WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya : BASTIAN TITO
EPISODE : KHIANAT SEORANG PENDEKAR
**********
KEDAI MINUMAN itu penuh dengan para pengunjung yang ingin
menikmati bandrek, pisang rebus dan kacang goreng. Sehabis hujan memang sedap sekali duduk menikmati bandrek hangat sambil
mengobrol dan menghisap rokok, (bandrek" minuman manis bercampur jahe, biasanya
diminum hangat-hangat).
Tetamu yang ada dalam kedai itu rata-rata bertampang sangar dan kebanyakan membekal golok. Pertanda bahwa mereka
adalah orang-orang kasar.
Seorang pemuda muncul di pintu kedai.
Pakaiannya basah kuyup. Dia memakai ikat kepala putih dan rambutnya yang gondrong
basah acak-acakan.
"Saya mencari Memed Gendut. Apakah.orangnya ada di sini?" pemuda itu bertanya.
Orang-orang yang ada di dalam kedai itu berpaling ke pintu. Sesaat mereka memandang si pemuda lalu meneruskan obrolan mereka,
menghisap rokok atau meneguk bandrek. Tak ada yang menjawab.Semua seperti tak acuh.
Seolah-olah pemuda itu tak ada disana.
Orang yang bertanya garuk-garuk kepalanya.
Terdengar suaranya perlahan, tetapi cukup jelas terdengar oleh semua pengunjung kedai ketika dia berkata,"Aku yakin tidak semua
orang yang ada di sini bisu. Tapi mengapa tak ada yang menjawab?"
Seorang berdestar hitam berpipi cekung.membuka mulut dari belakang meja di mana
dia sibuk melayani tetamu. Dia adalah pemilik kedai.
"Orang yang kau cari tak ada di sini"
"Saya mendapat keterangan orang itu selalu nongkrong di kedai ini setiap malam," berkata si pemuda. Dia masih saja tegak di pintu,
tampaknya segan masuk ke dalam kedai yang sudah sesak oleh tamu itu,"Memang benar, tapi malam ini dia belum muncul. Mungkin sebentar lagi,"
kata orang kedai lalu menyarankan: "Tunggu saja di sini sambil minum-minum…."
Pemuda itu memandang berkeliling dan menjawab: "Biar saya menunggu di luar saja…."
"Terserah padamu. Tak ada yang melarang dimanapun kau mau menunggu."
Pemuda tadi balikkan tubuh dan pergi tegak di bawah cucuran atap kedai.
Udara malam sehabis hujan sangat dingin. Tapi pemuda ini seperti tidak merasakan. Dia tetap tegak di tempatnya mematung dan
menunggu sampai akhirnya dari dalam kedai keluar dua orang tamu. Yang satu tinggi kekar berkumis melintang. Satunya lagi agak pendek berkereta gundul, juga bermisai lebat. Masing-masing membawa golok di pinggang.
"Anak muda rambut gondrong. Kau orang asing di sini. Ada apa mencari Memed Gendut?" salah seorang yang barusan keluar
dari kedai ajukan pertanyaan.
"Keperluan kecil: Biasa-biasa saja" jawab sipemuda.
"Hemm… Apa yang kecil dan apa yang biasa-
biasa?" bertanya lelaki botak.
Matanya liar memandangi si pemuda dari atas sampai ke bawah.
"Saya hanya ingin bicara dengan Memed Gendut. Tidak dengan lain orang."
"Jangan begitu. Kami berdua adalah kawan- kawan orang yang kau cari. Jika kau ada
keperluan kami bisa membantu." Kata si tinggi kekar.
Pemuda itu berpikir sejenak. Akhirnya
menjawab. "Terima kasih. Biar saya menunggu Memed
Gendut saja"Sikapmu tidak mempercayai kami
berdua huh?!" kata si pendek botak dan.dia
melangkah mundar-mandir di depan pemuda
itu. Tangan kanannya bersitekan pada hulu
golok.
Si pemuda garuk-garuk kepalanya. "Apa
gunanya saya tidak percaya pada kalian. Tapi
apa untungnya kalau mempercayai kalian!"
Si tinggi besar ulurkan tangannya dan tepuk-
tepuk bahu pemuda itu.
"Jangan bicara seperti itu anak muda. Orang
hendak menolongmu kenapa bicara tidak enak
begitu …?"
"Eh. aku tadi bilaa terima kasih. Dan tak mau
ditolong karena ingin menunggu Memed
Gendut. Tapi kalian seperti memaksa!','
Pemuda berambut gondrong yang bertampang
seperti tolol itu kini keluarkan suara keras dan
kasar
karena jengkel.
Si tinggi besar menyeringai dan kedipkan mata
pada kawannya yang berkepala botak, lalu
berkata pada pemuda di hadapannya.
"Memed Gendut terkenal sebagai pedagang
kuda di daerah ini. Jika ada orang asing
mencarinya, pasti urusan jual beli kuda.
Bukan begitu?"
Si pemuda tak menjawab.
Si botak kini ikut memegang bahu pemuda itu
seraya berkata: "Jika kau memang ingin
membeli kuda, serahkan saja uangmu pada
kami. Tunggu di sini.
Dalam waktu singkat kami akan kembali
membawakan seekor kuda paling bagus
untukmu…. Nah serahkanlah"
"Serahkan apa?!"
"Uang pembeli kuda!"
"Apa kalian juga pedagang kuda?"
Si tinggi menjawab: "Tadi sudah kami
katakan. Kami ingin menolongmu.
Ternyata betul kau ingin membeli kuda!
Memed Gendut memang pedagang kuda
terkenal. Tapi harga kudanya mahal.Kuda
milik kami tak kalah bagus, malah jauh lebih
murah. Tun jukkan berapa uang yang kau
punya?"
"Sudahlah. Biarkan aku sendirian di sini. Lebih
baik kalian masuk lagi ke dalam meneruskan
minum.."
"Hemm " si tinggi besar usap-usap dagunya.
"Kalau begitu kau harus bayar uang wara-wiri
pada kami!"
"Eh, bayar apa? Apa itu uang wara-wiri?"
tanya si pemuda heran.
"Sebagai ganti rugi karena kedatanganmu
mengganggu makan-minum kami!"
jawab si pendek botak seraya puntir kumis
tebalnya.
Pemuda gondrong melongo la!u tertawa
gelak-gelak.
"Sialan! Kenapa tertawa!" bentak si
tinggi"Kalian ini berdua mengemis atau
hendak memeras?!" tukas pemuda itu.
'Terserah kau mau menyebut apa! Bagusnya
lekas kau serahkan semua uang yang kau
miliki!" bentak si botak.
"Nah, nah! Tadi hanya minta uang wara-wiri!
Kini inginkan semua uangku!
Benar-benar wong edan!"
Sret!
Sretl
Dua bilah golok telanjang tahu-tahu sudah
melintang di batang leher pemuda itu. Orang
lain mungkin sudah pingsan atau terkancing
ketakutan dikalungi dua buah golok seperti
itu. Tapi anehnya si pemuda malah
menyeringai dan
keluarkan siulan.
"Kalau begini namanya bukan pengemis atau
pemerasan, tapi perampokan!" katanya
"Tepat sekali! Ini memang perampokan! Lekas
serahkan semua uangmu I" Si botak ulurkan
tangan kirinya untuk menggeledah pinggang
dan saku pakaian si pemuda. Tapi tiba-tiba
pemuda itu hantamkan sikunya ke lambung si
botak hingga orang ini terjungkal. Di saat
yang bersamaan kawannya si tinggi
merasakan satu tendangan menghantam
tempurung lututnya hingga hancur dan
terjengkang jatuh sambil berteriak kesakitan.
Plak!
Plak!
Satu tamparan amat keras melayang ke muka
kedua orang itu. Bibir mereka pecah.
Keduanya tergelimpang pingsan di bawah
cucuran atap.
Suara pukulan dan tendangan serta pekik dan
tamparan membuat semua tamu dalam kedai
terkejut lalu berlarian ke luar untuk melihat
apa yang terjadi.
Di luar mereka dapatkan dua kawan mereka
tergelimpang pingsan di tanah yang becek
sementara pemuda asing yang tadi mencari
Memed Gendut tegak tenang tenang
bersidakap lengan,, seolah-olah tak ada
terjadi apa-apa di tempat itu.
Seorang menyeruak dari kerumunan para
pengunjung kedai dan bertanya:
"Ada apa di sini?! Anak muda. Kau yang
mencelakai kedua orang ini?"
"Bukan aku. Mereka minta celaka sendiri!"
jawab si pemuda. Lama-lama dia merasa
muak melihat sikap orang-orang itu. "Aku
mencari Memed Gendut!
Mereka hendak merampok! Wong edan!"
"Jangan menuduh sembarangan! Mereka
adalah orang baik-baik!" Yang bicara adalah
pemilik kedai.
"Begitu? Apa kau dapat menerangkan
mengapa orang baik-baik mencabut golok dan
memaksa aku menyerahkan uang?!"
"Kau mengarang cerita!" Seseorang berkata
setengah berteriak.
Lalu beberapa orang membuat gerakan sama.
Mencabut golok di pinggang masing-masing.
Termasuk si pemilik kedai.
"Hemm…. kalau begitu kalian semua ternyata
kawanan rampok!" ujar si pemuda. "Rupanya
sudah cukup lama kalian berkomplot di
daerah ini tanpa pernah mendapat hajaran!
Hari ini biar tuan besarmu memberikan,
sedikit pelajaran! Majulah ramai-ramai!"
"Pemuda Sombong!"
"Minta mampus!"
Enam orang merangsak maju dengan senjata
di tangan. Si pemuda sama sekali tidak takut.
Sikapnya berdiri acuh tak acuh- Ketika dua
dari enam pengeroyok menyerbu maju,
pemuda berambut gondrong keluarkan siulan
nyaring. Tubuhnya berkelebat ke atas. Tangan
dan kakinya menghantam kian ke mari. Maka
terdengarlah jerit pekik di tempat itu. Tiga
orang langsung terhampar di tanah, merintih
kesakitan sambil pelangi dada, kepala atau
perut.
Dua lainnya tersandar di dinding kedai. Yang
satu yang paling parah menyangsang di
antara semak belukar di seberang jalan!
Melihat kejadian ini, yang lain-lain melangkah
mundur menjauhi si pemuda.
Rasa kagum tertutup oleh rasa takut. Ketika
pemilik kedai buang senjatanya ke tanah dan
masuk ke dalam kedai, yang lainnya pun
mengikuti. Tapi ada pula yang segera
meninggalkan tempat itu dan lenyap dalam
kegelapan malam.
Si pemuda tiba-tiba merasakan punggungnya
di tepuk orang. Cepat dia berpaling dan
dapatkan seorang lelaki kecil sangat kurus
tegak di hadapannya.
Orang ini memberi isyarat seraya berkata:
"Lekas ikuti aku!"
"Kau siapa?" tanya si pemuda curiga.
Orang itu tak menjawab, malah langsung
berlari pergi. Meskipun merasa tidak enak tapi
akhirnya pemuda itu mengejar juga orang
tadi.
Jauh di pinggiran desa, dekat pesawahan
orang itu perlambat larinya lalu berhenti dan
menunggu si pemuda.
"Katakan apa maksudmu menyuruh aku
mengikuti?!" tanya si pemuda.
"Bukankah kau mencari Memed Gendut?
Akulah orangnya!"
"Kurang ajar! Jangan berani bergurau "
"Aku tidak bergurau! Memang akulah Memed
Gendut. Pedagang kuda yang kau cari!"
"Menurutku yang namanya Memed Gendut itu
pasti manusianya gemuk besar. Tidak kurus
kering cacingan sepertimu ini!"
Orang itu tertawa. "Kau hanya mengenal
namaku. Belum pernah bertemu.
Bukan kau seorang yang menduga salah.
Orang-orang memberi nama itu padaku justru
sebagai kebalikan dari keadaan tubuhku yang
seperti jerangkong ini!"
'Begitu? Tapi aku masih belum percaya
padamu. Bukankah tadi kulihat kau ada di
dalam kedai ketika aku pertama kaii datang
dan bertanya?"
"Betul.."
"Lalu kenapa kau tidak menjawab?"
"Aku tidak berani."
"Mengapa tidak berani?"
"Kedai dan daerah sini dikuasai oleh
gerombolan rampok dan pemeras pimpinan
Kumbang Plered. Orangnya, itu yang tinggi
besar dan berkumis yang mula-mula
mendatangimu bersama si botak. Pemilik
kedai adalah salah seorang anak buahnya.
Oan aku sejak lama jadi bulan-bulanan
pemerasan mereka. Jika ada yang hendak
membeli kuda, mereka langsung turun tangan
menetapkan harga. Padaku kemudian hanya
diberikan sejumlah uang yang sangat kecil.
Aku sudah lama ingin meninggalkan daerah
ini, tapi mereka mengancam anak dan istriku!"
Memed Gendut yang ternyata hanya seorang
lelaki separuh baya bertubuh kurus kering
diam sesaat. Lalu .dia bertanya:
"Kau mencariku apakah hendak membeli kuda
….?"
Pemuda rambut gondrong mengangguk. "Tapi
aku kawatir uangku tak cukup.
Apakah bisa kalau menyewa saja?"
Memed Gendut tertawa. "Sewa menyewa tak
pernah kulakukan. Itu urusan bikin repot saja.
Melihat kau telah melakukan sesuatu yang
hebat malam ini, aku bertanya, berapa uang
yang kau miliki?"
Pemuda itu mengeluarkan sebuah kantong
kecil dan menyerahkannya pada si pedagang
kuda. Memed Gendut memeriksa lalu
memasukkan kantong itu ke dalam saku
pakaiannya.
"Uangmu tak cukup untuk membeli sepotong
kudapun. Tapi tak apa. Kau orang asing. Dari
sini kemana tujuanmu?" tanya Memed Gendut.
"Lumajang."
"Lumajang? Berarti kau akan melewati lautan
pasir Tengger. Dengan berkuda terus menerus
paling tidak kau membutuhkan waktu satu
hari satu malam. Dan tak mungkin kau hanya
memiliki seekor kuda. Paling tidak harus ada
seekor kuda cadangan. Kalau hanya
membawa seekor kuda, dan terjadi apa-apa
dengan binatang itu, kau akan menemui ajal
dilautan pasir. Lebih baik kau mengambil
jalan lain. Tapi itu berarti lebih dari sepuluh
hari baru sampai di Lumajang."
"Itulah yang tak aku ingini. Aku harus cepat-
cepat sampai di sana." Si pemuda tampak
bingung dan garuk-garuk kepalanya berulang
kali. "Uangku katamu tidak cukup ….
Bagaimana ini?"
"Sudahlah, aku akan menolongmu. Boleh aku
tahu namamu?"
"Panggil aku Wiro," jawab pemuda gondrong.
"Aku akan berikan dua ekor kuda padamu.
Jika kemudian hari kau mau membayar
kekurangannya terserah saja. Tapi aku tak
begitu mengharapkan …"
"Terima kasih. Kau orang baik. Tapi dari tadi
kita hanya bicara saja di pinggir sawah di
malam buta dan gelap begini. Aku belum
melihat kuda-kudamu ..,."
"Rumahku di timur sawah ini. Kita berangkat
sekarang saja."
Kedua orang itu menyeberangi sawah menuju
ke arah timur. Selewatnya pesawahan, dalam
kegelapan malam di kejauhan tampak
sederetan rumah.
Salah satu di antaranya memiliki halaman
luas yang diberi berpagar kayu tinggi.
Lebih dari selusin kuda kelihatan di balik
pagar itu. Inilah rumah Memed Gendut. Ketika
sampai di ujung pagar, pedagang kuda ini
hentikan langkah. Dia memandang ke arah
rumah. Dalam kegelapan tampak sosok-sosok
tubuh mendekam di sekitar bangunan.
"Hatiku tak enak. Ada bebecapa orang di
sekitar rumah. Aku curiga. Janganjangan .. .."
kata Memed Gendut.
"Aku juga sudah melihat dari tadi," kata Wiro.
"Tenang saja. Jika orang-orang itu bermaksud
jahat akan kugebuk seperti tadi aku
menggebuk Kumbang Plered dan anak
buahnya."
"Yang aku kawatirkan anak istriku di dalam
rumah" ujar Memed Gendut.
Kedua orang itu memasuki pintu halaman.
"Berhenti di sana!" satu bentakan menggema
keras di dalam kegelapan malam yang dingin.
"Astaga! Itu suara Kumbang Plered!" bisik
Memed Gendut. "Bagaimana dia tahu-tahu
sudah berada di sini?!"
DELAPAN ORANG bergerak dari arah bangunan rumah. Semua menghunus senjata di tangan. Golok dan kelewang. Di sebelah
depan memimpin seorang bertubuh tinggi besar. Ternyata dia memang Kumbang Plered, kepala gerombolan rampok dan pemeras.
"Memed Gendut!" teriak suara Kumbang Plered. Salah satu kakinya yang luka parah
tampak di ikat dan diganjal dengan beberapa
potong kayu. "Tidak disangka kau telah
berkomplot dengan seorang pemuda asing
dan berani melawan kami!"
"Aku tidak berkomplot dengan siapa-siapa
Kumbang!" kata Memed Gendut.
"Masih berani kau berdusta! Apa yang terjadi
di kedai tadi cukup membuktikan tuduhanku!
Dan sekarang terbukti lagi kau muncul di sini
bersama kawanmu itu! Bagus! Bagus sekali
perbuatanmu Memed. Dan kau harus bayar
dengan mahal semua itu!"
"Selama ini aku selalu mengikuti kehendakmu
Kumbang. Sekarang kulihat kau tidak beritikad
baik terhadapku . ..?"
"Bukan hanya padamu Memed! Tapi juga
terhadap kawanmu! Dengar baikbaik.
Di dalam rumah dua orang anak buahku siap
menggorok leher istri dan tiga anakmu!"
"Ya Tuhan!" pekik Memed Gendut. "Jangan
kau celakai anak istriku!"
"Jika kau ingin mereka selamat ikuti kata dan
perintahku!" kata Kumbang Plered.
"Apa yang kau inginkan Kumbang….?' suara
Memed Gendut bergetar sementara Wiro tegak
tak bergerak memperhatikan keadaan di
sekitarnya.
"Pertama kawanmu itu harus menyerahkan
seluruh uang yang dimilikinya"Ini ambillah!"
ujar Memed Gendut seraya melemparkan
kantong uang yang tadi diterimanya dari
Wiro.
Kumbang Plered cepat menangkap kantong
uang itu. "Kedua, semua kuda yang ada di
tempat ini mulai detik ini menjadi milikku . .."
"Mati aku! Kumbang! Kau tahu mata
pencaharianku adalah berjual beli kuda.
Keuntungannya tidak seberapa. Kalau kau
merampas semua kudaku bagaimana aku
menghidupi anak istriku … .!" teriak Memed
Gendut dengan suara setengah meratap.
"Kalau begitu kau tak ingin anak istrimu
selamat! Apakah perlu kuperintahkan agar
mereka segera digorok saat ini?!"
"Jangan …! Jangan lakukan itu Kumbang! Kau
boleh ambil semua kuda itu.
Lalu pergi dari sini!" Kumbang Plered
menyeringai.
"Bagus! Rupanya kau betul-betul mencintai
anak istrimu. Hal ketiga!Kawanmu itu akan
kami tangkap hidup-hidup. Jika dia berani
melawan, anak istrimu tetap akan jadi
korban!"
Memed Gendut berpaling pada Wiro. Si
pemuda tampak berubah parasnya.
Dia tidak menyangka akan terjadi hal seperti
ini.
"Ada apa kau ingin menangkapku?!" tanya
Wiro.
"Pertama karena apa yang telah kau lakukan
terhadap kami di kedai bandrek tadi! Kedua
kami mengetahui kau mengandung maksud
buruk pergi ke Lumajang. Jadi kau pantas
ditangkap dan diserahkan pada Adipati Kebo
Penggiring!"
"Keparat setan alas!" Wiro memaki dalam
hati. "Apakah bergundal sial ini benar-benar
mengetahui tujuanku ke Lumajang?!" Kepada
Kumbang Plered Wiro tak ingin menunjukkan
keterkejutannya. Malah dia berkata mengejek:
"Rupanya pelajaran yang kuberikan di kedai
minuman itu masih belum cukup. Kau ingin
kakimu satu lagi diikat dan diganjal kayu?!"
Kumbang Plered meludah ke tanah. Saat itu
bibirnya masih mengeluarkan darah akibat
tamparan keras Wiro.
"Pemuda gembel buruk! Jangan berlagak
jagoan di hadapanku.Kau kenal dua temanku
ini.. ..?" Kumbang Plered menunjuk pada dua
lelaki berpakaian merah di sampingnya.
Wiro ingat betul. Dua orang ini tidak ada
dalam kedai bandrek ketika dia datang ke
sana. Rupanya Kumbang Plered sengaja
datang ke situ membawa mereka untuk
dimintakan bantuan. Berarti keduanya
memiliki kepandaian yang
diandalkan.
"Siapa dua ekor kunyuk itu mana perduliku!"
menyahuti Wiro.
Kumbang Plered tertawa mengekeh. Sedang
dua orang berpakaian merah tampak berubah
garang tampang mereka karena dicaci sebagai
kunyuk oleh Wiro.
"Kawan-kawan, kalian dengar sendiri.
Mulutnya terlalu lancang. Menurut hematku
kalau tak dapat ditangkap hidup-hidup
mayatnya pun cukup berharga.
Bagaimana pendapat kalian?!"
Salah satu dari dua orang berpakaian merah
itu menjawab: "Kami lebih suka mematahkan
batang lehernya!" Lalu dia memberi isyarat
pada kawan di sebelahnya. Lima orang anak
buah Kumbang Plered segera menyebar,
mengurung. Memed Gendut menjauhkan diri
ke sudut halaman. Dua lelaki berpakaian
merah tampaknya hanya mengandalkan
sepasang tangan kosong, bergerak mendekati
Wiro. Siapakah kedua orang berpakaian serba
merah ini?
Yang berjanggut macam kambing bernama
Kuto Simpul. Kawannya yang bermata jereng
bernama Reso Bondo. Sekitar setahun lalu
kedua orang ini ikut menjadi pimpinan dari
satu kelompok rampok hutan Roban yang
ganas.
Keduanya kemudian memisahkan diri lalu
meneruskan kehidupan sesat dengan
berkeliaran sebagai manusia-manusia
bayaran. Kalau dulu mereka malang
melintang dalam rimba belantara maka kini
keduanya berkeliaran di Kadipaten-Kadipaten
bahkan tak jarang muncul di Kotaraja. Mereka
akan melakukan apa saja — mulai dari
membunuh dengan meracun sampai menjagal
batang leher korban — asalkan mendapat
bayaran. Karenanya tidak heran kalau kedua
orang ini banyak berhubungan dengan tokoh-
tokoh golongan sesat tapi juga pejabat-
pejabat kerajaan.
Kumbang Plered termasuk salah seorang yang
rapat hubungannya dengan kedua orang ini.
Karena kebetulan mereka berada di daerah itu,
setelah dihajar oleh Wiro, Kumbang Plered
memerintahkan anak buahnya menemui Kuto
dan Reso. Bersama-sama mereka mendatangi
rumah Memed Gendut. Dugaan mereka bahwa
pedagang kuda dan pemuda itu akan muncul
bersama di sana ternyata tidak meleset.
Melihat dua orang itu maju tanpa keluarkan
senjata, Wiro segera maklum kalau mereka
tidak boleh dianggap remeh. Namun dasar
sikapnya yang suka menggoda dan
mencemooh orang, pemuda ini enak saja
kembali mengejek.
"Ayo dua ekor kunyuk majulah. Kalian
membela bangsa perampok dan pemeras
berarti kalian sama saja isi perutnya!"
Kuto Simpul dan Reso Bondo marah bukan
main. Seumur hidup baru kali itu keduanya
menerima penghinaan demikian rupa.
Didahului dengan bentakanbentakan garang,
keduanya berkelebat menyerang. Suara
serangan mereka mengeluarkan angin deras
tanda keduanya memiliki tenaga luar dan
tenaga dalam yang tinggi.
Untuk menjajaki sampai di mana kekuatan
lawan, Wiro sengaja menyongsong dengan
kedua lengan terpentang, berusaha mengadu
tangan. Tapi dua orang lawan berlaku cerdik.
Mereka menghindari terjadinya bentrokan
pukulan, sebaliknya serentak menyebar ke kiri
dan kanan lalu menghantam dengan pukulan
tangan kosong.
Wutt!
Wutt!
Dua angin pukulan menerpa dengan deras.
Wiro melompat ke belakang.
Kedua tangannya diangkat ke atas. Masing-
masing telapak melambai menyapunyapu.
Terdengar suara menderu. Kuto dan Raso
tersentak kaget ketika dapatkan angin pukulan
mereka bukan saja menjadi buyar, tetapi
membalik ke arah mereka sendiri!
Kedua orang itu cepat jatuhkan diri. Begitu
menjejak tanah mereka gulingkan diri sambil
kaki kirimkan tendangan. Kuto menendang ke
arah kaki kanan Wiro sedang Reso Bondo
menghantam ke arah dada. Mau tak mau
Wiro terpaksa cari selamat dengan jalan
melompat ke atas. Dari atas pemuda ini
kembali kebutkan kedua tangannya. Tapi
lawan sudah berguling lagi menjauh. Sambil
bangkit Kuto Simpul berbisik pada kawannya.
"Reso, pemuda ini bukan cacing tanah
sembarangan. Hati-hatilah"Kau betul," sahut
Reso Bondo. "Sebaiknya kita keluarkan empat
jurus perampok mabok sekarang juga!"
Kuto Simpul mengangguk tanda setuju.
Dari mulut kedua orang itu tiba-tiba keluar
suara tawa berkakakan terus menerus. Sambil
tertawa keduanya bergerak berputar-putar
mengelilingi Wiro.
Tangan dan kaki mereka ikut bergerak tiada
putus-putusnya, memukul dan menendang,
membuat Wiro terjepit di tengah-tengah dan
siap jadi bulanbulanan serangan.
"Jurus rampok mabok!" seru Kumbang Plered
dalam hati dan terkejut.
"Baru beberapa gebrakan mereka sudah
mengeluarkan jurus hebat itu.
Apakah pemuda keparat itu benar-benar luar
biasa?"
"Hai! Kalian benar-benar seperti kunyuk
mabok durian?'!" Wiro berteriak. "Menjauhilah!
Badan kalian menebar bau busuk"
Buk!
Baru saja pemuda itu mengejek demikian,
satu pukulan menghantam dadanya sebelah
kiri.
"Kena!" seru Kuto Simpul giring walaupun
mulutnya tampak meringis karena tangannya
yang tadi berhasil menghantam dada lawan
terasa sakit. Selain menahan sakit Kuto juga
menutupi rasa herannya. Pukulan kerasnya
tadi jangankan membuat lawan terjungkal,
cidera pun tidak. Maka diapun memberi
isyarat pada Reso Bondo untuk melipat
gandakan arus serangan dan menambah
cepat gerakan memainkan jurus-jurus
perampok mabok yang kini tinggal tiga jurus.
Memed Gendut yang melihat si pemuda
terdesak malah kena pukul menjadi semakin
ketakutan. Dia lari kearah rumah untuk
menemui anak istrinya. Tapi dua orang anak
buah Kumbang Plered cepat menghadangnya
dan menekankan ujung golok ke perut
pedagang kuda itu.
"Lepaskan anak istriku! Jangan kalian sakiti
mereka!" teriak Memed Gendut Tubuhnya
terkulai lemas dan jatuh duduk di tanah.
Sementara-itu Kuto Simpul dan Reso Bondo
sudah mulai menyerbu Wiro sambil terus
berteriak-teriak. Empat jurus perampok mabok
sebenarnya merupakan ilmu silat yang bukan
sembarangan. Terbukti dengan mengandalkan
ilmu silat itu Kuto dan Reso telah membuat
diri mereka ditakuti di mana-mana.
Namun malam itu keduanya berhadapan
dengan seorang lawan yang tingkat
kepandaiannya jauh berada di atas mereka.
Meskipun telah melipat gandakan kecepatan
serangan, tapi sampai jurus ke empat selesai,
keduanya tidak berkesempatan untuk
mendapatkan pukulan ataupun tandangan ke
tubuh Wiro.
"Hai! Kenapa kalian berhenti barteriak-
teriak?!" Wiro bertanya mengejek.
"Rupanya sudah sembuh dari kerasukan
setan?!"
"Keparat! V gertak Reso Bondo. Tubuhnya
berkelebat. Lima jari tangan kanannya
diluruskan dan menusuk deras ke tenggorokan
Wiro. Kawannya tak tinggal diam, kirimkan
tendangan ke bawah perut si pemuda.
"Hemm… Kali ini rasakan bagianmu!" kata
Kumbang Plered yang merasa yakin serangan
mendadak dan cepat dari kedua orang
berpakaian merah itu pasti akan menghantam
tubuh si pemuda. Namun alangkah terkejutnya
ketika melihat apa yang kemudian terjadi.
Wiro miringkan tubuhnya ke belakang.
Tusukan lima jari tangan Reso Bondo hanya
menembus udara kosong. Di saat yang sama
pemuda itu lepaskan tendangan kaki kanan,
membabat kaki Kuto Simpul yang menderu ke
arah selangkangannya. Sebelum tubuhnya
jatuh punggung di tanah, Wiro masih sempat
mencekal pergelangan tangan Reso Bondo
lalu menyentakkan selebat tenaga!
Gerakan yang dibuat Wiro bukan saja sangat
sulit tapi sungguh luar biasa.
Tubuh Reso Bendo laksana dilabrak topan,
menderu jungkir balik di udara dan terhempas
keras di tanah tanpa dia bisa membuat
gerakan mengimbangi diri atau mampu
berusaha jatuh di atas kedua kaki Mata jereng
manusia ini membeliak dan dari mulutnya
.terdengar suara gerung kesakitan. Kening dan
hidungnya lecet berdarah disungkur tanah!
Dibandingkan dengan kawannya yakni Kuto
Simpel si janggut kambing, Reso Bondo masih
mending. Kalau dia cuma lecet kening dan
hidung maka Kuto Simpul terdengar menjerit
ketika tulang kering kaki kanannya remuk
dihantam tendangan Wiro. Tubuhnya
terjengkang dan dia tak kuasa berdiri lagi.
"Keparat!" maki Reso Bondo seraya berdiri
terhuyung-huyung. Dia berpaling pada
Kumbang Plered dan berteriak: "Kumbang!
Perintahkan orang-orangmu di dalam rumah
membunuh perempuan dan anak-anak itu!"
"Jangan!" terdengar jeritan Memed Gendut.
"Jangan ganggu anak istriku!"
Reso Bondo melompat dan menjambak
rambut pedagang kuda itu. Dia memandang
ke jurusan Wiro dan berteriak: "Kau dengar
ratap orang ini? Jika kau tidak mau menyerah
perempuan dan anak-anak di dalam rumah
akan kusuruh bunuh!"
"Sialan! Bangsat ini benar-benar nekad!" maki
Wiro dalam hati. "Kalau kau berani melukai
perempuan dan anak-anaknya itu aku
bersumpah untuk membunuhmu lebih dulu!"
gertak Wiro.
"Bagusi Akan kita lihat! Siapa yang bakal
mampus duluan!" ujar Reso Bondo
mendengus. "Seret perampuan dan dua anak
itu keluar rumah!"
Kumbang Plered melangkah terpincang-
pincang. Walaupun dia berjalan dalam
keadaan satu kaki cidera dan dengan bantuan
tongkat kayu, tapi gerakannya masih cukup
cepat. Dia masuk ke dalam rumah. Sesaat
kemudian muncul lagi diikuti dua orang anak
buahnya. Yang paling depan menyeret
seorang perempuan yang tengah hamil besar.
Di sebelah belakang menyusul lelaki kedua
sambil mencekal leher pakaian dua orang
anak lelaki kecil berusia dua dan tiga tahun.
Kedua anak ini menangis menjerit-jerit
Kumbang Plered cabut golok besarnya dan
letakkan ujung senjata itu di atas perut istri
pedagang kuda sementara Reso Bondo angkat
kedua tangannya ke atas, siap mengemplang
kepala dua orang anak Memed
lenduti"Baiklah! Aku menyerah!" kata Wiro
sementara Memed Gendut meratap
menyembah-nyembah di hadapan Reso Bondo
agar kedua anak dan istrinya jangan dilukaj,
apalagi sampai dibunuh. "Kalian mau tangkap
aku silahkant" ujar Wiro.
Kuto Simpul yang masih terkapar di tanah
segera berteriak pada anak-anak buah
Kumbang Plered.
"Lekas kalian tangkap dan ikat pemuda
gondrong itu!"
Tiga orang anak buah Kumbang Plered cepat
maju mendekati Wiro. Salah seorang di
antaranya membawa segulung tali. Wiro
ulurkan tangan. Lelaki yang membawa tali
segera bertindak untuk mengikat. Dua
kawannya mencekal leher dan pinggang Wiro.
"Bagus … bagus! Ini yang aku mau!" kata Wiro
dalam hati. Begitu tiga orang itu benar-benar
sudah sangat dekat dengan dia, tangannya
yang diulurkan dan baru saja dilingkari tali,
meluncur ke depan dan ke samping, merampas
golok yang tersisip di pinggang dua dari tiga
anak buah Kumbang Plered. Gerakan pemuda
ini demikian cepatnya. Tiga anak buah
rampok dan pemeras itu menjerit keras ketika
dua batang golok di tengah kiri kanan Wiro
berkelebat.
Orang yang hendak mengikatkan tali
terhuyung-huyung ke belakang sambil
pegangi dadanya yang berlumuran darah
disambar golok. Kawannya di sebelah kiri
jatuh tersungkur sambil meraung dan pegangi
lengan kirinya yang putus.
Sementara lelaki ke tiga menjerit keras sambil
pegangi mukanya yang robek mulai dari dagu
sampai pipi kanan.
Selagi Kuto Simpul, Reso Bondo dan Kumbang
Plered serta yang lain-lainnya terkesiap kaget
melihat apa yang terjadi, dua golok di tangan
Wiro telah melesat di udara. 'Satu menancap
di pertengahan dada Reso Bondo. Lelaki
bermata jereng ini keluarkan jerit keras,
tubuhnya sesaat terhuyung lalu tersungkur
jatuh menelungkup, membuat golok yang
menancap di dadanya menembus lebih dalam
hingga tersembul di punggungnya. Nyawanya
tak tertolong lagi.
Kumbang Plered yang menyaksikan kematian
Reso Bondo dengan mata melotot sama sekali
tidak menyadari kalau golok kedua yang
dilemparkan Wiro menderu ke arahnya. Dia
baru tersentak kaget sewaktu senjata itu
menderu dan menancap di lambungnya.
Tongkat kayu lepas dari tangannya. Kepala
rampok dan pemeras ini menjerit dua kali lalu
roboh. Sesaat tubuhnya tampak berkelojotan
setelah itu tak bergerak lagi.
Dua orang anak buah Kumbang Plered yang
tadi menyeret dan mencekal anak istri Memed
Gendut putus nyali. Serta merta mereka
lepaskan perempuan dan dua anaknya itu lalu
ambil langkah seribu. Beberapa orang kawan-
kawannya yang juga ikut leleh keberanian
mereka segara menghambur melarikan diri.
Memed Gendut segera merangkul istri dan
kedua anaknya.
Wiro melangkah mendekati mayat Kumbang
Plered. Dari balik pakaian orang ini dia
keluarkan kantong berisi uang miliknya yang
dirampas dan melemparkan benda itu ke
dekat Memed Gendut. Lalu Wiro melangkah
menghampiri Kuto Simpul yang saat itu
merangkang di tanah tengah berusaha
melarikan diri dalam keadaan kaki patah.
"Janggut kambing! Kau mau lari ke mana!"
Wiro membentak dan lelaki berpakaiarr merah
ini rasakan telapak kaki si pemuda menempel
di keningnya.
Tubuhnya menggigil saking ketakutan.
"Ampuni selembar jiwaku!" pintanya meratap.
Wiro menyeringai. "Lekas kau terangkan
mengapa kau bersama konco koncomu yang
sudah mampus itu ingin menangkap aku. Tadi
kalian menyebut-nyebut nama Adipati
Lumajang. Ada sangkut paut apa kalian
dengan Kebo Penggiring?!"
"Aku …. kami " Kuto Simpul tampak seperti
hendak berkelit.
Wiro inja kakinya yang patah hingga lelaki
berjanggut kambing ini melolong setinggi
langit.
"Rupanya satu kaki belum cukupi Apa ingin
kupatahkan lagi kakimu satu lagi….?!" sentak
Wiro.
"Jangan … Ampun! Aku akan bicara…"
"Bagus! Apa yang kau ketahui. Awas kalian
berani dusta!"
"Tiga hari lalu seorang utusan Kebo
Penggiring datang menemui Kumbang Plered.
Keduanya kemudian menemui kami, maksudku
aku dan Reso Bondo.
Utusan itu memberi sejumlah uang dan
perhiasan dengan perintah agar kami
menangkapmu hidup atau mati…."
Wiro usap-usap dagunya lalu garuk-garuk
rambutnya yang gondrong basah.
"Kenapa Adipati Lumajang menginginkan
diriku?" tanya Wiro.
"Demi Tuhan! Kalau itu kau tanyakan akupun
tidak tahu!" jawab Reso Bondo lalu
mengerang lagi kesakitan.
"Baik kalau begitu. Sekarang mana uang dan
perhiasan yang kau terima dari utusan Adipati
Lumajang itu…?"
"Aku tidak membawanya…"
Wiro menyeringai. "Jangan berani berdusta.
Beriken uang dan perhiasan itu padaku! Atau
kupatahkan kakimu satu lagi!"
"Ampun! Jangan Ini ambillah!" Dari dalam
saku baju merahnya Kuto Simpul keluarkan
sehelai selampai putih yang dipakai
membungkus uang dari perhiasan. Benda itu
diserahkannya pada si pemuda.
Wiro menimang-nimangnya sesaat lalu
berkata: "Kau boleh p«rgi janggut kambing.
Tapi ingat! Jika kau berani mengganggu
pedagang kuda itu dan keluarganya, dadamu
akan kutembus dengan golok seperti yang
terjadi dengan kawanmu! Kau dengar janggut
kambing?'"
"Aku … aku dengar …" jawab Kuto Simpul. Lalu
dengan susah payah dia merangkang,
mencoba tegak tertatih-tatih, melangkah
terpincang-pincang meninggalkan tempat itu.
'Anak muda! Tidak kusangka, kau bukan
pemuda biasa rupanya. Aku dan istriku serta
anak-anak mengucapkan tarima kasih "
"Huss!" Lskas berdiri!" sentak Wiro ketika
diliatnya Memed Gendut membawa anak
istrinya dan berlutut di hadapannya. "Aku
bukan dewa atau Tuhan yang pantas kau
sembah-sembah Dengar, aku akan pergi
sekarang. Aku butuh kudamu. Pilihkan aku
baik-baik . . ."
"Kau boleh ambil semua kuda kuda itu!" kata
Memed Gendut seraya berdiri.
Wiro tersenyum dan gelengkan kepala. Seperti
katamu tadi aku hanya perlu dua ekor kuda …"
Memed Gendut segera memilih dua akor kuda
yang besar dan tegap sementara istrinya
disuruh mengambil kantong kulit berisi air.
Dua ekor kuda dan kantong air itu kemudian
diserahkan pada Wiro.
Sesaat setelah naik ke atas kuda Wiro
memandang pada pedagang kuda itu lalu
berkata: "Sebaiknya kau menukar namamu.
Nama Memed Gendut tidak cocok dengan
keadaan dirimu. Dan mungkin nama itu yang
selalu membawa sial bagimu …"
"Lalu apa nama yang pantas bagiku?" tanya
si pedagang kuda.
"Memed Kerempeng!" jawab Wiro. Ditepuknya
pinggul kuda yang ditungganginya. Binatang
ini menghambur ke depan. Kuda yang terikat
di sebelah belakang lari mengikut.
Memed Gendut dan anak isttinya tegak
memperhatikan kepergian pemuda itu yang
akhirnya lenyap di kegelapan malam,"Dia
mungkin betul Mulai saat ini kuganti namaku
jadi Memed Kerempeng!",
kata si pedagang kuda pula.
"Benar pak membenarkan istrinya. "Nama itu
kurasa lebih cocok untukmu. .. Bukan saja
untuk membuang sial, tapi sekaligus guna
mengingatkan kita pada budi besar pemuda
itu … ."
TERIKNYA sinar matahari laksana membakar
pedataran pasir yang seperti tak berujung itu.
Kuda yang ditunggangi Pendekar 212 Wiro
Sableng tak dapat berlari sekencang yang
dikehendaki. Bukan saja panasnya udara
membuat binatang itu menjadi lebih cepat
letih, tetapi lapisan pasir seolah-olah
mencengkeram kaki-kaki binatang itu.
Keringat dan ludah membuih di sudut
mulutnya. Di sebelah belakang kuda cadangan
berlari mengikuti kuda induk dalam keadaan
hampir tak berbeda.
Wiro mengambil kantong kulit yang berisi air
dan tinggal setengahnya.
Meskipun rasa haus membakar dada dan
tenggorokannya tapi pemuda ini tak mau
meneguk air itu banyak-banyak. Sulit baginya
untuk menduga sampai barapa lama dia akan
mengarungi pedataran pasir di tenggara
Pegunungan Tengger itu. Kalau persediaan air
habis sedang tujuan masih jauh, bisa-bisa dia
mati kehausan di perjalanan. Wiro menyeka
mulutnya dengan belakang telapak tangan.
Tangan yang masi basah iyu diusapkannya ke
mulut kuda Sejauh mata memantang hanya
pedataran pasir yang terlihat. Murid Sinto
Gendeng ini mengarahkan kudanya lurus-
lurus ke tenggara. Kulitnya terasa perih oleh
sengatan matahari. Sekujur tubuhnya basah
oleh keringat.Kalau saja bukan untuk
memenuhi pemintaan tolong seorang
sahabatnya, tidak nanti dia mau mengadakan
perjalanan yang menyengsarakan itu. Selain
itu Wiro juga sadar, keselamatan dan
kehormatan diri seorang gadis jerita harus
dibelanya.
Terbayang kembali pertemuannya dengan
orang tua itu sekitar dua minggu lalu di bukit
Tumbalsari.
Hari itu Wiro melintasi bukit tersebut dan
seperti kebiasaannya sambil bersiul-siul
membawakan lagu tak menentu. Mendadak
terdengar suara membentak Demikian
kerasnya hingga bukit itu membahana di liang
telinga si pemuda berdenyut.
"Keparat setan alas! Siapa yang bersiul-siul
membuat berisik belantara mengganggu
ketentraman orang!"
Wiro terkesiap kaget, hentikan langkah dan
memandang ke atas pohon besar sebelah
kanan dari arah mana tadi datangnya suara
bentakan itu. Namun tak seorang pun tampak
di atas sana. Wiro tegak berdiam diri sesaat.
Kemudian kembali dia mengukirkan siulan.
Pendek saja tapi keras karena disertai
pengerahan tenaga dalam. Suara siulan itu
bergema beberapa lamanya di atas bukit
namun sirna tertindih oleh bentakan: "Edan!
Sombong amat tidak perdulikan peringatan
orang! Anak muda tak tahu diri kau
mengandalkan apa?!"
Wiro jadi jengkel dan balas membentak.
"Bukit dan rimba oeiantara ini bukan milikmu.
Disini diam berbagai binatang, mendekam
segala setan gentayangan. Mengapa kau
mengambil sikap sebagai pemilik tunggal?
Jika tak ingin terganggu mengapa berada di
sini? Bicara besar tapi tak berani unjukkan
tampak!"
Terdengar suara gelak mengekeh yang
membuat liang telinga murid Sinto Gendeng
terngiang-ngiang; Suara tawa itu demikian
dekatnya dan keras, namun tetap saja Wiro
tak dapat mengetahui di mana manusia yang
tertawa itu berada!
"Jika kau mau melihat tampangku, mari naik
ke atas sini!"
Wiro mendongak ke atas. Saat itulah tiba-tiba
terdengar suara mendesir halus.
Wiro cepat mengambil sikap waspada karena
menyangka ada senjata rahasia yang
menyerangnya. Tapi tak kelihatan apa-apa.
Tahu-tahu sebentuk benang putih yang
sangat halus, berkilau kilau oleh sentuhan
sinar matahari yang menembus di sela-sela
daun pepohonan, meluncur cepat ke arahnya.
Sebelum dia bisa berbuat apa-apa benang
putih itu telah menjirat lehernya. Tidak terlalu
kencang namun cukup membuat nafasnya
menyengal.
"Setan alas!" maki Wiro Sableng. Secepat kilat
dia pergunakan tangan kanannya menjepit
benang itu. Tapi astaga! ternyata dia tidak
mampu memutus benang yang begitu alot itu.
Wiro coba mengingat-ingat pada masa
beberapa tahun yang silam. Dia seperti
pernah melihat benang halus itu sebelumnya.
Waktu itu si pemilik benang melibat
pinggangnya. Namun dengan mudah
diputusnya. Apa mungkin benang dan
pemiliknya saat ini bukan orang yang dulu?
Selagi pemuda itu berpikir-pikir tiba-tiba dia
merasakan satu sentakan keras.
Lehernya yang tergulung benang halus tertarik
kuat dan tubuhnya terangkat laksana terbang
ke atas sebatang pohon tinggi yang berada
dua tombak di hadapannya. Wiro merasakan
batang lehernya seperti digorok oleh benang
halus itu. Secepat kilat dia gerakkan tangan
kanannya ke pinggang. Sesaat kemudian
berkiblatlah sinar putih menyilaukan disertai
suara menderu seperti suara ribuan tawon
mendengung.
Crass!
Benang halus putih yang menjirat lehernya
putus. Terlepas dari ikatan benang aneh itu
sebenarnya Wiro kini bisa jatuhkan diri
kembali ke tanah. Tapi sebaliknya pemuda ini
malah terus melesatkan diri ke atas pohon,
jungkir balik dua kali berturut-turut, dalam
kejap dia sudah menyelinap dan tegak di
salah satu cabang pohon. Hal ini
dilakukannya karena dia sudah merasa yakin,
orang orang yang tadi menjiratnya sembunyi
di pohon itu, di balik kerapatan daundaun.
"Ha … ha .. .ha! Rupanya si nenek peot Sinto
Gendeng itu benar-benar telah mewariskan
Kapak Maut Naga Geni 212 pada muridnya!"
Kata-kata yang disertai tawa itu membuat
Wiro Sableng terkesiap kaget.
Ternyata orang mengenali kapak yang masih
tergenggam di tangan kanannya.
Lebih dari itu malah juga mengetahui siapa
gurunya! Tanpa pikir panjang Wiro babatkan
senjata mustika itu ke depan.
Kraak … kraak!
Byuuuur !
Dua cabang besar terbabat putus. Ranting-
ranting pohon berikut daundaunnya remuk den
berguguran ke bawah. Setengah dahan pohon
itu kini tampak gundul! Dan di salah satu
cabang kecil kini tampak duduk seorang kakek
berjanggut putih, berpakaian selempang kain
putih, tertawa mengekeh, memandang pada
Wiro sambil kedip-kedipkan mata kirinya.
Pendekar 21? Wiro Sableng cepat putar Kapak
Maut Naga Geni 212 untuk menghantam.
Yang hendak diserang tetap duduk tenang-
tenang. Mendadak Wiro tahan gerakannya.
"Aih! Benar si tua bangka dulu itu!" seru Wiro
dalam hati. Perlahan-lahan dia turunkan
tangan kanannya lalu simpan senjatanya di
balik pinggang.
"Dewa Tuak!" seru Wiro kemudian Orang tua
itu kembali tertawa panjang. Janggutnya
yang putih berkibarkibar di tiup angin. Sambil
mengelus janggutnya dia berkata: "Enam
tahun aku mematangkan benang suteraku.
Ternyata tak mampu menahan tebasan
kapakmu! Percuma saja menghabiskan waktu.
Tapi aku senang kau masih mengenali tua
renta ini. Apa kabarmu anak muda….?" Orang
tua itu yang berjuluk Dewa Tuak — merupakan
tokoh silat terkemuka di delapan penjuru
angin. Usianya jauh lebih tua dari Eyang Sinto
Gendang, Di pangkuannya ada sebuah tabung
bambu besar. Sebuah tabung yang sama
tergantung di belakang punggungnya. Si
orang tua angkat bumbung bambu yang
dipangkuannya, mendekatkan ujungnya ke
mulut. Lalu: gluk. .gluk … gluk .. . Dia
meneguk tuak harum yang ada dalam
bumbung bambu itu sampai berlelahan ke pipi
dan dagunya.
"Aku baik-baik saja Dewa Tuak. Bagaimana
dengan dirimu bertanya Wiro.
Dewa Tuak turunkan bumbung bambunya.
Sambil geleng-geleng kepala dan unjukkan
wajah sedih orang tua ini berkata: "Aku
sedang sial! Seseorang telah mengkhianati
diriku. Eh, kau masih ingat pada murid
perempuanku bernama Anggini? Yang tempo
hari ingin ku jodohkan padamu. Tapi kau
terlalu sombong dan menampiknya…"
"Maafkan aku Dewa Tuak. Aku sama sekali
tidak sombong. Hanya saja untuk urusan
jodoh saat itu aku belum bisa memikirkan . .."
"Lalu sekarang apakah kau sudah
memikirkan?" tanya Dewa Tuak.
"Masih belum " sahut Wiro,
"Tapi kau tidak melupakan muridku itu,
bukan?
"Tentu saja tidak …"
"Bagus! Hanya saja dia ditimpa malapetaka
saat ini. Dan itulah sebabnya aku sengaja
mencegatmu disini "
"Apa yang telah terjadi dan mengapa kau
mencegatku di sini, orang tua?"
bertanya Wiro Sableng. Dia kini duduk di atas
cabang di bawah cabang kecil yang diduduki
Dewa Tuak.
"Beberapa tahun sebelum aku mengambil
Anggini jadi murid, aku pernah mempunyai
seorang murid lain. Seorang pemuda bernama
Penging. Ternyata kemudian kuketahui bahwa
pemuda itu bukan seorang manusia baik.
Hatinya sangat culas. Selain itu dia banyak
berhubungan dan bergaul dengan orangorang
jahat. Setelah kuberi nasihat beberapa kali dia
selalu mengabaikan, akhirnya aku mengambil
keputusan, tidak lagi menganggap nya
sebagai murid.
Dia kusuruh meninggalkan pertapaan dan
kembali ke kampungnya. Kuketahui kemudian
Penging tidak kembali ke kampung, tapi
bertualang bersama manusia-manusia jahat.
Membuat keonaran di mana-mana, membunuh
dan merampok. Aku menyesal telah
mengambilnya jadi murid, apalagi mengingat
hampir seluruh ilmu silatku sudah kuturunkan
padanya.
Tiga bulan lalu tiba-tiba dia muncul di
pertapaanku, berlutut dan menangis.
padaku diakuinya semua kesesatan, kejahatan
dan segala dosa perbuatannya.
Dia mengatakan telah insaf dan tobat. Ingin
kembali ke jalan yang benar. Ingin
mengabdikan diri lagi menjadi muridku,
bahkan katanya ingin jadi pertapa…"
"Lalu, apa kau menerima permintaannya itu.
Dewa Tuak?" tanya Wiro.
Si kakek menggeleng. "Sekali aku tidak
percaya pada seseorang, apapun janjinya tak
akan lagi mau kudengar. Dia kusuruh pergi.
Saat itu hari sudah malam. Karena kasihan
aku hanya memperbolehkannya menginap dan
besok pagi-pagi harus sudah meninggalkan
pertapaan. Pagi hari ketika aku bangun
Penging telah lenyap. Bersama lenyapnya
orang itu, lenyap pula sebuah buku milikku
yang sangat berharga. Jelas manusia keparat
itu telah mencurinya.
Rupanya itulah sebenarnya kedok
kedatangannya"Kalau aku boleh bertanya,
buku apakah yang dicuri bekas muridmu itu?"
"Sebuah buku tipis terdiri dari tiga halaman.
Buku ini berusia lebih dari seratus tahun.
Lebih tua dari umurku dan merupakan warisan
guruku.
Halaman pertama berisi pelajaran ilmu silat
kuna yang merupakan inti sari dari ilmu silat
yang kumiliki dan yang kuajarkan pada
murid-muridku. Siapa yang menguasai ilmu
itu dia akan menjadi seorang luar biasa. Jika
digunakan untuk kesesatan, sulit
menumpasnya.
Halaman kedua berisi dasar-dasar
penghimpunan dan pengerahan tenaga dalam.
Ini juga merupakan ilmu yang berbahaya jika
dipakai untuk kejahatan.
Lalu halaman terakhir berisi sejumlah ilmu
pengobatan ampuh berdasarkan penusukan
urat-urat syaraf dan darah. Sebenarnya buku
itu akan kuwariskan pada muridku Anggini.
Tapi kini segala sesuatunya sudah kapiran.
Bangsat itu keburu mencurinya!"
"Muridmu yang bernama Anggini itu sendiri
sekarang berada di mana….?" tanya Wiro.
"Itulah yang menjadi pikiranku pula," sahut
Dewa Tuak seraya usap-usap janggut
putihnya. "Tiga hari setelah Penging mencuri
kitab itu, Anggini muncul.
Langsung saja padanya kuberikan tugas untuk
mengejar Penging.
Dibandingkan dengan lelaki itu tingkat
kepandaian Anggini memang lebih tinggi.
Namun yang membuatku kawatir ialah sampai
sebegitu jauh tak ada kabar dari Anggini.
Malah kemudian dari seorang sahabat
kuketahui bahwa sebenarnya Penging telah
menjadi orang besar sejak dua tahun lalu.
Entah bagaimana
ceritanya dia kini menjadi Adipati Lumajang
dan namanya diganti menjadi Kebo
Penggiring. Dalam pengejarannya Anggini
sampai ke Lumajang. Namun di sana dia
justru kena ditangkap oleh orang-orang Kebo
Penggiring. Kabarnya jika dalam batas waktu
yang ditentukan gadis itu tidak mau menuruti
kehendak Kebo Penggiring untuk
mengawininya, Anggini akan dirusak
kehormatannya lalu digantung dengan
tuduhan hendak memberontak pada Kerajaan
…."
"Gila betul!" ujar Wiro sambil garuk-garuk
kepala.
"Lebih dari gila!" menukas Dewa Tuak.
"Sudah begitu kejadiannya mengapa kau tidak
langsung turun tangan?" bertanya Wiro.
"Itulah memang tadinya yang aku rencanakan.
Namun, ada beberapa pertimbangan. Di usia
yang sudah dekat liang kubur ini, aku tak
ingin lagi mencari keributan: Aku ingin hidup
tenteram tanpa melakukan kekerasan apalagi
sampai mengalirkan darah. Semua itu akan
menjadi sebab musabab dendam kesumat.
Kudengar Kebo Penggiring dekat dengan
Keraton. Berarti aku akan berhadapan dengan
tokoh-tokoh tertentu yang sebenarnya
kuketahui adalah sahabatku …"
"Kalau begitu kau minta saja pertolongan
mereka."
"Tidak semudah itu. Manusia-manusia yang
hidup di kota besar mengukur sesuatu
tindakan dengan nilai untung rugi. Tak perduli
apakah yang minta bantuan seorang sahabat
atau bukan. Urusan macam begini belum apa-
apa akan membuatku jengkel dan marah.
Mauku semua manusia macam begitu layak
dipercepat menghadap malaikat maut. Tapi ini
berarti akan muncul musibah besar "
"Lalu apa rencanamu Dewa Tuak?"
"Aku mendapat petunjuk dari seorang tua
yang biasa dikenal dengan panggilan Si
Segala Tahu. Kau kenal padanya….?"
"Kenal sekali!" jawab Wiro. "Aku beberapa kali
mendapat petunjuknya."
"Nah, dialah yang memberi tahu kalau saat ini
kau berada di daerah ini. Dia pula yang
menasihatiku agar aku menerimamu,
menuturkan apa kesulitanku lalu meminta
agar kau menolongku"Ah ….!" Wiro garuk-
garuk kepala.
Dewa Tuak menatap paras pemuda itu sesaat
lalu berkata; "Jika kau tak mau memandangku
dan keberatan menolongku, kau harus sudi
memandang Si Segala Tahu.
Wiro terdiam.
"Aku menunggu jawabmu, anak muda."
"Apa yang harus kulakukan?" tanya Wiro
akhirnya.
"Pergi ke Lumajang. Selamatkan Anggini.
Dapatkan kitab yang dicuri. Hanya itu "
"Hanya itu " mengulang Wiro dalam hati.
Tetapi dia yakin bahwa persoalan yang bakal
dihadapinya bukan hanya itu. Bukankah Dewa
Tuak tadi telah menerangkan bahwa sebagai
Adipati, Kebo Penggiring memiliki kawan-
kawan yang dekat dengan Keraton, yang
berarti adalah orang-orang berkepandaian
tinggi dan sekaligus memiliki kekuasaan?!
"Aku tahu kau mampu melakukannya Wiro.
Jika aku tahu kau tak mampu, aku tak akan
meminta bantuanmu . . . Dan kalau kau
memang ingin menolong, makin cepat kau
berangkat ke Lumajang, makin baik . . . ."
"Kalau seorang tua dan sahabat sepertimu
berkata begitu, apa lagi yang harus kulakukan
selain membantu "
"Terima kasih anak muda …" kata Dewa Tuak
dan kali ini-sambil tersenyum.
"Ini kau ambillah bumbung yang satu ini!"
Kakek itu lalu mengambil bumbung tuak yang
tergantung di punggungnya lalu melemparkan
benda itu kepada Wiro.
"Terima kasih, aku tak ingin jadi mabuk!" kata
Wiro. Namun tabung bambu berisi tuak itu
sudah melayang ke arahnya. Ketika dia
terpaksa menangkapnya, memandang ke atas
Dewa Tuak sudah tak ada lagi di atas cabang
pohon.
Pendekar 212 kembali garuk-garuk kepala.
Akhirnya didekatkannya juga ujung bambu ke
bibirnya lalu meneguk tuak kayangan yang
rasanya memang manis sedap
menghangatkan. ******************* Wiro
meneguk lagi air dalam kantong kulit yang
dibawanya. Memandang ke depan dia masih
belum melihat apa-apa. Seolah-olah
pedataran pasir di tenggara Pegunungan
Tengger itu tidak berujung.
"Perjalanan gila!" maki murid Sinto Gendeng
dalam hati. "Kalau tidak memandang kakek
tua peminum tuak itu, dan jika tidak
menimbang keselamatan muridnya tak bakal
aku melakukan ini!" Wiro meneguk sekali lagi
air dalam kantong. Ketika untuk ke sekian
kalinya dia memandang ke depan, samar-
samar di kejauhan dilihatnya sebuah titik
kecil, seperti terletak tepat di atas katulistiwa.
Semakin dekat dia ke arah titik itu, semakin
besar tampaknya dan dalam jarak kurang dari
lima puluh tombak Wiro mengetahui benda
yang tadi terlihat berupa titik ternyata adalah
sesosok tubuh manusia yang menggeletak
menelantang di atas pasir.
Orang ini masih muda, berpakaian dan berikat
kepala putih-putih. Tubuhnya tinggi dan
kekar. Namun saat itu tubuh yang kekar itu
tampak tak berdaya.
Kedua matanya terpicing. Wajah dan
tubuhnya hampir berselimut pasir sedang
bibirnya kelihatan kering.
"Ini bukan setan pedataran pasir!" kata Wiro
membatin. "Tapi mengapa manusia ini berada
di sini seperti ini? Masih hidup atau sudah
mati?" Wiro turun dari kudanya. Dia
memegang lengan pemuda yang terbujur di
pasir itu.
Terasa panas. Juga terasa denyutan nadi,
tanda masih hidup. "Sobat tak dikenal,
bangunlah! Apa kau mau berkubur di tempat
ini?!" Wiro menegur dengan suara keras.
Tubuh di atas pasir tidak bergerak,Wiro ambil
kantong airnya lalu sedikit demi sedikit
tuangkan air ke atas bibir yang kering. Sesaat
kemudian bibir itu tampak bergerak. Wiro
tuangkan lebih banyak air. Dengan tangan
kirinya dia menyeka pasir yang menutupi
wajah si pemuda. Ternyata pemuda itu
berwajah tampan. Sesaat kemudian mata
yang terpejam membuka perlahan-lahan.
"Apakah kau malaikat maut yang datang
menjemputku ….?" Keluar suara parau dan
sangat perlahan dari mulut pemuda itu.
Kalau di tempat lain Wiro mungkin akan
tertawa bergelak mendengar katakata itu. Dia
tuangkan lebih banyak air lalu mendudukkan
si pemuda di tanah dan menahan
punggungnya dengan lutut agar tidak rebah.
"Aku bukan malaikat maut. Justeru aku ingin
bertanya mengapa kau enakenakan tidur di
gurun pasir ini….!"
Mata si pemuda membuka lebar. Mulutnya
menyeringai. "Sialan!" ujarnya.
"Siapa yang enak-enakan tidur. Terlambat kau
muncul di sini aku sudah jadi mayat kering "
"Aku membawa kuda cadangan. Apakah kau
bisa berdiri lalu ku bantu naik ke punggung
binatang itu …."
"Aku harus melakukan apa yang kau katakan.
Tapi beri lagi aku minum … ."
Setelah minum, dengan ditolong oleh Wiro
pemuda itu berdiri. Sesaat pemandangannya
berkunang-kunang, tubuhnya seperti hendak
terbanting. Wiro cepat memegang bahunya.
"Manusia-manusia keparat. . .!"
"Eh, siapa yang kau maki sobat?" tanya Wiro.
"Orang-orang itu. Mereka membokongku.
Merampas dua senjata mustika milikku.
Melarikan dan meninggalkan aku di pedataran
pasir ini !
"Siapa mereka .. ;?"
"Aku tidak kenal. Mungkin bangsa perampok.
Mereka memiliki kepandaian yang tinggi.
Sobat, kau telah menolongku. Aku berterima
kasih. Kau hendak menuju ke manakah …?"
"Lumajang," sahut Wiro.
"Kalau begitu kita pergi sama-sama.
Manusia-manusia keparat itu pasti juga
menuju ke sana."
"Namaku Wiro Sableng. Kau siapa?" tanya
Pendekar 212.
"Namamu aneh. Apakah kau benar-benar
sableng hingga orang tuamu memberikan
nama begitu …?
"Namaku Mahesa Kelud."
Wiro tersenyum. "Senjata apa yang mereka
rampas darimu?" tanyanya kemudian.
"Sebilah Pedang Sakti dan sebilah Keris Ular
Emas "
"Hemmrn.. Nasibmu memang malang. Mudah-
mudahan saja kau menemukan para pencuri
itu …"
"Bukan hanya menemukannya. Tapi juga
membunuh mereka semua!" jawab Mahesa
Kelud dengan tangan terkepal, lalu naik ke
atas kuda cadangan yang dibawa Wiro. (Siapa adanya Mahesa Kelud dapat pembaca ikuti dalam serial Mahesa Kelud Pedang Sakti Keris Ular Emas) KEDAI Itu berbentuk pendopo terbuka dan
cukup besar. Karena merupakan satu-satunya
rumah makan di daerah tenggara maka
sepanjang siang tampak selalu ramai. Apalagi
terletak di Gucialit, sebuah kota kecil pusat
persimpangan beberapa jalan di selatan
Tengger.
Matahari pagi baru saja naik ketika kedua
orang muda itu sampai di kedai dan langsung
masuk. Tubuh serta-pakaian mereka yang
kotor penuh debu membuat pemilik kedai
segera menyongsong, bukan untuk melayani
tapi untuk ajukan pertanyaan.
"Dua pemuda asing, apakah kalian punya
uang untuk makan dan minum di kedaiku ini. .
. .'"
Wiro terkesiap tapi juga mendongkol marah.
Dia memang sama sekali tidak punya uang
lagi karna sudah diberikan pada Memed
Gendut untuk pembeli kuda. Sebaliknya
Mahesa Kelud yang setengah mati keletihan
dan kelaparan belalakkan mata dan
membentak:
"Jangankan makanan atau minuman,
kepalamu akan kubeli! Jangan banyak tanyai
Hidangkan makanan dan teh hangat!"
"Uangmu dulu, orang muda!" kata pemilik
kedai sambil ulurkan tangan.
Wiro tak dapat menahan kesalnya. Dia
berbisik pada Mahesa Kelud; "Kau punya
uang . . . Lekas berikan padaku Mahesa Kelud
yang hendak menampar pemilik kedai itu
batalkan niatnya.
Dengan rasa tidak mengerti dia berikan dua
keping uang pada Wiro. Begitu menerima
uang itu Wiro secepat kilat sumpalkan ke
dalam mulut pemilik kedai.
"Ini uangnya. Kau makanlah!"
Tercekik dan megap-megap pemilik kedai itu
masuk ke dalam sementara Wiro dan Mahesa
Kelud duduk di bangku panjang. Seorang
pelayan datang membawa makanan dengan
sikap ketakutan. Dua pemuda ini segera
menyantap dengan cepat. Selagi menggerogot
sepotong ikan goreng, Mahesa Kelud
layangkan pandangannya berkeliling. Tiba-
tiba saja pemuda ini bantingkan ikan goreng
itu ke meja.
"Sobat, ada apa? Kau ketulangan . . . Ikannya
tidak enak?" tanya Wiro.
Mahesa menggoyangkan kepalanya ke arah
sudut kedai di mana tampak duduk tiga orang
lelaki berpakaian bagus yang baru saja
selesai makan dan kini tengah
menghangatkan diri dengan secangkir kopi. Di
bagian lain masih terdapat kira-kira setengah
lusin tamu. Tiga orang tamu berpakaian
bagus itu duduk membelakang dan agak jauh
hingga tidak melihat kedatangan Mahesa dan
Wiro, juga tidak mengetahui pertengkaran
dengan pemilik kedai tadi"Siapa mereka . . .?"
tanya Wiro.
"Tiga dari lima bangsat perampok yang
menghadangku di pedataran pasir …"
jawab Manesa Kelud seraya berdiri.
"Cara mereka berpakaian seperti hartawan,
bukan seperti rampok …."
"Hartawan atau rampok yang pasti mereka
akan rasakan tanganku saat ini juga!"
Habis berkata begitu Mahesa Kelud ambil
sebuah kursi di samping kanannya.
Kursi ini kemudian dilemparkannya ke arah
tiga orang yang duduk membelakang.
Kursi masih melayang setengah jalan tapi tiga
orang berpakaian bagus yang duduk
membelakang serentak sudah mencelat dari
tempat masing-masing, pertanda bahwa
mereka memiliki naluri kewaspadaan yang
tinggi. Kursi yang dilemparkan menghantam
tiang kedai dan hancur berantakan. Tiga
orang itu cepat membalik. Jelas rasa terkejut
membayang di wajah mereka ketika melihat
Mahesa Kelud melangkah mendekati. Terkejut
karena menyangka pemuda itu pasti sudah
menemui kematian di panggang sinar
matahari di pedataran pasir.
Para pengunjung kedai yang lain saat itu
telah berdiri dan menyingkir menjauh,
menyaksikan apa yang bakal terjadi
selanjutnya. Sementara Wiro Sableng setelah
memperhatikan sesaat, seperti tak acuh apa
yang terjadi melanjutkan makannya dengan
lahap.
Lelaki berpakaian bagus di sebelah tengah
usap usap dagunya. Dia melirik pada kedua
temannya lalu kembali memandang ke arah
Mahesa yang kini tegak empat langkah di
hadapannya dan kawan-kawan.
Mahesa menuding tepat-tepat ke arah ketiga
orang itu dengan telunjuk kiri.
"Sebelum pembebasan kulakukan lekas kalian
kembalikan pedang serta keris milikku yang
kalian rampas. Juga kuda putihku!. Tiga
orang di hadapan Mahesa sama-sama
menyeringai.
"Pemuda kesasar, pagi-pagi begini kau sudah
bicara ngacok tak karuan.
Kenal pun tidak. Tampang burukmu baru kami
lihat saat ini. Dan kau bicara tentang segala
macam pedang serta keris! Gila!" Yang bicara
adalah lelaki di sebelah tengah.
"Hemm . .. Kau dan teman-teman pandai
bersandiwara! Bagus! Teruskansandiwara
kalian sampai keliang kubur!"
Mahesa berkelebat ke depan. Tangan dan
kakinya menebar serangan. Pemuda ini
memiliki kepandaian silat dan tingkat tenaga
dalam yang bukan sembarangan: Gurunya
Embah Jagatnata alias Simo Gembong pernah
menggegerkan dunia persilatan di tanah
Jawa.
Di samping, itu dia mendapat tambahan
kepandaian dari seorang tokoh yang dikenal
dengan nama Karang Sewu. Ditambah pula
ilmu silat langka yang didapatnya dari
seorang tokoh luar biasa bernama Suara
Tanpa Rupa. Tidak mengherankan kalau
serangan yang dilancarkan Mahesa
mendatangkan suara angin deras.
Tiga lawan yang mendapat serangan
berpencar. Gerakan mereka bukan saja cepat
sekali tetapi juga enteng. Ternyata tiga
manusia inipun memiliki kepandaian tak
rendah. Kalau tidak tak mungkin mereka dan
dua kawan lainnya sanggup membokong
Mahesa di pedataran pasir. Ketiga orang ini
sebenarnya bukanlah bangsa perampok.
Mereka merupakan tokoh-tokoh silat dari
Kotaraja yang sengaja melakukan perjalanan
atas permintaan seseorang di Lumajang.
Melihat serangan pertamanya menemui
kegagalan, Mahesa Kelud kertakkan
rahangnya. Sambil menendang meja makan
dia balikkan tubuh dan kini berkelebat
menghantam ke arah lawan di ujung kiri.
Sambil mengunyah nasi dalam mulutnya Wiro
Sableng geleng-gelengkan kepala melihat
perkelahian itu. Diam-diam dia kagum
melihat gerakan menyerang Mahesa tadi.
Namun tiga lawannya ternyata memiliki
kepandaian tidak rendah, membuat bisa-bisa
pemuda itu menemukan nasib jelek.
Mahesa menghantam dengan jotosan
mengandung aji "Karang Sewu" atau pukulan
batu karang yang sanggup menghancurkan
benda keras bagaimanapun. Lawan yang
diserang tampaknya sudah mencium
keganasan pukulan itu. Sambil melompat ke
belakang dia bersuit keras. Suitan ini
seolaholah isyarat bagi kedua kawannya
karena saat itu juga dua orang lainnya datang
menyerbu dari kiri kanan. Masih
mengandalkan pukulan batu karang di kedua
tangannya.Mahesa Kelud menjotos ke kiri dan
ke kanan, sambut serangan dua lawan. Seperti
kawannya tadi, dua orang ini melompat ke
belakang seraya keluarkan suara suitan
nyaring. Bersamaan dengan itu orang yang
berada di sebelah depan menghantam ke
depan dengan satu pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam penuh!
Mahesa sengaja sambut pukulan lawan
dengan maju menyongsong sambil
melintangkan tangan kiri, membabat lengan
orang.
"Jangan!" teriak salah seorang ketika melihat
kawannya yang memukul itu sengaja
mengadu kekuatan dengan saling bentrokkan
lengan. Tapi terlambat.
Kraaaakk!
Tulang lengan orang di depan Mahesa Kelud
bukan saja patah tetapi juga hancur hingga
bagian sebelah buawah terkuntai-kuntai
mengerikan. Jeritan setinggi langit keluar dari
mulutnya. Tubuhnya jatuh duduk di lantai
kedai.
Dengan tangan kirinya dia cepat-cepat
menotok urat besar di pangkal bahu hingga
kebal rasa. Untuk beberapa saat lamanya dia
hanya bisa menjelepok begitu rupa.
"Pukulan karang sewu!" seru lelaki di samping
kanan Mahesa, yang membuat murid Emban
Jagatnata ini terkejut karena tak menyangka
kalau orang mengenali ilmu pukulannya.
Wajah dua orang lawan tampak berubah.
Setelah saling lemparkan pandangan yang
mengandung isyarat keduanya gerakkan
tangan ke balik pakaian. Sesaat kemudian
mereka telah mengeluarkan senjata.
Yang di sebelah kanannya memegang sebilah
clurit besar hampir berbentuk arit Kawannya
mencekal sebatang tongkat terbuat dari
kuningan yang memancarkan sinar redup tapi
angker.
Sebelumnya orang-orang itu bersama dua
kawannya yang lain yang saat itu tak
kelihatan di tempat itu telah berhasil
membokong Mahesa di pedataran pasir
Tengger. Hal itu sudah cukup membuktikan
bahwa mereka memiliki kepandaian tinggi..
Kini dengan senjata di tangan tentunya dua
lawan tersebut lebih banyak berbahaya. Tetapi
Mahesa Kelud percaya diri dan tidak gentar
menghadapi. Bila dua lawan itu maju
menyerbu dia siap menyambut dengan jurus
kematian.
Namun di saat itu justru terdengar suara
membentak.
"Orang-orang tak tahu diri! Pengecut tengik!
Su- dah main keroyok sekarang pakai senjata
pula! Tangan kosong harus dihadapi dengan
tangan kosong!
Itu namanya pendekar sejati!"
Dua orang lawan Mahesa Kelud tidak sempat
menyelidik siapa yang membentak itu. Dua
buah piring tiba-tiba melesat ke arah mereka.
Sebelum keduanya sempat berkelit, lengan
masing-masing sudah dihantam piringpiring
itu. Piring pecah, makanan yang masih ada di
atasnya berhambur mengotori pakaian dan
muka kedua orang itu. Keduanya mengeluh
tinggi dan karena tak tahan menanggung
sakit terpaksa lepaskan senjata masing-
masing sementara mereka dapatkan lengan
mereka berlumuran darah akibat hantaman
piring.
Mahesa Kelud melirik ke arah meja di mana
Wiro Sableng duduk. "Sableng!"
katanya sambil menyeringai. "Jurus piring
terbangmu boleh juga! Tapi kita kehilangan
dus piring nasi dan lauknya!"
"Tak usah kawati r! Kunyuk-kunyuk itu yang
akan membayar!" sahut Wiro.
"Makan tanpa minum tentu tak sedap! Nah
silahkan meneguk air .. ." Habis berkata
begitu Pendekar 212 Wiro Sableng lemparkan
dua cangkir berisi air ke arah dua pengeroyok.
Meskipun mereka sempat mengelak
selamatkan kepala tapi air dalam cangkir
besar itu telah lebih dulu mengguyur kepala
keduanya.
Marah besar karena merasa dipermainkan,
orang di sebelah kanan menerjang dengan
satu tendarfgan ke arah perut Mahesa
sementara kawannya berkelebat cepat
memungut clurit besar dan tongkat kuningan.
Namun dia hanya sempat mengambil tongkat
kuningan karena sebelum dia berhasil
memegang hulu clurit, Wiro Sableng sudah
melompat ke hadapannya kirimkan tandangan
ke arah pentatnya
Wutt
Tongkat kuningan memapas deras kaki yang
datang menendang. Namun hanya
menghantam tempat kosong karena di saat
yang bersamaan Wiro melesat ke atas sambil
hunjamkan tumit kirinya ke arah bahu kanan
lawan.
Kraak!
Tulang bahu itu patah. Tongkat kuningan
lepas dan pemiliknya jatuh di lantai kedai,
berguling-guling sambil berteriak kesakitan,
lalu tergelimpang dekat sebuah jambangan
tanah liat.
Melihat kejadian ini kawannya yang
menghadapi Mahesa Kelud jadi terkesiap.
Sebelumnya dia memang telah mempreteli
Mahesa secara mudah. Tapi itu dilakukan
bersama dua orang kawannya yang memiliki
kepandaian sangat tinggi. Kini tanpa dua
kawan itu dan setelah menyaksikan dua
kawannya yang ada di situ cidera berat,
nyalinya menjadi lumer. Tanpa pikir panjang
dia menghambur ke luar kedai.
"Ho .. .ho! Cacing tanah pengecut! Kau mau
lari ke mana!" teriak Mahesa Kelud mengejar.
Tapi dua buah senjata rahasia berbentuk
lempengan besi hitam menyambutnya.
Mahesa menghantam dengan pu- kulan
tangan kosong. Dua senjata rahasia mental
dan menancap di atas loteng kedai. Ketika
hendak mengejar kembali, orang yang lari
telah lenyap. Di kejauhan terdengar suara
kuda dipacu.
Mahesa Kelud kepalkan tangan kanan. Dia
melangkah mendekati orang yang patah
tulang bahunya. Sementara Wiro menyeret
kawannya yang patah tangan lalu
melemparkannya ke dekat si patah bahu.
Orang lain yang ada di kedai itu, termasuk
pemilik dan para pelayan tak ada satupun
yang berani bergerak.
Mahesa Kelud injak tulang bahu yang patah
hingga orang itu menjerit kesakitan.
"Sakit ?!" tanya Mahesa Kelud mengejek.
"Sakit… Sakit sekaliiiii" jawab orang itu.
"Bagus! Aku akan mengajukan beberapa
pertanyaan! Jika kau tidak mau menjawab
dengan benar, tulang bahumu satu lagi akan
aku hancurkan!"
"Jangan! Jangan lakukan itu. Katakan apa
yang ingin kau ketahui. .. ." ratap orang itu
ketakutan.
"Pertama di mana sepasang senjata mustika
milikku serta kuda putihku kalian sembunyi
kan?!" tanya Mahesa.
"Kami…. kami tidak menyembunyikan. Dua
orang kawan kami membawa kuda putih itu.
Juga keris dan pedang merah"Di mana mereka
sekarang?"
"Turut penjelasan keduanya mereka pergi ke
Lumajang," menerangkan si hancur bahu.
"Lumajang! Di mana aku harus mencari
mereka di sana?" tanya Mahesa lagi.
"Keduanya pasti ke Kadipaten. Menemui
Adipati Kebo Penggiring …."
"Apakah kalian berlima orang-orang Adipati
itu?" Wiro yang ajukan pertanyaan.
"Bukan . . . kami bukan orang-orangnya. Kami
hanya sahabat yang diminta tolong.
'Dimintai tolong apa? Apa Adipati yang
menyuruh kalian menghadang dan
merampokku di pedataran pasir Tengger "
"Hal itu aku tidak jelas"
"Jangan berdusta!" ancam Mahesa Kelud lalu
kaki kanannya menginjak bahu yang patah
hingga orang itu menjerit setengah mati.
"Aku tidak berdusta …" teriaknya.
Lelaki yang patah tandan berusaha
meyakinkan.
"Tamanku itu tidak berdusta. Seseorang
datang pada kami membawa uang dan
memberi pekerjaan. Kami harus menghadang
dan membunuh seorang pemuda berambut
gondrong, berpakaian putih-putih yang akan
melintas pedataran Tengger menuju
Lumajang. Kami berlima menemui kau.
Ternyata bukan kau orang yang dimaksudkan.
Tapi karena melihat kau membawa kuda
bagus serta membakar senjata sakti maka
kami membokongmu lalu meninggalkan di
pedataran pasir Mahesa melirik ke Whh Wiro
Sableng yang berdiri sambi! garuk-garuk
kepala.
"Berarti sebenarnya akulah yang kalian tuju ..
." kata murid Sinto Gendeng itu.
"Benar.. .'.Mungkin sekali. Ciri-ciri kalian
hampir sama…" jawab si patah lengan.
"Kenapa kalian diperintahkan
membunuhku?"tanya Wiro.
"Itu kami tak tahu. Utusan itu tidak
menjelaskan apa-apa."
"Juga tidak menjelaskan siapa yangg
menyuruhnya.."
Yang ditanya tak menjawab.
Wiro angkat kaki kanannya lalu dihantamkan
kebawah.
Kraak!
"Jangan … .! Jangan hancurkan kakiku
….!"jerit orang itu.
"Terserah padamu. Hancur kaki atau bicara …"
"Aku … aku akan bicara …." katanya.
"Buka mulutmu!"
Terus terang, aku tak tahu siapa di belakang
utusan itu. Namun aku menduga, dia diutus
oleh Adipati Kebo Penggiring. Hanya itu yang
aku ketahui.
Hanya itu "
Wiro berpaling pada Mahesa Kelud.
"Bagaimana pendapatmu?" tanyanya.
"Aku harus mengejar pencuri kuda dan senjata
itu …." sahut Mahesa Kelud.
"Kalau begitu kita berangkat sekarang juga!"
ujar Wiro Sableng. Lalu dia membungkuk dan
menggeledah kedua orang itu.
"Apa yang kau cari?" tanya Mahesa Kelud..
'Sepasang senjata milikmu! Ternyata mereka
memang tidak menyembunyikannya. Orang-
orang seperti mereka tidak boleh dipercaya
begitu.saja. Segala ucapannya harus diselidik
"
WIRO SABLENG dan Mahesa Kelud memacu
kuda masing-masing melewati daerah
berbukit-bukit batu. Ini merupakan ujung dari
pedataran pasir Tengger setelah mereka
melewati Gucialit. Sehabis bebukitan batu itu
kota tujuan mereka yakni Lumajang hanya
tinggal setengah hari perjalanan. Menjelang
malam mereka berharap sudah sampai di
sana dan melakukan apa yang harus mereka
kerjakan. Mahesa Kelud harus mendapatkan
kambali kuda putih serta sepasang senjata
mustikanya. Sedang Pendekar 212 Wiro
Sableng sesuai dengan janjinya harus
melaksanakan tugas yang dibebankan Dewa
Tuak kepadanya yaitu mendapatkan kembali
kitab milik kakek itu yang dicuri sang murid.
Lalu tugas berikutnya ialah menyelamatkan
Anggini — Murid Dewa Tuak yang dulu pernah
hendak dijodohkan dengannya — dari tangan
Kebo Penggiring.
Di puncak sebuah bukit batu dua pendekar itu
berhenti sejenak untuk beristirahat. Kebetulan
di situ terdapat sebuah mata air. Mereka
minum sepuasnya. Begitu juga kuda
tunggangan masing-masing. Setelah
mendapat kesegaran baru mereka melanjutkan
perjalanan. Jalan menurun yang ditempuh
diapit di kiri kanan oleh iamping batu setinggi
hampir dua puluh tombak.
Derap kaki-kaki kuda menggema di samping
bukit batu itu.
"Aku tiba-tiba saja merasa tidak enak …."
Murid Sinto Gandeng berseru pada Mahesa
Kelud. Dia memandang berkeliling lalu
memperhatikan jauh-jauh ke depan.
Mahesa Kelud ikut meneliti keadaan di
sekitarnya lalu berkata: "Tak ada yang harus
dikawatirkan. Musuh-musuh berada jauh di
Kadipaten!" Dari Wiro murid Embah Jagatnata
alias Simo Gembong itu telah mendengar
penuturan mengapa Wiro harus pergi ke
Lumajang.
"Turut beberapa penjelasan yang kudengar,
daerah bukit batu ini sering dipakai para
perampok untuk menghadang mangsanya!"
kata Wiro lagi.
"Aku telah mengalami kejadian pahit di
pedataran pasir Tenggara. Tapi sekali ini,jika
ada perampok yang berani muncul, mereka
hanya minta mampus!"
menyahuti Mahesa Kelud.
Baru saja Mahesa Kelud berkata begitu tiba-
tiba Wiro melihat gerakan mencurigakan di
puncak bukit samping kiri. Hal yang sama
juga tampak pada puncak bukit batu sebelah
kanan.
"Lihat!" saru Wiro.
Mendongak ke atas Mahesa Kelud melihat ada
tiga buah batu besar di puncak bukit sebelah
kanan lalu tiga lagi di sebelah kiri. Enam
buah batu itu bergerak ke tubir atas bukit lalu
menggelinding ke bawah dengari suara
gemuruh mengerikan.
"Lekas berlindung!" teriak Mahesa Kelud.
Dua pendekar itu menggebrak kuda masing-
masing. Begitu kedua kuda itu menghambur
lari, Mahesa Kelud dan Wiro melompat dari
punggung kuda, selamatkan diri dengan
berlindung di bawah lakukan bukit batu pada
sisi kiri kanan.
Enam buah batu besar menghempas dahsyat.
Dua ekor kuda terperangkap di celah bukit.
Terdengar ringkikan kedua binatang itu di
antara gemuruh batubatu yang jatuh. Lalu
sunyi. Debu dan pasir sesaat beterbangan ke
udara menutupi pemandangan. Begitu debu
dan pasir luruh ke tanah dan keadaan terang
kembali Wiro dan Mahesa Kelud menyaksikan
pemandangan yang mengenaskan. Dua ekor
kuda itu tergelimpang mati di bawah himpitan
enam batu besar"Bangsat rendah!" sumpah
Mahesa Kelud marah sekali. Kedua tangannya
di silangkan di muka dada Mulutnya bergetar
melapatkan aji kesaktian sedang tubuhnya
menggelegar menghimpun tenaga dalam.
Didahului bentakan keras Mahesa Kelud
kemudian hantamkan tangan kanannya ke
atas. Kilatan api merah dan panas menderu.
Tubir bukit batu setinggi tombak di atas kiri
sana tampak berpijar lalu hancur berantakan.
Pecahan batu dan bongkahan tanah
beterbangan. Namun siapapun adanya orang
orang di atas sana agaknya tak satupun yang
cidera. Rupanya mereka telah lebih dulu
meninggalkan tempat itu sebelum pukulan
"ilmu api" yang dilepaskan murid Emban
Jagatnata menghancurkan sebagian tubir
batu.
Kagum melihat kehebatan kawannya,
Pendekar 212 Wiro Sableng tak mau kalah.
Tangan kanannya sampai sebatas siku
mendadak berubah menjadi putih perak.
Ketika pendekar ini menghantam ke tubir
bukit batu sebelah kanan, berkiblatlah sinar
putih menyilaukan disertai deru angin panas
yang dahsyat.
Puncak bukit batu di atas sana menggelegar
runtuh.
"Pukulan sinar matahari!" seru Mahesa Kelud
kaget dan kagum ketika menyaksikan pukulan
itu. Dia sudah lama mendengar namun baru
sekali ini menyaksikan sendiri. Kini Mahesa
Kelud sadar siapa sebenarnya kawannya yang
selalu dipanggilnya dengan sebutan Sableng
ini!
Seperti pukulan sakti yang dilepaskan Mahesa
Kelud tadi, hantaman pukulan sinar matahari
yang dilepaskan Wiro pun tidak mengenai
siapa-siapa di atas sana.
"Keparat-keparat itu pasti sudah melarikan
diri!"ujar Mahesa Kelud jengkel.
Dia ingin sekali mengejar,tapi tanpa kuda hal
itu tak mungkin dilakukan.
"Mereka pasti orang-orang Adipati Kebo
Penggiring!" kata Mahesa Kelud seraya tepuk-
tepuk pakaiannya yang penuh oleh debu. Dia
memandang berkeliling sambil garuk-garuk
kepala. Lalu berkata: "Tak ada jalan lain. Kita
harus melanjutkan perjalanan dengan jalan
kaki!"
"Aku akan berikan pembalasan berikut
bunganya pada mereka!" kata Mahesa Kelud
pula sambil kepalkan tinju. ***************
EMPAT orang penunggang kuda tampak
bersiap-siap di halaman samping gedung
Kadipaten Lumajang. Salah seorang di antara
mereka yang mengenakan pakaian kebesaran
Adipati bukan lain adalah Adipati Kebo
Penggiring. Di sebelahnya berturut-turut
adalah dua lelaki berpakaian bagus, berusia
agak lanjut tapi memiliki tubuh sangat kekar.
Salah seorang menunggang kuda putih.
Yang seorang lagi kakek berpakaian biru yang
ada parut bekas luka pada mukanya sebelah
kiri mulai dari dagu sampai ke dekat mata.
"Kalian pasti Tunggul Soka dan Gajah Bledeg
akan sampai malam ini dari Kotaraja?"
Adipati Kebo Penggiring bertanya.
Tiga orang di sampingnya sama mengangguk.
Si cacat muka yang bernama Ronggo Kemitir
membuka mulut: "Tak usah kawatir. Mereka
pasti datang untuk menjemput senjata-
senjata mustika itu. Sekaligus membantu kita
menghadapi pendekar suruhan Dewa Tuak itu
"
Kebo Penggiring merasa kurang enak karena
dianggap seperti takut. Dia cepat berkata:
"Soal pemuda gandeng itu tak usah
dikawatirkan. Hanya saja aku dengar kini dia
bergabung dengan seorang pendekar muda
lainnya. Ini gara-gara dua sahabatku ini
kesalahan turun tangan di pedataran Tengger.
Betul begitu ?"
Dua telaki bertubuh kekar berpakaian bagus
terdengar batuk-batuk. Salah seorang dari
mereka yakni yang menunggang kuda putih
hasil rampasan milik Mahesa Kelud
menjawab: "Dengan siapa pun pendekar
gendeng itu bergabung tak perlu ditakutkan.
Kekuatan kita berempat di sini cukup dapat
diandalkan, apalagi ketambahan Tunggul
Soka dan Gajah Bledeg. Jika pemuda itu
punya kepandaian tinggi, mana mungkin kami
berhasil merampas kuda dan senjatasenjata
miliknya "
"Tapi menurut kawanmu yang berhasil
melarikan diri dari Gucialit, dua pendekar itu
telah membikin cacat seumur hidup dua
kawan kalian. Itu sebabnya aku mengusir
kawanmu yang satu itu. Karena kuanggap
tidak mampu menjalankan tugas!"
"Kepandaian mereka bertiga memang jauh di
bawah kami, Adipati. Tidak heran kalau
mereka kena dipreteli. Lihat saja nanti. Jika
dua pendekar itu muncul di sini, kami akan
memberi pelajaran paling bagus padanya.
Adipati tinggal minta bagian tubuhnya yang
mana. Kepala, atau hati atau jantung …"
Adipati Kebo Penggiring berdiam diri saja
mendengar kata-kata orang bernama Tambak
Ijo itu. Di saat yang sama dari halaman
belakang muncul seorang diiringi oleh dua
pengawal yang menghunus tombak. Orang
yang digiring dua pengawal itu ternyata
adalah seorang gadis berparas cantik,
berpakaian ungu.
Kedua tangannya terikat di sebelah depan,
setiap langkah yang dibuatnya tampak
menyebabkan tubuhnya sebelah atas
erhuyung-huyung.
"Ronggo Kemitir," kata Adipati Kebo
Penggiring pada kakek bermuka cacat.
"Sebelum berangkat, coba periksa dulu
totokan di tubuhnya. Aku tak ingin kita
mendapat kesulitan dalam perjalanan, walau
cuma dekat saja "
Kakek berpakaian biru melompat turun dari
atas kudanya. Sesaat dia meraba-raba
punggung gadis berpakaian ungu lalu
berpaling pada Kebo Pengigiring sambil
anggukkan kepala. "Totokanku masih berjalan
baik. Kedua tangan tetap lumpuh, jalan suara
masih normal, sepanjang kaki masih bisa
berjalan tapi terbatas"Bagus! Kalau begitu
naikkan dia ke atas kudaku. Dudukkan di
sebelah depan!" ujar Adipati Lumajang.
"Siapa sudi duduk bersamamu! Keparat!"
Tiba-tiba gadis baju ungu itu memaki.
"Gadis binal! Jaga mulutmu!" mendamprat
Tambak Ijo sementara Kebo Penggiring cuma
menyeringai.
Dengan satu gerakan enteng dan sangat
cepat, Ronggo Kemitir menangkap pinggang
gadis berbaju ungui lalu mengangkat dan
mendudukkannya di atas kuda di sebelah
depan sang Adipati. Hal ini membuat sang
dara tambah marah dan memaki tiada henti.
Namun dia tak bisa berbuat lain karena
tubuhnya dikuasai satu totokan amat lihay.
"Penging murid murtad!" si gadis membentak
menyebut nama asli Kebo Penggiring. "Guru
akan datang dan membeset tubuhmu sampai
lumat!"
Kebo Penggiring tertawa tawar. "Jika tua
bangka buruk itu ingin menyelamatkanmu
tentu dia sudah datang dulu-dulu! Buktinya
sampai hari ini dia tidak unjukkan muka!
Gurumu hanya pandai mabuk-mabuk meneguk
tuak!"
"Murid pengkhianat! Pencuri laknat!" teriak si
gadis.
Kebo Penggiring memberi isyarat. Diikuti oleh
Ronggo Kemitir, Tambak Ijo dan lelaki kekar
satu lagi yang bernama Lah Bludak, mereka
segera meninggalkan halaman Kadipaten.
Saat itu malam telah turun. Udara yang sejak
sore mendung membuat malam tambah
memekat gelap. Rombongan itu bergerak ke
arah timur, menuju pusat Kadipaten yakni
sebuah alun-alun. Karena letaknya tidak jauh
dari gedung Kadipaten maka sebentar saja
mereka sampai di situ. Di tengah alun-alun,
dalam kegelapan malam tampak berdiri
sebuah panggung setinggi satu tombak.
Di atas panggung kayu itu dibangun dua buah
tonggak besar berikut palangnya di sebelah
atas, lengkap dengan tali besar.
Keseluruhannya membentuk sebuah tiang
gantungan yang mengerikan. Di bawah
panggung tampak duduk berjongkok sesosok
tubuh. Di hadapannya ada sebuah pendupaan
menyala yang asapnya menebar bau menyan!
"Anggini, kau lihat tiang gantungan itu?" Kebo
Penggiring bertanya pada gadis yang duduk
diatas kuda di sebelah depannya.
"Mataku tidak buta!" sahut dara berbaju ungu
yang ternyata adalah Anggini, murid Dewa
Tuak yang ditawan oleh Kebo Penggiring.
"Bagus, matamu tidak buta. Kuharap hatimu
juga tidak terus-menerus membatu. Apa kau
tidak takut melihat tiang gantungan itu?"
tanya sang Adipati lagi.
"Takut . . . ?!" sang dara menyeringai.
"Mengapa harus takut! Digantung saat ini pun
aku tidak takut! Tak perlu menunggu sampai
besok pagi!"
"Kau memang gadis pemberani. Itu yang
membuat aku kagum padamu,"
kata Kebo Penggiring terus-terang. "Tetapi
mengapa begitu sulit bagimu menerima
permintaanku … ?"
Anggini kembali menyeringai sinis. "Setelah
kau uri kitab guru, setelah kau perlakukan aku
seperti ini, setelah kau menjadi seorang
pengkhianat bejat, kau masih punya muka
meminta aku jadi istrimu? Puah!" Dara itu
meludah ke tanah.
"Aku sudah bilang, buku ku akan
kukembalikan pada guru, sehari setelah kita
melangsungkan perkawinan"
Kembali Anggini meludah. "Penging, kau
sudah terlanjur menyakiti hati guru!
Kau bahkan sudah mengotori tanganmu
dengan memperlakukan aku seperti ini "
"Tujuanku justru adalah untuk
membahagiakan dirimu. Terus-terang banyak
gadis yang ingin kuperistrikan. Semua bangga
menjadi istri seorang Adipati.
Tapi kau menolak "
"Segala setan pelayangan mungkin bangga
jadi istrimu Penging! Tapi aku tidak! Justru
aku akan mencincang sekujur tubuhmu pada
kesempatan pertama!"
Ronggo Kemitir si kakek bermuka cacat geleng
geleng kepala. "Gadis ini sulit untuk diberi
pengertian Adipati " katanya.
Kebo Penggiring masih berusaha mencari
harapan. "Masakan kau lebih suka digantung
daripada jadi istriku? Padahal bukankah aku
adalah kakak seperguruanmu sendiri… ?"
"Pada hari pertama kau mengkhianati guru,
orang tua itu sudah tidak menganggap kau
muridnya lagi. Apa masih pantas aku
menganggapmu sebagai kakak seperguruan?
Tidak malu!"
"Kalau begitu kau benar-benar menginginkan
mati Anggini. Ingin digantung dengan cap
sebagai pemberontak "
"Kau boleh membunuh aku dengan dalih
apapun. Tapi kebenaran tak akan pernah bisa
dikalahkan oleh angkara murka. Kau
mengkhianati guru sendiri.
Mencelakai saudara seperguruan lalu
sekaligus menjilat pada Kerajaan. Kau
ternyata memang manusia busuk luar biasa
Penging!"
Paras Kebo Penggiring tampak merah
mendengar kata-kata itu. Diikuti oleh yang
lain-lainnya dia membawa kudanya menuju
panggung penggantungan.
Setelah berada dekat ke tempat itu Anggini
segera melihat bahwa manusia yang duduk di
bawah panggung dan menghadapi pendupaan
yang menebarkan bau menyan itu ternyata
adalah seorang nenek bermuka angker
berpakaian serba hitam. Dia terdengar seperti
melaporkan mantera-mantera. Melihat
kedatangan rombongan Adipati, nenek ini
hentikan membaca mantera, ulurkan kedua
tangan ke muka memberi hormat.
"Nenek Juminah " tegur Adipati Kebo
Penggiring. "Menurut penglihatanmu apakah
se- mua persiapan berjalan lancar….?"
"Tentu saja Adipati . . . tentu saja!" jawab si
enek. Suaranya kecil dan dia bicara seperti
orang tercekik. "Tetapi apakah sang calon
tetap memilih mati ketimbang dijadikan
istri….?"
Sang Adipati termangu sesaat baru
menjawab:
"Agaknya jalan pikirannya tak bisa dirobah.
Mungkin kau hendak mengatakan sesuatu
sebelum kami meninggalkan tempat ini….. ?"
Nenek itu tegak dari jongkoknya. Ternyata
tubuhnya pendek dan bongkok.
Matanya yang cekung memandang lekat lekat
pada Anggini, membuat gadis ini jadi tergetar
juga hatinya. Lalu terdengar kata-kata si
nenek.
"Dulu aku punya seorang anak gadis.
Wajahnya jelek sekali. Apalagi dibandingkan
denganmu nak. Tapi dia begitu bangga ketika
satu hari perajurit Kadipaten mengambilnya
jadi istri. Adalah aneh kalau kau yang begini
cantik jelita lebih suka mati digantung
daripada dijadikan istri oleh Adipati Kebo
Penggiring. Adipati bukan satu pangkat yang
rendah dan calon suamimu berwajah tampan
gagah, apalagi masih kakak seperguruanmu.
Apakah kau tidak hendak merubah jalan
pikiranmu yang keliru itu nak …. "
"Nenek sialan I" maki Anggini dalam hati.
Lalu dengan suara keras dia berkata: "Jika
menurutmu pangkat Adipati merupakan
pangkat yang tinggi dan tampang manusia ini
tampang gagah, mengapa tidak kau saja yang
minta dijadikan istri?!"
Si nenek terkesiap latu gelengkan kepala
sementara Kebo Penggiring tersentak dan
bergetar menahan amarah.
"Gadis bodoh . . gadis bodoh" kata si nenek
berulang kali "Aku tak bisa menolongmu.
Sayang . . . sayang sekali Nenek itu kembali
berjongkok dan menyebarkan kemenyan di
atas pendupaan.
"Nenek Juminah, kau telah menjalankan
pekerjaanmu dengan baik. Gadis ini memang
bodoh. Memilih mati tercemar daripada
menerima permintaanku "
Adipati Kebo Penggiring membalikkan
kudanya dan tinggalkan tempat itu diikuti tiga
orang lainnya.
"Kau tahu apa yang bakal terjadi atas dirimu
sebelum kau digantung besok pagi Anggini?"
tanya Kebo Penggiring.
Murid Dewa Tuak tidak menjawab.
Kebo Penggiring membuka mulutnya kembali.
"Aku akan memberi kesempatan sampai
tengah malam nanti padamu. Jika kau tetap
pada keputusanmu, maka kehormatanmu
akan kurampas. Tubuhmu kemudian akan
kuserahkan pada tiga orang dibelakangku,
mungkin juga pada dua tokoh yang akan
datang dari Kotaraja. Besok pagi kau akan
diseret ke tiang gantungan. Kepalamu
kemudian akan dipesiangi lalu dikirim pada
gurumu Dewa Tuak!"
Anggini tak menjawab. Mulutnya tetap
terkancing. Kedua matanya dipejamkan tetapi
sekujur tubuhnya menggelegak oleh hawa
amarah.
Ketika rombongan sampai di tepi alun-alun,
Tambak Ijo terdengar berseru:
"Awasi Ada orang datang!"
Dari arah jalan di sebelah barat terdengar
derap kaki-kaki kuda. Sesaat kemudian dua
penunggang kuda nampak muncul dari
tikungan jalan yang gelap. Keduanya segera
mendatangi rombongan Adipati Kebo
Penggiring. Semua orang bersiap menjaga
segala kemungkinan. Ternyata yang datang
adalah dua orang yang memang sedang
ditunggu-tunggu.
"Selamat datang di Kadipaten. Kangmas
Tunggu! Soka dan kangmas Gajah Bledeg,
kalian berdua memang kami tunggu-tunggu . .
. . " menyambut Kabo Penggiring.
Yang datang ternyata adalah dua tokoh dari
Kotaraja. Mereka muncul di situ sesuai
dengan permintaan sang Adipati untuk
dimintai bantuan dan sekaligus menyerahkan
dua buah senjata mustika hasil rampasan.
Selanjutnya senjata-senjata itu akan
diteruskan ke Keraton sebagai persembahan.
Dua oranti yang barusan datang tertawa
lebar. Gajah Bledeg yang bertubuh tinggi
ramping dan mengenakan blangkon coklat
dengan hiasan bintang besi kuning di sebelah
depannya sesaat menatap paras gadis, yang
duduk di atas kuda di sebelah depan sang
Adipati.
Dia lalu bertanya: "Inikah gadis pemberontak
yang besok bakal menjalani hukuman
gantung'" Ketika melihat Kebo Penggiring
mengangguk dia menggelenkkarn kepala
berulang kali. "Sayang sekali tubuh begini
bagus dan wajah begini jelita harus dikubur
menjadi umpan cacing tanah ….. Aku yang tua
ini tak keberatan ditemani barang sejam dua
jam…… "
Semua orang tertawa bargelak mendengar
ucapan Gajah Bledeg itu. Diantara tawa itu
terdengar suara Kebo Penggiring. "Kangmas
Gajah Bledeg, kau tak perlu kawatir. Malam
ini kau akan mendapat bagian khusus"
"Begitu . . . ?" ujar Gajah Bledeg seraya
basahkan bibir dengan ujung lidah dan
tenggorokan turun naik. Dia berpaling pada
kawannya Tunggul Soka. "Ah, ternyata jauh-
jauh datang kamari tidak sia-sia "
Tunggul Soka tersenyum dan palingkan kepala
pada Kebo Penqgiring lalu hartanya: "Adipati
apakah kami dapat segera menerima dua
senjata pusaka pedang sakti dan keris ular
emas itu. …. '"
"Tentu saja Kangmas Tunggul. Sampean tak
usah kawatir. Dua senjata itu kusimpan baik-
baik diKadipaten. Segera akan kusarankan
pada kalian besok selesai upacara
penggantungan gembong pemberontak betina
ini!"
"Hemm begitu …,.?" gumam Tunggul Soka.
Sebenarnya dia ingin cepat-cepat membawa
dua senjata itu kembali ke Kota raja.
"Disamping. itu kami memerlukan bantuan
kangmas berdua untuk menghadapi para
pengacau yang nanti akan segera muncul di
Lumajang,"
berkata Ronggo Kemitir.
"Para pengacau ?" ujar Gajah Bledeg sambil
kerenyitkan kening.
"Besarkah jumlah mereka. Terdiri dari
beberapa rombongan pasukan dan siapa
pemimpin mereka?" bertanya Tunggul Soka.
"Ah, mereka hanya terdiri dari dua orang. Dua
pemuda ingusan" sahut Kebo Penggiring.
Mendengar hal itu Tunggul Soka dan Gajah
Bledeg tertawa gelak-gelak.
"Kalau cuma dua pemudi ingusan biarlah aku
menyediakan dua helai saputangan untuk
menyeka ingus mereka!" kata Gajah Biedag
pula dan kembali pecah suara tawa bergelak
ditempat itu".
Namun diam diam ada kekhawatiran lain
dalam hati Kebo Penggiring. Bukan mustahil
bekas gurunya Dewa Tuak muncul dan ikut
turun tangan.
SI NENEK Juminah yang duduk terkantuk-
kantuk di bawah panggung penggantungan
tersentak kaget dan buka mata cekungnya
lebar-lebar. Saat itu malam sangat gelap dan
udara dingin sekali. Di hadapannya tegak dua
sosok tubuh berpakaian putih-putih.
"Kalian siapa?!" si nenek membentak galak
dan melompat tegak. Wiro Sableng dan
Mahesa Kelud sesaat saling pandang lalu
Wiro menjawab: "Kami dua setan dari neraka.
Siap menjemput korban penggantungan! Tapi
kami belum kenai siapa kau, apa kerjamu
malam buta di tempat ini dan apa benar di
sini hendak digantung gadis jelita gembong
pemherontak?!"
Kembali si nenek terkesiap kaget mendengar
ucapan pemuda berambut gondrong yang
mengaku setan dari neraka itu!
Tak kalah gertak si nenek menjawab: "Aku
dukun Juminah! Penjaga tempat
penggantungan Ini!" Si nenek masukkan
sepotong kemenyan ke dalam pedupaan. Bau
kemenyan menyebar tajam. "Gadis
pemberontak itu memang hendak digantung di
sini, besok pagi-pagi! Apa kalian juga bangsa
pemberontak yang minta digantung?!"
"Katakan di mana gadis pemberontak itu
sekarang?!" tanya Wiro.
"Hehl Di Kadipaten tentunya! Kalian
tampaknya tidak bermaksud baik.
Jangan-jangan kalian sengaja mencari
penyakit. Lekas berlalu dari sini"
Mahesa Kelud melirik pada Wiro dan berkata:
"Si keriput ini galak sekali. Biar kuberi
pelajaran …. "
"Jangan. Aku punya rencana lain " kata Wiro.
Lalu cepat dia menyambar pendupaan yang
berisi bara menyala. Di salah satu sudut
kolong panggung dilihatnya kaleng kecil berisi
sisa minyak yang sebelumnya dipakai untuk
menyalakan pendupaan. Minyak itu
diguyurkannya ke lantai panggung lalu pada
tiang-tiang sebelah atas dan bawah. Ketika
bara ditebar di atas lantai yang basah oleh:
minyak, api pun segera berkobar.
"Kalian minta mati!" teriak nenek Juminah.
Tubuhnya yang bongkok melesat ke depan.
Sepuluh jari tangannya yang kotor hitam dan
berkuku panjang menyambar ke dada dan
wajah Wiro Sableng. Tapi gerakannya
mendadak tertahan karena pinggangnya
ditangkap Mahesa Kelud. Pemuda ini siap
pura-pura melemparkannya ke dalam kobaran
api hingga nenak Juminah menjerit ketakutan.
Mahesa Kelud lagi lemparkan perempuan tua
itu ke tanah seraya berkata: "Pergi temui
Adipati Kebo Penggiring! Katakah kami dua
setan dari neraka siap untuk mengambil
nyawanya!"
"Gila! Kalian berdua mesti manusia-manusia
gila!" teriak si nenek.
Wiro tarik kain panjang yang dikenakan si
nenek hingga melorot sampai ke pinggul!
"Hai! Kau hendak menelanjangiku! Gilai
Benar-benar gila" teriak si nenek seraya cepat
menarik lepas kainnya dari pegangan Wiro
lalu tanpa tunggu lebih lama lari lintang
pukang dari tempat itu. Ternyata meskipun
sudah tua dan bertubuh bungkuk larinya
kencang juga.
Ketika Adipati Kebo Penggiring dan yang lain
lainnya menerima laporan si nenek di
Kadipaten, malam sudah menjelang
pertengahannya.
"Mereka sudah muncul " desis Adipati
Lumajang itu dan memandang berkeliling.
"Kita harus bergerak cepat. Menyongsong
mereka ke alun-alun sebelum keduanya
sampai di sini"Jangan kawatir! Kami akan
membereskannya! berkata Ronggo Kemitir
seraya memberi isyarat pada Tambak Ijo dan
Lah Bludak. Sebaliknya dua orang terakhir ini
menoleh ke arah Tunggul Soka dan Gajah
Bledeg. Paham akan maksud pandangan itu
Gajah Bledeg segera membuka mulut.
"Kami berdua tetap tinggal di sini. Menjaga
keselamatan Adipati, mengawasi tawanan.
Sekaligus mengawal dua senjata mustika
yang akan dipersembahkan pada Sri Baginda
di Kotaraja!"
Mendengar kata-kata itu Ronggo Kemitir dan
dua orang lainnya tak bisa berbuat lain.
Ketiganya keluar dari gedung Kadipaten pergi
ke tempat dimana kuda mereka ditambatkan.
"Aku bukan menuduh yang tidak-tidak, tapi
tindak-tanduk dua benggolan Keraton tadi
mendatangkan kecurigaan . . .. " berkata
Ronggo Kemitir, si kakek bermuka cacat pada
Tambak Ijo dan Lah Bludak.
Kedua orang yang diajak bicara mengiyakan
dengan suara perlahan karena takut terdengar
oleh Tunggul Soka dan Gajah Bledeg. Tak
lama setelah ketiga orang itu lenyap dari
kejauhan Gajah Bledeg tegak dari kursi besar
yang didudukinya, sesaat melangkah mundar-
mandir di hadapan Adipati Lumajang,
kemudian terdengar suaranya berkata.
"Rongga Kemitir dan dua kawannya itu pasti
mampu menghadapi dan menghajar dua
pemuda yang datang menyerbu. Jadi tak
perlu aku dan Tunggul Soka berada lebih
lama di sini "
Tentu saja Kebo Penggiring terkejut
mendengar ucapan itu.
"Maksud kangmas?" tanyanya.
"Maksud kami," yang menjawab adalah
Tunggul Soka, "cepat saja kau serahkan dua
senjata mustika itu dan kamr segera kembali
ke Kotaraja . . . . "
"Ah, bukan begitu perjanjian kita semula,"
kata Kebo Penggiring mulai tampak kesal.
"Kangmas berdua datang ke sini memang
untuk menjemput dua senjata sakti itu. Tetapi
sekaligus juga menyelesaikan masalahnya
sampai tuntas.
Maksudku sampai pemuda pemilik dua
senjata mustika itu menemui ajal di depan
mata hidungku. Baru aku bisa tenteram. Kini
yang datang bukan dia seorang, malah
membawa kawan yang tingkat kepandaiannya
ternyata tidak rendah!"
"Kekawatiranmu terlalu dibesar-besarkan
dimas Kebo Penggiring!" kata Gajah Bledeg
pula."Terus terang kami tak punya waktu
berlama-lama di Kadipaten ini"
"Jadi kangmas tidak menginginkan
kesempatan bersenang-senang dengan gadis
itu sebelum tubuhnya yang bagus digantung
besok pagi …. ?" tanya Kebo Penggiring. Dia
sengaja berkata begitu untuk membujuk.
"Tentu, tentu saja aku sangat mengingininya
dimas. Tidak banyak kulihat gadis secantik
dan semulus tawanan itu. Hanya saja tugas
Kerajaan saat ini lebih penting dari tubuh
molek itu. Nah lekas kau ambillah kedua
senjata itu.. "
Kebo Penggiring mengomel habis-habisan
dalam hati. Namun dia tak bisa berbuat lain.
Seraya berdiri dari kursinya dia berkata: "Jika
begitu keinginan kangmas berdua baiklah.
Silahkan menunggu sebentar."
Adipati itu melangkah masuk ke ruangan
dalam. Begitu masuk ke dalam secepat kilat
dia menghilang ke sebuah ruangan rahasia di
mana Pedang Sakti dan Keris Ular Mas milik
Mahesa Kelud yang diterimanya dari Tambak
Ijo disembunyikannya. Kedua senjata ini
disisipkannya ke pinggang lalu bergegas
meninggalkan ruangan rahasia itu. Dari sini
Kebo Penggiring memasuki sebuah lorong
kecil menurun dan sampai di sebuah kamar
terbuat dari batu. Di sinilah Anggini disekap.
Sang dara masih berada dalam keadaan
tertotok duduk tak bergerak di sudut kamar.
Dia sudah pasrah menerima nasib. Dinodai
dan digantung. Namun gadis ini jadi heran
ketika tiba-tiba saja Kebo Penggiring
memanggul tubuhnya dan membawanya
keluar dari kamar tahanan lewat sebuah jalan
rahasia yang membawanya ke bagian
belakang halaman gedung Kadipaten yang
gelap.
"Kau mau bawa aku ke mana?!" tanya
Anggini.
"Jangan banyak tanya!" desis Kebo Penggiring
lalu cepat dia totok urat besar di leher si
gadis hingga Anggini tak mampu lagi
keluarkan suara. Di bagian belakang gedung
Kadipaten tertambat dua ekor kuda besar.
Kedua binatang itu tampaknya memang
sengaja disiapkan di situ. Rupanya Kebo
Penggiring cukup cerdik dan panjang akal
memikirkan segala kemungkinan yang terjadi.
Cepat dia melompat ke atas punggung salah
seekor kuda lalu membedal binatang itu
dalam kegelapan malam sambil memangku
tubuh Anggini di sebelah depan.
Meskipun Kebo Penggiring berhasil
mengelabui Tunggul Soka dan Gajah Bledeg,
tapi tanpa disadarinya dua sosok tubuh
berpakaian putih mengejarnya dalam
kegelapan. Di pinggiran sebuah hutan kecil di
sebelah tenggara Lumajang, dua pengejar ini
berhasil menyusulnya lewat jalan pintas.
Salah seorang dari mereka menarik kaki
belakang kuda yang ditungganginya Hingga
tubuhnya mencelat jatuh bersama-sama tubuh
Anggini.
Sekali lagi Kebo Penggiring menunjukkan
kecerdikannya. Begitu jatuh secepat kilat dia
mendekap tubuh gadis itu. Memandang ke
depan dia melihat dua pemuda itu siap untuk
menyerangnya. Kebo Penggiring cabut Keris
Ular Emas dari sarungnya. Sinar kuning
membersit terang di tempat gelap itu.
Ujung keris ditempelkannya ke leher Anggini
lalu dia membentak lemparkan ancaman.
"Tetap di tempat kalian masing-masing!
Sedikit saja kalian bergerak keris ini akan
menamatkan riwayat gadis ini!"
Wiro dan Mahesa Kelud tercekat. Sesaat tak
tahu mau berbuat apa selain tegak tak
bergerak.
Perlahan-lahan dia kemudian memanggul
tubuh Anggini lalu menaikkan tubuh gadis itu
ke atas kuda kembali. Ujung keris kini
ditujukannya ke pinggang si gadis. Melihat ini
Wiro segera bergerak untuk menghantam tapi
Mahesa Kelud cepat mencegah dengan
berteriak: "Jangan! Keris itu beracun!"
Wiro terpaksa batalkan niatnya. Jika senjata
itu beracun, meskipun hanya tergores berarti
nyawa Anggini tak mungkin diselamatkan.
"Kau! Mendekat kemari!" tiba-tiba Kebo
Penggiring membentak dari atas kuda.
Mahesa Kelud yang dibentak mau tak mau —
demi keselamatan gadis yang berada dibawah
ancaman Kebo Penggiring—terpaksa
melangkah maju. Begitu mendekat Adipati itu
hantamkan tendangan kaki kanan ke dada
sipemuda.
Tubuh Mahesa Kelud melintir lalu terlempar
roboh ke tanah, tergelimpang tak berkutik
lagi.
"Kini giliranmu gondrong! Kemari!" bentak
Kebo Penggiring. Tapi ketika dia berpaling ke
kiri, dia dapatkan sosok tubuh Wiro Sableng
tak ada lagi ditempat itu. "Aku tahu kau
sembunyi di sekitar sini, pemuda keparat! Jika
kau berani membokong silahkan! Kau bisa
membunuhku, tapi gadis ini tak akan selamat
dari kematian!" habis berkata begitu Kebo
Penggiring segera menggebrak kuda
tunggangannya. Sebentar saja dia sudah
lenyap dalam kegelapan.
Anggini yang berada di sebelah depan
berusaha memutar matanya, memandang
berkeliling. Tapi malam sangat gelap dan
kuda itu sudah menghambur jauh.
Benarkah pemuda itu yang dilihatnya
tadi?"Pendekar 212 Wiro Sableng?
"Mungkinkah guru meminta bantuannya . .
. ?"berbisik hati sang dara. Lalu dia terkenang
pada saat pertemuan pertama kali beberapa
tahun lalu dengan Wiro. Hanya saja dia tak
bisa mengenang lebih lama karena keadaan
dirinya saat itu masih berada dalam ancaman
bahaya besar.
Wiro Sableng melompat keluar dari tempat
persembunyiannya di balik pohon besar.
Hatinya jengkel sekali karena tak punya
kesempatan untuk menghantam Kebo
Penggiring yang ternyata berlaku sangat
cerdik itu. Dia hanya sempat sekilas
melihatwajah Anggini. Tak cukup jelas untuk
melihat kecantikannya sebelum gadis itu
menghilang dilarikan sang Adipati.
Cepat Wiro dekati tubuh Mahesa Kelud yang
terhampar di tanah. Ketika dia hendak
menyentuh punggung pemuda itu, tubuh
Mahesa Kelud mendadak membalik dengan
tangan kanan siap menghantamkan
pukulan"karang sewu"!
"Sialan! Kukira kau pingsan benaran!" ujar
Wiro.
"Untung aku membentengi badan dengan aji
karang sewu. Kalau tidak tendangan tadi
sudah menghancurkan jantungku!" kata
Mahesa Kelud seraya berdiri. "Aku yakin
keparat itu terluka kaki kanannya. Aku
mendengar suara keluhan pendek dari
mulutnya. Mana dia .. ?!"
"Kaburi"
"Harus kita kejar sebelum lari jauh!" kata
Mahesa pula. Kedua pendekar itu segera
berkelebat ke arah lenyapnya Kebo
Penggiring. Setelah tari jauh sepeminuman teh
Wiro berbisik pada Mahesa Kelud.
"Ada serombongan kunyuk yang mengejar kita
di sebelah belakang "
"Betul," sahut Mahesa Kelud. "Tapi jelas
mereka bukan hendak mengejar.
Mereka menguntit. Semuanya berkuda. Tiga
orang pada jalur hutan sebelah kanan, dua
lagi di sisi sebelah kiri"Bagaimana
pendapatmu? Apakah kita perlu menghantam
mereka?!" tanya Mahesa. "
"Sebaiknya jangan. Jika timbul bentrokan,
Kebo Penggiring sudah kabur makin jauh.Kau
tak akan sempat menyelamatkan si gadis dan
aku tak akan dapat mengambil dua senjata
mustika itu!"
"Kau betul!" ujar Wiro. "Mari percepat lari
kita!"
ADIPATI KEBO PENGGIRING tahu batul seluk-
beluk jalan yang ditempuhnya. Karena itulah
meskipun malam gelap dia dapat memacu
kudanya dan meninggalkan siapapun mereka
yang berusaha mengejar. Selewatnya sebuah
pedataran lalang Kebo Penggiring memasuki
daerah bebukitan kecil dan sampai di sebuah
lembah. Dalam dinginnya malam dan
kegelapan dia dapat melihat rumah bambu
yang menjadi tujuannya, terletak ditepi
sebuah telaga kecil. Hanya saja saat itu sang
Adipati melihat ada satu keanehan.
Di atas atap bangunan bambu tampak sebuah
lampu minyak diberi berpagar kertas tipis
warna merah hingga angin tak dapat
memadamkan nyala api lampu. Sebuah
lampion!
"Apa maksud Eyang memasang lampion di
atas atap " membatin Kebo Penggiring.
Kudanya menderap kencang menuju rumah
kecil itu dan dalam beberapa saat saja sudah
sampai di sana. Pintu depan rumah tampak
terbuka.
"Eyang, saya datang ….." kata Kebo
Penggiring dengan suara dikeraskan.
Dari dalam bangunan yang gelap terdengar
suara batuk-batuk lalu orang menjawab:
"Bagus …. Masuklah. Malam buta begini kau
muncul tentu ada sesuatu yang penting!"
Kabo Penggiring turun dari kudanya iaiu
menggendong Anggini dan masuk ke dalam
bangunan yang gelap. Meskipun gelap namun
dia dapat melihat sosok tubuh sang guru
yang duduk di sudut kanan, berjubah hitam,
lengkap dengan topi kain hitam berbentuk
kepala poncong.
"Eyang Poncong Item " sang guru ternyata
bernama aneh, "apakah kau ada baik-baik
saja?"
"Tentu . . . tentu"
"Suara Eyang terdengar lain dan sering-sering
batuk …. "
"Ya . . Tua bangka sepertiku ini memang
mudah masuk angin. Sudah tiga hari aku
batuk. Itu sebabnya suaraku lain "
Kebo Penggiring coba menembus kegelapan
malam dalam bangunan bambu yang gelap
pekat itu. Dia jelas merasakan satu kelainan.
Tapi tidak dapat memastikan opa yang terasa
lain itu. Otaknya bekerja keras tapidia tak
dapat memecahkan teka-teki yang ada dalam
dirinya sendiri itu.
"Sosok tubuh siap yang kau gotong masuk itu,
muridku?"' Eyang Poncong Item bertanya dari
sudut gelap.
"Adik seperguruanku Eyang
"Hemm . . . bukankah dia yang kabarnya
menjadi gembong pemberontak terhadap
Kerajaan? Kau menangkapnya atau
bagaimana? Apakah dia sakit?"
Kebo Penggiring tak segera menjawab.
Seingatnya dia tak pernah menceritakan pada
gurunya mengenai Anggini. Rasa tak enak kini
menyamaki hati Kebo Penggiring.
Sang guru agaknya mencium keheranan
muridnya maka dia cepat batukbatuk dan
berkata: "Kau tak usah heran, muridku. Walau
kau tak pernah bercerita tapi aku punya seribu
telinga untuk menyirap kabar apa yang terjadi
diluaran. Kau datang di malam buta seperti
terburu-buru. Apakah ada setan yang
mengejarmu?"
"Memang ada yang mengejar saya Eyang.
Tapi mereka tertinggal jauh dan tak mungkin
dapat mengejar sampai di sini. Hanya saja "
"Hanya saja apa Kebo Penggiring . …"
"Hemmm " Tiba-tiba sang Adipati ingat.
Eyang Poncong Item tak suka bergelap-gelap
dalam rumah bambunya itu. Lalu lampu
minyak di atas atap!
Astaga. "Lampion di atas atap Eyang!" suara
Kebo Penggiring menyentak keras,"Ada apa
dengan lampion itu?"
"Lampu itu bisa menjadi petunjuk para
pengejar! Saya harus mematikannya!"
Eyang Poncong Item tertawa.
"Kau memiliki rasa takut tak beralasan . .. "
"Eyang, suara tawamu aneh!" tukas Kebo
Peng-giring. Lalu dia bergerak mencari-cari
sesuatu.
"Apa yang kau cari?"
"Lampu. Saya tahu ada lampu dalam rumah
ini. Dan Eyang biasa menghidupkannya "
"Lupakan lampu itu Kebo Penggiring.
Mendekatlah padaku. Ada sesuatu yang akan
kukatakan padamu"Katakan saja Eyang,"
jawab Adipati Lumajang itu tanpa beringsut
dari duduknya.
"Soal kitab yang kau dapat dari gurumu Desa
Tuak itu … . Yang tempo hari kau berikan
padaku "
"Ada apa dengan kitab itu Eyang?"
"Kitab itu lenyap dicuri orang!"
"Astaga!" Kebo Penggiring terkejut.
"Bagaimana mungkin ada yang sanggup
mencurinya dari tangan Eyang!" ujar sang
Adipati hampir tak percaya.
"Itulah sebabnya kau kusuruh mendekat. Ada
sesuatu yang hendak kuperlihatkan padamu!"
"Mau tak mau Kebo Penggiring bergerak juga
mendekati sang guru. Ketika jarak mereka
tinggal terpisah dua langkah, tiba-tiba Eyang
Pencong Item gerakkan tangan kanannya.
Wutt
Satu jotosan menghantam dada Kebo
Penggiring. Adipati ini terjengkang sambil
menjerit. Menjerit karena sakit dan juga kaget
luar biasa. Di lain kejap dia sudah berdiri
sambil memandang tak berkedip.
"Keparat! Kau bukan Eyang Poncong Item!"
bentak Kebo Penggiring kemudian.
Orang di depannya, yang juga telah berdiri
keluarkan suara tertawa mengekeh.
"Murid pengkhianat! Kau licik tapi ternyata
tak cukup cerdik!" Sang" Eyang"
usap mukanya dan lemparkan topi hitam
berbentuk poncong di kepalanya lalu
tanggalkan jubah hitam yang melekat di
tubuhnya.
"Dewa Tuak!" saru Kebo Penggiring k«tika
akhirnya dia mengenali dalam gelap siapa
adanya orang tua di depannya. Bukan
gurunya yang bernama Eyang Poncong Item
itu, tetapi guru pertamanya yang telah
dikhianatinya yakni Dewa Tuak. Lalu di mana
Eyang Poncong Item? Apa yang sebenarnya
telah terjadi dalam rumah bambu ini?
Selagi Kebon Penggiring terkesima begitu
rupa Dewa Tuak umbar suara tawa lalu
menjangkau sebuah benda bulat panjang dari
balik bahunya.
Gluk … gluk . .. gluk
Byuuur……!
Orang tua itu menyemburkan sesuatu dari
mulutnya. Di dalam gelap menebar harumnya
bau tuak. Kebo Penggiring berseru tegang,
jatuhkan diri ke lantai bambu lalu melompat
ke kiri menerobos dinding.
"Murid murtad! Kau mau lari ke mana … ?"
bentak Dewa Tuak. Dia melompat ke pintu.
Sampai di luar kembali mengajar dengan
semburan tuak.
Kebo Penggiring tahu betul Kedahsyatan
semburan tuak itu. Setelah menghindar
selamatkan diri dia lepaskan pukulan tangan
kosong yang mengandung tenaga dalam
tinggi dua kali berturut-turut. Kekuatan
pukulan itu membuat Dewa Tuak terkejut.
Buru-buru si kakek melompat ke atas dan dari
atas semburkan lagi tuaknya. Kali ini dengan
kekuatan tenaga dalam penuh. Melihat
datangnya semburan tuak disertai deru
laksana badai mengamuk. Kebo Penggiring
segera maklum kalau bekas gurunya itu tidak
main-main dan menginginkan kematiannyal
Adipati ini gerakkan tangan kanannya ke
pinggang. Di lain kejap sinar merah berkiblat.
Terdengar suara berdering. Semburan tuak
laksana menghantam dinding bambu lalu
luruh ke tanah. Belum habis kaget Dewa Tuak
tiba-tiba sinar merah menyambar ke arah
dadanya. Kakek ini cepat melompat mundur.
Tak urung janggutnya kena dipapas sebagian.
Pucatlah wajah Dewa Tuak sementara Kebo
Penggiring tertawa tergelak sambil
melintangkan Pedang Sakti yang
memancarkan sinar merah di depan dada.
Sepasang mata Dowa Tuak tak berkesip
memandangi senjata itu"Dari mana kau
dapatkan pedang mustika itu?"Si kakek
bertanya.
"Kau tanyakan saja nanti pada iblis di liang
kubur! ' jawab Kebo Penggiring seenaknya.
Lalu dia menyerbu. Serangan-serangannya
ganas sekali Meskipun dia tidak menguasai
jurus-jurus ilmu pedang Dewa yang menjadi
dasar utama pasangan senjata mustika itu,
namun karena senjata tersebut memang
merupakan senjata sakti luar biasa, dimainkan
dalam jurus apa pun tetap merupakan senjata
ampuh dan berbahaya. Dalam waktu singkat
Dewa Tuak telah terkurung rapat. Hanya
kegesitannya saja yang membuatnya sanggup
bertahan sampai lebih dari sepuluh jurus.
Memasuki jurus ke empat belas, satu bacokan
deras yang sangat sulit dielakkannya,
memaksa Dewa Tuak pergunakan bumbung
bambu minuman kesayangannya untuk
menjadi perisai diri. Tak ampun tabung itu
terkutung dua namun si kakek sendiri berhasil
selamakan tubuhnya. Sesaat Dewa Tuak tegak
tertegun sambil urut-urut dadanya. Agaknya
sebelumnya orang tua ini telah mengalami
cidera di bagian dada itu.
"Tua bangka buruk! Sebelum tubuhmu
kucincang lekas katakan di mana guruku
Eyang Poncong Item!" Kebo Penggiring
membentak.
Dewa Tuak tertawa mengekeh.
"Dia sedang berenang betsenang-senang di
telaga!" jawabnya.
"Maksudmu?!" bentak Kebo Penggiring.
Sekilas dia melirik ke arah telaga. Dia tak
dapat melihat apa-apa. Meskipun malam
mulai merayap menuju dinihari namun
keadaan masih pekat gelap.
"Aku meminta baik-baik kitab curian yang kau
berikan padanya. Tapi dia lebih suka memilih
.berenang di telaga. Hanya sayang dia
berenang tidak membawa nafas lagi…. Ha ..
.ha.. .hal"
"Jadi?!"
"Gurumu sudah lama jadi bangkai.
Dada Kebo Penggiring seperti mau meledak.
Pedang sakti disabatkannya ke depan. Sinar
merah berkiblat. Dia melompat untuk
menyerbu kakek itu kembali. Namun
gerakannya tertahan ketika dia melihat ada
beberapa sosok tubuh berdiri dalam
kegelapan. Kebo Penggiring segera mengenali
orang-orang itu. Mereka adalah Ronggo
Kemitir, Tambak Ijo, Lah Bludak, dan Tunggul
Soka.
"Ah, urusan ini bisa jadi kapiran!" keluh Kebo
Penggiring dalam hati. Dia mencari-cari
tapi.tak melihat Gajah Bledeg. Ketika dia
berpaling ke arah bangunan bambu dilihatnya
orang itu tegak di sana dan memanggul tubuh
Anggini di bahu kirinya!
"Kangmas Gajah Bledeg! Apa yang hendak
kau lakukan dengan gadis itu?!"
teriak Kebo Penggiring bertanya.
"Kebo Penggiring," sahut Gajah Bledeg.
"Sebaiknya kau selesaikan saja urusanmu
dengan gurumu. Soal gadis ini tak usah
dipikirkan!"
"Kalau kau berani melakukan hal yang tidak-
tidak terhadapnya akan kubunuh kau!"
mengancam Kebo Penggiring.
Gajah Bledeg tertawa bergelak.
"Sebelumnya kau hendak mencelakai gadis ini!
Hendak menodai dan menggantungnya!
"Sekarang mengapa kau ingin membelanya?!"
tanya Gajah Bledeg jelas dengan maksud
mengejek.
Kebo Penggiring geram bukan main. Sesaat
dia memutar otak. Lalu berkata dengan suara
bergetar:
"Kangmas Gajah Bledeg, jika kau tidak
melepaskan gadis itu, terpaksa aku
menyerangmu!"
Kembali benggolan kerajaan itu tertawa dan
menjawab menantang: "Siapa takut padamu
Kebo Penggiring! Kelak aku akan membuat
laporan ke Istana Bahwa kau berani
mengangkat senjata terhadap orang Keraton.
Bahwa kau ternyata juga seorang gembong
pemberontak!"
Mendengar kata-kata Gajah Bledag itu. Kebo
Penggiring tak dapat lagi menahan
amarahnya. Dia segera menyerbu. Tapi
setengah jalan Dewa Tuak menghadangnya
sambil tertawa ha-ha hi-hi meskipun sambil
mengurut dadanya yang sakit.
"Murid khianat! Pelajaran yang kuterima
darimu belum selesai. Mari kita main-main
lagi beberapa jurus sampai ada yang mampus
di antara kita!"
Kebo Penggiring merasa heran melihat
tindakan bekas gurunya ini.
Seharusnya Dewa Tuak berusaha
menyelamatkan muridnya Anggini. Tapi malah
justru menghadangnya.
"Tua bangka geblek!" makinya. "Rupanya kau
memang sudah bosan hidup"
Kebo Penggiring melompat menerjang. Dewa
Tuak tegak tenang-tenang saja. Sesaat
kemudian terdengar suaranya berseru.
"Pendekar 2121 Sudah saatnya kau keluar
dari persembunyianmu. Kau datang ke mari
bukan untuk menonton tapi menolongku!
Lekas selesaikan urusan dengan manusia jelek
bernama Gajah Bledeg itu "
WIRO SABLENG yang memang sejak tadi
mendekam di balik semak belukar bersama
Mahesa Kelud menunggu kesempatan baik,
mendengar teriakan Dewa Tuak itu segera
melesat keluar, ke arah Gajah Bledeg.
Melihat hal ini Tunggul Soka tak tinggal
diam. Dia memberi isyarat pada Ronggo
Kemitir agar membantu Gajah Bledeg lalu
pada Tambak Ijo dan Lah Bludak dia
membisikkan agar segera mengikutinya
menyerbu Kebo Penggiring.
Pedang merah di tangan Adipati itu dan juga
sebilah keris mustika yang pasti terselip di
pinggangnya harus segera dirampas.
"Hemm … Jadi ini kacung suruhan Dewa Tuak
yang diutus untuk membebaskan gadis molek
ini? Apa betul namamu Sableng, cung?"
Kata-kata itu diucapkan Gajah Bledeg pada
Wiro Sableng ketika pendekar ini melangkah
mendekatinya. Diejek demikian rupa Wiro
Sableng keluarkan siulan tinggi.
"Tuan besar bernama Gajah Bledeg, turut
penglihatanku kau tak pantas memakai nama
Gajah. Tampangmu jauh lebih jelek dari
gajah!"
Marahlah Gajah Bledeg mendengar ejekan itu.
Masih memanggul Anggini di bahu kirinya dia
hantamkan satu pukulan ke kepala Wiro
Sableng. Murid Sinto Gandeng rundukkan
kepala sedikit sambil melintangkan lengan
kiri menangkis.
Dua lengan beradu keras. Terkejutlah tokoh
dari Istana itu. Lengannya seperti
mengemplang tiang besi. Menyadari kalau si
pemuda memiliki kepandaian tinggi, Gajah
Bledeg cepat turunkan tubuh Anggini dan
menggolekkan gadis ini di langkan rumah
bambu. Lalu secepat kilat dia menyerbu Wiro
Sableng. Kedua telapak tangannya
terkembang. Serangan-serangannya kali ini
bukan berupa jotosan, tetapi seperti orang
menampar. Dan setiap tamparan yang
dilepaskannya mengeluarkan suara dahsyat
seperti geledek atau petir menyambar.
Membuat semua orang tergetar hatinya dan
sakit telinganya. Tidak percuma dia mendapat
nama Bledeg yang berarti geledek itu!
Wiro Sableng sendiri kaget bukan main.
Seumur hidup baru sekali ini dia menghadapi
lawan yang memiliki ilmu pukulan seperti itu.
Selain menimbulkan suara menggetarkan,
kedua telapak tangan Gajah Bledeg
dirasakannya mengeluarkan hawa panas.
Braak!
Salah satu tamparan Gajah Bledeg nyasar
menghantam sebatang pohon dadap. Bekas
tamparan itu langsung berwarna hitam.
Sesaat kemudian terdengar suara
berkereketan. Pohon besar itu patah, lalu
tumbang perlahanlahan.
Kuduk Pendekar 212 jadi mengkirik dingin.
Kalau mau selamat tak ada jalan lain. Dia
juga harus keluarkan ilmu simpanannya.
Apalagi saat itu dilihatnya si muka cacat
Ronggo Kemitir sudah berada di samping
Gajah Bledeg, siap mengeroyoknya. Ketika
kedua orang itu menyerbunya, murid Sinto
Gandeng ini sambut dengan pukulan bentang
topan melanda samudera.
Kalau Ronggo Kemitir keluarkan pekik kaget
dan dapatkan tubuhnya terpental jauh lalu
jatuh tergelimpang di tanah, maka Gajah
Bledeg keluarkan seruan tertahan. Dia
kerahkan tenaga dalam, berusaha melawan
tindihan pukulan sakti lawan yang laksana
dinding karang menghimpitnya. Tubuhnya
mengapung namun hanya sesaat. Ketika Wiro
dorongkan telapak tangan kanannya tak
ampun tokoh silat Keraton ini terhempas ke
belakang, berguling di tanah. Meski kemudian
dia cepat berdiri namun dadanya terasa sakit
dan kedua lututnya bergetar. Wiro Sableng
sendiri kucurkan keringat di keningnya tanda
tenaga dalam perlawanan Gajah Bledeg
sungguh luar biasa.
Di lain bagian Mahesa Kelud telah pula
melompat keluar dari balik semak belukar di
mana sebelumnya dia bersembunyi bersama
Wiro Sableng. Pendekar ini merasa kawatir
melihat begitu banyak orang yang menyerang
Kebo Penggiring. Dewa Tuak menyerang
Adipati itu jelas untuk menghukum muridnya
yang khianat. Sebaliknya kesempatan ini
dapat dipergunakan oleh Tunggul Soka untuk
merampas senjata-senjata mustika miliknya
yang dirampok dan kini berada di tangan
Kebo Penggiring. Dalam pada itu Mahesa
melihat pula dua lelaki tinggi besar
berpakaian bagus yakni Tambak' Ijo dan Lah
Bludak, yang merupakan dua dari lima orang
yang telah merampoknya di pedataran
Tengger. Menimbang sampai ke situ maka
Mahesa Kelud segera berteriak.
"Dewa Tuakl Kau terluka di dalam! Mengapa
tidak selamatkan saja murid perempuanmu
itu? Biarkan aku menggasak segerombolan
badut ini!"
Dewa Tuak hendak memaki marah mendengar
kata-kata Mahesa Kelud itu.
Namun disadarinya bahwa saat itu dia
memang dalam keadaan terluka di dalam
yakni akibat pukulan Eyang Poncong Item,
guru Kebo Penggiring. Dalam perkelahian
yang terjadi pada sore hari yang sama Dewa
Tuak berhasil menamatkan riwayat lawannya
dan membuang mayat Poncong Item ke dalam
telaga. Ketika mayat itu digeledah dia telah
menemukan kitab miliknya yang dicuri
muridnya itu. Kemungkinan besar Poncong
Item yang telah menghasut Kebo Penggiring
untuk mencuri kitab tersebut kemudian
menyerahkannya padanya. Ternyata Poncong
Item seorang kakek sakti mandraguna yang
tak mudah dikalahkan. Setelah berkelahi
puluhan jurus baru Dewa Tuak berhasil
mengalahkannya. Itupun dia harus menerima
satu pukulan telak di dadanya.
Kini menyadari kebenaran maksud baik
ucapan Mahesa Kelud, Dewa Tuak cepat
menghampiri tubuh Anggini yang terbaring di
langkan rumah bambu.
Sang murid ternyata tak kurang suatu apa
selain di totok pada beberapa bagian urat
pentingnya hingga tak bisa bersuara, tak
dapat menggerakkan kedua tangan dan tak
bisa mempergunakan kedua kakinya. Dengan
cekatan Dewa
Tuak melepaskan totokan itu satu persatu.
Begitu dirinya lepas dari totokan yang
melumpuhkan Anggini memeluk si kakek
seraya mengucapkan terima kasih. Lalu tanpa
dapat dicegah gadis ini menyerbu ke tengah
kalangan pertempuran. Di tangannya terdapat
sehelai selendang berwarna ungu yang pada
ujungnya tertera guratan hitam angka 212.
Selendang ini merupakan senjata yang
diandalkan sang dara. Bagaimana angka 212
tergurat di ujung selendang itu ada kisahnya
tersendiri. (Baca serial Wiro Sableng Maut Bernyanyi Di Pajajaran).
Ketambahan lagi seorang lawan yakni Anggini, membuat Kebo Penggiring semakin terjepit. Mahesa Kelud berkelahi sambil keluarkan jurus-jurus Ilmu Pedang Dewa Delapan Penjuru Angin. Sepasang tangan dan
dua kakinya siap dengan aji karang sewu yang dapat menghancurkan apa saja bila
kena dihantamnya. Selendang ungu di tangan
Anggini menderu kian ke mari laksana seekor
ulat, membelit dan mematuk tiada henti.
Tunggul Soka serta Tambak Ijo dan Lah
Bludak meskipun mengandalkan tangan
kosong, ketiganya melancarkan serangan-
serangan berbahaya. Terutama hantaman
tangan dan kaki Tunggul Soka, sungguh
ganas dan mengandung tenaga dalam sangat
tinggi.
Namun pedang merah sakti di tangan Kebo
Penggiring merupakan senjata ampuh luar
biasa yang dapat membendung semua
serangan yang datang.
Karenanya meskipun telah terkurung rapat
tetap saja para pengeroyok tidak mampu
menjatuhkan Adipati itu, apalagi merampas
pedang. Satu kali Tunggul Soka berlaku
nekad. Setelah menggebrak dengan pukulan
dan tendangan berantai dia menyusup dari
bawah, bergerak cepat. Satu tangan
menghantam pergalangan Kebo Penggiring,
tangan lainnya membetot hulu pedang. Tapi
hampir saja pentolan istana ini celaka. Tidak
terduga pedang merah itu menyambar ganas
kebawah.
Bret!
Bahu pakaian Tunggul Soka robek besar
dimakan ujung pedang. Secuil dagingnya
terkelupas. Darah mengucur. Orang ini cepat
melompat mundur.
Wajahnya tampak pucat. Sebagai tokoh silat
istana Tunggul Soka memiliki kepandaian
silat dan tingkat tenaga dalam yang tinggi.
Dibandingkan dengan dirinya maka
kepandaian Kebo Penggiring masih berada di
bawah. Bagaimana Adipati yang dikeroyok
begitu banyak lawan masih mampu bertahan
dia membuat kejutan.
Tak ada alasan lain kecuali pedang merah di
tangan kanannya benar-benar senjata luar
biasa. Maka semakin berkobarlah hasrat
Tunggul Soka untuk memiliki senjata tersebut.
Tunggul Soka usap luka di bahunya. Darah
berhenti mengucur. Ketika dia menyerbu
kembali dari samping kiri dilihatnya sesosok
tubuh melesat dari kegelapan, langsung
melabrak kalangan pertempuran. Tunggul
Soka tidak kenali siapa adanya orang ini.
Sebaliknya begitu Kebo Penggiring melihat
wajah penyerang baru itu, hatinya mau tak
mau jadi bergetar. Orang ini bukan lain
pemuda yang telah ditendangnya dan
disangkanya telah menemui ajal, paling tidak
terluka parah. Kenyataannya dia kini malah
muncul ikut menyerbu, padahal rasa sakit
akibat menendang, masih terasa di kaki
kanannya.
Lain pula halnya dengan Tambak Ijo dan Lah
Bludak, yang sebelumnya bersama tiga
kawannya telah menggagahi Mahesa Kelud di
pedataran pasir Tengger, kini mereka berkelahi
dengan perasaan was-was tidak enak. Cepat
atau lambat pemuda itu pasti akan
membalaskan dendamnya. Karena mereka
berlima sebenarnya yang menjadi pangkal
sebab semua kejadian ini.
Selintas pikiran licik muncul di benak Tambak
Ijo. Maka orang tinggi kekar ini pun berteriak:
"Kangmas Tunggul Soka, Adipati Kebo
Penggiring, Lah Bludak I Mari lupakan dulu
persoalan di antara kita! Kita harus
menghajar lebih dulu dua muda mudi sesat
ini!
"Kau betul dimas Tambak! Mari berebut
pahala memusnahkan anjing-anjing
pemberontak!" Berteriak Tunggul Soka.
"Keparat!" maki Mahesa Kelud ketika dia
menyadari bahwa yang dimaksud Tunggul
Soka dengan anjing-anjing pemberontak
bukan lain adalah dirinya sendiri dan Anggini
murid Dewa Tuak. Maka Mahesa Kelud pun
mendekati si gadis dan berbisik: "Saudari kau
hati-hatilah. Kita bakal dikeroyok. Berkelahi
saling punggung donganku!"
Anggini yang juga mengerti kalau keadaan
kini berubah, cepat melakukan apa yang
dikatakan Mahesa lalu putar selendang
ungunya lebih sehat.
Bagi Mhesa Kelud yang paling penting adalah
memperhatikan tindak-tanduk gerakan Kebo
Penggiring. Adipati ini merupakan musuh
paling berbahaya di antara empat pengeroyok
karena pedang sakti berada di tangannya.
Sebaliknya dua titik lemah di pibak lawan
adalah Tambak Ijo dan Lah Bludak. Maka
kembali dia berbisik pada Anggini.
"Hati-hati dengan pedang merah. Arahkan
seranganmu lebih banyak pada dua lawan
berpakaian bagus!"
"Aku mngerti!" sahut sang dara. Kekuatan
tenaga dalamnya kini dibagi dua.
Pertama disalurkan keselendang ungu yang
jadi senjatanya. Sebagian lagi ke lengan kiri.
Pukulan dan tendangan berkecamuk silih
berganti. Sinar ungu selendang Anggini
menderu berkelebat di udara. Di antara semua
itu pedang merah mengiblatkan sinar dan
suara mendengung menggidikkan.
Mahesa Kelud kertakkan rahang. Setelah
bertahan habis-habisan dengan jurus-jurus
ilmu pedang dewa pendekar ini akhirnya
merasakan bahwa kedudukannya jurus demi
jurus semakin tertekan. Maka diapun mulai
siapkan pukulan sakti mandraguna yakni
pukulan ilmu atau inti api. Namun pemuda ini
serta merta menyadari dalam kecamuk
perkelahian yang menggila seperti itu tak
mungkin baginya mengeluarkan ilmu
kesaktian itu. Untuk melakukan pukulan inti
api dia harus memejamkan mata membaca
mantera. Jika itu dilakukan sama saja dengan
membiarkan lawan membantai tubuhnyal
Untuk sementara dia terpaksa menjaga diri
dengan aji karang sewu sambil menunggu
kesempatan untuk mengeluarkan senjata
rahasia yakni pasir terbang berwarna merahi
Kita ikuti kembali perkelahian di bagian lain
yakni antara Pendekar 212 Wiro Sableng yang
dikeroyok oleh Gajah Bledeg dan Ronggo
Kemitir.
Setelah mengatur jalan nafas dan darah
masing-masing, Gajah Bledeg serta Ronggo
Kemitir kembali menyerbu murid Sinto
Gendeng dari Gunung Gede itu.
Kalau Gajah Bledeg kini kerahkan hampir
seluruh tenaga dalamnya maka Ronggo
Kemitir tampak membekal sebilah, pedang
berbentuk aneh. Senjata ini berbentuk lurus,
memiliki ketajaman pada kedua sisinya, lalu
ujungnya yang seharusnya lancip ternyata
bercagak dua. Apa pun senjata yang di tangan
Renggo Kemitir Wiro Sableng tidak merasa
takut. Pusat perhatiannya adalah sepasang
tangan Gajah Bledeg yang terus menerus
mengeluarkan suara menggelegar, menebar
hawa panas. Pendekar 212 bentengi diri
dengan beberapa pukulan sakti. Dia berhasil
membuat Ronggo Kemitir menjadi jeri' dari
dipaksa menjaga jarak. Sebaliknya Gajah
Bledeg berlaku lebih cerdik. Setiap selesai
melancarkan satu serangan, tubuhnya
berkelebat cepat berpindah tempat lalu
kembali menyerang dari arah belakang. Dan
ketika lawan membalik untuk balas
menghantam dia sudah bergerak ke jurusan
lain.
Setelah saling hantam selama lebih dari
sepuluh jurus Wiro mengambil keputusan
Ronggo Kemitir harus dibereskan lebih dulu.
Maka Pendekar 212 lepaskan pukulan sinar
matahari ke arah Gajeh Bledeg. Lawan satu
ini terkejut melihat sambaran sinar putih
perak menyilaukan datang membabatnya
disertai deru dan hawa panas luar biasa.
Ketika dia jungkir balik selamatkan diri, di
lain kejap Wiro sudah melesat ke kiri, kirimkan
pukulan telak ke sisi kanan Ronggo Kemitir
yang saat itu juga ikut terkesiap melihat
kedahsyatan pukulan sinar matahari.
Kraak
Empat tulang iga Ronggo Kemitir patah.
Orang ini menjerit keras. Tubuhnya sebelah
dalam seperti ditusuk empat bilah pisau.
Nafasnya mendadak menyengat. Tubuhnya
terhuyung ke belakang lalu jatuh duduk,
tersandar ke semak belukar dan tak mampu
berdiri lagi.
Wiro Sableng berpaling ke arah Gajah Bledeg.
"Gajah jelek. Sekarang tinggal kau dan aku.
Jika kau ingin kembali hiduphidup ke
Kotaraja, cepat tinggalkan tempat ini. Tapi
kalau kau memilih mampus bersiaplah untuk
menghadap setan akhirat!"
Meskipun hatinya tergetar melihat apa yang di alami Ronggo Kemitir namun ucapan
Pendekar 212 Wiro Sableng itu membakar
amarahnya. Didahului bentakan keras dia
tepukkan kedua telapak tangannya satu sama
lain.
Terdengar suara seperti geledek menggelegar.
Tanah bergetar. Pendengaran sakit seperti
ditusuk. Angin panas menderu menyambar
tubuh Wiro Sableng.
Murid nenek sakti dari gunung Gede ini tak
tinggal diam. Begitu angin pukulan lawan
menyambar ke arahnya, kembali dia lepaskan
pukulan sinar matahari. Sekali ini dengan
pengerahan lebih tiga perempat tenaga
dalam.
Terjadilah hal yang membuat semua orang
yang ada di tempat itu menjadi terkesima
kaget, gempar lalu bergidik ngeri.
Pukulan geledek yang diiepalkan Gajah Bledeg
saling hantam di udara dengan pukulan sinar
matahari. Satu letupan dahsyat menggelegar.
Cabang cabang pohon, ranting-ranting dan
dedaunan rambas hancur berentakan dan
hangus hitam. Di sebelah bawah tanah
terbongkar dan beterbangan. Bangunan
bambu bekas kediaman Poncong Item roboh.
Air telaga bergerlombang. Tak ada satu orang
pun yang sanggup menahan diri dari
kejatuhan, termasuk Wiro sendiri.
Semua orang-orang itu terhuyung lalu jatuh
duduk di tanah seperti dilamun gempa keras.
Ketika mereka memandang ke jurusan Ronggo
Kemitir berada, pentolan Istana itu tampak
terkapar beberapa tombak di kejatuhan.
Pakaiannya tak kelihatan lagi. Tubuhnya
hanya tinggal tulang belulang hangus
menghitami Selagi semua orang terduduk
terkesiap dan berusaha menenangkan kejut
serta kengerian yang menguasai diri masing-
masing. Tunggul Soka pergunakan
kesempatan. Dengan satu gerakan kilat dia
berkelebat kearah Kebo Penggiring.
Sekali sentak saja dia berhasil merampas
Pedang Dewa merah dari tangan Adipati
Lumajang itu.
"Bangsat pencuri!" teriak Kebon Penggiring
marah dan hendak mengejar.
"Jangan tolol!" balas berteriak Tunggul Soka.
"Apa kau tidak melihat kedudukan kita
sekarang terjepit? Kau masih memiliki sebilah
senjata sakti. Keluarkan benda itu lalu mari
kita bergabung menghadapi musuh musuh!"
Sebenarnya Tunggul Soka memang ingin
memiliki senjata itu namun pada kesempatan
yang tepat dengan licik dia dapat menutupi
maksud buruknya itu. Dan Kebo Penggiring
pun termakan pula oleh kata-kata Tunggul
Soka tadi. Dia tampak mengeluarkan Keris
Ular Emas dari balik pinggangnya.
Sinar kekuningan memancar di udara malam
menjelang dinihari yang masih gelap itu.
Mahesa Kelud tersentak kaget. Dewa Tuak
geleng-geleng kepala. Jelas tambah sulit bagi
pihaknya untuk menghadapi empat lawan
yang nekad itu, terutama mereka yang
memegang senjata mustika milik Mahesa
yakni Tunggul Soka dan Kebo Penggiring.
"Anggini, kau mundurlah!" seru Dewa Tuak
yang mengawatirkan keselamatan muridnya.
Dia lalu melompat ke samping Mahesa Kelud.
"Tidak bisa guru!" terdengar sahutan sang
dara.
"Bagaimanapun aku harus menghajar manusia
khianat itu. Mengingat rencana kejinya
terhadapku, aku pantas memecahkan
kepalanya!"
Kebo Penggiring tertawa mengekeh. "Jika kau
memang ingin kutiduri majulah ….!"
"Manusia keji!" pekik Anggini. Selendangnya
dikebutkan. Sinar ungu berkelebat disertai
deru angin deras menyambar kepala sang
Adipati. Yang diserang tusukkan keris emas di
tangan kanannya ke atas.
Bret!
Ujung selendang ungu robek. Anggini kembeli
terpekik. Saat itu Dewa Tuak dan Mahesa
Kelud tak tinggal diam. Keduanya menyerbu.
Di lain pihak Tunggul Soka dan Tambak Ijo
serta Lah Bludak sudah pula bergerak,
menyongsong datangnya serangan.
Di saat perkelahian kembali hendak
berkecamuk itu, tiba terdengar suara
menggaung seperti ada ribuan tawon
menyerbu tempat itu. Bersamaan dengan itu
sinar putih perak tampak berputar di udara
lalu membeset ke arah Kebo Penggiring.
Percaya akan keampuhan Keris Ular Emas di
tangannya sang Adipati tusukkan senjatanya
ke depan. Namun dia salah perhitungan. Sinar
putih perak tadi membabat ke bawah
menghindari bentrokan lalu menelikung ke
pinggang.
Kebo Penggiring terkejut. Cepat melompat
mundur. Tapi terlambat. Dia merasakan
lambungnya dingin. Rasa dingin itu hanya
sekejap, berganti dengan rasa panas. Dia
memandang ke bawah lalu menjerit melihat
darah menyembur disusul usus yang
membusai dari perutnya yang robek besar.
Memandang ke depan dia melihat pemuda
berambut gondrong itu tegak menyeringai
dengan senjata aneh di tangani"Kapak Maut
Naga Geni 212!" seru Tunggul Soka. Kini
setelah dia tahu pasti siapa adanya pemuda
itu nyalinya pun meleleh. Dia sudah
menguasai pedang sakti, mengapa harus
menyulitkan diri meneruskan perkelahian?
Tanpa pikir panjang lagi tokoh silat Istana ini
segera balikkan diri ambil langkah seribu.
Namun sebelum tubuhnya lenyap di kegelapan
Wiro arahkan Kapak Naga Geni 212 ke
arahnya lalu tekan alat rahasia di hulu
senjata yang berbentuk kepala naga.
Terdengar suara berdesir halus ketika selusin
jarum putih melesat dari mulut kepala naga,
menyerang ke arah Tunggul Soka. Mendengar
datangnya senjata rahasia ini Tunggul Soka
cepat putar pedang merah di belakang
punggung. Terdengar suara berdentringan
disertai memerciknya bunga-bunga api.
Selusin jarum patah dan luruh ke tanah. Wiro
memaki panjang pendek.
Dia siap melompat untuk mengejar. Namun di
sebelahnya seseorang telah berkelebat lebih
dulu seraya melepas senjata rahasia pula
berupa pasir berwarna merah. Ratusan pasir
itu menderu dalam kegelapan malam, sulit
dilihat dan
hampir tak mengeluarkan suara.
Tunggul Soka tersentak kaget ketika
punggungnya terasa perih. Sadar kalau ada
senjata rahasia lain menghantam tubuhnya,
tokoh silat Istana ini cepat jatuhkan diri
seraya putar pedang merah di belakang
punggung. Namun terlambat. Puluhan pasir-
pasir merah menembus kulitnya, menyusup ke
dalam daging, larut dalam aliran darah.
Tunggul Soka bergulingan di tanah lalu
mencoba lari. Dia hanya sanggup lari sejauh
tiga tombak lalu tersungkur sambil
mengerang. Sekujur tubuhnya terasa perih
seperti ditusuki ribuan jarum. Rasa nyeri itu
disertai pula oleh hawa panas bukan alang
kepalang. Darah mengucur dari hidung, mata
dan telinganya. Dari mulutnya terdengar suara
seperti mengorok. Dadanya naik ke atas lalu
terhempas ke bawah bersamaan dengan
lepasnya nafasnya.
Mahesa Kelud cepat menyambar Pedang Dewa
yang masih berada dalam panggangan
Tunggul Soka. Kembali ke tempat
pertempuran semula Mahesa dapatkan Kebo
Penggiring sudah menggeletak di tanah. Usus
membusai dan kepala pecah. Selagi sang
Adipati meregang nyawa. Anggini yang tidak
dapat menahan dendam kesumatnya
hantamkan selendang ungunya ke kepala
Adipati itu. Akibatnya sang Adipati yang
nyawanya memang sudah tak tertolong lagi
menemui ajal dengan kepala pecah perut
jebol!
Ketika Mahesa Kelud mengambil Keris Ular
Emas dari tangan mayat Kebo Penggiring dan
menggeledah pakaiannya untuk menemukan
sarung Pedang Dewa serta sarung Keris Ular
Emas, Tambak Ijo dan Lah Bludak yang sudah
lama mencari kesempatan segara menyelusup
di balik pepohonan dalam kegelapan. Namun
keduanya tersentak kaget ketika terdengar
bentakan: "Kalian berdua mau lari ke mana?!"
Dan tahu-tahu Mahesa Kelud sudah
menghadang didepan mereka.
Tambak Ijo jatuhkan diri ke tanah. Lah Bludak
mengikuti apa yang dilakukan kawannya.
Keduanya meratap minta diampuni.
"Setan tak bermalul" bentak Mahesa. "Apa
yang telah kalian lakukan terhadapku cukup
layak membuat aku membunuh kalian detik ini
juga"
"Jangan Raden… ampuni selembar nyawa
kami. Kami hanya orang-orang suruhan
belaka …." ratap Tambak Ijo.
"Begitu…? Baiklah. Nyawamu berdua aku
ampuni. Tapi jangan harap kalian bisa hidup
senang di kemudian hari!" Habis berkata
begitu Mahesa tendang selangkangan kedua
orang itu hingga anggota rahasia masing-
masing hancur. Keduanya terpelanting
pingsan.
Saat itu hari mulai terang-terang tanah. Dewa
Tuak tegak dengan tubuh gontai. Dia
memandang berkeliling.
"Beginilah hidup dan kehidupan…" katanya
perlahan. "Kejahatan, kekejaman, dendam dan
darah selalu muncul setiap saat ada yang
ingin berbuat kebajikan dan kebaikan: Mahesa
Kelud, apakah kau sudah mendapatkan kedua
senjata mustikamu kembali?"
"Sudah kek. Aku sangat berterima kasih.
Kalau tak ada kau dan muridmu serta
kawanku si Sableng itu niscaya aku akan
kehilangan dua senjata itu selama-lamanya
…."
Wiro garuk-garuk kepala. Dewa Tuak batuk-
batuk. Tenggorokannya terasa kering karena
sudah beberapa lama tak meneguk tuak.
"Kalian dua pemuda tentu ingin melanjutkan
perjalanan. Namun aku ada satu pertanyaan
untukmu Pendekar 212 "
"Apakah itu Dewa Tuak?" tanya Wiro Sableng.
Mendadak saja dia jadi gelisah.
"Utusan jodoh tempo hari. Apakah kau sudah
memikirkan …?!"
Para Wiro Sableng berubah. Pendekar ini jadi
salah tingkah. Di samping Dewa Tuak, Anggini
tampak tundukkan wajahnya yang menjadi
sangat merah. Mahesa Kelud tertawa geli dan
kedip-kedipkan matanya pada Wiro.
"Jika kau memang tak berkenan pada
muridku, terpaksa aku mencarikan jodoh yang
lain …." terdengar suara Dewa Tuak.
Wiro Sableng angkat kepalanya, berpaling
pada Mahesa Kelud. Murid Embah Jagatnata
ini mendadak saja jadi pucat mukanya. Kini
Wiro yang tertawa mengekeh.
"Kek, kau benari Sahabatku ini jauh lebih cocok untuk muridmu yang jelita itu!" kata Wiro.
"Hai! Urusan apa ini?!" seru Mahesa Kelud.
Tapi saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng sudah berkelebat lenyap. Ketika Mahesa Kelud hendak ikut-ikutan pergi Dewa Tuak cepat memegang lengannya.
"Soal jodoh kita manusia memang kadang-kadang tak bisa mengaturnya. Tapi apa
salahnya kau kuajak mampir melihat-lihat tempat kediamanku"Maaf kek, aku masih ada keperluan lain…" kata Mahesa Kelud coba menampik tapi matanya melirik memperhatikan Anggini sejenak.
Dewa Tuak tertawa panjang. Tangan kanannya menarik lengan Mahesa Kelud. Tangan kiri memegang lengan Anggini.
"Kek, tunggu…. Aku harus mencari kuda putihku …." ujar Mahesa pula.
"Binatang itu, mengapa harus dikhawatirkan!"
kata Dewa Tuak. Lalu kakek ini keluarkan suitan panjang. Dari balik pepohonan tampak kepala seekor kuda putih. Ternyata binatang
itu memang Panah Putih, kuda milik Mahesa yang pernah dirampas Tambal Ijo dan kawan-kawannya. Ketika ketiga orang itu melangkah
pergi, binatang ini mengikuti dari belakang.
Sementara itu hari semakin terang tanda pagi segera menjelang.
Selesai
Komentar
Posting Komentar