WIRO SABLENG
EPISODE : DOSA DOSA TAK BERAMPUN
Karya : BASTIAN TITO
*********
MESKIPUN tanah Jawa dikenal sebagai pusat
perkembangan ilmu silat dan kesaktian, namun beberapa daerah di
tanah air telah pula mendapat nama harum berkat kehebatan para
tokoh silat serta kesaktian yang mereka miliki. Salah satu di
antaranya adalah daratan Aceh di Ujung Utara Pulau Andalas.
Dalam serial Wira Sableng berjudul "Raja Rencong Dari Utara" telah
dikisahkan munculnya seorang tokoh silat sakti mandraguna,
bernama Hang Kumbara, bergelar Raja Rencong Dari Utara. Di situ
dikisahkan bagaimana Raja Rencong berusaha mendirikan apa yang
disebut Partai Topan Utara. Dia mengundang berbagai tokoh silat
yang ada di pulau Andalas bahkan dari outau Jawa untuk datang ke
Bukit Toba guna mengadakan pertemuan dan membicarakan rencana
besar itu. Padahal di balik semua itu Raja Rencong mempunyai
maksud keji yakni hendak membunuh semua para tokoh silat yang
hadir. Bilamana para tokoh itu berhasil disingkirkan maka dia akan
menjadi raja diraja rimba persilatan.
Raja Rencong mulai dengan menghancurkan Pesantren Suhudilah.
Para pengurus pesantren yakni Kiyai Hurajang, Kiyai Selawan dan
Kiyai Tanjung Laboh mati di tangan Raja Rencong. Padahal tiga
Kiyai itu merupakan orang-orang berkepandaian tinggi bahkan telah
dianggap sebagai Datuk rimba persilatan.
Kiyai Suhudilah sendiri, pucuk pimpinan Pesantren Suhudilah
akhirnya tewas pula di tangan Raja Rencong. Tak ada satu
kekuatanpun yang dapat membendung kehebatan Ilmu Kuku Api dan
pukulan Topan Pemutus Urat yang dimiliki Raja Rencong. Dengan dua
ilmu luar biasa itu dia malang melintang dalam rimba persilatan
pulau Andalas.
Setelah Pesantren Suhudilah disapu bersih maka Raja Rencong
menggasak satu komplotan manusia-manusia jahat yang dikenal
dengan sebutan Gerombolan Setan Merah. Semula Raja Rencong
bermaksud mengambil lima tokoh Setan Merah untuk menjadi para
pembantunya. Tetapi ketika mereka menolak dan menghina. Raja
Rencong membunuh kelimanya yakni Setan Cambuk (Pemimpin
Gerombolan Setan Merah), Setan Pedang, Setan Pisau, Setan Darah
dan Setan Rencong. Dalam kehidupannya yang penuh darah dan maut
itu Raja Rencong mempunyai seorang anak gadis bernama
Pandansuri yang memiliki kecantikan luar biasa, tetapi kekejaman
dan keganasannya tidak kalah dari Raja Rencong sendiri.
Apa yang terjadi di rimba persilatan pulau Andalas itu sangat
menggelisahkan hati seorang tua berusia hampir tujuh puluh lima
tahun. Orang ini dikenal dengan nama Datuk Mata Putih, tokoh silat
yang sangat disegani di pulau Andalas pada masa itu. Kedua
matanya berwarna putih. Hampir tak terlihat lensa mata yang hitam.
Tapi dia tidak buta. Dia merasa menyesal karena Rencong Emas yang
kini dimiliki oleh Hang Kumbara alias Raja Rencong Dari Utara adalah
pemberiannya kepada Hang Kumbara sebagai anak muridnya. Dan
kini dengan Rencong Emas sakti mandraguna itulah sang murid
malang melintang menimbulkan keonaran, menurunkan tangan jahat,
melakukan pembunuhan serta perbuatan keji lainnya di mana-mana.
Karena tak dapat berpangku tangan lebih lama maka Datuk Mata
Putih meninggalkan goa pertapaannya mencari sang murid. Dalam
pertemuan di Bukit Toba, Datuk Mata Putih menasihatkan Hang
Kumbara agar bertobat dan tidak lagi melakukan kejahatan karena
itu tidak sesuai dengan perilaku seorang tokoh silat, apalagi
mengingat dia adalah muridnya sedang sang datuk sendiri begitu
disegani dan dihormati sesama tokoh persilatan.
Dengan dalih bahwa dia hanya membalaskan sakit hati kematian
ayahnya yang dibunuh secara kejam semena-mena Hang Kumbara
menganggap dia punya hak melakukan balas dendam. Namun
kemudian dendam terbalaskan itu menjadi dendam berangkai. Para
tokoh silat memburunya. Mau tak mau dia terpaksa mempertahankan
diri dan menghancurkan semua orang yang berusaha menuntut balas.
Apapun alasan yang dikemukakan Hang Kumbara, semua itu tak
dapat diterima oleh Datuk Mata Putih, dan mengharap agar muridnya
yang tersesat kembali ke jalan yang benar. Namun Hang Kumbara
menjawab: "Salahkah murid, sesatkah murid kalau murid murid
membunuh belasan manusia yang bertanggung jawab atas kematian
ayah, bahkan ibu, adik-adik, calon istriku dan seluruh anggota
keluarganya…?!"
Datuk Mata Putih menyahuti: "Orang-orang yang bertanggungjawab
atas semua itu jumlahnya hanya sepersepuluh saja dari jumlah
manusia yang telah kau bunuh secara keji! Apa pertanggungan
jawabmu atau alasanmu atas yang sembilan persepuluh lainnya?
Yang kau bunuh tanpa pangkal sebab atau kesalahan atau dosa apa
pun juga?!"
Karena putus asa melihat kekerasan kepala muridnya itu maka Datuk
Mata Putih memerintahkan Raja Rencong untuk mengembalikan
Rencong Emas yang dulu diserahkannya dan ikut bersamanya ke
pertapaan. Tentu saja Raja Rencong menolak perintah tersebut. Maka
perkelahian antara guru dan muridpun tak dapat dihindarkan lagi.
Ternyata Datuk Mata Putih tidak dapat menghadapi kehebatan sang
murid. Guru yang malang ini akhirnya tewas oleh tusukan Rencong
Emas, senjata sakti yang diciptakannya sendiri yang kemudian
diberikannya pada Hang Kumbara!
Kematian Datuk Mata Putih menggemparkan dunia persilatan
terutama di belahan utara pulau Andalas.
Suatu hari berkumpullah empat orang tokoh silat terkenal di puncak
gunung Sinabung. Mereka adalah Panglima Sampono selaku tuan
rumah. Dia dikenal sebagai tokoh silat yang pernah membaktikan diri
pada Sultan Deli hingga akhirnya walaupun dia tidak bertugas lagi di
Kesultanan, gelar Panglima tetap melekat pada dirinya. Orang kedua
ialah Datuk Nan Sebatang lalu Lembu Ampel dan yang terakhir
Sebrang Lor. Lembu Ampel adalah tokoh silat berasal dari pulau
Jawa tapi selama beberapa tahun terakhir telah menetap di pulau
Andalas. Keempat orang ini bertemu untuk membicarakan masalah
besar yang tengah dihadapi dunia persilatan saat itu yakni
merajalelanya Raja Rencong dengan segala keganasannya.
Sebrang Lor sendiri adalah seorang tokoh silat dari daratan Malaka
yang menyeberang ke Andalas untuk membalas dendam kesumat.
Menurut keterangannya Raja Rencong telah gentayangan ke Malaka,
membunuh tokoh-tokoh persilatan di sana yang tidak mau tunduk
dan bergabung padanya. Bahkan ketika kembali ke Andalas, Raja
Rencong telah pula menculik dua orang gadis.
Keempat orang itu menyadari bahwa Raja Rencong memiliki
kepandaian tinggi luar biasa. Sekalipun mereka berempat belum tentu
dapat mengalahkannya. Karenanya harus dicari akal yang
sebaikbaiknya. Atas saran Panglima Sampono diputuskan untuk
menculik Pandansuri yakni anak Raja Rencong. Bila anak gadisnya
dikuasai maka sang ayah besar kemungkinan bisa ditundukkan.
Di sebuah kaki bukit empat tokoh silat tadi menghadang Pandansuri.
Terjadi perkelahian hebat. Meskipun memiliki kepandaian sangat
tinggi yang didapatnya dari Raja Rencong namun akhirnya
Pandansuri terdesak. Tetapi sewaktu si gadis siap untuk diringkus,
muncullah Pendekar 212 Wiro Sableng memberikan pertolongan.
Murid Eyang Sinto Gendang ini sama sekali tidak mengetahui siapa
adanya Pandansuri dan apa urusan empat orang itu mengeroyok
sang dara. Dia memberikan pertolongan hanya karena tidak suka
melihat ketidak adilan. Empat lelaki berkepandaian tinggi mengeroyok
seorang gadis berkerudung. Kalau tidak ditolong niscaya si gadis
akan celaka. Begitu dirinya terhindar dari tangkapan lawan,
Pandansuri segera melarikan diri setelah terlebih dulu mengancam
akan memberitahukan kejadian pengeroyokan itu pada Raja Rencong.
Setelah Pandansuri meninggalkan kaki bukit, maka kemarahan kini
tertumpah pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Perkelahian pecah
kembali. Kini Wiro yang menjadi sasaran keroyokan. Pendekar ini
mempertahankan diri dengan mengandalkan Rencong Perak milik
Pandansuri yang terlepas mental dan berhasil disambarnya sewaktu
gadis itu berkelahi menghadapi Panglima Sampono dan tiga tokoh
lainnya itu.
Dalam perkelahian yang berlangsung cukup lama itu akhirnya Wiro
berhasil menotok ke empat lawannya. Namun dia kemudian jadi
terkejut setelah mengetahui kalau gadis yang barusan ditolongnya
adalah anak Raja Rencong. Padahal Raja Rencong adalah manusia
durjana yang sedang dicari-carinya. Dia sengaja menyeberangi
lautan, datang dari tanah Jawa ke pulau Andalas untuk menumpas
Raja Rencong yang jahat itu! Setelah meminta maaf Wiro tinggalkan
ke empat tokoh silat tadi masih dalam keadaan tertotok.
Perbuatan-perbuatan biadab Raja Rencong yang menggegerkan dunia
persilatan akhirnya sampai pula ke telinga Sultan Deli. Maka
dikirimkannyalah Dipa Warsyah seorang perwira tinggi untuk
menangkap Raja Rencong hidup atau mati. Namun ternyata sang
perwira bukan saja tidak berhasil menemukan Raja Rencong Dari
Utara malah dia akhirnya menemui ajal di tangan Pandansuri, tewas
dihantam pukulan ilmu kuku api yang ganas. Di tempat yang sama
terbunuhnya perwira tinggi Kesultanan Deli itu Pendekar 212 Wiro
Sableng bertemu pula dengan Pandansuri. Melihat keganasan yang
dilakukan sang dara tentu saja Wiro merasa tidak senang. Apalagi
sikap Pandansuri setelah dulu ditolongnya dari keroyokan Panglima
Sampono sama sekali tidak menunjukkan itikad baik atau
mengucapkan terima kasih. Maka tak dapat ladi dihalangi terjadinya
perkelahian antara kedua orang ini. Setelah terdesak hebat akhirnya
Pandansuri melarikan diri. PADA hari dan tanggal yang telah
ditentukan diresmikanlah berdirinya Partai Topan Utara. Puluhan
tamu yang diundang tampak menaiki perahu menuju bukit Toba.
Mereka umumnya terdiri dari orang-orang dunia persilatan. Bahkan
banyak diantara mereka merupakan tokoh-tokoh silat ternama.
Semua mereka tidak menduga bahwa kedatangan mereka menghadiri
peresmian berdirinya partai darah itu hanyalah untuk mengantarkan
nyawa belaka. Karena sebenarnya Raja Rencong Dari Utara sudah
menanam niat untuk membunuh mereka semua! Para tamu duduk di
sebuah tempat yang dinamakan Arena Topan Utara. Arena itu terletak
di bawah sebuah bangunan tua. Sesuai dengan rencana yang diatur,
Raja Rencong akan pergi ke mimbar dan Pandansuri akan
menqgerakkan satu alat rahasia. Alat rahasia ini akan
menghancurkan bagian atas Arena Topan Utara dan semua orang
yang ada dalam Arena dengan sendirinya akan tertimbun hidup-
hidup.
Apa yang dirundingkan ayah dan anak dalam kamar rahasia itu
sempat terdengar oleh Pendekar 212 Wiro Sableng yang berhasil
masuk menyusup ke tempat kediaman Raja Rencong. Tetapi
celakanya kehadiran Wiro sempat dirasakan oleh Raja Rencong. Maka
diapun melakukan penyelidikan sebelum menuju Arena Topan Utara.
Satusatunya tempat bersembunyi adalah sebuah kamar. Wiro segera
masuk ke dalam kamar ini. Dinding, lantai dan langit-langit kamar
terbuat dari batu kasar dan seluruh ruangan penuh berselimut debu.
Di tengah ruangan duduk seorang lelaki tua bermuka biru dan berpipi
sangat cekung. Tubuhnya yang kurus tertutup sehelai jubah biru yang
luar biasa besarnya hingga bagian bawah jubah ini menutupi hampir
separuh lantai ruangan batu. Kedua tangan orang tua aneh ini
buntung sebatas siku dan salah satu telinganya sumplung. Di
lehernya terikat sehelai rantai baja yang ujungnya dipantek dan
ditanam pada dinding batu di belakangnya. Kedua matanya tertutup.
Sikapnya tak ubah seperti seseorang yang sedang bersemedi.
"Hai… Orang tua, kau siapa?" bisik Wiro. Dia kawatir kalau Raja
Rencong muncul dengan tiba-tiba.
Orang tua yang dibisiki membuka kedua matanya.
Astaga!. Wiro merasakan tengkuknya dingin. Kedua mata itu hanya
merupakan sepasang rongga yang dalam dan mengerikan.
"Anak tolol!. Lekas sembunyi dalam jubah di belakang punggungku!"
berkata orang tua.
Wiro sadar kalau dirinya terancam bahaya yakni jika Raja Rencong
menemukannya di ruangan batu itu. Maka tanpa pikir panjang dia
segera melakukan apa yang dikatakan orang tua itu. Menyusup
masuk ke dalam jubah biru yang sangat besar. Meskipun orang nyata
menolongnya namun Wiro masih belum dapat memastikan apakah
orang tua itu musuh atau kawan. Karenanya diam-diam dia
mengerahkan aji pukulan sinar matahari di tangan kiri sedang tangan
kanan menggenggam hulu Kapak Maut Naga Geni 212.
"Anak, aku bukan musuhmu! Mengapa musti meraba senjata segala?"
tiba-tiba orang tua bermata buta itu mengiangkan pertanyaan ke
telinga Wiro.
Suara mengiang itu! Luar biasa sekali. Tentunya orang tua ini
seorang sakti mandraguna. Mengapa kedua matanya bolong begitu
rupa, lalu dua tangan buntung dan ditambah rantai baja yang
mengikat lehernya?
Tiba-tiba pintu terpentang dan terdengar bentakan Raja Rencong.
"Tua renta buta! Siapa yang masuk ke sini?!"
Orang tua itu terdengar menghela nafas dalam. Lalu terdengar
suaranya halus sekali seperti suara anak perempuan.
"Jika aku sampai tidak melihat orang masuk kemari itu bukan karena
ketololanku. Tapi karena memang kedua mataku buta. Sebaliknya jika
kau yang punya mata dan telinga sampai tidak mengetahui, malah
bertanya padaku itu adalah satu ketololan yang tak ada taranya!
Apakah kau memang melihat ada orang lain di tempat ini?!"
Ucapan itu membuat Raja Rencong melontarkan kata-kata kotor.
"Eh, sudahkah kau periksa Hang Kumbara?" tanya orang tua itu.
'Tutup mulutmu setan tua!" sentak Hang Kumbara alias Raja
Rencong Dari Utara.
Disentak begitu si orang tua ganda tertawa dan menyahut:
"Bukankah hari ini hari peresmian Partai Topan Utara?"
"Kunyuk peot!" kembali Raja Rencong menyentak. "Kau tahu apa
tentang segala macam partai!"
"Aku memang tidak tahu apa-apa! Tapi aku mempunyai firasat
bahwa partaimu itu akan runtuh sebelum saat peresmiannya. Dan
kau sendiri akan mampus!"
"Ya! Aku akan mampus! Tapi sebelum mampus untuk ke seratus
kalinya terima dulu tamparanku!" Plaak!
Tamparan yang dilayangkan Raja Rencong keras luar biasa. Tubuh
orang tua itu terasa oleh Wiro menghuyung tapi dia tidak roboh.
Bibirnya yang pecah mengucurkan darah. Darah Pendekar 212 Wiro
Sableng menggelegak mengetahui orang tua yang telah menolongnya
diperlakukan seperti itu. Segera saja dia hendak melompat keluar dari
dalam jubah. Tapi di telinganya terdengar suara ngiangan seperti
nyamuk.
"Jangan tolol anak!"
Mau tak mau terpaksa Wiro mendekam terus di dalam jubah lebar
itu. Kemudian terdengar pintu kamar ditutupkan. Raja Rencong telah
keluar.
"Sekarang kau boleh keluar!" terdengar si orang tua berkata.
Wiro cepat keluar lalu menjura hormat seraya berkata: "Terima kasih
atas budi pertolonganmu. Siapakah kau ini sebenarnya…?"
Orang tua itu tertawa. Tampak gusinya yang tanpa gigi lagi.
"Sewaktu kudengar orang berkelebat menuju belakang bangunan tua,
sewaktu kudengar kau mengangkat rerumpunan semak belukar lalu
menyusup turun dalam lorong rahasia, hatiku gembira. Kukira kau
adalah Tua Gila. Tapi dari langkahmu kemudian segera kuketahui
bahwa kau bukan Tua Gila. Tapi, aku yakin kau pasti ada sangkut
paut dengan orang tua itu. Mungkin sekali kau muridnya. Betul…?"
Wiro Sableng melengak. Kehebatan orang tua cacat ini sungguh luar
biasa. "Kau betul. Secara kebetulan aku bernasib baik dan mendapat
beberapa jurus pelajaran ilmu silat dari Tua Gila. Kalau aku boleh
bertanya, bagaimana kau tahu setiap gerak gerikku?"
"Ilmu yang tinggi adalah seribu mata seribu telinga. Tapi semua itu
berakhir dalam kesia-siaan. Buktinya diriku ini!"
"Kenapa kau sampai seperti ini?" tanya Wiro.
"Muridku sendiri yang melakukannya!" jawab orang tua itu.
"Muridmu?" kejut Wiro.
"Tak perlu terkejut atau heran anakmuda. Dunia ini penuh dengan
orang-orang sesat den murid murtad!"
"Kalau aku boleh bertanya siapakah muridmu itu?"
"Masakan kau tak bisa menduga. Siapa lagi kalau bukan Hang
Kumbara!"
"Maksudmu Raja Rencong Dari Utara?" "Itu gelarnya!"
"Benar-benar manusia terkutuk!" desis Wiro geram. Sekali dia
menggerakkan tangan kanannya, rantai baja yang tertanam di
dinding batu tanggal. Wiro lalu melepaskan bagian rantai yang
mengikat leher orang tua itu.
"Terima kasih anak muda. Aku bisa bernafas lebih lega sekarang.
Tenagamu luar biasa sekali…"
"Orang tua, aku tak punya waktu banyak. Tugasku adalah untuk
menghancurkan Partai Topan Utara. Berarti juga memusnahkan Raja
Rencong. Kalau tugas itu selesai aku akan kembali kemari
membawamu keluar dari tempat terkutuk ini! Maukah kau
menerangkan siapa namamu?"
"Ah, aku berterima kasih akan maksud baikmu itu. Tapi diriku yang
cacat dan pikun ini tak perlu kau pikirkan. Yang penting selamatkan
orang-orang itu. Dengar anak muda, namaku Nyanyuk Ambar. Dulu
aku diam di Gunung Singgalang. Sampai munculnya Hang Kumbara
manusia laknat itu. Dia datang mengemis ilmu padaku. Diluar
tampaknya dia seorang pemuda baik-baik. Lagi pula kuketahui
kemudian sebelumnya dia berguru pada Datuk Mata Putih, seorang
sahabatku. Maka kuambil dia jadi murid dan kuajarkan berbagai ilmu
silat serta kesaktian. Tapi siapa nyana kalau manusia itu sebenarnya
sejak lama mendekam satu maksud jahat. Yaitu ingin menguasai
dunia persilatan di pulau Andalas ini dengan menghimpun sekian
banyak tokoh lalu membunuh mereka secara keji! Aku ketahui
kemudian bahwa sahabatku Datuk Mata Putih telah menemui ajal
dibunuh oleh manusia keparat itu. Aku sendiri tidak terlepas dari
kekejamannya. Hanya saja aku masih dibiarkan hidup dengan dalam
cacat seperti ini!"
"Jadi Hang Kumbara juga yang memutus kedua tanganmu?" tanya
Wiro.
"Bukan hanya lenganku, anak. Bukan hanya lenganku! Coba kau
singkap jubah biru ini di bagian kaki."
Wiro menyingkapkan jubah biru Nyanyuk Amber. Astaga! Ternyata
kedua kaki orang tua itu juga buntung sebatas lutut!
"Hang Kumbara yang melakukannya…" desis orang tua itu. "Dia juga
yang mencongkel kedua mataku!"
"Manusia jahanam!" Kedua tangan Wiro terkepal. "Orang tua, aku
bersumpah untuk membunuh manusia itu! Tapi mengapa dia
melakukan hal itu padamu?"
"Seperti Datuk Mata Putih, aku datang padanya dan memberi nasihat
agar meninggalkan jalan sesat. Menghentikan pembunuhan terhadap
tokoh-tokoh silat tak berdosa. Alasan itu sudah cukup baginya untuk
melakukan kekejian ini padaku. Dia membokongku dengan totokan.
Dalam keadaan tak berdaya tangan serta kakiku dipotongnya.
Kedua mataku dikoreknya. Lalu aku dimasukkan ke dalam ruangan ini
dan dirantai!"
"Belum pernah aku melihat dan mendengar manusia seganas Hang
Kumbara. Tempatnya jelas di neraka!"
Si orang tua tertawa mengekeh. "Kau pergilah cepat! Jangan
terlambat! Kalau orang-orang itu sampai menemui ajal, celakalah
dunia persilatan!"
Mendengar kata-kata itu Wiro segera tinggalkan ruangan batu
dengan cepat.
DI TENGAH-TENGAH Arena Topan Utara terletak sebuah mimbar. Di
belakang mimbar itu berdiri Raja Rencong Dari Utara. Matanya
menyorot memandang ke arah tamu-tamu yang hadir. Semua orang
yang hadir di situ terbagi dalam tiga golongan. Golongan pertama
ialah golongan hitam yang secara nyata-nyata bergabung dengan
Raja Rencong. Golongan kedua adalah golongan putih yang telah
ditaklukkan dan dipaksa untuk masuk serta menghadiri berdirinya
Partai. opan Utara. Baik golongan hitam maupun golongan putih di
atas semuanya telah masuk perangkap Raja Rencong.
Golongan ketiga yang ialah golongan putih yang sengaja datang ke
tempat itu untuk membalaskan dendam kesumat kematian
kawankawan mereka yang telah dibunuh oleh Raja Rencong,
puterinya atau para kaki tangannya.
Raja Rencong melirik pada sebuah tombol merah yang terletak di
kayu mimbar dekat tangan kanannya. Sekali dia menekan tombol ini
maka tubuhnya akan melesat ke atas, keluar dari ruangan itu lewat
sebuah celah yang terbuka pada bagian atap ruangan. Lalu pada
saat yang sama lantai Arena Topan Utara-akan longsor ke bawah,
menyusul runtuhnya atap. Semua orang yang ada dalam Arena akan
tertimbun hidup-hidup. Tak bakal ada satu orang pun yang bisa
menyelamatkan diri karena berbarengan dengan runtuhnya atap serta
amblasnya lantai, satu ledakan besar akan menghancur luluhkan
tempat itu!
Setelah memandang berkeliling maka Raja Rencong membuka mulut
memberi kata sambutan.
"Para hadirin sekalian. Pertama sekali aku Raja Rencong Dari Utara
mengucapkan terima kasih atas kedatangan saudara-saudara di
tempat ini. Dalam mendirikan Partai Topan Utara ini, aku sama sekali
tidak akan melihat asal-usul, atau menilai saudara-saudara ini dari
golongan mana. Bagiku, jika saudara-saudara telah bersedia datang
dan hadir di sini maka berarti saudara-saudara semua sudah
bersedia masuk menjadi anggota Partai Topan Utara!"
Pernyataan Raja Rencong itu membuat para tokoh silat golongan
putih yang datang untuk membalaskan dendam kesumat menjadi
gempar. Dalam keadaan suasana berisik tiba-tiba melesatlah ke atas
Arena empat sosok tubuh. Mereka adalah Panglima Sampono, Datuk
Nan Sabatang, Lembu Ampel dan Seorang Lor. Tiga kawan tegak
berjejer sementara Panglima Sampono melangkah tegap ke hadapan
mimbar. Suasana yang tadi berisik kini menjadi sehening di
pekuburan. Ketegangan menggantung di udara!
"Manusia-manusia tidak tahu peradatan!" teriak Raja Rencong marah
sekali. "Perbuatan kalian naik ke atas mimbar tanpa izinku
merupakan penghinaan besar bagi semua anggota Partai yang hadir
di sini!"
Panglima Sampono sambil bertolak pinggang menjawab dengan
suara garang.
"Ketahuilah, kami berempat datang kemari bukan untuk menghadiri
peresmian segala macam partai kentut busuk! Tapi untuk meminta
pertanggungan jawabmu atas kematian sobat-sobat kami para tokoh
silat golongan pucih!"
"Kalau itu maksud kalian, rupanya kalian berkenan untuk menyusul
mereka ke akhirat!" tukas Raja Rencong. Dia berpaling ke arah Arena
sebelah timur dan berseru: "Empat Tombak Sakti! Lenyapkan
pengacau-pengacau ini!"
Empat orang berpakaian seragam hitam melompat ke atas Arena.
Tampang mereka galak buas dan angker. Begitu naik ke arena begitu
mereka hantamkan tombak ke arah kepala Panglima Sampono dan
tiga kawannya! Pertempuran pecah! Tampaknya kedua pihak saling
berimbang. Serangan datang silih berganti.
Lima belas jurus berlalu. Korban pertama roboh. Dia adalah orang
ketiga dari Empat Tombak Sakti. Meregang nyawa di ujung pedang
Sebrang Lor.
Menyusul kemudian Panglima Sampono berhasil membantai orang
kedua dari Empat Tombak Sakti. Kini pertempuran berlangsung
antara Datuk Nan Sabatang melawan orang ke satu sedang Lembu
Ampel melawan orang ke empat. Ternyata dua orang terakhir dari
Empat Tombak Sakti ini tidak mampu menahan serangan-serangan
gencar dua tokoh silat golongan putih itu. Setelah lima jurus berlalu
keduanya tergelimpang menemui ajal!
Rahang Raja Rencong tampak menggembung. Gerahamnya terdengar
bergemeletukkan.
"Tongkat Baja Hijau!" teriak Raja Rencong. "Bunuh empat keparat
itu!"
Sekelebat sosok tubuh berpakaian hijau melesat ke atas Arena. Orang
ini berbadan tinggi langsing. Usianya agak lanjut dan tubuhnya
bungkuk. Di tangan kanannya dia memegang sebuah tongkat sebesar
betis terbuat dari baja asli. Warna hijau yang membungkus tongkat
baja itu adalah lapisan racun ganas yang dahsyat!
"Tunggu apa lagi! Habisi mereka!" teriak Raja Rencong.
Tongkat Baja Hijau mendongak dan perdengarkan tawa mengekeh.
Tongkat di tangan kanannya di ketuk-ketuk ke lantai Arena. Hebat
sekali. Semua orang merasakan bagaimana lantai yang mereka injak
terasa bergetar. Panglima Sampono dan kawan-kawan segera
maklum kalau manusia berjubah hijau itu memiliki kepandaian tinggi
sedang senjata di tangannya mengandung bahaya maut!
Tongkat Baja Hijau memandang pada keempat orang di hadapannya
dengan mimik mengejek dan menganggap rendah.
"Kalian akan maju satu-satu atau berempat sekaligus? Lebih baik
berempat agar aku tidak banyak membuang waktu dan tenaga!"
Mengelam paras ke empat tokoh silat itu. Panglima Sampono
bergerak melangkah. Tapi Sebrang Lor mendahului ke hadapan
Tongkat Baja Hijau.
'Tampangmu tak banyak berubah! Tapi pendirianmu kini berlainan!"
berkata Sebrang Lor. "Setahuku dulu kau adalah tokoh golongan
putih. Sungguh disayangkan kalau kini kau menjadi bergundal Raja
Rencong, murid murtad pembunuh guru! Majulah, biar aku rasakan
hajaranmu!"
Tongkat Baja Hijau tertawa bergelak.
"Sebrang Lor! Tempatmu jauh di Malaka! Sulit nyawamu akan
kembali ke sana!" Habis berkata begitu Tongkat Baja Hijau menyerbu
ke muka. Sinar hijau menggebu dari tongkat bajanya. Sebrang Lor
Cepar cabut pedang berkeluknya. Maka pecahlah perkelahian hebat.
Tapi kehebatan itu membawa malapetaka bagi diri Sebrang Lor.
Serbuan tongkat baja hijau laksana air bah, menderu-deru
mengurung dirinya, menutup jalan serangan dan lambat laun
membobol pertahanan tokoh silat dari Malaka itu. Dia hanya sempat
bertahan sampai empat jurus. Di jurus ke lima tongkat lawan
menggebuk bahu tanpa dia bisa dikelit atau ditangkis. Sebrang Lor
menjerit. Tubuhnya tercampak ke luar Arena. Nyawanya lepas!
"Manusia iblis! Aku lawanmu!" teriak Datuk Nan Sabatang
menggeledek. Tubuhnya berkelebat dan keris biru di tangannya
meluncur sebat ke arah teng-gorokan Tongkat Baja Hijau!
"Jangan omong besar Datuk!" ejek Tongkat Baja Hijau. Sekali
tongkatnya disapukan Datuk Nan Sabatang tersusut ke belakang.
Wajahnya pucat.
"Ha… ha! Aku muak berkelahi satu lawan satu! Ayo Sampono dan
Lembu Ampel! Kalian berdua ikut majulah!" Sambil menyerang Datuk
Nan Sabatang,
Tongkat Baja Hijau membagi serangan pula pada Panglima Sampono
dan Lembu Ampel. Mula-mula kedua orang itu tak mau membalas
apalagi terjun ke kalangan pertempuran. Tapi karena diserang terus
menerus mau tak mau akhirnya mereka terpaksa juga turun ke
gelanggang!
Bagi orang-orang yang hadir di tempat itu nama Panglima Sampono
dan kawan-kawannya adalah nama-nama besar. Namun sewaktu
menyaksikan berhasil mendesak ke tiga lawannya itu maka kini dapat
diukur betapa tingginya kepandaian kaki tangan Raja Rencong ini.
Dalam jurus ke sepuluh terdengar pekik Datuk Nan Sabatang.
Tubuhnya melesat. Kepalanya pecah dihantam tongkat lawan.
"Sekarang giliran kalian berdua untuk mampus!" seringai Tongkat
Baja Hijau pada Panglima Sampono dan Lembu Ampel. Didahului
oleh teriakan menggeledek Tongkat Baja Hijau keluarkan jurus
serangan yang luar biasa hebatnya. Ujung tongkatnya seperti
bercabang dua. Satu menggebuk ke arah kepala Panglima Sampono,
satunya lagi ke batok kepala Lembu Ampel! Dan dua orang ini seperti
kena tenung, hampir tak punya kesempatan untuk selamatkan nyawa
masingmasing! Para tamu yang hadir menahan nafas.
Dalam detik yang tegang itu di mana maut sudah siap mencengkam
dua korban, tiba-tiba berkelebat satu bayangan putih disertai suara
siulan nyaring. Satu gelombang angin yang bukan olaholah
dahsyatnya menderu laksana topan membadai. Beberapa tokoh silat
yang ada'd i pinggiran Arena merasa tubuh mereka bergetar. Di saat
itu tahu-tahu terdengar pekik Tongkat Baja Hijau. Orang bersama
tongkatnya mental keluar Arena menghantam dinding ruangan
dengan keras. Ketika jatuh ke lantai tubuh Tongkat Baja Hijau tidak
bergerak lagi. Mukanya hancur! Di tengah Arena semua mata
menyaksikan seorang pemuda berambut gondrong sebahu,
berpakaian dan berikat kepala serba putih tegak menyeringai. Bajunya
yang tidak berkancing menyingkapkan dadanya yang penuh otot.
Pada dada sebelah kanan ada rajah tiga buah angka, berwarna hitam
kebiruan.
SEPASANG mata Raja Rencong Dari Utara membeliak seperti
hendak melompat dari sarangnya. Kumis tebalnya berjingkrak dan
rahangnya menggembung. Suara menggembor terdengar di
tenggorokannya.
"Pemuda keparat! Siapa kau!" bentak Raja Rencong sementara semua
orang yang hadir di tempat itu ada yang berdecak kagum tapi banyak
yang melengak heran karena tidak mengetahui apa sebenarnya yang
terjadi saking cepatnya gerakan-gerakan di atas Arena.
"Siapa aku tidak penting! Aku mau bicara!" jawab pemuda rambut
gondrong seenaknya dan membuat semua orang kini jadi tambah
kaget melihat keberanian pemuda yang tak dikenal itu.
"Keparat! Kau minta mampus!" teriak Raja Rencong menggeledek.
Lalu dia berseru garang.
"Sepasang Pengemis Gila! Bunuh budak ini!"
Dari Arena sebelah kanan melesat dua orang berpakaian kotor
compang camping penuh tambalan dan berambut acak-acakan.
Tubuh mereka menghambur bau tidak sedap. Inilah dua tokoh silat
jembel sinting yang berjuluk Sepasang Pengemis Gila. Keduanya
berteriakteriak seperti monyet terbakar ekor. Dalam gerakan yang
tidak karuan tiba-tiba mereka menyerang Pendekar 212 Wiro Sableng,
pemuda yang tegak di tengah Arena. Di saat yang sama mendadak
dari samping kiri melompat pula seorang berpakaian merah. Dari
mulutnya menyembur arak merah yang menyerang ke seluruh jalan
darah di tubuh Panglima Sampono dan Lembu Ampel!
Dua tokoh silat lanjut usia ini tentu saja terkejut dan serentak sama
pukulkan tangan ke depan. Namun sebelum dua pukulam sempat
mencari sasaran, sebelum semburan arak menimbulkan celaka,
mendadak sontak terjadilah satu peristiwa yang membuat semua
orang bangkit tertegak dari kursi masing-masing.
Tiga jeritan terdengar susul menyusul. Tiga sosok tubuh mencelat
mental seperti dilabrak topan prahara lalu terbanting ke dinding,
mental lagi dan jatuh di-antara orang banyak! Apa yang telah
terjadi?
Ketiga Sepasang Pengemis Gila dengan berteriak-teriak menyerang
dirinya dan selagi Datuk Arak Sakti menyembur ke arah Panglima
Sampono dan Lembu Ampel, murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung
Gede itu hantamkan kedua telapak tangannya sekaligus ke arah
orang-orang yang menyerbu. Arena Topan Utara seperti diguncang
gempa, laksana dilanda badai. Pendekar 212 telah melepaskan
pukulan sakti bernama "dewa topan menggusur gunung".
Nama angker pukulan sakti itu tidak nama percuma belaka. Itulah
pukulan sakti mengandung tanga dalam tinggi yang dipelajarinya
dari Tua Gila. Dan betapapun hebatnya Sepasang Pengemis Gila serta
Datuk Arak Sakti namun mereka tak sanggup bertahan. Ketiganya
mencelat mental, terlempar ke dinding batu dan menemui kematian
dalam cara mengerikan!
Di antara para hadirin tak satu pun yang bergerak. Semua mata
terpentang lebar ke arah Pendekar 212. Hal yang sama terjadi juga
dengan Raja Rencong. Dia tegak hampir tak bergeming. Dia tahu
betul, dua pukulan tangan kosong yang tadi dilepaskan si pemuda
tadi adalah pukulan "dewa topan menggusur gunung." Dan setahunya
hanya satu orang yang memiliki pukulan dahsyat itu yakni seorang
kakek sakti yang dipanggil dengan sebutan Tua Gila. Ternyata kini
pemuda tak dikenal itu memiliki ilmu yang sama. Ada sangkut paut
apakah antara pemuda ini dengan orang tua itu?
Diam-diam Raja Rencong merasakan dadanya berdebar dan lututnya
bergetar. Aneh! Benar-benar aneh! Setahunya Tua Gila sudah lama
meninggal dunia dan selama hidupnya orang tua itu tak pernah
mempunyai seorang muridpun. Bagaimana kini ada pemuda memiliki
ilmu pukulan sakti itu? Sepasang mata Raja Rencong bergerak
berputar ke arah hadirin. Dia sangat kawatir kalau-kalau Tua Gila
tahu-tahu sudah ada pula di sana di antara para tamu. Namun dia
tak melihat orang tua itu. Hatinya lega sedikit.
Sebagai tuan rumah yang telah menyandang nama besar, tentu saja
Raja Rencong tidak mau perlihatkan rasa jerih. Dia merasa sudah
saatnya untuk menekan tombol merah di atas mimbar sebelum
kekacauan baru muncul. Tak apa kehilangan dua tiga kaki tangan dan
pembantunya. Asal sesaat lagi semua orang yang ada di situ akan
menerima kematian termasuk pemuda gila di tengah Arena.
Sambil tertawa mengekeh Raja Rencong menggerakkan tangannya
lalu berteriak keras: "Manusia-manusia tolol! Selamat jalan ke
neraka!"
Lalu jari telunjuk tangan kanan Rana Rencong menekan tombol
merah sekuat-kuatnya.
Tapi tak satu pun terjadi.
Raja Rencong menekan lagi. Lagi dan lagi. Bahkan kini
menghantamkan telapak tangannya keras-keras ke tombol merah itu.
Namun atap di atas Arena tidak membuka dan papan Arena yang
dipijaknya tidak melesatkan tubuhnya ke atas. Juga lantai Arena di
mana para tamu duduk tidak roboh sedang langit-langit bangunan
tidak runtuh!
Di hadapannya dilihatnya Wiro Sableng menyeringai. Lalu suara gelak
membabak keluar dari mulut pemuda itu.
"Raja Rencong! Ada yang tidak beres rupanya?!"
Pertanyaan itu membuat Raja Rencong membesi wajahnya. "Apa
maksudmu?!" sentaknya.
"Ah! Kau tahu apa maksudku! Kau panik! Lantai ruangan ini tidak
amblas! Atap tidak runtuh! Ha… ha… ha! Kau sudah menekan tombol
rahasia tapi pesawat celaka yang hendak membunuh semua orang
yang hadir di sini tidak bekerja!"
Bukan main marahnya Raja Rencong Dari Utara. Didahului
menggereng seperti harimau lapar terluka dia jentikkan sepuluh jari
tangannya.
Sepuluh larik sinar merah menyambar Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sebelumnya Wiro telah menyaksikan keganasan ilmu kesaktian ini
yaitu ketika dikeluarkan oleh Pandansuri. Kini kalau Raja Rencong
sendiri yang memainkannya tentu jauh lebih dahsyat. Karenanya
murid Sinto Gendeng segera melompat ke atap ruangan dan dari atas
lepaskan pukulan "sinar matahari".
Arena Topan Utara laksana disambar petir dan geledek ketika pukulan
sinar matahari saling bentrokan dengan sinar merah ilmu kuku api.
Dua ilmu kesaktian yang dilancarkan dengan kekuatan tenaga dalam
sangat tinggi begitu saling beradu melesat ke kiri lalu memecah ke
arah empat penjuru. Jerit kematian terdengar di bagian itu. Sembilan
tokoh silat golongan hitam hangus mengerikan. Delapan tokoh
golongan putih meregang nyawa mengenaskan! Bau hangusnya
tubuh-tubuh yang terpanggang memenuhi tempat itu. Kekacauan
meledak!
"Para tamu semua!" tiba-tiba Wiro berteriak lantang. "Kalian
sekarang tahu kalau Raja Rencong punya maksud tersembunyi.
Secara keji sebenarnya dia hendak membunuh kita semua yang hadir
hadir di sini! Kenapa tidak berebut pahala mencincangnya beramai-
ramai?!"
Mendengar teriakan Wiro Sableng itu semua tamu menjadi terbakar
hati masing-masing, apalagi yang sejak semula memang tidak suka
terhadap Raja Rencong dan hadir di situ untuk menghukumnya.
Laksana air bah, tokoh silat golongan hitam dan putih bergabung
menjadi satu dan menyerbu Raja Rencong yang masih tertegun di
atas mimbar dengan dada berdenyut akibat bentrokan tenaga dalam
dengan Wiro lewat pukulan sakti tadi.
Raja Rencong adalah tokoh silat sakti luar biasa. Keberaniannya dan
kebengisannya tidak beda dengan setan. Namun melihat sekian
banyak para jago silat menyerbunya dia jadi gugup. Nyalinya
meleleh. Tanpa pikir panjang lagi dia berkelebat larikan diri. Tapi
arah larinya telah dihadang Wiro Sableng yang saat itu sudah
menggenggam Kapak Maut Naga Gen i 212.
"Keparat! Mampuslah!" teriak Raja Rencong.
Sreett!
Raja Rencong cabut Rencong Emasnya. Sinar kuning bertabur. Di
waktu yang sama puluhan senjata datang menderu Ketua Partai
Topan Utara itu. Kapak Naga Geni 212 di depan sekali dengan
sinarnya yang menyilaukan disertai deru laksana ribuan tawon
mengamuk!
Trang!
Rencong Emas dan Kapak Naga Geni 212 beradu. Bunga api
memercik. Raja Rencong mengeluh tertahan. Tangan kanannya terasa
panas dan getaran menjalar sampai ke pangkal bahunya. Sebelum
dia sempat memasang kuda-kuda baru laksana kilat Kapak Naga
Geni 212 sudah berkiblat kembali di depan hidungnya sementara di
sekelilingnya puluhan macam senjata datang menggempur.
"Huaaah!" Raja Rencong membentak garang. Kedua tangannya kiri
kanan membuat gerakan yang dinamakan "sepasang kincir sakti
menghadang bumi". Ini bukan saja merupakan satu jurus pertahanan
yang ampuh tapi sekaligus merupakan jurus serangan mematikan.
Rencong Emas di tangan kanan mengeluarkan sinar kuning
berbuntalbuntal sedang lima jari tangan kiri tiada hentinya
menjentikan ilmu kuku api. Tiga orang tokoh silat tergelimpang roboh
dihantam pukulan kuku api. Tapi hanya sampai disitulah Raja
Rencong sanggup menunjukkan keganasannya.
Sambaran Kapak Maut Naga Geni 212 yang menyilaukan
mendesaknya. Angin senjata itu bukan saja menutup
pemandangannya tapi kedua matanya juga terasa perih.
Sesaat kemudian terdengar jerit Raja Rencong! Telinga kanannya
putus dibabat Kapak Naga Geni. Racun yang ganas langsung
merasuk ke peredaran darahnya. Sadar bahaya yang dialaminya Raja
Rencong cepat menotok beberapa urat penting di tubuhnya agar
racun tidak menjalar menuju jantung. Lalu dengan segala kehebatan
yang dimilikinya Raja Rencong mengamuk membabi buta. Dua tokoh
lagi roboh di tangannya, satu si antaranya adalah Lembu Ampel.
Tokoh ini menjauhkan diri ke sudut ruangan. Dadanya luka parah
akibat tikaman Rencong Emas. Dia sadar racun jahat senjata itu
sebentar lagi akan meranjam tubuhnya. Didahului oleh satu teriakan
keras menyebut nama Tuhannya, Lembu Ampel akhirnya jatuh ke
lantai tak bergerak lagi.
Amukan orang takut dan putus asa seperti yang dilakukan Raja
Rencong tidak berjalan lama. Ketika Kapak Naga Geni 212 menyusup
di antara serangan-serangan yang dilepaskannya. Raja Rencong
terdengar menjerit. Dia merasakan tangan kirinya panas sekali.
Ketika dilihat ternyata tangannya itu telah buntung disambar Kapak
Naga Geni 212. Raja Rencong menjerit lagi. Belasan senjata datang
menusuk, menikam dan membacok sekujur tubuhnya. Tubuh itu
seperti dimandikan dengan darah. Tapi hebatnya Raja Rencong masih
tegak, bukan saja bertahan malah masih sanggup membuat gerakan-
gerakan pembalasan. Wiro yang sudah kehilangan kesabarannya
segera putar Kapak Maut Naga Geni 212. Suara seperti ribuan tawon
mengaung laki disusul kembali jeritan Raja Rencong.
Darah muncrat dari mukanya yang hampir terbelah. Tubuh dan wajah
yang hampir tidak berbentuk lagi itu menggeletak di lantai Arena
Topan Utara. Darah bergelimang di mana-mana. Masih banyak para
tokoh yang melampiaskan dendam kesumatnya menghujani tubuh tak
bernyata Raja Rencong itu dengan berbagai senjata, tendangan
ataupun pukulan. Wiro maklum segala sesuatunya kini telah berakhir.
Pemuda ini cepat tinggalkan tempat itu, lari menuju sebuah kamar di
mana pesawat rahasia untuk membunuh para tokoh persilatan
berada. Di situ menggeletak Pandansuri, puteri Raja Rencong dalam
keadaan tertotok. Apakah yang terjadi dengan dara berkerudung ungu
ini?
Seperti diceritakan sebelumnya Wiro Sableng telah bertemu dengan
Nyanyuk Amber, orang tua sakti guru Raja Rencong yang berada
dalam keadaan dirantai tak berdaya. Setelah melepaskan orang tua
itu dari rantai yang mengikatnya Wiro memergoki Pandansuri di
kamar pesawat rahasia. Terjadi perkelahian. Dalam waktu tiga jurus
Wiro berhasil membuat gadis itu tak berdaya dan menotoknya hingga
ketika ayahnya menekan tombol sebagai tanda agar dia
menggerakkan pesawat rahasia, sang dara tak mampu
melakukannya.
"Pemuda keparat! Apa yang terjadi di luar sana! Aku dengar suara
gaduh!" Pandansuri mendamprat begitu Wiro masuk ke dalam
ruangan. Pendekar 212 menyeringai.
"Kabar buruk bagimu. Ayahmu menemui kematian di Arena Topan
Utara. Riwayat keganasannya berakhir hari ini!"
Pandansuri merasakan tubuhnya seperti hendak meledak.
Sepasang matanya dibalik kerudung membeliak dan wajahnya tampak
mengelam merah.
"Kurang ajar! Pasti kau yang membunuh ayah!"
"Aku dan puluhan tokoh silat yang hendak dicelakakannya!" sahut
Wiro.
"Kau membunuh ayah! Berarti kau harus mati di tanganku!" Wiro
tertawa.
"Kenapa kau masih keras kepala dan tidak mau sadar? Apa kau ingin
menemui nasib sama seperti ayahmu? Mati mengerikan di tangan
puluhan tokoh silat yang masih ada di luar sana?"
"Aku tidak takut mati! Lepaskan totokan di tubuhku! Mari kita
berkelahi sampai seratus jurus!"
"Aku tak punya waktu melayani orang kalap sepertimu. Sebelum pergi
aku hanya ingin melihat wajahmu yang selalu tersembunyi dibalik
kerudung ungu itu!"
"Kurang ajar! Kalau kau berani melakukan itu…!"
Tapi tangan Wiro sudah bergerak menarik kain kerudung tipis yang
menutupi wajah Pandansuri. Begitu kerudung terlepas terkejutlah
Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Aih… Kiranya parasmu cantik sekali…!" Wiro basahi bibirnya dengan
ujung lidah dan garuk-garuk kepalanya yang gondrong. "Hanya
sayang aku tak bisa menikmati kecantikan parasmu berlama-lama.
Aku harus pergi dari sini bersama Nyanyuk Amber. Selamat tinggal
dara jelita…"
"Tunggu!" teriak Pandansuri. "Lepaskan dulu totokan di tubuhku!"
Wiro putar langkahnya, menatap paras Pandansuri sesaat lalu
berkata: "Kalau totokan di tubuhmu kulepaskan apa kau akan
menyerangku dan mencari perkara baru?"
"Demi setan aku tidak akan melakukan apa-apa selain membaca
sepucuk surat!"
"Hemm… Ini adalah aneh!" ujar Wiro. "Kau hendak membaca sepucuk
surat. Dari siapakah? Tidak sangka kalau dara segalakmu ini bisa
punya pacar…!"
"Aku memang tidak punya pacar dan surat itu bukan dari siapasiapa.
Tapi dari ayahku sendiri! Ayahku yang kalian bunuh itu!" jerit
Pandansuri.
"Baiklah… Tapi kalau kau bersumpah aku tak mau kau melakukannya
atas nama setan. Kau pasti punya Tuhan. Bersumpahlah atas
NamaNya!"
"Aku bersumpah demi Tuhan!" teriak Pandansuri.
Wiro melangkah mendekati. Tangan kanannya bergerak melepaskan
totokan di tubuh sang dara. Tapi tangan kirinya diam-diam
menyiapkan pukulan sinar matahari. Untuk berjaga-jaga kalau tiba-
tiba Pandansuri membokongnya setelah lepas dari totokan. Ternyata
gadis itu memang tidak menyerangnya. Begitu tubuhnya bebas dari
balik pakaiannya dia mengeluarkan sepucuk surat Tanpa memandang
pada Wiro dia berkata: "Ayah berpesan. Surat ini hanya boleh kubuka
jika sesuatu terjadi dengannya. Yakni kalau dia menemui ajal…"
Sang dara membuka, lipatan surat lalu membaca apa yang dituliskan
Raja Rencong di situ. Pandansuri,
Kalau aku sudah mati maka itulah saatnya kau harus mengetahui
rahasia besar tentang dirimu. Sebenarnya kau bukanlah anak
kandungku. Kau kuculik ketika masih kecil. Ayahmu adalah Kepala
Kampung Pasirputih. Kembalilah padanya dan tempuhlah jalan hidup
yang baik.
Orang yang pernah menjadi ayahmu
Raja Rencong. Surat itu terlepas dari pegangan Pandansuri. Air mata
menggelinding membasahi pipinya.
"Hai… ada apakah saudari? Mengapa kau menangis?" tanya Wiro.
Pertanyaan itu justru membuat Pandansuri menjadi mengeras
isakannya Wiro mengambil surat yang tercampak di lantai lalu
membacanya. Pendekar ini kemudian menarik nafas dalam.
"Sekarang jelas bagimu. Kau berasal dari orang baik-baik. Karenanya
musti kembali ke jalan yang baik. Mari kita tinggalkan Bukit Toba
ini…" Wiro memegang bahu Pandansuri, bantu gadis itu berdiri lalu
mengembalikan surat yang tadi dibacanya.
Keduanya melangkah menuju kamar Nyanyuk Amber untuk membawa
orang tua itu sama-sama meninggalkan Bukit Toba, mengikuti
puluhan tokoh silat yang lebih dahulu pergi meninggalkan tempat
angkara murka tersebut.
HANYA beberapa ketika setelah para tokoh silat, Wiro Sableng,
Pandansuri dan Nyanyuk Amber meninggalkan Bukit Toba, langit di
atas bukit itu tampak menghitam ditutup gumpalan awan mendung.
Dikejauhan terlihat petir menyambar hampir tiada henti. Lalu
dentuman geledek seperti hendak melumat bumi dan air danau. Tak
lama kemudian hujan lebatpun turun. Demikian derasnya hingga
menutup batas pemandangan manusia. Di-bawah hujan lebat begitu
rupa, dari arah tenggara danau tampak melesat sebuah perahu kecil
ditumpangi satu orang. Hujan yang lebat menutupi pemandangan
hingga tak jelas siapa adanya orang diatas perahu itu. Namun begitu
hujan mulai
mereda dan pemandangan menjadi terang sedikit, kelihatanlah sosok
tubuh di atas perahu kecil tadi. Ternyata dia adalah seorang nenek
berpakaian rombeng, bertubuh kurus kering. Rambutnya yang putih
diikat di atas kepala membentuk secuil konde. Berlawanan dengan
pakaiannya yang buruk rombeng, dibahunya tersandang sebuah
selendang hitam besar berhiaskan bunga-bunga dari benang emas. Di
tangan kanannya nenek aneh ini memegang sebuah tongkat bambu
kuning kecil. Bambu inilah yang dijadikannya sebagai kayu
pendayung. Walaupun cuma sebuah bambu kecil namun hebatnya
benda ini menjadi pendayung yang ampuh luar biasa. Perahu yang
dikayuh tampak melesat membelah air danau yang bergelombang
akibat hujan yang baru saja turun deras.
Di tangan kirinya si nenek memegang sebuah tabung kaca berbentuk
bulat dan sangat ramping bagian tengahnya. Tabung kaca ini diisi
dengan pasir. Pasir di bagian atas tabung mengucur jatuh sedikit
demi sedikit ke bagian tabung sebelah bawah. Saat itu jumlah pasir
yang jatuh ke bagian bawah tabung kaca telah mencapai setengah
ketinggiannya. Sepasang mata si nenek tiada hentinya memperhatikan
tabung itu sementara tangan kanannya terus mendayung dengan
tongkat bambu kecil.
"Cepatlah perahu. Cepatlah! Kalau sampai terlambat celakalah!. Aku
harus menunggu sampat ada korban lainnya. Mungkin setahun!
Mungkin lima tahun! Mungkin sepuluh tahun! Atau mungkin tidak
untuk selama-lamanya! Cepat perahu! Cepatlah! Antarkan aku ke
pulau di depan sana! Cepat!"
Tak selang berapa lama perahu kecil itu berhasil mencapai pulau di
tengah danau. Pasir di tabung kaca sebelah bawah hampir mencapai
dua pertiga ketinggian tabung. Tanpa menunggu sampai ujung perahu
menyentuh daratan pulau si nenek langsung melompat dan laksana
terbang laru menuju puncak Bukit Toba. Jalan yang ditempuh sulit
dan licin akibat hujan namun si nenek sigap sekali gerakannya.
Jangankan terpeleset, malah enak saja dia melompat dan berlari,
makin lama makin kencang hingga akhirnya dia sampai di puncak
Bukit Toba, langsung menyelinap masuk ke dalam bangunan
bertingkat dua.
Begitu sampai di ruangan besar yang disebut Arena Topan Utara, si
nenek lelerkan lidah gelengkan kepala. Kedua matanya terbeliak.
Mayat dilihatnya bergelimpangan di mana-mana. Darah bergenang di
pelbagai penjuru. Dia melirik ke tabung kanan di tangan kirinya. Lalu
tersentak bila ingat waktunya hanya tinggal sedikit.
Seperti seekor burung pemakan mayat nenek ini melompat ke
pertengahan Arena Topan Utara. Dia memandang berkeliling. Kaki
dan tongkatnya mengungkit setiap sosok tubuh di dekatnya. Tapi
orang atau mayat yang dicarinya belum juga bertemu. Dia
memandang lagi berkeliling. Pasir di dalam tabung hampir mencapai
titik tertingginya. Si nenek menjerit saking kawatirnya. Kemudian
kedua matanya yang besar itu melihat sosok tubuh yang dicarinya.
Tergeletak tak jauh dari mimbar.
"Itu dia!" pekik si nenek gembira.
Sekali lompat saja dia sampai disamping mimbar. Sosok tubuh itu
amat mengerikan. Penuh bacokan puluhan senjata. Keadaannya
seperti dicincang. Lebih mengerikan lagi bagian kepalanya. Telinga
kanan buntung. Bagian wajah sulit dikenali karena hampir terbelah
oleh luka besar yang menguak.
"Kasihan kau… kasihan kau anak manusia! Tapi tunggulah! Sebentar
lagi kau akan kutolong! Kau belum saatnya mati! Belum saatnya!" Si
nenek mendongak ke atas, tertawa seperti kuda meringkik lalu
bantingkan tabung kaca di tangan kirinya ke lantai.
Tabung kaca itu pecah dengan mengeluarkan ledakan nyaring. Pasir
di dalamnya muncrat ke udara disertai kepulan asap berwarna
kelabu, berbau busuk luar biasa. Sambil melangkah terserok-serok
nenek aneh itu acungkan tongkatnya tinggi-tinggi ke atas. Mulutnya
komat-kamit melafatkan mantera. Tiba-tiba dia memekik keras.
Aneh!
Ujung buntalan asap kelabu menyambar ke ujung tongkat bambu.
Lalu laksana sehelai selendang panjang bergerak mengikuti kemana
bambu itu bergerak.
Si nenek turunkan bambu di tangan kanannya mendekati kepala
mayat yang terbelah. Begitu sampai di bagian kepala, ujung tongkat
disapukannya sepanjang belahan yang mengerikan itu. Aneh! Luar
biasa. Perlahan-lahan, setelah disapukan beberapa kali kepala yang
terbelah oleh hantaman Kapak Naga Geni 212 itu bertaut kembali
meskipun tetap meninggalkan bekas yang mengerikan yaitu mulai
dari kening, memanjang ke bawah melewati mata kiri dan pipi kiri. Si
nenek tertawa tinggi.
Ujung tongkat berputar-putar sesaat lalu mengusap-usap keseluruh
bagian tubuh yang seperti dicincang itu. Kembali keanehan terjadi.
Tubuh yang penuh luka itu juga bertaut kembali. Darah berhenti
mengucur. Namun bekas-bekas luka yang ditinggalkan sangat
mengerikan. Si nenek sekali lagi terdengar tertawa. Tongkatnya
diangkat tinggi-tinggi ke udara. Mulutnya lagi-lagi komat-kamit.
Tiba-tiba ujung tongkat menukik dan menusuk bagian tenggorokan
mayat. Inilah puncak dari segala keanehan dan keluar biasaan.
Tenggorokan yang tadi kaku tegang itu kini tampak bergerak,
mulamula perlahan sekali, namun makin lama makin kencang. Nenek
aneh itu menjerit keras dan panjang. Perlahan-lahan tubuhnya
merunduk hingga dia tampak berlutut di atas kedua tempurung
lututnya yang kurus kering.
"Anak manusia! Kau memang belum saatnya mati! Belum saatnya!"
terdengar si nenek berseru. Dari kedua matanya yang besar tampak
meleleh air mata. Kedua tangannya diacungkan ke atas dan dari
mulutnya terdengar ucapan: "Sepuluh tahun menempa ilmu
kehidupan! Hari ini akhirnya aku berhasil! Guru! Hari ini murid
berhasil meneruskan pekerjanmu! Hanya sayang kau keburu menutup
mata hingga tidak sempat menyangsikan awal dari semua kehebatan
ini! Hik… hik… hik…" Lalu si nenek menangis seperti anak kecil.
Mendadak si nenek hentikan tangisnya. Di kedua telinganya seperti
ada suara yang mengisang.
"Muridku… Meski aku sudah mati tapi rohku masih tetap mengikuti
semua tindak tandukmu! Guli Rampai! Dari alamku aku turut
bergembira melihat keberhasilanmu. Teruskan pekerjaanmu muridku…"
Suara mengiang lenyap.
"Guru!" Si nenek berteriak memanggil. Lalu dia jatuhkan diri
menelungkup di lantai. Sesaat kemudian perlahan-lahan dia bangkit
kembali, beringsut mendekati tubuh yang tadi kaku mati dan kini
tampak mulai bergerak tanda adanya tanda-tanda kehidupan yang
sulit diterima akal manusia. Si nenek angkat tubuh itu lalu
memanggulnya diatas bahu kiri. Dia memandang sekali lagi
berkeliling, lalu lari keluar bangunan, menuruni Bukit Toba menuju ke
danau di mana perahu kecilnya berada.
TUBUH cacat penuh bekas
luka mengerikan itu terbujur tanpa penutup di atas tumpukan batu
berwarna merah. Di bagian bawah tumpukan batu itu terdapat celah
memanjang dan di situ ada nyala api yang terus menerus berkobar.
Si nenek bermata besar duduk di atas sebuah dingklik, menunggu
dengan sabar. Tongkat bambu kuning kecil di tangan kanannya
diketukketukkan ke lantai batu, sesuai dengan gerak mendenyut pada
dada orang yang terbujur di atas batu merah.
Perlahan-lahan tetapi pasti tak selang berapa lama kemudian dua
mata yang tadi tertutup dari orang di atas batu tampak membuka. Si
nenek makin memperkencang ketukan tongkatnya ke atas lantai.
"Buka yang besar. Buka yang besar matamu anak manusia! Dan
pandang wajahku… Pandang wajahku… "
Mata yang terbuka semakin besar. Lalu sesuai dengan kata-kata
perempuan tua itu, kedua mata tadi bergerak berputar memandang ke
arah si nenek.
"Bagus anak manusia! Bagus! Ternyata awal kehidupanmu membawa
pertanda yang baik. Kau mau mendengar perintahku. Kau sudah
melihat aku. Katakan apa yang kau lihat! Katakan apa kau kenal aku!
Buka mulutmu! Buka! Kau bisa bicara! Kau tidak bisu! Kau pasti bisa
menjawab!"
"Si… siapa kau orang tua. Aku tidak kenal padamu…" Tiba-tiba
meluncur ucapan itu dari orang lelaki berwajah mengerikan di atas
batu.
Si nenek tertawa mengikik.
"Aih…! Suaramu jelek tapi tidak apa! Yang penting kau bisa bicara!
Hik… hikkk… hik… "
"Siapa kau… siapa kau…?"
"Hik… hik… hik. Tentu saja kau tidak kenal aku. Aku adalah nenek tua
bernama Guli Rampai bergelar Iblis Sesat Jalan Hidup. Aku orang
yang telah menghidupkanmu dari kematian!"
"Menghidupkan aku dari kematian? Apakah aku pernah mati…?"
Orang di atas batu bertanya.
"Hik… hik! Kau memang pernah mati. Malah kalau aku sampai
terlambat menemui mayatmu, tak mungkin aku bisa menolong
menghidupkanmu kembali. Setelah mati dan dihidupkan kembali
apakah kau masih bisa mengingat siapa dirimu…?"
Sepasang mata itu yang sebelah kiri ada guratan angker bekas
bacokan menatap langit-langit ruangan. Lalu dari mulut orang ini
meluncur ucapan: "Namaku Kumbara. Gelarku Raja Rencong Dari
Utara. Aku Ketua Partai Topan Utara…"
"Hebat! Kau hebat! Sungguh luar biasa. Ternyata kau masih ingat
siapa dirimu. Otakmu masih berjalan baik! Tidak percuma aku
memilihmu dan membawamu ke puncak Gunung Sorik Marapi ini…
Kau telah hidup kembali! Tetapi untuk mencapai kesempurnaan kau
harus menunggu satu tahun. Sebelum kau kusemayamkan selama
satu tahun, apakah ada pertanyaan…?"
Sosok tubuh di atas batu merah yang ternyata adalah Raja Rencong
Dari Utara alias Hang Kumbara kembali menatap langit-langit
ruangan di atasnya.
"Aku memang ada satu pertanyaan. Mengapa… mengapa kau
menghidupkan aku yang katamu sudah mati ini…?"
"Pertanyaan bagus anak manusia… Kujawab dengan balas bertanya.
Apakah kau tidak akan membalaskan sakit hati kematianmu pada
orang-orang yang telah mencelakaimu? Terhadap manusiamanusia
bernama Panglima Sampono misalnya. Lalu bekas gurumu yang
merat si Nyanyuk Amber itu. Lalu anak angkat yang kau asuh selama
bertahun-tahun tapi kemudian juga kabur meninggalkanmu si
Pandansuri itu. Dan yang penting adalah menuntut balas terhadap
seorang anak manusia yang kini menjadi musuh besarmu. Pendekar
212 Wiro Sableng… Darah dibalas darah. Nyawa dibayar nyawa. Dosa
dibayar dengan dosa…"
"Mereka jumlahnya banyak. Mereka memiliki ilmu kesaktian yang
hebat. Apakah… apakah aku mampu membayar dosa dengan dosa…?"
"Kau akan mampu. Aku Iblis Sesat Jalan Hidup akan memberi
kekuatan baru padamu. Bila tiba saatnya kelak —-setelah satu tahun
berlalu—- kau akan bangkit kembali. Cari orang-orang itu. Bunuh
mereka semua. Setelah musuh-musuhmu kau hancur Iudaskan, kau
harus melanjutkan dengan membunuh tokoh-tokoh silat lainnya.
Bukankah kau ingin menjadi raja diraja dunia persilatan?"
"Itu memang cita-citaku…"
"Bagus! Kau ternyata tidak melupakan niat besarmu. Sekarang sudah
saatnya bagimu tidur. Kau akan kusemayamkan di atas batu panas
ini selama satu tahun. Tutup kedua matamu kembali…"
5 SATU tahun telah berlalu. Puncak Gunung Sorik Merapi seperti tidak
tersentuh oleh waktu. Tak tampak perubahan. Di dalam bangunan
berbentuk aneh, di atas tumpukan batu merah terbaring sosok tubuh
Hang Kumbara hampir merupakan jerangkong. Lebih mengerikan lagi
karena tubuh telanjang itu penuh dengan cacat bekas-bekas luka.
Wajah seperti setan, cekung dengan guratan luka besar melintang di
kening, melewati mata kiri terus ke pipi.
Di ambang pintu bangunan tegak sosok tubuh Guli Rampai alias Iblis
Sesat Jalan Hidup. Kepalanya mendongak ke langit, kedua tangannya
diangkat tinggi-tinggi ke atas. Sepasang matanya terpejam, mulutnya
komat kamit. Sesaat kemudian terdengar pekik aneh dari mulutnya.
Lalu menyusul ucapan-ucapan.
"Guru… Tiga ratus enam puluh hari sudah berlalu. Hari ini hari
penyelesaian segala pekerjaan. Hari ini berakhirnya segala cara dan
rasa. Apakah kau mendengarkan kata-kataku ini guru…?"
Wajah angker nenek berambut putih itu nampak tersenyum. Senyum
yang lebih merupakan seringai menggidikkan. Di kedua telinganya
terdengar suara mengiang.
"Guli Rampai muridku, aku tak pernah jauh darimu. Aku gembira kau
telah menyelesaikan pekerjaanmu dengan baik. Rampungkanlah
segera. Tapi tahukah kau kalau hari penyelesaian adalah juga hari
pembebasan dari segala rasa dan jiwa…?"
"Murid mengerti guru. Murid mengerti. Dan murid tidak kecewa…"
berkata Guli Rampai lalu dia mulai sesenggukan.
Suara mengiang membentak seperti marah. "Jangan cengeng Guli!
Aku tak suka melihat orang menangis. Rampungkan pekerjaanmu.
Kalau selesai aku siap menunggumu…"
"Baik guru, murid akan merampungkan pekerjaan. Harap maaf kalau
murid berlaku lemah. Murid akan segera menemuimu…"
Si nenek turunkan kedua tangannya dan buka sepasang matanya. Dia
membalikkan tubuh dan masuk ke dalam bangunan, mendekati
tumpukan batu merah dengan api menyala di bagian bawahnya di
mana terbujur tubuh Hang Kumbara alias Raja Rencong.
Dari sudut ruangan Guli Rampai mengambil sebuah kendi berisi
cairan berwarna biru. Dia mengelilingi tumpukan batu merah sambil
tiada hentinya merapalkan jampi-jampi. Kemudian dia berhenti
disamping tubuh Hang Kumbara. Cairan dalam kendi dituangkannya
ke ujung kaki Hang Kumbara, terus ke atas sampai ke perut, terus ke
dada, melewati leher dan berakhir di kepala. Di situ cairan biru dalam
kendi tertuang habis. Saat itu pula Guli Rampai bantingkan kendi
tanah itu ke lantai. Terdengar letupan kecil lalu kepulan asap biru
yang membuntal membungkus tubuh Hang Kumbara. Ketika kepulan
asap lenyap terjadi keajaiban. Tubuh yang terbujur selama satu
tahun itu tiba-tiba melompat tegak. Kumis lebat yang tadinya layu
seperti benang basah kini berjingkrak garang. Hang Kumbara putar
sepasang matanya yang merah. Pandangannya membentur si nenek.
Langsung saja lakilaki ini jatuhkan diri berlutut.
Guli Rampai tertawa panjang.
"Hang Kumbara! Hari ini awal kehidupan bagimu tapi awal kematian
bagiku! Aku sudah menyelesaikan pekerjaanku. Kini kau yang hidup
yang akan meneruskan segala-galanya. Kau ingat darah dibayar
darah, nyawa dibayar nyawa dan dosa dibayar dengan dosa.."
"Saya ingat nenek Guli… "sahut Hang Kumbara.
"Bagus! Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Dunia persilatan ada di
tanganmu. Aku tidak mengajarkan ilmu silat padamu. Juga tidak
ilmu kesaktian. Karena sesungguhnya kau telah memiliki kedua hal
itu. Tapi kini dalam dirimu ada satu kekuatan dahsyat. Kau tak akan
pernah mati lagi. Kecuali satu hal yang tabu menimpa dirimu…"
Hang Kumbara terkejut dan juga heran.
"Aku, aku tak akan pernah mati lagi nenek Guli? Ah, mana mungkin.
Mana ada manusia yang tidak pernah mati…."
"Kau harus percaya padaku budak tolol! Tak ada satu kekuatan pun
yang dapat mengakibatkan kematian bagimu. Kecuali satu…"
Meskipun belum bisa percaya namun Hang Kumbara bertanya juga.
"Apakah yang satu itu nenek Guli?"
"Satu hal yang tabu. Satu pantangan. Yakni kau tidak boleh
bersinggungan dengan benda apa saja yang berwarna biru. Apakah
itu batu, kayu atau kain atau air, pokoknya yang berwarna biru!
Sekali tubuhmu tersentuh maka kekebalanmu akan punah! Sebatang
rumputpun sanggup menjadi penyebab kematianmu. Kau dihidupkan
dan diberi kekuatan dengan air biru dalam kendi tadi. Warna biru itu
pula yang akan menjadi penyebab kematianmu kelak. Kecuali jika kau
memperhatikan apa yang jadi pantangan. Nah sekarang berdirilah!"
Hang Kumbara berdiri.
Si nenek berkata sambil menatap tajam wajah angker lelaki itu.
"Mulai hari ini nama Hang Kumbara harus kau kubur! Gelar Raja
Rencong Dari Utara harus kau singkirkan. Mulai detik ini namamu
adalah Iblis Sesat Jalan Hidup…"
"Bukankah itu gelarmu nenek Guli?"
"Betul. Tapi aku tidak memerlukannya lagi. Kau yang akan
meneruskan nama itu. Nah sekarang katakan selamat jalan padaku!"
"Saya tidak mengerti maksudmu nenek Guli…" ujar Hang Kumbara
heran.
"Anak manusia tolol! Aku bilang katakan selamat jalan padaku!"
bentak si nenek marah.
"Selamat… selamat jalan nenek Guli…"
Sang nenek tertawa panjang. Tiba-tiba dia pukulkan tangannya ke
kepala.
Praakk!
Batok kepala berambut putih itu remuk. Tubuh kurus terkapar di
lantai tanpa nyawa lagi. Hang Kum bara sesaat merasa bergeming.
Kemudian dia membungkuk mengambil selendang hitam
berbungabunga kuning emas milik si nenek dan mengenakannya di
bahu kanan.
Dia melangkah ke pintu bangunan. Di hadapannya, dari puncak
Gunung Sorik Marapi di mana dia berada, tampak menghampar dunia
luas. Lelaki ini menyeringai lalu terdengar teriakannya.
"Dunia persilatan. Tunggulah! Hari ini Iblis Sesat Jalan Hidup akan
muncul! Darah dibayar dengan darah. Nyawa dibayar dengan nyawa.
Dosa dibalas dengan dosa!"
6 PUNCAK Gunung Sinabung. Di ruangan depan rumah kayu berlantai
tinggi dan luas terbuka itu duduk sembilan pemuda. Semuanya asyik
mengaji. Alunan suara mereka mengaji terdengar enak dalam
keheningan malam menjelang pagi. Udara dingin di puncak gunung
seolah-olah tidak terasa. Mereka terus mengaji untuk menghabiskan
waktu sebelum melaksanakan sembahyang Subuh.
Bersandar ke daun pintu yang tertutup, duduklah Panglima Sampono,
berpakaian putih lengan panjang dan sehelai sarung halus buatan
Bugis. Kedua matanya dipicingkan. Tangan kiri terletak di atas
pangkuan sedang tangan kanan memegang tasbih. Meskipun dia
berzikir k busuk namun telinganya yang tajam dapat mendengar dan
mengetahui bacaan-bacaan muridnya yang salah. Dia langsung
menegur dan meminta sang murid mengulangi bacaannya dengan
betul. Lapat-lapat dalam dinginnya udara dan kegelapan masih
mencekam terdengar suara burung berkuik.
Binatang ini agaknya sengaja terbang berputar-putar di atas
bangunan kayu. Suara kuikan binatang ini membuat sebagian dari
pemuda yang duduk mengaji menghentikan bacaanhya, saling
pandang sejenak, melirik pada Panglima Sampono yang tetap duduk
tak bergerak di tempatnya. Sebagiannya lagi memandang ke luar ke
arah ke kegelapan.
"Suara burung gagak…" berbisik seorang pemuda pada taman di
sebelahnya.
"Seperti ada pertanda yang tidak baik," menjawab sang teman.
Sampai di situ suara burung di atas atap semakin kencang. Binatang
ini berputar-putar terus beberapa kali, lalu terbang ke jurusan barat,
menghilang dalam kegelapan.
"Siapa diantara kalian yang percaya takhyul…" Tiba-tiba terdengar
suara Panglima Sampono.
Tentu saja tak ada dari sembilan pemuda itu berani menjawab
meskipun jelas di antara mereka merasa tidak enak mendengar suara
gagak tadi.
"Pertanda dari Allah jangan sekali-sekali diabaikan, tetapi sesuatu
yang bersifat takhayul harus dijauhkan…" Berkata lagi Panglima
Sampono. "Aku tahu ada di antara kalian yang merasa takut
mendengar suara kuik burung malam tadi…" Sang Panglima sampai
saat itu masih terus bicara dengan kedua mata terpejam dan tangan
kanan memegang tasbih. "Tenangkan hati kalian, teruskan mengaji…"
Belum selesai Panglima Sampono berkata mendadak satu suara
lantang membelah kegelapan malam.
"Bagaimana murid-muridmu bisa tenang. Kalau mereka menyadari
maut datang menggerayang?!"
Panglima Sampono tersentak. Kedua matanya segera dibuka.
Sembilan muridnya telah lebih dulu berpaling ke arah datangnya
suara keras tadi. Sesosok tubuh tampak tegak di bawah pohon besar
di halaman kiri rumah kayu. Kegelapan malam membuat wajahnya
tak dapat dilihat, apalagi mengenali siapa adanya orang itu.
"Panglima, kita kedatangan tamu…" berbisik seorang murid yang
duduk paling dekat dengan sang guru.
Panglima Sampono mengangguk. Kedua matanya berusaha
menembus kegelapan malam. Namun tak dapat menerka siapa
adanya orang yang tegak di halaman itu.
"Subuh-subuh begini, tamu dari mana yang datang ke tempat kami?"
Menegur Panglima Sampono.
Sebagai jawaban orang dalam gelap melangkah mendekat. Tujuh
langkah dari tangga rumah dia berhenti. Sinar lampu minyak di
ruangan depan jatuh menimpa dan menerangi tubuhnya sebatas
pinggang ke bawah. Dada dan kepalanya masih tidak kelihatan.
Panglima Sampono dan sembilan muridnya melihat keanehan yang
mengerikan. Orang yang datang itu hanya mengenakan sehelai cawat
hingga perut, paha dan kedua kakinya terlihat jelas. Dan bagian
tubuh itu penuh cacat bekas luka hingga samar-samar orang itu
kelihatan seperti diselimuti sisik-sisik lebar. Anehnya ada sehelai
selendang hitam berbunga kuning emas tergantung menutupi
sebagian badannya. Lengan kirinya buntung.
" Orang yang datang, jika kau membawa maksud baik kenapa ragu-
ragu. Silahkan naik ke atas rumah" berkata Panglima Sampono.
Diuncang begitu rupa, sosok tubuh di depan rumah tiba-tiba melesat.
Di lain detik dia sudah tegak di ruangan yang terbuka leber itu.
Sembilan murid sang Panglima terkesiap kaget dan bersurat mundur
dalam duduk masing-masing. Panglima Sampono sendiri sempat
kerenyitkan wajah dan si-pitkan mata.
Manusia atau setankah mahluk yang tegak di hadapan mereka saat
itu?! Sosok tubuh penuh cacat bekas luka itu ternyata memang
menyandang sehelai selendang. Badannya sudah sangat mengerikan
untuk dipandang, tetapi wajahnya seribu kali lebih mengerikan. Muka
yang cekung itu juga penuh dengan bekas-bekas luka. Satu
diantaranya seperti bekas bacokan, memanjang dari kening, melewati
mata kiri terus ke pipi dan samping dagu kiri. Akibat cacat ini, mata
kiri itu tampak seperti menyembul, merah menakutkan. Dia tidak
mengenakan pakaian lain, kecuali sebuah topi tinggi berwarna hitam,
bergaris kuning.
Panglima Sampono segera membaui adanya bahaya. Sekilas dia
teringat pada burung gagak yang tadi datang dan berputar-putar di
atas atap rumah sambil tiada hentinya berkuik. Haruskah kini dia
mempercayai bahwa pertanda yang diberikan oleh burung itu tadi kini
menjadi kenyataan? Meskipun hatinya agak terguncang melihat sosok
tubuh yang sangat mengerikan itu, namun dengan sikap tenang sang
Panglima tegak dari duduknya.
"Mahluk aneh entah manusia entah apa, katakan siapa kau adanya.
Mengapa subuh-subuh muncul di tempat kami?" bertanya Panglima
Sampono.
Orang yang ditanya tersenyum. Tapi senyum itu justru membuat
tampangnya jadi seburuk iblis.
"Aku manusia yang pernah mati, tapi kini hidup kembali…!" Si mahluk
menjawab dengan suara keras seperti penuh kebanggaan.
"Berarti kau setan! Setan gentayangan?!" ujar Panglima Sampono.
"Ha… ha… ha! Kau boleh bilang begitu. Aku mungkin setan, mungkin
juga hantu atau iblis! Tetapi apa pun nama yang kau berikan padaku
aku tetap adalah Iblis Sesat Jalan Hidup!"
"Iblis Sesat Jalan Hidup…?" desis Panglima Sampono.
"Jangan meracau! Aku memang belum pernah bertemu dengan
manusia bergelar seperti itu. Tapi aku tahu pasti dia adalah seorang
nenek tua. Bukan lelaki bermuka iblis sepertimu!"
"Nenek yang kau maksudkan itu sudah mati setahun lalu. Aku adalah
pewaris kehidupannya. Karena itu layak memakai gelar Iblis Sesat
Jalan Hidup. Lihat… lihat baik-baik! Selendang yang kusandang ini
adalah miliknya. Pemberiannya. Juga kehidupanku dia pula yang
memberikan-Hanya sayang dia sudah mati! Hingga tidak dapat
menyaksikan bagaimana sebentar lagi aku akan membalas nyawa
dengan nyawa, membalas darah dengan darah, membalas dosa di
atas dosa
"Apa maksudmu? Siapa kau sesungguhnya?!" sentak Panglima
Sampono sementara sembilan muridnya berdiri tegak dalam dua
kelompok. Lima di sebelah kanan, ampat di samping kiri. Mahluk
bertubuh dan berwajah angker itu tertawa panjang.
"Matamu melihat tetapi buta. Otakmu jalan tetapi lupa. Apa kau
tidak mengenali lagi siapa aku. Apa kau lupa pada peristiwa setahun
silam di Bukit Toba?!'
Berubahlah paras Panglima Sampono. Jika orang yang datang ini
menyebut-nyebut Bukit Toba dan masa setahun yang lalu, jelas yang
dimaksudkannya adalah peristiwa besar menggemparkan ketika
orangorang rimba persilatan muncul di sana untuk membasmi Raja
Rencong Dari Utara berikut partainya yang hendak didirikan yaitu
Partai Topan Utara.
"Katakan apa sangkut pautmu dengan peristiwa setahun lalu itu?"
Orang di tengah mangan kembali tertawa. "Kau masih saja buta dan
lupa. Buka matamu besar-besar, pasang telingamu lebar-lebar. Lihat
dan dengar! Aku adalah Hang Kumbara alias Raja Rencong Dari
Utara!"
"Hah?!" Panglima Sampono tentu saja tidak percaya.
Salah seorang muridnya berkata: "Mana mungkin! Raja Rencong
sudah mati di tangan para tokoh silat!"
"Budak lancang! Kau tahu apa tentang Raja Rencong!" menyentak
orang di tengah ruangan yang bukan lain memang adalah Raja
Rencong Dari Utara yang kini menyandang nama Iblis Sesat Jalan
H,idup. "Raja Rencong sudah lama mati! Tapi kini Hidup lagi dengan
nama Iblis Sesat Jalan Hidup! Hidup untuk membalaskan sakit hati
dendam kesumat setahun silam. Kau!" Iblis Sesat Jalan Hidup
menunjuk dengan tangan ke kanannya tepat-tepat ke arah Panglima
Sampono. "Kau korban pembalasanku yang pertama! Kau harus
mampus di tanganku saat ini juga! Dan sembilan pemuda muridmu
ini! Karena mereka juga ada di sini dan ada sangkut paut dengan
dirimu, mereka juga harus mati!"
Iblis Sesat Jalan Hidup tiba-tiba jentikkan lima jari tangan kanannya.
Lima larik sinar merah yang memancarkan panas luar biasa berkiblat
mengerikan.
"Ilmu kuku api!" seru Panglima Sampono. Sulit baginya untuk
percaya bahwa manusia iblis yang tegak dan menyerang itu adalah
benar-benar Raja Rencong yang telah mati setahun lalu. Tetapi ilmu
pukulan sakti tadi memang hanya Raja Renconglah yang
memilikinya!
"Anak-anak, lekas menyingkir!" teriak Panglima Sampono lalu
jatuhkan diri ke lantai dan dari sini menghantam dengan tangan
kanannya, lepaskan serangan balasan yang disertai tenaga dalam
penuh!
Tapi yang diserang sudah berpindah tempat. Pukulan tangan kosong
yang dilepaskan Panglima Sampono menghantam atap bangunan
kayu hingga sebagian atap itu hancur berantakan. Belum sempat
sang Panglima bergerak bangkit lima larik sinar merah panas
kembali menderu dari samping. Panglima Sampono gulingkan diri
selamatkan diri. Tapi di belakangnya tiga orang muridnya terdengar
menjerit dan roboh dengan tubuh hangus tanpa nyawa.
Pemudapemuda lainnya cepat berlompatan ke halaman depan rumah
kayu, namun ketika sinar hitam kembali menyambar tak ampun lagi
empat orang roboh tergelimpang, putus nyawa! Hanya dua orang
sempat melarikan diri dan lenyap dalam kegelapan malam.
"Durjana biadab!" terdengar teriakan Panglima Sampono.
Tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu kaki kanannya sudah meluncur
deras ke muka Iblis Sesat Jalan Hidup alias Raja Rencong. Yang
diserang mendengus, mundur selangkah sambil miringkan kepala.
Begitu tendangan lawan lewat dia susupkan satu jotosan ke lambung
sang Panglima. Sadar bahaya mengancam Panglima Sampono
selamatkan diri dengan berjungkir balik di udara sambil tahu-tahu
tangan kanannya mengemplang ke arah batok kepala Iblis Sesat
Jalan Hidup.
Buk!
Gebukan tangan kanan itu menghantam deras di kepala Iblis Sesat
Jalan Hidup, membuat tubuhnya terkapar ke lantai tapi cepat bangkit
kembali sambil tertawa mengekeh. Berdebarlah dada Panglima
Sampono. Kepala kerbau saja kalau terkena pukulannya tadi akan
hancur, tetapi bukan saja tidak terjadi apa-apa terhadap Kepala
lawan, malah manusia iblis itu tertawa mengekeh seperti mengejek.
"Mampuslah!" teriak Panglima.Sampono. Kembali serangannya
berkelebat. Kini berupa tendangan ke arah bawah perut lawan. Yang
diserang masih mengekeh. malah busungkan dada dan kangkangkan
kaki, menunggu datangnya tendangan.
Buk!
Tendangan kaki kanan Panglima Sampono benar-benar menghantam
selangkangan Iblis Sesat Jalan Hidup. Tak dapat tidak anggota
rahasianya pasti hancur. Tubuhnya sendiri mencelat sampai lima
langkah. Tapi seperti tadi dia cepat bangkit berdiri dan lagi-lagi
sambil tertawa mengekeh.
"Yang kuhadapi ini bukan manusia. Benar-benar iblis agaknya!"
membatin Panglima Sampono. Rasa kawatir kini menyamaki dirinya.
Tapi untuk melarikan diri sangat berpantang baginya. Selagi dia
masih terkesiap melihat kehebatan lawan yang mengerikan itu, tiba-
tiba Iblis Sesat Jalan Hidup berteriak seperti srigala melolong.
Serentak dengan itu dia jentikkan lima jari tangan kanan. Sekali ini
Panglima Sampono terlambat bergerak untuk selamatkan diri. Dua
larik sinar hitam mengandung racun jahat sempat menyambar bahu
dan pelipisnya. Jago tua yang pernah menyandang nama harum di
Pulau Andalas ini terpuntir beberapa kali sebelum jatuh di lantai.
Sesaat dia megapmegap, meregang nyawa. Iblis Sesat Jalan Hidup
melangkah mendekati dan praak! Kaki kanannya menendang kepala
Panglima Sampono!
PASIR PUTIH sebuah kampung makmur terletak di pinggiran danau
berair hijau kebiruan. Penduduknya rata-rata berpenghasilan dari
bercocok tanam di tanahnya yang subur atau mencari ikan di danau
yang sepanjang tahun seperti tak pernah habis-habis ikannya.
Pemandangan di sekeliling danau indah sekali, apalagi tepian danau
ini ditebari dengan pasir putih hingga kampung yang ada di situ
akhirnya diberi nama Pasir Putih.
Rindang-Maruhun, Kepala Kampung Pasir Putih, pagi hari tampak
duduk di atas sebuah kursi goyang terbuat dari rotan di serambi
depan rumah besarnya. Sebatang rokok daun jagung yang
menebarkan asap harum tak lepas-lepas dari sela bibirnya. Memang
orang tua berusia lebih setengah abad ini pecandu rokok jagung
nomor satu. Seharian dia bisa menghabiskan sampai tiga puluh
batang. Meskipun tua. Rindang Maruhun memiliki badan kekar dan
rambutnya belum ada yang putih, kumisnya hitam melebat di bawah
hidung. Sambil bergoyang-goyang dengan mata setengah terpejam
dia menyahuti salam orang yang melintas di depan rumahnya. Dia
memang Kepala Kampung yang disenangi dan dihormati penduduk di
situ.
Pagi tadi dia telah berkeliling kampung. Memang begitu
kebiasaannya. Memperhatikan orang-orang yang bekerja di ladang
mereka, bercakap-cakap dengan mereka lalu pergi ke ladangnya
sendiri. Setelah bekerja cukup lama di ladang itu dia pergi ke danau
melihatlihat penduduk yang mencari ikan. Tak jarang penduduk
memberinya ikan hasil tangkapan dalam jumlah cukup banyak. Tapi
Rindang hanya mengambil beberapa ekor. Itupun kalau dia memang
kepingin makan ikan. Kalau tidak maka pemberian itu selalu
ditolaknya dengan halus. Selagi duduk bergoyang-goyang seperti itu
sambil tiada hentinya menyedot dan menghembuskan asap rokok
jagungnya yang harum, tiba-tiba ada tiga orang penduduk lari
memasuki halaman, langsung menemuinya di serambi.
Rindang Maruhun buka kedua matanya yang setengah terpejam.
Tanpa mencabut rokok dari mulutnya dia bertanya: "Kalian muncul
seperti dikejar setan. Apa yang hendak kalian sampaikan padaku?
Minta rokok atau ingin kopi hangat?"
"Kepala Kampung, kami tidak minta rokok atau inginkan kopi panas.
Ada sesuatu yang hendak kami laporkan pada Bapak Kepala…"
menjawab penduduk yang bertopi hitam. Kawan di sebelahnya
langsung saja menyambung.
"Kami menemui dua orang pemuda tak dikenal. Tergeletak pingsan di
tepi kampung sebelah selatan. Keduanya agak mencurigakan…"
"Hemm…Rindang Maruhun hentikan goyangan kursinya dengan
menekankan tumit kaki kanannya ke lantai. "Waspada adalah
penting. Tapi buru-buru curiga itu tidak baik. Kalian melihat dan
menemui orang pingsan. Mengapa tidak menolong dan membawa
keduanya kemari…?"
"Jadi, kami boleh menolong dan membawanya kemari Bapak
Kepala?"
"Tentu saja. Cari seorang teman lagi agar kalian berempat bisa lebih
mudah menggotongnya kemari…" kata Rindang Maruhun pula.
Tiga orang penduduk kampung Pasir Putih itu segera meninggalkan
rumah Kepala Kampung. Sebelum pergi ke tempat dimana mereka
menemui dua pemuda tergeletak pingsan, lebih dulu ketiganya
mencari seorang kawan lagi untuk membantu. Ternyata yang ingin
ikut lebih dari enam orang.
Tak selang beerapa lama mereka kembali ke rumah Kepala Kampung
dengan menggotong dua orang pemuda. Keduanya ternyata memang
dalam keadaan pingsan dan dibaringkan di lantai serambi. Rindang
Maruhun segera memeriksa keadaan kedua pemuda tak dikenal itu.
Tak ada tanda-tanda bekas penganiayaan. Baju dua pemuda itu
basah. Mungkin basah oleh embun, mungkin juga telah berpadu
dengan keringat. Sepasang kaki mereka tampak pecah-pecah, penuh
debu dan bekas-bekas tanah becek. Di beberapa bagian pakaian
keduanya kelihatan robek seperti terkait.
Rindang Maruhun mengangguk-angguk. "Tak ada satupun di antara
kalian yang mengenali mereka?"
Penduduk Kampung yang berkerubung di tempat itu sama
menidakkan.
"Berarti dia memang bukan penduduk sekitar sini. Dua pemuda ini
datang dari jauh. Wajah mereka pucat. Mungkin karena tergeletak
lama dalam udara dingin malam tadi. Mungkin juga disebabkan oleh
sesuatu yang menakutkan. Mungkin mereka dikejar Begu
Ganjang…?" (Begu Ganjang = Hantu Panjang, yang dipercayai oleh
orang-orang Tapanuli sebagai penimbul malapetaka yang
mengerikan).
Mendengar disebutnya Begu Ganjang penduduk yang ada di situ
tampak gelisah. Beberapa di antaranya segera meninggalkan rumah
Kepala Kampung karena takut kalau-kalau Begu Ganjang itu
benarbenar muncul!
"Apa yang harus kita lakukan Bapak Kepala?" tanya seorang
penduduk yaitu yang tadi ikut menggotong dua pemuda itu.
"Melihat denyutan urat nadi di leher keduanya, tak lama lagi mereka
akan segera siuman. Kalau mereka sudah sadar, kita bisa menanyai,"
jawab Rindang Maruhun.
Betul saja, tak selang berapa lama kedua pemuda itu siuman dari
pingsan masing-masing. Begitu sadar tentu saja mereka terheran-
heran mendapatkan diri berada di tempat itu, dikelilingi banyak
orang.
"Anak muda. Kami penduduk Kampung Pasir Putih menemui kalian di
pinggiran kampung sebelah selatan. Dalam keadaan pingsan. Siapa
kalian dan apa yang terjadi dengan kalian…?" bertanya Rindang
Maruhun.
"Ah, kalian rupanya telah menolong kami. Terima kasih. Terima
kasih… dua pemuda itu membungkuk berulang kali.
"Eh, orang-orang di sini tidak butuh ucapan terima kasih itu. Kami
ingin tahu kalian berdua ini siapa dan mengapa kami temui dalam
keadaan pingsan?!" menegur sang Kepala Kampung.
Salah seorang pemuda itu lalu menjawab.
"Kami murid pengajian Panglima Sampono di Gunung Sinabung.
Menjelang subuh ketika kami asyik mengaji menunggu saat
sembahyang tiba-tiba mendadak muncul seorang manusia dalam
sosok tubuh dan wajah yang mengerikan. Dia mengaku bernama Iblis
Sesat Jalan Hidup. Dia datang untuk membunuh Panglima Sampono
dan kami murid-murid yang berjumlah sembilan orang. Tujuh murid
sepengajian kami saksikan menemui kematian. Panglima sendiri kami
yakin pasti telah pula dibunuh oleh mahluk itu…"
Mendengar keterangan itu maka gemparlah semua orang yang ada di
rumah Kepala Kampung Pasir Putih, termasuk Rindang Maruhun
sendiri. Bedanya orang tua ini bisa bersikap lebih tenang. Dia
berusaha mendapatkan keterangan lebih jelas, lalu merenung sambil
pejamkan mata. Sesaat kemudian Kepala Kampung ini buka kedua
matanya dan berkata:
"Aku pernah mendengar nama Iblis Sesat Jalan Hidup itu. Namun
apakah mahluk itu benar-benar ada sulit dipercaya. Dia gentayangan
melakukan segala kejahatan seperti dalam dongeng-dongeng yang
menakutkan. Sulit dipercaya…"
Baru saja Rindang Maruhun mengucapkan kata-kata itu tiba-tiba
terdengar suara tertawa mengekeh disusul oleh bentakan: "Dua anak
murid Panglima Sampono! Kalian berhasil melarikan diri! Tapi nyawa
kalian batasnya cuma sampai di sini!"
Sesosok tubuh menebar bau busuk berkelebat di udara. Dua pemuda
murid pengajian Panglima Sampono yang duduk di lantai serambi
rumah Kepala Kampung Pasir Putih itu mencelat ke dinding rumah,
terhempas di lantai. Mengerang sesaat lalu tak berkutik lagi. Darah
mengucur dari mulut mereka.
Di tengah serambi tegak sesosok tubuh berbau busuk, mengerikan
dan wajah seseram iblis. Tangan kiri buntung, tangan kanan berkacak
pinggang. Orang banyak berlarian lintang-pukang sedang Rindang
Maruhun tertegun sambil melangkah mundur dan akhirnya terduduk
di kursi goyangnya. Setan atau hantukah yang tegak di hadapannya
saat itu? Mahluk seram itu tiba-tiba menunjuk tepattepat ke arah
sang Kepala Kampung.
"Kau yang tadi berkata Iblis Sesat Jalan Hidup sulit dipercaya
keberadaannya, apakah kau yang bernama Rindang Maruhun, Kepala
Kampung Pasir Putih?!"
"Aku… aku…!"
Braak!
Mahluk seram bertopi tinggi hitam dan menyandang selendang
berbunga emas itu menendang kursi goyang yang diduduki Rindang
Maruhun hingga hancur berarit akan. Kepala Kampung itu sendiri
terguling beberapa kali, tapi selamat dan cepat berdiri.
"Kau yang bernama Rindang Maruhun?! Lekas jawab! Umurmu tak
lama lagi…!"
"Kau… kau hendak membunuhku?! Apa salahku …"
Sekali lompat mahluk itu sudah menjambak rambut sang Kepala
Kampung. "Dengar… Akulah Iblis Sesat Jalan Hidup. Aku datang
kemari untuk mencari seseorang. Mana anak gadismu yang bernama
Pandansuri itu!"
Rindang Maruhun terbelalak mendengar orang menyebut nama anak
gadisnya. Dia berusaha berontak. Tapi sulit melepaskan jambakan di
kepalanya. Takut dan sekaligus sakit membuat Rindang Karuhun
nekad. Sebagai Kepala Kampung dia memang memiliki ilmu pukulan.
Namun hanya dari tingkatan rendah yang mengandalkan tenaga luar
dan kecepatan gerakan. Dengan tangan kanannya dia menghantam
ke arah hulu hati mahluk seram itu. Iblis Sesat JalanHidup
mengekeh. Tangan kanannya yang menjambak ditebaskan ke bawah.
Kraak!
Rindang Maruhun menjerit. Lengan kanannya patah. Tubuhnya
kemudian dibantingkan ke lantai. Kepala Kampung itu terpuruk
kesakitan di sudut serambi. Kemudian dia merasakan injakan kaki di
keningnya.
"Mana anak gadismu? Lekas jawab!"
"Di… dia tak ada di sini. Pergi dua… dua hari lalu…"
"Bangsat! Kau berani dusta?!"
"Aku tidak dusta! Dia benar-benar tak ada di sini. Siapa kau?
Mengapa mencari anakku?"
"Siapa aku sudah kukatakan. Mengapa aku mencari gadis itu karena
ada sesuatu yang harus diselesaikan. Nyawa dibayar nyawa. Darah
dibayar dengan nyawa. Dosa di atas dosa! Dia mengkhianatiku dan
melarikan diri dari Bukit Toba setahun lalu. Lekas katakan ke mana
gadis itu pergi…!" "Aku tidak tahu…" "Kau pasti tahu! Dia anakmu!"
"Aku benar-benar tidak tahu…"
"Kalau begitu biarlah kau mampus dalam tidak tahu!"
Iblis Sesat Jalan Hidup tutup kata-katanya dengan menekankan
tumitnya ke kening Rindang Maruhun. Kepala Kampung yang malang
ini menggeliat-geliat dan melejang-lejangkan kaki. Ketika nyawanya
putus, tubuhnya pun tak bergerak lagi.
8 PANDANSURI duduk termenung di depan telaga. Kedua kakinya
sampai sebatas betis dimasukkan ke dalam air telaga yang jernih dan
sejuk. Saat itu hari masih pagi. Kicau burung masih terdengar di
sana-sini. Di atas langkan sebuah rumah bambu yang menjorok ke
telaga, duduk sosok tubuh berjubah biru dari seorang tua bermuka
aneh dan seram. Wajahnya berwarna biru, hampir segelap biru jubah
yang dikenakan. Kedua matanya hanya merupakan rongga berlobang
sedang salah satu telinganya sumplung.
Sesaat orang tua ini tengadahkan wajahnya ke atap langkan seperti
hendak menembus atap bambu itu dengan pandangan dua matanya
yang bolong kosong. Kemudian dia berpaling ke arah kiri telaga,
dimana Pandansuri duduk. Dulu gadis ini selalu mengenakan
kerudung muka dan pakaian serba ungu. Namun sejak peristiwa di
Bukit Toba dulu, sejak Pendekar 212 Wiro Sableng menyibakkan
kerudung yang selalu melindungi wajahnya, sejak itu pula dia tak
pernah lagi mengenakan kerudung muka ataupun pakaian berwarna
ungu. Kini dia selalu berpakaian serba putih, termasuk ikat kepala
untuk mengikat rambutnya yang panjang hitam.
"Masih sepagi ini kau sudah duduk melamun? Bukankah lebih baik
melatih jurus-jurus baru yang kuajarkan padamu? Atau melatih ilmu
pukulan sakti Surya Biru yang kurasa masih belum mantap kau
miliki? Berapa lama kau bersamaku Pandan? Satu tahun! Ah, itu jauh
dari cukup untuk mendalami ilmu pukulan sakti itu… "
Suara halus seperti suara perempuan itu datang dari langkan rumah
bambu dan ternyata adalah suara orang tua bermata bolong.
Pandansuri mengeluarkan kedua kakinya dari dalam air telaga.
Memang sudah setahun dia pulang balik meninggalkan kampungnya
Pasir Putih untuk menuntut ilmu kepandaian dari orang tua bernama
Nyanyuk Amber itu. Seperti dituturkan sebelumnya baik sang dara
maupun si kakek sama-sama diselamatkan oleh murid Eyang Sinto
Gandeng sewaktu terjadi malapetaka di Bukit Toba, yakni ketika
didirikannya Partai Topan Utara oleh Raja Rencong alias Hang
Kumbara.
Atas petunjuk Wiro, Nyanyuk Amber kemudian memilih tinggal di
telaga yang sunyi tenang itu sedang Pandansuri kemudian diambil
oleh si kakek menjadi muridnya. Sebenarnya Nyanyuk Amber ingin
pula mewariskan pukulan satu "Surya Biru" pada pendekar 212 Wiro
Sableng, namun pendekar itu yang tidak mau dianggap mencari
pamrih menolak secara halus.
Seperti diketahui kedua tangan dan kaki Nyanyuk Amber telah dibuat
buntung oleh Raja Rencong karena pendekar sesat ini kawatir sang
guru akan menjatuhkan tangan keras dan hukuman kepadanya.
Karena itulah, selama Pandansuri berguru pada orang tua ini, sang
dara telah berusaha membuat sepasang kaki-kakian dari kayu dan
rotan.
Dengan bantuan kaki palsu ini akhirnya Nyanyuk Amber mampu
berdiri, bahkan berjalan. Kini Pandansuri tengah merencanakan
membuat sepasang tangan palsu hingga kelak sang guru bisa hidup
secara lebih baik. Apa yang telah diperbuat gadis itu membuat
Nyanyuk Amber sangat sayang padanya hingga dia bertekad
mewariskan seluruh ilmu kepandaiannya pada Pandansuri. Karena
sebelumnya sang dara sudah memiliki ilmu silat dan ilmu sakti yang
ampuh, maka dalam waktu satu tahun pandansuri telah menguasai
banyak ilmu kepandaian yang diberikan gurunya. Terkadang
Nyanyuk Amber menggoda. Bahwa kelak jika sang dara sudah
berhasil penuh menguasai ilmu pukulan sakti "Surya Biru" maka
perlahan-lahan wajahnya akan berubah menjadi biru seperti wajah
sang guru! Tentu saja hal ini tidak sesungguhnya karena wajah biru
si kakek memang sudah begitu sejak dia dilahirkan!
Sebenarnya ada tiga hal yang membuat sepagi itu Pandansuri duduk
termenung di tepian telaga. Pertama kenangannya yang tak bisa
pupus terhadap pemuda gagah tapi suka menggoda dan
berkepandaian tinggi itu yakni bukan lain Wiro Sableng si gondrong
yang selalu dicapnya sebagai "pemuda konyol"! Tapi justru sejak
pertama kali bertemu dia tak bisa menipu perasaannya bahwa dia
menyukai pemuda itu dan tak dapat melupakannya. Setahun telah
berlalu, sejak itu pula dia tak pernah bertemu dengan pemuda itu.
Padahal Wiro didengarnya pernah berjanji pada Nyanyuk Amber akan
datang menyambangi orang tua itu. Tapi sampai hari itu dia tak
pernah muncul.
Hal kedua yang menyamaki pikiran sang dara ialah apa yang
didengarnya terjadi di luaran sejak dua bulan terakhir ini. Beberapa
tokoh silat di pantai utara dan timur menemui kematian di tangan
seorang pembunuh yang dikatakan sebagai hantu mengerikan.
Beberapa perkumpulan persilatan dihancurkannya pula. Padahal
semua yang jadi korbannya adalah mereka yang tidak ada sangkut
paut atau silang sengketa. Apakah rupanya dunia persilatan ini tak
pernah lepas dari kehadiran manusia-manusia biadab dan terkutuk
seperti itu?
Iblis Sesat Jalan Hidup! Begitu nama si pembunuh yang sampai ke
telinga Pandansuri. Ada dua hal yang membuat dia tidak enak dan
merasa heran. Yaitu si pembunuh kabarnya memiliki ilmu kebal
hingga tak mempan senjata, tak mempan pukulan sakti apapun.
Kemudian — ini yang membuat Pandansur risau— kabarnya
pembunuh itu memiliki ilmu kesaktian berupa jentikan jari-jari tangan
yang mengeluarkan sinar hitam panas menghanguskan. Setahu dia
ilmu pukulan seperti itu adalah "ilmu kuku api" yaitu seperti yang
dipelajarinya dari Raja Rencong, ayah angkatnya yang mati sesat itu.
Di dunia persilatan hanya ada dua orang yang memiliki ilmu kuku api
itu yakni Raja Rencong dan dirinya sendiri. Kini Raja Rencong sudah
tiada, berarti hanya dia sendiri yang menguasai ilmu itu. Tapi
mengapa tahu-tahu kini muncul seorang lain dengan nama
mengerikan dan memiliki ilmu yang sama?
Hal ketiga yang menjadi pemikiran Pandansuri sepagi itu ialah
mimpinya tadi malam. Dia melihat ayah dan ibunya mengenakan
pakaian serba putih. Sang ayah yakni Rindang Maruhun Kepala
Kampung Pasir Putih mengenakan sorban putih lalu sang ibu
memakai selendang putih. Dalam mimpi kedua orang tuanya itu
menaiki sebuah kendaraan berbentuk aneh yang dapat meluncur di
atas air danau di pinggir kampung, lalu sambil melambai-lambaikan
tangan mereka terbang di atas danau, makin lama makin tinggi,
makin jauh dan akhirnya lenyap di balik awan.
Pandansuri tak dapat menerka apa arti atau mimpinya itu. Sebab
itulah sejak pagi dia sudah duduk di tepi telaga, merenung
berpikirpikir. Ketika Nyanyuk Amber menegurnya gadis itu segera
berdiri dan pergi mendapatkan sang guru. Setelah diam sesaat maka
diapun mengutarakan dua dari tiga hal yang menjadi pikirannya itu.
Hanya soal pada mengenang Wiro Sableng yang tidak dikatakannya
pada sang guru. Nyanyuk Amber menghela napas dalam, mendongak
ke atas lalu memalingkan wajahnya ke arah telaga sementara
burung-burung masih terdengar berkicauan di pepohonan sekitar situ.
"Iblis Sesat Jalan Hidup…" desis si orang tua bermuka biru. "Satu
nama bejat yang pernah kudengar sejak enam puluh tahun lalu.
Nama itu seperti sebuah legenda. Dikatakan orangnya ada, tak
pernah aku menemuinya. Dikatakan tidak ada tapi malapetaka yang
ditimbulkannya terjadi di mana-mana. Bertahun-tahun nama itu
lenyap seperti ditelan bumi. Tahu-tahu kini muncul kembali. Sebelum
kau mengatakannya padaku Pandan, ada seorang sahabat
menyambangiku seminggu lalu. Diapun menceritakan hal yang sama.
Juga mengutarakan kekawatiran yang sama.
"Siapa sebenarnya manusia itu guru? Jika dia memang seorang
manusia, bukan setan atau iblis?" bertanya Pandansuri.
"Sulit diduga. Dia muncul seperti ibiis. Lalu lenyap seperti setan.
Kematian dan darah ditinggalkannya di mana-mana. Seperti tak ada
yang sanggup menandinginya. Hanya yang mengherankan, jika nama
itu sudah muncul enam puluh tahun lalu, bagaimana masih terus ada
sampai saat ini? Seperti orangnya tak pernah mati-mati…" Orang tua
ini termenung sejurus. "Aku mendapat firasat, kemunculan manusia
itu kali ini seperti mencari sesuatu …"
"Apakah dia demikian hebatnya hingga tak ada yang bisa
mengalahkannya?" bertanya lagi Pandansuri,
"Di dunia ini sesungguhnya tak ada manusia yang hebat atau luar
biasa muridku. Apalagi jika berhadapan dengan kekuatan dan
kekuasaan Tuhan. Segala sesuatunya hanya menunggu waktu saja.
Kalau aku tak salah ingat pernah seorang kawan mengatakan bahwa
manusia berjuluk Iblis Sesat Jalan Hidup itu konon mempunyai satu
pantangan. Pantangan inilah yang dapat mengalahkannya. Bahkan
menamatkan riwayatnya. Hanya sayang, sebelum sang kawan sempat
menerangkan rahasia kelemahan Iblis itu, dia mati terbunuh. Kurasa,
besar sekali kemungkinan Iblis Sesat Jalan Hiduplah yang telah
membunuhnya!"
"Tidakkah kita bisa melakukan sesuatu untuk mencegah manusia
terkutuk itu berbuat malapetaka lebih jauh…?"
"Aku senang mendengar pertanyaanmu itu Pandansuri. Hanya saja
apakah yang bisa kita lakukan? Mencarinya? Dicari ke mana?"
"Bagaimanapun kita harus berbuat sesuatu, guru …"
"Betul muridku. Aku akan memikirkan hal itu mulai sekarang."
"Lalu bagaimana dengan mimpi saya yang tadi saya ceritakan itu,
guru?"
"Mimpi adalah bunga tidur, Pandan. Mengingat Pasir Putih hanya
setengah hari perjalanan dari sini, ada baiknya kau pulang dulu.
Mungkin ayah atau ibumu kangen padamu… "
"Tak mungkin mereka kangen. Bukankah saya baru dua hari di sini?
Dulu-dulu sampai berminggu-minggu…"
Nyanyuk Amber tersenyum mendengar kata-kata muridnya itu lalu
menjawab. "Rindunya orang tua yang menandakan rasa sayang sukar
diukur. Kelak kalau kau nanti sudah berumah tangga dan punya anak,
kau akan merasakan seperti itu…"
Mendengar ucapan gurunya kembali terbayang wajah Pendekar 212
Wiro Sableng di pelupuk mata Pandansuri.
"Kau boleh memakai kudaku, biar cepat sampai di rumah…" Terdengar
ucapan Nyanyuk Amber.
"Terima kasih guru. Bolehkah saya pergi sekarang juga?"
'Tentu saja, pergilah. Tapi lekas kembali kemari. Aku punya firasat
ada orang jauh yang akan berkunjung ke tempat kita ini… "
"Siapakah guru?"
"Tak dapat kupastikan. Tapi mungkin dia seorang yang selama ini
selalu kau ingat-ingat… "
Wajah Pandansuri menjadi kemerahan. Hampir terlompat mulutnya
hendak menyebut nama Wiro Sableng. Tapi cepat-cepat dia menutup
mulut dengan jari-jari tangan.
Nyanyuk Amber tertawa mengekeh. "Pergilah Pandan. Hati-hati di
jalan."
9 MENJELANG sampai ke Pasir Putih, di kejauhan Pandansuri
mendengar suara beduk dan tong tong dipukul tiada henti. Sesaat
gadis ini tercekat. Suara beduk dan tongtong seperti itu hanya
terdengar jika terjadi bahaya atau ada penduduk yang meninggal.
Bahaya apa yang menimpa kampungnya? Atau siapa yang meninggal
dunia? Pandansuri menyentakkan tali kekang kuda dan memacu
binatang itu secepat yang bisa dilakukannya. Ketika dia sampai di
halaman rumah, belum lagi kuda berhenti, gadis ini sudah melompat
turun. Halaman rumah yang luas dipenuhi oleh penduduk. Rumah
besar dipadati orang. Dari sebelah dalam terdengar suara isak tangis.
Pandansuri lari masuk ke dalam, tak perduii lagi ada yang tersepak.
Sampai di ruangan tengah gerakannya tertahan. Kedua lututnya
seperti goyah. Dua jenazah yang telah tertutup kain kafan terbaring
di atas kasur tinggi yang penuh dengan taburan bunga.
"Ayah…! Ibu!" raung Pandansuri. Gadis ini seolah-olah sudah tahu
betul siapa-siapa jenazah yang terbujur di ruangan itu. Beberapa
orang tua segera memeganginya ketika Pandansuri menjatuhkan diri
dan merangkuli kedua jenazah.
"Apa yang terjadi?! Apa yang terjadi dengan ayah dan ibu?!" Jerit
Pandansuri.
"Tenang Pandan… Tenang anakku. Ini cobaan besar bagi kita semua.
Tabahkan hatimu. Iman anakku, imanlah…" yang berkata adalah
seorang lelaki tua berkumis putih, kakak tertua ayah Pandansuri.
Kalau tidak dicegah orang banyak Pandansuri seperti gila hendak
merobek kain kafan untuk melihat wajah ayah dan ibunya. Dengan
susah payah gadis ini dibawa ke sebuah kamar. Di situ diceritakan
padanya apa yang terjadi pagi kemarin.
"Beberapa pembantu ayahmu ikut terbunuh. Mereka sudah
dikuburkan kemarin…" menjelaskan orang tua berkumis putih. "Kami
tidak tahu harus mencarimu ke mana. Untung kau datang saat ini
Pandan. Kalau tidak terpaksa jenazah keduanya kami makamkan
karena tak mungkin menunggu lebih lama…"
Pandansuri duduk terhenyak di sudut kamar, bersimbah air mata dan
keringat. Inilah rupanya makna mimpinya malam tadi. Dan tidak
terduga manusia jahat yang selama imi gentayangan menyebar darah
dan nyawa, yang bernama Iblis Sesat Jalan Hidup itu yang
menghabisi kedua orang tuanya. Setahunya ayahnya tak pernah
mempunyai musuh. Kenapa dia dibunuh mengenaskan begitu rupa?
Juga ibunya yang tak berdosa. Lalu beberapa pembantu ayahnya?!
Gadis itu bangkit berdiri. Sikapnya agak tenang sekarang. Matanya
yang tadi basah oleh air mata kini tampak bersinar kemerahan. Dia
melangkah ke pintu.
"Kau mau ke mana anakku?" tanya kakak ayah si gadis.
"Aku akan mencari bangsat bernama Iblis Sesat Jalan Hidup itu. Dia
harus matai di tanganku!"
"Jangan bertindak kesusu. Tidakkah kau ingin menyaksikan
pemakaman ayah ibumu lebih dulu.?"
Mendengar kata-kata itu Pandansuri segera sadar. Dia tak bisa pergi
begitu saja bagaimana pun hebatnya dendam kesumat membakar
dadanya. *** LAMA setelah muridnya pergi, Nyanyuk Amber masih
duduk di langkan rumah bambunya yang menjorok ke telaga. Lapat-
lapat diantara siuran angin dan gemericik air telaga yang terkena
kibasan ikan-ikan kecil, orang tua ini mendengar suara seseorang
datang. Bersamaan dengan itu hidungnya yang tajam mencium bau
busuk tidak enak. Nyanyuk Amber memutar kepalanya. Hatinya tiba-
tiba saja menjadi gelisah. Orang yang datang ini agaknya bukan
tamu yang ditunggu-tunggunya. Dia duduk tak bergerak, menanti
dengan waspada. Sesiur angin berhembus. Sesosok tubuh berkelebat
naik ke atas langkan bambu itu. Tak ada sedikit gerakan pun terasa
pada lantai bambu yang tak seberapa kokoh itu. Ini satu pertanda
bagi si orang tua bahwa orang yang datang memiliki gerakan sebat
dan keringanan tubuh yang luar biasa. Bau busuk bertambah santar.
'Tamu dari mana yang datang kemari… !' menyapa Nyanyuk Amber.
Sesaat tak ada jawaban. Lalu terdengar suara sember tapi garang.
"Jadi di sini kau bercokol tua bangka buruk! Jangan harap kau bisa
lari lebih jauh! Sekalipun kini kulihat kau memiliki sepasang tangan
dan kaki palsu yang membuatmu jauh jadi lebih jelek! Ha… ha…ha…!"
Nyanyuk Amber kerenyitkan kening. Sikapnya tetap tenang. Dia coba
mengingat-ingat suara itu. Tapi tetap saja dia tidak mengenali siapa
adanya yang bicara.
"Tamu yang datang. Terangkan siapa kau adanya dan ada keperluan
apa kau muncul di gubukku?!"
Sang tamu kembali tertawa. "Aku akan jawab pertanyaanmu yang
kedua lebih dulu. Aku datang kemari untuk mencabut nyawamu! Kau
dengar itu!"
"Hemmm… Tubuhmu memancarkan bau busuk. Pasti kau bukan
Malaikat Jibril si pencabut nyawa. Tapi mengapa merasa punya hak
hendak membunuhku?!"
"Hak? Tua bangka buta! Aku adalah raja diraja di dunia ini. Setiap
hak apa pun yang kau sebutkan aku mempunyainya. Termasuk hak
untuk menghabisi riwayatmu! Hutang nyawa dibayar nyawa. Darah
dibayar darah. Dosa di atas dosa".
"Jelas kau ngacok. Sekarang jawab pertanyaanku yang pertama tadi.
Siapa dirimu!"
"Aku adalah bekas muridmu! Dulu aku bernama Hang Kumbara.
Bergelar Raja Rencong Dari Utara, Pemimpin Partai Topan Utara yang
hancur pada hari peresmiannya. Kau ikut ambil bagian dalam
menggagalkan berdirinya Partai itu. Kini dunia persilatan mengenalku
dengan nama baru. Iblis Sesat Jalan Hidup! Yang tak akan pernah
mati oleh kekuatan apa pun di dunia ini! Kau dengar itu tua bangka
keparat?!"
Tentu saja Nyanyuk Amber terkejut mendengar kata-kata orang yang
ada di hadapannya itu. Hang Kumbara! Raja Rencong Dari Utara!
Bukankah manusia durjana itu sudah menemui kematiannya lebih
dari satu tahun silam? Bagaimana kini dia bisa hidup lagi? Dan
benarkah dia yang kini tegak di hadapannya? Sungguh satu
kenyataan yang sulit dapat dipercaya.
Selagi Nyanyuk Amber terkesiap begitu rupa, Iblis Sesat Jalan Hidup
tiba-tiba merasakan tengkuknya dingin dan lutunya bergetar. Kedua
matanya menatap tajam pada pakaian dan wajah si orang tua. Jubah
dan muka orang tua itu berwarna biru. Warna pantangan yang harus
dijauhinya. Sekati salah satu bagian tubuhnya tersentuh pakaian atau
muka itu tamatlah riwayatnya. Berarti dia harus menjaga jarak dan
membunuh cepat-cepat orang tua ini!
"Nyanyuk Amber! Waktumu sudah sampai! Bersiaplah untuk
mampus!" teriak Iblis Sesat Jalan Hidup. Lalu dia jentikkan lima jari
tangan kanannya. Lima larik sinar hitam mengandung hawa luar
biasa panasnya berkiblat.
Nyanyuk Amber terkejut.
"Ilmu Kuku Api!" serunya ketika mengenali deru dan hawa biru
pukulan maut itu. Tubuhnya yang duduk serta-merta melayang ke
samping. Meskipun kini hanya memiliki sepasang kaki kayu, namun
gerakannya tampak sebat. Begitu berdiri dia segera hantamkan
tangan kanannya. Angin deras menerpa ke arah Iblis Sesat Jalan
Hidup tapi dengan mudah dielakkan.
"Murid murtad! Siapapun kau adanya! Jika kau benar Iblis Sesat
Jalan Hidup maka aku akan membasmimu hari ini!" teriak Nyanyuk
Amber.
Iblis Sesat Jalan Hidup tertawa mengejek.
Kraak! Dia patahkan salah satu tiang bambu penyanggah atap
langkan. Lalu dengan bersenjatakan potongan bambu yang cukup
panjang ini dia menyerang Nyanyuk Amber dengan ganas. Sejak Guli
Rampai — si Iblis Sesat Jalan Hidup perempuan tua itu— mengisi
tubuhnya dengan kekuatan aneh, kehebatan yang dimiliki Raja
Rencong alias Hang Kumbara memang luar biasa. Dalam waktu
singkat, Nyanyuk Amber yang penuh pengalaman dalam dunia
persilatan itu terdesak hebat. Salah satu dari kaki kayunya hancur
dihantam potongan bambu.
Menyusul tangan kayu sebelah kanan. Orang tua ini menjadi
kerepotan dan bertahan mati-matian sambil bersiap-siap
menyalurkan tenaga dalam untuk melepaskan pukulan "Surya Biru".
Namup meskipun dia sanggup mewariskan ilmu sakti itu pada
Pandansuri, untuk mempergunakannya sendiri dia mengalami
kesulitan karena keadaan kedua tangannya yang cacat.
Kraak!
Kaki kayu kedua hancur dihantam ujung bambu. Nyanyuk Amber
terbanting ke lantai langkan. Menyadari bahaya, orang tua ini cepat
gulingkan diri, tepat ketika Iblis Sesat Jalan Hidup lepaskan lagi
pukulan sakti ilmu kuku api! Lantai langkan hancur berentakan,
terbakar di beberapa bagian. Dalam waktu singkat api berkobar
ganas.
Nyanyuk Amber bergulingan di tanah di tepi telaga. Ketika dia
kemudian terduduk di tanah jubah birunya kelihatan menggembung.
Ini satu pertanda dia tengah menghimpun seluruh tenaga dalam yang
ada dan siap melakukan sesuatu yang hebat. Sebagai bekas
muridnya, Iblis Sesat Jalan Hidup alias Hang Kumbara tahu ilmu apa
yang hendak dilancarkan oleh sang guru. Yakni hawa panas yang
menebar asap beracun berwarna kuning.
Tanpa rasa takut karena percaya akan kekebalan dirinya, Iblis Sesat
Jalan Hidup malah melangkah mendekati, tapi sejarak yang cukup
aman agar jubah biru si kakek tidak menyentuhnya.
"Kau hendak mengeluarkan ilmu racun kayangan? Ha… ha… ha.
Keluarkanlah! Ilmu butut itu stepa yang takut!"
Meskipun hatinya jadi panas namun diam-diam Nyanyuk Amber
merasa terkejut. Bagaimana musuh keparat itu berani menantang
seperti itu. Padahal selama ini tak satu orang pun sanggup
menyelamatkan diri dari kepungan asap mautnya. Nyanyuk Amber
menggembos. Jubah birunya yang tadi menggembung tiba-tiba
menjadi kempes. Bersamaan dengan itu dari bagian bawah jubah
melesat keluar asap kuning pekat, membuntal dahsyat dan langsung
menerpa deras ke arah Iblis Sesat Jalan Hidup.
Yang diserang tetap tegak tak bergerak dan masih terus mengumbar
tawa mengejek. Ternyata asap beracun ganas itu sama sekali tidak
mempan merusak kulit apa lagi membunuhnya!
Selagi Nyanyuk Amber terkesiap akan ini, didahului bentakan garang
Iblis Sesat Jalan Hidup melompat ke depan dan tusukkan ujung
bambu di tangan kanannya. Dia tak berani menusuk ke tubuh atau
muka Nyanyuk Amber. Karenanya yang menjadi sasarannya adalah
leher orang tua itu!
Dalam keadaan tercekat melihat ilmu racun kayangan tak sanggup
menghabisi lawannya, Nyanyuk Amber bertindak agak terlambat
ketika tusukan bambu menderu ke arah tenggorokannya. Meskipun
dia semapat mengelak, tetap saja ujung bambu menyerempet
lehernya, menimbulkan luka cukup parah. Darah mengucur. Dalam
keadaan seperti itu Iblis Sesat Jalan Hidup kemudian susul dengan
serangan ilmu kuku api. Tak adaa kesempatan lagi bagi orang tua
yang malang itu untuk selamatkan diri!
10 SAHABATKU tua bangka ompong! Siapa yang berani
mencelakaimu?!"
Mendadak satu seruan keras terdengar. Bersamaan dengan itu
berkiblat sinar putih menyilaukan mata. Hawa panas luar biasa
menebar, iblis Sesat Jalan Hidup terpental enam langkah. Sesaat
tubuhnya tergontaigontai, tapi dia tidak mengalami cidera apa-apa.
Sebaliknya bangunan bambu di belakangnya, yang sepertiganya telah
dimakan api, hancur lebur berantakan kena sambaran sinar putih
perak tadi.
Tiga orang sama-sama terheran-heran. Pertama tentu saja si Iblis
Sesat Jalan Hidup. Selain heran juga terkejut mendapat serangan
yang tiba-tiba. Meskipun tubuhnya cidera tetapi sinar putih panas
menyilaukan tadi sanggup membuatnya terpental. Yang kedua adalah
Nyanyuk Amber. Orang tua ini heran tak menyangka kalau ketika ajal
sudah di depan mata ternyata masih ada uluran tangan Tuhan yang
menyelamatkannya. Dan orang yang ketiga adalah dia yang barusan
berkelebat muncul di tempat itu, yakni bukan lain Pendekar 212 Wiro
Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Selama
malang melintang dalam dunia persilatan, jika tidak menghadapi
lawan tangguh, tak akan dia melepaskan pukulan "sinar matahari!"
Dan jika sekali pukulan itu dilepaskan, maka korban akan jatuh
tergelimpang. Tapi adalah luar biasa bahwa sosok tubuh penuh cacat
dengan wajah seangker iblis itu tidak cidera seujung rambut pun.
Padahal jelas pukulan sinar matahari tadi tepat menghantam
tubuhnya hingga terpental. Bahkan selendang hitam berbunga kuning
emas di bahunya tidak bergeming sedikit pun!
"Keparat! Kau rupanya!" bentak Iblis Sesat Jalan Hidup.
"Heh, setan alas ini mengenaliku. Siapa dia sebenarnya,"
membatin Wiro. "Kau muncul sendiri di sini hingga tak susah-susah
aku mencarimu! Hutang nyawa bayar nyawa. Darah dibayar darah!
Dosa di atas dosa!" tentu saja dia tidak mengenali siapa sebenarnya
manusia di hadapannya itu.
"Bagus! Kau sudah muncul tanpa dicari! Berarti tak perlu
membuang-buang waktu! Kalian berdus memang layak mampus
berbarengan di tempat ini!"
"Kalau bukannya setan kau tentu iblis jejadian!" ujar Wiro menyahut
ucapan Iblis Sesat Jalan Hidup.
Nyanyuk Amber diam-diam merasa bersyukur atas munculnya Wiro
yang memang sudah lama ditunggu-tunggunya. Namun dia merasa
perlu memberi tahu. Maka dengan mempergunakan ilmu
mengiangkan suara, dia berkata pada Pendekar 212. "Wiro, hati-hati!
Mahluk yang dihadapanmu adalah Iblis Sesat Jalan Hidup. Ilmunya
tinggi dan dia kebal terhadap segala macam pukulan maupun
senjata! Dia tidak bisa dibikin mati!"
Karena sebelumnya tidak pernah mendengar tentang mahluk bernama
Iblis Sesat Jalan Hidup ini maka Wiro tentu saja tidak dapat
mempercayai kata-kata orang tua itu. Mana ada mahluk hidup yang
tidak dapat mati?
Mengetahui bagaimana jalan pikiran wiro maka Nyanyuk Amber
kembali kirimkan suaranya ke si pendekar: "Iblis itu adalah
penjelmaan Raja Rencong yang mati setahun silam!"
Makin tak mengerti pendekar kita jadinya. Dulu dia sendiri bersama-
sama puluhan tokoh silat mencincang Raja Rencong di Arena Topan
Utara. Kini diakah mahluk hidup bertubuh dan berwajah seram ini?
Sebelum dia sempat berpikir lebih lama, di hadapannya Iblis Sesat
Jalan Hidup jentikkan lima jari tangan kanannya. Lima sinar hitam
pekat dan panas menggebubu!
"Ah! Ilmu kuku api!" seru Wiro dalam hati. "Memang keparat itu
rupanya!"
Untuk kedua kalinya Wiro lepaskan pukulan sinar matahari guna
menangkis ilmu kuku api. Sinar putih dan sinar hitam saling baku
hantam di udara, mengei-luarkan susara berdentum yang disertai
kilapan sinar api amat mengerikan. Ranting dan cabang serta
daundaun pepohonan yang ada di sekitar situ hangus kehitaman.
Nyanyuk Amber leletkan lidah. Hawa panas terasa menjalar sampai
ke tubuhnya.
Jengkel melihat pukulan saktinya tidak mempan maka Pendekar 212
Wiro Sableng cabut Kapak Maut Naga Geni 212. Suaara seperti
ribuan tawon mengamuk memenuhi udara ketika senjata mustika
sakti itu berkelebat ke arah Iblis Sesat Jalan Hidup.
Yang diserang tegak tak bergerak, bersikap menantang dan
sunggingkan senyum mengejek. Malah berkata: "Pilih bagian tubuhku
yang empuk anak muda!"
Buuk!
Mata Kapak Naga Geni 212 menghantam dada Iblis Sesat Jalan
Hidup. Tak ampun lagi tubuhnya terpental lalu jatuh duduk. Tapi di
lain kejap dia sudah bangkit berdiri kembali tanpa cidera sedikit pun!
Kejut Wiro Sableng bukan alang kepalang! Ilmu apakah yang kini
dimiliki Raja Rencong hingga senjata saktinya tidak mempan sama
sekali. Hampir tak percaya, dia pandangi kapak di tangannya. Di
depannya terdengar suara tawa parau Iblis Sesat Jalan Hidup.
"Aku pernah kau bunuh! Sekarang kau ganti menemui kematian!
Arwahmu sudah lama ditunggu arwahku!" Iblis Sesat Jalan Hidup
melangkah mendekati Wiro. Tangan kanan terpentang seperti hendak
mencengkeram. Wiro tabaskan kapak saktinya.
Bukk!
Kembali kapak itu menghantam dan tidak berdaya!
"Gila!" maki Wiro. Sebelum lawan datang lebih dekat pendekar ini
cepat menghantam dengan pukulan benteng topan melanda
samudera.
Seperti tadi Iblis Sesat Jalan Hidup hanya terpental jatuh, bangkit
berdiri dan mendatangi Wiro kembali! Penasaran murid Sinto Gendeng
hantamkan kapak saktinya sekali lagi. Kali ini batok kepala Iblis
Sesat Jalan Hidup yang diarahnya. Kalau dulu senjata itu sempat
membelah kepala Raja Rencong maka sekali ini hanya mengeluarkan
suara bergedebuk dan ternyata kepala itupun tak mempan dikapak!
"Wiro, kita harus cepat menyingkir dari sini! Walaupun kita sanggup
menghajarnya sampai seribu jurus tapi dia tak akan dapat dimatikan.
Sebaliknya kita akan kehabisan tenaga dan menjadi korbannya!"
Terdengar suara mengiang di telinga Wiro. Itulah suara Nyanyuk
Amber.
"Aku tidak akan berlaku sepengecut itu! Aku yakin bangsat ini bisa
dikalahkan!" menjawab Wiro.
"Jangan tolol! Sebelum kita dapat memecahkan teka-teki
kekebalannya, kita berdua bisa mati percuma di tempat ini! Lekas
dukung aku dan menyingkir dari sini! Cepat!"
Karena menyadari memang tak mungkin melanjutkan penyerangan
terhadap Iblis Sesat Jalan Hidup mau tak mau Wiro Sableng terpaksa
mengikuti apa yang dikatakan Nyanyuk Amber. Dengan kapak tetap di
tangan kanan guna melindungi diri, Wiro sambar tubuh si orang tua
dan berkelebat ke jurusan timur.
Iblis Sesat Jalan Hidup mengejar sambil lepaskan pukulan ilmu kuku
api. Wiro putar Kapak Maut Naga Geni 212. Serangan lawan musnah
setengah jalan tapi manusia iblis itu terus mengejar. Hanya saja
dalam ilmu lari tingkat kepandaiannya tidak dapat menandingi murid
Sinto Gendeng itu. Dalam waktu singkat dia sudah tertinggal jauh.
Akhirnya dua orang yang dikejar itu lenyap di kejauhan di antara
kelebatan pepohonan.
"Kalian tak akan bisa lolos sekalipun lari ke ujung dunia! Tunggu
saja waktunya. Sekarang lebih baik aku mencari gadis keparat itu
lebih dulu! Jika dia tidak ada di di sini, pasti dia sudah kembali ke
Pasir Putih!"
11 SANG SURYA tampak merah membara tanda sebentar lagi akan
masuk ke titik tenggelamnya. Di tanah pekuburan yang terletak di
sebelah selatan Pasir Putih keadaannya sudah sepi. Dua jenazah
telah dimakamkan. Para pengantar telah lama pergi. Hanya ada satu
orang kelihatan masih duduk bersimpuh di hadapan dua tumpukan
tanah merah. Pakaiannya yang putih kotor oleh merahnya tanah liat.
Orang ini adalah Pandansuri yang tengah menghadapi makam ayah
dan ibunya. Perasaan dara ini saat itu bercampur aduk. Pertama
tentu saja rasa sedih dan duka cita yang mendalam karena kematian
kedua orang tuanya. Namun sekaligus dalam hatinya juga membara
dendam kesumat terhadap pelaku pembunuh yang tidak pernah
dilihatnya, hanya didengarnya bernama Iblis Sesat Jalan Hidup.
Dalam hatinya sudah bulat tekad untuk mencari manusia iblis itu
guna menuntut balas.
Perlahan-lahan Pandansuri berdiri. Di saat dirasakannya harus pergi
meninggalkan tempat itu, kembali air mata memercik dan meluncur di
kedua pipinya.
"Ayah, ibu… Saya harus pergi sekarang. Saya bersumpah di hadapan
kubur ayah ibu untuk mencari pembunuh terkutuk itu. Saya tak akan
berhenti sebelum menemui dan membunuhnya!"
Ketika Pandansuri hendak mencium bagian tanah di kepala kubur
ibunya tiba-tiba di belakangnya terdengar suara orang menegur. Satu
suara yang keras tapi parau.
"Pandansuri! Kau tak perlu jauh-jauh mencari pembunuh kedua
orang tuamu! Orangnya sudah ada di sini. Aku orangnya…!"
Kejut gadis itu bukan kepalang. Sejak menerima tambahan ilmu dari
Nyanyuk Amber, perasaan dan pendengarannya jauh lebih tajam.
Mengapa kini ada orang datang dari belakang dia tidak dapat
mengetahuinya? Hanya ada satu jawaban. Mungkin pikiran dan
perasaannya terlalu tertumpah pada nasib malang yang dihadapinya.
Atau mungkin pula orang yang datang memiliki kepandaian tinggi
luar biasa.
Secepat kilat Pandansuri balikkan tubuh. Serta merta gadis ini
terperangah, hampir keluarkan saruan kaget karena ngeri. Di
hadapannya berdiri sosok tubuh dan wajah yang sangat
menyeramkan. Sosok tubuh ini hanya mengenakan sehelai celana
pendek, bertelanjang dada. Ada sehelai selendang hitam
berbungabunga kuning emas melintang di bahunya. Seluruh tubuh,
mulai dari kaki sampai ke dada, terus ke wajah penuh luka bekas
cacat yang mengerikan, terutama luka melintang di atas mata dan
pipi kiri.
"Ha… ha…! Kau takut?! Kau tak mengenaliku?!"
Sosok tubuh mengerikan itu yang bukan lain adalah Iblis Sesat Jalan
Hidup menyeringai.
"Siapa kau?!" sentak Pandansuri setelah rasa kagetnya pulih.
"Aku Iblis Sesat Jalan Hidup! Aku yang membunuh kedua orang
tuamu…!"
"Iblis durjana!" teriak Pandansuri. Gadis ini langsung jentikkan
sepuluh jari tangannya. Sepuluh larik sinar merah yang luar biasa
panasnya berkiblat menghantam ke sepuluh bagian tubuh termasuk
kepala Iblis Sesat Jalan Hidup!
Yang diserang tak bergerak, malah bersikap menunggu dan
menantang. Lima larik sinar merah menghantam. Terdengar suara
berletupan. Sepuluh sinar merah musnah. Pukulan sakti tadi,
jangankan mencelakai atau membunuhnya, meninggalkan bekas pun
tidak! Dinginlah tengkuk Pandansuri. Wajahnya pucat lesu.
Iblis Sesat Jalan Hidup tertawa bergelak. "Ilmu Kuku Api! Ilmu itu
aku yang mengajarkannya padamu Pandansuri!"
"Apa katamu?!"
"Ilmu Kuku Api itu! Aku yang mengajarkannya padamu! Hari ini kau
harus mengembalikannya padaku berikut nyawa dan kehormatanmu!"
"Manusia iblis! Apa maksudmu! Siapa kau sebenarnya?!"
"Aku bernama Hang Kumbara. Dulu bergelar Raja Rencong Dari Utara.
Dulu pernah menjadi ayah angkatmu! Tapi kau mengkhianatiku! Kau
bekerja-sama dengan musuh-musuhku. Lalu kau melarikan diri…!"
"Gila! Kau iblis gila! Ayah angkatku menemui kematian setahun lalu
di Bukit Toba! Jangan mengaku-aku yang bukan-bukan. Dan ayah
angkatku tidak seburuk tubuh dan mukamu yang busuk!"
Iblis Sesat Jalan Hidup kembali tertawa. Tiba-tiba dia melompat ke
depan. Sekali tangannya bergerak, satu totokan melanda dada
Pandansuri, membuat gadis ini terjatuh rubuh dan kaku tegang tak
bisa bergerak lagi!
Iblis Sesat Jalan Hidup berlutut di sampingnya.
"Dulu kau selalu mengenakan kerudung ungu. Kini kulihat kau tidak
memakainya lagi. Ternyata baru kini kusadari kau memiliki wajah
cantik. Juga tubuh yang bagus! Ha… ha… ha…! Hutang nyawa bayar
nyawa. Darah dibayar dengan darah. Dosa di atas dosa!"
Iblis Sesat Jalan Hidup lalu ulurkan tangannya.
Breet… bret… brettt!
Pakaian di tubuh Pandansuri habis dirobeknya hingga gadis yang
malang itu kini terbaring dalam keadaan hampir tidak tertutup lagi
auratnya. Yang bisa dilakukannya hanyalah memaki dan menyumpah.
"Terkutuk! Iblis terkutuk! Jika kau benar-benar Raja Rencong, jika kau
benar-benar ayah angkatku lebih baik bunuh aku dari pada kau
perlakukan keji begini!" teriak Pandansuri.
"Dulu aku Raja Rencong! Dulu aku ayah angkatmu! Sekarang aku
adalah Iblis Sesat Jalan Hidup! Kau minta mampus?! Aku akan
membunuhmu, jangan kawatir! Tapi kau rasakan dulu dosa di atas
dosa!"
Lalu Iblis Sesat Jalan Hidup jatuhkan dirinya di atas tubuh
Pandansuri. Untuk kesekian kalinya gadis itu menjerit. Di langit sinar
merah telah meredup. Sang surya telah tenggelam dan keadaan di
pekuburan itu mulai gelap.
Tak jauh dari pekuburan…
Pendekar 212 Wiro Sableng berlari kencang sambil mendukung kakek
buntung Nyanyuk Amber.
"Hai… aku mendengar suara orang menjerit," berkata orang tua itu.
Saat itu Wiro masih belum mendengar apa-apa.
"Suara itu datang dari arah sana…" si kakek goyangkan kepalanya ke
kanan.
"Mungkin hanya suara anak-anak gembala yang pulang ke kampung
sambil bermain berteriak-teriak…" ujar Wiro. Memang dalam jarak
sejauh itu dengan sumber suara, daya pendengaran Wiro masih kalah
jauh dari si kakek, karena itu dia masih juga belum mendengar apa-
apa.
"Bocah torek! Telingamu perlu dibersihkan! Lekas bawa aku ke
jurusan sana…" Mengomel Nyanyuk Amber.
"Hari sudah hampir malam, kek! Sebaiknya kita terus saja ke
kampung. Bukankah ke situ tujuan kita guna mencari muridmu?" Baru
saja Wiro berkata demikian, dia merasakan kedua lutut orang tua
yang didukungnya menekan tubuhnya dan secara aneh gerakan
larinya terseret ke kanan. Dia kerahkan tenaga. Dia tahu kalau
Nyanyuk Amber pergunakan kepandaian untuk menguasainya agar
menurut apa maunya. Sadar kalau si kakek memang lebih lihay
tenaga dalamnya, Wiro terpaksa berbelok ke kanan. Sesaat kemudian
pendekar ini berkata seperti mengomel: "Apa kataku kek! Kau
menyuruhku membawamu ke jurusan ini. Tahukah kau apa yang ada
di depan kita?"
"Katakanlah!"
"Pekuburan!" jawab Wiro.
"Pekuburan! Lalu apa salahnya? Jeritan itu semakin keras kini. Dan
aku membaui sesuatu yang busuk!"
Wiro kini sudah pula mendengar suara jeritan itu. Juga bau busuk
seperti yang dikatakan si kakek.
"Hai! Bau busuk itu! Bukankah ini bau busuk tubuh Iblis Sesat Jalan
Darah?! Dia pasti ada di sekitar sini!" kata Wiro.
"Tepat! Teruslah lari ke jurusan jeritan itu. Aku hampir pasti itu
adalah suara muridku!"
Ketika sampai di bagian pekuburan yang membukit, Wiro melihat
sosok tubuh Iblis Sesat Jalan Hidup di kejauhan, seperti tengah
menghimpit seseorang di bawahnya.
"Durjana terkutuk!" teriak Pendekar 212. Seperti terbang tubuhnya
melesat ke arah dua kubur yang masih merah, disamping mana
Pandansuri siap dirusak kehormatannya.
Iblis Sesat Jaian Hidup bukan tidak tahu kalau ada orang yang
datang. Masih dalam keadaan terbaring di atas tubuh Pandansuri dia
lepaskan pukulan Kuku Api. Secepat kilat Wiro balas menghantam
dengan pukulan matahari. Nyanyuk Amber yang ada dalam
dukungannya tiba-tiba melesat ke udara, lalu jatuh di tanah,
bergulingguling sampai akhirnya berhenti karena tertahan oleh
sebuah batu nisan. Dari jeritan muridnya dia tahu persis di mana
Pandansuri berada. Maka tubuhnya pun digulingkan ke tempat gadis
itu terbaring.
Iblis Sesat Jalan Hidup kembali lepaskan pukulan Ilmu Kuku Api. Kali
ini ke arah Nyanyuk Amber. Tapi lagi-lagi Wiro menghantam dengan
pukulan sinar matahari, malah tangan kirinya sekaligus lancarkan
pukulan yang dipelajarinya dari Tua Gila, yakni pukulan "Dewa topan
menggusur gunung".
Tubuh Iblis Sesat Jalan Hidup terpental. Tapi setelah bergulingan
beberapa kali dia cepat berdiri dan kini menyerbu Pendekar 212
dengan pukulan sakti bernama "topan pemutus urat". Hebatnya
bukan alang kepalang. Selain mengeluarkan suara menggemuruh,
sekali tubuh tersambar angin pukulan sakti ini maka kontan urat-urat
yang ada di bagian tubuh itu hancur berputusan!
"Pukulan Topan Pemutus Urat!" seru Nyanyuk Amber ketika dia
mengenali suara angin pukulan yang dilepaskan Iblis Sesat Jalan
Hidup. "Ah! Keparat itu rupanya memang benar-benar si Hang
Kumbara laknat! Aneh luar biasa! Bagaimana sudah mampus dia
bisa hidup lagi?!"
Nyanyuk Amber terus menggulingkan tubuhnya hingga akhirnya
berhenti ketika menumbuk tubuh Pandansuri.
Di bagian lain Pendekar 212 Wiro Sableng merasakan tubuhnya
seperti dicengkeram oleh belasan tangan yang tak kelihatan. Sadar
akan bahaya kehebatan kesaktian lawan, murid Sinto Gendeng ini
keluarkan bentakan keras hantamkan Kapak Naga Geni 212 ke depan
sedang tangan kiri lepaskan pukulan "dinding angin berhembus
tindihmenindih".
Tapi sungguh di luar dugaan sang pendekar. Angin sakti pukulan
lawan masih terus melabraknya. Untuk selamatkan diri mau tak mau
Wiro terpaksa melompat ke udara. Tapi saat itu terdengar teriakan
Nyanyuk Amber.
"Jatuhkan dirimu ke tanah".
Rupanya orang tua itu tahu cara bagaimnana menghadapi serangan
"topan pemutus urat' maka secepat kilat Wiro Sableng jatuhkan diri,
menelungkup sama rata ke tanah! Angin maut lewat di atas
punggungnya, bersiur sejuk seperti hembusan angin gunung!
"Gila…!" rutuk Wiro dan melompat berdiri. Begitu berdiri dia segera
lindungi.diri dengan hantamkan pukulan "sinar matahari" ke arah
lawan. Sadar kalau sebelumnya pukulan itu tidak mampu menciderai
manusia iblis itu maka Wiro susul dengan membabatkan Kapak Naga
Geni 212. Tabasannya sengaja diarahkan ke batang leher Iblis Sesat
Jalan Hidup.
Buk!
Mata kapak telak-telak menghajar batang leher Iblis Sesat Jalan
Hidup, membuat tubuhnya terbanting jungkir balik. Tapi di lain saat
dia kembali berdiri sambil keluarkan suara tertawa mengekeh. Murid
Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini jadi keluarkan keringat dingin.
"Kalau iblis ini memang tidak bisa dibunuh, berarti nyawaku kali ini
tak akan ketolongan. Pasti juga orang tua dan gadis itu akan
dibunuhnya!"
Akan Nyanyuk Amber, begitu tubuhnya membalik.
"Muridku… Kau tak apa-apa?"
"Kau mana bisa melihat guru!" sahut Pandansuri yang masih
terbungkus hawa amarah terhadap Iblis Sesat Jalan Hidup. "Mahluk
iblis itu hendak memperkosaku. Seluruh pakaianku habis
dirobeknya…"
"Ah, untung mataku buta. Kalau tidak tentu aku menyaksikan
pemandangan yang…"
"Dalam keadaan seperti ini kau masih bisa bergurau! Guru! Kau
keterlaluan!" potong Pandansuri dengan suara keras tapi seperti
hendak menangis.
"Sudah… sudah! Jangan marah padaku. Bahaya belum lewat. Lekas
kau tutupi tubuhmu dengan jubah biruku ini!" kata Nyanyuk Amber
pula. Lalu jubahnya tampak menggembung. Secara aneh pakaian
yang sangat besar dan berwarna biru itu bergerak naik ke atas
melewati perut, dada dan akhirnya lolos dari kepalanya. Jubah itu
kemudian jatuh menutupi tubuh Pandansuri yang nyaris telanjang. Si
orang tua sendiri kini hanya mengenakan celana kolor dekil!
"Guru! Aku harus menuntut balas kematian ayah dan ibuku!
Mereka dibunuh oleh Iblis Sesat Jalan Hidup. Aku sudah bersumpah
untuk membunuhnya. Bisakah kau tolong melepaskan totokan di
tubuhku?!"
"Ain. rupanya kau kena ditotok oleh iblis itu. Pantas tadi kudengar
hanya suaramu saja yang menjerit-jerit! Lekas katakan bagian mana
tubuhmu yang ditotok?"
"Dada…" menerangkan Pandansuri.
Buk!
Nyanyuk Amber hantamkan kepalanya ke dada gadis itu hingga
Pandansuri terpekik kesakitan. Tapi justru tumbukan kepala pada
bagian dadanya itu membuat totokannya punah. Begitu terlepas dari
totokan gadis ini melompat tegak dengan tubuh berselimutkan jubah
biru Nyanyuk Amber yang menjela-jela sampai ke tanah pekuburan.
"Iblis laknak! Kau harus mampus di tanganku!" teriak Pandansuri
seraya bergerak mendekati Iblis Sesat Jalan Hidup yang saat itu siap
menerjang Pendekar 212 Wiro Sableng yang berada dalam keadaan
terdesak.
Iblis Sesat Jalan Hidup berpaling dan terkejut. Bukan ancaman maut
yang diteriakkan Pandansuri yang membuatnya terkejut, tetapi jubah
biru milik Nyanyuk Amber yang menyelubungi tubuh si gadis
membuatnya jadi kecut.
"Gadis pengkhianat ayah angkat! Pergi kau! Menjauh dari sini kalau
tidak ingin kubahabisi detik ini juga!"
Sebagai jawaban Pandansuri jentikkan lima jari tnagan kanannya.
Lima larik sinar merah ilmu kuku api menyambar ganas ke arah Iblis
Sesat Jalan Hidup. Terdengar suara berletupan ketika lima larik sinar
merah itu menghantam tubuhnya dengan tepat. Tapi tak sedikit
cidera pun yang kelihatan. Bahkan selendang hitam yang sampai
saat itu masih tersandang di bahu kanannya tidak rusak sedikit pun!
"Pergi!" teriak Iblis Sesat Jalan Hidup ketika Pandansuri semakin
mendekat.
Satu-satunya daun telinga yang dimiliki Nyanyuk Amber tampak
bergerak-gerak. Orang tua ini memutar otak. "Aneh…" katanya dalam
hati. "Suara iblis itu seperti menunjukkan rasa takut. Apa yang
ditakutinya terhadap muridku? Bukankah mudah saja dia membunuh
sementara aku tak berdaya menolong…?"
"Pergi!" Iblis Sesat Jalan Hidup berteriak lagi. Pandansuri semakin
dekat. Takut jubah biru itu mengenai tubuhnya. Iblis Sesat Jalan
Hidup segera lepaskan pukulan "topan pemutus urat". Namun
gebukan Kapak Maut Naga Geni 212 yang menghantam perutnya,
meskipun tidak dapat melukai kulitnya, membuat tubuhnya terpental
dan jatuh duduk di atas sebuah kuburan tua.
Sementara itu Pandansuri yang penuh dengan dendam membara
serta penasaran melihat ilmu kuku apinya tidak mempan terhadap
Iblis Sesat Jalan Hidup tiba-tiba ingat pada ilmu pukulan sakti
bernama "Surya Biru" yang selama satu tahun belakangan ini
dipelajarinya dari Nyanyuk Amber. Memikir bahwa inilah kesempatan
untuk mempergunakan dan menjajal kehebatan ilmu tersebut, dengan
pengerahan tenaga dalam sepenuhnya, dari jarak enam langkah
Pandansuri bersiap untuk menghantam. Tapi baru saja dia hendak
mengangkat tangan kanan, di depannya Iblis Sesat Jalan Hidup telah
melompat tegak seraya kirimkan pukulan topan pemutus urat! Debu
pasir dan tanah kuburan beterbangan ke udara!
Sebagai bekas anak angkat dan murid Raja Rencong alias Iblis Sesat
Jalan Hidup, Pandansuri tentu saja mengetahui bagaimana
kehebatan dan keganasan ilmu pukulan sakti itu. Namun dia pun
mengetahui pula bagaimana cara menyelamatkan diri. Maka cepat-
cepat gadis ini jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Angin pukulan
maut lewat di atas tubuhnya.
"Keparat!" teriak Iblis Sesat Jalan Hidup. Ingin dia melompat dan
mencekik batang leher gadis itu. Menghancurkan tulang belulang di
sekujur tubuhnya.
Tapi jubah warna biru membuatnya takut tak berani mendekat,
apalagi sampai menyentuh jubah tersebut. Warna biru adalah
pantang yang berarti maut baginya!
Saat itu matahari sudah tenggelam. Keadaan di pekuburan itu mulai
gelap. Iblis Sesat Jalan Hidup keluarkan suara menggembor.
"Kalau kuserang terus-menerus masakan dua bangsat ini tak akan
mampu kubereskan!" begitu dia membatin. Yang dimaksudkannya
dengan dua bangsat adalah Pandansuri dan Wiro Sableng. Nyanyuk
Amber —orang tua yang tak berdaya karena cacat tubuhnya itu—
tidak dipandang sebelah mata oleh sang iblis. Maka kembali dia
lepaskan pukulan topan pemutus urat ke arah Wiro sedang ilmu kuku
api ke jurusan Pandansuri. Namun dengan Kapak Naga Geni 212 di
tangan Wiro mampu menangkis sambil jatuhkan diri ke tanah sedang
Pandansuri melihat gerakan lawan, lebih cepat melompat jauh
berkelit. Selagi Iblis Sesat Jalan Hidup geram dan gemas, dari
samping Wiro lepaskan pukulan sakti dengan tangan kirinya yakni
pukulan topan melanda samudera. Ketika Iblis Sesat Jalan Hidup
jatuh dan terguling kena hantaman pukulan itu, dia susul dengan
pukulan sakti lainnya yang selama ini jarang dikeluarkannya yakni
pukulan angin es. Kapak diselipkan di pinggang. Kedua tangan
diangkat ke atas dengan telapak terkembang ke arah Iblis Sesat Jalan
Hidup. Dalam waktu singkat mendadak saja udara di tempat itu
menjadi dingin sekali seperti dibungkus es. Nyanyuk Amber
merasakan tubuhnya bergetar kedinginan.
Apalagi saat itu dia hanya mengenakan celana kolor karena jubah
birunya dipakai Pandansuri untuk menutupi tubuhnya. Si gadis
sendiri merasakan tubuhnya menggigil dan gigi-giginya
bergemeletukan. Makin lama udara makin dingin.
"Hai! Apa yang terjadi di sini?! Mengapa tubuhku seperti beku?!"
seru Nyanyuk Amber. Orang ini kerahkan tenaga dalamnya untuk
melawan hawa dingin luar biasa itu, tapi sia-sia.
Pandansuri tersungkur ke tanah setelah kedua lututnya tertekuk tak
sanggup lagi berdiri menahan dingin. Akan halnya Iblis Sesat Jalan
Hidup, mahluk yang sebenarnya sudah mati ini sama sekali tidak
terpengaruh oleh ilmu kesaktian yang dikeluarkar Pendekar 212 Wiro
Sableng.
"Pemuda keparat! Kau boleh keluarkan segudang ilmumu! Tak satu
pun yang bisa mencelakai apalagi membunuh Iblis Sesat Jalan
Hidup!" habis berkata begitu Iblis Sesat Jalan Hidup menghantam
dengan ilmu kuku api. Karena kali ini dia kerahkan seluruh tenaga
dalamnya yang ada maka lima larik sinar merah yang berkiblat
panasnya bukan alang kepalang. Udara dingin serta merta punah dan
murid Sinto Gendeng terpaksa jungkir balik selamatkan diri dari
serangan lawan sambil memaki tegang!
Segitu merasa hawa dingin lenyap dengan tiba-tiba, Pandansuri
cepat berdiri. Tepat pada saat Iblis Sesat Jalan Hidup berpaling ke
arahnya dan kembali menghantam dengan pukulan topan pemutus
urat. Namun sekali ini sang dara bergerak lebih cepat. Pukulan sakti
"Surya Biru" yang dipelajarinya dari Nyanyuk Amber, yang sejak tadi
ingin dikeluarkannya, kini begitu melihat kesempatan serta merta
dipukulkan ke arah Iblis Sesat Jalan Hidup.
Di ujung jari-jari Pandansuri menderu sebentuk sinar biru, bergulung-
gulung seperti mata kikir membuntal cepat ke arah sasaran, iblis
Sesat Jalan Hidup berseru tegang melihat sinar biru yang datang
menyambar. Sesaat dia tertegun bingung dan kecut, tak tahu apa
yang harus dilakukan. Untuk menangkis pukulan sakti lawan dia
kawatir cipratan atau taburan sinar biru masih sempat menyambar
tubuhnya. Mau tak mau dia terpaksa melompat ke samping untuk
selamatkan diri.
Celakanya dari samping Pendekar 212 Wiro Sableng kembali
menghantam dengan pukulan sinar matahari. Akibatnya tubuh Iblis
Sesat Jalan Hidup yang barusan lepas dari hantaman gulungan sinar
biru, kini kembali terdorong dan langsung menabrak sinar biru
pukulan sakti Pandansuri.
Terjadilah satu hal yang menggidikkan.
Iblis Sesat Jalan Hidup terdengar menjerit seperti tolongan anjing.
Tubuhnya mengeluarkan suara seperti besi panas membara yang
dicelupkan ke dalam air. Sekujur kulit dan daging tubuhnya meleleh
seperti dikelupas. Bau busuk sengit memenuhi udara. Tubuh yang kini
hanya tinggal tulang-belulang itu —tak beda seperti jerangkong—
terkulai lalu jatuh roboh ke tanah pekuburan. Lapat-lapat di kejauhan
kembali terdengar suara seperti anjing melolong. Wiro rasakan bulu
kuduknya berdiri sedang Pandansuri gemetar ngeri.
"Hai! Apa yang terjadi?!" terdengar Nyanyuk Amber bertanya.
Pandansuri tak kuasa menjawab. Dirinya masih dicengkam rasa
ngeri. Wiro akhirnya membuka mulut.
"Muridmu berhasil membunuh mahluk terkutuk itu…"
"Eh… Betul begitu? Ah, sungguh luar biasa!" kata Nyanyuk Amber.
"Bagaimana kau bisa melakukannya Pandan?"
Sang dara masih belum bisa membuka mulut. Kembali Wiro yang
menjawab. "Tubuh manusia iblis itu seperti lilin meleleh ketika
muridmu menghantamnya dengan pukulan sakti yang memancarkan
gulungan sinar biru
"Pukulan Surya Biru!" seru si orang tua. "Jadi itulah yang
membunuhnya! Tuhan Maha Kuasa! Kini aku ingat! Iblis Sesat Jalan
Hidup berpantang dengan segala sesuatu berwarna biru!"
Wiro kerenyitkan kening sedang Pandansuri berpaling memperhatikan
wajah orang tua itu dalam gelap.
"Kini aku tahu mengapa dia tadi seperti ketakutan ketika muridku
mendekatinya. Bukankah kau mengenakan jubahku yang berwarna
biru… "
"Sulit kupercaya!" kata Wiro seraya garuk-garuk kepala.
"Jika kalian tidak percaya, coba tempelkan ujung jubahku pada sisa-
sisa bangkai iblis itu!" berkata Nyanyuk Amber.
Pandansuri melangkah mendekati sosok jerangkong yang terhampar
di tanah. Salah satu bagian ujung jubah yang menjela-jela
diangkatnya lalu dilepaskannya tepat di atas batok kepala atau
tengkorak jerangkong.
Cess!
Sang dara terloncat kaget dan cepat mundur. Nyanyuk Amber
tertawa.
Seperti tadi pertama kali ketika sinar biru pukulan sakti yang
dilepaskan Pandansuri, terdengar suara laksana besi panas dicelup ke
dalam air sewaktu jubah biru menempel dengan tulang tengkorak.
Tengkorak itu sendiri kini tampak remuk seperti tertimpa batu besar
dan berat!
"Kita patut bersyukur pada Tuhan! Satu lagi kejahatan punah dari
muka bumi ini!" berkata Nyanyuk Amber. Lalu seperti menggerutu
orang tua ini berseru: "Hai! Apakah kalian akan membiarkan aku
setengah telanjang seperti ini?!"
"Kami akan membawamu ke Pasir Putih, guru," menjawab
Pandansuri. Lalu dia berpaling pada Wiro. Sesaat dara ini menatap
wajah pemuda yang selama ini selalu dikenangnya. Ketika sang
pendekar balas menatap, wajah Pandansuri langsung berubah merah.
Cepat-cepat dia berkata: "Sahabat, tugasmu mendukung guruku
sampai ke rumah!"
"Ah, aku selalu kebagian pekerjaan yang tidak enak. Tapi tak apa.
Aku lebih suka mendukung tubuh gurumu daripada disuruh memakai
jubah birunya yang butut dan sedap baunya itu!"
"Hai! Jangan menghina jubahku! Ingat, kau pernah kususupkan
dalam jubah itu ketika Raja Rencong mencarimu!" berseru Nyanyuk
Amber.
Wiro menyeringai. Tapi dia terus saja menggoda Pandansuri. "Kau
tahu…" katanya pada gadis itu. "Kalau aku tidak salah hitung, paling
tidak jubah itu tak pernah dicuci selama sepuluh tahun! Dan itu yang
kau pakai sekarang! Hah… ha… ha! Apakah tubuhmu tidak merasa
gatal?!"
"Kau keterlaluan! Menghina guru dan menggoda orang!" kata
Pandansuri. Lalu gadis ini balikkan diri dan tinggalkan tempat itu.
Wiro tak bisa berbuat lain daripada mendukung Nyanyuk Amber di
punggungnya dan mengejar Pandansuri yang berlari menuju kampung Pasir Putih.
Komentar
Posting Komentar