WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
EPISODE : IBLIS BERJANGGUT BIRU
Karya : BASTIAN TITO
**********
SATU
DUA PEMUDA berpakaian kelabu dan sama
menunggang kuda hitam, memacu kuda masing-masing menuju ke timur. Di belakang, di arah punggung mereka sang surya yang hampir tenggelam membersitkan sinar kuning merah.
Ratusan kelelawar terbang berputarputar di
arah selatan lalu lenyap di balik ketinggian
pohon-pohon jati dipuncak bukit kecil.
Pemuda yang menunggang kuda di samping
kiri bertubuh ramping semampai, memiliki
kehalusan kulit sepertiperemptlan. Kepalanya
dibungkus dengan sehelai kain berwarna
merah. Kawannya seiring berbadan tegap.
Dadanya yang berbulu tersembul di balik
bajunya yang tidak berkancing.
Memasuki jalan yang agak mendaki di lereng
bukit, kuda tunggangan pemuda berikat
kepala merah tiba-tiba saja seperti ditarik
oleh satu kekuatan dahsyat dari belakang
hingga binatang ini berhenti berlari. Kalau
saja penunggangnya tidak cekatan dan sigap
merangkul leher kuda itu, niscaya dia akan
terlempar.
"Hai ....! Ada apa denganmu Wesi Ireng?!" Si
pemuda menegur kuda tunggangannya lalu
mengusap-usap leher binatang itu.
"Kudamu berlaku aneh!" berkata pemuda
bertubuh tegap. Namun dia sendiri menjadi
kaget ketika mendadak kuda tunggangannya
meringkik keras sambil mengangkat kedua
kaki depannya tinggi-tinggi ke udara.
"Tenang! Tenang Panah Ireng!" Pemuda ini
berusaha menenangkan kudanya yang
bernama Panah Ireng. Dia memandang
berkeliling. "Aneh, tak biasanya Panah Ireng
berlaku seperti ini . . . "
"Wesi Ireng juga tak biasa-biasanya begini
..,." Baru saja pemuda itu berkata begitu,
kudanya pun ikut-ikutan meringkik. Dia
memandang berkeliling. "Aneh, tak ada
binatang buas. Mengapa binatang-binatang
ini seperti ketakutan?"
Setelah diam sejenak, pemuda bertubuh tegap
berkata, "'Sudahlah Ratih, tak perlu
dirisaukan. Mari kite melanjutkan perjalanan.
Tujuan masih jauh. Mungkin baru besok pagi
kita sampai di Tegal Jenar..."
"Betul mas Danu. Mari kita lanjutkan
perjalanan . . . " kata pemuda yang dipanggil
dengan nama Ratih, yang ternyata adalah
seorang perempuan berpakaian seperti lelaki.
Kedua orang itu menyentakkan tali kekang
kuda masing-masing dan siap untuk
meneruskan perjalanan. Tapi benar-benar
aneh. Keempat kaki kuda itu seolah-olah
seperti dipantek ke tanah. Lehernya mengulur-
ulur ke depan seperti mengumpulkan tenaga
berusaha untuk maju dan lari. Tapi tubuh dan
kaki tak bisa digerakkan.
"Hatiku jadi tak enak mas. Jangan-jangan...?"
Baru saja, Ratih berkata begitu di depan
mereka, dari arah atas terdengar suara orang
mendehem dua kali berturut-turut. Ratih dan
Danupaya mendongak mengangkat kepala.
Memandang ke depan. Di atas sebuah cabang
pohon besar di tepi jalan didepan mereka
tampak duduk bersandar ke batang pohon
seorang lelaki muda berpakaian biru.
Meskipun muda tapi dia memiliki janggut
lebat. Tidak seperti lazimnya janggut yang
biasanya berwarna hitam atau memutih bila
orangnya sudah tua, maka janggut pemuda
ini berwarna biru!
Pemuda berkening tinggi dengan rahang
menonjol berjanggut biru itu memiliki
sepasang mata sangat tajam, seperti hendak
menembus setiap benda yang dipandangnya,
tanpa berkesip memperhatikan dua
penunggang kuda di bawah pohon. "Mas Danu
⁄" bisik Ratih, "mungkin orang di atas pohon
itu yang membuat kudakuda kita ketakutan
dan tak berani bergerak maju ...?"
"Mungkin," bisik Danupaya pula. "Tapi
mungkin juga binatang ini bukannya
ketakutan melainkan seperti ditenung hingga
tidak bisa bergerak. Aku barusan meneliti.
Binatang ini sama sekali tidak kena ditotok!"
"Kau kenal orang di atas pohon itu?" bertanya
Ratih.
"Baru sekali ini aku melihatnya. Sikapnya
dingin dan angkuh. Aku akan menegurnya ...."
"Biar aku yang menegurnya!" ujar Ratih yang
sejak tadi sudah merasa jengkel melihat sikap
orang berjanggut biru di atas pohon. Caranya
duduk dan sikapnya mendehem tadi jelas
orang itu telah melakukan sesuatu hingga
kudanya dan kuda Danupaya tidak mampu
bergerak maju.
"Orang di atas pohon, apakan ada sesuatu
yang membuatmu menghalangi perjalanan
orang?!" Ratih berseru. Suaranya keras dan
sama sekali terdengar tidak seperti suara
perempuan. Jelas gadis ini menyusupkan
tenaga dalam pada jalan suaranya.
Pemuda berjanggut biru di atas pohon masih
tetap memandang tak berkesip. Bibirnya
tampak bergerak. Tapi bukan untuk menjawab
pertanyaan orang melainkan meludah ke
tanah!
"Kurang ajar sekali dia. Ditanya malah
meludah!" desis Danupaya. "Ki sanak, apakah
kau tidak mendengar kawanku bertanya?! Atau
kau memang tak mau menjawab?!"
"Tuduhan busuk! Apakah kawanmu itu ada
bukti bahwa aku menghalangi perjalanan
kalian?!"
Pemuda berjanggut biru di atas pohon
keluarkan jawaban. Suaranya tandas tapi
bernada tinggi menandakan satu
kecongkakan.
"Memang kami tidak punya bukti! Tapi
mengapa binatang-binatang ini berlaku aneh
dan tak mampu berjalan pada saat kau
berada di atas pohon sana?!"
Si pemuda berpakaian dan berjanggut biru
tertawa bergelak. "Kalian bodoh! Tapi cukup
cerdik...."
"Jadi betul kau yang melakukan sesuatu
terhadap kuda-kuda kami?!" tanya Ratih.
"Perempuan memang paling bawel di dunia
ini!" Pemuda di atas pohon berkata. Paras
Ratih menjadi berubah. "Astaga .... dia
mengenali diriku!" membatin sang dara.
"Siapa kau sebenarnya?!" Ratih bertanya
dengan membentak dan galak.
"Kau tak layak bertanya!" balas menghardik
orang yang dibentak.
"Kalau begitu biarkan kami meneruskan
perjalanan!" berkata Danupaya.
"Silahkan kalau bisa ...." jawab si janggut
biru.
Danupaya menyentakkan tali kekang kudanya
sementara Ratih menggebrak pinggul
kudanya. Tapi kedua binatang itu tetap saja
tidak dapat bergerak maju apalagi berlari!
Dari atas pohon terdengar suara tertawa
bergelak kembali.
"Kau berani mempermainkan kami! Apakah
hendak pamer ilmu atau hendak mencari
silang sengketa?!" Ratih berteriak.
"Maumu apa .... ?!"
"Kurang ajar! Kau akan menyesal berani
mempermainkanku. Turunlah biar kita bicara
lebih blak-blakan!"
Si janggut biru kembali tertawa.
"Orang seperti kalian tidak layak duduk sama
rendah dan berdiri sama tinggi denganku!
Lagi pula aku lebih enak duduk di cabang
pohon ini!"
"Apa yang harus kita lakukan mas Danu?"
berbisik Ratih. "Bagaimana kalau kulepaskan
pukulan tangan kosong. Biar kuhancurkan
cabang pohon yang didudukinya itu . . . . "
"Sebaiknya jangan Ratih. Kita tidak tahu
tengah berhadapan dengan siapa. Tapi jelas
orang itu memiliki kepandaian tinggi. Apa kau
tidak menyadari, cabang pohon di mana dia
duduk begitu kecil. Sebenarnya tidak mungkin
dapat menahan berat tubuhnya. Biar aku yang
bicara⁄. " Lalu Danupaya mendongak. "Ki
sanak, kami adalah orang-orang yang
mencari dan mengutamakan persahabatan.
Kami yakin, kaupun demikian. Perjalanan kami
masih jauh. Sebentar lagi malam akan tiba.
Jika ada ucapan kami yang tidak enak di
telingamu mohon dimaafkan. Kami hendak
meneruskan perjalanan! Kami harap orang
gagah di atas pohon memberi izin!"
"Hemmmm ... Begitu?" Si janggut biru
menyeringai. Mungkin sekali ucapan "orang
gagah" tadi yang membuatnya senang. "Aku
tidak menghalang apalagi melarang kalian
meneruskan perjalanan. Tapi sebelum pergi
aku perlu menitipkan pesan pada kalian!"
"Dengan senang hati. Kalau kami boleh
bertanya, pesan untuk siapa?"
"Bukankan kalian murid-murid Ki Rana
Wulung dari Bukit Sawojajar?"
Ratih dan Danupaya tersentak kaget dan
saling pandang. Hanya sedikit sekali orang-
orang yang tahu bahwa mereka adalah murid-
murid seorang kakek sakti dari Bukit
Sawojajar, kakek bernama Ki Rana Wulung itu!
Siapa sebenarnya si janggut biru ini?
"Dan bukankah kalian keponakan-keponakan
Tumenggung Puro Bekasan dari Keraton
Surakarta? Bukankah pula kalian berdua
saudara sepupu yang saling dijodohkan oleh
orang tua kalian masing-masing .... ?"
Bertambah kaget dan heran kedua pemuda itu
mendengar ucapan pemuda berjanggut biru di
atas pohon yang semuanya ternyata betul.
"Siapakah Ki Sanak ini sebenarnya? Ki sanak
banyak tahu tentang kami. Apakah orang
dalam Keraton juga? Harap maaf kalau kami
belum tahu siapa sebenarnya ki sanak."
Si janggut biru menyeringai lagi.
"Jangan tanyakan siapa diriku. Kalian tak
layak bertanya. Sekarang dengar baik-baik.
Aku berpesan untuk gurumu Ki Rana Wulung.
Katakan padanya, pada malam bulan
purnama besok dia harus menyiapkan peta
rahasia telaga emas yang selama ini
dipegangnya sejak tiga puluh tahun lalu. Aku
akan datang mengambilnya. Atau mungkin
juga aku akan mengirimkan seorang utusan
untuk mengambil peta itu. Pesankan benar-
benar padanya agar menyerahkan peta itu
dengan sukarela dan ikhlas. Kalau dia
menolak dan tak mau memberikan, mungkin
aku akan mengambilnya sekaligus berikut
nyawanya!"
"Jika kau berani membunuh guru, nyawamu
tak akan bebas dari tanganku!" berteriak
Ratih.
Si janggut biru tertawa pendek. "Kau murid
yang baik! Aku hanya memintamu
menyampaikan pesan. Bukan untuk
mencampuri urusan orang! Salah-salah
nyawamupun tidak ada harganya nanti.
Sayang kalau kau mati masih perawan. ha ...
ha.. ha ... !"
"Manusia kurang ajar! Rasakan⁄!"
Ratih mengangkat tangan kanan siap
melepaskan pukulan tangan kosong meng-
andung tenaga dalam. Tapi Danupaya cepat
memegang tangannya menghalangi.
"Mengapa kau halangi dia hendak memukul?
Aku kepingin tahu kehebatan murid-murid Ki
Rana Wulung?"
"Maafkan dia ki sanak. Kami tidak hendak
mencari silang sengketa. Pesanmu akan kami
sampaikan pada guru. Tapi kalau niatmu kau
teruskan, mungkin di Bukit Sawojajar kita
akan bertemu lagi dalam suasana tidak
seakrab seperti saat ini!"
"Keakraban adalah basa-basi palsu. Di dunia
ini yang berlaku adalah segala cerdik, segala
akal, segala ilmu! Kalian boleh pergi
sekarang!"
Selesai berkata begitu si janggut biru
lampaikan tangan kirinya ke bawah. Dua ekor
kuda hitam yang masing-masing ditunggangi
Rati dan Danupaya meringkik keras. Ketika
disentak tali kekang mereka, keduanya segera
melompat dan berlan meninggalkan tempat
itu.
DUA
"BAGAIMANA kalau kita ikuti orang itu?!"
berkata Ratih ketika dilihatnya orang di atas
pohon melompat turun dan melesat ke arah
pepohonan di lereng bukit.
"Jangan! Jangan membuat urusan selagi kita
dalam perjalanan penting ...."
Danupaya cepat menghalangi.
"Sikapnya kurang ajar sekali. Congkak dan
menganggap enteng kita. Dan yang paling
membuatku marah, dia membawa-bawa nama
guru, bahkan mengancam akan membunuh
beliau!"
"Yang harus kita lakukan saat ini ialah cepat-
cepat menuju Sawojajar. Jangan sampai
keduluan orang itu. Kita harus memberitahu
guru apa yang terjadi!"
"Orang itu menyebut peta telaga emas.
Apakah mas Danu pernah mendengar peta itu
sebelumnya?" bertanya Ratih.
Danupaya menggeleng. "Guru juga tak pernah
menceritakannya. Malam ini kita tak usah
berkemah atau beristirahat lama. Cukup untuk
sekedar memberi istirahat pada kuda-kuda
kita saja. Kita harus lebih cepat sampai di
tempat guru ..."
"Aku setuju," sahut Ratih.
Tetapi malangnya, malam itu mendadak udara
berubah buruk. Angin bertiup kencang dan
dingin. Hujan turun dengan lebatnya. Sungai
yang harus mereka seberangi banjir besar.
Jembatan bambu, satu-satunya tempat
penyeberangan terdekat, roboh dilanda air.
Kedua orang ini, di bawah hujan lebat,
terpaksa bergerak ke arah hilir untuk
menemukan jembatan yang lain. Tapi
jembatan kedua itu pun ternyata sudah lenyap
dihanyutkan banjir.
"Tak ada jalan lain. Kita harus menunggu
sampai banjir reda. Lalu mencari sesuatu
untuk dapat menyerang. Kalau tidak terpaksa
membuat rakit besok pagi . . . . "
"Hujan celaka . . . . " gerutu Ratih dengan
suara bergetar karena tubuhnya yang basah
kuyup sudah diselimuti rasa dingin. "Sedang
ada urusan penting, ada saja halangannya!"
Danupaya hanya bisa menarik napas
mendengar ucapan adik seperguruannya itu,
yang sekaligus adalah kekasih dan calon
istrinya. Selesai bulan Syawal tahun depan
mereka akan melangsungkan perkawinan.
Ketika pagi datang, hujan sudah lama
berhenti. Air sungai tidak sederas dan
seganas malam tadi. Namun banjir belum
surut.
"Agaknya kita memang harus membuat rakit
untuk menyeberang..." kata Danupaya. Saat
itu mereka berada di tepi sungai yang agak
landai. Pemuda ini keluarkan sebilah golok
pendek dari buntalan perbekalannya.
Memandang berkeliling Ratih tidak melihat
pohon hambu di sekitar situ. Berarti harus
memotong pepohonan lain yang lebih besar
dan keras. Berarti memerlukan waktu lebih
lama.
"Setahuku sungai ini tidak terlalu dalam. Jika
kita bisa menemukan bagian yang paling
dangkal, kita tak perlu membuat rakit
penyeberang. Cukup menyeberang dengan
menunggang kuda . . . . "
"Kurasa lebih bagus begitu. Kalau saja kita
bisa menemukan bagian yang dangkal."
Danupaya menyetujui. Keduanya lalu bergerak
ke hulu. Di satu tempat mereka berhenti. Danu
menunjuk ke tengah sungai. Di situ tampak
ujung sepucuk ranting, bergoyang-goyang
dipermainkan arus air.
"Kita bisa menyeberang di sini. Pohon yang
tidak diterjang banjir itu cukup memberi tanda
bagian ini dangkal." Lalu Danu naik ke atas
punggung Panah Ireng. Ratih mengikuti jejak
si pemuda, naik pula ke atas Wesi Ireng dan
bergerak ai belakang kekasihnya. Keduanya
menuruni tepian sungai beriringan. Ternyata
sungai di bagian situ memang tidak dalam.
Air hanya mencapai bagian perut Wesi Ireng
dan Panah Ireng.
"Syukur kita menemukan tempat ini Danu.
Lihat kudaku senang sekali berada dalam air.
Dia bergerak cepat dan pasti menyusul
kudamu!" berkata Ratih. Memang Wesi Ireng
kelihatannya gembira berjalan dalam air
seperti itu. Mungkin ini pengalamannya yang
pertama kali. Binatang ini bergerak lebih
cepat dari kawannya di sebelah depan hingga
sebentar kemudian Panah Ireng dapat
disusulnya. Danupaya merasa penasaran
melihat kudanya yang bergerak lambat seperti
terseok-seok. Dia menggebrak pinggul Panah
Ireng. Tapi binatang ini tetap saja tak dapat
bergerak lebih cepat.
"Kau kalah mas Danu! Kau kalah ...." seru
Ratih. Justru di saat itulah mendadak tubuh
kudanya amblas ke bawah seperti terperosok
ke dalam lubang yang dalam.
Ternyata bagian sungai yang dilalui Wesi
Ireng dasarnya tidak rata tapi mendadak
menurun tajam seperti bibir sebuah jurang.
Tak ampun lagi binatang itu terperosok jatuh,
meringkik keras lalu tenggelam ke dalam air.
Ratih sendiri ikut terjerumus. Di saat yang
sama dari arah hulu satu gelombang air
menderu keras secara tak terduga.
Danupaya masih sempat mendengar suara
jeritan kekasihnya berteriak minta tolong
sebelum disapu air. Dia sendiri bersama
Panah Ireng seperti dibanting ke kiri ketika
kena terjangan air. Sebelum jatuh ke dalam
air, Danupaya masih sempat melompat dan
pergunakan punggung kudanya sebagai
penjejak untuk kemudian melompat ke pinggir
sungai.
"Ratih . . . . !" teriak pemuda itu ketika gadis
itu tak tampak lagi di permukaan air. Ratih
memang tidak bisa berenang. Danupaya
sendiri yang juga tidak bisa berenang lari
menyusuri tepi sungai penuh kebingungan.
Saat itu arus air semakin deras. Sesaat dia
sempat melihat pakaian Ratih menyembul di
permukaan air. Sadar kalau dirinya tidak bisa
berenang, tapi didorong oleh rasa ingin
menyelamatkan Ratih maka tanpa pikir
panjang lagi pemuda itu melompat ke dalam
air.
Ternyata Danu hanya mampu mengapung
beberapa saat saja. Di lain kejap tubuhnya
terbenam ke dalam air. Kedua tangannya
menggapai-gapai di udara. Dia coba
memunculkan tubuh, tapi justru semakin
tertarik ke bawah. Pemuda ini mengumpulkan
seluruh tenaganya. Namun tenaga itu seperti
tersedot. Dia sama sekali tiada daya ketika
arus air yang mendadak deras itu
menyeretnya ke hilir sekaligus
menggulungnya.
Di saat yang sangat kritis itu di mana Ratih
sudah terbenam lebih dahulu dan Danu
menyusul tenggelam, sedang kedua kuda
mereka yang juga ikut terjerumus di dalam
dasar sungai yang terjal, hanyut ke hilir
sambil meringkik-ringkik, dari seberang
sungai tampak sesosok bayangan putih
berkelebat langsung melompat ke dalam air,
memapasi arah hanyutnya Ratih dan
Danupaya. Gerakan orang ini sebat sekali dan
tampaknya dia juga sangat mahir berenang.
Tidak mudah menolong orang tenggelam di
air, apalagi arus sungai yang datang dari hulu
menggila seperti itu. Namun dengan cepat si
penolong dapat mencekal lengan Ratih,
menarik tubuh gadis itu ke atas lalu dengan
gerakan cepat membetotnya ke samping.
Tubuh Ratih mencelat ke udara, melayang ke
arah tepi sungai. Saat itu kain merah penutup
kepalanya telah tanggal hingga rambutnya
yang panjang tergerai lepas.
"Astaga! Perempuan rupanya!" seru si
penolong, namun suaranya tercekik ketika air
sungai memasuki mulutnya. Dia menyembur
dengan ceoat. Tiba-tiba tubuhnya terpelanting
dihantam sebuah benda. Ketika diperhatikan
ternyata benda itu adalah sosok tubuh
pemuda berpakaian kelabu.
"Untung! Aku tidak perlu susah payah
mencarinya!" Si penolong cepat menjambak
pinggang celana Danupaya dan membawanya
berenang ke tepi sungai dengan susah payah
karena arus air menyeretnya ke hilir.
Dua sosok tubuh itu dibaringkan di tepi
sungai. Danupaya pingsan tak berkutik
sementara Ratih setengah siuman. Si
penolong menggoyang-goyangkan kepalanya
untuk membuang air yang membasahi
rambut. Sambil mengusap mukanya beberapa
kali dia memperhatikan sosok tubuh si gadis.
"Hemm . . . cantik juga," katanya dalam hati.
Lalu orang ini menolong Danupaya. Sesaat
ketika pemuda ini mulai siuman, si penolong
berdiri.
"Sayang ada urusan yang lebih penting.
Menyesal tak dapat berkenalan dengan
sepasang muda-mudi ini!" lalu tidak
menunggu lebih lama si penolong tinggalkan
tempat itu menuju ke selatan.
TIGA
BUKIT SAWO JAJAR terletak setengah hari
perjalanan kaki dari Tegal Jenar. Di puncak
bukit yang berada di antara kaki-kaki
pegunungan itu udara terasa sangat sejuk dan
segar sepanjang siang. Bila malam tiba
dinginnya udara bukan alang kepalang.
Sebuah bangunan kayu terletak di antara
kerapatan pepohonan. Bangunan ini hanya
mempunyai sebuah kamar, selebihnya
merupakan serambi terbuka di sebelah
depannya.
Seorang lelaki tua berpakaian dan berikat
kepala putih tampak duduk di atas sehelai
tikar yang terbentang di serambi bangunan. Di
atas pangkuannya terkembang kitab suci Al-
Qur'an. Nyatalah orang tua ini tengah mengaji
meskipun suaranya tiada terdengar saking
halus dan perlahannya dia membaca ayat-
ayat suci itu.
Menjelang tengah hari, ketika seorang pemuda
yang berlari kencang dari arah timur bukit
sampai di hadapan bangunan, kakek ini masih
saja asyik mengaji. Melihat orang yang
hendak ditemuinya dalam keadaan seperti itu,
orang yang datang jadi serba salah.
Dia merasa tidak enak kalau harus menegur
hingga si kakek berhenti dari mengajinya.
Tetapi kalau tidak segera menegur dan
menyampaikan maksud kedatangannya, dia
kawatir keterlambatan itu akan mendatangkan
bencana. Sesaat orang yang datang ini hanya
tertegak bingung sambil garuk-garuk
kepalanya yang berambut gondrong. Baik
rambut maupun pakaiannya tampak basah
dan kotor.
Setelah menunggu beberapa lama si kakek
masih saja terus asyik membaca Qur'an, tamu
muda ini jadi tak sabaran. Dia sengaja
berdehem beberapa kali. Dia merasa mustahil
kalau orang tua itu tidak melihat
kedatangannya sekalipun dengan sudut mata.
Kini setelah berdehem, masakan dia masih
tidak mengetahui kedatangannya, begitu si
pemuda membatin. Tapi nyatanya kakek itu
masih saja terus melanjutkan mengaji. Tidak
mempan dengan deheman, pemuda yang
datang duduk di ujung kanan serambi dan
mulai batuk-batuk dengan suara keras.
Suara yang mengaji berhenti sirap. Orang tua
itu menutup kitab suci di pangkuannya lalu
meletakkannya di atas sebuah bantal di
samping kirinya. Perlahan-lahan dia
mengangkat kepala, memandang ke ujung
serambi.
"Banyak cara untuk bertemu. Mengganggu
orang yang sedang membaca Kitab Tuhan
adalah suatu dosa besar?" Terdengar orang
tua itu berkata.
Pemuda berambut gondrong melengak kaget.
Sesaat dia tak bisa berkata atau berbuat apa-
apa selain menggaruk-garuk kepalanya.
"Anak muda kurang ajar, siapa kau yang
berani mengganggu orang sedang mengaji?"
"Ah.... Aku? Apakah aku berhadapan dengan
orang pandai bernama Ki Rana Wulung?"
pemuda dengan pakaian basah kuyup, itu
bertanya sambil menjura tanda menghormat.
"Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu
sebelum kau menjawab pertanyaanku tadi!" Si
orang tua bicara tegas dan tandas.
"Aku Wiro Sableng. Aku datang membawa
sepucuk surat penting dari guruku.... Hanya
saja suratnya saat ini berada dalam keadaan
basah. Aku kehujanan di tengah jalan ...."
"Siapa dirimu tidak penting bagiku. Soal surat
yang basah itu juga perduli amat!"
"Heh!" si rambut gondrong Wiro Sableng
leletkan lidah. Selama tahunan malang
melintang dalam dunia persilatan dan
menyandang nama besar, kata-kata si kakek
tadi dirasakannya seperti sangat
meremehkannya. Dia telah datang jauh-jauh
dari puncak Gunung Gede, menempuh
perjalanan yang lama dan sulit. Kini begitu
sampaih di tujuan, orang yang hendak
ditemuinya justru tidak memandang sebelah
mata! Maka dia pun membuka mulut
bertanya.
"Lalu apa yang penting bagimu, apa yang
membuatmu jadi perduli?!"
"Siapa gurumu?"
"Hemmm!" Wiro Sableng bergumam dalam
hati. "Kini giliranku membalas!" maka dia pun
menjawab. "Jika itu yang penting bagimu,
maka aku pun berkepentingan untuk
mengetahui siapa dirimu lebih dulu. Nama
guruku satu nama yang keramat bagiku.
Tidak akan kuobral begitu saja. Jika kau tidak
mau mengatakan apakah kau Ki Rana Wulung
atau bukan, jangan harap aku akan
menyerahkan surat yang kubawa! Biar orang
lain saja nanti yang ganti datang
menemuimu!"
Selesai dengan ucapannya itu Wiro Sableng
turun dari serambi bangunan dan
melangkahkan kaki untuk pergi. Diam-diam
dia melirik untuk melihat bagaimana reaksi
orang tua itu. Sebaliknya, diperlakukan seperti
itu si kakek keluarkan suara tertawa
mengekeh.
"Contoh jeleknya adat pemuda zaman
sekarang!" berkata si kakek. "Sudah datang
tidak memberi salam, kini malah meradang
menunjukkan sikap congkak. Silahkan pergi.
Aku merasa senang jika tidak menerima
kiriman surat apa-apa. Malah kau nanti yang
pasti akan dilabrak gurumu karena tidak
menyerahkan surat titipannya!"
"Heh?!" untuk kedua kalinya Wiro Sableng jadi
melengak. "Orang tua ini ternyata pandai
bicara dan pandai membaca situasi! Akan
kucoba lagi dia biar tahu rasa!"
"Guruku bukan manusia yang tidak tahu akal
budi dan perasaan. Jika kukatakan padanya
orang yang hendak kutemui bersikap masa
bodoh, bukan aku yang akan dilabrak tapi
mungkin kau sendiri yang bakal diguyur
dengan caci maki! Nah, aku pergi sekarang!"
Kalau tadi dia cuma melangkah maka kini
Wiro Sableng melompat. Hampir saja dia
lenyap di balik kerapatan pepohonan di
puncak bukit itu, tiba-tiba didengarnya suara
orang tua itu memanggil.
"Anak muda! Kembalilah! Gurumu tentu
mengajarkan bagaimana bersilat lidah! Tapi
jangan mengira aku mau mengalah lebih dulu!
Kalau namamu adalah Wiro Sableng, kau
pasti muridnya nenek bawel bernama Sinto
Gendeng dari Gunung Gede!"
"Dan kau pastilah Ki Rana Wulung!" ujar Wiro
seraya berbalik.
Orang tua itu hanya menjawab dengan
tertawa lebar.
"Gurumu tentu banyak memberikan berbagai
ilmu kepandaian padamu. Tapi agaknya dia
lupa bagaimana memberi salam jika menemui
seseorang, apalagi seorang tua berusia
hampir empat kali usiamu!"
"Kau betul kek, guruku memang mengajarkan
seribu satu ilmu kepandaian. Soal
mengucapkan salam atau tidak itu adalah
kesalahanku. Harap jangan membawa-bawa
nama guru!"
"Ho ... ho ... ho ...! Anak Sableng! Aku
mengaku kalah berdebat denganmu! Sekarang
lekas kau serahkan surat yang dititipkan
gurumu! Kau tak usah ragu-ragu. Aku
memang adalah Ki Rana Wulung, sahabat
gurumu sejak empat puluh tahun yang lalu!"
Wiro Sableng menatap wajah orang tua itu
beberapa ketika. Dia percaya si kakek tidak
berdusta dan bahwa dia memang adalah Ki
Rana Wulung orang yang dicarinya. Maka
Wiro selinapkan tangan kanannya ke balik
pakaian. Sepucuk surat yang berada dalam
keadaan basah dikeluarkannya lalu
diletakkannya di atas tikar di hadapan si
kakek.
"Kertasnya basah tapi tulisannya tidak luntur
karena ditulis dengan cairan
khusus..."menjelaskan Wiro.
"Kau sudah menyerahkan suratnya. Kau sudah
bertemu denganku. Sekarang kau boleh pergi!"
Wiro menjadi penasaran mendengar kata-kata
orang tua itu. Maka cepat-cepat dia
menjawab, "Aku memang tidak suka berada
lama-lama di tempat ini. Napasku terasa
pengap. Tapi aku harus menunggu sampai kau
membaca surat itu lalu menyerahkan apa
yang diminta guruku. Harap kau suka
membaca surat itu. Lebih cepat kau baca,
lebih cepat aku meninggalkan tempat ini!"
Paras Ki Rana Wulung tampak merah
mendengar kata-kata Wiro Sableng itu. Dalam
hatinya orang tua ini merutuk panjang
pendek. Seorang pendekar yang menyandang
nama besar seperti murid Sinto Gendeng ini
ternyata memiliki sifat pongah dan kurang
ajar. Kalau saja Ki Rana Wulung mau
menyadari, sikap yang ditunjukkan oleh
Pendekar 212 adalah akibat sikapnya sendiri
yang tidak ramah dalam menyambut
kedatangan, sang pendekar.
Dengan menekan rasa jengkelnya Ki Rana
Wulung mengambil surat yang diletakkan di
atas tikar. Membukanya dengan hati-hati
karena kawatir surat yang basah itu akan
robek. Lalu membaca isinya.
Sahabatku Ki Rana Wulung,
Dua kali aku bermimpi badai ganas melanda
negeri. Kulihat kau mengayuh perahu seorang
diri. Perahu oleng tenggelam sudahlah pasti
tak ada jalan menyelamatkan diri kecuali
muatan yang ada dikeluarkan dan kau
serahkan pada muridku yang membawa surat
ini. Jangan bersikap, ragu atau kawatir.
Muatan berusia lebih dari 30 tahun itu tidak
akan kuambil walau kita pernah berjanji. Jika
badai sudah berhenti Muatan akan
kukembalikan adalah pasti.
Selesai membaca surat Ki Rana Wulung
sesaat duduk merenung. Surat dilipatnya
kembali dan diletakkan, di atas pangkuan.
"Orang tua, kulihat kau sudah membaca surat
dari guruku. Sesuai pesan beliau kau akan
menitipkan sesuatu padaku. Bisakah aku
segera menerima sesuatu itu darimu sokarang
agar aku lekas pergi."
Kata-kata Wiro itu membuat Ki Rana Wulung
angkat kepalanya, sesaat dia menatap paras
Wiro lekat-lekat lalu membuka mulut.
"Ada beberapa hal yang perlu kukatakan
padamu, anak muda. Pertama apa yang
dipesankan gurumu tidak akan kuberikan
padamu. Aku merasa cukup sanggup men-
jaga barang itu. Kedua aku merasa ragu
apakah kau benar-benar murid Sinto Gen-
deng dari Gunung Gede. Masa sekarang ini
segala macam tipu daya dapat terjadi ...."
"Orang tua, kau membaca surat itu. Kau pasti
tahu itu gurukug yang menulis ...." menyergah
Wiro.
Ki Rana Wulung mengangguk. "Surat ini
mungkin tidak palsu. Memang benar
sahabatku Sinto Gendeng yang menulisnya.
Tapi bagaimana surat ini bisa sampai ke
tanganmu dan siapa engkau sebenarnya itu
adalah cerita lain!"
"Kau mencurigaiku?!"
"Untuk selamat, curiga itu perlu. Karena itu
aku akan mengujimu. Untuk membuktikan
bahwa kau benar-benar murid Sinto Gendeng."
Saking kesalnya, sebenarnya saat itu Wiro
bermaksud mengeluarkan Kapak Maut Naga
Geni 212 untuk membuktikan diri sebagai
murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede.
Tapi sebelum hal itu sempat dilakukannya, Ki
Rana Wulung tiba-tiba keluarkan membentak
keras. Tubuhnya yang duduk melesat dan
tangan kanannya memukul.
Bukk!
EMPAT
PENDEKAR 2121 Wiro Sableng terpental
hampir dua tombak. Dada kanannya yang
dihantam jotosan tak terduga-duga dari Ki
Rana Wulung mendenyut sakit. Sesaat
kepalanya mendenyut dan pemandangannya
berbinar-binar. Paling tidak si kakek telah
mempergunakan hampir sepertiga dari tenaga
dalamnya ketika melancarkan pukulan tadi.
Wiro merasakan mulutnya asin dan panas.
Ketika dia meludah ternyata ludahnya
bercampur darah. Pemuda ini terluka di
dalam! Ki Rana Wulung memandang tak
berkesip. Kini dia yakin kalau pemuda
berambut gondrong, bicara dan bersikap
seenaknya itu adalah benarhenar murid Sinto
Gendeng dari Gunung Gede.
Orang lain pasti sudah meregang nyawa,
paling tidak pingsan dan luka parah dihantam
tinjunya tadi ! Sambil menahan sakit dan
mengerahkan tenaga dalam ke bagian yang
kena dipukul, Pendekar 212 perlahan-lahan
berdiri. Karena pakaiannya basah, ketika jatuh
tadi pakaian itu jadi bertambah kotor oleh
bercakan tanah liat.
"Terima kasih atas jotosanmu tadi!" Wiro buka
mulut. "Banyak cara untuk mencari tahu siapa
sebenarnya seseorang. Bukan dengan
menunjukkan kehebatan dan mencelakakan
orang seperti yang kau lakukan. Sifatmu
bukan saja buruk, ternyata tanganmu pun
ringan amat!"
Ki Rana Wulung tersenyum.
"Sekarang hal ketiga yang hendak kutanyakan
padamu . . . "
"Persetan dengan hal ketiga atau ke empat!"
membentak Wiro Sableng. "Sebelum aku
angkat kaki dari sini⁄"
"Hai, apakah kau tidak ingin kembali ke
Gunung Gede membawa kabar bagi gurumu?
Mendengar jawaban dari surat Sinto
Gendeng!?"
"Persetan dengan segala macam surat. Aku
telah datang menyerahkan surat itu secara
baik-baik! Terlalu baik sehingga aku
kauanggap sebagai anjing kotor untuk
digebuk seenaknya! Sebelum aku angkat kaki
dari° sini, budi baikmu memukulku perlu
kubalas dengan sebaik-baiknya!"
Habis berkata begitu Pendekar 212 Wiro
Sableng kerahkan tenaga dalamnya ke tangan
kanan, lalu memukul ke arah enam bush kayu
besar yang menjadi tiang bangunan kayu
kediaman Ki Rana Wulung.
"Hai! Apa yang hendak kau lakukan?!" seru si
kakek.
Baru saja seruannya itu lenyap gumpalan
angin laksana batu besar bergulung-gulung
melabrak enam tiang kayu itu.
"Pukulan kunyuk melempar buah!" seru Ki
Rana Wulung ketika dia melihat pukulan yang
dilepaskan si pemuda. Cepat kakek ini
melompat ke luar bangunan. Ketika kakinya
baru sempat menginjak tanah, di depanny,
disaksikannya enam tiang kayu penyangga
rumahnya bukan saja patah tapi hancur
berantakan! Bangunan kayu itu sendiri kini
jatuh ke tanah, terperosok sedalam setengah
jengkal dan miring di depan sebelah kiri!
"Manusia kurang ajar!" Ki Rana Wulung. "Kau
rusakkan rumahku!"
Di saat itulah dua sosok bayangan berkelebat.
Disertai seruan.
"Guru! Siapa yang berani kurang ajar
padamu?!"
Disusul oleh bentakan kedua.
"Guru! Siapa yang telah merusakkan
rumahmu! Akan kuhancurkan seluruh
tubuhnya!"
Ketika Wiro dan Ki Rana Wulung berpaling ke
samping, mereka dapati yang barusan datang
adalah sepasang muda mudi berpakaian
kelabu dalam keadaan basah kuyup.
"Muridku! Kalian datang di waktu yang tepat!'"
seru Ki Rana Wulung.
"Beristirahatlah sebentar. Biar aku yang
memberi pelajaran pada budak kurang ajar
ini!"
"Tidak guru! Biar aku yang memberinya
pelajaran!" menyahut pemuda yang baru
datang dan bukan lain adalah Danupaya.
Sementara itu Ratih setelah tadi membentak
kini agak tertegun. Dia coba mengingat-ingat.
Sepertinya dia pernah melihat wajah pemuda
berambut gondrong itu. Sebaliknya Wiro
sendiri juga menatap polos pada sang dara.
Melihat kekasihnya saling pandang dengan
pemuda yang telah berlaku kurang ajar
terhadap gurunya bahkan telah merusak
bangunan kayu kediaman sang guru,
panaslah darah Danupaya oleh rasa amarah
bercampur cemburu. Sekali lompat saja dia
sudah berada di hadapan Wiro dan langsung
hantamkan tinju kanannya. Pendekar kita
menangkis dengan menyilangkan lengan kiri.
Bukk!
Dua tangan saling beradu. Wiro terjajar satu
langkah. Danupaya jatuh duduk sambil
pegangi lengan dan meringis kesakitan.
Kalau Ki Rana Wulung segera menyadari
bahwa pemuda anak murid Sinto Gendeng itu
bukan lawan muridnya yang bernama
Danupaya, maka sebaliknya Danupaya sendiri
jadi semakin berkobar amarahnya. Dia merasa
dipermalukan karena dibuat jatuh duduk
begitu rupa dalam satu gebrakan saja. Kalau
tadi dia hanya mempergunakan tangan
kosong untuk menyerang Wiro maka kini di
dalam hatinya berkobar niat untuk
membunuh. Dengan cepat pemuda ini
keluarkan golok pendek dari balik pakaiannya
Selain mendapat pelajaran ilmu silat tangan
kosong dan berbagai pukulan sakti dari
gurunya, Danupaya juga diberi pelaran ilmu
golok tingkat tinggi yang dianggap langka
pada masa itu. Tidak mengherankan kalau
keponakan Tumenggung Puro Bekasan ini
sudah diincar Baginda di Kotaraja untuk
memegang sebuah jabatan penting dalam
jajaran pasukan istana.
"Saudara! Kau bermaksud membunuhku atau
hanya sekedar main-main ....?" Wiro menegur
dan tetap berdiri tenang tapi penuh waspada.
Sinar yang memancar dari kedua mata
Danupaya sebenarnya sudah cukup menjadi
jawaban bagi Pendekar 212 Wiro Sableng
bahwa pemuda di hadapannya itu memang
hendak mencincangnya!
"Apakah manusia yang berani menghina dan
merusak rumah guruku layak dibiarkan hidup.
. . ?!" menghardik Danupaya.
Wiro menyeringai lalu keluarkan suara siulan.
"Guru dan murid sama saja tingkahnya!
Sombong congkak, tak punya pikiran jernih,
singkat akal!"
"Keluarkan semua kata-katamu sebelum
kukeluarkan isi perutmu!" tukas Danupaya.
Melihat muridnya sungguhan begitu rupa, Ki
Rana Wulung cepat berteriak.
"Danu! Simpan senjatamu! Biarkan dia
meninggalkan tempat ini!"
Namun saat itu Danupaya sudah menyergap
ke depan. Sekali tangannya bergerak goloknya
berkiblat membuat tiga serangan kilat.
Pertama menusuk ke arah dada, lalu
membabat ke perut dan ke tiga memapas ke
arah leher.
Ratih tahu betul. Paling tidak salah satu dari
serangan ganas itu pasti akan mengenai
sasarannya. Di saat yang sama, setelah
berpikir-pikir dan mengingat-ingat beberapa
ketika baru dia menyadari. Pemuda berambut
gondrong yang berada dalam ancaman golok
kakak seperguruan dan sekaligus kekasihnya
itu bukan lain adalah orang yang pagi tadi
menyelamatkannya dari bahaya maut
tenggelam dalam sungai. Berarti pemuda itu
juga yang telah menolong Danupaya.
Maka dengan cepat Ratih berteriak.
"Mas Danu! Hentikan seranganmu! Dia adalah
orang yang menyelamatkan kita tadi pagi di
sungai!"
Danupaya tersentak kaget. Ki Rana Wulung
juga tertegun tercekat. Justru saat itu golok
telah memapas ke leher Pendekar 212 Wiro
Sableng. Tak mungkin dia menarik pulang
serangannya! Ki Rana Wulung menahan
napas. Ratih keluarkan seruan tertahan
sambil pejamkan mata. Tak berani
menyaksikan apa yang bakal terjadi sebentar
lagi. Yakni putusnya leher pemuda berambut
gondrong itu! Tetapi yang diserang sendiri
tetap tenang.
Sesaat golok akan memis;jhkan badan dan
kepalanya, murid Sinto Gendeng dari Gunung
Gede itu tundukkan kepala. Tangan kanan
berkelebat ke depan. Dua jari tangan menusuk
lurus ke dada Danupaya.
"Hek ...!"
Murid Ki Rana Wulung itu mengeluarkan suara
seperti tercekik. Di saat itu pula tubuhnya
menjadi kaku tegang, tak bisa bergerak lagi.
Dia tegak seperti patung sementara tangannya
yang masih memegang golok menggantung di
udara!
Sambil usap-usap rambut gondrongnya Wiro
melangkah meninggalkan tempat itu. Ketika
melewati Ratih dia melempar senyum seraya
berkata, "Terima kasih kau mengawatirkan
keselamatanku!"
"A . . aku!." Ratih hendak menjawab.
Maksudnya hendak mengatakan bahwa
seharusnya dialah yang berterima kasih
karena pagi tadi Wiro telah menyelamat-
kannya dari bahaya kematian di sungai yang
sedang banjir. Ki Rana Wulung cepat
mendekati Danupaya dan melepaskan totokan
yang membuat kaku muridnya itu. Begitu
dirinya bebas Danupaya bertanya. "Guru,
siapa pemuda tadi .... ?"
"Namanya Wiro Sableng. Dia! Ah, sudahlah.
Tak perlu dibicarakan lagi. Dia sudah pergi.
Aku senang kau dan Ratih datang kemari!"
"Saya merasa malu tidak dapat membela
nama baik guru terhadap kekurangajaran
pemuda itu!"
"Kau tak usah malu Danupaya. Dia memang
bukan tandinganmu. Juga bukan
tandinganku⁄" menjawab Ki Rana Wulung.
Tentu saja hal itu membuat Danupaya dan
Ratih terkejut.
"Maksudmu guru?" tanya Danupaya.
Sang guru menarik napas dalam. "Maksudku
di iuar langit masih ada langit lagi. Ilmu yang
kita miliki acap kali masih berada di bawah
ilmu orang lain. Dan semua ilmu manusia di
dunia ini hanya secuil kecil dibandingkan
dengan ilmu dan kekuasaan Tuhan..."
Ratih dan Danupaya terdiam. Danupaya
melirik pada kekasihnya lalu berkata. "Tadi
kau bilang pemuda itu yang menyelamatkan
kita waktu tenggelam di sungai yang banjir.
....?"
"Betul .... Sebelum dia pergi aku masih
sempat melihat wajahnya. Aku tak cepat
mengenalinya tadi. Karena waktu itu aku
masih setengah sadar!"
"Kalau begitu bukan mustahil kau salah lihat
Ratih. Belum tentu pemuda itu yang telah
menolong kita!"
"Aku yakin memang dia orangnya. Tapi
sudahlah, apa perlunya diperdebatkan!"
Ki Rana Wulung membawa kedua muridnya ke
dalam rumah dan duduk di serarnbi terbuka
yang kini berada dalam keadaan agak miring.
"Guru . . . . " kata Danupaya membuka
pembicaraan kembali. "Mau tak mau saya
masih ingin membicarakan pemuda tadi. Saya
kawatir dia adalah orang yang dikirimkan
seorang pemuda berjanggut biru. Yang
mempunyai maksud jahat terhadap guru."
"Pemuda berjanggut biru? Siapa dia ...? Apa
maksudmu, Danu?"
Maka Danupaya lalu menceritakan
pertemuannya dengan seorang lelaki aneh
dalam perjalanan. Tidak lupa dia mengatakan
pesan orang itu yang menyangkut peta
rahasia telaga emas. Terkejutlah Hana Wulung
ketika mendengar muridnya itu menyebut peta
tersebut. Dia tidak dapat menyembunyikan
perubahan air mukanya.
"Ada apa guru. Kelihatannya guru tidak suka
saya membawa berita ini ....?"
Orang tua itu geleng-gelengkan kepala.
"Jadi apakah benar peta rahasia telaga emas
itu memang ada .... ?" bertanya Ratih.
"Aku tidak akan menjawab ya atau tidak ..."
sahut sang guru yang membuat bingung
kedua muridnya. "Pemuda bernama Wiro
Sableng itu justru jauh-jauh dikirimkan
gurunya untuk meminta peta itu. Kau baca
sendiri surat ini, Danu . . . "
Lalu Ki Rana Wulung menyerahkan surat
basah yang tadi dibawa oleh Wiro Sableng.
"Saya tidak membaca peta itu disebut-sebut
dalam surat ini . . . . " berkata
Danupaya begitu selesai membaca surat yang
dikirimkan Eyang Sinto Gendeng alias Sinto
Mini dari puncak Gunung Gede.
"Tentu saja tidak, muridku. Benda itu adalah
benda rahasia. Mengandung harga yang tidak
ternilai. Lebih besar dari nilai kekayaan yang
dimiliki Keraton Surokerto ditambah Keraton
Jogjakarta!"
Danupaya jadi leletkan lidah sedang Ratih
ternganga.
"Kata muatan dalam surat itu merupakan
sandi rahasia dari peta telaga emas itu!"
menjelaskan Ki Rana Wulung dengan suara
perlahan sekali seolah-olah dia tak ingin ada
orang lain mendengarnya.
"Lalu apa maksud kalimat yang berbunyi
badai ganas melanda negeri....?" bertanya
Ratih.
Ki Rana Wulung diam sejenak, baru
menjawab. "Seolah-olah nenek sakti itu
melihat ada bahaya yang mengancam diriku.
Karena itu dia meminta agar menyerahkan
peta rahasia pada muridnya, akan
disimpannya sampai keadaan aman kembali.
Hanya sayang, aku, malah kita semua sempat
bentrokan dengan muridnya itu!" Ki Rana
Wulung seperti menyesali diri.
"Lalu apakah guru juga mengetahui siapa
adanya pemuda berjanggut biru yang kami
temui di perjalanan?"
"Sulit kuterka, Danu. Hanya sedikit saja orang
yang tahu tentang peta telaga emas itu. Dan
boleh dikatakan tak ada yang tahu di mana
beradanya selain aku dan Sinto Gendeng.
Bahkan murjdnya tadi itu pun sebenarnya
tidak tahu harus mengambil benda apa
dariku!"
"Lelaki berjanggut biru itu, guru⁄" berkata
Danupaya. "Dia berpesan agar guru
menyerahkan peta rahasia telaga emas itu
padanya nanti malam tatkala bulan purnama.
Kalau dia tidak datang, maka dia akan
mengutus seseorang .... Karena itu saya
berprasangka apa bukan pemuda itu tadi
yang bertindak selaku utusan si janggut!
biru?!"
Kembali Ki Rana Wulung menarik napas
dalam.
"Semua kejadian ini serba tak terduga. Dan
berbau keanehan!" desisnya.
"Guru, maafkan saya. Jika peta itu memang
ada di tangan guru, demi keselamatan guru,
lebih baik kita tinggalkan tempat ini. Kita
bersama-sama ke Kotaraja
"Tidak muridku. Siapa adanya si janggut biru
itu aku ingin sekali mengetahuinya. Aku akan
tetap berada di rumah ini sampai malam
nanti..."
"Tapi itu terlalu berbahaya guru!" ujar Ratih.
"Hidup lebih dari tujuh puluh tahun. Berbagai
bahaya sudah kuhadang. Mengapa bahaya
sekali ini harus kutakuti dan kuhindari dengan
melarikan diri ke Kotaraja?!"
"Maksud kami bukan melarikan diri, guru.
Tapi menghindar adalah lebih baik dari pada
sengaja menyongsong bahaya!" kata Ratih
pula.
"Jika kalian murid-muridku takut menghadapi
bahaya, tinggalkan tempat ini. Kembali saja
ke Kotaraja!"
Mendengar kata-kata gurunya itu maka Ratih
dan Danupaya serta merta menjawab
berbarengan.
"Kami bersedia mati bersama guru di tempat
ini!"
Ki Rana Wulung tersenyum.
"Bagus begitu . . . " katanya. "Bersiaplah.
Malam sekali ini akan datang lebih cepat.
LIMA
BULAN PURNAMA empat belas hari, terang
dan bulat. Sinarnya menyapu bukit Sawojajar.
Rumah kayu kediaman Ki Rana Wulung yang
kini tidak berkolong itu lagi tampak sepi. Ada
nyala pelita di dalam kamar tapi tak seorang
pun tampak. Juga tak ada suara apa-apa
selain suara jengkerik di kejauhan atau
gemerisik kadal liar yang meluncur di kaki-
kaki semak belukar.
Makin larut malam makin pudar sinar
rembulan. Sesekali awan hitam melewati dan
menutupinya. Lapat-lapat di kaki bukit
terdengar suara lolongan srigala hutan. Angin
mulai bertiup kencang dan hawa dingin mulai
merayapi puncak bukit Sawojajar itu.
Kesunyian mencengkam menimbulkan
suasana aneh kalau tidak mau dikatakan
menyembunyikan sesuatu rahasia.
Tepat ketika awan hitam menutupi rembulan
untuk kesekian kalinya, dari samping kiri
bangunan kayu tiba-tibamenyeruak sesosok
tubuh berpakaian biru gelap. Wajahnya tidak
terlihat jelas karena tertutup oleh bayangan
bangunan kayu. Ketika dia melangkah lebih
dekat ke arah serambi, kini wajahnya tampak
jelas. Wajah seorang pemuda berdagu kukuh
dengan rahang-rahang menggembung.
Pemuda ini ternyata memelihara janggut
berwarna biru.
Di atas pohon berdaun rimbun yang gelap
karena tak tertembus sinar rembulan, tiga
sosok tubuh mendekam tak bergerak. Yang
seorang berbisik sangat pelan, seperti suara
nyamuk mendengung saja.
"Anggukan kepalamu jika itu orangnya yang
kau ceritakan siang tadi."
Orang disamping si penanya menganggukkan
kepalanya. Baru saja dia mengang-guk, si
janggut biru di bawah sana terdengar berseru
sambil berkacak pinggang.
"Ki Rana Wulung! Aku datang untuk
mengambil pesanan⁄"
Sunyi. Sepi.
Tak ada jawaban.
Si janggut biru memandang lekat-lekat ke
arah bangunan seolah-olah hendak
menembus dinding kayu di mana membersit
nyala pelita di antara celah-celah papan
dinding. Sambil mengusap janggutnya dia
menyeringai. Lalu mulutnya berseru kembali.
"Aku tahu kau tak ada di dalam sana! Aku
juga tahu kalau kau berada di sakitar sini!
Jika tak ada yang ditakutkan kenapa
bersembunyi?!"
Wuut!
Si janggut biru melompat mundur satu
langkah. Sebilah golok pendek yang tadi
menderu ganas hampir memancung
tanggorokannya tampak menancap di dinding
bangunan.
Paras si janggut biru mengelam. Sepasang
matanya seperti menyorotkan nyala api. Tapi
anehnya manusia ini justru perdengarkan
suara tertawa bergelak. Tawanya kemudian
ditutup dengan bentakan lantang.
"Sungguh tidak tahu peradatan! Begini
caranya orang persilatan menyambut
kedatangan tamu! Huh!"
Si janggut biru pegang hulu golok yang
menancap di dinding dengan tangan kiri.
Sekali sentak saja golok itu lepas.
Pergelangan tangan kirinya bergerak aneh dan
tahu-tahu golok itu melesat mendesing ke
arah pohon besar di depan rumah kayu!
Di lain kejap terdengar suara keluhan! Tiga
sosok tubuh kemudian tampak melayang
turun dari atas pohon besar tadi! Pemuda
berpakaian biru menyapu wajah tiga orang itu
dengan pandangan mata tak berkesip. Mereka
bukan lain adalah Ki Rana Wulung. Lalu
Danupaya dan Ratih. Denupaya tampak
memegangi bahu kirinya yang terluka akibat
sambaran mata golok yang tadi dilemparkan
si janggut biru. Masih untung tadi waktu di
atas pohon dia berlaku waspada hingga ketika
golok berdesing dia sudah mengambil
ancang-ancang untuk mengelak. Nasibnya
masih baik karena golok yang seharusnya
menembus dadanya berkat gerakannya yang
cepat hanya menyayat bahu kirinya.
"Apakah kalian sudah menyampaikan pesanku
pada guru kalian ...?" Si janggut biru ajukan
pertanyaan. Pandangan matanya ditujukan
ganti berganti ke arah Danupaya dan Ratih.
"Pesan memang sudah kuterima!" yang
menjawab Ki Rana Wulung sendiri. "Tetapi
karena pesan itu tak tahu juntrungannya
maka aku tidak menanggapi!"
Si janggut biru tertawa bergelak. "Orang tua,
kau pandai bicara. Tapi kau hendak sembunyi
di balik sehelai lalang!"
"Siapa kau sebenarnya?!"
"Siapa aku kau tak layak bertanya orang tua!
Tugasmu saat ini adalah cepat menyerahkan
peta rahasia telaga emas! Serahkan secara
suka rela hingga aku tidak perlu menurunkan
tangan jahat!"
"Peta rahasia telaga emas! Eh, benda atau
binatang apa itu?!" bertanya Ki Rana Wulung
dengan mengejek.
"Jangan bermain sandiwara padaku, Rana
Wulung! Aku tak punya banyak waktu bicara
dengan tua bangka sepertimu. Lekas serahkan
peta itu!" si janggut biru tarnpaknya mulai
hilang kesabaran. Kedua kakinya
dlrenggangkan dan tangan kirinya diletakkan
di pinggang.
"Aku tidak tahu menahu dengan segala
macam peta! Mengapa kau memintanya
padaku?!"
"Karena aku tahu memang kau memilikinya.
Peta itu ada di tanganmu sejak tiga puluh
tahun lalu! Sesuai dengan bunyi surat yang
pagi tadi kau terima dari seorang pemuda
gondrong! Bukan begitu . . . . ?!"
Tersirap darah Ki Ranah Wulung. Ratlh dan
Danupaya menahan kejut. Ketiganya sama
membatin. Bagaimana pemuda berjanggut
biru ini tahu tentang surat yang dibawa oleh
Wiro Sableng? Jawabnya satu di antara dua.
Mungkin sekali sejak pagi tadi dia sudah
mendekam di tempat itu untuk memata-matai
segala apa yang terjadi. Yang kedua, mungkin
dia ada sangkut pautnya dengan Wiro
Sableng. Begitu ketiga orang tadi menduga-
duga.
"Lekas kau serahkan pudaku, Rana Wulung!"
Si janggut biru ulurkan torr,i,rn.
"Setelah itu aku akan pergi secara baik-baik⁄"
"Kau salah alamat orang muda! Aku tidak
tahu soal peta. Dan aku tidak memilikinya.
Mungkin si penulis surat itu yang memilikinya.
Kenapa kau tidak ke Gunung Gede saja
menemui Sinto Gendeng? Kurasa nenek sakti
itu yang memilikinya."
Si janggut biru tersenyunr. Sepasang matanya
kembali terlihat seperti menyinar-kan nyala
api.
"Kau memberi keterangan dusta Rana
Wulung!" ujar si janggut biru seraya usap-
usap telapak tanngannya satu sama lain.
"Agaknya kau tidak sayang pada nyawa
sendiri. Karena kalau kau tak mau
memberikan peta itu, aku akan mengambilnya
sekaligus bersama nyawamu!"
Ki Rana Wulung rangkapkan kedua tangan di
depan dada.
"Aku sudah terlalu tua untuk hidup lebih lama
di dunia ini. Liang lahat sudah lama
menunggu. Tapi siapa manusia yang ingin
mati berpangku tangan .... ?!"
"Bagus! Kalau begitu kau memang sudah
saatnya mampus!"
Si janggut biru mundur selangkah. Dia
menggerakkan tangan kanannya ke atas lalu
menarik ke bawah perlahan-lahan kemudian
dihantamkan lagi ke depan sambil lima jari
yang tadi membentuk tinju dibuka!
Semula Ki Rana Wulung mengira dirinyalah
yang akan menjadi sasaran serangan aneh
tersebut. Tapi dia tertipu. Di samping kirinya
terdengar jeritan Danupaya! Sang murid
tampak menggelepar-gelepar sembari pegangi
perut. Saat itu Danupaya merasakan seolah-
olah isi perutnya dibetot ke luar dan
kepalanya seolah-olah dikemplang dengan
pentungan besi! Darah tampak mengucur dari
hidung, mulut dan telinganya. Pemuda ini
kembali menjerit. Menjerit dan menjerit lalu
roboh terguling ke tanah. Ratih memekik dan
jatuhkan diri memeluk kekasihnya itu. Tapi
Danupaya telah menjadi mayat!
"Manusia biadab! Terima kematianmu!" teriak
Rana Wulung.
ENAM
TERNYATA yang menyerbu si janggut biru
bukan hanya Ki Rang Wulung. Tetapi juga
Ratih. Gadis ini seperti kemasukan setan,
sembari menjerit tiada henti dia menyerang
dengan pukulan-pukulan maut mengandung
tenaga dalam tinggi. Sang guru sendiri
menghantam dengan pukulan-pukulan sakti
yang jauh lebih ganas. Tetapi hebatnya,
semua serangan yang mematikan itu
dielakkan si janggut biru dengan sikap
congkak meskipun dada pakaiannya sampat
terenggut robek oleh kuku panjang Ki Rana
Wulung.
"Manusia-manusia tolol!" teriak si janggut
biru. "Apa kematian pemuda itu tidak
membuat kalian sadar! Kau tua bangka
goblok! Masih tidak mau menyerahkan barang
yang kuminta!"
"Anjing kurap! Kau inginkan nyawaku!
Ambillah sendiri! Kalau tidak nyawa anjingmu
yang akan kubetot dari tubuhmu!" balas
berteriak Rana Wulung.
"Kau musti mampus di tanganku musti
mampus!" terdengar pula teriakan Ratih. Di
tangan kanannya kini dia mernegang sebilah
golok. Sekali golok diputar, suaranya
berdesing dan senjata itu seperti berubah jadi
tujuh buah banyaknya! Karena Rana Wulung
keluarkan ilmu silatnya yang paling andal
maka datam dun jurus saja guru dan murid
itu telah mengurung rapat pemuda berjanggut
biru. Tetapi hanya dua jurus itulah batas
kemampuan Rana Wulung Dan Ratih berbuat.
Didahului satu bentakan buas, si janggut biru
berkelebat di antara dua penyerang. Ketika
Ratih dan Rana Wulung berbalik untuk
mengejar sembari menggempur, ternyata
lawan sudah membalikkan diri lebih dahulu
seraya kirimkan satu jotosan dan satu sapuan
kaki!
Ratih terpekik ketika dia merasakan kaki
kanannya sakit bukan kepalang dan tanah
yang dipijaknya seperti amblas. Tubuhnya
yang ramping terbanting ke tanah. Dengan
mengandalkan kegesitan dan keringanan
tubuh gadis ini masih sanggup jungkir balik,
lalu sebelum kakinya menginjak tanah, tangan
kanannya dengan satu gerakan kilat Si
janggut biru yang tidak mengira sang dara
sanggup melancarkan serangan seperti itu,
kalau tidak lekas mengelak hampir saja
perutnya tertembus golok. Kemarahan
membuat dia melipatgandakan pukulan yang
ditujukan pada Ki Rana Wulung. Dan kakek ini
menerima nasib malang. Tubuhnya terpental
ketika jotosan si janggut biru dengan telak
menghantam dedenya. Rana Wulung
merasakan tulang dadanya seperti melesak ke
dalam. Napasnya langsung sesak. Rasa sakit
yang amat sangat membuat kepalanya seperti
pecah. Orang tua ini jatuh terduduk di tanah
sambil muntahkan darah segar. Menyadari
bahaya yang mengancam dirinya, Rana
Wulung rebahkan tubuhnya ke tanah lalu
berguling menjauhi si janggut biru. Sewaktu
dia berhenti berguling di akar pohon besar,
memandang ke depan dilihatnya Ratih sudah
terbujur di tanah dalam keadaan tak berdaya.
Satu totokan telah melumpuhkan sekujur
tubuhgadis ini, bahkan jalan suaranya pun
tidak bekerja lagi!
"Tua bangka tolol! Kalau saja kau mau
menyerahkan peta itu dari tadi, tak akan kau
kehilangan murid lelaki itu. Tak akan muridmu
yang perempuan ini mendapat cidera. Dan
nyawamu sendiri tak akan tertolong! Apalagi
jika kau masih saja bertindak tolol tidak mau
menyerahkan peta telaga emas itu!"
"Kau boleh membunuhku! Dan kau tetap tak
akan mendapatkan apa-apa dariku manusia
biadab!" menjawab Rana Wulung.
"Kita akan lihat, tua bangka tolol!" sahut si
janggut biru.
Selesai berkata begitu si janggut biru
gerakkan kedua tangannya untuk membuka
pakaian birunya. Ternyata di balik pakaian
biru itu dia mengenakan pakaian hitam gelap
dengan gambar puncak gunung berlatar
belakang matahari berwarna merah disertai
tiga larik sinar masing-masing berwarna
kuning, merah dan hitam. Melihat gambar
pada dalam pakaian si janggut biru itu
pucatlah paras Ki Rana Wulung.
"Jadi .... jadi kau?. kau!"
Si janggut biru menyeringai.
"Kau ini mengenaliku Rana Wulung .... "
"Pangeran Matahari!" Tenggorokan orang tua
itu seperti tercekik ketika menyebut nama itu.
"Ha. .. ha ... Tidak salah Rana Wulung! Aku
memang Pangeran Matahari. Pangeran dari
segala° Pangeran di dunia ini! Datuk dari
segala Datuk! Pendekar dari segala licik,
segala akal, segala ilmu, segala cerdik dan
segala congkak!"
Si janggut biru yang ternyata adalah
Pangeran Matahari, satu nama yang telah
menjadi momok dalam dunia persilatan di
masa itu melangkah mendekati Rana Wulung.
"Kau masih belum mau menyerahkan peta
itu?"
"Aku sudah siap mati!" kata si orang tua
seraya pejamkan mata. Sejak dua tahun
terakhir ini dia sudah mendengar dan tahu
banyak tentang malapetaka yang melanda
dunia persilatan akibat munculnya seorang
pemuda berkepandaian silat tinggi dan
mempergunakan kehebatannya dengan segala
kecongkakan untuk melakukan berbagai
macam kejahatan. Mulai dari membunuh
tokoh-tokoh persilatan sampai pada
merampok dan menculik. Dia tidak pernah
menduga kalau malam itu justru manusia
ganas inilah yang muncul di puncak Sawojajar
untuk merampas jiwanya. Dia tidak takut
mati. Tapi bagaimana dengan keselamatan
murid perempuannya?! Hal ini membuat Ki
Rana Wulung membukakan kedua matanya
yang tadi dipejamkan.
Puluhan tahun dia memiliki ilmu silat, belajar
dan belajar, berlatih dan berlatih. Malam ini
semuanya itu tidak berarti apa-apa di
hadapan pemuda terkutuk yang menyebut
dirinya sebagai Pangeran Matahari itu!
"Ha . ... ha ... Kau membuka matamu kembali
Rana Wulung! Rupanya kau belum rela mati!"
Tiba-tiba, dalam keadaan terluka di dalam
cukup parah, seperti mendapat suatu
kekuatan baru Ki Rana Wulung melompat.
Dari mulutnya bersemburan darah segar. Tapi
ia tak perduli. Didahului jeritan keras orang
tua ini lepaskan pukulan dari jarak dua
langkah ke arah kepala Pangeran Matahari.
Satu gelombang angin yang mengeluarkan
deru dahsyat menyambar menebar hawa
panas!
Wuss!
"Ilmu picisan mainan anak-anak!" ejek
Pangeran Matahari. Tapi dia cepat menyingkir
karena diam-diam sebenarnya dia merasa
terkejut juga melihat kehebatan lawan, yang
dalam keadaan terancam jiwanya akibat luka
dalam, masih mampu melepaskan pukuian
hebat disertai aliran tenaga dalam tinggi.
"Tua bangka edan! Kau bukan saja tolol tetapi
juga edan!" teriak Pangeran Matahari. Angin
pukuian lawan sesaat masih sempat menyapu
tubuhnya hingga dia tergontai-gontai. Dalam
keadaan seperti itu Rana Wulung dilihatnya
kembali menyerbu. Mukanya tampak angker
karena penuh berselemotan darahnya sendiri.
Kali ini Pangeran Matahari tidak memberi
kesempatan lagi. Belum sampai serangan
Rana Wulung, dia sudah menyongsong dengan
pukulan tangan kanan. Dua lengan beradu tak
terelakkan.
Kraak!
Ki Rana Wulung terpental. Untuk kedua
kalinya kakek ini terbanting ke tanah.
Keadaannya kini lebih parah lagi karena
lengan kanannya patah akibat beradu dengan
tangan lawan tadi!
"Bagaimana . . .? Masih belum mau
menyerahkan peta itu?" bertanya Pangeran
Matahari sambil dua tangan bertolak
pinggang.
"Terkutuk! Mampuslah kau manusia terkutuk!"
Pangeran Matahari meludah ke tanah. Sekali
tendang saja dia dapat menghancurkan
kepala orang tua itu. Tetapi mungkin dia akan
mengalami kesulitan menemukan peta rahasia
itu. Pasti Rana Wulung menyembunyikannya
di satu tempat yang sulit diketahui.
"Kau akan melihat keterkutukanku Rana
Wulung! Kau akan melihat! Kau tidak takut
mati! Bagus! Tapi apakah kau tidak takut
menyaksikan apa yang bakal kulakukan
terhadap murid perempuanmu ini?!"
Pangeran Matahari berbalik, lalu melangkah
ke tempat di mana Ratih terbujur di tanah
dalam keadaan tegang karena ditotok.
Pemuda berjanggut biru itu membungkuk.
Lalu! Dada pakaian kelabu yang dikenakan
Ratih robek besar di beberapa bagian.
Auratnya terbuka putih membusung.
"Ha . . . ha! Kau akan melihat keterkutukanku!
Kau akan melihat!"
Pangeran Matahari kembali membungkuk dan
ulurkan tangannya untuk menarik pakaian
sebelah bawah Ratih.
"Ya Tuhan! Laknat terkutuk!" teriak Ki Rana
Wulung. "Apa yang hendak kau lakukan! Kau
boleh bunuh aku! Tapi jangan sentuh gadis
itu!"
Pangeran Matahari hanya tertawa mendengar
ucapan Rana Wulung itu. "Yang akan
kulakukan bukan hanya menyentuhnya, lebih
dari itu Rana Wulung! Dan kau boleh
menyaksikan! Buka matamu lebar-lebar!"
Ki Rana Wulung coba merangkak mendekati
Pangeran Matahari untuk menolong muridnya.
Tapi keadaannya sengsara sekali. Jangankan
merangkak, beringsut pun dia tak sanggup.
"Demi Tuhan! Jangan kau lakukan itu! Bunuh
aku! Bunuh!"
"Aku tidak butuh nyawamu lagi Rana Wulung!
Tak kubunuhpun kau akan segera mampus.
Aku lebih butuh tubuh muridmu yang cantik
ini! Kau lihatlah! Hai pernahkah kau melihat
tubuh muridmu tanpa sehelai benangpun
menutupnya . . . ?
Ha... Ha.... ha....
"Tunggu!" teriak Rana Wulung.
TUJUH
PANGERAN MATAHARI yang sudah siap untuk
menelanjang tubuh Ratih yang berada dalam
keadaan tertotok itu sesaat hentikan gerakan
tangannya dan berpaling pada orang tua yang
menggeletak di tanah itu.
"Apa maumu . . .?" tanyanya.
"Dengar. . . dengar. Demi Tuhan .... Aku akan
berikan peta itu padamu. Aku akan berikan
peta itu! Asalkan kau berjanji ... tidak, bukan
berjanji! Tapi bersumpah! Asal kau mau
bersumpah tidak akan mengganggu muridku!"
"Pasti kau hendak menipuku!" sahut Pangeran
Matahari dengan sikap tak acuh.
"Aku tidak menipumu! Aku akan berikan peta
itu! Bersumpahlah . . . ."
Pangeran Matahari manggut-manggut
beberapa kali.
"Baik, serahkan peta itu padaku!"
"Bersumpah dulu!"
"Aku bersumpah!" ujar Pangeran Matahari.
Satu tangan diangkat ke atas, satunya lagi
mengusap-usap janggut birunya. "Nah, mana
peta itu!"
"Di sana. . . ."" Rana Wulung menunjuk
dengan tangan kiri gemetar. Yang ditunjuknya
adalah arah pohon besar disamping kanan
rumah kayu.
"Di sana di mana maksudmu?!" sentak
Pangeran Matahari.
"Di ... di bawah pohon. Tiga langkah ke kanan
dari akar yang menonjol. Gali tanah di situ.
Kau akan menemukan sebuah kotak besi tipis.
Peta itu ada dalam kotak besi."
"Kalau kau berdusta kau dan muridmu tidak
akan mendapatkan pengampunan!"
mengancam si janggut biru lalu dia
melangkah ke tempat yang dikatakan. Dengan
golok milik Ratih dia menggali tanah sejarak
tiga langkah dari tonjolan akar. Menggali
sedalam dua jengkal, ujung golok membentur
sebuah benda keras. Ketika dikorek terlihat
sebuah kotak besi yang sudah karatan. Kotak
ini dililit dengan sehelai kawat yang juga
sudah karatan. Dengan cepat Pangeran
Matahari membuka lititan kawat itu lalu
membuka kotak besi. Di dalam kotak itu
kelihatan sebuah kertas tebal yang berwarna
kekuningan dimakan usia. Dengan hati-nati
Pangeran Matahari membuka lipatan kertas
tebal itu. Di situ tergambar sebuah sungai dan
gunung lalu lingkaran bengkok-bengkok
mungkin merupakan gambaran dari sebuan
telaga, lalu tanda silang di sebelah timur
telaga.
Pangeran Matahari menyeringai. Peta itu
dilipatnya kembali lalu dia bangkit berdiri dan
melangkah mendekati Rana Wulung. Orang
tua itu cepat membuka mulut.
"Kau sudah mendapatkan apa yang kau
ingini! Sekarang tinggalkan tempat Ini!"
"Percuma aku mempunyai jalan hidup segala
cerdik, segala congkak segala akal dan segala
licik, kalau aku pergi begitu saja sementara
rezeki besar sudah di depan mata!"
Paras Rana Wulung yang pucat jadi berubah.
"Apa maksudmu?"
"Aku telah kepalang tanggung melihat
keindahan tubuh muridmu! Tak baik kalau
dibiarkan begitu saja. Karena kau telah
berbaik hati menyerahkan peta itu, maka aku
memberi sedikit keringanan padamu. Aku tak
akan bersenang-senang dengan gadis itu di
hadapanmu. Tapi aku akan membawanya ke
suatu tempat. Ha. .. ha ... ha ..."
"Manusia Iblis!" teriak Rana Wulung. Seperti
ada yang memberi kekuatan padanya
tubuhnya yang sejak tadi terkapar tiba-tiba
bisa bangkit berdiri. Namun sebelum
mencapai Pangeran Matahari orang tua ini
roboh ke tanah dan tak sanggup lagi bangun.
"Ya Tuhan ... dosa apa yang telah kuperbuat
hingga mqngalami nasib seperti ini ..."
mengeluh Rana Wulung dalam hatinya.
"Selamat tinggal orang tua tolol! Muridmu
kubawa!"
Pangeran Matahari membungkuk siap untuk
memanggul tubuh Ratih. Di saat itulah
terdengar suara siulan disusul bentakan
menggeledek.
"Dicari-cari tidak bertemu! Ternyata kau
menjual lagak di puncak Sawojajar ini!"
Bersamaan dengan itu hemhusan angin
kencang menderu deras membuat Pangeran
Matahari sesaat tergontai-gontai dan hampir
saja jatuh duduk kalau tidak lekas memasang
kuda-kuda pertahanan dengan
merenggangkan kedua kakinya.
"Bangsat dari mana yang berani mencampuri
urusan orang!" hardik Pangeran Matahari!
Sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu
sosok tubuh Ratih yang terbaring di tanah
lenyap. Ketika berpaling ke kiri Pangeran
Matahari dapatkan gadis itu kini sudah
terbaring di lantai serambi depan rumah kayu.
Tegak disampingnya seorang pemuda
berambut gondrong, berpakaian putih,
bersikap seenaknya sambil menyeringai.
"Kau!" seru Pangeran Matahari. Nadanya
keras dan marah. Tapi dalam hatinya dia
merasa tidak enak kalau tidak mau dikatakan
takut. Beberapa kali sebelumnya dia telah
bentrokan hebat dengan pemuda yang
menyandang pelar Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212 itu. Dan dalam setiap
bentrokan dia selalu berada di pihak yang
kurang menguntungkan.
"Rupanya kau sudah rindu akan kematian
hingga mencariku ke tempat ini!" Wiro Sableng
tertawa gelak gelak.
"Kalau pemuda rindukan gadis itu lumrah.
Tapi kalau aku rindukan kamu untuk mencari
mati. Ha... ha... ha...! Terbalik perutku!" Habis
berkata begitu Wiro berlagak seperti orang
mau muntah!
Paras Pangeran Matahari berubah kelam dan
membesi. Dan ejekan Wiro Sableng masih
belum habis.
"Eh, sejak kapan kau pakai janggut seperti itu.
Pandai juga kau mewarnainya. Apakah kau
pakai tahi kerbau atau kotoran kuda untuk
mewarnai janggutmu hingga jadi biru seperti
itu ....?"
"Orang yang hendak mampus memang sering
bicara ngacok!" kata Pangeran Matahari
dengan suara bergetar. Dari tempatnya berdiri
dia langsung hantamkan tangan kanan.
Sinar merah, kuning dan hitam berkiblat di
puncak bukit Sawojajar itu. Udara terang
benderang mengerikan karena disertai
hembusan hawa panas yang luar biasa.
Sebagian atap rumah kayu langsung hangus.
Daun-daun dan juga ranting-ranting
pepohonan menghitam.
"Iblis berjanggut biru ini benar-benar sakti
luar biasa!" membatin Rana Wulung.
Seumur hidupnya baru sekali itu dia melihat
pakulan sakti seperti yang dilepaskan
Pangeran Matahari. Sementara itu di atas
serambi rumah, kalau saja dia bisa berteriak
pastilah Ratih sudah menjerit melihat bahaya
yang mengancam pemuda gondrong yang
telah dua kali menyelamatkan dirinya.
Tapi gilanya dia melihat si gondrong malah
masih tegak tenang.-tenang saja. Hanya dia
kemudian menyaksikan tangan kanan Wiro
berubah putih berkilau seperti perak sampai
ke siku. Dan ketika pemuda itu pukulkan
tanqannya ke depan, terdengar suara
menggeledek disertai bertebarnya sinar putih
menyilaukan dan panas luar biasa!
"O.. ladalah! Inikah yang dinamakan pukulan
sinar matahari ...?" ujar Rana Wulung dalam
hati. Tubuhnya terguling jauh. Begitu juga
Ratih, terbanting ke dinding kamar. Asap
kelabu kemudian menyungkup seantero
tempat itu.
"Bangsat!" memaki Pangeran Matahari di
dalam kepulan asap. Dia melompat ke kiri.
Dendam kesumatnya atas kejadian di masa
lalu terhadap Wiro masih belum terbalaa.
Malam itu kembali dia tak mampu
merobohkan lawan. Menimbang bahwa dia
sudah mendapatkan peti yang dicarinya maka
dia mengambil keputusan untuk meninggalkan
tempat itu. Selagi asap menupi pemandangan,
Pangeran Matahari berkelebat dan lenyap dari
situ.
DELAPAN
KI RANA WU LUNG duduk bersandar ke
dinding kayu kamarnya. Dadanya masih sesak
dan sakit. Tapi berkat obat yang diberikan
Wiro, luka di dalam yang dideritanya
menunjukkan tanda-tanda membaik. Darah
tak lagi keluar setiap dia batuk dan meludah.
Ratih duduk di sampingnya, membalut
potongan kayu yang ditempelkan ke lengan
kanan sang guru yang patah. Hari itu adalah
hari kedua sejak terjadi bencana akibat
kejahatan Pangeran Matahari.
"Sudah .... Ikatanmu sudah cukup kencang.
Kau pergilah mengurus kuburan Danu. Kulihat
dari sini timbunan tanah di sebelah kepala
agak tenggelam.
"Baik guru . . . ." jawab Ratih perlahan. "Tapi
sampai hari ini guru belum memberi petunjuk
apa yang hendak kita lakukan atas manusia
terkutuk bernama Pangeran Matahari itu. Jika
guru setuju saya bisa meminta bantuan
pamanda Tumenggung Puro Bekasan untuk
rnengirimkan pasukan Kerajaan mencari dan
menangkap orang itu...."
Ki Rana Wulung menarik nafas dalam. Sesaat
dia melirik pada Pendekar 212 Wiro Sableng
yang duduk bersila di dekat pintu kamar lalu
gelengkan kepalanya.
"Manusia iblis seperti Pengeran Matahari itu
sulit untuk dikejar, apalagi ditangkap
sekalipun mengerahkan seluruh pasukan
Kerajaan."
"Sehebat itukah dia? Bukankah di Kotaraja
juga banyak para tokoh silat istana yang bisa
dimintakan bantuannya ...?" ujar Ratih dengan
agak kecewa.
"Menurut pendengaranku, manusia itu
beberapa kali membuat keonaran di Kotaraja.
Berani mengacau sampai ke dalam Keraton
..."
"Lalu kita biarkan saja dia berbuat kejahatan?
Bahkan dia telah mengambil peta rahasia
yang sangat berharga itu, guru!"
"Dunia ini memang aneh. Dalam keanehan itu
aku merasa malu dan ingin minta maaf ...
Juga ingin berterima kasih."
"Eh, kau malu karena apa guru. Dan mau
minta maaf pada siapa?"
"Pada pemuda itu ...." jawab Rana Wulung
seraya menggoyangkan kepalanya ke arah
Wiro. "Anak muda, kau masuklah ke mari."
Karena dipanggil Wiro masuk ke dalam.
"Sebetulnya aku ingin minta diri . . ." berkata
Wiro begitu duduk di hadapan Rana Wulung.
"Jangan begitu anak muda. Kalau tidak
kusampaikan rasanya akan menjadi ganjalan.
Kukatakan tadi aku malu. Malu karena telah
terlanjur bersikap kasar dua hari lalu padamu.
Padahal kau yang telah menyelamatkan kedua
muridku sewaktu dihanyutkan banjir. Lalu kau
juga yang menyelamatkan kami dari manusia
iblis bernama Pangeran Matahari itu!"
"Memang begitulah maunya keanehan dunia,
kek!" jawab Wiro.
Rana Wulung tertawa karena untuk pertama
kalinya pemuda itu memanggilnya dengan
sebutan kakek.
"Guru," tiba-tiba Ratih menyelak pembicaraan.
"Kau masih belum menjawab apakah akan
kita biarkan iblis berjanggut biru itu lolos
membawa peta rahasia milikmu...?"
Rana Wulung memegang bahu muridnya
dengan tangan kiri.
"Pangeran Matahari mengagulkan dirinya
sebagai seorang yang terhebat dalam segala
licik, segala akal, segala congkak dan segala
akal. Kau tak perlu mengawatir-kan peta itu,
muridku. Peta yang dirampasnya itu adalah
peta palsu!" Ratih dan Wiro terkejut.
"Kau cerdik guru! Jadi kau masih menyimpan
peta yang asli ... ?"
"Ya, dan aku akan memberikannya pada murid
Sinto Gendeng ini. Sesuai dengan surat
gurunya itu . . . . Tentang Pangeran Matahari
aku percaya hukuman bakal jatuh padanya!"
Rana Wulung berpaling pada Wiro. "Syukur
kau muncul kembali ke tempat ini !"
"Kek, aku kemari bukan untuk meminta peta
itu. Bukankah kau sudah memutuskan untuk
tidak memberikannya. Aku kembali kemari
karena di tengah jalan secara tidak sengaja
melihat seorang berpakaian biru, berjanggut
biru dengan gerak-gerik mencurigakan. Ketika
aku rasa-rasa kenal akan wajahnya walaupun
kini memakai janggut biru, maka diam-diam
aku menguntitnya. Ternyata dia datang
kemari. Musuh besar yang sangat licik, yang
sampai hari ini selalu lolos dari tanganku ...."
"Terlepas apapun tujuanmu kembali kemari
tapi aku sudah memutuskan untuk
menyerahkan peta rahasia telaga emas itu
padamu. Harap kau suka menyampai-kannya
pada gurumu di puncak Gunung Gede."
"Kalau begitu keputusanmu, aku hanya
menurut saja," jawab Wiro.
Ki Rana Wulung membuka kain putih penutup
kepalanya. Tampak rambutnya yang berwarna
kelabu tergulung membentuk sebuah sanggul
kecil di atas kepalanya. Dengan tangan
kirinya orang tua ini membuka sanggul itu.
Darl dalam sanggul yang terbuka itu tampak
sehelai kain berwarna hitam tergulung rapi tak
lebih besar dari jari kelingking.
Selagi Ratih dan Wiro bertanya-tanya dalam
hati benda apa sebenarnya yang ada dalam
gulungan rambut Ki Rana Wulung, orang tua
itu membuka gulungan kain hitam tadi.
Ternyata lebarnya kain ini hanya selebar
telapak tangan. Dan di atas kain itu terdapat
sebuah lukisan telaga berwarna putih. Di
bawah lukisan kecil ini ada serangkaian
tulisan putih berbunyi :
Berbiduk di atas Bengawan
Dari selatan ke arah barat
Dari utara ke arah timur
Telaga sejuk hanya satu
Beringin sakti hanya satu
Duduk bersila di atas batu merah
Menghadap lurus ke utara
Pasti terlihat pohon bersilang
Rahasia tersembunyi di bawahnya
Hanya yang mendapat berkah Ilahi aku mendapatkannya.
"Inikah peta telaga emas itu, guru?" bertanya Ratih.
Sang guru mengangguk. Lalu kain hitam kecil
itu digulungnya kembali dan diulurkannya
pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Simpan baik-baik. Serahkan pada gurumu.
Dia tak perlu mengembalikannya padaku. Apa
yang akan dilakukannya terhadap harta itu
terserah dia. Aku sudah terlalu tua untuk
mengurus segala urusan dunia. . ."
"Terima kasih atas kepercayaanmu, kek." kata
Wiro seraya mengambil gulungan kain hitam.
Benda ini kemudian dimasukkannya ke dalam
ikatan ikat kepalanya di sebelah belakang.
Rana Wulung tersenyum. "Sepintas
tampangmu tampak tolol. Nyatanya otakmu
cerdik ..."
Wiro garuk-garuk kepala.
"Aku minta diri sekarang kek. Kudoakan kau
lekas sembuh . . ."
"Obatmu pasti mujarab. Sekali lagi aku
berterima kasih"
Ratih tampak seperti hendak mengatakan
sesuatu.
"Ada yang hendak kau sampaikan Ratih ...?"
Sang dara agak gugup. Namun akhirnya dia
menggelengkan kepala.
"Kalau tak ada apa-apa lagi, tolong ampilkan
Qur'anku. Di umur setua ini apa lagi yang
akan kukerjakan kalau bukan berbuat Ibadah..."
SEMBILAN
PANGERAN MATAHARI menjadi sangat heran
ketika dalam rimba belantara itu tiba-tiba
saja dia mendengar suara orang bernyanyi di
kejauhan. Nyanyian itu diiringi tabuhan
gendang dan kerincingan.
"Setan atau manusia yang berpesta di hutan
ini?!" ujar sang pangeran dalani hati.
Meskipun dia menempuh rimba belantara itu
untuk urusan penting dan memintas jalan,
namun keanehan yang didengarnya itu
membuat dia memutar langkah menuju arah
datangnya suara nyanyian dan tabuhan
gendang serta kerincingan.
Di suatu tempat yang leguk, hampir
menyerupai lembah kecil, Pangeran Matahari
melihat sepasang kakek-nenek asyik menyanyi
sambil menari-nari dalam gerakan berputar-
putar membentuk lingkaran. Masing-masing
memegang tetabuhan berbentuk rebana yang
pada pinggirannya dilingkari lembaran-
lembaran kaleng tipis kecil. Setiap rebana itu
ditabuh, kerincingan ikut berbunyi.
"Dua tua bangka edan! Kalau tidak edan
masakan berada di tempat ini dan menari!
Ada-ada saja."
Pangeran Matahari hendak balikkan diri guna
melanjutkan perjalanan. Namun niatnya ini
dibatalkan. Kakek nenek di bawah sana
dilihatnya mengeluarkan sebuah bumbung
kecil. Sambil menari keduanya kemudian
mendongak ke atas dan tempelkan mulut
bumbung bambu itu ke bibirnya. Dari
tempatnya berdiri Pangeran Matahari dapat
mencium harumnya bau minuman yang
direguk kedua orang tua itu sambil menari
dan menyanyi.
"Mabuk .... Pantas mereka seperti orang gila.
Tapi minuman itu sungguh luar biasa.Sejauh
itu bau harumnya menebar sampai ke sini.
Tenggorokanku kering. Kalau saja aku
kebagian barang beberapa teguk .... Ah, aku
coba menemui mereka!"
Pangeran Matahari melangkah menuruni
bagian rimba yang berbentuk lembah itu.
Seperti tidak melihat kedatangan orang, dua
kakek nenek tadi terus saja menari-nari dan
menyanyi, menabuh rebana dan meneguk
minuman harum di dalam bumbung bambu.
Tiba-tiba suara nyanyian berhenti. Tabuhan
rebana dan suara gemerincing kaleng-kaleng
lenyap. Dua kakek nenek palingkan wajah
masing-masing ke arah pemuda berjanggut
hiru. Ketika Pangeran Matahari menatap
wajah krrdua orang tua itu, astaga!
Hatinya tergetar. Kakek dan nenek ini memiliki
sepasang mata sengat merah dan tidak
memiliki bagian mata berwarna putih!
"Jangan, jangan⁄" Ucapan dalam hati
Pangeran Matahari terputus ketika tiba-tiba si
nenek berpakaian aneh penuh tambalan itu
berkata pada temannya.
"Hai, kedatangan tamu dari jauh. Akan diajak
minum atau diajak menari?"
Kawannya si kakek yang juga berpakaian
penuh tambalan menjawab setelah lebih dulu
tertawa cekikikan.
"Minum dan menari soal kedua. Tapi apakah
dia pandai menyanyi ... ?!"
Si nenek kini yang ganti tertawa cekikikan.
"Hai! Apakah kau pandai menyanyi?!" Si kakek
ajukan pertanyaan.
Pangeran Matahari menggeleng.
"Ah, janggutmu saja yang keren tapi tak
pandai menyanyi!" Si nenek tampak kecewa.
"Apa maumu datang ke mari?!" Si kakek
bertanya. Rebana di tangan kiri diletakkannya
di atas kepala lalu dia menurunkan tubuh,
duduk bersila di tanah.
Anehnya rebana yang tadi dijunjungnya tetap
berada di batas kepalanya semula, seolah-
olah rebana itu tergantung di udara, diikat
oleh tali yang tak kelihatan!
Bergetarlah hati Pangeran Matahari. Dadanya
berdebar. Yang dihadapinya saat itu mungkin
bukan orang-orang gila, tetapi manusia-
manusia sakti dengan kepandaian langka!
"Hai! Di mana rebanaku?!" Tiba-tiba si kakek
berseru dan menoleh kian ke mari, lalu
memegang-megang kepalanya mencari-cari.
Kawannya tertawa terpingkal-pingkal.
"Tua bangka pikun! Itu rebanamu, bukankah
kau tinggalkan di puncak gunung?!"
Mendengar kata-kata kawannya itu, si kakek
mendongak ke atas. Dia melihat rebananya
mengapung di udara lalu tepuk kening sendiri
seraya berkata, "Pelupa benar aku ini. Tolong
kau ambilkan rebanaku itu nek!"
Si nenek angguk-anggukkan kepalanya. Aneh
sekali. Rebana yang mengapung di udara itu
bergerak turun naik lalu jring! Rebana itu
hinggap kembali di atas kepala si kakek!
Kedua kakek nenek itu kemudian tertawa
terpingkal-pingkal.
"Siapa gerangan dua manusia aneh luar biasa
ini ...." membatin Pangeran Matahari. Karena
hatinya merasa tidak enak maka dia
memutuskan untuk segera tinggalkan tempat
itu. Tapi baru saja dia membalikkan tubuh,
tahu tahu si nenek sudah menghadang
langkahnya.
"Aih, datang baik-baik kini hendak pergi
begitu saja. Sungguh tidak tahu peradatan!"
"Dia mungkin tak suka kita, nek. Biar saja dia
pergi!"
"Tidak bisa ... tidak bisa . . . " sahut si nenek
sambil geleng-gelengkan kepala. "Aku harus
tahu dulu mengapa dia datang ke mari.
Jangan-jangan membawa maksud
tersembunyi ..."
"Betul ... betul! Ayo orang muda berjanggut
biru. Katakan mengapa kau datang dan
mengganggu kami di sini? Kalau kau tidak
muncul nyanyi dan tarian kami tak akan
terganggu ..."
"Aku sama sekali tidak membawa niat
tersembunyi. Apalagi hendak mengganggu
kalian. Hanya saja minuman yang kalian
teguk itu baunya harum sekali, menebar jauh
menimbulkan selera. Apalagi aku sedang
kehausan . . . ."
"Aih, itu rupanya. Mengapa kau tidak bilang
dari tadi?" ujar si nenek. "Kalau Cuma
sebumbung arak harum, masakan aku tidak
mau memberi. Asal saja kau minum dan
habiskan di tempat ini!"
Dari balik pakaian anehnya nenek itu
keluarkan sebuah bumbung bambu berisi
penuh arak lalu menyodorkannya pada Pan
geran Matahari. "Nah, kau minumlah sampai
habis sepuasmu. Tapi minum di sini saja,
janyan dibawa. Tabungnya aku masih perlu!"
"Terima kasih nek. Aku hanya butuh beberapa
teguk. Tak perlu semuanya."
"Terserah padamu. Asal kau minum itu sudah
tanda menghormat kami . . . ."
Pangeran Matahari menerima tabung bambu
itu. Tiba-tiba saja saat itu hatinya mendadak
tidak enak. Ketika mulut bambu
didekatkannya ke bibirnya, hidungnya membau
sesuatu di antara keharuman arak dalam
bambu. Racun!
"Hai! Kenapa kau tidak segera minum ? Apa
arakku tidak enak? Jangan berani menghina .
. ."
"Terima kasih. Kau ambil kembali arakmu. Aku
baru ingat berpantang minum minuman keras
. . ." jawab Pangeran Matahari pula.
Kemudian dilihatnya paras si nenek
membersitkan kemarahan. Sepasang matanya
yang merah seperti sambaran api.
"Kalau tidak kau minurn, kubunuh kau!"
Perempuan tua itu mengancam.
"Jangan terlalu memaksa! Aku tidak suka
dipaksa!" Pangeran Matahari menghardik.
Kedua tangannya diletakkan di pinggang
setelah lebih dulu mencampakkan tabung arek
ke tanah. Terjadi hal yang hebat. Ketika arak
dalem tabung terguyur ke luar, tanah dan
pohon-pohon kecil yang tersiram tampak
menjadi hitam dan mengepulkan asap.
Marahlah Pangeran Matahari. Dugaannya
betul!
"Tua bangka keparat! Kau hendak
membunuhku dengan minuman itu!"
"Hik , . . hikk ... hikkkk," si nenek tertawa
cekikikan.
Pangeran Matahari cekal dada pakaian
perempuan puan tua ini dan angkat tinggi-
tinggi tubuh si nenek lalu menghempaskannya
ke tanah. Tapi ternyata si nenek jatuh dengan
dua kaki lebih dulu dan tetap dalam keadaan
berdiri!
Dari samping kawannya melompat marah.
"Berani kau berlaku kurang ajar pada
kawanku? Nyawamu tidak akan kami ampuni!
Kau memilih dibunuh atau bunuh diri?!"
Pangeran Matahari tertawa dingin.
"Kalian belum tahu berhadapan dengan
siapa!" Lalu dia buka pakaian luarnya yang
berwarna biru. Di balik pakaian biru itu
tampak pakaian hitam dengan gambar puncak
gunung, matahari serta garis-garis sinar
berwarna merah.
"Ah, pakaian jelek begitu hendak
disombongkan! Kami sudah memutuskan kau
harus mampus! Kecuali..." Si nenek
menggantung ucapannya.
"Kecuali apa?!" sentak Pangeran Matahari.
"Kau menyerahkan pada kami peta rahasia
telaga emas!"
Terkejutlah Pangeran Matahari mendengar
kata-kata perempuan tua itu. Jelas dia sudah
kena tipu hingga datang menghampiri dua tua
bangka edan itu. Tapi bagaimana mereka
tahu kalau dia membawa peta telaga emas?
"Siapa kalian sebenarnya?!"
Kakek dan nenek tertawa panjang. Lalu sama-
sama menjawab seperti sudah diatur dan
dihafal baik-baik.
"Dari utara sampai selatan, dari timur sampai
barat, siapa tidak kenal Sepasang Setan
Bermata Api .... ?"
"Celaka!" keluh Pangeran Matahari dalam hati
begitu mendengur dan mengetahui siapa
adanya kedua kakek nenek itu. "Kalau tidak
dengan segala licik dan segala akal aku bisa
celaka ..." Lalu dia mundur selangkah seraya
berkata. "Ah, tidak tahunya aku berhadapan
dengan datuk-datuk dunia hitam yang ditakuti
dalam rimba persilatan. Jika kalian yang
meminta sesuatu padaku, mana aku berani
menolak. Tapi bagaimana kalau kita sama-
sama memecahkan teka-teki dalam peta itu.
Hasilnya kita bagi tiga."
"Aku setuju!" ujar si kakek.
"Aku tidak!" menampik si nenek. "Peta itu
harus kau serahkan padaku. Sam ini juga!"
"Kalau begitu pintamu baiklah . . . ."
Pangeran Matahari masukkan tangannya ke
balik pakaian hitam. Tapi di lain kejap tangan
itu tiba-tiba melesat ke depan dalam
serangan kilat berupa satu dorongan telapak
tangan. Si nenek yang rupanya juga tidak
bodoh dan telah waspada, begitu melihat
tangan orang berkelebat, cepat pula gerakkan
kedua tangannya sekaligus dan memukul ke
depan.
Bukk!
Dua telapak tangan saling beradu. Di saat
yang sama tangan kiri si nenek berhasil
mencekal lengan Pangeran Matahari. Sekali
dia membuat gerakan membetot maka tubuh
Pangeran Matahari terlempar ke atas!
Meskipun berhasil membuat Pangeran
Matahari jungkir balik di udara, namun si
nenek menerima nasib mengenaskan.
Bentrokan telapak tangan tadi membuat
tubuhnya jatuh berlutut. Isi perutnya seperti
dibetot-betot. Kepalanya seperti dihantam
palu godam. Darah mengucur dari kedua
telinga, hidung dan mulut! Dia telah menerima
hantaman pukulan Merapi Meletus! Meskipun
memiliki tenaga dalam tinggi, ternyata masih
berada di bawah tingkat tenaga dalam
Pangeran Matahari. Dalam pada itu si nenek
juga kalah kesaktian!
Perlahan-lahan tubuh si nenek terkulai ke
depan. Akhirnya roboh ke tanah tanpa nyawa
lagi. Pukulan itulah yang beberapa hari lalu
hampir menewaskan Ki Rana Wulung di
puncak bukit Sawojajar kalau saja tidak
diobati oleh Pendekar 212 Wiro Sableng!
Melihat kawannya mati, si kakek berteriak
marah. Kedua tangannya membuat gerakan
menggapai ke langit. Tetapi anehnya kedua
tangan itu seperti mulur menjadi panjang dan
di lain saat yang kiri melesat ke tenggorokan
Pangeran Matahari sedang tangan yang
kanan mencengkeram.ke arah
selangkangannya!
Pangeram Matahari berseru kaget dan cepat
menghindar selamatkan diri sambil lepaskan
pukulan Merapi Meletus. Tapi gerakannya
setengah jaIan dipapas secara cerdik oleh
lawan dengan satu ketukan pada
sikunya.Pangeran Matahari menjerit. Sekujur
tubuhnya bergeletar. Tangan kanannya
terkulai seperti lumpuh. Kagetlah si janggut
biru ini. Sebelum lawan menyerbu untuk kedua
kalinya dia segera menghantam dengan
pukulan Telapak Matahari. Ini merupakan satu
dua tiga pukulan sakti yang dimilikinya. Angin
deras menderu panas. Si kakek menjerit ketika
dirasakannya tubuhnya seperti terpanggang.
Dia memukul ke depan. Tapi semakin dia
mengerahkan tenaga semakin keras hawa
panas yang membakarnya. Sekujur tubuhnya
tampak menjadi merah lalu mcngepul. Kakek
bermata merah ini menjerit keras. Itulah suara
terakhir yang bisa dilakukannya. Tubuhnya
roboh ke tanah, meregang nyawa menyusul
kawannya.
"Tua bangka-tua bangka keparat! Membuang-
buang waktuku saja!" maki Pangeran
Matahari. Sesaat dia meraba
selangkangannya. Tengkuknya terasa rasa
dingin. Kalau saja cengkeraman lawan tadi
sempat menghancurkan anggota rahasianya,
sekalipun dia bisa bertahan hidup maka
hidupnya sengsara selama-lamanya!
Pangeran Matahari siap melangko pergi.
Mendadak matanya tertancap pada sebuah
benda dalam genggaman tangan kanan lelaki
tua yang terbujur di tanah itu. Astaga!
Pangeran ini memeriksa pakaiannya. Ternyata
peta rahasia telaga emas itu tak ada lagi di
tempat dia menyembunyikan di balik pakaian.
Bagaimana benda itu kini berada dalam
genggaman si kakek? Dia cepat menarik peta
itu dari tangan mayat. Tapi ketika dia
membungkuk tahu-tahu kaki kanan mayat
bergerak menghantam perutnya! Pangeran
Matahari terlempar dan jatuh terguling di
tanah! Perutnya seperti pecah. Nafasnya
megap-megap. Bagaimana mungkin mayat
bisa menendang? Kecuali kakek edan itu
memang sebenarnya belum mati?!"
Pemuda berjanggut biru ini berdiri. Baru saja
berdiri, di depannya si kakek ternyata telah
terlebih dulu berdiri. Orang tua bermata
merah ini dalam keadaan tubuh seperti
hangus acungkan peta rahasia di tangan
kanannya.
"Peta ini palsu!" berkata si kakek sambil
campakkan benda itu ke tanah. Lalu dia
melangkah pergi.
Pangeran Matahari cepat mengambil peta
yang dicampakkan dan mengejar si kakek.
Secara licik dari belakang dia lepaskan
pukulan Telapak Matahari. Kali ini dengan
kekuatan hampir dua pertiga tenaga
dalamnya. Di depan sana tubuh si kakek
terpental jatuh. Berguling-guling beberapa kali
lalu tak bergerak lagi. Sang pangeran
mendekat dan memeriksa. Tubuh si kakek
sama sekali tak bergerak. Dada dan perutnya
tidak menunjukkan tanda-tanda pernafasan.
Tapi dia tak mau tertipu untuk kedua kalinya.
Tumit kaki kirinya dihantamkan ke batok
kepala si kakek.
Praak!
Kepala itu rengkah!
"Manusia aneh. Bagaimana tadi jelas-jelas
sudah mampus bisa hidup lagi ...?" berkata
Pangeran Matahari dalam hati penuh tak
mengerti. Sambil melangkah pergi dan
sesekali berpaling ke belakang. Seolah-olah
khawatir kalau manusia aneh itu tiba-tiba
hidup kembali dan menyerangnya!
Sambil melangkah di dalam rimba belantara
itu telinga Pangeran Matahari seperti
dingiangi terus menerus ucapan si kakek tadi.
Peta itu palsu! Benarkah? Kalau palsu di
mana yang asli? Apakah Ki Rana Wulung
telah menipunya? Di satu tempat dia duduk
menjelepok di tanah dan kembangkan peta
rahasia telaga emas. Lama dia
memperhatikan gambar gunung, sungai dan
lingkaran bengkok serta tanda silang.
Sebelumnya dia sudah meneliti peta itu
berulangkali. Terus terang saja memang sulit
untuk mengerti atau mendapatkan petunjuk.
Tanda silang mungkin sekali tempat di mana
harta berupa emas itu disembunyikan. Tapi
sungai dan, gunung, sungai mana dan gunung
apa?
"Gila! Jangan-jangan peta ini memang
benarbenar palsu!" kata Pangeran Matahari
seraya memukulkan tinju kanannya ke dalam
telapak tangan kiri. "Bangsat tua itu telah
memperdayaiku! Akan dirasakannya pembalasanku!"
SEPULUH
MATAHARI telah condong ke barat. Di dalam
kamarnya Ki Rena Wulung baru saja
memasuki tahajud terakhir sembahyang Asar
ketika tiba-tiba pintu kanrar itu didobrak
hancur berantakan. Satu bentakan
menggeledak. Sesosok bayangan biru
berkelebat.
"Bangsat penipu! Kau akan mampus tersiksa!"
Dalam kekhusukan sembahyang Ki Rana
Wulung sama sekali tidak sempat membuat
serangan mengelak ketika satu tendangan
menghantam dadanya. Orang tua yang baru
saja mulai sembuh ini mencelat menghantam
dinding di belakangnya. Dinding itu bukan
saja jebol tapi tubuhnyapun terlempar ke luar
dan jatuh di halaman samping bangunan!
Pangeran Matahari hantamkan kaki dan
tangannya untuk menerobos dinding, langsung
melompat ke hadapan Ki Rana Wulung yanq
saat itu tergeletak megap-megap sementara
darah kental menyembur tiada henti dari
mulutnya.
"Manusia iblis ...." Rutuk Ki Rana Wulung.
Suaranya hampir tak terdengar karena
kerongkongannya tersendat oleh darah.
Pangeran Matahari jambak rambut orang tua
itu lalu hantamkan kepalanya ke tiang
serambi. Rana Wulung mengeluh pendek lalu
roboh pingsan. Pangeran Matahari tarik kain
sarung yang dikenakan si orang tua. Dengan
kain itu diikatnya kedua kaki Rana Wulung
lalu kakek malang ini digantungnya kaki ke
atas kepala ke bawah pada sebuah balok
melintang di serambi rumah. Selesai
melakukan kebiadaban itu Pangeran Matahari
memeriksa seluruh bangunan kayu bahkan
sampai ke halaman. Setiap benda termasuk
batu, pepohonan dan semak belukar
ditelitinya. Tapi sampai sang surya mulai
redup di ufuk barat apa yang dicarinya tidak
ditemukan.
"Keparat betul! Di mana disembunyikannya
peta itu." Pangeran Matahari memandang
berkeliling. Sesaat dia menatap tubuh tua
yang tergantung tak bergerak itu. Entah sudah
mati entah masih hidup. Pangeran Matahari,
merasa jengkel dan tidak puas. Dia
menggeledah sekali lagi. Mengelilingi
bangunan untuk ke empat kalinya ketika tiba-
tiba matanya melihat sehelai kertas lusuh
terselip di bawah tikar yang terbentang di
lantai serambi bangunan. Surat itu adalah
surat yang disampaikan Pendekar 212 Wiro
Sableng dan dikirimkan oleh gurunya di
puncak Gunung Gede.
Lama Pangeran Matahari merenung dalam
menyelidik isi dan arti surat yang aneh itu. Di
balik keanehan itu dia yakin tersembunyi
sesuatu.
"Rahasia surat ini tersembunyi di balik
kalimat muatan berusia tiga puluh tahun lebih
.... Hemmm..." Bergumam Pangeran Matahari
sembari mengusap-usap janggutnya.
"Jangan-jangan ... Bukan mustahil yang
dimaksud dengan muatan adalah peta rahasia
telaga emas itu! Bukankah peta itu sudah
berumur tiga puluh tahun sejak diketahui
muncul pertama kali dalam rimba persilatan
...? Aku harus menyelidik ke puncak Gunung
Gede..."
Namun setelah memikir sampai di situ,
Pangeran Matahari menjadi gelisah. Datang
ke puncak Gunung Gede sama saja masuk ke
goa harimau.
Dia masih ingat akan pesan gurunya Si Muka
Bangkai alias Setan Muka Pucat sebelum
dilepas pergi. Ada tiga tokoh silat muda yang
harus diperhatikannya karena memiliki ilmu
kepandaian yang sulit ditandingi. Salah satu
dari tiga pendekar itu adalah Wiro Sableng.
Jika Wiro sudah dilihatnya begitu hebat, tentu
sang guru jauh lebih berbahaya lagi. Mungkin
dia hanya mencari mati jika muncul di
Gunung Gede. Apalagi jika Wiro ada pula di
sana.
"Tetapi bukan mutahil peta rahasia itu
diberikannya pada murid perempuannya! Ah,
bagaimana ini!" Pangeran Matahari tenggelam
dalam jalan pikiran penuh segala duga.
"Apakah aku harus menyelidiki pula ke
Kotaraja dan mencari keponakan Tumenggung
Puro Bekasan itu ..." Kembali sang pangeran
merenung. Otak iblisnya bekerja. "Pemuda itu
.... si gadis! Tolol! Mengapa aku tidak
memanfaatkan segala akal, segala licik,
segala cerdik!"
Dengan seringai muncul di wajahnya yang
keras angkuh, Pangeran Matahari berkelebat
tinggalkan tempat itu.
Tumenggung Puro Bekasan tengah mereguk
kopi hangat di cangkir besar ketika pagi itu
pengawal masuk memberi tahu bahwa
seorang penebang kayu dari Tegal Jenar
datang menghadap. "Seorang penebang
kayu... ?" mata Tumenggung Puro Bekasan
mendelik karena merasa terhina ada seorang
rendahan dutang menggang-gu ketenteraman
dan kenikmatan sarapan paginya.
"Betul Kanjeng Radon Tiimenggung, seorang
penebang kayu dari Tegal Jenar ..."
"Apa keperluannya. Atau kau usir saja dia ..."
"Saya siap melakukan itu Kanjeng Raden.
Hanya saja katanya dia datang membawa
berita penting tentang Ki Rana Weleng, guru
Den Ayu Ratih Weningputri, keponakan
Kanjeng Tumenggung ..."
"Hemm ... Kalau begitu suruh dia masuk tapi
panggilkan dulu keponakanku itu!"
Tak selang berapa lama Ratih datang
menemui pamannya sementara dari arah
halaman depan, pengawal muncul membawa
seorang lelaki setengah tua yang melangkah
terbungkuk-bungkuk. Di pinggang kanannya
terselip sebuah kapak.
Pakaiannya bukan saja lusuh tapi berselimut
debu, juga mukanya yang mulai keriput
bercelomong debu. Inilah si penebang kayu
dari Tegal Jenar.
"Berita apa yang kau bawa ..?" Tumenggung
Puro Bekasan langsung bertanya begitu si
penebang kayu menghatur sembah.
"Nama saya Timbul Karso, penebang kayu
asal Tegal Jenar. Seminggu lalu saya
menebang kayu di puncak bukit Sawojajar.
Tidak seperti biasanya, hidung saya mencium
bau busuk dan di langit saya lihat banyak
burung gagak hitam pemakan bangkai terbang
berputar-putar, menukik lalu terbang lagi
berputar-putar. Karena merasa curiga saya
naik ke puncak bukit. Saya tahu di situ diam
orang tua sakti bernama Ki Rana Wulung.
Saya juga tahu kalau keponakan Kanjeng
Tumenggung adalah salah seorang muridnya .
. . ."
"Dari mana kau tahu kalau keponakanku
adalah muridnya .... ?"
"Saya acap kali bertemu dengan orang tua
itu. Kami sering berbincang-bincang. Satu kali
dia menerangkan bahwa keponakan
Tumenggung Puro Bekasan adalah salah
seorang muridnya ..."
Ratih yang merasa tidak enak ajukan
pertanyaan. "Apa yang kau temukan di puncak
bukit ...?"
"Mengerikan sekali Den Ayu. Saya tak tega
mengatakannya⁄"
"Jangan konyol!" sentak Tumenggung Puro
Bekasan. "Kowe datang kemari untuk
menyampaikan berita. Sesudah sampai di sini
bicara segala macam tidak tega!"
"Maafkan saya Kanjeng Raden Tumenggung
..." kata si penebang kayu seraya
membungkuk-bungkuk. "Saya menemukan
kakek itu telah menjadi mayat, tergantung
kaki ke atas kepala ke bawah. Tubuhnya rusak
dipatoki burung-burung gagak dan...."
"Kau tidak memberi keterangan dusta?!" Ratih
ajukan pertanyaan setengah berteriak.
Matanya membelalak tapi ada genangan air
mata mengambang di kelopak matanya.
"Saya bersumpah den ayu. Saya datang dari
jauh membawa berita atas apa yang saya
saksikan. Saya tidak mengharapkan apa-
apa⁄"
"Kau tahu siapa yang melakukan perbuatan
keji itu?" tanya Tumenggung Puro Bekasan.
Timbul Karso gelengkan kepala. "Saya tidak
tahu Kanjeng Raden Tumenggung, saya tidak
tahu . . . ."
"Saya tahu siapa yang melakukan itu paman,"
Ratih menyahuti. "Ingat penuturan saya
tentang manusia iblis berjanggut biru yang
mengaku bernama Pangeran Matahari? Siapa
lagi kalau bukan dia yang melakukannya!'
"Tapi menurutmu, bukankan orang itu sudah
pergi setelah dapatkan peta rahasia dari
gurumu?"
"Betul. Mungkin kemudian dia mengetahui
peta itu palsu. Lalu kembali ke bukit
Sawojajar dan membunuh guru. Manusia iblis!
Saya akan mencarinya. Saya mohon
petunjukmu paman . . ." Ratih menyeka air
mau yang meluncur di pipinya.
"Soal mencari Pangeran Matahari aku bisa
mengirimkan pasukan. Namun yang penting
saat ini adalah mengurus jenazah gurrnnu Ki
Rana Wulung . . . ." Tumenggung Puro
Bekasan berpaling pada Timbul Karso.
"Penebang kayu, aku harap kau mau
membantu mengurus dan mengubur jenazah
orang tua itu..."
"Jangan saya Kanjeng Raden Tumenggung,
jangan saya. Terlalu mengerikan. Saya tidak
berani."
"Cari orang-orang desa.Minta bantuan
mereka. Jerih payah mereka akan kuganjar
dengan bayaran setimpal."
"Paman," Ratih bersuara. "Izinkan saya pergi
ke Sawojajar. Biar saya sendiri yang
mengurus dan mengubur jenazah guru.
Kasihan orang tua itu . . ."
Tumenggung Puro Bekasan berpikir sejenak.
Akhirnya dia mengangguk. "Kau boleh pergi.
Lima orang pengawal kelas satu akan
mendampingimu. Bawa kuda-kuda yang kuat.
Berikan seekor kuda pada penebang kayu ini.
Juga sejumlah uang atas budi baiknya . . . ."'
"Saya tidak mengharapkan pamrih apa-apa
Kanjeng Raden Tumenggung . . . ." kata si
penebang kayu sambil membungkuk.
Tumenggung Puro Bekasan tersenyum. Dia
bangkit dari kursinya. Sesaat dia menatap
paras penebang kayu itu lalu masuk ke
dalam.
SEBELAS
DI DALAM KAMARNYA setelah Ratih
Weningputri meninggalkan Kotaraja,
Tumenggung Puro Bekasan duduk merenung.
Seorang sebaik dan sesakti seperti Ki Rana
Wulung menemui kematian secara mengerikan
begrtu rupa. Sulit bisa dipercayainya. Sekeji
itukah dunia persilatan. Hatinya risau karena
keponakannya Danupaya dibunuh oleh orang
persilatan. Dan Ratih, keponakannya yang
tinggal satu-satunya, apakah akan mengalami
nasib sama? Berpikir sampai ke situ akhirnya
Tumenggung Puro Bekasan memanggil
perwira muda kepala pengawal gedung
ketumenggungan.
"Aku merasa was-was dengan keselamatan
Ratih. Bawa enam orang pengawal lagi dan
susul rombongan mereka.
Ketika pengawal itu hendak berlalu, sang
Tumenggung memanggil kembali. "Ada satu
pertanyaan perwira muda. Jika ada seorang
mengatakan dirinya penebang kayu, bisa kau
menyebutkan hal-hal yang membuktikan
bahwa dia memang benar-benar penebang
kayu . . . ?"
"Pertanyaan Kanjeng Tumenggung cukup
sulit. Saya akan menjawab sebisanya ..."
jawab perwira muda itu. "Pertama, tentu saja
orang itu akan memiliki tubuh kekar, otat-utot
keras mulai dari betis sampai ke pangkal
lengan ..."
"Aku setuju dengan pendapatmu!" berkata
Tumenggung Puro Bekasan. "Apa lagi..."
"Biasanya tubuhnya agak miring ke kanan,
lehernya juga. Atau ke kiri. Tergantung
apakah dia kidal atau tidak. Ini karena setiap
menebang sikap tubuhnya akan tertumpu
pada tangannya yang lebih kuat...."
"Yang ini aku kurang setuju. Tapi tak apa.
Mungkinkah seorang penebang kayu bertubuh
bungkuk?"
Sang perwira berpikir sejenak.
"Kalau tubuhnya bungkuk .... Yang bisa
dilakukannya adalah membelah kayu. Untuk
menebang pohon dia akan mengalami
kesulitan ....
"Tepat seperti apa yang ada di benakku!" kata
sang Tumenggung pula. "Sekarang tangannya.
Bagaimana menurutmu bentuk tangan
seorang penebang kayu?"
"Mungkin tangannya tidak besar. Tapi
walaupun kecil akan tampak kukuh. Urat-
uratnya menonjol di antara otot-otot. Jari-jari
dan telapak tangannya kekar bahkan biasanya
tebal kapalan ... Tumenggung tahu arti
kapalan ... ?"
"Dugaanku tepat! Timbul Karso tidak memiliki
tangan seperti itu! Dia bukan penebang kayu!"
Tumenggung Puro Bekasan hampir berteriak
ketika mengucapkan kata-kata itu. Wajahnya
jelas sekali membayangkan rasa kawatir.
"Perwira, siapkan dua puluh pengawal. Aku
akan memimpin sendiri rombongan mengejar
Ratih. Aku punya firasat keponakanku itu
berada dalam bahaya!"
Terbungkuk-bungkuk di atas punggung kuda,
penebang kayu itu ternyata cekatan
menunggang kuda. Sejak meninggalkan
Kotaraja kudanya menempel terus di belakang
kuda Ratih Weningputri yang berada paling
depan. Lima pengawal kelas satu memacu
kuda masing-masing di sebelah belakang.
Di satu pedataran jauh di luar Kotaraja, si
penebang kayu berseru: "Den Ayu . . . . Saya
tahu jalan memintas menuju bukit Sawojajar.
Kita bisa sampai satu hari lebih cepat ...."
Ratih diam saja. Pikirannya tengah terpusat
pada suatu hal yang lain.
"Tentunya jika Den Ayu setuju. Saya hanya
menyarankan . . . Saya khawatir keadaan
jenazah orang tua itu akan tambah rusak oleh
cuaca dan burung-burung gagak . . ."
"Kalau memang ada jalan yang lebih pendek
tentu saja aku setuju," terdengar jawaban
Ratih. "Kau silahkan memimpin di sebelah
depan!" Gadis ini membawa kudanya ke
samping memberi jalan pada kuda Timbul
Karso.
Sepanjang siang sampai menjelang sore
rombongan itu bergerak menyusuri kaki bukit-
bukit kecil, lalu menembus hutan jati. Ketika
keluar dari hutan jati menjelang sore tahu-
tahu mereka sudah sampai di seberang
sebuah sungai. Ratih terkejut. Sungai ini
adalah sungai yang biasa diseberanginya
bersama Danupaya pada setiap kali
mengunjungi Ki Rana Wulung di puncak
Sawojajar.
"Ah, jalan memintas yang kita lalui benar-
benar lebih dekat . . ." kata Ratih pada Timbul
Karso. "Kalau tahu, tentu dulu-dulu aku akan
mengambil jalan ini setiap kali menyambangi
guru. Mari kita menyeberangi sungai. Sampai
di seberang kita beristirahat dulu. Menjelang
malam kita teruskan perjalanan."
"Saya mengikut saja Den Ayu ..." jawab
Timbul Karso.
Karena air sungai cukup jernih dan bersih,
lima pengawal dalam rombongan itu tertarik
untuk turun ke air. Mereka membuka pakaian
luar masing-masing lalu pergi mandi. Si
penebang kayu duduk melepaskan lelah di
bawah sebatang pohon jati sementara Ratih
mengasingkan diri di satu tempat agak
ketinggian di tebing sungai yang terlindung
semak belukar.
Malam mulai turun, udara siang yang panas
berubah sejuk, Ratih bangkit berdiri dari balik
semak belukar itu. Ketika dia kembali ke
tempat para pengawal berada didapatinya
Timbul Karo masih duduk bersandar ke pohon
jati, kedua matanya terpejam dan dari
mulutnya keluar suara mendengkur. Gadis itu
memandang berkeliling. Dia sama sekali tidak
melihat para pengawal itu. Menyangka mereka
masih asyik-asyikan mandi di tikungan
sungai, Ratih membangunkan si penebang
kayu.
"Bangun! Sudah saatnya meneruskan
perjalanan. Tolong kau panggilkan para
pengawal!"
Timbul Karso mengusap-usap kedua matanya.
Lalu terbungkuk-bungkuk dia berdiri.
"Maafkan saya. Terlalu letih sampai ketiduran.
Saya akan panggil pengawal-pengawal itu . . .
."
Lalu penebang kayu ini melangkah ke
tikungan sungai. Sesaat kemudian terdengar
teriakannya dari arah tikungan itu. Dia
kemudian muncul setengah berlari.
"Den Ayu ... Den Ayu . . ." serunya berulang
kali.
Ratih Weningputri segera mendatangi. "Ada
apa...?"
"Celaka! Lihat sendirilah .... Mereka ...." Ratih
berlari cepat menuju tikungan sungai. Timbul
Karso mengikuti terbungkuk-bungkuk dari
belakang. Gadis itu serta merta hentikan
larinya ketika pandangan matanya membentur
lima sosok tubuh pengawal kelas satu malang
melintang di tepi sungai. Kelimanya telah jadi
mayat dengan kepala pecah!
"Pembunuhan!" teriak Ratih marah sambil
kepalkan kedua tinjunya.
"Mungkin binatang buas . . . ."
"Tidak bisa jadi. Kalau binatang buas pasti
ada bagian tubuh mereka yang lenyap
digerogot."
"Atau hantu . . . ."
"Bukan hantu! Bukan binatang buas! Mereka
mati dibunuh! Benar-benar keji!" Ratih
memandang berkeliling.
"Kalau dibunuh, siapa pembunuhnya?"
bertanya Timbul Karso dan ikut-ikutan
memandang berkeliling.
Tentu saja Ratih tak dapat menjawab
pertanyaan itu. Dia diam saja. Mulutnya
terkancing tapi kemarahannya menggelegak.
Ketika rasa amarah itu dapat ditekannya dan
pikiran sehat kembali muncul, diam-diam
gadis ini merasa kawatir. Jika ada orang yang
membunuh lima pengawalnya yang
berkepandaian tinggi, berarti keselamatannya
pun ikut terancam.
"Kita tinggalkan tempat ini sekarang juga!"
Ratih memutuskan.
"Mayat lima pengawal itu . . . ?" tanya si
penebang kayu.
"Kau ceburkan mereka ke sungai. Biar arus
membawanya ke laut!"
Timbul Karso melakukan apa yang dikatakan
gadis itu. Ketika dia kembali ke tempat Ratih,
dilihatnya gadis itu sudah duduk di punggung
kuda.
"Lekas naik ke kudamu. Kita berangkat
sekarang!"
Ratih sesaat terheran ketika dilihatnya si
penebang kayu gelengkan kepala. Lalu
tubuhnya yang sejak pertama kali dilihatnya
selalu terbungkuk-bungkuk kini tampak naik
melurus. Ternyata dia memiliki badan tinggi
semampai.
"Hai!" seru Ratih. "Sandiwara apa yang kau
lakukan ini!"
"Terserah kau menamakan sandiwara apa.
Tapi sandiwara ini cukup sampai di sini!"
"Suaramupun lain. Tidak seperti sebelumnya!"
Si penebang kayu keluarkan tawa bergelak.
Ratih lebih terkejut. Dia rasa-rasa pernah
mengenali atau mendengar suara tertawa
seperti itu sebelumnya.
"Ah, matamu tidak terlalu tajam untuk
mengetahui siapa aku sebenarnya!" Si
penebang kayu membuka mulut sambil
menanggalkan bajunya yang lusuh dan dekil.
Ternyata dia mengenakan pakaian lain di
bawah pakaian kotor itu. Pakaian berwarna
biru!
Berubahlah paras Ratih. Dadanya berdebar.
"Tak mungkin dia! Pakaian bisa sama tapi
wajahnya jelas bukan dia!"
Seperti membaca apa yang ada di hati si
gadis, lelaki berpakaian biru yang tadinya
mengaku bernama Timbul Karso dan
penebang kayu dari Tegal Jenar, gerakkan
tangan kirinya ke wajahnya. Ketika tangan itu
diturunkan, ada selapis topeng sangat tipis
ikut tertarik dan tanggal. Kini kelihatan
wajahnya yang asli. Satu wajah dengan
rahang menggembung membersitkan
kecongkakan dan kekerasan, tetapi juas
dihiasi janggut berwarna biru pada dagunya!
Paras Ratih Weningputri seputih kain kafan!
"Kau ..." desis gadis ini dengan lidah hampir
kelu.
Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak.
"Senang bertemu aku kembali . . . ?"
Tidak tunggu lebih lama Ratih gebrak pinggul
kudanya. Tapi seperti kejadian sewaktu
bersama Danupaya dulu, kuda tunggangannya
sama sekali tidak bisa bergerak, hanya leher
binatang itu saja yang menjulur-julur. Tubuh
dan empat kakinya tidak bergeming
sedikitpun!
"Kau mau buru-buru ke mana gadis jelita?
Perjalananmu cukup sampai di sini. Kalaupun
kita berangkat maka kau harus menurut ke
mana mauku!"
"Manusia iblis! Kau pasti yang telah
membunuh kelima pengawalku!"
Mereka tidak cukup pantas mengawal gadis
secantik dan semulusmu! Aku lebih layak!"
Habis berkata begitu Pangeran Matahari
melompat ke punggung kuda dan duduk di
belakang Ratih. Kedua tangannya langsung
merangkul dada gadis itu. Hidungnya
meluncur ke tengkuk putih yang ditumbuhi
rambut-rambut halus.
"Iblis terkutuk! Lepaskan!" teriak Ratih. Kedua
sikutnya dihantamkarr ke belakang. Tapi
disadarinya kalau saat itu dia tak bisa
menggerakkan tubuhnya lagi. Hanya jalan
suaranya yang masih terbuka. Pangeran
Matahari telah menotoknya! Bahaya besar
mengancam. Dan kini agaknya tak ada
seorang lainpun yang bisa menolongnya!
Tidak hantu tidak pula malaikat! Ratih
menjerit-jerit sementara Pangeran Matahari
terus menciumi dan merabai dadanya.
"Hentikan jeritanmu!" bentak sang pangeran.
"Dengar baik-baik! Nyawa dan kehormatanmu
ada di tanganmu! Nyawa dan kehormatanmu
bagiku tidak ada harganya. Karenanya jika
ingin selamat dengar dan jawab
pertanyaanku!"
"Turun dari kuda ini! Kalau tidak aku tak akan
menjawab! Lepaskan totokan di tubuhku!"
"Kau tidak layak memerintah! Kau yang harus
mendengar apa yang kukatakan! Menjawab
apa yang kutanyakan! Mengerti?!" hardik
Pangeran Matahari. Kalau tadi tangannya
hanya meraba dari luar, kini dengan lebih
kurang ajar sepuluh jari tangannya
menyelusup ke balik pakaian gadis itu. Ratih
merasakan tubuhnya seperti terbakar oleh
rasa malu dan amarah yang bukan alang
kepalang.
"Di mana peta telaga emas itu ...."
Pangeran Matahari ajukan pertanyaan.
"Tak ada padaku!" sahut Ratih.
"Kalau tak ada padamu dan juga tak ada
pada gurumu . . . ."
"Kau telah membunuh guruku!"
"Diam!" teriak Pangeran Matahari sambil
sepuluh jarinya meremas.
"Kalau peta itu tak ada padamu, juga tak ada
pada gurumu, lantas di mana? Siapa yang
memegangnya?!"
"Guru telah memberikan pada pemuda
bergelar Pendekar 212 Wiro Sableng itu ...!"
"Hemmm, begitu? Lalu di mana pemuda itu
sekarang berada. Kau pasti tahu!"
"Dalam perjalanan ke tempat kediaman
gurunya di puncak Gunung Gede! Kalau kau
inginkan peta itu silahkan pergi ke sana.
Kalau saja kau mampu merampasnya! Kalau
saja kau tidak takut dia akan memecahkan
kepalamu seperti kau memecahkan kepala
pengawal-pengawal itu!"
Pangeran Matahari tertawa mengekeh.
"Apa sulitnya menghadapi pemuda tolol itu!"
"Kecongkakanmu kosong belaka! Buktinya
ketika dia menggebrakmu di puncak bukit
Sawojajar, kau melarikan diri.
"Diam!" hardik Pangeran Matahari. "Kau ikut
aku ke Gunung Gede! Jika bangsat bernama
Wiro Sableng itu tidak mau berikan peta
telaga emas padaku, kau akan kubunuh!"
Ratih hanya bisa kertakkan geraham.
Saat itulah terdengar suara siulan nyaring
dari arah sungai. Lalu suara orang keluar dari
air. Sesaat kemudian sesosok tubuh yang
rupanya baru saja berenang menyeberang
muncul di pinggiran sungai. Begitu muncul
orang ini keluarkan ucapan: "Siapa inginkan
peta telaga emas silahkan berurusan
denganku! Jangan berlaku seperti banci hanya
berani pada perempuan!"
Ratih dan juga Pangeran Matahari segera
mengenali suara itu.
"Pendekar 212!" seru sang dara.
DUA BELAS
YANG TEGAK, di tebinq sungai memanglah
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro
Sableng. Dia berdiri bertolak pinggang dalam
keadaan basah kuyup. Senyum seenaknya
bermain di mulutnya.
"Pangeran Banci! Turun dari kudamu!"
menghardik Wiro.
Mendidih darah Pangeran Matahari dipanggil
dengan sebutan "Pangeran Banci" itu. Tapi
terlalu bodoh jika dia harus memenuhi
permintaan orang. Dengan menguasai Ratih,
berarti dia akan menguasai keadaan.
"Pemuda sedeng! Jika kau inginkan gadis ini
selamat lekas serahkan peta telaga emas!"
"Jika begitu janjimu, aku akan memenuhi!"
sahut Wiro tanpa tedeng aling-aling.
Lalu dia membuka simpul ikatan kain
kepalanya. Melihat hal ini Ratih cepat
berteriak, "Jangan serahkan padanya. Demi
arwah guru aku bersedia mati dari pada peta
jatuh ke tangan iblis berjanggut biru ini!"
"Jangan tolol!" menghardik Wiro. "Harta bisa
dicari tapi nyawa dan kehormatan tak ada
gantinya!"
Dari ikatan kain kepalanya Wiro keluarkan
segulung kain hitam. Itulah peta telaga emas
yang diterimanya dulu dari Ki Rana Wulung
untuk disampaikan pada gurunya Sinto
Gendeng.
"Kau pengecut! Manusia tidak berbudi!" teriak
Ratih pada Wiro. "Guru terlalu bodoh
menyerahkan peta itu padamu!"
Wiro tidak perdulikan teriakan si gadis. Dia
ulurkan tangan kanannya pada Pangeran
Matahari. "Ini yang kau inginkan. Ambillah!"
Manusia segala cerdik segala licik dan segala
akal seperti Pangeran Matahari tidak sebodoh
itu saja mau menerima langsung gulungan
kain peta dari tangan Wiro.
"Lemparkan peta itu ke dekat batu hitam
sana. Lalu melangkahkah mundur dan masuk
ke dalam sungai!"
Wiro menyeringai. Seperti yang diperintahkan
Pangeran Matahari, gulungan kain hitam
berisi peta rahasia telaga emas
dilemparkannya ke dekat sebuah batu hitam
yang terletak di tepi sungai. Lalu dia
melangkah mundur dan perlahan-lahan masuk
ke dalam sungai sampai sebatas dada.
Sambil memeluk Ratih, Pangeran Matahari
membuat lompatan dari punggung kuda.
Tetapi pada saat itu sang kuda yang sejak
tadi tertegun tak bisa bergerak, tiba-tiba saja
seperti ada yang memusnahkan kekuatan
aneh yang menguasai dirinya.
Binatang ini meringkik keras sambil angkat
kedua kakinya ke atas. Gerakan melompat
yang dilakukan Pangeran Matahari walaupun
berhasil namun tubuh Ratih keburu jatuh,
tidak melayang bersama-sama tubuhnya. Di
saat yang sama Pendekar 212 Wiro Sableng
menghambur keluar dari dalam air sungai!
Meskipun bergerak kencang seharian suntuk
tanpa istirahat tapi rombongan yang dipimpin
oleh Tumenggung Puro Bekasan masih belum
dapat mengejar atau menemui rombongan
Ratih. Di satu tempat sang Tumenggung
memerintahkan rombongan berhenti dan
berunding dengan perwira muda yang ikut
bersamanya.
"Mereka pasti tidak menempuh jalan biasa!
Ada di antara kalian mengetahui jalan lain ?"
Seorang pengawal maju ke muka.
"Setahun silam ketika saya ikut membasmi
gerombolan rampok Warok Kutoireng, saya
dan sejumlah perajurit melewati jalan setapak
di kakikaki bebukitan. Kalau jalan itu masih
ada, mungkin kita bisa lebih cepat sampai di
Sawojajar ..."
"Tak ada pilihan lain! Ikuti jalan itu. Kau
memimpin di depan!"
Jalan yang mereka lalui ternyata memang
jalan yang sebelumnya telah diambil oleh
Pangeran Matahari. Ketika Wiro dan sang
Pangeran saling berhadapan di tepi sungai,
rombongan ini sampai pula di tempat
tersebut. Tumenggung Puro Bekasan langsung
memerintahkan puluhan perajurit mengurung
tempat itu.
Saat itu Pangeran Matahari tengah berpikir
keras untuk mengambil keputusan. Apakah dia
akan serta merta mengambil peta yang
dicampakkan Wiro di atas tanah atau terlebih
dahulu menguasai Ratih kembali untuk
jaminan keselamatan dirinya.
Namun ketika dia melihat munculnya pasukan
dari Kotaraja dibawah pimpinan Tumenggung
Puro Bekasan, manusia iblis ini memutuskan
untuk langsung mengambil peta yang
tercampak di tanah lalu meninggalkan tempat
itu.
Maka diapun membuat lompatan kilat untuk
mengambil peta yang terbuat dari kain
tergulung itu. Serambut lagi jari-jari
tangannya akan menyentuh kain hitam,
mendadak sontak gulungan kain itu mencelat
terbang ke arah Wiro Sableng! Kejut sang
Pangeran bukan alang kepalang. Wiro sendiri
keluarkan suara tertawa mengejek sambil
gulung benang hitam yang diikatkannya ke
gulungan kain hitam!
"Manusia segala lick segala cerdik segala
akal! Hari ini kau tertipu oleh selembar
benang!"
"Bangsat rendah! Mampuslah!" teriak
Pangeran Matahari.
Dua tangannya dihantamkan ke depan. Satu
ke arah Wiro dan satu lagi ke arah Ratih yang
masih terduduk di tanah sehabis jatuh dari
kuda tadi.
Sinar kuning, merah dan hitam melesat keluar
dari tangan kiri kanan manusia iblis
berjanggut biru tua. Ternyata dia lepaskan
pukulan maut ganas bernama Gerhana
Matahari! Terdengar suara menggelegar
dahsyat disertai hawa panas luar biasa. Ratih
menjerit. Tumenggung Puro Bekasan
keluarkan seruan tertahan. Orang ini coba
menyerbu ke depan untuk menolong
keponakannya tetapi hawa panas
membuatnya mundur teratur. Dia tak berani
mencoba lagi karena kepandaian apapun yang
dimilikinya saat itu tidak sanggup menembus
sinar menggidikkan yang keluar dari pukulan
sakti Pangeran Matahari. Perwira muda dan
para pengawal lainnyapun lebih tak berdaya
lagi.
Wiro berseru tegang. Dari tempatnya berdiri
jarak Ratih dengan Pangeran Matahari lebih
dekat berarti pukulan lawan bisa sampai lebih
dulu dari pada yang ditujukan padanya.
Tanpa pikir panjang lagi, sambil siapkan
pukulan sinar matahari di tangan kiri kanan,
Wiro melompat ke depan.
Ratih kembali terdengar menjerit, ketika dua
larik sinar menyilaukan yang juga
mengandung hawa panas luar biasa
menggebu-gebu menyongsong sinar pukulan
maut Pangeran Matahari.
Kawasan tepi sungai itu seputar jarak dua
pupuluh tombak terang benderang dan
menggelegar seperti dilanda gempa. Belasan
perajurit pengawal jatuh berkaparan. Ratih
terguling-guling tapi selamat. Tumenggung
Puro Bekasan dan perwira muda yang tetap
disampingnya tergontai-gontai lalu cepat-
cepat berpegangan ke pohon agar tidak
terhempas jatuh.
Ketika asap hitam merah bercampur kuning
musnah dilabrak cahaya dahsyat pukulan
sinar matahari, kobaran api tampak di
beberapa pohon. Asap hitam bergulung-
gulung. Wiro tak mau tertipu oleh kelicikan
lawan. Dia keluarkan Kapak Maut Naga Geni
212 lalu melompat masuk ke dalam asap
tebal dan sini putar senjata mustikanya itu
untuk mencegah kalau-kalau Pangeran
Matahari tanpa kelihatan lepaskan pukulan-
pukulan sakti secara membokong. Suara
seperti ribuan tawon mengamuk keluar dari
desingan kapak membuat suasana di tempat
itu bertambah rnengerikan dan menegangkan.
Perlahan-lahan asap hitam tebal mulai
berkurang lalu akhirnya pupus lenyap sama
sekali. Api yang membakar dedaunan dan
ranting pepohonan perlahan-lahan padam.
Semua orang memandang berkeliling dengan
rasa tegang masih menyungkup. Pendekar 212
Wiro Sableng tegak di tengah kalangan
pertempuran sambil melintangkan Kapak
Naga Geni 212 di depan dada. Pangeran
Matahari tak tampak lagi di tempat itu. Tetapi
di tanah kelihatan gumpalan darah kental.
Wiro maklum musuh besarnya itu telah
terluka di dalam dan memuntahkan darah
segar. Setelah sekali lagi meneliti keadaan
sekelilingnya untuk memastikan bahwa
Pangeran Matahari betul-betul telah
melarikan diri dari situ, Wiro masukkan
senjata mustikanya ke balik pakaian.
Lalu melangkah mendapatkan Ratih yang
tengah diurut-urut oleh Tumenggung Puro
Bekasan untuk melepaskan totokan yang
membuat kaku sekujur tubuhnya. Tapi sang
Tumenggung ternyata tidak berkemampuan
membebaskan keponakannya itu.
"Maafkan saya," kata Wiro seraya berlutut di
samping Ratih. Dipegangnya urat besar di
leher sang dara. Di situ terasa darah mengalir
seperti biasa. Berarti totokan Pangeran
Matahari tidak bersarang di situ. Wiro
memeriksa lagi. Lalu garuk-garuk kepala..
"Bagaimana orana muda, kau tak bisa
menolongnya?" tanya Tumenggung Puro
Bekasan dengan cemas.
"Bisa Tumenggung. Tapi tidak di sini. Terlalu
banyak mata yang menyaksikan ..."
Lalu Wiro mendukung tubuh Ratih dan
membawanya ke balik semak belukar. Di sini
gadis itu dibaringkannya di tanah.
"Maafkan saya ..." kata Wiro sekali lagi. Lalu
dengan cepat membuka dada pakaian si
gadis. Ratih mengatupkan mulutnya dan
memejamkan matanya rapat-rapat.
Dirasakannya sepasang tangan pendekar itu
mendekapi payudaranya. Ada hawa panas
menjalar. Lalu ada jari yang menusuk pada
sebelah bawah. Setelah itu totokan yang
menguasai tubuhnya pun punah. Gadis ini
melompat bangun seraya menutup dada
pakaiannya dengan cepat dan paras merah
karena jengah.
"Aku tak tahu harus mengucapkan apa
padamu, Wiro. Hutang budi dan hutang
nyawa, hutang kehormatan . . . ."
Wiro tertawa kecil. "Soal hutang piutang itu
adalah urusannya pedagang, bukan urusan
kita orang-orang tolol! Aku harus pergi
sekarang. Di lain waktu aku akan
menyambangimu di Kotaraja."
"Tidak! Kau harus ikut kami sekarang ke
Kotaraja!" berkata Ratih.
Wiro gelengkan kepala. "Lain kali saja. Aku
harus menemui guru guna melaporkan semua
yang terjadi. Selamat tinggal sahabat. Jaga
dirimu baik-baik ...." Sehabis berkata begitu
Wiro susupkan tangan kanannya ke balik
dada pakaian sang dara. Hal ini membuat
Ratih tersentak kaget. Dia sama sekali tidak
marah diperlakukan seperti itu. Tetapi
sekurang ajar itukah pemuda satu ini? Sama
seperti Pangeran Matahari ...? Ratih
mengusap dadanya yang tadi disentuh
Pendekar 212. Terasa ada sesuatu yang
terselip antara dada dan pakaiannya. Ketika
diperiksanya ternyata benda itu adalah
gulungan kain hitam yang bukan lain adalah
peta rahasia telaga emas! Mengertilah kini
sang dara apa sebenarnya maksud pemuda
itu tadi meraba dadanya. Bukan untuk
sesuatu yang kurang ajar, tapi guna
menyelipkan benda berharga itu.
"Pemuda nakal⁄ " desis Ratih. Di bibirnya
tersimpul senyum bahagia. "Entah kapan aku
bisa melihatnya lagi"
Semak belukar di samping kiri Ratih tiba-tiba terkuak. Satu kepala muncul.
Ternyata Tumenggung Puro Bekasan.
"Hai, mana pemuda hebat itu?" bertanya sang Tumenggung.
"Dia lenyap seperti ditelan malam . . ." sahut Ratih.
"Hanya setan yang bisa lenyap secepat itu,"
ujar Tumenggung Puro Bekasan.
"Atau malaikat" sahut sang dara dan senyum masih tersimpul di bibirnya yang merah.
selesai
Komentar
Posting Komentar