WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya : BASTIAN TITO
EPISODE : DEWI SILUMAN BUKIT TUNGGUL
************
Wiro Sableng
menghentikan jalannya di tikungan itu.
Matanya memandang ke muka memperhatikan
beberapa buah gerobak besar ditumpangi oleh
perempuan-perempuan dan anakanak.
Gerobak-gerobak itu juga penuh dengan
muatan berbagai macam perabotan rumah
tangga.
Belasan orang laki-laki kelihatan berjalan kaki
dan membawa buntalan barang-barang.
Jelaslah bahwa semua mereka itu tengah
melakukan pindah besar-besaran.
"Saudara, hendak pergi ke manakah
rombonganmu ini?" bertanya Wiro sewaktu
seorang anggota rombongan melangkah ke
jurusannya.
Orang itu memandang sebentar kepadanya
dengan pandangan curiga. Demikian juga
anggota rombongan yang lain.
"Kami terpaksa meninggalkan kampung,
pindah ke tempat lain yang jauh dari daerah
ini…."
"Kenapa pindah?"
Seorang laki-laki tua yang mengemudikan
gerobak, menghentikan gerobak itu dan
menjawab pertanyaan Wiro Sableng.
"Kampung kami dilanda malapetaka!"
"Malapetaka apakah?"
"Kepala kampung dan lima orang
pembantunya serta istrinya digantung.
Beberapa orang gadis diculik! Beberapa
penduduk dibunuh…."
"Siapa yang melakukannya?" tanya Wiro
Sableng.
"Siapa lagi kalau bukan kaki tangannya Dewi
Siluman," menyahuti laki-laki pengemudi
kereta.
Mulut Pendekar 212 tertutup rapat-rapat.
Rahangnya bertonjolan lagi-lagi dia
dihadapkan pada kejahatan yang dilakukan
oleh orang-orangnya Dewi Siluman.
"Kalau kami tidak meninggalkan kampung,
kami semua akan dibunuh!"
Anggota rombongan yang pertama tadi
bertanya. "Kau sendiri mau kemanakah,
Saudara…?"
"Maksudku ke arah sana. Ke kampung
kalian…?"
"Sebaiknya batalkan saja niatmu," menasehati
orang itu. "Orang-orangnya Dewi Siluman
pasti akan datang lagi ke kampung kami. Jika
kau ditemui mereka di sana, tiada harapan
bagimu untuk hidup lebih lama!"
"Terima kasih atas nasihatmu, Saudara!"
jawab Wiro. "Tapi aku tetap musti menuju
kesana…."
"Kau mencari mati, orang muda!" kata
pengemudi gerobak. Dilecutnya punggung
lembu yang menarik gerobak itu kemudian
diberinya aba-aba. Rombongan itu pun
bergerak kembali.
Wiro Sableng mengikuti rombongan itu
dengan pandangannya sampai akhirnya
mereka lenyap di kejauhan. Hatinya kasihan
sekali melihat orang-orang itu, terutama laki-
laki tua dan perempuan-perempuan tua serta
anak-anak. Kemudian dibalikkannya
badannya dan dengan cepat berlalu dari situ.
Kira-kira dua kali sepeminum teh, Wiro
Sableng menemui sebuah kampung yang
berada dalam keadaan porak poranda.
Pastilah ini kampung rombongan yang
ditemuinya di tengah jalan tadi.
Beberapa buah rumah hancur. Dua di
antaranya musnah dimakan api. Empat orang
laki-laki terkapar di hadapan sebuah rumah
bagus sedang di langkan rumah Pendekar 212
menyaksikan enam orang tergantung berayun-
ayun tiada nyawa lagi. Yang pertama adalah
kepala kampung, kemudian isterinya.
Selebihnya adalah pembantu-pembantu
kepala kampung. Di beberapa langkan rumah
lainnya, Wiro menemukan pula beberapa
orang yang mengalami nasib sama seperti
kepala kampung, digantung sampai mati.
Pendekar 212 menyandarkan punggungnya ke
sebatang pohon dan membatin. Kesalahan
apakah yang telah dibuat penduduk kampung
ini sebelumnya sampai mereka dibunuh
sedemikian kejamnya? Anak-anak dan
perempuan-perempuan tanpa
perikemanusiaan sama sekali?!
Wiro ingat pada ucapan anggota rombongan
tadi. Orang-orangnya Dewi Siluman pasti
akan kembali ke kampung itu. Wiro
memutuskan untuk menunggu. Jika manusia-
manusia jahat itu muncul, dia akan buat
perhitungan dengan mereka dan sekaligus
mencari keterangan di mana letak Bukit
Tunggul. Manusia macam Dewi Siluman tidak
layak dibiarkan hidup lebih lama. Maka Wiro
pun melompat ke sebuah cabang pohon yang
tinggi, duduk di situ dan memulai
penungguannya.
Sampai matahari condong ke barat tak
seorang pun yang muncul. Dengan hati kesal
murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede
itu turun dari atas pohon dan mengelilingi
kampung.
Bukan main geramnya. Wiro sewaktu di salah
satu dinding rumah penduduk ditemuinya
barisanbarisan tulisan seperti yang dilihatnya
sebelumnya di kampung yang terdahulu.
Delapan penjuru angin adalah daerah kami
Siapa menantang mesti diterjang
Dunia persilatan boleh geger
Tokoh-tokoh persilatan boleh turun tangan
Kalau mau mempercepat kematian. Dan juga
di bawah barian-bansan kalimat itu tertera
lukisan tengkorak kecil. Geram sekali Wiro
Sableng pergunakan kaki kirinya untuk
menendang dinding rumah itu. Dinding rumah
hancur berantakan. Ditinggalkannya tempat
itu. Hatinya bimbang dan meragu apakah
orang-orangnya Dewi Siluman benar-benar
akan kembali ke kampung itu. Tiba-tiba Wiro
tersirap kaget. Di belakang rumah sebelah
kirinya terdengar suara seseorang bicara.
"Heran, kenapa Dewi Siluman berbuat
kekejaman yang tiada artinya ini?"
Sebagai jawaban terdengar suara helaan
napas yang disusul dengan ucapan. "Manusia
punya seribu macam cara untuk cari nama di
dunia persilatan!"
Ternyata ada dua orang di samping rumah
sana. Yang mengherankan Wiro ialah
mengapa dia sama sekali tidak mendengar
sedikit pun kedatangan kedua manusia itu?
Penuh rasa ingin tahu Wiro menyelinap ke
bagian rumah yang lain dan melompat ke
sebatang pohon berdaun rindang.
Dari sini jelas sekali dia dapat memandang ke
halaman samping rumah tadi. Dua sosok
tubuh manusia dilihatnya berdiri di sana. Dan
untuk kedua kalinya Pendekar 212 dibuat
terkejut. Salah seorang dari dua manusia itu
bukan lain dari nenek-nenek sakti yang
pernah baku hantam sekitar dua bulan yang
lewat dengan dia di Kotaraja. Nenek-nenek
sakti yang dikenal dengan gelar Si Telinga Arit
Sakti.
Gerangan apakah yang membuat manusia ini
berada pula di Pulau Madura? Dan siapakah
manusia yang berdiri di sampingnya saat itu?
Manusia ini juga seorang perempuan tua
renta, bermuka keriput. Salah satu matanya
hanya merupakan rongga hitam yang
mengerikan. Kepalanya tidak sedikit pun
ditumbuhi rambut. Dia mengenakan jubah
putih yang pada bagian dadanya tergambar
dua buah arit saling bersilangan! Melihat
kepada umur serta ciri-ciri manusia ini Wiro
menduga mungkin sekali dia adalah guru Si
Telinga Arit Sakti. Sekurang-kurangnya kakak
seperguruannya. Dan apakah kemunculan
mereka berdua di Pulau Madura ada sangkut
pautnya dengan pertempuran di Kotaraja dulu
itu? Sangkut paut urusan dendam yang
hendak dibalaskan?
Atau mungkin untuk satu urusan lainnya?
Wiro terus memperhatikan dari atas pohon
berdaun lebat itu. Dilihatnya Si Telinga Arit
Sakti memandang berkeliling.
"Tak ada tanda-tandanya bangsat yang kita
kejar itu berada di sini…." Perempuan tua
berjubah putih buka suara.
Si Telinga Arit Sakti memandang lagi
berkeliling lalu menyahuti. "Tapi rombongan
yang kita papasi di tengah jalan itu
mengatakan bahwa dia memang menuju ke
sini. Mungkin dia sudah berlalu ke tempat
lain. Kita harus mengejarnya dengan cepat."
"Kau hanya bikin aku repot saja Telinga Arit
Sakti. Kalau tidak gara-garamu tentu
sekarang ramuan obat yang kukerjakan itu
sudah selesai!"
Telinga Arit Sakti perlihatkan wajah yang
tidak senang. "Kalau pemuda sialan itu tidak
keliwat sakti mandraguna, pastilah aku tak
akan mengemis minta tolong padamu. Guru!"
Nyatalah kini bagi Wiro Sableng bahwa
perempuan tua berjubah putih itu adalah guru
Si Telinga Arit Sakti! Dan nyata pula bahwa
kemunculan mereka di Pulau Madura saat itu
adalah dalam mencari dirinya sendiri.
Rupanya kekalahan di Kotaraja tempo hari
sangat menggeramkan hati Si Telinga Arit
Sakti hingga manusia itu mengadu kepada
gurunya. Guru dan murid kemudian sama-
sama mencarinya!
"Dalam berpikir-pikir apakah dia saat itu
segera turun atau tetap saja diam di atas
pohon maka Wiro mendengar perempuan
berjubah putih berkata. "Kita teruskan
pengejaran ke timur!
Kurasa orang yang kita cari masih belum
berapa jauh!"
Telinga Arit Sakti mengangguk. Maka
keduanya pun berkelebat hendak
meninggalkan tempat itu. Tapi pada detik
yang sama dari jurusan barat satu bayangan
hitam laksana anak panah lepas dari
busurnya datang memapas ke arah mereka.
Pendatang baru ini berseru nyaring. Suaranya
menggetarkan delapan penjuru angin.
"Dua perempuan tua! Harap tetap di tempat
kalian!"
Guru dan murid hentikan tindakan mereka dan
berpaling ke arah barat. "Bedebah! Siapa yang
berani main perintah seenak cecongornya
huh?!" dengus guru Si Telinga Arit Sakti
dengan penuh kegusaran.
Dalam sekejap itu pula Si pendatang baru
sudah sampai di hadapan mereka. Melihat
siapa adanya manusia ini maka sirnalah
kemarahan guru Si Telinga Arit Sakti. Malah
dia menjura hormat dan lontarkan senyum.
"Ah, kiranya Sepuluh Jari Kematian! Tiada
sangka akan bertemu di Pulau Madura ini!"
Manusia yang baru datang adalah seorang
laki-laki berjubah hitam, berambut panjang
sampai ke punggung. Sepuluh jari tangannya
berwarna hitam legam. Dia berbatuk-batuk
dan berkata. "Setahuku Sepasang Arit Hitam
tengah sibuk membuat sejenis ramuan obat
sakti di pertapaannya. Tapi kini bersama
muridnya berada di sini. Urusan apakah yang
telah membawa kalian ke sini…?"
Sepasang Arit Hitam rangkapkan tangan di
muka dada. "Urusan biasa saja. Kami tengah
mencari seekor anjing kecil yang telah
membuat sedikit keonaran di kalangan
kami…."
Sepuluh Jari Kematian manggut-manggut
beberapa kali.
"Kalau aku boleh tahu, siapakah yang kau
maksudkan dengan seekor anjing kecil itu?"
"Ah… cuma seorang pemuda sinting geblek
bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar
212…!" jawab Sepasang Arit Hitam.
Di atas pohon Wiro Sableng memaki dalam
hati. Dengan gusar dan memperhatikan terus
dan mendengarkan percakapan orang-orang
itu.
Pada waktu mendengar nama Wiro Sableng
dan gelar Pendekar 212 tadi terkejutlah
Sepuluh Jari Kematian. "Kalau begitu kita
mencari bangsat yang sama!" serunya.
Wiro terkejut. Dia coba menduga siapa
adanya manusia berjuluk Sepuluh Jari
Kematian yang juga tengah mencari dirinya
itu.
"Betul-betul tidak diduga kita punya urusan
yang sama di tempat yang sama!" ujar
Sepuluh Jari Kematian. "Bangsat bernama
Wiro Sableng bergelar Pendekar 212 itu telah
membunuh muridku si Wirapati yang berjuluk
Pendekar Pemetik Bunga beberapa bulan yang
lewat! Aku terpaksa turun gunung untuk cari
itu manusia. Belakangan sekali aku mendapat
keterangan bahwa bangsat itu berada di ujung
Jawa Timur, tengah dalam perjalanan ke
Madura ini!"
Sepasang Arit Sakti Hitam hela nafas
panjang. "Pertemuan memang aneh dan sukar
diduga!
Karena kita sama satu tujuan satu haluan
tentu kau tak keberatan kalau meneruskan
pencarian atas bangsat itu secara bersama-
sama…."
"Tentu saja tidak keberatan!" sahut Sepuluh
Jari Kematian dengan tertawa lebar. Laki-laki
berjubah hitam ini layangkan pandangannya
berkeliling. "Di samping mencari pemuda
keparat bernama Wiro Sableng itu, aku juga
mendapat undangan dari Dewi Siluman di
Bukit Tunggul. Bila ada kesempatan kurasa
tak ada salahnya kalau kalian ikut berkunjung
ke tempatnya."
"Itu bisa dipikirkan nanti," menyahuti Si
Telinga Arit Sakti. "Yang penting kita harus
mencari si Wiro Sableng itu dan mematahkan
batang lehernya lebih dahulu!"
Sepuluh Jari Kematian tertawa mengekeh.
"Kau betul!" katanya.
Wiro Sableng memperhatikan kepergian ketiga
orang itu. Kehadirannya di Pulau Madura itu
kini bukan saja untuk berhadapan dengan
Dewi Siluman dan orang-orangnya, tapi juga
untuk berhadapan dengan tiga musuh sakti.
Kalau Si Telinga Arit Sakti, ilmu silat dan ilmu
kesaktiannya sudah demikian tinggi, tentu
gurunya Si Sepasang Arit Hitam lebih hebat
lagi dari itu. Dan ditambah pula dengan Guru
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga yang
berjuluk Sepuluh Jari Kematian itu. Benar-
benar mereka merupakan lawan-lawan
tangguh yang tak bisa dianggap enteng sama
sekali. (Mengenai kehebatan dan kejahatan
Pendekar Pemetik Bunga baca serial Wiro
Sableng "Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga").
Diam-diam Pendekar 212 merenung. Mungkin
kehadirannya di Pulau Madura adalah benar-
benar untuk mencari kematiannya sendiri. *
* * Wiro Sableng memperhatikan kesibukan-
kesibukan dalam warung itu dengan sikap
acuh tak acuh. Teh manisnya baru satu kali
diteguknya.
"Orang muda lekaslah habiskan minumanmu.
Warung ini akan segera ditutup…."
Wiro heran mendengar ucapan orang tua
pemilik warung. "Siang-siang begini sudah
ditutup?" tanyanya.
"Kau tak tahu apa-apa orang muda. Habiskan
saja teh itu, bayar cepat dan berlalu…."
"Ada apakah sebenarnya?"
Pemilik warung tampak agak gusar. Dia
menunjuk ke luar warung. "Kau lihat
penduduk yang berbondong-bondong itu?"
Wiro Sableng palingkan kepala ke luar
warung. Di tengah jalan dilihatnya
serombongan penduduk berjalan cepat menuju
ke selatan membawa berbagai macam barang
rumah tangga dan binatang-binatang
peliharaan seperti kambing-kambing dan
beberapa ekor sapi.
"Memangnya kenapa mereka itu…?" bertanya
lagi Wiro.
"Mereka mengungsi! Aku pun hendak
menyertai rombongan mereka. Daerah sini
sudah tidak aman! Malam kemarin seorang
gadis telah diculik. Dua orang ditemui mati."
"Siapa yang melakukannya?" tanya Wiro.
Pemilik warung itu hendak menjawab tapi tak
jadi. Di wajahnya nyata sekali kelihatan rasa
ketakutan. "Habiskan saja minumanmu. Aku
tak bisa menunggu lebih lama," katanya pada
Wiro.
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya beberapa
kali lalu meneguk teh manisnya sampai habis.
Dari saku pakaiannya dikeluarkannya sebuah
mata uang perak. Ditimang-timangnya
sebentar uang itu lalu diletakkannya di atas
meja di hadapan pemilik warung. Sewaktu
pemilik warung mengambil uang itu, Wiro
memegang tangannya dan berkata. "Dengar
orang tua. Kau tak usah kembalikan uangku
asal saja kau bisa kasih keterangan di mana
letaknya Bukit Tunggul tempat bersarangnya
Dewi Siluman…."
Si orang tua tersentak kaget. Parasnya yang
keriputan serta merta menjadi pucat pasi.
Matanya membelalak memandang Wiro.
"Justru karena dialah penduduk kampung ini
terpaksa pindah mengungsi. Kini kau malah
mencari penyakit bertanyakan tempat
kediamannya. Apa kau sudah bosan hidup
orang muda…?!"
Wiro Sableng tertawa.
"Mana ada orang yang bosan hidup,"
sahutnya "Toh tidak ada salahnya kalau kau
kasih sedikit keterangan di mana letak Bukit
Tunggul itu…."
Si orang tua gelengkan kepala. "Aku masih
ingin hidup! Sekali aku membuka mulut kasih
keterangan seluruh keluargaku akan mampus!
Mungkin juga semua penduduk kampung ini!"
Pemilik warung itu segera mengambil uang di
atas meja dan memberikan kembalinya pada
Wiro. Lalu katanya. "Nah, sekarang
berlalulah."
Wiro geleng-gelengkan kepala. Dia keluar dari
warung itu. Agaknya seluruh Pulau Madura
sudah digerayangi oleh rasa takut terhadap
Dewi Siluman dan orang-orangnya. Tak ada
satu kampung pun yang ditemuinya berada
dalam keadaan tenang tenteram. Di setiap
kampung mesti saja ada korban-korban yang
jatuh akibat kejahatan yang dilakukan oleh
orang-orangnya Dewi Siluman. Dan bukan itu
saja, di setiap kampung orang-orangnya Dewi
Siluman selalu menculik gadis-gadis. Entah
dibawa ke mana dan entah apa, yang
menimpa diri gadis-gadis itu tak bisa diduga
oleh Wiro.
Dia mendongak ke langit. Sang surya tengah
bersinar seterik-teriknya. Dengan
mempergunakan ilmu lari cepatnya, Wiro
tinggalkan kampung itu. Di satu jalan kecil
yang lurus pendekar ini memperlambat
larinya. Di ujung sana dilihatnya seseorang
duduk menjelepok di tengah jalan. Ketika dia
sampai di hadapan orang itu ternyata
manusia ini adalah seorang nenek tua
bermuka cekung keriput. Dia duduk seenaknya
di tengah jalan yang kecil itu. Di tangan
kanannya ada sebatang ranting kering. Dia
mengenakan jubah putih yang kotor. Dia
begitu asyik mengguratgurat tanah dengan
ujung ranting kering di tangannya itu.
Wiro tak dapat menduga siapa adanya nenek-
nenek ini. Baginya adalah satu hal yang aneh
seorang nenek-nenek berada di tengah jalan
dan duduk menggurat-gurat tanah seperti
dilihatnya saat itu. Karena jalan itu kecil, tak
mungkin Wiro Sableng untuk lewat begitu saja
tanpa membentur tubuh sang nenek. Dia bisa
melompat di atas kepala si nenek tapi tentu
saja ini satu kekurangajaran.
Maka Pendekar 212 pun menegurlah dengan
hormat.
"Nenek harap maafkan aku mengganggumu.
Sudilah memberikan sedikit jalan bagiku."
Si nenek anehnya terus saja asyik menggurat-
gurat tanah dengan ranting kering di tangan
kanannya. Seakan-akan tiada didengarnya
teguran Wiro tadi.
Mungkin nenek-nenek ini tuli, pikir Wiro. Tapi
adalah mustahil kalau dia tidak melihat Wiro
yang berdiri sedekat itu di sampingnya.
Wiro menegur lagi dengan suara lebih
dikeraskan.
"Nenek, harap suka memberi sedikit jalan
untukku lewat."
Si nenek tiba-tiba angkat kepalanya.
Sepasang matanya memandang Wiro dari
rambut sampai kaki, penuh meneliti dan
penuh gusar. Kemudian kembali dia
tundukkan kepala dan menggurat-gurat tanah
dengan ujung ranting.
Wiro memaki dalam hati. Kalau si nenek ini
tidak sinting pastilah dia seorang aneh atau
seorang yang sengaja cari sengketa, pikir
Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Nenek, aku mau lewat. Kuharap kau tak
keberatan memberi jalan…."
"Setan alas!" Si nenek tiba-tiba mendamprat
keras dan lantang. Wiro terkejut dan usap
dadanya. "Kapan aku kawin sama kakekmu
kau panggil aku nenek!"
Wiro perhatikan tampang si nenek yang
menjadi sangat galak. Dan Pendekar dari
Gunung Gede ini tak kuasa menahan rasa
gelinya sewaktu mendengar ucapan
perempuan tua itu. Dia tertawa gelak-gelak
sampai mukanya merah.
"Setan alas! Siapa yang suruh kau ketawa
huh?!" Si nenek membentak lagi dengan
suaranya yang keras.
Wiro hentikan tawanya.
"Siapa yang suruh!" sentak perempuan
berjubah putih itu lagi.
"Memang tak ada yang suruh, Nek… eh… aku
musti panggil apa terhadap kau…?" Wiro
Sableng garuk-garuk kepalanya.
"Kentut betul! Kalau tak ada yang suruh
kenapa musti ketawa?!"
"Apakah seseorang itu baru tertawa kalau
disuruh?" bertanya Pendekar 212.
"Sudah! Jangan banyak tanya! Kentutmu
sebakul! Jawab kenapa kau ketawa?! Kau
menertawai aku ya?! Ayo jawab!"
"Aku tidak menertawaimu Nek… eh… aku
tertawa karena ucapanmu yang lucu tadi."
"Betul-betul setan alas! Kau anggap aku ini
badut yang mau melucu di hadapanmu?
Makan rantingku ini!"
Habis berkata begitu si nenek hantamkan
ranting kering di tangannya!
"Wutt!"
Pendekar 212 tersentak kaget dan buru-buru
menghindar ke belakang. Sambaran ranting
yang di tangan si nenek mengeluarkan angin
dingin dan keras. Nyatanya bahwa si nenek
bukan perempuan sembarangan, tapi seorang
yang memiliki tenaga dalam yang tinggi. Dan
ini berarti bahwa dia adalah seorang tokoh
silat berkepandaian hebat.
Karena serangannya tidak mengenai sasaran,
si nenek menjadi gusar sekali. Dia melompat
dan ranting kering di tangannya menderu
pulang balik tiada hentinya, membungkus
tubuh Wiro Sableng dalam serangan-serangan
yang sangat berbahaya.
Pendekar 212 bersiul nyaring.
"Ah, nyatanya kau bukan nenek sembarang
nenek!" seru Wiro sambil gerakkan tubuhnya
dengan cepat untuk menghindar dari serangan
ganas si nenek.
Mendengar ucapan itu si nenek jadi tambah
buas. Serangannya tambah ganas. Meski
senjatanya cuma sebuah ranting kering namun
karena ranting itu mengandung aliran tenaga
dalam maka bahayanya tiada beda dengan
bahaya sebuah senjata tajam seperti golok
atau sebilah pedang.
"Nenek!" seru Wiro Sableng. "Antara kita tak
ada silang sengketa, mengapa kau menyerang
aku sejahat ini?!"
"Kalau kau tak lekas berlutut dan minta
ampun niscaya kau akan kukirim ke akherat!"
teriak si nenek jubah putih. Serangan ranting
keringnya semakin menggila. Dalam waktu
lima jurus saja Pendekar 212 sudah terdesak
hebat.
Sampai jurus yang kesembilan Wiro Sableng
masih juga berkelebat dalam posisi bertahan,
sama sekali tidak balas menyerang. Inilah
yang menyebabkan dia saat demi saat
semakin terdesak dan kepepet. Ruang gerak
Pendekar 212 makin lama makin ciut. Ranting
kering di tangan si nenek laksana ratusan
buah banyaknya dan menyerangnya dari
puluhan jurus.
Hampir tiada terasa lagi, saat itu mereka
sudah memasuki jurus ke empat belas. Dalam
jurus ini Wiro benar-benar dibikin mati kutu.
Dia tak sanggup bertahan lebih lama. Dengan
satu bentakan nyaring Pendekar 212 segera
pergunakan kedua tangannya untuk mulai
balas menyerang. Tapi justru pada jurus itu
pula ranting kering di tangan si nenek
membuat satu serangan yang sukar dikelit.
"Breet!"
Robeklah pakaian Pendekar 212. Dadanya
tergores luka. Rasa sakit dan perih serta
merta menjalari sekujur tubuhnya. Dan tubuh
itu kini menjadi panas dingin. Nyatalah
ranting kering di tangan si nenek bukan
ranting kering biasa, melainkan sebuah
senjata sakti yang mengandung racun luar
biasa. Cepat-cepat Wiro ke luar dari kalangan
pertempuran dan kerahkan tenaga dalamnya.
Si nenek tertawa panjang.
"Jangan harap kau bisa hidup lebih dari satu
jam, pemuda keparat! Rantingku ini
mengandung racun yang jahat sekali!"
Wiro tetap tenang. Dia tidak yakin racun
ranting si nenek akan menamatkan
riwayatnya.
Sewaktu digembleng di puncak Gunung Gede,
tubuhnya telah diberi kekuatan oleh Eyang
Sinto Gendeng, kekuatan yang membuat dia
kebal terhadap segala racun yang
bagaimanapun jahatnya.
Apalagi saat itu dia sudah kerahkan tenaga
dalamnya.
Si nenek tertawa lagi.
"Selamat tinggal orang muda! Nasibmu
ternyata sial di Pulau Madura ini! Nantikanlah
saat kematianmu di depan mata!"
Habis berkata begini si nenek segera putar
tubuh dan berkelebat meninggalkan tempat
itu.
"Manusia keriput! Tunggu dulu! Aku tak sudi
kau pergi sebelum menerima sedikit
pembalasan hormat dariku!" teriak Wiro
Sableng. Sekali dia melesat maka tahu-tahu
tubuhnya sudah berada dihadapan si nenek,
menghalangi lari perempuan tua itu. Tentu
saja kejut si nenek bukan tanggung-tanggung.
Matanya melotot membeliak.
"Nyalimu keliwat besar!" teriaknya. "Apakah
mau mampus saat ini juga bedebah?!"
Wiro bersiul nyaring.
"Soal nyawa jangan diributkan perempuan
keriput! Terima pukulanku ini!"
Wiro Sableng hantamkan tinju kanannya ke
depan. Di saat itu pula si nenek sapukan
rantingnya ke muka. Maka tak ampun lagi
tinju dan rantingpun beradulah.
Wiro kerenyitkan kening menahan sakit. Kulit
tangannya kelihatan lecet sedang ranting di
tangan si nenek mental dan patah berantakan.
Si nenek beringas sekali melihat ranting
keringnya dimusnahkan lawan. Dia melompat
ke muka dengan sepuluh jari tangan
terpantang.
"Cengkeraman Garuda Sakti" seru Pendekar
212 begitu dia mengenali jurus serangan
lawan.
Sekali tubuh kena dicengkeram pastilah
daging dan tulang-tulangnya akan hancur
remuk. Cepatcepat Wiro menyurut mundur dan
buat satu liukkan, kemudian hantamkan
tangan kanan ke depan, melepaskan "Pukulan
Kunyuk Melempar Buah" yang disertai hampir
setengah bagian tenaga dalamnya.
Si nenek melengking penasaran sewaktu
serangannya tertahan oleh satu gelombang
angin yang laksana satu gumpalan batu
keras. Dengan kalap dia menyeruak dari
samping dan begitu pukulan Pendekar 212
lewat dengan serta merta dia lepaskan dua
jotosan dan dua tendangan jarak jauh. Empat
serangan ini hebatnya bukan main. Debu dan
pasir jalanan menderu.
Empat angin pukulan si nenek laksana air bah
merambas tubuh Pendekar 212. Murid Eyang
Sinto Gendeng ini terpaksa melompat
beberapa tombak ke atas. Sambil turun ke
bagian yang aman Wiro lepaskan "Pukulan
Angin Puyuh".
Empat angin pukulan si nenek dan satu
gelombang angin pukulan Wiro Sableng saling
bentrok menimbulkan suara letusan nyaring,
menggetarkan tanah tempat berpijak. Si nenek
terpelanting sampai enam langkah sedang
kedua kaki Wiro Sableng tenggelam ke tanah
sampai sedalam tiga senti.
Bukan main geramnya si nenek. Ternyata si
pemuda memiliki ilmu yang tidak rendah
sebagaimana yang disangkanya. Dalam
luapan amarah, nenek keriput ini segera cabut
batang belimbing di tepi jalan. Dengan
mempergunakan pohon itu sebagai senjata
dia segera menyerang Wiro Sableng.
"Hebat!" seru Wiro sambil berkelit cepat.
Pohon belimbing yang di babatkan si nenek
menderu menghantam pohon lain di
belakangnya, membuat pohon ini tumbang
bergemuruh. Dapat dibayangkan bagaimana
kalau batang pohon belimbing itu melanda
tubuh Wiro Sableng.
Laksana memegang sebuah sapu lidi,
demikianlah si nenek pergunakan pohon
belimbing itu untuk menyapu dan membabat
lawannya. Wiro Sableng geleng-geleng dan
garuk-garuk kepala.
Belum pernah ia menghadapi lawan yang
demikian kalapnya seperti si nenek ini
sehingga mau mencabut sebatang pohon dan
menyerang dengan pergunakan pohon itu
sebagai senjata. Di
samping kagum, Wiro juga kepingin tahu
siapa sesungguhnya manusia ini.
"Nenek, sesuai dengan peradatan dunia
persilatan harap kau terangkan siapa nama
atau gelarmu!" seru Wiro.
"Bakul kentut! Kau bisa tanya nanti pada
cacing-cacing di liang kubur!" Dan si nenek
babatkan lagi pohon belimbing di tangannya.
"Buset!"
Wiro berkelebat cepat.
Si nenek penuh penasaran memandang
berkeliling. Lawannya lenyap seperti ditelan
bumi.
"Setan alas kau lari ke mana hati?!" teriak
nenek-nenek itu.
Di belakangnya terdengar suara tertawa.
"Nenek-nenek kurasa matamu belum begitu
kabur hingga tak tahu kalau aku berada di
sini!"
Begitu putar tubuh begitu si nenek hantamkan
batang belimbing ke pohon di belakangnya.
Kraak!
Pohon di tepi jalan patah dan tumbang. Wiro
Sableng yang tadi memang melompat dan
berdiri di salah satu cabang pohon itu,
berkelebat ke pohon lain dan berdiri di salah
satu cabangnya sambil tertawa-tawa
mengejek.
"Setan alas! Apa kau kira aku tidak sanggup
mengejarmu ke atas sana?!" teriak seraya
lemparkan pohon belimbing ke tepi jalan
kemudian melompat sebat ke cabang pohon di
mana Wiro berdiri.
Tapi kemengkalannya jadi bertambah-tambah
karena begitu ia menginjak cabang pohon,
Wiro Sableng sudah lenyap dari cabang itu.
Dan bila dia memandang ke bawah maka
dilihatnya si pemuda berdiri bertolak
pinggang di jalan kecil, cengar-cengir ke
arahnya.
Si nenek sampai melengking nyaring saking
gemasnya. Dia keruk satu jubahnya dan
berteriak. "Pemuda keparat! Terima ini!"
Selusin senjata rahasia yang berbentuk paku
hitam melesat ke arah Wiro Sableng dalam
bentuk lingkaran. Wiro pukulkan tangan
kanannya ke atas. Enam paku mental jauh
sedang enam lainnya amblas ke dalam tanah.
Di saat itu pula si nenek sudah turun ke tanah
kembali dan kirimkan serangan berantai ke
arah Wiro.
"Nenek! Ilmumu memang tinggi. Tapi aku tak
begitu suka bertempur dengan orang lain
tanpa alasan! Apalagi kalau tidak tahu asal
usul dan namanya!"
"Pemuda sialan, jangan jual kentut! Kau tak
akan kulepaskan hidup-hidup!" hardik si
nenek.
Kembali dia kirimkan selusin paku hitam dan
susul dengan serangan berantai.
Pendekar 212 angkat kedua tangannya. Saat
itu pertempuran sudah berjalan tiga puluh
jurus lebih. Wiro kini tak mau main-main lagi.
Begitu kedua tangannya dipukulkan ke muka
maka gelombang angin yang laksana topan
menderu. Inilah "Pukulan Benteng Topan
Melanda Samudera" yang kedahsyatannya
bukan saja membuat selusin paku hitam itu
mental tapi juga membuat si nenek terguling
di tanah sampai enam tombak.
Belum lagi sempat bangun Wiro memburu tak
kasih ampun. Dua tangannya melesat ke
pangkal leher si nenek, siap untuk menotok.
Tapi lebih cepat dari itu si nenek keluarkan
sebuah benda berbentuk bola berwarna hitam.
Bola hitam ini dilemparkan ke arah Wiro. Satu
letusan terdengar. Dalam kejap itu pula asap
hitam tebal menggebu menutup
pemandangan, Wiro Sableng tak dapat
melihat apa-apa dan cepat-cepat melompat
ke samping. Tapi dia masih juga terkurung
oleh asap hitam yang gelap itu. Dia melompat
sekali lagi, dua kali lagi dan barulah bisa
keluar dari kurungan asap hitam yang
membutakan pemandangannya.
Beberapa saat kemudian ketika asap hitam itu
sirna dengan perlahan maka si nenek sudah
lenyap dari tempat itu. Dan betapa terkejutnya
Pendekar 212 karena di seberangnya kini
berdiri tiga manusia lain. *
* * Ketiga manusia itu bukan lain Si Telinga
Arit Sakti, Sepasang Arit Hitam dan Sepuluh
Jari Kematian. Ketiganya memandang dengan
mata ganas menyorot yang membayangkan
maut.
"Ini dia bangsatnya!" Si Telinga Arit Sakti
buka suara.
"Apa yang dikerjakannya di sini! Bermain-
main asap?!" Sepuluh Jari Kematian
menimpali.
Wiro masih diam dan menyapu tampang
ketiga orang itu dengan pandangan
seenaknya.
"Pendekar 212!" lengking Si Telinga Arit Sakti.
"Ketahuilah hari ini adalah hari kematianmu!"
Wiro Sableng senyum lalu keluarkan suara
tertawa bergelak.
"Telinga Arit Sakti," kata Pendekar 212 pula.
"Bacotmu besar amat! Mentang-mentang
berada sama-sama gurumu!"
"Kalau tahu aku gurunya mengapa tidak lekas
berlutut dan bunuh diri?!" sentak Sepasang
Arit Hitam.
Wiro tertawa lagi gelak-gelak. "Orang gila pun
disuruh bunuh diri tidak bakal mau!"
"Dan kau lebih dari gila!" damprat Sepasang
Arit Hitam.
Sepuluh Jari Kematian lambaikan tangannya
dan berkata. "Kau tak usah bicara panjang
lebar kawan-kawan. Mari kita berebut cepat
memisahkan kepala dan badannya!"
"Ah… ah… ah!" Wiro rangkapkan tangan di
muka dada. "Kalau tak salah penglihatanku
bukankah kau yang berjuluk Sepuluh Jari
Kematian, gurunya Si Pendekar Terkutuk
Pemetik Bunga yang mampus tempo hari di
tanganku?!"
"Pemandanganmu memang tajam, pemuda
gendeng! Muridku mati di tanganmu. Hari ini
aku datang meminta jiwamu!"
Wiro geleng-gelengkan kepala.
Katanya. "Akhir ini banyak sekali manusia-
manusia yang begitu inginkan jiwaku,
sebutsebut segala urusan jiwa…. seakan-akan
jiwanya sendiri adalah jiwa yang bersih
polos!"
"Jangan pidato!" bentak Sepasang Arit Hitam.
"Siapa bilang aku pidato!" sahut Wiro ketus.
"Aku cuma bicara biasa!" Kemudian Pendekar
212 berpaling pada Sepuluh Jari Kematian.
"Dengar Sepuluh Jari Kematian," katanya.
"Muridmu
seorang manusia bernafsu besar doyan
perempuan kelas satu! Bagaimana kalau hari
ini kuberikan seorang perempuan cantik
padamu, apakah kau bersedia melupakan
urusan kita?!"
Merahlah paras Sepuluh Jari Kematian. Darah
di kepala mendidih mendengar ejekan itu.
Dia maju satu langkah. "Kau memang tak
layak hidup lebih lama!" bentaknya. Kelima
jari-jari tangan kanannya dijentikkan ke
muka. Lima sinar hitam yang menggidikkan
melesat mengeluarkan suara menggaung.
Inilah Ilmu Jari Penghancur Sukma yang
dahsyat. Satu jentikkan saja ganasnya bukan
main, apalagi sekaligus lima jentikan. Dan
dilancarkan oleh tokoh penciptanya sendiri
yang
berilmu tinggi.
Dengan cepat Pendekar 212 melompat ke
udara. Empat larikan sinar hitam berhasil
dihindarkannya, tapi sinar yang kelima tak
sanggup dielakkan. Sinar ini menyapu kaki kiri
Pendekar 212.
Wuss!
Kaki kiri itu dengan serta merta menjadi
hitam. Wiro Sableng terguling di tanah,
merintih kesakitan. Meski tubuhnya kebal
segala macam racun namun dia masih
khawatir. Begitu jatuh dengan cepat Wiro
totok jalan darah dan urat-urat di siku kaki
kirinya. Dengan terpincang-pincang Pendekar
212 bangkit berdiri. Di saat itu Si Telinga Arit
Sakti dan Sepasang Arit Hitam memburu
dengan senjata di tangan sedang Sepuluh Jari
Kematian melompat sebat menjambak rambut
gondrong Wiro Sableng siap untuk memuntir
kepala pendekar itu.
Dengan berteriak nyaring Wiro gerakkan
tangan kanan untuk cabut Kapak Maut Naga
Geni 212. Tapi Si Telinga Arit Sakti yang tahu
gelagat segera tendang tangan kanan Wiro
Sableng.
Kraak!
Patahlah lengan Pendekar 212. Tubuhnya
terhempas ke tanah. Tiga buah arit masing-
masing dua di tangan sepasang Arit Hitam
dan satu di tangan si Telinga Arit Sakti
menderu siap untuk membuat tubuh Wiro
Sableng menjadi terkutung empat sedang
jambakan Sepuluh Jari Kematian akan
menanggalkan kepalanya dari badan.
Wiro Sableng hendak lepaskan Pukulan Sinar
Matahari. Tapi sudah terlambat, sudah tak
ada kesempatan lagi.
"Tamatlah riwayatku!" keluh pendekar ini.
Dipejamkannya kedua matanya menanti saat
kematian itu.
Hanya beberapa detik lagi tubuh sang
pendekar akan terkutung empat dibabat tiga
buah arit sakti, hanya beberapa detik lagi
kepalanya akan tanggal dipuntir, maka
terdengarlah teriak lantang menggeledek.
"Setiap nyawa manusia di Pulau Madura ini
adalah milik Dewi Siluman! Kalian tak berhak
merampas jiwa pemuda itu! Kecuali kalau
mau ikut-ikutan mampus!"
Terkejutlah Si Telinga Arit Sakti, Sepasang Arit
Hitam dan Sepuluh Jari Kematian.
Empat sosok tubuh berkelebat.
Perlahan-lahan Wiro Sableng buka kedua
matanya yang tadi dipejamkan! Dan hampir
tak dapat dipercaya pemandangan matanya
sendiri saat itu. Betapa tidak. Empat
pendatang baru ini adalah gadis-gadis cantik
berpakaian biru. Leher mereka digantungi
tengkorak manusia yang besarnya sekepalan
tangan. Meski tampang mereka cantik-cantik
tapi membayangkan kebengisan.
Dugaan Wiro Sableng pastilah mereka ini
orang-orangnya Dewi Siluman dari Bukit
Tunggul. *
* * Sehabis melemparkan bola yang
meletuskan asap hitam dan tebal itu si nenek
keriput cepat berguling dan lari meninggalkan
jalan kecil. Dimasukinya rimba belantara
kemudian menyeruak di antara semak belukar
lebat. Dari luar semak belukar ini tiada beda
dengan semak-semak yang lebat di sekitar
tempat itu. Tapi siapa nyana kalau begitu
semak belukar diseruak maka muncullah
sebuah lobang besar setinggi manusia. Si
nenek menyelusup memasuki lobang itu dan
terus berlari. Meski penerangan dalam lobang
itu tidak begitu terang namun karena sudah
terlalu sering melewatinya si nenek sudah
sangat hafal liku-likunya maka dia lari
dengan sebat tanpa kurangi kecepatannya.
Dalam waktu yang singkat dia sudah sampai
di ujung lobang yang merupakan terowongan
bawah tanah itu. Dia muncul di satu lamping
bukit. Dari sini lari cepat ke bawah, masuk
lagi ke sebuah terowongan rahasia dan
akhirnya sampai di satu terowongan batu
pualam. Sebelum memasuki sebuah ruangan
besar si nenek gerakkan kedua tangannya ke
muka. Sehelai selaput topeng yang amat tipis
ditanggalkannya dari parasnya. Kini
kelihatanlah wajahnya yang asli. Dan
nyatanya dia adalah seorang gadis jelita
berkulit hitam manis, berhidung mancung dan
berbibir tipis mungil.
Gadis ini kemudian tanggalkan jubah
putihnya. Di balik jubah putih si gadis kulit
hitam manis ini ternyata mengenakan pakaian
ringkas biru. Gadis ini kemudian berlari ke
tengah ruangan besar. Salah satu tumitnya
menekan ubin yang bergambar bunga mawar
merah.
Maka pada saat itu menggemalah suara
bertanya dalam ruangan itu. Entah dari mana
datangnya.
"Siapa yang mau masuk?!"
"Aku, Nariti hendak menghadap Dewi!"
menjawab si gadis hitam manis.
"Silahkan masuk."
Sebuah pintu besar yang tadinya hanya
merupakan sebuah dinding ruangan belaka
terbuka.
Nariti cepat memasuki pintu itu. Ruangan di
mana dia berada adalah sebuah ruangan yang
jauh lebih besar dari yang pertama tadi.
Seluruh lantai ditutupi permadani. Di samping
kanan terdapat sebuah taman. Di tengah
taman dihiasi dengan kolam berair biru.
Beberapa gadis cantik asyik mandi-mandi
dalam kolam itu, bersimbur-simburan air dan
bergurau sesama mereka. Beberapa lainnya
duduk di tepi kolam memperhatikan.
Semuanya mengenakan pakaian ringkas biru.
"Hai, itu si Nariti dari mana baru kelihatan!"
seru seorang gadis baju biru.
"Nariti dari mana kau!" berseru yang lain.
Nariti hanya melambaikan tangan lalu cepat-
cepat menaiki sebuah tangga yang juga
beralaskan permadani. Di bagian atas
terdapat tiga buah pintu yang dijaga oleh tiga
orang gadis berpakaian biru.
"Kemani, aku mau bertemu dengan Dewi,"
berkata Nariti pada salah seorang gadis-gadis
itu.
"Ada keperluan apakah?!"
"Tak usah tanya. Katakan di mana Dewi saat
ini, cepat! Ini penting sekali!"
Melihat keseriusan pada wajah Nariti maka
Kemani segera menjawab. "Dewi berada di
anjungan ketiga."
Mendengar itu maka Nariti segera memasuki
pintu di samping kanannya. Pintu ini
membawanya ke sebuah lorong yang
kemudian menghubunginya dengan sebuah
pintu biru yang tertutup. Di belakang pintu itu
didengarnya suara petikan-petikan kecapi
yang merdu.
Nariti mengetuk daun pintu tiga kali berturut-
turut lalu dua kali lagi. Suara kecapi di ruang
dalam berhenti.
"Siapa?!" terdengar suara perempuan bertanya
dari dalam. Suaranya halus tapi penuh
wibawa dan ketegasan.
"Dewi, aku Nariti membawa laporan penting
untukmu!"
"Masuklah!"
Nariti mendorong daun pintu lalu masuk
dengan cepat. Kamar yang dimasukinya selain
bagus juga sangat luas. Lantai tertutup
permadani biru yang tebal dan lembut. Tubuh
serasa di awang-awang kalau menginjak
kelembutan permadani itu. Di tengah ruangan
terletak sebuah tempat tidur besar berseprai
sutera putih. Di atas tempat tidur ini
berbaringlah bermalas-malasan seorang
perempuan muda. Umurnya paling banyak dua
puluh tiga tahun. Dia berpakaian sutra biru
yang bagus dan menjela ke permadani.
Parasnya cantik sekali. Tapi dibalik
kecantikan yang mengagumkan itu nyata
kelihatan bayangan kekejaman. Matanya yang
berkilat menyoroti Nariti dengan teliti.
Kemudian dia berpaling pada gadis tujuh
belas tahun yang duduk di permadani, yang
tadi memainkan kecapi menghiburnya. Gadis
ini juga berparas jelita dan berkulit kuning
langsat Perempuan di atas pembaringan yang
bukan lain dari Dewi Siluman adanya
anggukkan kepala. Maka gadis pemain kecapi
yang mengerti isyarat ini segera mengambil
kecapinya dari pangkuan dan meninggalkan
tempat itu lewat sebuah pintu di samping
kanan.
"Katakan berita apa yang kau bawa, Nariti,"
ujar Dewi Siluman.
Nariti menjura dulu tiga kali baru menjawab.
"Ada beberapa pendatang baru di Pulau kita
ini dewi. Semuanya dari Pulau Jawa…."
"Hemmm…." Dewi Siluman menggumam dan
petik serenceng buah anggur lalu
memasukkan buah itu satu demi satu ke
dalam mulutnya.
"Teruskan keteranganmu!"
"Yang pertama ialah Sepuluh Jari
Kematian…."
"Itu aku sudah tahu. Sepuluh Jari Kematian
sobat lama yang sengaja kuundang kemari.
Siapa yang lain-lainnya?!"
"Yang lain-lainnya ialah dua orang nenek-
nenek yaitu Sepasang Arit Hitam dan
muridnya Si Telinga Arit Sakti…."
"Heh… perlu apa murid dan guru itu berada di
Pulau ini?" Dewi Siluman memandang lewat
jendela dari mana dia dapat melihat sebagian
dari taman dan kolam yang tadi dilewati
Nariti. Lalu tanyanya sambil mengunyah buah
anggur dalam mulutnya. "Apa masih ada
pendatang yang lain?"
"Ada Dewi. Seorang pemuda sakti…."
Sepasang alis mata yang hitam dan bagus
dari Dewi Siluman naik ke atas.
"Gerak-geriknya yang mencurigakan membuat
aku menguntitnya selama dua hari. Ternyata
dia tengah mencari keterangan di mana letak
tempat kita ini…."
"Begitu? Menurutmu apakah dia membawa
maksud baik atau jahat?!" tanya Dewi
Siluman.
"Pasti maksud jahat Dewi…."
"Kalau begitu dia mencari jalan ke akhirat!"
kata Dewi Siluman pula sambil lemparkan
tangkai anggur ke luar jendela. "Tapi
terangkan dulu segala sesuatunya tentang
dia…."
"Hampir di setiap tempat dia menanyakan
pada penduduk di mana letak Bukit Tunggul,
di mana letak sarang kita…."
"Kurang ajar. Istanaku disebut sarang!" maki
Dewi Siluman. "Teruskan Nariti!"
"Tapi penduduk tak satu pun mau beri
keterangan. Meski demikian karena jelas
pemuda ini sangat berbahaya bagi kita maka
dengan menyamar kunantikan dia di jalan
kecil di tepi hutan.
Sengaja aku duduk di tengah jalan
menghalanginya untuk mencari sengketa.
Kemudian terjadi pertempuran antara kami.
Tapi nyatanya dia sakti sekali dan bukan
tandinganku. Aku hampir saja dimakan
totokannya kalau tidak lekas melemparkan
bola asap hitam!"
Dewi Siluman merenung sejenak. Nariti adalah
pembantunya yang memiliki ilmu tinggi.
Kalau Nariti tiada sanggup melawan pemuda
itu pastilah si pemuda memiliki ilmu yang
hebat.
"Siapa nama pemuda itu?" bertanya Dewi
Siluman.
"Tak berhasil kuketahui Dewi."
"Nariti, bawa tiga orang kawanmu. Cari
pemuda itu dan tamatkan riwayatnya sebelum
dia bikin susah pihak kita!"
"Perintahmu aku jalankan Dewi," sahut Nariti.
Dia menjura tiga kali lalu melangkah ke pintu.
"Tunggu dulu Nariti!" berseru Dewi Siluman.
Nariti hentikan langkah dan balikkan badan.
"Ya Dewi…?"
"Apakah pemuda sakti itu berparas gagah?"
tanya Dewi Siluman.
Nariti memandang ke jendela lalu tundukkan
kepala. Kalau dia memberikan jawaban bahwa
pemuda itu memang berparas gagah dia
khawatir sang Dewi akan punya persangkaan
yang bukan bukan padanya. Karenanya Nariti
tak berikan jawaban.
Dewi Siluman tertawa merdu laksana taburan
mutiara yang jatuh berderai di atas lantai
pualam. Dari kebisuan anak buahnya itu dia
segera maklum bahwa si pemuda yang
mendatangi Pulau Madura adalah seorang
berparas cakap.
"Kalau begitu tangkap saja dia hidup-hidup,
Nariti." kata Dewi Siluman pula. "Jika
parasnya betul-betul gagah dia akan menjadi
budakku. Tapi kalau tampangnya buruk dia
akan mati percuma!"
Nariti mengangguk. Dia menjura lagi tiga kali
lalu tinggalkan kamar itu. Dewi Siluman
memandang ke luar jendela memperhatikan
anak buahnya bersimbur-simburan air di
tengah kolam.
Di sudut bibirnya mengelumit sekuntum
senyum aneh. Gadis jelita ini kemudian
bertepuk tiga kali.
Inani gadis yang tadi memainkan kecapi
menghibur Dewi Siluman masuk kembali ke
dalam kamar itu.
"Mainkan satu lagu yang bagus untukku,
Inani."
"Lagu bagus tentang apa, Dewi?" tanya Inani.
"Apakah tentang lautan yang indah diwaktu
matahari terbenam atau tentang bunga-bunga
yang tengah mekar, atau tentang kebahagiaan
hidup di swarga loka? Atau pula tentang
pemandangan gunung yang tinggi hijau, atau
tentang binatang-binatang yang bagus
lucu…?"
Dewi Siluman gelengkan kepala.
"Bukan… bukan tentang laut atau bunga-
bunga atau binatang-binatang, Inani. Bukan
tentang semua yang kau sebutkan itu. Tapi
tentang cinta…." kata Dewi Siluman pula.
Terkejutlah Inani mendengar jawaban Dewinya
itu. Selama ini sang Dewi sangat membenci
segala sesuatu yang berbau cinta kasih. Dewi
Siluman selalu marah dan mendamprat bila
dia memainkan lagu-lagu cinta, sekalipun dia
memetik kecapi itu seorang diri dalam
kamarnya! Dan kini adalah aneh kalau sang
Dewi minta dimainkan sebuah lagu cinta.
Apakah telah berubah jalan pikiran dan lubuk
hati sang Dewi. Ada sesuatu yang telah
terjadi dengan Dewinya itu?
Untuk lebih memastikan maka bertanyalah
Inani. "Lagu cinta yang bagaimana Dewi?
Apakah cinta kasih seorang ibu terhadap
anaknya? Atau cinta kasih Tuhan kepada
hamba-hambaNya…?!"
"Jangan sebut-sebut Tuhan!" sentak Dewi
Siluman. "Yang ada di dunia ialah kekuatan!
Siapa yang kuat dia akan berkuasa dan bisa
berbuat sekehendak hatinya! Jadi Tuhan di
dunia ini!"
Meski di dalam hatinya Inani membantah
ucapan sang Dewi, tapi karena takut dia tak
berani nyatakan pendapatnya itu.
"Kalau begitu mungkin Dewi ingin dengarkan
lagu cinta antara seorang pemuda dengan
seorang gadis?" tanya Inani pula.
"Ya, lagu itulah yang kuinginkan." jawab Dewi
Siluman.
Maka dengan jari-jari tangannya yang bagus
runcing itu Inani mulai memetik kecapinya
menyanyikan sebuah lagu cinta. *
* * Petikan kecapi yang membawakan lagu
cinta itu menggema ke luar kamar, sampai ke
kolam dan taman dimana anak-anak buah
Dewi Siluman tengah mandi-mandi dan
duduk-duduk beristirahat. Semua mereka
saling berpandangan lalu memutar kepala ke
arah jendela di anjungan ketiga yang
tingginya empat puluh tombak lebih.
"Aneh, sejak kapankah Dewi kita menyenangi
lagu cinta-cintaan?" tanya salah seorang dari
mereka.
Tak ada yang memberikan jawaban. Semua
mata diarahkan ke jendela anjungan. Semua
telinga mendengarkan. Suara kecapi yang
merdu itu memasuki liang-liang telinga para
gadis, laksana air gunung yang sejuk terus
mengalir ke hatinya. Betapa indahnya sesuatu
yang dipengaruhi oleh cinta. Betapa indahnya
bercinta. Cinta kasih antara laki-laki dan
pemudi. Dan mereka semua adalah gadis-
gadis yang selama ini tidak mengenal apa
artinya cinta. Di dalam Istana Dewi Siluman
yang terletak di bawah Bukit Tunggul, itu
hidup mereka hanyalah antara sesama gadis,
sesama perempuan. Dan kini mendengar lagu
cinta kasih itu, hati mereka laksana berontak,
darah mereka menjadi panas. Walau
bagaimanapun mereka adalah manusia-
manusia biasa, gadis-gadis yang
membutuhkan cinta kasih sayang seorang
pemuda. Gadis-gadis yang selama ini hidup di
alam suasana tertekan, dipaksakan untuk
tidak mengenal cinta. Tapi kali itu melalui
petikan kecapi yang dimainkan oleh Inani
tanpa disadari, Dewi Siluman secara tak
langsung telah memberikan kenyataan pada
anak-anak buahnya bahwa sesungguhnya di
dunia ini memang ada cinta kasih antara laki-
laki dan perempuan. Melalui petikan kecapi itu
Dewi Siluman membuat anak-anak buahnya
menjadi sadar bahwa mereka semua adalah
makhluk-makhluk hidup, manusia-manusia,
gadis-gadis yang membutuhkan kasih seorang
laki-laki, membutuhkan peluk dekap dan
ciuman mesra seorang pemuda.
Lagu itu belum lagi sampai ke ujungnya.
Tiba-tiba saja petikan kecapi berhenti dan
gadisgadis yang di kolam serta di taman
melihat tubuh Dewi Siluman muncul di
ambang jendela.
"Kalian mendengarkan apakah?!" bentak Dewi
Siluman marah. Suaranya menggetarkan
seluruh Istana. "Semua masuk ke kamar
masing-masing! Jangan kalian berani
memikirkan kehidupan dunia yang bukan-
bukan! Siapa yang tak dengar perintah akan
menerima hukuman berat!"
Penuh ketakutan maka gadis-gadis itu segera
tinggalkan kolam dan taman.
Sementara itu Nariti dan tiga orang kawannya
dengan cepat meninggalkan Istana Dewi
Siluman. Mereka mengambil jalan memotong
yaitu melewati lorong-lorong di bawah bukit
dan lamping gunung. Ketika Inani dan tiga
kawan-kawannya itu sampai ke jalan kecil di
tempat mana dia tadi bertempur dengan
Pendekar 212 Wiro Sableng maka pada saat
itu mereka melihat bagaimana pemuda itu
terhampar di tanah. Tiga manusia berebut
cepat untuk mengirimnya ke akhirat. Yang dua
membacokkan senjata berbentuk arit sedang
yang ketiga hendak memuntir dan
menanggalkan kepala pemuda itu dari
tubuhnya.
Dengan serta merta Nariti berteriak.
"Setiap nyawa manusia di Pulau Madura ini
adalah milik Dewi Siluman! Kalian tak berhak
merampas jiwa pemuda itu! Kecuali kalau
mau ikut-ikutan mampus!"
Terkejutlah Si Telinga Arit Sakti, Sepasang Arit
Hitam dan Sepuluh Jari Kematian. Pada saat
itu empat bayangan biru melompat ke
hadapan mereka. Keempatnya ternyata gadis-
gadis berparas cantik.
Wiro sendiri yang tadi pejamkan mata
menunggu detik kematiannya, kali ini
membuka kedua matanya itu dan menjadi
heran melihat kemunculan empat gadis itu.
Merekalah orangorangnya Dewi Siluman?
Gadis-gadis cantik begini macam? Sungguh
tak dapat dipercaya. Gadis gadis begitu jelita
bisa membuat kejahatan main bunuh di
mana-mana. Membunuh manusia manusia tak
berdosa termasuk anak-anak dan orang-
orang tua tak berdaya.
Sepuluh Jari Kematian lepaskan kepala Wiro
Sableng yang barusan hendak dipuntirnya itu.
Sepasang Arit Hitam dan Si Telinga Arit Sakti
batalkan bacokan arit mereka.
Dengan kertakkan rahang penuh geram
Sepuluh Jari Kematian membentak.
"Gadis-gadis baju biru! Kalian siapakah yang
berani lancang ikut campur urusan orang
lain?!"
Nariti mendengus.
"Orang tua jelek! Jangan jual omong besar di
hadapanku! Serahkan pemuda rambut
gondrong itu dan kalian bertiga ikut kami!"
Sepuluh Jari Kematian tertawa dingin. "Gadis
jelita, meski kau seorang bidadari dari
kahyangan, jangan kira aku yang tua ini
berbelas kasihan untuk tidak merusak
kecantikanmu itu!"
"Jangan banyak bacot!" bentak Nariti.
Marahlah Sepuluh Jari Kematian. Tangan
kanannya diangkat ke atas.
"Kau mau keluarkan Ilmu Jari Penghancur
Sukma? Silahkan teruskan!" mengejek Nariti.
Terkejutlah Sepuluh Jari Kematian melihat si
gadis mengetahui ilmu kesaktian yang hendak
dilepaskannya.
"Gadis, sebaiknya lekas beritahu siapa kalian.
Kalau tidak kau berempat akan mampus
percuma!"
Keempat gadis itu tertawa bergelak.
Nariti buka mulut. "Dasar orang tua pikun!
Masih tak tahu siapa kami! Delapan penjuru
angin dunia persilatan mulai beberapa waktu
yang lalu adalah di bawah kekuasaan Dewi
Siluman!"
"Oh, jadi kalian adalah orang-orangnya Dewi
Siluman?" tanya Sepasang Arit Hitam.
"Sudah tahu kenapa berlagak pikun?!" sentak
salah seorang kawan Nariti.
Sepuluh Jari Kematian batuk-batuk.
"Untung kalian lekas beritahu siapa kalian,"
katanya. "Kalau tidak hampir saja aku salah
turun tangan!"
Nariti sunggingkan senyum mengejek.
"Setelah tahu siapa kami apakah kalian
bertiga tidak mau turut apa yang kami
katakan…?"
Sepuluh Jari Kematian batuk-batuk lagi.
"Sebetulnya kami masih belum jelas apakah
yang kalian mau…." ujarnya.
Nariti menjawab. "Pemuda yang melingkar di
tanah itu serahkan pada kami dan kalian
bertiga ikut ke Istana Dewi Siluman!"
Sepuluh Jari Kematian hela nafas panjang.
"Tak mungkin!" katanya.
"Bakul kentut! Apa yang tidak mungkin!"
bentak Nariti.
Mendengar makian bakul kentut itu Wiro
Sableng terkejut. Dia ingat akan
pertempurannya dengan si nenek muka keriput
sebelumnya. Si nenek telah memakinya
dengan ucapan itu. Apakah si nenek bukannya
gadis jelita ini, pikir Wiro. Sementara itu dia
menunggu kesempatan yang sebaik baiknya
untuk melakukan sesuatu yang dirasakannya
paling baik.
"Tak mungkin!" mengulang Sepuluh Jari
Kematian. "Pemuda bangsat ini punya hutang
jiwa terhadapku! Dia telah membunuh
muridku!"
"Di samping itu," menimpali Si Telinga Arit
Sakti. "Antara aku dan dia terdapat dendam
kesumat yang belum terselesaikan!" .
"Perduli dengan hutang nyawa! Persetan
dengan segala dendam kesumat! Apakah di
Pulau Madura ini ada bangsa kwaci yang
berani menantang perintah Dewi Siluman dari
Istana Bukit Tunggul?!"
Marahlah Sepasang Arit Hitam karena dirinya
dicap "bangsa kwaci" itu. Dia mendengus dan
buka suara. "Kau terlalu pongah mengumbar
mulut seenaknya, mencap aku dan dua
kawanku manusia-manusia bangsa kwaci! Kau
kira dunia persilatan ini kau dan Dewimu
itukah yang menguasainya?! Apa kau yang
masih pitit hijau ini masih belum pernah
mendengar nama gelarku, Sepasang Arit
Hitam? Belum pernah tahu gelar muridku, Si
Telinga Arit Sakti?! Juga memandang rendah
pada Sepuluh Jari Kematian yang merupakan
tokoh ternama dirimba persilatan?!"
Nariti tertawa panjang.
"Gelar kalian memang hebat-hebat,
menyeramkan! Tapi bagi kami orang-
orangnya Dewi Siluman itu bukan apa-apa!
Katakan saja apakah kau bertiga bersedia ikut
atau mati di tempat ini sekarang juga?!"
Sepasang Arit Hitam renggangkan kedua kaki.
Matanya yang cuma satu menyorot marah.
Namun dengan ilmu menyusupkan suara
Sepuluh Jari Kematian segera memberi
kisikan. "Jangan teruskan niatmu, Sepasang
Arit Hitam. Gadis-gadis ini rata-rata
berkepandaian tinggi. Meskipun kau sanggup
kalahkan mereka tapi kita tak bakal bisa ke
luar dari pulau ini dengan selamat!"
"Kalau kau mau dicap manusia kwaci mentah,
biarlah! Jangan perduli aku!" bentak Sepasang
Arit Hitam. Dia berpaling pada Nariti.
"Apakah kau akan maju sendirian atau sekali
berempat?!"
"Hem… jadi ini contoh manusianya yang
minta cepat-cepat mampus?!" menyahuti
Nariti.
"Tikus tua renta bermata picak mau jual
tampang di sarang macan?!" Nariti dan ketiga
kawannya tertawa gelak-gelak.
Sepasang Arit Hitam berkobar amarahnya. Dia
maju dengan cepat. Tapi muridnya Si Telinga
Arit Sakti mendahului.
"Guru, biar aku yang kasih pelajaran pada
gadis ingusan bermulut besar ini!" kata
Telinga Arit Sakti.
"Bereskan dia dalam tiga jurus!" perintah
Sepasang Arit Hitam.
Si Telinga Arit Sakti keluarkan senjatanya
yaitu sebilah arit. Semua orang yang ada di
situ boleh dikatakan telah melupakan Wiro
Sableng. Pada saat Si Telinga Arit Sakti
menyerbu ke depan dengan satu sambaran
dahsyat ke arah leher Nariti maka Pendekar
212 Wiro Sableng melompat dari tanah seraya
berseru. "Kalian bertempurlah sampai
mampus! Lain kesempatan kita bertemu lagi!"
"Kawan-kawan! Kejar pemuda itu!" teriak
Nariti sambil mengelakkan serangan Telinga
Arit Sakti. Tiga kawannya melompat ke muka,
tapi Wiro Sableng sudah lenyap.
Kemarahan Nariti tertumpah bulat-bulat pada
Telinga Arit Sakti dan Sepasang Arit Hitam.
Berserulah dia. "Kawan-kawan, tangkap
hidup-hidup perempuan tua mata picak itu!"
Ketiga gadis yang tadi melompat mengejar
Wiro berbalik dan kini mengurung Sepasang
Arit Hitam.
"Bagus, kalian majulah sekali bertiga biar
cepat kumusnahkan!" teriak Sepasang Arit
Hitam.
Serentak dengan itu dia keluarkan sepasang
arit hitam yang memancarkan warna
menggidikkan.
Di lain pihak tiga orang anak buah Dewi
Siluman keluarkan tiga buah jala berbentuk
aneh.
Jala ini besarnya hanya segumpalan tangan,
terbuat dari sutera halus berwarna biru.
Ketiganya memencar mengurung Sepasang
Arit Hitam.
Didahului dengan pekik yang dahsyat
Sepasang Arit Hitam menyerbu dan bagaikan
enam serangan arit kepada tiga orang
lawannya. Warna hitam dari kedua senjatanya
menderu mengerikan.
Memaklumi dua buah arit di tangan lawan
adalah senjata-senjata mustika sakti, tiga
orang anak buah Dewi Siluman tiada berani
membuat jurus adu kekuatan. Mereka
menyurut beberapa langkah ke belakang,
begitu sepasang arit lewat maka ketiganya
menyerbu ke muka. Secepat kilat tebarkan jala
sutera biru.
Sepasang Arit Hitam sewaktu melihat tiga
tebaran warna biru menyungkupi bagian atas
tubuhnya dengan cepat merunduk dan
sepasang senjatanya kini menderu ke arah
lengan-lengan tiga orang anak buah Dewi
Siluman dari Bukit Tunggul. Tapi serangannya
yang kedua ini kembali mengenai tempat
kosong karena dengan sebat tiga gadis baju
biru tarik lengan serta jalanya untuk
kemudian menyerang lagi dengan tebaran jala
ke arah pinggang dan kaki Sepasang Arit
Hitam.
Naiklah amarah Sepasang Arit Hitam. Tiga
gadis anak buah Dewi Siluman itu ternyata
tidak mudah baginya untuk merubuhkan. Dia
melompat ke udara setinggi empat tombak
dan babatkan arit di tangan kanan ke arah
tiga buah jala sedang arit di tangan kiri
disapukan dengan ganas pada kepala ketiga
gadis yang mengeroyoknya.
Tiga gadis melengking keras. Tubuh mereka
lenyap dan tahu-tahu Sepasang Arit Hitam
merasakan bagaimana salah satu dari jala
sutera lawan telah menjirat arit di tangan
kanannya.
Betapapun dia coba untuk menariknya dengan
sekuat tenaga namun tak berhasil. Dia
terpaksa serahkan arit yang satu itu kepada
lawan untuk menyelamatkan lengannya dari
sambaran dua jala sutera lainnya.
Ketiga gadis tertawa mengejek.
Seorang di antara mereka berkata. "Inikah
nenek-nenek sakti tokoh dunia persilatan
terkenal yang bergelar Sepasang Arit Hitam
itu? Huah! Nyatanya tak lebih dari bangsa
kurcaci saja!"
Bola mata kiri Sepasang Arit Hitam kelihatan
seperti berapi-api sedang mata kanannya
yang berlobang besar tampak tambah cekung
menggidikkan.
Perempuan tua ini pindahkan arit yang di
tangan kirinya ke tangan kanan.
"Gadis-gadis keparat! Kenalkah kalian akan
jurus lain?!"
Tiga orang anak buah Dewi Siluman
sunggingkan senyum mengejek. Tapi karena
ingin tahu mereka menunggu dan
memperhatikan. Sepasang Arit Hitam berdiri
dengan kaki merenggang.
Tangan kiri diangkat tinggi-tinggi agak ke
belakang kepala sedang arit di tangan kanan
diacungkan lurus-lurus ke muka. Kelihatannya
acungan arit itu merupakan bulan-bulanan
serangan yang empuk, namun jika seorang
coba menyerang maka secepat kilat tangan
kiri akan memukul ke muka, arit berkiblat dan
kaki kiri menendang. Jika tiga serangan ini
masih gagal maka dengan menjejakkan kaki
kanan ke bumi, Sepasang Arit Hitam akan
sanggup lancarkan serangan susulan yang
lebih ganas dari yang pertama tadi.
Karena memang tidak mengenali jurus apa
yang bakal dikeluarkan si nenek, namun
melihat sikap dan tampang si nenek yang
demikian menggidikkan, tiga gadis itu diam-
diam memaklumi bahwa lawan mereka hendak
mengeluarkan satu jurus serangan yang
dahsyat. Karenanya ketiga gadis ini bersiap
siaga. Bagi pihak mereka sendiri jika lawan
mereka itu salah-salah langkah dalam
lancarkan serangan akan segera pula menjadi
mangsa mereka.
Sementara itu pertempuran antara Nariti dan
Si Telinga Arit Sakti berjalan sangat seru.
Telinga Arit Sakti kirimkan jurus-jurus yang
mematikan. Aritnya yang putih mengeluarkan
sinar bergulung-gulung melanda ke arah
Nariti. Namun Nariti sendiri bukanlah seorang
lawan jenis murahan. Tubuhnya hampir
lenyap dari pemandangan, cuma bayangan
warna biru pakaiannya saja yang kelihatan
berkelebat kian kemari.
Mendadak sontak terdengar pekik
menggidikkan keluar dari mulut Nariti.
Belum habis pekik itu menyusul lengkingan Si
Telinga Arit Sakti. Senjatanya kelihatan
mental ke udara. Satu tangan menyambar
senjata itu. Dan sekejap kemudian arit putih
itu menderu laksana kilat ke arah batang leher
pemiliknya sendiri.
"Tahan!" teriak Sepuluh Jari Kematian yang
menyaksikan bagaimana Si Telinga Arit Sakti
tiada sanggup mengelakkan serangan maut
itu.
Tapi mana Nariti mau ambil perduli teriakan
tokoh silat itu. Arit di tangannya terus
menderu dan "Cras!" Putuslah leher Telinga
Arit Sakti. Tubuh dan kepala terpisah. Darah
menyembur mengerikan.
Sepasang Arit Hitam pelototkan mata kirinya
besar-besar sewaktu di hadapannya
menggelinding kepala muridnya sendiri. Dari
tenggorokannya keluar suara mengaum
macam harimau lapar dan sekejap kemudian
tubuhnya pun berkelebat ke muka, lancarkan
satu jurus
serangan yang sejak tadi disiapkannya yaitu
jurus "Tiga Naga Mengamuk Di Atas Air
Laut".
Jurus ini memang bukan olah-olah dahsyat
dan ganasnya. Arit di tangan kanan menderu
berputar-putar macam kepala seekor naga.
Tangan kiri memukul ke depan laksana kepala
naga mematuk sedang kaki kiri menyapu
laksana ekor naga mematil. Debu dan pasir
jalanan beterbangan, daun-daun pohon
bergetar dan banyak yang gugur karena untuk
lancarkan jurus hebat itu Sepasang Arit Hitam
kerahkan seluruh bagian tenaga dalamnya.
Tiga anak buah Dewi Siluman dari Bukit
Tunggul tidak tinggal diam. Masing-masing
mereka berteriak nyaring dan tangan kiri
dipukulkan ke depan. Tiga larik sinar biru
kelihatan dengan ganas memapas jurus "Tiga
Naga Mengamuk Di Atas Air Laut" dari
Sepasang Arit Sakti itu.
"Tobat! Tobat!" seru Sepuluh Jari Kematian
seraya pukul-pukul keningnya sendiri. "Demi
setan hentikan pertempuran ini! Kalau tidak
kalian sama saja dengan bunuh diri!"
"Bakul kentut!" semprot Nariti. "Kau tak usah
jual bacot! Jangan campuri urusan yang tak
ada sangkut pautnya dengan dirimu!"
Rahang-rahang Sepuluh Jari Kematian
kelihatan menonjol. Kedua tangannya
mengepal.
"Gadis…." desisnya, "Kalau tidak memandang
muka Dewimu, aku tak akan terima ucapanmu
itu!"
Nariti tertawa dingin dan mengejek. "Kalau
kau punya nyali, silahkan masuk ke dalam
kalangan pertempuran!" kata gadis itu seraya
goyangkan kepalanya ke arah pertempuran
yang berlangsung.
Sepuluh Jari Kematian hendak buka mulut
namun di saat itu terdengar pekikan salah
seorang dari tiga gadis pengeroyok sepasang
Arit Hitam. Tubuh gadis ini mental dan
lengannya sebelah kanan patah di makan
tendangan kaki kiri sepasang Arit Hitam.
Meski dapat mencelakakan salah seorang
pengeroyoknya namun nenek-nenek sakti ini
tiada sanggup mengelitkan libatan jala sutera
biru salah seorang lawan lainnya pada kaki
kirinya yang tadi menendang. Dalam dia
bergulat untuk membebaskan kaki kiri itu, jala
kedua menderu melibat bagian tubuhnya
mulai dari dada sampai ke kepala. Betapapun
tokoh silat ini bergulat untuk membebaskan
diri namun sia-sia belaka.
Jala yang terbuat dari sutera halus biru itu
mempunyai kekuatan yang hebat sekali.
Sepasang Arit Hitam menggerung, jatuhkan
diri ke tanah dan berguling dalam masih
berusaha membebaskan diri.
Gulingan tubuhnya terhenti sewaktu Nariti
injakkan kaki kanannya di perut tokoh silat
tua itu.
"Tak satu kekuatan pun yang sanggup
melepaskan jiratan jala itu!" kata Nariti
dengan nada bengis. Sekali kakinya
menendang maka pingsanlah Sepasang Arit
Hitam.
"Kau keterlaluan!" teriak Sepuluh Jari
Kematian marah sekali.
Nariti tertawa dingin dan menjawab.
"Terhadapmu aku bisa berlaku lebih
keterlaluan lagi, kakek-kakek bakul kentut!"
"Tutup mulutmu setan alas!" damprat Sepuluh
Jari Kematian.
Nariti mengekeh. Meski wajahnya jelita, tapi
mimiknya waktu mengekeh itu menyeramkan
sekali.
"Orang tua bakul kentut sialan! Kalau saja
Dewi kami tidak memerintahkan membawamu
hidup-hidup ke istananya niscaya tubuhmu
sudah jadi bangkai saat ini!"
"Penghinaan dan kesombonganmu sudah
lewat batas, gadis hijau! Di lain hari kelak kau
akan rasakan akibatnya!"
Nariti tertawa gelak-gelak. Tubuh Sepasang
Arit Hitam dipanggulnya di bahu kiri
kemudian katanya pada Sepuluh Jari
Kematian. "Ikuti kami! Sekali kau berbuat
yang tidak kuinginkan, kau akan menyesal
sampai ke liang kubur!"
Meski kemarahan tidak tertahan lagi oleh
tokoh silat yang namanya telah menggetarkan
dunia persilatan itu, namun mau tak mau,
karena mengingat hubungan baiknya selama
ini dengan Dewi Siluman dan kedatangannya
ke Pulau Madura itu justru atas undangan
Sang Dewi maka akhirnya Sepuluh Jari
Kematian mengikuti juga keempat gadis itu
dari belakang. *
* * Wiro Sableng si Pendekar 212 dari Gunung
Gede duduk bersandar ke batang pohon yang
dikelilingi oleh semak belukar. Rimba
belantara dimana dia berada sunyi senyap,
berudara lembab dan teduh dari teriknya sinar
matahari. Rasa sakit pada tangan kanannya
yang patah kini agak berkurang. Dengan
susah payah dia telah mengobati sendiri
tangan yang patah itu dan menopangnya
dengan sebuah ranting kemudian dibubuhi
dengan param yang dibuatnya dari akarakar
pohon dan sejenis daun lalu dibungkusnya
dengan sapu tangan. Cara mengobati seperti
itu dipelajarinya dari gurunya Eyang Sinto
Gendeng sewaktu dia digembleng di puncak
Gunung Gede.
Dalam waktu tiga hari bisa diharapkan lengan
yang patah itu akan sembuh dan tulangnya
bertaut kembali.
Sambil duduk terperangah di bawah pohon
besar dalam rimba belantara itu Wiro
memandangi kaki kirinya yang hitam
disambar pukulan Ilmu Jari Penghancur
Sukma yang dilepaskan oleh Sepuluh Jari
Kematian. Meski dia tahu bahwa racun
pukulan tersebut tidak akan membahayakan
dirinya karena tubuhnya kebal segala macam
racun, namun yang mengherankan sang
pendekar ialah karena sampai saat itu dia
masih belum sanggup untuk melenyapkan
warna hitam pada kulit kakinya itu. Dia telah
menelan dua buah pil yang paling manjur
khasiatnya juga berkali-kali telah
mengerahkan tenaga ke telapak tangan kiri
untuk mengusap kaki yang hitam itu, tapi
hasilnya sia-sia belaka.
"Gila!" maki Wiro. Kalau warna hitam itu tak
bisa dilenyapkan pasti dia akan cacat seumur
hidup. Pendekar ini memaki lagi. Hatinya
geram sekali terhadap Sepuluh Jari Kematian.
Selama turun gunung, puluhan musuh telah
dihadapinya, berbagai ilmu silat kelas tinggi
dan kesaktiankesaktian luar biasa telah
dijumpainya. Namun belum pernah dia
menerima nasib sial seperti di hari itu.
Kakinya hitam sedang lengannya patah.
Disamping geram terhadap Sepuluh Jari
Kematian, Pendekar 212 juga geram pada Si
Telinga Arit Sakti. Perempuan tua itulah yang
telah menendang lengan kanannya sehingga
patah. Untuk kedua manusia itu Wiro Sableng
bertekad akan membalaskan sakit hatinya.
Wiro tidak tahu kalau sepergiannya tadi Si
Telinga Arit Sakti telah tewas di tangan anak
buah Dewi Siluman. Kemudian Wiro teringat
pada empat orang gadis jelita berpakaian
biru-biru itu. Betulkah mereka orang-orangnya
Dewi Siluman? Orang-orangnya Dewi Siluman
yang telah berbuat kejahatan dan kekejaman
tiada tara, membunuh manusia-manusia tidak
berdosa, memusnahkan kampung-kampung?
Betulkah gadis-gadis cantik jelita itu yang
melakukannya? Sungguh tak masuk di akal
bahwa gadis-gadis semacam itu akan
sanggup melakukan kejahatan tanpa
perikemanusiaan demikian rupa. Hal ini
membuat makin besarnya tekad Wiro Sableng
untuk cepat-cepat mencari dan menemui Dewi
Siluman itu. Jika anak-anak buahnya
demikian kejam dan jahat, tentu Dewi Siluman
sendiri jauh dan jauh lebih kejam. Tapi untuk
mencari sarangnya Dewi Siluman dan
membasmi kejahatannya Wiro musti
menunggu sekurangkurangnya tiga hari yaitu
sampai tangannya yang patah sembuh.
Dalam dia berpikir-pikir itu mendadak sontak
dari atas pohon memancur air putih
kekuningkuningan yang tidak enak baunya.
Air itu jatuh tepat membasahi kepala
Pendekar 212. Disaat itu pula di atas pohon
terdengar suara tertawa cekikikkan yang
menggetarkan seluruh rimba belantara.
Suara cekikikkan itu tiada ubahnya laksana
ringkikkan kuda di malam buta ketika melihat
setan di hadapannya!
"Bedebah!" maki Pendekar 212 seraya
meloncat dan memandang ke atas pohon.
Sekelebatan dilihatnya satu bayangan putih!
Belum sempat Wiro memperhatikan siapa
adanya bayangan putih itu, bahkan belum
sempat dia meneliti paras makhluk itu, si
bayangan putih lenyap laksana gaib. Wiro
kemudian merasakan sekilas angin di
mukanya. Pendekar ini pukulkan tangan
kirinya ke depan. Tapi dia cuma memukul
tempat kosong, sesudah itu dia tertegun
sendirian dengan penuh rasa heran dan juga
sedikit ngeri.
Tak dapat diyakininya siapa adanya sosok
bayangan putih tadi. Apakah manusia atau
setan atau dedemit penghuni rimba belantara
itu. Gerakannya luar biasa cepat dan
sebatnya. Begitu cepat hingga Wiro tak dapat
meneliti siapa adanya bayangan putih itu.
Dan cekikikkannya yang seperti kuda
meringkik itu.
Kuncuran air yang tadi jatuh di atas
kepalanya kini turun ke kening. Wiro menyeka
kening yang basah itu dengan belakang
telapak tangan. Dia memaki tiada henti.
Diperhatikannya telapak tangan yang
ditempeli air itu. Hidungnya menghirup bau
yang tidak enak. Penasaran sekali Wiro
dekatkan belakang telapak tangannya ke
lobang hidung. Pendekar ini kernyitkan kening.
Kemudian terdengarlah makiannya.
"Keparat sialan! Aku dikencingi!"
Wiro meludah ke tanah. Caci maki ke luar
menyerapah dari mulutnya. Dengan beberapa
helai daun disekanya kening dan telapak
tandannya.
"Manusia apa dedemit! Perlihatkan dirimu'"
teriak Wiro. Rasa ngerinya tadi kini berubah
menjadi kemarahan. Seumur hidupnya baru
kali itu dia dikencingi manusia. Mungkin di
dunia ini, cuma dia sendiri manusia yang
dikencingi manusia. Tapi apa betul makhluk
yang mengencinginya itu seorang manusia?
Bukannya setan atau dedemit?
"Keparat yang mengencingiku! Perlihatkan
dirimu!" teriak Wiro gemas.
Suaranya bergema dalam rimba belantara itu.
Tiba-tiba terdengar dari samping kanan suara
tertawa mengikik macam tadi. Dengan serta
merta Pendekar 212 memburu ke arah itu.
Sekilas masih sempat dilihatnya satu sosok
bayangan putih samar-samar karena
bayangan itu bergerak luar biasa cepatnya.
Tanpa pikir panjang Wiro Sableng gerakkan
tangan kirinya lepaskan pukulan "Kunyuk
Melempar Buah".
Semak belukar berpelantingan, sebuah pohon
patah dilanda pukulan itu. Tapi si bayangan
putih sudah lenyap dari pemandangan.
"Sialan betul!" gerutu Wiro. Dia melompat ke
arah lenyapnya bayangan itu lalu melesat ke
sebuah pohon besar yang tinggi dari mana
dia bisa melihat dengan jelas seantero rimba
belantara.
Namun si bayangan putih tetap tiada
kelihatan seakan-akan sirna ditelan bumi.
Dengan kertakkan geraham Wiro Sableng
turun dari pohon itu. Mungkin sekali si
bayangan putih tadi adalah Dewi Siluman.
Tapi mengapa sang Dewi sengaja
mempermainkan sedang dia telah mengutus
empat orang anak buahnya untuk
menangkapnya.
"Gila!" gerendeng Pendekar 212. Belum pernah
dia berhadapan dengan peristiwa begini rupa.
Kemudian bila hidungnya sudah tak sanggup
lagi menghirup bau pesing kencing yang
membasahi kepalanya pendekar ini segera
tinggalkan tempat itu untuk mencari kali atau
telaga guna mencuci kepalanya. Sewaktu dia
melewati pohon besar tempat dia duduk tadi
tanpa sengaja kedua matanya memperhatikan
batang pohon itu. Bukan main terkejutnya
Wiro Sableng sewaktu menyaksikan serentetan
tulisan putih pada batang pohon besar itu.
"Ini lebih gila lagi!" kata Wiro. Dia melompat
ke hadapan pohon dan meneliti apa yang
tertulis di situ. Perbuatan tangan manusia
bukan suatu yang abadi.
Manusia berilmu berpikir pendek berotak
dangkal.
Punya senjata dilupakan.
Bukan untuk menebang kayu atau menebas
kaki.
Hanya tujuh warna pelangi yang abadi. Wiro
tak dapat memastikan dengan apa tulisan
putih itu dibuat. Cuma dia yakin bahwa yang
menulisnya pastilah si bayangan putih tadi.
Untuk beberapa lamanya dia masih berdiri di
hadapan pohon itu merenung dan memikirkan
apa arti serta tujuan rentetan tulisan itu.
Namun tiada sanggup otaknya memecahkan.
Perbuatan tangan manusia bukan suatu yang
abadi. Wiro tahu akan kebenaran tulisan
tersebut. Lalu: Manusia berilmu berpikir
pendek berotak dangkal. Siapakah manusia
yang dimaksudkan dalam rentetan tulisan
yang kedua ini? Apakah tulisan itu ditujukan
kepadanya? Punya senjata dilupakan. Hati
Pendekar 212 tercekat sedikit. Di balik
pakaiannya tersembunyi Kapak Maut Naga
Geni 212. Apakah senjata ini yang
dimaksudkan oleh penggurat tulisan pada
batang pohon itu? Senjata itu selalu ada di
tubuhnya dan tak pernah dilupakannya.
Wiro membaca rentetan tulisan yang keempat:
Bukan untuk menebang kayu atau menebas
kaki.
Tentu saja adalah keterlaluan kalau Kapak
Maut Naga Geni 212 dipakai untuk menebang
kayu.
Tapi untuk menebas kaki lawan, sudah
beberapa kali dilakukan Wiro dalam
pertempuranpertempurannya.
Kaki siapakah yang dimaksudkan oleh tulisan
itu?!
Wiro menepekur dan putar otak.
Pandangannya membentur kaki kirinya.
Tersentaklah pendekar ini. Mungkin kakiku
yang hitam ini yang dimaksud, pikirnya. Lalu
diperhatikannya rentetan tulisan yang
terakhir. Hanya tujuh warna pelangi yang
abadi. Hanya tujuh warna pelangi…
Wiro garuk-garuk kepalanya. Karena
kepalanya yang basah oleh air kencing itu
belum dibersihkan maka dengan sendirinya
kembali tangannya menjadi basah dan bau
karena menggaruk itu. Dan Wiro menyerapah
lagi.
Hanya tujuh warna pelangi yang abadi. Wiro
mengulang. Berarti selain warna pelangi, tak
ada warna yang abadi. Sekali lagi Wiro
memandang ke kaki kirinya berwarna hitam,
dan warna hitam itu bukan warna pelangi, jadi
tidak abadi. Berarti bisa sirna bisa
dilenyapkan. Tapi bagaimana caranya?!
Untuk kesekian kalinya Wiro membaca lagi
rentetan demi rentetan tulisan di kulit pohon.
Tiba-tiba dipukulnya keningnya sendiri.
"Memang aku yang geblek!" katanya. Lalu
cepat-cepat dikeluarkannya Kapak Naga Geni
212. Ditimang-timangnya senjata itu beberapa
lama. Dan Wiro menggerutu pula. Apa yang
akan dilakukannya dengan senjata itu? Bukan
untuk menebang kayu atau menebas kaki.
Hanya tujuh warna pelangi yang abadi. Kini
Wiro jadi bingung kembali. Buncah otaknya.
Hampir sepeminum teh lamanya dia memutar
otak memecahkan kalimat demi kalimat di
batang pohon itu. Apa kini yang harus
dilakukannya? Perlahan-lahan Wiro duduk
kembali di bawah pohon itu. Kapak Naga Geni
212 diletakkannya di atas pangkuan paha kiri.
Pada saat senjata itu menyentuh pahanya
maka detik itu pula dirasakannya satu hawa
dingin menjalar dari mata kapak ke dalam
kakinya. Senjata mustika itu memberikan
reaksi terhadap ketidakwajaran pada kaki
sang pendekar.
"Tolol! Betul-betul aku tolol!" Wiro memaki
dirinya sendiri. Diambilnya kapak itu kembali
dan ditempelkannya pada kaki kiri yang
berwana hitam. Hawa dingin semakin santer
dan detik demi detik Wiro Sableng
menyaksikan bagaimana kulit kakinya yang
hitam kini berangsur-angsur kembali kewarna
seperti biasanya.
Ketika keseluruhan warna hitam itu lenyap,
Pendekar 212 berseru gembira dan melompat
dari duduknya. Lupa dia pada kegeraman
hatinya karena dikencingi tadi. Wiro
memandang berkeliling dan berteriak.
"Bayangan putih! Siapa pun kau adanya, aku
haturkan terima kasih atas petunjukmu!"
Begitu suara Wiro lenyap maka terdengarlah
suara cekikikkan macam ringkikkan kuda.
Suara itu dekat sekali di samping kanannya.
Sang pendekar berpaling. Dia melompat
dengan cepat sewaktu melihat kelebatan
bayangan putih di balik semak belukar. Dia
kecewa karena ketika sampai di rerumpunan
semak-semak itu si bayangan sudah lenyap
lagi.
Wiro geleng-gelengkan kepala. Betul-betul
luar biasa gerakan makhluk itu. Ilmu apakah
yang dimiliki si bayangan putih? Wiro tahu,
seseorang yang memiliki ilmu mengentengi
tubuh yang bagaimana pun tingginya
seseorang yang memiliki ilmu lain yang
bagaimana cepatnya, tak akan mungkin akan
bisa berkelebat dan lenyap secepat itu. Cuma
setan dan bangsa jin yang sanggup berbuat
seperti itu.
Meski agak kecewa tak dapat mengejar si
bayangan putih namun Wiro gembira juga
karena warna hitam pada kaki kirinya telah
lenyap. Dimasukkannya Kapak Naga Geni 212
ke balik pakaiannya kembali. Betul-betul dia
telah berbuat tolol, berpikir pendek berotak
dangkal, melupakan senjata itu. Padahal
sewaktu di puncak Gunung Gede gurunya
pernah menerangkan bahwa kapak sakti itu
bukan saja bisa dipergunakan sebagai senjata
hebat, tapi juga bisa mengobati dan menyedot
segala macam racun jahat yang mengindap di
tubuh manusia baik bagian luar maupun
bagian dalam.
Wiro angsurkan kaki kirinya ke depan untuk
memperhatikan kaki itu kembali. Disaat itulah
matanya melihat lagi serentetan tulisan. Kali
ini di tanah di hadapannya. Kalau mau tahu
tingginya langit dalamnya lautan.
Pada purnama empat belas hari
Datanglah ke Goa Belerang. "Pastilah Si
bayangan putih itu yang menulisnya," kata
Wiro dalam hati. Nyatnya dunia ini bukan
saja penuh dengan kekejaman dan kejahatan,
tapi juga penuh keanehan. *
* * Suara petikan kecapi terhenti sewaktu
pintu kamar diketuk dari luar.
"Masuk!" kata Dewi Siluman. Kepalanya
dipalingkan ke pintu yang terbuka. Nariti
masuk.
Gadis ini menjura tiga kali di hadapan sang
Dewi. Inani gadis pemetik kecapi berdiri dan
meninggalkan kamar itu.
"Kau berhasil?" tanya Dewi Siluman begitu dia
tinggalkan berdua dengan Nariti.
"Aku dan kawan-kawan mohon ampunmu,
Dewi," berkata Nariti.
"Hah?! Jadi kalian tak berhasil menangkap
pemuda itu?" Dewi Siluman bangkit dari
pelaminannya. Matanya membeliak besar dan
memandang lekat-lekat pada Nariti.
"Sebenarnya kami akan berhasil Dewi. Tapi…."
"Tapi apa?!" sentak Dewi Siluman.
"Manusia-manusia itu mengacaukan tugas
kami hingga si pemuda lolos!"
"Manusia-manusia siapa maksudmu?!"
bertanya Dewi Siluman sambil sandarkan
punggung ke bantal besar di belakangnya.
"Sepasang Arit Hitam dan muridnya Si Telinga
Arit Sakti serta Sepuluh Jari Kematian,"
jawab Nariti. Lalu dia memberi penuturan
atas apa yang telah terjadi. "Si Telinga Arit
Sakti yang berani menantang kekuasaanmu,
telah kami penggal batang lehernya!
Sepasang Arit Hitam kami tawan hidup-hidup
dan Sepuluh Jari Kematian ikut bersama
kami. Mereka berdua kini berada di ruang
merah."
"Sepasang Arit Hitam pindahkan ke ruang
gelap. Sepuluh Jari Kematian bawa ke ruang
putih!"
"Baik Dewi," Nariti hendak menjura siap untuk
tinggalkan kamar itu.
"Tunggu dulu!"
Suara Dewi Siluman keras dan lantang
menggetarkan hati Nariti. Dia membalik
dengan kecut.
"Ternyata apa yang menjadi tugas utamamu
tidak kau laksanakan dengan baik! Kau musti
terima hukuman!"
Pucatlah paras Nariti.
"Tapi Dewi, aku sudah jelaskan semua pada
kau. Tiga manusia itu mengacaukan tugasku
dan kawan-kawan. Bahkan…."
"Aku tidak perduli!" potong Dewi Siluman. Dia
bertepuk satu kali. Lima gadis berbaju biru
masuk ke kamar itu melalui sebuah pintu
rahasia. Kelimanya menjura.
"Siap menunggu perintahmu, Dewi." kata
gadis baju biru paling depan. Nariti
memandang kepada mereka ini dan tahu
bahwa mereka adalah anak-anak buah Dewi
Siluman yang diberi jabatan sebagai petugas
penghukum.
"Seret dia ke ruang hitam! Sekap satu hari
satu malam!"
"Perintah segera dilaksanakan Dewi!" Lima
gadis itu kemudian melangkah cepat ke
hadapan Nariti. Menggigillah tubuh Nariti.
Ruangan hitam adalah ruangan hukuman
yang paling ditakuti oleh seluruh penghuni
Istana Dewi Siluman. Ruangan ini khusus
disediakan untuk mereka yang membuat
kesalahan atau melalaikan tugas. Ruangan
hitam merupakan sebuah ruangan sempit dan
gelap luar biasa, tangan di depan mata pun
tidak kelihatan. Seseorang yang dijebloskan di
sana akan merasakan hawa panas ke luar dari
empat dinding sempit di sekelilingnya sedang
dari langitlangit dan lantai ruangan mendera
hawa dingin luar biasa. Hawa panas membuat
tubuh hangus melepuh sedang hawa dingin
membuat kaki dan muka kaku tegang.
Nariti pernah menyaksikan keadaan seorang
kawannya yang keluar dari ruang penyiksaan
itu. Tubuhnya hitam legam, kakinya tak
sanggup berdiri sedang parasnya rusak.
Selama satu minggu dia diserang demam
panas dingin, keadaannya antara hidup dan
mati, mengigau siang malam tiada henti. Dua
bulan kemudian baru penderitaan akibat
hukuman itu lenyap dan parasnya berangsur-
angsur baik kembali sedang kulit tubuhnya
yang hitam berangsur-angsur mengelupas dan
kembali kebentuk-nya semula. Betapa
mengerikannya. Dan kini dia Nariti sendiri
yang akan dijebloskan ke dalam ruangan
hitam itu.
Beberapa pasang tangan memegang
lengannya.
"Dewi…." suara Nariti seperti tercekik dan
sendat.
"Seret dia lekas!" bentak Dewi Siluman.
Maka kelima petugas itu segera membawa
Nariti. Meskipun rasa takut memuncak
menyelubungi dirinya namun Nariti tak bisa
berbuat apa-apa. Melawan berarti akan lebih
celaka lagi. Di dalam hati Nariti berkobar
kebencian dan dendam kesumat terhadap
Wiro Sableng. Garagara Pendekar 212 itulah
dia sampai mendapat hukuman.
Di dalam kamarnya Dewi Siluman memanggil
Inani kembali. Kali ini tidak menyuruh gadis
itu memainkan kecapi.
"Inani, kau bersama beberapa orang kawan
segera pindahkan Sepasang Arit Hitam ke
ruang gelap dan Sepuluh Jari Kematian bawa
ke ruang putih."
"Perintah segera kujalankan Dewi." kata Inani.
Gadis jelita ini menjura.
Sebelum Inani berlalu, Dewi Siluman memberi
perintah lagi yaitu agar menyuruh Kemani
menghadap.
Bila Kemani datang maka Dewi Siluman
memberi keterangan singkat tentang pemuda
yang dimaksudkan Nariti lalu memerintahkan
agar Kemani bersama beberapa orang
kawannya mencari si pemuda sampai dapat.
"Sebelum kau berhasil menangkap hidup-
hidup pemuda itu dan membawanya ke
hadapanku, jangan harap kau dan kawan-
kawanmu diperbolehkan menginjak Istana ini
kembali!"
Meski hati tergetar kecut namun Kemani
mengangguk menjura.
Sementara itu di satu ruangan yang disebut
ruangan putih….
Sepuluh Jari Kematian duduk di sebuah kursi
di kepala meja. Dia memandang seputar
ruangan yang keseluruhan lantai, langit-langit
dan dinding serta isinya berwarna putih
bersih. Lima orang gadis jelita telah
membawanya ke dalam ruangan itu dan
meninggalkannya seorang diri.
Kawannya yaitu Sepasang Arit Hitam entah
dibawa ke mana oleh orang-orangnya Dewi
Siluman.
Sambil terus memandang seantero ruangan,
tokoh silat itu berpikir-pikir hal apa pula yang
bakal ditemuinya di tempat itu? Meski
kehadirannya di Pulau Madura adalah atas
undangan Dewi Siluman, namun sesudah
peristiwa pertempuran di jalan kecil tadi,
bukan tidak mustahil dia akan menemui nasib
buruk pula. Dicobanya mempertenang hati dan
menunggu.
Telinga Sepuluh Jari Kematian yang terlatih
dan tajam mendengar suara benda bergeser.
Tiba-tiba dinding di hadapannya membuka ke
samping dan kelihatanlah tiga manusia
berpakaian biru melangkah memasuki
ruangan itu. Mereka bukan lain dari Dewi
Siluman dan dua pengiringnya.
Langkah yang dibuat sang Dewi tetap
berwibawa. Kepala mendongak ke atas dan air
muka yang jelita itu membayangkan pula sifat
kekerasan kalau tak mau dikatakan
kekejaman.
Sepuluh Jari Kematian berdiri dari kursinya
dan menjura dalam.
"Aku merasa bersyukur dapat memenuhi
undanganmu, Dewi Siluman. Ini merupakan
satu kehormatan besar darimu."
Dewi Siluman naikkan hidung ke atas lalu
menjawab. "Cuma sayang, sikap hormatku itu
dibalas dengan perbuatan sembrono hingga
seorang yang hendak kutangkap berhasil
meloloskan diri!"
Muka Sepuluh Jari Kematian kelihatan merah.
Dia berbatuk-batuk beberapa kali lalu berkata.
"Bukan maksudku untuk bertindak semborono.
Anak-anak buahmu terlalu bersikap keras dan
ikuti kemauan sendiri."
Dewi Siluman tertawa.
"Adakah cara yang lebih baik dari kekerasan
dan mengikuti kemauan sendiri bagi
seseorang yang hendak menguasai dunia
persilatan? Bagi seseorang yang hendak
memegang kendali delapan penjuru angin?!"
Terkejutlah Sepuluh Jari Kematian. Jadi betul
rupanya dugaan-dugaan bahwa Dewi Siluman
bermaksud hendak menguasai dunia
persilatan dengan caranya sendiri yaitu
menurut kehendak hatinya, berbuat kejam dan
membunuh manusia-manusia tiada berdosa
hingga namanya menjadi angker di kalangan
rimba persilatan.
"Tentu saja kekerasan dan keteguhan hati
sangat diperlukan Dewi!" berkata Sepuluh Jari
Kematian. "Apalagi bagi seorang yang punya
maksud hendak merajai dunia persilatan."
"Bagus kalau kau berpendapat demikian.
Sekarang terangkan mengapa kau dan kawan
kawan tidak mau menyerahkan pemuda itu
sebagaimana yang diperintah oleh anak-anak
buahku?!"
Sepuluh Jari Kematian hela nafas dalam.
"Anak-anak buahmu keliwat kesusu, Dewi…."
"Hemm, begitu?! Lantas itu sebabnya kau
bertindak ceroboh dan tidak memandang
sebelah mata padaku?!"
"Tidak begitu. Dewi," sahut Sepuluh Jari
Kematian. "Pada saat itu aku dan kawan-
kawan tengah menempur habis-habisan
pemuda itu. Kami sama-sama punya dendam
kesumat terhadapnya.
Dia membunuh muridku… "
"Aku sudah tahu semua!" potong Dewi
Siluman. "Kau tak usah cari dalih!
Sebenarnya aku punya rencana tertentu
denganmu, tapi sesudah peristiwa itu terpaksa
kubatalkan…."
"Harap Dewi tidak berpikir yang bukan-bukan
terhadapku. Sampai saat ini aku masih
merupakan sahabat baikmu seperti dimasa-
masa lalu…."
"Justru karena mengingat hubungan baik
masa lalu aku tak sampai menjatuhkan
hukuman terhadapmu. Dalam waktu yang
singkat kau akan meninggal."
Seloki emas berisi tuak masih juga
mengapung di hadapan Sepuluh Jari
Kematian yang mukanya sudah menjadi
merah karena jengah.
Tiba-tiba Dewi Siluman keluarkan tertawa
mengekeh dan disaat itu pula seloki tuak
bergerak perlahan ke muka Sepuluh Jari
Kematian. Tokoh silat ini segera
memegangnya. Ketika jari-jari tangannya
menyentuh seloki itu, tuak di dalam seloki
tumpah membasahi jari-jari tangan dan alas
meja. Benar-benar ketinggian tenaga dalam
sang Dewi tak sanggup dijajaki oleh Sepuluh
Jari Kematian.
"Dalam waktu singkat pula kau harus angkat
kaki dari Pulau Madura ini. Tapi sebelum
pergi aku masih mau berbuat baik,
menjamumu mencicipi tuak harum!"
Dewi Siluman berpaling pada gadis baju biru
di samping kanannya. Gadis ini bertepuk dua
kali. Dinding di belakang Dewi Siluman
membuka. Seorang pelayan perempuan masuk
membawa sebuah baki. Di atas baki ini
terletak sebuah poci dan dua buah seloki
besar yang juga terbuat dari emas. Tuak di
dalam poci yang sangat harum segera
dituang ke dalam kedua gelas itu. Selesai
menjalankan pekerjaannya si pelayan segera
berlalu.
Dewi Siluman memegang salah sebuah seloki
emas itu dan mengacungkannya ke hadapan
Sepuluh Jari Kematian yang duduk di kepala
meja di seberangnya.
"Silahkan menikmatinya," kata Dewi Siluman
pula. Dan habis berkata begitu seloki emas itu
dilepaskannya. Anehnya seloki itu tidak jatuh
ke atas meja melainkan perlahan-lahan
terbang ke arah Sepuluh Jari Kematian.
Nyatalah bahwa sang Dewi memiliki tenaga
dalam yang luar biasa hebatnya.
Sepuluh Jari Kematian tak berani menyambuti
seloki berisi tuak itu secara biasa. Setelah
kerahkan setengah bagian dari tenaga
dalamnya ke lengan kanan sampai ke ujung-
ujung jari, baru dia berani ulurkan tangan
kanan untuk menyambuti seloki berisi tuak
itu. Tapi sewaktu ujung-ujung jari Sepuluh
Jari Kematian hampir menyentuh seloki
tersebut, anehnya benda ini menjauh sehingga
dia tak dapat memegangnya. Diam-diam
Sepuluh Jari Kematian berjingkat sedikit dari
kursi yang didudukinya. Sekali lagi dia hampir
menyentuh seloki tuak itu, sang seloki
menjauh kembali.
Nyatalah bahwa dengan kekuatan tenaga
dalamnya Dewi Siluman telah
"mempermainkan" benda itu.
Penuh penasaran Sepuluh Jari Kematian lipat
gandakan tenaga dalamnya. Pertempuran
tenaga dalam terjadi secara diam-diam. Dewi
Siluman kelihatan duduk di kursinya dengan
tenang dan sambil senyum-senyum.
Sebaliknya Sepuluh Jari Kematian sudah
keluarkan butir-butir keringat dingin di
keningnya. Tenaga dalam tokoh silat utama
ini yang sudah mencapai puncak tertinggi dan
sempurna ternyata tak sanggup melayani
kehebatan tenaga dalam yang luar biasa
tingginya.
"Silahkan diminum tuak harum itu. Sepuluh
Jari Kematian!" kata Dewi Siluman masih
senyum dan sambil menangkau seloki tuak
yang terletak di meja di hadapannya.
Sepuluh Jari Kematian menyeka dulu mukanya
yang keringatan baru menempelkan tepi seloki
ke bibirnya. Begitu seloki itu berada di bawah
hidungnya, di antara keharuman bau tuak di
dalam seloki dia mencium bau lain yang
aneh. Hati tokoh silat ini bercuriga dan
sepasang matanya memandang ke ujung meja
dimana saat itu Dewi Siluman tengah
mengangkat seloki tuak perlahanlahan ke
bibirnya. Sepasang mata mereka berperang
pandang.
Sepuluh Jari Kematian turunkan seloki yang
dipegangnya.
"Ada apa, Sepuluh Jari Kematian?" tanya Dewi
Siluman. Nada suaranya berubah lain.
"Dewi, aku tak dapat menerima
kehormatanmu untuk minum
bersama.Sebenarnya aku ada urusan lain yang
sangat penting. Aku minta diri, harap
dimaafkan."
Tapi sebelum Sepuluh Jari Kematian berdiri,
Dewi Siluman telah tegak lebih cepat. Kedua
bola matanya membesar dan menyorot.
"Sepuluh Jari Kematian!" sentaknya. "Kau
anggap aku ini siapakah?! Ini adalah satu
penghinaan besar bagiku."
"Tak ada maksudku untuk menghina demikian,
Dewi…."
"Kenapa tuak itu tidak kau minum? Pasti kau
mempunyai pikiran yang bukan-bukan
terhadapku!"
Mulut Sepuluh Jari kematian terkunci rapat-
rapat. Hatinya tergetar melihat pandangan
yang mengerikan dari sang Dewi.
"Dewi Siluman, kuharap kau tidak melupakan
hubungan baik kita sebagai dua sahabat sejak
dulu," berkata pada akhirnya tokoh kawakan
itu.
"Justru karena mengingat hubungan baik
kitalah aku mengundangmu ke sini! Dan kini
kau menaruh prasangka yang bukan-bukan
terhadapku. Menghinaku! Apa kau kira tuak
harum itu beracun hingga kau tidak bernyali
meminumnya? Jawab!"
Sepuluh Jari Kematian gelengkan kepala
perlahan-lahan.
"Kalau tuak itu beracun, aku akan mati
duluan!" ujar Dewi Siluman. Habis berkata
begini, gadis jelita ini teguk tuak dalam seloki
sampai habis. Seloki emas dibantingkannya ke
atas meja.
Dia berteriak dengan suara keras marah.
"Apakah kau lihat aku mati saat ini karena
minum tuak itu?!"
Sepuluh Jari Kematian telan ludahnya.
Perlahan-lahan seloki yang dipegangnya
ditempelkannya ke bibirnya kembali. Tiga kati
teguk saja lenyaplah semua tuak di dalam
seloki ke dalam perutnya.
Dewi Siluman duduk kembali ke kursinya. Dia
memandang dengan tersenyum aneh pada
Sepuluh Jari Kematian.
"Apakah tuak itu beracun?"
Sepuluh Jari Kematian gelengkan kepala.
"Atau kau merasa ada kelainan di dirimu saat
ini?"
Sepuluh Jari Kematian kembali gelengkan
kepala meski saat itu sesungguhnya memang
dia merasakan ada satu kelainan yang tak
dimengertinya.
Dewi Siluman tertawa mengekeh. Suara
tertawa mengekeh yang sesungguhnya tak
pantas kalau keluar dari seorang gadis jelita
macam dia. Dan suara kekehan ini bernada
yang mencurigakan bagi Sepuluh Jari
Kematian. Hatinya mulai dirayapi kepastian
bahwa Dewi Siluman telah memasukkan racun
jahat ke dalam minuman itu. Tapi yang
mengherankannya Dewi Siluman sendiri juga
telah minum tuak itu, malah lebih dulu dari
dia.
Dewi Siluman berpaling pada pengiring di
samping kanannya dan berkata. "Tambahkan
tuak untuk tamu kita itu."
"Terima kasih Dewi. Kurasa satu seloki sudah
cukup," jawab Sepuluh Jari Kematian. Saat itu
semakin terasa adanya kelainan dalam
tubuhnya.
"Sepuluh Jari Kematian," berkata sang Dewi
dengan nada mengandung ancaman.
"Pernahkah kau bercita-cita untuk merajai
dunia persilatan?"
Sepuluh Jari Kematian memandang sebentar
paras jelita di hadapannya. Setelah merenung
beberapa ketika lamanya lalu anggukkan
kepala dan menjawab. "Memang pernah Dewi.
Tapi itu bukan satu hal yang mudah. Di dunia
ini penuh dengan tokoh-tokoh silat sakti luar
biasa. Kalau sekarang aku belum dapat
merajai dunia persilatan, tapi delapan penjuru
angin telah mengetahui siapa diriku. Dan itu
merupakan hal lumayan."
"Tepat sekali ucapanmu bahwa untuk merajai
dunia persilatan bukan satu hal yang mudah.
Tapi jika tahu caranya pasti dalam waktu
yang singkat cita-cita itu bisa dilaksanakan!"
Sepuluh Jari Kematian berpikir-pikir, kira-kira
apakah tujuan Dewi Siluman mengajaknya
bicara demikian. Dia juga memikirkan apa
sebenarnya yang menjadi alasan gadis sakti
itu tempo hari mengundangnya untuk datang
ke Pulau Madura. Dalam dia berpikir-pikir itu
Dewi Siluman berkata pula.
"Kau tentunya punya cara sendiri. Aku juga
punya cara sendiri. Dan aku yakin caraku itu
akan lebih berhasil dari padamu."
Sang Dewi tertawa mengekeh.
"Ketahuilah Sepuluh Jari Kematian, mulai hari
ini kau kuambil sebagai pembantuku dalam
melaksanakan cita-cita untuk merajai dunia
persilatan…."
Sepuluh Jari Kematian kernyitkan kening.
"Pembantu macam manakah maksudmu,
Dewi?" tanya tokoh silat ini.
"Kau harus tunduk padaku dan turut
perintah!"
Berubahlah paras Sepuluh Jari Kematian. Dia
seorang tokoh silat terkenal dan ditakuti di
ujung timur Pulau Jawa kini disuruh tunduk
dan ikut perintah. Benar-benar satu
penghinaan besar yang menusuk hati dan
tiada memandang muka serta nama besarnya.
Kalau saja bukan berhadapan dengan Dewi
Siluman, pastilah saat itu tokoh silat ini
sudah melabrak gadis itu.
"Mungkin ini satu hal yang tidak enak
bagimu," berkata lagi Dewi Siluman. "Tapi ini
sudah menjadi takdirmu, Sepuluh Jari
Kematian! Kau musti tetap di sini bersama
orang-orangku dan menjalankan segala apa
yang kuperintahkan! Kau dengar…?!"
Sepuluh Jari Kematian menggeram dalam
hatinya.
"Terima kasih atas kepercayaanmu serta
hormatmu padaku. Dewi Siluman. Namun
kuharap kau bisa maklum. Manusia macamku
ini tidak suka terikat, ingin hidup bebas dan
malang melintang di delapan penjuru angin
dunia persilatan. Kuharap kau tak usah gusar
kalau aku terpaksa menolak permintaanmu
itu. Apalagi aku orang buruk yang sudah tua
renta ini. Tak ada guna dan untungnya
mengambilku jadi pembantu…."
Dewi Siluman tertawa.
"Kau pandai sekali merendahkan diri,"
katanya. "Namun rupanya tak ada jalan lain
bagimu.
Kau harus tetap di sini, dan jadi pembantuku.
Tenagamu sangat kuperlukan!"
"Mohon maaf Dewi. Aku tak bisa
menerimanya…."
Bola-bola mata Dewi Siluman menyorot.
"Kuharap kau tahu di mana kau berada saat
ini, Sepuluh Jari Kematian!"
Ucapan ini benar-benar menandakan ancaman
bagi Sepuluh Jari Kematian. Dan dia mulai
berpikir-pikir bahwa dalam waktu yang
singkat akan terjadi perselisihan serta
bentrokan antara dia dan Dewi Siluman.
Melihat kenyataan tadi bahwa Dewi Siluman
memiliki tenaga dalam yang luar biasa
tingginya, Sepuluh Jari Kematian maklum
bahwa bertempur dengan gadis itu sukar
baginya untuk menang, apalagi dia saat itu
berada pula di sarangnya sang Dewi, di mana
terdapat belasan orang-orangnya Dewi
Siluman yang berkepandaian tinggi yang
kehebatan mereka telah disaksikannya sendiri
tadi.
"Kalau kau suka Dewi, aku bersedia carikan
tokoh silat lain untukmu…."
"Aku bisa mencarinya sendiri!" sahut Dewi
Siluman pula. "Yang kuperlukan sekarang
adalah kau!"
"Menyesal Dewi, aku…."
Kalimat Sepuluh Jari Kematian itu dipotong
oleh ucapan keras Dewi Siluman seraya
menggebrak meja.
"Jadi kau berani membangkang terhadapku?!"
Sepuluh Jari Kematian coba tertawa.
Jawabnya. "Sampai saat ini aku masih tetap
mengingat hubungan baik kita. Sebelum aku
minta diri, aku ucapkan terima kasih atas
jamuanmu ini. Di samping itu kuharap pula
kau suka membebaskan kawanku Sepasang
Arit Hitam yang telah ditawan oleh orang:-
orangmu."
Sepuluh Jari Kematian berdiri dari kursinya.
"Kau tetap berkeras kepala untuk menolak
kemauanku?!
"Aku sama sekali tidak menolak, tapi belum
bisa. Di lain hari mungkin baru aku bisa
memenuhi keinginanmu…."
Berubahlah paras Dewi Siluman. Perlahan-
lahan dia berdiri dari kursinya. Mukanya
mengelam Senyumnya lebih tepat kalau
dikatakan seringai bengis.
"Baik Sepuluh Jari Kematian, kau boleh pergi.
Bahkan Sepasang Arit Hitam boleh kau bawa
serta. Tapi…." Dewi Siluman tak meneruskan
kata-katanya. Dia memandang tepat-tepat
pada tokoh silat tua di hadapannya itu lalu
pecahlah suara tertawanya di ruangan putih
itu. Sepuluh Jari Kematian merasa tak enak.
Kemudian cepat-cepat dia membalik dan
menuju ke pintu. Sebelum pintu itu sempat
dibukanya, di belakangnya didengarnya suara
Dewi Siluman.
"Sebelum kau pergi masih ada satu hal yang
rasanya perlu kuberitahukan, Sepuluh Jari
Kematian!"
Sambil memegang daun pintu, Sepuluh Jari
Kematian palingkan kepala.
"Nyawamu cuma tinggal cuma satu minggu
saja Sepuluh Jari Kematian!" Dan Dewi
Siluman tertawa lagi panjang-panjang seperti
tadi.
"Apa maksudmu?!" tanya Sepuluh Jari
Kematian dengan muka membesi.
"Apakah kau tuli kalau kukatakan bahwa
nyawamu tinggal cuma satu minggu lagi?!
Lewat satu minggu ususmu akan hancur,
perutmu akan meloek dan seluruh isi perutmu
akan berbusaian akibat racun yang telah kau
teguk bersama tuak tadi!"
Terkejutlah Sepuluh Jari Kematian.
"Tapi kau sendiri juga telah meminumnya"
buka suara tokoh silat itu.
Dewi Siluman tertawa lagi. "Aku memang
telah meminumnya. Tapi aku tak akan
mampus macam kau! Dalam seloki itu,
pelayanku telah memasukkan sejenis bubuk
yang mematikan racun yang ada di dalam
tuak!"
Maka marahlah Sepuluh Jari Kematian.
"Perempuan laknat!" teriaknya menggeledek.
"Sebelum aku mampus, kau akan kubikin
minggat ke neraka lebih dulu!"
Dewi Siluman tertawa mengumandang.
"Tua bangka tak tahu diri! Kau andalkan
apakah berani melawan kekuasaan Dewi
Siluman?!" bentak Dewi Siluman.
"Aku andalkan ini perempuan iblis!" sahut
Sepuluh Jari Kematian. Dan serentak dengan
itu lima jari-jari tangan kanannya dijentikkan
ke muka. *
* * Begitu lima jari menjentik maka lima larik
sinar hitam yang menggidikkan menderu
dengan amat panasnya ke arah lima bagian
tubuh Dewi Siluman.
Yang diserang keluarkan suara mendengus
yang disusul dengan bentakan nyaring. "Tua
bangka edan! Apakah tidak tahu tingginya
gunung dalamnya lautan?!"
Tubuh Dewi Siluman kelihatan bergerak.
Gerakan yang dibuatnya ini cepat luar biasa,
benar-benar laksana siluman berkelebat. Detik
itu pula tubuhnya lenyap dari hadapan
Sepuluh Jari Kematian. Lima larik sinar hitam
yang menyerangnya menderu menghantam
dinding ruangan.
Ruangan itu bergoncang seperti dilanda lindu.
Dinding yang putih di sebelah sana kelihatan
hitam hangus dan mengeluarkan kepulan
asap.
Dua orang pengiring Dewi Siluman yang ada
di ruangan itu berseru nyaring dan berkelebat
cepat.
"Dewi!" teriak salah seorang dari mereka.
"Bangsat tua hina dina ini biar kami yang
bereskan!"
"Kalian tetap di tempat!" perintah Dewi
Siluman. Tubuhnya melesat laksana kilat dan
tahutahu dua jari tangan kanannya menotok
ke urat besar di pangkal leher sebelah kiri
Sepuluh Jari Kematian. Demikian cepatnya
totokan ini sehingga tokoh silat tua itu tak
sempat menangkis atau pun menghindar
selamatkan lehernya. Satu-satunya jalan
ialah mengalirkan dengan cepat seluruh
tenaga dalamnya ke bagian pangkal leher itu
untuk menolak totokan. Namun karena tenaga
dalam Sepuluh Jari Kematian berada jauh di
bawah Dewi Siluman, maka ketika totokan itu
mendarat di pangkal lehernya, dengan serta
merta sekujur tubuhnya menjadi kaku tegang
tak bisa lagi digerakkan. Tapi mulut Sepuluh
Jari Kematian masih bisa bersuara. Maka
memakilah tokoh silat kawakan ini.
"Gadis keparat! Lekas bebaskan totokan ini!
Kalau tidak kau akan menyesal seumur
hidup!"
Dewi Siluman tertawa mengekeh.
"Tikus tua! Sudah tak ada daya masih bisa
besarkan mulut! Kau minta dilepaskan
totokan?
Baik! Tapi rasakan dulu ini!"
Tangan kanan Dewi Siluman bergerak.
"Plaaak!"
Tamparan yang keras mendarat di pipi
Sepuluh Jari Kematian. Tokoh silat itu
meraung kesakitan. Dua buah giginya tanggal
dan melompat dari mulutnya. Bibirnya pecah
berdarah.
Pemandangannya gelap. Sesaat kemudian
tubuhnya limbung dan tergelimpang ke lantai.
Dewi Siluman menyeringai. Dia berpaling pada
kedua orang anak buahnya dan memerintah.
"Seret babi tua ini ke Ruang Penyiksaan!"
Dua gadis baju biru segera bergerak untuk
laksanakan tugas sang Dewi. Namun belum
lagi keduanya menyentuh tubuh Sepuluh Jari
kematian tiba-tiba pintu Ruangan Putih
terpentang lebar dan dua manusia aneh
menerobos ke dalam.
Terkejutlah Dewi Siluman dan kedua anak
buahnya.
Begitu sang Dewi kenali dua manusia aneh ini
dia segera membentak. "Tiga Aneh Gila!
Bagaimana kalian bisa sampai ke sini?!
Apakah sudah bosan hidup?!"
Kedua manusia itu saling pandang satu sama
lain lalu tertawa gelak-gelak sambil melompat
lompat seperti anak kecil.
"Manusia-manusia gila keblinger! Nama
besarmu memang pernah kudengar! Setahuku
kalian berjumlah tiga orang? Mana
kambratmu yang satu lagi, biar aku sekaligus
dengan lekas mengirim kalian menghadap
penunggu neraka!"
Dua manusia aneh itu jingkrat-jingkratan lagi
dan tertawa gelak-gelak hingga mata mereka
menjadi berair. Yang satu tiba-tiba hentikan
tertawanya dan menepuk bahu kawannya, lalu
berkata.
"Baju Gombrong! Diamlah! Apa kau tidak
dengar si jelita itu tanyakan kawan kita yang
satu lagi?!"
"Ah… ah… ah!" kata manusia aneh yang
dipanggilkan Baju Gombrong itu, "Biar aku
panggilkan dia. Dewi Siluman, kau tunggulah
sebentar, kambratku yang kau tanyakan itu
ada membawa oleh-oleh untukmu!"
Habis berkata begitu Baju Gombrong
keluarkan suara bersiul. Maka dari pintu yang
terpentang lebar itu masuklah seorang aneh
yang berpakaian cabik-cabik. Yang
mengejutkan Dewi Siluman serta anak-anak
buahnya ialah ketika menyaksikan bagaimana
pada bahunya manusia ini membawa dua
orang anak buahnya yang saat itu tidak
bernyawa lagi karena leher mereka terkulai
patah akibat dipelintir kepalanya.
Manusia aneh yang ketiga ini tertawa gelak-
gelak sewaktu melihat Dewi Siluman.
"Dewi Siluman, rupanya kau begitu tak sabar
tanyakan aku! Ini aku datang dan bawa oleh
oleh buatmu!" Serentak dengan itu manusia
ini gerakkan tubuhnya dengan perlahan dan
tahu-tahu dua orang anak buah Dewi Siluman
yang berada di bahunya berpelantingan ke kiri
kanan, menghantam dinding dan mental
kembali, jatuh tepat di hadapan Dewi Siluman.
Jelas terdengar suara geraham-geraham Dewi
Siluman bergemelatukan karena amarah yang
amat sangat.
"Dewi Cantik!" kata Baju Rombeng, "Menyesal
sekali kami terpaksa lepaskan tangan jahat
pada dua orang anak buahmu. Kami tengah
keluyuran di kaki bukit sana, tahu-tahu
mereka menyerang. Kawan-kawan, bukankah
begitu ceritanya?!"
Ketiga manusia aneh itu kemudian tertawa
gelak-gelak ramai sekali dan tak lupa mereka
dalam tertawa itu melonjak-lonjak seperti
tadi.
"Dua anak buahmu itu inginkan nyawa kami!
Padahal mereka cukup pantas untuk jadi…." Si
Baju Rombeng tak teruskan ucapannya karena
saat itu kembali dia tertawa lagi.
"Dan sewaktu kami sampai di sini, nyatanya
kejahatanmu tiada beda dengan kami…." Si
Baju Rombeng memandang pada sosok tubuh
Sepuluh Jari Kematian yang menggeletak
pingsan, lalu geleng-gelengkan kepala.
"Tamparan yang hebat," katanya.
Dua orang anak buah Dewi Siluman yang ada
di ruangan itu mula-mula terkesiap saksikan
dua kawan mereka yang dilemparkan tanpa
nyawa, tapi kini tak dapat lagi menahan
kemarahan mereka dan melompat ke muka.
"Dewi! Izinkan kami merampas nyawa anjing-
anjing buruk ini!"
"Tangkap mereka hidup-hidup! Sebelum
mampus mereka musti disiksa dulu!" teriak
Dewi Siluman.
Maka dua orang gadis baju biru itu segera
menyerbu ke muka. Tiga manusia yang
diserang anehnya melihat serangan ini malah
tertawa gelak-gelak dan jingkrat-jingkratan.
Dan lebih aneh lagi begitu mereka gerakkan
tangan kiri mereka maka tegang kakulah
kedua anak buah Dewi Siluman itu. Ternyata
ketiganya telah lepaskan totokan jarak jauh
yang lihai luar biasa. Dan ini membuat sang
Dewi terkejut bukan main. Melihat kelihaian
ketiga manusia ini Dewi Siluman tidak mau
bertindak sembrono. Jika dua orang anak
buahnya sanggup ditamatkan riwayat mereka
dan dua orang lagi dibuat tak berdaya di
muka hidungnya maka tiga manusia itu sudah
tentu mengandalkan ilmu yang tinggi sekali.
Siapakah ketiga manusia itu?
Orang yang masuk pertama ke dalam
Ruangan Putih itu ialah seorang yang
bermata besar juling berbadan katai. Bajunya
sangat besar hingga kegombrangan di
badannya yang pendek kecil itu. Karena
pakaiannya yang gombrong inilah maka di
duia persilatan dia dikenal dengan julukan
Baju Gombrong.
Yang kedua juga bertubuh kecil pendek.
Kepalanya botak penuh kudis yang baunya
busuk.
Pakaiannya penuh tambalan-tambalan.
Karena itulah di dunia persilatan dia dikenal
dengan gelar Baju Tambalan.
Manusia aneh ketiga yang masuk paling akhir
dengan membawa mayat dua orang anak
buah Dewi Siluman juga berbadan katai.
Rambutnya yang hitam berkilat diikat kuncir
ke atas. Karena seumur hidupnya dia selalu
mengenakan pakaian robek-robek dan cabik
tak karuan maka di rimba persilatan dia
dikenal dengan julukan Baju Rombeng.
Sejak lima tahun yang lalu ketiga manusia ini
telah bergabung dalam satu kelompok. Karena
kesemua mereka mempunyai penyakit kurang
ingatan alias gila maka kelompok mereka itu
dinamakan Tiga Aneh Gila. Meski mereka gila
namun hati mereka polos jujur dan suka
berbuat baik di mana-mana. Ketiganya pernah
melabrak beberapa tokoh-tokoh silat
golongan hitam.
Dengan sendirinya dimusuhi oleh golongan
hitam. Beberapa tokoh silat dan satu
perguruan silat golongan hitam pernah coba
membuat perhitungan dengan mereka. Namun
Tiga Aneh Gila menyapu lawan-lawan mereka
itu.
Satu bulan yang lewat dalam petualangan
mereka ketiganya telah mendengar tentang
keganasan Dewi Siluman di Pulau Madura.
Sebagai tiga tokoh silat yang tak suka
melihat kejahatan dan kekejaman maka Tiga
Aneh Gila segera berangkat ke Pulau Madura.
Dalam mencari-cari di mana letak sarangnya
Dewi Siluman, dua orang anak buah Dewi
Siluman memergoki mereka.
Tiga Aneh Gila mulanya menegur dengan
baik-baik dan menanya di mana letak tempat
Dewi Siluman pada kedua gadis itu. Anak-
anak buah Dewi Siluman tentu saja merasa
curiga. Tanpa banyak cerita keduanya segera
menyerang Tiga Aneh Gila dengan jurus-jurus
yang mematikan.
Ketiga manusia aneh itu jadi penasaran
sekali. Setelah bertempur delapan jurus maka
dua orang anak buah Dewi Siluman berhasil
mereka tangkap hidup-hidup. Namun salah
seorang dari mereka yaitu Baju Rombeng
merasa kasihan dan atas perintahnya kedua
gadis itu dilepaskan kembali. Tapi apa lacur,
begitu dilepas segera dua orang anak buah
Dewi Siluman ini menyerang lagi dengan lebih
ganas. Maka Tiga Aneh Gila kali ini tak
memberi hati lagi. Dalam empat jurus saja
maka kedua orang anak buah Dewi Siluman
terpaksa pasrahkan jiwa kepada mereka.
Dengan muka membesi menahan kegeraman.
Dewi Siluman memandang ketiga manusia
katai di depannya lalu buka mulut. Ucapannya
setengah mendesis. "Dengan datang kemari
dan pembunuhan atas kedua orang anak
buahku, berarti kalian telah menentukan
kematian sendiri Tiga Aneh Gila!"
Tiga Aneh Gila kembali tertawa gelak-gelak.
Tidak lupa pula mereka berloncat-loncatan.
"Namun demikian," melanjutkan Dewi
Siluman. "Masih ada keampunan bagi kalian
jika kalian bersedia menjadi pembantu-
pembantuku dan ikut segala perintah!"
"Ah!" menyahuti Baju Gombrong."Kedatangan
kami ke sini justru untuk meminta kau
menjadi pembantu kami bertiga!" Dan Baju
Gombrong bersama dua kawannya kemudian
tertawa kembali.
Dengan menekan kemarahannya Dewi Siluman
bertanya. "Apa maksud kalian sebenarnya?!"
"Masakan kau tidak tahu," jawab Baju
Rombeng. "Kau cocok sekali untuk menjadi
utusan kami ke neraka!"
"Dan sekalian tolong menyampaikan salam
kami bertiga pada setan-setan neraka!"
menimpali Baju Tambalan. Tiga Aneh Gila lalu
tertawa lagi.
Dewi Siluman menggerendeng. "Kalian bertiga
memang pantas untuk jadi puntung neraka!"
Serentak dengan itu Dewi Siluman bersuit
nyaring. Maka empat buah dinding membuka
dan sepuluh gadis berbaju biru membanjiri
Ruangan Putih itu.
"Tangkap tiga orang gila kesasar ini?"
perintah Dewi Siluman.
Maka kesepuluh gadis baju biru itu segera
keluarkan jala sutera mereka kemudian
dengan serentak menyerbu Tiga Aneh Gila.
Sepuluh jala mengembang mengurung mereka.
Tiga Aneh Gila hentikan tertawa mereka dan
ganti dengan suara berteriak-teriak tak karuan
memekakkan telinga sedang tubuh mereka
berlompatan kian kemari. Lompatan-
lompatan ini kelihatannya juga tidak karuan,
acak-acakan. Tapi anehnya gerakan mereka
menimbulkan angin yang luar biasa
dahsyatnya.
Demikian dahsyatnya sehingga tebaran jala
sutera biru sepuluh anak buah Dewi Siluman
laksana terbendung. Kesepuluh gadis itu amat
terkejut. Selama ini tak pernah mereka
mengeroyok sepuluh seorang atau beberapa
orang lawan. Selama ini tak satu kehebatan
pun yang dapat melepaskan diri dari jala-jala
sutera mereka. Tapi sekali ini benar-benar
mereka dibikin bingung oleh jurus-jurus aneh
yang acak-acakan yang dikeluarkan tiga
orang manusia katai itu. Lima jurus berlalu,
sepuluh anak buah Dewi Siluman malah kini
kena didesak Tiga Aneh Gila.
Melihat ini Dewi Siluman segera berseru.
"Bentuk Barisan Seratus Siluman Keluar Dari
Sarangnya!"
Mendengar seruan sang Dewi, sepuluh gadis
baju biru itu undurkan diri ke tepi kalangan.
Kemudian dengan tiba-tiba sekali
kesepuluhnya menyerbu ke muka. Masing-
masing keluarkan suara berteriak mengerikan.
Jala sutera biru kini digulung dan dibuat
sebagai senjata penggebuk.
Serangan mereka ini benar-benar tak ubahnya
seperti seratus siluman ke luar dari
sarangnya. Dalam waktu yang sangat singkat
kesepuluh gadis baju biru sudah mengurung
Tiga Aneh Gila dengan rapat dan dalam satu
jurus di muka mereka mendesak ketiga
manusia katai itu dengan hebat.
Tiga Aneh Gila yang melihat bahaya besar ini
tidak tinggal diam. Mereka berkelebat cepat
dan rubah permainan silat mereka. Dari mulut
mereka tidak pula henti-hentinya terdengar
suara teriakan yang sekali-sekali diselingi
oleh tertawa haha-hihi sehingga Ruangan
Putih itu menjadi hiruk pikuk dan laksana
dilanda lindu.
Lima jurus berlalu. Seorang anak buah Dewi
Siluman menjerit dan mental ke luar kalangan
pertempuran, rubuh muntah darah. Kemudian
menyusul lagi korban yang kedua. Marahlah
Dewi Siluman melihat hal ini.
"Anak-anak, kalian semua mundurlah!" seru
Dewi Siluman.
Maka delapan gadis baju biru segera turut
perintah dan keluar dari kalangan
pertempuran.
Tiga Aneh Gila tertawa gelak-gelak dan
jingkrat-jingkratan.
"Kadal-kadal betina beginikah yang hendak
merajai dunia persilatan?!" ejek Baju
Gombrong yang bermata juling.
"Bagusnya biangnya saja yang maju!"
menimpali Baju Tambalan seraya garuk-garuk
kepalanya yang gatal penuh kudis busuk.
Dewi Siluman kertakkan geraham. Dia
berpaling pada delapan muridnya yang masih
hidup.
"Kurung yang rapat! Setan-setan buruk ini
tidak boleh satu pun yang lepas!"
Tiga Aneh Gila tertawa berkakakkan.
"Siluman berteriak setan!" ujar Baju Rombeng.
"Aku jadi ingat pada pencuri yang berteriak
maling!"
"Cukup!" bentak Dewi Siluman menggeledek.
Air mukanya yang jelita benar-benar
menunjukkan kebengisan dan kekejaman yang
mengerikan kini. "Kalian boleh keluarkan
seluruh ilmu simpanan! Tapi dalam tiga jurus
kalian akan kutangkap hidup-hidup!"
"Kecap!" teriak Baju Tambalan dan bersama
dua kawannya dia tertawa kembali gelak-
gelak.
Dewi Siluman loloskan kalung tengkorak kecil
dari lehernya dan memegang benda itu di
tangan kanan.
"Kalian lihat tengkorak ini?!"
"Kami masih belum buta!" jawab Baju
Rombeng
"Tentu saja! Kalian memang belum buta! Tapi
apa kalian tahu bahwa jika kalian sudah
mampus, tengkorak-tengkorak kalian akan
dimasukkan ke dalam dapur penggodok,
dibikin kecil ciut macam begini untuk jadi
kalung anak-anak buahku?!"
"Ah, hebat sekali!" seru Baju Gombrong. "Tapi
apakah kau juga tahu kalau kau mampus
daging tubuhmu akan kami suruh gerogoti
oleh anak-anak buahmu sendiri agar kau dan
mereka benar-benar jadi siluman?!"
Tiga Aneh Gila tertawa membahak.
Dewi Siluman tak dapat menahan diri lagi.
Tangan kirinya menyelinap ke balik jubah
untuk mengeluarkan sebuah jala biru yang
terbuat dari sutera yang sangat halus laksana
jaring laba-laba.
Sambil putar-putar kalung bermata tengkorak
di tangan kanannya Dewi Siluman maju
mendekati Tiga Aneh Gila. Tiga Aneh Gila
sambil terus tertawa-tawa, secara acuh tak
acuh melangkah berpencar dan diam-diam
sudah mengurung sang Dewi dari tiga
jurusan. *
* * Dewi Siluman perhatikan posisi ketiga
lawannya sementara kalung tengkorak di
tangannya menderu-deru berputar dan
keluarkan angin yang mengibar-ngibarkan
pakaian Tiga Aneh Gila.
Tiba-tiba dari mulut sang Dewi keluar suara
seperti orang menangis.
"Eh… eh… eh!" ujar Baju Rombeng. "Siluman
ini disamping teriak-teriak dan membentak
rupanya pandai pula menangis!" Tiga Aneh
Gila kemudian tertawa memingkal.
Namun kali ini tawa mereka terhenti dengan
tiba-tiba.
Tengkorak yang berputar mendadak sontak
menebarkan asap biru yang tebal sekali
menutupi pemandangan Tiga Aneh Gila.
"Kawan-kawan cepat mundur!"teriak Baju
Rombeng.
Dalam buta pemandangan itu ketiganya
berlompatan ke belakang. Namun disaat itu
pula jala sutera halus di tangan kiri Dewi
Siluman menebar berputar laksana kitiran.
"Celaka!" seru Baju Tambalan. Dirasakannya
sesuatu benda melibat pinggangnya kemudian
sepasang lengan dan kakinya. Pastilah itu
jala sutera Dewi Siluman. Dalam gelapnya
kepulan asap biru Baju Tambalan coba
lepaskan diri tapi tak berhasil sedang
kemudian dia mendengar susul menyusul
seruan kedua kawannya.
Dewi Siluman kini memutar kalung
tengkoraknya pada arah yang berlawanan dari
tadi.
Asap putih mendesis dari mulut tengkorak
kecil itu dan dalam sekejap saja lenyaplah
asap biru yang gelap. Ruangan Putih kembali
berada dalam keadaan terang benderang. Dan
saat itu kelihatanlah bagaimana Tiga Aneh
Gila berdiri di tengah ruangan dengan sekujur
badan terjirat jala biru, tak sanggup lepaskan
diri.
Dewi Siluman tertawa mengekeh. Kalung
tengkoraknya digantungkannya kembali ke
leher.
"Nyatanya Tiga Aneh Gila hanya tokoh-tokoh
silat picisan belaka!" ejek Dewi Siluman.
"Sekarang kalian akan tahu siapa Dewi
Siluman! Anak-anak seret tiga puntung
neraka ini dan Sepuluh Jari Kematian ke
Ruang Penyiksaan! Sebelum mereka
merasakan siksaan neraka ada baiknya lebih
dulu harus dijebloskan ke dalam siksaan
dunia!"
Maka Tiga Aneh Gila dan Sepuluh Jari
Kematian segera diseret dari Ruangan Putih
dimasukkan ke dalam Ruang Penyiksaan
Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Kemani
bersama tiga orang kawannya dalam mencari
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212.
Mereka keluar dari terowongan di sebelah
selatan Bukit Tunggul. Setengah harian
menyelidik keempatnya masih belum berhasil
mendapatkan jejak orang yang mereka cari.
"Sebaiknya kita memencar!" kata Kemani
memberi usul pada ketiga kawannya. "Dengan
memencar kita bisa bergerak lebih luas. Jika
salah satu dari kita berhasil melihat manusia
itu segera lepaskan tanda ke udara!"
Tiga gadis baju biru lainnya menyetujui.
"Jika sampai senja kita tak berhasil
menemuinya, kita harus kembali ke tempat ini
untuk berkumpul dan menentukan langkah
selanjutnya."
Maka keempat anak buah Dewi Siluman itu
pun memencarlah. Hari pertama itu,
sesenjasenja hari keempatnya tak berhasil
menemui orang yang mereka cari. Keempatnya
berkumpul di tempat yang telah ditentukan
dan membuat kemah di situ. Paginya mereka
meneruskan lagi pencaharian. Meskipun
Madura cuma sebuah pulau namun penuh
dengan rimba belantara serta bukit-bukit dan
pegunungan-pegunungan liar yang jarang
ditempuh manusia. Inilah yang menyukarkan
bagi keempat anak buah Dewi Siluman itu
untuk mencari Wiro Sableng. Dan pada hari
yang kedua itu mereka masih belum berhasil.
Keempatnya berkumpul di satu lamping
gunung kapur. Kemana pun mereka
memandang hanya warna putih yang mereka
lihat. Menjelang senja seorang dari mereka
melihat kelap-kelip nyala api di sebelah utara.
"Mungkin dia," desis Kemani. Setelah
berunding singkat, keempatnya segera
tinggalkan lamping gunung kapur. Empat kali
sepeminuman teh mereka sampai ke tempat
nyala api itu.
Ternyata yang mereka lihat itu ialah nyala api
unggun. Tak jauh dari api unggung ini terletak
satu buntalan. Pastilah di tempat itu ada
yang berkemah. Tapi tak satu orang pun yang
kelihatan. Kemani dan kawan-kawan
menunggu sampai dua kali sepeminuman teh.
Tetap tak ada satu orang pun yang muncul.
Keempatnya berunding lagi lalu dengan penuh
waspada melangkah untuk mendekat dan
memeriksa isi buntalan di dekat api unggun.
Baru saja keempatnya bergerak sejauh tiga
langkah entah dari mana datangnya
berkelebatlah satu bayangan putih. Demikian
cepatnya sehingga keempat anak buah Dewi
Siluman tak dapat memastikan bayangan
apakah itu. Dan tahu-tahu mereka merasakan
satu totokan pada pangkal leher mereka yang
membuat diri mereka kaku tegang tak bisa
bergerak, tak bisa buka suara.
Sekali lagi bayangan putih itu berkelebat dan
sesaput angin aneh menyambar mata mereka.
Keempatnya mendadak sontak merasa berat
kelopak mata masing-masing. Kantuk aneh
tak tertahankan lagi sehingga dalam keadaan
tubuh tertotok itu keempatnya kemudian
pejamkan mata tertidur nyenyak.
Suara tertawa aneh menyeramkan macam
ringkikkan kuda, menggeletar di seantero
tempat.
Satu bayangan putih berkelebat lagi dan
sekaligus memboyong keempat gadis berbaju
biru itu. *
* * Dewi Siluman berdiri di belakang jendela di
anjungan ketiga. Dipandangnya kolam dan
taman bagus di bawah sana. Tapi pikirannya
tidak tertuju pada apa yang dilihatnya
melainkan pada empat orang anak buahnya
yang telah dikirimnya untuk mencari dan
menangkap pemuda yang tak berhasil
ditawan oleh Nariti dan kawan-kawannya,
sampai-sampai Nariti sendiri dihukum dan
disiksa di Ruang Hitam. Dan kini sudah
memasuki hari yang kelima, empat orang
anak buahnya itu masih belum muncul.
Mungkin keempatnya belum berhasil mencari
si pemuda. Tapi mungkin juga keempatnya
telah menjadi korban. Mengingat ini Dewi
Siluman menjadi sedikit khawatir. Tiba-tiba
pintu di belakangnya diketuk.
"Masuk!" ujar Dewi Siluman.
Pintu terbuka. Seorang gadis berkulit putih
yang rambutnya disanggul ke atas menjura
tiga kali di hadapan Sang Dewi.
"Ada keperluan apa kau menghadap,
Sarinten?"
Gadis yang bernama Sarinten menjawab.
"Ketika aku meronda tak berapa jauh dari
daerah kapur, aku menemui tusuk kundai ini,
Dewi." Sarinten mengacungkan tangan kirinya
yang menggenggam sebuah tusuk kundai dari
perak. Lalu katanya meneruskan. "Benda ini
kutemukan di satu tempat di mana ada bekas-
bekas perapian. Dan Dewi, aku yakin betul ini
adalah kusuk kundainya Kemani…."
Sepasang mata Dewi Siluman kelihatan
mengecil.
"Aku khawatir Kemani dan kawan-kawan
menemui hal-hal yang tak kita ingini," ujar
Sarinten lagi.
"Apakah ada tanda-tanda bekas perkelahian?"
tanya Dewi Siluman.
"Tak bisa kupastikan Dewi."
Dewi Siluman merenung sejenak. Kemudian.
"Baik Sarinten, kau boleh tinggalkan kamar
ini. Aku akan memikirkan apa yang bakal
dilakukan!"
Sarinten menjura tiga kali lalu meninggalkan
anjungan itu. Dewi Siluman kembali putar
badan dan memandang ke luar jendela. Ketika
melihat tusuk kundai yang diacungkan oleh
Sarinten tadi, sebenarnya Dewi Siluman
merasa pasti bahwa telah terjadi apa-apa
dengan Kemani dan kawan-kawannya. Dan
kalau memang pemuda yang tengah dicari-
cari itu yang punya pekerjaan, yakinlah Dewi
Siluman bahwa si pemuda sungguh-sungguh
berilmu tinggi. Nariti adalah anak buahnya
yang berilmu tinggi sedang Kemani dua
tingkat lebih tinggi dari Nariti dan tetap tugas
yang mereka laksanakan tidak membawa
hasil bahkan semakin menimbulkan
kekhawatiran. Yang membuat Dewi Siluman
tambah penasaran ialah karena sampai
sebegitu jauh dia masih belum tahu siapa
adanya pemuda itu. Siapa namanya, siapa
juluk atau gelarannya. Tiba-tiba dia ingat
pada Sepuluh Jari Kernatian yang telah
dijebloskan ke dalam Ruang Penyiksaan.
Mungkin dia tahu siapa pemuda itu.
Dewi Siluman tepukkan tangannya dua kali.
Pintu terbuka, seorang gadis baju biru masuk.
Selagi gadis ini menjura maka sang Dewi
sudah buka mulutnya.
"Apakah Sepuluh Jari Kematian masih
hidup?!"
"Akan aku periksa Dewi. Kemarin dia masih
bernafas satu-satu…."
"Jika dia masih hidup, lekas bawa ke Ruangan
Putih. Aku menunggu di sana!"
"Baik Dewi," dan gadis ini menjura lagi lalu
keluar dengan cepat. Dia adalah anak buah
Dewi Siluman yang bertugas di Ruang
Penyiksaan.
Begitu gadis itu berlalu, Dewi Siluman segera
tinggalkan kamar di anjungan ketiga itu.
Tak lama menunggu maka sebuah kerangkeng
dari besi yang beroda didorong memasuki
Ruangan Putih. Di dalamnya menggeletak
Sepuluh Jari Kematian. Keadaannya seperti
sudah mati dan mengerikan sekali. Dia tak
mengenakan jubah hitam lagi tapi hanya
bercawat kecil. Sekujur badannya penuh
bengkak-bengkak hijau merah yang
mengandung nanah. Di antara
bengkakbengkak itu banyak yang telah pecah
mengeluarkan nanah campur darah yang
baunya busuk laksana merurutkan bulu
hidung. Rambutnya yang panjang acak-
acakan. Mukanya hampir tak bisa lagi dikenali
karena penuh dengan bengkak-bengkak
menggembung berselomotan nanah dan
darah.
Kedua matanya kini hanya merupakan
rongga-rongga besar yang menggidikkan.
Penyiksaan yang dialami tokoh silat ini
benar-benar luar biasa. Di dalam Ruang
Penyiksaan dia mula-mula digantung kaki ke
atas kepala ke bawah. Satu hari berlalu maka
dia dibawa ke Ruangan Putih dan dihadapkan
pada Dewi Siluman. Tapi sewaktu Sepuluh
Jari Kematian tetap tidak mau tunduk pada
kemauan sang Dewi untuk masuk menjadi
pengikutnya maka dia dijebloskan kembali ke
Ruang Penyiksaan, digantung lagi kaki ke
atas ke bawah. Dua hari kemudian darah
mulai menggusur dari mata, telinga serta
hidung dan.mulutnya sedang kepalanya saat
demi saat makin gembung seperti balon.
Hari berikutnya Dewi Siluman
membebaskannya dan ditanyai apakah
bersedia merubah pikirannya dan masuk ke
pihak Dewi Siluman. Tapi jawabannya Sepuluh
Jari Kematian adalah caci maki bahkan tokoh
silat itu telah meludahi muka Dewi Siluman.
Kemarahan Dewi Siluman tiada terkirakan.
Sepuluh Jari Kematian dijebloskan kembali ke
Ruang Penyiksaan dan dimasukkan ke sebuah
ruangan kaca tertutup. Ke dalam ruangan
kaca ini dimasukkan puluhan binatang-
binatang berbisa. Sepuluh Jari Kematian tak
bisa berbuat apa-apa. Tangan dan kakinya
diikat dengan benang sutera halus yang aneh
dan kuat luar biasa sedang kekuatannya
lumpuh karena ditotok. Dalam tempo satu
hari saja maka habislah bengkak-bengkak
sekujur tubuhnya disengat oleh puluhan
binatang berbisa. Kedua belah matanya
membusuk dan digerogoti sehingga hanya
tinggal merupakan dua buah lobang yang
mengerikan. Kalau saja Sepuluh Jari
Kematian tidak memiliki kekuatan yang luar
biasa, pastilah nyawanya sudah lepas karena
siksaan yang sangat hebat itu.
Namun sampai saat itu, meskipun tak ada
harapan untuk hidup, Sepuluh Jari Kematian
masih bisa bernafas, sekalipun nafas itu tak
lebih dari nafas-nafas terakhir yang akan
mengantarkannya kepada titik kematian.
Dewi Siluman tutup indra penciumannya
sewaktu bau busuk keluar dari tubuh Sepuluh
Jari Kematian merambas hidungnya.
Diperhatikannya tubuh tokoh silat itu seketika.
Ternyata masih bernafas.
"Sepuluh Jari Kematian!" seru Dewi Siluman.
Tubuh yang menggeletak di dalam kerangkeng
besi itu tiada bergerak.
"Sepuluh Jari Kematian!" seru Dewi Siluman
lebih keras. Tetap tak ada reaksi apa-apa.
Dewi Siluman berpaling kepada Sarinten yang
tadi mendorong kerangkeng beroda itu.
"Semprot dia dengan air biru!"
Sarinten tinggalkan Ruangan Putih. Ketika dia
masuk kembali maka di tangan kanannya ada
sebuah tabung kaca berbentuk kendi yang
berisi sejenis cairan berwarna biru. Sarinten
mendekati kerangkeng besi. Bagian atas dari
tabung kaca itu ditekannya dengan ujung jari
telunjuk. Terdengar suara mendesis. Dari
sebuah lubang pada badan tabung
menyemprotlah air biru ke sekujur tubuh
Sepuluh Jari Kematian yang menggeletak di
dalam kerangkeng. Bau busuk dengan serta
merta lenyap. Lewat sepeminum teh,
terjadilah hal yang aneh. Dari mulut Sepuluh
Jari Kematian terdengar suara erangan.
Kemudian tubuhnya kelihatan bergerak
perlahan. Semprotan air biru tadi nyatanya
bukan saja telah melepaskan Sepuluh Jari
Kematian dari totokan sejak beberapa hari
yang lalu, tapi sekaligus juga memberikan
satu kekuatan aneh kepadanya. Namun
karena sekujur tubuhnya menderita luar biasa
maka tetap saja dari mulutnya keluar suara
erangan kesakitan.
"Sepuluh Jari Kematian!" seru Dewi Siluman.
Erangan tokoh silat itu terhenti seketika,
kepalanya bergerak. Agaknya dia tengah
meneliti suara siapa yang memanggilnya.
"Sepuluh Jari Kematian, kau dengar aku
bicara?!"
"Uh… uuuuu… uuh…. gadis iblis. Baiknya kau
bunuh saja aku saat ini!" Rupanya Sepuluh
Jari Kematian sudah mengetahui siapa yang
bicara dengan dia.
"Dengar, nyawamu akan kuselamatkan jika…."
"Iblis laknat, kau bunuh aku cepat! Biar aku
jadi setan dan mencekikmu…!"
Dewi Siluman tahan amarahnya yang mulai
meluap.
"Kau tak akan mati Sepuluh Jari Kematian.
Aku datang justru untuk selamatkan
jiwamu…."
Sepuluh Jari Kematian mendengus. Dia coba
untuk bangun dan duduk, tapi tak berhasil.
"Apakah kau juga bisa kembalikan dua
mataku yang kini buta ini, gadis siluman
laknat?!" sentak Sepuluh Jari Kematian.
"Jika kau tak mau dengar ucapanku terpaksa
kau kukirim kembali ke Ruang Penyiksaan!"
"Aku tidak takut! Aku ingin lekas mampus biar
cepat jadi setan dan memuntir batang
lehermu!" tukas Sepuluh Jari Kematian.
Penasaran sekali Dewi Siluman memerintah
pada Sarinten. "Ambil besi menyala!"
Sarinten tinggalkan Ruangan Putih dan
kembali lagi dengan sepotong besi besar yang
ujungnya merah menyala karena dibakar
dengan api. Dewi Siluman mengambil besi itu,
ujungnya kemudian didekatkan ke muka
Sepuluh Jari Kematian. Tokoh silat golongan
hitam ini tampak menyeringai kesakitan
akibat panasnya besi yang terbakar itu.
"Sepuluh Jari Kematian, jangan jadi orang
tolol! Bagaimanapun keadaanmu sekarang,
kau tetap akan bisa selamat dan hidup terus.
Lekas katakan siapa adanya pemuda yang
tempo hari melarikan diri sewaktu anak-anak
buahku mendatangi kau! Siapa namanya,
gelar dan asal dari mana! Cepat!"
Sepuluh Jari Kematian kelihatan tercenung.
Tiba-tiba dari mulutnya mengumandang
rendah suara tertawa mengekeh. "Kalau aku
sudah mampus dan jadi setan, baru aku kasih
tahu padamu!"
jawab laki-laki itu.
Ujung besi yang merah terbakar didekatkan
kembali ke muka Sepuluh Jari Kematian.
Kembali manusia ini kernyitkan muka karena
hawa yang panas.
"Lekas terangkan!" sentak Dewi Siluman. Dia
sudah tidak sabar sekali.
Sepuluh Jari Kematian hentikan kekehannya.
"Gadis iblis, yang perlu kukatakan pada kau…
ialah… kau bakal tak sanggup menghadapi
pemuda itu! Ilmu silatnya lebih tinggi… dan…
dan kesaktiannya lebih hebat dari kau! Kau
akan mampus di tangannya…. Kau… akan…."
Ucapan Sepuluh Jari Kematian cuma sampai
di situ. Dari mulutnya kini keluar lolongan
yang mengerikan karena saat itu Dewi
Siluman menusukkan ujung besi yang merah
menyala ke pipi kanannya. Bukan saja pipi itu
terpanggang hangus tapi juga menjadi bolong
besar.
"Masukkan manusia tak berguna ini ke Ruang
Penyiksaan kembali!" perintah Dewi Siluman.
Maka Sarinten kemudian mendorong
kerangkeng besi setelah menerima besi merah
menyala dari tangan sang Dewi. *
* * Tinggal sendirian di kamar pada anjungan
ke tiga itu Dewi Siluman kembali memikirkan
tentang keempat orang anak buahnya.
Mungkin sekali mereka telah menjadi korban
si pemuda sakti yang sampai saat itu tiada
diketahuinya siapa adanya. Keesokan harinya
tiada kabar tentang Kemani maka Dewi
Siluman segera memanggil anak buahnya
yang bernama Laruni. Laruni adalah anak
buah Dewi Siluman yang paling tinggi
ilmunya. Tiga perempat bagian ilmu silat Dewi
Siluman sudah dikuasainya dengan sempurna.
Waktu Laruni datang menghadap, Dewi
Siluman menunggunya bersama Sarinten,
Inani dan seorang gadis lainnya bernama
Wakania.
Dewi Siluman tidak membuang-buang waktu,
segera dia berkata. "Laruni, aku percayakan
satu tugas kepadamu yang harus kau
laksanakan dengan baik. Kau tentu sudah
tahu bahwa empat kawanmu di bawah
pimpinan Kemani telah kuperintahkan untuk
mencari seorang pemuda berkepandaian
tinggi. Pemuda itu kini malang-melintang di
pulau kita dan merupakan bahaya besar bagi
kita serta setiap rencana kita. Keempat
kawanmu itu tidak kembali sampai hari ini.
Aku khawatir bahwa mereka menemui hal-hal
yang tak diingini. Kuharap kau bisa
menyelidiki apa yang telah terjadi dengan
mereka dan paling penting ialah mencari serta
menangkap hidup-hidup pemuda itu,
membawanya kemari."
"Tugasmu siap kulaksanakan Dewi." kata
Laruni menyahuti. "Apakah aku akan pergi
seorang diri?!"
"Seorang diri aku percaya kau akan mampu
melaksanakan tugasmu," jawab Dewi Siluman.
"Namun kurasa akan lebih baik jika kawan-
kawanmu yang tiga orang ini ikut
bersamamu." Dewi Siluman kemudian
palingkan kepala pada Inani. Setelah menatap
gadis jelita berkulit kuning langsat itu sejurus
maka berkatalah dia.
"Inani, kau pergi bersama Laruni dan bawa
kecapimu."
Bukan saja Inani, tapi Sarinten, Laruni dan
Wakania menjadi heran mendengar ucapan
sang Dewi. Adakah seorang yang hendak
ditugaskan mencari musuh lawan hebat
disuruh membawa kecapi? Sungguh tak dapat
dimengerti mengapa sang Dewi menyuruh
demikian.
"Kalian mungkin heran," ujar Dewi Siluman
sambil pandangi paras keempat anak
buahnya.
"Tapi justru suara petikan kecapi di rimba
belantara yang sunyi atau di lamping gunung
atau di tepi jurang yang curam, akan menarik
perhatian setiap telinga manusia yang
kebetulan mendengarnya!
Dengan kerahkan tenaga dalammu maka
suara kecapi itu akan menggema jauh. Ini
akan mengundang datangnya pemuda yang
tengah kalian cari. Dan kalian akan mudah
menangkapnya!"
Diam-diam keempat orang gadis itu memuji
kecerdasan Dewi mereka. Setelah mengatur
persiapan untuk perjalanan maka
berangkatlah Laruni dan kawan-kawannya. Di
kaki sebuah bukit, mereka mengatur rencana
dan berpencaran. Laruni ke utara, Sarinten ke
selatan, Wakania ke timur dan Inani ke barat.
Wiro Sableng, si Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 berdiri di muka gua batu,
memandang ke arah pedataran liar di
bawahnya. Sinar matahari yang baru naik di
ufuk timur membuat pemandangan lebih
bagus dan indah. Anak sungai yang
membujur di sebelah tenggara kelihatan
berkilau-kilau disaputi sinar matahari itu.
Batu-batu cadas hitam bergemerlap. Wiro
menarik nafas dalam, menghirup udara pagi
yang segar. Diperhatikannya lengan
kanannya. Dia gembira sekali karena lengan
yang tempo hari patah itu kini sudah sembuh.
Berarti hari itu adalah hari dimana dia
kembali memulai menyelidiki di mana letaknya
sarang Dewi Siluman. Sebenarnya pendekar ini
ingin lebih dahulu mencari Goa Belerang,
yaitu goa yang diterangkan secara misterius
dalam tulisan manusia aneh yang telah
mengencingi kepalanya dulu itu. Namun
karena waktu yang disebutkan dalam tulisan
itu ialah bulan purnama empat belas hari
maka dia musti menunggu, kirakira empat
lima hari di muka. Wiro tak suka menunggu,
untuk menghabiskan waktunya dia
memutuskan mulai menyelidiki tentang Dewi
Siluman.
Demikianlah, setelah menikmati pemandangan
indah serta puas menghirup udara pagi yang
segar maka Pendekar 212 ini segera
tinggalkan gua. Suara siulannya menggema
dikeheningan pagi membawakan lagu tak
menentu, membuat takut binatang-binatang
kecil membuat burung-burung terkejut dan
menghentikan kicau lalu terbang ketakutan.
Di antara suara siulannya yang tak menentu
itu mendadak lapat-lapat Wiro Sableng
menangkap suara sesuatu di kejauhan.
Pendekar ini hentikan langkah serta
siulannya. Suara di kejauhan itu adalah suara
bunyi-bunyian. Tak dapat dipastikan suara
bunyi-bunyian apa.
Dipertajamnya telinganya, tapi karena suara
bunyi-bunyian itu jauh sekali tetap saja sukar
dikenalinya. Penuh rasa ingin tahu maka Wiro
Sableng kemudian langkahkan kakinya ke
arah datangnya suara tersebut. Lewat
sepeminum teh suara bunyi-bunyian itu
tambah jelas tapi agaknya masih jauh. Maka
dari melangkah biasa, Wiro Sableng mulai
berlari dengan cepat. Lewat lagi sepeminum
teh, suara bunyi-bunyian itu tambah jelas tapi
sumbernya masih jauh. Rasa aneh menjalari
diri Pendekar 212. Jangan-jangan
pendengarannya telah menipu diri sendiri.
Atau mungkin suara bunyi-bunyian itu adalah
suara setan atau bangsa dedemit penghuni
rimba belantara?!
Kalau tidak mengapa setelah demikian
lamanya sumber suara tersebut masih belum
berhasil dicapainya?!
Ketika lewat lagi satu kali peminum teh maka
barulah Wiro Sableng mengenali suara
bunyibunyian itu. Suara petikan kecapi. Dia
tak tahu lagu apa yang dibawakan, tapi
suaranya demikian merdu dan menyayat hati.
Mungkin itu lagu seorang gadis yang ditinggal
kekasih, pikir sang Pendekar 212! Mendekati
sumber bebunyian itu Wiro bertindak hati-
hati. Rasa aneh yang menggerayangi
tubuhnya menjadi satu peringatan baginya.
Jarak antara dia pertama kali mendengar
suara itu tadi jauh sekali, berkilo-kilo meter.
Suara kecapi biasa tak akan mungkin bisa
terdengar sampai demikian jauhnya.
Kemudian siapa pulakah .yang memetik
kecapi itu?
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun Wiro
menyeruak semak belukar lebat. Dilewatinya
segerombolan pohon-pohon yang tumbuh
dengan rapat. Kemudian di sebelah depan
dilihatnya sinar terang dari matahari yang
menyeruak di antara kerapatan pohon-pohon
dan semak belukar.
Ternyata di bagian muka sana itu adalah
ujung dari sebuah lembah subur yang
ditumbuhi rumput hijau. Pemandangan dari
tempat ketinggian itu indah sekali karena di
bawah lembah kelihatan sebuah telaga.
Namun Pendekar 212 sama sekali tidak
tertarik dan perhatikan keindahan
pemandangan itu. Dia bergerak ke samping
kiri dari mana suara kecapi terdengar santer
sekali. Dia masih belum melihat manusia dan
kecapi itu. Mungkin terlindung di balik semak-
semak rapat di dekat pohon beringin besar.
Maka Wiro dengan langkah cepat tanpa suara
menuju ke balik pohon beringin. Matanya
memandang tajam menembus di antara celah-
celah semak belukar.
Dan terkejutlah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Betapa tidak. Apa yang disaksikannya hampir
tak bisa dipercayanya. Di balik semak belukar
itu terhampar sebuah batu hitam besar
laksana pelaminan, menghadap di lembah
subur. Dan di atas batu besar hitam itu
duduklah seorang dara jelita sekali, berbaju
biru. Rambutnya diriap lepas, bergerai di bahu
dan di punggungnya sampai ke pinggang.
Sinar matahari membuat rambut yang hitam
itu berkilauan. Di pangkuan sang dara terletak
sebuah kecapi yang kayunya bagus diukir-
ukir.
Jari-jari si gadis menari-nari dengan
lincahnya di atas sinar-sinar kecapi itu. Dan
dia memainkannya tanpa matanya
memandang pada kecapi itu tapi
memperhatikan keindahan lembah di
bawahnya.
Betapa ahlinya dia memainkan kecapi itu dan
betapa indahnya lagu yang dibawakannya.
Untuk beberapa lamanya Pendekar 212 dibikin
terpesona, bukan saja oleh kepandaiannya
dan keindahan permainan kecapi si dara baju
biru, tapi juga oleh kejelitaan parasnya.
Beberapa lama kemudian barulah Wiro
Sableng menyadari bahwa cara si gadis
memainkan kecapi itu bukanlah cara biasa
seperti yang dimainkan oleh orang. Buktinya
petikan kecapinya itu telah terdengar oleh
Wiro Sableng di tempat yang sangat jauh.
Pastilah si gadis baju biru memetiknya
dengan disertai aliran tenaga dalam yang
hebat pada jari-jari tangannya. Dan pastilah
bahwa gadis jelita ini bukan gadis
sembarangan.
Ketika si gadis baju biru menggeser badannya
sedikit maka saat itulah Wiro dapat melihat
kalung tengkorak kecil yang tergantung di
lehernya. Terkesiaplah pendekar ini. Baju biru,
kalung tengkorak kecil, itulah ciri-ciri
dandanannya anak buah Dewi Siluman dari
Bukit Tunggul. Karena memaklumi bahwa si
gadis meskipun masih belia tapi berilmu
tinggi dan memiliki tenaga dalam sempurna
maka Wiro Sableng tak mau bertindak
sembrono. Dia menunggu sampai beberapa
lama, tapi si gadis agaknya masih belum mau
menghentikan petikan kecapinya. Akhirnya
pendekar kita putuskan untuk keluar dari balik
pohon beringin tanpa menunggu sampai si
baju biru itu menyudahi permainan kecapinya.
Sambil mendehem maka Wiro Sableng
munculkan diri.
Meskipun dia memainkan kecapi adalah
sengaja untuk mengundang datangnya orang
yang tengah dicari, namun suara deheman
tadi membuat Inani gadis yang memainkan
kecapi itu jadi terkejut juga. Belum dia
berpaling, didengarnya suara laki-laki berkata.
"Petikan kecapimu sedap sekali saudari.
Lagunya pun indah!"
Inani hentikan permainannya dan putar kepala
dengan cepat. Di hadapannya kini berdiri
seorang pemuda berambut gondrong
bertampang gagah. Pakaiannya putih-putih
dan tubuhnya tegap kekar. Meskipun sudah
dewasa namun pandangan matanya seperti
mata anak-anak, membayangkan kepolosan
dan kejujuran hati.
Meski terkesiap beradu pandangan dengan
Pendekar 212, namun begitu ingat tugasnya,
maka membentaklah Inani.
"Siapa kau?"
Wiro Sableng sunggingkan senyum. "Ah
kenapa kau hentikan permainan kecapimu,
Saudari?
Rupanya aku mengganggumu saja. Harap
maafkan. Aku…."
"Jangan banyak bicara! Lekas terangkan
siapa kau!"
"Tadinya tengah menggembalakan kerbau di
sebelah timur lembah ini. Kemudian kudengar
suara petikan kecapimu lalu datang ke sini…."
"Jadi kau gembala huh?"
"Betul!" sahut Wiro.
"Jangan dusta! Kau pasti pemuda yang
tempo hari larikan diri ketika mau ditangkap!"
Habis membentak begitu maka Inani segera
gerakkan tangan kanannya ke balik pakaian.
Sebuah benda terbentuk bola hendak di
lemparkannya ke udara. Bola ini adalah tanda
yang harus dilepaskannya ke udara, untuk
memberitahukan kepada kawan-kawannya
bahwa dia telah berhasil menemukan orang
yang mereka cari. Di udara bola itu akan
pecah dan memancarkan warna merah hingga
mudah dilihat. Tapi sebelum tangannya
sempat melemparkan bola itu, Pendekar 212
Wiro Sableng sudah tangkap pergelangan
tangan kanan Inani. Keduanya saling tarik
menarik dan saling pandang menyorot. Betapa
pun si gadis kerahkan tenaganya tetap saja
dia tak sanggup lepaskan pegangan Wiro.
"Lepaskan tanganku!" teriak Inani. Rasa aneh
menjalari dirinya. Seumur hidup itulah
pertama kali seorang laki-laki menyentuh kulit
tubuhnya.
"Aku akan lepaskan," kata Wiro sambil
tersenyum "Tapi benda ini harus kau berikan
dulu padaku."
"Kurang ajar. Lepaskan tanganku!" sentak
Inani.
Wiro gelengkan kepala. "Berikan dulu benda
ini, saudari baru kulepaskan." katanya.
Dengan mengkal Inani lepaskan bola itu yang
segera diambil dengan tangan kiri Wiro
Sableng. Kemudian baru dilepaskannya
lengan si gadis. Tengah Wiro meneliti benda
berbentuk bola itu tiba-tiba Inani berdiri dan
lemparkan kecapinya ke arah si pemuda.
Cepat-cepat Wiro Sableng berkelit. Kecapi
lewat menderu di atas kepalanya. Ketika
benda itu hampir menghantam pohon beringin
dan pasti akan hancur, Wiro cepat melompat
dan menangkap kecapi itu. Lalu sambil
geleng-gelengkan kepala dia berkata.
"Saudari, gerakanmu melemparkan benda ini
hebat sekali. Tapi sungguh sayang kalau
kecapi yang bagus ini hancur berantakan!"
Perlahan-lahan Wiro Sableng letakkan kecapi
di kaki pohon beringin. Baru saja itu
dilakukannya maka si gadis sudah menerjang
menyerangnya. Kalau tidak lekas si pemuda
menyingkir pastilah sebuah tendangan akan
mendarat di perutnya.
"Eh, saudari. Apa-apaan ini! Tak ada hujan
tak ada angin, tak ada pasal tak ada lantaran,
kenapa kau menyerang aku?!"
Sebagai jawaban Inani keluarkan jala sutera
biru. Benda ini segera diputar menderu di atas
kepalanya. Didahului dengan lengkingan
keras, Inani lancarkan pukulan tangan kiri dan
kirimkan satu tendangan. Angin serangan ini
demikian hebatnya membuat pakaian dan
rambut Pendekar 212 sampai berkibaran,
sementara dia mengelakkan dua serangan ini,
maka jala biru berkelebat dan menebar ke
arah kepalanya. Wiro cepat tundukkan kepala
tapi jala sutera biru terus memapas hendak
melibat pinggangnya. Sekali lagi Wiro
mengelak dan sekali lagi pula jala itu,
menyusup laksana kilat ke arah kedua
kakinya.
"Hebat!" seru Wiro memuji seraya melompat
dua tombak.
Penasaran sekali Inani kembali memburu
dengan gempuran serangan yang lebih hebat
tapi walau bagaimanapun Pendekar 212
bukanlah semudah yang diduganya untuk
dirubuhkan. Sedang sampai saat itu Wiro
sama sekali mengambil sikap mengelak, tak
sekalipun balas menyerang.
"Kenapa mengelak terus, tak berani
menyerang?!" bentak Inani penuh penasaran.
Dia berharap-harap salah seorang kawannya
muncul di situ agar bisa membekuk si
pemuda.
"Hentikan seranganmu, saudari. Kita toh tidak
punya permusuhan. Mari bicara dulu
baikbaik."
"Kalau kau mau bicara, bicaralah nanti di
hadapan Dewi Siluman!"
"Oh, jadi kau anak buahnya Dewi Siluman?
Kau tahu saudari. Dewimu itu kawan baikku!"
Karena merasa dipermainkan dengan ucapan
itu maka Inani menyerang lagi dengan lebih
ganas. Dia keluarkan jurus-jurus yang
mengandung tipu berbahaya. Tiada terasa,
dua puluh jurus telah berlalu. Jika Wiro
mengadakan perlawanan pastilah tidak
semudah dan sebanyak itu jurus yang bisa
dilewati Inani.
"Saudari! Jika kau tak mau hentikan
seranganmu terpaksa aku turunkan tangan
kasar!"
memperingatkan Wiro.
"Kalau kau memang punya kepandaian
silahkan balas seranganku! Kukira kau bukan
pemuda banci yang cuma pandai berkelit dan
mengelak saja!"
Wiro panas sekali dikatakan pemuda banci.
"Harap kau jangan menyesal, saudari!"
katanya seraya pasang kuda-kuda.
Pukulan tangan kosong yang menimbulkan
angin keras melanda ke arah Wiro. Di saat
yang sama jala sutera menderu dari atas ke
bawah dalam satu gerakan yang luar bisa
cepatnya.
"Gadis cantik!" seru Wiro. "Lihat baik-baik. Ini
jurus Menepuk Gunung Memukul Bukit.
Pegang kuat-kuat jalamu, kalau tidak akan
kurampas!" Habis berkata begitu Wiro
hantamkan dengan perlahan telapak tangan
kirinya ke muka sedang tangan kanan
membuat gerakan cepat ke samping sesuai
dengan sambaran jala. Tubuhnya sedikit
menekuk.
"Pemuda sombong!" maki Inani. "Kau akan
terima nasib sial di dalam jalaku!" Dan si
gadis lipat gandakan tenaga dalamnya.
Tiba-tiba dia terkesiap karena pukulan tangan
kosongnya dipapasi oleh satu sambaran angin
deras yang ke luar dari telapak tangan kiri
lawan. Belum lagi habis rasa terkesiap ini
sekejap kemudian dirasakannya jala sutera
birunya yang tadi telah menebar kini menciut
lagi ujungnya.
Ketika kejapan berikutnya berlalu. Inani
merasakan tangannya yang memegang jala
laksana dipelintir dan tahu-tahu jala sutera
itu terlepas dari tangannya, kena dirampas
oleh Wiro Sableng.
Pendekar 212 tertawa dan main-mainkan jala
sutera biru yang berhasil dirampasnya.
"Apakah kau masih belum mau menghentikan
pertempuran dan bicara dulu baik-baik?"
tanya Wiro pula.
Sebagai jawaban malah Inani loloskan kalung
tengkorak dari lehernya. Kemudian dengan
sebat menyerang ke arah sang pendekar. Di
antara suara menderu kerasnya sambaran
kalung tengkorak maka terdengar pula suara
mendesis. Dari mata dan hidung tengkorak
kecil itu mengebut asap biru yang tebal gelap
dan menebarkan bau aneh menusuk hidung.
Pendekar 212 terkejut bukan main. Dia masih
mempermainkan jala sutera sewaktu asap biru
yang sangat pekat itu telah membungkus
dirinya. *
* * Pendekar 212 Wiro Sableng segera maklum
bahwa asap biru pekat yang membungkus diri
dan membuat matanya tak bisa melihat
apapun adalah sangat berbahaya dan
mengandung obat jahat yang bisa
melemahkan tubuh. Dengan cepat pendekar ini
tutup jalan nafas lalu melompat ke samping.
Tapi anehnya lompatan itu tidak membuat dia
keluar dari kurungan asap. Di sekelilingnya
masih gelap gulita.
Wiro Sableng pusatkan tenaga dalamnya pada
kedua kaki. Dengan membentak nyaring
pendekar ini membuat gerakan yang
dinamakan: Gunung Meletus Batu Melesat ke
Luar Kawah.
Gerakan ini membuat tubuhnya mencelat
laksana anak panah lepas dari busurnya.
Di lain pihak Inani begitu melihat lawannya
terbungkus asap biru segera pergunakan
tangan kiri untuk mengambil segulung benang
yang sangat halus, sehalus jaring laba-laba.
Sekali menyentakkan maka gulungan benang
yang terbuat dari sutera itu menerobos asap
biru gelap laksana seekor ular. Inani gembira
sekali sewaktu benang suteranya
dirasakannya melibat sasarannya di dalam
asap gelap itu. Setelah yakin betul-betul
bahwa Wiro Sableng tidak berdaya lagi dilibat
benang sakti tersebut maka Inani semprotkan
asap putih dari mulut kalung tengkorak.
Sekejapan kemudian maka sirnalah asap biru
gelap dan suasana menjadi terang benderang
kini.
Dan betapa terkejutnya gadis jelita berbaju
biru ini. Yang dilibat oleh benang suteranya
bukanlah tubuh lawannya, melainkan pohon
beringin besar yang terletak kita-kira sepuluh
langkah di hadapannya.
Inani memandang berkeliling dengan cepat. Di
belakangnya Wiro Sableng tertawa gelakgelak.
"Sejak kapan ada manusia yang bermusuhan
dengan pohon beringin?!" ejek Wiro.
Penuh geram Inani gulung dengan cepat
benang suteranya. Dengan kalung tengkorak
di tangan kembali dia menyerang Wiro
Sableng. Sang pendekar sendiri menyambut
kedatangan si gadis dengan putaran jala biru.
"Sekali-sekali kau musti merasakan juga
bagaimana kalau jala ini melibat dirimu
sendiri!" ujar Wiro.
Inani tidak percaya bahwa si pemuda akan
sanggup gunakan jala itu karena untuk
memakainya mempunyai cara tersendiri yang
hanya anak-anak buah Dewi Siluman yang
mengetahuinya.
Karenanya tanpa ada keraguan sedikit pun
Inani sama sekali tidak batalkan serangannya.
Kalung tengkorak yang kekuatannya lebih
keras dari bola baja itu menyambar ganas
siap untuk menghancurkan kepala lawannya.
Tapi betapa terkejutnya gadis ini sewaktu
dikejap yang sama jala sutera biru di tangan
lawan membuka dan menebar menyungkupi
tangan kanan terus kepala dan tubuhnya.
Wiro Sableng adalah seorang yang. bermata
tajam. Sewaktu Inani mengeluarkan jala biru
itu dia merasa sangat tertarik dan
memperhatikan dengan seksama bagaimana si
gadis memainkan senjata tersebut. Sehingga
pada saat jala itu berada di tangannya,
dengan mudah dia bisa pula
mempergunakannya.
Inani coba berontak dan lepaskan diri dari
sekapan jala. Tapi sudah terlambat. Seluruh
jala telah membungkus tubuhnya sampai ke
lutut. Membuat dia tak bisa lepaskan diri lagi.
Wiro tertawa gelak-gelak dan berdiri tolak
pinggang.
"Lepaskan jala ini!" teriak Inani.
"Enak betul," sahut Wiro. "Kalau kulepaskan
pasti kau akan serang diriku lagi!" Dan
Pendekar 212 lalu melangkah ke hadapan
Inani.
"Kau mau bikin apa?! Pergi!"
"Eh, aku cuma mau lihat parasmu apa tidak
boleh!"
"Pergi!" teriak Inani.
Wiro Sableng menyengir. Dia melangkah lagi
dan jarak mereka cuma terpisah dua jengkal
saja. Inani dapat merasakan hembusan nafas
pemuda itu di parasnya yang jelita. Sepasang
mata mereka untuk kesekian kalinya beradu
pandang.
"Pergi!"
"Saudari, kau betul-betul inginkan aku pergi?
Baik! Tapi biar kutotok dirimu dulu!" Wiro
lantas totok tubuh Inani sehingga si gadis kini
berdiri mematung. "Aku akan pergi dan kau
akan sendirian di sini untuk selama-lamanya.
Kalau tidak ada binatang liar buas yang
menggerogoti dirimu, kau akan mati kelaparan
di sini!" Lalu Pendekar 212 balikkan badan
berpura-pura hendak pergi.
Apa yang dikatakan Wiro terasa benar dan
mengerikan bagi Inani. Ketika dilihatnya
pemuda itu berlalu dia cepat berseru.
"Saudara, tunggu dulu!"
Wiro jual mahal dan terus melangkah.
"Saudara, kembalilah!" seru Inani lagi.
Wiro berpaling, "Ada apa?"
Dengan rasa jengah dan paras merah Inani
berkata. "Kembalilah dulu!"
"Lucu! Tadi kau bentak aku agar pergi!
Sekarang malah menyuruh kembali!"
"Lepaskan jala ini. Juga totokanku!"
"Tidak bisa." jawab Wiro seraya menggeleng.
Marahlah Inani.
"Kalau kawan-kawanku datang kau pasti akan
mereka bekuk!"
Wiro tertawa sinis. "Kau bisa berteriak
memanggil mereka," katanya.
Inani buka mulut betul-betul hendak berteriak.
Tapi entah mengapa hal ini kemudian tak jadi
dilakukannya. Malah dia berkata. "Jangan
kira dengan kehebatan yang kau miliki kau
bisa menghadapi Dewi Siluman! Tak satu
ketinggian ilmu silat, tak satu kesaktian, pun
yang sanggup mengalahkan Dewi Siluman!"
"Hemm begitu…?" Wiro garuk-garuk
rambutnya.
"Aku tidak mengerti, apakah Dewi Siluman itu
benar-benar seorang manusia atau seorang
siluman? Apakah parasnya secantik Dewi
ataukah mengerikan seperti Siluman?!"
"Pemuda kurang ajar! Jangan kau berani
lancang mulut menghina Dewi kami!" bentak
Inani.
"Eh, siapa yang menghina? Aku cuma tanya?!"
"Lekas lepaskan kau mau berjanji memetik
kecapi memainkan sebuah lagu untukku!"
Inani memaki-maki dalam hati. Rahang-
rahangnya bertonjolan. Wiro Sableng
dudukkan dirinya di atas batu besar. Sambil
memandang ke lembah di hadapannya
pendekar ini berkata.
"Dunia sungguh aneh. Siapa yang akan
menyangka kalau gadis-gadis berparas cantik
sanggup melakukan kejahatan luar biasa?
Membunuh manusia-manusia tiada berdosa,
bahkan anak-anak dan orang tua renta?"
Inani memandang tajam-tajam pada Pendekar
212.
"Aku tak pernah membunuh manusia! Jangan
main tuduh sembarangan!"
Wiro palingkan kepala dan memandang
dengan tersenyum pada si gadis. "Kau toh
anak buahnya Dewi Siluman, biang penebar
kematian dan kejahatan di Pulau Madura ini?
Yang kabarnya, mau menguasai dunia
persilatan di delapan penjuru angin?!"
"Tapi tidak semua anak buah Dewi Siluman
yang jadi pembunuh!"
"Lantas kau jadi apa?" tanya Wiro Sableng.
"Jadi tukang rias atau tukang kipasnya?!"
"Sudah! Tutup mulutmu dan lekas lepaskan
jala serta totokanku ini!"
"Bersekutu dengan orang-orang jahat,
menjadi anak buah orang jahat tiada beda
dengan berbuat kejahatan itu sendiri! Masa
muda yang begini indah, yang cuma sekali
saja dalam kehidupan, dipakai untuk
mengabdi pada kejahatan! Sungguh sayang.
Kebahagiaan dunia tiada dapat, dan kelak di
akhirat akan menerima siksaan…."
"Aku tak perlu nasihatmu!"
"Dengar saudari. Aku akan bebaskan kau
kalau kau berjanji mau menunjukkan dimana
sarangnya Dewimu itu."
"Kau paksa pun aku tidak akan beritahu,"
jawab Inani. "Sekalipun kau sampai ke sana,
kau Cuma akan mengantar nyawa!"
Wiro tersenyum. "Kau tak akan bisa hidup
dalam cara begini terus-terusan saudari. Satu
hari kebenaran akan datang menumpas.
Kebenaran kadangkala tidak memandang
bulu. Siapa yang berserikat dengan kejahatan
pasti akan ditumpas, termasuk kau! Apakah
gunanya hidup begitu rupa?
Hidup percuma mati tiada harga? Padahal
dunia ini begini indah dan semua keindahan
itu untuk kita semua…?"
Tergetar hati Inani mendengar ucapan
Pendekar 212. Mulutnya terkatup rapat-rapat.
Inilah kali pertama dia bertemu dengan
seorang pemuda dan ini pula pertama kali dia
mendengar ucapan demikian rupa. Walau
bagaimanapun Inani adalah seorang
perempuan yang berperasaan halus dan lekas
tersentuh lubuk hatinya. Namun demikian
kehidupan di tengah-tengah anak buah Dewi
Siluman telah sangat meresap dan
mempengaruhi dirinya sehingga sesaat
kemudian kembali gadis ini membentak agar
dirinya dilepaskan.
Pendekar 212 geleng-gelengkan kepala.
"Sayang." katanya. Dibukanya jala yang
melibat tubuh Inani. Digulungnya jala sutera
itu dan diletakkannya di atas bahu si gadis.
"Kau akan kubebaskan, kau bisa pergi dengan
aman.
Jangan kira kau kubebaskan karena takut
pada Dewimu itu. Aku kasihan padamu…."
"Aku tak minta dikasihani."
"Kuharap kau masih mau berpikir!" ujar Wiro.
Kemudian dilepaskannya totokan di tubuh
Inani.
"Di lain hari kita akan bertemu lagi saudari.
Saat itu mungkin dalam suasana yang lain.
Jangan menyesal jika nanti aku turun tangan
jahat terhadapmu. Selagi masih ada
kesempatan, tinggalkanlah pulau ini. Kau bisa
memulai hidup baru yang jauh lebih baik…."
Inani tak berkata apa-apa. Dia berkelebat
meninggalkan tempat itu.
"Saudari tunggu dulu!" seru Wiro. "Kecapimu
ketinggalan!"
Si gadis baru ingat akan kecapi itu. Dia
berbalik dan cepat-cepat menyambar benda
itu.
Sewaktu dia hendak berlalu kembali tiga
sosok tubuh berkelebat dari arah timur.
Terdengar satu seruan nyaring. "Inani!
Perjanjian apakah yang kau buat Sehingga
kau hendak meninggalkan musuh besar kita
begitu saja?!"
Inani terkejut sekali. Juga Wiro Sableng.
Dan sedetik kemudian tiga sosok tubuh itu
sudah berada di hadapan mereka! *
* * Ketiga pendatang baru ini bukan lain
daripada Sarinten, Wakania dan Laruni. Yang
berseru tadi ialah Laruni. Ketiganya segera
mengurung Pendekar 212. Tanpa melepaskan
pandangannya yang menyorot pada Wiro
Sableng Laruni bertanya pada Inani.
"Inani! Kenapa kau hendak tinggalkan
manusia ini begitu saja?! Apa kau lupa tugas
kita?!"
"Ilmunya tinggi sekali Laruni." jawab Inani.
"Aku tak sanggup menghadapinya."
"Tapi kau bisa lepaskan tanda agar kami
datang!" ujar Sarinten.
"Sudah kulakukan. Dia berhasil merampas
bola pemberi tanda itu!"
"Lantas kau kenapa tidak berteriak….?" tanya
Laruni.
"Mulutku disekapnya." jawab Inani berdusta.
"Lalu dia biarkan kau pergi seenaknya?
Sungguh lucu!" kata Wakania menyindir.
"Kau tetap di tempat Inani! Kau harus
pertanggung jawabkan kesalahanmu di
hadapan Dewi!" bentak Laruni.
Kecutlah hati Inani.
Sementara itu Laruni, Sarinten dan Wakania
loloskan kalung tengkorak masing-masing
dan juga keluarkan jala sutera biru. Wiro hela
nafas dan geleng-gelengkan kepala. Ketiga
gadis itu cantik-cantik, meskipun menurut
pandangannya Inani adalah lebih cantik dari
kesemuanya. Dan gadis-gadis cantik beginilah
yang jadi anak buah Dewi Siluman. Yang
harus dihadapinya. Sungguh mereka menyia-
nyiakan kecantikan mereka.
"Pemuda, apakah kau sudi menyerah secara
baik-baik atau terpaksa kami turun tangan?!"
Wiro Sableng keluarkan siulan mendengar
ucapan Laruni itu. "Benar-benar aneh! Benar
benar aneh!" kata Pendekar 212 pula. "Gadis-
gadis begini cantik menjadi anak buah Dewi
Siluman biang racun kejahatan kelas satu!"
"Pemuda bermulut lancang ceriwis! Kau
memilih cara kasar rupanya!" Laruni memekik.
Diikuti oleh Sarinten dan Wakania maka
ketiganya pun berkelebat. Tiga kalung
tengkorak menyambar dari tiga jurusan. Tiga
kepulan asap biru menderu mengerikan dan
tiga buah jala sakti menebar sebat dari kiri
kanan dan sebelah belakang.
Wiro Sableng yang sudah tahu kehebatan
kalung tengkorak serta jala sutera biru tidak
ayal lagi segera keluarkan jurus: Menepuk
Gunung Memukul Bukit yang disusul dengan
lompatan:
Gunung Meletus Batu Melesat Keluar Kawah.
Tiga gadis anak buah Dewi Siluman terkejut
dan penasaran bukan main sewaktu mereka
menebarkan jala biru dan ternyata mereka
tiada berhasil meringkus si pemuda. Mereka
menyadari dan menyaksikan sendiri sekarang
bahwa lawan mereka memang bukan manusia
sembarangan.
Laruni berikan isyarat kedipan mata kiri.
Serentak dengan itu bersama Sarinten dan
Wakania segera membentuk satu barisan aneh
dan bertiga mereka lancarkan serangan yang
bukan olah-olah dahsyatnya. Angin serangan
membuat daun-daun berguguran, semak
belukar beterbangan sedang akar gantung
pohon beringin bergoyang-goyang kian ke
mari.
Wiro berteriak nyaring dan berkelebat cepat.
Tapi gerakan-gerakan lawan, jurus-jurus silat
yang dimainkan sangat aneh baginya, sukar
untuk diduga dan diikuti sehingga dalam
waktu lima jurus saja Pendekar 212 mulai
terdesak hebat. Untungnya Wiro memiliki ilmu
meringankan tubuh yang lebih tinggi dari
ketiga lawan itu sehingga sampai lima jurus
lagi dia masih bisa bertahan dengan gigih. Di
antara ketiga lawannya Wiro mulai
memaklumi bahwa Laruni adalah yang paling
tinggi ilmunya. Di samping itu Wiro tahu pula
bahwa ketiga lawannya itu tidak benar-benar
bermaksud mencelakai dirinya tapi cuma
berniat meringkus hidup-hidup. Karenanya,
meskipun kemudian dia kembali terdesak
hebat. Wiro Sableng tak mau balas menyerang
dan menurunkan tangan jahat. Dia sengaja
mengambil sikap mengelak terus-terusan.
Sementara itu Inani berdiri mematung di
tempatnya, tak tentu apa yang dibuat selain
cuma menyaksikan jalannya pertempuran
yang seru itu. Dan diam-diam melihat si
pemuda terdesak, hati gadis ini menjadi
khawatir.
Melihat gelagat Wiro tak akan sanggup
bertahan lebih dari sepuluh jurus lagi jika dia
terus terusan mengambil sikap tidak mau
balas menyerang itu.
Dan apa yang diduga Inani menjadi
kenyataan.
Di jurus sembilan belas, dalam satu gebrakan
yang luar biasa hebatnya Wiro Sableng
dipaksa berkelit cepat untuk menghindarkan
serangan Sarinten dan Wakania. Pada waktu
gebrakan ini terjadi Wiro Sableng masih
sempat memperhatikan posisi Laruni yang
tengah berdiri dengan komat-kamit, entah
membaca mantera apa. Karena merasa posisi
Laruni tidak berbahaya maka Wiro Sableng
tidak begitu ambil perhatian terhadapnya.
Begitu serangan Sarinten dan Wakania lewat,
Wiro segera pasang kuda-kuda baru karena di
saat itu dilihatnya kedua penyerangannya tadi
membalik dengan cepat. Tapi betapa
terkejutnya Pendekar 212 sewaktu dari
belakang terasa sambaran angin yang luar
biasa dahsyatnya. Dia tak melihat kelebatan
tubuh Laruni dan tahu-tahu anak buah
terpandai dari Dewi Siluman ini sudah berada
di belakangnya, lancarkan satu jotosan
tangan kiri.
"Buk!"
Pendekar 212 mencelat limbung ke muka tak
sanggup imbangi diri dan terguling di tanah.
Tulang punggungnya serasa hancur. Belum
sempat dia bangun maka tiga jala sutera biru
telah menebar ke arah tiga bagian tubuhnya
yaitu kepala sampai ke bahu, pinggang dan
kedua kaki.
"Celaka!" keluh Pendekar 212. Dia tahu bahwa
dia tak punya kesempatan lagi untuk
selamatkan diri. Satu-satunya jalan ialah
lepaskan pukulan Sinar Matahari untuk
menghancurkan jala. Guna mencabut Kapak
Naga Geni 212 mungkin tidak keburu. Namun
belum lagi Wiro sempat pukulkan kedua
tangannya yang mulai menjadi putih memerak
itu, jala lawan yang pertama turun ke bawah
dan melibat ke seluruhan tangannya.
Betapapun dia kerahkan tenaga dalam dan
menyentakkan lengan-lengannya tetap tiada
gunanya sementara jala kedua telah
menyungkup kepalanya. Dan dalam sedetik
lagi akan menyusul jala ketiga.
"Sialan… sialan!" maki Wiro. Dia cuma terima
nasib diringkus hidup-hidup kini.
Jala kedua telah menyungkup kepalanya
sampai ke bahu. Jala ketiga datang
menyambar kaki. Tapi sebelum hal ini terjadi
mendadak Wiro Sableng merasakan sambaran
angin yang luar biasa derasnya. Matanya
yang tertutup jala sutera biru samar-samar
melihat kelebatan satu sosok bayangan putih.
Dalam detik itu pula Pendekar 212 mendengar
suara keluhan ketiga penyerangnya, disusul
oleh keluhan Inani. Dia sendiri kemudian
merasakan tubuhnya terseret beberapa
tombak, terangkat ke atas dan ketika tiba-tiba
tiga buah jala yang melibat tubuhnya putus
maka tubuhnya terbanting ke tanah dengan
keras, jatuh melintang di akar pohon beringin.
Perlahan-lahan Wiro Sableng merangkak
bangun. Bekas pukulan pada punggungnya
sakit sekali tapi tidak dirasakannya karena
waktu itu dia dikesiapkan oleh rasa terkejut
yang amat sangat.
Sewaktu dia memandang berkeliling dengan
cepat tak seorang anak buah Dewi Siluman
pun yang dilihatnya. Kemana mereka? Apa
yang telah terjadi?! Satu-satunya benda yang
dilihat Wiro ialah kecapi kepunyaan Inani.
Dalam dia coba memandang berkeliling sekali
lagi dengan rasa penuh tak percaya tiba-tiba
matanya membentur tulisan putih di batang
pohon beringin. Pendekar ini coba berdiri, tapi
tubuhnya terhuyung-huyung, punggungnya
yang bekas dihantam jotosan Laruni kumat
sakitnya, rasa sakit ini menusuk ke bagian
dada. Dan sebelum dia sanggup bergerak satu
langkah, lututnya menekuk, dia serasa mau
batuk tapi sewaktu mulutnya dibuka darahlah
yang menyembur dari tenggorokannya. Wiro
mengeluh, sebelum dia jatuh pingsan
Pendekar 212 ini masih sanggup dan sempat
mengambil sebutir pil dari balik pakaiannya
lalu menelannya dengan cepat.
Wiro Sableng tak tahu berapa lama dia
tergeletak pingsan di tempat itu. Ketika dia
siuman matahari telah condong ke barat.
Punggung masih terasa sakit tapi
kekuatannya tidak sedikit pun berkurang. Ini
adalah berkat pil yang masih sempat
ditelannya tadi sebelum pingsan.
Wiro bangun, duduk bersila, meramkan mata,
atur jalan nafas serta aliran darah dan
kerahkan tenaga dalam ke bagian tubuh yang
masih terasa sakit. Lima menit kemudian
Pendekar ini melompat dari duduknya,
tubuhnya terasa segar bugar. Begitu dia
teringat pada tulisan di batang pohon
beringin Wiro segera melangkah ke hadapan
pohon itu. Di batang pohon besar yang angker
ini tergurat tulisan. Segala rencana tidak akan
sampai,
Sebelum tahu tingginya langit dalamnya
lautan.
Bulan purnama empat belas hari di Goa
Belerang,
Seribu rencana akan sampai. "Pasti manusia
yang mengencingiku dulu!" kata Wiro Sableng
pada dirinya sendiri. Dia tak habis mengerti,
heran dan geleng-gelengkan kepala. Manusia
itu gerakannya luar biasa cepatnya sehingga
hanya bayangan putih pakaiannya saja yang
kelihatan. Dalam satu kelebatan tadi dia telah
berhasil melarikan empat anak buah Dewi
Siluman dan juga dalam kecepatan yang
sukar diukur, manusia itu masih sempat
menggurat tulisan di batang pohon beringin.
Tak sanggup Wiro mengukur kehebatan
manusia itu. Jika dia betul-betul manusia,
tentulah ilmunya jauh lebih tinggi dari
gurunya sendiri yaitu Eyang Sinto Gendeng di
Puncak Gunung Gede.
Wiro mengamati lagi tulisan di batang pohon
beringin itu. Jika dihubungkannya rangkaian
tulisan ini dengan tulisan yang lalu nyatalah
mengandung satu keterangan dan satu
nasihat, yang bagi Wiro kira-kira berarti dia
harus datang ke Goa Belerang pada bulan
purnama empat belas hari guna mengetahui
segala maksudnya tak akan kesampaian.
"Siapa sebenarnya manusia itu?" pikir Wiro.
"Mengapa dia membawa lari anak-anak buah
Dewi Siluman, mengencingi kepalaku dan
menuliskan keterangan serta nasihat itu…?"
Dalam pikiran yang tak kunjung mengerti dan
juga didorong oleh rasa ingin tahu akhirnya
Wiro memutuskan untuk mencari Goa Belerang
lebih dahulu, baru kemudian mencari dimana
letaknya Bukit Tunggul tempat kediaman Dewi
Siluman.
Sampai senja hari, telah puluhan kilo daerah
diselidiki Wiro Sableng. Dua buah goa
ditemuinya tapi keduanya bukanlah Goa
Belerang karena kedua goa itu kosong tiada
berpenghuni.
Keesokan harinya, satu hari suntuk lagi dia
menjelajahi berbagai daerah, sampai lagi
senja datang, usahanya tiada berhasil. Pagi
yang kedua dari penyelidikannya, dia sampai
ke sebuah sungai berair kehitaman tanda
sungai itu dalam sekali. Arus air sungai cepat
bukan main. Setangkai ranting kering yang
jatuh, dihanyutkan arus dan menghilang di
kejauhan dalam waktu yang singkat. Wiro
mengikuti sungai itu ke arah hilir.
Perjalanannya terhenti sewaktu sungai itu
sampai di sebuah air terjun yang sangat
dalam.
Air sungai yang memancur dan jatuh
menimpa batu-batu besar di sebelah bawah
menimbulkan suara yang menggidikkan.
Tempat itu dan daerah sekitarnya berudara
redup dan angker, tampaknya jarang
didatangi manusia.
Lebih dari sepeminum teh Wiro berada di
tempat itu. Sebelum pergi dia bermaksud
mencuci mukanya yang lengket oleh debu dan
keringatan lalu membasahi tenggorokannya.
Dengan kedua belah telapak tangannya Wiro
menciduk air sungai lalu membasahi
mukanya. Sesuatu bau yang agak lain
menusuk hidung sang pendekar sewaktu air
sungai itu membasahi mukanya.
Wiro berpikir-pikir. Rasanya dia pernah
mencium bau yang seperti itu sebelumnya.
Diciduknya kembali air sungai itu lalu
didekatkannya ke hidungnya. Mendadak
hatinya menciut.
Air sungai itu berbau belerang. Wiro tahu
betul bau belerang karena dia pernah
beberapa kali berada di sekitar kawah gunung
yang mengepulkan asap belerang. Dan ketika
bau belerang itu dihubungkannya dengan Goa
Belerang maka berdebarlah hati Pendekar 212.
Dia memandang berkeliling dengan penuh
teliti. Tak ada satu bagian pun dari tempat
sekitar situ yang lepas dari penelitiannya,
namun sampai sebegitu jauh tak ada tanda-
tanda yang menunjukkan bahwa di situ
terdapat sebuah goa. Tapi air sungai yang
berbau belerang?! Untuk kesekian kalinya Wiro
kembali meneliti dengan pandangan mata
yang tajam. Tetap tak ada tanda-tanda
adanya goa.
Wiro memaki-maki dalam hatinya.
Diperhatikannya batu-batu besar yang jauh di
bawahnya.
Diperhatikannya air terjun yang jatuh
menimpa batu-batu itu, membalik kembali ke
atas sampai beberapa tombak laksana asap
atau kabut tipis. Tapi. Wiro terkejut. Matanya
memandang lekat lekat kepada batu-batu
yang jatuh ditimpa air terjun. Apa yang
dilihatnya bukan cuma air yang muncrat
kembali ke atas laksana asap atau kabut, tapi
di balik air yang membalik ke atas itu benar
benar Wiro melihat samar-samar namun pasti
adanya kepulan asap. Mulanya Wiro merasa
agak bimbang mana mungkin di dasar yang
penuh dengan air terdapat asap karena setiap
asap pastilah bersumber pada hawa panas
atau api.
Wiro gosok kedua matanya. Yang mengepul di
antara muncratan air itu memang benar benar
asap. Dan ketika diperhatikannya lebih
seksama lagi, ketika dia berpindah tempat dan
memandang ke bagian bawah air terjun dari
jurusan lain, tersentaklah Wiro karena di
belakang air terjun itu tampak sebuah goa.
Dari mulut goa ini jelas kelihatan gelung-
gelung kepulan asap. Tanpa menunggu lebih
lama Wiro melompat ke sebuah batu. Dari sini
dengan andalkan ilmu meringankan tubuhnya
melompat lagi ke batu yang lain, yang terletak
di sebelah bawah. Untuk menuju ke dasar air
terjun bukan pekerjaan mudah. Kurang-kurang
pandai kaki akan terpeleset dan tubuh akan
terhempas ke bawah sejauh puluhan tombak,
disambut oleh batu-batu besar keras.
Meskipun berkepandaian tinggi serta memiliki
ilmu meringankan tubuh yang sempurna untuk
sampai ke dasar air terjun Wiro membutuhkan
waktu hampir tiga kali sepeminum teh.
Akhirnya pendekar ini sampai juga ke dasar
air terjun. Dia berdiri di hadapan air terjun,
bergerak ke bagian samping dengan sangat
hati-hati. Sekali tubuhnya terserempet atau
tersambar air terjun, tak perduli
bagaimanapun tinggi ilmunya, pasti tubuhnya
akan terhempas dan hancur ditimpa air terjun
yang ribuan kilo beratnya itu. *
* * Pendekar 212 sampai di hadapan mulut
goa. Asap putih menampar-nampar wajahnya
dan bau belerang yang santer menusuk
hidung, memerihkan mata. Setelah meneliti
seperlunya maka tanpa ragu-ragu Wiro
melangkah masuk. Ternyata semakin ke
dalam goa itu semakin menanjak sedang bau
belerang makin keras dan asap semakin
banyak.
Kedua mata Wiro menjadi perih, nafasnya
sesak dan dia mulai batuk-batuk. Pemuda ini
tutup indera penciumannya, kerahkan tenaga
dalam pada kedua matanya dan melangkah
terus. Kirakira seratus langkah berlalu kepulan
asap putih yang berbau belerang bertambah
tebal menutup pemandangan. Meski dia
sudah tutup indra penciumannya tetap saja
hidungnya membaui hawa belerang itu sedang
tenaga dalamnya tiada mampu menolak
sambaran asap yang memerihkan mata.
Dengan kuatkan diri Wiro maju terus.
Nafasnya tersengal, pemandangannya gelap
tertutup asap tebal. Untuk kembali sudah
kepalang tanggung. Suara batuk-batuknya
menggema di sepanjang goa, membuat bulu
kuduknya sendiri berdiri.
Pada langkah yang ketiga ratus duapuluh,
Pendekar 212 merasa kekuatannya mulai
lumer, kakinya tak sanggup lagi melangkah.
Wiro jatuhkan diri dan terus memasuki goa itu
dengan merangkak. Sebutir pil untuk menolak
keracunan dan menjaga agar tidak pingsan
dikeluarkan dan ditelannya. Dua ratus langkah
di muka maka perlahan-lahan asap belerang
itu mulai menipis hingga akhirnya lenyap
sama sekali dan di hadapan Wiro kelihatan
sebuah tangga batu pualam yang putih bersih
dan berkilat.
Setelah menelan lagi sebutir pil, mengatur
jalan nafas dan darah memeriksa aliran
tenaga dalam dan membuang hawa jahat
asap belerang yang meresap di paru-parunya
maka Wiro Sableng berdiri lalu melangkah
menaiki tangga batu pualam. Bagian atas
tangga berhubungan dengan sebuah pintu dan
pintu ini berhubungan lagi dengan sebuah
ruangan empat persegi. Di dalam ruangan ini
kelihatan delapan gadis berbaju biru yang
bukan lain adalah anak-anak buah Dewi
Siluman. Di antaranya empat orang yang
sebelumnya telah baku hantam dengan Wiro
di tepi lembah. Kedelapan gadis ini duduk
bersila dengan mata meram di hadapan
seorang berpakaian selempang putih yang
duduk membelakang ini panjangnya sampai
ke bahu, Wiro belum dapat memastikan
apakah dia seorang perempuan atau bukan.
Tanpa menoleh ke pintu tiba-tiba manusia
berambut putih panjang itu membentak dan
lambaikan tangan kanannya lewat bahu.
"Pemuda tidak tahu diri! Disuruh datang
bulan purnama empat belas hari berani unjuk
tampang hari ini!"
Wiro terkejut sekali. Dan sewaktu dia
menyadari bahwa lambaian tangan si rambut
putih panjang itu menyambarkan angin yang
sangat deras, maka segala sesuatunya telah
kasip. Mendadak sontak detik itu juga Wiro
merasakan tubuhnya menjadi kaku laksana
patung batu. Dia berseru, tapi mulutnya
terkunci tak bisa keluarkan suara. Karena
otaknya masih tetap bisa berjalan Wiro
memaklumi bahwa dirinya telah ditotok
secara lihai luar biasa hingga tak bisa bicara
dan bergerak.
Yang membuat Pendekar 212 menjadi
penasaran sekali ialah karena sesudah
menotok dirinya, si rambut panjang kemudian
keluarkan suara seperti lebah membuat
sarang, rupanya dia tengah membaca mantera
tapi tiada jelas entah mantera apa yang
dilafatkannya. Di samping itu Wiro merasa
aneh pula melihat kedelapan gadis baju biru
itu duduk bersila meramkan mata tiada
bergerak. Apakah mereka semuanya juga kena
ditotok dan apa yang tengah dilakukan si
rambut putih panjang itu terhadap mereka?
Wiro saat itu merasakan dirinya seperti seekor
lalat yang sesudah dipukul dibiarkan tak
perduli begitu saja!
Tiba-tiba si rambut putih angkat kedua
tangannya. Suara lafat manteranya semakin
keras.
Kedua tangan kemudian turun lagi untuk
mengangkat sebuah panci tanah besar yang
berisi air putih dan kembang tujuh rupa. Aneh
sekali air yang di dalam baskom itu kemudian
memancur delapan dan setiap pancuran jatuh
ke atas kepala masing-masing gadis baju
biru.
Wiro terlongong-longong saking kagumnya.
Kehebatan tenaga dalam manusia rambut
putih itu benar-benar luar biasa. Seorang
yang tenaga dalamnya sudah mencapai
tingkat sempurna bisa saja membuat air di
dalam panci tanah itu muncrat ke atas, tetapi
untuk membaginya dalam delapan pancuran
itu bukan satu hal yang mudah, tidak
sembarang manusia bisa melakukannya.
Eyang Sinto Gendeng sendiri mungkin belum
tentu dapat.
Begitu air dalam panci tanah habis, si rambut
putih turunkan panci itu. Kembali terdengar
suara lafat manteranya yang seperti lebah
bersarang itu. Kemudian sunyi sebentar lalu
menyusul suaranya berkata dan ternyata
adalah suara seorang laki-laki.
"Delapan gadis, kalian telah minum obatku,
kalian telah kusiram dengan air kembang. Kini
otak kalian telah bersih, hati kalian telah
putih. Kalian telah bisa memulai hidup baru
yang lurus dan baik. Sekarang kubukakan
mata kalian kembali yang telah terpicing
selama beberapa hari ini."
Si rambut panjang putih sapukan tangan
kirinya dari samping kanan ke samping kiri.
Aneh sekali maka kedelapan gadis itu yang
tadi pejamkan mata kini membuka mata
masing-masing satu demi satu, tak ubahnya
seperti barusan bangun tidur. Jelas mereka
terkejut sewaktu melihat tubuh Wiro Sableng
yang berdiri mematung di ambang pintu.
Namun terhadap si rambut putih mereka tiada
berani bertanya dan sama tundukkan kepala.
Tundukkan kepala ini membuat Wiro tak
mengerti. Apa hubungan kedelapan gadis itu
dengan si rambut putih. Apa sebenarnya yang
telah terjadi dengan mereka sehingga gadis-
gadis yang galak dan kejam itu kini
kelihatannya seperti gadis-gadis pingitan
yang paling patuh?!
"Dengar Kiai…." jawab delapan gadis
bersamaan.
"Kiai!" desis Wiro Sableng dalam hati. Laki-
laki berambut putih itu dipanggil dengan
sebutan "Kiai" Dan Wiro heran padahal
kedelapan gadis itu tadi meramkan mata
seperti orang tidur, mengapa mereka
menjawab bahwa mereka telah mendengar
segala ucapan sang kiai?
"Sekarang kalian kuperkenankan
meninggalkan tempat ini. Pergilah dan jangan
kembali lagi. Dunia baru yang indah suci
menyambut kalian. Menurut penglihatanku,
hidup kalian semua akan menemui
keberuntungan. Nah sekarang pergilah dan
kuharap kalian tidak usah mengajukan
pertanyaan-pertanyaan. Tinggalkan Pulau
Madura, jangan kembali lagi untuk selama-
lamanya!"
Delapan gadis itu saling pandang satu sama
lain lalu serentak mereka berdiri. Setelah
menjura berulang kali di hadapan laki-laki
berambut putih panjang, mengucapkan terima
kasih dan berpamitan maka semuanya
melangkah ke pintu dengan menundukkan
kepala. Setiap mereka melirik ke samping
sewaktu mereka melewati Pendekar 212 yang
berdiri mematung di ambang pintu itu.
Setelah kedelapan gadis itu berlalu, laki laki
berambut putih untuk pertama kalinya
balikkan badan dan berdiri. Ternyata dia
adalah seorang tua renta yang bermuka licin
klimis. Menurut Wiro umurnya lebih tua dari
Eyang Sinto Gendeng.
Langkah orang tua yang masih berbadan
tegap ini begitu enteng sewaktu dia maju ke
hadapan Wiro.
"Pemuda tolol!" desis sang kiai. "Belum
saatmu untuk datang ke mari! Apa kau lupa
bulan purnama empat belas hari?! Tolol! Kau
akan kaku tegang di ambang pintu ini selama
tiga hari tiga malam! Rasakan sendiri!"
Wiro menggerutu dalam hati. Orang tua di
hadapannya berkelebat dan sukar sekali untuk
dapat dilihat dengan jelas tahu-tahu
tubuhnya sudah lenyap dari hadapan Wiro
Sableng.
"Benar-benar luar biasa gerakannya," kata
Wiro dalam hati. Tapi bila dia ingat bahwa
dia musti berdiri di situ dalam keadaan kaku
tegang selama tiga hari tiga malam, maka
kembali pendekar ini menggerutu habis-
habisan.
Setelah berjam-jam berdiri di tempat itu Wiro
yakin bahwa di luar goa hari telah malam.
Seumur hidupnya baru kali inilah dia ditotok
orang. Meski totokan itu tidak membuat dia
terluka di dalam tapi mematung demikian
rupa selama tiga hari tiga malam sungguh
merupakan siksaan bagi Wiro Sableng.
Hatinya kembali memaki-maki sewaktu
perutnya mulai mengeluarkan suara
bergereokkan tanda minta diisi.
"Diamlah perut sialan!" rutuk Wiro. "Selama
tiga hari tiga malam kau tak akan mendapat
isi!"
Mendadak, baru saja dia habis memaki
demikian sesosok bayangan biru berkelebat
dan tahu-tahu Inani berada di hadapan Wiro
Sableng. Sang Pendekar memandang tak
berkedip pada gadis jelita berkulit kuning
langsat ini, dan berpikir-pikir mengapa pula
gadis ini muncul di dalam goa kembali,
padahal dia sudah disuruh pergi oleh laki-laki
tua tadi dan tidak diizinkan kembali lagi?
"Saudara, aku akan tolong lepaskan
totokanmu," kata Inani pula setelah mereka
berperang pandang beberapa ketika lamanya.
"Bagus!" ujar Wiro dalam hati. Dia gembira.
Inani maju satu tindak. Tangan kanannya
dengan cepat bergerak untuk membebaskan
totokan di tubuh Wiro Sableng.
Tapi apa lacur. Sebelum hal itu sempat
dilakukan Inani tiba-tiba di ruangan itu
mengumandang suara tertawa macam
ringkikkan kuda dan tahu-tahu laki-laki tua
berambut putih sudah berada di hadapan
mereka.
"Bagus betul perbuatanmu Inani!"
Inani berubah pucat parasnya. Kepalanya
ditundukkan tak berani memandang si orang
tua.
"Apa kau lupa ucapanku bahwa kau musti
pergi meninggalkan Pulau Madura ini dan
tidak boleh kembali kemari? Jawab!"
"Mohon maaf Kiai. Aku…."
"Kau juga tolol!" sentak sang kiai. "Apa perlu
kau kembali datang kemari?! Apa perlu kau
tolong pemuda ini?! Jawab!"
"Maaf Kiai…."
"Apa dia kekasihmu?!"
Merah paras Inani. Kepalanya semakin
ditundukkan.
"Apa dia gendakmu?!"
Tambah merah paras gadis berbaju biru itu.
"Jawab! Kenapa kau mau membebaskan itu."
"Aku… aku merasa berhutang budi padanya,
Kiai." sahut Inani.
"Hutang budi macam mana? Apa dia pernah
menolongmu?"
Inani menggigit bibirnya. Dia kembali ke situ
karena merasa kasihan melihat Wiro Sableng
ditotok. Tapi apa yang menyebabkan dia
kasihan pada pemuda itu dia sendiri tak bisa
mengerti. Dia kembali ke Goa Belerang seperti
ada yang mendorong-dorongnya.
"Gadis tolol! Kau musti terima hukuman
seperti pemuda tolol ini!"
Laki-laki tua itu lambaikan tangan kirinya.
Mendadak sontak maka kaku teganglah tubuh
Inani. Dia berdiri mematung tepat berhadap-
hadapan dan dekat sekali di muka Pendekar
212. Si orang tua sendiri begitu menotok
tubuh Inani berkelebat pula lenyap dari
ruangan itu. *
* * Wiro Sableng dan Inani tak tahu sudah
berapa lama atau sudah berapa hari mereka
berada di dalam Goa Belerang itu. Yang
mereka rasakan ialah bahwa mereka seperti
sudah bertahun-tahun tersekap di situ, tak
bisa bicara, tak bisa gerakkan badan. Selama
puluhan jam mereka berdiri berpandang-
pandangan sehingga dalam hati masing-
masing timbul perasaan-perasaan aneh.
Meski mereka tidak bisa membuka mulut
untuk bersuara dan bicara tapi pandangan
mata mereka satu sama lain sudah lebih
daripada ucapan yang bagaimanapun
panjangnya. Sinar mata mereka sudah lebih
daripada pengutaraan perasaan yang
bagaimanapun mendalamnya. Berpandangan
dan berpandangan hanya itulah yang bisa
dilakukan kedua orang itu. Dan ini adalah
satu-satunya hiburan bagi mereka selama
puluhan jam berada di situ.
Kedua orang itu tiba-tiba kernyitkan mata.
Lapat-lapat terdengar suara tertawa
meringkik.
Dan sesaat kemudian sosok tubuh laki-laki
tua yang dipanggilkan kiai itu sudah muncul
di ruangan tersebut. Dia masih tertawa
meringkik macam kuda begitu untuk beberapa
lama sambil pandangi paras kedua orang di
hadapannya. Kemudian ketika suara
tertawanya berhenti mulutnya bertanya.
"Apa kalian sudah puas tegak berpandang-
pandangan?"
Inani menjadi merah mukanya sedang Wiro
memaki dalam hati. Apakah waktu yang tiga
hari itu sudah berlalu? Apakah sekarang
malam bulan purnama empat belas hari?
Apakah sekarang saatnya si orang tua
membebaskan totokan di tubuhnya dan di
tubuh gadis yang bernama Inani itu?
Inani dan Wiro memperhatikan si orang tua
duduk di tengah ruangan, di atas sebuah
bantalan berumbai-umbai yang
dikeluarkannya dari balik kain selempang
putihnya. Setelah memandangi paras kedua
orang itu beberapa lama baru si orang tua
lambaikan tangannya kiri kanan.
Dua larik angin tipis menyambar ke tubuh
Inani dan Wiro Sableng. Dengan serta merta
lenyaplah totokan yang telah membuat kedua
orang ini tak berdaya selama puluhan jam.
Seorang tua tertawa mengekeh dan manggut-
manggutkan kepalanya beberapa kali.
Meski selama ini Wiro di dalam hati tiada
hentinya memaki serta menggerutui si orang
tua, namun begitu totokannya lepas dan
menyadari bahwa manusia berambut putih
yang duduk di hadapannya itu bukan manusia
sembarangan maka Pendekar 212 menjura
memberi hormat.
"Orang tua, dunia ini banyak dengan tokoh-
tokoh aneh sakti luar biasa yang aku manusia
tolol ini tidak tahu siapa-siapa mereka
adanya. Kuharap kau sudi memberitahu siapa
kau, orang tua."
Si orang tua mengusap rambutnya yang
panjang putih beberapa kali. Setelah batuk-
batuk jumawa maka menjawablah dia.
"Namaku kau tak usah tahu, orang muda.
Sebaliknya aku banyak tahu tentang dirimu!"
Terkejutlah Wiro. Ditelitinya paras orang tua
itu lalu sekilas mengerling pada Inani.
Si orang tua tertawa mengekeh kembali.
"Aku berasal dari Bangkalan." Diusapnya lagi
rambutnya baru meneruskan. "Sembilan puluh
tahun hidup di dunia ini sudah terlalu cukup
lama. Sembilan puluh tahun sudah cukup
untuk menyaksikan berbagai hal dalam dunia,
menyaksikan kejahatan dan kebaikan,
menyaksikan kebaikan yang selalu ditentang
oleh kejahatan. Pertentangan antara kebaikan
dan kejahatan di jagat ini tak akan pernah
habis-habisnya karena memang begitulah
sifatnya alam yang dijadikan Tuhan, segala
sesuatunya mempunyai lawan-lawannya,
mempunyai pasang-pasangannya masing-
masing.
Karena aku dan kau adalah manusia-manusia
dari golongan putih, maka adalah tugas kita
untuk membasmi golongan hitam. Membasmi
golongan hitam tentu saja bukan hal yang
mudah. Aku sendiri sebenarnya telah tertipu
dalam hidupku sehingga tidak bisa berbuat
banyak untuk membasmi kejahatan dari muka
bumi ini…."
Kiai Bangkalan memandang jauh ke depan
seperti tengah merenung masa lampaunya
sedang nada suaranya tadi jelas sekali
mengandung satu penjelasan yang mendalam.
"Kalian duduklah, jangan berdiri saja," ujar
Kiai Bangkalan.
Setelah Wiro Sableng dan Inani duduk di
hadapan orang tua itu maka Kiai Bangkalan
meneruskan bicaranya.
"Delapan penjuru angin dunia persilatan kini
dibikin gempar oleh kejahatan yang
bersumber di Pulau Madura ini. Sumber
kejahatan itu bukan lain daripada Dewi
Siluman dan anak-anak buahnya. Beberapa
perguruan dan sebuah partai persilatan telah
dihancurkan oleh mereka. Belasan tokoh-
tokoh silat golongan putih serta beberapa
lainnya yang hebat-hebat dari golongan hitam
mereka bunuh. Yang tertangkap hidup-hidup
mereka siksa secara buas. Ringkas kata siapa
saja pihak yang tidak mau tunduk dan masuk
dalam golongannya akan ditumpas musnah
oleh Dewi Siluman. Dan aku yang sudah tua
ini hanya bisa makan hati, tak mungkin turun
tangan menumpas sumber kejahatan yang
ada di puIauku ini…." Lagi-lagi nada suara
Kiai Bangkalan membayangkan penjelasan.
Penuh rasa ingin tahu dan tidak mengerti
maka Wiro Sableng beranikan diri bertanya.
"Mengapa tidak mungkin, Kiai Bangkalan.
Mengapa tidak bisa? Menurut penglihatanku
ilmumu tinggi luar biasa. Bagimu tentu mudah
saja untuk menumpas Dewi Siluman dan
gerombolannya."
Kiai Bangkalan tertawa tawar.
"Banyak orang yang menduga sepertimu itu,"
katanya. "Tapi di jagat yang luas ini ilmu
manusia manakah yang benar-benar
sempurna, yang benar-benar tinggi? Semakin
tinggi ilmu seseorang semakin harus disadari
bahwa di atasnya masih banyak lagi ilmu-
ilmu yang tinggi yang tak bakal sanggup
dicapainya. Kemampuan dan pikiran manusia
mempunyai titik batas. Bila dia coba untuk
melampaui titik batas itu di luar
kemampuannya, dirinya akan rusak,
malapetaka akan datang! Dan itu kemudian
akan mudah menjadi sarang atau sumbernya
kejahatan! Kejahatan muncul di mana-mana
akibat manusia berusaha melampaui titik
batasnya, melewati garis yang telah
ditentukan. Kemudian bila datang kebaikan
walau bagaimanapun kuatnya kejahatan itu,
di satu hari dia akan kena ditumpas juga. Aku
yang sudah tua menyesalkan hidup badanku
yang rongsokan ini karena di saat mau
mampus begini tidak bisa berbuat banyak
menumpas kejahatan Tapi aku masih
bergembira sedikit. Sebelum ajal datang aku
telah bertemu dengan kau, orang muda!
Menurut penglihatanku, kau satu-satunya
manusia saat ini yang sanggup menumpas
kejahatan Dewi Siluman!
Ingat kejahatannnya, bukan orangnya!"
"Kiai Bangkalan, aku yang muda tolol ini bisa
apakah?" kata Wiro Sableng pula. "Terus
terang aku tak mengerti mengapa kau
mengatakan tak bisa berbuat banyak
menumpas kejahatan.
Bukankah ilmumu tinggi sekali. Dewi Siluman
tentu akan mudah kau tumpas."
Kiai Bangkalan hela nafas dan geleng-
gelengkan kepalanya.
"Aku hanya memiliki dua macam ilmu, orang
muda. Dua macam ilmu itu saja tak sanggup
untuk menumpas kejahatan Dewi Siluman. Di
samping itu seperti aku terangkan tadi,
sebenarnya aku yang sudah tua ini telah kena
tertipu…." Setelah menghela nafas dalam
sekali lagi baru Kiai Bangkalan meneruskan.
"Dua macam ilmu yang kumiliki ialah
kecepatan bergerak dan ilmu pengobatan.
Mana mungkin dua macam ilmu itu bisa
diandalkan untuk menghadapi Dewi Siluman
yang sakti luar biasa?!"
"Tapi kau juga memiliki ilmu totokan yang
teramat lihai!" ujar Wiro.
Kiai Bangkalan tertawa. "Setiap ilmu totokan
dasarnya adalah sama, sama seperti yang
dimiliki oleh kau dan Inani. Cuma karena aku
memiliki ilmu kecepatan bergerak maka orang
tidak bisa menduga dan tak sempat berkelit
ketika aku menotok tubuhnya. Itu telah kau
saksikan dan rasakan sendiri!"
"Kalau kau bisa bergerak luar biasa cepatnya,
tentu kau bisa menotok Dewi Siluman
kemudian menjatuhkan hukuman yang
setimpal terhadapnya," kata-kata Wiro
Sableng pula.
"Betul, tapi justru hal itulah yang tak bisa
kulakukan," sahut Kiai Bangkalan.
"Kenapa tidak bisa?"
"Aku telah tertipu. Ah… biarlah aku terangkan
pada kalian agar jelas. Tubuh tua rongsokan
ini tak guna lagi menyimpan segala rahasia
hidupnya!"
Kiai Bangkalan merenung sejenak baru
membuka mulut kembali. "Sesungguhnya guru
dari Dewi Siluman adalah adik seperguruanku
sendiri. Namanya Lara Permani. Dari guru,
aku menuntut dua macam ilmu yang
kusebutkan tadi yaitu ilmu pengobatan dan
ilmu gerakan cepat.
Sebaliknya sebagai murid yang dikasihi oleh
guru, Lara Permani diwariskan banyak ilmu
yang hebat-hebat. Di antaranya Ilmu Jala
Sutera Sakti, Ilmu Racun Biru dan yang paling
hebat Ilmu Seribu Siluman Mengamuk.
Sebegitu jauh tak ada satu ilmu di dunia ini
pun yang sanggup mengalahkan Ilmu Seribu
Siluman Mengamuk itu. Tapi walau
bagaimanapun setiap ilmu di dunia ini tak
ada yang maha sempurna, selalu saja ada
kelemahannya, demikian juga dengan Ilmu
Seribu Siluman Mengamuk…."
"Apakah kelemahannya, Kiai?" tanya Wiro.
"Itu tidak bisa kuberitahu. Aku telah
bersumpah!"
Inani dan Wiro kernyitkan kening keheranan.
Sebelum salah seorang dari mereka bertanya
maka Kiai Bangkalan sudah berkata. "Antara
aku dan Lara Permani karena demikian
eratnya hubungan kami, kami saling
mencinta. Namun malapetaka tiba. Lara
Permani sewaktu turun ke dunia persilatan
telah tergoda oleh segala macam urusan
duniawi sehingga dia menempuh jalan salah.
Aku yang mencintainya dengan amat sangat
tak bisa berbuat apa-apa, tak bisa
melarangnya agar meninggalkan segala
urusan kotor dunia. Malah entah bagaimana
aku menjadi tolol dan suatu hari di
hadapannya aku bersumpah atas nama Tuhan
bahwa aku tak akan ikut campur, tak akan
turun tangan terhadap segala perbuatannya,
juga terhadap segala perbuatan muridnya bila
kelak dia mempunyai murid! Sekarang Lara
Permani sudah mati. Dan Dewi Siluman itu
adalah muridnya!
Aku tak bisa berbuat apa secara langsung
terhadap kejahatan Dewi Siluman karena aku
terikat sumpah!"
Wiro dan Inani termangu sejurus.
Wiro kemudian berkata. "Lara Permani kini
sudah tiada. Berarti sumpah yang Kiai buat
terhadapnya batal, tak berlaku lagi!"
Kiai Bangkalan geleng-gelengkan kepala.
"Sumpah seorang manusia terhadap manusia
sekaligus terikat pada Tuhan. Meskipun salah
seorang dari mereka sudah mati, tapi yang
masih hidup tetap terikat pada Tuhan yang
telah menyaksikan sumpahnya itu!"
"Kalau begitu kejahatan Dewi Siluman tak
akan bisa dibasmi," kata Wiro.
"Kaulah yang akan membasminya!" jawab
Kiai Bangkalan.
"Tapi ilmuku sangat dangkal sekali Kiai.
Kalau kau bisa memberikan sedikit
petunjuk…." Kiai Bangkalan tersenyum.
"Di Goa Belerang ini telah kujanjikan padamu
untuk datang mengetahui tingginya gunung
dalamnya lautan. Meski aku terikat sumpah
dan tak bisa turun tangan secara langsung,
namun ada cara lain bagiku untuk berbuat
kebaikan. Jika cara ini dianggap melanggar
sumpah, biarlah badan yang tua renta ini rela
menerima hukumannya!"
Dari balik pakaiannya Kiai Bangkalan
mengeluarkan secarik kertas putih. Kertas itu
disodorkannya ke hadapan Wiro Sableng
seraya berkata. "Dengan inilah kau bakal bisa
menumpas kejahatan Dewi Siluman."
Wiro menerima kertas itu dan menelitinya. Di
atas kertas putih ini ternyata ada dua bait
tulisan yang berbunyi. Ilmu Seribu Siluman
Mengamuk teramat sakti.
Hanya suara yang sanggup mengalahkannya.
"Kiai, aku tak mengerti maksud tulisan ini.
Mohon petunjukmu…."
Kiai Bangkalan hela nafas dan gelengkan
kepala. "Tak mungkin orang muda. Aku terikat
dengan sumpah. Aku tak bisa menerangkan
langsung kelemahan Ilmu Seribu Siluman
Mengamuk kepadamu. Kau harus pecahkan
sendiri rahasia yang ada di dalam dua bait
tulisan itu…. Kuharap kau tak bertanya lebih
jauh."
Wiro membaca lagi dua bait tulisan itu lalu
memasukkan kertas tersebut ke balik
pakaiannya.
Kiai Bangkalan berpaling pada Inani. Dia
tersenyum dan berkata. "Meski tempo hari aku
marah sekali melihat kau datang kemari tapi
sebenarnya diam-diam aku merasa gembira
karena kau bisa membantuku untuk
melaksanakan cita-cita baikku. Kau ingat
bagaimana aku telah membersihkan otakmu
serta kawan-kawanmu dengan sejenis obat?"
"Ingat Kiai."
Kiai Bangkalan keluarkan sebuah botol berisi
cairan hitam. "Aku telah meramu lagi sejenis
obat baru," katanya dan meletakkan botol
kecil itu di hadapannya. "Kau harus ikut
bersama Wiro ke Bukit Tunggul dan menolong
kawan-kawanmu yang sudah dikotori otaknya
oleh Dewi Siluman.
Bagaimana caranya terserah padamu, yang
penting kau harus dapat meminumkan setetes
obat ini ke dalam mulut kawan-kawanmu
sehingga mereka kembali menjadi bersih
otaknya dan kembali ke jalan yang benar! Aku
tak mengizinkan kau membunuh seorang pun
dari mereka! Semua kawankawanku tersesat
karena tidak sadar!"
"Tapi mana mungkin aku sanggup, Kiai?
Setiap kawan-kawanku sakti semua dan
jumlah mereka banyak!" kata Inani.
"Kau tak usah khawatir. Aku akan turunkan
ilmu gerakan cepat padamu sehingga kau
dengan mudah bisa menotok mereka lalu
memasukkan setetes obat ini ke dalam mulut
mereka!"
Inani gembira sekali. Buru-buru dia menjura
dan mengucapkan terima kasih. Kiai
Bangkalan memandang pada Wiro. "Orang
muda, kuharap kau jangan kecewa karena
saat ini aku tidak memberikan ilmu apa-apa
padamu. Tapi di lain hari, bila tugasmu sudah
selesai di Bukit Tunggul kuharap kau suka
datang kemari untuk menerima pelajaran ilmu
pengobatan dariku."
Gembiralah Wiro Sableng dan buru-buru dia
menjura serta mengucapkan terima kasih.
"Sebelum kalian pergi," kata Kiai Bangkalan
pula. "Ada satu hal yang harus kalian ingat,
terutama kau orang muda karena kaulah yang
bakal berhadapan dengan Dewi Siluman.
Musti disadari bahwa sesungguhnya
kejahatan yang dibuat oleh manusia itu
adalah karena dipengaruhi oleh suasana
sekitarnya, dipengaruhi oleh keadaan duniawi
di sekelilingnya. Pada dasarnya semua,
manusia adalah baik. Karena itu kuharap kau
jangan menurunkan tangan maut terhadap
Dewi Siluman."
"Tapi Kiai, perempuan itu telah membuat
kejahatan yang tak bisa diampunkan. Puluhan
manusia tak berdosa telah dibunuhnya!" kata
Wiro pula.
"Betul. Itu memang betul. Namun demikian
soal nyawa manusia bukanlah urusan kita.
Nyawa orang lain bukan milik kita. Soal
nyawa adalah hak dan kuasanya Tuhan kita
manusia sekali-kali tidak diperbolehkan
membunuh, kecuali dalam perang atau
pertempuran di mana kita benar-benar sudah
terdesak. Karena itu usahakanlah dulu untuk
menyadari Dewi Siluman dari segala
kejahatannya, bersihkanlah otaknya dengan
obat ini!" Lalu Kiai Bangkalan mengeluarkan
sebutir pil hitam dan diberikan kepada Wiro.
"Bila nanti ternyata usahamu gagal, baru kau
boleh menurunkan tangan maut. Itupun bila
kau terdesak dan tak punya jalan lain lagi!
Nah sekarang pergilah!"
"Terima kasih atas segala petunjukmu Kiai,"
kata Wiro Sableng sambil menjura dalam.
Inani juga melakukan hal yang sama. Sewaktu
mereka mengangkat kepala kembali ternyata
Kiai Bangkalan telah lenyap. Bukan main
terkejutnya mereka. Benar-benar luar biasa
cepatnya gerakan orang tua itu. Wiro geleng-
gelengkan kepala. Sementara itu Inani berdiri
dengan paras berubah.
"Ada apa?" tanya Wiro.
"Waktu aku menjura tadi, kurasa ada yang
menepuk bahu kananku dengan keras.
Sekarang tubuhku terasa ringan sekali macam
kapas!"
Wiro Sableng kerenyitkan kening. Tiba-tiba
dia ingat akan ucapan Kiai Bangkalan bahwa
dia hendak menurunkan ilmu kecepatan gerak
pada gadis itu.
"Mungkin itulah cara dia menepati janjinya!"
kata Wiro. "Coba kau berkelebat!"
Inani tekankan kedua kakinya ke lantai.
Tubuhnya bergerak dan kejap itu pula lenyap
dari pandangan mata Wiro Sableng, sedetik
kemudian muncul lagi di hadapannya.
"Saudara! Aku benar-benar tak mengerti
bagaimana gerakanku bisa sehebat ini!" seru
Inani gembira.
Wiro Sableng geleng-gelengkan kepala
"Benar-benar aneh sekali cara Kiai Bangkalan
menurunkan ilmunya kepadamu," kata Wiro
pula. "Kau beruntung Inani, eh, bukankah
namamu Inani…?"
Si gadis anggukkan kepalanya malu-malu.
"Kau sendiri siapa?"
"Panggil aku Wiro," jawab Pendekar 212.
"Bagaimana kalau kita berangkat ke Bukit
Tunggul sekarang?" tanya Inani.
"Memang lebih cepat lebih baik. Tapi untuk
membuat urusan dengan Dewi Siluman kita
tunggu sampai besok pagi. Nah, ayolah!"
Kedua orang itu pun dengan segera
meninggalkan Goa Belerang. Meskipun malam
itu bulan purnama bersinar terang namun
dengan susah payah baru akhirnya Inani dan
Wiro bisa keluar dari dasar air terjun.
Di ufuk timur fajar kelihatan sudah
menyingsing. Sebentar lagi sang surya
penerang jagat akan memunculkan diri,
merenggutkan malam menggantikannya
dengan pagi hari yang kemudian disusul oleh
kedatangan siang. Dua titik putih dan biru
kelihatan remang-remang bergerak sangat
cepat dari arah tenggara. Ternyata dua titik
ini adalah sosok tubuh Inani dan Pendekar
212 Wiro Sableng. Tengah malam tadi mereka
berkemah di tepi rimba belantara dan
menjelang pagi baru meneruskan perjalanan
ke Bukit Tunggul. Satu keuntungan bagi Wiro
karena dia bersama Inani sehingga tak usah
bersusah payah mencari di mana letaknya
Bukit Tunggul. Tepat pada saat matahari
munculkan diri di ufuk timur maka kedua
orang itu sudah berada di kaki bukit sebelah
timur. Sementara keduanya mencari mulut
terowongan yang akan membawa mereka ke
Istana Dewi Siluman, tiga sosok bayangan
biru muncul menghadang mereka.
"Hai Inani! Kau rupanya!" seru salah seorang
dan ketiga gadis baju biru yang bukan lain
dari anak-anak buah Dewi Siluman yang
habis melakukan perondaan.
"Hai!" seru Inani sambil lambaikan tangan
kanan. Dan saat itu juga ketiga gadis baju
biru itu merasakan tubuh mereka kaku tegang
tak sanggup lagi bergerak maupun bicara.
"Hebat sekali totokanmu, Inani!" kata Wiro
memuji dengan tersenyum.
Inani cepat-cepat keluarkan botol obat hitam
lalu dimasukkannya cairan itu masing-masing
setetes ke dalam mulut ketiga gadis itu,
kemudian bersama Wiro dia segera tinggalkan
tempat itu Sementara itu di sebuah kamar
yang bagus luar biasa di anjungan pertama,
Dewi Siluman masih berbaring bermalas-
malasan di atas pembaringan yang hangat
lembut. Hari telah siang tapi malas sekali dia
turun dari tempat tidur. Dia tahu bahwa anak-
anak buahnya telah menyiapkan segala
sesuatunya untuk keperluan mandi pagi, di
kolam dan mereka baru akan muncul jika dia
sudah memanggil.
Dewi Siluman memperhatikan tubuh dan
parasnya di kaca dalam kamar itu. Kemudian
dia teringat pada Inani. Jika gadis itu tidak
sedang menunaikan tugas, pagi-pagi seperti
itu biasanya dia telah memetik kecapi
memberikan hiburan. Dewi Siluman
menghitung-hitung hari. Kekhawatiran untuk
kesekian kalinya menyamaki hatinya.
Kepergian Inani bersama Sarinten, Wakani dan
Laruni sampai pagi itu tiada kabar beritanya.
Apakah telah terjadi pula hal-hal yang tak
diinginkan dengan mereka? Tapi
kekhawatirannya itu agak berkurang sedikit
kalau dia ingat bahwa Laruni adalah anak
buahnya yang paling tinggi kepandaiannya.
Akhirnya Dewi Siluman juga berbaring
berlama-lama. Dia bangun dan duduk
sebentar di tepi tempat tidur, memandang ke
kaca, lalu sambil melangkah ke kaca besar itu
ditanggalkannya pakaian tidurnya yang
terbuat dari sutera biru halus berbunga-bunga
hitam. Tanpa selembar benang pun menutupi
badannya sang Dewi berdiri di muka kaca.
Betapa indah potongan tubuhnya, betapa
halus mulus kulitnya. Tapi betapa rindunya
seluruh tubuh itu akan sentuhan tangan
seorang laki-laki.
Tiba-tiba pintu kamar diketuk orang.
Dewi Siluman memperhatikan kaca dari mana
sekaligus dia dapat melihat pintu kamar itu.
Siapa pula yang mengganggunya, pikir sang
Dewi. Mungkin Laruni atau seorang anak
buahnya yang datang membawa kabar
tentang Laruni dan kawan-kawannya. Maka
Dewi Siluman mengenakan pakaian tidurnya
kembali dan berkata. "Masuk!"
Pintu kamar terbuka.
Dan kagetlah Dewi Siluman. Yang masuk
bukanlah Laruni, bukan pula salah seorang
anak buahnya, melainkan seorang pemuda
berpakaian putih-putih, berambut gondrong
dan berparas gagah.
Walau bagaimana pun kejam dan jahatnya
hati seorang perempuan, namun dalam hal-
hal tertentu dia tak dapat menyembunyikan
gerak refleks keperempuannya. Dewi Siluman
segera rapatkan pakaian tidurnya yang tipis
lalu membentak marah, meski tidak seratus
persen marah.
"Orang muda? Siapa kau yang berani berlaku
lancang masuk ke kamarku?!"
Pemuda itu sunggingkan seulas senyum.
"Apakah aku berhadapan dengan Dewi
Siluman Dari Bukit Tunggul?" tanyanya.
"Betul! Lekas terangkan siapa kau!
Bagaimana kau bisa masuk ke Istanaku ini?!"
"Kalau aku tidak salah, bukankah Dewi
selama ini mencari-cariku…?"
Berdebarlah hati Dewi Siluman.
"Jadi kau adalah pemuda yang tempo hari
melarikan diri sewaktu mau ditangkap?!"
"Betul sekali Dewi. Barangkali kau bisa
menerangkan salah apa yang kubuat sampai
diriku hendak ditawan oleh orang-orangmu?"
Dewi Siluman tertawa. Sungguh merdu suara
tertawanya laksana taburan mutiara yang
berderai di lantai batu pualam.
"Sebelum kujawab pertanyaanmu harap
terangkan dulu apa yang telah kau lakukan
terhadap delapan orang anak buahku hingga
mereka tidak kembali sampai saat ini. Lalu
bagaimana kau bisa masuk ke tempat ini!"
"Soal delapan anak buahmu itu mana aku
tahu. Bagaimana aku sampai ke sini, biasa
saja.
Kau mencari-cariku berarti aku sama saja
diundang datang ke mari. Malah anak
buahmu mengantar dan menunjukkan
kamarmu ini."
Kembali Dewi Siluman tertawa merdu.
"Orang gagah, kuharap kau tahu di mana
berada dan dengan siapa kau bicara…."
Pemuda berambut gondrong yang bukan lain
dari Pendekar 212 adanya angguk-anggukkan
kepala. "Nama besarmu sudah lama
kudengar, Dewi. Namun sayang kebesaran
namamu itu bukan karena pekerjaan baik, tapi
akibat kejahatan luar biasa yang tiada
taranya!"
Dewi Siluman naikkan hidungnya.
"Apakah maksud kedatanganmu ke Pulau
Madura ini sengaja mencari dan
menantangku?!"
"Kau bisa katakan demikian…."
Dewi Siluman tertawa panjang.
"Kau andalkan apakah maka berani membuat
rencana dernikian?"
Wiro menjawab dengan balas tertawa.
Di atas sebuah meja di dalam kamar itu
terletak sebuah patung perempuan
menjunjung kendi yang terbuat dari emas.
Beratnya kira-kira tiga kilogram. Dewi Siluman
menunjuk pada patung itu dan berkata. "Kau
lihat patung emas itu, orang muda?! Jika kau
sanggup melakukan seperti yang akan
kuperbuat baru kau pantas bermulut besar di
hadapanku!"
Habis berkata begitu Dewi Siluman gerakkan
tangan kanannya ke atas, telapak tangan
menghadap ke patung emas di atas meja.
Perlahan-lahan patung di atas meja bergerak,
lalu laksana ada sebuah tangan yang tiada
kelihatan mengangkatnya, patung yang
beratnya tiga kilo itu naik ke atas, melayang
mendekati tangan Dewi Siluman, berhenti
tegak di ujung jari tengah Dewi Siluman, lalu
melayang lagi kembali ke tempatnya di atas
meja.
Dengan senyum di bibir Dewi Siluman
berpaling pada Wiro Sableng. "Bagaimana?
Sanggupkah kau melakukannya? Jika tidak
sebaiknya kau lekas-lekas berlutut minta
ampun kepadaku! Kau tidak terlalu buruk
untuk jadi hamba sahayaku!"
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Dewi
Siluman tertawa melihat tingkah pemuda ini.
Diam-diam memang Wiro Sableng mengagumi
sekali kehebatan tenaga dalam Dewi Siluman.
Meski demikian mana Pendekar 212 mau
diremehkan begitu saja.
"Memang meniru seperti yang kau lakukan itu
aku tidak bisa Dewi Siluman. Tapi coba kau
lihat. Kau kurang teliti hingga patung itu
kembali ke tempatnya dalam keadaan
terbalik!"
Dewi Siluman palingkan kepala dengan rasa
tak percaya. Ketika matanya membentur
patung di atas meja, terkejutlah sang Dewi.
Patung perempuan menjunjung kendi memang
berdiri di atas meja tapi dengan kaki ke atas
dan kepala serta kendi di sebelah bawah.
Dewi Siluman putar kepalanya kembali pada
Wiro Sableng. Sedikitpun dia tidak melihat
pemuda itu gerakkan tangannya. Tapi
bagaimana patung itu bisa terbalik demikian.
Tiba-tiba sang Dewi keluarkan tertawanya
yang merdu.
"Tenaga dalammu boleh juga orang muda!
Ilmumu cukup tinggi! Aku ada usul bagus
untukmu!" Dewi Siluman melangkah ke tempat
tidur. Dalam pakaian yang tipis itu Wiro
dapat melihat jelas sekali sekujur tubuh Dewi
Siluman. Sang Dewi kemudian duduk di tepi
tempat tidur.
"Aku yakin kau akan menyetujui usulku ini.
Tapi harap kau terangkan namamu lebih
dulu."
"Apakah namaku itu perlu betul bagimu?"
tanya Wiro.
"Tentu!" jawab Dewi Siluman seraya matanya
memandang penuh gairah ke paras Wiro. Di
mulutnya bermain seulas senyum. Dan dia
menambahkan. "Seorang gagah dan berilmu
sepertimu ini musti diketahui dulu namanya!"
Wiro tersenyum. "Manusia dilahirkan tidak
bernama," katanya. "Karenanya tak perlu
kuterangkan siapa namaku. Kau boleh panggil
aku semaumu. Sekarang coba kau terangkan
usul bagus yang kau katakan itu!"
"Orang muda, kau terlalu jual mahal namamu!
Tapi tak apa, aku senang pada laki-laki yang
berhati keras, betul-betul bernyali jantan!
Dengar orang muda, walau kau tidak mau beri
tahu nama, namun aku maklum bahwa kau
memiliki ilmu yang cukup diandalkan. Setiap
orang berilmu tinggi mempunyai cita-cita
besar. Bagaimana kalau kita berdampingan
satu sama lain dalam menguasai dunia
persilatan?!"
Wiro merenung macam orang tua lalu
manggut-manggut. "Usulmu memang
bagus…,"
katanya. Paras Dewi Siluman kelihatan
gembira. "Tapi," sambung Wiro pula yang
membuat Dewi Siluman kembali berubah
parasnya. "Aku datang ke sini bukan untuk
menerima segala macam usul atau membuat
segala macam perjanjian…."
Paras Dewi Siluman menegang. "Lalu?"
sentaknya seraya berdiri dari tempat tidur.
Wiro menatap paras jelita itu beberapa
lamanya. Pandangan ini membuat sang Dewi
bergetar hatinya.
"Segala sesuatu di dunia ini musti ada
akhirnya," Wiro Sableng membuka
pembicaraan kembali. "Diakhiri atau berakhir
sendirinya. Demikian pula dengan
kejahatan…."
Dewi Siluman hendak membentak memotong
ucapan Wiro Sableng. Tapi di bawah sorotan
mata si pemuda mulutnya tak kuasa
dibukanya. Dia tegak tak bergerak di
tempatnya.
"Setiap tokoh silat adalah wajar kalau
mempunyai cita-cita untuk menguasai dunia
persilatan. Namun caranya juga musti cara
wajar. Bukan dengan kejahatan tanpa peri
kemanusiaan.
Bukan dengan jalan membunuh anak-anak
atau perempuan-perempuan atau manusia-
manusia tak berdaya dan tak berdosa. Bukan
dengan menipu tokoh-tokoh silat,
mengundang mereka ke mari lalu
menjebloskannya di Ruang Penyiksaan…."
Dewi Siluman terkejut amat sangat. Dari mana
si pemuda tahu akan hal itu? Tapi untuk
bertanya lagi-lagi mulutnya takluk membisu di
bawah pandangan mata Pendekar 212.
"Bukan pula dengan menculik gadis-gadis
cantik lalu, meracunnya dengan obat
kesetanan!
Hendak menguasai dunia persilatan dengan
cara seperti itu bukan saja tak akan berhasil,
tapi akan membawa pelakunya pada satu
kehancuran yang mengerikan, Kehancuran
itulah suatu akhir.
Hancur sendiri atau dihancurkan. Dan kurasa
kau tak mau menemui kehancuran atau
dihancurkan, Dewi Siluman. Bukankah
begitu…?"
Tenggorokan Dewi Siluman turun naik. Tiba-
tiba meledaklah kemarahannya. "Orang muda!
Bicaramu keliwat pandai! Apakah kau juga
pandai menerima pukulanku ini?!"
Laksana kilat Dewi Siluman hantamkan
tangan kanannya ke arah Wiro. Satu larik
sinar biru yang amat panas menderu. Di
seberang sana Pendekar 212 berkelebat dan
"brak!" Dinding kamar di belakangnya hancur
lebur, runtuh merupakan satu lobang besar
kini.
"Kau menghancurkan dirimu sendiri, Dewi
Siluman," desis Wiro Sableng disertai lontaran
senyum. "Tidak sukar untuk kembali ke jalan
yang baik. Di jalan yang baik itu kau akan
melihat satu jalan lurus yang wajar untuk
menguasai dunia persilatan ini!"
Dewi Siluman melotot besar sewaktu melihat
Pendekar 212 berhasil mengelakkan diri dari
serangan "Angin Biru"nya tadi.
"Orang muda, pintu masih terbuka bagimu
untuk menguasai dunia persilatan ini
bersamaku menurut caraku!"
"Menyesal sekali, Dewi…."
"Kau yang akan menyesal jika kau
menolaknya!" tukas Dewi Siluman. "Meski
ilmumu setinggi langit tapi tak satu manusia
pun yang bisa menghancurkanku!"
"Bukan orang lain yang akan
menghancurkanmu, tapi kau sendiri," sahut
Pendekar 212.
Dewi Siluman tertawa aneh. Dia kembali
duduk di tepi tempat tidur.
"Jangan kelewat memandang sebelah mata
terhadap Dewi Siluman, orang muda. Kalau
aku tidak melihat bahwa kau bakal
mempunyai peruntungan baik bersamaku,
siang-siang aku sudah hancurkan kepalamu!"
Dewi Siluman tertawa lagi lalu rebahkan
dirinya perlahan-lahan di atas tempat tidur.
Pakaian tidurnya tersibak dan menjulai ke
lantai yang ditutupi permadani tebal. Mata
Pendekar 212 mengecil, sejenak hatinya
digelorai oleh darah muda.
"Orang gagah, kemarilah!" panggil Dewi
Siluman. Suaranya berubah merdu tidak
membentak lagi.
Wiro tetap berdiri di tempatnya.
"Kemarilah…." Dewi Siluman lambaikan
tangannya.
Pendekar 212 melangkah. Dia berhenti satu
tombak dari samping tempat tidur. Gelora
darah mudanya semakin menyentak-nyentak.
Dewi Siluman menopang dagunya dengan
telapak tangan kanan, memandang gairah
pada si pemuda lalu berkata. "Seluruh isi
Istana ini akan menjadi milikmu, orang muda.
Dunia persilatan akan berada di tanganmu.
Dan kita hidup berdua di sini. Bukankah indah
sekali…?" Dewi Siluman menggerak-gerakkan
kakinya.
"Kedengarannya memang begitu," sahut Wiro.
"Tapi akan lebih indah lagi bila kau mau
menelan pil ini…."
Dewi Siluman kerenyitkan kening sipitkan
mata dan memandang pada sebuah benda
kecil hitam di tangan Wiro Sableng.
"Pil apa itu?" tanya Dewi Siluman acuh tak
acuh.
"Pada dasarnya manusia itu semuanya
berhati dan berpikir baik. Tapi kekotoran
duniawi meracuni hati dan pikirannya. Obat
ini akan sanggup membersihkan kembali
racun hati dan racun pikiran yang jahat itu,
Dewi Siluman!"
Dewi Siluman tertawa berderai.
"Maksudmu kau mau mengobati diriku, orang
muda?"
Wiro anggukkan kepala.
Dewi Siluman tertawa lagi panjang-panjang.
"Hanya orang sakit yang minum obat. Aku
tidak sakit."
"Kau memang sakit Dewi Siluman, sudah
sejak lama," kata Wiro pula.
Dewi siluman luruskan kedua kakinya yang
mulus bagus.
"Aku akan telan pil itu," kata Dewi Siluman.
"Tapi dengan satu syarat."
"Apa?"
"Berbaringlah di sampingku."
Bergelegar dada Pendekar 212. Darah muda di
tubuhnya laksana hempasan ombak yang
memukul batu karang di pantai curam.
"Kau perlu istirahat, orang gagah. Kau perlu
tidur," kata Dewi Siluman penuh genit.
Kegenitan yang mengandung racun.
"Soal tidur soal gampang Dewi," kata Wiro
dengan menahan kobaran darah mudanya.
"Kebaikan adalah yang paling dulu musti
dikerjakan. Kuharap kau bersedia menelan
obat ini…."
Dewi Siluman tersenyum.
"Aku ingin sekali menghiburmu, tapi sayang,
gadis pemetik kecapi itu tak ada di sini…."
"Inani maksudmu? Aku telah bertemu dengan
dia."
Kagetlah Dewi Siluman.
"Dan bukan dia sendiri. Dewi, tapi juga tujuh
orang lainnya…."
"Kau apakan mereka?"
"Mereka gadis-gadis cantik yang kini menjadi
kawan-kawanku. Otaknya telah dicuci!"
"Kau yang melakukannya?!"
"Kiai Bangkalan!"
Membersilah paras Dewi Siluman. Dadanya
menggemuruh. Tapi gelora amarah ini
kemudian mengendur sedikit. Dia duduk di
tepi tempat tidur kembali.
"Aku tak perduli dengan mereka. Aku bisa
melupakan mereka, juga kakek-kakek keparat,
bernama Kiai Bangkalan itu. Tapi kau musti
menjadi milikku, orang muda, musti!" Dan
habis berkata begitu Dewi Siluman buka
pakaian tidurnya lalu dalam keadaan tanpa
pakaian selembar benang pun dia melangkah
ke hadapan Wiro Sableng.
Mulut Pendekar 212 komat-kamit. Digaruknya
kepalanya. Dia bergerak ke samping sewaktu
Dewi Siluman melompatinya.
"Orang muda, apakah aku tak boleh
memelukmu? Apakah aku tak boleh
menyentuh tubuhku pada tubuhmu…?"
"Boleh saja tapi sekarang bukan saatnya."
"Justru sekarang inilah saatnya" dan Dewi
Siluman menerjang ke muka hendak meraih
tubuh Wiro Sableng. Sekali lagi Wiro berkelit.
"Kau keterlaluan orang muda! Apakah aku
harus mengemis terhadapmu?! Peluk aku
orang muda. Cium parasku, bibirku, dadaku…
semuanya…."
"Buset!" ujar Wiro Sableng dalam hati
sementara Dewi Siluman melangkah
mendekatinya.
"Dengar Dewi, aku akan cium kau mulai dari
ubun-ubun sampai ke telapak kaki. Tapi telan
pil ini…." Wiro acungkan tangan kanannya,
Tiba-tiba Dewi Siluman berseru nyaring.
Tubuhnya berkelebat laksana kilat. Pendekar
212 terkejut hebat sewaktu lengannya dipukul
oleh Dewi Siluman hingga pil hitam yang
dipegangnya mental ke udara? Sebelum dia
bisa berbuat suatu apa, pil itu sudah berada
dalam genggaman Dewi Siluman. Sekali
tangan itu meremas maka hancurlah pil
pembersih otak dan hati itu.
"Sekarang tidak ada lagi segala macam obat
terkutuk! Yang ada kau dan aku! Mari orang
muda… mari…!"
Pendekar 212 mulai beringasan dan
penasaran.
"Aku telah datang membawa kebaikan
untukmu Dewi Siluman! Tapi kejahatan di
dalam dirimu memang sudah sedalam lautan
setinggi langit! Aku tunggu kau di taman
Istana!"
"Kau mencari mati orang muda?!"
"Dan kau mencari mampus!"
"Bedebah!" maki Dewi Siluman. Dia tepukkan
tangannya tiga kali berturut-turut dan
memandang berkeliling dengan heran.
"Aha… kau memanggil anak-anak buahmu
Dewi Siluman? Mereka tak akan muncul!
Semuanya telah dicekok dengan obat
pembersih otak!"
Kaget Dewi Siluman bukan main.
"Manusia tolol! Diberi kesenangan malah
minta mati percuma! Aku akan siksa kau di
Ruang Penyiksaan! Aku akan rebus tubuhmu!"
Wiro tertawa gelak-gelak.
"Ruang Penyiksaan hanya tinggal nama saja
lagi!" sahutnya. "Tiga tokoh silat yang masih
hidup sudah kubebaskan dan ruangan itu
hanya merupakan puing-puing hancur, satu
pertanda bagi kehancuranmu sendiri! Aku
tunggu kau di taman! Jika otakmu masih
diracuni oleh kejahatan, taman itu akan
menjadi kuburmu! Dan jangan coba-coba
larikan diri Dewi. Setiap jalan rahasia sudah
dijaga!"
"Setan alas! Mampuslah!" teriak Dewi
Siluman. Kedua tangannya dipukulkan ke
muka.
"Wuss!"
Dua sinar biru menderu ganas. Tapi Wiro
Sableng sudah tendang pintu dan keluar dari
kamar itu. *
* * Suasana di taman Istana yang indah itu
kini diselimuti kesunyian yang menggidikkan.
Pendekar 212 Wiro Sableng duduk di atas
batu rata, di hadapan sebuah arca. Di setiap
sudut taman berdiri berkelompok-kelompok
gadis-gadis berbaju biru. Mereka adalah
bekas anak buah Dewi Siluman yang telah
"dibersihkan" otaknya oleh Inani dengan obat
yang diberikan Kiai Bangkalan.
Kalung tengkorak yang biasanya tergantung di
leher mereka kini tak kelihatan lagi.
Kesunyian itu dipecahkan oleh suara siulan
yang keluar dari mulut Pendekar 212. Inani
geleng-gelengkan kepala. Di saat yang penuh
ketegangan itu Wiro masih bisa bersiul seperti
seorang yang tengah menunggu saat gembira.
Dia melangkah mendekati arca di mana Wiro
duduk.
"Apakah kau sudah berhasil memecahkan
rahasia kelemahan Dewi Siluman dalam dua
bait tulisan yang diberikan Kiai Bangkalan?"
tanya Inani.
Wiro gelengkan kepala. Dia terus juga bersiul-
siul.
"Kau belum tahu rahasia kelemahannya! Dan
kau telah berani menantangnya di sini!" ujar
Inani dengan paras tegang.
"Semuanya telah kasip Inani. Ini adalah saat
penentuan. Kalau tidak dia, aku yang. bakal
meregang nyawa. Mudah-mudahan saja itu
perempuan bisa menyadari kejahatannya
sebelum datang ke sini dan bertobat!"
"Jangan harapkan hal itu Wiro!" desis Inani.
"Kau bersiaplah Inani. Sesuai dengan rencana
kau baru turun tangan dalam jurus ketiga….
Jika aku gagal, semua kawan-kawanmu harus
menyerbu!"
Inani mengangguk. Dia hendak mengatakan
sesuatu tapi mulutnya mendadak sontak
terkancing. Matanya memandang ke arah
tangga batu pualam yang menghubungi
langkan Istana di hadapan taman dengan
anjungan pertama. Sepasang kaki yang bagus
kelihatan melangkah menuruni anak tangga
demi anak tangga. Orang yang melangkah ini
sampai ke langkan dan dia bukan lain dari
Dewi Siluman.
Dewi Siluman telah berganti pakaian. Pakaian
biru ringkas yang dikenakannya dihiasi
dengan manik-manik bergemerlapan.
Sikapnya melangkah begitu agung dan penuh
wibawa.
Hidungnya naik ke atas dan Dewi Siluman
hentikan langkahnya di tepi kolam.
Wiro Sableng hentikan suara siulannya.
Kedua manusia ini beradu pandang sesaat
lalu Dewi Siluman memandang berkeliling,
menyapu para anak buahnya satu demi satu.
Kemudian sang Dewi menengadah ke langit.
Dan dari mulutnya keluarlah suara. Langit
pagi begini cerah,
Sang surya bersinar terang
Udara segera melapangkan dada,
Tapi sungguh berubah,
Semua apa yang kupandang. Dewi Siluman
turunkan kepalanya lalu kembali memandangi
anak buahnya satu demi satu.
"Anak-anakku," katanya dengan suara
lantang. "Aku perintahkan kalian untuk
menangkap manusia yang duduk di depan
arca itu!"
Tapi tak satu orang pun yang bergerak dari
tempatnya.
Paras Dewi Siluman kini berubah.
"Apa semua kalian sudah tuli atau mulutku
yang tak bisa bersuara lagi…?!" Dewi Siluman
memerintah lagi dengan suara menggeledek.
Tapi tetap saja tak ada yang bergerak.
"Apa yang telah terjadi dengan kalian?!"
teriak Dewi Siluman. Suaranya bergetar
dahsyat.
"Mana kalung tengkorak kalian?!"
"Dewi, mulai saat ini kami di sini bukan lagi
anak-anak buahmu!" Yang bicara adalah
Inani.
Dewi Siluman palingkan kepalanya.
"Kau yang bicara Inani? Alangkah bagusnya!
Hebat!" Rahang Dewi Siluman menggembung.
Mukanya bermimik bengis. "Jadi semua
kalian di sini bukan lagi anak buahku?!" Dewi
Siluman tertawa panjang.
"Semua kalian akan menerima hukuman! Dan
kau Inani! Kau yang bakal kupancung pertama
kali!"
Pendekar 212 Wiro Sableng perlahan-lahan
berdiri dan bergerak sejauh tiga langkah.
Kembali antara pendekar ini dan Dewi
Siluman terjadi bentrokan pandangan.
"Dewi Siluman, apakah kau masih betum
melihat jalan kebaikan? Apakah hatimu begitu
kotor keras laksana gumpalan batu karang?
Apakah pikiranmu begitu tumpul…?!"
Dewi Siluman mendengus.
"Delapan penjuru angin dunia persilatan
negeri menyebut dan mendengar namaku! Apa
aku musti takut terhadap manusia
macammu?!"
Wiro Sableng tertawa pelahan.
Dewi Siluman berdiri berkacak pinggang tapi
diam-diam dia salurkan seluruh tenaga
dalamnya pada telapak tangan kiri kanan.
Tiba-tiba, didahului oleh lengkingan dahsyat
laksana mau membelah langit, Dewi Siluman
membungkuk dan pukulkan kedua tangannya
sekaligus ke muka.
Tanah yang dipinjaknya melesak lima senti.
Wiro yang sejak tadi juga telah siap waspada
tidak terkejut melihat datangnya dua
gelombang angin biru yang sangat panas
menyerang ke arahnya. Pendekar ini sama
sekali tidak mengelak dari tempatnya berdiri
malah balas memukulkan kedua tangannya ke
muka lepaskan dua pukulan Benteng Topan
Melanda Samudera. Sekaligus dia hendak
menjajaki sampai di mana ketinggian tenaga
dalam lawannya. Dan terkejutlah Pendekar
212.
Begitu terdengar suara menggelegar akibat
beradunya pukulan yang bertenaga dalam
dahsyat itu maka tubuh Wiro Sableng
terhuyung keras ke belakang. Dia hampir saja
jatuh duduk di tanah kalau tidak lekas
mengimbangi diri. Di hadapannya Dewi
Siluman keluarkan suara tertawa panjang.
Ternyata tenaga dalam Pendekar 212 lebih
rendah dari Dewi Siluman. Diam-diam pemuda
berambut gondrong ini tergetar hatinya tapi
dia tidak takut.
"Kalau kehebatanmu cuma sebegitu, tak sukar
bagiku untuk meringkusmu, pemuda tolol!"
kata Dewi Siluman. Dan segera dia loloskan
kalung tengkorak di lehernya sedang tangan
kiri keluarkan segulung benang sutera halus
berwarna biru.
"Jurus kedua ini adalah jurus terakhirmu!"
kata Dewi Siluman.
Dengan ilmu menyusupkan suara, Inani
peringatkan Wiro Sableng. "Cepat keluarkan
senjatamu. Kau tak bakal kuat
menghadapinya dengan tangan kosong!
Benang sutera itu lihai sekali!"
Di saat Wiro merasa ragu-ragu untuk
keluarkan senjata maka Dewi Siluman
melangkah sambil acungkan kalung
tengkorak.
"Kau lihat tengkorak ini? Nasib tengkorak
kepalamu tidak lebih baik dari ini!
Tengkorakmu cukup bagus untuk diramu
sampai kecil dan dijadikan kalung!"
Lalu dengan sebuah jurus bernama "Petir
Menyambar Naga Berenang" Dewi Siluman
menyerbu. Kalung tengkorak di tangan
kanannya laksana bola baja menyambar
ganas ke kepala Wiro sedang benang sutera
biru di tangan kirinya melesat ke muka untuk
melihat bagian tubuh Pendekar 212 yang
menjadi sasaran.
"Wiro! Keluarkan senjatamu cepat!" teriak
Inani.
Tapi Wiro menyambut serangan lawan dengan
Pukulan Sinar Matahari.
Kalung tengkorak di tangan Dewi Siluman
hancur lebur. Suaranya laksana letusan
meriam sewaktu dihajar Pukulan Sinar
Matahari Pendekar 212 tapi di lain pihak sang
pendekar sendiri dibikin kaget karena pada
detik itu benang sutera biru lawan telah
melibat pergelangan tangan kanannya sampai
ke ujung-ujung jari. Wiro coba menyentakkan
tapi tiada guna, libatan benang sutra semakin
ketat. Pendekar 212 lepaskan Pukulan Sinar
Matahari ke arah Dewi Siluman, kali ini
dengan tangan kiri, tapi sebelum kesampaian
sang Dewi sudah hantam lengan kiri itu
dengan lengan kanannya. Masing-masing
merasa sakit namun Wiro lebih menderita
sedang libatan benang di tangan kanannya
belum terlepas.
Inani tak menunggu lebih lama. Segera gadis
ini berkelebat dan laksana kilat lepaskan
totokan jarak jauh yang lihai ke arah Dewi
Siluman.
Dewi Siluman yang tengah hendak melibat
sekujur tubuh Wiro dengan benang suteranya
ternyata betul-betul luar biasa. Dia masih
sempat merasakan datangnya bahaya yang
mengancam.
Padahal kecepatan gerakan Inani tadi tidak
seorang pun yang melihatnya.
Sang Dewi rundukkan tubuh untuk hindarkan
sambaran angin yang dirasakannya
menyerang ke urat lehernya. Tapi anehnya
sambaran angin itu mengikuti gerakannya.
Mau tak mau Dewi Siluman terpaksa lepaskan
gulungan benang dan pergunakan tangan
kirinya untuk menangkis angin serangan
lawan.
Bukan saja angin totokan Inani buyar
berantakan, tapi pukulan Dewi Siluman terus
melanda tubuhnya. Karena tenaga dalam
Inani jauh lebih rendah tak ampun lagi gadis
ini mencelat sampai delapan tombak,
terguling di tanah, masuk ke dalam kolam.
Inani kelihatan seperti hendak berenang tapi
tubuhnya kemudian tenggelam sedang air
kolam tampak merah oleh darah yang muntah
dari mulutnya.
Melihat ini Laruni segera melompat, ceburkan
diri keadaan kolam lalu menyeret Inani keluar.
Tubuh Inani dibaringkannya di satu tempat
yang aman dan diberi pertolongan
sedapatdapatnya.
Sebenarnya Dewi Siluman merasa terkejut
akan kehebatan angin pukulan aneh yang tadi
dilepaskan Inani. Namun kini terdengar suara
tertawanya mengekeh.
"Itu contoh pertama buat manusia-manusia
murtad yang berkhianat terhadap Dewi
Siluman!" berkata sang Dewi dengan seringai
bengis. Dia lalu cepat-cepat palingkan kepala
ke arah Wiro Sableng. Kegusarannya tiada
tara sewaktu melihat Pendekar 212 berhasil
melepaskan benang sutra yang melibat
sebagian tangan kanannya.
"Benangmu ini cukup lihai Dewi. Aku mau
lihat apakah kau sendiri sanggup
menghadapinya!" kata Wiro.
Dewi Siluman ganda mendengus. Dia mundur
beberapa langkah lalu berlutut di atas rumput.
Mata dipejamkan sedangkan kedua tangan
bersidekap di muka dada.
"Saudara!" seru Laruni terkejut. "Hati-hati!
Dia hendak keluarkan Ilmu Seribu Siluman
Mengamuk!"
Pendekar 212 yang memang sudah diberi tahu
kehebatan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk itu
segera lesatkan benang sutera biru di
tangannya. Laksana seekor ular, benang itu
meluncur ke arah Dewi Siluman, tapi anehnya
satu tombak dari hadapan sang Dewi, benang
itu tak mau lagi meluncur, melainkan
membelok-belok kian ke mari menjauhi
sasarannya.
"Sialan!" maki Pendekar 212. Gulungan
benang di tangannya dilemparkan ke kolam.
Sementara itu dari ubun-ubun Dewi Siluman
Wiro melihat asap hitam mengempul
bergulungscan gulung. Waktu dia memandang
berkeliling, tak seorang gadis baju biru pun
dilihatnya. Pasti mereka telah sembunyikan
diri karena takut akan ilmu sang Dewi.
Sepasang mata Pendekar 212 tidak berkesip
dan memandang ke arah Dewi Siluman penuh
waspada. Kepulan asap semakin tebal.
Seluruh tubuh Wiro Sableng sudah tergetar
oleh aliran tenaga dalam kedua kaki
merenggang. Hatinya tegang sekali menunggu
detik demi detik.
Tiba-tiba dari mulut Dewi Siluman terdengar
suara seperti orang menangis. Dan suara
seperti tangisan ini kemudian berganti dengan
lengking-lengking jeritan yang merobek langit
mengerikan. Kepulan asap sudah menebar di
mana-mana. Dewi Siluman ganti suara
lengkingannya dengan teriakan macam
lolongan serigala lapar. Anehnya, gumpalan-
gumpalan asap kini kelihatan memecah cepat
dalam ratusan gumpalan kecil yang kemudian
mengembang tambah besar… tambah besar.
Ketika Wiro memperhatikan gumpalan-
gumpalan asap hitam ini terkejutlah dia.
Setiap gumpalan telah berubah menjadi
sosok-sosok tubuh makluk-makhluk yang
mengerikan. Tubuhnya
hanya sebatas dada ke atas dan lima kali
tubuh manusia besarnya. Makhluk-makhluk
aneh ini bermuka sangat mengerikan,
rambutnya awut-awutan, mata merah besar,
lidah menjulur lebar keluar sedang taring dan
gigi-giginya menjorok besar-besar.
Dewi Siluman menjerit.
Ratusan makhluk jadi-jadian itu balas
menjerit dan masing-masing angkat tangan
mereka.
Ternyata masing-masing mempunyai enam
pasang tangan. Dan setiap tangan berkuku
hitam.
"Bunuh manusia itu!" teriak Dewi Siluman.
Matanya masih meram, tangan masih
mendekap dada dan tubuhnya masih berlutut
di rumput.
Ratusan makhluk siluman menjerit dahsyat
dan menyerbu berserabutan ke arah Pendekar
212 Wiro Sableng. Tak ayal lagi-Pendekar 212
segera cabut Kapak Naga Geni 212. Dari
mulutnya keluar bentakan keras dan sekali
kapak diputar terus melanda ke arah
makhluk-makhluk siluman yang datang
menyerbu. Belasan makhluk yang tersambar
Kapak Naga Geni 212 menjerit, darah muncrat
dari tubuh masing-masing. Tapi anehnya
makhluk-makhluk ini tidak musnah malah
dari setiap tetes muncratan darah berubah
menjadi makhluk siluman baru sehingga
dalam sekejap saja jumlahnya telah
bertambah ratusan bahkan mungkin sudah
ribuan kini.
Sewaktu makhluk-makhluk itu dengan
ganasnya menyerang kembali Wiro Sableng
tak berani menghantam dengan Kapak Naga
Geni. Tubuhnya berkelebat dan lenyap. Untuk
beberapa lamanya dengan gesit dia berhasil
mengelakkah setiap serangan yang
dilancarkan oleh ratusan makhluk siluman itu.
Dari samping, dari atas dan dari bawah tiada
kunjung hentinya datang serangan. Sampai
berapa lamakah Pendekar 212 sanggup
pertahankan diri? Sementara itu dalam
keadaan yang mulai terjepit itu Wiro masih
juga belum berhasil memecahkan rahasia
kelemahan ilmu seribu siluman mengamuk
yang tersembunyi di balik dua rangka kalimat:
Ilmu Seribu Siluman mengamuk teramat sakti.
Hanya suara yang sanggup mengalahkannya!
Telinga Pendekar 212 mulai sakit oleh
kedahsyatan luar biasa jeritan-jeritan ratusan
makhluk siluman yang datang menyerangnya.
Meski dia sudah tutup indera pendengarannya
tetap saja suara jerit lengking yang
mengerikan itu masuk menerobos liang-liang
telinga dan pada jurus pertempuran kedua
belas kedua telinga Pendekar 212 mulai
keluarkan darah.
"Mampuslah aku!" keluh Wiro dalam hati.
Baru saja dia mengeluh demikian, satu
sambaran tangan lawan tak bisa
dielakkannya.
"Breet!"
Robeklah pakaian Wiro Sableng. Dadanya
tergurat luka disambar kuku dari makhluk
siluman dan tubuhnya dengan serta merta
menjadi panas. Wiro cepat telan sebutir pil
lalu melompat enam tombak dan tekan
gagang Kapak Naga Geni 212 di bagian leher
kepala naga-nagaan. Ratusan jarum hitam
menderu ke arah makhluk-makhluk siluman.
Tapi laksana seseorang menepuk air hujan,
makhluk-makhluk itu sekali kebutkan enam
pasang tangan maka mentallah semua
senjata rahasia yang dilepaskan Wiro.
Pendekar 212 sambil melayang turun kirimkan
pukulan Benteng Topan melanda Samudera
sedang kapak diputar dengan gerakan Orang
Gila Mengebut Lalat! Dua gelombang angin
yang dahsyat luar biasa melanda tubuh
makhluk-makhluk siluman. Tapi tak ada
gunanya serangan itu karena makhluk-
makhluk ini seperti tiada merasakan apa-apa
malah dengan cepat menyerbu tambah dekat.
Sewaktu Wiro dalam keadaan yang sudah
kepepet lepaskan pukulan sinar matahari
dengan tangan kiri, makhluk-makhluk siluman
itu meniup ke muka dan menjerit-jerit lebih
dahsyat.
Pukulan sinar matahari membalik menyerang
Pendekar 212 sendiri. Wiro menjerit keras.
Untuk melompat kembali ke atas tidak
mungkin. Terpaksa dia buang diri ke samping
dan bertabrakan dengan salah satu makhluk
siluman. Untung saja Wiro masih sanggup
jatuhkan diri dan berguling di tanah, kalau
tidak pasti tubuhnya akan dihantam empat
pasang tangan makhluk siluman. Ketika dia
berdiri kembali, empat makhluk siluman
menerjang ke arahnya. Tak ada jalan lain
daripada hantamkan Kapak Naga Geni 212 ke
muka. Empat makhluk meraung keras dan
mandi darah. Muncratkan darah hanya
menambah banyaknya jumlah makhluk
siluman itu saja. Sedang empat makhluk yang
tadi disambar kapak kembali menyerbu
dengan lebih buas. Pendekar 212 bersiul
nyaring lalu lancarkan satu tendangan pada
makhluk yang terdekat. Makhluk ini mental
tiga tombak yang lainnya, disusul puluhan
kawan-kawannya berhamburan ke muka. Di
saaat itu Wiro Sableng terkurung di tepi
kolam. Darah dari kedua liang telinganya
telah membasahi pipi.
Pakaiannya robek-robek sedang kulit
tubuhnya berselomotan darah bekas cakaran
makhluk makhluk siluman.
Satu-satunya tempat untuk selamatkan diri
ialah patung perempuan telanjang yang
terdapat di tengah kolam. Tanpa menunggu
lebih lama Wiro melompat ke atas kepala
patung itu. Ketika puluhan makhluk siluman
melayang ke arahnya maka Pendekar 212
segera keluarkan batu api dari balik pakaian.
Begitu makhluk-makhluk itu. menyerbu, Wiro
adu batu api dengan mata kapak. Satu
gelombang angin menggebu ke arah makhluk-
makhluk siluman. Gerakan puluhan siluman
itu terhenti sejenak. Api menyambar tubuh
mereka tapi sedikitpun tak membawa akibat
apa-apa, malah bersama puluhan kawan-
kawannya makhluk-makhluk yang kena
disambar api ini cepat teruskan serbuan
mereka.
Wiro Sableng lompat dari atas patung,
melesat ke bagian lain dari kolam. Boleh
dikatakan seluruh taman telah dipenuhi oleh
makhluk-makhluk siluman. Sebentar saja Wiro
berdiri di tepi kolam itu maka puluhan
makhluk kembali menyerbunya, memaksa dia
berkelebat cepat kian kemari untuk hindarkan
diri "Tamatlah riwayatku!" keluh Wiro Sableng
sewaktu satu tangan makhluk siluman
menghantam punggungnya dengan keras,
membuat dia berguling di rumput dan bangun
dengan megap-megap, bergerak lagi dengan
cepat untuk hindarkan serangan makhluk-
makhluk siluman yang kembali datang
menyerbu.
Pendekar 212 merasa tiada perlu lagi dia
memegang Kapak Naga Geni 212 karena tidak
bisa digunakan. Segera dia selipkan batu
hitam ke balik pakaian dan hendak simpan
Kapak Naga Geni 212. Tapi dia ingat bahwa
masih ada satu kehebatan Kapak itu yang
belum dikeluarkannya. Dengan hati meragu
apakah kehebatan terakhir ini akan sanggup
selamatkan dirinya Pendekar 212 balikkan
senjata itu dan tempelkan mulut kepala naga-
nagaan ke bibirnya. Maka terdengarlah suara
tiupan seruling. Mula-mula perlahan,
kemudian melengking keras, tinggi dan tajam,
bergema ke setiap penjuru.
Ratusan makhluk siluman tampak tertegun.
Suara jeritan-jeritan mereka mulai pelahan
dan semakin tinggi nyaring suara seruling,
jeritan-jeritan makhluk itu semakin berkurang
dan akhirnya lenyap sama sekali. Wiro
kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Tiupan
seruling laksana deru ribuan tawon. Makhluk-
makhluk siluman kelihatan bingung dan
mundur, lalu menjerit dan berteriak-teriak
aneh. Sekelompok demi sekelompok tubuh
mereka kembali menjadi kepulan asap hitam
untuk kemudian sirna tiada bekas.
Ketika keseluruhan makhluk siluman itu
lenyap menjadi asap dan asap lenyap pula
dari pemandangan maka kelihatan Dewi
Siluman di tengah taman. Mukanya pucat
pasi, dari telinga, hidung, mata serta mulut
keluar darah kental. Sekujur badannya
tergetar hebat.
Sewaktu Pendekar 212 tiup suling Kapak Naga
Geni. Dewi Siluman tersentak kaget.
Bagaimanapun dia kerahkan tenaga dalam
dan tutup pendengarannya namun suara
seruling tak berhasil ditolaknya, terus
menyeruak ke dalam liang telinga,
mengacaukan jalan pikirannya serta
menyentak-nyentak pembuluh darah,
membuat aliran darahnya tidak teratur lagi.
Dewi Siluman coba bertahan dengan sekuat
tenaga dan kesaktian yang dimilikinya, tapi
kini dia telah ketemu batunya. Tiupan seruling
Pendekar 212 yang sangat dahsyat telah
membongkar kelemahan ilmu siluman yang
dimilikinya. Bukan saja ilmu siluman itu
musnah berantakan tapi juga tiupan seruling
terus membungkus dirinya tiada sanggup
ditolak lagi.
Sambil terus tiup senjatanya Wiro Sableng
memaki dalam hati. Sungguh tolol sekali dia.
Kiai Bangkalan telah menuliskan dua kalimat
yang bisa membongkar rahasia kehebatan
ilmu Dewi Siluman tapi dia tak berhasil
memecahkannya. Masih untung dalam
keadaan sangat terjepit dia tiup senjata itu,
padahal itu pun tadi dilakukannya dengan
hati bimbang karena khawatir akan sia-sia.
Tubuh Dewi Siluman makin lemah. Darah
keluar semakin banyak. Kini di bawah tiupan
seruling itu tampak tubuhnya terhuyung kian
kemari dan kira-kira setengah peminuman teh
kemudian tubuh itu tak sanggup lagi
bertahan. Dewi Siluman meraung. Raungan
yang keluar disertai muntahan darah berbuku-
buku. Tubuhnya rebah menelungkup ke tanah,
masih bergerak gerak beberapa ketika
kemudian diam untuk selama-lamanya.
Pendekar 212 masukkan Kapak Maut Naga
Geni ke balik pakaiannya lalu bersila dan
meramkan mata. Luka di bagian luar serta
dalam tubuhnya cukup parah. Sepeminuman
teh baru Pendekar ini buka kedua matanya
lalu telan sebutir pil dan berdiri. Gadis-gadis
berbaju biru dilihatnya bermunculan kembali
di sudut-sudut taman.
Wiro melangkah ke tempat di mana Inani
duduk tersandar. Dia sudah sadar dari
pingsannya dan memandang kepada pemuda
itu sewaktu Wiro me langkah ke hadapannya.
Wiro tersenyum dan berlutut di hadapan gadis
ini. Inani membalas senyumnya. Matanya
yang tadi sayu kini kelihatan bersinar.
"Kau hebat Wiro…."
"Aku manusia tolol geblek!" sahut Wiro
Sableng.
"Sudah hampir mau kojor baru bisa pecahkan
rahasia yang diberikan Kiai Bangkalan. Itu
pun secara tak sengaja!"
Inani tersenyum.
Wiro memegang tangan gadis ini. "Kau tak apa?" Gadis itu menggeleng. "Terima kasih atas pertolonganmu", bisik Wiro. Dia memandang berkeliling lalu kembali berpaling pada gadis itu dan berkata. "Sudah saatnya kita meninggalkan tempat ini, Inani!" Inani mengangguk. Dibantu oleh Wiro gadis ini berdiri. Mereka saling pandang sejenak, sama-sama mengulas senyum dan mulai melangkah ke arah langkan istana Dewi Siluman di mana kawan-kawan Inani menunggu. Di langit sang surya bersinar cerah. Satu kejahatan telah musnah tapi Pendekar 212 WiroSableng tahu bahwa masih banyak lagi manusia-manusia jahat yang musti ditumpas.
TAMAT
Terimakasih yg sebesar nya,kepada bung,yg telah menyjikan ulang kisah cerita ini. Terus terang,cerita ini sudah menawan waktu ku.. Salam kenal..
BalasHapusMantap,,,, saya lanjut lagi ke cerita berikutnya.....
BalasHapusSemoga realese wiro sableng tahun ini sukses
Mantap,,,, saya lanjut lagi ke cerita berikutnya.....
BalasHapusSemoga realese wiro sableng tahun ini sukses
Terima kasih. Kembali bisa membaca serial wiro sableng sungguh mengobati kerinduan akan tokoh silat unik ini. Semoga semakin sukses...!!
BalasHapusTeima kasih, bung... Blog ini memberikan hiburan luar biasa, sekaligus kenangan mengulang kembali membaca kisah penulis legen Alm. BASTIAN TITO, terima ksih, saluuut
BalasHapusSerasa masuk dalam cerita. Ingat era delapanpuluhan.
BalasHapusBuseeet....baru mau kojor aku baru tau kelemahannya..!!😆😆😆👍👍👍 Luarr biasa!!
BalasHapusdasar siluman tito
BalasHapus