dendam orang-orang sakti




Wiro Sableng
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya : Bastian Tito
Episode : DENDAM ORANG-ORANG SAKTI



LUKA besar di bekas kutungan tangan
kanannya itu membuat tenaganya semakin
lama semakin mengendur. Kalau tadi dengan
segala tenaga yang ada macam manusia
dikejar setan dia melarikan diri dari
pekuburan Djatiwalu itu, maka kini jangankan
lari, berjalan melangkahpun dia sudah tidak
sanggup. Tubuhnya terhuyung-huyung.
Nafasnya megapmegap seperti mau sekarat!
Saat itu dia berada di tepi sebuah jurang.
Dalam larinya tadi dia tak memperhatikan lagi
ke mana tujuannya sehingga di mana dia
berada saat itu adalah satu tempat yang
jarang didatangi manuisia. Sunyi senyap
mencengkam menegakkan bulu roma.
Matanya yang berkunang-kunang,
pemandangannya yang semakin mengelam
dan daya tenaga yang sudah habis sampai ke
batasnya membuat tubuhnya tak ampun lagi
jatuh terperosok ke dalam jurang ketika salah
satu kakinya terserandung di bebatuan yang
menonjol di tepi jurang.
Masih untun jurang itu bukanlah jurang batu,
tapi jurang yang penuh ditumbuhi semak
belukar. Tubuhnya menggelinding ke bawah
membentur semak belukar mengait ranting-
ranting pepohonan rendah. Sakit tubuhnya
bukan main, apalagi bekas luka kutungan di
tangan kanannya. Ketika dia terhampar di
dasar jurang, dia tiada sadarkan diri lagi!
Bila dia sadarkan diri maka saat itu matahari
sudah hamper tenggelam. Keadaan di dasar
jurang sunyi itu gelap dan dingin karena
pantulan sinar matahari yang terakhir tidak
sampai menyaputi dasar jurang di mana dia
berada. Dia berpikir-pikir di mana dia terbujur
saat itu. Kemudian denyutan rasa sakit yang
amat sangat pada bahu kanannya yang
bunting dan masih melelehkan darah itu,
membuat dia ingat segala sesuatunya apa
yang telah terjadi.
Dia – Kalingundil – beberapa jam yang lalu
telah bertempur melawan seorang pemuda
sakti bernama Wiro Sableng. Dalam
pertempuran itu bukan saja dia terpaksa
melarikan diri tapi juga terpaksa kehilangan
tangan kanannya karena telah dibetot
puntung oleh lawannya!
Dan mengingat ini, diantara rasa sakit yang
tiada terkirakan, memerih pula rasa dendam
kesumat yang amat sangat. Walau
bagaimanapun dia musti dapat meneruskan
hidupnya, meski cuma bertangan sebelah.
Meski bagaimanapun dia harus dapat
membalaskan dendam kesumat akibat
perbuatan pemuda Wiro Sableng yang telah
membuat dia cacat seumur hidup itu.
Ketika kedua matanya melihat bintang-
bintang yang bermunculan di langit di
atasnya barulah disadarinya bahwa hari
sudah menjadi malam. Kalingundil tahu
bahwa semalammalaman itu dia tak akan
bisa terus terbujur di situ. Dipalingkannya
kepalanya ke kanan. Hanya semak belukar
dan pohon-pohon berdaun lebar yang
dilihatnya dalam kegelapan. Kemudian
dipalingkannya pula kepalanya ke samping
kiri. Mula-mula juga hanya kegelapan yang
dilihat lelaki itu. Namun samar-samar
kemudian diantara semak belukar dalam
kegelapan itu matanya masih dapat melihat
satu legukan batu di dasar jurang. Jaraknya
dengan tempat dia terbujur saat itu kira-kira
sepuluh tombak. Dari pada terbujur di tempat
terbuka begitu, Kalingundil berpikir lebih baik
pindah tempat ke cegukan batu itu.
Tapi dengan keadaan dan kekuatan badan
seperti itu tidak mudah bagi Kalingundil untuk
berpindah tempat. Jangankan untuk berdiri,
merangkakpun tidak bisa. Jangankan utnuk
beringsut, bergerak sedikitpun sekujur
tubuhnya terasa sakit bukan main, tulang-
tulang anggotanya serasa bertanggalan!
Namun dengan keyakinan penuh untuk bisa
menyelamatkan diri, dengan mengumpulkan
segala sisa tenaga yang masih ada, seingsut
demi seingsut akhirnya berhasil juga
Kalingundil mencapai legukan batu itu.
Ternyata legukan ini adalah mulut sebuah
goa. Dan pada saat itu dia berhasil mencapai
mulut goa itu, untuk kedua kalinya Kalingundil
jatuh pingsan kembali.
Kalingundil sadarkan diri pada keesokan
paginya. Beberapa jam sesudah matahari
terbit. Anehnya tubuhnya terasa lebih
mendingan dibandingkan dengan keadaan
hari kemarin. Kalingundil tak habis pikir,
kenapa hal ini bisa terjadi. Bahkan ketika dia
coba menggerakkan badan dirasakannya
kekuatannya yang malam tadi sudah habis
sampai ke batas terakhir kini mulai berangsur
kembali. Dia duduk bersandar ke dinding goa.
Pada saat itulah dirasakannya bahwa dari
dalam goa keluar semacam hawa yang
lembab ngilu-ngilu kuku. Hawa inilah
agaknya yang telah mempengaruhi keadaan
diri Kalingundil yang telah memberikan
kepulihan kekuatan kepadanya.
Kemudian sewaktu dia memandang meneliti
ke dinding goa di sekelilingnya, samarsamar,
tertutup oleh debu yang menebal, tergugus
oleh ketuaan zaman, Kalingundil melihat
banyak sekali tulisan-tulisan. Tulisan-tulisan
ini kacau balau tak teratur, tapi bila dibaca
dan disambung satu persatu, akan merupakan
rentetan kalimat yang memberi pengertian
pelajaran ilmu silat! Semakin lebar
Kalingundil membuka kedua matanya. Apa
yang dibaca olehnya itu memang sulit
dimengerti mula-mula, ini lain tidak karena
tulisan itu menerangkan tentang pelajaran
silat yang memang mempunyai dasar-dasar
aneh serta tak diketahui dari cabang aliran
mana. Semakin naik matahari, semakin
baikan terasa oleh Kalingundil keadaan
badannya.
Dengan mebungkuk-bungkuk dan tertatih-
tatih, setelah habis dibacanya sekalian apa
yang tertulis dibagian goa sebelah luar itu
maka Kalingundil memasuki goa lebih jauh.
Semakin ke dalam semakin terasa hawa
lembab yang hangat-hangat ngilu-ngilu kuku
tadi. Menghirup udara itu Kalingundil
merasakan tubuhnya segar, dadanya lega. Dan
semakin ke dalam semakin banyak banyak
dilihat Kalingundil tulisan-tulisan. Apa yang
tertulis kini adalah mengenai pelajaran ilmu
pedang yang aneh dan tak pernah didengar
oleh Kalingundil sebelumnya. Tapi sayang
sebagian besar tulisan-tulisan yang bersifat
pelajaran itu sudah tidak kelihatan atau kabur
tak dapat dibaca lagi.
Hawa hangat ngilu-ngilu kuku semakin santar
terasa. Kalingundil terus juga masuk ke
dalam goa itu sampai akhirnya langkahnya
terhenti pada satu pemandangan yang hampir
tak dapat dipercayainya.
Goa itu berakhir pada sebuah telaga kecil.
Telaga ini lebih tepat disebut kolam karena
tepinya dikelilingi oleh batu-batu. Air telaga
berwarna biru gelap dan mengepulkan asap
kebiruan. Asap inilah yang berhawa hangat
ngilu-ngilu kuku dam mempunyai kekuatan
ajaib yang menyegarkan tubuh Kalingundil! Di
tengah kolam itu terdapat sebuah batu licin
yang juga berwarna biru dan diatas batu ini
terletak sebuah pedang yang telah buntung,
yang panjangnya cuma dua jengkal. Seperti
air kolam dan batu licin, senjata ini juga
berwarna dan memancarkan sinar biru.
Mengapa pedang itu tinggal buntung
sedemikian rupa, kemana bagian yang lancip
lainnya? Dan mengapa sampai benda itu
berada di situ?
Berdiri beberapa lama di tepi kolam itu
Kalingundil merasakan badannya semakin
segar. Sedang ketika diteliti luka di bahu
kanannya yang buntung itu, luka itupun
kelihatannya lebih sembuhan dari saat-saat
sebelumnya.
"Air kolam ini mengandung khasiat yang
hebat..," pikir Kalingundil. Dia membungkuk
untuk menyiduknya dan sekaligus untuk
melihat lebih dekat pedang buntung yang di
atas batu. Namun setengah membungkuk,
gerakannya terhenti. Di dinding goa di sebelah
belakang kolam, di balik kepulan asap samar-
samar terlihat barisan huruf-huruf yang sudah
agak sukar untuk dibaca tapi masih dapat
dikira-kirakan oleh Kalingundil.
Di situ tertulis: GOA INI "GOA SILUMAN BIRU"
KOLAM INI "KOLAM SILUMAN BIRU,"
PEDANG DI ATAS BATU "PEDANG SILUMAN
BIRU,"
CUMA SAYANG KINI HANYA TINGGAL HULU
DAN BUNTUNG,
SIAPA BISA MENDAPATKAN UJUNG PEDANG
YANG HILANG DAN MENYAMBUNGNYA,
SIAPA YANG MEMPELAJARI ILMU PEDANG
DALAM GOA INI, AKAN MENJADI "RAJA
PEDANG" SEUMUR HIDUPNYA. Membaca
rangkaian kalimat itu, Kalingundil kemudian
memandang berkeliling. Apaapa yang telah
dibacanya tadi sejak dari mulut goa sampai ke
tepi kolam yaitu tulisan-tulisan di dinding goa
semuanya memang merupakan suatu ilmu
silat dan ilmu pedang yang aneh. Segala
sesuatu yang ditemuinya di dalam goa itu
memberikan kenyataan kepada Kalingundil
bahwa dulunya goa itu adalah tempat
kediaman seorang sakti yang bersenjatakan
pedang bernama "Pedang Siluman Biru" itu.
Tapi kenapa pedang itu kini hanya tinggal
begitu rupa, dan ke mana buntungnya yang
lain?
Untuk keda kalinya Kalingundil membungkuk.
Dengan tangan kirinya dijangkaunya pedang
Siluman Biru. Pada detik jari-jari tangannya
memegang hulu senjata itu maka aneh sekali
mengalirlah suatu aliran yang membuat
kekuatan Kalingundil dan keadaan tubuhnya
benar-benar pulih seperti sediakala! Bahkan
bukan itu saja, kini tubuhnya juga terasa lebih
enteng. Dan ketika dicobanya menyiduk air
kolam, lebih banyak kekuatan-kekuatan dan
keanehan-keanehan baru yang dialaminya!
Kalingundil gembira sekali.
Tanpa menunggu lebih lama dia berlutut di
tepi kolam dan berkata: "Pemilik Goa Siluman
Biru, dimanapun kau berada, siapapun kau
adanya, aku Kalingundil mengucapkan terima
kasih karena apa yang ada dalam goamu ini
telah menyembuhkan aku dari sakit dan luka
yang aku alami. Hari ini aku – Kalingundil –
mengharapkan segala kerelaanmu untuk sudi
mengangkat kau sebagai guru. Apa-apa yang
tertulis di goamu ini akan kupelajari dengan
tekun…"
Demikianlah mulai hari itu dengan seorang
diri dia menekuni setiap apa yang tertulis di
dinding goa. Ilmu silat dan ilmu pedang yang
coba dipelajarinya seorang diri itu yang
hilang dan tak terbaca sehingga dari
keseluruhan Ilmu Pedang Siluman yang
dipelajari Kalingundil, hanya sepertiganya
saja yang berhasil didapat dan difahami oleh
Kalingundil. Namun demikian itupun sudah
luar biasa sekali. Sehingga empat bulan
kemudian ketika dia keluar dari Goa Siluman
itu, maka Kalingundil yang kini sudah berobah
seratus delapan puluh derajat dalam ilmu
persilatan! Dan ini menambah keyakinan
Kalingundil bahwa dia akan berhasil
menuntutkan sakit hatinya terhadap pendekar
212, Wiro Sableng! –== 0O0 == —
MENCARI seorang musuh di daratan pulau
Jawa yang luas bukan suatu pekerjaan
mudah. Ratusan kilometer harus dijalani,
puluhan bukit harus didaki dan dituruni,
belasan sungai musti diarungi, diseberangi
belasan rimba belantara harus dimasuki dan
diantara semua itu puluhan halangan harus
dihadapi. Halangan atau bahaya yang
ditimbulkan alam sendiri serta yang
ditimbulkan oleh manusia-manusia yang
hidup dalam itu, terutama sekali dalam rimba
dunia persilatan! Mungkin berbulan-bulan,
mungkin pula bertahun-tahun baru musuh
besar itu berhasil dicari. Tapi sebaliknya
mungkin pula itu tak pernah berhasil, mungkin
si pencari musuh besar itu akan tertimpa
bahaya lebih dahulu dalam perjalanan dan
meregang nyawa sebelum dendam kesumat
terbalaskan.
Kalingundil tahu semua itu. Tapi dia tidak
khawatir. Dengan ilmu baru yang kini
dimilikinya, meski tidak sempurna, dia yakin
akan sanggup untuk menghadapi segala
sesuatu dalam perjalanannya mencari Wiro
Sableng pendekar 212, musuh besar yang
telah membuat tangannya buntung, yang
telah membuat dia cacat seumur hidup!
Disamping itu Kalingundil memang sudah
punya rencana tersendiri untuk menjelaskan
persoalan dendamnya dengan pendekar 212.
Dia yakin akan dapat menemui pemuda sakti
itu dan dia yakin pula bahwa rencana
besarnya untuk menuntut balas akan berhasil!
Pertama sekali ditemuinya Mahesa Birawa
atau Suranyali di Pajajaran karena terakhir
sekali diketahuinya bekas pemimpin dan guru
silatnya itu tengah berada di kerajaan itu.
Namun sampai di sana Kalingundil kecewa
besar. Bahkan juga dendam yang ada di
dalam hatinya jadi tiada terkirakan bahwa
Mahesa Birawa telah menemui ajalnya, mati
ditangan Wiro Sableng, sewaktu terjadi
pemberontakan besar-besaran tempo hari.
Dengan segala dendam kesumat yang
semakin dalam berurat berakarnya itu
Kalingundil meninggalkan Pajajaran.
Diseberanginya sungai Kendang,
diteruskannya perjalanan ke bukit Siharuharu
yang terletak tak berapa jauh dari kaki
gunung.
Pada masa itu di puncak bukit Siharuharu
terdapat sebuah perguruan silat yang
bernama Perguruan Teratai Putih. Perguruan
ini baru tiga tahun berdiri tapi sudah
mendapat nama tenar di di sapanjang daerah
perbatasan Jawa barat dan Jawa Timur.
Bukan saja karena Perguruan Teratai Putih ini
didirikan untuk menolong kaum yang lemah
dan menghancurkan golongan hitam penimbul
segala kebejatan dan malapetaka serta
kemaksiatan tapi juga adalah karena
perguruan silat ini dipimpin oleh seorang
tokoh yang sejak sepuluh tahun belakangan
ini mendapat nama tenar dalam dunia
persilatan. Tokoh ini ialah Wirasokananta,
seorang tokoh silat yang berumur lebih dari
setengah abad.
Pada saat itu Wirasokananta berada di
puncak Gunung Galunggung tengah bertapa
memperdalam ilmu bathin dan dan
mempersuci diri dari segala kekhilafan-
kekhilafan dan dosa-dosa yang pernah
dibuatnya selama hidupnya. Pimpinan
perguruan diserahkannya pada murid tertua,
terpandai dan yang paling dipercayainya yaitu
Gagak Kumara.
Perguruan Teratai Putih saat itu kelihatan
diselimuti suasana ketenangan. Di dalam
rumah besar murid-murid perguruan yang
berjumlah delapan orang, enam laki-laki dan
dua perempuan duduk bersila dengan khidmat
mendengarkan apa uyang tengah dibacakan
oleh Gagak Kumara yaitu sebuah kitab yang
ditulis oleh guru mereka, mengenai sastra
hidup, kerohanian, kebathinan dan keduniaan.
Suara Gagak Kumara terang dan jelas, sedap
didengarnya sehinga setiap nasihat dan
pelajaran yang dibacakannya dapat segera
dimengerti oleh saudara-saudara
seperguruannya yang tujuh orang itu.
"Dalam hidup ini…," membaca Gagak Kumara,
"setiap manusia akan dan musti melalui tiga
tahap kehidupan. Pertama saat atau dimana
dia dilahirkan dari rahim ibunya ke atas dunia
ini. Kedua tahap selama umur kehidupannya
di dunia dan ketiga tahap dia meninggalkan
dunia ini, kembali pada asalnya atau mati….".
Samapi di situ pembacaan Gagak Kumara
maka di luar rumah besar terdengar suara
tertawa bergelak yang disusul dengan ucapan:
"Tepat… tepat… sekali! Lahir, hidup dan mati!
Dibrojotkan ke duni malang melintang di
dunia ini, dan akhirnya mampus! Ha… ha…
ha….".
Tentu saja suara yang lantang
mengumandang berisi tenaga dalam yang
tinggi dan yang bernada menghina ini
mengejutkan semua anak murid Perguruan
Teratai Putih, termasuk Gagak Kumara sendiri!
Semuanya sama memalingkan kepala ke pintu
pada saat mana seorang laki-laki berpakaian
lusuh, kotor, bermuka angker dan tangna
kanannya buntung berdiri diambang pintu.
"Sasudara, kau siapa…?" Tanya Gagak Kumara
sesudah meneliti sebentar diri tamu tak
dikenal itu. Dia tetap duduk tenang di
tempatnya dengan kitab masih terus di atas
pangkuannya.
"Tak perlu tanya dulu!," menyahuti laki-laki
diambang pintu seraya menyeringai buruk.
"Bicaraku belum habis…!"
Beberapa orang diantara murid-murid
Perguruan Teratai Putih kelihatan menjadi
penasaran dan menggeser duduk mereka.
Namun dengan membrei isyarat diam-diam
Gagak Kumara memberi kisikan agar jangan
bertindak dulu.
Dan orang yang diambang pintu meneruskan
ucapannya. Terlebih dahulu dengan jari
telunjuk tangan kirinya ditunjukkannya kitab
yang ada dipangkuan Gagak Kumara. "Apa
yang tertulis di sana, apa yang kau baca tadi
betul sekali! Lahir, hidup, mati! Tapi apa
kalian di sini tahu bahwa segala apa yang
tertulis dan apa yang dibaca tadi itu hari ini
akan kalian alami sendiri…?"
"Apa maksudmu saudara?," tanya Gagak
Kumara. Masih tetap dengan tenang dan tidak
beringasan.
Si tangan buntung tertawa mengekeh.
"Percuma saja kalau kalian memiliki kitab itu,
percuma saja kalian memilikinya kalau kalian
tidak tahu apa mkasud kata-kataku! Kalian
sudah dilahirkan, kalian sudah pernah hidup
malang melintang di dunia ini, tapi kalian
masih belum pernah merasakan kematian,
belum pernah mencoba mampus! Nah… hari
ini, untuk membuktikan kebenaran isi kitab
butut itu, aku –Kalingundil – akan bersedia
menolong kalian untuk mengetahui
bagaimana rasanya mampus itu! Ha… ha…
ha…!"
Maka kini berdirilah Gagak Kumara dari
duduknya. Kitab yang dipangkuannya dilipat
dan diserahkan pada salah seorang saudara
seperguruannya.
"Saudara," kata Gagak Kumara pula. "Di
dunia ini memang banyak orang-orang yang
berotak miring. Aku khawatir kau adalah salah
seorang dari mereka dan kesasar datang ke
sini!"
Kekehan Kalingundil terhenti. Mukanya
membesi. Rahang-rahangnya bergemeletuk.
Tangan kirinya bergerak ke pinggang dan
sekejapan mata kemudian tangan itu telah
memegang sebilah pedang buntung yang
memancarkan sinar biru. Pedang Siluman
Biru!
Sekali lihat saja, meski senjata itu buntung,
namun murid-murid Perguruan Teratai Putih
sama memaklumi bahwa pedang yang
ditangan manusia tak dikenal dan mengaku
bernama Kalingundil itu adalah sejenis
senjata sakti, sekalipun puntung tapi tetap
berbahaya!
Tiba-tiba Kalingundil berteriak nyaring.
Tubuhnya melompat ke muka, pedang
buntung bergerak, sinar biru membabat ke
samping dan kini tidak sungkan-sungkan lagi
melepaskan pukulan tangan kosong yang
mengandung tenaga dalam yang tinggi.
Namun betapa terkejutnya Gagak Kumara
ketika sambaran pedang buntung di tangan
lawannya membuat angin pukulan tenaga
dalamnya terpental ke samping!
"Saudara-saudara!," seru salah seorang anak
murid Perguruan Teratai Putih. "Manusia
kesasar macam begini tak perlu dihadapi satu
demi satu. Mari kita tumpas beramai-ramai!"
"Semuanya tetap ditempat!," teriak Gagak
Kumara. "Walau bagaimanapun kita harus
jaga naman Perguruan dan jangan
mencemarkan nama guru! Pegang teguh sifat
ksatria dunia per…". Kata-kata Gagak Kumara
tak dapat diteruskan karena saat itu
Kalingundil kembali datang menyerang dalam
satu jurus yang aneh. Bagaimanapun Gagak
Kumara yang sudah berilmu tinggi ini
mengelak namun tetap saja ujung yang
buntung dari pedang biru di tangan lawan
berhasil membabat pakaiannya dan
menggores kulit dadanya! Pada detik goresan
itu maka Gagak Kumara merasakan badannya
menjadi panas.
Kalingundil terkekeh.
"Pedang buntung ini Pedang Siluman Biru…
mengandung racun yang jahat. Dalam tiga
jam nyawamu akan melayang! Ha… ha…
ha…!".
Terkejutlah Gagak Kumara. Demikian juga
saudara-saudara seperguruannya yang lain.
Gagak Kumara cabut sebilah keris dari
pingganngnya. Saudara-saudara
seperguruannya yang lainpun segera cabut
keris pula dan kali ini Gagak Kumara tidak
berkata apa-apa lagi. Maka delapan anak
murid Perguruan Teratai Putih dengan sebilah
keris di tangan masingmasing mengurung
Kalingundil yang bersenjatakan sebilah
pedang buntung sakti itu!
Kalingundil hanya tertawa buruk melihat hal
ini.
"Sebaiknya kalian bunuh diri saja dari pada
mampus di ujung patahan Pedang Siluman-ku
ini!"
"Pedang Siluman…," desis anak-anak murid
Perguruan Teratai Putih dalam hati. Mereka
pernah mendengar tentang kehebatan pedang
ini dari guru mereka. Tapi dikabarkan sejak
beberapa tahun yang silam pedang itu lenyap
dan kini muncul dalam keadaan buntung, tapi
benar-benar tidak mempengaruhi
kehebatannya! Namun apapun senjata yang di
tangan lawan saat itu anak-anak murid
Wirasokananta tidak mempunyai rasa gentar
atau kecut sedikitpun!
Kedelapannya menyerbu ke muka. Delapan
keris berkiblat kearah delapan bagian dari
tubuh Kalingundil! Yang diserang menyeringai
lalu membentak keras. Tubuhnya berkelebat,
sinar biru dari pedangnya menderu seputar
badan! Tiga jeritan terdengar hampir
bersamaan dan tiga saudara seperguruan
Gagak Kumara roboh mandi darah, nyawanya
putus di situ juga!
Gagak Kumara kertakkan geraham. Darahnya
mendidih oleh amarah. Namun goresan luka
telah membuat tubuhnya menjadi kehilangan
tenaga. Dikerahkannya seluruh tenaga dalam
yang ada di tubuhnya. Dan mengamuklah
gagak Kumara dengan segala kehebatannya.
Namun permainan pedang lawan benar-benar
hebat, sulit dan sukar diduga jurus-jurusnya.
Satu jurus dimuka, dua orang saudara
seperguruannya lagi roboh tanpa nyawa.
Melihat ini Gagak Kumara segera berseru
pada dua orang saudara seperguruannya yang
perempuan.
"Wurnimulan, Nyiratih… kalian segeralah
tinggalkan tempat ini! Cepat lari selamatkan
diri…!"
Tapi kedua gadis itu meski betina adalah
betina yang berhati jantan! Wurnimulan
menyahuti: "Hidup mati kita bersama kakak
Gagak Kumara!." Gadis ini itu berkelebat cepat
dan kirimkan satu tusukan cepat ke leher
lawan.
Kalingundil tertawa. Dielakkannya tusukan
keris itu dengan miringkan badan dan di saat
itu pula kaki kirinya bergerak.
"Bluk!"
Saudara seperguruan Gagak Kumara laki-laki
yang terakhir terpelanting ke dinding. Tulang
dadanya melesak ke dalam dihantam
tendangan Kalingundil. Jantung dan paru­
parunya pecah! Nyawanya lepas!
Gagak Kumara sendiri saat itu sudah
kehabisan tenaga. Luka di dadanya dan racun
pedang siluman sangat mempengaruhi
keadaan tubuhnya ke segenap pembuluh
darah! Dia tahu sebentar lagi dia pasti akan
menyusul saudara-saudara seperguruannya
yang lain. Karena itu sekali lagi dia berseru
memberi ingat: "Wurnimulan! Nyiratih! Larilah
sebelum terlambat!"
"Gadis-gadis caritik ini tak akan bisa pergi
jauh! Nasib kematian kalian sudah ada di
ujung Pedang Siluman-ku! Tapi sebelum mati
keduanya akan kuhadiahkan dunia terlebih
dahulu!"
Kalingundil tertawa mengekeh! Gagak Kumara
yang tahu maksud dan arti kata-kata
lawannya itu untuk kesekian kalinya berteriak
memberi ingat namun kedua gadis itu tak mau
ambil perduli malahan menyerang dengan
hebat! Kalingundil mengelak gesit beberapa
kali. Kemudian dengan kecepatan yang luar
biasa, dengan mempergunakan hulu belakang
senjata di tangan kirinya laki-laki itu menotok
Wurnimulan dan Nyiratih! Keduanya kini kaku
tak bergerak. Tahu malapetaka apa yang
bakal menimpa kedua saudara
seperguruannya itu, dengan sisa tenaga yang
ada, dengan segala kehebatan yang masih
dimilikinya Gagak Kumara menyerbu
Kalingundil dari samping.
Yang diserang sambil putar badan berkata:
"Ajalmu sudah di depan mata, maut sudah di
depan hidung! Baiknya bunuh diri saja…!"
"Terima kerisku lebih dulu, manusia durjana!
Kami tidak ada permusuhan dengan kau.
Kenapa kekejamanmu lewat takaran macam
begini…?!"
"Akh… sudahlah! Biar mulutmu kututup saja
saat ini!," kata Kalingundil pula.
Pedang Siluman Biru membabat ke perut
Gagak Kumara, dialakkan dengan melompat
oleh murid Wirasokananta itu namun begitu
melompat, senjata lawan kembali memburu
lebih cepat, kini menderu ke muka Gagak
Kumara, tak sanggup lagi dikelit oleh laki-laki
ini! –== 0O0 == —
USAHA terakhir yang dilakukan Gagak Kumara
untuk menyelamatkan dirinya ialah
melintangkan keris dimukanya. Pedang
Siluman Biru buntung terus membabat,
senjata masing-masing beradu keras, bunga
api memercik dan keris Gagak Kumara patah
dua sedang senjata lawan terus membabat
mukanya!
Murid tertua dari Perguruan Teratai Putih itu
terhuyung ke belakang. Mukanya banjir oleh
darah dan mengerikan sekali. Perlahan-lahan
lututnya tertekuk dan pinggangnya meliuk.
Gagak Kumara terduduk di lantai, sebelum
tergelimpang dan menghembuskan nafas
penghabisan, buntungan keris yang masih
tergenggam di tangannya dengan segala
tenaga yang ada dilemparkannya ke arah
Kalingundil. Tapi serangan yang hampir tiada
artinya ini dengan mudah dielakkan oleh
Kalingundil.
Kalingundil tertawa mengekeh. Noda darah
yang membasahai Pedang Siluman Biru yang
buntung itu disekakannya kembali ke balik
pinggang. Kemudian laki-laki ini memutar
tubuh. Sepasang matanya kini berkilat-kilat
memandangi tubuh dan paras Wurnimulan
serta Nyiratih yang saat itu berdiri kaku tak
berdaya karena ditotok tadi.
"He… he… he… kalian berdua tak perlu mati
buru-buru….," kata Kalingundil. Ujung
lidahnya dijulurkannya untuk membasahi
bibirnya. Dia melangkah mendekati
Wurnimulan. Tangan kirinya bergerak dan
"bret!" Robeklah baju perguruan yang dipakai
oleh gadis itu. Dadanya terbuka lebar, putih
dan mulus padat. Kalingundil menjadi
terbakar tubuhnya oleh nafsu yang
menggelegak. Tangan kirinya bergerak lagi….
bergerak lagi… bergerak lagi….
SEMENTARA itu di puncak Gunung
Galunggung…
Dalam tapanya yang sudah berjalan sembilan
belas hari itu tiba-tiba saja Wirasokananta
tak dapat meneruskan memusatkan segenap
jalan pikirannya. Satu demi satu panca
inderanya mulai terganggu. Walau
bagaimanapun usahanya untuk memusatkan
pikiran dan tenaga bathin serta menutup
segenap pancainderanya namun sia-sia saja.
Semuanya membuyar kembali. Semakin
dipaksanya semakin sulit. Mau tak mau
akhirnya tokoh silat yang sudah setengah
abad ini umurnya terpaksa buka kedua
matanya yang sejak sembilan belas hari telah
dipejamkannya.
Kedua matanya itu memandang jauh ke muka,
memandang ke luar pintu goa dimana dia
bertapa. Segala apa yang dilihatnya saat itu,
rimba belantara, bukit sunga, matahari, langit
dan awan… semuanya masih seperti
sebelumnya dia datang ke situ, tak ada
perubahan. Namun hatinya tidak enak,
nalurinya membawanya ke satu hrasat yang
mendebarkan dada dan menggelisahkan
dirinya. Dan meski ujud kenyataan dari benda-
benda dihadapannya yang dapat dilihatnmya
dari puncak Gunung Galunggung itu tiada
perubahan, namun orang tua yang sudah
banyak pengalaman dan mengecap ragam
kehidupan itu tahu, bahwa dibalik semua itu
pasti telah terjadi apa-apa di dunia luar sana.
Diusapnya wajahnya dengan kedua
tangannya. Dia merenung, sejurus kemudian
perlahan-lahan turun dari batu hitam di mana
dia sebelumnya duduk bertapa. Batu hitam
yang diduduki orang tua ini kelihatan
berbekas leguk. Ini cukup memberi pertanda
bagaimana kehebatan tenaga dalan dan luar
Wirasokananta.
Diusapnya lagi mukanya. "Mungkin ada apa-
apa terjadi di Perguruan…," kata
Wirasokananta dalam hatinya. Dengan
mempergunakan ilmu lari "seribu angin" maka
sekali berkelebat lenyaplah sosok tubuh orang
tua itu dari mulut goa dan kemudian
kelihatanlah dia berlari menuruni puncak
Gunung Galunggung cepat sekali laksana
angin!
Karena sangat terkejutnya, di ambang pintu
rumah besar itu sampai-sampai
Wirasokananta berdiri mematung untuk
beberapa lamanya! Kemudian tubuh yang
mematung ini sekujurnya jadi bergetar.
"Demi Tuhan… siapakah yang punya
pekerjaan ini?," desisnya."Dosa besa apakah
yang telah kami perbuat sampai menerima
malapetaka begini rupa…?"
Murid-muridnya bergeletakan di mana-mana.
Semuanya tanpa nyawa dan bergelimang
darah. Namun apa yang sangat menusuk
mata Ketua Perguruan Teratai Putih itu ialah
akan keadaan diri dua orang murid
perempuannya, Wurnimulan dan Nyiratih.
Keduanya menggeletak di lantai rumah besar
tanpa tertutup selembar benangpun. Keris
milik masingmasing menancap ditenggorokan
dan darah mengelimangi hampir sekujur tubuh
kedua gadis itu, dari leher sampai ke dada
terus ke selangkangan….
Wirasokananta pejamkan kedua matanya, tak
tahan memandangi lebih lama apa yang
membentang dihadapannya itu. Bagaimana
juga.dikuatkannya hatinya, namun air mata
meleleh juga dari. sela-sela kelopak mata
yang dipejamkannya itu. Tenggorokannya
turun naik menahan keluarnya suara isakan.
Beberapa tahun dia telah mendidik kedelapan
muridnya itu, beberapa tahun mereka telah
berjuang bersama-sama untuk menegakkan
kebenaran dan menghancurkan kebathilan
beberapa tahun mereka bersama-sama telah
berjuang untuk menghancurkan kemaksiatan
dan memusnahkan kebejatan serta kejahatan.
Namun hari ini mereka semua menemui nasib
semacam itu. Menemui kematian dengan cara
yang mengenaskan di luar dugaan
Wirasokananta.
Dalam masih pejamkm kedua matanya itu.
Ketua Perguruan Teratai Putih ini coba
berpikir dan menduga-duga siapakah kiranya
manusia yang telah menjatuhkan malapetaka
yang begini kejam terhadap anak-anak
muridnya, tak bisa diduganya, tak bisa
dipikirkannya karena seingatnya dia tak
pernah mempunyai seorang musuhpun dalam
dunia persilatan.
Wirasokananta membuka kedua matanya
kembali. Pada saat inilah, di balik pandangan
matanya yang masih digenangi air mata itu
pandangannya membentur buku besar buah
tulisannya sendiri yang dipantek dengan
sebilah keris milik salah seorang muridnya!
Serentetan kalimat — yang ditulis dengan
darah –tertera dikulit buku itu.
Kepada Ketua: " Perguruan Teratai Putih "
Kalau ingin menuntut balas kematian murid-
muridmu datanglah ke puncak Gunung
Tangkuban perahu pada hari 13 bulan 12.
Pendekar Kapak Maut Naga Geni
______212______
WIRO SABLENG Mata yang digenangi air mata
dari Wirasokananta menyipit, membuat air
mata yang tadi mengambang menjadi turun
meleleh membasahi pipinya.
Ingatannya kembali pada masa puluhan tahun
yang silam: Dulu, dunia persilatan memang
pemah dibikin geger oleh seorang tokoh
utama yang digjaya tiada tandingan. Tokoh
yang telah merajai dunia persilatan selama
bertahun-tahun ini adalah Eyang Sinto
Gendeng, seorang pendekar perempuan yang
bersenjatakan sebuah kapak sakti bernama
Kapak Maut Naga Geni 212. Namanya harum
dikalangen tokoh-tokoh silat golongan putih
karena Pendekar 212 adalah pembasmi
kejahatan dan penolong kaum lemah. Sedang
bagi golongan hitam, tokoh ini sudah barang
tentu menjadi momok besar yang sangat
ditakuti!.
Pada masa kehidupan Pendekar 212 itu, di
mana saat itu Wirasokananta masih belum
mendirikan Perguruan Teratai Putih, karena
sama-sama dari golongan putih yang
sehaluan dalam perjuangan maka dengan
sendirinya tiada permusuhan atau silang
sengketa antara dia dengan Pendekar 212.
Tapi hari ini terjadi peristiwa berdarah itu,
peristiwa maut yang diakhiri dengan
meninggalkan pucuk surat tantangan, dan
surat ini justru ditandatangani dengan nama
"Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212"…!
Tentu saja ini satu hal yang tidak dimengerti
Wirasokananta. Kemudian apa pula arti dan
hubungannya nama. "Wiro Sableng" itu ?!
Ketua Perguruan Teratai Putih itu coba
merenung.
Renungannya ini menyangkut pada masa
puluhan tahun yang silam itu. Di masa dunia
persilatan geger oleh kehebatannya Pendekar
212, tiba-tiba entah kemana perginya
Pendekar 212 lenyap! Tentang kelenyapannya
ini banyak tokoh-tokoh persilatan memberikan
tanggapan, Mungkin Pendekar 212 sendiri
yang sengaja lenyap mengundurkan diri dari
dunia persilatan, mungkin juga tokoh itu telah
menemui kematiannya dengan cara yang tak
bisa diduga, meski tanggapan yang kemudian
ini agak diselimuti rasa keraguraguan.
Tapi kini dengan adanya kejadian maut di
Perguruan Teratai Putih itu, Wirasokananta
merasa yakin bahwa sesuatu memang telah
terjadi dengan diri Eyang Sinto Gendeng atas
Pendekar 212. Dia berkesimpulan bahwa
Pendekar 212 dalam satu pertempuran hebat
dan tak diketahui oleh dunia luar telah
dikalahkan oleh seorang pendatang baru
bernama Wiro Sableng. Kemungkinan sekali
Pendekar 212 menemui ajalnya di tangan Wiro
Sableng itu, merampas Kapak Maut Naga Geni
212 yang kemudiannya malang melintang di
dunia persilatan dengan memakai gelar
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!
Dan kelanjutan renungan Ketua Perguruan
Teratai Putih itu ialah siapa manusia Wiro
Sableng ini sebenarnya. Nama itu satu nama
baru baginya. Namun meski nama baru satu
hal diyakini oleh Wirasokananta bahwa
dengan itu manusia baik dia maupun
Perguruan Teratai Putih, tak pernah
mempunyai permusuhan dan menanam
dendam kesumat! Apa yang menjadi latar
belakang pembunuhan besar-besaran atas
murid-muridnya benar-benar sangat gelap
bagi Wirasokananta. Dan bila matanya
membentur lagi tulisan berdarah yang
menyatakan tantangan itu, benar-benar Ketua
Perguruan Teratai Putih ini merasa dibakar
hatinya! Bulan 12 masih sembilan bulan lagi!
Apakah dia akan menunggu sampai sekian
lama untuk kemudian baru bertemu muka dan
membuat perhitungan dengan Wiro Sableng?
Ataukah detik itu juga ia meninggalkan
Perguruan dan mencari musuh durjana itu ?
Namun, Wirasokananta tahu, bahwa apa yang
musti dilakukannya saat itu ialah
menguburkan jenazah-jenazah ke delapan
orang muridnya di halaman Perguruan. –==
0O0 == —
ANTARA sungai Cidangkelok di sebelah timur
dan sungai Cimanuk di sebelah barat,
terbentanglah satu daerah yang sangat subur.
Ladang-ladang menghijau oleh hasil yang
menakjubkan. Sawah-sawah menguning
laksana hamparan permadani emas.
Lumbung-lumbung padi petani penuh, tak
akan habis dimakan selama satu dua tahun.
Penduduknya sendiri hidup dalam tingkat
kehidupan yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan penduduk daerah sekitar
lainnya. Mereka sehat-sehat, ramah dan rajin
bekerja.
Desa Bojongnipah adalah desa yang paling
utama pada daerah yang membentang antara
sungai Cidangke!ok dan sungai Cimanuk itu.
Hasil ladang, hasil sawah dan hasil tebattebat
pemeliharaan ikan penduduk tumpah ruah
tiada terkirakan dan desa ini dikepalai oleh
seorang Lurah yang bijaksana dan cakap
bernama Ki Lurah Kundrawana. Begitu
bijaksana dan pandainya Ki Lurah
Kundrawana mengatur desa dan penduduknya
sehingga banyak Lurah-lurah dari desa lain
yang datang untuk meminta bantuan
Kundrawana dalam hal yang ada
hubungannya dengan kehidupan penduduk ,
dan pengaturan hidup agar bisa makmur serta
tenteram.
Di satu malam yang mendung gelap dan
berangin kencarig dingin, Ki Lurah
Kundrawana masih kelihatan duduk-duduk di
langkan rumahnya yang sederhana, bercakap­
cakap dengan isterinya Warih Sinten. Di sela
bibir Ki Lurah Kundrawana yang sudah
berumur empat puluh lima tahun itu terselip
sebuah pipa yang api tembakaunya hampir
mati. "Dingin di luar ini, kakang…," kata Warih
Sinten sambil, merapatkan kainnya yang agak
menyingkapkan betisnya yang putih bagus.
"Ya. Tampaknya mau hujan. Kita masuk
saja…," sahut Ki Lurah Kundrawana seraya
berdiri.
Namun belum lagi kedua suami isteri itu
melangkah ke pintu mendadak sekali tiga
sosok bayangan hitam berkelebat. Tubuh
mereka rata-rata tinggi kekar dan tampang-
tampang mereka buruk serta angker !
Melihat ini, Ki Lurah Kundrawana yang tahu
gelagat segera ulurkan tangan kanan ke
pinggang di mana kerisnya tersisip. Namun
dengan kecepatan yang luar biasa salah
seorang dari manusia-manusia berpakaian
hitam itu tahu-tahu sudah melintangkan
sebatang golok di batang leher. Ki Lurah
Kundrawana! Warih Sinten yang hendak
berteriak ditekap mulutnya oleh laki-laki yang
laini Ki Lurah Kundrawana maklum bahwa
ketiga orang itu tentulah dari satu komplotan
rampok terkutuk. Tapi ini adalah untuk
pertama kalinya desanya didatangi rampok-
rampok macam begini pada hal sejak selama
dalam pegangannya desa senantiasa aman
tenteram.
Namun demikian Ki Lurah Kundrawana
dengan mempertenang diri coba bicara.
"Kalian siapa, ada maksud apa datang ke
sini…?!"
Orang yang melintang golok di leher Lurah
Bojongnipah itu menyeringai menggidikan.
Giginya yang tersungging kelihatan hitam,
sehitam pakaian yang dikenakannya.
"Aha… bagus kau tanya begitu. Tapi sebelum
aku berikan jawaban kau musti ingat satu hal.
Jika kau banyak tingkah dan membantah
segala apa yang kami perintahkan, jangan
menyesal bila melihat anak laki-lakimu yang
tidur di dalam sana ku pantek di tiang
rumah!"
Terkejutlah Ki Lurah Kundrawana. Warih
Sinten sendiri menggigil. Laki-laki berpakaian
hitam menyeringai lagi.
"Sekarang tentang siapa kami. Kau pernah
dengar nama Komplotan Tiga Hitam dari Kali
Comel?"
Paras Ki Lurah Kundrawana memucat.
"Saat ini kau berhadapan dengan mereka,
Kundrawana. Aku Tapak Luwing adalah
pemimpin mereka !"
Ki Lurah Kundrawana tahu betul dan sering
mendengar tentang Komplotan Tiga Hitam
dari Kali Comel itu. Mereka adalah tiga
rampok jahat dan ganas yang malang
melintang disepanjang Kali Comel bahkan
sampai ke perbatasan. Kali Comel jauh sekali
dari desa Bojongnipah, kenapa tiga manusia
bejat ini bisa sampai ke sini, demikian pikir
Kundrawana.
'Tapak Luwing! Kalau kau mau merampok,
lakukanlah! Bawa apa yang kalian bisa ambil
dan berlalu dari sini dengan cepat !"
Kepala Komplotan Tiga Hitam itu tertawa.
"Kami selama ini memang dikenal sebagai
perampok. Tapi dengan Ki Lurah Kundrawana,
hari ini kami datang bukan untuk melakukan
perampokan!"
Tentu saja ucapan ini mengherankan Ki Lurah
Kundrawana. "Jadi apa mau kalian ?!"
tanyanya.
"Kami datang untuk bikin perjanjian dengan
kau !"
"Perjanjian apa…?"
"Mulai hari ini, kau musti tunduk kepada
segala apa yang kami atur dan perintahkan,
mengerti!"
Ki Lurah Kundrawana menelan ludahnya.
"Aturan dan perintah macam mana
maksudmu?" tanyanya. Sementara itu diam-
diam tangan kanannya kembali bergerak dan
menyusup ke pinggangnya: Kepala desa
Bojongnipah ini sudah bertekat bulat untuk
melakukan perlawanan meski saat itu golok
Tapak Luwing masih menempel di batang
lehernya sedang isterinya sendiri masih
disekap oleh salah seorang anak buah Tapak
Luwing".
Ki Lurah Kundrawana berhasil memegang hulu
kerisnya. Secepat kilat senjata itu
ditusukkannya ke perut Tapak Luwing. Namun
Kepala Komplotan Tiga Hitam ini tidaklah
sebodoh dan selengah yang diperkirakan oleh
Ki Lurah Kundrawana. Sekali tangan kanannya
bergerak turun menyapu ke bawah maka
terdengarlah suara beradunya senjata dan
percikan bunga api. Disusul oleh jeritan
tertahan dari Warih Sinten, yang mulutnya
disekap.
Golok Tapak Luwing membuat mental keris di
tangan Ki Lurah Kundrawana sedang ibu jari
laki-laki ikut terbabat putus ujungnya sampai
ke kuku. Ki Lurah Kundrawana merintih
kesakitan. Darah mengucur dari ibu jarinya
yang putus. Sementara itu golok Tapak
Luwing telah menempel kembali pada batang
lehernya !
"Agaknya kau minta batang lehermu cepat-
cepat ditebas huh?," bentak Tapak Luwing.
"Tebaslah, aku tidak takut! Kalian manusia,
manusia lak…."
Tamparan tangan kiri Kepala Komplotan Tiga
Hitam itu menghajar pipi Kundrawana.
Pandangannya berkunang, pipinya merah
sekali dan sudut bibirnya pecah berdarah!
"Masih mau buka mulut?!" tanya Tapak
Luwing.
Ki Lurah Kundrawana menggeram dalam
hatinya. Tapi tak berkata apa-apa.
"Kau mau dengar dan turut perintahku atau
pilih mati?!"
"Aku tidak takut mati! Isteriku juga tidak takut
mati" jawab Ki Lurah pula.
Tapak Luwing menyeringai. "Kalian memang
tak takut mati. Tapi apa kalian sanggup
menyaksikan anakmu yang di dalam sana
kubikin menggelinding kepalanya di lantai
ini?!"
Ki Lurah Kundrawana terdiam.
Tapak Luwing kemudian mendorong, laki-laki
itu ke dalam dan memerintahkan duduk di
kursi. "Demi nyawamu dan nyawa
keluargamu, ada bagusnya kita bicara baik­
baik Ki Lurah! Dengar, mulai hari ini ke atas
kau harus tunduk kepadaku. Aku tanya kapan
pemungutan pajak penduduk kau lakukan
setiap bulan…?"
Ki Lurah Kundrawana tak mengerti maksud
pertanyaan ini tapi dia menjawab juga: "Hari
Senin minggu pertama". "Bila pajak-pajak itu
sudah terkumpul, ke mana kau serahkan?,"
tanya Tapak Luwing lagi. "Pada Adipati di
Linggajati dan Adipati itu kemudian
meneruskannya ke Kotaraja".
"Hem… begitu … Itu satu aturan yang bagus.
Tapi mulai penarikan pajak bulan yang akan
datang jumlah pajak yang harus dipungut
adalah sepuluh kali lebih besar dari yang
sudah-sudah…!"
Ki Lurah Kundrawana terkejut.
Dia tambah terkejut lagi ketika Tapak Luwing
menyambung kalimatnya tadi: "Pajak itu
harus kau pungut tiga kali dalam satu bulan!
Mengerti…?!"
"Aturan macam mana ini ?!"
"Tak usah tanya aturan macam mana, yang
penting lakukan perintahku!," sahut Tapak
Luwing, "Kau tak bisa berbuat seenaknya,
Tapak Luwing! Salah-salah kau bisa
berurusan dengan Adipati Linggajati, bisa
berurusan dengan Kerajaan!" "Urusan dengan
Adipati, itu urusanmu, juga urusan dengan
Kerajaan. Tapi jika kau berani mengadukan
hal ini kepada siapa saja, kulabrak seluruh
keluargamu! Mengerti?!" "Kalian bisa
melabrak keluargaku. Tapak Luwing, tapi
kalian tak bisa melabrak Adipati dan
Kerajaan!" "Aku sudah bilang urusan dengan
Adipati adalah urusanmu, juga dengan
Kerajaan! Aku hanya tahu bahwa tiga kali
dalam satu bulan aku harus terima sejumlah
uang yang besarnya sepuluh kali besar pajak
yang kau pungut selama ini dari penduduk
desa!"
"Keterlaluan! Keterlaluan kau Tapak Luwing!
Tak satu pendudukpun yang sanggup
membayar pajak sekian besarnya itu !"
"Penduduk di sini kaya-kaya! Punya sawah,
punya ladang, punya kerbau, sapi, kambing
dan ayam serta itik!!"
"Tapi sepuluh kali, mana mereka…"
Tapak Luwing memotong dengan cepat: "Apa
aku musti paksa kau memungut lima belas
kali lebih banyak, atau dua puluh kali?!"
"Aku tak akan lakukan perintahmu ini Tapak
Luwing! Aku tak sanggup memeras rakyat!"
"Perduli amat! Kalau tak saggup memeras
rakyat apa kau sanggup menyaksikan
kematian anak laki-laki mu?"
Kalau Kepala Komplotan Tiga Hitam itu sudah
mengancam demikian rupa, mau tak mau Ki
Lurah Kundrawana terdiam bungkam.
Tapak Luwing menggoyangkan kepalanya
pada anak buahnya yang berdiri dekat pintu.
Melihat isyarat ini laki-laki itu segera masuk
ke dalam kamar tidur Ki Lurah Kundrawana.
Kundrawana berdiri dari kursinya. "Kau mau
buat apa…!," bentaknya.
Tapak Luwing mendorong laki-laki itu hingga
Kundrawana terduduk kembali ke kursi. Tak
lama kemudian anak buah Tapak Luwing
yang masuk kamar muncul di ruangan itu
kembali dengan mendukung anak laki-laki Ki
Lurah Kundrawana. Anak laki-laki ini baru
berumur empat tahun. Dalam di dukung itu
dia masih tertidur nyenyak, tak tahu apa yang
terjadi atas dirinya. Kecemasan segera
terbayang diparas Warih Sinten dan
Kundrawana.
"Kalian mau bikin apa dengan anakku?!"
tanya Kundrawana.
"Selama kau mengikuti perintahku, anakmu
akan selamat tak kurang suatu apa.
Dia kubawa untuk sementara sebagai jaminan
bahwa kau tidak akan mengadukan persoalan
ini pada siapa pun! Kau dengar Ki Lurah
Kundrawana!"
Laki-laki itu tak menjawab.
"Dengar?!" ulang Tapak Luwing membentak.
Ki Lurah Kundrawana mau tak mau terpaksa
mengangguk pelahan.
"Hasil-hasil pungutan pajak itu selambat-
lambatnya harus kau serahkan kepadaku satu
hari sesudah terkumpulnya. Antarkan ke satu
pondok tua di persimpangan jalan yang
menuju ke Linggajati. Aku sendiri yang akan
menunggu kau di sana pada tengah hari
tepat!"
"Aku tak akan mengantarkannya!" kata Ki
Lurah Kundrawana. "Silahkan datang sendiri
kesini!"
Tapak Luwing tertawa dingin. "Jangan lupa
keselamatan anakmu, Ki Lurah," katanya.
Kemudian Kepala Komplotan Tiga Hitam dari.
Kali Comel ini berikan isyarat dan bersama
kedua anak buahnya segera meninggalkan
rumah Ki Lurah. Kundrawana. –== 0O0 == —
SEMALAM-MALAMAN itu Warih Sinten tiada
hentinya menangis. Matanya sudah merah
dan bengkak. Ki Lurah. Kundrawana sendiri
yang juga tak bisa tidur, melangkah mundar
mandir tak berketentuan. Hatinya gelisah dan
cemas, memikirkan diri anaknya yang telah
dibawa oleh komplotan Tapak Luwing. Tapi
hatinya juga gemas dan geram tiada
terperikan!
Baginya keselamatan diri dan isterinya tidak
begitu penting jika dia ingat nasib anak laki­
lakinya itu, anak satu-satunya yang mereka
miliki. Dan soal pajak itu, benar-benar
membuat Ki Lurah Kundrawana seperti mau
gila memikirkannya. Dia tak akan bisa
mengadukan persoalan ini pada Adipati di
Linggajati atau kepada Raja demi
keselamatan anaknya. Satu-satunya jalan
hanyalah mengikuti aturan dan perintah gila
Tapak Luwing. Tapi bagaimana nanti sikap
rakyat terhadapnya? Bukan saja pajak itu
sangat berat bagi mereka, tapi penduduk
.pasti akan mencapnya sebagai tukang peras
dan mungkin akan timbul kemarahan di
kalangan penduduk!
Kalau dia musti memungut sepuluh kali
jumlah pajak yang harus diserahkan pada
Tapak Luwing, maka ditambah dengan yang
harus diserahkan pada Adipati di Linggajati
akan menjadi sebelas kali dari yang sudah-
sudah! Kalau tidak ingat-ingat kepada Tuhan
maulah Lurah Bojongnipah itu ambil kerisnya
dan menusuk diri dengan senjata itu! Namun
dia tahu ini bukanlah penyelesaian yang baik.
Keesokan paginya terpaksa juga dia melalui
seorang pembantunya mengirimkan kabar
berkeliling penduduk desa bahwa mulai bulan
depan pemungutan pajak besarnya sebelas
kali dari yang sudah-sudah. Ini adalah sesuai
dengan garis kebijaksanaan Raja demi untuk,
pembangunan dan memelihara balatentara
yang kuat, demikian alasan yang dibuat-buat
oleh Ki Lurah Kundrawana untuk menutupi
apa yang sebenarnya.
Bila berita itu sudah sampai ke seluruh
pelosok maka dalam sikap penduduk
Bojongnipah mulai kelihatan pertentangan-
pertentangan. Rata-rata mereka mengatakan
bahwa ini adalah satu penindasan. satu
pemerasan terang-terangan. Demi
pembangunan dan demi balatentara yang
kuat apakah rakyat harus dkekik lehernya
dengan pajak yang besar tiada terkirakan lihat
gandanya itu?!
Beberapa orang tua-tua desa menemui Ki
Lurah Kundrawana tapi Ki Lurah tak bersedia
berhadapan dengan mereka. Orang tua-tua
desa tentu saja heran kali melihat sikap Lurah
mereka yang dulunya itu begitu baik
bijaksana dan ramah tapi kini, jangankan
untuk bicara tentang persoalan kenaikan
pajak itu, bahkan untuk bertemu sajapun dia
tidak mau! Disamping itu ketika mereka
berada di rumah Ki Lurah, telinga mereka
mendengar terus-terusan suara tangis Warih
Sinten, isteri Lurah. Ada apa pula dengan diri
perempuan itu? Betul-betul banyak hal yang
tidak mengerti orang tua-tua desa saat itu!
Dan ketika tiba saat pemungutan pajak yang
pertama, banyak di antara.penduduk yang tak
mau membayar. Dengan menekan
pertentangan yang senantiasa melekat
dihatinya Ki Lurah terpaksa mengancam
orang-orang itu. Siapa-siapa penduduk yang
tak mau membayar pajak dalam jumlah yang
telah ditentukan, akan ditangkap dan dibawa
ke Kotaraja! Akhirnya terpaksa juga penduduk
membayar.
Dalam pemungutan pajak-yang kedua terjadi
kekacauan namun masih sanggup diatasi oleh
Ki Lurah Kundrawana. Menjelang pemungutan
pajak yang ketiga Ki Lurah Kundrawana
mendengar kabar bahwa penduduk akan
mengadakan pemberontakan! Lakilaki ini tak
bisa menyalahkan penduduk. Suatu malam
dengan diam-diam pergilah Ki Lurah
Kundrawana ke Linggajati untuk menemui
Adipati Boga Seta. Kepada Adipati ini
dilaporkannya segala apa yang terjadi. Boga
Seta kelihatan terkejut sekali. Ketika Ki Lurah
Kundrawana minta diri, Boga Seta berjanji
akan mengirimkan serombongan pasukan
Kadipaten selekas mungkin. Namun menjelang
semakin dekatnya hari pemungutan pajak
yang ketiga itu tak satu prajurit Kadipatenpun
yang muncul!
Ki Lurah Kundrawana kehabisan akal, betul-
betul bingung. Sementara itu tandatancia
bakal terjadinya pemberontakan semakin jelas
dan santar. Dalam kebingungannya di waktu
yang sempit itu Ki Lurah Kundrawana
akhimya berhasil menemui Tapak Luwing di
luar desa.
"Ada keperluan apa, kau menemui aku, Ki
Lurah ?" bertanya Tapak Luwing sambil
menggerogoti daging panggang yang barusan
dipanggang oleh anak-anak buahnya. Saat itu
Tiga Hitam dari kali Comel berada di
pinggiran hutan.
"Ada kesulitan katamu ? Hem… Apa kau tahu
bahwa besok adalah hari pemungutan uang
pajak itu dan lusanya menyerahkan pada
kami di persimpangan jalan yang menuju ke
Linggajati?"
"Aku tahu Tapak Luwing. Justru kesulitan ini
ada sangkut pautnya dengan pemerasanmu!"
jawab Ki Lurah Kundrawana pula.
Tapak Luwing tertawa dan melemparkan
tulang daging yang dimakannya ke dekat kaki
kepala desa Bojongnipah itu.
"Tentang kesulitan ini, apakah kau sudah
pergi kepada Adipati Boga Seta di
Linggajati?," Tanya Tapak Luwing seraya
tertawa dan berdiri dari duduknya di batang
kayu tumbang.
Ki Lurah Kundrawana terkejut dan berubah
parasnya. Dalam hati dia bertanya-tanya
apakah kepala perampok ini mengetahui
kepergiannya ke Linggajati menemui Adipati
Boga Seta itu?
Suara tertawa Tapak Luwing semakin keras.
Tampangnya kelihatan tambah angker dan
tiba-tiba, tak terduga oleh Ki Lurah
Kundrawana, tamparan tangan kanan kepala
rampok itu mendarat di pipinya.
"Tapak Luwing kau…"
"Plak!"
Untuk kedua kalinya tamparan Tapak Luwing
menghajar muka Kundrawana. "Berbacot lagi,"
bentaknya, "Kurobek mulutmu!".
"Tapi Tapak Luwing…"
"Aku sudah bilang agar jangan mengadukan
persoalan ini kepada siapapun! Dan kau telah
pergi kepada Adipati Boga Seta! Apa kau lupa
hukuman yang bakal diterima anakmu?!"
Maka pucatlah muka Ki Lurah Kundrawana!
"Kau… kau apakan anakku, Tapak Luwing…?
"Sekarang kau ketakutan sendiri ya? Sialan!
Adipati Boga Seta telah rnengirimkan lima
orang prajuritnya ke Bojongnipah, tapi aku
telah mencegatnya ditengah jalan dan
kelimanya telah menemui ajal akibat
kebodohanmu!"
"Anakku… anakku bagaimana…?" tanya Ki
Lurah Kundrawana setengah menangis
setengah merengek!
"Aku masih berbaik hati untuk kasih ampun
kesalahanmu kali ini! Di lain hari, jangan
harap aku bakal mau memaafkan kau…"
Legalah dada Ki Lurah Kundrawana. Tapi jika
dia mau berpikir panjang sedikit dan tidak
keliwat gelisah maka dia akan melihat adanya
keganjilan dengan ucapan Tapak Luwing hari
ini dengan tiga minggu yang lalu. Dulu Tapak
Luwing mengancam akan membunuh anaknya
bila dia mengadu kepada Adipati atau Raja.
Dan dia telah mengadukan hal itu kepada
Adipati Boga Seta dan anehnya Tapak Luwing
mau memberikan ampun kepadanya, padahal
dengan demikian persoalan kejahatannya
bukan saja telah sampai ke tangan Adipati
tapi pasti akan diteruskan ke Kotaraja,
apalagi sesudah pembunuhan atas lima
prajurit Kadipaten itu !
"Sekarang terangkan mengenai kesulitan yang
kau katakan itu, Ki Lurah!," kata Tapak
Luwing pula.
"Penduduk desa akan melakukan
pemberontakan besok kalau aku masih juga
memungut pajak gila itu!," kata Ki Lurah
Kundrawana pula.
"Begitu? Dulu kau bilang tidak takut mampus!
Kini ada bahaya yang mengancam jiwamu
kenapa terbirit mencari aku…?!"
Ki Lurah Kundrawana mengatupkan
rahangnya rapat-rapat.
"Kembalilah ke Bojongnipah. Ki Lurah, Besok
kami akan datang ke sana…" berkata Tapak
Luwing.
"Kuharap jangan sampai terjadi kekerasan".
"Soal itu urusan kami. Kau tak perlu ikut
campurl," kata Tapak Luwing pula.
"Bisa aku ketemu anakku, Tapak Luwing ?"
tanya Ki Lurah Kundrawana.
"Kali ini tidak dulu," jawab kepala rampok itu.
Kepala desa Bojongnipah itu termenung
sejurus. Kemudian dengan langkah gontai dia
berjalan ke kudanya dan naik ke atas
punggung binatang itu
Sebelum berlalu Ki Lurah Kundrawana
bertanya, 'Tapak Luwing, sampai kapan
kebejatanmu ini kau timpakan padaku…?"
Tapak Luwing tertawa. "Tak usah banyak
tanya ! Lebih baik pikirkan.nasibmu besok
hari. Mungkin penduduk desa sudah
mencincang tubuhmu sebelum kami datang…!"
*** DI pelosok-pelosok desa terdengar
kokokan-kokokan ayam bersahut-sahutan.
Puncak dinginnya malam telah lewat dan
kesegaran pagi yang ditandai oleh terangnya
langit di ufuk timur menyatakan bahwa malam
sudah sampai ke ujungnya untuk
digantikan kini oleh kehadiran pagi.
Ki Lurah Kundrawana menyalakan tembakau
pipanya. Mukanya sudah cekung dan matanya
kelihatan kuyu sedang parasnya pucat.
Namun dibalik keredupan wajahnya itu
tersembunyi sesuatu yang seperti menyala.
Sesuatu itu ialah amarah dan rasa geram
yang tiada terperikan!
Di sedotnya pipa itu. Mulutnya terasa tak
enak. Dia meludah ke tanah lewat langkan.
Sejak dulu apalagi sejak beberapa hari
terakhir ini lidahnya memang terasa tidak
enak, pahit. Makannya boleh dikatakan dapat
dihitung suapnya. Semakin terang hari
semakin gelisah dia, semakin kuatir Lurah
Bojongnipah ini. Yang dikhawatirkannya ialah
kalau-kalau penduduk akan datang lebih
dahulu dari pada Tiga Hitam dari Kali Comel!
Sebentar-sebentar matanya memandang ke
luar halaman. Namun segala sesuatunya
dipagi itu masih diliputi oleh kesunyian. Dan
kesunyian ini pula justru tidak menyenangkan
hati Ki Lurah Kundrawana !
Ditempelkannya lagi ujung pipa ke bibirnya.
Disedotnya dalam-dalam kemudian
dihembuskannya asap pipa itu. Sekali lagi dia
meludah ke tanah lalu mengusap-usap
bibimya.
Dia terkejut dan memutar kepalanya
mendengar langkah-langkah kaki di
belakangnya. Yang datang temyata isterinya
sendiri. Badan perempuan ini sudah jauh
susut, lebih kurus dari dahulu. Seperti
suaminya, parasnya juga pucat. Warih Sinten
seorang perempuan berwajah ayu, namun
keayuan itu kini tiada kelihatan lagi karena
tertutup mendung kegelisahan. Gelisah
memikirkan nasib anaknya, gelisah
memikirkan nasib suaminya jika sebentar lagi
pen.duduk benar-benar datang.
Hari itu adalah hari pemungutan pajak yang
ketiga. Semestinya pembantu Lurah
Bojongnipah yang biasa berkeliling di seluruh
desa memungut pajak itu sudah datang. Tapi
kali ini tak kelihatan mata hidungnya.
Bagaimana dia akan berani memunculkan diri
jika sudah tahu kalau hari ini penduduk akan
berontak!.
"Mudah-mudahan saja penduduk tidak
datang…"
Ki Lurah Kundrawana menggigit bibirnya. Dia
tahu bicara isterinya itu hanya sekedar bicara
saja. Memang apa yang diharapkan isterinya
itu juga menjadi harapannya. Namun dia tahu
betul bahwa harapan itu adalah satu hal yang
mustahil! Rakyat akan datang. Penduduk akan
datang! Dia tahu, dia pasti!
Warih Sinten memandang lagi ke luar
halaman. Lalu berkata lagi: "Kalaupun mereka
datang, kurasa kita tak bisa lagi
menyembunyikan kebejatan ketiga manusia
terkutuk itu, Kakang! Kita musti katakan terus
terang pada penduduk sebelum penduduk
membunuh kita beramai-ramai!"
"Nyawaku tak ada harganya, Warih…," ujar Ki
Lurah Kundrawana. "Demi segala-galanya aku
rela mati! Tapi percuma saja arti kematian jtu,
kalau keselamatan jiwa anak tunggal kita
sendiri akan tersia-sia pula…."
Kesepian berjalan beberpa lamanya.
Tiba-tiba.
"Kakang…". Warih Sinten memegang lehernya
dengan kedua tangan. "Mereka… mereka
datang…"
Ki Lurah Kundrawana mengangkat kepalanya
dan memandang ke luar halaman. Apa yang
dikatakan isterinya memang betul.
Serombongan laki-laki penduduk, desa
kelihatan rnuncul di tikungan jalan dibalik
pohon-pohon bambu. Rombongan yang
muncul ini merupakan kepala saja dari
barisan penduduk yang jumlahnya tak kurang
dari seratus orang. Dari jauh tak kelihatan
mereka membawa senjata. Tapi Ki Lurah
Kundrawana tahu bahwa di antara mereka
pasti, ada yang membawa dan
menyembunyikan senjata!
Sesaat kemudian halaman luas itupun
penuhlah oleh penduduk desa. Suasana
menjadi bising kini. Ki Lurah Kundrawana dan
isteranya berdiri mematung di atas fangkan.
Hanya kedua bola mata mereka yang berputar
memandangi penduduk Bojongnipah itu.
Seorang di antara penduduk kemudian
menyeruak ke muka dan naik ke langkan,
berdiri beberapa langkah dihadapan
Kundrawana. Kundrawana kenal baik dengan
laki-laki ini. Dia adalah seorang petani yang
diam di desa sebelah timur. Namanya
Kratomlinggo. Sewaktu laki-laki ini bertindak
naik ke langkan, maka suasana di tempat itu
sehening di pekuburan.
"Ki Lurah…, Kratomlinggo buka mulut
merobek keheningan itu. "Kau tentu sudah
tahu maksud kedatangan kami bukan…?"
Kundrawana tak menjawab. Pada wajah
Kratomlinggo dilihatnya senyum mengejek.
"Ketahuilah bahwa aku berdiri dihadapanmu
saat ini adalah, sebagai wakil dari sekian
banyak penduduk Bojongnipah…,"
Kratomlinggo menunding ke belakang lalu
meneruskan: "penduduk Bojongnipah yang
sejak satu bulan belakangan ini telah menjadi
korban pemerasan, korban penindasan, korban
pengisapan, dkekik oleh pajak sebelas kali
lipat! Penduduk Bojongnipah…"
"Saudara Kratomlinggo," memotong Ki Lurah
Kundrawana. "Ringkaskan saja bicaramu.
Katakanlah apa yang kalian mau".
Dan lagi-lagi Kundrawana melihat senyum
mengejek tersungging di mulut Kratomlinggo.
"Apa mau kami…? Itu semua sudah kami
katakan pada saat pertama kali kau
memungut pajak gila itu!"
"Aku pribadi memang tak ingin berbuat
begitu. Tapi ini adalah perintah atasan.
Perintah Raja, untuk pembangunan dan
pemeliharaan pasukan…"
"Perintah atasan tinggal perintah atasan!
Apakah kalau atasan menyuruh kau cebur ke
sumur lantas kau akan berbuat begitu?
Nyemplung ke sumur?! Setiap perintah harus
berdasarkan pertimbangan otak Ki Lurah!"
Merah muka Kundrawana.
Sementara itu Warih Sinten mulai menangis
terisak-isak.
"Saudara Krato, mungkin pemungutan pajak
itu hanya bersifat sementara saja…"
"Ya sementara! Sementara! Baru dihentikan
bila semua penduduk Bojongnipah ini mati
dkekik pajak ?1".
"Aku tahu pajak sebesar itu memang berat…"
"Kalau berat mengapa dilaksanakan?!" tukas
Kratomlinggo.
Ki Lurah Kundrawana lagi-lagi menggigit
bibirnya. lngin saja saat itu dia mengatakan
apa sesungguhnya yang menjadi latar
belakang dari pemungutan pajak itu. Ingin
saja saat itu dia menerangkan siapa
sebenarnya yang menjadi dalang pemungutan
pajak gila itu! Tapi bila diingatnya anak
tunggalnya yang ada di tangan Tiga Hitam
dari Kali Comel itu…
"Kami penduduk desa Bojongnipah ingin agar
peraturan pajak gila itu dkabut kembali!"
berkata Kratomlinggo.
"Aku tak punya wewenang untuk melakukan
hal itu, saudara Krato".
"Kau bisa menyampaikan kepada Adipati di
Linggajati. Adipati meneruskannya ke
Kotaraja. Dan kalau kau tidak mau melakukan
hal itu, kami tidak ragu-ragu untuk bertindak
berdasarkan apa yang kami rasa benar…!"
"Apakah ini suatu ancaman?"
"Kau boleh bilang begitu., Ki Lurah!"
"Saudara Krato…," terdengar suarar Warih
Sinten. "Kau… kau dan semua penduduk
Bojongnipah tidak tahu… tidak tahu…"
"Kami lebih dari tahu!" geretus Kratomlinggo.
"Meskipun apa yang kini kami ketahui itu
adalah hal yang tak pernah kami duga! Kami
tahu bahwa suamimu, Ki Lu.rah Kundrawana
tak lebih dari seorang tukang peras! Yang
menjilat ke atas dan menggilas ke bawah!
Yang cari nama ke atas dan menjerat leher
penduduk di bawah! Kami lebih dari ta…."
"Kuharap bicara sepantasnyalah
Kratomlinggol" memotong Ki Lurah
Kundrawana karena panas hati dan telinganya
mendengar dkap sebagai penjilat dan pemeras
demikian rupa.
Kratomlinggo berpaling ke arah orang banyak.
Kemudian dia tertawa bergelak. Sementara itu
salah seorang pendduk berteriak: "Buat apa
bicara sepanjang lebar dengan biang lintah
darat itu?! Sumpal saja mulutnya dengan
golok !"
Kratomlinggo berpaling pada Kundrawana
kembali. "Kau dengar teriakan itu Ki Lurah?"
tanyanya.
Mulut Kundrawana komat kamit. "Kalau
kalian ingin pajak itu dkabut, silahkan. pergi
sendiri menghadap Raja di Kotaraja…"
"Lantas, apa perlunya kau jadi Lurah di
sini'?!" teriak seorang penduduk pula.
"Apa hanya untuk ongkang-ongkang ?!" teriak
penduduk yang lain.
"Ongkang-ongkang dan memeras?!" teriak
yang lain lagi.
"Kemudian penduduk lainnya berteriak pula:
"Kami tidak percaya ini aturan dari Raja!
Bukan mustahil pajak itu adalah aturan gila
yang, kau buat sendiri !" .
Masih banyak lagi teriakan-teriakan yang
membuat muka Kundrawana menjadi merah
dan tebal rasanya: Telinganya berdesing.
"Kratomlinggo, kuharap kau bawalah orang-
orang itu meninggalkan tempat ini," kata
Kundrawana.
"Begitu …?," ujar Kratomlinggo dengan
lontarkan senyum sinis. "Kami semua baru
akan pergi sesudah kau menyatakan blak-b!
akan bahwa mulai saat ini aturan pajak gila
itu dkabut!"
"Tak satupun yang bisa mencabut segala
keputusan Raja!," jawab Kundrawana.
Suaranya saja yang keras namun ucapannya
itu sama sekali tiada dengan kesungguhan
hati.
"Kalau begitu agaknya kami terpaksa
menggunakan kekerasan…"
"Kau menentang Kerajaan, Kratomlinggo?"
tanya Ki Lurah Kundrawana. Pertanyaan yang
setengah menggertak ini dimaksudkannya
untuk dapat ke luar dari keadaan yang
terdesak saat itu.
Namun jawaban Kratomlinggo adalah
lontaran seringai mengejek. "Jangan takuti
penduduk Bojongnipah dengan kata-kata
Kerajaan, Ki Lurah! Kami semua yakin bahwa
pajak gila itu adalah kau punya bisa! Kerajaan
selama ini selalu bertindak adil dan
bijaksana…!" Kratomlinggo melangkah
kehadapan Ki Lurah Kundrawana dengan
kedua tinju terkepal. Beberapa penduduk
Bojongnipah melangkah pula naik ke atas
langkan.
Ki Lurah Kundrawana mundur beberapa
langkah ke belakang. Warih Sinten menjerit.
"Kratomlinggo, kau… kalian mau bikin apa…?"
"Kami coba minta keadilan dengan cara
wajar, tapi kau maukan kekerasan…!" jawab
Kratomlinggo. Tangan kanannya bergerak.
Tiba-tiba terdengar ringkikan kuda dan suara
hiruk pikuk. Penduduk di halaman muka
berhamburan.cerai berai.
"Atas nama Kerajaan, yang tidak mau mati,
minggirlah !"
Terdengar jeritan beberapa orang yang
terserampang kuda ! *** TIGA penunggang
kuda melompat dari punggung kuda masing-
masing. Gerakan mereka enteng sekali dan
sekejapan mata saja ketiganya sudah berada
antara Kratomlinggo dan Ki Lurah
Kundrawana. Ketiganya berpakaian seragam
prajurit dan tampang-tampang mereka angker
buruk. Baik Ki Lurah Kundrawana maupun
Kratomlinggo dan penduduk Bojongnipah,
semuanya sama terkejut. Dalam
keterkejutannya itu Ki Lurah Kundrawana
merasa lega juga karena dia segera mengenali
ketiga orang itu tak lain adalah Tapak
Luwinng dan dua orang anak buahnya!
Namun apa yang tidak dimengerti oleh Lurah
Bojongnipah itu ialah mengapa ketiga orang
komplotan rampok itu mengenakan pakaian
keprajuritan.
Sementara itu Tapak Luwing yang berdiri
tepat dihadapan Kratomlinggo dengan
bertolak pinggang dan membentak maju ke
muka: "Kami prajurit-prajurit Kadipaten
Linggajati! Kamu jadi biang keribuan di sini
ya?!"
Terkejutlah Kratomlinggo dan penduduk
Bojongnipah sedang Ki Lurah Kundrawana
dan isterinya merutuk dalam hati melihat
betapa lihaynya Kompolotan Tiga Hitam itu
menjalankan peran sebagai prajurit-prajurit
Kadipaten palsu untuk mengelabui mata
penduduk dan juga menyembunyikan rahasia
besar latar belakang pemerasan mereka!
Kratomlinggo menindih rasa terkejutnya. Dia
merasa tak perlu takut terhadap ketiga
prajurit Kadipaten itu bahwa bukankah ini
kesempatan di mana dia bisa sekaligus
menerangkan pemerasan pajak yang
dilakukan oleh Kundrawana itu?
"Saudara," kata Kratomlinggo, "jika kalian
adalah prajurit-prajurit Kadipaten, kebetulan
sekali kalau begitu…!
"Kebetulan apa maksudmu?!" bentak Tapak
Luwing.
Kratomlinggo kemudian menerangkan sejelas-
jelasnya mengenai soal pajak itu kepada
Tapak Luwing. Namun dia begitu kaget ketika
mendengar jawaban Tapak Luwing.
"Jadi kau sengala pimpin penduduk
Bojongnipah untuk mengikuti maumu sendiri?!
Untuk menepuh jalan kekerasan! Ini namanya,
satu pemberontakan! Ini namanya satu
penantangan terhadap Kerajaan, satu
pembangkangan terhadap peraturan-
perraturan Raja karena soal pajak itu memang
datang dari Raja disampaikan melalui Adipati
di Linggajati!"
"Tapi mengapa hanya penduduk Bojongnipah
saja yang dipajaki segila ini!," kata salah
seorang penduduk yang berdiri di samping
Kratomlinggo: "Ya, desa-desa lain tidak!"
seru yang lain dari luar halaman.
"Kamu semua tahu apa!" semprot Tapak
Luwing. "Ini adalah keputusan Raja!
Bojongnipah yang subur tak bisa disamakan
dengan desa-desa lain. Karenanya sudah
pantas kalau dibebani pajak yang agak
besaran…"
"Agak besaran…," gerendeng seorang
penduduk mengejek.
Kratomlinggo kemudian mengetengahi
suasana panas itu. "Kami merasa sama sekali
tidak menentang Raja, sama sekali tidak
membangkang apalagi memberontak. Kami
hanya inginkan agar pajak dikembalikan
sebesar yang lama…"
"Tapak Luwing meludah ke lantai langkan.
"Kau memang biang racun pemberontak yang
pintar omong! Terhadap Lurah kalian, kalian
boleh bicara kasar dan seenaknya, tapi
terhadap kami prajurit-prajurit Kadipaten
jangan coba-coba! Pimpin seluruh penduduk
untuk angkat kaki dari sini ! Cepat!"
Maka berkatalah Kratomlinggo: "Kami
penduduk Bojongnipah datang ke sini untuk
menegakkan keadilan. Kalau kami harus
angkat kaki dari sini maka keadilan itu musti
sudah berhasil ditegakkan!"
"Hem… begitu…?". Tapak Luwing menyeringai.
Gigi-giginya yang hitam kecoklatan serta
besar-besar ketihatan menjijikkan. "Sebelum
kau dan yang lain-lainnya menegakkan
keadilan itu, coba terima tangan kananku
ini !"
Sesudah berkata demikian Tapak Luwing
hantamkan tangan kanannya ke dada
Kratomlinggo. Yang dipukul dengan cepat
melompat ke samping.
Namun ! "Buukk !"
Tangan kiri Tapak Luwing bersarang di perut
Kratomlinggo. Nyatanya pukulan tangan
kanan Tapak Luwing tadi hanyalah satu
tipuan belaka! Kratomtinggo melintir dan
terjajar ke belakang. Perutnya sakit- sekali,
mual seperti mau muntah, nafasnya
menyesak.
Laki-laki ini rupanya bukanlah hanya sekedar
seorang petani saja, namun juga seorang
yang pernah mempelajari ilmu silat. Dengan
cepat dia atur nafas dan jalan darah. Lalu
dengan sebat rnenyerang ke muka. Enam
orang penduduk ikut menyertai serangannya
inir Maka dengan demikian pertempuranpun
pecahlah.
Empat penduduk terjerongkang ke lantai
langkan. Dua pingsan, dua lagi patah tulang
iganya serta terlepas sambungan sikunya.
Sedang Kratomlinggo terhempas ke tiang
langkan. Dadanya kena dipukul oleh Tapak
Luwing. Dia berusaha berdiri mengimbangi
badan kembali dan siap melancarkan
serangan balasan. Tapi apa lacur, belum lagi
kakinya menindak pemandangannya sudah
gelap dan dari mulutnya bermuntahan darah
kental berbuku-buku! Sesaat kemudian tubuh
laki-laki ini tergelimpang ke lantai!
Melihat ini sebagian penduduk menjadi kalap.
Mereka menyerbu berserabutan ke atas
langkan dengan berbagai macam senjata.
"Siapa yang mau mampus, majulah!" teriak
Tapak Luwing seraya melintangkan golok.
Mereka yang menyerbu menjadi ragu-ragu kini
namun beberapa orang diantaranya yang
tetap kalap menyerang dengan membabi buta.
Maka terjadilah hal yang mengerikan. Orang-
orang ini bergelimpangan bermandikan darah,
dibabat dan dipapas oleh senjata Tapak
Luwing dan anak-anak buahnya! Yang lain-
lainnya kini tak berani lagi bertindak lebih
jauh meskipun jumlah mereka jauh lebih
banyak!
Warih Sinten sudah sejak lama lari ke dalam
rumah sambil menjerit-jerit ketakutan sedang
Kundrawana menggigit bibir dan pejamkan
mata melihal kengerian itu. Kalau saja tidak
ingat akan keselamatan anaknya, sudah sejak
tadi dia mencabut keris dan turut menyerbu!
"Siapa lagi yang mau berkenalan dengan
golokku, silahkan maju!," kata Tapak Luwing
tolakkan tangan kirinya ke pinggang kiri.
Tapak Luwing tertawa. "Nah, kalau kalian
masih belum punya nyali untuk masuk ke
liang kubur, gotong kunyuk-kunyuk yang
malang melintang di langkan rumah ini
kemudian angkat kaki dari sini cepat !"
Kemarahan penduduk meluap-luap. Namun
apa yang terjadi di depan mata mereka
membuat nyali mereka menjadi ciut dan bulu
kuduk meremang. Ki Lurah Kundrawana
sendiri berdiri mematung. Rahangnya terkatup
rapat-rapat. Kegeramannya tiada terlukiskan.
Kebenciannya terhadap Tiga Hitam dari Kali
Comel tiada terkirakan lagi! Namun seperti
penduduk Bojongnipah, dia juga tak dapat
berbuat suatu apa!
Penduduk menggotong Kratomlinggo dan
korban-koban lainnya. Sebelum mereka
berlalu berserulah Tapak Luwing.
"Aku tak ingin melihat keonaran macam
begini untuk kedua kalinya, kecuali kalau
kalian sendiri yang sengaja minta dibereskan
macam kawan-kawan kalian itu! Siapa yang
mau berontak boleh saja! Golakku memang
sudah sejak lama haus darah!"
Tak ada yang menyahuti ucapan Tapak
Luwing itu.
Dan Tapak Luwing yang menyamar sebagai
prajurit Kadipaten itu berseru lagi: "Jangan
lupa, paling lambat tengah hari besok, kalian
semua sudah harus melunasi pajak itu! Jika
ada yang membantah untuk membayarnya,
kalian cukup tahu apa akibatnya!" ketika
seturuh penduduk Bojongnipah sudah
meninggalkan tempat itu maka Tapak Luwing
menyarungkan goloknya kembali dan
berpaling pada Ki Lurah Kundrawana.
"Kau harus berterima kasih padaku yang telah
selamatkan kau punya batang leher, Ki
Lurah…!" Ki Lurah Kundrawana berkemik.
Rahang-rahangnya bertonjolan. Tapak Luwing
tertawa mengekeh. "Selambat-lambatnya
senja besok uang pungutan pajak harus sudah
kau antarkan ke pondok tua dipersimpangan
jalan yang menuju ke Linggajati!"
Kundrawana masih diam.
"Eh, apa kau sudah tuli!" tanya Tapak Luwing.
Dan Lurah Bojongnipah itu masih juga diam.
Maka membentaklah Tapak Luwing. "Kamu
tuli hah?!"
"Aku tidak tuli, Tapak Luwing…"
"Lalu mengapa ditanya diam saja? Mungkin
gagu?!"
Dua orang anak buah Tapak Luwing cengar
cengir.
"Sesenja-senjanya hari uang itu sudah harus
ku terima. Kau dengar…?!" .
"Bagaimana kalau penduduk tak mau
membayamya ?"
"Aku tak perlu pertanyaan itu! Bayar atau
tidak bayar, pokoknya besok aku cuma tahu
terima uang!"
Tapak Luwing memberi isyarat pada kedua
anak buahnya. Ketiganya menuruni langkan
rumah dan melangkah menuju ke kuda
masing-masing.
Malam itu, dengan segala daya dan sedikit
ilmu pengetahuan yang dimilikinya,
Kratomlinggo berhasil menyembuhkan luka di
dalam yang dideritanya akibat pukulan Tapak
Luwing. Pada dasarnya bukan daya dan
pengetahuan silat Kratomlinggolah yang
menolong melainkan adalah karena pukulan
Tapak Luwing pagi tadi tidak mempergunakan
keseluruhan tenaga dalamnya.
Dendam terhadap Tapak Luwing dan kawan-
kawannya, kebencian yang tak terkendalikan
terhadap Ki Lurah Kundrawana serta pajak
yang tetap harus dibayar esok hari, semuanya
itu bertumpuk menjadi satu sehingga malam
itu, rneskipun baru saja sembuh dari luka
namun tekat Kratomlinggo sudah bulat untuk
berangkat ke Kotaraja! Niatnya ini
diberitahukannya pada beberapa kawannya.
Dan malam itu bersama empat orang lainnya,
dengan menunggangi kuda maka
berangkatlah Kratomlinggo ke Kotaraja.
Malam gelap. Sinar bintang dan cahaya bulan
sabit tak dapat mengalahkan kegelapan itu.
Kratomlinggo dan empat orang kawannya
memacu kuda masing-masing, melewati
sebuah tikungan dan sampai di sebuah
jembatan yang menghubungkan kedua tepi
sebuah anak sungai.
Pada saat itu pulalah Kratomlinggo dan
kawan-kawannya melihat serombangan
penunggang kuda di seberang jembatan.
Mereka berjumlah tiga orang dan ketiganya
menghentikan kuda di seberang jembatan itu.
Melihat gelagat yang tidak baik ini.
Kratomlinggo segera hentikan kudanya.di
tengah-tengah jembatan dan memberi isyarat
pada keempat kawannya. Malam memang
gelap namun mata Kratomlinggo masih
sanggup, mengenali penunggang kuda yang
paling depan dihadapannya. Manusia itu
ternyata adalah prajurit Kadipaten yang siang
tadi menanganinya!.
"Celaka," bisik Kratomlinggo. "Bagaimana
bangsat-bangsat Kadipaten ini bisa tahu
keberangkatanku ke Kotaraja?!" Sampai saat
itu baik dia mau pun kawan-kawannya sama
sekali masih tidak mengetahui siapa ketiga
manusia yang menghadang di ujung jembatan
itu!
Penunggang kuda sebelah muka yang tiada
lain dari Tapak Luwing adanya tertawa
mengekeh. "Rupanya pelajaran dan
peringatanku siang tadi masih belum cukup
huh!," sentak Tapak Luwing. Kratomlinggo -
tak menjawab. Namun dia diam tangan
kanannya menyelinap ke balik pinggang
meraba hulu golok. Hal yang sama dilakukan
juga oleh keempat kawannya. Dan di seberang
jembatan kembali terdengar kekehan Tapak
Luwing.
Begitu kekehannya berhenti maka terdengar
bentakannya. "Kalian kunyuk-kunyuk mau ke
mana?!"
"Kami tak ada permusuhan dengan kalian.
Karena itu minggirlah, beri jalan…" kata
Kratomlinggo pula.
"Minta jalan? Boleh… lewatlah!," kata Tapak
Luwing pula sambil pinggirkan kudanya.
Dipersilahkan begitu rupa malah membuat
Kratomlinggo dan kawan-kawannya menjadi
terpatung, tak bergerak di punggung kuda
masing-masing. "Ayo, kenapa tidak mau
lewat?!," tanya Tapak Luwing.
Kratomlinggo bimbang.
Dan Tapak Luwing buka suara lagi: "Kalau
begttu roh busuk kalian yang akan lewat
jembatan ini !"
"Sret !"
TapakLuwing cabut goloknya. Terdengar lagi
dua kali suara "sret" yaitu dari golok-golok
yang dkabut oleh anak buah Tapak Luwing.
Melihat ini Kratomlinggo dan kawan-
kawannya segera pula menghunus golok
masing-masing !
"Aku tahu kalian hendak ke Kotaraja…,"
berkata Tapak Luwing seraya larik tali
kudanya, "Tapi ketahuilah hanya roh-roh
busuk kalian yang akan menghadap Raja di
istana!"
Dalam jarak dua tombak, dengan satu
sentakan keras maka kuda Tapak Luwing
melompat ke muka. Dua anak buahnya
menyusul. Tiga golok berkelebat di bawah
cahaya redup bulan sabit. Lima golok
menyambutinya !
"Trang ….. trang ….. trang….!"
Bunga api memercik. Suara beradunya golok-
golok itu disusul oleh seruan kesakitan. Dua
kawan Kratomlinggo rebah dari atas
punggung kuda. Yang satu terbabat perutnya,
yang lain puntung lengan kanannya!
Dalam gebrakan kedua, Tiga Hitam dari Kali
Comel yang saat itu masih mengenai pakaian,
prajurit-prajurit Kadipaten, kembali
mengirimkan serangan hebat tanpa
memberikan kesempatan pada lawan! Dua
orang lagi menjerit dan roboh, tubuh salah
satu dari padanya kemudian kecebur ke dalam
sungai. Kratomlinggo sendiri dibikin
terjerongkang dari atas punggung kuda,
goloknya lepas. Masih untung sarripai saat itu
dia belum cidera apa-apa. Dan memaklumi
bahwa untuk melawan terus adalah satu
kesia-siaan maka laki-laki ini segara putar
tubuh ambil langkah seribu!
Tapak Luwing tertawa bergelak. "Dasar
manusia kintel! Kamu mau lari ke mana?!"
Dari balik sabuknya kepala Komplotan Tiga
Hitam dari Kali Comel ini keluarkan sebilah
pisau belati. Senjata ini melesat dengan
mengeluarkan suara berdesing! Kratomlinggo
yang tak tahu dirinya tengah dikejar maut,
terus juga lari.
Hanya satu jengkal saja lagi belati yang
mengandung racun itu akan menancap di
punggungnya maka pada saat itu pulalah dari
jurusan semak belukar gelap di tepi sungai
melesat sebuah benda berbentuk bintang
berwarna putih perak !
"Tring !"
Bunga api memercik.
Bukan saja benda berbentuk bintang ini
berhasil membuat pisau beracun Tapak
Luwing mental, tapi juga membuat pisau itu
patah dua !
Terkejutlah Tapak Luwing. Lupa dia pada
niatnya hendak membunuh Kratomlinggo.
Dengan serta merta diputarnya tubuhnya.
Matanya yang tajam telah melihat dari arah
mana datangnya sambaran benda putih perak
berbentuk bintang itu. Dan memakilah kepala
Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel itu.
"Setan alas yang ikut campur urusan orang ke
luar dari persembunyianmu dan terima pisau­
pisau ku ini !"
Habis bilang demikian Tapak Luwing
lemparkan sekaligus tiga bilah pisau
beracunnya ke arah semak belukar di
kegelapan.
Terdengar suara siulan yang disusul oleh
suara tertawa bergelak.
"Aku di sini bung! Kenapa serang tempat
kosong?!," kata, manusia yang muncukan diri
itu dengan nada mengejek.
"Bangsat betul!," maki Tapak Luwing. Di
lemparkannya lagi dengan tangan kiri
sepasang pisau belati ke arah laki-laki yang
berdiri sekira enam tombak di tepi sungai. –
== 0O0 == —
ORANG yang berdiri di tepi sungai sambuti
serangan itu dengan melambaikan tangan
kirinya. Sekali lambai saja maka kedua pisau
beracun itupun mentallah.
Kaget Tapak Luwing membuat-laki-laki ini
keluarkan seruan tertahan.
"Manusia yang sengaja cari penyakit, siapa
kau!" tanyanya membentak dan diam-diam
memberikan isyarat pada kedua anak buahnya
untuk bersiap-siap dan mengambil posisi
mengurung.
Yang ditanya. "Ada ribut-ribut apa di sini?!".
"Ee kunyuk gondrong!," maki salah seorang,
anak buah Tapak Luwing. "Kau berani. bicara
edan sama prajurit-prajurit Kadipaten?!"
"Oh…. jadi kalian prajurit-prajurit
Kadipaten…". Laki-laki di tepi sungai,
keluarkan suara mendengus. "Setahuku
prajurit-prajurit Kadipaten tidak suka urusan
kekerasan, apalagi membunuh manusia begini
rupa…!".
Sementara itu. Kratomlinggo yang tadi hendak
larikan diri, mendengar ada keributan baru di
belakangnya perlahan-lahan palingkan kepala
lalu putar tubuh dan berhenti di belakang
sebuah pohon. Apa yang disaksikannya
kemudian sungguh tidak diduganya.
"Kita tak perlu sembunyikan siapa kita
terhadap monyet bermuka manusia ini!", kata
Tapak Luwing.
"Nah, terus terang lebih bagus!" menimpali
laki-laki di tepi sungai. "Katakan saja siapa
kalian!".
"Sebelum tahu siapa kami sebaiknya lekas-
lekaslah berlutut minta ampun!" kata Tapak
Luwing pongah.
"Eh, kenapa begitu?".
Karena menyangka bahwa Kratomlinggo
sudah larikan diri dan tak ada lagi di tempat
itu, maka berkatalah Tapak
Luwing;"Ketahuitah. Tiga Hitam dari Kali
Comel tidak pernah
membiarkanterusbernafasnya
seorangbiangrunyamyang ikut campururusan!"
"Ooo… jadi kalian Tiga Hitam dari Kali Comel,
rampok-rampok ganas tiada kernanusiaan
itu? Pantas… pantas tampang-tampang kalian
hitam macam arang…"
"Haram jadah! Terima golokku!," teriak anak
buah Tapak. Luwing yang di samping kanan.
Dengan gerakan enteng dia melompat dari
punggung kuda, derngan sebat goloknya
berkelebat ke arah batok kepala laki-laki
muda yang berdiri tetap tenang malahan
dengan tertawa-tawa!
Tiba-tiba dengan kecepatan yang luar biasa
laki-laki muda itu melompat ke belakang.
Serangan anak buah Tapak Luwing mengenai
tempat kosong. Karena begitu kesusu dan
sebatnya maka laki-laki itu jadi terhuyung-
huyung sendiri. Sebelum dia sempat
mengimbangi badan, satu tendangan
menghantam pantatnya!
"Manusia tidak tahu peradatan! Orang bicara
dipotong seenaknya! Rasakan sendiri olehmu!"
Melihat kawan dan anak buahnya
dipermainkan begitu rupa sampai tersungkur
di tanah. Tapak Luwing dan anak buahnya
yang satu lagi segera loncat dari kuda.
"Beri tahu namamu lebih dulu, kunyuk!,"
bentak Tapak Luwing. "Kalau tidak rohmu
akan minggat percuma!"
"Bicaramuterlalutinggi!Kalau mau
tahunamakumajulah…!".
Dengan tertawa bergelak Tapak Luwing
menyerbu ke muka. Sambaran goloknya deras
sedang tangan kirinya laksana palu godam
membabat ke arah ulu hati lawan. Inilah jurus
"angin mengamuk pohon tumbang" yang
memang bukan olah-olah dahsyatnya.
"Ah, rupanya kau punya ilmu yang diandalkan
juga eh?" ejek lawan yang diserang. Dia
merunduk untuk elakkan sambaran golok lalu
lompat ke samping guna hindarkan sodokan
tinju lawan dan dengan secepat kilat
kemudian tangan kanannya yang terbuka
menyeruak di antara kedua serangan lawan
tadi, menderas ke arah kening Tapak Luwing.
Kepala Tiga Hitam dari Kali Comel itu bukan
orang yang berilmu rendah. Kalau tidak
percuma saja dia menjadi kepala komplotan
yang ditakuti selama bertahun-tahun
disepanjang Kali Comel dan perbatasan.
Dengan sebat, dengan keluarkan bentakan
dahsyat Tapak Luwing membuat satu gerakan
yang luar biasa. Tubuhnya mencelat satu
tombak ke atas dan dalam lompatan itu kaki
kanannya menderu muka lawan dan disaat
yang sama pula dari sebelah belakang
menderu golok anak buah Tapak Luwing ke
arah punggung laki-laki muda itu.
Yang diserang bersiul. "Akh… kalian rupanya
betul-betul maui jiwaku! Tapi kurasa saat ini
belum waktunya!". Pemuda ini berkelebat.
Lututnya menekuk kedua tangannya berputar
seperti kitir dan: "bluk ……. buk"!.
Anak buah Tapak Luwing terjerongkang ke
belakang, muntah darah dan menggeletak,di
tanah. Tapak Luwing sendiri merintih
kesakitan sewaktu lengan lawan menghantam
tepat tulang keringnya!
Di saat itu anak buah Tapak Luwing yang tadi
ditendang pantatnya sudah bangun kembali-
dan dengan ganas lancarkan serangan
dahsyat. Namun nasibnya juga sial. Sekali
lawannya berkelebat maka goloknya kena
dihantam sikut lawan! Yang satu inipun roboh
pula menyusul kawannya
Merasakan sakit pada kakinya, melihat kedua
anak buahnya dibuat begitu rupa, benar-benar
Tapak Luwing hampir-hampir merasa seperti
orang mimpi. Apakah agaknya kali, ini
komplotan yang dipimpinnya menemui
"batunya"? Selama bertahun-tahun bertualang
dan menjadi Pemimpin Komplotan Tiga Hitam
dari Kali Comel baru hari itu dia melihat
dengan mata kepala sendiri bagaimana kedua
anak buahnya dibikin menggeletak hanya
dalam satu gebrakan saja! Bahkan dia sendiri
merasakan pula bekas tangan lawannya.
Lawan yang masih muda belia dan sama
sekali tidak dikenalnya.
Dengan penuh geram_Tapak Luwing salurkan
tenaga dalamnya lewat lengan kanan terus
kegolok sedang tangan kirinya saat itu sudah
memegang tiga pisau beracun. Kedua kakinya
terpentang, pinggangnya sedikit membungkuk
ke muka. Tangan yang memegang pisau
dinaikkan ke atas agak ke belakang sedang
tangan kanan memegang golok lurus-lurus ke
muka.
"Kenalkah kau jurus ini, pemuda keparat?!".
"Ah… hanya jurus –menyebar bunga menusuk
buah –nenek-nenek keriputpun bisa
mengenalnya!," sahut si pemuda.
Bukan saja Tapak Luwing menjadi geram
diajek demikian rupa namun dia juga kaget
melihat bahwa lawannya bisa menerka jurus
yang bakal dikeluarkannya itu!
Untuk menutupi keterkejutannya Tapak Luwing
berkata: "Kau sudah tahu nama jurus ini, baik
sekali!. Tapi juga ketahuilah ini adalah jurus
kematianmu! Bagusnya kasih tahu namamu
sekarang juga agar kau mampus tidak dengan
penasaran!".
"Sudahlah…. jangan banyak bacot!
Buktikanlah kehebatan jurus yang kau
andalkan itu!".
Tapak Luwing tertawa dingin. Tubuhnya
semakin membungkuk. Hampir tak kelihatan
dia menggerakkan tangan kirinya maka tiga
pisau yang dipegangnya tahu-tahu sudah
meluncur sebat sekali ke arah si pemuda.
Yang pertama menjurus batang leher, yang
kedua mencuit ke dada dan yang terakhir
menggebubu ke bawah perut!
Bukan saja daya lesat pisau itu hebat sekali
mengingat hanya di lemparkan dengan tangan
kiri, namun juga tempat-tempat yang
diserangnya juga adalah tempat-tempat yang
berbahaya mematikan.
Pada detik pisau-pisau beracun itu melesat ke
muka, pada saat itu pulaTapak Luwing
menerjang dan putar goloknya dengan sebat.
Dorongan angin golok yang. menderu
menambah kencangnya daya lesat tiga pisau
itu. Maka itulah jurus "menyebar bunga
rnenusuk buah". Pisau dan golok datang susul
menyusul!
"Akh jurusmu ini boleh juga!," kata si pemuda.
"Tapi coba terima dulu telapak tanganku!".
Si pemuda pukulkan tangan kirinya ke muka.
Angin dahsyat melanda dan mementalkan
ketiga pisau. Tapak Luwing berseru kaget
karena dua dari pisau itu akibat dorongan
angin pukulan lawan berbalik menyerang ke
arahnya. Mau tak mau Tapak Luwing terpaksa
pergunakan goloknya untuk meruntuhkan dua
pisau itu.
"Tring….. tring!"
Dua pisau beracun patah-patah dan terlempar
jauh. Gerakan untuk menangkis dua pisau ini
membuat Tapak L.uwing melupakan
pertahanan dirinya seketika. Ketika dia
memasang kuda-kuda baru maka telapak
tangan kanan lawan sudah berada dekat
sekali ke kepalanya. Kepala Tiga Hitam dari
Kali Comel ini pergunakan goloknya untuk
membabat lengan lawan namun kurang cepat
karena lengan kiri si pemuda lebih cepat
menyusup membentur sambungan sikunya.
"Krak"!
"Plak"!
Tapak Luwing mengeluh dan huyung
kebelakang.
Lengannya patah.
Keningnya yang kena dihantam telapak
tangan lawan sakit dan panas bukan main.
Pada kulit kening itu kini kelihatan tertera
angka 212! Tapak Luwing coba alirkan tenaga
dalam dan atur jalan darahnya. Namun
kekuatannya seperti punah. Keringat dingin
membasahi sekujur tubuhnya. Keningnya
panas, sakit dan pemandangannya berkunang,
lututnya gontai!
"Keparat…," desis Tapak Luwing.
"Ee… masih bisa memaki?"
"Kalau hari ini aku kena kau celakai jangan
anggap kau sudah mempecundangi aku, orang
muda. Suatu hari kelak aku akan mencarimu
dan mematahkan batang lehermu!".
Tapak Luwing ambil tiga pisau terbang
dengan tangan kirinya. Cepat sekali senjata
itu dilemparkannya ke arah si pemuda lalu
secepat itu pula dia putar tubuh untuk larikan
diri. Si pemuda melompat ke samping. Dua
pisau lewat di kiri kanannya. Pisau ketiga
diluruhkannya dengan lambaian tangan kiri!
Kemudian sambil totokkan dua jari tangan
kanannya mengirimkan totokan jarak jauh
berserulah si pemuda: "Kenapa pergi buru-
buru?! Bicaraku tadi padamu belum habis!"
Kontan saat itu juga tubuh Tapak Luwing
menjadi kaku tegang tak bisa bergerak lagi! Si
pemuda tertawa dan berpaling pada pohon
besar di tepi sungai.
"Saudara yang sembunyi di belakang pohon.
keluarlah. Aku mau bicara juga dengan kau!".
Kratomlinggo, yang berdiri di belakang pohon
itu terkejut. Namun karena tahu bahwa itu
pemuda bukanlah dari golongan jahat maka
tanpa ragu-ragu dia segera keluar. Lagi pula
penuturan Tapak Luwing tadi yang mengaku
bahwa dia.dan kawan-kawannya adalah
Komplotan Tiga Hitam dari Kalkomel
membuat dia merasa perlu melakukan pe­
nyelidikan lebih jauh.
"Saudara, apakah yang telah terjadi di sini
sebelumnya dengan kau dan kawankawan…?".
"Panjang ceritanya, saudara. Tapi sebelumnya
kalau aku boleh tahu siapa namamu…?"
"Aku Wiro…," jawab si pemuda.
"Aku Kratomlinggo. Aku dan kawan-kawanku
yang malang itu sama-sama dari desa
Bojongnipah. Kami bermaksud pergi ke
Kotaraja…"
Maka Kratomlinggopun menuturkan segala
sesuatunya, mulai dari soal pajak gila yang
dilarik oleh Ki Lurah Kundrawana sampai
dengan kematian keempat kawannya itu.
Wiro atau Wiro Sableng alias Pendekar 212
geleng-gelengkan kepalanya. "Aku memang
sudah lama dengar nama Komplotan bejat
mereka. Yang satu ini kalau tak salah
bernama Tapak Luwing. Pantas saja selama
beberapa waktu terakhir ini tak kelihatan
mereka malang melintang di sepanjang Kali
Comel. Rupanya tengah bikin kejahatan di
sini…".
"Dan pastilah penjahat-penjahat ini
bekerjasama atau jadi-kaki tangan Ki Lurah
Kundrawana…".
"Boleh jadi," sahut pendekar 212. "Tapi
mungkin juga merekalah biang runyam yang
melakukan pemerasan terhadap Ki Lurah!"
Kratomlinggo mengangguk.
"Supaya jelas biar bangsat yang satu ini kita
tanyai," kata Wiro Sableng pula. Dia
melangkah mendekati Tapak Luwing untuk
melepasakan totokan di tubuh kepala
Komplotan Tiga Hitam itu. Namun baru saja
satu tindak dia melangkah tiba-tiba sekali
berkelebatlah satu sosok tubuh dari
kegelapan. Makhluk ini langsung meraih
pinggang Tapak Luwing dan membopong
melarikannya!
Kratomlinggo terkejut
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
berteriak: "Maling tengik! Berhenti!".
Sebagai jawaban, terdengar suara tertawa
bekakakan dari orang yang melarikan Tapak
Luwing itu.
"Wiro Sableng, pemuda gendeng! Jangan
sangka cuma kau sendiri yang jago dan sakti
di jagat ini! Aku tunggu kau besok siang di
Rawasumpang! Kuharap kau punya nyali
unhuk menerima undangan kematianmu ini!
Ha… ha… ha …!"
"Sompret betul! Siapa kau! Berhentil".
"Besok siang. Wiro!" "
Dengan, geram pendekar 212 lepaskan
pukulan "kunyuk melempar buah"! ke arah
manusia tak dikenal itu! Deru angin yang
tiada terkirakan dahsyatnya menyerang si
orang asing. Pada saat itu pula terlihat
selarik sinar biru. Dan angin pukulan Wiro
Sableng terbendung laksana membentur
dinding baja! Terkejutlah pendekar 212.
Pukulan yang dilancarkannya tadi disertai
hampir sepertiga dari tenaga dalamnya.
Namun manusia yang tak dikenal itu berhasil
meruntuhkan pukulan tersebut!
Besarlah dugaan Wiro Sableng bahwa orang
yang memboyong Tapak Luwing itu adalah
guru Tapak Luwing., setidak-tidaknya kakak
seperguruannya. Atau mungkin juga seorang
sakti dari golongan hitam yang berkawan
dengan Tapak Luwing. –== 0O0 == —
HALAMAN rumah lurah bojongnipah penuh
oleh penduduk. Suasana malam terang
benderang oleh puluhan obor. Agaknya
penduduk Bojongnipah sudah tak dapat
menahan kesabarannya lagi untuk
mencincang dengan segala senjata yang
mereka bawa, kedua manusia yang saat itu
terikat ke tiang langkan rumah. Mereka tiada
lain daripada anak-anak buah Tapak Luwing
yang telah dirobohkan oleh Pendekar 212.
Keduanya telah siuman. Di samping terikat ke
tiang, keduanya juga berada dalam pengaruh
totokan Wiro Sableng.
Kratomlinggo berdiri di samping Ki Lurah
Kundrawana. Beberapa tombak dari mereka
berdiri tenang-tenang Wiro Sableng.
Kratomlinggo barusan saja menerangkan apa
yang diketahuinya tentang kedua orang itu
kepada Ki Lurah dan juga apa yang telah
terjadi di tepi sungai dekat jembatan.
Bola mata Ki Lurah Kundrawaana pulang balik
memandangi Wiro Sableng dan kedua anak
buah Tapak Luwing. Saat itu Lurah
Bojongnipah ini tak dapat lagi menahan hati
dan mengendalikan amarahnya. Untuk sesaat
lupa dia bahwa anaknya masih berada di
dalam tawanan Tapak Luwing dan Tapak
Luwing sendiri saat itu tidak berhasil
ditangkap!
"Saudara-saudaraku se-Bojongnipah…," kata
Kundrawana seraya maju beberapa langkah ke
hadapan penduduk yang berdesak-desakan.
"Sekarang kurasa sudah waktunya untuk
menerangkan kepada kalian apa
sesungguhnya latar belakang timbulnya pajak
gila itu! Aku dengan hati hancur dan seribu
satu kepahitan telah terpaksa menerima
segala kata-kata dan cap yang kalian
lemparkan padaku! Kalian mencap aku
sebagai tukang peras, aku telah terima. Kalian
cap aku sebagai lintah darat, sebagai tukang
tindas… sebagai ini, sebagai itu, semuanya
aku terima! Namun hari ini, malam ini kalian
terimalah juga satu penuturan dariku, satu
kenyataan yang menyebabkan terjadinya
pemungutan pajak berat itu. Dulu aku pernah
berkata bahwa pajak itu dipungut atas
perintah Raja! Untuk pembangunan dan
pemeliharaan balatentara Kerajaan. Kini
kuakui itu semua hanya alasan belaka, hanya
dusta besar yang aku karang-karang demi
untuk menyelamatkan keluargaku dan juga
menyelamatkan kalian semua dari keganasan
dan kejahatan yang kalian tidak ketahui …"
PendudukBojongnipah saling pandang
memandang satu sama lain penuh ketidak
mengertian. Ki Lurah Kundrawana menyapu
wajah mereka seketika lalu meneruskan
bicaranya.
"Tadi kalian sudah dengar semua keterangan
Kratomlinggo. Ini satu kenyataan bagus yang
dengan sendirinya telah mencuci diriku. Tapi
biar aku beri penjelasan lebih lengkap. Dua
manusia yang terikat itu adalah anak buah
Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel,
komplotan rampok-rampok bejat yang
dikepalai oleh Tapak Luwing yang berhasil
melarikan diri ditolong oleh seorang tak
dikenal. Jadi ketiganya sama sekali bukanlah
prajurit-prajurit Kadipaten seperti yang
mereka sengaja menyamar pagi tadi! Tiga
minggu yang lewat, di satu malam mereka
telah datang ke rumahku dan memaksaku
untuk menarik pajak sepuluh kali lebih besar
dari yang sudah-sudah. Jadi berarti aku
harus menarik pajak sebanyak sebelas kali
terhadap kalian. Yang sepuluh bagian harus
kuserahkan pada mereka sedang yang satu
bagian sebagaimana biasa diserahkan ke
Linggajati di mana Adipati Linggajati
kemudian meneruskan ke Kotaraja…
Aku coba untuk melawan. Tapi di samping
mereka bertiga berilrnu tinggi aku tak bisa
berbuat apa-apa karena anakku satu-satunya
mereka bawa! Anakku akan mereka bunuh
kalau pajak itu tidak aku pungut dari
penduduk di sini! Kalian bisa merasakan dan
mengetahui sendiri kini. Tak ada jalan lain
bagiku untuk membantah, kecuali kalau ingin
putera tunggalku rnenemui kematiannya…!".
Suasana malam sesepi dipekuburan kini!
Penduduk sama menganga dan terlongong-
longong. Tentu saja hal ini tiada diduga sama
sekali oleh mereka. Dan serentak pula dengan
itu maka menggelegaklah kemarahan
penduduk. Ketika seseorang di antara mereka
berseru: "Cincang dua bangsat ini!," maka
menyerbulah penduduk Bojongnipah dengan
senjata masing-masing. Namun disaat itu
pendekar 212 maju ke muka danberseru
nyaring. Sengaja seruannya itu disertaitenaga
dalam untuk mempengaruhi. penduduk yang
tengah marah itu.
"Saudara-saudara, jangan ceroboh! Kunyuk-
kunyuk ini akan dapat bagiannya juga! Tapi
kalian harus ingat pada nasib anak Lurah
kalian! Karena itu biarkan aku bicara sebentar
dengan salah satu dari mereka… !"
Kalau saja penduduk tidak mendapat
keterangan dari Kratomlinggo siapa adanya
pemuda berambut gondrong itu, pastilah
penduduk tak akan mau ambil perduli akan
ucapan Wiro Sableng, lagi pula tenaga dalam
si pemuda diam-diam sudah meresap
mempengaruhi mereka!
Wiro mendekati anak buah Tapak Luwing
yang terikat di tiang langkan sebelah kanan.
"Namamu siapa, sobat?," tanyanya.
Laki-laki itu diam saja. Hanya kedua bola
matanya berputar menyorot melontarkan
pandangan sangat membenci dan
mendendarn.
"Eeeh rupanya bekas tanganku membuat kau
jadi tuli, huh!".
"Keparat! Tak usah banyak bicara… Kelak hari
pembalasan dari pemimpinku Tapak Luwing
akan tiba! Kalian semua di sini akan dikirim
ke neraka!".
Wiro Sableng menyeringai.
"Mungkin kau dan kawanmu yang akan lebih
dahulu dkincang penduduk sampai lumat!"
kata Wiro Sableng pula. "Tak usah banggakan
pemimpinmu! Dia sudah kabur bersama
seorang kawannya!".
Keterangan ini mengejutkan kedua anak buah
Tapak Luwing. Memang sejak mereka siuman
tadi mereka tidak melihat pemimpin mereka
dan tak tahu berada di mana.
Dan Wiro berkata lagi: "Aku mempunyai
dugaan bahwa kau ada sangkut pautnya
dengan Adipati di Linggajati. Katakan saja
terus terang …. Anak buah Tapak Luwing
diam.
"Katakan!," bentak Wiro.
Sebaliknya laki-laki itu meludah ke lantai.
"Beset saja mulutnya!," teriak Kratomlinggo
yang sudah tak sabaran.
"Kau tak mau kasih keterangan?" tanya
pendekar 212.
Anak buah Tapak Luwing itu meludah sekali
lagi ke lantai langkan!
Wiro tertawa.
Dijangkaunya sebuah obor yang dipegang
oleh seorang penduduk.
"Pernah rasa panasnya api?," tanya pendekar
ini dengan tertawa-tawa. "Tampangtampang
macammu ini akan lebih keren bila disundut
begini rupa!".
Wiro Sableng lantas menyorongkan api obor
ke muka laki-laki itu. Anak buah Tapak
Luwing tak sanggup gerakkan kepalanya
karena tertotok. Keluhan kesakitan terdengar
tiada henti. Udara malam kini berbau
hangusnya bulu mata, alis dan sebagian
rambut laki-laki itu. Kulit mukanya kelihatan
merah terbakar.
"Mau sekali lagi?!," tanya Wiro dengan
tertawa-tawa.
"Aku bersumpah kalau lepas akan
membunuhmu dan tujuh keturunanmu!," kata
anak buah Tapak Luwing penuh penasaran.
"Jangan ngaco! Kau tak akan lepas dari sini.
Kalaupun lepas mungkin cuma rohmu saja!
Dan aku belum punya keturunan…!". Pendekar
muda itu tertawa mengekeh. Mau tak mau
orang banyak yang menyaksikan itu jadi ikut-
ikutan geli.
"Ayo, katakan apa hubunganmu dengan
Adipati Linggajatit," bentak Wiro seraya
mendekatkan api obor ke muka laki-laki itu.
"Tak ada hubungan apa-apa…!," jawab anak
buah Tapak Luwing.
"Ah… ini satu kebohongan atau kedustaan?!".
"Aku tidak dusta. Tidak bohong!".
"Lantas apa perlumu pagi tadi menyamar
bertiga-tiga menjadi prajurit-prajurit
Kadipaten…?".
"Itu bukan urusanmu!".
"Oh begitu? Memang bukan urusanku. Tapi
urusan api obor ini!". Dan sekali lagi api obor
menjilati muka laki-laki itu. Dia menjerit-jerit.
Wiro rnenunggu sampai beberapa detik di
muka. "Mau kasih keterangan apa tidak?"
tanyanya.
"Aku akan terangkan… !" berkata juga laki-laki
itu pada akhirnya.
Wiro tersenyum. Dilariknya obor kembali.
"Nah bicaralah. Biar kerasan agar semua
orang dengar!".
Maka anak buah Tapak Luwing itupun
memberikan penuturan: "Adipati Seta Boga
dari Linggajati mengirimkan seorang utusan
pada kami. Dia telah membuat rencana untuk
melakukan pemerasan di sini. Kami
ditawarkannya pekerjaan untuk menarik pajak
itu dengan perjanjian hasilnya dibagi dua.
Pemimpin kami menerimanya dan… dan…".
"Sudah. Itu sudah cukup terang!" kata Wiro
Sableng pula.
Ki Lurah Kundrawana maju ke muka. "Jadi ini
semua dibiangi oleh Adipati Seta Boga …?".
"Ya…".
"Kita harus tangkap Adipati itu!" teriak
penduduk.
"Gantung saja bersama kunyuk-kunyuk yang
dua ini!" teriak yang lain.
Pendekar 212 angkat tangan kirinya. "Soal
Adipati itu serahkan padaku," katanya. "Yang
penting kini ialah menyelamatkan anak laki-
laki Ki Lurah…".
Tersiraplah darah Ki Lurah Kundrawana bila
dia ingat kembali akan anaknya. Dijambaknya
rambut anak buah Tapak Luwing. "Anakku di
mana kalian sekap?!" tanyanya.
Laki-laki itu tertawa buruk. Sangat buruk,
apalagi melihat mukanya yang hangus dan
merah mengelupas. "Jangan harap anakmu
akan selamat Kundrawana!"
Kundrawana menyentakkan kepala laki-laki
itu. "Dimana?!".
"Mungkin sudah mampus di tangan
pemimpinku!"
Kundrawana mengambil obor dari tangan Wiro
Sableng. Anak buah Tapak Luwing menjerit
keras ketika obor itu disodokkan ke mata
kanannya, Mata itu pecah dan darah meleleh
di kulit mukanya yang mengelupas hangus!
"Kedua matanya akan kubikin buta keparat!
Kecuali, kalau kau segera menerangkan di
mana anakku kalian sekap!".
Laki-laki itu sebenarnya menyadari bahwa
kalau sudah tertangkap demikian rupa dirinya
tak akan mungkin lagi bisa selamat. Adalah
percuma saja baginya untuk memberikan
keterangan. Namun dalam diri manusia yang
berkeadaan seperti anak buah Tapak Luwing
saat itu, walau bagaimanapun senantiasa
selalu terdapat sekelumit harapan untuk bisa
menyelamatkan diri sehingga ancaman
matanya akan dibutakan kedua-duanya itu
mau tak mau mengerikannya juga!
Maka diapun memberikan keterangan : "Anak
itu disekap di satu kuil tua di Parit Kulon…".
Lega sedikit hati Kundrawana. "Tapi,"
katanya, "bila aku datang ke sana anakku
tidak ada atau kutemui dia dalam keadaan
sudah mati jangan harap kau bisa melihat
dunia ini sampai esok lusa!". Kini pendekar
212 yang buka suara : "Saudara-saudara
apapun yang kalian lakukan terhadap dua
kunyuk ini, itu bukan urusanku lagi. Tapi
sedapatdapatnya jangan diapa-apakan dulu
dia sebelum anak Ki Lurah ketemu dalam
keadaan selamat. Soal Adipati Seta Boga di
Linggajati, serahkan padaku. Besok kalian
bisa mengambil sosok tubuhnya di Kadipaten
Linggajati. Cuma aku tak dapat memastikan
apakah dalam keadaan masih bernafas atau
tidak. Itu tergantung pada sikapnya sendiri!
Sekiranya dia masih hidup, ada baiknya kalian
giring saja ke Kotaraja… Nah, selamat
tinggal!".
"Saudara tunggu dulu!" seru Kratomlinggo
dan Kundrawana hampir berbarengan. Namun
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 sudah
berkelebat lewat langkan, lewat kepala-kepala
penduduk Bojongnipah lalu lenyap ditelan
kegelapan malam. *** HANYA sebentar
suasana sepi menyeling. Bila bayangan sosok
tubuh pendekar 212 sudah lenyap ditelan
kegelapan malam maka lupalah penduduk
Bojongnipah akan pesan pendekar itu.
Beramai-ramai mereka menyerbu kedua anak
buah Tapak Luwing yang berada dalam
keadaan tak berdaya, terikat ketiang langkan
dan tertotok. Puluhan senjata laksana hujan
bertubi-tubi mampir ke kepala dan tubuh
kedua orang itu. Tiada terdengar suara jeritan
kedua orang ini, rintihanpun tidak! Mereka
telah menemui nasib pembalasan atas
kejahatan mereka. Keduanya menghembuskan
nafas dengan tubuh mandi darah dan muka
hancur tak bisa dikenali lagi. _
Ki Lurah Kundrawana tidak menyaksikan lagi
apa yang diperbuat penduduk Bojongnipah
itu. Bersama Kratomlinggo dan tiga orang
lainnya, dengan menunggangi kuda, dia
meninggalkan Bojongnipah menuju Parit
Kulon, sebuah pesawangan yang jarang
didatangi manusia, terletak kira-kira ernpat
kilometer dari desa. Satu-satunya bangunan
di Parit Kulon adalah kuil tua yang
diterangkan anak buah Tapak Luwing.
Karenanya meskipun malam tak sukar untuk
mencarinya.
Ki Lurah Kundrawana menyalakan obor yang
dibawa. Diiringi oleh keempat orang lainnya
dia masuk ke dalam kuil tua itu. Meski dia
menemui anaknya dalam keadaan
menyedihkan namun Kundrawana merasa.
lega dan gembira karena anak satu-satunya
itu ternyata masih bernafas. Anaknva tidur di
ubin kotor dengan pakaian yang juga kotor.
Tubuhnya kurus dari parasnya pucat karena
tak terurus. Tangan dan kakinya diikat.
Kundrawana bertutut lalu memeluk anaknya
itu. Kratomlinggo membuka tali yang
mengikat tangan serta kaki si anak yang saat
itu sudah bangun. Tetesan air mata mengalir
di pipi Ki Lurah Kundrawana. Tapi air mata
kali ini adalah air mata gembira.
Sementara itu di tempat lain ….
Tapak Luwing merasa tubuhnya yang kaku
karena ditotok itu dibawa lari dalam
kegelapan malam oleh seseorang. Bila sinar
bulan yang tidak begitu terang menyeruaki
pohon-pohon sepanjang jalan yang mereka
lalui dan menyinari paras laki-laki itu samar-
samar. Tapak Luwing terheran dan berpikir-
pikir. Laki-laki yang membawanya berlari itu
tidak dikenalnya sama sekali. Siapa dia dan
ke mana manusia ini mau membawanya!
Kemudian apakah dia seorang yang akan
menolongnya atau bukan? Tapi melihat
gelagat dan ucapannya terhadap pemuda
berambut gondrong tadi Tapak Luwing bisa
sedikit memastikan bahwa laki-laki ini tidak
bermaksud jahat terhadapnya. Diam-diam
hatinya merasa lega. Maka bertarryalah dia:
"Sobat, kau siapakah?".
"Jangan banyak tanya dulu!" menjawab orang
yang memanggulnya. Suaranya besar dan
parau, larinya laksana angin.
"Kita ini kemanakah?," tanya Tapak Luwing
lagi.
"Aku bilang jangan bertanya apa-apa dulu.
Apa tidak mengerti?!"
Tapak Luwing penasaran sekali. Namun dia
menurut dan menutup mulutnya. Sepanjang
perjalanan itu, satu hal saja yang diketahui
oleh Tapak Luwing tentang orang yang
memanggul dan membawa larinya yaitu laki-
laki itu puntung tangan kanannya sampai
sebatas bahu!
Ketika sampai di sebuah telaga kecil akhirnya
laki-laki bertangan buntung itu menghentikan
larinya. Tapak Luwing diturunkan dan
disandarkan ke sebatang pohon di tepi telaga.
Kemudian dilepaskannya totokan di tubuh
Tapak Luwing.
"Atur nafas dan jalan darahmu. Kerahkan
tenaga dalam!" berkata si tangan buntung.
Tapak Luwing segera melakukan hal itu. Tidak
disuruhpun memang semustinya dia sudah
bermaksud demikian, sesuai dangan setiap
ajaran ilmu silat dari aliran dan golongan
manapun.
Kemudian dengan tangannya yang cuma satu
laki-laki itu dangan cekatan mengobati lengan
Tapak Luwing yang patah dan membalutnya
dangan secarik kain.
"Aku berhutang budi dan nyawa padamu
sobat," kata Tapak Luwing.
Laki-laki yang menolongnya tertawa. "Ada
hutang ada piutang…," katanya di antara
tertawanya, "ada budi ada balas".
"Maksudmu sobat?" tanya Tapak Luwing. "Di
satu hari kelak pertolongan yang kuberikan
padamu ini akan kutagih…".
Tapak Luwing kerenyitkan kening. "Tidak kau
tagihpun, jika ada kesempatan aku pasti akan
membalasnya. Bahkan jika aku sudah sembuh
dan kau bersedia ikut ke Kali Comel, aku akan
hadiahkan kepadamu harta benda, perhiasan
dan uang seberapa saja kau suka"
Si tangan buntung menyeringai. Gigi-giginya
hitam kecoklatan. "Aku tidak butuh semua
itu," desisnya. Dipegangnya balutan di lengan
Tapak Luwing. Sesaat kemudian Tapak
Luwing merasakan aliran tenaga dalam yang
ampuh merembas ke dalam tubuhnya.
Tubuhnya menjadi segar kini dan rasa sakit
pada lengannya yang patah itu berkurang.
"Terima kasih," kata Tapak Luwing. "Apa
sudah boleh aku kenal padamu. Aku Tapak
Luwing…"
"Aku tahu siapa kau. Aku sudah lama dengar
tentang komplotanmu yang malang melintang
di sepanjang Kali Comel. Dan ketika tahu
bahwa kau berada di sekitar sini, timbul satu
maksud untuk menemuimu".
"Apakah maksud itu?" bertanya Tapak Luwing.
"Tadi aku sudah bilang, ada hutang ada
piutang, ada budi ada balas. Satu hari kelak
aku membutuhkan tenagamu…!".
"Jangan kawatir, aku pasti bersedia. Tapi
untuk keperluan apakah?".
"Kau tak usah tahu untuk keperluan apa. Kau
nanti akan tahu juga. Dengar, nanti pada hari
tigabelas bulan dua belas kau harus dating ke
Gunung Tangkuban Perahu…"
"Gunung Tangkuban Perahu…?".
"Ya. Masih kira-kira delapan bulan dari
sekarang. Dan satu hal harus kau ingat.
Jangan sekali-kali coba kembali ke desa
Bojongnipah untuk buat perhitungan dengan
Ki Lurah Kundrawana, salah-salah kau bisa
ketemu dangan bangsat yang telah
mencelakaimu tadi! Walau bagaimanapun
untuk saat ini kau tak akan mampu
menghadapinya! Ada saat untuk
menyelesaikan urusan dangan dia. Karena itu
kau musti datang ke Tangkuban Perahu pada
hari tiga belas bulan dua belas nanti.
Dengar?"
Tapak Luwing mengangguk. "Kau tahu siapa
bangsat itu agaknya?," dia bertanya.
"Angka pengenalnya telah dituliskannya
dikeningmu".
Terkejutlah Tapak Luwing. Dirabanya
keningnya. Tak ada rasa sakit tapi memang
kulit kening itu agak kesat dari sebelumnya.
"Berkacalah ke telaga itu".
Tapak Luwing merangkak ke tepi telaga. Dia
membungkuk dekat-dekat ke air telaga yang
jernih itu dan di bawah penerangan sinar
bintang-bintang serta bulan sabit samar-
samar dilihatnya tertera tiga buah angka.
Angka 2 1 2 ! Tapak Luwing memandang
keheran-heranan pada si tangan buntung lalu
memperhatikan lagi mukanya di air telaga.
Diusapnya keningnya.
Diusapnya lagi sampai beberapa kali tapi
angka 212 itu tidak mau hilang. Dibasahinya
keningnya dangan air telaga lalu diusapnya
lagi berulang kali. Tetap saja angka 212 itu
tidak mau hilang!
"Dengan. apapun dan cara bagaimanapun
angka itu tak akan bisa pupus dari keningmu
Tapak Luwing! Angka itu ditera dengan
telapak tangan yang mengandung tenaga
dalam dan kesaktian yang luar biasa.
Sekalipun kulit keningmu dikelupas sampai ke
batok kepalamu maka pada tulang batok
kepalamupun angka itu sudah meresap!"
"Siapa sesungguhnya manusia muda
berambut gondrong dengan angka pengenal
212 itu…" tanya Tapak Luwing pula.
"Namanya Wiro Sableng. Dia sakti sekali…"
jawab si tangan buntung. "Tapi," katanya
kemudian menambahkan, "dihari tiga belas
bulan dua belas nanti, kelak ajalnya akan
sampai!".
Diam-diam, meskipun si tangan buntung tidak
menerangkan tapi Tapak Luwing tahu, kini
bahwa antara si tangan buntung dan pemuda
rambut gondrong yang telah mencelakainya
itu terdapat sangkut paut dendam kesumat.
"Selama waktu delapan bulan mendatang,"
berkata lagi si tangan buntung, "kuanjurkan
kepadamu untuk berlatih ilmu silat yang telah
kau miliki agar lebih hebat." Tapak Luwing
mengangguk.
Si tangan buntung berkata: "Sekarang kita
berpisah. Jangan lupa hari tiga belas bulan
dua belas itu. Dan jangan coba-coba untuk
tidak memenuhi perintahku ini…"
"Kau mau kemana sobat?"
"Urusanku masih banyak…"
"Tapi kau masih belum menerangkan
namamu".
"NamakuKalingundil!" –== 0O0 == —
LINGGARJATI sudah agak sepi ketika dia
sampai ke sana karena hari sudah menjelang
larut malam dan udara dingin mencucuki kulit
tubuh sampai ke tulang-tulang. Di sebuah
kedai dia berhenti untuk membasahi
tenggorokan dan menghangatkan tubuhnya
dengan segelas bandrek. Di kedai ini juga dia
telah menanyakan di mana letak tempat
kediaman Adipati Seta Boga.
Tak sukar mencari tempat kediaman Adipati
Seta Boga. Rumahnya adalah sebuah gedung
yang paling bagus dan paling besar di
Linggarjati. Saat itu gedung tersebut berada
dalam suasana tenang tenteram. Dua orang
pengawal berdiri di pintu masuk dan di ruang
tamu kelihatan beberapa orang laki-laki.
Rupanya Adipati Seta Boga tengah menerima
beberapa orang tamu.
Laki-laki itu melangkah seenaknya di depan
kedua pengawal Kadipaten. "Di sini rumahnya
Adipati Seta Boga ?" tanyanya pada salah
seorang pengawal.
"Betul. Ada apa…?" balik menanya si
pengawal.
"Ah tidak apa-apa. Aku cuma tanya…," jawab
si pemuda. Digaruknya rambutnya yang
gondrong.
"Adipatinya ada …. ?"
"Ada sedang merierima tamu. Kau siapa?
Perlu apa tanya-tanya…?"
"Cuma tanya," jawab si pemuda. Digaruknya
lagi rambutnya lalu tanpa bilang apaapa dia
melanjutkan langkahnya.
"Sialan . . . ," maki pengawal itu.
Yang dimaki jalan terus.
Pengawal yang satu berkata "orang
gendeng…" Keduanya memandang sampai
pemuda tadi lenyap di tikungan jalan yang
gelap.
Setengah jam kemudian, ketika pemuda itu
kembali maka tamu-tamu di Kadipaten sudah
tak kelihatan lagi. Lampu besar di ruang
depan sudah diganti dengan lampu kecil.
Melihat kedatangan si pemuda dan yang
seperti tadi berhenti di depan mereka maka
membentaklah salah seorang dari pengawal.
"Orang sinting! Ada apa kau datang lagi ke
sini?!"
"Pergi sebelum kepalamu kupentung dengan
gagang tombak ini!," menghardik yang
seorang lagi.
Si pemuda menyeringai.
"Dengar sobat-sobatku," katanya. Kedua
tangannya diacungkan ke muka. Jari-jari
telunjuk dan jari jari tengah diluruskan.
"Kalian lihat jari-jari tanganku ini …. ?,"
tanyanya.
"Kunyuk gendeng! Berlalulah atau kuremukkan
kepalamu!" bentak pengawal sambil acungkan
tombaknya.
"Ah… jangan buru-buru marah tak karuan.
Bicaraku masih belum habis!," menyahuti si
pemuda tanpa acuhkan ancaman pengawal.
Jari jari tangannya masih diluruskan. "Coba
kalian hitung jari-jari tangan yang
kuacungkan ini," katanya.
Tentu saja kedua pengawal jadi tambah
mengkal melihat tingkah dan mendengar
ucapan si pemuda. Maka dua gagang
tombakpun meluncur deras ke kepala pemuda
itu. Namun lebih cepat lagi dari luncuran
kedua tombak itu, maka kedua tangan si
pemuda tahutahu sudah menotok urat di
pangkal leher pengawal-pengawal. Kontan
keduanya menjadi gagu dan kaku menegang.
Si pemuda tertawa. Kedua pengawal itu
sekaligus dipanggulnya di bahu kiri kanan
kemudian dimasukinya halaman Kadipaten.
Pengawal-pengawal yang dipanggul kemudian
dilemparkannya ke kandang kuda di belakang
rumah. Lewat pintu belakang dia masuk ke
dalam gedung Kadipaten yang saat itu belum
dikunci. Seorang perempuan separuh umur,
yang bekerja sebagat pembantu rumah tangga
dan yang saat itu tengah mencuci piring
terkejut melihat munculnya seorang pemuda
berambut gondrong yang tak dikenalnya. Dan
pemuda itu tersenyum kepadanya.
"Kau… kau siapa…?" tanyanya.
Si pemuda masih senyum. Tangan kirinya
dilambaikan. Selarik angin tajam menyambar
ke leher si perempuan. Perempuan ini hendak
berteriak. Namun saat itu mulutnya sudah
gagu, lidahnya sudah kelu sedang tubuhnya
tak bisa lagi digerakkan akibat totokan jarak
jauh yang lihay sekali. Si pemuda kemudian
memasukkan perempuan itu ke dalam sebuah
bilik kosong di bagian belakang gedung.
Saat itu Adipatit Seta Boga tengah membuang
hajat kecil di kamar mandi. Ketika dia masuk
kembali ke dalam gedung maka terkejutlah
Adipati Linggarjati ini. Betapa tidak!
Di atas kursi goyang, di mana dia sering
dudak bila melepaskan lelah, kini dilihatnya
duduk enak-enakan sambil memejam-
mejamkan mata seorang pemuda berbadan
kekar dan berambut gondrong yang sama
sekali tidak dikenalnya!
"Setan atau manusia dari mana yang kesasar
ke gedungku ini…?" ujar Adipati Seta Boga di
dalam hati. Dan pemuda di atas kursi terus
juga menggoyang-goyangkan badannya dan
kedua matanya masih dipejamkan.
"Siapa kau?!" bentak Adipati itu dengan suara
menggeledek dan menggema di empat dinding
ruangan.
Kursi goyang itu bergoyang-goyang juga.
Pemuda yang duduk di atasnya masih terus
duduk enak-enakan dan memejamkan mata.
Geram sekali Adipati Seta Boga jadinya.
Dengan langkah besarbesar dia maju
mendekat kursi goyang dan orang yang
mendudukinya. Telapak tangan kanan
terkembang dan detik itu juga maka
melayanglah tamparannya!
Beberapa saat lagi tangan kanan itu akan
mendarat di pipi si pemuda tiba-tiba si
pemuda bukakan kedua matanya. Dan seperti
alas kursi itu mempunyai per yang
melesatkan si pemuda ke atas demikianlah
tubuh pemuda itu melayang enteng sampai
dua tombak dari kursi yang didudukinya! Dan
sebagai akibatnya maka tangan kanan Adipati
Seta Boga kini menghantam sandaran kursi
goyang. Sandaran kursi itu pecah. Kayunya
berkeping-keping berantakan. Dapat
dibayangkan bagaimana jika seandainya
tamparan itu mendarat di pipi si pemuda
karena tamparan itu tidak boleh tidak tentu
mengandung tenaga dalam yang luar biasa!
"Ah…. kau rupanya Seta Boga…," kata si
pemuda sambil mengusap matanya. "Aku
sedang enak-enakan tidur, kau mengganggu
saja…!"
"Anjing kurap kenapa kau bisa kesasar ke
mari? Apa minta ditebas batang lehermu?!,"
radang Adipati Seta Boga. Geram sekali dia.
Selama menjadi Adipati baru hari ini ada
seseorang yang memanggilnya dengan "Seta
Boga," saja !
Sipemuda tertawa dan seperti tak ada hal
apa-apa dia duduk kembali seenaknya di atas
kursi goyang, kembali bergoyang-goyang dan
memejamkan matanya.
"Setan alas betul!," damprat Seta Boga. Sekali
kaki kanannya bergerak maka mental dan
hancurlah kursi goyang itu. Tapi si pemuda
sekejapan sebelum itu sudah melompat dan
berdiri di sudut ruangan dekat sebuah meja
kecil.
"Kursi bagus ditendang sampai hancur. Kau
sudah sinting rupanya Seta Boga?," tanya si
pemuda sambil menyengir.
Sementara itu karena suara ribut-ribut di
ruang tengah maka istri Seta Boga ke luar dan
disamping heran dia juga terkejut melihat apa
yang terjadi.
"Kakang ada apakah? Siapa manusia ini?!"
tanya perempuan itu.
"Pergi, panggil pengswal!," teriak Seta Boga
pada istrinya. Perempuan itu berteriak
memanggil pengawal. Namun tiada pengawal
yang datang. Dua pengawal Kadipaten
sebelumnya sudah dibikin "mendengkur" oleh
si pemuda di kandang kuda!
Kegeraman Seta Boga tak terkirakan lagi
ketika dilihatnya pemuda berambut gondrong
itu mengambil sebatang serutu miliknya dan
dalam kotak serutu yang terletak di atas meja
kecil di sudut ruangan lalu menyalakannya
sekaligus!
Rahang-rahang Seta Boga bertonjolan. Jari-
jari tangan kanannya diremas-remaskannya
satu sama lain. Sesaat kemudian kelihatanlah
jari-jari tangan itu menjadi merah. Warna
merah terus menjalar sampai sebatas siku.
"Anjing kurap yang kesasar, hari ini terima
nasibmu harus mampus oleh pukulan wesi
geniku!" Tangan kanan yang merah itu
dipukulkan ke muka. Selarik angin yang tidak
terkirakan panasnya menggebubu ke arah si
pemuda.
Tubuh si pemuda berkelebat.
"Wuss!"
"Brak!"
Istri Seta Boga menjerit.
Dinding di muka mana pemuda itu tadi berdiri
hancur berlubang dan menjadi hitam hangus!
Orang yang diserang kelihatan disudut
ruangan sebelah kanan, asyik-asyikan
menyedot serutu!
Dada Seta Boga menjadi sesak oleh amarah
yang meluap. "Siapa kau sebenarnya ?!"
bentak Adipati Linggarjati ini,
Si pemuda batuk-batuk lalu cabut serutunya
dari sela bibir. "Namaku … ?," ujarnya.
"Masakan kau tidak tahu ?!"
"Setan alas …. !"
Si pemuda tertawa menanggapi makian itu.
"Namaku Tapak Luwing," katanya. "Aku
datang untuk menyerahkan sebagian dari
uang pungutan pajak di desa Bojongnipah. Ini
terimalah…!"
Si pemuda mengeruk saku bajunya. Sesuatu
dalam genggamannya kemudian
dilemparkannya ke arah Adipati Seta Boga.
Laki-laki ini cepat menghindar dan lambaikan
tangan kanannya. Benda yang dilemparkan
ternyata adalah kira-kira selusin kalajengking
yang saat itu sudah mati dan bertebaran di
lantai. Istri Seta Boga memekik lalu lari ke
dalam kamar. Si pemuda tertawa bekakakan!
Adipati Seta Boga tak menunggu lebih lama
menyambar sebuah tombak yang dipanjang di
dinding. Dengan senjata ini dia kemudian
menyerang si pemuda! Si pemuda tenang-
tenang selipkan serutunya ke bibir,
menghisapnya dengan cepat lalu
menghembuskan asapnya ke arah Seta Boga.
Adipati ini terpaksa melompat ke samping
sekali lagi karena asap serutu itu
mengandung tenaga dalam dan menyambar
ke arah kedua matanya!
Dari samping kini Seta Boga melancarkan
serangan. Tombak di tangannya membabat
kian kemari. Tangan kiri melakukan pukulan-
pukulan tangan kosong jarak jauh beberapa
kali berturutturut! Inilah jurus "kitiran dan alu
sabung menyabung" Jurus ini biasanya
dilaksanakan dengan memakai pedang. Tapi
dengan tombakpun kehebatannya tidak olah-
olah.
Tapi betapa terkejutnya Seta Boga ketika si
pemuda dengan tertawa-tawa berkata : "Ah,
cuma jurus kitiran dan alu sabung
menyabung, siapa takut? Sambuti serangan
balasan ini, Seta Boga!"
Demikianlah, meskipun diserang tapi si
pemuda bukannya mengelak malahan
menyambut dengan serangan pula!
"Ini jurus membuka jendela memanah
rembulan Seta Boga!," kata si pemuda.
Lengan kirinya dipukulkari melintang dari atas
ke bawah sedang tangan kanan meluncur ke
atas dalam gerakan yang cepat sekali dan
sukar dilihat oleh mata !
"Ngek"
"Buk !"
Tombak di tangan Seta Boga terlepas mental
karena lengannya kena dibabat oleh lengan
lawan. Suara ngek yang ke luar dari
tenggorokannya adalah akibat urat besar di
bawah dagunya telah kena ditotok oleh
sipemuda. Di saat itu pula tubuhnya tak
bergerak lagi alias kaku tegang! Karena
sebelum ditotok Seta Boga telah menyeringai
kesakitan akibat benturan lengan lawan maka
di saat tubuhnya menjadi kaku itu, mimik
parasnya sungguh tak sedap untuk
dipandang!
Si pemuda cabut serutu dari sela bibirnya don
meniupkan asap serutu itu ke muka Seta
Boga. "Sayang sekali," katanya. "Jurus kitiran
dan alu sabung menyabungmu terpaksa
bertekuk lutut di bawah jurus membuka
jendela memanah rembulan-ku…".
Ditiupkannya lagi asap serutu ke muka Seta
Boga. Totokan pada urat besar di bawah dagu
Seta Boga tetah melumpuhkan tubuhnya,
membuat mulutnya menjadi gagu dan,
perasaannya menjadi tumpul. Cuma
telinganya saja saat itu yang masih sanggup
mendengar. Maka berkatalah si pemuda.
"Dengar Seta Boga… besok Ki Lurah
Kundrawana dan penduduk Bojongnipah akan
datang ke sini. Kalau nasibmu baik kau akan
mereka seret ke hadapan Raja di Kotaraja.
Tapi kalau nasibmu buruk, mereka akan
mengeremusmu beramairamai! Dan sebelum
aku pergi, terima hadiah kenang-kenangan ini
dariku….".
Si pemuda acungkan jari telunjuk tangan
kanannya. Dengan mempergunakan ujung jari
itu diguratnya tiga buah angka di kening Seta
Boga, 212 …!
Ketika pada keesokan harinya Ki Lurah
Kundrawana dan dua lusin penduduk
Bojongnipah bersenjata lengkap datang ke
gedung Kadipaten di Linggarjati, mereka heran
menemui gedung itu dalam keadaan kosong.
Tak satu manusiapun ada di dalamnya.
"Pasti Adipati keparat itu sudah melarikan
diri!," Kata Kundrawana geram.
Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak dari
belakang gedung. Ketika Kundrawana dan
yang lain-lainnya pergi ke belakang gedung
mereka hampir tak percaya dengan
penglihatan mereka. Lima orang kelihatan
berdiri tak bergerak-gerak di kandang kuda. Di
sebelah muka adalah Adipati Seta Boga dan
istrinya. Di kiri kanan mereka pengawal­
pengawal Kadipaten dan di sebelah belakang
perempuan yang menjadi pembantu rumah
tangga! Ketika diperiksa kelimanya masih
dalam keadaan bernafas dan ditotok urat
darah mereka.
Ki l:urah Kundrawana memandang pada
angka 212 yang tertera di kening Adipati Seta
Boga. "Dua satu dua . . . . ," desisnya. Dia
hanya goleng-goleng kepala lalu memerintah:
"Perempuan-perempuan dan pelayan lepaskan
totokannya. SetaBoga kita seret ke Kotaraja!"
*** Pendekar kapak maut naga geni 212 Wiro
Sableng melangkah pelahan menuju ke tepi
sungai. Di tempat yang agak kelindungan dia
membuka pakaian dan mandi membersihkan
diri Sambil mandi itu kadang-kadang dia
tertawa sendiri bila mengingat kejadian
malam tadi di Kadipaten Linggarjati. Mungkin
pagi itu Kundrawana sudah sampai di
Linggajati, mungkin masih dalam perjalanan.
Satu manusia jahat, satu kejahatan telah
berakhir. Tapi pendekar 212 tahu bahwa
selama dunia terbentang, selama itu pula
kejahatan tak pernah akan berakhir !
Selesai mandi badannya terasa segar.
Matahari sudah mulai tinggi. Suara siulan ke
luar dari sela bibirnya sedang pikirannya
mengingat-ingat pertempurannya dengan
Tapak Luwing dan laki-laki yang telah
melarikan Tapak Luwing serta menantangnya
itu.
Tantangan ini mengingatkannya pada
pertempurannya di Gua Sanggreng dengan
Bergola Wungu tempo hari. Kali ini untuk
kedua kalinya dia ditantang. Siapa pula
gerangan kali ini yang menantangnya ?
"Hidup ini memang penuh tantangan?
Tantangan yang timbul dari diri kita sendiri
dan dari diri manusia-manusia lain… Sungguh
gila kehidupan ini! Tapi kegilaan inilah yang
mendatangkan kenikmatan…". Maka siulan
pendekar 212 itu semakin meninggi dan
melengking membawakan lagu tak menentu.
Tentang diri manusia yang telah melarikan
Tapak Luwing itu hanya dua hal yang
diketahui oleh Wiro Sableng. Pertama, dalam
kegelapan malam dia melihat bahwa manusia
itu buntung tangan kanannya. Kedua, ketika
dia melancarkan pukulan kunyuk melempar
buah dengan mempergunakan sepertiga
bagian dari tenaga dalamnya, manusia
bertangan buntung itu telah menyambuti
pukulan tersebut dengan selarik sinar biru!
Dan pukulan kunyuk melempar buah telah
terbendung oleh selarik sinar biru itu! Ini
membawa pertanda bahwa si tangan buntung
itu siapapun adanya pastilah memiliki ilmu
yang tinggi. Pendekar 212 menduga manusia
ini mungkin sekali guru atau kakak
seperguruan Tapak Luwing.
Dikenakannya pakaiannya kembali dan
diteruskannya perjalanannya.
Rawasumpang satu daerah tandus penuh
rawa-rawa maut yang menghisap setiap
benda apa saja yang masuk ke dalamnya.
Daerah ini terletak empat kilo di sebelah timur
Linggajati. Kesinilah Wiro Sableng menuju.
Angin dari utara bertiup kencang membuat
pakaian dan rambutnya yang gondrong
berkibar-kibar. Dia memandang ke bawah.
Pedataran luas penuh rawa-rawa maut itu
sunyi sepi. Tak satu manusiapun yang
dilihatnya. Wiro memandang ke langit.
Matahari tengah bergerak dalam gerakan yang
tidak kelihatan menuju ke titik tertingginya.
Tiba-tiba dari arah timur terdengar suara
bergelak yang santar sekali! Pendekar kita
berpaling ke arah itu. Sesosok tubuh laksana
anak panah berlari kencang sekali di
pedataran luas di sela-sela tebaran rawa-
rawa. Begitu suara gelaknya hilang maka
tubuhnya sudah berada di bawah bukit di
mana pendekar 212 berada. Bukit itu tidak
berapa tinggi dan dalam jarak sejauh itu Wiro
Sableng segera dapat mengenali siapa adanya
manusia yang bertangan buntung itu.
"Kalau dia yang menjadi penantangku malam
tadi, pastilah dia telah memiliki ilmu yang
tinggi dan sangat diandalkan…," kata Wiro
Sableng dalam hati. "Tapi…," ujarnya lagi,
"bagaimana mungkin dalam tempo beberapa
bulan saja kepandaiannya sudah seluar biasa
ini…?".
"Manusia yang merasa bernama Wiro Sableng,
merasa bergelar Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212, turunlah! Atau aku yang musti naik
ke atas bukit itu?!". Terdengar suara laki-laki
di bawah bukit.
Pendekar kita keluarkan suara bersiul.
"Tikus buduk cacingan kalau sudah jadi
kucing dapur memang berabe!," katanya. "Ada
kabar apa kau mengundang aku ke sini kucing
dapur…?".
Paras Kalingundil kelam membesi. Dengan
suara keras dia menyahuti: "Tadinya aku kira
kau tak punya nyali untuk datang ke sini
pendekar edan! Hitungan kita tempo hari
masih belum selesai…"
"Oho, jadi untuk maksud itukah kau kehendaki
pertemuan ini? Bagus sekali Kalingundil.
Memang urusan yang belum selesai harus
diselesaikan. Benang kusut harus diurai baik-
baik kembali!".
"Tepat sekali," jawab Kalingundil. "Cuma satu
hal pendekar gila. Kalingundil yang dulu tidak
sama dengan yang kau lihat hari ini!".
Wiro Sableng tertawa bergelak. "Tentu saja.
Tadipun aku sudah bilang bahwa dari tikus
buduk cacingan kau sudah berubah menjadi
kucing dapur. Tapi kau tak banyak berbeda
Kalingundil! Tanganmu yang dulu buntung
sekarang masih tetap buntung! Seharusnya
kau cari tukang kayu yang pandai untuk
membuat tangan palsu…!".
Mendidih darah di kepala Kalingundil. Tangan
kirinya bergerak, memukul ke atas. Setiup
angin biru deras menyambar ke arah Wiro
Sableng. Pendekar itu lompat ke samping
dengan sebat dan menyaksikan bagaimana
tanah bukit tempatnya berdiri tadi terpupus
berhamburan laksana longsor dihantam angin
pukulan Kalingundil! Diam-diam Wiro Sableng
menjadi kagum juga terhadap lawannya itu.
Kepada siapakah Kalingundil telah menuntut
ilmu selama beberapa bulan ini?
"Pendekar gila, jangan petatang peteteng
juga! Turunlah ke pedataran rawa-rawa ini!,"
teriak Kalingundil. "Turun untuk terima
kematianmu!".
"Setiap undangan baik dan buruk pantang
kuelakkan, Kalingundil," sahut Wiro Sableng.
Laksana seekor burung garuda dia melompat
ke bawah.
Dalam keadaan tubuh melayang di udara itu,
Kalingundil kirimkan tiga pukulan tangan
kosong sekaligus, beruntun hebat sekali.
Pendekar 212 sambut pukulan ini dengan
pukulan "benteng topan melanda samudera"!
Maka beradulah pukulan-pukulan dahsyat
yang mengandung tenaga dalam yang tinggi
itu sehingga menimbulkan suara meletus
hebat. Untuk sesaat pendekar 212 merasakan
tubuhnya yang melayang di udara laksana
tertahan oleh sebuah dinding yang tak
kelihatan sedang di bawah sana Kalingundil
melesak kedua kakinya sampai dua dim ke
dalam tanah!
Sungguh pendekar 212 tidak menyangka
kehebatan tenaga dalam Kalingundil berlipat
ganda banyak sekali dari beberapa bulan yang
lalu! Di lain pihak Kalingundil sendiri
mengeluh dalam hati. Waktu melancarkan tiga
pukulan beruntun tadi dia telah mengerahkan
tiga perempat bagian tenaga dalamnya: Meski
dia telah memiliki ilmu silat, yang aneh dan
tinggi mutunya namun nyatanya lawan itu
masih lebih tangguh!
Kalingundil kertakkan geraham.
"Pemuda gila, terima pukulan jotos siluman
biru ini!," bentak Kalingundil. Tangan
kanannya dipukulkan ke muka. Sinar biru
berkiblat menyambar ke arah pendekar 212
yang saat itu baru saja injakkan kaki
kanannya di tanah dekat tepian rawa!
Pendekar kita lompat setinggi empat tombak
dan dari atas ganti mengirimkan pukulan
balasan yang tak kalah hebatnya.
Pukulan angin menimbulkan suara seperti
ratusan seruling yang ditiup secara
bersamaan. Debu berputar-putar ke udara,
lumpur rawa-rawa seperti mendidih.
Kalingundil kerahkan tenaga dalamnya ke kaki
untuk mempertahankan diri. Tubuhnya
bergetar dilanda angin pukulan lawan namun
sepasang kakinya laksana baja tetap bertahan
ditempatnya. Penasaran sekali, dengan
membentak. Pendekar 212 lipat gandakan
tenaga dalamnya dalam pukulan itu!
Kini Kalingundil tak dapat lagi bertahan
dengan segala kehebatan yang dimilikinya itu.
Kedua kakinya laksana akar pohon
berserabutan dari dalam tanah, terlepas dari
pertahanannya. Tubuhnya terhuyung keras ke
belakang ke arah rawa-rawa maut.
Dihantamkannya tangannya ke muka untuk
membendung angjn pukulan lawan dan
serentak dengan itu dia jungkir balik di udara
melompati sebuah rawa kecil dan berdiri di
bagian lain dari pedataran! Dengan demikian
kedua manusia itu berhadapan satu sama
lain. terpisah oleh sebuah rawa-rawa!
Laki-laki bertangan buntung itu tertawa
dingin. Tangan kirinya bergerak ke balik
pakaian.. Sesaat kemudian di tangan kiri itu
tergenggam sebuah pedang buntung yang
berwarna biru. Meskipun buntung, melihat
kepada kilauan sinar biru dari senjata itu Wiro
Sableng maklum bahwa pedang di tangan
lawannya adalah sebuah pedang mustika.
"Kau lihat pedang ini, pemuda edan?!" bentak
Kalingundil. "Nyawamu ada diujung senjata
ini!". Pendekar 212 tertawa mengekeh.
"Orang dan. senjatanya sama saja! Sama-
saama buntung!" mengejek murid Eyang Sinto
Gendang itu,
Merah padam muka Kalingundil.
"Mengejek memang mudah. Tapi ketahuilah,
membunuhmu dengan senjata ini jauh lebih
mudah lagi!," kata Kalingundil pula. "Buka
matamu lebar-lebar orang gila dan lihat ini!".
Kalingundil menyapukan pedang buntungnya
ke arah rawa-rawa di hadapannya. Lumpur
rawa itu muncrat ke atas sampai tujuh
tombak. Sebagian besar menyibak laksana
terbelah sehingga dasar rawa yang hitam
legam terlihat jelas beberapa detik lamanya !
"Senjata hebat," ujar Wiro Sableng dalam hati.
"Dalam keadaan buntung demikian luar
biasanya. Apalagi kalau dalarn keadaan.
Sempurna. Bagaimana ini kucing dapur
dapatkan senjata itu…?"
"Kau sudah lihat pendekar gila?!," terdengar
bentakan Kalingundil.
"Senjatamu boleh juga, Kalingundil. Tapi dari
pada dipakai buat kejahatan lebih baik
ditempa untuk membikin sambungan tangan
palsumu!".
Marahlah Kalingundil. Disapukannya senjata
itu ke arah pendekar 212. Maka berkiblatlah
sinar biru yang menyilaukan!
Pendekar 212 tidak bodoh. Dengan cepat
dialirkannya tenaga dalamnya ke kedua
telapak tangan. Dia melompat ke udara.
"Ciat!"
Didahului oleh bentakan yang menggeledek itu
maka Wiro Sableng lepaskan pukulan dinding
angin berhembus tindih menindih. Begitu
pukulan ini melesat memapasi serangan
lawan maka Wiro susul dengan pukulan
kunyuk melempar buah yang perbawanya
disertai aliran tenaga dalam sampai setengah
bagian dari yang dimilikinya!
Pukukan yang pertama membuat serangan
Kalingundil tertahan laksana menumbuk
dinding karang yang atos. Pukulan yang
kedua bukan saja membuat buyar sinar biru
dari pukulan Kalingundil, tapi sekaligus
melabrak pukulan tersebut sehingga kini
Kalingundil yang berada dalam keadaan
diserang! Ini memaksa Kalingundil menyingkir
dua tombak ke samping. Kemudian tanpa
membuang waktu lebih lama laki-laki ini
menerjang ke muka. Pedangnya membabat
deras, sinar biru yang menghamburkan hawa
dingin serta tajam menyambar ke arah
pendekar 212!
Wiro Sableng membentak nyaring! Suara
bentakannya ini membuat gendang-gendang
telinga Kalingundil tergetar. Pedangnya
melabrak ke arah perut lawan tapi dalam
kejapan itu pula lawannya berkelabat dan
lenyap dari pemandangan! Penasaran sekali
Kalingundil putar pedang buntungnya
demikian rupa. Maka sinar birupun bergulung-
gulung mengurung Wiro Sableng!.
Sebagaimana kebiasaan pendekar 212, dalam
setiap pertempuran yang mulai menghebat
maka disaat itu pula mulai terdengar suara
siulannya melengking-lengking membawakan
lagu tak menentu! Tubuhnya hanya
merupakan bayang-bayang kini. Karena sukar
untuk menentukan mana tubuh yang
sebenarnya dan mana yang hanya baying-
bayang, maka hampir keseluruhan serangan-
serangan Kalingundil menghantam tempat
kosong. Namun demikian memang permainan
silat siluman yang didapat Kalingundil di Gua
Siluman tempo hari meskipun cuma
sepertiganya saja yang dikuasainya, benar-
benar patut dikagumi.
Pendekar 212 tahu bahwa lawannya sampai
dua puluh jurus dimukapun tak akan dapat
mendesaknya, apalagi melukainya. Tapi di
samping itu, pihaknya sendiri sukar pula
melakukan serangan balasan karena setiap
serangan yang dilancarkan Kalingundil
merupakan jurus pertahanan! Demikianlah
kehebatan ilmu silat siluman yang dimiliki
oleh manusia bertangan buntung itu!
Tapi adalah percuma saja Wiro Sableng
menjadi murid dan digembleng selama tujuh
belas tahun oleh nenek-nenek sakti Eyang
Sinto Gendeng kalau dia tak bisa menghadapi
lawan begitu rupa satu lawan satu!
Maka Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
segera robah permainan silatnya. Jurus-jurus
yang tak terduga dari Kalingundil dihadapinya
dengan jurus-jurus tak teratur yang gerabak
gerubuk kian kemari. Kedua tangannya
terkembang di kedua sisi laksana sayap
burung garuda sedang dari mulutnya
senantiasa terdengar suara siulan melengking
yang menyamaki liang telinga Kalingundil!
Saat itu kedua orang ini sudah bertempur
sampai tiga puluh jurus! Sungguh hebat! Tiga
puluh jurus seperti tidak terasa! Dan kini
kentara sekali bagaimana Kalingundil
terdesak hebat.
Bagaimanapun Kalingundil mempercepat
jurus-jurus permainan silatnya,
bagaimanapun dia merobah gerakan-
gerakannya dan mengamuk laksana banteng
terluka, namun tetap saja dia berada dibawah
angin, malahan kini terdesak ke arah rawa-
rawa maut!
"Ha… ha…. rupanya jalan ke nerakamu harus
melalui rawa-rawa maut ini, Kalingundil!".
"Budak hina dina jangan ngaco! Sambut
bintang silumanku ini!".
Sambil melompat jauh, dengan masih
memegang pedang buntung, Kalingundil
gunakan tangan kirinya untuk mengirimkan
selusin benda berbentuk bintang yang
berwarna biru ke arah lawannya.
"Akh… mainan anak-anak ini kenapa musti
dipertontonkan?!" ejek pendekar 212. Tangan
kanannya diputar ke udara. Serangkum angin
puyuh menggebubu dan bintangbintang
siluman itupun berhamburanlah kian ke mari
tiada mengenai sasarannya.
Pada detik Wiro Sableng gunakan tangannya
untuk menyambuti senjata rahasia lawan
maka kesempatan ini dipergunakan oleh
Kalingundil untuk melompat ke seberang
rawa-rawa kecil.
"Kucing dapur! Kau mau lari ke mana….?!"
teriak Wiro Sableng.
Sebagai jawaban Kalingundil lemparkan
segulung benda putih ke arah pendekar 212.
Mulanya Wiro menyangka benda itu sebuah
senjata rahasia, tapi ketika diketahuinya
hanya secarik kertas putih yang digulung
maka segera ditangkapnya dan di saat itu
pula Kalingundil pergunakan kesempatan
sekali lagi untuk melompat jauh lalu dengan
ilmu larinya yang lihay ditinggalkannya
tempat itu.
Wiro tidak punya maksud untuk mengejar
laki-laki bertangan buntung itu. Dengan
penuh tanda tanya dibukanya gulungan kertas
di tangannya. Ternyata selembar surat yang
ditujukan oleh Kalingundil kepadanya.
Cacat di tubuhku tak akan terlupa seumur
hidup. Kematian kawan-kawanku dan
kematian Mahesa Birawa tak akan terlupa
selama hayat. Semua itu kau yang menjadi
biang sebab.
Hari pembalasan akan tiba! Berani berbuat
berani tanggung jawab! Hari tiga belas bulan
dua belas kutunggu kau di puncak Gunung
Tangkuban Perahu. Kalau kau tak punya nyali
untuk datang lebih baik bunuh diri sekarang
juga! Pendekar 212 penasaran sekali.
Diremasnya surat itu. "Sialan betul kucing
dapur itu!," gerendang Wiro Sableng. Dia lari
ke bukit. Namun bayangan Kalingundil sudah
tak kelihatan lagi.
Tantangan yang dibuat Kalingundil di
Rawasumpang itu hanyalah sekedar untuk
menjajaki sampai di mana kehebatan ilmu
silat silumannya bisa menghadapi musuh
besarnya itu. Nyatanya Wiro Sableng masih
tetap jauh lebih digjaya dari dia. Namun dia
tidak kecewa. Pada hari yang telah
direncanakannya itu, kelak dendam
kesumatnya akan kesampaian. Dan sekaligus
di Rawasumpang itu dia te!ah menyampaikan
surat undangan kematian bagi musuh
besamya itu. Dia yakin pendekar 212 akan
datang ke puncak Gunung Tangkuban Perahu!
–== 0O0 == —
PUNCAK Gunung Halimun….
Puncak gunung ini kelihatan diselimuti awan
putih. Bila angin barat bertiup maka
beraraklah awan itu kejurusan timur dan
Puncak Gunang Halimun kembali kelihatan
dengan jelas dan megah.
Selewatnya tengahari, sesosok tubuh berlari
laksana angin, menuju ke puncak gunung.
Semakin ke puncak udara semakin sejuk serta
segar. Laki-laki itu mempercepat larinya
seakan-akan tak sabar untuk lekas-lekas
sampai ke tempat yang ditujunya. Maka lewat
sepeminuman teh sarnpailah dia ke puncak
tertinggi dari gunung itu.
Dia memandang berkeliling. Kernana mata
memandang hanya bebatuan saja yang
kelihatan. Mulai dari kerikil-kerikil kecil
sampai kepada unggukan-unggukan batu
besar sebesarbesar rumah! Di kaki-kaki batu-
batu besar yang rata-rata licin berlumut itu
tumbuh rumput-rumput liar. Laki-laki itu
bertangan bunting. Dia tak lain adalah
Kalingundil. Mengapa dia berada di puncak
gunung ini ialah dalam meneruskan rencana
besarnya yaitu membalaskan dendam
kesumat terhadap pendekar 212 Wiro Sableng.
Kalingundil dengan gerakan yang enteng
melompat ke salah satu batu besar.
Seseorang yang tidak memiliki ilmu meringani
tubuh yang ampuh pasti tak akan sanggup
mernbuat lompatan lihay itu, kalaupun dapat
mungkin begitu menginjak batu, kakinya akan
terpeleset karena lincinnya lumut! Kalingundil
memandang keseantero puncak gunung yang
telah mati itu. Di antara unggukanunggukan
batu-batu rnaka di tengah-tengah
kelihatanlah kawah yang besar yang sudah
padam.
Kawah ini berbentuk kerucut dan dalarn
sekali. Kalingundil melompat lagi ke batu
besar yang lebih tinggi. Sekali lagi
dilayangkannya pandangannya ke seantero
puncak gunung. Bila dia sudah yakin betul
bahwa tempat kediaman orang yang hendak
ditemuinya itu bukalah di permukaan puncak
gunung maka segeralah dia melompat ke tepi
kawah. Dari sini dia terus turun ke dalam
kawah.
Selain dalam, kawah Gunung Halimun sukar
sekali untuk dituruni. Tapi Kalingundil dengan
cekatannya lompat sana lompat sini sehingga
dalam waktu yang singkat dia sudah berada
di dasar kawah.
Udara di dalam dasar kawah gunung ini
pengap dan menyesakkan pernafasan.
Karenanya Kalingundil segera atur jalan
nafasnya. Begitu dirinya dapat menguasai
kepengapan, itu maka dia segera meneliti
keadaan dasar kawah di mana dia berada.
Luas dasar kawah yang merupakan pusat
kerucut itu hanya beberapa kali lebih besar
dari sebuah sumur. Seluruh dasar kawah
merupakan pasir campur tanah yang sudah
membeku den mengeras selama berabad-abad
sesudah gunung itu meletus. Putaran bola
mata Kalingundil terhenti pada sebuah lobang
yang besarnya selebar bahu manusia.
Laki-laki ini segera mendekati lobang itu.
Menelitinya sesaat lalu tanpa ragu-ragu
segera memasukinya. Mula-mula dia hanya
bisa merangkak. Tapi semakin ke dalam
lobang itu semakin besar sehingga dari
merangkak kini dia dapat membungkuk-
bungkuk dan akhirnya berjalan seperti biasa.
Kalingundil sampai ke sebuah ruang empat
persegi berdindingkan batu-batu hitam yang
kasar. Dari keempat sudut ruangan ini keluar
empat liukan asap tipis yang berwarna hitam.
Begitu, hidungnya mencium bau yang disebar
oleh asap ini mendadak sontak kepala
Kalingundil menjadi pusing. Cepat-cepat
Kalingundil kerahkan tenaga dalam dan tutup
jalan nafasnya.
Kalingundil tahu bahwa ruangan batu itu
bukanlah ruangan buntu. Tapi matanya tiada
melihat adanya pintu atau sebuah celahpun.
Laki-laki ini menengadah ke atas. Maka
kelihatanlah di langitlangit ruangan sebuah
liang tangga batu. Dia memandang berkeliling
lalu enjot kedua kaki dan melompat ke tepi
liang, terus menaiki tangga batu. Anehnya,
bagaimanapun tingginya ilmu mengentengi
tubuh yang dimilikinya namun setiap iangkah
yang dibuatnya di tangga batu itu berbunyi
dan bergema keras!
Begitu sampai di anak tangga yang teratas
maka sampailah Kalingundil ke satu ruangan
putih yang sangat bersih. Demikian bersih dan
berkilatan putihnya dinding-dinding serta
lantai dan langitlangit ruangan itu, sehingga
tak ubahnya seperti berada di satu ruangan
kaca.
Tepat di tengah-tengah ruangan terdapat
sebuah batu besar dan di atas batu besar ini
sesosok tubuh laksana patung tengah
bersemedi jungkir balik, kaki ke atas kepala ke
bawah di atas batu. Sosok tubuh ini
mengenakan sehelai kain putih yang
dibalutkart sekujur badan mulai dari betis
sampai ke dada. Kepala dan paras orang yang
bersemedi tiada kelihatan karena tertutup oleh
janggut putih yang panjang, hampir menyamai
panjangnya rambut yang menjulai di lantai
dan juga berwarna putih! Sungguh hebat cara
manusia ini bersemedi!
Namun pandangan Kalingundil segera terbagi
pada seekor harimau besar belang tiga yang
berbaring di samping laki-laki yang tengah
bersemedi. Begitu melihat kemunculan
Kalingundil, makhluk ini berdiri dan
menggereng. Mututnya membuka lebar. Gigi
dan taringnya kelihatan besarbesar serta
runcing mengerikan. Didahului dengan auman
yang dahsyat dan menggetarkan ruangan
putih itu maka melompatlah binatang itu.
Kedua kaki terpentang ke muka, kuku-kuku
yang tajam dan panjang siap merobek tubuh
Kalingundil!
Kalingundil yang maklum bahwa harimau itu
bukan binatang biasa tapi peliharaan seorang
sakti dengan cepat segera melompat ke
samping hindarkan diri. Namun meskipun
demikian cepatnya, sang harimau lebih cepat
lagi! Laksana seorang jago silat kawakan,
masih melayang di udara binatang itu putar
tubuh, ekornya berkelebat!
Ekor yang panjang laksana cambuk itu
menghantam bahu Kalingundil yang buntung.
Pakaiannya robek. Bahunya sakit tiada
terkirakan. Kalingundil kerahkan tenaga dalam
dan disaat itu terpaksa segera melompat pula
ke samping karena si belang sudah
menyerangnya kembali!
Hanya dengan berkelabat-kelabat cepat dan
sigaplah maka Kalingundil berhasil
mengelakkan setiap serangan. Dia
menghitung-hitung, sampai saat itu telah dua
puluh jurus dia bertempur menghadapi sang
harimau. Dan selama itu Kalingundil terus-
terusan bersikap mengelak, sama sekali tak
mau menyerang! Kalau dia mengelak terus, di
satu ketika mungkin sekali harirmau itu
berhasil juga mengoyak daging tubuhnya!
Kalau dia melawan, sedangkan binatang itu
adalah peliharaan orang sakti dengan siapa
dia ingin bertemu dan bicara! Inilah yang
menyulitkan Kalingundil! Dan sementara dia
bertempur demikian rupa, orang yang
bersemedi masih juga terus bersemedi, seperti
tiada terganggu, seperti tak mengetahui
adanya pertempuran yang dahsyat itu!
Satu-satunya jalan bagi Kalingundil untuk
tidak mendapat celaka dan tidak mencelakai
ialah meninggalkan ruangan putih itu,
menghindar keluar untuk sementara,
menunggu sampai orang yang bersemedi
menyelesaikan semedinya.
Maka ketika harimau itu mengaum dan
menyerang, Kalingundil jatuhkan diri ke lantai
lalu bergulingan ke arah tangga. Pada saat
harimau itu hendak menubruknya sekali lagi.
Kalingundil sudah lenyap ke bawah tangga…
Telah tiga hari Kalingundil menunggu di dasar
kawah itu. Telah tiga kali pula dia masuk ke
dalam ruang putih dan mengintai dari balik
anak tangga teratas, namun sampai saat itu
orang yang bersemedi masih juga belum
meninggalkan batu persemediannya.
Menunggu sampai satu minggupun bagi
Kalingundil bukan suatu apa, tapi yang
menyusahkannya ialah untuk mendapatkan
bahan makanan selama hari-hari penungguan
itu.
Empat hari kemudian, pada kali yang ke tujuh
Kalingundil mengintai dari balik anak tangga,
orang itu dilihatnya masih juga bersemedi.
Dengan hati kesal Kalingundil menuruni
tangga kembali. Tapi begitu dia keluar dari
liang tangga dan sampai di ruang bawah
maka mendadak terdengar suara menggema
dari ruang putih.
"Manusia yang berani-beranian menginjakkan
kaki kotor di tempatku cepat datang
menghadap untuk terima hukuman!".
Terkesiap Kalingundil mendengar ini.
"Ayo cepat! Tunggu apa lagi?!," kata suara
dari ruang putih.
Kalingundil memutar langkahnya kembali.
Dalam melangkah kembali ke liang tangga,
terdengar lagi suara tadi.
"Hemm… seorang bertangan buntung
macammu sungguh tak pantas masuk ke
tempatku! Hukumanmu lipat ganda hai
manusia!".
Tentu saja Kalingundil terkejut mendengar ini.
Bagaimana orang di dalam ruangan putih itu
bisa mengetahui bahwa tubuhnya cacat?
Meski dia sakti luar biasa tapi mereka belum
pernah bertemu muka dan tak mungkin
menurut pikiran Kalingundil orang itu
mengetahui hal keadaan dirinya! Kalingundil
lupa bahwa dinding dan langit-langit ruangan
putih di atas sana tak ubahnya seperti kaca
sehingga orang yang ada di ruangan putih
akan mudah melihat siapa saja yang ada di
ruang bawah!
Kalingundil melompat ke atas dengan gerakan
enteng lalu menaiki tangga. Ketika dia muncul
di ruangan putih anehnya harimau yang
berbaring tidak lagi menyerangnya. Sedang
manusia berselempang kain putih masih tetap
berdiri dengan kepala di atas batu kaki ke
atas! Seperti hari-hari sebelumnya parasnya
masih tertutup oleh julaian janggut putihnya
yang panjang menjela-jela.
Meski. harimau belang tiga itu tidak
rnenyerangnya, namun Kalingundil berdiri
dengan waspada. "Kau siapa?!" membentak si
kepala ke bawah kaki ke atas.
"Namaku Kalingundil. Apakah saat ini aku
berhadapan dengan Begawan Sitaraga?,"
tanyaKalingundil setelah terangkan dia punya
nama.
Yang ditanya tak menjawab melainkan ajukan
pertanyaan: "Perlu apa kau datang mengotori
tempatku ini, manusia tangan buntung?!".
"Harap dimaafkan kalau kedatanganku
rnengotori tempatmu. Tapi sesungguhnya aku
tiada maksud demikian," kata Kalingundil
pula. "Aku…"
"Sudah! Jangan berbacot juga! Melangkahlah
lebih dekat untuk terima hukumanmu!".
Sebaliknya justru Kalingundil hentikan
langkah. Diperhatikannya manusia yang
berdiri jungkir balik di atas batu itu.
"Melangkah lebih dekat!" bentak orang itu.
Suaranya menggaung di ruangan putih sedang
harimau di sampingnya menggeram tak kalah
hebat. "Begawan…".
Kalingundil putuskan kalimatnya. Kaki kiri
manusia dihadapannya dilihatnya bergerak.
Serangkum angin yang sangat deras melanda
ke arah Kalingundil. Ruangan itu bergetar.
Dengan jungkir balik secepat yang bisa
dilakukannya Kalingundil berhasil elakkan
serangan dahsyat itu!
Terdengar suara gelak mengekeh. "Pantas…
pantas kau berani petatang peteteng datang
ke sini untuk bikin kotor tempatku. Rupanya
kau memiliki ilmu yang diandalkan juga! Aku
mau lihat apakah kau juga sanggup
mempertahankan diri dengan jurus kaki
selaksa baja ini?!".
Kepala yang di atas batu itu berputar. Kedua
kaki bergerak. Tahu kalau dirinya hendak
diserang lagi dengan tendangan jarak jauh
yang lebih dahsyat dari tadi, Kalingundil
cepat mendahului berseru.
"Begawan! Tahan! Aku datang membawa
kabar untukmu!".
Oleh ucapan yang lantang ini maka orang. itu
hentikan maksudnya untuk kirimkan serangan:
"Aku tidak kenal padamu! Kabar apa yang kau
bawa?! Cepat katakan!" hardiknya. Dia masih
juga berdiri, dengan kepala ke bawah kaki ke
atas seperti tadi.
"Kabar ini kabar buruk Begawan…"
"Sialan! Buruk atau baik cepat katakan!
Jangan habiskan, kesabaranku monyet alas!"
Kalingundil pada dasarnya sangat tidak
senang mendengar kata-kata makian seperti
itu. Namun dia menjawab juga. "Sobat
kentalmu Mahesa Birawa menemui
kematiannya di tangan seorang manusia
keparat…"
Tubuh di atas batu kelihatan bergerak dan
tahu-tahu manusia itu kini sudah tegak
dengan kedua kakinya di atas batu. Maka kini
kelihatannya parasnya yang sejak tadi
tertutup oleh geraian janggut putih panjang.
Kulit mukanya sangat pucat seperti tiada
berdarah. Pipinya cekung dan rongga matanya
lebih cekung lagi membuat wajahnya angker
sekali untuk dipandang. Rambutnya putih
panjang sampai ke bahu sedang janggutnya
menjulai sampai ke perut.
Kalingundil menjura memberi hormat. "Jadi
betul saat ini aku berhadapan dengan
Begawan Sitaraga..?" tanyanya.
Si muka pucat. tidak ambil perduli pertanyaan
itu.
"Siapa yang bunuh dia dan dari mana kau
bisa tahu?!"
Kalingundil segera buka mulut berikan
keterangan. "Mahesa Birawa dan beberapa
orang Adipati memimpin sejumlah batatentara
untuk memerangi Pajajaran. Tapi mereka
kalah. Semua Adipati menemui ajalnya.
Mahesa Birawa sendiri tewas di tangan
seorang pemuda sakti "
Maka kelihatanlah kerutan-kerutan muncul di
paras Begawan Sitaraga yang membuat
parasnya menjadi tambah angker. Kedua
matanya menyipit, pandangannya setajam
mata pedang! Rencana untuk memerangi
Pajajaran memang dia sudah tahu lama
bahkan sebagaimana perundingannya dengan
Mahesa Birawa, dia sendiri telah menjanjikan
akan turun tangan membantu pemberontakan
Mahesa Birawa karena memang sejak lama
dia mempunyai dendam kesumat dengan
keluarga istana Pajajaran! Di puncak Gunung
Halimun dia hanya menunggu kabar dari
Mahesa Birawa kapan penyerangan dilakukan.
Tapi hari ini datang seseorang yang
membawa kabar bahwa pemberontakan gagal
dan Mahesa Birawa sendiri menemui
kematian! Tehtu saja ini tak bisa
dipercayainya.
"Aku tidak percaya pada kau punya bicara,
manusia tangan buntung!" bentak Begawan
Sitaraga.
"Demi apapun aku berani sumpah bahwa aku
tidak dusta, Begawan" jawab Kalingundil
dengan suara merendah meskipun hatinya
gusar karena dipanggil dengan nama
"manusia tangan buntung" itu.
"Namamu siapa…"
"Kalingundil".
"Punya hubungan apa kau dengan Mahesa B
irawa?".
"Dia adalah pemimpin dan sobat kentalku
sejak tahunan, Begawan…"
"Baik! Tapi aku tidak tahu apa itu betul atau
tidak. Jawab pertanyaanku untuk
membuktikan kebenaran keteranganmu! Siapa
nama Mahesa Birawa sebenarnya…?".
Kalingundil tertawa. "Kau keliwat tidak
percaya pada pihak sendiri, Begawan…".
"Siapa akui kau pihakku…? Tampangmu yang
jelek inipun baru kali ini aku lihat!".
Kalingundil menggerutu dalam hati.
"Ayo jawab pertanyaanku! Siapa nama asli
Mahesa Birawa?!".
"Suranyali!" jawab Kalingundil.
"Hem…" Sitaraga merenung, "Mahesa Birawa
seorang berkepandaian tinggi. Tidak semudah
itu untuk merenggut nyawanya…"
"Di luar langit ada langit lagi Begawan!
Kesaktian pemuda tandingannya melebihi
kesaktiannya…".
Begawan Sitaraga kerutkan kening.
Dan Kalingundil teruskan ucapannya. "Aku
sendiri pernah menghadapinya. Masih untung
cuma tanganku yang dimintanya, bukan
nyawaku!"
"Ho-o… jadi maksudmu datang ke sini untuk
mengadu dan merengek macam anak kecil
agar aku turun tangan…?".
Merah muka Kalingundil. "Itu adalah terserah
padamu Begawan. Sebagai sobat dan bekas
pemimpinku, aku telah cari pemuda yang
membunuh Mahesa Birawa. Namun dia lebih
tinggi ilmu silatnya dan lebih tinggi…".
"Siapa nama bangsat itu?!" tanya Sitaraga
pula.
"Wiro Sableng. Tapi dia lebih dikenal dengan
julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212…"
Mendengar ini maka terkejutlah Begawan
Sitaraga. "Kau bilang dia bergelar Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212…?".
"Ya…"
"Kalau begitu dia adalah nenek-nenek keriput
si Sinto Gendeng!".
"Tidak… dia adalah seorang pemuda. Masih
sangat muda, bahkan tampangnya macam
anakanak, berambut gondrong dan berotak
miring sinting!"
Sitaraga merenung lagi. Kemudian desisnya:
"Kalau begitu mungkin sekali dia adalah
murid nenek-nenek itu yang diam di puncak
Gunung Gede. Tapi setahuku Sinto Gendeng
tidak punya murid sejak puluhan tahun
berselang…" Sitaraga tarik nafas dalam.
"Kalau betul dia murid Sinto Gendeng, tidak
salah Mahesa Birawa dipecundangi…" Sitaraga
memandang jauh ke muka seperti
pandangannya itu mau menembus dinding
putih di belakang Kalingundil.
Melihat ini maka Kalingundil mulai masukkan
jarum hasutannya. "Sewaktu aku bertempur
dengan dia di Rawasumpang aku beri
peringatan bahwa kelak sobat-sobat Mahesa
Birawa yang terdiri dari tokoh-tokoh silat
utama akan turun tangan untuk menuntut
balas. Dan Wiro Sableng mengumbar bahwa
terhadap siapapun dia tidak takut! Bahkan dia
menantang untuk bikin perhitungan di puncak
Gunung Tangkuban Perahu pada hari
tigabelas bulan duabelas nanti!".
Mata Begawan Sitaraga menyipit lagi.
"Pongah betul," desisnya. "Rupanya sudah
kepingin cepat-cepat merasakan gelapnya
liang kubur! Sudah cepat-cepat ingin minggat
ke neraka!".
"Betul Begawan. Bukan saja kepongahannya
itu yang menyakitkan hati, tapi tantangannya
itu adalah juga sangat menghina dan tiada
memandang sebelah matapun terhadap tokoh-
tokoh silat utama macam Begawan….".
Sitaraga manggut-manggut. "Manusia-
manusia macam begitu musti dilenyapkan
dengan lekas. Kalau tidak akan menjadi biang
runyam golongan dan aliran kita…."
Hati Kalingundil menjadi gembira karena tahu
hasutannya sudah menyamaki dan mengobari
dendam serta amarah Begawan itu.
"Tantangan itu…," kata Kalingundil pula
meneruskan hasutannya, "sekaligus menghina
terhadap guru Mahesa Birawa yang diam di
Gunung Lawu… Aku bermaksud untuk
menemuinya dan meminta langkah-langkah
yang segera akan kita laksanakan".
"Kalau cuma untuk memecahkan batok kepala
pemuda sedeng itu, aku sendiripun
menyanggupinya!"
"Betul Begawan. Tapi untuk tidak mengecewa
kan guru Mahesa Birawa di kemudian hari,
ada baiknya kematian muridnya itu diberi
tahu…"
"ltu urusanmu," jawab Sitaraga. Matanya.
memandang tepat-tepat ke pinggang
Kalingundil. Sesungguhnya sejak tadi matanya
itu memperhatikan secara diam-diam ke
pinggang Kalingundil. "Coba aku mau lihat
apa yang kau simpan di balik pinggangmu,"
katanya tiba-tiba.
Kalingundil kaget sekali. Dia melirik ke
pinggangnya. Dia telah menyimpan
senjatanya baikbaik namun mata Sitaraga
yang tajam masih sanggup mengetahuinya.
"Ah, tidak apa-apa Begawan. Cuma…"
"Cuma apa?!" Sitaraga pelototkan mata.
"Cuma sebilah pedang buruk…" sahut
Kalingundil.
"Keluarkan!"
"Begawan…."
"Jangan banyak bicara. Keluarkan!"
Kalau bukan berhadapan dengan Begawan
Sitaraga dan kalau tidak mengingat kepada
rencana besarnya, maka pastilah saat itu
Kalingundil akan beset mulut manusia yang
dihadapannya itu. Dia memang mengharapkan
bantuan Sitaraga tapi kalau dirinya dianggap
remeh terus menerus dan dihina dimaki serta
dibentak, siapa yang bisa sabarkan diri?! .
"Kau membangkang Kalingundil?!"
Penasaran sekali Kalingundil cabut Pedang
Siluman buntungnya. Maka sinar birupun
memancarlah di ruangan putih itu. Begawan
Sitaraga terkejut.
"Pedang Siluman Biru..," desisnya. Dia di
samping terkejut juga heran melihat pedang
sakti itu kini hanya merupakan sebuah
puntungan belaka. "Dari mana kau dapat
senjata itu? Bagaimana bisa buntung?
Apakah kau muridnya Siluman Biru?!"
Kalingundil menyeringai mendengar
pertanyaan-pertanyaan menyerocos itu. "Itu
semua adalah urusanku Begawan. Yang
penting hari ini kita telah berjumpa dan kau
telah mengetahui nasib Mahesa Birawa.
Sampai bertemu di puncak Gunung Tangkuban
Perahu!". Kalingundil berkelebat ke arah
tangga.
"Tunggu!" teriak Sitaraga.
Tapi Kalingundil tak mau ambil perduli.
Maka marahlah Begawan Sitaraga. "Kalau
tidak memikir kau bekas anak buah Mahesa
Birawa, sudah terlalu pantas aku minta
nyawamu, Kalingundil! Tapi saat ini cukup
kau tinggalkan saja salah satu dari daun
telingamu!"
Sebuah senjata rahasia melesat ke arah
telinga kanan Kalingundil. Laki-laki ini segera
lambaikan tangan kirinya. Tapi celaka senjata
rahasia itu tak sanggup dibuat mental dengan
pukulan tenaga dalam! Terpaksa Kalingundil
cabut pedang saktinya kembali. Namun
gerakan ini tentu saja sudah terlambat!
Kalingundil mengeluh kesakitan. Darah
membasahi pipi dan bahu pakaiannya. Daun
telinganya sebelah kanan terbabat buntung
oleh senjata rahasia Sitaraga! Kalau tidak
mengingat-ingat akan rencana pembalasan
dendamnya, maulah Kalingundil menyerang
Begawan itu dengan kalap, lebih-lebih ketika
didengarnya kekehandak Sitaraga yang
menusuk liang telinganya!
Dalam waktu yang singkat Kalingundil sudah
berada di luar Kawah Gunung Halimun.
Dibersihkannya darah yang membasahi pipi
kemudian dengan sehelai kain dibalutnya
kepalanya tepat pada batasan telinga yang
buntung. Kemudian diambilnya sebuah pil lalu
ditelan untuk menolak racun senjata rahasia
Sitaraga itu.
Di dasar kawah Gunung Halimun, tak lama
sesudah Kalingundil lenyap, kembali Sitaraga
merenung.
Siapa Kalingundil sebenarnya masih agak
samar baginya. Tapi itu tidak begitu penting.
Yang menjadi tanda tanya besar ialah siapa
itu pemuda yang bergelar Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212? Apa betul murid Sinto
Gendeng? Kalau Kalingundil telah
menghadapinya dengan Pedang Siluman dan
berhasil dikalahkan oleh si pemuda, maka
sudah dapat dijajaki oleh Sitaraga sampai di
mana ketinggian ilmu pendekar 212 itu! Ini
membuat dia ingin lekas-lekas berhadapan
dengan sang pendekar muda. Namun dia
musti menunggu beberapa bulan di muka
sampai saat yang ditentukan yaitu hari
tigabelas bulan duabelas! *** SIAPA penduduk
desa bukit tunggul yang tidak tahu dengan
Asih Permani. Tanyakan pada yang tua-tua,
mereka akan tahu, tanyakan pada yang
muda-muda mereka akan lebih dari tahu.
Tanyakan pada anak-anak kecil yang
mengangon bebek atau menggembala kerbau,
mereka juga akan tahu. Jika.ditanyakan
bagaimana paras Asih Permani maka semua
mulut akan memuji. Semua mulut akan
mengatakan: Asih Permani gadis yang
tercantik se-Bukit Tunggul. Mukanya bujur
telur. Hidungnya kecil mancung bak daun
tunggal. Bibirnya seperti delima merekah,
merah dan segar. Matanya bening bercahaya
laksana bintang di angkasa raya. Dagunya
seperti lebah bergantung, leher jenjang dan
suaranya halus merdu, serasa digelitik liang
telinga jika kita mendengar suara Asih
Permani. Dan keseluruhan tubuhnya yang
montok padat itu dibungkus oleh kulit yang
halus mulus.
Asih Permani memang cantik seperti
perbandingan di atas. Kawannya sesama
gadis di desa Bukit Tunggul banyak yang
merasa iri dengan kecantikan yang dimiliki
gadis itu. Pemuda-pemuda banyak yang
tergila. Tapi semua mereka bertepuk sebelah
tangan. Karena pada bulan di muka, tepat di
waktu bulan rembulan empat belas hari. Asih
Permani akan dinikahkan dengan
Ranggasastra, anak lurah Bukit Tunggul.
Memang di samping kaya raya, banyak harta
dan sawah berlimpah kerbau berkandang,
maka Ranggasastra cocok dan pantas menjadi
suami Asih Permani. Pemuda ini gagah.
Badannya tegap, hatinya polos dan ramah
kepada setiap orang. Sehingga kalau
bersanding dengan Asih Permani di pelaminan
nanti tentulah tak ubahnya seperti pinang
dibelah dua!
Semakin lama, semakin dekat juga hari
pernikahan itu. Tentu sama dapat
dibayangkan bagaimana perasaan kedua
calon pengantin itu menjelang hari
perkawinan mereka. Hari yang bersejarah dan
tak dilupakan seumur hidup mereka. Hari di
mana mereka akan sama-sama membuka
suatu "rahasia kebahagiaan hidup".
Saat itu Ranggasastra tengah duduk-duduk di
depan rumahnya memandangi bintang-
bintang yang bertaburan. Entah mengapa
malam itu hatinya gelisah saja. Dan dia tak
tahu apa sebenarnya yang digelisahkannya
itu. Larut matam baru dia dapat tertidur. Tapi
menjelang fajar dia tersentak. Ranggasastra
adalah seorang yang pernah menuntut ilmu
silat dan kesaktian pada seorang guru di
pantai utara. Nalurinya menyatakan bahwa
ada seseorang lain di dalam kamarnya saat
itu. Dibukanya kedua kelopak matanya. Dia
terkejut melihat sesosok tubuh manusia
sangat kate berdiri dekat tempat tidur.
Manusia ini berkepala botak sudah licin
berkilat ditimpa kelap-kelip sinar lampu pelita
dalam kamar.
Manusia kate ini memiliki hidung yang sangat
besar. Hidungnya yang besar itu seperti mau
menutupi mukanya yang kecil. Ketika dia
menyeringai dan mengeluarkan suara
mendesau, maka kelihatanlah giginya yang
cuma satu di sebelah atas.
Ranggasastra segera melompat dari tempat
tidur.
"Manusia kate! Siapa kau?!" bentak si
pemuda. Matanya meneliti manusia
dihadapannya dengan tajam. Dan meskipun
cahaya lampu minyak di dalam kamar tidak
begitu terang, namun Ranggasastra dapat
melihat bahwa manusia kate itu mempunyai
telapak kaki yang lebar dan besar sekali.
Tapak kaki itu sampai sebatas mata kaki
sama sekali tidak merupakan tapak kaki
manusia, tapi seperti kaki seekor gajah!
"He… he… he…". Manusia kate berkaki besar
tertawa berkemik. "Kau manusianya yang
bernama Ranggasastra, yang bakal jadi
penganten minggu depan…?!".
Tentu saja apa yang ditanyakan manusia itu,
mengejutkan Ranggasastra. "Itu bukan
urusanmu! Jawab dulu siapa kau!"
"He… he… he…". Tamu tak diundang itu
mengekeh lagi. "Maksudmu untuk menjadi
penganten, untuk menjadi suami Asih Permani
tidak akan kesampaian Ranggasastra…!".
"Manusia kate, jangan ngaco pagi-pagi
buta!," bentak Ranggasastra dengan marah.
"Keluar dari kamarku!". Pemuda itu kepalkan
tinjunya.
"Kau tak akan pernah menjamah tubuh Asih
Permani, anak muda. Karena mulai detik ini
ke atas, dia adalah milikku dan akan kubawa
ke mana aku suka, akan kuperbuat apa aku
senang!". Manusia kate ini mengekeh lagi.
"Kalau kau mau mengigau, pergilah mengigau
di liang kubur!". Habis berkata demikian
Ranggasastra menerjang ke muka. Tinju
kanannya menderu! Tapi dia hanya memukul
tempat kosong. Hampir tak terlihat oleh
matanya, manusia kate itu telah berkelebat
dan lenyap dari pemandangannya!
Tinggal seorang diri di dalam kamar
Ranggasastra merasa seperti orang yang
tertidur dan tersentak oleh mimpi. Digosok-
gosoknya kedua matanya dengan telapak
tangan berulang kali. Tidak, dia tidak mimpi!
Dia yakin betul bahwa dia tidak mimpi! Dan
ketika dia memandang ke lantai kamar yang
terbuat dari papan, maka pada lantai itu jelas
dilihatnya bekas-bekas telapak kaki manusia
kate tadi.
Ketika ingat akan ucapan-ucapan orang kate
berkepala sulah tadi maka khawatirlah
Ranggasastra. Segera dijangkaunya tongkat
besi berujung runcing yang tersisip di dinding.
Senjata ini adalah pemberian gurunya. Tanpa
menunggu lebih lama, pemuda ini segera
tinggalkan rumahnya menuju ke desa sebelah
timur di mana terletak rumah orang tua Asih
Permani.
Sepuluh tombak akan sampai ke halaman
muka rumah gadis calon isterinya, mendadak
Ranggasastra melihat sesosok tubuh
melompat keluar dari jendela samping rumah!
Sosok tubuh ini tak lain dari manusia kate
yang telah mendatanginya tadi. Dan pada
bahu manusia itu kelihatan sosok tubuh
seorang perempuan. Meskipun halaman
samping gelap tapi Ranggasastra tahu betul,
perempuan yang dipanggul itu adalah calon
isterinya. Asih Permani!
"Bangsat rendah! Pencuri busak! Lepaskan
perempuan itu!," bentak Ranggasastra.
Si kate kepala sulah tertawa dingin. "Sekali
aku bilang bahwa gadis ini jadi milikku, tak
satu manusia lainpun yang bisa
menghalanginya!".
"Kalau begitu terpaksa kukermus kepalamu!".
Maka tongkat besi di tangan Ranggasastra
menderu ke kepala si kate. Gesit sekali yang
diserang melompat ke samping. Ranggasastra
susul dengan satu tusukan ke dada kiri.
Namun dengan kecepatan yang luar biasa
orang kate itu gerakkan kaki kanannya!
Tendangan yang keras menghajar tangan
kanan si pemuda. Besi panjangnya lepas.
Tangannya hancur dan jeritan kesakitan
keluar dari mulut Ranggasastra. Pemuda ini
terhuyung sebentar lalu mental sampai
beberapa tombak ketika tendangan lawan
terus menyerempet perutnya! Perut si pemuda
robek besar. Tubuhnya menggeletak tanpa
nyawa. Si kate tertawa buruk.
"Maling hina dina!! Nyawamu di ujung
golokku!" teriak seseorang yang melompat
dari dalam rumah lewat jendela.
Si kate berkepala botak cepat putar badan
pada saat sebuah golok berkiblat memapasi
batok kepalanya!
"He… he… Kau juga inginkan mampus Ki
Lurah!" ujar si kate. Manusia yang
menyerangnya itu adalah Tanuwira, ayah Asih
Permani.
"Kau yang akan mampus lebih dahulu
manusia laknat!". Golok Tanuwira berkelebat
lagi. Tapi si kate sungguh luar biasa.
Serangan itu dihadapinya dengan tertawa
tawar. Sekali dia gerakkan kaki kanannya
maka hancurlah dada Ki Lurah Tanuwira.
Si kate tertawa mengekeh.
"Calon mantu dan calon mertua sama-sama
bernasib sial! Kasihan…". Dihirupnya udara
segar menjelang pagi itu sejurus lenyaplah dia
dari tempat itu. *** KETIKA dia sampai
kepertapaannya di puncak Gunung Lawu maka
terkejutlah manusia kate berkepala botak itu
sewaktu melihat ada seorang bertangan
buntung yang tak dikenalnya berdiri dekat
pintu. Orang yang bertangan buntung
agaknya juga terkejut melihat kedatangan si
kepala botak yang membawa seorang gadis
cantik di pundak kirinya. Tapi dia cepat-cepat
menjura.
"Pastilah saat ini aku berhadapan dengan
tokoh silat terkemuka yang bernama Tapak
Gajah…"
Laki-laki kate yang memang bernama Tapak
Gajah turunkan tubuh Asih Permani dari
pundaknya. Matanya meneliti tajam orang di
hadapannya lalu bertanya: "Kau sendiri
siapa? Apakah datang kesini membawa
maksud baik atau buruk?". Sambil bertanya
demikian Tapak Gajah memperhatikan telinga
kanan tamunya yang juga buntung tiada
berdaun.
"Namaku Kalingundil. Aku datang dengan
maksud baik, tapi membawa berita buruk".
"Aku tidak kenal padamu sebelumnya. Berita
buruk apakah yang kau bawa…?" tanya Tapak
Gajah.
Maka Kalingundil segera mulai pasang jarum
penghasutnya. "Pembunuhan atas diri
seorang murid adalah satu hal yang pahit
bagi gurunya! Begitu pahit sehingga
menanamkan dendam kesumat…".
"Jangan bicara berbelit!," potong Tapak
Gajah. "Katakan langsung berita buruk itu!"
"Muridmu dibunuh orang, Tapak Gajah…"
Berubahlah paras si tubuh kate kepala sulah.
Sedang Kalingundil saat itu melirik
memperhatikan Asih Permani yang berdiri tak
bergerak, "Pastilah tubuhnya ditotok", pikir
Kalingundil dan dalam hatinya dia bertanya-
tanya: "Siapa gerangan gadis cantik ini…".
Sesak nafas Kalingundil melihat kejelitaan
Asih Permani.
"Aku mempunyai beberapa orang murid yang
telah turun ke dalam rimba persilatan. Murid
yang mana yang kau maksudkan?!" tanya
Tapak Gajah.
Kalingundil memalingkan mukanya kepada
laki-laki itu kembali. "Mahesa Birawa…"
"Aku tak punya murid bernama Mahesa
Birawa!" berkata Tapak Gajah.
Kalingundil kaget. Dia berpikir-pikir seketika.
Kemudian dia ingat. "Maksudku muridmu
Suranyali…"
Sekali lagi berubah paras Tapak Gajah. Di
hatinya timbul kesyakwasangkaan. "Apakah
kau bicara, ngelantur atau bagaimana…?".
"Demi setan dan iblis aku tidak bicara dusta,
Tapak Gajah!".
"Suranyali bukan manusia sembarangan. Ilmu
kesaktiannya tinggi!"
"Tapi manusia yang membunuhnya lebih sakti
lagi!".
"Siapa ?!"
"Pendekar 212….".
Tapak Gajah merenung. Kedua tangannya
terkepal. "Kau dusta Pendekar 212 Sinto
Gendeng sudah sejak puluhan tahun
lenyapkan diri dari dunia persilatan!".
"Tapi…."
"Tutup mulut! Terima hukuman dariku
bangsat bermulut bohong!".
Tapak Gadjah hantamkan kaki tangannya ke
muka.
"Wutt !"
Angin sedahsyat badai yang ke luar dari
tendangan itu lebih dahulu menyerang ke arah
Kalingudil sebelum tendangannya sendiri
sampai !
Kalingundil tak mau ambil risiko. Dia berteriak
nyaring dan lompat delapan tombak ke udara.
"Byur!"
Kaligundil palingkan kepala ke belakang.
Tersekat rasanya tenggorokannya sewaktu
melihat bagaimana angin tendangan Tapak
Gadjah menghancurkan batu besar di
belakangnya!
Sewaktu manusia kate itu hendak lancarkan
serangan kedua Kalingundi cepat berseru:
"Tahan! Kita berada di pihak yang sama!"
Tapak Gadjah tarik serangannya.
"Apa maksudmu kita di pihak yang sama
huh?"
"Aku adalah bekas anak buah Suranyali
sewaktu kami masih sama-sama di Jatiwalu!"
"Jangan coba kelabui aku!," membentak
Tapak Gadjah.
"Perlu dan untung apa aku mengelabuimu!"
baias membentak Kalingundil dengan
beringas.
"Berikan bukti bahwa muridku yang satu itu
benar-benar dibunuh orang!"
Kalingundil tertawa dingin. "Tidak mau
percaya pada orang sepihak akan merugikan
diri sendiri Tapak Luwing…" Lalu Kalingundil
memberikan keterangan selengkapnya.
Kini mulai kelihatan bayangan rasa percaya di
paras Tapak Gadjah. Namun apa yang
meragukannya ialah keterangan Kalingundil
mengenai Pendekar 212 Wiro Sableng. Satu­
satunya kesimpulan bagi Tapak Gadjah ialah
bahwa pemuda bernama Wiro Sableng itu
adalah murid Sinto Gendeng.
"Golongan hitam memang sejak dulu menaruh
dendam pada itu nenek-nenek sialan…," ujar
Tapak Gadjah pula. "Tapi sebelum kami
bersepakat untuk menghabiskan jiwanya, dia
sudah lenyapkan diri! Kini muridnya muncul
dan membunuh muridku! Benarbenar laknat!"
"Aku sendiri telah tantang dia di
Rawasumpang demi untuk menuntut balas
kematian Suranyali atau Mahesa Birawa.
Tapi… itu pemuda keparat memang luar biasa
tinggi ilmunya. Kalau aku kalah dalam
pertempuran di Rawasumpang itu bukan suatu
apa tapi ada satu hal yang benar-benar
menyakiti hatiku Tapak Gadjah…"
Kalingundil menunjukkan paras yang
mengandung dendam. Sepasang matanya
memandang lurus-lurus jauh ke muka. .
"Katakan apa yang menyakiti hatimu itu!,"
kepingin tahu Tapak Gadjah.
"Sebelum mengundurkan diri dari
Rawasumpang aku bilang pada itu pemuda
keparat bahwa kelak pembalasan dari guru
Sunranyali akan tiba! Pemuda itu ketawa
bekakakan dan berkata bahwa sekalipun ada
seribu guru Suranyali, akan diterabasnya
sama rata dengan tanah!"
Rahang-rahang TapakGadjah mengembung.
"Begitu keparat itu bilang…?"
Kalingundil manggut.
"Meski dia murid si Sinto Gendeng, tapi
jangan merasa sudah setinggi langit
kepandaiannya! Katakan di mana bangsat itu
berada! Aku Tapak Gadjah akan pecahkan
kepalanya!"
"Kau tak perlu susah-susah mencarinya
Tapak Gadjah," menjawab Kaligundil.
"Bukankah tadi aku sudah katakan bahwa dia
sudah umbar mulut menentangmu? Katanya
dia tunggu kau pada hari tigabelas bulan
duabelas di puncak Gunung Tangkuban
Perahu!"
"Anjing kurap betul itu manusia!". Tapak
Gadjah meludah ke tanah.
Dan Kalingundil berkata lagi: "Beberapa tokoh
silat utama yang ditantang pendekar 212 itu
juga telah kuberi tahu! Mereka sudah
memastikan untuk datang ke Tangkuban
Perahu guna mengkeremus si pemud !"
"Seribu tokoh utama boleh datang ke sana.
Namun kematian anjing kurap itu aku yang
tentukan!" Kaligundil manggut-manggut.
Hatinya gembira. Memang itulah yang
diharapkannya. Sudah terbayang bagaimana
akan berhasilnya dia purrya rencana nanti.
Seorang diri dia memang tak sanggup untuk
menghadapi Wiro Sableng. Tapi kalau Tapak
Gadjah, Begawan Sitaraga, Wirasokananta.
dan Tapak Luwing yang berkumpul jadi satu
untuk membuat perhitungan, tiga Pendekar
212-pun tak bakal sanggup!
"Aku gembira mendengar keputusanmu itu.
Tapak Gadjah. Akupun pasti pula akan datang
ke puncak Tangkuban Perahu…"
Tapak Gadjah tertawa dingin. "Kalau kau
punya nyali tapi punya sedikit ilmu untuk
diandalkan sebaiknya tak usah datang ke
sana!"
Merah padam paras Kalingundil.
"Sekarang aku tak ada urusan lagi dengan
kau! Silakan angkat kaki dari sini!" bentak
Tapak Gadjah.
Kelingundil melirik pada Asih Permani.
Kemudian katanya pada Tapak Gadjah:
"Jangan terlalu memandang rendah terhadap
sesama kawan Tapak Gadjah. Aku memang
tidak dikenal dalam dunia persilatan tapi
untuk menghancurkan batu besar sepertimu
tadi, aku masih sanggup!". Kalingundil
gerakkan tangan kanannya ke pingaang.
Kemudian selarik sinar biru melesat ke arah
batu besar yang terletak sekira sembilan
tombak dari hadapannya.
"Byur!"
Batu itu hancur berkeping-keping dan
bayangan Kalingundil sendiri sesudah itu
lenyap dari pemandangan!
Terkejutlah Tapak Gadjah! Tiada disangkanya
kalau manusia bertangan buntung bertelinga
sumpung itu memiliki kehebatan demikian
rupa! Tapi manusia kate ini tidak berpikir
lebih lama. Begitu matanya membentur paras
dan tubuh Asih Permani maka lupalah dia
pada Kalingundil. Segera diboyongnya gadis
itu ke dalam pertapaan. Apa yang kemudian
dilakukannya terhadap gadis suci itu tak
seorang manusiapun yang tahu. Namun pada
hari itu satu kesucian telah lenyap dirampas
oleh kebejatan! –== 0O0 == —
PUNCAK gunung tangkuban perahu. Hari
tigabelas bulan duabelas…
Angin dari utara bertiup kencang,
mengalahkan tiupan angin barat yang
menghembus sepoi-sepoi basah. Puncak
Gunung Tangkuban Perahu diselimuti
kesunyian abadi. Tapi hari itu agaknya
kesunyian abadi itu akan sirna oleh
kedatangan manusia-manusia pembuat per­
hitungan. Akan pupus di landa dendam
kesumat orang sakti! Kawah gunung yang
lebar mengepulkan tiada henti asap tipis
berbau belerang.
Beberapa puluh kaki dari tepi kawah berderet
pohpn-pohon cemara berdaun lebat subur,
menjulang tinggi dan lurus! Saat itu matahari
pagi sudah naik tepat antara titik tertinggi
dan titik permulaan terbitnya.
Angin utara bertiup lagi dengan kencang,
Daun-daun pohon cemara melambai-lambai.
Dan diantara kerisikan-kerisikan geseran daun
pohon-pohon cemara itu maka terdengarlah
suara siulan yang mengumandangi seluruh
puncak Gunung Tangkubanperahu. Suara
siulan itu juga seperti mau menggelegaki
kawah belerang dan menampar-nampar kabut
belerang yang meliuk-liuk kepermukaan
kawah. Suara siulan itu tidak teratur, tidak
membawakan sebuah lagu atau tembang,
nadanya tak menentu. Namun
ketidakteraturan dan ketidakmenentuan itu
anehnya bila didengar dengan seksama akan
merupakan suatu lagu aneh bernada ajaib!
Suara siulan itu membuat pendengarnya akan
terkatung-katung ke dalam satu dunia khayal.
Tapi di pagi yang menjelang siang itu di
puncak Gunung Tangkuban Perahu itu tak
satu orang pun yang ada selain manusia yang
mengeluarkan suara siulan tadi. Dan siapakah
manusia ini adanya?
Suara siulan itu datang dari pohon cemara
yang paling tinggi tanda bahwa
manusianyapun berada di sana. Dan manusia
ini tiada lain dari pada Wiro Sableng, si
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!
Mengapa dia sampai berada di puncak
gunung itu adalah sehubungan dengan
tantangan musuh lamanya Kalingundil.
Namun pendekar muda itu sampai saat itu tak
pernah menyangka bahwa yang bakal
ditemuinya di puncak gunung itu kelak bukan
hanya Kalingundil seorang tapi juga beberapa
tokoh dunia persilatan yang terkenal serta
sakti!
Wiro terus juga bersiul-siul sambil sekali-
sekali layangkan pandangannya ke seantero
puncak gunung. Sepi dan suasana tenang-
tenang saja. Dilayangkannya pandangan ke
kaki dan lereng gunung. Juga segala
sesuatunya masih diselimuti kesunyian dan
ketenangan. Dua kali sepeminuman teh lewat.
Telinga pendekar 212 yang tajam dan terlatih
baik itu sayup-sayup mendengar suara
sesuatu. Segera pemuda ini hentikan
siulannya. Kepalanya diputar ke arah timur
puncak gunung dari mana datangnya suara
itu. Masih belum kelihatan apa-apa tapi suara
yang didengarnya tambah nyaring. Beberapa
ketika kemudian dari balik gundukan tanah
keras tepi kawah sebelah timur kelihatan
muncul kepala seseorang, menyusul dada dan
badannya. Sosok tubuh manusia ini ternyata
bukanlah Kalingundil karena tangannya tidak
buntung!
"Lain yang ditunggu, lain yang datang !" desis
Wiro Sableng dalam hati. Kedua matanya
terus memandang tak berkesip pada manusia
yang baru datang ini. Orang ini dilihatnya
memandang berkeliling agaknya mencari-cari
sesuatu, mungkin mencari seseorang.
Umurnya sudah lanjut. Menurut taksiran Wiro
paling rendah lima puluh tahun. Meskipun tua
tapi tubuhnya kekar. Pada pinggangnya
kelihatan tersisip sebilah keris emas. Dari
gerak geriknya yang enteng dan tenang Wiro
tahu bahwa orang tua ini pastilah seorang
yang menguasai ilmu silat dari tingkat tinggi.
"Mungkin sekali dia diam di sekitar puncak
gunung Tangkuban Perahu atau mungkin pula
kedatangannya ke situ hanya satu kebetulan
saja dengan hari di mana aku akan membuat
perhitungan dengan Kalingundil…,"
demikianlah Pendekar 212 berpikir-pikir di
dalam hatinya. Sementara itu si orang tua tak
dikenal dilihatnya berdiri di tepi kawah
memandang ke bawah lalu memutar tubuh
dan menjelajahi seluruh permukaan gunung
dengan sepasang matanya yang kecil tetapi
tajam. Kemudian orang tua ini pada akhirnya
melangkah ke arah deretan pohon-pohon
cemara dan di sini duduk melepaskan lelah.
Wiro maklum kini bahwa orang tua ini datang
ke situ adalah mencari seseorang dan ketika
orang itu tak ditemuinya dia memutuskan
untuk menunggu. Karena merasa tak punya
urusan dengan si orang tua. Wiro tetap saja
berada di tempatnya, di atas pohon cemara
tinggi.
Matahari bergerak juga menuju ke puncak
tertingginya. Wiro masih terus memperhatikan
si orang tua. Mendadak diputarnya kepalanya
ke arah selatan. Sesosok tubuh kelihatan
berkelebat. Kedatangan manusia ini boleh
dikatakan tidak terdengar atau tak tertangkap
oleh telinga Wiro Sableng. Nyatanya
kehebatan ilmu lari dan ilmu mengentengkan
tubuhnya. Apa yang menarik pendekar 212
ialah bahwa manusia ini bukanlah Kalingundil
yang tengah ditunggunya!
Orang ini berbadan kate. Kepalanya sulah licin
dan berkilat-kilat ditimpa sinar matahari.
Kedua telapak kakinya bukan saja lebar tapi
juga tebal seperti kaki gajah. Tiba-tiba
pendekar 212 ingat akan keterangan gurunya
Eyang Sinto Gendeng. Menurut gurunya itu di
puncak Gunung Lawu berdiam seorang tokoh
silat utama bernama Tapak Gadjah.
Kehebatan Tapak Gadjah ialah telapak pada
sepasang kakinya yang berbentuk kaki gajah.
Jangankan manusia, batupun kalau ditendang
akan hancur lebur. Dan memang pada saat itu
Wiro menyaksikan sendiri bagaimana tanah
gunung yang diinjak kedua kaki laki-laki itu
meninggalkan bekas amblas sampai setengah
dim!
"Mungkin sekali manusia ini adalah Tapak
Gadjah," membatin Wiro Sableng. "Tapi
kenapa pula dia jauh-jauh bisa muncul di
sini…?"
Selagi dia membatin begitu rupa Wiro Sableng
terkejut pula melihat bagaimana siorang tua?
yang duduk di bawah pohon cemara tiba-tiba
berdiri tegak menyambuti kedatangan
simanusia kate! kedua orang itu saling
pandang seketika. Sekali melompat maka si
kate sudah berada dua tombak di hadapan si
orang tua berkeris emas! Kembali keduanya
saling pandang dan meneliti. Kemudian
terdengar suara si kate membentak.
"Jadi kau sudah datang duluan pendekar gila
Wiro sableng?! Rupanya memang kau betul­
betul ingin mati lekas-lekas!" Kemarahan
yang meluap membuat Tapak Gadjah lupa
akan keterangan Kalingundil bahwa Wiro
Sableng adalah seorang muda! Bukan saja
siorang tua nampak terkejut dan heran, tapi
Pendekar 212 di atas puncak pohon cemara
jedi kernyitkan kulit kening waktu mendengar
bentakan si manusia kate itu !
Sebelum si orang tua sempat bicara maka si
kate sudah bertanya dengan membentak:
"Mampus cara mana yang kau kehendaki
Pendekar 212! Aku Tapak Gadjah segera
melaksanakannya!"
"Kalau betul aku berhadapan dengan Tapak
Gadjah, tokoh silat terkenal dari Gunung Lawu
saat ini…," menyahuti si orang tua, "maka
dugaanmu meleset sekali!"
Tapak Gadjah pelototkan mata. "Meleset
bagaimana maksudmu?" Dan Tapak Gadjah
ingat akan keterangan Kalingundil. Lalu
diajukan pertanyaan: "Apakah kau bukannya
Wiro Sableng si manusia geblek bergelar
Pendekar 212 itu…?!"
Si orang tua gelengkan kepata. "Aku adadalah
Wirasokananta, Ketua Perguruan Teratai Putih
di bukit Siharuharu…"
"Ah… tak disangka datang dari jauh kiranya
akan berjumpa dengan tokoh silat ternama,"
Tapak Gadjah pula ramah. Mengingat
Wiasokananta adalah tokoh silat dari
golongan putih dating dia sendiri dari
golongan hitam maka bertanyalah Tapak
Gadjah: "Gerangan apakah yang membuat
Ketua Perguruan Teratai Putih sampai datang
ke sini…"
"Panjang ceritanya Tapak Gadjah," menyahuti
si orang tua berkeris emas. "Ringkasrrya
adalah untuk mencari den memenuhi
undangan seorang manusia bejat bernama
Wiro Sableng bergelar Pendekar 212!"
"'Ah… ah… ah…! Kalau begitu kita sama-sama
datang untuk maksud yang serupa. Dan
pastilah mempunyai tujuan terakhir yang
serupa-pula yaitu menamatkan riwayat
manusia terkutuk itu. Bukankah demikin?"
Meskipun heran bagaimana Tapak Gadjah
bias tahu hal itu namun Wirasokananta
mengangguk juga.
"Maksud sama, tujuan terakhir sama tapi
latar belakang tentu lain. Kalau aku boleh
tanya, apakah sebabnya Ketua Perguruan
Teratai Putih sampai turun tangan dan bukan
menyuruh anak-anak murid Perguruan…?"
"Semua murid-muridku musnah di tangan
manusia laknat itu! Dua diantaranya
diperkosa!" jawab Wirasokananta. Suaranya
bergetar. Kemudian dituturkannyalah apa
yang telah menimpa Perguruan dan murid-
muridnya.
Di atas pohon cemara Pendekar 212 Wiro
Sableng pentang telinga buka mata tak
berkesip. Penuturan Wirasokananta tentu saja
sangat mengejutkannya.
Semenjak turun gunung bukan saja dia tidak
pernah mendengar nama Perguruan Teratai
Putih, bahkan bertemu muka dengan
Wirasokanantapun baru hari ini. Dan hari ini
pula Ketua Perguruan itu menuturkan bahwa
dia –Wiro Sableng –telah melakukan
pembunuhan besar-besaran atas diri murid-
murid Perguruan Teratai Putih! Ini adalah satu
hal yang sama sekali tidak benar! Kalau ini
bukan satu kekeliruan tentu ini adalah fitnah.
Dan bila ini juga bukan fitnah, apakah yang
telah menyebabkan Wirasokananta merasa
yakin bahwa Pendekar 212 lah yang telah
memusnahkan Perguruannya ?
"Nasibmu dan nasibku rupanya tidak banyak
beda Ketua Teratai Putih," terdengar suara
Tapak Gadjah. "Muridku Suranyali juga
kunyuk sedeng itu yang membunuh!"
Kini tahulah Wiro Sableng. Tapak Gadjah
rupanya adalah guru Suranyali alias Mahesa
Birawa ! "Tapi muridmu cuma seorang yang
mati di tangannya sedang aku
keseluruhannya," menjahuti Wirasokananta.
"Yang penting bukan soal jumlah. Ketua
Teratai Putih. Yang penting ialah bahwa
kunyuk sedeng itu seorang manusia bejat
yang musti kita lenyapkan dari muka bumi
ini!"
Wirasokananta mengangguk.
Tapak Gadjah hendak buka mulutnya kembali.
Tapi batal karena saat itu sudut matanya
melihat sesosok tubuh berkelebat dan tahu-
tahu sudah berada di hadapan mereka.
"Siapa lagi yang datang ini…?" membatin Wiro
Sableng.
Sedang sesat kemudian didengarnya suara
Tapak Gadjah berkata sambil menjura:
"Sungguh pertemuan yang tak terduga. Tokoh
silat dari Gunung Halimun kenapa bisa
muncul di sini…?"
Orang yang baru datang tertawa lebar. Dia
berpakaian kain putih. Rambutnya panjang
diriap seperti perempuan, janggutnya menjela
sampai ke perut. Rambut dan janggut itu
berwarna putih dan melambai-lambai tertiup
angin.
"Kau sendiri mengapa bisa nongkrong di
sini…?" balik menanya si janggut putih, dia
melirik pada Wirasokananta.
Tapak Gadjah mula-mula perkenalkan si
janggut putih pada Wirasokananta. Ternyata
si janggut putih itu adalah Begawan Sitaraga,
seorang sakti dari Gunung Halimun.
Setelah mendengar penuturan Tapak Gadjah
yang juga sekalian menuturkan tentang
Wirasokananta maka Sitaraga tarik nafas
dalam dan berkata "Betul-betul tak bisa
diduga kalau kedatangan kita ke sini tiga-
tiganya adalah membawa maksud yang sama!
Aku kenal baik dengan Mahesa Birawa. Aku
telah berjanji untuk membantu perjuangannya
menghancurkan Pajajaran karena memang
aku tejak lama punya permusuhan dengan itu
Kerajaan! Tapi nyatanya Mahesa mendahului
aku! Ini kuketahui dari seorarg anak buahnya
yang datang ke tempatku! Rupanya sebelum
pecah perang Mahesa ada mengirim kurir.
Kurir itu tertangkap peronda Pajajaran!"
Kesunyian menyeling seketika. Di atas pohon
camera Wiro Sableng masih tak bergerak di
tempatnya. Dengan munculnya ketiga orang
itu dan dengan penuturan masingmasing
mereka Wiro kini bisa menjajaki bahwa ada
sesuatu yang tak bares. Dan ketidak beresan
ini ditimpakan kepadanya. Siapa yang
menjadi dalang ketidakberesan ini tak susah
untuk diterka yaitu Kalingundil ! Tapi
Kalingundil sendiri ke mana mana? Yakin
bahwa bukan hanya tiga orang itu saja yang
bakal muncul maka Wiro memutuskan untuk
menunggu. Dugaannya rnemang betul. Lewat
sepeminum teh maka dari jurusan barat
kelihatanlah dua soaok tubuh berlari cepat
laksana angina! Yang satu bertangan buntung
dan segera dikenali oleh Wiro Sableng sebagai
Kalingundil adanya. Yang seorang lagi
pendekar 212 lupa-lupa ingat. Tapi metihat
angka 212 pada keningnya Wiro baru ingat
bahwa manusia ini adalah Tapak Luwing,
kepala komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel
yang tempo hari bertempur melawannya tapi
kemudian dilarikan oleh Kalingundil!
Begitu sampai dihadapan Tapak Gadjah,
Wirasokananta dan Begawan Sitaraga
keduanya segera menjura. Kalingundil
memandang berkeliling. "Harap maafkan kalau
kami datang agak terlambat". Dia
memandang lagi berkeliling. Orang-orang
yang diundangnya sudah lengkap. "Pendekar
gila itu masih belum muncul!"
Tapak Luwing berdehem. "Aku mempunyai
firasat bahwa itu manusia tak bernyali untuk
datang antarkan nyawa kemari!"
"Kalau dia berani menantang, dia berani
datang," menyahuti Kalingundil.
"Kita tunggu saja," buka suara Begawan
Sitaraga.
"Dan kalaupun nanti ternyata silaknat itu
tidak muncul, ke pintu nerakapun aku akan
cari dia!" berkata Ketua Perguruan Teratai
Putih.
Gembira sekali Kalingundil mendengar
katakata Wirasokananta itu. Nyatalah
bagaimana dendam kesumat si orang tua
terhadap Wiro Sableng.
Sementara itu dari atas pohon cemara
pendekar 212 Wiro Sableng memperhatikan ke
bawah dengan seksama. Kini tak ada keragu-
raguan lagi bahwa segala sesuatunya sampai
tiga tokoh silat utama itu berada di sana
adalah Kalingundil yang punya rencana. Lima
orang yang akan dihadapinya. Kalingundil
dan Tapak Luwing sudah bisa dijajakinya
ketinggian ilmu kedua orang itu, tapi
bagaimana dengan tiga orang lainnya?
Sanggupkah dia menghadapi mereka berlima
sekaligus? Pendekar 212 diam-diam tarik
nafas dalam. Dia memandang ke langit.
Matahari sudah sampai ke puncak
tertingginya. Apakah dia segera unjukkan diri
atau menunggu sampai saat yang
dirasakannya tepat?
Di saat itu di bawah didengamya suara Tapak
Gadjah berkata: "Aku masih belum yakin kalau
kunyuk ingusan itu benar-benar murid Sinto
Gendeng. Itu nenek-nenek keriput sudah sejak
lama minggat dari dunia persilatan…!"
Panaslah hati Wiro Sableng mendenger
gurunya, disebut demikian rupa. Tiada
terasakan lagi, didorong oleh naluri yang
telah membuat dia menjadi bisa maka
keluarlah suara siulan dari sela bibirnya.
Lima manusia di bawah pohon terkejut
dan.menengadah ke atas.
"Kurang ajar, rupanya kunyuk sedeng itu
sudah lama mendekam di atas!," maki
Kalingundil.
"Pendekar gila turunlah untuk terima
mampus!" teriak Wirasokananta.
Pendekar 212 tertawa bergelak. "Ketua
Perguruan Teratai Putih, aku kasihan pada
kau! Tidak tahu bahwa kau telah kena
dikelabui oleh manusia tangan buntung itu!"
Kalingundil cepat membentak. "Agaknya kau
memilih kematian di atas pohon itu. Wiro
Sableng?! Memang pohon itu cukup tinggi
untuk mempercepat roh busukmu terbang ke
neraka!"
Wiro tertawa lagi seperti tadi.
"Biar aku paksakan dia turun !" buka mulut
Tapak Luwing. Tangan kanannya bergerak.
Maka tiga pisau terbang beracun melesat ke
puncak pohon cemara di mana pendekar 212
herada ! *** TAPAK Luwing! Kalau merasa
sudah berilmu tinggi, biar kukembalikan
pisaumu!" teriak Wiro dari atas pohon.
Sesaat sesudah dia berkata begitu maka
menderulah angin deras. Tiga pisau terbang
kembali ke bawah menyerang pemiliknya
sendiri!
Dua buah masih sanggup dielakkan oleh
Tapak Luwing tapi yang ketiga sangat cepat
sekali meleset ke arah batok kepalanya.
"Awas!" seru Begawan Sitaraga. Sekali dia
lambaikan tangan maka mentallah pisau itu
dan Tapak Luwing yang diam-diam keluarkan.
keringat dingin terlepaslah dari bahaya
kematian!
Wiro Sableng kini tertawa membahak. "Kau
terlalu bodoh untuk ikut-ikutan datang ke
mari Tapak Luwing ! Seharusnya saat ini kau
cuci kaki dan pergi tidur!"
Saat itu Wirasokananta tak dapat lagi
menahan kesabarannya. Dengan tangan kanan
dipukulnya batang pohon cemara.
"Kraaak!"
Pohon itu tumbang.
Wiro melompat ke samping dan melayang ke
bawah dengan gerakan enteng. Sambil
melayang itu dia berkata: "Musuh penantang
cuma satu, mengapa sekarang bisa jadi lima?
Apakah kau bisa beranak, Kalingundil?" Lalu
pada tiga tokoh silat utama itu Wiro berseru:
"Kalian sudah tua bangka masih saja mau
derigan urusan dunia dan nafsu membunuh!
Apa tidak malu kena dihasut oleh kunyuk
tangan buntung itu?"
"Jangan banyak bacot manusia gelo! Ajalmu
hanya tinggal sekejapan mata saja!" bentak
Tapak Gadjah. Dia maju ke muka dan kirimkan
tendangan kaki kanan di saat Pendekar 212
masih juga belum menjejakkan kaki di tanah!
Angin tendangan kerasnya bukan main. Debu
beterbangan. Untuk menjajaki sampai kemana
kehebatan tenaga dalam lawan Wiro sengaja
tidak mengelak tapi memapasi serangan
tersebut dengan lancarkan pukulan "kunyuk
melernpar buah". Ketika dua angin pukulan
itu beradu terkejutlah Tapak Gadjah! Kedua
kakinya melesak sampai tiga senti ke tanah
sedang angin tendangannya yang sanggup
menghancurkan batu itu buyar! Ternyata
tenaga dalam Pendekar 212 tidak berada di
bawahnya!
Dengan membuat dua kali jungkir balik di
udara, pada jungkiran yang ketiga Wiro sudah
berdiri di atas kedua kakinya. Lima manusia
dihadapannya segera mengurung.
"Kalian kunyuk-kunyuk tua bangka apa tidak
malu main keroyok begini rupa?!" Pendekar
212 masih sanggup bertanya sambil
sunggingkan senyum mengejek.
"Seekor anjing kurap macam kau sudah
terlalu pantas untuk dijagal bersama-sama!"
menyahuti Wirasokananta.
"Ah, kau orang tua… Rupanya masih belum
tahu kalau dikelabui orang lain! Demi
kebenaran aku sama sekali tak pernah
mendatangi Perguruanmu. Apa yang terjadi di
Perguruanmu aku tidak tahu menahu. Itu
semua adalah fitnah. Seseorang lain yang
bertanggung jawab. Kurasa manusianya
adalah si tangan buntung ini!," Wiro menuding
ke arah Kalingundil.
"Ha… ha! Bukan saatnya untuk cuci tangan
pendekar gila!" seru kalingundil seraya main-
mainkan pedang buntung di tangan kirinya.
"Tak perlu kambing hitamkan orang lain! Tak
perlu lempar batu sembunyi tangan….!"
"Aku memsng tak mengambinghitamkan kau
orang buntung. Tapi eoba berkaca di cermin
Begawan Sitaraga, kau akan melihat
bagaimana tampangmu memang persis
seperti kambing!".
Merah padam muka Kalingundil.
Wiro tertawa mengekeh.
Begawan Sitaraga yang merasa dihina segera
maju ke muka. "Sobat-sobat, tak perlu bicara
panjang lebar dengan orang sedeng ini! Mari
kita kermus dia!". Habis berkata begitu
Sitaraga gerakkan tangannya. Sinar putih
yang panas dan menyilaukan menyambar ke
arah muka Wiro Sableng. Begitu matanya
tersambar sinar tersebut gelaplah
pemandangan pendekar 212.
"Celaka!" kata Wiro dalam hati. Tenaga
dalamnya dialirkan ke kepala dan dia
melompat cepat ke salah satu pohon cemara
untuk berlindung dari serangan lawan.
Tapak Gajah juga tidak berdiam diri.
Tendangannya menggebubu. Pohon cemara
patah dah disaat itu Wiro sudah berpindah ke
tempat lain. Dengan mata masih terpejam dia
putar kedua tangannya di udara. Maka
menderulah angin pukulan "benteng topan
melanda samudera". Meski pukulan ini hanya
mempergunakan sebagian tenaga dalam
karena yang sebagian masih tetap dialirkan ke
muka tapi kehebatannya cukup membuat lima
penyerang hindarkan diri ke samping. Ketika
matanya dibuka kembali maka
pemandangannya sudah terang seperti
semula.
Begawan Sitaraga terkejut ketika melihat
kedua mata lawannya tidak menjadi buta oleh
kilapan sinar cerminnya. Di lain pihak Wiro
menganggap bahwa senjata yang paling
berbahaya di antara penyerang-penyerangnya
ialah cermin di tangan Sitaraga itu. Maka dia
memutuskan untuk menghancurkan senjata itu
terlebih dahulu.
Namun dikurung lima begitu rupa tidak
mudah bagi Wiro Sableng untuk
melaksanakan niatnya. Serangan lima tawan
bertubi-tubi. Setiap dia coba untuk
menghancurkan senjata di tangan Sitaraga
maka pedang Kalingundil atau golok Tapak
Luwing atau keris emas ataupun tendangan
Tapak Gajah datang pula menyerangnya,
kadangkala berbarengan sekaligus! Dengan
bergerak gesit, dengan lancarkan serangan­
serangan balasan, dengan hanya bertangan
kosong itu, pendekar 212 cuma sanggup
bertahan sampai duabelas jurus. Jurus-jurus
selanjutnya dia didesak hebat Golok besar
empat peregi berkali-kali membabat ke arah
dada dan perutnya. Sinar biru Pedang Siluman
di tangan Kalingundil tiada henti berkiblat ke
sekujur tubuhnya sedang keris emas
Wirosokananta laksana hujan mengirimkan
tusukan-tusukan mematikan. Dan di antara
itu tendangantendangan Tapak Gajah tiada
terkirakan ditambah yang paling berbahaya
cermin di tangan Sitaraga berkata-kali
menyambar kemukanya, masih untung
sanggup dialakkannya!
Jurus kelima belas murid Eyang Sinto
Gendeng itu terdesak ke tepi kawah. Sinar
cermin menyambar kemukanya. Di saat itu
pula tendangan Tapak Gajah menyeruak ke
arah selangkangan. Dari atas menderu Pedang
Siluman Biru, keris emas menikam ke dada
dan golok besar Tapak Luwing menggebubu ke
perut!
"Tamatlah riwayatmu pemuda gila!" teriak
Kalingundil.
"Jangan lupa sampaikan salamku pada
setan-setan neraka!" menimpali
Wirasokananta.
"Bret"!
Ujung Pedang Siluman Biru menyambar lewat
dada, merobek pakaian pendekar 212!
"Sialan!" maki Wiro Sableng.
"Memakilah sekenyangmu setan alas! Setan-
setan neraka memang paling suka pada
manusia-manusia tukang maki macammu!"
teriak Kalingundil.
Wiro Sableng kertakkan geraham. Kedua
pipinya menggembung. Sedetik kemudian
meledaklah bentakan yang keras, demikian
kerasnya sehingga menggema sampai ke
dasar kawah Gunung Tangkuban Perahu!
Tubuh pendekar 212 lenyap! Serentak dengan
itu terdengarlah suara siulan yang
melengking-lengking. Dan di antara
lengkingan siulan itu menderu suara laksana
ratusan tawon, mendengung menyamaki liang
telinga! Sinar putih bergulung-gulung! Lima
penyerang tersurut mundur.
"Kapak Naga Geni!" seru Begawan Sitaraga
ketiga melihat senjata di tangan Wiro
Sableng. Belum lagi habis gaung seruannya
itu sudah menyusul suara jeritan setinggi
langit.
Satu tubuh angsrok terpelanting di tanah
mandi darah, kepala terbelah dua! Korban
Maut Naga Geni 212 yang pertama itu ialah
Tapak Luwing!
"Kurung biar rapat!" teriak Tapak Gajah. Dia
melompat tinggi. Kedua kakinya menendang
susul menyusul. Dua senjata lainnya menderu
pula ke arah Wiro Sableng.
"Ketua Perguruan Teratai Putih!" berseru
pendekar 212. "Antara kau dan aku tak ada
permusuhan. Sebaiknya undurkan diri saja!"
"Jangan bicara melangit pemuda sedeng!
Delapan arwah muridku minta roh busukmu!".
Wirasokananta percepat tusukan kerisnya.
Maka keris emas, Pedang Siluman Biru dan
Kapak Naga Geni 212 beradu dengan
mengeluarkan suara nyaring.
Wirasokananta berseru kaget. Tangannya
tergetar hebat dan pedas panas. Keris
saktinya terlepas mental. Cepat-cepat Ketua
Perguruan Teratai Putih ini melompat mundur.
Kalingundil sendiri tak kalah kagetnya. Bagian
yang tajam dari pedang buntungnya gompal
sedang tangannya menjadi seperti kaku.
Kalau tidak sinar cermin Sitaraga menyambar
ke arah lawan pastilah Kapak Maut Naga Geni
212 membabat perutnya. Kalingundil
keluarkan keringat dingin!
Suara siulan Pendekar 212 kini sekali-sekali
diselingi oleh suara tawa mengekeh!
Tubuhnya hampir tak kelihatan lagi. Kapak
Naga Geni mengaung mencari maut. Keempat
lawan menjadi sibuk. Merasa mulai terdesak,
Tapak Gadjah segera keruk saku pakaiannya.
Tanpa memberi peringatan lagi tokoh silat ini
segera lepaskan seratus senjata rahasia yang
berupa jarum-jarum hitam ke arah Wiro
Sableng. Tapi angin putaran Kapak Naga Geni
yang ampuh sekaligus meluruhkan jarum-
jarum beracun itu. Malahan Tapak Gajah dan
kawankawan menjadi sibuk karena harus
mengelakkan jarum-jarum hitam yang
terdorong berbalik menyerang mereka sendiri!
"He.. he.. he..," Pendekar 212 tertawa
mengekeh. "Wirasokananta, untuk
penghabisan kali aku kasih peringatan
padamu. Mundur atau mampus dengan
percuma!".
Ketua Perguruan Teratai Putih menjadi
bimbang. Dia membatin "Adakah seorang
musuh yang sehebat ini sampai memberi dua
kali peringatan kepadaku?".
"Wirasokananta jangan bodoh!" teriak
Kalingundil. "Manusia yang telah membunuh
delapan muridmu, ape hendak kau lepaskan
begitu sa… akh….."
Kata-kata Kalingundil tak sampai pada
ujungnya. Salah satu dari mata kapak di
tangan Wiro Sableng membabat putus lengan
kirinya. Tangan dan pedang buntung mental
masuk kawah. Darah muncrat. Laki-laki ini
terhuyung ke belakang kesakitan. Akhirnya
ketika dia kehabisan darah nafasnya megap-
megap dan dia jatuh menelentang di tanah
tapi belum mati!
Tapak Gajah dan Begawan Sitaraga tertegun
seketika. Namun sesaat kemudian serentak
pula keduanya menyerang sebat. Serangan ini
disambut dengan siutan dan tawa mengejek
oleh Wiro Sabteng. "Kalian berdua adalah
tokoh-tokoh silat dari golongan hitam!
Manusia-manusia macam kalian pantas
menjadi umpan cacing di liang neraka!".
Pendekar 212 putar kapaknya.
"Buyar!"
Cermin di tangan Sitaraga pecah
berhamburan. Begawan itu keluarkan seruan
tertahan dan memandang senjatanya yang
hancur dengan rasa tak percaya.
"Begawan awas!" teriak Tapak Gajah. Tapi
terlambat!
Kapak Maut Naga Geni 212 datangnya tiada
sanggup lagi untuk dielakkan.
"Crras"!
Putuslah leher Begawan Sitaraga. Darah
seperti air mancur muncrat ke udara. Kepala
yang buntung mengelinding seperti bola terus
masuk ke dalam kawah Gunung Tangkuban
Perahu!
Melihat kematian sobatnya ini, si kate kepala
sulah Tapak Gajah menciut nyalinya! Tanpa
buang waktu dia segera putar tubuh.
"Eit orang kate, mau minggat ke mana?!" Wiro
Sableng berseru. "Ayo berhenti!".
Tapi mana Tapak Gajah mau berhenti.
Malahan ini manusia tancap gas dan lari
lintang pukang. Wiro menyeringai. Tangan
kanannya bergerak menekan bagian dekat
hulu kapak yang berbentuk kepala naga-
nagaan. Maka mengaunglah 212 batang
jarum putih beracun ke arah Tapak Gajah.
Tapak Gajah coba melompat ke samping
namun dia kurang cepat. Hampir keseluruhan
jarum-jarum putih itu menembus daging
tubuhnya. Tapak Gajah meraung setinggi
langit! Begitu racun jarum merembas
jantungnya maka tubuhnya kelojotan seketika
lalu menggeletak di tanah tanpa bergerak lagi!
Wirasokananta leletkan lidah melihat
kehebatan pendekar; tapi diam-diam bulu
tengkuknya merinding karena ngeri! Sedang
ketika dia berpaling pada pendekar itu,
dilihatnya Wiro Sableng berdiri sambil garuk-
garuk rambutnya yang gondrong! Wiro tarik
nafas dalam lalu putar tubuh dan memandang
pada Wirasokananta. "Ketua Perguruan
Teratai Putih," katanya. "Kenyataan yang kita
tidak saksikan dengan mata kepala sendiri
adalah terlalu sukar untuk dipercaya.
Demikian juga dengan peristiwa di
perguruanmu.
Sama sekali tak ada sangkut pautnya
denganku! Aku yakin manusia inilah yang jadi
biang racun!".
Wiro mendekati Kalingundil yang tengah
megap-megap. Dari dalam sakunya
dikeluarkannya sebuah pil. Dia senyum-
senyum dan menimang-nimang obat itu. "Kau
masih inginkan hidup Kalingundil?" tanyanya.
Kalingundil diam saja.
"Obat ini bisa menyembuhkan lukamu dan
memunahkan racun Kapak Naga Geni yang
mengalir di darahmu. Aku akan berikan
kepadamu jika kau menerangkan dan mengaku
bahwa kaulah yang telah membunuh delapan
anak murid Perguruan Teratai Putih…".
Kalingundil masih diam.
"Kau tak mau hidup….. ?".
Kalingundil memandang dengan matanya
yang berbinar-binar pada pil di tangan Wiro.
Dalam diri setiap manusia yang tengah
meregang nyawa akan selalu datang harapan
untuk dapat terus hidup. Demikian juga
dengan Kalingundil.
"Masukkan dulu pil itu ke dalam mulutku,"
katanya.
Wiro memasukkan obat itu ke dalam mulut
Kalingundil dan Kalingundil cepat-cepat
menelannya. "Sekarang terangkan cepat!".
Kalingundil buka mulut mengakui apa-apa
yang telah diperbuatnya terhadap Perguruan
Teratai Putih. Akan Wirasokananta begitu
mendengar penuturan tersebut, tak dapat lagi
menahan luapan amarahnya. Tanpa banyak
cerita dengan kaki kanan ditendangnya
Kalingundil. Demikian kerasnya sehingga tak
ampun lagi tubuh Kalingundil mencelat
beberapa tombak ke udara dan malang
baginya tubuhnya terlempar tepat ke kawah.
Masih terdengar jeritan laki-laki itu
menggaung ketika tubuhnya melayang ke
bawah sebelum amblas di dalam kawah
belerang!
Sekali lagi pendekar 212 hela nafas dalam dan
berpaling pada Wirasokananta. Satu senyum
terlukis di bibir pendekar muda itu. Ketua
Teratai Putih belas tersenyum.
"Orang muda, apakah kau betul-betul
muridnya Sinto Gendeng?".
"Ah…. murid siapapun aku butan menjadi
soal, Ketua Perguruan Teratai Purih"
menyahuti Pendekar 212. "Orang-orang
mencap aku pemuda edan, sinting, gila,
geblek… Kurasa memang suatu ketika kegilaan
itu ada perlunya. Hanya manusia-rnanusia
gila semacam kita inilah yang sanggup
membunuh manusia-manusia bejat dan
menghancurkan kebejatan. Coba saja kau pikir
mana ada manusia waras mau membunuh
sesama manusia…?".
Wirasokananta tertawa. "Ucapanmu benar
juga, pendekar," katanya.
Wiro mendongak ke langit. "Ah, matahari
sudah tinggi. Banyak urusan baru yang
menunggu kita. Ketua Perguruan Teratai Putih,
pertemuan kita hanya sampai di sini. Aku
senang bisa berkenalan dengan kau. Semoga
kita bisa jumpa lagi….".
"Pendekar 212, tunggu dulu…!" seru
Wirasokananta. Tapi percuma saja. Sang pendekar saat itu sudah berkelebat dan lenyap! Wirasokananta goleng-goleng kepala.
"Pemuda hebat sikapnya seperti betul-betul gila tapi hatinya polos, ilmunya……. ah, aku yang sudah tua ini mungkin tak pernah bisa mencapai ilmu setinggi yang dimilikinya.
Belum lagi sempat mengucapkan terima kasih, dia sudah lenyap…"
Wirasokananta memandang ke dasar kawah lalu mengikuti jejak Wiro Sableng meninggalkan tempat itu.

Komentar

  1. terimakasih infonya, jangan lupa kunjungi web kami http://bit.ly/2CTxqfK

    BalasHapus
  2. Itu raja bokep minta ditebas kepalanya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer