WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya : BASTIAN TITO
EPISODE : LIMA IBLIS DARI NANKING
**********
DI BAWAH
pemerintahan Cu Goan Ciang yang berhasil
mengusir kaum penjajah Mongol didirikanlah
kerajaan Tiongkok baru yang diberi nama
Kerajaan Beng. Sebagai raja Cu Goan Ciang
lebih dikenal dengan sebutan Kaisar Thaycu.
Ibukota kerajaan yang dulu terletak di Peking
(Ibukota Utara) dipindahkan ke Nanking
(Ibukota Selatan). Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah segala kemungkinan serangan tak
terduga dari bangsa Mongol.
Di samping itu sejumlah balatentara besar
ditempatkan di Peking dan sebagai panglima
tertinggi di Peking merangkap wakil langsung
Kaisar di Nanking, oleh Kaisar Thaycu
diangkatlah putera kandungnya yang bernama
Cu Yung Lo.
Sebelum meninggal dunia Kaisar Thaycu yang
bertahta di istana Nanking mengangkat Hui Ti
sebagai penggantinya. Hui Ti adalah cucu
yang amat disayangi Kaisar, merupakan
putera dari anak sulungnya, jadi adalah
keponakan langsung Pangeran Yung Lo.
Pengangkatan Hui Ti sebagai Kaisar baru
inilah yang kemudian menjadi pangkal silang
sengketa dan malapetaka dalam Kerajaan
Beng. Sebagai anak kandung atau putera
Kaisar Thaycu, Pangeran Yung Lo merasa
lebih berhak untuk menjadi Kaisar dibanding
dengan Hui Ti yang hanya seorang cucu. Hal
ini kemudian berubah menjadi pertentangan
dan perpecahan dan pada puncaknya
mengakibatkan perang saudara yang hebat.
Pangeran Yung Lo dengan sejumlah
balatentara besar menyerbu Nanking.
Peperangan tak dapat dihindar dan
peperangan ini bertambah dahsyat karena
tidak saja melibatkan balatentara kedua belah
pihak tetapi juga melibatkan banyak tokoh-
tokoh dunia kangouw (persilatan)
Pihak Selatan dengan mati-matian berusaha
mempertahankan diri dari serbuan yang hebat
itu. Namun segala upaya sia-sia belaka.
Balatentara Pangeran Yung Lo laksana air
bah. Selatan kalah, Nanking jatuh dan Kaisar
Hui Ti tertawan hidup-hidup. Dia dijebloskan
ke dalam penjara, masih untung tidak dijatuhi
hukuman gantung atau pancung.
Meskipun kemudian perang sudah lama
berakhir, tetapi keamanan negeri tidak
keseluruhannya dapat ditanggulangi. Di
mana-mana sisa-sisa pasukan yang masih
setia pada Kaisar Hui Ti mengadakan
kekacauan, menimbulkan kerusuhan-
kerusuhan, perampokan dan pembunuhan.
Pospos tentara yang tak begitu kuat dan
terutama yang terletak di tempat terpencil
menjadi korban penyerbuan.
Dalam suasana Kerajaan Beng seperti scat
itulah terjalinnya kisah silat ini. *** SUATU
HARI, sebulan setelah Kaisar Hui Ti
ditumbangkan, serombongan pasukan
Kerajaan di bawah pimpinan seorang perwira
muda berkepandaian tinggi tampak bergerak
meninggalkan Nanking. Mereka tengah
mengawal sebuah kereta berisi emas milik
bekas Kaisar Hui Ti untuk di bawa ke Peking
atas perintah Kaisar Yung Lo.
Dua hari berlalu. Rombongan telah jauh
meninggalkan Nanking namun Peking yang
menjadi tujuan masih amat jauh di sebelah
Utara.
Karena matahari tidak bersinar terlalu terik
dan angin sejuk bertiup sepanjang perjalanan,
kusir kereta memegang tali les sambil
bernyanyi kecil. Di sebelahnya duduk seorang,
pengawal berusia agak lanjut tetapi memiliki
ilmu silat bukan sembarangan, bahkan
kepandaiannya setingkat lebih tinggi dari
perwira muda yang menjadi pimpinan
rombongan itu. Pengawal tua ini bernama
Thian Gay dan dikenal dengan julukan Thian
Gay Si Tangan Baja.
Di sebelah depan kereta yang membawa emas
dan juga di sebelah belakang terdapat
masingmasing enam orang pengawal hingga
keseluruhan rombongan berjumlah 15 orang.
Karena mereka membawa emas yang tak
ternilai harganya maka keberangkatan
rombongan ini sangat dirahasiakan.
Sampai hari ke tiga perjalanan berjalan lancar
tanpa suatu halangan. Akan tetapi pada hari
ke empat, sewaktu rombongan mengambil
jalan memotong terdekat memasuki sebuah
hutan di kaki bukit terjadilah hal yang
mengejutkan. Jalan di hadapan perwira muda
pemimpin rombongan tibatiba saja runtuh
amblas! Ternyata di situ telah digali sebuah
lobang besar yang diganjal dengan ranting-
ranting kecil dan kemudian ditutup kembali
baik-baik dengan tanah serta dedaunan.
Tak ampun lagi kuda yang ditunggangi sang
perwira, termasuk enam pengawal di
belakangnya terperosok dan terjebak masuk ke
dalam lobang yang dalamnya hampir lima
kaki. Jika enam pengawal berseru kaget
kalang kabut maka perwira muda tadi masih
dapat menguasai diri. Dengan sikap tenang
tapi gesit danmengandalkan gingkangnya
(ilmu meringankan tubuh) yang lihay dia
melesat dari punggung kuda. Sebelum kedua
kakinya menginjak tanah, tiba-tiba telinganya
menangkap suara berdesing. Menyusul
kemudian terdengar jerit kematian yang
mengerikan!
Enam pengawal yang barusan berhamburan
masuk lobang bersama beberapa ekor kuda
tunggangan mereka, menggapai-gapai
mencoba keluar dari lobang tersebut. Ada
yang patah tulang bahu, tulang kaki atau
tangan. Dalam keadaan seperti itu, belum
mampu mereka keluar dari lobang, selusin
golok terbang menderu, menancap di dada,
ada yang di leher atau perut, bahkan ada
yang menancap di kening, membuat ke enam
pengawal itu roboh, mengerang sebentar lalu
mati!
Kuda-kuda yang meringkik hingar bingar juga
ikut menjadi korban golok-golok terbang yang
ganas itu.
Akan keadaan kereta pembawa emas, bila
saja kusir tidak cepat menahan tali kekang,
pastilah kereta itu akan ikut menghambur
terperosok masuk ke dalam lobang. Orang tua
di samping kusir kelihatan kerenyitkan kulit
kening. Lalu dia keluarkan seruan keras.
"Semua siap sedia! Ada tangan-tangan jahat
yang menjebak kita di tempat ini!" Selesai
berteriak tangan kanannya lalu dihantamkan
ke atas, ke arah sebatang pohon besar.
"Bangsat yang berani berlaku kurang ajar
tunjukkan tampang-tampang kalian!"
Serangkum angin menderu keluar dari tangan
Thian Gay Si Tangan Baja dan krak! Batang
pohon di sebelah atas patah. Cabang dan
ranting-ranting serta dedaunan melayang
gugur. Detik itu pula terdengar suara tertawa
bekakakan yang menggetarkan seantero hutan
dan membuat bergemetarnya mereka yang
mendengar.
Lima sosok tubuh berkelebat dari atas pohon
yang tumbang dan serentak dengan itu enam
batang golok terbang bersiuran ke arah Thian
Gay!
Karena tidak menduga akan mendapat
serangan mendadak begitu rupa sedangkan
dia baru saja melepas pukulan, Thian Gay
menjadi cukup kaget. Dua golok terbang
dihantamnya dengan tangan kanan. Begitu
tangan kanannya beradu dengan golok-golok
olah dua golok tadi melabrak baja dan patah.
Tak percuma dia mendapat julukan Si Tangan
Baja.
Dengan menjatuhkan diri ke samping dua
buah golok lainnya berhasil dielakkan. Golok
kelima dapat ditangkis dengan tendangan
tepat pada gagang golok. Namun serangan
golok ke enam agak terlambat dikelitnya. Bret!
Bagian tajam golok merobek bahu
pakaiannya, melukai daging tubuh di bagian
itu. Paras Thian Gay berubah. Jika dia masih
dapat dihantam oleh senjata lawan yang
keenam sudah dapat dipastikannya bahwa
penyerang bukan manusia tingkat rendahan.
Mengingat tanggung jawabnya dalam
pengawalan kereta Thian Gay tak mau berlaku
ayal. Dia melirik pada perwira muda di
sampingnya yang saat itu sudah cabut
pedang dan tengah menghadapi lima manusia
yang baru saja melayang turun dari atas
pohon. Kelimanya berjubah hitam. Empat
berambut gondrong awut-awutan Sedang
yang kelima berkepala botak berkilat.
Tampang mereka buas seperti singa lapar,
penuh berewok dan menyeramkan. Pandangan
mata mereka membersitkan kegarangan, haus
darah dan maut!
Lelaki gondrong yang tegak paling ujung
sebelah kanan keluarkan suara tertawa.
Tubuhnya tinggi kurus. Seputar pinggang
jubahnya melilit belasan golok terbang. Bila
dia bergerak senjatasenjata itu bergesekan
dan mengeluarkan suara gemerisik
menggidikkan. Manusia ini dikenal dengan
panggilan Gui-kun Kui-to alias Gui Kun Si
Golok Iblis. Dialah tadi yang telah
melemparkan golokgolok terbang merenggut
nyawa enam pengawal dan juga menyerang
Thian Gay.
Di sebelah Gui-kun Kui-to berdiri kambratnya
yang memiliki rambut merah gondrong paling
panjang menyela sampai ke punggung.
Rambut ini bukan sembarang rambut karena
bisa dipergunakan sebagai senjata maut!
Rambutnya inilah yang membuat dia
mendapat julukan Iblis Rambut Merah atau
Ang-mo It-kui.
Orang yang ketiga berdiri sambil rangkapkan
tangan di depan dada. Kepalanya botak licin
dan berkilat. Tubuhnya pendek gemuk. Dia
terkenal dengan panggilan Tiat-thou-kui atau
Iblis Kepala Besi. Kalau kawannya tadi
mengandalkan rambut sebagai senjata maka
yang satu ini mengandalkan kepalanya
sebagai senjata maut. Boleh dikatakan
sebagian besar musuhnya menemui kematian
di tanduk atau disodok dengan kepalanya
yang botak keras laksana bola besi itu!
Manusia berjubah hitam yang keempat tegak
dengan sikap angker, lebih seram dari yang
lainlainnya. Tubuhnya paling tinggi dan
paling besar. Dialah yang dikenal dengan
gelaran Nan-king Kuiong atau Raja Iblis dari
Nanking. Dan dialah yang menjadi pimpinan
dari semua manusia-manusia seram itu.
Orang terakhir berdiri di ujung kiri. Dia
bertubuh katai. Sepuluh kuku tangannya
panjangpanjang dan berwarna hitam. Inilah
Tui-hun Hui-mo alias Iblis Pengejar Maut!
Thian Gay Si Tangan Baja memandang dengan
mata terpentang lebar pada kelima manusia
berjubah itu. Dia berusaha menekan debaran
jantungnya.
"Nan-king Ngo-kui … " desisnya membisiki
perwira muda yang tegak di sebelahnya.
Mendengar bisikan itu berubahlan paras si
perwira yang bernama Ex Cu Liong. Sedang
enam pengawal lainnya begitu mendengar
siapa manusia-manusia yang ada di depan
mereka jadi bergetar lutut masing-masing dan
paras mereka laksana kain kafan.
Siapa yang tidak kenal dengan Nan-king Ngo-
kui atau Lima Iblis dari Nanking. Lima datuk
iblis golongan hitam yang berkepandaian
tinggi. Pada masa perang saudara dulu
mereka dikenal sebagai pembantu utama
Kaisar Hui Ti. Begitu perang berakhir dan Hui
Ti ditawan, kelimanya melenyapkan diri.
Tahu-tahu kini muncul dalam keadaan begitu
rupa. Melihat cara mereka muncul dengan
menyebar maut, jelas kelimanya mempunyai
maksud jahat dan keji.
Diam-diam Thian Gay mengeluh. Meskipun
perwira Cu Liong berkepandaian tidak rendah
akan tetapi menghadapi lima manusia iblis itu
sama saja dengan usaha hendak lolos dari
lubang jarum. Jago tua Thian Gay sudah
mencium maut kematiannya sendiri! ***
KALAU tadi perwira muda Cu Liong hendak
naik pitam melihat kematian enam anak
buahnya, kini setelah mengetahui siapa
adanya lawan yang dihadapi mau tak mau dia
harus menekan amarah dan tidak boleh
bertindak gegabah. Cu Liong membuka mulut.
"Sungguh tidak disangka hari ini kami akan
bertemu dengan Nan-king Ngo-Kui yang
terkenal. Mengingat perang telah lama usai
dan pihak Pemerintah juga tidak pernah
mengutik-utik diri ngo-wi locianpwe sekalian
meskipun dulu diketahui ngo-wi membantu
pemberontak Hui Ti, maka adalah menjadi
tanda tanya bagi kami mengapa hari ini
begitu muncul ngo-wi langsung menjatuhkan
tangan maut pada anak-anak buahku yang
tidak berdosa?"
Gui-kun Kui-to, orang ke lima dalam urutan
lima manusia iblis itu batuk-batuk beberapa
kali lalu menyahuti.
"Perwira anjing peliharaan Yung Lo! Kau
dengarlah baik-baik. Perang memang sudah
lama selesai tetapi akibatnya masih tetap
akan terasa, malah mungkin lebih hebat dari
peperangan itu sendiri!
Kau menyebut Kaisar Hui Ti sebagai
pemberontak. Kotor dan lancang sekali
mulutmu. Kaisar Thaycu sendiri yang
mengangkatnya untuk menduduki tahta
kerajaan Beng. Dan si Yung Lo yang temahak
busuk itulah yang telah melakukan
pengkhianatan, memberontak! Sekarang kalian
sebagai kaki tangan Yung Lo keparat itu boleh
merasa menang. Tapi ingat, akan datang
harinya kalian akan menerima pembalasan!"
Merah paras perwira Cu Liong yang dimaki
anjing.
"Memandang nama besar ngo-wi sekalian aku
masih mau memberi maaf atas kata-kata
yang bersifat menghina diriku. Tapi
penghinaan kurang ajar terhadap Kaisar Yung
Lo benar-benar tak bisa diberi ampun!"
"Oh begitu?" ujar Gui-kun Kui-to.
Si botak Tiat-thou-kui menimpali. "Kalau tak
bisa diberi ampun, lalu apakah kau akan
menangkap kami berlima?" Habis bertanya
begitu si botak lantas tertawa mengejek.
"Rasanya belum terlambat bagi kalian berlima
untuk kembali ke jalan benar. Bila kalian
bersedia ikut ke Kotaraja menghadap Kaisar
Yung Lo, aku bersedia memintakan ampun
bagi kalian dan bukan mustahil Kaisar mau
mengambil kalian-kalian sebagai pembantu-
pembantunya… "
"Dijadikan anjing peliharaannya seperti
dirimu?" tukas Tiat-thou-kui pula dan
bersama kawankawannya dia tertawa gelak-
gelak.
Thian Gay Si Tangan Baja yang sejak tadi
bungkam mendehem beberapa kali lalu
berkata, "Memang tak mungkin bagi kami
memaksa ngo-wi ikut ke Kotaraja. Sebaiknya
lupakan saja apa yang barusan kita
perbincangkan dan sekarang masing-masing
kita sama meninggalkan tempat ini dengan
aman."
Cu Liong hendak membuka mulut membantah
ucapan Thian Gay itu. Mana mungkin
kematian enam anak buahnya dapat
dilupakan begitu saja. Bagaimana
pertanggunganjawabnya nanti terhadap
atasannya di Kotaraja? Namun ketika melihat
isyarat mata yang diberikan Thian Gay
terpaksalah perwira muda ini membatalkan
niatnya.
"Tua bangka Thian Gay, kau memang pandai
bicara," berkata Nan-king Kui-ong, pentolan
kepala lima manusia iblis itu. "Tetapi kenapa
kau dan orang-orangmu buru-buru hendak
pergi?"
Saat itu Thian Gay sudah membalikkan diri
melangkah mendekati kereta. Langkahnya
tertahan.
Dalam batin dia bertanya apakah manusia-
manusia iblis itu sudah mengetahui apa isi
kereta? Di dengarnya suara Nan-king Kui-ong
kembali, "Bagus kalau kau mau melupakan
apa yang telah terjadi.
Sekarang bagaimana kalau kau dan perwira
muda ini masuk saja ke pihak kami?!"
"Siapa sudi!" bentak Cu Liong dengan keras.
Sebaliknya Thian Gay menjawab dengan
bijaksana. "Tawaranmu itu biarlah
kupertimbangkan dulu. Nanti kukirim orang
untuk menemui kalian berlima."
"Eh, mana bisa begitu aturannya," kata Ang-
mo It-kui, orang keempat dari Lima Iblis.
"Tanya sekarang harus jawab sekarang!"
Thian Gay jadi serba salah. "Maaf, kalau
kalian keliwat memaksa, mana mungkin … "
Ang-mo It-kui berpaling pada Nan-king Kui-
ong. "Kalau begitu kita tak perlu bicara
panjang lebar lagi dengan cecunguk-cecunguk
ini!"
Nan-king Kui-ong menyeringai lalu
mengangguk dan berkata: "Bunuh mereka.
Semua!"
Maka Ang-mo It-kui lantas maju menerjang
Cu Liong sedang Gui-kun Kui-to menyerbu ke
arah Thian Gay Si Tangan Baja.
"Hai apakah kalian tidak akan membantu
tuan-tuan besar kalian?" berteriak Tui hun Hui
mo pada enam pengawal yang masih tegak
tertegun di depan kereta.
Para pengawal mengerti kalau mereka tak
bakal hidup lama. Memikir sampai di situ
rasanya saat itu mereka mau ambil langkah
seribu. Namun mengingat tugas dan
pengabdian terhadap Kaisar, keenamnya
memutuskan untuk cabut senjata dan bergerak
maju membantu Cu Liong serta Thian Gay.
Sambil tertawa mengekeh Tui-hun Hui-mo
jentikkan kuku-kuku jarinya yang panjang dan
berwarna hitam. Lima pengawal menjerit lalu
roboh bergelimpangan kena sambaran lima
larik sinar hitam yang keluar dari ujung-ujung
kuku Tui-hun Hui-mo alias Iblis Pengejar
Maut. Pengawal yang keenam bernasib lebih
buruk. Tubuhnya mencelat dimakan tendangan
manusia iblis itu hingga dadanya hancur.
Sementara itu perkelahian antara Gui-kun
Kui-to Si Golok Iblis berkecamuk melawan
Thian Gay dengan hebatnya. Satu kali lengan
mereka saling beradu keras. Thian Gay Si
Tangan Baja tersurut empat langkah sedang
Gui-kun Kui-to terpental tiga langkah dan
lengannya terasa seperti hancur. Daging
lengan di bagian yang beradu kelihatan
membengkak merah kebiruan.
Nyatanya julukan Si Tangan Baja yang
dimiliki Thian Gay bukan julukan kosong.
Pukulannya datang bertubi-tubi membuat
Gui-kun Kui-to jago kelima dari Nan-king
Ngo-kui harus mengeluarkan kegesitannya
berkelebat kian kemari untuk mengelakkan
serangan lawan. Menangkis kini dia tak
berani. Sekali salah satu bagian tubuhnya
kena dihantam tangan lawan pasti celaka.
Setelah dua puluh jurus masih saja dia
menjadi bulan-bulanan serangan lawan, Gui-
kun Kui-to jadi penasaran. Tanpa malu-malu
dia menghunus golok besar yang terselip di
pinggang kirinya. Sekali dia memutar senjata
itu, anginnya saja membuat Thian Gay harus
bertindak waspada. Dengan golok di tangan
tampaknya Gui-kun Kui-to berhasil menahan
serangan tangan kosong lawan. Merasa mulai
berada di atas angin manusia iblis ini
lancarkan serangan-serangan ganas.
Namun satu kali sewaktu tubuhnya kehilangan
keseimbangan karena begitu bernafsu
membacok dan ternyata hanya menghantam
tempat kosong, dari samping Thian Gay
memukul badan golok hingga senjata itu
terlepas mental dan patah dua!
Gui-kun Kui-to bersurut mundur.
Melihat hal ini Nan-king Kui-ong segera
berteriak, "Tiat-thou-kui! Kau bantulah Gui
Kun!"
Tiat-thou-kui, orang ketiga dari Nan-king
Ngo-kui yang berkepala botak itu
menggerang. Dia usap-usap botaknya sambil
bergerak memasuki kalangan perkelahian. Di
saat yang sama Gui-kun Kui-to kembali maju.
Dan kini terjadilah perkelahian dua lawan
satu. Dikeroyok begitu rupa mulamula Thian
Gay bisa bertahan beberapa jurus. Namun
kemudian dia mulai tampak terdesak.
Selain memiliki pukulan-pukulan tangan
kosong yang deras Iblis Kepala Besi itu
ternyata amat berbahaya kepalanya yang
botak. Thian Gay sudah pasang tekad.
Kalaupun dia menemui ajal di tangan
pengeroyok, paling tidak salah satu lawannya
harus ikut mati bersamanya. Namun tekadnya
itu sama sekali tidak menjadi kenyataan.
Karena beberapa saat kemudian, dalam satu
jurus yang hebat, selagi dia berusaha
mengelakkan pukulan dan tendangan Gui-kun
Kui-to, tahu-tahu dari samping Tiat-thou-kui
kirimkan satu serangan ganas. Kepalanya
yang lebih keras dari besi melesat ke dada
Thian Gay. Jago Kaisar ini berusaha mengelak
sambil memukul kepala lawan dengan tangan
kanannya. Dia begitu yakin bahwa tangannya
yang atos akan sanggup menghancurkan
kepala lawan. Mana mungkin besi bisa
menang lawan baja!
Tetapi sesaat lagi ubun-ubun Tiat-thou-kui
akan kena digeprak, seperti seekor ular kobra
tahutahu kepala manusia iblis itu melesat ke
bawah, menyelusup menghantam perut Thian
Gay.
Thian Gay Si Tangan Baja terdengar menjerit.
Tubuhnya mencelat jauh. Terhampar di tanah
tanpa bergerak dan tak bernyawa lagi. Mati
dengan perut pecah!
Sambil bersihkan darah yang mengotori
kepala botaknya Tiat thou kui tertawa gelak-
gelak.
Sementara itu perkelahian antara Iblis Rambut
Merah alias Ang-mo It-kui melawan perwira
muda Cu Liong telah memasuki jurus ke 29.
Meski sang perwira memegang pedang dan
mengurung lawan dengan serangan menderu-
deru namun sebegitu jauh pedangnya masih
belum mampu menyentuh tubuh lawan.
Sebaliknya setiap kali Ang-mo It-kui
menggoyangkan rambutnya maka
menghamburlah angin serangan yang
berbahaya dan rambut panjang manusia iblis
ini seolah-olah berubah menjadi pedang yang
memapas atau menusuk dan membuat Cu
Liong terkesiap.
"Ang-mo It-kui!" terdengar seruan Nan-king
Kui-ong, pimpinan dari lima manusia iblis itu.
"Jangan beri malu nama besar Nan-king Ngo-
kui. Masakan menghadapi cacing tanah yang
masih ingusan begitu saja kau tak sanggup
membereskannya dengan cepat?"
Mendengar teguran itu Ang-mo It-kui
menjawab, "Harap maafkan pangcu. Bukan
maksudku untuk main-main. Tapi tubuh ini
sudah lama tidak bergerak badan. Aku ingin
mencari sedikit kesegaran. Tapi baiklah. Kau
lihatlah ini!" (pangcu = ketua/pemimpin)
Habis berkata begitu Ang-mo It-kui
mengeluarkan suara tertawa aneh. Kepalanya
digoyangkan. Sebagian rambutnya yang
menyela bahu melesat ke depan membelit
pedang Cu Liong yang datang menyambar.
Perwira Kerajaan ini coba menarik pedangnya.
Dia jadi terkejut. Karena semakin ditarik,
semakin kuat libatan rambut merah itu!
Ang-mo It-kui menyentakkan rambutnya. Cu
Liong berusaha mempertahankan pedang.
Tapi dia kalah kuat. Tubuhnya terbetot ke
depan. Detik itu pula gerombolan rambut
yang lain dari Ang-mo It-kui menyambar ke
depan, menghantam tepat kening perwira
muda itu.
Cu Liong hanya dapat keluarkan rintihan
pendek. Di keningnya kelihatan lobang besar
yang mengeluarkan darah dari kepalanya
yang rengkah! ***
BUKIT kecil itu terletak dua hari perjalanan
kuda dari Hankouw. Di sebuah peladangan
gandum yang subur seorang lelaki berusia 40
tahun sibuk menyiapkan hasil ladangnya
karena dua hari di muka seorang pembeli dari
Hankouw bakal datang memborong seluruh
gandumnya.
Di tepi ladang seorang anak lelaki berumur 8
tahun asyik membuat puput dari gulungan
daun kelapa. Dia adalah Sun Bi anak pemilik
ladang gandum itu sedang sang ayah adalah
Ki Hok Bun.
Tiba-tiba Hok Bun menghentikan
pekerjaannya. Dia berdiri tenang-tenang.
Sepasang telinganya yang tajam mendengar
derap kaki kuda di kejauhan. Dia berpaling ke
arah bukit. Di lereng tampak lima orang
penunggang kuda bergerak menuruni bukit,
diikuti oleh tiga ekor kuda yang membawa
barang.
"Ada orang datang ayah," kata Sun Bi seraya
berlari mendapatkan ayahnya.
Ki Hok Bun mengangguk. Hatinya tiba-tiba
saja merasa tidak enak. Makin dekat
rombongan ke lima orang itu makin tidak
enak perasaannya. Kelima penunggang kuda
berseragam jubah hitam. Di hadapan rumah
Ki Hok Bun lima penunggang kuda berhenti
dan turun dari kuda masingmasing.
Ingat akan istrinya yang ada di rumah. Ki Hok
Bun cepat-cepat keluar dari balik kerimbunan
pohon-pohon gandum. Sun Bi berlari kecil
mengikutinya dari belakang.
Sepuluh langkah dari langkan rumah, orang
berjubah hitam yang tubuhnya paling tinggi
dan paling besar mengangkat kedua
tangannya, tertawa bergelak dan berseru, "Hok
Bun ciangkun!"
Sesaat Ki Hok Bun tertegun dan kaget. Sudah
sekian lama tak seorang pun pernah lagi
memanggilnya dengan sebutan ciangkun itu.
Sebuah sebutan terhormat yang hanya
diberikan pada perwira tinggi Kaisar. Dan kini
ada orang yang memanggilnya dengan
sebutan itu. Namun ketika dia mengenali
siapa adanya si tinggi besar itu maka diapun
berseru gembira.
"Bu ceng enghiong! Kukira siapa. Sungguh
pertemuan yang tidak disangka!" Keduanya
kemudian saling rangkul.
Ki Hok Bun lalu berpaling pada empat orang
berjubah lainnya dansatu demi satu mereka
merangkul pemilik ladang gandum itu.
"Lima sahabat lama berada di sini. Benar-
benar membuat aku gembira."
Karena suara ribut-ribut di luar, The Cun Giok,
istri Ki Hok Bun meninggalkan masakannya di
dapur dan menjenguk keluar.
"Ini anak ciangkun …?" orang berjubah tinggi
besar yang bukan lain adalah Nan-king Kui-
ong bertanya sambil memandang pada Sun
Bi.
"Betul."
"Dan gadis itu … ?" lelaki berambut merah
Ang-mo It-kui menunjuk ke arah pintu.
Mendengar disebutnya "gadis" yang lain-lain
ikut berpaling.
"Dia istriku," menerangkan Ki Hok Bun.
"Waktu perang ibunya Sun Bi meninggal
dunia. Hidup sendirian di peladangan begini
sepi sekali. Aku lalu mencari pengganti ibunya
Sun Bi."
Bola mata lima manusia iblis itu bersinar-
sinar seolah-olah hendak menelanjangi
sekujur tubuh Cun Giok. Perempuan yang
cantik jelita yang tadinya mereka sangka
adalah seorang gadis itu ternyata adalah
istrinya Hok Bun.
Nan-king Kui-ong basahi bibir dengan ujung
lidah lalu berkata, "Ah, sungguh nasibmu jauh
lebih beruntung dari kami, ciangkun. Kau kini
hidup tenteram, punya anak, punya ladang
luas dan punya istri muda cantik sekali!" Kui-
ong basahi bibirnya kembali dengan uiung
lidah dantenggorokannya tampak turun naik.
Diam-diam Hok Bun merasa tidak senang
melihat sikap dan cara memandang kelima
orang itu terhadap istrinya.
Cepat-cepat dia berkata, "Cun Giok masuklah.
Hidangkan anggur harum. Lalu atur meja.
Sahabatsahabatku ini tentu dahaga dan
lapar."
Cun Giok segera masuk ke dalam sementara
Hok Bun mempersilahkan kelima orang itu
masuk ke rumah danmengambil tempat
duduk. Sambil berkipas-kipas sesekali Nan-
king Kui-ong yang nama aslinya adalah Bu
Ceng melirik ke ruang dalam mengintai istri
Hok Bun. "Kau beruntung sekali ciangkun.
Beruntung sekali … " ujar Nan-king Kui-ong.
Hok Bun tersenyum. "Antara kita tak ada lagi
ikatan atau hubungan ketentaraan. Karenanya
tak usah menyebutku dengan panggilan
ciangkun itu … "
"Ah, kau terlalu merendah. Kau tahu dalam
waktu singkat kau akan dikembalikan pada
jabatan lamamu sebagai perwira tinggi.
Bahkan mungkin sebagai seorang jenderal.
Dan orang-orang kembali akan memanggilmu
dengan sebutan ciangkun. Kau tak usah
sungkan-sungkan. Bukankah begitu
sahabatku?"
Empat orang yang ditanyai sama mengangguk
menanggapi ucapan Nan-king Kui-ong itu.
"Bu Ceng enghiong," kata Hok Bun, "kulihat
kau habis mengadakan perjalanan jauh
bersama teman-teman. Di luar sana ada tiga
kuda membawa peti-peti besar. Apa isi peti-
peti itu kalau aku boleh tahu?"
"Begini ciangkun. Eh, kalau kau tak sudi
dengan sebutan itu bagaimana jika kami
panggil dengan sebutan twako saja?" yang
berkata adalah si gundul Tiat-thou-kui. Twako
artinya kakak dan memang di antara mereka
Hok Bun berusia paling tua. "Kami berlima
beberapa hari lalu telah menghadang anjing-
anjing Kaisar Yung Lo di luar kota Nanking.
Memang sedang hoki, rombongan anjing
Kaisar itu ternyata membawa sebuah kereta
berisi tiga peti emas. Semua anggota
rombongan kami bunuh. Dan kini tiga peti
emas itu menjadi milik kita bersama!"
"Kita?" ujar Hok Bun tak mengerti. "Kita siapa
maksudmu?"
"Ya kita! Kami dan kau twako!" yang
menjawab adalah Ang-mo It-kui.
Hok Bun berpaling pada Bu Ceng alias Nan-
king Kui-ong. Sesaat kemudian dia berkata,
"Bu Ceng enghiong, sakit hati kita terhadap
mereka yang kini berkuasa memang tak
mungkin bisa dihapus lenyap untuk selama-
lamanya. Namun adalah terlalu berbahaya
bagi kau dan teman-teman melakukan
perampokan. Apalagi disertai membunuh
prajurit Kerajaan dan dua orang perwira.
Tokoh-tokoh silat yang berpihak pada
pemerintah sekarang, dibantu ratusan
perajurit Kerajaan pasti akan mencari cuwi
sekalian. Kita semua bisa celaka. Termasuk
istri dan anakku."
"Siapa takutkan mereka?" tukas Gui-kun Kui-
to seraya betulkan letak golok-golok
terbangnya yang berisikan seputar pinggang.
"Memang aku tahu betul para enghiong di sini
tidak menaruh takut terhadap mereka. Tetapi
alat-alat Kerajaan bisa bikin susah kita
semua dan membuat hidup jadi tidak
tenterarn. Perlu diingat, keadaan sekarang
sudah berbeda Bu Ceng enghiong."
"Berbeda bagaimana?" tanya Nanking Kui
Ong.
Hok Bun tak menjawab. Setelah menghela
nafas panjang dia kemudian bertanya, "Apa
gunanya para enghiong di sini melakukan
perampokan itu?"
"Karena perang sebenarnya belum berakhir
twako dan kita perlu biaya untuk meneruskan
peperangan," sahut Bu Ceng pula.
"Ah, lagi-lagi aku tidak mengerti jalan
pikiranmu," ujar Hok Bun. "Perang sudah lama
berakhir. Sejak lebih dari satu bulan lalu.
Sejak jatuhnya Nanking ke tangan orang-
orang Kaisar Yung Lo. Sejak Kaisar Hui Ti
yang kita hormati dijebloskan dalam penjara.
Apakah kau dan kawan-kawan tidak melihat
kenyataan ini, sobatku?"
Bu Ceng memandang pada keempat
kawannya. Sesaat kemudian kelimanya sama
tertawa gelak-gelak. Bu Ceng geleng-
gelengkan kepala.
"Kau salah twako. Salah besar. Apakah kau
tidak melihat kenyataan bahwa di mana-mana
sisasisa prajurit Kaisar Hui Ti kini tengah
melakukan perang gerilya di bawah pimpinan
perwira-perwira yang masih setia. Mereka
berusaha menumbangkan kekuasaan Kasiar
Yung Lo yang kini mengangkat diri sebagai
Kaisar Kerajaan Beng, di atas darah dan
nyawa, di atas pengkhianatan keji. Inilah yang
disebut kenyataan, twako."
"Memang itu adalah kenyataan," jawab Hok
Bun pula. "Tapi kenyataan yang tak mungkin
bertahan lama. Jumlah mereka yang
bergerilya terlalu sedikit dan kekuatan mereka
terpencar-pencar, tak mungkin menghadapi
balatentara Kerajaan, apalagi hendak
menumbangkan Kaisar Yung Lo. Mereka
semua akan mati konyol dan perjuangan akan
sia-sia. Saat ini di mana musuh berada
dalam puncak kekuatan, adalah bunuh diri
kalau kita berani angkat senjata."
"Lantas apakah akan dibiarkan begitu saja
anjing besar bernama Yung Lo itu bertahta
sebagai Kaisar yang bukan haknya? Dirampas
secara keji?" ujar orang kedua dari Nan-king
Ngo-kui yakni Tui-hun Hui-mo.
"Sudah barang tentu tak dapat dibiarkan.
Tetapi juga tidak mungkin untuk
menumbangkan kekuasaannya pada saat
sekarang ini. Mereka terlalu kuat. Perajurit-
perajuritnya saja berjumlah jutaan, belum
terhitung perwira-perwira tinggi dan
pembantu-pembantu dari kalangan
kangouw." (kangouw=dunia persilatan)
Bu Ceng kelihatan beringas. Dia bangkit dari
kursinya danmelangkah mundar mandir. Cun
Giok saat itu keluar membawa enam gelas
berikut beberapa guci kecil anggur, lalu masuk
kembali ke dalam diikuti sorot mata liar Nan-
king Ngo-kui. Tiat-thou-kui menelan liurnya
melihat telapak kaki nyonya rumah yang
begitu putih.
"Apa yang aku katakan semuanya benar
twako, "terdengar suara Bu Ceng. "Dan justru
karena keadaan yang demikianlah membuat
kami datang kemari. Orang-orang terlalu
sedikit dan terpencar. Senjata kurang pula. Di
samping itu rakyat kurang membantu karena
takut terhadap pemerintah.
Namun walau bagaimanapun perjuangan ini
harus dilanjutkan. Menumbangkan Yung Lo
dan mengangkat kembali Kaisar Hui Ti.
Perjuangan ini bukan saja memerlukan tenaga
tetapi juga biaya.
Dan biaya itu rasanya sudah mulai kita
dapatkan. Yakni dengan adanya tiga peti
besar berisi emas yang tak ternilai harganya
itu. Ini baru sebagian kecil saja dari modal
kita untuk menghimpun orangorang yang
masih setia terhadap Kaisar Hui Ti. Kita akan
mempersenjatai mereka, melatih mereka untuk
perang. Dengan kekayaan yang kita miliki
bahkan kita dapat membeli orang-orang
berkepandaian tinggi untuk menyingkirkan
Yung Lo, kaki-kaki tangannya serta
cecungukcecungguknya!"
"Semua rencanamu itu sama saja dengan
mimpi siang bolong, Bu Ceng enghiong. Jika
kau terbangun musnahlah mimpi itu. Jika kau
nekad untuk meneruskannya maka celaka
akan menghadang."
"Setiap perjuangan harus dengan
pengorbanan. Kami berlima tidak takut mati,
entah twako," tukas Ang- mo It-kui dengan
nada pedas.
"Kau betul sekali," menyahuti Hok Bun.
"Perjuangan harus dengan pengorbanan. Tapi
pengorbanan yang sia-sia apa gunanya?
Harap kalian merenungkan hal itu baik-baik."
Nanking Kui Ong menghentikan langkah
mundar-mandir. Nadanya agak geram ketika
berkata, "Aku dan kawan-kawan datang
kernari bukan membawa persoalan untuk
direnungkan. Kami datang membawa rencana
guna dilaksanakan. Dan kau harus ikut
bersama kami twako!" Hok Bun usap-usap
dagunya.
"Maafkan aku. Itu tidak mungkin kulakukan.
Aku tidak mau melibatkan diri dengan kalian.
Aku sudah muak dengan peperangan."
Nan-king Kui-ong danempat kawannya
terkejut mendengar ucapan Hok Bun itu dan
saling pandang. Mereka tidak menyangka
kalau kata-kata seperti itu bakal keluar dari
mulut Ki Hok Bun. Seorang bekas perwira
tinggi yang semasa perang dulu menjadi
atasan dan pimpinan mereka.
"Ki Hok Bun twako," kata Nanking Kui Ong
dengan suara bergetar. "Kau yang dulu
dijuluki Kim-hong Kiam-khek atau Pendekar
Pedang Pelangi, terkenal dimana-mana,
ditakuti lawan di segala penjuru dandisegani
serta dihormati teman seperjuangan, apakah
kini telah berubah menjadi macan kertas yang
paling pengecut di muka bumi ini? Tinggal
nama belaka?"
Wajah Hok Bun tampak menjadi merah kelam
mendengar kata-kata bekas anak buahnya itu.
Lalu dengan menahan emosi dia berkata, "Aku
tak akan bicara panjang lebar mengenai
rencana ataupun perjuangan kalian. Jika
kalian berlima masih menghormatiku sebagai
bekas pimpinan maka dengarlah nasihatku.
Untuk sementara lupakan segala sesuatu yang
berbau perjuangan. Jauhkan keterlibatan
dengan perang. Cobalah menempuh hidup
yang damai tenteram. Dengan bermodalkan
tiga peti emas itu kalian bisa memulai hidup
baru yang bahagia bahkan mewah. Bukankah
itu lebih baik dari harus mengorbankan diri
menantang bahaya api peperangan?"
Ang-mo It-kui geleng-geleng kepala dan
menoleh pada Nan-king Kui-Ong. "Pangcu,
percuma saja. Ki Hok Bun yang di depan kita
ini agaknya sudah bukan lagi manusia gagah
yang berjuluk Kimhong Kiam-khek seperti
dulu. Sekarang dia telah berubah menjadi
manusia pengecut, banci bahkan mungkin
sudah jadi tikus!"
"Tutup mulutmu Ang-mo It-kui! Jangan
kurang ajar!" hardik Ki Hok Bun dan plak!
Tamparannya dengan keras mendarat di pipi
Ang-mo It-Kui. Demikian kerasnya hingga
orang keempat dari Nan-king Ngo-kui ini
terjajar beberapa langkah, menyeringai
kesakitan. Sebenarnya rasa sakit itu tidak
begitu dirasakan oleh Ang-mo It-kui. Namun
marah dan malu membuat dia jadi kalap mata
gelap. Dia berteriak garang. Lalu sambil
menggembor seperti harimau luka dia
melompat ke depan, menyerang Ki Hok Bun
bekas perwira tinggi Kerajaan itu dengan satu
jotosan maut ke arah dada di bagian jantung!
***
SEBAGAI orang yang pernah menjadi atasan
Ang-mo It-Kui dan empat manusia iblis
lainnya itu Ki Hok Bun tahu betul sampai di
mana tingkat kepandaian mereka. Namun saat
itu dia jadi terkejut menyaksikan angin
pukulan Ang-mo It-kui. Jelas mengandung
satu kekuatan luar biasa. Yang berarti
manusia ini telah jauh maju tenaga dalamnya
dalam waktu singkat. Dan melihat Ang-mo It-
kui dalam melancarkan serangan sengaja
mengarah bagian yang berbahaya nyatalah
bahwa orang ini tidak mainmain bahkan ingin
membunuhnya!
Tanpa berlaku ayal Ki Hok Bun cepat berkelit
ke samping. Namun sekonyong-konyong
Angmo It-kui susul serangannya yang gagal
itu dengan serangan baru berupa tendangan
dan hantaman tangan kiri.
Ki Hok Bun berseru keras. Melompat ke udara.
Pukulan tangan kiri lawan lewat di
sampingnya sedangkan tendanyan yang juga
berhasil dielakkannya menghantam meja kayu
hingga berantakan. Kendi anggur serta gelas
yang ada di atasnya berhamburan dan pecah
berantakan.
"Ang-mo It-Kui!" hardik Ki Hok Bun. "Jangan
kau berani kurang ajar di rumahku! Tinggalkan
tempat ini atau kau akan menyesal!"
Habis berkata begitu Ki Hok Bun dorongkan
tangan kanannya ke arah dada lawan. Ang-
mo Itkui menjadi kaget ketika merasakan
bagaimana dari telapak tangan itu keluar satu
dorongan kuat laksana sebuah batu besar
ratusan kati, mendorongnya dengan hebat.
Ang-mo It-kui berusaha pertahankan diri
dengan memperkuat kuda-kuda kedua
kakinya. Namun ketika Ki Hok Bun datang
lebih dekat tak ampun tubuhnya terjengkang
dan jatuh terguling di halaman depan rumah.
Dengan pelipis bergerak-gerak menahan
amarah Ki Hok Bun berpaling pada Nan-king
Kui-ong. "Bu Ceng enghiong," katanya. "Kau
bawalah kawan-kawanmu dari sini sebelum
aku jadi kalap dan menurunkan tangan salah!"
Nan-king Kui-ong tidak senang melihat
kejadian ini. Sepasang matanya membeliak
garang. "Terhadap Kerajaan dan Kaisar Yung
Lo laknat itu kau menunjukkan kepengecutan.
Tetapi terhadap kawan sendiri, bekas anak
buahmu, kau memiliki nyali luar biasa besar
bahkan tega memukulnya!"
"Aku telah menerima kalian dengan baik. Tapi
kalau kalian berlaku memaksa dan kurang
ajar, jangan salahkan kalau aku memberi
sedikit peringatan…"
"Sedikit peringatan? Memukul Ang-mo It-kui
sampai begitu rupa kau sebut sebagai sedikit
peringatan…?" ujar Nan-king Kui-ong berang
sementara Ang-mo It-kui bangkit dari tanah.
"Sudahlah Bu Ceng, jangan banyak mulut.
Lekas pergi dari sini. Bawa anak buahmu. Aku
tak ingin melihat tampang-tampang kalian
lagi!"
Iblis Kepala Besi Tiat-thou-kui yang sejak tadi
sudah tidak sabaran maju ke hadapan Ki Hok
Bun dan membuka mulut,
"Ki Hok Bun, lagakmu keren amat! Apa ilmumu
sudah setinggi langit sedalam lautan hingga
berani berkata dan bertindak seenaknya
terhadap kami? Dulu kami memang anak-
anak buahmu, tapi sekarang keadaan
berbeda. Kau tidak lebih tinggi dari kami.
Tadi-tadi kami sengaja untuk tetap
menghormatimu, tapi nyatanya kau keras
kepala … "
"Diam!" sentak Ki Hok Bun. "Sekali aku bilang
pergi dari sini ya pergi! Jangan banyak
cingcong!"
"Oho … hebatnya! Sombong, keras kepala tapi
pengecut!" ejek Gui-Kun Si Golok Iblis sambil
menggerakkan tangan seperti orang hendak
bertolak pinggang. Tapi tiba-tiba tangan
kanan itu mencabut golok besar yang ada di
sisi kirinya. Begitu golok keluar dari sarung
Gui Kun lantas kirimkan satu serangan ganas.
"Bagus Gui Kun! Kaupun minta digebuk!"
teriak Ki Hok Bun marah. Cepat dia
membebaskan diri dari serangan golok. Marah
karena serangannya dapat dielak begitu
mudah, Gui Kun putar senjatanya dan
membabat membalik untuk membacok putus
tangan Hok Bun. Tapi bekas perwira yang
berpengalaman ini sudah dapat membaca
maksud lawan. Sambil merunduk Hok Bun
menghantamkan tangan kanarinya ke atas.
"Krak!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara
patahan lengan, terdengar pekik kesakitan Si
Golok Iblis Gui Kun. Dia melompat menjauhi
lawan dan masih lindungi diri sambil
pergunakan tangan kiri untuk lemparkan golok
terbang. Namun Hok Bun sudah lebih dulu
melompat ke samping hingga tiga golok
terbang hanya mengenai tempat kosong lalu
menancap di dinding rumah.
Nan-king Kui-ong melengak marah. Dua anak
buahnya telah dihajar. Tapi untuk maju
sendiri melakukan pembalasan dia merasa
bimbang. Bagaimanapun tingkat kepandaian
Hok Bun tidak bisa dibuat main. Kalau tidak
maju berbarengan sulit untuk menghadapi
orang ini. Memikir sampai ke situ lalu diapun
berteriak,
"Keroyok bangsat ini!"
Maka Tui-hun Hui-mo Iblis Pengejar Maut dan
Ang-mo It-kui serta Tiat-thou-kui dan juga
Gui Kun yang kini hanya mengandalkan
tangan kiri memegang golok serentak
menyerbu ke depan. Sedang Nan-king Kui-ong
sendiri membantu dari belakang dengan
kiriman pukulan-pukulan tangan kosong jarak
jauh yang sangat berbahaya. Ki Hok Bun
kertakkan rahang.
"Main keroyok! Nyatanya kalianlah yang
pengecut! Majulah lebih dekat biar kucincang
kalian lebih cepat!" teriak Hok Bun.
"Maut sudah di depan mata! Kau masih saja
bicara sombong dan ngaco! Kawan-kawan
mari kita jagal manusia ini cepat-cepat!"
balas berteriak Nan-king Kui-ong.
Ki Hok Bun selain memiliki kepandaian silat
yang tinggi jelas bukan seorang berjiwa kecil
dan pengecut. Pengalamannya amat luas
dalam perkelahian ataupun medan
peperangan. Karenanya tidak salah dia
mendapat julukan Pendekar Pedang Pelangi
Kim-hong Kiam-khek, ditakuti lawan disegani
kawan. Dibanding dengan kelima
pengeroyoknya secara satu-satu lima orang
itu bukan apa-apa baginya. Namun jika Nan-
king Ngo-kui bergabung jadi satu dia harus
bertindak hati-hati. Dia tahu betul orang-
orang itu bukan saja rata-rata memiliki ilmu
silat lihay tetapi juga licik penuh tipu
muslihat. Kalaupun dia harus mati
menghadapi mereka dia tidak takut, namun
yang dicemaskannya ialah kalau-kalau terjadi
sesuatu dengan anak istrinya.
Rambut merah Ang-mo It-kui berkelebat
ganas kian kemari. Terkadang rambut ini
laksana seutas cambuk. Namun terkadang
dapat berubah seperti sebilah golok atau
pedang yang datang membabat atau menusuk
atau menotok. Sepuluh jari tangan Tui-hun
Hui-mo yang berkuku-kuku panjang hitam
laksana cakar burung garuda, berkelebat
ganas kian kemari. Sekali bagian tubuh
sempat kena digaruk pastilah akan
berbusaian dagingnya. Ditambah dengan
golok di tangan kiri Guikun Kui-to yang tak
kalah berbahayanya serta kepala besi maut
dari Tiat- thou-kui lalu serangan tangan
kosong jarak jauh dari Nan-king Kui-ong
yang datang bertubi-tubi, maka kedudukan Ki
Hok Bun benar-benar berbahaya. Apalagi saat
itu dia hanya bertangan kosong, hanya
mengandalkan ginkang dan Iwekang belaka.
Lima belas jurus berlalu. Dalam keadaan
cukup kepepet Ki Hok Bun masih berhasil
menunjukkan kehebatannya yaitu memukul
dada Gui-kun Kui-to hingga iblis satu ini
muntah darah dan terpaksa keluar dari
kalangan pertempuran. Namun sebaliknya Hok
Bun juga mengalami cidera yang berbahaya.
Bahunya sebelah kiri telah terkena sambaran
kuku tangan Tui-hun Hui-mo. Pelipisnya
terluka dan mengucurkan darah akibat
hantaman rambut Ang-mo It-kui sedang
serudukan kepalaTiat-thoukui sempat satu
kali melabrak sisinya hingga dua tulangnya
menjadi patah.
Ki Hok Bun sadar kalau dirinya dalam
bencana besar. Namun untuk menyerah tentu
saja tak ada dalam kamus hidupnya. Dia
keluarkan seluruh kepandaiannya namun sia-
sia belaka. Tiga lawan mengurung dengan
rapat hingga sulit baginya untuk mencapai
Nan-king Kui-ong yang secara licik selalu
melancarkan pukulan-pukulan jarak jauh
dengan berlindung di belakang anak buahnya.
Setelah dua puluh jurus lebih bertahan mati-
matian, Ki Hok Bun mulai terdesak. Pukulan
demi pukulan, tendangan demi tendangan,
sodokan kepala besi, cakaran kuku dan
hantaman rambut maut bertubi-ttibi
melabraknya. Saat-saat terakhir sebelum
roboh Hok Bun berhasil menjambak rambut
Ang-mo It-kui dan siap untuk memuntir patah
leher lawan yang satu ini. Namun sebelum hal
itu dapat dilakukannya satu pukulan Nan-king
Kui-ong melanda dari samping. Dia
merasakan bahunya seperti remuk. Didahului
satu jeritan keras Ki Hok Bun terlempar dan
roboh. Tubuhnya penuh darah yang keluar
dari bekas luka yang menguak di mana-mana.
Dia sudah pasrah untuk mati. Karenanya dia
berteriak, "Manusia-manusia iblis keparat! Aku
tidak takut mati! Bahkan kalau kalian tidak
membunuhku saat ini juga, kalian akan
menyesal seumur hidup karena pembalasanku
lebih mengerikan dari apa yang kalian
lakukan hari ini terhadapku!"
Nan-king Kui-ong menyeringai. Dia
melangkah mendekati Hok Bun yang tidak
berdaya. Sambil injak kepala orang ini dia
berkata,
"Mula-mula kami memang berpikiran bahwa
manusia pengecut dan keras kepala sepertimu
ini perlu disingkirkan dari muka bumi. Tapi
mana kami puas kalau belum menyiksamu
lebih dulu. Kau akan segera merasakannya
dan…"
Belum habis kata-kata itu tiba-tiba terdengar
suara berteriak, "Ayah…! Ayah … apa yang
terjadi. Manusia-manusia jahat itu…oh!"
Yang berteriak adalah Sun Bi, putera Hok Bun
yang berusia 8 tahun. Anak ini datang berlari-
lari dan menjatuhkan diri di tanah memeluk
tubuh ayahnya.
Tiba-tiba satu tangan besar kasar dan keras
menjambak rambutnya dan menyentakkannya
hingga Sun Bi terpekik kesakitan dan
tubuhnya terangkat ke atas. Dia coba meronta
melepaskan diri bahkan menendang Nan-king
Kui-ong yang menjambaknya namun mana
anak kecil ini sanggup melawan kekuatan
manusia iblis seperti Bu Ceng.
"Ki Hok Bun!" seru Bu Ceng. "Manusia
pengecut dan pengkhianat teman sepertimu
tak layak punya turunan. Karena pasti
turunan itu akan menjadi manusia sepertimu
pula!"
"Keparat Bu Ceng!" Hok Bun coba bangun tapi
rebah kembali ke tanah. "Kau hendak apakan
anakku. Lepaskan dia!" Nafas Hok Bun
menyengal dan dari mulutnya keluar darah.
"Kau lihat sendiri apa yang bakal terjadi
dengan anakmu. Ini pelajaran bagus untukmu
yang telah berani melawan Nan-king Ngo-
kui." Lalu Bu Ceng angkat tinggi-tinggi tubuh
Sun Bie.
"Jangan ganggu anakku!" satu jeritan
perempuan terdengar. Yang berteriak adalah
The Cun Giok, istri Hok Bun, ibu tiri Sun Bi.
Bagi Cun Giok, meski Sun Bi hanya seorang
anak tiri namun dia sangat mengasihi anak
ini seperti putera k.andung sendiri.
Cun Giok coba menarik dan merampas Sun Bi
dari tangan kepala gerombolan manusia iblis
itu. Namun Ang-mo It-Ku memegang bahunya
dan merangkulnya dan belakang. Nan-king
Kui-ong sendiri kembali mengangkat tubuh
Sun Bi tinggi-tinggi lalu dengan kekejaman
luar biasa anak itu dibantingkannya keras-
keras ke tanah. Terdengar suara mengerikan
ketika kepala Sun Bi membentur tanah. Tanpa
suara anak yang malang ini menghembuskan
nafas penghabisan diiringi pekik Cun Giok dan
seruan tanpa daya Hok Bun.
Nan-king Kui-ong alias Bu Ceng tertawa
mengekeh, memandang pada Hok Bun yang
hanya bisa mengutuk dan mengutuk. Tiba-
tiba dia hentikan tawanya dan berpaling pada
Ang-mo It-kui yang saat itu masih
merangkuli tubuh Cun Giok. Ang-mo It-kui
bukan hanya merangkul agar perempuan itu
tidak lepas namun kini rangkulannya menjadi
kurang ajar. Bahkan salah satu tangannya
bergerak meraba bagian tubuh sebelah atas
Cun G iok.
Sepasang mata Bu Ceng kelihatan membesar.
Sambil menyeringai dia mendekati kedua
orang itu.
"Ang-mo It-kui, enak benar kau mendekap
tubuh bagus itu. Serahkan dia padaku!"' Ang-
mo It-kui tertawa ha-ha-hehe dan mendorong
tubuh Cun Giok ke hadapan Nan-king Kuiong.
***
SEJAK pertama kali melihat istri Hok Bun
yang muda dan cantik jelita itu, nafsu kotor
telah merasuk Bu Ceng. Namun karena saat
itu Hok Bun masih dipandangnya sebagai
atasan dan diperlukan tenaganya maka dia
berusaha bersikap hormat. Namun kini setelah
terjadi perkelahian maka rasa hormat itu
dengan sendirinya lenyap. Nafsu kotor kembali
bersarang dalam dirinya.
Tubuh Cun Giok yang terdorong ke
hadapannya segera ditangkapnya. Ciuman
beringas di daratkannya bertubi-tubi ke wajah
perempuan itu. Cun Giok meronta dan
menjerit coba melepaskan diri. Namun sambil
tertawa-tawa disaksikan oleh kawan-
kawannya Bu Ceng merobek pakaian Cun Giok
hingga perempuan ini akhirnya berada dalam
keadaan hampir telanjang. Cun Giok
merasakan tubuhnya didukung.
"Bu Ceng manusia iblis! Kau hendak apakan
istriku! Lepaskan dia! Cun Giok larilah.
Selamatkan dirimu!" Hok Bun berteriak. Dia
sudah dapat membayangkan apa yang bakal
menimpa istrinya. Namun tidak mungkin bagi
Cun Giok untuk melepaskan diri.
"Hok Bun, kau dapat melihat sendiri apa yang
bakal kulakukan. Masakan hanya kau saja
yang dapat menikmati perempuan secantik
ini. Ha … ha … ha …!" Bu Ceng gulingkan
tubuh Cun Giok di atas lantai rumah.
"Pegangi dia!" perintahnya pada anak
buahnya. Ang-mo It-kui dan Tiat-thou-kui
membungkuk memegangi tangan Cun Giok.
Bu Ceng kemudian tanpa malu-malu lepaskan
pakaian dalamnya dan singsingkan jubahnya
lalu jatuhkan diri di atas tubuh Cun Giok yang
tak mampu membebaskan diri dan menolak
penghinaan keji itu. Hok Bun pejamkan mata.
Tak sanggup dia menyaksikan hal itu,
darahnya menggelegak. Namun tak satupun
yang bisa dilakukannya.
"Bu Ceng, jangan terlalu temahak! Berikan
giliran padaku!" Tui-hun Hui-mo berteriak dan
tegak di belakang Bu Ceng sambil
menyingkapkan jubahnya.
Bu Ceng menyeringai. Dia berdiri sambil seka
keringat dan rapikan pakaiannya. "Jangan
takut sobat. Kau segera dapat giliran. Tapi
jangan lupa pada kawan-kawan."
Begitulah, satu persatu kelima manusia iblis
itu melakukan perbuatan terkutuk atas diri
The Cun Giok hingga akhirnya perempuan ini
pingsan tak sadarkan diri.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Tiat-
thou-kui sambil usap kepala botaknya yang
basah oleh keringat.
"Bunuh saja perempuan itu. Juga lakinya!"
jawab Golok Iblis Gui Kun.
"Ya, memang Hok Bun harus dibunuh. Kalau
tidak bisa bikin urusan berabe di kemudian
hari," menyetujui Ang-mo It-kui.
"Betul … " sahut Nan-king Kui-ong manggut-
manggut. "Tapi setahuku dia memiliki sebilah
pedang mustika. Kim-hong-kiam. Aku harus
dapatkan dulu senjata itu …."
Bu Ceng alias Nan-king Kui-ong lantas
melangkah mendekati Hok Bun. Dia
membungkuk dan menjambak rambut bekas
perwira tinggi itu.
"Hok Bun, mungkin aku bisa membatalkan
niat untuk menghabisi nyawamu saat ini. Asal
saja kau mau memberi tahu di mana kau
simpan Kim hong kiam … "
Sepasang mata Ki Hok Bun terbuka sedikit.
"Kau inginkan pedang itu … ?" desisnya.
"Betul. Dan nyawamu kuampuni. Bahkan
mungkin akan kuberi beberapa batang emas
untukmu…"
"Kau ambillah pedang itu di neraka kelak …"
kata Ki Hok Bun lalu diludahinya muka Bu
Ceng. Air ludah bercampur darah berlepotan
di muka Bu Ceng.
"Bangsat haram jadah!" teriak Bu Ceng
marah. Kepala Hok Bun dibantingkannya ke
tanah hingga lelaki ini pingsan. "Seret dia ke
dalam rumah dan bakar hidup-hidup bersama
istri dan bangkai anaknya!"
Hok Bun di gotong ke langkan rumah, terpisah
beberapa meter dari istri dananaknya. Ang-mo
It-kui kemudian mencari minyak pembakar di
dapur lalu menyulut api. Dalam keadaan api
berkobar semakin besar kalima manusia iblis
itu tinggalkan tempat tersebut. *** KI HOK
BUN siuman dari pingsannya sewaktu
sebagian rumahnya telah dimakan api. Bagian
yang dimakan api itu roboh. Tiang-tiang serta
palung-palung kayu berapi jatuh di atas tubuh
anak dan istrinya langsung menembus
perempuan yang pingsan ini tanpa dapat
diselamatkan. Api kemudian mulai menjilati
kaki Hok Bun.
Lelaki ini sebenarnya sudah pasrah untuk
dilamun api dan menyusul anak istrinya.
Baginya tak guna lagi hidup tanpa kedua
orang yang dicintainya itu. Namun bila dia
ingat kekejaman perbuatan Nan-king Ngo-kui,
terutama Bu Ceng yang menjadi pimpinan
maka dendam kesumat yang amat besar
membuat hati kecilnya berontak. Tidak, dia
tidak boleh mati saat itu! Dia harus hidup.
Kemudian mencari Nan-king Ngo-kui dan
membunuh mereka satu per satu guna
membalaskan dendam kesumat. Hutang
nyawa dan darah harus mereka bayar dengan
darah dan nyawa pula!
Memikir sampai ke situ Ki Hok Bun kumpulkan
sisa-sisa tenaga yang ada. Dia coba
beringsut menjauhi jilatan api. Namun
keadaannya saat itu sudah sangat lemah.
Sama sekali tiada daya. Tulang belulangnya
serasa hancur luluh. Darahnya tertalu banyak
keluar. Pemandangan matanya makin lama
makin guram.
Lelaki ini sama sekali tidak mampu untuk
menyelamatkan dirinya. Saat itu satu-satunya
yang dianggapnya bisa menolong adalah
Tuhan. Karenanya dalam hati Hok Bun
membathin :
"Thian, berikan kekuatan pada hambaMu ini.
Biarkan aku hidup terus agar dapat membalas
kejahatan dan kebiadaban lima manusia iblis
itu. Jangan biarkan aku mati mengenaskan
begini rupa … "
Sementara itu kobaran api semakin
mengganas. Palang kayu yang membelintang
di bagian atap rumah dan tepat di atas kepala
Ki Hok Bun berderak patah sewaktu api
membakar loteng.
Bersamaan dengan bagian loteng palang kayu
itu runtuh tepat mengarah tubuh Ki Hok Bun
yang menggeletak tiada daya di lantai. Hok
Bun sendiri tidak menyadari hal ini karena
sesaat sesudah dia berdoa menyebut nama
Tuhan, dia langsung jatuh pingsan. Agaknya
akan segera tamatlah riwayat bekas perwira
ini dandendam kesumatnya tak akan pernah
dapat dibalasnya.
Namun sebelum ajal berpantang mati. Maut
anak manusia berada dalam tangan Yang
Maha Kuasa. Di saat yang sangat kritis itu
tiba-tiba terdengar satu siulan aneh dan
nyaring, menyusul berkelebatnya sesosok
bayangan putih yang disertai sambaran angin
yang luar biasa derasnya. Balok kayu dan
loteng yang tadinya akan menimpa dan
menimbun tubuh Ki Hok Bun laksana
dihantam badai mental jauh. Bahkan sebagian
dari rumah yang sudah dilamun api itu ikut
ambruk akibat hantaman angin yang entah
dari mana datangnya.
Di lain kejap bayanyan putih tadi bekelebat
cepat menyambar Ki Hok Bun dan
membawanya lari dari tempat itu.
Siapa gerangan yang menyelamatkan Ki Hok
Bun? Manusia atau malaikatkah dia karena
demikian cepat gerakannya hingga cuma
bayangannya saja yang kelihatan? Di puncak
bukit dia memperlambat larinya. Nyatanya dia
adalah manusia biasa juga. Masih muda,
berambut gondrong menyala bahu. Kepalanya
diikat dengan sehelai kain putih. Dari
mulutnya terus menerus membersit siulan
lagu tak menentu. Larinya seperti gerabak
gerubuk tetapi laksana kilat. Mukanya seperti
wajah seorang tolol, cengar cengir tak tentu
juntrungan.
Setiup angin berhembus melawan arah
larinya. Rambut gondrong pemuda ini
melambai-lambai ditiup angin. Pakaian di
bagian dada yang tak terkancing
tersibarlebar. Pada dada yang penuh otot itu
kelihatan tertera tiga buah angka aneh yakni :
212.
Pada waktu itu dalam dunia kangouw
Tiongkok tersebar berita tentang munculnya
seorang pemuda asing bertampang tolol
tetapi memiliki kepandaian tinggi luar biasa
Demikian tingginya hingga sulit untuk
mengetahui apakah para datuk atau tokoh
silat yang terkenal masa itu dapat
disejajarkan dengan tingkat kepandaiannya.
Banyak tokoh-tokoh silat golongan hitam
yang telah rubuh bahkan terbunuh di tangan
pendekar asing itu. Akibatnya dia menjadi
momok nomor satu bagi kaum sesat.
Sebaliknya para jago silat golongan putih
merasa gembira dan banyak yang ingin
berkenalan dengan pemuda itu. Namun sulit
sekali untuk menemukannya. Dia muncul
secara mendadak. Membasmi manusia-
manusia jahat secara tak terduga lalu
melenyapkan diri hampir tanpa bekas untuk
kemudian muncul lagi di tempat lain dan
membuat kegemparan.
Pendekar yang menjadi buah tutur di
Tionggoan bukan lain adalah Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng, murid
Eyang Sinto Gendeng yang tengah melakukan
pengembaraan di daratan Tiongkok. Dan
dialah yang saat itu menyelamatkan Ki Hok
Bun alias Pendekar Pedang Pelangi dari
kematian.
Sebenarnya bukan satu kebetulan Wiro
Sableng berada di tempat itu danberhasil
menyelamatkan Hok Bun. Sudah sejak satu
bulan lalu dia mendengar nama Nan-king
Ngo-kui yang menggetarkan dan ditakuti.
Mereka melakukan pembunuhan dan
perampokan di mana-mana. Menculik anak
gadis atau istri orang. Sekalipun dulu mereka
dikenal sebagai pembantu-pembantu Kaisar
Hui Ti dan berjuang menghadapi balatentara
Yung Lo, namun kejahatan dan kebiadaban
yang kini mereka lakukan benar-benar sudah
melewati batas.
Dua hari lalu Wiro berada di Hankouw
danmendengar berita tentang dirampoknya
tiga peti emas milik Kaisar Yung Lo. Dua
perwira dan selusin prajurit pengawal
menemui kematian. Dari tanda-tanda yang
ditemukan di tempat kejadian sudah dapat
ditebak bahwa pelaku perampokan dan
pernbunuhan yang sangat berani itu adalah
Nan-king Ngo-kui. Sebelum Kaisar Yung Lo
mengirimkan orang-orangnya untuk
melakukan pengejaran, Wiro Sableng sudah
mendahului menuju utara. Dia berhasil
mengetahui ke jurusan mana kelima manusia
iblis itu membawa lari barang rampokannya.
Namun di sebuah daerah luas yang berbukit-
bukit Wiro kehilangan jejak mereka.
Sebagai pendekar yang ingin menumpas
kejahatan dan membela mereka yang lemah
dan tertindas Wiro tidak akan mencampuri
urusan peperangan ataupun mempersoalkan
tiga peti emas yang dirampok Nan-king Ngo-
kui. Dia mencari kelima manusia iblis itu
karena telah mendengar kejahatan dan
kemesuman yang mereka lakukan sejak satu
bulan terakhir ini. Sudah barang tentu
perbuatan seperti itu tidak dapat dibiarkan
berlarut-larut.
Wiro juga mengetahui bahwa telah banyak
tokoh-tokoh silat golongan putih di Tionggoan
yang turun tangan terhadap kelima iblis itu.
Namun sebegitu jauh belum ada hasilnya.
Bukan saja karena mereka memang memiliki
kepandaian tinggi dan selalu berkelompok
dalam setiap saat, tetapi mereka juga licik
dan dapat melenyapkan diri dengan cepat
setiap habis melakukan kejahatan.
Sadar kalau untuk kesekian kalinya dia
kehilangan jejak orang-orang yang dikejarnya
Wiro mengomel dalam hati dan garuk-garuk
kepala. Tapi dia tidak berputus asa. Di bukit
di mana dia berada banyak tumbuh pohon-
pohon tinggi. Dia memilih yang paling tinggi
lalu memanjatnya. Dari atas pohon ini dia
dapat memandang ke segala penjuru sejauh
mungkin. Dia mengeluarkan suara bersiul
sewaktu di arah selatan dilihatnya kepulan
asap hitam bergulung-gulung membumbung
ke udara.
"Kebakaran biasa atau … ?" Wiro bertanya
pada dirinya sendiri.
Setelah berpikir sejenak sambil meneliti
keadaan di bagian lain akhirnya Wiro
memutuskan untuk mendatangi sumber
kebakaran itu. Bukan mustahi kebakaran itu
ditimbulkan oleh iblis-iblis yang tengah
dikuntitnya. Dia cepat-cepat turun dari atas
pohon dan dengan pergunakan ilmu larinya
dia lari ke arah selatan. Namun
kedatangannya terlambat. Yang ditemuinya
hanya bekas kebiadaban yang dilakukan oleh
Nan-king Ngo-kui. Kelima manusia jahat itu
tak ditemuinya, pasti sudah menghilang jauh.
Masih untung dia sempat menyelamatkan
seorang lelaki yang dia tidak kenal dan
tubuhnya penuh dengan luka-luka. ***
PENDEKAR 212 Wiro Sableng membawa Ki
Hok Bun ke sebuah telaga kecil berair jernih.
Bekas perwira kerajaan itu masih berada
dalam keadaan pingsan. Wiro mengagumi
kekuatannya. Manusia biasa dengan
menderita luka-luka seperti itu pasti sudah
tidak tertolong nyawanya.
Wiro membersihkan sedapatnya luka yang
terdapat di tubuh Ki Hok Bun, lalu pada luka
itu ditaburinya sedikit obat bubuk. Setelah
menunggu beberapa saat dia telungkupkan
tubuh Ki Hok Bun dan tempelkan telapak
tangannya di punggung telanjang orang itu
dan salurkan hawa dingin sakti ke tubuh Ki
Hok Bun. Setengah jam kemudian dia ganti
mengalirkan hawa panas lewat dada.
Tak berapa lama menjelang matahari akan
tenggelam Ki Hok Bun sadar. Mula-mula dia
merasakan denyutan sakit pada kepala dan
dadanya. Ternyata rasa sakit tidak hanya di
tempat itu saja namun boleh dikata di setiap
bagian tubuhnya. Perlahan-lahan dia
membuka kedua matanya. Yang dilihatnya
adalah langit luas berwarna merah
kekuningan akibat tersapu sinar sang surya
yang hendak tenggelam. Sesaat matanya tak
berkesip. Jalan pikirannya masih belum jernih.
"Di mana aku ini … " pikirnya. Dia coba
menggerakkan kepala sedikit dan memandang
berkeliling. Tiba-tiba dia ingat pada anak dan
istrinya. Langsung berteriak memanggil, "Cun
Giok, Sun Bi … kalian di mana?!" Seperti ada
satu kekuatan yang memasuki tubuhnya dia
melompat duduk namun kemudian roboh
kembali dengan pemandangan berkunang-
kunang. Bila kedua matanya mulai jernih
kembali maka pemandangannya membentur
sosok tubuh Wiro Sableng yang duduk di
dekatnya.
"Kau … kau siapa? Mana istriku? Mana Sun Bi
… Apa yang terjadi?"
'Twako sebaiknya kau jangan banyak bicara
dan bertanya. Atur jalan darah dan
pernafasan. Kau terluka berat. Coba
kendalikan tenaga dalammu …"
"Kau orang asing … Logat bicaramu aneh …"
Wiro garuk-garuk kepala dan tersenyum. Dari
balik pakaiannya dia keluarkan dua buah pil.
Satu berwarna merah dan satunya lagi hitam.
"Telan obat ini …" Wiro hendak masukkan dua
butir pil itu ke dalam mulut Hok Bun, tetapi
orang ini menjauhkan mulutnya. Pandangan
mata dan wajahnya menunjukkan keraguan
kalau tidak mau dikatakan curiga. Tentu saja
Hok Bun berperasaan demikian karena dia
belum pernah kenal atau melihat Wiro
sebelumnya.
"Tak usah takut. Percayalah, obat ini akan
menolongmu," kata Wiro. Akhirnya Hok Bun
membuka mulut dan menelan juga obat itu
walaupun dengan agak susah payah. Wiro
kemudian urut pelipis lelaki itu. Perlahan-
lahan Hok Bun pulas dan tertidur sampai
keesokan harinya. Ketika dia bangun yang
dirasakannya bukan lagi sakit tetapi lapar dan
haus. Wiro mendudukkannya bersandar pada
sebatang pohon di tepi telaga. Lalu
menyodorkan dua buah apel, makanan yang
dimilikinya. Buah ini cepat sekali dihabisi Hok
Bun. Selesai makan pemandangan dan jalan
pikiran lelaki ini menjadi lebih jernih. Dia
menatap Wiro Sableng beberapa lama.
Kemudian dia ingat apa yang telah menimpa
keluarganya. Hok Bun menangis dan tiada
henti memanggil- manggil nama istri dan
anaknya. Wiro maklum malapetaka besar
telah menimpa orang ini karenanya dia
membiarkan saja Hok Bun hanyut dalam
perasaannya.
Hok Bun akhirnya sadar bahwa menangis
tidak akan mendatangkan hasil apa-apa
padanya. Karena belum sanggup berjalan, dia
merangkak ke tepi telaga dan mencuci
mukanya lalu kembali ke tempat semula.
"Twako, apa yang telah terjadi. Aku
menemukanmu di rumah yang terbakar … "
Wiro membuka mulut bertanya.
Ki Hok Bun menatap ke langit di atasnya. Lalu
menghela nafas. "Kau sendiri siapa orang
muda? Kulihat jelas kau bukan orang sini,"
balik bertanya Hok Bun.
"Namaku Wiro Sableng Aku memang orang
asing di Tionggoan ini."
Ki Hok Bun kerenyitkan kening. "Wiro Sableng
… Aku rasa pernah dengar namamu akhir-
akhir ini. Kau seorang pendekar asing yang
membuat gempar dunia kangouw. Nyatanya
kau adalah inkong tuan penolongku. Tai-hiap
aku berhutang nyawa padamu. Biar aku
menghaturkan terima kasih yang sebesar-
besarnya." Habis berkata begitu Hok Bun
merangkak ke hadapan Wiro dan membuat
gerakan hendak berlutut. Tetapi Wiro cepat-
cepat mencegah.
"Jangan panggil aku dengan sebutan
pendekar besar itu twako," ujar Wiro. "Kalau
aku boleh tahu apakah sebenarnya yang telah
terjadi. Mengapa kau kutemui dalam rumah
yang terbakar itu?"
"Mereka yang melakukannya?"
"Mereka siapa?"
"Manusia-manusia iblis itu. Nan-king Ngo-
kui!"
"Ah, aku sudah menduga. Aku memang sudah
sejak lama mencarinya. Aku berhasil
menguntit mereka dari Han-kouw, tetapi
kehilangan jejak dan terlambat … "
Ki Hok Bun lalu menceritakan apa yang telah
terjadi dan juga tak lupa menerangkan sedikit
mengenai riwayat hidupnya.
"Aku tidak mengira kalau berhadapan dengan
seorang bekas perwira tinggi kerajaan," kata
Wiro dengan sikap hormat.
Hok Bun tersenyum pahit. "Dulu … sekarang
aku bukan apa-apa. Sekarang aku seorang
lelaki yang sengsara." Hok Bun terdiam
sejenak. Kemudian. "Orang muda, seumur
hidup mungkin aku tak dapat membalas
semua pertolongan dan jasamu. Biarlah hari
ini aku menganggapmu sebagai saudara.
Sebagai adik…"
"Betul-betul satu kehormatan besar bagiku
twako. Terima kasih."
"Satu dua hari di muka aku akan mulai
mencari lima manusia iblis itu!" kata Hok Bun
dengan nada penuh dendam.
Wiro tersenyum dan gelengkan kepalanya.
"Twako, kau masih jauh dari sembuh. Sebelum
kesehatanmu luar dalam pulih kembali untuk
sementara sebaiknya lupakan soal dendam
kesumat itu."
"Lebih cepat aku dapat memenggal kepala
manusia-manusia jahanam itu lebih baik
rasanya. Pembalasan harus dilakukan dalam
waktu cepatl"
"Kau tengah menghadapi persoalan besar
twako. Karenanya tak boleh bertindak
sembarangan.
Sekali salah langkah bisa besar akibatnya,
Lima manusia iblis itu bukan saja
berkepandaian tinggi tetapi juga licik … "
Hok Bun terdiam. Apa yang dikatakan Wiro itu
betul. Akhirnya dia berkata,: "Besok aku akan
kembali ke tempat kediamanku."
"Sebaiknya jangan. Itu hanya akan
mendatangkan pukulan berat pada batinmu,"
menasihatkan Wiro.
"Tapi aku harus mengurus jenazah dan abu
anak istriku."
"Aku sudah membayar orang desa untuk
mengurus jenazah mereka," menerangkan
Wiro. Hok Bun menatap wajah pendekar itu
lama-lama. Kedua matanya berkaca-kaca.
"Kau baik sekali Wiro. Aku benar-benar
berhutang budi dan-nyawa terhadapmu …"
"Sudahlah, jangan sebut hal itu. Besok pagi
sebaiknya kita pergi ke kota terdekat. Mencari
penginapan. Di situ kau bisa dirawat lebih
baik."
Ki Hok Bun mengangguk. Namun keesokan
paginya ketika Wiro bangun didapatkannya
lelaki itu tak ada lagi di situ. *** APAKAH
yang telah dilakukan oleh Ki Hok Bun? Ke
manakah bekas perwira tinggi kerajaan ini
pergi meninggalkan Wiro Sableng yang telah
menolongnya?
Malam itu sewaktu Wiro sedang tidur nyenyak
dekat perapian di tepi telaga diam-diam Ki
Hok Bun bangun. Diperhatikannya pendekar
asing itu sesaat. Meskipun dia telah
mengangkat saudara terhadap Wiro dan
pernah mendengar hal-hal menggemparkan
yang dilakukan pendekar itu namun dia masih
belum tahu banyak tentang si pemuda. Hal ini
disebabkan karena Wiro lebih banyak muncul
di utara sedang Ki Hok Bun tinggal di selatan.
Sebetulnya Hok Bun tak ingin meninggalkan
Wiro secara diam-diam seperti itu karena ini
satu perbuatan danperadatan yang tidak baik.
Namun dia terpaksa melakukan hal itu. Dia
harus kembali ke rumahnya yang telah
musnah, betapapun hancur hatinya kelak
menyaksikan rumah yang telah jadi puing-
puing hitam itu. Dia merasa tidak tenteram
seumur hidup bahkan sampai ke liang kubur
kalau tidak dapat membunuh habis ke lima
musuh besarnya itu.
Malam berganti siang. Ketika matahari sudah
naik tinggi barulah Hok Bun sampai di lereng
bukit. Tubuhnya terasa letih sekali. Tetapi
tekad dan semangat balas dendam atas
kematian istri dan anaknya membuatnya tidak
merasakan semua itu. Dia berlari menuruni
lereng bukit. Untuk beberapa lamanya dia
tegak termenung di hadapan rumahnya yang
kini hanya tinggal puing-puing hitam.
Sebagian ladang gandumnya juga terbakar.
Air mata Ki Hok Bun sukar dibendung. Dia
menggigit bibir menahan sakit batin.
Selagi dia tegak begitu rupa seorang
penduduk mendatanginya. Dengan pandangan
wajah haru orang ini berkata, "Saudara Ki, aku
datang memberi tahu bahwa jenazah istri dan
anakmu telah kami perabukan. Jika kau ingin
melihat abunya, ada di rumah abu Thian-an-
tang."
Ki Hok Bun mengucapkan terima kasih sambil
menganggukkap kepala. Karena tak ingin
mengganggu lebih lama orang tadi minta diri
dan cepat-cepat berlalu.
Beberapa saat kemudian Ki Hok Bun
melangkah dari hadapan reruntuhan
rumahnva menuju ke sebatang pohon Yang-
liu yang tumbuh seratus meter dari bekas
rumahnya. Dekat pohon ini terdapat sebuah
pilar batu. Dengan sepotong besi pendek Ki
Hok Bun menggali tanah di sebelah kanan
pilar. Kira-kira menggali sedalam satu meter
ditemuilah sebuah kotak terbuat dari kayu
besi yang tahan air dan rayap. Dari dalam
kotak ini Ki Hok Bun kemudian mengeluarkan
sebilah pedang yang ketika dicabut serta
merta memancarkan sinar tujuh warna. Inilah
Kim-hong-kiam atau Pedang Pelangi.
Sebuah senjata mustika sakti yang
kehebatannya telah membuat Ki Hok Bun
mendapat julukan Pendekar Pedang Pelangi
atau Kim-hong kiam-khek.
Sesaat Ki Hok Bun mendongak ke langit
sambil pejamkan mata. Selama perang
saudara, sebagai seorang perwira kerajaan
yang taat pada atasannya yakni Kaisar Hui Ti
dia telah berjuang mati-matian membela
kehormatan dan tahta Kaisarnya tanpa
parnrih ataupun memikirkan apakah Kaisar
Hui Ti berada di pihak yang benar atau bukan.
Ketaatannya adalah sama dengan disiplin
militer dan jiwa satria.
Sebenarnya sebelum pecah perang nama Ki
Hok Bun telah dikenal dan kepadanya telah
lama melekat gelar Pendekar Pedang Pelangi.
Namun di masa perang saudara itulah justru
dia membuktikan kehebatan dan jiwa
besarnya. Dalam setiap pertempuran Ki Hok
Bun bukannya menghadapi perajurit-prajurit
atau para perwira yang pada dasarnya adalah
saudara satu bangsanya dan bertempur
karena tugas menjalankan perintah atasan.
Justru yang dicari dan dihajarnya
habishabisan adalah mereka yang berperang
untuk maksud tertentu, mencari keuntungan
sendiri atau memancing di air keruh. Orang-
orang itu biasanya adalah tokoh-tokoh silat
golongan hitam. Lantas mengapa Ki Hok Bun
membasmi tokoh-tokoh silat lawan dari
golongan hitam sementara dipihaknya sendiri
juga terdapat tokoh-tokoh silat culas
golongan hitam seperti Nan-king Ngo-kui?
Sebenarnya Ki Hok Bun tidak suka terhadap
Nan-king Ngo-kui yang pada masa perang
adalah bawahannya langsung. Namun kalau
Kaisar Hui Ti sendiri yang mengangkat dan
mengambil mereka sebagai pembantu, mana
bisa dia menolak? Lagi pula saat itu
kedudukan Kotaraja Selatan (Nan-king) dalam
keadaan gawat. Serangan balatentara utara
demikian dahsyatrnya hingga mau tak mau
orangorang semacam Nan-king Ngo-kui
terpaksa dimanfaatkan tenaganya.
Pada saat Ki Hok Bun memegang pedang
pelangi itu bukan semua peristiwa dimasa
perang saudara itu yang terbayang di
matanya, melainkan adalah tampang-tampang
lima manusia iblis yang telah membunuh
anak istri dan menghancurkan kehidupannya.
"Mereka harus mati di tanganku!" desis Ki Hok
Bun. Perlahan-lahan kepalanya yang
mendongak langit di turunkan dan kedua
matanya dibuka kembali. Pedang pelangi
dimasukkannya ke dalam sarung lalu
disusupkannya di balik punggung pakaian.
Dengan hati berat dia meninggalkan tempat
itu. Tujuannya adalah rumah abu Thian-an-
tang.
Ketika sampai di rumah abu, didapatinyaa
banyak orang berkumpul di pintu masuk.
Mereka adalah penduduk setempat dan
kebanyakan para petani seperti Hok Bun.
Melihat Hok Bun datang, salah seorang dari
mereka yang agaknya menjadi wakil orang-
orang itu maju mendatangi dan
menyampaikan rasa berlasungkawa sedalam-
dalamnya atas musibah yang telah menimpa
lelaki itu. Kemudian dijelaskan pula bahwa
para pemuda desa sudah bermufakat untuk
membantu Hok Bun guna mencari Nan-king
Ngo-kui.
Hok Bun terharu sekali mendengar kata-kata
itu. Dipegangnya bahu petani itu dan berkata,
"Lopek, aku menghaturkan terima kasih
padamu dan juga pada semua saudara-
saudara di sini. Soal dendam kesumat
terhadap lima manusia iblis itu adalah urusan
pribadiku. Aku akan mencari mereka sekalipun
ke neraka. Dengan tanganku sendiri akan
kuhabisi nyawa mereka satu persatu. Sekali
lagi terima kasih. Thian akan membalas
kebaikan dan ketulusan budi kalian."
Selesai berkata demikian Ki Hok Bun langsung
masuk ke dalam rumah abu. Seorang pegawai
mengantarkannya ke tempat di mana dua
buah peti kecil berisi abu anak dan istrinya
disimpan. Di hadapan peti-peti kecil itu Ki
Hok Bun bersembahyang. Selesai sembahyang,
sambil bercucuran air mata dia tak dapat lagi
menahan diri. Tiba-tiba sret! Hok Bun cabut
Kim-hong-kiam. Tujuh sinar pelangi
berkilauan. Pegawai rumah abu sampai
tersurut saking kaget dantakutnya karena
disangkanya tiba-tiba saja Ki Hok Bun
menjadi mata gelap dan hendak mengamuk.
"Istriku The Cun Giok dan anakku Sun Bie.
Kalian dengarlah baik-baik. Aku Ki Hok Bun,
suami dan ayahmu bersumpah untuk mencari
dan membunuh lima manusia biadab yang
telah berlaku keji dan membunuh kalian.
Percayalah, kematian mereka akan jauh lebih
sengsara dari penderitaan yang telah kalian
terima dari mereka. Semoga Thian
memberikan tempat yang sebaikbaiknya bagi
kalian di alam baka!" Ki Hok Bun sarungkan
pedangnya kembali, putar tubuh dan
tinggalkan rumah abu itu. *** SAAT itu telah
memasuki musim semi. Pohonpohon yang
tadinya hanya merupakan cabang-cabang
gundul dan rerantingan kini mulai ditumbuhi
dedaunan hijau segar. Bunga-bunga
kemudian mulai bermekaran dari kuncupnya.
Kemanapun mata dilayangkan kehijauan
segarlah yang kelihatan menyedapkan mata.
Di tikungan sebuah sungai berair jernih dan
dangkal dan dasarnya ditebari batu-batu
kecil, lima orang berjubah hitam asyik
membersihkan wajah masing-masing.
Sekalipun telah dicuci tetap saja tampang-
tampang mereka tampak kotor liar
berangasan, penuh ditumbuhi cambang
bawuk, kumis dan jenggot tak terurus.
Mereka bukan lain adalah Tui-hun Hui-mo,
Tiat-thouw-kui, Ang-mo It-kui, Gui-kun Kui-
to dan pangcu (pimpinan) mereka biang iblis
bernama Bu Ceng bergelar Nan-king Kui-ong.
Setelah mencuci muka masing-masing mereka
mencari tempat duduk di sekitar perapian
yang telah padam untuk menikmati kelinci
panggang. Ang-mo It-kui dari tadi tampak
tidak tenang. Sebentar-sebentar dipeganginya
perutnya.
"Ada apa dengan kau?" bertanya Bu Ceng.
"Perutku sakit," sahut Ang-mo It-kui seraya
mengunyah daging kelinci dengan muka
berkerenyit.
Perutnya mulas. Entah apa sebabnya. Sejak
tadi malam hal ini dirasakannya. Tadi telah
dicobanya untuk buang hajat besar tapi tak
mau keluar. Berulang kali dia kentut di dalam
jubahnya yang hitam dan bau apak itu. Mulas
perutnya semakin tidak tertahankan. Agaknya
sekali ini dia betulbetul akan buang air besar.
Daging kelinci yang belum habis dimakannya
dibuangnya ke tanah. Lalu dia berdiri menuju
bagian tikungan sungai yang tertutup rapat
oleh pohon-pohon dansemak belukar lebat.
"Eh, kau mau kemana lagi?"tanya Gui-kun
Kui-to.
"Buang hajat besar!" jawab Ang-mo It-kui
tanpa menoleh. Sesaat kemudian dia sudah
lenyap di balik pepohonan dan semak belukar
kira-kira sepuluh tombak dari tempat dimana
kawan-kawannya berada.
Sementara Ang-mo It-kui mendekam di
sebelah sana dan kawan-kawannya asyik
menyantap daging kelinci panggang, Si Golok
Iblis Gui Kun membuka mulut.
"Aku kawatir kalau-kalau tiga peti emas yang
kita sembunyikan itu diketahui orang dan
digasak habis!"
Sebelumnya, beberapa hari yang lalu, untuk
mempercepat perjalanan Bu Ceng telah
memutuskan menyembunyikan tiga peti emas
rampokan di satu tempat rahasia.
Sambil mengunyah daging kelinci panggang
dalam mulutnya, Bu Ceng alias Nan-king Kui-
ong berkata, "Kalau tak ada di antara kita
yang berkhianat, sampai kiamat tak ada orang
lain yang bakal tahu rahasia itu."
Tiai-thou-kui mengunyah daging kelinci
dalam mulutnya dengan segan-seganan.
"Lama-lama aku jadi jemu juga dengan
kehidupan macam begini …"
Sepasang mata Nan-king Kui-ong membeliak.
Dia semburkan makanan dalam mulutnya,
meneguk tuak dari buli-buli kecil, menyeka
mulut lalu bertanya dengan nada garang.
"Kau bilang apa tadi Tiat-thou-kui?"
Sesaat Tiat-thou-kui jadi kuncup juga
nyalinya melihat pandangan mata dan wajah
pangcunya itu. Dia tahu Nan-king Kui-ong
sangat tersinggung bahkan marah sekali
mendengar kata-katanya tadi. Sambill usap-
usap kepala botaknya dia berkata,
"Kau jangan buru-buru marah dulu pangcu.
Tapi coba kau pikir dengan hati dingin dan
otak tenang. Sepanjang hari kita selalu di
rongrong oleh kawatir karena alat-alat
kerajaan senantiasa melakukan pengejaran
dan mencari kita dimana-mana. Belum lagi
tokoh-tokoh silat golongan putih atau yang
bekerja untuk Yung Lo. Dalam pada itu
sampai saat ini sisa-sisa pasukan yang
terpecah dan berhasil kita kumpulkan masih
sangat kecil. Bahkan kita banyak mendapat
tantangan dari orangorang sendiri. Seperti si
Ki Hok Bun itu misalnya…" Tiat-thou-kui
menghentikan kata-katanya dan sejenak
memandang pada pangcunya.
"Terus . . . teruskan pidatomu Tiat-thou-kui!"
kata Bu Ceng.
"Bukan pidato pangcu. Maafkan aku. Ini Cuma
sekedar untuk dipikirkan, Kuperhitungkan,
sampai setengah tahun dimuka belum tentu
kita dapat mewujudkan apa yang menjadi
rencana kita. Kalau kurenungkan dalam-
dalam bukankah lebih baik bila emas
rampasan yang tiga peti itu kita bagi lima,
lalu mencari jalan sendiri-sendiri untuk
menempuh hidup baru…" Nan-king Kui-ong
menyeringai aneh.
Tiba-tiba dia melompat dan mencekal leher
jubah Tiat-thou-kui, sekaligus
menyentakkannya hingga si kepala botak itu
terangkat tegak.
"Tiat-thou-kui keparat! Dengar baik-baik.
Jangan kau berani bicara seperti itu lagi di
hadapanku, bahkan jangan kau berani punya
jalan pikiran seperti itu. Jangan coba
pengaruhi teman-temanmu dengan mulut
manis. Atau kau akan kubunuh detik ini juga!"
Sesaat kedua orang itu saling pandang. Nan-
king Kui-ong dengan mulut komat kamit
entah mengucapkan apa lalu mendorong keras
keras dada Tiat-thou-kui hingga si botak ini
jatuh terjengkang di tanah.
Untuk beberapa lamanya tak satu orangpun
yang membuka mulut. Sunyi bahkan siliran
tiupan anginpun tidak kedengaran. Namun
mendadak sontak kesunyian itu dirobek oleh
satu jeritan amat menggidikkan. Suara jeritan
Ang-mo It-kui!
Keempat orang itu tersentak kaget. Saling
pandang sesaat.
"Itu jeritan Ang-mo It-kui …" kata Si Golok
Iblis Gui Kun.
Kontan keempat mereka melompat ke arah
semak-semak dan pepohonan rapat di ujung
kanan dari mana datangnya jeritan itu.
Beberapa langkah lagi mereka akan sampai
pada deretan pohon-pohon tersebut tiba-tiba
dari balik kerimbunan semak belukar melesat
sebuah benda merah kehitaman, menyambar
deras ke jurusan Nan-king Kui-ong dan tiga
kawannya.
Dalam keterkejutan ke empatnya cepat berkelit
menghindarkan diri. Benda merah tadi jatuh
ke tanah. Begitu mereka perhatikan maka
masing-masing empat manusia iblis itu
keluarkan seruan keras. Tampang mereka
kontan menjadi pucat pasi laksana kain kafan.
Betapakan tidak. Benda merah kehitaman itu
ternyata adalah kepala berwajah merah dan
berambut hitam Ang-mo It-kui yang tetah
dijagal! Dari bekas potongan lehernya masih
menyembur darah segar mengerikan!
"Ang-mo It-kui … ah. Apa yang terjadi
denganmu sobat? Siapa yang
membunuhmu?!" desis Tiat-thou-kui dengan
suara bergetar dan lutut goyah. Di antara
empat kawannya dia memang paling dekat
dengan Ang-mo It-kui.
Tentu saja kutungan kepala itu tidak bisa
memberikan jawaban. Kesunyian
menggidikkan menyungkup tempat itu. Tiba-
tiba sepasang mata garang Nan-king Kui-ong
melihat suatu gerakan. Didahului suara
menggembor dia membentak keras dan
hantamkan tangan kanannya ke depan.
Krak! Krak!
Dua batang pohon patah. Semak belukar
rambas berhamburan. Di belakang semak
belukar yang rambas itu kelihatan tegak
seorang bertubuh tinggi besar, bermuka kotor
penuh cambang bawuk serta kumis meliar dan
rambut awut-awutan.
Sepasang matanya membersitkan sinar
menggidikkan. Maut. Di tangan kanannya
tergenggam sebilah pedang yang
mengeluarkan tujuh sinar angker. Orang ini
bukan lain adalah Ki Hok Bun alias Pendekar
Pedang Pelangi! Kim-hong Kiam-khek!
Apakah yang telah terjadi dengan Ang-mo It-
kui orang ke empat dari Nan-king Ngo-kui itu
hingga dia menemui kematian amat
menyeramkan begitu rupa?
Seperti diceritakan sebelumnya Ang-mo It-kui
diserang sakit perut dan membuat dia
memisahkan diri dari empat kawannya. Dia
pergi ke tepi sungai diantara pohon-pohon
dan semak belukar rapat untuk membuang
hajat besar. Dia sama sekali tidak menduga
justru di tempat itulah maut tengah
menantinya!
Sesaat satelah dia turunkan pakaian dalam
dan singsingkan jubah lalu berjongkok, tiba-
tiba saja seolah-olah keluar dari dalam air
muncul sesosok tubuh di hadapannya. Nyawa
Ang-mo It-kui serasa terbang. Kalau orang
lain yang muncul dia tidak akan demikian
kagetnya. Tetapi melihat sosok tubuh Ki Hok
Bun di depannya benar-benar membuat
manusia iblis yang satu ini seperti sudah
berhenti nafasnya detik itu juga!
"Kau….!" suara Ang-mo It-kui bergetar. Dia
melompat bangun. Namun dia lupa pada
celana dalam yang melingkar di pergelangan
kakinya. Gerakannya yang tiba-tiba itu
membuat kakinya terjirat celana dalamnya
sendiri dan akibatnya tak ampun lagi
tubuhnya tersungkur ke depan.
Ang-mo It-kui tahu bahaya apa yang bakal
dihadapinya. Sebetulnya dengan
kepandaiannya yang tinggi dia tidak perlu
kawatir bakal dapat dirobohkan dalam waktu
cepat oleh siapapun. Namun kemunculan Ki
Hok Bun benar-benar tidak disangkanya. Dia
laksana melihat setan kepala sepuluh.
Karenanya Ang-mo It-kui segera buka mulut
untuk berteriak memberi tahu kawan-
kawannya.
Namun Ki Hok Bun telah tahu gelagat.
Sebelum Ang-mo It-kui sempat keluarkan
suara dia melompat ke depan dan menotok
urat jalan suara di pangkal leher musuh
besarnya itu hingga detik itu juga manusia
iblis ini sama sekali tidak sanggup keluarkan
suara selain haha-huhu macam orang gagu
sedang sepasang matanya melotot.
Sebenarnya kalau saja dia tidak terlalu
dicekam ketakutan luar biasa dan dapat
menguasai diri tidak akan terlalu mudah bagi
Ki Hok Bun untuk dapat menotoknya begitu
rupa.
Ki Hok Bun keluarkan seringai maut.
"Jangan harap kau bisa lari selamatkan diri
manusia biadab! Hari pembalasan telah
datang. Bersiaplah untuk berangkat ke
neraka!"
Kedua mata Ang-mo It-kui membeliak. Dia
melangkah mundur hendak larikan diri namun
secepat kilat Ki Hok Bun sudah berkelebat dan
tahu-tahu sudah menghadang di depannya.
"Mau lari ke mana binatang?" Di tangan
kanan Ki Hok Bun saat itu sudah tergenggam
Pedang Tujuh Pelangi.
Ang-mo It-kui angkat kedua tangannya dan
goyang-goyangkan kepala. Dia sadar tak
mungkin lari. Maut sudah di depan mata.
Sekalipun saat itu dia memegang senjata pula
belum tentu dia dapat lolos. Bahkan dibantu
oleh empat kawannya pun sukar untuk cari
selamat karena dia sudah tahu kehebatan
pedang mustika di tangan lawan.
"Huk … huk . . . huk . . . " Ang-mo It-kui lagi-
lagi angkat kedua tangannya tinggi-tinggi.
Dengan berbuat begitu dia bermaksud hendak
mengatakan agar Ki Hok Bun jangan
membunuhnya. Tentu saja hal ini suatu hal
yang tidak mungkin. Selama beberapa minggu
Ki Hok Bun telah menguntit lima musuh
besarnya itu. Kini salah seorang dari mereka
sudah berada dalam tangannya.
"Iblis-iblis di neraka sudah lama
menunggumu manusia keparat! Pergilah ke
sana!"
Pedang di tangan Ki Hok Bun berkelebat.
Tujuh warna sinar pelangi bertabur. Ang-mo
It-kui membuang diri ke samping dan
lepaskan satu pukulan tangan kosong tetapi
tak menemui sasaran.
Seperti diketahui rambut merah panjang Ang-
mo It-kui merupakan senjata hebat yang bisa
menotok, menusuk, mencekik bahkan melibat
dan merampas senjata lawan. Namun
menghadapi Pedang Tujuh.Pelangi dia tidak
berani pergunakan rambutnya untuk
melakukan semua itu. Matimatian dia
keluarkan seluruh kepandaiannya. Untuk lari
sudah tidak bisa. Setiap dicobanya setiap kali
pula Ki Hok Bun berhasil menghadangnya.
Pedang lawan seolah-olah telah berubah jadi
puluhan banyaknya dan mengurung dirinya
dari berbagai jurusan.
Ang-mo It-kui cuma sanggup bertahan
selama empat jurus. Jurus kelima Pedang
Tujuh Pelangi menyambar putus tangan
kirinya kemudian berbalik menusuk dada.
Darah seperti mancur dari dua bagian tubuh
yang terluka itu. Pembalasan Ki Hok Bun
masih belum berhenti. Di lain saat tangan
kanannya jadi sasaran sambaran pedang.
Ang-mo It-kui menjerit tapi suaranya hanya
sampai di tenggorokan. Dalam keadaan tubuh
sempoyongan ujung pedang datang lagi
menyambar. Kali ini merobek perutnya hingga
isi perut manusia iblis ini berbusaian keluar.
Ki Hok Bun tampaknya masih belum puas.
Pedangnya dibabatkan ke bagian bawah perut
dan cras! Putuslah keseluruhan anggota
rahasia Ang-mo It-kui yang dulu telah
menodai The Cun Giok, istri Ki Hok Bun!
Sampai disitu masih juga Ki Hok Bun belum
merasa puas. Pembalasannya betul-betul
mengerikan. Hanya manusia yang dilanda
dendam kesumat seperti dialah yang sanggup
melakukan hal seperti itu. Dia ingin
mendengar bagaimana jerit kesakitan melanda
musuh besarnya itu sebelum dia menghabisi
nyawanya. Maka dengan tangan kirinya dia
lepaskan totokan di leher Ang-mo It-kui.
Begitu totokan lepas maka menggeledeklah
jeritan setinggi langit dari tenggorokan Ang-
mo It-kui yang sejak tadi terbendung.
Tubuhnya roboh ke tanah dan detik itu pula
Pedang Pelangi membabat menyambar batang
lehernya. Nyawanya lepas begitu kepalanya
menggelinding!
Jeritan Ang-mo It-kui itulah yang membuat
terkejut empat manusia iblis lainnya. Sewaktu
mereka mendatangi Ki Hok Bun telah
menunggu dengan menjambak rambut kepala
Ang-mo It-kui di tangan kirinya lalu
melemparkan kutungan kepala itu ke arah
Nan-king Kui-ong dan tiga kambratnya.
Bukan saja menyaksikan kutungan kepala
kawan mereka membuat keempat manusia
iblis itu menjadi menggerinding ngeri, tetapi
yang membuat mereka terkesiap dan kaget
sekali adalah menyaksikan berdirinya Ki Hok
Bun di hadapan mereka.
"Ki … Ki Hok Bun … Kau?" Suara Nan-king
Kui-ong bergetar. Lidahnya terasa kelu dan
tenggorokannya seperti tercekik.
Ki Hok Bun alias Kim-hong Kiam-khek
mendengus. Sementara Bu Ceng gosok-gosok
kedua matanya seperti tak percaya pada
pemandangannya sendiri.
Kemudian terdengar suara tawa Ki Hok Bun
mengekeh. Bagi keempat iblis itu suara
kekehan tersebut laksana suara malaikat maut
dari liang kubur.
"Ki Hok Bun … bukankah, bukankah kau sudah
mampus? Mati ditembus api bersama istri dan
anakmu. Dulu …?" Yang buka suara adalah si
botak kepala besi Tiat-thou-kui.
"Memang … memang aku sudah mampus iblis
botak! Dan yang kalian lihat berdiri di
hadapan kalian saat ini ada!ah setannya Ki
Hok Bun. Setannya yang datang dari neraka
untuk melakukan pembalasan atas kejahatan
biadab yang telah kalian lakukan. Heh . . .
kalian sudah lihat bagaimana cara
mampusnya Ang-mo It-kui? Kalau masih
belum jelas silahkan lihat lebih terang!"
Habis berkata begitu Ki Hok Bun tendang
sosok tubuh tanpa kepala Ang-mo It-kui ke
hadapan ke empat musuh besarnya itu. Empat
manusia iblis ini saking ngerinya tak berani
memandang ke jurusan tubuh kawannya itu.
"Pedang sakti itu. Celaka . . . Rupanya masih
ada padanya," Nan-king Kui-ong mengeluh
ketika memandang senjata di tangan Ki Hok
Bun. Dia tahu bagaimanapun tingginya ilmu
silat tangan kosong bekas perwira tinggi ini
namun kalau dia mengeroyok bersama kawan-
kawannya pasti dia mampu mengalahkan Ki
Hok Bun. Namun jika pedang sakti itu berada
dalam genggaman Ki Hok Bun mau tak mau
manusia iblis ini jadi gentar sekalipun dia
masih memiliki tiga kawan untuk
membantunya.
"Apakah kalian sudah siap untuk mampus
menyusul Ang-mo It-kui …?" tanya Ki Hok Bun
dengan pandangan mata tak berkedip.
"Twako dengarlah … Mari kita bicara dulu,"
berkata Bu Ceng alias Nan-king Kui-ong dan
diamdiam dia berikan isyarat pada Si Golok
Iblis Gui Kun.
Ki Hok Bun meludah ke tanah.
"Kau mau bicara apa manusia iblis biang
racun kejahatan? Silahkan bicara dengan
pedangku!"
Habis berkata begitu Ki Hok Bun segera
menerjang ke depan namun mendadak dari
samping kiri menderu setengah lusin golok
terbang, mencari sasaran di enam bagian
tubuhnya!
Ki Hok Bun kertakkan rahang. Pedang Pelangi
di tangan kanannya digerakkan. Tujuh warna
sinar pelangi bertaburan. Terdengar suara
berdentrangan enam kali berturut-turut.
Setengah lusin golok terbang yang dilepaskan
Si Golok Iblis Gui Kun mental patah dua
dihantam Pedang Pelangi.
Di saat yang sama dari jurusan lain Nan-king
Kui-ong lepaskan satu pukulan tangan kosong
yang menimbulkan angin deras ke arah
lambung Ki Hok Bun. Berbarengan dengan itu
menyambar pula sepuluh sinar hitam panjang
yang membersit keluar dari jentikan kuku-
kuku jari Tui-hun Huimo. Sedang dari
belakang didahului dengan suara menggembor
seperti banteng mengamuk kepala besi Tiat-
thou-kui datang menyeruduk!
"Bagus! Kalian main keroyok. Berarti lebih
cepat aku dapat mencincang kalian
sekaligus!" seru Ki Hok Bun.
Nan-king Kui-ong tertawa mengejek.
"Justru kami ingin menolong agar kau lekas-
lekas bisa bertemu dengan anak istrimu di
akherat!"
Mendidih darah Ki Hok Bun mendengar
ucapan itu. Dia berseru keras. Tujuh sinar
pelangi berkiblat seputar tubuhnya hingga diri
dan pedang sakti itu seolah-olah lenyap dari
pemandangan. Sesaat kemudian terdengar
seruan kaget susul menyusul keluar dari mulut
ke empat pengeroyok. Nan-king Kui-ong
tersurut mundur dan cepat-cepat melompat ke
samping ketika pukulan hawa saktinya yang
membentur sinar pedang mustika seperti
membal dan terpental kembali menghantam
dirinya sendiri.
Tui-hun Hui-mo yang berbadan katai mundur
jumpalitan menjauhi kalangan pertempuran.
Wajahnya seputih kertas sewaktu
menyaksikan bagaimana dua kuku jarinya
sebelah kiri dan tiga lagi di sebelah kanan
kena dibabat putus oleh pedang sakti lawan.
Kedua tangannya terasa panas. Masih untung
bukan jari-jari tangannya yang kena
disambar.
Orang ke tiga dari lima iblis itu yakni Gui-Kun
Kui-to juga mundur dengan tampang pucat
pasi sambil pegangi jubah hitamnya yang
robek besar di bagian dada kena dimakan
ujung Pedang Pelangi. Sedang Tiat-thou-kui
yang menyeruduk dari belakang terpaksa tarik
pulang serangannya karena mendadak sontak
Ki Hok Bun kirimkan satu tendangan ke
belakang.
Bagaimanapun atosnya batok kepala Tiat-
thou-kui yang terkenal seperti besi itu, namun
untuk beradu dengan tendangan kaki seorang
berkepandaian tinggi seperti Pendekar Pedang
Pelangi dia musti berpikir tiga kali!
Sesaat empat manusia iblis itu diam tak
bergerak di tempat masing-masing,
mengurung Ki Hok Bun di tengah-tengah.
Perlahan-lahan Nan-king Kui-ong susupkan
tangan kanannya ke balik jubah. Sesaat
kemudian dia telah memegang sebuah senjata
aneh. Senjata ini berbentuk hudtim (kebutan)
sedang ujungnya yang lain berbentuk tombak
besi bermata dua berkilauan.
"Hem … jadi senjata curian itu masih berada
di tanganmu, biang iblis?" sentak Hok Bun.
Senjata di tangan Nan-king Kui-ong dulunya
adalah milik seorang tokoh silat golongan
putih pembantu Kaisar Yung Lo. Dalam satu
pertempuran di medan perang tokoh silat itu
menemui ajalnya dikeroyok Nan-king Ngo-kui,
senjatanya lalu dirampas oleh Nan-king Kui-
ong.
"Ha .. ha. Agaknya kau takut menghadapi
senjata ini Hok Bun?" ejek Nan-king Kui-ong.
Sebagai jawaban Ki Hok Bun lantas putar
pedangnya. Melabrak ganas ke arah pangcu
manusia-manusia iblis yang tinggal empat
orang itu. Jurus yang dikeluarkan Hok Bun
saat itu bernama ko-sing poan-swat atau
bintang mengejar rembulan.
Tak kalah hebatnya Nan-king Kui-ong
keluarkan jurus pit-bun ki-khek atau menutup
pintu menolak tetamu guna menangkis
serangan ganas lawan. Gerakan ini
sebenarnya dimainkah dalam ilmu silat
tangan kosong. Tapi karena Kui-ong
berkepandaian tinggi maka dengan senjata di
tangan dia membuat gerakan yang amat
hebat. Namun bagaimanapun dia tak mau
ambil risiko untuk bentrokan senjata dengan
pedang sakti di tangan lawan. Karena
sebelum ujung tombak mata dua saling
beradu dengan Pedang Pelangi, Nan-king Kui-
ong membuat gerakan joan-hun ki-gwat atau
menyusup awan mengambil rembulan.
Ki Hok Bun bukan pendekar kemarin. Dia
maklum kalau lawan takut untuk bentrokan
senjata. Maka buru-buru dia kiblatkan
pedangnya dalam jurus tiang-hong koan-jit
atau pelangi menutup matahari. Akibatnya
Nan-king Kui-ong tak dapat lagi melihat
lawan maupun pedang. Gulungan sinar tujuh
warna menyambar deras menyilaukan mata
dan mengurungnya. Dia terpaksa mundur dua
langkah. Justru saat itu Hok Bun tidak
memberi kesempatan dan susul dengan
serangan thian-sing tui-sin atau bintang
meluncur turun.
Pedang Pelangi laksana kilat menyambar
deras dari atas ke bawah. Kali ini Nan-king
Kui-ong mati langkah. Mau tak mau dia
harus menangkis dengan senjatanya untuk
selamatkan diri dari bahaya maut.
Sambil putar senjata ke depan pangcu
manusia-manusia iblis itu berteriak, "Kawan-
kawan bantu aku cepat!"
Maka tiga serangan menggebu ke arah Hok
Bun. Namun semuanya luput karena Hok Bun
sudah lebih dulu melompat ke atas dan dari
atas meneruskan serangannya tadi yang kini
jadi lebih dahsyat.
Trang!
"Auu!"
Nan-king Kui-ong terpekik. Dia melompat
mundur jauh-jauh. Salah satu jari tangan
kanannya putus sedang senjata hudtimnya
hancur berkeping-keping dihantam Pedang
Pelangi. Tiga kawannya yang barusan
menyerang kini mundur pula berserabutan
ketika Ki Hok Bun kembali kiblatkan pedang
saktinya ke arah mereka.
Diantara empat iblis itu Iblis Pengejar maut
Tui-hun Hui-mo dan Si Golok Iblis Gui Kun
sebenarnya sudah runtuh nyalinya. Hanya si
botak kepala besi Tiat-thou-kui yang masih
cukup berani dan bertekad untuk
menghancurkan tubuh lawan dengan
serudukan-serudukan kepaia besinya. Nanking
Kui-ong sendiri merasa malu kalau terlalu
menunjukkan rasa kawatirnya. Namun dia
menyadari bahwa saat itu keadaan sangat
tidak menguntungkannya. Malah jika dia tidak
mengambil keputusan cepat mereka berempat
bisa mengalami celaka besar menemui
kematian satu persatu. Dia berpaling pada Si
Golok Iblis Gui Kun dan memberi isyarat. Gui
Kun yang cepat menangkap arti isyarat
pangcunya itu menganggukkan kepala dan
mengirimkan isyarat yang sama pada Tui-hun
Hui-mo. Malang bagi si kepala besi Tiat-
thou-kui karena berada di sebelah depan dia
tak dapat melihat isyarat isyarat tersebut.
Karenanya terpaksa Nan-ing Kui-ong berseru,
"Kawan-kawan, tinggalkan tempat ini. Lain
hari kita buat perhitungan dengan bangsat
itu!"
"Ho… ho! Mau lari kemana manusia-manusia
keparat?!" teriak Hok Bun seraya melompat
memburu. Sambil melompat itu dia kirimkan
satu tendangan ke arah si kepala besi Tiat-
thou-kui. Karena memang berada sangat
dekat, di samping itu tidak menyangka kalau
sambil mengejar ke jurusan lain lawan akan
kirimkan tendangan, Tiat-thou-kui agak
terlambat mengelak. Akibatnya bahu kirinya
kena dihantam tumit Hok Bun hingga remuk
dan dia terpelanting jatuh tergelimpang di
tanah. Di lain kejap Hok Bun sudah berhasil
menghadang tiga manusia iblis lainnya.
"He … he … Kalian boleh lari. Tapi tinggalkan
nyawa kalian disini!" kata Hok Bun sambil
melintangkan pedang sakti di depan dada.
Nan-king Kui-ong dan dua kawannya
terkesiap kaget. Hebat sekali gin-kang bekas
perwira tinggi itu hingga belum sempat
mereka bergerak jauh tahu-tahu sudah kena
dihadang. Jika tidak memakai tipu muslihat
tak bakal bisa lolos. Demikian Nan-king Kui-
ong membatin.
"Hok Bun, jangan terlalu sombong! Aku akan
perlihatkan sepucuk surat dari Kaisar Hui Ti
untukmu. Surat ini diloloskan lewat penjara …"
"Akal busukmu tak bakal mempan manusia
iblis!" kata Hok Bun yang sudah mencium niat
licik lawan. Namun karena disebutnya nama
Hui Ti bekas Kaisar kepada siapa dia pernah
mengabdi, agak tergerak juga hati Ki Hok
Bun. Karena itulah dia hanya tegak berdiam
diri. Dari balik jubah pakaiannya Nan-king
Kui-ong keluarkan segulung kertas merah
mudah yang ujungnya berjumbai-jumbai
benang hijau. Kertas dengan jumpai-jumbai
seperti itu memang adalah ciri-ciri surat
Kaisar Hui Ti. Nan-king Kui-ong membuka
gulungan kertas lalu mengangsurkannya ke
hadapan Hok Bun seraya berkata,
"Kau bacalah sendiri isinya!"
Ketika mengangsurkan surat itu sebuah benda
bulat hitam sebesar ujung ibu jari melesat ke
udara disertai bunyi mendesis tajam. Sadarlah
kini Hok Bun kalau dia memang telah tertipu.
Dia melompat ke depan sambil kiblatkan
pedang namun terlambat!
Bola kecil hitam itu.meledak di udara
membersitkan asam hitam pekat bergulung-
gulung. Keadaan di tikungan sungai itu
menjadi gelap gulita. Pemandangan Hok Bun
tertutup. Kemanapun berpaling hanya
kehitaman yang kelihatan. Hok Bun merutuk
dalam hati. Dia melompat jauh-jauh ke
belakang. Tak ada yang bisa dilakukannya
selain menunggu.
Selang beberapa lama asap hitam mulai
menipis. Nan-king Kui-ong dan kawan-
kawannya telah lenyap. Tetapi ternyata tidak
semua mereka sempat melarikan diri.
Tiat-thou-kui yang tadi kena dihantam
tendangan kelihatan merangkak di tanah
sambil pegangi bahu kirinya yang remuk.
"Pangcu …! Kawan-kawan! Jangan tinggalkan
aku!" teriak Tiat-thou-kui. Namun sang
pangcu dan dua kawannya sudah lari jauh.
Sepasang kaki dilihatnya melangkah
mendekatinya. Ketika dia mendongak
pandangannya membentur wajah Ki Hok Bun
yang garang angker.
"Sampai lidahmu copot berteriak, tak ada satu
orangpun yang bakal menolong manusia
keparat!"
Dengan tubuh menggigil Tiat-thou-kui berdiri
tegak. Dihadapannya Ki Hok Bun melangkah
semakin dekat dengan pedang terhunus di
tangan. Tiba-tiba Hok Bun gerakkan tangan
kanannya yang memegang pedang. Tiat-thou-
kui mengelak ke kiri, lompat ke kanan, mundur
dan melompat berulang kali, berusaha
menyelamatkan diri dari sambaran pedang
yang datang bertubi-tubi.
Sebagai orang ke tiga di antara Lima Iblis
Dari Nan-king Tiat-thou-kui memiliki ilmu
kepandaian yang tidak rendah. Namun dalam
keadaan terluka serta hanya ditinggal
sendirian begitu rupa dia jadi mati kutu.
Karena melompat terus-terusan lama lama
tenaganya jadi kendor dan nafasnya
memburu. Satu kali terdengar teriakan Tiat-
thou-kui ketika kepalanya kena digores
pedang dan senjata itu terus membabat putus
telinga kirinya. Darah mengucur membasahi
wajahnya hingga tampangnya benarbenar
menyeramkan seperti iblis. Sadar kalau dirinya
tak bakal lolos dari tangan musuh tiba-tiba
Tiatthoukui jatuhkan diri dan berlutut.
Setengah meratap dia berkata,
"Twako Kim-hong Kiam-khek, aku menyerah
dan pasrahkan diri padamu. Aku mohon
padamu sudilah mengampuni selembar nyawa
yang hina dina ini. Aku sadar kini kalau sudah
tersesat ikut berbuat jahat bersama Bu Ceng
dan kawan-kawan. Aku insaf dan tobat. Aku
bersedia membantumu membalaskan sakit
hati terhadap ketiga orang itu . . . "
"Cuh!" Hok Bun meludahi muka Tiat-thou-kui.
"Tutup mulut busukmu yang banyak akal.
Omongan iblis aku tak mau dengar!" lalu
tanpa banyak bicara lagi Hok Bun gerakkan
pedang pelanginya. Tiat-thou-kui terpekik dan
tekap mukanya dengan kedua tangan.
Sambaran pedang tadi telah memutus hidung
dan bibirnya hingga tampangnya jadi luar
biasa mengerikan.
Rasa sakit yang amat sangat membuat si
botak ini menjadi kalap. Hilang rasa takutnya.
Dia sadar percuma saja minta ampun. Dari
pada mati sia-sia lebih baik melawan. Siapa
tahu dengan serangan membabi buta dia
berhasil merobohkan lawan.
Maka dengan nekad didahului macam suara
harimau menggereng Tiat-thou-kui menerjang
ke depan, hantamkan tangan kanannya. Angin
pukulan deras menyambar Hok Bun tapi
segera terpental begitu membentur sinar
pedang tujuh warna pelangi dan membalik
menyerang tuannya sendiri.
Selagi Tiat-thou-kui kalang kabut
mengelakkan angin pukulannya sendiri Ki Hok
Bun kembali membabatkan pedangnya. Kali
ini Tiat-thou-kui tak punya daya lagi untuk
mengelak. Dengan kalap dia sorongkan
kepalanya melabrak perut lawan.
Ki Hok Bun memutar arah pedangnya sedikit
dan cras! Tamatlah riwayat orang ke tiga dari
Nan-king Ngo-kui ini. Kepalanya terbacok
terbelah sampai ke pangkal leher!
Meski Tiat-thou-kui sudah menggeletak tak
bernyawa namun Ki Hok Bun seperti
kemasukan setan terus saja membacokkan
pedangnya ke sekujur tubuh orang itu.
Pembalasan bekas perwira tinggi ini benar-
benar sadis. Dua musuh besar telah mati di
tangannya. Masih ada tiga orang lagi yang
harus dicarinya! ***
PELACURAN adalah salah satu macam
pekerjaan yang paling tua di dunia. Sama
tuanya dengan umur ummat manusia dan
terdapat di mana-mana.
Umumnya di masa perang dan sesudah
perang pelacuran lebih menjadi-jadi
dibanding dari masa damai. Hal ini
disebabkan karena kesulitan hidup akibat
peperangan itu sendiri. Demikian pula yang
terjadi di Tiongkok sesudah perang saudara
berkecamuk.
Kota-kota seperti Peking, Tien Tsien,
Hankouw, Nanking, Shanghai, Ningpo, Kanton
dan sebagainya timbul menjadi pusat-pusat
hiburan dengan pelacuran pada tingkat
teratas. Bahkan gejala buruknya kehidupan
sosial ini menjalar pula ke kota-kota kecil, ke
pedalaman.
Salah satu dari kota-kota kecil yang dilanda
pelacuran itu adalah Ankeng di propinsi
Kiangsi, kira-kira 20 lie di barat laut Nanking.
Meskipun Ankeng cuma sebuah kota kecil
namun karena menjadi pusat pertemuan dari
tiga buah jalan raya maka tak urung kota ini
senantiasa ramai setiap siang maupun
malam. Pelacuran merajalela. Mulai dari kelas
murahan di lorong-lorong gelap yang sempit
sampai ke tingkat tinggi di gedung-gedung
besar danmewah.
Suatu hari di Ankeng, saat itu matahari pagi
baru saja menyingsing naik. Di dalam sebuah
kamar pada satu gedung mewah di pusat
kota, yakni sebuah gedung pelacuran, terjadi
pertengkaran antara seorang pelacur muda
dengan lelaki yang telah memakainya
semalam suntuk.
"Cis!" pelacur yang bernama Lu Sian Cin
mengomel. "Semalam suntuk kau berpuas-
puas menikmati diriku. Masakan dibayar
sebegini?!"
Lelaki berambut gondrong awut-awutan
bertampang seram penuh cambang bawuk liar
serta kumis jenggot meranggas sesaat
memandang Lu Sian Cin sambil menyeringai
sementara kedua tangannya sibuk mengikat
ikat pinggang jubah hitamnya yang dekil
danbau.
"Lelaki brengsek. Kalau tak punya uang cukup
jangan datang ke tempat ini!" kernbali
terdengar omelan Lu Sian Cin.
Sang tamu yang berbadan tinggi jengkel juga
mendengar ucapan itu dan berkata, "Kalau tak
mau dibayar sebegitu biar kuambil kembali
uang itu!" Lal!u diulurkannya tangannya
hendak mengambil uang di atas meja. Begitu
uang dimasukkannya kembali ke kantong di
balik jubahnya tahu-tahu plak!
Tamparan perempuan lacur itu mendarat di
salah satu pipinya.
"Benar-benar lelaki tidak bermalu!"
Mendapat tamparan begitu rupa si berewok
yang bukan lain adalah Bu Ceng alias Nan-
ing Kuiong menjadi naik darah. Dijambaknya
rambut si pelacur dan sekali tangannya
bergerak perempuan itu dilemparkannya keluar
pintu.
Lu Sian Cin menjerit-jerit kesakitan.
Keningnya terantuk dinding pintu kelihatan
bengkak dan mengucurkan darah.
Seorang lelaki tinggi besar bermuka hitam,
entah dari mana datangnya tahu-tahu sudah
berada di tempat itu. Gerakannya enteng
tanda dia memiliki ilmu. Sesaat dia
memandang pada tetamu berjubah hitam.
Lalu berpaling pada Lu Sian.
"Ada apa?" tanya si muka hitam ini. Namanya
Song Bun Lip. Dia adalah kepala keamanan di
gedung pelacuran itu. Perlu diketahui Lu Sian
Cin adalah primadona dari semua pelacur
yang ada disitu dan paling muda usianya.
Sudah sejak lama Bun Lip menaruh hati pada
pelacur ini dan agaknya Lu Sian pun senang
padanya. Tentu saja melihat orang,yang
disayanginya luka seperti itu Bun Lip jadi
marah. Apalagi setelah Lu Sian Cin
menerangkan apa yang terjadi.
Song Bun Lip membantu Sian Cin berdiri lalu
berpaling pada Bu Ceng dan berkata, "Loya
berjubah hitam. Pinceng adalah Song Bun Lip,
kepala keamanan di gedung ini. Pinceng dan
majikan tak ingin terjadi keributan di sini,
karenanya pinceng harap loya suka membayar
sewajarnya. Loya telah mendapat hiburan.
Bukankah pantas membayar menurut
aturan?" (loya = tuan besar. pinceng = saya)
Nan-king Kui-ong yang penaik darah, ditegur
begitu rupa mula-mula hendak melabrak si
tinggi besar kepala keamanan itu. Namun
melihat Song Bun Lip bersikap tenang dan
pandangan matanya tajam diam-diam Bu
Ceng jadi tercekat juga. Setelah membetulkan
ikat pinggang jubahnya dia berkata,
"Aku kan sudah membayar. Betina sialan ini
malah mengumel, memakiku bahkan
menampar. Apa kalian di sini tidak memberi
pelajaran sopan santun padanya hingga dia
tahunya cuma naik ke atas ranjang,
mengangkang lalu minta uang dengan cara
yang kurang ajar? Sekarang siapapun kau
adanya, apapun pangkatmu di tempat ini
menyingkirlah. Aku mau pergi!" Song Bun Lip
batuk-batuk beberapa kali.
"Setiap saat tentu saja loya boleh pergi.
Namun tentunya setelah membayar seperti
yang pinceng bilang tadi."
"Hem … berani kau memaksa?!"
"Bukan memaksa loya. Kami di sini cari
makan …"
"Kalau tuan besarmu tidak mau bayar, kau
mau apa manusia muka hitam?" ejek Bu Ceng.
"Jika demikian adanya, terpaksa pinceng
menjalankan apa yang menjadi tugas
pinceng," sahut Song Bun Lip.
Bu Ceng tertawa bergelak.
"Manusia bermuka hitam macam pantat kuali,
rupanya kau tidak melihat gunung Thaysan di
depan mata hah?"
Sehabis berkata demikian Nanking Kui Ong
dorongkan tangan kanannya ke dada kepala
keamanan itu. Song Bun Lip terkejut karena
detik itu juga dia merasa dadanya seperti
ditindih batu besar. Kontan mukanya berubah
pucat.
Sebagai kepala keamanan Bun Lip memang
memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi.
Tapi semua yang dimilikinya hanya ilmu luar
atau ilmu kasar belaka. Di dalam dia sama
sekali tidak mempunyai isi. Sebelum tubuhnya
terlempar dan terjengkang, lelaki ini melompat
ke samping dan dari samping langsung
kirimkan satu jotosan ke pelipis Bu Ceng.
Meski pukulan ini tidak mengandung tenaga
dalam namun demikian hebatnya hingga kalau
sampai mendarat di kepala Bu Ceng pastilah
manusia iblis ini akan rengkah kepalanya!
Akan tetapi tentu saja Bu Ceng, manusia
pertama dan pimpinan dari Nanking Ngo Kui
tidak semudah itu untuk dijatuhkan. Dengan
gerakan seperti acuh tak acuh dan sikap
memandang rendah Bu Ceng mengelak dan
entah kapan tangannya bergerak tahu-tahu
buk!
Kepala keamanan tempat pelacuran itu
mengeluh tinggi. Tubuhnya terpental ke luar
kamar, terguling-guling di langkan gedung
terus terhampar di halaman depan, muntah
darah, mengerang kesakitan tetapi masih
sanggup bangun kembali.
Song Bun Lip orang yang tahu membaca
kehebatan lawan. Dengan tangan kosong tak
mungkin dia sanggup melayani si jubah hitam
ini. Karenanya dia segera cabut golok. Dengan
mulut berlumuran darah dia melangkah
mendekati Bu Ceng. Yang diserang tegak tolak
pinggang di tangga gedung.
Sementara itu orang mulai banyak berkumpul
di depan gedung. Ankeng adalah kota hiburan
yang hangat. Setiap perkelahian atau sesuatu
yang berbau kekerasan akan segera menarik
perhatian orang banyak. Mereka akan
menonton dengan senang malah memberi
semangat agar perkelahian menjadi lebih
hebat.
Wut!
Golok di tangan Bun Lip menyambar ke arah
tenggorokan Bu Ceng. Serangan maut ini
disambut dengan ganda tertawa oleh Nan-
king Kui-ong.
"Manusia pantat kuali tak tahu diri. Kau
rasakanlah bagaimana senjatamu sendiri
akan menembus dadamu!"
Song Bun Lip sudah dapat memastikan bahwa
serangan kilatnya yang ganas itu akan
membuat bergelindingnya kepala lawan.
Tetapi tidak dinyana tahu-tahu sikutnya
terasa remuk berderak dan di lain saat
lengannya tertekuk hingga ujung goloknya
dengan sebat dan tak dapat dihindarinya lagi
menusuk keras ke arah badannya sendiri!
Semua orang yang ada disitu bergidik dan
menyaksikan dengan mata membeliak ngeri
apa yang bakal dialami Song Bun Lip. Saat
itu tiba-tiba terdengar jeritan perernpuan.
"Lelaki keparat! Kalau kau bunuh dia maka
kau sendiri bakal mampus!"
Yang berteriak adalah Lu Sian Cin. Dia
mendatangi dengan menggenggam sebilah
golok penjagal babi. Senjata ini diayunkannya
dari arah samping ke kepala Bu Ceng.
Hebatnya Bu Ceng seolah-olah tidak
mengacuhkan serangan tersebut dan terus
menekan golok dalam genggaman Bun Lip ke
dada kepala keamanan itu. Nainun sedetik
lagi golok penjagal babi akan mendarat di
batok kepalanya, Bu Ceng kebutkan lengan
kiri jubahnya. Angin deras menderu. Lu Sian
Cin terpekik.
Tubuhnya mencelat dan dia terguling muntah
darah di tanah, pingsan. Beberapa orang
segera datang menolongnya.
Song Bun Lip sadar bahwa dia tak bakal
menghindari dari goloknya sendiri yang
ditusukkan ke arah dadanya. Ini membuat dia
menjadi kalap dan sengaja dorongkan tubuh
ke depan sambil menendang ke arah
selangkangan lawan. Maksudnya hendak
berjibaku. Tapi dengan mempergunakan
lututnya Bu Ceng berhasil menahan
tendangan maut itu sebaliknya ujung golok
sudah menyentuh dada pakaian Bun Lip.
Sedetik lagi ujung golok akan menembus dada
Song Bun Lip tiba-tiba terdengarlah satu
siulan aneh. Bersamaan dengan itu sebuah
benda merah sebesar kepalan melayang di
udara. Plak!
Benda itu menghantam tangan kanan Nan-
king Kui-ong dan pecah. Ternyata sebuah apel
merah. Meski cuma apel belaka tetapi begitu
terkena lemparan Nan-king Kui-ong
merasakan tangan kanannya seperti lumpuh
hingga cekalannya terlepas. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Song Bun Lip untuk
meloloskan diri. Namun pukulan tangan kiri
Nan-king Kui-ong masih sempat mampir di
bahunya hingga dia terbanting ke tanah
dengan tulang bahu remuk. Ini adalah lebih
baik dari pada ditembus goloknya sendiri!
Sambil menguruti tangan kanannya dengan
tangan kiri Bu Ceng memandang berkeliling.
"Bangsat rendah dari mana yang berani
campur tangan dengan jalan membokong?
Lekas tunjukkan tampang!"
Teriakan Bu Ceng ini demikian kerasnya
hingga semua orang yang ada disitu tergetar
kecut dan mundur beberapa langkah.
Sepasang mata kepala manusia iblis ini
menyorot berkeliling mencari-cari. Akhirnya
pandangannya membentur seorang pemuda
asing berambut gondrong yang duduk
ongkang kaki di atas bangku di bawah emper
sebuah warung penjual teh pahit. Di bangku di
sampingnya ada sebuah keranjang berisi
buah-buah apel. Seolah-olah dia cuma
berada sendiri di situ dan seperti orang
kelaparan pemuda asing tadi yang bukan lain
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang
tanpa acuh terus saja asyik menggerogoti
buah-buah apel yang manis itu.
Pelipis Bu Ceng bergerak-gerak. Rahangnya
menggembung. Karena cuma pemuda asing
ini saja yang memegang dan makan apel di
sekitar tempat itu maka Bu Ceng yakin sekali
dialah tadi yang telah melemparnya dengan
buah itu!
"Bangsat rendah yang sedang makan apel!
Kemari kau!" bentak Bu Ceng.
Wiro Sableng sesaat hentikan mengunyah apel
dalam mulutnya dan berpaling. Sejenak dia
memandang pada Bu Ceng dengan sepasang
mata disipitkan, garuk-garuk kepala,
meludahkan apel yang dalam mulutnya ke
tanah lalu acuh kembali mengambil buah apel
baru dari dalam keranjang dan memakannya.
Tentu saja sikap Wiro ini membuat Bu Ceng
naik darah setengah mati.
"Benar-benar minta dihajar bangsat ini!"
kertak Bu Ceng. Dengan langkah-langkah
besar dia mendatangi Wiro. Sekali tendang
bangku kayu yang diduduki murid Sinto
Gendeng ini hancur berkeping-keping. Namun
anehnya Wiro sendiri tetap tak bergerak di
tempatnya. Jangankan bergerak,
bergemingpun tidak. Sikapnya seolah-olah dia
masih duduk di atas bangku yang tak
kelihatan seperti tadi. Lalu perlahan-lahan
tubuhnya merunduk turun ke bawah, duduk
menjelepok di tanah sambil terus mengunyah
apel!
Kalau tadi orang banyak tampak agak takut
menyaksikan keberangan Bu Ceng, maka kini
melihat kelakuan si pemuda asing semuanya
jadi tersenyum lucu dan ingin menyaksikan
bagaimana lanjutan kejadian ini.
Bu Ceng yang bermata tajam sadar kalau
pemuda asing tak dikenal itu memiliki
kepandaian namun amarah membuatnya jadi
kalap. Apalagi disaksikan demikian banyak
pasang mata. Dia merasa direndahkan dan
dipermainkan.
"Budak gondrong keparat! Kau mau jual
tampang dan pamer ilmu padaku hah?!"
"Eh muka berewok berjubah hitam kau bau
busuk. Kenalpun aku tidak padamu. Mengapa
usil menggangguku?" Wiro Sableng menjawab
seenaknya.
"Setan alas! Mampuslah!" teriak Bu Ceng
yang seumur hidupnya baru sekali itu dihina
demikian rupa dan di depan banyak orang
pula. Kaki kanannya menderu ke arah kepala
Wiro Sableng. Orang banyak terkesiap malah
ada yang mengeluarkan seruan tertahan
karena mengira detik itu-juga pastilah kepala
si pemuda berambut gondrong yang tidak
dikenal akan pecah.
Di saat itu justru terdengar suara siulan aneh.
Dan tahu-tahu tendangan Bu Ceng hanya
rnengenai tempat kosong. Semua orang
melongo heran. Bu Ceng sendiri melengak
kaget karena dia tidak dapat melihat kapan
pemuda yang hendak dibunuhnya itu bergerak
dan ketika memandang ke atas tahu-tahu
dilihatnya Wiro sudah berada di cabang
sebatang pohon besar sambil duduk
goyanggoyang kaki dan makan buah apel!
Sebenarnya jika Bu Ceng mau berpikir sedikit
jauh dari situ dia harus memaklumi bahwa
pemuda asing itu memiliki kepandaian yang
bukan sembarangan. Namun amarah sudah
membuatnya mata gelap. Dia menghantam ke
atas lepaskan satu pukulan sakti yang
mengandung tenaga dalam hebat.
Segulung angin laksana hembusan topan
melabrak deras ke arah pendekar kita. Bukan
saja cabang di mana Wiro duduk hancur
berantakan tetapi batang pohon juga ikut
patah dan pohon itu tumbang dengan suara
menggemuruh disertai pekik orang banyak.
Wiro sama sekali tidak kelihatan. Sepasang
mata Nan-king Kui-ong bergerak liar mencari-
cari.
"Hai!" terdengar suara rremanggil.
Bu Ceng berpaling. Setan betul! Pemuda itu
tahu-tahu sudah tegak di belakangnya
memegang keranjang apel sambil cengar-
cengir.
"Jika kuberikan apel satu keranjang ini
padamu, maukah kau tidak menggangguku
lagi?" tanya Wiro tentu saja mempermainkan.
"Anjing geladak hina dina! Kau rupanya tidak
tahu berhadapan dengan siapa! Apakah kau
pernah mendengar nama Nan-king Ngo-kui?
Lima Iblis Dari Nanking? Akulah
pemimpinnya. Aku Nan-king Kui-ong!"
Mendengar kata-kata itu semua orang
menjadi gempar dan banyak diantara mereka
yang buruburu tinggalkan tempat itu. Yang
masih berani mengintip-intip dari tempat
jauh. Siapa yang tidak pernah mendengar
nama Lima Iblis Dari Nanking? Dan kini justru
kepalanya, biang iblisnya yang muncul!
Bu Ceng sadar kalau dalam marahnya telah
ketelepasan mulut mengatakan siapa dirinya.
Kalau saja ada alat Kerajaan di tempat itu
pasti dia akan menghadapi urusan yang tidak
sedap. Wiro Sableng sendiri tak kalah
kagetnya ketika mengetahui bahwa manusia
berjubah hitam busuk yang sejak tadi
dipermainkannya itu adalah pemimpin dari
Nan-king Ngo-kui.
"Hm, jadi inilah manusia biang racun yang
jadi musuh saudara angkatku Ki Hok Bun!"
katanya dalam hati. Dan sekaligus yang
selama ini diburunya pula. Sesaat Wiro
tertegak diam sambil garukgaruk kepala.
Kemudian dia berkata, "Ah, mataku sangat
buta. Tidak melihat gunung Thaysan di depan
mata. Jika kau memang Nan-king Kui-ong,
biarlah aku memberikan penghormatan
dengan menyerahkan apel-apel ini padamu!"
Setelah berkata begitu Wiro goyangkan
keranjang apel yang dipegangnya. Dan empat
belas buah apel yang masih ada dalam
keranjang itu laksana meteor melesat ke arah
14 bagian tubuh Nanking Kui Ong.
Menyaksikan ini orang banyak yang mengintip
dari tempat kelindungan merasa kagum.
Pemuda ini rupanya memang berilmu tinggi.
Tapi menghadapi Nan-king Kui-ong sama
saja mencari mati. Begitu mereka berpikir.
Bu Ceng sendiri tak kurang kagetnya.
Melemparkan buah apel dalam keranjang
tanpa menyentuh langsung buah-buah itu
sudah merupakan kepandaian tersendiri,
apalagi kalau buah-buah tersebut dijadikan
senjata yang ampuhl Hanya tokoh silat
berkepandaian tinggi yang sanggup
melakukan hal seperti itu. Menilik kepada
tampangnya yang tolol dan sikapnya yang
seperti orang miring otak Nanking Kui Ong
sulit untuk mempercayai bahwa pemuda
berambut gondrong itu telah melakukan
kehebatan tersebut. Namun justru itulah
kenyataan yang terjadi dan jika dia tidak
bertindak cepat niscaya bakal cidera!
Nan-king Kui-ong membentak garang. Sekali
kebutkan ujung lengan jubah hitamnya
sebelah kanan, enam buah apel mental
berhamburan. Enam lainnya dihajar dengan
kebutan lengan jubah kiri dan dua sisanya
dikelit dengan gerakan cepat.
"Oho …!" seru Wiro yang melihat Bu Ceng
membuat gerakan menghantam dan mengelak
itu, "Rupanya selain jadi iblis nyatanya kau
juga pandai menari! Ha … ha … ha!"
"Sialan benar. Kalau tidak segera kubunuh
bangsat ini bisa membuat darah muncrat dari
benakku!" kata Bu Ceng dalam hati.
Sementara itu di hadapannya Wiro kembali
membuka mulut.
"Hai! Setahuku kalian berjumlah lima orang.
Mana empat iblis jejadian lainnya?"
"Makan dulu gebukanku ini baru nanti
kujawab!" ujar Bu Ceng lalu melompat ke
depan sambil dorongkan kedua tangannya
yang dikepal ke arah dada Wiro Sableng.
Inilah serangan tangan kosong yang
mengandalkan tenaga dalam tinggi bernama
Soan-hong hiap-in atau angin berpusing
mengejar awan. Belum lagi dua kepalan itu
mengenai sasarannya, angin pukulannya saja
sudah membuat pakaian Wiro berkibar-kibar
dan dadanya seperti ditekan!
Melihat kehebatan serangan lawan, Wiro
Sableng tak mau berlaku ayal walau
tampangnya masih tetap cengar cengir. Cepat
dia melompat ke samping dan dari arah ini
bermaksud lancarkan satu sodokan lutut ke
pinggul lawan.
Namun serangan angin berpusing mengejar
awan mempunyai cahaya yang tidak terduga.
Karena begitu dielakkan tiba-tiba dengan
kecepatan luar biasa membalik. Dan kini
bukan saja dua tinju yang bergerak
menyerang tetapi satu kaki ikut pula
berkelebat ke bawah perut Wiro Sableng!
Wiro Sableng keluarkan siulan nyaring.
Tubuhnya mengapung sampai dua tombak
dan dari atas laksana elang menyambar anak
ayam dia menukik. Lima jari tangannya
menyambar ke arah kepala Nan-king Kui-ong
yang berambut panjang awut-awutan.
Nan-king Kui-ong geram sekali. Belum pernah
serangannya yang begitu hebat dapat
diruntuhkan lawan malah kini mendapat
serangan balasan. Bu Ceng rendahkan kuda-
kuda kedua kakinya. Tubuhnya kini merunduk
dan serentak dengan itu tangan kirinya
memukul ke atas. Sesaat kemudian kedua
orang itu sama-sama mengeluarkan seruan.
Meskipun sudah merunduk namun jari-jari
tangan Wiro masih sempat menjambak putus
segenggam rambut di kepala Bu Ceng hingga
kulit kepalanya mengeluarkan darah. Sakitnya
tentu saja bukan kepalang.
Sebaliknya Wiropun kena dihantam oleh
pukulan Hoan-thian-ciang (pukulan membalik
langit) yang dilepaskan lawan. Tubuhnya
tergetar dan dadanya berdenyut sakit. Cepat-
cepat dia jungkir balik dan begitu berdiri di
atas kedua kakinya dia segera salurkan
tenaga dalam ke bagian tubuh yang kena
dihantam.
Bu Ceng merasakan dan melihat jelas pukulan
saktinya tadi tepat mengenai dada lawan.
Tapi Wiro masih tegak berdiri tanpa cidera
bahkan masih bisa cengar cengir, membuat
tokoh terlihai dari Lima Iblis Dari Nanking ini
jadi melengak kaget kalau tidak mau
dikatakan dingin tengkuknya. Selama ia
memiliki ilmu pukulan Hoan-thian-ciang itu,
tak ada satupun musuh yang bisa selamat,
paling tidak muntah darah atau terluka di
dalam.
Sebenarnya ingin sekali Bu Ceng mengetahui
siapa adanya pemuda acing berambut
gondrong bertampang tolol ini. Namun untuk
bertanya dia merasa jatuh harga diri danakan
menunjukkan kekecutan beiaka. Dalam
hatinya dia membatin, "Keparat ini memiliki
kepandaian tinggi. Berbahaya.
Kalau tidak segera kuhabisi bisa berabe
buntut-buntutnya …" Maka tanpa menunggu
lebih lama Nanking Kui-ong langsung
menyerang.
Dia kerahkan seluruh kepandaiannya, gunakan
gin-kang dan iwekangnya yang tinggi dalam
setiap pukulan atau tendangan yang
dilancarkan. Tubuhnya lenyap. Yang kelihatan
hanya bayangan jubah hitamnya berkelebat
kian kemari. Demikian hebatnya serbuan Nan-
king Kui-ong hingga Wiro merasa seolah-olah
ada setengah lusin musuh yang
menggempurnya saat itu. Tubuhnya disambar
angin serangan dari berbagai penjuru dan
sesaat kemudian satu pukulan menyerempet
bahunya hingga pendekar ini melintir. Nan-
king Kui-ong yang melihat lawan kehilangan
keseimbangan kirim tendangan ganas dari
samping kiri ke arah perut. Namun saat itu
Wiro sudah dapat menguasai diri.
Murid Sinto Gendeng ini membentak nyaring.
Saat itu pula tubuhnya lenyap dari
pemandangan dan yang ada kini hanya
bayangan putih menyambar kian kemari. Kini
Nan-king Kui-ong yang ganti kebingungan.
Sekilas dilihatnya sosok tubuh Wiro seperti
ada di sebelah kanan. Diserangnya ke jurusan
itu namun tahu-tahu dia sendiri mendapat
serbuan dari sebelah kiri.
Setelah menggempur lima belas jurus tanpa
hasil Nan-king Kui-ong mulai gelisah. Jubah
hitamnya telah basah oleh keringat dan ini
membuat pakaian itu menebar bau yang
semakin menjadi jadi. Seumur hidupnya dia
tak pernah kucurkan begitu banyak keringat
untuk perkelahian yang masih di bawah dua
puluh jurus. Tiba-tiba.
Buk!
Nanking Kui Ong mengeluh dan pegangi
dadanya yang kena disodok sikut lawan.
Belum lagi hilang rasa sakitnya dia harus
pula menerima jambakan pada rambutnya.
Demikian hebatnya hingga pada bekas rambut
yang tercabut itu kelihatan kepalanya seperti
botak dan mengucurkan darah. Nanking Kui-
ong meraung kesakitan.
"Setan alas! Aku bersumpah untuk
membunuhmu saat ini juga!" teriak Bu Ceng
dalam sakit dan marahnya. Dan wuut! Satu
sinar biru berkiblat menyambar ke arah Wiro
Sableng. Melihat angkernya sinar dan
derasnya angin yang menyambar Wiro tak
berani bertindak gegabah. Dia melompat
mundur. Memandang ke depan dilihatnya
lawan memegang sebuah tasbih yang
memancarkan sinar biru. Senjata ini adalah
senjata mustika hasil rampasan pada masa
perang dulu. Wiro yang bisa menduga hal ini
berseru mengejek.
"Seorang iblis bersenjata tasbih, sungguh lucu
dan tak pantas. Kau curi dari mana tasbih
itu?!"
Rahang Bu Ceng menggembung. "Bagaimana
keparat asing ini tahu kalau tasbih ini adalah
senjata curian," katanya dalam hati. Tanpa
banyak bicara melayani kata-kata Wiro tadi
dia langsung saja menyerbu dengan
menyabatkan tasbih. Sinar biru yang keluar
dari senjata sakti ini menderu menelikung
aneh disertai hawa dingin menggidikkan.
Wiro cepat berkelit menghindarkan serangan
lawan. Namun tiba-tiba dengan kecepatan
luar biasa senjata itu membalik dan kembali
menabur sinar biru. Demikian terjadi berulang
kali. Kalau saja Wiro tidak memiliki kegesitan
yang ditunjang oleh ilmu meringankan tubuh
yang tinggi niscaya sudah beberapa kali dia
kena dihantam tasbih mustika, paling tidak
terserempet sinarnya yang mengandung hawa
dingin.
Serangan Nan-king Kui-ong datang bertubi-
tubi. Sinar biru dan hawa dingin menggebu-
gebu.
Menelikung dan mengurung dari berbagai
arah, mempersempit ruang gerak Pendekar
212 Wiro Sableng.
Lambat laun hawa dingin itu dirasakannya
mulai membuat matanya perih dan menekan
denyut jantungnya.
"Gila! Lama-lama aku bisa remuk dibuatnya!"
kata Wiro.
Lalu dia membentak nyaring. Sikap dan
gerakannya seperti hendak mengeluarkan satu
serangan balasan yang hebat detik itu juga.
Hal ini membuat Nan-king Kui-ong cepat
berlaku waspada. Namun justru saat itu Wiro
sama sekali tidak melancarkan serangan
hebat atau melepas pukulan sakti melainkan
seperti seorang gila atau tepatnya seperti
seekor monyet terbakar buntut dia
melompatlompat petatang peteteng. Sesekali
dia menggelitiki tubuhnya sendiri seperti
lutung lalu tertawa gelak sambil garuk-garuk
kepala.
"Keparat ini benar-benar miring otaknya!"
kertak Nan-king Kui-ong. Dia salurkan tenaga
dalamnya lebih besar hingga tasbih di
tangannya memancar lebih terang dan
menderu-deru sewaktu dia kembali mulai
menggempur. Akan tetapi bagaimanapun
dahsyatnya serangan manusia iblis ini tak
satupun berhasil mengenai Wiro Sableng
padahal lawan kelihatan begitu jelas untuk
diserang bahkan ditamatkan riwayatnya.
Ilmu silat yang dikeluarkannya Wiro Sableng
saat itu adalah ilmu silat "orang gila" yang
dipelajarinya dari gurunya yang kedua yakni
Tua Gila. Ilmu silat ini memang aneh dan
mempunyai kemampuan luar biasa. Seumur
hidupnya manusia berjuluk Nan-king Kui-ong
baru kali itu menyaksikan ilmu silat macam
begitu. Mau tak mau dia jadi bingung. Lebih-
lebih ketika Wiro salurkan hawa sakti pada
kedua tangannya hingga setiap serangan
tasbih dapat dibendung.
Nan-king Kui-ong hampir hilang
kesabarannya ketika dalam satu jurus dia
melihat kedudukan lawan dianggapnya lemah.
Maka dia tidak membuang kesempatan dan
langsung menerjang. Tasbih di tangan
kanannya menabur sinar terang menyilaukan,
membabat dari samping kiri. Tampaknya
hendak menghantam ke jurusan dada Wiro
Sableng yang terbuka. Namun sebelum
sampai, tiba-tiba senjata itu melesat
menghantam ke jurusan kepala!
Orang banyak yang menyaksikan kejadian itu
menahan nafas. Wiro terlihat seperti tidak
berdaya untuk mengelak. Sekali ini akan
hancurlah kepala pemuda asing ini, pikir
mereka.
Sesaat lagi tasbih itu akan mengenai
sasarannya, Pendekar 212 angkat tangan
kanannya ke muka. Telapak tangan
menghadap ke depan dan jari-jarinya
menekuk membentuk cakar. Sambil kerahkan
tenaga dalamnya murid Sinto Gendeng ini
sudah siap untuk menangkis tasbih dan
sekaligus merenggut merampasnya. Akan
tetapi sebelum hal itu terjadi mendadak
terdengar suara menderu.
Tujuh warna sinar pelangi berkiblat,
menyeruak diantara kepala Wiro dan ujung
Tasbih. Sedetik kemudian tasbih itu putus
hancur bertaburan dengan mengeluarkan
suara bergemerincing!
Nan-king Kui-ong berseru kaget dan
melompat mundur. Dia masih kurang cepat.
Ujung sinar pelangi mengejarnya dan bret!
Pakaiannya di bagian dada robek besar.
Pucatlah wajah manusia iblis ini.
Di saat itu pula terdengar suara bentakan
garang: "Manusia iblis bernama Bu Ceng! Hari
ini kutagih hutang darah dan nyawa! Serahkan
kepalamu!" ***
BU CENG yang kenali suara menggeledek itu
berpaling ke kiri. Wajahnya berubah putih.
Dadanya berdebar dan lututnya bergetar
goyah. Memandang ke kiri dilihatnya Ki Hok
Bun Pendekar Pedang Pelangi tegak dengan
muka membersitkan hawa pembunuhan. Di
tangan kanannya berkilauan pedang pelangi.
"Celaka, bagaimana dia bisa muncul di sini,"
keluh Bu Ceng.
"Twako, kukira siapa. Terima kasih kau telah
menyelamatkan mukaku yang buruk ini dari
hantaman tasbih curian itu!" kata Wiro
merendah ketika dia melihat kehadiran Ki Hok
Bun di tempat itu.
Melengak Bu Ceng mendengar Wiro
memanggil twako terhadap Ki Hok Bun. "Ah,
tambah celaka jadinya. Rupanya kedua orang
ini sudah saling kenal!" Bu Ceng jadi bingung
dan takut sekali. Menghadapi Wiro Sableng
saja dia sudah tak mampu, apalagi kini
datang pula Ki Hok Bun untuk membalaskan
dendam.
Nan-king Kui-ong melangkah mundur sewaktu
Ki Hok Bun mendekatinya. Matanya liar ke kiri
dan ke kanan. Hok Bun tahu apa yang ada
dalam benak manusia iblis ini. "Larilah jika
kau memang mampu!" ujar Hok Bun.
Sadar kalau dia tak mungkin melarikan diri Bu
Ceng yang banyak akal dan licik ini tiba-tiba
jatuhkan diri dan bersujud.
"Ki Hok Bun ciangkun," katanya tanpa
mengangkat keningnya dari tanah. "Mengingat
hubungan baik kita di masa perang dahulu,
sudilah ciangkun mengampunkan selembar
nyawaku. Aku sekarang benar-benar insyaf
dan bertobat. Aku berjanji akan kembali ke
jalan benar."
"Manusia iblis! Kau lupa apa yang telah kau
lakukan terhadap anak dan istriku? Sekarang
kau mengemis minta ampun!"
Bu Ceng alias Nan-king Kui-ong angkat
kepalanya. Sambil berlutut kini dia berkata
"Ciangkun, aku betul-betul merasa berdosa
atas semua perbuatanku di masa lampau.
Apapun yang bakal kau lakukan atas diriku
akan kuterima asal kau mau mengampunkan
nyawaku."
"Enak betul ucapanmul" kata Ki Hok Bun.
Saat itu dia tak dapat lagi menahan hati. Kaki
kanannya menderu menendang dada Bu Ceng.
Pimpinan manusia-manusia iblis itu
terlempar. Sambil mengerang dia bangkit
berlutut seperti tadi dan kembali merengek
minta diampuni.
Ki Hok Bun menyeringai. Pedang pelangi di
angkatnya tinggi-tinggi. Sebelum memenggal
leher musuh besarnya ini dia berniat menebas
bagian-bagian tubuh Bu Ceng terlebih dahulu.
Namun sebelum pedang itu meluncur turun
tiba-tiba didengarnya Wiro Sableng berseru
"Twako terlalu bodoh untuk cepat-cepat
membunuhnya!"
Pendekar Pedang Pelangi Ki Hok Bun
berpaling. Dilihatnya Wiro kedipkan mata dan
berkata "Waktu manusia iblis ini melakukan
perbuatan biadab itu dia tidak sendirian. Ada
empat orang kawannya. Kudengar kau telah
berhasil membunuh dua di antara mereka.
Berarti masih ada dua iblis lainnya. Di mana
dua iblis itu berada pasti dia tahu. Kita tak
bakal susah-susah mencari mereka … "
Sepasang mata Bu Ceng kelihatan membesar
dan bersinar. Sambil mengangkat tangannya
dia berkata, "Ciangkun, jika kuberi tahukan di
mana mereka berada apakah kau mau
mengampuniku?
Aku tak perduli apa yang kau akan lakukan
terhadap Si Golok Ib!is Gui Kun dan Tui-hun
Hui-mo…"
"Lekas katakan di mana mereka!" bentak Ki
Hok Bun yang merasa bahwa ucapan Wiro
ada benarnya. Kalau Bu Ceng dibunuhnya
saat itu memang berarti dia berhasil
melampiaskan dendam kesumatnya. Akan
tetapi dia akan butuh waktu untuk mencari
dua manusia iblis lainnya. Tak ada salahnya
menunda kematian Nan-king Kui-ong dan
pergunakan manusia ini sebagai alat untuk
mencari dua kambratnya. "Hai, lekas katakan
di mana mereka!" sentak Ki Hok Bun kembali.
"Tapi kau akan mengampuniku bukan …?"
Yang menjawab adalah Wiro. "Soal nyawamu
bisa diatur kemudian sobat. Sekarang lebih
baik terangkan di mana dua anak buahmu itu
berada."
Bu Ceng tak segera menjawab. Dia seperti
memikirkan sesuatu. Ki Hok Bun tempelkan
ujung pedang ke tenggorokannya. Kontan Bu
Ceng membuka mulut, "Baiklah, aku akan
katakan. Mereka … mereka berada di sebuah
rumah pelacuran. Di Ankeng ini juga. Aku
akan tunjukkan pada kalian."
Bu Ceng lalu berdiri. Diiringi Ki Hok Bun
danWiro Sableng serta orang banyak yang
ingin menyaksikan kejadian itu lebih lanjut,
dia menuju ke pinggiran kota. Song Bun Lip
dan Lu Sian Cin kelihatan diantara
rombongan orang yang mengikuti.
"Awas kalau kau menipu kami Bu Ceng," kata
Ki Hok Bun memperingatkan.
"Ciangkun, kau percayalah padaku. Bahkan
jika kau betul nanti mengampuni jiwaku, kelak
tiga peti emas rampokan dulu bisa kita bagi
dua. Kau masih ingat pada peti-peti emas itu
ciangkun?"
Ki Hok bun muak mendengar kata-kata Bu
Ceng itu. Dia membentak, "Sudah, jangan
banyak mulut. Jalan terus!"
Wiro Sableng yang mendengar ucapan Bu
Ceng itu hanya tertawa menyengir. Siapa yang
mau percaya pada kata-kata manusia iblis
seperti Bu Ceng?
Rumah mesum di mana saat itu Iblis Pengejar
Maut Tui-hun Hui-mo dan Golok Iblis Gui Kun
berada dan tengah bersenang-senang terletak
agak di pinggiran kota Ankeng. Melihat
munculnya seorang berjubah hitam
bertampang seram diiringi seorang lelaki
separuh baya berwajah penuh berewok serta
seorang pemuda asing berambut gondrong,
ditambah pula dengan serombongan orang
banyak yang mengikuti mereka dari belakang,
tentu saja pemilik gedung pelacuran, germo
serta tukang pukulnya kaget bercampur heran.
"Ada apakah?" tanya sang germo seorang
bertubuh gemuk bermuka merah. Ki Hok Bun
bepaling pada Bu Ceng dan menganggukkan
kepalanya. Bu Ceng lantas berkata,
"Dua orang kawanku ada di dalam sana.
Panggil mereka. Katakan pangcu mereka
memanggil!"
"Maksud loya dua orang berjubah hitam dan
berewokan seperti loya?"
"Betul!"
Germo itu menatap Bu Ceng sesaat. Hatinya
bergetar melihat keangkeran manusia iblis ini.
Lalu berpaling pada Ki Hok Bun dan Wiro
Sableng.
"Loya … mereka sedang istirahat dan
menghibur diri. Mana mungkin aku berani
mengganggu mereka?" si germo akhirnya
berkata.
Nan-king Kui-ong menunjukkan tampang
berang dan membentak, "Apa perlu kami yang
langsung masuk?!"
Wiro garuk-garuk kepaia sedang Ki Hok Bun
pegang gagang pedangnya. Melihat gelagat
yang kurang baik ini tukang pukul rumah
pelacuran hendak melangkah maju namun
cepat ditahan oleh sang germo. Dia sudah
berpengalaman dan maklum kalau tiga orang
yang ada di depannya itu bukan manusia-
manusia biasa. Pasti orang-orang dari rimba
hijau (persilatan). Dan dia tak mau mencari
urusan dengan orang-orang tersebut.
"Baik loya, aku akan beritahu mereka," kata si
germo lalu cepat-cepat masuk ke dalam. Saat
itu Tui-Hun Hui-mo dan Gui-kun Kui-to
sedang duduk di atas sebuah kursi besar
ditemani dua pelacur sambil meneguk anggur.
Si Golok Iblis Gui Kun memangku seorang
pelacur berkulit putih bertubuh langsing.
Hampir tiada henti dia menciumi pelacur ini.
Kalau saja bukan lantaran uang tentu saja si
pelacur merasa jijik terhadap manusia ini.
Sementara itu Iblis Pengejar Maut Tui hun
asyik mendekapi pelacur pilihannya, seorang
perempuan berbadan gemuk dan berambut
panjang. Tangannya merayap kian kemari.
Kedua apak buah Nan-king Kui-ong ini saat
itu sudah siap-siap untuk masuk ke kamar
masingmasing ketika germo berbadan gemuk
mendatangi.
"Loya berdua harap maafkan. Ada orang
mencari loya… "
Merasa terganggu tentu saja kedua orang itu
marah sekali. Iblis Pengejar Maut Tui hun
membentak sambil bantingkan gelas anggur
ke lantai hingga pecah berkeping-keping.
"Aku sudah bilang berapa kali! Jangan
ganggu kalau kami sedang bersenang-senang
…!"
"Tapi yang mencari adalah …"
"Sekalipun setan aku tak perduli!" kini Si Golok
Iblis Gui Kun yang buka mulut keras.
Sesaat germo itu jadi bingung. Dia tidak mau
kehilangan dua orang tamunya ini yang
walaupun kasar liar serta bertampang bengis
tapi nyatanya punya banyak uang. Namun dia
juga tidak mau cari urusan dengan tiga
manusia di luar sana.
Maka dia memberanikan diri membuka mulut
memberi tahu. "Yang mencari adalah pangcu
loya berdua…"
Dua manusia iblis itu sesaat saling pandang.
Dengan segan dan sambil menggerutu
keduanya bangkit dari kursi setelah terlebih
dulu meminta pelacur pilihan masing-masing
untuk menunggu. Begitu sampai di luar
keduanya kontan melengak kaget setengah
mati. Mereka memang melihat pemimpin
mereka tegak di halaman rumah, tetapi di
samping sang pangcu juga berdiri Ki Hok Bun
alias Pendekar Pedang Pelangi, yang
kemunculannya pasti sudah dapat diterka
yaitu untuk membalaskan dendam kesumat.
Selain itu mereka melihat pula seorang
pemuda asing berambut gondrong
bertampang tolol yang mereka tidak kenal.
Lalu orang banyak yang sudah berkumpul di
tempat itu.
Keduanya heran mengapa ketua mereka tegak
agak gelisah dan kelihatannya dialah yang
telah membawa Ki Hok Bun serta pemuda
asing itu ke tempat tersebut. Sepasang mata
Iblis Pengejar Maut Tui-hun memperhatikan
robek besar di dada pakaian pemimpinnya.
Pasti sesuatu telah terjadi pikirnya. Lalu dia
memberi kisikan pada kambrat di sebelahnya.
"Ada yang tidak beres. Kita kabur saja. Naga-
naganya kita bisa celaka!"
Si Golok Iblis Gui Kun mengangguk perlahan-
lahan. Namun saat itu mereka dikagetkan oleh
seruan pangcu mereka, "Ciangkun, tunggu apa
lagi. Bunuh saja kedua manusia tak berguna
ini!"
"Pangcu!" seru Gui-kun Kui-to. "Jadi kau
bersekutu dengan Ki Hok Bun…" Habis berkata
begitu dia berpaling pada Tui-hun Hui-mo
danberkata "Tunggu apa lagi. Mari kabur!"
Kedua orang itu secepat kilat putar tubuh
hendak masuk ke dalam rumah dan
seterusnya melarikan diri lewat pintu
belakang. Namun keduanya serta merta
hentikan langkah ketika tahu-tahu di hadapan
mereka sudah menghadang pemuda asing
berambut gondrong itu sambil tolak pinggang
dan cengar cengir.
Tidak mengenali siapa adanya orang Si Golok
Iblis Gui Kun langsung membentak, "Bangsat
rendah! Kau siapa berani menghalangi kami?!
Kepingin mampus?!" Wiro pencongkan
hidungnya.
"Mau kabur …? Tempat kabur manusia-
manusia iblis macam kalian adalah neraka!"
Tui-Hun Hui-mo marah sekali. Lima kuku
jarinya yang hitam panjang dan mengandung
racun jahat bekelebat ganas meremas ke arah
muka Wiro Sableng!
Sebagai orang kedua dari Nan-king Ngo-kui,
Tui-hun Hui-mo tentu saja memiliki
kepandaian tinggi luar biasa. Jurus yang
barusan dikeluarkannya untuk menyerang
Wiro adalah hek-hou wat-sim atau macan
hitam mengorek hati. Sekali kepala lawan
kena remas pastilah akan hancur, mata
terkorek keluar, hidung dan mulut copot!
Belum lagi racun mematikan yang terkandung
dalam kuku kuku hitam itu.
Tetapi hebatnya Wiro Sableng melayani
serangan musuh itu dengan mengejek seperti
orang mempermainkan.
"Buset! Kau ini perempuan atau banci.
Pelihara kuku begini panjang? Bagusnya
kupotes saja!"
Wiro miringkan mukanya yang hendak
diremas. Tangan kanannya bergerak dan
pletek… pletek… pletek… Tiga kuku jari Tui-
hun Hui-mo patah berpeletekan. Manusia iblis
ini meraung kesakitan. Jarijari tangannya
mengucurkan darah?
Melihat apa yang terjadi dengan kawannya, Si
Golok Iblis Gui Kun tak tinggal diam. Sekali
bergerak empat golok terbang dilemparkannya
ke arah Wiro Sableng. Pemuda kita keluarkan
siulan tinggi. Tubuhnya bekelebat. Dua golok
berhasil dikelit dan menancap pada kusen
pintu. Dua golok lainnya dengan sikap acuh
tak acuh ditangkapnya lalu trak … trak. Kedua
senjata ini dipatahkannya! Tentu saja Si Golok
Iblis Gui Kun jadi terkesiap setengah mati.
Selama hidup baru sekali ini dia menemui
lawan yang kepandaiannya begitu tinggi.
Sedang Tui-hun Hui-mo menjadi goyah
lututnya dan meleleh nyalinya..
Nan-king Kui-ong alias Bu Ceng yang
sebelumnya sudah menyaksikan
danmerasakan sendiri kehebatan Wiro saat itu
terkesima demikian rupa karena nyatanya
pemuda asing berambut gondrong itu benar-
benar luar biasa. Dia yakin kalau Ki Hok Bun
sendiripun masih ketinggalan jauh. Bahkan
gurunya sendiri menurut Bu Ceng paling tidak
masih dua tingkat di bawah pemuda itu.
Ki Hok Bun sendiri diam-diam tak habis
mengagumi kelihayan Wiro. Sulit
dipercayanya ada manusia sehebat ini.
Selagi Ki Hok Bun maupun Nanking Kui Ong
tertegun begitu rupa Wiro sudah mencekal
rambut panjang dua manusia iblis itu lalu
mendorongnya dengan keras hingga Tui-hun
Hui-mo dan Gui-kun Kui-to jatuh
tergelimpang di tanah tepat di hadapan Ki
Hok Bun.
Keduanya cepat bangun dan bersurut mundur
melihat Ki Hok Bun cabut pedang mustikanya.
"Pangcu!" berseru Golok Iblis Gui kun
memanggil ketuanya. "Aku tak percaya kau
bersekutu dengan musuh besar kita ini. Tapi
kenapa kau suruh bunuh kami? Bantu kami
menghadapi mereka!"
Bu Ceng tertawa mendengar kata-kata anak
buahnya itu dan berkata, "Sobatku Gui-kun
harap maafkan. Saat ini aku bukan pangcumu
lagi. Antara kita tak ada hubungan apa-apa
lagi. Tak ada satu orangpun yang sanggup
menyelamatkan nyawa kalian dari kematian di
tangan Ki Hok Bun ciangkun. Namun ciangkun
masih berbaik hati memberi kesempatan pada
kalian untuk membela diri!"
"Pengkhianat busuk!" maki Si Golok Iblis Gui
Kun.
Tui-hun Hui-mo yang sudah melihat tidak
ada jalan lain tiba-tiba berteriak, "Ki Hok Bun!
Apakah untuk menghadapi kami berdua yang
mengandalkan tangan kosong kau begitu
pengecut hendak pergunakan Pedang
Pelangi?"
Tui-hun Hui-mo sebetulnya coba mengukur
tingkat kepandaian Ki Hok Bun. Dalam tangan
kosong jika dikeroyoik dua dia merasa pasti
akan dapat mengalahkan Ki Hok Bun. Tetapi
jika lawan memegang Pedang Pelangi, sulit
untuk menyelamatkan diri.
Namun di lain pihak Ki Hok Bun yang berjiwa
kesatria sejati begitu mendengar kata-kata
salah seorang lawannya segera sarungkan
Pedang Pelangi. Lalu tanpa tunggu lebih lama
dia menerjang ke hadapan kedua musuh
besarnya itu. Maka terjadilah perkelahian dua
lawan satu yang hebat.
Tui-hun Hui-mo meskipun tangannya sebelah
kanan terluka namun kehebatannya boleh
dibilang hampir tidak berkurang. Serangan-
serangannya berupa cakaran dan pukulan
serta tendangan datang bertubi-tubi.
Demikian pula Gui-kun Hui-to yang bertubuh
tinggi kurus itu. Serangannya menggebu-
gebu. Walaupun dia cuma jago ke lima di
antara lima manusia iblis dari Nanking namun
tingkat kepandaiannya tidak boleh dipandang
remeh. Apalagi kedua orang itu sadar
kedudukan mereka dalam keadaan terjepit
hingga keduanya mengadu nyawa karena
laripun sudah tidak mungkin.
Sepuluh jurus berlalu. Walaupun belum
kelihatan Ki Hok Bun terdesak namun dia
dibikin repot juga dan hanya sekali-kali
mampu balas menyerang. Jika saja pangcu
mereka membantu pasti Ki Hok Bun dapat
dibereskan. Memikir ke situ Gui-kun Kui-to
berteriak, "Pangcu! Lekas bantu kami!"
Namun Nan-king Kui-ong cuma tersenyum.
Saat itu sebenarnya dia berada dalam
keadaan tertotok. Pada saat sampai di depan
rumah pelacuran Ki Hok Bun telah menotok
manusia iblis ini hingga dia hanya mampu
buka mulut tapi tak dapat bergerak. Kalaupun
dia tidak dalam keadaan tertotok tak juga dia
akan membantu kedua anak buahnya itu.
Tentu saja dia merasa senang melihat
kematian mereka dari pada dirinya sendiri jadi
korban. Memang begitulah sifat manusia iblis
seperti Bu Ceng. Tak perduli anak buah celaka
asal diri sendiri selamat!
Memasuki jurus ke dua puluh karena
menyerang terus menerus tanpa hasil, tenaga
dua manusia iblis itu mulai mengendor. Kini
Ki Hok Bun ambil kesempatan.
Di jurus ke dua puluh satu jotosannya
menghantam Si Golok Iblis Gui-kun hingga
tubuhnya melintir setengah lingkaran Gui-kun
pegangi dadanya yang terasa sakit dan
nafasnya sesak. Dia merasa seperti mau
muntah. Ketika dia meludah, ludahnya
bercampur darah!
Tubuhnya terhuyung-huyung seperti hendak
roboh ke tanah. Dia berputar-putar, tapi
begitu berada tepat di belakang Ki Hok Bun
yang tengah menghadapi Tui-hun Hui-mo
secepat kilat dia cabut empat buah golok dan
melemparkannya ke arah lawan yang
membelakang!
"Twako awas serangan curang!" seru Wiro
memberi tahu. Dia tak mungkin menolong
karena saat itu berada tepat di belakang Ki
Hok Bun. Kalau dia menghantam runtuh
empat pisau itu dengan pukulan tangan
kosong ada kemungkinan satu dari senjata
tersebut akan mengenai Ki Hok Bun.
Bekas perwira tinggi Kaisar itu sendiri sudah
mendengar suara bersiuran dari arah
belakang. Ditambah dengan teriakan
peringatan Wiro dia sadar kalau telah
diserang secara curang.
Secepat kilat Ki Hok Bun jatuhkan diri seraya
tangkap sepasang kaki Tui-hun Hui-mo.
Meskipun kaget melihat gerakan lawan
menjatuhkan diri dan menangkap kakinya
namun Tui-hun Hui-mo melihat adanya
kesempatan baik untuk mencengkeram kepala
dan pundak Ki Hok Bun.
Namun sebelum maksudnya ini kesampaian
dua dari empat golok terbang yang
dilemparkan Gui kun Kui to menancap tepat di
dadanya. Manusia iblis ini menjeril keras.
Matanya melotot. Dia tergelimpang di tanah.
Golok Iblis Gui-kun bukan kepalang kagetnya
ketika menyaksikan bagaimana serangan
mautnya tadi justru membunuh kawan sendiri!
Sesaat dia tertegun terkesiap. Justru ini
adalah satu kesalahan besar karena saat itu
pula laksana seekor singa lapar Ki Hok Bun
melompatinya. Sepuluh jari tangannya
langsung menyambar batang leher Gui-kun.
Gui-kun memberontak, berusaha melepaskan
diri. Tapi cekikan itu laksana jepitan baja.
Nafasnya menyengal. Lidahnya terjulur keluar.
Mulutnya membusah ludah campur darah.
Matanya membeliak. Bagian hitamnya makin
menghilang.
Sesaat kemudian terdengar suara berderak
tanda remuknya tulang leher Gui Kun.
Nyawanya lepas. Tubuhnya terkulai.
Tiba-tiba seperti orang kemasukan setan Ki
Hok Bun berteriak sambil mencabut Pedang
Pelangi. Semua orang yang ada di situ
menyaksikan bagaimana tujuh sinar pelangi
berkiblat kian kemari membuntal tubuh Gui
kun. Lalu sinar itu berpindah ke arah tubuh
Tui-hun Hui-mo.
Kemudian kelihatanlah hal yang mendirikan
bulu tengkok karena terlalu mengerikan.
Tubuh Gui-kun dan Tui-hun Hui-mo kini
terkapar di tanah dalam keadaan tidak utuh
lagi. Tercincang mulai dari ujung kepala
sampai ke ujung kaki! Wiro sendiri bergidik
menyaksikan hal itu sedang Nan-king Kuiong
melengos ke jurusan lain!
Nan-king Kui-ong kemudian menyadari bahwa
ada seseorang yang mendekatinya dari arah
depan. Ketika dia berpaling ke jurusan itu
dadanya jadi berdebar. Ki Hok Bun dilihatnya
melangkah mendatangi dengan Pedang
Pelangi terhunus. Senjata mustika ini penuh
lumuran darah. Darah Gui- Kun dan Tui-hun!
"Bu Ceng, katakan di mana kau sembunyikan
tiga peti emas itu?" tiba-tiba Ki Hok Bun
ajukan pertanyaan.
"Ciangkun … seperti yang aku bilang. Tiga peti
emas itu akan kita bagi dua. Kita bisa
berangkat ke sana sekarang."
"Baik, tapi aku ingin kau memberitahu dulu di
mana tempat kau sembunyikan. Aku tidak
mau tertipu … "
"Tapi … ciangkun, apa kau tidak percaya
padaku?"
Ki Hok Bun menyeringai. "Jangan banyak
tanya Bu Ceng. Katakan lekas. Atau
kucincang kau seperti kawan-kawanmu detik
ini juga?"
Tubuh Bu Ceng alias Nanking Kui Ong
bergeletar.
"Letaknya kira-kira lima puluh lie dari sini. Di
sebelah selatan ada sebuah reruntuhan
klenteng. Di tanah pada pintu sebelah
belakang tiga peti emas itu kupendam…"
"Kau berani dusta terhadapku Bu Ceng?!"
hardik Ki Hok Bun.
"Aku tidak dusta ciangkun. Kita ke sana saja
sekarang jika ciangkun tidak percaya," sahut
Bu Ceng.
Ki Hok Bun anggukkan kepala dan mengerling
ke arah Wiro. Melihat isyarat ini Wiro lalu
lepaskan totokan di tubuh Bu Ceng seraya
berkata, "Manusia tolol. Apakah kau pernah
mendengar kalau bangsa iblis dan setan
macammu ini akan ditempatkan Thian di
sorga sekalipun dia menyerahkan seratus peti
emas?"
Sesaat Bu Ceng tertegun.
"Apa maksudmu?" tanya dengan suara besar
serak.
"Maksudku kau tetap harus mampus. Dosa
dankejahatanmu sudah selangit. Malah sudah
menerobos langit! Kalau bukan karena kau
biang racunnya istri dan anak saudara
angkatku itu tak akan menemui kematian.
Nah sekarang kau hadapilah twakoku itu!"
Wajah Bu Ceng yang garang jadi berubah
putih kertas. Pucat pasi.
"Tapi… tapi … bukankah dia sudah janji
memberi ampun dan tiga peti emas itu kami
bagi dua…?"
"Jangan bicara ngelantur manusia durjana!"
hardik Ki Hok Bun. "Siapa sudi memberi
ampun padamu. Pengampunan tidak akan
menghidupkan kembali anak serta istriku!
Soal emas itu kau bisa terima bagianmu di
neraka!"
"Jadi… kau sengaja menipuku?!" Mata Bu
Ceng melotot.
Kembali Ki Hok Bun menyeringai.
"Terserah kau mau bilang apa. Yang jelas kau
akan susul empat anak buahmu. Mereka telah
tak sabar menunggumu di neraka. Di dunia
kalian sama-sama berbuat kejahatan.
Ganjarannya di akhirat juga harus kalian
rasakan sama-sama!"
Dendam kesumat yang membara membuat Ki
Hok Bun merasa tidak perlu memikirkan
segala macam aturan persilatan ataupun jiwa
satria terhadap musuh paling besarnya ini.
Pedang sakti di tangan kanannya tergenggam
erat. Sekali senjata ini menabas maka
terpekiklah Bu Ceng. Tangan kanannya putus.
Pedang berkelebat lapi. Tangan kirinya kini
yang jadi sasaran. Sekali lagi senjata itu
menderu. Dan anggota rahasia Bu Ceng
amblas putus!
Terdengar suara seperti sapi dipotong keluar
dari tenggorokan pimpinan manusia-manusia
iblis itu. Tubuhnya jatuh ke tanah tanpa
nyawa lagi. Dan seperti tadi, seperti
kamasukan setan Ki Hok Bun bacokkan
pedangnya berulang kali ke tubuh Bu Ceng
hingga tubuh itu tak karuan rupa lagi, hancur
luluh!
Sesaat setelah sadar akan dirinya Ki Hok Bun
jatuhkan diri di tanah. Mulutnya bergetar
ketika berkata, "Istriku The Cun Giok, anakku
Sun Bie, hari ini aku Ki Hok Bun telah
membalaskan sakit hati kalian atas lima
manusia iblis itu. Kuharap kalian berdua bisa
tenteram kini di alam baka …. " Lalu KI Hok
Bun menangis sesenggukan.
'Twako, bangunlah…!" kata Wiro sambil
memegang bahu saudara angkatnya itu.
Perlahan-lahan Ki Hok Bun berdiri. Ditatapnya
muka pemuda itu lalu berkata,
"Tarima kasih. Aku berhuYtng budi bahkan
bwhutang nyawa terhadapmu. Kau sudah tahu
di mana tiga peti emas itu disembunyikan.
Pergilah ke sana dan ambillah…!"
Wiro Sableng tersenyum dan geleng-
gelengkan kepala.
"Sekarang bukan saatnya bicara segala
hutang budi hutang nyawa. Soal emas itu, aku
mana ada hak untuk memilikinya. Takdir
menentukan emas itu harus menjadi
milikmu…"
"Kalau begitu tiga peti emas itu kukembalikan
saja pada Kaisar Yung Lo," kata Ki Hok Bun
pula.
Wiro jadi mendelik. "Kenapa jadi begitu tolol
twako? Kalaupun mau dikembalikan cukup
dua saja, yang satu ambil olehmu. Kau sudah
kehilangan segala-galanya twako. Anak istri,
rumah dan ladang. Kau perlu sesuatu untuk
modal masa depanmu!"
Ki Hok Sun merenung. "Kata-katamu akan
kupertimbangkan Wiro. Sekarang aku akan
menuju ke sana. Kau ikut…?"
"Tidak twako. Aku akan melanjutkan
perjalanan. Masih hanyak daerah selatan ini
yang belum kudatangi!
"Kalau begitu kita berpisah dan selamat jalan.
Selama langit masih biru, hutan masih hijau
dan air sungai masih mengalir ke laut, aku tak
akan melupakanmu dan kuharap kita bisa
berjumpa kembali!"
Wiro mengangguk. "Kudoakan agar kau
bahagia twako."
Keduanya saling rangkul beberapa ketika.
Lalu Ki Hok Bun tinggalkan tempat itu lebih
dulu. Wiro memperhatikan sampai saudara
angkatnya itu lenyap di kejauhan. Setelah Ki
Hok Bun tak kelihatan lagi dia putar tubuh
siap pule untuk pergi. Namun tiba-tiba satu
tangan halus memegang lengannya. Dia
berpaling. Ternyata pelacur jelita bernama Lu
Sian Cin itu. "Eh, ada apakah nona …?"
"Tayhiap, kau telah menolongku. Kalau tak
ada kau mungkin aku sudah mati di tangan
manusia iblis itu. Aku merasa tidak tenteram
sebelum dapat membalas budi bessrmu itu…"
"Eh, aku tidak mengharapkan imbalan
apaapa…"
"Terus terang akupun tak punya harta apa-
apa. Kecuali…"
"Kecuali apa maksudmu?"
Lu Sian Cin membisikkan satu kata-kata
mesra ke telinga Wiro Sableng membuat
pemuda ini jadi merah wajahnya tapi juga
senyum-senyum.
"Kau mau…?"
Wiro garuk-garuk kepala. Siapa yang tak mau
diajak bersenang-senang oleh perempuan
secantik Lu Sian Cin ini? Tapi walau
bagaimana pun Lu Sian Cin adalah pelacur.
Dan ini membuat pendekar kita jadi meragu.
Namun untuk menyenangkan hati perempuan
itu dia berkata, "Baiklah, aku akan datang ke
tempatmu. Kau berangkat saja lebih dulu.
Nanti kususul!" Wiro kedipkan matanya. Lu
Sian Cin tersenyum gembira dan setengah
berlari tinggalkan tempat itu.
o0oTAMATo0o
Komentar
Posting Komentar