WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya : BASTIAN TITO
EPISODE : NERAKA PUNCAK LAWU
**********
SAAT ITU MEMASUKI
permulaan musim semi. Pohon-pohon yang
dulu gundul tak berdaun kini kelihatan mulai
menghijau segar kembali. Dibagian barat
daratan Madiun yang leas menjulanglah
pegunungan gunung Lawu dengan lebih dari
setengah lusin puncakpuncaknya yang tinggi.
Sebegitu jauh hanya satu dua saja dari
puncak pegunungan ini yang pernah diinjak
kaki manusia.
Pegunungan Lawu membujur dari barat ke
timur. Diapit disebelah utara oleh daerah
Gondang dan pegunungan Kendeng. Disebelah
selatan terletak daerah Jatisrana, Purwantara
dan pegunungan Kidul serta dataran tinggi
Tawangmangu. Pegunungan Lawu bukan saja
dikenal sebagai sebuah pegunungan terbesar
di Madiun, namun juga merupakan pusat satu
partai silat terkenal dan disegani pada masa
itu yakni partai Lawu Megah.
Sejak Resi Kumbara mengundurkan diri lima
tahun yang lalu maka tampuk jabatan ketua
dipegang oleh adiknya yang juga merupakan
adiknya seperguruan Resi Tumbal Soka.
Adapun pengunduran diri Resi Kumbara,
selain usianya yang sudah amat lanjut yakni
hampir mencapai 100 tahun, paderi ini sudah
jemu dengan segala macam urusan partai
yang menyangkut 1001 macam masalah
keduniaan.
Kalau Resi Kumbara dulu sempat dan berhasil
mengangkat nama partai Lawu Megah
menjadi satu partai besar yang dihormati dan
disegani, maka agaknya tidak demikian
dengan Resi Tumbal Soka. Sejak dia
memegang jabatan ketua, banyak perobahan-
perobahan yang dilakukannya di dalam partai.
Keluarpun dia kurang mendapat tempat yang
baik karena tindakan-tindakannya yang tidak
tepat. Akibatnya partai Lawu Megah pernah
berselisih faham dengan partai-partai silat-
besar lainnya. Bahkan satu telah terjadi
bentrokan yang membawa korban dengan
partai Merapi Indah. Beberapa orang paderi
tua pernah menemui Resi Kumbara di ruangan
samadinya. Mereka melaporkan keadaan di
dalam dan di luar partai dan meminta agar
Resi Kumbara suka memegang jabatan ketua
kembali. Sekurang-kurangnya untuk
sementara sampai kemendungan selama ini
bisa dipulihkan.
Cuma sayang Resi Kumbara menolak. Orang
tua ini berkata, "Apa yang sudah kuserahkan
pada orang lain tak boleh kuminta kembali.
Demikian juga dengan jabatan ketua partai.
Adik-adikku, sebenarnya kalian datang ke
alamat yang salah. Bukan aku yang harus
kalian temui, tapi kakak kalian, Resi Tumbal
Soka. Bukankah kalian bisa berembuk dengan
dia? Bukankah kalian pembantu-
pembantunya? Temui dia dan carilah jalan
yang sebaik-baiknya. Cuma satu hal aku
ingin tekankan. Aku tidak suka melihat
adanya keretakan di antara kalian. Tak ada
yang paling baik dari pada musyawarah
danpersatuan. Nah, sekarang kalian pergilah.
Aku tak ingin diganggu lebih lama."
Kelanjutannya tak ada seorangpun diantara
paderi-paderi tua itu yang menemui Resi
Tumbal Soka. Mereka tahu sifat ketua mereka
ini. Selain mempunyai pribadi yang tertutup,
juga sulit untuk diajak berunding. Dia merasa
bahwa hitam putih segala sesuatunya dalam
partai adalah di tangannya. Dia bisa saja
mendengarkan pendapatpendapat para
pembantunya, namun apa maunya juga yang
kelak akan dijalankan. Akibatnya dalam tubuh
para pimpinan partai terjadi kelompok-
kelompok yang saling bertolak belakang.
Kelompok pertama dipimpin oleh Resi
Permana yang ingin melihat partai Lawu
Megah kembali seperti masa sewaktu
dipimpin oleh Resi Kumbara. Kukuh di dalam
dan mempunyai hubungan baik diluar dalam
kalangan persilatan.
Kelompok kedua dipimpin oleh Resi Godra.
Ketidaksenangan paderi ini terhadap ketuanya
lebih banyak ditimbulkan oleh hal-hal pribadi.
Sesudah Resi Kumbara mengundurkan diri
maka dengan usianya yang sudah 90 tahun
paderi Resi Godra merupakan orang yang
paling tua di partai Lawu Megah. Dengan
sendirinya dia merasa mempunyai hak untuk
menduduki jabatan ketua. Namun dia menjadi
kecewa sekati ketika jabatan itu diserahkan
pada Resi Tumbal Soka, padahal paderi ini 10
tahun lebih muda dari dia. Rupanya sang
ketua yang lama lebih mementingkan
hubungan darah Resi Tumbal Soka adik
kandung Resi Kumbara dari pada tata cara
yang berlaku. Ditambah dengan sikap dan
salah urus dari Resi Tumbal Soka, maka
semakin tidak sukalah paderi yang satu ini
terhadap ketuanya itu. Kelompok ketiga ialah
kelompok Resi Tumbal Soka sendiri bersama
pendukungpendukungnya. Meskipun di luaran
paderi tiga kelompok tersebut masih
menunjukkan sikap rukun dan saling hormat,
namun diam-diam laksana api dalam sekam
mereka saling bertentangan.
Pada pagi hari itu hujan rintik-rintik turun di
puncak gunung Lawu. Menyaksikan keadaan
puncak ini nyatalah bahwa ada satu peristiwa
besar tengah terjadi di pusat partai terkenal
ini. Para pucuk pimpinan dan anak-anak
murid partai semua berkumpul disebuah
lapangan besar. Pada tengah-tengah
lapangan ini berdiri sebuah tiang kayu
setinggi tiga meter, lengkap dengan seutas
tambang besar. Salah satu ujung tambang ini
dibuhul demikian rupa membentuk lingkaran
sedang ujungnya yang lain terikat kukuh pada
palang kayu diatas tiang. Sebuah kursi
terletak dekat tiang itu. Sekali memandang
saja jelaslah bahwa benda-benda itu
dipersiapkan untuk menggantung seseorang!
Sejak berdirinya Partai Lawu Megah hampir
200 tahun yang silam, tak pernah hal seperti
ini berlangsung. Baru waktu Resi Tumbal Soka
menjabat ketualah peristiwa ini terjadi.
Gerangan siapakah yang hendak digantung
pada pagi hari itu?
Ketua partai berdiri bersama pembantu-
pembantunya sekitar dua puluh langkah
sebelah kanan tiang gantungan. Disamping
Resi Tumbal Soka tegak seorang dara
berpakaian biru. Rambutnya kusut dan
wajahnya yang cantik kelihatan mendung.
Sebentar-sebentar dia pergunakan sehelai
sapu tangan untuk menyapu air mata yang
jatuh membasahi pipinya.
"Sularwasih! Hentikan tangismu! Mana
ketabahan hatimu sebagai seorang murid
Partai Lawu Megah?" Resi Tumbal Soka
berkata pada gadis berpakaian biru. Gadis ini
adalah murid kesayangannya.
"Guru,kalau guru mengizinkan, murid lebih
suka mati bunuh diri saat ini juga… "
Sularwasih tiba-tiba menyahut dengan suara
parau.
"Jangan ngacol" Ketua Partai Lawu Megah
kelihatan marah. "Bukan kau yang harus mati,
tapi bangsat terkutuk itu! Kau akan saksikan
sendiri kematiannya di tiang gantungan
sebentar lagi!"
Resi 'Tumbal Soka memandang berkeliling
kemudian berseru, "Bawa pemuda laknat itu
ke tiang gantungan!"
Suara teriakan sang ketua yang disertai hawa
amarah den tenaga dalam amat tinggi
laksana geledek menggetari seantero puncak
gunung Lawu. Bila getaran teriakan itu sirna,
kesunyian mencengkam menegangkan. Dari
arah rumah besar kelihatan seorang pemuda
berkulit coklat keluar digiring oleh dua orang
anak murid partai tingkat tertinggi.
Di sebelah depannya mendahului seorang
Resi. Pemuda berkulit coklat itu, memiliki
rambut gondrong sampai ke bahu. Kedua
tangannya diikat di sebelah belakang dengan
sehelai benang aneh yang bagaimanapun
diusahakannya tak sanggup diputuskan.
Tampangnya tolol, tapi sikapnya gagah
bahkan dia melangkah cengar cenqir. Seolah-
olah tengah dalam perjalanan ke satu tempat
yang bagus, bukan tengah menuju ke tiang
gantungan yang telah disediakan untuk
dirinya!
Murid-murid partai berkerumun di sebelah
timur menyeruak memberi jalan. Pemuda
asing den pengiringnya sampai di depan tiang
gantungan. Ketegangan semakin memuncak.
Kesunyian tambah tidak enak. Resi Tumbal
Soka menganggukkan kepala pada paderi
yang menyertai pemuda berambut gondrong
itu. Dan sang paderi lantas membalikkan diri,
berpaling pada si pemuda.
"Orang asing yang mengaku bernama Wiro
Sableng!" katanya dengan suara lantang
hingga terdengar ke segenap penjuru. "Kami
orang-orang Partai Lawu Megah masih
bersedia memberikan sedikit kelonggaran
padamu sebelum kau menjalani hukuman
mati di tiang gantungan . . . ."
Tawanan yang hendak dihukum mati itu
ternyata adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng dari
gunung Gede yang sejak beberapa tahun
belakangan ini bertualang di daratan
Tiongkok. Wiro tersenyum mendengar ucapan
paderi itu.
"Terima kasih. Kelonggaran apakah yang
kalian hendak berikan padaku…?!"
bertanya Wiro acuh tak acuh tanpa
memandang pada paderi yang tadi berkata
padanya.
"Sebelum menjalani hukuman mati kau
diperkenankan mengajukan satu permintaan
atau menyampaikan pesan terakhir."
Kembali Wiro Sableng tertawa cengar cengir.
"Aku tak punya karib kerabat apa lagi sanak
saudara disini. Pesan apa dan kepada siapa
pula aku kusampaikan… ?"
"Kalau begitu permintaan terakhir saja," kata
paderi itu.
"Permintaan terakhir . . . ?" Wiro kerenyitkan
kening. "Kalian sudah memutuskan untuk
membunuhku secara biadab, kini kenapa
meributkan segala soal tetek bengek begini
rupa. Gantung saja aku detik ini juga habis
perkara!"
Mendengar kata-kata Wiro itu, Resi Tumbal
Soka menjadi marah wajahnya dan berkata
lantang, "Kau dihukum gantung secara biadab
karena kau telah melakukan kekejian yang
biadab! Itu sudah pantas menjadi bagianmu!
Jika kau tidak ada kata-kata atau permintaan
terakhir, itu lebih baik. Kau akan lebih cepat
kami singkirkan dari puncak Gunung Lawu
ini!"
"Resi Tumbal Soka, mulut dan pendapat
manusia itu tidak selamanya bisa dijadikan
hakim yang adil. Kudengarkan kau banyak
melakukan hal-hal yang sembrono sebagai
ketua partai. Itu sebabnya ada yang tidak
menyukaimu di pihak orang dalam sendiri dan
juga di dunia persilatan!" Habis berkata
begitu Wiro tertawa mengekeh.
Marahlah ketua Partai Lawu Megah. Dia
berteriak, "Gantung dia sekarang juga!"
Diam-diam dingin juga tengkuk Pendekar 212
dan bergetar juga dadanya. Ketika bahulan
tali hendak dilingkarkan ke lehernya lewat
kepala, tiba-tiba dia berteriak, "Tunggu dulul
Aku ingin mengajukan satu permintaan
terakhir!"
"Kurang ajar! Lekas katakan apa
permintaanmu!" teriak Resi Tumbal Soka
jengkel dan marah sekali. Dia memberi
isyarat. Paderi yang hendak menjeratkan tali
ke leher Wiro menurunkan tangannya kembali.
Sepasang mata Wiro Sableng bergerak ke arah
gadis berpakaian biru yang masih sibuk
menyeka air matanya. Dia goyangkan
kepalanya pada gadis ini seraya berkata: "Aku
ingin bicara dengan gadis itu!"
Semua orang saling pandang. Tentu saja
mereka tidak menduga sang tawanan akan
mengajukan permintaan demikian. Semua
orang memandang pada Resi Tumbal Soka,
menunggu keputusannya. Ketua partai ini
sendiri kelihatan bergerak-gerak pelipisnya.
Dia berusaha menekan amarahnya dan
kemudian berkata, "Kau kami beri kesempatan
untuk bicara dengan gadis itu. Tapi cepat dan
singkat!"
"Adik, kau kemarilah mendekat!." Wiro
berseru.
Sularwasih memandang melotot. Mulutnya
terbuka, "Manusia terkutuk! Aku tidak sudi
bicara denganmu!"
SEPASANG ALIS MATA Wiro Sableng naik ke
atas. Keningnya mengerenyit.
"Jika kau tak mau bicara denganku, berarti
kelak kau bakal penasaran seumur hidup,"
kata pendekar itu pula.
"Kaulah yang bakal jadi setan penasaran!"
teriak Sularwasih.
"Sularwasih, kita harus memenuhi apa yang
telah kita janjikan. Kau harus dengar apa
yang dikatakannya," ujar Resi Tumbal Soka,
lalu berpaling pada Wiro. "Katakan lekas apa
yang ingin kau sampaikan padanya!"
"Apakah dia tidak boleh maju lebih dekat ke
hadapanku?" tanya Wiro.
"Muridku, kau majulah sampai tiga langkah
dari hadapannya," kata Resi Tumbal Soka.
Karena diperintah gurunya, meskipun hati
kecilnya membantah namun dia tak berani
menolak. Sularwasih melangkah ke hadapan
Wiro Sableng.
"Sekarang bicaralah!" seru ketua Partai Lawu
Megah tak sabaran karena dilihatnya Wiro
masih cengar-cengir.
"Adik, kau, cantik sekali jika menangis begini.
Kedua pipimu jadi merah! " Katakata itu
diucapkan oleh Wiro setengah berbisik hingga
cuma nona Sularwasih saja yang dapat
mendengarnya. Dan si nona justru tiba-tiba
menggerakkan tangan kanannya.
"Plak!"
Satu tamparan mendarat pipi Wiro. Demikian
kerasnya hingga bibirnya luka dan
mengeluarkan darah. Selagi semua orang
tercengang-cengang melihat kejadian itu,
Wiro kembali membuka mulut, "Nona
Sularwasih, aku bersumpah bahwa aku sama
sekali tidak merusak kehormatanmu. Seorang
lain yang melakukannya dan aku yang jadi
kambing hitamnya!" Kata-kata ini diucapkan
Wiro dengan suara keras hingga semua orang
mendengar.
"Muridku, kembali ke tempatmu semula!"
terdengar seruan paderi Resi Tumbal Soka.
Sesaat Sularwasih masih tegak menatap
tajam pada Wiro Sableng. Entah tertegun
dalam kemarahannya, entah terpukau dalam
ketidakpercayaannya atas pengakuan pemuda
berambut gondrong itu. Kemudian sadar akan
kata-kata suhunya, gadis ini melangkah ,
mundur, kembali ke tempat semula.
"Laksanakan hukuman sekarang juga!"
terdengar kembali seruan Resi Tumbal Soka.
Maka tali penggantung dilingkarkan ke leher
Pendekar 212 Wiro Sableng. Dua orang murid
partai dengan paksa dan susah payah
menaikkan pemuda itu ke atas kursi. Mereka
kemudian memegangi tawanan itu agar
jangan berontak. Selagi perintah untuk
menyingkirkan kursi yang dipijak Wiro
ditunggu, tiba-tiba dalam kesunyian yang
amat menegangkan itu terdengarlah suara
nyanyian yang amat santar. Demikian
santarnya sehingga semua orang yang ada di
situ termasuk Resi Tumbal Soka dan para
pimpinan partai lawu megah yang
berkepandaian tinggi merasa liang telinga
masing bergetar! Semakin tinggi mendaki
puncak Gunung Lawu
Semakin indah permai pemandangan
Semakin sembrono tindakan seorang
pimpinan
Semakin jauhlah dia tersesat dalam aturan
dunia persilatan
Keadilan sejati tidak ada di muka bumi ini
Hukum yang benar jarang ditemui
Semua orang bisa jadi hakim
Tapi tidak semua orang bisa menghakimi
tindakan diri sendiri. Kata-kata dalam
nyanyian itu membuat paras Resi Tumbal
Soka berobah. Dia berpaling ke arah timur.
Baru saja dia putar kepalanya, tahu-tahu
sesosok tubuh laksana bayangan kilat telah
berkelebat di depan tiang gantungan. Seorang
kakek-kakek kini kelihatan berdiri di situ.
Mukanya demikian kurus hingga hampir
menyerupai tengkorak hidup! Tubuhnya pun
luar biasa kurusnya hingga kelihatan seperti
jerangkong.
Melihat kakek-kakek ini Wiro berseru keras.
"Pendekar Pedang Akhirat! Kakek, aku yang
hendak dihukum mati ini rupanya masih diberi
kesempatan untuk menghaturkan hormat
danmengucapkan selamat tinggal padamu.
Apakah kau selama ini baik-baik saja?"
Ternyata kakek yang datang ini adalah
pendekar yang telah menggetarkan dunia
persilatan selama puluhah tahun, yang
beberapa waktu lalu pernah diselamatkan
Wiro Sableng dari satu lobang sekapan yang
hampir merenggutkan nyawanya. Pendekar
Pedang Akhirat mendongak pada Wiro yang
tegak di atas kursi. Lalu tertawa gelak-gelak.
"Selama ini aku ada baik-baik saja, sobatku.
Tampaknya kau sendiri tidak berada dalam
keadaan baik-baik heh? Nasibmu sungguh
malang harus mampus di tiang gantungan."
Wiro menyeringai kecut.
Si kakek kemudian celengak-celenguk seputar
pedataran yang penuh oleh para pimpinan
dan murid-murid Partai Lawu Megah.
Kemudian pandangannya tertumbuk. Dia
tertawa dan menjura lalu berkata:
"Ah sobatku Resi Tumbal Soka ,Sudah hampir
empat puluh tahun sejak aku penghabisan
sekali menginjakkan kaki di puncak Gunung
Lawu ini dulu. Ternyata kini banyak
perubahan. Ada apakah sebenarnya saat ini di
sini, sobatku?"
Sesaat Resi Tumbal Megah masih berdiam
diri. Terkesiap oleh kedatangan si kakek yang
tidak diduganya, yang ternyata mengenal
tahanan yang hendak digantung. Kemudian
dia ingat dan buru-buru balas menjura.
"Selamat datang di Partai Tumbal Soka,
sobatku Pendekar Besar Pedang Akhirat."
"Hai, julukanku hanya Pendekar Pedang
Akhirat, tak perlu ditambah dengan kata
Besar!" Dan ini membuat wajah Resi Tumbal
Soka menjadi bersemu merah. Paderipaderi
yang lain tak berani membuka mulut, bahkan
bergerak dari tempat masingmasing pun
tampaknya mereka takut. Semuanya tahu
siapa adanya kakek bermuka tengkorak ini.
Seorang tokoh silat yang sampai hari itu
masih dianggap sebagai datuknya orang
persilatan. Yang ilmu kepandaiannya sukar
dijajagi. Bahkan Resi Kumbara yang sudah
mengundurkan diri belum tentu setingkat
kepandaiannya dengan kakek jerangkong ini.
Apa lagi jika dibandingkan dengan Resi
Tumbal Soka.
"Eh, aku tidak melihat sobat lamaku paderi
Resi Kumbara..!" tiba-tiba Pendekar Pedang
Akhirat berseru lagi dan memandang
celangak-celinguk kian kemari dengan sikap
lucu, tapi tak satu orang pun berani tertawa,
kecuali murid Eyang Sinto Gendeng yang
terus-terusan saja cengar-cengir.
"Kakakku itu sudah mengundurkan diri dari
segala urusan partai. Akulah kini yang
menjadi ketua Partai Lawu Megah," menyahuti
Resi Tumbal Soka.
"Oh, begitu? Astaga! Kalau begitu aku harus
sekali lagi memberi penghormatan!"
Dan kembali si kakek jerangkong itu menjura.
Penghormatan yang sekali ini terasa satu
hinaan halus oleh Resi Tumbal Soka. Tapi dia
tak mau memberikan reaksi apa-apa, cuma
wajahnya saja yang kembali kelihatan
bertambah merah.
"Betul-betul banyak perubahan di puncak
Gunung Lawu ini," kata Pendekar Pedang
Akhirat sambil geleng-gelengkan kepalanya.
"Hai! Sobatku Resi Tumbal Soka, kau belum
jawab pertanyaanku tadi. Ada apakah ramai-
ramai di sini?"
"Seperti kau seksikan sendiri. Pemuda asing
itu akan menjalani hukuman mati. Menilik
gelagat kakek,gagah sebelumnya sudah kenal
padanya!"
"Betul, aku memang kenal padanya. Tapi
kenapakah dia hendak digantung?" ia
bertanya.
"Dia telah merusak kehormatan salah seorang
murid gunung Lawu," jawab Resi Tumbal Soka
seraya goyangkan kepalanya ke arah
Sularwasih.
"Aha..! Ini betul-betul urusan kapiran!" Eh
Wiro, betulkah kau telah memperkosa nona
itu?!" Sepasang mata si kakek menyorot tajam
laksana menembus batok kepala Pendekar
212.
Wiro gelengkan kepala. "Aku bersumpah tidak
melakukannya, kakek. Tapi mereka tidak
percaya. Jika saja anuku ini bisa bicara pasti
dia akan mengatakan tidak!"
Pendekar Pedang Akhirat tertawa gelak-gelak.
"Jika saja anumu itu bisa bisa bicara!
Hik..hik…. hik! Cuma sayang anumu tidak bisa
bicara heh! Tapi betul kau tidak mengganggu
gadis itu? Maksudku memperkosanya?"
"Demi Tuhan tidak."
Si kakek mengangguk. "Aku percaya pada
sumpahmu," kata kakek itu. Lalu berpaling
pada ketua partai. "Dia sudah bersumpah.
Bagaimana ini?"
"Siapa sudi percaya sumpahnya. Mana ada
maling yang mengaku."
"Tapi dia bukan maling."
"Penjahat keji terkutuk. Itu lebih pantas
bukan?"
Si kakek tertawa. "Setahuku pemuda sobatku
ini tak pernah mencari perempuan. Justru
perempuanlah yang pada mencarinya."
"Kakek gagah, apa dalam hal ini kau hendak
mengatakan bahwa muridkulah yang sengaja
menyerahkan dirinya pada pemuda bajingan
itu?!" kata paderi Tumbal Soka dengan nada
keras.
"Ooo, tentu saja tidak," sahut kakek muka
tengkorak. "Tapi aku tak percaya kalau
sobatku ini telah memperkosa muridmu yang
cantik itu."
"Itu urusanmu. Di sini kami melaksanakan
urusan kami. Menjatuhkan hukuman lengkap
dengan bukti-bukti dan saksi!" kata Resi
Tumbal Soka pula.
"Hemm begitu? Bolehkah aku mengetahui
bukti atau mendengar saksi itu?"
Resi Tumbal Soka mengkal sekali. Tapi dia
menganggukkan kepala pada seorang pemuda
bertampang keren yang tegak di samping
Sularwasih. "Berikan kesaksianmu padanya!"
"Waktu itu!" si pemuda yang merupakan
seorang murid partai tingkat tertinggi, mulai
memberi keterangan tapi buru-buru dipotong
oleh kakek muka tengkorak.
"Tunggu, beritahu dulu namamu!"
"Saya bernama Tandu Wiryo," jawab si
pemuda lalu mulai mengulangi
keterangannya. "Waktu itu saya dan adik
seperguruan ini tengah menjalankan tugas
dari ketua. Suatu malam dalam perjalanan
pulang kami menginap di sebuah penginapan.
Di situ sebelumnya telah menginap pula
pemuda itu. Selagi kami mendaftar, saya
saksikan sendiri dia mengedip-ngedipkan
matanya mengganggu adik. Semula adik
hendak menghajarnya, tapi saya larang
karena menganggap pemuda itu berotak
miring. Malam hari itu saya ke luar sendirian,
maksudnya untuk melihat-lihat kota. Ketika
kembali pada tengah malam, saya temui adik
menangis di dalam kamarnya. Ternyata
peristiwa keji itu telah terjadi. Saya
mengadakan penyelidikan. Di dalam kamar
adik saya temukan sebuah kancing baju.
Ketika dicocokkan, persis sama dengan
kancing baju pemuda asing itu!"
"Mana kancing baju itu sekarang?" tanya
Pendekar Pedang Akhirat.
Tandu Wiryo mengeluarkan sebuah kancing
baju dari dalam saku pakaiannya. Si kakek
mengamatinya dengan teliti. Ketika dia
berpaling memperhatikan pakaian Wiro,
ternyata memang kancing itu sama dengan
kancing pakaian si pemuda. Dan salah satu
dari kancing-kancing tersebut tanggal, tak
ada lagi di tempatnya!
PENDEKAR Peciang Akhirat termenung sesaat.
Kemudian dia berpaling pada Sularwasih dan
bertanya, "Sewaktu hal itu terjadi apakah
kamarmu terang benderang?"
Yang menjawab adalah Tandu Wiryo, "Sesuai
dengan kebiasaannya, adik seperguruanku
selalu tidur dengan lampu dipadamkan."
"Bagaimana kau bisa tahu kebiasaan adik
seperguruanmu itu?" tanya Pendekar Pedang
Akhirat pula.
Tak menduga ditanya demikian. Tandu Wiryo
jadi terkesiap diam. Saat itu Resi Tumbal
Soka membuka mulut, "Kakek gagah, aku
tidak suka akan tanya jawab ini. Kau seolah-
olah sebagai seorang penyelidik. Sebagai
seorang pembela. Jika kau ingin menyaksikan
pelaksanaan hukum gantung ini, silahkan.
Jika tidak,"
"Supaya aku angkat kaki dari sini?!"
meneruskan kakek muka tengkorak sambil
tersenyum. "Tidak, sebelum persoalannya jelas
begitu, aku tak akan pergi dari sini!" Si kakek
lalu berpaling pada Tandu Wiryo. "Orang
muda, katakan padaku kota dan penginapan
di mana peristiwa itu terjadi."
Tandu Wiryo tidak segera menjawab sedang
parasnya menunjukkan rasa tidak enak. Dia
menoleh pada Resi Tumbal Soka dan baru
berkata, "Tanpa izin ketua aku tak akan mau
menjawab."
"Beritahukan saja padanya biar dia puas," ujar
sang ketua pula.
"Penginapan Candi di Muntilan," Tandu Wiryo
memberitahu.
"Kakek gagah, apakah kau puas sekarang?"
tanya Resi Tunggal Soka.
"Puas. Tapi jadi tidak puas bila hukuman ini
dilangsungkan!"
"Apa maksudmu?" tanya sang ketua partai
seraya memandang tajam pada kakek muka
tengkorak."
"Puluhan tahun aku hidup dalam dunia
persilatan, tak pernah kejadian orang
digantung karena urusan begini rupa. Apalagi
sampai dilakukan oleh satu partai besar.
Mungkin perbuatan itu terkutuk dan keji. Tapi
menggantungnya lebih terkutuk dan lebih keji.
Jika betul kau yakin pemuda asing ini salah,
kenapa tidak dilaksanakan saja pelaksanaan
hukuman lewat perkelahian antara dia dengan
muridmu ….?!"
"Kau bicara seenaknya saja, kakek gagah. Kau
tahu, untuk menangkap pemuda keparat itu
kami membutuhkan selusin murid-murid
tingkat tertinggi, enam orang paderi utama
dan membutuhkan waktu setengah hari!"
"Memang serba berabe," kata Pendekar
Pedang Akhirat seraya usap-usap keningnya.
"Tapi akan lebih berabe lagi jika hukuman
gantung itu dilaksanakan. Nama partai Lawu
Megah akan lebih cemar di dunia persilatan."
"Persetan dengan orang luar. Kami membuat
sendiri dan menjalankan sendiri aturan partai
kami!" tukas Resi Tumbal Soka.
"Sekarang bagusnya begini saja," kata si
kakek pula. "Serahkan pemuda ini padaku.
Jika nanti memang terbukti dia yang
melakukan perbuatan keji itu, aku sendiri yang
bakal menghukumnya!"
Resi Tumbal Soka tertawa sinis.
"Dalam persoalan ini kau adalah orang luar,
kakek gagah. Kedatanganmu ke sini pun tidak
kami undang."
"Kalau begitu biar aku pergi tanpa undangan
pula dan harus bersama pemuda sobatku ini!"
Resi Tumbal Soka hilang sabarnya. Dengan
nada keras dia berkata, "Kakek gagah, nama
besarmu kami hormati. Harap kau juga
menghormati kami. Kalau tidak terpaksa kami
berlaku tidak pada tempatnya terhadapmu!"
"Nah…. nah! Sekarang kau rupanya
menantangku di sarang sendiri dan
mengandalkan jumlah banyak! Bagus ….
bagus! Itu lebih baik. Mari kita main-main
barang sepuluh dua puluh jurus. Jika aku
kalah kau boleh gantung aku bersama sama
pemuda itu. Tapi sebaliknya jika kau kalah,
pemuda itu harus kau serahkan padaku.
Nah itu adil sekali bukan?!"
Resi Tumbal Soka sampai bergemeletukkan
gerahamnya saking marah mendengar ucapan
Pendekar Pedang Akhirat itu. Jika lain orang
yang berkata demikian tanpa banyak tanya
lagi pasti dilabraknya. Namun dia menyadari
kalau Pendekar Pedang Akhirat yang
bertampang angker itu bukan tandingannya.
Jangankan dia, kakaknya sendiri belum tentu
mampu menghadapi tokoh-tokoh persilatan
nomor satu ini. Untuk tidak memperlihatkan
rasa jerihnya, dengan seringai mengejek dia
berkata, "Sayang Partai Lawu Megah sedang
melaksanakan urusan besar. Di lain
kesempatan jangankan baru sepuluh dua
puluh jurus. Sampai seribu jurus pun aku tak
keberatan melayanimu!"
Pendekar Pedang Akhirat tertawa jumawa dan
menjawab, "Kalau kau merasa ragu untuk
maju sendirian, boleh saja mengajak beberapa
paderi pembantumu."
"Kalau bicara jangan keterlaluan memandang
rendah diriku!" kata Resi Tumbal Soka marah
sekali. Mukanya merah padam. "Kami harap
kau segera meninggalkan tempat ini!"
Kemudian tanpa mengacuhkan lagi kakek
muka angker itu Resi Tumbal Soka berpaling
ke arah tiang gantungan dan berteriak,
"Laksanakan penggantungan!"
Seorang paderi segera gerakkan kakinya untuk
menendang kursi dimana Wiro tegak. Namun
sebelum kakinya menyentuh kursi tahu-tahu
tubuhnya sudah tegang kaku hingga dia tegak
dalam keadaan seperti orang sedang menari.
Jika semua orang merasa kaget maka
Pendekar Pedang Akbirat tertawa gelak-gelak.
Resi Tumbal Soka memaki dalam hati
setengah mati. Dia yang berkepandaian
demikian tinggi tidak melihat kapan si kakek
menggerakkan tangan mengirimkan totokan
jarak jauh yang amat lihay hingga tubuh
paderi pembantunya serta-merta menjadi
kaku!
"Itu cuma sekedar peringatan saja bagi kalian
semua yang ada di sini. Sekali lagi ada yang
berani turun tangan terhadap sahabatku
pemuda asing itu aku tak segan-segan
menurunkan tangan jahat!" memperingatkan
Pendekar Pedang Akhirat.
"Kakek, kau betul-betul berani mencampuri
urusan partai kamil Apa kau kira kami takut
terhadap jerangkong busuk macammu?" teriak
Resi Tumbal Soka yang sudah sampai pada
puncak amarah dan kesabarannya. Sambil
melangkah maju dia kibaskan lengan
jubahnya. Serta-merta buyarlah totokan pada
tubuh paderi yang tadi hendak menendang
kursi. Tetapi di saat yang sama Pendekar
Pedang Akhirat sudah berkelebat. Demikian
cepat gerakannya hingga di lain kejap semua
orang menyaksikan Wiro Sableng tak ada lagi
di atas kursi dan kini tegak di samping si
kakek. Keduanya tertawa cengar-cengir.
"Kalian semua dengar!" teriak Pendekar
Pedang Akhirat dengan mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya hingga puncak gunung Lawu
itu laksana disambar geledek.
"Aku akan tinggalkan tempat ini bersama
sobatku si gondrong ini. Aku tak ingin
membuat kerusuhan dengan kalian orang-
orang Partai Lawu Megah, apalagi sampai
timbul bentrokan kekerasan. Karenanya
biarkan kami pergi dengan aman!"
"Mana bisa demikian, manusia muka setan!
Kau telah mengacau di sini. Telah
melontarkan hina-hinaan. Dan menculik
tawanan yang hendak dihukum gantung!
Tinggalkan pemuda itu atau kaupun akan
kami gantung di puncak Lawu ini!"
"Kalau begitu sama-sama kita lihat apa yang
akan terjadi," sahut Pendekar Pedang Akhirat
pula. Dia bergerak memanggul tubuh
Pendekar 212 karena memaklumi pemuda itu
tak bakal bisa lari cepat dengan tangan
terikat ke belakang. Saat itu Resi Tumbal
Soka memberi isyarat. Dua belas paderi-
paderi utama dan puluhan murid partai klas
wahid segera mengurung kakek itu. Melihat ini
Wiro Sableng berbisik ke telinga Pendekar
Pedang Akherat, "Lekas kau putuskan benang
yang mengikat lenganku. Kau tak bakal bisa
menghadapi mereka sebanyak ini meskipun
ilmumu selangit."
"Huss, kau diam sajalah. Siapa pun takut
menghadapi mereka. Benang sialan yang
mengikat tanganmu itu tak mungkin
kulepaskan. Tak ada satu orang luar pun yang
sanggup melepaskannya kecuali Resi Tumbal
Soka dan kakeknya!"
"Lalu apakah sampai kiamat aku akan terikat
begini rupa?" tanya Wiro setengah mengeluh.
"Kubilang kau diam sajalah! Serahkan
persoalan padaku. Lihat, orang-orang partai
Lawu mulai menyerang kita!"
Saat itu atas perintah yang diberikan Resi
Tumbal Soka melalui isyarat, beberapa paderi
utama terutama dari kelompok yang
mendukung sang ketua telah bergerak
menyerang Pendekar Pedang Akherat dari
segala penjuru.
"Hai, kalian ini betul-betul hendak
menyerangku?" teriak si kakek memberi
peringatan yang terakhir.
"Bunuh keduanya!" yang berteriak adalah Resi
Tumbal Soka ketua partai Lawu Megah.
Maka datanglah sembilan serangan paderi
laksana topan prahara. Menghadapi serangan
ini Pendekar Pedang Akherat tertawa
mengekeh. Tiba-tiba dia lenyap dari kalangan
pertempuran. Pihak yang menyerang jadi
kaget. Memandang ke atas ternyata kakek itu
sudah mumbul bersama Wiro ke atas.
Sembilan angin pukulan dasyat mengebubu.
Kembali si kakek tertawa dan balas memukul
ke bawah. Terdengar seperti gunung meledak
sewaktu sembilan pukulan patai Lawu Megah
dan satu pukulan si kakek beradu di udara
pada ketinggian dua tombak. Wiro merasakan
tubuhnya dan si kakek terpental, sampai
setengah tombak. Sebaliknya di bawah sana
dilihatnya sembilan paderi Lawu berkaparan
di tanah jatuh duduk. Empat diantaranya
muntahkan darah segar.
"Kalian mencari penyakit," teriak Pendekar
Pedang Akherat. Diam-diam Wiro memuji
kekuatan tenaga dalam kakek penolongnya
ini. Padahal dua tahun yang silam sepertiga
dari tenaga dalamnya pernah dipindahkannya
ke tubuhnya yakni sewaktu Wiro selamatkan
kakek ini dari liang batu.
"Kakek sombong! Kau kira kau dan pemuda
terkutuk itu bakal bisa lolos dari sini?"
terdengar Resi Tumbal Soka berteriak. Dia
tutup teriaknya ini dengan menghantamkan
lengan jubahnya ke atas. Memang lengan
jubah ini bukan saja merupakan senjata lihai
bagi sang ketua, tetapi juga dipakai untuk
melepaskan pukulan tangan kosong jarak jauh
yang disertai aliran tenaga dalam tinggi
sekali. Di atas udara, sambil putar tubuhnya,
si kakek balas menghantam. Kembali
terdengar ledakan di pancak gunung Lawu itu.
Tubuh si kakek terdorong ke samping sedang
di bawah Resi Tumbal Soka kelihatan pucat
wajahnya setelah tubuhnya lebih dulu
bergoncang keras akibat bentrokan tenaga
dalam tadi. Memandang ke atas, lawan dan
Wiro Sableng sudah tidak kelihatan lagi.
Segera ketua partai Lawu Megah ini berteriak,
"Tutup semua jalan ke luar!"
Para paderi danmurid-murid partai segera
bergerak laksanakan perintah ini.
DENGAN gerakan cepat laksana kilat dan
hampir tak terlihat oleh tokoh-tokoh silat di
puncak gunung Lawu itu Pendekar Pedang
Akherat berkelebat mendukung Wiro Sableng.
Keduanya mendekam di balik atap bangunan
besar di ujung lapangan.
"Tutup semua jalan dan geledah seluruh
tempat!" terdengar kembali seruan Resi
Tumbal Soka.
"Kakek, kita tak bisa sembunyi lama-lama di
sini," bisik Wiro Sableng pada si kakek
bermuka tengkorak. "Orang-orang itu pasti
akan menyelidiki ke mari. Sekali mereka
melihat kita."
"Tamatlah riwayat kita," menyambung si kakek
sambil menyeringai yang membuat wajahnya
tambah buruk dan angker.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
bertanya Wiro.
"Kau tenang sajalah, Wiro. Jangan terlalu
kawatir. Rasa takut membuat akal manusia
jadi pendek."
Setelah meneliti keadaan di bawah sana,
Pendekar Pedang Akherat bergerak ke samping
kiri atap, terus hingga dia sampai di halaman
belakang yang merupakan sebuah taman
kecil. Di sini dilihatnya dua orang berjaga-
jaga. Seorang murid tingkat tinggi dan
seorang lagi paderi utama. Sekali lagi kakek
bermuka angker itu meneliti sekelilingnya.
Lalu melompat ke bawah, tepat di atas bahu
paderi utama yang tegak berjaga-jaga di
bawah cucuran air.
Buk!
Paderi itu serta-merta roboh begitu kedua
bahunya diinjak sepasang kaki Pendekar
Pedang Akherat. Salah satu tulang belikatnya
patah. Dia hendak menjerit, tapi kaki kanan
Wiro yang sedang di panggul itu, telah lebih
dulu menutup mulutnya hingga dia roboh
bergedebukan tanpa sempat menjerit.
Suara jatuhnya paderi ini membuat murid
Lawu yang berdiri kira-kira dua tombak dari
sana memutar tubuh dan berseru kaget.
Namun seruannya pun tak keluar dari
mulutnya karena sekali Pendekar Pedang
Akherat jentikkan jari-jari tangan kirinya
maka tubuhnya menjadi kaku tegang.
Keadaannya lucu sekali. Berdiri dengan satu
tangan diangkat ke atas sedang mulut
menganga!
Wiro Sableng hendak tertawa gelak-gelak
melihat kejadian ini. Tapi untung lekas
Pendekar Pedang Akherat menotok jalan
suaranya.
"Pemuda geblek! Kau kira kita dalam keadaan
senang-senangkah maka kau hendak tertawa
bekakakan?!" desis kakek muka angker itu.
Dari sebuah gang di antara dua hangunan
pada samping kiri taman terdengar suara
banyak orang mendatangi. Secepat kilat
Pendekar Pedang Akhirat berkelebat dari
tempat itu, memasuki sebuah gang lain yang
mendaki. Gang ini panjang sekali dan menuju
ke sebuah bangunan berbentuk bundar.
Bangunan ini terpisah jauh dari bangunan-
bangunan lainnya. Tanpa ragu-ragu si kakek
membawa Wiro masuk ke dalam bangunan
itu.
Di bagian dalam bangunan ini merupakan
satu ruangan bulat yang keseluruhan lantai,
dinding dan langit-langitnya terbuat dari batu
pualam. Ruangan ini diterangi oleh sebuah
lampu kecil. Pada sudut yang agak kelam
kelihatan duduk seorang kakek berpakaian
serba putih. Kedua matanya terpejam.
Tubuhnya kurus sekali. Wajahnya kelimis dan
kelihatan masih segar untuk usia yang telah
mencapai 100 tahun. Mendapatkan orang
tengah bersamadi, Pendekar Pedang Akherat
agak kecewa. Namun sebagai manusia yang
tahu peradatan, setelah menjura dia lantas
duduk menunggu di sudut lain yang gelap. Di
luar didengarnya suara orang berlari kian
kemari diseling oleh suara teriakan aba-aba.
Hampir dua jam menunggu, kakek kurus yang
bersamadi masih saja duduk tak bergerak.
Tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki
mendatangi tertangkap oleh telinga tajam
Pendekar Pedang Akhirat. Kakek ini berangsur
ke sudut ruangan yang lebih gelap. Kemudian
di ambang pintu kelihatan muncul Resi
Tumbal Soka. Karena habis dari tempat terang
sedang sudut-sudut ruangan itu gelap, maka
dia hanya dapat melihat kakek yang duduk
bersamadi di belakang lampu. Resi Tumbal
Soka sesaat tampak ragu-ragu dan hendak
berbalik. Namun dengan memberanikan diri
akhirnya dia membuka mulut.
"Kakang Resi Kumbara, mohon maafmu.
Apakah kau mendengar seseorang menyelusup
ke ruangan pengasinganmu ini?"
Setelah ditegur berulang kali, barulah paderi
yang tadi bersamadi buka sepasang matanya.
Ternyata dia adalah Resi Kumbara bekas
ketua partai Lawu Megah, kakak Resi Tumbal
Soka yang kini berada dalam ruangan
pengasingan. Hari demi hari dilewatinya
dengan bersamadi terus-menerus. Diganggu
seperti itu tentu saja dia merasa gusar.
"Tumbal Soka, apakah kau tidak tahu aturan
hingga mengganggu orang yang sedang
bersamadi di ruangan yang tak satu orang
lain pun boleh mendekati apalagi sampai
masuk!" Kakek kurus itu menegur. Pandangan
matanya tajam sekali laksana sambaran
ujung pedang yang runcing.
"Mohon maafmu kakang. Adik dan saudara-
saudara satu partai tengah menghadapi
kesukaran. Seorang pemuda yang telah
merusak kehormatan anak murid partai telah
diculik dan dilarikan oleh tokoh silat Pendekar
Pedang Akhirat. Adik telah menyuruh tutup
semua jalan ke luar danmenggeledah seluruh
tempat. Tapi kedua orang itu tidak kutemui.
Satu-satunya tempat yang belum diperiksa
adalah di sini."
"Jadi kau mengira aku menyembunyikan
orang-orang itu? Sungguh lancang mulutmu,
adik!"
"Bukan, adik tidak berprasangka demikian.
Cuma siapa tahu selagi kakak bersamadi dia
menyusup dan bersembunyi di sini," kata Resi
Tumbal Soka pula.
"Sudahlah, jangan ganggu aku lebih lama.
Aku akan meneruskan samadi. Jika kau niasih
kurang puas silahkan periksa ruangan ini!"
Tanpa mengacuhkan adiknya Resi Kumbara
lantas pejamkan matanya kembali dan lagi
bersamadi. Meskipun telah disuruh melakukan
pemeriksaan namun Resi Tumbal Soka tak
berani melaksanakannya. Dia berpikir-pikir
talk mungkin kakaknya tidak mengetahui
kalau ada orang yang masuk, sekalipun
tengah tenggelam dalam alam samadi.
Setelah merenung sejenak dia lantas
tinggalkan tempat itu. Sesaat setelah Resi
Tumbal Soka pergi, dari tempat gelap
Pendekar Pedang Akhirat buka suara, "Terima
kasih sobat, kau telah melindungi kami
berdua. Budimu tak akan kulupakan. Apakah
kau ikhlas menanam sedikit budi lagi pada
kami?"
Terdengar helaan napas panjang. Kakek yang
tadi hendak bersamadi kembali buka kedua
matanya. Sebetulnya dia sudah tahu kalau
ada dua orang masuk ke dalam ruangan
tersebut.
"Agaknya terlalu banyak manusia yang tidak
tahu peradaban di dunia ini. Masuk ke rumah
orang tanpa izin sudah menyalahi aturan.
Apalagi masuk ke dalam ruangan seperti ini
danmengganggu orang yang bersamadi!"
"Harap dimaafkan sobatku Resi Kumbara.
Semua terjadi karena terpaksa," sahut
Pendekar Pedang Akhirat.
"Siapa berani berbuat harus berani tanggung
jawab. Pendekar Pedang Akhirat Batar
yang terkenal kawakan menyembunyikan diri
di ruangan pengasingan Partai Lawu
Megah setelah terlebih dulu melakukan
pengacauan …. Sungguh lucu!"
"Maaf, aku sama sekali tidak mengacau.
Semula aku datang kemari untuk
menyambangimu. Tahu-tahu di sini terjadi
satu hal yang luar biasa. Seorang kawanku
hendak digantung dengan cara biadab. Apa
pun kesalahannya mana mungkin aku lepas
tangan."
"Kau tak berhak mencampuri urusan partai
kami."
"Agaknya sobatku Resi Kumbara tidak tahu
jelas persoalannya!"
"Aku sudah dengar semua apa yang terjadi di
luar sana," kata Resi Kumbara pula.
Sungguh luar biasa pendengaran dedengkot
Partai Lawu Megah ini. Meskipun berada di
ruangan pengasingan yang bertembok tebal
dan jauh dari lapangan tempat
penggantungan namun dalam samadinya dia
sanggup mendengar segala sesuatu yang
berlangsung di luar sana!
"Syukurlah kalau kau telah mengetahui
persoalannya dengan jelas."
"Apakah kau yakin kalau pemuda kawanmu itu
betul-betul tidak berdosa?" Resi Kumbara
bertanya.
"Aku tahu pribadinya. Namun memang sulit
untuk menyatakan padamu kalau dia betul
tidak bersalah."
"Kalau begitu kau telah turun tangan secara
sembrono!"
"Mungkin. Namun dengan menggantung
secara biadab, orang-orang Partai Lawu
berarti melakukan kesembronoan yang lebih
besar. Sekarang aku minta padamu agar
menunjukkan jalan keluar bagi kami berdua!"
Resi Kumbara tertawa perlahan dan elus
janggutnya yang menjulai sampai ke dada.
"Pendekar Pedang Akhirat. Kau telah berani
mencampuri dan mengacau urusan orang.
Sekarang kau menemui jalan buntu dan minta
tolong padaku. Apa kah tidak malu…. ?"
Kata-kata Resi Kumbara itu cukup memukul
kakek muka tengkorak. Namun sambil tertawa
ayem dia menjawab. "Dalam dunia biasa satu
sama lain saling bertolongan. Hari ini kau
menolongku. Lain ketika aku akan ganti
menolongmu."
Resi Kumbara geleng-gelengkan kepalanya.
"Tak mungkin kau menolongku. Usiaku sudah
lanjut. Mungkin aku sudah lebih dulu menutup
mata sebelum pertolonganmu datang."
"Turut pada bicaramu, kiranya kau tidak lebih
baik dari adikmu yang tampaknya telah
banyak sesat dalam memimpin partai. Jika
kawan satu golongan minta tolong, dan si
penolong mengharapkan balas jasa, sungguh
aku tidak mengerti…."
Kini Resi Kumbaralah yang merasa terpukul.
"Sebetulnya aku sudah sejak lama tidak mau
mencampuri urusan di luaran. Tapi
memandang persahabatan dan nama besarmu
coba kau katakan pertolongan apa yang kau
kehendaki. Mungkin aku bias
mempertimbangkan."
"Setahuku di puncak Lawu ini ada jalan
rahasia menembus terowongan. Tunjukkan
padaku jalan itu dan aku tak bakal melupakan
budi besarmu ini…."
Resi Kumbara tertawa mendengar kata-kata
Pendekar Pedang Akhirat itu. "Rupanya
nyalimu meleleh menghadapi orang-orang
Partai? Jika kau takut kenapa berani berlaku
sembrono…. ?"
"Dalam kamus hidupku tak ada kata takut,
sobatku Resi Kumbara. Demi persahabatan
dan memandang namamu serta pimpinan
partai lainnya, aku tak mau bentrokan dalam
kekerasan. Harap kau suka
mempertimbangkan!"
Bekas ketua partai Lawu Megah itu merenung
sejenak,
"Baiklah, akan kutunjukkan jalan rahasia itu
padamu." kata Resi Kumbara pada akhirnya.
Pendekar Pedang Akhirat menjura. "Terima
kasihi sobat. Sekarang satu lagi kuminta budi
besarmu!"
"Eh, kau seperti lintah darat minta tanah.
Diberi sejengkal minta sedepa…."
Si Pedang Akhirat menyengir. "Pertolongan
kalau tanggung-tanggung sama saja tidak
tidak menolong bagiku," katanya.
RESI Kumbara balas tersenyum, "Katakan apa
maumu!"
Si kakek menunjuk pada sepasang lengan
Wiro Sableng yang terikat dengan sehelai
benang putih halus.
"Partai Lawu terkenal dengan ilmu yang aneh-
aneh. Aku mengaku tolol tak mampu
membuka atau memutus benang yang
mengikat lengan sahabatku itu. Kau
tolonglah!"
Resi Kumbara lagi-lagi tersenyum. Memang
benang sutera halus Partai Lawu itu
merupakan salah satu benda aneh dalam
dunia persilatan pada masa itu. Tak satu
orang luar pun sanggup memutusnya.
Acuh tak acuh paderi tua itu cabut selembar
janggutnya yang panjang putih lalu memberi
isyarat agar si kakek membawa Wiro Sableng
ke dekatnya. Acuh tak acuh pula, seperti
main-main Resi Kumbara selusupkan
janggutnya pada celah sempit antara lengan
dan benang yang mengikat. Ketika janggut itu
kemudian ditarik maka putuslah benang aneh
yang mengikat kedua tangan Wiro. Mau tak
mau si kakek jadi melongo menyaksikan hal
ini. Sebaliknya begitu ikatannya lepas. Wiro
gerakkan tangannya untuk garuk-garuk
kepala.
"Hai, kau ucapkanlah terima kasih pada
sahabatku ini!" kata si kakek sambil tepuk
punggung Wiro.
Wiro yang tahu peradatan buru menjura dan
berulang kali mengucapkan terima kasih pada
Resi Kumbara.
"Sekarang dimanakah pintu terowongan
rahasia itu, sobatku?"
"Tunggu dulu," sahut Resi Kumbara. "Sebelum
kalian pergi aku harus punya jaminan. Tanpa
jaminan kalian tak bisa kubiarkan pergi."
"Heh, jaminan bagaimana maksudmu Resi
Kumbara?" tanya Pendekar Pedang Akhirat.
"Bagaimana kalau nanti sahabatmu yang
gondrong itu ternyata benar-benar telah
merusak kehormatan murid Partai Lawu?"
"Kalau itu yang kau tanyakan, jika terbukti dia
bersalah, aku sendiri yang akan
menghukumnya. Aku sendiri yang akan
membawa kepalanya kemari dan kuserahkan
berikut kepalaku sendiri sebagai penebus
keteledoranku."
Resi Kumbara menyeringai.
"Bagaimana mungkin kau menyerahkan
kepalamu padaku karena itu berarti kau sudah
konyol!" tukasnya.
"Jangan berpura-pura tolol sobatku! Aku akan
bunuh diri di hadapanmu. Kau puas?"
Resi Kumbara menggeleng.
"Perjanjian jaminan ini hanya kita bertiga
yang membuat dan mengetahui, tak ada
saksi. Aku kawatir setelah aku mati duluan
dalam usia tua, kalian tidak akan menepati
janji."
"Kami bukan manusia-manusia yang ingkar
janji," Wiro bicara dengan nada kesal.
"Aku percaya, tapi tetap aku tak dapat
menerimanya. Kalian harus meninggalkan
sesuatu. Sesuatu yang kalian anggap
berharga."
Wiro Sableng garuk-garuk kepala dan saling
pandang dengan Pendekar Pedang Akhirat.
"Apakah aku harus meninggalkan kepalaku
saat ini?" tiba-tiba kakek muka tengkorak itu
bertanya.
"Tidak," sahut Reni Kumbara. "Saat ini
kepalamu itu tidak ada harganya bagi aku
dan partai…."
"Lantas apa maumu?" tanya Wiro penasaran.
"Sesuatu yang berharga dan pantas dijadikan
jaminan," sahut sang paderi Partai Lawu.
Wiro kembali garuk2 kepalanya yang
gondrong. Tiba-tiba diambilnya Kapak Naga
Geni 212. Begitu senjata ini keluar dari balik
pakaiannya maka sinarnya yang menyilaukan
menerangi ruangan yang redup gelap itu.
Diam-diam Resi Kumbara terkesiap juga.
Belum pernah dia melihat senjata mustika
yang hebat begini rupa dan aneh pula
bentuknya. Sebuah kapak bermata dua
bertuliskan angka 212.
"Ini kau ambillah kakek sebagai jaminan kami
berdua. Tapi ingat aku tak ingin senjata
warisan guruku ini rusak atau cacat, apalagi
sampai hilang. Kalau itu sampai terjadi
seluruh puncak Lawu ini akan kuterabas sama
rata dengan tanah!" Resi Kumbara tertawa
dingin.
"Sejak ratusan tahun lalu Partai Lawu Megah
berdiri sampai hari ini tak ada yang sanggup
melakukan hall itu. Apalagi manusia
semacammu yang bukannya terima kasih
setelah menerima budi orang justru malah
pergi dengan meninggalkan ancaman."
Tampang Pendekar 212 jadi mengelam merah
tapi dari mulutnya yang menyeringai keluar
suara siulan.
"Senjata itu sama nilainya dengan nyawaku,
Resi Kumbara. Kalau sampai hari ini belum
ada orang yang sanggup menggusur Partai
Lawu Megah, jangan kira di kemudian hari tak
ada yang berani dan bisa melakukannya.
Apalagi terhadap sebuah partai yang kini
nyata telah jauh sesat dalam tindak-
tanduknya. Dan kau sebagai dedengkotnya
cuma bisa mengoceh, bersamadi yang sama
sekali tak ada gunanya bagi partai dan
ketenteraman dunia persilatan. Kau berlepas
tangan dengan berkedok mengasingkan diri,
bersamadi dan sudah tak mau ikut campur
urusan dunia luar! Jika tidak ada pendekar
tua kawanku ini pasti telah berlangsung
penggantungan biadab terhadap diriku. Dan
kau mengetahuinya tapi diam saja. Aku bukan
bangsa manusia yang takut mati jika memang
punya salah dan dosa. Aku mungkin orang
tolol, tapi aku bersama kawanku ini
mempunyai firasat bahwa dibalik kekalutan
pimpinan di Lawu ini ada tangan-tangan kotor
yang hendak menjadikan aku kambing hitam
yang pantas digorok lehernia! Dengan cuma
bersamadi sampai kiamat kau tak bakal dapat
melempangkan kembali orang-orangmu yang
telah tersesat. Dan jangan kau takabur Resi
Kumbara, dalam keadaan seperti begini satu
tangan jahil yang tak punya kekuatan apa-
apa bukan mustahil sanggup menggusur
Partai Lawu. Bagaimana kalau orangorangmu
diadu domba? Apa bukan jadi berantakan
nantinya?"
Wiro Sableng bakal nyerocos terus kalau tidak
diberi isyarat kedepan mata oleh Pendekar
Pedang Akhirat. Resi Kumbara sendiri saat itu
merah padam wajahnya yang putih kelimis.
Dia hendak membuka mulut tapi si kakek
buru-buru mendahului.
"Sudahlah, tak ada gunanya kita berdebat
saat ini. Lain kali saja kita teruskan obrolan
ini dalam suasana yang lebih tenang sambil
makan minum tentunya. Kau sudah menerima
barang jaminan yang amat berharga.
Sekarang tunjukkanlah pintu terowongan
rahasia itu."
Dengan menindih rasa marahnya, Resi
Kumbara lantas menekan salah satu ubin
ruangan itu. Tiba-tiba lantai ruangan sebelah
kiri bergeser. Pada bekas geseran ini
kelihatanlah sebuah tangga batu yang menuju
kebawah, memasuki mulut terowongan yang
gelap. Tercekat juga kedua orang itu rnelihat
terowongan yang gelap seram ini.
"Kalian tunggu apa lagi?!" texdengar suara
Resi Kumbara.
Pendekar Pedang Akhirat Batara angkat bahu
dan melangkah menuju tangga menurun. Wiro
Sableng sesaat garuk-garuk kepala,
memandang pada paderi yang duduk di
hadapannya, angkat bahu dan akhirnya
melangkah pula mengikuti kakek muka
angker. Di dalam terowongan yang gelap itu
tangan di depan matapun tak kelihatan. Wiro
dan si kakek yang melangkah sebelah depan
berjalan dengan mengandalkan perasaan dan
pendengaran mereka yang tajam. Meskipun
demikian tak jarang mereka terbentur pada
dinding terowongan pada tempat dimana
terowongan itu membelok.
Yang menjengkelkan Wiro Sableng inilah
karena sepanjang perjalanan melewati
terowongan itu si kakek selalu mengajaknya
bicara.
"Omong-omong gadis anak murid Partai Lawu
Megah yang bernarna Sularwasih itu cantik
juga heh..?" Batara berkata.
"Memangnya kenapa kau berkata begitu?"
bertanya Wiro Sableng.
"Aku berpikir-pikir, apakah betul kau tidak
memperkosa gadis itu. Soalnya aku yang
sudah tua ini bisa blingsatan juga
melihatnya."
"Kakek tidak percaya padaku?"
"Oh tentu. Tentu aku percaya padamu. Tapi
banyak hal-hal yang memberatkan tuduhan
atas dirimu."
Wiro memaki dalam hati.
"Tapi aku sudah bilang, kalau saja anuku ini
bisa bicara!"
"Soal anumu itu tak usah diulangi lagi.
Sampai kiamatpun tak ada anu yang bisa
bicara."
"Lalu, seandainya kakek merasa ragu, kenapa
menolongku?"
"Dengan satu syarat sobat mudaku . . . ."
"Syarat apa?" tanya Wiro penasaran.
"Jika nanti terbukti kau memang bersalah, aku
sendiri yang akan membawa kepalarnu
kepada ketua partai Lawu Megah" sahut
Pendekar Pedang Akhirat. Dalam hatinya
Pendekar 212 Wiro Sableng kembali memaki.
SETELAH kurang lebih dua jam menempuh
terowongan gelap itu di sebelah depan tiba-
tiba terdengar suara Pendekar Pedang Akhirat
mengeluh.
"Ada apakah …?" tanya Wiro dari belakang
seraya bersiap-siap. Melihat sikap Resi
Kumbara tadi diam-diam pendekar ini merasa
curiga. Bukan mustahil terowongan itu
memiliki alat rahasia yang bakal
mencelakakan dirinya dan si kakek.
"Terowongan ini buntu!" seru Batara.
"Hah?!" Wiro terkejut. Dia meraba ke depan.
Terasa olehnya dinding batu yang keras.
"Bekas ketua partai itu menipu kita! Sialan
betul!"
Sesaat kedua orang itu sama-sama terdiam.
"Apa yang harus kita lakukan? Kembali ke
tempat semula?"
"Kakiku letih. Sebaiknya kita duduk saja dulu
melepaskan lelah sambil omongomong",
jawab si kakek.
Wiro Sableng garuk-garuk kepala dan jadi
menggerendeng. Bagaimana si kakek enak-
enak saja bicara seperti itu dan bukannya
mencari jalan keluar dari terowongan? Namun
karena tak tahu mau berbuat apa, akhirnya
pemuda ini duduk menjelepok di lantai
terowongan, bersandar ke dinding yang
lembab. Dalam gelap itu Wiro merenung
kejadian yang baru saja dialaminya di puncak
gunung Lawu. Kemudian dia bertanya.
"Kakek…. Tadi kau mengatakan banyak hal-
hal yang memberatkan tuduhan atas diriku.
Misalnya apa …. ?"
"Kau ketahuan mengedipkan mata sewaktu
bertemu dengan Sularwasih itu di penginapan.
…" Wiro Sableng tertawa.
"Kurasa kau pernah muda sepertiku ini, kakek.
Orang muda biasa suka iseng. Kau sendiri
tadi mengatakan sudah tua bangka begini
masih blingsatan melihat gadis cantik itu.
Soal iseng dan mengedipkan mata apakah
bisa dinilai sebagai memperkosa….?
Justru orang yang memperkosa sering
mendapat kehormatan dipungut mantu!" Si
kakek tertawa gelak-gelak.
"Baiklah kalau kau bilang begitu, sobat
mudaku. Lantas kancing bajumu yang ditemui
dalam kamar si Warsih itu … ?"
"Akupun heran dan bertanya-tanya bagaimana
kancing baju keparat itu bisa ada dan ditemui
disitu. Padahal aku ingat betul kancing itu
putus sewaktu aku menabrak keranjang sayur
seorang perempuan yang kebetulan keluar
dari penginapan. Aku tak berusaha
menemukan kembali kancing baju itu. Ini
agaknya menjadi kesalahan yang kini
kusesalkan…."
"Sulit bagimu untuk membuktikan hal itu,
bukan? Saksi-saksi hidup dan bukti kuat
berada di pihak Warsih!"
"Kelihatannya begitu. Apalagi jika mengikuti
jaIan pikiran yang berat sebelah. Namun kalau
dari sudut pemandanganku yang kau
anggaplah geblek, akupun menaruh
kecurigaan pada seseorang…."
"Siapa?" tanya Pendekar Pedang Akhirat.
"Aku tak dapat mengatakannya karena belum
ada bukti-bukti."
"Kau hendak mencari kambing hitam …?"
"Kalau kambing putih ada, buat apa cari
kambing hitam?" ujar Wiro pula.
Si kakek tertawa bergelak. "Asalkan jangan
aku saja yang kau curigai…."
"Bisa saja. Karena kenapa kau tahu-tahu
muncul dipuncak gunung Lawu…." tukas Wiro.
Si kakek memaki panjang pendek dan kini
Wiro yang ganti tertawa gelak-gelak. Tiba-
tiba murid Eyang Sinto Gendeng ini hentikan
tawanya dan menggamit bahu Pendekar
Pedang Akhirat.
"Aku mendengar sesuatu…."
Kedua orang itu berdiam diri dan sama-sama
pasang telinga. Suara tadi terdengar lagi
sayup-sayup lalu hilang. "Suara kaki-kaki
kuda." desis si kakek.
"Juga ada suara orang berlari," menyahuti
Wiro. Mereka menunggu. Namun suarasuara
itu tidak terdengar lagi.
Si kakek berdiri dari duduknya. Dia
merapatkan tubuhnya. pada dinding yang
menutup terowongan. Ketika telinganya
ditempelkan ke dinding batu itu, rapat-rapat
dia kembali dapat mendengar suara derap
kaki kuda, lalu lenyap sama sekali. Setelah
meraba sana sini, Batara kerahkan seluruh
tenaganya dan coba mendorong dinding batu
itu. Terasa dinding ini bergerak sedikit demi
sedikit.
"Wiro! Bantu aku mendorong dinding buntu
ini! Aku yakin kita sudah sampai di mulut
pintu keluar terowongan!"
Mendengar ucapan itu Wiro segera berdiri dan
bantu Pendekar Pedang Akhirat mendorong
dinding. Oleh tenaga dorongan yang luar
biasa dari dua manusia berkepandaian tinggi
ini, dinding dihadapan mereka bergeser. Tiba-
tiba terdengar suara keras. binding yang
didorong roboh. Cahaya terang masuk
menyilaukan mata kedua orang itu.
Tetumbuhan liar banyak menutupi mulut
terowongan. Keduanya keluar sambil
menyibakkan tanam-tanaman itu. Berdiri
diluar mereka dapatkan saat itu berada di kaki
sebelah timur gunung Lawu.
"Sialan! Akhirnya kita keluar juga dari
terowongan celaka itu. Aku tadi sudah
berprasangka buruk terhadap ResiKumbara
kata Wiro pula sambil yaruk-garuk kepala.
Keduanya mendorong dinding batu berat itu
untuk menutupi terowongan rahasia.
Terlindung oleh tanaman-tanaman liar, orang
yang tidak tahu sulit untuk membedakan batu
penutup terowongan itu dengan batu-batu
besar yang berbentuk sama dan banyak
terdapat di kaki gunung Lawu itu.
"Nah sekarang bagaimana kakek? Aku masih
memikul urusan berat dan hendak berangkat
ke selatan.
"Aku sendiri akan menuju ke barat. Tapi satu
bulan dimuka aku akan tunggu kau disini.
Kurasa saat itu aku sudah dapat mengetahui
apakah kau bersalah atau tidak …"
Wiro Sableng menyeringai, dan menjawab,
"Mudah-mudahan kau datang tepat pada
waktunya sebelum aku menerabas puncak
Lawu ini. Selamat jalan dan terima kasih kau
telah memperpanjang umurku sampai satu
bulan dimuka."
Setelah masing-masing menjura dan bergerak
hendak pergi, satu keselatan lainnya ke barat,
tiba-tiba terdengar seruan lantang dari
samping gunung sebelah kiri.
"Jangan harap kalian bisa pergi dari sini
dengan masih membawa nyawa."
Wiro dan si kakek muka tengkorak sama-sama
kaget. Memandang ke atas mereka lihat
belasan orang berlompatan turun dari
lamping-lamping batu gunung ke tempat
mereka. Orang-orang ini bukan lain adalah
paderi-paderi Lawu. Diantaranya Tandu Wiryo,
yang sebelumnya telah memberikan kesaksian
sewaktu Wiro hendak di gantung.
"Digantung tidak maul Dicincang rupanya
lebih pantas," terdengar hardikan dari sebelah
kiri. Memandang ke jurusan ini dua pendekar
yang barusan keluar dari terowongan melihat
lima penunggang kuda. Empat orang paderi
danseorang gadis berpakaian biru yang bukan
lain adalah Sularwarsih.
Dikurung demikian Wiro Sableng jadi melongo
dan garuk-garuk kepala gondrongnya sedang
Pendekar Pedang Akhirat goleng-goleng
kepala. Sekali memandang berkeliling dia
sudah dapat menghitung jumlah
pengurungnya. Seluruhnya 21 orang!
"Kalian mau apa . . . ?!" Si kakek bertanya.
Tandu Wiryo mendengus.
"Orang datang minta nyawa masih berlagak
tolol!" sentaknya.
"Minta nyawa….? Sungguh kaulah yang tolol
orang muda. Mana ada didunia ini orang yang
suka menyedekahkan nyawanya!" Habis
berkata demikian si kakek lalu tertawa gelak-
gelak. "Kalian semua cari penyakit. Lebih baik
kembali ke puncak Gunung Lawu. Aku sudah
berjanji pada Resi Kumbara. Jika pemuda
sobatku ini nanti terbukti betul-betul bersalah,
aku sendiri yang akan mengantarkan
kepalanya pada kalian!"
"Kami tidak butuh kepalanya! Kami ingin
nyawanya saat ini juga!" teriak Sularwarsih.
"Beranikah kau satu lawan satu dengan
dia….?" tanya Pendekar Pedang Akhirat
dengan nada dan mimik mengejek.
"Manusia laknat seperti dia tak perlu dilayani
satu persatu . . . !"
"Tapi sekurang-kurangnya kau pernah
melayaninya satu persatu, bukan Warsih? Itu
jika betul-betul dia yang merusak
kehormatanmu heh….?"
Merahlah paras Sularwasih. Dia menjerit keras
dan cabut pedangnya, melompat turun dari
kuda seraya berteriak.
"Bunuh manusia-manusia haram jadah ini!"
Gerakan Warsih gesit dan cepat sekali.
Pedangnya bersiuran menyambar ganas ke
arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Jika murid
Eyang Sinto Gendeng ini tak lekas melompat
ke belakang niscaya lehernya sudah kena
dibabat putus. Baru saja Wiro imbangi diri
dari lompatan mengelak disamping kiri
dilihatnya empat paderi yang menemani
Warsih telah turun dari kuda masing-masing
sedang dari kanan, Tandu Wiryo bersama
saudara-saudara seperguruan dan paderi-
paderi lainnya telah menyerbu turut pula.
"Kalian cari penyakit! Betul-betul cari
penyakit!" seru Pendekar Pedang Akhirat
seraya berpaling acuh tak acuh pada Wiro
dan bertanya pada pendekar ini.
"Bagaimana pendapatmu, sobatku?!"
"Apa boleh buat!" sahut Wiro Sableng sambil
angkat bahu. "Penyakit harus diobati. Kalau
tidak bisa berabe!"
DARI dua puluh satu orang partai Lawu
Megah yang menyerbu itu yang menggempur
Pendekar 212 Wiro Sableng adalah empat
paderi utama, dua paderi biasa, lima murid
kelas satu dan Sularwasih serta pemuda
bernama Tandu Wiryo. Sisanya sebanyak
delapan orang yakni empat paderi biasa
danempat murid kelas satu mengurung dan
menyerang Pendekar Pedang Akhirat.
Semua penyerang dari Lawu ini pergunakan
pedang sedang dua yang jadi bulanan
serangan-serangan sampai satu jurus
bergebrak masih andalkan tangan kosong.
Meskipun sering memperlihatkan sikap seperti
orang tolol danmemiliki jalan pikiran macam
orang sinting namun kadang kadang Wiro
Sableng tak jarang memiliki otak yang jernih
dancerdik. Dia merasa heran melihat orang-
orang Partai Lawu lebih banyak
menyerangnya dan terdiri dari mereka yang
berkepandaian tinggi. Semakin besarlah
kecurigaannya bahwa betul-betul ada yang
tak beres dengan orang-orang itu. Pendekar
Pedang Akhirat sendiripun terheran-heran
kenapa yang menyerangnya cuma paderi-
paderi biasa dan murid klas satu. Dan cara
mereka menyerang jelas hanya mengurung
demikian rupa hingga dia terpisah jauh dari
Wiro Sableng.
Empat paderi utama dan dua paderi biasa
serta empat murid partai klas satu dipimpin
oleh Sularwasih dan Tandu Wiryo melancarkan
serangan laksana air bah yang betul-betul
ganas hingga akan celakalah Pendekar 212
dalam waktu singkat apabila dia masih
mengandalkan tangan kosong.
Wiro sendiri merasa agak menyesal telah
menyerahkan Kapak Naga Geni 212 pada Resi
Kumbara hingga saat itu dia menghadapi
bahaya maut tanpa senjata sama sekali.
Dengan mainkan ilmu silat "orang gila" yang
dipelajarinya dari Tua Gila di pulau Andalas
dulu, pendekar ini bergerak gesit kian kemari.
Gerakan-gerakannya merupakan sesuatu yang
aneh bagi lawan hingga untuk sementar Wiro
bisa selamat dari serangan serangan maut
lawannya. Dalam pada itu sesekali dia
mainkan pula jurus-jurus silat "tameng sakti
menerpa hujan", "kincir padi memutar", "kipas
sakti terbuka"
dansebagainya yang merupakan jurus-jurus
pertahanan ampuh. Disamping itu Wiro pun
lepaskan pula pukulan-pukulan sakti "benteng
topan melanda samudera", "orang gila
mengebut lalat" dan sebagainya yang
membuat para penyerang berseru kaget dan
terpaksa mundur, tetapi kemudian menyerang
lagi dengan ganas.
"Warsih!" teriak Wiro Sableng. "Jika kau dan
yang lain-lainnya ini tidak hentikan
pertempuran jangan menyesal . . ."
"Kaulah yang menyesal bakal jadi setan
kuburan!" teriak sang dara dan mendahului
kawan-kawannya menyerang Wiro Sableng.
Pedangnya bersiur membabat ke leher
pendekar itu. Dua belas orang lainnya
serentak menyerbu pula.
Wiro memaki panjang pendek dan lepaskan
pukulan. "Segulung ombak menerpa karang."
Terdengar suara menderu.
"Lekas menyingkir!" teriak salah seorang
paderi utama yang telah banyak pengalaman
dan terkejut melihat hebatnya pukulan sakti
ini.
Dua orang murid partai tidak keburu
menghindar. Tubuhnya mencelat dihantam
angin pukulan, jatuh ke tanah muntah darah
tak berkutik lagi alias mati! Empat paderi,
melompat ke udara dan dari atas kebutkan
lengan jubah masing-masing. Empat
gelombang angin deras menggebu menangkis
dan menghantam pukulan sakti yang
dilepaskan Wiro Sableng. Terdengar suara
berdentum.
Empat paderi kelihatan pucat wajah masing-
masing dan turun ketanah dengan tubuh
gemetaran. Mereka menyadari bahwa
bentrokan pukulan sakti yang mengandung
hawa tenaga dalam dahsyat itu telah
membuat tubuh mereka di sebelah dalam
menjadi tidak beres untuk beberapa ketika.
Tandu Wiryo dan Warsih masih untung karena
mereka keburu menghindar dengan gerakan
gesit.
Wiro sendiri yang terkena sapuan empat angin
deras yang menggebu dari lengan jubah
paderi-paderi utama gunung Lawu itu tampak
agak terhuyung-huyung. Dadanya berdenyut-
denyut seperti ditekan batu berat. Selagi dia
berusaha mengimbangi diri, dari belakang
tiba-tiba terdengar suara menderu dingin.
Seseorang telah menyerangnya dari belakang
secara licik. Hal ini diketahui betul oleh Wiro.
Seperti kilat dia jatuhkan diri ke depan seraya
tundukkan kepala. Gerakannya yang sepontan
ini menyelamatkan kepalanya dari sambaran
pedang maut Tandu Wiryo yang datang dari
belakang Namun demikian bahu kirinya masih
sempat kena bacok. Wiro mengeluh kesakitan.
Dirasakannya perih yang amat sangat lalu
cairan panas meleleh deras keluar dari
bacokan itu. Darah!
"Bunuh! Habisi dia!" teriak Sularwasih yang
laksana jadi kesetanan melihat darah
membasahi pakaian dantubuh Wiro.
Sebaliknya rasa sakit akibat luka besar pada
bahu kirinya itu membuat Pendekar 212 Wiro
Sableng menjadi kalap. Seumur hidup barulah
saat itu dia mendapat luka yang demikian
parah dan akibat serangan pengecut pula.
Marahnya bukan alang kepalang. Teriakan
menggeledek keluar dari mulutnya. Dia putar
tubuh menghadapi Tandu Wiryo. Tangan
kanannya bergetar oleh aliran tenaga dalam
yang disalurkan secara menyeluruh. Sesaat
kemudian tangan itu sampai sebatas siku
kelihatan berubah menjadi putih perak.
"Awas! Dia hendak lepaskan pukulan sakti
yang dasyat!" teriak salah seorang paderi
gunung Lawu dengan suara gemetar bergidik.
Dari samping Warsih kirimkan satu tusukan
nekad ke tubuh Wiro Sableng dan kesempatan
ini dipergunakan oleh Tandu Wiryo untuk
berpindah tempat Semula meskipun diserang
dengan pedang begitu rupa Wiro sudah
bertekad untuk terus lepaskan pukulan sinar
matahari ke arah Tandu Wiryo. Namun karena
si pemuda sudah berpindah tempat maka
Sularwasihlah yang kini jadi sasarannya.
Saat itu tusukan ujung pedang sudah dekat
sekali hingga akan kasiplah jika Wiro terus
kalap untuk lancarkan pukulan "sinar
matahari". Menyadari hal ini maka Wiro
melangkah mundur dan pergunakan tangan
kanannya untuk mencengkeram lengan
Sularwasih. Si gadis terdengar menjerit
kesakitan, melompat jauh sambil kibas-
kibaskan tangannya yang kelihatan merah
gembung melepuh akibat hawa panas tenaga
dalam pukulan "sinar matahari" pada tangan
Wiro. Pedangnya telah berpindah tangan,
kena di rampas oleh Pendekar 212. Dengan
pedang ini Wiro Sableng kemudian mengamuk
hebat. Dua murid partai roboh mandi darah.
Empat paderi datang menyongsong sambil
berteriak marah.
"Paderi-paderi tua tidak tahu diri! Seharusnya
kalian memberi petunjuk pada orangorang
muda partaimu! Sekarang malah kalian
sendiri yang ikut melibatkan diri!
Mampuslah!"
Karena paderi-paderi itu masih beberapa
langkah di depannya, Wiro tidak
menggunakan pedang rampasannya untuk
menyerang tetapi alirkan tenaga dalam ke
tangan kiri. Ketika tangan itu serta merta
menjadi putih perak pendekar ini
menghantamkannya ke depan. Maka laksana
topan prahara menderulah sinar putih
menyilaukan mata dan panas luar biasa.
Terdengar jerit kematian empat paderi utama
partai Lawu Megah itu tatkala tubuh mereka
kena disapu pukulan "Sinar matahari". Mayat
mereka terlempar sampai sepuluh tombak,
jatuh bergedebukan dalam keadaan hangus
mengerikan!
Wiro sendiri sehabis melepaskan pukulan
"Sinar matahari" tersebut tiba-tiba mengeluh
tinggi. Kedua lututnya goyah,
pemandangannya mendadak gelap
berkunangkunang. Akhirnya pendekar dari
gunung Gede ini roboh tak sadarkan diri.
Sewaktu siuman dari pingsannya Wiro
Sableng rasakan kepalanya pusing dan berat
sedang tubuhnya panas dingin. Bahunya
mendenyut sakit. Perlahan-lahan dibukanya
kedua matanya. Mula-mula segala
sesuatunya tampak hitam dan gelap. Sesaat
demi sesaat pemandangannya menjadi pulih.
Kini diketahuinya bahwa dirinya terbaring di
atas kasur jerami dalam sebuah ruangan
terbuka dari satu bangunan tua. Sebuah lilin
terletak disudut ruangan. Tak seorangpun
dilihatnya disitu. Dia berpikir, ingat pada apa
yang telah terjadi sebelumnya dan bertanya-
tanya dimana gerangan Pendekar Pedang
Akhirat.
Tenggorokannya terasa sekat dan kering. Wiro
batuk-batuk beberapa kali. Mendadak diluar
kamar didengarnya suara orang berseru.
"Hai, kau sudah siuman!"
Wiro tersirap. Suara itu bukan suara si kakek
melainkan suara perempuan. Rasa kawatir
menggerayangi dirinya karena dia tak dapat
memastikan apakah itu suara Sularwasih
murid Partai Lawu Megah yang berniat
membunuhnya itu atau bukan. Menyusul
terdengar langkah-langkah kaki mendatangi.
Wiro semakin tegang. Pada puncak
ketegangannya pintu ruangan terblika
mengeluarkan suara berkereketan karena
engsel-engselnya sudah karatan. Satu tangan
halus tampak mendorong pintu itu. Kemudian
kelihatan sosok tubuh seorang perempuan
berpakaian biru. Persis warna pakaian yang
sebelumnya dilihat Wiro dikenakan oleh
Warsih!
"Celaka!" keluh murid Sinto Gendeng dalam
hati. "Pasti aku dibunuhnya saat ini juga…!"
WIRO yang saat itu tak kuasa bergerak karena
demam panas dan lemah menyerang dan
membuatnya seperti lumpuh, hanya bisa
pejamkan mata menunggu kematian. Tetapi
maut yang ditunggu-tunggu tak kunjung
datang. Didengarnya suara orang berdiri dan
berlutut disampingnya. Lalu tangan halus
sejuk meraba keningnya. Kemudian suara
perempuan berkata,
"Heh,tadi kau sudah siuman, kenapa sekarang
diam kembali?"
Perlahan-lahan Wiro Sableng buka sepasang
matanya. Dibawah nyala api lilin yang tidak
seberapa terang pendekar ini lihat seorang
gadis berpakaian biru bersimpuh
disebelahnya. Semula disangkanya Sularwasih
ketika dilihat wajahnya ternyata bukan. Gadis
ini berwajah bujur telur, berkulit kuning.
Rambutnya yang hitam digelung diatas kepala
ditancapi tusuk konde dari gading bergambar
burung. Gerak-geriknya sama sekali tidak
kaku seolah-olah dia dan Wiro sudah akrab
betul.
"Saudari!" tegur Wiro Sableng agak tersendat,
"kau ini siapakah? Aku berada di mana saat
ini….?"
"Ah…. rupanya kau betul-betul telah siuman.
Cuma kau masih terserang demam. Namaku
Wilarani. Saat ini kau berada di sebuah Candi
tua yang tak terpakai lagi dan menjadi tempat
kediaman aku beserta ayahku."
"Ayahmu?" Wiro kerenyitkan kening. Apa
mungkin gadis ini puteri Pendekar Pedang
Akhirat? Mustahil. "Siapa nama ayahmu?"
tanya Wiro kemudian.
"Panda Wisuna."
"Kau…. kau…." Wiro tak dapat teruskan kata-
katanya. Tenggorokannya kesat dan kering.
"Air…" desisnya.
Wilarani ambil sebuah gelas. Isinya
diminumkan pada Wiro.
"Racun apa ini?!" tukas Wiro Sableng begitu
dirasakannya air yang diteguknya pahit
seperti empedu.
Wilarani tertawa geli.
"Ini bukan. racun pendekar. Tapi obat! Agar
kau lekas sembuh."
"Kau… kau seorang tabib?" tanya Wiro.
Sang dara baju biru gelengkan kepala. "Tapi
aku memang banyak mempelajari berbagai
macam ilmu pengobatan…."
"Baiklah, biar kuminum obat itu " kata Wiro
pula. "Sekalipun racun aku tak menyesal mati
di hadapanmu." Lalu pendekar ini teguk
cairan dalam gelas sampai habis.
"Tahu berapa lama kau pingsan, pendekar?"
"Tak usah sebut aku pendekar. Namaku Wiro.
Berapa lama aku pingsan?"
"Dua hari dua malam!"
Wiro kaget karena tidak menyangka sampai
sedemikian lama dia jatuh pingsan.,
"Bagaimana aku sampai kemari? Apa
hubunganmu dengan Pendekar Pedang
Akhirat?"
"Pendekar tua itu yang membawamu kesini.
Tadinya untuk minta pertolongan ayah agar
kau diobati. Tapi ayah sedang ke Weleri. Aku
berusaha sebisaku…"
"Terimakasih. Kau baik sekali. Aku berhutang
besar padamu." kata Wiro pula. Wilarani
tertawa.
"Dimana Pendekar Pedang Akhirat sekarang?"
"Dia pergi dua hari yang lalu tanpa memberi
tahu kemana. Cuma dia pesankan agar aku
merawatmu baik-baik. Menurut orang tua itu
kau pingsan akibat kehabisan darah
dankarena mempergunakan seluruh tenaga
dalam untuk melepaskan pukulan sakti.
Menurut apa yang aku tahu jarang orang bisa
selamat dari kematian jika mengalami hal
sepertimu ini."
Wiro Sableng menghela nafas panjang.
"Kapan aku akan sembuh danbisa
meninggalkan tempat ini?"
"Tak dapat kupastikan. Mungkin seminggu
atau dua minggu lagi. Luka dibahumu parah
sekali dan harus kering betul baru bisa
dikatakan sehat. Disamping itu sebaiknya kau
tunggu sampai ayah datang agar dapat
memeriksa tubuhmu bagian dalam."
"Mungkin aku tak dapat menunggu sekian
lama," ujar Wiro pula.
"Kenapa?" tanya Wilarani.
"Ada urusan besar yang harus kulakukan "
"Urusan apa, kalau aku boleh tanya."
"Pendekar Pedang Akhirat tidak mengatakan
kenapa aku sampai mendapat celaka begini
rupa…"
"Tidak," sahut Wilarani. "Justru aku ingin
mendengarkan kisahnya dari kau sendiri…."
Pada dasarnya Wiro Sableng tidak suka
membeberkan persoalan. dirinya pada orang
lain, apalagi gadis itu baru dikenalnya.
Namun setelah berpikir-pikir dan ingat kalau
bukan Wilarani yang menolong mungkin dia
sudah mati saat itu atau paling tidak tengah
meregang ajal, maka akhirnya Wiro tuturkan
juga nasib celaka yang menimpa dirinya.
Selesai Wiro menuturkan riwayatnya, kedua
orang itu kemudian saling berdiam diri
beberapa lamanya.
"Jika kau sudah sembuh, apa yang bakal kau
lakukan?" bertanya Wilarani kemudian.
"Banyak dan berat sekali!" sahut Pendekar 212
Wiro Sableng. "Pertama aku harus
membersihkan diriku dari tuduhan keji itu. Ini
berarti aku harus bias menemukan siapa
sebenarnya pemerkosa nona Warsih.
Kemudian aku harus membawa orang itu
hidup-hidup kapuncak gunung Lawu untuk
mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Jika senjata warisan guruku sudah
dikembalikan danaku dapat turun dari puncak
Lawu dengan aman barulah berarti selesai
urusan. Yang sulit ialah orang-orang gunung
Lawu pasti akan menyerbuku begitu aku
muncul disana. Gila betul! Kenapa aku jadi
ketiban nasib sial begini!"
"Kurasa itu adalah tantangan yang harus
dihadapi oleh setiap pendekar petualang
macammu. Ketidak tabahan justru itulah yang
membuat seseorang celaka sebelum
bahayanya sendiri datang menimpa."
Pendekar 212 Wiro Sableng merasa kena
disentil oloh kata gadis itu. Diam-diam dia
jadi malu pada diri sendiri. Si gadis rupanya
tahu bagaimana perasaan Wiro seat itu, maka
die buru-buru menghibur. "Memang begitulah
keadaannya dunia. Yang kita harapkan tidak
terjadi, yang amit-amit minta dijauhkan justru
nyelonong menyusahkan!"
"Berapa jauh Magelang dari sini!?" Wiro
bertanya.
"Kira-kira dua hari perjalanan dengan kuda."
jawab Wilarani.
"Kenapa?" si gadis kemudian bertanya.
"Besok aku akan berangkat ke sana guna
memulai penyelidikan."
"Besok? Sekarang saja kau masih diserang
demam. Lukamu masih basah. Apa mau
mencari mati hendak pergi besok?"
"Kalau dipikir-pikir sebenarnya aku ini sudah
mati. Yaitu kalau tidak ditolong oleh Pendekar
Pedang Akhirat dankau sendiri." Wilarani
tersenyum kecil.
"Hidup penuh, hal hal yang tak terduga
bahkan kadang-kadang aneh…" kata gadis itu
pula lalu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian sambil menatap wajah Pendekar
212 Wiro Sableng dia berkata, "Aku sendiri
sebenarnya adalah anak murid partai Lawu
Megah."
Wiro Sableng kaget bukan olah-olah. Kata-
kata gadis itu laksana petir menyambar
sampai ketelinganya. Kalau saja dia tidak
sakit parah saat itu niscaya dia sudah
melompat saking terkejutnya.
"Kalau begitu,kalau begitu bukan mustahil kau
memang hendak membunuhku disini. Secara
perlahan-lahan!" ujar Wiro pula dengan
sepasang mata melotot pandangi Wilarani.
Wilarani tertawa panjang.
"Kalau aku punya niat membunuhmu, tentu
sudah sejak tadi-tadi kulakukan!"
"Lantas kenapa tidak kau lakukan?" tanya
Wiro. "Tidakkah kau mengandung dendam
padaku setelah mendengar aku membunuh
empat orang paderi utama gunung Lawu, lalu
murid-murid partai yang menjadi saudara
seperguruanmu…. ?"
"Aku cuma menyesalkan dan menyayangkan
kejadian itu. Kehendak Tuhan rupanya harus
terjadi demikian. Dan pemuda-pemuda
gunung Lawu dalam hal ini juga memiliki
kesalahan."
"Aku betul-betul tak mengerti kalau begini",
ujar Wiro. "Tadi kau bilang anak tabib Panda
Wisuna. Sekarang kau katakan murid partai
gunung Lawu. Bagaimana ini?!" Kembali
Wilarani tertawa.
"Saudari, jika kau betul murid partai Lawu
Megah iebih baik bunuh saja aku saat ini
juga. Jangan aku dipermainkan. Maut didepan
mata tapi diulVr-ulur agar aku tersiksa!"
"Aku sudah bilang, kalau ingin membunuhmu
dapat kulakukan tadi-tadi dan semudah
membalikkan telapak tangan saja. Tapi apa
perlunya ?"
"Heh!" Wiro kerenyitkan kening. "Terangkan
alasanmu."
ATAS desakan Wiro Sableng yang mau tak
mau merasa was-was juga setelah
mengetahui kalau Wilarani adalah anak murid
partai Lawu Megah, maka akhirnya gadis itu
memberikan keterangan.
Wilarani menjadi murid partai Lawu Megah
sejak masih berusia delapan tahun. Suatu hari
Resi Kumbara turun gunung. Waktu itu tengah
berjangkit penyakit menular yang amat jahat.
Siapa yang sampai kejangkitan pasti akan
menemukan kematian dalam waktu dua hari.
Resi Kumbara merupakan salah seorang yang
kena terserang. Pada saat-sat kritis Panda
Wisuna (ayah Wilarani) menjumpai ketua
partai itu, menggeletak tak sadarkan diri di
tepi sebuah anak sungai. Segera dibawanya
ketempat kediamannya di bekas candi tua itu
dan diobati sampai sembuh.
Sebagai balas budi Resi Kumbara kemudlan
mengambil Wilarani jadi muridnya, dibawa ke
puncak gunung Lawu. Karena sang paderi
sendiri yang memberikan pelajaran silat pada
anak itu maka 10 tahun kemudian jadilah
Wilarani seorang gadis berkepandaian amat
tinggi. Jika dibandingkan dengan murid-murid
gunung Lawu Megah klas satu,
kepandaiannya jauh lebih tinggi. Sularwasih
dan Tandu Wiryo sendiripun jauh tertinggal.
Ada yang mempercayai bahwa dalam ilmu
silat nona ini kepandaiannya hampir
mendekati Resi Kumbara sendiri. Cuma tenaga
dalam dan ilmu meringankan tubuhnya saja
yang masih agak rendah. Tetapi bila dia rajin
melatih diri niscaya tidak sembarang orang
mampu menghadapinya.
Beberapa tahun lewat akibat pengunduran diri
Resi Kumbara sebagai ketua partai maka
terjadi banyak perobahan dalam tubuh partai.
Hal ini diketahui oleh ayah Wilarani. Maka dia
naik ke puncak gunung Lawu, bicara dengan
puterinya itu, meminta agar dia meninggalkan
partai Lawu Megah selagi belum terjadi hal-
hal yang tak diinginkan.
Dilain pihak Wilarani sendiri sejak Resi
Kumbara yang sudah dianggapnya seperti
ayah sendiri itu mengundurkan diri, merasa
dipencilkan oleh orang-orang disekitarnya.
Kalau dulu selagi Resi Kumbara menjabat
ketua partai semua orang menghormati dan
menyayanginya. Tetapi sejak paderi itu
melepaskan jabatannya, banyak paderi-paderi
dan saudara-saudara seperguruannya yang
jelas-jelas memperlihatkan sikap mengejek
serta membencinya. Sering dia dihadapkan
pada muka-muka asam, mendengar kata-kata
menyindir danmenghina hingga lambat laun
gadis itu merasa tak betah lagi diam di
puncak gunung Lawu.
Dengan datangnya sang ayah memintanya
pergi meninggalkan gunung Lawu maka ini
adalah satu hal yang paling baik bagi
Wilarani. Berdua ayahnya dia menemui Resi
Kumbara untuk minta diri. Sebenarnya berat
bagi paderi tua itu untuk melepas murid
kesayangannya itu. Namun diam-diam dia
sudah mengetahui apa yang dialami Wilarani
sejak dia mengundurkan diri sebagai Ketua.
Yang membuat Resi Kumbara kagum
danterharu ialah bahwa sampai saat Wilarani
meninggalkan gunung Lawu gadis ini tak
pernah satu kalipun mengadukan keadaan
dirinya itu. Semua dihadapinya sendiri dengan
tabah dari masih tetap tersenyum serta
menghormati orang-orang di sekitarnya,
padahal didalam hatinya sakit bukan
kepalang.
"Nyatanya keadaan di Partai Lawu Megah
makin hari makin buruk. Untung sekali aku
sudah tidak disitu lagi."
"Tapi betapapun kau adalah anak murid Lawu
Megah. Dan paderi-paderi yang kau hormati
serta saudara-saudara seperguruanmu itu
banyak yang kubunuh," ujar Wiro.
Witarani geleng-gelengkan kepala. "Sejak aku
meninggalkan gunung Lawu aku tidak lagi
merasa murid partai Lawu Megah, tapi murid
Resi Kuinbara pribadi."
"Apakah tidak berniat untuk pergi lagi
kesana?" tanya Wiro Sableng pula.
"Jika kudengar guru kenapa-kenapa, pasti aku
akan naik ke puncak Lawu dan memberi
peringatan pada orang-orang yang kurang
ajar itu."
"Sejak kau keluar dari partai apa saja yang
kau lakukan?"
"Yaah… aku tinggal bersama ayah disini.
Mempelajari berbagai macam ilmu
pengobatan…."
"Untung kau sempat mempelajari. Kalau tidak
aku pasti tak akan tertolong." kata Wiro pula.
Wilarani tersenyum. "Sebetulnya dalam sakit
begini kau tak boleh banyak bicara.
Minumlah obat ini!" Gadis ini kemudian
ambilkan secangkir obat lalu diminumkan
pada Wiro. Beberapa saat setelah minum itu
Wiro merasakan mat8nya jadi berat sekali.
Akhirnya pendekar itu jatuh pulas. Seminggu
kemudian Wiro Sableng merasakan tubuhnya
sudah segar. Cuma luka dibahu kirinya masih
belum kering dan sesekali terasa mendenyut
sakit. Suatu hari ketika Wiro tengah
berkemas-kemas karena dia memang sudah
memutuskan untuk pergi, datanglah Wilarani
dan menegurnya.
"Kau hendak pergi ke mana?"
"Magelang."
'Tapi kau masih belum sembuh. Kau harus
menunggu paling cepat satu minggu lagi.
Balutan pada bahumu harus dibuka untuk
diperiksa."
"Lukaku memang belum kering, Wilarani. Tapi
tubuhku segar sekali. Semua berkat
bantuanmu. Aku ingin tinggal lebih lama di
tempat yang tenang dengan pemandangan
indah di sekitarnya ini. Tetapi urusan besarku
memerlukan penyeleseian dengan segera.
"Jika kau mau menunggu sampai lukamu baik,
aku bersedia membantu kau menyelesaikan
urusan itu."
Wiro garuk-garuk kepalanya. "Ah, budi
besarmu menolong aku dalam sakit belum
dapat kubalas, jangen kau tanamkan budi
baru padaku."
"Terserahlah padamu. Cuma!"
Wilarani tidak teruskan katanya.
"Cuma ape?", Wiro bertanya.
' Wilarani tak segera menjawab seolah-olah
meragu.
"Cuma apa, Wilarani?" desak Wiro.
"Aku ingin agar kau mengetahui satu hal…."
"Apa?"
"Dua murid gunung Lawu yang bernama
Sulawarsih dan Tandu Wiryo itu bukanlah
orang baik-baik…."
"Maksudmu?"
"Aku tak bisa menerangkan. Kau selidikilah
sendiri." jawab Wilarani pula. "Kalau kau
hendak pergi, aku tak bisa menahan. Selamat
jalan!" Lalu gadis itu putar tubuh tinggalkan
tempat itu.
Lima hari kemudian menjelang malam
Pendekar 212 Wiro Sableng memasuki
Magelang. Kota yang membawa riwayat sial
bagi dirinya. Setelah berkeliling meneliti
keadaan kota baru dia menuju penginapan
Candi. Dia tersenyum pada pelayan yang
masih mengenalinya.
"Ingin menginap disini lagi raden?" Wiro
mengangguk.
Ketika pelayan itu mengantarkannya ke
kamarnya, Wiro bertanya. "Kau masih ingat
pertama kali aku menginap disini sekitar
empat minggu yang lalu?"
"Ya.. saya masih ingat"
"Waktu itu ada sepasang muda mudi yang
juga menginap disini,Ingat?"
Pelayan itu berpikir sejenak. Lalu, "Ingat, saya
ingat betul! Gadisnya cantik sekali bukan?
Ketika pergi saya dan Gundali diberinya
masing-masing dua tail perak. Mudamudi
yang baik sekali…. ! Entah kapan mereka akan
datang kemari lagi. Jarang sekali tamu sebaik
mereka."
"Mereka menyewa berapa kamar?" bertanya
Wiro.
"Agaknya mereka bukan suami istri. Dua
orang pengelana. Mereka masing-masing
menyewa satu kamar yang saling
berdampingan. Eh, kenapa tuan bertanya
begitu?"
"Tidak apa-apa. Tadi kau menyebut nama
Gundali. Siapa orang itu!?"
"Gundali orang yang bekerja sebagai ronda
dan penjaga keamanan di penginapan ini……."
"Dia tinggal di Magelang ini?"
"Tentu saja!"
"Aku ingin bertemu dengan dia," kata Wiro
pula.
"Tuan tak usah susah-susah. Sebentar lagi
dia akan datang di sini. Tugasnya memang
khusus malam hari!"
Wiro tepuk bahu pegawai hotel itu dan
ucapkan terima kasih. Dia langsung berbarina
di tempat tidur karena sekujur tubuhnya
terasa letih. Tanpa disadari dia jatuh pulas.
Ketika bangun, yang pertama sekali
diingatnya adalah orang bernama Gundali itu.
Namun sewaktu ditanyakan pada pelayan dia
mendapat keterangan bahwa Gundali belum
datang.
"Tidak seperti biasanya. Seharusnya dia
sudah berada di sini saat ini." kata pegawai
hotel itu.
Wiro garuk-garuk kepala. Setelah berpikir-
pikir sejenak pendekar ini memutuskan lebih
baik mandi danmakan dulu, baru kemudian
menunggu Gundali. Jika orang ini masih
belum datang juga dia akan minta bantuan
pelayan itu Untuk mengantarkan ke rumah
Gundali. Dia harus menemui orang ini untuk
minta beberapa keterangan. Selesai
membersihkan diri Wiro Sableng pergi makan
di sebuah kedai tak berapa jauh dari
penginapan.
Tengah dia menyantap makanannya,
masuklah tiga orang tetamu yang langsung
disambut oleh pemilik kedai. Setelah
menyebutkan makanan yang mereka pesan,
salah seorang dari tetamu itu bertanya.
"Apakah kau sudah dengar peristiwa
pembunuhan atas diri Gundali penjaga
penginapan Candi."
"Gundali dibunuh orang …. ?!" kata pemilik
kedai yang bertubuh gemuk setengah
berteriak. Karena kerasnya ucapannya ini Wiro
yang berada jauh di sudut sampai mendengar
dan menjadi tersentak kaget. Dia hentikan
makannya dan memandang pada orang-orang
itu sambil pasang telinga.
"Waktu itu dia tengah bersiap-siap hendak
berangkat ke penginapan tempat dia bekerja.
Baru saja keluar pintu rumah tiba-tiba satu
bayangan melompat dari atas atap, sebilah
pedang berkelebat dan putuslah kepala
Gundali!"
Pemilik kedai menggigil ngeri. "Kapan
terjadinya?" tanyanya.
"Barusan saja. Rumahnya ramai didatangi
orang. Pembantu-pembantu Kadipaten sudah
ada di sana mengusut perkara pembunuhan
ini!"
Sampai disitu Wiro berdiri dari kursinya,
letakkan uang di atas meja dan tinggalkan
kedai. Karena peristiwa terbunuhnya Gundali
cukup menggemparkan dan saat itu banyak
orang yang berdatangan ke sana, maka tidak
sukar bagi Wiro Sableng untuk mencari rumah
Penjaga penginapan yang malang itu.
KETIKA WIRO SAMPAI dirumah Gundali, orang
masih banyak berjubalan disana. Beberapa
petugas sibuk melakukan pengusutan. Wiro
menyeruak diantara orang banyak. Diruangan
depan dari rumah yang kecil itu seorang
wanita separuh baya duduk memangku
seorang anak perempuan sambil menangis
tersedu-sedu. Perempuan ini pastilah isteri
Gundali yang malang, pikir Wiro. Segera dia
mendekati perempuan ini. Karena dia seorang
asing dan berpakaian aneh, ditambah rambut
gondrongnya, tentu saja dia menjadi
perhatian orang. Sebelumnya dia sampai ke
dekat, istri Gundali, seorang petugas
menahannya.
"Orang asing, kau siapa?" petugas itu
bertanya.
"Gundali adalah sahabat lamaku", sahut Wiro.
"Aku datang kesini untuk menyampaikan rasa
duka citaku pada isterinya."
Setelah meneliti Wiro sejenak akhirnya
petugas itu mengizinkan Wiro menemui istri
Gundali.
"Mbakyu, kau tentu tidak mengenal aku. Tapi
aku adalah sahabat suamimu. Terimalah rasa
duka citaku yang sedalam-dalamnya."
Janda itu angkat kepalanya, memandang
dengan agak heran pada pemuda berambut
gorldrong di hadapannya lalu tutup wajahnya
dan kembali menangis tersedu-sedu.
"Dalam keadaan begini masih saja ada orang
gila yang datang mengganggu. . . "
Wiro Sableng pencongkan mulut, garuk-garuk
kepala. Meskipun jengkel penasaran dia
berkata. "Mbakyu, aku bukan orang gila. Aku
sahabat suamimu. Aku ingin menolongmu
mencari siapa pembunuh suamimu itu dan
menghukumnya. Asal saja saat ini kau
bersedia membantu berikan keterangan. . ."
Wiro lantas keruk saku pakaiannya dan
masukan dua keping uang emas kedalam
genggaman perempuan malang itu seraya
berbisik. "Jika kau tak keberatan sebaiknya
kita bicara di dalam saja. . . ."
Meskipun dalam keadaan duka cita karena
kematian suami, namun dua keping uang
emas itu membawa pengaruh juga bagi sang
janda. Dipandanginya uang itu, lalu pada
Wiro, kemudian pada jenazah suaminya yang
terbaring diatas ranjang bertutupan seperai.
Perlahan-lahan dia berdiri, mendukung
anaknya dan masuk ke ruangan dalam,
"Ceritakanlah bagaimana kejadiannya sampai
suamimu dibunuh orang," kata Wiro begitu
janda Gundali duduk di sebuah kursi
diruangan dalam.
Janda malang itu keringkan dulu air matanya
baru menjawab. "Seperti biasa setiap suamiku
hendak pergi ketempat pekerjaannya, aku
selalu mengantarkan sampai pintu depan.
Waktu itu ruangan depan agak gelap karena
aku belum sempat menyalakan lampu.
Suamiku mencium anak tunggalnya ini dulu,
kemudian membuka pintu depan.
Begitu dia melangkahkan kaki dari ambang
pintu tiba-tiba ada sesosok bayangan
melompat turun dari atas. Aku dan suamiku
terkejut sekali. Kemudian kudengar suamiku
berseru. "Ah raden! Kau kiranya. Aku …"
Ucapan suamiku itu hanya sampai di situ
karena tiba-tiba orang yang disebutnya raden
itu menghunus pedang dan menebas lehernya
hingga putus. Aku sendiri kemudian jatuh
pingsan …"
Sampai disini kembali janda Gundali
menangis.
Setelah tangisnya reda Wiro Sableng bertanya.
"Apakah kau kenal orang yang membunuh
suamimu itu?"
"Saat itu didepan gelap. Aku tak dapat
melihat wajah si pembunuh. Cuma dari
perawakannya kuduga dia masih muda."
"Suaranya juga tak dapat kau kenali?" Istri
Gundali menggeleng.
Wiro diam sejenak sambil tangannya tidak
berkeputusan garuk-garuk kepalanya yang
berambut gondrong.
"Apakah suamimu punya musuh di kota
Magelang ini atau di tempat lain…?"
"Setahuku tidak. Meskipun miskin tapi
suamiku adalah orang baik-baik. . . ."
Wiro Sableng menghela nafas panjang. Dia
berpikir apa lagi yang hendak ditanyakannya.
Kemudian dia ingat.
"Mungkin suamimu pernah menceritakan
sesuatu sehubungan dengan pekerjaannya
sebagai penjaga keamanan di penginapan
Candi? Coba kau ingat-ingat mbakyu."
"Sesuatu apa?" balik bertanya janda Gundali
tak mengerti.
"Misalnya. . . mungkin suamimu pernah
menceritakan tentang tamu-tamu di
penginapan…?"
Perempuan itu termenung sejenak, kemudian
dia anggukkan kepala. "Memang kadang-
kadang dia pernah bicara soal tetamu-tetamu.
Tapi apa sangkut pautnya itu dengan
kematian suamiku?"
Wiro Sableng tak perdulikan pertanyaan
perempuan itu. Malah berkata. "Pernah
suamimu menerangkan tentang seorang
tetamu lelaki muda, yang datang menginap
bersama seorang gadis cantik. Dan tamu
lelaki itu kemudian memberikan dua tail perak
pada suamimu…. ?"
Sepasang mata istri Gundali membesar dan
memandang lebar-lebar pada Wiro Sableng.
"Memang ada," katanya, "dan pemuda itu
memberi tambahan tiga tail lagi sewaktu
meninggalkan penginapan."
"Hemm… jarang orang yang sebaik itu."
"Kau lebih baik dari dia. Kau barusan
memberikan dua keping uang emas padaku."
"Itu karena aku sahabat suamimu," jawab
Wiro pula berdusta padahal sebetulnya dia
ingin mengorek keterangan di samping
memang berniat membantu perempuan yang
kematian suami itu. "Apa saja yang
diceritakan suamimu mengenai muda-mudi
itu selain hadiah lima tail perak tersebut."
"Aku tak bisa menceritakannya. Aku malu …"
kata janda Gundali pula.
Wiro kerenyitkan kening dan garuk-garuk
kepala. "Memangnya kenapa. . . ? Dengar, aku
ingin membantumu menangkap dan
menghukum pembunuh suamimu. Kurasa aku
bakal dapat mengetahui siapa orang nya. Tapi
tanpa keterangan yang memberikan bukti-
bukti darimu sulit bagiku . . . ."
"Suamiku pernah menceritakan tentang
seorang pemuda asing, berambut gondrong.
Dia meragukan kesehatan pikiran orang itu.
Agaknya kaulah orangnya, bukan?"
Wiro Sableng jadi menggerendeng dalam hati.
"Mbakyu, siapa aku, apakah orang gila atau
setengah gila kuharap tak usah diperdulikan.
Yang penting pembunuh suamimu itu harus
dihukum. Kalau dia masih berkeliaran di luar
bukan mustahil keselamatanmu dan puteri
tunggalmu ini akan terancam pula."
Kelihatan bayangan rasa takut pada wajah
janda Gundali.
"Baiklah," kata perempuan ini pada akhirnya.
"Waktu itu sudah larut malam. Suamiku
mematikan lampu-lampu tertentu dalam
penginapan. Sewaktu dia sampai di ujung
gang pada bagian mana muda-mudi itu
menginap, dilihatnya si pemuda berdiri di
depan pintu kamar si pemudi, mengetuk
perlahan-lahan. Kemudian pintu kamar
terbuka, tamu lelaki masuk ke dalam dan
pintu dikunci kembali. Karena mengetahui
kalau sepasang muda-mudi itu adalah murid-
murid Partai Lawu Megah yang berkepandaian
tinggi, dia tak berani berbuat apa-apa,
apalagi menegur meskipun nyatanyata masuk
ke dalam kamar seorang gadis pada malam
hari adalah perbuatan yang tidak senonoh.
Kemudian karena ingin tahu apa yang
sebenarnya diperbuat oleh murid-murid Lawu
Megah itu suamiku keluar dan dari luar
melakukan pengintaian lewat celah-celah
papan dinding. . . ."
Sampai disini janda Gundali terdiam.
"Bagaimana terusnya? Apa yang dilihat
suamimu?" tanya Wiro tak sabaran.
"Dua orang itu betul-betul melakukan
perbuatan yang tidak senonoh! Mereka tengah
berpeluk-pelukan. Kemudian pindah ke
ranjang. Kemudian mereka kelihatan
menanggalkan pakaian di tubuh masing-
masing. Dan melakukan perbuatan mesum
itu…!"
Wiro keluarkan suara bersiul dan mulutnya.
"Karena merasa jengah suamiku tidak
meneruskan pengintaian. Tapi kira-kira satu
jam kemudian sewaktu dia kembali mengintai,
didengarnya dua orang itu bicara berbisik-
bisik. Si gadis mengatakan perasaan
kawatirnya karena saat itu katanya dia telah
hamil jalan tiga bulan. . . ."
Wiro melengak kaget. "Kalau begitu mereka
melakukan hubungan sudah sejak lama!"
Janda Gundali mengangguk. "Agaknya begitu.
Rupanya mereka sudah mencoba mencari obat
untuk menggugurkan kandungan. Tapi sia-sia
belaka. Kalau Tuhan punya kuasa minum obat
apapun kandungan itu tak bakal gugur!
Suamiku mendengar si pemuda berkata bahwa
satu-satunya orang yang bisa menggugurkan
kandungan itu adalah Resi Kumbara, bekas
ketua Partai Lawu Megah. Tetapi tentu saja
mereka tidak bisa melakukannya. Maka
suamiku mendengar keduanya berunding.
Yang pemuda rupanya dapat akal keji. Dia
menyebut-nyebut pemuda gondrong ceriwis
yang juga menginap di penginapan itu. Lalu
tentang kancing baju milik orang itu yang
tanggal dan ditemuinya dekat kaki kursi. Dari
pembicaraan jelas bahwa mereka tengah
mengatur rencana busuk, hendak mengambing
hitamkan pemuda asing yang agaknya adalah
kau sendiri. Rupanya lelaki muda itu seperti
mengetahui kalau ada orang di dekat kamar
karena dia kemudian membuka jendela.
Untung saja suamiku cepat-cepat
meninggalkan tempat itu dan pura-pura
buang air kecil di balik pohon. Namun
agaknya pemuda itu menaruh curiga. Itulah
sebabnya dia menambahkan tiga perak lagi
ketika hendak pergi. Maksudnya agar suamiku
tidak membuka rahasia malam itu."
"Cukup. . . . cukup dan terima kasih atas
keteranganmu itu. Tahukah kau sekarang
siapa yang membunuh suamimu malam ini?
Pemuda bangsat itu. Namanya Tandu Wiryo.
Dan si gadis mesum itu bernama Sularwasihl"
Si janda terpekik kecil dan memandang
melotot pada Wiro.
Pendekar 212 pegang bahu janda Gundali dan
berkata. "Bila tiba nanti waktunya, aku akan
bawa kau kepuncak Lawu!" Habis berkata
begitu Wiro tinggalkan perempuan yang
kemudian kembali menangis bersedu-sedu
sambil peluki puterinya yang kini telah jadi
anak yatim.
JEJAK pendekar Pedang Akhirat lolos dari
puncak gunung Lawu bersama Wiro Sableng
timbullah kecurigaan penuh diantara para
paderi dan semua anak murid partai yakni jika
tidak dengan bantuan Resi Kumbara, kedua
orang itu pasti tidak bakal dapat melarikan
diri. Pintu rahasia dari terowongan yang
menembus gunung ada dalam tempat
pengasingan bekas ketua partai itu. Nyata
sudah bahwa Resi Kumbara telah membantu
Wiro dansi kakek muka tengkorak.
Hal ini membuat pihak-pihak yang memang
tidak menyukai Resi Kumbara menjadi marah,
termasuk Resi Tumbal Soka sendiri. Suasana
di gunung Lawu hari-hari kelihatan tenang-
tenang saja. Namun ketenangan ini tidak
beda laksana api dalam sekam yang sewaktu-
waktu pasti meledak. Dan ledakan itu
nyatanya terjadi juga yakni empat minggu
kemudian.
Atas perintah Resi Tumbal Soka semua paderi
yang memegang pucuk pimpinan dikumpulkan
di gedung perundingan. Diluar gedung
menjaga murid-murid partai kelas satu.
"Saudara-saudara separtai yang aku cintai,"
Resi Tumbal Soka angkat bicara. "Kita semua
sama tahu bagaimana keadaan sesungguhnya
dalam tubuh partai kita sejak lolosnya dua
orang manusia terkutuk itu. Rasanya tak perlu
lagi dibentangkan panjang lebar bagaimana
mereka bisa lolos atau siapa yang memberi
jalan pada mereka. Saat ini aku
mengumpulkan kalian semua adalah untuk
membicarakan soal tanggung jawab yang
harus kita tuntut pada bekas ketua kita. Resi
Kumbara meskipun adalah bekas ketua yang
kita hormati bahkan kakak kandungku sendir,
namun jika berbuat kesalahan bahkan
penghianatan musti kita tuntut dan mintakan
pertanggungan jawabnya. Untuk itu mari kita
beramai-ramai mendatangi tempat
persamadiannya!"
Sebelum paderi-paderi itu berdiri, tiba-tiba
salah seorang dari mereka mendahului dan
tegak menghadang di pintu. Paderi ini adalah
Resi Permana yakni, paderi yang memimpin
mereka yang ingin melihat Partai Lawu Megah
kembali pada masa jaya seperti dibawah
pimpinan Resi Kumbara dulu bahkan berharap
agar Resi Kumbara sudi memegang jabatan
ketua kembali.
"Saudara-saudaraku separtai," kata Resi
Permana sambil rangkapkan tangannya
didepan dada. "Sebelum bertindak pikirkan
baik-baik lebih dulu. Mengganggu kakak yang
sedang bersamadi saja sudah merupakan
perbuatan tidak sopan. Apalagi hendak
menuntutnya. Dan secara beramai-ramai
seperti ini, seperti gerombolan yang datang
menggarong saja!"
Mendengar ucapan saudara seperguruannya
itu merah padamlah wajah Resi Tumbal Soka.
Dia maju ke hadapan Resi Permana dan
dengan nada keras marah menegur:
"Resi Permana! Kau sudah keblinger atau
bagaimana sampai berkata dernikian? Sudah
terbukti kakak salah, kau masih hendak
membela. Rupanya kau bersekongkol jadi
pengkhianat?!"
"Berkhianat suatu hal yang keji, aku tahu hal
itu," sahut Resi Permana pula. "Dan berlaku
kurang ajar pada leluhur tidak jauh kejinya
dari berkhianat. Jangan kau berani menuduh
Resi Kumbara telah berkhianat. Kesalahannya
memang nyata. Tetapi aku rasa kakak tidak
akan terlalu bodoh meloloskan orangorang itu
begitu saja. Aku yakin ada perjanjian tertentu
yang mengikat diantara mereka!"
"Berjanji dengan musuh-musuh partai justru
adalah kesalahan yang harus dipertanggung
jawabkan pula!" tukas Resi Tumbal Soka.
"Jika kau tidak ingin bersatu dengan kami,
menyingkirlah dari pintu itu!"
Resi Permana dalam hati marah setengah
mati terhadap Resi Tumbal Soka. Jika saja
paderi itu tidak dihormatinya sebagai ketua
niscaya dia tidak segan-segan untuk berdebat
mulut lebih jauh. Bahkan tidak gentar
melakukan kekerasan. Diam-diam dia
menyesali kenapa Resi Kumbara dulu
menyerahkan jabatan ketua pada paderi ini.
Resi Permana menghindar dari pintu. Tiga
orang paderi lainnya, yang sama sefaham
dengan Resi Permana tegak disamping paderi
ini, tak mau ikut bersama ketua Partai Lawu
Megah dan paderi lainnya. Resi Tumbal Soka
memandang pada mereka berempat dengan
pandangan menyorot. Lalu dengan nada sinis
dia berkata.
"Bagus! Jadi inilah contohnya empat paderi
yang jadi puntung-puntung pengkhianat.
Kelak para pucuk pimpinan akan mengadakan
rapat untuk merundingkan tindakan apa yang
bakal dilakukan atas diri kalian!"
"Ketua, aku mohon sekali lagi agar kau suka
memikirkan tindakan ini sebelum
melakukannya", kata Resi Permana merendah
dan sabar.
Pelipis Resi Tumbal Soka kelihatan
bergerakgerak saking marahnya. Dia
menyemprot.
"Sebaiknya kau pikirkan paderi-paderi dan
murid murid partai yang mati dibunuh oleh
kedua keparat itu di kaki gunung begitu keluar
dari terowongan rahasia!"
"Itu salah mereka sendiri. Kenapa
menghadang dan mengeroyok dengan
sengaja!" sahut Resi Permana.
Jika tidak dapat menindih kemarahannya
mungkin ketua Partai Lawu Megah sudah
menampar Resi Permana saat itu. "Kalau toh
mereka yang terbunuh itu bisa datang dan
bicara, pasti mereka akan menyumpah dan
mengutukmu habis-habisan!" Resi Tumbal
Soka bantingkan kakinya ke lantai hingga
ubin ruangan amblas lalu putar tubuh
tinggalkan paderi Permana yang cuma tegak
terdiam dan menarik nafas panjang berulang
kali. *** SEPERTI biasanya Resi Kumbara yang
sudah lanjut usia itu ketika didatangi oleh
adiknya bersama delapan paderi utama
tengah tenggelam dalam kekhusukan samadi.
Namun begitu Resi Tumbal Soka dan
paderipaderi lainnya sampai di hadapannya,
bekas ketua partai ini tiba-tiba saja buka
matanya yang terpejam dan hentikan
samadinya. Dia memandang pada adiknya
dan semua paderi yang ada di situ dengan
tersenyum. Dia tidak melihat paderi Permana
dan tiga paderi lainnya, tetapi tak mau
bertanya.
"Adikku," Resi Kumbara justru yang lebih dulu
buka pembicaraan. "Kau dan saudara-
saudara lainnya tak usah menerangkan lagi
panjang lebar maksud kedatangan kalian. Aku
sudah dengar semua pembicaraanmu di
ruangan perundingan. . . ."
Resi Tumbal Soka dan delapan paderi lainnya
tidak terkejut karena mereka mengetahui
kalau paderi tua itu memiliki semacam ilmu
pendengaran jarak jauh yang luar biasa.
Setelah memandang pada saudara-saudara
seperguruannya. Resi Tumbal Soka lantas
menjawab, "Syukurlah kalau kakang sudah
mengetahui hingga kami tidak perlu
mengganggumu lama-lama."
Resi Kumbara manggut-manggut sambil
usap-usap janggutnya yang putih. "Aku
mengakui bahwa memang akulah yang
membantu Pendekar Pedang Akhirat dan
pemuda asing bernama Wiro Sableng itu
melarikan diri lewat terowongan. Tetapi
dengan syarat tertentu yaitu si Pedang Akhirat
itu harus mengantarkan sendiri kepala Wiro
Sableng padaku jika nanti terbukti bahwa dia
benar-benar bersalah. Di samping itu karena
keteledorannya si kakek harus pula bunuh diri
di hadapanku."
"Kakang percaya pada janji manusia-manusia
busuk macam mereka?" tukas Resi Tumbal
Soka. "Aku betul-betul tak mengerti."
"Soal busuk mereka belum ketahuan adik. Ada
orang yang di luaran kelihatannya kotor jahat,
tetapi hatinya putih bersih. Sebaliknya ada
orang yang berpakaian bagus, baik budi
bahasa, manis tutur bicaranya, berlagak
pegang disiplin dan aturan, tetapi di
dalamnya keji keropok."
Resi Tumbal Soka terdiam mendengar kata-
kata itu. Sejurus kemudian dia baru berkata.
"Tapi bagaimanapun kakak tetap salah."
"Betul, aku tahu hal itu…" jawab bekas ketua
partai Lawu Megah itu." Sebagai jaminan atas
perjanjian itu, Wiro Sableng telah
menyerahkan senjata mustika warisan
gurunya. …" Dari balik jubah putihnya Resi
Kumbara kemudian keluarkan Kapak Maut
Naga 212.
Baik Tumbal Soka maupun delapan paderi
lainnya sama membeliak kaget dan kagum
melihat senjata aneh yang memancarkan
sinar terang berkilauan itu.
"Ini betul-betul bukan senjata sembarangan
dan agaknya tak ada duanya di jagat ini,"
membathin Resi Tumbal Soka. Dan dalam
hatinya timbullah niat buruk untuk memiliki
kapak sakti ini. Setelah memutar otak licinnya
sesaat maka berkatalah dia.
"Kakak, senjata itu terpaksa kami sita sebagai
barang bukti. Bukti bahwa kau telah disuap
oleh dua orang jahat itu agar mereka bisa
lolos."
Resi Kumbara tertawa jumawa mendengar
kata-kata adiknya itu. Dia sendiri maklum
apa yang berada dalam hati sang adik.
"Aku sudah mengatakan hal yang sebenarnya.
Jika kau menganggap ini barang sogokan dan
hendak menyitanya, aku tak keberatan. Cuma
aku pesankan, jika nanti terbukti pemuda itu
tidak bersalah, kau harus kembalikan kapak
itu padanya."
Habis berkata begitu Resi Kumbara serahkan
Kapal Maut Naga Geni 212 pada adiknya yang
segera diambil oleh Resi Tumbal Soka dan
disimpannya di balik jubah.
"Sekarang apa lagi maumu, adik?" bertanya
Resi Kumbara.
"Sesuai dengan peraturan, kakak terpaksa
kami masukkan dalam penjara," kata Resi
Tumbal Soka pula.
Resi Kumbara menarik nafas panjang.
"Nasibku memang sial," kata kakek ini, "Jika
memang begitu menurut aturan aku tidak
akan membantah. Di penjara manakah aku
hendak kalian jebloskan?"
Patut diketahui bahwa di gunung Lawu
terdapat tiga macam penjara. Yang pertama
penjara berdinding batu biasa. Kemudian
penjara dibawah sebuah mata air yang amat
dingin hingga siapa yang masuk di sana akan
merasakan seolah-olah dipendam dalam
salju. Penjara ini disebut Penjara Salju. Yang
ketiga adalah Penjara Api. Disini hawanya
panas sekali karena pada sebelah luarnya di
kelilingi oleh kobaran api.
Setelah berpikir sejenak Resi Tumbal Soka
berkata, kata, "Untuk sementara kakak kami
tempatkan di Penjara Biasa saja."
"Terima kasih," jawab Resi Kumbara sambil
tersenyum dan berdiri. Baru saja dia hendak
digiring keluar ruangan samadi tiba-tiba
berkelebatan empat sosok tubuh berjubah
putih. Di lain kejap Resi Permana dan tiga
orang paderi yang setia padanya sudah
berdiri menghadang di pintu.
"Siapa yang berani menjebloskan kakak ke
penjara akan berurusan dulu denganku!" kata
Resi Permana lantang.
Melihat gelagat yang tidak baik ini Resi
Tumbal Soka segera maju menghadapi sambil
bertolak pinggang.
"Aku ketua partai. Hitam kataku harus hitam.
Putih musti putih! Kau punya hak apakah
bicara seperti itu?!"
"Peduli setan dengan segala hak! Seorang
ketua yang baik tidak akan melakukan
perbuatan seperti ini terhadap orang yang
menjadi kakak kandungnya. Apalagi yang
telah mengangkatnya sebagai ketua. Resi
Tumbal Soka, aku harap kau bawa
saudarasaudara yang lain ini keluar dari sini.
Kalau tidak niscaya terjadi pertumpahan
darah disini."
"Hemm. . . . Kau berani berkata begitu
terhadapku, paderi Permana. Sungguh besar
nyalimu! Minggirlah sebelum aku betul-betul
marah!"
"Kau yang harus menyingkir dari tempat ini!"
teriak Resi Permana pula.
"Kurang ajar! Saudara-saudara, tangkap
pemberontak ini!" Seru Resi Tumbal Soka
pada delapan paderi.
Segera delapan paderi yang diperintahkan
bergerak mengurung Resi Permana. Tiga
paderi yang datang bersama paderi Permana
melihat ini segera pula bersiap-siap.
"Bagus! Kalian berempat akan kujebloskan ke
dalam Penjara Api!", teriak Resi Tumbal Soka
marah. Sehabis berteriak begitu ketua Partai
Lawu Megah ini mendahului turun tangan,
lepaskan satu pukulan tangan kosong kearah
Resi Permana yang saat itu sudah alirkan
pula tenaga dalamnya ke lengan jubah, siap
untuk menangkis dan balas menggempur.
Sebelum pukulan tangan kosong Resi Tumbal
Soka menghantam tiba-tiba paderi ini
rasakan bahunya dipegang orang dari
belakang demikian keras hingga dia bukan
saja tak mampu menggerakkan tangan untuk
memukul tetapi juga seolah-olah dipantek
kaku. Berpaling ke belakang Resi Tumbal Soka
lihat kakaknya tersenyum padanya.
"Sabar adik, bukan dengan saudara sendiri
ilmu kepandaian dipakai untuk menyerang!"
Kemudian pada Resi Permana dia berkata,
"Paderi Permana, kedudukanmu tidak
memungkinkan kau dan saudara-saudara
membelaku. Caranya juga salah. Kau harus
hormat dan patuh pada Resi Tumbal Soka …. "
Resi Permana gigit bibirnya sampai berdarah
saking kesal hatinya.
"Menghindarlah dari pintu itu, paderi
Permana. Biar mereka menggiring aku ke
penjara. Soalnya aku memang salah!"
Untuk beberapa lamanya Resi Permana cuma
berdiri tegak sambil geleng-gelengkan kepala.
Kemudian dia berkata. "Kalau begitu biar aku
dan tiga paderi ini ikut bersamamu
dijebloskan dalam penjara!" katanya.
"Terima kasih kalau kau memang bersedia
menemaniku." ujar Resi Kumbara pula.
"Berkawan adalah lebih baik dari pada
sendirian. Apalagi dalam penjara!"
Maka kelima paderi gunung Lawu itu
kemudian digiring dan ramai-ramai
dijebloskan dalam Penjara Biasa.
HANYA BEBERAPA JAM saja sesudah Resi
Kumbara, Resi Permana dan tiga orang paderi
lainnya itu dimasukkan ke dalam Penjara
Biasa maka di jalan kecil pada lereng gunung
Lawu kelihatan sebuah kereta bertenda ditarik
oleh dua ekor kuda yang tegaptegap, mel-ncur
mendaki dengan cepat. Bertindak sebagai sais
dari kereta ini adalah seorang pemuda
berambut gondrong. Dia memegang les kuda
sambil bersiul-siul nyaring entah
membawakan lagu apa. Pemuda ini bukan
lain adalah murid Eyang Sinto Gendeng dari
gunung Gede atau Pendekar 212 Wiro
Sableng. Disamping Wiro duduk seorang
perempuan separuh baya berwajah pucat
ketakutan karena jalannya kereta begitu
kencang. Perempuan ini adalah janda Gundali.
Di sebelah belakang duduk pula seorang
perempuan bertubuh gemuk berambut putih.
Seperti istri Gundali perempuan inipun
ketakutan setengah mati naik kereta yang
dipacu sekencang itu, apalagi jalan kecil
mendaki dan kiri kanan diapit jurang. Dia
duduk berpegang erat-erat, kedua matanya
dipejamkan. Dia adalah tukang sayur di
Magelang.
Ketika melewati sebuah tikungan tajam dalam
kecepatan tinggi, tiba-tiba dari lamping batu
dikiri jalan yang tingginya hampir lima belas
tombak, melayang dua sosok tubuh. Janda
Gundali berteriak kaget, begitu juga tukang
sayur yang membuka matanya karena
mendengar jeritan itu. Dua orang yang
melompat dari atas lamping batu tinggi itu,
jatuh tepat diatas kereta yang tengah bergerak
cepat, tanpa menimbulkan suara sama sekali!
Wiro berbaling ke belakang. Dia keluarkan
suara siulan keras ketika mengenali siapa
adanya dua orang yang barusan melompat ke
dalam kereta. Mereka bukan lain ialah
Pendekar Pedang Akhirat dan Wilarani yang
tempo hari mengobati dan merawat Wiro
Sableng.
"Senang bertemu denganmu kembali,
Wilarani!" kata Wiro dan memecut kuda
penarik kereta agar lebih cepat.
"Amboi! Apakah kau juga senang bertemu
denganku, Wiro? Kau hanya menegur gadis
cantik ini! Mentang-mentang aku sudah tua
bangka!" berkata si kakek.
Wiro tertawa gelak-gelak.
"Kalian berdua hendak membonceng
kemanakah?!" tanya Wiro.
"Jalan buruk dan sukar, panas pula. Bukankah
lebih baik membonceng bersama kalian? Kita
mempunyai tujuan yang sama. Puncak
gunung keparat ini!" jawab si kakek.
"Untuk menyerahkan kepalaku pada Resi
Kumbara?", tanya Wiro bergurau.
"Mungkin juga kepalaku sekalian!" sahut
Pendekar Pedang Akhirat. Lalu keduanya
sama-sama tertawa.
Setelah melewati pertengahan lereng Gunung
Lawu kedatangan mereka ini sudah diketahui
oleh muridmurid Partai Lawu Megah yang
melakukan penjagaan di tempat tinggi.
Laporan segera dikirimkan pada ketua partai.
Resi Tumbal Soka segera memanggil beberapa
orang paderi kepercayaannya. Mereka bicara
di satu ruangan tertutup selama sepuluh
menit kemudian bubar.
Sementara itu Wiro dan kawan-kawannya
masih terus memacu kuda-kuda kereta dijalan
buruk mendaki itu. Disatu tempat dimana
sebelah kiri membentang jurang dalam
sedang disebelah kanan menjulang gunung
batu tinggi, tiba-tiba terdengar suara
menggemuruh seolah-olah datang dari langit.
Semua orang mendongak ke atas dan
serentak menjadi kaget. Tiga buah batu
raksasa menggemuruh menggelinding ke
bawah. Janda Gundali dan perempuan gemuk
tukang sayur menjerit ketakutan sambil
pejamkan mata dan tutup kepala dengan
telapak tangan.
"Celaka! Matilah kita semua!" seru Pendekar
Pedang Akhirat. Wiro sendri garukgaruk
kepala kebingungan dan hentikan kereta.
"Wiro kau hantam batu yang sebelah kanan,
aku yag sebelah kiri. Batu ketiga elakkan! Dua
perempuan ini dibawa keluar kereta dan kau
Wilarani, jangan bertindak ayal! Cepat!"
Mendengar kata-kata kakek muka tengkorak
itu Wiro Sableng segera alirkan tenaga dalam
ke tangan kanan lalu lepaskan pukulan "sinar
matahari", menghantam batu besar di sebelah
kanan. Dibagian belakang kereta si kakek
telah lepaskan pula pukulan tangan kiri yang
mengandung tenaga dalam dahsyat.
Terdengar suara berdentum sewaktu pukulan-
pukulan sakti itu menghancur-leburkan dua
batu besar yang melayang turun kebawah.
Sehabis memukul hancur si kakek dan Wiro
Sableng melesat dari kereta sedang Wilarani
merangkul janda Gundali serta Pedagang
sayur, melompat ke tempat yang aman. Batu
raksasa ketiga jatuh menggemuruh dan tepat
menghantam kereta. Kereta dan dua ekor
kuda itu tertindih lumat! Mengerikan untuk
disaksikan!
"Keparat haram jadah! Orang-orang Partai
Lawu Megah itu benar-benar minta dihajar!"
maki Wiro seraya bersihkan muka dan
pakaiannya dari debu hancuran batu.
"Sudah, jangan memaki saja sobatku! Mari
kita lanjutkan perjalanan. Kau dukunglah
nyonya gemuk itu, aku akan menggendong
janda Gundali. Kalau tidak, kita akan terlalu
lama sampai di puncak Gunung Lawu."
Habis berkata hegitu si kakek sambar tubuh
janda Gundali, terus membawa lari. Wiro
menggerendeng garuk-garuk kepala karena
dia kebagian perempuan gemuk buntak itu,
sementara Wilarani tertawa geli, lambaikan
tangan pada Wiro dan berkelebat mengikuti si
kakek. Wiro berpaling pada perempuan tukang
sayur yang saat itu tegak menggigil sambil
pejamkan mata.
"Hai, gemuk! Marilah kugendong kau!" seru
Wiro seraya tampar pantat perempuan itu
lantas memanggulnya di bahu kanan. Si
gemuk berteriak kaget, di lain kejap dia
kembali pejamkan matanya karena ngeri
dibawa lari demikian cepatnya!
Setelah melewati jalan yang sulit, dua jam
kemudian sampailah mereka di puncak
Gunung Lawu. Tak seorangpun kelihatan
sedang suasana tampak sunyi saja. Justru
hal ini membuat tidak enak. Ketegangan yang
tersembunyi. menggantung diseantero tempat.
Tepat pada saat Wiro dan kawan-kawannya
sampai di tengah lapangan terbuka, maka dari
mana-mana muncullah puluhan murid partai
dan paderi-paderi. Sekali memandang saja
Wiro dan si kakek serta Wilarani sudah
mengetahui kalau mereka semua telah
terkurung rapat.
Si kakek berbisik pada Wiro, "Bagaimana
sekarang?"
"Kau saja dulu yang buka pembicaraan kakek.
. . ." sahut Wiro.
"Tapi sebelum bicara apakah aku boleh
tertawa dulu?" tanya si kakek muka tengkorak
masih bisa bergurau.
"Tertawalah sepuasmu, kalau nanti sudah
mati kau tak bakal bisa lagi tertawa," jawab
Wiro setengah mengomel.
Wilarani senyum-senyum geli melihat
kelakuan kedua orang itu. Setelah menurunkan
janda Gundali dari panggulannya, si kakek
memandang berkeliling lalu mulai tertawa.
Mula-mula perlahan-lahan, kemudian makin
keras, makin keras dan panjang meninggi
hingga orang yang disitu merasakan
bagaimana tanah yang mereka pijak bergetar
akibat suara tertawa dahsyat si kakek muka
tengkorak.
"Orang-orang Gunung Lawu! Penyambutan
kalian ini masih kurang lengkap! Mana ketua
kalian?" tiba-tiba si kakek berseru.
Dari bangunan bertingkat di sebelah kiri
lapangan, terdengar jawaban. "Aku disini
pendekar tua!" Memandang ke jurusan itu
kelihatan Resi Tumbal Soka berdiri di beranda
tingkat atas. Disebelah kirinya tegak Tandu
Wiryo dan Sularwasih. Disamping kanan
berdirl dua orang paderi. Semua memandang
dengan mata berapi-api. "Bagus kalian
datang sendiri mengantar nyawa hingga kami
tak perlu susah-susah mencari…!"
Si kakek berpaling pada Wiro, kedipkan
matanya lalu kedua orang ini tertawa
cekakakan.
"Kami datang mengantar nyawa katamu?
Sungguh lucu sekali kedengarannya.
Bagaimana kalau aku katakan bahwa kami
datang untuk minta beberapa nyawa orang
Partai Lawu Megah hari ini heh!!"
Resi Tumbal Soka mendengus marah. Di
sebelahnya Tandu Wiryo berkata, "Kita tak
perlu berdebat panjang dengan bangsat-
bangsat ini. Izinkan saya dan para paderi
menghajarnya saat ini juga!" Suara Tandu
Wiryo bergetar bukan saja karena marah
tetapi juga karena takut luar biasa yakni
setelah dia mengenali Isteri Gundali!
"Kau sabarlah muridku. Serahkan semuanya
padaku." jawab Resi Tumbal Soka pula.
Di bawah terdengar Wiro Sableng buka suara.
"Ketua Partai Lawu Megah, aku dan orang-
orang ini datang untuk meneruskan kembali
urusan yang terbengkalai tempo hari!"
"Bagus! Kali ini kau tak akan mampus
digantung, tapi lumat dicincang!" yang
menjawab adalah Sularwasih.
Wiro Sableng keluarkan siulan. "Amboi
Warsih, kau ini tambah cantik saja. Tambah
gemuk malah. Apakah kau sehat-sehat saja
selama ini, tidak muntah-muntah … ?!"
Mendengar kata-kata itu berubahlah paras
Sularwarsih. Tubuhnya menggigil sedang di
sebelahnya Tandu Wiryo kelihatan pucat pasi.
Jelas pemuda asing itu sudah tahu rahasia
mereka berdua. Sementara itu yang lain-lain,
termasuk Pendekar Pedang Akhirat tampak
agak heran mendengar ucapan Wiro tadi
sedang Wilarani mulai menduga-duga. Tiba-
tiba!
Sret! Sret!
Tandu Wiryo dan Sularwasih cabut pedang
mereka, berteriak keras dan sambitkan senjata
itu kebawah. Laksana anak panah pedang
Tandu Wiryo melesat kearah Wiro Sableng
sedang pedang Sularwasih menyambar kearah
janda Gundali!
PENDEKAR Pedang Akhirat merasa kaget dan
heran kenapa Sularwasih menyerang janda
Gundali dengan lemparan pedangnya yang
ganas. Disamping itu kakek ini juga jadi
marah sekali.
"Sungguh orang-orang partai Lawu Megah tak
tahu aturan dan peradatan!" teriak kakek ini.
"Ini kukembalikan pedangmu Warsih." Sekali
dorongkan tangan kirinya ke depan maka
pedang Sularwasih kelihatan tertahan di
udara, kemudian melesat membalik
menyerang pemiliknya sendiri. Demikian
derasnya luncuran pedang hingga Sularwasih
tak berani menyambut, buru-buru mengelak.
Pedang itu menancap pada langitilangit
bangunan tingkat dua.
"Aku pun juga tidak butuh pedangmu manusia
Tandu Wiryo. Ambillah kembali!"
terdengar Wiro berseru. Ketika pedang
menyerang ke arahnya, pendekar ini berkelit ke
samping. Dari samping dia pukul gagang
pedang hingga senjata itu mental tegak lurus
ke atas. Begitu turun kembali Wiro pukul
belakang gagangnya. Kini pedang itu laksana
kilat menyambar ke arah Tandu Wiryo. Seperti
juga dengan pedang Wasih, senjata ini
melesat danmenancap pada langit-langit
ruangan tingkat dua.
"Kalian semua dengar," tiba-tiba si kakek
berteriak keras, membuat semua orang
terdiam tegang. "Sebelum aku dan sobat
muda ini meneruskan pembicaraan aku harap
agar Resi Kumbara hadir di sini untuk
mendengarkannya."
Resi Tumbal Soka tertawa mengejek.
"Orang tua itu tak ada urusan dengan kalian.
Aku ketua Partai Lawu Megah yang
menentukan hitam atau putih disini."
"Baik! Tetapi jika nanti kau mengambil
keputusan secara tidak adil, ingat Tumbal
Soka! Aku sudah tua dan sudah jemu hidup di
dunia ini. Mati bukan apa-apa bagiku. Tapi
kematianku kelak harus disertai dengan
sekurang-kurangnya tiga puluh nyawa orang-
orang Gunung Lawu termasuk kau!"
Resi Tumbal Soka mendengus. "Tua bangka
sombong takabur. Lekas kemukakan
persoalanmu sebelum kau danbangsat
gondrong itu kami cincang lumat."
Si kakek berpaling pada Wiro Sableng,
anggukkan kepala seraya berkata. "Selesaikan
urusanmu, sobat muda."
Wiro garuk-garuk kepala beberapa kali lalu
buka mulut.
"Ketua Resi Tumbal Soka! Dulu kalian telah
menuduhku secara membabi buta sebagai
orang yang telah merusak kehormatan nona
Warsih. Hari ini aku datang untuk
membeberkan persoalan yang sebenarnya
lengkap dengan saksi-saksi."
"Saksi-saksi palsu!" teriak Tandu Wiryo.
"Sssst!" Wiro palangkan jari telunjuknya
diatas bibir. "Jika kau tidak diminta bicara,
belajarlah sopan santun berdiam diri!" kata-
kata dan sikap Wiro yang lucu tapi mengejek
itu membuat Tandu Wiryo laksana
terpanggang sementara Sularwasih sendiri
menggigil tubuhnya. Wiro lanjutkan kata-
katanya.
"Sejak semula aku merasa ada yang tidak
beres di balik semua kejadian keji itu. Aku
sengaja dijadikan kambing hitam. Dan orang
yang mengatur semua rencana keji itu adalah
murid Partai Lawu Megah sendiri. Itu
mereka…. yang bernama Sularwasih danTandu
Wiryo."
"Bangsat! Kau berani menuduh kurang ajar,"
teriak Tandu Wiryo dan hendak melompat
turun dari tingkat atas, tapi seorang paderi
cepat mencegahnya.
"Tandu Wiryo! kenapa kau kelihatan begitu
sewot. Apa hendak menyembunyikan rasa
takutmu…?" kembali Wiro menempelak dengan
ejekannya.
Mulut Tandu Wiryo kelihatan komat kamit
entah menyumpah apa. Sambil cengar cengir
Wiro kemudian lanjutkan kata-katanya. "Dua
murid Partai Lawu Megah itu nyatanya sudah
sejak lama melakukan hubungan gelap, entah
di luaran entah di puncak Gunung Lawu ini.
Pokoknya yang jelas hubungan terkutuk itu
telah membuat Sularwasih hamil alias bunting
alias mengandung alias berbadan dua. Kalian
dengar semua?! Sularwarsih bunting akibat
hubungannya dengan Tandu Wiryo.
Hal ini membuat mereka takut dan berusaha
menggugurkan kandungan. Tetapi telah kasip.
Mereka mencari akal untuk menyelamatkan
diri dan sewaktu aku bertemu dengan mereka
di penginapan Candi. Magelang, ternyata
akulah yang mereka jadikan bulan-bulanan
kambing hitam. Sekarang Sularwarsih sudah
hamil memasuki empat bulan. Jika kalian
tidak percaya silahkan geledah perutnya."
Kata-kata Wiro yang tandas itu membuat
semua orang kaget laksana disambar petir.
"Tidak! Tidak! Dia berdusta!" tiba-tiba
Sularwarsih berteriak. Gadis ini tutup mukanya
dengan telapak tangan, lalu tanpa diduga
siapapun dia melompat dari tingkat dua itu ke
genting bangunan di sebelahnya dan lenyap.
Pendekar Pedang Akhirat berseru. "Resi
Tumbal Soka apa kau tidak memerintah
orang-orangmu untuk mengejar dan
menangkap gadis bunting itu?"
Wajah Resi Tumbal Soka membesi merah
padam.
"Hal itu bisa dilakukan nanti. Toh dia mau lari
kemala! Yang penting pemuda gondrong ini
harus mempertanggung jawabkan tuduhan
kejinya itu."
Wiro tertawa mengejek. "Ketua! Tuduhan
bukan cuma tuduhan membabi buta dan palsu
seperti yang pernah dilakukan orang-orang
Partai Lawu Megah terhadapku. Aku datang
lengkap membawa dua saksi hidup." Wiro
berpaling pada janda Gundali dan berkata,
"Perempuan ini sekarang menjadi janda
karena suaminya telah dibunuh oleh Tandu
Wiryo."
Kembali semua orang jadi gempar.
"Suaminya bekerja di Penginapan Candi di
Magelang dan secara kebetulan telah
mengintip perbuatan mesum Tandu Wiryo
dengan Sularwasih, bahkan mendengar juga
pembicaraan mereka hendak mencelakakan
akau Mbakyu, kau tuturkan sendirilah semua
apa yang kau ketahui!"
Dengan tersendat-sendat janda Gundali
ceritakan apa yang pernah diterangkan
suaminya padanya. Lagi-lagi gunung Lawu
menjadi gempar. Disaat itu tiba-tiba Tandu
Wiryo putar tubuh hendak melarikan diri tapi
dari bawah Pendekar Pedang Akhirat yang
sejak tadi mengawasi pemuda ini cepat
jentikkan jarinya, kirimkan totokan jarak jauh
yang lihay hingga detik itu juga Tandu Wiryo
tak mampu berkutik lagi!
"Bagus…. bagus! Semua mulai terang kini!
Yang busuk mulai kelihatan belangnya!
Ayo sobatku sekarang aku ingin tahu tentang
perempuan gemuk ini. Siapa dia!" seru si
kakek pula.
"Perempuan ini adalah pedagang sayur mayur
yang menjadi langganan penginapan Candi di
Magelang. Hari itu ketika aku masuk
penginapan secara tak sengaja aku
bertabrakan dengan dia yang sedang
membawa keranjang. Tabrakan ini membuat
salah satu kancing bajuku tanggal dan jatuh.
Aku tak dapat menemukannya. Kancing baju
inilah yang kemudian diambil oleh Tandu
Wiryo sebagai bukti bahwa aku seolah-olah
memang pernah masuk ke kamari Sularwasih!
Sialan betul! Ibu gemuk, kau berikanlah
kesaksianmu!"
Perempuan gemuk tukang sayur itu lantas
memberikan kesaksiannya! Pucat pasi laksana
kain kafan wajah Tandu Wiryo.
"Resi Tumbal Soka! Sekarang aku minta agar
kau menggantung murid terkutuk itu!
Di hadapanku! Di hadapan sobatku dan semua
murid-murid partai! Jika kau dulu berani
memutuskan hukuman gantung bagi sobatku
maka hari ini kau harus berani
menjatuhkannya pada Tandu Wiryo! Ayo!"
Mulut ketua partai Lawu Megah tampak
terpencong-pencong. Sulit baginya menjawab
kata-kata kakek muka tengkorak itu. Namun
akhirnya dia berkata juga. "Soal hukuman itu
adalah urusan kami. Kau orang luar tidak
layak mendikte!"
"Ah, sungguh enak sekali kalau begitu Resi
Tumbal Soka. Murid sudah terbukti salah
masih tak mau mengambil tindakan! Aku
curiga jangan-jangan kaupun ikut terlibat
dalam_persoalan ini!" seru si kakek.
"Bangsat tua! Kurobek mulutmu!"
"Silahkan, aku mau lihat!" tantang si kakek
yang memang sudah jengkel dan muak
meiihat kctua Partai Lawu Megah itu.
"Aku mengajukan usul!" Wiro berseru tiba-
tiba. "Bagaimana kalau Tandu Wiryo langsung
mempertanggungjawabkan perbuatan kejinya
satu lawan satu denyanku?"
"Aku sudah bilang kami yang membuat aturan
di sini, bukan kalian yang mendikte!" teriak
Resi Tumbal Soka.
"Wah, berabe kalau begini kakek." kata Wiro
pada si kakek muka tengkorak.
"Sekarang kalian kupersilahkan angkat kaki
dari sini, kecuali Wilarani. Kau ada keperluan
apakah datang kemari bersama-sama mereka,
Wilarani? Apa ikut bersekutu?!" kata Resi
Tumbal Soka pula.
"Saya datang untuk menyambangi guru Resi
Kumbara!" jawab Wilarani.
"Sayang sekali kakek itu tak mungkin
menerimamu. Lain kali saja. Dan kau pergilah
pula dari sini!"
Wiro maju kemuka. "Aku dan kawan-kawan
akan pergi dari sini. Tetapi lebih dahulu harus
bertemu dengan Resi Kumbara. Tempo hari
aku telah menyerahkan sebuah senjata
mustika sebagai jaminan. Sekarang aku harus
memintanya kembali".
"Lupakan senjatamu itu. Kalau semua sudah
selesai pasti akan dikembalikan!"
"Kentut! Pokoknya aku harus mendapatkan
senjata itu kembali! Saat ini juga dan bukan
nanti!"
"Memang senjata itu sudah saatnya harus
dikembalikan," kata si kakek pula.
"Kalian tak bisa bertemu dengan dia…."
"Kenapa?"
"Dia tengah menjalani hukuman dalam
penjara bersama paderi Permana dan tiga
paderi lainnya!"
Wilarani kaget sekali Wiro dan Pendekar
Pedang Akhirat jadi melongo.
"Kalau begitu kami akan menemuinya di
penjara!" kata Wiro kemudian.
"Kalian jangan keliwat memaksa dan bicara
seenaknya. Silahkan pergi dari sini dengan
aman…."
"Resi Tumbal Soka keparat! Kaulah rupanya
yang jadi biang racun dari semua yang terjadi
disini? Turunlah dan mari bertempur sampai
mampusl" teriak Wiro Sableng.
Seumur hidupnya Resi Tumbal Soka tak
pernah dimaki begitu rupa, apalagi di
hadapan sekian puluh pasang mata.
Amarahnya mendidih. Dia berteriak memberi
perintah, "Bunuh pemuda itu!"
ENAM orang paderi dan delapan murid kelas
satu bergerak maju mengurung Pendekar 212
Wiro Sableng.
Murid Sinto Gendeng ini betul-betul sudah
sampai dibatas kesabarannya. Dia
membentak. "Kalian ini tertalu bodoh, mau
saja disuruh mampus! Atau memang sudah
bosan hidup hingga ingin buru-buru mati?"
Enam paderi keluarkan bentakan buas dan
menyerang Wiro tanpa banyak bicara lagi.
Disaat yang menegangkan itu Wiro Sableng
berseru memanggil kakek muka tengkorak.
"Kakek, lihatlah bagaimana aku mainkan jurus
ke tiga dari ilmu pedangmu "Setan meratap
malaikat menangis!"
Si kakek yang tadi hendak melakukan sesuatu
terpaksa perhatikan pemuda itu. Wiro mainkan
jurus ilmu pedang itu dalam gerakan tangan
kosong yang luar biasa yang dirasakan lebih
hebat dari pada yang dimainkan sendiri
olehnya sementara tangannya bergetar oleh
kekuatan tenaga dalam. Tangan kiri tiba-tiba
lepaskan pukulan "sinar matahari" sedang
tangan kanan menghantamkan pukutan "dewa
topan menggusur gunung."
Terjadilah hal yang hebat. Puncak Gunung
Lawu itu laksana di landa gempa. Jeritan
enam paderi dan delapan anak murid partai
terdengar susul menyusul. Di seberang sana
sembilan murid partai lainnya ikut tersapu
oleh dua pukulan maut itu. Wiro yang sudah
kalap terus mengamuk hingga keadaan tidak
beda seperti di neraka!
Ketika semua itu terjadi, diatas bangunan
tingkat dua si kakek melihat Resi Tumbal Soka
melepaskan totokan ditubuh Tandu Wiryo dan
membisikan sesuatu pada pemuda ini. Si
kakek cepat berpaling pada Wilarani dan
berkata, "Kau tahu letak penjara di mana Resi
Kumbara dijebloskan?"
Gadis itu mengangguk.
"Pergilah ke sana dan lepaskan gurumu. Dua
perempuan ini kau selamatan lebih dulu ke
tempat aman!"
Habis berkata begitu si kakek lantas melesat
ke bangunan tingkat dua tepat pada saat
Tandu Wiryo hendak bergerak pergi! Sekali
tangan si kakek mendorong, Tandu Wiryo
jatuh ke lantai, sekujur tubuhnya seperti
lumpuh tak bisa lagi berkutik!
Melihat hal ini Resi Tumbal Soka jadi marah.
"Tua bangka sundal! Kau sudah saatnya
dibasmi!" teriak ketua Partai Lawu Megah itu.
Dalam kemarahan paderi ini sudah tak bisa
lagi mengontrol kata-katanya yang keluar.
Si kakek cuma tertawa mendengar makian itu.
Juga masih tertawa sewaktu Resi Tumbal
Soka kebutkan lengan jubahnya, kirimkan
pukulan yang mengandung angin hebat sekali.
Jangankan manusia, batu sekalipun pasti
ambruk terkena kebutan lengan jubah ini!
Sesaat lagi angin pukulan akan melabrak,
kakek muka tengkorak ini dorongkan telapak
tangan kanannya ke depan menyambut
serangan lawan. Terjadilah hal yang hebat.
Bangunan tingkat dua itu bergetar keras,
langit-langit serta teralinya ambruk sewaktu
terjadi bentrokan dua kekuatan tenaga dalam
yang dasyat!
Resi Tumbal Soka berseru tegang, Parasnya
pucat. Tubuhnya pasti terjungkal jika tidak
tertahan dinding bangunan. Memang dalam
hal tenaga dalam ketua Partai Lawu Megah
ini mana bisa menang dari Pendekar Pedang
Akhirat yang sudah dianggap jago nomor satu
dalam tenaga dalam dan pedang di dunia
persilatan. Padahal sekitar satu tahun yang
silam dia pernah memberikan sebagian dari
tenaga dalamnya pada Wiro Sableng yakni
waktu pemuda itu selamatkan si kakek dari
liang maut. Sambil usap-usap telapak
tangannya yang bergetar dan terasa panas
akibat bentrokan tenaga dalam itu, si kakek
tertawa mengekeh.
"Hari ini kau betul-betul mendapat pelajaran,
paderi brengsek!"
Dengan geraham bergemeletakan Resi Tumbal
Soka keluarkan Kapak Naga Geni 212 dari
balik jubahnya. Kaget si kakek muka
tengkorak bukan kepalang.
"Heh! Bagaimana senjata itu ada di tanganmu
hah?!" serunya.
"Tak usah banyak tanya!" hardik Resi Tumbal
Soka. Sekali dia ayunkan Kapak Naga Geni
212 maka berkiblatlah sinar menyilaukan
disertai suara mengaung seperti ratusan
tawon mengamuk!
Pendekar Pedang Akhirat yang sudah maklum
kehebatan senjata ini cepat melompat mundur
dan cabut pedang mustikanya. Pada dasarnya
Resi Tumbal Soka mengetahui kehebatan ilmu
pedang lawan yaitu tak satu ilmu pedang
lainpun pada masa itu sanggup
menandinginya. Namun karena sudah
terlanjur kalap di samping merasa dapat
mengandalkan senjata yang kini ada di
tangannya maka dia keluarkan jurus-jurus
silat Partai Lawu Megah yang paling hebat
dan menyerbu lawannya tidak kepalang
tanggung.
Pendekar Pedang Akhirat sendiri terpaksa pula
keluarkan jurus-jurus silat simpanannya.
Baginya ilmu silat lawan bukan apa-apa.
Tetapi senjata Wiro yang di tangan Resi
Tumbal Soka itulah yang tak bisa dibuat
main. Harus diakui bahwa pedang mustikanya
sendiri kehebatannya masih berada dibawah
kapak itu. Setelah berhati-hati selama
delapan jurus akhirnya si kakek mulai dapat
menguasai lawannya. Jurus demi jurus,
serangan pedangnya yang laksana berubah
jadi puluhan banyaknya itu mengurung Resi
Tumbal Soka dari segala penjuru.
Dalam satu gebrakan yang hebat tiba-tiba si
kakek berteriak. "Lepaskan senjata itu, paderi
brengsek! Lepaskan dan berikan padaku!"
Tapi mana Resi Tumbal Soka sudi menurut
perintah lawannya itu. Malah sambil
merangsak maju dia memaki. "Tua bangka
sundal! Sebentar lagi kau bakal mampus jadi
setan penasaran!"
"Paderi tolol! Diberi peringatan tidak mau
dengar! Sekarang kau harus serahkan senjata
itu berikut tanganmu!"
Pedang mustika di tangan kakek lihay itu
berkiblat dalam gerakan aneh dan tahutahu
cras! Putuslah lengan kanan Resi Tumbal
Soka dan mental ke udara berikut Kapak Naga
Geni 212. Resi Tumbal Soka menjerit-jerit
macam orang gila karena kesakitan. Dia
kemudian totok urat-urat besar di bahunya
hingga darah berhenti memancur dari luka
pada lengan.
Pada saat itu dari arah timur lapangan
terdengar seruan keras mengumandang.
"Hentikan pertempuran!"
Begitu berwibawa suara teriakan itu hingga
semua orang yang sedang bertempur berhenti
memandang ke timur kelihatanlah Resi
Kumbara bersama Resi Permana dan tiga
paderi serta Wilarani.
"Tobat! Puncak Gunung Lawu telah banjir
darah. Satu hal yang seharusnya tak perlu
terjadi!" Bekas ketua Partai Lawu Megah ini
memandang ke abangunan bertingkat dan
kembali berseru. "Resi Tumbal Soka, kau
kemarilah!"
Saat itu Resi Tumbal Soka bukan saja tengah
mengalami luka parah tetapi juga sakit hati
dendam kesumat yang bukan kepalang. Dan
kini mendengar kakaknya memanggil
timbullah rasa takutnya.
"Maaf kakang! Aku tak bisa datang
menghadapmu! Jikalau umur sama panjang
tentu kita bakal bertemu lagi!" Lalu Resi
Tumbal Soka berpaling pada Pendekar Pedang
Akhirat yang tegak di depannya sambil
menimang-nimang Kapak Naga Geni 212.
"Suatu ketika kelak aku akan mencarimu, tua
bangka sundal! Saat itu akan kau rasakan
berapa hebatnya pembalasanku!" Habis
berkata begitu paderi ini putar tubuh.
"Hai, kunyuk tua! Kau hendak lari kemana?!"
seru si kakek dan bergerak hendak mengejar.
Tapi membatalkan gerakannya itu tatkala
dibawah sana terdengar Resi Kumbara
berseru. "Biarkan saja dia, sobat! Memang dia
tak layak berada lebih lama disini."
Si kakek angkat bahu kemudian
pandangannya membentur tubuh Tandu Wiryo
yang melingkar di lantai, lumpuh tak bergerak
akibat totokannya. Si kakek pergunakan
kakinya untuk membuka totokan di tubuh si
pemuda terkutuk dan sekaligus
menendangnya hingga Tandu Wiryo mencelat
mental dan jatuh tepat dihadapan Wiro
Sableng!
Wiro jambak rambut pemuda ini lalu tampar
keras-keras pipi kanannya hingga mulutnya
robek. Tandu Wiryo meraung kesakitan.
"Buset! Suaramu kok jadi buruk sekarang!
Mana mulut besarmu yang suka bicara
seenaknya itu!"
"Wiro!" terdengar seruan Resi Kumbara,
"Biarkan dia. Biar aku yang menjatuhkan
hukuman pada manusia sesat dan keji itu!
Wiryo, kemari lekas!"
Dengan terhuyung-huyung dan sambil
pegangi pipinya yang mengucurkan darah.
Tandu Wiryo melangkah kehadapan Resi
Kumbara.
"Semua ini terjadi gara-garamu! Gara-gara
nafsu kotormu! Gara-gara otakmu yang sesat,
licik dan keji! Seharusnya kupenggal kepalamu
detik ini juga! Tetapi ada hukuman lain yang
lebih pantas bagimu biar kau rasakan selama
hidupmu!"
Resi Kumbara ulurkan tangannya ke
selangkangan Tandu Wiryo. Terdengar pekik
pemuda ini setinggi langit.
"Pergi dari sin.! Aku tidak sudi lagi melihat
mukamu! Seumur hidup Gunung Lawu
merupakan daerah terlarang bagimu!"
Terkangkang-kangkang Tandu Wiryo
tinggalkan tempat itu. Darah kelihatan
bercucuran dari selangkangannya. Semua
orang tidak menyangka demikian kejam
danmengerikannya hukuman yang dijatuhkan
oleh Resi Kumbara. Seluruh anggota rahasia
pemuda itu diremas hancur dan cacat selama-
lamanya!.
Resi Kumbara menghela nafas panjang dan
memandang pada Wiro Sableng serta
Pendekar Pedang Akhirat yang melangkah
mendatanginya.
"Apakah kalian berdua sudah puas
sekarang…?" menegur bekas ketua Partai Lawu
Megah itu.
Si kakek batuk-batuk beberapa kali.
"Bukan maksud kami sampai terjadi yang
begini. Tapi kau tentu maklum, keadaan
memaksa. Aku yang tua dan sahabat mudaku
ini mohon maaf sebesar-besarnya. Karena
cerita sebenarnya tentang perkosaan itu telah
diketahui oleh semua orang disini maka aku
dan sahabatku mohon diri!"
Si kakek dan Wiro menjura. Melirik ke samping
Wiro lihat Wilarani. "Kau bagaimana? Akan
pergi sama-sama kami?"
"Sayang aku tak bisa ikut bersamamu, Wiro.
Banyak tugas yang harus kulakukan di sini
bersama guru!"
Wiro mengangguk. "Kau murid yang baik.
Sekali lagi terima kasih atas pertolonganmu
tempo hari!" Wiro lambaikan tangannya dan
segera berkelebat pergi tapi si kakek
memegang bahunya dan angsurkan tangan
kirinya yang memegang Kapak Naga Geni
212.
"Kau tak ingin membawa ini?"
"Astaga, aku sampai lupa. Terima kasih kakek.
Mari kita pergi."
"Ya, kita segera pergi. Tapi bagaimana
dengan dua perempuan itu?" ujar si kakek
seraya menunjuk pada janda Gundali dan
perempuan pedagang sayur.
Wiro garuk-garuk kepalanya. Lalu dia
mendekati janda Gundah dan langsung
dukung perempuan ini seraya berkata sambil
tersenyum pada si kakek. "Sekarang giliranmu
untuk menggendong si gemuk itu!" Wiro
tertawa gelak-gelak dan berkelebat pergi
sedang si kakek memaki panjang pendek. Mau
tak mau dia harus mendukung nyonya gemuk
pedagang sayur itu!
Resi Kumbara cuma bisa geleng-geleng
kepala saja melihat kelakuan kedua orang itu.
Setelah terjadinya peristiwa besar di puncak
gunung Lawu itu dan perginya sang ketua
Resi Tumbal Soka, maka Resi Kumbara
mengangkat Resi Permana menjadi ketua yang baru sedang dia sendiri kembali mengundurkan diri ke ruangan samadi.
****selesai***
totong tumbal Dika kemana
BalasHapus