoh silat ternama
bahkan juga menjadi tempat menguji
kepandaian serta tempat memberikan latihan
ilmu silat tingkat tinggi kepada orang-orang
yang menjadi anggota Gedung Putih.
Salah seorang di antaranya adalah Tjokorda
Gde Djantra. Meskipun pemuda ini sudah
tinggi ilmu silatnya tapi dari beberapa tokoh
silat lainnya dia masih memerlukan untuk
menambah pelajaran silatnya hingga
dibandingkan dengan waktu lima bulan yang
lalu kepandaian pemuda ini sudah jauh
bertambah! Sudah sejak satu minggu Tjokorda
Gde Djantra berada di Gedung Putih menerima
latihan-latihan dari beberapa tokoh silat dan
ke sanalah Nyoman Dwipa serta kawan-
kawannya menuju.
Sesungguhnya keterangan Tjokorda Gde Anjer
yang mengatakan bahwa anaknya berada di
Gedung Putih adalah mempunyai maksud
tertentu! Sengaja hal itu dikatakannya dengan
keyakinan bahwa kelak Nyoman Dwipa betul-
betul akan pergi ke sana. Dan pergi ke sana
berarti sama saja masuk ke dalam perangkap
karena di Gedung Putih banyak sekali
tokohtokoh silat klas satu yang menjadi
kawan anaknya sehingga dapat dipastikan
bahwa Nyoman Dwipa akan menemui
kematiannya kalau berani masuk ke Gedung
Putih! Di satu pendataran tinggi ketiganya
berhenti.
Luh Bayan Sarti menunjuk ke bawah
pedataran di mana terletak sebuah bangunan
besar yang keseluruhannya berwarna putih
hingga berkitau-kilau kena sorot sinar
matahari.
"Itulah Gedung Putih" kata gadis itu.
Nyoman memandang dengan mata disipitkan
dan tangan terkepal. "Ayo!" katanya, "makin
cepat kita sampai di sana makin baik!"
Dengan mempergunakan ilmu lari cepat,
ketiganya menuruni pendataran tinggi menuju
ke Gedung Putih. Kira-kira setengah
peminuman teh merekapun sampai di
hadapan gedung besar itu. Dua orang laki-laki
yang berdiri di ambang pintu gedung yang
tertutup menyambut kedatangan mereka.
Salah seorang di antaranya setelah melirik
dulu pada Luh Bayan Sarti bertanya dengan
nada keren.
"Siapa kalian dan maksudapa datang ke
mari?!"
Nyoman Dwipa yang sudah berangasan
segera membuka mulut tapi Pendekar 212
Wiro Sableng yang berotak cerdik cepat
mendahului.
"Kami bertiga mencari sahabat lama yang
bernama Tjokorda Gde Djantra."
Karena di antara mereka terdapat seorang
dara berparas cantik tentu saja kedua orang
penjaga pintu tidak menjadi curiga malah kini
menunjukkan sikap hormat. Nyatalah bahwa
Tjokorda Gde Djantra disegani di Gedung Putih
itu.
"Sahabat yang kau cari memang berada di
dalam. Tapi harap kau rnenunggu sampai
nanti siang atau kembali saja nanti siang jika
ingin bertemu dengan dia…."
"Agaknya ada pertemuan penting di dalam
gedung?" tanya Wiro.
"Betul. Di dalam tengah diadakan pemilihan
Ketua Gedung Putih yang baru dan Tjokorda
Gde Djantra adalah Ketua Panitia Pemilihan.
Pemilihan baru selesai siang nanti, jadi kalian
bertiga kembali saja nanti siang kalau
sekiranya tak bersedia menunggu di sini."
"Karena kami datang dari jauh, baiklah kami
sedia menunggu," kata Wiro Sableng seraya
menggaruk-garuk kepala dan memandang
berkeliling pura-pura mencari tempat duduk.
Tapi begitu kedua penjaga pintu lengah, sekali
bergerak saja Wiro berhasil menotok mereka
hingga kaku tegang tak bisa bersuara. Kedua
orang itu kemudian dilemparkan ke balik
sebuah gundukan tanah yang terdapat tak
jauh dari pintu depan tersebut.
Dengan mudah pintu besar dibuka. Nyoman
Dwipa masuk lebih dulu diiringi oleh Luh
Bayan Sarti dan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Mereka sampai di sebuah ruangan yang bagus
berperabotan mewah tapi di situ sunyi senyap
tak seorangpun yang kelihatan. Di ujung
ruangan membentang sebuah tirai biru.
Ketiganya melangkah tanpa suara ke dekat
tirai ini dan Nyoman menyibakkan ujung tirai
sedikit, memandang ke ruangan di balik sana.
Dilihatnya sebuah tangga batu mar-mar yang
menuju ke sebuah pintu kayu jati yang
berukir-ukir bagus sekali. Di kiri kanan pintu
itu berdiri dua orang laki-laki berpakaian
putih, bersenjatakan masing-masing sebilah
pedang. Di samping mereka terdapat sebuah
gong besar yang terbuat dari perunggu.
Sebuah pemukul tergantung di samping gong.
Wiro tengah memikirkan satu akal untuk
membuat kedua orang itu tidak berdaya. Dia
mempunyai pikiran bahwa gong yang terletak
di samping keduanya adalah gong tanda
bahaya. Namun sebelum dapat akal, Nyoman
sudah menyibakkan tirai dan melangkah cepat
ke hadapan kedua orang itu. Terpaksa Wiro
dan Luh Bayan Sarti cepat-cepat mengikuti.
"Hai siapa kalian?!" seru salah seorang dari
penjaga itu seraya tangan kanannya cepat
bergerak ke hulu pedang.
"Jangan bertindak ceroboh Nyoman," bisik
Wiro, "biar aku yang jawab pertanyaannya!
Wiro lantas maju ke hadapan kedua penjaga
itu dan memberi hormat lalu berkata, "Dua
orang kawanmu di luar sana telah
mengizinkan kami untuk masuk ke dalam
menemui Tjokorda Gde Djantra!"
"Tak mungkin!" kata penjaga yang seorang,
"semua penjaga Gedung Putih telah diberi
tahu untuk tidak memberi izin masuk
siapapun …" lalu dia melangkah mendekati
gong perunggu.
"Teman-temanmu juga bilang begitu," kata
Wiro cepat, "tapi karena kami datang
membawa gadis ini mereka telah memberi
izin."
"Siapa gadis ini?!"
"Kekasih Tjokorda Gde Djantra . . . Dia ada
urusan penting sekali. Jika kalian tidak
memberi izin menemuinya kelak kalian berdua
akan kena damprat dari Tjokorda Gde Djantra
. . . "
Kedua penjaga itu saling pandang seakan-
akan meminta persetujuan masing-masing
apakah memberi izin masuk terhadap ketiga
orang itu. Dan ini sudah cukup bagi Wiro
Sableng untuk melompat ke muka dan
menotok urat besar di dada kedua penjaga
tersebut hingga mereka berubah laksana
menjadi patung-patung batu yang kaku
tegang di tempatnya masingmasing! Di
ruangan di balik pintu kayu jati …
Dua puluh orang tokoh-tokoh silat di Pulau
Bali duduk mengelilingi sebuah meja besar. Di
ujung meja berdiri seorang pemuda yang
bukan lain Tjokorda Gde Djantra adanya. Di
hadapannya terdapat sebuah kotak kayu yang
beriobang bagian atasnya. Ke dalam kotak
itulah nanti akan dimasukkan kertas-kertas
pemilih bertuliskan nama calon. Ketua Gedung
Putih yang dipilih. Saat itu Tjokorda Gde
Djantra baru saja hendak membuka suara
ketika di ujung sama dilihatnya pintu besar
terbuka dan tiga sosok tubuh masuk ke
dalam. Begitu pandangan matanya
membentur paras Nyornan Dwipa yang segera
dikenalnya, terkaejutlah dia!
Kemunculan ketiga orang itu tentu saja bukan
cuma mengejutkan Nyoman Dwipa tapi semua
orang yang ada di ruangan pemilihan
tersebut. Bagaimana penjaga-penjaga di luar
berani-beranian mengizinkan mereka masuk?
Atau mungkin ketiga orang ini telah
mempreteli penjaga-penjaga Gedung Putih?!
Dan melihat kepada gerak-gerik ketiganya
nyatalah bahwa mereka orangorang dari dunia
persilatan!
"Para hadirin yang ada di sini, mohon
dimaafkan kalau kedatangan kami ini
mengganggu acara di sini… "
"Kunyuk-kunyuk kotor! Siapa kalian yang
berani mengacau masuk ke Gedung Putih?!"
membentak seorang kakek-kakek berjubah
putih bernama Prakata Gandara, Dia adalah
ketua Gedung Putih yang segera akan
meletakkan jabatannya bila calon Ketua baru
terpilih.
Wiro berpaling dan menjura pada orang tua
ini seraya sunggingkan senyum seenaknya.
"Orang tua, kedatangan kami ke sini bukan
untuk mengacau. Kami tidak ada urusan buruk
dengan kau orang tua maupun dengan yang
lain-lainnya, kecuali kawanku ini mempunyai
silang sengketa dendam kesumat dengan
seorang pemuda bemama Tjokorda Gde
Djantra yang katanya berada di sini!"
Semua mata memandang pada Nyoman
Dwipa lalu berpaling pada Tjokorda Gde
Djantra yang saat itu berdiri tak bergerak di
ujung meja besar seraya matanya memandang
bulat-bulat pada Nyoman Dwipa dengan
penuh tanda tanya Bukankah dulu dia telah
bertempur melawan pemuda ini dan telah
mengirim Nyoman Dwipa ke dasar jurang?!
Tapi kenapa sekarang hidup lagi dan datang
bersama dua orang tak dikenal lainnya?!
Benar-benar dia tak mengerti dan tak bisa
percaya!.
Sementara itu Luh Bayan Sarti yang
memandang berkeliling telah melihat pula Ki
Sawer Balangnipa diantara para hadirin
sehingga begitu Wiro berhenti bicara dia
segera menyambungi, "Aku sendiri juga
mempunyai seorang musuh besar pula
diantara para hadirin! Itu … manusia yang
punya tampang macam ular!"
Merahlah paras Ki Sawer Balangnipa
mendengar ucapan itu. Dia berdiri kursinya
dan membentak, "Gadis! Kau mencari mati
berani masuk ke sini bersama kawan-
kawanmu!"
Prakata Gandara berdiri dari kursinya dan
berpaling pada Nyoman Dwipa. "Katakanlah
dendam kesumat apa yang kau pendam
terhadap salah seorang anggota Gedung
Putih!"
"Aku tidak mendendam dia sebagai seorang
anggota Gedung Putih tapi sebagai manusia
busuk yang bemama Tjokorda Gde Djantra!"
sahut Nyoman Dwipa pula.
"Baik, katakan urusanmu hingga kami di sini
bisa memutuskan langkah selanjutnya!" ujar
Prakata Gandara.
"Dia telah menculik calon istriku, merusak
kehormatannya hingga gadis itu akhirnya mati
bunuh diri secara penasaran!" jawab Nyoman
Dwipa tanpa tedeng aling-aling.
"Betul?!" tanya Prakata Gandara pada
Tjokorda Gde Djantra.
"Ketua, aku menculik anak gadis orang bukan
dengan niat jahat, tapi untuk mengawininya.
Dan cara itu sudah menjadi adat kebiasaan di
Pulau Bali ini!" sahut Tjokorda Gde Djantra.
"Lidahmu tidak bertulang pemuda busuk
hingga kau bisa mencari-cari alasan! Kalau
kau bemiat baik terhadap gadis itu setelah dia
bunuh diri mengapa mayatnya kau tinggalkan
busuk di tepi telaga? Dan kau juga punya
hutang jiwa yang belum terselesaikan
terhadap diriku sendiri!" semprot Nyoman
Dwipa.
"Dan kau gadis cantik, apa urusanmu dengan
Ki Sawer Balangnipa hingga kau berani
datang ke sini dan menghinanya di depan
mata hidung kami?!"
"Menghina ular tua itu bukan berarti
menghina anggota-anggota Gedung Putih
yang benar-benar berjiwa satria dan berhati
polos! Aku datang menginginkan jiwanya
karena beberapa hari yang lalu dia menculik
dan hendak memperkosaku!"
Ki Sawer Balangnipa berbatuk-batuk beberapa
kali lalu berkata dengan cepat sebelum
Prakata Gandara menanyainya:
"Ketua, pertama sekali ingin kuberitahukan
padamu dan pada semua yang hadir di sini
bahwa gadis berbaju hitam ini bukan lain Luh
Bayan Sarti, adik kandung perampok ganas
yang bernama Warok Gde Djingga dari Bukit
Jaratan! Puluhan manusia tak berdosa telah
mati di tangan rampok perempuan ini serta
kakaknya. Tak terhingga banyaknya harta
kekayaan Kerajaan yang dirampoknya. Kurasa
sebaiknya kita cepat-cepat membekuknya dan
menyerahkannya pada Kerajaan. Bukan saja
berarti kita membuati pahala tapi dirinyapun
bisa dipakai sebagai alat untuk membekuk
batang leher kakaknya!"
"Soal mencari pahala untuk kerajaan itu baik
kita bicarakan setelah urusan-urusan dendam
kesumat itu selesai Ki Sawer!"
kata Wiro Sableng mengetengahi. Ki Sawer
Balangnipa mengatupkan mulutnya rapat-
rapat penuh geram. Dia sudah tahu kelihayan
Pendekar kita, karenanya dia saat itu hanya
mengutuk dalam hati habis-habisan.
Prakata Gandara berpaling pada Wiro Sableng
dan bertanya, "Kau siapa pemuda rambut
gondrong? Apakah juga punya urusan dendam
kesumat dengan salah seorang di sini?!"
"Ah, aku orang buruk ini cuma jadi pengantar
kedua orang ini," sahut Wiro Sableng.
"Kalau kau cuma kacung pengantar kau tak
layak bicara!" semprot Prakata Gandara.
Disemprot begitu Wiro Sableng ganda tertawa
dan keluarkan suara bersiulan! Kejut Ketua
Gedung Putih dan semua orang di situ bukan
main karena suara siulan Wiro Sableng yang
cuma terdengar pelahan itu tapi menyakitkan
liang telinga mereka! Maklumlah semua orang
kalau pemuda berambut gondrong
bertampang tolol itu memiliki ilmu tinggi.
Prakata Gandara membuka mulut kembali.
"Karena nyatanya memang ada anggota-
anggota Gedung Putih yang membuat sedikit
kesalahan di luaran maka biarlah aku dan
para toa Gedung Putih yang akan
menjatuhkan hukuman setimpal atas diri
mereka!"
Nyoman tersenyum mendengar ucapan cerdik
orang tua itu. "Terima kasih Ketua Gedung
Putih yang mau turun tangan terhadap orang-
orangmu! Tapi kedatangan kami ke sini bukan
untuk memintamu untuk berbuat begitu,
melainkan untuk turun tangan sendiri."
"Baiklah jika memang demikian kehendakmu,"
kata Ketua Gedung Putih. Tangan kanannya
diangkat ke arah sebuah tirai merah di ujung
ruangan. Jarak antara tirai dan tempatnya
berdiri sekira dua puluh langkah tapi hebatnya
dengan kekuatan tenaga dalamnya Prakata
Gandara berhasil menyibakkan tirai tersebut
hingga di seberang sana kelihatanlah sebuah
panggung datar yang amat luas! Laki-laki ini
memandang seraya tersenyum pada Nyoman
Dwipa, dan berkata, "Arena telah siap
menunggu. Tapi terus terang saja sebagai
orang-orang Gedung Putih, semua kami di sini
tentu tak akan berlepas tangan saja …"
"Kalau begitu naga-naganya," menimpati Wiro
Sableng seraya garuk-garuk kepala, "sebagai
kacung yang buruk tentu aku tidak pula bisa
berpangku tangan!" Habis berkata begitu
Pendekar ini melangkah seenaknya menuju ke
arena. Dan mengikuti tindakan pemuda itu,
semua orang menjadi membeliakkan mata
mereka. Betapakan tidak! Setiap langkah yang
dibuat Wiro, setiap kakinya menginjak batu
mar-mar diruangan tersebut, lantai batu itu
melesak kehitaman dalam bentuk telapak-
telapak kakinya!
Wiro Sableng sampai di atas arena batu
sementara Luh Bayan Sarti dan Nyoman
Dwipa sudah berada pula di sampingnya.
Prakata Gandara mau tak mau menjadi
tercekat juga hatinya. Pemuda gondrong
bertampang tolol itu saja ilmunya tinggi
bukan main, apalagi yang bernama Nyoman
Dwipa pikirnya. Dia tidak tahu bahwa di
antara ketiga manusia yang berdiri di arena
itu justru Wiro Sablenglah yang paling
berbahaya!
"Bangsat yang bernama Tjokorda Gde Djantra
silahkan naik ke sini agar kau bisa menyusui
ayahmu lebih cepat!" seru Nyoman Dwipa.
Terkejutlah Tjokorda Gde Djantra mendengar
ucapan itu. "Apa?! Apa yang telah kau
perbuat terhadap ayahku?!" teriaknya.
"Bapak moyangmu itu bertanggung jawab
atas kematian I Krambangan dan beberapa
orang kawannya! Aku telah mewakili roh-roh
mereka untuk merampas jiwa bapakmu,
mengerti?!"
"Anjing kurap!" teriak Tjokorda Gde Djantra
dan melompat ke atas arena. Selarik sinar
kuning menderu ke arah Nyoman Dwipa.
Itulah keris Bradjaloka yang ber-eluk tujuh
belas di tangan Tjokorda Gde Djantra. Di saat
yang hampir bersamaan, selarik sinar kuning
membabat pula ke depan. Yang ini adalah
sambaran tongkat bambu kuning milik
Nyoman Dwipa.
Tjokorda Gde Djantra terkejut dan tak
menduga bahwa lawannya telah mengalami
kemajuan tinggi. Sinar kuning senjata
memusnahkan tusukan kerisnya bahkan
hampir saja ujung bambu kuning itu
menghantam pergelangan tangannya! Segera
Gde Djantra mengerahkan tenaga dalamnya ke
tangan kiri untuk melepaskan pukulan raja
selaksa angin. Dengan pukulan itulah dia
tempo hari telah melemparkan Nyoman Dwipa
ke dalam jurang!
Nyoman Dwipa yang pernah di serang oleh
pukulan itu segera maklum dan bersiap sedia
sewaktu dilihatnya lawan menarik tangan kiri
ke belakang.
Pada saat Gde Djantra memukul ke depan,
Nyoman menyarnbuti dan membalas dengan
hantaman tangan kiri. Terdengar suara
bersiuran dan dari telapak tangan Nyoman
Dwipa melesat selarik sinar putih. Itulah
pukulan "selendang dewa melanglang bumi"
yang dipe!ajarinya dari gurunya Menak
Putuwengi. Bukan saja pukulan sakti ini
memusnahkan pukulan "raja selaksa angin"
tapi sinar putih terus meluncur dan melibat ke
arah batang leher Tjokorda Gde Djantra! Yang
diserang kaget bukan main dan cepat
membuang diri ke samping, justu saat itu
tongkat bambu kuning Nyoman Dwipa datang
menderu ke arah kepalanya! Dalam saat yang
kritis ini satu sambaran angin datang dari
samping hingga tongkat Nyoman Dwipa
melenting ke kiri dan selamatlah kepala
Tjokorda Gde Djantra!
Berbarengan dengan itu terdengar bentakan
Wiro Sableng. "Tua bangka curang! Kalau mau
main kayu mari hadapi aku!"
Prakata Gandara menggeram. Parasnya
merah. Memang dialah tadi yang turun tangan
menyelamatkan nyawa Tjokorda Gde Djantra.
Kini dimaki begitu rupa oleh Wiro marahlah
dia dan dengan gerakan amat enteng
melompat ke atas arena. Begitu sampai di
atas arena Prakata Gandara kebutkan ujung
lengan jubah putihnya. Ujung lengan jubah ini
sengaja dibuat amat lebar dan merupakan
senjata ampuh bagi Ketua Gedung Putih itu.
Sambaran ujung lengan keras sekali dan
mengarah jalan darah di dada Wiro Sableng.
Sambil tertawa mengejek pendekar 212
berkelit ke sarang dan dalam gerakan yang
tidak karuan tahu-tahu tangannya nyelonong
ke muka! Kalau saja Prakata Gandara tidak
lekas-lekas menarik tangannya pastilah ujung
lengan jubahnya kena direnggut robek olen
Wiro! Disamping geram orang tua itu juga
kaget sekali. Serangannya tadi bukan
serangan sembarangan. Angin kebutan lengan
jubah saja sanggup memukul bobol tembok
batu, tapi lavwannya yang bertampang tolol
itu bisa mengelak bahkan balas menyerang.
Tak ayal lagi Ketua Gedung Putih ini segera
mencabut senjatanya yang teramat aneh yaitu
sebuah lonceng perak!
Begitu lonceng tersebut berada di tangannya
maka menggemalah suara berkelenengan yang
memekakkan dan menyakitkan telinga.
Lonceng itu sendiri yang lingkaran luarnya
tajam luar biasa, berkeltbat kian kemari
menggempur Wiro Sableng dari delapan jurus!
Menghadapi suara lonceng yang klanang-
kleneng itu Wiro merasa bagaimana satu
kekuatan yang tak kelihatan menekannya
membuat gerakannya tidak leluasa.
Permainan silatnya menjadi kacau sedang te!
inganya tambah sakit! Di situ;ah kehebatan
senjata Prataka Gandara! Menanggapi
kenyataan ini Wiro segera tutup jalan
pendengarannya. Tapi anehnya suara
klanang-kleneng lonceng perak tersebut
semakin keras!
"Sialan!" maki Wiro. Dari tenggorokannya
menggeledek suara bentakan membuat semua
orang yang ada di situ merasakan dada,
masing-masing berdebar. Begitu bentakan
berakhir tubuh Wiro lenyap dan kini
terdengarlah suara siulan yang amat tajam
membawakan lagu hiruk pikuk tak menentu!
Perang suara antara deru siulan dan gema
lonceng berkecamuk hebat! Namun lambat
laun kentara bagaimana suara klanang-
kleneng lonceng perak di tangan Prakata
Gandara menjadi sirna di telan suara siulan
Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di bagian yang lain pertempuran antara
Nyoman Dwipa dan Tjokorda Gde Djantra
berkecamuk dengan hebatnya. Murid
Sorablunohling dan Menak Putuwengi saling
keluarkan kepandaian untuk dapat
merobohkan lawan masing-masing. Saat itu
pertempuran telah berlangsung hampir lima
puluh jurus. Sebenarnya nyali Tjokorda Gde
Djantra telah menciut sewaktu melihat
bagaimana pukulan "raja selaksa angin" tidak
sanggup merobohkan lawannya padahal di
samping permainan silatnya yang tinggi,
pukulan itu adalah kekuatannya yang sangat
diandalkan! Nyalinya tambah meleleh sewaktu
jurus tiga puluh ke atas dia mulai mendapat
tekanan-tekanan serangan yang hebat dari
lawannya. Karena menang pengalamanlah dia
masih bisa bertahan sampai jurus yang
kelima puluh!
Pada jurus kelima puluh dua, Nyoman Dwipa
mulai mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat
"raja tongkat empat penjuru angin" yang
paling hebat hingga Tjokorda Gde Djantra
semakin kepepet dan musti bertahan mati-
matian!
Pertempuran antara Wiro dan Prataka
Gandara juga semakin hebat. Sebagai Ketua
Gedung Putih, Prataka Gandara merasa telah
luntur namanya karena sebegitu jauh
jangankan sanggup untuk merobohkan
lawannya, bahkan dirinya sendiri mulai sibuk
menghadapi serangan lawannya yang sampai
saat itu masih bertangan kosong!
Tiba-tiba terdenyar seruan Ki Sawer
Balangnipa.
"Saudara-saudara sekalian! Ketua kita
bertempur mati-matian. Masakan kita
berpangku tangan saja?! Mari berebut pahala
melenyapkan pengacau-pengacau ini!"
Mendengar seruan itu, semua orang yang ada
di situ segera cabut senjata dan laksana air
bah menyerbu ke atas arena! Sebenarnya jika
bukan dalam keadaan terdesak tentu saja
Prataka Gandara tidak sudi main keroyok
begitu rupa. Tapi karena maklum dalam
sepuluh jurus di muka belum tentu dia bisa
bertahan maka serbuan orang-orang itu
malah menggembirakannya!
"Bangsat rendah, berani main keroyok! Makan
pedangku!" teriak Luh Bayan Sarti. Pedangnya
menderu ke arah Ki Sawer Balangnipa.
"Bergundal perempuan! Sekali kau tertangkap
Kerajaan akan menggantungmu di tanah
lapang luas!" bentak Ki Sawer Balangnipa. Di
tangan kirinya kini tergenggam sebuah ular
kering yang rupanya baru saja dibuatnya.
Betapapun hebatnya dan besarnya keberanian
gadis itu namun tentu saja Ki Sawer
Balangnipa bukan lawannya. Apalagi
beberapa orang anggota Gedung Putih yang
berkepandaian tinggi ikut pula membantu
manusia bermuka Ular itu!
Wiro Sableng tidak mengira kalau lawan
betul-betul mau main keroyok! Ketika
didengarnya komando Ki Sawer Balangnipa
dan dilihatnya semua orang yang ada di situ
menyerbu ke atas arena, menggelegaklah
amarah Pendekar 212 Wiro Sableng! Tangan
kanannya bergerak kepinggang. Sesaat
kemudian terdengarlah suara menggaung
macam ribuan tawon mengamuk. Dua orang
pengeroyok berteriak kaget dan melompat
mundur. Yang satu tangannya terbabat
buntung, seorang lagi memegangi dadarya
yang mandi darah! Hawa panas dari luka
mereka akibat disambar Kapak Maut Naga
Geni 212 di tangan Wiro menerobos ke
jantung dan sedetik kemudian keduanya roboh
di lantai arena tanpa nyawa lagi!
Kejut Prataka Gandara dan semua anggota
Gedung Putih bukan kepalang. Kedua orang
yang menemui kematian itu adalah anggota
yang tinggi ilmu kepandaiannya! Namun
dalam satu kali gebrakan saja senjata lawan
telah membuat mereka meregang nyawa!
"Kurung yang rapat!" teriak Prataka Gandara
seraya menghantam dengan lonceng
peraknya.
"Trang!"
Ketua Gedung Putih itu menjerit. Loncengnya
terbelah dua sedang tangannya berlumuran
darah! Gemparlah semua orang! Celaka pikir
mereka. Kalau Ketua mereka bisa mendapat
cidera begitu rupa adalah gila untuk
meneruskan pertempuran. Tapi untuk
mengundurkan diri tentu saja mereka tidak
berani.
Prataka Gandara keluar dari kalangan
pertempuran dan berdiri di sudut arena sambil
mengerahkan tenaga dalamnya. Dia telah
menelan dua butir pil namun hawa panas,
yang mengalir dari luka di tangan kanannya
tak kuasa dibendungnya. Akhirnya sebelum
hawa maut itu mencapai bahunya, Prataka
Gandara pergunakan tangan kirinya untuk
membetot seluruh lengan kanannya.
"Krak"!
Tanggallah lengan kanan Ketua Gedung Putih
itu.
Di atas arena Wiro Sableng mengamuk hebat.
Dia tahu bahwa dia harus bergerak cepat
untuk dapat melindungi kedua kawannya
terutama Luh Bayan Sarti dari keroyokan
orang-orang itu. Dalam tempo singkat tokoh-
tokoh Gedung Putih roboh satu demi satu
menemui kematiannya dalam keadaan yang
mengerikan. Melihat korban pihaknya yang
semakin lama semakin banyak jatuh sedang
dia sendiri tak bisa berbuat apa-apa, Prataka
Gandara memberi isyarat. Mereka yang
melihat isyarat ini segera mengikutinya lari
meninggalkan ruangan itu!
"Siapa yang mau lari silahkan!" seru Wiro.
"Kecuali dua bangsat yang bernama Tjokorda
Gde Djantra dan Ki Sawer Balangnipa!". Habis
berseru begitu pendekar ini melompat ke
ambang pintu dan menghadang hingga tak
seorangpun yang berani mendekati pintu itu,
termasuk Prataka Gandara! Di atas arena
Tjokorda Gde Diantra sudah terdesak hebat
oleh tongkat bambu kuning lawannya. Ki
Sawer Balangnipa sudah melompat dan
kalangan tempuran dan berdiri di belakang
Ketua Gedung tih yang luka parah dengan
muka pucat pasi.
Tiba-tiba terdengar jeritan Tjokorda Gde
Djantra atas arena. Semua mata ditujukan ke
atas sana. Kelihatan bagaimana Tjokorda Gde
Djantra memegangi kepalanya dengan tubuh
terhuyung-huyung. Darah mengucur dari
keningnya yang pecah dihantam ujung
tongkat Nyoman Dwipa. Dia menjerit lagi lalu
macam orang kemasukan setan lari sana lari
sini hingga akhirnya kedua kakinya menekuk
dan tubuhnya roboh ke lantai, masih berkutik-
kutik beberapa saat lalu diam tak bergerak
lagi tanda nyawanya lepas sudah!
Suasana di ruangan itu sesunyi dipekuburan
kini. Semua orang, termasuk juga Wiro, Luh
Bayan Sarti dan Nyoman sendiri diam-diam
merasa ngeri melihat detik-detik kematian
Tjokorda Gde Djantra tadi!
Tiba-tiba Ki Sawer Balangnipa berlari dan
menjatuhkan diri berlutut di hadapan Wiro
Sableng seraya menangis tersedusedu.
"Pendekar gagah! Aku mohon kau
mengampuni selembar jiwaku!" pinta laki-laki
bertampang ular itu.
"Soal ampun jangan minta padaku tapi pada
gadis itu!" sahut Wiro seraya tertawa lalu dia
berpaling pada Prataka Gandara dan delapan
orang tokoh Gedung Putih lainnya yang masih
hidup. "Kalian semua yang tak ada urusan
kuharap berlalu dari sinil".
Meski marah dan penasarannya bukan main,
namun Ketua Gedung Putih saat itu benar-
benar mati kutu. Tanpa banyak bicara dia
ajak orang-orangnya meninggalkan ruangan
itu.
Sesudah semua orang pergi Ki Sawer
Balangnipa masih juga berlutut dan menangis
di hadapan Wiro.
"Manusia banci! Bangun! Aku muak melihat
tampangmu!" bentak Wiro Sableng.
Ki Sawer Balangnipa bangun perlahan-lahan
tapi masih menangis dan berkali-kali mohon
ampun pada Wiro dan Luh Bayan Sarti, juga
pada Nyoman.
Luh Bayan Sarti tiba-tiba maju dan berkata,
"Manusia macammu tak layak hidup lebih
lama. Tak ada gunanya kau meratap minta
ampun!"
Ki Sawer Balangnipa menggerung lalu
menjatuhkan diri di depan kaki Luh Bayan
Sarti, hingga lemah juga hati gadis ini pada
akhirnya.
"Kuampuni jiwamu!" katanya. "Tapi sebelum
kau pergi aku musti yakin dulu bahwa kau
benarbenar tidak akan berbuat kejahatan
lagi!" Tangan kanan Luh Bayan Sarti bergerak
kepinggang dan cras! Putuslah tangan kiri Ki
Sawer Balangnipa hingga manusia itu kini tak
punya sebelah tanganpun lagi! Ki Sawer
Balangnipa menjerit kesakitan dan terhampar
di lantai.
"Sekarang kau pergilah sebelum aku merubah
putusanku!" bentak Luh Bayan Sarti.
Ki Sawer Balangnipa berdiri -dengan susah
payah lalu meninggalkan ruangan itu dengan
langkah huyung serta mulut tiada henti
mengelurkan rintihan kesakitan! *** Di puncak
pedataran tinggi itu Wiro Sableng
menghentikan larinya, berpaling pada Nyoman
Dwipa dan Luh Bayan Sarti.
"Sahabat-sahabatku, aku tak terus ke
Denpasar. Kita berpisah di sini saja."
Tentu saja ini tidak di sangka-sangka oleh
kedua orang itu. "Kau mau terus ke manakah,
Wiro?" tanya Nyoman Dwipa.
"Aku masih ada urusan lain. Mudah-mudahan
kita bisa berjumpa lagi . . . "
"Tapi sebaiknya kita sama-sama ke Denpasar
dulu," saran Luh Bayan Sarti.
Wiro tertawa dan berkata pada Nyoman.
"Kurasa kau sudah menemukan ganti
kekasihmu yang hilang itu, Nyoman."
"Eh, apa maksudmu?" tanya Nyoman Dwipa.
Tapi parasnya berubah merah sedang Luh
Bayan Sarti memandang ke jurusan lain.
Wiro Sableng tertawa gelak-gelak. "Kataku
kau sudah menemukan ganti kekasihmu yang
hilang dulu, Nyoman. Apakah kau masih
belum mengerti atau pura-pura tidak
mengerti?! Nah, selamat tinggal sahabat-
sahabatku . . . "
Nyoman Dwipa hendak mengatakan sesuatu
tapi Pendekar 212 Wiro Sableng sudah
berkelebat dan tahu-tahu sudah berada dua
puluh tombak di lereng pedataran.
Nyoman menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sahabat baik seperti dia sukar dicari. Bahkan
mengucapkan terima kasihpun aku sampai
lupa!"
Luh Bayan Sarti menarik nafas dalam dan
berkata perlahan, "Kalau tak ada dia, entah apa jadi diriku sekarang ini . . . "
Dari puncak pedataran itu keduanya
memperhatikan tubuh Wiro Sableng yang lari cepat ke arah utara, makin lama makin kecil hingga akhirnya lenyap di kejauhan. Nyoman
memutar kepalanya pada saat mana Luh Bayan Sarti berpaling pula kepadanya.
Sepasang mata mereka saling bertemu. Dan seulas senyum sama-sama muncul di bibir mereka. Nyoman Dwipa menyadari kini
betulnya ucapan Wiro Sableng. Yaitu bahwa dia telah menemukan ganti kekasihnya yang hilang itu.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar