WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya : BASTIAN TITO
EPISODE : IBLIS-IBLIS KOTA HANTU
***********
SANG surya belum lama muncul di ufuk timur. Malam yang hitam menggelap di teluk kini digantikan oleh pagi cerah. Air laut yang tadinya seperti berwarna hitam pekat kini kelihatan lagi aslinya, biru kehijauan dengan pantulan sinar matahari pagi merah kekuningan. Setiap pagi seperti itu biasanya teluk ramal dengan nelayan yang baru pulang melaut.
Perahu berjejer di mana-mana dan para pembeli ikan ramai menawar
ikan yang dibelinya. Namun pagi ini suasana lain sekali. Belasan perahu memang nampak berjejer di tepi pasir, tapi tak seorang nelayanpun yang nampak. Pembeli-pembeli ikan tidak kelihatan.
Teluk itu sepi. Dan ada sesuatu keanehan menggantung di situ.
Seorang kakek-kakek berpakaian compang-camping muncul dari balik bukit kacil di ujung selatan teluk. Dia melangkah tarseok-seok.
Rambutnya telah putih semua, panjang sampai ke punggung, kotor
awut-awutan. Di tangan kirinya ada sebatang tongkat kayu sedang di
tangan kanan dia membawa sebuah batok kelapa.
Mendadak kakek ini hentikan langkahnya dan mendongak ke langit.
"Pagi cerah . . . . " katanya perlahan. "Tapi udara teluk sekali ini
terasa lain."
Orang tua itu memandang ke arah deretan perahu di tepi pantai.
Kemudian dia melangkah lebar-lebar manuju daratan perahu itu dan berhenti tepat di hadapan sesosok tubuh yang tergelimpang di pasir.
Tubuh itu diketuk-ketuknya dengan ujung tongkat. Tak ada gerakan
apaapa.
"Mati!" desis si orang tua. "Oo ladalah Gusti Allah. Pembunuhan
lagi!" Mulut kakek ini tampak komat-kamit beberapa lama. Berpaling ke arah perahu lain di sebelah kanannya kembali dia terkejut. Di situ terkapar pula sesosok tubuh. Segera didatangi dan diperiksanya. Lalu kembali dia mendongak ke langit.
"Oo ladalah! Semurah inikah nyawa manusia? Lebih murah dari
nyawa anjing jalanan …?! Eh… itu! Di sana ada satu lagi!"
Kembali si kakek melangkah lebar-lebar mendatangi sosok tubuh
yang ketiga, tergeletak antara pasir dan air laut.
"Ya Allah! Yang satu ini masih anak-anak! Kasihan . . . Kasihan
sekali! Apa dosanya?!" Si kakek membungkuk dan ketuk-ketukkan
tongkatnya ke sekujur tubuh anak yang berusia sekitar sepuluh tahun
itu. Wajahnya kemudian tampak sedikit cerah.
"Hai! Yang satu ini masih hidup!" Cepat si kakek berjongkok. Tubuh
anak itu ditariknya dari air laut lalu dibaringkannya di atas pasir
yang lebih kering.
"Hemm… ada bekas pukulan di tubuhnya. Ia menderita luka dalam.
Edan! Manusia mana yang tega-teganya memukul demikian kejam?!"
Meskipun tubuhnya sudah reyot, jalanpun tampak susah, namun
disaksikan oleh langit dan laut di pantai itu si kakak perlihatkan satu
kehebatan.
Dengan ujung tongkatnya dia mengait leher pakaian anak itu. Lalu hup! Tubuh si anak tahutahu melayang ke atas dan hup! Tubuh itu dinantinya dengan bahu kirinya. Setelah memandang berkeliling
sebentar, orang tua ini lantas tinggalkan tempat itu.
Dari caranya mengangkat tubuh anak tadi, jelas kakek ini memiliki
kepandaian luar biasa. Siapakah gerangan dia?'
Pada masa itu di Jawa Barat terdapat banyak tokoh silat dari
berbagai aliran yang terbagi jadi dua golongan yakni mereka dari
golongan putih dan lainnya yang disebut golongan hitam. Tokoh-
tokoh silat golongan putih seperti tenggelam pamornya oleh
gebrakan-gebrakan yang dibuat oleh para manusia jahat yang
dibantu oleh tokoh-tokoh silat golongan hitam. Tampaknya sampai sebegitu jauh tak banyak yang diperbuat golongan putih untuk menanggulangi hal itu. Dengan sendirinya ini menimbulkan rasa risau di kalangan rimba persilatan, baik di Jawa Barat maupun sampai ke bagian tengah dan ujung timur pulau Jawa.
Salah seorang dari tokoh silat golongan putih Jawa Barat adalah
kakek tadi. Usianya hampir 80 tahun. Dia hanya dikenal dengan
julukan Pengemis Batok Tongkat. Kemana-mana dia tak pernah
ketinggalan dua benda itu, yakni batok kelapa dan tongkat kayu.
Pengemis tua ini membawa anak tadi ke tempat kediamannya, di
sebuah rimba belantara yang terletak antara pantai selatan dan kaki gunung Halimun.
Ketika sadar si anak merasakan dadanya sakit sekali hingga sulit
baginya untuk bernafas. Dari mulutnya terdengar suara mengerang.
Dia coba membuka mata. Ternyata dia berada dalam pondok kayu
jati yang diterangi oleh sebuah lampu minyak, yang apinya berkelap-kelip tertiup angin. Memandang ke samping kiri disadarinya dirinya terbaring di atas sabuah balai-balai beralaskan tikar jerami.
"Ayah . . . . " si anak memanggil ayahnya. Suaranya memelas. Di
samping kanan, sudut matanya menangkap sosok sesorang duduk ditepi balai-balai. Diperhatikannya. Ternyata orang itu bukan ayahnya.
Ayahnya tidak setua itu, tidak berambut putih dan tidak berpakaian compangcamping walau dia seorang nelayan miskin. Otaknya bekerja. Ayah! Bukankah ayahnya sudah mati? Mati dibunuh oleh manusia-manusia jahat yang menunggang kuda itu ….?
"Anak, kau sudah sadar …. !" sikakek menegur.
Anak itu tak menjawab.
"Dadamu masih sakit … ?"
"Ayah . . . ayah . . .?" Anak ini seperti tidak dapat mempercayai jalan
pikirannya sendiri. Hatinya seperti membantah kenyataan bahwa
ayahnya sudah mati.
"Ah, satu kejadian besar telah menimpanya," membantin si kakek.
"Salah seorang yang mati di pantai itu mungkin sekali ayahnya.
Kasihan …"
Kakek itu mengambil sebuah tempurung berisi godokan obat yang sejak sore tadi disediakannya. Kepala si anak diangkatnya sedikit.
"Minum obat ini, nak. Kau pasti lekas sembuh…"
Mula-mula anak itu gelengkan kepalanya hendak menolak. Namun
pandangan mata orang tua itu yang demikian lembut serta mulutnya
yang tersenyum membuat anak ini mau juga membuka mulutnya dan
meneguk obat dalam tempurung. Tenggorokannya terasa hangat.
Rasa hangat terus menjalar ke dada, perut, terus ke ujung kakinya.
Bersamaan dengan itu rasa sakit di dadanya terasa agak berkurang.
Kakek itu kemudian urut-urut dada si anak. Gerakan tangannya
perlahan sekali. Anak ini merasakan ada hawa dingin keluar dari jari-
jari tangan orang tua itu. Selesai mengurut-urut kini kakek itu tampak sibuk menjengkal jengkalkan tangannya pada beberapa bagian tubuh anak itu. Tulang bahu, tulang-tulang iga dan tulang pinggul diketuknya berulang-ulang.
"Orang tua . . . kau siapakah?" anak kacil itu bertanya. "Aku ini
berada di mana?"
Yang ditanya tak menjawab. Masih terus sibuk menjengkal dan
mengetuk.
"Ah, susunan tulangmu bagus sekali bocah. Siapa namamu?"
"Handaka …" jawab anak itu. Lalu dia ganti tanya. "Kau sendiri
siapakah, kek? Apa ini rumahmu. Mengapa sepi sekali di sini. Tapi di
luar sana ada suara-suara aneh."
Pengemis Batok Tongkat tertawa.
"Telingamu tajam juga," katanya. "Dalam pondok kayu jati butut ini
memang sepi. Hanya ada kau dan aku, tambah lampu minyak itu. Hik
.., hik .. hik. Tapi di luar sana, di malam gelap begini rupa seratus
macam suara bisa kau dengar. Mulai dari suara jangkrik sampai
suara kodok. Mulai dari suara burung yang ketakutan sampai lenguh
banteng liar. Mulai dari suara monyet sampai auman harimau dan
singa!
"Harimau dan singa?! Apakah kita berada dalam hutan?" tanya anak
usia sepuluh tahun itu.
Kakek itu mengangguk.
"Apa kau takut?" dia bertanya kemudian.
Handaka menggeleng.
"Bagus kalau kau tidak takut. Sekarang tidurlah! Kau harus banyak
istirahat. Besok pagi aku akan buatkan bubur untukmu . . . "
"Kenapa tidak sekarang saja … ? Perutku lapar."
Pengemis Batok Tongkat tertawa.
"Malam ini kau belum boleh makan. Kau masih dalam pengobatan
tingkat pertama. . . "
"Lalu bagaimana aku bisa berada di tempatmu ini? Di mana ayah?
Kau belum mengatakan kau ini siapa…"
"Siapa diriku, sejak kecil aku memang tak punya."
"Aneh, masakan ada orang tidak punya nama. Lalu bagaimana aku
harus memanggilmu …"
"Panggil saja aku kakek pengemis. Dan aku akan panggil kau cucu,
bukan anak …."
"Kakek pengemis? Memangnya kau …?"
"Betul! Aku memang pengemis. Lihat saja pakaianku butut compang-
camping. Aku jarang mandi. Lihat tongkat dari batok kelapa di atas
meja itu? Itu benda-benda yang kupergunakan untuk minta-minta. .
."
Handaka seperti tidak percaya. Namun dia lebih ingin mengetahui di
mana ayahnya.
"Di mana ayahmu, itulah yang aku tidak tahu. Kau sampai ke mari
karena aku yang membawamu. Kau kutemukan pingsan di teluk,
kemarin pagi …"
"Jadi kau telah menolongku. Ah, aku harus mengucapkan terima
kasih padamu …" Handaka berusaha untuk bangun. Namun kakek
pengemis menahan bahunya dari menyuruhnya berbaring kembali.
"Segala kejadian di dunia ini sudah ada yang mengatur, Handaka,"
katanya. "Semua kodrat Tuhan di luar maunya manusia. Karena itu
hanya pada Dia manusia layak berterima kasih."
"Ayahku juga bilang begitu kek," ujar Handaka. "Namun ayah juga
mengatakan walau Tuhan punya kuasa, manusia harus berupaya. . ."
Si kakek tertawa lobar. "Betul! Betul sekali cucuku. Memang begitu
adanya. Nah sekarang kau harus tidur. Besok sehabis makan kau
boleh menceritakan padaku apa yang terjadi di teluk pagi kemarin."
Si anak terdiam. Dia coba mengingat-ingat. "Kenapa menunggu
sampai besok? Sekarangpun aku bisa menceritakannya kek. Aku
mulai ingat semua yar terjadi di teluk. Orang-orang jahat itu… para
nelayan, ayahku . . ."
"Dadamu tidak sakit?"
"Rasanya sudah sembuh kek. Obatmu pasti manjur sekali."
Pengemis Batok Tongkat tertawa lebar. "Baiklah," katanya. "Kelau
kau bisa menceritakan sekarang, akupun kepingin mendengar."
Maka Handaka pun menuturkan apa yang terjadi. *** PAGI itu para
nelayan baru saja merapatkan perahu masing-masing di teluk
Cikandang, siap memunggah hasil tangkapan ikan yang mereka
peroleh malam tadi. Para pembeli termasuk tengkulak-tengkulak yang
sudah lama menunggu segera mendatangi. Di antara orang banyak
yang mendatangi para nelayan itu, terlihat seorang lelaki yang segera
menjadi perhatian. Lelaki ini melangkah terhuyung-huyung. Wajahnya
penuh luka dan babak belur. Ditubuhnya juga kalihatan luka-luka
yang masih menganga. Dia berjalan sambil pegangi dadanya, di
mana terdapat sebuah luka besar yang masih mengucurkan darah.
"Astaga! Apa yang terjadi dengan Tugiman!" seru seorang nelayan
tua seraya melompat dari perahunya. Namanya Argakumbara. Oleh
kelompok nelayan teluk Cikandang dia dianggap sebagai pimpinan
karena usianya dan juga pengglamannya.
Seorang anak lelaki yang ikut melaut dengan Argakumbara melompat
pula dari perahu, berlari ke arah orang yang luka-luka. Para nelayan
lainnya pun segera pula mendatangi. Tugimen roboh ke pasir saat
para nelayan sampai di hadapannya, langsung mengerubunginya.
"Tugiman! Apa yang terjadi? Siapa yang menganiayamu?!" tanya
Argakumbara sambil berlutut di samping orang yang terkapar di pasir
itu.
"Lari . . . lari. Tinggalkan tempat ini cepat …"
Tugiman bicara dengan susah payah.
"Lari? Kenapa musti lari …?" tanya Argakumbara heran, begitu juga
nelayan-nelayan lainnya.
"Jangan bertanya. Larilah selagi kesempatan ada. Selamatkan nyawa
kalian. Serombongan manusia-manusia durjana telah mengganas di
kampung, Membunuh, merampok dan menculik. Kepala kampung
mereka gantung. Mereka akan segera datang kemari…"
Kagetlah semua nelayan yang ada di situ. Si kecil Handaka walau
juga menunjukkan rasa tarkejut namun tidak ada bayangan rasa
takut.
"Siapa manusia-manusia durjana itu Tugiman?" tanya Argakumbara.
"Kampung kita dan daerah sekitar sini sejak dulu selalu aman
tenteram."
Tugiman tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Kedua matanya yang
terbuka lebar memandang tak berkesip lagi ke langit.
"Mati! Dia mati!" terlompat ucapan itu dari mulut Handaka.
Semua orang tersentak.
"Handaka," kata Argakumbara pada anaknya, "Kau pergilah ke
kampung Cikuray. Langsung ke rumah bibimu. Tunggu di sana
sampai ayah datang. Kami akan mengurus mayat Tugiman."
Akan tetapi belum sempat bocah sepuluh tahun itu melakukan
perintah ayahnya, enam orang penunggang kuda muncul memacu
kuda masing-masing, bargerak sepanjang tepi pantai ke arah
nelayan-nelayan yang mengelilingi mayat Tugiman. Dua di antara
mereka memboyong seorang gadis yang terkulai di pangkuan masing-
masing, entah pingsan entah keletihan kehabisan tenaga karena
meronta-ronta sepanjang jalan. Atau mungkin juga ditotok!
"Ayah! Pasti ini manusia-manusia durjana itu …" bisik Handaka
seraya pegangi lengan Argakumbara.
Penunggang kuda terdepan hentikan kudanya. Sambil menyeringai dia
memandangi tubuh Tugiman. Keenam orang ini rata-rata berbadan
tegap besar, bermuka garang dihias kumis melintang dan cambang
bawuk, memiliki mata merah, berpakaian dan berikat kepala serba
hitam.
"Ternyata anjing satu ini lari kemari! Tapi kulihat nafasnya sudah
putus. Sialan! Susah-susah kita mengejarnya!"
"Hai!" kawan di sampingnya berseru. "Orang itu bicara apa saja pada
kalian sebelum dia mampus?!"
Tak ada yang bergerak. Tak ada yang berani menjawab.
"Setan! Apakah aku berhadapan dengan patung-patung!" bentak
orang tadi. Lalu kaki kaki kanannya enak saja menendang kepala
seorang nelayan yang ada di dekatnya. Tak ampun nelayan ini jatuh
tergelimpang dengan bibir pecah dan gigi rontok!
Serta merta para nelayan lainnya menjadi kecut, semua bersurut
mundur kecuali Argakumbara dan anaknya.
Penunggang kuda yang barusan menendang memboyong seorang
gadis di pangkuannya memandang berkeliling, tertawa sebentar lalu
berkata, "Nelayan-nelayan busuk! Kalian dengar baik-baik apa yang
aku katakana! Aku Singkil Alit, bergelar Harimau Hitam, pemimpin
dalam rombongan ini! Kami baru saja membakar kampung kalian,
membunuh orang-orang yang tak mau mendengar. Menculik dua
gadis ini karena tidak mau ikut secara suka rela padahal mau diberi
kenikmatan dan hidup mewah! Kami bahkan telah menggantung
kepala kampung kalian yang berani menatang! Jika kalian di sini
ingin mampus semua, mudah saja! Yaitu membangkang atas apa-
apa yang kami katakan! Nah, aku bertanya lagi. Apa yang dikatakan
manusia itu sebelum mampus?!"
Karena tak ada seorangpun di antara para nelayan, yang berani
menjawab maka Argakumbara akhirnya membuka mulut, "Orang itu
keburu mati sebelum sempat mengatakan apa-apa. . ."
"Bagus! Ada juga yang mau bicara!" kata Singkil Alit. "Coba tadi-tadi
ada yang mau menjawab. Tak perlu kami menurunkan tangan keras,
memukul atau menendang. Dasar nelayannelayan picik! Tolol semua!"
Setelah memuntir kumisnya yang melintang Singkil Alit lanjutkan
ucapannya.
"Dengar baik-baik. Mulai hari ini semua hasil kalian melaut, sawah
atau ladang, termasuk ternak yang kalian punyai di kampung di balik
bukit itu berada di bawah kekuasaan kami berenam. Semua hasil
panen harus diserahkan pada kami. Semua ikan yang kalian dapat
harus diberikan kepada kami hasil penjualannya. Nanti kami yang
akan mengatur seperberapa bagian yang boleh kalian ambill Nah, aku
mau tahu ada yang berani membangkang?!"
Sunyi sesaat. Kemudian terdengar suara Argakumbara.
"Boleh aku bicara?"
Singkil Alit memandang sejurus pada nelayan tua itu lalu berkata,
"Monyet tua, apa yang hendak kau katakan ucapkan cepat!"
Walaupun orang tua ini tetap tenang namun wajahnya jelas berubah
dipanggil dengan makian monyet tua itu.
"Selama ini kalau kami membayar pajak, itu kami berikan pada
Adipati melalui kepala kampung. Pajak yang kami bayar tidak
ditentukan, sesuai kemampuan. Kami di sini adalah nelayan-nelayan miskin. Di antara kami memang ada yang punya sawah atau ladang, tapi dengan petak-petak yang kecil. Kalaupun kami punya ternak itu hanya ayam, itik atau kambing. Jika kalian hendak menguasai semua milik kami yang hanya cukup untuk modal hidup, itu sama saja kalian membunuh kami…!"
Singgil Alit alias Harimau Hitam mendelikkan mata, usap-usap
janggutnya yang meranggas lalu tertawa gelak-gelak.
"Monyet tua … !" katanya.
"Ayahku bukan monyet!" teriak Handaka tiba-tiba.
"Kalian semua dengar!" bentak Singkil Alit. "Mulai hari ini kalian tak
perlu tahu lagi apa itu kepala kampung, kepala desa ataupun Adipati.
Yang harus kalian patuhi bukan mereka, tapi kami! Aku dan kawah-
kawan akan membangun sebuah kota di daerah ini. Kalian harus
tinggal bersama kami, bekerja untuk kami! Siapa berani
membangkang atau mencoba lari berarti mati!"
Mendengar kata-kata Singkil Alit, Argakumbara kembali membuka
mulut.
"Singkil Alit; siapapun adanya kau. Aku dan semua nelayan di sini
tidak mengerti mengapa kau dan kawan-kawanmu tega melakukan
pererasan. Merampas bahkan membunuh kami orangorang tak
berdosa. Menculik gadis-gadis kampung kami. Apakah kalian tidak
takut pada petugaspetugas Bupati?"
"Justru petugas-petugas itu yang harus takut pada kami!" sahut
Singkil Alit lalu tertawa gelak-gelak diikuti lima anak buahnya.
"Kami tidak mungkin melakukan apa yang kalian minta!" kata
Argakumbara tandas.
"Begitu? Majulah lebih dekat kemari! Ada sesuatu yang perlu aku
katakan padamu nelayan tua. Orang lain tak boleh mendengarnya …."
kata Singkil Alit.
Tak mengerti kalau orang bermaksud jahat, nelayan tua berhati polos ini melangkah maju. Baru saja dia bertindak dua langkah, kaki kanan Singkil Alit tiba-tiba menderu ke dadanya. Argakumbara keluarkan
jeritan menyayat hati. Tubuhnya terlempar dan tergelimpang di
pinggir pantai. Darah tampak mengucur dari sela bibirnya. Dia
mengerang beberapa ketika lalu diam tak bergerak lagi. Mati!
"Ayah….!" jerit Mandaka dan jatuhkan diri menubruk tubuh ayahnya.
Anak ini menangis keras. Tiba-tiba dia hentikan tangisnya. Matanya
membentur sebuah pisau besar yang terselip di pinggang ayahnya.
Pisau ini biasa dipergunakan untuk memotong ikan. Tak berpikir
panjang lagi Handaka ambil pisau itu lalu menerjang ke arah Singkil
Alit, menusuk ke perut lelaki ini!
"Budak! Nyalimu besar juga!" salah seorang anak buah Singkil Alit,
menghalangi gerakan Handaka sambil hendak menggebuk.
"Biar saja Rangga!" kata, Singkil Alit mencegah.
Pisau besar di tangan Handaka mencucuk, ke perut kepala penjahat
itu. Yang diserang tertawa mengekeh. Sekali tangannya bergerak dia sudah menjambak rambut anak itu sementara tangannya yang satu lagi memuntir lengan kanan Handaka.
Anak itu berteriak kesakitan dan terpaksa lemparkan pisau besarnya.
Dengan, tangan kirinya dia berusaha mencakar muka Singkil Alit.
Namun satu, jotosan lebih dulu menghantam dadanya. Handaka
keluarkan keluhan pendek lalu terkulai pingsan. Seperti melemparkan sampah, Singkil Alit hempaskan tubuh Handaka kepasir.
***
MENDENGAR penuturan Handaka, lama Pengemis Batok Tongkat
termenung.
"Aneh . . ." katanya kemudian dalam hati. "Bagaimana dunia yang
katanya didiami manusiamanusia beradab ini masih saja ada orang-
orang durjana seperti Singkil Alit dan kawan-kawannya itu. Singkil Alit, tak pernah kudengar nama itu sebelumnya. Iblis dari
mana yang satu ini … ?"
"Handaka, apakah ibumu masih ada?" si kakek tiba-tiba bertanya.
Anak itu menggeleng.
"Kata ayah, ibu meninggal tak lama setelah melahirkanku. Aku seperti merasa berdosa … "
"Eh, merasa berdosa bagaimana?" tanya kakek Pengemis itu.
"Kalau beliau tidak melahirkanku, beliau tak akan meninggal."
Orang tua itu termenung sejurus, lalu tertawa mengekeh.
"Cucu, jalan pikiranmu terlalu jauh. Nyawa manusia bukan diatur
oleh manusia lainnya. Tapi Tuhan yang menentukan hidup mati
seseorang!"
"Kalau begitu orang-orang seperti Singkil Alit dan kawan-kawannya
itu bisa dianggap tidak berdosa walau dia membunuh. Bukankah itu
sebenarnya tangan atau kehendak Tuhan yang berlaku..?"
"Ah, sepintas lalu jalan pikiranmu bisa dianggap benar. Tapi kalau
direnungkan lagi kau salah besar cucuku. Tuhan memang yang
menentukan. Tapi hak apa manusia merampas nyawa orang lain? Hak
apa manusia boleh mencuri dan merampok, boleh menculik? Segala
segi kehidupan ini sudah diatur dalam kitab Suci dan hadis nabi. Dan manusia harus mempergunakan akal sehat bukan ikut hasutan setan atau iblis!"
Di usia seperti itu agak sulit bagi Handaka mengerti kata-kata si
kakek. Maka diapun berkata: "Mengapa kau tanyakan tentang ibuku, kek!"
"Kurasa lebih baik bagimu untuk tidak kembali ke kampung.
Manusia-manusia iblis itu pasti tidak berhenti pada kematian
ayahmu saja. Maukah kau tinggal bersamaku di sini?"
"Apa enaknya tinggal dalam hutan belantara ini? Tak ada teman ada
kawan…. Jauh dari laut yang kucintai…. " ujar Handaka. Wajah si
kakek jelas menunjukkan rasa kecewa
"Tapi mengingat kau sudah menolong jiwaku, kek. Maka aku tentu
seja mau tinggal bersamamu di sini."
"Ah! Kau pandai mengganggu orang tua ini!" kata Pengemis Batok
Tongkat dan tertawa gelak-gelak.
"Apakah aku tak akan menyusahkanmu kek?" bertanya Handaka.
"Kau takut aku akan menyuruhmu jadi pengemis, pergi meminta-
minta?'
"Ih, tak ada pikiranku begitu. Mengemis itu apa salahnya. Pekerjaan
halal yang jauh lebih baik dari mencuri!" jawab Handaka.
"Bagus… bagus!" kata Pengemis Batok Tongkat dan usap-usap
rambut Handaka.
"Cucu, jika kau mau tinggal di sini, aku akan ajarkan ilmu silat
padamu!"
Handaka bangkit danduduk di ujung balai-balai. Menatap si kakek.
"Kau sungguhan mau mengajarkari ilmu silat padaku, kek?"
Orang tua itu mengangguk.
"Ah, jika aku jadi jago silat, aku akan cari Singkil Alit dan komplotan
iblisnya. Aku akan basmi mereka!" kata Handaka bersemangat.
"Cucu baik… cucuku baik. Sekarang kau tidur. Kau belum sehat
betul."
Handaka menurut. Dia baringkan tubuhnya kembali di atas balai-
balai dan pejamkan mata. Namun dua mata anak ini terpentang lebar
kambali ketika di luar sana terdengar bentakan keras.
"Pengemis tua! Lekas kau serahkan surat yang titipkan pangeran
Tanuma pada kami!"
"Kek," ujar Handaka kaget, berpaling pada kakek pengemis. "Siapa
orang di luar sana yang malam-malam begini berteriak tak tahu
sopan?"
Si kakek letakkan telunjuknya di atas bibir, memberi isyarat agar
cucunya itu tidak bicara dan terus berbaring. Tubuh Handaka
ditutupnya dengan kain sampai sebatas kepala. Handaka turunkan
ujung kain agar dapat mengintai. Dilihatnya si kakek mendongak ke
atap pondok. Rupanya orang yang berteriak ada di atas atap
bangunan jati itu.
"Tamu dari mana malam-malam begini ke sasar ke pondokku?!"
Terdengar Pengemis Batok Tongkat bertanya. Suaranya tanang-
tenang saja.
DARI atas atap terdengar bentakan.
"Kurang ajar! Diperintah malah berani bertanya."
"Aku bertanya agar kau tidak salah datang tempat yang dituju!"
jawab si pengemis.
"Jangan coba berdalih Di hutan ini hanya satu pondok. Milikmu.
Kami tidak datang ke tempat yang salah. Lekas kau berikan barang
yang dititip pangeran Taruma itu!" kata orang di atas atap.
"Bagaimana kalau aku tidak mau memberikannya?!" tanya Pengemis
Batok Tongkat.
"Kami akan membakar pondokmu ini dan membunuh kau. Juga bocah
itu!"
"Kek …!" Handaka julurkan kepalanya. "Orang itu hendak membunuh kita …"
"Sstt…. Cucu, kau tidur saja!" sahut si kakek itu menutupi muka
Handaka dengan selimut tapi anak itu menurunkannya kembali.
"Hai Pengemis! Kau tunggu apa lagi …?"
Kakek itu memang sudah melihat ada bayangan nyala api di atas
atap. Orang-orang di atas sana mungkin membawa obor.
Tiba-tiba si kakek tertawa. Orang di atas atap membentak.
"Tua bangka edan! Kami minta kau menyerahkan surat itu. Bukan
tertawa macam orang gila!"
"Aku tertawa karena kalian kuanggap manusia-manusia bodohl Ada sangkut paut apa aku dengan pangeran Taruma? Mana mungkin dia menyerahkan soesuatu kepadaku. Sepucuk surat katamu? Surat Cinta? Untuk diserahkan pada siapa? Ha … ha … ha… !"
"Kau berani berdusta dan coba mengelabui kami!" kata orang di atas atap. "Orang-orang kami tahu betul, satu bulan lalu kau bertemu
dengan pangeran Taruma di istananya di tikungan kali Citarum. Kau berpura-pura datang sebagai seorang pengemis. Pangeran
memasukkan sesuatu ke dalam batok kelapamu. Sepintas seperti
lembaran uang kertas. Tapi itu adalah sepucuk surat.
Surat dengan gambar peta tempat penyimpanan emas milik sang
pangeran. Kau masih mau mungkir?!"
Sebelum menjawab kembali Pengemis Batok Tongkat tertawa gelak-gelak.
"Orang-orangmu itu matanya tentu tajam sekali! Tapi mungkin juga
mereka handak berbuat lelucon terhadap kalian! Hampir selama tiga
purnama aku tak pernah meninggalkan pondok ini. Kecuali kemarin
pagi! Bagaimana mungkin aku bisa gentayangan sejauh itu sampai di
kali Citarum? Atau mungkin setan atau rohku yang menjelma dan
datang di istana pangeran Taruma?!"
Sesaat tak ada jawaban dari atas atap. Pengemis Batok Tongkat
tahu bahwa ada dua orang di atas sana dan keduanya tengah bicara
berbisik-bisik seperti berunding singkat.
"Sudah selesaikah kalian berunding? Jika sudah lekas pergi dari tempat ini!" kata pengemis.
"Pengemis licik! Jangan sangka kau bisa menipu kami dengan
keterangan dustamu. Sekali lagi aku beri kesempatan! Jika peta itu
tidak kau serahkan, rumahmu akan kami bakar dan kau beserta
bocah itu akan kami bunuh!"
"Oo ladala…! Malangnya nasibku kalau begitu!" ujar si kakek tetap
tenang. "Maukah kalian memberi tahu siapa kalian berdua?!"
"Aku Soka Panaran, bergelar Golok Emas!" menyahut orang di atas
atap yang sejak tadi menjadi jura bicara.
"Aku Sindang Tambra, berjuluk Raja Lanun Pantai Selatan!"
"Ha… he … he . . .!" tanya si pengemis tua begitu mendengar jawaban
dua orang di atas atap.
"Soka Panasaran, kalau kau sudah mendapat gelar Golok Emas, pasti
kau punya sebilah golok terbuat dari emas. Mengapa masih temahok
mau dapatkan emas milik orang lain. Dan kau Sindang Tambra, aku
tidak heran kalau bajak laut sepertimu haus harta! Tapi kalian salah alamat!
Peta atau surat apapun tak ada padaku!"
Golok Emas dan Raja Lanun Pantai Selatan merupakan nama-nama
yang cukup menggetarkan dunia persilatan pada masa itu. Keduanya
adalah manusia-manusia berkepandaian tinggi yang masuk dalam kelompok golongan hitam. Mandengar ucapan si kakek jelas meraka
dianggap enteng. Ini membuat keduanya menjadi marah. Raja Lanun
sudah siap untuk menjebol atap tapi Golok Emas memberi isyarat lalu
berteriak.
"Pengemis Batok Tongkat! Kami memberi kesempatan terakhir. Kau
mau serahkan peta itu atau tidak?"
Pengamis tua itu dilihat Handaka mengambil batok kelapa dan
tongkat kayunya dari atap meja lalu menjawab, "Kalian
mengancamku?"
"Kami akan membuktikan ancaman itu!" jawab Soka Panaran.
"Kalian akan menyesal sampai ke liang kubur!" sahut si kakek.
"Keparat!" maki Raja Lanun Sindang Tambra yang sejak tadi sudah
tidak sabaran. Kaki kanannya dihantamkan ke atap bangunan.
Brak!
Atap itu jebol.
Sesaat kemudian bernama Soka Panaran dan melayang turun
memasuki pondok kayu jati yang sempit. Masing-masing memegang
obor di tangan kiri!
"Ah, jadi inilah tampang-tampang manusia yang inginkan harta orang
itu? Apakah tidak lebih baik kalian pergi saja dari sini. Salah-salah
nanti aku mengemis pada kalian, minta uang minta beras!" kata
pengemis Batok Tongkat.
Dari bawah selimut Handaka menjadi heran lihat sikap si kakek. Jelas
orang datang dengan maksud jahat tapi orang tua itu masih saja
bicara seenaknya seperti mau melucu!
"Soka!" kata Raja Lanun Sindang Tambra. "Kau bakar pondok, aku
akan patahkan batang leher tua bangka ini!"
"Kecuali untuk terakhir kalinya dia mau serahkan peta itu!" kata Soka
Panaran alias Golok Emas yang masih berusaha mencapai tujuan
tanpa kekerasan.
"Kambing-kambing busuk!" maka Pengemis Batok Tongkat. "Kalian
telah merusak atap pondokku kini mengancam mau membakar dan
minta benda yang aku tidak miliki!"
"Kau betul-betul tua bangka keparat!" Sindan Tambra marah sekali.
Dia melompat ke muka sambil sorongkan api obor untuk menyulut
muka si kakek.
"Dua ekor kambing. Kalian mencari penyakit!" kertak orang tua itu
dan sambut serangan Sinda Tambra dengan melompat ke samping.
Api obor lewat di sebelah kanannya. Serentak dengan itu si kakek
tusukkan tongkat kayunya ke arah iga lawan. Tapi serangannya luput
karena tiba-tiba sekali bajak laut ini sudah berkelebat ke kiri lalu
kembali sorongkan obor ke muka si kakek sedang dari bawah kakinya
datang menyapu mencari sasaran pada tulang kering kaki.
"Hup!" Pengemis Patok Tongkat melompat. Tangan kanannya yang
memegang batok kelapa dipukulkan ke bawah ke arah api obor.
Begitu obor keno tersungkup tempurung kelapa itu, serta merta
apinyapun padam. Raja Lanun Sindang Tambra tersentak kaget.
Penuh geram dia pukulkan tangan kiri namun tarpaksa tarik pulang
serangannya karena ujung tongkat di tangan kiri si kakek lebih dulu
menusuk ke arah lehernya.
"Kakeki Kambing satu itu hendak membakar pondoki" teriak Handaka
ketika dilihatnya Soka Panaran menyuiut ujung tikar jerami yang
menjadi alas balai-balai.
Mau tak mau Pengemis Batok Tongkat terpaksa tinggalkan Raja
Lanun,dan melompat ke arah Soka Panaran. Mulut si kakek tampak
menggembung. Tiba-tiba dia menghembus ke arah ujung obor.
Serangkum angin keras bertiup. Blep! Api obor padam!
"Keparat!" maki Soka Panaran lalu kemplangkan bambu obor ke
kepala si kakek.
"Kek! Awas di belakangmu." teriak Handaka.
Orang tua itu tampak seperti kerepotan dan bingung. Dari depan dia
dikemplang dengan bambu sedang dari belakang Raja Lanun
mamukul ke arah punggungnya. Karena dua serangan itu dilakukan
oleh orang berkepandaian tinggi, kalau saja mengenai si kakek pasti
akan membuat die cidera berat.
"Ah, bagaimana kakak tua ini bisa menyelamatkan diri dikeroyok
begitu rupa." keluh Handaka.
Dia memandang berkeliling mencari-cari. Dilihatnya sebuah cangkir
kaleng tergantung di atas kepala balai-balai. Cepat diambilnya
benda itu dan dilemparkannya ke arah Raja Lanun yang membokong
dari belakang.
Gerakan kakek pengemia yang seperti repot bingung itu sebenarnya
hanyalah hal yang dibuat-buat saja. Untuk menghadapi dua lawan
yang mengeroyok itu sebenarnya dia tidak perlu bantuan siapapun.
Memang baik Soka Panaran alias Golok Emas maupun Raja Lanun
Pantai Selatan bukan manusia-manusia sembarangan. Keduanya
memiliki kepandaian tinggi, tapi si kakek sendiri adalah tokoh tua
yang jauh lebih lihay. Sebenarnya jika kedua orang tadi menyadari
kepandaian si kakek meniup api obor dari jauh hingga mati begitu
rupa, keduanya harus menyadari bahwa lawan memiliki tenaga dalam
yang tinggi dan bukan tandingan mereka. Namun rasa amarah
ditambah keinginan untuk mendapatkan benda yang mereka cari
membuat keduanya melupakan kenyataan itu.
Begitulah, si kakek sambut kemplangan bambu obor dengan lebih
dulu selinapkan tusukan ke ketiak Soka Panaran. Melihat serangan
lawan datang lebih cepat dari kemplangan bambunya, Soka Panaran
tidak teruskan kemplangannya melainkan bababatkan bambu itu ke
arah bahu si kakek.
"Jurus silatmu sudah kuno Soka! Tidak laku untuk dunia silat masa
kini!" ejek si kakek. Lalu tongkat di tangan kirinya berputar ke
samping. Sesaat kemudian terdengar pekik Soka Panaran. Telinga
kanannya mongucurkan darah. Ujung tongkat si kakek yang kecil
runcing telah membuat daun telinga sebelah kanan orang ini luka
besar dan berlubang!
Walaupun kawannya mendapat cidera tapi Sindang Tambra yang
menyerang dari belakang merasa punya peluang besar untuk
mendaratkan pukulan tangan kanannya. Tenaga kasar bajak laut ini
sanggup meremukkan kepala kerbau, apalagi saat itu disertai dengan
pengerahan tenaga dalam. Hingga kalau sampai mengenai tubuh
kakek pengemis yang sudah tua kurus itu, pastilah si kakek akan
celaka.
Namun satu kehebatan diperlihatkan lagi oleh orang tua itu. Tanpa
menoleh ke belakang dia telikungkan tangan kanannya ke punggung
dengan batok kelapa membelintang demikian rupa. Ketika tinju kanan
Raja Lanun sampai, batok kelapa itu menyambutnya dengan tepat.
Raja Lanun Sindang Tambra mengeluh kesakitan sambil pegangi jari
tangan kanannya. Jarijarinya ternyata, tampak merah, dagingnya
langsung membengkak. Di saat kesakitan seperti itu cangkir kaleng
yang dilemparkan Handaka melayang deras, dan mendarat tepat di
keningnya hingga kepala bajak ini terluka dan kucurkan darah.
"Bagus Handaka! Lemparanmu tepat sekali!" ujar Pengemis Batok
Tongkat. "Nah, nah! Dua ekor kambing. Apakah kalian masih belum
sadar sudah diberi pelajaran oleh tua bangka ini dan cucuku itu? Ayo
kenapa tidak lekas pergi?!"
"Kami baru pergi kalau kalian berdua sudah kugorok dengan ini!"
sahut Soka Panaran dengan mata berapi-api. Dari pinggangnya dia
cabut golok besar berwarna kuning. Senjata inilah yang membuat dia
mendapat julukan Golok Emas. Walaupun tidak terbuat dari emas
sungguhan, namun warnanya memang kuning seperti emas. Sudah
banyak korban menemui kematiannya oleh senjata ini.
"Ah, golok emas! Hai, bolehkah kulihat apakah golokmu itu terbuat
dari emas sungguhan? Atau hanya emas palsu?" ejek Pengemis Batok
Tongkat sambil merobah kedudukan kudakudanya hingga sekaligus
dia dapat mengawasi dua lawan yang dihadapinya.
Melihat kawannya keluarkan senjata andalannya, Sindang Tambra
jadi tidak sungkansungkan untuk keluarkan pula sanjatanya yakni
sebuah clurit besar yang badan dan hulunya berwarna hitam gelap.
Cemaslah Handaka melihat si kakek bukan seja hanya dikeroyok tapi
juga dikurung lawan dengan senjata terhunus. Apakah si kakek tidak
akan keluarkan senjata, pikir anak ini. Nyatanya memang demikian.
Pengemis tua itu hanya tegak tenang-tenang saja, malah sambil
menyeringai. Dalam hidupnya sebagai tokoh silat aneh dia tak pernah
memiliki senjata. Apapun yang terjadi dia selalu menghadapi lawan
dengan tongkat kayu kecil dan batok kelapa itu!
"Kalian tunggu apa lagi? Majulah biar lekas aku memberi pelajaran
pada kalian!" kata si kakek.
Ini tambah membakar kemarahan Soka Panaran dan Raja Lanun.
Masing-masing keluarkan suara menggembor lalu menyerbu. Soka
dari samping kiri sedang Raja Lanun melabrak dari sebelah kanan.
Golok Soka menderu keluarkan sinar kuning terang sedang clurit di
tangan Sindang Tambra berdesing dengan memancarkan sinar hitam
pekat!
"Ah, celakahlah kakekku! Bagaimana aku harus membantu!" keluh
Handaka yang tak mau berpangku tangan tapi tidak tahu harus
menolong bagaimana. Tapi dasar anak cerdik dapat saja satu akal
olehnya. Maka perlahan-lahan dia bangkit dari balai-balai itu sambil
menggulung selimut.
Sementara itu pengemi tua yang mendapat dua serangan sekaligus
berkelebat gesit. Tongkat di tangan kirinya memukul ke perut Soka
Panaran, batok kelapa di tangan kanan menyelinap mencari sasaran
disambungan siku kanan Sindang Tambra. Melihat tangan kiri si
kakek menyorong ke depan, Soka Panaran mengambil keputusan
untuk membabat tangan itu, lebih dulu dengan golok kuningnya.
Namun orang ini salah perhitungan. Dia tidak menyadari kalau
gerakan lawan jauh lebih cepat. Hingga sebelm golak besarnya
berhasil membacok lengan Pengemis Batok Tongkat, tongkat kayu si
kakek yang menderu menggeletar, menghantam bagian lengan
kanannya di bawah ketiak.
Krak!
Terdengar suara patahan tulang. Disusul pekik si Golok Emas Soka
Panaran. Dia melompat mundur, menggerang kesakitan sementara
goloknya yang jatuh ditempel demikian rupa oleh si kakek dengan
tongkat kayunya. Golok ini melorot turun mengikuti batangan tongkat
lalu dengan mudah ditangkap oleh si kakek.
Pada saat itu pula Raja Lanun Sindang Tambra yang tengah
menyerbu si kakek dengan clurit hitam angkernya menjadi terkejut
ketika tiba-tiba selembar kain berkelebat menebar dan menutupi
kepala serta tubuhnya. Kain ini bukan lain adalah selimut yang
dilemparkan Handaka. Dalam keadaan ditelikung seperti itu tentu
saja Raja Lanun Pantai Selatan ini tidak dapat lagi melihat di mana
lawannya berada. Serangan cluritnya menjadi mentah. Dan dia
memaki panjang pendek. Suara makiannya berubah menjadi jeritan
kesakitan ketika pengemis tua pukulkan batok kelapanya berulang
kali, lalu mengetok dengan tongkat kayu. Terdengar suara krak
berulang kali tanda ada tiliang-tuiang bajak itu yang patah.
Ketika Raja Lanun Pantai Selatan berhasil keluar dari kungkungan
selimut, tulang belikatnya sebelah kiri patah hingga tubuhnya miring.
Lalu beberapa tulang iganya juga remuk. Dan yang paling parah
adalah tulang kering kaki kanannya, juga patah hingga terpincang-
pincang dia bersurut ke pintu pondok.
Kakek pengemis tegak sambil mengekeh. "Bagaimana?!" ujarnya.
"Sudah kapok atau masih minta digebuk lagi!"
"Tua bangka keparat! Terima ini!"
Golok Emas berteriak marah. Dia pukulkan tangan kirinya. Serangkum
angin menyambar ke arah pengemis tua. Dengan tertawa kakek ini
lentingkan tongkat kayunya dari bawah ke atas.
Angin serangan yang dilepaskanSoka Panaran musnah. Sebaliknya
ujung tongkat yang runcing kembali melenting dan kali ini memukul
ke arah mata kanan Soka Panaran. Orang ini meraung ketika
matanya pecah dan darah mengucur.
"Soka! Sebaiknya kita pergi saja! Lain kali kita buat perhitungan
dengan tua bangka keparat ini!" kata Raja Lanun Sindang Tambra.
Lalu tanpa menunggu dia melompat ke pintu pondok.
Soka Panaran sambil pegangi matanya yang kini jadi buta sebelah,
terhuyung-huyung lari pula ke arah pintu.
"Hai! Golok emasmu apa tidak dibawa?!" seru Pengemis Batok
Tongkat.
Tapi Soka Panaran terus saja lari dan menghilang dalam kegelapan.
Mana dia punya nyali lagi untuk mengambil goloknya itu. Si kakek
pungut senjata itu lalu enak saja kedua tangannya mematahkan
golok. Ketika diteliti bagian dalamnya, ternyata golok itu hanya
bagian luarnya saja yang disepuh emas. Sebelah dalam hanya besi
hitam campur baja.
"Emas butut!" kata si kakek lalu tertawa dan berpaling pada Handaka.
"Cucuku! Kau bukan saja berani, tapi juga cerdik. Tidak percuma aku
mengambilmu jadi murid!"
***
DI PANTAI selatan yang dibatasi oleh teluk Cikandang dan kaki
gunung Halimun di sebelah utara, kali Cirampang di sebelah barat
dan bukit Gondal di sebelah timur kelihatan satu pemandangan baru.
Selama enam bulan ratusan manusia menancapkan batangan-
batangan kayu jati setinggi lebih dari tiga tombak dengan ujung-
ujung dipotong runcing. Deretan kayu jati ini berubah menjadi satu
pager kukuh yang membatasi deerah sangat luas, terdiri dari
beberapa desa danbelasan kampurrg. Ada dua pintu gerbang yang
selalu dijaga ketat yakni di sebelah selatan menghadap ke pantai dan
di sebelah utara menghadap gunung Halimun.
Daerah terkungkung ini merupakan satu kota besar tak bernama.
Namun orang telah menyebutnya sebagai Kota Hantu. Di sinilah
Singkil Alit alias Harimau Hitam dan lima kawannya menjadi
penguasa durjana. Secara paksa mereka mengumpulkan hampir tiga
ratus penduduk di daerah itu untuk membangun pager kayu jati. Lalu
membangun rumah-rumah besar untuk mereka. Orang banyak itu
dijadikan budak, dipaksa tinggal dalam kungkungan pagar jati dan
dipaksa melakukan dan jadi nelayan. Semua hasil harus diserahkan
pada Singkil Alit. Siapa berani membangkang atau coba melarikan
diri maka tak ada ampun. Mereka akan dipancung. Mayatnya
dipertontonkan agar semua orang takut dan tak mau meniru
perbuatan kawannya itu. Singkil Alit dan kawan-kawannya juga
melatih para pemuda untuk dijadikan pengawalpengawal mereka.
Pemuda-pemuda ini berjumlah sekitar enam puluh orang. Mereka
mengawal enam rumah pimpinan kota hantu itu, yang merupakan
rumah-rumah besar mewah, dilengkapi dengan beberapa orang
perempuan atau gadis cantik hasil culikan dari desa atau
perkampungan penduduk.
Di antara keenam manusia durjana itu adalah orang yang bernama
Tembesi memiliki lebih dan lima perempuan peliharaan di rumahnya.
Dari luar Kota Hantu ini tampak tenang. Tapi di dalam, kehidupan
penduduk yang berjumlah lebih dari tiga ratus orang itu merupakan
dunia penderitaan yang tiada taranya. Mereka dipaksa untuk bekerja
dan dicambuk bila dianggap malas atau tidak mengbasilkan apa-
apa. Lelaki atau perempuan yang kelihatan seperti sakit-sakitan
lenyap secara aneh. Entah dibunuh entah dibuang, mayatnya tak
pernah ditemukan. Setiap hari selain saja ada orang-orang dari luar
yang diculik dan dipaksa tinggal di Kota Hantu untuk jadi budak
kerja paksa.
Hanya dalam waktu dua belas bulan saja nama Kota Hantu ini telah
dikenal di kawasan Jawa Barat sebelah selatan. Siapa saja yang
mendengar nama kota ini akan merinding bulu kuduknya karena ngeri
membayangkan kehidupan penuh siksa di sana. Apakah sebenarnya
tujuan Singkil Alit dan kawan-kawannya mendirikan kota tertutup
itu?
Sebagai seorang tokoh silat golongan hitam yang punya nama
angker Singkil Alit sejak lama bercita-cita ingin menguasai rimba
persilatan di Jawa Barat. Paling tidak di daerah selatan yang
penduduknya rata-rata mempunyai tingkat penghidupan tinggi karena
tanahnya subur dan lautnya kaya dengan ikan. Setelah dia merasa
cukup modal harta kekayaan maka satu demi satu tokoh-tokoh akan
diundangnya datang, lalu dibunuh secara keji.
Singkil Alit tidak mau bekerja sendiri. Untuk itu maka
dikumpulkannya beberapa orang kawannya sealiran. Mereka adalah
Rangga, Pinto Manik, Rah Tongga, Wiracula dan tembesi.
Begitulah, sejak enam bulan terakhir ini dunia persilatan di daerah itu
ditandai oleh beberapa kejadian aneh, yakni lenyapnya tiga tokoh
silat berkepandaian tinggi. Dua dari golongan putih, satu lagi dari
golongan hitam. Tak satu orang luarpun yang tahu kalau ketiga
tokoh tersebut telah menemui ajal dibunuh oleh Singkil Alit dan
kawan-kawannya di dalam Kota Hantu.
"Suatu hari ketika keenam iblis-iblis Kota Hantu itu berkumpul sambil
meneguk tuak keras dan bergelut-gelut dengan perempuan-
perempuan culikan mereka, berkatalah Rah Tongga.
"Singkil, kalau kita hanya menyingkirkan satu persatu tokoh-tokoh
silat itu, kurasa dalam waktu dua tahun di muka pekerjaan dan
tujuan kita belum selesai. Mungkin pula rahasia kita bocor. Tokoh-
tokoh silat putih dan hitam bergabung lalu menyerbu kota kita ini…"
Singkil Alit turunkan cangkir bambunya. Sekl bibir dan kumis serta
janggutnya yang basah oleh tuak lalu bertanya, "Kau ada rencana
spa, Rah Tongga! Coba katakan. Mataku mulai mengantuk. Aku ingin
bersenang-senang dengan kekasih-kekasihku di dalam…"
Empat kawannya yang lain ikut mendangarkan dengan seksama.
"Bagaimana kalau kita adakan perjamuan besar. Kita undang orang-
orang dunia persilatan di daerah ini. Kita beri racun makanan atau
minuman mereka! Nah, sekali bertindak semuanya beres!"
Singkil Alit tegak dari kursinya. Sesaat dia berkacak pinggang
memandang Rah Tongga, lalu maju dan tepuk-tepuk bahu kawannya
itu.
"Karena hal itu tidak aku pikirkan sebelumnya!" kata manusia
berjuluk Harimau Hitam ini, "Rah Tongga! Usulmu aku puji dan aku
terima. Kau dan kawan-kawan aturlah perjamuan, kirim undangan!
Dan ingat itu harus kita lakukan secepatnya!"
"Jangan kawatir Singkil. Serahkan semua pada aku dan kawan-
kawan!" kata Rah Tongga pula penuh senang karena usulnya
diterima.
Begitulah, pada bulan pumama sebulan kemudian di Kota Hantu
tampak dilangsungkan satu pasta betar. Obor dipasang di sepanjang
pager dan di bagian-bagian tertentu hingga kota yang Was itu terang
benderang. Di sebuah lapangan, di mana pesta dipusatkan, didirikan
sebuah panggung besar. Di sekeliling panggung tampak deretan meja
dan kursi khusus disediakan untuk tuan rumah dan para undangan.
Hiasan dan gaba-gaba tersebar di mana-mana menambah
semaraknya pesta.
Makanan dan minuman berlimpah ruah.
Para tamu tamu berjumlah sekitar dua puluh orang. Rata-rata
mereka adalah tokoh-tokoh silat yang punya nama, terdiri dari
golongan hitam dan golongan putih.
"Para tamu yang kami hormati!" kata Singkil Alit "Walau kita ada
yang berbeda golongan, tapi dalam pesta ini lupakan semua itu. Kita
satu dalam kegembiraan!"
Menjelang tengah malam, di atas panggung yang sejak tadi
diperdengarkan alunan karawitan beserta pesinden-pesinden yang
cantik genit dan bersuara merdu menggairahkan, kini tiba-tiba saja
acara berobah dengan satu pertunjukan tari-tarian yang melanggar
susila. Enam perempuan muda berpakaian sangat tipis melenggang-
lenggok mengikuti alunan terompet bambu dan tabuhan gendang.
Semakin cepat tabuhan gendang, semakin binal gerakan mereka.
Tiba-tiba ke enam pesinden itu tanggalkan seluruh pakaian yang
mereka kenakan. Para tamu dari golongan hitam berteriak-teriak
bersuit-suit. Mereka yang dari golongan putih tersentak kaget. Ini
adalah satu hal yang tidak mereka duga. Rasa jengah membuat
mereka seharusnya serta merta hendak tinggalkan pesta perjamuan
itu. Namun rata-rata mereka semua sudah terlalu banyak meneguk
tuak keras, hingga hal itu tidak mereka lakukan. Bahkan mereka
menyaksikan tarian telanjang itu dengan mata tak berkesip dan
tenggorokan turun naik.
"Sahabat-sahabat para tamu!" tiba-tiba Tembesi berdiri dan berseru.
"Jika ada di antara para sahabat yang ingin turut menari silahkan
naik ke panggung! Lalu jika para sahabat berkenan boleh cari
pasangan. Di rumah besar sebelah kiri telah tersedia kamar dimana
para sahabat boleh bersenang-senang sampa pagi …!"
Mendengar ucapan Tembesi itu delapan orang lelaki melompat ke
atas panggung. Dari tampang dal pakaian mereka jelas mereka bukan
tokoh silat baik-baik. Keenamnya menari seradak-seruduk dalam
mabuk, lalu turun dari panggung menarik pasangan lelaki yang dua,
yang tidak kebagian pasangan terus saja menari.
"Jangan kawatir!" seru Tembesi kembali. "Persediaan penari cukup
banyak!" Dia bertepuk tangan. Enam perempuan muda muncul pula
dalam pakaian sangat tipis. Dua lelaki tadi tampak bingung mau
mencari pasangan yang mana karana rata-rata penari itu berwajah
cantik. Sementara itu empat lelaki lainnya melompat pula ke atas
panggung.
Seperti dikatakan Tembesi, di rumah besar di sebelah kiri panggung
terdapat sekitar lima belas kamar. Dua belas tokoh silat golongan
hitam itu masuk ke dalam kamar dengan hasrat berkobar-kobar
tanpa mengetahui bahwa bukan kesenangan yang bakal mereka
dapatkan, tetapi maut!
Begitu masuk ke dalam kamar, para penari segera mengunci pintu
dan mempersilahkan setiap tokoh duduk di tepi tempat tidur sambil
memijit-mijit bahunya. Semua ini sesuai dengan yang diatur dan
diperintahkan oleh Singkil Alit. Setelah itu setiap penari menyuguhkan
secangkir tuak pada tamunya. Hanya beberapa saat setelah meneguk
habis minuman itu dua belas tokoh silat yang ada dalam kamar
tersungkur muntah darah dan mengerang nyawa. Mereka mati oleh
racun jahat yang dicampurkan dalam minuman!
Kita kembali ke tempat pesta di sekitar panggung. Empat tokoh silat
golongan hitam dan hampir selusin dari golongan putih duduk sambil
mengobrol. Sesekali mata mereka melirik ke panggung, mengharap
ada lagi penari telanjang yang bakal muncul. Saat itu Singkil Alit
memberi isyarat pada Tembesi. Tembesi bertepuk tangan. Tepuk
tangannya yang sekali ini bukan tepuk tangan biasa, melainkan
merupakan satu isyarat pada dua puluh orang pelayan perempuan
yang menyuguhkan tuak. Kedua puluh pelayan itu segera mendatangi
setiap tamu sambil membawa kendi besar berisi tuak yang sudah
dicampur dengan racun. Tuak itu dituangkan ke dalam tempat minum
para tamu.
Empat tokoh golongan hitam segera meneguknya sampai habis.
Sepuluh tamu dari golongan putih melakukan hal yang sama. Hanya
seorang yang dalam keadaan mabuk tidak menyentuh minumannya,
tapi berdiri. Sambil meracau tak karuan dia melangkah menari-nari
dan naik ke atas panggung.
"Mana penari untukku … Mana penari untukku!" katanya berulang
kali. Lelaki ini berusia sekitar setengah abad, merupakan ketua
sebuah perguruan silat di Karangbolong.
Semua tamu yang meneguk tuak beracun itu serta merta menemui
ajal dengan cara yang sama, muntah darah, rubuh dan mati!
Sementara lelaki dari Karangbolong masih terus menari, tidak sadar
apa yang telah terjadi karena mabuknya.
Singkil Alit mendekati panggung dan berkata pada Tembesi. "Lekas
suruh Pinta Manik membereskan yang satu ini. Aku sudah sebal
melihatnya. Hari hampir pagi. Kita semua harus melenyapkan
belasan mayat itu lalu butuh istirahat!"
Anggota komplotan iblis yang bernama Tembesi segera memberi
isyarat pada Pinta Manik. Begitu Pinta Manik mendatangi dia lalu
memberi tahu apa yang diperintahkan Singkil Alit. Maka Pinta Manik
naik ke atas panggung sambil menghunus sebilah pedang. Dengan
pedang ini ditembusnya perut tokoh silat yang mabuk dan menari-
nari di atas panggung! Dua puluh satu tokoh silat menemui ajalnya di
Kota Hantu pada malam bulan pumama itu. Kelak lenyapnya orang-
orang itu baru diketahui selang beberapa bulan kemudian.
***
TIDAK seperti biasanya, sajak dua minggu terakhir laut di pantai
barat selalu diselimuti deru angin kencang serta gulungan ombak
besar dan tinggi. Para nelayan yang menggantungkan hidup dari
hasil laut terpaksa tinggal di rumah masing-masing, tak berani turun
ke laut. Di sebuah teluk sempit agak ke selatan Karangbolong
terdapat sebuah perkampungan kecil. Di sini hanya ada sebuah
rumah bambu besar dikelilingi lima rumah yang lebih kecil. Ini
bukanlah sebuah perkampungan nelayan. Melainkan daerah kediaman
dan tempat latihan orangorang dari perguruan silat Elang Putih.
Pagi itu seperti biasanya, sebelum latihan dimulai tiga puluh orang
anak murid parguruan duduk bersila di tepi pantai, bartelanjang
dada, menghadap ke laut. Tangan masing-masing diletakkan di atas
pangkuan, mata dipejamkan. Mereka mengheningkan cita rasa indera
sambil berlatih mengatur jalan nafas serta peredaran darah.
Anak murid paling tua, yang manjadi wakil dari ketua parguruan,
bernama Indrajit melangkah mundar-mandir mengawasi latihan yang
dilakukan tiga puluh saudara sepeguruannya itu. Jika ada yang
kurang sempurna atau melakukan kekeliruan dalam hening cita rasa
indera itu, dia memberitahu dan menyuruh mamperbaikinya.
Ketika matahari pagi mulai naik dan udara terasa memanas, Indrajit
siap memerintahkan anak murid seperguruan untuk rnenghentikan
latihan itu, dan seperti biasa akan dilanjutkan dengan latihan
gerakan-gerakan silat.
Baru saja Indrajit memberi aba-aba dan para murid perguruan Elang
Putih melompat sambil mengeluarkan suara keras, di kejauhan
terlihat seorang penunggang kuda bergerak cepat ke arah
perkampungan.
"Ketua pulang . . . !" seru salah seorang murid.
lndrajit terus memperhatikan penunggang kuda itu. Kemudian
berkata, "Itu bukan ketua kita."
Memang yang datang bukanlah Ki Mantrayasa sang katua perguruan
silat Elang Putih. Penunggang kuda coklat itu sampai di hadapan
Indrajit. Tubuh, muka dan pakaiannya kotor oleh debu tenda dia telah
menempuh perjalanan jauh. Bibirnyapun tampak kering. Jelas
penunggang kuda berusia hampir setengah abad ini kelihatan letih.
"Pamen Gitasula, kedatanganmu setelah hampir setahun tak pernah
muncul sangat menggembirakan kami. Kau tentunya haus. Biar
kusuguhkan minuman segar untukmu!"
Selesai berkata begitu Indrajit cabut sebilah golok pendek dari
pinggangnya. Senjata ini dilemparkannya ke atas pohon kelapa.
Sebutir kelapa yang tertebas oleh golok ini bukan saja terbabat putus
dan jatuh ke bawah, tapi sekaligus ujungnya ikut terpotong hingga
membuat lubang di tengahnya. Dengan tangan kiri Indrajit
menengkap goloknya, sedang tangan kanan menjangkau kelapa yang
jatuh lalu menyodorkannya pada orang bernama Gitasula.
"Silahkan minum paman!"
Gitasula yang memang sangat haus dan letih segera meneguk air
kelapa muda yang segar dan manis itu sampai habis, lalu membuang
buah kelapanya ke pasir. Ombak menyapu pantai, butiran kelapa itu
terseret laut, terapung-apung dipermainkan ombak.
"Paman Gita, sayang kau datang pada saat ketua kami tidak di sini.
Gerangan apakah yang membawa paman tiba-tiba ingat kami dan
datang ke sini …?"
Gitasula memandang wajah Indrajit sesaat, ia menatap ke arah
puluhan murid-murid perguruan. Melihat sikap orang ini Indrajit
merasa tidak enak. Terlabih ketika Gitasula berkata:
"Indrajit, mari kita bicara di dalam sana."' Lelaki ini lalu turun dari
kudanya. Seorang anak murid
perguruan segera menggiring kuda tunggangannya menambatkannya
ke batang pohon kelapa. Setelah memberitahukan pada saudara
seperguruannya agar mereka melanjutkan latihan, Indrajit dan
Gitasula melangkah menuju rumah besar, langsung masuk ke ruang
dalam dan duduk berhadap-hadapan.
"Nah, paman. Katakanlah apa maksud kedatanganmu kemari," kata
Indrajit pula.
"Aku datang membawa kabar buruk Indrajit…"
"Kabar buruk apa paman?" tanya Indrajit. Wajahnya menunjukkan
rasa terkejut tapi sikapnya tetap tenang.
"'Kabar buruk bagi perguruan Elang Putih."
"Ada yang tidak suka dengan perguruan kami lalu handak menjajal
kekuatan kami. Atau langsung ingin menyerbu kemari? Seperti yang
kejadian dua tahun lalu dengan orang-orang dari pantai utara itu?"
Gitasula gelengkapan kepalanya.
"Bukan itu Indrajit. Sejak kalian menyapu orangorang dari utara
tempo hari, sejak itu pula nama perguruan kaiian menjadi terkenal,
dihormati dan disegani. Kabar buruk yang kumaksudkan adalah
mengenai guru atau ketua kalian."
"Kami memang sedang menunggu-nunggu ketua. Janji beliau paling
lambat akan meninggalkan perguruan satu kali bulan pumama. Tapi
ini sudah lewat dua kali pumama …"
"Kau tahu ke mana ketuamu Ki Mantrayasa pergi!"
Indrajit mengangguk. "Beliau menerima undangan dari seseorang di
pantai selatan …"
"Kau kenal siapa pengundang itu?"
Indrajit menggeleng. "Jika beliau tidak kenal, tak akan mungkin pergi
memenuhi undangan. Beliau tak banyak memberi keterangan
mengenai undangan, hanya katanya ada pertemuan tokohtokoh silat
Jawa Barat di selatan. Memangnya apa yang telah terjadi paman?"
Gitasula tak segera menjawab. Sejurus kemudian baru dia membuka
mulut berkata:
"Kuharap kau menerima kenyataan ini dengan tabah, Indrajit …"
"Paman! Katakan apa yang terjadi!" Indrajit tak sabaran lagi.
"Ketua perguruan Elang Putih, yang juga merupakan gurumu telah
menemui kematian. Dibunuh orang!"
Indrajit bangkit dari duduknya. Sekujur tubuh pemuda berusia tiga
puluh lima tahun ini bergetar. Kadua matanya memandang mendelik
pada Gitasula penuh rasa tak percaya.
"Paman, kabar buruk apakah ini?! Ketua mati dibunuh orang?!"
"Benar Indrajit. Undangan yang disampaikan orang itu pada Ki
Matrayasa adalah undangan maut. Mereka sudah merencanakan
maksud jahat dan keji. Yaitu melakukan pembunuhan. Dan bukan
hanya ketua saja yang mereka bunuh tapi lebih dari lima belas
tokoh-silat di Jawa Barat ini!"
"Paman, jika kau datang membawa kabar musibah besar ini, berarti
kau juga mengetahui siapa pembunuh ketua kami!"
"Mereka adalah manusia-manusia iblis dari Kota Hantu!" sahut
Gitasula.
"Kota Hantu? Tak pernah kudengar nama itu sebelumnya. Dan siapa
iblis-iblis yang kau maksudkan itu paman?!"
"Beberapa bulan lalu, satu komplotan yang ter'diri dari enam
manusia durjana di bawah pimpinan Singkil Alit membangun sebuah
kota raksasa, terdiri dari beberapa desa dan puluhan kampung.
Seluruh kota dikelilingi pagar tinggi. Dua pintu gerbang masuk dan
keluar dikawal oleh penjaga-penjaga secara ketat …..
Selanjutnya Gitasula menuturkan apa yang diketahuinya tentang
kehidupan mengerikan di dalam kota itu. "Penduduk tak lebih dari
pekerja-pekerja paksa. Mereka disuruh melakukan apa saja. Mulai
dari bercocok tanam, memelihara ternak sampai menangkap ikan ke
laut. Para pengawal kota kabarnya juga melakukan perampokan di
mana-mana. Mereka menculik perempuan-perempuan cantik untuk
diserahkan pada enam manusia iblis itu! "Siapa saja yang berani
membangkang perintah atau coba melarikan diri pasti dibunuh!"
Lalu Gitasula menceritakan malapetaka keji yang terjadi di malam
bulan purnama dua bulan lalu.
"Kabarnya hampir semua tamu menemui ajal karena diracun. Tapi
ketua kalian, sahabatku Ki Matrayasa mati ditusuk dengan pedang!"
"Singkil Alit …" desis Indrajit dengan dua tangan terkepal dan mata
berapi-api. "Kau harus bayar nyawa ketua dengan nyawamu dan
nyawa lima anggota komplotanmu!" Lalu pemuda ini berpaling pada
Gitasula. "Paman katakan siapa sebenarnya manusia bernama Singkil
Alit itu. Di mane letak Kota Hantu dan apa sesungguhnya maksudnya
hingga berbuat sekeji itu?!"
"Siapa sebenarnya Singkil Alit masih gelap bagiku. Dia bersama
teman-temannya muncul begitu seperti setan di siang bolong! Yang
jelas mereka terutama Singkil Alit memiliki kepandaian tinggi.
Disamping itu mereka juga licik dan keji. Ganas melebihi iblis! Kota
Hantu yang mereka bangun dan kuasai terletak di tenggara, enam
hari perjalanan berkuda dari sini, di kaki gunung Halimun. Lalu apa
maksud mereka melakukan semua keganasan itu menurut para tokoh,
ada beberapa alasan: Pertama mereka ingin memiliki harta kekayaan.
Kedua mungkin ada rencana untuk menyerbu Kerajaan. Namun
menurut pandanganku Singkil Alit ingin memulai kehidupan hitamnya
dengan pertama sekali menguasai dunia persilatan di Jawa Barat ini.
Itu sebabnya dia membunuh semua tokoh silat yang datang ke
perjamuannya!"
"Jika memang demikian Singkil Alit dan lima iblis lainnya itu harus
dimusnahkan!" kata Indrajit pula. "Dan aku sebagai murid ketua Ki
Matraysa bersumpah untuk menebas batang leher Singkil Alit!"
"Aku dan sisa-sisa tokoh silat di Jawa Barat ini juga punya pendapat
demikian Indra," kata Gitasula pula. "Namun apapun langkah yang
kita susun, kita harus merencanakan dengan hatihati. Enam Iblis Kota
Hantu itu bukan manusia-manusia sembarangan. Belum lagi puluhan
pengawal mengelilingi mereka, mulai dari pintu gerbang sampai ke
pintu tempat tidur mereka!"
"Aku mengerti paman," sahut Indrajit. "Jika kita bergabung masakan
tidak mampu menghancurkan mereka. Aku rela mati untuk
membalaskan sakit hati guru!"
"Kalau begitu kau datanglah ke tempatku di Lemburawi di kaki
gunung Malabar. Pada hari dua belas bulan di muka. Aku telah
mengatur pertemuan para tokoh di sana. Jika rencana matang,
menyerbu Kuta Hantu dari situ akan lebih cepat karena lebih dekat."
Jika menurutkan hati amarahnya Indrajit ingin cepat-cepat menyerbu
ke Kota Hantu. Namun menyadari kekuatannya sendiri dan
menghormati rencana yang rupanya sudah disusun oleh paman
Gitasula maka pemuda ini menyetujui rencana Gitasula itu.
***
DUA ORANG penjaga pintu gerbang selatan Kota Hantu segera
menghunus senjata masingmasing ketika seorang penunggang kuda
muncul dari kegelapan. Sementara udara malam dingin menusuk
tulang, apalagi angin juga bertiup kencang.
"Siapa dan mau ke mana?!" bentak salah seorang pengawal ketika
mengetahui pandatang bukan penduduk Kota Hantu.
"Namaku Sirat Gambir, datang dari pantai barat ingin memasuki kota
guna menemui pemimpin kalian!" jawab penunggang kuda dengan
sikap keren.
"Kami tidak pernah mangenal namamu sebelumnya! Datang di malam
buta begini untuk menemui pimpinan kami! Kau boleh pergi dan
datang besok pagi!"
"Kenal aku atau tidak itu bukan urusan. Aku tidak mau pergi dan
harus menemui pimpinan kalian malam ini juga. Aku membawa
urusan penting!"
"Katakan apa urusanmu!" pengawai kedua buka suara.
"Ini satu urusan rahasia dan teramat penting. Hanya bisa kukatakan
pada Singkil Alit atau salah seorang anggota pimpinan Kota Hantu
lainnya," kata penunggang kuda bernama Sirat Gambir.
"Apapun urusanmu pimpinan kami tidak menerima tamu malam hari!"
"Begitut!" ujar Sirat Gambit sambil menatap tajam pada si pengawal.
"Baik, aku akan pergi. Tapi jika kelak terjadi apa-apa di kota kalian,
dan pemimpin kalian mengetahui bahwa aku datang membawa kabar
tapi kalian tidak memberi izin, maka leher kalian akan ditebas!" Sirat
Gambir putar kudanya. Dua pengawal tampak saling pandang. Salah
seorang di antara mereka cepat-cepat berkata, "Baiklah, kamu kami
izinkan masuk kota. Tapi untuk bertemu dengan pimpinan harus
menunggu sampai pagi!"
"Aku akan masuk kota. Dan kalian harus memberi tahu kedatanganku
pada pimpinan kalian. Jika menunggu sampai besok segala
sesuatunya akan terlambat! Urusanku bukan urusan main-main. Tapi
urusan keselamatan pimpinan dan seluruh isi Kota Hentu ini!"
"Kami harus menggeledahmu lebih dulu!"
"Sialan! Kalau aku bermaksud jahat, kenapa susah-susah minta izin
segala? Mempreteli kalian bardua bukan soal sulit bagiku. Lihat!"
Tubuh Sirat Gambir tiba-tiba melesat dari atas punggung kuda.
Kakinya kiri kanan tahutahu sudah memijak kepala kedua pengawal
itu, lalu bersalto di utara, di lain saat sudah tegak di depan pintu
gerbang.
Dua pengawal pintu gerbang terkejut, mereka segera menyadari kalau
mau orang bernama Sirat Gambir itu tadi-tadi dapat menendang
hancur kepala mereka!
"Nah, apakah kalian masih belum mau membuka pintu untukku?!"
tanya Sirat Gambir.
Cepat-cepat salah seorang pengawal segera mengetuk pintu gerbang.
Dua kali berturut-turut, lalu tiga kali. Sebuah lobang empat persegi
terbuka pada salah satu bagian pintu gerbang. Satu kepala muncul
dan bertanya, "Ada apa?"
"Buka pintu. Ada tamu penting untuk pimpinan!" jawab pengawal
yang di luar.
"Tamu? Malam-malam begini?"
"Sudah, jangan banyak tanya. Dia membawa urusan penting!"
"Siapa namanya, datang dari mana dan apa urusannya?"
"Aku bertanggung jawab penuh di sini! Kau tak usah banyak tanya.
Lekas buka pintu!"
Pengawal yang di dalam, yang rupanya berpangkat lebih rendah tak
berani lagi menjawab lalu cepat-cepat membuka palang besi pintu
gerbang besar itu.
Dengan di antar oleh dua orang pengawal berkuda Sirat Gambir
kemudian dibawa ke tempat kediaman pimpinan Kota Hantu.
Walaupun saat itu sudah lewat tengah malam namun seperti biasa di
rumah besar kediaman Singkil Alit suasana selalu kelihatan ramai.
Enam pimpinan Kota Hantu itu hampir setiap malam berkumpul di
situ, menikmati minuman dan makanan lezat, menghibur diri dengan
perempuanperempuan cantik mereka ambil secara paksa atau culik
dari desa-desa sekitar kota.
Pinta Manik tengah menggeluti tubuh seorang gadis desa yang
diculik tiga hari lalu ketika pengawal dari pintu gerbang selatan
ditemani pengawal rumah besar. Melihat kehadiran kedua pengawal
ini Pinta Manik membentak marah.
"Pengawal-pengawal keparat! Kau minta mati berani kurang ajar
datang kemari tanpa dipanggil?!"
Rangga, Rah Tongga, Wiracula danTembesi yang sedang di ruangan
itu sama-sama berpaling ketika mendengar bentakan kawan mereka
tadi. Singkil Alit saat itu berada di ruangan dalam. Pengawal rumah
besar menjura ketakutan dan buru-buru berkata.
"Mohon maafmu pimpinan. Pengawal pintu gerbang selatan datang
membawa kabar penting."
"Kabar penting! Kabar penting apa?!" Pinta Manik memandang pada
pengawal pintu gerbang.
Pengawal pintu gerbang segera membuka mulut.
"Seorang bernama Sirat Gambir mengaku datang dari pantai barat
ingin menemui pimpinan di sini. Menurut dia ada urusan sangat
penting yang akan dibicarakannya. Katanya menyangkut keselamatan
para pimpinan bahkan seluruh kota!"
"Hebat sekali!" kata Pinta Manik lalu memandang pada empat
kawannya. Kelima manusia iblis itu kembali tertawa gelak-gelak.
Pinta Manik memandang ke luar. Di pekarangan depan rumah besar
memang dilihatnya ada seora penunggang kuda berpakaian warna
gelap, berambut gondrong dan memakai ikat kepala, didampingi
seorang pengawal yang juga menunggang kuda dan senjata terhunus.
"Orang yang memakai ikat kepala itu yang bernama Sirat Gambir?"
tanya Pinta Manik.
Due pengawal mengiyakan.
"Hemm … suruh dia datang kemari! Jika dia ternyata kucing dapur
yang membuang-buang waktuku saja, akan kupatahkan batang
lehernya!"
Maka Sirat Gambirpun dibawa menghadap Pinta Manik sementara
empat pimpinan Kota Hantu lainnya tinggalkan tempat masing-
masing dan melangkah mengelilingi Sirat Gambir.
"Katakan apa keperluanmu!" ujar Pinta Manik.
Sirat Gambir menghitung. Hanya ada lima orang di hadapannya.
Setahunya pimpinan Kota Hantu berjumlah enam orang.
"Ada kabar panting yang akan kusampaikan. Tapi hanya akan
kukatakan atas dasar dua syarat. Pertama, kalian harus lengkap
enam orang. Aku harus tahu yang mane pimpinan tertinggi di antara
kalian. Lalu, untuk berita yang kubawa ini aku minta imbalan paling
tidak sepuluh tail uang emas!"
Sepasang alis Pinta Manik naik ke atas, keningnya menggerenyit.
Tiba-tiba dia tertawa membahak. Empat kawannya ikut tertawa. Saat
itu dari ruang dalam—mendengar suara ramai— keluarlah Singkil Alit.
"Pesta kalian ramai sekali. Ada perempuan baru atau ada yang
lucu?!" tanya Singkil Alit sambil betulkan celana hitamnya.
"Singkil! Kita kedatangan seekor monyet yang bicara besar. Kau lihat
sendirilah kemari!" kata Pinta Manik,
Singkil Alit melangkah ke hadapan Sirat Gambir sementara Pinta
Manik menerangkan nama dan maksud kedatangan orang yang
dikatakannya seekor monyet itu.
"Hemmm … Sirat Gambir, coba kau terangkan urusan yang katamu
sangat panting itu.
Menyangkut keselamatan kami dan seluruh kota! Jika berita itu cukup
berharga mungkin kami bisa memberi imbaian. Tapi apapun
imbalannya kami yang menentukan, bukan kau!"
"Sepuluh uang emas! Kalau kalian tidak bisa menerima, lebih baik
tak kukatakan dan aku akan pergi seat ini juga!" kata Sirat Gambir.
Singkil Alit tampak berubah wajahnya.
Sekian lama menjadi pimpinan di Kota Hantu itu tak ada seorang
pun yang berani bicara seperti itu padanya, apalagi orang luar. Maka
pimpinan Kota Hantu itupun bertanya, "Sirat Gambir, apakah kau
sadar berada di mans saat ini? Dan berhadapan dengan siapa?!"
Sirat Gambir memang bukan seorang pengecut. Dia tahu jika terjadi
ape-apa tak akan mampu baginya, menghadapi enam manusia iblis
itu. Namun mengingat berita yang dibawanya luar biasa pentingnya
bagi enam orang itu, maka dia merasa berada di atas angin. "Aku
cukup maklum berada di mana dan berhadapan dengan siapa. Aku
menghormati kalian dan menganggap sebagai sahabat. Namun mengingat berita yang kubawa sangat penting, dan aku tidak main-main maka adalah wajar jika aku mendapatkan imbalan!"
"Bagus! Aku senang pada manusia-manusia yang berani bicara terus
terang. Tapi aku tidak suka pada orang yang bicara bertele-tele!
Katakan apa berita panting yang ingin kau sampaikan itu! Soal
imbalan kita bicara belakangan! Sepuluh tail emas tidak ada artinya
bagi kami! Tapi jika beritamu ternyata kentuk busuk belaka maka kau
harus pergi dari sini dengan meninggalkan lidahmu!"
"Nah … nah … nah!" ujar Wiracula. "Pemimpi kami malam ini sangat
berbaik hati hanya minta kau meninggalkan lidahmu, dan bukan
jantungmu!"
Singkil Alit tersenyum.
"Aku tahu. Soal nyawa manusia bagi kalian lebih sepele dari kotoran
kerbau. Setiap saat kalian bias membunuhku. Namun itu berarti tabir
rahasia berita yang akan kusampaikan tak akan pernah kalian
ketahui. Kalaupun kalian akhirnya mengetahui maka sudah terlambat.
Kota ini mungkin sudah jadi lautan api. Kalian sendiri mungkin
sudah menemui ajal atau cacat seumur hidup!"
"Hebat! Ceritamu hebat! Tapi gila!" tukas Singkil Alit.
"Betul!" menyahuti Tembesi. "Aku kepingin tahu siapa yang mau
membuat kota ini menjadi lautan pi dan mampu membunuh kami
Enam Iblis Kota Hantu?!"
"Jika kalian tidak tertarik dengan urusan ini, lebih baik aku pergi!"
kata Sirat Gambir jadi jengkel. Tapi diam-diam dia sudah mencium
bahwa bagaimanapun enam manusia Iblis itu ingin mengetehui apa
sebenarnya berita yang hendak disampalkan Sirat Gambir.
"Baik! Kami tertarik. Nah katakanlah!" ujar Singkit Alit.
"Bayarannya dulu!" sahut Sirat Gambir.
"Keparat sialan!" maki Singkil Alit dengan mata mendelik. Tapi Sirat
Gambir hanya ganda tertawa. "Berikan uang yang diminta bangsat
ini!" teriak Singkil Alit kemudian.
Rangga keruk pinggang pakaiannya. Lalu lemparan sebuah kentong
kain ke hadapan kaki Sirat Gambir. Orang ini membungkuk untuk
mengambil kantong itu. Namun sebelum ujungujung jarinya
menyentuh kantong, dari samping Rah Tongga melompat kirimkan
satu tendangan ke kepala Sirat Gambir. Terjadilah hal yang
mengejutkan keenam manusia iblis Kota Hantu itu.
Sirat Gambir sejak semula sudah mengetahui manusia-manusia
bagaimana adanya enam orang yang dihadapinya itu. Selain bengis
ganas mereka juga rata-rata licik. Karenanya sewaktu membungkuk
mengambil kantong kain yang waktu jatuh mengeluarkan suara
bergemerincing, ekor matanya melirik ke kiri dan kanan. Begitu
dilihatnya Rah Tongga membuat gerakan, secepat kilat Sirat Gambir
melompat ke kiri, menyelamatkan kepala sambil ujung jari kaki
kirinya menjepit kantong uang. Kantong itu melesat ke atas, dan
ketika dia berdiri di sudut ruangan, kantong sudah ada dalam
genggamannya.
Sambil menyeringai Sirat Gambir berkata.
"Aku datang dengan maksud baik. Antaaa kita tak ada silang
sengketa. Tapi jika kalian bertindak licik dan ganas, kalian akan
rasakan sendiri akibatnya!"
Baik Singkil Alit maupun lima manusia iblis lainnya kaget bukan
kepalang. Tendangan yang tadi dilepaskan Rah Tongga bukan
tendangan sembarangan. Merupakan tendangan maut yang sulit
untuk dikelit! Jika orang bernama Sirat Gambir itu sanggup
selamatkan diri nyatalah dia memiliki kepandaian tinggi. Menimbang
di situ Singkil Alit buru-buru berkata.
"Sirat Gambir, jangan kau salah sangka! Kawanku yang satu ini
memang suka usilan. Dia hanya tak sabar untuk membuktikan bahwa
kau bukan orang sembarangan. Yang berarti apapun berita yang
bakal kau sampaikan, pasti akan kami percayai!"
"Hemm begitu? Baik! Tapi untuk tendangan tadi kalian haus
mengeluarkan bayaran tambahan sepuluh mata uang emas lagi!"
kata Sirat Gambir.
"Kurang ajar! Jadi kau hendak mempermainkan kami?!" sentak
Tembesi.
"Bukan aku! Tapi kalian yang mau mempermainkan aku!" sahut Sirat
Gambir pula. "Nah, kalian berikan apa yang kuminta. Atau aku akan
tinggalkan tempat ini!"
"Singkil!" berkata Wiracula dengan tampang menunjukkan
keberingasan. "Anjing jalanan seperti dia kenapa tidak kita gorok
saja batang lehernya?!"
"Tenang Wira; " bisik Singkil Alit. "Monyet satu ini di samping punya
sedikit ilmu juga licik. Biar aku yang melayaninya." Lalu pada Sirat
Gambir pimpinan Kota Hantu itu berkata, "Sobatku, jika maksudmu
datang adalah baik, mengapa buru-buru pergi. Jangan khawatir.
Tambahan uang yang aku minta akan kuberikan. Bukan cuma
sepuluh tapi lima bola mata uang emas!"
Singkil Alit memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya. Orang
ini masuk ke dalam, ketika keluar dia membawa sebuah kantong
kain. Kantong isi uang ini diserahkan Singkil Alit pada Sirat Gambir.
"Nah, kau sudah menerima apa yang kau minta. Sekarang katakan
berita penting apa yang hendak kau sampaikan pada kami?!"
Setelah menghitung terlebih dulu uang dari kantong kain dan
memasukkannya ke balik pakaianya, Sirat Gambir melangkah mundur
ke dekat pintu. Dia sengaja mencari tempat yang baik agar jika
terjadi apa-apa dapat tinggalkan tempat itu dengan cepat. Namun
Singkil Alit yang bergelar Harimau Hitam juga tidak bodoh. Selagi
Sirat Gambir sibuk menghitung uang emas dalam kantong, dia
memberi isyarat lima anak buahnya. Kelima orang ini segera
menyusul kedudukan sementara di luar rumah besar, cepat sekali dua
puluh pengawal bersenjata mengurung jalan keluar.
"Singkil Alit, kau dan kawan-kawanmu ingat peristiwa tiga bulan lalu?
Ketika kalian mangadakan jamuan makan minum. Mengundang
puluhan tokoh silat di kawasan barat ini!" berkata Sirat Gambir.
"Oh, itu…. ? Apa hubungannya dengan berita yang hendak kau
sampaikan?!"
"Kalian mungkin menyangka bahwa pembunuhan keji yang kalian
lakukan terhadap semua undangan itu tidak bocor keluar. Banyak
tokoh silat di luar kini sudah mengetahuinya…."
"Lalu?"
"Mereka kini menyusun rencana untuk menyerbu Kota Hantu.
Menyama-ratakan dengan tanah danmembunuh kalian berenam!"
Mendengar keterangan Sirat Gambir itu Singkil Alit memandang pada
kawan-kawannya. Keenamnya lalu tertawa gelak-gelak.
"Masih saja ada manusia-manusia bodoh ingin melakukan ketololan!"
kata Singkil Alit.
"Kota ini bernama Kota Hantu. Siapa yang berani masuk akan
berhadapan dengan hantu-hantu!
Akan mampus!"
"Aku hanya memberitahukan. Orang-orang ini bukan kelompok
sembarangan," kata Sirat Gambir pula.
"Hem…. Katakan kalau kau tahu siapa mereka!" Pinta Manik berkata
sambil tolak pinggang.
"Yang menjadi pengatur rencana adalah seorang tokoh bemama
Gitasula. Dia saudara sepupu Ki Matrayasa, ketua perguruan silat
Elang Putih yang ikut jadi korban pembunuhan tiga bulan lalu. Pucuk
pimpinan perguruan itu sekarang dipegang oleh murid terpandai
bernama Indrajit. Tiga puluh anak buah perguruan siap menyerbu ke
sini…."
"Jangankan tiga puluh, tiga ratuspun mereka boleh datang kemari
jika memang mau mati konyol!" Yang bicara adalah Rah Tongga.
"Nama Gitasula ataupun Indrajit dengan perguruan silat Elang
Putihnya mungkin bukan apa-apa bagi kalian. Namun dengan mereka
juga bergabung beberapa tokoh silat tingkat tinggi. Yang pertama
Ingar Gandra, tokoh silat dari Ujung Kulon yang bergelar Sultan
Maut…."
Singkil Alit dan kawan-kawannya saling pandang, menekan rasa
kaget. Meskipun mereka berenam tidak takut namun mereka tahu
betul Ingar Gandra memang bukan tokoh silat sembarangan.
"Siapa lagi lainnya?!" tanya Singkil Alit.
"Datuk Hijau!" jawab Sirat Gambir.
"Jadi tua bangka keropos itu juga ikut berkomplot melawan kami!"
ujar Singkil Alit sambil puntir kumis tebalnya. "Ada lagi yang lain?"
"Ada. Tapi mereka tidak kukenal. Di antaranya seorang bertopeng…."
Lalu Sirat Gambir menyambung. "Nah keteranganku tentang orang-
orang itu sudah lengkap. Aku sudah menerima imbalan dari kalian,
saatnya aku pergi. Namun…"
"Namun apa lagi?!" Rah Tongga tampak tak sabaran.
"Jika kalian mau memberikan lagi dua puluh lima uang emas, aku
akan berikan keterangan di mana dan dari mana kelompok orang-
orang itu akan mengatur serangan."
"Manusia temahak haram jadah!" maki Tembesi sambil melangkah
menghampiri Sirat Gambir, siap untuk menghajarnya. Namun Singkil
Alit cepat memegang bahu kawannya ini. Pada Sirat Gambir manusia
bergelar Harimau Hitam ini berkata, "Uang bagi kami bukan apaapa.
Katakan di mana mereka mengatur serangan."
"Uangnya dulu!" kata Sirat Gambir seraya ulurkan tangan dan
menyeringai.
"Ambil uang!" seru Singkil Alit.
Sesaat kemudian sebuah kantong berisi dua puluh lima keping uang
emas sudah berpindah ke tangan Sirat Gambir. Dengan demikian dia
sudah mendapatkan lima puluh keping uang emas. Satu jumlah yang
luar biasa. Seorang Adipati sekalipun di masa itu belum tentu
memiliki uang sebanyak itu.
"Dengar, mereka mengatur serangan dari sebuah pondok di lembah
Cilendak. Setengah hari perjalanan dari sini ke arah barat laut!"
Singkil Alit manggut-manggut.
"Sirat Gambir, keteranganmu memang cukup pantas dihargai lima
puluh uang emas itu. Kami juga tidak lupa mengucapkan terima
kasih. Jika saja kau suka, kau boleh tinggal disini bersama kami. Kita
menyambut komplotan orang-orang tolol itu. Kau akan mendapat
sebuah rumah dalam kota ini, semua keperluanmu terjamin.
Termasuk perempuan cantik!"
Sirat Gambir tersenyum mendengar kata-kata pemimpin Kota Hantu
itu dan menjawab, "Terima kasih. Tidak disangka manusia-manusia
iblis Kota Hantu berhati polos seperti itu.
Hanya sayang aku tidak begitu suka tinggal di sini dan berkumpul
dengan kalian. Urusan sudah selesai, aku tak butuh berada lebih
lama di sini!"
Sirat Gambir putar tubuhnya namun dia jadi terkejut ketika
mendapatkan pintu keluar telah dihadang rapat oleh puluhan
pengawal bersenjata. Lelaki ini sudah mengetahui bahwa para
pengawal itu rata-rata memiliki kepandaian silat cukup tinggi,
walaupun cuma ilmu silat kasar. Mereka dilatih langsung oleh enam
iblis Kota Hantu.
Sirat Gambir berpaling pada Singkil Alit dan berkata, "Singkirkan
cacing-cacing busuk ini! Atau mereka akan kubikin amblas ke dalam
tanah!"
Singkil Alit tertawa gelak-gelak.
"Kau singkirkanlah sendiri!" katanya lalu dia memberi isyarat pada
lima kawannya. Keenam orang itu kemudian membentuk setengah
lingkaran dan melangkah mendekati Sirat Gambir. Melihat keadaan
ini Sirat Gambir segera menghantam ke kiri. Dua pengawal roboh.
Dari pengawal yang ketiga dia merampas sebilah golok lalu
menghantam dengan sebat. Dua pengawal lagi roboh. Namun yang
datang malah tambah banyak. Dari belakang Singkil Alit dan kawan
kawannya mulai menyerang.
Sirat Gambir ternyata memang bukan orang sembarangan. Setelah
membunuh delapan pengawal, melukai empat lainnya bahkan berhasil
menendang Rah Tongga dia berusaha melarikan diri dengan
melompat ke atas atap bangunan. Maksudnya hendak membobol
atap itu lalu kabur di kegelapan malam. Namun sebuah senjata
rahasia yang dilemparkan Wiracula dan tapat mengenai punggung
kirinya membuat lelaki ini kehilangan keseimbangan. Sebelum dia
sempat bergayut pada kayu kaso atap, dua dari enam iblis Kota
Hantu sudah melompat. pula ke atas mengejarnya. Satu jotosan
menghantam pelipis kiri Sirat Gambir. Satu sodokan sikut
mematahkan dua tulang iganya.
Tubuh Sirat Gambir melayang jatuh ke bawah. Hebatnya selagi jatuh
ini dia masih sempat kirimkan satu tendangan ke dada salah seorang
penyerangnya.
Buk!
Tendangan itu tepat, mengenai dada Pinta Manik. Darah menyembur
dari mulutnya. Manusia iblis satu ini terhampar jatuh duduk di lantai,
cepat ditolong oleh kawan-kawannya. Sementara itu lebih dari
selusin macam senjata para pengawal dihunjamkan ke tubuh Sirat
Gambir yang jatuh dan terkapar tak berdaya.
"Manusia setan alas!" maki Singkil Alit. "Bawa mayatnya keluar,
lemparkan keluar pagar kota!"
Setelah mayat Sirat Gambir diseret keluar para pimpinan Kota Hantu
ittu kecuali Pinta Manik segera mengadakan perundingan.
"Siapapun komplotan yang hendak menyerbu itu aku tidak takut,"
kata Singkil Alit.
"Namun yang bergelar Sultan Maut meskipun kita tak akan kalah
menghadapinya, perlu diperhitungkan. Dia dekat dengan Istana
Banten…"
"Kalau kita bisa menyusun rencana kenapa musti khawatir. Aku ada
usul." kata Tembesi pula.
***
HARI MASIH terang-terang tanah ketika lima sosok tubuh berpakaian
serba hitam berkelebat laksana hantu malam, bergerak mengelilingi
pondok kayu.
Tiba-tiba di dalam pondok terdengar seruan. "Semua bangun! Ada
orang datang."
Serentak pintu depan terpentang, jandela samping terbuka. Tiga orang
tegak di halaman samping, menghadapi lima lainnya yang berpakaian
serba hitam yang bukan lain dalah Singkil Alit, Rah Tongga, Tembesi,
Wiracula dan Rangga.
Tiga orang yang barusan menghambur dari dalam pondok adalah
pemuda Indrajit anak murid Ki Mlatrayasa dari perguruan siiat Elang
Putih, lalu kakek bermuka hijau yang dikenal dongan sabutan Datuk
Hijau. Sedang yang ketiga adalah Gitasula, saudara sepupu mendiang
Ki Matrayasa.
"Hamm,.. kulihat cuma tiga ekor monyet! Mustinya lebih banyak dari
ini. Mana monyetmonyet lainnya?!" Singkil Alit alias Harimau Hitam
buka suara.
Kakek bermuka hijau perdengarkan suara tartawa. Sambil kucak-
kucak mata dia berkata.
"Jauh-jauh menyusun rencana, tahu-tahu yang dicari datang sendiri
unjukkan tampang! Manusiamanusia iblis Kota Hantu. Mana
kambratmu yang satu lagi? Mengapa cuma muncul berlima?!"
Mendengar sebutan iblis Kota Hantu itu kagetlah Indrajit. Sebelumnya
dia memang tak pernah melihat atau mengenal manusia-manusia ini.
Begitu mengetahui kalau lima orang berpakaian serba hitam
bertampang ganas itu adaiah manusia-manuaia durjana yang telah
membunuh gurunya serta merta Indrajit melompat dan membentak.
"Kelian telah membunuh ketuaku! Sebelum matahari terbit kalian
berlima harus mampus di tanganku!"
"Anak muda!" ujar Rah Tongga. "Ucapanmu karen amat! Apa ingin
buru-buru menyusul ketuamu?!"
Panaslah hati Indrajit. Mendidih amarahnya. Dia menghantam ke
arah Rah Tongga.
"Cacing ingusan! Berani bermulut besar berani menerima bagian!"
kata Rah Tongga dan sambut pukulan Indrajit dengen tangkisan
lengan kiri. Semula manusia iblis ini tidak memandang sebelah mata
pada anak murid perguruan silat Elang Putih itu. Tapi begitu lengan
mereka saling beradu, tampak jelas Rah Tongga mengerenyit
menahan sakit. Sebaliknya Indrajit tersurut satu langkah. Meski
tangannya tidak sakit namun pemuda ini menyadari kalau lawan
memiliki tenaga lebih besar. Karenanya dengan mengerahkan tenaga
dalam dia kembali menyerang. Singkil Alit danWiracuia tak tinggal
diam. Keduanya menyerbu kakek bermuka hijau.
Sementara Tambesi dan Rangga menerjang Gitasula.
Datuk hijau adalah tokoh tua yang sudah lama tidak muncul dalam
dunia persilatan. Sebetulnya kakek ini tidak berminat lagi
mencampuri segala macam urusan dunia persilatan. Dia
lebih banyak menyepi diri. Namun kemunculan enam manusia iblis di
bawah pimpinan Singkil Alit alias Harimau Hitam dan berdirinya Kota
Hantu mau tidak mau membangkitkan semangat muda sang datuk
yang ingin melihat tegaknya kebinaran dan hancurnya kejahatan.
Namun niat sang datuk untuk berbuat kebajikan sekali ini rupanya
tak bakal kesampaian karena ternyata dua lawan yang dihadapinya
memiliki kepandaian tinggi.
Korban pertama yang jatuh dalam pertempuran itu adalah Gitasula.
Pengeroyokan atas dirinya berlangsung sembilan jurus ketika Rangga
dan Tembesi keluarkan senjata yakni berupa best hitam yang
ujungnya diganduli bola besi penuh duri tajam. Setiap pimpinan Kota
Hantu memiliki senjata seperti itu danselalu mereka keluarkan
bilamana lawan yang dihadapi dianggap cukup kuat tak mungkin
dikalahkan dengan ilmu silat tangan kosong.
Gitasula yang mempertahankan diri dengan sebilah pedang keluarkan
seluruh kepandaiannya. Pedang saatnya menyabet kian kemari
membentuk bayang-bayang masuk. Puncak kehebatan Gitasula hanya
sampai pada kesanggupan merobek perut pakaian Rangga. Di lain
saat bola besi berduri di ujung rantai Tembesi melabrak bahu
kanannya hingga lelaki ini terbanting sempoyongan ke kiri. Daging
dantulang bahunya hancur. Darah membasahi sisi kanan tubuhnya.
Dalam keadaan seperti itu Rangga datang menyerbu. Rantai hitam di
tangan kanannya berdesing berputar-putar. Bola berAri tiba-tiba
melesat ke muka Gitasula. Gitasula yang tidak mampu membuat
gerakan mengelak terpaksa angkat tangan kiri untuk menangkis. Dia
memilih memukul rantai besi dari pada memukul bola berduri.
Krak!
Terdengar suara patahnya tulang lengan Gitasula ketika tangannya
beradu dengan rantai besi. ban nyatanya dia tidak pula berhasil
menyelamatkan mukanya karena akibat pukulan pada rantai besi,
bola besi justru melentur melejit menghantam mukanya lebih cepat
dan lebih keras!
Gitasula terlontar beberapa langkah. Terkapar di tanah dengan muka
hancur mengerikan. Melihat kematian Gitasula, Indrajit berteriak
marah. Seperti orang kemasukan setan dia menyerang Rah Tongga
dengan jurus-jurus terhebat dari ilmu silat Elang Putih. Tubuhnya
berkelebat kian kemari. Sepasang tangannya laksana dua sayap
burung elong, mengembang mengirimkan serangan yang tiada henti.
Sedang kakinya kiri kanan pada waktu-waktu tertentu lancarkan
tendangan yang tidak terduga Rah Tongga jadi kaget ketika dapatkan
dirinya terkurung rapat dan tak mampu membalas. Dia mundur terus
sampai akhirnya satu pukulan mengenai rusuk kanannya. Dadanya
terasa sesak, tak dapat dipastikan apakah ada tulangnya yang patah.
Yang jelas amarahnya menggelegak. Terlebih ketika didengarnya
ejekan Tembesi.
"Tongga! Ternyata kau tak sanggup menghadap pemuda yang kau
anggap cacing ingusan itu! Sarahkan dia pada kami!"
"Tutup mulutmu Tembesi! Sebentar lagi kutekuk batang lehernya!"
sahut Rah Tongga dengan muka marah. Habis berkata begitu
manusia iblis ini loloskan rantai hitam yang ujungnya bola-bola
berduri lalu mengamuk menggempur Indrajit. Mendapat serangan
ganas begini rupa, yang tak mungkin dihadapi dengan tangan
kosong, murid mendiang Ki Matrayasa itu segera keluarkan pula
senjatanya, sebilah pedang yang memiliki ketajaman pada kedua
sisinya. Di bagian lain walaupun sudah mengurung rapat namun
Singkil Alit dan Wiracula masih belum sanggup merubuhkan si kakek
muka hijau yang gerakannya ternyata ringan sekali dan pukulan-
pukulannya terarah ke bagian-bagian tubuh berbahaya kedua
lawannya. Namun kematian Gitasula mempengaruhi diri kakek ini,
hingga gerakan-gerakannya menjadi sedikit lamban.
Walaupun begitu tetap sulit bagi dua lawannya untuk menerobos,
susupkan pukulan atau tendangan.
"Setelah menunggu lagi tiga jurus dan tetap tak mampu berbuat lebih
banyak, Singkil Alit berikan isyarat pada Wiracula. "Dari mulut Singkil
Alit keluar suara mengaum separti auman harimau. Tubuhnya miring
ke depan, kedua kakinya menjejak tanah. Sesaat kemudian tubuhnya
melesat ke depan, kedua tangan menggapai mencengkeram, persis
seperti harimau yang hendak melahap mangsanya.
Wiracula keluarkan suara tak kalah seramnya. Dia menggereng
macam harimau terluka. Kalau Singkil Alit menerjang dari depan
maka dia melesat dari samping kiri. Datuk Hijau maklum kalau dua
lawan telah keluarkan jurus-jurus silat mereka yang terhebat.
Karananya diapun tak mau berbuat lalai. Kedua tangannya bergerak
ke pinggang. Sesaat kemudian tangannya kiri kanan telah memegang
sehelai sapu tangan putih. Sapu tangan itu disapukannya ke mukanya
yang hijau. Aneh, begitu disapukan saputangan yang tadi berwarna
putih itu kini berubah jadi hijau. Dan begitu lawan mendekat, Datuk
Hijau kebutkan dua helai sapu tangan itu menyongsong serangan.
Angin keras menderu disertai membersitnya sinar hijau yang jelas
kelihatan karena saat itu hari telah mulai pagi dan terang. Kehebatan
ilmu si kakek mau tak mau membuat kaget dua manusia iblis itu.
"Keparat tua ini ternyata masih punya kuku. Kalau tak lekas dihabisi
bisa berabe!" pikir Singki Alit. Maka sebelum dua tangannya yang
menggapai mencengkeram ke depan bergerak lebih jauh, tiba-tiba
pemimpin Kota Hantu ini berputar berjumpalitan ke kanan. Di saat itu
pula terdengar suara berdesing dan sambaran benda hitam! Ternyata
Singkil Alit telah loloskan rantai hitam yang ujungnya diganduli bola
berduri.
Bret!
Sapu tangan di tangan kiri Datuk Hijau robek Singkil Alit melompat
mundur dengan wajah berubah meski dia berhasil menghancurkan
senjata lawan, namun tonjolan runcing pada bola besi hitamnya
tampak rontok! Benar-benar tak masuk akal baginya. Kain yang
begitu lunak sanggup menghancurkan duri besi. Dapat dibayangkan
kalau yang kena dihantam adalah daging atau tulang manusia!
Kehebatan sapu tangan hijau sang datuk rupanya, dirasakan juga
oleh Wiracula. Angin yang keluar dari sapu tangan di tangan kanan
Datuk Hijau seolah-olah badai besar yang datang menggulungnya
hingga gerakannya tertahan. Ketika dicobanya mendobrak ke depan
dengan melipatgandakan tenaga dalam dan lawannya kebutkan sapu
tangan hijau, Wiracula terpental. Hampir saja dia kena terserempet
serangan susulan Datuk Hijau kalau sang datuk tidak cepatcepat
tarik serangannya karena dari lain jurusan kembali menderu bola besi
yang dihantamkan Singkil Alit!
Kegesitan dan kecepatan gerakan mambuat Indrajit berkali-kali
hampir mencelakai lawannya. Sebaliknya Rah Tongga, iblis yang
berbadan paling gendut itu makin lama makin lamban gerakannya.
Tenaganya terkuras karena serangan rantai dan bola besinya selalu
mengenai tempat kosong. Karena tidak berhasil menghantam tubuh
atau kapala lawan dengan senjatanya maka, Rah Tongga kini
arahkan serangannya untuk memukul tangan atau pedang Indrajit. Si
pemuda yang nengetahui maksud lawan pergunakan kecerdikan untuk
menghindari bentrokan senjata. Akibatnya serangan-serangan Rah
Tongga semakin kacau balau. Memang patut diketahui sabagai murid
tertua dari perguruan silat Elang Putih, dalam ilmu padang Indrajit
telah mewarisi seluruh kapandaian gurunya. Apalagi dia berkelahi
dengan semangat tinggi demi untuk membalas kematian sang guru.
Setelah bertempur lebih dari dua puluh lima jurus, mulai terdengar
suara bret… bret! Robeknya pakaian hitam yang dikenakan Rah
Tongga, dicabik ujung padang si pemuda. Menusia iblis ini keluarkan
keringat dingin dan putar rantai besinyamya lebih sebat!
Melihat dua kawannya yaitu Tembesi dan Rangga hanya tegak cengar
cengir sementara dia dan yang lain-lainnya masih terus bertempur
menghadapi lawan tangguh, Singkil Alit jadi berang dan berteriak.
"Tembesi! Bantu Rah Tongga! Dan kau Rangga, bantu aku
menghadapi tua bangka muka hijau ini!" Mendengar perintah itu
Tembesi segera melompat ke samping Rah Tongga, langsung
menyerang Indrajit dengan rantai hitam bola besi. Rangga juga sudah
menerjang Datuk Hijau dengan senjata yang sama dari arah
belakang.
Dengan ketambahan satu lawan masing-masing, Indrajit dan Datuk
Hijau kini berada dalam keadaan terancam. Bagaimanapun mereka
kerahkan kepandaian namun dikeroyok begitu rupanya jurus demi
jurus keduanya semakin terdesak. Datuk Hijau yang dikeroyok tiga
mengalami nasib buruk lebih dahulu. Rantai hitam Wiracula berhasil
melibat lengan kanan kakek muka hijau itu. Meskipun dengan cepat
dia mampu meloloskan libatan rantai namun dua pengaroyoknya
yang lain pergunakan kesempatan untuk menyerang. Singkil Alit
datang dari sebelah kanan, sehingga dari sebelah belakang.
Keduanya dengan hantaman bola-bola besi. Datuk Hijau jatuhkan diri
ke tanahnya terus bergulingan dan memukul ke arah lawan terdekat
yaitu Wiracula. Namun gerakannya hanya ke sia-siaan belaka.
Karena begitu tubuhnya miring ke depan, cepat sekali bola besi di
tangan Singkil Alit membalik menggebuk punggungnya.
Datuk Hijau mengeluh tinggi. Tubuhnya terhambus ke tanah. Di saat
itu pula bola berduri di tangan Rangga membabat ke bawah,
menghantam tengkuk si kakek. Nyawanya putus detik itu juga!
"Tua bangka edan!" rutuk Singkil Alit. Dia berpaling pada Tembesi
dan Rah Tongga yang masih menempur Indrajit. Dan berteriak.
"Hanya seorang pemuda yang kalian anggap cacing busuk. Kalian
tak sanggup menghajannya. Tolol!"
Saat itu sebenamya Indrajit berada dalam keadaan ginting. Melayani
Rah Tongga dia masih sanggup bahkan dalam beberapa jurus di
muka pemuda ini segera akan dapat menghabisi lawannya. Namun
setelah Rah Tongga dibantu oleh Tembesi, keadaan jadi berbalik. Kini
Indrajit yang terdesak hebat. Di satu jurus di mana dua bola besi
melesat ganas mencari sasaran di tubuh dan kepala si pemuda,
Indrajit putar pedangnya sambil melompat. Sambaran bola besi yang
mengarah ke dada dapat dielakkan, namun dia terpaksa pergunakan
pedang untuk menangkis sambaran bola besi yang menghantam ke
kepalanya.
Treng!
Pedang di tangan lndrajit patah dua. Sementara bola besi terus
menyambar ke kepalanya. Dalam keadaan tak mungkin untuk
mengelak lagi, pemuda ini lemparkan patahan pedangnya ke arah
Tembesi.
"Pemuda gila!" maki Tembesi. Dia harus membuat gerakan mengelak
jika tak ingin terluka oleh patahan pedang. Tapi gerakan mengelak
tak mungkin dilakukannya jika dia masih terus memegang rantai
hitamnya. Kerena ingin melihat kematian si pemuda maka ia memilih
melepas pegangannya pada rantai hitam. Toh bola besi hanya
tinggal setengah jengkai saja dari kepala lawannya dan Indrajit tak
mungkin selamatkan kepalanya.
"Ah, matilah aku!" ujar Indrajit dalam hati.
Trak!
Sepotong kayu kecil tiba-tiba entah dari mana datangnya menyusup
menahan hantaman bola berduri. Ujung kayu itu patah tapi kepala
Indrajit selamat. Selagi pemuda ini tidak mengetahui jelas apa yang
telah terjadi tiba-tiba dia merasakan tubuhnya dipanggul orang dan
dilarikan laksana terbang. Di belakangnya terdengar bentakan-
bentakan marah.
"Bangsat rendah! Siapa yang berani ikut campur urusan kami iblis-
iblis Kota Hantu!"
"Tembesi! Kejar orang itu!" perintah Singkil Alit.
Namun Indrajit tidak melihat ada yang mengejar. Orang yang
melarikannya memiliki ilmu lari luar biasa. Tak mungkin dikejar.
Pemuda ini berusaha untuk melihat wajah orang yang memanggulnya
itu. Tapi tidak bisa karena rambut panjang putih orang itu, yang
tertiup angin, menutupi wajahnya.
***
"DUA PULUH pemuda menunggang kuda menuruni lembah dengan
cepat mengiringi dua orang di sebelah depan. Orang ini adalah
seorang lelaki berjubah putih dan mengenakan topi berbentuk sorban
tinggi juga berwarna putih. Yang kedua seorang pemuda bertubuh
ramping yang secara aneh menutupi wajahnya dengan sehelai kain
biru hingga sepasang alis dan matanya saja yang kelihatan.
Rombongan itu bergerak cepat menuju pondok kayu di lembah
Cilendak. Dari jauh pondok tampak sepi. Pintu dan jendela tertutup.
"Mudah-mudahan kita tidak terlambat!" kata orang tua bersorban
putih. Dia adalah Sultan Maut. Pemuda di sebelahnya, yang bercadar
kain biru hanya dikenal dengan nama Pandu. Dua puluh anak muda
penunggang kuda merupakan murid-murid perguruan silat Elang
Putih. Sesuai dengan perjanjian, pagi itu mereka berkumpul dan
bergabung di lembah Cilendak. Menjelang malam, setelah lebih dulu
beristirahat dan mematangkan siasat baru mereka bergerak menuju
Kota Hantu. Di tengah jalan diharapkan beberapa orang pandai
lainnya akan ikut bergabung.
"Sahabat-sahabat! Kami datang!" seru Sultan Maut. Mulutnya hanya
bergerak sedikit tetapi suaranya keras menggetarkan seantero
lembah. Dari dalam pondok tak ada jawaban.
"Aneh," kata Pandu. "Apakah sesiang ini mereka masih ketiduran!
Kalau musuh datang membokong bisa habis mereka semua!"
"Indrajit! Datuk Hijau! Gitasula!" kembali Sultan Maut memanggil.
"Kalian ada di dalam?!"
Tiba-tiba jendela di samping kanan pondok terpentang. Sesosok
tubuh melesat keluar dan tarkapar di tanah, di hadapan rombongan
yang baru datang. Serta merta semua orang itu menjadi terkejut.
Sepasang mata Sultan Maut sampai mendelik. Dia melompat dari
kudanya, diikuti Pandu serta belasan pemuda lainnya.
"Astaga! Ini Gitasula!" seru Sultan Maut. Meskipun wajah orang itu
hancur namun dia masih bisa mengenali sahabatnya ini.
"Dia korban pembunuhan!" desis Pandu dan memandang berkeliling.
Lalu memberi perintah pada puluhan pemuda. "Kurung pondok!"
Maka dua puluh murid perguruan Elang Putih segera mengurung
pondok kayu di tengah lembah itu. Masing-masing siap dengan
senjata. Sultan Maut tak dapat memastikan dengan botol apa
Gitasula dihantam hingga mukanya hancur begitu rupa. Perlahan-
lahan orang tua ini berdiri dan memandang tajam itu arah pondok.
"Siapa di dalam pondok? Lekas keluar!" orang tua ini membentak.
Baru saja bentakan sirap mendadak pintu pondok terbuka, lebar dan
sesosok tubuh dilemparkan keluar. Sultan Maut dan Pandu melengak
kaget dan sama-sama berseru kaget tegang. Tubuh yang menggeletak
di hadapan mereka adalah tubuh Datuk Hijau. Kakek ini juga mati
serba mengenaskan. Tubuhnya hancur di beberapa bagian.
"Pandu, siapapun yang membunuh para sahabat kita ini,
pembunuhnya pasti ada di dalam pondok itu. Bersiap untuk
menghancurkan bangunan itu!" kata Sultan Maut. Pendu memberi
isyarat pada dua puluh anak murid perguruan. Namun dia ingat
sesuatu lalu berbisik pada Sultan Maut. "Saya belum melihat Indrajit.
Apakah dia juga telah jadi korban dan akan dilemparkan ke hadapan
kita kali berikutnya?!"
Tiba-tiba dari dalam pondok terdengar tertawa bergelak. Lima sosok
tubuh berpakaian serba hitam, bertampang ganas dan masing-
masing mencekal rantai hitam yang ujungnya diganduli bola besi
barduri, berkelebat, tegak menyebar. Mereka bukan lain adalah lima
dari enam iblis Kota Hantu.
Singkil Alit angkat tangan kirinya serta merta kawan-kawannya
hentikan tertawa.
"Sultan Maut! Selamat datang di pondok maut ini!" kata Singkil Alit.
"Iblis terkutuk! Jadi kalian yang punya pekerjaan ini?!" ujar Sultan
Maut geram.
Singkil Alit menyeringai.
"Kami sengaja datang kemari agar kau dan kawan-kawanmu tidak
usah capaikan diri jauhjauh ke Kota Hantu. Kami kawatir kalau-kalau
tidak dapat menyuguhkan sambutan yang layak di Kota Hantu.
Karenanya kami menunggu di sini. Ketika kami datang ternyata
sahabat-sahabat kalian yang sudah lebih dulu berada di sini, begitu
ingin cepat-cepat mampus. Maka kami membukakan pintu maut
baginya." Habis berkata begitu Singkil Alit dan keempat anak
buahnya kembali tertawa gelak-gelak.
"Setahuku kalian berjumlah enam manusia. Manusia-manusia iblis
puntung neraka. Mana koncomu yang satu lagi!" membentak Pandu.
"Anak muda, sikapmu boleh juga. Kau akan jadi korbanku pertama!"
sahut Singkil Alit
"Dimana ka wanku yang satu berada kau tak usah tahu…."
"Lalu di mana Indrajit?"
"Itupun kau tak perlu tahu!"
"Kalau begitu makan tanganku!" Pandu jadi marah. Tubuhnya
berkelebat ke depan. Tangannya menghantarn. Ganda tertawa Singkil
Alit angkat tangan kirirtya. Maksudnya sekali bergerak aja dia hendak
menangkap tangan pemuda bertubuh ramping itu. Apalagi
gerakgeriknya yang kelihatan lembut maka si Harimau Hitam
menganggap enteng serangan lawan. Tetapi alangkah kagetnya
Singkil Alit ketika tiba-tiba serangan tangan itu ditarik pulang,
dengan memiringkan tubuhnya Pandu kini ganti menghantam dengan
satu tendangan.
Buk!
Singkil Alit terpekik.
Tulang lengannya seperti patah dan persendian tangan kirinya
laksana tanggal.
"Edan!" teriaknya marah. Dia memeriksa dengan cepat dan hatinya
jadi lega ketika mengetahui bahwa hanya bagian luar lengannya saja
yang cidera. "Pemuda keparat! Buka cadarmu! Aku tidak suka
membunuh orang tanpa melihat tampangnya lebih dulu!"
Pandu tartawa sinis. "Kalau kau sudah mampus dan berkumpul
dengan hantu-hantu liang kubur, baru nanti kau bisa melihat
tampangku!" kata pemuda ini.
"Kau betul-betul minta mampus!" Singkil Alit marah sekali lalu putar
rantai hitamnya.
Empat kawannya tidak tinggal diam. Dua melompat menghadang
gerakan Sultan Maut sedang dua lagi menyerbu menghadapi dua
puluh murid perguruan Elang Putih yang telah pula mulai bergerak
menyerbu.
Pertempuran sangat hebat berlangsung di lembah Cilendak itu.
Tembesi dan Rah Tongga mengeroyok Sultan Maut, Singkil Alit
menghadapi Pandu sedang Wiracula dan Rangga membendung
gempuran dua puluh pemuda bersenjata. Meskipun lawan yang
dihadapi dua iblis terakhir ini jauh lebih banyak namun pemuda-
pemuda tersebut belum memiliki tingkat kepandaian yang bisa
diandalkan. Akibatnya terjadilah hal yang mengerikan. Di mana-
mana terdengar jerit kematian. Kedua puluh pemuda murid perguruan
Elang Putih menemui ajal atau luka parah dihantam dan digebuk
rantai hitam atau gandulan besi. Sosok tubuh mereka berkaparan di
mana-mana. Erangan mereka yang luka-luka dan yang meregang
nyawa mendirikan bulu roma!
Sultan Maut merasakan darahnya mendidih. Namun dia tak mau
berlaku nekad. Dua lawan yang dihadapinya memiliki kepandaian
tinggi. Jika dia terpengaruh hawa amarah, akan mudah bagi lawan
untuk mencelakainya. Di samping itu dia mencemaskan pula keadaan
Pandu yang bertempur mati-matian dengan Singkil Alit. Pemuda itu,
walau memiliki kegesitan serta kecepatanatan dan tingkat tenaga
dalam yang tidak rendah, namun sulit baginya untuk mengalahkan
manusia bergelar Harimau Hitam itu. Apalagi Pandu sampai saat itu
hanya mengandalkan tangan kosong sedang lawan menggempur
tiada henti dengan rantai hitam bola besi berduri. Di satu kesempatan
Sultan Maut ambil sebilah keris dari balik jubahnya dan melemparkan
senjata ini ke arah Pandu. Dengan sigap si pemuda menangkap keris
itu. Langsung mengeluarkannya dari sarungnya. Sarung di tangan
kiri, keris di tangan kanan, Pandu menghadapi lawannya dengan
penuh percaya diri. Apalagi dia tahu betul keris berluk sembilan milik
Sultan Maut merupakan senjata sakti. Ketika dua kali dia sempat
bentrokan senjata dengan lawan, bunga api memercik. Tangannya
yang memegyang keris bergetar hebat tetapi dilihatnya Singkil Alit
juga seperti kesemutan. Dengan mengandalkan kegesitannya, Pandu
menyelusup di antara taburan serangan rantai hitam lawan. Namun
untuk menumbangkan Singkil Alit tentu saja bukan satu hal yang
mudah bagi pemuda ini. Dan dadanya bergetar ketika dilihatnya
Wiracula dan Rangga yang baru saja membantai dua puluh murid
perguruan silat Elang Putih, kini tampak siap bergabung dengan
pimpinn mereka.
Kesulitan yang bakal dihadapi Pandu diketahui pula oleh Sultan
Maut. Maka orang tua ini membuat gebrakan-gebrakan aneh. Setiap
menyerang dari mulutnya selalu terdengar suara tertawa nyaring yang
hampir menyerupai suara kuda meringkik. Suara tawa ini bukan saja
menyakitkan telinga kedua pengaroyotcnya tapi juga mempengaruhi
gerakan-gerakan mereka.
Singkil Alit yang punya lebih banyak pengalaman dari pada empat
kawannya segera maklum kalau Sultan Maut tengah mengeluarkan
ilmu andalannya. Maka, cepat dia berteriak memberi ingat pada
Tembesi dan Rah Tongga agar keduanya menutup jalan suara.
Namun terlambat. Saat itu Sultan Maut berhasil menyusupkan
tendangannya ke bawah perut Rah Torrgga. Lelaki ini menjerit
setinggi langit. Tubuhnya terpental dan jatuh tarkapar di tanah tak
berkutik, pingsan. Seumur hidup kalau dia hidup kelak dia akan
menjadi cacat, tidak lagi memiliki kemampuan kelelakiannya!
Singkil Alit menggereng marah. Dia putar-putar rantai hitamnya. Bola
besi berduri di ujung rantai menderu sebat. Sesaat ketika dia siap
menyerbu ke arah Sultan Maut, tiba-tiba didengarnya seruan
Wiracula.
"Singkil! Lihat! Pemuda ini ternyata seorang gadis jelita…"
Semua orang terkejut. Terutama Singkil Alit sedang Sultan Maut
diam-diam mengeluh dalam hati. Apakah yang telah terjadi!
Ketika berlangsung perkelahian seru antara Pandu dan dua
pengeroyoknya, di saat Singkil hendak menerjang ke arah Sultan
Maut, Wiracula berhasil, menjambret cadar biru yang menutupi wajah
Pandu. Begitu kain penutup muka si pemuda tersingkap, kelihatanlah
satu wajah yang tidak terduga. Ternyata pemuda itu adalah seorang
gadis berparas cantik. Singkil Alit sendiri sampai terbelalak. Tak
pernah dia melihat dara secantik itu. Sedang Tembesi yang memang
paling buas dengan perempuan tampak menyeringai. Tenggorokannya
turun naik.
"Tangkap dia hidup-hidup! Dia milikku!" teriak Tembesi.
Selintas akal licik muncul di benak Singkil Alit. Berempat mereka
pasti bakal dapat mengalahkan Sultan Maut. Namun jika mereka bisa
melumpuhkan orang tua berkepandaian tinggi itu mengapa tidak
dilakukan? Maka pimpinan manusia-manusia iblis ini segera berteriak
beri perintah.
"Kelian bertiga tangkap gadis itu hidup-hidup!"
Tembesi melompat lebih dulu. Wiracula dan Rangga menyusul.
Sultan Maut yang maklum bahaya yang bakal dihadapi Piranti alias
Pandu cepat melompat guna bergabung dengan si gadis. Namun
gerakannya dihadang oleh Singkil Alit.
"Iblis laknat! Mampuslah!" kertak Sultan Maut. Dari mulutnya keluar
suara tertawa meringkik Singkil Alit cepat tutup pendengarannya dan
sebatkan rantainya ke arah kepala lawan. Sultan Maut merunduk
seraya balas menghantam dengan pukulen tangan kosong yang
didahului siuran angin tanda orang tua ini memukul dengan
pengerahan tenaga dalam. Untuk elakkan serangan lawan Singkil Alit
bergerak cepat satu langkah ke kiri. Dari kedudukannya yang baru dia
ayunkan rantai hitam di tangan kanannya. Rantai ini seperti sebilah
pedang yang menyinarkan warna hitam membabat tangan Sultan
Maut sedang bagian ujungnya yang berbentuk bola berduri
menghujam ke arah bahu orang tua itu. Terpaksa Sultan Maut tarik
pulang serangannya dan ganti dengan tendangan ke arah bawah
perut lawan. Tendangan seperti inilah yang tadi menghantam dan
membuat pingsan Rah Tongga.
Namun sekali ini bukan saja tendangan maut tersebut dapat
dielakkan lawan, malah orang tua itu dibikin kaget oleh seruan salah
seorang manusia iblis Kota Hantu yang mengeroyok Piranti.
"Singkil! Kami telah meringkus gadis ini!"
Sultan Maut melompat mundur. Berpaling ke kiri dilihatnya Piranti
tegak tak bergerak. Jelas gadis ini telah ditotok hingga tak bisa
bergerak ataupun bersuara.
"Tembesi!" seru Singkil Alit. "Aku masih belum percaya dia seorang
perempuan. Coba buktikan padaku!"
"Manusia iblis! Jika kalian berani menjamah tubuhnya kuhancurkan
kepala kalian!" mengancam Sultan Maut.
Tapi Singkil Alit, Wiracula dan Rangga sudah mengurungnya,
membuat orang tua ini tak bisa bergerak. Sementara itu dengan
menyeringai penuh nafsu Tembesi gerakkan tangan kanannya ke dada
Piranti.
Bret!
Dada pakaian gadis itu robek besar. Dadanya yang putih tersingkap.
Sepasang payudaranya jelas terlihat membusung kencang.
"Ha… ha… ha.!" tawa Singkil Alit. "Sekarang aku percaya. Lalu dia
berpaling pada Sultan Maut dan berkata, "Orang tua, memandang
mukamu dan menimbang hubunganmu dengan Istana Banten, aku
masih suka membuat perjanjian denganmu…."
"Perjanjian apa?!" tanya Sultan Maut dengan mata melotot.
"Gadis itu tidak akan kami apa-apakan. Tapi kau ikut dengan kami ke
Kota Hantu. Tinggal di sana dan bekerja untuk kami!"
"'Kau lebih baik bunuh aku detik ini juga dari pada menjadi budak
tawanan!" sahut Sultan Maut tegas.
"Begitu ….?" Singkil Alit lambaikan tangannya pada Tembesi. "Bawa
gadis itu ke dalam pondok. Kau boleh memperkosanya sampai puas!"
Kegirangan, tanpa tunggu lebih lama Tembesi segera panggul tubuh
Piranti.
"Tunggu!" seru Sultan Maut.
"Eh, kau merubah pikiranmu?!" tanya Singkil Alit. "Kenapa mau jadi
orang tolol. Kau tak bakal menang menghadapi kami. Kau bakal mati
percuma dan gadis itu tetap saja tidak tertolong!"
Sultan Maut merasakan darahnya seperti mendidih dan dadanya
seolah-olah mau meledak oleh amarah. Namun memang dia tak bisa
berbuat banyak. Kalaupun dia melanjutkan pertempuran dengan
nekad, satu atau dua lawannya mungkin sanggup dibunuhnya, namun
dia sendiri tak akan lolos dari kematian. Dan Piranti akan menjadi
korban kebuasan manusiamanusia iblis itu.
"Baiklah " kata Sultan Maut dengan suara tersendat. "Aku ikut
bersama kalian. Tapi pegang janji kalian. Jangan ganggu cucuku
itu…."
"Ah, jadi dia cucumu. Apalagi cucumu. Masakan kami akan
mengganggunya!" ujar Singkil Alit. "Tembesi, tutup pakaian gadis itu
kembali. Biarkan dia tertotok. Kita harus segera tinggalkan tempat
ini!"
"Ah, rejekiku belum kesampaian. Sayang… sayang…." kata Tembesi
agak kesal. Tapi dia tahu, sesampainya di Kota Hantu perjanjian
yang dibuat dengan Sultan Maut saat itu pasti akan berubah.
***
UNTUK mempercepat perjalanan Singkil Alit dan rombongan
mengambil jalan pintas lalu menyusuri kali Cikajang. Di satu tempat
di mana air kali mendangkal mereka menyeberang. Sebelum senja
diharapkan mereka sudah sampai di Kota Hantu. Di sebelah barat
langit tampak menguning tanda matahari segera akan tenggelam.
Selagi rombongan menyusuri hutan kecil di sebelah barat kaki gunung
Halimun mendadak terdengar suara bebunyian.
"Ada yang meniup seruling!" kata Wiracula sambil mencari-cari kian
kemari dari mana datangnya tiupan seruling itu.
Singkil Alit mengangkat tangan kiri, memberi tanda. Seluruh
rombongan berhenti.
"Itu bukan tiupan suling biasa!" kata pimpinan Kota Hantu ini. "Jelas
menusuk telinga, menggetarkan gendang-gendang. Lagunya aneh,
naik turun, tinggi rendah tak menentu. Tak pernah kudengar nyanyian
seperti itu. Kita lanjutkan perjalanan tapi bersiaplah. Bukan tidak
mungkin ada orang pandai yang bermaksud menghadang kita.
Perhatikan kedua tawanan …"
Yang dimaksudkan dua tawanan bukan lain adalah Piranti dan Ingar
Candra alias Sultan Maut. Si gadis berada dalam keadaan tertotok
menggeletak di pangkuan Tembesi. Sultan Maut menunggang kuda
dbngan tangan terikat dan diapit oleh Wiracula serta Rangga. Rah
Tongga yang dalam keadaan sakit menunggangi kuda setengah
tiduran. Keadaan manusia iblis satu inilah yang membuat rombongan
tak bisa bergerak lebih cepat. Suara tiupan suling semakin santar
tanda makin dekat.
"Lihat di atas sana!" tiba-tiba Rangga berseru sambil menunjuk ke
sebuah pohon nangka hutan yang tinggi dengan cabang-cabangnya
yang besar-besar.
Semua mata segera dipalingkan ke arah yang ditunjuk. Di sebuah
cabang pohon tampak duduk seorang pemuda berambut gondrong.
Kepalanya diikat dengan kain putih. Pakaian putihnya tampak kumal.
Dia duduk di cabang pohon yang tinggi itu sambil uncang-uncang
kaki.
Ditangannya ada sebuah benda aneh. Berbentuk kapak bermata dua,
memiliki gagang berbentuk tubuh ular naga dan ada lobang-
lobangnya. Ujung gagang yang merupakan kepala seskor naga
menempel ke bibir si pemuda. Gagang senjata itulah yang ditiupnya
seperti sebuah suling. Sepasang mata kapak tampak berkilauan
terkena sinar matahari yang hendak tenggelam.
"Orang gila dari mana itu?!" ujar Wiracula.
"Dia bukan orang gila! Tak ada orang gila yang pandai memanjat
pohon setinggi itu!" tukas Singkil Alit. "Tiupan sulingnya tak mungkin
bisa menyakitkan telinga kalau dia tidak memiliki tenaga dalam
tinggi. Dan suling yang dipegangnya jelas bukan sembarang suling."
"Lalu apa yang akan kita lakukan?!" ujar Tembesi sambil usap-usap
tubuh Piranti. Dia ingin cepat-cepat sampai di Kota Hantu dan
langsung membawa gadis itu ke rumahnya walau sudah ada
perjanjian antara Singkil Alit dan Sultan Maut.
"Kita tetap lewat di bawah pohon. Jangan perdulikan orang di atas
sana. Dan jangan coba mengusik! Kalau dia yang lebih dulu mencari
lantaran baru kita habisi!" jawab Singkil Alit. Lalu dia memberi tanda
agar rombongan segera bergerak. Tapi gerakan rombongan tertahan
ketika di atas pohon pemuda peniup suling mendadak membuat
gerakan aneh.
Tubuh pemuda itu tiba-tiba jatuh ke bawah, berputar memuntir pada
cabang pohon yang tadi didudukinya lalu hup! Tubuhnya jatuh dan
berpindah ke cabang di bawahnya. Di cabang ini si pemuda kembali
duduk uncang-uncang kaki tiup sulingnya. Sesaat kemudian malah
dia menyanyi membawakan senandung aneh, Sang surya siap
tenggelam
Serombongan setan berjalan pulang.
Pesta perkawinan telah lama dimulai.
Lihat kawan duduk bersanding jadi mempelai
Lima iblis bermuka bengis
Lima durjana ditunggu liang neraka
Lekas pergi lekas pulang
Terlambat datang sang pengantin keburu busuk Habis bernyanyi
pemuda itu kembali tiup sulingnya.
Paras Singkil Alit dan kawan-kawannya tampak berubah. Jelas lima
iblis lima durjana dalam nyanyian itu yang dimaksudkan adalah dia
dan kawan-kawannya. Tapi apa arti kalimat "pesta perkawinan telah
dimulai", "lihat kawan duduk bersanding jadi mempelai", "terlambat
datang sang pengantin keburu busuk".
"Hanya orang gila berkepandaian sejengkal tak perlu dihiraukan
Singkil!" kata Wiracula kembali. Dia tetap menganggap pemuda di
atas pohon nangka itu orang gila.
"Hatiku tidak enak …." desis Singkil Alit. Sementara itu Sultan Maut
sejak tadi memandang tak berkesip pada pemuda di atas pohon.
Yang lalu pusat perhatiannya adalah kapak bergagang tubuh dan
kepala ular naga itu. Dia coba mengingai-ingat. Tapi menyesali diri
sendiri karena di usia setua itu ingatannya tidak terang lagi. Walau
bagaimanapun dia tetap yakin paling tidak pernah mendengar
tentang senjata yang dijadikan suling oleh pemuda tak dikenalnya
itu. "Kita lanjutkan perjalanan!" kata Singkil Alit akhirnya.
Rombongan kembali bergerak. Tapi-lagi-lagi tertahan ketika dari atas
pohon terdengar si pemuda berkata, "Memang kalian harus lekas-
lekas berangkat. Aku titip bungkusan ini. Sekedar hadiah pada pesta
perkawinan…"
Dari balik punggungnya pemuda di atas pohon keluarkan sebuah
benda sebesar kepala yang dibungkus dengan sehelai kertas warna
warni. Ujung kertas itu dikuncir dan diikat dengan seutas benang.
Ujung benang yang lain dipegang oleh si pemuda. Perlahan-lahan
bungkusan itu diturunkannya ke bawah, bau anyir busuk
menghampar. Bungkusan bulat terus turun agaknya sengaja
diarahkan kepangkuan Singkil Alit sementara bau busuk tambah
menjadi-jadi. Saking marahnya karena dipermainkan begitu rupa
Singkil Alit tak dapat menahan diri lagi. Dia hantamkan
tandangannya ke arah bungkusan. Tapi si pemuda di atas pohon
cepat menariknya tinggi-tinggi sehingga pukulan Singkil Alit hanya
mengenai angin. Tiba-tiba pemuda itu lepaskan ujung benang.
Bungkusan bulat langsung jatuh ke pangkuan Singkil Alit.
Ketika Singkil Alit hendak melemparkan bungkusan busuk itu si
pemuda berkata, "Kalau kau tak mau ketitipan bungkusen hadiah
pesta perkawinan itu, mengapa tak ingin melihat isinya?!"
"Gila! Siapa sudi melihat isi bungkusan busuk itu!" bentak Singkil
Alit. Lalu lemparkan bungkusan ke tanah. Bersamaan dengan itu dia
memberi isyarat pada Rangga. Dari atas punggung kudanya Rangga
melompat. Ditangannya telah tergenggam rantai hitam berujung bola
besi berduri. Senjata ini berdesing menghantam ke arah pemuda yang
duduk di cabang pohon!
Braak!
Cabang pohon hancur berantakan. Tapi pemuda yang diserang telah
lenyap. Hanya terdengar seruannya, "Sampai jumpa di pesta
perkawinan! Jangan lupa bawakan bungkusan itu!"
"Keparat!" maki Singkit Alit. Dia tarik tali kekang kuda, siap untuk
tinggalkan tempat itu sementara hari mulai gelap. Namun hati
kecilnya ingin juga melihat apa sebenarnya isi bungkusan itu. Maka
disuruhnya Rangga mengambil bungkusan yang terjatuh di tanah.
"Buka!" perintah Singgil Alit.
Ketika dibuka kagetlah lima ibis Kota Hantu itu.
"Puranda!" seru mereka hampir berbarengan.
Begitu bungkusan terbuka yang kelihatan adalah kepala manusia.
Kepala manusia ini adalah kepala Puranda, orang yang dipercayakan
menjadi kepala pengawal Kota Hantu karena terkenal kekejamannya
dan pandai menjilat pada enam pimpinan iblis Kota Hantu.
"Ada sebentuk tulisan di keningnya! Apa itu …?" tanya Singkil ketika
melihat sederetan tulisan.
"Bukan tulisan Singkil…" menyahuti Rangga. "Tapi angka-angka…"
"Angka-angka apa?"
"Dua-Satu-Dua!" jawab Rangga.
212.
Mendengar tiga angka itu barulah Sultan Maut ingat. Pemuda di atas
pohon tadi adalah Wiro Sableng. Senjata yang dijadikannya suling
adalah Kapak Naga Geni 212.
"Murid Sinto Gendeng … Dia ada di sini …" desis Sultan Maut. Ada
kelegaan di hatinya.
Tapi mengapa pemuda itu melenyapkan diri begitu saja? Tidak
berusaha menyelamatkan Piranti atau dirinya, tidak pula berusaha
menyerang lima iblis Kota Hantu itu?
Rangga yang melihat wajah pimpinan mereka menjadi pucat segera
bertanya. "Singkil, kau tahu arti tiga angka ini!"
"Singkil Alit tak menjawab. Tenggorokannya tiba-tiba saja terasa
kering. Dia hanya melambaikan tangan memberi tanda agar
rombongan segera melanjutkan perjalanan.
"Aku hanya sering mendengar nama dan julukan pemuda itu. Apakah
dia benar-benar ada? Apakah tadi itu memang Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212 Wiro Sableng? Kenapa seperti pemuda gila tak karuan
. . ." begitu Singkil Alit membatin sepanjang jalan. Hatinya semakin
terasa tidak enak.
***
DI jalan yang menurun menuju pintu gerbang utara Kota Hantu ketika
kegelapan malam telah lama turun, Singkil Alit danrombongan
hentikan kuda masing-masing. Meskipun mereka berada di pedrr
taran yang cukup tinggi namun pandangan mereka terhalang oleh
pagar batangan pohon jati yang mengelilingi dan membentengi kota.
Sesekali kelihatan kilapannyala lampu.
"Aneh," kata Sinakil Alit seraya memandang pada keempat kawannya.
"Aku mendengar suare alunan gamelan dari pusat kota … !"
Tiba-tiba Singkil Alit ingat pada ucapan pemuda aneh di atas pohon.
Pemuda itu berulang kali menyebut pesta perkawinan. Apakah saat
itu benar-benar ada pesta di dalam kota? Seperti melupakan yang
lain-lainnya Singkil Alit memacu kudanya menuju pintu gerbang
utara. Anak buahnya segera mengikuti sambil menggiring Sultan
Maut dan membawa piranti.
Sesampainya di pintu gerbang semakin heranlah Singkil Alit dan
kawan-kawannya. Biasanya di situ selalu ada dua orang pengawal di
sebelah luar dan pintu gerbang seharusnya berada dalam keadaan
terkunci dari dalam. Tapi saat itu sama sekali tak ada pengawal dan
daun pintu gerbang yang besar dan berat itu tampak merenggang.
Singkil Alit pergunakan kaki kirinya untuk mendorong pintu lalu
masuk diikuti yang lain-lainnya. Begitu sampai di dalampun mereka
tidak melihat ada penjaga. Seharusnya terdapat empat pengawal di
sebelah belakang pintu gerbang. Memandang ke tengah kota mereka
melihat lampu-lampu terang benderang di salah satu rumah besar.
Juga tampak kerumunan orang banyak di sana. Dan suara pesinden
yang tidak merdu itu, diringi kerawitan yang juga terdengar agak
kacau datang dari rumah besar itu.
"Itu rumah Pinta Manik! Apa yang terjeadi di sana … ?!" kata Singkil
Alit.
"Tampaknya seperti ads pesta," menyahuti Tembesi.
"Pesta?! Pesta apa?! Gila!" maki Singkil Alit. Dengan pelipis dan
rahang menggembung, dia memacu kudanya ke pusat kota. Di tengah
jalan dia berpapasan dengan seorang pemuda yang diketahuinya
adalah salah seorang pengawal khusus yang biasa bertugas di rumah
besar. Sekali tangannya bergerak Singkil Alit sudah mencekal leher
pakaian pemuda ini.
"Lekas katakan! Ada apa di rumah Pinta Manik?"
Pemuda pengawal, yang biasanya takut melihat Singkil Alit, apalagi
sampai dicekal begitu rupa, anehnya kini hanya mengerenyit
kesakitan dan menjawab, "Ada pesta perkawinan! Pinta Manik jadi
pengantin!"
"Keparat! Jangan kau berani bergurau kurang ajar padaku!" hardik
Singkil Alit. Tangan kirinya bergerak hendak menampar. Tapi tiba-
tiba sebuah pisau meluncur ke arah perutnya. Ditusukkan oleh
pemuda itu.
"Singkil awas!" teriak Wiracula memberi peringatan.
Tanda diperingatkanpun pimpinan Kota Hantu telah malihat apa
yang dilakukan si pemuda. Maka gerakan tangannya yang tadi
menampar kini berubah menjadi hantaman tepi telapak tangan yang
keras.
Praak!
Kepala si pemuda pecah. Tak ampun lagi nyawanya melayang detik
itu juga.
"Keparat!" maki Singkil Alit seraya meludah dan hempaskan tubuh
tak bernyawa itu ke tanah.
"Ada yang tak beres di sini Singkil!" ujar Rangga.
Tiba-tiba terdengar tawa Sultan Maut.
"Jika salah seorang anak buahmu nekad hendak membunuhmu,
memang ada yang tidak beres di sini Singkil!" katanya. "Kuharap saja
tidak terjadi pomberontakan di Kota Hantu ini!"
"Kalau mereka berani berontak akan kucincang satu demi satu!" kata
Singkil Alit.
Kembali Sultan Maut keluarkan suara tertawa seperti tadi.
"Tutup mulutmu! Kalau tidak kau pertama sekali yang akan
kucincang!" bentak Singkil Alit.
lalu bersama kawan-kawannya dia memacu kuda menuju rumah
besar milik Pinta Manik. Orang banyak yang berkerumun di tempat
itu, yang merupakan penduduk Kota Hantu, anak buah atau kaki
tangan enam iblis itu, menyeruak memberi jalan.
"Mereka datang!" seseorang berseru.
Gerak-gerik dan sikap penduduk Kota Hantu jelas-jelas aneh di mata
Singkil Alit dan kawankawannya.
"Mana pengawal?!" teriak pimpinan Kota Hantu itu. Tak ada satu
orangpun yang muncul.
Orang banyak yang ada di situ memandang mereka dengan dingin.
"Kurang ajar! Laknat semua!" teriak Singkil Alit marah. Sambil
bergerak maju kakinya menendang kian ke mari. Tangannya memukul
tiada henti. Hal yang sama dilakukan oleh empat iblis lainnya.
Akibatnya belasan orang terkapar roboh. Mati dan pingsan!
Di beranda depan rumah besar kediaman Pinta Manik, Singkil Alit don
kawan-kawannya berhenti dan seperti dipantek di atas kuda masing-
masing. Sultan Maut sendiri ternganga dan hampir tidak dapat
memastikan apa sebenarnya yang terjadi.
Di sebelah kiri beranda, duduk menjelepok serombongan pemain
karawitan yang aneh. Memang ada gong dan klenengan serta
kentongan, tetapi mereka juga memakai tetabuhan seperti alu dan
lesung, piring-piring kaleng, potongan-potongan kayu api. Memang
ada suling dan terompet bambu, tapi lebih banyak yang meniup
batang-batang padi. Keseluruhan musik itu mengeluarkan suara
centang perenang. Lalu sang pesinden yang suaranya tinggi rendah
tidak menentu ternyata adalah seorang perempunn yang mukanya
juga dicoreng moreng. Rambutnya diikat dengan kertas aneka warna.
"Pesta gila haram jadah!" maki Singkil Alit.
"Kurasa wabah penyakit gila sudah melanda Kota kita Singkil!" kata
Wiracula.
Singkil Alit tak menjawab. Sepasang matanya demikian juga semua
mata anak buahnya serta Sultan Maut tertuju ke bagian tengah
beranda luas. Di situ terdapat dua buah kursi besar penuh hiasan,
diapit oleh dua janur besar. Dinding sebelah belakang kursi ditutup
dengan tirai dan kain warna warni, ditaburi gaba-gaba yang
kelihatannya dipasang asal jadi.
Di kursi besar sebelah kanan duduk Pinta Manik. Mengenakan
pakaian pengantin lengkap dengan topi yang kekecilan. Mukanya
dirias seperti muka orang gila berbedak tebal, bergincu yang
berlepotan kian kemari. Pipinya juga diberi merah-merah entah
dengan apa, sepasang alis dan matanya diberi warna hitam
mencorong. Pinta Manik duduk tersandar antara sadar dan tidak.
Sesekali dia tersenyum atau tertawa gelak-gelak. Kadang-kadang dia
bertariak, "Tuak …tuak!"
Maka seorang anak lelaki kecil yang selalu tegak di sampingnya
segera mendekatkan bumbung bambu berisi tuak keras ke mulut Pinta
Manik. Setelah menyemburkan tegukan pertama baru dia meneguk
lahap tuak dalam bumbung itu. Minuman itu lebih banyak yang
tumpah membasahi dada dan pakaiannya. Setelah puas minum, dia
duduk bersandar kembali dan tersenyum-senyum seorang diri. Jelas
pimpinan Kota Iblis ini berada dalam keadaan tidak sadar diri karena
mabuk berat!
Di kursi sebelah kiri inilah satu pemandangan yang aneh tapi juga
lucu duduk seekor orang hutan betina. Tinggi besar berbulu hitam.
Kedua kakinya diikat ke kaki kursi. Sepasang tangannya diikat ke
lengan kursi. Binatang ini diberi sepotong pakaian yang hanya
menutupi dada serta perutnya. Dilehernya tergantung sebuah kalung
besar. Rambutnya diikat dengan kertas dan kain-kain kecil aneka
warna. Kepalanya malah diberi beberapa potong sunting! Binatang ini
tiada hentinya mengeluarkan suara menguik, menyeringai
memperlihatkan gigi-giginya yang besar. Tapi tak kuasa melepaskan
diri dari ikatannya pada kursi besar. Inilah "sang pengantin
perempuan". Dan seorang anak perempuan kecil yang bertindak
seperti dayang-dayang tegak di samping kursi "pengantin"
perempuan sambil tiada hentinya mengipasi "pengantin" itu!
Tidak tahan melihat apa yang berlangsung di depannya, Singkil Alit
serta Wiracula dan Rangga turun dari kuda masing-masing langsung
melompat ke hadapan Pinta Manik dan orang hutan yang duduk di
atas kursi.
Tembesi tetap di kuda karena lebih senang mendekapi tubuh Piranti
sedang Rah Tongga yang luka parah bagian bawah perutnya tak
mampu turun kalau tak ada yang menolong. Saat itu untuk kesekian
kalinya Sultan Maut coba melepaskan ikatan tali pada kedua
tangannya. Tapi aneh, tali kecil itu laksana gulungan baja yang tak
bisa diputusnya.
"Siapa yang punya pekerjaan ini?!" tiba-tiba Singkil Alit berteriak.
Suaranya menggelegar.
Tubuhnya bergetar dan rahangnya tampak menggembung. Pelipisnya
bergerak-gerak. Sepasang matanya berkilat-kilat. Hembusan nafasnya
seperti gerengan harimau lapar. Kedua tangannya terpentang, siap
untuk menghantam. Tidak ada yang menjawab.
Hanya irama karawitan yang acak-acakan itu, mendadak berubah
dan pesinden bermuka hitam celemongan membuka mulutnya lebar-
lebar membawakan sebuah tembang. Tamu-tamu besar sudah datang
Pelayan lekas keluarkan hidangan
Pesta ini pesta luar biasa
Hidangan juga harus lezat cita dan rasa
Pasta ini bukan pesta biasa
Pesta perkawinan iblis berkepala manusia
Para tamu bukan tamu biasa
Tapi sekelompok iblis gila
Kota Hantu kotanya iblis
Ada pesta sedang berlangsung Sampai di situ Singkil Alit tidak dapat
menguasai amarahnya lagi. Jelas-jelas nyanyian itu ditujukan pada
dirinya dan orang-orangnya.
Brak!
Singkil Alit hantamkan kaki kananya ke lantai bangunan yang terbuat
dan kayu jati keras setebal setengah jengkal. Lantai kayu itu jebol
berantakan. Tidak sampai di situ saja, pimpinan Kota Hantu ini
lantas melompat kirimkan tendangan pada si pesinden. Perempuan
yang malang ini pasti akan remuk tubuhnya atau hancur kepalanya
dilabrak tendangan itu kalau saja tidak terjadi satu hal yang
mengejutkan Singkil Alit dan membuatnya menarik pulang
tendangannya kembali.
Sebuah gong kecil yang terbuat dari besi kuning melayang ke arah
kaki kanannya. Dalam marahnya Singkil Alit sekaligus hendak
menendang hancur benda itu. Namun dia jadi kaget karena ternyata
gong tersebut melesat demikian rupa, seperti punya mata, kini
membeset ke arah pinggulnya. Mau tak mau Singkil Alit tarik kaki
dan melompat selamatkan diri.
Gong kecil itu terus melayang ke luar beranda. Sesaat kemudian
terdengar suara kuda meringkik dan jatuhnya sesosok tubuh ke
tanah. Apa yang terjadi? Gong yang tidak mengenai Singkil Alit tadi
menderu menghantam kuda tunggangan Rah Tongga. Binatang ini
meringkik kesakitan ketika gong memukul keras bagian lehernya, lalu
lari setelah membantingkan tubuh Rah Tongga ke tanah. Dalam
keadaan luka parah akibat tendangan Sultan Maut, Rah Tongga
hanya mampu merangkak menaiki tangga beranda rumah besar. Tak
ada seorangpun yang menolongnya, termasuk Tembesi atau Wiracula,
maupun Rangga.
Dari balik tirai merah yang tergantung di belakang kursi besar tiba-
tiba keluar beberapa sosok tubuh. Yang pertama adalah seorang
anak lelaki berusia hampir sebelas tahun.
"Singkil!" bisik Rangga. "Bocah itu adalah anak yang ayahnya kau
bunuh di desa nelayan…"
"Ya … aku ingat!" sahut Singkil Alit.
Anak lelaki tadi ternyata adalah Handaka. Putera nelayan tua
Argakumbara yang dibunuh oleh Singkil Alit beberapa bulan silam.
Di belakang Handaka melangkah terbungkuk-bungkuk seorang kakek
berambut putih panjang awut-awutan, berpakaian compang-camping.
Di tangan kanannya ada sebuah batok kelapa sedang di tangan kiri
memegang tongkat kayu. Orang tua ini bukan lain adalah Pengemis
sakti Batok Tongkat yang dulu telah menyelamatkan Handaka di
teluk Cikandang sewaktu Singkil Alit dan komplotannya mengganas di
desa ayahnya, merampok, menculik dan membunuh.
Di sebelah belakang si kakek menyuruh seorang pemuda berpakaian
putih bertampang cakap. Dia adalah Indrajit, murid pewaris perguruan
silat Elang putih. Bagaimana pemuda ini kini berada di tempat itu .
Seperti dituturkan sebelumnya ketika Datuk Hijau, Gitasula, Sultan
Maut, Piranti dan Indrajit menyusun rencana untuk menyerbu Kota
Hantu dan berkumpul di sebuah pondok di lembah Cilandak, karena
rahasia penggompuran dibocorkan oleh Sirat Gambir maka orang-
orang itu diserbu lebih dulu oleh Singkil Alit dan kawan-kawannya.
Dalam perkelahian melawan Tembesi, Indrajit kalah dan hampir
menemui kematian dihantam bola besi berduri kalau saja tidak
muncul seorang penolong aneh. Penolong yang tak dikenal ini
kemudian melarikan pemuda itu tanpa dapat dikejar oleh Singkil Alit
dan kawan-kawannya. Tuan penolong si pemuda ternyata bukan lain
adalah si kakek pengemis yang sebelumnya juga telah
menyelamatkan Handaka. Orang terakhir yang melangkah ke luar dari
balik tirai masih itu adalah juga seorang pemuda yang berpakaian
serba putih, berambut gondrong. Kepalanya diikat dengan sehelai
kain putih. Lagaknya cengar cengir enak-enak saja malah sambil
bersiul-siul kecil cengengesan.
Wiracula, Rangga, terlebih lagi Singkil Alit tampak melengak ketika
melihat tampang pemuda ini.
Wiracula cepat membisiki, "Singkil, pemuda paling belakang itu,
bukankah dia yang sebelumnya menghadang kita di luar kota. Yang
melemparkan bungkusan berisi kepala Puranda si kepala pengawal?"
"Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!" desah Singkil Alit dengan
bibir bergetar. Kedua tangannya terkepal.
Sebenarnya bagaimnanakah sampai orang-orang itu muncul di sana
dan bagaiman terjadinya pesta aneh, pesta perkawinan Pinta Manik
dengan orang hutan betina itu?
oo0oo
Berdirinya Kota Hantu dan
munculnya enam manusia iblis di bawah pimpinan Singkil Alit yang
menebar keganasan berupa maut, perampokan, penculikan dan
perbudakan itu telah sampai ka telinga para tokoh silat di daerah
timur. Mereka siap menyusun rencana penumpasan. Tapi tentunya
dengan menghubungi para tokoh silat di barat. Sebelum orang-orang
di timur melangkah lebih jauh mereka mendengar bahwa sudah ada
kelompok di barat yang akan mengadakan penyerbuan ke Kota Hantu,
yakni kelompok tokoh silat golongan putih di bawah pimpinan Datuk
Hijau dan Sultan Maut.
Karena hal itu sudah ditangani, maka orang-orang di timur
memutuskan untuk tidak bertindak lebih jauh dan melihat bagaimana
perkembangan setelah para tokoh di Jawa Barat turun tangan. Untuk
menyirap dan mengamati suasana orang-orang di timur sepakat
menugaskan Pendekar 212 Wiro Sableng untuk pergi ke Jawa Barat.
Seperti apa yang tarjadi ternyata tokoh-tokoh di Jawa Barat
mengalami kegagalan jauh sebelum penyerbuan ke Kota Hantu
dilakukan. Malah Datuk Hijau menemui kematian. Sultan Maut dan
Piranti tertawan. Gitasula juga menemui ajal.
Menghadapi keadaan yang demikian gawat, Wiro tidak kembali ke
timur guna memberikan laporan, tetapi mengambil keputusan untuk
menyambangi seorang tokah silat golongan putih. Orang ini bukan
lain adalah Pengemis Batok Tongkat. Di sana dia menemui pula
Handaka yang belum lama diselamatkan oleh si kakek, dan juga
Indrajit. Orang-orang itu mengadakan perundingan.
"Turut mauku," kata Pengemis Batok Tongkat. "Aku ingin menunggu,
sampai beberapa tahun lagi sampai muridku Handaka ini memiliki
kepandaian yang yang bias diandalkan untuk ikut menghancurkan
Iblis-ibiis Kota hantu. Tapi memang … kejahatan tak boleh dibiarkan
lama menunggu. Kita harus menghancurkan manusis-manusia iblis
itu secepatnya…"
"Apakah kita bertiga sanggup melakukannya?" tanya Indrajit. Lalu
buru-buru menyusuli ucapannya tadi dengan kalimat, "Maaf, saya
tidak bermaksud memandang rendah kepandaianmu kek dan juga
sahabat muda Wiro Sableng. Nama besar kalian cukup menjadi
jaminan. Yang aku tak mau kalau terjadi apa-apa dengan kalian.
Ingat kematian Datuk Hijau, paman Gitasula dan ketuaku sendiri . . ."
Mendengar ucapan itu Pengemis Botak Tongkat tersenyum dan
mendehem beberapa kali.
"Terima kasih kau yang muda memperhatikan keselamatan kita
semua," katanya. "Jika apa yang kudengar benar, menurut hematku
Wiro Sableng sendiri akan mampu menghajar orang-orang itu. Hanya
memang kali ini kita bukan saja menghadapi iblis-iblis ganas, tapi
juga sekaligus licik. Di amping itu aku yang tua ini tak ingin melihat
semua orang di Kota Hantu itu menemui kematian. Sebagian besar
dari mereka jelas budak-budak yang tak berdaya. Dengan kata lain
kita harus menyusun siasat…"
"Betul," kata Indrajit. "Mengintai kelengahan mereka!"
"Bagaimana pendapatmu Wiro?" tanya si kakek.
Murid Sinto gendeng garuk-garuk kepalanya. "Aku hanya menurut
apa mau kalian berdua. Hanya saja, kalau kalian setuju aku ada
rencana. Kudengar iblis-iblis Kota Hantu itu masih berada di lembah
Cilendak. Dalam waktu singkat akan segera kembali ke Kota Hantu.
Nah sebelum mereka kembali kita harus sudah siap menyambut…"
Lalu Wiro Sableng menerangkan rencananya. Setelah mendengar
rencana Wiro itu, Indrajit dan si kakek apalagi Handaka tak dapat
menahan tawa. Mereka tertawa terpingkal-pingkal.
"Wiro, kudengar gurumu si Sinto Gendeng itu edan otaknya. Ternyata
kau lebih edan!
Rencanamu benar-benar sableng. Tapi masuk akal dan pantas untuk
dilakukan. Kita berangkat sekarang juga!" Si kakek lalu ambil batok
kelapa dan tongkat kayunya.
Sebelum meninggalkan tempat kediamannya, pengemis tua itu lebih
dulu menangkap seekor orang utan betina, baru mereka menuju Kota
Hantu dengan menunggang kuda. Menerobos masuk ke kota Hantu
bagi orang-orang seperti Wiro atau Pengemis Batok Tongkat bukan
hal yang sukar. Namun sesuai dengan rencana mereka harus
memberitahu maksud kedatangan mereka pada seluruh penghuni
Kota Hantu yang ada. Dan karena waktu hanya sedikit maka hal itu
harus dilakukan cepat. Maka Kepala Pengawal Kota Hantu yang
bernama Puranda segera dipanggil datang ke pintu gerbang utama.
Puranda seorang lelaki muda berbadan tegap, punya tenaga luar
laksana badak dan tenaga delam yang cukup dapat diandalkan. Dia
mendapat latihan langsung dari Singkil Alit selama beberapa bulan
sebelum diangkat jadi Kepala Pengawal kepercayaan. Karena
mendapat kepercayaan demikian rupa serta jasa yang cukup besar
Puranda menjadi pongah. Beberapa kali tindakan keganasannya
melebihi pimpinannya sendiri.
Begitu berhadapan dengan para pendatang itu kepala pengawal ini
segera saja menunjukkan sikap sombong ganasnya.
"Kalian minta mati berani datang ke Kota Hantu. Membuat aku
membuang waktu untuk menemui kalian!" bentak Puranda. Sesaat
dia melirik pada orang hutan yang ada di atas kuda tunggangan
Indrajit.
"Sobat," sahut Wiro. "Kejahatan yang dilakukan pimpinan kalian
sudah selangit tembus. Kami tahu kau dan yang lain-lain ikut
melakukan itu hanya karena terpaksa di bawah ancaman. Saat ini
sudah waktunya kezaliman pemimpin kalian diakhiri. Kami akan
meringkus mereka, membunuh bila mereka melawan. Kami tidak
minta bantuan banyak pada kalian yang ada di sini, hanya lakukan
saja apa yang kami minta!"
"Kau pasti gila!" sntak Puranda. Dia berpaling pada dua pengawal
pintu gerbang. Seraya bertindak masuk kembali dia berkata, "Bunuh
pemuda gila itu. Semuanya!"
Maka dua pengawal bersenjata golok besar segera melompat ke
hadapan Wiro. Puranda yang tidak memandang sebelah mata pada
Wiro dan kawan-kawannya menjadi terkejut dan membalik sewaktu
didengarnya dua jeritan keras dan pengawal yang tadi disuruhnya
membunuh Wiro, terpelanting, terkapar di tana dengan dada remuk.
Darah mengalir dari mulut masing-masingmasing.
"Bagaimana . . . . ?" tanya Wiro. "Kalian ikut kami menumpas
manusia-manusia iblis itu atau mint ditumpas?!"
"Bangsat rendah! Kau mengandalkan kepandaian apa berani bicara
seperti itu!" teriak Puranda marah. Dari atas punggung kudanya
tubuhnya laksana tarbang. Tumitnya meluncur ke kening Wiro
Sableng. Serangannya mengeleparkan angin keras.
"Manusia tolol! Diberi madu minta racun…" Pengemis Batok Tongkat
merutuk. Dia memberi isyarat pada Wiro. Murid Sinto Gendeng ini
segera rundukkan kepala dan ulurkan tangan. Begitu cepatnya
gerakan Wiro hingga kepala pengawal Kota Hantu itu tidak percaya
kalau pergelangan kaki kanannya sudah berada dalam cekalan kedua
tangan lawan. Perunda coba sentakkan kakinya untuk melepas
cekalan. Bersamaan dengan itu kepalan tangan kanannya
dihantamkan ke depan untuk menggebuk kuda tunggangan Wiro.
Namun semua yang dilakukan kepala pengawal itu gagal karena
dengan sangat cepat Wiro memuntir pergelangan kakinya. Di lain saat
Puranda merasakan tubuhnya diayunkan ke bawah. Dia berusaha
jungkir balik menghindari kejatuhan. Malah akibatnya jadi parah.
Bukan saja tubuhnya terbanting keras ke tanah, tangan kirinya pun
remuk di bagian siku.
Kepala pengawal ini cepat berdiri walau di wajahnya jelas kelihatan
dia menanggung rasa sakit yang amat sangat. Saat itu Wiro sudah
melompat turun dari kuda. Puranda langsung menyerbunya. Entah
kapan kepala pengawal ini menggerakkan tangan tahu-tahu dia
sudah menggenggam sebilah golok yang ujung berbentuk segitiga.
Enam pengawal pintu gerbang yang ada di tempat itu segera pula
menghunus senjata masing-masing.
"Indrajit, kau uruslah mereka. Aku masih letih …." kata Pengemis
Batok Tongkat. Indrajit turun dari kudanya.
"Aku tahu kalian berenam adalah pemuda baik-baik. Menjadi
pengawal Kota Iblis karena dipaksa. Jika kalian mau bertobat dan
bergabung dengan kami pasti akan mendapat pengampunan!"
Enam pengawal Kota Hantu sana menyeringai. Mereka sama sekali
tidak tahu berhadapan siapa. Salah seorang diantara mereka maju
menuding: "Kau boleh pidato panjang pendek. Yang kami tahu siapa
berani datang ke Kota Hantu apalagi berani membuat kacau berarti
harus menyerahkan jantungnya!"
"Indrajit! Mereka sama saja dengan pimpinan. Lekas gebuk mereka!"
kata Pengemis Batok Tongkat tak sabaran.
Keenam pengawal itu tiba-tiba memencar. Tiga menyerang Indrajit.
Tiga lagi menyerbu ke arah kakek.
"Ee … benar-benar tak tahu diri. Makan tongkatku ini!"
Tanpa turun dari kudanya pengemis itu sambut serangan tiga lawan
dengan tongkat kayu. Dua pengawal yang kena gebuk langsung
melintir kesakitan. Yang satu menjerit sambil tekap daun telinga
sebelah kirinya yang robek ditusuk ujung tongkat. Satunya lagi
menggeliat-geliat di tanah pegangi perut yang bolong. Pengawal
ketiga terkapar di tanah. Keningnya nampak remuk oleh hantaman
batok kelapa si kakek!
Tiga pengawal yang menyerbu Indrajit mengalami hal yang sama.
Dengan tangan kosong pemuda ini menghantam mereka satu persatu
hingga terkapar di tanah. Ada yang tulang iganya remuk, ada yang
hancur mulutnya dihantam jotosan dan yang ketiga tersandar di
dinding pintu gerbang dengan lidah mencelet. Jotosan tangan kiri
Indrajit meremukkan tulang lehernya. Sementara itu perkelahian
antara Puranda dan Wiro Sableng berjalan berat sebelah. Apapun
kepandaian yang dimiliki kepala pengawal itu dia bukanlah
tandingan murid Sinto Gendeng. Setelah menghajar sampai babak
belur, Wiro hentikan serangannya dan berkata.
"Nah, kau yang minta racun kau sendiri yang merasakan pahitnya.
Sekarang apa kau masih tak mau bergabung dengan kami?!"
Kepala pengawal itu meludah. Ludahnya bercampur darah. Dengan
golok yang masih tergenggam di tangan kanannya dia kembali
menyerang Wiro.
"Ah, kau sengaja mencari nasib jelek kawan," kata Pendekar 212.
Lengan kanannya memukul ke atas.
Krak!
Puranda terpekik.
Tulang tangan kanannya patah. Goloknya mental. Senjata ini cepat
disambut oleh Wiro. Begitu hulu go lok tercekal, Wiro babatkan ke
leher Puranda. Darah mancur!
"Sahabat Wiro! Aku tak suka dengan caramu itu. Kita sama saja
buasnya dengan iblis-iblis Kota Hantu ini!" kata Indrajit ketika dia
melihat Wiro menjambak rambut Puranda dan menenteng potongan
kepala orang itu.
Wiro melompat ke atas kuda. "Aku juga tak suka hal ini Indrajit,"
sahutnya. "Tapi sesekali kita harus melakukan hal seperti ini untuk
membuka mata mereka. Kita tak punya waktu banyak. Kita tidak mau
urusan jadi bertele-tele dan menghadapi ratusan orang dalam kota
ini. Jika mereka melihat aku membawa kepala pimpinan pengawal,
mereka akan berpikir dua kali sebelum menyerang kita …. !"
Pengemis Batok Tongkat tepuk-tepuk bahu Indrajit seraya berkata,
"Anak muda, ini satu pengalaman baru bagimu. Terkadang hidup di
dunia ini tak bisa dihadapi dengan kejujuran dan welas asih melulu.
Pada saatnya kau akan mengerti apa yang dikatakan sahabatmu itu.
Kita tak punya waktu lama. Mari masuk ke dalam kota!"
Kota Hantu gempar ketika orang-orang itu menerobos masuk.
Terlebih menyaksikan kepala Puranda yang ditenteng Wiro Sableng.
Puluhan pengawal segera mengurung, tapi tak ada yang berani
bergerak.
Wiro angkat tangen kirinya tinggi-tinggi. Kerahkan tenaga dalam dan
berkata, "Siapapun kalian semua di sini tak lebih dari budak yang
ditindas oleh enam iblis Kota Hantu. Kami datang untuk
menghancurkan manusia-manusia iblis itu. Bukan untuk memusuhi
kalian. Kami ingin kalian bergabung dengan kami dan bukan seperti
kepala pengawal ini yang minta mati secara tolol! Hari ini adalah
hari kehancuran Kota Hantu dan merupakan hari kebebasan kalian!"
Wiro diam sesaat menunggu reaksi. Tak ada yang bergerak, tak ada
yang buka suara. Maka dia meneruskan. "Aku dan kawan-kawan
tahu, lima dari pimpinan kalian tidak ada di kota. Jika kita. mau
sama-sama menghancurkan orang-orang durjana itu lekas tunjukkan
di mana pimpinan mereka yang seorang lagi! Tapi ingat, jika kalian
menipu kami ini jadinya!" Wiro acungkan kepala Puranda.
"Ikuti kami …!" tiba-tiba ada yang berkata. Wiro memandang pada
orang itu dan anggukkan kepala. Mereka menuju ke rumah Pinta
Manik yang saat itu sudah diberitatahu oleh beberapa pengawalnya
apa yang telah terjadi. Karenanya ketika Wiro kawan-kawan datang,
dia sudah menyambut dengan rantai hitam berganduian bola besi
berduri di tangan kanan. Lima belas pengawal yang setia padanya
tegak mengelilinginya.
Pinta Manik pelintir kumis besarnya, memandang garang pada orang-
orang itu lalu pusatkan perhatian pada Wiro Sableng.
"Jadi ini manusia-manusianya yang berani masuk Kota Hantu.
Membunuh pengawalpengawal, memancung kepala pengawal! Bagus!
Pengawal! Tangkap kakek butut dan pemuda serta bocah itu.
Pembunuh Puranda ini aku sendiri yang akan melumatnya!"
Pinta Manik tutup ucapannya dengan menghantamkan rantai
hitamnya. Wiro kaget sekali ketika rasakan sambaran angin serta
cahaya hitam yang keluar darisenjata itu. Jelas pemimpin Kota
Hantu ini memiliki kepandaian dan tenaga dalam yang tinggi. Dan
jika mereka berjumlah enam orang tak heran kalau mereka bisa
menguasai dunia persilatan di Jawa Bara melakukan keganasan
seenak perut merekal
Lima belas pengawal kelas satu menyerbu ke arah Pengemis Batok
Tongkat dan Indrajit. Perkelahian seru terjadi. Tapi hanya enam
jurus. Memasuki jurus ke tujuh, tak satu pun di antara para pengawal
pilihan ini yang masih tegak berdiri. Semua orang yang memang
ingin melepaskan diri dari kebiadaban di Kota Hantu itu semakin
terbuka mata mereka. Mereka tahu kini orangorang yang datang itu
adalah tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi. Hari itu rupanya
memang menjadi hari kebebasan mereka. Maka mereka mulai
bersorak-sorak. Ketika ada yang berteriak agar rumah-rumah besar
milik enam iblis Kota Hantu itu dibakar, Pengemis Batok Tongkat
cepat berseru, "Jangan melakukan tindakan apa pun! Ikuti petunjuk
kami!"
Mendengar itu tak ada satu orang pun yang bertindak lebih jauh.
Perhatian semua orang kini terpusat pada Wiro Sqbleng yang
berkelahi menghadapi Pinta Manik masih dengan menenteng kepala
Puranda!
Pinta Manik sendiri diam-diam merasa terkejut ketika melihat lima
belas pengawalnya babak belur di hantam dua lawan. Rasa was-was
semakin mencengkam dirinya ketika mengetahui pula bahwa pemuda
yang dihadapinya ternyata memiliki kepandaian luar biasa. Serbuan
rantai hitam dan bola besi berdurinya yang laksana air hujan tak
satupun dapat menyentuh tubuh pemuda itu. Sebaliknya lawan jelas
mempermainkannya, menyerang dengan menyorongkan kepala
Puranda ke mukanya hingga pakaian dan wajahnya jadi kotor
bercelemong darah!
"Wiro," tiba-tiba Pengemis Batok Tongkat menegur. "Kita tak punya
banyak waktu. Lekas kau selesaikan iblis yang satu ini!"
Saat itu perkelahian antara Wiro dan Pinta Manik telah berlangsung
delapan belas jurus. Bola besi berduri mencuit-cuit pulang balik ke
arah kepala Wiro Sableng. Murid Sinto Gendeng ini memperlambat
gerakan silatnya. Menyangka lawan mulai kehabisan nafas dan
tenaga, Pinta Manik lipat gandakan daya serangannya. Wiro yang
tadi beberapa kali sempat menyemongi wajah dan pakaian lawan
dengan darah di kepala Puranda tidak menyangka kalau cukup sulit
untuk menotok Pinta Manik. Sesual rencana dia tidak boleh
membunuh manusia iblis yang satu ini. Maka terpaksa dia
mempercepat gerakannya kembali.
"Aku harus merampas rantai hitam itu. Dengan mengandalkan satu
tangan sulit melakukannya," membatin Wiro. Dia menimbang apakah
akan mencampakkan dulu kepala Puranda atau tetap menghadapi
senjata hebat lawan dengan satu tangan tapi mengeluarkan senjata
mustikanya yakni Kapak Naga Geni 212. Wiro memutuskan untuk
mengeluarkan senjata itu.
Sinar putih berkilauan ketika Kapak Maut Naga Geni 212 keluar.
Sesaat membuat Pinta Manik terkesiap. Seumur hidup belum pernah
dia melihat Senjata anah dan memancarkan sinar angker seperti itu.
Maka dia putar rantai hitamnya lebih hebat. Wiro angkat tangannya
yang memegang kapak, Sinar putih perak berkiblat.
Trang!
Bunga api memercik.
Rantai hitam di tangan Pinta Manik putus. Bola besi berduri yang
menggandul di ujung rantai terpental liar, menghantam tiga orang di
samping kiri. Ketiganya mati dengan tubuh dan kepala hancur.
Melihat senjata andalannya musnah pucatlah Pinta Manik. Dia
melompat mundur menjauhi Wiro. Tapi salah lompat. Dari belakang,
ujung tongkat Pengemis Batok Tongkat menusuk kuduknya. Kontan
tubuhnya tak berkutik lagi. Si kakek tertawa mengekeh. Die
memandang berkeliling. "Kita akan mengadakan pesta malam ini!"
katanya. "Pesta perkawinan manusia iblis ini…. !"
Tentu saja semua orang heran mendengar kata-katanya itu. Dan jadi
tambah heran ketika si kakek menyambung, "Dia akan kita kawinkan
dengan orang hutan itu! Kalian lihat saja nanti. Seret iblis ini. Cekok
dia dengan tuak sampai mabuk. Kalau sudah mabuk beri tahu aku
agar kulepaskan totokannya!"
Beberapa orang segera menyeret Pinta Manik ke dalam rumah.
Pengemis Batok Tongkat mendekati Wiro. "Kau boleh pergi sekarang.
Bungkus potongan kepala itu dengan kertas warna warni. Kedatangan
lima iblis lainnya perlu kita sambut dengan meriah…!"
"Bagaimana kalau mereka muncul dari pintu gerbang selatan hingga
aku tak menemui mereka di tengah jalan?" tanya Wiro.
"Aku yakin mereka memasuki kota dari arah utara. Itu jalan yang
terpendek dari lembah Cilendak. Aku juga yakin kelimanya tak akan
muncul secara utuh."
Wiro anggukkan kepala. Dengan membawa kepala Puranda dia
tingalkan tempat itu. ***
SEPULUH TAMU-TAMU penting sudah datang kenapa tidak segera
dihidangkan sesajian?!"
Pendekar 212 Wiro Sableng berseru. Lalu dia menjura
mempersilahkan Singkil Alit, Rangga dan Wiracula duduk di tikar
permadani.
Saat itu Singkil Alit sudah tak dapat lagi menahan amarahnya dan
siap menerjang Wiro. Begitu juga kedua kawannya.
"Eeh! Itu ada tamu yang terkapar di beranda kenapa tidak ditolong
supaya masuk kemari? Belum minum tuak kenapa sudah mabuk?"
ujar Wiro sambil menunjuk pada Rah Tongga yang terbujur di
beranda rumah. Seperti diketahui dia mengalami luka parah bagian
bawah tubuhnya akibat tendangan Sultan Maut.
"Hai itu ada satu lagi tamu penting berpakaian serba hitam. Kenapa
masih duduk di atas kuda? Dapat rejeki besar seorang gadis hingga
tak mau turun melihat pengantin bersanding …. !"
Wiro menunjuk ke arah Tembesi yang masih berada di atas punggung
kuda sambil pegangi tubuh Piranti. Setiap kata-kata yang diucapkan
Wiro Sableng diikuti Pengemis Batok Tongkat dengan gelak tawa
mengekeh.
Dari dalam tiga orang gadis diiringi tiga pemuda keluar membawakan
piring-piring dan gelas besar. Piring-piring itu bukannya berisi
makanan melainkan diisi dengan batu, pecahan kaca, tanah dan
pasir. Sedang gelas bukan diisi dengan tuak melainkan dipenuhi
dengan air got!
"Mari silahkan duduk, silahkan minum dan mencicipi makanan!" kata
Wiro. "Atau mungkin para tamu terhormat hendak bersalaman dengan
kedua mempelai lebih dulu …. ?!"
Batas kesabaran Singkil Alit dan kawan-kawannya habis sudah. Dari
tenggorokan pimpinan manusia-manusia iblis itu keluar suara seperti
harimau menggembor. Tubuhnya melesat melewati Pinta Manik dan
orang utan yang duduk bersanding, langsung menerkam ke arah
Pendekar 212 Wiro Sableng.
Wiracula dan Rangga tidak tinggal diam. Mereka nenyerbu ke arah
Pengemis Botak Tongkat dan Indrajit. Sebelum menyembul serangan
lawan si kakek sempat berbisik pada Handaka.
"Kau lihat orang berkuda yang memakai topi seperti sorban?" Maksud
si kakek adalah Sultan Maut. Handaka mengangguk. "Kedua
tangannya terikat tali. Tali itu tak bisa dibuka oleh siapapun kecuali
oleh Singkil Alit sendiri. Tapi ada satu cara untuk membukanya.
Ludahi tali itu tiga kali. Orang bersorban itu akan mudah melepaskan
ikatannya. Nah, pergi cepat!"
"Tapi aku harus membalaskan dendam ayah. Membunuh Singkil Alit!"
kata Handaka.
"Jangan kawatir. Setengah nyawanya akan kuberikan padamu!" jawab
Pengemis Batok Tongkat.
Mendengar ini Handaka yang baru beberapa bulan mendapatkan
pelajaran dasar ilmu silat dari si kakek segera menyelinap mendekati
Sultan Maut. Sementara itu Tembesi yang masih berada di punggung
kudanya bersama Piranti sesaat tampak bimbang. Apakah dia akan
turun membantu pimpinan dan kawan-kawannya. Atau lebih baik
bersenang-senang dengan gadis yang kini berada dalam keadaan
tertotok itu?
Sampai di hadapan Sultan Maut, Handaka tangkap tangan orang
yang terikat tali lalu meludahinya tiga kali. Kalau saja Sultan Maut
tadi tidak melihat gerak-gerik Handaka yang berada bersama
Pengemis Batok Tongkat pastilah dia akan memarahi anak yang
berani meludahi tangannya itu. Dia menggerakkan kedua tengannya
sedikit. Aneh, tali yang tadi begitu kokoh dan sulit dibuka kini
terlepas mudah sekali.
"Anak baik! Terima kasih atas pertolonganmu. Siapa namamu?!"
tanya Sultan Maut sambil mengusap kepala si bocah.
"Aku Haerdaka. Murid Pengemis Batok Tongka dari kaki Halimun…."
jawab Handaka bangga.
"Bagus . . . bagus! Kau memang pantas jadi murid pengemis sakti
itu!"
Saat itu Tembesi memutuskan bukan saja lebih baik bersenang-
senang dengan Piranti, tetapi sekaligus selamatkan diri dari
kelompok orang-orang yang diyakininya adaiah jago-jago rimba
persilatan berkepandaian luar biasa. Keadaan yang seperti itu
membuat dia tidak tenang. Lebih baik cari selamat. Tapi dia harus
kembali ke rumahnya dulu. Dia harus membawa beberapa gundik
yang disenanginya, juga harta kekayaanncya, baru diam-diam
menyelinap meninggalkan kota. Namun baru saja dia hendak
bergerak, di hadapannya telah menghadang Sultan Maut.
"Turunkan gadis itu…!" perintah Sultan Maut
Tembesi menyeringai. "Kalau kedua tanganmu sudah lepas apa kau
kira mampu bertahan hidup?! Kau harus melepas nyawa di Kota
Hantu, Sultan!"
Habis berkata begitu Tembesi segera keluarkan rantai hitamnya,
langsung menyerang Sultan Maut. Sang Sultan yang sudah tahu
kehebatan senjata lawan cepat melompat dari kuda, menyembar
sebatang tombak yang dipegang seorang pengawal di tepi beranda.
Dengan tombak ini dia menghadapi gempuran dahsyat rantai hitam
berbandul bola berduri lawan. Sultan keluarkan seluruh
kepandaiannya, bergerak cepat dan selalu berusaha menghindarkan
bentrokan senjata. Dia tahu pasti tombak besi yang dipegangnya tak
akan mampu bertahan kalau sampai tersambar senjata lawan. Di
samping itu setiap balas menyerang dia harus berhati-hati karena
kawatir tusukan atau sambaran tombaknya akan mengenai tubuh
Piranti yang lintang di punggung kuda.
"Aku harus paksa bangsat ini turun dari kuda!" kata Sultan Maut
dalam hati. Maka tombaknya dipakai untuk menyerang bagian
pinggang ke bawah sedang tangannya yang lain lancarkan pukulan
tangan kosong yang mengandung tenaga dalam tinggi ke arah dada
dan kepala Tembesi. Lambat laun merasakan gerakannya terbatas
jika terus berada di atas kuda, Tembesi akhirnya melompat turun.
Tapi dia berlaku cerdik. Sambil turun dia menarik tubuh Piranti dan
memanggulnya bahu kiri. Adanya tubuh si gadis di atas bahu lawan
membuat Sultan Maut tidak leluasa melancarkan serangan-serangan
mautnya. Sebaliknya Tembesi mampu melancarkan serangan dari
berbagai arah dan cara. Jika Sultan Maut menyongsong serangannya
dengan balas menyerang maka dia sorongkan tubuh Piranti ke depan
hingga mau tak mau lawan tarik kembali serangannya. Lambat laun
Sultan Maut jadi terdesak, terlebih ketika tombak di tangan kanannya
patah tiga dihantam gandulan besi berduri!
Sultan Maut merutuk panjang pendek dalam hati. Dia seperti
kehabisan akal bagaimana harus menghadapi lawan yang licik serta
memiliki kepandaian tinggi dan memegang senjata amat berbahaya
itu.
Kita tinggalkan Sultan Maut yang berada dalam keadaan serba salah
menghadapi Tembesi. Kita ikuti perkelahian antara Pengemis Batok
Tongkat melawan Wiracula. Senjata rantai hitam dengan gandulan
besi berduri di ujungnya jelas kelihatan lebih menggebu-gebu dari
pada tongkat kayu di tangan kakek pengemis. Orang tua ini sendiri
tahu akan hal itu. Sebelumnya ketika menyelamatkan Indrajit, ujung
tongkatnya pecah remuk sewaktu beradu dengan bola besi berduri itu.
Karenanya dia selalu menghindari bentrokan tongkat kayunya dengan
senjata lawan.
Sekalipun senjata Wiracula kelihatan hebat, mengeluarkan suara
menderu-deru dan memancarkan bayangan sinar hitam yang angker
namun dia tidak dapat menandingi kegesitan tubuh kurus si kakek.
Berkali-kali manusia iblis ini terperanjat karena tangan atau bagian
tubuhnya yang lain hampir dimakan ujung tongkat atau digebuk
badan tongkdt. Belum lagi batok di tangan kanan si kakek yang
mengemplang ganas ke arah batok kepala atau menggebuk deras ke
bagian badan. Terkadang batok itu seperti diikat dengan tali atau
benang yang tak kelihatan, menyerang laksana terbang, diulur dan
ditarik!
Wiracula keluarkan keringat dingin ketika di jurus ke sembilan ujung
tongkat di tangan kiri lawan mendadak berubah seperti puluhan
banyaknya, melenting melebar seperti kipas dan mengeluarkan suara
bersuit, merobek pakaian hitamnya di bagian dada. Wiracula
melompat mundur dengan muka pucat. Si kakek sebaliknya tertawa
mengekeh. Tongkatnya kembali melenting melebar, menyambar
bagian kepala lawan.
"Manusia iblis!" kata si kakek. "Jangan kawatir baju iblismu yang
robek akan kuganti dengan baru. Kau boleh ambil sendiri nanti di
neraka! He… he… he…!"
Mendidih amarah Wiracula mendengar ucapan itu. Dia lipat gandakan
tenaga dalamnya dan putar senjatanya lebih sebat. Besi hitam dan
gandulan bola duri itu berkiblat lebih sebat, lebih ganas, suaranya
berdesing tambah angker. Seluruh tubuh Pengemis Batok Tongkat
terbungkus serangan lawan. Baju rombeng kakek kelihatan berkibar-
kibar tertiup sambaran senjata lawan, begitu juga rambutnya yang
putih panjang.
Traaak!
Tongkat kayu dan gandulan besi beradu keras.
"Tongkatku!" seru si kakek ketika melihat tongkat kayunya terlepas
dari tangan dan patah dua mental di udara. Dia melompat seperti
hendak berusaha menangkap patahan tongkatnya itu. Inilah
kesempatan baik bagi Wiracula. Rantai hitam dan gandulan besi
berdurinya bersiut ke bawah, melabrak ke pinggang lawan.
"Putus pinggangmu tua bangka keparat!" seru Wiracula.
Manusia iblis ini tidak tahu kalau dia sudah termakan tipuan lawan.
Pengemis Batok Tongkat Tongkat membiarkan tongkat kayunya
digebuk patah dan pura-pura kalang kabut hendak menangkap benda
itu di udara. Selagi senjata lawan menghantam ke arah pinggang
tubuh kurus si kakek tampak melenting dan jungkir balik di udara.
Sesaat kemudian terjadilah pemandangan yang membuat Handaka
ternganga dan orang banyak yang menyaksikan ikut berdecak kagum.
Sepasang betis Pengemis Batok Tongkat tahu-tahu sudah menjepit
batang leher Wiracula. Manusia iblis ini coba menggebuk dengan
senjatanya. Namun dia mengalami kesulitan bernafas dan kraak!
Ketika si kakek memutar kedua betisnya terdengar suara patahnya
tulang leher Wiracula. Orang ini mengeluarkan suara melenguh
tercekik. Matanya mendelik lidahnya mencelet! Dari mulutnya keluar
darah, juga dari hidungnya. Senjata rantai hitam lepas dari
tangannya, jatuh ke lantai. Tubuh si kakek kembali melenting. Begitu
dia berdiri di atas kedua kakinya kembali, tubuh Wiracula roboh
terkapar di lantai.
"Mampus! Iblis keparat itu mampus!" teriak beberapa orang.
"Rasakan! Mengapa kita tidak membunuh yang satu itu? Yang
terkapar di kaki beranda!"
seorang lainnya berseru. Yang dimaksudnya adalah Rah Tongga,
salah satu dari manusia iblis itu, yang cidera berat di bagian
perutnya dan berada dalam keadaan antara sadar dan pingsan.
Tibatiba saja banyak orang mencabut senjata yang mereka bawa lalu
naik ke beranda rumah besar. Pengemis Batok Tongkat hendak
mencegah.
"Ah, peduli amat!" dengusnya kemudian. "Itu lebih baik baginya!"
Maka puluhan macam senjata menderu menghantami tubuh Rah
Tongga. Orang-orang Kota Hantu yang selama ini dijadikan budak di
bawah ancaman kematian, kini melepaskan dendam kesumat mereka.
Dalam waktu singkat tubuh Rah Tongga tidak berbentuk tubuh
manusia lagi, tapi terpotong-potong dan darah menggenang di lantai
beranda!
Pengemis Batok Tongkat berdiri sambil usap-usap batok kelapa di
tangan kanannya. Dia memandang berkeliling. Di sebelah kirinya
dilihatnya Indrajit bertempur melawan Rangga. Pemuda ini
memegang sebilah golok yang didapatnya dari seorang pengawal.
Golok besar itu bukanlah tandingan rantai hitam bergandulan bola
berduri di tangan Rangga. Hanya kegesitan pemuda itulah yang
banyak menolongnya menghadapi lawan yang tengguh itu. Namun di
mata si kakek dalam waktu beberapa jurus di muka Indrajit akan
menjadi repot, terdesak dan terancam keselamatannya.
Ketika dia memandang ke jurusan lain, Pengemis Batok Tongket
dapatkan Sultan Maut yang bertempur melawan Tembesi berada
dalam keadaan terdesak hebat. Bukan saja karena dia tidak
memegang senjata apa pun, tapi jelas Sultan Maut tidak mampu
melancarkan serangan balasan karena kawatir akan mengenai tubuh
cucunya yakni Piranti yang ada di atas bahu kiri Tembesi.
"Iblis licik!" gertak Pengemis Batok Tongkot lalu melompat turun ke
halaman. Namun saat itu setelah menggebrak dengan satu serangan
dahsyat hingga Sultan Maut terpaksa melompat mundur, Tembesi
cepat melompat ke punggung kudanya dan membedal binatang itu,
melarikan diri menuju bagian timur Kota Hantu.
"Sultan! Mari kita kejar iblis penculik itu!" kata Pengemis Batok
Tongkat seraya menarik bahu Sultan Maut. Keduanya sama-sama
melompat ke atas dua ekor kuda yang ada di dekat situ dan
mengejar.
Jika saja Tembesi langsung lari meninggalkan Kota Hantu metewati
jalan-jalan gelap dan berbelok-belok, basar kemungkinan dia tak
akan terkejar oleh Sultan Maut Pengemis Batok Tongkat. Namun saat
dia lari menuju rumah besarnya di sebelah selatan kota. Rencananya
adalah untuk lebih dulu mengambil harta bendanya, memboyong
beberapa perempuan peliharaannya yang masih muda-muda dan
cantik-caantik, baru melarikan diri sambil membawa Piranti. Malah
dalam benaknya saat itu sudah ada niat untuk meniduri gadis itu
dulu di rumah besarnya. Ketamakan dan kebejatannya inilah yang
ternyata mendatangkan malapetaka baginya. Sepanjang jalan Sultan
Maut dan Pengemis Batok Tongkat mendapat petunjuk dari penduduk
ke arah mana larinya Tembesi. Mereka menemukan kuda tunggangan
manusia iblis itu di hadapan sebuah rumah besar yang bagian
depannya gelap gulita dan tampak sunyi.
"Keparat itu pasti ada di dalam. Lekas kita dobrak pintu depan!" kata
Sultan Maut yang sudah tak sabaran karena mengawatirkan
keselamatan dan kehormatan cucunya.
"Jangan jadi orang tolol!" ujar Pengemis Batok Tongkat sambil
pegang bahu Sultan Maut.
"Di rumah sebesar itu kita bisa terjebak konyol jika mencoba masuk
lewat pintu!"
"Apa usulmu?"
"Naik ke atas atap dan mengintai lalu menerobos masuk!" jawab si
pengemis sakti. Lalu tanpa bicara lebih banyak dia segera melompat
ke atas atap bangunan. Sultan Maut menyusul. Keduanya yang telah
memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, mengendap-endap di
atas atap, mengintai setiap sudut bagian dalam rumah besar dengan
mudah. Mereka sengaja mengintai bagian rumah yang kelihatan
terang setelah nyala lampu karena di situ pasti ada orangnya.
Beberapa kali setelah melakukan pengintaian tiba-tiba terdengar
kutuk serapah Sultan Maut.
"Iblis dajal terkutuk!"
Pangemis Batok Tongkat cepat mengintai pula. Di bawah sana,
dalam sebuah kamar yang besar dan bagus, diterangi oleh dua lampu
minyak besar, kelihatan tubuh Piranti tergolek di atas sebuah
ranjang. Di sampingnya setengah berjongkok tampak Tembesi tengah
membukai pakaian gadis yang masih berada dalam keadaan tertotok
itu.
Brakk!
Sultan Maut hantamkan tumit kirinya ke atas atap. Atap yang terbuat
dari kayu itu hancur berantakan. Sebuah lobang menganga. Sultan
Maut cepat melompat turun, langsung masuk ke dalam kamar.
Pengemis tua menyusul.
"Keparat! Jadi kau berani menyusul kemari! Benar-benar minta
mampus!" Tembesi yang hanya mengenakan celana dalam sekilas
melirik pada Pengemis Batok Tongkat. Dia tadi melihat bahwa kakek
inilah yang telah membunuh Rah Tongga. "Kalian berdua mau apa?"
bentaknya kemudian.
Sultan Maut mendengus. Pengemis Batok Tongkat mengekeh.
"Orang yang mau mampus memang suka bertanya aneh-aneh!" kata
kakek pengemis sambil usap-usap batok kelapa di tangan kanannya
dengan tangan kiri.
"Kami datang minta nyawamu!" kata Sultan Maut.
Tembesi segera sambar rantai hitam yang tergeletak di bagian kepala
tempat tidur. Dia sudah menjajal kehebatan Sultan Maut dan merasa
tidak takut terhadap orang ini. Tapi pengemis lihay yang ada
bersama Sultan Maut benar-benar membuat nyalinya berdetak.
Berkelahi dua lawan satu mungkin dia masih sanggup membunuh
Sultan Maut. Mungkin. Tapi dirinya sendiripun tak bakal lolos dari
maut. Maka otak licinnyapun mulai bekerja. Dia berkata, "Dengar, jika
kau mau cucunya, ambillah. Dirinya belum kusentuh! Sudah itu cepat
pergi dari sini sebelum senjataku ini menghancurkan kalian!"
Pengemis Batok Tongkat kembali tertawa mengekeh. "Gadis itu
memang harus kami selamatkan tapi nyawamupun harus kau
serahkan!"
"Bangsat tua ini tidak main-main…" membatin Tembesi. Maka dia
cepat berkata. "Cucumu tak kuapa-apakan. Jika kalian segera pergi,
ada satu peti perhiasan dan uang yang boleh kalian bawa serta dan
bagi dua!"
"Nyawa anjingmu yang akan kami bagi dua manusia iblis!" teriak
Sultan Maut. Lalu dia menubruk ke depan. Tangannya kiri kanan
menghantam. Dua pukulannya itu mengeluarkan angin deras karena
dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Tembesi menangkis
dengan mengiblatkan rantai hitamnya. Sinar hitam berkelebat.
Gandulan berduri membabat ganas, Namun Tembesi harus cepat
menghindar dan tarik pulang serangannya karena dari samping saat
itu Pengemis Batok Tongkat merangsek dengan kemplangkan batok
kelapanya ke arah kepala!
Hanya dua jurus Tembesi mampu merangsek kedua lawannya dengan
serangan-serangan kilat dan ganas. Setelah itu Sultan Maut dan
kakek pengemis cepat mendesaknya.
"Sultan! Kau selamatkan dulu cucumu. Lepaskan totokannya. Biar
aku yang menghadapi manusia iblis ini!" berkata Pengemis Batok
Tongkat. Sultan Maut segera lakukan apa yang dikatakan si kakek.
Piranti ditariknya ke sudut kamar. Di sini dia melepaskan totokan di
tubuh gadis ini, merapikan pakaiannya. Begitu sadar Piranti dengan
cepat segera mengetahui apa yang terjadi dalam kamar besar itu.
Maka dengan tangan koosng diapun menyerbu Tembesi.
Menghadapi tiga lawan seperti itu tak ada lagi harapan bagi
Tembesi. Menyadari hal ini dia masih coba membujuk dengan
berseru. "Di bawah tempat tidur ini ada lima peti berisi perhiasan dan
uang perak, juga uang emas. Kalian boleh ambil asalkan aku bisa
bebas pergi dari sini!"
"Siapa butuh benda itu!" teriak Sultan Maut. "Roh busukmu boleh
membawanya sendiri nanti!"
"Keparat!" maki Tembesi dalam hati. "Hai!" serunya kemudian. "Aku
juga punya beberapa orang gundik. Semua masih muda dan cantik-
cantik. Kalian boleh ambil!"
Sultan Maut mendengus marah. Pengemis tua tertawa mengekeh
sedang Piranti tampak gemas sekali. Ketiga orang itu kurung
Tembesi lebih rapat. Serangan mereka juga tambah deras. Membuat
iblis Kota Hantu itu semakin ciut nyalinya. Ilmu silatnya, pertahanan
serta serangannya menjadi kacau. Dia mengumbar tenaga luar dan
tenaga dalam secara berlebihan sehingga dalam waktu satu jurus di
muka gebukan pertama mulai menghantam tubuh Tembesi.
Orang ini tersorong ke depan begitu jotosan Piranti menghantam
tulang punggungnya. Karena terlalu memperhatikan serangan-
seranqan Sultan Maut dan Pengemis Batok Tongkat Tembesi
melengahkan rakan-gerakan Piranti, akibatnya tulang punggung
remuk. Di saat yang sama pengemis lihay itu berhasil menangkap
gandulan bola berduri senjata Tombak dengan batok kelapanya.
Manusia iblis ini merasa tangannya bergetar ketika dia berusaha
melepaskan senjatanya. Tenaga dalam lawan lebih tinggi dari yang
dimilikinya!
"Gila!" maki Tembesi. Nekad dia kerahkan ruh tenaga dalamnya dan
membetot dengan kakek Pengemis Batok Tongtcat tertawa mengekeh.
Aliran tenaga dalamnya tiba-tiba diputuskan. Bola besi berduri, lepas
dari cengkeraman batok dan tanpa dapat diperhitungkan atau
dihindari lagi oleh Tembesi, besi duri itu menghantam mukanya
sendiri! Manusia iblis ini menjerit setinggi langit dan roboh di
samping tempat tidur. Selagi meregang nyawa dengan tangan dan
kaki melejang-lejang, Sultan Maut dan Piranti melompat, kaki
keduanya menghantam menginjak perut dan dada Tembesi. Tak
ampun lagi nyawa Tembesi putus detik itu juga. Mati dengan muka
hancur, perut jebol dan dada hancur.
"Kita kembali ke tempat pesta perkawinan gila itu!" kata Pengemis
Batok Tongkat. Ketiga orang itu segera tinggalkan tempat tersebut.
oo0oo
KETIKA Pengemis Batok Tongkat, Piranti, dan Sultan Maut sampai di
rumah besar milik Pinta Manik yang sedang jadi "pengantin"
pertempuran di sana berlangsung hebat. Baik Singkil Alit maupun
Rangga terdesak hebat.
Kematian Wiracula dan Rah Tongga sangat mempengaruhi semangat
dua manusia iblis yang sedang bertempur. Yaitu Singkil Alit melawan
Pendekar 212 Wiro Sableng dan Rangga menghadapi Indrajit. Singkil
Alit sudah memaklumi tak ada kemungkinan baginya untuk
mengalahkan Wiro Sableng, apalagi saat itu pemuda lawannya itu
sudah mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 yang terkenal
angker dan ditakuti dalam rimba persilatan! Sebaliknya Rangga
walaupun yakin dia tidak bakal dapat dikalahkan dengan mudah oleh
Indrajit, namun semangatnya sudah patah lebih dulu. Berulang kali
dia memberi isyarat pada Singkil Alit untuk segera melarikan diri
saja. Singkil Alit alias Harimau Hitam bukannya tidak melihat isyarat
kawannya itu, namun dia belum melihat kesempatan untuk melakukan
sesuatu guna dapat menyelamatkan diri. Pinta Manik yang berada
dalam keadaan mabuk dan duduk di kursi "pengantin" di samping
orang hutan betina yang tak henti-hentinya menguik, jelas tak dapat
diharapkan pertolongannya.
Traang!
Rantai hitam di tangan Singkil Alit terbabat putus begitu dihantam
Kapak Naga Geni 212! Pucatlah para pimpinan manusia iblis itu.
Tiba-tiba dia berseru, "Tunggu!!"
"Eh, kau mau baca doa minta ampun sebelum mampus?!" tanya Wiro
mengejek.
"Dengar, aku Singkil Alit alias Harimau Hitam mengaku kalah. Tapi
tak ada persoalan yang tak bidsa diselesaikan. Mari kita berunding!"
"Wiro! Bangsat itu licik! Lekas tebas saja batang lehernya!" Pengemis
Batok Tongkat memberi ingat.
"Tahan!" seru Singkil Alit. "Bagi kalian mudah saja membunuhku saat
ini. Tapi jika mau berunding itu akan lebih menguntungkan bagi
kalian!"
"Apa yang hendak kau rundingkan! Cara matimu? Kau mau mati cara
bagaimana manusia iblis!" ujar Wiro sambil melintangkan Kapak
Napa Geni 212 di depan dada.
"Dengar. Biarkan aku dan Rangga meninggalkan tempat ini. Semua
harta kekayaanku kuberikan padakalian. Ini kunci kamar rahasiaku.
Semus harta itu tersimpan di sana! Ambillah!"
Habis berkata begitu Singkil Alit lemparkan sebuah anak kunci ke
arah Pendekar 212 Wiro Sableng! Di saat itulah anak kunci yang
dilemparkan mengeluarkan suara seperti meletus dan asap hitam
menggebu menutupi pemandangan!
"Celaka! Aku sudah memperingatkan!" ujar Pengemis Batok Tongkat.
Wiro juga jadi jengkel melihat kebodohannya sendiri. Dia kiblatkan
kapak saktinya beberapa kali. Sinar perak menyilaukan berkelebat.
Asap hitam lenyap. Tapi Singkil Alit dan Rangga tak ada lagi di
tempat itu. Karena tak ada seorangpun yang melihat ke mana kedua
manusia iblis itu melarikan diri maka Wiro berseru, "Dua keparat itu
tak mungkin bisa kabur dan lenyap secepat itu. Di tempat ini pasti
ada jalan rahasia! Siapa yang tahu?!"
Seorang pengawal maju ke hadapan Wiro dan berkata, "Saya tahu
memang ada jalan rahasia. Tapi tidak tahu di mana pintu masuknya,
hanya tahu jalan keluarnya."
"Bagus! Tunjukkan padaku!" kata Wiro pula.
"Di luar pagar tinggi sebelah timur. Kita bisa lewat dari pintu utara . .
. ." menerangkan si pengawal.
"Bagus! Antarkan aku ke sana!" Wiro segera mengikuti pengawal itu.
Ketika si pengawal hendak menaiki kuda Wiro memegang bahunya.
"Tak ada waktu kalau kits harus berkuda lewat pintu gerbang utara.
Dua iblis durjana itu keburu kabur. Kita harus menuju langsung ke
pagar sebelah timur . . ."
"Tapi di situ tak ada pintu. Tak mungkin memanjat pagar yang begitu
tinggi!" kata pengawal.
"Naik saja ke kudamu, antarkan aku ke jurusan pagar timur yang kau
sebutkan itu!"
Ketika kedua orang itu sudah berada di atas punggung kuda,
Pengemis Batok Tongkat memegang lengan Handaka dan melompat
pula ke atas seekor kuda. Sebelum menyusul Wiro dan pengawal dia
berpaling pada Sultan Maut dan berkata, "Sultan, kau dan cucumu
serta Indrajit tetap berjaga-jaga di sini. Bukan mustahil jika dicegat
di jalan keluar dua iblis itu akan kembali ke mari!"
Dari kerumunan orang banyak terdengar seruan. "Bagaimana dengan
iblis yang satu itu? Yang kalian kawinkan dengan orang utan?!"
"Yang satu itu kalian punya hak untuk menghukumnya. Kami tidak
ikut campur!" sahut pengemis tua.
"Iblis itulah yang telah membunuh guru dan ketua kami!" tiba-tiba
Indrajit berkata keras.
"Dia pantas mati di tanganku!" Lalu pemuda murid perguruan silat
Elang Putih ini mengambil sebilah golok yang tergeletak di lantai.
"Indrajiti" seru Sultan Maut. "Walau dosanya setinggi langit tapi kau
tak bisa membunuh orang yang berada dalam keadaan mabuk dan
tak berdaya!"
Indrajit menyeringai. "Dia dan kawan-kawannya meracun puluhan
tokoh silat tak berdosa ketika mereka juga berada dalam keadaan tak
berdaya. Turut penjelasan yang aku terima Pinta Maniklah iblisnya
yang membunuh guruku selagi mabok! Dia pantas mati dengan cara
yang sama!" sahut pemuda itu. Dia melangkah ke hadapan Pinta
Manik yang duduk di kursi pengantin dalam keadaan meracau
mabok. Tanpa ragu-ragu Indrajit hujamkan goloknya ke perut Pinta
Manik. Satu lagi dari enam iblis Kota Hantu menemui ajalnya. ***
Pengawal itu berhenti di suatu tempat di hadapan pagar batangan
kayu jati yang terletak di timur kota. Dia berpaling pada Wiro
Sableng seraya menduga-duga apa yang hendak dilakukan pendekar
itu lalu berkata, "Lobang jalan keluar rahasia itu terletak di jurusan
pagar ini. Kira-kira dua puluh tombak di dalam rimba. Cukup sulit
mencarinya di malam gelap begini!"
"Di sebelah sana banyak obor bergantungan. Ambil barang dua buah
dan bawa kemari!" kata Wiro. Lalu sebelum pengawal itu bergerak
Pendekar 212 Wiro Sableng hantamkan tangan kanannya ke arah
pagar pohon jati. Sinar putih menyilaukan yang menimbulkan hawa
panas berkiblat. Pagar kayu jati di seberang sana hancur berkeping-
keping dan roboh!
Si pengawal ternganga menyaksikan hal itu. Handaka menyuruk kaget
di samping gurunya. Sedang Pengemis Batok Tongkat sendiri
mendecakkan lidah seraya membatin, "Pukulan sinar matahari!
Sudah lama mendengar baru kali ini menyaksikan sendiri. Pemuda
sableng ini benarbenar memiliki kepandaian luar biasa . . . .!"
Begitu pengawal datang membawa dua buah obor, orang-orang itu
segera meninggalkan kota, menerobos melewati pagar yang bobol.
Kira-kira sepeminuman memasuki rimba belantara di timur kota, si
pengawal menunjuk ke arah sebatang pohon timbul.
"Lihat bagian kanan pohon itu. Di balik belukar dan rerumpunan
alang-alang itu ada sebuah lubang batu. Itulah jalan ke luar rahasia
…!"
Wiro maju mendekati pohon timbul, menyorotkan obor di sebelah
depan. Memang ada sebuah batu besar di situ dan pada batu itu
terdapat sebuah lobang yang cukup tinggi, sepembungkukan
manusia. Dia menyelidik dengan hati-hati. Tak ada tanda-tanda
alang-alang ataupun semak belukar di sekitar lobang itu telah
disibak atau dipijak orang sebelumnya.
"Mereka belum keluar dari sini. Mungkin sebentar lagi," katanya
memberi tahu pada yang lain. "Padamkan obor!" Wiro meniup padam
obor yang dibawanya. Hal yang sama dilakukan juga oleh pengawal
pengantar. Keadaan dalam rimba itu jadi gelap bukan kepalang.
Namun sesaat kemudian mata mereka mulai biasa. Mereka berlindung
di balik semak belukar di seberang pohon timbul.
Tak lama kemudian Wiro berbisik. "Mereka sudah mendekati mulut
lobang…"
Pengemis Batok Tongkat mengangguk. Telinganya yang tajam juga
memang telah mendengar suara langkah-langkah kaki mendekat.
Kemudian kelihatanlah dua buah tangan menyambak belukar dan
alang-alang. Dua sosok tubuh berpakaian serba hitam keluar dari
dalam lobang. Yang satu berkata, "Keparat! Selamat juga kita sampai
di sini akhirnya…" Yang berkata adalah Singkil Alit.
"Kita selamat tapi bagaimana dengan semua harta kekayaan kita?"
terdengar suara Rangga.
"Saat ini kurasa masih hidup sudah untung. Lain kali kita buat
rencana baru. Kalau penyerbu-penyerbu keparat itu sudah pergi
kurasa kita bisa kembali ke Kota Hantu untuk mengambil harta itu…"
Singkil Alit putuskan kata-katanya. Matanya melihat ada sesosok
bayangan bergerak dalam gelap. "Siapa itu?" bentaknya seraya siap
melepaskan pukulan tangan kosong sementara Rangga bersiap
dengan rantai hitam gandulan bola besi berdurinya. Sosok tubuh itu
kelihatan lebih jelas.
"Hai!" seru Rangga. "Bukankah itu bocah yang ikut para penyerbu di
Kota Hantu?!"
"Astaga, memang dia!" sahut Singkil Alit begitu mengenali Handaka.
Kontan suaranya bergetar dan lututnya goyah. Dalam gelap Rangga
sendiri berubah ketakutan wajahnya.
"Bagaimana bocah keparat ini bisa berada di sini?!" ujar Singkil Alit.
"Kami yang membawanya ke mari!" satu suara menjawab. Berpaling
ke kanan Singkil Alit dan Rangga lihat Pendekar 212 Wiro Sableng
tegak beberapa langkah di seberang sana. Tangan kiri berkacak
pinggang, tangan kanan mencekal Kapak Naga Geni 212. Di sebelah
kanannya tegak kakek berambut putih berpakaian rombeng yang
bukan lain adalah Pengemis Batok Tongkat. Lalu agak jauh,dari situ
kelihatan berdiri seorang bekas pengawal Kota Hantu. Kedua Iblis ini
segera maklum apa yang terjadi Sang pengawal telah membocorkan
rahasia, memberi tahu lobang keluar di dalam rimba itu!
"Se tan alas! Kau yang berkhianat!" teriak Singkil Alit marah lalu
menerkam pengawal penunjuk jalan. Tapi tubuhnya serta merta
terdorong ke samping begitu kakek pengemis menghantam dengan
pukulan tangan kosong. Cepat kepala komplotan manusia-manusia
iblis ini sambar rantai hitam dari tangan Rangga dan menyerbu si
kakek dengan senjata itu.
"Sobat tua, biar aku yang menghadapi biang iblis ini. Kau layani
yang satu itu. Aku tidak lupa pesanmu agar menyisakan sebagian
nyawa keparat ini untuk muridmu!"
Mendengar ucapan Wiro itu Pengemis Batok Tongkat segera
melompat ke arah Rangga sedang Wiro dengan Kapak Maut Naga
Geni 212 menyongsong serangan rantai hitam Singkil Alit!
Gandulan bola besi berduri lewat di atas kepala Wiro Sableng.
Sebaliknya sambaran Kapak Maut Naga Geni 212 juga luput setengah
jengkal dari perut Singkil Alit. Sebelum lawan siap dengan kuda-kuda
penyerangan baru Singkil Alit cepat mendahului menyerang dengan
senjatanya. Namun sekali ini kapak sakti di tangan Wiro datang
menyapu dari bawah, menggunting serangan lawan di tengah jalan.
Dan Singkil Alit tidak kuasa untuk manyelamatkan senjatanya dari
tebasan kapak. Rantai hitam itu terkutung dua. Gandulan besinya
menancap di pohon timbul, sisanya masih tergenggam di tangan
Singkil Alit.
"Celaka! Aku harus lari!" keluh Singkil Alit yang merasa tidak punya
harapan lagi. Dia lemparkan potongan besi di tangannya ke arah
Wiro lalu memutar tubuh ke jurusan kiri siap untuk kabur. Tapi
gerakannya tertahan. Seperti ada yang menangkap pergelangan
kakinya lalu ada satu gigitan sakit sekali di pahanya. Memandang ke
bawah Singkil Alit dapatkan anak bernama Handaka itulah yang telah
melakukannya.
"Budak keparat!" maki Singkil Alit. Tinju kirinya dihantamkan ke
kepala Handaka. Namun pukulan maut itu tak pernah kesampaian
karena di saat yang sama dia merasakan sambaran angin. Terdengar
suara crass! Bahu kanannya terasa dingin, lalu ada yang memanasi
sekujur sisi kanannya. Ketika dia memandang ke kanan ternyata
tangannya sebelah kanan sebatas bahu telah putus disambar kapak
Wiro. Saat itulah dia baru merasakan sakitnya dan menjerit
kesakitan!
Craas!
Kini giliran lengan kiri manusia iblis itu yang ditebas kapak Naga
Geni 212. Tubuh Singkil Alit menggigil panas oleh hawa dan racun
kapak yang mulai bekerja. Dia tersandar terhuyunghuyung ke
sebatang pohon, lalu melosoh jatuh ke tanah. Wiro dekati Handaka
lalu angsurkan Kapak Naga Geni 212 pada si anak seraya berkata,
"Selesaikan urusanmu dengan manusia yang telah membunuh
ayahmu!"
Handaka tampak ragu-ragu. Bukan saja dia merasa angker melihat
senjata yang diangsurkan kepadanya itu, tetapi juga merasa senjata
itu terlalu besar baginya dan tentu berat sekali. Tetapi ketika Wiro
menarik tangannya dan memegangkan kapak ke tangannya, Handaka
terkejut. Senjata mustika yang begitu besar ternyata enteng sekali.
Seolah-olah dia hanya memegang sebilah pisau besar biasa.
Mendapatkan kenyataan ini maka tetaplah hati Handaka. Sekilas
terbayang olehnya saat-saat ketika ayahnya mati di tangan Singkil
Alit. Tanpa ragu-ragu Handaka ayunkan Kapak Naga Geni 212.
Singkil Alit mendelik dan berteriak, "Jangan…!"
Mata kapak menancap tepat di kening manusia iblis itu. Handaka
merasakan tangannya gemetar. Dia seperti tak kuasa mencabut
kapak dari kepala Singkil Alit. Terhuyung-huyung anak ini melangkah
menjauhi pembunuh ayahnya itu yang kini sudah jadi mayat. Wiro
usap kepala Handaka lalu ambil Kapak Naga Geni 212.
"Ayahmu akan tenteram dalam kuburnya Handaka. Dia pasti tahu
bahwa kau telah membalaskan sakit hatinya!" kata Wiro. Kedua mata
Handaka tampak berkaca-kaca. Sementara itu Rangga talah
menerima beberapa kali pukulan dari Pengemis Batok Tongkat.
Tulang iganya sebelah kiri patah. Pelipisnya sebelah kiri benjut besar
dan matanya bengkak serta mengeluarkan darah. Sadar dia tidak
mungkin mempertahankan diri lebih lanjut apalagi mengetahui Singkil
Alit telah mati maka iblis satu ini tiba-tiba jatuhkan diri seraya
meratap.
"Aku mohon kalian mengampuni selembar nyawaku yang tidak
berharga ini! Aku akan bertobat. Aku berjanji akan menempuh hidup
baik!"
"Siapa yang mau mendengar ratapan iblis!" kata pengemis tua.
"Nyawamu memang tidak berharga karena itu kau layak mampus!"
Lalu Pengemis Batok Tongkat hantamkan tendangan kaki kanannya
ke kepala Rangga. Orang ini mencelat dan terkapar di antara semak
belukar. Separoh dari mukanya yang dihantam tendangan hancur
mengerikan. Sesaat kesunyian menggantung di tempat itu.
"Kits kembali ke Kota Hantu . . ." kata Wiro.
"Ya, tapi kau sajalah. Aku dan muridku harus kembali ke tempat
kediaman kami. Urusan kami sudah selesai …" jawab kakek pengemis.
"Kalau begitu akupun tak perlu kembali ke sana …"
"Kau harus," sahut si kakek. "Paling tidak untuk memberi tahu Sultan
Maut dan yang lainlainnya serta semua orang di Kota Hantu bahwa
enam manusia iblis telah menemui kematiannya. Kau harus ikut
mengawasi keadaan di situ. Bukan mustahil penduduk saling
berbunuhan memperebutkan harta kekayaan enam iblis yang
tertinggal. Bukan mustahil para pemuda memperebutkan perempuan-
perempuan cantik bekas peliharaan manusia-manusis keparat itu.
Dan juga apakah kau tidak ingin menemui kembali gadis bemama
Piranti yang cantik jeiita itu. Kulihat kau terus-terusan
memperhatikannya: Ha… ha… ha…"
Wiro Sableng merasakan mukanya merah dan garuk-garuk kepala.
"Hai, jika kau tahu aku memang memperhatikannya, berarti kau juga
mengawasi gadis itu!"
sahut Wiro. "Aku yang muda tidak malu mengatakan kagum pada
kecantikannya. Tapi kau yang tua begini masih tertarik pada jidat
licin muka jelita. Ha . . he. . ha …."
Murid Sinto Gendang itu hentikan tawanya ketika dia menyadari
bahwa si kakek bersama muridnya sudah meninggalkan tempat itu.
Dia tinggal sendirian ditemani mayat Singkil Alit dan Rangga. Setelah
menimang-nimang sesaat akhirnya pendekar ini mengikuti juga
ucapan si kakek tadi, kembali ke Kota Hantu.
Selesai
pengarangnya anak buah kota hantu juga ya
BalasHapus