maut bernyanyi di pajajaran




WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
EP :MAUT BERNYANYI DI PAJAJARAN
********************


Di bawah terik panasnya matahari di siang
bolong itu maka bertiuplah angin kencang dan
gersang. Debu pasir di pedataran beterbangan
ke udara, memekat tebal, menutup
pemandangan beberapa saat lamanya.
Suara siulan aneh yang melengking-lengking
membawakan lagu tak menentu terdengar di
lereng bukit di ujung pedataran. Siulan aneh
ini seperti mau menerpa dan menumbangkan
hembusan angin gersang yang datang dari
pedataran. Tiba-tiba sekali suara siulan aneh
ini terhenti! Sebagai gantinya
mengumandangkan suara tertawa mengekeh
di seantero bukit.
Pemuda berpakaian putih yang ada di puncak
bukit saat itu memandang ke samping.
Sebelum jelas telinganya menangkap suara
tertawa tadi sejenis cairan harum telah
melesat ke arahnya. Kalau saja dia tidak
cepat-cepat melompat ke belakang pastilah
sebagian mukanya kena disambar cairan itu.
Cairan yang tak mengenai si pemuda baju
putih rambut gondrong ini menghatam pohon
besar. Bukan olah-olah hebatnya semburan
cairan aneh tadi itu!….
Si pemuda sendiri kejutnya bukan kepalang.
Baru saja setengah harian berjalan tahutahu
sudah ada orang lain yang inginkan
nyawanya! Dia memandang ke arah
datangnya semburan cairan aneh tadi. Baru
saja dia palingkan kepala mendadak dari atas
menderulah ratusan tetes cairan tadi laksana
air hujan yang deras ditiup badai!
Pemuda itu berseru nyaring dan hantamkan
tangan kanannya ke atas. Ratusan tetes
cairan itu muncrat kembali ke atas dan
ratusan lagi menyibak ke samping. Daun-daun
pohon tembus berlubang-lubang sedang
batang-batang kayu seperti kena tusukan
paku! Gelak mengekeh menggema lagi di
seantero puncak bukit. Anehnya si pemuda
belum juga dapat mencari dengan matanya,
manusia yang telah mengeluarkan suara
tertawa itu. Padahal jelas dekat sekali
kedengarannya. Hatinya penasaran sekali.
Sambil garuk kepala dia memandang
berkeliling. Kedua matanya kemudian tertuju
lekat-lekat pada sebatang pohon raksasa
yang tinggi menjulang ke langit, mungkin
lebih dari tiga puluh meter tingginya. Suara
tertawa itu datang dari atas pohon tapi
orangnya masih tak kelihatan. Mungkin
tertutup oleh daun-daun pohon yang
lebarlebar dan lebat.
"Manusia di atas pohon!," bentak pemuda itu:
"Kalau berani buka urusan, berani unjuk diri!"
Sehabis berkata begitu pemuda itu pukulkan
telapak tangan kanannya ke atas. Serangkum
angin yang dahsyatnya laksana topan
melanda pohon raksasa itu. Ranting dan
cabang berpatahan. Daun-daun berguguran.
Hampir sekejapan mata saja maka pohon
raksasa yang menjulang ke langit itu sudah
menjadi ranggas gundul! Dan di puncak
batang pohon yang masih utuh kelihatanlah
duduk seorang laki-laki tua berselempang
kain putih. Karena tingginya pohon itu
tampangnya tak kentara betul. Tapi
jenggotnya yang panjang sampai ke dada
dilihat jelas berkibar-kibar ditiup angin
gersang dari pedataran. Pada pangkuannya
ada sebuah bumbung bambu yang
panjangnya sekira satu meter. Bumbung
bambu seperti itu masih ada satu iagi
tergantung di belakang punggungnya. Dan
kedua bumbung bambu itu berisi tuak murni
yang harum sekali dan lezat rasanya. Tuak
itulah tadi yang telah disemburkannya kepada
pemuda yang di bawah pohon! Pukulan
tangan kosong si pemuda yang telah
meluruhkan cabang-cabang dan daun-daun
pohon mau tak mau akan membuat mental si
orang tua berjanggut putih diatap pohon.
Sekurangkurangnya akan membuat terluka
tubuhnya di sebelah dalam. Tapi anehnya
saat itu si janggut putih tetap saja duduk
enak-enak berpangku kaki di puncak pohon
yang gundul itu, bahkan sambil meneguk
tuaknya dan tertawa-tawa, seakan-akan tak
ada terjadi apa-apa! Bukan main geramnya
pemuda itu. Tapi untuk bertindak gegabah dia
tidak mau. Manusia tua di puncak pohon
tinggi berjanggut putih dengan dua buah
bumbung tuak itu pernah diceritakan oleh
gurunya waktu dia masih di puncak Gunung
Gede. Dia adalah seorang pendekar sakti dari
empat puluh tahun yang lalu jarang
memperlihatkan diri dan dia adalah golongan
persilatan putih, artinya yang mempergunakan
ilmu silat dan kesaktian untuk maksudmaksud
baik. Tapi mengapa tadi dia telah
mempergunakan tuaknya untuk menyerang
adalah tidak dimengerti si pemuda rambut
gondrong.
"Orang tua!" seru si pemuda. Bibirnya
bergetar tanda ucapannya disertai tenaga
dalam agar dapat sampai ke puncak pohon
raksasa yang tingginya lebih dari tiga puluh
meter.
"Kalau aku tidak salah lihat bukankah hari ini
aku berhadapan dengan seorang tokoh
terkenal di dunia persilatan yang digelari
Dewa Tuak?" Orang tua di puncak pohon elus
jenggotnya sebentar, teguk tuak lalu tertawa
lagi macam tadi.
"Orang muda! Matamu sangat tajam dapat
mengenali aku yang sudah delapan puluh
tahun ini! Tapi apakah kau mau terima
undanganku untuk datang ke puncak pohon
ini dan meneguk tuak harum dari Kahyangan
bersamaku?" Begitulah. Dewa Tuak
menamakan tuaknya dari
"kahyangan". Memang soal rasa dan
harumnya tuak itu sukar dicari tandingan. Si
pemuda tersenyum.
"Orang tua, kau baik sekali. Hari ini aku ada
keperluan mendesak. Mungkin di lain kali aku
bisa terima undanganmu…. Terima kasih atas
kebaikanmu dan sungguh senang rasanya
dapat kenal dengan seorang tokoh persilatan
yang selama ini namanya dikenal di delapan
penjuru angini"
"Ah, kau keliwat memuji, orang muda," jawab
Dewa Tuak pula.
"Aku sudah lihat kau sejak dari ujung
pedataran gersang sana. Kutunggu kau
sampai kesini. Tapi sampai di hadapanku kau
menolak undanganku. Mungkin tuakku ini
kurang baik? Tidak harum.. .?" Si pemuda
berpikir sebentar. Agaknya tak menjadi
halangan kalau dia menerima undangan Dewa
Tuak dan bicara-bicara dengan orang tua itu
di puncak pohon. Mulutnya dikatup rapat-
rapat, kedua tangan mengembang ke samping
dan kedua kaki menghenjot bumi maka
laksana seekor elang melayanglah pemuda itu
ke puncak pohon. Puncak pohon itu selebar
meja bundar luasnya. Meski tidak beranting
dan bercabang serta tak berdaun lagi namun
ditempat setinggi itu sejuk juga rasanya.
"Aku terima undanganmu. Dewa Tuak," kata si
pemuda seraya duduk disatu bagian yang
menonjol bekas patahan cabang pohon.
"He… he… he…," Dewa Tuak girang sekali.
"Memang tak ada ruginya menerima
undanganku orang muda. Tuak enak, tempat
duduk bagus. Seantero daerah sini bisa kau
tihat dengan jelas!" Memang ketika duduk di
atas pohon itu si pemuda dapat melihat
pemandangan indah sejauh mata
memandang. Dewa Tuak segera ambil salah
satu bumbung tuaknya dan memberikannya
pada tamunya.
"Kau biasa minum tuak, anak muda?". Si
pemuda itu menjawab.
"Pernah juga". Padahal seumur hidupnya baru
hari itu dia melihat dan membual serta akan
merasakan minuman yang bernama tuak itu.
Disambutinya bumbung bambu itu dari tangan
Dewa Tuak sementara Dewa Tuak mengambil
bumbung yang satu lagi dia masih juga
berpura-pura menikmati pemandangan
sekelilingnya.
"Ayo orang muda, silahkan minum!". Dewa
Tuak memperbasakan:
"Kau harus tahu, tuakku tuak murni. Kalau
belum biasa nanti kau bisa mabuk atau
pusing dan menggelinding dari pohon ini!" Si
pemuda tertawa. Ditempelkannya bibimya ke
tepi bumbung bambu. Sedikit saja tuak itu
menjalari tenggorokannya maka seluruh
badannya menjadi hangat, pemandangannya
menjadi jernih sedang pikirannya terasa
tenang!
"Bagaimana rasanya?".
"Tuakmu betul-betul bagus sekali, orang tua.
Tak salah kalau kau namakan tuak dari
kahyangan!" Dewa Tuak tertawa senang.
"Kau ini datang dari mana, anak muda?".
"Barusan dari Jatiwalu…".
"Jatiwalu kampung jelek. Banyak rampok…,"
kata Dewa Tuak pula.
"Dan rampoknya orang situ-situ juga" Si
pemuda berpikir kalau Dewa Tuak tahu apa
yang terjadi di Jatiwalu kenapa dia tidak
turun tangan? Dewa Tuak agaknya maklum
apa yang terpikir oleh si pemuda. Lantas dia
berkata:
"Aku malas dan bosan dengan urusan-urusan
tengik macam begituan. Karenanya kubiarkan
saja apa yang terjadi di kampung itu. Orang
kampung sana agaknya tidak mau perduli
dengan nasib mereka. Lebih senang ditindas.
Nanti keadaan di sana akan baik sendirinya…"
Dewa Tuak meneguk tuaknya kembali. Setelah
diam beberapa lamanya bertanyalah si
pemuda:
"Dewa Tuak, apakah pohon besar ini tempat
kediamanmu?"
"Kenapa kau tanya begitu?"
"Karena kalau betul berarti aku yang muda
telah turun tangan semena-mena membuat
pohon ini jadi gundul begini! Dan aku harus
haturkan maaf kepadamu… !" Dewa Tuak
tertawa mengekeh sampai tuaknya berlelehan
di tepi mulut.
"Aku senang pada pemuda macammu. Tak
percuma satu tahun aku duduk di sini
menunggu. Kau cocok buat jodoh muridku!"
Dewa Tuak meneguk tuaknya lagi tapi sambil
meneguk matanya melirik pada si pemuda.
Akan tetapi si pemuda tentu saja kagetnya
tiada terkira, mendengar ucapan DewaTuak
itu. Mukanya merah karena jengah. Rupanya
dunia ini terlalu banyak manusia-manusia
aneh, pikirnya. Diteguknya sedikit lagi tuak
harum dalam bumbung. Kemudian bumbung
bambu itu diserahkannya kepada pemiliknya
kembali.
"Dahagaku sudah lepas Dewa Tuak. Tuakmu
enak sekali. Aku ucapkan terima kasih dan
sekarang aku minta diri untuk meneruskan
perjalanan.,.."
"Ah, orang muda, matahari masih belum
bergeser, angin masih sejuk dan
pemandangan indah masih banyak yang
belum kau lihat. Kenapa musti kesusu?". Si
pemuda tersenyum.
"Kurasa sudah cukup. Di lain hari jika ada
kesempatan aku yang muda ini pasti akan
membalas undangan serta suguhan tuakmu
yang enak itu…". Dewa Tuak letakkan kedua
bumbung tuaknya di pungggung. Ditepuknya
bahu pemuda itu.
"Kau tak boleh pergi anak muda. Kau musti
ketemu dulu dengan muridku. Kau berjodoh
dengan dia! Mari kita turun!". Dewa Tuak
menarik lengan si pemuda dan keduanya
loncat turun ke tanah laksana dua ekor
burung rajawali. Tapi sampai di tanah si
pemuda segera lepaskan tangannya yang
dipegang dengan halus. Dia menjura hormat:
"Lain kali kita bertemu lagi, Dewa Tuak.
Terima kasih atas suguhanmu!" Tapi baru
saja si pemuda berlalu beberapa tombak,
tubuhnya sudah terhenti dan tertarik ke
belakang kembali. Seutas benang sutera halus
telah melilit pinggangnya. Ternyata Dewa
Tuaklah yang empunya benang itu dan
menariknya.
"Anak muda, aku sudah bilang kenapa buru-
buru. Kau belum ketemu dengan muridku…
Mari…" Kalau bukan berhadapan dengan Dewa
Tuak mungkin si pemuda sudah keluarkan
semprotan memaki. Namun saat itu dengan
menahan hati berkatalah si pemuda:
"Dewa tuak, kita baru saja berkenalan hari ini.
Manusia bodoh dan jelek macam aku ini mana
pantas dijodohkan dengan seorang murid
pendekar besar macam kau! Masih banyak
lain orang yang lebih pantas!" Pemuda itu
hendak berlalu lagi tapi benang sutera halus
itu masih juga meliliti pinggangnya. Meneliti
sutera halus itu si pemuda bukan tak mampu
untuk memutuskannya. Tapi dia khawatir itu
akan membuat Dewa Tuak tidak bersenang
hati. Sementara itu didengarnya Dewa Tuak
mengeluarkan Suara suitan aneh. Sesosok
bayangan ungu muncui di hadapan pemuda
itu dan nyatanya adalah seorang gadis
berpakaian ungu dan berpita ungu. Metihat
paras gadis ini mau tak mau pemuda rambut
gondrong itu tertarik juga.
"Orang muda? Kau lihat sendiri. Muridku toh
tidak jelek?! Bagaimana…?" Paras si pemuda
jengah sekali. Gadis baju ungu lebih lagi.
Ditundukkannya kepalanya sampai dagu dan
dadanya hampir menempel.
"Muridmu memang cantik Dewa Tuak," kata si
pemuda.
"Tapi tampangku yang terlalu buruk sehingga
tidak cocok! Sebaiknya cari pemuda yang dia
sukai sendiri. Dewa Tuak. Selamat tinggal!"
Habis berkata demikian si pemuda sentil
benang sutera yang melilit pinggangnya.
Benang itu putus!
"Pemuda geblek! Dikasih perawan malahan
kabur!," maki Dewa Tuak. Dia berseru:
"Hai pemuda! Tunggu dulu! Kau masih belum
terangkan nama!". Orang tua ini keluarkan
segulung tali rotan dan dilemparkannya ke
arah pinggang pemuda yang tengah larikan
diri. Si pemuda yang tahu dirinya hendak
dilibat kembali pukulkan telapak tangan
kanannya ke belakang. Sesiur angin kencang
menderu deras, menahan lontaran tali rotan,
terus menyambar ke arah si orang tua. Dewa
Tuak terpaksa loncatkan diri ke atas karena
maklum angin yang datang menyambar itu
bukan angin biasa. Sambaran angin
memberantakkan semak-belukar rendah
kemudian menghantam pohon kayu besar.
"Krak" Tak ampun lagi pohon raksasa itu
tumbang patah dua dengan suara berisiknya
hampir terdengar di seluruh lereng bukit. Dewa
Tuak geleng-gelengkan kepalanya.
"Sayang… sayang…," katanya.
"Sayang aku tak dapatkan itu pemuda…".
Ketika dia memasukkan tali rotannya ke balik
pakaiannya, orang tua ini terkejut. Pada
bagian pohon besar yang masih berdiri di
tanah tapi akar-akarnya hampir berserabutan
ke luar, kelihatan tertera tiga buah angka 212.
Dewa Tuak memandang pada gadis baju ungu
disampingnya lalu memandang lagi pada tiga
buah angka dibatang pohon dan leletkan
lidah kemudian merenung. Tiga deretan angka
itu telah menggemparkan dunia persilatan
pada dua puluh tahun yang lalu. Tiga deretan
angka yang berarti maut bagi kaum persilatan
itu golongan hitam! Apakah kini angka 212 itu
telah muncui kembali?! Dunia persilatan pasti
akan gempar seperti masa dua puluh tahun
yang lalu! Tapi yang menjadi tanda tanya
besar di kepala Dewa Tuak saat itu ialah
siapa adanya pemuda gagah tadi. Apakah dia
muridnya Eyang Sinto Gendeng? Kalau betul
berarti munculnya kembali seorang tokoh
gagah dengan gelar:
"Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…"!
Dewa Tuak palingkan kepala pada anak
muridnya.
"Anggini! Kau telah lihat kehebatan itu
pemuda. Kau musti cari dan kejar dia! Musti
dapat! Kalau tidak dapat jangan kembali
kepertapaan…"
"Tapi guru…"
"Tidak ada tapi-tapian. Anggini! Kejar
pemuda itu. Kau … dengan jalan apa pun
musti bisa ambil dia jadi kawan hidupmu
karena dia akan menguasai dunia persilatan
dalam waktu yang singkat!" Anggini si gadis
baju ungu berdiri termanggu.
"Tunggu apa lagi?" tanya gurunya. Gadis ini
tak bisa berkata apa-apa lagi melainkan
segera meninggalkan tempat itu ke jurusan
lenyapnya si pemuda yang telah menerakan
angka 212 pada batang pohon! – == 0O0 == -
Sang surya sudah lama bergeser ke ufuk
barat. Warnanya yang tadi demikian terik
menyilaukan kini memudar merah kekuningan
seperti tiada sanggup menahan diinya
dirampas oleh kedatangan sore. Sore yang
akan dirampas oleh senja dan senja yang
akan bertekuk lutut di pintu malam. Jalan
yang ditempuh pemuda itu semakin sukar.
Berliku dan menanjak. Di kiri kanan
senantiasa mengapit batu karang putih yang
tiada berubah dari zaman ke zaman atas
kerasnya. Mendadak dari puncak batu karang
di sebelah timur melengking suara suitan
aneh yang menusuk sepasang gendang-
gendang telinga si pemuda. Dengan waspada
pemuda ini putar kepala dan mendongak ke
atas. Puncak karang itu tingginya sekira dua
puluh lima tombak. Curam dan terjal sukar
didaki. Tapi mata si pemuda yang tajam
dapat melihat bekas cungkilan-cungkilan
pada sepanjang lereng karang mulai dari
bawah sampai ke atas. Cungkilan-cungkilan
itu merupakan tangga penolong. Meski
demikian, jangan harap manusia biasa bisa
mempergunakannya. Sekali tergelincir tubuh
akan amblas ke bawah, ditunggu oleh
unggukan batu karang runcing!
Suara suitan aneh itu terdengar lagi lebih
keras dan nyaring dari yang pertama. Dan
sesaat mata si pemuda berputar kembali ke
puncak batu karang itu dia terkejut melihat
kemunculan seorang tua bermuka brewok
yang kaki kanan dan tangan kanannya
buntung. Anggota badan yang buntung ini
disambung dengan kayu. Pada ujung kayu
dari lengan menancap sebuah benda
berbentuk arit yang bergemerlap ditimpa sinar
matahari di ambang sore itu! Di tangan
kirinya ada sebuah tongkat biru dari besi
murni. Karena puncak karang di mana
manusia berewok ini berdiri tinggi sekali maka
si pemuda tak dapat mengenali dengan jelas
potongan muka orang ini, apalagi tertutup
berewok. Hanya samar-samar bisa dilihatnya
bahwa manusia ini adalah seorang tua yang
bertampang angker. Melihat kepada berewok
yang memenuhi mukanya keraslah hati si
pemuda bahwa dia sudah dekat ketempat
tujuannya. Mungkin juga sudah sampai.
Dipandang tajam-tajam demikian rupa, si
muka angker berewok juga memandang pada
si pemuda secara tajam menyorot. Tapi
sebegitu jauh tidak buka suara. Si pemuda
yang menjadi tak sabar lambaikan tangan dan
menjura hormat sedikit.
"Orang tua, aku yang muda ini mau tanya
apakah ini jalannya ke Gua Sanggreng?!".
Orang yang ditanya kerutkan kening.
"Bocah gondrong, apakah kau yang dijuluki
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…?!".
Pemuda yang berada di bawah batu karang
terkejut sekali. Siapakah orang tua berewok
bermuka angker ini? Apakah guru atau kakak
seperguruannya Bergola Wungu yaitu musuh
yang telah mengundangnya untuk datang ke
Gua Sanggreng?.
"Aku merasa tak ada orang yang menjuluk
demikian, orang tua…!," menyahuti si pemuda
yang tak lain dari Wiro Sableng adanya. . Si
muka berewok masih memandang menyorot
pada pemuda itu. Memang adalah tak dapat
dipercayanya kalau pemuda ini adalah
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 karena
angka 212 telah menggetarkan dunia
persilatan pada dua puluh tahun yang lalu.
Tapi ciriciri yang diterangkan muridnya
tentang pemuda ini cocok betul. Akhirnya si
berewok bersuit lagi. Kali ini suara suitannya
lain dari dua kali tadi. Dan sesaat kemudian
muncullah sosok tubuh berpakaian hitam.
Orang ini mukanya juga berewok dan Wiro
dapat mengenalinya sebagai orang yang dulu
telah menantangnya yaitu Bergola Wungu!
Kini dia yakin bahwa si kaki buntung itu
punya sangkut-paut erat dengan Bergola
Wungu. Dari bawah dilihatnya kedua orang itu
bercakap-cakap sedang si buntung sekali-kali
menunjuk-nunjuk dengan tongkat birunya ke
arah Wiro. Tiba-tiba mengumandanglah tawa
bergelak dari si kaki buntung. Daerah sekitar
situ seperti dirobek oleh suara tertawanya.
Sambil tertawa diketuk-ketukkannya tongkat
di tangan kirinya ke atas batu karang. Batu
karang itu bergetar dan bagian yang kena
ketuk lebur menjadi pasir! Kemudian kedua
mata orang tua buntung itu kembali
memandang tajam pada Wiro Sableng.
"Kalau kau bukan Pendekar 212 palsu
pastilah kau muridnya si Sinto Gendeng…: Ah,
kiranya kau tak ubah seperti bocah-bocah
ingusan lainnya. Tak ubah seperti gurumu
sendiri! Bego dan keblinger…!"
"Jaga mulutmu, orang tua!," bentak Wiro
marah karena gurunya dimaki. Tapi diamdiam
dia juga heran kalau si muka berewok yang
satu ini tahu nama gurunya. Melihat kepada
umur mungkin kira-kira dia seumur dengan
Eyang Sinto Gendeng. Berewok buntung itu
tertawa lagi. Tongkatnya diketuk-ketukkannya
lagi.
"Muridku Bergola Wungu bicara terlalu hebat
tentang kau. Tapi setelah berhadapan muka
nyatanya kau hanya kosong melompong!
Tadinya mendengar kematian tiga muridku
aku ingin mengajaknya bertempur sampai
seratus jurus. Hendak kupecahkan kepalanya
dengan tongkat biru besi murni ini! Tapi
nyatanya dia adalah seorang bocah pitit,
masih pantas ngempeng! Pakai baju pun
belum becus! Pendekar potongan macammu
ini sekali aku ayunkan tongkat saja pasti
sudah kelojotan!" Panas hati Wiro Sableng
tiada terkirakan. Darah mudanya menggeru
dalam pembuluhnya.
"Orang tua!," serunya.
"Bicaramu terlalu sombong! Apakah kau tahu
bahwa semut itu sanggup mengalahkan
gajah? Apakah kau juga tahu bahwa manusia
itu bisa terpeleset oleh sebutir batu kecil
berlumut…?!" Si berewok kaki buntung tertawa
dingin.
"Barangkali kau belum tahu kebalikan
ucapanmu itu, orang muda! Tahukah kau
bahwa semut itu sekali dipijak oleh gajah
akan mejret amblas ke dalam tanah?!
Tahukah kau kerikil kecil itu kalau ditendang
akan mental jauh tiada daya?" Wiro Sableng
keluarkan suara mendengus dari hidung.
"Kadangkala manusia keliwat pintar jadi
bicara terbalik-balik macam kau!," sahutnya.
"Tapi tak apa… aku tak ada urusan dengan
kau. Biar aku bicara dengan Bergola Wungu!".
Si orang tua tertawa berkekeh.
"Jangan sebut soal tak ada urusan, geblek!
Muridku mati tiga orang…"
"Bukan aku yang bunuh…!".
"Tapi kau turut bertanggung jawab!" Menukas
Bergola Wungu.
"Buset!," kata Wiro."Di depan hidung gurumu
kau bisa buka bacot keras Bergola! Aku sudah
datang untuk menerima tantanganmu!"
Bergola Wungu tertawa mengejek.
"Ini bukan Gua Sanggreng, Wiro! Bukan di sini
ajalmu harus kau pasrahkan!"
"Keren betul kau Bergola! Manusia kalau
sudah lupa nasib memang persis macam kau!
Kau tahu bahwa kau dulu anak kampung
Jatiwalu kentut?! Yang sekarang punya sedikit
ilmu lantas jadi kepala rampok! Tapi lantas
menantang aku dengan lari kepada gurunya?
Kalau aku jadi kau lebih baik terjun dari atas
puncak karang itu ke bawah, mampus bunuh
diri!" Merah muka Bergola Wungu sampai ke
telinga dan ke kuduk. Mulutnya terkatup
rapat. Gerahamnya bergemeletakkan. Namun
tak ada suara jawaban dari dia. Maka
berkatalah si berewok tua kaki buntung.
"Bocah 212, karena kau bicara begitu congkak
tentu kau punya sedikit ilmu yang diandalkan.
Aku yang sudah tua ingin sekali bertukar
pengalaman!". Wiro Sableng tertawa-tawa.
"Kau yang sebenarnya congkak orang tua!
Apakah umurmu yang sudah bangkotan itu
masih belum cukup puas untuk melakukan
pertempuran? Tapi kalau kau berkeras hati
mau iseng-iseng tukar pengalaman katamu,
aku yang muda tidak keberatan…." Wiro
gosok-gosokkan telapak tangannya satu sama
lain
"Tapi aku ingin tahu nama dan siapa kau
lebih dahulu.:..". Si orang tua kembali tertawa
macam tadi yang menggetarkan seantero
daerah batu karang itu.
"Aku adalah penghuni Gua Sanggreng yang
sudah empat puluh tahun malang melintang
dalam rimba persilatan! Kau dengar itu
bocah? Dan kalau kau perlu tahu namaku…
akulah yang bernama Bladra Wikuyana Angin
Topan Dari Barat!".
Tentu saja Wiro Sableng terkejut mendengar
nama asli serta nama julukan si berewok kaki
buntung itu karena dari gurunya dia mengenai
bahwa Angin Topan Dari Barat adalah satu
tokoh persilatan sakti yang memimpin sebuah
perguruan di Jawa Barat, yang namanya
cukup tenar tapi dicurigai adalah kaki tangan
golongan hitam (golongan jahat). Namun
demikian pemuda ini sama sekali tidak
unjukkan paras kecut. Malah dia tertawa
bergelak:
"Julukanmu hebat juga, orang tua! Tapi
setahuku angin itu hanyalah satu benda
kosong belaka dan berbau busuk bila ke luar
dari pantat!" Bladra Wikuyana bersuit marah.
"Bocah setan! Kau berani kurang ajar
terhadap Angin Topan Dari Barat! Terima
ini…!".
"Wuuuuuutt"! Tongkat birunya disapukan ke
bawah! – – == 0O0 == - Angin sedahsyat
topan melanda Pendekar 212. Pemuda ini
balas dengan hantaman tangan ke udara
mengirimkan putaran lengan yang
mengandung serangkum angin puyuh! Hal
yang hebat sekali terjadilah. Dua pukulan
angin yang sama mengeluarkan suara
mengaung itu begitu bentrokkan menimbulkan
letupan udara yang kerasnya bukan kepalang.
Bukit-bukit dan puncakpuncak, karang
bergetar. Semak-belukar dan pohon-pohon
rambas ke tanah. Pukulan angin puyuh Wiro
Sableng telah membuyarkan pukulan angin
topan dari tongkat Bladra Wikuyana. Namun
demikian Wiro Sableng masih kena juga
diterpa kipratan angin pukulan lawan
sehingga sesaat tubuhnya menjadi limbung
huyung! Bladra Wikuyana terbeliak kaget.
Hantaman tongkat birunya tadi telah
mempergunakan hampir sepertiga bagian
tenaga dalamnya. Dia sudah memastikan
kalau tidak mampus pastilah sekurang-
kurangnya pemuda itu kelojotan muntah
darah! Tapi kepastiannya itu tidak
berkenyataan. Di bawahnya Wiro Sableng
ditihatnya masih berdiri utuh! Maka
berserulah Bladra Wikuyana:
"Orang muda! Ilmumu cukup bagus untuk
diandalkan! Aku tunggu kau di Perguruan Gua
Sanggreng!" Habis berkata begitu manusia ini
menarik lengan Bergola Wungu. Sekejapan
saja guru dan murid itu lenyap dari
pemandangan Wiro Sableng. Si pemuda garuk
kepala.
"Tongkat itu hebat sekali!," katanya dalam
hati. Tapi dia tak menunggu lebih lama.
Segera dia lompatkan diri ke atas puncak
karang yang tingginya puluhan tombak itu.
Puncak karang itu ternyata licin sekali. Kalau
saja ilmu meringankan tubuhnya dari kelas
rendahan pastilah kakinya akan tergelincir!
Wiro memandang berkeliling mencari jejak ke
mana larinya kedua orang tadi. Matanya yang
tajam segera menangkap bayangan Bladra
Wikuyana dan muridnya di balik karang
sebelah Timur. Tanpa buang waktu Pendekar
212 segera lompat ke karang yang terdekat.
Laksana seekor rajawali demikianlah dia
melompat kian kemari sampai akhirnya orang
yang dikejamya itu lenyap di sebuah jurang
batu karang yang dalam sekali! Wiro berdiri di
tepi jurang batu itu, memandang ke bawah.
Untuk melompat turun tidak mungkin. Jurang
itu dalamnya lebih dari seratus tombak.
Berarti tidak mungkin pula Bladra Wikuyana
dan Bergola Wungu lenyap turun ke jurang
batu itu. Tapi tiba-tiba Wiro melihat sebuah
tangga tali yang kuat di tepi jurang sebelah
Selatan. Segera dia menuju ke sana dan
memeriksa tangga tali itu. Dia berpikir
sebentar, kemudian dengan cepat menuruni
tangga tali. Bagian bawah jurang batu itu
hampir merupakan pedataran batu yang
sedikit sekali tetumbuhannya. Penuh waspada
Pendekar 212 segera memeriksa keadaan.
Tiba-tiba menggema suara suitan dari arah
Utara yang dibalas pula oleh suara suitan dari
arah barat. Wiro segera menuju ke Barat!
Sementara itu di atas jurang, sesosok tubuh
yang sudah sejak lama menguntit Wiro
Sableng hentikan langkahnya dekat tangga
tali, tak berani terus ikut menuruni tangga tali
itu. Wiro berdiri di balik sebuah batu karang
berbentuk pilar. Sekurang-kurangnya batu
karang itu bisa menjadi tameng baginya dari
musuh yang menyerang dengan diam-diam.
Dari balik batu berbentuk pilar ini dia
memandang ke muka. Tepat di antara dua
batang kayu besar yang sangat rendah maka
beberapa puluh tombak di mukanya dilihatnya
sebuah gua besar. Kemudian didengarnya lagi
suara suitan. Kali ini dari sebelah
belakangnya. Suitan ini disambut oleh suitan
yang menggema ke luar dari dalam gua.
Pemuda ini menunggu dengan tidak sabar. Ke
mana perginya kedua orang tadi? Apakah
masuk ke dalam gua itu? Dan apakah gua Itu
yang bernama Gua Sanggreng? Lalu apakah
saat itu dia sudah berada di Perguruan Gua
Sanggreng? Tiba-tiba terdengar suara suitan
yang lebih hebat dari suitan-suitan tadi. Dan
Wiro melihat dari mulut gua ke luar dua lusin
manusia, semuanya laki-laki, ada yang
berewokan ada yang tidak dan semuanya
mengenakan pakaian hitam dengan ikat
pinggang kain putih. Pada pinggang masing-
masing tersisip sebatang tongkat biru yang
sama bentuknya dengan milik Bladra
Wikuyana. Keduapuluh empat orang itu
membentuk dua barisan panjang mulai dari
mulut gua sampai ke pelataran batu. Tak
lama kemudian muncullah Bladra Wikuyana
diiringi oleh Bergola Wungu.
"Pendekar Kapak Naga Geni 212 tak usah
sembunyi di balik pilar! Keluarlah!," seru
Bladra Wikuyana. Pemuda itu segera ke luar
dari balik tiang batu karang dan berdiri
waspada di ujung pelataran.
"Angin Topan Dari Barat! Sandiwara atau tari-
tarian apakah yang akan kau pertunjukkan
kepadaku?!" Bladra Wikuyana tertawa hambar.
"Dasar manusia tolol! Ajal sudah di depan
mata masih juga mau jadi badut! Tahukah
kau bahwa siapa-siapa yang sudah masuk ke
mari berarti tak ada lagi jalan keluar! Berarti
mampus di sini?!". Wiro Sableng menyengir.
Katanya:
"Kalau begitu kalian semua di sini juga
samasama ikut mampus dengan aku!".
Kembali Bladra Wikuyana tertawa hambar.
Ditepukkannya kedua tangannya.
"Turunkan tangga tali," perintahnya. Dua
orang anak murid Perguruan Gua Sanggreng
segera melaksanakan tugas itu.
Bladra Wikuyana berkemik.
"Tangga tali telah diturunkan berarti umurmu
semakin singkat. Tapi ada syarat jika kau
kepingin hidup terus…"
"Apa?" tanya Wiro Sableng kepingin tahu.
"Berlutut minta ampun di hadapanku dan
bergabung denganku!". Wiro Sableng tertawa
meledak.
"Muridmu Bergola Wungu menantang aku
datang kemari untuk bertempur! Tahutahu kini
diajak bergabung, disuruh berlutut malah!
Enak betul bikin aturan…!"
"Kalau begitu kau datang ke sini betul-betul
untuk antarkan jiwa!" kata Bladra Wikuyana
pula. Habis berkata begini dia bertepuk
tangan satu kali.
"Bereskan dia dengan gebrakan enam tongkat
merenggut nyawa!" bentak Bladra Wikuyana
dengan geram sekali. Maka enam orang
muridnya segera melompat mengurung
Pendekar 212 dengan tongkat di tangan.
"Ketahuilah:.." kata Bladra Wikuyana pula.
"Yang akan kalian hajar itu adalah seorang
bocah yang mengaku bergelar Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212! Mulai!" Bladra
Wikuyana bersuit keras. Keenam muridnya
juga bersuit keras dan dengan serentak
menyerang Wiro Sableng! Enam larik sinar
biru mengambang di udara kian ke mari
dalam gerakan yang sangat tak menentu,
mengeluarkan suara bersiuran dan
kesemuanya menyerang pendekar bertangan
kosong itu. Wiro lompat ke udara dan
berteriak:
"Angin Topan Dari Barat! Kerapa anak
muridmu yang tak ada sangkut paut dengan
aku kau suruh.maju? Apa kau tidak punya
nyali?!". Biadra Wikuyana menyahut dengan
membentak:
"Kalau kau ada urusan dengan salah seorang
di sini berarti kau berurusan dengan
Perguruan Gua Sanggreng…!" Saat itu keenam
murid Perguruan Gua Sanggreng melompat
pula ke udara dan menyerang Wiro Sableng
dengan sebat. Tapi dengan pergunakan jurus:
Belut Menyusup Tanah, maka Pendekar 212
yang diserang oleh mereka telah berdiri di
pelataran batu kembali. Maka bentrokkanlah
enam tongkat biru itu di udara!
"Tolol," makl Bladra Wikuyana pada murid-
murudnya:
"Aku beri kesempatan tiga jurus lagi pada
kalian! Kalau tak berhasil merubuhkan
bangsat itu kalian musti mundur dan terima
hukuman!". Ternyata gebrakan enam tongkat
merebut nyawa yang dikeluarkan enam murid
Perguruan Gua Sanggreng tadi tidak mampu
merubuhkan Pendekar 212. Kini karena takut
terima hukuman dari guru mereka, keenamnya
segera putar tongkat dengan sebat dan
lancarkan enam tusukan pada enam bagian
tubuh Wiro Sableng!
"Ciaaat!" Bentakan dahsyat menggema dan
menggetarkan jurang batu itu. Bulu-bulu
tengkuk anak-anak murid Perguruan Gua
Sanggreng meremang, bukan saja oleh
kedahsyatan bentakan tadi tapi juga
menyaksikan bagaimana enam kawan mereka
kini berdiri kaku tegang di tengah pelataran
karena tubuh masing-masing sudah kena
ditotok lawan. Sedang Pendekar 212 berdiri
saat itu berdiri tenang-tenang bahkan bersiul-
siul! Rasa tak percaya membuat Bladra
Wikuyana buka matanya lebar-lebar. Dan
hatinya merutuk. Tiba-tiba dicabutnya
tongkat birunya dari pinggang dan
disapukannya ke muka. Keenam tubuh
muridnya berpelantingan laksana daun kering
tapi sekaiigus angin topan dashyat yang
keluar dari tongkat ampuh itu telah
melepaskan keenamnya dari totokan!
Kemudian Pemimpin atau Ketua Perguruan
Gua Sanggreng itu berkata pada Bergola
Wungu:
"Kau majulah, pimpin semua muridku yang
ada di sini! Bentuk-lingkaran pasang surut!".
Mendengar ini Bergola Wungu segera
melangkah ke muka seraya cabut golok
panjang dan bersuit keras tiga kali berturut-
turut. Maka dua puluh empat manusia
berpakaian hitam-hitam dengan tongkat di
tangan di bawah pimpinan Bergola Wungu
yang memegang golok panjang segera
membentuk dua lapis lingkaran yang disebut
lingkaran pasang surut, mengurung Wiro
Sableng di tengah-tengah. Gilanya, yang mau
diserang malah tetap berdiri tenang-tenang,
kemak kemik dan sambil bersiul-siul. Tiba-
tiba Bergola Wungu bersuit nyaring. Maka
berputarlah barisan lingkaran yang sebelah
dalam ke kiri sedang barisan lingkaran
sebelah luar berputar ke kanan. Mula-mula
lambat pelahan kemudian makin lama makin
kencang, makin kencang sampai tubuh kedua
puluh empat. manusia berpakaian hitam itu
tidak jelas iagi, hanya merupakan bayang-
bayang. Debu yang menutupi pelataran
menggebu ke atas dan sambil berputar-putar
itu Bergola Wungu dan kawankawannya tiada
henti berteriak melengking-lengking. Karena
putaran dua barisan lingkaran itu makin cepat
dan saling berlawanan serta diiringi lengking
pekik hiruk pikuk yang memekakkan dan
mengacaukan pikiran lambat laun kedua
pandangan mata Pendekar 212 menjadi
berkunang. Kepalanya terasa pusing. Dia
tertegun beberapa jurus lamanya. Dan dua
baris lingkaran itu kini kelihatan semakin
menciut mendekatinya! Bergola Wungu
melihat lawan muiai terpengaruh dengan
bentakan lantang menyerbu dan tebaskan
goloknya ke kepala lawan yang terkurung
ditengah lingkaran. Serangan ini datangnya
secara pengecut yaitu dari belakang! Dan Wiro
Sableng dalam tertegunnya itu masih juga
bersiul-siul seperti orang lupa diri! – == 0O0
== - Dia hanya merasakan datangnya
sambaran angin dari arah belakang. Lalu
cepat-cepat menggeser kaki ke muka, bergerak
ke samping dan sambil bungkukkan diri
balikkan badan! Golok panjang Bergola
Wungu lewat satu setengah jengkal di atas
kepalanya, mengibarkan rambutnya yang
gondrong!
"Dasar pengecut! Sudah main keroyok
menyerang dari belakang!," bentak Wiro
Sableng. Kedua tangannya bergerak ke muka
untuk merampas golok lawan. Namun hampir
hal itu terlaksana, tahu-tahu dua belas ujung
tongkat menderu menyerang kedua lengannya.
"Sialan!" maki Pendekar 212 dan terpaksa
tarik pulang tangannya sambil hantamkan
kaki membabat ke arah beberapa orang
pengeroyok dari barisan sebelah muka.
Mereka yang diserang tendangan kaki
anehnya tidak melakukan sesuatu apa, tapi
tiba-tiba dari belakang menyeruak kawan-
kawan mereka dari barisan kedua, dan
menangkis tendangan Wiro Sableng. Sejurus
kemudian barisan muka kembali menyerang
dengan dua belas tongkat biru mengarah
pada dua belas bagian tubuh Wiro Sableng!
Sementara itu dari atas laksana alap-alap
golok Bergola Wungu kembati membabat! Ini
lah kehebatannya lingkaran pasang surut!
Ciptaan Bladra Wikuyana! Dua tahun dia
melatih murid-muridnya untuk betul-betul
memahami jurus tersebut. Meski belum begitu
sempurna tapi hasilnya tidak mengecewakan!
Sambil senyumsenyum dia berdiri menunggu
saat di mana matanya akan menyaksikan
tubuh Wiro Sableng terpancung belasan
senjata muridnya, telinganya bakal mendengar
pekik kematian pemuda itu! Tapi tiada
kelihatan, Pendekar 212 terpancung meregang
nyawa di tengah pelataran itu! Tiada
terdengar pekik kematian Wiro Sableng!
Dengan kecepatan luar biasa yang tiada
terlihat oleh mata Bladra Wikuyana maka
tahu-tahu Wiro Sableng sudah berada di luar
serangan anakanak muridnya, berdiri dengan
tenang dan kembali bersiul-siul! Sebenamya
pemuda bermata tajam ini sudah dapat
melihat di mana letak kelemahan barisan
lingkaran pasang surut yang mengeroyoknya
saat itu. Dengan merobohkan dua atau tiga
orang pengeroyok dari salah satu barisan
maka pastilah lingkaran pasang surut itu
akan menjadi kacau balau! Bisa juga
sebagian atau seluruh pengeroyoknya
ditumpasnya dengan hantaman pukulan angin
puyuh atau dinding angin berhembus tindih
menindih! Tapi ini pemuda inginkan cara lain
yang lebih disukainya sendiri. Maka
berserulah Pendekar 212.
"Angin Topan Dari Barat! Apakah kau pernah
iihat manusia dipakai jadi senjata untuk
menyerang manusia…?!"
"Bocah gila! Jangan banyak bacot! Nyawamu
sudah di depan hidung! Anak-anak ciutkan
lingkaran dalam sepertiga jurus!," teriak
Bladra Wikuyana dengan penasaran sekali.
Siulan Pendekar 212 tiba-tiba lenyap berganti
dengan suara tertawa aneh yang menegakkan
bulu tengkuk. Tubuhnya berkelebat tak
kelihatan. Dan tiba-tiba pula Bergola Wungu
merasakan kedua pergelangan kakinya
dicengkeram erat sekali. Dicobanya untuk
meronta dan menendang tapi cengkeraman itu
laksana japitan besi tak mungkin untuk
di1epaskan. Sementara itu tubuhnya menjadi
limbung dan terasa terangkat ke atas!
Dicobanya membabatkan goloknya! Terdengar
satu pekikan! Pekikan kawannya sendiri yang,
kemudian roboh mandi darah! Sesudah itu
Bergola Wungu tak tahu apa-apa lagi! Wiro
Sableng dengan tertawanya yang aneh
memegang erat-erat kedua pergelangan kaki
Bergola Wungu lalu memutar tubuh manusia
itu laksana kitiran! Pekik jerit serta seruan-
seruan tertahan terdengar di mana-mana!
Barisan lingkaran pasang surut hancur
berantakan. Beberapa orang yang masih tak
mau menyingkir dan terpukau oleh
kedahsyatan itu terpaksa dihantam kitiran
dari tubuh Bergola Wungu! Belasan anak
murid Perguruan Gua Sanggreng bergeletakan
di pelataran batu karang dalam keadaan
tubuh luka-luka parah tanpa nyawa. Suara
erangan terdengar tiada hentinya. Yang masih
hidup yaitu sekira sembilan orang menyingkir
jauh-jauh ke dinding batu karang. Suara
tertawa Pendekar 212 berhenti.
"Angin Topan Dari Barat! Ini terima bangkai
muridmu!". Tubuh Bergola Wungu yang tadi
dibuat menjadi kitiran untuk melabrak kawan-
kawannya sendiri melesat ke arah Bladra
Wikuyana. Orang tua ini lambaikan tangan
kirinya dan tubuh Bergola Wungu terpelanting
ke dinding samping. Tentu saja sudah tanpa
nyawa lagi karena sudah sejak tadi kepalanya
nyenyar macam pepaya busuk! Bau anyirnya
darah yang mengantarkan regangan-regangan
nyawa manusia menyesak lobang hidung.
Wiro Sableng meludah ke tanah. Dan
memandang pada Angin Topan Dari Barat.
"Angin Topan Dari Barat! Murid-muridmu
menemui kematian dengan cara yang tentu
kau tidak senangi! Dan mereka mati tanpa
ada sangkut-paut kesalahan apa-apa
terhadapku! Kau yang tanggung-jawab
semuanya kalau malaekat maut tertanya di
liang kubur!"
"Pemuda iblis!" bentak Bladra Wikuyana.
"Tak usah banyak bacot! Terimalah
kematianmu dalam tiga jurus!". Tampang
manusia ini kelihatan membesi dan tambah
angker. Dia melangkah ringan ke hadapan
Wiro Sableng dan cabut tongkat birunya!
Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan selarik
sinar biru melanda Pendekar 212. Pemuda ini
egoskan diri ke samping dengan cepat. Tapi
dari samping menderu tangan kanan Bladra
Wikuyana yang disambung -dengan kayu dan
ujungnya mempunyai senjata berbentuk Arit!
"Heyyaaa!". Pendekar 212 membentak keras.
Empat dinding jurang tergetar hebat.
Tubuhnya lenyap dan sambil jatuhkan diri
berjongkok pemuda ini hantamkan tangannya
ke muka lancarkan pukulan Kunyuk Melempar
Buah! Tapi tongkat biru Bladra Wikuyana
sungguh hebat! Pukulan Kunyuk Melempar
Buah yang dilancarkan Pendekar 212
mempergunakan sebahagian tenaga dalamnya
namun sambaran angin tongkat biru membuat
angin pukulan Pendekar 212 tersibak ke
samping dan menghantam dinding karang!
Dinding karang itu retak-retak pecah!
Kepingan-kepingan karang menghambur ke
udara berpelantingan! Wiro Sableng
penasaran sekali. Tenaga dalamnya dilipat-
gandakan sampai tangannya tergetar hebat
namun tetap pukulan Kunyuk Melempar Buah
yang dilancarkannya masih sanggup disapu
oleh angin tongkat biru lawan!
"Edan!" maki pemuda ini dalam hati. Dia
menjerit setinggi langit dan berkelebat lagi.
Kini Pendekar 212 keluarkan jurus Orang Gila
Mengebut Lalat! Kedua tangannya kiri kanan
memukul kian kemari dan mengeluarkan angin
keras laksana badai! Untuk dua jurus lamanya
Bladra Wikuyana terdesak hebat bahkan
kepepet ke dinding jurang sebelah Timur.
Anak-anak murid Perguruan Gua Sanggreng
yang ada di jurusan ini terpaksa menyingkir
kecuali kalau mau mampus terkena
sambaran-sambaran angin dahsyat kedua
manusia sakti yang bertempur itu! Angin
Topan Dari Barat mengeluh dalam hati!
Puluhan tahun hidup di dunia persilatan baru
hari ini menghadapi lawan yang tangguhnya
bukan olah-olah! Dan gilanya lawan itu
adalah anak muda hijau yang baru berumur
tujuh belas tahun! Orang tua ini kertakkan
gerahamnya. Dari tenggorokkannya keluar
suitan kencang. Dengan serta merta
permainan tongkat dan jurus-jurus silatnya
berubah. Tongkat biru di tangan kirinya
menderu dan mencurah taksana hujan badai,
laksana menjadi ratusan banyaknya! Wiro
Sableng terkejut sekali melihat keganasan
serangan tawan ini! Cepat dia lompat tiga
tombak ke udara.
"Ho-ho! Mau kabur hah?!" bental Bladra
Wikuyana. Dan segera manusia ini susul
melompat.
"Angin Topan Dari Barat!," seru Pendekar 212.
"Antara kita sebenarnya tak ada permusuhan
yang berarti…". Bladra Wikuyana tertawa
buruk.
"Ketika nyawa sudah di tenggorokan kau baru
ribut-ribut segata permusuhan yang tak
berarti! Sudah kepepet-mulai bicara rendah
diri! Sebaiknya sebut nama Tuhanmu sebentar
tagi roh busuk manusia yang mengaku
bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
akan minggat ke neraka!" Bladra Wikuyana
menyerang lagi dengan ganas membuat Wiro
Sableng kembali terpaksa lompatkan diri tiga
tombak ke belakang.
"Kalau kau yang tua tetap berkeras kepata
maka sambutlah pukulanku ini!" Bladra
Wikuyana terbeliak kaget ketika melihat
tangan kanan Wiro Sableng berwarna sangat
putih sedang kuku-kuku jarinya memerah
menyilaukan!
"Pukulan Sinar Matahari!" teriaknya dengan
keras. Sekaligus dia menyerukan pada murid-
muridnya untuk mencari perlindungan sedang
seturuh tenaga dalamnya dialirkannya ke
tongkat biru! Selarik sinar putih yang
menyilaukan mata melesat ke depan. Bladra
Wikuyana lompat ke udara sampai tujuh
tombak dan sapukan tongkatnya ke bawah!
Dua angin keras beradu hebat. Bladra
Wikuyana berseru keras. Tongkatnya hampir
terlepas mental sedang tangan kirinya tergetar
hebat! Tiada nyana tenaga dalam lawan yang
muda belia itu lebih tinggi beberapa tingkat
dari padanya. Dengan jungkir balik di udara
jago tua ini jauhkan diri untuk atur jatan
nafas serta darahnya dengan cepat! Ketika
bola matanya berputar memandang berkeliling
terkejutlah ia! Seluruh sisa anak muridnya
yang tadi masih hidup menggeletak
bergelimpangan dipelataran batu karang itu.
Tubuh mereka semuanya termasuk yang
sudah menemui ajal lebih dahulu di tangan
Wiro Sableng mengepulkan asap dan udara
dalam jurang itu kini pengap bau daging
manusia yang hangus! Ketika Pendekar 212
lepaskan pukulan sinar matahari tadi. Bladra
Wikuyana berhasil mengelakkannya. Angin
pukulan menghantam dinding karang di
sebelah tenggara. Bukan saja dinding karang
itu menjadi pecah tapi juga hancur
berantakan. Bagian atasnya longsor ke bawah
sedang pukulan Sinar Matahari memantul dua
kali berturut-turut di dinding karang. Hawa
panas angin pukulan ini telah melabrak sisa-
sisa anak murid Bladra Wikuyana sehingga
tubuh mereka tersambar hangus dan
menggeletak mati di situ juga! .Dan sementara
itu di tepi jurang sebelah atas, sesosok tubuh
berpakaian ungu menyaksikan apa yang
terjadi di dalam jurang batu karang itu
dengan mulut menganga dan mata terbeliak
sedang bulu kuduk merinding…. Kembali ke
dalam jurang. Air muka Bladra Wikuyana
kelihatan kelam membeku. Tubuhnya laksana
patung berdiri di tengah pelataran. Cambang
bawuk atau berewoknya kelihatan meranggas
kaku sedang sepasang matanya menjadi
merah angker.
"Pendekar 212!" desis Bladra Wikuyana.
"Detik ini jangan harap nyawamu akan
selamat…!" Tongkat birunya diacungkan ke
muka lurus-lurus dan kini tongkat itu berubah
menjadi hitam legam. Sinar hitam yang
memancar dari senjata ampuh Itu
menggidikkan sekali…
"Bersiaplah untuk minggat ke neraka!" teriak
Bladra Wikuyana. Serentak dengan itu
menyerbulah dia ke muka. Seluruh bagian
tenaga dalamnya telah mengalir ke dalam
tongkat dan serangannya kini luar biasa
ganasnya! Sambil menyerang itu Bladra
Wikuyana tiada hentinya bersuit-suit aneh,
menggetarkan telinga dan raga! Wiro Sableng
begitu merasakan tekanan serangan yang
hebat luar biasa segera percepat gerakannya.
Namun ilmu mengentengi tubuhnya yang
sudah sangat tinggi itu masih sangat terasa
lamban ditindih oleh sinar pukulan Angin
Hitam yang ke luar dari tongkat lawan.
"Breet"! Tersirap darah Pendekar 212.
Nyawanya serasa iepas! Ujung tongkat lawan
telah merobek pakaiannya di bagian dada.
Angin tongkat membuat tulang-tulang
dadanya seperti melesak! Pendekar ini
berteriak nyaring dan jungkir balik ke belakang
ke luar dari kalangan pertempuran! – == 0O0
== - "Ho ho…. Mau merat ke mana?!" tanya
Bladra Wikuyana.
"Aku sudah bilang, sekali masuk ke sini musti
lepas nyawa di sini!" Wiro Sableng tak berikan
sahutan. Kalau saja ada sepuluh manusia
jahat sesakti Bladra Wikuyana ini di atas
jagat pastilah dunia akan tenggelam dalam
kekalutan pikirnya. Ketika lawan menyerang
kembali Pendekar 212 sambut dengan pukulan
Benteng Topan Melanda Samudera. Untuk
beberapa ketika lamanya serangan tongkat
Bladra Wikuyana terbendung dan kesempatan
ini dipergunakan oleh Wiro Sableng untuk
melompat ke udara, menukik kembali dan
lancarkan pukulan Kunyuk Melempar Buah.
Dentuman yang dahsyat terdengar. Wiro
terpaksa turun ke pelataran batu karang
kembali karena pukulannya kena disapu aliran
angin hitam tongkat lawan. Pemuda ini
kepepet ke dinding jurang sebelah Timur!
Pemuda ini merutuk sendiri dalam hatinya.
Dalam merutuk itu tongkat lawan menyapu di
atas kepalanya. Wiro lompat ke samping.
Tongkat menghantam dinding karang sampai
hancur berantakan! Ketika Bladra Wikuyana
balikkan tubuh siap untuk menyerang kembali,
langkahnya tertahan. Kedua matanya yang
merah memandang tak berkedip pada senjata
berbentuk kapak bermata dua yang ada di
tangan lawannya. Bergidik juga Angin Topan
Dari Barat melihat senjata tersebut. Dua puluh
tahun yang silam dia pernah saksikan sendiri
kehebatan Kapak Maut Naga Geni 212. Kini
apakah sanggup dia menghadapinya?!
"Angin Topan Dari Barat," Pendekar 212 buka
mulut.
"Baiknya kau lekas-lekas minta tobat atas
kejahatanmu selama ini. Sebentar lagi tentu
sudah tak keburu…. !" Angin Topan Dari Barat
atau Bladra Wikuyana tindih rasa jerihnya
dengan tertawa bergelak. Tahu akan
kehebatan senjata di tangan lawan maka dia
segera menyerang lebih dahulu! Sinar hitam
bergulung-gulung ke arah Pendekar 212.
Pemuda ini sambut serangan lawan dengan
pergunakan jurus: Orang Gila Mengebut Lalat.
Kapak Naga Geni 212 di tangannya berkelebat
cepat ke kiri dan ke kanan, mengeluarkan
suara berdengung macam suara ribuan tawon!
Terkejutnya Bladra Wikuyana bukan kepalang
ketika merasa bagaimana kini tongkat
saktinya tak dapat lagi bergerak leluasa,
tertindih, terbendung dan terpukul angin
kapak bermata dua di tangan lawan! Bladra
Wikuyana percepat permainan tongkatnya dan
menyerang dengan jurus-jurus lihay
mematikan. Namun tetap saja tak dapat ke
luar dari tindihan senjata lawan. Dan kini
sesudah bertempur di jurus yang kesembilan
puluh delapan maka mulailah jago tua ini
terdesak hebat! Diam-diam Bladra Wlikuyana
cucurkan keringat dingin. Ditahannya
sedapatdapatnya serangan senjata lawan.
Satu kali tongkatnya beradu dan tak ampun
ujung tongkat terbabat puntung! Bladra
Wikuyana tak berani lagi bentrokan senjata!
Matanya kini liar mencari kesempatan untuk
kabur. Dia menggeram karena telah menyuruh
murid-muridnya menurunkan tangga gantung
karena tangga dari tali itulah satu-satunya
jalan untuk kabur ke luar jurang batu karang!
Karena pikirannya bercabang dua, satu
memikir jalan untuk lari, kedua memusatkan
pada serangan lawan maka pertahanan
Bladra Wikuyana sering-sering melompong.
Hal ini bukan tak dilihat oleh Pendekar 212,
kalau saja dia mau maka sudah sejak tadi dia
melabrak manusia berewok bertangan dan
kaki buntung itu. Dari mulut Pendekar 212
mulai terdengar siulan membawakan lagu tak
menentu!
Sambil kirimkan bacokan ke pinggang, Wiro
Sableng putar gagang kapak. Kedua mata
kapak membuat setengah lingkaran, salah
satu dari padanya memapas pergelangan
tangan kanan Bladra Wikuyana yang terbuat
dari kayu! Tangan palsu yang ujungnya
berbentuk arit itu kutung dan lepas! Mental ke
udara! Bladra Wikuyana melompat ke
belakang. Mukanya pucat pasi. Dia
mengerang karena aliran aneh yang berhawa
panas dari senjata lawan merembes melalui
kutungan tangan kayu ke dalam tubuhnya!
"Cuma lengan kayumu saja. Angin Topan Dari
Barat! Kenapa musti pucat macam mayat?"
Wiro Sableng tertawa gelak-gelak.
"Sekarang aku minta kaki kayumu!" Habis
berkata begitu. Wiro Sableng bersiul dan
melompat ke muka. Kapaknya membabat ke
kepala Bladra Wikuyana. Jago tua ini yang
tak berani lakukan bentrokan senjata cepat-
cepat melompat berkelit dan lancarkan
serangan balasan dengan pukulan tangan
kosong yang menimbulkan angin hebat.
Namun dengan Kapak Naga Geni 212 di
tangan, segala pukulan tangan kosong
bagaimanapun hebatnya dari manusia
berewok yang bergelar Angin Topan Dari Barat
itu tiada artinya lagi! Kapak Naga Geni 212
membacok ke bahu, berbalik merambas
pinggang, menderu lagi ke kepala membuat
tokoh silat tua dan berpengalaman luas itu
menjadi sangat sibuk. Dan ketika tiba-tiba
sekali senjata lawan membabat ke bawah, dia
tak punya kesempatan lagi untuk mengelak!
Untuk kedua kalinya mata kapak membabat
anggota badannya yaitu kaki kayu Bladra
Wikuyana sebelah kanan! Meski huyung-
huyung tapi laki-laki ini masih sempat
lompatkan diri ke luar dari kalangan
pertempuran. Mukanya pucat sekali dan
keningnya penuh keringat! Di dalam dadanya
menggelegak rasa benci, dendam dan nafsu
untuk membunuh! Dengan tahan tubuhnya
pada ujung tongkat, Bladra Wikuyana
pejamkan mata. Mulutnya komat kamit.
"Ilmu apa yang kau mau keluarkan Angin
Topan Dari Barat? Sebaiknya dengar
omonganku! Aku yang muda ini masih mau
kasih ampun kepada kau jika kau berjanji
untuk bertobat dan hidup di jalan yang benar,
tidak lagi berbuat kejahatan tapi
mempergunakan iimumu buat menolong
sesama manusia. Bagaimana…?!" Bladra
Wikuyana buka sepasang matanya sedikit.
Mulutnya berkemik mengejek.
"Jangan kira kau sudah menang bocah hijau!
Aku masih jauh dari kalah! Lihat mukaku
bocah hijau… lihat mukaku….
" Mata Wiro Sableng menyipit. Ketika
diperhatikannya tampang Bladra Wikuyana
terkejutlah dia. Kepala tokoh silat itu kini
rnenjadi enam dan berwarna hitam, gigi-
giginya merupakan caling-caling yang
mengerikan, bola-bola matanya besar sedang
lidahnya panjang menjulai sampai ke dada.
Dari dua belas mata yang ada di enam kepala
itu memancar sinar hijau.
"Ah… ilmu siluman macam begini hanya
pantas untuk menakut-nakuti anak kecil!" ejek
Wiro Sabteng. Disapukannya Kapak Naga Geni
212 ke muka. Angin deras membuat Bladra
Wikuyana terpelanting tapi muka silumannya
masih juga seperti tadi malah semakin
menyeramkan. Tiba-tiba dengan menggereng
keras laksana harimau terluka menerjanglah
tokoh silat itu didahului oleh dua belas sinar
hijau yang ke luar dari mata silumannya!
"Tua bangka geblek! Dikasih ampun malah
keluarkan Ilmu yang bukan-bukan!" rutuk Wiro
Sableng. Ditunggunya beberapa detik. Sesaat
kemudian berkiblatlah kapak mautnya dari
atas ke bawah! Angin Topan Dari Barat
terkapar di pelataran batu karang tanpa
berkutik, juga tanpa menjerit. Kepalanya
sampai ke dada terbelah dua. Darah
membanjir! Tamatlah riwayat tokoh silat dari
golongan hitam itu yang selama hidupnya
telah menebar benih kejahatan dan mendidik
manusia-manusia untuk disesatkan! Wiro
Sableng garuk rambut gondrongnya dan
meludah. Jijik juga dia melihat darah yang
membanjir dari tubuh Bladra Wikuyana.
Dipandangnya Kapak Maut Naga Geni 212 di
tangan kanannya. Mata kapak itu berlumuran
darah. Pemuda ini goleng-goleng kepala.
"Kapak hebat… kapak hebat…." katanya.
Kemudian sekali hembus saja maka noda
darah pada mata kapak pun lenyaplah!
Senjata sakti pemberian Eyang Sinto Gendeng
itu segera dimasukkannya ke balik pinggang
kembali. Selama setengah jam Wiro Sableng
memasuki dan menggeledah isi Gua
Sanggreng. Di sini ditemuinya banyak sekali
persediaan makanan dan uang serta barang-
barang perhiasan. Menurut pikiran Wiro uang
serta perhiasan itu mungkin sekali hasil
rampokan yang ditimbun menjadi milik
Perguruan Gua Sanggreng. Wiro mengambil
sejumlah uang dan perhiasan sekedar bekal di
perjalanan. Kemudian pemuda ini duduk di
sebuah kursi besar dan menikmati makanan
yang ada di dalam gua itu. Waktu dia ke luar
dari gua dilihatnya langit sudah sangat merah
kekuningan tanda matahari hampir tenggelam.
Pemuda ini segera mencari tangga tali.
Tangga tali itu kemudian dilemparkannya
pada patok runcing batu karang di tepi jurang
sebelah atas dan mulailah pendekar ini
menaiki anak tangga demi anak tangga
menuju ke atas. Dari atas sebelum berlalu
dilayangkannya pandangannya untuk terakhir
kali ke dalam jurang batu. Duapuluh enam
mayat bergelimpangan di mana-mana.
Pemuda ini garuk dan golenggoleng kepala.
Dan mulailah dia melangkah sepembawa
kakinya. Malam tiba nanti entah di mana dia
akan berada. Suara siulannya mengumandang
di belantara batu-batu karang. Sambil terus
berjalan. bernyanyilah pendekar ini: Langit
merah angin silir…. Surya tenggelam di ufuk
Barat…. Malam yang datang tentu dingin dan
gelap…. Berjalan seorang diri memang tidak
enak…. Tapi selalu diikuti orang lain juga
tidak enak…. Nyanyian ini tiada menentu
nadanya dan diulang-ulang sampai beberapa
kali. Akhirnya disatu penurunan curam
Pendekar 212 hentikan nyanyiannya dan
duduk di sebuah unggukan batu. Sambil
tertawa-tawa berkatalah dia:
"Manusia yang ikuti aku kenapa sembunyi di
belakang batu? Coba ke luar unjukkan jidat,
apa betul manusia atau hantu…?" Wiro
memandang pada celah batu karang yang tadi
dilewatinya. Suasana hening saja.
"Ah, manusia di belakang batu tentu seorang
pemalu," katanya.
"Biarlah aku sendiri yang lihat tampangnya!"
Habis berkata begitu Wiro Sableng hantamkan
tangan kanannya ke arah celah batu.
Sebagian lagi terguling ke bawah. Dan dari
balik batu terdengar seruan tertahan!
Apa yang tidak diduga oleh Pendekar 212
ternyata bahwa penguntitnya sejak dari jurang
Gua Sanggreng tadi adalah seorang gadis!
– == 0O0 == - "Aha… Nyatanya seorang gadis
molek! Pantas malu-malu unjukkan diri…!"
kata Wiro Sableng pula dengan tertawa lebar
melihat kepada pakaian ungu yang dikenakan
gadis itu segera pemuda ini mengenali bahwa
gadis itu adalah anak murid Dewa Tuak.
"Gadis molek, ada apa kau menguntit aku
sejak dari lereng bukit sampai ke jurang maut
sana…?" bertanya Wiro.
Anggini, si gadis baju ungu, tak memberikan
jawaban. Mukanya merah karena malu dan
jengah. Wiro Sableng tertawa lagi dan
berkata: "Mungkin ada mengandung suatu
maksud tidak baik …. "
"Saudara… a…aku…" Anggini gugup sekali.
Apa yang harus dikatakannya pada pemuda
itu?
"Apakah gurumu si Dewa Tuak itu juga ikut
bersamamu saat ini?
Barangkali juga kalian hendak menjebakku…?"
"Saudara dengarlah…" kata Anggini pula.
"Aku sebenarnya tidak mau dengan semuanya
ini…"
"Semuanya ini apa…?" potong Wiro Sableng.
Anggini menggigit bibir.
"Gurumu bersamamu?"
"Tidak…."
"Gurumu yang menyuruh untuk menguntit
aku?"
Gadis itu anggukkan kepala.
"Perlu apa gurumu menyuruh demikian?"
Kembali Anggini menggigit bibir.
"Apa dia belum puas dengan sedikit
pertempuran siang tadi…?"
Anggini tetap membungkam. Ya, bagaimana
dia harus mengatakan pada si pemuda bahwa
gurunya menyuruhnya mengejar untuk
kemudian berusaha menjadi kawan hidup
pemuda itu? Bagaimana dia harus terangkan
semua itu! Ingin dia menangis dan lari dari
hadapan pemuda itu. Tapi kepada Dewa Tuak
gadis ini takut sekali!
Pendekar 212 kerutkan kening. Mendadak
mukanya menjadi merah, semerah langit yang
disaputi sinar sang surya yang mau
tenggelam di saat itu. Dia ingat akan ucapan
Dewa Tuak yang mengatakan bahwa dirinya
cocok untuk jadi jodoh muridnya!
Pendekar muda ini melirik pada gadis baju
ungu. Anggini berparas bujur telur dan molek.
Kulitnya kuning dan potongan tubuhnya
sedap dipandang mata. Tapi urusan jodoh
mana ini pemuda berpikir sampai di situ. Tak
ada ingatannya sampai sejauh itu.
Bahkan kewajiban berat yang dipikulkan
gurunya ke pundaknya, hutang nyawa dendam
seribu karat terhadap Suranyali alias Mahesa
Birawa sampai hari ini masih belum lunas!
Masih belum dilaksanakannya!
Wiro Sableng berdiri dari duduknya.
Dipandanginya gadis baju ungu itu seketika
lalu mengumandanglah gelak tawanya.
"Saudari… apakah penguntitan ini ada
sangkut pautnya dengan ucapan gurumu si
Dewa Tuak?"
Paras Anggini semakin merah.
"Tadi aku sudah bilang… sebenarnya aku tak
senang dengan semua ini. Tapi guru
memaksaku…"
"Memaksa bagaimana?!"
"Katanya aku harus mengejarmu sampai
dapat. Kalau tak berhasil tak usah kembali
kepertapaan. Katanya lagi aku harus… harus…"
Anggini tak dapat meneruskan ucapannya.
"Kurasa gurumu itu sudah sinting! Sekurang-
kurangnya seperempat sinting!"
Meski Anggini memang tak suka menjalankan
apa yang diperintahkan Dewa Tuak namun
mendengar nama gurunya dicaci demikian
rupa gadis ini jadi marah.
"Jangan hina guruku, saudara!" bentaknya.
Wiro Sableng garuk kepala.
"Ah… guru dan murid sama saja gebleknya!"
kata ini pemuda.
"Kalau gurumu suruh kau makan beling dan
minum racun, apakah kau juga akan ikuti
ucapannya itu…?!"
"Guruku tidak segila itu!" bentak si gadis.
"Aku memang tidak bilang gurumu gila, tapi
sinting!" menukasi Wiro Sableng.
"Sekali lagi kau berani menghina guruku,
kutampar mulutmu!" ancam Anggini. Wiro
Sableng keluarkan suara bersiul!
"Gurumu memang sinting!" katanya lagi.
Anggini telah menyaksikan kehebatan ilmu
silat dan ketinggian kesaktian Pendekar 212
waktu terjadi pertempuran di jurang
Sanggreng beberapa saat yang lalu. Dari situ
dia dapat menyimpulkan bahwa gurunya
sekali pun belum tentu akan dapat
mengalahkan pemuda itu dengan mudah.
Namun saat itu kegemasannya tak dapat
ditahan lagi. Tangan kanannya bergerak
cepat. Sebaliknya Wiro Sableng malah
angsurkan pipi ke muka!
"Plaak!" Tamparan mendarat di pipi Wiro
Sableng. Pendekar muda ini tertawa.
"Betapa lembutnya jari-jarimu mengelus
pipiku..," katanya dengan pejamkan mata.
"Ayo, tamparlah sekali lagi… dua kali lagi…
tiga kali lagi… sesuka hatimulah…!" Wiro
menunggu tapi tamparan berikutnya tak
datang dan pemuda ini bukakan kedua
matanya 'kembali. Dilihatnya Anggini berdiri
dengan hidung kembang kempis menahan
geram yang menyesaki dadanya. Pendekar
212 tertawa.
"Kenapa tidak mau tampar?" tanyanya sinis.
Karena digemasi terus-terusan Anggini jadi
penasaran sekali. Segera dibukanya selendang
ungu yang melilit di pinggangnya yang
berpinggul besar.
"Eh… saudari kau ini apa mau buka pakaian
di depanku?" tanya Wiro Sableng sambil
kedip-kedipkan mata dengan ceriwis.
"Pemuda rendah terima selendangku ini!"
bentak Anggini. Tangan kanannya bergerak.
Ujung selendang berputar pelahan dan
lamban ke arah kepala Wiro Sableng.
Selendang terbuat dari kain yang halus. Bila
benda itu bergerak lamban berarti benda itu
dialiri oleh aliran tenaga halus. Dan Wiro tahu
bahwa kadangkala tenaga halus lebih
berbahaya daripada tenaga kasar yang di
luarnya kelihatan hebat. Pemuda ini tak mau
menyambuti liuk liku selendang itu. Dia
menggeser kedua kaki dan menjauhkan
kepalanya. Masih tertawa dia mengejek:
"Saudari, tarianmu bagus sekali! Apakah ini
juga dari gurumu kau pelajari?!" Dugaan
Pendekar 212 memang tepat. Kalau sekiranya
dia mencoba memapasi selendang yang
meliuk-liuk itu maka dengan satu sentakan
cepat Anggini akan menarik selendang dan
melesatkan ujungnya ke mata si pemuda. Ini
pun sebenarnya belum ketentuan Wiro
Sableng akan kena dihajar begitu saja. Tapi
demikianlah kenyataannya bahwa kadangkala
ilmu halus dan lembut harus dihadapi dengan
kehalusan dan kelembutan pula. Melihat si
pemuda geser kaki menjauh tapi masih
dengan sikap mengejek maka kini Anggini
rubah permainan selendangnya. Laksana
seekor naga selendang ungu itu meliuk dan
mematuk kian ke mari. Dan kini barulah Wiro
menghadapinya dengan kekasaran pula.
"Saudari, permainan selendangmu patut
dikagumi!" memuji Pendekar 212.
"Tapi tak cukup pasal kalau kau sampai
menyerangku begini rupa. Aku…" Ucapan Wiro
Sableng terpotong oleh bentakan Anggini.
"Tutup mulut pemuda ceriwis! Lihat
selendang!" Ujung selendang ungu dengan
sangat tiba-tiba mematuk ke arah mata kiri
Wiro Sableng. Ganda tertawa pemuda ini
tundukkan kepala untuk mengelak. Sejak tadi
meski dia menghadapi serangan-serangan
lawan dengan cara kasar tapi sesungguhnya
Pendekar 212 terus-terusan mengambil sikap
mengelak. Tapi pada saat Wiro Sableng
mengelak, pada detik itu pula ujung
selendang dengan sangat cepat turun dan
melibat leher! Setengah libatan Pendekar 212
cepat-cepat pergunakan tangan kiri untuk
rnengibaskan selendang ujung tapi ini tak
bisa dilakukannya karena serentak dengan itu
Anggini kirim satu tusukan dua ujung jari
tangan kiri ke dada kiri Wiro Sableng. Hebat
sekali serangan ini sehingga kalau dilihat dari
atas maka serentakan dengan serangan
selendangnya tadi, maka sepasang serangan
Anggini tak ubahnya seperti sebuah gunting
besar yang hendak menggerus tubuh dan leher
si pemuda!
"Ah… ah… bagus, bagus sekali saudari! Tak
percuma kau jadi murid si Dewa Tuak!"
memuji Wiro Sableng. Tangan kirinya terpaksa
dipalangkan untuk menunggu tusukan jari
tangan lawan. Anggini yang tahu bahwa
tenaga dalam pemuda itu jauh lebih tinggi
darinya batalkan serangan sebaliknya tangan
kanannya siap menyentakkan selendang ungu
yang ujungnya telah melibat setengah leher
Wiro Sableng. Pendekar 212 cepat angsurkan
lehernya ke muka untuk mengendurkan
selendang sehingga kalaupun detik itu
disentak, sentakan itu tak akan
mencelakainya. Kemudian dengan tangan
kanannya, cepat sekali disampoknya bagian
tengah selendang! Anggini sama sekali tak
dapat melihat cepatnya tangan kanan lawan
yang menyampoki senjatanya. Dia hanya tahu
tiba-tiba saja bagaimana selendangnya
menjadi menegang dan tertarik ke muka!
Sesaat mengetahui bahwa selendangnya kena
terpegang lawan terkejutlah gadis ini, tapi
juga penasaran sekali. Dibetotnya selendang
itu namun mana Wiro Sableng mau lepaskan,
malahan sebaliknya pemuda ini tarik
selendang tersebut sehingga tubuh Anggini
sedikit demi sedikit, selangkah demi
selangkah ikut tertarik ke hadapannya.
Anggini memaki dalam hati.
"Sambut paku perakku, rnanusia rendah!"
bentak gadis itu. Sekali dia gerakkan tangan
kirinya maka selusin benda yang besarnya
setengah jengkal, berbentuk paku dan
berwarna putih perak mendesing ke arah Wiro
Sableng. Karena jarak mereka terpisah dekat
sekali maka dua belas senjata rahasia ini
sangat berbahaya bagi keselamatan si
pemuda. Anggini sendiri tiba-tiba merasa
menyesal melepaskan senjata rahasia itu
karena kawatir si pemuda tak dapat berkelit
atau memapakinya, karena bukankah gurunya
telah berpesan bahwa pemuda itu adalah
cocok bakal jadi jodohnya…?! Sebaliknya yang
diserang tenang-tenang saja. Bahkan sambil
bersiul dilambaikannya tangan kirinya.
Delapan paku perak luruh ke tanah sedang
yang empat lagi dielakkan dengan berkelit
sedikit ke samping. Kalau tadi dia merasa
menyesal menyerang pemuda itu dengan
senjata rahasianya maka kini setelah si
pemuda berhasil selamatkan diri, kembali
Anggini menjadi penasaran. Dia memekik
keras, lompat ke atas dan kirimkan dua
tendangan jarak dekat susul rnenyusul.
"Ah, tak sangka gadis molek begini galak
sekali!" kata Wiro Sableng pula. Dia melompat
ke samping. Membuat gerakan satu putaran,
dan sebelum Anggini turun ke tanah, kedua
kaki gadis itu sudah terlibat selendangnya
sendiri! Membuatnya berdiri dengan
terhuyung-huyung tak bisa melangkah!
Wiro tertawa gelak-gelak.
"Ayo, kenapa berhenti galaknya?" tanyanya
mengejek.
Karena sampai saat ini Anggini masih
memegang ujung yang lain dari selendangnya
maka dengan cepat dia dapat membukanya
kembali. Paras gadis ini merah sekali.
Matanya menyorot memandang kepada Wiro
Sableng, sebaliknya Pendekar 212 dengan
ceriwis mengedip-ngedipkan matanya!
"Senjata apa lagi yang bakal kau keluarkan?!"
tanya Wiro.
"Lepaskan selendangku!" teriak Anggini.
Wiro hanya tertawa.
"Lepaskan!" teriak gadis itu lagi. Dicobanya
menyentakkan selendang itu tapi Wiro
memegangnya erat sekali. Kalau ditariknya
keras pasti selendang kain itu akan robek.
Kesal dan gemas akhirnya dengan
menghentakkan kaki Anggini lepaskan
selendangnya, putar tubuh dan lari ke balik
sebuah batu besar. Di sini menangislah gadis
itu.
"Heh… kenapa jadi nangis?" tanya Wiro ketika
dia melangkah dan datang di balik batu
besar. Pemuda ini jadi garuk-garuk kepala.
Lalu katanya: "Saudari, lihat, hari sudah
senja.
Sebaliknya kau kembalilah ke tempat gurumu!
Kalau tidak pasti kau akan sesat di malam
yang gelap nanti!"
"Aku tak mau kembali! Tak bisa kembali ke
pertapaan!" jawab Anggini di antara tangis
sesungguhnya.
"Kenapa tak mau? Kenapa tak bisa?"
"Guruku akan marah!"
"Marah kenapa?" tanya Wiro tagi.
"Sudah… sudah! Kau tidak tahu!" Dan tangis
Anggini semakin mengeras.
"Lalu kalau kau tak mau kembali ke tempat
gurumu, apa kau bakal nginap di sini?!"
"Tak usah perdulikan aku! Biar aku mau
malang mau melintang tak usah ambil
pusing! Pergi dari sini kau…!" Anggini menyeka
mata dan pipinya.
"Tak perlu bicara keras macam begitu,
Saudari. Antara kita tak ada permusuhan. Ini
semua adalah gara-gara gurumu yang
berotak sinting itu!"
"Jangan hinakan guruku!" hardik Anggini.
"Kau seorang murid yang baik. Patuh
terhadap guru dan juga hormati Tapi sayang
kau juga turut-turutan bertindak tidak pakai
pikiran sehat. Sekarang sudah, kembalilah ke
pertapaan gurumu sebelum hari menjadi
malam…"
"Tidak!"
Wiro Sableng melangkah ke belakang Anggini.
Kasihan-kasihan lucu dia merasa saat itu.
Akhirnya pemuda ini berkata juga: "Ini
selendangmu. Kalau kau banyak berlatih pasti
kau menjadi seorang gadis yang hebat…."
Wiro lantas menyampirkan selendang ungu itu
di pundak si gadis. Ketika dia memandang ke
langit dilihatnya bintang-bintang sudah
bermunculan dan bulan sabit kelihatan
samarsamar di balik awan.
"Sudah malam…." desis pemuda ini. Kemudian
dia memandang pada gadis yang berdiri di
depannya dengan membelakang itu.
"Pergilah cepat, saudari. Nanti kau
kemalaman di jalan…."
Anggini gelengkan kepala.
"Guruku akan marah… akan marah kalau aku
kembali…. "
"Kalau begitu ya tak usah kembali saja…" ujar
Wiro Sableng.
"Aku memang tak bakal kembali…" kata
Anggini pula.
"Hem… dan kau mau pergi ke mana?"
"Apa urusanmu tanya-tanya?" "Ah…" Wiro
tertawa. Dia melangkah ke hadapan si gadis.
Kemudian dipegangnya pundak Anggini. Si
gadis dengan serta merta hendak
menyibakkan tangan itu. Tapi tubuhnya sudah
keburu dijalari perasaan aneh yang
menggelora-gelora sampai ke lubuk hatinya.
Tak kuasa dia menyibakkan pegangan tangan
pada bahu itu.
"Saudari, dengarlah…" kata Wiro pula.
Tangannya masih memegang bahu si gadis
malahan meremas-remasnya dengan lembut.
"Dalam hubungan guru dan murid walau
bagaimana pun kau musti kembali ke
pertapaan. Kau tak boleh tempuh jalan
sehdiri. Kalau kau tak kembali malah gurumu
akan marah sekali. Kau pasti akan
dihukumnya!"
"Tapi bagaimana aku mungkin bisa kembali?
Tidak bisa saudara.., kau tidak tahu…."
"Apa yang aku tidak tahu?" tanya Wiro. Tak
mungkin bagi Anggini untuk mengatakannya
dengan terus terang. Namun terluncur juga
ucapan dari mulutnya:
"Kalau aku musti kembali kata guruku… aku
harus bersamamu…" Wiro tertawa. Suara
tertawanya menggema di daerah sepi dingin di
permulaan malam itu.
"Saudari… namamu siapa?" bertanya Wiro
Sableng. Dan karena tadi gadis itu diam saja
diremas bahunya maka tangan Wiro kini
meluncur ke pipi, membelai pipi yang masih
belum kering dengan air mata itu. Rasa yang
menyentak-nyentak mendebarkan dada si
gadis kini tambah keras dari tadi. Lagi-lagi
tak kuasa dia menyibakkan tangan yang
membelaibelai itu. Ditundukkannya kepalanya.
"Siapa namamu, saudari…?" tanya Wiro lagi.
"Anggini," jawab si gadis perlahan.
"Nama bagus… nama bagus," puji Pendekar
212 dan tangannya semakin berani membelai
muka Anggini.
"Dengar Anggini, orang tua macam gurumu
itu memang suka bicara ngelantur. Sekarang
kau kembali saja ke pertapaannya dan
katakan bahwa kau tak berhasil mengejar
atau menemui aku. Habis perkara. Atau kalau
tidak katakan saja kau telah menemuiku
dalam keadaan tak bernyawa mati di jurang
Sranggreng!"
"Aku tak bisa berdusta… kalau aku berdusta
dia selalu mengetahuinya!" kata Anggini pula.
"Wah berabe kalau begini!" ujar Pendekar 212
dengan garuk-garuk kepala. Dia berpikir-pikir
apa yang akan diperbuatnya. Kalau
ditinggalkannya gadis itu sendirian di situ, tak
tega pula hatinya. Pemuda ini hela nafas
panjang. Akhirnya diajaknya gadis itu duduk
di sebuah batu datar. Daerah belantara di
mana mereka berada saat itu serba asing
baginya. Mungkin sampai ratusan tombak
bahkan ribuan tombak perjalanan belum
menemui rumah penduduk. Apakah dia dan
gadis itu terpaksa tinggal terus di tempat itu
malam ini? Angin bertiup dari celah-celah
batu-batu yang meruncing memenuhi tempat
itu.
"Dingin…?" bisik Pendekar 212. Anggini
mengangguk. Dan tangan kiri Pendekar 212
bergerak di balik punggung si gadis untuk
kemudian merangkul bahu Anggini. Suasana
berubah hangat. Dan untuk beberapa lamanya
mereka tiada bicara. Wiro memecah
kesunyian.
"Kalau kau tak mau kembali ke pertapaan dan
aku tak bisa pula meninggalkan kau sendirian
maka kita terpaksa bermalam di sini.
Tunggulah sebentar aku akan cari tempat
yang baik…."
"Nanti sajalah….
" kata Anggini. Diletakkannya tangan
kanannya di paha Pendekar 212 dan dia
memandang ke angkasa.
"Langit cerah," kata Wiro.
"Kalau nanti turun hujan, memang. kita yang
sialan…. !" Anggini tertawa. Manis sekali
tertawa itu. Hati Pendekar 212 sejuk sekali
jadinya. Dan diperketatnya rangkulannya.
Kemudian dengan beraninya pendekar ini
menggelitiki tengkuk si gadis dengan
hidungnya.
"Jangan begitu ah…." kata Anggini menggeliat
kegelian. Tapi tubuh dan tengkuknya tidak
dijauhkannya. Malam itu Wiro Sableng
sengaja tidak membuat, perapian. Dia
khawatir kalau-kalau nyala api hanya akan
mengundang datangnya hal-hal yang tidak
diingini. Apalagi kalau yang datang itu adalah
Dewa Tuak adanya. Meskipun dingin,
meskipun mereka hanya terbaring di balik
batu besar hitam itu dan beratapkan langit
luas namun tubuh mereka yang berada
berdekatan itu saling memberi kehangatan.
Pendekar 212 ingat pada suatu malam ketika
dia berada berdua-duaan di sebuah dangau di
tengah sawah dengan Nilamsuri. Malam ini
tak ada bedanya dengan malam yang dulu
itu. Sama-sama ada seorang gadis di
sampingnya. Tapi terhadap Anggini, Pendekar
212 masih punya pikiran panjang dan sehat:
Meski saat itu Anggini sudah berbaring
pasrahkan seluruh tubuhnya untuknya dan
memang sudah hampir setiap bagian dari
tubuh Anggini disentuh oteh Pendekar 212,
namun untuk berbuat lebih jauh dari itu
pemuda ini tidak mau. Tubuh perawan itu
laksana bara hangatnya, tangannya
menggapai punggung Wiro dan pahanya
melejang-lejang halus. Tapi Pendekar 212
hanya merangkuli tubuh itu, hanya mengecupi
bibirnya yang basah, hanya menciumi
matanya yang sayu kuyu tapi
menyembunyikan hasrat yang meluap itu. * *
* Sinar matahari yang menyapu mukanya
membuat gadis ini terbangun dari
kenyenyakan tidurnya. Dibukanya kedua
matanya dengan pelahan, digosoknya
beberapa kali kemudian dipalingkannya
kepalanya ke samping. Dia terkejut
mendapatkan pemuda itu tak ada di
sampingnya, la segera bangun duduk, lalu
berdiri dan memandang ke belakang. Tapi
pemuda itu tidak kelihatan.
"Wiro," panggilnya. Tak ada yang menyahut.
"Wiro…. !" panggilnya sekali lagi lebih keras.
Hanya gaung suaranya yang menjawab. Tiba-
tiba ketika matanya memandang ke batu
besar di samping pembaringan di mana dia
dan Wiro tidur semalam terbentur olehnya
tulisan. Tulisan. Anggini Maafkan kalau aku
pergi tanpa pamit. Aku terpaksa meninggalkan
kau. Kalau ada umur kita pasti bertemu lagi.
Kembalilah ke tempat gurumu. Terima kasih
untuk segala-galanya malam tadi.
Anggini merasakan dadanya menyesak.
Digigit-gigitnya bibirnya. Nyatanya pemuda
itu sudah pergi. Tubuhnya masih terasa
hangat oleh pelukan Wiro malam tadi. Seperti
masih terasa jari-jari tangan pemuda itu
mengelusi kulit tubuhnya. Juga kecupan-
kecupan yang disertai gigitan-gigitan kecil.
Terima kasih untuk segala-galanya malam
tadi Anggini membaca lagi tulisan itu.
Termangu dia. Diputarnya tubuhnya, parasnya
ke kemerahan, ditambah lagi sentuhan sinar
matahari pagi. Tak mungkin baginya untuk
mengejar pemuda itu kembali. Dia tak tahu
apakah Wiro pergi larut malam tadi atau
dinihari, atau pagi tadi sebelum dia bangun.
Gadis ini tarik nafas panjang dan dalam.
Ketika dia membetulkan ikatan selendang
ungunya yang di pinggang, maka pada ujung
selendang itu dilihatnya sederetan angka:
212. Sekali lagi gadis ini tarik nafas dalam
dan panjang. Lalu dengan langkah gontai
ditinggalkannya tempat itu. – == 0O0 == -
Kerajaan Pajajaran… Pada masa itu Kerajaan
Pajajaran masih belum luas pengaruhnya di
Jawa Barat. Bahkan dengan kesultanan
Banten di pantai Utara masih terdapat
hubungan baik, belum ada silang sengketa. Di
bawah pemerintahan Prabu Kamandaka maka
Kerajaan Pajajaran aman tenteram. Penduduk
hidup berkecukupan. Tapi di dunia ini selalu
saja ada manusia yang berbusuk hati, yang iri
dan dengki. Yang tidak senang dengan
kebahagiaan orang lain, yang tidak suka
dengan keberuntungan orang lain, yang tidak
suka akan kekuasaan orang lain dan ingin
meruntuhkan kekuasaan orang lain itu lalu
ganti menguasainya! Saat itu satu-satunya
manusia di seiuruh Pajajaran yang paling
membenci Prabu Kamandaka ialah Werku Alit.
Dalam tambo keturunan raja-raja Pajajaran
maka Prabu Purnawijaya adalah satu-satunya
raja pajajaran yang tidak mempunyai
keturunan kandung dari permaisurinya.
Mungkin ini sudah menjadi takdir Dewa-dewa
di Kahyangan, dan ini jugalah yang menjadi
pangkal sebab buntut daripada terjadinya
banjir darah di Pajajaran. Ketika Prabu
Purnawijaya mangkat maka tokoh-tokoh
istana, ahli-ahli agama dan orangorang tua
kerajaan menyepakati untuk menobatkan
Kamandaka, adik kandung Prabu Purnawijaya,
menjadi raja Pajajaran. Kamandaka memang
seorang yang bijaksana, pandai serta berilmu
tinggi, disegani dan dihormati. Memang dia
telah menunjukkan bakat untuk menjadi
seorang pemimpin agung. Lagi pula memang
tak ada manusia lain di Pajajaran saat itu
yang punya hak dan pantas untuk dinobatkan
sebagai pengganti mendiang Prabu
Purnawijaya. Dari seorang selirnya, Prabu
Purnawijaya mempunyai seorang anak yang
bernama Werku Alit. Werku Alit ini tua
beberapa bulan dari Kamandaka. Ketika
masih orok keduanya sama-sama disusukan
pada seorang perempuan penyusu istana
sehingga boleh dikatakan antara Werku Alit
dan Kamandaka terjalin sudah satu pautan
tali persaudaraan! Namun ketika Kamandaka
dinobatkan sebagai Prabu Pajajaran timbullah
dengki di hati Werku Alit. Bukankah
Kamandaka hanya adik Prabu Purnawijaya;
bukan anak kandungnya? Dan bukankah dia
sebagai anak dari Prabu Purnawijaya, lebih
mempunyai hak untuk memegang tahta
kerajaan? Werku Alit dalam dengkinya,
apalagi sesudah kena hasutan oleh
golongangdongan tertentu yang memang
tidak suka pada Kamandaka, lupa bahwa
dirinya hanyalah seorang anak yang
dilahirkan dari selir Prabu Pumawijaya, yang
sama sekali tidak punya hak untuk menjadi
raja Pajajaran. Demikianlah, secara diam-
diam Werku Alit meMnggalkan istana
Pajajaran, mengembara menuntut ilmu dan
menghubungi beberapa orang tertentu. Ketika
dia kembali ke istana maka saat itu dia sudah
menyusun suatu rencana besar. Yaitu untuk
merebut takhta kerajaan dengan jalan
kekerasan! Dengan pertempuran, dengan
peperangan! Dalam pengembaraan itulah
Werku Alit bertemu dengan Suranyali atau
Mahesa Birawa. Tahu bahwa Mahesa Birawa
seorang manusia sakti luar biasa maka Werku
Alit mengambilnya sebagai tangan kanan
dengan perjanjian bila kerajaan berhasil
digulingkan maka Mahesa Birawa akan
dijadikan Perdana Menteri! Dalam menjadi
tangan kanan membantu rencana busuk
Werku Alit. Mahesa Birawa mempunyai
rencana sendiri, rencana dalam selimut. Jika
kerajaan jatuh dan Werku Alit menang, maka
Mahesa dan kawan-kawannya akan
menyingkirkan Werku Alit untuk kemudian dia
sendiri yang akan menampilkan diri
menduduki tahta kerajaan Pajajaran * * * Di
hutan belantara di sekitar kaki Gunung
Halimun kelihatan bertebaran ratusan buah
kemah. Inilah pusat balatentara pemberontak
yang hendak merebut tahta kerajaan
Pajajaran di bawah pimpinan Werku Alit.
Sementara Werku Alit kembali ke Pajajaran
maka pimpinan dipegang langsung oleh
tangan kanannya yaitu Mahesa Birawa. Di sini
berhimpun sekitar seribu prajurit. Kebanyakan
dari pasukan-pasukan ini didapat Werku Alit
dan Mahesa Birawa dari Adipati-adipati kecil
yang bernaung di bawah Pajajaran tapi yang
kena dipengaruhi dan dihasut oleh kedua
orang itu. Bahkan saat itu Mahesa Birawa
masih menunggu beberapa orang Adipati lagi
yang telah dihubunginya. Jika Adipati-adipati
ini datang dan menyerahkan beberapa ratus
prajurit tambahan maka dapatlah diatur
kapan dilaksanakan penyerangan terhadap
Pajajaran. Sementara waktu menunggu maka
semua prajurit senantiasa dilatih perang-
perangan. Para kepala-kepala pasukan diberi
tambahan ilmu silat dan kesaktian yang
lumayan oleh Mahesa Birawa sedang para
Adipati yang saat itu sudah bergabung
Mahesa Birawa menurunkan beberapa ilmu
kesaktiannya. Mahesa merasa sangat
menyesal sekali ketika mendapat kabar bahwa
tiga orang anak buahnya yang; diam di
Jatiwalu telah menemui ajal akibat bentrokan
dengan anak-anak murid Perguruan Gua
Sanggreng sedang Kalingundii hilang lenyap
tak tentu rimbanya. Kalau saja keempat
manusia itu ada di sana tentu tak usah
payah-payah dia menggembleng kepala-
kepala pasukan dan Adipatiadipati itu. Tapi
tak apa payah sedikit. Nanti dia akan
memetik hasilnya sendiri! Di dalam kemah
besar yang terletak di tengah-tengah ratusan
kemah di kaki Gunung Halimun itu,
mengelilingi sebuah meja bulat telur maka
duduklah empat orang laki-laki. Yang pertama
tak lain dari Mahesa Birawa, kumis melintang
dan badan semakin gemuk. Yang kedua
Adipati Karangtretes yaitu Jakaluwing,
bercambang bawuk lebat, potongan tubuhnya
tegap kekar. Yang ketiga, yang duduk di
samping kiri Mahesa Birawa ialah seorang
berbadan tinggi kurus bermuka licin bernama
Surablabak. Dia adalah Adipati Manganreja.
Yang terakhir seorang laki-laki berbadan
gemuk pendek, berkepala sulah. Sinar lampu
dalam kemah membuat kepalanya itu berkilat
seperti bersinar-sinar. Manusia ini bernama
Lanabelong, Adipati Kendil. Di atas meja, di
hadapan keempatnya terletak masing-masing
segelas tuak murni dan harum. Ketiga Adipati
itu telah kena dihasut oleh Mahesa Birawa
dan Werku Alit untuk memberontak terhadap
Pajajaran dan kepada mereka dijanjikan
kedudukan sebagai Menteri kerajaan bila
pemberontakan mereka berhasil kelak.
"Silahkan diteguk tuaknya, saudara-saudara
Adipati," kata Mahesa Birawa pula sesudah
keheningan mengungkungi kemah itu
beberapa lamanya. Masing-masing kemudian
meneguk tuak yang enak itu. Di malam yang
dingin minum tuak memang enak
menghangatkan tubuh. Jakaluwing raba
cambang bawuknya. Lalu bertanya:'
"Kapan kira-kira saatnya kita akan
menggempur Pajajaran, adimas Mahesa
Birawa?"
"Soal penggempuran itu kangmas Jakaluwing,
sebenarnya saat ini pun kita sudah sanggup
melakukannya. Jumlah prajurit cukup, tenaga
pimpinan rata-rata sudah berpengalaman dan
dapat diandalkan. Cuma kita tak enak kalau
meninggalkan saudara-saudara Warok Gluduk
dan Tapak Ireng. Kedua Adipati itu telah
berjanji akan bergabung dengan kita bersama
beberapa ratus prajurit-prajurit mereka. Ada
baiknya jika kita tunggu kedatangan mereka.
Sesudah itu baru kita hubungi Raden Werku
Alit untuk menentukan kapan saat yang baik
untuk penyerangan…." Adipati Jakaluwing
manggut-manggut.
"Begitu memang bagus," kata Lanabelong.
Adipati berkepala sulah. Lalu diteguknya
tuaknya.
"Di samping itu, mengingat bahwa di
Pajajaran tentunya terdapat tokoh-tokoh
pelindung yang berilmu tinggi maka kita musti
tidak pula menyia-nyiakan bantuan yang
hendak diberikan oleh Begawan Sitaraga yang
diam di puncak Gunung Halimun!"
"Ah, hebat sekali kalau Begawan yang
tersohor ini ikut di pihak kita!" kata
Surablabak sambil pukul meja.
"Sebenarnya," kata Mahesa Birawarpula.
"Begawan Sitaraga ini mempunyai dendam
kesumat yang masih belum terbalaskan
terhadap toa Pajajaran yaitu kakek dari
Kamandaka…."
"Kalau Begawan ini setingkat umurnya dengan
kakek Kamandaka, tentu kini kira-kira sudah
seratusan usianya…" kata Lanabelong.
"Kira-kira begitutah," sahut Mahesa Birawa.
Kemudian laki-laki ini berseru memanggil
pelayan untuk menyuruh tambah tuak di
keempat gelas itu. Sesudah pelayan pergi
Mahesa Birawa buka mulut kembali.
"Besok aku akan kirimkan dua orang kurir ke
Pajajaran untuk menemui Raden Werku Alit.
Kuminta kepadanya untuk menyebar mata-
mata lebih banyak, terutama di dalam istana
guna mengetahui perkembangan terakhir,
terutama mencari kabar selentingan apakah
gerakan kita ini bocor atau tidak….
"
"Dan jangan lupa pula untuk meneliti
pertahanan Pajajaran di mana yang lemah,"
kata Lanabelong. Mahesa Birawa
mengangguk.
"Saudara-saudara Adipati, agaknya
pertemuan kita malam ini cukup. Sampai
besok pagi." Keempat orang itu saling
menjura kemudian satu demi satu
meninggalkan kemah besar khusus untuk
tempat perundingan, menuju ke kemah
masing-masing. – == 0O0 == - Laki-laki itu
berjalan di liku-liku lorong bagian belakang
istana dengan menundukkan kepala. Sekali-
sekali dilewatinya para pengawal. Pengawal-
pengawal istana tidak menegur atau menahan
laki-laki ini karena semuanya tahu bahwa
laki-laki itu adalah Udayana, pembantu Prabu
Kamandaka. Segala urusan rumah tangga
sang Prabu dialah yang mengurusnya. Wiro
Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran Di pintu besar
gedung istana sebelah belakang laki-laki ini
berhenti sebentar lalu menyeberangi halaman
kecil dan masuk ke pintu sebuah bangunan
kecil yang bagus bentuknya. Justru di sini dua
orang pengawal memalangkan tombak
menghentikannya.
"Aku mau ketemu Raden Werku Alit," kata
Udayana.
"Ada keperluan apa?" tanya salah seorang
pengawal.
"Beliau sudah tahu."
"Tunggu di sini," Pengawal itu masuk yang
seorang tetap di tempatnya. Tak lama
kemudian pengawal yang masuk muncul
kembali.
"Kau dipersilahkan menghadap." katanya
memberi tahu. Udayana mengangguk dan
memasuki pintu gedung. Di dalam sebuah
kamar yang luas, Werku Alit menyambut
kedatangannya. Ditepuktepuknya bahu
Udayana.
"Bagaimana? Ada perkembangan baru…?"
Werku Alit berbadan tinggi langsing dan me-
melihara kumis panjang menjulai seperti tali,
seperti raja-raja Tiongkok!
"Perkembangan baru belum ada Raden….
Cuma ada satu berita. Mungkin sedikit banyak
nya ada perlunya juga saya sampaikan
kepada Raden…"
"Bagus, katakanlah Udayana…."
"Rara Murni adik Kamandaka siang besok
akan berangkat ke Kalijaga untuk
menyambangi adik neneknya. Dia akan pergi
dengan kereta dan dikawal secukupnya….
"
"Hem…." Werku Alit menggumam dan
mengusut-usut kumis talinya.
"Aku belum melihat adanya hubungan
keteranganmu ini dengan rencanaku. Tapi
tunggu sebentar, coba kupikir…." Tangan yang
tadi mengusut kumis ini memijit-mijit kening.
Dan tangan itu tibatiba menepuk bahu
Udayana sampai laki-laki ini terkejut.
"Aku telah melihat kegunaan keteranganmu
ini Udayana. Suruh seorang mata-mata kita
menghubungi Kalasrenggi. Katakan bahwa
aku akan bicara dengan dia malam ini di
pondok tua di luar tembok kerajaan." Udaya
menjura.
"Perintah Raden akan saya jalankan," katanya
lalu cepat-cepat meninggalkan kamar itu. * *
* Seluruh balatentara kerajaan Pajajaran
dibagi atas lima kelompok pasukan dan tiap-
tiap pasukan dibagi dua masing-masing
bagian dikepalai oleh seorang yang disebut
kepala prajurit, Kalasrenggi adalah salah
seorang dari kepala pasukan balatentara
Pajajaran. Sebagai kepala lWiro Sableng
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Maut
Bernyanyi Di Pajajaran pasukan tentu saja dia
memiliki ilmu dan pengalaman yang dapat
diandalkan. Dan memang banyak orang yang
mengatakan bahwa diantara lima kepala
pasukan Pajajaran maka Kalasrenggi adalah
yang paling tinggi ilmunya. Tapi sayang
kepala pasukan ini, telah pula terseret ke
dalam rencana busuk Werku Alit dan Mahesa
Birawa. Telah kena bujuk dan dihasut untuk
memberontak dan menggulingkan
pemerintahan Prabu Kamandaka! Siang tadi
seorang suruhan Raden Werku Alit telah
menemui Kalasrenggi dan menyampaikan
pesan bahwa Werku Alit akan bicara dengan
dia malam ini di pondok tua di luar tembok
kerajaan. Maka malamnya dengan seorang
diri berangkatlah Kalasrenggi ke ternpat yang
ditentukan itu. Dia sampai ke pondok tua itu.
Sebenarnya tak pantas disebut pondok karena
sama sekali bangunan tua itu tiada
mempunyai dinding dan atapnya pun sudah
sebagian melompong dimakan umur. Pondok
atau lebih tepat teratak itu sunyi saja. Tak
seorang pun kelihatan di sana. Kalasrenggi
berpikir tentu Raden Werku Alit belum sampai
ke sana, maka dia pun menunggulah.
Dinyalakannya sebatang rokok. Dia
memandang ke angkasa. Langit kelihatan
mendung. Bintang-bintang mulai tertutup
awan. Bulan menghilang dan angin bertambah
besar serta dingin. Dia tak sabaran
menunggu. Rokok yang dihisapnya sudah
hampir habis. Berbarengan ketika rokok itu
dibuangnya ke tanah maka dipengkolan
muncul tiga sosok bayangan. Dua dari sosok
bayangan itu berhenti sedang yang satu terus
melangkah ke arah teratak itu.
"Sudah lama kau…?" bertanya orang yang
datang ini yang tak lain dari Werku Alit
adanya.
"Sudah juga," sahut Kalasrenggi.
"Raden mau bicara apa dengan saya?"
Sementara itu hujan rintik-rintik mulai turun.
Angin tambah kencang.
"Ada tugas buatmu besok Kalasrenggi," kata
Werku Alit.
"Tugas apakah, Raden?" Hujan rintik-rintik
berubah menjadi lebat. Guruh menggelegar.
Kilat menyambar. Sesosok bayangan putih
dibawah penerangan kilat yang hanya sedetik
saja terangnya, kelihatan berlari sangat cepat
menuju teratak tua itu. Werku Alit dan
Kalasrenggi terkejut sekali dan tangan-tangan
mereka segera meraba hulu senjata di
pinggang masing-masing!
"Hujan sialan!" Terdengar orang yang baru
datang ini merutuk. Kemudian dia berpaling
pada Werku Alit dan Kalasrenggi dan berkata:
"Saudara-saudara, aku numpang mondok
samasama kalian."
Werku Alit dan Kalasrenggi memandang tajam
pada laki-laki yang baru datang ini. Dia
masih muda, berbadan kekar dan berambut
gondrong. Kedatangannya mau tidak mau
mencurigakan kedua orang itu meski ada
alasan bahwa dia datang ke sana untuk
berteduh karena hari hujan lebat.
"Kau siapa?!" tanya Kalasrenggi membentak
garang. Pandangannya buas sekali. Tangan
kirinya menyelinap ke pinggang. Laki-laki
muda yang dibentak memandang dengan
keheran-heranan.
"Memangnya apa aku tidak boleh mondok di
sini, Saudara?!"
"Aku tanya kau siapa dan jangan banyak
tanya!" hardik Kalasrenggi. Pemuda itu
bersiul dan menyeringai.
"Tak usahlah bicara pakai membentak segala.
Urusan kecil kalau dipersoalkan dengan kasar
bisa menimbulkan gara-gara yang tidak
diingini!" Kalasrenggi dengan tidak sabar
melangkah ke hadapan pemuda itu dan
hendak menempelaknya. Tapi langkahnya
dihentfkan ketika dalam kegelapan dan masih
sempat rnelihat isyarat yang diberikan oleh
Werku Alit. Werku Alit tak ingin terjadi
keributan yang buntutbuntutnya bisa
membocorkan rencana besamya. Karena itu
dengan terancam dia melangkah mendekati
pemuda itu.
"Saudara," kata Werku Alit sambil memegang
bahu si pemuda.
"Harap maafkan. Kawanku memang lagi kasar
berangasan habis kalah judi! Sudahlah, tak
ada yang harus kita ributkan di malam buta
begini, mana hujan, mana dingin. Bukankah
begitu…?"
"Ah… tepat sekali saudara…." jawab si
pemuda. Werku Alit tersenyum. Tiba-tiba
laksana kilat cepatnya, dua jari tangan kirinya
menusuk ke muka menghantam urat besar di
bagian kiri tubuh si pemuda. Tak ampun lagi
pemuda itu rebah ke tanah. Sebagian kakinya
terjulur lewat atap dan segera diguyur oleh air
hujan! Werku Alit tertawa mengekeh.
"Pemuda konyol mau banyak tingkah!"
"Tapi siapa tahu dia bukan pemuda biasa.
Raden. Mungkin mata-mata…."
"Ah, tampangnya saja geblek, dogol,
bagaimana bisa jadi mata-mata? Buktinya
sekali totok saja sudah rubuh!" Kalasrenggi
memandang sosok tubuh yang menggeletak
menelungkup itu. Dia bermaksud untuk
menggeledah pemuda itu namun didengarnya
Werku Alit berkata:
"Sudah, tak perlu perdulikan kunyuk itu! Mad
kita muiai pembicaraan. Menurut keterangan
pembantu rahasiaku, besok siang Rara Murni
akan berangkat dengan kereta ke Kalijaga.
Tugasmu culik gadis itu, sekap di kuil tua di
lembah Limanaluk. Bila sudah beri laporan
sama aku biar aku tentukan langkah
selanjutnya!"
"Itu tugas mudah, Raden," kata Kalasrenggi.
"Tapi saya ingin tahu siapa-siapa saja yang
ikut dengan Rara Murni…?"
"Aku tak mendapat keterangan tentang hal
itu. Yang penting kau harus tangkap Rara
Murni hidup-hidup. Yang lainnya kalau
melawan bereskan saja, habis perkara!"
"Baiklah Raden. Sebelum malam tiba besok,
saya akan mengirimkan seseorang untuk
memberitahukan bahwa tugas sudah
selesai…." Werku Alit menepuk bahu kepala
pasukan itu.
"Nah, aku pergi sekarang!" Kalasrenggi
memperhatikan sampai ketiga orang itu
lenyap di kejauhan dalam kegelapan malam.
Kemudian laki-laki ini memutar tubuh dan
kembali matanya memandangi manusia yang
menelungkup di bawah teratak itu. Dia
membungkuk hendak menggeledah,
meneruskan niatnya yang tadi batal, tapi
kemudian terpikir olehnya, perlu apa susah-
susah dengan diri orang lain. Dengan
seenaknya Kalasrenggi menendang tubuh laki-
laki yang menggeletak itu sehingga tubuh itu
terlontar sampai beberapa tombak!
Kalasrenggi kemudian berlalu pula dari
teratak tua itu. – == 0O0 == - Hanya
beberapa ketika saja Kalasrenggi
meninggalkan teratak tua itu maka orang
yang tadi ditotok dan ditendang anehnya
tiba-tiba berdiri dengan cepat. Dia melangkah
kembali ke bawah teratak. Disekanya mukanya
yang basah oleh air hujan dan berselomotan
lumpur. Diperhatikannya pakaiannya, kotor
semua. Ditepuk-tepuknya pinggul kirinya yang
tadi bekas kena ditendang Kalasrenggi.
"Sialan betul! Sakit juga tendangan kunyuk
itu!" makinya seorang diri.
"Di lain hari aku akan balas keramah
tamahannya tadi!" Sesungguhnya sewaktu
Werku Alit menotoknya tadi, orang ini sudah
dapat menduga gerakan dan maksud Werku
Alit. Sebelum totokan datang cepat-cepat
bagian tubuh di samping kiri dialirkan dengan
tenaga dalam. Kemudian ketika totokan Werku
Alit mendarat di tubuhnya, taki-laki ini pura-
pura jatuh tak sadarkan diri. Demikian juga
ketika Kalasrenggi menendangnya, dia dalam
meneiungkup pura-pura pingsan masih
sempat melihat gerakan kaki orang itu dan
bersiap menjaga diri sehingga waktu
ditendang tubuhnya hanya terasa pegal-pegal
sedikit! Dan apa yang telah dibicarakan kedua
orang itu dapat didengarnya dengan jelas.
Orang ini duduk bergelung lutut dan berpikir-
pikir. Siapakah gerangan kedua orang tadi?
Siapa yang dipanggil dengan sebutan
"raden" dan siapa yang satu lagi? Mengapa
mereka bicara di tempat terpencil dan di
malam hari berudara buruk seperti ini? Dan
tugas yang diberikan oleh orang yang
dipangglkan
"raden" itu? Siapakah Rara Murni? Apakah
keduanya bukan gerombolan-gerombolan
rampok pengacau? Yang hendak menculik
Rara Mumi kemudian melakukan pemerasan
terhadap orang tua gadis itu? Orang itu usut-
usut dagunya. Banyak yang tak dimengertinya
atas apa yang telah dialaminya tadi. Tapi
esok bila hari sudah siang dia bisa mencari
keterangan di Kotaraja. Sejak pagi sampai
saat itu sudah beberapa jam dia mengelilingi
Kotaraja. Berbagai tempat dan pelosok
didatanginya. Namun tampang-tampang
manusia yang dua orang yang ditemuinya
malam tadi tak berhasil dicarinya. Akhimya
masuklah dia ke dalam sebuah kedai.
Memang saat itu tenggorokannya sudah
seperti terbakar oleh rasa haus dan perutnya
perih keroncongan. Sambil makan dia terus
juga berpikir-pikir. Rasanya tak mungkin
kedua orang yang semalam itu gerombolan-
gerombolan rampok. Seorang rampok tak
akan dipanggil
"raden". Pasti yang dipanggil
"raden" itu seorang bangsawan kaya. Lalu
kenapa bangsawan kaya mau menculik gadis
orang? Mungkin pernah melamar tapi tak
diterima? Dia menyudahi makanannya. Ketika
dia memandang berkeliling ternyata kedai itu
sudah penuh dengan tamu-tamu yang makan
siang. Dengan perut kenyang dia kemudian
melangkah mendekati pemilik kedai.
Ditanyakannya berapa jumlah yang harus
dibayarkannya lalu diberikannya sejumiah
uang.
"lni kembalinya, Nak," kata orang kedai. Dia
sudah tua. Rambutnya sudah putih semua.
"Ah, tak usah. Ambil saja…." kata pemuda. Si
orang tua jadi keheranan. Demikian juga
beberapa orang yang duduk di dekat sana.
Pemuda yang berambut gondrong, berpakaian
lusuh serta bertampang keren tapi macam
anakanak itu berlagak seperti seorang kaya
raya yang punya banyak uang, sok tak mau
terima uang kembalian! Tapi perhatian orang
hanya sebentar tertuju kepada si pemuda.
Masing-masing kemudian sibuk mengurusi
mulut dan perutnya sendiri. Si pemuda
mendekati pemilik kedai dan berkata pelahan:
"Uang yang kulebihkan itu untuk membayar
beberapa keterangan darimu, Bapak," katanya.
"Keterangan?" Si orang tua kerenyitkan
kening.
"Keterangan apa…?"
"Bapak sudah lama tinggal di Kotaraja ini?"
"Dari masih orok sampai punya buyut!" jawab
pemilik kedai pula. Hatinya masih bertanya-
tanya dan heran.
"Kenapa anak tanya begitu?"
"Oh tak apa-apa…. Mungkin bapak kenal
dengan seorang perempuan bernama Rara
Murni?" Pertanyaan ini membuat si orang tua
lebih heran.
"Semua orang di Pakuan ini tahu siapa Rara
Murni," katanya.
"Oh pantas.. pantas… Rara Murni yang kau
tanyakan itu adalah adik Sang Prabu
Kamandaka!" Tentu saja si pemuda
mendengar ini jadi kaget sekali. Siapa sangka
kalau Rara Murni adik dari raja Pajajaran?!
Namun dengan pandainya dia
menyembunyikan kekagetannya itu. Kemudian
terdengar suara orang kedai bertanya.
"Anak muda, ada maksud apakah kau
bertanyakan adik Sang Prabu itu…?"
"Oh tidak apa-apa. Tidak apa-apa…."
"Kalau kau bermaksud buruk ketahuilah
bahwa di Kotaraja ini banyak sekali
hulubalanghulubalang Sang Prabu yang
bertelinga tajam!" Si pemuda sunggingkan
senyum.
"Kau terlalu bercuriga terhadapku, orang tua.
Aku hanya seorang pemuda desa yang
mendengar kabar disampaikan dari mulut ke
mulut bahwa Rara Murni adalah seorang yang
cantik jelita. Biasa bukan laki-laki tanya
perempuan…?" Pemuda ini kemudian tertawa
geli. Namun tawa gelinya itu diputuskan oleh
suara bentakan dari arah pintu.
"Manusia yang berani bicara seenaknya
tentang adik Sang Prabu coba putar tubuh!
Aku mau lihat tampangnya!" .Suara itu keras
dan garang. Si pemuda melihat bagaimana
orang tua di hadapannya menjadi gemetar
ketakutan.
"Aku sudah bilang apa… aku sudah bilang
apa…" katanya berulang kali. Pemuda itu
dengan perlahan memutar tubuh. Di pintu
dilihatnya berdiri seorang prajurit berhadapan
tegap bersenjata tombak.
"Bagus! Tampangmu memang mirip kunyuk.
Jadi cukup pantas untuk pengisi kerangkeng
istana!" Prajurit ini melambaikan tangannya.
Dua orang prajurit lagi muncul di ambang
pintu.
"Tangkap pemuda rambut gondrong itu! Dia
telah menghina adik Sang Prabu!" Dengan
tombak terhunus kedua prajurit itu melangkah
ke hadapan pemuda rambut gondrong.
"Sebentar saudara… sebentar!" kata si pemuda
sambil pentangkan kedua telapak tangannya
ke muka. Selarik sinar halus berhembus ke
arah jalan darah kedua prajurit itu.
Dan semua mata dalam kedai yang tak tahu
menahu ha1 itu hanya menyaksikan bahwa
kedua prajurit itu hentikan langkah karena
memenuhi permintaan si pemuda. Padahal
dua prajurit itu sudah kena ditotok dari jarak
jauh dan berdiri kaku tak bisa bergerak tak
bisa bicara!
"Sebentar, aku mau bicara dulu!" kata pemuda
rambut gondrong kini pada prajurit yang di
pintu.
"Bicara apa?! Lekas? Katakan!" Seekor lalat
terbang dan hinggap di lengan kiri si rambut
gondrong.
"Ah lalat ini! Mengganggu aku yang hendak
bicara!" kata si rambut gondrong. Dengan
jari-jari tangan kanannya disentilnya lalat itu.
Namun tujuan sebenarnya bukan binatang itu.
Sang lalat memang terpental mati dengan
tubuh hancur tapi angin sentilan terus
menotok jalan darah prajurit yang berdiri di
pintu kedai. Orang-orang tetap melihat dia
berdiri sebagaimana biasa tapi sesungguhnya
tubuhnya sudah kaku tegang! Si rambut
gondrong datang ke hadapannya, pura-pura
membisikkan sesuatu lalu menepuk bahu
prajurit itu dan berlalu. Orang-orang mulai
menjadi heran. Dan beberapa ketika saja
sesudah pemuda aneh tadi lenyap tiba-tiba:
"Bluk… bluk… b!uk…. !" Ketiga prajurit itu
rebah ke tanah susul menyusul! Begitu
mencium lantai begitu mereka kembali
sadarkan diri! Kedai itu menjadi hiruk pikuk.
Tiga prajurit dengan rasa malu, geram dan
amarah meluap memburu ke luar kedai tapi si
rambut gondrong sudah lama lenyap! Tiga
prajurit ini tiada lain adalah anak buah
Kalasrenggi. Sewaktu pemuda rambut
gondrong mengeliling Kotaraja mencari dua
manusia yang ditemuinya malam tadi di
teratak tua di luar tembok kerajaan maka
tanpa setahunya sepasang mata telah
menguntitnya. Yang menguntit tiada lain dari
Kalasrenggi yang saat itu tengah bersiap-siap
untuk melaksanakan tugas yang diberikan
oleh Werku Alit. Ketika si rambut gondrong
masuk kedai maka dikirimnya tiga orang
prajurit ke sana. Diperintahkannya untuk
menangkap pemuda itu dengan alasan yang
dibuat-buat. Bila sudah ditangkap, maka
pengusutan lebih lanjut siapa adanya pemuda
ini akan dilakukan Kalasrenggi sesudahnya
dia selesai melakukan tugas dari Werku Alit.
Ketika mereka masuk dengan diam-diam
mereka telah mencuri dengar apa yang
dipercakapkan si rambut gondrong dengan
orang kedai. lni mereka jadikan alasan untuk
menalngkap pemuda itu. Namun karena tiga
prajurit ini hanyalah mengandalkan
tenagatenaga lahir yang kasar, tak
mempunyai ilmu dalam maka dengan mudah
si rambut gondrong "mempermainkannya!" –
== 0O0 == - "Kalau Rara Murni adalah
adiknya Raja Pajajaran…" kata pemuda itu
sambil terus juga menyusuri jalan di bawah
panas teriknya matahari musim kemarau,
"Pasti peristiwa penculikannya mempunyai
latar belakang yang besar dan buntut
panjang!" Dia menengadah ke langit.
"Ah, cepat benar bergesernya matahari…."
katanya lagi. Dan ketika dia berpapasan
dengan seorang penjual sayur mayur maka
bertanyalah dia,
"Bapak, manakah jalan yang menuju ke
lembah Limanaluk?" Penjual sayur mayur itu
menyeka peluh di keningnya terlebih dahulu.
Diputarnya badannya sedikit dan dia
menunjuk ke ujung jalan.
"Ikuti saja terus jalan ini, jangan mengkol.
Limanaluk sekira setengah hari perjalanan
dari sini." Pemuda yang bertanya
mengucapkan terima kasih lalu metanjutkan
perjalanannya kembali…. Kereta itu bagus dan
mungil potongannya. Dua ekor kuda coklat
yang menariknya berlari kencang. Empat
prajurit terpercaya mengawal kereta ini. Dua
orang di depan, dua lainnya di belakang. Debu
menggebubu sepanjang jalan yang mereka
lalui. Setelah dua jam perjalanan
meninggalkan Kotapraja jalan yang ditempuh
mulai banyak lobang-lobang dan batu-
batunya. Kusir memperlambat jalan kereta
terutama ketika melewati satu pengkolan
tajam. Selewatnya sebuah penurunan jalan
yang mereka lalui baik kembali dan menyusuri
tepi sebuah kali kecil berair jernih. Prajurit di
depan sebelah kanan melambaikan tangan
memberi tanda berhenti. Ketika kereta itu
berhenti maka tersibaklah tirai jendela dan
sebuah kepala berparas jelita remaja
munculkan diri ke luar.
"Ada apa berhenti?" Suara gadis ini bertanya
begitu merdu. Kepala pengawal menjura
sedikit dan menjawab:
"Kuda-kuda kita perlu diberi minum, Tuan
Puteri…" Rara Murni menutupkan tirai jendela
kembali. Kusir turun dari kereta dan membawa
kedua ekor kuda coklat ke tepi kali. Enam ekor
binatang itu kemudian seperti berebutan
memasukkan mulutnya ke datam air kali yang
bening sejuk. Beberapa ketika berlalu maka
rombongan bersiap-siap untuk melanjutkan
kembati. Namun belum lagi kusir naik ke atas
kereta empat orang penunggang kuda muncul
di tempat itu. Badan tegap-tegap dan muka
mereka tak dapat dikenali karena kepala
masing-masing tertutup dengan kerudung
kain hitam yang dilubangi di bagian matanya.
"Perjalanan kalian hanya sampai di sini!" kata
penunggang kuda paling depan. Suaranya
berat dan parau, disertai dengan tenaga
dalam sehingga tak mungkin untuk mengenali
suaranya yang asli. Empat pengawal kereta
yang tahu bahwa manusia-manusia
berkerudung kain hitam itu datang bukan
dengan membawa maksud baik segera cabut
pedang! Melihat ini orang yang tadi bicara
tertawa mengekeh.
"Kalian kunyuk-kunyuk Pajajaran kalau masih
ingin selamatkan batang leher segeralah
tinggalkan tempat ini!"
"Bangsat rendah! Berani menghina prajurit
kerajaan! Terima pedangku!" bentak kepala
pengawal. Dia melompat ke muka dan
pedangnya berkelebat, berkilauan ditimpa
sinar matahari! Manusia berkerudung
sentakkan tali kekang kuda dan miringkan
badan. Berbarengan dengan itu kaki kanannya
meluncur dengan sangat cepat. Kepala
pengawal kereta terpekik. Pedangnya lepas
dan mental sedang sambungan sikunya yang
dimakan tendangan tanggal dari persendian!
Dia mengeluh kesakitan, terbungkuk-bungkuk
sambil memegangi sambungan sikunya yang
copot! Tiga pengawa! yang lain tanpa banyak
bicara segera menyerbu dan disambuti oleh
tiga laki-laki lainnya yang memakai kerudung.
Setelah terlibat dalam dua jurus pertempuran
maka terdesaklah ketiga pengawal kereta.
Sementara itu di dalam kereta, mendengar
suara ribut-ribut dan disusul dengan suara
beradunya senjata dengan hati cemas Rara
Mumi singkapkan tirai jendela. Dia terkejut
sekali melihat ada sesosok tubuh berkerudung
melangkah mendekati kereta. dan
mengulurkan tangan untuk membuka pintu
kereta!
"Rara Murni… kau tak usah cemas! Apa yang
terjadi di,sini hanya pertunjukan biasa saja.
Silahkan turun…!"
"Kalian siapa…?!"
"Siapa kami itu tidak penting. Turunlah…."
"Rampok-rampok biadab! Kalau kalian tahu
siapa aku segeralah tinggalkan tempat ini
sebelum pasukan kerajaan datang menumpas
kalian!" Laki-laki berkerudung tertawa
bergelak. Dibukanya pintu kereta dan
diulurkannya tangan kanan untuk menarik
Rara Murni keluar dari kereta. Kusir kereta
yang sejak tadi seperti terpukau melihat
pertempuran yang berkecamuk di depan
matanya, ketika mengetahui bahwa Rara
Murni hendak diperlakukan secara kasar
segera mengambil cambuk kereta dan
menderu punggung laki-laki berkerudung.
"Rampok laknat! Berani mengganggu adik
Sang Prabu!" Dan cambuk itu mendera lagi
beberapa kali. Laki-laki berkerudung memutar
tubuh. Sekali dia gerakkan tangan maka
berhasillah dia merampas cambuk itu. Dan
kini cambuk itu dipakainya untuk melecuti
muka kusir kereta. Kusir ini menjerit-jerit.
Kemudian dengan kalap mencabut golok
pendeknya dan menyerang si muka
berkerudung. Namun hanya dengan mengelak
dan sekali tendang saja maka kusir kereta itu
terpelanting ke tebing kali, masuk ke dalam
kali. Tubuhnya segera hanyut terbawa air,
tenggelam timbul karena sebelum jatuh ke
dalam kali tendangan laki-laki berkerudung
telah membuatnya pingsan terlebih dulu!
Pertempuran antara tiga prajurit pengawal
dan tiga laki-laki berkerudung lainnya tak
berjalan lama. Ketiga pengawal itu
menggeletak di tanah bermandikan darah.
Sementara itu di atas kereta Rara Murni
berusaha melawan dan meronta-ronta,
menerjang dan meninju laki-laki yang hendak
menyeretnya turun secara paksa. Namun
apalah kekuatan seorang perempuan. Dalam
waktu sebentar saja segera laki-laki
berkerudung itu dapat membekuknya. Rara
Murni dinaikkan ke atas kuda.
"Lemparkan ketlga mayat itu ke dalam kali!"
perintah laki-laki berkerudung yang sudah
naik ke atas punggung kudanya.
"Juga kereta itu!" Tiga mayat pengawal
dilemparkan ke dalam kali. Kuda penarik
kereta melonjak-lonjak dan meringkik keras
ketika tiga manusia berkerudung itu
mendorong kereta ke dalam kali!
Dalam waktu yang singkat keempat orang itu
segera berlalu. Yang tinggal kini di tempat itu
hanya bekas-bekas pertempuran, darah,
mayat, kereta dan kuda yang masih terus
meringkikringkik sementara tubuhnya dengan
perlahan tapi pasti tenggelam ke dalam kali!
– == 0O0 == - Lembah Limanaluk satu daerah
yang jarang didatangi manusia. Daerah ini
sunyi sepi, ditumbuhi pohon-pohon raksasa
dan semak belukar lebat. Ke sinilah keempat
manusia berkerudung itu membawa Rara
Murni. Di hadapan sebuah kuil tua mereka
berhenti dan menurunkan gadis itu yang
sampai saat itu masih terus juga melawan
dengan segala daya yang ada.
"Rara Murni, kalau kau tak banyak cingcong
aku tak akan perlakukan kau dengan
kekerasan…"
"Lepaskan aku!" teriak Rara Murni.
"Masuklah ke dalam kuil sana!"
"Tidak!" dan Rara Murni berusaha hendak lari
namun tangannya segera kena dicekat. Laki-
laki berkerudung yang bertindak sebagai
pemimpin tiga orang lainnya berpaling, lalu
katanya pada ketiga orang itu:
"Kalian kembalilah. Beritahukan bahwa tugas
kita berhasil baik!" Tiga laki-laki berkerudung
segera lompat kembali ke atas punggung
kuda masing-masing dan meninggalkan
tempat itu. Yang seorang tadi menyeret Rara
Murni ke dalam kuil. Kuil itu sebuah kuil tua
yang sudah tak dipakai lagi. Batu dindingnya
sudah pada luruh dimakan umur. Sebuah arca
besar yang terdapat di pojok kuil sebagian
mukanya rusak dan tangan serta kakinya
sudah buntung.
"Lepaskan aku dari sini!" teriak Rara Murni
untuk kesekian kalinya. Suaranya mulai parau.
"Kau terlalu banyak cerewet, Rara Murni."
kata laki-laki berkerudung. Kedua bola
matanya berkilat-kilat memandangi paras dan
tubuh gadis itu.
"Tapi…" kata orang ini kemudian,
"Kau mungkin tak akan banyak ulah bila
mengetahui siapa aku." Habis berkata begitu
laki-laki ini membuka kerudung penutup
mukanya. Kaget Rara Murni bukan kepalang.
Seperti tak percaya dia akan pandangan
kedua matanya. Betapakah tidak! Laki-laki
berkerudung itu ternyata adalah salah seorang
kepala pasukan kerajaan yang cukup
dikenalnya.
"Kalasrenggi!" Kalasrenggi tertawa mengekeh.
"Kau sudah lihat mukaku dan tahu siapa aku.
Apa kau juga masih mau cerewet?"
"Apa maksudmu dengan semua ini,
Kalasrenggi?!' ,
"Apa maksudku? Kau akan lihat saja nanti!"
"Pengkhianat! Pengkhianat terkutuk kau
Kalasrenggi! Kau sadar apa akibatnya kalau
kakakku mengetahui perbuatanmu ini?!"
"Kakakmu tak akan pernah mengetahuinya!"
"Aku akan adukan dan kau akan dibuang ke
pulau Neraka! Tempat
pengkhianatpengkhianat kerajaan!"
Kalasrenggi tertawa lagi. Matanya semakin
berkilat-kilat memandangi paras Rara Murni.
Memang sesungguhnya sudah sejak lama
laki-laki ini secara diam-diam merasa tertarik
dan jatuh hati terhadap Rara Murni. Kini
berada berdua-dua di tempat sunyi itu, hasrat
yang terpendam itu menjadi berkobar-kobar
memanasi darah dan tubuhnya.
"Mungkin kau tak akan pernah punya
kesempatan untuk mengadu Rara Murni.
Kepalamu cukup bagus untuk jadi benda
persembahan kepada kakakmu sendiri!" Rara
Murni terkejut.
"Apa maksudmu?" Kalasrenggi tertawa. Tawa
yang menjijikkan Rara Murni. Katanya:
"Kalau kau mau menuruti apa yang aku
katakan, mungkin aku masih bisa
menyelamatkan kau dari kematian…."
"Kau benar-benar pengkhianat terkutuk!
Terkutuk!" Masih dengan tertawa yang
menjijikkan itu Kalasrenggi melangkah maju
mendekati Rara Murni. Matanya berkilat-kilat,
cuping hidung kembang kempis dan dadanya
bergejoiak. Melihat ini Rara Murni segera
melangkah mundur. Mundur sampai
punggungnya membentur dinding kuil.
Sebelum dia sempat lari ke pintu jari-jari
tangan Kalasrenggi yang besar-besar dan
panas digelorai nafsu telah mencekal
lengannya.
"Kenapa musti takut…?" ujar laki-laki itu.
Nafasnya yang keras dan panas
menghembushembus ke muka Rara Murni.
"Keparat! Lepaskan tanganku! Lepaskan!"
teriak Rara Murni. Tiba-tiba Kalasrenggi
menyentakkan tangan itu. Rara Murni
tenggelam ke dalam pelukannya yang
beringas dan ganas. Ciumannya bertubi-tubi
di paras jelita gadis itu. Rara Murni memekik.
Meronta dan memekik! Badannya ditekan
erat-erat ke dinding kuil oleh Kalasrenggi,
membuatnya hampir tak bisa meronta dan
menghindarkan kepalanya dan ciumanciuman
laki-laki itu. Bahkan Rara Murni tak bisa
berbuat sesuatu apa ketika Kalasrenggi
dengan beringasnya menarik kain yang
menutupi dadanya! Rara Murni memekik lagi
ketika badannya digulingkan ke lantai kuil.
Kedua kakinya dilejang-lejangkannya. Namun
lejangan-lejangan ini hanya membuat kain
yang dipakainya menjadi turun sampai ke
paha. Pemandangan ini membuat nafsu yang
sudah menggejolak dalam diri Kalasrenggi
jadi mengamuk dengan dahsyat. Rara Mumi
menjerit tiada henti-hentinya. Menjerit meski
dia tahu bahwa jeritan itu tak ada artinya
bagi Kalasrenggi, menjerit meskipun tahu
bahwa dia dalam keadaan begitu rupa tak
akan mungkin lagi menyelamatkan diri dan
kehormatannya! Dalam nafsu yang mengamuk
itu mendadak Kalasrenggi merasakan sesuatu
menyambar di atas punggungnya. Belum lagi
dia sempat palingkan kepala untuk melihat
benda apa yang menyambar itu maka
terdengarlah suara bergedebukan di lantai
kuil! Dan sesaat bila Kalasrenggi
memalingkan kepala maka terkejutlah dia,
terkejut seperti melihat setan berkepala tujuh!
Tiga sosok tubuh bergeletakkan di lantai kuil!
Bukan saja tiga sosok tubuh yang
bergeletakkan itu yang mengejutkan
Kalasrenggi tapi terlebih lagi ialah ketika
mengenali bahwa ketiga manusia ini adalah
anak buahnya sendiri, yang tadi disuruhnya
kembali ke Kotaraja untuk memberikan
laporan pada Raden Werku Alit bahwa tugas
penculikan atas diri Rara Mutni telah
dilaksanakan. Nafsu yang membara di tubuh
Kalasrenggi dengan serta merta mengendur
dan lenyap sama sekali. Perlahan-lahan laki-
laki ini berdiri dan meninggalkan Rara Murni
yang tadi hampir saja menjadi mangsa
kebejatannya.
Ketika diperhatikannya ketiga anak buahnya
itu ternyata tidak bernafas lagi alias sudah
menjadi mayat! Muka-muka mereka membiru
sedang pada kening masing-masing
dilihatnya tiga deretan angka-angka 212.
Muka yang biru itu diketahuinya adalah akibat
pukulan atau tamparan yang ampuh sekali.
Tapi adanya angka-angka 212 pada kening
ketiga orang ini adalah tidak dimengerti sama
sekali oleh Kalasrenggi! Pada saat dirinya
dilepaskan oleh Kalasrenggi maka pada saat
itu pula dengan serta merta Rara Murni
bangkit berdiri dan hendak lari ke pintu kuil.
Namun baru tiga langkah kedua kakinya
bergerak, gadis ini hentikan langkah, darahnya
tersirap dan mukanya memucat. Pada pintu
kuil sesosok tubuh yang memakai kerudung
hitam berdiri dengan bertolak pinggang. Tak
bisa tidak pastilah manusia ini anak buah
Kalasrenggi juga, pikir Rara Murni…
Kalasrenggi sendiri ketika melihat bayangan
seseorang di pintu kuil cepat menoleh dan
kembali mukanya dilanda rasa terkejut! Dia
tidak kenal dengan manusia berkerudung di
pintu itu, tapi dia pasti betul bahwa laki-laki
ini bukanlah orangnya, tapi kerudung hitam
yang dikenakannya adalah kerudung salah
seorang anak buahnya yang telah menemui
ajal dengan cara yang aneh itu! Bukan tidak
mustahil manusia ini pulalah yang telah
menamatkan riwayat tiga anak buahnya itu!
Meski amarahnya tidak terkirakan namun
Kalasrenggi tidak mau bertindak gegabah.
Sepasang matanya memandang tajam-tajam
seperti mau menembus kerudung yang
menutupi kepala sosok tubuh manusia yang
berdiri di pintu kuil itu!
"Tamu tak diundang, silahkan buka
kerudung!" kata Kalasrenggi. Orang yang di
pintu menyeringai di balik kerudung hitamnya.
Lalu terdengarlah suara tertawanya, mula-
mula mengekeh perlahan, tapi kemudian
menjadi tawa bergelak yang menggetarkan
gendang-gendang telinga serta menggetarkan
dinding-dinding kuil tua itu! Kalasrenggi
bersiap-siap dengan tenaga dalamnya dan
berlaku waspada. Kalau suara tertawa
manusia ini dapat menggetarkan gendang-
gendang telinga bahkan menggetarkan dinding
kuil, maka ini suatu pertanda bahwa siapa
pun adanya manusia ini, dia bukanlah orang
sembarangan! Dan semakin yakin Kalasrenggi
bahwa orang inilah yang telah menewaskan
ketiga anak buahnya. Akan Rara Murni, kalau
tadi hatinya kecut dan takut melihat
munculnya manusia berkerudung ini, maka
setelah mengetahui bahwa dia bukanlah di
pihaknya Kalasrenggi, diamdiam Rara Murni
menjadi sedikit lega hatinya. Tapi dia tak
tahu apakah manusia yang baru datang ini
adalah tuan penolongnya ataukah seseorang
yang lebih bejat dan terkutuk dari
Kalasrenggi! Dalam pada itu dia sendiri
masih belum dapat melihat tampang orang
ini. Hati Kalasrenggi serasa dibakar karena
ucapannya disahuti dengan suara tertawa
macam begitu oleh si kerudung hitam. Maka
berkatalah dia dengan menunjukkan nyali
besar:
"Kalau kau tak mau buka kerudung, terpaksa
aku turun tangan…." Orang berkerudung
hentikan tertawanya. Dan dia buka mulut
menyahuti:
"Diri manusia tidak diukur dari tampangnya,
tapi dari hatinya! Bila dia seorang prajurit,
maka kejujuran hati, kesetiaan dan baktinya
pada kerajaanlah yang menjadi ukuran!"
Merah paras Kalasrenggi mendengar kata-
kata ini. Si kerudung hitam tertawa bergumam
dan berpaling pada Rara Murni dan berkata:
"Bukan begitu Tuan Puteri Rara Murni…?"
Rara Mumi tak menyahuti. Tapi dia menjadi
terkejut karena tak menyangka kalau lakilaki
itu tahu namanya. Dan beratlah dugaannya
bahwa laki-lakl ini adalah orang dalam juga.
Orang kerajaan juga, entah pengkhianat entah
seorang penolong. Tapi kalau dia bermaksud
menolong, mengapa musti pakai kerudung
hitam segala?
"Tapi…" kata laki-laki yang di pintu pula
melanjutkan bicaranya,
"Kalau kau memang kepingin melihat
tampangku, baiklah! Aku tak keberatan untuk
membuka kerudung hitam ini. Tampangku
memang buruk. Namun jika dibandingkan
dengan tampangmu, masih mendingan aku ke
mana-mana!" Sambil tertawa-tawa laki-laki
ini membuka kerudung hitam yang menutupi
kepalanya. – == 0O0 == - Bila Rara Murni
memandang ke muka maka di balik kerudung
yang telah dibuka itu ternyata laki-iaki yang
berdiri di pintu adalah seorang pemuda gagah
berambut gondrong. Meski tertawanya tadi
mengekeh dan bergelak namun parasnya yang
gagah itu condong kepada paras anak-anak.
Sebaliknya begitu menyaksikan tampang
manusia di depannya, kedua mata Kalasrenggi
menyipit, kulit mukanya mengerenyit. Otaknya
berputar dengan cepat, mengingat-ingat di
mana dia pernah melihat pemuda ini
sebelumnya. Dan secepat dia ingat maka
menggeramlah Kalasrenggi. Pemuda yang ada
di hadapannya saat itu tak lain daripada
pemuda yang malam tadi telah berteduh di
teratak di luar Kotaraja sewaktu hari hujan
lebat dan sewaktu dia tengah bicara dengan
Werku Alit! Juga pemuda inilah yang
kemudian ditotok Werku Alit! Dan dia sendiri
menghadiahkan satu tendangan!
"Ingat siapa aku…?"
"Saudara, apa urusanmu dalam hal ini?!"
bentak Kalasrenggi garang. Tangan kirinya
menyelinap ke balik pinggang di mana tersisip
sebilah keris.
"Ah… tentu ada saja, Saudara. Pertama, kau
telah menghadiahkan tendangan padaku
malam tadi. Enak juga tendangan itu. He,..
he… he…. Lalu, aku tidak begitu suka pada
manusiamanusia yang bersifat ular kepala
dua, pengkhianat besar serta tukang rusak
kehormatan perempuan…. Apa itu kurang
cukup untuk bikin urusan denganmu?!"
"Hem…." Kalasrenggi menggumam.
"Jadi hari ini aku berhadapan dengan seorang
pendekar budiman huh?! Satu hal yang
menyenangkan sekali!" Habis berkata begini
Kalasrenggi keluarkan suara berdengus dari
hidungnya.
"Terangkan dulu siapa kau punya nama!"
katanya kemudian.
"Ah, kau keliwat ramah tanya-tanya segala
nama. Namaku sudah kutuliskan pada kening
ketiga anak buahmu!" jawab si pemuda pula.
Kalasrenggi tertawa mengejek.
"Baru kali ini aku bertemu manusia yang
namanya adalah tiga buah angka. Angka-
angka gila!" Si pemuda tertawa.
"Angka-angka itu mungkin gila! Tapi tidak
segila pengkhianat macam kau Kalasrenggi!"
"Kau sudah tahu namaku. Kenapa tidak lekas
kabur tinggalkan tempat ini?!"
"Apa kabur dari sini? L.alu kau teruskan
maksud busukmu terhadap Tuan Puteri Rara
Murni? Aku tidak sebodoh dan sepengecut
yang kau sangka, Kalasrenggi!"
"Kalau betul kau punya nyali, tahan ini!"
bentak Kalasrenggi garang. Dengan satu
lompatan cepat Kalasrenggi lancarkan
serangan tangan kosong. Tapi serangan yang
hebat ini dapat dielakkan lawan dengan
mudah bahkan sambil bersiul dan
tertawatawa.
"Kalasrenggi, kalau mau baku jotos jangan di
dalam sini, mari keluar!" kata si pemuda
rambut gondrong atau pendekar 212 Wiro
Sableng. Sengaja dia berkata begitu karena
khawatir dalam pertempuran nanti Rara Murni
yang juga berada di ruangan itu akan
mendapat celaka.
"Tak usah banyak mulut! Kau harus mampus
disaksikan ketiga mayat anak buahku!" bentak
Kalasrenggi pula. Untuk kedua kalinya kepala
pasukan Pajajaran yang berkhianat ini
menyerang, lebih hebat dari tadi. Tiba-tiba
orang yang diserangnya lenyap dari
hadapannya. Kemudian di belakangnya
terdengar suara siulan.
"Aku di sini Kalasrenggi, mengapa menyerang
tempat kosong?!" Kalasrenggi kertakkan
rahang. Dia berbalik dengan cepat dan
menyerang lebih ganas. Tangannya bergerak
cepat, tendangan kaki bertubi-tubi.
Keseluruhannya mengeluarkan angin yang
keras dan bersiuran. Agaknya permainan silat
tangan kosong Kalasrenggi tidak dari tingkat
rendahan. Dari angin pukulan dan
tendangannya Wiro sudah dapat menjajaki
kehebatan lawan. Karena tak mau ambil
resiko pemuda ini segera bergerak cepat.
Dalam waktu yang singkat tiga jurus berlalu
sebat. Pada saat memasuki jurus keempat
Wiro Sableng melihat Rara Murni melarikan
diri keluar kuil. Sambil rundukkan kepala
mengelakkan hantaman tinju Kalasrenggi,
Wiro Sableng berseru:
"Rara, tunggu! Jangan pergi dulu!" Tapi mana
si gadis mau dengar. Sambil menyingsingkan
kainnya ke atas Rara Murni mempercepat
larinya. Terpaksa pendekar 212 lepaskan
pukulan tangan kanan ke arah kedua kaki
gadis itu. Serangkum angin melesat deras dan
dingin. Rara Murni merasa kedua kakinya
seperti disiram air es, kemudian kedua
kakinya itu kaku tak bisa lagi digerakkan.
Larinya dengan serta merta terhenti. Melihat
lawan melakukan dua gerakan sekaligus maka
kesempatan ini dipergunakan oleh Kalasrenggi
untuk membobolkan pertahanan lawan.
Tendangan kaki kanan dan tinju kiri kanan
menyerang susul menyusul ke tempat-tempat
terlemah dari Wiro Sableng! Namun dengan
membentak keras dan berkelebat cepat ketiga
serangan lawan dapat dikelit oleh pendekar
212. Penasaran sekali Kalasrenggi memburu
lagi dengan satu serangan berantai. Kali ini,
pada saat tangan kanan Kalasrenggi memukul
ke muka, pendekar 212 sengaja menyongsong
datangnya lengan lawan. Maka beradulah
lengan dengan lengan! Kalasrenggi terpekik.
Tubuhnya terpelanting ke belakang sampai
punggungnya menghantam dinding kuil.
Lengan kanannya yang beradu dengan lengan
lawan kelihatan biru dan bengkak besar.
Sakitnya bukan alang kepalang! Karena tadi
Wiro Sableng melayaninya seperti acuh tak
acuh, Kalasrenggi tidak menduga kalau
kehebatan lawan demikian lihainya. Sesudah
mengurut lengannya yang bengkak biru serta
mengalirkan tenaga dalam ke bagian yang
terpukul itu maka kemudian Kalasrenggi
dengan tangan kirinya mencabut sebilah keris
dari balik pinggang. Senjata ini sebuah
senjata pusaka juga rupanya karena
memancarkan sinar membiru. Tanpa banyak
bicara kepala pasukan Pajajaran itu segera
lancarkan serangan dahsyat. Kalasrenggi
memang seorang kidal dan permainan
kerisnya juga sudah mencapai tingkat yang
matang. Apalagi dengan mempergunakan
tangan kiri itu maka serangan-serangannya
sukar diduga. Namun demikian pendekar 212
sudah punya rencana sendiri terhadap
manusia kepala dua ini! Dibiarkan dan
dielakkannya saja untuk beberapa lamanya
serangan-serangan keris Kalasrenggi. Kepala
pasukan pengkhianat ini semakin gemas dan
geram. Dipercepatnya gerakannya namun
tetap saja tiada mencapai hasil yang
dikehendakinya.
"Pegang senjatamu erat-erat, Kalasrenggi."
kata pendekar 212 memberi ingat. Kalasrenggi
masih belum mengerti apa maksud ucapan
lawannya itu. Bahkan dia sama sekali tidak
dapat melihat dengan jelas gerakan kedua
tangan Wiro Sableng. Tahu-tahu saja
dirasakannya keris pusakanya terlepas dari
tangan. Laki-laki ini mengeluarkan seruan
tertahan. Memandang dengan tak percaya
pada tangan kirinya yang kosong! Wiro
Sableng tertawa mengekeh dan melompat ke
muka. Tangan kanannya terkembang seperti
hendak mencengkeram muka Kalasrenggi.
Yang diserang cepat merunduk dan berusaha
menyodokkan lipatan sikunya ke perut lawan.
Tapi kali ini Kalasrenggi tertipu. Tangan yang
menyerang dan hendak mencengkeram itu
hanya gerakan palsu belaka. Tanpa dapat
dikelit lagi oleh Kalasrenggi maka dua ujung
jari tangan kanan Wiro Sableng meluncur ke
rusuk kirinya. Mendadak sontak detik itu juga
tubuh Kalasrenggi menjadi kaku tegang.
Tangan dan kakinya tak bisa digerakkan lagi,
tapi mulutnya masih sanggup bicara,
telinganya masih bisa mendengar, demikian
juga indera-inderanya yang lain masih tetap
seperti biasa. Pendekar 212 sengaja menotok
laki-laki itu demikian rupa, sesuai dengan
rencananya. Sambil tertawa-tawa dan garuk-
garuk kepalanya yang berambut gondrong
Wiro Sableng memandangi Kalasrenggi
beberapa lamanya. Kemudian pendekar muda
ini melangkah mendapatkan Rara Murni.
Dilepaskannya totokan yang telah memakukan
kedua kaki gadis itu. Rara Murni begitu
merasa kakinya bebas segera hendak lari
namun tangannya cepat dipegang oleh Wiro
Sableng.
"Lepaskan tanganku!" teriak Rara Murni.
"Terhadapku tak usah takut, Rara Murni."
kata pendekar 212 pula.
"Kau siapa?!" tanya Rara Murni dan berusaha
melepaskan tangannya yang dipegang.
"Siapa aku itu soal nanti. Tapi apakah kau
akan tinggalkan begitu saja Kalasrenggi
tanpa memberikan satu hukuman yang
setimpal terhadapnya?!"
"Aku akan laporkan kejahatannya terhadap
Sang Prabu. Pasukan Kerajaan akan
menyeretnya ke Pakuan! Dia pasti akan
dibuang ke pulau Neraka!
" Pendekar 212 tersenyum.
"Kuil ini juga bisa menjadi tempat neraka
baginya, Rara Murni. Mari, aku akan
tunjukkan cara yang bagus untuk menghukum
pengkhianat dan manusia bejat macam dia!"
Dengan seutas tali pendekar 212 mengikat
kedua pergelangan kaki Kalasrenggi.
Kalasrenggi yang saat itu meski tubuhnya
kaku tapi masih bisa merasa, melihat dan
bicara:
"Keparat! Kau mau buat apa terhadapku?!"
"Ah, kau masih bilang keparat, Saudara…"
jawab pendekar 212 dengan tertawa.
"Pernahkah kau melihat dunia terbalik?!
Melihat dengan kaki ke atas kepala ke
bawah?!"
"Apa maksudmu?!" bentak Kalasrenggi. Tapi
dalam hatinya dia sudah dapat menduga apa
yang bakal dilakukan oleh Wiro Sableng dan
tubuhnya mengucurkan keringat dingin.
"Apa maksudku kita akan saksikan sama-
sama, Kalasrenggi," kata Wiro Sableng pula.
Sekali saja tali yang mengikat kedua
pergelangan kaki Kalasrenggi ditariknya maka
terbantinglah laki-laki itu ke lantai kuil. Kutuk
serapah dan keluh kesakitan bersemburan dari
mulut Kalasrenggi.
"Sudahlah, jangan memaki-maki juga, tak ada
gunanya," kata pendekar 212. Dia memandang
ke atas atap kuil dan dilihatnya sebuah tiang
yang membentang memalang di bawah atap.
Ujung tali yang dipegangnya dilemparkannya
ke atas. Bila ujung tali itu menjuntai ke
bawah kembali setelah terlebih dahulu
menyangkut di tiang palang maka pendekar
212 mulai mengerek badan Kalasrenggi. Gelap
dunia ini bagi Kalasrenggi. Dalam tempo yang
singkat mukanya menjadi sangat merah
karena darah yang mengalir turun memberati
mukanya. Laki-laki ini coba meronta, tapi
tubuhnya kaku tak bergerak, hanya terbuai-
buai saja macam karung diisi pasir dan
digantung! Yang bisa dilakukan Kalasrenggi
hanya memaki dan memaki tiada habisnya dia
menjadi letih sendiri. Pendekar 212 tertawa
mengekeh macam kakek-kakek. Dia berpaling
pada Rara Murni sebentar lalu bertanya pada
Kalasrenggi:
"Bagaimana, indahkah dunia ini bila dilihat
terbalik…?"
"Demi setan bila bebas aku bersumpah untuk
mencincang tubuhmu keparat…!" hardik
Kalasrenggi.
"Sumpahmu terlalu hebat Kalasrenggi. Tapi
bisakah kau membebaskan dirimu dari jarijari
tanganku ini…?" Dengan senyum-senyum Wiro
Sableng melangkah mendekati Kalasrenggi.
Kemudian sepuluh jari-jari tangannya
menggerayang menggelitiki tulang rusuk
Kalasrenggi! Laki-laki ini menjerit, melolong
setinggi langit sampai suaranya menjadi
serak! Wiro Sableng tertawa senang. Rara
Murni sendiri hampir-hampir tak dapat
menahan gelinya. Dan Kalasrenggi terus juga
berteriak, menjerit, melolong dan memekik
dengan suaranya yang serak parau itu!
"Rara Murni, ayo mengapa diam saja? Kalau
kau ingin membalaskan sakit hatimu
terhadapnya, inilah saatnya," kata Wiro
Sableng pula. Meski amarahnya memang
masih meluap terhadap Kalasrenggi namun
berada lebih lama di situ menimbulkan
kekhawatiran bagi Rara Murni. Gadis ini
walau bagaimanapun tak dapat memastikan
manusia yang bagaimana adanya pemuda
rambut gondrong itu, meskipun dianya telah
menolong dan menyelamatkan diri serta
kehormatannya. Karenanya tanpa banyak
bicara menyahuti ucapan Wiro Sableng tadi,
juga tanpa membuang waktu, Rara Murni
segera lari meninggalkan kuil itu. Kali ini Wiro
Sableng tidak berbuat apa-apa lagi untuk
menahan Rara Murni, diikutinya saja gadis itu
dengan pandangan mata.
"Gadis tolol!" gerendeng pendekar 212 dalam
hati.
"Dikiranya Kotaraja dekat dari sini!"
Kemudian ketika Rara Murni lenyap di balik
kelebatan pohonpohon di lembah Limanaluk
itu maka pendekar 212 segera angkat kaki
pula, menyusul dengan diam-diam dari
belakang….
– == 0O0 == - Begitu keluar dari lembah
Limanaluk maka sesaklah nafas Rara Murni
karena telah berlari itu. Sebelumnya
jangankan berlari, berjalan sejauh itu pun tak
pernah dilakukannya! Dia berhenti dan berdiri
bersandar ke sebatang pohon rindang. Saat
itulah baru disadarinya keadaan pakaiannya
yang tidak menutupi badannya, terutama
letak kain di bagian dadanya. Segera
dibetulkannya letak pakaiannya, dirapikannya
pula rambutnya.
Dia menunggu sampai nafasnya yang
memburu dan dadanya yang sesak pulih
seperti sedia kala. Saat itu kedua kakinya pun
terasa sakit. Rara Murni merasa bahwa dia
tidak sendirian di tempat itu. Dipalingkannya
kepalanya. Darahnya tersirap karena begitu
kepalanya diputar maka kedua matanya
membentur sesosok tubuh yang berada dekat
sekali di sampingnya. Orang ini ternyata
adalah pemuda rambut gondrong yang di kuil
tua tadi!
"Letih?" tanya Wiro Sableng dengan senyum-
senyum.
Rara Murni tak menjawab.
"Kotaraja tidak dekat dari sini, Rara…"
"Aku tahu…"
"Lalu, mengapa lari-lari macam begini?
Mungkin juga aku membuat kau jadi takut?
Rambutku yang gondrong ini barangkali ya?"
"Saudara, kau ini siapa sebenarnya?"
"Aku? Aku ya aku…" jawab Wiro pula.
"Kalau kau hendak bermaksud jahat pula
terhadapku sebaiknya berlalunya saat ini
juga!"
"Ah… tampangku memang jelek, tapi aku tidak
sejahat yang kau sangkakan Rara Murni. Aku
hanya tak ingin melihat kau musti lari
setengah mati sampai di Kotaraja! Mungkin
seperempat jalan kau sudah mengeletak
pingsan!"
Rara Murni terdiam. Tapi kemudian dia
berkata: "Walau bagaimanapun aku musti
kembali ke Kotaraja selekas mungkin…"
"Itu memang betul. Tapi bukan dengan lari
caranya. Mari ikut aku…"
"Ikut ke mana?"
"Dengar Rara, kau tak perlu terlalu bercuriga
terhadapku. Di tepi sungai sana ada beberapa
ekor kuda. Kau bisa naik kuda?"
Gadis itu menggeleng. Wiro Sableng garuk-
garuk kepalanya.
"Kalau begitu…" katanya,
"Kau terpaksa naik
kuda bersama-samaku!"
Maka merahlah paras Rara Mumi.
"Jangan bicara seenak perutmu, saudara!"
bentak gadis ini.
"Heh… aku toh tidak bicara usil. Habis kalau
kau tak bisa naik kuda sendiri bagaimana?"
"Aku lebih baik jalan kaki!" sahut Rara Murni
dengan hati dan suara keras. Wiro Sableng
tertawa.
"Dengar Rara Murni, aku mempunyai firasat
bahwa peristiwa penculikanmu ada ekornya.
Ekor yang panjang dan besar. Kalau
Kalasrenggi berkhianat terhadap Sang Prabu,
terhadap kerajaan Pajajaran, bahkan bukan
hanya sekedar berkhianat tapi juga hendak
bikin celaka terhadap kau, maka tidak
mustahil masih ada pejabat-pejabat tinggi
kerajaan lainnya yang turut terlibat dalam
pengkhianatan ini…" Ucapan Pendekar 212 itu
memang terpikir ada benarnya oleh Rara
Murni. Tapi menunggang kuda bersama
pemuda itu, tentu saja dia merasa malu
sekali. Apa akan kata orang bila melihat hal
itu nanti? Kemudian didengarnya pula oleh
gadis ini suara Wiro Sableng kembali:
"Makin cepat kau sampai ke Kotaraja semakin
baik…" Rara Murni termenung sejurus. Tapi
hatinya tetap keras tak mau naik kuda
bersama pemuda itu. Tanpa banyak bicara
gadis ini kemudian putar tubuhnya dan
bergegas meninggalkan tempat itu. Wiro
Sableng menggerutu dalam hatinya.
"Gadis keras kepala! Kalau sudah lecet kulit
kakinya baru tahu rasa!" Dia geleng-geleng
kepala dan melangkah pula mengikuti.
Beberapa lama kemudian mereka sampai di
tepi sebuah jalan umum. Selama itu tak satu
pun dari keduanya yang buka mulut.
"Rara," kata Wiro ketika mereka sampai di
jalan umum itu.
"Ada baiknya kita berhenti istirahat di sini.
Siapa tahu ada kereta atau gerobak yang
lewat dan kita bisa menumpang." Gadis itu
tak menjawab. Tapi dia menghentikan
langkah karena memang kedua kakinya sudah
letih. Hampir sepuluh menit mereka berdiri di
tepi jalan itu tapi tak satu kendaraan pun
yang lewat.
"Rara Murni…" kata Wiro Sableng.
"Agaknya kau tidak senang terhadapku…? Tak
mau bicara denganku?" Rara Murni diam saja.
Sebenarnya memang tak ada yang harus
ditidaksenangkannya terhadap pemuda itu.
Hanya segala apa yang tadi terjadi dan
segala apa yang hampir menimpa dirinyalah
yang membuat dia jadi tak banyak bicara dan
merasa bercuriga terhadap pemuda berambut
gondrong yang sampai saat itu masih belum
juga diketahuinya siapa adanya. Wiro Sableng
memandang ke ujung jalan. Sepi tiada
bermanusia.
"Kita berangkat lagi, Rara…?"
"Saudara…." kata Rara Murni untuk pertama
kalinya sesudah sedemikian lama berdiam
diri.
"Kau sendiri siapa sebenarnya dan mau
menuju ke mana?"
"Ah… ini pertanyaan yang bagus sekali. Bagus
sekali." kata pendekar 212 dengan senyum-
senyum.
"Siapa aku, kurasa tidak penting. Dan ke
mana aku mau menuju… aku sendiri
sebenarnya juga tidak tahu… !" Rara Murni
memandang dengan sudut matanya
memperhatikan pemuda itu. Jawabannya
seperti jawaban orang yang tidak betul
pikirannya, atau mungkin pula jawaban itu
hanya sekedar jawaban belaka. Tiba-tiba
keduanya memalingkan kepala ke ujung jalan
sebelah kanan. Di kejauhan kelihatan muncul
sebuah gerobak, ditarik oleh dua ekor lembu.
Di bagian depan gerobak yang terbuka itu
duduk dua orang laki-laki. Mereka berpakaian
petani sedang setengah dari gerobaknya sarat
dengan sayur mayur.
"Nasib kita baik juga rupanya Rara," kata
Wiro Sableng. Dan ketika gerobak itu datang
mendekat, pemuda ini segera lambaikan
tangannya. Gerobak berhenti.
"Saudara, apakah kalian menuju ke Kotaraja?"
Kedua orang di atas gerobak tak menjawab
pertanyaan Wiro Sableng melainkan
memandang lekat-lekat pada gadis di
sampingnya.
"Kalau kami tak salah lihat," kata laki-laki
yang mengemudikan gerobak,
"Agaknya kami berhadapan dengan Tuan
Puteri Rara Murni, adik Sang Prabu
Pajajaran…" Rara Murni mengangguk dan
kedua orang itu segera turun dari kereta lalu
menjura.
"Ada hal apakah sampai Tuan Puteri berada
di tempat ini…?" tanya laki-laki yang
memegang kemudi gerobak. Kedua matanya
kemudian melirik sekilas pada Wiro Sableng,
lalu melirik pada kawannya. Rara Murni
hanya menarik nafas panjang. Karena mengira
pemuda rambut gondrong dan berpakaian
sederhana itu adalah hamba sahaya atau
pembantu Rara Murni maka yang ditanya
menjawab dengan anggukan kepala acuh tak
acuh. Seorang dari mereka kemudian berkata
pada Rara Murni:
"Jika Tuan Puteri bermaksud hendak kembali
ke Pakuan, kami tentu saja bersedia bahkan
merasa berkewajiban untuk membawa Tuan
Puteri. Tapi maafkanlah keadaan kereta kami,
kotor dan penuh sayuran…"
"Itu tak menjadi apa, pokoknya asal sampai
ke Kotaraja." Yang menjawab adalah Wiro
Sableng. Ini mengesalkan kedua orang itu.
Kemudian mereka menolong Rara Murni naik
ke atas gerobak. Gadis itu duduk di sebelah
muka, di samping pengemudi sedang
kawannya bersama Wiro Sableng duduk di
sebelah belakang, di samping tumpukan
sayur. Tak lama kemudian gerobak itu pun
bergeraklah. – == 0O0 == - Kesunyian
sepanjang jalan itu kini dipecahkan oleh suara
deru roda gerobak. Sekalisekali diselingi
dengan gemeletakkan- gemeletakkan bila roda
gerobak menggilas bebatuan atau suara kayu-
kayu kendaraan itu bergerobyakan ketika
salah satu rodanya memasuki lobang jalanan.
Saat itu masih cukup jauh dari Kotaraja,
Pendekar 212 duduk melunjurkan kedua
kakinya di bagian belakang kereta. Matanya
terpejam-pejam oleh hembusan angin siang
yang sejuk. Beberapa kali dia sudah menguap.
Orang yang duduk di hadapannya senantiasa
membuang muka, segan atau tepatnya tak
senang memandang pada pemuda ini yang
sebentarsebentar menguap, sebentar-sebentar
menggaruk kepalanya yang berambut
gondrong. Beberapa saat kemudian Wiro
Sableng membuka juga kedua matanya. Dia
menggeliat. Ini menambah ketidaksenangan
orang yang di hadapannya.
"Saudara, aku minta mentimunmu satu…."
kata Wiro Sableng. Dan tidak menunggu
jawaban pemilik sayuran itu langsung saja
Wiro Sableng mengambil sebuah mentimun
besar dan menggerogotinya. Orang yang di
depan Wiro Sableng memaki dalam hati.
Rahangnya terkatup rapat-rapat.
"Rara Murni…" seru Wiro Sableng tiba-tiba.
"Apakah kau suka makan mentimun?" Di
bagian depan kereta Rara Murni berpaling
sebentar tapi tak menjawab.
"Panas-panas begini enak sekali makan
mentimun, untuk pelepas haus dan
mendapatkannya tak usah susah payah…"
"Terima kasih… aku tidak haus, Saudara…."
Terdengar jawaban gadis itu.
"Hem…." Wiro Sableng menggumam dan terus
juga mengunyah mentimun dalam mulutnya,
dan gerobak terus juga bergerak menempuh
jalan berdebu dan berlobang serta berbatu-
batu. Di bagian belakang kereta Wiro Sableng
mengusap-usap perutnya. Telah tiga butir
ketimun amblas ke dalam perut itu dan betapa
asamnya tampang orang yang di hadapannya.
Kini kembali Wiro Sableng memejamkan
matanya. Kalau perut sudah kenyang memang
kantuk segera datang. Mendadak gerobak itu
dibelokkan ke sebuah jalan buntu yang
menuju sungai oleh pengemudinya. Begitu
gerobak berhenti maka terdengarlah suara
Rara Murni bertanya:
"Saudara, kenapa ke sini dan berhenti di sini?"
Pengemudi gerobak tertawa mengekeh. Tiba-
tiba tertawanya yang menjijikkan itu lenyap
dan diganti dengan teriakan Rara Murni. Dan
di bagian belakang kereta sendiri petani yang
duduk dihadapan Wiro Sableng tiba-tiba
mencabut sebatang golok dari balik pinggang.
Begitu golok tercabut keluar dari sarungnya
tanpa menungu lebih lama segera dibacokkan
ke kepala Wiro Sableng yang saat itu masih
pejamkan mata, keenakan tidur-tidur ayam
tertiup angin sejuk sepanjang perjalanan! Satu
jengkal lagi mata gotok yang tajam akan
membelah batok kepala pendekar 212, maka
terdengarlah bentakan menggeledek.
"Ciaaat!" Tubuh petani yang menyerang
terpental ke luar gerobak. Goloknya lepas dan
tubuh itu kemudian tergelimpang di tanah
dengan perut pecah dihantam tendangan!
Manusia ini hembuskan nafas tanpa keluarkan
sedikit suara pun! Pandangan bola mata
pendekar 212 menyorot bersinar.
"Kentut betul!" makinya dan meludahi muka
mayat petani ini.
"Orang lagi enak-enak tidur mau dibacok,
rasakan sendiri! Puah…!" Diludahinya lagi
muka mayat itu kemudian dipalingkannya
kepalanya dengan cepat. Rara Murni tengah
meronta-ronta melepaskan cekalan petani
yang mengemudikan gerobak sayur.
"Saudara, tolong aku!" teriak gadis itu pada
Wiro Sableng.
"Petani sialan!" gerendeng Wiro Sableng
seraya melompat dari atas gerobak.
"Budak hina! Pergi dari sini atau kutebas
batang lehermu!" teriak laki-laki yang
mencekal Rara Murni.
"Sreet!" Dicabutnya sebuah golok dari batik
pinggang.
"Hemmm… jadi kau hanyalah seorang rampok
bejat yang berkedok sebagai petani huh?
Seekor serigala yang berbulu domba….
Lepaskan gadis itu atau jidatmu kubikin
rengkah!"
"Anjing buduk tak tahu diri, dikasih
kebebasan malah minta mampus!" Dengan
tangan kirinya pengemudi gerobak itu totok
tubuh Rara Murni. Melihat kelihayan totokan
laki-laki itu pendekar 212 segera maklum
bahwa orang itu bukanlah seorang petani
biasa atau pengemudi gerobak yang bodoh,
tapi seorang pendekar lihay yang tengah
menyamar! Maka ketika senjata lawan
berkelebat ke arah kepalanya pendekar 212
bergerak cepat dan tak mau kasih peluang
lagi. Pengemudi gerobak itu buka matanya
lebih lebar sewaktu melihat orang yang
diserangnya tenyap dari hadapannya.
Sambaran goloknya yang deras mengenai
tempat kosong. Ini membuat laki-laki itu
terdorong ke muka dan pada saat inilah kedua
matanya melihat sosok tubuh kawannya yang
menggeletak di tanah dengan perut pecah!
Berdiri bulu kuduk laki-laki ini. Tapi hanya
sebentar saja. Rasa ngeri ini segera
digantikan dengan rasa geram dan amarah
yang meluap. Tubuhnya diputar kembali,
untuk kedua kalinya berkiblatlah senjatanya
menyerang Wiro Sableng. Tapi kali yang
kedua ini justru adalah saat kematiannya!
Senjatanya lagi-lagi menghantam angin
kosong dan sebelum dia sempat mengirimkan
serangan berikutnya maka lima jari tangan
dilihatnya berkelebat dekat sekali ke arah
keningnya, tak bisa dipapaki dengan golok,
tak bisa dikelit dengan kecepatan yang
bagaimanapun!
"Plaaak!" Telapak tangan kanan pendekar 212
mendarat di kening laki-laki itu, disusul
dengan suara jerit kesakitan. Laki-laki itu
terguling ke tanah tidak sadarkan diri lagi.
Kulit keningnya hitam seperti terbakar dan di
bagian tengah kulit kening itu terteralah
angka 212. Laki-laki ini bernasib masih
untung dari kawannya karena pendekar 212
tidak menamatkan riwayatnya. Wiro Sableng
melepaskan totokan yang mengakukan tubuh
Rara Murni.
"Hari ini nasibmu sial terus-terusan rupanya,
Rara," kata pemuda itu dengan senyum-
senyum. Si gadis tak berkata apa-apa.
Mukanya masih agak pucat. Dan Wiro Sableng
berkata lagi:
"Tapi ada juga untungnya. Gerobak ini
sekarang jadi milik kita. Ayo kita teruskan
perjalanan. Rara Murni naik kembali ke atas
gerobak. Wiro Sableng mengemudikan
gerobak itu. Sepanjang perjalanan gadis itu
tak habis pikir. Pemuda yang duduk di
sampingnya itu bertampang gagah, tapi aneh
dan juga lucu. Dan di samping itu kehebatan
yang telah disaksikan sendiri olehnya tadi
diam-diam membuat dia mengagumi si
pemuda. Dan sampai saat ini Rara Murni
tidak tahu sama sekali siapa nama pemuda
itu! Beberapa jauh di luar tembok kerajaan,
Wiro Sableng menghentikan gerobak. Dia
berpaling ke samping. Lalu berkata:
"Rara, Pakuan sudah di depan mata. Aku
mengantarkan kau hanya sampai di sini. Kau
bawalah terus gerobak ini, tak susah untuk
mengemudikannya…."
"Kau sendiri hendak ke mana, Saudara?"
tanya Rara Murni heran. Pendekar 212
tertawa.
"Ke mana aku mau pergi itulah satu hal yang
aku tidak bisa jawab," ujar Wiro Sableng pula.
"Cuma pesanku, jangan lupa untuk
mengatakan segala kejadian yang kau alami
pada Sang Prabu. Kurasa peristiwa-peristiwa
yang kau alami itu mempunyai latar belakang.
Dan bukan mustahil kalau masih ada
pembesar-pembesar istana lainnya yang
menjadi pengkhianat macam Kalasrenggi…."
Rara Murni mengangguk. Kemudian Wiro
Sableng berkata lagi:
"Juga jangan lupa mengirimkan sepasukan
prajurit ke kuil di lembah Limanaluk itu untuk
membekuk Kalasrenggi…." Rara Murni
mengangguk untuk kedua kalinya. Ketika
dilihatnya pemuda rambut gondrong itu
memutar tubuh hendak berlalu, gadis ini
cepat-cepat berkata:
"Saudara… tunggu dulu." Pendekar 212 putar
tubuhnya kembali.
"Ada apakah Rara…?"
"Aku belum bilang terima kasih pada kau…"
"Ah…." Wiro Sableng goyangkan tangannya,
"Tak usah… tak usah. Itu hanya kebetulan
saja…."
"Sang Prabu mungkin akan banyak bertanya
tentang kau. Kurasa lebih baik kau ikut sama-
sama ke istana."
"Terima kasih. Tapi aku ada urusan lain
Rara…." jawab Wiro Sableng.
"Lalu kalau hem… kalau Sang Prabu bertanya
siapa namamu, bagaimana aku musti
menerangkannya?" Wiro Sableng tertawa.
"Nama itu sebenarnya tidak ada arti apa-apa.
Rara. Kita semua dilahirkan tidak bernama.
Orang-orang tua kita yang memberi nama dan
itu hanya kebiasaan saja…."
"Jadi, apakah kau tidak punya nama?" tanya
Rara Mumi pula. Wiro Sableng tertawa lagi.
"Namaku tidak penting Rara. Tapi kalau kau
penasaran ingat-ingat angka ini…." Habis
berkata begitu ditariknya saja ujung bawah
kain yang dikenakan Rara Murni. Dan dengan
ujung jari tangannya, dengan mempergunakan
tenaga dalam tentunya, maka dituliskannya
tiga rentetan angka 212. Rara Murni
memperhatikan angka itu.
"Dua satu dua…:" desisnya. Diangkatnya
kepalanya hendak mengatakan sesuatu pada
pemuda itu. Namun dia terkejut dan tak habis
heran. Si pemuda sudah tak ada lagi di
hadapannya, seakan-akan gaib lenyap ditelan
bumi. Rara Murni memandang berkeliling.
Tapi pendekar 212 tetap saja tidak kelihatan.
Gadis itu menghela nafas panjang.
"Pemuda aneh… agak ceriwis… tapi berhati
polos…." kata Rara Murni dalam hati.
Dicambuknya sapi-sapi penarik gerobak.
Gerobak itu pun bergeraklah menuju pintu
gerbang Kotaraja. Tentu saja Prabu
Kamandaka sangat terkejut ketika mendapat
keterangan dan mengetahui apa yang telah
terjadi atas diri adiknya. Sepasukan prajurit
kerajaan segera dikirim ke lembah Limanaluk.
Tapi mereka datang terlambat karena saat itu
pengkhianat Kalasrenggi sudah tak bernafas
lagi, mati tergantung dengan darah
bercucuran dari hidung, mata serta telinga!
Rara Murni sendiri, secara diam-diam
menyuruh beberapa orang kepercayaannya
untuk mencari jejak Wiro Sableng si Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212, namun usaha
mereka siasia belaka. Hari itu juga di seluruh
Kerajaan diadakan pembersihan, termasuk di
dalam istana. Tapi hasilnya tidak memuaskan
sama sekali. Bahkan biang racun pengkhianat
yaitu Raden Werku Alit tetap tenang-tenang
saja di tempatnya di dalam gedungnya yang
mewah di lingkungan istana. Siapa yang
menduga kalau saudara sepenyusuan dari
Sang Prabu sendiri yang menjadi tokoh
pengkhianat terbesar? Satu-satunya orang
yang ditangkap dalam pembersihan yang
diadakan ialah petani yang menggagahi Rara
Murni di tengah jalan sewaktu naik gerobak.
Namun sebelum dibawa ke hadapan Sang
Prabu, petani ini berhasil merampas pedang
seorang perajurit dan menghunjamkannya ke
batang lehernya. Tak ampun lagi manusia itu
meregang nyawa di situ juga. Siapakah petani
ini sesungguhnya? Siapa pula kawannya yang
telah ditamatkan riwayatnya oleh pendekar
212 sebelumnya? Mengapa pula petani yang
satu itu memutuskan untuk membunuh diri
sendiri? Dia dan kawannya tiada lain adalah
mata-mata kaki tangan kaum pemberontak
yang dikirimkan oleh Mahesa Birawa untuk
menemui Raden Werku Alit dan menyelidiki
suasana di Pajajaran menjelang saat-saat
penyerangan total diadakan! Seperti yang
diceritakan di atas, dalam perjalanan menuju
ibu kota kerajaan yaitu Pakuan, mereka telah
bertemu dengan Rara Murni, adik Sang Prabu,
bersama seorang laki-laki gondrong yang
mereka sangkakan hamba sahaya Rara Murni.
Maka saat itu timbullah niat mereka untuk
menculik gadis itu dan membawanya ke
tempat persembunyian kaum pemberontak di
kaki Gunung Halimun. Namun maksud mereka
itu membawa celaka kepada diri mereka
sendiri. Yang satu mati dihajar pendekar 212.
Yang satu lagi roboh pingsan di tengah jalan
kemudian ditangkap oleh serdadu-serdadu
kerajaan tapi berhasil bunuh diri sebelum
dibawa ke hadapan Sang Prabu, sebelum
dipaksa untuk memberikan keterangan! – ==
0O0 == - Malam itu untuk kesekian kalinya di
dalam kemah besar diadakan pertemuan kali
ini sangat penting sekali rupanya karena di
luar kemah itu dijaga dengan ketat oleh para
pengawal. Pertemuan ini bukan saja penting
karena datangnya dua tokoh sekutu dari kaum
pemberontak yaitu Adipati Warok Gluduk dari
Rajasitu dan Adipati Tapak Ireng dari
Ratujaya, tapi juga karena kabar yang dibawa
oleh seorang kurir Raden Werku Alit dari
Kotaraja. Sebagaimana biasa pertemuan
penting ini di:pimpin oleh Mahesa Birawa
yang duduk di kepala meja. Setelah
mempersilahkan kelima Adipati meneguk
minuman masing-masing maka Mahesa
Birawa segera membuka pembicaraan.
"Pertama sekali perkenankanlah saya atas
nama Adipati-Adipati yang terdahulu datang
ke sini dan juga atas nama Raden Werku Alit,
mengucapkan selamat datang pada Adipati
Warok Gluduk dan Adipati Tapak Ireng.
Kemudian kami juga mengucapkan terima
kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya atas tekad Adipati-Adipati berdua
untuk bersedia membantu dan bersekutu
dalam perjuangan mencapai cita-cita kita
yang besar yaitu menggulingkan Pajajaran,
menumbangkan Kamandaka dari takhta
kerajaannya karena sesungguhnya selama
Raden Werku Alit masih hidup maka
Kamandaka tidak punya hak sama sekali
untuk menjadi Raja Pajajaran…." Mahesa
Birawa memuntir-muntir kumisnya yang
melintang dua tiga kali lalu melanjutkan
bicaranya:
"Kedua kalinya, pertemuan ini adalah juga
untuk membahas keterangan yang telah
disampaikan kurir dari Kotaraja. Diterangkan
bahwa dua orang mata-mata kita tertangkap.
Yang satu terbunuh dan yang satu lagi bunuh
diri. Mayat mereka dibuang ke kali. Mengenai
peristiwa ini ada sedikit keterangan yang
bersimpang siur sehingga belum dapat saya
menarik satu kesimpulan bagaimana sampai
kedua matamata kita itu mengalami nasib
demikian rupa. Kabar keterangan yang paling
buruk ialah bahwa salah seorang pembantu
utama kita yaitu kepala pasukan Kalasrenggi
juga telah menemui kematiannya. Dia
digantung di sebuah kuil tua di lembah
Limanaluk. Mengenai kematian Kalasrenggi
ini ada hal-hal aneh dan keterangan yang
agak bersimpang siur. Menurut kurir Raden
Werku Alit, ketika pasukan kerajaan datang ke
kuil itu, Kalasrenggi sudah tidak bernafas,
digantung kaki ke atas kepala ke bawah dan
pada keningnya tertera guratan-guratan yang
membentuk tiga buah angka yaitu angka
212…." Mahesa Birawa memandang berkeliling
dan melihat paras-paras Adipati itu keheran-
heranan.
"Sukar diduga siapa sebenarnya yang
membunuh Kalasrenggi dan juga tak dapat
ditafsirkan apa arti angka 212 itu! Di samping
itu, sesudah kejadian itu Sang Prabu
memerintahkan pembersihan besar-besaran di
kerajaan. Namun semua orang kita sudah
menyingkir. Dan menurut Raden Werku Alit
sampai saat dia mengirimkan kurir itu masih
belum ada kecurigaan terhadap dirinya.
Namun demikian dalam sehari dua ini dia
akan segera berangkat ke sini untuk
berunding terakhir kali, menentukan kapan
penyerangan dilakukan terhadap Pajajaran.
Raden Werku Alit berharap agar kita terus
dalam kesiap siagaan….." Sunyi sebentar,
Adipati Lanabelong dari Kendil yang
berkepala sulah meneguk tuaknya, mengumur-
ngumurkan minuman itu dalam mulutnya
beberapa lama, lalu bertanya:
"Sampai saat ini berapakah kekuatan
balatentara Pajajaran?"
"Menurut keterangan Kalasrenggi sebelum
menemui kematiannya tempo hari sekitar dua
ribu lebih. Memang jumlah kekuatan mereka
lebih dari kita. Kita cuma sekitar seribu enam
ratusan. Tapi janganlah itu menjadi
kekhawatiran para Adipati sekalian. Mengapa
aku katakan tak usah khawatir sebabnya
begini. Pertama, dalam peperangan itu jumlah
yang besar tidak selamanya menentukan
untuk mencapai kemenangan. Sering pasukan
yang lebih sedikit sanggup mengalahkan
pasukan yang lebih besar. Ini adalah
disebabkan bahwa sesungguhnya unsur
kekuatan atau jumlah tidak terlalu
menentukan tapi unsur taktiklah yang lebih
menentukan. Dengan taktik yang tinggi serta
matang, dengan mengetahui di mana
kelemahankelemahan pertahanan pasukan
Pajajaran, pasti kita dalam sekejapan mata
bisa mengobrakabrik mereka! Kedua, dalam
peperangan kecepatan tempur atau waktu
penyerangan yang tepat adalah sangat
menentukan. Bila lawan sedang lengah,
meskipun jumlahnya besar, sanggup dikacau
balaukan dan disapu bersih oleh sepasukan
kecil saja. Demikian pula dengan kita. Kita
akan menyerang dengan tiba-tiba, dengan
menyergap! Pajajaran hanya baru akan
mengetahui bila balatentara kita sudah
berada di depan mata hidung mereka! Dan
saat itu mereka tak akan ada waktu lagi untuk
mempersiapkan diri. Aku rasa dengan
berpegang teguh pada dua hal itu, tidak sukar
bagi kita untuk membereskan Pajajaran.
Apalagi para Adipati di sini bukan pula
manusia-manusia berilmu rendah. Sedikit
banyaknya adalah murid-murid dari
perguruanperguruan silat yang ternama juga,
bukankah demikian?" Kelima Adipati itu sama
mengulum senyum. Memang rata-rata mereka
dalah pewaris ilmu-ilmu silat dari pelbagai
cabang dan aliran dan ilmu-ilmu mereka
tidaklah dapat dianggap ilmu pasaran yang
rendah belaka!
"Di samping itu," kata Mahesa Birawa pula,
"Jangan pula kita lupakan bantuan yang akan
diberikan oleh seorang tokoh dunia persilatan
yang terkenal yakni Begawan Sitaraga…."
"Oh, jadi Begawan sakti yang diam di puncak
Gunung Halimun itu membantu kita pula?"
tanya Warok Gluduk, Adipati dari Rajasitu.
"Ya," sahut Mahesa Birawa.
"Bagaimana sampai Begawan ini mau
membantu perjuangan kita?" tanya Tapak
Ireng.
"Setahuku dia mempunyai pertikaian dengan
Toa Kamandaka….
" jawab Mahesa Birawa pula.
"Kalau benar begitu, satu hari saja Pajajaran
pasti sudah sama rata dengan tanah…." kata
Warok Gluduk sambil mengusap-usap
dagunya. Dan dibayangkannya kedudukan
yang bakai diterimanya bila pemberontakan
mereka berhasil nanti! * * * Waktu itu hari
hujan rintik-rintik. Angin malam bertiup
kencang dan dingin. Sosok tubuh itu berjalan
dengan acuh tak acuh. Tidak perduli hujan
rintik-rintik, tidak perduli angin kencang, tidak
perduli segala rasa dingin yang menyembilui
tulang-tulang sumsum. Dia berjalan terus
bahkan sambil bersiul-siul. Sesampainya di
ujung jalan itu maka disusurinya tembok
tinggi dan sekali-sekali, dalam jarak-jarak
tertentu dilewatinya seorang pengawal
bersenjata lengkap. Di hadapan sebuah pintu
gerbang yang dikawal oleh delapan orang
perajurit berhentilah pemuda itu. Dia
memandang ke kiri dan ke kanan, memandang
ke atas pintu gerbang lalu memandang pada
barisan pengawal dengan pandangan orang
bodoh. Pengawal-pengawal pintu gerbang
mula-mula memandang saja dengan penuh
curiga namun kemudian salah seorang
daripadanya membentak:
"Pemuda gondrong! Ada apa kau celangak
celinguk di sini?!" Dibentak malahan pemuda
itu tersenyum.
"Apa kau tidak tahu berada di mana saat
ini?!" bentak prajurit pengawal yang lain.
"Ah… itulah yang aku mau tanya, saudara.
Apakah ini istananya Sang Prabu Raja
Pajajaran?" Delapan pasang mata prajurit
pengawal memandang dari atas ke bawah.
Tak ada kesimpulan lain bagi mereka daripada
berpendapat bahwa tentulah pemuda
berambut gondrong itu seorang yang kurang
ingatan. Seorang prajurit yang agak berumur
maju ke muka.
"Orang muda, ini memang istana Raja
Pajajaran. Siapapun tak diperkenankan berdiri
lama-lama di sekitar sini…." Pemuda itu
garuk-garuk kepalanya.
"Kalau berdiri di sini tidak boleh… tentu
masuk lebih tidak boleh lagi….
" katanya perlahan seperti pada dirinya
sendiri.
"Berlalulah dari sini," kata prajurit tadi.
"Tapi, aku mau bertemu dengan Rara
Murni…." kata si pemuda. Prajurit tua itu
tertawa.
"Tak seorang pun yang diizinkan bertemu
dengan Tuan P.uteri, apalagi kau…."
"Ini urusan penting sekali, Saudara!" desak si
pemuda. Salah seorang prajurit yang lain,
yang sudah tak sabaran berkata:
"Pemuda gila, berlalulah dari sini. Atau
pangkal tombakku akan membenjutkan
kepalamu!" Tapi si pemuda tidak
memperdulikan ancaman itu.
"Saudara pengawal, dengarlah," katanya.
"Aku pernah kenal dengan Rara Murni.
Mungkin aku lebih kenal padanya dari kalian
semua di sini. Aku musti ketemu dengan dia.
Katakan saja bahwa ada seorang pemuda
berambut gondrong bernama 212 mau
bertemu dengan dia. Pasti dia tahu dan
mengizinkan aku masuk…." Kedelapan prajurit
pengawal itu tertawa membahak. Beberapa di
antaranya malah mencibir. Dan seseorang di
antara mereka berkata:
"Kau salah alamat, kawan. Mustinya kau
datang ke rumah dukun Gendong di kampung
Andawa, minta obat kepadanya agar otakmu
yang geblek sinting itu bisa diperbaikinya!"
"Siapa bilang aku sinting?!" radang si pemuda
rambut gondrong.
"Kau memang tidak sinting! Tapi berotak
miring atau setengah gila!" Dan gelak
membahak terdengar lagi di depan pintu
gerbang istana itu!
"Kalau kalian tidak mau kasih aku masuk, tak
apa," kata si pemuda yang tiada lain daripada
pendekar 212 Wiro Sableng.
"Tapi satu hal aku katakan, aku tidak gila.
Kalianlah semua yang gila tertawa tiada
pangkal sebab!" Habis berkata begini pemuda
itu berlalu, melangkah sambil bersiul-siul.
Rara Murni seperti tidak percaya pada
pemandangannya ketika melihat pintu terbuka
dan dua sosok tubuh masuk ke dalam. Yang
seorang adalah inang pengasuhnya, seorang
perempuan tua, sedang yang satu lagi adalah
pemuda rambut gondrong yang pernah
menolongnya tempo hari.
"Kita bertemu lagi, Rara," kata Wiro Sableng.
"Di pintu gerbang aku tak diperbolehkan
masuk, terpaksa lompat lewat tembok dan
memaksa perempuan tua ini untuk
memberitahukan kamarmu…. "
"Ada apakah kau datang ke sini, Saudara
212?" tanya Rara Murni.
"Ah… rupanya kau masih belum melupakan
angka itu. Bagus sekali! Mengapa aku datang
ke sini…. Untuk bertemu dengan kau
tentunya." kata pendekar 212 pula seraya
menyandarkan punggungnya ke pintu yang
tadi ditutupkannya. Merah paras Rara Murni
mendengar kata-kata Wiro Sableng. Tentang
diri penolongnya ini memang tak pernah
dilupakannya, terutama mengingat
kehebatannya. Maka bertanya pula dia:
"Mengapa kau ingin ketemu aku…?"
"Oh, jadi tak boleh ketemu?"
"Bukan begitu maksudku, Saudara…."
"Dengar Rara, aku musti bertemu dan bicara
dengan Sang Prabu malam ini juga…." Rara
Murni terkejut.
"Ada urusan apa…?"
"Urusan penting. Penting sekali…." Rara Murni
berpikir-pikir. Pemuda ini selama dikenalnya
meski ceriwis dan suka bicara ngelantur tapi
hatinya polos. Namun demikian dia masih
belum tahu siapa adanya pemuda ini. Bukan
mustahil dia adalah seorang pengkhianat
macam Kalasrenggi tapi yang menjalankan
taktik secara lain. Purapura menolong
pertama kali, kemudian bila tiba saatnya akan
menggolong.
"Katakan saja urusan pentingmu itu, saudara.
Nanti aku yang sampaikan kepada Sang
Prabu…."
"Ini bukan urusan perempuan, Rara Murni."
kata Wiro Sableng pula. Rara Murni yang
lebih mementingkan keselamatan kakak
kandungnya Prabu Kamandaka menjawab:
"Maaf, walau bagaimanapun aku tak dapat
mempertemukan kau dengan Sang Prabu…."
Wiro Sableng tak berkata apa-apa.
Digaruknya kepalanya.
"Sukar memang untuk percaya pada manusia
macamku. Tapi biarlah, bertemu dengan kau
puas juga hatiku." Pendekar itu tertawa dan
kembali melihat bagaimana kedua pipi Rara
Murni menjadi merah. Tiba-tiba tangan
kirinya dihantamkan ke muka dengan telunjuk
terpentang lurus-lurus. Tanpa keluarkan suara
inang pengasuh yang tadi berlutut kini rebah
tiada sadarkan diri. Rara Murni hendak
menjerit. Tapi mulutnya ditekap oleh Wiro
Sableng. Pemuda ini berkata:
"Rara, perempuan itu tak apa-apa. Aku hanya
menotoknya agar jangan sampai dia
membocorkan rahasia. Ketahuilah, istanamu
ini kini penuh dengan
pengkhianatpengkhianat. Aku tak tahu siapa
yang menjadi biang pengkhianat! Kalau tahu
siang-siang sudah kupuntir kepalanya dan
kubawa ke hadapan Sang Prabu. Kuharap
besok pagi atau malam ini juga kau bawalah
Sang Prabu ke kamarmu ini dan baca pesanku
ini?" Habis berkata demikian pendekar 212
melangkah ke dinding dan pergunakan jari
telunjuknya untuk menulis. Menulis serentetan
syair yang mengandung nasihat dan
peringatan. Dalam waktu yang dekat akan
pecah pemberontakan Pemberontakan
menggulingkan Sang Prabu dari takhta
kerajaan Istana penuh dengan pengkhianat-
pengkhianat bermuka jujur tapi berhati
seculas setan Siapkan bala tentara di luar
tembok kerajaan 212
"Samapi ketemu lagi Rara Murni." kata
pendekar 212 Wiro Sableng sehabis menulis
rentetan syair itu. Lalu cepat-cepat
ditinggalkannya kamar itu. Rara Murni
memburu ke pintu tapi si pemuda sudah
lenyap. Ketika malam itu juga Rara Murni
menemui Sang Prabu dan menerangkan
tentang kedatangan pemuda aneh itu maka
terkejutlah Prabu Kamandaka. Dengan
langkah besarbesar dan tanpa pengawal sama
sekali Raja Pajajaran itu bersama adiknya
pergi ke kamar. Dan memang apa yang
tertulis di dinding kamar cocok seperti apa
yang diterangkan adiknya. Dinding kamar itu
dari batu dan dilapisi dengan marmer putih
yang sangat keras. Dengan pahat sekalipun
akan sukar menuliskan rentetan syair itu. Tapi
si pemuda aneh telah menuliskannya dengan
ujung jari!
"Bagaimana pendapat Kanda?" tanya Rara
Murni kepada kakaknya.
"Pemuda itu tentu seorang yang sakti luar
biasa." kata Prabu Kamandaka.
"Tapi apa yang dituliskannya di dinding ini,
adalah satu hal yang aku belum bisa percaya.
Tentara kerajaan telah mengadakan
pembersihan. Dan tak seorang pengkhianat
pun ditemukan…."
"Mungkin mereka semua sudah menyingkir
dan mempersiapkan diri di satu tempat yang
tersembunyi di luar kerajaan," kata Rara Murni
pula. Prabu Kamandaka mengusap-usap
dagunya. Lalu katanya:
"Rahasiakan tentang tulisan ini, Dinda. Meski
aku tak percaya, aku akan mengadakan
penyelidikan juga." Sesudah itu, keluarlah
Kamandaka dari kamar adiknya. – == 0O0 ==
- "Berhenti!"
"Tahan!" Enam prajurit maju ke muka, enam
ujung tombak ditujukan ke dada dan
punggung manusia berpakaian putih itu.
"Siapa kau?!"
"Aku mau bertemu dengan Mahesa Birawa!"
"Keparat, aku tanya siapa, menjawabnya lain"
bentak prajurit itu. Laki-laki itu menggeram
dalam hati.
"Tunjukkan kemah Mahesa Birawa. Kalau
tidak antarkan aku kepadanya!"
" Manusia bau tengik! Kau kira kami ini
budakmu?
"
"Kau mata-mata Pajajaran ya?!" bentak
prajurit yang paling kanan sekali. Ujung
tombaknya kini digeser ke tenggorokan laki-
laki asing itu.
"Kalian sontoloyo semua! Aku bicara baik-
baik, dibalas dengan bentakan-bentakan!
Sialan!" Enam ujung tombak dengan serta
merta bergerak ke muka. Laki-laki yang
hendak menjadi bahan sasaran ujung senjata
itu berkelebat cepat. Satu kali gebrakan saja
maka mentallah keenam prajurit itu! Empat
tergelimpang di tanah tak bangun lagi. Satu
berdiri nanar, sedang yang satu sambil
memegang perutnya yang kesakitan, masih
sanggup berteriak memanggil kawan-
kawannya. Maka dalam sekejapan mata saja
puluhan prajurit dengan senjata terhunus
sudah mengurung tempat itu, mengurung
ketat laki-laki berpakaian serba putih.
Oborobor menerangi tempat itu dan jelaslah
tampang manusia yang telah menggeprak
enam prajurit tadi. Dia memandang berkeliling
dengan air muka melontarkan senyum
mengejek.
"'Inikah tampangnya manusia-manusia yang
hendak memberontak pada kerajaan….?" Laki-
taki itu tertawa mengekeh.
"Kalian manusia dogol semua. Mau saja
diperalat oleh segelintir manusia yang
hendakkan kekuasaan secara keji! Kalau
kalian kalah, kalian dan dipancung semua!
Kalau kalian menang, kalian dapat apa?!"
Seorang laki-laki berbadan tinggi kekar dan
berkulit hitam maju ke hadapan orang asing
itu. Dia adalah seorang pelatih prajurit-
prajurit yang hendak memberontak itu. Satu
tangan bertolak pinggang, satu lagi menuding
tepat-tepat ke muka si orang asing, dia
berkata:
"Kurasa kau masih belum buta untuk melihat
kenyataan, di mana kau berada saat ini!" kata
laki-laki tinggi besar itu. Si orang asing masih
tertawa seperti tadi, mengekeh mengejek. Si
tinggi kekar yang merasa dihina di hadapan
orang banyak dengan gemas sekali
hantamkan tinju kanannya ke perut si orang
asing. Apa yang terjadi kemudian terlalu
cepat untuk dilihat oleh mata orang banyak di
tempat itu. Tubuh kepala pelatih yang tinggi
besar itu jungkir balik di udara dan jatuh
punggung di tanah. Untuk beberapa lamanya
tak dapat bergerak-gerak! Kesunyian karena
terkejut dan keheranan hanya berlangsung
beberapa ketika saja. Begitu terdengar
seseorang berteriak maka menyerbulah
puluhan prajurit itu. Suara beradunya senjata
riuh dan kacau balau.
"Tahan!," Seorang prajurit berteriak.
"Lihat! Kita menghantam sesama kita! Kunyuk
itu sudah ada di sana!" Dan ketika semua
mata memandang ke jurusan yang ditunjuk
maka kelihatanlah orang asing tadi berjalan
seenaknya di sela-sela kemah prajurit!
Sewaktu dirinya diserang, secara bersama-
sama tadi, laki-laki itu dengan kecepatan luar
biasa jatuhkan diri di tanah dan lolos di
antara selangkangan para penyerangnya.
Keadaan malam yang gelap menolongnya
untuk lolos dan melangkah seenaknya di sela-
sela kemah. Metihat bahwa orang yang
mereka serang sudah berada di tempat lain, di
samping terkejut tentu saja prajurit-prajurit
itu menjadi geram sekali. Apa lagi kepala
pelatih yang tadi dibikin menggeletak di tanah
dalam satu kali gebrakan. Dia berseru
memanggil prajuritprajurit lainnya.
"Kurung bangsat itu! Kalau tak mungkin
ditangkap hidup-hidup, cincang sampai
lumat!," perintahnya. Kepala pelatih ini
kemudian cabut kerisnya. Sebelum menyerbu
di antara anak buahnya dia memberi perintah
pada seorang prajurit yang kebetulan berada
di dekatnya:
"Beri tahu hal ini pada Mahesa Birawa….!"
Di dalam kemah besar itu tengah berlangsung
perundingan. Mahesa Birawa tengah berkata:
"Besok Raden Werku Alit sudah berada di sini
dan agaknya….
" Ucapan Mahesa Birawa terputus. Kepalanya
berpaling ke kanan dan dari mulutnya
keluarlah suara bentakan:
"Pengawal! Apa kamu orang tidak tahu bahwa
tidak siapa pun boleh masuk ke dalam kemah
ini? Keluar…. !"
"Mohon maaf Raden… kata pengawal kemah
seraya menjura dua kali.
"Seorang prajurit memberitahukan bahwa
terjadi kerusuhan di sebelah timur…"
"Kerusuhan….?!" Mahesa Birawa berdiri dari
kursinya.
"Ya, seorang asing diketahui memasuki
perkemahan. Ketika dikurung dan ditanyai dia
melawan. Dia merubuhkan enam prajurit!
Memukul kepala pelatih Suto Rande dan kini
tengah dikeroyok oleh puluhan prajurit di
bawah pimpinan Suto Rande!"
"Hanya seorang asing nyasar ke sini saja
kalian tidak bisa membereskan?! Memalukan
sekali!" kertak Mahesa Birawa. Tapi dalam
hatinya dia sebagai seorang yang sudah
berpengalaman dalam dunia persilatan
memaklumi, kalau seseorang sanggup
merubuhkan enam lawan sekaligus, bahkan
memukul jatuh kepala pelatih prajurit ini
suatu tanda bahwa dia bukanlah orang
sembarangan, pasti mempunyai ilmu yang
diandalkan. Tapi siapa adanya orang asing
yang berani datang seorang diri ke
perkemahan itu, inilah satu hal yang ingin
diketahui Mahesa Birawa. Mahesa Birawa
berpaling pada Adipati-Adipati yang ada
dalam kemah itu dan berkata:
"Harap maafkan. Aku terpaksa meninggalkan
persidangan sebentar untuk membereskan
keonaran…" Semua Adipati menganggukkan
kepala. Adipati Tapak Ireng berkata:
"Mungkin sekali perusuh ini seorang mata-
mata Pajajaran…"
"Boleh jadi," sahut Mahesa Birawa seraya
menindak ke pintu kemah. Dan saat itu
pengawal kemah berkata:
"Orang asing itu berkata bahwa dia ingin
bertemu dengan Raden…"
"Dengan aku?" Mahesa Birawa menuding
dadanya sendiri. Pengawal mengangguk. Ini
membuat Mahesa Birawa tambah ingin lekas-
lekas mengetahui siapa adanya perusuh itu.
Pertempuran berkecamuk seru ketika Mahesa
Birawa sampai ke sana bersama seorang
prajurit. Prajurit ini hendak berseru tapi diberi
isyarat oleh Mahesa Birawa agar diam saja.
Akan disaksikannya dengan mata kepala
sendiri beberapa jurus kehebatan pertempuran
itu. Pekik dan jeritan terdengar hampir setiap
saat. Setiap pekikan musti disusul dengan
menggeletaknya tubuh seorang pengeroyok.
Menurut taksiran Mahesa Birawa saat itu ada
sekitar tiga puluh prajurit di bawah pimpinan
Suto Rande yang mengeroyok si orang asing.
Diam-diam Mahesa Birawa mengagumi juga
kehebatan orang asing itu. Masih muda belia,
bertampang keren dan senjatanya sebuah
tombak yang diputar seperti kitiran, menderu
dan setiap saat meminta korban dari pihak
pengeroyok! Mahesa Birawa tahu betul,
tombak yang di tangan pemuda itu adalah
tombak rampasan. Dan yang membuat
Mahesa Birawa terpaksa leletkan lidah ialah
meski dikeroyok puluhan manusia, si pemuda
itu dengan seenaknya saja melayani sambil
tertawa dan bersiul! Beberapa orang lagi
rubuh menggeletak dengan perut atau dada
terluka parah disambar ujung tombak.
Kemudian terdengar lagi satu pekikan
dahsyat. Sesosok tubuh mental, jatuh tepat di
hadapan Mahesa Birawa. Ketika diteliti oleh
Mahesa Birawa ternyata sosok tubuh itu
adalah sosok tubuh Suto Rande, kepala
pelatih prajurit! Nyawanya sudah minggat dan
pada keningnya kelihatan guratan angka
212…! Angka ini sekaligus mengingatkan
Mahesa Birawa pada keterangan kurir Raden
Werku Alit tentang kematian Kalasrenggi
secara aneh, digantung kaki ke atas kepala ke
bawah dan juga ada angka 212 pada kulit
keningnya! Tanpa menunggu lebih banyak
korban lagi yang jatuh maka berserulah
Mahesa Birawa! – == 0O0 == - "Aku Mahesa
Birawa memerintahkan untuk hentikan
pertempuran ini!" Suara yang hampir
menggeledek itu dengan serta merta
menghentikan pertempuran. Prajurit-prajurit
yang mengeroyok melompat ke luar dari
kalangan pertempuran. Si pemuda asing
masih berdiri di tempat dengan tombak di
tangan. Teriakan Mahesa Birawa tadi
membuat dia putar kepala ke arah datangnya
suara itu. Dan sepasang matanya segera
membentur sesosok laki-laki berbadan tegap
berkumis lebat melintang, berpakaian bagus.
Pada pinggangnya terselip keris. Dalam
hatinya pemuda itu menggumam:
"Hem… jadi inilah dia manusianya yang
bernama Mahesa Birawa itu…". Selagi dia
menggumam begitu laki-laki itu melangkah
mendatanginya.
"Orang asing!," kata Mahesa Birawa dengan
nada keren dan lantang.
"Meski kau punya sedikit ilmu yang
diandalkan, tapi di sini bukanlah tempat untuk
memamerkannya!" Si pemuda keluarkan suara
bersiul.
"Betul aku berhadapan dengan Mahesa Birawa
saat ini…?" tanyanya.
"Kau siapa?!," membentak Mahesa Birawa.
"Namaku tertulis di kening anak buahmu itu!"
Si pemuda pendekar 212 menunjuk ke mayat
Suto Rande.
"Hem… bagus kalau begitu!" Mahesa Birawa
puntir kumisnya.
"Kau yang membunuh Kalasrenggi, bukan?"
"Tidak! Aku hanya menggantungnya dan
Tuhan kemudian mengambil rohnya….". Habis
berkata begitu pendekar 212 Wiro Sableng
tertawa mengekeh.
"Kau tahu Mahesa, manusia macam
Kalasrenggi itu tak layak hidup lama-lama di
dunia! Masih kebagusan ada kali untuk
tempat pembuang mayatnya! Dan kau tahu…
di atas bumi ini masih banyak manusia-
manusia macam Kalasrenggi malahan lebih
terkutuk dari Kalasrenggi yang musti
dilenyapkan!" Di sini bukan tempat pidato,
budak hina!," bentak Mahesa Birawa.
"Oh, begitu…? Kalau demikian mari kita bicara
empat mata Mahesa Birawa. Aku memang
sudah lama mencari kau!" Mahesa Birawa
menyeringai. Kemudian kelihatan bagaimana
mukanya menjadi kelam membesi.
"Kalau aku bicara dengan kau maka biar aku
terangkan padamu bahwa kedatanganmu ke
sini hanyalah untuk mengantar nyawa!" Habis
berkata demikian Mahesa Birawa hantamkan
tangan kanannya ke muka. Setiup angin yang
bukan olah-olah panasnya menggebubu ke
arah pendekar 212! Pendekar 212 lompat tiga
tombak ke atas. Angin pukulan lewat di
bawahnya dan menghantam sebuah pohon
kayu.
"Buum!"
"Kraak!" Pohon itu bukan saja tumbang
dilanda angin pukulan tapi juga berwarna
hitam karena hangus! Kedua orang itu sama-
sama terkejut. Pendekar 212 terkejut melihat
kehebatan pukulan dan tenaga dalam lawan
sedang Mahesa Birawa heran tidak
menyangka kalau pukulannya itu dapat
dielakkan dengan satu lompatan enteng ke
udara!
Dengan penuh waspada Wiro Sableng jejakkan
kedua kakinya kembali ke tanah.
"Mahesa Birawa," katanya,
"Soal pertempuran soal mudah. Mudah
dimulai, mudah diakhiri. Tapi aku bilang, aku
mau bicara dengan kau! Empat ma…."
"Budak hina! Siapa sudi bicara dengan kau!"
potong Mahesa Birawa membentak. Sekali lagi
tangan kanannya dipukulkan ke muka. Kalau
tadi dia hanya mempergunakan sepertiga dari
tenaga dalamnya maka kini dialirkan ke dalam
pukulannya itu setengah dari tenaga
dalamnya! Namun untuk kedua kalinya pula
Mahesa Birawa dibuat gemas karena
Pendekar 212 berhasil pula mengelakkan
serangannya yang dahsyat itu.
"Mahesa Birawa, apakah kau yang lebih tua
tidak memberikan kesempatan padaku untuk
bicara empat mata?!"tanya Wiro Sableng pula.
Kesabarannya mulai terkikis dari hatinya.
Kalau saja dia tiada ingat pesan gurunya
Eyang Sinto Gendeng pastilah saat itu juga
dibalasnya serangan-serangan Mahesa Birawa
tadi! Untuk tidak terlalu kehilangan muka
karena dua pukulannya berhasil dielakkan
lawan maka berkatalah Mahesa Birawa:
"Percuma saja kau bicara, toh nantinya
nyawamu akan aku bikin merat juga dari kau
punya badan!" Pendekar 212 tertawa.
"Dengar Mahesa Birawa…" kata pendekar ini.
Rahang-rahangnya bertonjolan. Pelipisnya
bergerak-gerak tanda dia menekan amarahnya
dan berusaha mempertahankan kesabarannya.
"Aku membawa pesan dari Eyang Sinto
Gendeng…" Maka terkejutlah Mahesa Birawa
mendengar nama itu.
"Kau ini siapa kalau begitu?!" tanyanya.
"Siapa aku masih belum penting. Aku tunggu
kau malam ini di bukit Jatimaleh. Seorang
diri, Mahesa Birawa. Datanglah seorang
diri…."
"Kau bisa bicara di sini!" Pendekar 212
menggeleng.
"Di bukit Jatimaleh…" desisnya.
"Aku bilang di sini!," bentak Mahesa Birawa.
"Takutkah kau datang ke bukit itu malam-
malam gelap begini? Atau mungkin takut
pada dinginnya udara? Atau mungkin takut
pada roh-roh manusia yang selama ini
membayangimu….?!" Mahesa Birawa kertakkan
geraham. Dia memberi isyarat. Bersama
puluhan prajurit yang ada di situ maka
menyerbulah dia! Pendekar 212 melompat
sampai setinggi tujuh tombak. Dia
berpegangan pada ujung sebuah cabang
pohon, membuat satu kali putaran pada saat
mana Mahesa Birawa lemparkan sejenis
senjata rahasia. Mahesa Birawa berseru
tertahan ketika melihat senjata rahasianya
membalik kembali menyerang dirinya sendiri.
Dikebutkannya tangan kirinya. Senjata rahasia
itu bermentalan, menghantam prajurit-prajurit
di sekitarnya. Empat orang menggerang dan
rebah ke tanah! Bayangan Wiro Sableng
lenyap namun masih terdengarsuara
seruannya mengiangi anak telinga.
"Bukit Jatimaleh, Mahesa! Malam ini. Ingat,
seorang diri…. !" – == 0O0 == - Bukit
Jatimaleh tertetak tidak berapa jauh dari
perkemahan pemberontak. Ketika Mahesa
Birawa hendak meninggalkan perkemahan,
beberapa prajurit menyatakan hendak ikut
serta tapi Mahesa berkata:
"Biar aku sendiri yang membereskan urusan
ini! Kalian semua di sini bersiap siagalah.
Perkuat penjagaan dan lipat gandakan
prajurit-prajurit peronda!" Cuaca malam di
atas bukit Jatimaleh gelap gulita. Di langit
tiada rembulan tiada bintang. Udara yang
dingin mencucuki daging menyembilui tulang-
tulang sampai ke sungsum. Dalam kegelapan
inilah kelihatan dua sosok tubuh berdiri
berhadap-hadapan. Yang satu membentak
lantang:
"Cepat terangkan siapa kau adanya budak
hina!"
"Ah… jangan bicara memaki terus-terusan
Mahesa Birawa. Belum tentu aku lebih hina
dari kau!," jawab Pendekar 212. Marahlah
Mahesa Birawa. Dia menggeser langkahnya ke
muka. Tapi langkahnya segera pula terhenti
ketika didengarnya pemuda di hadapannya
berkata:
"Pesan Eyang Sinto Gendeng ialah agar kau
segera kembali ke puncak Gunung Gede dalam
waktu secepat-cepatnya!"
"Kembali ke puncak Gunung Gede…. ?!"
"Yeah… Untuk menerima hukuman atas
perbuatan-perbuatan jahatmu sejak kau turun
gunung tujuh belas tahun yang silam!"
"Jangan bicara ngaco belo! Ada hubungan
apa kau dengan Eyang Sinto Gendeng?!"
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 tertawa
datar.
"Aku hanya pesuruh buruk saja, Mahesa…."
jawabnya.
"Dusta!," bentak Mahesa Birawa menggeledek.
"Kalau kau tak mau bicara yang sebetulnya
jangan menyesal bila kepalamu kupuntir
sampai putus!" Wiro Sableng bersiul.
"Aku tak tahu segala urusan puntir kepala.
Aku hanya menyampaikan perintah Eyang
Sinto Gendeng agar kau menghadapnya di
puncak Gunung Gede! Kau dengar Mahesa….
He… he… he…." Jari-jari tangan Mahesa
Birawa mengepal membentuk tinju.
"Aku ingin tahu saat ini juga. Apakah kau
bersedia memenuhi perintah itu atau tidak…?"
"Aku tanya dulu! Apa hubunganmu dengan
Eyang Sinto Gendeng? Jangan bikin
kesabaranku habis!"
"Kurasa akulah yang mustinya kehabisan rasa
sabar melihat tampangmu saat ini!" tukas
Wiro Sableng.
"Katakan saja terus terang bahwa kau tak
mau menghadap Eyang Sinto Gendeng! Itu
lebih baik dan lebih jelas….!" Mahesa Birawa
busungkan dada. Katanya:
"Kalau orang tua geblek itu butuh ketemu
dengan aku, suruh dia datang ke sini!" Suara
menggeram jelas terdengar di tenggorokan
Pendekar 212. Mukanya kelam membesi.
Tanah yang dipijaknya melesak sampai tiga
senti!
"Bicaramu terlalu besar Mahesa Birawa!
Terlalu pongah! Dosamu sendiri sudah lebih
dari takaran! Hari ini kau hina gurumu sendiri!
Guru yang bertahun-tahun telah
memeliharamu, mengajarmu segala ilmu
kepandaian! Guru yang telah kau nodai nama
baiknya! Kau mengandalkan apakah, Mahesa
Birawa….. ?!"
"Bocah gila! Terpaksa mulutmu kurobek detik
ini juga!" bentak Mahesa Birawa. Secepat
kilat, belum lagi habis bicaranya maka lima
jari-jari tangan kanannya bergerak
mencengkeram ke muka. Pendekar 212
tertawa. Tertawa dan bersiul. Bentakan
nyaring menggeledek dari mulutnya dan dia
lompat ke samping sambil hantamkan tangan
kirinya. Mahesa Birawa terkejut ketika
merasakan satu angin yang deras mendorong
tubuhnya. Cepat-cepat dia pergunakan tangan
kanan untuk memapasi dorongan angin itu
tapi tak urung tubuhnya menjadi gontai juga!
Maka kini keringat dingin memercik di kening
laki-laki itu!
"Urusan kekerasan urusan mudah, Mahesa!,"
kata Wiro Sableng.
"Tapi bicaraku masih belum habis. Tujuh
belas tahun yang lewat kau pernah malang
melintang di Jatiwalu. Ingat…. ?"
"Pemuda sedeng! Darimana…."
"Ah… kau masih ingat! Bagus… bagus sekali!
Apa kau juga ingat bahwa pada masa tujuh
belas tahun itu kau telah membunuh
Ranaweleng, Kepala Kampung Jatiwalu?!
Apakah kau juga masih ingat bahwa pada
masa itu kau juga merusak kehormatan
seorang perempuan bernama Suci, isteri
Ranaweleng, kemudian karena malu
perempuan itu bunuh diri?! Apa kau juga
masih ingat dan sanggup menghitung berapa
banyak jiwa penduduk yang kau renggut, kau
bunuh?!" Mulut Mahesa Birawa terkatup
rapat-rapat. Dan pendekar 212 buka mulut
lagi:
"Kalau aku tidak ingat pesan Eyang Sinto
Gendeng, pada detik aku melihat tampangmu
aku sudah bertekad untuk mengermus
kepalamu! Kini setelah tahu bahwa kau tidak
mau diperintahkan untuk menghadap ke
puncak Gunung Gede maka tak ada lagi
halangan bagiku untuk membalaskan dendam
kesumat seribu karat, untuk membalaskan
sakit hati yang berurat berakar sejak tujuh
belas tahun yang lewat! Ketahuilah Mahesa
Birawa, aku adalah anak Ranaweleng. Dan aku
adalah juga murid Eyang Sinto Gendeng! Adik
seperguruanmu sendiri, tapi yang akan
memisahkan roh busukmu dengan tubuh
bejatmu!" Habis berkata begini maka
tertawalah pendekar 212. Suara tertawanya
keras dan panjang, menegakkan bulu roma.
Bergetar hati Mahesa Birawa mendengar
suara tertawa yang menegakkan bulu
kuduknya itu. Terbayang olehnya masa tujuh
belas tahun yang silam. Begitu cepat waktu
berlalu dan tahu-tahu kini dia berhadapan
dengan kenyataan yang pahit! Berhadapan
dengan anak laki-laki dari suami isteri yang
pernah menjadi korbannya. Seperti tak
percaya dia akan kenyataan ini!
"Orang muda…!," kata Mahesa Birawa pula.
Suaranya diperbawa dengan aliran tenaga
dalam agar tidak kentara getaran hatinya.
"Kuharap kau cepat-cepat saja bangun dari
mimpimu dan tahu berhadapan dengan
siapa…!" Pendekar 212 tertawa lagi seperti
tadi. Lebih seram malah! Dan didengarnya
suara Mahesa Birawa, musuh besarnya itu
berkata pongah:
"Jangankan kau… Eyang Sinto Gendeng
sekalipun tak akan sanggup turun tangan
terhadapku! Kalau kau teruskan niat edanmu,
ketahuilah bahwa kedatanganmu sejauh ini
dari puncak Gunung Gede hanyalah untuk
mencari mampus sendiri!"
"Kita akan lihat Mahesa Birawa! Kita akan
saksikan! Darah siapa di antara kita yang
akan dihisap oleh tanah! Kau telah
menentukan kematian ibu bapakku di siang
hari! Disaksikan oleh langit siang dan
matahari! Karena itu besok, bila matahari
tepat sampai di puncak ubun-ubun, aku
tunggu kau di atas bukit ini! Biar langit dan
matahari yang dulu menyaksikan kematian
ibu bapakku, besok menyaksikan pula
kematianmu, menyaksikan pembalasan
dendam kesumat seribu karat!" Mahesa
Birawa keluarkan suara mendengus.
"Aku bukan manusia yang bisa menunggu,
apa lagi terhadap keroco macam kau! Tapi
dengar orang muda… daripada kau mati tiada
guna, aku ada usul baik bagimu. Ikut
bersamaku menghancurkan Pajajaran, niscaya
kau akan kuangkat kelak menjadi seorang
pejabat berpangkat tinggi…. !" Wiro Sableng
bersiul.
"Aku tidak butuh usul, Mahesa Birawa, juga
tidak butuh apa-apa. Saat ini aku hanya
butuh roh busukmu! Besok siang di tempat
ini. Mahesa. Darahmu atau darahku, nyawamu
atau nyawaku!" Maka kini Mahesa Birawa
tidak dapat lagi menahan hatinya.
"Tak perlu tunggu sampai besok! Sekarang
pun aku bersedia melayani! Terima pukulan
seribu badai ini!" Mahesa Birawa menerjang
ke muka. Tangan kanannya memukul dan
gelombang angin yang sangat hebat menderu
menyambar ke arah pendekar 212. Yang
diserang tanpa tunggu lebih lama berkelebat
dan melompat setinggi tujuh tombak. Kedua
kakinya tergetar dan linu ketika angin pukulan
lawan dalam jarak setinggi itu masih sanggup
menyapu kedua kakinya! Dengan kerahkan
setengah dari tenaga dalamnya Wiro Sabteng
hantamkan tangan kanan ke bawah
melancarkan pukulan Benteng Topan Melanda
Samudera! Mahesa Birawa berseru tertahan
melihat datangnya angin laksana badai ke
arahnya. Cepat-cepat dia melompat ke
samping. Tubuhnya hampir terpelanting
diserempet angin pukulan lawan. Dengan
kerahkan tenaga dalamnya dia masih sanggup
berdiri di tempat setelah mengelak tadi.
Namun demikian kedua kakinya melesak
sampai lima senti ke dalam tanah! Dalam
keterkejutan melihat kehebatan lawan Mahesa
Birawa mendengar suara tertawa pendekar
212.
"Kutunggu besok siang Mahesa Birawa. Di
sini,di puncak bukit ini! Satu hal perlu
kukatakan. Besok aku menghadapimu bukan
sebagai manusia bernama Mahesa Birawa,
tapi sebagai Suranyali!" Wiro Sableng
berkelebat.
"Budak hina! Jangan lari!" teriak Mahesa
Birawa alias Suranyali. Namun pendekar 212
sudah lenyap dari pemandangannya ditelan
kegelapan malam. – == 0O0 == - Malam itu
Mahesa Birawa tak dapat memicingkan mata.
Dia gelisah sekali. Sebentar-sebentar di atas
pembaringan dalam kemah dia membalik ke
kiri, membalik ke kanan. Ingatannya
mengawang kembali pada masa tujuh belas
tahun yang silam. Terbayang olehnya
kematian Ranaweleng. Terbayang olehnya
Suci, perempuan yang bunuh diri itu. Dan
ketika ingatannya berpindah pada pemuda
yang mengaku anak dari Ranaweleng itu,
tubuhnya seperti dijalari hawa dingin. Meski
sudah dapat mengukur kehebatan lawan
namun Mahesa Birawa tidak takut sama sekali
untuk menghadapi pemuda itu. Cuma
kemunculan si pemuda yang tidak terdugalah
yang benar-benar mengejutkan dan
menyirapkan semangatnya. Hati kecilnya
mengutuki kebodohannya sendiri. Pada masa
tujuh belas tahun yang silam itu dia tahu
kalau Ranaweleng dan Suci mempunyai
seorang putera. Kenapa dia tidak sekaligus
membunuh orok Ranaweleng itu? Tapi saat itu
tentu saja dia tidak mempunyai pikiran
panjang seperti waktu sekarang ini. Mahesa
Birawa membalikkan tubuhnya kembali. Dia
memandang ke dinding kemah. Dan pada
dinding kemah itu seperti terbayang oleh
matanya rentetan kalimat yang pernah
dibacanya pada dinding tempat kediamannya
tujuh belas tahun yang lalu yaitu ketika dia
baru saja berhasil melarikan Suci dan
memasukkannya ke kamarnya. Di sana… di
dalam ingatan Mahesa Birawa alias Suranyali,
seperti tertera kembali rentetan kalimat itu.
Rentetan kalimat yang menjadi kenyataan:
"Apa yang kau lakukan hari ini akan kau
terima balasannya pada tujuh belas tahun
mendatang!" Mahesa Birawa akhirnya turun
dari pembaringan. Beberapa lama dia mondar
mandir didalam kemah besarnya itu.
Kemudian teringat dia pada kematian
Kalasrenggi dan dua orang mata-mata yang
dikirim ke Kotaraja tempo hari. Mereka
menemui kematian akibat turun tangannya
seorang manusia aneh. Kalasrenggi mati
dengan guratan angka 212 pada keningnya.
Dan tadi dia juga saksikan sendiri kematian
Suto Rande dalam cara yang sama! Kalau
begitu sedikit banyaknya atau mungkin pasti…
pasti sekali pemuda yang mengaku anak
Ranaweleng itu, yang sesungguhnya adalah
adik seperguruannya sendiri, pastilah
mempunyai sangkut paut atau hubungan
dengan Pajajaran. Dan kalau sudah begini
berarti bocornya rencana untuk
menggulingkan Prabu Kamandaka, bocornya
rencana untuk memberontak terhadap
Kerajaan! Mahesa Birawa melangkah lagi
mondar mandir sambil mengepalkan tinjunya.
Dia harus bertindak cepat sebelum Pajajaran
benar-benar tahu keseluruhan rencananya.
Bukan mustahil saat itu balatentara Pajajaran
tengah menuju ke perkemahan mereka untuk
menyapu mereka! Malam itu juga Mahesa
Birawa berunding dengan kelima Adipati. Dan
malam itu pula diputuskan untuk
menggerakkan seluruh pasukan ke Kotaraja.
Dua orang kurir dikirim terlebih dahulu. Yang
pertama untuk menemui Raden Werku Alit di
Kotaraja, memberitahukan bahwa karena
sesuatu hal yang mendesak maka pasukan
diberangkatkan malam itu dan direncanakan
untuk menggempur Pajajaran selambat-
lambatnya satu dua jam sesudah fajar
menyingsing! Kurir yang kedua berangkat
menuju puncak Gunung Halimun, menemui
Begawan Sakti Sitaraga yang sebelumnya
telah mengatakan bersedia turun tangan
membantu kaum pemberontak! Tapi kurir ini
kemudian tertawan oleh prajurit-prajurit
Pajajaran di perbatasan.
Meski tetap berhati bimbang akan kebenaran
peringatan yang dibacanya di dinding kamar
adiknya, namun Prabu Kamandaka tak urung
menyiapsiagakan balatentara Pajajaran
secara diamdiam. Dan ketika dini hari itu dia
dibangunkan secara mendadak, dilaporkan
tentang terlihatnya sepasukan besar
mendatangi Kotaraja. Raja Pajajaran ini
benar-benar menjadi kaget. Benar juga
peringatan itu, katanya dalam hati. Kepada
Kepala-Kepala Pasukan Kerajaan segera
diberikan perintah kilat:
"Kalau pasukan yang datang itu adalah benar
pasukan pemberontak, hadapi mereka di luar
tembok Kerajaan!" Manakala sinar fajar
pertama memancar di ufuk timur maka pada
saat itu pulalah mulainya berkecamuk
pertempuran yang dahsyat di sepanjang
tembok besar yang mengelilingi Kotaraja.
Yang paling seru adalah pertempuran pada
dua buah pintu gerbang. Pihak pemberontak
menyerang habis-habisan untuk dapat
membobolkan pintu gerbang Kotaraja itu.
Yang diserang bertahan mati-matian! Suara
beradunya senjata, pekik kematian, lolong
manusia-manusia yang terbabat senjata, bau
anyirnya darah, semuanya menjadi satu
menimbulkan suasana yang mengerikan.
Agaknya serangan lawan mulai tak dapat
dibendung. Hal ini kelihatan sesudah
pertempuran berkecamuk hampir setengah jam
lebih. Prabu Kamandaka dengan teriakan-
teriakan hebat berkelebat kian ke mari
memberi semangat pasukan Pajajaran. Prabu
ini menunggangi seekor kuda putih dan di
tangannya tergenggam sebilah golok panjang
yang berlumuran darah! Prabu Kamandaka
seperti terpukau dan tak mau percaya akan
kedua matanya ketika dia bergerak ke medan
pertempuran sebelah timur, dia langsung
berhadap-hadapan dengan Werku Alit,
saudara sepenyusuan sendiri!
"Matakukah yang terbalik atau benarkah kau
yang ada di hadapanku ini, Alit?" ujar Sang
Prabu. Raden Werku Alit tertawa membesi.
"Matamu masih belum terbalik, Kamandaka!
Cuma otakmu yang miring sehingga
mengambil hak orang lain….!"
"Hak apakah yang aku telah ambil dan
siapakah orang lain itu?!"
"Takhta Kerajaan adalah hak syah diriku,
Kamandaka!" jawab Werku Alit garang. Prabu
Kamandaka tertawa dingin.
"Kau mengigau di slang hari Alit! Tak
kusangka, kau sendiri yang menjadi biang
racun pentolan pemberontak yang memberikan
perintah untuk mengeroyok Raja Pajajaran
itu!" Prabu Kamandaka dengan teriakan-
teriakan hebat berkelebat kian ke mari
memberi semangat pasukan Pajajaran. Prabu
ini menunggangi kuda putih dan di tangannya
tergenggam golok panjang yang berlumuran
darah! Agaknya serangan lawan mulai tak
dapat dibendung. Hal ini kelihatan sesudah
pertempuran berkecamuk hampir setengah jam
lebih. Yang diserang bertahan mati-matian!
Suara beradunya senjata, pekik kematian,
lolong manusia-manusia yang terbabat
senjata bau anyirnya darah, semuanya
menjadi satu menimbulkan suasana yang
mengerikan. Satu demi satu prajurit yang
bertempur bersama rajanya itu gugur
bergelimpangan. Keadaan Sang Prabu sangat
kritis sekali sedang di sebelah barat
balatentara pemberontak di bawah pimpinan
Mahesa Birawa sudah hampir berhasil
membobolkan pertahanan pintu gerbang! – ==
0O0 == - Pada saat pertempuran berkecamuk
dengan serunya, pada saat pintu gerbang
Kotaraja di sebelah barat hampir bobol dan
pada saat keselamatan Prabu Kamandaka
sendiri terancam maka pada saat itulah
terdengar suara yang keras laksana guntur
mengatasi segala kecamukan perang yang
mendatangkan maut itu!
"Manusia-manusia bodoh! Hentikan
pertempuran ini!" Hampir semua mereka yang
bertempur di medan sebelah timur itu jadi
terkejut dan hampir semua mata pula
memandang ke atas tembok Kotaraja di mana
kelihatan berdiri seorang pemuda berpakaian
putih-putih berambut gondrong! Mungkin
sekali Raden Werku Alit adalah orang yang
paling terkejut melihat pemuda di atas tembok
itu. Manusia ini tampangnya sama betul
dengan pemuda yang tempo hari ditotoknya
sewaktu hujan-hujan di teratak tua!
"Orang-orang mati inginkan hidup, kalian
yang hidup mau bertempur sampai mati!
Goblok betul!" terdengar lagi pemuda yang di
atas tembok berkata dengan suaranya yang
mengguntur. Werku Alit kertakkan rahang.
Hatinya gusar terhadap si pemuda. Diam-
diam dia tahu bahwa suara yang mengguntur
itu pastilah menandakan bahwa si pemuda
yang memiliki tenaga dalam yang sangat
tinggi. Namun bila dia melirik ke samping dan
detik itu melihat Prabu Kamandaka berada
dalam keadaan lengah maka kesempatan ini
dipergunakan Werku Alit dengan sebaik-
baiknya. Senjatanya berkelebat cepat dan
ganas. Satu ujung tajam dari toja menyambar
ke leher sedang ujung yang lain menyapu ke
kaki Prabu Kamandaka! Melihat datangnya
serangan itu Prabu Kamandaka sadar akan
keteledorannya berbuat lengah. Sangat
terlambat baginya untuk dapat mengelakkan
senjata lawan yang menyerang dua tempat itu
sekaligus. Salah satu ujung tajam dari senjata
lawan pastilah akan mengenai badannya.
Prabu Kamandaka lemparkan diri ke belakang
meski dia tahu bahwa kakinya akan disapu
ujung toja lawan. Tapi pada saat itu pula dari
atas tembok melesat satu benda putih sekali
laksana bercahaya. Benda ini berbentuk
bintang dan mengeluarkan suara mendesing,
menghantam pertengahan toja Werku Alit
dengan tepatnya. Toja itu patah dua. Salah
satu patahannya menggores dada Werku Alit
sendiri! Laki-laki ini menjerit kesakitan dan
lompat mundur namun diburu dengan sebat
oleh Prabu Kamandaka. Dalam keadaan
terluka, bersama orang-orangnya Werku Alit
bertahan dengan hebat. Dua Adipati lainnya
yang melihat terdesaknya Werku Alit segera
berikan bantuan sehingga Prabu Kamandaka
dan orang-orangnya kembali terdesak hebat!
Werku Alit mengamuk dahsyat. Mengamuk
dengan patahan tojanya. Namun keadaan
dirinya mulai payah akibat luka yang
dideritanya. Gerakan-gerakannya mulai
menjadi lamban sehingga dia terpaksa
mengambil posisi bertahan dan membiarkan
pembantupembantunya menyerang pihak
lawan. Adipati Tapak Ireng mendekati Werku
Alit dan sodorkan sebuah pil.
"Telanlah cepat Raden Alit dan alirkan tenaga
dalammu ke bagian yang terluka…." Werku Alit
cepat-cepat telan pil yang berwama hitam itu
lalu kerahkan tenaga dalamnya. Obat yang
diberikan oleh Adipati Tapak Ireng memang
manjur sekali. Sesaat kemudian darah pada
luka Werku Alit berhenti dan tiada terasa sakit
lagi. Maka dengan cabut kerisnya Werku Alit
kembali maju menghadapi Prabu Kamandaka.
Ketika Adipati Lanabelong dengan ruyung besi
putihnya turut pula membantu Werku Alit
maka lebih buruk dari tadi keadaan Prabu
Kamandaka kembali terdesak hebat.
"Kaum pemberontak! Hentikan pertempuran
ini!" teriak orang yang di atas tembok. Tapi
tak ada yang memperdulikan malah Adipati
Jakaluwing dari Karangtretes menantang:
"Orang gila berambut gondrong kalau mau
rasakan toja besiku, turunlah!" Orang di atas
tembok menggerutu penasaran. Dari balik
pinggangnya dikeluarkannya sebuah kapak
bermata dua! Mata kapak itu berkilat-kilat
ditimpa sinar matahari pagi. Kemudian
dengan satu gerakan yang sangat enteng dia
melompat turun. Dan begitu sampai di tanah
ditempelkannya ujung gagang kapak ke
bibirnya. Maka sesaat kemudian
menggemalah suara seperti seruling. Mula-
mula pelahan, kemudian makin keras dan
melengking-lengking! Telinga pihak
pemberontak yang mendengar suara
lengkingan seruling itu seperti ditusuk-tusuk
sakit sekali. Prajurit-prajurit rendahan
menjadi terpukau dan dengan mudah menjadi
korban senjata prajurit-prajurit Pajajaran!
Werku Alit dan lima Adipati sekutunya terkejut
ketika merasa bagaimana sakitnya telinga
mereka sedang jalan darah mereka tidak lagi
teratur tapi sesak tersendat-sendat. Dan
ketika mereka memandang berkeliling mereka
melihat bagaimana pasukan mereka di bagian
medan mayat prajurit dengan dada mandi
darah! Werku Alit dan Adipati-Adipati yang
masih hidup terkejutnya bukan main.
Serangan mereka di samping dijuruskan
kepada Prabu Kamandaka kini juga
dititikberatkan pada Wiro Sableng! Namun
bila sekali lagi Kapak Naga Geni 212
berkelebat maka kini giliran Adipati
Jakaluwing pula yang meregang nyawa
dengan kepala hampir terbelah dual Werku
Alit dan Adipati-Adipati yang masih hidup
menjadi kecut. Mereka saling berlirikan tajam
dan beri isyarat namun pada saat itu pula
pendekar 212 yang sudah tahu maksud
mereka membuat gerakan cepat. Rujung besi
Ranabelong mental puntung dua ke udara
disusul dengan jerit kematiannya! Satu-
satunya Adipati yang masih hidup yaitu
Warok Gluduk boleh dikatakan sudah tak ada
daya lagi sesudah lengan kanannya tadi
dibabat puntung oleh Prabu Kamandaka. Dia
memutuskan untuk kabur saja tapi tombak
seorang kepala pasukan Pajajaran lebih
dahulu menancap di punggungnya terus
menembus sampai ke dada! Nyali Werku Alit
semakin luntur menciut. Di medan
pertempuran sebelah timur itu hanya dia
sendiri kini yang menjadi pucuk pimpinan.
Kalau tadi dia dan anak-anak buahnya
merupakan pihak penyerang yang mendesak
maka kini keadaan terbalik! Di mana-mana
puluhan prajurit-prajuritnya bergeletakan
mati. Yang masih hidup bertempur dengan
setengah hati, mundur terus-terusan dan
kacau balau! Suara seruling Kapak Naga Geni
212 yang terus menerus melengking seperti
melumpuhkan sekujur tubuh Raden Werku Alit.
Dicobanya mengerahkan tenaga dalamnya
namun tenaga dalamnya terasa laksana
punah! Telinganya sakit dan kemudian
dirasakannya ada yang meleleh pada kedua
liang telinganya itu! Darah! – == 0O0 == -
Mahesa Birawa yang ada di medan
pertempuran sebelah barat, yang saat itu
sudah hampir berhasil mendesak pasukan
Pajajaran dan membobolkan pintu gerbang
pertahanan menjadi terkejut ketika selintas
kepalanya dipalingkan ke arah timur! Pasukan
pihaknya di jurusan ini dilihatnya bertempur
dengan kacau, malah sebagian besar mundur
terdesak hebat! Beberapa kelompok pasukan
bahkan dilihatnya melarikan diri kucar kacir!
Dan di antara semua apa yang disaksikannya
itu sayup-sayup telinganya mendengar
lengkingan suara seruling! Jaraknya dengan
medan pertempuran sebelah timur terpisah
puluhan tombak tapi suara seruling itu seperti
menerpa-nerpa kulit tubuhnya, menyendatkan
jalan darahnya dan menyakitkan anak
telinganya. Dan saat demi saat jumlah prajurit
yang bertempur di medan sana itu semakin
berkurang juga, banyak yang lari dan banyak
yang tergelimpang mati! Mahesa Birawa
serahkan pimpinan kepada seorang kepala
pasukan yang dipercayainya. Kemudian
dengan gerakan sebat dia menuju ke medan
pertempuran sebelah timur. Begitu sampai di
medan pertempuran ini dia disambut oleh
satu pemandangan yang cukup membuat bulu
kuduknya merinding. Saat itu, Raden Werku
Alit sudah terdesak hebat dan tak sanggup
mengelakkan sambaran pedang Prabu
Kamandaka. jarak yang jauh Mahesa Birawa
masih berusaha untuk membokong Prabu
Kamandaka dengan pukulan tangan kosong.
Namun angin pukulannya yang dahsyat itu
diterpa hebat oleh satu gelombang angin
ganas dari samping! Ketika dia berpaling
maka sepasang matanya membentur pemuda
yang tak asing lagi baginya. Maka
membentaklah Mahesa Birawa. Namun
bentakannya belum lagi keluar, tahu-tahu
satu benda menggelinding ke arah tempatnya
berdiri, dan ketika diperhatikan benda itu
adalah kepala Raden Werku Alit yang sesaat
sebetumnya lehernya kena ditebas pedang
Prabu Kamandaka! Kemarahan Mahesa
Birawa tiada terperikan. Dengan keris di
tangan kanan dan gada berduri yang
mempunyai tiga mata rantai berduri pula dia
menyerbu ke hadapan Prabu Kamandaka!
Namun setiup angin dahsyat memotong
serangannya itu dari samping. Dan ketika dia
berpaling ternyata lagi-lagi pemuda itu yang
menghalanginya!
"Aku lawanmu, Mahesa Birawa!," teriak
pendekar 212 dengan bola mata bersinar-
sinar.
"Kutunggu kau di bukit Jatimaleh!"
"Budak hina! Kuburmu adalah di antara
tumpukan mayat di tempat ini juga!," bentak
Mahesa Birawa. Sementara itu Prabu
Kamandaka yang tahu bahwa yang tadi
hendak menyerangnya adalah tokoh
pemberontak kaki tangan Werku Alit yang
berbahaya segera berteriak berikan perintah:
"Kurung bangsat-bangsat pemberontak ini!"
Dua lusin prajurit, tiga kepala pasukan dan
Prabu Kamandaka sendiri segera mengurung
Mahesa Birawa. Namun pada saat itu pula
Wiro Sableng melompat ke muka dan berseru:
"Prabu Kamandaka! Kau memang punya hak
untuk menangkap dan membunuh manusia
karena dia adalah pentolan pemberontak
musuh Pajajaran! Tapi aku merasa lebih
punya hak untuk membereskannya karena
dialah pembunuh ayahku dan penyebab
kematian ibuku! Serahkan dia padaku Prabu
Kamandaka!" Raja Pajajaran meski
amarahnya hampir tak dapat dikendalikan
lagi, tapi mendengar ucapan Wiro Sableng itu
menahan juga serangannya dan bertanya:
"Orang muda gagah, kau siapakah?!" Wiro
Sableng senyum sedikit. Diacungkannya kapak
yang di tangan kanannya. Dan pada kedua
mata kapak itu jelas kelihatan tiga rentetan
angka. 212! Terkejutlah Sang Prabu! Tak
disangka pemuda itulah kiranya manusia aneh
yang telah memberikan peringatan kepadanya
sebelumnya tentang akan pecahnya
pemberontakan. Tahu kalau si pemuda gagah
betul-betul berada di pihaknya sendiri maka
Prabu Pajajaran itu tidak keberatan
mengabulkan permintaan Wiro Sableng. Dia
beri isyarat agar prajurit-prajuritnya mundur
kembali. Sementara itu boleh dikatakan
pertempuran sudah hampir berakhir.
Balatentara pemberontak yang kini tidak
berpimpinan lagi sudah mundur jauh dari
tembok Kerajaan dan terus dikejar oleh
pasukan Pajajaran sehingga lari kucar kacir.
Dan di antara gelimpangan mayat manusia di
atas tanah yang banjir darah, di udara yang
masih hangat oleh baunya maut maka
berhadapanlah dua musuh besar, Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 dengan Suranyali
alias Mahesa Birawa! Pendekar 212 baru saja
pasang kuda-kuda dan melintangkan kapak
Naga Geni di muka dada ketika dengan
membentak dahsyat Suranyali menerjang ke
muka. Keris menusuk ke kepala dan gada
rantai berduri menyapu ke perut!
"Ciaat!" Wiro Sableng tak kalah sebat.
Tubuhnya berkelebat, Kapak Naga Geni
berputar dahsyat menimbulkan gelombang
angin dan mengeluarkan suara mengaung
laksana suara ratusan tawon! Gelombang
angin itu sekaligus membentur senjata-
senjata Suranyali membuat kedua tangan-
tangannya laksana kena dipukul mental!
Suranyali alias Mahesa Birawa kini tidak bisa
bertempur tanggung-tanggung lagi. Seluruh
tenaga dalamnya dikerahkan dan untuk kedua
kalinya dia menyerbu ke muka! Serangan kali
ini lebih dahsyat dari yang pertama namun
pendekar 212 menunggu dengan tenang!
Setengah tombak tubuh lawan mengapung ke
arahnya Wiro Sableng sapukan Kapak Maut
Naga Geni ke muka dalam jurus Orang Gila
Mengebut Lalat. Suranyali merasakan
badannya seperti membentur dinding yang tak
kelihatan! Dengan andalkan ilmu mengentengi
tubuh yang sudah sempurna sekali, laki-laki
ini lompat ke samping. Kapak Naga Geni
melesat di bawahnya dan pada detik itu pula
Suranyali kembali menukik dan babatkan
gada berdurinya! Yang diserang sama sekali
tidak mau mengelak, tapi putar Kapak Naga
Geninya di atas kepala. Maka dua senjata
bentrokanlah dengan hebat, mengeluarkan
suara nyaring! Kapak Naga Geni
memancarkan bunga api, dua dari rantai besi
berduri yang bergandul pada gada berduri di
tangan kiri Suranyali putus! Membuat
pemiliknya jadi terkejut sekali! Dan dalam
saat itu pula laksana topan Kapak Naga Geni
membalik membabat ke arah
selangkangannya! Suranyali berseru keras dan
jungkir balik di udara! Keringat dingin
mengucur di kuduknya! Prabu Kamandaka
leletkan lidah melihat pertempuran yang hebat
itu. Dalam waktu yang singkat kedua orang
itu telah bertempur dua puluh jurus! Dan
kentara sekali bagaimana kini Suranyali alias
Mahesa Birawa mulai mendapat
tekanantekanan hebat! Dan pada saat laki-
laki ini terpaksa buang penggada berdurinya
karena senjata itu dibabat puntung oleh
kapak lawan! Dengan penasaran Suranyali
cabut senjatanya yang lain yaitu sebuah
tongkat besi yang ujungnya bercagak dua.
Tongkat besi ini memancarkan sinar kehijauan
tanda bukan senjata sembarangan dan
menggndung racun yang hebat! Dengan keris
di tangan kanan dan tongkat besi bercagak di
tangan kiri berkelebatlah Suranyali. Kedua
senjatanya memancarkan sinar dahsyat yang
membungkus lawannya. Namun yang dihadapi
Suranyali saat itu bukan manusia berilmu
rendah dan bukan pula yang bersenjatakan
senjata biasa! Kapak Naga Geni 212 menderu-
deru mengaung mengeluarkan sinar putih
menyilaukan. Tubuh kedua orang itu hanya
merupakan bayangbayang saja dan tiba-tiba
terdengar teriakan Suranyali. Keris di tangan
kanannya terlepas mental patah dua. Kalau
saja dia tidak cepat-cepat tarik tangan
kanannya pastilah tangan itu kena pula
dibabat kapak lawan! Suranyali melompat ke
luar dari kalangan pertempuran! Mukanya
memucat laksana salju! Cepat-cepat dia atur
jalan nafasnya. Ketika dia melangkah ke muka
maka kelihatanlah tangan kanannya sampai
ke pangkal siku berwarna sangat hijau dan
bergetar.
"Pemuda hina dina! Kau lihat lengan kananku
ini?!" tanya Suranyali sambil acungkan tangan
kanannya.
"Tujuh belas tahun yang lalu bapakmu
meregang nyawa oleh pukulan Kelabang
Hijau-ku! Kini anaknya akan menerima bagian
yang sama pula!" Wiro Sableng tahu. kalau
tujuh belas tahun yang lalu musuh besarnya
itu telah memiliki ilmu pukulan Kelabang
Hijau itu maka kini kehebatannya tentu tak
dapat dibayangkan. Namun hal ini sama
sekali tidak menggetarkan hatinya! Kapak
Naga Geni 212 dipindahkan ke tangan kiri dan
tiga perempat bagian tenaga dalamnya
dialirkan ke tangan kanan. Dan kelihatanlah
tangan kanan itu menjadi sangat putih sedang
kuku-kuku jarinya bersinar memerah
menyilaukan! Terkejutlah Suranyali melihat
hal ini. Hatinya tergetar.
"Pukulan sinar matahari…," desisnya.
Pendekar 212 tertawa menggumam.
"Silahkan mulai dahulu, Suranyali…," katanya
menantang! Diam-diam Suranyali alirkan
teluruh tenaga dalamnya ke lengan kanan.
Mulutnya komat-kamit. Kedua kakinya amblas
lima senti ke dalam tanah yang basah oleh
genangan darah. Dan sambil lompat sembilan
tombak ke atas kemudian laki-laki ini
hantamkan tangan kanannya ke muka!
Pendekar 212 tetap tak bergerak di tempatnya.
Sinar hijau dari pukulan lawan melesat ke
arahnya dan disambutinya dengan pukulan
tangan kanan! Dua pukulan dahsyat beradu di
udara mengeluarkan suara berdentum! Sinar
hijau dan putih saling nyambar dan memecah
ke samping! Pekik jerit dari orang-orang yang
berdiri di tepi kalangan pertempuran terdengar
di mana-mana. Tubuh mereka tergelimpang
mati. Ada yang menjadi hijau akibat racun
pukulan Kelabang Hijau Suranyali dan banyak
yang menjadi hangus hitam tersambar
pukulan sinar matahari Wiro Sableng! Prabu
Kamandaka sendiri jika tidak cepat-cepat
melompat pastilah akan menjadi korban pula!
Ketika dua sinar itu beradu keras Suranyali
merasakan badannya menjadi panas. Celaka!
Keluhnya. Pukulannya kelabang Hijaunya
bukan saja musnah oleh pukulan lawan tapi
juga kena dihantam dikembalikan ke arah
kedua kakinya. Cepat-cepat laki-laki ini ambil
sebuah pil dari sabuk di pinggangnya dan
menelannya. Kemudian sesaat sesudah itu
laksana seekor elang dia menukik ke bawah,
tusukan besi bercagaknya ke leher Wiro
Sableng. Wiro memapasi dengan kapaknya.
Suranyali coba menjepit gagang kapak dengan
gagakan besi.
Tapi "trang!" Sekali kapak itu berkiblat maka
patahkan senjata Suranyali. Sebelum dia
sempat menjejakkan kaki di tanah, sebelum
dia sanggup menjauhi lawan maka Kapak
Naga Geni 212 menderu lagi kali ini tiada
ampun membabat kuntung bahu kanan
Suranyali! Laki-laki ini melolong seperti
srigala haus darah! Tubuhnya limbung
menghuyung! Wiro Sableng tertawa mengekeh.
"Itu dari ayahku, Suranyali!" katanya.
"Dan ini dari ibuku!" Kapak Naga Geni
berkiblat lagi. Suranyali coba menghindar
dengan segala daya tapi tak berhasil. Bahu
kirinya terpapas mental. Darah menyembur!
Sungguh mengerikan menyaksikan tubuh
Suranyali yang tanpa lengan itu!
"Yang ini dari Eyang Sinto Gendeng,
Suranyali!" kata Wiro Sableng pula dengan
masih tertawa mengekeh seperti tadi. Kapak
Naga Geni sekali lagi menderu. Tubuh
Suranyali mental tersandar ke tembok
Kerajaan! Dadanya sampai ke perut robek
besar. Darah membanjir dan ususnya menjela-
jela. Pendekar 212 masih belum puas.
"Yang terakhir ini dariku sendiri, Suranyali!,"
katanya. Ketika Kapak Maut Naga Geni 212
itu membelah kepala Suranyali alias Mahesa
Birawa itu, tiada terdengar pekikan atau keluh
kematian dari mulutnya. Tubuhnya masih
tersandar sesaat lamanya pada tembok
Kerajaan, kemudian merosot ke bawah dan
tergelimpang di atas mayat-mayat
pemberontak lainnya. Tapi tubuh itu tak
berada lama menggeletak di sana. Sekali kaki
kanan Wiro Sableng menendang maka
mentallah tubuh musuh bebuyutannya itu
sampai belasan tombak! Wiro Sableng tertawa
mengekeh, lama dan panjang. dimasukkannya
Kapak Naga Geni 212 ke balik pinggangnya.
Kemudian seperti tak ada kejadian apa-apa,
seperti dia bukan berada di antara hamparan
ratusan mayat, pemuda ini melangkah
seenaknya bahkan dengan bersiul!
"Saudara muda!," Prabu Kamandaka
memburu.
"Tunggu dulu…. !" Pendekar 212 berpaling.
"Ah…. aku sampai lupa minta diri padamu
Prabu Kamandaka…."
"Saudara, kau tak boleh pergi dulu…"
"Kenapa?"
"Ikutlah ke istana. Kau telah berjasa besar
dan…."
"Jasa hanyalah jasa Sang Prabu. Hanya
sekedar kenang-kenangan indah. Bagiku jasa
tidak berarti mengharapkan balas imbalan.
Selamat tinggal…." Prabu Kamandaka
memegang bahu pemuda itu.
"Kuharap kau sudi datang ke istana terlebih
dahulu, saudara," katanya.
"Terima kasih Sang Prabu, terima kasih….,"
sahut pendekar 212.
"Kalau begitu beri tahu saja namamu…." Wiro
Sableng tersenyum.
"Namaku tidak penting Sang Prabu. Cuma
ingatlah angka 212. Mungkin suatu ketika
angka itu akan kembali lagi ke Pajajaran ini….
Dan satu hal…. jangan lupa sampaikan
salamku buat adikmu…. Rara Murni…."
"Akan kusampaikan" kata Prabu Kamandaka
pula., Dan semua mata kemudian
menyaksikan kepergian pendekar muda itu.
Prabu Pajajaran akhirnya geleng-geleng
kepala dan tarik nafas panjang.
"Pemuda hebat…. pemuda gagah….," katanya.
"Pajajaran berhutang besar kepadamu.
Jasamu tak akan dilupakan sampai turun
temurun…."

Komentar

Postingan Populer