WIRO SABLENG
EPISODE : PANGERAN MATAHARI DARI PUNCAK MERAPI
Karya : BASTIAN TITO
************
Hari mulai gelap. Orang tua penggembala itu melangkah bergegas sambil melecuti punggung enam ekor sapi agar binatang-binatang itu berjalan lebih cepat. Saat itulah di kejauhan tiba-tiba telinganya menangkap
suara bergemuruh seolah-olah ada yang menggelegar tertahan dalam perut bumi.
Tanah yang dipijaknya terasa bergoyang seperti dilanda lindu. Enam ekor sapi melenguh tiada henti lalu lari hingar bingar
seperti dikejar setan.
"Eh, ada apa ini? Akan kiamatkah bumi ini?"
penggembala tua terheran-heran tapi juga cemas.
Baru saja dia bertanya begitu mendadak langit di timur laut memancar cahaya merah.
Suara gemuruh makin keras dan goncangan tanah tambah kencang.
Memandang ke jurusan timur orang tua itu
kembali melihat nyala terang menyambar
laksana hendak menembus langit gelap di atasnya. Lalu ada benda-benda bulat mencelat ke udara seperti bola-bola api.
"Gunung meletus! Gusti Allah! Merapi meletus!" penggembala tua berseru tegang dan takut ketika menyadari apa yang sesungguhnya terjadi di kajauhan.
Tongkat kayu yang dipegangnya
dicampakkannya ke tanah. Enam ekor sapinya yang telah kabur entah ke mana tidak diperdulikannya lagi. Dia lari sekacang-kencangnya menuju kampung. Yang terbayang saat itu adalah anak istri dan
cucu-cucunya. Dia harus segera sampai di kampung, menyelamatkan orang-orang itu
dan memberi tahu pada penduduk lain bencana yang bakal melanda.
Langit di sebelah timur semakin terang mengerikan. Semburan-semburan batu kini disertai tanah dan pasir. Suara menggemuruh
semakin menggila. Bumi tambah keras bergoncang. Dari bibir gunung yang meletus menyembur keluar cairan lumpur panas berwarna merah. Cairan ini kemudian meluncur ke bawah laksana sungai darah.
Satu malam suntuk bumi Tuhan laksana kiamat. Menjelang dini hari suara menggemuruh mulai berhenti. Tak ada letupan atau semburan batu, tanah dan
pasir.
Lelehan lumpur panaspun tak mengalir lagi.
Segala sesuatunya diselimuti kesunyian kini.
Kesunyian yang terselubung malapetaka
mengenaskan. Malam itu sembilan buah desa
musnah dilanda lumpur dan batu panas.
Ratusan jiwa manusia menemui ajal. Belum
terhitung jumlah ternak yang menemui
kematian, ribuan hektar sawah dan ladang
yang rusak, tak dapat dipanen hasilnya, tak
mungkin pula ditanami lagi dalam waktu
dekat. Begitulah keadaannya pada setiap
bencana alam. Manusia bukan saja
kehilangan harta bendanya, tapi juga hilang
nyawa sendiri atau sanak keluarganya.
Ketika sang surya akhirnya muncul pada pagi
hari keesokannya, di pinggiran desa Sleman
yang saat iu keadaannya hampir sama rata
dengan tanah akibat landaan letusan merapi,
tampak seorang tua bungkuk berpakaian
rombeng. Dia muncul entah dari mana tahu-
tahu saja sudah tegak di depan reruntuhan
sebuah surau kecil, berkacak pinggang dan
memandang berkeliling dengan sepasang
matanya yang besar tapi sangat cekung.
Wajahnya sangat pucat seperti tidak
berdarah. Keseluruhan tampangnya
menunjukkan pandangan angker, dingin dan
menyembunyikan sesuatu berbau kelicikan
bahkan maut! Apalagi rambutnya putih
menjela bahu. Pantas kalau dirinya disebut
setan muka pucat!
Orang tua ini tampak geleng-gelengkan
kepala sambil memandang berkeliling.
Matanya yang besar cekung seperti mencari-
cari sesuatu. Kemudian dari mulutnya yang
perot pencong terdengar suara seperti
mengomel.
"Ladalah! Tak seorangpun lagi yang hidup!
Tak satu nyawapun yang tinggal!
Semua musnah! Semua sudah pada jadi
bangkai! Ah, mimpiku tadi malam tak
seluruhnya benar! Buktinya di mana anak
itu? Di mana bocah yang kulihat dalam
mimpi? Percuma jauh-jauh aku datang ke
mari!"
Kembali orang tua bungkuk berwajah pucat
dingin itu memandang berkeliling.
Setelah menunggu sesaat dan merasa pasti
anak yang dicarinya tak ada di sekitar situ
maka diapun masuk lebih jauh ke dalam
desa, berjalan di atas lumpur. Dan inilah satu
keluar biasaan! Meskipun sudah sekian lama
berlalu sejak lumpur panas menyembur keluar
dari gunung Merapi, namun pagi itu lumpur
tersebut masih berada dalam keadaan panas
seperti membara. Jangankan kaki manusia,
kayu atau besipun akan hangus bila
tersentuh. Tapi orang tua berpakaian
rombeng tadi melangkah seenaknya di atas
lumpur tersebut seolah-olah berjalan di atas
padang rumput yang sejuk tertutup embun!
Tepat di pertengahan desa di mana terdapat
sebuah pohon beringin besar miring hampir
tumbang dan merupakan satu-satunya pohon
yang masih berdiri di desa Sleman itu, orang
tua tadi hentikan langkah. Memandang ke
atas pohon miring yang setengahnya tampak
hangus itu kedua bola matanya yang besar
tambah mendelik.
"Ladalah! Itu bocah dalam mimpiku! Di sini
dia rupanya!" Orang tua bermulut pencong
berseru. Ada rasa jengkel tapi juga ada rasa
gembira pada nada suaranya. Lalu dia
tersenyum. Namun dia tetap tegak di
tempatnya, tak melakukan apa-apa selain
terus memandangi anak di atas pohon yang
terlilit di antara akar-akar beringin,
bergoyang-goyang tergantung di udara.
Sebaliknya anak di atas pohon begitu melihat
orang tua bungkuk pakaian rombeng itu
segera berteriak.
"Pengemis tua! Jangan bengong saja! Lekas
kau tolong turunkan aku dari tempat celaka
ini!"
Orang tua yang ditegur menyeringai. Dalam
hatinya dia membatin. "Bocah itu! Persis
seperti dalam mimpiku. Sombong dan
congkak! Memerintah seenaknya tanpa peduli
berhadapan dengan siapa! Sialan! Aku
dianggapnya pengemis! Tapi begitu agaknya
suratan takdir. Macam bocah yang begini
yang berjodoh denganku!"
"Pengemis bungkuk! Apakah kau tuli hingga
tak mendengar orang berteriak minta
tolong?!" anak di atas pohon kembali
berteriak.
"Kampret cilik! Sabarlah. Aku memang akan
menolongmu! Tapi aku mau tanya dulu. Jika
kau kutolong imbalan apa yang akan kau
berikan padaku?"
"Pengemis tua, tahukah bahwa kau telah
berbuat dua kesalahan?' si anak membentak
dengan mata melotot.
Yang dibentak mengekeh. "Budak, katakan
apa dua kesalahanku"
"Pertama kau tidak segera menolongku!
Kedua kau memanggilku dengan sebutan
kampret cilik!"
"Begitu? Nah kalau kau menganggap aku
bersalah, apakah kau hendak
menghukumku?!" Orang tua tadi bertanya
dengan sikap mengejek.
"Rupanya kau belum tahu siapa aku ini,
pengemis tua!"
"Hai! Siapa kau sebenarnya bocah centil?"
"Aku adalah Pangeran Anom dari Surokerto!"
Orang tua itu agak terkejut. "Anak congkak
ini jangan-jangan berdusta,"
katanya dalam hati, tapi dia jadi meragu.
Maka diapun menanyakan siapa ayah anak
itu. ketika si anak menyebutkan ayahnya,
kembali si orang tua bungkuk terkejut.
Namun dia masih ajukan pertanyaan. "Jika
kau memang Pangeran Anom, mengapa jauh-
jauh kesasar di tempat ini?!"
"Malam tadi aku ikut rombongan orang
berburu. Ketika Merapi meletus mereka lari
cerai berai. Aku tertinggal di belakang. Waktu
batu dan lumpur panas mulai menyembur
untung aku dapat menyelamatkan diri
bergayut di akar pohon beringin ini! Mereka
akan menerima hukuman!"
"Mereka siapa?"
"Orang-orang yang meninggalkan aku itu!
Jika mereka masih hidup, ayah pasti akan
menghukum mereka. Aku akan suruh tebas
salah satu dari kaki mereka!"
"Bocah ini selain congkak ternyata berhati
kejam," membatin orang tua itu.
"Sekarang setelah kau tahu siapa aku,
mengapa tidak cepat-cepat menolong?!"
anak di atas pohon menegur.
"Baik-baik, aku akan segera menolongmu.
Tapi ada satu perjanjian. Setelah kau
kuselamatkan kau akan jadi milikku dan ikut
aku!"
Yang namanya Pangeran Anom mendelik.
"Enak saja bicaramu! Kau tak punya hak
apapun atas diriku. Apalagi hendak
membawaku. Eh, memangnya kau mau bawa
aku ke mana pengemis bungkuk?"
Orang tua itu menunjuk ke puncak gunung
Merapi.
Anak di atas pohon tertawa mencemooh.
"Rupanya kau hantu gunung maka mau
membawa aku ke puncak Merapi sana!
Tubuhmu lemah dan bungkuk!
Jangankan membawaku, jalan sendiripun ke
puncak gunung itu kau tak bakal sanggup!"
Orang tua itu tersenyum. Dia membungkuk
lalu meraup lumpur panas dengan tangan
kanannya. "Kampret cilik bernama Pangeran
Anom, jangan kelewat merendahkan
kemampuanku!" Lumpur yang tadi diraupnya
digulung-gulung hingga membentuk sebuah
bola kecil. Bola lumpur ini kemudian
dilemparkannya ke arah si bocah dan tepat
masuk ke dalam saku pakaiannya. Karena
lumpur itu masih sangat panas tentu saja
anak ini jadi menjerit-jerit kesakitan ketika
lumpur yang memancarkan hawa panas itu
menembus pakaiannya, terus menyentuh
daging perutnya.
"Nah kau tahu sekarang bagaimana rasanya
panas hati kalau dihina orang?!" orang tua
itu berseru.
"Siapa menghinamu!" anak yang menyebut
dirinya Pangeran Anom menyahuti. Dengan
kedua tangannya dia berusaha melemparkan
bola lumpur dari dalam sakunya dan berhasil
"Aku hanya melihat kenyataan. Tubuhmu
jelas bungkuk dan kelihatan lemah. Apa aku
menghina mengatakan yang sebenarnya?
Orang tua kau bukan saja seorang pencari
pamrih, yang hanya mau menolong kalau ada
imbalan tapi juga ternyata tolol. Siapa sudi
ikut denganmu!"
"Kalau begitu aku tak jadi menolongmu! Biar
kau mati tergantung kelaparan di atas pohon
itu!"
"Aku tidak takut mati! Kau minggatlah dari
sini!" si bocah malah balas menantang,
membuat orang tua itu yang tadinya
memang hanya berpura-pura hendak pergi
jadi terkesiap dan salah tingkah. Sesaat dia
tertegun sambil memandang melotot, jengkel
dan penasaran pada anak di atas pohon.
"Hai! Disuruh minggat kenapa masih berdiri
di sana?! Jangan salahkan kalau nanti aku
kencingi tubuhmu!" Pangeran Anom berteriak.
Saat itu memang dia ingin kencing sekali dan
sudah lama menahan-nahan.
"Bocah kurang ajar! Aku suka padamu!"
Orang tua itu tertawa mengekeh.
"Kau pantas jadi muridku! Kau sombong,
keras hati, mungkin juga licik dan kejam!
Ha…ha….ha! Mimpiku ternyata tidak dusta!
Mari kau ikut aku!" Habis berkata begitu
orang tua tadi melesat ke udara. Sekali
tangannya bergerak akar-akar pohon beringin
yang melilit tubuh Pangeran Anom tersentak
lepas. Lalu begitu tubuhnya melayang turun,
orang tua ini langsung melarikan anak itu ke
arah utara, menuju puncak Merapi. Berlari di
atas lumpur panas yang masih mengepulkan
asap.
Dua belas tahun telah berlalu sejak
malapetaka meletusnya gunung Merapi. Desa
Sleman yang dulu musnah sama rata dengan
tanah bersama delapan desa lainnya, kini
nampak subur. Rumah-rumah penduduk
bertebaran di mana-mana. Sawah ladang
menghampar memberikan hasil besar pada
setiap musim panen. Boleh dikatakan banyak
sudah penduduk yang melupakan peristiwa
malang yang terjadi dua belas tahun silam
itu. mereka telah disibukkan dengan
mengurusi sawah ladang serta ternak bahkan
membangun rumah atau tempat peribadatan
baru. Desa-desa itu kini malah menjadi
pusat-pusat penghasil sayur mayur dan
daging bagi Kotaraja dan kota-kota di
sekitarnya.
Di arah timur, gunung Merapi tampak
menjulang tinggi diselimuti awan biru pada
puncaknya. Dua belas tahun silam gunung
inilah yang telah memberi malapetaka pada
penduduk. Tapi kini dia tampak tegak penuh
perkasa dan memberikan pemandangan yang
indah.
Saat itu pagi hari. Sang surya baru saja
muncul menerangi jagat, memberi
penerangan dan kesegaran baru di atas bumi
Tuhan. Di bibir gunung sebelah selatan
tampak sebuah bangunan kayu jati.
Bangunan ini hampir merupakan sebuah
dangau karena memiliki kolong dan terbuka
tanpa kamar atau ruangan. Di atas
bangunan kayu jati itu duduk berhadap-
hadapan dua orang lelaki. Satu tua renta
berambut putih menjela punggung bermuka
pucat dan bermata cekung. Satunya lagi
seorang pemuda berusia sekitar sembilan
belas tahun yang memiliki dahi tinggi serta
rahang menonjol.
Rambutnya hitam sangat lebat, dagunya
kukuh. Keseluruhan wajahnya membayangkan
kekerasan dan sikap congkak.
Pemuda ini bukan lain adalah Pangeran
Anom, yang dua belas tahun lalu tergantung
di pohon beringin ketika terjadi bencana
meletusnya gunung Merapi.
Orang tua yang duduk di hadapannya adalah
orang tua yang dulu menyelamatkannya dari
pohon itu lalu membawanya ke puncak
Merapi.
"Muridku Pangeran Anom, hari ini tepat dua
belas tahun kau bersamaku.
Berarti dua belas tahun kau tinggal di puncak
Merapi ini menjadi muridku. Banyak ilmu
kepandaian yang hitam dan yang putih telah
kau pelajari. Jangan pernah kau lupakan
semua ilmu itu kuberikan adalah sesuai
dengan perjanjian kita dua belas tahun silam.
Yakni untuk menghancurkan orang-orang
yang tidak sejalan dengan kita.
Mereka perlu dimusnahkan bahkan dibunuh.
Tak perduli apakah mereka dari golongan
putih ataupun dari golongan itam. Dalam
tubuhmu sudah tertanam segala kecerdikan,
segala akal segala ilmu yang harus menjadi
bekal dan pegangan jika kau nanti sudah
meninggalkan puncak Merapi ini. Satu hal
yang harus kau ingat baik-baik.
Kau tidak boleh kembali ke Kotaraja, kau
tidak boleh kembali menemui kedua orang
tuamu ataupun saudara-saudaramu. Siapa
adanya kau di masa lalu harus kau kubur,
harus kau lupakan selama-lamanya.
Namamupun harus kau ganti!"
Setelah berdiam diri mendengarkan kata-kata
sang guru, pemuda itu ajukan pertanyaan
"Nama apakah yang akan kupakai guru?"
"Nanti akan kuberitahu yaitu enam jam dari
sekarang. Satu kejadian besar akan
berlangsung enam jam lagi. Saat itulah akan
kulekatkan nama yang pantas bagimu. Nama
yang pantas untuk seorang pendekar segala
cerdik, segala akal, segala ilmu dan segala
licik serta congkak!"
"Peristiwa apakah yang bakal terjadi enam
jam mendatang, guru?" bertanya si pemuda.
"Jangan tanya dulu. Kau akan saksikan
sendiri. Peristiwa ini sekali dalam tujuh puluh
enam tahun!"
Si pemuda termenung diam. Tapi otaknya
coba memecahkan teka teki peristiwa besar
yang disebutkan sang guru. Sulit baginya
untuk menerka. Berarti harus menunggu
sampai enam jam di muka!
"Jika nanti kau meninggalkan puncak Merapi
ini harus kau ingat baik-baik beberapa nama
tokoh timba persilatan yang pasti akan
menjadi penghalang tindak tandukmu dalam
dunia persilatan. Yang pertama adalah
seorang pemuda bernama Wiro Sableng
bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212. Dia seorang pendekar tanpa tanding,
murid seorang nenek sakti dari puncak
gunung Gede yang dikenal dengan nama
Sinto Gendeng. Dia bukan saja sakti
mandraguna tapi memiliki beberapa senjata
mustika luar biasa. Satu di antaranya adalah
Kapak Maut Naga Geni 212. Di samping itu
dikabarkan dia juga mendapat warisan-
warisan ilmu hebat dari beberapa tokoh silat
di delapan penjuru angin. Hati-hati jika kau
berhadapan dengannya karena sepertimu dia
juga memiliki segala ilmu, segala akal. Satu
hal yang tidak dimilikinya yakni segala
kelicikan. Pada titik kelemahan itulah kau
akan dapat mengalahkannya!"
"Kalau aku boleh bertanya, di manakah aku
dapat menemui pemuda bergelar Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 itu?" bertanya si
pemuda. Jelas ini satu pertanda bahwa dia
ingin berhadapan untuk menjajal sampai
sejauh mana kehebatan Wiro Sableng.
Orang tua yang ditanya tersenyum "Pendekar
seperti dia tidak berumah tak bertempat
tinggal. Dia gentayangan seperti setan di
delapan penjuru angin dan bisa muncul
secara mendadak di mana-mana….."
"Menurut guru sehebat-hebatnya ilmu
kepandaian seseorang, akan ada selalu
kelemahannya. Selain titik kelicikan yang
guru katakan tadi, apakah Pendekar 212 Wiro
Sableng memiliki kelemahan lainnya?"
"Ha…..ha! Itu satu pertanyaan bagus! Dan
jawabannyapun mudah. Setiap pendekar
selalu mempunyai kelemahan yang sama.
Yakni lemah terhadap perempuan! Nah
kelemahan itu bisa kau pergunakan dengan
sebaik-baiknya. Tapi ingat mungkin saja hal
itu tidak selalu berlaku pada setiap saat dan
situasi. Jadi yang penting kau harus berhati-
hati jika berhadapan dengan manusia seperti
Pendekar 212 Wiro Sableng itu….."
"Hal itu akan saya ingat baik-baik guru.
Siapa lagi pendekar lain yang menurut guru
perlu diawasi?"
"Sorang pendekar muda, seusia Wiro
Sableng. Namanya Mahesa Edan. Dia murid
seorang nenek sakti dari puncak Iyang yang
kalau aku tak salah bernama Kunti Kendil.
Nenek ini selain sakti juga sangat ganas dan
punya banyak teman. Pendekar bernama
mahesa Edan ini juga memiliki beberapa
senjata sakti. Antara lain sebuah senjata
kayu hitam berbentuk papan nisan. Lalu
sebuah senjata titipan berupa sebilah keris
bernama Keris Naga Biru. Orang ketiga yang
harus kau perhatikan ialah seorang pendekar
yang bernama hampir sama dengan Mahesa
Edan. Namanya Mahesa Kelud.
Dia berasal dari puncak gunung Kelud di
mana gurunya yang bernama Embah
Jagatnata menggodoknya. Dia memiliki
berbagai ilmu kesaktian. Memiliki beberapa
orang guru. Namun kepandaiannya yang luar
biasa adalah dalam ilmu pedang.
Kudengar dia memiliki sebuah pedang
mustika bernama Pedang Dewa. Di samping
itu konon dia berhasil mendapatkan sebuah
pedang sakti mandraguna bernama Pedang
Samber Nyawa. Namun di atas semuanya itu
dia juga dikabarkan telah menguasai ilmu
pukulan sakti Api Salju yang merupakan ilmu
sangat langka dalam dunia persilatan. Selain
tiga orang pendekar itu beserta para guru
mereka tentunya, masih banyak lagi tokoh-
tokoh yang bakal menghadang dan
menghalangi tindak tandukmu. Jumlah
mereka tidak sedikit dan sulit untuk
disebutkan satu persatu. Tapi percayalah,
jika kau bisa menghadapi tiga pendekar tadi,
maka yang lain-lainnya akan dapat kau
tangani secara mudah. Yang penting jangan
lupa menerapkan segala ilmu, segala akal
dan segala kelicikan! Sekarang sebelum
sampai saat yang ditunggu kau turunlah ke
dalam kawah gunung Merapi. Pergi mandi di
kawah belerang untuk penghabisan kali,
setelah itu kau boleh istirahat. Aku akan
bersemadi dan jangan mengganggu sebelum
ada petunjuk lebih lanjut!"
Pemuda itu berdiri. Seorang murid biasanya
akan menjura sebelum berlalu dari hadapan
gurunya. Tapi berlainan dengan pemuda ini,
dia hanya menganggukkan kepala sedikit lalu
turun dari bangunan kayu jati itu. Inilah
sikap yang sejak kecil telah tertanam dalam
dirinya yakni sifat congkak sombong, tak
perduli berhadapan dengan siapapun, selalu
menganggap rendah orang lain!
Sampai di pinggiran kawah gunung Merapi
pemuda itu tegak memandang ke bawah.
Jauh di sebelah sana tampak kawah yang
tertutup air berwarna biru kekuningan,
memancarkan asap dan hawa hangat. Tak
ada jalan menuju ke danau yang menutupi
kawah itu selain lamping batu yang
merupakan lereng terjal dan licin.
Si pemuda keluarkan pekik nyaring. Lalu
seperti seekor burung walet tubuhnya tampak
melayang ke bawah, melompat dari satu
gundukan batu licin ke batu lainnya. Dalam
waktu singkat dia sudah sampai di dasar
kawah dan byur langsung masuk ke dalam
air biru kuning tanpa membuka pakaiannya.
Beberapa lama pemuda ini mendekam
berenang dalam air hangat itu. Pada saat
kulitnya terasa seperti hendak melepuh maka
baru dia keluar dari dalam air. Seperti tadi
kembali dia melompat dari batu ke batu
hingga akhirnya sampai di bibir atas kawah
Merapi.
Ketika dia kembali ke pondok kayu
didapatinya sang guru masih duduk bersila,
bersemadi pejamkan mata. Sambil
mengeringkan pakaian, pemuda itu akhirnya
duduk di bawah kolong bangunan, menunggu
sang guru selesai bersemadi.
Saat itu mulai menjelang tengah hari. Satu
keanehan dirasakan oleh si pemuda.
Pada saat seperti itu sang surya seharusnya
memancarkan sinar panas terik dan terang
benderang. Tapi yang dilihatnya justru
sebaliknya. Matahari tampak meredup,
padahal saat itu sama sekali tak nampak
awan atau mendung menutupinya.
Diperhatikannya baik-baik. Pada pinggiran
matahari sebelah kanan tampak seperti ada
sebuah lingkaran berbentuk cincin berwarna
ungu terang. Cincin ini makin lama makin
besar dan akhirnya merupakan lingkaran
hitam yang sedikit demi sedikit menutupi
matahari. Lambat laun sinar terang matahari
menjadi tambah redup.
Beberapa saat kemudian ketika seluruh
warna hitam itu menutupi matahari maka
bumipun menjadi gelap seperti di malam
buta. Di kejauhan terdengar suara
binatangbinatang hutan seperti panik. Di
beberapa desa di kaki gunung Merapi
terdengar suara penduduk memukul berbagai
tabuhan. Mereka melakukan itu untuk
mengusir "Setan" yang katanya hendak
memakan matahari.
"Dunia Kiamat!" seru pemuda di bawah
kolong pondok kayu seraya melompat
ketakutan. Dia memandang pada gurunya.
Orang tua itu masih saja duduk besila
bersemadi. "Dunia kiamat!" seru pemuda itu
sekali lagi. Kali ini dengan mengerahkan
tenaga dalamnya hingga suaranya
menggelegar. Dia sengaja berbuat begitu
agar sang guru mendengar dan menyudahi
semadinya.
Perlahan-lahan memang orang tua itu
membuka kedua matanya. Dia dapatkan saat
itu keadaan gelap gulita seperti malam. Tapi
aneh justru dari mulutnya yang perot tampak
tersungging senyum. Dia bangkit dari
duduknya, melompat ke bawah dan tegak di
samping muridnya sambil mendongak ke
langit.
"Dunia tidak kiamat! Bumi belum kiamat!"
katanya sambil memegang bahu muridnya.
"Justru inilah yang kita tunggu-tunggu. Saat
di mana nama baru akan kuberikan padamu!
Nama yang tepat dengan keadaan saat ini!"
"Guru, kalau bukan kiamat apa namanya ini?
Apa yang sebenarnya terjadi.
Mengapa tiba-tiba matahari lenyap dan
dunia menjadi gelap seperti malam. Lalu
mengapa penduduk di bawah sana memukul
segala macam tetabuhan? Dan kau sendiri
tampak tenang-tenang saja….?"
Yang ditaya tersenyum dan menjawab "Aku
tenang-tenang saja karena memang tak ada
yang perlu dikawatirkan. Semua ini adalah
kekuasaan Tuhan.
Penduduk yang tolol di sana mengira
matahari dimakan satu mahluk aneh hingga
mereka memukul segala macam barang.
Mulai dari beduk dan gendang sampai pada
tetampah dan segala macam kaleng. Mereka
menyangka dengan melakukan hal itu mahluk
pemakan matahari akan ketakutan lalu
meninggalkan. Padahal jika tiba saatnya
matahari akan kembali bersinar. Kau tahu
muridku yang terjadi saat ini adalah apa
yang disebut gerhana matahari. Saat ini
bulan dan matahari berada dalam satu garis
lurus. Bulan di sebelah depan, matahari di
punggungnya. Karena itu matahari tertutup
oleh bulan. Akibatnya matahari tidak
kelihatan dan sinarnya juga terhalang.
Nah apakah aneh jika bumi tiba-tiba menjadi
gelap seperti malam?"
"Kalau begitu kejadiannya memang tidak
aneh. Tuhan Maha Kuasa dan orang-orang
itu tolol semua. Tapi bagaimanakah kalau
matahari terus-terusan terlindung bulan?"
"Ah, ternyata kaupun tolol. Bukankah
matahari, bulan dan bumi itu tidak diam,
saling berputar di sumbunya dan saling
mengitari? Ketahuilah apa yang terjadi saat
ini ada hubungannya dengan pemberian
namamu. Ini saat yang tepat. Ini hanya
terjadi tujuh puluh enam tahun sekali!
Dengan adanya kejadian ini maka mulai saat
ini namamu yang lama yaitu Pangeran Anom
kuganti menjadi Pangeran Matahari dari
Puncak Merapi. Kau dengar itu?! Namamu
mulai dari sekarang adalah Pangeran
Matahari!"
"Nama luar biasa! Aku suka nama itu!" kata
sang murid sambil usap-usap dadanya.
"Itu memang nama yang tepat bagimu.
Sesuai dengan sifatmu yang cepat panasan,
congkak sombong dan ingin menang sendiri!"
Mendengar kata-kata itu si pemuda tertawa
"Nah, sekarang apakah aku boleh minta diri?"
"Tidak. Kau harus menunggu sampai hari
kembali terang dan matahari kembali
memancarkan sinarnya. Ini tak akan lama.
Hanya sekitar sepeminuman teh.
Tegak saja di sini, jangan bergerak, jangan ke
mana-mana" Setelah berkata begitu orang
tua ini naik kembali ke atas pondok kayunya,
duduk bersila dan pejamkan mata.
Sesuai perintah sang guru Pangeran
Marahari tetap tegak di tempatnya semula.
Kepalanya mendongak ke langit
memperhatikan matahari yang sedang
gerhana.
Perlahan-lahan rembulan yang menutupi
sang surya itu mulai bergeser dan bumi
sedikit demi sedikit mejadi terang. Ketika
matahari tidak terlindung lagi maka puncak
gunung Merapi itu menjadi terang benderang
sebagaimana siang layaknya.
Pangeran Matahari palingkan kepala ke arah
pondok kayu. Astaga! Dia jadi kaget.
Sang guru tak ada lagi di tempat di mana
tadi dia duduk bersemadi. Dicari kian kemari
tetap saja orang tua itu tak berhasil
ditemuan. Pangeran Matahari memeriksa ke
kawah gunung. Sepi, tak seorangpun
kelihatan di sana. Maka diapun mulai
berteriak "Guru! Guru……! Kau berada di
mana……?!" jawaban yang terdengar hanyalah
gaung suaranya.
"Orang tua aneh. Selama dua belas tahun dia
tak pernah memberi tahu namanya. Kini dia
raib begitu saja!" Pemuda itu merenung
sejenak. Sesaat kemudian hatinya yang
congkak membatin "Mengapa aku risaukan
tua bangka bungkuk itu.
Ilmunya sudah kudapat. Jika dia kemudian
raib tanpa memberi tahu, perduli setan!
Sebelum malam turun lebih baik aku pergi
dari sini!" Lalu Pangeran Matahari
melangkah pergi. Namun baru bergerak dua
langkah, gerakannya tertahan. Ketika dia
memandang ke pondok kayu jati, dia sama
sekali tidak melihat apa-apa. Namun
sewaktu sekali lagi dia berpaling ke arah
bangunan itu tahu-tahu di situ nampak
tergantung baju dan celana hitam, berkibar-
kibar ditiup angin gunung.
"Aneh, siapa yang menggantungkan pakaian
itu di sana?" pikir Pangeran Matahari seraya
melangkah mendekati.
Pada bagian dada baju hitam, terdapat
lukisan puncak gunung Merapi berwarna biru.
Puncak gunung dilatar belakangi gambar
matahari berwarna merah darah, lalu garis-
garis sinar berwarna kuning. Sesaat si
pemuda tegak tertegun.
Namun kemudian mulutnya menyunggingkan
senyum.
"Pakaian ini pasti tua bangka aneh itu yang
meletakkan di sini. Dan pasti untukku. Lalu
tanpa menunggu lebih lama dia mengambil
pakaian hitam tersebut dan mengenakannya.
Ternyata pas benar di badannya.
"Bagus! Nama dan pakaian cocok satu sama
lain!" Pangeran Matahari memandang
berkeliling. "Guru!" serunya. "Aku tahu
pakaian ini darimu! Untuk itu aku
mengucapkan terima kasih! Hanya sayang
bahannya terbuat dari bahan jelek!
Tapi tak jadi apa, kurasa cukup kuat!"
Setelah berkata begitu Pangeran Matahari
segera tinggalkan puncak Merapi.
Di depan perapian itu duduk berkeliling lima
orang lelaki bertampang bengis.
Salah satu di antaranya memiliki badan luar
biasa besar, memelihara cambang bawuk dan
kumis lebat. Mukanya yang bengis tampak
lebih buruk karena penuh dengan lobang-
lobang bopeng. Di belakang kelima orang ini,
terlindung oleh kegelapan malam yang tak
tersentuh nyala api unggun duduk mendekam
lebih dari dua puluh orang. Semuanya
membekal berbagai macam senjata. Mulai
dari golok dan pedang pendek sampai pada
pentungan besi dan tombak panjang. Ada
pula yang membawa clurit besar dan
mengalungkannya di lehernya.
Lelaki bercambang bawuk berkumis
melintang mengusap mukanya yang bopeng.
Dia membenarkan letak ikat pinggang kain
merah yang melilit di keningnya.
Seorang yang duduk di sebelah kirinya
melunjurkan kedua kakinya yang pegal
seraya berkata "Lama benar datangnya
pagi……"
Si muka bopeng menyahuti tak acuh. "Untuk
pekerjaan besar yang bakal kita lakukan
memang harus bersabar. Jika tak dapat
bersabar sebaiknya minggat dari sini!"
Yang ditegur lagsung diam dan meneguk kopi
dalam cangkir kaleng.
Seorang lainnya dari lima yang duduk di
muka perapian bertanya "Bagaimana kalau
jumlah pengawal lebih banyak dari orang-
orang kita?"
"Kalian ini semua bicara seperti orang
pengecut!" membentak si bopeng.
"Bukankah sebelumnya kita sudah mendapat
kabar bahwa rombongan pengawal itu tak
akan lebih dari sepuluh orang? Mungkin
ditambah satu atau dua orang perwira muda.
Tapi tak akan lebih dari itu. Lalu apa yang
kita takutkan? Mereka perajuritperajurit yang
tak pernah berlatih. Yang hanya mampu
berpakaian gagah dan menyandang senjata.
Tapi bila berhadapan dengan lawan akan
ketakutan setengah mati!"
"Menurutmu apakah rombongan istana ini
membawa banyak uang dan harta, Warok?"
bertanya seorang lagi.
"Aku tidak perduli apakah mereka membawa
harta atau uang! Tujuan utamaku adalah
menculik puteri yang cantik jelita itu. Gila!
Sejak aku melihatnya dua minggu lalu di
pasar malam di Kotaraja, aku tak bisa
melupakannya. Saat itu kalau saja
pengawalan tidak sangat ketat dan jumlah
kita cukup banyak, mau aku menculiknya
waktu itu juga! Eh, siapa nama lengkapnya
gadis putih montok itu?"
"Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati….."
seseorang menjawab.
"Betul! Nama bagus sebagus orangnya.
Panjang sepanjang rambutnya yang hitam.
Ha…..ha…..ha! Sungguh pantas menjadi istri
Warok Sumo Gantra!"
Orang yang menyebut namanya sendiri itu
usap-usap dadanya lalu meneguk kopinya
sampai habis. Seorang anak buahnya cepat-
cepat mengisi cangkir kaleng itu sampai
penuh.
"Ada satu hal yang harus kalian ingat dan
lakukan!" berkata Warok Sumo Gantra.
"Selain Puji Lestari Ambarwati, tak satu
orangpun harus dibiarkan hidup. Ini agar kita
bisa menghilangkan jejak….."
"Bagaimana kalau ibunda Puji Lestari ikut
dalam rombongan. Apakah dia harus
dibunuh juga?"
Sang Warok tak segera menjawab. Setelah
berpikir sejenak baru membuka mulut. "Turut
apa yang aku dengar istri ketiga Sri Baginda
itu kabarnya juga berparas jelita dan
tubuhnya masih menggairahkan. Jika
kenyataannya memang begitu aku akan
mempertimbangkan. Dapat anak dapat
ibunya! Ha…ha….ha! Tapi bila ternyata nanti
dia tak lebih dari seorang nenek tak berguna,
kalian tak usah ragu-ragu membunuhnya!"
Baru saja Warok Sumo Gantra berkata begitu
tiba-tiba terdengar suara kraak!
Semua orang mendongak ke atas. Cabang
pohon di bawah mana orang-orang itu duduk
mendadak patah dan jatuh ke bawah, hampir
menimpa kepala sang warok.
Dengan tangan kirinya dikibaskannya cabang
itu hingga mencelat mental di kegelapan
malam.
"Aneh! Itu bukan cabang kering! Bagaimana
bisa patah dan jatuh?!" kata Warok Sumo
Gantra seraya berdiri. Beberapa orang anak
buahnya ikut berdiri dan memandang
berkeliling. Salah seorang dari mereka
menimpali.
"Memang aneh. Tak ada hujan tak ada angin,
bagaimana cabang pohon yang cukup liat itu
bisa patah?!"
"Mungkin ada orang yang sok jagoan dan
berani main-main dengan kita!"
Lelaki di sebelah kanan menduga dan
lengsung menghunus goloknya.
"Sarungkan golokmu! Siapa yang berani
main-main dengan kita komplotan rampok
hutan Merapi!" berkata kawan di sebelahnya.
Tiba-tiba terdengar suara seseorang dari
arah kegelapan. "Mengapa tak ada yang
berani main-main dengan kawanan rampok
buruk seperti kalian?!"
"Keparat! Ada yang berani main-main dan
menghina!" teriak Warok Sumo Gantra. Serta
merta terdengar suara berseresetan karena
sekian banyak senjata dicabut dari
sarungnya. Kali ini sang warok tidak lagi
menyuruh anak buahnya menyarungkan
senjata mereka, tapi memandang melotot ke
arah kegelapan dari mana datangnya suara
tadi. Saat itu tampak sesosok tubuh
melangkah ke arah rombongan namun
tertahan oleh anggota rampok yang tegak
berkeliling.
"Beri jalan!" bentak orang yang muncul dari
kegelapan. Ternyata dia seorang pemuda
bertampang keras dengan rahang-rahang
menonjol.
Dibentak demikian tentu saja anggota
rampok yang berada paling dekat dengan
pemuda itu menjadi marah dan ayunkan
senjata masing-masing.
Braak…..braak! Buk……buk!
Empat orang anggota rampok menjerit
kesakitan. Senjata masing-masing mencelat
mental dan tubuh mereka tergelimpang
berjatuhan.
Tentu saja hal ini mengejutkan semua
anggota rampok hutan Merapi, terutama
pimpinan mereka yaitu Warok Sumo Gantra.
"Hemmm…..rupanya benar-benar ada yang
berani main-main cari penyakit!
Apa tidak tahu berhadapan dengan siapa?!"
bentak Warok Sumo Gantra.
"Kau pimpinan monyet-monyet di sini? Pasti
kau tuli? Bukankah tadi sudah kukatakan
bahwa kalian adalah rampok-rampok buruk?!
Yang malam ini tengah merencanakan
perampokan terhadap rombongan istana,
hendak menculik seorang puteri kerajaan!"
"Bangsat ini pasti sudah mencuri dengar
pembicaraan kita. Mengintai sejak tadi…."
Ucapan anak buah Suma Gantra ini terputus
ketika satu tamparan melabrak mukanya
hingga tubuhnya terlempar dan terguling
pingsan di hadapan kaki pemimpinnya.
"Aku Pangeran Matahari! Sebagai seorang
Pangeran tak ada satu manusiapun yang
boleh memakiku!"
"Hai! Apa?! Siapa namamu….?!" Bentak
Warok Sumo Gantra karena heran mendengar
nama yang disebutkan si pemuda.
"Aku Pangeran Matahari dari Puncak Merapi!
Mulai malam ini aku mengambil pimpinan di
sini!"
"Keparat sombong kurang ajar….."
Plaaak!
Satu tamparan kembali berkelebat. Dan
anggota rampok yang tadi bicara keras
langsung jatuh, melejang-lejang sesaat lalu
diam tak berkutik lagi. Nyawanya putus.
Ketika diperhatikan tampak separuh mukanya
hancur! Kini suasana di tempat itu
dicengkeram ketegangan. Anak buah rampok
diam-diam menjadi kecut tak berani
bergerak, menunggu apa yang hendak
dilakukan pemimpin mereka.
"Pangeran Matahari, siapapun namamu!
Sikap dan bicaramu sombong amat!
Kau berani mencelakaiku dengan patahan
cabang pohon. Kau berani menghinaku
bahkan kau melukai dan membunuh anak
buahku! Siapa kau sebenarnya dan apa
maksud kemunculanmu di tempat ini? Jika
kau sengaja mencari silang sengketa jangan
harap kau bisa meninggalkan tempat ini
hidup-hidup!"
Pangeran Matahari tertawa mengejek. "Jika
aku mau nyawamupun bisa kuambil detik ini
juga!" sahutnya seenaknya seraya berkacak
pinggang. "Apa kau tidak mendengar? Mulai
saat ini aku yang jadi pimpinan di sini.
Kalian kuperintahkan untuk menculik Puji
Lestari Ambarwati besok pagi dan
menyerahkannya padaku! Ada yang berani
menantang?!"
Perlakuan dan ucapan pemuda itu sudah
dianggap melampaui batas oleh Warok Sumo
Gantra. Namun karena maklum kalau saat itu
dia berhadapan dengan seorang pemuda
yang memiliki kepandaian maka dia tak mau
langsung turun tangan.
Dia memberi isyarat pada empat anak
buahnya yang paling tinggi ilmu
kepandaiannya.
"Pangeran Matahari! Jika kau memang
berniat jadi pimpinan boleh saja! Tapi
tundukkan dulu empat pembantuku ini!"
Si pemuda menyeringai. "Jika kau hendak
berlindung di belakang anak buahmu, hanya
sementara saja Warok! Kasihan kecebong-
kecebong ini! Ayo majulah kalian
berbarengan!"
"Hantam!"
"Bunuh!"
"Cincang!"
"Mampus!"
Empat batang golok berkelebat ganas. Dua
mengarah batok kepala dan leher, satu
membabat pinggang dan satunya lagi
menusuk ke perut!
"Rasakan olehmu sekarang!" kata Warok
Sumo Gantra bergumam seraya rangkapkan
tangan di muka dada dan menyeringai puas.
Dia sudah membayangkan kejap itu juga
pemuda sombong di hadapannya akan mati
dengan tubuh terkutungkutung!
Tapi apa yang terjadi kemudian benar-benar
mengejutkan dan membuat kedua matanya
membeliak.
Dua dari anak buahnya terpental dengan
mulut pecah dan mata hancur.
Duanya lagi entah bagaimana luka parah
terhantam golok sendiri dan tersungkur
mandi darah!
Pucatlah paras sang warok. Semua anak
buahnya mengalami hal yang sama.
Tak ada yang berani bergerak atau keluarka
suara. Lutut masing-masing terasa goyah
sedang tengkuk mendadak sontak menjadi
dingin!
"Cukup!" teriak Sumo Gantra. "Sekarang
giliranmu untuk mampus!" Kepala rampok
itni maju tiga langkah. Sejarak empat
langkah dari hadapan si pemuda dia
hantamkan tangan kanannya. Angin deras
menderu. Di saat itu pula selagi pukulan
tangan kosong jarak jauh itu belum melabrak
sasarannya, sang warok susul dengan satu
lompatan dan kirimkan tendangan keras ke
dada si pemuda.
Pangeran Matahari tertawa mengejek.
Tubuhnya miring ke samping, tangan
kanannya menyambut sakaligus dua
serangan lawan. Begitu tangan digerakkan ke
depan perlahan saja maka mencelatlah tubuh
besar kekar Warok Sumo Gantra!
Kepala rampok ini cepat jugnkir balik di
udara. Meskipun sempoyongan masih untung
dia bisa jatuh dengan kedua kaki lebih
dahulu.
"Warok Sumo! Tampangmu memang seram.
Tapi isi perutmu hanya cacing gelang
melulu! Apakah kau masih pantas menyebut
diri sebagai Warok, menjadi pimpinan orang-
orang ini?!"
"Jangan keliwat menghina! Aku masih belum
kalah!" menjawab Warok Sumo Gantra lalu
tangan kanannya bergerak ke pinggang. Di
lain kejap sebilah golok besar sudah
tergenggam di tangannya. Senjata ini
dibolang balingkan demikian rupa hingga
berkilau-kilau terkena cahaya api unggun.
"Jangan cuma tegak main akrobat! Majulah!"
mengejek Pangeran Matahari.
Waktu keluarkan ucapan dia sengaja
memandang ke jurusan lain seperti bersikap
tak acuh.
Dengan amarah memuncak Warok Sumo
Gantra menyerbu masuk. Golok besarnya
berkiblat dalam tiga arah serangan sekaligus
yakni leher, perut dan dada! Di saat yang
sama tangan kirinya tidak tinggal diam. Dia
menghantam sambil kerahkan tenaga dalam.
Sesaat Pangeran Matahari terkesiap juga
melihat serangan ganas ini. Di samping itu
pukulan tangan sang warok menebarkan
angin dingin.
Pangeran Matahari berteriak nyaring.
Tubuhnya lenyap dari pandangan Warok
Sumo Gantra. Kepala rampok ini sesaat terus
menyerbu tempat kosong sempai akhirnya di
menyadari lawan tak ada lagi di hadapannya.
"Matamu buta atau bagaimana! Aku ada di
sini Warok!" mengejek Pangeran Matahari
yang tahu-tahu sudah ada di belakang sang
warok. Dalam amarah tambah memuncak
Warok Sumo Gantra balikkan tubuh dan
babatkan goloknya.
Terdengar pekikan setinggi langit!
"Rasakan!" teriak Warok Sumo Gantra karena
menyangka si pemuda itu berhasil dihantam
goloknya. Tapi ketika sosok tubuh itu
terjungkal jatuh di hadapannya, dia segera
mengenali yang roboh mandi darah bukanlah
Pangeran Matahari, melainkan salah seorang
anak buahnya sendiri! Sedang sang pemuda
masih tegak dua langkah di depannya sambil
bertolak pinggang dan sunggingkan tawa
mengejek.
"Keparat setan alas!" teriak Warok Sumo
Gantra. Golok di tangan kanannya kembali
berkesiur, lenyap dan hanya merupakan sinar
putih dalam kegelapan malam dan pantulan
api unggun. Tubuhnya mandi keringat. Tapi
selama enam jurus dia tak mampu
menyentuh tubuh Pangeran Matahari.
Sewaktu nafasnya sesak kehabisan tenaga
akibat amarah yang tak terkendali, tiba-tiba
dia merasakan kaki kirinya seperti dihantam
balok besar. Tak ampun tubuhnya
terpelanting dan terbanting jatuh dekat
perapian. Pada saat dia hendak bangkit, satu
injakan terasa di dadanya. Dia kerahkan
tenaga namun tak mampu membuat mental
kaki yang menginjak itu.
"Apakah kau masih tak mau menyerahkan
pimpinan padaku, atau kau lebih suka
menjadi bangkai?!" bertanya Pangeran
Matahari sambil mendongak, sengaja tak
mau menatap Warok Sumo Gantra.
Karena memang tak berdaya lagi, apa lagi
meneruskan perlawanan, pimpinan rampok
itu akhirnya menyahut. "Aku mengaku kalah!
Terserah padamu mau membunuh atau
mengampuni selembar nyawaku!"
"Nyawamu kuampuni! Lekas kau hidangkan
secangkir kapi hangat untukku!
Ingat, kau sendiri yang harus
menyediakannya untukku!"
Pangeran Matahari angkat injakan kakinya
pada dada sang warok. Dengan terhuyung-
huyung Warok Sumo Gantra bangkit berdiri,
lalu melakukan apa yang diperintah sang
pangeran. Ini adalah penghinaan yang tak
pernah dialami Sumo Gantra seumur
hidupnya. Apalagi di hadapan anak buahnya
sendiri. Dalam hatinya terpancang dendam
kesumat. Satu saat dia harus membunuh
pemuda ini!
Matahari belum lagi menyembul dari ufuk
timur. Namun keadaan di tempat itu sudah
agak terang hingga cukup jelas terlihat jalan
kecil berkelok di lamping bukit sebelah timur
hutan Merapi. Dua puluh anak buah Sumo
Gantra telah berada di tempat-tempat yang
diatur sementara Pangeran Matahari duduk
di sebuah batu besar dan sang warok tegak
di sampingnya.
Tak selang berapa lama, ketika serombongan
burung nampak melayang di udara, lapat-
lapat terdengar suara derap kaki kuda.
"Mereka datang Pangeran….." berkata Warok
Sumo Gantra.
Pangeran Matahari mengangguk kecil dan
layangkan pandangannya ke timur.
Dari balik kelokan jalan yang mendaki
tampak kepala lima ekor kuda, disusul lima
ekor lagi di sebelah belakang. Lalu sebuah
kereta ditarik dua ekor kuda coklat.
Setelah itu masih ada lima pengawal berkuda
di sebelah belakang.
"Dugaanku tepat! Jumlah pengawal tidak
sampai dua puluh. Tapi….." Warok Sumo
Gantra hentikan kata-katanya. Suaranya
seperti tercekat. Dia memanang tajam ke
arah rombongan di bawah sana.
"Apa yang membuatmu tiba-tiba kecut heh?!"
bertanya Pangeran Matahari tak acuh.
"Ni Luh Tua Klungkung ada di antara
mereka!" sahut kepala rampok yang kini
berada di bawah kekuasaan Pangeran
Matahari itu.
"Kau begitu ketakutan. Siapa manusia
itu……?" tanya sang pangeran.
"Seorang nenek sinting sakti. Berasal dari
Bali tapi diketahui sejak lama menjadi
pendamping utama para tokoh silat
Keraton….."
"Sinting tapi sakti! Sungguh aneh, lucu! Aku
ingin berkenalan dengan nenek itu…."
Pangeran Matahari menyeringai dan usap-
usap telapak tangannya satu sama lain, lalu
dia mendorong-dorongkan tangan kanan
seperti mengambil ancang-ancang memukul.
"Yang mana nenek tua yang kau maksudkan
itu……?" bertanya Pangeran Matahari.
"Orang kedua pada rombongan kedua. Yang
di sebelah kanan berpakaian serba biru….."
"Itu…..? Hanya seorang nenek berambut
putih, bertubuh kecil jelek! Itu yang kau
takutkan!"
"Jangan memandang rendah Pangeran. Dia
benar-benar seorang berkepandaian tinggi!"
"Sudah! Jangan banyak mulut! Rombongan
itu hampir mendekati titik penyerangan! Kau
lekas turun dan pimpin anak buahmu
melakukan serangan!"
"Jika Pangeran memang ingin menjajal
kehebatan perempuan tua itu, sebaiknya
Pangeran ikut turun…."
Plaakk!
Satu tamparan mendarat di pipi Warok Sumo
Gantra membuat orang ini terhuyung-huyung
hampir roboh. Bibirnya pecah dan
mengucurkan darah.
"Jangan berani memerintah! Aku yang jadi
pimpinan di tempat ini! Dan ingat!" Pangeran
Matahari berkata dengan mata mendelik.
"Setiap barang berharga dan uang yang
kalian temui adalah milikku. Siapa saja
perempuan yang kalian tangkap harus
diserahkan padaku…… Pergi!"
Masih terhuyung-huyung dan masih
menahan sakit Warok Sumo Gantra berlari
menuruni lamping bukit. Dalam waktu
singkat dia sudah berada di antara anak
buahnya yang saat itu juga dalam keadaan
tegang takut ketika mengetahui bahwa dalam
rombongan yang hendak mereka serbu
terdapat Ni Luh Tua Klungkung. Jelas mereka
kini melakukan penghadangan dengan
setengah hati.
Dari batu tempatnya duduk di atas bukit,
Pangeran Matahari mendengar suara suitan
nyarin. Dari balik tebing di kiri kanan jalan
tampak melompat keluar anak buah Warok
Sumo Gantra menyerbu rombongan. Suasana
kacau balau terjadi. Ringkik kuda terdengar
tiada henti. Pertempuran segera berlangsung.
Mula-mula tampak para perampok berada di
atas angin. Lawan yang terkejut karena
diserang tiba-tiba terdesak hebat. Lima
pengawal roboh mandi darah. Namun
keganasan para perampok hanya sampai di
situ. Ketika penunggang kuda berpakaian
biru berambut putih mulai bergerak hanya
dengan mengandalkan tangan kosong, maka
keadaan jadi berubah!
Dua anggota rampok mencelat mental
dengan perut dan dada bobol dimakan
tendangan. Seorang lagi terhenyak dengan
leher patah terkena tepisan tangan kiri.
Dan ketika orang berpakaian biru itu
mempergunakan golok rampasan untuk
melancarkan serangan balasan, jerit pekik
kematian anggota rampok terdengar susul
menyusul. Enam orang tumpang tindih
menemui ajal,, satu lagi megap-megap
meregang nyawa sambil pegangi perut yang
robek.
Saat itulah Warok Sumo Gantra melompat ke
dalam kalangan pertempuran sambil
mencekal golok besar. Sekali senjatanya
berkelebat, kuda tunggangan nenek
berpakaian biru meringkik keras lalu
tersungkur. Lehernya hampir putus dibabat
golok sang warok. Adapun orang tua yang
tadi berada di atas punggung binatang ini,
begitu kudanya roboh, tubuhnya tampak
mencelat. Melayang ke kiri dan tahu-tahu
sudah duduk di atas punggung seekor kuda
lainnya, memandang ke arah Warok Sumo
gantra dengan mata berkilat-kilat.
"Wah…..wah…..wah! Jadi ini rupanya
gembong biang kerok yang berani
menghadang rombongan Istana!" Nenek
berpakaian biru buka suara dengan nada
mengejek. Lalu dia susul dengan ucapannya
"Warok Sumo Gantra! Nama jahatmu sudah
lama kudengar. Tidak disangka hari ini kau
berani muncul dan menghadang kami!
Primbon mengatakan bahwa hari ini adalah
hari kematianmu!"
Mekipun nyalinya kecut menghadapai nenek
yang sudah tersohor kehebatannya itu,
namun ucapan merendahkan tadi membakar
kemarahan Warok Sumo Gantra. Untuk
sesaat dia lupakan rasa takutnya.
"Ni Luh Tua Klungkung!" bentaknya. "Jika
kau sudah tahu siapa aku kenapa tidak lekas
minggat tinggalkan tempat ini?!"
Si nenek tertawa tinggi mendongak langit.
Golok di tangan kanannya melesat.
Bukan menyerang ke arah Warok Sumo
Gantra, tetapi menghantam pada salah
seorang anak buahnya yang langsung
menjerit roboh ketika golok itu menancap di
perutnya!
Tengkuk Warok Sumo gantra menjadi dingin.
Betapa tidak. Si nenek melakukan hal itu
tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun
dan sambil terus perdengarkan suara tertawa
tinggi.
"Warok Sumo… Jika kau tidak sanggup
melindungi nyawa anak buahmu, bagaimana
mungkin kau dapat menyelamatkan nyawamu
sendiri dari kematian…….?" Si nenek kembali
keluarkan ucapan mengejek.
Merah padam wajah Warok Sumo Gantra.
Didahului oleh bentakan nyaring tubuhnya
yang tinggi besar itu laksana terbang
melayang ke arah Ni Luh Tua Klungkung.
Golok di tangan kanannya berdesing di
udara!
Senjata itu hanya lewat setengah jengkal dari
batang leher si nenek baju biru.
Begitu lewat si nenek kibaskan ujung lengan
bajunya.
Wutt!
Serangkum angin keras menerpa.
Warok Sumo Gantra meraskaan tubuhnya
tersentak keras. Dia cepat membuang diri ke
samping. Namun tak ayal goloknya telah
terlepas mental oleh hantaman angin lengan
baju tadi dan di saat yang sama dia
merasakan tangan kanannya seperti diremas
tangan raksasa hingga dia merintih
kerenyitkan tampang.
"Warok Sumo, apakah kau masih belum yakin
kalau hari ini hari kematianmu?!" berkata Ni
Luh Tua Klungkung.
Warok Sumo menggembor marah. Kaena
tangan kanannya masih terasa sakit maka
dia pergunakan tangan kiri untuk memukul
dengan mengerahkan tenaga dalam.
Tingkat tenaga dalam yang dimiliki kepala
rampok hutan Merapi ini memang cukup
ampuh. Ketika pukulan dilepaskan, pakaian si
nenek tampak berkibar-kibar. Namun untuk
membuatnya roboh terjungkal dari punggung
kuda ternyata sang warok masih belum
mampu. Sebaliknya ketika si nenek balas
menghantam dengan kebutan ujung lengan
baju, tak ampun lagi Warok Sumo Gantra
terbanting ke tanah dan rasakan dadanya
sesak. Nafas seperti mau putus! Dia bangkit
dengan susah payah tapi hanya untuk
menerima hajaran tendangan kaki ke arah
kepalanya, yang tak mungkin dielakkan!
Saat itulah satu bayangan hitam datang
berkelebat dari samping. Warok Sumo Gantra
terpental jauh, terguling-guling di tanah tapi
selamat dari kematian.
Sebaliknya si nenek berbaju biru terdengar
berseru kaget. Tubuhnya seperti mumbul ke
atas, jungkir balik di udara dan lain kejap
sudah berpindah duduk ke atas punggung
kuda lainnya. Dari atas punggung binatang
ini dia memandang tak berkesip pada sosok
tubuh pemuda yang mengenakan pakaian
serba hitam dengan gambar gunung dan
matahari di dadanya.
"Orang muda! Lagakmu lancang amat! Berani
mencampuri urusan orang!
Siapa kau? Apa kambratnya rampok-rampok
keparat ini?!" begitu si nenek membentak.
"Nenek butut! Lagakmu keren amat!" balas
membentak Pangeran Matahari.
"Aku Pangeran Matahari dari Puncak Merapi.
Aku pimpinan tertinggi gerombolan rampok.
Kawasan hutan Merapi adalah daerah
kekuasaanku! Siapa berani lewat di sini
berarti berani ambil tanggung jawab!"
Si nenek mendengus. "Caramu bicara dan
pakaian yang kau kenakan membuatmu lebih
pantas jadi pemain sandiwara. Tapi kulihat
tadi kau punya sedikit ilmu! Aku belum tahu
apakah ilmu itu bisa kau andalkan untuk
menyelamatkan jiwamu! Orang-orang jahat
sepertimu layak dikubur hidup-hidup tapi tak
layak dikubur kalau sudah mati…..!"
"Baru menjadi jongos istana lagakmu seperti
tuan besar! Pangeran Matahari ingin melihat
sampai di mana kehebatanmu monyet betina
tua!"
Meskipun naik darah disebut monyet betina
tua tapi si nenek tetap perdengarkan suara
tertawa tinggi. Masih duduk di atas
punggung kuda Ni Luh tua Klungkung
rapatkan telapak dan jari-jari tangannya lalu
diangkat ke kening seperti orang menghormat
memberi salam. Ketika kedua tangan itu
tiba-tiba dihantamkan ke bawah disertai
bentakan garang, dua larik angin deras
seperti membelah tanah.
Pangeran Matahari merasakan tubuhnya
tergoncang. Satu kekuatan membetot dirinya
ke kanan, satu lagi menariknya ke kiri. Ketika
dia coba melompat keluar dari daya tarik
dua kekuatan yang seperti hendak membelah
tubuhnya itu si nenek tiba-tiba dorongkan
tumitnya. Si pemuda merasakan ada
hantaman dahsyat melabrak dadanya.
Tubuhnya hampir terjungkal ke belakang.
Namun dia cepat jatuhkan diri setengah
berbaring. Tanan kiri bertekan ke tanah
sedang tangan kanan menghantam ke depan.
"Makan pukulanku ini!" teriak Pangeran
Matahari.
Ni Luh Tua Klungkung tersentak kaget ketika
ada gelombang angin dahsyat memusnahkan
dua pukulannya tadi dan sekaligus kini
menghajarnya. Dia coba bertahan dengan
silangkan lengan kiri di depan dada. Tapi
kuda yang didudukinya tak sanggup berdiri.
Binatang ini roboh terjengkang, memaksa si
nenek melompat sambil memukul.
Pangeran Matahari tersenyum. Dia tahu kini
kalau si nenek ternyata memiliki kekuatan
tenaga dalam yang tidak mampu
menghadapi tenaga dalam yang dimilikinya.
Maka diapun lepaskan hantaman kedua.
Kembali Ni Luh Tua Klungkung melengak dan
terpaksa lagi-lagi selamatkan diri sambil
melompat dan memukul.
Begitu pukulannya lepas dia melompat dan
kebutkan lengan pakaian birunya. Angin aneh
mengeluarkan suara seperti puting beliung
menerpa menggidikkan ke arah Pangeran
Matahari, membuat tubuhnya bergoncang
keras, padahal dua angin pukulan itu masih
sejauh tiga langkah. Ketika serangan lawan
tinggal dua langkah lagi, Pangeran Matahari
angkat kedua tangannya dengan telapak
terkembang ke arah si nenek. Lalu dia
dorongkan kedua tangan itu. perlahan saja.
Tapi apa yang tejadi kemudian sungguh luar
biasa.
Suara mendesis keluar dari dua telapak
tangan disertai sambaran angin hangat yang
semakin lama semakin panas. Ketika kedua
lengan sudah hampir membentuk garis lurus,
hawa panas yang keluar dari telapak tangan
semakin keras. Ni Luh Tua Klungkung
merasakan tubuhnya seperti terpanggang .
Mulutnya komat kamit. Kedua kakinya
terbenam ke dalam tanah. Lututnya menekuk
dan perempuan tua ini akhirnya terjengkang.
Dadanya mendenyut sakit. Sekujur tubuhnya
seperti dikobari api.
Namun dia tidak mau menyerah begitu saja.
Ilmu pukulan Telapak Merapi yang tadi
dilepaskan lawan masih sanggup ditahannya.
Dengan seluruh sisa tenaga luar dan
kekuatan tenaga dalam yang ada perempuan
tua ini pukulkan kedua tangannya ke tanah.
Tubuhnya melesat ke udara.
Selagi melayang inilah dia membuat satu
gerakan aneh. Tangan kiri mendekap dan
menekan perut. Tangan kanan diacungkan
lurus-lurus ke arah Pangeran Matahari.
Kedua pipinya yang keriput menggembung.
Ketika kemudian mulutnya meniup,
menyemburlah asap tibpis kuning yang
menebar bau kayu cendana, yaitu sejenis
pohon kayu harum yang banyak tumbuh di
Bali. Semburan asap ini menyembur dan
melesat sepanjang tangan kanan yang
diluruskan dan mengarah pada sasaran.
Pangeran Matahari mendadak merasakan
kepalanya pening. Pemandangan berkunang
dan perut mendadak mual. Sadar semburan
asap kuning itu mengandung racun jahat
melumpuhkan, sang pangeran cepat
gulingkan diri menjauhi. Namun si nenek
ikuti gerakan tubuh lawan dengan
mengarahkan tangan kanannya, ke mana
pemuda itu bergerak, ke situ pula tangannya
diarahkan!
Sang pangeran tak bisa lari lagi! Tubuhnya
yang baru saja mencoba bangun tampak
limbung. Sadar bahaya besar tengah
dihadapinya cepat-cepat dia berlutut dan
tutup penciuman. Kedua matanya terpejam
dan mulut melafatkan sesuatu. Tangan kanan
diangkat tinggi-tinggi ke atas, lima jari
membentuk tinju. Lengan disentakkan ke
bawah lalu secepat kilat dihantamkan
kembali ke atas. Bersamaan dengan itu lima
jari tangan membuka dan bentakan keras
menggelegar dari tenggorokannya!
Tanah di tempat itu mendadak sontak
bergetar. Terdengar suara aneh
menggemuruh. Ketika tangan dihantamkan ke
atas dan lima jari membuka menghempas,
suara gemuruh berubah jadi suara ledakan
dahsyat seperti gunung meletus. Belasan
kuda meringkik. Beberapa sosok tubuh
tampak mencelat lalu jatuh terguling-guling.
Dua kuda penarik kereta tersungkur, berusaha
lari tapi rubuh lagi.
Kedua binatang ini akhirnya melosoh begitu
di tanah jalanan. Sementara itu debu pasir
dan bebatuan beterbangan ke udara!
Pangeran Matahari telah mengeluarkan ilmu
pukulan sakti bernama Merapi Meletus yang
didapatnya dari kakek sakti di puncak
Merapi.
Ni Luh Tua Klungkung merasakan isi dada
dan perutnya seperti berhamburan keluar
ketika terdengar suara gemuruh yang disusul
letusan hebat tadi. Jalan darahnya seperti
terhenti. Kepalanya seperti dipukuli palu
godam. Sekujur tubuhnya mendadak sontak
kehilangan daya hingga dia terkapar di
tebing jalan dan darah mengalir di sela
bibirnya. Keadaannya antara sadar dan
pingsan. Tubuhnya tak berkutik sedikitpun.
Keadaannya yang seperti ini
menyelamatkannya karena Pangeran
Matahari menyangka perempuan tua itu
sudah meregang nyawa.
Perlahan-lahan Pangeran Matahari turunkan
tangan kanannya. Memandang berkeliling
dilihatnya Warok Sumo tengah berusaha
bangkit berdiri sambil berpegangan pada
roda kereta. Beberapa pangawal yang
selamat segera jatuhkan diri bersila tanda
menyerah sedang anggota rampok yang
masih hidup tegak menjauh, tak ada yang
berani mendekat. Di dalam kereta terdengar
suara isak tangis perempuan.
Pangeran Matahari melangkah mendekati
kereta lalu membuka pintu samping
kendaraan itu. di dalam kereta tempat duduk
berpelukan dua orang perempuan. Yang satu
berusia sekitar empat puluhan, berparas
rupawan dan mengenakan pakaian bagus
lengkap dengan segala perhiasan.
Perempuan satunya lagi adalah gadis remaja
berkulit kuning dan memiliki wajah hampir
sama dengan yang lebih tua tetapi tentu saja
jauh lebih cantik. Jelas keduanya adalah ibu
dan anak.
"Inikah gadis yang bernama Raden Ayu Puji
Lestari Ambarwati itu….?"
membatin Pangeran Matahari. Detik pertama
dia melihat ibu dan anak itu darahnya
tersirap dan jantungnya berdebar keras.
Ingatan dan kenangan kembali pada masa
dua belas tahun yang silam. Meski waktu
sekian lama berlalu, namun dia tak pernah
melupakan raut wajah ibunya. Juga paras
kakak perempuannya. Kedua perempuan itu
ternyata adalah ibu dan kakaknya sendiri.
Hampir terlompat ucapan "ibu" dari mulutnya
kalau saja tidak tiba-tiba mendenging suara
di liang telinganya.
"Pangeran Matahari! Dengar kata-kataku!
Ingat pada pesanku! Melanggar pesan berarti
musnahnya segala ilmu yang kau miliki!"
"Guru! Apa maksudmu!" ujar Pangeran
Matahari bicara sendiri.
"Bukankah sudah kupesan bahwa kau tidak
boleh kembali ke masa lalumu?
Kau tidak boleh kembali pada orang tua dan
saudara-saudaramu! Siapa kau pada masa
lalu harus kau kubur, harus kau lupakan
selama-lamanya. Siapa kau sekarang tak
seorangpun boleh tahu….."
Sesaat Pangeran Matahari tertegun. Akhirnya
dia berkata, "Pesanmu aku ingat.
Tapi aku harus menolong kedua perempuan
ini. Bagaimanapun dia adalah ibu dan
kakakku…….!"
"Aku tidak melarangmu menolong mereka.
Tapi ingat, jangan sekali-kali mereka
mengetahui siapa kau adanya. Sekali kau
melangar pesan dan pantangan, kau akan
celaka seumur-umur!" suara mengiang lalu
lenyap dan kini berganti suara perempuan
separuh baya dalam kereta yang duduk
ketakutan sambil mendekap puterinya.
"Kami orang-orang istana. Jangan berani
mengganggu. Jangan sakiti anakku.
Aku istri Sri Baginda yang ketiga…."
"Aku tahu siapa kalian," menyahuti Pangeran
Matahari. "Aku tiak akan mengganggu.
Kalian boleh pergi dengan aman. Hanya aku
ada beberapa……"
Ucapan Pangeran Matahari itu tiba-tiba
dipotong oleh suara Sumo Gantra yang saat
itu berdiri di sampingnya, memandang
dengan mata berkilat-kilat pada dua
perempuan di dalam kereta.
"Pangeran, apa kau lupa maksud dan
rencana kita semula? Merampas harta benda
dan menculik kedua perempuan ini…..?"
Pangeran Matahari palingkan kepalanya,
memandang dengan mata mendelik pada
Sumo Gantra, membuat kepala rampok hutan
Merapi ini jadi bergeming tapi masih berani
berkata "Jika kau tidak inginkan mereka,
serahkan padaku……"
"Warok Sumo Gantra! Kau telah salah
menyusun rencana. Kau tidak tahu siapa
kedua orang ini! kesalahan berarti
kematian……!"
Warok Sumo Gantra melangkah mundur.
"Apa maksudmu Pangeran? Tak ada rencana
yang salah….."
"Orang yang sudah mau mati tak usah
banyak bicara!" Pangeran Matahari
membentak. Bersamaan dengan itu tangan
kanannya menggebrak menghantam batok
kepala Warok Sumo Gantra. Demikian
dekatnya mereka berada dan demikian
cepatnya gerakan sang pangeran ditambah
ketidak terdugaan bahwa sang pangeran
benar-benar hendak membunuhnya membuat
Warok Sumo Gantra tak mampu berkelit
selamatkan diri. Dia tergelimpang dekat roda
kereta dengan kepal pecah! Ibu dan anak
pucat pasi dan menggigil ketakutan
menyaksikan.
Pangeran Matahari kembali berpaling pada
kedua perempuan itu. "Sebelum kalian pergi
aku ada eberapa pertanyaan. Apakah
Tumenggung Gali Marto masih bertugas di
Keraton?"
"Ya…..ya…… Tumenggung itu memang masih
bertugas. Mengapa kau bertanya…..?" Yang
menjawab adalah Siti Hinggil ibu Raden Ayu
Puji Lestari Ambarwati yang juga adalah ibu
kandung Pangeran Matahari sendiri.
Karena merasa takperlu menjawab
pertanyaan ibunya, Pangeran Matahari
ajukan pertanyaan kedua. "Apakah Sri
Baginda memperlakukan kalian dengan baik,
termasuk putera-puteri kalian……?"
"Ya….. kami memang diperlakukan dengan
baik. Dari Sri Baginda saaat ini aku hanya
punya saru orang putera. Putera tertua
hilang sewaktu terjadi bencana gunung
meletus dua belas tahun silam. Kalau dia
masih hidup….. kira-kira seusiamu dia
sekarang….."
"Ayahanda memang baik, tapi para pangeran
saudara-saudara kami dari permaisuri dan
istri kedua bersikap sangat bermusuhan……"
"Mereka semua akan menerima pembalasan!"
kata Pangeran Matahari. "Nah sekarang
kalian boleh pergi bersama para pengawal
yang masih hidup…."
Anak dan ibu itu tampak lega. Puji Lestari
malah memberanikan diri bertanya.
"Siapakah saudara sebenarnya? Bukankah….
Bukankah kau yang jadi pemimpin
rombongan rampok penghadang?"
"Namaku Pangeran Matahari. Aku tak ada
angkut paut apa-apa dengan monyet-monyet
hutan itu….."
"Kalau begitu kau seorang yang baik.
Ambillah ini sebagai tanda terima
kasihku….."
Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati lalu
meloloskan cincin emas bergambar kepala
burung Rajawali yang merupakan cap
kerajaan dan menyerahkannya ada Pangeran
Matahari.
"Aku tidak butuh cincin itu. Kalian berdua
silahkan pergi!"
"Jangan berani menampik pemberian orang
istana!" Puji Lestari nampak kecewa.
"Kalau kau bukan kakak kandungku tadi-tadi
sudah kutampar kau!" kata Pangeran
Matahari dalam hati. Dengan tangan kirinya
diambilnya cincin itu lalu dimasukkannya ke
jari kelingking tangan kanannya. Sesaat
setelah kereta beserta beberapa pengawal
meninggalkan tempat itu Pangeran
Mataharipun berlalu pula dari situ. Tujuannya
adalah Kotaraja. Namun dia sengaja tidak
mau mengambil jalan yang sama dengan
rombongan ibunya.
Ni Luh Tua Klungkung merasakan dadanya
masih berdenyut sakit. Disekanya darah yang
mulai mengering di sudut bibir lalu dia
bangkit dan duduk di pinggir jalan.
Memandang berkeliling dilihatnya lebih dari
sepuluh mayat bergelimpangan termasuk
mayat Sumo Gantra. Apa yang terjadi dengan
kepala rampok hutan Merapi itu? Siapa yang
membunuhnya. Di mana kereta berisi istri
dan puteri Sri Baginda? Di mana pula
pemuda bernama Pangeran Matahari itu?
Jangan-jangan dia telah melarikan kereta
berikut dua penumpangnya. Sesaat si nenek
agak meragu. Kalau dua perempuan itu
diculik dan dilarikan, mengapa tak satupun
perajurit-perajurit pengawal tertinggal di
tempat itu.
"Sesuatu yang aneh telah terjadi….."
membatin nenek berbaju biru ini. Tapi yang
membuatnya merasa tidak tenang adalah
memikirkan kesalamatan istri dan puteri Sri
Baginda. Jika sampai terjadi apa-apa
dengan kedua perempuan itu, hukuman berat
akan diterimanya sebagai pertanggung
jawab.
"Empat tahun mengabdi raja, mengapa hari
ini nasibku celaka sekali!" si nenek
mengomel. Rasa sakit hatinya bukan
kepalang. Segala kepandaian berupa ilmu
silat dan pukulan sakti yang dimilikinya
ternyata tidak berdaya menghadapi seorang
pemuda tidak terkenal bernama aneh si
Pangeran Matahari itu! Saking kesalnya
perempuan tua ini terisak-isak dan pukul-
pukul kepalanya sendiri.
"Dari pada malu dan menerima hukuman
berat, lebih baik aku bunuh diri saja!
Mati lebih pantas dari pada menanggung
malu!" Begitu Ni Luh Tua Klungkung
menyesali diri. Lalu tangan kanannya yang
terkepal dihantamkan ke batok kepalanya
sendiri. Nenek nekad ini memang sudah rela
untuk mati!
Sekejap lagi batok kepalanya akan hancur
tiba-tiba dari belakang ada satu tangan yang
memegang lengannya. Dia kerahkan tenaga
dan coba berontak. Tapi pegangan itu
bukannya lepas malah tambah kencang.
"Kurang ajar! Jangan campuri urusan orang!"
si nenek berteriak marah lalu sikut kirinya
dihantamkan ke belakang.
Terdengar suara bergedebuk tanda
serangannya mengenai sasaran. Tapi orang
yang memegang lengannya dari belakang
sama sekali tidak keluarkan suara keluhan
kesakitan ataupun terdorong dan juga
cekalannya masih tetap kencang seperti tadi.
Penuh maraha Ni Luh Tua Klungkung
palingkan kepalanya.
Seorang pemuda berambut gondrong berikat
kepala putih tersenyum padanya dan
menegur. "Nenek, di usiamu selanjut ini
mengapa masih memikirkan mati dengan
cara bunuh diri. Satu dua tahun di muka
tanpa dimintapun malaikat maut akan
datang menjemputmu!"
Si nenek yang semula terkesiap melihat
kegagahan paras pemuda itu, mendengar
ucapan itu jadi marah. Dia kembali menyikut
tapi luput.
"Lepaskan tanganku! Manusia kurang ajar!"
Si pemuda lepaskan pegangannya. Begitu
tangannya bebas Ni Luh Tua Klungkung
langsung menyerang. Si pemuda keluarkan
siulan nyaring dan berseru.
"Nenek, ilmu silatmu boleh juga! Tapi kau
sedang terluka di dalam. Jika sampai
keluarkan tenaga terlalu besar karena
turutkan hawa amarah, kau bisa celaka
sendiri!"
Sadar kalau ucapan orang itu memang benar,
si nenek bersurut. Sesaat dia tegak dan
memandang si pemuda dengan mata marah
berkilat-kilat. Tiba-tiba didengarnya pemuda
di hadapannya berkata.
"Nek, kulihat kulit mukamu keriput dimakan
usia. Tapi mengapa sepasang matamu bagus
sekali, mati gadis-gadis remajalah yang
seperti itu…..!"
"Kau!" seru Ni Luh Tua Klungkung. Kedua
kakinya kembali tersurut.
Tubuhnya bergetar. Dia siap mendamprat.
Tapi sambil tersenyum pemuda di
hadapannya mengulurkan sebuah benda
bulat berwarna hijau.
"Kau terluka di dalam, nek. Cukup parah.
Telanlah obat ini!"
"Mana aku tahu itu obat atau racun?!"
bentak si nenek.
"Ah, kau tidak percaya pertolongan orang!"
"Kenalpun tidak! Tahu-tahu muncul mau
menolong! Bukan kustahil kau kawannya
Pangeran Matahari!"
"Pangeran Matahari! Nama hebat! Siapakah
dia? Kekasihmu?!"
"Pemuda kurang ajar! Musuh kau katakan
kekasihku!"
Pemuda itu tertawa sambil garuk-garuk
kepala. Sekali lagi dia ulurkan tangannya
yang memegang benda bulat hijau.
"Makanlah agar lukamu sembuh!"
"Tidak!"
"Jika kau tidak percaya lihatlah aku akan
kunyah benda ini!" Lalu si pemuda buka
mulutnya lebar-lebar dan tangannya
didekatkan ke mulutnya. Mulut itu kemudian
tampak komat kamit mengunyah sedang
matanya terpejam-pejam. Lalu
tenggorakannya tampak seperti menelan.
"Nah, kau lihat sendiri. Aku tidak mati…..!"
Si pemuda tertawa gelak-gelak. Memang
sikapnya memasukkan obat ke mulut,
menguyah dan menelannya hanya pura-pura
saja. Ketika dia menuruti membuka tangan
kanannya yang tergenggam, benda bulat
hijau itu masih ada di sana!
"Matamu tajam dan setua ini ternyata kau
masih cerdik nek. Dengar, obat ini hanya
tinggal satu-satunya yang kumiliki. Karena
hendak menolongmu, mana mungkin aku
benar-benar menelannya…..!"
"Siapa kau sebenarnya! Terus terang
pengalaman mengatakan agar kita berhati-
hati terhadap seseorang tak dikenal yang
tahu-tahu muncul menunjukkan sikap
baik……!" Sepasang mata si nenek menyelidik
tampang pemuda ini. Ketika dia
memperhatikan pakaian yang tak terkancing,
pada dada si pemuda yang terbuka
dilihatnya guratan tiga buah angka berwarna
biru kehitaman. Dia rasa-rasa pernah
mendengar tentang tiga angka itu.
"Namaku Wiro Sableng. Tapi otakku tidak
sableng!" si pemuda jelaskan siapa dirinya.
Ni Luh Tua Klungkung tersentak kaget. "Kau
Pendekar 212!" serunya.
Wiro menjura. "Syukur kini kau tahu siapa
aku. Kita orang-orang segolongan, kenapa
bersikap curiga……"
"Aku…..aku hanya……" Si nenek tampak salah
tingkah.
"Ini ambillah…." Wiro Sableng ulurkan lagi.
Kali ini si nenek mau mengambil lalu dengan
agak malu-malu menelan obat itu.
"Bagus…. Bagaimana perasaanmu sekarang
nek?"
"Debaran jantungku tidak keras lagi. Aliran
darah mulai teratur dan sesak pada dada
mulai berkurang. Obatmu ampuh. Aku
mengucapkan terima kasih…." Si nenek
kembali menunjukkan sikap salah tingkah.
"Aku tidak melupakan budi pertolonganmu.
Sekarang aku harus pergi….."
"Eh, tunggu dulu!" seru Wiro. "Kau belum
menerangkan mengapa tadi kau hampir
menempuh jalan sesat bunuh diri. Juga kau
belum menerangkan siapa itu manusia
bernama Pangeran Matahari. Dan mengapa
ada banyak mayat malang melintang di jalan
ini. Di antara mereka kulihat perajurit-
perajurit kerajaan."
Setelah meragu sejenak akhirnya Ni Luh Tua
Klungkung menceritakan apa yang terjadi.
Dalam keadaan pikiran kacau dan takut
menerima hukuman berat dari raja sampai
nekad hendak bunuh diri.
"Tentang siapa Pangeran Matahari akupun
tak tahu banyak. Dia mengaku pimpinan
rampok hutan Merapi. Tapi terus terang aku
menyangsikan hal itu. Satu hal tak aku
lupakan, dia memiliki ilmu silat dan
kesaktian luar biasa. Nah, aku sudah jawab
semua pertanyaanmu. Aku tak ada waktu
lama. Harus cepat-cepat menuju kotaraja
guna menyelidik apakah istri Sri Baginda dan
puterinya berada di sana atau bagaimana.
Sekali lagi terima kasih atas obatmu yang
mujarab itu….."
"Satu pertanyaan lagi!" Wiro Sableng cepat
buka mulut ketika dilihatnya si nenek hendak
berkelebat pergi.
"Apa lagi ini?!" Perempuan tua itu nampak
jengkel.
"Dunia ini penuh dengan seribu satu macam
keanehan. Terkadang keanehan itu tak
pernah terjawab. Salah satu keanehan saat
ini terjadi di hadapanku….."
"Apa maksudmu?!" Suara Ni Luh Tua
Klungkung bergetar.
Murid Eyang Sinto Gendeng tersenyum.
"Apakah tidak aneh kalau seorang
perempuan tua berwajah keriput yang berusia
mungkin lebih dari tujuh puluh tahun
memiliki sepasang mata yang bagus
bercahaya dan sepasang tangan yang
berkulit halus….."
Ni Luh Tua Klungkung melompat mundur.
Kedua matanya memandang tak berkesip
pada si pemuda dan untuk beberapa saat
lamanya tak bisa keluarkan suara apa-apa.
Tahu kalau orang sudah tertangkap tangan
dalam penyamarannya Wiro tambaikan
tangan dan cepat berkata "Sudahlah, jangan
pikirkan pertanyaan atau ucapanku tadi.
Kalau kau melakukan penyamaran kau tentu
punya alasan sendiri. Aku tak layak
menanyakan alasanmu itu. Jika kau memang
bermaksud ke kotaraja, apakah kita bisa
jalan bersama….?"
Sebenarnya kalau saja penyamaran dirinya
tidak diketahui Wiro, "sang nenek"
tidak akan merasa keberatan untuk sama-
sama berangkat ke Surokerto. Dia buru-buru
berkata. "Kalau begitu kita berpisah di sini.
Siapa tahu ada umur panjang dan bertemu
lagi….." Wiro lalu menjura dan tinggalkan
tempat itu.
Tinggal kini si "nenek" tertegak di tengah
jalan seorang diri.
"Empat tahun menyamar tak seorangpun
mengetahui siapa aku! Tapi pendekar itu
sungguh tajam dan cerdik. Sekali bertemu
langsung membongkar kedokku! Tolol!
Tololnya aku…..!" Dia tampar-tampar sendiri
keningnya. "Kalau sudah begini, tak ada
jalan lain! Aku harus membuat samaran
baru!" Lalu Ni Luh Tua Klungkung tanggalkan
pakaian birunya. Di balik pakaian biru itu
ternyata dia mengenakan sehelai pakaian
ringkas berwarna kelabu. Tangannya
digerakkan ke wajahnya. Sehelai kulit tipis
yang bersambungan dengan rambutnya yng
putih tersingkap. Kini kelihatanlah raut wajah
dan rambutnya yang asli. Ternyata si "nenek"
ini aslinya adalah seorang dara berparas
jelita dan berambut hitam. Dari balik balik
pakaian kelabunya sang dara keluarkan
sebuah topeng kulit tipis, lengkap dengan
rambut pendek. Begitu di kenakan ke
wajahnya maka berubahlah dia jadi seorang
pemuda tampan yang mencerminkan watak
keras. Dia pandangi kedua tangannya. Lalu
geleng-gelengkan kepala. "Aku harus
melakukan sesuatu dengan tangan ini. kalau
tidak penyamaranku pasti akan diketahui
orang pula. Apalagi kalau bertemu lagi
dengan si Sableng itu!"
Siang itu Tumenggung Gali Marto merasa
tidak enak. Yakni sehabisnya seorang utusan
istana datang menemuinya. Utusan ini
membawa sepucuk surat dari R.A.Siti
Hinggil, istri Sri Baginda yang ketiga. Surat
itu menjelaskan tentang pertemuan R.A.
Siti Hinggil dengan seorang pemuda
berkepandaian tinggi, mengaku bernama
Pangeran Matahari. Isi surat memberi
peringatan pada sang tumenggung bahwa
ada tanda-tanda dari sikap dan air mukanya
bertanyakan Tumenggung Gali Marto si
pemuda mempunyai satu maksud yang tidak
baik. Dalam surat R.A. Siti Hinggil juga
menjelaskan peristiwa penghadangan di luar
kotaraja.
"Pangeran Matahari….." ujar Tumenggung
Gali Marto lalu meletakkan surat di
pangkuannya. "Tak pernah kukenal orang
dengan nama aneh begitu. Jika dia
menunjukkan sikap menolong terhadap R.A.
Siti Hinggil dan puterinya bahkan menolong
kedua perempuan itu dari Warok Sumo
Gantra, mengapa pula dia mengandung
maksud yang tidak baik terhadapku? Sulit
diterka mengapa dia menanyakan diriku….."
Setelah berpikir lama dan tak kunjung
mendapatkan jawaban akhirnya Tumenggung
Gali Marto menarik kesimpulan, mungkin
sekali pemuda itu menanyakan untuk mencari
pekerjaan. Sebagai kepala pengawal atau
sebagai perwira muda. "Tapi….." kata batin
sang tumenggung membantah sendiri. "Jika
dia memang seorang pangeran, mengapa
mempersusah diri dengan mencari
pekerjaan….?"
Selesai makan siang itu, Tumenggung Gali
Marto pergi duduk di kursi batu di dalam
taman di bagian belakang gedung
kediamannya. Sambil duduk dan menggelitik
telinganya dengan bulu ayam lelaki berusia
hampir setengah abad itu mendengarkan
permainan rebab yang digesek oleh seorang
tua bermata buta, yang duduk di rumput tak
berapa jauh darinya.
Suatu saat Tumenggung Gali Marto hentikan
mengorek kuping dan berpaling pada orang
tua penggesek rebab.
"Akik Tua…. Mengapa suara rebabmu tiba-
tiba menjadi sumbang?" bertanya
Tumenggung Gali Marto.
Yang ditanya tidak menjawab, melainkan
beringsut di atas rumput mendekati
tumenggung. Setelah dekat diapun berbisik.
"Tumenggung, saya mendengar suara orang
melangkah mundar-mandir di balik tembok
halaman belakang ini….."
Tentu saja Tumenggung Gali Marto terkejut
mendengar kata-kata orang tua itu. tapi dia
percaya apa yang dikatakan. Sebagai orang
cacat buta kedua matanya, Tuhan
mengaruniai satu keluar biasaan pada Akik
yakni pendengaran yang sangat tajam.
Bahkan seorang pesilat tingkat tinggi yang
memiliki kesaktianpun kalah hebat
pendengarannya dengan si buta ahli
penggesek rebab ini. Tumenggung Gali ingat
pada surat R.A.Siti Hinggil.
"Apakah orang itu hanya sendiri? Dan
apakah dia masih mundar-mandir sepanjang
tembok…..?" bertanya Tumenggung Gali
Marto.
Akik Tua mendongak, memasang telinga
sesaat menjawab. "Dia memang sendirian,
Tumenggung. Dan masih mundar-madir di
sekitar tembok. Seperti menunggu
sesuatu….."
Tumenggung Gali Marto campakkan bulu
ayam di tangan kanannya lalu berdiri dari
kursi batu.
"Hendak ke mana Tumenggung…..?"
"Kau tetap di sini Akik. Aku akan menyuruh
para pengawal menyelidik. Siapa orang
mencurigakan di luar tembok sana….."
Baru saja Tumenggung Gali Marto berkata
begitu sesosok tubuh tampak melayang
melompati tembok belakang gedung
kediaman yang tingginya sekitar tiga
tombak. Orang yang barusan melompat ini
sebelum menjejakkan kedua kaki di rumput
taman membuka mulut menimpali ucapan
sang tumenggung tadi.
"Tak perlu susah-susah mencari pengawal.
Orang yang kau curigai saat ini telah berada
di hadapanmu!"
Tumenggung Gali Marto kaget bukan main.
Dia cepat membalik. Empat langkah di
hadapannya, tegak di atas undak-undak
batu, tampak seorang pemuda berpakaian
serba hitam. Pada bagian dada baju yang
dikenakannya ada gambar puncak gunung
berwarna biru dengan latar belakang
matahari merah darah serta sinarnya berupa
garis-garis warna kuning. Pemuda tak
dikenal bertampang keras angkuh ini tegak
bertolak pinggang. Keningnya yang tinggi
lebar diikat dengan sehelai kain berwarna
merah.
"Kau manusianya yang bernama Gali Marto,
berpangkat Tumenggung…..?" si pemuda
kembali membuka mulut.
Seumur hidupnya tidak pernah Tumenggung
Gali Maarto ditegur sekasar itu.
behkan Raja sekalipun kalau bicara bersikap
sopan dan mempergunakan bahasa yang
halus. Kini seorang pemuda tak dikenal
bicara begitu kurang ajar terhadapnya.
Dengan sendirinya darah naik ke kepala sang
tumenggung. Kedua rahangnya menonjol
saking geram.
Akik Tua si penggesek rebab yang sudah
mencium bakal terjadi hal yang tidak enak
bangkit berdiri, terbungkuk-bungkuk berkata
pada Tumenggung Gali Marto "Sebaiknya
saya pergi memanggil pengawal….."
"Orang buta!" membentak pemuda
berpakaian hitam. "Satu langkah lagi kau
berani bergerak, putus nyawamu!"
Baru diancam begitu Akik Tua benar-benar
seperti merasa sudah putus nyawanya.
"Aku tidak berdosa, tidak berbuat kesalahan
apa-apa, mengapa ada orang yang ingin
membunuhku…..?"
"Buta! Ternyata kau terlalu banyak mulut!
Aku tidak suka pada manusia banyak omong!
Kau berangkat duluan…..!"
Pemuda berpakaian hitam pukulkan tangan
kirinya. Perlahan saja. Kejap itu terdengar
pekik penggesek rebab buta itu. tubuhnya
mencelat, terbanting di pilar beranda gedung,
jatuh ke tangga dan tak berkutik lagi. Darah
tampak mengucur dari mulutnya.
"Durjana tak berperi kemanusiaan!" teriak
Tumenggung Gali Marto marah besar. Dia
menyerbu ke depan. Tapi ketika si pemuda
itu mengangkat tangan kanannya, serta
merta Tumenggung ini merasakan seperti
menabrak tembok. Dia tak dapat bergerak
mendekati si pemuda.
"Apakah kau berperi kemanusiaan ketika kau
meninggalkan anak lelaki di sekitar Sleman
ketika Merapi meletus dua belas tahun lalu?!"
Paras Tumenggung Gali Marto berubah
pucat.
"Apakah…… Jadi, jadi….. kau Pangeran Anom
yang hilang!" seru sang Tumenggung.
Si pemuda menyeringai "Namaku Pangeran
Matahari! Bukan Pangeran Anom….."
"Ah, tidak! Wajahmu jelas mirip Pangeran
Anom, putera Sri Baginda yang hilang dalam
peristiwa meletusnya gunung Merapi….. Betul!
Aku ingat sekarang!"
Tumenggung Gali Marto tiba-tiba jatuhkan
dirinya, berlutut di hadapan Pangeran
Matahari.
"Pangeran Anom bukannya hilang! Pada saat
suasana kacau itu kau bukan melindungi
atau menyelamatinya. Malah
meninggalkannya, mencari selamat sendiri!
Tentunya pada Sri Baginda kau mengarang
cerita bahwa anak itu lenyap waktu berburu,
waktu terjadi letusan Merapi. Benar
begitu……?"
"Saya…..saya tidak ingat lagi. Tapi saya
yakin kau adalah Pangeran Anom…..
Saya minta diampuni kalau Pangeran Anom
menganggap peristiwa itu sebagai satu
kesalahan atau kesengajaan. Saya….."
"Jangan panggil aku Pangeran Anom!"
bentak si pemuda. "Namaku Pangeran
Matahari!"
"Siapapun kau adanya, saya mohon
diampuni….." kata Tumenggung Gali Marto
yang tetap yakin pemuda di depannya itu
adalah Pangeran Anom yang dua belas tahun
lalu terpisah dari rombongan ketika berburu
di kaki Merapi.
"Tumenggung Gali Marto! Tahukah kau
bahwa dosa kesalahanmu dua belas tahun
silam tak bisa diampuni? Dan hanya bisa kau
tebus dengan nyawa pengecutmu?!"
"Demi Tuhan saya….."
Kaki kanan Pangeran Matahari bergerak.
Tumenggung Gali Marto membuang diri ke
samping. Dia selamat dari tendangan maut
itu. Namun ketika ada suara mendesis dan
Pangeran Matahari dorongkan tangan kirinya
perlahan sekali, segulung angin panas
menghantam sang tumenggung. Tak ampun
lagi orang ini tergulingguling di rumput
taman. Tubuhnya tampak hangus. Rumput
taman juga kelihatan mengering seperti
terpanggang!
Dengan tenang Pangeran Matahari
melangkah mendekati mayat Tumenggung
Gali Marto. Dari pakaian hitamnya dia
mengeluarkan secarik kertas. Kertas ini
dijatuhkannya dan tepat menutupi wajah
hitam hangus Tumenggung Gali Marto.
Seorang punggawa masuk dengan napas
terengah-engah dan hampir roboh ketika
hendak menjura di hadapan Patih Haryo
Unggul. Dia membuka mulut akan
mengatakan sesuatu namun nafasnya dan
dadanya yang sesak membuat tak ada suara
yang keluar dari mulutnya. Akibatnya dia
hanya bisa mengulurkan tangan
menyerahkan selembar kertas yang nyaris
lusuh serta basah oleh keringatnya.
Penuh heran Patih Haryo Unggul mengambil
kertas itu. Di situ ternyata terdapat sederetan
tulisan berbunyi :
Bagi semua manusia tak berbudi
Termasuk para Pangeran dan Sri Baginda di
dalam puri
Pangeran Matahari datang membawa mati!
Sebagai seorang Patih Kerajaan, Haryo
Unggul memiliki sifat tegas dan teliti tanpa
melupakan perasaan sabar dan sikap lembut
terhadap siapa saja. Walau dia tidak segera
mengerti apa makna tulisan yang tertera di
atas kertas itu namun dia menunggu dengan
sabar sampai punggawa yang barusan
datang menghadap menjadi tenang dari
keletihan dan sesak nafasnya. Dia maklum
punggawa ini datang bukan menunggang
kuda, tetapi dengan berlari. Lalu dari ciri-ciri
pakaiannya sang Patih mengetahui kalau
punggawa ini bertugas di tempat kediaman
salah seorang Tumenggung Kerajaan.
Setelah merasa cukup memberi waktu maka
Patih Haryo Unggulpun menyapa.
"Sekarang terangkan apa yang terjadi.
Mengapa kau datang berlari ke mari. Lalu
dari mana kau mendapatkan kertas bertulis
ini….."
Sang punggawa bersimpuh hormat sekali lagi
lalu menajwab "Saya bertugas di gedung
kediaman Tumenggung Gali Marto….."
selanjutnya punggawa ini lalu menuturkan
apa yang terjadi. "Kertas itu ditemukan di
atas jenazah Tumenggung.
Sengaja ditinggalkan oleh pembunuh……"
"Kau tahu siapa pembunuhnya?" tanya Patih
Haryo Unggul kaget.
Si punggawa gelengkan kepala.
"Peristiwa berdarah luar biasa!" ujar Patih
Haryo Unggul. Hatinya terguncang tapi
sikapnya tetap tenang.
"Istri Tumenggung Gali Marto minta agar
Patih menyampaikan berita dukacita ini ke
Istana….."
"Aku tidak akan memberitahu Raja sebelum
menyelidik dan tahu pasti apa sebenarnya
yang terjadi. Kematian adalah kematian. Tapi
jelas ada sesuatu di balik kematian
Tumenggung Gali Marto……" Patih Haryo
Unggul membaca kembali tulisan di atas
kertas lusuh itu. "Pangeran Matahari. Diakah
pembunuhnya?
Ancamannya bukan gertakan kosong belaka.
Dia telah membuktikan. Tumenggung Gali
Marto mati di tangannya."
Patih Haryo Unggul berpaling pada
punggawa dan berkata "Kau boleh pergi.
Aku dan pembantu-pembantuku segera
berangkat ke tempat kediaman almarhum
Tumenggung Gali Marto."
Baru saja punggawa itu meninggalkan
halaman gedung Kepatihan, tiba-tiba masuk
seorang perajurit menunggang kuda,
langsung menghadap Patih Haryo Unggul.
"Berita buruk untukmu Patih. Berita buruk
untuk kita semua. Pangeran Jati Mulyo
ditemukan tewas terbunuh siang ini dalam
taman istana sebelah timur. Patih diminta
datang menghadap Sri Baginda."
Ketika perajurit itu hendak minta diri, Patih
Haryo Unggul segera berkata "Tunggu,
Jangan pergi dulu. Apakah sudah diketahui
siapa pembunuh Pangeran Jati Mulyo?'
"Tidak seorangpun tahu. Hanya saja ada
keanehan….."
"Keanehan bagaimana?" tanya Patih pula.
"Sepucuk surat ditemukan di atas tubuh
Pangeran Jati Mulyo," menerangkan perajurit
itu.
"Hemmmm….. Apakah surat itu, seperti ini
isinya…..?"
Ketika melihat kertas yang diangsurkan Patih
Haryo Unggul, si perajurit terbelalak. "Betul
Patih….. ukuran keratas dan bunyi tulisannya
sama dengan ini….."
"Pergilah. Aku akan segera menghadap Raja.
Harap sampaikan juga pada Raja bahwa
siang ini Tumenggung Gali Martopun ditemui
tewas terbunuh……"
Debu jalanan menggebubu ke udara. Bukan
saja menutup pemandangan tapi menyumbat
jalan pernafasan. Dua orang perajurit tampak
terguling di tengah jalan sambil merintih
kesakitan. Satu memegangi kepalanya yang
benjol, lainnya mengurut-urut tulang kering
kaki kirinya yang remuk.
Di tengah debu dan erang kesakitan itu, dua
orang perwira muda tampak bertempur
melawan seorang pemuda ramping
berpakaian kelabu yang memiliki sepasang
tangan aneh karena berwarna coklat seperti
dilumuri parem. Jelas dua orang perwira
kerajaan itu memiliki kepandaian tinggi.
Serangan yang mereka lancarkan bertubi-tubi
dan sangat berbahaya. Namun si pemuda
tampak menghadapi dua lawan itu dengan
tenang. Dia tak banyak membuat gerakan
tapi perubahan tangan dan pergeseran kaki
menyebabkan dua lawan kehilangan sasaran
dan sekaligus mendapat serangan balasan
tak terduga.
"Orang muda! Jika kau tidak mau
menyerahkan diri dan siap digeledah, jangan
salahkan kalau kami terpaksa pergunakan
senjata!" salah seorang perwira muda
berteriak. Sejak tadi dia sudah menduga
kalau pemuda itu bukan orang sembarangan.
Dari pada menempur terus-terusan tanpa
hasil, maka kalau senjata yang bicara
mungkin lawan dapat ditakluakan.
"Perwira sombong! Bertindak seenaknya! Aku
tidak membuat kesalahan apapun! Mengapa
harus menyerahkan diri dan harus
digeledah?!"
"Kami menjalankan perintah!" menjawab
perwira satunya. "Kerajaan dalam bahaya!
Pangeran Jati Mulyo dan Tumenggung Gali
Marto terbunuh…."
"Lalu apa sangkut pautku dengan kematian
mereka?!" tukas si pemuda.
"Setiap orang asing harus diperiksa!"
"Aku bukan orang asing! Aku tinggal di
selatan Kotaraja!"
"Dusta! Gerak-gerikmu mencurigakan! Jika
tidak bersalah kenapa takut diperiksa dan
digeledah?!"
"Jangan samakan aku dengan pencuri atau
maling!"
"Kalau begitu mungkin kami harus
melukaimu baru menurut!" perwira di sebelah
kiri memberi isyarat. Serentak dia dan
temannya lalu mencabut golok berkeluk di
pinggang masing-masing. Dengan senjata ini
keduanya siap menyerbu kembali. Namun
sebelum sempat bergerak, pemuda berbaju
abu-abu seudah lebih dahulu melompat di
antara keduanya. Tangan kiri kanan
bergerak. Dari mulutnya terdengar suara
bentakan "Lepas!"
Dua buah golok berkeluk mental ke udara.
Dua orang perwira kerajaan itu menjerit
kesakitan. Keduanya serentak mundur ketika
didapati telapak tangan masingmasing telah
bengkak lebam merah kebiruan!
Serombongan orang berkuda muncul di
tempat itu. Lalu terdengar suara menegur.
"Apa yang terjadi di sini?"
Dua orang perwira muda yang tegak
kesakitan itu berpaling. Keduanya cepatcepat
menjura ketika mengetahui siapa yang
datang.
"Patih Haryo Unggul, kami tengah
menjalankan tugas. Pemuda asing ini
menolak diperiksa dan digeledah. Malah
nyata-nyata berani melawan dan mencelakai
kami!" menerangkan satu dari dua perwira
itu.
Patih Haryo Unggul menatap sejurus pada
pemuda berpakaian kelabu."Tidak dapat
tidak kau adalah seorang dari dunia
persilatan, anak muda. Berarti ada jiwa
satria dalam tubuhmu. Tetapi mengapa
menolak untuk diperiksa?'
"Karena saya tidak merasa bersalah apa-apa
Patih," jawab pemuda itu.
"Tapi sikapnya mencurigakan!" tukas perwira
muda di samping kiri.
"Siapa namamu anak muda?" tanya patih
Haryo Unggul.
Yang ditanya tak menjawab, malah balikkan
diri hendak melangkah pergi.
Namun kepala seekor kuda yang menyorong
ke arahnya membuatnya terkejut. Dia
melangkah mundur dan dapatkan diri
berhadap-hadapan dengan seorang bertubuh
tinggi kekar, berpakaian bagus gemerlap,
duduk di atas seekor kuda hitam berkilat.
Orang yang barusan datang ini bersama
beberapa pengiringnya membuka mulut.
"Jika kau tidak mau memberitahukan nama,
kau bukan saja hanya dicurigai, tapi layak
ditangkap!" lalu orang berpakaian
gemerlapan ini menggerakkan kudanya
mendekati Patih Haryo Unggul.
"Paman Patih, salam untukmu. Apakah kau
mendengar tentang seorang bernama
Pangeran Matahari……?"
"Panglima Kotaraja, salam berbalas
untukmu. Memang aku ada mendengar
tentang nama itu. Tapi hanya sedikit sekali.
Aku dalam perjalanan ke Istana menemui
Raja….."
"Kita bisa sama-sama menghadap. Namun
pemuda satu ini perlu diurus lebih dulu.
Bukan mustahil dialah Pangeran Matahari.
Hanya seorang berkepandaian sangat tinggi
bisa merobohkan Tumenggung Gali Marto
dan melewati penjagaan ketat untuk
membunuh Pangeran Jati Mulyo……."
Patih Haryo Unggul usap-usap dagunya. Lalu
menganggukkan kepala seraya berkata.
"Baiklah Panglima. Selesaikan urusan kalian
dengan pemuda itu. Tapi ingat. Waktu kita
sempit sekali….."
"Tak usah kawatir Paman Patih. Aku hanya
perlu sekejapan mata saja untuk meringkus
pemuda bermuka pucat ini!" kata
penunggang kuda hitam yang ternyata
adalah Raden Kertopati, Panglima Kotaraja.
Sang panglima yang percaya akan
kemampuannya, tanpa turun dari kudanya
ulurkan tangan kanan menotok ke arah
punggung pemuda berpakaian kelabu.
Gerakannya sungguh cepat. Begitu bahu
bergerak, dua ujung jari telah sampai di
depan punggung. Tapi dia kecele kalau
menduga dapat melumpuhkan pemuda itu
dalam sekali totok atau sekejapan mata.
Orang yang hendak ditotok justru melangkah
maju setindak hingga totokan hanya
mengenai tempat kosong. Tanpa
membalikkan diri pemuda itu ulurkan kedua
tangannya dan dia berhasil menangkap
pergelangan tangan Raden Kertopati.
Sebelum sempat berbuat sesuatu sang
panglima rasakan tangan dan juga tubuhnya
tersentak keras hingga terangkat dari
punggung kuda hitam dan mental ke udara!
Belasan mulut keluarkan seruan tertahan
karena kaget. Patih Haryo Unggul sendiri
beliakkan mata. Bagaimankah tidak! Sebagai
Panglima yang bertanggung jawab atas
keamanan Kotaraja, Raden Kertopati
diketahui semua orang memiliki kepandaian
silat yang tinggi di samping tenaga dalam
dan kesaktian. Kini tokoh yang disegani itu
seperti barang mainan, dilemparkan begitu
saja oleh seorang pemuda ramping tidak
dikenal. Bukan saja si pemuda memiliki nyali
besar namun semua orang yang ada di
tengah jalan itu, termasuk Patih Haryo
Unggul memastikan bahwa si pemuda
berpakaian kelabu bukan pula orang
sembarangan.
Raden Kertopati sendiri hampir tak percaya
ketika dapatkan dirinya terbetot keras dan
melayang di udara. Dengan membuat
gerakan junkir balik Panglima Kotaraja ini
berhasil menjatuhkan diri dengan kedua kaki
menginjak tanah lebih dahulu dan hampir
tanpa suara! Sepasang bola mata sang
panglima tampak mendelik membara.
Wajahnya mengelam membesi dan pelipisnya
bergerak-gerak. Inilah satu pertanda bahwa
Raden Kertopati dilanda gelegak amarah
ditambah malu besar!
"Aku yakin kau memang sebenarnya
Pangeran Matahari yang menimbulkan
kekacauan dengan membunuh Tumenggung
Gali Marto serta Pangeran Jati Mulyo!" suara
Raden Kertopati keras dan bergetar.
"Keyakinanmu tidak beralasan Panglima….."
"Jika kau dapat membuktikan bahwa kau
memang bukan Pangeran Matahari, kami
akan melepaskanmu. Kau boleh pergi dengan
aman….." yang bicara adalah Patih Haryo
Unggul. "Mulailah dengan menerangkan
siapa namamu. Lalu dari mana kau datang.
Dan apa keperluanmu berada di Kotaraja…."
"Saya tidak dapat memenuhi permintaanmu
Patih Kerajaan. Sekarang biarkan saya
pergi…." Menjawab si pemuda.
"Kalau kau tidak dapat menerangkan diri dan
asal-usul serta keperluanmu berada di
Kotaraja, lalu tak dapat pula membuktikan
bahwa kau memang tidak ada sangkut
pautnya dengan kematian Tumenggung Gali
Marto maka kau akan kami tangkap!"
Mendengar ucapan Patih Haryo Unggul itu si
pemuda tampak menjadi gusar.
Maka diapun menjawab. "Jika kalian orang-
orang Kerajaan hendak menjatuhkan tangan
sewenang-wenang, ketahuilah kalian tak
akan mendapat apa-apa. Kecuali benjat-
benjut atau patah tulang!"
"Pemuda sombong bermulut besar! Berani
menantang berani menghina! Patih Haryo
Unggul, biarkan aku memisahkan tubuh dan
kepalanya dengan kedua tanganku!" berkata
Raden Kertopati penuh beringas. Amarah dan
rasa malunya tadi masih belum lenyap, kini
si pemuda malah berani menganggap enteng
dan menghina.
Patih Haryo Unggul hendak mengatakan
sesuatu namun belum sempat Raden
Kertopati sudah melompat dengan dua
tangan terpentang ke arah leher pemuda
berpakaian kelabu.
"Patah lehermu!" teriak Raden Kertopati.
Justru pada saat itulah terdengar seseorang
berseru.
"Aku dapat membuktikan pamuda itu bukan
Pangeran Matahari! Bukan pembunuh
Tumenggung Gali Marto ataupun Pangeran
Jati Mulyo!"
Bersamaan dengan seruan itu, satu
hantaman angin menderu keras. Panglima
Kotaraja merasakan tubuhnya seperti disapu
topan. Sesaat dia coba bertahan.
Tubuhnya seperti tergantung di udara namun
di lain kejap dia terlempar ke belakang
sampai empat langkah. Dadanya bergetar
sakit dan wajahnya yang garang tampak
pucat!
Hemm ada lagi satu pemuda sinting bernyali
besar yang muncul di tempat ini!"
menggeram Raden Kertopati seraya
pelotokan mata ke arah seorang pemuda
berpakaian putih dengan rambut gondrong
menjela bahu.
Kalau para perwira muda dan belasan
pengiring sang panglima serta pengiring
sang patih kini menjadi semakin tertarik
menyaksikan apa-apa yang terjadi di tempat
itu, sebaliknya diam-diam Patih Haryo
Unggul mengeluh dalam hati. Dia ingin
lekaslekas menuju ke Istana, kini mengapa
persoalam di tengah jalan ini semakin
berpanjang-panjang. Siapa pula si gondrong
bertampang cengengesan ini, pikirnya.
"Aku bukan orang sinting. Tapi memang
punya nyali untuk melawan tindaktanduk
orang-orang yang kurasa tidak pada
tempatnya. Pemuda itu adalah sahabatku!
Sejak malam sampai siang tadi aku selalu
bersama-samanya. Kami hanya berpisah
sebentar saja. Nah bagaimana kalian
menuduh dia sebagai pembunuh
Tumenggung Gali Marto dan Pangeran Jati
Mulyo?"
"Orang muda, kau pandai bicara! Bukan
mustahil apa yang kau katakan itu adalah
karanganmu belaka!" yang bicara adalah
patih haryo Unggul. "Terangkan siapa kau
adanya. Juga katakan siapa orang yang kau
katakan temanmu ini!"
"Jika yang punya diri tidak mau mengatakan
siapa dia, mana mungkin aku berlancang
mulut beri keterangan!"
Panglima Kotaraja maju selangkah. "Patih!
Dari pada kita bicara tarik urat dengan dua
orang gila ini, lebih baik keduanya kita
ringkus saja!"
"Tunggu dulu!" seru pemuda gondrong
berpakaian putih seraya mendekati pemuda
berpakaian kelabu.
"Selagi kalian merepotkan diri dengan kami
orang-orang tak bersalah, orang yang kalin
cari bebas gentayangan di Kotaraja! Katakan
kalian berhasil meringkus kami orang-orang
buruk tanpa dosa ini. Tapi bagaimana kalau
kesempatan itu digunakan oleh si penyebar
maut untuk menimbulkan bencana baru?
Membunuh pejabat atau salah seorang
putera raja lainnya?"
Mendengar kata-kata itu Patih Haryo Unggul
dan Raden Kertopati jadi saling pandang.
"Ah! Pemuda pandai bicara ini sengaja
hendak menyesatkan kita dengan
katakatanya!" ujar Raden Kertopati.
Patih Haryo Unggul tampak mulai kesal. Dia
diam saja seolah-olah menyetujui ketika
Raden Kertopati memberi isyarat pada
belasan pengiringnya, lalu mendahului
menyerbu dua pemuda.
Pemuda berpakaian putih menepuk bahu
pemuda berpakaian kelabu seraya berkata
"Sahabat, lebih baik kita pergi saja dari sini.
Tak ada guna melayani orangorang panjang
kekuasaan tapi pendek akal!"
Baru saja si gondrong bicara begitu tiba-tiba
bukk! Satu jotosan menghantam dadanya.
Seorang perajurit terpekik dan terjengkang.
Dialah tadi yang memukul.
Melihat hal ini Raden Kertopati segera
berteriak. "Semua ikut menyerbu! Tangkap
dua pemuda itu hidup atau mati!"
Sementara itu Patih Haryo Unggul duduk
mengusap dagu penuh masgul di atas
punggung kudanya. Dan sang patih
bertambah kusut hati dan pikirannya ketika
melihat Panglima Kotaraja yang terkenal
garang dan tinggi kepandaiannya itu, bahkan
dibantu oleh belasan perajurit dan tiga
perwira muda ternyata tidak mampu
menghadapi gebrakan-gebrakan dua pemuda
yang berkelahi saling bertempelan punggung.
Ketika belasan senjata mulai dari golok
sampai pedang ikut bertabur di udara Patih
haryo Unggul tak dapat menahan diri lagi.
"Aku harus melakukan sesuatu. Salah atau
benar tindakanku ini biarlah nanti diurus."
Lalu sang patih angkat kedua tangannya ke
depan, telapak tangan terkembang.
"Panglima dan yang lain-lain, kalian
menyingkirlah sebentar!"
bersamaan dengan itu Patih Haryo Unggul
dorongkan kedua tangannya, perlahan sekali.
Tak ada suara angin berkesiuran, tak ada
debu atau pasir jalan beterbangan.
Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh luar
biasa. Raden Kertopati dan belasan orang
yang mengeroyok dua pemuda tampak
tergontai-gontai lalu oleh satu kekuatan
yang tidak kelihatan mereka terseret ke
samping hingga kini dua pemuda itu berada
di tengah kalangan pertempuran, terpisah
jauh dari para penyerangnya.
Keluar biasaan itu tidak hanya sampai di
situ. Ketika secara perlahan-lahan pula Patih
Haryo Unggul menarik kedua tangannya ke
belakang, pemuda baju putih dan baju kelabu
tersentak kaget ketika dapatkan tubuh
masing-masing laksana tersedot. Sadar
kalau sang patih berusaha melumpuhkan
mereka dengan kesaktiannya, dua pemuda ini
segera kerahkan tenaga dalam.
Pemuda baju kelabu tampak seperti sanggup
bertahan dari sedotan yang kuat luar biasa
itu. Namun hanya sesaat. Di lain kejap
tubuhnya mulai bergetar. Kedua lututnya
bergoyang. Sementara itu pemuda gondrong
berpakaian putih tampak cucurkan keringat
pada wajah dan keningnya ketika pergunakan
kemampuan untuk menghadapi kekuatan
lawan. Melihat pemuda baju kelabu mulai
punah pertahanannya diapun membisiki.
"Kita sama-sama maju ke depan dua
langkah. Ikuti arah sedotan. Pada langkah
ketiga kita sama-sama menghantam ke arah
kuda orang itu. Kerahkan seluruh tenaga
dalam. Kau mengerti sahabat?"
Pemuda baju kelabu menjawab dengan
anggukan. Begitu si baju putih mulai
melangkah, diapun mengikuti. Satu langkah,
dua langkah. Pada langkah ketiga kedua
pemuda tu sama-sama hantamkan tangan
kanan ke arah kuda tunggangan Patih Haryo
Unggul.
Buumm!
Tanah di tempat itu laksana digoncang
gempa bumi. Langit di sebelah atas seperti
hendak runtuh. Tanah dan pasir
berhamburan. Daun-daun pepohonan
berguguran. Seruan kaget ditingkah ringkik
kuda menambah tegangnya suasana.
Ketika tanah dan pasir serta debu yang
beterbangan jatuh mereda dan keadaan
terang kembali, di tanah jalanan tampak dua
buah lobang besar. Dan bukan itu saja. Di
sebelah kiri pemuda baju kelabu kelihatan
terduduk di tanah sambil pegangi dada. Di
sampingnya pemuda berpakaian serba putih
kelihatan berlutut lalu berdiri dengan tubuh
agak sempoyongan. Di bagian lain, seekor
kuda tergelimpang dengan tubuh hancur dan
darah bergenang di sekitarnya. Inilah kuda
tunggangan patih Kerajaan.
Dan sang patih sendiri tampak terguling di
tengah jalan. Pakaian kebesarannya kotor,
lengan kanannya tampak lecet terluka sedang
wajahnya pucat seperti kain kafan.
"Mereka lenyap!" terdengar seruan Raden
Kertopati.
Semua orang kaget, termasuk Patih Haryo
Unggul yang mencoba bangkit sambil
tertatih-tatih. Dua pemuda yang sebelumnya
berada di tempat itu ternyata memang tak
ada lagi di situ!
Patih Haryo Unggul tepuk-tepuk pakaiannya
yang kotor oleh debu dan tanah jalanan. Dia
geleng-gelengkan kepala, memandang pada
Panglima Kotaraja dan berkata "Aku yakin
tidak satupun di antara dua pemuda itu
adalah Pangeran Matahari! Jika keduanya
inginkan jiwaku, mereka dapat membunuhku
tadi! Sayang mereka tak mau
memperkenalkan nama. Tapi pukulan yang
dilepaskan pemuda berpakaian kelabu itu
rasa-rasa pernah kulihat sebelumnya." Sang
patih usap-usap dagunya. "Apa mungkin itu
punya hubungan dengan Ni Luh Tua
Klungkung…..?
Hanya dia yang punya ilmu pukulan seperti
itu. Tapi si nenek itu sampai sekarang masih
belum ditemukan jenazahnya…… Panglima
sebaiknya kita segera berangkat ke istana….."
Patih Haryo Unggul mengangguk. Sesaat dia
memandang pada dua lobang besar yang ada
di tanah, gelengkan kepala lalu naik ke atas
kuda yang dibawakan seorang perajurit.
Rombongan itu bergerak cepar menuju
istana. Di sebuah tikungan yang menurun,
kelihatan seorang penunggang kuda memacu
tunggangannya menyongsong arah
rombongan. Ternyata seorang perajurit
kepala yang bertugas di istana. Wajahnya
pucat, nafasnya mengengah.
"Celaka Patih, celaka Panglima….."
"Apa yang celaka?!" tanya Raden Kertopati
tak sabaran.
"Seorang pemuda tak dikenal mengamuk di
istana. Dua orang putera Sri Baginda Raja
tewas di tangannya. Dia berusaha menerobos
ruangan Kancana Wungu yang memisahkan
kamar tidur Sri Baginda. Penyerbu tunggal
ini semula henda menerobos untuk
membunuh Sri Baginda. Puluhan perajurit
dikerahkan untuk melindungi Raja. Mereka
dipimpin oleh perwira-perwira tinggi. Namun
si penyerbu tunggal kelihatannya tak
mungkin dibendung. Sementara Raja berhasil
diselamatkan lewat pintu rahasia, belasan
perajurit menemui ajal….."
"Celaka Patih….." ujar Panglima Kotaraja.
"Ketika saya meninggalkan istana mendadak
muncul dua pemuda. Saya tidak tahu siapa
mereka. Tapi tampaknya keduanya
mengambil kedudukan di belakang pasukan
kita, menanti serangan penyerbu tunggal….."
Sesaat Patih Haryo Unggul dan Raden
Kertopati saling pandang. Ketika keduanya
menggebrak kuda masing-masing maka
rombongan itupun segera menghambur
menuju istana.
Ketika Patih Haryo Unggul serta Panglima
Kotaraja bersama rombongan sampai di
istana ternyata ratusan perajurit telah
mengurung istana di sebelah luar. Di sebelah
dalam puluhan lainnya bertempu melawan
seorang pemuda berpakaian serba hitam
dengan gambar gunung serta matahari di
bagian dada. Pangeran Matahari! Di lantai
berkaparan belasan mayat. Rata-rata mati
dalam keadaan mengerikan di salah satu
pojok tampak terbujur mayat salah seorang
putera Sri Baginda yang dilaporkan terbunuh
itu. Lalu pada dinding sebelah dalam yang
tadinya bersih kini tampak sederetan tulisan
yang kelihatannya ditulis dengan darah!
Bagi semua manusia tak berbudi
Termasuk para Pangeran dan Sri Baginda di
dalam puri
Pangeran Matahari datang membawa mati!
"Patih, lihat gambar matahari di pakaian
pemuda berikat kepala merah itu?"
berbisik Raden Kertopati. "Aku yakin inilah
bangsatnya yang mengaku bernama
Pangeran Matahari!"
"Akupun sudah menduga begitu," jawab Patih
Haryo Unggul. "Ada satu yang
mengherankanku," berkata Patih ini lebih
lanjut. "Wajah manusia satu ini kenapa
mirip-mirip wajah putera-putera Sri Baginda
lainnya?"
"Astaga!" Panglima Kotaraja terkejut. "Kau
benar Patih……"
"Aku tengah mencari-cari dua pemuda tak
dikenal yang dikatakan juga muncul di
tempat ini. Apakah kau sudah melihatnya
Panglima?"
Pertanyaan Patih Haryo Unggul itu membuat
Panglima Kotaraja memandang berkeliling
mencari-cari. Sang panglima akhirnya
melihat dua pemuda yang sebelumnya
bentrokan dengan mereka di tengah jalan.
Pemuda baju kelabu dan pemuda berpakaian
putih itu berada di barisan belakang puluhan
perajurit yang bertahan di pintu masuk
kamar tidur Sri Baginda, tegak enak-enakan
seolah-olah asyik menonton pembantaian
yang dilakukan oleh pemuda berpakaian
hitam!
"Patih, jangan-jangan manusia yang
mengamuk ini adalah Pangeran……"
Belum selesai ucapan Raden Kertopati itu
tiba-tiba dari arah depan ruangan besar
masuk seorang bertubuh tinggi kekar tapi
melangkah dengan dipapah dua orang
perwira muda.
"Siapa yang begini kurang ajar membuat
keonaran dan pembunuhan dalam istana
Surokerto?!" orang yang barusan datang
membentak. Suaranya menggelegar.
Tapi untuk bicara itu tampaknya dia harus
mengeluarkan tenaga besar. Karena sehabis
bicaa nafasnya kelihatan sesak.
"Panglima Besar Kerajaan!" berseru Raden
Kertopati. "Kau sedang sakit berat. Mengapa
berada di tempat ini!"
Orang tinggi besar itu ternyata adalah
Panglima Balatentara Kerajaan Raden Mas
Jayengrono menjawab tanpa alihkan
pandangan matanya dari otang berpakaian
hitam yang masih terus mengamuk di tengah
ruangan. "Mengetahu ada pengacau yang
membuat keonaran dan melakukan
pembunuhan keji di Kotaraja dan istana Sri
Baginda, mana aku bisa enak-enakan berada
di atas tempat tidur!"
"Urusan ini biar kami yang menyelesaikan
Panglima Besar. Kau harap suka kembali ke
tempat kediamanmu!" yang berkata adalah
Patih Haryo Unggul.
Tapi Jayengrono mana mau mendengar.
Masih dalam keadaan dipapah oleh dua
orang perajurit di kiri kanan, dia melangkah
ke tengah ajang pertempuran lalu membentak
garang "Semua perajurit Kerajaan mundur!"
Serentak semua penyerbu melompat mundur
hingga kini pemuda berikat kepala kain
merah berbaju hitam dengan gambar
matahari dan gunung di dadanya tinggal
sendirian.
"Kau dajalnya yang bernama Pangeran
Matahari?!"
Bentakan Panglima Balatentara Kerajaan itu
tidak membuat pemuda di tengah ruangan
menjadi kecut. Malah dengan congkak dia
keluarkan suara tawa bergelak.
"Aku bukan dajal!" sahutnya. "Tapi Malaikat
Maut yang akan mengambil nyawa manusia-
manusia tak berbudi di luar dan di dalam
istana…..! Aku adalah Pangeran Matahari!"
"Hemm….. Ukuran apakah yang kau jadikan
dasar menentukan seseorang tidak berbudi
dan pantas dibunuh seenak perutmu?!"
bertanya Jayengrono.
Sementara itu Patih Haryo Unggul dan
Kertopati melangkah ke depan dan tegak
mendampingi Panglima Balatentara Kerajaan
itu.
"Mudah saja, kalau kau memang ingin tahu!
Manusia tak berbudi adalah mereka yang
menyia-nyiakan kehidupan manusia lainnya
bahkan darah daging mereka sendiri.
Termasuk manusia-manusia yang hidup
penuh rasa iri, berhati bengkok dan ingin
mencelakai orang lain, senang jika orang lain
mengalami bencana.
Termasuk juga manusia-manusia
pengkhianat!"
"Kalau memang begitu ukuranmu, jelas kau
sendiri termasuk manusia yang harus
disingkirkan dari muka bumi. Bukankah kau
mencelakai orang lain?
Menimbulkan bencana pembunuhan? Dan
senang melakukan semua keganasan keji
itu?!"
Paras Pangeran Matahari tampak membesi
dan merah. Namun dengan segala
kecongkakan dia kembali umbar suara tawa
bergelak.
"Sebelum mati puaskan dulu tawamu
manusia biadab!" berkata Jaengrono.
Tiba-tiba Pangeran Matahari keluarkan suara
membentak dahsyat. Kedua tangannya kiri
kanan diangkat dan jari telunjuk menusuk
lurus ke depan. Terdengar jeritan. Dua
perajurit yang memapah Panglima
Balatentara Kerajaan mencelat dan roboh di
depan kaki para perajurit yang tegak berjejer
sepanjang dinding ruangan besar itu. Dada
masing-masing kelihatan hangus. Bau sangit
daging yang terbakar menebar dalam
ruangan itu mebuat suasana yang kini
mendadak sesunyi di pekuburan bertambah
sangat menegangkan!
Karena kini tak ada lagi yang memapah
maka kalau tidak segera ditolong oleh
Kertopati dan Patih Haryo Unggul, niscaya
Panglima Balatentara Kerajaan itu jatuh
terbanting ke lantai.
"Biarkan aku duduk di lantai istana! Manusia
durjana ini harus mati di tanganku sekalipun
nyawaku ikut melayang!" kata Jayengrono.
Gerahamnya bergemeletakan tanda
amarahnya sudah mencapai puncak.
"Panglima," bisik Patih Haryo Unggul.
"Biarkan kami yang menyelesaikan urusan
ini…..!"
"Kalian menjauhlah!" bentak Jayengrono
beringas. Meskipun sangat mengawatirkan
keselamatan Panglima Balatentara itu namun
tak ada yang bisa dilakukan sang patih
maupun Kertopati. Keduanya dengan
terpaksa melangkah menjauh.
"Panglima Kerajaan!" terdengar Pangeran
Matahari membuka mulut. "Jadi kau memilih
mati dengan cara duduk begitu rupa?! Diberi
kesempatan mati terhormat di atas tempat
tidur, malah memilih mati seperti gembel!"
Wajah Raden Jayengrono yang pucat sesaat
tampak menjadi merah oleh ucapan yang
sangat menghina dari Pangeran Matahari.
"Mulutmu besar! Sikapmu congkak! Aku mau
lihat sampai di mana kehebatanmu! Sebelum
meregang nyawa apakah kau tak ingin
memberitahu siapa kau sebenarnya?!" begitu
Panglima Balatentara Kerajaan menjawab
ucapan orang.
Pangeran Matahari menyeringai penuh sinis.
"Namaku kalian sudah tahu tapi masih ingin
bertanya. Sungguh manusia tolol! Tapi aku
tak keberatan memberitahu sekali lagi.
Namaku Pangeran Matahari. Aku datang dari
puncak Merapi! Turun dari puncak gunung
untuk membasmi manusia-manusia tolol dan
tak berbudi macam semua yang ada di
sini….!"
"Cukup!" sentak Jayengrono yang duduk
bersila di lantai sambil tangkapkan kedua
lengan di depan dada. "Sekarang silahkan
perlihatkan kehebatanmu. Aku akan
melayanimu dengan duduk di lantai. Manusia
bejat sepertimu hanya cukup dilayani cara
begini!"
Pangeran Matahari menyeringai. Sepasang
matanya membersitkan maut.
Didahului bentakan menggeledek dia
melompat ke depan. Pada jarak tiga langkah
dari hadapan Jayengrono dia menghantam
dengan tangan kanan. Tapi seolah-olah
dilabrak oleh satu kekuatan yang tidak
kelihatan, sebelum hantamannya sampai,
tubuh Pangeran Matahari tampak terpental,
hampir tersungkur di lantai kalau dia tidak
cepat imbangi diri.
Diam-dian Pangeran Matahari merasa kaget
bukan main. Ternyata nama Raden Mas
Jayengrono bukan satu nama kosong belaka.
Penuh rasa penasaran dan hawa amarah
yang mulai menggelegak Pangeran Matahari
angkat tangan kanannya tinggi-tinggi ke
atas. Jari membentuk tinju. Lengan ditarik
perlahan untuk kemudian dihantamkan ke
depan dengan deras sementara jari-jari yang
membentuk tinju serentak dilepaskan. Inilah
ilmu pukulan sakti yang disebut Merapi
Meletus. Ledakan dahsyat disertai
guncangan keras dan hanaman angin panas
melanda tubuh Jayengrono yang duduk
bersila di lantai. Jelas tampak tubuh
Panglima Balatentara itu bergoyang-goyang,
tapi hanya sesaat. Di sekitarnya belasan
orang berpelantingan.
Tubuh-tubuh bergelimpangan dan erang
kesakitan terdengar di mana-mana
sementara salah satu bagian atap ruangan
besar itu tampak ambrol hangus!
Setelah menguasai keadaan dirinya yang
terguncang pukulan lawan tadi tibatiba
Jayengrono memukul dengan tangan kiri.
Terdengar seperti suara ratusan seruling
ditiup berbarengan. Lalu angin topan prahara
menggempur ke arah Pangeran Matahari.
Semula pemuda ini menganggap remeh
serangan lawan. Tapi ketika tubuhnya mulai
dijalari hawa panas dan terseret, maka
diapun berteriak keras dan melompat ke
udara.
Dari atas dia hantamkan tangan kanan ke
bawah ke arah Jayengrono.
Semua orang yang ada di situ tersentak
tegang dan berusaha menyingkir ketika tiga
sinar mengerikan berkiblat disertai hawa
seperti memanggang seluruh isi ruangan.
Inilah pukulan sakti bernama Gerhana
Matahari yang mengeluarkan sinar kuning,
hitam dan merah!
Maklum lawan menyerangnya dengan
pukulan dahsyat yang bisa membawa maut
maka Jayengrono angkat kedua tangannya ke
depan dan mendorong sambil kerahkan
seluruh tenaga dalam yang dimilikinya.
Terjadilah hal yang sangat hebat.
Tubuh Panglima Balatentara Kerajaan itu
seperti dibungkus dan dipanggang oleh tiga
sinar panas. Meskipun beberapa lamanya
tiga sinar itu seperti tidak sanggup
menghantam langsung sosok tubuh
Jayengrono, namun daya pertahanan orang
ini sedikit demi sedikit manjadi goyah.
Tubuhnya mulai mengeluarkan asap. Bibirnya
bergetar lalu dari sela bibir tampak ada
busah ludah, disusul cairan darah merah!
"Panglima!" seru Patih Haryo Unggul dan
Raden Kertopati hampir bersamaan.
Kalau sang patih memburu ke arah
Jayengrono maka Raden Kertopati melompat
ke arah Pangeran Matahari dan menghantam
batok kepala pemuda itu dengan jotosan
tangan kanan.
Patih Haryo Unggul meraskan tubuhnya
menggeletar panas ketika memegang tubuh
Jayengrono yang saat itu mulai seperti tidak
sadarkan diri. Patih ini kerahkan tenaga
dalamnya, tapi tenaga dalam itu teeasa
seperti tersedot dan akibatnya tubuhnyapun
jadi limbung.
Akan Raden Kertopati nasibnya lebih buruk
lagi. Serangan yang dilancarkan penuh
amarah yakni berupa hantaman tangan
kanan ke batok kepala Pangeran Matahari,
membuat dia melupakan pertahanan sendiri.
Dadanya yang terbuka menjadi sasaran
empuk lawan. Meskipun Pangeran Matahari
hanya mendorongkan tangan kirinya sedikit
saja, namun karena disertai mantera yang
memberikan tenaga dahsyat luar biasa maka
tak ampun lagi Panglima Kotaraja itu
terpental jauh, begitu terhampar di lantai
langsung semburkan darah segar. Masih
untung lelaki itu memiliki daya tahan yang
cukup tergembleng hingga tidak menemui
ajalnya ataupun pingsan.
Dalam keadaan megap-megap dia berusaha
duduk bersila untuk mengatur jalan darah
dan nafas sertak kerahkan tenaga dalam ke
bagian yang terluka di sebelah dalam.
Melihat tiga lawan kuat berada dalam
keadaan tak berdaya maka Pangeran
Matahari kembali lepaskan pukulan Gerahana
Matahari. Kini tak ampun lagi tiga tokoh
Kerajaan itu pastilah akan menemui ajalnya!
Namun jika Tuhan belum menghendaki, tak
seorangpun akan menemui kematian! Di saat
ang sangat kritis itu dari sudut ruangan tiba-
tiba berkiblat sinar putih menylaikan seperti
seduhan perak. Dari sudut lain menggebubu
angin laksana punting beliung.
Bum…..bum!
Suara dua kali ledakan disusul dengan
robohnya sebagian atap ruangan membuat
semua orang menjadi geger. Sosok tubuh
Jayengrono tampak bergetar hebat namun
selubungan pukulan Gerhana Matahari yang
tadi seperti membungkus tubuh Panglima
Balatentara Kerajaan itu kini tak kelihatan
lagi. Patih haryo Unggul yang tadi berada di
bawah pengaruh hawa panas pukulan sakti
Pangeran Matahari terbanting ke lantai, dan
dia selamat dari luka dalam yang parah.
Sementara itu Panglima Kotaraja dalam
keadaan cidera merangkak menjauhi
kalangan pertempuran. Seorang bawahannya
cepat membantu dan memapahnya ke satu
sudut yang aman.
Di tengah kalangan pertempuran Pangeran
Matahari nampak duduk bersila.
Dadanya turun naik cepat sekali. Dia
kerahkan tenaga dalam untuk mengatur jalan
nafas dan darah. Meskipun tidak mendapat
cidera apa-apa namun adanya dua pukulan
sakti yang tadi menyusup dan menghantam
pukulan Gerahana Matahari yang
dilepaskannya telah membuat tubuhnya
terguncang keras, jalan darahnya menjadi
kacau, pemandangannya berkunang, kepala
pening dan dadanya sesak. Memandang ke
depan dilihatnya dua prang pemuda tak
dikenal tegak di tengah ruangan. Yang satu
bersikap waspada memasang kuda-kuda,
berpakaian kelabu dan bertubuh ramping.
Satunya lagi tegak dengan wajah menyeringai
sambil menggaruk kepalanya beberapa kali.
Sebelum Pangeran Matahari sempat
membentak, pemuda berambut gondrong
talah membuka mulut, ditujukan pada Patih
haryo Unggul.
"Patih Kerajaan, agar salah sangka dan
curiga di antara kita dapat dijernihkan, aku
mohon izinmu untuk menyingkirkan
pembunuh biadab bertopeng iblis yang hebat
budi itu!"
"Ah, dua pemuda itu….." desis Patih Haryo
Unggul.
Panglima Balatentara Kerajaan buka
matanya lebar-lebar dan berbisik pada Haryo
Unggul.
"Kau kenal dua pemuda asing itu Patih?
Siapa mereka?"
"Waktu kita sangat sempit. Nanti saja aku
ceritakan. Sebelumnya aku sempat menjajagi
ketinggian ilmu keduanya. Dalam keadaan
kita semua cidera begini rupa, jika kau setuju
aku akan mengabulkan permintaan mereka.
Bagaimana pendapatmu?"
"Aku tak kenal mereka. Tapi aku percaya
padamu!"
Mandapat persetujuan itu maka Patih Haryo
Unggul mengangkat tangannya, memberi
isyarat tanda persetujuan sementara Raden
Kertopati terduduk di sudut ruangan dengan
harap-harap cemas.
Mengetahui Patih Kerajaan dan yang lain-
lain mengabulkan permintaannya maka dua
pemuda di tengah ruangan berpaling
menghadapi Pangeran Matahari.
Sesaat tiga pemuda itu saling pandang tanpa
berkesip. Pangeran Matahari membentak
lebih dahulu.
Dua ekor monyet kesasar. Katakan siapa
kalian sebelum kukirim ke neraka menghadap
raja monyet!"
"Walah!," menyahuti pemuda gondrong
sambil tertawa lebar, membuat semua yang
menyaksikan menjadi heran, apakah si
gondrong ini masih belum mengerti dengan
siapa sebenarnya di berhadapan?! "Raja
monyet di neraka justru mengutus kami
untuk menjemputmu! Jika kau membunuh
kami berdua, siapa yang menjadi penunjuk
jalanmu menuju neraka?!"
Dalam keadaan lain ucapan pemuda itu
mungkin dianggap lucu dan menimbulkan
gelak tawa. Tapi dalam suasana tegang
seperti itu, tak satupun yang tertawa atau
tersenyum. Semua semakin tegang. Pangeran
Matahari sendiri tampaknya merasa seperti
ditempelak hingga tampangnya yang congkak
kelihatan mengelam dan rahangnya
menggembung. Tapi sesuai dengan segala
akal, segala kecerdikan dan segala kelicikan
yang ditanamkan gurunya dalam dirinya, dia
sudah mencium bahwa menghadapi dua
pemuda tak dikenal ini sekaligus sangat
berbahaya baginya. Ini telah dibuktikan
bagaimana dua pukulan yang tadi mereka
lepaskan sanggup meredam bahkan
memusnahkan pukulan Gerahana
Mataharinya. Dalam hati dia mulai menduga-
duga siapa adanya dua pemuda ini.
"Rupanya aku salah sangka. Kukira kalian
dua ekor monyet kesasar, ternyata dua ekor
babi peliharaan Kerajaan yang hendak
mencoba jadi pahlawan!"
"Sahabatku," berkata pemuda berpakai putih
kepada kawannya si baju kelabu.
"Menurutku manusia satu ini keberatan
nama. Seharusnya dia tidak usah memakai
sebutan Pangeran kalau isi perutnya hanya
sampah busuk belaka. Tapi kalau kudengar
kata-katanya sejak tadi, dia pantas menjadi
seorang pemain sendiwara picisan atau
penyair butut. Bagaimana pendapatmu?!"
Si baju kelabu tertawa gelak-gelak, membuat
Pangeran Matahari seperti panas terbakar.
"Pangeran keranjang sampah!" begitu si
kelabu membentak. "Kau telah memulai
segala kekjian dan kebiadaban! Hari ini kami
akan mengubur semua itu bersama
bangkaimu!"
"Tentu saja kalau bangkainya masih utuh,
sahabatku!" menimpali si gondrong.
"Kalau nanti ternyata telah seperti daging
cincangan pergedel, jangan salahkan aku yag
tak bisa menguburnya!"
"Bangsat bermulut besar!" bentak Pangeran
Matahari marah sekali. "Kau gondrong
majulah lebih dulu!" Selagi membentak itu
Pangean Matahari sudah melompat lebih
dahulu seperti tidak memberi kesempatan
pada lawan. Tubuhnya tahu-tahu sudah
berada dua langkah dari hadapan lawan dan
tangan kanan menjotos laksana kilat ke
pelipis si baju putih.
"Pecah kepalamu!" teriak Pangeran Matahari.
"Hancur tanganmu!" balas si baju putih. Lalu
tangan kanannya menabas ke atas,
menyongsong lengan lawan. Bentrokan dua
lengan tidak terhidarkan lagi.
Bukk!
Si gondrong berpakaian putih terhenyak di
lantai. Lengan kanannya tampak bengkak
membiru. Dadanya mendenyut sakit dan
telinganya berdenging panas. Baju putihnya
yang tidak terkacing tersibak lebar. Dada dan
perutnya tersingkap. Pada dada kelihatan
guratan tiga buah angka : 212. Sedang di
pinggangnya tampak tersisip sebilah senjata
aneh berbentuk kapak bermata dua!
Pangeran Matahari yang saat itu tegak
tersandar ke dinding sambil mengatur aliran
darahnya yang seperti tak menentu akibat
bentrokan tadi terkejut beliakkan mata ketika
melihat tiga buah angka dan senjata yang
tersisip di pinggang pemuda lawannya. "Tak
bisa tidak pemuda ini adalah yang
diceritakan guru padaku. Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212! Kalau tidak
kusingkirkan keparat ini sekarang-sekarang,
pasti bisa merepotkan!" menyadari hal ini
Pangeran Matahari lalu alirkan seluruh
tenaga dalamnya ke tangan kanan. Tapi
betapa terkejutnya pemuda ini ketika
dapatkan ada sesuatu yang tak beres dengan
tangan kanannya. Ternyata akibat bentrokan
lengan dengan Pandekar 212 Wiro Sableng
tadi pembuluh darahnya ada yang terjepit
hingga jalan darah ke lengan dan tangan
menjadi tidak lancar.
"Keparat celaka!" memaki Pangeran Matahari
dalam hati. "Sehebat inikah pemuda
gondrong ini? Tak salah kalau guru
menasihatkan agar aku berhati-hati
terhadapnya. Tak ada jalan lain, kelicikan
harus kupergunakan!" Maka Pangean
Matahari alihkan aliran tenaga dalamnya ke
tangan kiri. Diam-diam dia menyiapkan
pukulan Gerahan Matahari. Kalau tadi
dikeroyok dua dia memang tidak mampu,
sekarang saatu lawan satu masakan pemuda
itu tak dapat dirobohkan.
"Saudara!" Pangeran Matahari menegur
dengan sikap lembut disertai gerakan
menjura dan maju dua langkah. "Melihat tiga
buah angka di dadamu dan Kapak Maut
Naga Geni 212 tersisip di pinggangmu,
ternyata kita adalah sahabat segolongan.
Gurumu Eyang Sinto Gendeng dari gunung
Gede masih saudara dekat guruku.
Maafkan kalau hari ini aku telah bertindak
yang tidak menyenangkanmu!"
Tentu saja Pandekar 212 Wiro Sableng kaget
bukan main mendengar katakata Pangeran
Matahari itu. Kalau memang guru pemuda itu
tidak punya hubungan dengan dengan
gurunya sendiri, bagaimana mungkin dia
tahu tentang dirinya dan Eyang Sinto
Gendeng. Sesaat Wiro Sableng hanya tegak
tertegun.
Pangeran Matahari datang lebih dekat. Sekali
lagi dia menjura seraya berkata.
"Harap maafkan keteledoranku. Segala dosa
akan kutanggung di hadapan guru. Aku harus
pergi sekarang. Lain kesempatan aku ingin
sekali menemuimu….." Habis berkata begitu
sekali lagi Pangeran Matahari menjura. Kali
ini lebih dalam. Tetapi tiba-tiba dengan
sangat cepat tangan kirinya menghantam.
Sinar merah, kuning dan hitam untuk
kesekian kalinya berkiblat dalam ruangan
besar itu disertai suara menggelegar. Orang
banyak menyingkir sambil berteiak kaget dan
ketakutan.
"Pembokong pengecut!" teriak pemuda
berbaju kelabu. Dari samping dia lepaskan
pukulan sakti beracun yang mengeluarkan
asap kuning berbau harum.
Pukulan ini lebih hebat dan ganas daripada
kalau dilancarkan dengan jalan meniupkan
mulut. Namun segala kehebatan yang dimiliki
pukulan skati itu tiada gunanya karena
pukulan yang dilepaskan Pangeran Matahari
yakni pukulan Gerhana Matahari telah lewat
lebih dahulu, menghantam ke arah Pendekar
212 Wiro Sableng di seberang sana!
"Edan!" teriak Wiro Sableng. Dia telah
menyaksikan kehebatan dan keganasan
pukulan sakti itu. Mendapat serangan begitu
tak terduga Pendekar dari Gunung Gede ini
tak bisa berbuat lain daripada jatuhkan diri
hampir sama rata ke lantai, lalu balas
menghantam dengan pukulan Sinar Matahari
yang dilancarkan dengan sepenuh tenaga
dalam dan sekaligus dua tangan!
Seperti diketahui pukulan sakti Gerhana
Matahari bersumber pada hawa panas.
Begitu juga pukulan Sinar Matahari. Akibat
panas bertemu panas maka terjadilah satu
dentuman yang menggelegar disertai
cipratan lidah-lidah api yang menyambar ke
pelbagai penjuru!
Kobaran api yang disertai asap tebal
menutup pemandangan memenuhi tempat itu.
orang banyak berpekikan dan selamatkan diri
masing-masing, termasuk Raden Kertopati,
Raden Mas jayengrono dan Patih haryo
Unggul,
Pemuda berpakaian kelabu merasakan ada
orang menarik tangannya dalam kegelapan
asap tebal yang menutup pemandangan.
"Sahabat, mari kita pergi dari sini!"
Mengenali itu adalah suara Pendekar 212
Wiro Sableng, maka pemuda itu mengikut
saja. Keduanya berlari ke arah timur. Di
sebuah bukit di pinggiran Kotaraja mereka
berhenti. Dari tempat itu dapat disaksikan
bagaimana api masih terus berkobar dan
melalap istana.
"Aku tidak mengerti, mengapa kau mengajak
aku meninggalkan istana!
Urusan kita dengan Pangeran Matahari masih
belum selesai…." Berkata pemuda baju
kelabu.
"Memang belum selesai," sahut Wiro. "Tapi
kalau manusia itu sudah kabur, buat apa
berlama-lama berada di istana yang tengah
dimakan api itu?"
"Siapa manusia jahat itu sebenarnya?"
"Sukar diduga kalau tidak diselidiki. Tapi
satu hal sudah pasti. Dunia persilatan kini
dilanda malapetaka baru. Dan Pangeran
Matahari jadi biang racunnya!"
Pemuda ramping berpakaian kelabu
termangu sesaat. Lalu dia bertanya
"Bagaimana kau tahu kalau aku adalah juga
nenek keriput yang tempo hari kau temui
menangis hendak bunuh diri?"
Wiro Sableng tertawa lebar. "Penyamaranmu
kali ini cukup bagus, sahabat.
Hanya saja kau masih melupakan sesuatu.
Aku curiga ketika melihat sepasang
tanganmu yang sengaja dilumuri lumpur
sampai mengering. Jelas kau
menyembunyikan sesuatu. Kalau dulu
sewaktu jadi nenek perot itu kau memakai
nama Ni Luh Tua Klungkung, siapa nama
palsumu sebagai seorang pemuda
bertampang banci saat ini?!"
Pemuda berpakaian kelabu yang sebenarnya
adalah seorang gadis itu dan
menyembunyikan wajah aslinya di balik
sehelai topeng tipis hanya bisa tertawa kecut.
"Apakah kau tidak akan kembali mengabdi
pada Sri baginda?" bertanya Wiro.
Yang ditanya menggeleng. "Aku telah
membuat kelalaian dan kesalahan besar.
Bagaimana mungkin kembali mengabdi. Aku
memutuskan untuk mengembara ke timur.
Kau sendiri mau ke mana sekarang?"
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya.
"Biarlah aku seiring seperjalanan menuju
timur. Sampai satu hari kau merasa bosan
dan menyuruhku minggat!"
Kedua pemuda itu menuruni bukit, lari ke
arah timur. Di atas mereka matahari bersinar
terik. Mau tak mau mengingatkan kedua
orang ini kembali pada Pangeran Matahari.
Bencana apa lagi yang hendak ditebarnya kelak?
Komentar
Posting Komentar