WIRO SABLENG
EPISODE : PANGERAN BURONAN
Karya : BASTIAN TITO
************
SATU
Sri Baginda Raja seperti di henyakkan setan di atas kursi kebesarannya. Singgasana itu terasa seperti bara panas.
Wajahnya yang penuh kerut ditelan usia lanjut tampak kelam membesi. Dadanya turun naik sedang sepasang matanya menatap tak berkesip pada Raden Mas Jayengrono yang duduk bersila di
hadapannya.
Sang raja meraskan tenggorokannya seperti kering. Mulutnya terbuka tapi lidahnya seperti kelu. Setelah hening beberapa lamanya, degnan suara bergetar Sri Baginda akhirnya
bersuara juga.
"Jika bukan Raden Mas yang bicara sungguh sulit aku mempercayai cerita itu…..!"
"Sebenarnya hal itu sudah lama saya ketahui Sri Baginda. Hanya saja saya takut untuk menyampaikannya."
"Kalau untuk kebenaran mengapa takut?
Hanya saja, apakah kau punya
bukti bukti nyata? Saksi-saksi…….?"
"Saya tidak berani melapor pada Sri Baginda kalau tidak mempunyai bukti dan saksi hidup," sahut Jayengron yang Panglima Balatentara Kerajaan itu. "Sekianpuluh pasang mata melihat dan mengetahui kejadian itu. Termasuk Patih Kerajaandan
Kepala Pasukan Kotaraja. Cincin emas bergambar burung rajawali milik puteri Sri Baginda terlihat di jari tangan manusia bernama Pangeran Matahari. Pembunuh
Tumenggung Gali Marto.
Pembunuh dua orang putera Sri Baginda. Ketika diperiksa secara
aneh cincin itu tahu-tahu sudah berada kembali di tangan Raden Ayu Puji Lestari.
Kejadian yang mencurigakan berikutnya ialah munculnya seorang pemuda berkulit hitam
bertindak selaku pelindung Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya. Jika tidak terdapat hubungan rahasia antara Pangeran Matahari
dengan istri SriBaginda, bagaimana mungkin cincin itu berpindah-pindah tangan?"
Lama Sri Baginda terdiam. Tutur apa yang diketahuinya, dibandingkan dengan keterangan Raden Mas Jayengrono, segala
sesuatunya memang cocok benar.
"Raden Mas, tahukah engkau apa artinya jika kemudian keterangan yang kau sampaikan saat ini ternyata tidak benar…..?" Sang raja
bertanya seolah-olah ingin menolak hal yang sebenarnya dia sendiri sudah mempercayainya.
"Saya tahu dan mengerti sekali Sri Baginda," jawab Jayengrono. "Untuk itu saya bersedia dipancung……"
Kembali Sri Baginda terdiam. Kali ini lebih lama dari tadi sehingga karena tidak sabar Jayengrono membuka mulut berkata "Sri
Baginda, saya mohon petunjuk lebih lanjut." "Aku perintahkan kau menangkap ibu dan anak itu!" Tiba-tiba saja Sri Baginda menjawab tegas. "Itukah keputusan Sri Baginda?" bertanya Jayengrono.
"Itu keputusan raja! Sekalipun anak dan istri sendiri, jika membuat kesalahan perlu dihukum. Pengadilan para sesepuh Kerajaan
nanti yang akan menentukan hukuman apa yang patut dijatuhkan terhadap kedua perempuan itu….."
"Jika begitu bunyi perintah, begitu pula yang akan saya lakukan. Saya kawatir sekali akhir-akhir ini Sri Baginda….." "Hemmmm….. Apa maksudmu Raden Mas?"
"Saya kawatir kalau-kalau Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya secara diam-diam bersekutu dengan Pangeran Matahari untuk
merampas tahta kerajaan.
Bukankah tempo hari sewaktu menyerbu ke mari Pangeran jahat itu bermaksudmenghabisi Sri Baginda? Dan bukan mustahil pula orang-orang di utara mengipasngipas terjadinya
pemberontakan. Yaitu sejak gembong-gembong pemberontak kitatangkap dan hukum mati menjelang bulan Maulud dua
tahun silam….."
"Semua akan tersingkap di sidang pengadilan para sesepuh kelak….."
"Saya harapkan begitu," kata Raden Mas Jayengrono pula. Lalu Panglima Balatentara Kerajaan ini menghaturkan sikap hormat dan
mohon diri.
Baru saja matahari menerangi jagat pagi itu, Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati yang tegak di belakang jendela berpaling pada ibunya
dan berkata "Ada rombongan datang….."
Raden Ajeng Siti Hinggil bangkit dari kursinya, menyibakkan tirai jendela dan memandang ke
arah halaman. Benar apa yang dikatakan puterinya. Serombongan orang terdiri dari delapan perajurit memasuki halaman gedung
kediamannya. Di sebelah belakang menyusul sebuah kereta. Lalu paling belakang sekali
seorang lelaki berpakaian mewah,
menunggang seekor kuda coklat yang bukan lain Jayengrono, Panglima Balatentara Kerajaan.
"Dugaan ibu tidak meleset Puji. Manusia itu benar-benar menjalankan niat busuknya.
Mereka datang untuk menangkap kita….."
"Menangkap kita?!" kejut Puji Lestari mendengar ucapan sang ibu. "Benar. Menangkap kita anakku. Menangkap kau dan aku!"
"Tapi apa salah kita?!" tukas sang puteri dengan mata membelalak. Raden Ajeng Siti Hinggil ingat pada pembicaraan dan ancaman Jayengrono kemarin, lalu menjawab "Jika seseorang ingin mencelakai kita, dia bisa
mendapatkan seribu satu kesalahan pada diri kita….."
"Tapi ibu! Kita ini bukan rakyat jelata yang bisa dilakukan semena-mena. Kau adalah istri Sri Baginda Raja! Dan aku puteri raja!"
"Jawabnya mudah anakku! Sri Baginda telah termakan dan percaya pada hasut dan fitnah!"
"Saya akan mengusir manusia gila itu!" kata Raden Ayu Puji Lestari setengah berteriak.
"Tak ada gunanya Puji. Takdir Tuhan mungkin
memang kita harus mengalami nasib begini…."
Ucapan Raden Ajeng Siti Hinggil terputus ketika pintu besar ruangan depanitu terbuka.
Sosok tubuh Jayengrono masuk diiringi lima orang perajurit.
"Raden Ajeng…." Jayengrono hanya sempat mengucapkan dua patah kata itu karena Siti Hinggil lebih cepat memotong.
"Tak perlu banyak bicara dan segala macam peradatan palsu! Aku dan puteriku siap untuk ditangkap. Hanya saja beri waktu aku
meninggalkan pesan pada para inang pengasuh Pangeran Sebrang agar mereka menjaga anak itu selama aku di penjara!"
Lalu tanpa menunggu apakah permintaannya itu diizinkan atau tidak Raden Ajeng Siti Hinggil masuk ke dalam. Tak lama kemudian dia keluar lagi dan melangkah ke pintu sambil
menggandeng tangan Puji Lestari.
Sebenarnya Jayengrono ingin menyampaikan sesuatu pada Raden Ajeng Siti Hinggil, namun
karena ibu dan anak itu selalu rapat bersama-sama maka terpaksa niatnya itu dibatalkan.
Sebelum naik ke atas kereta Raden Ajeng Siti Hinggil sesaat berpaling pada Jayengrono.
Wajahnya sinis ketika berkata "Tentunya kau puas sekarang Raden Mas!
Tapi aku lebih puas karena tidak bersedia memenuhi permintaanmu!"
Begitu duduk dalam kereta, baru saja kendaraan itu bergerak, Puji Lestari memandang pada ibunya dan bertanya "Ibu, apa maksudmu tadi? Ucapanmu bahwa ibu
merasa lebih puas karena tidak bersedia memenuhi permintaan Panglima Balatentara itu. Memangnya….. apa yang pernah
dimintanya padamu…..?"
Siti Hinggil menggelengkan kepala.
"Permintaan gila yang tak ada gunanya kau ketahui, Puji…." Tapi sang puteri malah mendesak "Kau harus menceritakan padaku ibu!"
"Tak ada perlu diceritakan. Dan ibu tidak ingin kita membicarakan hal itu. kalau saja adikmu Pangeran Anom masih ada, mungkin tidak seburuk ini nasib kita…."
"Belum tentu ibu. Mungkin malah lebih buruk," menyahuti Puji Letari.
Raden Ajeng Siti Hinggil manarik nafas dalam. "Dunia ini memang aneh. Kita, istri dan puteri raja bisa diperlakukan seperti ini…."
"Bukankah tadi ibu sendiri yang bilang bahwa ini semua mungkin takdir Tuhan…."
Istri ketiga Sri Baginda Raja itu tersenyum pahit.
"Justru anehnya, sekarang aku malah meragukan. Apakah ini memang benar takdir Tuhan atau maunya manusia-manusia jahat dan busuk yang memegang kekuasaan?!"
Kereta bergerak makin cepat ke arah timur, memasuki Kotaraja melalui pintu gerbang tua yang masih ditancapi umbul-umbul warna
hitam serta kuning, pertanda berkabung atas tewasnya dua putera Sri Baginda di tangan
manusia jahat Pangeran Matahari beberapa waktu lalu.
DUA
Malam yang indah dihiasi bulan purnama
empat belas hari itu berubah menjadi kelam
pekat ketika awan gelap menutupi rembulan.
Angin kencang bertiup tiada henti,
mengeluarkan suara menggidikkan dan
menebar hawa dingin mencucuk tulang.
Ruangan di mana Raden Ajeng Siti Hinggil
ditahan berukuran delapan kali enam tombak.
Merupakan sebuah kamar yang bersih,
lengkap dengan tempat tidur dan lemari.
Namun bagaimanapun bagusnya kamar itu,
tetap saja merupakan ruangan yang
menyekap dan memenjarakan istri Sri Baginda
yang ketiga itu.
Siti Hinggil duduk termenung di atas satu-
satunya kursi dalam kamar. Matanya balut
bekas menangis. Dia sama sekali tidak
merasa takut disekap seperti ini. Namun yang
dikawatirkannya adalah keadaan puterinya.
Ternyata dia dan Puji Lestari ditahan di kamar
yang terpisah.
Sebelum Panglima Jayengrono
memerintahkan pengawal menutup dan
mengunci pintu kayu yang tebal dan berat itu
pagi tadi, Siti Hinggil masih sempat
melontarkan ancaman "Kalau terjadi apa-apa
dengan puteriku, aku bersumpah akan
membunuhmu Jayengrono!" Saking marahnya
Siti Hinggil menyebut langsung nama sang
panglima di hadapan para pengawal.
Sambil tersenyum Jayengrono menjawab "Di
antara kita, kalau ada yang harus mati
mungkin kau yang lebih dulu, Raden Ajeng!
Kecuali jika kau merubah pikiranmu dan
memenuhi permintaanku tempo hari…."
"Manusia biadab!" hardi Siti Hinggil.
"Perempuan tolol!" dengus Jayengrono. Lalu
pintu yang masih belum ditutupkan itu
ditendangnya dengan keras.
Di luar angin bertiup semakin kecang. Udara
tambah dingin. Hujan mulai turun. Mula-mula
rintikan yang lenyap terhembus angin, namun
kemudian berubah manjadi sangat lebat.
Siti Hinggil masih duduk di atas kursi dengan
mata sembab. Tubuhnya sangat letih,
seharian itu tak sepotong makananpun masuk
ke dalam perutnya meskipun beberapa kali
pengawal datang membawakan hidangan
lezat-lezat. Hanya air putih yang disentuhnya.
Itupun hanya beberapa teguk saja. Kedua
matanya tak bisa dipicingkan. Ingatannya
selalu tertuju pada puterinya.
Dalam keadaan seperti itu mendadak
sepasang mata Siti Hinggil terbuka lebar.
Membelalak. Menatap ke arah dinding batu
ruangan di mana dia disekap. Seperti tidak
percaya pada penglihatannya, atau
menyangka mungkin dia bermimpi, perem-
puan ini mengucak-ucak kedua matanya.
Tenyata dia tidak bermimpi. Dinding batu
tebal itu memang berputar ke belakang,
membentuk ruangan kosong seukuran
setengah pintu dan sesosok tubuh muncul
dengan tersenyum. Panglima Kerajaan, Raden
Mas Jayengrono!
"Aku datang menepati janji, Siti….." kata lelaki
itu lalu dengan tangan kirinya mendorong
batu yang berputar hingga tertutup rapat
kembali.
"Apa maksudmu?!" sentak Siti Hinggil seraya
bangkit dari kursinya.
"Apa kau tidak ingat pembicaraan kita dua
minggu lalu? Waktu aku datang ke tempat
kediamanmu? Kau akan kutahan di tempat
khusus. Inilah tempatnya. Dan aku bisa masuk
ke mari melalui pintu tahasia itu. Tak ada
yang melihat. Tak seorangpun tahu. Dan
kita…..bisa melakukan seperti masa delapan
belas tahun silam Siti. Delapan belas tahun
seperti delapan belas abad lamanya. Aku
merindukan dirimu. Aku memendam rasa
selama ini. Kini saatnya datang…."
"Lelaki keparat! Keluar kau dari sini….!"
"Jangan bicara seperti itu Siti. Bagaimanapun
aku adalah kekasihmu atau paling tidak kita
pernah berkasih-kasihan. Bahkan lebih dari
itu hubungan kita di masa lalu menghasilkan
dua orang turunan. Anom dan Puji….."
"Sudah! Jangan ucapkan itu! Keluar dari sini
kataku! Atau aku akan menjerit!" Siti Hinggil
mengancam.
Ruangan ini adalah ruangan kedap suara.
Bagaimanapun kerasnya jeritanmu tak ada
yang bakal dapat mendengar……" sahut
Jayengrono. Lalu dia memandang ke arah
meja kecil di mana terletak makanan.
"Hemmm….. Kau tak mau makan rupanya.
Jangan menyiksa diri. Nanti kau bisa sakit….."
"Beri aku racun! Aku tidak takut mati!"
Jayengrono tersenyum, lalu duduk di tepi
ranjang bertilam bagus. Saat itu dia
mengenakan pakaian berbentuk jubah putih.
Sepasang matanya berkilat-kilat memandang
Siti Hinggil.
"Kau mau bukan, Siti…..?" terdengar suara
Jayengrono setengah berbisik.
Siti Hinggil tegak bersandar di sudut ruangan.
Menutupi mukanya dan mulai menangis.
Jayengrono bangkit berdiri dan mendekati
perempuan itu. Mencoba merangkulnya tapi
dadanya didorong kuat-kuat hingga dia
terjajar ke belakang.
"Kalau kau mau mengabulkan permintaanku,
percayalah hukumanmu tak akan berat.
Bahkan aku akan membatalkan sidang
pengadilan para sesepuh. Minggu di muka kau
boleh meninggalkan tempat ini…."
"Busuk…..! Manusia busuk! Apakah kau masih
belum mau bertobat? Apakah kau tuli dan
hatimu seperti batu hingga tidak mau
mendeengar ucapan orang? Aku tidak sudi
memenuhi permintaanmu! Keluar dari sini
atau bunuh aku saat ini juga!"
Jayengrono geleng-gelengkan kepala. Tapi
mulutnya tetap menyunggingkan senyum.
Tiba-tiba kembali dia merangkul tubuh
perempuan itu. Dan kali ini berhasil.
Ciumannya bertubi-tubi mendarat di wajah
Siti Hinggil. Perempuan ini meronta berusaha
membebaskan diri. Namun tubuhnya yang
lemah memiliki keterbatasan untuk bertahan
dan melepaskan diri. Kemben, angkin dan
kainnya terlepas. Tubuhnya didorong ke atas
ranjang hingga jatuh terlentang, hampir tak
kuasa untuk berdiri lagi.
Saat itu dilihatnya lelaki itu melangkah
mendekati. Tiba-tiba Jayengrono membuka
jubah putihnya. Ternyata di balik pakaian itu
lelaki ini tidak mengenakan apa-apa lagi! Siti
Hinggil menjerit dan nekad. Tangan kanannya
menyambar ke bawah ketika Jayengrono
berusaha menindihnya. Tangan berkuku
pnajang itu meremas kencang. Kini Panglima
Kerajaan itu yang ganti menjerit! Tubuhnya
sampai terpental oleh rasa sakit. Sesaat dia
bergulingan di lantai. Kemudian dengan
terbungkuk-bungkuk dia mengenakan jubah
putihnya kembali. Sebelum meninggalkan
kamar itu lewat pitnu rahasia di dinding dia
masih sempat melayangkan pandangan penuh
dendam ke arah Siti Hinggil seraya berkata
"Kali ini aku gagal. Tapi jangan kira aku tak
bisa mendapatkan apa yang aku ingin! Dan
sekali hal itu kesampaian kau akan
kusingkirkan! Perempuan tolol! Perempuan
gila!"
"Manusia dajal! Terkutuk kau selama-
lamanya!" teriak Siti Hinggil. Lalu peremuan
ini melompat. Berusaha menerobos melaui
pintu rahasia dinding yang masih terbuka.
Namun dia kalah cepat. Pintu aneh itu lebih
dahulu menutup. Dan kini di hadapannya
adalah dinding polos belaka. Sama sekali
tidak ada tanda-tanda adanya pintu di tempat
itu.
Siti Hinggil memukul-mukulkan kedua
tinjunya ke dinding. Menangis lalu melosoh ke
lantai.
TIGA
Ketika Raden Kertopati muncul di hadapannya
sambil menghatur sembah, Sri Baginda
tersenyum lebar. Tapi Kertopati tahu bahwa di
balik senyum itu tersembunyi kekalutan
pikiran, kegundahan hati dan ketidak
tenangan.
"Lebih dari seminggu aku tidak melihatmu,
Kertopati. Bagaiman kesehatanmu. Apakah
sudah pulih benar…..?" menegur Sri Baginda.
Raden Kertopati. Kepala Pasukan Kotaraja
menunduk seraya berujar "Terima kasih atas
perhatian Sri Baginda. Kesehatan saya masih
belum pulih benar. Namun dibandingkan
dengan satu minggu lalu memang jauh lebih
baik. Sekali lagi terima kasih Sri Baginda……"
Setelah Raden Kertopati mengambil tempat
duduk di hadapannya maka bertanyalah Sri
Baginda akan maksud kedatangannya
menghadap.
"Pertama sekali saya ingin melapor bahwa
keadaan di Kotaraja yang menjadi tanggung
jawab saya, semua dalam aman. Dari utara
tak ada lagi kabar-kabar adanya menyusupan
kaki tangan pemberotak. Rasanya sejak para
gembong pemberontak kita hukum mati,
gerakan mereka boleh dikatakan tumbang
musnah….."
"Aku gembira mendengar laporanmu
Kertopati. Tapi kita sekali-kali tidak boleh
berlaku lengah. Meskipun pemberontakan
orang-orang di utara telah kita padamkan,
aku tiada hentinya meminta Panglima
Jayengrono untuk selalu berjaga-jaga dan
mengawasi setiap orang yang keluar masuk
ke pintu gerbang arah utara. Nah, mungkin
masih ada urusan atau keperluan lain yang
hendak kau sampaikan……?"
"Benar Sri Baginda. Dan untuk yang satu ini
saya harapkan maaf terlebih dahulu karena ini
menyangkut langsung pribadi Sri Baginda….."
"Aku sudah dapat meraba apa yang hendak
kau sampaikan," berkata Sri Baginda. "Soal
penahanan istriku Siti Hinggil dan puterinya
Puji Lestari. Betul?"
"Betul sekali Sri Baginda. Memang itu yang
ingin saya tanyakan……"
"Kalau persoalan itu silakan kau
menghubungi Panglima Kerajaan Raden Mas
Jayengrono….."
"Saya maklum hal itu Sri Baginda. Hanya
saja. Moof maaf, saya merasa labih baik
bertemu dan bicara langsung dengan Sri
Baginda saja……"
Sri Baginda berdiri dari kursinya. "Tubuhku
letih sekali Kertopati dan aku tak ingin
membicarakan soal penahanan anak istriku.
Kau boleh menghadapku lain kali. Tapi ingat,
bukan untuk urusan yang satu itu….."
Raden Kertopati ikut berdiri. Sebelum raja
membalikkan tubuh, Kepala Pasukan Kotaraja
ini berkata "Jika begitu kehendak Sri Baginda
mana saya berani membantah. Saya hanya
akan sangat bersedih kalau sidang pengadilan
nanti akan menjatuhkan putusan keliru.
Menjatuhkan hukuman pada orang-orang
yang tidak bersalah."
Habis berkata begitu Kertopati membungkuk
hormat lalu melangkah surut mengundurkan
diri. Sesaat Sri Baginda tegak termangu,
menatap wajah Kertopati lalu melambaikan
tangannya.
"Katakan apa sebenarnya yang hendak kau
sampaikan. Rupanya kau mengetahui sesuatu
Kertopati?"
Raden Kertopati mengangguk. "Bolehkah kita
bicara berdua saja Sri Baginda?"
"Eh, sikapmu aneh sekali kali ini Kertopati.
Tapi tak apa. Kukabulkan permintaanmu….."
Sri Baginda memandang kepada dua orang
pengawal yang sejak tadi tegak di sebelah
belakang, pada kiri kanan kursinya. Kedua
pengawal ini menjura lalu meninggalkan
ruangan. Tapi salah seorang dari mereka
menyelinap ke balik pintu dan mendekam di
belakang hordeng beludru hitam kebiruan.
"Nah, sekarang hanya kita berdua Kertopati.
"Katakan urusanmu!" berkata Sri Baginda.
"Saya mendapat kabar bahwa Raden Ajeng
Siti Hinggil dan Raden Ayu Puji Lestari
ditahan karena dicurigai mempunyai
hubungan dengan Pangeran Matahari,
pemuda berkepandaian tinggi yang menyerbu
istana tempo hari. Apakah itu betul Sri
Baginda?"
"Betul dan disertai saksi-saksi. Nanti kau bisa
membuktikan sendiri di sidang pengadilan
para sesepuh….."
"Selanjutnya disangkakan pula bahwa ada
kemungkinan Raden Ajeng dan Raden Ayu
mempunyai hubungan dengan para
pemberontak di utara melalui Pangeran
Matahari itu….."
"Itu juga betul!"
"Sri Baginda, sampai saat ini kita belum
mampu mengetahui siapa sebenarnya
Pangeran Matahari. Apa tujuannya menyerbu
ke istana. Mengapa dia membunuh
Tumenggung Gali Marto. Mengapa dia
membunuh pula dia orang putera Sri Baginda
tercinta….."
"Manusia itu ingin merampas tahta Kerajaan
ini Kertopati! Sebagai seorang perajurit
apakah kau tidak bisa mengerti hal itu?!" Sri
Baginda tampak gusar. Nada suaranya keras.
"Mohon maafmu Sri Baginda. Seperti tadi
saya katakan, sebenarnya tidak satupun di
antara kita yang mampu menyingkap apa
latar belakang kejahatan yang dilakukan
pemuda itu. Mungkin dia hanya seorang gila
berkepandaian tinggi yang menobatkan diri
sebagai seorang pangeran bernama Pangeran
Matahari. Mungkin juga dia memiliki dendam
kesumat terhadap istana dan orang-orang
tertentu di Kerajaan ini……."
"Dia bersekutu dengan anak istriku dalam
melakukan kejahatan. Apapun latar belakang
perbuatannya!"
"Hanya karena cincin emas burung rajawali
milik Raden Ayu pernah terlihat dipakai oleh
pemuda itu Sri Baginda……?"
"Itu baru satu bukti. Masih ada yang lain
lagi!"
"Mengenai cincin itu saya punya cerita sendiri
Sri Baginda. Jika Sri Baginda bersedia
mendengar penuturan saya….."
"Kau boleh menuturkan apa yang kau ketahui
Kertopati. Asalkan benar!" sahut Sri Baginda
pula.
"Sekitar dua bulan lalu, ketika Raden Ajeng
dan Raden Ayu kembali dari luar kota,
rombongan mereka dicegat oleh gerombolan
rampok pimpinan Warok Sumo Gantra……"
"Aku tahu peristiwa itu. Tak akan pernah
kulupakan! Teruskan penuturanmu Kertopati."
"Warok Sumo Gantra pasti bukan hanya
hendak merampok barang-barang yang
dibawa dan lekat di tubuh Raden Ajeng dan
Raden Ayu. Tapi saya yakin sekali, perampok-
perampok itu hendak menculik istri dan putri
Sri Baginda. Mungkin sekali Warok Sumo
Gantra dibayar melakukan itu oleh kaum
pemberontak di utara. Kita tidak tahu pasti.
Yang jelas pada saat sangat berbahaya itu
Raden Ajeng dan Raden Ayu ditolong oleh
seorang pemuda berkepandaian tinggi. Yaitu
Pangeran Matahari itu. Warok Sumo Gantra
dibunuhnya……"
"Pangeran Matahari juga membunuh
pimpinan pengawal. Nenek sakti Ni Luh Tua
Klungkung!" menyambung Sri Baginda.
Kertopati hendak menganggukkan kepala tapi
kemudian berkata "Hal yang satu ini masih
kabur Sri Baginda. Jika Ni Luh Tua Klungkung
jago silat istana itu mati dibunuh Pangeran
Matahari, mengapa mayatnya sampai saat ini
tidak pernah ditemukan?"
Sri Baginda terdiam. "Bukan tidak mungkin Ni
Luh Tua Klungkung berserikat dengan
Pangeran Matahari. Dia memberi kisikan
bahwa rombongan istana akan lewat jalan
itu….."
"Mungkin benar, Sri Baginda. Tapi sulit untuk
membuktikannya. Dalam rangkaian semua
kejadian ini ada satu hal yang sangat pasti.
Raden Ayu dan Raden Ajeng tidak berkomplot
dengan Pangeran Matahari. Cincin burung
rajawali itu diberikan Raden Ayu pada
Pangeran Matahari sebagai tanda terima
kasih karena telah menyelamatkan nyawa dan
kehormatannya bersama ibunya….."
"Kau mengarang cerita atau bagaimana?!"
"Saya mengatakan apa yang sebenarnya Sri
Baginda."
"Kau tidak berada di tempat kejadian itu.
Bagaimana kau bisa tahu pasti hal itu?"
"Karena beberapa pengawal yang masih hidup
dan kusir kereta yang menceritakannya pada
saya, Sri Baginda…."
"Ini benar-benar satu hal baru bagiku. Sulit
dipercaya!" kata sang raja seraya bangkit dari
kursi lalu melangkah mundar-mandir.
"Jika Sri Baginda tidak sulit mempercayai
keterangan yang menuduh Raden Ajeng dan
Raden Ayu berbuat khianat, mengapa begitu
sulit mempercayai keterangan saya…..?"
"Semua harus dibuktikan Kertopati!"
"Saya setuju……"
"Dan itu akan dilakukan di sidang pengadilan
yang dipimpin oleh para sesepuh Kerajaan!"
"Mengapa harus menunggu sidang
pengadilan? Kita bisa memanggil kusir kereta
dan pengawal-pengawal itu untuk memberi
kesaksian saat ini juga. Jika Raden Ajeng dan
Raden Ayu terlalu lama dalam tahanan untuk
berbuat yang tidak dilakukannya, saya kawatir
kesehatan dan pikiran mereka akan
terganggu…."
Sang raja jadi terdiam dan termangu.
"Tidakkah Sri Baginda bersedia melakukan
sesuatu? Melepaskan dulu istri dan puteri Sri
Baginda sampai ada kejelasan bahwa mereka
benar-benar bersalah?"
"Aku butuh waktu untuk melakukan
penyelidikan tersendiri sebelum menempuh
jalan itu…."
"Terserah Sri Baginda, asalkan jangan terlalu
lama. Kasihan Raden Ajeng dan Raden Ayu…."
"Ada lagi yang hendak kau sampaikan
Kertopati?" bertanya Sri Baginda.
Kepala Pasukan Kotaraja itu terdiam sejenak.
Apakah akan diceritakannya hubungan gelap
Raden Mas Jayengrono dengan istri Sri
Baginda yang ketiga itu? Yang tanpa setahu
Sri Baginda telah membuahi dua orang anak
tidak syah yaitu Pangeran Anom dan Puji
Lestari? Kertopati tiba-tiba saja ingat petuah
dan pesan gurunya di Banten ketika hendak
melepas kepergiannya. Saat itu sang guru
berkata
"Muridku Kertopati, sudah banyak ilmu dan
wejangan yang kau terima. Masih ada satu
hal lagi yang patut kau ingat. Perempuan itu
kotoran di kemaluan. Tapi lelaki kotoran di
mulut. Karena itu selalulah kau sengaja
menjaga mulutmu sebaik-baiknya. Mulut
kamu harimau kamu. Jangan sekali-kali
menceritakan aib seseorang pada orang lain.
Karena itu tidak akan memberi keuntungan
apa-apa bagimu. Malah mungkin dapat
menimbulkan pertumpahan darah
sekerajaan….."
Mengingat sampai di situ maka Raden
Kertopati lalu menjawab pertanyaan Sri
Baginda.
"Tak ada lagi yang akan saya sampaikan.
Saya mohon diri dan siap sedia dipanggil
setiap saat…."
"Kau boleh pergi."
Raden Kertopati membungkuk lalu melangkah
mundur sampai di pintu. Dia sama sekali
seperti tidak melihat ada seseorang yang
mendekam di balik horden besar hitam
kebiruan. Tapi Kepala Pasukan Kotaraja yang
berkepandaian tinggi ini tentu saja tidak
mudah ditipu. Dia tahu ada orang
bersembunyi di bali hordeng dekat pintu. Tapi
dia sengaja berpura-pura tidak tahu!
EMPAT
Ketika Sri Baginda telah masuk ke ruangan
dalam untuk beristirahat, Raden Kertopati yan
melangkah perlahan menuruni tangga istana
tiba-tiba membalikkan diri dan masuk
kembali ke dalam istana. Ketika sampai di
ruangan dalam, dua orang pengawal raja baru
saja menutupkan pintu. Raden Kertopati
mendekati salah seorang dari mereka dan
langsung mencekal lehernya. Tentu saja
pengawal ini menjadi kaget dan pucat
wajahnya.
"Ra….raden….." suaranya tersengal saking
kerasnya cekikan Kertopati.
"Katakan apa maksudmu tadi bersembunyi di
balik tirai dan mencuri dengan pembicaraanku
dengan Sri Baginda?!" bertanya Kertopati
sementara pengawal kedua tegak tertegun
keheranan menykasikan kejadian itu.
"Saya…..saya tidak bersembunyi Raden…….
Saya……"
"Tidak bersembunyi? Lalu apa perlunya
mendekam di balakang tirai! Jangan berani
dusta! Salah-salah bisa kupotong lidahmu!"
"Saya bersumpah tidak bersembunyi!"
"Keparat! Jangan kira aku buta!"
"Saya bersumpah Raden. Saya benar-benar
tidak sembunyi, apalagi berani mendengarkan
pembicaraan Raden dengan raja….."
Plaaak!
Tamparan keras mendarat di muka pengawal
itu membuat tubuhnya melintir hampir jatuh.
Pipinya sebelah kiri langsung lebam dan dari
bagian bibirnya yang pecah mengucur darah.
Pengawal ini merintih kesakitan dan duduk
bersimpuh di lantai. "Saya bersumpah
raden…..saya bersumpah…..!" terdengar
suaranya di antara rintihan.
"Berdiri!" hardik Raden Kertopati.
Pengawal itu berdiri sambil mengusap-usap
pipinya yang masih disengat rasa sakit.
"Kau masih belum mau memberi
keterangan?!" Raden Kertopati mengangkat
tangan kanannya tinggi-tinggi. Siap untuk
menampar kedua kalinya.
Dengan ketakutan pengawal itu membuka
mulut "Saya bersumpah tidak bersembunyi
dan mencuri dengar pembicaraan Raden
dengan Sri Baginda. Saya berada dekat tirai
itu demi tugas. Bagaimanapun saya harus
menjaga keselamatan raja, lalu saya tegak di
situ…."
"Menjaga keselamatan raja! Itu bagus! Tapi
Sri Baginda sendiri yang menyuruhmu pergi!
Kau melanggar perintah raja! Perbuatanmu
nyata-nyata mencurigai diriku! Dan aku yakin
kau menyembunyikan sesuatu! Siapa yang
menyuruhmu semata-mata Sri Baginda? Atau
mungkin sekali memata-mataiku hah?!"
"Ampun Raden. Jangan berpikir dan menuduh
sejauh itu. Saya perajurit biasa. Saya kalau
bersalah siap dihukum. Tapi demi Gusti Allah
saya tida mencuri dengar, tidak bermaksud
jahat apalagi berani melanggar perintah Raja
dan memata-matai Raden……"
Pelipis Kepala Pasukan Kotaraja untuk
tampak bergerak-gerak. Rahangnya
menggembung.
"Kali ini kuampuni kesalahanmu. Tapi ingat
sejak detik ini kau berada di bawah
pengawasanku langsung. Mulai besok kau
tidak ditempatkan di dalam istana. Tugasmu
dipindah sebagai pengawal pintu gerbang
utara! Kau dengar?!"
"Saya…..saya dengar Raden…." Jawab si
pengawal. Meskipun bertugas di pintu
Kotaraja merupakan tugas yang berat, apalagi
dibandingkan dengan tugas di dalam istana,
namun dalam keadaan seperti itu si pengawal
tak ada jalan lain dari pada tunduk dan
menerima putusan serta perintah atasannya.
Raden Mas Jayengrono, Panglima Pasukan
Kerajaan menatap wajah pengawal yang
datang menghadapnya itu lalu bertanya.
"Kenapa tampangmu bengkak begitu. Bibirmu
juga kulihat ada lukanya"
Sang pengawal menunduk sesaat sambil
mengusap pipinya yang bengkak.
"Saya……saya ditempiling Raden Mas….."
katanya kemudian.
"Yang menimpiling?"
"Kepala Pasukan Kotaraja. Raden
Kertopati….." Lalu pengawal bernama
Kuntondo itu menerangkan apa yang terjadi
siang tadi di istana.
"Kertopati tentu punya alasan
menempilingmu. Lekas ceritakan!"
"Sesuai dengan perintahmu Raden Mas. Saya
memata-matai pembicarannya dengan Sri
Baginda. Ternyata dia mengetahui….."
menerangkan si pengawal.
"Kepala pasukan itu ringan tangan sekali
rupanya!" ujar Jayengrono dengan geram.
"Tetapi yang aku pentingkan saat ini bukan
mukamu yang bengkak atau si Kertopati itu.
Yang aku ingin tahu ialah apa yang
dibicarakannya dengan Sri Baginda….!"
"Dia menerangkan pada Sri Baginda, tidak
mungkin Raden Ajeng Siti Hinggil dan
puterinya mempunyai hubungan tertentu
dengan Pangeran Matahari. Dia siap
mendatangkan saksi-saksi…." Lalu Kontondo
menuturkan selengkapnya.
"Begitu….." ujar Jayengrono selesai pengawal
itu menceritakan. "Dia sudah terlalu jauh
melangkah. Dia bertanggung jawab atas
keamanan Kotaraja, bukan keseluruhan
Kerajaan. Tapi tidak apa. Kau terus saja
memata-matainya….."
"Saat ini tidak mungkin lagi Raden Mas."
"Hah, kenapa tidak mungkin?"
"Raden Kertopati telah memindahkan tugas
saya. Mulai besok saya bertugas di pintu
gerbang utara…."
"Hemm….. Dia memang punya wewenang
untuk itu. Sekarang ya sudah, kau boleh
pergi…." Jayengrono mengeruk jas beskapnya
lalu menyerahkan sebungkah kecil perak pada
Kuntondo. Pengawal ini membungkuk dalam,
mengucapkan terima kasih berulang kali lalu
meninggalkan gedung kediaman Panglima
Balatentara Kerajaan itu.
Ketika sampai di pintu pekarangan, seorang
lelaki tua memikul rumput mengang-gukkan
kepala dan menegur dengan hormat.
Kuntondo sama sekali tidak membalas
teguran dan penghormatan itu. kudanya
dibedal sekencang-kencangnya menuju arah
timur Kotaraja sementara sore siap berganti
dengan malam.
Gedung kediaman Raden Kertopati teletak di
barat Kotaraja, cukup besar dan mentereng,
tapi tentu saja alah mewah dengan gedung
kediaman Raden Mas Jayengrono selaku
Panglima Balatentara Kerajaan.
Lelaki tua pemikul rumput itu mengambil
jalan berputar dan sampai di hadapan sebuah
pintu kecil yang terdapat di tembok halaman
belakang gedung. Dia menurunkan rumput
yang dipikulnya lalu mengetuk pintu kecil dua
kali, satu kali, lalu dua kali lagi. Ketukannya
itu dilakukan berurutan dua kali. Sesaat
kemudian pintu terbuka. Seorang pengawal
memberi tanda agar dia cepat masuk,
sekaligus membawa rumput yang tadi
dipikulnya. Selanjutnya lelaki tua tadi diantar
menghadap Raden Kertopati, yang saat itu
baru saja selesai sembahyang maghrib.
Setelah membalas penghormatan lelaki tua
dengan anggukkan kepala maka bertanyalah
Kertopati. "Bagaimana hasil
penyelidikanmu…..?"
"Pengawal yang saya mata-matai ternyata
memang menghubungi Raden Mas
Jayengrono menjelang maghrib tadi….."
menjawab lelalki tua itu.
"Kertopati tersenyum. "Memang sudah
kuduga!" katanya sambil menepuk bahu lelaki
tua itu. "Kau telah menjalankan tugas dengan
baik. Kau tidak akan diberi hadiah apa-apa.
Tapi puteramu yang kedua mulai minggu
depan dapat bekerja di sini sebagai perajurit
pengawal!"
"Saya sangat berterima kasih Raden. Sangat
berterima kasih….." kata lelaki tua itu sambil
membungkuk-bungkuk.
LIMA
Ketika Raden Kertopati masuk ke ruangan itu,
didapatinya Sri Baginda duduk berhadap-
hadapan dengan Raden Mas Jayengrono.
Kertopati menjura memberi hormat. Meskipun
di situ masih ada dua buah kursi kosong,
namun karena tidak dipersilahkan maka
Kepala Pasukan Kotaraja ini tidak berani
mengambil tempat duduk.
"Sri Baginda, ada apakah memerintahkan
saya menghadap?" bertanya Kertopati. Di
dalam hati dia sudah menduga ada sesuatu
yang penting –mungkin tidak beres-. Apalagi
dilihatnya Jayengrono ada di sana dengan
memasang wajah kelam, tegang tapi sinis.
"Salah seorang bawahan Raden Mas
Jayengrono baru saja melaporkan bahwa
seorang kusir kereta dan tiga orang perajurit
ditemui mayatnya di tepi hutan Kalimukus.
Meskipun hutan itu terletak sedikit jauh dari
Kotaraja tapi keamanan di sana masih dalam
wilayah tanggung jawabmu. Bagaimana hal
ini bisa terjadi. Apakah kau sudah menerima
laporan dari anak buahmu?"
Apa yang dikatakan Sri Baginda ini tentu saja
membuat Kertopati terkejut. Sekilas dia
melirik ke arah Jayengrono yang kini tampak
duduk lebih santai.
"Maaf Sri Baginda, saya sama sekali belum
mendapat laporan. Apakah diketahui sebab
musabab kematian keempat orang itu?"
Yang menjawab justru adalah Jayengrono.
"Justru kau dipanggil kemari untuk segera
melakukan penyelidikan dimas Kertopati!"
"Kalau begitu, saya minta diri untuk
melakukan pemeriksaan."
"Tunggu dulu," Sri Baginda cepat berkata.
"Turut penjelasanmu beberapa hari lalu bukan
mustahil keempat orang itu adalah katamu
bisa memberikan kesaksian bahwa istriku
yang ketiga dan puterinya tidak mempunyai
hubungan apa-apa dengan Pangeran
Matahari….."
"Saya tidak berani memastikan, Sri Baginda.
Saya perlu menyelidik lebih dulu," jawab
Kertopati meskipun hati kecilnya berdetak
membenarkan bahwa keempat orang itu
adalah saksi-saksi hidup yang sebenarnya
akan diajukannya pada sidang pengadilan
para sesepuh kelak. Kini ternyata mereka
sudah mati. "Kalau mereka mati sekaligus di
tempat yang sama, ini satu hal yang aneh.
Bukan mustahil mereka dibunuh!"
"Berkata begitu apakah kau punya bukti-bukti
dimas Kertopati? Menyelidikpun belum,
bagaimana kau bisa berkata demikian?
Apakah kau pernah mendengar tentang seekor
harimau yang kelihatan muncul di sekitar
Kalimukus beberapa hari belakangan ini?"
"Saya mendengar memang, Raden Mas…..
Tapi…. Entahlah, saya harus menyelidik lebih
dulu. Kelak akan memberikan laporan hasil
penyelidikan pada Sri Baginda dan padamu…..
Saya minta diri sekaang!"
Di hutan Kalimukus, empat mayat
digeletakkan di atas empat usungan bambu.
Sewaktu Kertopati sampai di situ dan
memeriksa keadaan mayat satu persatu, di
tubuh mayat memang terlihat luka-luka
menganga, cabik memanjang.
"Mereka seperti dikoyak harimau….." kata
Kertopati dalam hati. "Tapi bukan harimau
benaran. Koyakan harimau tidak serapi ini.
Tubuh-tubuh ini dikoyak dengan pisau besar,
mungkin celurit atau kelewang….. Ada orang
yang telah membunuh mereka! Edan! Mereka
saksi-saksi yang kuharapkan bis
menyelamatkan Raden Ajeng Siti Hinggil dan
puterinya. Ah….. bagaimana sekarang?"
Bersama anak buahnya Kertopati kembali ke
istana. Saat dia menghadap raja Jayengrono
tak ada lagi di situ.
"Bagaimana hasil penyelidikanmu Kertopati?"
Sri Baginda langsung bertanya.
"Keempat orang yang malang itu memang
mati dicabik-cabik harimau Sri Baginda,"
jawab Kertopati.
Dapur istana malam itu tempak sepi. Hanya
ada seorang juru masak dan seorang pelayan
di situ. Keduanya adalah perempuan-
perempuan tua yang bekerja setengah
terkantuk-kantuk, menyiapkan makan malam
untuk tahanan istimewa yaitu Raden Ajeng
Siti Hinggil dan Raden Ayu Puji Lestari.
"Aku memasak begini banyak, begini lezat
tapi Gusti Ajeng Siti Hinggil hanya makan
sedikit sekali. Hampir tak pernah
menyantapnya malah….."
"Dimakan atau tidak, sudah tugas kita
memasak dan menghidangkan," jawab si
pelayan.
Saat itu pintu dapur terbuka. Kedua pelayan
tua ini terkejut dan gemetar ketika melihat
siapa yang masuk. Satu hal yang tidak
pernah terjadi bahwa Panglima Balatentara
Kerajaan masuk ke dalam dapur istana.
"Raden…..apakah kami berbuat
kesalahan…..?" juru masak tua keluarkan
suara gemetar. Dua perempuan tua itu
langsung lega ketika mereka melihat
Jayengrono justru tersenyum lebar.
"Semua orang sudah pulang. Kalian berdua
masih bekerja di sini. Apakah itu hidangan
untuk Raden Ajeng Siti Hinggil dan
puterinya…..?"
"Betul sekali Raden Mas……"
"Kalau begitu cepat dibawa ke kamar mereka
masing-masing. Bawa yang untuk Raden Ayu
Puji Lestari lebih dulu…..!"
Pelayan tua cepat mengambil napan besar,
meletakkan dua piring di atas nampan itu,
segelas besar air putih lalu membawa semua
itu ke ruangan di mana Puji Lestari ditahan.
"Juru masak, kau boleh pergi. Tugasmu
selesai. Sebentar lagi pelayan akan
mengambil dan mengantar hidangan untuk
Raden Ajeng Siti Hinggil……"
"Saya pergi Raden….." jawab juru masak tua.
Terbungkuk bungkuk perempuan ini mundur
menuju pintu.
Begitu dia hanya tingaal seorang diri di
tempat itu, dari balik sakunya Jayengrono
mengeluarkan sebuah lipatan kertas. Begitu
lipatan dibuka di dalamnya terlihat sejenis
bubuk berwarna putih. Dengan cepat bubukini
disiramkannya di atas dua piring makanan
yang ada di meja.
Baru saja dia hampir selesai menuangkan
seluruh bubuk, tiba-tiba pintu dapur terbuka.
Juru masak tua muncul dan melangkah
masuk. Membuat Jayengrono kaget dan
membentak.
"Ada apa kau kembali?!"
"Selendang saya Raden….. Selendang saya
tertinggal….."
"Juru masak! Kau tak akan mati tanpa
selendang itu! Keluar sana!"
Ketakutan setengah mati juru masak tua itu
keluar dari dapur dengan langkah
sempoyongan. Tak lama kemudian pelayan
tua muncul kembali untuk mengambil
hidangan yang akan diantarkan pada Raden
Ajeng Siti Hinggil. Jayengrono mengikuti dari
belakang. Di ujung gang dia membelok ke
kanan. Sebelum berlalu, dia masih sempat
melihat pelayan itu bicara dengan dua orang
pengawal pintu ruangan tahanan Raden Ajeng
Siti Hinggil. Lalu pintu dibuka dan si pelayan
masuk ke dalam.
Selama beberapa hari disekap dalam kamar
tahanan itu Raden Ajeng Siti Hinggil boleh
dikatakan tidak makan apa-apa. Tubuhnya
jauh susut dan pipi serta rongga matanya
mulai mencekung. Kulitnya yang putih mulus
kini pucat seperti tiada berdarah. Namun di
mata Jayengrono perempuan ini tampak
seolah tambah cantik dan mulus.
Setelah menatap sesaat makanan yang
diletakkan pelayan di atas meja, entah
mengapa sekali ini timbul saja hasratnya
untuk mencicipi makanan itu. Dua potong
besar ayam panggang kesukaannya,
semangkok sayur dengan kuah santan, lalu
nasi putih dan sepotong semangka merah
tanpa biji.
Mula-mula digigitnya potongan paha ayam.
Enak. Dijumputnya segenggam nasi dan
disendokkannya kuah santan. Tambah enak.
Lalu perempuan ini duduk di kursi. Selama
beberapa hari tidak makan, maka hidangan
yang ada di meja disantapnya dengan lahap
meskipun tidak keseluruhannya sanggup
dihabiskan.
Selesai makan dan meneguk air putih segelas
penuh, Siti Hinggil merasakan tubuhnya segar.
Pori-pori di sekujur tubuhnya melebar dan
keringat membasahi kulitnya. Kamar itu
dipandangnya berkeliling. Seperti baru
disadarinya betapa indah dan mewah keadaan
kamar itu. Kemudian napasnya terasa panas
memburu. Cuping hidungnya seperti
mengembang dan detak jantungnya lebih
cepat.
Istri Baginda ketiga ini menggeliatkan
tubuhnya. Terasa ada kenikmatan aneh dalam
geliatan itu. Dia menggeliat lagi. Semakin
nikmat. Perempuan ini bangkit dari kursi,
membaringkan tubuhnya di atas ranjang dan
kembali menggeliat-geliat. Dari sela bibirnya
terdengar suara seperti erangan halus. Kedua
tangannya menggapai-gapai udara lalu
diturunkan ke dada. Di situ kedua tangan itu
meremas-remas kencang.
Siti Hinggil merasakan tubuhnya panas.
Bukan oleh udara dalam kamar namun oleh
hawa aneh yang kini menguasai sekujur
tubuhnya, larut dalam aliran darah,
melumpuhkan indera ingatannya. Entah sadar
entah tidak Siti Hinggil membuka pakaiannya
satu demi satu. Hampir sekujur tubuhnya tak
tertutup lagi, tiba-tiba terdengar suara
berdesir. Dinding batu di sebelah kiri bergerak
dan kelihatanlah celah setengah pintu.
Siti Hinggil melompat dari atas ranjang,
menatap beringas ke arah orang yang masuk.
Tapi dia tidak menjerit atau mendamprat.
Malah mengulurkan kedua tangannya.
Memeluk orang yang berusan masuk itu
seraya tiada hentinya menyebut namanya.
"Jayeng…… Jayengrono……."
ENAM
Sewaktu hawa aneh yang merangsang aliran
darah dan membangkitkan nafsunya itu mulai
berkurang dan akhrinya lenyap sama sekali,
ingatan Siti Hinggil kembali pulih.
Didapatinya dirinya tergeletak di atas tempat
tidur tanpa sehelai benangpun menutupi
auratnya.
"Ya Gusti Allah, apa yang telah terjadi? Apa
yang telah kulakukan……?!"
Perempuan ini memandang ke dinding. Tak
ada pintu di situ. Dia memandang seputar
kamar. Tak ada Jayengrono di situ. Kemudian
ketika dia sadar betul apa yang telah terjadi,
perempuan ini menjerit tinggi. Dua perajurit
yang mengawal di pintu sama sekali tidak
dapat mendenga karena kamar itu dibuat
sedemikian rupa hingga kedap suara.
"Manusia keparat! Jayengrono manusia kotor!
Aku akan membunuhnya! Aku bersumpah
membunuhnya!" teriak Siti Hinggil. Lalu
seperti gila dia menjerit lagi berulang kali
sambil memukul-mukul pintu kayu yang
snagat tebal dan berat. Lapat-lapat suara
pukulan ini sempat terdengar oleh dua
perajurit yang mengawal pintu di sebelah luar.
Keduanya saling pandang sesaat. Setelah
berunding, salah seorang segera mengambil
kunci dan membuka pintu. Begitu pintu
terbuka dan melihat keadaan Siti Hinggil
seperti itu tentu saja dua perajurit ini
terperangah kaget.
"Mana Jayengrono! Aku harus membunuhnya!
Mana manusia keparat itu! mana…. Berikan
tombak itu padaku! Berikan!" teriak Siti
hinggil dan menghambur ke luar kamar seraya
mencoba merampas tombak yang ada di
tangan pengawal sebelah kanan.
"Raden Ajeng! Apa yang terjadi…..?!"
Pengawal kedua bertanya lalu cepat
menangkap lengan Siti Hinggil dan menarik
perempuan itu kembali ke dalam kamar.
Tapi seperti mendapat kekuatan dari setan,
Siti Hinggil meronta. Sekali sentak saja
pegangan si pengawal terlepas. Kalau
temannya tidak lekas membantu, niscaya Siti
Hinggil berhasil lolos dan lari sepanjang gang
sambil berteriak-teriak seperti orang gila
dalam keadaan bertelanjang bulat! Dua
pengawal bergulat dengan susah payah,
akhirnya berhasil membawa Siti Hinggil
masuk kembali ke dalam kamar lalu cepat-
cepat pintu besar dan berat itu ditutup.
"Bagaimana sekarang? Apa yang harus kita
lakukan?!" tanya pengawal pertama.
"Kita harus melaporkan kejadian ini pada Sri
Baginda!"
"Jangan pada Sri Baginda. Sebaiknya pada
Patih Kerajaan saja. Atau Panglima. Atau
mungkin Kepala Pasukan Kotaraja……."
"Eh, apa yang akan kau laporkan?" tanya
pengawal kedua.
"Akan kukatakan Siti Hinggil kemasukan
setan!" jawab pengawal kedua. Lalu setengah
berlari dia meninggalkan tempat itu. Yang
ditujunya adalah gedung kediaman Raden
Kertopati, Kepala Pasukan Kotaraja. Tapi
karena kediaman Kertopati cukup jauh sedang
gedung kediaman Patih Kerajaan lebih dekat,
maka pengawal ini langsung menuju
kediaman Patih Haryo Unggul. Semula
pengawal gedung kepatiah menolak untuk
membangunkan Patih Haryo Unggul di larut
malam begitu. Namuan setelah diberitahu apa
yang terjadi maka pengawal gedung segea
masuk ke dalam.
Semua orang tahu bahwa selain memiliki
kepandaian silat dan kesaktian, Patih Haryo
Unggul juga mempunyai keahlian mengobati
berbagai macam penyakit, termasuk mereka
yang kesurupan atau kemasukan roh dari luar.
Ketika pintu kamar tahanan dibuka, Siti
Hinggil kelihatan duduk di lantai, di salah
satu sudut sambil menangis. Keadaan
auratnya masih tetap tidak tertutup. Melihat
ada orang yang masuk, perempuan ini
melompat bangkit. Bukan untuk menutupi
tubuhnya, tapi menyongsong sambil memukul
dan menjerit-berteriak.
"Mana keparat itu! Mana manusia iblis
Jayengrono itu! Aku harus membunuhnya! Aku
bersumpah membunuhnya!"
Patih haryo Unggul segera menutupi tubuh
Siti Hinggil dengan kain panjang yang
sengaja dibawanya. Tangan kanannya dengan
cepat meluncur memegang bahu kiri Siti
Hinggil. Dia memijit bahu itu dengan keras.
Siti Hinggil tampak meringis kesakitan, tapi
sama sekali tidak menjerit. Sang patih
mencoba sekali lagi. Kali ini yang dipencetnya
adalah daging tangan pada celah antara jari
telunjuk dan ibu jari tangan kanan Siti
Hinggil. Tetap saja perempuan ini hanya
memperlihatkan wajah meringis kesakitan
tetapi tidak berteriak.
"Aneh, ini bukan kesurupan atau kemasukan
roh! Apakah Raden Ajeng ini tiba-tiba saja
menjadi gila?" begitu Patih Haryo Unggul
membatin.
"Mana Jayengrono! Mana manusia keparat
itu! Aku harus membunuhnya!" kembali Siti
Hinggil berteriak sementara dua orang
pengawal memegangi tangannya kiri kanan.
"Jayengrono tak ada di sini. Mengapa….."
"Tidak! Tadi dia ada di sini! Tadi dia….." Siti
Hinggil tidak sanggup meneruskan ucapannya.
Dia menjerit panjang, lalu melosoh ke bawah.
Kalau tidak dipegangi pasti terbating ke
lantai.
Ketika perempuan itu menjerit panjang Patih
Haryo Unggul membaui hawa aneh keluar dari
mulut Siti Hinggil. Tapi dia tidak tahu pasti
hawa apa itu gerangan.
Atas perintah Patih haryo Unggul, Siti Hinggil
dibaringkan di atas tempat tidur. Pelayan
dipanggil untuk memebenahi sisa makanan.
Lalu pada beberapa perajurit dan pengawal
yang ada di situ dipesankan agar berjaga-
jaga.
"Raden Ajeng tidak pingsan. Dia hanya
kehabisan tenaga. Salah satu dari kalian
cepat menghubungi kepala pengasuh istana.
Minta paling tidak dua orang inang pengasuh
datang kemari untuk menjaga dan
merawatnya. Aku akan melapor pada raja…."
Melangkah sepanjang gang Patih Haryo
Unggul geleng-gelengkan kepala dan menarik
nafas dalam. "Aneh sekali tindakan Sri
Baginda. Apapun kesalahan istrinya itu, tidak
semustinya Raden Ajeng dipenjarakan seperti
itu. Dan Sri Baginda sama sekali tidak pernah
menghubungiku ataupun memberitahu
kejadian penahanan ini!
Apa sebenarnya yang tengah terjadi di istana
ini. Apakah aku bukan orang penting lagi di
sini hingga tak ada yang mau memberitahu?!
Raja memenjarakan istrinya sendiri! Juga
puterinya! Sudah gila dunia ini!"
Sidang pengadilan para sesepuh dan tokoh
kerajaan untuk memeriksa Raden Ajeng Siti
Hinggil dan puterinya seharusnya dilakukan
hari itu. Namun karena sejak dua hari lalu Siti
Hinggil dinyatakan sakit, tidak mampu
meninggalkan tempat tidur, maka sidang
ditunda. Selama tiga hari itu Siti Hinggil
terbaring di atas tempat tidur dengan kedua
maa selalu terpejam. Dari mulutnya selalu
terdengar suara meracau yang tidak jelas apa
yang dikatakannya. Di kepala tempat tidur
selalu duduk menjaga Raden Ayu Puji Lestari.
Atas permintaan Patih Haryo Unggul dan atas
persetujuan raja, Siti Hinggil diperkenankan
dipindahkan dan dipulangkan ke rumah
kediamannya. Tetapi dengan sikap keras Puji
Lestari menolak.
"Kalau ibundaku harus mati, biar dia mati di
kamar tahanan ini! Agar semua orang yang
bertanggung jawab atas ketidak adilan ini
bisa merasakan kepuasan!" begitu kata-kata
yang dikeluarkan Puji Lestari di hadapan
Patih Haryo Unggul dan Sri Baginda yang
datang menjenguk meskipun hanya sebentar.
Dalam sebuah ruangan di istana, Patih haryo
Unggul duduk berhadap-hadapan dengan Sri
Baginda.
"Menurut paman patih, penyakit Raden Ajeng
Siti Hinggil masih belum diketahui. Apakah
tidak dapat diusahakan cara lain agar dia
disembuhkan. Paling tidak aga kedua tangan
dan kakinya bisa digerakkan kembali.
Matanya yang terpejam bisa dibuka lagi….."
"Saya telah melakukan berbagai usaha Sri
Baginda. Mohon maafmu kalau segala
kemampuan dan keahlian pengobatan saya
kali ini hampir tidak ada manfaatnya…… Saya
tidak tahu apa sebenarnya penyebab sakit
yang diderita Raden Ajeng. Turut penglihatan
dari luar dia seperti kehabisan tenaga hingga
tidak mampu menggerakkan anggota badan,
bahkan membuka kelopak matanya. Juga sulit
untuk memberinya minum, apalagi makan….."
"Bagaimana dengan dugaan bahwa dia
kemasukan roh halus atau kesurupan…..?"
"Seperti saya pernah katakan pada Sri
Baginda sebelumnya, Raden Ajeng sama
sekali bukan kemasukan roh atau kemasukan
setan atau kesurupan. Dalam kehabisan
tenaga ada sau ganjalan besar yang
membenam dalam otaknya….."
"Penyakit aneh apa namanya itu?!" ujar Sri
Baginda pula. Seorang ponggawa masuk,
memberitahu Raden Kertopati akan datang
menghadap.
"Paman Patih suruh Kertopati masuk. Biar
kita bicara bertiga di sini……"
Pembicaraan kemudian dilanjutkan bertiga.
Raden Kertopati lebih banyak menjadi
pendengar dan baru membuka mulut
menyatakan pendapatnya ketika Patih Haryo
Unggul mengusulkan untuk mencari tabib atau
orang sakti yang sanggup menyembuhkan
penyakit aneh yang dialami Raden Ajeng Siti
Hinggil.
"Sri Baginda, apakah ingat dengan pemuda
aneh berambut gondrong benama Wiro
Sableng bergelar Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212….?" Raden Kertopati bertanya.
"Tentu saja aku ingat manusia satu itu. Aneh
dan terkadang lancang. Bicaranya ceplas-
ceplos tapi jasanya pada Kerajaan tak dapat
kita balaskan sampai saat ini…..!"
"Manusia seperti dia memang tak pernah
mengharapkan balas jasa, Sri Baginda….."
Baginda menganggukkan kepalanya, "Terakhir
kali dia raib dari penjara ketika dia ditahan
atas kehendak Jayengrono……"
"Dia hanya korban kesalah pahaman, korban
itikad buruk dari orang-orang yang tak mau
melihat kenyataan….." kata Raden Kertopati.
"Aku tahu dimas Kertopati menyesalkan
perbuatan dimas Jayengrono tempo hari
karena dialah yang menjebloskan pendekar
berambut gondrong itu ke dalam penjara. Tapi
itu telah berlalu, yang penting saat ini apakah
dimas mempunyai saran tertentu bagaimana
kita bisa menyembuhkan Raden Ajeng….?"
Yang berkata dan bertanya adalah Patih
Haryo Unggul.
"Justru saya menyebut nama pendekar itu
karena ingat akan kemampuannya. Dia yang
mengobati saya ketika terluka dan hampir
mati keracunan akibat pukulan Pangeran
Matahari ketika terjadi pertempuran kacau
balau di depan istana beberapa waktu lalu.
Dia memiliki sebuah senjata sakti. Sebilah
kapak bermata dua. Dengan senjata itulah dia
menyedot racun yang hampir membunuh
saya….. Saya menunggu pendapat dan
keputusan Sri Baginda."
"Semua urusan aku serahkan pada kalian
berdua. Lakukan apa yang kalian anggap
paling baik….." Sri Baginda bangkit dari
kursinya lalu meninggalkan ruangan itu.
Ketika mereka hanya tinggal berdua saja,
maka Raden Kertopati bicara perlahan pada
Patih Haryo Unggul.
"Paman Patih, sebenarnya saya ada rencana
lain. Namun tidak saya utarakan pada Sri
Baginda karena saya yakin Sri Baginda lebih
percaya pada orang itu dari pada saya……"
"Siapa yang kau maksudkan dengan orang itu
dimas Kertopati?"
"Raden Mas Jayengrono….."
"Hemmmm…..Aku dengar hubungan kalian
akhir-akhir ini tidak begitu
sreg……"
"Saya akui Paman Patih. Semua berpangkal
pada tuduhan tak beralasan bahwa Raden
Ajeng dan puterinya mempunyai hubungan
tertentu dengan Pangeran Matahari yang
hendak merampas tahta kerajaan….."
"Aku lebih tertarik jika kau menerangkan apa
rencana yang kau sebutkan itu," kata Patih
Haryo Unggul membelokkan pembicaraan.
"Saya dengar bahwa setiap kali berteriak
kalap yakni sebelum jatuh sakit seperti ini,
Raden Ajeng selalu meneriakkan ingin
membunuh Jayengrono. Mengapa? Apa
alasannya? Saya tidak tahu. Paman Patih
juga tidak tahu. Sri Baginda tidak tahu dan
juga tidak acuh. Hanya ada dua orang yang
tahu. Yakni Raden Ajeng sendiri dan
Jayengrono. Raden Ajeng tak mungkin
ditanyai. Tapi Raden Mas Jayengrono bisa
ditanyai setiap saat. Saya mengatakan hal ini
bukan karena hubungan saya dengan dia
sedang tidak baik. Tetapi….."
"Ya…..ya. Apa yang kau katakan itu memang
benar. Tapi soalnya siapa yang bakal
menanyai Panglima Kerajaan itu? Kurasa
hanya Sri Baginda. Tapi seperti katamu, Sri
Baginda tidak acuh!"
"Tidak acuh karena ada yang menggosok!"
"Lagi-lagi tentu yang dimas maksudkan
adalah Jayengrono….." kata sang patih pula.
Kertopati tersenyum. "Saya tidak mengatakan
itu. Paman Patih yang menyebut namanya!"
Kedua orang itu sama-sama tersenyum.
"Dimas Kerto, jika kau memang yakin
sahabatmu Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 yang sableng itu bisa menolong,
sebaiknya kau segera mencarinya dan
membawanya ke mari."
"Hal itu segera saya lakukan jika paman patih
memang memberi dukungan dan restu. Saya
akan menyebar orang-orang untuk menyelidik
di mana dia berada. Hanya ada satu
permintaan saya. Maukah paman patih
membantu?"
"Katakan apa keinginan dimas….."
"Usahakan agar Raden Ajeng dan puterinya
dipindahkan dari tahanan itu ke satu tempat
yang dirahasiakan….."
"Permintaanmu itu mudah kukabulkan karena
Sri Baginda sendiri memang sudah
menyetujui. Tapi karena kau yang meminta
maka aku melihat adanya keanehan….."
"Tidak aneh Paman Patih. Paman patih ingat
ketika deretan kamar-kamar itu dibangun?
Semua ditangani oleh Jayengrono. Serba
rahasia. Siang malam dia menongkrongi
pembangunan tempat itu. Satu tindakan yang
tidak pantas bagi seorang Panglima
Balatentara. Dan satu lagi jangan lupa.
Jayengrono ahli dalam bidang bangunan dan
benda-benda rahasia….."
Patih Haryo Unggul menatap wajah Raden
Kertopati lekat-lekat lalu memegang bahu
Kepala Pasukan Kotaraja itu dan berkata
"Dimas Kerto, kurasa kali ini kau, tepatnya
kita semua, tengah menghadapi harimau buas
bekepala dua….."
"Mungkin kepalanya lebih dari dua, paman
patih!" sahut Kertopati.
"Kalau begitu laksanakan tugasmu secepat-
cepatnya!"
"Saya mohon diri sekarang….."
Baru saja Kertopati hendak berdiri tiba-tiba
masuk seorang ponggawa membawa segulung
kertas. Ponggawa ini memberitahu bahwa dia
membawa surat dari Raden Mas Jayengrono,
ditujukan pada Patih Haryo Unggul. Patih
mengambil surat itu dan membacanya. Patih
Haryo Unggul
Laporan dari mata-mata kita di utara
menunjukkan adanya beberapa kelompok
sisa-sisa pemberontak bergabung di satu
tempat. Hal ini mengundang satu tindakan
cepat. Siang ini dengan sejumlah besar
pasukan berangkat ke utara. Saya tidak
melaporkan pada Sri Baginda karena maklum
Sri Baginda cukup banyak beban pikiran saat
ini. Tentang keamanan kota mohon batuan
YM untuk menghubungi Raden Kertopati dan
meminta agar dia tetap waspada. Saya tidak
dapat memastikan kapan akan kembali ke
Kotaraja. Teriring salam dan hormat, R.M.
Jayengrono Patih Haryo Unggul menyerahkan
surat itu pada Raden Kertopati. Selesai Kepala
Pasukan Kotaraja ini membaca, sang patih
bertanya "Apa pendapatmu dimas?"
"Pertama Raden Mas Jayengrono tentunya
sudah jauh saat ini. Kalaupun dipanggil dia
bisa menolak dengan alasan lebih
memetingkan keselamatan Kerajaan. Yang
aneh, bagaimana dia bisa membawa sejumlah
besar pasukan tanpa terlihat gerakan-gerakan
pemberangkatan….."
"Mungkin dia mengerahkan pasukan di tapal
batas, bukan dari dalam……" kata Patih Haryo
Unggul pula.
"Saya berangkat sekarang Paman Patih. Yang
paling penting adalah mengobati Raden Ajeng
lebih dulu. Jika dia bisa disadarkan saya rasa
segala sesuatunya akan menjadi jelas.
Jangan lupa mengamankan ibu dan anak
itu….."
"Ya, kau pergilah dimas. Lekas kembali. Aku
tak ingin kau kembali terlambat dan hanya
menemui tanah merah makam Raden Ajeng!"
TUJUH
Diiringi enam orang pengiring, dua di
antaranya perwira muda berkepandaian tinggi,
Raden Kertopati memacu kuda menuju ke
utara. Sebentar lagi malam akan tiba.
Sebelum malam datang dengan segala
kepekatannya dia harus mencapai Delanggu di
kaki pegunungan Kendeng. Celakanya hujan
turun rintik-rintik dan tiupan angin mulai
terasa kencang dan dingin. Jalan tanah yang
mereka lalui menjadi licin. Ternyata kegelapan
malam datang lebih cepat dari yang
diperkirakan.
"Pacu kuda kalian lebih cepat!" teriak
Kertopati.
Semua pengiring menggebrak pinggul kuda
masing-masing. Tujuh ekor kuda melesat
kencang seperti anak panah mengejar setan!
Lima puluh langkah di depan tiba-tiba
terjadilah malapetaka yang tidak mereka
duga.
Jalan tanah yang mereka tempuh mendadak
sontak ambrol begitu kaki-kaki kuda
menginjaknya. Sebuah lubang besar
menganga. Tujuh orang berteriak kaget. Tujuh
ekor kuda meringkik keras. Kuda-kuda dan
tujuh orang itu langsung amblas masuk ke
dalam lubang, saling tumpang tindih. Di dasar
lubang menunggu seratus bambu runcing!
Jerit pekik bersatu padu dengan ringkik-
ringkik kuda!
Empat orang perajurit langsung menemui ajal
ditambus bambu runcing pada bagian dada
atau perut. Malah salah satu tepat disate di
bagian lehernya. Satu dari dua perajurit muda
terhempas ke dalam lubang, langsung
ditambus enam potongan bamboo runcing.
Empat ekor kuda melejang-lejang sambil
meringkik sementara darah mengucur deras
dari bagian tubuh yang tertusuk bambu.
Perwira muda kedua masih untung hanya
pahanya yang terserempet ujung bambu
runcing. Sebagian tubuhnya tergelompang di
tepi lubang. Tapi luka pahanya mendadak
sontak menyebabkan rasa panas di sekujur
tubuh. Dia mengerang pendek, berusaha
bangkit tapi jatuh lagi karena kaki dan
tangannya laksana lumpuh!
Raden Kertopati yang paling untung dari
semua rombongan. Tubuhnya selamat karena
jatuh di atas kuda yang masuk ke lubang
lebih dulu. Binatang itu sendiri setelah
menggelepar beberapa kali meregang nyawa
mandi darah akibat ditembus enam belas
potong bambu runcing.
Raden Kertopati berusaha melepaskan kaki
kirinya yang terjepit di antara dua tubuh kuda
yang sudah mati. Begitu kakinya terlepas
maksudnya segera melompat dari lubang
neraka itu. Namun niatnya serta merta
dibatalkan katika dia melihat beberapa sosok
tubuh berkelebatan di dalam kegelapan.
Disusul oleh suara tertawa bergelak. Raden
Kertopati langsung jatuhkan diri kembali,
menyelinapkan diri di antara dua tubuh kuda
yang berlumuran darah, berpura-pura mati!
Tapi diam-diam kedua matanya dibuka
sedikit demi sedikit untuk melihat siapa
orang-orang itu. Ternyata mereka ada empat
orang. Dan keempatnya menutupi wajah
masing-masing dengan topeng kain hitam.
Hanya bagian mata saja yang tampak!
"Kalau Kala Srenggi yang punya kerja, tak
ada yang meleset! Ha…ha….ha….!" orang yang
tadi mengumbar suara tawa berkata. "Semua
mereka mati sesuai dengan yang dikehendaki!
Pekerjaan selesai aku minta imbalannya…..!"
Orang itu lalu ulurkan tangan kanannya ke
arah lelaki berbadan tegap, mengenakan
pakaian hitam yang berdiri di tepi lubang
maut sebelah kanan. Orang di tepi lubang
mengambil sebuah kantong kain di balik
pakaiannya dengan tangan kiri. Kantong ini
diserahkannya pada orang yang menyebut
dirinya Kala Srenggi.
"Lima puluh keping emas?" desis Kala Srenggi
seraya memegang kantong kain.
"Tidak lebih tidak kurang. Sesuai perjanjian!"
jawab orang yang mengulurkan kantong kain.
Kantong itu seperti hendak dilepaskannya ke
dalam genggaman Kala Srenggi. Tetapi tiba-
tiba sekali tangan kanannya bergerak. Dalam
gelapnya malam tiba-tiba memancar dan
berkelebat sinar putih menyilaukan disertai
hawa sedingin salju! Detik itu juga terdengar
pekik Kala Srenggi. Darah muncrat dari
dadanya yang ditembus senjata sakti sampai
ke jantung! Tubuhnya terasa dingin. Lututnya
goyah. Kedua matanya mencelet.
"Bangsat penipu….. Terkutuk!" hanya sumpah
serapah itu yang sempat dilontarkan Kala
Srenggi. Tubuhnya jatuh, terguling dan masuk
ke dalam lubang maut, tepat menimpa tubuh
Raden Kertopati hingga dia tak dapat lagi
melihat apa yang terjadi kemudian.
Ketika Kala Srenggi ditikam, dua orang anak
buahnya yang berada di sana dengan
berteriak marah langsung menghunus golok
dan menyerbu si pembunuh. Perkelahian
pendek terjadi di antara tiga orang bertopeng
kain itu. Tapi agaknya yang memegang
senjata yang memancarkan sinar putih
memiliki kepandaian silat sangat tinggi. Dua
kali menggebrak, dua penyerang roboh mandi
darah dan tewas menyusul pimpinan mereka!
Raden Kertopati memanggul tubuh yan terasa
sangat panas itu dan berlari sekencang yang
bisa dilakukannya. Orang yang dipanggul
tiada hentinya mengerang dan meminta
"Raden, lebih baik kau bunuh aku saat ini
juga! Rasa panas yang memanggang ini tak
bisa kutahan lagi….."
"Perwira muda, sebagai perajurit Kerajaan kau
harus sanggup bertahan! Sebentar lagi kita
akan sampai di tujuan!"
"Jika Raden membunuhku saat ini, Raden
akan terlepas dari beban dan bisa sampai di
tujuan. Jangan perdulikan diriku. Pentingkan
tugas yang ada di pundak Raden!"
Raden Kertopati terharu mendengar ucpan
bawahannya itu. "Jika kau sembuh, aku
bersumpah untuk menaikkan pangkatmu!"
meluncur kata-kata itu dari mulut Raden
Kertopati. Meskipun tenaganya sudah
terkuras, tapi semangatnya seperti memberi
kekuatan baru untuk terus berlari sambil
memanggul tubuh perwira muda itu.
Di kejauhan tampak nyala lampu kecil sekali
di tengah sawah. Ke situlah Raden Kertopati
berlari memanggul tubuh bawahannya itu.
Untung saja daerah itu tidak kejatuhan hujan.
Kalau tidak, berlari di pematang sawah yang
licin tentu akan menyusahkannya.
Di atas dangau di tengah sawah saat itu
tampak dua orang pemuda duduk bercakap-
cakap. Yang pertama seorang pemuda
bertubuh ramping berkulit halus mengenakan
pakaian kelabu. Yang kedua berbadan tegap
kekar, berambut gondrong sebahu, berpakaian
serba putih dan memakai ikat kepala putih.
"Ada orang datang….." kata pemuda berbaju
kelabu.
"Aku sudah tahu," jawab si gondrong seperti
tak acuh. Lalu dia memandang ke jurusan
barat, dari arah mana orang yang berlari itu
datang. "Hem…. Dia memanggul seseorang.
Berlari kencang di pematang sawah yang kecil
dan licin. Berarti memiliki ilmu meringankan
tubuh dan ilmu lari yang andal!"
Hanya beberapa kejapan kemudian, orang
yang beralari itu sampai di depan podok
seraya berseru gembira "Pendekar 212 Wiro
Sableng! Syukur pada Tuhan akhirnya kutemui
juga kau!"
"Hai! Siapa dirimu?!" bertanya si gondrong
seraya berdiri. Ternyata dia adalah murid
Sinto Gendeng dari gunung Gede yaitu
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Dia
sama sekali tidak mengenali siapa orang yang
datang ini karena baik muka maupun
tubuhnya penuh lumuran darah. Tapi begitu
memperhatikan lebih jelas Wiro segera saja
mengenali dan berseru kaget.
"Sahabat Raden Kertopati! Luar biasa sekali!
Kepala Pasukan Kotaraja tiba-tiba muncul di
malam buta dalam keadaan bercelemongan
darah dan memanggul sesosok mayat!"
"Perwira ini masih belum mati! Luka pada
pahanya mengandung racun! Selamatkan
nyawanya lebih dulu. Nanti aku ceritakan
maksud kedatanganku!" lalu Raden Kertopati
menurunkan tubuh perwira muda dari
panggulannya. Pemuda berpakaian kelabu
membantunya "Bagus, kaupun ternyata ada di
sini sahabat….."
"Bagaimana Raden tahu kami ada di sini?"
tanya Wiro seraya garuk kepala.
"Aku punya ratusan mata-mata disebar di
delapan penjuru angin. Tidak sulit mengetahui
di mana kalian berada…. Tapi yang penting
tolong dulu perwira muda itu…..!" kata Raden
Kertopati. Lalu dia sendiri menjatuhkan diri di
atas dangau.
Tubuhnya terasa luluh lantak dan napasnya
menyengal karena lari sejauh itu….. Wiro
merobek celana di bagian paha perwira muda
itu hingga dia melihat lebih jelas luka yang
dalam. Darah tidak mengucur lagi dari luka
itu. Bagian daging tepi daging paha yang
terluka tampak berwarna hijau gelap.
"Racun ular jahat…." Desis pemuda
berpakaian kelabu.
Wiro mengangguk. Dia membuat beberapa
totokan hingga perwira muda yang masih
setengah sadar itu langsung jatuh pingsan.
Lalu dikeluarkannya Kapak Naga Geni 212.
Sinar kapak memutih perak menerangi gubuk
di tengah sawah itu. Mata kapak
ditempelkannya ke luka yang terdapat di
paha. Lalu pendekar ini mulai kerahkan
tenaga dalam. Seperti disedot oleh satu
kekuatan hebat, dari luka itu mengucur ke luar
darah kental berwarna hitam. Perlahan-lahan
darah yang keluar berubah menjadi merah.
Setelah dirasakan tubuh perwira itu terbebas
dari segala racun jahat yang ada, Wiro
mengangkat senjata saktinya.
"Dia selamat Raden….."
"Aku tahu kau sanggup menolongnya," jawab
Kertopati. Dia masih menelentang di lantai
dangau dengan dada sesak turun naik.
"Sekarang katakan mengapa kau datang
mencari kami? Pasti ada yang tak beres lagi
di Kotaraja."
DELAPAN
Gedung Kepatihan di mana Haryo Unggul
tinggal bersama keluarganya merupakan
gedung kedua yang memiliki penjagaan ketat
setelah keraton tempat kediaman raja dan
permaisuri serta putera puterinya. Di sebuah
kamar besar yang terdapat di bagian belakang
gedung malah kini terlihat dua orang
pengawal. Itulah kamar di mana Raden Siti
Hinggil bersama Puji Lestari ditempatkan.
Malam itu Patih Haryo Unggul masih belum
kembali dari istana. Sore tadi seorang
perajurit datang dari utara, membawa sepucuk
surat yang dikirimkan oleh Raden Mas
Jayengrono. Begitu membaca surat Patih
Haryo Unggul langsung menuju istana dan
memperlihatkan surat itu pada Sri Baginda.
Teruntuk YM
Patih Haryo Unggul
Di Kotaraja
Gerakan kaum pemberontak telah kami
gunting hingga tak mungkin mereka bisa
menerobos dan melewati perbatasan. Melalui
surat ini saya ingin melaporkan satu hal yang
tidak terduga. Saya melihat Raden Kertopati
bersama Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Wiro Sableng di antara pasukan pemberontak.
Masih terdapat seorang kawannya yakni
pemuda baju abu-abu yang tidak saya
ketahui namanya. Saya harap paman patih
memberitahu hal ini pada Sri Baginda dan
mengambil tindakan terhadap Raden
Kertopati.
Sudah sejak lama sebenarnya saya
mencurigai Kapala Pasukan itu. Saya yakin
dia juga yang telah meloloskan Wio Sableng
sewaktu ditahan di penjara dulu. Jika orang
ini tidak segera diamankan istana dan
kerajaan akan terancam malapetaka besar.
Teriring salam dan hormat,
R.M. Jayengrono
Sri Baginda menyerahkan surat itu kembali
pada Patih Haryo Unggul. Lalu bertanya "Di
mana Kertopati sekarang?"
"Dia memang berada di luar kota. Namun
kepergiannya katanya adalah mencari
Pendekar 212 Wiro Sableng untuk dapat
menyembuhkan Raden Ajeng….."
"Itu alasan yang dikatakannya pada kita.
Sebenarnya dia ingin menemui kaum
pemberontak. Musuh dalam selimut!"
"Saya mohon petunjuk Sri Baginda lebih
lanjut…."
"Apa lagi! Jika dia berani muncul di Kotaraja
tangkap ular kepala dua itu. Awasi gedung
kediamannya!"
"Bukan lebih baik kalau kita menyelidik
kebenaran isi surat ini terlebih dulu?"
"Eh, mengapa begitu Raden Mas?"
"Saya kawatir tindakan yang terburu-buru
malah bisa mengundang kericuhan lebih
besar, ingat ketika kita salah tangan
menangkap Pendekar 212 dulu…..Kita ikut
salah walau Raden Mas Jayengrono yang
sebenarnya punya ikhtiar."
Sri Baginda terdiam sejenak. "Aku serahkan
semua kebijaksanaan padamu. Tapi aku tak
ingin kita menempuh jalan salah dan
terkecoh. Kalau sampai apa yang dilaporkan
Raden Mas Jayengrono betul dan kita
kebobolan, ingat baik-baik, tanggung jawab
ada di pundakmu!"
"Saya ingat hal itu Sri Baginda. Ada satu hal
lagi yang ingin saya laporkan….."
"Soal apa?"
"Terlebih dahulu mohon maaf Sri Baginda.
Karena saya telah bertindak tanpa
memberitahu atau minta izin lebih dahulu. Ini
menyangkut kamar tahanan yang sejak
beberapa hari lalu ditempati Raden Ajeng Siti
Hinggil. Turut keterangan yang saya dapat
kamar itu dulu dibangun secara sangat
rahasia. Berarti ada sesuatu yang tidak boleh
diketahui oleh orang lain…."
"Seingatku, Jayengrono yang mengepalai
pembangunan kamar itu dan kamar-kamar
lainnya….."
"Betul sekali Sri Baginda. Mohon lagi maafmu
Sri Baginda. Diam-diam saya melakukan
penyelidikan. Saya merasakan adanya
keanehan pada kamar satu itu, tapi tak dapat
menemukan. Karena itu saya mendatangi
Gundil Ablang, kakek tua yang dulu jadi juru
batu dan juru kayu pembangunan kamar.
Gundil Ablang sudah pikun. Namun dari
rangkaian keterangannya yang coba saya
sambung satu dengan yang lainnya dapat
diduga terdapat sebuah pintu rahasia di
dinding kamar itu. Gundil Ablang saya
datangkan sendiri ke situ. Dia berhasil
mengingat di mana pintu itu berada, malah
menemukan cara membuka dan
menutupnya….."
"Kalau begitu….." uajr Sri Baginda dengan
muka berubah, "Selama istriku ditahan di
kamar itu ada seseorang yang
mengunjunginya!"
Patih Haryo Unggul tak berani mengiyakan.
"Mungkin sekali Pangeran Matahari!" Sri
Baginda tiba-tiba berkata.
"Saya meragukan sekali hal itu Sri Baginda.
Penjagaan di istana ini sangat ketat.
Meskipun dia memiliki kepandaian tinggi luar
biasa, tak mungkin menyelinap tanpa
diketahui. Dugaan saya ialah bahwa orang itu
– siapapun dia adanya – adalah seorang
yang mampu keluar masuk istana tanpa
dicurigai. Orang dalam sendiri."
"Orang dalam sendiri? Siapa?!"
"Saat ini tak dapat saya menebaknya Sri
Baginda….."
"Aku harus tahu siapa orang itu. Kau harus
menyelidik. Aku beri waktu dua hari!"
Patih Haryo Unggul bangkit berdiri, menjura
kemudian berlalu dari hadapan raja.
Angin malam bertiup dingin. Sesosok tubuh
turun dari kuda dan mengikat binatang itu
pada batang pohon yang tersembunyi dalam
kegelapan. Setelah memperhatikan keadaan
sekitarnya, dengan cepat dia melangkah
menuju tembok timur gedung kepatihan.
Gerakannya gesit, enteng, tanpa suara ketika
dia dengan mudah melompati tembok tinggi
itu lalu melompat lagi ke atas atap bangunan.
Malam begitu gelap. Orang itu mengenakan
pakaian serba hitam dan wajahnya ditutup
cadar hitam. Hanya sepasang matanya yang
tampak liar bergerak-gerak. Hampir tidak
mengeluarkan suara sama sekali si penyelinap
mulai membongkar genteng di atas atap satu
demi satu. Di lain saat tubuhnya lenyap
masuk ke dalam wuwungan.
Kamar yang hendak disusupinya itu berada
tepat di bawah. Dari atas orang itu dapat
melihat empat perajurit pengawal di pintu
masuk. Di dalam kamar menyala lampu
minyak kecil sekali. Tapi cukup menerangi
keadaan di dalamnya. Cukup untuk melihat
bahwa di atas ranjang besar yang tertutup
kelambu terbaring tidur dua orang perempuan.
Lalu dua orang perempuan lain tidur di lantai.
Yang di atas ranjang besar pastilah sang ibu
dan anak. Raden Ajeng Siti Hinggil dan Raden
Ayu Puji Lestari.
Dua perempuan yang tidur di lantai tentu dua
orang inang pengasuh. Orang di atas loteng
menggerakkan tangan kanannya. Satu cahaya
putih memancar. Di tangan kanannya tampak
sebilah senjata yang memancarkan sinar
putih.
Dengan senjata di tangan orang ini lalu
melompat turun ke dalam kamar. Kedua
kakinya menyentuh lantai tanpa mengeluarkan
suara. Dengan cepat dia melangkah mendekati
ranjang. Menyingkap kelambu lalu senjata
berkiblat di tangan kanannya dihujamkan
berulang kali ke tubuh dua orang perempuan
yang terbaring di atas tempat tidur itu.
"Aman sekarang!" desis si pembunuh. Sekali
melesat dia sudah sampai di atas atap.
Ketika dia hendak melompat ke tembok, di
bawah sana didengarnya pekik jerit berulang
kali. Sesaat orang di atas atap terkesiap. Dia
mengenali suara itu. Dadanya berdebar.
Sesaat dia ingin kembali melompat turun dan
masuk ke dalam kamar. Tapi saat itu pula
dilihatnya belasan perajurit berlarian menuju
kamar. Lain dari itu, dari arah pintu gerbang
gedung, tampak masuk seorang penunggang
kuda diiringi tiga pengawal. Yang di depan
adalah Patih Haryo Unggul, yang baru saja
kembali dari istana.
Mendengar ada pekik keributan di dalam
gedung, Patih haryo Unggul serta merta
melompat dari kudanya. Ketika dia hendak
lari masuk ke dalam didengarnya salah
seorang pengiring berteriak.
"Patih! Ada orang melompat dari atap ke arah
tembok!"
Haryo Unggul berpaling ke arah yang ditunjuk
pengiringnya. Dan benar. Dia masih sempat
melihat sosok bayangan hitam laksana
terbang, melompat dari atap menuju tembok.
"Jangan lari!" teriak sang patih seraya
memburu. Namun langkahnya tertahan ketika
tiba-tiba sambil melayang orang yang diburu
memukulkan tangan kanannya. Serangkum
angin dahsyat melabrak sang patih. Untung
saja patih tua ini masih sempat merasakan
datangnya bahaya. Secepat kilat dia jatuhkan
diri ke tanah lalu berguling. Sambil berlutut
dia balas menghantam dengan pukulan
tangan kosong kiri kanan sekaligus.
Braak!
Tembok gedung hacur berantakan. Tapi orang
berpakain serba hitam itu telah lenyap di
balik tembok. Sewaktu Patih Haryo Unggul
melompat ke atas tembok, dia hanya
mendengar suara rentak kaki kuda yang
dipacu dan akhirnya lenyap di kegelapan
malam.
Di dalam gedung masih terdengar suara pekik
jerit. Haryo Unggul cepat melompat turun dari
tembok dan masuk ke dalam. Saat itu lampu-
lampu besar telah dinyalakan. Raden Ayu Puji
Lestari langsung menubruk dan merangkul
tubuh Patih Haryo Unggul begitu masuk ke
dalam kamar yang penuh sesak oleh perajurit
pengawal.
"Tenang Den Ayu. Katakan apa yang terjadi.
Tenang, jangan menjerit……"
Puji Lestari menunjuk ke arah ranjang besar di
mana terbaring dua sosok tubuh perempuan.
Tubuh itu penuh lumuran darah. Darah juga
membasahi hampir seluruh tempat tidur.
"Ya Tuhan….." mengucap sang patih. Dia
memandang ke lantai di sudut kiri. Hatinya
lega ketika di situ dilihatnya Raden Ajeng Siti
Hinggil terbaring tak kurang suatu apa
meskipun seperti beberapa hari lalu masih
saja tidak sadarkan diri karena tubuh kurus
itu kini hampir tanpa tenaga lagi. Kedua
matanya terpejam.
"Raden Ayu…. Berterima kasih pada Gusti
Allah. Raden Ayu dan ibunda Siti Hinggil telah
diselamatkan-Nya dari malapetaka maut!
Itulah sebabnya saya meminta Raden Ayu dan
ibunda untuk tidur dilantai seperti inang
pengasuh. Kalau terjadi apa-apa siapa yang
menyangka kalau yang tidur di ranjang
bukannya Raden Ayu dan ibunda……"
"Kasihan dua inang itu…." bisik Puji Lestari
masih menangis walau kini sudah tenang dan
berhenti berteriak.
"Apakah Raden Ayu melihat atau mengenali
siapa orang yang masuk dan melakukan
kejahatan ini?" bertanya Patih Haryo Unggul.
Puji Lestari menggeleng. "Lampu dalam
kamar ini tidak begitu terang. Saya sudah
tertidur. Semuanya berlangsung dengan cepat.
Saya baru terbangun ketika mendengar suara
erangan halus dari atas tempat tidur….."
Patih Haryo Unggul memandang berkeliling ke
arah para perajurit dan pengawal. Rahangnya
menggembung. "Musuh masuk ke dalam
gedung. Tak satupun dari kalian yang
mengetahui! Apalagi mencegah terjadinya
pembunuhan! Kalian dipecat semua!"
SEMBILAN
Raden Kertopati langsung membawa Wiro
Sableng dan si pemuda berpakaian kelabu ke
gedung kediaman Patih Kerajaan. Seperti
dituturkan dalam seri Bajingan Dari Susukan
dan Pangeran Matahari dari Puncak Merapi,
pemuda berpakaian kelabu ini bukan lain
adalah seorang gadis cantik yang pernah
menyamar sebagai nenek sakti bernama Ni
Luh Tua Klungkung dan pernah mengabdikan
diri pada Kerajaan selama empat tahun.
Saat itu menjelang pagi. Matahari masih
belum tersembul dari ufuk timur. Meskipun
ingin bicara panjang lebar dengan Wiro dan
Kepala Pasukan Kotaraja itu namun menolong
Raden Ajeng Siti Hinggil harus diutamakan.
Tanpa banyak bicara sang patih membawa
ketiga orang itu ke kamar di mana istri Sri
Baginda itu ditempatkan bersama puterinya,
dikawal oleh dua lusin perajurit ditambah dua
orang perwira.
Raden Ajeng Siti Hinggil terbaring tak
bergerak di atas tempat tidur. Wiro Sableng
hampir tidak mengenali lagi perempuan itu
saking kurus dan pucatnya. Puji Lestari
memandang penuh tanda tanya begitu melihat
pendekar itu muncul.
"Kami sangat mengharap bantuanmu Wiro.
Lakukan apa yang bisa kau lakukan…."
Berkata Patih haryo Unggul.
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya.
Sesaat dipandanginya sosok tubuh kurus dan
wajah pucat itu. Lalu dia membungkuk dan
dengan jari-jari tangannya dia membuka
kelopak mata kiri Raden Ajeng Siti Hinggil.
Bola mata itu berputar sedikit, tapi pinggir
kelopak mata tampak membiru, hampir tidak
kelihatan kalau tidak diperhatikan dengan
teliti.
"Raden Ajeng ini keracunan….." kata Wiro
seraya berpaling pada Patih dan Kertopati.
Tentu saja pernyataan ini membuat kedua
orang itu, dan juga Puji Lestari menjadi kaget.
Pendekar 212 Wiro Sableng lalu keluarkan
kapak saktinya. Sinar putih membersit di
kamar itu. Wiro berpaling pada Puji Lestari
dan berkata "Izinkan saya menggores ibu jari
ibundamu. Hanya melalui luka racun itu
dikeluarkan."
Puji Letari mengangguk. Wiro memandang
pada Patih Haryo Unggul. Sang patih juga
mengangguk. Lalu Wiro menggoreskan ujung
mata kapak ke ibu jari kaki kanan Raden
Ajeng Siti Hinggil. Ketika ibu jari itu
dipencetnya, darah yang keluar tampak
berwarna hitam. Wiro mengambilnya sedikit
lalu menciumnya. Tercium bau anyir yang
aneh. Dia termangu sesaat sambil garuk-
garuk kepala, membuat baik Kertopati
maupun Haryo Unggul jadi tidak sabaran.
"Bagaimana……?" bisik sang patih bertanya.
Wiro lambaikan tangannya memberi isyarat
agar sang patih jangan bertanya dulu. Lalu
Kapak Maut Naga Geni 212 ditempelkannya
pada goresan luka di ibu jari kaki Raden
Ajeng Siti Hinggil. Perlahan-lahan Wiro mulai
kerahkan tenaga dalam. Ternyata tanpa
mengerahkan tenaga dalam terlalu banyak,
dia berhasil menyedot racun yang ada dalam
aliran darah perempuan itu. Mata kapak
tampak dilumuri cairan putih.
Setelah memperhatikan cairan putih di mata
kapak, Wiro mendekati Kertopati dan Haryo
Unggul. Dengan suara perlahan agar tidak
terdengar oleh Puji Lestari dia berkata "Racun
yang mengidap di tubuh Raden Ajeng tak
akan membunuh karena memang bukan racun
mematikan. Tapi mungkin karena sebelumnya
keadaan tubuhnya sangat lemas maka sekujur
tubuhnya jadi seperti lumpuh, bahkan
membuka matapun dia tak sanggup……"
"Lalu racun apa yang ada dalam rubuh Raden
Ajeng?" bertanya Patih haryo Unggul.
"Racun mesum….." bisik Wiro.
"Maksudmu?" tanya Kertopati.
"Racun yang dapat membuat seseorang naik
nafsu dan bergairah untuk melakukan
hubungan badan….."
Haryo Unggul terbelalak. Sebaliknya Kertopati
kini menjadi maklum apa sesungguhnya yang
telah terjadi. Tapi siapa yang melakukan?
Ketika sang patih saat itu tiba-tiba saja ingat
akan pintu rahasia di dinding kamar tahanan,
Kertopati segera saja luncurkan ucapan
"Siapa lagi! Pasti Jayengrono dalam semua
ini!"
"Jangan bicara seperti itu, dimas. Kita harus
mencari bukti. Sebaliknya Jayengrono seperti
memegang kartu atas dirimu. Ada sepucuk
surat yang akan kuperlihatkan padamu….."
"Apakah Panglima itu telah kembali dari luar
kota?"
Patih Haryo Unggul menggeleng. Terdengar
suara erangan halus dari arah tempat tidur.
Semua orang berpaling. Sesosok tubuh Raden
Ajeng tampak bergerak. Kedua matanya
terbuka sedikit.
"Nah….nah. Raden Ajeng mulai sadar….." kata
Wiro gembira. Puji Lestari langsung memeluk
ibunya.
Patih Haryo Unggul membari isyarat pada
Wiro. Diikuti Kertopati dan Ni Luh Tua
Klungkung, orang-orang itu tinggalkan kamar
tersebut.
"Ini fitnah paling busuk! Paling terkutuk!"
teriak Kertopati selesai membaca surat yang
diserahkan Patih Haryo Unggul. Surat itu
adalah yang dikirimkan Raden Mas
Jayengrono yang isinya mengungkapkan
keterlibatan Kertopati dan Wiro Sableng
dengan gerakan kaum pemberontak.
"Paman Patih tahu sendiri apa tujuan saya
keluar Kotaraja. Mencari Wiro untuk
dimintakan pertolongannya. Dan saya kembali
kemari untuk membuktikan hal itu….."
"Terus terang sebelumnya ada keraguan di
hatiku dimas Kerto. Tapi setelah kau benar-
benar kembali dan kini Raden Ajeng tertolong
jiwanya maka keraguan itupun buyar. Aku
mempercayaimu sepenuhnya….."
"Kurasa…..," kata Wiro sambil garuk-garuk
kepala. "Kalau ada orang yang tak kembali ke
Kotaraja, orang itu adalah Raden Mas
Jayengrono. Dia akan jadi Panglima
Buronan………"
"Aku yakin memang dia yang mengatur semua
kebusukan ini. Dia sengaja menghindar ke
luar kota untuk melihat perkembangan apakah
kedoknya akan terbuka atau tidak! Kini
sebagian sandiwaranya telah tersingkap. Pasti
dia yang keluar masuk kamar tahanan Raden
Ajeng lewat pintu rahasia di dinding kamar!
Pasti dia pula yang memberikan racun mesum
itu agar dapat melampiaskan nafsunya.
Bukankah Raden Ajeng selalu menolak
permintaannya……?"
"Eh, tunggu dulu dimas Kerto. Permintaan apa
maksudmu?" bertanya Haryo Unggul.
Raden Kertopati sadar kalau telah ketelepasan
bicara. Dia berpaling pada Wiro dan berkata
"Sahabatku, sudah kepalang tanggung.
Mengapa apa yang kita ketahui tentang
hubungan Jayengrono dan Raden Ajeng di
masa lalu masih kita rahasiakan? Mengapa
tidak kau tuturkan saja apa yang kau ketahui.
Apa yang kau dengar ketika mereka bicara di
gedung kediaman Raden Ajeng tempo hari?"
Wiro Sableng jadi garuk-garuk kepala. "Kau
saja yang menceritakannya pada paman
patih, Raden….." sahut si pendekar.
Tapi Kertopati menggeleng. "Meskipun aku
tahu kebusukan Jayengrono, namun sebagai
atasan aku tetap menghormatinya!"
"Pendekar! Kau harus ceritakan padaku apa
yang kau ketahui! Sekaligus ini untuk
menghilangkan dugaan dan kecurigaan bahwa
kalian memang bukan memfitnah….."
Wiro jadi serba salah. Tiba-tiba seorang
perajurit masuk menghadap. Dia melapor
bahwa dua orang perempuan tua yang
berkerja di dapur istana pada malam di mana
Raden Ajeng diduga diracun orang telah
dipanggil dan kini berada di luar.
"Suruh kedua perempuan ittu masuk!"
perintah Patih Haryo Unggul. Dua perempuan
tua itu kemudian masuk dengan wajah keriput
penuh ketakutan.
"Kalian berdua tak perlu takut. Katakan terus
terang. Pada malam empat hari lalu kalian
berdua diketahui melayani dan menyediakan
makanan untuk Raden Ajeng dan puterinya.
Adakah kalian melihat suatu keanehan…..?'
"Kami sama sekali tidak melihat keanehan
apa-apa Patih," jawab dua perempuan tua
berbarengan.
"Jangan hanya menjawab saja! Pikir dulu
baik-baik…..!" membentak Haryo Unggul.
Salah seorang perempuan tua itu, yakni sang
juru masak tampak ketakutan sekali.
Suaranya gemetar ketika berkata
"Saya…..saya hanya mencuri sepotong daging
ayam sisa makanan Raden Ajeng. Tapi itu
cuma sepotong kecil Patih. Dan saya pulang.
Saya makan bersama suami saya. Justru
itulah pangkal bahala….."
"Apa maksudmu pangkal bahala?" tanya
Kertopati.
"Saya malu menceritakannya Raden….."
"Jika kau menyembunyikan sesuatu dengan
sengaja, kau akan masuk penjara nek!"
Juru masak tua itu jadi tambah kecut. Dengan
mulut terkempot-kempot dia berkata "Sehabis
makan sepotong daging ayam kecil itu, kami
merasakan tubuh masing-masing jadi panas.
Hawa aneh menggerayangi kami. Darah kami
seperti bergejolak. Kami diselimuti nafsu
dan….dan….dan kami lalu melakukan
hubungan badan sampai pagi. Padahal itu
tak pernah dan tak sanggup kami lakukan
sejak sepuluh tahun terakhir….."
Sehabis berkata begitu nenek juru masak ini
menutup mukanya dengan dua telapak
tangan. Wiro menahan cekikikan. Kertopati
dan Haryo Unggul tesenyum-senyum sedang
Ni Luh Tua Klungkung tampak merah
wajahnya. Tiba-tiba terdengar suara si nenek
menangis.
"Eh, apa-apa ini. Kenapa kau menangis nek?"
tanya Wiro.
"Kalau pencurian secuil ayam itu merupakan
kesalahan dan dosa terhadap Kerajaan, saya
bersedia dihukum. Tapi bagaimana
suamiku….. bagaimana anak cucuku…..?"
Patih Haryo Unggul memegang bahu si nenek
dan berkata "Tak ada yang akan
menghukummu. Kami hanya ingin tahu, apa
cuma itu keanehan yang kalian temui malam
itu?'
"Ada keanehan lain….." yang menjawab nenek
pelayan. Dia yang mengantarkan makam
malam itu ke kamar Raden Ajeng dan
puterinya lalu pulang lebih dulu.
"Bagus! Ceritakan apa itu!" ujar Kertopati
pula.
"Malam itu…..setelah makanan siap, tiba-tiba
Raden Mas Jayengrono masuk ke dapur….."
"Saya ingat sekarang!" menyambung nenek
juru masak. "Raden Mas Jayengrono bicara
sebentar lalu menyuruh saya pulang karena
katanya tugas saya selesai. Saya
meninggalkan dapur tapi balik kembali karena
selendang saya ketinggalan. Ketika saya
masuk ke dalam dapur lagi, saya lihat Raden
Mas Jayengrono masih di situ. Dia tengah
menuangkan sesuatu ke dalam makanan
untuk Raden Ajeng….."
"Bagaimana tahu kalau itu hidangan untuk
Raden Ajeng?" tanya Kertopati.
"Karena makana untuk Raden Ayu Puji sudah
dibawa pelayan lebih dulu. Dan Raden Jayeng
memang mengatur begitu….."
Kamar itu jadi sunyi senyap. Beberapa pasang
mata saling pandang. Kertopati mendekati
Haryo Unggul dan berkata "Paman Patih, saya
ingat keteranganpun tentang penyelinap
malam tadi yang telah membunuh dua inang
pengasuh. Saya yakin kau kini tahu siapa
pelakunya!"
Patih Haryo Unggul mengangguk. Dari
mulutnya meluncur kata-kata
"Memang keparat betul si Jayengrono itu.
Sudah saatnya aku harus melaporkan semua
perbuatannya pada Sri Baginda. Tapi…. kalian
berdua masih belum menerangkan hubungan
apa yang terjadi antara Raden Ajeng dan
Panglima itu….."
"Biarlah saya yang menceritakan," akhirnya
Raden Kertopati membuka mulut.
"Sekitar dua puluhan tahun lalu, tanpa setahu
Sri Baginda, Raden Ajeng menjalin hubungan
dengan Jayengrono. Hubungan itu sampai
menghasilkan dua orang anak. Pertama Puji
Lestari dan kedau Pangeran Anom, yang
sampai saat ini masih lenyap dan tak
diketahui di mana beradanya….."
Patih Haryo Unggul seperti mendengar suara
geledek.
"Ini bukan karangan atau fitnah Raden?"
"Terkutuk diriku jika memfitnah!" sahut Raden
Kertopati pula.
Sang patih menjadi tegang luar biasa. Kedua
tangannya terkepal tanda dia juga sangat
geram
"Kini aku dapat menduga jelas.
Bukan…..bukan menduga. Tapi memastikan!"
berkata Haryo Unggul dengan mata berkilat-
kilat. "Manusia yang menyelinap malam tadi
ke gedung kediamanku ini dan membunuh dua
inang di atas ranjang adalah Panglima
keparat itu!"
Wiro menyeringai. Sambil menggaruk kepala
dia berkata "Aku yang tolol inipun akan
menduga begitu paman patih. Jayengrono
ingin menghabiskan riwayat Raden Ajeng
karena takut rahasianya bocor. Sekaligus dia
membunuh puterinya sendiri karena mengira
pasti sang ibu telah memberi tahu siapa
adanya ayahnya sebenarnya. Manusia gila!
Tega membunuh darah dagingnya sendiri!"
Haryo Unggul bangkit dari kursinya.
"Aku akan menghadap raja saat ini juga……."
Katanya.
Kata-kata Haryo Unggul terputus karena
seorang perajurit berlari masuk dengan wajah
pucat. Merasa terganggu Patih itu langsung
membentak marah.
"Ada apa kau seperti dikejar setan! Tidak
dipanggil kenapa berani masuk?!"
"Maafkan saya Patih," jawab si perajurit
sambil membungkuk dalam.
"Sesuatu telah terjadi. Raden Ajeng yang tadi
baru saja siuman dan sempat makan serta
minum kedapatan bunuh diri. Dia
membenturkan kepala ke dinding batu. Tak
seorangpun dapat mencegah. Begitu tiba-tiba
dan tak terduga!"
"Gusti Allah!" seru Patih Haryo Unggul. Dan
semua orang yang ada di ruangan itu sama
menghambur keluar.
"Paman patih….." Raden Kertopati cepat
berkata. "Saya harap paman tidak usah
menceritakan rahasia kehidupan Raden Ajeng
yang gelap itu. Itu hanya akan menambah
kalut pikiran Sri Baginda dan sekaligus
menimbulkan rasa bencinya terhadap Raden
Ayu Puji Lestari. Jika Sri Baginda sampai
ketelepasan bicara dan Raden Ayu
mengetahui sebenarnya dirinya, bukan
mustahil gadis itupun akan mengikuti jejak
ibunya. Bunuh diri!"
Patih Kerajaan itu termangu sesaat. Akhirnya
dia berkata "Kalian tak usah kawatir. Aku
akan bertindak sebijaksana mungkin. Soal aib
Raden Ajeng menjadi rahasia kita bersama….."
SEPULUH
Di dalam goa yang terletak di timur kaki
gunung Merbabu itu Raden Jayengrono
menerima kedatangan orang kepercayaannya
yang baru saja kembali dari Kotaraja.
"Kabar buruk untukmu Panglima. Kabar buruk
bagi kita semua!" berkata orang kepercayaan
itu.
"Aku sudah menduga….." jawab sang
Panglima seraya memandang ke luar goa di
mana sekitar tiga ratus perajurit yang
dibawanya dari perbatasan, duduk bertebaran
di bawah kemah-kemah. "Katakan berita
buruk apa yang kau bawa!"
Jayengrono mengusap wajahnya yang sudah
hampir seminggu tidak dicukur. Tangan
kanannya bersitekan pada hulu Keris Kiyai
Gajah Putih yang sengaja diselipkannya di
pinggang sebelah depan. Dengan memegang
hulu senjata sekati itu dia merasakan adanya
sedikit ketenangan.
"Sri Baginda memerintahkan penangkapan
Panglima. Siapa yang dapat menangkap
Panglima hidup atau mati akan mendapat
hadiah seratus tail emas….."
Raden Mas Jayengrono sesaat terkesiap.
Kemudian dia tertawa gelak-gelak.
"Kepala Jayengrono tidak semurah itu
harganya!" katanya. "Hai, apa lagi yang kau
ketahui di Kotaraja?"
"Perintah penangkapan itu telah disebar
keseluruh pelosok Kerajaan…."
"Lupakan dulu segala perintah gila itu.
Apakah kau melihat Kertopati di Kotaraja?"
bertanya Jayengrono.
Orang kepercayaan itu mengangguk. "Bukan
dia seorang Panglima. Kawannya pemuda
gondrong yang seperti berotak miring itu juga
ada di Kotaraja bersama pemuda berpakaian
serba abu-abu!"
"Pendekar 212 Wiro Sableng…." Desis
Jaengrono. Suaranya jelas terdengar agak
bergetar.
"Berita paling hebat, Panglima. Raden Ajeng
Siti Hinggil ditemukan mati bunuh diri!"
Tentu saja Jayengrono terkejut mendengar
keterangan ini. namun dia tak mau
memperlihatkan perubahan air mukanya.
Sambil mengusap janggutnya yang
meranggas kasar dia berkata perlahan
"Kematian memang lebih baik bagi
perempuan itu…. Ada hal lain yang perlu kau
sampaikan?"
"Yang satu ini saya tidak pasti Panglima.
Saya merasa seperti ada yang menguntit
gerak gerik saya waktu kembali ke mari….."
Sepasang mata Jayengrono membeliak
"Berarti kau berbuat tolol! Suruh menghadap
Perwira Kesatu sekarang juga!" bentak
Jayengrono.
Tak lama kemudian orang yang disebut
sebagai Perwira Kesatu ini muncul
menghadap. Dalam jajaran balatentara
Kerajaan sebelumnya dia adalah perwira
muda yang dekat hubungannya dengan
Jayengrono. Ketika dia ikut membelot
bersama atasannya itu, Jayengrono langsung
mengangkatnya menjadi Perwira Kesatu.
Bersama dia masih ada dua wakil lagi yang
masing-masing disebut Perwira Kedua dan
Perwira Ketiga.
"Siapkan pasukan! Kita harus segera
berangkat ke lereng Sigumpil saat ini juga…."
"Ada perkembangan baru agaknya Panglima?"
"Ya. Kemungkinan besar orang-orang
Kerajaan sudah mencium kedudukan kita di
sini."
"Saya akan siapkan pasukan. Saya usul kita
bergerak menembus hutan Ronggowereng.
Lebih cepat dan sulit dijejak lawan….."
"Tak percuma kau kuangkat jadi wakil
utamaku!" memuji Jayengrono. "Satu hal lagi.
Kapan tokoh silat bergelar Titisan Rahwono
itu berjanji akan bergabung bersama kita……?"
Sebelum Perwira Kesatu menjawab, terdengar
angin bersiur dan orang bicara
"Aku sudah hadir di sini Panglima!"
Orang-orang yang ada di situ – termasuk
Jayengrono – jadi terkesiap. Berpaling ke kiri
mereka sama melihat seorang lelaki bertubuh
tinggi besar gemuk dengan perut buncit. Dia
hanya mengenakan sehelai celana hitam,
bertelanjang dada dengan kalung akar bahar
yang besar pada lehernya. Dia memakai topi
berbentuk aneh. Wajahnya angker luar biasa.
Sepasang mata besar merah, hidung lebar
ditambah cambang bawuk. Mulutnya selalu
terbuka, memperlihatkan gigi-giginya yang
besar serta taring yang mencuat keluar.
Di pinggangnya dia membawa sebuah
penggada hitam terbuat dari batu keras. Inilah
senjatanya. Penggada ini diikat dengan rotan
kecil. Potongan tubuh serta tampang orang
ini memang mirip tokoh Rahwana dalam cerita
pewayangan. Tanda dia memiliki kepandaian
tinggi dibuktikan dengan kehadirannya yang
tiba-tiba tidak diketahui oleh sekian ratus
pasukan, bahkan tidak disadari oleh
Jayengrono dan pembantu-pembantunya.
"Ah, syukur kau sudah ada di sini, sahabat!"
Jayengrono menunjuk kegembiraanya sambil
menepuk-nepuk bahu Rahwono yang gemuk
gempal.
Yang ditepuk menyeringai. Ketika bicara
nafasnya menebar hawa busuk yang tidak
sedap. "Sebelum kemari aku sudah
menghubungi kawan-kawan kita di utara.
Mereka siap menyambut dan bergabung
dengan kita di sebelah timur lereng Sigumpil!"
"Bagus! Kita berangkat sekarang juga!" ujar
Jayengrono.
Dengan cepat seluruh pasukan yang
berjumlah sekitar tiga ratus orang itu
disiapkan, ketika mereka hampir hendak
berangkat, dari arah barat tiba-tiba terlihat
pantulan-pantulan sinar yang menyilaukan
menyambar. Sambaran ini menerpa wajah
Jayengrono beberapa kali, membuat Panglima
buronan ini terkesiap, berubah parasnya dan
memandang ke arah kejauhan.
Di puncak sebuah bukti kecil yang tandus
tanpa pepohonan sejarak tiga ratus tombak
dari tempat dia berada, Jayengrono melihat
satu sosok berpakaian serba putih tegak
bertopang pada sepotong tongkat bambu
kecil. Pada tangan kanannya orang ini
memegang sebuah benda yakni sebuah kaca
bulat. Kaca ini digerak-gerakannya berulang
kali ke arah sinar matahari yang kemudian
mengeluarkan pantulan menyilaukan.
Pantulan yang menyilaukan inilah yang
menyambar wajah Jayengrono. Dan agaknya
memang sengaja ditujukan kepadanya.
"Rahwono," kata Jayengrono, "Kau dan yang
lain-lainnya tunggu di sini. Aku akan menemui
orang di puncak bukit itu. Aku tidak akan
lama…."
"Siapakah orang itu Panglima?" tanya Perwira
Kesatu sementara Titisan Rahwono hanya
menyeringai dan seperti tidak acuh.
Jayengrono tidak menjawab. Setengah berlari
dia menuju puncak bukit kecil. Hatinya sangat
tidak enak. Sesaat kemudian Jayengrono
sampai di hadapan orang di puncak bukit.
Ternyata dia adalah seorang kakek tua
berwajah klimis. Bibirnya dihias kumis putih
melintir tetapi halus. Dia mengenakan celana
dan selempang kain putih. Kepalanya
terbungkus kain putih. Walaupun wajah orang
ini sama sekali tidak seram, namun diam-
diam Jayengrono merasakan ketakutan di
hatinya. Di hadapan si orang tua Panglima
buronan menjura hampir berlutut seraya
menyebut "Guru….."
Orang tua itu sesaat menatap Jayengrono
mulai dari topi tingginya yang penuh debu,
pakaiannya yang bagus tapi kotor, sampai ke
kakinya yang mengenakan kasut kulit.
"Jayeng, seharusnya tempatmu di Kotaraja.
Mengapa kau berada di daerah terpencil
ini….." Orang tua itu tiba-tiba menegur
dengan suara datar. Jayengrono tak bisa
menjawab.
"Agaknya Kotaraja tidak bersahabat lagi
denganmu, Jayeng?"
Karena Jayengrono hanya menunduk dan tak
bisa menjawab maka orang tua itu kembali
berkata "Baiklah Jayeng. Kau punya seribu
alasan untuk tidak menjawab pertanyaanku.
Aku ingin menyelesaikan urusan ini secara
cepat. Kembalikan Kiyai Gajah Putih padaku!"
Kagetlah Panglima buronan itu hingga
kepalanya tersentak mendongak.
"Guru…..apa maksudmu?" tanya Jayengrono.
"Kau tak perlu bertanya. Kau tahu apa
maksudku. Jelas. Bahkan sangat jelas. Aku
meminta kau mengembalikan keris sakti itu!"
"Tapi, bukankah sudah guru berikan dan
wariskan padaku?"
"Betul," sahut si orang tua. "Tapi dengan
perjanjian. Bahwa kau tidak boleh melanggar
pantangan yang dulu kusebutkan! Jangan kau
mengatakan tidak ingat, atau lupa atau khilaf!
Aku sangat benci dengan manusia-manusia
yang mencari seribu satu alasan untuk
menyatakan dirinya benar!"
Jaengrono terdiam. Tenggorakannya turun
naik.
"Aku, aku telah melanggar pantangan guru,"
berkata Jayengrono dengan suara bergetar.
"Aku telah berzina……"
"Kau bukan hanya berzina Jayeng! Tapi
bahkan kau memperkosa! Dan orang yang kau
perkosa itu kemudian mati bunuh diri akibat
penderitaan dan kehancuran harga diri yang
tidak dapat ditanggungnya lagi! Mana senjata
itu?!" Si orang tua ulurkan tangan kirinya.
"Guru, saya mohon ampunanmu. Saya
berjanji, tidak. Saya bersumpah untuk tidak
melakukan hal itu lagi….."
Orang tua itu tersenyum tawar. "Janji dan
sumpah itu cukup hanya satu kali. Kalau
dilanggar namanya bukan janji atau sumpah
lagi! Waktuku tidak banyak. Aku mendapat
firasat bahwa daerah sekitar sini akan jadi
medan pertumpahan darah. Serahkan Kiyai
Gajah Putih padaku! Atau haruskan aku
mengambilnya sendiri……?"
"Guru, permintaanmu akan kupenuhi. Tapi
bolehkah aku mengembalikannya nanti,
setelah urusanku selesai. Paling lambat dalam
waktu tiga puluh hari ……"
Orang tua itu gelengkan kepala. "Aku minta
sekarang dan harus dapat sekarang. Aku tak
ingin segala dosa dan kekejian melumuri
senjata itu lebih banyak!"
Karena merasa terdesak, tak mungkin lagi
membantah akhirnya Jayengrono berkata
"Baiklah guru. Kalau begitu keputusanmu,
Kiyai Gajah Putih kukembalikan padamu….."
Lalu degnan sikap setengah berlutut
Jayengrono menarik Keris Kyai Gajah Putih
dari pinggangnya dan mengulurkan kedua
tangan untuk menyerahkan senjata itu dengan
sikap penuh khidmat. Tetapi baru setengah
gerakan mengulurkan tangan dibuat
Jayengrono, tiba-tiba tangan kanan dan kiri
membuat gerakan lain dan secepat gerakan
kilat!
Keris Kiyai Gajah Putih meluncur keluar dari
sarungnya. Sinar putih menyilaukan berkiblat.
Ujung senjata itu menghujam ke arah dada
orang tua berselempang kain putih.
Tenang sekali orang tua itu gerakkan tangan
kanannya. Tongkat bambu kecil yang
dipegangnya mencuat ke atas untuk memukul
pergelangan tangan Jayengrono. Tapi lebih
cepat dari itu, dari jurusan lain tiba-tiba
menderu sebuah batu berbentuk empat persegi
panjang berwarna hitam. Batu ini
menghantam tangan kanan Jayengrono
dengan keras hingga Panglima buronan ini
terpekik kesakitan, lepaskan keris sakti di
tangannya. Senjata itu mental ke udara. Orang
tua bepakaian putih melompat. Tongkat
bambunya dilemparkan ke arah keris. Begitu
keris dan bambu beradu, kedua benda itu
saling bertempelan. Ketika bambu jatuh ke
bawah dan keris sakti yang menempel di situ
segera diambilnya. Kini tinggal sarungnya
yang masih berada di tangan Jayengrono.
Bersamaan dengan melesatnya batu hitam
tadi, menderu pula satu gelombang amgin
dahsyat sehingga baik Jayengrono maupun si
orang tua berpakaian serba putih sama-sama
roboh ke tanah!
SEBELAS
Sambil memegang Keris Kiyai Gajah Putih
tanpa sarung di tangan kanan orang itu cepat
berdiri tegak sementara Jayengrono bangkit
agak sempoyongan. Memandang berkeliling
dua orang yang tegak di puncak bukit tandus
itu dapatkan tiga penunggang kuda
mengelilingi mereka. Ketiga orang ini adalah
Raden Kertopati – Kepala Pasukan Kotaraja,
Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ni Luh Tua
Klungkung yang masih tetap dengan
samarannya sebagai pemuda berpakaian
serba kelabu.
Wiro Sableng melompat dari kudanya,
memungut batu hitam yang merupakan
pasangan Kapak Maut Naga Geni 212 yang
tadi dilemparkannya untuk menghantam
tangan Jayengrono. Ketika Wiro menyelipkan
batu hitam itu ke balik pinggangnya orang
tua bepakaian putih di samping kirinya
terdengar berdehem beberapa kali
"Hemm…. Jadi itulah tadi pukulan Benteng
Topan Melanda Semudera! Sudah lama
mendengar baru sekali ini melihat dan
merasakan…..!"
Tentu saja Murid Eyang Sinto Gendeng kaget
sekali ketika melihat kenyataan orang tua tak
dikenal itu mengetahui nama pukulan yang
tadi dilepaskannya. Pemuda ini hanya bisa
menyeringai dan garuk-garuk kepala. Untuk
pertanyakan siapa orang tua itu sebenarnya
dia merasa sungkan. Apalagi keadaan saat
itu sama sekali tidak tepat.
"Raden Mas Jayengrono, kami datang
menjalankan perintah Sri Baginda.
Menangkapmu dan membawamu ke Kotaraja!"
Dari atas punggung kudanya Raden Kertopati
mengeluarkan suara lantang. Jayengrono
tertawa dingin.
"Rupanya kau mengharapkan seratus keping
emas itu Kertopati. Hingga jauh-jauh datang
turun tangan sendiri, bukan membawa
pasukan tapi mengajak gembel-gembel ini!"
Yang dimaksud Jayengrono dengan gembel-
gembel itu tentu saja Wiro Sableng dan Ni Luh
Tua Klungkung. Gadis yang menyamar jadi
pemuda ini menjadi marah sekali dan siap
melompati Jayengrono, tapi Wiro memberi
isyarat agar tidak bertindak.
"Raden Mas, kau memiliki sederet dosa dan
kesalahan yang harus kau pertanggung
jawabkan di hadapan Sri Baginda!" berkata
Raden Kertopati tanpa mengacuhkan ejekan
orang.
"Coba katakan apa dosa dan kesalahanku
itu!" ujar Jayengrono seraya berkacak
pinggang.
"Pertama, kau diketahui selama ini terlibat
membantu kaum pemberontak. Dan saat ini
diketahui tengah hendak bergabung dengan
mereka di bukit Sigumpil dengan maksud
merongrong dan menjatuhkan Kerajaan…..
Kedua kau penyebab kematian Raden Ajeng
Siti Hinggil. Ketiga kau pula yang diketahui
membunuh dua orang inang pengasuh karena
menduga mereka adalah Raden Ajeng dan
puterinya.
Masih banyak lagi sederet dosa dan
kesalahanmu yang kurasa tak perlu
disebutkan. Tapi ada satu kesalahan yang
perlu kuungkapkan saat ini. Kau bersama
Kala Srenggi melakukan penghadangan
dengan membuat perangkap lubang maut
terhadapku! Yang menyebabkan beberapa
pengawalku menemui ajal termasuk seorang
perwira muda……!"
Jayengrono merasa geram mendengar kata-
kata yang dilontarkan Kertopati itu.
"Tuduhan tanpa bukti! Fitnah busuk! Raden
Ajeng bunuh diri, apa sangkut pautnya
dengan diriku! Aku berada di sini dalam
menjalankan tugas untuk menghancurkan
kaum pemberontak! Malah dituduh
berhubungan dengan pemberontak! Fitnah!
Kau pandai memutar balikkan kenyataan
Kertopati! Jika Raden Ajeng memang mau
mampus, ya mampus saja! Apa sangkut
pautnya dengan diriku?! Dan soal jebakan
lubang maut yang kau katakan itu, lagi-lagi
fitnah!"
Orang tua berpakaian putih maju dua
langkah. Dengan gerakan kilat dia merampas
sarung keris Kiyai gaah Putih dari pegangan
Jayengrono. Lalu orang tua ini berkata
"Jayengrono, ada pepatah tangan
mencencang bahu memikul. Ada juga ujar-
ujar siapa menggali lobang, dia bakal masuk
ke dalamnya. Lalu masih ada lagi siapa yang
berbuat dosa dan kesalahan, dia yang akan
menanggung. Nah, di hadapan orang-orang
utusan Kerajaan ini, pertanggung jawabkanlah
semua perbuatanmu!"
Habis berkata begitu si orang tua putar
tubuhnya dan tinggalkan tempat itu.
"Guru! Jangan pergi dulu…..!" seru
Jayengrono. Dalam keadaan terjepit seperti
itu tentu saja dia sangat mengharapkan
pertolongan gurunya. Tapi sang guru
melangkah terus dengan tegar, menolehpun
tidak!
Terdengar suara tertawa mengekeh.
Jayengrono berpaling dengan hati panas.
Yang tertawa adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng.
"Gurumu sendiri tidak perduli! Nah kepada
siapa kau minta tolong sekarang Panglima
buronan?!"
"Gembel keparat! Kau juga seorang buronan
dari penjara Kerajaan!" hardik Jayengrono.
Empat sosok tubuh berkelebat. Lalu tegak di
kiri kanan Jayengrono. Yang sebelah kanan
adalah Titisan Rahwono, lalu yang lain-lain
adalah Perwira Kesat, Perwira Kedua dan
Perwira Ketiga, para pembantu Jayengrono.
"Ada apa ribut-ribut di sini? Siapa mereka?!"
Titisan Rahwono membentak sambil
memandangi orang-orang di hadapannya.
"Hemm…. Rupanya cakil satu ini ikut
bergabung denganmu Raden Mas….. kata
Kertopati yang tetap menyebut bekas
atasannya itu dengan panggilan gelar
kehormata. "Dia memang sejak lama dicari
Kerajaan. Bagus! Sekali turun tangan dua
pentolan sesat bisa ditangkap….!"
"Kalian cecunguk-cecunguk hendak
menangkap kami? Ladalah!" Titisan Rahwono
tertawa bergelak sambil usap-usap dadanya
dengan tangan kiri sedang tangan kanan
mengusap kepala gada batu di pinggang.
"Kalau bermimpi, bemimpilah yang enak-
enak! Jangan mimpi mita mampus! Kotaraja
jauh dari sini! Siapa yang menggotong
bangkai kalian ke sana….?" Kembali Titisan
Rahwono bergelak. Suara gelaknya ditimpali
oleh suara gelak yang lebih keras. Demikian
kerasnya hingga Titisan Rahwono dan yang
lain-lainnya meraskan jalan darah mereka
seperti tersentak-sentak dan dada berdebar-
debar. Yang tertawa ini siapa lagi kalau bukan
Pendekar 212 Wiro Sableng. Dan untuk itu dia
mengerahkan tenaga dalamnya lebih dari
separuhnya!
"Cakil berperut kembung ini memang lucu
tampang dan lucu bicara! Raden Kertopati,
jika dia nanti kita tangkap sebaiknya
dijadikan badut saja untuk menghibur
keluarga istana!"
"Bangsat rendah bermulut haram jadah!"
teriak Titisan Rahwono lalu cabut gada
batunya dari lilitan rotan di pinggang.
Jayengrono yang melihat kesempatan segera
berkata "Kalian hadapi antek-antek Kerajaan
ini! Aku mau tahu sampai di mana besar
mulut mereka!"
Ketika Titisan Rahwono dan tiga Perwira
bergerak mengurung, Jayengrono pergunakan
kesempatan untuk berbalik dan lari menuruni
lereng bukit ke arah pasukan yang menunggu.
Melihat ini Raden Kertopati segera mengejar.
Karena dia menunggang kuda maka sesaat
saja Kertopati berhasil mengejar. Dari atas
punggung kuda Kertopati melompati bekas
atasannya itu hingga keduanya jatuh
bergulingan di sepanjang lereng bukit.
Perkelahian antara mereka tak dapat dihindari
lagi. Dari arah bukit, ratusan perajurit yang
melihat kejadian itu segera menyerbu ke atas.
Di atas bukit kini tinggal Pendekar 212 Wiro
Sableng dan Ni Luh Tua Klungkung berdua
menghadapi Titisan Rahwono beserta tiga
Perwira. Tiga Perwira yang membelot itu
sebelumnya sudah mengetahui kehebatan
Pendekar 212 Wiro Sableng. Karenanya
mereka biarkan saja Titisan Rahwono
menghadapi pendekar berambut gondrong itu
sementara mereka memilih lebih baik
mengeroyok pemuda baju kelabu yang mereka
anggap lebih empuk dijadikan lawan!
Tapi ketiganya segera kena batu. Begitu
mereka bergerak menyerbu, pemuda
berpakaian kelabu itu segera mengahantam
dengan pukulan membelah. Kedua telapak
tangan dirapatkan, jari disusun dan dinaikkan
menyentuh kening. Ketika kedua tangan itu
dipecah dan dihantamkan ke bawah, tiga
Perwira yang menyerang merasakan seperti
ditarik ke kiri dan ke kanan. Ketiganya
terbanting ke tanah. Satu tak bangun lagi, dua
tegak dengan sempoyongan. Satu di
antaranya merasakan dadanya mendenyut
sakit tapi bersama kawannya berlaku nekad
menyerbu kembali.
Perkelahian dua lawan satu berlangsung
hanya dua jurus. Memasuki jurus ketiga salah
satu dari mereka mencelat dimakan tendangan
kaki kanan Ni Luh Tua Klungkung. Kawannya
segera cabut sebilah golok pendek. Dengan
senjata ini dia menyerbu pemuda berbaju
kelabu itu. Setelah menggempur habis-
habisan selama tiga jurus akhirnya goloknya
terlepas mental dari tangan dan di saat yang
sama jotosan tangan kiri menerobos ulu
hatinya. Perwira terakhir ini terlempar
semburkan darah segar dan tak bangkit lagi!
DUA BELAS
Meskipun bertubuh gemuk besar dan buncit
namun Titisan Rahwono memiliki kegesitan
luar biasa. Tubuhnya berkelebat cepat kian
kemari. Gada batunya menderu-deru pulang
balik mengeluarkan suara angker. Hanya
sayang dia tidak tahu tengah berhadapan
dengan siapa sebenarnya.
Setelah menggempur lima jurus terus menerus
tanpa mampu menyentuh apalagi merobohkan
lawannya, Titisan Rahwono keluarkan pekik
aneh. Gerakan ilmu silatnya tiba-tiba
berubah. Dan satu hal yang luar biasa terjadi.
Wiro melihat lawannya itu berubah bentuk.
Kepalanya jadi dua dan tangannya jadi empat!
"Gila! Ilmu iblis apa ini!" memaki Wiro dalam
hati. Baru saja dia memaki begitu empat
tangan melabrak ke arah tubuhnya. Dua
merupakan pukulan gada hitam, dua lagi
cengkeraman ganas!
"Edan!" teriak murid Sinto Gendeng dan ceapt
melompat mundur seraya hantamkan tangna
kanan lepaskan pukulan Kunyuk Melempar
Buah! Tapi sungguh luar biasa! Pukulan sakti
yang disertai aliran tenaga dalam tinggi itu
seperti menembus dinding angin, sama sekali
tidak berbekas dan lewat begitu saja di tubuh
lawan!
"Cakil ini memiliki ilmu siluman rupanya!"
desis Wiro geram. "Aku mau lihat apakah dia
mampu menghadapi ini!" Lalu Wiro keluarkan
Kapak Naga Geni 212 dan batu hitam empat
persegi yang tersisip di pinggangnya. Selagi
lawan merangsak coba menghampirinya, Wiro
gosokkan batu hitam ke mata kapak sambil
mulutnya merapal mantera.
Buuuuusssss!
Lidah api mencuat antara mata kapak dan
batu hitam. Titisan Rahwono menjerit setinggi
langit. Kepalanya yang tadi tampak dua kini
kembali satu. Tangannya yang tadi terlihat
empat kini kembali dua. Sekujur wajah dan
tubuhnya tampak hangus melepuh. Dia
menjerit keras. Jatuhkan diri dan bergulingan
di tanah. Tubuh tak bernyawa itu baru
berhenti ketika terganjal oleh semak belukar
pendek di lereng bukit.
Pendekar 212 Wiro Sableng balikkan tubuh
ketika mendengar suara riuh ratusan perajurit
menaiki bukit dan mengurung Kertopati yang
berkelahi mati-matian menghadapi
Jayengrono.
Sebagai Panglima Balatentara Kerajaan tentu
saja Jayengrono memiliki kepandaian silat,
kesaktian dan tenaga dalam yang jauh lebih
tinggi dari Kertopati. Karenanya setelah
bertahan lebih dari dua puluh jurus, pukulan-
pukulan tangna kosong lawan mulai membuat
Kertopati terdesak hebat. Salah satu matanya
tampak matang biru dilanda jotosan,
membuat penglihatannya terganggu. Dadanya
seperti melesak disambar ujung kaki lawan.
Ketika sekali lagi satu jotosan mendarat di
lambungnya tak ampun lagi Kertopati
tersungkur ke tanah, megap-megap berusaha
bangun tapi tak sanggup. Ratusan perajurit
yang tunduk pada Jayengrono berteriak riuh
rendah.
"Cincang Kepala Pasukan itu!" teriak
Jayengrono. Maka laksana air bah ratusan
perajurit melompat ke depan dengan berbagai
senjata. Mulai dari tombak sampai pedang.
Mulai dari golok sampai kelewang. Ajal Raden
Kertopati agaknya tidak tertolong lagi!
Dari atas bukit dua sosok tubuh lari laksana
terbang. Yang di sebelah depan membentak
menggelegar tanda dia kerahkan seluruh
tenaga dalamnya.
"Tahan! Siapa berani mendekati Kepala
Pasukan itu berarti minta mampus!"
Meski mendengar jelas peringatan itu, namun
ratusan perajurit yang berpikiran dangkal itu
mana mau mengerti. Mereka tetap menyerbu
untuk mencincang lumat tubuh Raden
Kertopati. Wiro garuk kepalanya.
"Tak ada jalan lain sahabat!" bisik Ni Luh Tua
Klungkung. Dia melihat saat itu tangan kanan
Wiro sudah berubah menjadi putih keperak-
perakan dan membersitkan sinar berkilauan
penuh angker. "Hantam!"
Maka Pendekar 212 Wiro Sableng hantamkan
tangan kanannya ke arah kelompok perajurit
yang paling dekat mengancam keselamatan
Raden Kertopati.
"Pukulan Sinar Matahari!" teriak Jayengrono.
"Lekas menghindar!"
Tapi terlambat. Sinar putih menyilaukan
disertai hawa panas luar biasa berkiblat
seperti hendak membelah bumi. Puluhan
perajurit yang tadi nekad akan mencincang
Kertopati mencelat mental. Enam belas
meregang nyawa seketika. Dua belas lainnya
tergelimpang pngsang degnan tubuh penuh
luka bakar! Jerit dan erangan bercampur jadi
satu dengan debu tanah bukit yang
beterbangan ke udara.
Ketika debu turun perlahan-lahan suasana di
lereng bukit itu sehening di pekuburan. Tak
seorangpun berani bergerak.
"Panglima keparat! Kau mau lari ke mana?!"
terdengar teriakan Ni Luh Tua Klungkung.
"Kejar dia! Jangan sampai lolos!" terdengar
suara Kertopati. Suaranya lemah sekali dan
saat iu dia duduk menjelepok di tanah.
Wiro bertindak cepat ketika dilihatnya
Jayengrono melarikan diri ke arah rimba
belantara di lereng bukit sebelah kanan.
Meskipun Jayengrono tidak memiliki ilmu lari
sehebat yang dipunyai Wiro Sableng, tapi
karena jarak mereka saat itu terpisah jauh
bekas Panglima itu berhasil mencapai hutan
dan menyelinap lenyap ketika Wiro baru
sampai di tepi hutan.
"Sialan! Kemanapun kau lari akan kukejar!"
kertak Wiro.
Di dalam hutan yang cukup lebar itu Wiro
mengejar sambil memasang telinga.
Memang ketajaman pendengaran satu-
satunya yang sangat membantu di daerah
seperti ini di mana mata sulit tembus
memandang. Setelah lari dan memasuki rimba
belantara cukup lama dan masih belum
mengetahui ke jurusan mana Jayengrono
melarikan diri, Wiro jadi penasaran. Dia
memanjat ke atas pohon dan memperhatikan
keadaan di bawahnya. Tak ada gerakan, tak
terdengar apa-apa. Tak tampak Jayengrono,
Wiro bergayut ke pohon lain, pindah lagi ke
beberapa pohon lainnya sampai akhirnya
telinganya mendengar suara tarikan napas di
bawahnya. Memandang ke bawah ternyata
dilihatnya orang yang dikejarnya duduk di
atas cabang pohon yang sama, dua cabang di
sebelah bawah. Jayengrono memandang
berkeliling. Dia merasa lega karena tak
terlihat tanda-tanda pengejarnya berada di
sekitar situ. Lalu memutuskan untuk
mendekam terus di cabang pohon. Dia sama
sekali tidak tahukalau Wiro sudah ada di
atasnya.
"Manusia satu ini pantas dimandikan dulu
sebelum kutangkap!" kata Wiro dalam hati.
Dari tadi memang dia sudah tidak tahan oleh
rasa yang terus menerus menekan bagian
bawah tubuhnya. Celana putihnya
diperosotkan ke bawah. Sesaat kemudian
mengucurlah cairan putih kekuningan, jatuh ke
bawah dan mendarat di atas kepala
Jayengrono.
Tentu saja kagetnya Jayengrono bukan
kepalang ketika merasa ada air hangat dan
agak bau mengucur membasahi kepalanya.
Dirabanya rambutnya sesaat, lalu dia
mendongak. Justru ini membuat air mancur
itu menghantam mukanya! Sebagian
menyiram matanya, sebagian lagi ada yang
masuk ke dalam mulutnya!
"Setan!" runtuk Jayengrono ketika melihat
sosok tubuh yang ada dua cabang di atasnya.
Dia menghantam dengan pukulan tangan
kosong. Dua cabang di sebelah atas patah
berantakan. Angin pukulannya terus
menyambar ke arah Wiro.
Murid Sinto Gendeng keluarkan suara bersiul.
Tanpa sempat menarik kembali celananya dia
balas menghantam ke bawah. Kali ini dengan
pukulan Angin Puyuh.
Hutan itu seperti dilanda punting beliung.
Pohon besar di mana Wiro dan Jayengrono
berada bergoyang-goyang seolah-olah hendak
tercabut dari akarnya. Ranting dan daun-
daun gugur meranggas.
Jayengrono merasakan tekanan hebat. Bukan
saja karena pukulan yang dilepaskan Wiro
tapi karena angin pukulannya tadi ikut
terseret dan balik menghantam dirinya sendiri.
Dia coba menggapai berpegangan pada
batang pohon.
Tapi meleset kaena batang pohon itu licin
tertutup lumut. Tak ampun tubuhnya mental
ke bawah bersama patahan cabang yang tadi
didudukinya. Dia coba andalkan ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya dan
jungkir balik di udara agar dapat turun ke
tanah dengan kedua kaki lebih dahulu. Tapi
terpaan angin pukulan yang datang dari atas
membuat tubuhnya limbung. Gerakannya
tidak karuan. Dia sampai di tanah dengan
kepala lebih dahulu.
Bekas Panglima Kerajaan ini mati dengan
kepala pecah dan leher patah. Wir garuk
kepala, melompat dan turun ke bawah lewat
patahan cabang-cabang pohon. Kembali dia
garuk-garuk kepala ketika melihat mayat
Jayengrono. Seseorang menyeruak pohon
berdaun lebar di belakangnya. Wiro cepat
berbalik. Yang datang ternyata Ni Luh Tua
Klungkung.
"Mampus juga akhirnya!" kata Wiro sambil
menunjuk ke arah mayat Jayengrono.
Gadis yang menyamar jadi pemuda itu sesaat
memandang ke mayat Jayengrono, ketika dia
berpaling ke arah Wiro, tiba-tiba saja dia
membalikkan tubuh.
"Eh, kenapa kau……sahabat?!" tanya Wiro
heran.
"Orang gila!"
"Gila! Siapa yang gila?" Wiro terheran-heran.
"Rapikan dulu celanamu!" teriak sang dara.
Wiro memandang ke bawah. Astaga! Ternyata
sehabis mengencingi Jayengrono dari atas
pohon tadi, dia masih belum membereskan
celananya. Cepatcepat pemuda ini tarik
celana putihnya ke atas sambil menyengir!
Ruangan besar tempat pertemuan dalam
istana itu penuh sesak oleh orang banyak
yang ingin mendengarkan beberapa keputusan
yang telah diambil oleh Sri Baginda. Di antara
tokoh Kerajaan tampak pula duduk Pendekar
212 Wiro Sableng bersama sahabatnya Ni Luh
Tua Klungkung. Mereka sengaja mengambil
tempat duduk agak sebelah belakang.
Patih Haryo Unggul baru saja selesai
membacakan keputusan raja atas pengang-
katan Raden Kertopati menjadi Panglima
Pasukan Kerajaan yang baru. Untuk itu
gelarnyapun dirubah dari hanya Raden
menjadi Raden Mas.
Selesai pembacaan pengumuman
pengangkatan Kertopati menjadi Kepala
Pasukan Kerajaan yang baru itu maka
Kertopati naik ke mimbar untuk membacakan
pula keputusan raja mengenai pengangkatan
Kepala Pasukan Kotaraja yang baru. Dalam
surat keputusan itu disebutkan bahwa sesuai
degnan jasa-jasanya yang sangat besar dan
cukup banyak maka Pendekar 212 Wiro
Sableng diangkat menjadi Kepala Pasukan
Kotaraja sedang pemuda sahabatnya yang
sampai hari ini tida diketahui pasti siapa
namanya dijadikan Wakil Kepala Pasukan
Kotaraja merangkap pembantu khusus Kepala
Pasukan Kerajaan.
"Untuk itu kami harapkan kedua tokoh
Kerajaan yang baru itu naik ke mimbar!"
begitu Raden Mas Kertopati menutup
pembacaan keputusan raja.
Semua orang berpaling ke deretan kursi
sebelah belakang di mana Wiro Sableng dan
sahabatnya itu tadi tampak duduk. Dan
terjadilah kehebohan. Kedua orang itu tak lagi
di sana. Beberapa orang mengejar ke luar
ruangan, sampai kelangkan dan halaman
istana. Tapi dua pemuda itu raib tanpa
seorangpun tahu ke mana perginya!
TAMAT
Komentar
Posting Komentar