WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya : BASTIAN TITO
EPISODE : KUTUKAN EMPU BARATA
*********
SEJAK dinihari gumpalan
awan hitam menggantung di udara. Paginya
walaupun sang surya telah menampakkan diri
namun karena masih adanya awan hitam itu,
suasana kelihatan mendung sekali. Kokok
ayam dan kicau burung tidak seriuh seperti
biasanya, seolah-olah binatang-binatang itu
tidak gembira menyambut kedatangan pagi
yang tiada bercahaya itu. Di lereng timur
Gunung Slamet, seorang laki-laki tua yang
mengenakan kain selempang putih berdiri di
depan teratak kediamannya. Janggutnya yang
putih panjang menjela dada melambai-lambai
ditiup angin pagi. Orang tua ini menengadah
memandang kelangit.
"Mendung sekali pagi ini…" katanya dalam
hati. Untuk beberapa lamanya dia masih
berdiri di depan teratak itu. Kemudian
terdengarlah suaranya berseru memanggil
seseorang.
"Untung! Kau kemarilah . . . "
Meski umurnya hampir mencapai delapan
puluh, namun suara yang keluar dari mulut
orang tua itu keras lantang dan berwibawa.
Sesaat kemudian seorang pemuda
sembilanbelas tahun muncul dari dalam
teratak. Parasnya tampan. Dia mengenakan
sehelai celana pendek sedang dadanya yang
tidak tertutup kelihatan bidang tegap penuh
otot-otot.
"Empu memanggil aku . . .?" pemuda itu
bertanya.
Si orang tua yang bernama Empu Bharata,
menganggukkan kepalanya. "Keris Mustiko
Jagat yang kubikin sudah hampir siap …"
berkata orang tua itu, "cuma ada beberapa
bagian yang harus di pertajam. Pergilah cari
kayu-kayu kering untuk api penempa. Aku
kawatir kalau hujan turun kau tak bisa
mencari kayu-kayu kering. . . "
"Persediaan kayu yang kukumpulkan dua hari
yang lalu sudah habis, Empu?" tanya Untung
Pararean.
"Ya, sudah habis. Nah kau pergilah dan cepat
kembali."
Untung Pararean segera meninggalkan tempat
itu. Tak lama kemudian dia sudah kembali
dengan setumpuk kayu-kayu kering di bahu
kanannya.
"Bawa terus kedalam Untung, dan sekalian
nyalakan api. Kalau sudah ambilkan Mustiko
Jagat dari dalam lemari."
"Baik Empu", sahut Untung Pararean.
Sementara pemuda itu menyalakan api, Empu
Bharata mengisi sebuah mangkok tanah
dengan air bening lalu ditaburi bunga-bunga
tujuh rupa. Dari perapian yang telah menyala
disiapkannya sebuah perasapan yang ditaburi
dengan setanggi dan kemenyan sehingga
suasana di dalam teratak tua itu harum
semerbak baunya.
"Kalau Mustiko Jagat sudah siap nanti,
berarti kesampaianlah cita-citaku untuk
memberikan sumbangan pada Kerajaan…"
"Aku tak mengerti maksud kata-kata Empu,"
kata Untung Pararean pula sambil menyeka
butirbutir keringat yang terbit dikulit
keningnya akibat panasnya perapian.
Orang tua itu mengelus janggutnya yang
panjang. Dua bola matanya bersinar-sinar.
"Mustiko Jagat adalah sebilah keris sakti,
Untung. Tujuh tahun aku menempanya
bukanlah satu masa yang singkat. Seorang
yang bodoh dan tak tahu kepandaian silat
apapun, jika memegang keris itu pasti akan
dibimbing oleh satu kekuatan aneh tapi sakti
hingga ia menjadi seorang jago yang sukar
untuk dikalahkan. Disamping itu, Mustiko
Jagat bila direndam dalam air, air itu bisa
menjadi obat segala macam racun jahat. Dan
senjata sakti itulah yang bakal kuserahkan
pada Sri Baginda untuk mempertahankan
Kerajaan dari segala macam bahaya dan
malapetaka. Dan kau Untung … kaulah nanti
yang akan kuutus untuk menyampaikan
Mustiko Jagat ke istana."
"Jadi senjata yang bertahun-tahun Empu buat
ini hendak diserahkan pada Kerajaan?" tanya
Untung Pararean heran.
"Ya."
"Aku kira tadinya untuk Empu pakai sendiri."
Empu Bharata tertawa pelahan.
"Aku sudah tua, Untung. Sebentar lagi bakal
mati. Dan kalau aku mati tak satupun yang
akan kubawa ke liang kubur, Disamping itu
apakah sumbangan dan balas jasaku kepada
tanah air dan Kerajaan? Keris sakti itu
berguna bagi Kerajaan dan bagi anak-anak
cucuku … termasuk kau."
Untung Pararean berpikir sejenak. Lalu
tanyanya, "Apakah Mustiko Jagat boleh
dipakai untuk membunuh, Empu… ?"
"Boleh! Memang boleh! Tapi untuk membunuh
manusia-manusia jahat. Tegasnya untuk
menumpas kejahatan dari muka bumi ini."
"Dan kalau dipakai untuk membunuh orang
baik-baik, bagaimana Empu?" tanya Untung
Pararean pula ingin tahu.
"Itu berarti melakukan satu kejahatan besar.
Yang melakukannya akan berdosa besar. Dan
setiap kejahatan sudah barang tentu ada
pembalasannya," jawab Empu Bharata. "Nah,
sekarang kau pergilah ambil keris itu didalam
lemari."
"Baik Empu." Untung lalu masuk kedalam
sebuah kamar. Di kepala tempat tidur yang
terbuat dari jambu terletak satu lemari kayu
jati. Ketika lemari dibuka, sinar biru yang
amat terang rnerambas keluar. Itulah sinar
keris Mustiko Jagat yang terletak diatas
sehelai kain putih. Keris itu sengaja tidak
dimasukkan ke dalam sarungnya karena ada
beberapa bagian yang masih belum
diperhaluskan dan dipertajam. Untung
Pararean pernah mendengar dari Empu
Bharata bahwa senjata sakti apa saja
sebelum selesai benar tak boleh dimasukkan
kedalam sarungnya. Apa sebabnya Untung
Pararean pernah menanyakan pada orang tua
itu, tapi Empu Bharata tak mau
menerangkannya.
Meskipun sudah pernah beberapa kali disuruh
oleh Empu Bharata untuk mengambil senjata
ini tapi saat itupun kedua tangan Untung
Pararean menjadi bergetar sewaktu
mengangkat kain putih di mana keris Mustiko
jagat terletak. Dirasakannya ada satu hawa
aneh mengalir dari keris sakti kelengannya.
Dengan menanting senjata itu di kedua
tangannya Untung Pararean keluar dari
Kamar.
Empu Bharata dlihatnya sudah duduk dimuka
perapian membelakanginya, tengah mengatur-
atur perkakas. Dalam melangkah mendekati
orang tua itu tiba-tiba selintas pikiran jahat
muncul di benak pemuda ini. Selintas pikiran
jahat itu datangnya seperti satu bisikan
melalui telinga Untung Pararean.
"Untung Pararean, kenapa kau begitu buta
hingga tak melihat kesempatan baik di depan
matamu? Bukankah sudah sejak lama terniat
di hatimu hendak menjadi pendekar sakti
mandraguna, hendak memiliki keris Mustiko
Jagat itu? Kau tunggu apa lagi? Kau punya
kesempatan untuk memiliki keris itu
sekarang!"
"Tapi Empu Bharata tentu akan marah," jawab
kata hati Untung Pararean.
Dan suara aneh jahat berbisik lagi ketelinga
pemuda itu. "Tolol, sungguh kau pemuda
tolol! Kalau orang tua itu marah padamu,
tusuk saja dia dengan Mustiko Jagat. Bunuh!
Dan kalau dia sudah mati, kau bisa memiliki
keris itu dan kau akan jadi pemuda sakti
mandraguna, ditakuti di delapan penjuru
angin. Disamping itu jika namamu sudah
dikenal kau akan mudah menduduki jabatan
Perwira Bala tentara Kerajaan! Perwira … !
Tidakkah kau inginkan jabatan yang tinggi
dan terhormat itu? Ayolah! Bunuh orang tua
tak berguna itu!"
"Kalau aku membunuhnya berarti aku berbuat
dosa," kata hati Untung Pararean, "dan aku
jadi orang jahat. Lalu kelak aku bakal
menerima pembalasan!"
"Betul-betul kau tolol orang muda! Jika keris
itu sudah berada ditanganmu, jika kau sudah
menjadi seorang sakti mandraguna siapa
yang sanggup dan berani turun tangan
terhadapmu? Kalau tidak kau bunuh si tua
renta itu, kau bakal menjadi manusia tak
berharga, jadi hamba sahaja seumur-
umurmu!"
Di diri Untung Pararean saat itu seolah-olah
terjadi perang tanding antara kejahatan dan
kebenaran. Bagaimanapun pemuda ini
berpijak dan bertahan diatas kebenaran
namun lama-lama, dalam detik-detik yang
mencapai puncak ketegangan itu, kebenaran
yang ada dalam dirinya berhasil
ditumbangkan oleh kejahatan yang melanda
hati dan jalan pikirannya!
Ketika dia cuma tinggal dua langkah dari
tubuh Empu Bharata yang duduk bersila
menghadapi alat-alatnya dan perapian,
pemuda itu tiba-tiba mengambil keputusan
bahwa dia harus membunuh si orang tua!
Digenggamnya hulu keris Mustiko Jagat erat-
erat. Sesaat kemudian senjata itu
dihunjamkannya ke punggung kiri Empu
Bharata. Orang tua itu mengeluh tinggi,
tubuhnya tersungkur di muka perapian, darah
cepat membanjiri punggung dan selempang
kain putihnya, tapi dia belum lagi
menghembuskan nafas penghabisan.
Sepasang matanya yang agak mengabur
dimakan umur dan dijelang ajal itu
memandang sayu tapi mengerikan pada
Untung Pararean yang berdiri, dengan keris
Mustiko Jagat berlumuran darah di tangan
kanannya.
"Pemuda dajal …" desis Empu Bharata
diantara nafasnya yang mulai menyengal.
"Apakah yang membuat kau sampai
melakukan kejahatan terkutuk ini terhadapku
…?" Tenggorokan orang tua itu turun naik
beberapa kali lalu. "Aku tahu . . . aku ta … hu.
Kau inginkan keris itu bukan?" Empu Bharata
menyeringai pucat. "Kau bisa memiliki
Mustiko Jagat, manusia jahat. Tapi apa yang
kau lakukan terhadapku kelak akan mendapat
balasnya di kemudian hari. Demi para Dewa di
Swar … swargalo … ka … kelak kau bakal mati
di ujung Mustiko Jagat juga. Dan .,. se
sebelum mati hidupmu kukutuk menderita
lahir ba . . . ba…"
Ujung kata-kata yang diucapkan Empu
Bharata lenyap oleh suara guntur yang
menggelegar dengan tiba-tiba. Di luar teratak
kilat menyambar, lalu suara guntur lagi dan
sesaat kemudian hujan lebat turun
membasahi bumi, seakan-akan alam ciptaan
dan Kuasa ini turut menyaksikan dan
menangisi kematian Empu Bharata. Untuk
sesaat lamanya Untung Pararean berdiri
mematung dengan bulu kuduk merinding.
Ketika diperhatikannya paras Empu Bharata,
kedua mata orang tua itu, sudah tertutup
sedang dari mulutnya membuih darah kental
akibat racun keris Mustiko Jagat yang amat
berbisa. Keris yang masih dilumuri darah itu
dimasukkan Untung Pararean ke dalam
sarungnya. Karena masih ada bagian-
bagiannya yang belum diperhalus, senjata itu
tak dapat masuk keseluruhannya kedalam
sarung, mengganjal diluar kira-kira setengah
senti. Tapi itu tak diperdulikan Untung
Pararean. Dia masuk ke dalam kamarnya,
mengemasi pakaian serta barang-barangnya
lalu dibawah hujan lebat yang mencurah bumi
pemuda itu berlari menuruni lereng timur
Gunung Slamet.
Seminggu sesudah dibunuhnya Empu Bharata
kelihatanlah seorang berlari cepat mendaki,
Gunung Slamet. Demikian cepat larinya hingga
hanya bayangan jubah putihnya saja yang
terlihat. Dalam waktu yang singkat orang ini
telah mencapai teratak tua tempat kediaman
Empu Bharata. Begitu muncul disitu begitu
orang ini berseru, "Dimas Bharata, aku
datang!" Suara seruannya yang keras
menggetarkan seantero tempat hanya disahuti
oleh gema seruan itu sendiri. "Heran, kenapa
sepi-sepi saja."
membathin orang ini. Tubuhnya bungkuk,
badannya yang kurus kering macam tengkorak
hidup itu tertutup oleh sehelai jubah putih
yang kotor dan bertambal-tambal. Mukanya
bopeng buruk sekali. Rambutnya yang awut-
awutan tak pernah kena air mengumbar bau
yang tidak sedap, ditambah lagi dengan bau
jubahnya yang kotor.
"Dimas Bharata, Untung Pararean, apa kalian
tuli hingga tak mendengar kedatanganku?!"
seru si muka Bopeng. Dia melangkah besar-
besar ke pintu teratak yang terbuka lebar.
Sampai diambang pintu mendadak sontak
langkahnya terhenti. Sepasang kakinya yang
kurus kering itu laksana dipantek ke lantai
tanah. Tapi hanya sesaat. Sedetik kemudian
dia sudah menghambur masuk dan
menjatuhkan diri disamping mayat Empu
Bharata. Ada satu keanehan atas diri Empu
Bharata. Meski mayatnya sudah seminggu
menggeletak namun masih tetap utuh dan
tidak busuk hingga kalau tidak
memperhatikan bekuan darah yang terdapat
dipunggung dan di lantai, orang tua itu tak
ubahnya seperti seorang yang tengah tidur
nyenyak.
"Dimas Bharata! Siapa yang melakukan ini?
Siapa yang membunuhmu?!" teriak si muka
Bopeng. Namanya Gambir Seta.
Tapi didunia persilatan dia lebih dikenal
dengan nama gelaran yaitu Pengemis Sakti
Muka Bopeng, dan dia adalah kakak kandung
Empu Bharata. Seperti orang gila Pengemis
Sakti Muka Bopeng terus juga berteriak-teriak
menanyakan siapa yang telah membunuh
adiknya. Tapi siapakah yang akan
memberikan jawaban?! Dengan bercucuran air
mata didukungnya mayat adiknya. Dia hendak
meninggalkan teratak itu tapi ia ingat sesuatu
dan menghentikan langkan lalu memandang
berkeliling "Untung! Untung Pararean, dimana
kau?!" serunya memanggil. Tak ada jawaban.
Dia berteriak lagi tetap saja tak ada yang
menyahut karena memang Untung Pararean
sudah tidak ada di tempat itu lagi. Hati laki-
laki ini menjadi syak wasangka. Dia masuk ke
dalam kamar yang diketahuinya sebagai
kamar si pemuda pembantu adiknya dan
menggeledah. Tak satu potong pakaianpun
ditemuinya disitu.
Juga dengan masih mendukung mayat
adiknya, Pengemis Sakti Muka Bopeng
kemudian masuk ke kamar Empu Bharata. Dia
tahu bahwa adiknya pernah membuat sebilah
keris sakti bernama Mustika Jagat. Tapi
senjata itu tak ditemuinya dikamar, juyd
setelah diperiksa seluruh teratak, keris sakti
itu tetap tak bersua.
"Bangsat! Pasti pemuda itu yang membunuh
adikku! Pasti dia juga yang mencuri dan
melarikan Mustiko Jagat!" Gerahamgeraham
Pengemis Sakti Muka Bopeng bergemeletakan.
Dia tak dapat mengendalikan kelakar
marahnya. Sambil berteriak-teriak bahwa dia
akan melakukan pembalasan, memecahkan
kepala Untung Pararean, orang tua ini
mengamuk hebat, menendangi segala apa
yang ada di dalam teratak hingga bangunan
itu hancur berpelantingan. Pengemis Sakti
Muka Bopeng masih belum puas. Pohon-
pohon dan apa saja yang ada di sekitar
tempat itu habis ditendanginya. Ada kira-kira
sepeminuman teh dia mengamuk kalap begitu
rupa. Sambil menangis dan kadang-kadang
berteriak-teriak kemudian Pengemis Sakti
Muka Bopeng lari menuruni Gunung Slamet
dengan membawa jenazah adiknya.
KETIKA dia sampai di kaki gunung hujan telah
reda. Bajunya dan sekujur tubuhnya basah
kuyup. Sambil menggigil kedinginan dia
meneruskan perjalanan dengan jalan kaki.
Sepanjang jalan perutnya menggereok minta
diisi. Sejak pagi tadi memang dia belum
makan apa-apa sama sekali. Dia berharap
dalam waktu yang singkat akan dapat
menemui sebuah desa atau kampung di mana
dia bisa membeli makanan untuk pengisi
perutnya.
Belum lagi lewat sepeminuman teh berlalu
Untung Pararean menemui satu jalan yang
sangat becek akibat hujan. Pemuda ini
mengikuti jalan itu ke sebelah tenggara. Tiba-
tiba di belakangnya terdengar suara derap
kaki-kaki kuda. Ketika dia berpaling
dilihatnya sebuah kereta yang ditarik oleh dua
ekor kuda hitam besar meluncur cepat sekali
di jalan yang becek itu, memancarkan lumpur
dan air kotor ke kiri kanan jalan. Pengemudi
kereta tiada hentinya mencarnbuk punggung
kedua ekor kuda agar kereta bergerak lebih
cepat. Di belakang kereta yang bagus dan
tertutup itu ada dua orang penunggang kuda
berpakaian keprajuritan.
"Pemuda gila!" kusir kereta tiba-tiba berteriak
memaki Untung Pararean. "Kalau tidak lekas
menyingkir kuda-kudaku akan menerjangmu!
Apakah kau ingin tulang-tulangmu hancur
berantakan?!"
Untung Pararean merutuk dalam hati lalu
menepi. Dan ketika kereta itu lewat
disampingnya, lumpur dan air kotor
bermuncratan membasahi muka dan
pakaiannya.
"Sialan!" maki Untung Pararean.
Baru saja dia habis memaki begitu satu
tendangan mampir di bahunya, membuat dia
terpelanting dan jatuh duduk ditanah!
"Ha . . . ha! Itu bagian untuk manusia kotor
yang berani memaki prajurit Kerajaan!" seru
salah seorang prajurit yang mengawal kereta.
Dialah yang telah menendang Untung
Pararean.
"Keparat! Kelak kau bakal menerima
pembalasan dariku!" teriak si pemuda seraya
bangun dan membersihkan pakaiannya.
Dengan masih menggerutu Untung Pararean
lalu melanjutkan perjalanan. Tapi baru saja
menindak beberapa langkah tiba-tiba dia
dikejutkan oleh suara sorak sorai di jalan
didepannya, disusul dengan suara ringkik
kuda. Ketika dia memandang ke depan
dilihatnya kereta tadi berhenti di tengah jalan.
Dari kiri kanan jalan menyerbu kira-kira
sepuluh orang berpakaian seragam hitam,
bersenjatakan golok-golok besar. Sebelum
Untung Pararean sampai di tempat itu
pertempuran antara dua pengawal yang
dibantu oleh kusir kereta melawan kesepuluh
orang berseragam pakaian hitam itu telah
berlangsung! Tak salah lagi pastilah orang-
orang itu gerombolan rampok hutan Dadakan
yang memang sering malang melintang
disekitar kaki Gunung Slamet.
Untung Pararean menyelinap kebalik
serumpun semak belukar lebat dan
menyaksikan jalannya pertempuran dari
tempat ini. Kedua prajurit Kerajaan itu
masing-masing bersenjatakan sebilah pedang
sedang kusir kereta sebilah keris panjang.
Dari gerakangerakan mereka nyatalah bahwa
ketiganya memiliki ilmu silat yang cukup
tinggi. Sampai sepuluh jurus mereka sanggup
membendung serangan-serangan sepuluh
anggota rampok. Tapi walau bagaimanapun
jumlah mereka terlalu sedikit untuk
menghadapi lawan yang tiga kali lipat lebih
banyak hingga jurus-jurus selanjutnya ketiga
orang itupun terdesaklah.
"Prajurit-prajurit Kerajaan yang sombong,"
kata Untung Pararean dalam hati, "sebentar
lagi kalian akan segera mampus!"
Terdengar satu jeritan. Prajurit yang tadi
menendang Untung Pararean roboh dengan
satu luka besar di dadanya!
"Rasakan!" seringai Untung Pararean.
Tiba-tiba dilihatnya pintu kereta terbuka dan
satu suara perempuan mengumandang.
"Atas nama Kerajaan hentikan pertempuan
ini!"
Terkejutlah para rampok yang mengeroyok.
Untung Pararean sendiri tak kurang kagetnya.
Di dalarn kereta itu ternyata ada seorang dara
berpakaian bagus, berkulit hitam manis dan
berwajah elok sekali! Kejut para rampok cuma
sebentar. Beberapa orang diantara mereka
lantas saja menyerbu ke arah kereta!
Kalau tadi Untung Pararean karena sakit hati
terhadap prajurit-prajurit Kerajaan itu tidak
mau turun tangan memberikan bantuan, kini
melihat gadis jelita yang didalam kereta
terancam keselamatannya, segera melompat
keluar dari persembunyiannya. Keris Mustiko
Jagat tergenggam ditangan kanannya,
memancarkan sinar biru yang menggidikkan.
"Rampok-rampok rendah! Lekas tinggalkan
tempat ini kalau tidak mau mampus!"
demikian bentak Untung Pararean gagah
laksana seorang pendekar digjaya meski dia
sama sekali tidak tahu satu jurus ilmu
silatpun! Tapi dia percaya dengan kesaktian
keris Mustiko Jagat. Sewaktu keris ini
dipegangnya pertama kali tadi, satu hawa
aneh telah menyelimuti sekujur tubuhnya
hingga tubuhnya terasa sangat enteng sedang
satu kekuatan yang luar biasa terpusat di
kedua kaki dan kedua tangannya!
"Kurang ajar! Pemuda kesasar dari mana yang
mau jadi jago!" teriak salah seorang anggota
rampok, lalu menerjang dan membabatkan
golok besarnya ke kepala Untung Pararean.
Seperti telah diketahui Untung Pararean
hanyalah seorang pemuda pembantu Empu
Bharata yang sama sekali tidak tahu seluk
beluk ilmu silat, apalagi segala macam ilmu
kesaktian. Tapi berkat kesaktian yang luar
biasa dari keris Mustiko Jagat, pada saat
golok perampok menderu ke kepalanya, secara
aneh satu kekuatan gaib yang ada pada keris
sakti itu membimbing tangan Untung
Pararean dan membuat satu gerakan yang
cepat sekali, menangkis dan keris Mustiko
Jagat!
"Trang!!"
Bunga api memercik.
Golok besar ditangan siperampok patah dua
dan ke udara. Selarik sinar biru sinar keris
Mustiko Jagat menderu lalu terdengarlah
pekik rampok yang goloknya patah mental
tadi. Tubuhnya terhujung kebelakang sambil
kedua tangannya memeganggi dadanya yang
tertusuk Mustiko Jagat Sesaat kemudian dia
roboh ke tanah yang becek tanpa nyawa dan
sekujur kulit tubuhnya berwarna biru gelap
akibat racun yang amat hebat dari keris sakti
Mustiko Jagat!
Melihat munculnya seorang pemuda yang tak
dikenal yang dalam satu gebrakan saja
berhasil merobohkan kawan mereka, rampok-
rampok yang lainpun menjadi marah. Niat
untuk menyerbu kereta dibatalkan dan tujuh
anggota rampok itu lantas menyerbu Untung
Pararean sementara yang dua lainnya masih
menghadapi kusir kereta dan prajurit
Kerajaan. Mulanya hati Untung Pararean kecut
juga melihat datangnya serbuan itu. Tapi
dengan penuh keyakinan dia menghadapinya.
Tubuhnya berkelebat ringan diantara deru
senjata-senjata lawan. Sinar biru keris
Mustiko Jagat bergulunggulung dan dalam
dua jurus saja enam perampok bergeletakan
tanpa nyawa lagi!
Tiga orang yang masih hidup tentu saja tak
punya nyali lagi. Tanpa tunggu lebih lama
ketiganya segera ambil langkah seribu dan
lenyap dari tempat itu dalam sekejap mata!
Kalau tadi baik si pengemudi kereta maupun
prajurit Kerajaan menganggap Untung
Pararean pemuda desa hina dina, tapi
sesudah menyaksikan "kehebatan" pemuda itu
dan menghadapi kenyataan bahwa Untung
Pararean telah menjadi "tuan penolong"
mereka, maka baik kusir kereta maupun
prajurit Kerajaan cepat-cepat sama berlutut di
hadapan pemuda itu.
"Pendekar gagah," berkata si prajurit, "kami
mohon maafmu atas kelancangan kami
sebelumnya dan terima kasih atas
pertolonganmu."
Seumur hidupnya baru kali itu Untung
Pararean dihormat dan disembah orang
demikian rupa. Cuping hidungnya kembang
kempis. Di mulutnya tersungging seringai
bangga tapi juga mimik yang mengejek. Dan
dalam hatinya pemuda ini berkata sinis.
"Siapa sudi menolong kalian. Aku turun
tangan karena keselamatan gadis di dalam
kereta terancam. Demi dia, bukan demi
kalian!"
"Sudah, berdirilah!" kata Untung Pararean
sesaat kemudian pada kedua orang yang
berlutut. Ketika dia memandang ke arah
kereta, dara cantik di atas kendaraan itu
kelihatan turun, melangkah kehadapannya,
mengangguk memberi hormat dan tersenyum.
Kikuk juga Untung Pararean menerima
penghormatan dan senyum si jelita itu.
"Saudara, terima kasih atas pertolonganmu."
berkata gadis itu.
"Ah . . . pertolonganku tak ada artinya." jawab
Untung Pararean merendah setelah terlebih
dulu balas menghormat.
"Kuharap kau sudi ikut ke Ibukota untuk
menerima balas jasa dari ayahku."
"Aku menolong tidak mengharapkan balas
apa-apa, saudari." jawab Untung Pararean.
Bagaimanapun si gadis memaksa tetap saja
pemuda itu tidak mau ikut ke Ibukota. Tapi
seandainya Untung Pararean mengetahui
bahwa si gadis adalah keponakan Sri Baginda,
niscaya dia tak akan menolak. Bukankah
setelah membunuh Empu Bharata pemuda ini
memang bermaksud untuk mencari kedudukan
di Kerajaan? Akhirnya setelah mengucapkan
terima kasih untuk kesekian kalinya, gadis itu
pun berlalu bersama kusir serta pengawalnya.
Pengawal yang mati digeletakkan di
punggung kuda, dibawa ke Ibukota. Dengan
jalan kaki Untung Pararean meneruskan pula
perjalanannya. Sepanjang jalan apa yang
barusan dialaminya seperti terbayang kembali
di depan matanya. Betapa mula-mula dia
merasa ngeri diserang oleh
perampokperampok hutan Dadakan itu.
Bagaimana kemudian dia menghadapi
perampok-perampok itu dengan keris Mustiko
Jagat dan membunuh mereka satu demi satu
hingga akhirnya tiga orang perampok yang
masih hidup lari pontang-panting! Kemudian
ingat pula dia sewaktu kusir kereta dan
pengawal itu berlutut di hadapannya,
menyebutnya "Pendekar gagah!"
Lalu sewaktu gadis jelita itu datang padanya,
tersenyum dan mengucapkan terima kasih!
Menjelang tengah hari Untung Pararean
sampai ke sebuah kampung. Sebenamya
kurang pantas disebut kampung karena selain
besar dan ramai juga di situ pusat perhentian
lalu lintas perdagangan. Di situ terdapat pula
sebuah rumah makan yang merangkap rumah
penginapan. Begitu memasuki kampung,
Untung Pararean segera menuju kesini. Dan di
depan bangunan rumah makan itu dilihatnya
kereta yang ditumpangi gadis jelita yang
telah ditolongnya sebelumnya. Baru saja
Untung Pararean sampai di pintu, dari dalam
rumah makan seseorang datang
menyongsongnya. Ternyata orang itu adalah
si pengawal kereta.
"Ah, sungguh gembira dapat bertemu dengan
kau di sini Pendekar," berkata pengawal itu.
Kemudian tanpa diminta dia menerangkan.
"Kami terpaksa berhenti dan menginap di sini.
Seseorang menerangkan sungai banjir akibat
hujan besar yang turun tadi pagi. Diperkirakan
baru besok air akan surut!."
Bertiga dengan kusir kereta Untung Pararean
kemudian duduk di salah satu bagian rumah
makan. Pengawal itu memesankan makanan
yang enak-enak serta tuak harum untuknya.
Selagi menyantap hidangan itu pengawal
menerangkan pula bahwa jenazah kawannya
telah disuruh kubur di tepi kampung.
Kemudian dia bertanya. "Sesungguhnya
siapakah Pendekar ini dan berasal dari
mana?"
"Aku cuma orang gunung yang barusan saja
turun dari Gunung Slamet," jawab Untung
Pararean.
"Oh, pastilah Pendekar murid seorang pertapa
sakti."
Untung Pararean tak memberi jawaban.
Diteguknya minumannya lalu memandang
berkeliling ganti bertanya.
"Dimana gadis itu?"
"Maksud Pendekar Den Ayu Sri Kemuning?"
ujar si pengawal.
Kemudian sang kusir kereta menyambungi.
"Istirahat di kamarnya. Perjalanan jauh
sangat meletihkan Den Ayu."
"Saya tidak mengerti," berkata pengawal
kereta, "kenapa Pendekar tidak mau menerima
ajakan Den Ayu Sri Kemuning untuk ikut ke
Ibukota. Itu suatu kerugian besar, Pendekar."
"Kerugian besar bagaimana?"
"Pendekar tentu belum tahu siapa gadis itu
sebenamya?"
"Aku barusan saja turun gunung, mana tahu
siapa dia?" ujar Untung Pararean pula.
Pengawal kereta itu tersenyum lalu
didekatkannya mukanya pada si pemuda
seraya berkata.
"Den Ayu Sri Kemuning adalah keponakan Sri
Baginda . . . "
Terbeliaklah sepasang mata Untung Pararean.
Mulutnya ternganga.
"Betul?!" tanyanya ingin meyakinkan.
"Masakan saya berani main-main sama
Pendekar."
Dan memang terasa sebagai satu kerugian
besar bagi Untung Pararean sesudah dia tahu
siapa adanya gadis yang ditolongnya itu.
Dengan ikut ke Ibukota bukankah lebih mudah
mendapat jalan untuk mencapai cita-cita
yang diidamidamkannya selama ini yaitu
menjadi Perwira Kerajaan?!
Dengan melihat paras si pemuda, pengawal
kereta ini dapat membaca isi hati Untung
Pararean. Maka berkatalah dia,
"Sekarang masih belum terlambat untuk
merobah putusan Pendekar. Jika kau mau,
nanti aku akan menemui Den Ayu dan
menerangkan bahwa kau bersedia ikut ke
Ibukota."
Meskipun hasratnya meluap-luap tapi Untung
Pararean tak segera memberikan jawaban.
Diisinya tuak baru ke dalam gelas lalu
diteguknya perlahan-lahan.
Justru pada saat itulah di pintu rumah makan
terdengar suara bentakan yang lantang keras
hingga bangunan itu bergetar!
"Bangsat muda yang sedang meneguk tuak,
lekas berlutut untuk menerima hukuman
mampus!"
UNTUNG PARAREAN meletakkan gelas
tuaknya ke atas meja perlahan-lahan.
Kepalanya dipalingkan ke belakang. Dari
tempat dia duduk dilihatnya seorang laki-laki
bertubuh tinggi besar bercambang bawuk.
Orang ini mengenakan pakaian hitam.
Tampangnya buas. Sepasang matanya yang
besar dan merah menambah keseraman
parasnya. Di pinggangnya kiri kanan
tergantung masing-masing sebilah golok yang
luar biasa besarnya! Di belakang manusia
tinggi besar ini berdiri lima orang lainnya,
yang juga berseragam pakaian hitam dengan
tampang-tampang yang tak kalah seramnya
dengan si tinggi besar yang tadi membentak
itu. Kusir kereta dan pengawal paras
keduanya menjadi pucat seperti kertas
sewaktu menyaksikan siapa adanya orang-
orang diambang pintu rumah makan. Pemilik
rumah makan sendiri menggigil sekujur
tubuhnya.
"Celaka … celaka! Pasti tempatku ini akan
diobrak-abrik berantakan!" demikian pemilik
rumah makan mengeluh dalam hati.
"Bangsat apa tidak dengar aku memerintah?!"
si tinggi besar di ambang pintu membentak
kembali. Marah sekali dia karena sampai saat
itu Untung Pararean masih duduk di
bangkunya.
"Siapa mereka . . .?" tanya Untung Pararean
berbisik pada kusir kereta.
"Yang tinggi itu . . ." jawab kusir kereta juga
berbisik dan gemetar, "adalah Sepasang Golok
Maut, pemimpin rampok hutan Dadakan!"
Mendengar keterangan itu kini tahulah Untung
Pararean bahwa pemimpin rampok itu sengaja
datang mencarinya untuk menuntut balas
kematian anak-anak buahnya! Segera tangan
kanannya disiapkan di pinggang di mana
Mustiko Jagat tersisip dibalik pakaian.
Kemudian dengan perlahan dan tenang
Untung Pararean berdiri, memutar tubuh lalu
melangkah ke tengah ruangan. Sepuluh
langkah dari ambang pintu pemuda ini
berhenti.
"Apakah benar aku berhadapan dengan
Sepasang Golok Maut, kepala rampok hutan
Dadakan yang ditakuti orang?" tanya Untung
Pararean.
"Puah! Nyalimu terlalu besar berani bicara
keren terhadapku! Sepasang Gulok Maut
mengangkat tangan kanannya memberi tanda
pada kelima orang anak buahnya, lalu
memerintah. "Cincang sampai lumat budak
keparat itu! Juga dua monyet yang dimeja
sana!"
"Sreet … sreet … sreet … sreet … Sreet"!
Lima buah golok dicabut dari sarangnya
dalam waktu yang bersamaan. Sesaat
kemudian kelima anak buah Sepasang Golok
Maut sudah mengurung Untung Pararean.
Kusir kereta dan prajurit pengawal telah pula
mencabut senjata masing-masing tapi sampai
saat itu masih tetap berada dekat meja tak
berani maju ke kalangan pertempuran!
Rumah makan itu seperti hendak runtuh oleh
bentakan keras kelima anggota rampok!
Tubuh mereka berlesatan kemuka dan lima
serangan maut menderu mencari sasaran di
kepala, leher, dada, perut dan pinggang
Untung Pararean!
Pada saat lima perampok hutan Dadakan
membentak Untung Pararean telah mencabut
keris Mustiko Jagat. Begitu tangannya
memegang hulu keris Mustiko Jagat, satu
hawa dan kekuatan aneh menyelubungi
dirinya. Tubuhnya menjadi sangat enteng. Dan
sebelum lima buah golok datang
menghajarnya, pemuda itu telah melompat ke
atas!
Percaya bahwa kelima anak buahya yang
berilmu tinggi akan berhasil membereskan
Untung Pararean maka Sepasang Golok Maut
kelihatan meninggalkan ambang pintu dan
masuk ke ruangan dalam rumah makan. Ini
membuat Untung Pararean merasa heran.
Kemudian dia ingat sesuatu. Maka sambil
melompat menyelamatkan diri tadi, pemuda
ini cepat berteriak pada kusir kereta dan
prajurit pengawal.
"Lekas ke kamar majikanmu! Bangsat itu
pasti hendak melakukan sesuatu
terhadapnya!"
Kusir kereta dan pengawal saling pandarig!
Mereka tahu bahwa mereka sama-sama tidak
punya nyali untuk menghadapi kepala rampok
yang berilmu tinggi itu. Untuk beberapa
lamanya keduanya masih tak beranjak dari
dekat meja.
"Lekas!" Teriak Untung Pararean. "Nanti aku
akan bantu kalian!"
Mendengar ini, meskipun dengan agak
takuttakut, kedua orang itu baru masuk ke
ruang dalam dimana terletak ruangan
penginapan. Bangunan penginapan bertingkat
dua. Dan kamar yang di tempati oleh Den Ayu
Sri Kemuning terletak di tingkat atas. Dengan
menjambak rambut seorang pelayan,
Sepasang Golok Maut berhasil mengetahui
yang mana kamar gadis itu. Dari anak-anak
buahnya dia telah mendapat keterangan
tentang Untung Pararean dan juga tentang
gadis cantik dalam kereta. Kepala rampok itu
sampai di muka pintu kamar.
Dicobanya mendorong daun pintu, ternyata
dikunci dari dalam. Kaki kanannya bergerak.
Sekali tendang saja pintu kamar itu
terpentang lebar hancur berantakan!
Di dalam kamar saat itu Den Ayu Sri
Kemuning tengah membersihkan badannya.
Tubuhnya yang padat bagus sama sekali tak
tertutup sehelai pakaianpun! Gadis ini
memekik sewaktu mendengar suara hancurnya
pintu kamar dan seorang laki-laki berpakaian
hitam tinggi besar berewokan yang langsung
menyergap tubuhnya yang telanjang!
Sri Kemuning menjerit dan meronta-ronta
melepaskan diri. Tapi rangkulan tangan kiri
kepala rampok itu ketat sekali. Dirangsang
oleh keadaan tubuh si gadis yang tidak
berpakaian sama sekali, Sepasang Golok Maut
menyeret gadis itu ke tempat tidur! Pada saat
laki-laki ini dengan buasnya hendak menindih
tubuh dara itu tiba-tiba sudut matanya
melihat dua orang memasuki kamar dan di
lain kejap sebilah pedang serta sebilah keris
sudah menyerangnya dengan sebat di bagian
punggung dan kepala!
"Setan alas!" sentak Sepasang Golok Maut
seraya menjatuhkan dirinya ke lantai. Sambil
berguling tangan kanannya bergerak
kepinggang lalu "wutt"! Terdengar pekik kusir
kereta. Kerisnya telepas dari tangan.
Tubuhnya terhempas ke lantai karena kedua
pergelangan kakinya putus dibabat golok
besar si kepala rampok dari hutan Dadakan!
Jeritan kusir kereta itu tadi disertai pula oleh
jeritan ngeri Sri Kemuning. Selagi ada
kesempatan gadis ini cepat-cepat menarik
seperai tempat tidur dan menutupi tubuhnya
dengan seperai itu lalu menjauhkan diri dari
pertempuran yang kemudian berlangsung
antara Sepasang Golok Merah dengan
pengawal.
Sudah jelas pengawal itu bukan tandingannya
Sepasang Golok Maut. Apalagi si pengawal
bertempur dengan ragu-ragu dan nyali lumer.
Maka dalam tempo yang sangat cepat
pengawal itupun tergelimpang tanpa nyawa.
Perutnya robek, usus menjela-jela disambar
golok si kepala rampok hutan Dadakan! Untuk
kesakian kalinya terdengar jeritan ngeri Sri
Kemuning. Gadis ini coba lari ke pintu namun
Sepasang Golok Maut berhasil menangkap
lengannya!
Kita kembali pada pertempuran yang terjadi di
rumah makan antara Untung Pararean dengan
lima pengeroyoknya. Setelah berteriak pada
kusir kereta dan pengawal tadi yaitu agar
cepat-cepat pergi ke kamar majikan mereka
maka Untung Pararean dengan mengandalkan
ilmu mengentengkan tubuh yang di dapatnya
berkat hawa sakti keris Mustiko Jagat laksana
seekor alatalat menukik ke bawah. Sinar biru
menderu dalam bentuk lingkaran. Dikejap itu
terdengar berturut-turut tiga kali suara
beradunya seniata. Tiga batang golok mental
patah ke udara. Dua anggota rampok menjerit
kena di babat Mustiko Jagat, kelojotan
sebentar lalu meregang nyawa. Rampok ketiga
mencelat satu tombak ke dinding rumah
makan, melosoh ke lantai tanpa nyawa karena
dadanya remuk dihantam tendangan kaki
kanan Untung Pararean!
Dua orang rampok yang masih hidup terkejut
sekali. Untuk sejenak mereka berdiri sangsi
apakah akan meneruskan perkelahian atau
ambil langkah seribu! Waktu yang sesaat itu
sudah cukup bagi Untung Pararean guna
bertindak! Sekali dia berkelebat, keris Mustiko
Jagat kembali meminta korban nyawa rampok
yang disebelah kanannya! Rampok yang
terakhir tanpa tunggu lebih lama segera
melompat ke pintu melarikan diri ! Tapi dia
kurang cepat.
Dengan satu lompatan saja Untung Pararean
berhasil mendahuluinya, menghadang di
depan pintu! Setengah mampus ketakutan,
rampok itu lantas saja jatuhkan diri berlutut
minta ampun! Untung Pararean tidak mau
perdulikan permintaan ampun itu. Kaki kirinya
bergerak dan terhempaslah rampok itu dengan
perut pecah. Dia menggerang sebentar. Dan
sebelum nyawanya lepas Untung Pararean
sudah berlalu dari situ. Di tingkat atas di
sebelah belakang yaitu di penginapan
didengarnya jeritan Den Ayu Sri Kemuning
berulang kali!
Untung Pararean sampai di tingkat atas ketika
Sepasang Golok Maut baru saja keluar dari
sebuah kamar, memanggul tubuh Sri
Kemuning yang hanya tertutup sehelai kain
acak-acakan hingga sebagian besar dari
auratnya yang terlarang jelas kelihatan! Gadis
ini tiada hentinya berteriak dan meronta
melepaskan diri!
"Bedebah! Lekas lepaskan gadis itu kalau
masih sayang kau punya nyawa!" bentak
Untung Pararean.
Sepasang Golok Maut menghentikan
langkahnya. Hatinya tercekat juga melihat
keris Mustiko Jagat ditangan Untung Pararean
yang memancarkan sinar biru menggidikkan.
Apalagi di ujung senjata itu dilihatnya noda-
noda darah yang masih segar!
"Lekas lepaskan dia!" teriak Untung Pararean
seraya melangkah mendekati kepala rampok
hutan Dadakan itu!
Sepasang Golok Maut tiba-tiba keluarkan
suara tertawa bekakakan! Seraya mendorong
tangan kanannya dia balasmembentak.
"Budak anjing! Minggirlah!"
Untung Pararean terkejut sewaktu merasakan
bagaimana satu hembusan angin keras yang
keluar dari telapak tangan kiri kepala rampok
itu mendorongnya kebelakang hingga hampir
saja dia rnencelat mental dan terguling di
tangga! Cepat-cepat pemuda ini melompat
kesamping lalu melintangkan keris Mustiko
Jagat di depan dada! Senjata ini beriar-benar
hebat. Karena begitu sambaran angin keras
memben tur sinar keris tersebut, buyarlah
angin keras itu! Secepat kilt Untung Pararean
kemudian menyerbu kemuka! Sinar biru
menabur menggidikkan!
Melihat datangnya bahaya maut mengancam
di depan mata, kepala rampok hutan Dadakan
itu tak mau berlaku ayal. Denyan satu
gerakan yang lihay dia mengelak kesamping
lallo dengan tubuh Den Ayu Sri Kemuning
yang masih meronta-ronta diatas bahunya
dia mencabut golok din memapak ke arah
Untung Pararean!
Terkejut juga si pemuda menerima serangan
baiasan yang tiada terduga cepatnya itu.
Buru-buru dia menangkis!
"Trang!"
Bunga api memercik sewaktu keris Mustiko
Jagat saling bantrok dengan golok besar di
tangan kanan Sepasang Golok Maut! Untung
Parrean kaget ketika merasakan bagaimana
bentrokan itu membuat tangannya menjadi
pedas dan tergetar. Tapi sedetik kemudian
hawa aneh yang mengalir dari keris membuat
rasa pedas dan getaran di tangan kanannya
menjadi sirna!
Dilain pihak Sepasang Golok Maut terkejut
bukan main! Bukan saja tangan kanannya
tergetar hebat dalam bentrokan senjata itu,
tapi sewaktu diperhatikannya ternyata
goloknya telah rompal!
"Bangsat hina dina!" maki Sepasang Golak
Maut seraya melemparkan tubuh Sri
Kemuning ke lantai lalu mencabut lagi golok
besarnya yang tergantung di pinggang kiri.
"Akan kukuntung-kuntung tubuhmu hingga
menjadi seratus kuntungan!"
Untung Pararean yang yakin akan keampuhan
keris Mustiko Jagat ganda tertawa mendengar
ucapan garang kepala rampok itu. Malah dia
menjawab: "Ayo manusia iblis! Majulah biar
kau segera pula kukirim ke liang kubur
menyusul lima orang kunyuk-kunyukmu yang
sudah mampus dibawah sana!"
Terkesiap Sepasang Golok Maut mendengar
ucapan pemuda itu! Lima orang anak
buahnya yang paling diandalkan telah
menemui ajal di tangan pemuda itu?! Benar-
benar keparat, makinya! Dia lipat gandakan
tenaga dalamnya hingga serangan yang
dilancarkannjra hebat bukan main!
Perkelahian antara kedua orang itu terjadi di
langkan atas yang tak berapa lebar. Masing-
masing memperhitungkan benarbenar langkah
yang mereka buat. Karena sekali bertindak
salah di ruangan yang sempit itu pasti
celaka! Sementara itu di halaman samping
rumah makan orang banyak berkumpul
menyaksikan jalannya pertempuran dilangkan
tingkat atas rumah penginapan itu! Semua
orang memuji kehebatan pemuda itu apalagi
setelah dia dengan seorang diri sanggup
membunuh lima anggota rampok tadi. Dan
semua orang berharap agar si pemuda itu
juga berhasil membunuh Sepasang Golok
Maut yang selama ini bersama anak buahnya
mendatangkan bencana dan malapetaka. Tapi
di dalam berharap begitu semua orang juga
merasa cemas. Karena bila pemuda itu kalah,
pastilah Sepasang Golok Maut akan
mengamuk dan menurunkan tangan ganas
terhadap seluruh penduduk yang tidak
berdosa!
Setelah pertempuran berjalan sepuluh jurus,
Sepasang Golok Maut mulai menyadari bahwa
walau bagaimanapun pemuda itu bukanlah
lawannya. Setiap serangan goloknya yang
dilancarkan dengan tipu-tipu lihay, bahkan
telah pula dikeluarkannya jurus-jurus yang
terhebat dari permainan goloknya itu, tetap
saja tak dapat menghadapi keris lawan,
bahkan mengimbanginyapun tidak sanggup!
Dari pada mendapat celaka, lebih baik siang-
siang mengundurkan diri!
Sengaja kepala rampok itu melancarkan satu
serangan berantai yang cepat. Ketika
dilihatnya ada satu peluang yang baik, segera
dia melompat keatas genteng rumah makan!
"Bedebah! Kau mau lari kemana?!" teriak
Untung Pararean keren!
"Makan senjata rahasiaku ini!" jawab
Sepasang Golok Maut. Dalam kejap itu pula
lima puluh jarum-jarum biru menderu ke arah
Untung Pararean. Dengan sigap pemuda ini
memapaskan keris Mustiko Jagat ke depan
maka tersapulah seluruh jarumjarum itu! Tapi
dalam kejap itu Sepasang Golok Maut telah
berada di halaman bawah. Untung Pararean
cepat mengejar. Namun sebelum dia sampai
di bawah kepala rampok hutan Dadakan itu
telah lenyap!
Orang banyak termasuk pemilik rumah
penginapan menjura pada Untung Pararean.
Beberapa di antara mereka ada yang memuji-
muji kehebatanya. Sebaliknya Untung
Pararean cepat-cepat kembali ke tingkat atas.
Didapatinya Sri Kemuning duduk bersimpuh
dilangkan tingkat atas, menangis tersedu-
sedu.
"Sudahlah Den Ayu," kata Untung Pararean.
"Sebaiknya masuk ke kamar dan berpakaian."
Kata-kata pemuda itu membuat sang dara
tambah keras tangisnya hingga Untung
Pararean menjadi bingung.
"Masuklah ke kamar," kata pernuda itu
manakala tangis Sri Kemuning telah agak
mereda.
"Mayat-mayat itu … aku negeri melihatnya,"
kata Sri Kemuning di antara sesenggukannya.
Untung Pararean masuk kedalam kamar.
Ditemuinya mayat kusir kereta dan prajurit
pengawal. Memang mengerikan. Kusir kereta
menggeletak dengan kedua kaki buntung
sedang prajurit pengawal terhampar dengan
perut robek, usus membasai. Pemuda itu
berteriak memanggil pelayan rumah
penginapan. Beberapa pelayan kemudian
membawa mayat kedua orang itu yang
selanjutnya segera dikubur secara sederhana
di pinggir kampung. Mayat lima orang
perampok dilemparkan ke dalam sebuah kali.
Sementara Sri Kemuning berpakaian, Untung
Pararean kembali ke rumah makan. Orang
memandang padanya penuh kagum. Pemilik
kedai kemudian mendatanginya. Setelah
menjura hormat, pemilik kedai itu·seorang
tua·duduk dihadapan Untung Pararean.
"Tak sedikit jasamu kepada penduduk karena
telah menumpas rampok-rampok itu,
pendekar. Sesungguhnya siapakah nama
pendekar dan datang dari mana?"
"Aku barusan saja turun dari gunung Slamet,
bapak." jawab Untung Pararean.
"Kalau begitu pastilah pendekar murid orang
tua sakti yang bernama Empu Bharata."
Untung Pararean mengangguk pelahan.
Disebutnya nama Empu Bharata membuat
hatinya tidak enak karena mengingatkan dia
atas pembunuhan yang dilakukannya
terhadap orang tua itu!
"Pendekar, dengan lolosnya kepala rampok
keparat itu, bapak rasa suatu ketika pasti dia
akan datang kemari dan mengganas,
menurunkan tangan jahat, membunuh
penduduk sini dengan sewenang-wenang.
Bapak mewakili penduduk dan berharap agar
pendekar sudi menetap disini untuk sementara
sampai penduduk benar-benar yakin bahwa
rampok-rampok itu tak berani lagi datang
kesini."
"Aku yakin, bapak. Apa yang telah terjadi
pasti telah membuat rampok-rampok itu
menjadi takut kembali ke sini." ujar Untung
pula.
"Mudah-mudahan saja memang demikian,"
kata pemilik penginapan. Sementara itu
seorang pelayan datang menemui Untung
Pararean, mengatakan bahwa Sri Kemuning
memanggilnya.
KETIKA Untung Pararean masuk kembali ke
kamar itu, keadaan kamar tidak seperti tadi
lagi. Noda-noda darah telah dibersihkan dan
Sri Kemuning duduk di tepi tempat tidur. Pada
parasnya yang agak pucat masih membayang
rasa takut.
"Den Ayu memanggil aku?" tanya Untung
Pararean setelah terlebih dahulu menjura.
Gadis itu mengangguk.
"Kotaraja masih jauh dari sini, saudara …"
"Saya tahu . . . "
"Untuk kedua kalinya kau telah
menyelamatkan diriku. Untuk kedua kalinya
pula aku harap kau sudi ikut ke Kotaraja.
Apakah kau masih juga menolak?"
Kalau sebelumnya Untung Pararean tidak tahu
siapa adanya gadis itu, tapi setelah mendapat
keterangan dari kusir kereta dan prajurit yang
telah menemui ajal itu tentu saja pemuda ini
tidak menampik lagi! Ke Kotaraja berarti
menuju ke tempat di mana dia kelak akan
mencapai apa yang dicita-citakannya yaitu
menjadi Perwira Kerajaan. Dan Sri Kemuning
kebetulan adalah keponakan Raja! Tentu akan
mudah baginya untuk mencapai cita-cita itu,
apalagi mengingat jasa pertolongan yang
telah dua kali dibuatnya terhadap gadis itu!
"Aku tidak berani lagi menolak, Den Ayu. Kusir
kereta, dan pengawalmu telah menemui
kematiani Apa lagi baktiku kepada Kerajaan
kalau bukan berbakti pada keluarga Istana?"
"Terima kasih saudara … Eh, kau belum
menerangkan namamu."
"Namaku Untung Pararean. Panggil saja
Untung."
"Saudara Untung, melihat apa yang telah
terjadi di sini aku merasa kawatir untuk
meneruskan niat bermalam di sini.
Sebaiknya kita berangkat saja . . . ."
"Tapi sungai banjir, Den Ayu. . . "
"Oh ya. Lupa aku."
"Kalau Den Ayu . . . "
"Buang saja sebutan Den Ayu itu, saudara
Untung. Namaku Kemuning. Sri Kemuning …"
potong gadis itu.
"Kalau . . , kalau Den . . . kalau kau percaya
padaku, kau tak usah kawatir Kemuning," kata
Untung Pararean pula gugup.
"Aku akan mengawal dan berjaga sepanjang
malam di luar kamarmu …"
"Ah, nasib diriku rupanya ditakdirkan hanya
untuk menyusahkan orang lain saja," ujar Sri
Kemuning. Tapi diam-diam hatinya gembira
mendengar ucapan pemuda yang gagah itu.
"Baiklah Untung. Kalau begitu katamu, aku
tak akan merasa kawatir lagi. Sekali lagi aku
sangat berterima kasih padamu.
Kelak pada Sri Baginda akan kumintakan
balas jasa yang sesuai untukmu! Sekurang-
kurangnya pangkat yang penting dalam
kalangan Istana!"
"Terima kasih Kemuning . . ." kata Untung
Pararean pula, "tapi pertolonganku tidak
mengharapkan pamrih apa-apa."
sambungnya pura-pura bersikap ksatria sejati
padahal memang pangkat yang tinggi itulah
yang tengah dicarinya. Dalam berdiri
dihadapan gadis diam-diam Untung Pararean
membayangkan bagaimana dia akan
disambut secara hormat oleh orang-orang
Istana. Lalu Sri Baginda atas kehendak Sri
Kemuning akan menganugerahkan pangkat
tinggi kepadanva. Dia akan jadi perwira
kerajaan yang paling disegani dan paling
ditakuti karena ilmunya tinggi!
Di lain pihak pada saat itu Sri Kemuniny
diam-diam tengah memperhatikan pemuda itu
dengan kedua bola matanya yang hitam dan
bersinar-sinar penuh kagum akan kegagahan
si pemuda apalagi sesudah mengetahui
ketinggian ilmunya. Untung Pararean sama
sekali tidak mengetahui bahwa meski Sri
Kemuning adalah keponakan kontak dari Sri
Baginda, tapi gadis itu bukanlah gadis Istana
yang bersifat dan berkelakuan baik-baik.
Kecuali Sri Baginda dan Permaisuri serta ayah
dan ibu Sri Kemuning semua orang di Istana
sudah tahu akan peri tabiat gadis itu. Adalah
memalukan seorang keluarga Sri Baginda
bertabiat seperti Sri Kemuning. Tapi apakah
mereka musti mengadu pada Sri Baginda?
Salah-salah mereka bisa mencari F:enyakit
sendiri! Dituduh memfitnah!
Dilubuk hati Sri Kemuning saat itu, di balik
pandangan matanya yang bersinar-sinar itu
bergejolak satu hasrat kotor yang membuat
darah diseluruh pembuluh tubuhnya laksana
mendidih. Kening dan puncak hidungnya
penuh oleh butir-butir keringat sedang
pandangan matanya semakin berani dan sikap
duduknya semakin menantang.
"Keras benar angin dari luar sana …" kata Sri
Kemuning. "Tolong tutupkan pintu itu,
Untung."
"Baik Den … Kemuning."
Untung Pararean melangkah ke pintu dan
sambil menutupkan daun pintu dia hendak
keluar.
"Oh, maksudku . . aku tidak menyuruh kau
keluar Untung," kata Sri Kemuning pula ketika
dilihatnya pemuda itu menutupkan pintu
sambil menindak keluar. "Tutupkan saja dari
dalam sini."
Untung Pararean masuk kembali ke dalam
dengan perasaan heran. Ditutupnya pintu itu
dari dalam. Ketika dia memutar tubuh, Sri
Kemuning tersenyum padanya. Aneh senyum
gadis itu di mata si pemuda. Berdesir darah
Untung Pararean, berdebar dadanya sewaktu
Sri Kemuning berkata, "Nanti malam kau akan
mencapaikan diri mengawalku. Berarti siang-
siang begini kau butuh istirahat, Untung."
"Aku rasa begitu . . . "
"Nah, kau boleh beristirahat disini, Untung."
"Biar aku cari kamar yang lain saja,
Kemuning."
Sri Kemuning tertawa. Seraya berdiri dari
tempat tidur dia berkata, "Mengapa harus
menyusahkan diri saja, Untung? Kau istirahat
disini sambil bicara-bicara denganku. Kau
tahu, aku orang yang paling senang bercakap-
cakap."
Perasaan aneh mula-mula yang ada didiri
Untung Pararean kini berubah menjadi satu
prasangka adanya maksud-maksud yang
tidak senonoh dari gadis itu. Tapi seorang
keluarga Istana, seorang keponakan Raja yang
terhormat mempunyai sifat begitu rupa?
Sementara Untung Pararean berdiri mematung
di tengah kamar itu, Sri Kemuning datang
melangkah mendekatinya. Goyang pinggulnya
yang dibuat-buat, senyumnya yang menawan
dan sinar matanya yang mengundang
memukau Untung Pararean. Walau
bagaimanapun Untung Pararean adalah
seorang laki-laki, seorang pemuda yang baru
saja turun gunung dan tak banyak tahu
tentang peri kekotoran hidup di dunia luar,
apalagi cara-cara untuk menjauhkan semua
kekotoran itu. Meski mula-mula hatinya
binqung bercampur takut menghadapi sikap
Sri Kemuning namun ketika gadis itu
memeluknya dan menyandarkan kepalanya ke
dada, Untung Pararean mulai memberikan
reaksi, reaksi sebagai seorang pemuda yang
berdarah panas! Dirangkulnya tubuh dara itu
erat-erat dalam gejolak nafsu yang seumur
hidupnya baru kali itu dirasakan oleh Untung
Pararean. Namun sesaat kemudian kambuh
lagi rasa kawatirnya.
"Kemuning, kalau pemilik penginapan
memergoki kita berdua-duaan begini, kita bisa
celaka …"
Sri Kemuning tertawa merdu. Rasa digelitik
liang-liang telinga pemuda itu, tambah
terangsang darah mudanya mendengar suara
tertawa itu.
"Dia tahu siapa aku. Untung. Dan dia juga
tahu apa yang bakal menimpanya jika berani-
beranian turun tangan. Aku sanggup
menyuruh tutup penginapan dan rumah
makannya! Bahkan lebih dari itu aku bisa
menjebloskan dia dalam penjara."
Untung Pararean yang tahu bahwa Sri
Kemuning adalah keponakannya Sri Baginda,
denqan sendirinya mempercayai ucapan gadis
tersebut. Karenanya lenyaplah kekawatirannya
dan kembali keberanian membuat nafsunya
mengumbar. Gadis itu dipeluknya erat-erat
hingga Sri Kemuning merintih antara
kesakitan dan kenikmatan! Ada kira-kira
sepeminuman teh kedua makhluk itu
berpagut-pagutan di tengah kamar itu.
"Kakiku letih, Untung …" bisik Sri Kemuning.
"Gendong aku ke tempat tidur." pintanya lirih.
"Hem . . . " guman Untung Pararean.
Sesaat kemudian keduanyapun telah berada
ditempat tidur. Berpagut dan berguling seperti
sepasang ular. Dan memang mereka tak
ubahnya separti binatang saja saat itu.
Seperti binatang dan tanpa pakaian!
Ketika hari telah senja, Untung Pararean
masih juga berdiri termenung di depan rumah
makan. Apa yang telah terjadi siang tadi di
kamar di tingkat atas penginapan itu kembali
terbayang di pelupuk matanya. Dan mengingat
ini, menggejolak lagi darah muda pemuda itu.
Seumur hidupnya baru kali-itu dia mengenal
perempuan, dan perkenalan yang pertama kali
itu sungguh luar biasa sekali! Luar biasa bagi
Untung Pararean meskipun Sri Kemuning
sudah tidak perawan lagi!
Bila malam tiba dan kegelapan memekati
disekitar rumah makan itu, Untung Pararean
ingat bahwa sudah saatnya dia berjaga-jaga
disekitar kamar Sri Kemuning. Bukan tidak
mustahil orang-orang jahat terutama
Sepasang Golok Maut akan muncul kembali
untuk menuntut balas!
Tingkat atas rumah penginapan diselimuti
kesunyian. Di beberapa kamar kelihatan nyala
lampu. Satu diantaranya adalah kamar Sri
Kemuning. Untuk sesaat lamanya Untung
Pararean berdiri di depan pintu kamar itu.
Kembali teringat olehnya apa yang telah
terjadi di dalam kamar tersebut siang tadi.
Tubuh telanjang Sri Kemuning yang
keringatan! Pelukannya yang ketat liat,
nafasnya yang memburu dan gigitannya yang
berulang-ulang pada kulit dadanya . . .
semuanya teringat lagi. Sewaktu hendak
ditinggalkannya hadapan pintu kamar menuju
keujung langkan di tingkat atas itu, tiba-tiba
saja pintu kamar terbuka. Sri Kemuning
memunculkan kepalanya. Dia terkejut melihat
seseorang berdiri di depan pintu namun
keterkejutan itu segera berubah menjadi
kegembiraan ketika dia mengenali bahwa
yang berdiri itu adalah Untung Pararean.
"Terkejut?" tanya Untung Pararean menegur.
Matanya liar meneliti paras Sri Kemuning.
Gadis ini barusan saja habis bersolek hingga
parasnya lebih segar dan lebih cantik.
Ditambah lagi saat itu dia mengenakan
pakaian yang bagian dadanya terbuka lebar
hingga kedua pangkal buah dadanya jelas
kelihatan tersembul keluar, memhuat Untung
Pararean jadi blingsatan tak karuan!
"Aku kira siapa," ujar Sri Kemuning sambil
melontarkan senyum genit. "Heh, kau sudah
mulai berjaga-jaga sesiang ini?"
"Ya. Aku kawatir kepala rampok itu akan
muncul lagi membawa anak buahnya!"
"Ah, betapa senangnya mempunyai seorang
pengawal yang setia sepertimu ini, Untung,"
kata Sri Kemuning pula dengan tertawa cerah
lalu berdiri di tepi terali langkan ditingkat atas
itu. "Gelap dan hitam saja pemandanyan
disini … Dan banyak nyamuk pula!"
Dipalingkannya kepalanya pada Untung
Pararean lalu dipegangnya lengan pemuda itu
hingga hasrat yang menyesak-nyesak di darah
si pemudan kembali membuat sekujur
tubuhnya panas dingin laksana orang
diserang demam malaria! Diremasnya tangan
gadis itu. Untuk sesekali mereka saling
berpandangan. Hasrat hati untuk kembali
mengulangi apa yang telah mereka lakukan
siang tadi kentara terbayang dibola mata
masing-masing.
Unturg Pararean tak dapat menahan hatinya
lagi saat itu. Diulurkannya tangannya hendak
memeluk Sri Kemuning tapi dia kecewa karena
gadis itu mengelak.
"Jangan di luar sini Untung … " bisik Sri
Kemuning. Ditatapnya pemuda itu sebentar,
digoyangkannya kepala ke arah pintu lalu
masuk ke kamar tanpa menguncikan daun
pintu.
Untung Pararean berdiri mematung sejenak
lamanya. Dia memandang ke dalam kamar
lewat pintu yang terbuka dan dilihatnya Sri
Kemuning berdiri di hadapan sebuah kaca
besar, menanggalkan pakaiannya satu demi
satu! Laksana gila Untung Pararean
menghambur masuk ke dalam kamar itu!
Sesaat kemudian keduanya sudah berada di
atas tempat tidur!
Untung Pararean baru saja hendak meneduhi
tubuh Sri Kemuning ketika di atas genteng
terdengar suara tertawa bekakakan yang
membuat kedua insan didalam kamar itu
sama-sama tersentak kaget!
"Ha . . . ha . . , ha … ! Rupanya kalian berdua
adalah bangsanya lonte-lonte bejat! Bagus
sekali! Teruskan niatmu mencapai sorga dunia
itu, pemuda keparat! Bila sudah, aku
menunggumu di halaman samping! Jangan
lupa pakai pakaianmu dulu biar kau mampus
secara wajar!"
Laksana kilat Untung Pararean melompat dari
atas tempat tidur dan menyambar
pakaiannya. Dengan keris Mustiko Jagat
ditangan kanan dia keluar dari pintu kamar.
Dia tidak takut pada manusia yang tadi
bicara dan tertawa di atas genteng! Tapi jika
dia berani datang pastilah mengandalkan
sesuatu! Ketika dia sampai diujung langkan
apa yang diduganya ternyata betul. Tapi
Untung Pararean yakin akan keampuhan
Mustiko Jagat, maka tanpa ragu-ragu dia
melompat turun dari samping yang gelap,
hanya diterangi bintang-bintang, rembulan
dan sinar lampu yang merambas dari rumah
makan dan penginapan!
SUARA tertawa bekakakan kembali
mengumandang mandang sewaktu Untung
Pararean sampai di halaman samping itu.
"Ha ha! Apakah sudah kau teruskan tidur
dengan gadis itu? Kalau belum berarti kau
akan mampus penasaran Untung Pararean!"
"Sepasang Golok Maut! Setelah selamat
melarikan diri mengapa berlaku bodoh untuk
datang kembali?! Apakah kau punya nyawa
rangkap?!" bentak Untung Pararean dengan
suara tak kalah keras. Sambil membentak
begitu kedua matanya meneliti suasana
sekelilingnya.
Di belakang kepala rampok dari hutan
Dadakan itu, dibawah pohon cempedak,
berdiri seorang kakek-kakek yang cuma
mengenakan sehelai cawat. Tubuhnya kurus
kering tulang-tulangnya kelihatan bertonjolan
hingga dia tak ubahnya seperti tengkorak
hidup saja! Kakek-kakek ini berambut keriting
pendek dan cuma memiliki sebuah mata.
Matanya yang sebelah kiri hanya merupakan
satu lobang hitam yang besar dan
mengerikan! Yang luar biasa dari orang yang
kulitnya berwarna hitam ini ialah kedua
tangannya yang teramat panjang hingga
sampai ke betis!
Tiba-tiba saja manusia ini mengeluarkan
suara tertawa mengekeh dan menuding
Untung Pararean dengan tangannya yang
panjang. Meski jarak mereka terpisah cukup
jauh, tapi karena tangan manusia ini panjang
sekali maka ujung-ujung jarinya yang
menuding hampir saja menyentuh hidung si
pemuda membuat Untung Pararean tercekat
juga hatinya!
"Pemuda gendeng kau segera akan mampus,
tapi masih berani bicara sombong
dihadapanku!"
"Orang aneh! Aku tidak kenal padamu! Apa
urusanmu mencampuri persoalan orang lain?!"
tukas Untung Pararean.
"Oh, jadi kau kepingin kenal siapa aku?!" ujar
orang itu. "Aku yang buruk ini bemama
Tunggul Gawe-gawe. Orang-orang
menggelariku Iblis Tangan Panjang. Dan
kedoyananku cuma satu yakni paling senang
mencabut nyawa manusia-manusia
macammu!" Habis berkata begitu manusia
bercawat itu kembali tertawa mengekeh.
"Hem . . . rupanya kau bangsa kawanan setan
pelayangan juga!" ejek Untung Pararean.
"Manusia-manusia macammu memang pantas
untuk jadi andalan rampok busuk ini! Aku
tanya apakah ada kawan-kawanmu yang lain
yang berada di sekitar sini? Sebaiknya lekas-
lekas disuruh keluar agar bisa kulabrak
sekaligus!"
"Iblis Tangan Panjang! Baiknya mari cepat-
cepat saja kita bikin tamat riwayatnya ini
pemuda anjing!" seru Sepasang Golok Maut.
"He … he . . . Untuk membereskannya kenapa
musti berdua." menyahuti Iblis Tangan
Panjang. "Biar aku sendiri yang menunjukkan
jalan ke neraka padanya!" Manusia ini
melangkah ke hadapan Untung Pararean.
"Pemuda gendeng, kau bersiaplah untuk
mampus!"
Habis berkata begitu Tunggul Gawe-gawe
atau Iblis Tangan Panjang menggerakkan
tangan kanannya.
"Wutt"!
Satu pukulan lengan yang keras dan
menimbulkan angin bersiuran menderu ke
arah kepala Untung Pararean. Pemuda ini
cepat-cepat merunduk dan sebelum dia
sempat melakukan serangan balasan, lengan
kiri Iblis Tangan Panjang telah memapas ke
pinggang membuat pemuda ini terpaksa
melompat menyelamatkan dirinya! Perkelahian
seru segera berlangsung jurus demi jurus!
Meskipun Untung Pararean memegang keris
sakti Mustiko Jagat di tangan kanannya,
namun gerakan-gerakan lengan lawannya
hebat sekali, membuat dia tak bisa leluasa
melancarkan serangan-serangan. Dalam
perkelahian itu karena tangannya yang amat
panjang, Iblis Tangan Panjang tak perlu
susah-susah berkelebat kian kemari. Cukup
dia menggeser-geserkan saja kedua kakinya
sedang kedua tangannya laksana sepasang
tongkat baja memukul dan membabat kian
dari pelbagai jurusan!
Karena tak mungkin bagi Untung Pararean
untuk mengirimkan tusukan ke tubuh ataupun
ke kepala lawannya maka kini pemuda itu
merubah taktiknya. Serangan-serangan keris
Mustiko Jagat langsung diarahkan pada
kedua tangan Tunggul Gawegawe Dan
buktinya memang berhasil!
Pada dasarnya Tunggul Gawegawe alias Iblis
Tangan Panjang diam-diam memang merasa
jerih melihat senjata mustika yang ada di
tangan lawannya. Dan ketika keris itu kini
dipakai untuk menggempur sepasang
tangannya, merasakan pula dinginnya
sambaran angin senjata tersebut, dia tak lagi
dapat bergerak leluasa. Setiap serangannya
yang mengandalkan kedua tangannya yang
panjang selalu dibikin musnah oleh sambaran
keris lawan! Beberapa kali hampir nyaris
lengannya kena tertikam senjata tersebut.
Naga-naganya kalau dia bertempur begitu
terus, lambat laun pasti dia akan kena celaka
juga! Maka tanpa tunggu lebih lama Iblis
Tangan Panjang mengeluarkan senjatanya
dari dalam cawatnya!
Senjata ini adalah sebuah untaian batu-batu
permata yang telah direndam dalam racun
jahat. Warnanya aneka agam dan kesemuanya
bergemerlapan meskipun di halaman samping
itu suasana gelap. Ketika untaian batu-batu
permata itu diputar diatas kepala maka
menggelombanglah angin yang amat hebat.
Pohon-pohon bergoyangan, banyak yang
daun-daunnya berguguran. Dinding rumah
makan dan tiang-tiang rumah penginapan
berderikderik sedang tanah serasa dilanda
lindu saking hebatnya gelombang angin yang
keluar dari senjata Iblis Tangan Panjang itu!
Untung Pararean sendiri tergontai-gontai
beberapa detik lamanyal Buru-buru dia
membentak nyaring dan sewaktu lawannya
datang dari depan, pemuda ini kiblatkan keris
Mustiko Jagat dalam jurus aneh yarig luar
biasa.
"Hebat sekali ilmu silat keparat ini!" rutuk
Iblis Tangan Panjang. Dia tidak tahu bahwa
kesaktian keris Mustiko Jagatlah yang
membimbing pemuda itu memainkan jurus-
jurus silat yang luar biasa itu!
Karena yakin bahwa senjata lawan tak bakal
dapat menandingi senjatanya, maka sewaktu
bentrokan akan terjadi, Iblis Tangan Panjang
sengaja tidak menarik pulang untaian batu-
batu permatanya! Meskipun dia tak berhasil
menggebuk lawan tapi sekali senjatanya
bergeser dengan kulit si pemuda, pastilah
pemuda itu akan keracunan. Kalau sudah
begitu tentu mudah dia membereskan
lawannya itu, demikian pikir Iblis Tangan
Panjang. Tapi betapa kagetnya dia sesaat
kemudian!
Terdengar suara berdentingan dan percikan
bunga api di dalam gelapnya malam sewaktu
keris dan untaian batu-batu permata beradu!
Untung Pararear merasakan tangannya
bergetar hebat tapi itu tak ada artinya karena
di depannya dilihatnya bagaimana batu-batu
permata yang menjadi senjata lawannya
putus berhamburan!
Kaget Iblis Tangan Panjang bukan alang
kepalang! Jika senjatanya yang paling
diandalkan bisa dibuat berantakan begitu
rupa, ini sudah merupakan satu pertanda
lebih baik dia angkat kaki dari situ dari pada
meneruskan perkelahian! Tapi untuk
melakukan hal itu tentu saja dia merasa malu
terhadap Sepasang Golok Maut yang berada
ditempat itu. Buntut-buntutnya dia cuma
berseru untuk meminjam salah satu golok
kepala rampok itu.
Sambil memberikan salah satu golok
besarnya, Sepasang Golok Maut berseru,
"Tunggul Gawegawe, tak usah kau repot
terlalu lama. Aku akan bantu!"
Bantuan, memang itulah yang diharapkan
oleh Iblis Tangan Panjang. Dengan nyali besar
kedua orang itu lalu mengeroyok Untung
Pararean! Pemuda ini berkelebat cepat sekali.
Bayang-bayang tubuhnya tertutup oleh sinar
biru dari keris Mustiko Jagat. Bagaimanapun
Iblis Tangan Panjang dan Sepasang Golok
Maut menggempur dan mengirimkan serangan
dahsyat silih berganti namun tiada guna nya!
Kedua orang ini tak sanggup mendekati
pemuda itu lebih dekat dari jarak empat
langkah. Di lain pihak sementara itu kekuatan
gaib yang berasal dari keris Mustiko Jagat
semakin hebat pula membimbing dia. Setelah
bertempur empat putuh jurus lebih, dengan
ilmu menyusupkan suara Iblis Tangan
Panjang berkata pada Sepasang Golok Maut.
"Naga-naganya kita tak bakal menang
sobatku! Sebelum celaka sebaiknya siang-
siang kita tinggalkan tempat ini!"
Sepasang Golok Maut juga sudah sangat
penasaran dan mulai sangsi. Apa yang
dikatakan Iblis Tangan Panjang adalah benar
menurutnya, maka iapun segera hendak
menjawab menyetujui ucapan kambrainya itu.
Namun sebelum dia sempat berkata keris
Mustiko Jagat menderu cepat di muka
hidungnya! Sepasang Golok Maut melompat
kebelakang sambil melancarkan satu pukulan
tangan kosong. Justru lengannya yang
memukul ini merupakan makanan empuk bagi
keris Mustiko Jagat! Terdengar lah pekik
kepala rampok hutan Dadakan itu! Tangan
kanannya papas, buntung! Darah menyembur!
Saat itu juga racun keris Vustiko Jagat yang
amat berbahaya memasuki darahnya, menjalar
dengan cepat keseluruh pembuluh hingga
beberapa detik kemudian Sepasang Golok
Maut meregang nyawa dengan tubuh matang
biru!
Pada saat Sepasang Golok Maut menjerit
keras karena tangannya putus dibabat keris
Mustiko Jagat, pada saat perhatian Untung
Pararean ini dipergunakan oleh Iblis Tangan
Panjang untuk melarikan diri tanpa diketahui
oleh si pemuda. Untung Pararean baru
menyadari bahwa lawannya yang seorang itu
sudah lenyap sewaktu dia memandang
berkeliling. Sementara itu dari mana-mana
bermunculan penduduk ke tempat itu. Untung
Pararean menerangkan sedikit apa yang kita
telah terjadi lalu cepat-cepat berlalu dari situ.
Di kamar penginapan di tingkat atas, pemuda
ini disambut dengan pelukan hangat oleh Sri
Kemuning.
"Aku menyaksikan perkelahianmu dari terali
atas sana. Untung! Kau hebat sekali! Betul-
betul hebat … Oh, aku cinta padamu Untung!"
Gadis ini memeluk lagi pemuda itu ketat-ketat
ke tubuhnya, menciumi keringat yang
membasahi dada Untung Pararean. Dan apa
yang telah terjadi sebelumnya segera
terlupakan oleh kedua orang itu. Semalam-
malaman, sampai pagi, Untung Pararean
benar-benar telah melakukan "pengawalan"
atas diri Sri Kemuning di dalam kamar itu . . .
di atas tempat tidur!
Keesokan harinya kedua orang itu
melanjutkan perjalanan ke Kotaraja. Untung
Pararean bertindak sebagai kusir kereta
merangkap pengawal. Menjelang tengah hari
mereka telah memasuki Kotaraja, langsung
menemui Sri Baginda di Istana. Bukan main
kagetnya Raja mendengar penuturan
keponakannya. Di samping itu Raja merasa
sangat gembira pula dan berterima kasih
pada Untung Pararean karena telah
menyelamatkan Sri Kemuning dari bahaya
maut sampai beberapa kali!
Seperti yang telah dikatakan Sri Kemuning,
atas permintaan gadis itu maka Untung
Pararean oleh Sri Baginda diangkat menjadi
salah seorang Perwira Kerajaan. Dan bukan
itu saja, Sri Baginda juga meminta agar
pemuda itu suka mengambil Sri Kemuning
menjadi istrinya! Sebenamya memang Untung
Pararean sangat terpikat dan cinta pada dara
yang penuh daya tarik dan pandai merayu itu.
Maka tanpa banyak cerita lagi Untung
Pararean menerima permintaan itu.
Perkawinan dilangsungkan cukup meriah dan
kepada kedua orang itu diberikan sebuah
gedung kecil yang terletak dalam lingkungan
tembok Istana.
Beberapa tahun kemudian . . . Dari
perkawinannya dengan Sri Kemuning, Untung
Pararean dikaruniai seorang anak perempuan
yang diberinya nama Sri Lestari. Meski di
luaran kehidupan rumah tangga kedua orang
itu kelihatan rukun bahagia, tapi
sesungguhnya tidaklah demikian. Seringkali
kedua suami istri itu cekcok satu sama lain.
Ini disebabkan tabiat Sri Kemuning yang
membuat Untung Pararean sakit makan hati.
Seperti telah dituturkan sebelumnya, Sri
Kemuning meskipun keponakan Sri Baginda
tapi bukanlah seorang perempuan baik-baik.
Diantara sekian banyak keburukannya, yang
paling terkenal di kalangan orang-orang
Istana ialah sifatnya yang mata keranjang.
Tak boleh melihat laki-laki gagah, apalagi jika
laki-laki itu masih muda belia dan tegap kuat!
Telah berkali-kali Untung Pararean mendengar
kabar bahwa jika dia sedang bertugas ke
tempat jauh, istrinya itu sering pergi ke
tempat beberapa orang pemuda bahkan
seorang diantara pemuda-pemuda itu pernah
beberapa kali disuruhnya datang ke
gedungnya dalarn lingkungan Istana itu!
Mula-mula Untung Pararean tidak mau
percaya karena dia yakin bahwa istrinya itu
sangat mengasihinya sehingga masakan mau
berbuat serong begitu rupa? Namun pada
satu hari dia dihadapkan pada satu
kenyataan yang dibuktikannya sendiri!
Pada masa itu Kerajaan tengah menghadapi
beberapa pemberontakan kecil. Dibawah
pimpinan beberapa Perwira Kerajaan,
termasuk Untung Pararean, pasukan Kerajaan
berhasil menumpas pemberontak-
pemberontak tersebut. Meskipun belum
keseluruhan pemberontak berhasil
dimusnahkan, namun untuk sementara bahaya
yang mengancam Kerajaan boleh dikatakan
tidak ada. Namun demikian tidak seorangpun
dari Perwira-perwira Kerajaan yang
mengetahui bahwa satu kekuatan besar kaum
pemberontak yang berpusat dikaki Gunung
Lawu tengah merencanakan penyerbuan
besar-besaran ke Kotaraja. Demikianlah,
karena merasa keadaan sudah cukup aman
maka Untung Pararean bersama pasukan
kembali ke Kotaraja.
Rindunya terhadap anak istrinya membuat dia
begitu selesai memberi laporan pada Sri
Baginda, cepat-cepat kembali ke tempat
kediamannya dan langsung menuju ke kamar.
Begitu pintu kamar terbuka terkejutlah Untung
Pararean melihat bagaimana istri yang sangat
dicintainya itu telah melakukan perbuatan
mesum dengan seorang pemuda! Pemuda ini
bukan lain adalah salah seorang pengawal
gedungnya, jadi masih merupakan anak
buahnya sendiri. Gelaplah pemandangan
Untung Pararean. Keris Mustiko Jagat segera
dihunusnya. Sri Kemuning menjerit sewaktu
menyaksikan bagaimana pemuda yang tidur
bersamanya itu roboh dilanda tikaman yang
pertama. Menyusul tikaman yang kedua,
ketiga … keempat dan seterusnya hingga
sekujur tubuh pemuda itu laksana daging
cincangan, lumat membanjiri darah.
Untung Pararean masih akan terus menusuki
tubuh pemuda yang sudah tak bernyawa itu
jika seandainya saat itu lima orang prajurit
kepala dan empat orang Perwira tidak masuk
menyerbu ke dalam kamar dan
memeganginya!
"Lepaskan aku! Lepaskan!" teriak Untung
Pararean menggeledak. "Dajal perempuan itu
juga harus mampus! Harus mampus!"
Tapi seorang Perwira berhasil merampas keris
Mustiko Jagat hingga kejap itu lenyaplah
kekuatan yang ada di diri Untung Pararean.
Seorang Perwira lain segera menolak
tubuhnya sementara Sri Kemuning sendiri
sudah melarikan diri dari kamar itu!
Apa yang telah terjadi itu menghebohkan
seluruh Istana. Tapi semua orang tak bisa
memikirkan itu lebih lanjut, juga tak berusaha
mencari tahu ke mana Sri Kemuning bersama
anak perempuannya melarikan diri karena
yang dipikirkan oleh semua orang saat itu
ialah bahaya besar yang mengancam
Kerajaan. Kabar yang dapat dipercaya
menyatakan bahwa bala tentara pemberontak
yang berpusat di kaki Gunung Lawu telah
mulai bergerak menuju Kotaraja! Setiap
kampung dan desa yang mereka temui pasti
akan disamaratakan dengan tanah. Penduduk
yang tidak berdosa, tak perduli apakah
perempuan atau anakanak dibunuh secara
kejam luar biasa. Demikian cepatnya
pergerakan pasukan pemberontak ini hingga
dalam tempo yang singkat saja hanya tinggal
tiga hari perjalanan lagi dari Kotaraja!
Kira-kira seribu prajurit dibawah pimpinan
lima orang Perwira Kerajaan telah dikirim
untuk menghancurkan kaum pemberontak.
Mereka bertemu di satu tempat yang terletak
dua hari perjalanan dari Kotaraja. Meski
prajurit Kerajaan berjumlah banyak dan
dipimpin oleh Perwira-perwira berkepandaian
tinggi, namun jumlah prajurit pemberontak
tidak pula sedikit. Dalam pada itu kaum
pemberontak juga memiliki tokoh-tokoh silat
klas satu hingga setelah bertempur selama
setengah hari, kaum pemberontak berhasil
memukul mundur bala tentara Kerajaan!
Ratusan prajurit Kerajaan menemui kematian!
Dua orang Perwira tewas, satu luka-luka
parah. Dan dua lainnya tertangkap hidup-
hidup. Ketika menerima kabar itu dari seorang
kurir, cemaslah Sri Bagindal Orang satu-
satunya yang sangat diharapkan oleh Sri
Baginda ialah Perwiranya yang paling tinggi
ilmu kepandaiannya yaitu Untung Pararean.
Tapi sang Perwira ini kini berada dalam
keadaan menyedihkan!
Sesudah mengalami peristiwa tempo hari itu.
Untung Pararean menderita bathin yang amat
mendalam terutama dikarenakan pada istrinya
sejak kejadian itu tidak diketahui kemana
perginya. Dan kepergiannya itu membawa
serta anak permpuan yang amat dikasihi
Untung Pararean. Demikian hebatnya
penderitaan bathin yang menimpa Perwira itu
hingga sifatnyapun sudah berubah seperti
orang yang kurang ingatan.
Sepanjang hari dia mengurung diri di dalam
kamar dan menangis tiada henti. Kedua
matanya telah bengkak dan sembab. Pipinya
telah cekung. Karena dia tak mau makan dan
tak mau minum selama beberapa hari maka
keadaan tubuhnyapun makin lama makin
kurus! Kadang-kadang di malam buta Untung
Pararean menjerit-jerit, berteriak memaki-
maki. Tak seorangpun yang berani
mendekatinya. Pernah satu kali seorang
prajurit datang mengantarkan makanan dan
air. Untung Pararean lalu mancabut keris
Mustiko Jagat dan memburu prajurit itu
karena di mata Perwira yang kurang ingatan
ini si prajurit tadi kelihatannya adalah
pemuda yang telah tidur bersama istrinya dan
yang telah dibunuhnya itu!
Sementara keadaan Untung Pararean semakin
parah, ancaman kaum pemberontak semakin
kritis pula karena pada waktu itu mereka
cuma tinggal satu setengah hari perjalanan
saja dari Ibukota!
Dalam saat-saat yang menegangkan itu
pulalah tiba-tiba saja muncul seorang kakek-
kakek aneh didepan Istana yang katanya ingin
bertemu dengan Sri Baginda. Mula-mula para
pengawal menyangka kakek-kakek ini adalah
seorang mata-mata pemberontak sehingga
segera hendak ditangkap. Namun betapa
terkejutnya semua prajurit karena siapa saja
yang berani datang mendekat dan turun
tangan, pasti mencelat mental dihantam kaki
atau tangan kakek-kakek ini.
"Aku datang dengan maksud baik! Kenapa
mau ditangkap?! Benar-benar manusia tidak
tahu diri Kalian semua!" begitu si kakek
memaki. Lalu karena tak ada seorangpun
yang berani menghalanginya kakek-kakek
inipun masuk ke Istana lenggang kangkung
dan sampai dihadapan Sri Baginda. Sri
Baginda sebelumnya telah diberi tahu atas
kedatangan kakek-kakek aneh ini.
"Tamu dari manakah yang datang ke Istana
ini?" tegur Sri Baginda sementara beberapa
Perwira berdiri didekatnya menjaga segala
kemungkinan.
"Kudengar di Istana ini ada seorang Perwira
yang sakit. Betulkah itu?" bertanya si kakek
tak dikenal.
Sri Baginda memandang pada Perwira-
perwiranya, lalu menganggukkan kepala.
"Betul sekali. Dari manakah kau tahu dan
harap terangkan dulu siapa kau ini, orang
tua?"
Orang tua itu batuk-batuk beberapa kali lalu
menjawab, "Aku yang tua ini adalah Kiyai
Supit Pramana dari Gunung Bromo … "
Terkeiutlah. Sri Baginda dan Perwira-perwira
Kerajaan tapi disamping itu juga timbul rasa
gembira dan pengharapan.
"Ah, tak tahunya Istana telah kedatangan
seorang sakti yang telah terkenal di delapan
penjuru angin. Silahkan duduk orang tua.
Maafkan kalau perlakuan orang-orangku
terhadapmu tidak menyenangkan.
Sesungguhnya aku sendiripun baru kali ini
berhadapan denganmu … "
Kiyai Supit Pramana duduk di sebuah kursi
yang kemudian disediakan.
"Tadi Kiyai bertanyakan tentang seorang
Perwira yang sakit. Apakah maksud Kiyai
sesungguhnya?"
"Aku ingin mengobatinya," jawab orang tua
itu.
"Ah, itu satu hal yang menggembirakan. Kami
sangat berterima kasih padamu Kiyai." ujar
Sri Baginda pula. "Kemudian dari pada itu
Kiyai, atas nama rakyat dan Kerajaan aku
meminta agar sudilah Kiyai turun tangan
membantu menumpas kaum pemberontak.
Kiyai tentu tahu bagaimana besamya bahaya
yang mengancam Kerajaan kini. Bala tentara
kaum pemberontak sudah sangat dekat.
Mereka memiliki beberapa tokoh silat yang
berkepandaian tinggi pula!"
Kiyai Supit Pramana menggeleng-gelengkan
kepalanya dan berkata, "Aku tahu, aku tahu,
Baginda. Tapi kedatanganku kesini cuma
punya satu maksud yaitu mengobati
Perwiramu yang sakit itu. Soal pemberontak
aku tak bisa ikut campur. Nah sekarang
tunjukkanlah aku dimana beradanya
Perwiramu yang sakit itu!"
Raja dan para Perwira merasa kecewa. Mereka
yakin jika orang tua yang sakti luar biasa itu
bersedia turun tangan pastilah kaum
pemberontak berhasil ditumpas sekalipun
mereka memiliki tokohtokoh silat yang hebat!
Tapi kekecewaan itu agak terhibur oleh
adanya maksud Kiyai Supit Pramana yang
hendak mengobati Untung Pararean. Jika
Untung Pararean berhasil diobati dan dapat
maju kemedan laga menghadapi pemberontak,
itupun sudah cukup sebagai jaminan bahwa
kaum pemberontak akan kena ditumpas!
Maka atas perintah Sri Baginda beberapa
pengawal mengantarkan Kiyai Supit Pramana
ke kamar Untung Pararean. Di hadapan pintu
kamar mereka berhenti. Salah seorang Perwira
memberi tahu, "Pintu ini dikunci dari dalam
Kiyai."
Kiyai Supit Pramana mengangguk. Sekali kaki
kirinya yang kurus kering bergerak
menendang, maka bobollah pintu kamar yang
terbuat dari kayu jati itu. Di dalam kamar
tampak Untung Pararean duduk menjelepok
disudut kamar tengah sesenggukan! Keadaan
dirinya kurus kering laksana tengkorak.
Kulitnya pucat pasi hanya tinggal pembalut
tulang. Matanya yang menonjol kedepan
berwarna merah dan ganas. Begitu dia
melihat orang-orang itu. Untung Pararean
mencabut keris Mustiko Jagat. Hawa aneh
membuat tubuhnya menjadi kuat dan laksana
seekor srigala lapar laki-laki ini melompat
kehadapan Kiyai Supit Pramana seraya
berteriak.
"Kau datang lagi pemuda bangsat! Kau
datang lagi ya?! Mampus! Mampuslah kau
keparat!" Keris Mustiko Jagat menderu kearah
dada Kiyai Supit Pramana.
"Awas Kiyai!" memperingatkan seorang
Perwira. "Itu senjata sakti dan mengandung
racun jahat sekali!"
TERKESIAP juga kiyai Supit Pramana melihat
sinar biru pekat yang keluardari kerisdi
tangan Untung Pararean. Angin yang
menyambarpun terasa dingin menembus kulit!
Tapi orang tua itu tidak kawatir! Cuma
sekejap dia terkesiap. Perwira perwira
Kerajaan yang mengantarkannya tidak sempat
melihat gerakan apa yang dibuat oleh kakek
kakek sakti itu karena tahutahu saja terdengar
keluhan pendek Untung Pararean. Perwira.
yang sakit ini tegak mematung dengan kedua
bola mata melotot seperti mau melompat
sedang keris Mustiko Jagat sudah berada
dalam tangan Kiyai Supit Pramana!
Sementara Perwira-perwira Kerajaan itu
terheran-heran, sang Kiyai mengeluarkan dua
buah botol dari balik pakaiannya. Botol
pertama berisi cairan hitam. Botol kedua,
lebih kecil berisi cairan putih bening. Kiyai
Supit Pramana membuka tutup botol yang
pertama lalu mengangkat tangannya tinggi-
tinggi dan mengguyurkan cairan hitam itu ke
atas kepala Untung Pararean!
Meskipun tubuhnya ditotok dan tak bisa
bersuara, tapi ketika air hitam menyirami
kepalanya dan kepala itu kelihatan mengepul-
ngepul maka dari mulut Untung Pararean
terdengar jeritan sedahsyat geledek membuat
Perwira-perwira Kerajaan yang ada disitu
serasa terbang nyawanya! Dua kali Untung
Pararean mengeluarkan jeritan dahsyat itu
lalu kembali mulutnya terkatup rapat-rapat.
Kiyai Supit Pramana membuka tutup botol
yang kedua. Mulutnya kelihatan komat-kamit,
entah membaca mantera apa.
"Buka mulutmu, Pararean!" memerintah sang
Kiyai.
Aneh, Untung Pararean benar-benar membuka
mulutnya. Di saat itulah hal aneh lagi terjadi.
Cairan putih bening di dalam botol di tangan
Kiyai Supit Pramana menyembur laksana air
mancur, masuk ke dalam mulut Untung
Pararean.
"Minum. Telan!" seru Kiyai Supit Pramana.
Cegluk . . . cegluk … terdengar air itu lewat
ditenggorokan Untung Paiarean.
"Bagus! Nah, sekarang kau pergilah ke tempat
tidur itu, berbaring dan tidurlah!" Kiyai Supit
Pramana melepaskan totokan ditubuh Untung
Pararean dan begitu totokan terlepas Perwira
ini laksana patung hidup melangkah ketempat
tidur, membaringkan tubuhnya, memejamkan
kedua matanya dan tidur!
Orang tua itu kemudian berpaling pada
Perwira-perwira Kerajaan yang berdiri
terlongong-longong dibelakangnya.
"Jika dia sudah bangun nanti, sakit yang
dideritanya akan sembuh. Katakan pada Raja
kalian bahwa sakit yang menimpa Untung
Pararean bukan sembarang sakit! Tapi adalah
akibat kutukan seseorang terhadap apa yang
pernah dilakukan olehnya!"
"Kutukan . . ,?" mengulang salah seorang
Perwira.
Yang terdengar sebagai jawaban hanya
sambaran angin. Ketika perwira-perwira itu
memandang ke depan Kiyai Supit Pramana
sudah tidak ada sedang keris Mustiko Jagat
kelihatan tertancap didaun pintu!
"Manusia sakti luar biasa …" desis seorang
Perwira. Kawan-kawannya hanya bisa
menganggukkan kepala sambil leletkan lidah!
Benar seperti yang dikatakan oleh Kiyai Supit
Pramana begitu Untung Pararean bangun dari
tidurnya, keadaan dirinya berubah total.
Otaknya telah pulih sehat seperti sedia kala
sehingga Sri Baginda benar-benar gembira
dan bersyukur atas pertolongannya si kakek
sakti dan aneh itu! Maka kepada Untung
Pararean Sri Baginda dan beberapa Perwira
penting menerangkan bahaya apa yang
tengah dialami Kerajaan saat itu. Dalam
pertemuan itu rencanapun segera disusun.
Ketika sinar matahari mulai berkurang
teriknya karena sudah rembang petang, maka
dari pintu gerbang Kotaraja kelihatanlah
serombongan besar bala tentara bergerak ke
timur di bawah pimpinan seorang Perwira
yang menunggangi kuda hitam. Perwira ini
bertubuh kurus dan bermuka pucat, tapi gerak
geriknya meyakinkan bahwa dia bukan orang
sembarangan, terutama yang bukan
sembarangan adalah keris Mustiko Jagat
yang tersisip di pinggangnya. Dan Perwira itu
bukan lain adalah Untung Pararean! Di kiri
kanannya bergerak pula beberapa orang
Perwira Kerajaan yang berkepandaian silat
tinggi!
Meski pada dasarnya Untung Pararean
bukanlah apa-apa jika tanpa keris Mustiko
Jagat, namun harus diakui bahwa dia
memiliki otak yang cerdik. Sewaktu hampir
berpapasan dengan bala tentara pemberontak,
Untung Pararean sengaja mengirim sejumlah
kecil pasukan yang dibawanya. Sesudah
terjadi pertempuran, dengan jumlah pasukan
yang lebih besar Untung Pararean dan
Perwira-perwira lainnya segera mengurung
kaum pemberontak sehingga pemberontak-
pemberontak itu harus menqhadapi musuh
dari depan dan dari belakang!
Amukan Untung Pararean, jelasnya amukan
keris Mustiko Jagat memang bukan main
hebatnya. Puluhan pemberontak menemui
ajalnya di ujung senjata sakti itu. Dua orang
tokoh pemberontak yang berilmu tinggi mandi
darah dan mati di tangan Untung Pararean.
Dua tokoh lainnya coba mengeroyok Perwira
ini namun merekapun mengalami nasib yang
sama, harus menyusul dua kawan mereka
yang terdahulu!
Sesudah pertempuran berkecamuk hampir dua
jam dengan banyak korban jatuh di pihak
pemberontak maka sisa-sisa yang masih
tinggal, di bawah seorang tokoh silat
golongan hitam segera mengundurkan diri!
Tapi Untung Pararean tak mau melepaskan
tokoh pemberontak yang seorang ini.
Dipacunya kuda hitamnya mengejar orang
yang lain, yang kini sama sekali tak punya
pimpinan barang seorang pun banyak yang
lari pontang-panting, ada juga yang
menjauhkan diri, berlutut minta ampun!
Untung Pararean tak memperdulikan mereka
yang berlutut minta ampun itu. Semuanya
dilabrak dengan tendangan dan babatan keris
hingga di tempat itu bertebaran lagi mayat-
mayat kaum pemberontak!
Dengan hati puas Untung Pararean kembali
kepada pasukannya. Justru dalam perjalanan
kembali inilah tiba-tiba muncul satu sosok
tubuh dari jurusan timur yang berlari laksana
kilat, memapas larinya kuda hitam yang
ditunggangi oleh Untung Pararena, hingga
binatang ini menghentikan larinya, meringkik
keras-keras dengan menaikkan kedua kakinya
ke udara tinggi tinggi, hampir saja membuat
Untuk Pararean terpelanting.
"Jahannam dari mana yang minta mampus
ini?" teriak Untung Pararean menggeledek.
Sebagai jawaban terdengar suara mendengus!
"Untung Pararean manusia rendah hina dina!
Sebelum kau mampus ada baiknya kuberi tahu
dulu siapa aku adanya!"
Orang yang berkata ini seorang tua renta
bertubuh bungkuk. Rambutnya awut-awutan
dan menebar bau busuk. Kuku-kuku
tangannya panjang-panjang dan hitam. Dia
mengenakan sebuah jubah putih yang amat
dekil dan penuh tambalan. Tubuhnya kurus
kering, lebih kurus dari Untung Pararean
sendiri yang keadaannya sudah seperti
jerangkong itu. Mukanya yang buruk tambah
tidak sedap dipandang karena adanya
bopeng-bopeng!
"Aku Gambir Seta. Orang-orang menggelariku
Pengemis Sakti Muka Bopeng … !"
"Hemm . . . hanya seorang pengemis!" ejek
Untung Pararean. "Aku tak ada urusan dengan
manusia macammu dan juga jangan harap
belas kasihanku untuk memberikan uang,
sekalipun cuma sepeser!"
Orang tua yang mengaku bergelar Pengemis
Sakti Muka Bopeng itu tertawa aneh.
"Orang yang mau mampus biasanya memang
suka bicara tak karuan macam kau!"
"Manusia bermuka tahu tertimpa hujan,
menghindarlah kalau tak mau kulabrak
dengan kaki-kaki kudaku!" ancam Untung
Pararean sementara dilihatnya beberapa
orang Perwira dan prajurit-prajurit bergerak ke
arahnya.
"Mau labrak? Silahkan! Aku mau lihat sampai
di mana kehebatan manusia yang telah
membunuh adik kandungku!" kata Pengemis
Sakti Muka Bopeng pula.
Terkejut Untung Pararean mendengar ucapan
orang tua itu. "Apa katamu? Adikmu yang
mana yang telah kubunuh? Katakan lekas
apakah kau juga salah seorang cecunguk
pemberontak?!"
"Kau memaki pemberontak-pemberontak itu,
Pararean? Jangan terlalu jauh melupakan
dirimu sendiri, Perwira! Ketahuilah. Kau lebih
hina, lebih busuk dari pemberontak-
pemberontak itu!"
"Kurang ajar! Kau benar-benar inginkan
mampus rupanya!" teriak Untung Pararean
marah. Disentakkannya tali kekang kudanya,
binatang itu melompat kemuka, menerjang
Pengemis Sakti Muka Bopeng!
Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh luar
biasa! Dengan kedua tangannya Pengemis
Sakti Muka Bopeng menangkap kaki-kaki
depan kuda hitam itu. Disertai dengan
bentakan setinggi langit kedua tangannya
digerakkan. Maka melayanglah kuda hitam itu
sejauh delapan tombak! Untung Pararean
sendiri kalau tidak lekas-lekas melompat
pasti akan mendapat celaka pula!
Untung saja dia sempat mencabut keris
Mustiko Jagat hingga dengan mengandalkan
hawa sakti senjata itu dia melayang enteng ke
tanah dan begitu berhadapan dengan si orang
tua, langsung saja mengirimkan satu tusukan
kilat yang mematikan ke arah tenggorokan!
"Ha … ha! Inilah dia keris Mustiko Jagat yang
kau curi dari adikku! Kau harus
mengembalikannya padaku manusia keparat!"
Rasa terkejut yang amat sangat membuat
Untung Pararean menarik serangannya.
"Apa katamu? Apa hubunganmu dengan Empu
Bharata?!"
"Aku kakaknya! Dan aku yang akan menagih
hutang nyawa itu! Tapi ah, tidak! Aku tak
akan membunuhmu! Kematian terlalu bagus
bagimu, terlalu enak! Aku akan biarkan kau
tetap hidup, tapi hidup dengan menderita lahir
bathin! Lebih hebat dari penderitaanmu yang
sudah-sudah!"
Habis berkata begitu Pengemis Sakti Muka
Bopeng menekuk kedua lututnya. Sesaat
kemudian tubuhnyapun melesat kemuka. Tapi
pada saat itu dari samping datang sambaran
senjata, memapai serangan Pengemis Sakti
Muka Bopeng. Manusia ini menggeram dan
berbalik. Ternyata tiga orang Perwira telah
sampai di situ dan sama-sama mencabut
pedang menyerang si Pengemis!.
Salah seorang dari Perwira-perwira itu
bertanya. "Kangmas Untung, siapa monyet tua
ini?! Biar kami yang mencincangnya!"
"Kalian menghindarlah! Nyawanya musti aku
sendiri yang cabut!" teriak Untung Pararean
lalu dengan cepat, mengiblatkan keris Mustiko
Jagat, menghunjam kearah lawannya!
Pengemis Sakti Muka Bopeng tertawa aneh.
Tubuhnya berkelebat dan lenyap dari hadapan
Untung Pararean.
"Kangmas, awas di sampingmu!" teriak
Perwira memberi ingat.
Mendengar ini Untung Pararean cepat
membalik dan membabat ke samping laksana
kilat! Maka terdengarlah suara beradunya dua
buah lengan!
Untung Pararean mengeluh. Tubuhnya
terhuyung-huyung sampai delapan langkah ke
belakang Lengannya yang kena dipukul sakit
bukan main merah dan bengkak! Masih
untung keris Mustiko Jagat tidak terlepas dari
tangannya! Di lain Pihak Pengemis Sakti Muka
Bopeng juga terkejut mendapatkan bagaimana
tangannya tergetar keras dan linu. Tapi dia
tahu bahwa itu bukanlah berkat kehebatan
tenaga dalam atau kesaktian si pemuda,
melainkan hawa kekuatan sakti yang keluar
dari keris Mustiko Jagat. Maka satu-satunya
jalan untuk menyelesaikan pertempuran itu
dengan lekas adalah merebut Mustiko Jagat
dari tangan Untung Pararean!
Jurus kedua kembali Pengemis Sakti Muka
Bopeng yang membuka serangan. Ujung
lengan jubahnya yang sebelah kanan
dikebutkan. Satu gelombang angin laksana
topan prahara menderu menyambar Untung
Pararean! Pemuda itu kiblatkan keris Mustiko
Jagat dari kiri kekanan! Sinar biru memapas
serangan angin dahsyat dari Gambir Seta
alias Pengemis Sakti Muka Bopeng. Terdengar
suara berdentum. Debu pasir serta batu-batu
kerikil berterbangan. Bumi laksana dilanda
lindu. Untung Pararean mengeluarkan seruan
tertahan sewaktu merasakan keris Mustiko
Jagat terlepas dari tangannya. Dia coba
melompat untuk menjangkau senjata itu. Tapi
dia tak sadar. Sewaktu Mustiko Jagat lepas
dari tangannya, maka segala kesaktiannya
yang dimilikinya dengan serta merta lenyap.
Lompatannya tak ubahnya seperti lompatan
seekor anak ayam. Jangankan untuk berhasil
mendapatkan Mustiko Jagat kembali, bahkan
saat itu satu tendangan melanda pinggulnya,
membuat Untung Pararean melolong setinggi
langit, mencelat sampai tujuh tombak.
Tubuhnya angsok ditanah tanpa sadarkan diri
lagi!
"Manusia muka bopeng keparat!" teriak
seorang Perwira Kerajaan. "Tubuhmu akan
kutabas jadi sepuluh potong!" Habis berteriak
demikian dia bacokkan pedangnya. Dua orang
kawannya serentak menyerbu pula hingga
Pengemis Sakti Muka Bopeng terkurung tiga
serangan pedang yang hebat ganas!
"Perwira-perwira! Aku tak punya permusuhan
apa-apa dengan kalian! Jangan serang!" seru
Pengemis Sakti Muka Bopeng seraya
memasukkan keris Mustiko Jagat ke balik
jubahnya. Tapi mana Perwira-perwira mau
mendengar! Malah mereka bersirebut cepat
untuk dapat membunuh Pengemis Sakti Muka
Bopeng! Dengan teriakan mengguntur
Pengemis Muka Bopeng melompat setinggi
tiga tombak, jungkir balik di udara dan keluar
dari kurungan ketiga penaeroyoknya.
"Anjing busuk! Kau mau kabur ke mana?!"
Tiga Perwira Kerajaan mengejar sementara
puiuhan prajurit telah sampai pula, siap
menunggu perintah untuk menyerbu!
"Perwira-perwira degil! Jika kalian minta
celaka baiklah! Lihat begaimana Pengemis
Sakti Muka Bopeng akan memberi pelajaran
pada kalian."
Habis berkata begitu, Pengemis Sakti Muka
Bopeng berkelebat. Tubuhnya lenyap dari
pemandangan dan terdengarlah pekik ketiga
Perwira itu!
PERWIRA yang pertama mencelat mental,
remuk tulang dadanya. Perwira kedua
terguling beberapa tombak dengan tempurung
lutut remuk sedang Perwira yang ketiga
terhempas Ketanah tak berkutik lagi karena
perutnya pecah dihantam tendangan!
Pengemis Sakti Muka Bopeng mendonqak ke
langit dan tertawa berkakakan lalu
membentak pada prajurit-prajurit yang ada di
sekelilingnya.
"Ayo maju kalau kalian kepingin mampus!"
Tentu saja sesudah menyaksikan Perwira-
perwira mereka menemui nabis begitu rupa,
semua prajurit itu sama sekali tidak
mempunyai nyali untuk menempur kakek-
kakek bermuka bopeng itu. Dengan masih
tertawa bekakakan Pengemis Sakti Muka
Bopeng lari ke arah di mana tubuh Untung
Pararean menggeletak pingsan. Sesaat
kemudian diapun lenyap dari pemandangan
dengan membawa tubuh Untung Pararean.
Untung Pararean siuman tak berapa lama
kemudian ketika tubuhnya masih dibawa lari
oleh kakek-kakek kurus kering itu. Pinggulnya
terasa sakit karena tulang dibagian situ
remuk akibat tendangar si kakek.
Bagaimanapun Untung Pararean mengerahkan
tenaga namun jangankan untuk bisa
melepaskan diri dari kempit si kakek untuk
bergerak sedikitpun dia tidak sanggup!
"Muka Bopeng, kau mau bawa ke mana aku?!"
tanya Untung Pararean.
"Heh! Kau sudah siuman?!" ujar Pengemis
Sakti Muka Bopeng lalu menghentikan larinya.
Dia memandang berkeliling. Daerah itu adalah
daerah rimba belantara tapi yang banyak
terdapat batu-batu besar. Dulunya ada
sebuah sungai mengalir di situ, tapi kemudian
kering dan karena itulah ditempat! tersebut
masih terdapat batu-batu sungai yang besar-
besar.
"Bagus! Bagus! Tempat inipun cukup pantas
untuk menyaksikan bagaimana hari ini aku
hendak merubah muka seorang manusia yang
tampan gagah, seorang Perwira Kerajaan,
menjadi muka yang tebih buruk, lebih
mengerikan dari muka setan!"
Habis berkata begitu Pengemis Sakti Muka
Bopeng tertawa gelak-gelak hingga seluruh
rimba belantara jadi bergema. Beberapa
burung hutan lari beterbangan karena
dikejutkan oleh suara tertawa manusia itu!
Dilepaskannya Untung Pararean dari kempitan
lalu dilemparkannya ke atas sebuah batu
besar hingga Perwira itu menjerit kesakitan!
Dengan mengeluarkan suara tertawa lebih
dahsyat, Pengemis Sakti Muka Bopeng
melangkah mendekati Untung Pararean.
Untung Pararean tahu tak satu apapun yang
bisa dilakukannya untuk menyelamatkan diri.
Maka dengan susah payah dicobanya bangun
dan berlutut lalu sambil meratap dia minta
ampun berulang-ulang.
"Kau minta ampun? Puah . . . ! Tidak satu
orangpun yang bisa mengampuni dosa
terkutukmu!"
"Kalau kau mengampuni selembar nyawaku ini
dan mengembalikan keris Mustiko Jagat. Aku
berjanji akan memberikan lima ratus keeping
uang emas, barang-barang perhiasan bahkan
apa saja yang kau minta!" Pengemis Sakti itu
cuma tertawa mendengar ucapan Untung
Pararean.
"Manusia anjing! Aku memang tak akan
membunuhmu! Kematian terlalu bagus
buatmu! Tapi apa yang aku lakukan
percayalah, lebih mengerikan dari kematian!"
"Pengemis Sakti . . . "
"Sudah diam!" bentak kakek-kakek itu lalu
secepat kilat menjambak rambut Untung
Par,rean dengan tangan kirinya.
"Pertama sekali mulai detik ini kau akan
menyaksikan bagaimana bagusnya dunia ini
bila dilihat cuma dengan sebelah mata!".
"Begitu selesai berkata tangan kanan
Pengemis Sakti Muka Bopeng meluncur
kedepan. Dua jari tangan terpentang
luruslurus dan "cras"! Biji mata Untung
Pararean yang sebelah kiri mencelat mental,
darah dan urat-uratnya berbusaian! Jerit laki-
laki itu laksana mau merobek langit karena
tekanan sakit yang tak dapat dilukiskan
sedang di lain pihak Pengemis Sakti Muka
Bopeng tertawa gelak-gelak melihat hasil
pekerjaannya!
"Bagaimana kau lihat dunia ini sekarang?
Bukankah lebih bagus? Lebih indah … ? Ha …
ha . . . .ha . . ha …!"
"Manusia biadab!" teriak Untung Pararean
dalam sakitnya. "Kau hanya berani pada
orang yang tak punya daya!"
"Kau masih bisa menceloteh hah?! Coba kau
rasakan ini! Aku mau lihat apa kau nanti
masih bisa bicara!" Tangan kanan Pengernis
Sakti Muka Bopeng berkelebat lagi ke muka
Untung Pararean. Untuk kedua kalinya
terderigar jeritan laki-laki itu, tapi yang sekali
ini tidak sedahsyat yang pertama tadi.
Mungkin juga disebabkan oleh mulutnya yang
sebelah karan robek sampai ke pipi dibeset
oleh Pengemis Sakti Moka Bopeng. Tubuh
Untung Pararean menggigil menahan sakit.
Sebagian dari bibirnya yang sebelah bawah
menjulai akibat mulutnya yang robek sedang
darah yang keluar semakin menambah seram
keadaan mukanya!
Pengemis Sakti Muka Bopeng bersurut
mundur beberapa langkah. Lalu sambil
bertolak pinggang ditelitinya wajah Untung
Pararean.
"Masih kurang seram! Masih belum
mengerikan!" katanya lalu maju lagi
kehadapan korbannya yang manggeletak di
atas batu besar. Untuk ketiga kalinya tangan
kanan Pengemis Sakti Muka Bopeng bergerak.
Kali ini kelima jari-jari tangannya yang
berkuku panjang mencengkeram dimuka
Untung Pararean yang saat itu befada dalam
keadaan antara sadar dan tidak. Dan
cengkeraman itu benar-benar membuat muka
Untung Pararean kini menjadi sangat
mengerikan dan berselomotan darah. Kulit
kening dan kedua pipinya hancur bergurat-
gurat. Cuping hidungnya sebelah kiri tanggal!
"Nah, sekarang baru kau betul-betul jadi
manusia bermuka lebih seram dari setan! Aku
puas …! Aku puas! Ha . . . ha … ha!
Hiduplah kau sampai seribu tahun, Pararean!
Tak satu manusiapun yang akan mau
mendekatimu! Ha . . . ha … ha . . .!" Setelah
puas tertawa beberapa lamanya, Pengemis
Sakti Muka Bopeng lalu berkata, "Sekarang
kau tunggulah sendirian di sini. Sebentar lagi
tentu setan-setan, jin dan dedemit penghuni
hutan belantara ini akan mengunjungimu!
Heh, sebelum lupa, aku nasihatkan padamu
agar jangan kembali ke kotaraja! Bisa-bisa
semua orang akan kabur ketakutan melihatmu
si Perwira Kerajaan yang telah berubah
menjadi setan!"
"Ha … ha . . . ha!"
Pengemis Sakti Muka Bopeng hendak berlalu
dari situ. Tapi mendadak diputarnya
badannya. "Aku kelupaan!" katanya.
"Masih ada yang kurang! Masih ada yang
kurang!" Kedua tangannya diacungkan ke
muka lalu bergerak ke telinga Untung
Pararean. Sekejap kemudian kedua daun
telinga laki-laki itupun buntunglah! Untung
Pararean sendiri tak mengetahui apa yang
telah terjadi dengan dirinya karena saat itu
dia sudah tidak sadarkan diri lagi!
*** Sang surya telah menggelincir ke barat.
Sinarnya yang terik menyilaukan kini berubah
redup kekuningan. Setiap benda yang disapu
sinar itu seolah-olah berubah warnanya
menjadi kuning. Disaat hari menjelang sore
itulah seorang kakek-kakek tua berjubah putih
bersih kelihatan berada disekitar hutan
belantara. Kelihatannya dia melangkah biasa
saja tapi dalam tempo yang singkat dia
sudah melewati belasan tombak! Nyatalah
bahwa orang tua itu memiliki semacam ilmu
lari yang luar biasa!
Bila angin timur bertiup sejuk, orar:g tua itu
telah lenyap ke dalam rimba belantara. Tak
selang berapa lama terdengarlah satu suara
helaan nafasnya yan;j dalam sekali. Si orang
tua ternyata telah menghentikan "langkah"nya
dan berdiri di hadapan batu besar di mana
tubuh Untung Pararean menggeletak!
"Tujuh puluh lima tahun hidup, baru hari ini
aku melihat kengerian yang luar biasa ini,"
membathin si orang tua "Sungguh hebat
kenyataan kutukan Empu Bharata…" desisnya
lagi dalam hati. Setelah menghela nafas
dalam untuk kedua kakinya orang tua ini
melangkah lebih dekat. Saat itu tubuh Untung
Pararean yang menggeletak di atas batu,
sedikitpun tidak bergerak. Tak ada tanda-
tanda getaran pernafasan pada dada ataupun
perutnya. Namun sepasang mata si orang tua
yang tajam mengetahui bahwa Untung
Pararean saat itu masih hidup. Tanpa
menunggu lebih lama orang tua itu lalu
mengangkat tubuh Untung Pararean dari atas
batu, memangulnya untuk kemudian
meninggalkan tempat itu dengan cepat
menuju ke utara. Siapakah gerangan orang
tua yang telah membawa Untung Pararean
itu? Dia bukan lain Kiyai Supit Pramana yang
dua hari lalu telah mengobati Untung
Pararean di Istana! Bagaimana maka dia bisa
pula sampai di situ baiklah kita tuturkan
sedikit. Nama Kiyai Supit Pramana pada
masa itu di tanah Jawa dikenal sebagai tokoh
silat golongan putih yang dihormati dan
disegani berkat ilmunya yang tinggi. Pada
suatu malam di pertapaannya yang terletak di
puncak Gunung Bromo dia bermimpi
kedatangan almarhum gurunya yang bernama
Eyang Pamanik. Dalam mimpi itu Eyang
Pamanik berkata pada Kiyai Supit Pramana.
"Muridku, tinggalkanlah puncak Bromo ini dan
pergi ke Kotaraja. Di dalam lingkungan Istana
ada seorang Perwira Kerajaan yang menderita
sakit keras! Sakitnya bukan sembarang, sakit,
tapi sakit akibat kutukan Empu Bharata yang
pernah diam di Gunung Slamet. Kau
mempunyai kewajiban sebanyak tiga kali
berturut-turut menolong Perwira itu. Pertama
mengobati sakitnya dengan ramuan Air Tawar
Putih dan Air Tawar Hitam. Bila sudah
tinggalkan Istana dan pergi kebukit
Tulungsentana. Tunggu sampai satu setengah
hari kemudian pergi kehutan yang terletatak
di tenggara Kotaraja. Kelak di dalam hutan ini
kau bakal menemui lagi Perwira itu dalam
keadaan yang mengerikan. Itu adalah juga
akibat kutukan Empu Bharata. Pertolongan
kedua yang harus kau lakukan muridku, ialah
membawa Perwira itu kepuncak Bromo ini,
memberikan pelajaran ilmu silat padanya, tapi
sekali-kali kau tak boleh mengambil dia
sebagai murid! Pertolongan yang ketiga kelak
harus kau lakukan di kemudian hari bila kau
merasa bahwa nyawanya betul-betul
terancam. Sesudah itu meski apapun yang
terjadi dengan dirinya, kau tak berhak lagi
menolongnya! "
Begitulah kira-kira ucapan Eyang Pamanik
pada Kiyai Supit Pramana dalam mimpinya.
Keesokan paginya, lama Kiyai Supit Pramana
merenungi makna mimpi mendiang gurunya
itu. Memang pernah juga dia bermimpikan
Eyang Pamanik, tapi dalam mimpi itu sang
guru cuma sekadar memperlihatkan diri saja,
tak pernah bicara apalagi sampai memberi
pesan seperti itu. Yakin bahwa apa yang
diimpikannya itu hanyalah bunga tidur belaka,
maka Kiyai Supit Pramana tak mau lagi
mengigatnya. Tapi pada malam berikutnya,
mimpi yang sama datang kembali, bahkan
terulang lagi di malam ketiga!
Kini Kiyai Supit Pramana merasa pasti bahwa
mimpinya itu bukanlah sekedar mimpi biasa,
bukan pula apa yang dikatakan bunga tidur.
Tanpa menunggu lebih lama hari itu juga
Kiyai Supit Pramana meniggalkan puncak
Gunung Bromo menuju ke Kotaraja. Dalam
perjalanan ke Kotaraja itulah orang tua yang
berumur 75 tahun ini mengetahui bahwa saat
itu Kerajaan tengah terancam bahava besar
kaum Pemberontak. Timbul niat dalam hati
orang tua sakti itu untuk turun tangan
menumpas gembong-gembong pemberontak
tapi dia ingat akan pesan gurunya di dalam
mimpi. Dia tak berani bertindak sendiri di kala
ada kewajiban yang harus dijalankannya.
Karena itu dipercepatnya perjalanannya ke
Kotaraja hingga tiga hari kemudian sampailah
dia ditempat tujuan tersebut.
Memasuki Kotaraia kerrudian diketahuinya
pula bahwa memang ada seorang Perwira
Kerajaan yang bernama Untung Pararean
sedang menderita sakit yang kritis bahkan
ada yang mengatakan bahwa Perwira itu
sudah gila, tak mau makan tak mau minum,
kerjanya berteriak-teriak, kadang-kadang
menangis menggerung-gerung memanggil-
manggil anak isterinya yang pergi entah ke
mana. Juga dikatakan bahwa siapa saja yang
berani mendekati Perwira yang sakit itu, pasti
dibunuh. Kabarnya pula Perwira itu memiliki
sebilah keris bernama Mustiko Jagat! Sampai
sebegitu jauh tak ada seorang yang sanggup
mengobati sakitnya sang Perwira. Raja sendiri
sudah tak berdaya apa-apa, mengingat pula
saat itu yang menjadi pikiran Raja dan
Perwiraperwira lainnya bukanlah Perwira yang
bernama Untung Pararean itu, tapi bahaya
besar yang mengancarn Kerajaan yakni
serbuan kaum pemberontak yang sudah
berada sangat dekat dari Pusat Kerajaan! Kini
betul-betul nyata bagi Kiyai Supit Pramana,
bahwa impian dan pesan gurunya dalam
mimpi itu bukanlah hal yang kosong belaka.
Bagaimana Kiyai Supit Pramana mengobati
dan menyembuhkan Untung Pararean telah
diceritakan. Sesudah melakukan pesan atau
pertolongan yang pertama itu maka Kiyai
Supit Pramana lalu meninggalkan Kotaraja
menuju ke bukit Fulungsentana. Sesuai
dengan pesan Eyang Pamanik, maka Kiyai
Supit Pramana herdiam selama satu setengah
hari di bukit tersebut. Selewatnya satu
setengah hari dia lalu menuju ke hutan yang
terletak di sebelah tenggara. Belum jauh
memasuki hutan, langkahnya terhenti sewaktu
menemukan sesosok tubuh menggeletak di
atas sebuah batu besar. Inilah rupanya sosok
tubuh Untung Pararean sebagaimana yang
diterangkan Eyang Pamanik lewat mimpi!
Oleh Kiyai Supit Pramana tubuh Untung
Pararean yang berada dalam keadaan pingsan
itu kemudian segera dilarikan kepuncak
Gunung Bromo.
DUNIA berputar juga. Siang berganti dengan
malam, malam berganti pula dengan siang,
demikian terus tiada hentinya hingga tak
terasa lagi enam belas tahun telah berlalu.
Selama enam belas tahun itu pulalah Untung
Pararean tinggal dipuncak Gunung Bromo
bersama Kiyai Supit Pramana. Keadaan muka
Untung Pararean meskipun sudah sejak lama
sembuh tapi bekas-bekas yang ditinggalkan
tetap mengerikan. Melihat penderitaan lahir
maupun bathin Untung Pararean inilah maka
Kiyai Supit Pramana merasa kasihan padanya.
Karena itulah pada Untung Pararean sang
Kiyai menurunkan ilmu silat dan beberapa
pukulan-pukulan sakti. Berkat ketekunannya
meyakini semua yang dipelajari dari Kiyai
tersebut maka dalam masa enam belas tahun
itu Untung Pararean telah menjadi seorang
pendekar gemblengan. Disamping pelajaran
ilmu Oat, dari Kiyai Supit juga diterimanya
berbagai macam pelajaran yang bersifat
kerohaniaan. Banyak sekali nasihat-nasihat
yang diberikan orang tua itu kepada Untung
Pararean sehingga Untung Pararean yang kini
berumur tiga puluh lima tahun itu bukan saja
memiliki kepandaian yang tinggi, tapi juga
hati yang tabah.
Namun kadang-kadang, bilamana dia berada
seorang diri ingatannya melayang pada anak
istrinya. Tentu sekarang Sri Lestari sudah
menjadi seorang remaja puteri. Betapa
rindunya dia terhadap anaknya itu, bahkan
dia juga sering terkenang terhadap istrinya,
meskipun apa yang telah dilakukan Sri
Kemuning tempo hari tetap membekas dalam
kalbunya laksana duri dalam daging.
Segala tindak tanduk Untung Pararean tidak
terlepas dari pengawasan Kiyai Supit
Pramana. Dan dia maklum juga apa yang
terpikir oleh laki-laki itu bila berada seorang
diri. Pernah Kiyai Supit Pramana
menganjurkan agar Untung Pararean turun
gunung untuk mencari anak istrinya dan
berkumpul bersama-sama kembali. Tapi saat
itu Untung Pararean menjawab :
"Saya lebih suka tetap, tinggal bersama-sama
Kiyai di sini."
"Kenapa begitu? Agaknya kau tak punya
tanggung jawab sebagai seorang ayah dan
sebagai seorang suami."
Lama Untung Pararean terpekur dan pada
akhirnya dia menjawab juga, "Tanggung
jawab sebagai seorang suami sudah pernah
kuberikan pada istriku, Kiyai. Dan tanggung
jawab itu telah disia-siakannya. Kiyai tentu
maklum. . . . "
Kiyai Supit Pramana mengangguk. Dia
memang sudah tahu apa yang pernah terjadi
antara Untung Pararean dan istrinya yaitu
ketika Untung menuturkan riwayat hidupnya.
"Lalu karena hal itu apakah kau tak akar
mempunyai hasrat sama sekali untuk
menemui anakmu?" bertanya lagi Kiyai Supit
Pramana.
"Betapapun seorang ayah selalu merindukan
anaknya, Kiyai." kata Untung Pararean.
Ditelannya ludahhya lalu melanjutkan, "Tapi
apakah dia akan mau mengakui aku sebagai
ayahnya? Kiyai saksikan sendiri bagaimana
mengerikannya parasku ini. Bahkan Sri
Kemuning sendiripun pasti tak bisa
mengenaliku! Aku tak ingin mengecewakan
hati Sri Lestari Kiyai, karena memiliki seorang
ayah sepertiku ini. Yang mukanya lebih seram
dari muka setan!"
Bila pembicaraan sudah sampai disitu,
biasanya Kiyai Supit Pramana tak mau
meneruskan pembicaraan. Dia kawatir kalau
diteruskan maka pembicaraan hanya akan
membuat menguaknya kembali luka derita di
lubuk hati Untung Pararean yang coba hendak
dilupakan itu.
Pada suatu hari, untuk satu keperluan Kiyai
Supit Pramana menyuruh Untung Pararean ke
kota Linggoprobo di utara Gunung Bromo.
Linggaprabo terletak di tepi pantai yang ramai
disinggahi perahuperahu dari pelbagai negeri
dan sekaligus merupakan salah satu kota
pusat perdagangan di Jawa Timur pada masa
itu. Dengan mengenakan kain hitam untuk
menutupi parasnya, Untung Parareanpun
berangkatlah. Memang sudah menjadi
kebiasaannya untuk mengenakan penutup
muka begitu bila dia turun gunung.
Sementara itu di sebuah pulau yang terletak di
Selat Madura terdapatlah sebuah bangunan
yang besar dan bagus yang keseluruhannya
dibuat dari bambu kuning. Tiga orang yang
mengenakan pakaian kotor bertambal-tambal
kelihatan berada diruangan muka. Dari ruang
dalam tak lama kemudian keluar seorang
dara muda belia berparas jelita. Rambutnya
hitam panjang dijalin dua. Langkahnya ringan
dan gerak geriknya lincah. Seperti orang-
orang yang berada di ruang muka itu, dara
inipun mengenakan pakaian ringkas
bertambal-tambal tetapi bersih.
"Hai jangan mengobrol juga! Ayah memanggil
kalian!" seru dara itu.
Ketiga orang laki-laki yang asyik bicara di
ruang depan berpaling dan berdiri dari kursi
masing-masing lalu mengikuti si dara
memasuki sebuah kamar.
Di dalam kamar itu duduk bersila seorang
laki-laki bermuka bopeng, berpakaian
bertambal-tambal. Karena tubuhnya yang
bungkuk maka duduknya sangat menjorok ke
depan. Rambutnya awut-awutan dan bau.
Sepuluh kuku jarinya panjang, hitam berdaki.
Tubuhnya yang bungkuk itu amat kurus
hingga tak ubahnya seperti jerangkong hidup.
Di samping tua renta ini duduk seorang
perempuan separuh baya berkulit hitam manis
dan berparas yang menyatakan bahwa dia
dulunya adalah seorang perempuan yang
cantik. Perempuan inipun mengenakan
pakaian yang bertambal-tambal. Kelima
orang yang masuk itu duduk bersila di atas
tikar, si dara duduk di samping perempuan
separuh baya itu.
"Guru memanggil kami, ada perlu apakah?"
bertanya laki-laki yang berbadan sangat
gemuk, demikian gemuknya hingga tak
kelihatan lagi batas dagu dengan leher! Dan
namanya Pengemis Badan Gemuk.
"Kurasa kau dan saudara-saudara
seperguruanmu sudah tahu tentang tantangan
Si Cadar Hitam," menjawab orang tua yang
bermuka bopeng itu. "Aku muak menghadapi
manusia macam begituan. Karenanya
kupanggil kalian ke sini untuk memberi tugas
agar kalian yang mewakilkan aku memenuhi
tantangan itu."
"Terima kasih yang guru telah menaruh
kepercayaan besar terhadap kami," berkata
Pengemis Badan Gemuk, lalu tanyanya,
"Apakah kami harus berangkat sekarang
juga?"
"Ya. Karena besoklah hari tantangan yang
dikatakan oleh Si Cadar Hitam. Kalian
pergilah ke Linggoprobo dan tunggu dia di
rumah makan Akik Rono yang terletak di
pangkalan perahu. Jika dia datang kalian
tahu apa yang harus diperbuat. Kalian jangan
sampai membikin malu namaku dan juga
membikin buruk nama kalian sendiri selaku
orangorang yang dijuluki Empat Pengemis
Pulau Ras."
"Percayalah guru, kami berempat pasti tak
akan mengecewakan dan tak akan memberi
malumu. Kami minta diri sekarang!"
kata Pengemis Badan Gemuk seraya berdiri.
Dua orang kawannya yaitu masing-masing
Pengemis Badan Kurus dan Pengemis Kepala
Botak segera pula berdiri sementara sang
dara yang berjalin dua berkata pada
perempuan disampingnya: "Ibu, aku pergi
bersama mereka."
"Pergilah dan hati-hati. Jangan
mengecewakan ayahmu, Lestari."
Sri Lestari, demikian nama dara belia itu yang
juga dikenal dengan julukan Pengemis Cantik
Ayu berdiri dan melangkah ke hadapan
ayahnya untuk pamitan. Tak lama kemudian
dengan mempergunakan sebuah perahu,
keempat orang yang di dunia persilatan
dikenal dengan nama Empat Pengemis Pulau
Ras itupun berangkatlah menyeberangi Selat
Madura menuju ke pesisir Utara Pulau Jawa.
Siapakah sesungguhnya orang tua bermuka
bopeng yang tinggal dalam rumah besar
terbuat dari bambu kuning itu? Dia bukan lain
dari Pengemis Sakti Muka Bopeng yang
sekitar enam belas tahun yang lglewat telah
melakukan penuntutan balas terhadap Untung
Pararean atas kematian adiknya yaitu Empu
Bharata.
Dan perempuan berkulit hitam manis yang
tadi duduk di sampingnya? Jangan pembaca
terkejut karena perempuan itu adalah Sri
Kemuning, istri Untung Pararean yang telah
melarikan diri dari Istana yaitu sesudah dia
tertangkap basah melakukan perzinahan
dengan seorang pengawal. Nasib peruntungan
manusia memang tidak di-duga-duga. Dalam
larinya dari Istana bersama anaknya yang
bernama Sri Lestari, Sri Kemuning telah
tersesat ke dalam rimba belantara yang penuh
dengan binatangbinatang buas. Dua beranak
itu hampir saja menjadi pengisi perut seekor
harimau besar jika saat itu tidak muncul
Pengemis Sakti Muka Bopeng. Setelah
menolong kedua beranak dan karena merasa
kasihan melihat kehidupan mereka yang
terlantar, maka akhirnya Pengemis Sakti Muka
Bopeng membawa Sri Kemuning dan Sri
Lestari ke Pulau Ras. Di sana mereka
kemudian hidup sebagai suami isteri tanpa
sedikitpun di ketahui oleh Pengemis Sakti
Muka Bopeng bahwa perempuan yang
dikawininya itu adalah istri Untung Pararean
yang melarikan diri! Kemuning sendiri tak
pernah menerangkan siapa dia sebenarnya
karena dia kawatir kalau-kalau akan sampai
kabar ke telinga Untung Pararean di mana dia
berada yang berarti pasti akan dikejar pula
dan dibunuh! Sewaktu Pengemis Sakti Muka
Bopeng membawa Sri Kemuning ke Pulau Ras,
Sri Lestari masih kecil, dan sekarang sesudafi
lewat enam belas tahun Sri Lestari telah
menjadi seorang gadis belia yang berparas
jelita. Sebagaimana Pengemis Sakti Muka
Bopeng tidak mengetahui bahwa Sri
Kemuning adalah dulu istrinya Untung
Pararean, maka demikian pula dengan Sri
Lestari Gadis itu tidak pula mengetahui kalau
Pengemis Sakti Muka Bopeng bukanlah ayah
kandungnya!
Pengemis Sakti Muka Bopeng sangat
menyayangi Sri Lestari. Karena itulah sejak
dari kecil Sri Lestari diberinya pelajaran silat
sehingga enam belas tahun kemudian Sri
Lestari menjadi seorang gadis cantik yang
tinggi sekali kepandaiannya!
Dalam pada itu Pengemis Sakti Muka Bopeng
juga mengambil tiga orang murid. Ketiganya
lakilaki. Mereka itu adalah Pengemis Badan
Gemuk, Pengemis Kepala Botak dan Pengemis
Badan Kurus.
Pada sekitar satu tahun yang lalu telah
terjadi perselisihan antara Gambir Seta atau
yang lebih di kenal dengan gelaran Pengemis
Sakti Muka Bopeng dengan seorang tokoh
silat dari Barat. Tokoh silat ini tak diketahui
siapa namanya tapi karena setiap muncul dia
selalu mengenakan kain cadar berwarna hitam
untuk menutupi mukanya maka orang-orang
persilatan menggelarinya Si Cadar Hitam.
Aliran mana yang dianut oleh Si Cadar Hitam
tidak jelas. Kadangkadang dia bersekutu
dengan golongan hitam, kadangkadang bahu
membahu dengan golongan putih
menghancurkan kejahatan-kejahatan
golongan hitam!
Perselisihan yang terjadi antara Perigemis
Sakti Muka Bopeng dengan Si Cadar Hitam
akhirnya menjadi satu baku tanding yang
dilangsungkan di Tanjung Bunga Rampai,
yakni sebuah tanjung terjal yang terletak di
sebelah tenggara Pulau Ras. Pengemis Sakti
Muka Bopeng adalah seorangtokoh silat
daerah Timur yang telah terkenal ketinggian
ilmunya. Namun kali ini agaknya dia
menghadapi seorang lawan, yang meskipun
baru muncul, memiliki pula ilmu kepandaian
yang luar biasa. Sehingga setelah baku
tanding sanmpai setengah harian barulah
akhirnya Pengemis Sakti Muka Bopeng
berhasil memukul rubuh Si Cadar Hitam!
Bagi Pengemis Sakti Muka Bopeng yang
berhasil keluar sebagai pemenang, apa yang
telah terjadi bukan lagi merupakan persoalan
yang hariis dipikir panjang. Tapi tidak
demikian bagi pihak yang kalah. Sebelum
berpisah dalam kekalahan pahit itu, Si Cadar
Hitam telah mengeluarkan ucapan tantangan
terhadap Pengemis Sakti Muka Bopeng.
"Aku akui keunggulanmu saat ini Muka
Bopeng." demikian Si Cadar Hitam berkata,
"tapi itu bukan berarti aku akan mengakuinya
selama-lamanya! Walau bagaimanapun
kemenanganmu di sini adalah karena kau
berada di sarang sendiri!"
"Lantas apa maumu, Cadar Hitam?!" tanya
Pengemis Sakti Muka Bopeng dengan seringai
mengejek.
"Kita harus menentukan lagi siapa yang
paling unggul antara kita berdua!" jawab Si
Cadar Hitam ketus.
"Apa kau masih punya muka dan punya nyali
sesudah kujatuhkan hari ini?!"
Cadar Hitam menggeram dan menjawab, "Kau
boleh bicara sombong saat ini karena
kemenanganmu. Tapi kutunggu kau satu
tahun di muka di rumah makan Akik Rono di
pelabuhan Linggoprobo! Kalau kau tidak
muncul, dunia persilatan akan mengetahui
bahwa kau hanyalah seorang bergundal
pengecut belaka!"
Pengemis Sakti Muka Bopeng tertawa
membahak mendengar ucapan yang
merupakan tantangan itu. Sebaliknya Si Cadar
Hitam memutar tubuh dan cepat-cepat
meninggalkan tempat itu! Ketika hari
tantangan itu tiba, Pengemis Sakti Muka
Bopeng merasa segan untuk melayani Si
Cadar Hitam. Karena itulah disuruhnya Sri
Lestari dan ketiga muridnya untuk
mewakilinya dalam menghadapi Si Cadar
Hitam.
SEMUA orang di pelabuhan Linggoprobo tak
satupun yang berani mengangkat kepala
memandang kepada keempat orang yang baru
saja turun dari perahu itu. Orang-orang yang
berkumpul bersibak memberi jalan.
"Aku tak habis mengerti pada manusia-
manusia itu," kata gadis yang rambutnya
dijalin dua. "Setiap kita muncul mereka
ketakutan sekan-akan Empat Pengemis Pulau
Ras adalah empat ekor harimau kelaparan
atau empat setan pelayangan yang
menyeramkan!"
Tiga orang laki-laki yang berjalan di belakang
gadis itu tertawa. Salah seorang di antaranya,
yang berbadan gemuk menjawab. "Tak usah
perdulikan mereka! Kita percepat saja langkah,
siapa tahu mungkin Si Cadar Hitam, sudah
menunggu di rumah makan Akik Rono!"
Keempat orang itu kemudian memutar
langkah kejurusan timur pelabuhan di mana
terletak rumah makan Akik Rono, sebuah
rumah makan besar yang cuma satu-satunya
terdapat di pelabuhan Linggoprobo.
Saat itu hampir tengah hari dan rumah makan
tersebut sedang ramai-ramainya dikunjungi
tamu. Tapi begitu Empat Pengemis Pulau Ras
muncul di ambang pintu, semua orang yang
ada di situ, tak perduli sedang lahap makan
atau masih tengah menunggu pesanan
mereka, cepat-cepat saja berdiri dan angkat
kaki meninggalkan rumah makan.
"Kalian lihat!" kata dara berjalin dua yaitu Sri
Lestari. "Mereka menghindar sesudah melihat
kedatangan kita!"
Laki-laki yang berbadan gemuk yaitu
Pengemis Badan Gemuk tidak mengacuhkan
ucapan saudara seperguruannya. Dia
memandang ke seantero ruangan tapi orang
yang dicarinya tidak kelihatan.
"Rupanya dia belum datang. Ayo kita masuk!"
Baru saja Sri Lestari atau Pengemis Cantik
Ayu melewati ambang pintu, seorang laki-laki
separuh baya yang berbadan pendek dan tak
kalah gemuknya dengan Pengemis Badan
Gemuk mendatangi tergopohgopoh, menjura
pada keempat orang itu dengan hormat
sekali. Dialah Akik Rono, pemilik ruang
makan.
"Kembali rumah makanku mendapat
kehormatan kedatangan 'Empat Pengemis
Pulau Ras. Mari masuk dan silahkan
mengambil tempat …?
Keempat orang itu sengaja mengambil tempat
yang baik agar dapat mengawasi pintu masuk
dengan leluasa. Sementara itu Akik Rono telah
memberi perintah pada pelayan-pelayannya
untuk menghidangkan makanan serta
minuman yang enak-enak untuk keempat
tetamu tersebut. Tak lama kemudian Empat
Pengemis Pulau Ras kelihatan asyik
menikmati isi piringnya masing-masing.
Pengemis Badan Gemuk tengah menyeka
butirbutir peluh dikeningnya, Pengemis Badan
Kurus tengah mengulurkan tangan hendak
memotes sebuah pisang, Pengemis Kepala
Botak tengah mengusap-usap perutnya yang
keras padat kekenyangan dan Pengemis
Cantik Ayu telah menyibakkan rambutnya
yang tergerai di kening ketika telinga masing-
masing mendengar suara siulah yang tak
menentu tapi keras dan aneh! Keempatnya
saling berpandangan.
"Siapa pula yang bersiul kegirangan di tengah
hari bolong begini!" kata Pengemis Kepala
Botak sambil mengawasi pintu masuk.
Suara siulan mendadak berhenti, berganti
dengan suara tarikan nafas dan sesaat
kemudian di ambang pintu muncullah seorang
pemuda berpakaian putih. Rambutnya
gondrong mukanya berminyak keringat dan
kotor disaput debu tanda dia baru saja
menempuh perjalanan jauh. Sambil mengipas-
ngipaskan tangannya untuk mengurangkan
hawa panas, pemuda ini pergi duduk dekat
pintu. Dia memandang berkeliling,
memperhatikan Empat Pengemis Pulau Ras
sejenak lalu berpaling pada laki-laki separuh
baya bertubuh gemuk dan pakai blangkon
yang berdiri di sudut kiri.
"Kota besar seramai ini, rumah makannya
cuma satu!" berkata pemuda itu -seolah-olah
pada dirinya sendiri. Dan dilihatnya laki-laki
gemuk berblangkon itu melangkah ke
hadapannya.
Si pemuda tersenyum. "Panas sekali!" katanya
pada Akik Rono. "Orang segemukmu apakah
tidak kepanasan seperti aku?!"
Akik Rono tersenyum pula. "Aku sudah biasa
dengan udara laut yang panas. Kau mau
memesan apa, orang muda?"
Tamu yang baru datang itu menyebutkan
makanan dan minuman yang dikehendakinya.
Akik Rono baru saja meninggalkan meja si
pemuda sejauh dua langkah ketika di
seberang sana didengarnya suara meja
digebrak! Dengan muka pucat karena terkejut
pemilik rumah makan itu berpaling. Dilihatnya
Pengemis Badan Gemuk berdiri dengan cepat
dan kasar hingga kursi yang didudukinya
terpelanting dan mengeluarkan suara berisik.
Dengan langkah-langkah besar dan muka
kelam merah sedang sepasang mata melotot
garang, Pengemis Badan Gemuk menuju ke
meja di mana pemuda berambut gondrong
duduk.
"Rambut gondrong sialan! Kau berani kurang
ajar menghinaku hah?"
Si pemuda jadi melongo. Kedua alis matanya
yang tebal naik ke atas sedang kulit
keningnya mengerenyit tanda dia terheran-
heran.
"Tak ada hujan tak ada angin kenapa kau
mendadak beringas begini, sobat?!" tanya si
pemuda setelah terlebih dulu meneliti
Pengemis Badan Gemuk dari kepala sampai
ke kaki.
"Kau bicara apa tadi sama pemilik rumah
makan ini? Ayo coba kau ulangi!" bentak
Pengemis Badan Gemuk.
"Eh . . . " si pemuda menggaruk-garuk
kepalanya beberapa kali. "kurasa tak ada
ucapanku yang kutujukan padamu. Apalagi
dengan maksud menghina!"
"Kurang ajar berani mungkir terhadap aku
Pengemis Badan Gemuk! Tadi kau bicara
tentang panas dan tentang orang gemuk! Apa
itu bukan berarti menghinaku?! Ayo lekas kau
berlutut minta ampun! Kalau tidak jangan
menyesal bila kepalamu kupuntir ke
belakang!"
Dalam keheranan yang masih belum lenyap si
pemuda tiba-tiba tertawa. Mula-mula
pelahan, makin lama makin santar terbahak-
bahak!
"Sobat kau salah sangka! Kalau di sini cuma
kau sendiri yang gemuk gendut memang bisa
juga kau merasa terhina! Tapi tadi aku bicara
sama laki-laki itu! Dia sendiri sama sekali
tidak merasa terhina! Kenalpun aku tidak
padamu, perlu apa menghina segala?!"
Ucapan-ucapan itu membuat Pengemis Badan
Gemuk menjadi tambah naik darah.
"Kau berani bermulut besar, bocah! Aku mau
lihat apakah kau juga berani menerima
pukulanku ini!"
Habis berkata begitu Pengemis Badan Gemuk
mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Di
saat itu dari meja di seberang sana terdengar
seruan.
"Gemuk! Kenapa kau mau melayani pemuda
dogol yang tampaknya tidak berotak sehat
itu?! Jangan cari urusan tak karuan! Kita
datang ke sini bukan untuk itu! Ayo
kembalilah ke sini!"
Si pemuda rambut gondrong memalingkan
kepalanya. Yang berseru adalah gadis cantik
berjalin dua. Dia tersenyum pada gadis itu
dan berkata,
"Kau betul saudari! Memang tak ada gunanya
mencari urusan yang tak karuan! Satu hal
kuberi tahu padamu, tampangku memang
dogol, namun otakku mungkin jauh lebih
sehat dari si gemuk ini!"
Pengemis Badan Gemuk berteriak marah! Kaki
kanannya melayang laksana kilat cepatnya ke
arah dada si pemuda rambut gondrong!
Terdengar satu suara siulan yang disusul
dengan mentalnya kursi yang tadi diduduki si
pemuda! Kursi itu bukan saja mental tapi
hancur berkeping-keping!
"Gemuk! Aku bilang kembali ke sini!" teriak Sri
Lestari, atau Pengemis Cantik Ayu. "Kalau
tidak aku akan laporkan pada ayah nanti!"
"Tapi bangsat ini keliwat menghina, Lestari!"
sahut Pengemis Badan Gemuk dengan
rahang-rahang menggembung.
"Biarkan dia. Namanya saja orang sinting!"
Sri Lestari berpaling pada pemilik rumah
makan.
"Akik Rono, kau usirlah pemuda itu!"
perintahnya.
Dengan ketakutan Akik Rono meiangkah ke
hadapan si pemuda rambu gondrong, lalu
berkata: "Den, aku harap kau sudi
meninggalkan tempat ini…"
"Baik baik tapi mana itu makanan yang aku
pesan? Hidangkan dulu, nanti baru aku mau
pergi.
Jawaban si pemuda membuat Akik Rono serba
salah. Dia takut pada Empat Pengemis Pulau
Ras, tapi terhadap si pemuda itu agaknya dia
juga tak berani berlaku sembarangan. Maka
diapun bicara berbisik-bisik: "Den, kau harus
tahu keempat orang itu adalah Empat
Pengemis Pulau Ras yang berkepandaian silat
tinggi sekali! Aku tak ingin mendapat celaka.
Kuharap kau sudi segera meninggalkan
tempat ini."
Si pemuda merutuk dalam hatinya. "Meski
bemama pengemis agaknya mereka mau
menjadi Raja di sini!" mengomel pemuda itu.
"Baik aku akan pergi! Tapi pengusiran secara
kurang ajar ini musti ada imbalannya!" kata si
pemuda bersungut-sungut. Cepat sekali
tangannya menyambar blangkon di kepala
Akik Rono. Entah bagaimana kemudian kain
blangkon itu sudah terlepas dari buhul-
buhulnya, lalu laksana seekor ular melesat
menyambar kemeja di mana Empat Pengemis
Pulau Ras berada. Ujung kain blangkon itu
secara aneh menggulung sesisir pisang di
atas meja dan sesaat kemudian pisang itu
tersapu ke arah sipemuda dan ditangkap
dengan tangan kirinya!
"Ini kukembalikan kain blangkonmu!" kata si
pemuda seraya melemparkan kain blangkon
Akik Rono pada pemiliknya, lalu melangkah ke
pintu! Justru pada saat itu pula Pengemis
Badan Gemuk cepat melompat dan
menghadang di pintu.
"Kalau tidak kupecahkan kepalamu, jangan
panggil aku Pengemis Badan Gemuk dari
Pulau Ras!"
"Wuut!"
Satu angin pukulan mendru kekepala si
pemuda. Yang diserang cepat mengelak
hingga tinju Pengemis Badan Gemuk hanya
mengenai tempat kosong. Dengan geram
penasaran Pengemis Badan Gemuk berbalik.
Kali ini dia melancarkan serangan yang lebih
hebat. Kedua tangannya terpentang. Kedua
kakinya menekuk siap untuk melompat.
"Gemuk!" tiba-tiba saja terdengar seruan Sri
Lestari alias Pengemis Cantik Ayu.
"Tinggalkan pemuda itu dan cepat ke sini!
Orang yang kita tunggu sudah datang!"
PENGEMIS Badan Gemuk menahan gerakan
dan berpaling cepat-cepat ke pintu rumah
makan. Saat itu di ambang pintu tegak
seorang laki-laki berbadan tegap. Keseluruhan
parasnya tertutup sehelai kain hitam yang
hanya di bagian matanya saja diberi
berlobang. Dan sepasang mata itu kelihatan
memiliki sinar tajam yang menandakan
bahwa orang itu bukan orang sembarangan.
"Hemmm . . . " gumam Pengemis Badan
Gemuk. "Kelak jika urusanku sudah selesai
kau bakal menerima bagian dariku rambut
gondrong!" katanya pada pemuda rambut
gondrong lalu dengan satu gerakan cepat dan
enteng dia sudah berada di samping
Pengemis Cantik Ayu. Di lain pihak pemuda
berambut gondrong cuma ganda tertawa.
Kemunculan laki-laki bercadar hitam di
ambang pintu menarik perhatiannya.
Karenanya kalau tadi dia berniat untuk
meninggalkan rumah makan itu, kini niat itu
diurungkannya dan dia melangkah ke sudut
rumah makan, berdiri di situ.
Laki-laki bercadar kain hitam yang baru
datang masih tetap berdiri di ambang pintu.
Sepasang matanya memandang tak berkesip
pada Sri Lestari atau Pengemis Cantik Ayu.
Jika saja mukanya tidak tertutup dengan kain
hitam itu niscaya akan kelihatan bagaimana
berubahnya paras orang itu sewaktu
pandangannya membentur Sri Lestari. Sri
Lestari yang bertindak sebagai pimpinan
Empat Pengemis Pulau Ras juga memandang
tajam-tajam pada orang yang di ambang
pintu seakan-akan hendak menembus kain
hitam yang menutupi wajah orang itu. Dan
pandangan yang begitu tajam ini membuat
laki-laki tersebut menjadi berdebar.
"Cadar Hitam!" kata Pengemis Cantik Ayu
lantang. "Kami telah lama menantikanmu.
Silahkan masuk agar urusan kita bisa lekas
diselesaikan!"
Karena tidak merasa kalau Sri Lestari bicara
dengannya maka laki-laki bercadar hitam
berpaling ke belakang.
"Aku bicara padamu, Cadar Hitam! Kenapa
kasak kusuk pura-pura melihat ke belakang
segala?!"
Ucapan Sri Lestari membuat laki-laki itu
memalingkan kepalanya kembali dan
memandang pada sang dara. Akhirnya
kelihatan kakinya bergerak, melangkah
memasuki rumah makan. Tapi dia masuk
bukan terus menemui Empat Pengemis Pulau
Ras, melainkan melangkah mendapatkan Akik
Rono yang berdiri di seberang sana dengan
muka pucat pasi macam kertas!
"Kau pemilik rumah makan ini? Tolong
sediakan hidangan. Aku lapar sekali!" berkata
laki-laki bercadar pada Akik Rono.
"Ba . . . baik . . . den," jawab pemilik rumah
pemilik rumah makan itu gagap tanda dirinya
diselimuti ketegangan. Kemudian cepat-cepat
dia membalikkan badan meninggalkan tempat
itu.
Melihat orang yang tidak ambil perduli dirinya
dan saudara-saudara seperguruannya maka
marahlah Sri Lestari. Dara ini pun
membentak.
"Cadar Hitam! Mungkin kau masih belum
kenal siapa kami! Kami adalah Empat
Pengemis Pulau Ras yang sengaja menunggu
disini untuk mewakili guru dan ayahku!"
"Gadis, kau bicara dengan siapakah?"
bertanya laki-laki bercadar hitam yang bukan
lain adalah Untung Pararean yang
meninggalkan puncak Ofinung Bromo karena
suruhan Kiyai Supit Pramana. Pengemis
Cantik Ayu mendelikkan matanya.
"Apa kau tidak punya mata tidak punya
telinga? Aku bicara padamu dan masih
bertanya macam orang setengah edan!"
"Mungkin dia benar-benar edan, saudaraku,"
menyambung Pengemis Badan Gemuk yang
sudah gatal-gatal tangannya untuk segera
turun tangan.
"Kalau begitu kau salah paham, gadis", kata
Untung Pararean pula. "Aku bukan Cadar
Hitam!"
"Pengecut berani dusta!" sentak Pengemis
Kepala Botak dengan rahang-rahang
bertonjolan penuh geram. Dia hendak
melangkah tapi ditahan oleh Pengemis Cantik
Ayu.
"Rupanya nyalimu menjadi lumer berhadapan
dengan murid-murid musuh besarmu?" ejek
Pengemis Cantik Ayu.
"Aku betul-betul tak mengerti dengan
pambicaraanmu ini," tukas Untung Pararean.
"Puah! Pura-pura tidak mengerti!" semprot
Pengemis Badan Gemuk sambil meludah.
"Dengar Cadar Hitam . . . "
"Namaku bukan Cadar Hitam. . . "
"Apakah namanya aku tak perduli! Tapi tak
perlu dusta! Bukankah kau datang ke sini
untuk melaksanakan tantangan yang kau
tujukan pada Pengemis Sakti Muka Bopeng
sekitar satu tahun yang lalu?! Kami murid-
muridnya di utus ke sini untuk mewakili beliau
melayanimu!"
Untung Pararean terkejut. Terkejut bukan
karena tantangan yang tak pernah dibuatnya
itu, tetapi terkejut ketika mendengar nama
Pengemis Sakti Muka Bopeng. Sebagai orang
yang pernah hidup bersama Empu Bharata
selama bertahuntahun Untung Pararean tahu
betul bahwa Pengemis Sakti Muka Bopeng
atau yang nama aslinya Gambir Seta adalah
kakak kandung Empu Bharata. Dari Kiyai Supit
Pramana, Untung Pararean mengetahui pula
bahwa Pengemis Sakti Muka Bopeng itulah
yang telah menyiksa dan merusak mukanya
hingga cacat mengerikan seumur hidup!
Sudah sejak lama mendekam dendam kesuma
dilubuk hati Untung Pararean terhadap
Pengemis Sakti Muka Bopeng itu, tapi karena
jarang turun gunung dia tak mengetahui
dengan jelas di mana tempat kediaman
Pengemis Sakti Muka Bopeng tersebut!
"Jadi kalian berempat adalah murid-muridnya
Pengemis Sakti Muka Bopeng …?!" desis
Untung Pararean.
"Nah, sekarang kau mulai mengaku buka
kedok, huh?!" tukas Pengemis Kepala Botak.
"Katakan terus terang kalian mau apa?!"
Pengemis Cantik Ayu tertawa tinggi. "Kami
hanya akan memberi sedikit pelajaran pada
manusia tak tahu diri macam kau yaitu agar
jangan berani-beranian berlaku kurang ajar
terhadap guru kami." jawab Sri Lestari.
"Hem, begitu?" ujar Untung Pararean dengan
senyum mengejek dari balik kain penutup
wajahnya. "Aku memang ada urusan yang
perlu diselesaikan dengan guru kalian yang
bernama Pengemis Sakti Muka Bopeng itu.
Tapi yang patut kalian ketahui aku bukanlah
Si Cadar Hitam!"
"Tak perlu kita bicara panjang lebar!" tukar
Pengemis Cantik Ayu.
"Betu1!" sahut Untung Pararean, "cuma perlu
kalian ketahui bahwa guru kalian adalah
seorang pengecut. Kalau tidak mengapa dia
hendak mengandalkan kalian berempat
menghadapi Si Cadar H itam?!"
"Katakan saja kau tidak punya nyali
menghadapi kami berempat!" jawab Pengemis
Cantik Ayu lalu memberi isyarat pada
saudara-saudara seperguruannya. Pengemis
Badan Gemuk, Pengemis Badan Kurus dan
Pengemis Kepala Botak segera bergerak
sementara Untung Pararean kelihatan tenang-
tenang saja tapi sepasang matanya meneliti
posisi ketempat lawan yang bakal
dihadapinya.
"Tunggu dulu!" terdengar seruan dari samping
kiri. Yang berseru ternyata pemuda rambut
gondrong tadi.
"Kalau kalian berempat hendak mengeroyok
orang ini, itu adalah satu kecurangan yang
keliwatan! Bagaimana kalau aku ikut
membantunya? Meski tetap curang tapi
kurasa itu lebih baik agar kalau kalian nanti
dikalahkannya kalian masih punya sedikit
muka!"
Pengemis Badan Gemuk yang memang sejak
tadi sudah marah terhadap si rambut
gondrong ini jadi naik pitam. Tangan
kanannya didorongkan ke arah dada si
pemuda. Terdengar suara menderu. Yang
diserang melihat datangnya sambutan angin,
mengeluarkan suara bersiul lalu melambaikan
tangan kirinya pada saat angin deras yang
keluar dari dorongan tangan Pengemis Badan
Gemuk setengah jengkal lagi hendak
menghantam dadanya!
Terjadilah hal yang membuat terkejut
Pengemis Badan Gemuk dan saudara-saudara
seperguruannya. Pukulan jarak jauh Pengemis
Badan Gemuk bukan saja tak sanggup
mencapai sasarannya tapi disapu demikian
rupa hingga menjibak ke samping dan terus
menghantam dinding. Piring-piring dan gelas
serta apa saja yang ada di atas meja itu
mencelat berhamburan dengan menimbulkan
suara bergrompyangan!
Untung Pararean juga tak kurang terkejut.
Pukulan jarak jauh yang dilepaskan Pengemis
Badan Gemuk tadi bukan pukulan
sembarangan. Tapi si pemuda rambut
gondrong menyapunya dengan satu lambaian
tangan acuh tak acuh bahkan tubuh atau
kakinya tidak bergerak barang sedikitpun! Dan
itu dilakukannya sambil tertawa cengar-
cengir!
"Sahabat muda," kata Untung Pararean cepat.
"Terima kasih atas itikad baikmu hendak
menolongku! Tapi kalau cuma menghadapi
lawan-lawan besar mulut macam mereka ini
kurasa aku punya kesanggupan untuk
memberi mereka sedikit pelajaran!"
"Anjing kurap edan! Kau makanlah dulu kursi
ini!" teriak Pengemis Badan Gemuk. Dalam
sekejap itu pula sebuah kursi laksana kilat
cepatnya menyambar ke arah Untung
Pararean.
Selama enam belas tahun menerima pelajaran
ilmu silat dan kesaktian dari Kiyai Supit
Pramana telah menjadikan Untung Pararean
seorang pendekar yang bukan sembarangan.
Melihat datangnya kursi kayu itu diulurkannya
tangan kanannya dengan jari telunjuk
diacungkan lurus-lurus. Dengan
mengandalkan jari telunjuk itu ditahannya
salah satu kaki kursi. Ketika jari telunjuk itu
dibengkokkannya sedikit, kursi itu berputar
tiga kali berturut-turut di ujuny jarinya dan
yang lebih hebat lagi ialah ketika Untung
Pararean membentak. "Pergi!" Kursi itu
mencelat mental ke arah Pengemis Badan
Gemuk kembali!
"Hebat! Hebat sekali!" seru pemuda rambut
gondrong memuji kelihayan Untung Pararean.
Di lain pihak Pengemis Badan Gemuk naik
pitam bukan main. Kursi yang kembali
menyambar ke arahnya dihantamnya dengan
tangan kanan hingga hancur berantakan.
Beberapa kayu pecahan kursi menancap di
langit-langit rumah makan!
Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring keluar
dari mulut Pengemis Cantik Ayu dan dikejap
itu pula Empat Pengemis Pulau Ras serempak
menyerbu Untung Pararean dengan senjata
masing-masing.
"Curang!" teriak pemuda rambut gondrong.
"Curang!" teriaknya lagi.
Habis berseru demikian Pengemis Cantik Ayu
melesat ke hadapan si rambut gondrong
seraya mengiblatkan sepasang golok perak
yang sangat tipis di kedua tangannya!
Serangan yang dilancarkan oleh Sri Lestari
atau Pengemis Cantik Ayu adalah jurus yang
dinamakan "sinar pelangi pecah di udara".
Golok di tangan kanannya membabat ke
batang leher sedang golok di tangan kiri
menderu ke bawah perut pemuda rambut
gondrong. Pemuda ini terkejut sekali karena
tak menyangka serangan lawannya demikian
hebat dan cepat. Namun karena dia bukan
pula orang sembarangan, dengan melompat
sebat ke belakang dia berhasil mengelakkan
serangan hebat itu.
Tapi betapa terkesiapnya dia sewaktu tiba-
tiba saja sang dara mengirimkan satu
serangan susulan yang bernama "pelangi
menggelung gunung". Sepasang golok perak
yang tadi mengenai tempat kosong kini
membalik laksana silangan gunting,
mengancam dada dan pinggang si pemuda!
Pemuda rambut gondrong mengeluarkan
siulan nyaring. Lututnya ditekuk. Tubuhnya
merunduk sedang kedua tangannya yang
terpentang lurus memukul ke kiri dan ke
kahan. Inilah jurus pertahanan yang sekaligus
merupakan gerakan menyerang yang di
namakan "kipas sakti terbuka"!
Sri Lestari merubah kedudukan sepasang
golok peraknya agar dapat sekaligus
membabat putus sepasang lengan lawan yang
terpentang itu. Namun kagetnya bukan
kepalang sewaktu melihat bagaimana
sepasang lengan lawan cepat sekali
menyusup ke bawah, ke arah pergelangan
tangannya. Dari pergelangan tangan si
pemuda jelas terasa keluar sambaran angin
dingin. Hal ini membuat Sri Lestari menjadi
ragu-ragu untuk meneruskan serangannya.
Dalam keragu-raguan ini hampir saja
lawannya berhasil memukul lengannya kalau
tidak cepat-cepat dia melompat ke belakang!
Untuk sesaat lamanya kedua orarig itu saling
bentrokan pandangan. Si pemuda tersenyum.
"Ayo, mari diteruskan! Bukankah kau ingin
melenyapkan aku?!"
Pengemis Cantik Ayu melototkan matanya.
Namun entah mengapa hatinya bergetar
sewaktu dirasakannya sorotan mata pemuda
rambut gondrong itu laksana menembus
sampai ke lubuk hatinya. Namun getaran itu
hanya sebentar saja. Sesaat kemudian Sri
Lestari berteriak nyaring, tubuhnya berkelebat
lenyap sedang sepasang goloknya bergulung-
gulung hanya merupakan sinar putih. Melihat
datangnya serangan yang luar biasa ini
pemuda rambut gondrong tak mau bertindak
gegabah.
Cepat dia memasang kuda-kuda pertahanan
yang kokoh dan sesaat kemudian dia sudah
menyerbu ke depan memapasi serangan
lawannya!
Sementara itu pertempuran antara Untung
Pararean dan ketiga Pengemis Pulau Ras
lainnya berlangsung seru sekali. Lima jurus
pertama keadaan seimbang, namun jurus-
jurus selanjutnya kelihatan Untung Pararean
mulai menerima tekanan-tekanan. Yang
menyulitkan kedudukan laki-laki ini adalah
karena ketiga lawannya memakai senjata
sedang dia sendiri sampai saat itu masih
mengandalkan tangan kosong. Di sini
nyatalah bahwa betapapun tingginya ilmu
kepandaian Untung Pararean namun
kepandaian ketiga lawannya tidak pula
rendah, apa lagi dengan bersenjata begitu
rupa. Jurus demi jurus keadaan Untung
Pararean makin terdesak. Beberapa kali
lakilaki ini mengeluarkan pukulan-pukulan
saktinya namun semua itu hanya untuk
sekedar mempertahankan diri dari desakan
yang semakin gencar. Diamdiam Untung
Pararean mulai keluarkan keringat dingin!
Pemuda rambut gondrong yang tengah
menghadapi serangan gencar Sri Lestari
masih sempat melirik dan menyaksikan
keadaan Untung Pararean yang berbahaya.
Kini dia tak bisa bertindak main-main dan
harus berlaku cepat jika tak ingin laki-laki
bercadar itu, menjadi korban keroyokan.
Rumah makan itu bergetar, sendi-sendi tiang
berderik sewaktu dari mulut si pemuda keluar
suara bentakan yang menggeledek! Untuk
sejenak semua orang yang ada di situ
terkesiap. Sri Lestari melihat pemuda itu
menggerakkan tangan kirinya. Satu
gelombang angin yang amat dahsyat menderu
menerpa tubuhnya. Betapapun gadis itu
mempertahankan diri dan mengerahkan
tenaga dalamnya, tetap saja tubuhnya
terhuyung gontai. Dan sebelum dia sanggup
mengimbangi diri, si pemuda sudah melompat
ke hadapannya, mengulurkan kedua
tangannya. Terdengar seruan Sri Lestari.
"SOBAT Bercadar, pakailah golok-golok ini!"
seru si rambut gondrong dan sepasang golok
S perak milik Sri Lestari yang berhasil di
rampasnya, dilemparkannya ke arah Untung
Pararean. Dengan gada batu pualam yang
ada di tangan kanan nya Pengemis Badan
Gemuk coba menyampok kedua golok itu tapi
niatnya terpaksa dibatalkan karena di saat
yang sama Untung Pararean menyorongkan
kaki kanannya ke perut laki-laki itu. Sewaktu
Pengemis Badan Gemuk menyurut ke belakang
guna menghindarkan tendangan maut Untung
Pararean, kesempatan ini dipergunakan oleh
Untung Pararean untuk menyambut kedua
golok perak yang melayang di udara.
"Saudara! Awas di belakangmu!" teriak si
pemuda rambut gondrong.
Untung Pararean membalik dengan cepat.
"Trang"!
Golok perak di tangan kanannya beradu keras
dengan gendewa baja yang menjadi senjata
Pengemis Badan Kurus. Bentrokan itu
membuat tangan masing-masing tergetar
hebat dan keduanya sama-sama tersurut
beberapa langkah! Nyatalah bahwa kekuatan
tenaga dalam mereka berada di tingkat yang
sama. Dalam pada itu Pengemis Badan
Gemuk dan Pengemis Kepala Botak yang
bersenjatakan sebuah sabuk hitam telah
menyerbu pula ke muka. Pertempuran yang
berlangsung bertambah hebat. Namun kali ini
ketiga pengeroyok harus berhati-hati karena
yang mereka hadapi kini adalah Untung
Pararean yang sudah bersenjata yaitu
sepasang golok perak perak tipis milik Sri
Lestari. Tubuh laki-laki itu lenyap berubah
menjadi bayangbayang. Dan bayang-bayang
tubuhnya itu terbungkus pula oleh sinar putih
sepasang golok yang berkiblat kian kemari.
Beberapa kali terdengar suara bentrokan
senjata dan berkali-kali pula Pengemis Badan
Gemuk serta kedua saudaranya terpaksa
mundur terus menghadapi amukan Untung
Pararean!
Pada waktu Untung Pararean berhasil
menyambut sepasang golok yang dilemparkan
pada waktu itu pula Pengemis Cantik Ayu
atau Sri Lestari dengan penuh amarah
mendorongkan kedua tangannya ke arah
pemuda rambut gondrong.
"Wuss! Wuss!"
Dua larik sinar hitam yang teramat panas
menderu ke arah sirambut gondrong. Itulah
pukulan "api hitam" yang sangat ganas.
Demikian hebatnya ilmu pukulan itu hingga
Pengemis Sakti Muka Bopeng hanya
menurunkannya pada Sri Lestari saja. Pemuda
rambut gondrong kaget sekali karena tak
menduga kalau sigadis memiliki ilmu pukulan
hebat demikian rupa. Cepat-cepat dia
membuang diri ke samping. Tapi masih
terlambat. Bahu kirinya kena disambar salah
satu larikan sinar hitam.
Pakaian putihnya kejap itu juga dikobari api!
Pemuda itu mengeluh pendek dan cepat-cepat
mempergunakan tangan kanannya menepok-
nepuk api yang berkobar hingga akhirnya
padam.
Sri Lestari memandang dengan mata terbeliak
pada pemuda rambut gondrong itu. Dia betul-
betul tak bisa percaya akan apa yang
disaksikannya! Sewaktu ilmu pukulan itu baru
setengah bagian saja dipelajarinya dari
Pengemis Sakti Muka Bopeng, Lestari pernah
mencobanya terhadap sebatang pohon
beringin dan pohon itu hangus hancur dan
tumbang berkeping-keping! Menyaksikan si
pemuda hanya bajunya saja yang terbakar
hangus dengan kulit bahu yang sedikit
kemerahan akibat pukulan "api hitam" nya
tadi, tentu saja Sri Lestari tak bisa
mempercayainya.
Sambil menggosok-gosok kulit bahunya yang
merah dan sakit si pemuda rambut gondrong
memandang menyorot pada Sri Lestari. Tapi
tak sedikitpun pandangan itu membayangkan
amarah atau dendam kesumat, malah
kemudian pemuda ini tertawa dan berkata.
"Pukulanmu hebat, gadis! Tapi adalah
pengecut menyerang lawan secara
membokong!"
"Siapa suruh kau bertindak lengah!" damprat
Sri Lestari. "Sudah kebagusan kau tidak
kubikin mampus, hanya kuberi sedikit
pelajaran!"
Pemuda itu tertawa gelak-gelak. "Sekarang
giliranku pula untuk ganti memberikan sedikit
pelajaran padamu," katanya. Lalu dia berseru.
"Awas dadamu!"
Tubuh pemuda tersebut melompat ke muka
dan tangan kanannya cepat sekali bergerak ke
arah dada si gadis! Tentu saja Sri Lestari tak
mau buah dadanya dijamah seenaknya.
"Pemuda kurang ajar!" bentaknya seraya
cepatcepat menghindarkan diri dan dengan
tangan kirinya kembali melepaskan pukulan
"api hitam". Tapi si pemuda sudah lenyap dari
arah serangan. Dan tahu-tahu Sri Lestari atau
Pengemis Cantik Ayu merasakan sambaran
angin di belakangnya. Cepat gadis ini
membalik dan menghantamkan tangan
kanannya. Serangannya itu cuma mengenai
tempat kosong, sebaliknya kulit punggungnya
terasa sakit sekali dan detik itu pula tubuhnya
tak bisa digerakkan lagi. Ternyata si pemuda
telah berhasil menotok tubuhnya!
"Nah, nah! Sekarang kau berdiri sajalah baik-
baik di situ dan jangan banyak tingkah. Mari
kita sama-sama saksikan pertempuran
kawan-kawanmu melawan laki-laki itu!"
"Pemuda kurang ajar! Kalau tidak lekas kau
lepaskan totokan ini, jangan harap kau bakal
dapat pengampunan dariku!"
mengancam Sri Lestari. Meski sekujur
tubuhnya kaku tegang tapi dia masih bisa
bicara karena si pemuda sengaja tidak
menotok jalan suaranya.
Si pemuda hanya tertawa gelak-gelak
mendengar ancaman itu. Baru saja dia
berpaling hendak menyaksikan pertempuran
antara Untung Pararean dengan ketiga
Pengemis Pulau Ras, terdengar pekik
Pengemis Kepala Botak. Sabuknya mental ke
udara, tangan kanannya berlumuran darah.
Cepat-cepat dia melompat keluar dari
kalangan pertempuran dengan muka pucat
pasi!
"Ha … ha! Untung saja bukan kepala botakmu
yang dilalap golok laki-laki itu!" ejek pemuda
rambut gondrong lalu tertawa membahak.
Dalam sakit dan amarah yang bergejolak,
Pengemis Kepala Botak jadi kalap. Cepat
dipungutnya sabuknya yang tadi jatuh, laiu
menghambur menyerang si pemuda!
Betapapun hebatnya serangan yang
dilancarkan namun karena disertai amarah
kalap dengan sendirinya tidak memakai
perhitungan yang tepat. Begitu si pemuda
melompat ke samping, akibat pukulan yang
mengenai tempat kosong, Pengemis Kepala
Botak tersorong ke depan. Di saat itu pula si
pemuda gerakkan tinju kanannya memukul
punggung Pengemis Kepala Botak. Tak ampun
lagi si botak ini jatuh menelungkup dengan
keras di lantai rumah makan, untuk berapa
lamanya tak bisa berkutik! Kembali terdengar
suara tertawa pemuda rambut gondrong!
Sementara itu Untung Pararea telah mendesak
hebat pengeroyoknya yang kini hanya tinggal
dua orang yaitu Pengemis Badan Gemuk dan
Pengemis Badan Kurus. Sepasang golok putih
berkelebat diantara deru gada batu pualam
dan gendewa baja.
"Gemuk, agaknya kita tak bakal bisa
merobohkan bangsat ini," ujar Pengemis
Badan Kurus dengan ilmu menyusupkan
suara.
"Apa rencanamu?!" menanya Pengemis Badan
Gemuk yang nafasnya sudah Senin-Kemis dan
pakaian basah oleh keringat.
"Kita tinggalkan saja tempat sialan ini!
Kembali ke pulau Ras."
"Kau mau kita mendapat hukuman dari guru?"
Pengemis Badan Kurus terdiam. Lalu dia
dapat akal dan cepat-cepat berkata,
"Ceritakan saja Si Cadar Hitam tak datang
memenuhi tantangan yang dijanjikannya!"
Sebenarnya Pengemis Badan Gemuk merasa
ragu-ragu. Tapi melihat kenyataan bagaimana
detik demi detik sepasang golok di tangan
Untung Pararean semakin ganas dan
berbahaya, merangsek mereka terus menerus,
mau tak mau Pengemis Badan Gemuk
menurutkan juga ucapan saudara
seperguruannya itu.
Demikianlah, dalam jurus pertempuran yang
ke empat puluh dua setelah melancarkan satu
serangan serempak yang hampir tak ada
artinya, kedua orang ini melompat keluar dari
kalangan pertempuran. Pengemis Badan
Gemuk cepat menyambar Sri Lestari sedang
Pengemis Badan Kurus menyambar si botak
yang masih menelungkup tujuh keliling di
lantai rumah makan.
"Pengecut! Kalian mau ke mana?!" bentak
pemuda rambut gondrong. Dia hendak
bergerak ke pintu guna menghalangi. Tapi
langkahnya tertahan sewaktu laki-laki
bercadar itu di dengarnya berseru,
"Biarkan saja mereka pergi!"
Sesaat kemudian Empat Pengemis Pulau Ras
itupun lenyap dari pemandangan.
"Aku tak mengerti mengapa kau membiarkan
mereka pergi begitu saja," kata si pemuda.
"Keempatnya menginginkan jiwamu dan
yakinlah bahwa pada suatu hari kelak mereka
akan muncul lagi untuk membunuhmu!"
"Soal nanti biar kita pikirkan nanti, sahabat
muda. Mari kita duduk dulu melepaskan
dahaga," jawab Untung Pararean lalu duduk di
kursi. Si pemuda menggaruk-garuk kepalanya
dan mengambil tempat duduk di hadapan
Untung Pararean.
"Terima kasih atas pertolonganmu," kata
Untung Pararean sesudah Akik Rono datang
membawakan minuman dan hidangan untuk
mereka.
"Lupakan hal itu, sobat. Jawab dulu
pertanyaanku apakah kau Si Cadar Hitam
atau bukan?!"
Untung Pararean meneliti paras si rambut
gondrong sejenak lalu berkata, "Aku akan
jawab kalau terlebih dahulu kau menerangkan
siapa kau adanya."
"Namaku Wiro. Aku kebetulan saja berada di
kota ini."
Untuk kedua kalinya Untung Pararean meneliti
paras pemuda di hadapannya.
"Apa kau bukannya Wiro Sableng, orang yang
berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212?!"
Si pemuda tertawa perlahan.
Untung Pararean dengan serta merta berdiri.
Belum sempat dia hendak menjura memberi
hormat pemuda itu sudah menarik tangannya.
"Apa-apaan ini? Lupakan segala macam
peradatan. Aku yang muda yang sebenarnya
harus memberi hormat padamu."
"Nama besarmu sudah sejak lama kudengar,
Pendekar 212. Meskipun tadi kau
menarangkan kehadiranmu di Linggoprogo ini
adalah satu kebetulan, tapi aku tidak yakin. Di
mana kau muncul pasti mempunyai maksud-
maksud tertentu. Katakan saja terus terang.
Kita tokh sama-sama dari satu golongan?"
Pemuda rambut gondrong yang memang ada!
ah Pendekar 212 Wiro Sableng adanya,
tertawa kecil.
"Sebetulnya aku tengah mencari seseorang.
Seorang penculik anak perawan!"
"Seorang anak Kepala Kampung telah diculik
oleh bangsat bermuka iblis bernama Tunggul
Gawegawe, bergelar Iblis Tangan Panjang!
Kau pernah dengar tentang dia?"
Untung Pararean mengangguk. "Sudah sangat
lama. Sekitar enam belas tahun yang silam,"
katanya. Lalu diceritakannya tentang
pertempurannya melawan Sepasang Golok
Maut·kepala rampok hutan Dadakan·yang
hendak menculik keponakan Sri Baginda.
Ketika penculikan itu digagalkan oleh Untung
Pararean, Sepasang Golok Maut kemudian
meminta bantuan Iblis Tangan Panjang.
Namun iblis Tangan Panjang ini pun berhasil
dikalahkan oleh Untung Pararean. Penuturan
itu mengingatkan Untung Pararean pada
riwayatnya sendiri. Kepada Wiro sama sekali
tak diceritakannya kalau keponakan raja yang
ditolongnya adalah perempuan yang
kemudian menjadi istrinya dan selanjutnya
mendatangkan penderitaan dalam
kehidupannya.
"Menurut penyelidikanku, bangsat penculik itu
melewati kota ini. Makanya aku datang ke
sini."
"Manusia macam Iblis Tangan Panjang itu
patut dilenyapkan dari muka bumi," ujar
Untung Pararean.
"Sekarang kau terangkanlah dirimu," kata Wiro
Sableng sambil meletakkan cangkir minuman
ke atas meja.
"Aku Untung Pararean. Berasal dari Gunung
Bromo," menerangkan bekas perwira kerajaan
itu.
"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi,"
kata Wiro pula. "Apakah kau sebenarnya
orang yang berjuluk Si Cadar Hitam atau
bukan?" Untung Pararean menggeleng.
"Lantas mengapa kau menutupi wajahmu
dengan kain hitam macam begini?"
"Itu tak dapat kuterangkan padamu." jawab
Untung Pararean.
Pendekar 212 Wiro Sableng tersenyum.
"Apakah kau juga tak bakal menerangkan
kenapa kau mengawatirkan keselamatan gadis
cantik berpakaian pengemis tadi itu?"
Untung Pararean tertegun sejenak. Akhirnya
tanyanya, "Sahabat muda, apakah kau bisa
kupercaya?"
Wiro Sableng kerenyitkan kulit kening dan tak
menjawab apa-apa sampai akhirnya Untung
Pararean berkata, "Paras gadis itu
mengingatkan aku pada seseorang."
"Siapa seseorang itu?" tanya Wiro lagi ingin
lebih jelas.
"Istriku. Parasnya sama sekali . . . "
"Dan istrimu sudah meninggal?"
Untung menggeleng. "Dia lenyap enam belas
tahun yang silam bersama anakku. Seorang
perempuan. Pertama kali aku melihat wajah
gadis tadi hatiku berdebar. Dan aku mendapat
firasat bahwa dia adalah anakku yang lenyap
itu . . . . "
"Agaknya kau mempunyai riwayat yang hebat,
sobat."
"Bukan hebat, tapi penuh penderitaan lahir
bathin," sahut Untung Pararean.
Wiro menatap kain penutup wajah laki-laki
dihadapannya seakan-akan coba menembusi
untuk mengetahui wajah yang bagaimanakah
sesungguhnya yang tersembunyi dibalik kain
hitam itu.
"Sebenarnya riwayatmu tak ada sangkut
pautnya denganku, apalagi kita barusan saja
kenal. Tapi bila kau dapat menuturkan
padaku, aku akan gembira sekali."
Untung Pararean tersenyum pahit.
"Lain kali mungkin baru bisa kuceritakan
padamu, sobat muda. Aku tak punya waktu
banyak …"
"Kau mau ke mana?" tanya Wiro cepat.
"Menyusul keempat orang tadi untuk mencari
tahu siapa sesungguhnya gadis itu".
"Tapi dia sendiri sudah menerangkan bahwa
dia adalah anaknya Pengemis Sakti Muka
Bopeng …"
Hal itu memang membuat hati Untung
Pararean meraqu. Namun nalurinya meyakini
bahwa pengemis Cantik Ayu adalah anaknya.
Kalau tidak bagaimana parasnya bisa begitu
persis seperti Sri Kemuning, istrinya yang
melarikan diri itu?
"Kalaupun nanti terbukti dia bukan anakku
yang lenyap, itu tak jadi apa karena aku
masih rnempunyai maksud lain untuk
menyusul Empat Pengemis Dari Pulau Ras itu.
Ada piutang lama yang harus kutagih pada
guru mereka yaitu Pengemis Sakti Muka
Bopeng!"
Habis berkata begitu Untung Pararean
menjura di hadapan Pendekar 212 Wiro
Sableng lalu meletakkan beberapa mata uang
di atas meja dan bertindak ke pintu. Masih
beberapa langkah dia akan mencapai pintu,
satu bayangan hitam berkelebat yang disusul
dengan bentakan nyaring membuat rumah
makan itu bergetar.
"Manusia bercadar hitam! Kalau kau berani
bergerak satu langkah lagi kupecahkan
kepalamu!"
UNTUNG Pararean dan juga Pendekar 212
Wiro Sableng terkejut. Ketika keduanya
memandang ke tengah ruangan kelihatannya
seorang laki-laki berbadan tegap, mengenakan
pakaian hitam-hitam berdiri di situ. Wajahnya
ditutup dengan sehelai cadar hitam dan hanya
kedua matanya saja yang kelihatan.
"Kau!" seru orang itu seraya menunjuk
tepattepat kepada Untung Pararean. "Kau
bangsatnya yang berani-beranian
mengenakan cadar seperti yang kupakai layak
menerima hukuman dari aku Si Cadar Hitam!"
Wiro dan Untung Pararean meneliti orang itu
dari kepala sampai ke kaki. Ternyata inilah
manusianya yang berjuluk Si Cadar Hitam
yang menjadi musuh Pengemis Sakti Muka
Bopeng.
"Sayang sekali kau datang terlambat, sobat!"
Pendekar 212 Wiro Sableng buka suara dan
membuat Si Cadar Hitam kerenyitkan kening.
Sebelum dia meneruskan, Cadar Hitam sudah
membentak.
"Bocah berambut gondrong, katakan apakah
kau kerabatnya kunyuk yang satu ini? Juga
katakan apakah kau mau minta hajaran
pula?!"
Wiro Sableng tertawa gelak-gelak. "Manusia
tak punya malu! Diajak bicara baik-baik
jawabannya ngelantur! Pantas kau menutupi
tampangmu dengan kain!"
"Dan juga pantas bagimu untuk menerima
kematian detik ini juga!" teriak Si Cadar Hitam
marah. Lalu tangan kanannya didorongkan
dan serangkum angin yang amat dingin
menderu ke arah Wiro Sableng! Murid Eyang
Sinto Gendeng dari Gunung Gede tertegun
sejenak. Tubuhnya terasa dingin laksana
dikubur dalam salju, padahal angin serangan
masih beberapa langkah di depannya! Dia
cepat melompat kesamping tapi aneh! Kedua
kakinya kaku tegang tak dapat digerakkan!
Wiro sadar bahwa dirinya telah dipukau oleh
hawa dingin yang keluar dari angin pukulan
lawan! Dia membentak keras dan tangan
kanannya cepat-cepat memegang hulu Kapak
Naga Geni 212 di balik pakaian. Detik itu juga
hawa hangat mengalir dari hulu kapak ke
sekujur tubuhnya, membuat sirna hawa dingin
yang sebelumnya hampir saja membuat dia
celaka!
"Wuss!"
Angin pukulan lawan lewat di depan dada
Pendekar 212 Wiro Sableng pada saat
pemuda ini berhasil mengelak dengan
melompat ke belakang. Di belakang sana
terdengar suara gaduh akibat bobolnya
dinding rumah makan dihantam pukulan Si
Cadar Hitam itu!
Si Cadar Hitam tidak menyangka kalau si
pemuda akan sanggup menyelamatkan diri
begitu rupa! Sementara dia berdiri terkesiap
dengan mata melotot, Wiro Sableng berseru
lantang, "Terima kasih atas keramah
tamahanmu dalam serangan tadi! Kuharap
kau juga sudi menerima hadiah balasan
dariku!"
Habis berkata begitu Wiro Sableng
mengerahkan tiga perempat bagian tenaga
dalamnya ke tangan kanan lalu secepat kilat
tangan itu di putar di atas kepala dan
dipukulkan ke depan! Suara laksana angin
puyuh menderu menggetarkan rumah makan
itu. Kursi-kursi berpelantingan, meja
terguling. Lampu minyak mencelat
menghantam dinding. Untung Pararean
merapat ke dinding agar tubuhnya jangan
sampai terpelanting!
Si Cadar Hitam yang berdiri di tengah
ruangan segera mengerahkan sebagian tenaga
dalamnya ke kaki. Tubuhnya laksana patung
batu. Namun ketika Wiro menghantamkan
tangannya ke depan tubuh Si Cadar Hitam
menjadi gontai. Di lipat gandakannya tenaga
dalamnya. Kedua tangan dengan serentak
dipukulkan ke depan untuk menangkis
serangan Wiro. Tapi Si Cadar Hitam masih
ketinggalan jauh dalam hal tenaga dalam
hingga betapapun dia mempertahankan diri,
begitu pukulan "angin puyuh" yang dilepaskan
Wiro Sableng menghantam dirinya, tak ampun
lagi manusia ini terpelanting dan terbanting
menelentang di lantai!
"Jangan tidur ngorok di situ, sobat! Kalau
Empat Pengemis Pulau Ras datang kembali ke
sini kau bisa berabe. Ayo lekas bangkit!"
Kedatangan Si Cadar Hitam ke situ memang
untuk menemui Pengemis Sakti Muka Bopeng
yang telah ditantangnya satu tahun yang
lewat. Mendengar disebutnya nama Keempat
murid Pengemis Muka Bopeng dan di tambah
dengan kemarahan yang membakar dadanya,
Si Cadar Hitam kontan melompat. Entah
kapan dia menggerakkan tangannya tapi
tahu-tahu di tangan kanannya kini sudah
tergenggam sebuah senjata yang berbentuk
aneh.
Senjata itu terbuat dari besi hitam legam
berbentuk tombak yang pada kedua ujungnya
terdapat lingkaran tipis yang amat tajam.
Karena bentuknya yang hebat maka senjata
itu dapat dipergunakan sebagai toya dan
pedang. Bahkan bila bagian lingkaran sampai
masuk ke kepala seseorang, jangan harap
bisa selamat dari kematian!
Bentuk dan sinar hitam yang memancar dari
senjata itu membuat Pendekar 212 Wiro
Sableng segera bersiap-siap menerima
serangan. Dia tahu senjata di tangan lawan
hebat dan berbahaya.
"Bangsat gondrong, lekas keluarkan
senjatamu! Kalau tidak kau akan mampus
dalam dua tiga jurus saja!"
Wiro ganda tertawa. Diambilnya sebuah kursi
lalu katanya, "Biar aku menghadapimu dengan
kursi ini saja, Cadar Hitam!"
Si Cadar Hitam menggeram marah. Tak
pernah dia menerima penghinaan yang begitu
hebat. Rahang-rahangnya menggembung.
"Wiro! Biar aku yang menghadapinya!" tiba-
tiba Untung Pararean berseru.
"Ah, biar serahkan saja manusia sombong ini
padaku," sahut Wiro.
"Majulah berdua agar aku tidak banyak
membuang tenaga untuk membunuh kalian!"
bentak Si Cadar Hitam. Habis membentak
demikian dia melompat ke muka. Senjatanya
berkiblat ganas dan sekaligus menyerang ke
arah leher Wiro Sableng serta Untung
Parerean!
Mereka yang diserang lekas-lekas melompat
menyelamatkan diri. Begitu serangan lewat,
Untung Pararean segera mengambil sepasang
golok milik Pengemis Cantik Ayu sedang Wiro
Sableng membabatkan kursi ke pinggang
lawan. Dengan satu gerakan sebat Si Cadar
Hitam membalik. Kembali senjatanya
berkelebat dan tiga buah kaki kursi yang
dipakai menyerang oleh Wiro terbabat putus!
Si Cadar Hitam tidak kepalang tanggung.
Serangan-serangan yang dilancarkannya
datang bertubi-tubi. Sengaja dikeluarkannya
jurus-jurus silatnya yang paling hebat agar
dapat membuktikan omong besarnya tadi
yaitu akan membereskan Wiro Sableng dalam
dua atau tiga jurus saja. Tapi sewaktu
pertempuran memasuki jurus kelima yang
bisa dilakukan Si Cadar Hitam hanyalah
membabat putus badan kursi yang di tangan
Wiro hingga kini Pendekar 212 hanya
memegang sandaran kursi yang sudah sangat
pendek saja!
Meski mengawatirkan keselamatan si pemuda
namun sebagai orang yang berpegang teguh
pada tatakrama dunia persilatan, Untung
Pararean tetap berdiri di tempatnya tak mau
membantu Wiro mengeroyok Si Cadar Hitam.
Walau demikian diusahakannya melemparkan
sepasang golok di tangannya ke arah Wiro
Sableng. Tapi di tengah jalan Si Cadar Hitam
berhasil membabat mental dan patah kedua
golok itu dengan senjatanya!
Jurus demi jurus serangan Si Cadar Hitam
semakin dahsyat. Dengan memainkan ilmu
silat "orang gila" Wiro berhasil
mempertahankan diri dan sekalikali
melepaskan pukulan jarak jauh yang
membuat lawannya bertindak sangat hati-
hati. Ketika dua puluh jurus sudah berlalu dan
beberapa kali hampir saja dirinya kena
dihantam oleh senjata lawan yang dahsyat,
Wiro Sableng mulai mengeluarkan ilmu-ilmu
pukulan simpanannya!
Ilmu pukulan "angin puyuh" tak sanggup
menembus angin senjata di tangan Si Cadar
Hitam, demikian juga pukulan "kunyuk
melempar buah" dan "benteng topan melanda
samudera". Hal ini membuat Pendekar 212
Wiro Sableng menjadi penasaran. Apalagi
ketika didengarnya si Cadar Hitam berseru
mengejek. "Ayo keluarkan semua ilmu
simpananmu agar kau tidak mampus
penasaran!"
"Jangan keliwat sumbong, sobat! Coba kau
sambut pukulan yang bernama "dewa topan
menggusur gunung ini!"
Wiro mendorongkan kedua tangannya ke
depan. Dan terjadilah hal yang hebat luar
biasa! Dari kedua telapak tangan Pendekar
212 Wiro Sableng menderu gemuruh suara
angin. Si Cadar Hitam membabatkan
senjatanya ke depan beberapa kali untuk
memusnahkan angin serangan. Namun kali ini
senjata itu tidak mampu berbuat suatu
apapun! Tubuh Si Cadar Hitam terlempar ke
belakang, rubuh terguling-guling, senjatanya
lepas dari tangan. Sesaat kemudian menyusul
gemuruh robohnya rumah makan itu! Sebelum
sebuah balok besar menimpa kepalanya,
Pendekar 212 Wiro Sableng cepat melompat
keluar dari rumah makan itu! Dia sampai di
luar tepat ketika seluruh bangunan rumah
makan roboh dengan dahsyatnya. Puluhan
orang di pelabuhan yang melihat kejadian itu
sama-sama mengeluarkan seruan dan ber{ari
mendatangi sementara Akik Rono di pemilik
rumah makan yang juga sempat
menyelamatkan diri, berdiri menyaksikan
runtuhnya rumah makannya dengan tubuh
menggigil dan wajah seputih kertas!
Wiro memandang berkeliling. Untung Pararean
dan Si Cadar Hitam tak kelihatan. Kawatir
kalau-kalau Untung Pararean tertimpa
runtuhan rumah makan, Wiro menyelidik
dengan cepat. Tapi laki-laki itu tak di
temuinya. Si Cadar Hitampun lenyap tak
berbekas bersama senjatanya. Akhirnya
perhatian murid Eyang Sinto Gendeng ini
kembali pada Akik Rono. Wiro merutuki
ketololan dirinya sendiri karena telah
melepaskan pukulan "dewa topan menggusur
gunung" tadi yang menyebabkan ambruknya
rumah makan Akik Rono. Sebenarnya dia bisa
mempergunakan ilmu pukulan lain atau jurus
tipuan untuk merebut senjata lawan lalu baru
memberi hajaran. Tapi, karena dipengaruhi
rasa penasaran dia telah melepaskan pukulan
dahsyat yang dipelajarinya darl Tua Gila.
Sampai di hadapan Akik Rono, dari batik
pakaiannya Wiro mengeluarkan sebuah
kantong kain berisi uang. Diulurkannya
tangannya memberikan kantong uang itu
pada pemilik rumah makan seraya berkata,
"'Ini untuk modal dan membangun rumah
makanmu!". Habis berkata begitu pemuda ini
segera berkelebat meninggalkan tempat itu.
Akik Rono berdiri bengong di tempatnya. Tapi
hatinya terlipur oleh sekantong uang yang kini
berada dalam tangannya.
PENDEKAR 212 Wiro Sableng berdiri di puncak
pedataran tinggi itu, memandang berkeliling.
Menurut penyelidikannya, Tunggul Gawegawe
alias Iblis Tangan Panjang yang tengah
dikejarnya melarikan diri ke jurusan pedataran
itu. Tapi sampai di tempat tersebut tak satu
jejakpun yang ditemui Wiro. Pengejarannya
menemui jalan buntu.
Ke mana akan diteruskannya pengejaran? Dan
sebelum dia berhasil menemui Iblis Tangan
Panjang mungkin laki-laki itu telah lebih
dahulu merusak kehormatan Wening Karsih,
anak gadis Kapala Kampung yang diculiknya.
Ketika dia memandang ke langit, matahari
telah jauh ke barat dan warnanya kemerahan.
Dalam waktu yang singkat segera akan
tenggelam. Berdiri di puncak pedataran itu
Wiro teringat pada Untung Pararean. Dia
yakin sekali bahwa laki-laki itu menyusul
Empat Pengemis Pulau Ras. Dalam hatinya,
Wiropun berniat untuk mengikuti Untung
Pararean. Namun langkahnya terhalang
dengan persoalan Wening Karsih. Akhirnya
tanpa ada pegangan ke mana dia harus
menuju, Wiro Sableng meninggalkan puncak
pedataran itu ke arah barat.
Di kaki pedataran tinggi dia bertemu dengan
satu desa yang cukup ramai penduduknya.
Setelah mengisi perutnya di sebuah kedai Wiro
berusaha mencari keterangan tentang orang
yang di kejarnya. Tapi tak satu orang pun
yang tahu mengenai diri Iblis Tangan Panjang
ataupur, gadis yang diculiknya. Malam itu
juga Wiro meninggalkan desa tersebut. Di
ujung sebuah daerah pesawangan yang
dihiruki oleh suara jangkrik dan segala
macam binatang malam dilihatnya satu nyala
api. Setelah berpikir sejenak Wiro Sableng
memutuskan untuk menuju ke arah nyala api
itu.
Lewat sepeminum teh Wiro telah berada
kirakira seratus langkah dari nyala api yang
nyalanya berasal dari sebuah kuil tua yang
atapnya di bagian depan tampak miring
hampir ambruk. Dari jarak itu pulalah
pendekar ini mendengar suara orang
menyanyi.
"Siapa pula yang bernyanyi malam-malam di
tempat sepi begini?" pikir Wiro dalam hati dan
sambil mempercepat larinya.
Malam hari berjalan seorang diri,
Tanpa tujuan di dalam hati.
Melewati bekas kuil suci,
Tempat pertemuan tak terduga terjadi.
Begitulah bunyi kata-kata nyanyian tersebut
yang diulang-ulang sampai beberapa kali.
Dan setiap habis satu bait kalimat, terdengar
suara kerontang kaleng. Wiro Sableng sampai
di pintu kuil. Di ruangan depan yang sangat
kotor menyala sebuah lampu aneh atau
tepatnya sebuah obor kecil. Obor itu terbuat
dari sebatang pohon kayu hitam yang
ditancapkan ke lantai kuil yang terbuat dari
batu. Jika bukan seseorang yang
berkepandaian tinggi adalah mustahil
sebatang kayu bisa ditancapkan begitu rupa.
Pada ujung kayu yang menancap itu
menyalakan api yang menerangi ruangan
tersebut. Tepat di belakang nyala api, duduk
bersila seorang laki-laki berpakaian compang-
camping. Kedua matanya terpejam. Di
pangkuannya terletak sebuah buntalan,
sebatang tongkat dan sebuah topi daun
pandan. Di tangan kanannya ada sebuah
kaleng rombeng berisi batu-batu. Dari
mulutnya masih juga keluar nyanyian yang
setiap satu bait diseling dengan suara
kerontang-kerontang kaleng berisi batubatu
itu.
Wiro masuk ke dalam. Berdiri di hadapan
orang itu beberapa langkah baru diketahuinya
bahwa kedua mata yang terpejam itu
nyatanya buta! Tiba-tiba Wiro ingat bahwa
dia pernah berjumpa dengan orang ini tapi
lupa entah di mana. Setelah memutar otaknya
Wiro ingat juga bahwa orang tersebut adalah
tukang tenung Si Segala Tahu yang pernah
menolongnya beberapa waktu yang lalu.
"Segala Tahu, aku gembira bertemu dengan
kau," tegur Wiro dengan girang karena pada
orang ini pasti dia bisa mendapat keterangan
di mana Iblis Tangan Panjang berada. Orang
yang bernyanyi menghentikan nyanyinya.
Dikerontang-kerontangkannya kaleng
rombengnya beberapa kali lalu menengadah
ke langit-langit kuil.
"Mendengar suaramu apakah kau bukannya Si
Sableng yang pernah berjumpa denganku
beberapa waktu yang lalu?!" Meski buta
nyatanya dari suara Wiro Sableng, Si Segala
Tahu masih dapat menduga siapa yang
berdiri di hadapannya.
"Ah, benar sekali! Pertemuan yarrg tak terduga
ini sangat menggembirakanku. Kebetulan aku
berada dalam kesulitan."
"Baru bertemu sudah bicara tentang segala
macam kesulitan!"
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya dan
tersenyum pahit, lalu berkata, "Soalnya aku
harus bertindak cepat, Segala Tahu."
"Kau mencari seseorang pasti!"
"Betul sekali. Namanya Tunggul Gawegawe,
bergelar IbIisTangan Paryjang. Diatelah
menculik …"
"Sudah, sudah! Aku sudah maklum. Kau
tunggulah sebentar". Si Segala Tahu
mengerontangngerontangkan kaleng
rombengnya beberapa kali lalu menepekur
dengan mulut terkatup rapat-rapat. Tak lama
kemudian dia pun berkata: "Kau agak
terlambat Sableng! Orang yang diculik sudah
tak ada lagi di tangan Iblis Tangan Panjang
…"
"Mohon petunjukmu lebih lanjut, Segala
Tahu."
"Kau pergilah ke utara. Jika bertemu sungai
yang bercabang dua kelak kau akan
menjumpai Iblis Tangan Panjang di situ"
"Di manakah gadis yang diculik itu kini?
Apakah dia berada dalam keadaan selamat?"
tanya Wiro Sableng.
"Aku tak bisa memberi keterangan lebih
lanjut. Pergi ke utara, cari anak sungai
bercabang dua!" Habis berkata begitu Si
Segala Tahu kembali menggerak-gerakkan
tangan kanannya yang memegang kaleng.
Kemudian dengan tangan kirinya ditepuknya
lantai kuil. Hebatnya, tenaga tepukan itu
membuat tubuh Si Segala Tahu yang masih
dalam keadaan bersila itu melayang ke pintu.
Wiro Sableng mengejar, tapi Si Segala Tahu
sudah lenyap di kegelapan malam. Pendekar
212 Wiro Sableng hanya bisa geleng-geleng
dan garuk-garuk kepala!
Sepanjang malam itu Wiro Sableng terus
berlari menuju ke utara. Menjelang dini hari
dia sampai ke sebuah pedataran tinggi yang
di bawahnya terbentang sebuah lembah. Di
bawah penerangan bintang-bintang yang
redup, sepasang mata Pendekar 212 Wiro
Sableng yang tajam dapat melihat sebuah
sungai yang bercabang dua. Tanpa ragu-ragu
pemuda ini segera berlari menuruni lembah,
dan sampai tepat di bagian lembah di mana
sungai bercabang dua. Udara dini hari
dinginnya bukan alang kepalancl. Sunyi dan
kegelapan menyelubung di mana-mana. Wiro
Sableng memandang berkeliling.
"Edan!" makinya dalam hati. "Mana mungkin
di keparat Iblis Tangan Panjang itu bisa
kujumpai di sini!"
Baru saja dia memaki begitu rupa mendadak
kesunyian malam dirobek oleh suara
kerontang-kerontang kaleng! Pendekar 212
Wiro Sableng melengak dan memandang
berkeliling. Astaga! Kiranya Si Segala Tahu!
Entah dari mana dia muncul. Saat itu dia
kelihatan berjalan seenaknya menyusuri anak
sungai yang sebelah kanan sambil
mengerontang-ngerontangkan kalengnya!
Wiro cepat bergerak dan sebentar saja dia
sudah berada di samping laki-laki itu.
"Tempat ini sunyi belaka! Di mana aku bias
menemui Iblis Tangan Panjang. Mohon
petunjukmu, Segala Tahu!".
Si Segala Tahu tertawa macam kuda
meringkik. Sambil terus berjalan dia
bernyanyi:
Lembah tempat sungai bercabang dua,
Sepanjang malam tentu sepi belaka.
Mencari Iblis tentu bukan dengan mata,
Siapa suruh tidak pasang telinga. Wiro
terkesiap mendengar tutur nyanyian itu.
Memang sewaktu menyelidik tadi dia lebih
mengutamakan mata dari pendengarannya.
Segera Wiro Sableng membuka jalan
pendengarannya lebih tajam. Terdengar suara
tiupan angin dinihari yang dingin. Terdengar
alunan air sungai yang mengalir. Terdengar
suara binatang malam di kejauhan dan tiba-
tiba … terdengar suara helaan nafas!
"Aku mendengar suara orang menarik nafas!"
bisik Wiro pada Si Segala Tahu. Tapi ketika
dia menoleh ke samping, astaga! Si Segala
Tahu sudah tak ada lagi di sebelahnya!
Lenyap seperti ditelan bumi!
Wiro memandang berkeliling, mencari arah
datangnya suara helaan nafas itu. Kalau ada
seseorang di situ yang sedang tidur tentu
suara kerontang-kerontang kaleng Si Segala
Tahu sudah membangunkannya sejak tadi,
pikir Wiro. Telinganya semakin dipasang.
Sesaat kemudian kembali di dengarnya suara
helaan nafas, lalu sunyi. Tiba-tiba
menggeledek suara bentakan dan sebuah
benda meluncur ke arah tenggorokan
Pendekar 212 Wiro Sableng!
"Keparat sialan!" maki Wiro kaget bukan main
tapi masih sempat bergerak mengelakkan
senjata rahasia yang hampir saja merampas
jiwanya. Baru saja selamat, dua buah senjata
rahasia lagi menyambar ke arahnya, yang dua
inipun dapat dikelit. Dari jurusan datangnya
senjata-senjata rahasia tersebut Pendekar 212
Wiro Sableng segera tahu di mana
sipenyerang gelap berada. Tanpa tunggu lebih
lama Wiro memukulkan tangan kanannya ke
arah cabang pohon besar yang terletak
delapan tombak di samping kanannya.
"Kraak!"
Cabang pohon yang besar itu patah dan
tumbang dengan mengeluarkan suara berisik
di hantam pukulan "kunyuk melempar buah".
Di kejap itu pula satu bayangan hitam
berkelebat ke cabang pohon yang lain. Namun
Wiro lebih cepat. Sebelum sosok tubuh
sempat menjejakkan kakinya di cabang pohon,
Wiro telah menghantam lagi pohon itu hingga
si penyerang gelap terpaksa cepat-cepat turun
ke tanah.
Sementara itu di timur fajar telah
menyingsing. Cuaca di dalam lembah mulai
terang dan Wiro segera dapat mengenali
orang di depannya yang bukan lain Si Iblis
Tangan Panjang yang tengah dicari-carinya.
"Iblis! Kalau sayang pada jiwa busukmu, lekas
beri tahu di mana gadis anak Kepala
Kampung yang kau culik itu berada?!" bentak
Pendekar 212.
Iblis Tangan Panjang melototkan matanya
yang cuma satu lalu mendengus.
"Tanyalah pada setan-setan dalam lembah
ini!"
Wiro menggeram. "Katau begitu biar roh
busukmu yang kusuruh menanyakan!"
Pendekar 212 berkelebat sambil memukulkann
tangan kanannya ke depan.
Ibiis Tangan Panjang menangkis dengan satu
pukulan tangan kosong yang tak kalah
hebatnya hingga ketika pukulanpukulan
tersebut saling bentrokan terdengarlah suara
seperti letusan dan beberapa pohon yang
terserempet angin pukulan kontan ambruk!
Wiro tak mau memberi angin dan harus lekas
mengetahui di mana Wening Karsih berada.
Karenanya dia langsung menyerang dengan
jurus-jurus terhebat dari ilmu silat yang
dipelajarinya dari Eyang Sinto Gendeng. Iblis
Tangan Panjang menjadi sangat sibuk.
Untung saja dia memiliki ilmu mengentengkan
tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi,
kalau tidak niscaya dalam tiga jurus pertama
dirinya sudah kena gebuk!
Iblis Tangan Panjang segera menyadari
bahwa pemuda berambut gondrong itu
bukanlah tandingannya. Karenanya siangsiang
dia sudah mengeluarkan senjatanya yang
baru yakni sebuah tombak bermata dua dan
sebentar saja sinar senjafa itu sudah menderu
mengurung tubuh Wiro Sableng!
Memasuki jurus kelima di mana Iblis Tangan
Panjang mengirimkan serangan total habis-
habisan, Wiro berseru nyaring, "Iblis! Cukup
kau mencak-mencak sampai di sini!"
Tubuh pemuda itu lenyap dari hadapan Iblis
Tangan Panjang dan sebelum Iblis Tangan
Panjang tahu di mana lawannya berada, satu
pukulan telah menghantam punggungnya! Tak
ampun lagi manusia berkulit hitam legam ini
mencelat dan terguling di tanah. Tulang
punggungnya yang sebelah kiri hancur dan
sakit bukan main. Tombaknya terlepas mental
entah ke mana. Dengan sempoyongan Iblis
Tangan Panjang berdiri dan hendak melarikan
diri. Namun satu jambakan pada rambutnya
yang keriting macam bulu domba itu
membuat dia tak bisa bergerak satu
tindakpun. Kemudian satu tamparan keras
melanda pipinya membuat telinganya pekak
berdesing dan bibirnya pecah berdarah. Iblis
Tangan Panjang menjadi kalap dan dengan
membabi buta menerjang sekerasnya ke
depan.
"Kraak!"
Terdengar pekik Iblis Tangan Panjang. Tulang
kering kaki kanannya patah. Yang menjadi
sasaran tendangannya ternyata bukan
Pendekar 212 Wiro Sableng melainkan
sebatang pohon yang melintang tumbang!
Wiro sendiri yang menjambaknya dari
belakang tertawa gelak-gelak.
"Ayo tendanglah lagi biar kedua kakimu
patah!" kata Wiro dan sekali lagi ditamparnya
muka Iblis Tangan Panjang hingga manusia
itu menjerit kesakitan. Dia berusaha untuk
dapat memukul atau menyikut Wiro Sableng
tapi sedikit saja bergerak rambutnya yang
dijambak laksana mau terbongkar dari kulit
kepalanya.
"Cepat terangkan di gadis itu!" bentak W i ro.
"Sampai mampuspun aku tak bakal
menerangkan!" jawab Iblis Tangan Panjang
keras kepala.
"Kalau begitu aku akan bikin kau setengah
mampus setengah hidup!"
"Kraak"!
Wiro membetot putus tangan kiri Iblis Tangan
Panjang. Jeritan Iblis Tangan Panjang seperti
mau merobek langit di pagi hari itu! Satu
tangan yang lain dari laki-laki itu segera
dicekal pula oleh Wiro, siap untuk dibetot.
"Masih belum mau kasih keterangan?!"
"Puah!" Iblis Tangan Panjang meludah.
"Keparat! Makan ini!" teriak Wiro marah, tinju
kanannya melanda mulut Iblis Tangan
Panjang. Beberapa buah giginya tanggal,
bibirnya pecah Tapi Iblis Tangan Panjang
masih tetap keras kepala dan beringas.
Meronta-ronta dan memukul-mukul kian
kemari.
"Iblis celeng! Kalau matamu yang tinggal satu
ini kukorek baru kau tahu rasa!"
Mendengar ancaman itu, Iblis Tangan Panjang
kini benar-benar ketakutan. Cepat dia
berteriak ketika Wiro hendak menotok mata
kanannya.
"Jangan! Aku akan terangkan! Aku akan
terangkan!"
"Terangkan lekas!" bentak Wiro sambil
menyentakkan rambut Iblis Tangan Panjang.
"Gadis itu kujual pada Adipati Blabak …"
"Dusta!"
"Demi bapak moyang setan aku tidak dusta!"
Wiro menotok tubuh Iblis Tangan Panjang.
"Untuk sementara biarlah kau kaku tegang di
sini. Jika kau dusta aku akan kembali untuk
mengorek matamu! Jika kau ternyata bicara
betul, dua hari di muka totokan itu akan
terlepas dan kau boleh pergi ke mana suka!"
"Tapi aku akan mati kelaparan selama dua
hari itu!" teriak Iblis Tangan Panjang.
"Kau tokh turunan iblis. Minta saja makanan
pada iblis-iblis penghuni lembah ini!" jawab
Wiro Sableng. Lalu sambil tertawa bergelak di
tinggalkannya tempat itu.
Karena Blabak tidak jauh dari situ maka
dalam tempo singkat Wiro Sableng telah
sampai di situ. Dia memasuki Kadipaten
dengan melompati tembok belakang. Dari
seorang pelayan yang diringkusnya dia
berhasil mengetahui di kamar mana Wening
Karsih di tempatkan. Menurut pelayan itu
Wening Karsih di antarkan oleh Iblis Tangan
Panjang ke Kadipaten Blabak lewat tengah
malam tadi. Pelayan itu memberi kepastian
pula bahwa tidak terjadi apa-apa atas din si
gadis karena istrinya sendiri yang mengawani
Wening Karsih semalaman hari. Tanpa
menunggu lebih lama Wiro segera masuk ke
dalam gedung Kadipaten. Sesaat kemudian
pemuda itu keluar melompbt dan jendela
sebuah kamar dan di bahunya memanggul
sosok tubuh seorang gadis. Di halaman
samping dia dipergoki oleh dua pengawal
yang segera berteriak memberi tahu kawan-
kawannya. Cepat sekali Wiro sudah dikurung
oleh empat orang prajurit Kadipaten. Namun
tentu saja keempatnya bukan tandingan
pemuda itu. Dengan hanya mengandalkan
kaki kanannya saja, Wiro berhasil membuat ke
empat prajurit itu tergelimpang di tanah. Dan
pada saat Adipati Blabak sampai di tempat
itu Wiro telah lenyap bersama Wening Karsih.
SESAMPAINYA di tepi Pantai, Untung
Pararean mendadak merasakan keraguan
dalam hati nya. Jika betul Pengemis Cantik
Ayu adalah anakku yang lenyap sekitar enam
belas tahun yang lalu apakah dia kelak akan
mau mengakui diriku sebagai ayah
kandungnya, pikir Untung Pararean. Namun
karena banyak pertanyaan yang harus
diusahakannya jawabnya dan mengingat pula
bahwa Pengemis Sakti Muka Bopeng adalah
musuh besar yang telah membuat cacat
dirinya seumur hidup berada di Pulau Ras
akhirnya Untung Pararean menetapkan hatinya
dan meneruskan niatnya untuk pergi ke pulau
tersebut.
Dengan sebuah perahu sewaan Untung
Pararean menyeberang dan sampai di pulau
tujuannya sewaktu malam berganti dengan
pagi. Tempat kediaman Pengemis Sakti Muka
Bopeng yang keseluruhannya terbuat dari
bambu kuning adalah satusatunya bangunan
di Pulau Ras dan dengan mudah dapat
ditemui oleh Untung Pararean. Dia merasa
heran ketika mendapatkan bangunan yang
besar itu kosong melompong. Tak satu
orangpun ada di dalamnya.
"Pada ke mana mereka? Mustahil Empat
Pengemis Pulau Ras belum sampai ke sini,"
demikian pikir Untung Pararean. Dia tak tahu
kalau Pengemis Sakti Muka Bopeng dan
keempat orang murid serta istrinya telah
meninggalkan Pulau itu beberapa waktu yang
lalu.
Sewaktu Pengemis Cantik Ayu dan saudara-
saudara seperguruannya kembali dan
menceritakan apa yang terjadi di rumah
makan Atik Rono, bukan main marah dan
kesalnya Pengemis Sakti Muka Bopeng.
"Kalian betul-betul memberi malu aku di
kalangan persilatan! Apa yang kutugaskan tak
berhasil kalian lakukan! Dan seorang pemuda
jembel yang tak dikenal tak mampu kalian
hadapi!! Terpaksa aku sendiri yang harus
turun tangan!"
Itulah sebabnya ketika Untung Pararean tiba
di Pulau Ras dia tidak menemui siapa pun.
Untung Pararean masuk ke dalam rumah
untuk menyelidik. Baru saja dia hendak
memasuki sebuah kamar tiba-tiba di halaman
luar terdengar bentakan nyaring. "Bangsat
rendah dari mana yang berani mengotori
rumahku?!"
Untung Pararean terkejut. Cepat dia
melompati sebuah jendela dan tiba di
halaman samping. Enam orang dilihatnya
berlari ke pintu muka. Tapi begitu melihat
Pararean di halaman samping ke enamnya
segera memutar lari mereka dan sesaat
kemudian sudah berdiri mengurung bekas
perwira kerajaan itu.
Sepintas lalu hampir saja Pengemis Sakti
Muka Bopeng mengira laki-laki itu adalah Si
Cadar Hitam. Sewaktu diperhatikannya lebih
teliti segera dia tahu bahwa manusia bercadar
kain hitam itu bukanlah musuh lamanya. Tapi
adalah aneh kalau orang tak dikenal ini
mengenakan kain hitam penutup mukanya.
Mungkin dia masih ada sangkut paut dengan
Si Cadar Hitam? Di lain pihak Untung
Pararean merasakan sekujur tubuhnya
bergetar ketika dia mengenali perempuan
separuh baya berkulit hitam manis dan
berparas jelita di samping Pengemis Sakti
Muka Bopeng bukan lain adalah Sri Kemuning,
istrinya yang telah melarikan diri pada enam
belas tahun yang silam! Dengan demikian
satu kenyataan yang sebelumnya cuma
menjadi dugaannya belaka, kini terbukti.
Pengemis Cantik Ayu adalah anak
kandungnya sendiri! Hati Untung Pararean
berdebar ketika dia ingat ucapan Pengemis
Muka Bopeng adalah ayahnya! Apakah Sri
Kemuning telah menjadi istri musuh besarnya
itu? Betulbetul ini membuat perih hati Untung
Pararean.
Sri Kemuning sendiri merasa aneh sewaktu
pandangan matanya beradu dengan
pandangan sepasang mata laki-laki yang
wajahnya tersembunyi dibalik kain hitam itu.
Sri Lestari atau Pengemis Cantik Ayu tak
berani menerangkan bahwa laki-laki bercadar
itu adalah orang yang mereka telah temui di
rumah makan Akik Rono karena takut
kedustaan mereka akan terbuka.
"Bangsat bercadar! Siapakah kau?! Apa punya
nyawa rangkap hingga berani datang ke sini
mengotori pulau dan rumahku?!.
Untung Pararean tak ingin bekas istri dan
anaknya mengetahui siapa dia sebenarnya.
Karena itu dia tak mau menjawab pertanyaan
Pengemis Muka Bopeng dengan terus terang.
"Muka Bopeng, rupanya matamu masih belum
begitu tajam hingga tak dapat mengenali
siapa aku adanya! Aku tidak sudi
menerangkan tentang diriku pada manusia
macam kau! Antara kita ada semacam hutang
piutang yang harus dilunaskan hari ini!
Nyawamu atau nyawaku!".
Meskipun rasa-rasa sudah pernah mendengar
suara laki-laki bercadar itu sebelumnya
namun Pengemis Sakti Muka Bopeng tak
dapat menerka siapa orang di depannya itu.
Di samping itu ucapan Untung Pararean tadi
membuat dia menjadi sangat marah.
Setelah lebih dulu mendengus marah dia
berkata, "Mataku memang tidak mampu
mengenali tampang yang kau sembunyikan di
balik kain hitam itu! Tapi tangankulah yang
bakal menyingkapkan kain itu! Lihat!"
Pada akhir kata-katanya, Pengemis Sakti
Muka Bopeng berkelebat lenyap dan tahu-
tahu tangan kanannya menyambar ke muka
Untung Pararean! Kaget bekas Perwira
Kerajaan ini bukan kepalang. Tidak
disangkanya ka1au lawannya akan bergerak
demikian cepat. Segera tangan kirinya
dibabatkan ke atas. Akibatnya terjadilah
bentrokan antara lengan yang diserang
dengan penyerang! Tubuh Untung Pararean
terhempas ke belakang laksana dilanda
gelombang sedang tangannya sakit bukan
main. Sewaktu diperhatikan kulit lengannya
telah menjadi bengkak kemerahan! Di lain
pihak Pengemis Sakti Muka Bopeng hanya
berdiri terhuyung-huyung dan di lain kejap
dengan satu lolongan macam srigala haus
darah dimalam buta, kembali dia melancarkan
serangan. Kali ini kedua tangannya kelihatan
berkelebat cepat.
Untung Pararean menyambut dengan pukulan
tangan kosong yang bernama "seribu kati
memukul awan". Ilmu pukulan ini
dipelajarinya dari Kiyai Supit Pramana
karenanya hebatnya bukan main! Tubuh
Pengemis Sakti Muka Bopeng laksana seekor
burung yang terbang menentang angin topan
hingga mengapung tak bisa maju! Padahal
kedua tangan Pengemis Muka Bopeng hanya
tinggal satu jengkal saja lagi dari muka
Untung Pararean!
Sebelum tubuhnya terlempar di sapu oleh
pukulan "seribu kati memukul awan" itu,
Pengemis Sakti Muka Bopeng cepat
mendorong kedua tangannya ke muka. Dua
gelombang angin menderu memapas angin
serangan Untung Pararean. Sekejap kemudian
terdengarlah suara menggelegar yaitu ketika
terjadi saling bentur antara angin-angin yang
berkekuatan hebat itu! Pulau Ras bergetar.
Debu dan pasir beterbangan sedang rumah
bambu mengeluarkan suara berkeretek!
"Manusia bercadar! Kulihat kau barusan
melancarkan pukulan "seribu kali memukul
awan". Apakah kau muridnya Si Supit
Pramana di Gunung Bromo?!"
"Diam-diam Untung Pararean terkejut
menanggapi si muka bopeng.mengenali
pukulan yang tadi dilepaskannya. Saat itu dia
tengah mengatur tenaga dalamnya karena dua
gelombang angin yang dilepaskan Pengemis
Sakti Muka Bopeng tadi membuat dadanya
agak sakit.
"Aku bukan murid siapa-siapa!" sahut Untung
Para:ean dan dalam jurus ketiga ini dia yang
pertama membuka serangan. Tubuhnya
melayang setinggi setengah tombak di atas
tanah. Tangan kiri dan kanan dipukulkan ke
depan dan setengah jalan tubuhnya dengan
sangat tiba-tiba melesat ke atas lalu dengan
serentak mengirimkan dua serangan berantai
yang hebat yaitu tendangan kaki dan
hantaman tinju!
"Jurus – dewa terbang ke langit –!" seru
Pengemis Sakti Muka Bopeng. Lalu cepat
merunduk dan memukul bagian tubuh yang
berbahaya di antara kedua selangkangan
Untung Pararean!
Tentu saja Untung Pararean tak mau
membiarkan dirinya dihantam serangan maut
itu. Dia memutar pinggulnya ke samping dan
di lain kejap kaki kanannya meluncur deras ke
arah tinju kanan lawan!
Pengemis Sakti Muka Bopeng jadi penasaran
sekali rnelihat bagaimana dalam rnenyerang
dia balik kena diserang! Didahului oleh satu
bentakan menggledek laki-laki ini melompat
ke atas, lebih tinggi dan kedudukan tubuh
Untung Pararean. Untung Pararean tak mau
meneruskan serangannya karena tendangan
yang melanda tempat kosong akan membuat
dirinya berada dalam keadaan yang tidak
menguntungkan. Karenanya begitu
tendangannya dibatalkan. Untung Pararean
cepat membalik untuk menghadapi lawan
yang datang dari belakang. Namun dia kurang
cepat. Tubuhnya baru setengahnya berputar
dan satu jotosan telah melanda punggungnya!
Bekas Perwira Kerajaan itu terpelanting ke
depan. Ketika jatuh ke tanah hampir saja dia
tak sanggup berdiri di atas kedua kakinya.
Punggungnya sakit bukan main dan sebelum
dia sempat mengatur nafas dan mengalirkan
tenaga dalam kebagian yang terpukul,
dadanya telah sesak. Sesaat kemudian Untung
Pararean muntah darah tertatih-tatih!
Pengemis Sakti Muka Bopeng tertawa gelak-
gelak sambil melangkah mendekati Untung
Pararean.
"Sebelum kukirim kau menghadap raja akhirat
mari kulihat dulu macam mana kau punya
tampang!"
Pengemis Sakti Muka Bopeng mengulurkan
tangannya yang sebelah kanan untuk menarik
kain hitam penutup wajah Untung Pararean.
Bekas Perwira Kerajaari itu tak mempunyai
daya untuk menghindar karena saat itu
kembali dia memuntahkan darah kental
berbuku-buku!
Sekejap lagi jari-jari tangan Pengemis Sakti
Muka Bopeng akan menarik kain penutup
wajah Untung Pararean, mendadak sebuah
benda sebesar kepala melesat ke arah
Pengemis Sakti Muka Bbpeng. Mau tak mau
laki-laki ini terpaksa menarik pulang
tangannya. Benda yang dilemparkan temyata
sebutir buah kelapa. Dan di kejap itu pula
seorang laki-laki, yang teramat tua,
berselempang kain putih telah berdiri di
hadapan Pengemis Sakti Muka Bopeng!
"Kau!" seru Pengemis Sakti Muka Bopeng
kaget. Tapi dia tidak gentar.
"YA, Aku! Apakah kau masih mengenali aku,
Pengemis Sakti Muka Bopeng?!" kata orang
yang baru datang, yang tadi melemparkan
buah kelapa ke arah Pengemis Sakti Muka
Bopeng. Dia mengenakan jubah putih dan
sangat tua sekali. Tubuhnya yang agak
bungkuk itu ditopang dengan sebuah tongkat
yang dipegangnya di tangan kanan.
"Hemm . . . " gumam Pengemis Sakti Muka
Bopeng. "Kiranya betul dugaanku bahwa
keparat bercadar ini adalah muridmu Kiyai
Supit Pramana dari Gunung Bromo. Heran . . .
kenapa tahu-tahu saja kau mempunyai
seorang murid!"
"Aku memang memberikan beberapa pelajaran
ilmu silat padanya. Tapi dia bukanlah
muridku." kata Kiyai Supit Pramana tegas-
tegas.
"Eh, kenapa begitu? Lucu sekali!" ujar
Pengemis Sakti Muka Bopeng seraya
memandang pada murid-muridnya. "Mungkin
kau bisa menerangkan kelucuan itu? Atau
kedatanganmu jauh-jauh ke sini justru
memang hendak menerangkan hal itu?!"
Wajah Kiyai Supit Pramana kelihatan sedikit
merah. Namun demikian di bibimya tersunting
sekelumit senyum.
"Lucu atau tidak bukan itu urusanmu, Muka
Bopeng!"
"Oh, jadi kedatanganmu hendak turun tangan
membantu manusia bercadar ini? Boleh saja!
Tapi akan lebih baik jika terlebih dulu kau
suruh dia membuka cadarnya!"
"Soal buka cadar itu bukan pekerjaanku.
Kalau kau sendiri tidak mampu apakah tidak
malu menyuruh orang lain?!"
Kini paras Pengemis Sakti Muka Bopeng yang
berubah menjadi merah. Sementara itu Kiyai
Supit Pramana ingat bahwa kali itu adalah
kali ketiga dia menolong jiwa Untung
Pararean yang berarti adalah pertolongan
untuk penghabisan kalinya yaitu sebagaimana
pesan gurunya tempo hari di dalam mimpi.
"Kiyai Supit Pramana!" berkata Pengemis
Sakti Muka Bopeng sambil bertolak pinggang.
"Antara kau dan aku tidak ada saling
sengketa. Mengapa mendadak sontak kau
hendak baku hantam denganku?!"
"Siapa bilang aku hendak baku hantam
denganmu?" sahut Kiyai Supit Pramana.
"Kemunculanku hanya untuk menolong dia."
"Alasan yang dicari-cari!" kata Pengemis
Sakti Muka Bopeng dengan mimik mengejek.
"Apakah kau bisa pula menerangkan silang
sengketa apa yang ada antara aku dan
manusia bercadar ini hingga tak ada hujan
tak ada angin datang ke sini dan menyebut-
nyebut segala soal hutang pihutang?!"
Untung Pararean kawatir kalau-kalau Kiyai
Supit Pramana akan menerangkan siapa
dirinya sebenarnya. Tapi orang tua yang arif
ini sudah memahami perasaan Untung
Pararean. Maka diapun menjawab, "Soal itu
kau tanyakan saja langsung pada orangnya."
"Kau dan setan alas ini sama saja tidak tahu
dirinya! Ayo lekas angkat kaki dari pulauku!"
bentak Pengemis Sakti Muka Bopeng.
"Aku baru akan meninggalkan tempat ini bila
urusanmu dengan dia sudah beres." jawab
Kiyai Supit Pramana. "Tua bangka sialan!
Kalau begitu biar kau dulu yang aku
bereskan!" Pengemis Sakti Muka Bopeng
berpaling pada ke empat muridnya dan
berseru: "Kalian berempat cepat cincang
bangsat itu!" Maka Pengemis Cantik Ayu dan
tiga Pengemis lainnya segera mengeluarkan
senjata masing-masing dan menyerbu Untung
Pararean.
Bagi Untung Pararean tingkat ilmu silat
keempat lawannya itu tidak membuat dia
menjadi gentar. Tapi ada satu hal yang
menyebabkan setiap gerakannya harus
dilakukan dengan penuh perhitungan bahkan
kadang-kadang tertahan-tahan. Yang
menyebabkan itu ialah karena salah seorang
dari pengeroyoknya adalah anaknya sendiri.
Walau bagaimanapun seorang bapak tak akan
tega untuk mencelakai anak kandungnya! Di
lain pihak Sri Lestari atau Pengemis Cantik
Ayu tidak mengetahui kalau yang dihadapinya
adalah ayah kandungnya. Bersama-sama
dengan ketiga saudaranya dia terus mendesak
Untung Pararean dengan hebat!
Setelah pertempuran berkecamuk dua puluh
jurus dan melihat keempat orang itu masih
belum sanggup merubuhkan Untung Pararean,
Sri Kemuning yang oleh Pengemis Sakti Muka
Bopeng teJah diberi julukan "Pengemis Hitam
Manis" segera menyerbu pula ke dalam
kalangan pertempuran, hingga kini Untung
Pararean dikeroyok lima. Dan dua dari
pengeroyoknya adalah anak kandung dan
bekas istrinya sendiri!
Sementara itu pertempuran yang terjadi
antara Kiyai Supit Pramana dan Pengemis
Sakti Muka Bopeng benar-benar satu
pertempuran tingkat tinggi yang jarang
ditemui. Tubuh keduanya lenyap menjadi
bayang-bayang sedanq di sekitar mereka debu
dar pasir bergu lung-gu lung, siuran angin
menderu-deru!
Kalau Kiyai Supit Pramana mengandalkan
tongkat butut di tangan kanannya maka
Pengemis Sakti Mu.ka Bopeng hanya
mengandalkan tangan, kosong. Beberapa kali
si Muka Bopeng ini melancarkan serangan-
serangan kilat dan pukulan-pukulan tangan
kosong yang dahsyat mematikan namun
lawannya selalu berhasil mengelak atau
memusnahkan serangannya itu.
"Bangsat tua bangka!" maki Pengemis Sakti
Muka Bopeng pada jurus ketiga puluh satu,
"sekarang jangan harap kau bakal bisa
selamat dari pukulanku ini!" Mulutnya
menggembung, dari tenggorokannya terdengar
suara menggembor dan tangan kanannya di
angkat ke atas lalu dipukulkan ke depan, ke
arah Kiyai Supit Pramana.
"Wuuuussss!"
Satu gelombang sinar hitam yang luar biasa
panasnya menggemuruh. "Pukulan api hitam",
seru Kiyai Supit Pramana dalam hati lalu
dengan cepat melompat ke samping seraya
memapas dengan tongkat bututnya!
"Kraak!"
Tongkai di tangan sang Kiyai patah dua dan
terlepas dari tangannya tapi dirinya sendiri
selamat!
Dengan geram Pengemis Sakti Muka Bopeng
kembali mengirimkan pukulan dahsyat tadi
dua kali berturut-turut!
Terdengar seruan dahsyat keluar dari mulut
Kiyai Supit Pramana, "Hitam tak akan menang
dengan putih!" Dan di kejap itu pula selarik
sinar putih berkelebat. Begitu sinar putih ini
beradu terus menggulung sinar hitam. Untuk
beberapa lamanya menghantam sedang yang
melepaskan pukulan sama berdiri tegang
menyalurkan tenaga dalam masing-masing!
Dalam tenaga dalam Pengemis Sakti Muka
Bopeng masih kalah satu tingkat di bawah
Kiyai Supit Pramana. Karenanya setelah adu
kekuatan selama hampir sepeminuman teh
dan kedua kakinya sampai-sampai melesak
sedalam sepuluh senti, akhirnya tubuhnya
terdorong ke belakang! Sebelum sinar-sinar
putih itu melabrak dirinya, Pengemis Sakti
Muka bopeng cepat melompat mencari
keselamatan. Parasnya kelihatan pucat.
Kuduknya dingin. Jika tidak lekas melompat
pasti dirinya kena dicelakai pukulan lawan.
Kiyai Supit Pramana tertawa perlahan dan
berkata, "Kurasa cukup kita main-main
sampai di sini saja, Muka Bopeng. Sebaiknya
kau lekas menyelesaikan urusanmu dengan
laki-laki bercadar itu. Jangan mengandalkan
murid-muridmu yang main keroyok secara
pengecut itu!"
"Anjing tua!" sentak Pengemis Sakti Muka
Bopeng penuh dendam amarah. "Kalau
maksudku untuk membunuhmu tidak
kesarnpaiar, biarlah kelak aku akan bunuh
diri!"
"Ah, memang susah kalau seseorang mata
dan hatinya sudah buta oleh kejahatan!" ujar
Kiyai Supit Pramana dengan menggeleng-
gelengkan kepala.
"Jangan banyak bacot! Kau akan segera
mampus anjing tua!" semprot Pengemis Sakti
Muka Bopeng. Kedua tangannya bergerak. Kini
tangan kiri memegang sebilah pedang
panjang berwarna ungu sedang tangan kanan
memegang sebuah keris yang memancarkan
sinar biru yang bukan lain keris Mustiko
Jagat adanya! Melihat bagaimana si muka
bopeng ini menggunakan dua senjata
sekaligus nyatalah bahwa dia benar-benar
ingin memburuh Kiyai Supit Pramana dalam
waktu yang paling singkat!
Di lain pihak Kiyai Supit Pramana tidak
merasa gentar. Dia sudah tahu kehebatan
keris Mustiko Jagat sedang pedang di tangan
kiri lawan tidak dipandangnya sebelah mata.
Keris tempaan Empu Bharata itulah yang
lebih berbahaya dan harus hatihati
dihadapinya. Karenanya untuk mengimbangi
senjata tersebut Kiyai Supit Pramana tidak
menunggu lebih lama, segera pula
mengeluarkan senjatanya yakni sehelai
selendang sutera yang tepinya dihias dengan
seratus rumbai-rumbai sepanjang satu
jengkal!
Pengemis Sakti Muka Bopeng membuka
serangan dengan satu teriakan dahsyat. Kiyai
Supit Pramana menanti dengan tenang. Begitu
lawannya tinggal beberapa langkah di
hadapannya, segera selendang sutera di
tangan kanan dikebutkan! Satu gelombang
angin sedahsyat topan prahara menggaung.
Seratus senjata rahasia berhamburan dari
rumbai-rumbai selendang. Kaget Pengemis
Sakti Muka Bopeng tidak kepalang. Cepat dia
memapas dengan pedang dan keris. Pedang di
tangan kiri mental patah dua tapi keris
Mustiko Jagat dengan hebatnya sanggup
membuat buyar angin serangan serta
mementalkan senjata-senjata rahasia yang
menggempur!
Sekarang marilah kita perhatikan pertempuran
yang berlangsung antara Untung Pararean
melawan Sri Lestari, Sri Kemuning dan tiga
Pengemis lainnya itu. Dia bertempur dengan
berbagai perasaan yang campur aduk dan
menggugah hati sanubarinya. Bagaimana dia
bisa bertempur sungguh-sungguh dengan dua
orang yang merupakan anak serta bekas
istrinya? Walau bagaimanapun keduanya
adalah orang-orang yang dikasihi dan pernah
dikasihinya. Di lain pihak kedua ibu dan anak
itu yang tidak mengetahui siapa adanya
Untung Pararean, terus menggempur dengan
hebat. Di tambah pula dengan
seranganserangan gencar tiga Pengemis
hingga kedudukan Untung Pararean jadi serba
sulit. Dalam kesulitan itu dia masih sanggup
menendang rubuh Pengemis Badan Kurus
hingga terjungkal dan menggeletak pingsan.
Namun demikian karena Untung Pararean
terlalu dalam dipengaruhi oleh perasaannya,
kerap kali laki-laki ini bertempur dengan
gerakan yang ragu-ragu hingga pada akhirnya
lengan kirinya berhasil dilanda ujung golok Sri
Lestari dan terluka cukup parah! Denqan
menahan sakitnya luka dan keperihan hati,
Untung Pararean meneruskan pertempuran.
Sementara itu dari sejak mulai
berlangsungnya pertempurarn entah
bagaimana dia selalu ingat pada Empu
Bharata yang telah dibunuhnya enam belas
tahun yang silam. Seperti terngiang
ditelinganya kutukan orany tua sakti itu
sebelum dia meregang nyawa yaitu " kelak
kau bakal mati di ujung Mustiko Jagat dan
sebelum mati hidupmu kukutuk menderita
lahir bathin . . . "
Berdiri bulu kuduk Untung Pararean. Benarkah
dia akan mati di ujung keris Mustiko Jagat
yany dulu dipakainya untuk membunuh Empu
Bharata itu? Dia tahu sebagian dari kutukan
sang Empu atas dirinya telah menjadi
kenyataan. Yaitu dia telah hidup denqan
menderita lahir bathin! Karena bertempur
sambil merenung dan dipengaruhi berbagai
macam perasaan maka Untung Pararean
semakin berada dalam kedudukan yang sulit.
Saat itu ingin saja dia berteriak pada Sri
Lestari dan Sri Kemuning, menerangkan siapa
dia. Tapi hal itu tak bisa dilakukannya.
Lidahnya serasa kelu. Lagi pula walau
bagaimanapun Sri Kemuning bukan lagi
istrinya saat itu, sudah menjadi istri orang
lain meski secara tidak syah. Dan yang paling
penting apakah kelak Sri Lestari akan mau
mengakui dirinya yang cacat itu sebagai ayah
kandungnya? Bahkan Sri Kemuning sendiri
mungkin tak akan mengenali wajahnya
seandainya dia membuka cadar hitam yang
menutup wajahnya! Dan keperihan semakin
dalam menusuk lubuk hati Untung Pararean.
Dikuatkannya dirinya. Tapi kedua matanya tak
kuasa menahan genangan air mata. Kedua
mata itu kelihatan berkaca-kaca!
Di saat itu timbul pikiran di kepala Untung
Pararean untuk meninggalkan tempat itu.
Namun bila dia ingat bahwa dendam
kesumatnya terhadap Pengemis Sakti Muka
Bopeng masih belum kesampaian, kembali
dikuatkannya hatinya. Tiba-tiba dia mendapat
akal sebaiknya bertempur menghadapi musuh
besarnya saja saat itu. Sekaligus dia bisa
membalas dendam dan mengelakkan
pertempuran melawan bekas istri dan anak
kandungnya! Namun sebelum hal itu
dilakukannya sesosok tubuh berpakaian hitam
mendatang dengan sangat cepat dari arah
timur dan terdengar seruan keras lantang,
"Kiyai Supit Pramana! Bangsat bermuka
bopeng itu adalah musuh lamaku! Biar aku
yang merampas jiwanya!"
KIYAI Supit Pramana dan pengemis Sakti
Muka Bopeng sama-sama terkejut lalu
samasama melompat ke belakang. Si Muka
Bopeng yang sudah mengenali suara orang
yang datang segera dapat menduga siapa dia
adanya dan ternyata dugaannya tak meleset.
Orang itu adalah Si Cadar Hitam!
"Ha . . . " ha . . . ! Agaknya kau terkejut dan
takut melihat kedatanganku, Pengemis Sakti
Muka Bopeng?!"
"Puah!" Pengemis Sakti Muka Bopeng
meludah. "Dalam hidupku tak pernah ada kata
takut! Apalagi terhadap bangsa kurcaci
macam kau!"
Si Cadar Hitam tertawa gelak-gelak sambil
memandang berkeliling. Sesaat dia
memperhatikan pertempuran yang
berlangsung antara Untung Pararean dengan
keempat pengeroyoknya lalu kepalanya
kembali dipalingkan pada Pengemis Sakti
Muka Bopeng, dan berkata dengan mengejek.
"Mungkin kau bukan seorang pengecut! Tapi
sekurang-kurangnya kau telah mengajarkan
bagaimana bertempur secara pengecut
terhadap murid-muridmu hingga mereka main
keroyok begitu rupa!"
Muka yang buruk dari Pengemis Sakti Muka
Bopeng kelihatan merah padam dan Si Cadar
Hitam kembali mementang mulut. "Bukti lain
yang cukup jelas betapa pengecutnya dirimu
ialah ketika kau mengutus murid-muridmu
untuk memenuhi tantanganku satu tahun yang
lalu! Kenapa tidak kau sendiri yang muncul
kalau bukannya berarti kau bangsa pengecut
kelas wahid?!"
"Bangsat rendah! Kuberikan kesempatan
padarnu untuk mengaso memperpanjang
nyawa. Kelak sesudah tua bangka dari
Gunung Bromo ini kubikin mampus akan
sampai pula giliranmu!"
Kiyai Supit Pramana cepat membuka mulut.
"Cadar Hitam," katanya yang sudah mengenali
siapa adanya pendatang baru itu . . . "Antara
aku dan dia sebenarnya tak ada silang
sengketa. Silahkan kau baku hantam satu
sama lain!"
"Kiyai sedeng! Apakah kau tak punya nyali
melanjutkan pertempuran tadi?!" tanya
Pengemis Sakti Muka Bopeng.
Sang Kiyai tertawa bergumam. "Rupanya
nyalimu terlalu besar. Apa kau ingin kami
berdua melabrakmu saat ini?!"
"Tua renta_. .." Maki Pengemis Sakti Muka
Bopeng itu dipotong oleh bentakan Si Cadar
Hitam.
"Muka Bopeng, sudah mau mampus masih
saja main maki-makian! Terima ini!"
Selarik sinar hitam bersiut! Itulah serangan
senjata Si Cadar Hitam yang berbentuk toya
dengan lingkaran-lingkaran tajam pada kedua
ujungnya!
"Ha … ha! Senjatamu masih saja senjata
buruk dulu! Apakah kau masih punya muka
untuk mempergunakannya?!" ejek Pengemis
Sakti Muka Bopeng seraya menangkis dengan
keris Mustiko Jagat.
"Trang!" Bunga api memercik!
Si Cadar Hitam terkejut. Tangannya tergetar
hebat, sakit dan pedas. Ketika
diperhatikannya senjatanya, astaga! Temyata
lingkaran tajam yang sebelah kanan telah
terbabat putus! Dia sama sekali tidak
menyangka kalau dalam satu tahun kehebatan
lawannya sudah maju jauh sekali dan tak
menyangka lagi kalau keris di tangan
Pengemis Sakti Muka Bopeng demikian
dahsyatnya! Mau tak mau nyalinya jadi
menciut juga. Segera dia mengeluarkan jurus
silatnya yang terhebat dan melakukan
penyerangan dengan senjatanya yang telah
buntung! Si Cadar Hitam berlaku cerdik. Dia
selalu mengelak bila lawan hendak mengadu
senjata, sebaliknya dia berusaha agar dapat
menyingkirkan keris Mustiko Jagat dari
tangan lawan!
Dalam ilmu silat mungkin Si Cadar Hitam
lebih hebat dan lebih gesit gerakannya.
Namun walau bagaimanapun yang
menentukan adalah senjata di tangan masing-
masing! Setelah bertempur dua puluh jurus
lebih akhirnya Si Cadar Hitam tak berdaya
mengelakkan satu tusukan yang amat cepat!'
Tubuhnya terjajar ke belakang dengan dada
mandi darah. Senjatanya yang buntung
terlepas dan begitu jatuh tubuhnya. masih
berkelojot beberapa kali. Begitu racun keris
merambas kejantungnya, lakilaki itupun
meregang nyawa!
"Manusia hina! Mayatmu tak layak malang
melintang di depan mataku!" kata Pengemis
Sakti Muka Bopeng. Sekali tendang saja maka
mencelatlah tubuh Si Cadar Hitam sejauh
belasan tombak, angsrok di antara semak-
semak lebat! Pengemis Sakti Muka Bopeng
berpaling pada Kiyai Supit Pramana.
"Sekarang giliranmu, anjing tua!" bentaknya
lalu menyerbu dengan keris di tangan! Untuk
kedua kalinya kedua orang itu kembali
bertempur. Kini lebih hebat, lebih cepat, dan
lebih ganas!
Pertempuran antara Untung Pararean dan
pengeroyok-pengeroyoknya telah berjalan
lebih dari empa; puluh jurus. Dalam keadaan
luka parah Untung Pararean masih sempat
memukul jatuh salah satu golok di tangan Sri
Lestari dan merampas goloknya yang lain.
Tapi untuk itu Untung Pararean menerima
hantaman sabuk di tangan Pengemis Kepala
Botak yang membuat pinggulnya serasa
remuk! Dengan panuh marah Untung Pararean
melepaskan pukulan "seribu kati memukul
awan",
ke arah Pengemis Kepala Botak. Pukulan yang
dahsyat itu berhasil dikelit oleh si kepala
Botak sebaliknya hampir saja melanda Sri
Lestari di samping kiri. Karena itu Untung tak
mau lagi melepaskan pukulan tersebut takut
mencelakai anak kandung atau bekas istrinya
sendiri!
"Lekas bentuk barisan bolang-baling!" tiba-
tiba Sri Lestari atau Pengemis Cantik Ayu
berseru. Barisan bolang-baling adalah satu
barisan penggempur yang tangguh. Barisan
ini diciptakan oleh Pengemis Sakti Muka
Bopeng dan bisa dilakukan oleh tiga sampai
tujuh orang. Dan kehebatan barisan ini
dirasakan sendiri oleh Untung Pararean.
Serangan datang dari berbagai jurusan dan
dalam gerakan yang sama sekali berlawanan
dari gerakan silat yang sewajarnya. Ini
membingungkan Untung Pararean. Meskipun
beberapa jurus di muka dia berhasil
mengetahui kelemahan-kelemahan barisan
bolang-baling itu namun dirinya sudah sangat
terdesak! Masih untung dia berhasil
merampas golok Sri Lestari, kalau tidak
mungkin sudah sejak tadi-tadi dia mendapat
celaka!
Dalam pada itu pertempuran antara Pengemis
Sakti Muka Bopeng dan Kiyai Supit Pramana
telah mencapai klimaks kehebatannya. Dalam
jurus yang ke enam puluh tiga tokoh silat dari
Gunung Bromo itu berhasil menghantam
lengan kanan lawannya hingga keris Mustiko
Jagat terlepas dan mental dari tangan
Pengemis Sakti Muka Bopeng. Laki-laki ini
coba melompat untuk menjangkau senjata itu
tapi tak berhasil karena saat itu Kiyai Supit
Pramana melepaskan pukulan "seribu kati
memukul awan" yang mana harus
dielakkannya dengan cepat kalau tidak mau
mendapat celaka. Kiyai Supit Pramana adalah
tokoh silat berjiwa kesatria tulen! Melihat
lawan tidak bersenjata lagi segera selendang
suteranya di simpan di balik pakaian lalu
meneruskan pertempuran dengan tangan
kosong.
Secara kebetulan, keris Mustiko Jagat yang
terlepas mental dari tangan Pengemis Sakti
Muka Bopeng melayang ke tempat
berlangsungnya pertempuran antara Untung
Pararean dan pengeroyok-pengeroyoknya.
Melihat keris ayahnya melayang mental begitu
rupa, dan di saat itu dia sendiri tidak pula
memegang senjata apa-apa, dengan cepat Sri
Lestari melompat. Sesaat kemudian senjata
itupun sudah berada dalam tangan kanannya!
Betapa terkejutnya Untung Pararean
menyaksikan Sri Lestari kembali memasuki
kalangan pertempuran dengan Mustiko Jagat
di tangan. Sinar biru berkelebat menggidikkan.
Untuk kesekian kalinya Untung Pararean
merasakan bulu kuduknya merinding.
Terngiang lagi di telinganya kutukan Empu
Bharata yang dibunuhnya dulu: ". . . kelak kau
bakal mati di ujung keris Mustiko Jagat. . . "
Apakah kutukan itu segera akan berbukti
kini?!
"Trang"!
Untung Pararean terkejut. Golok di tangan
kanannya patah dua disambar keris Mustiko
Jagat. Telapak tangannya sakit sekali. Dalam
pada itu dia harus cepat pula menyelamatkan
kepalanya dari gada batu pualam putih di
tangan Pengemis Badan Gemuk sedang dari
belakangnya, Pengemis Hitam Manis atau Sri
Kemuning melancarkan pula satu tendangan
maut! Untung Pararean berkelebat cepat untuk
mengelakkan kedua serangan itu dan berhasil.
Namun dia melupakan kedudukan Sri Lestari
yang saat itu bergerak luar biasa cepatnya,
menyambar dari samping kiri dan menusukkan
Mustiko Jagat ke dadanya tanpa bisa di
tangkis atau dikelit lagi!
Sesaat sebelum Mustiko Jagat menghunjam
di dada Untung Pararean terdengar satu
bentakan sekeras guntur!
"Jangan bunuh! Dia ayah kandungmu
sendiri!"
Tapi teriakan yang mengguntur itu terlambat
datangnya sebagai peringatan. Mustiko Jagat
telah lebih dulu menembus dada Untung
Pararean barulah semua orang, termasuk Sri
Lesteri terkejut!
Bekas Perwira Kerajaan itu terhuyung ke
belakang sambil memegangi dada dengan
kedua tangannya. Pada detik tubuhnya hampir
jatuh, satu bayangan putih berkelebat
menopang tubuhnya.
"Kasip! Terlambat! Terlambat … !" kata orang
yang datang ini sambil satu tangannya
menggaruk-garuk kepalanya tiada henti.
"Bangsat gondrong!" bentak Sri Lestari
sewaktu dia melihat siapa adanya orang yang
menopang tubuh lawannya. "Kau masih mau
ikut campur urusan orang lain?!"
"Gadis! Apakah kau masih belum sadar kalau
orang ini adalah ayah kandungmu sendiri?!"
ujar si pemuda rambut gondrong yang bukan
lain Pendekar 212 Wiro Sableng adanya.
"Jangan bicara ngacok ngelantur!" bentak Sri
Lestari. "Ayahku adalah Gambir Seta yang
bergelar Pengemis Sakti Muka Bopeng!"
Wiro Sableng tertawa kecut dan
menyandarkan Untung Pararean ke
pangkuannya. Sambil megap-megap
Kehabisan nafas Untung Pararean berbisik,
"Sahabat kenapa kau beritahu siapa diriku …"
Baru saja Untung Pararean habis berkata
begitu satu tangan menyambar dan bret!
Terbukalah cadar hitam yang selama ini
menutup paras bekas Perwira Kerajafan itu.
Terdengar jerit ngeri Sri Kemuning. Dialah
yang menyentakkan kain penutup paras
Untung Pararean. Jeritannya disusul oleh
jeritan Sri Lestari dan seruan-seruan tertahan
orang-orang yang ada di situ yang ada di situ
yang merasa ngeri melihat keluar biasaan
seramnya paras Untung Pararean. Mata
kirinya hanya merupakan lobang belaka.
Mulutnya kanan robek sampai ke pipi, bibir
menjela-jela. Cuping hidupnya yang sebelah
kiri tanggal, kedua daun telinganya papas
buntung sedang seluruh kulit muka hancur
bergurat-gurat! Sebagai bekas istri sekalipun,
Sri Kemuning tidak mengenali Untung
Pararean lagi!
Pengemis Sakti Muka Bopeng terkejut luar
biasa! Benar-benar tak diduganya kalau orang
bercadar itu adalah Untung Pararean, seorang
bekas Perwira Kerajaan yang telah membunuh
Empu Bharata dan yang telah disiksanya
setengah mati enam belas tahun yang silam!
Tiba-tiba laki-laki ini berteriak, "Jangan
dengar omongan pemuda edan itu! Dia tak
ada sangkut paut apa denganmu. Lestari!
Akulah ayah kandungmu!"
Wiro mendengus marah!
"Iblis laknat!" bentak Pendekar 212. "Di saat
orang hendak menghembuskan nafas
penghabisan apakah kau masih punya hati
demikian jahat untuk membantah kenyataan
bahwa dia adalah Untung Pararean, ayah
kandung gadis itu?!"
"Setan alas!" balas membentak Pengemis
Sakti Muka Bopeng, "Kalau kau mau mampus
bersamanya pergilah!" Habis berkata begitu
Pengemis Sakti Muka B$peng yang hendak
menyekap rahasia mengenai diri Untung
Pararean segera melepaskan pukulan tangan
kosong yang luar biasa hebatnya.
"Bangsat bermuka bopeng! Manusia
macammu memang tak layak dibiarkan hidup
lebih lama!" teriak Wiro. Dia bersiul nyaring
dan balas menghantam dengan tangan
kanannya! Satu larik sinar putih yang amat
panas dan menyilaukan mata menderu
laksana petir menyambar!
Pengemis Sakti Muka Bopeng terpekik.
Tubuhnya terguling. Itulah pukulan "sinar
matahari"!
Pengemis Sakti Muka Bopeng tak menyangka
akan disambut dengan serangan balasan
yang dahsyat itu. Cepat-cepat dia melompat
ke samping. Tapi masih kurang cepat!
Pekiknya mengumandang. Tangan kanannya
yang kurus kering kelihatan hangus hitam
pekat sedang tubuhnya terbanting ke tanah!
"Pemuda keparat! Mampuslah!", teriak Sri
Lestari seraya melompat dan menusukkan
Mustiko Jagat ke kepala Pendekar 212.
"Lestari! Tahan!", teriak Sri Kemuning dengan
cepat.
Sementara itu keris sakti hanya tinggal
setengah jengkal dari batok kepala Pendekar
212. Dengan sebat Wiro memukul pergelangan
tangan gadis itu hingga Mustiko Jagat
terlepas mental.
"Orang muda! Laki-laki yang bernama Untung
Pararean tidak bermuka seseram dia! Jangan
kau bicara ngelantur tak karuan!" kata Sri
Kemuning pula.
Wiro berpaling pada Kiyai Supit Pramana dan
menjawab, "Orang tua itu lebih tahu dari aku!
Dia yang menyelamatkan bekas suamimu dari
kematian!"
Sri Kemuning melangkah cepat. Dia ingin
membuktikan sendiri bahwa laki-laki bermuka
seseram setan itu adalah betul betul Untung
Pararean, bekas suaminya! Dirobeknya
pakaian Untung Pararean dan ketika di dada
laki-laki ini dilihatnya sebuah tahi lalat besar
meraunglah perempuvn ini.
"Kanda Untung!" jeritnya seraya menubruk
dan memeluk tubuh Untung Pararean.
"Kemun . . . " Nama itu tak sempat disebut
Untung Pararean sampai keakhirnya karena
malaekat maut telah lebih dulu mencabut
nyawanya!
Sementara itu dengan terhuyung-huyung
Pengemis Sakti Muka Bopeng coba berdiri.
Tapi tubuhnya roboh kembali karena racun
pukulan sinar matahari Pendekar 212 mulai
merusak jaringan-jaringan urat di dalam
tubuhnya. Ketika keris Mustiko Jagat yang
terpelanting jatuh di hadapannya, timbul
kekuatan baru dalam dirinya. Dengan
merangkak susah payah senjata itu berhasil
dijangkaunya. Begitu tangan kirinya
menyentuh senjata sakti itu, racun pukulan
sinar matahari dengan serta merta menjadi
sirna. Dengan kekuatan baru, Pengemis Sakti
Muka Bopeng melemparkan keris Mustiko
Jagat ke arah Pendekar 212. Tapi
lemparannya itu meleset dan keris Mustiko
Jagat melesat ke arah Sri Kemuning!
"Ibu awas!" seru Sri Lestari. Dia melompat
hendak menyambar senjata itu. Tapi karena
bingung dengan apa yang disaksikannya tadi,
gadis ini bertaindak gugup. Dan hal ini harus
dibayarnya dengan mahal! Keris Mustiko
Jagat menghantam pangkal lehernya! Baik
Wiro maupun Kiyai Supit Pramane tidak
punya kesempatan sama sekali untuk
menyelamatkan jiwa gadis itu!
Terdengar pekik Sri Lestari. Tubuhnya roboh
dengan leher mandi darah. Hanya beberapa
kali saja tubuh itu kelihatan bergerak-gerak,
sesudah itu diam tak berkutik lagi! Sri
Kemuning laksana gila melepaskan
pelukannya pada tubuh Untung Pararean dan
menghambur ke tempat di mana anaknya
menggeletak tak bernyawa.
"Manusia durjana!" bentak Kiyai Supit
Pramana seraya melompat menyerang
Pengemis Sakti Muka Bopeng. Tapi dari
samping satu bayangan putih lebih cepat
mendahuluinya. Satu suara laksana ribuan
tawon mengamuk membising telinga dan di
lain kejap terdengarlah jeritan setinggi langit
keluar dari tenggorakan Pengemis Sakti Muka
Bopeng! Tubuhnya bergedebuk ke tanah.
Pinggangnya hampir putus dan darah
membanjir! Kiyai Supit Pramana berdiri
laksana patung, memandang tepat-tepat pada
Pendekar 212 yang berdiri di hadapannya,
memegang Kapak Maut Naga Geni 212.
Senjata itulah yang telah menamatkan riwayat
Pengemis Sakti Muka Bopeng.
"Senjata hebat. Dan gerakannya luar biasa
cepatnya." kata Kiyai Supit Pramana dalam
hati. Tiba-tiba kedua orang itu dikejutkan oleh
teriakan Pengemis Badan Gemuk. Mereka
membalik dan … terlalu kasip untuk turun
tangan! Sri Kemuning telah mencabut keris
Mustiko Jagat dari leher anaknya dan
kemudian menusukkan senjata itu ke dadanya
sendiri!
"Bangsat-bangsat rendah! Gara-gara
kalianlah semua ini terjadi!" bentak Pengemis
Badan Gemuk. Bersama Pengemis Kepala
Botak dia menyerbu Wiro Sableng dan Kiyai
Supit Pramana. Wiro memutar Kapak Naga
Geni 122.
Crass!
Tangan kanan Pengemis Badan Gemuk putus.
Laki-laki ini meraung macam harimau luka
lalu lari terbirit-birit. Di tengah jalan racun
kapak telah merambas jantungnya hingga
tubuhnya terhuyung dan roboh tanpa nyawa
di saat itu juga. Pengemis Kepala Botak yang
menyerang Kiyai Supit Pramana tidak
bernasib lebih baik. Pukulan "seribu kati
memukul awan" mendarat di kepalanya yang
tak berambut hingga memar macam pepaya
busuk, tubuhnya menyungkur tanah tanpa
nyawa lagi!
Pengemis Badan Kurus yang saat itu telah
siuman dari pingsannya begitu tahu kalau
dirinya cuma tinggal sendirian di situ, tanpa
menunggu lebih lama segera pula ambil langkah seribu, lari ke jurusan lenyapnya Pengemis Badan Gemuk. Untuk beberapa lamanya sempat itu diselimuti kesunyian.
Yang terdengar hanya tiupan angin di sela-sela daun-daun pepohonan dan suara hamparan ombak sayup-sayup di kejauhan.
"Kiyai … sebaiknya kita kuburkan saja mayat orang-orang ini," kata Wiro Sableng seraya memasukkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke balik pakaiannya.
Demikianlah berakhirnya kisah ini. Menurut cerita, keris Mustiko Jagat di ambil oleh Kiyai Supit Pramana. Untuk menghindarkan hal-hal tak diingatkan yang mungkin tejadi keris itu kemudian dilemparkan ke dalam laut di Selat Madura.
TAMAT
Obat Penyakit Jantung Ibu Hamil
BalasHapusObat Penyakit Hepatitis B Akut
Ceritanya cukup menghibur,,
BalasHapusyang ngarang cerita ini bopeng jugamukanya
BalasHapus