Wiro Sableng
Pendekar kapak maut naga geni 212
Episode : Mayat Hidup Gunung Klabat
Karya : BASTIAN TITO
********
INI SATU PEMANDANGAN yang mengerikan
bagi siapa saja yang menyaksikan.
Bagaimana tidak. Di malam buta ketika tak
ada rembulan dan langit tidak pula
berbintang, dibawah kepekatan yang
menghitam gelap disertai hembusan angin
mencucuk dingin, ditambah dengan turunnya
hujan rintik-rintik, seekor kuda putih berlari
kencang menuju puncak Gunung Klabat.
Sambil lari binatang ini tiada hentinya
keluarkan suara meringkik keras dari sela
mulutnya yang berbusa.
Di atas punggung kuda putih itu membelin-
tang sesosok tubuh yang sudah tidak
bernyawa lagi. Sesosok mayat seorang lelaki
separuhbaya berambut panjang sebahu
dengan luka bekas bacokan pada pangkal
lehernya. Sebagian wajah dan leher serta
dadanyadibasahi oleh darah yang masih
hangat tanda orang ini belum begitu lama
menemui ajalnya.
Di belakang mayat yang membelintang di atas
punggung kuda itu, duduk seorang perempuan
berwajah bulat, berpakaian merah. Rambutnya
yang panjang tergerak lepas dan berkibar-
kibar ditiup angin. Perempuan inilah yang
memacu kuda itu dengan segala kemampuan
yang ada. Dia menunggang kuda putih sambil
air mata mengucur membasahi kedua pipinya
yang merah.
Betapapun mengerikan melihat berkelebatnya
tiga mahluk itu dalam kegelapan malam
namun mereka bukanlah setan atau mahluk
jejadian. Ketiganya tetap mahluk ciptaan
Tuhan, dua dalam keadaan hidup dan satu
sudah jadi mayat!
Menjelang dinihari, kuda putih itu mencapai
puncak gunung yang sangat curam dan
perjalanan tak mungkin diteruskan dengan
menunggangi binatang itu. Menyadari hal itu,
perempuan muda penunggang kuda cepat
melompat turun, menarik sosok mayat lelaki
lalu memanggulnya di bahu kanan. Sebelum
pergi, dia memegang leher binatang itu dan
berkata
"Putih! Kau tetap disini. Tunggu sampai aku
kembali!" Seperti mengerti ucapan orang, kuda
putih itu meringkik keras, lalu tundukkan
kepalanya, menyusup mencari rerumputan liar
diantara semak belukar.
Setengah berlari perempuan muda itu
memanggul mayat di bahu kanannya menuju
puncak gunung sementara di timur langit
mulai tampak membersitkan sinar kekuning-
kuningan tanda tak lama lagi sang surya
akan kembali muncul menerangi bumi Tuhan.
Di puncak gunung yang temaram itu udara
semakin keatas terasa dingin. Tapi
perempuan yang memanggul mayat itu justru
telah basah kuyup pakaian merahnya. Sekujur
tubuhnya sakit dan letih bukan kepalang
bahkan kedua kakinya laksana kaku dan sukar
untuk diajak berlari lebih cepat. Namun
kekerasan hatinyalah yang membuat
perempuan itu terus bersikeras mendaki
sampai ke puncak teratas Gunung Klabat. Dan
tepat ketika sang surya tampak menyembul di
ufuk timur, dia sampai di puncak gunung.
Matanya memandang ke arah sebuah pondok
kayu beratap ijuk, satu-satunya bangunan di
tempat itu. Dia langsung melangkah naik ke
atas langkan berlantai papan dan mengetuk
pintu yang tertutup.
"Bapak Tua Walalangi, bukakan pintu. Saya
datang dari jauh membawa berita buruk! Saya
memerlukan bantuanmu!" Lalu perempuan itu
kembali mengetuk pintu, lebih keras dari tadi.
Di dalam terdengar suara tempat tidur
berderik. Disusul suara orang berdehem
beberapa kali. Kemudian terdengar langkah-
langkah kaki menuju ke pintu. Sesaat
kemudian pintu itu terbuka dengan
mengeluarkan suara berkereke-tan.
"Tamu dari mana yang muncul pagi-pagi buta
begini?!" Satu suara lebih dulu terdengar baru
menyusul muncul orangnya dari balik daun
pintu.
Orang ini ternyata adalah seorang kakek
berwajah tirus, berambut putih panjang
sebahu tapi jarang, mengenakan baju lengan
panjang dan celana gombrong putih.
"Saya Sulami Tangkario datang dari selatan
Gunung Klabat
"Tangkario. Hem... Aku pernah dekat dengan
nama keluarga Tangkario. Tapi..." Si orang
tua dongakkan kepalanya. Cuping hidungnya
sesaat tampak mengembang.
"Hemmm... Aku mencium bau mayat..."
desisnya kemudian
"Bapak Tua Walalangi," perempuan yang
mendukung jenazah berkata dengan heran.
"Apakah sejak tadi kau tidak melihat saya
memanggul mayat di bahu kanan..."
Perempuan ini memandangi wajah orang tua
itu lekat-lekat.
Kemudian terdengar suaranya agak tertahan :
"Astaga, Bapak Tua... Kedua matamu ternyata
buta! Harap maafkan orang Ternyata Bapak
tua bernama Walalangi itu memang buta
nyalang sepasang matanya yang berwarna
kelabu. Dia mengangguk perlahan lalu ulurkan
tangan meraba kepala mayat. Tangannya
kemudian turun kebawah, sampai di leher
berhenti beberapa ketika. Ada darah hangat
dan licin terasa membasahi jari-jarinya dan
dia dapat meraba luka bacokan di leher
mayat.
"Siapa yang berbuat sekejam ini..." katanya
dengan suara tercekat. "Kau telah mendukung
mayat itu cukup jauh tentunya. Letakkan di
lantai dan katakan apa kau punya
hubunganmu dengan mayat yang kau bawa
kemari ini!"
Sulami Tangkario perlahan-lahan dan dengan
sangat hati-hati menurunkan mayat di bahu
kanannya lalu membujurkannya di lantai
langkan yang bertutupkan tikar jerami. Dia
duduk bersimpuh di depan mayat, mengusap
air mata yang membasahi pipinya baru
menjawab pertanyaan orang tua tadi.
"Siapa yang membunuhnya saya tidak
mengetahui dengan jelas, Bapak Tua. Saya
hanya bisa menduga. Ketika suami saya
sedang tidur, tiba-tiba sebuah golok besar
secara aneh melesat, menembus langit-langit
kamar, langsung menghantam pangkal
lehernya. Saya berusaha mengejar si
pembunuh ke atas atap setelah lebih dulu
mencabut golok. Tapi siapapun pembunuhnya
dia telah lebih dulu raib..."
"Jadi yang kau bawa ini adalah jenazah
suamimu sendiri, Sulami?"
"Betul Bapak Tua..."
"Siapakah nama suamimu, perempuan
malang?"
"Mararanta Tangkario..." Jawab Sulami.
Paras si orang tua tampak berubah. "Jadi...
Mararanta. Ah, dia masih salah satu cucu-
cucuku yang bertebaran di Minahasa ini...
Sulami, ceritakan apa yang terjadi..."
"Saya sudah menceritakannya tadi Bapak Tua
Walalangi."
"Betul. Tapi kau belum menerangkan apa latar
belakang semua kejadian ini. Suamimu bukan
manusia sembarangan. Seorang pendekar
yang memiliki kepandai-an tinggi. Hampir
mustahil kalau ada orang yang mampu
membokongnya sekalipun dalam keadaan
tidur. Kalau itu terjadi, berarti ada orang
berkepandaian sangat tinggi yang
melakukannya!"
"Sayapun menduga demikian Bapak Tua,"
sahut Sulami
Tangkario. Lalu perempuan ini menuturkan.
"Enam bulan yang lalu saya bertemu pertama
kali dengan Mararanta. Waktu itu dia baru
saja kembali dari tanah Jawa. Mungkin kami
berjodoh lalu melangsungkan pernikahan.
Setelah nikah satu bulan saya melihat ada
satu kelainan dalam diri Mararanta. Dia
sering bersikap seperti ketakutan. Seperti ada
sesuatu atau seseorang yang selalu
membayanginya. Berkali-kali saya tanya dia
tidak mengaku. Namun dua minggu yang lalu
akhirnya dia menceritakan bahwa di Jawa dia
telah bentrokan dengan seorang pendekar
berkepandaian tinggi sekali. Karena tidak
mungkin menghadapinya, Mararanta akhirnya
cepat-cepat kembali ke Minahasa. Namun dia
merasa seperti ada seseorang atau makhluk
aneh yang mengikutinya
"Suamimu menerangkan apa sebab musabab
bentrokan itu dan siapa orang yang menjadi
lawannya?" bertanya Bapak Tua Walalangi.
"Menurut suami saya waktu berada di Jawa
dia sempat mengawini seorang gadis bernama
Mlnari. Gadis itu ternyata adalah kekasih
seorang pendekar berkepandaian tinggi:
Namun Minari sendiri tidak menyukai
pendekar itu. Itulah sebabnya dengan seizin
kedua orang tuanya Minari kawin lari dengan
Mararanta. Tapi Minari kemudian diculik
sedang Mararanta sendiri dikejar-kejar. Dalam
keadaan sangat terancam jiwanya Mararanta
melarikan diri. Dia berusaha mencari Minari
terlebih dahulu, ketika sia-sia akhirnya dia
kembali ke Minari terlebih dahulu, ketika sia-
sia akhirnya dia kembali ke Minahasa..."
Sulami terdiam sejenak. Setelah menyeka air
mata yang masih mengucur dia melanjutkan.
"Malam tadi, begitu saya tidak berhasil
mengejar' si pembunuh, saya cepat kembali ke
dalam kamar. Saya dapati Mararanta dalam
keadaan sekarat. Namun sebelum
menghembuskan nafas dia sempat
meninggalkan pesan..."
Bapak Tua Walalangi usap dagunya yang licin
lalu bertanya : "Apa pesan suamimu itu
Sulami?"
"Dia minta agar jenazahnya dibawa kemari
dan diperlihatkan pada Bapak Tua. Dia juga
mengatakan bahwa yang membunuhnya
adalah kekasih Minari. Dan katanya lagi... Dia
tak akan tenteram di dalam kubur sebelum
dapat membalaskan sakit hati dendam
kesumat pembunuhan keji atas dirinya ini!"
Paras si orang tua kembali berubah. Kali ini
lama dia berdiam seperti merenung. "Begitu
katanya...? Ah, sungguh satu pesan yang
berat. Tapi apa lagi yang disampai-kannya
sebelum meninggal?"
"Mohon maaf Bapak Tua..." kata Sulami. Dan
bulu kuduknya mendadak saja jadi merinding.
"Dia berkata bahwa hanya Bapak Tualah yang
bisa menolongnya untuk membalaskan sakit
hati itu. Dia minta agar Bapak Tua memberi
kehidupan semen-tara padanya agar dia
dapat mencari si pembunuh..."
"Ya Tuhan... Mengapa cucuku ini
meninggalkan pesan berat begini macam...?"
Membatin Walalangi. Lalu dia berkata:
"Ketahuilah Sulami, aku bukan Tuhan bukan
Malaikat. Aku tidak berkemampuan memenuhi
pesanan mendiang suamimu. Apalagi
memberikan kehidupan sementara seperti
yang dikatakannya sebelum menghembuskan
nafas..."
"Itulah yang saya tidak mengerti Bapak Tua.
Jika pesannya saya abaikan dan langsung
menguburkannya, saya khawatir di liang kubur
keadaannya tidak tenteram seperti yang
dikatakannya. Dan lebih dari itu, yang paling
saya takutkan, arwahnya akan gentayangan
menjadi setan penasaran, menimbulkan
kegegeran dan keonaran dimanamana...
Semua saya serahkan pada Bapak Tua. Hanya
saya tak ingin suami saya tersiksa di alam
barzah kalau sampai pesannya tidak
dikabulkan..." Walalangi terduduk di depan
mayat Mararanta Tangkario.
Berkali-kali orang tua ini mengusap wajahnya
yang mendadak saja jadi keluarkan keringat
dingin.
"Sulami... Menurutmu Mararanta meninggal
karena ada sebilah golok yang secara aneh
mencuat dari langit-langit kamar..."
"Betul sekali Bapak Tua."
"Apakah senjata itu ada kau bawa?"
"Saya memang membawanya Bapak Tua..."
jawab Sulami
Tangkario. Lalu dari balik bun-talannya dia
mengeluarkan sebilah golok tanpa sarung.
Sebagian dari badan golok itu terlapis oleh
darah yang telah membeku. Darah suaminya!
Perempuan ini serahkan senjata itu ke tangan
Walalangi.
Si orang tua pergunakan sepuluh jari-jari
tangannya untuk meraba badan golok dan
juga gagangnya sementara wajahnya
ditengadahkan dan air mukanya tampak
membesi.
"Ini memang golok Jawa..." kata Walalangi
sesaat kemudian.
"Dapat diketahui dari bentuk badan dan
potongan gagangnya. Senjata ini mengandung
racun jahat. Lebih cepat dimusnahkan lebih
baik!"
Orang tua itu remaskan lima. jari tangan
kanannya ke gagang golok. Gagang yang
terbuat dari kayu besi itu terdengar bederak
hancur! Lalu sepuluh jari tangannya bergerak
di atas badan golok. Traak... traakk... tring...I
Golok beracun itu hancur menjadi patah tiga.
Dengan tangan kanannya Walalangi lalu
melemparkan patahan golok jauh ke puncak
gunung sebelah selatan.
Lalu sambil memegang kepala Sulami orang
tua ini berkata: "Mararanta cucuku. Berarti
kau juga cucuku. Aku tidak berkekuatan untuk
memenuhi permintaanmu dan pesan mendiang
suamimu. Tapi kalau Tuhan mengizinkan
biarlah aku menanggung segala dosa dan
memenuhi permintaan Mararanta..."
Mendengar itu Sulami lalu jatuhkan kepalanya
ke pangkuan si orang tua. Walalangi usap-
usap kepala perempuan itu lalu berkata: "Ada
satu hal yang harus kau lakukan sebelum aku
dapat memenuhi pesan suamimu itu,
Sulami..."
"Mohon Bapak tua mengatakannya," ujar
Sulami pula.
"Apakah kalian tinggal di dekat sungai, di
dekat laut atau di dekat danau...?"
"Kami tinggal di pinggir danau Tondano,
Bapak Tua..."
"Kalau begitu kembalilah ke sana. Ambil air
danau Tondano, masukkan dalam tujuh
tabung bambu. Siapkan juga tujuh bungkus
kembang tujuh rupa. Paling lambat dalam
waktu dua hari kau sudah kembali kesini
membawa benda-benda itu semua..."
"Saya akan melakukannya Bapak Tua. Saya
akan berangkat sekarang juga...I" kata Sulami
Tangkario seraya hendak berdiri.
"Tunggu dulu cucuku..." kata si orang tua
sambil memegang bahu Sulami.
"Kau belum mengatakan siapa orang Jawa
berkepandaian tinggi yang menjadi lawan
bentrokan suamimu itu..."
"Kalau saya tidak salah ingat, suami saya
menyebut namanya sebagai Pangeran
Matahari!"
"Pangeran Matahari..." mengulang Walalangi
dengan suara berdesis. "Cucuku, kelihatannya
kita akan menghadapi musuh yang sangat
tinggi kepandaiannya. Jangan lupa berdoa
agar Tuhan melindungi dan membantu kita..."
***
DUA
BEGITU TIGA ORANG penduduk desa itu
selesai menimbun tanah kuburan, orang tua
itu anggukkan kepala, menyerahkan sebuah
bungkusan kecil dan berkata: "Kalian bertiga
boleh pergi..."
Tiga orang itu ambil cangkul masing-masing
lalu tinggalkan tempat itu. Namun sebelum
berjalan lebih jauh salah seorang dari mereka
berkata: "Aku berkata melihat ada keanehan
pada upacara penguburan jenazah tadi!"
"Acaranya sangat sederhana. Orang tua itu
melafatkan doa tiada henti sewaktu kita
menimbun kubur. Apanya yang aneh...?"
Tanya kawannya.
"Apakah kau tidak melihat tujuh batangan
bambu berisi air lalu tujuh kembang
terbungkus dalam daun...? Disini ada adat
kebiasaan atau upacara seperti itu!"
Orang desa ke tiga akhirnya ikut membuka
mulut. "Memang aku setuju kalau ada
keanehan. Bagaimana kalau kita kembali dan
mengintip apa yang dilakukan orang tua dan
perempuan muda itu selanjutnya...?"
Dua kawannya menyetujui. Maka tiga orang
desa itu tinggalkan pacul masing-masing di
suatu tempat lalu kembali menuju ke tempat
pemakaman.
Sementara itu di puncak gunung. Walalangi
ambil tujuh buah tabung berisi danau
Tondano. Satu demi satu tabung bambu itu
ditancapkannya di atas tanah makam yang
merah, lurus mulai dari kepala terus ke arah
kaki. Setelah itu dia menyiapkan sebuah
pendupaan, membakar potongan-potongan
kayu kecil dalam pendupaan dan menebar
bubuk kemenyan. Seantero tempat itu kini
diselimuti asap dan tebaran bau kemenyan
yang harum tapi terasa mencekam.
Dengan kedua tangannya Walalangi pe-gangi
ujung tabung bamboo sambil mulutnya tiada
henti mengucapkan kalimat-kalimat panjang
yang tak jelas terdengar oleh Sulami. Selesai
memegangi tabung bamboo yang ke tujuh di
bagian kaki kubur, Walalangi kembali ke
bagian kepala.
Disini dia mencelupkan tangan kanannya
kedalam bambu berisi air. Lalu tangan itu
dikeluarkan dan air dicipratkannya ke atas
kubur. Demikian dilakukannya sampai tujuh
kali.
Selesai itu orang tua tersebut ambil
bungkusan daun berisi kembang tujuh rupa.
Bungkusan dibuka dan kembang di dalamnya
bukan ditebar diatas makam melainkan
dimasukkan ke dalam tabung bambu pertama,
Demikian dilakukannya berturut-turut pada
enam tabung lainnya dan enam bungkus
bunga.
"Sulami..." Walalangi melangkah mendekati
istri cucunya itu.
"Dengar baik-baik... Apapun yang terjadi,
apapun yang kelak kau saksikan jangan
sekali-kali mengeluarkan suara sedikit-pun!
Jika itu sampai dilanggar, usahaku untuk
memenuhi permintaan suamimu akan sia-sia
belaka. Kau dengar itu Sulami...?"
Sulami menjawab dengan anggukan kepala.
Lidahnya terasa terlalu tercekat untuk bisa
menjawab. Walalangi memutar tubuhnya,
kembali melangkah ke bagian kepala kuburan.
Disini dia tegak dengan kedua tangan
diangkat tinggi-tinggi ke udara. Telapak
tangan dikembangkan. Dari mulutnya keluar
ucapan: "Ya Tuhan pengusaha, seluruh alam
dan isinya. Tanpa kami mengutarakan lagi
sesungguhnya engkau telah mengetahui apa
yang kami inginkan, apa yang si mati
inginkan. Kami harap kau berkenan
mengabulkannya ya Tuhan. Jika permintaan
dan perbuatan kami ini merupakan satu dosa
besar di mataMu, mohon ampunanMu dan
biarlah saya sendiri yang menanggung segala
dosanya!"
Selesai mengucapkan kalimat-kalimat itu
dengan suara keras, lalu Walalangi
meneruskan kata-katanya dengan suara
perlahan seperti bergumam. Kembali Sulami
Tangkario tidak dapat mendengar apa
sebenarnya yang dilafalkan orang tua itu.
Namun sesaat kemudian dia mendengar suara
aneh dari dalam liang kubur yang baru saja
ditimbun.
Bulu kuduknya berdiri. Matanya tak berkedip
memandang ke arah kubur suaminya. Tujuh
batang bambu yang menancap di tanah merah
tampak bergerak, bergoyang-goyang sehingga
air yang ada di dalamnya sesekali muncrat
keluar!
Ketika gerak dan goyangan itu akhirnya
berhenti, dari tujuh mulut bambu kini keluar
masing-masing segulung asap tipis berwarna
kelabu. Tujuh gelungan asap ini saling
berangkulan dan bergabung jadi satu
membentuk satu gulungan asap yang besar.
Ketika Sulami memperhatikan lebih lanjut
terkejutlah perempuan muda ini. Gulungan
asap kelabu itu sedikit demi sedikit berubah
menjadi bentuk sosok tubuh manusia. Mula-
mula samar-samar seperti sosok di balik
kabut.
Namun lambat laun semakin jelas, semakin
kentara dan akhirnya sosok itu benar-benar
berbentuk tubuh manusia! Dan manusia yang
muncul dari asap ini bukan lain adalah
suaminya sendiri! Mararanta Tangkario! Kalau
tidak ingat pesan si orang tua mungkin saat
itu Sulami telah memekik keras. Dia
kancingkan mulutnya rapat-rapat malah
letakkan tangan kanan di atas bibirnya agar
jangan sampai mengeluarkan suara
sedikitpun.
Mararanta Tangkario tegak dengan kedua
tangan lurus disamping badan. Kepalanya
mengarah ke tirfiur dan pandangan matanya
lurus ke depan, hampir tidak berkesip.
Wajahnya agak pucat dan bibirnya sedikit
kebiruan. Pada lehernya tampak luka besar
bekas bacokan. Darah mengotori sebagian
muka, leher dan pakaiannya. Dan pakaian itu
adalah pakaian yang dikenakannya ketika dia
mati terbunuh!
"Mararanta... Kau dengar suaraku menyebut
namamu?" Walalangi bertanya dengan suara
bergetar karena hampir tak kuasa menahan
gelegak dalam dadanya.
Mararanta si mayat hidup tampak
mengangguk. Anggukannya perlahan dan
sangat kaku.
"Ketahuilah bahwa hidupmu saat ini adalah
bangkit dari alam kematian, merupakan
kehidupan sementara. Bila apa yang menjadi
niatmu telah tercapai, maka kau harus
kembali ke puncak Gunung Klabat ini dan
beristirahat untuk selama-lamanya. Tapi jika
kau menyalahi tujuan-mu semula, yakni
mempergunakan hidup sementaramu ini untuk
maksud lain, bukan untuk kepentingan yang
semula kau katakan sebelum ajalmu, maka
kau tak akan pernah kembali dan berkubur
disini secara wajar. Seumur dunia, sampai
kiamat kau akan hidup terkatung-katung
antara dua alam yakni dunia dan akhirat. Dan
diantara dua alam itu kau akan tersiksa amat
sangat! Karenanya lakukan apa yang kau
inginkan semula, lalu kembali kemari. Kau
dengar Mararanta...?"
Kembali Mararanta mengangguk.
"Bagus. Tapi aku ingin mendengar suaramu.
Kau mendengar Mararanta...?"
"Sa... ya... men... de...ngar..." terdengar
jawaban Mararanta Tangkario. Suaranya
aneh. Seperti datang jauh dari dalam sumur
angker, kaku dan lamban tanpa irama sama
sekali!
"Sekarang kau boleh pergi cucuku. Pergilah ke
tanah Jawa. Lakukan apa yang kau inginkan.
Balaskan sakit hatimu! Jangan menyimpang
dari itu!"
Kembali si mayat hidup itu anggukkan kepala.
Tampak kakinya bergerak turun dari tanah
kuburan. Begitu menginjak tanah di samping
kuburan, sosok tubuh Mararanta tiba-tiba
saja menjadi lenyap seperti ditelan bumi.
Walalangi merasakan dadanya bergoncang
keras. Sulami tiba-tiba saja merasakan
lututnya goyah dan perempuan ini langsung
roboh ke tanah.
Tiga orang penduduk desa yang mengintai di
kejahuan, lari menghambur ketakutan ketika
melihat sosok mayat hidup itu bergerak
melangkah. Salah satu diantara mereka malah
ada yang sampai terkencing-kencing!
***
TIGA
SEPERTI MELEDEK anak rusa itu tegak
memandang ke arah pemuda yang
mengejarnya lalu kibas-kibaskan ekornya
yang hanya sepanjang jari telunjuk. Orang
yang mengejar bergerak dua langkah lalu
diam. Anak rusa itu maju pula dua langkah
lalu diam. Begitu dikejar kembali, dengan
cekatan binatang ini melompat dan
menghambur ke balik semak belukar. Tapi dia
tidak terus lari. Di balik semak belukar ini dia
mengintai-intai ke arah pengejarnya. Ketika
orang itu datang mendekat, dia sengaja
menunggu. Baru dalam jarak hanya tinggal
tiga langkah lagi, anak rusa itu melompat dan
lari masuk ke dalam hutan jati.
"Binatang brengsek. Aku ingin menangkapmu
bukan untuk kupanggang dan kulahapi Hanya
sekedar untuk jadi sahabat mainan! Tapi
kalau kau meledekku begini rupa, jangan
harap aku masih mau berniat baik! Dagingmu
tentu harum dan segar untuk dilahap." Maka
si pengejar lalu terus masuk ke dalam hutan
jati di arah lenyapnya anak rusa tadi. Namun
setelah beberapa lama mencari kesana-kemari
dia tak berhasil menemui binatang itu.
Jangankan menemuinya, mendapatkan
jejaknya sajapun tidak. Dengan kesal pemuda
itu akhirnya memutuskan untuk keluar saja
dari hutan itu. Namun baru saja dia memutar
tubuh mendadak gerakannya tertahan. Jauh
di dalam hutan, lapat-lapat dia mendengar
seperti ada suara orang mengerang dan
menangis.
Sesaat pemuda ini tegak tak bergerak, sipilkan
kedua matanya, memandang ke arah hutan
jati sebelah dalam dan memasang telinga
lebih tajam.
"Jangan-jangan itu suara dedemit atau
mahluk jejadian yang hendak menjebak lalu
mencelakakan diriku..." berkata si pemuda
dalam hati. Dia segera putar tubuh kembali.
Tapi tak jadi lagi. "Suara itu sepertinya suara
tangis sendu manusia sungguhan... Tak ada
salahnya aku menyelidik sebentar." Lalu
pemuda ini akhirnya masuk kembali ke dalam
hutan jati. Langkahnya dituntun oleh suara
erang bercampur tangis yang makin jauh dia
masuk ke dalam hutan jati, semakin jelas
suara itu terdengar. Akhirnya, setelah berjalan
menembus hutan cukup jauh pemuda itu
temukan sebuah rumah kecil terbuat dari
papan kasar.
Satu-satunya pintu dan satu-satunya jendela
rumah tertutup rapat. Justru suara erang
bercampur tangis itu datang dari dalam
rumah! Setelah meneliti keadaan di sekitar
rumah papan dan sekelilingnya, lalu
menunggu beberapa ketika, akhirnya pemuda
tadi melangkah cepat menuju pintu rumah
papan. Ketika didorong terdengar suara
berkereketan. Pintu itu ternyata tidak dikunci.
Di dalam rumah suasana gelap redup.
Sedikitnya cahaya yang merambas masuk
lewat pintu yang terbuka membuat pemuda
yang barusan masuk masih bisa melihat apa
yang ada dalam rumah di tengah hutan
belantara itu. Untuk beberapa lamanya si
pemuda tegak seperti terpaku. Kedua matanya
membesar tak berkesip.
"Demi Tuhan! Kejahatan apa yang terjadi di
tempat ini...?!" desis si pemuda.
Di dalam rumah papan itu hanya terdapat
sebuah ranjang papan yang beralaskan tikar
jerami. Di atasnya terbaring sesosok tubuh
seorang perempuan dengan rambut
sembrawut acak-acakan. Tubuhnya
mengenakan pakaian kuning muda yang
nyaris tidak berbentuk lagi karena penuh
robek disana sini dan tak sanggup lagi
menyembunyikan auratnya yang kuning
langsat. Walaupun kotor dan berada dalam
keadaan sangat menderita, namun
kesengsaraan itu tak dapat menyembunyikan
kecantikan wajah perempuan itu.
Hampir di sekujur badannya, terutama di
bagian leher, dada dan pangkal paha penuh
dengan tanda-tanda merah seperti tanda
gigitan.
Kedua tangannya terpentang dan masing-
masing ibu jari tangan itu diikat dengan-
sehelai tali halus. Ujung tali yang lain
diikatkan pada kaki-kaki tempat tidur. Kedua
kakinya juga mengalami hal sama. Ibu-ibu
jari kaki diikat ke kaki tempat tidur. Dan di
salah satu ujung kaki perempuan ini
tampaklah anak rusa yang tadi di kejar si
pemuda, tegak menunduk sambil menjilati
kaki kiri perempuan yang terikat di atas
tempat tidur itu!
"Ah, disini kau rupanya...," berucap si
pemuda. Anak rusa itu mengangkat
kepalanya, memandang sebentar pada si
pemuda lalu kembali meneruskan menjilati
kaki kiri perempuan itu.
Kalau saja bukan dalam keadaan seperti itu,
menyaksikan sosok tubuh perempuan muda
yang cantik dan nyaris telanjang di atas
ranjang begitu mungkin pemuda yang barusan
masuk ke dalam rumah akan tergoncang juga
imannya. Namun apa yang disaksikannya saat
itu adalah satu kekejaman!
"Tolong... Demi Tuhan... tolong diriku!
Lepaskan aku dari malapetaka ini. Tolong
Rupanya perempuan yang terikat diatas
ranjang menyadari kalau ada seseorang
masuk ke dalam rumah.
Tanpa pikir panjang lagi pemuda itu cepat
bertindak untuk memutus empat utas tali
yang mengikat kedua tangan dan kaki
perempuan itu. Tapi betapa terkejutnya ketika
dia mendapatkan tidak sanggup memutus
tali-tali itu ataupun membuka buhulnya
dengan tangan kosong. Ditelitinya ke empat
tali itu. Baru disadarinya kalau empat tali
tersebut bukan tali-tali biasa. Maka diapun
kerahkan tenaga dalam pada kedua
tangannya. Lalu mencoba lagi. Tetap saja
empat tali itu tak satupun yang bisa dibikin
putus! Hampir kehabisan akal pemuda itu
terduduk di lantai rumah sambil garuk-garuk
kepala.
"Tak ada jalan lain..." si pemuda berkata.
Tangan kanannya menyelusup ke balik
pinggang pakaian. Sesaat kemudian sinar
terang memenuhi rumah papan yang sempit
itu. Empat kali sinar terang berkelebat dan
empat kali terdengar suara tras... tras...
trassss! Empat tali pengikatpun putus. Setelah
putus baru buhul yang mengikat ibu jari kaki
dan tangan bisa dibuka. Perlahan-lahan si
pemuda simpan kembali senjatanya berupa
kapak bermata dua ke balik pakaian!
Begitu terlepas dari ikatan tali-tali celaka itu,
perempuan di atas ranjang keluarkan pekik
halus, gulingkan diri ke samping hingga jatuh
ke lantai. Tubuhnya tampak hampir tiada
daya. Mungkin sudah lebih dari dua hari dia
diikat seperti itu tanpa makan ataupun diberi
minum.
Namun sepasang matanya masih
memancarkan pandangan dengan sorotan
tajam. Dan pandangan itu ditujukan tanpa
berkedip pada pemuda yang barusan telah
menolongnya.
"Pergi... pergi dari sini. Sebelum manusia
durjana itu muncul..." terdengar perempuan
itu berkata. Suaranya setengah berbisik. Anak
rusa yang tadi menjilati kakinya di atas
tempat tidur, kini telah melompat pula dan
rapatkan tubuhnya ke pinggang perempuan
itu.
Pemuda yang barusan menolong memang
membaui adanya bahaya di tempat itu.
Namun sebelum pergi dia harus mengetahui
dulu siapa adanya perempuan muda itu dan
mengapa sampai berada dalam keadaan
seperti itu di rumah papan di tengah rimba
belantara itu.
"Saudari... Katakan siapa dirimu? Mengapa •
kau berada di tempat ini. Siapa yang
melakukan kekejaman ini...!"
"Aku... Namaku Minari... Aku diculik sejak
empat belas bulan yang lalu. Dipindah dari
satu tempat ke tempat lain. Akhirnya...
akhirnya aku di bawa ke tempat ini. Namun
manusia keparat itu tidak lagi memberiku
makan dan minum. Dia hanya meniduriku. Dia
ingin aku mati secara perlahan-lahan... Dia
manusia biadab. Ganas! Lebih ganas dari
setan dan iblis! Lekas... Kita... kita harus
pergi dari sini. Keparat itu bisa muncul setiap
saat... Tolong... Bawa diriku dari tempat
celaka ini. Saudara tolonglah lekas..."
"Ya... Kita akan pergi. Aku akan menolongmu.
Tapi katakan dulu siapa manusia biadab yang
memperlakukan dirimu seperti ini?" bertanya
si pemuda lalu memegang tubuh perempuan
itu dan menggendongnya.
"Manusia itu, seorang manusia berhati iblis.
Dia menyebut dirinya sebagai..."
Belum lagi perempuan itu sempat mengakhiri
ucapannya tiba-tiba braakkk!!
Rumah papan itu bergoyang keras. Dinding di
sebelah kiri ambrol berantakan dan sesosok
tubuh melesat masuk dari dinding yang
hancur itu! Perempuan dalam dukungan si
pemuda menjerit keras, menyebut sebuah
nama. Dia seperti berusaha hendak turun dari
gendongan namun tidak mampu. Akhirnya dia
hanya bisa menjerit kembali.
***
EMPAT
PEMUDA BERPAKAIAN PUTIH yang
menggendong perempuan muda itu menatap
dengan pandangan tercekat pada sosok tubuh
yang barusan masuk menerobos dinding
papan. Di hadapannya, terpisah di seberang
tempat tidur tegak berdiri seorang lelaki
separuh baya dengan luka menganga di
pangkal lehernya. Noda darah membasahi
sebagian muka, leher serta bajunya. Orang ini
tegak seperti patung, memandang lurus ke
depan, tanpa berkedip. Satu cara memandang
yang luar biasa aneh karena si pemuda
merasa pandangan mata orang itu seolah-
olah menembus batok kepalanya, bahkan
menembus dinding di belakangnya! Dan
mukanya yang pucat itu serta bibir yang
membiru mendatangkan rasa ngeri bagi siapa
saja yang memandangnya!
"Saudari...," berbisik si pemuda. "Inikah
manusianya yang telah menculik dan
mencelakaimu...?"
Dada Minari tampak turun naik. Dia
menggeleng. Dia coba membuka mulut tapi
yang keluar kembali teriakan keras. Dia
berteriak menyebut nama : "Kakak
Mararanta!" Perempuan itu berusaha turun
tapi si pemuda masih terus menggendongnya.
"Mi... na... ri... is... tri... ku A... ku... da...
tang un... tuk... mem... ba... wa... mu... per...
gi... "
Orang diseberang tempat tidur keluarkan
suara berkata yang aneh. Suaranya seperti
datang dari jauh, laksana keluar dari sumur
dalam dan kata-katanya terbata-bata kaku,
seolah-olah dia memiliki lidah yang kelu.
Setiap patan kata yang diucapkannya
terdengar begitu lamban dan agaknya dia
mengeluarkan ucapan itu dengan susah
payah.
"Kakak! Bawa aku bersamamu... Tapi, kau
terluka kakak Mararanta..." Perempuan dalam
gendongan berkata.
"Tu... run... kan... is... tri... ku! Le... tak... kan
di... tem... pat... ti... dur... La... lu... kau...
ber... siap... lah... un... tuk... ma... ti!
Si pemuda terkejut. "Saudari... jadi kau istri
lelaki itu...?" tanyanya.
Minari anggukkan kepalanya berkali-kali.
"Turunkan aku... Lakukan apa yang
dikatakannya..." dia mampu bicara juga
akhirnya. Dengan perasaan masih sangat
tercekat pemuda itu akhirnya turunkan
perempuan yang digendongnya. Lalu di
seberang sana dilihatnya lelaki yang dipanggil
dengan nama Mararanta tadi angkat tangan
kanannya. Caranya mengangkat tangan
itupun aneh. Gerakannya lurus-lurus seolah-
olah dia tidak memiliki siku sedang kedua
matanya tampak memancarkan sinar aneh!
"Kakak Mararanta...! Jangan...! Pemuda itu
orang baik! Dia telah menolongku!" berteriak
Minari ketika dilihatnya lelaki yang pernah
menjadi suaminya itu hendak melancarkan
serangan.
Gerakan tangan yang kaku berhenti dan
sesaat tangan kanan itu masih bergantung
lurus di udara. Lalu tubuh itu membungkuk
kaku. Tangan kiri diulurkan. Lalu dengan cara
yang aneh, tapi cepat sekali tubuh Minari
yang ada di atas tempat tidur terangkat dan
tahu-tahu sudah tersadar di bahu kirinya.
"Kakak... kau terluka... Kau..." Minari tak
sanggup meneruskan ucapannya. Tubuhnya
terlalu lemas. Dalam keadaan seperti itu
perempuan muda ini akhirnya pingsan di bahu
lelaki yang pernah menjadi suaminya dan
kemudian terpisah sejak lebih dari setahun
yang silam.
"A... ku... ti... dak... per... ca... ya... pa... da...
mul Kau... te... lah... men... ce... la... kai...
is... tri... ku! Kau... Kau... ha... rus... mati...
di... ta... ngan... ku!"
Pemuda di seberang tempat tidur seharusnya
menjadi marah dan meradang dituduh telah
mencelakai Minari. Tapi anehnya pandangan
mata angker lelaki di hadapannya itu
membuat dirinya seperti kehilangan segala
daya untuk marah atau membentak. Dengan
suara bergetar dia berkata: "Saudara... Kau
boleh tidak percaya padaku. Tapi kau harus
percaya pada apa yang diucapkan istrimu itu.
Kalau memang benar dia istrimu! Siapa kau
sebenarnya...? Mengapa ada luka besar di
lehermu. Gerakanmu serba kaku. Ucapanmu
terputus-putus.
"A... ku... Ma... yat... Hi... dup... Gu... nung...
Kla... bat!U... cap... an... is... tri... ku... ting...
gal... u... cap... an... A... ku... li... * hat...
sen... di... ri... kau... hen... dak... me... la...
ri... kan... Mi... na... ri! Kau... pas... ti... ka...
ki... ta... ngan... ma... nu... sia... ke... pa...
rat... ber... na... ma... Pa... nge... ran...Ma...
ta... ha... ri... itu!... Ka... ta... kan... di... ma...
na... dur... ja... na... i... tu... ber... a... da...!"
"Mayat Hidup Gunung Klabat? Kau menyebut
dirimu begitu...?" si pemuda memandang
dengan tajam mulai dari kepala sampai ke
kaki lelaki di hadapannya seolah-olah baru
saat itu dia melihatnya. "Apa... apa betul kau
mayat hidup... Gila! Bagaimana ada mayat
hidup!"
Namun dalam hatinya pemuda itu merasa
semakin tercekat. Wajah yang pucat tiada
berdarah dan bibir yang biru itu... Memang
begitulah keadaan mayat. Tapi mayat hidup!
Sulit dipercaya. "Paling tidak manusia satu
ini bangsa orang gendeng juga!" Begitu si
pemuda membatin. Lalu, "Hai! Tadi menyebut
nama Pangeran Matahari? Betul kau barusan
menyebut nama Pangeran Matahari?!"
"A... ku... bi... ca... ra... Kau... men... de...
ngar... Aku... ti... dak... bi... su... kau... ti...
dak... tu... li..." si Mayat Hidup Gunung Klabat
alias Mararanta Tangkario menjawab.
"Kita sama-sama tidak tuli dan tidak bisu.
Karena itu kau dengar penjelasanku baik-baik.
Aku bukan kaki tangan Pangeran Matahari.
Dimana dia berada aku tidak tahu. Akupun
sudah lama mencari-cari keparat itu!"
"Kau... dus... ta... A... ku... tak... per... ca...
ya... pa... da... mu... A... ku... tak... per...
ca... ya... pa... da... o... rang... Ja... wa...!"
"Eh, mulutmu kurang ajar amat Mayat Hidup!
Jangan menyebutnyebut nama orang Jawa
segala! Istrimu sendiri juga orang Jawa!"
teriak si pemuda.
"Is... tri... ku... o... rang... Ja... wa... yang...
ba... ik...," jawab Mayat Hidup Gunung Klabat.
Lalu tangannya membuat gerakan kaku,
bergerak lurus seperti palang. Dan ketika
tangan itu tepat mengarah kejurusan si
pemuda, bahu kanan Mayat Hidup Gunung
Klabat tampak seperti disentakkan. Lalu saat
itu juga terdengar suara deru angin yang
hebat. Rumah itu laksana neraka karena tiba-
tiba saja seantero tempat menjadi panas luar
biasa! Pemuda yang mendapat hantaman
angin keras panas itu cepat-cepat jatuhkan
diri ke lantai. Saat itu pula terdengar suara
ledakan keras.
Rumah papan seperti dihantam topan. Hancur
berantakan berkeping-keping ke udara
bersama tempat tidur kayu. Sebagian dari
kayu-kayu rumah itu tampak seperti hangus.
Si pemuda sendiri ikut terlempar ke udara lalu
jatuh tepat dibawah sebatang pohon jati tua
dalam keadaan tidak sadarkan diri. Beberapa
bagian tubuhnya tampak luka-luka. Pakaian
putihnya robek dan pipi kirinya baret!
Mararanta Tangkario bersama Minari dan
anak kijang lenyap dari tempat itu!
***
LIMA
KETIKA PEMUDA YANG pingsan itu siuman
dan membuka kedua matanya, pertama sekali
yang dilihatnya adalah dua buah kaki yang
mengenakan kasut terbuat dari kulit. Di
sebelah atas dua kaki itu memakai sehelai
celana hitam. Lalu di sebelah dada atas lagi
tampak baju yang juga berwarna hitam. Di
bagian dada baju terpampang gambar puncak
gunung berwarna biru melambangkan gunung
Merapi. Pada latar belakang gambar gunung
berwarna biru itu tertera gambar matahari
merah dengan guratan-guratan berwarna
kuning melambangkan sinar matahari.
Si pemuda yang terkapar di akar pohon jati
itu bukakan kedua matanya lebih lebar. Kini
dia dapat melihat tampang manusia
berpakaian hitam itu lebih jelas. Orang ini
memiliki kening tinggi yang diikat dengan
sehelai kain merah. Dagunya kukuh dan
rahangnya menonjol. Keseluruhan wajahnya
membersitkan kekerasan, keangkuhan atau
kecongkakan. Dan dia kenali siapa adanya
manusia ini!
Sebelum pemuda ini berusaha bangun, orang
berpakaian hitam keluarkan suara tertawa dan
cepat sekali tahu-tahu kaki kanannya sudah
menginjak tenggorokan pemuda berpakaian
putih yang tergelimpang di tanah!
"Kita bertemu kembali Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212! Dan kita sama-sama tidak
menyukai pertemuan ini, bukan...?!"
Pemuda berpakaian putih yang ternyata
adalah Wiro Sableng murid Eyang Sinto Gen-
deng dari Gunung Gede menyumpah dalam
hati: "Bangsat ini menginjak leherku!
Bagaimana aku bisa menjawab ucapannya!
Sialan!"
Diam-diam dengan cepat Pendekar 212
kerahkan tenaga dalam ke tangannya kiri-
kanan. Lalu seperti gunting, dia hantamkan
kedua tangannya secara menyilang ke arah
betis orang yang menginjak lehernya. Untuk
mencegah agar orang itu tidak
menghujamkan kaki dan menghancurkan
lehernya, Wiro tendangkan kaki kanan ke arah
selangkangan lawan! Si baju hitam
mendengus dan keluarkan ucapan mengejek:
"Bagus! Kau membuat gerakan yang tepat
Pendekar 212! Kalau tidak lehermu pasti
sudah kuhancurkan dan nyawamu melayang
ke akhirat!"
Lalu karena diapun tak ingin kaki kanannya
putus seolah-olah dibabat oleh gunting
raksasa, maka orang ini jejakkan kaki kirinya
dan disaat itu juga tubuhnya melesat ke
udara setinggi dua tombak. Dia membuat
jungkir balik di udara satu kali lalu melayang
turun dengan kedua kaki menjejak tanah lebih
dahulu.
Tanpa tunggu lebih lama Wiro Sableng lipat
kedua lututnya lalu melompat bangun dan
tegak sambil pasang kuda-kuda. Lelaki
berbaju hitam dengan gambar gunung dan
matahari di dadanya menyeringai. "Hem... tak
pernah aku melihat keadaanmu seburuk hari
ini, Pendekar 212! Pakaianmu robek-robek
seperti pakaian gembel. Kulitmu luka-luka
dan pipimu baret besar! Apakah kau barusan
lari terbirit-birit di kejar setan hutan jati ini?
Atau ada musuh yang sempat menghajarmu
babak belur...?"
Murid Sinto, Gendeng balas menyeringai.
Kedua tangan dirangkapkan di depan dada.
"Pangeran Matahari! Lama tak bertemu
apakah kau barusan datang dari neraka atau
liang kubur?! Tubuhmu sebusuk mayat dan
mulutmu sebau comberan. Kau pasti
menyesal mengapa tidak membunuh musuh
bebuyutanmu ini ketika tadi aku masih
pingsan!"
"Mengambil nyawamu semudah aku
membalikkan telapak tangan pendekar
sableng! Aku memang tidak membunuhmu
karena perlu beberapa keterangan...!"
"Ah, aku sudah tahu keterangan apa yang kau
inginkan. Dan jawabanku adalah semudah aku
membalikkan telapak tangan untuk cebok...!
Ha... ha... ha...!"
Walau mukanya jadi merah oleh ejekan itu,
tapi mulut Pangeran Matahari masih bisa
sunggingkan seringai.
"Keterangan pertama! Ceritakan padaku
bagaimana kau bisa sampai di tempat ini!
Keterangan, kedua, apa yang terjadi dengan
rumah papan milikku! Siapa yang
membuatnya porak-poranda seperti ini.
Keterangan ketiga dimana gadis berpakaian
kuning yang sebelumnya terikat di atas
ranjang kayu! Nah itu saja! Lekas berikan
keterangan padaku!"
"Mudah saja... Mudah saja...!" sahut Pendekar
212 seraya usapusapkan telapak tangannya
satu sama lain. "Keterangan pertama! Aku
sampai ke mari sepembawa kedua kakiku, tapi
juga karena mendengar ada yang mengerang
dan menangis di dalam hutan jati ini. Ketika
rumah papan kutemui dan kumasuki ternyata
di dalamnya ada seorang perempuan dalam
keadaan sangat menderita, terbaring di atas
tempat tidur dengan dua tangan dan dua kaki
terikat! Dan aku tahu Pangeran Matahari...
Kau yang punya pekerjaan biadab itu!"
"Dugaanmu tepat!" sahut Pangeran Matahari
lalu tertawa gelakgelak.
"Lanjutkan keteranganku sampai habis!"
"Keterangan kedua!" ujar Wiro melanjutkan.
"Yang merubah rumah papanmu menjadi
puing-puing tak berguna ini adalah seorang
yang menyebut dirinya Mayat Hidup Gunung
Klabat..."
"Mayat Hidup Gunung Klabat? Nama edan
apa pula itu...? ujar Pangeran Matahari.
"Jangan-jangan kau hanya mengarang..."
"Edan atau tidak, tapi aku menyaksikan
makhluk itu. Ujudnya seperti manusia biasa.
Ada luka besar masih menganga dan belum
kering darahnya di pangkal lehernya. Dia
menuduhku telah menculik dan berlaku keji
terhadap perempuan yang terikat di atas
tempat tidur. Karena itu dia lalu menyerangku
dengan pukulan sakti. Pukulan itu yang
menghancurkan rumah papanmu... Kau tentu
ingin tahu siapa nama Mayat Hidup Gunung
Klabat itu bukan...? Kau pasti kenal
padanya..."
"Jangan menyuruh aku menduga-duga tak
karuan. Lekas beri tahu siapa nama orang itu
jika kau memang sudah tahu!" bentak
Pangeran Matahari pula.
"Namanya Mararanta Tangkario! Orang yang
istrinya kau culik, lalu kau bawa dari satu
tempat ke tempat lain..."
"Apa katamu...?!" ujar Pangeran Matahari
dengan mata melotot.
"Mararanta Tangkario sudah mati terbunuh
oleh dukun suruhanku! Bagaimana mungkin
tahu-tahu bisa hidup kembali?!"
"Justru disitulah letak masalahnya.
Bagaimana orang sudah mati bisa hidup
kembali? Tapi aku bertemu sendiri dengan
dirinya ketika dia hendak membawa istrinya.
Wajahnya pucat pasi, bibirnya biru dan dia
memiliki pukulan sakti luar biasa!"
"Jadi manusia bernama Mararanta Tangkario
itu yang menghancurkan rumahku,
menghajarmu sampai babak belur begini dan
menculik Minari...?!"
"Kau sudah menjawab sendiri pertanyaanmu!"
Sahut Pendekar 212 pula. "Dan ketahuilah...
Mayat Hidup Gunung Klabat itu muncul untuk
mencari dan membunuhmu!"
"Dia boleh datang menemuiku jika minta
mampusl Tapi sulit kupercaya jika orang yang
sudah mati seperti Mararanta itu bisa hidup
dan menjelma kembali...!"
"Kau tanyakan sendiri jika bertemu
dengannya!" ujar Wiro seraya menyeringai.
Pangeran Matahari merenung sejenak lalu
berkata: "Pendekar 212! Antara kita banyak
silang sengketa dan dendam lama yang harus
diselesaikan. Tapi karena ada urusan besar
yang tengah kuhadapi aku bersedia menunda
urusan kita sampai beberapa waktu. Apalagi
kau telah memberi keterangan yang sangat
penting padaku..."
Wiro tertawa kecil. "Di lain saat jika bertemu
lagi, kau harus membayar penundaan
penyelesaian hutang-piutang ini dengan
bunganya..."
"Manusia sableng, kau tak usah takut! Bunga
itu akan kubayar dua kali lipat! Aku harus
mengejar mereka sekarang juga!" Habis
berkata begitu Pangeran Matahari dorongkan
telapak tangan kirinya ke arah Wiro. Murid
Sinto Gen-deng cepat rundukkan kepala. Sinar
biru berkelebat ganas di atas kepalanya,
menghantam pohon jati tua di belangnya
hingga patah dan tumbang menggemuruh.
Pendekar 212 tidak mau kalah. Begitu
serangan lawan berhasil dielakkannya dan
Pangeran Matahari dilihatnya berkelebat ke
kanan, murid
Sinto Gendeng ini balas menghantam dengan
tangan kiri. Suara menggemuruh laksana ada
batu besar menggelinding, menghantam ke
arah Pangeran Matahari. Inilah pukulan sakti
bernama "kunyuk melempar buah"!
Pangeran Matahari melompat setinggi satu
tombak ke atas sambil kebutkan lengan baju
hitamnya.
Whuuutt!
Serangan Wiro musnah. Dia merasa ada
denyutan cukup mengagetkan membalik
menghantam dadanya, membuat pendekar ini
cepat-cepat menyingkir ke samping. Di lain
pihak sang Pangeran sendiri buru-buru
menarik pulang tangannya ketika di dengarnya
ada suara ber-kerebetan. Ketika dilihatnya
ternyata ujung lengan kiri pakaian hitamnya
itu telah robek!
***
ENAM
KETIKA MINARI siuman dari pingsannya,
didapatinya dirinya terbaring diatas
rerumputan. Dengan siisah payah dia
mencoba duduk. Begitu duduk dan
memandang berkeliling, tercekatlah
perempuan ini. Ternyata dia berada di sebuah
bukit yang lerengnya penuh ditumbuhi
berbagai bunga. Walaupun cuma bunga-
bungaan liar namun pemandangan disitu
indah sekali. Lebih terkejut lagi dia sewaktu
menyadari bahwa kini dia tidak lagi
mengenakan pakaian biru muda yang
kelihatannya masih baru. Sehelai itu sekujur
tubuhnya yang sebelumnya kotor kini tampak
bersih sedang rambutnya yang awut-awutan
kini tersisir rapi.
Siapa yang melakukan semua ini...? Siapa
yang menggantikan pakaiannya, siapa yang
membersihkan tubuhnya? Astaga! Jika ada
yang mengganti pakaian dan membersihkan
tubuhnya pastilah orang itu telah membuka
pakaiannya, melihat sekujur auratnya tanpa
tutupan sama sekali...! Memikir sampai disitu
Minari merasakan tubuhnya bergetar dan
wajahnya merah karena jengah.
Perempuan ini memandang berkeliling. Saat
itulah dia melihat disampingnya, diatas
sehelai daun terdapat beberapa macam buah-
buahan. Ada jambu air, jambu kelutuk dan
manggis hutan. Disebelah buah-buahan ini
terletak daun yang dibentuk demikian rupa
seperti mangkok dan didalamnya ada air
jernih.
Sesaat Minari masih terheran-heran. Namun
rasa lapar serta dahaga membuat dia segera
saja melahap jambu air lalu meneguk air
dalam daun. Ketika dia meletakkan daun itu
ke atas rumput, saat itulah dia ingat. Dan dia
memandang berkeliling seraya memanggil.
"Mararanta... Kakak Mararanta? Dimana
kau...?"
Terdengar suara berdesir. Minari berpaling ke
belakang, di arah mana terdapat sekolompok
pohon berdaun rimbun. Dari atas salah satu
pohon itu melayang turun satu sosok tubuh,
langsung tegak di hadapan Minari.
"Kakak...!" seru Minari ketika dikenalinya
orang itu adalah suaminya, Mararanta
Tangkario. Sesaat dia menatap paras lelaki
itu dengan matanya yang bening bersinar.
Lalu dia beringsut maju dan peluk pinggang
lelaki itu. "Kau, kaukah yang menggantikan
pakaianku, kaukah yang menyediakan buah-
buah serta air minum itu kakak? Kau jugakah
yang membersihkan tubuhku..." Minari
mendongak dan melihat Mararanta anggukkan
kepalanya dengan gerakan yang kaku. "Kau
terluka kakak. Apa yang terjadi atas dirimu.
Keadaanmu sangat tidak terawat. Lukamu itu
harus diobati. Mukamu pucat sekali dan
bibirmu biru..." Ucapan Minari tidak putus-
putus karena menyaksikan keadaan suami
yang terpisah selama empat belas bulan itu
sungguh sangat menyedihkan. "Kakak
Mararanta, mengapa kau jadi begini?
Mengapa kau menghilang sekian lama. Aku
telah jadi korban penculikan manusia terkutuk
Pangeran Matahari itu Minari menutup
wajahnya dengan kedua tangan dan mulai
menangkis.
"Ja... di... be... nar... bang... sat... i... tu...
men... cu... lik... mu..."
"Kakak... Suaramu! Mengapa berubah seperti
ini?!" kejut Minari.
Lalu dia ingat bahwa diapun sempat
mendengar suara Mararanta sewaktu berada
di rumah papan di hutan jati. Suara yang
aneh, kaku dan lamban seolah-olah datang
dari jauh.
"A... ku... me... mang... te... lah... ber... u...
bah... Mi... na... ri... A... ku... bu... kan...
Ma... ra... ran... ta... sua... mi... mi... mu...
yang... du... lu. A... ku... te... lah... ma... ti..."
"Mati...?" ujar Minari. "Tidak! Kau tidak mati!
Kau harus tetap hidup seperti yang kulihat
saat ini! Kita harus berkumpul kembali...!"
"Ti... dak... mung... kin... is... tri... ku..."
"Tidak mungkin bagaimana? Dengar, kita
tinggalkan tempat ini. Kita segera berangkat
ke Kartoyudo. Aku akan mengobati lukamu.
Aku akan merawatmu sampai sembuh..."
Mararanta membuat gerakan menggeleng
yang kaku dan aneh.
"Ki... ta.;. ti... dak... ber... kum... pul... is...
tri... ku... Ki... ta... ber... a... da... di... du...
a... lam... yang... ber... beda."
"Ah! Kau pasti berada dalam keadaan sakit
berat, kakak Mararanta. Cara bicaramu aneh.
Apa yang kau ucapkan tidak karuan..."
"Mi... na... ri... A... ku... se... be... nar... nya...
su... dah... ma... ti... So... sok... ku... sa...
at... ini... a... da... lah... so... sok... ma...
yat... hi... dup... A... ku... Ma... yat...
Hi...dup... Gu... nung... Kla... bat... I"
Meskipun saat itu tubuhnya masih terlalu
lemah namun seperti mendapat satu kekuatan
baru, Minari tegak dari duduknya dan
menatap Mararanta Tangkario mulai dari
ujung rambut sampai kekaki. Muka yang
sangat pucat tiada berdarah itu. Bibir yang
membiru. Lalu sepasang mata yang cekung
dengan pandangan kosong tapi seperti
menembus. Dan luka di leher yang mengerikan
itu!
"Kau sakit kakak. Kau sakit..." desis Minari.
Mararanta tidak menjawab. Kedua matanya
memandang tak berkedip. Lambat-lambat
rasa takut mulai merayapi diri perempuan itu.
"Kakak... kau ikut aku ke Kartoyudo sekarang
juga"
"Ti... dak... Mi... na... ri... Kau... yang... i...
kut... a... ku... men... ca... ri... Pa... nge...
ran... dur... ja... na... i...tu...!"
"Mencari Pangeran Matahari bukan soal
mudah. Dia datang dan pergi seperti setani
Kalaupun kau berhasil menemuinya, kau tak
mungkin melawannya. Ilmu kepandaiannya
tinggi sekali..."
"Ma... ra... ran... ta... yang... du... lu... me...
mang... ti... dak... sang... gup... me... la...
wan... Pa... nge... ran... Ma... ta... ha... ri...
Ta... pi... Ma... ra... ran... ta... Ma... yat...
Hi... dup... pas... ti... mam... pu... me... nga...
lah... kan... nya."
"Ada yang tak beres dengan diri suamiku ini.
Ya Tuhan, tolong diriku. Tolong dirinya... Aku
tak percaya pada pengakuannya bahwa
dirinya adalah Mayat Hidup. Mana mungkin
hal itu bisa terjadi. Atau... Apakah aku harus
mengujinya?"
Memikir sampai disitu Minari mengambil
sebutir jambu kelutuk lalu memberikannya
pada Mararanta seraya berkata: "Makanlah,
kau pasti lapar."
Mararanta menggeleng kaku. "Ma... yat... ti...
dak... a... da... yang... ma... kan..." katanya.
"Kalau begitu minumlah..." kata Minari pula
ingin menguji lebih lanjut. Dia membungkuk
mengambil air dalam gulungan daun. Kembali
Minari melihat Mararanta menggeleng. "Ma...
yat... ti... dak... a... da... yang... mi... num..."
ucapnya.
"Kakak! Kau ini...! Aku melihat kau terluka
dan dalam keadaan menderita! Tapi aku tak
percaya kau sudah mati! Aku tak percaya kau
adalah mayat hidup. Demi Tuhan! Sandiwara
atau permainan apa yang tengah kau lakukan
ini?!"
"Mi... na... ri... A... ku... ti... dak... mem...
per... ma... in... kan... mu. Ji... ka... kau... ti...
dak... per... ca... , li... hat... ka... ki... ku…."
Mendengar ucapan itu Minari langsung
memandang ke bawah ke arah kedua kaki
Mararanta Tangkario. Dan terkejutlah
perempuan ini. Wajahnya seputih kertas
Kedua kaki lelaki itu sama sekali tidak
menginjak rumput! Tidak menginjak tanah!
Langsung Minari roboh tidak sadarkan diri
lagi.
* * *
TUJUH
BAGIAN DEPAN RUMAH PANGGUNG itu hanya
diterangi sebuah lampu minyak kecil yang
digantung di bawah talang air. Cahayanya
tidak dapat menerangi serambi rumah yang
luas dimana saat itu seorang lelaki
berpakaian hitam duduk diatas sebuah kursi
goyang terkantuk-kantuk.
Kursi goyang dari kayu itu mengeluarkan
suara berderik-derik. Orang yang duduk
diatasnya membenarkan letak kain sarung
yang menyelubungi kedua kakinya agar
terlindung dari gigitan nyamuk. Sesekali dia
menguap lebar-lebar. Walau kantuknya berat
namun dia tak dapat tidur. Dan memang dia
tak boleh tidur karena tugasnya adalah
berjaga-jaga.
Di langit bulan setengah lingkaran nampak
redup tertutup awan. Di kejauhan terdengar
suara anjing menggonggong. Pada saat itulah
lelaki di atas kursi goyang mendadak
membuka kedua matanya lebar-lebar karena
entah kapan munculnya sesosok tubuh lelaki
yang mendukung tubuh seorang perempuan
tahu-tahu tampak berdiri di sudut serambi
yang paling gelap.
"Aneh kata lelaki di kursi goyang dalam hati.
"Tadi mataku memang terpicing, tapi
telingaku tak akan lolos menangkap suara
apapun. Bagaimana mungkin orang itu bisa
naik ke serambi tanpa aku mendengar
langkahnya sewaktu menginjak tangga dan
juga sewaktu berjalan dilantai serambi ini.
Dengan memanggul beban seberat itu
hentikan kakinya pasti akan lebih keras. Dia
tahu-tahu saja berada di ujung serambi
sana..."
"Siapa disana?!" lelaki berbaju hitam bertanya
dengan suara menghardik.
'Yang ditanya tidak menjawab. Bergerakpun
tidak. Si penjaga turun dari kursi goyang,
ikatkan kain sarung ke pinggang. Sambil
tangan kanannya meraba hulu golok yang
tersisip di pinggang kirinya dia perhatikan
orang yang tegak di ujung serambi sana.
Namun kegelapan tidak mungkin baginya
untuk melihat dengan jelas, apalagi mengenali
siapa adanya orang itu. Karenanya dia lalu
pergi mengambil lampu minyak di bawah
cucuran atap. Sambil mengacungkan lampu
minyak tinggi-tinggi dia menghampiri orang
yang tegak di ujung serambi.
Begitu sampai dihadapan sosok itu dan
cahaya lampu menerangi wajah serta
sebagian tubuh orang termasuk orang yang
digendongnya, tersiraplah darah si penjaga.
Seumur hidup belum pernah dia melihat
tampang yang begini angker, apalagi ada luka
besar di pangkal lehernya. Wajah manusia itu
begitu pucat, kedua matanya nyalang besar
tapi tak pernah berkedip. Bibirnya hitam
kebiruan dan hembusan nafasnya menusuk
tajam.
"Ki sanak... Kau siapa... Apa maksud
kedatanganmu?" bertanya si penjaga. Hati
kecilnya mendadak saja merasa yakin bahwa
dia tidak berhadapan dengan manusia.
"A... pa... kah... di... si... ni... ru... mah... Ki...
Du... kun... Su... ra... Man... ja... ngan?"
Kembali si penjaga tersurut mundur. Kali ini
karena mendengar suara orang itu. "Manusia
aneh... Suaranya seperti datang dari jurang
yang dalam. Kaku... terbata-bata..."
"A... ku... ber... ta... nya! Me... nga... pa...
ti... dak... men... ja... wab...?"
"Betul, ini memang rumah kediaman Ki Dukun
Surah Manjangan. Ah! Ki sanak rupanya
datang hendak berobat. Siapakah yang sakit?
Ki sanak sendiri atau orang yang ki sanak
dukung...? Kulihat ada luka besar di pangkal
leher ki sanak..."
"Ti... dak... per... lu... ba... nyak... ber...
tanya. Le... kas... pang... gil... kan... du...
kun... ke... pa... rat... itu..."
Mendengar majikannya disebut dengan kata-
kata dukun keparat, marahlah si penjaga.
"Manusia bermuka pucatl Jaga mulutmu.
Kalau sampai Ki Dukun mendengar
bagaimana mulutmu sekurang ajar itu
menyebut dirinya, bisa-bisa kau meninggalkan
tempat ini melangkah seperti anjing!"
Si muka pucat mendengus. Hembusan nafas
membersit dari mulut dan hidungnya. Si
penjaga merasakan kedua matanya menjadi
sangat perih. Cepat-cepat orang ini mundur
beberapa langkah.
"Ka... lau... kau... ti... dak... le... kas... m...
mang... gil... du... kun... ja... ha... nam... itu...
ku... po... rak... po... ran... da... kan... ru...
mah... i... ni!"
"Kurang ajar!" bentak si penjaga. Walau
hatinya sejak tadi sudah kecut namun
mendengar kata-kata orang yang hendak
memporak porandakan rumah itu, marahlah
dia. "Jika kau datang meminta obat, kau akan
mendapatkan dari Ki Dukun. Tapi jika kau
bicara yang bukan-bukan malah mengancam
segala, berarti nyawamu hanya tinggal
beberapa kejapan saja!"
Lelaki yang mendukung sosok tubuh
perempuan, yang bukan lain adalah Mararanta
Tangkario alias Mayat Hidup Gunung Klabat
gembungkan mulutnya lalu meniup ke depan.
Si penjaga berseru kaget ketika merasakan
ada angin kencang yang menghantam ke
arahnya.
Cepat-cepat dia melompat ke kiri. Dirinya
memang selamat tapi ada suara braak di
sebelah belakang. Ketika berpaling tampak
salah satu bagian dinding kayu rumah hancur
berantakan! Kemudian si penjaga ini
menyadari kalau lampu minyak yang tadi
dipegangnya di tangan kiri telah terlepas
mental dan jatuh di lantai. Minyak yang
berceceran di lantai kayu serta merta dijilat
api!
"Keparat kurang ajar! Kau memang minta
mati!" teriak si penjaga. Dia gulung kain
sarungnya lalu cabut golok yang tersisip
dipinggang kiri. Tanpa menunggu lebih lama
dia ayunkan senjatanya, membabat ke arah
pinggang si muka pucat.
Dari mulut Mayat Hidup Gunung Klabat
terdengar suara menggerang. Tangan
kanannya di ulurkan. Si penjaga menjerit
keras ketika pergelangan tangannya tahu-tahu
sudah dicekal lawan. Dan bukan hanya
dicekal. Detik itu juga terdengar berderak.
Tulang lengannya dicengkeram hancur hingga
tangan itu kini terkulai dan golok yang tadi
dipegangnya terlepas jatuh ke lantai!
Sambil melolong kesakitan si penjaga putar
tubuh, masuk menghambur ke dalam rumah
lewat pintu tertutup yang ditendangnya
dengan keras. Ruang panggung itu ternyata
panjang sekali. Di kiri kanan berderet-deret
kamar-kamar yang tertutup. Di sebelah ujung
terdapat sebuah kamar berpintu hitam dengan
gambar sebuah pendupaan putih serta bara
api merah lengkap dengan asap di sebelah
atasnya.
Penjaga itu lari menuju pintu hitam tersebut.
Di depan pintu dia berseru: "Ki Dukun! Ada
pengacau muncul disini! Harap kau lekas
keluar dan bertindak...!"
Tak ada sahutan dari balik pintu hitam. Ketika
berpaling si penjaga melihat manusia bermuka
pucat itu mendatangi semakin dekat.
Sementara itu di langkan rumah kobaran api
semakin besar... Karena tak tahan sakit serta
ketakutan setengah mati akhirnya dia
mendobrak pintu hitam dan melompat masuk
ke dalam. Bau kemenyan menyambar keluar.
Di balik pintu itu ternyata adalah sebuah
ruangan besar yang sangat redup karena
hanya diterangi sebuah lampu minyak kecil.
Lantai ruangan ditutup dengan permadani
berwarna merah tua. Di tengah-tengah
terhampar sebuah batu hitam berbentuk
lonjong dan pipih. Di atas batu ini duduk
bersila seorang kakek yang hanya
mengenakan sehelai cawat berwarna putih.
Tubuhnya kurus sekali hingga tulang
belulangnya menonjol jelas. Mukanya cekung,
begitu juga kedua matanya yang terpejam
memiliki rongga yang dalam serta kehitaman.
Diatas kepalanya yang berambut kasar dan
acak-acakan seperti ijuk ada sebuah
pendupaan berwarna putih yang baranya
menyala terang dalam gelap. Karena ditaburi
kemenyan, asap pendupaan ini menebar bau
yang harum dan tajam ke seluruh ruangan.
Yang hebatnya, di atas pendupaan yang
menyala dan menebar asap kemenyan
melintang sebilah golok. Apa yang tengah
dilakukan oleh kakek berwajah angker ini?
Di dalam ruangan itu tidak ada perabot lain,
kecuali puluhan macam senjata tajam yang
digantung ke dinding. Mulai dari berbagai
jenis pisau kecil dan besar, berbagai bentuk
golok serta pedang, sampai pada tombak
yang memiliki satu, dua atau tiga mata. Si
penjaga jatuhkan dirinya di depan kakek yang
tampaknya tengah bersemedi sambil
menjunjung pendupaan menyala itu.
"Wakanto... Kau mengganggu pekerjaanku!"
Tiba-tiba kakek yang duduk di atas batu
membuka mulut. "Nyawa yang harus aku
ambil malam ini menjadi gagal. Berarti
nyawamu gantinya..."
Selesai mengucapkan kata-kata itu, golok di
atas pendupaan tibatiba tampak bergerak naik
lalu perlahan-lahan manukik ke arah penjaga
rumah panggung bernama Wakanto. Melihat
hal ini pucatlah wajah penjaga itu. Cepat-
cepat dia berseru.
"Ki Dukun, maafkan diriku!" seru sipenjaga
sambil letakkan keningnya di atas batu di
hadapan kaki si kakek. "Aku tidak bermaksud
mengganggumu. Tapi ada pengacau datang
ke rumah ini! Dia menyebut namamu dengan
kurang ajar. Ketika aku hendak menghajarnya
dia menghancurkan pergelangan tanganku!
Lihat... kau lihat sendiri Ki Dukun..." Wakanto
angkat tangan kanannya yang telah hancur
tulangnya.
Ki Dukun Sura Manjangan tidak menyahut
tapi tahu-tahu kaki kirinya melesat dan dukk!
Tubuh Wakanto terpental, tersandar ke
dinding. Dia mengeluh pendek lalu roboh
melingkar di lantai. Pingsan.
"Masih untung nyawamu tidak kuambil..." Ki
Dukun berkata. Golok yang tadi menukik ke
arah si penjaga kini tampak naik kembali, lalu
perlahan-lahan turun ke atas pendupaan!
Bersamaan dengan itu sepasang mata si
kakek tampak terbuka. Yang pertama
dilihatnya adalah sosok Mayat Hidup Gunung
Klabat masuk ke dalam ruangan itu sambil
mendukung Minari. Lalu kobaran api yang
membakar kamar pertama di deretan sebelah
kanan. Dari rahang sang dukun terdengar
suara gerahamnya bergemeletakan tanda ada
kemarahan yang menggelegak dalam dirinya.
Sepasang matanya memancarkan sinar aneh.
Meskipun dia ingin sekali mengetahui siapa
adanya orang yang memiliki luka besar
dilehernya itu dan siapa pula perempuan yang
didukungnya, apa maksud kedatangannya,
namun hawa amarah yang lebih menguasai
dirinya membuat dia lebih ingin cepat-cepat
membunuh orang di hadapannya itu detik
juga!
"Kekuatan dari segala kekuatan. Kekuasaan
dari segala kekuasaan. Singkirkan manusia di
hadapanku ini!" Ki Dukun Sura Manjangan
berucap.
Saat itu juga gotok melintang di atas
pendupaan secara aneh bergerak ke atas,
ujungnya berputar senjatanya ini melesat ke
arah dada kanan si mayat Hidup Mararanta
Tangkario!
***
DELAPAN
MAYAT HIDUP GUNUNG KLABAT menggereng
dan gerakkan tangan kanannya. Golok yang
melesat ke dadanya tahu-tahu disambar dan
dicengkeramnya. Lalu terdengar suara trak...
trak... trak... Golok besar itu berubah menjadi
empat potong. Salah satu potongan yaitu
bagian ujung golok yang runcing masih
tergenggam di tangannya. Lalu seperti
melahap sepotong kerupuk, ujung golok ini
dimasukkannya ke dalam mulut. Dia
mengunyah. Krak... krak... krak...
Berubahlah paras pucat Ki Dukun Sura Man-
jangan. Tubuhnya yang duduk bersila di atas
batu perlahan-lahan terangkat naik ke atas
sampai setengah tombak. Lalu kedua kakinya
yang terlipat diturunkan ke bawah. Kini dia
berdiri tegak di atas batu pipih yang selama
ini didudukinya. Sepasang matanya
memandang tidak berkedip pada wajah Mayat
Hidup Gunung Klabat.
Hampir separuh dari hidupnya Ki Dukun Sura
Manjangan menjadikan dirinya sebagai
manusia yang mempergunakan ilmu hitam
untuk menjagai belasan bahkan puluhan
manusia. Ilmunya tidak mengajarkan rasa
takut apa pun dalam dirinya. Namun saat itu
untuk pertamakalinya dia merasa merinding.
Jika ada manusia yang mampu menguyah
ujung golok beracun, maka berarti dia bukan
berhadapan dengan manusia!
"Orang tak dikenal, katakan siapa kau dan
apa maksud kedatanganmu kemari?!"
Pertanyaan Ki Dukun belum sempat terjawab.
Di sebelah depan rumah panggung terdengar
suara berderak. Kobaran api telah
memusnahkan sebagian dari serambi dan
salah satu kamar. Bangunan di bagian itu
roboh dengan suara menggemuruh.
"Kurang ajar! Kau telah mencelakai
pembantuku! Kau juga yang membakar
rumahku! Sekarang biar tubuhmu yang
kubakar!"
Habis berkata begitu Ki Dukun Sura
Manjangan gerakkan kepalanya. Pendupaan
yang sejak tadi masih bertengger di kepalanya
yang ditutupi rambut kasar acak-acakan
melesat ke depan. Dari mulut pendupaan
bukan saja menghambur bara panas tapi juga
lidah api yang menyambar ke arah Mayat
Hidup Gunung Klabat!
Yang diserang sedikitpun tidak berusaha
menghindar. Begitu lidah api dan hamburan
bara panas hanya tinggal dua jengkal saja
dari tubuh dan kepalanya. Mayat Hidup usap
mukanya lalu menerpa ke depan. Lidah api
dan bara-bara merah itu tertahan di udara
seperti menabrak tembok. Mayat Hidup
kemudian menghembus keras. Maka terjadilah
hal yang luar biasa! Lidah api memecah
menjadi puluhan banyaknya. Bersama-sama
dengan bara yang menyala, lidah-lidah api
itu menyambar ke depan. Sebagian menyerang
Ki Dukun Surah Manjangan sendiri,
sebagiannya lagi menyebar lantai dan dinding
serta langit-langit ruangan! Saat itu juga
kamar besar itu dilanda kobaran api!
Ki Dukun Sura Manjangan berteriak kaget dan
marah. Sebagian rambutnya sempat disambar
lidah api. Kakek ini melesat ke samping,
melabrak dinding ruangan. Lalu lewat dinding
yang jebol itu dia melompat ke luar, sampai
di halaman samping rumah panggung yang
diterangi kobaran api besar yang telah
membakar sebagian rumah di sebelah depan!
Sekujur tubuh Ki Dukun bergeletar. Kagetnya
masih belum hilang. Rasa cemas bercampur
amarah masih membakar dirinya. Ingin dia
menghajar manusia itu habis-habisan,
mencabik-cabik tubuhnya bahkan mungkin
meminum darahnya! Tapi bagaimana
caranya? Bagaimana dia mampu melakukan
hal itu? Tampaknya dia berhadapan dengan
makhluk yang memiliki kesaktian luar biasa.
Namun dalam hati kecilnya dia sempat
bertanya. Jika orang memang datang untuk
meminta pertolongan, meminta pengobatan,
mengapa dia telah mencelakai pembantunya,
membakar rumahnya dan bahkan mencelakai
dirinya. Bahkan dia hampir pasti makhluk itu
bermaksud merampas nyawanya.
"Dia bukan lawanku!" kata Ki Dukun dalam
hati. "Lebih baik menyelamatkan diri!" Lalu Ki
Dukun Sura Manjangan memutar tubuh, siap
menghambur lari ke bagian halaman yang
gelap. Namun baru saja dia bergerak setengah
langkah, kakek ini melengak kaget karena
tahu-tahu si muka pucat yang mendukung
sosok tubuh perempuan itu sudah
menghadang di depannya, menyeringai dan
menggereng.
"Celaka!" seru Ki Dukun dalam hati. Dia
berputar ke kiri dan melompat kabur. Namun
kembali tahu-tahu makhluk itu sudah berada
di hadapannya!
"Hai! Dengar! Siapa kau sebenarnya... Apa
yang kau inginkan dariku?!" tanya Ki Dukun
dengan suara bergetar ketakutan. Ki Dukun
melihat mulut makhluk di hadapannya itu
bergerak. Lalu dia mendengar suara yang
aneh menyeramkan.
"A... ku... Ma... yat... Hi... dup... Gu... nung...
Kla... bat... Sa... tu... ming... gu... la... lu...
kau... per... gu... na... kan... il... mu... hi...
tam... mu... Kau... ki... rim... go... lok... ter...
bang... be... ra... cun... mem... bu... nuh...
ku..."
"Aku tidak kenal padamu! Aku merasa tak
pernah mencelakaimu..." Ki Dukun terdiam
sesaat. Lalu dengan suara semakin bergetar
dia bertanya: "Si... apa namamu? Katakan
asal usulmu..."
"A... ku... Ma... ra... ran... ta... Tang... ka...
rio... da... ri... Mi... na... ha... sa... Se... se...
o... rang... te... lah... me... nyu... ruh... mu...
un... tuk... mem... bu... nuh... ku! Kau... bo...
leh... dus... ta... Ta... pi... a... ku... da...
tang... un... tuk... mem... ba... las... ke...
ma... tian... ku! A... ku... mau... min... ta...
nya...wa... mu...!"
Mendengar kata-kata itu paras angker Ki
Dukun Sura Manjangan jadi berubah seputih
kain kafan; "Mararanta Tangkario... Mayat
Hidup Gunung Klabat! Ah, dia rupanya! Tapi
jika dia memang sudah mati, mengapa bisa
muncul begini rupa. Lalu siapa perempuan
yang didukungnya ini...?"
Mayat Hidup Gunung Klabat maju satu
langkah lalu dongakkan kepala,
memperlihatkan luka besar yang mengoyak
pangkal lehernya.
"Ja... ngan... be... ra... ni... dus... ta. Ba...
co... kan... go... lok... ja... ha... nam... mu...
bi... sa... kau... li... hat... sen... di... ri... di...
le... her... ku! Se... se... o... rang... mem...
ba... yar... mu... Pa... nge... ran... Ma... ta...
ha... ri... "
"Aku... aku..." Ki Dukun Sura Manjangan
sadar kalau dia tak mungkin berkelit, makhluk
bermuka pucat ini agaknya sudah tahu
segala-galanya. "Dengar... Aku hanya...
menjalankan pekerjaanku. Segala dosa dan
kesalahan orang yang meminta yang
menanggung. Begitu perjanjian. Jadi kau
harus mencari Pangeran Matahari. Bukan
aku...!"
Si muka mayat menyeringai. "Ka... ta... kan...
di... ma... na... Pa... nge... ran... ter... ku...
tuk... itu...ber... a... da..."
"Sulit mencarinya. Tapi jika kuberi tahu...
apakah kau bersedia melepaskan diriku... Kau
telah membakar rumahku. Pembantuku saat
ini pasti sudah mati dimakan api. Apakah itu
belum cukup...?"
"Ka... ta... kan... sa... ja... di... ma... na...
Pa... nge... ran... i... tu... ber... a... da..."
Tangan kanan Mayat Hidup Gunung Klabat
bergerak dan tahutahu Ki Dukun merasakan
lehernya sudah kena dicengkeram. Lehernya
terjulur dan matanya terbeliak. Dia berusaha
berontak tapi malah tubuhnya diangkat
tinggi-tinggi ke atas!
"Jangan! Jangan bunuh aku!" Aku akan
katakan dimana manusia itu bisa ditemui!"
seru Ki dukun dengan suara tercekik-cekik.
Tubuhnya kemudian diturunkan. Keringat
dingin membasahi sekujur badannya yang
hanya mengenakan cawat putih itu.
"Pangeran itu... Satu hari dalam satu bulan...
dia pasti berada di sebuah Keraton kecil
miliknya, terletak di kaki bukit Rasikembar di
selatan Imogiri... Tempat ini sulit dicari
karena terletak dalam hutan lebat dan jarang
didatangi manusia Ki Dukun Sura Manjangan
merasa lega ketika merasakan makhluk di
depannya lepaskan cengkeraman di lehernya."
"Ba... gus... Kau... su... dah... mem... be...
ri... ta... hu... Se... ka... rang... kau... per...
gi... lah... du... luan... Tung... gu... ma... ji...
kan... mu... i... tu... di... ne... ra... ka..."
"A... apa... maksudmu...?" bertanya Ki Dukun
Sura Manjangan. Sebagai jawaban Mayat
Hidup Gunung Klabat hantamkan tangan
kanannya ke dada si kakek. Terdengar suara
berderak hancurnya tulang dada dan patahnya
tulang-tulang iga sang dukun. Jantungnya
pecah. Darah menyembur dari mulutnya.
Tubuhnya terpental sampai tiga tombak,
terkapar di tanah tanpa nyawa lagi. Di atas
sebatang pohon seorang pemuda berpakaian
putih yang dengan susah payah selalu
mengikuti jejak perjalanan makhluk dari liang
kubur itu gelengkan kepala sambil garuk-
garuk rambutnya..."
"Sepuluh orang sakti seperti guruku Sinlo
Gendeng ditambah sepuluh Dewa Tuak dan
sepuluh Tua Gila mungkin tak akan dapat
mengalahkan makhluk ini... Pangeran
Matahari, kau tunggulah. Dia pasti akan
muncul mencabut nyawamu." Sesaat pemuda
itu merenung.
"Apa betul dia orang mati kemudian bisa
menjelma menjadi mayat hidup? Sulit
kupercaya... Kalau kemunculannya hanya
untuk membalaskan sakit hati dendam
kesumat itu wajar-wajar saja. Tapi kalau
kemudian dia jadi betah hidup didunia ini dan
gentayangan menimbulkan keonaran...
celakalah dunia persilatan!"
Ketika dilihatnya Mayat Hidup Gunung Klabat
meninggalkan tempat itu bersama istri dalam
dukungannya, pemuda diatas pohon yang
bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng
segera melompat turun dan kembali mengikuti
perjalanan makhluk itu secara diam-diam.
Seringkali Wiro ketinggalan atau kehilangan
jejak. Dia tidak mampu berada dalam jarak
yang dekat karena makhluk itu berlari seperti
terbang dan kedua kakinya tak pernah
menginjak bumi. Lagi pula sang pendekar
tidak berani berada terlalu dekat. Kawatir
kalau-kalau yang diikuti mengetahui kalau
dirinya dikuntit orang. Jika ini sampai terjadi
dan dia diserang, pasti bencana besar.
Sampai saat itu Pendekar 212 masih belum
mampu untuk mengetahui dimana letak
kelemahan makhluk ini. Disamping itu dia
merasa kasihan dan cemas akan nasib yang
menimpa perempuan muda bernama Minari
itu. Meskipun jelas dia adalah istri Mararanta,
tapi bagaimana mungkin mereka meneruskan
hidup sebagai suami istri. Satu manusia
sungguhan dan satunya lagi makhluk mati
yang hidup dan gentayangan secara aneh!
***
MALAM ITU mereka berhenti di sebuah bekas
reruntuhan candi. Minari sengaja berpura-
pura tidur. Tapi diam-diam dia
memperhatikan gerak-gerik Mararanta
Tangkario, suaminya yang sekarang berada
dalam kehidupan yang sulit dipercayanya.
Lelaki itu duduk di atas sebuah batu besar,
tapi kedua kakinya tetap mengambang, tak
pernah menginjak tanah. Rasa takut yang
menguasai dirinya selama berhari-hari
membuat dia seperti hendak gila. Betapapun
dia mencintai suaminya tapi bukan berarti dia
bisa hidup dengan makhluk seperti itu.
Mararanta sendiri telah menceritakan bahwa
dirinya adalah mayat hidup! Dan ini memang
dibuktikannya. Sampai hari itu Minari tak
pernah melihat Mararanta makan atau minum.
Dirinya pun tak pernah disentuhnya kecuali
ketika mendukungnya dan membawanya
berlari.
Sudah beberapa kali Minari mengambil
keputusan nekad untuk melarikan diri. Tetapi
Mararanta seperti dapat membaca hatinya.
Lelaki itu selalu mengawasi dirinya, baik siang
maupun malam. Dan satu hal lagi yang
membuat sulit bagi Minari untuk lari ialah
Mararanta tak pernah tidur.
Kesunyian malam berlalu dalam bungkusan
udara dingin. Minari hampir benar-benar
tertidur ketika ada sebuah kerikil kecil jatuh
mengenai pipinya. Dibukanya kedua matanya.
Mararanta dilihatnya masih duduk di atas
batu tadi, membela-kanginya. Kemudian
disamping kanan dia seperti melihat
bayangan seseorang di balik sebuah arca
buntung. Dipandanginya arca itu tanpa
berkedip. Ah, mungkin hanya perasaannya
saja. Tak ada apa-apa dekat arca itu. Tapi
batu barusan jatuh di pipinya? Minari
akhirnya pejamkan matanya kembali. Namun
baru kelopak matanya menutup setengah, dia
melihat ada tangan yang melambai dibalik
arca buntung itu. Minari buka kedua matanya
lebar-lebar kembali. Saat itulah dia melihat
sosok tubuh dan kepala muncul di balik arca.
Karena jarak arca dan tempatnya berbaring
tidak berapa jauh, selain itu rembulan yang
dua pertiga bulat cukup menerangi tempat itu,
Minari walaupun samar-samar masih sempat
melihat dan mengenali orang itu.
"Pemuda itu kata Minari dalam hati. "Dia
yang menolongku di pondok kayu dalam
hutan sebelum Mararanta muncul... Dia
ternyata mengikutiku sampai kesini... Pasti
dia bermaksud menolongku... Sayang... dia
tak akan bisa melakukannya..." Tengah Minari
berkatakata dalam hati seperti itu, pemuda
dibalik arca lemparkan sebuah benda ke arah
Minari. Benda ini ternyata segulung kertas
dan jatuh tepat di samping kepala Minari.
Minari cepat-cepat mengambil kertas itu dan
menyembunyikannya di balik dada
pakaiannya, tepat pada saat Mararanta
bergerak bangkit dari batu. Dia memandang
berkeliling, lalu berpaling pada Minari.
"Ki... ta... ta... hu... si... tu... ti... dak... ti...
dur..."
Tentu saja Minari terkejut mendengar kata-
kata itu. "Kakak... aku hampir tertidur... Tapi
aku lihat kakak berdiri. Kau juga perlu
istirahat kakak. Kau perlu tidur..." kata Minari
pula. Lalu perempuan ini jadi merinding
sendiri. Bagaimana kalau Mararanta benar-
benar tidur dan berbaring disampingnya!
"Ma... yat... ti... dak... per... nah... ti... dur..."
terdengar jawaban
Mararanta Tangkario. Dia memandang lagi
berkeliling. "Ki... ta... a... da... de... ngar...
bu... nyi... ba... tu... ja...tuh... Bu... nyi...
ben... da... me... la... yang!"
"Pendengaran kakak terlalu tajam. Aku tidak
mendengar bunyi apa-apa..." sahut Minari.
"Ma... yat... hi... dup... ti... dak... bi... sa...
di... ti... pu..." kata Mararanta pula. "A... ku...
ma... u... me... nye... li... dik..." Lalu dia
bergerak cepat ke arah arca buntung.
"Celaka kalau pemuda itu masih berada di-
sana..." kata Minari dalam hati. Dilihatnya
Mararanta sudah sampai ke dekat arca besar
tanpa kepala itu, memandang kian kemari,
tapi tidak melihat atau menemukan apa-apa.
Mayat hidup bergerak ke jurusan lain. Melihat
gerakan tubuh yang melayang kian kemari
tanpa menginjak tanah itu, Minari jadi ngeri
sendiri. Kemudian dilihatnya Mararanta
kembali ke tempatnya.
"Sudah kubilang, telingamu terlalu tajam
kakak. Tak ada makhluk apapun di tempat ini,
kecuali kita berdua..."
Mararanta tak berkata apa-apa dan kembali
duduk di atas batu. Esok paginya ketika
mendapat kesempatan pergi membersihkan
diri di sebuah mata air, Minari keluarkan
gulungan kertas yang disembunyikannya di
dada pakaian lalu membukanya. Di atas
kertas kecil itu ternyata ada tulisan berbunyi:
Meskipun dia adalah suamimu, Tapi aku
khawatir keselamatanmu terancam Besok
malam jika kau dengar suara lolongan srigala,
minta dia untuk menyelidik Begitu dia lengah,
aku akan melarikanmu Wiro
"Jadi namanya Wiro kata Minari dalam hati.
"Aku memang ingin melarikan diri, apalagi
ada yang mau membantu. Tapi apakah
pemuda itu sanggup, menolong...?"
Minari campakkan kertas itu ke dalam air.
Kertas sesaat mengambang dan terbawa arus
menuju ke sebuah kali kecil dangkal yang
dasarnya berbatu-batu. Pada sebuah tonjolan
batu kertas itu tertahan. Satu tangan
kemudian mengambilnya, meskipun kertas itu
basah namun apa yang tertulis di atasnya
masih bisa dibaca jelas. Dan yang mengambil
serta membaca kertas itu bukan lain adalah
Mayat Hidup Gunung Klabat!
***
SEMBILAN
SEJAK SORE LANGIT tampak mendung.
Menjelang malam hujan turun rintik-rintik.
Mayat Hidup Gunung Klabat sadar,
bagaimanapun cepatnya dia berlari, tak
mungkin dia akan sampai ke tempat tujuan di
selatan Imogiri malam itu. Lagi pula Minari
perlu istirahat. Dan yang paling penting
malam ini dia harus dapat menjebak pemuda
bernama Wiro itu. Ketika dia menghantamnya
di rumah papan di hutan jati, dia menyangka
pemuda itu sudah menemui ajal, hancur
bersama rumah itu. Ternyata dia masih hidup
dan masih nekad hendak menolong Minari,
hendak mengambil istrinya dari tangannya.
Di kejauhan tampak sebuah teratak, yaitu
gubuk ditengah daerah perladangan yang
biasa dipergunakan para petani untuk
beristirahat atau makan siang. Mararanta
Tangkario segera menuju teratak ini, dan
membaringkan Minari di lantai. Dari dalam
kantong perbekalan Mararanta mengeluarkan
sebungkus makanan lalu diletakkannya di
samping Minari.
"Kau... per... lu... ma... kan... is... tri... ku"
"Aku tidak lapar kakak..." sahut Minari.
Perempuan ini berada dalam keadaan tegang.
Sesuai dengan surat yang telah dibuangnya di
mata air, malam itu pemuda bernama Wiro
akan menolongnya. Akan berhasilkah pemuda
itu melarikannya? Jika sampai tertangkap
basah oleh Mararanta, mampukah dia
menghadapinya? Kesaktian yang dimiliki
Mararanta bukan kesaktian manusia biasa.
Tapi kesaktian dari alam aneh yang tidak
satu manusia hiduppun bisa menguasainya!
Dulu dia memang mempunyai kepandaian
silat serta kesaktian yang tinggi. Namun
semua kehebatannya itu tidak berkutik di
hadapan Pangeran Matahari. Namun kini dia
muncul dalam bentuk kehidupan lain, yang
sulit diterima akal dan juga mengerikan. Dan
kini dia memiliki kesaktian yang luar biasa
hebatnya.
"Ka... lau... kau... ti... dak... mau... ma...
kan... ti... dur... lah... Be... sok... pa... gi...
pa... gi... se... ka... li... ki... ta... lan... jut...
kan... per... ja... lan... an..." kata Mararanta
pula.
"Kakak... Jika urusanmu dengan Pangeran
Matahari selesai, apa yang akan kau
lakukan...?" bertanya Minari.
"A... ku... a... kan... ba... wa... kau... ke...
Mi... na... ha... sa... Ki... ta... a... kan... ber...
kum... pul... la... gi... Se... ba... gai... sua...
mi... is... tri..."
Bulu kuduk Minari merinding mendengar kata-
kata itu.
"Menurutmu, kita berada dalam dua alam
yang berbeda tak mungkin berkumpul..."
"A... ku... pu... nya... ca... ra... a... gar...
kita... ber... a... da... di... a... lam... yang...
sa... ma..."
"Caranya?" tanya Minari.
Mayat Hidup Gunung Klabat menyeringai.
Belum sempat Minari mendengar jawabannya
tiba-tiba dikejauhan terdengar suara lolongan.
Lolongan srigalal Itulah tanda dari si pemuda.
Minari merasakan sekujur badannya tegang
dan detak jantungnya berdegup lebih cepat.
"Suara lolongan srigala... Kau mendengarnya
kakak...?" tanya Minari dengan suara tercekat.
Mayat Hidup Gunung Klabat mengangguk.
"Aku takut... Kau harus berjaga-jaga. Kau...
sebaiknya menyelidik dan membunuh binatang
itu sebelum dia berada lebih dekat ke tempat
ini
Mayat Hidup Gunung Klabat memandang
sesaat pada Minari, membuat perempuan ini
merasa seperti putus nyawanya.
"A... ku... a...: kan... me... nye... Ii... dik...
Aku... a... kan... ba... wa... ke... pa... la...
sri... ga... la... i... tu... a... gar... kau... me...
Ii... hat... sen... di... ri..."
"Jangan, tak usah. Kau bunuh saja begitu
ketemu. Jangan dibawa kepalanya kemari..."
kata Minari pula.
Di kejauhan kembali terdengar suara lolongan
srigala. Mayat Hidup Gunung Klabat
menyeringai, lalu melangkah cepat ke arah
terdengarnya suara lolongan srigala.
"Ma... nu... sia... pe... ni... pu... Kau... a...
kan... mam... pus... da... lam... ke... ne...
kad... an.mu!"
Cepat sekali dia sudah berada di tempat
dimana dia tadi mendengar datangnya suara
lolongan itu, tetapi secepat dia datang,
secepat itu pula dia memutar tubuh dan
berbalik kembali menuju ke teratak. Hanya
saja, sesuatu menarik perhatiannya di tengah
jalan. Dia melihat sesosok tubuh berpakaian
putih mendekam di balik sebatang pohon
besar.
"Hem... i... tu... pas... ti... pe... mu... da...
bang... sat itu. A... kan... ku... han... cur...
kan... dia... ber... sa... ma... po... hon... i...
tu!"
Mayat Hidup Gunung Klabat angkat tangan
kanannya. Pundak kanan membuat gerakan
menyentak. Bersamaan dengan itu tangannya
menghantam. Terdengar suara menderu
seperti ada topan menyerbu. Batang pohon
besar di depan sana hancur berantakan lalu
tumbang dengan suara menggemuruh.
Beberapa pohon disekitarnya ikut terseret dan
mental berpatahan.
Mayat Hidup Gunung Klabat melompat ke
arah pohon besar yang tumbang, memandang
berkeliling. Dia melihat robekan-robekan
pakaian putih, tapi sama sekali tidak menemui
hancuran tubuh manusia, tidak melihat
muncratan darah!
"Ke... pa... rat... itu... me... ni... pu... ku!"
menggereng Mayat Hidup Gunung Klabat.
"Bang... sat...! Ja... ngan... ha... rap... bi...
sa... lo... los... da... ri... ta... ngan... ku!"
Lalu secepat kilat dia berkelebat ke arah
teratak.
***
BEGITU MARARANTA meninggalkan teratak,
Pendekar 212 yang sembunyi di balik
serumpun keladi hutan cepat keluar dan
melompat ke atas teratak. Minari hampir
menjerit saking kagetnya.
Wiro cepat tekap mulut perempuan ini.
"Jangan mengeluarkan suara. Apa kau cukup
kuat untuk berlari...?"
Minari menggeleng.
"Kalau begitu biar kudukung!"
Lalu murid Eyang Sinto Gendeng itu turun dari
atas teratak, menarik tubuh Minari dan
mendukung perempuan itu di bahu kirinya.
Tanpa membuang waktu lagi Pendekar 212
segera melompat ke bagian yang gelap.
Namun alangkah kagetnya pendekar ini ketika
tiba-tiba di depannya berkelebat satu
bayangan. Angin yang menyambar dari sosok
bayangan itu membuat dia terhuyung ke kiri.
Untuk imbangi diri sambil memasang kuda-
kuda Wiro cepat melompat ke kanan.
Bersamaan dengan itu dia siapkan tenaga
dalamnya ke tangan kanan sambil merapat aji
kesaktian pukulan sinar matahari. Mayat
Hidup Gunung Klabat! makhluk itu kini tegak
di hadapan Wiro dengan dua kaki yang tak
menginjak bumi terpentang lebar. Mulutnya
menyeringai menyeramkan!
Sebelumnya Wiro telah menghadapi Mayat
Hidup Gunung Klabat dan menerima pukulan
dahsyat yang luar biasa panasnya. Dia juga
sempat menyaksikan bagaimana Mararanta
membunuh Ki Dukun Sura Manjangan hanya
sekali hantam saja. Mau tak mau dia harus
berjaga-jaga. Yang mengherankannya adalah
mengapa makhluk itu begitu cepat muncul kembali dan menghadangnya?!
"Ba... gus... ba... gus! Du... a... ma... nu...sia... ber... kom... plot... me... ni... pu... ku. Sa... tu... se... ge... ra... mam... pus... Sa...tu... nya... a... kan... men... da... pat... hu...ku... man... be... rat... da... ri... ku...!"
Mayat Hidup Gunung Klabat angkat tangan
kanannya. Serta merta hawa panas menebar
di tempat itu. Sambil menggerakkan pula
tangan kanannya Pendekar 212 berseru :
"Mararanta! Jika kau menyerangku dengan
pukulan sakti mengandung hawa panas itu
berarti kau akan membunuh istrimu sendiri!"
Wiro merasakan tubuh Minari menggigil di
atas dukungannya. Perempuan ini ketakutan
setengah mati. "Tenang saudari... janga takut. Jangan membuat gerakan apa-apa..."
berbisik Wiro.
Di hadapannya Mayat Hidup Gunung Klabat menyeringai. "Kau... be... nar... Is... tri...peng... khi... a... nat... itu... be... lum... sa...at... nya... ma... ti... A... ku... ha... rus...meng... hu... kum... nya... le... bih... du...lu... !"
"Kakak Mararanta!" Minari berseru seraya angkat kepalanya. "Aku tidak
mengkhianatimu. Aku..."
"Tu... run... da... ri... ba... hu... o... rang... i...tu... Ber... ja... lan... ke... a... rah... ku!"
Minari jadi bingung dalam takutnya. Ketika
dia hendak meluncur turun, Wiro segera
membentak : "Jangan dengar kata-katanya.
Sekali kau kembali kepadanya, kau tak akan
bisa diselamatkan lagi Minari!"
"Ma... nu... sia... be... jat...! A... pa... kau...tak... da... pat... pe... rem... pu... an... lain...ma... ka... me... la... ri... kan... is... tri... o...rang...?! Kau... sa... ma... sa... ja... be... jat...
nya... de... ngan... Pa... nge... ran... Ma...ta... ha... ri!"
"Aku tidak melarikan istrimu, Mararanta. Kau dan dia tak mungkin berkumpul lagi sebagai suami istri. Kau harus menyadari hal itu!"
menjawab Wiro.
"Kau... pan... dai... men... ca... ri... da... lih!
A... pa... ke... pen... ting... an... mu... men...cam... pu... ri... u... rus... an... ka... mi...sua... mi... is... tri..."
"Mararanta, kau sendiri mengetahui dirimu bukan manusia lagi, tapi mayat yang dihidupkan. Jika kau terus menginginkan Minari berada bersamamu, berarti kau akan
menyiksa dirinya dengan penderitaan dan rasa
takut seumur hidupnya. Atau kau memang
menginginkan kematiannya?!"
"Di... a... te... lah... ber... sa... lah... Ber...khia... nat... ter... ha... dap... ku. Ber... arti...me... mang... ha... rus... ku... bu... nuh. Ta...pi... se... ka... rang... be... lum... sa... at...
nya... Di... a... ha... rus... ku... hu... kum...le... bih... du... lu... IA... ku... su... dah...mem... ba... ca... su... rat... ra... ha... sia...yang... kau... ki... rim... kan... pa... da... Mi...
na... ri... Ka... lian... ber... dua... ma... sih...ma... u... ber... ke... lit...?!"
Wiro dan Minari terkejut bukan kepalang. Dan saat itu di hadapan mereka Mararanta terdengar menggereng keras. Tangan
kanannya bergerak, tetapi tidak menghantam atau melepaskan pukulan apa-apa.
Malah tubuhnya di lain kejap berkelebat
lenyap dan sedikit kemudian terdengar pekik
Minari. Wiro merasakan perempuan itu
terbetot dari atas bahunya. Maka tanpa
menunggu lebih lama Pendekar 212
menghantam ke arah bayangan Mayat Hidup
Gunung Klabat yang dilihatnya berkelebat di
depannya. Hawa panas menerpa. Tempat
yang gelap itu menjadi terang benderang
ketika pukulan sinar matahari menghantam
dahsyat menyilaukan!
Saat itu Mayat Hidup Gunung Klabat berhasil
menjambak rambut Minari. Dalam keadaan
menjerit-jerit perempuan ini dikempitnya di
ketiak kiri. Ketika pukulan sakti sinar
matahari menghantam ke arahnya, dia sama
sekali tidak berusaha menghindar ataupun
menangkis. Wiro jadi terkesima karena
khawatir pukulannya akan menciderai Minari.
Tiba-tiba Mararanta gembungkan mulut dan
meniup ke depan! Terdengar suara berdentum.
Tanah bergetar seperti dilanda lindu. Laksana
menghantam tembok baja yang atos pukulan
sinar matahari membalik menyapu ke arah
Pendekar 212!
"Ya Tuhan!" Murid Sinto Gendeng mengucap
keras. Jatuhkan diri ke tanah. Ketika pukulan
sinar matahari menyambar dengan ganas, tak
ada jalan lain untuk selamatkan diri.
Pendekar ini hantamkan kedua tangan bahkan
kedua kakinya ke atas.
Benteng topan melanda samudera! itulah
pukulan sakti yang dilepaskan Wiro untuk
menyelamatkan dirinya dari pukulan sinar
matahari yang tadi dilepaskannya sendiri.
Terjadilah satu hai yang hebat. Dua benturan
menggelegar susul menyusul di tempat itu.
Sosok Mayat Hidup Gunung Klabat terbanting
ke tanah. Minari yang dikempitnya di ketiak
kiri terlepas lalu terguling jatuh ke arah tanah
yang terjal. Begitu menyadari dirinya terlepas,
perempuan ini kumpulkan segala tenaga yang ada lalu lari sekencang-kencangnya.
Dia tak perduli ke arah mana larinya. Yang penting lari sekencang mungkin dan sejauh mungkin, terlepas dari cengkeraman
Mararanta. Bagaimanapun dia mencintai
lelaki itu, apalagi pernah pula menjadi
suaminya, namun kenyataan yang
dihadapinya kini serta keanehan yang
mengerikan yang terjadi atas diri lelaki itu
membuatnya tak ada jalan lain dari pada
berusaha menyelamatkan diri!
Minari lari terus sekencang yang bisa
dilakukannya sampai akhirnya kedua kakinya
terasa goyah dan dadanya sesak mendenyut.
Larinya kini tersaruk-saruk, akhirnya
perempuan ini tersandung dan jatuh
terjerembab. Sebelum tubuhnya mencium
tanah, satu tangan merangkul bahunya.
Minari berpaling lalu menjerit keras ketika
mengenali siapa adanya yang mencekal
dirinya. Perempuan ini akhirnya pingsan
dalam keadaan kehabisan tenaga dan sangat
takut!
Sambil bangkit terhuyung-huyung Mayat Hidup Gunung Klabat memandang berkeliling.
Minari dan Wiro Sableng sama sekali tidak kelihatan. Mayat hidup ini menggereng keras
dan kepalkan kedua tinjunya. Dia berkelebat kian kemari, mementang mata memasang
telinga. Tetap saja dia tidak menemukan
kedua orang itu. Juga tidak terdengar suara
apa-apa selain tiupan angin yang terasa
dingin, makhluk ini mendongak ke atas.
Hidungnya menghirup dalam-dalam.
"Di... a... ma... sih... be... lum... ja... uh...Ma... sih... be... lum... ja... uh..." Lalu Mayat Hidup Gunung Klabat berkelebat ke jurusan dimana dia bisa membaui tubuh Minari
karena sekian lama selalu saling berdekatan.
Apa yang terjadi dengan Pendekar 212 Wiro
Sableng? Ketika pukulan sinar matahari
datang menyapu dan dia menghantam dengan
pukulan benteng topan melanda samudera,
dua dentuman yang dahsyat membuat
tubuhnya terlempar jauh, terguling ke sebuah
jurang sedalam lima tombak di ujung
peladangan. Pakaiannya robek-robek, kulitnya
lecet dan luka berkelu-kuran. Dan begitu dia
terhempas di dasar jurang, pendekar ini
muntahkan darah segar. Sepasang tangan dan
kedua kakinya seperti lumpuh. Beberapa kali
dia mencoba bangkit tapi rubuh kembali.
Akhirnya dalam keadaan tak berdaya seperti,
itu, Wiro hanya bisa tergeletak menunggu
nasib. Dia tidak menyadari justru dengan
jatuh ke dalam jurang inilah dia selamat dari
tangan Mayat Hidup Gunung Klabat!
SEPULUH
PANGERAN MATAHARI MENGISAP pipa gading yang berisi tembakau bercampur candu itu panjang-panjang. Kedua matanya
sampai terpejam-pejam saking merasa
nikmat. Beberapa kali bola matanya berputar-putar kemudian dia berpaling pada
perempuan yang terbaring menelungkup
dalam keadaan tanpa busana di sebelahnya.
"Apa enaknya menghisap tembakau seperti
itu...?" bertanya perempuan itu. "Sulit
menerangkan. Kau harus mencobanya sendiri.
Mau?"
Yang ditanya menggeleng.
"Menghisap tembakau campur candu, jika
tahu takarannya yang tepat akan membuat
seseorang menjadi sehat dan perkasa... Kau
merasakan sendiri malam tadi bukan? Ha...
ha... ha... "
Perempuan itu menggigit bahu Pangeran Matahari lalu merangkul tubuh lelaki itu seraya berbisik : "Kau memang kuat sekali
Pangeran. Malam tadi... ah, malu aku mengatakan. Aku hampir-hampir menangis kewalahan..."
Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak mendengar ucapan itu. Lalu mencabut pipanya dan berkata : "Akupun tidak menyangka kau begitu hebat melayaniku,
Nyiruni. Biasanya aku hanya tinggal satu hari di Keraton ini. Tapi bersamamu, aku akan tambah satu hari lagi... Ha... ha... ha!"
"Kau suka tinggal di Keraton kecil ini?"
"Suka sekali, asal kau tetap berada disini Pangeran. Tidak meninggalkan aku sampai
berbulan-bulan..."
"Ah, aku orang banyak urusan dan
kepentingan..."
"Urusan dan kepentingan dengan perempuan- perempuan mu yang cantik-cantik lainnya...!"
kata Nyiruni seraya cemberut.
"Eh... kau yang paling cantik diantara semua perempuan yang kukenal. Dan paling ganas di
atas ranjang...!"
Mendengar ucapan itu Nyiruni langsung bangkit dan menindih tubuh sang Pangeran,
Terangsang oleh tubuh yang bagus dan mulus itu Pangeran Matahari letakkan pipa gadingnya di meja kecil di samping tempat tidur. Baru saja dia hendak menggumuli tubuh Nyiruni tiba-tiba diluar terdengar suara genta tiga kali berturut-turut. Pangeran Matahari terkejut dan angkat tubuh Nyiruni ke samping.
"Ada apa Pangeran...?"
"Jika penjaga menarik genta tiga kali
berturut-turut berarti ada bahaya mengancam
Keratonku!"
"Ah, siapa manusianya yang berani berbuat
macam-macam terhadapmu, Pangeran?
Biarkan saja para pengawalmu yang
menyelesaikan segala urusan diluar sana. Aku
ingin kita bersenang-senang, tidak turun dari
atas ranjang ini sampai besok pagi!"
Di luar sana kembali terdengar suara genta
tiga kali berturutturut. Pangeran Matahari
melompat dari atas ranjang, tidak perdulikan
panggilan manja penuh birahi Nyiruni. Dia
mengenakan pakaian hitamnya dengan cepat
lalu berpaling pada Nyiruni yang menelentang
bugil di atas ranjang. "Kau tetap disini.
Tunggu sampat aku kembali. Urusanku tak
akan lama!"
"Ennggg..." Nyiruni masih berusaha bermanja-
manja. Tapi sang Pangeran sudah melangkah
ke pintu sambil mengikatkan kain merah ke
keningnya.
Sesuai dengan sifatnya yang biasa
mengagulkan diri sebagai pendekar segala
cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik
dan segala congkak, Pangeran Matahari tidak
langsung menuju ke bagian depan Keraton
kecil yang terletak di rimba belantara di kaki
bukit Rasikembar di selatan Imogiri. Dia justru
pergi ke bagian belakang Keraton lalu
melompat ke atas atap bangunan. Dari sini
dia akan dapat melihat dengan jelas segala
sesuatu yang ada di halaman Keratonnya.
Tapi begitu dia berada di atas atap, kagetlah
sang pangeran. Seorang pemuda berambut
gondrong yang tak asing lagi dilihatnya
duduk bersila enak-enakan di atas atap
sambil mengunyah sebuah jagung bakar.
Sebuah jagung lagi dipegangnya ditangan kiri.
"Kurang ajar, jadi kau rupanya yang hendak
membuat keributan di tempat kediamanku!
Apa masih belum kapok...? Apa sudah begitu
ingin buru-buru mampus pendekar
sableng...?!"
Pemuda gondrong berpakaian putih robek-
robek serta banyak bekas luka di tubuh dan
wajahnya, tersenyum lebar dan angkat tangan
kirinya yang memegang jagung. Dengan mulut
masih penuh dia berkata: "Tenang... jangan
cepat-cepat naik darah Pangeran! Bukan aku
yang mau membuat keonaran disini! Tapi ada
orang lain! Dan aku mau menyaksikan
bagaimana dia akan membantai tubuhmu!"
"Keparat! Apa maksudmu Pendekar 212?!
Siapa orang yang katamu hendak
membantaiku itu?!" bentak Pangeran Matahari
dengan marah hingga rahangnya tampak
menonjol dan pelipisnya bergerakgerak.
"Ssst... Jangan bicara keras-keras. Nanti
kedengaran si tukang bantai itu!" ujar pemuda
berpakaian putih yang bukan lain adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng. "Ini, kau makan
dulu jagung bakar ini.
Rasanya enak, manis gurih dan masih panas!"
Lalu seenaknya Wiro lemparkan jagung yang
di tangan kirinya ke arah Pangeran Matahari.
Karena lemparan jagung itu mengarah ke
mata kanannya dan jika dibiarkan bisa
mencelakai dirinya, mau tak mau Pangeran
Matahari terpaksa cepat-cepat menyambuti
jagung bakar itu dengan mata membeliak,
"Sudah, makan saja dulu jagung itu! Kalau
perut kenyang, tentu kau akan lebih senang
menghadapi musuh yang datang!" ujar Wiro
pula lalu tertawa mengekeh tapi perlahan-
lahan.
"Bangsat!" maki Pangeran Matahari. Jagung
bakar yang dipegangnya di tangan kanan
hendak dibantingkannya ke atas atap.
Tapi tangannya ditarik kembali. Lalu seperti
orang kelaparan jagung bakar itu
digerogotinya dengan cepat. Sebentar saja
jagung itu hanya tinggal bonggolnya!
"Nah, begitu baru hebat!" Wiro acungkan
jempol tangan kirinya.
"Sekarang kau majulah ke ujung atap sana.
Kau akan melihat siapa pembantai yang
sedang menunggumu di halaman Keraton!"
Masih dengan mata melotot dan rahang
menggembung, Pangeran Matahari melangkah
ke ujung atap. Wiro jatuhkan tubuhnya sama
rata dengan atap ketika Pangeran Matahari
melompatinya. Begitu sampai di ujung atap
dan memandang ke halaman di bawahnya,
terkejutlah Pangeran Matahari menyaksikan
pemandangan di bawah sana!
Empat orang pengawal Keraton bergeletakan
di tanah. Dua dengan kepala pecah, dua lagi
dengan dada dan perut jebol! Bukan kematian
empat pengawal itu yang membuatnya
terkesiap. Tapi justru dia melengak ketika
melihat siapa yang berdiri diantara empat
mayat! "Aneh, aku tidak mendengar pekik
mereka! Dan orang yang tegak diantara
mayat-mayat itu...?" Pangeran Matahari usap
matanya sampai pedas.
"Mararanta Tangkario! Mana mungkin! Ki
Dukun, Sura Manjangan bukankah sudah
membunuhnya beberapa waktu lalu...?"
Pangeran Matahari seolah bicara pada dirinya
sendiri.
"Dukunmu yang pandai mengirimkan golok
terbang pembunuh sampai ke seberang lautan
itu sudah digasaknya sampai mampus
beberapa hari lalu, Pangeran...!" Satu suara
terdengar disamping sang Pangeran. Tanpa
berpaling Pangeran Matahari sudah tahu
kalau yang bicara adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng.
"Bagaimana kau bisa tahu?!" Pangeran
Matahari bertanya tidak percaya.
"Aku menyaksikannya sendiri!" sahut Wiro.
"Dia sudah mampus! Mana mungkin bisa
hidup lagi!"
"Dia memang sudah mampus! Lihat bekas
luka bacokan yang mematikan di lehernya
serta darah kering yang menodai pakaiannya.
Itu pertanda bahwa dukunmu itu memang
telah menyelesaikan tugasnya membunuh
manusia bernama Mararanta Tangkario itu.
Namun ada satu kekuatan lain diluar akal
manusia yang mampu menghidupkannya.
Ingat kejadian beberapa waktu lalu? Dialah
yang telah menghancurkan rumah papan
milikmu lalu melarikan Minari! Saat ini kau
lihat sendiri, perempuan yang jadi istrinya itu
didukungnya di bahu kiri!"
"Bangsat! Dulu dia melarikan diri ketika
kuhajar habis-habisan! Kalau dia memang
mayat yang dihidupkan. Rupanya hendak
minta mati kedua kali!"
"Pangeran, jangan menganggap enteng
lawanmu itu. Dulu di masih merupakan
manusia biasa. Saat ini mungkin setengah
setan setengah iblis! Kau tak bakal menang
menghadapinya. Itulah sebabnya tadi
kuberikan jagung bakar itu agar kau bisa mati
dengan perut kenyang! Di liang kubur atau di
neraka tak ada yang akan memberikan
makan, apalagi jagung bakar segurih itu
padamu. Ha... ha... ha...!"
"Sialan, anjing kurap!" maki Pangeran
Matahari. "Kau saksikan bagaimana aku akan
melumat tubuh mahluk itu bersama istrinya!
Kalau keduanya sudah mampus, giliranmu
akan kuhajar sampai bangkaimu hanya
tinggal tulang dan daging tak berbentuk!"
"Ah, mauku kau mampus di tanganku
Pangeran. Tapi buat apa bercapai tangan
kalau ada yang lebih mampu melakukannya.
Aku hanya tinggal menonton saja! Ha... ha...
ha!"
"Keparat kau, Pendekar 212! Kau tunggu
giliranmu! Jangan kabur dari sini!"
Sehabis mendamprat begitu Pangeran
Matahari langsung melompat turun ke
halaman Keratota kecil. Gerakannya sebat
kedua kakinya menyentuh tanah tanpa
mengeluarkan suara sedikitpun. Begitu
berhadapan dengan Mararanta Tangkario,
Pangeran Matahari langsung menyapu orang
itu dengan pandangan mata tajam dan ketika
melihat bagaimana disiang bolong itu kedua
kaki Mararanta Tangkario sama sekali tidak menginjak tanah, berdesirlah darah Pangeran Matahari.
"Jadi benar yang kulihat ini bukan manusia!"
"Pa... nge... ran... Ma... ta... ha... ri! Kau...ber... ha... sil... mem... bu... nuh... ku... se...ca... ra... ke... ji... pe... nge... cut... Si... ang...i... ni... a... ku... da... tang... un... tuk... me...ngam... bil... nya... wa... mu"
Mayat Hidup Gunung Klabat langsung
membuka mulut begitu melihat Pangeran
Matahari berada di hadapannya. Sang
Pangeran tentu saja tercekat ketika
mendengar suara orang itu. Aneh mengerikan.
Tapi kecongkakannya masih bisa membuatnya
ajukan pertanyaan.
"Katakan dulu kau ini benar mayat hidup yang gentayangan untuk menuntut balas...?"
"Kau... ti... dak... bu... ta... Ke... ja... ha...tan... mu... sa... ngat... ke... ji... Kau... men...cu... lik... is... tri... ku... mem... per... ko...sa... nya..."
"Lalu apakah saat ini kau datang untuk mengantarkan istrimu, menyuguhkannya padaku? Ha... ha...! Aku tidak perlu lagi
perempuan busuk itu Mararanta! Nikmatilah sendiri olehmu!"
"Ma... nu... sia... dur... ja... na... ber... da...rah... bi... na... tang... ber... ha... ti... ib... lis A... jal... mu...su... dah... sam... pai...!"
Mayat Hidup Gunung Klabat lalu meniup keras-keras dan bersamaan dengan itu tangan kanannya dihantamkan ke arah Pangeran Matahari.
Kagetlah sang Pangeran ketika merasakan bagaimana halaman itu berubah seperti dibakar kobaran api. Hawa.panas yang luar
biasa disertai dorongan yang dahsyat membuatnya berteriak keras, melompat setinggi tiga tombak, lalu dari atas dia
lepaskan pukulan sakti bernama pukulan Gerhana Matahari!
SEBELAS
SINAR KUNING, MERAH DAN HITAM berkiblat,
menderu ke arah Mayat Hidup Gunung Klabat.
Bumi seperti dipanggang saking panasnya.
Siapa saja yang kena tersambar angin
pukulan sakti itu pastilah akan hangus
tubuhnya. Kalau sampai terkena telak maka
dia akan mati dengan tubuh gosong! Namun
Mayat Hidup Gunung Klabat tidak perdulikan
serangan berbahaya yang bisa membawa
maut itu. Udara panas yang keluar dari
serangan lawan baginya suatu hal yang
biasa. Malah ketika tiga sinar itu menyambar
tubuhnya, dia jentikan lima jarinya ke udara.
Lima sinar putih terang benderang
menyambar ganas.
Bummm! Bummm! Buuuummmm!
Terdengar suara ledakan tiga kali berturut-
turut ketika tiga dari lima sinar terang yang
keluar dari jari-jari tangan Mayat Hjdup
Gunung Klabat menghantam berantakan tiga
sinar sakti pukulan Gerhana Matahari yang
dilepaskan Pangeran Matahari. Sisa dua sinar
lagi terus menyambar mencari sasaran di
tubuh sang Pangeran.
Kaget Pangeran Matahari bukan olah-olah.
Dengan muka pucat dan berseru tegang dia
jatuhkan diri ke tanah, lewat diantara dua
sambaran sinar serangan lawan lalu
bergulingan di tanah. Waktu bergulingan dia
sengaja membuat gerakan menyamping.
Pertama agar dapat melihat gerakan lawan
berikutnya, kedua karena dia ingin cepatcepat
membereskan lawan ganas itu dengan
pukulan sakti berikutnya yakni pukulan
Telapak Merapi.
Pangeran Matahari berguling sambil angkat
kedua tangannya yang mengepal. Lalu
mendorong dalam gerakan perlahan.
Terdengar suara bersuit keras. Mayat Hidup
Gunung Klabat tersentak ketika ada dua hawa
sakti yang luar biasa panasnya tanpa
kelihatan bayangan atau sinarnya menggebu
menelikungnya. Yang pertama menerpa ke
arahnya, yang kedua menyambar ke arah
Minari yang ada di bahu kirinya.
Melihat orang hendak mencelakai istrinya,
marahlah Mayat Hidup Gunung Klabat.
Tangan kanannya diangkat ke atas, lututnya
menekuk. Tubuhnya yang seperti membungkuk
itu tiba-tiba berputar seperti titiran,
bersamaan dengan itu tangan kanannya
menghantam tiga kali,berturut-turut.
Terdengar suara menggelegar susul menyusul.
Di udara tampak tiga kilatan menyilaukan
laksana petir menyambar. Dua menghantam
pukulan sakti Pangeran Matahari, yang ketiga
melabrak ke arah sang Pangeran sendiri.
Meskipun Pangeran Matahari masih sanggup
menyelamatkan diri dari serangan maut itu,
namun tubuhnya terbanting tunggang-
langgang oleh gelegar dahsyat tadi. Dia jatuh
terkapar di tanah dengan dada mendenyut
sakit dan wajahnya yang angkuh kini tampak
sepucat kertas.
Kilatan seperti petir yang ke tiga lewat diatas
tubuh Pangeran Matahari, terus menghantam
atap Keraton kecil dimana Pendekar 212
berada. Atap yang terbuat dari genting itu
hancur berantakan dan Pendekar 212 sendiri
tak ampun lagi terperosok jatuh ke dalam
bangunan Keraton.
Hebatnya murid Sinto Gendeng ini jatuh tepat
di jurusan kamar Pangeran Matahari, tepat di
atas ranjang dimana saat itu Nyiruni masih
terbaring bugil sambil enak-enakan
menyantap sebuah jeruk besar. Karuan saja
perempuan cantik ini terpekik kaget sementara
Pendekar 212 Wiro Sableng juga tak kalah
kejutnya. Tapi begitu melihat wajah cantik
tanpa pakaian itu diapun tertawa lebar.
Perempuan ini pastilah salah satu perempuan
penghibur Pangeran Matahari, pikir Wiro.
"Siapa kau...?" tanya Wiro.
"Kau yang siapa?!" balik bertanya Nyiruni
dengan suara keras dan setengah ketakutan
karena masih belum hilang kagetnya.
"Aku salah seorang pengawal Pangeran. Saat
ini dia tengah berkelahi melawan musuh kelas
berat. Dia minta aku menjagamu. Kau tak
perlu takut. Tampangku tidak lebih jelek dari
Pangeran itu, bukan?"
"Memang kau... hem... Kau lebih ganteng dari
Pangeran Matahari. Tapi bajumu kotor, robek-
robek dan tubuhmu dekil..." jawab Nyiruni.
"Ah, kalau begitu aku perlu mandi dulu. Ada
kamar mandi di tempat ini...?" tanya Wiro.
Lalu enak saja dia membuka baju putihnya.
Nyiruni hendak mendamprat. Tapi begitu
melihat tubuh sang pendekar yang kekar
penuh otot serta ada rajah 212 di dadanya,
perempuan yang pada dasarnya memang
bangsa jalang ini diam saja.
Dia menunjuk ke sebuah pintu berwarna
kuning muda dan berkata: "Dibalik pintu itu
ada sebuah kolam. Kau boleh membersihkan
dirimu disana. Tapi awas. Sekali Pangeran
mengetahui perbuatanmu ini, jantungmu akan
dibetotnya!"
Wiro tertawa sambil garuk-garuk kepala. Dia
lari menuju pintu kuning dan membukanya.
Betul saja, di balik pintu itu terdapat sebuah
ruangan berbentuk kebun kecil. Di tengah
kebun ada sebuah kolam dan di atas kolam
ada sebuah pancuran yang selalu
mengucurkan air jernih dan sejuk. Murid Sinto Gendeng tanggalkan pakaiannya lalu mencebur masuk ke dalam kolam. Dia baru
saja membasahi kepalanya ketika tiba tiba pintu kuning terbuka dan seseorang masuk.
Pendekar 212 terbelalak.
"Jika Pangeran mengetahui perbuatanmu, bukan jantungku yang dibetotnya, tapi jantungmu yang akan dicopotnya!" kata Wiro.
Lalu sepasang kaki mulus Nyiruni masuk ke dalam kolam. "Edan diluar sana orang berkelahi mati-matian, kita disini..."
"Kita juga mati-matian...!" jawab Nyiruni lalu membenamkan tubuhnya ke dalam air.
KETIKA PENDEKAR 212 keluar dari dalam
Keraton menuju ke halaman depan dilihatnya
perkelahian antara Mararanta Tangkario alias
Mayat Hidup Gunung Klabat melawan
Pangeran Matahari berkecamuk dengan hebat.
Sang Pangeran telah menghujani lawannya
dengan pukulan-pukulan sakti namun
jangankan membuat lawan roboh, bahkan
dirinya semakin lama semakin terdesak!
"Heran, ilmu dan kekuatan iblis apa yang
dimiliki si Mararanta ini?!" pertanyaan itu
selalu muncul dalam hati Pangeran Matahari.
Setelah belasan jurus menyerang dan
menghantam satu hal yang tak pernah
dilakukannya selama ini dalam menghadapi
berbagai musuh maka akal licik mulai muncul
di benak Pangeran Matahari. Dia sengaja
mendesak dengan serangan berantai, ketika
Mayat Hidup membalas dengan ganas,
Pangeran Matahari sengaja mentalkan dirinya
sambil menjerit keras lalu roboh berguling-
guling di tanah.
Wiro Sableng terbeliak menyaksikan kejadian
itu. "Ah... akhirnya sampai juga ajalnya desis
Wiro. Lalu dilihatnya Mayat Hidup Gunung
Klabat bergerak mendekati sosok tubuh
Pangeran Matahari yang terkapar di tanah
sambil masih terus mendukung tubuh Minari
yang berada dalam keadaan pingsan. Namun
ketika hanya tinggal satu langkah dari
hadapan tubuh Pangeran Matahari, tiba-tiba
tubuh itu bergerak. Sang Pangeran yang
diam-diam telah menyiapkan diri dengan
tenaga cfalam penuh, hantamkan kedua
tangannya. Tangan kiri melepas pukulan
Gerhana Matahari sedang tangan kanan
lepaskan pukulan Merapi Meletus!
"Bang... sat... Ii... cik!" teriak Mayat Hidup
Gunung Klabat. Mulutnya meniup dan tangan
kanannya dihantamkan kebawah!
Desss!
Bukkk!
Bummm... bummm!
Tanah dan pasir beterbangan. Sebuah lobang
besar lagi kelihatan di halaman Keraton itu.
Mayat Hidup Gunung Klabat terpental dua
tombak. Tapi hebatnya dia tidak cidera
sedikit-pun bahkan Minari yang didukungnya
tidak terlepas seolah-olah menempel ke
bahunya.
Sebaliknya Pangeran Matahari tampak
terkapar menelentang. Dadanya seperti
ditusuk besi-besi tajam. Dia sadar kalau
pukulan lawan, walaupun agak meleset telah
mematahkan beberapa tulang iganya! Sekujur
tubuhnya mendadak sontak dijalari hawa
panas. Dadanya mendenyut sakit. Dan saat
itu dilihatnya Mayat Hidup Gunung Klabat
melangkah menghampirinya!
"Kalau dia menghantam, aku tak punya daya
untuk menghindar. Apa yang dikatakan
Pendekar 212 memang benar! Makhluk ini
memiliki kekuatan dan kesaktian luar biasa.
Ah... tamatlah riwayatku hari ini...!"
Pangeran Matahari berpaling ke arah
Pendekar 212 Wiro Sableng. Saat itu
dilihatnya pendekar itu tegak di depan tangga
Keraton sambil mengangkat kedua tangannya
ke atas. Dua telapak tangan dikembangkan
lalu diputar.
"Apa pula yang dikerjakan pendekar sableng
itu. Aku sudah mau dibantai orang, dia masih
saja berbuat yang bukan-bukan!" rutuk
Pangeran Matahari.
Putaran kedua tangan Wiro mula-mula
perlahan. Lalu makin lama makin kencang,
makin kencang dan udara di tempat itu
mendadak mengalami perobahan! Hawa
dingin disertai tiupan angin yang seperti
seruling menggantikan udara yang tadinya
terasa panas. Mayat Hidup Gunung Klabat
yang dasar kesaktiannya adalah hawa panas,
kini merasakan tubuhnya jadi menggigil.
Kedua kakinya menjadi berat untuk
dilangkahkan. Semakin dipaksanya, semakin
beringas dan marah dia maka semakin keras
hawa dingin menerpa dirinya. Sekujur
badannya basah kuyup oleh cairan sedingin
es yang kemudian seperti membeku membuat
dia tak bisa menggerakkan bagian tubuhnya
lagi. Dicobanya meniup. Otot mulutnyapun
ternyata sudah kaku! Lain halnya dengan
Pangeran Matahari.
Walaupun dirinya kini terlepas dari ancaman
maut Mayat Hidup Gunung Klabat, namun
keadaan Pangeran Matahari lebih tersiksa. Di
sebelah luar sekujur tubuhnya seperti beku
dilapisi cairan dingin. Sebaliknya di sebelah
dalam ada hawa panas menggarang akibat
pukulan Mayat Hidup Gunung Klabat tadi.
Setiap nafas yang ditariknya membuat
dadanya mendenyut sakit. Dari mulutnya
terdengar suara menggigil diseling oleh suara
mengerang kesakitan. Apakah sebenarnya
yang terjadi. Dari mana datangnya hawa
dingin, yang membungkus tubuh Mayat Hidup
dan Pangeran Matahari itu?
Seperti diketahui, dari sang guru Eyang Sinto
Gendeng, Pendekar 212 Wiro Sableng
mendapat warisan beberapa pukulan sakti.
Salah satu diantaranya adalah pukulan aneh
yang tidak langsung ditujukan pada lawan,
tetapi dilakukan demikian rupa hingga udara
secara tiba-tiba menjadi sangat dingin dan
lawan akan menjadi kaku dibawa tindihan
udara dingin itu. Tubuhnya akan basah kuyup
oleh lapisan air sedingin es! Ilmu pukulan itu
yang bernama angin es itulah yang
dikeluarkan oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.
Karena baik Mayat Hidup maupun Pangeran
Matahari memiliki dasar kesaktian yang sama
yaitu bertumpu pada hawa panas, maka
dengan sendirinya keduanya tidak terbiasa
dengan hawa dingin. Akibatnya mereka akan
lebih cepat dikuasai oleh pukulan angin es
yang membuat Pangeran Matahari jatuh
pingsan dalam keadaan kaku sementara
Mayat Hidup berubah menjadi mayat kaku tak
kuasa bergerak, tak kuasa berbicara. Minari,
yang berada dalam keadaan pingsan dan tak
tahu apa-apa itu terbungkus air es. Pada saat
keadaan seperti itulah tiba-tiba ada sosok
tubuh melayang laksana orang berjalan di
atas awan atau di balik kabut. Orang ini
kelihatan samar-samar sekali, antara ada dan
tiada. Dia mengenakan baju putih dengan
panjang celana putih gombrong. Rambutnya
yang putih mehjela bahu melambai-lambai di
tiup angin.
"Pendekar muda, cukup sudah kau memberi
pelajaran pada cucuku. Harap kau suka
menghentikan serangan hawa sedingin salju
ini!"
Yang bicara ternyata adalah orang tua yang
kelihatan samarsamar. Suaranya seperti
datang dari jauh tetapi cukup jelas. Wiro
memandang ke jurusan si orang tua.
"Manusia bayangan... Siapa kau adanya?!"
Wiro bertanya. "Kau menyebut seseorang
sebagai cucumu. Siapa...? Mararanta
Tangkario alias Mayat Hidup Gunung Klabat
itu...?"
"Benar sekali pendekar muda..."
Wiro melangkah lebih dekat. "Astaga... Ke dua
matamu buta, orang tua! Dan sosok tubuhmu
bukanlah sosok tubuh sebenarnya... Apakah
kau juga sebangsa mayat hidup?!"
"Tidak, aku bukan mayat hidup seperti cucuku
ini. Aku hanya mengandalkan kekuasaan dari
Tuhan untuk mengirimkan bayang-bayang
tubuhku ke tempat ini..."
"Luar biasa!" ujar Wiro sambil goleng-goleng
kepala.
Orang tua itu tersenyum. "Bagi Tuhan tak ada
yang luar biasa, anak muda. Namaku
Walalangi... Aku datang untuk membawa cucu
dan sekaligus muridku ini kembali ke
Minahasa..."
"Dan juga membawa perempuan di atas
bahunya itu...?"
Si orang tua gelengkan kepala. "Justru
disitulah letak kesalahan cucuku satu ini.
Tujuannya untuk datang ke tanah Jawa
adalah untuk membalaskan sakit hati dendam
kesumat pada manusia bernama Pangeran
Matahari itu. Namun dia membawa serta
maksud lain yang menyalahi aturan..."
"Apakah itu...?" tanya Wiro.
"Aku katakan sejujurnya. Pertama dia ingin memiliki kembali perempuan yang perhah jadi istrinya. Padahal itu tak mungkin terjadi karena mereka berada di dua alam yang berbeda. Kedua setelah memiliki kesaktian
luar biasa dalam hati kecil cucuku ada terniat keinginan untuk menguasai dunia persilatan
di tanah Jawa ini. Padahal... janji semula begitu urusannya selesai dia harus kembali ke bentuknya semula. Kembali ke alamnya
semula, alam barzah... Karena telah
melanggar perjanjian, saat ini dia tak mampu lagi melakukan pembalasan terhadap Pangeran Matahari..."
Orang tua itu tersenyum dan gelengkan kepalanya. "Tuhan lebih tahu dari kita tentang segala urusan dendam kesumat. Kita
manusia jangan sekali-kali merasa lebih pandai dari Tuhan. Aku merasa menyesal
telah memenuhi permintaan cucuku ini, juga
permintaan istrinya yang di Minahasa. Yaitu
agar rohnya bisa dibangkitkan lagi untuk
melakukan pembalasan
"Orang tua, kalau kau ingin membawa
cucumu itu kembali, lebih cepat akan lebih
baik... Kasihan rohnya berada dalam keadaan
seperti ini..." kata Wiro pula.
Walalangi mengangguk. Dia mengusap
punggung. Minari. Dari tubuh perempuan itu
keluar kepulan asap tanda ada hawa panas
yang dialirkan si orang tua ke tubuh Minari.
Saat itu juga hawa dingin serta cairan es
yang membungkus tubuh Minari menjadi
pupus dan terdengar suara perempuan itu
mengerang. Walalangi menurunkan tubuh Minari dari atas bahu Mararanta Tangkario lalu menyerah-kannya pada Wiro seraya berkata : "Bawalah dia pergi dari tempat ini.
Penderita-annya sudah cukup banyak..."
Wiro mendukung Minari yang masih belum siuman sepenuhnya itu di bahu kirinya. Lalu dilihatnya si orang tua mengusap punggung
Mararanta Tangkario. Kembali ada asap yang mengepul. Sosok Mayat Hidup itu tampak bergerak. Lalu si orang tua cepat memegang.
Bahunya dan berkata: "Cucuku Mararanta, saatmu untuk kembali ke puncak Klabat..."
Mayat Hidup itu anggukkan kepala. Lalu sesaat dia berpaling ke arah Minari dan pandangi kepala perempuan itu. Wiro jadi
terkesiap ketika dia melihat dari kedua mata Mayat Hidup ada air mata yang jatuh berderai. Melihat kejadian ini mau tak mau hatinya menjadi luruh karena haru. Mayat
saja masih punya perasaan, mengapa manusia tidak...? Itu yang terpikir dalam hati Pendekar 212 saat itu.
"Cucuku... saatnya kau pergi..." terdengar suara orang tua bernama Walalangi.
Mayat Hidup Gunung Klabat perlahan-lahan memutar tubuhnya. Lalu dalam gerakan seperti melayang sosoknya berkelebat ke udara, makin tinggi, makin tinggi dan akhirnya lenyap. Si orang tua menarik nafas lega, dia berpaling pada Wiro dan berkata.
"Giliranku minta diri..." Lalu dia menjura dalam-dalam. Wiro membalas dengan menjura lebih dalam.
Ketika dia meluruskan badannya kembali, orang tua itu sudah tak ada lagi disitu. Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya.
"Ilmu mengirimkan bayang-bayang tubuh yang dimiliki orang tua itu sungguh luar biasa..." katanya sambil geleng-geleng kepala. "Banyak orang sakti mandraguna di tanah Jawa ini, namun tanah lain ternyata juga menyimpan rahasia kesaktian yang aneh-aneh dan sulit dicari tandingannya.
Benar kata orang-orang persilatan, di luar langit masih ada langit lagi!"
Wiro melangkah tinggalkan bagian depan Keraton kecil. Ketika sampai di hadapan Pangeran Matahari yang pingsan karena kesaktian hawa dingin yang tadi dilepas oleh Wiro, murid Sinto Gendeng ini tersenyum.
"Pangeran, walau saat ini telingamu tidak mendengar, antara kita berdua kini sudah impas. Kau tidak membunuhku ketika aku pingsan dihantam Mayat Hidup Gunung Klabat itu. Dan sekarang akupun tidak membunuhmu ketika kau pingsan. Di lain hari, jika kita bertemu lagi ceritanya tentu lain lagi..."
Lalu sang pendekar memandang ke arah Keraton. Terbayang olehnya wajah dan tubuh Nyiruni yang saat itu tentu masih terbadai tertidur keletihan. Wiro menyengir sendiri lalu lanjutkan langkahnya.
sampai jumpa di episode berikutnya
Komentar
Posting Komentar