WIRO SABLENG
Episode : Memburu Si Penjagal mayat
Karya : BASTIAN TITO
**********
SATU
PEMANDANGAN Di Lereng Selatan GunungMerbabu indah sekali pagi itu. Di atas langit biru bersih disaput awan berarak yang dihembus angin perlahan-lahan dari timur ke barat. Di kaki gunung sebelah timur
menghampar sawah luas yang tampak menguning tanda waktu panen yang menggembirakan para petani tidak lama lagi.
Di sebelah barat tampak daerah bebukitan yang subur, menghijau tertutup daun-daun pohon jati yang telah berusia puluhan tahun.
Membelah hutan jati, di sebelah tengah melintang sebuah sungai kecil yang dari jauh airnya kelihatan memutih seperti perak tertimpa cahaya matahari yang sedang naik.
Jauh di sebelah selatan menjulang gunung Merapi laksana raksasa penjaga negeri, penuh gagah dan perkasa. Gunung Merbabu sendiri
berdiri tegak dalam kesunyian, seolah dibungkus oleh satu ketenangan misterius karena selama ini hampir tak ada orang atau penduduk sekitar tempat itu yang pernah naik.
Jangankan sampai ke puncaknya, sepertiga lereng gunungpun kabarnya belum pernah didaki orang atau penduduk setempat. Konon pernah ada berita bahwa di atas gunung Merbabu itu terdapat sebuah pertapaan dimana tinggal seorang sakti pimpinan sebuah perguruan silat yang mempunyai
beberapa anak murid. Sampai dimana kebenaran berita itu tidak pernah dibuktikan orang karena siapa pula yang mau menyelidik.
Angin gunung berhembus sejuk. Daun-daun pepohonan bergemerisik halus. Kicau burung
terdengar dikejauhan. Lalu lenyap. Sunyi
beberapa ketika. Sesaat kemudian kesunyian
itu dipecahkan oleh suara siulan yang akan
terasa aneh bagi siapa saja yang
mendengarnya. Aneh karena suara siulan itu
keras sekali seperti bukan suara siulan
manusia. Lalu lagu maupun irama yang
disiulkan itu sama sekali tidak sedap didengar
karena kacau balau naik turun tinggi rendah
tidak menentu. Siapa gerangan orang yang
bersiul ini?
Ternyata dia seorang pemuda berpakaian
putih lusuh. Kepalanya yang berambut hitam
gondrong diikat dengan sehelai sapu tangan
putih. Di pinggangnya menonjol sesuatu tanda
di bawah pakaiannya pemuda ini membekal
sebilah senjata, entah golok, entah keris
ataupun pisau besar. Di tangan kanannya dia
memegang sepotong ranting kayu yang
dipergunakannya untuk menguak emak
belukar atau rerantingan yang menghalangi
langkahnya. Ketika angin bertiup lagi dan
baju di bagian dada si pemuda tersingkap
terlihatlah tiga deretan angka yang dirajah
pada dadanya. Angka 212. Tak pelak lagi
pemuda yang bersiul tanpa juntrungan ini
adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Wiro Sableng, murid si nenek sakti dari
puncak gunung gede. Dan benda yang
menonjol di pinggang pakaiannya itu sudah
dapat dipastikan adalah Kapak Maut Naga
Geni 212, senjata mustika yang sulit dicari
tandingannya dalam dunia persilatan.
Mendadak Pendekar 212 hentikan siulannya.
Gerakan kedua kakinya ikut berhenti.
Mulutnya dipencongkan ke kiri sedang cuping
hidungnya sedikit memekar. Ketika dia
mencoba menarik nafas
dalam tak ampun perutnya seperti terbalik
dan dari tenggorokannya terdengar suara
seperti mau muntah. Wiro meludah ke tanah
berulang kali. Telapak tangan kirinya
ditekapkan ke hidung. Dia memandang
berkeliling. Dari mulutnya lalu terdengar suara
mengumpat. "Bau busuk celaka apa yang
menyambar hidungku di tempat ini?!" Dia
memandang lagi berkeliling tapi tetap saja
tidak melihat benda lain selain pohon-pohon
dan semak belukar.
"Gila! Belum pernah aku mencium bau
sebusuk ini!" kata Wiro dalam hati. Sesaat dia
mendongak. Perasaan yang didorong oleh
penciuman memberi tahu kepadanya bahwa
bau busuk itu datang dari jurusan kanan.
"Hanya bau busuk sialan! Apakah aku harus
menyelidiki?!" si pemuda berpikir sambil
garukgaruk kepala. Akhirnya dia memutuskan
untuk melakukan penyelidikan. Dengan tangan
kanan yang memegang potongan ranting dan
tangan kiri dia menyibak semak belukar lebat,
dia melangkah
menuju arah kanan dari mana datangnya
sumber bau busuk yang dahsyat itu. Kali ini
tak ada lagi suara siulan keluar dari
mulutnya, malah sambil melangkah dia
menutup jalan penciuman agar bau busuk itu
tidak membuatnya keblinger. Ternyata
semakin jauh dia melangkah ke jurusan kanan
itu, semakin santar bau busuk menyebar.
Kalau saja niatnya tidak keras mau rasanya
saat itu juga dia membalikkan tubuh.
Mata sang pendekar yang tajam melihat ada
beberapa bagian semak belukar di kiri kanan
dan di sebelah depannya yang ranggas tanda
sebelumnya ada seorang atau mungkin juga
binatang yang melewati tempat itu. Agar lebih
mudah bergerak, Wiro mengikuti saja bekas
bagian-bagian rerantingan atau semak
belukar yang telah menguak. Bekas yang
telah dirambas orang ini akhirnya
membawanya sampai pada suatu tempat yang
penuh ditumbuhi keladi hutan. Di antara
pohon-pohon keladi hutan berdaun lebar itu
Pendekar 212 Wiro Sableng melihat sebuah
buntalan besar kain kuning yang penuh
dengan noda-noda merah.
Sepasang mata Wiro memandang tak berkedip
pada buntalan kain kuning itu seolah-olah
hendak berusaha menembus dan mengetahui
apa yang ada dalam buntalan kain penuh
noda merah itu. Nafasnya mulai sesak karena
sudah terlalu lama menutup jalan penciuman.
Matanya terus menatap buntalan kain yang
menyangsrang diantara batang-batang keladi
hutan. Kain kuning bernoda bercak merah.
Dan warna merah itu.
"Bercak merah itu..." desis Wiro. "Itu hampir
pasti adalah bercak darah! Dan buntalan itu….
Itulah sumber bau busuk yang kucium!"
Entah mengapa saat itu tiba-tiba saja sang
pendekar merasakan kuduknya menjadi dingin
dan bulu tengkuknya mendadak ikut
merinding. Sepasang kakinya terasa berat
ketika dilangkahkan mendekati buntalan
kuning yang menyangsrang diantara batang-
batang keladi hutan yang besar-besar itu.
Wiro maju terus. Sambil bergerak kedua
matanya tak bisa lepas dari buntalan kain
kuning. Kira-kira hanya tinggal enam langkah
lagi dari pohon-pohon keladi, tiba-tiba
buntalan kain kuning merosot jatuh ke bawah.
Satu sosok kaki putih tapi penuh lumuran
darah mencuat dari balik buntalan.
Murid Sinto Gendeng keluarkan seruan
tertahan. Kedua kakinya seperti dipantek ke
tanah sedang sepasang matanya membeliak.
"Kaki manusia...," desis Wiro tercekik dan
tubuh bergetar. Jari-jari tangan kanan-nya
pulang balik mengusap mulut dan tengkuk
berulang kali. "Jangan-jangan daerah ini
sarangnya para dedemit..."
Tengkuk sang pendekar tambah dingin. "Tapi
apa iyya dedemit itu betul-betul ada...?" Wiro
malah balik bertanya pada dirinya sendiri.
Setelah mengusap matanya beberapa kali Wiro
akhirnya mampu menguasai rasa takut yang
mempengaruhi dirinya lalu kembali melangkah
mendekati buntalan kain kuning bernoda
darah. Tapi baru saja dia bergerak satu
langkah, tiba-tiba semak belukar di samping
kanan bergernerisik dan terkuak. Wiro
berpaling. Tiga orang berpakaian seragam
biru gelap dua pemuda, seorang pemudi
muncul, langsung mengurung sang pendekar.
DUA
DI PUNCAK gunung Merbabu setelah selesai
mengimami tiga orang muridnya
bersembayang subuh di ruang terbuka di
bagian depan rumah kayu, orang tua yang
berpakaian selempang kain putih itu
memimpin pembacaan doa dan ditutup
dengan membaca tasbih.
Kalau biasanya selesai sembahyang subuh si
orang tua selalu menyuruh ketiga muridnya
untuk melakukan latihan silat serta tenaga
dalam maka sekali ini dia memberi isyarat
agar murid-muridnya tetap duduk di tempat
mereka bersila.
"Murid-muridku, kalian bertiga dengarlah
baik-baik. Aku akan menceritakan sesuatu
pada kalian…."
"Mengenai orang-orang gagah di jaman Nabi
dan para sahabatnya, Kiyai...?" tanya salah
seorang murid yang bernama Djarot.
Orang tua yang dipanggil dengan sebutan
Kiyai menggeleng. "Kali ini tidak, Djarot. Yang
akan kuceritakan padamu dan dua saudara
seperguruanmu adalah mengenai mimpiku tadi
malam…."
"Ah Kiyai bermimpi rupanya!" yang bicara
adalah satu-satunya murid perempuan yakni
Sulindari. "Apakah Kiyai bertemu dengan
seorang Dewi atau seorang Peri...?"
Sang Kiyai tersenyum, namun kemudian
tampak wajahnya bersungguh-sungguh
sehingga ketiga muridnya tak berani lagi
mencoba bergurau.
"Malam tadi dalam tidur aku bermimpi.
Seorang gadis yang tidak kukenal datang
menunggang kuda. Gadis ini mengenakan
pakaian aneh berwarna kuning. Dia membawa
sebuah bendera putih di tangan kanannya.
Tapi bendera putih itu penuh lumuran darah.
Gadis itu seperti hendak mengatakan sesuatu
padaku.... Tapi justru saat itu aku
terbangun…."
Tiga murid terdiam tundukkan kepala. Lalu
yang sejak tadi diam yakni murid termuda
bernama Rokonuwu berkata: "Kiyai, kalau
mimpi malam tadi Itu yang membuat Kiyai
terganggu, bukankah dulu Kiyai pernah
mengatakan bahwa mimpi itu hanyalah bunga
tidur yang tak layak dipercaya?"
"Benar sekali katamu itu Roko," sahut sang
Kiyai sambil tersenyum. Sesaat kemudian
senyumnya itu pupus. 'Tapi mimpiku sekali ini
datang sampai dua kali. Ketika aku tidur lagi,
mimpi itu muncul kembali. Aku melihat
kembali gadis berpakaian kuning aneh dan
menunggang kuda itu.
Seperti tadi, di tangannya dia membawa
sebuah bendera putih kecil yang berlumuran
darah. Kali ini dia sempat membuka mulut,
berkata padaku : Kiyai... tolong saya...
Setelah berkata begitu diapun lenyap. Dan
ceritaku tidak hanya sampai disana. Ketika
aku bangun untuk kedua kalinya lalu keluar
dari kamar dan melangkah ke bagian depan
rumah dalam kegelapan menjelang subuh aku
melihat ada sesuatu yang bergerak di arah
sana..." Sang Kiyai menunjuk ke arah ujung
kanan halaman rumah.
Di antara semak belukar itu aku melihat
bayangan seekor kuda. Lalu di atasnya ada
penunggangnya. Dan si penunggang ternyata
gadis berpakaian kuning memegang bendera
putih berdarah itu. Dia memandang dengan
paras sangat harap pertolongan. Tepat seperti
yang aku lihat dalam mimpi. Ketika aku turun
dari langkah ini untuk menghampirinya, kuda
dan penunggangnya itu lenyap laksana
kabut…."
Mendengar penuturan guru mereka, tiga murid
itu mau tak mau sama berpaling ke arah
semak belukar yang tadi ditunjuk si orang
tua. Djarot dan Rokonuwu merasa tercekat
sementara Sulindari merasakan seperti ada
hawa dingin yang merayapi kuduknya.
"Apakah Kiyai mengenali siapa adanya gadis
penunggang kuda itu. Atau mungkin pernah
melihatnya sebelumnya...?" bertanya Djarot.
"Aku, memang aku rasa-rasa pernah
melihatnya. Tapi entah kapan dan dimana..."
sahut sang Kiyai.
"Apa yang harus kami perbuat kalau begitu
Kiyai?" bertanya Sulindari.
"Ada satu keanehan lain yang terjadi di
gunung kediaman kita ini, murid-muridku,"
jawab orang tua itu. "Sejak beberapa saat lalu
telingaku serasa menangkap suara siulan
aneh di lereng gunung sebelah selatan. Kalau
kukatakan itu siulan manusia mengapa
demikian santarnya hingga terdengar olehku
lapat-lapat. Jika kukatakan itu siulan setan
pelayangan, aku tak pernah percaya ada setan
di gunung Merbabu ini. Apalagi setan yang
pandai bersiul!"
Tiga orang murid itu mengulum senyum
mendengar ucapan guru mereka. Ketiganya
memang tidak pernah mendengar suara siulan
itu, namun mereka percaya, kesaktian yang
dimiliki sang guru demikian luar biasanya
hingga mampu menangkap suara yang begitu
jauhnya.
Rokonuwu si murid termuda diam-diam
merasa ada yang tersirat di balik penjelasan
terakhir sang guru Maka diapun berkata: "Jika
Kiyai memberi izin, kami bertiga siap untuk
menuruni puncak Merbabu, menyelidiki ke
sekitar lereng sebelah selatan."
"Memang itu yang aku ingini murid-muridku.
Pergilah menyelidik. Jangan-jangan siulan
yang kudengar itu ada sangkut pautnya
dengan mimpiku..."
Mendengar kata sang guru ketiga murid yang
sama mengenakan pakaian biru gelap itu
segera berdiri.
"Kami siap pergi Kiyai..." kata Djarot.
Sang Kiyai mengangguk. Tiga murid itupun
lalu berkelebat. Pergunakan ilmu lari masing-
masing, melesat menuju ke lereng gunung
sebelah selatan. Dua pemuda dan satu gadis
inilah yang kemudian menemui Pendekar 212
Wiro Sableng di lereng selatan gunung
Merbabu yang pada saat itu tengah
melangkah mendekati bungkusan kain kuning
berbecak darah dimana mencuat satu kaki
manusia.
TIGA
UNTUK BEBERAPA saat Pendekar 212 Wiro
Sableng dan tiga orang muda di hadapannya
itu saling berpandangan. Lalu terdengar suara
pekik Sulindari ketika gadis ini kaget melihat
kaki berlumur darah yang tersembul keluar
dari buntalan kain kuning. Dia kemudian
mendekati kakak seperguruannya Djarot lalu
berbisik: "Kak Djarot, ingat mimpi guru
mengenai dara berbaju kuning aneh yang
memegang bendera putih berlumuran
darah...?"
"Aku ingat Sulin. Justru saat ini juga aku
ingin menyelidiki siapa adanya pemuda
berambut gondrong di hadapan kita ini. Dan
apa hubungannya dengan bungkusan kain
warna kuning itu!" Habis balas berbisik begitu
Djarot maju satu langkah mendekati Wiro, lalu
menegur secara sopan.
"Ki sanak, siapa kau dan ada keperluan apa
berada di tempat ini?"
Wiro tak segera menjawab melainkan
memandang ke arah Sulindari dan sesaat dia
tampak terpesona melihat kecantikan sang
dara. Melihat saudara seperguruan mereka
dipandangi secara seenaknya seperti itu, baik
Djarot maupun Rokonuwu merasa jengkel.
Yang punya diri malah sudah menegur dengan
keras: "Orang bertanya tak kau jawab! Apakah
telingamu tuli?!"
"Eh!" Wiro baru sadar. Sambil garuk-garuk
kepala dan tertawa lebar dia berkata: "Harap
dimaafkan, tentu saja aku tidak tuli. Tapi
harap kau suka mengulang pertanyaanmu
tadi, sobat..."
Meski jadi tambah jengkel kini tapi Djarot
mengulangi pertanyaannya tadi. "Terangkan
siapa dirimu dan apa yang kau kerjakan di
tempat ini?"
"Aku pengelana kesasar. Dan apa yang
kukerjakan disini hampir tidak beda dengan
kalian bertiga. Sama-sama heran melihat
bungkusan kain kuning berlumur darah itu.
Lalu sama-sama tercekat melihat ada kaki
yang menyembul dari bungkusan itu."
"Ki sanak, kau sama sekali tidak menjawab
pertanyaan kakakku!" menukas Rokonuwu.
Terangkan namamu dan mengapa terpesat ke
tempat ini?"
"Hemm..." Wiro bergumam dan lagi-lagi
menggaruk kepalanya yang berambut
gondrong.
"Melihat caramu bertanya agaknya kau dan
saudara-saudara seperguruanmu ini tentunya
bermukim di gunung Merbabu ini. Siapa guru
kalian?"
"Ditanya malah balik menanya!" Sulindari jadi
penasaran...
"Ah, mohon maafmu sahabat. Namaku buruk
saja. Wiro Sableng. Aku berada disini hanya
kebetulan saja. Seperti kataku tadi, pengelana
kesasar..."
Karena selama menjadi murid-murid Kiyai
sakti di puncak Merbabu ketiga muda-mudi
itu tidak pernah turun gunung maka mereka
tidak pernah mendengar siapa sesungguhnya
si gondrong yang mengaku bernama Wiro
Sableng itu.
"Lalu, mengapa kau membuang bungkusan
kuning itu disana?" tanya Djarot pula.
"Bungkusan kain kuning itu? Aku sama sekali
tidak membuangnya. Justru aku sampai
kemari karena bau busuk yang ditebarnya!
Bungkusan itu sudah ada disana ketika aku
sampai di tempat ini".
Tiba-tiba Wiro sadar dan bertanya. "Ah,
kalian bertiga apakah tidak mencium bau
busuk yang keluar dari bungkusan kuning
itu?!"
"Kami memang menciumnya. Tapi kami punya
obat untuk penangkalnya," Jawab Sulindari
pula.
"Ah, gurumu tentu seorang berkepandaian
tinggi. Boleh aku tahu siapa nama beliau?
Lalu kalian sendiri masing-masing bernama
siapa?"
"Kami anak-anak murid Kiyai Djoko Bening.
Aku Djarot, ini Sulindari dan itu Rokonuwu..."
menerangkan Djarot.
"Astaga, kiranya kalian murid-murid orang
tua sakti terkenal itu. Nama besarnya pernah
kudengar dari mulut orang-orang rimba
persilatan walau guru kalian jarang turun
gunung. Bukankah Kiyai itu yang memiliki
pukulan sakti bernama Selangit Tembus
Sebumi Putus?!"
Tiga anak murid Kiyai Djoko Bening sama-
sama kaget dan saling pandang ketika
mendengar Wiro menyebut nama pukulan
sakti yang memang dimiliki guru mereka dan
yang saat itu tengah mereka rampungkan
mempelajarinya.
"Hai, siapa kita mari dilupakan dulu. Aku
ingin menyelidiki isi buntalan kain kuning itu!
Kalian mau ikut atau lebih suka jadi
penonton?" ujar Wiro.
"Kami ditugasi oleh guru, jadi kami harus
turun tangan sendiri!" menjawab Rokonuwu.
"Kalau begitu silahkan kau berjalan lebih dulu
sobat," kata Wiro seraya memegang bahu
Rokonuwu. Tapi sobat Rokonuwu tentu diam-
diam merasa jerih. Dia balas mendorong
punggung Wiro seraya berkata: "Kau saja
yang memeriksa bungkusan itu, sobat. Aku
akan membantu!"
Melihat adik seperguruannya tampak ragu-
ragu kalau tidak mau dikatakan ngeri, Djarot
tanpa banyak menunggu segera melangkah
mendahului, diikuti Wiro lalu Sulindari di
samping kiri bersama Rokonuwu.
Berada di depan bungkusan kain kuning yang
basah oleh dara dan menyembulkan kaki putih
mulus, sesaat keempat orang muda itu
tertegun memandangi.
"Aku hampir pasti ini kaki perempuan..." bisik
Sulindari pada Rokonuwu.
"Djarot, tunggu apa lagi. Ayo cepat kau buka
buntalan kain itu..." berkata Wiro.
Entah mengapa mendadak saja Djarot merasa
tubuhnya bergetar dan keluarlah keringat
dingin. Dia memberi jalan pada Wiro lalu
berkata perlahan: "Sobat, kau saja yang
membuka bungkusan itu..."
Wiro garuk-garuk kepala namun akhirnya
melangkah juga dan ulurkan kedua tangan,
membuka bungkusan kain kuning berdarah.
Ketika bungkusan itu terbuka, apa yang
menjadi isinya sungguh mengerikan untuk
dipandang. Wiro, Djarot dan dua adik
seperguruannya sama-sama tersurut mundur
dengan mata terbelalak dan lutut gemetar.
Sulindari tak tahan lalu menutup wajahnya
dengan kedua tangan. Perutnya seperti
terbalik-balik dan dari mulutnya terdengar
suara mau muntah berulang kali. Gadis ini
kemudian tersandar ke sebuah pohon dengan
wajah pucat pasi seolah-olah habis melihat
setan.
"Gusti Allah..." hanya ucapan itu yang keluar
dari mulut Djarot.
Di atas kain kuning itu bertumpukan
potongan-potongan tubuh manusia
bergelimang darah mengerikan. Potongan kaki
kanan sebatas lutut ke bawah saling tumpang
tindih dengan potongan kaki kiri yang
dipotong hanya tinggal bagian lutut sampai
ke pangkal paha. Lalu ada bagian perut
sebatas pinggang. Lalu potongan sepasang
tangan serta bagian dada. Terakhir sekali
potongan kepala berambut panjang. Potongan
kepala inilah yang paling mengerikan karena
jelas tampak bekas dicincang hingga hancur-
dan sulit dikenali. Kedua telinganyapun putus.
Pada pergelangan tangan kiri tampak
melingkar sebuah gelang perak berbentuk
ukiran ular yang sebagian tertutup oleh dara
yang telah Keseluruhan potongan-potongan
tubuh itu berjumlah sebelas potong.
Potongan-potongan tubuh itu adalah tubuh
seorang perempuan berkulit putih. Tidak
sepotong kainpun menutupi aurat yang
teraniaya itu. Karena telah membusuk dapat
dipastikan mayat terpotong-potong itu telah
sengaja dicampakkan di tempat itu lebih dari
satu hari lalu.
Wiro merasakan tenggorokannya kering dan
lidahnya kelu. "Perempuan malang! Siapa
yang memperlakukannya sekejam ini..." desis
murid Sinto Gendeng dengan suara bergetar.
Dia berpaling pada ketiga murid Kiyai Djoko
Bening. Sulindari masih tersandar ke pohon.
Djarot dan Rokonuwu masih tertegun
membeliak seperti orang kena totok. Wiro
cepat-cepat membungkus potongan-potongan
mayat itu dengan kain kuning kembali. Saat
itulah dia melihat sebuah benda berbentuk
bulat berwarna keputihan tersepit di bawah
salah satu potongan paha. Ketika dipungut
benda itu ternyata adalah sebuah giwang
terbuat dari perak. Tanpa terlihat oleh ketiga
anak murid Kiyai Djoko Bening, Wiro
memasukkan anting-anting itu ke dalam saku
pakaiannya.
"Ini peristiwa pembunuhan yang harus di
usut!" kata murid Sinto Gendeng. "Tapi kita
berkewajiban menguburkan mayat ini cepat-
cepat. Bagaimana ini...?" Wiro garuk-garuk
kepala.
"Tunggu!" terdengar suara Djarot. "Kejadian
ini harus dilaporkan dulu pada guru karena
beliau yang menugaskan kami melakukan
penyelidikan."
"Lalu apa yang hendak kau lakukan?" tanya
Wiro.
"Potongan mayat harus di bawah ke puncak
Merbabu dan diperlihatkan pada Kiyai.
Setelah melihat terserah apa yang akan
diperintahkannya."
Wiro geleng-geleng kepala. "Mayat ini bukan
kadangku bukan sanakku. Apa yang hendak
kau lakukan silahkan saja. Lagi pula daerah
ini adalah wilayah kediaman kalian. Tapi
bagaimana caramu membawanya dalam
keadaan seperti itu. Busuk, menjijikkan dan
mengerikan!"
Djarot tak menjawab. Dia melangkah
mendekati sebuah pohon berbatang kecil
sekitar pergelangan tangan. Sekali pemuda Ini
menggerakkan tangannya bagian bawah
batang pohon itu patah. Begitu pohon
tumbang, sekali lagi Djarot menghantam
batang pohon di sebelah atas. Kini dia
mendapatkan sebuah potongan kayu. Ujung
kayu itu disusupkannya pada buntalan kain
kuning berisi potongan mayat, lalu dia
memberi isyarat pada Rokomuwu. Dua murid
Kiyai Djoko Bening itu kemudian memanggul
mayat dalam bungkusan kain kuning.
Sebelum meninggalkan tempat itu Djarot
berkata pada Wiro.
"Kami tidak mengundangmu. Tapi jika kau
mau ikut ke tempat kami silahkan saja…. "
Wiro mengangguk. Dia menunggu sampai
Sulindari melangkah dan berjalan di sebelah
depannya, lalu baru mengikuti dari belakang.
EMPAT
KYAI DJOKO BENING yang sejak malam tadi
memang sudah punya firasat tidak enak
karena itu dia sengaja duduk menunggu di
langkah depan tempat kediamannya di puncak
gunung Merbabu. Ketika melihat murid-
muridnya muncul orang tua ini sipitkan kedua
matanya, tidak menyangka mereka akan
kembali secepat itu. Apalagi dilihatnya Djarot
dan Rokonuwu menggotong sebuah
bungkusan besar kain kuning bercak merah
yang menghampar bau busuk bukan kepalang.
Lalu dia melihat pula seorang pemuda
bertubuh kekar, berambut gondrong
berpakaian serba putih yang tidak dikenalnya.
"Apa yang kalian temukan dan siapa pemuda
ini?" bertanya sang Kiyai. Pendekar 212 Wiro
Sableng karena orang tidak langsung bertanya
maka tidak mejawab dan hanya menjura saja
member penghormatan pada orang tua itu.
Djarot dan Rokonuwu menurunkan buntalan
yang mereka gotong tepat di tangga rumah.
"Sesuatu yang mengerikan Kiyai..." ujar Djarot
seraya mulai membuka buntalan kain kuning.
"Mengerikan dan biadab sekali!" menyambung
Sulindari.
Dan ketika bungkusan kain kuning telah
dibuka lebar-lebar, Kiyai Djoko Bening tampak
terperangah. Kedua matanya dipejamkan dan
kepalanya ditengadahkan ke langit. "Tuhan,
apa arti semua ini. Kami mohon petunjukmu
ya Allah." Terdengar suara sang Kiyai
setengah berbisik. Lalu perlahan-lahan
kepalanya diturunkan, kedua mata dibuka dan
memandang pada murid-muridnya.
Djarot si murid tertua segera memberi
penjelasan bagaimana mereka mula-mula
menemui mayat terpotong sebelas itu. Lalu
pemuda ini menggamit tangan gurunya,
mengajak orang tua itu ke ujung rumah
hingga terpisah cukup jauh dari lain-lainnya.
Disini Djarot berbisik pada gurunya.
"Ketika kami bertiga sampai di tempat
buntalan ditemukan, pemuda berpakaian putih
itu telah berada di sana. Saya curiga Kiyai.
Jangan-jangan dialah yang telah membuang
buntalan itu!"
Kiyai Djoko Bening melirik ke arah Wiro
Sableng lalu menggelengkan kepala. "Aku
tidak sependapat denganmu Djarot. Jika
memang dia yang membuang bungkusan
berisi mayat terpotong-potong itu pakaiannya
pasti akan terkena noda-noda darah. Bukti-
bukti itu tak kulihat. Pakaian putihnya bersih.
Lagi pula tidak mudah seorang diri membawa
bungkusan mayat seberat itu ke atas gunung.
Paling tidak harus dua orang menggotongnya
atau bisa juga seorang diri, tetapi dengan
kuda. Kau kenal siapa adanya pemuda itu dan
mengapa dia mengikuti ke tempat kita ini?"
"Dia mengaku bernama Wiro Sableng dan…."
Kiyai Djoko Bening memegang bahu muridnya.
"Apa katamu Djarot? Katakan sekali lagi
nama pemuda itu!"
"Wiro Sableng, Kiyai…."
"Astaga..." Kiyai Djoko Bening memberi
isyarat pada Djarot agar mengikutinya. Lalu
dia melangkah menghampiri Wiro seraya
berkata: "Apakah benar saat ini aku
berhadapan dengan murid sahabatku Sinto
Gendeng, pendekar besar bergelar Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212?!"
Wiro yang tidak menduga sang Kiyai
mengenalinya hanya bisa menjura sekali lagi
dan tertawa lebar. "Saya hanya murid seorang
nenek buruk dan tidak mempunyai kepandaian
apa-apa. Kiyai keliwat memuji. Saya jadi
rikuh menerima penghormatan dan pujianmu,
Kiyai Djoko Bening..."
Sang Kiyai geleng-gelengkan kepalanya lalu
ulurkan tangan kanan dan tepuk-tepuk bahu
kiri Wiro Sableng. Uluran tangan, apalagi
tepukan yang dilakukan bukanlah
sembarangan karena disertai aliran tenaga
dalam sehingga tepukan itu mempunyai daya
berat puluhan kati. Jangankan bahu manusia,
sebuah batu besarpun jika ditekan seperti itu
akan amblas.
Ketika sang Kiyai mengulurkan tangannya
Wiro merasakan adanya hawa dingin
menyambar ke arahnya. Maklumlah pendekar
ini kalau uluran tangan itu disertai aliran
tenaga dalam yang tinggi. Dan ketika sang
Kiyai mulai menepuk Wiro merasakan satu
kekuatan dahsyat menekan tubuhnya. Kini
murid Eyang Sinto Gendeng ini sadar kalau
orang sengaja hendak menjajal dirinya. Maka
diam-diam dia mengerahkan tenaga
dalamnya ke bahu kiri.
Sewaktu Kiyai Djoko Bening hampir
menyentuh bahu Wiro dia jadi terkejut karena
dari bahu yang hendak ditekannya itu ada
hawa aneh keluar dan membuat tangan
kanannya tergetar sampai ke siku Karena
sudah tanggung, Kiyai Djoko Bening teruskan
tepukannya. Dia sempat menepuk bahu
pemuda di hadapannya itu empat kali, namun
tangannya mendadak terasa seperti ditimbun
oleh gundukan es sehingga terasa dingin luar
biasa, hampir kaku. Cepat-cepat Kiyai Djoko
Bening salurkan tenaga dalam berhawa panas
hingga hawa dingin perlahan-lahan sirna.
Di luar orang tua itu tampak tersenyum.
Dalam hati dia menyadari. Untuk dapat
memiliki tingkat tenaga dalam yang sanggup
menahan tepukannya seperti yang dilakukan
Wiro tadi, murid-muridnya paling tidak harus
belajar keras sekitar lima sampai tujuh tahun
lagi. Itupun belum tentu sempurna. Maka mau
tak mau orang tua ini menjadi kagum pada
pendekar satu ini.
"Pendekar 212... Dulu ketika kau masih
berusia sepuluh tahun, aku pernah
menyambangi gurumu di puncak Gunung
Gede. Kami duduk di bawah sebatang pohon
jambu dan terlibat dalam perang mulut. Kami
bertengkar besar memperta-hankan keyakinan
masing-masing, tak ada yang mau mengalah.
Kami bertengkar mulai dari tengah hari
sampai menjelang sore. Dan kau ingat apa
yang kau lakukan saat itu...?"
Wiro berpikir mengingat-ingat. "Kejadiannya
sudah lama sekali Kiyai. Saya tidak ingat..."
katanya menjawab.
Kiyai Djoko Bening tersenyum. "Saat itu diam-
diam kau naik ke atas pohon jambu, memetik
dua buah jambu muda. Satu persatu dua
buah jambu itu kau lemparkan ke arah kami
yang sedang bertengkar dan tepat masuk ke
dalam mulut gurumu dan mulutku yang
sedang berkoar-koar. Kontan kami berdua
menjadi bungkam membisu malah hampir
tercekik!"
Habis menceritakan hal itu Kiyai Djoko Bening
tertawa gelak-gelak Tiga.muridnya ikut
tertawa pula sementara Wiro hanya garuk-
garuk kepala lalu berkata: "Ah, sungguh
kurang ajar sekali perbuatan saya saat itu
Kiyai..."
Kiyai Djoko Bening mengangguk. "Waktu kecil
kau memang nakal sekali Wiro. Tetapi apa
yang kau lakukan terhadap kami saat itu
mendatangkan kesadaran bahkan hikmah..."
"Ah mengapa bisa begitu Kiyai?" tanya Wiro
tak mengerti.
"Pertama hal itu membuat kami sadar bahwa
sebagai tua bangka sudah bukan tempatnya
lagi kami mengikuti hawa amarah dan berlaku
tolol bertengkar seperti anak kecil. Kedua hal
Itu membuktikan bahwa siapa saja yang tidak
dapat mengontrol kemarahannya akan
menjadi lengah hingga musuh bisa
mencelakakan diri kita dengan mudah.
Buktinya seorang anak seusia sepuluh tahun
sepertimu sanggup menyumpal mulut dua
tokoh silat dengan jambu mentah!" Kembali
Kiyai Djoko Bening tertawa gelak-gelak.
Setelah tawa gurunya reda, Djarot bertanya:
"Kiyai, bagaimana dengan potongan-
potongan mayat ini...?
Seperti sadar, Kiyai itu anggukan kepala. "Ini
satu perkara besar yang tengah kita hadapi.
Dari gelang perak di lengan mayat aku bisa
memastikan mayat ini bukan dari kalangan
rakyat biasa. Gelang perak berukir kepala ular
seperti itu hanya dimiliki oleh orang-orang
yang ada hubungannya dengan kalangan
Keraton, atau istana. Paling tidak dengan
Kadipaten. Dan melihat keadaan potongan
mayat kurasa manusia malang ini adalah
seorang gadis. Dari bentuk payudara dan
perutnya aku yakin dia berada dalam keadaan
hamil paling tidak empat sampai lima
bulan..."
"Lalu apa yang harus kita lakukan Kiyai...?"
tanya Rukunowo.
"Sebaiknya mayat ini cepat-cepat kita
kuburkan saja Kiyai. Kasihan, arwahnya pasti
tersiksa jika tubuh kasarnya berada dalam
keadaan seperti ini," kata Sulindari pula.
"Memang betul, menurut adat dan ketentuan
agama jenazah seseorang harus cepat-cepat
dikubur. Tapi kita menghadapi hal yang luar
biasa murid-muridku. Satu perkara
pembunuhan yang besar. Mungkin melibatkan
orang-orang besar pula. Jenazah ini harus
kita awetkan untuk beberapa lama sampai
diketahui siapa dia adanya, lalu
menyerahkannya pada keluarganya. Sulindari,
kau pergilah ambil bubuk cendana putih..."
Mendengar itu Sulindari masuk ke dalam
rumah sedang Kiyai Djoko Bening
menanggalkan gelang perak berukir ular dari
potongan lengan kiri dan menyerahkannya
pada Rokonuwu seraya berkata: "Cuci gelang
ini sampai bersih lalu serahkan padaku
kembali."
Sulindari keluar membawa sebuah kotak kecil
dari kayu berisi sejenis bubuk yang terbuat
dari kayu cendana putih. Kiyai Djoko Bening
kemudian menebarkan bubuk putih itu di atas
potongan-potongan mayat. Bau harum
menebar. Bubuk putih itu bukan saja
mematikan bau busuk tapi sekaligus juga
mampu mengawetkan potongan-potongan
jenazah sampai lima-enam minggu di muka.
Selesai menebar bubuk dan menyerahkan
kotak kayu kembali pada Sulindari, Kiyai
Djoko Bening berkata: "Murid-muridku, mayat
dipotong sebelas itu ditemukan di gunung
Merbabu, tempat kediaman kita. Karena itu
menjadi kewajiban bagi kita untuk mengusut
kejadian ini. Pertama kita harus mengetahui
siapa adanya gadis yang menjadi korban.
Kedua siapa pelaku pembunuhannya. Dengan
demikian kemungkinan orang menjatuhkan
tuduhan terhadap kita dapat kita hindari..."
"Bagaimana caranya kami bisa melakukan
semua itu Kiyai?" tanya Djarot.
"Pertama tentu saja kalian bertiga harus turun
gunung. Ini satu kesempatan baik bagi kalian
karena setelah bertahun-tahun berada disini
baru kali ini kalian mendapat kesempatan
untuk meninggalkan Merbabu. Berarti tugas
dan pengalaman. Kalian bisa mulai dengan
menyirap kabar siapa keluarga yang
kehilangan anak gadis mereka. Jika kalian
temui bawa mereka kemari untuk menyaksikan
mayat agar bisa dikenali."
Kiyai Djoko Bening berpaling pada Wiro
Sableng dan bertanya: "Bagaimana dengan
kau Pendekar 212. Apakah akan melakukan
penyelidikan pula...?"
Wiro mengangguk. Lalu berkata: "Saya punya
dugaan bahwa korban seorang dari dunia
persilatan, paling tidak pernah belajar ilmu
silat."
"Hemm, matamu tajam sekali Wiro. Dari mana
kau bisa mengetahui hal itu?" bertanya Kiyai
Djoko Bening.
"Pertama lengan kanannya. Lebih besar dan
lebih kukuh dari lengan kiri. Berarti dia sering
berlatih diri dalam ilmu golok atau pedang.
Kedua telapak tangan kanan. Lebih kasar dari
telapak tangan kiri. Pertanda dia lebih sering
mempergunakannya untuk latihan memukul.
Dan yang terakhir, kedua telapak kakinya
tampak tebal karena lebih sering tidak
memakai kasut..."
Kiyai Djoko Bening mengangguk-angguk. Dia
berpaling pada ketiga muridnya. "Kalian boleh
berangkat besok saja. Dan kau Wiro, aku
undang kau untuk menginap disini agar kita
bisa bercerita banyak dan bertukar
pengalaman." Sebenarnya selain berbasa basi
orang tua itu ingin menahan Wiro agar dapat
melakukan latihan dengan murid-muridnya.
Namun dia agak kecewa ketika mendapatkan
jawaban.
"Terima kasih Kiyai. Saya harus minta diri
saat ini juga. Di lain waktu jika umur sama
panjang saya akan menyambangimu lagi
disini." Lalu Wiro menjura dalam-dalam pada
orang tua itu. Dia juga menjura pada ketiga
murid sang Kiyai.
Sesaat setelah Wiro berlalu, Rokonuwu
bertanya: "Kiyai, apa benar pemuda tadi
seorang pendekar tokoh persilatan. Harap
dimaafkan kalau di mata saya dia kelihatan
seperti seorang pemuda konyol. Gerak
geriknya aneh. Sering menyeringai dan
menggaruk kepala seperti orang linglung..."
Kiyai Djoko Bening tersenyum kecil. Sambil
rangkapkan kedua tangan di depan dada dia
berkata: "Pertanyaanmu itu membuat aku
mengungkapkan lagi satu rahasia hidup pada
kalian, murid-muridku.
Apa yang kita lihat baik dan bagus di mata,
belum tentu sebenarnya begitu. Sebaliknya
apa yang kita saksikan buruk mungkin
sebenarnya bagus. Begitu juga dengan wajah,
sifat dan sikap seseorang. Dan satu hal lagi
murid-muridku, dunia ini memang penuh
dengan keanehan. Tinggal terserah pada kita,
apakah kita bisa mempergunakan kemampuan
otak dan pengalaman untuk mencerna
keanehan itu. Kalian semua telah memiliki
kepandaian tinggi. Silat luar dan silat dalam.
Tetapi soal pengalaman kalian harus banyak
menempa diri. Itulah sebabnya tadi kukatakan
bahwa peristiwa ditemukannya mayat
terpotong sebelas itu membuat aku
mengambil keputusan agar kalian turun
gunung."
Setelah berkata begitu Kiyai Djoko Bening
keluarkan gelang perak ular yang tadi telah
dicuci oleh Rokonuwu lalu diserahkannya
pada Djarot. "Bawa gelang perak ini. Benda
ini dapat dipergunakan untuk bukti bagi
keluarga korban, jika kelak kau dan saudara-
saudaramu berhasil menemukan mereka."
Djarot mengambil gelang perak itu lalu
memasukkannya ke dalam saku pakaian
birunya.
LIMA
ORANG bercadar hitam dan menunggangi
kuda besar itu berhenti tepat di bawah pohon
nangka hutan. Sesuai perjanjian dia akan
bertemu dengan kedua orang itu di tempat
tersebut. Tapi dua orang itu sama sekali tidak
kelihatan pangkal hidungnya. Sementara
langit sore tampak lebih cepat gelapnya
karena mendung. Sebentar lagi tentu turun
hujan lebat.
"Sialan! Mana mereka itu?!" orang di atas
kuda memaki. Lalu karena tidak sabaran
diapun berteriak: "Randu! Tikil! Dimana
kalian?!"
Baru saja gema teriakan itu lenyap dalam
rimba belantara semak belukar di ujung kanan
tersibak dan dua orang lelaki bertubuh kurus
mengenakan pakaian gombrang muncul.
"Kami datang!" salah seorang dari keduanya
cepat menjawab.
"Ingat!" orang di atas kuda membentak.
"Dalam pembicaraan jangan sekali-kali
menyebut nama dan gelarku! Pohon dan batu
di rimba belantara ini bukan mustahil punya
telinga untuk mendengar dan punya mulut
untuk mengadu!"
"Kami mengerti..." jawab orang yang bernama
Randu. Dalam hati dia berkata: "Itu sebabnya
dia mengenakan cadar. Tidak seperti
pertemuan sebelumnya. Agaknya perbuatan
busuk ini sudah mulai tercium orang luar..."
Orang di atas kuda melemparkan sebuah
kantong berisi uang yang segera ditanggapi
oleh Randu.
"Itu uang terakhir yang kalian bisa bagi dua.
Setelah ini kalian berdua harus tinggalkan
daerah sekitar sini dan jangan berani kembali!
Sekarang katakan, ada apa kalian meminta
untuk bertemu?!"
Yang menjawab adalah si kurus bernama Tikil.
"Sejak satu minggu lalu ada dua orang
pemuda dan seorang gadis muncul di
beberapa tempat. Mereka menanyakan apakah
ada gadis hilang atau diculik di daerah ini.
Lalu mereka juga memperlihatkan sebuah
gelang perak berukir kepala ular..."
"Astaga! Gelang itu!" kata si penunggang
kuda hampir berteriak. "Jadi gelang itu tidak
sempat kalian amankan! Celaka! Benar-benar
celaka! Kenapa kalian bekerja begitu
sembrono?!"
"Mohon maafmu. Kami tidak memikir sejauh
itu. Lagi pula saat itu ada orang datang
hendak menemui dukun beranak itu. Kami
berkemas cepat-cepat dan pergi..."
"Celaka! Kalau begitu kalian berdua harus
segera menemui Warok Kuto Item. Minta dia
untuk mencari ketiga pemuda itu dan
membereskannya!"
"Kami rasa Warok Kuto Item sekalipun kami
bantu tidak akan mampu menghadapi tiga
pemuda itu. Mereka ternyata adalah anak-
anak murid Kiyai Djoko Bening dari gunung
Merbabu!".
"Celaka! Ini lebih celaka lagi! Tapi... aku tak
pernah mendengar Kiyai itu punya murid!
Persetan! tiga orang itu harus disingkirkan!
Aku tidak mengerti mengapa mereka yang
justru kasak-kusuk melakukan penyelidikan?"
'Tidak dapat tidak mayat yang kami buang di
lereng gunung Merbabu pasti telah mereka
temukan!" Jawab Tikil.
"Kalau begitu kalian harus menemukan Datuk
Kepala Besi. Beri tahu tokoh silat golongan
hitam itu untuk membunuh ketiga anak murid
Kiyai Djoko Bening. Malam ini juga kalian
bertiga harus berangkat ke tempat kediaman
sang Datuk di pantai Selatan!" Dari balik
pakaiannya orang di atas kuda mengambil
sebuah kantong uang lagi dan
melemparkannya pada Randu. "Berikan uang
itu pada Datuk Kepala Besi. Dan ingat, setelah
kalian bertemu dengan sang Datuk, kalian
harus melenyapkan diri! Aku tidak ingin
bertemu lagi dengan kalian. Apapun
alasannya! Kalian mengerti?!"
"Kami mengerti. Namun mohon uang bekal
kami ditambah. Soalnya kalau kami pergi dari
sini, kami belum tentu akan dapat pekerjaan
dengan cepat. Lalu bagaimana kami memberi
makan anak isteri kami..."
"Sialan, kalian hendak memerasku?!" hardik si
penunggang kuda bercadar. "Ternyata kalian
tidak bisa kupercaya!"
"Kami berdua mana berani memerasmu." yang
menjawab adalah Randu. "Soal kepercayaan
dan kesetian kami tidak perlu diragukan.
Yang kami khawatirkan justru si dukun
beranak itu!"
Orang di atas kuda jadi terkesiap mendengar
kata-kata Randu. "Ucapannya mungkin ada
benarnya," katanya dalam hati. Lalu dia
mengeluarkan sebuah kantong lagi dan
melemparkannya pada Randu. "Ambil dan
pergi! Jangan kembali-kembali lagi!"
"Terima kasihi" ucap Randu sambil
menyambut kantong yang dilemparkan lalu
dia member isyarat pada Tikil. Kedua orang
ini segera menyeruak di balik semak belukar
dan lenyap. Di atas hutan langit semakin
mendung. Gelegar guntur terdengar
dikejauhan disambut oleh kerlapan kilat. Si
penunggang kuda segera putar binatang
tunggangannya dan dengan cepat tinggalkan
rimba belantara itu.
ENAM
"ISTRIKU..." kata Tumenggung Brojo
Menggolo pada istrinya yang duduk terbatuk-
batuk di kursi besar di ruang tengah gedung
kediaman mereka yang terletak di bagian
selatan Kotaraja. "Sudah hampir seminggu
puterimu Sintomurni belum juga kembali dari
tempat kediaman guru silatnya. Apakah aku
perlu menyuruh orang untuk menjemputnya?"
Surti Retnoningsih sang istri terbatuk-batuk
beberapa kali lalu membuang dahaknya ke
sebuah tempolong. Sudah sejak dua tahun ini
perempuan itu menderita batuk seperti itu.
Berbagai obat telah diminumnya. Berbagai
orang pandai mulai dari dukun sampai ahli
pengobatan dari istana coba mengobatinya
tetapi sia-sia saja. Badan perempuan yang
dulu gemuk montok itu berangsur-angsur
menjadi kurus. Dalam waktu dua tahun
tubuhnya boleh dikatakan hanya tinggal kulit
pembalut tulang. Wajahnya pucat.
Sintomurni adalah anak satu-satunya kedua
suami istri itu. Tumenggung Brojo Menggolo
kawin dengan Surti Retnoningsih dalam usia
yang agak lanjut yaitu empat puluh lima
tahun sedang sang istri yang pada waktu itu
adalah seorang janda berusia empat puluh
tiga tahun dan mempunyai seorang anak
perempuan dari suaminya yang terdahulu. Di
usia sang Tumenggung yang hampir enam
puluh maka anak tlrinya yaitu Sintomurni
telah menjadi seorang gadis yang mewarisi
kecantikan dan kebagusan tubuh ibunya di
masa muda. Dan tentang gadis itulah kini
yang tengah dibicarakan kedua suami istri itu.
"Jika anak itu memang tengah digembleng
untuk mencapai tingkat ilmu yang lebih tinggi,
sebaiknya kita tidak usah mengganggu dan
memanggilnya pulang. Tapi terus terang sejak
satu mingguan ini aku terus teringat padanya,
bahkan sampai memimpikan anak itu. Aku
khawatir, janganjangan umurku ini hanya
tinggal beberapa saat saja. Ada baikya kau
memanggilnya segera pulang, suamiku..."
"Kalau begitu segera akan kukirim orang
menjemputnya," kata Tumenggung Brojo
Menggolo pula. "Kuharap kau jangan
menyebut-nyebut soal mati itu Retno.
Sakitmu memang sulit disembuhkan. Tapi
percayalah satu ketika kau akan sehat
kembali." Sang Tumenggung lalu berdiri. Dia
melangkah ke samping gedung besar, sesaat
tegak seperti termenung disitu sebelum
akhirnya menuju ke belakang untuk
memanggil pengawal.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali seorang
lelaki bertubuh langsing berkulit coklat pekat
datang dengan diantar oleh seorang
pengawal. Dialah Sangkolo Pratolo guru silat
Sintomurni, seorang yang ikut menjadi tokoh
silat istana karena kepandaiannya yang tinggi
dan dekatnya hubungannya dengan
Tumenggung Brojo Menggolo. Sang guru
langsung diantar ke ruangan dimana
Tumenggung berada bersama istrinya.
Setelah menjura memberi hormat pada kedua
suami istri itu dan dipersilakan mengambil
tempat duduk, Sangkolo Pratolo segera
membuka mulut. 'Tumenggung, terus terang
saya heran ada utusan yang hendak
menjemput puteri Tumenggung Sintomurni.
Padahal puteri Tumenggung itu telah mohon
diri dari tempat saya tiga hari yang lalu.
Sesuai keterangannya dia berkata akan
langsung pulang. Apakah dia belum sampai
kemari...?"
Tumenggung Brojo Menggolo menggeleng lalu
saling pandang dengan istrinya. Jelas ada
bayangan rasa khawatir pada wajah
perempuan yang pucat dan sakit-sakitan itu.
"Saya takut sesuatu terjadi dengannya..." kata
Retnoningsih dan air mata langsung saja
meluncur ke pipinya yang cekung.
"Jangan-jangan ada orang jahat yang
melakukan sesuatu terhadapnya.
Menculiknya... . Menyekapnya di satu
tempat..."
"Sulit hal itu bisa terjadi Den Ayu Retno,"
sahut Sangkolo Pratolo. "Dengan tingkat
kepandaian yang dimilikinya sekarang tidak
sembarang orang mampu berbuat yang
bukan-bukan terhadapnya..."
"Selama Sintomurni berada di tempat
kediamanmu, apakah sampean melihat ada
kelainan-kelainan pada diri anak kami itu...?"
bertanya Tumenggung Brojo Menggolo.
"Maksud Tumenggung...?" balik bertanya
Sangkolo Pratolo.
"Maksudku mungkin sebagai gurunya,
Sintomurni lebih terbuka terhadapmu dari
pada kami. Mungkin ada sesuatu yang
menjadi unek-unekannya atau yang
menggelisahkannya. Misal siapa tahu dia
berselisih atau sedang marahan dengan
pemuda kekasihnya yang bernama Damar
Bintoro itu..." sahut Tumenggung pula.
"Tidak tampak tanda-tanda apa-apa
Tumenggung. Juga tidak pernah dia
mengatakan suatu ganjalan pada saya."
"Kalau begitu kemana perginya anak Itu?"
tanya Tumenggung Brojo Menggolo seraya
memandang pada istrinya yang tengah
mengusut air mata. "Kita harus mencari tahu
dimana dia berada, suamiku..." berkata
Retnonlngsih.
"Tentu... tentu saja. Aku akan memerintahkan
para bawahanku. Bahkan aku sendiri yang
akan turun tangan. Dan Sangkolo Pratolo, aku
minta kau juga melakukan pencarian..."
"Itu memang tugas saya, Tumenggung," sahut
guru silat itu.
TUJUH
DJAROT memperhatikan sejenak danau kecil
dihadapannya lalu memandang berkeliling.
Akhirnya murid tertua Kiyai Djoko Bening dari
gunung Merbabu ini berkata: "Walaupun
mengeluarkan biaya tapi bermalam di
penginapan lebih baik dari berkemah di
tempat ini. Terutama bagimu Sulindari."
"Aku tidak takut berkemah di alam terbuka di
tepi danau ini. Apa yang kau kawatirkan
kakak Djarot?" bertanya Sulindari sambil
mempermainkan gelang perak berukir kepala
ular yang dikenakannya di lengan kirinya.
Seperti diketahui gelang itu adalah gelang
yang ditemukan pada lengan kiri mayat
terpotong sebelas. Karena tak mau dianggap
pengecut akhirnya Djarot menyetujui usul
kedua adik seperguruannya untuk bermalam
dan berkemah di tempat itu.
"Kalian mengusulkan maka kalian yang harus
mencari kayu untuk perapian," kata Djarot
pula. Dalam waktu singkat Sulandari dan
Rokonuwu telah mendapatkan kayu api yang
diperlukan.
Begitu malam turun api unggun segera
dinyalakan. Lalu ketiganya melakukan
sembahyang dengan Djarot sebagai imam.
Pada saat menjelang akhir sembahyang Djarot
mendengar suara mencurigakan di balik
semak belukar tak jauh dari perkemahan.
Suara itu juga terdengar oleh kedua orang
adik seperguruannya yang membuat ketiganya
jadi kurang khusuk melakukan sembahyang.
Begitu memberi salam Djarot segera berpaling
pada kedua adiknya dan berbisik: "Kalian
mendengar suara mencurigakan itu...?"
Baik Rokonuwu maupun Sulandari sama-sama
mengangguk.
"Aku punya firasat gerak-gerik kita tengah
diintai seseorang," kata Djarot. Dia
memandang berkeliling. Tak ada gerakan, tak
ada suara. Tapi itu hanya beberapa ketika
karena tiba-tiba sekali kemudian terdengar
suara orang menegur lantang merobek
kesunyian malam.
"Dua pemuda satu pemudi di perkemahan,
apakah kalian murid-murid Kiyai Djoko Bening
dari gunung Merbabu?"
Dengan gerakan tenang tiga orang di tepi
danau berdiri. Mereka sama palingkan kepala
ke arah kegelapan di jurusan mana tadi
datangnya suara menegur.
"Siapakah yang bertanya?!" menyahuti Djarot.
"Keluarlah dari kegelapan agar kami bisa
mengenalimu!"
Terdengar suara mendengus. Lalu semak
belukar di samping kanan tersibak dan
seorang lelaki muncul melangkah mendekati
api unggun. Tiga murid Kiyai Djoko Bening
berpaling. Sungguh aneh bagi mereka. Jelas-
jelas orang yang tadi menegur lantang
suaranya datang dari sebelah kiri. Bagaimana
kini tahu-tahu muncul dari sebelah kanan?
"Orang ini memiliki ilmu seperti yang
dikatakan guru. Ilmu memindahkan suara. Dia
berada di sebelah kanan tapi suaranya muncul
di sebelah kiri..." begitu Djarot membatin. Dan
bersama adiknya dia memandangi sosok
tubuh yang kini tegak dekat api unggun itu.
Orang ini memiliki kepala botak plontos
tampak berkilat-kilat terkena cahaya api
unggun. Dia mengenakan sehelai celana hitam
sebatas lutut. Di sebelah atas dia
bertelanjang dada. Sehelai kain hitam
menyerupai selendang dililitkan di lehernya.
Berada dalam kegelapan dan sebagian tubuh
serta wajah orang ini tampak angker.
"Aku sudah keluar dari tempat gelap.
Sekarang apakah kalian mengenaliku?!" tanya
si botak seraya bertolak pinggang.
"Kami tidak mengenali siapa dirimu ki sanak!"
sahut Djarot dengan polos.
Si botak tertawa. "Kalian tidak kenal aku, tapi
aku kenal siapa kalian! Bukankah itu hebat?!"
Kembali si botak ini tertawa. Dia membungkuk
mengambil sebatang kayu sebesar lengan
yang jadi penyala api unggun. Kayu besar itu
tiba-tiba dihantamkannya kuat-kuat ke
kepalanya yang botak.
Kraak!!!
Bukan kepalanya yang pecah atau remuk tapi
kayu api itu yang patah berkeping-keping.
Kepalanya yang botak jangankan luka, lecet
sedikitpun tidak. Tiga murid Kiyai Djoko
Bening yang baru saja turun gunung tentu
saja tercengang kagum melihat hai itu. Malah
Rokonuwu sempat berseru: "Hebat luar biasa!"
Si botak tertawa mengekeh. "Baru itu saja
kalian sudah terlongong-longong! Padahal itu
belum seberapa!" katanya. "Lihat ini!" Si
botak berseru lalu dia berlari dengan kepala
ditekuk ke arah sebatang pohon besar di tepi
danau. Kepala dan batang pohon beradu
keras.
Seperti tadi terdengar suara kraak keras
sekali. Batang pohon hancur dan pohon itu
kemudian tumbang dengan mengeluarkan
suara menggemuruh. Djarot, Sulindari dan
Rokonuwu sama ternganga dan saling
pandang, namun Djarot diam-diam bertanya-
tanya dalam hati apa sebenarnya tujuan si
botak tak dikenal itu memperagakan
kehebatan kepalanya yang sanggup
menghancurkan batang kayu malah
menumbangkan pohon.
"Ki sanak yang memiliki ilmu hebat, kami
benar-benar mengagumi kehebatanmu. Kalau
kami boleh bertanya siapakah ki sanak ini?"
bertanya Djarot.
Si botak tertawa panjang sambil mengusap-
usap kepalanya yang botak. "Dunia persilatan
mengenal aku dengan gelar Datuk Kepala
Besi. Puluhan tahun aku menjadi raja diraja
daerah selatan!"
Baik Djarot maupun dua saudara
seperguruannya memang belum pernah
mendengar gelar itu. Gurunya pun tak pernah
menceritakan tentang manusia satu ini. Tapi
untuk menyenangkan hati si botak Djarot
berkata lagi: "Ah, ternyata gelarmupun hebat
sekali ki sanak. Kami senang dapat mengenal
orang berkepandaian tinggi sepertimu..."
"Bagus... bagus! Anak muda kau bicara sopan
dan sikapmu baik terhadapku. Itu mengurangi
hukuman yang bakal aku jatuhkan terhadap
kalian bertiga!"
"Hukuman...?" ujar Djarot dan Rokonuwu
hampir bersamaan. "Hukuman apa maksudmu
ki sanak?"
"Kalian bertiga telah melakukan satu dosa
besar. Membunuh seorang gadis, memotong-
motong mayatnya lalu membuangnya di
lereng Merbabu!"
"Astaga!" seru Djarot. "Justru guru kami Kiyai
Djoko Bening memerintahkan kami turun
gunung untuk menyelidiki peristiwa
pembunuhan yang keji itu."
"Kau pandai bersilat lidah dan berani
berdusta terhadapku! Aku menuduh bukan
hanya asal gembreng! Aku punya bukti! ayo
katakan dari mana gadis satu ini
mendapatkan gelang perak berkepala ular
itu!"
Sulindari terkejut dan seperti sadar pegangi
gelang di lengan kirinya. Lalu dia cepat-cepat
membuka mulut: "Gelang ini memang milik
korban pembunuhan itu. Guruku sengaja
mengambilnya dan diberikan pada kami untuk
bahan mencari bukti siapa adanya gadis itu
dan siapa pembunuhnya!"
"Siapa bisa percaya pada ucapan dan
keterangan kalian!" sahut Datuk Kepala Besi.
"Seperti aku bilang tadi hukuman untuk kalian
bertiga akan kuperingan sedikit. Kalian dua
pemuda tetap akan kubunuh sedang gadis ini
kuberi ampun tapi dengan syarat harus ikut
aku ke tempat kediamanku di pantai selatan!"
Mendengar ucapan Datuk Kepala Besi itu tiga
murid Kiyai Djoko Bening serta merta tegak
berpencar.
"Kami tidak melakukan pembunuhan!
Tuduhanmu tidak berdasar!" teriak Rokonuwu.
"Manusia botak ini hanya mencari-cari dalih.
Tujuan sebenarnya adalah hendak berbust
jahat terhadapku!" berkata Sulindari
Datuk Kepala Besi tertawa. Sejak semula
sesuai dengan pesan si pemberi uang, dia
sudah bertekad untuk membunuh tiga murid
Kiyai Djoko Bening itu. Namun dia sama
sekali tidak menduga kalau murid yang
perempuan ternyata adalah seorang yang
cantik jelita. Begitu melihat hatinya langsung
terpikat dan nafsu bejatnya menggelegak.
"Gadis cantik, mana ada niat dihatiku hendak
berbuat jahat terhadap dirimu. Justru aku
membawamu ke pantai selatan untuk
kujadikan permaisuriku. Ha...ha... ha!"
"Manusia tidak tahu diri!" bentak Sulandari.
"Kehebatan ilmumu memang membuat aku
kagum. Tapi tampangmu yang buruk hanya
cukup pantas jadi ganjalan roda pedati!"
"Hemmm... Gadis cantik, kalau bukan kau
yang menghinaku seperti itu pasti sudah
kurobek mulutnya!" Sepasang mata Datuk
Kepala Besi berkilat-kilat. Dia berpaling pada
Djarot dan Rokonuwu. "Apakah kalian sudah
siap menerima kematian?!"
"Kami tidak bersalah! Jika kau berniat jahat
kami terpaksa membela diri" sahut Djarot.
"Kakak Djarot!" tiba-tiba Sulindari berseru.
"Jangan-jangan si botak ini yang telah
membunuh dan mencincang gadis yang
mayatnya ditemukan di lereng Merbabu itu!"
"Bisa jadi! Kalau tidak mengapa dia bisa tahu
siapa pemilik gelang di lengan kirimu itu!"
menyahut Djarot.
Mendengar kata-kata Sulindari dan Djarot itu
Datuk Kepala Besi menggereng. Mukanya
mengelam dan rahangnya menggembung.
Sesaat kemudian tubuhnya melesat ke arah
Djarot, langsung melancarkan satu serangan
berupa jotosan deras ke arah dada si pemuda.
Djarot mainkan ilmu silat yang dipelajarinya
dari Kiyai Djoko Bening. Tubuhnya berkelebat
dalam satu gerakan mengelak yang gesit.
Lalu dia berusaha membalas. Karena merasa
tidak ada silang sengketa dengan si botak itu,
sebagai seorang pemuda yang berhati polos
Djarot tak mau membalas dengan sepenuh
hati. Dia hanya berusaha menggaet kaki
lawan agar lawan jatuh tergelimpang. Tapi
serangan itu terlalu empuk bagi tokoh silat
golongan hitam dari pantai selatan itu.
Dengan satu gerakan berputar yang aneh,
Datuk Kepala Besi melompat dan tahu-tahu
sudah berada di atas Djarot. Tangan kananya
mengemplang ke arah kepala pemuda itu.
Sekali hantaman itu mengenai sasarannya
kepala si pemuda pasti akan pecah, paling
tidak rengkah.
Djarot memiliki ketenangan yang
mengagumkan. Sambil merunduk dia
miringkan kepala. Begitu pukulan lawan lewat
di samping pelipisnya dengan satu gerakan
cepat dia berhasil menangkap lengan Datuk
Kepala Besi dengan kedua tangannya, lalu
membetotnya keras-keras hingga tubuh si
botak itu terlontar ke bawah siap menghunjam
tanah. Datuk Kepala Besi kaget dan marah
ketika dapatkan dirinya sempat ditarik lawan
seperti itu. Sebagai orang yang sudah banyak
pengalaman dia hanya mengikuti arah tarikan
lengan Djarot, tapi begitu jaraknya berada
lebih dekat sikut kanannya tiba-tiba menusuk
ke arah tulang-tulang iga si pemuda.
Kraak!
Terdengar suara patahnya dua tulang iga
kanan disertai pekik kesakitan keluar dari
mulut Djarot. Tubuh pemuda ini terhuyung ke
belakang beberapa langkah. Sambil pegangi
tubuhnya yang cidera murid Kiyai Djoko
Bening ini berusaha mengimbangi diri agar
tidak jatuh. Saat itulah Datuk Kepala Besi
datang dari depan, berlari kencang dengan
kepala merunduk. Laksana banteng
menanduk.
Djarot yang sudah melihat sendiri kehebatan
serta keganasan kepala manusia itu dalam
keadaan menahan sakit segera salurkan
tenaga dalamnya penuh ke tangan kanan.
Begitu kepala sang datuk tinggal satu
langkah dari hadapannya maka tinjunya
dihantamkan sekeras-kerasnya ke kepala
lawan.
Buuuk!!!
Kepala botak itu terdongak ke atas. Tubuh
Datuk Kepala Botak terjajar dua langkah. Tapi
sang datuk sendiri tampak tertawa lebar
seolah-olah jotosan yang keras itu hanyalah
satu usapan belaka. Kepalanya sama sekali
tidak cidera. Sebaliknya Djarot terlempar
empat langkah, jatuh di tepi danau. Kepalan
tangan kanannya lecet dan tangan itu menjadi
kaku sakit sampai sebatas bahu.
Selagi Djarot mencoba bangkit dalam keadaan
kesakitan seperti itu, Datuk Kepala Besi
mendatangi dengan melompat. Kaki kanannya
dihunjamkan ke bagian bawah perut si
pemuda. Djarot berusaha menggulingkan
tubuh menghindari injakan yang dapat
membuatnya cacat seumur hidup itu bahkan
menemui ajal. Namun dua tulang iga yang
patah dan tangan kanan yang cidera berat
membuat gerakannya menjadi lamban hingga
tak sanggup selamatkan tubuhnya dari
injakan kaki lawan.
Di saat yang kritis itu tiba-tiba berkelebat dua
bayangan disusul dengan menderunya dua
rangkum sinar kelabu yang dahsyat. Datuk
Kepala Besi berseru kaget ketika merasakan
tubuhnya seperti ditabrak dua batu besar, lalu
ada dua gelungan asap kelabu menjirat
tubuhnya. Yang satu menarik ke atas dan
satu lagi membetot ke bawah siap membuat
badannya tersobek-sobek dan terkutung
putus.
" Pukulan Selangit Tembus Sebumi Putus!"
seru Datuk Kepala Besi. Dia memang pernah
mendengar ilmu pukulan yang dimiliki Kiyai
Djoko Bening itu namun tidak menduga
sedemikian dahsyatnya. Cepat-cepat tokoh
silat golongan hitam dari selatan ini kerahkan
tenaga dalamnya lalu menghantam dengan
kedua tangan, satu ke atas satu ke bawah.
Setelah itu dia buru-buru jatuhkan diri dan
bergulingan di tanah beberapa kali, lalu
bangkit dengan cepat dan menghantam ke
depan.
Memang inilah salah satu cara untuk
menghindar dan menyelamatkan diri dari
pukulan sakti tadi. Rokonuwu dan Sulindari
terbelalak ketika melihat bagaimana pukulan
sakti yang selama bertahun-tahun mereka
pelajari di puncak gunung Merbabu ternyata
tidak sanggup merobohkan lawan. Hanya ada
satu dari dua kemungkinan. Lawan memang
sangat tangguh atau tenaga dalam dan ilmu
pukulan yang mereka kuasai belum mencapai
tingkat yang dapat diandalkan. Namun
keduanya masih bisa merasa lega karena
pukulan-pukulan yang tadi mereka lepaskan
sanggup menyelamatkan kakak seperguruan
mereka dari injakan maut Datuk Kepala Besi.
Di hadapan mereka Datuk Kepala Besi tampak
komat-kamit, lalu menyeringai sambil usap-
usap kepalanya yang botak.
"Bagus, kalian berdua mau ikut-ikutan
mampus! Gadis cantik! Aku nasihatkan
padamu agar menjauh dari kalangan
pertempuran! Jika sabarku hilang aku tidak
segan-segan membunuhmu sekaligus!" Sang
datuk mengancam.
Sulindari tidak merasa jerih. Malah dia
menyahuti: "Kepala botakmu itu sudah
saatnya ditanggalkan dari leher!" sang dara
lalu berbisik pada adik seperguruannya.
"Roko, kita harus menyerang dan bertahan
dengan pukulan sakti tadi! Itu pukulan paling
tinggi yang kita miliki! Jangan beri
kesempatan dia menyerudukkan kepalanya!
Begitu dia maju kau menghantam ke arah
kepalanya, aku ke arah badan lalu cepat-
cepat menghindar. Sebelum dia bergerak kita
harus kembali menghantam!"
"Aku menurut katamu saja, Sulin... Awas!
Bangsat itu hendak menyerang kembali!"
Rokonuwu berseru ketika dilihatnya Datuk
Kepala Besi menyerbu ke arahnya dengan
kepala botaknya menyeruduk lebih dahulu.
Untuk menghadapi serangan ganas itu
kembali dua murid Kiyai Djoko Bening itu
lepaskan pukulan "Selangit Tembus Sebumi
Putus". Tetapi sekali ini keduanya tertipu.
Karena begitu mereka menghantam ke depan,
lawan yang diserang tiba-tiba lenyap. Lalu
dari samping ada suara menderu. Sulindari
berpaling dan berteriak ketika melihat Datuk
Kepala Besi tahu-tahu sudah berada dekat
sekali di belakang Rokonuwu dan siap
menubrukkan kepala besinya ke punggung
adik seperguruannya itu.
"Roko! Awas punggungmu!" teriak Sulindari.
Sadar bahaya mengancamnya dari belakang
Rokonuwu cepat melompat ke depan sambil
lepaskan satu pukulan bertenaga dalam
tinggi. Tapi celaka tangan yang siap memukul
itu sempat tercekal tangan kanan Datuk
Kepala Besi sementara kepala botaknya tetap
terus menderu menyeruduk ke punggung
Rokonuwu.
Tak ada jalan lain bagi Sulindari. Untuk
menyelamatkan adik seperguruannya itu gadis
ini langsung melompati tubuh Datuk Kepala
Besi. Kedua tangannya mendorong bagian
bahu dan pinggang sang datuk. Sulindari
memang berhasil menyelamatkan Rokonuwu
namun kini dia yang masuk ke dalam
perangkap lawan. Begitu tubuhnya terdorong
keras ke samping, Datuk Kepala Besi cepat
menangkap salah satu tangan gadis itu.
Keduanya jatuh saling tumpang tindah dan
terguling beberapa kali. Ketika gulingan itu
berhenti dan Sulindari berusaha bangun
dengan cepat sambil memukul dada Datuk
Kepala Besi, baru gadis ini menyadari bahwa
sekujur tubuhnya telah kaku, tangannya tak
bisa bergerak. Ternyata sewaktu terguling-
guling tadi Datuk Kepala Besi sempat menotok
tubuhnya.
"Ha...ha...ha! Di atas tanah saja kau sudah
menunjukkan kehebatanmu berguling-guling!
Di atas ranjang kau pasti lebih hebat dan
binal!" Datuk Kepala Besi tertawa bekakakan.
"Manusia bejat! Lepaskan totokanku! Jika kau
laki-laki mari bertempur sampai seribu jurus!"
teriak Sulindari.
Datuk Kepala Besi kembali tertawa mengekeh.
"Kau sanggup melayaniku sampai seribu
jurus?! Ha...ha...ha! Gadis hebat! Tunggulah,
kita nanti akan bertempur di atas ranjang!
Ha... ha... ha!"
"Manusia keji! Mulutmu pantas dirobek!" satu
suara membentak. Itulah suara Rokonuwu
yang saat itu langsung menyerbu dengan satu
cakaran kilat ke arah mulut Datuk Kepala
Besi. Sang datuk anggap remeh serangan ini.
Dia julurkan kepalanya. Cakaran Rokonuwu
menyambar tepat pada bagian atas kepala.
Tapi dia seperti mencakar benda licin dan
ketika tubuhnya terpuntir akibat dorongan
bobot badannya sendiri, pemuda ini tidak
sanggup mengelakkan jotosan yang
dilepaskan lawan ke arah lambungnya.
Rokonuwu mengeluarkan suara seperti
muntah. Tubuhnya mencelat hampir dua
tombak, jatuh terkapar di tepi danau.
Sebagian tubuhnya, sebatas punggung sampai
kepala malah masuk ke dalam air
membuatnya megap-megap dan sulit
bernafas. Dengan susah payah pemuda ini
berusaha menyeret tubuhnya sendiri keluar
dari air. Dia berhasil melakukan itu tetapi
untuk berdiri ataupun duduk tak sanggup
dilakukannya. Perutnya yang kena dijotos
lawan seperti pecah mendenyut sakit bukan
kepalang.
Di bagian lain Djarot tampak terbujur
mengerang kesakitan. Tangan kanannya yang
cidera berat membuatnya tak sanggup berdiri.
Datuk Kepala Besi berdiri bertolak pinggang.
"Kini membunuh kalian berdua semudah
membalikkan telapak tanganku!" katanya
seraya memandang pada Rokonuwu lalu pada
Djarot.
"Tapi...sebelum kalian menghadap malaikat
maut, aku ingin menyuguhkan satu hiburan
luar biasa bagi kalian berdua!"
"Apa yang hendak kau lakukan manusia
jahat?!" teriak Sulindari.
"Ah, gadisku cantik... Kau cepat sekali
bertanya. Itu tanda hatimu sudah jadi satu
dengan hatiku! Ha...ha...ha...! Kau tenang-
tenang sajalah. Sebentar lagi kau akan
kubawa ke sorga!"
"Datuk Kepala Besi! Terkutuk kau jika berani
menyentuh adik seperguruanku!" berteriak
Djarot dari tempatnya terbujur.
Datuk Kepala Besi melangkah ke tempat
Djarot terkapar, lalu membungkuk dan
bertanya; "Anak muda, pernahkah kau melihat
tubuh gadis itu tanpa pakaian....?"
"Bangsat! Kau benar-benar terkutuk! Kau
dajal!" teriak Djarot.
Datuk Kepala Besi tepuk-tepuk muka Djarot
lalu tinggalkan pemuda itu. Dia pergi
mendapatkan Rokonuwu dan disini
mengajukan pertanyaan yang sama.
"Iblis! Kau Iblis bukan manusia!" desis
Rokonuwu.
Datuk Kepala Besi menyeringai lebar. Kini dia
melangkah mendekati Sulindari. Lalu duduk di
samping si gadis dan mulai mengusap-usap
wajah Sulindari.
"Jahanam terkutuk!" teriak Sulindari. Dia
berusaha menggigit tangan lelaki itu tapi tak
berhasil. Djarot dan Rokonuwu sama-sama
berusaha untuk dapat berdiri guna menolong
saudara seperguruan mereka itu. Tapi
keduanya tidak mampu bergerak, apalagi
berdiri.
"Gadisku cantik... jangan terlalu memaki. Saat
ini kau anggap aku jahanam. Sebentar lagi
kau tak akan mau kutinggalkan lagi! Kau
akan lengket kemana aku pergi! Ha...
ha...haaa!" Datuk Kepala Besi tertawa
panjang. Ketika tawanya berhenti dia berkata:
"Gadisku cantik, aku akan membuka celanaku!
Setelah itu aku akan membuka pakaianmu!
Nah kau suka bukan...?" Habis berkata begitu
si kepala botak ini benar-benar membuka
celana hitamnya.
Sulindari berteriak keras ketika melihat Datuk
Kepala Besi tanpa pakaian sama sekali kini
membungkuk meneduhi tubuhnya dengan
nafas memburu. Gadis ini kembali berteriak
ketika sang datuk merenggut robek baju
birunya dengan kasar. Tiba-tiba nafas sang
datuk yang memburu seperti tertahan.
Beberapa langkah di hadapannya, dekat
semak belukar dia melihat satu benda hitam
bergerak-gerak. Ketika diperhatikannya
ternyata benda hitam itu adalah sehelai
celana hitam. Dia berpaling ke kiri, ke tempat
dimana dia melemparkan celana hitamnya
tadi. Celana itu ternyata tak ada lagi disitu.
"Itu pasti celanaku..." desis sang datuk.
"Kenapa bisa menyangkut di semak belukar
sana...? Aneh!"
Celana hitam yang tergantung di antara
semak belukar itu terus bergoyang-goyang
dalam kegelapan malam.
"Kurang ajar! Apa ada setan yang berani
mempermainkanku?!" Datuk Kepala Besi
memandang lagi berkeliling. Djarot dan
Rokonuwu dilihatnya masih terbujur di tempat
semula.
"Gadisku... gadisku. Kau bersabarlah
sebentar!" berkata Datuk Kepala Besi sambil
mengusap dada Sulindari. "Ada mahluk yang
berani mempermainkanku!"
Datuk Kepala Besi berdiri lalu melangkah
mendekati semak belukar. Hanya tinggal
beberapa langkah saja lagi dari celananya
yang tergantung bergoyang-goyang itu, tiba-
tiba celana itu berkelebat lenyap. Selagi dia
memandang berkeliling keheranan mencari-
cari kemana lenyapnya celana hitam itu, tiba-
tiba sesuatu menyambarnya. Ternyata
celananya sendiri.
"Keparat!" Datuk Kepala Besi coba
menangkap celana itu. Tapi seperti seekor
ular tiba-tiba celana itu melesat ke bawah.
Salah satu ujung kaki celana mematuk ke
bawah perutnya. Dan terdengarlah jeritan
Datuk Kepala Besi. Dia tegak terbungkuk-
bungkuk sambil pegangi bagian bawah
tubuhnya.
Di saat yang sama terdengar suara orang
tertawa: "Gundul jelek! Apakah burung kakak
tuamu dipatuk kodok?! "Ha... ha... ha!
"Bangsat minta mati! Siapa yang berani
mempermainkanku!" bentak Datuk Kepala Besi
marah sekail.
"Aku si pemilik kodok!" terdengar jawaban
yang disusul oleh suara tawa bergelak. Suara
tawa itu datang dari bawah pohon di tepi
danau. Ketika sang datuk berpaling ke arah
situ dilihatnya tegak bertolak pinggang
seorang pemuda berpakaian putih, memegangi
celana hitamnya yang rupanya telah diikat
dengan sehelai akar gantung.
Saking marahnya Datuk Kepala Besi
melangkah cepat ke arah pemuda itu.
"Waw... waw! Datuk jelek! Kau tambah jelek
kalau berjalan tanpa pakaian! Ini! Pakai dulu
celanamu yang bau busuk ini!"
Pemuda di bawah pohon lalu lemparkan
celana hitam yang dipegangnya.
DELAPAN
LEMPARAN celana itu ternyata bukan
lemparan biasa. Datuk Kepala Besi terkejut
sekali ketika tiba-tiba sepasang kaki celana,
laksana dua buah tangan menelikung lehernya
seperti hendak mencekik. Sambil memaki si
botak ini angkat kedua tangannya ke atas lalu
breet!!! Celana itu robek panjang di bagian
tengahnya. Sang datuk campakkan celana
hitamnya ke tanah. Lalu sambil mengereng
dia mendatangi pemuda yang tegak di depan
pohon. Sebenarnya kalau dia mau berpikir,
jelas orang telah mempermainkannya. Dan hal
itu hanya mungkin dilakukan oleh orang yang
memiliki kepandaian lebih tinggi dari dirinya.
Tapi saat itu Datuk Kepala Besi benar-benar
diselimuti kemarahan hingga otaknya mana
mampu berpikir jernih.
Begitu sampai di hadapan si pemuda, tanpa
banyak tanya lagi Datuk Kepala Besi langsung
menghantam dengan tangan kanan.
Jotosannya menderu ke arah muka si pemuda.
Tapi dengan membuat gerakan sedikit saja,
orang yang dipukul berhasil mengelakkan
serangan sang datuk hingga dia menjadi
tambah marah. Dia kembali menyerbu dengan
serangan beruntun yaitu dua pukulan dan
satu tendangan. Tiga serangan ini bukan saja
sangat cepat datangnya tetapi juga
mengeluarkan deru angin yang deras tanda
berisi tenaga dalam yang tinggi.
Pemuda berpakaian putih membuat gerakan-
gerakan gesit dan berhasil mengelakkan
semua serangan lawan, tetapi ketika dia
hendak menggebrak dengan serangan balasan,
Datuk Kepala Besi keluarkan kepandaiannya
berpindah tempat dan tahu-tahu dia sudah
berada di samping kiri, melayangkan kepalan
ke pelipis si pemuda. Yang diserang
menangkis dengan melintangkan lengan kiri di
samping kepala. Dua tangan saling beradu.
Datuk Kepala Besi hampir terpekik kesakitan.
Tangan yang menangkis itu tidak beda seperti
sepotong besi besar. Dalam menahan sakit,
begitu tangannya beradu dengan lengan
lawan, Datuk Kepala Besi luncurkan
tangannya ke bawah. Pinggiran tangan kanan
sang datuk membabat laksana tebasan
pentungan besi.
Buuukkk!!
Hantaman tangan itu mendarat di bahu kiri
pemuda berpakaian putih. Tak ampun lagi
pemuda ini langsung melosoh dan tersungkur.
Tiga orang murid Kiyai Djoko Bening yang
menyaksikan itu diam-diam mengeluh dalam
hati. Di saat ketiganya tak berdaya seperti itu,
munculnya pemuda itu sungguh sangat
mereka harapkan agar dapat menjatuhkan si
jahat berkepala botak itu. Sampai saat itu
karena berada di tempat yang gelap dan jauh
dari nyala api perkemahan baik Djarot
maupun Rokonuwu serta Sulindari tidak dapat
melihat wajah si pemuda jadi tidak bisa
mengetahui siapa adanya orang itu.
Tubuh yang tersungkur itu merupakan sasaran
empuk bagi Datuk Kepala Besi. Dengan penuh
nafsu dia kirimkan satu tendangan kaki kanan
yang mematikan ke arah kepala pemuda baju
putih.
"Mampus!" teriak Datuk Kepala Besi penuh
nafsu.
Wuuuuttt!
Tendangan maut itu lewat setengah jengkal
dari pipi kanan si pemuda dan tiba-tiba sang
datuk merasakan tubuhnya terangkat. Baru
disadarinya kalau saat itu pergelangan
kakinya telah berada dalam cekalan yang
sangat kuat. Belum sanggup dia melepaskan
kakinya dari cengkeraman lawan tiba-tiba
tubuhnya sudah melayang ke udara. Dalam
gelapnya malam tubuh itu kemudian jatuh
mencebur ke dalam air danau yang dingin.
Di dalam air, sesaat sang datuk megap-
megap. Untung dia bisa berenang lalu
berusaha mencapai tepi danau. Tubuh luarnya
terasa dingin tetapi tubuh dalamnya laksana
terbakar. Orang yang mengaku raja diraja
rimba persilatan pantai selatan ini baru sekali
itu diperlakukan orang seperti itu. Marahnya
bukan alang kepalang. Begitu naik ke darat,
langsung dia menekuk leher lalu menyerbu ke
arah pemuda berpakaian putih. Djarot yang
tak mau penolongnya itu mendapat celaka
oleh serangan kepala yang sudah
diketahuinya kedahsyatannya itu segera
berteriak memberi ingat.
"Awas serangan kepala berbahaya! Ki sanak!
Yang kau hadapi adalah Datuk Kepala Besi...!"
"Terima kasih atas peringatanmu Djarot! Aku
mau coba sampai dimana kerasnya kepala
botak monyet telanjang ini!" terdengar
pemuda berpakaian putih menyahuti.
Tiga orang murid Kiyai Djoko Bening,
terutama sekali Djarot tentunya, jadi terkejut
ketika mendengar pemuda dalam gelap itu
mengenal dan menyebut namanya. Dan tiba-
tiba saja ketiganya ingat betul kalau mereka
mengenali atau paling tidak pernah
mendengar suara orang itu. Sulindari yang
ingat lebih dulu dan langsung saja gadis ini
berteriak: "Wiro! Kaukah itu!"
"Ah! Kau masih megenali suaraku yang jelek!
Memang aku Wiro Sableng!" menjawab si
gondrong berpakaian putih.
"Hati-hati Wiro! Kepala manusia itu
berbahaya luar biasa!" berseru Rokonuwu.
"Justru aku hendak mencoba!" Sahut
Pendekar 212 Wiro Sableng. Saat itu Datuk
Kepala Besi telah berada di depannya dengan
kepala botaknya siap dihantamkan ke
pertengahan dada Wiro.
Murid Sinto Gendeng ini angkat tangan kanan
yang sejak tadi sudah menyiapkan pukulan
Benteng Topan Melanda Samudra. Pukulan ini
jika dilancarkan dalam bentuk dorongan
telapak tangan merupakan benteng
pertahanan yang ampuh karena sanggup
mengeluarkan angin deras menyongsong
serangan lawan. Tetapi bila dipukulkan dalam
bentuk tinju maka jangankan kepala manusia,
tembok batu yang tebalpun pasti jebol. Dan
dengan pukulan sakti inilah Wiro hendak
menggebuk kepala lawan.
Datuk Kepala Besi yakin sekali kepalanya
akan menjebol hancur dada si pemuda.
Sebaliknya murid Sinto Gendeng yakin pula
kalau pukulan saktinya akan menghantam
pecah kepala botak lawan. Dalam sama-sama
yakin begitu tinju kanan Pendekar 212
mendarat keras di pertengahan kepala Datuk
Kepala Besi.
Buuukkk!
Datuk Kepala Besi menjerit keras. Kepalanya
terdongak dan tubuhnya mencelat dua
tombak, jatuh duduk di tanah. Wiro sendiri
terjajar beberapa langkah ke belakang.
Tangan kanannya seperti menghantam
dinding besi yang atos dan panas. Ketika
ditelitinya ternyata tangan kanannya sampai
sebatas pergelangan tampak menjadi bengkak
dan kemerahan.
"Gila betul!" seru Wiro sambil garuk-garukkan
tangan kirinya ke kepala penuh tidak percaya
tapi diam-diam juga merasa kagum.
Bagaimana pukulan saktinya yang selama ini
sanggup menjatuhkan berbagai tokoh silat
kawakan, kini sama sekali tidak mempan
hanya menghadapi sebuah kepala manusia.
Kepala botak buruk pula.
Di hadapannya Datuk Kepala Besi terdengar
tertawa mengekeh dan bangkit berdiri sambil
mengusap-usap kepala botaknya. Tetapi Wiro
diapun merasa heran. Seumur hidupnya tak
satu pukulan lawanpun sanggup membuatnya
terpental seperti itu. Selain itu dia hampir tak
percaya ketika melihat tangan Wiro hanya
membengkak merah. "Tangan Itu seharusnya
hancur!" desis Datuk Kepala Besi.
"Orang muda! Jelaskan siapa dirimu!" tiba-
tiba sang datuk membentak.
"Siapa aku tidak penting! Yang lebih penting
ialah jawab pertanyaanku! Apa alasanmu
menuduh tiga sahabatku ini sebagai orang-
orang yang telah mencincang mayat di lereng
Merbabu!"
"Hem... Jadi mereka kawan-kawanmu hah!
Bagus! Berarti kaupun akan kebagian
menerima kematian!" Berkata sang datuk
sambil bertolak pinggang.
"Kau tidak menjawab pertanyaanku tadi. Aku
ganti dengan pertanyaan lain!" ujar Wiro pula.
"Siapa yang menyuruhmu membunuh murid-
murid Kiyai Djoko Bening ini?!"
Rahang Datuk Kepala Besi menggembung.
"Gondrong tolol! Kau tidak layak
menanyaiku!"
"Bagus! Kau tak mau menjawab pertanyaanku
yang kedua. Sekarang pertanyaan yang
ketiga! Apa sangkut pautmu dengan korban
yang dipotong sebelas itu?!"
"Pemuda gendeng! Kau tanyakan saja pada
setan liang kubur!" teriak Datuk Kepala Besi
lalu dia menggembor keras dan menubruk ke
arah Wiro. Kembali kepalanya yang botak
siap melabrak tubuh lawannya. Kali ini di
bagian perut. Sesaat Wiro berpikir apakah
akan menghantam saja si botak ini dengan
pukulan Sinar Matahari. Namun selintas
pikiran muncul di benaknya. Sambil
menyeringai pendekar ini melompat tinggi ke
atas. Tangan kanannya menyambar seutas
akar gantung sebuah pohon yang panjangnya
lebih dari dua tombak. Selagi masih melayang
di udara dia membuhul salah satu ujung akar
gantung itu dan begitu turun dia telah
memegang seutas "tali penjerat".
Selagi Wiro melayang turun, kembali Datuk
Kepala Besi menyerang dengan kepalanya.
Namun lagi-lagi serangannya luput. Akan
tetapi dia menyeringai lebar ketika di depan
sana dilihatnya lawannya terpeleset dan jatuh
tertelentang di tepi danau. Tanpa pikir
panjang lagi sang datuk melompat untuk
mengirimkan injakan maut ke tenggorokan
Wiro. Tapi apa yang kemudian terjadi benar-
benar tidak disangkanya. Ternyata Pendekar
212 tadi hanya berpura-pura jatuh terpeleset.
Hal ini dilakukannya lain tidak agar dia bisa
berada lebih rendah dari lawan dan memiliki
keleluasaan untuk "membidikkan tali
penjeratnya".
Datuk Kepala Besi masih tidak sadar apa
yang bakal dialaminya. Ketika tiba-tiba dia
sempat melihat ada yang menyebar ke arah
selangkangannya, keadaan sudah terlambat.
Di lain kejap dia merasakan sesuatu menjerat
kepala anggota rahasianya. Tentu saja Datuk
Kepala Besi berteriak kesakitan setinggi langit
ketika Wiro sambil tertawa gelak-gelak
menyentakkan akar gantung yang
dipegangnya.
"Jahanam! Lepaskan! Lepaskan!" teriak Datuk
Kepala Besi.
"Berani kau berteriak lagi, berani kau bergerak,
kubedol putus burung kakak tuamu" hardik
Wiro lalu kembali dia menyentakkan akar
gantung itu. Kembali sang datuk menjerit
setinggi langit.
Siapa yang tidak takut anggota rahasia yang
paling berharga itu dibetot putus, itu yang
terjadi dengan dirinya hingga mau tak mau
dia terpaksa berhenti memaki dan tak berani
bergerak. Djarot, Rokonuwu dan Sulindari yang
saat itu masih berada dalam keadaan tak
berdaya dan ikut menyaksikan apa yang
dilakukan Pendekar 212 mau tak mau jadi
tersenyum-senyum.
"Benar-benar sableng murid nenek gendeng
ini!" kata Djarot dalam hati.
"Datuk Kepala Botak...!" ujar Wiro.
"Bangsat! Gelarku Datuk Kepala Besi...
Aduh...!" Datuk itu menjerit karena kembali
Wiro menyentakkan akar gantung yang
dipegangnya.
"Jaga mulutmu datuk buruk! Kau boleh pilih!
Kehilangan burungmu atau member
keterangan!"
Datuk Kepala Besi masih menggerendeng tapi
masih mau bertanya: "Keterangan apa yang
kau inginkan?!"
"Apa hubunganmu dengan mayat dipotong-
potong itu?!"
"Aku tidak punya hubungan apa-apa!" sahut
Datuk Kepala Besi.
"Lalu mengapa kau menginginkan nyawa tiga
murid Kiyai Djoko Bening?!" Wiro mengejar
dengan pertanyaan berikutnya.
"Aku dibayar orang!"
"Siapa orang yang membayarmu?!" yang
bertanya dengan membentak itu adalah
Djarot.
"Aku tak kenal siapa mereka. Satu minggu
lalu dua orang yang mengaku berasal dari
desa Klingkit mendatangiku! Menyerahkan
sejumlah uang dengan tugas membunuh dua
orang pemuda dan seorang dara berpakaian
serba biru yang diketahui adalah murid-murid
Kiyai Djoko Bening dari gunung Merbabu!
Mereka mengatakan bahwa ketiga orang Itu
telah melakukan pembunuhan atas diri
seorang gadis lalu mencincang mayatnya dan
mencampakkannya di lereng gunung
Merbabu..."
"Apa kau tidak menanyakan siapa nama-
nama mereka?!"
"Tidak karena aku tidak perduli..." sahut
Datuk Kepala Besi. Kedua matanya setiap
saat mencari kesempatan untuk dapat
melepaskan diri. Namun masih niat, belum
sempat bergerak Wiro yang sudah tahu
gelagat cepat membentak dan mengedut akar
gantung.
"Lama-lama bisa putus milikku ini!"
membatin sang datuk sambil menahan sakit.
"Dua orang desa Klsngkit itu, apakah mereka
menerangkan siapa adanya mayat di gunung
Merbabu itu?!" yang mengajukan pertanyaan
adalah Rokonuwu.
Datuk Kepala Besi menggeleng.
"Aku sudah menjawab semua pertanyaanmu!
Aku sudah memberi keterangan! Sekarang
lepaskan jeratan tali celaka ini! Lepaskan!"
berteriak Datuk Kepala Besi.
"Manusia kepala botak! Pembunuhan yang
hendak kau lakukan terhadap kedua murid
Kiyai Djoko Bening adalah perbuatan keji
terkutuk. Tetapi rencanamu hendak merusak
kehormatan gadis itu lebih keji dan lebih
terkutuk! Aku tidak bisa memberi ampunmu
untuk yang satu itu. Dari pada di kemudian
hari kau masih gentayangan dengan nafsu
bejatmu, lebih baik sekarang-sekarang ini
dilakukan pencegahan!"
"Apa maksudmu...?" tanya Datuk Kepala Besi
hampir berteriak.
"Sesuai permintaanmu, tali penjerat ini akan
kulepaskan!" Habis berkata begitu Pendekar
212 Wiro Sableng tarik akar gantung itu kuat-
kuat.
Darah menyembur dari selangkangan Datuk
Kepala Besi. Jeritannya menembus langit di
kegelapan malam. Djarot dan Rokonuwu
bergidik ngeri. Sulindari palingkan kepalanya
dengan bulu tengkuk meremang. Sang datuk
jatuh duduk di tanah.
"Datuk buruk! Sekarang kau bebas pergi!"
terdengar suara Wiro.
"Manusia jahanam! Aku tidak akan melupakan
kejadian ini! Kau tunggulah pembalasanku!
Aku bersumpah membunuhmu dan
turunanmu!"
"Tua bangka pikun!" menyahut Wiro.
"Kawinpun aku belum, bagaimana aku punya
turunan! Lekas pergi! Atau akan kucopot
milikmu yang masih bersisa!"
"Jahanam! Keparat...!" teriak Datuk Kepala
Besi lalu bangkit dan lari terbungkuk-
bungkuk.
SEMBILAN
KARENA keadaan cidera mereka yang cukup
parah, terpaksa Sulindari menunda perjalanan
dan dengan ditemani oleh Pendekar 212 Wiro
Sableng, Djarot serta Rokonuwu dibawa ke
tempat kediaman Kiyai Djoko Bening di
puncak Merbabu.
Setelah memeriksa keadaan dua muridnya itu
dan memberikan pengobatan Kiyai Djoko
Bening memberi tahu bahwa satu minggu
setelah mereka meninggalkan gunung
Merbabu ada beberapa orang penduduk dari
Kadipaten-Kadipaten terdekat mendatangi
tempat kediamannya untuk menyaksikan
mayat potong sebelas itu. Mereka adalah dua
keluarga yang mengatakan kehilangan anak
gadis masing-masing sejak beberapa minggu
sebelumnya. Namun semua yang datang itu
walau wajah mayat tak lagi bisa dikenali, dari
ciri-ciri yang lain dua keluarga itu sama
memastikan bahwa korban bukan anak gadis
mereka.
"Rupanya kabar ditemukannya mayat
terpotong-potong di lereng Merbabu ini sudah
tersebar ke pelbagai penjuru...," ujar Wiro.
"Apa yang harus saya lakukan sekarang
Kiyai?" bertanya Sulindari.
"Betul, sayapun perlu petunjukmu,"
menyambung Wiro Sableng.
"Memang, kini hanya kalian berdualah yang
menjadi tumpuan untuk meneruskan
penyelidikan, mencari tahu siapa adanya
korban dan paling penting mencari siapa
pelaku pembunuhan yang keji ini!" menjawab
Kiyai Djoko Bening. "Namun hari ini kalian
berdua tetap disini dulu. Ada orang penting
yang bakal datang dari Kotaraja untuk melihat
korban. Tiga hari lalu seorang utusan orang
penting itu datang untuk melakukan
peninjauan. Paling lambat besok menjelang
tengah hari orang tersebut sudah sampai
disini. Karena itu kalian berdua tetap disini
dulu sampai mereka datang. Disamping itu
kau kuperlukan untuk membantu merawat
Djarot dan Rokonuwu, Sulindari..."
"Kalau begitu kata Kiyai, saya menurut..."
jawab Sulindari.
"Menurut kedua orang tuanya, Damar Bintoro
meninggalkan Sleman sepuluh hari lalu.
Mereka tidak tahu kemana anak mereka itu
pergi. Aneh! Dan aku juga curiga!" kata
Tumenggung Brojo Menggolo sambil
melangkah mundar mandir dalam kamar
tidurnya yang besar sementara istrinya Surti
Retnoningsih duduk merenda dekat jendela.
"Kalau kau curiga kangmas, dengan siapa kau
curiga?" bertanya Retnoningsih.
"Dengan siapa lagi kalau bukan dengan
Damar Bintoro! Sudah sejak dulu aku tidak
suka pada anak itu. Tapi kau selalu
membelanya, mengatakan Damar Bintoro
adalah calon suami yang paling cocok untuk
Sintomurni! Padahal dia adalah pemuda
bergajulan. Hanya kebetulan saja ayahnya
jadi penasihat Patih Kerajaan..."
"Tentunya kau punya alasan mencurigai
pemuda itu..."
"Aku yakin anak gadis kita telah dibujuknya
untuk kawin lari. Karena dia tahu aku tidak
suka kalau dia menjadi menantuku...!"
Retnoningsih batuk-batuk beberapa kali lalu
berkata: "Sulit bagiku mempercayai bahwa
Damar Bintoro mau melakukan apa yang kau
katakan itu..."
"Lalu kemana dia menghilang? Dan kemana
lenyapnya anak gadis kita?!" tukas
Tumenggung Brojo Menggolo.
Retnoningsih meletakkan rendaannya di atas
pangkuan. Dia termenung sejenak lalu
berkata: "Kangmas, kalau ada orang yang
harus dicurigai, menurut hematku orang itu
adalah Sangkolo Pratolo, guru silat
Sintomurni..."
Sang Tumenggung tampak terkejut mendengar
kata-kata istrinya itu. "Eh, mengapa kau
punya pikiran seperti itu, istriku...?
"Apa kangmas lupa siapa Sangkolo Pratolo
dulunya? Seorang kepala penjahat yang
merampok dan membunuh, menculik dan
merusak kehormatan anak gadis atau istri
orang. Kemudian setelah dijebloskan dalam
penjara Kerajaan selama sembilan tahun, dia
bertobat memulai hidup baru yang bersih
dengan menjadi seorang guru silat. Apakah
dia tidak pantas dicurigai...?!"
"Aku sudah memanggilnya. Kita sudah bicara
padanya. Jika dia memang menculik anak
kita, pasti ada sikapnya yang janggal. Kulihat
waktu itu dia biasa-biasa saja... Malah dia
salah seorang yang kita harapkan untuk dapat
membantu mencari Sintomurni... "
"Sudahlah, kita lupakan saja guru silat itu.
Bagaimana dengan kabar ditemukannya
mayat seorang perempuan di lereng gunung
Merbabu beberapa waktu lalu..." Bertanya
Surti Retnoningsih.
"Sebenarnya terlalu jauh kalau kita
menghubungkan lenyapnya Sintomurni dengan
mayat itu..."
"Tapi bukankah saya sudah meminta
kangmas mengirimkan seorang prajurit kesana
untuk menyelidik dan mencari tahu? Apakah
prajurit itu sudah kembali......?"
"Sudah. Kiyai Djoko Bening, orang pandai
yang tinggal di puncak gunung itu ternyata
telah mengawetkan jenazah Itu..."
"Kalau begitu perajurit itu pasti mengenali
jenazah tersebut!" ujar Retnoningsih.
Tumenggung Brojo Menggolo menggeleng.
"Wajah mayat itu tidak dapat dikenali lagi.
Hancur seperti bekas dicincang. Lalu..."
Sang Tumenggung tidak meneruskan kata-
katanya.
"Lalu apa kangmas...?"
Brojo Menggolo menggelengkan kepala. "Aku
tak mau mengatakannya padamu. Terlalu
mengerikan..."
"Mengerikan? Apanya yang mengerikan...?
Kau harus mengatakannya padaku kangmas!"
"Menurut perajurit yang kukirim, mayat itu
telah dibantai secara keji. Dipotong-potong
menjadi sebelas bagian..."
"Gusti Allah! Siapa yang berbuat sekejam
itu...?" desis istri sang Tumenggung. Dia
terdiam beberapa ketika. Lalu tiba-tiba saja
muncul keinginan itu dalam hatinya.
"Kangmas Menggolo, kita harus berangkat ke
puncak Merbabu. Kita harus melihat sendiri
mayat terpotong-potong itu. Janganjangan..."
Suara Retnoningsih tercekik putus. Tubuhnya
terduduk ke tepi ranjang. Wajahnya
menunjukkan rasa ngeri, namun kemudian
tampak ada air mata yang meleleh di kedua
pipinya.
"Kau berada dalam keadaan tidak sehat
seperti ini. Mau ke puncak Merbabu? Jangan
mencari penyakit baru Retno!" ujar
Tumenggung Brojo Menggolo.
"Aku pandai berkuda. Jangankan satu
gunung. Sepuluh gunungpun akan kudaki
demi mencari kejelasan mengenai diri anak
kita..."
"Jika kau memang ingin mengetahui mayat
siapa yang ditemukan di gunung Merbabu itu,
biar aku dan Sangkolo Pratolo saja yang pergi
kesana... "
"Tidak kangmas. Aku harus ikut... Aku harus
ikut….."
Tumenggung Brojo Menggoio menghela nafas
dalam akhirnya berkata: "Jika itu maumu
baiklah. Aku akan menyiapkan beberapa ekor
kuda, beberapa orang pengawal. Mungkin
Sangkolo Pratolo akan kuajak serta..." Lalu
Tumenggung Itu keluar dari kamar.
SEPULUH
KIYAI DJOKO BENING, Wiro dan Sulindari
sama-sama berdiri ketika rombongan dari
Kotaraja sampai di depan tempat kediaman
sang Kiyai. Rombongan itu terdiri dari sang
Tumenggung sendiri, lalu istrinya Surti
Retnoningsih yang mengenakan baju ringkas
dan celana panjang, lengkap dengan setengah
lusin pengawal serta guru silat Sangkolo
Pratolo.
Setelah saling memberi salam dan saling
menghormat Kiyai Djoko Bening langsung
berkata: "Beberapa hari lalu utusan
Tumenggung telah datang kemari untuk
menyelidiki mayat yang ditemukan murid-
muridku di lereng selatan gunung Merbabu ini.
Menurut utusan itu Tumenggung telah
kehilangan puteri Tumenggung yang bernama
Sintomurni. Apakah betul begitu...?"
Tumenggung Brojo Menggolo menganggukkan
kepalanya. Sebelum dia menjawab istrinya
mendahului bicara.
"Kami ingin melihat mayat itu..."
"Saya tidak berani menolak. Tapi apakah jeng
ayu mempunyai keberanian melihatnya? Lain
dari itu apakah Tumenggung
memperbolehkan...?"
"Apakah jenazah itu ada di dalam rumah?"
tanya Tumenggung Brojo Menggolo pula.
"Saya akan membawanya keluar," kata Kiyai
Djoko Bening. 'Tapi sebelumnya Tumenggung
dan rombongan biar kami suguhkan minuman
air gunung yang sejuk dulu. Dari Kotaraja
sejauh itu tentu meletihkan dan dahaga…."
"Terima kasih Kiyai. Tapi kami datang hanya
untuk melihat mayat itu. Dan harus segera
kembali ke Kotaraja..." Kata Surti
Retnoningsih yang sudah tidak sabaran.
"Jika begitu keinginan jeng ayu, saya akan
mengambil jenazah dan membawanya ke
langkan sini. Harap Tumenggung dan istri
sudi menunggu."
Habis berkata begitu Kiyai Djoko Bening
masuk ke dalam. Diam-diam Wiro
memperhatikan wajah satu persatu wajah
orang-orang yang ada di depan rumah. Wajah
Tumenggung Brojo Menggolo tampak kaku
membesi. Di sebelahnya istrinya kelihatan
pucat. Urat-urat lehernya menyembul dan
bibir bawahnya tampak digigit untuk dapat
menahan tekanan batin, menunggu dengan
segala ketabahan. Sulindari merupakan satu-
satunya orang yang paling tenang. Kedua
tangannya didekapkan di depan dada.
Sangkolo Pratolo sementara itu berdiri di
ujung kiri langkan sambil melinting sebatang
rokok daun. Tampaknya dia juga tenang tapi
mata murid Pendekar 212 yang tajam melihat
bagaimana jari-jari yang melinting rokok itu
gemetaran. Ketika Kiyai Djoko Bening
melangkah keluar membawa sebuah peti kayu
yang cukup besar, suasana di tempat itu
nyaris sehening di pekuburan.
Dengan hati-hati Kiyai Djoko Bening
meletakkan peti kayu di pertengahan langkan.
Lalu dia berpaling pada Tumenggung dan
berkata: "Tumenggung dan istri, silahkan naik
ke langkan untuk menyaksikan sendiri..."
Tumenggung Brojo Menggolo berpaling pada
istrinya. Perempuan ini memandang tak
berkesip ke arah peti di langkan rumah, lalu
dengan segala ketegaran tapi dada berdebar
keras perempuan ini melangkah menaiki
tangga kayu, terus naik ke langkan. Suaminya
mengikuti.
Sangkolo Pratolo mencampakkan rokok yang
baru tiga kali dihisapnya lalu ikut naik ke atas
langkan. Para perajurit pengawal hanya
berani mendekat ke pinggiran langkan, tak
ada yang berani naik. Sulindari dan Wiro tetap
berdiri di halaman rumah.
Kiyai Djoko Bening, Tumenggung dan istrinya
serta guru silat Sangkolo Pratolo berdiri
mengelilingi peti kayu yang terletak di
pertengahan langkan dalam keadaan
terduduk. Setelah memandangi wajah-wajah
di depannya satu demi satu, Kiyai Djoko
Bening kemudian membungkuk. Perlahan-
lahan penutup peti kayu itu dibukanya.
Begitu penutup peti terbuka dan isinya
terpampang jelas, seruan-seruan tertahan
keluar dari beberapa mulut. Tumenggung
Brojo Menggolo tersurut mundur hampir dua
langkah. Sangkolo Pratolo yang di masa
mudanya adalah penjahat yang dengan tanpa
berkesip sanggup membunuh orang,
menyaksikan isi peti itu tetap saja dia
mengernyitkan kening dan dingin kuduknya.
Akan halnya Surti Retnoningsih, perempuan
ini tampak tegak tanpa berkesip, namun
sesaat kemudian dia mengeluarkan pekik kecil
lalu melosoh jatuh duduk di langkan nyaris
pingsan. Suaminya buru-buru menolong,
menyandarkannya ke dinding.
"Kau tak apa-apa Bune...?" tanya
Tumenggung Brojo Menggolo. Sang istri
berusaha menjawab, tapi tak ada suara yang
keluar. Akhirnya dia hanya menggeleng-
gelengkan kepala saja.
Masih sambil memegangi istrinya
Tumenggung Menggolo kembali memandang
ke arah peti lalu tiba-tiba saja dia berkata
setengah berteriak: "Itu bukan Sintomurni!
Bukan puteriku!"
"Kau pasti betul Tumenggung...?" tanya Kiyai
Djoko Bening.
"Pasti sekali! Pasti sekali…."
Tiba-tiba istri Tumenggung Brojo Menggolo
yang tadi kelihatan seperti mau pingsan
bangkit berdiri. Dia memandang ke dalam peti
dimana terletak potongan kepala dan bagian-
bagian tubuh lainnya.
"Anakku...anakku...!" jerit perempuan itu lalu
menutup mukanya dengan kedua tangan. "Itu
anakku! Itu Sintomurni...!" Lalu perempuan ini
menangis keras sekali.
"Bune...Tenang! Hentikan tangismu. Itu bukan
anak kita bune. Percayalah...!"
"Tidak...tidak... Itu memang Sintomurni! Ada
tahi lalat di telapak kaki kanannya. Itu anak
kita mas! Anak kita...!"
Tumenggung menggoncang tubuh istrinya
dengan keras. "Bune...! Setan apa yang
masuk dalam dirimu hingga mayat itu kau
katakan anak kita...?"
Retnoningsih tidak menjawab. Suara
tangisnya semakin keras. Tumenggung
berpaling pada Sangkolo Pratolo.: "Siapkan
kuda! Kita kembali ke kota saat ini juga!"
memerintahkan Tumenggung itu.
Belum sempat guru silat itu bergerak
melangkah, Pendekar 212 Wiro Sableng
sambil menarik lengan Sulindari melompat ke
atas langkan. Dari dalam saku bajunya Wiro
mengeluarkan sebuah benda, lalu dia
mendekati istri Tumenggung. Seraya
mengacungkan benda itu dia bertanya: "Gusti
Ayu, apakah kau mengenali anting-anting
ini...?" Surti Retnoningsih turunkan kedua
tangannya yang menutupi muka. Matanya
membelalak melihat anting-anting perak di
tangan Wiro. Suaranya bergetar ketika
berkata: "Itu... itu anting-anting Sinto…."
"Apakah Gusti Ayu juga mengenali gelang
Ini...?" bertanya Sulindari yang tegak di
sebelah Wiro seraya memperlihatkan gelang
perak berukiran kepala ular yang melingkar di
lengan kirinya.
Retnoningsih terpekik: "Gelang itu! Gelang
perak kepala ular! Itu juga milik puteriku! Aku
yang menyuruh buatnya pada pandai perak di
Kotagede. Dari mana! Katakan dari mana
kalian mendapatkan perhiasan itu?!"
"Anting ini saya temukan dalam kain kuning
pembungkus mayat ketika ditemukan di lereng
gunung," menerangkan Wiro.
"Dan gelang perak ini sengaja kami ambil dari
lengan jenazah setelah sampai disini," berkata
Sulindari.
"Kalau begitu jelas sudah, jenazah dalam peti
ini adalah jenazah puterimu Tumenggung
Brojo Menggolo!" kata Kiyai Djoko Bening.
'Tidak... Tidak mungkin! Tidak mungkin itu
anakku!" teriak Tumenggung Menggolo.
Tubuhnya terhuyung nanar lalu tersandar ke
tiang langkan.
Kiyai Djoko Bening berpaling pada Sangkolo
Pratolo. Lalu berkata: "Sebaiknya segera
dipersiapkan untuk membawa jenazah dalam
peti ini ke Kotaraja lalu menguburkannya!"
Lalu pada Tumenggung Menggolo orang tua
ini berkata sambil memegang bahunya.
"Tumenggung, kau harus tabah menghadapi
kenyataan kehilangan puterimu secara
mengenaskan seperti ini..."
Tumenggung Menggolo anggukkan kepala.
"Walau Sintomurni hanya anak tiriku,"
katanya, "Tapi aku sudah menganggapnya
sebagai anak sendiri. Apalagi aku memang
tidak punya anak yang lain... Ya Tuhan... Jika
itu memang jasad anakku memang sebaiknya
harus cepat-cepat dibawa ke Kotaraja dan
diurus pemakamannya..."
"Ada satu hal lain yang perlu saya
beritahukan padamu, Tumenggung," kata
Kiyai Djoko Bening perlahan hampir berbisik,
tapi masih sempat terdengar oleh
Retnoningsih. "Puterimu itu meninggal dalam
keadaan hamil antara empat sampai lima
bulan..."
"A...apa... Puteriku hamil...?!" Sepasang mata
Tumenggung Brojo Menggolo membeliak. Dia
berpaling pada istrinya. Justru saat itu
Retnoningsih yang sudah sempat mendengar
keterangan Kiyai Djoko Bening langsung
menjerit keras dan untuk kedua kalinya
tubuhnya terkulai. Kali ini dia benar-benar
pingsan.
"Tidak bisa tidak! Pasti dia! Pemuda keparat
itu!" teriak Tumenggung Brojo Menggolo tiba-
tiba seraya mengepalkan tinju kanannya.
"Pasti Damar Bintoro yang melakukannya! Dia
menghamili Sinto! Lalu membunuh puteriku!
Dia sendiri melenyapkan diri entah kemana!
Tapi Damar Bintoro! Kowe tak akan bisa lari
jauh! Kemanapun kau pergi akan kucari! Akan
kubunuh! Akan kucincang tubuhmu sampai
lumat! Pemuda jahanam! Terkutuk kau Damar
Bintoro!"
SEBELAS
MALAM sangat gelap, pekat menghitam
membungkus tempat dimana dua penunggang
kuda itu mengadakan pertemuan hingga
wajah keduanya sulit dikenali.
"Ada hal mendesak hingga kau meminta
pertemuan ini?" Penunggang kuda di sebelah
kanan bertanya.
"Betul. Jamilah perempuan tua dukun beranak
itu tidak ada di tempat kediamannya. Menurut
pemilik rumah dia menghilang begitu saja
setalah ada seorang menjemputnya. Berarti
saat lenyapnya hampir bersamaan dengan
menghilangnya Damar Bintoro..."
Lelaki di sebelah kanan mengusap mukanya
berulang kali. Ada keringat dingin membasahi
wajahnya. "Aku juga khawatir pada dua orang
lainnya. Randu dan Tikil. Bagaimana kalau
kuminta kau mencari keduanya lalu
membereskannya...."
"Saya mulai berpikir-pikir..."
"Kau mulai berpikir-pikir katamu? Berarti kau
mulai ragu! Aku tidak mau melihat hal itu.
Jika kau masih menginginkan jabatan itu
perintahku harus kau lakukan. Kalau tidak
nasibmupun akan masuk dalam daftar
hitamku! Jangan lupa kau ikut terlibat banyak
dalam urusan ini!"
"Saya mengerti. Kalau begitu izinkan saya
pergi sekarang..."
"Jika kau ingin bicara, kau bisa datang ke
rumah. Tidak perlu sembunyi-sembunyi
seperti ini. Justru jika ada yang melihat bisa
tambah tidak beres urusan ini. Kau
mengerti...?"
"Saya mengerti..."
"Kau boleh pergi sekarang!"
Penunggang kuda di sebelah kiri bergerak
meninggalkan tempat itu. Yang di sebelah
kanan masih tetap di tempatnya. Terduduk di
atas punggung kuda. Satu pikiran buruk
mampir di benaknya. "Aku khawatir manusia
satu ini apakah benar-benar bisa dipercaya
terus..." berpikir sampai disitu maka diapun
berseru. "Tunggu dulu!"
Orang yang barusan pergi hentikan kudanya
dan berpaling menunggu orang yang datang
menyamparinya. "Ada apa lagi...?"
"Tidak apa-apa. Aku pikir dalam menjalankan
pekerjaanmu pasti kau membutuhkan
sejumlah uang. Terima ini..." Lalu dengan
tangan kirinya orang ini mengeluarkan sebuah
kantong berisi uang. ketika tangan kiri itu
diulurkan untuk memberikan, bersamaan
dengan itu tangan kanan yang tadi
menyelinap ke balik pinggang tiba-tiba
bergerak laksana kilat dalam kegelapan
malam. Sebilah keris luk tiga menghunjam
dalam di dada kiri lelaki yang siap menerima
kantong uang tadi. Tubuhnya langsung
terhuyung, lalu jatuh ke tanah dengan darah
menyembur dari luka di dada yang tembus
sampai ke jantungnya.
"Manusia jahanam. Manusia busuk terku..."
Makian itu hanya sampai disitu karena
nyawanya keburu putus.
Di balik semak belukar yang sangat rapat,
terdengar suara perempuan memaki halus:
"Kenapa kau larang aku mencegah keparat itu
membunuh saksi penting yang kita perlukan
itu...?"
Orang yang dibisiki meletakkan jari tangannya
di atas bibir. "Jangan bicara terlalu keras.
Kau tak usah khawatir..."
"Aku tidak mengerti jalan pikiranmu, Wiro!"
berbisik lagi suara perempuan tadi. Kali ini
menunjukkan rasa gemas.
"Tidak mengerti tidak jadi apa Sulindari. Kita
masih punya beberapa saksi yang bisa
mengungkapkan kejahatan ini. Yang satu itu
biar mampus duluan. Mungkin itu hukaman
yang setimpal baginya!"
"Terserah padamulah. Mari kita tinggalkan
tempat ini. Kita harus mencari tahu dimana
beradanya Damar Bintoro dan perempuan tua
dukun beranak itu..."
"Tunggu, jangan terburu-buru Sulin," bisik
Wiro seraya memegang pinggang murid Kiyai
Djoko Bening Itu. "Masih ada satu kejadian
baru lagi di tempat ini."
"Aku mendengar ada orang berkuda
mendatangi. Masih jauh memang. Tapi
sebentar lagi kita akan melihatnya…."
Memang benar apa yang dikatakan Pendekar
212 Wiro Sableng. Ketika penunggang kuda
yang melakukan pembunuhan tadi hendak
meninggalkan tempat itu, dari jurusan lain
muncul dua ekor kuda dari kegelapan. Yang di
sebelah depan ditunggangi oleh seorang lelaki
berkepala botak, mengenakan celana hitam
tanpa baju. Sehelai kain hitam menyerupai
selendang melingkar dilehernya. Di atas
punggung kuda kedua tampak terbujur
melintang dua sosok tubuh yang tidak
bergerak-gerak, entah mati entah pingsan.
"Siapa kau yang berani menghadangku?!"
teriak lelaki yang baru saja melakukan
pembunuhan. Tapi diam-diam dia memang
merasa pernah melihat atau kenal dengan
orang ini sebelumnya. Lalu dia ingat dan
setengah berseru: "Kau! Bukankah kau Datuk
Kepala Besi?!"
Si botak lepas tertawa panjang. "Bagus kalau
kau masih mengenaliku..."
"Apa maksudmu menghadangku di tempat ini.
Jelas kau telah mengikuti sejak beberapa
waktu lalu...!"
"Memang begitu. Kau lihat dan kenali dua
orang di atas kuda sana...?" si botak balik
bertanya.
Orang yang ditanya membuka matanya lebar-
lebar, memandang tajam-tajam dalam
kegelapan. "Itu... Bukankah keduanya Randu
dan Tikil…!" Lelaki itu berkata dengan suara
bergetar. Wajahnya jelas menyatakan
keterkejutan amat sangat.
"Ah, kaupun masih mengenali kedua bekas
pembantu yang kau suruh pergi itu. Ingat, kau
juga menyuruhnya menghubungiku, memberi
uang untuk membunuh tiga orang murid Kiyai
Djoko Bening…. ingat?! Ayo jawab!"
"Dua bekas pembantu itu, apakah mereka
sudah jadi mayat...?"
"Belum... belum. Keduanya belum jadi mayat.
Hanya kutotok kubiarkan hidup. Untuk
berjaga-jaga kalau kau mungkir…."
"Maksudmu...?"
"Aku mau meminta sejumlah uang. Jumlah
besar! Sebagai ganti kerugian atas tugas yang
kujalankan..."
"Jangan bicara yang bukan-bukan. Aku tahu
tiga murid Kiyai Djoko Bening itu tidak
sanggup kau bunuh! Tugasmu tidak
terselesaikan! Sekarang minta tambahan
uang! Gila! Kerugian apa maksudmu Datuk
Kepala Besi?!"
Sebagai jawaban lelaki botak itu melompat
turun dari kudanya. Dia melangkah dekat-
dekat ke hadapan orang di depannya. Tiba-
tiba celana hitamnya diturunkan ke bawah.
"Lihat! Lihat! Inilah kerugian yang kuderita!
Anggota tubuhku paling berharga putus!"
teriak Datuk Kepala Besi seraya
memperlihatkan anggota rahasianya yang
buntung karena dibetot lepas oleh Wiro
beberapa waktu lalu.
Orang di atas kuda tampak mengernyit penuh
tegang. Dan jadi marah ketika terdengar Datuk
Kepala Besi berkata: "Aku minta paling tidak
seratus ringgit emas sebagai ganti kerugian!"
"Gila! Kau gila!" teriak orang di atas kuda.
Datuk Kepala Besi tertawa. "Terserah padamu.
Dua orang di atas kuda sana akan menjadi
saksi kejahatan yang kau lakukan. Sekali aku
membawa mereka menghadap patih di
Kotaraja, habislah riwayatmu Tumenggung
Brojo Menggolo!"
Orang di atas kuda yang ternyata adalah
Tumenggung Brojo Menggolo mencabut keris
luk tiga yang masih basah oleh darah orang
yang barusan dibunuhnya. Datuk Kepala Besi
tenang saja malah tertawa mengejek. "Kau
bisa membunuh guru silat Sangkolo Pratolo
itu. Aku tahu kalau kau pun punya kepandaian
cukup tinggi. Tapi jangan coba-coba berani
melawanku Tumenggung!"
Apa yang dikatakan Datuk Kepala Besi itu
disadari sepenuhnya oleh Tumenggung
Menggolo. Tapi dari mana dia mampu
menyediakan seratus ringgit emas yang
diminta. Dari balik pakaiannya Tumenggung
mengeluarkan kantong uang yang tadi hendak
diserahkannya pada guru silat Sangkolo
Pratolo. Kantong uang itu dilemparkannya
pada Datuk Kepala Besi. "Ini ambillah. Ada
sepuluh uang perak di dalamnya. Aku tak
punya uang lagi!"
Si botak tertawa pendek lalu mendengus dan
kepretkan kantong yang dilemparkan ke
arahnya hingga jatuh ke tanah. "Kalau kau
tak mau memberikan apa yang kuminta,
terpaksa akupun akan memutus barang di
bawah perutmu itu Tumenggung Menggolo!"
Lalu si botak ini melangkah mendekati
Tumenggung yang duduk di atas kuda itu
dengan kedua tangan terpentang.
"Tunggu! Saat ini aku hanya membawa lima
ringgit emas! Kau boleh mengambilnya. Aku
akan berikan lagi lima ringgit emas begitu
sampai di rumah. Hanya itu yang bisa
kuberikan! Sekalipun kau bunuh aku memang
tidak punya ringgit emas yang kau minta!"
"Hem, kau bisa menggantikannya dengan
benda lain. Emas berlian perhiasan istrimu
misalnya... "
"Itu bisa kita bicarakan nanti. Sekarang
terima dulu lima ringgit emas ini. Tapi kau
harus melakukan apa yang kukatakan!"
"Serahkan dulu uang itu Tumenggung!" ujar si
botak.
Tumenggung Brojo Menggolo lemparkan
kantong uang berisi lima ringgit emas. Si
botak menyambuti lalu berkata: "Nah
sekarang katakan apa yang harus kulakukan!"
"Bunuh dua bekas pembantuku itu!" sahut
Tumenggung Menggolo pula.
"Ah itu soal mudah. Semudah aku mencungkil
tahi hidung. Tapi kalau kau hanya mampu
memberikan sepuluh ringgit emas, siapa sudi!"
"Dengar, aku akan berikan jabatan yang
pernah kujanjikan pada guru silat Sangkolo
Pratolo. Kurasa itu lebih dari cukup sebagai
pengganti sembilan puluh ringgit emas yang
kau minta!"
"Hem, jabatan apa itu?" tanya Datuk Kepala
Besi.
"Kedudukan penting di jajaran tokoh-tokoh
silat Istana!"
Si botak berpikir-pikir sesaat sambil usap-
usap kepalanya. Sambil tertawa dia berkata:
"Baik, kuterima tawaranmu. Tapi ingat, sekali
kau dusta tubuhmupun akan kupotong-potong
sebagaimana kau melakukannya terhadap
anak tirimu itu!"
"Jaga mulutmu Datuk Kepala Besi! Tidak
perlu kau bicara seperti itu! Aku harus pergi
sekarang! Jangan lupa membereskan dua
bekas pembantuku itu!"
Sesaat setelah Tumenggung Brojo Menggolo
tinggalkan tempat itu Datuk Kepala Besi
mendekati Randu dan Tikil yang masih
menggeletak di atas punggung kuda dalam
keadaan tak bisa bergerak karena ditotok.
"Jadi orang kecil memang harus menderita
banyak. Kalian terpaksa kubunuh. Tapi untuk
mengurangi penderitaan, biar kalian tetap
dalam keadaan tertotok!" Datuk Kepala Besi
angkat tangan kanannya, siap mengepruk
kepala Tikil terlebih dahulu. Namun belum
sempat pukulan mematikan itu mendarat di
batok kepala si pembantu yang malang, tahu-
tahu satu tangan menangkis dan memukul
lengan Datuk Kepala Besi. Si botak ini terjajar
setengah langkah. Tikil lolos dari maut. Di
sebelahnya terdengar suara mengeluh pendek.
Namun di saat itu pula ada yang
menyerangnya. Sambil menghindar Datuk
Kepala Besi berusaha melihat siapa adanya si
penyerang.
"Gadis jelita! Kau rupanya!" seru Datuk Kepala
Besi ketika mengenali yang menghalangi
pukulannya tadi dan yang kini menyerangnya
adalah Sulindari, murid Kiyai Djoko Bening
yang tempo hari hampir sempat digagahinya
kalau tidak muncul Pendekar Wiro Sableng.
"Dajal kepala botak! Dosamu tempo hari
masih belum berampun, hari ini kau berserikat
dengan Tumenggung keparat itu dan hendak
membunuh dua orang pembantu yang tidak
berdosa serta berada dalam keadaan tidak
berdaya sungguh biadab perbuatanmu!"
Sambil mengelakkan serangan Sulindari Datuk
Kepala Besi menjawab: "Sabar anak cantik!
Kalau kau yang memerintahkan aku untuk
tidak membunuh dua pembantu itu, pasti aku
patuh menurut! Hanya sayang saat ini
kekasihmu ini sudah seperti macan ompong.
Kegairahan ada tapi kemampuan tidak ada!
Lihat keadaanku karena perbuatan pemuda
gondrong itu!" Habis berkata begitu Datuk
Kepala Besi seperti tadi selorotkan celananya
ke bawah. Justru saat itu pula Sulindari
menyerang dengan satu tendangan ke arah
bawah perut itu.
Datuk Kepala Besi tertawa panjang. Kepalanya
dibungkukkan menyambut serangan sang
dara. Sulindari yang sudah tahu keatosan
kepala itu tak berani meneruskan
tendangannya. Tangan kanannya kini yang
dihantamkan ke leher lawan melancarkan
pukulan yang mengandung aji kesaktian
Selangit Tembus Sebumi Putus. Tetapi murid
Kiyai Djoko Bening ini masih kalah cepat.
Kedua tangan lawan telah merangkul
pinggangnya saat itu. Di waktu yang
bersamaan secara kurang ajar sang datuk
susupkan mukanya ke bagian bawah perut
Sulindari. Keduanya lalu jatuh bergulingan.
Kesempatan ini dipergunakan Datuk Kepala
Besi untuk menghimpit tubuh sang dara,
menciumi wajah dan menggerayangi dadanya
dengan penuh nafsu.
"Keparat busuk! Kau tidak kapok-kapoknya!"
Satu suara mendamprat lalu satu tendangan
menghantam rusuk Datuk Kepala Besi. Tak
ampun lagi datuk ini terpental sampai dua
tombak. Empat tulang rusuknya remuk
hancur. Tulang-tulang yang patah itu seperti
menusuk bagian-bagian tubuh di sebelah
dalam hingga sakitnya bukan kepalang. Tapi
hebatnya Datuk Kepala Besi masih sempat
bangkit berdiri dengan mata berkilat-kilat
dalam kegelapan. Ketika dia melihat siapa
adanya pemuda gondrong yang tegak di
hadapannya, nyalinyapun lumer. Tanpa
tunggu lebih lama dia segera balikkan diri
ambil langkah seribu. Namun malang. Di arah
dia hendak melarikan diri itu, Sulindari sudah
menunggu dengan sepotong cabang kayu
sebesar betis. Begitu kayu dihantamkannya ke
rahang sang datuk terdengar suara berderak
patah. Datuk Kepala Besi berteriak keras lalu
roboh dengan sebagian wajah rengkah.
Ternyata hanya bagian kepalanya yang botak
saja yang atos tahan segala macam pukulan
sedang bagian wajahnya tidak mempunyai
kekebalan apa-apa. Pendekar 212 Wiro
Sableng membantu Sulindari berdiri. "Bangsat
itu menjijikkan sekali!" kata sang dara lalu
dengan kaki kirinya diinjakkan wajah Datuk
Kepala Besi hingga hidung dan sebagian
tulang pipi orang ini melesak ke dalam.
Wiro kemudian melepaskan totokan di tubuh
Randu dan Tikil. Dua orang bekas pembantu
Tumenggung Brojo Menggolo ini meskipun
berada dalam keadaan tertotok tapi masih
sanggup dan sempat menyaksikan apa yang
sebelumnya terjadi. Tahu kalau mereka telah
diselamatkan oleh dua orang muda-mudi itu
keduanya lantas menyembah-nyembah
berulang kali seraya mengucapkan terima
kasih. Wiro menyuruh Randu dan Tikil berdiri.
Dari kedua orang ini mereka kemudian
mendapatkan keterangan yang mengejutkan.
"Sebagai pembantu di tempat kediaman
Tumenggung Menggolo kami diam-diam
mengetahui adanya hubungan gelap antara
Tumenggung dengan anak tirinya Sintomurni.
Ketika gadis itu hamil Tumenggung menjadi
bingung dan sangat ketakutan...."
"Tunggu dulu!" memotong Sulindari. "Adalah
tidak masuk akal kalau Sintomurni mau
melayani ayah tirinya itu!"
"Secara wajar memang begitu. Tapi
Tumenggung telah mencekoki anak tirinya itu
dengan semacam obat. Guna-guna!"
menjelaskan Tikil. Lalu dia melanjutkan.
"Dengan iming-iming sejumlah uang dan
kedudukan di Keraton, celakanya guru silat
Sangkolo Pratolo mau menolong Tumenggung
yang sedang kesulitan itu. Guru silat itu
membawa den ayu Sintomurni ke dukun
beranak Jamilah.
Dukun itu dipaksa agar menggugurkan
kandungan den ayu. Tapi gagal karena
kandungan sudah besar dan janinnya sudah
kuat. Den ayu meninggal dunia waktu
kandungannya itu digugurkan... Ketika hal itu
dikabarkan pada Tumenggung, Tumenggung
menjadi tambah ketakutan. Akhirnya
Tumenggung datang sendiri ke rumah dukun
beranak itu pada tengah malam. Kami
diperintahkan ikut. Disitu... di rumah dukun
Jamilah, mayat den ayu Sintomurni kemudian
dipotong-potong...."
"Siapa yang melakukannya?!" tanya Wiro.
"Sangkolo Pratolo, juga Tumenggung
Menggolo..." sahut Randu.
"Manusia-manusia biadab!" desis Sulindari.
"Lalu apa yang terjadi selanjutnya?"
"Potongan-potongan mayat den ayu
Sintomurni dibuntal dalam sebuah kain
kuning. Terlebih dahulu Tumenggung
mencacah wajah mayat hingga tak mungkin
lagi dikenali. Kami berdua kemudian
diperintahkan menggotong mayat dalam
buntalan, bersama guru silat Sangkolo Pratolo
mayat itu kemudian kami bawa dan buang di
lereng gunung Merbabu sebelah selatan..."
"Setahu kami Sintomurni mempunyai seorang
kekasih bernama Damar Bintoro. Tapi pemuda
itu lenyap hampir bersamaan dengan
ditemukannya mayat di gunung Merbabu.
Juga dukun beranak Jamilah itu lenyap dari
rumah sewaannya... Apakah Damar Bintoro
tidak mengetahui kalau kekasihnya hamil...?"
"Den Damar Bintoro memang tidak
mengetahui kehamilan kekasihnya. Dia
seorang pemuda polos dan sopan. Dan dia
bukannya lenyapkan diri, tapi sengaja
bersembunyi demi keselamatannya. Orang-
orang suruhan Tumenggung berkali-kali
hendak membunuhnya secara gelap. Dia lalu
bersembunyi di satu tempat. Perempuan tua
Jamilah dukun beranak itu ikut sembunyi
bersamanya karena memang den Damar yang
menjemputnya malam-malam. Mereka
merencanakan untuk melapor pada Patih
Kerajaan, tapi tidak berani keluar dari tempat
persembunyian karena orang-orang
Tumenggung ada dimana-mana..."
"Kalian tahu dimana tempat persembunyian
Damar Bintoro dan dukun beranak bernama
Jamilah itu?" tanya Wiro.
Randu dan Tikil sama-sama mengangguk.
"Kalau begitu malam ini juga kalian antarkan
kami ke sana," ujar Sulindari.
"Raden dan rara telah menolong nyawa kami.
Apapun yang kalian perintahkan kami berdua
pasti akan melakukannya," sahut Randu pula.
Sebelum meninggalkan tempat Itu Wiro
mengambil uang emas yang tadi dimasukkan
Datuk Kepala Besi ke balik celana hitamnya.
Dia juga memungut kantong berisi uang
perak. "Semua uang ini harus kita kembalikan
pada istri Tumenggung. Aku punya firasat
Tumenggung itu sendiri tak bakal lama
umurnya."
DUA BELAS
MALAM sudah turun ketika Randu dan Tikil
yang membawa Pendekar 212 Wiro Sableng
dan murid Kiyai Djoko Bening Sulindari
sampai di tempat persembunyian Damar
Bintoro serta Dukun beranak Jamilah. Tempat
itu ialah sebuah rumah papan jati yang
terletak dalam rimba belantara, merupakan
rumah kecil tempat orang beristirahat pada
siang hari atau menginap pada malam hari
ketika melakukan perburuan. Dan rumah ini
adalah milik Raden Somba Kayu Ireng ayah
Damar Bintoro
"Tampaknya kita kedahuluan orang lain..."
bisik Wiro pada Sulindari dari balik semak
belukar sambil menunjuk pada dua ekor kuda
besar yang tertambat di bawah pohon. Di
bagian lain, di sebelah belakang rumah papan
kelihatan pula dua ekor kuda. Randu tiba-tiba
berbisik: "Salah seekor kuda yang tertambat
disana milik Tumenggung Menggolo..."
"Bagus! Kalau bangsat itu ada disini berarti
semua urusan bisa dibikin tuntas!" ujar
Sulindari. Di dalam rumah papan tiba-tiba
terdengar suara pekikan perempuan.
"Itu teriakan dukun beranak Jamilah..."
memberi tahu Tikil yang mengenali suara
perempuan itu.
Lalu menyusul suara bentakan: "Tumenggung
keparat! Apa dosa perempuan itu maka kau
hendak membunuhnya?! Apa kau tidak puas
hanya dengan membunuh anak tirimu yang
kau rusak kehormatannya itu? Manusia Iblis!
Kau boleh bunuh aku tapi lepaskan
perempuan tua itu!"
"Itu suara den Damar..." Tikil yang berbisik.
Lalu terdengar suara bentakan Tumenggung
Menggolo.
"Soal kematianmu tak usah kau risaukan anak
muda! Aku memang tak pernah suka padamu!
Kau saksikan dulu bagaimana aku membunuh
tua bangka ini! Bagianmu kelak menyusul
beberapa saat lagi!"
Tanpa pikir panjang lagi saat itu juga Wiro
dan Sulindari langsung melompat keluar dari
balik semak belukar. Dengan kaki kirinya Wiro
menendang pintu papan hingga hancur
berantakan lalu bersama Sulindari dia masuk
ke dalam rumah yang diterangi sebuah lampu
minyak itu.
Di lantai rumah tampak tergeletak seorang
perempuan tua berambut putih yang
membeliak dan gemetaran sekujur tubuhnya
karena ketakutan. Di depannya Tumenggung
Brojo Menggolo tengah menusukkan sebilah
golok ke leher perempuan tua itu. Di salah
satu sudut, seorang pemuda dalam keadaan
tertotok, tegak tersandar tanpa bisa bergerak.
Dialah Damar Bintoro, kekasih Sintomurni.
Ada seorang lagi hadir dalam rumah itu yakni
seorang lelaki tua berjanggut putih yang
mengenakan jubah kuning. Orang inipun
memegang sebilah golok di tangan kanannya.
"Tumenggung iblis! Karena kau dua saudara
seperguruanku menderita celaka! Kau
menyebar maut dimana-mana! Kini
perempuan tua tak berdaya itu hendak kau
bunuh pula! Biar kucopot kepalamu!" Yang
berteriak adalah Sulindari. Gadis ini langsung
menyerbu Tumenggung Brojo Menggolo.
Kedua tangannya berkelebat ke arah leher
sang Tumenggung.
Ketika pintu rumah hancur berantakan dan
dua muda-mudi itu berkelebat masuk, dan
pada saat Sulindari berteriak, Tumenggung
Menggolo langsung memutar tubuh. Golok
yang tadi hendak ditusukkannya ke leher
Jamilah, kini dibabatkannya ke arah kedua
tangan Sulindari. Sebagai seorang yang
berpangkat tinggi Tumenggung Menggolo
memang memiliki ilmu simpanan yakni Ilmu
silat tangan kosong dan ilmu golok. Namun
jelas sekali dia hanya memiliki tenaga luar.
Kepandaiannya Itu sama sekali tidak ditopang
oleh kekuatan tenaga dalam. Ketika Sulindari
mengelak dan menghantam dengan pukulan
Selangit Tembus Sebumi Putus langsung
Tumenggung Menggolo terpental dan
terbanting ke dinding papan. Dada pakaiannya
sebelah kanan tampak terkoyak robek dan
kulit dadanya yang tersingkap kelihatan
memar kebiruan. Dia tersandar di dinding dan
sulit bernafas. Dia berusaha menusukkan
goloknya ke arah perut Sulindari ketika si
gadis kembali menyerangnya tapi dengan
mudah murid Kiyai Djoko Bening itu memukul
lengan Tumenggung dan merampas goloknya.
Ketika golok itu hendak ditusukkan Sulindari
pada pemiliknya sebagai senjata makan tuan,
tiba-tiba terdengar bentakan keras: "Jangan
bunuh orang itu! Kematiannya harus di tiang
gantungan agar semua orang tahu
kebiadabannya!"
Semua orang berpaling ke pintu. Disitu tegak
Raden Somba Kayu Ireng, ayah Damar
Bintoro. Di belakangnya belasan perajurit
Kepatihan telah mengurung tempat itu. Raden
Somba melangkah mendekati Tumenggung
Menggolo. Pada saat itulah orang tua
berjanggut putih berjubah kuning mengirimkan
bacokan dari samping. Cepat dan ganas
ayunan goloknya. Suara bersiuran yang keluar
dari badan golok cukup memberi tahu bahwa
orang tua ini memiliki tenaga dalam tinggi.
Raden Somba cepat berkelit. Mata goloknya
hanya lewat seujung kuku dari kepalanya.
Ketika dia hendak balas menyerang, Pendekar
212 Wiro Sableng sudah lebih dahulu
berkelebat. Dorongan tangan kanan murid
Sinto Gendeng membuat si jubah kuning
terjajar ke belakang dan sempat terkejut.
"Kakek baju kuning! Bukankah kau manusia
ular kepala dua bernama Sangket Plumbung
bergelar Dewa Jubah Kuning dan pernah
membunuhi beberapa murid Kiyai Gobang
Amerto dari gunung Bromo. Kau mencap
sahabat-sahabatku itu sebagai antek-antek
kaum pemberontak. Padahal tujuanmu adalah
untuk menutup pengkhianatanmu sendiri.
Kaulah yang mengirimkan sejumlah senjata
untuk kaum pemberontak di selatan!"
"Ha...ha! Satu lagi terbuka kedok
kejahatanmu Sangket Plumbung!" berkata
Raden Somba.
"Sudah sejak lama aku mencurigai gerak
gerikmu! Hari ini kau tak mungkin lolos lagi!"
Raden Somba berpaling pada Wiro. "Pendekar
gagah, teruskan perkelahianmu dengan
pengkhianat ini! Tapi ingat seperti kawannya
yang satu itu dia harus ditangkap hidup-
hidup!"
Raden Somba kemudian melanjutkan
langkahnya menghampiri Tumenggung Brojo
Menggolo. Saat itu selain menderita cidera
dan kesakitan akibat pukulan Sulindari,
Tumenggung Menggolo memang sudah pasrah
karena sadar tak bisa berkelit lagi.
"Aku pasrah menerima segala hukuman,
Raden Samba!" katanya dengan suara serak.
Terbayang di pelupuk matanya saat-saat dia
membacok memotongi tubuh anak tirinya itu.
Tumenggung Menggolo tekap wajahnya
dengan dua telapak tangan lalu menangis
sesenggukan.
Kalau sang Tumenggung pasrah menyerahkan
diri, lain halnya dengan Sangket Plumbung
alias Dewa Jubah Kuning. Membayangkan
hukuman berat yang bakal diterimanya dari
Kerajaan maka dia menjadi kalap. Si jubah
kuning ini kirimkan serangan berantai yang
ganas berupa dua bacokan dan satu tusukan
sekaligus. Wiro yang mendendam besar akibat
kematian para sahabatnya di gunung Bromo
gara-gara perbuatan si janggut putih ini juga
tak kalah kalapnya. Kalau saja dia tidak ingat
pesan Raden Somba agar dia tidak
membunuh orang itu saat itu rasanya maulah
dia mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212
dan mencincang tubuh tua bangka itu sampai
lumat.
Serangan ganas Dewa Jubah Kuning hanya
berlangsung tiga jurus penuh. Setelah itu Wiro
mulai merangsak lawannya dengan jurus-
jurus Ilmu Silat Orang Gila yang didapatnya
dari Tua Gila. Memang ilmu silat ini sangat
cocok dimainkan di tempat yang sempit
seperti dalam rumah papan itu. Gerakan kaki
tidak terlalu banyak, hanya tubuh dan tangan
yang meliuk-liuk macam orang sempoyongan
mabuk tuak.
Wuuttt!
Golok di tangan Dewa Jubah Kuning menderu
di depan perut Pendekar 212. Begitu
sambaran senjata lawan lewat, Wiro
membungkuk ke depan seperti terhuyung
hendak jatuh, tapi tiba-tiba kaki kanannya
sudah mencelat melabrak ketiak kanan lawan.
Terdengar suara berderak disusul jerit Dewa
Jubah Kuning. Bahu kanannya hancur.
Tangan terkulai. Golok yang tadi dipegangnya
sudah lebih dulu jatuh di lantai. Tubuhnya
tersandar miring ke dinding papan. Wiro
melepaskan totokan di tubuh Damar Bintoro
sementara Sulindari membantu dukun beranak
itu bangkit berdiri. Tubuh perempuan tua ini
masih gemetaran dan wajahnya masih pucat
pasi ketakutan.
Raden Somba memberi isyarat pada para
perajurit di luar sana. Melihat isyarat ini
delapan orang segera masuk lalu menggiring
Tumenggung Menggolo dan Sangket
Plumbung keluar.
Begitu totokannya lepas Damar Bintoro
langsung merangkul Pendekar 212 Wiro
Sableng dan berulang kali mengucapkan
terima kasih. Lalu pemuda ini mendatangi
ayahnya dan berlutut di hadapan orang
tuanya itu.
"Bangkit berdiri Damar. Kita semua harus
segera kembali ke Kotaraja!" berkata Raden
Somba. Lalu dia menoleh pada Wiro dan
Sulindari. "Muda mudi gagah. Kami berhutang
budi dan nyawa pada kalian berdua. Lebih
dari itu kalian juga berjasa besar pada
Kerajaan karena berhasil membongkar kedok
seorang pengkhianat dan menangkapnya
hidup-hidup. Atas nama Patih dan Sri
Baginda aku meminta kalian ikut ke Kotaraja
menjadi tamu-tamu terhormat. Kalian akan
menyaksikan bagaimana hukum dan keadilan
dijalankan disana!"
Wiro memandang pada Sulindari. Karena
gadis ini hanya diam saja maka Wiro pun
menjawab: "Terima kasih atas undangan dan
penghargaan itu. Tapi mohon dimaafkan,
masih ada urusan lain yang perlu kami
selesaikan. Kami minta diri saja sekarang...."
Raden Somba Kayu Ireng tersenyum. Dia
melirik pada Sulindari dan diam-diam merasa
cocok kalau gadis jelita itu dijodohkan dengan
puteranya. Tapi saat itu bukan tempatnya
berpikir sampai disitu. Karena tahu
bagaimana sifat-sifat orang persilatan maka
dia pun menganggukkan kepala dan berkata:
"Kalian orang-orang rimba persilatan. Kapan
sih bisa bebas dari segala urusan kalian.
Selamat jalan kalau begitu!" Lalu Raden
Somba mendahului menjura memberi
penghormatan hingga Wiro dan Sulindari
menjadi kikuk membalasnya. Kedua muda-
mudi ini lalu tinggalkan tempat itu. Di atas
punggung kuda milik Datuk Kepala Besi dan
Sangkolo Pratolo dua muda mudi itu bergerak
tanpa ada yang bicara.
"Kemana tujuan kita sekarang?" Sulindari
akhirnya mengajukan pertanyaan.
"Aku akan mengantarkanmu ke puncak
Merbabu!" jawab Wiro. Sang dara diam saja.
"Eh, kau tak suka aku antarkan...?" bertanya
Wiro.
"Kau sungguhan mau mengantar?" balik
bertanya Sulindari.
"Mengapa tidak? Memangnya ada apa...?"
"Hemm... Bertahun-tahun aku berada di
puncak Merbabu. Belajar dan berlatih silat
tiap hari tiada henti. Bukan pekerjaan ringan.
Sekarang ada kesempatan turun gunung.
Mengapa tidak melihatlihat dunia luar barang
dua tiga minggu...?"
"Ah, itu satu rencana yang baik! Apalagi
kalau kita jalan sama-sama. Maksudmu
begitu?"
Sulindari mengangguk.
"Ah, rejekiku besar nian sekali ini. Siapa
menyangka ada gadis secantikmu mau
berkelana bersamaku. Sekali. Bagaimana aku
berani menolak! Jangankan dua tiga minggu.
Dua tiga tahunpun aku bersedia! Ha... ha...
ha...!"
"Tapi ada saratnya Wiro!" ujar Sulindari.
"Eh, apa itu?"
"Jika aku pulang kembali ke puncak Merbabu,
aku tak mau jadi mayat terpotong potong!"
Wiro tertawa gelak-gelak.
"Jika kau kembali pulang ke tempat gurumu nanti percayalah tubuhmu akan tetap utuh.
Bahkan tidak selembar rambutmu pun akan kurang!"
"Kalau begitu nanti begitu sampai di tempat guru kau harus menghitung rambutku, apakah
ada yang kurang atau tidak!"
"Seluruh rambut di tubuhmu...? tanya Wiro pula.
"Ya... Seluruh rambut di tubuhku! Eh!"
Sulindari baru sadar apa arti pertanyaan Wiro dan bagaimana dia bisa terjebak menjawab seperti itu.
"Pemuda kurang ajar!" teriak Sulindari lalu melayangkan tinjunya ke punggung Pendekar 212. Tapi Wiro sudah membedal kudanya
lebih dahulu seraya tertawa gelak-gelak dan berkata: "Ha...ha! Aku akan menghitung rambut di tubuhmu! Seluruh rambut! Asyik...Asyiiikkkkk!"
Tamat
Komentar
Posting Komentar