WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya : BASTIAN TITO
EPISODE : CINTA ORANG-ORANG GAGAH
***********
SAAT ITU menjelang fajar menyingsing. Kesunyian dirobek oleh suara tawa bergelak seseorang. Orang ini tengah berlari cepat ke jurusan timur. Jelas suara tawanya bukan tawa sembarangan. Bukan saja mengejutkan burung-burung serta binatang-binatang lain yang tengah tertidur nyenyak dalam pelukan udara dingin, tetapi juga
menggetarkan tanah pada tempat-tempat yang dilajuinya.
Begitu cepat manusia ini berlari hingga dalam waktu singkat dia
sudah menempuh jarak ratusan tombak. Suara tawanya masih juga
terus mengumandang. Di lain saat di ufuk timur merambas sinar
terang tanda matahari telah terbit menyembulkan diri. Tanda malam
telah berganti dengan siang.
Orang itu hentikan larinya. Dibasahinya mukanya dengan air embun yang menempel pada dedaunan di sekitarnya, Setelah merasakan kesegaran maka dia meneruskan perjalanan kembali. Seperti tadi lagi-lagi berlari sambil mengumbar tawa. Namun sekali ini suara tawanya tidak berlangsung lama.
Dua bayangan hijau berkelebat. Satu teguran yang hampir merupakan bentakan lantang terdengar.
"Singgar Manik! Gerangan apakah yang membuatmu pagi-pagi begini
demikian gembiranya?!"
Orang yang lari sambil tertawa hentikan Jari dan memandang ke
depan. Begitu melihat dua manusia berjubah hijau yang berdiri
sepuluh langkah di hadapannya, bergetarlah hatinya. Perasaannya
serta merta jadi tidak enak.
Dua orang berjubah hijau itu adalah dua brahmana kembar dari Bali
yang dikenal dengan julukan Sepasang Kobra Dewata.
Jubah mereka yang hijau, kepala yang botak plontos ditambah muka
yang lebar serta tampang-tampang yang tidak sedap untuk dipandang, membuat keduanya benar-benar hampir menyerupai dua ekor ular kobra yang angker. Siapa tokoh silat di Jawa Timur yang tidak kenal dengan dua manusia yang menguasai rimba persilatan di
Pulau Dewata ini?
Mereka bukan dari golongan baik-baik. Inilah yang membuat orang
tadi yakni Singgar Manik merasa tidak enak walau dia sendiri bukan
pula tergolong manusia bersih dan baik!
Setelah berbasa basi dan menjura pada kedua orang itu Singgar
Manik lantas berkata: "Di pagi begini bertemu dengan Sepasang
Kobra Dewata sungguh merupakan hal yang tidak terduga. Satu
kehormatan bagiku kalian mau menegur bertutur cakap. Hendak
kemanakah kalian berdua?"
Nyoka Gandring, orang tertua dari Sepasang Kobra Dewata
rangkapkan tangan di muka dada. Sambil mengulum senyum dia
berkata: "Angin kegembiraanmu lah yang agaknya telah membawa
kami ke mari. Coba kau terangkan apa. yang begitu menggembirakan mu hingga tertawa bergelak sepanjang jalan? "
"Ah, sebenarnya tidak ada apa-apa," menjawab Singgar Manik.
Hatinya semakin tidak enak. "Aku tertawa karena menurutku hidup
dengan tawa gembira bisa mendatangkan kebahagiaan."
"Betul sekali!" menyahuti orang kedua dari Sepasang Kora Dewata
yaitu Nyoka Putubayan. "Tetapi kami mendapat firasat bahwa
kegembiraanmu kali ini bukan kegembiraan biasa. Terangkanlah. Bagi sedikit kegembiraanmu itu pada kami berdua!" Singgar Manik coba tersenyum.
"Jika kalian memang ingin bergembira, mari ikut ke tempat
kediamanku biar kujamu makanan dan minuman yang enak enak! Dan
kalau kalian butuh perempuan cantik untuk hiburan, tak usah kawatir.
Katakan saja kalian mau yang bentuk bagaimana aku Singgar
Manik pasti menyediakannya!"
Nyoka Gand ring mendehem beberapa kali sedang Nyoka Putubayan hanya menyeringai.
" Aih, undanganmu sungguh patut untuk diterima, Hanya sayang
kami tak punya waktu banyak. Karenanya kuharap kau sudi membagi kegembiraan mu di sini saja sobatku Singgar Manik!?
Singgar Manik coba sembunyikan rasa kagetnya sambil berkata:
"Kegembiraan apakah yang musti kuberikan di sini. Kau ini ada-ada
saja, sobatku Nyoka Gandring. Ah,
akupun tidak punya banyak waktu . . . "
Singgar Manik menjura dalam-dalam lalu siap untuk meninggalkan kedua orang itu.
Tetapi Nyoka Putubayan cepat bergerak menghadangnya seraya
berkata: "Kenapa musti terburu-buru Singgar Manik. Siang masih jauh. Lagi pula pembicaraan kita belum selesai"
"Harap maafkan aku sobat-sobatku. Aku musti cepat kembali ke
tempat kediamanku. Ada seorang tamu yang bakal datang"
Nyoka Putubayan kembali menyeringai lalu bertanya: "Apakah
tamumu itu pemilik tusuk kundai mustika yang kau curi dan sekarang
berada di balik pakaianmu . . . . ?!"
Kini Singgar Manik tak dapat lagi menyembunyikan perubahan air
mukanya. Meskipun demikian dia masih menjawab: "Nyoka
Putubayan, aku tidak mengerti. Kau ini membicarakan soal apakah?"
Nyoka Putubayan tersenyum jumawa. Sambil rangkapkan sepasang tangan di depan dada dia lalu berkata: "Seminggu lalu kami ketahui kau berada di sekitar danau Jembangan. Kau telah mencuri sebentuk tusuk kundai dari tempat kediaman tokoh silat yang bergelar Si Pemusnah Iblis. Tusuk kundai itu bukan benda sembarangan.
Merupakan satu senjata mustika. sakti. Sejak lama kami dengar kau
adalah seorang pencuri lihay yang suka mencuri dan mengumpulkan
barang-barang curian itu, terutama benda-benda mustika, apalagi
berupa senjata pasti jadi incaranmu. Sekarang perlihatkan pada kami tusuk kundai itu!"
Singgar Manik geleng-geleng kepala sambil berdecak.
"Pendengaran dan penglihatan kalian benar-benar tajam luar biasa.
Memang satu minggu lalu aku berada di danau Jembangan. Aku
berniat hendak mencuri tusuk kundai yang kau katakan itu. Namun maksudku tidak kesampaian. Si Pemusnah Iblis terlalu tinggi ilmunya. Dia memergokiku. Untuk melawannya aku mana punya kemampuan? Daripada mendapat celaka lebih baik mengundurkan diri. Lain hari jika angin baik aku akan berusaha lagi mendapatkannya. Kalau kalian mau ikut sama-sama, hatiku akan
senang sekali! Nah puaskah kalian atas keteranganku ini?!"
"Puas! Puas sekali! "sahut Nyoka Putubayan. Lalu saudaranya
menimpali: "Juga puas sekali melihat kecerdikanmu. Tapi jangan harap kau bisa menipu Sepasang Kora Dewata dengan kecerdikanmu itu Singgar Manik. Keluarkan tusuk kundai itu. Berikan padaku. Lekas! Jangan berani berbohong!" Habis berkata begitu Nyoka Gandring
ulurkan tangannya.
"Nyoka Gandring! Apakah aku harus bersumpah untuk meyakinkan
bahwa aku betulbetul belum berhasil mendapatkan tusuk kundai
mustika itu?"
"Bersumpah?! Bagus juga. Tapi jangan bersumpah pada Dewa atau
Tuhan! Bersumpahlah pada setan! Ayo serahkan senjata mustika itu
padaku sebelum aku kehilangan kesabaran!" Nada suara Nyoka
Gandring mengandung hawa ancaman.
Singgar Manik terkesima sesaat. Dia menimbang-nimbang. Untuk
mengikuti kemauan Sepasang Kobra. Dewasa itu terlalu berat
baginya. Sebaliknya tidak mengikuti berarti melawan yang pasti disusul dengan terjadinya bentrokan. Menghadapi Sepasang Kobra Dewata yang terkenal hebat itu bukan satu hal yang mudah.
Tiba-tiba Nyoka Gandring mendengus. Matanya yang besar
memandang garang pada Singgar Manik. Kedua kakinya merenggang
sedang sepasang tangannya yang tadi mendekat di dada perlahan-
lahan bergerak diturunkan.
"Kuhitung sampai tiga. Jika tusuk kundai itu tidak juga kau serahkan,
maka bersiaplah untuk mampus!"
"Nyoka Gandring! Dengar dulu keteranganku…"
"Satu!"
Nyoka Gandring mulai menghitung;
"Benda itu benar-benar tak ada padaku!"
"Dua…….. !"
"Aku bersumpah!"
"Tiga!"
Singgar Manik bersurut mundur.
NyokaGandring membentak buas lalu hantamkan tangan kanannya ke arah Singgar Manik. Serangkum angin deras datang menyambar.
Singgar Manik cepat menyingkir seraya berseru:
"Antara aku dan kalian tak ada silang sengketa! Kenapa menyerang
aku sejahat ini?! "
"Wus!"
Serangkum angin lagi menyapu ganas. Kali ini datang dari samping.
Untuk, kedua kalinya Singgar Manik melompat dan berhasil
selamatkan diri.
"Adikku mari kita beg pelajaran pada pencuri penipu ini!" seru Nyoka Gandring.
Bersama Nyoka Putubayan maka diapun kembali menyerbu Singgar
Manik. Menghadapi satu saja dari Sepasang Kobra Dewata sudah
merupakan hal yang sulit bagi Singgar Manik. Apalagi melawan
keduanya sekaligus. Terpaksalah dia harus bertindak cepat dan hati-
hati. Sekali salah gerakan atau salah langkah tak ampun lagi
serangan lawan pasti akan mencelakakannya, bahkan mungkin
membunuhnya!
Sambil berkelebat mengelak Singgar Manik tiada hentinya berteriak agar Sepasang Kobra Dewata menghentikan serangan. Namun dua brahmana berjubah hijau ini tidak ambil perduli. Malah mereka semakin memperhebat serangan masing-masing. Hingga
setelah bertahan susah payah selama delapan jurus Singgar Manik
mulai tampak terdesak!
DUA KALI pukulan keras Nyoka Gandring bersarang di tubuh Singgar
Manik. Lalu satu jotosan Nyoka Putubayan menghantam rusuknya
pula. Singgar Manik tampak terhuyung-huyung. Keningnya
mengerenyit menandakan dia tengah menahan rasa sakit yang amat sangat. Salah satu hantaman Nyoka Gandring tadi telah membuat
tubuhnya terluka di bagian dalam.
Jika dia bertahan terus, cepat atau lambat maut pasti akan
merenggut nyawanya. Karenanya Singgar Manik sedapat mungkin
berusaha mengintai kelengahan lawan agar dapat menerobos keluar
dari kurungan mereka lalu melarikan diri.
Singgar Manik lepas dua pukulan tangan kosong yang dahsyat ke
arah kedua lawannya. Lalu susul dengan serangan senjata rahasia.
Sepasang Kobra Dewata melompat jauh untuk mengelakkan pukulan
sedang untuk menangkis serangan senjata rahasia, mereka kebutkan
lengan jubah hijau masingmasing hingga senjata rahasia itu mental
berantakan.
Gerakan-gerakan lawan inilah yang memang ditunggu Singgar Manik.
Melihat adanya kesempatan tanpa tunggu lebih lama pencuri kelas
kakap ini segera putar tubuh dan kabur.
Namun Sepasang Kora Dewata bukan manusia-manusia kemarin. Dari
gerakan yang dibuat lawan mereka sudah maklum apa yang sedang
direncanakan Singgar Manik. Karenanya begitu lawan ambil ancang-
ancang untuk larikan diri, Nyoka Gandring dan Putubayan cepat
berkelebat menghadang.
Melihat dirinya dihadang begitu rupa hingga ga gal kabur, dengan
penasaran Singgar Manik lepaskan satu pukulan ke batok kepala
Nyoka Gandring. Sambil mendengus yang diserang menangkis dan
balas menjotos. Dua kepalan beradu mengeluarkan suara keras.
Singgar Manik terpekik. Tubuhnya terdorong sampai empat langkah
dan ketika diperhatikan tiga jari, tangan kanannya telah hancur. Di
depannya sebaliknya Nyoka Gandring tegak sambil tolak pinggang
dan menyeringai mengejek.
"Masih juga kau belum mau menyerahkan tusuk kundai itu?" dengus
Nyoka Gandring.
"Manusia keparat! Kalau kau mau k an benda itu, ini kau ambillah!"
Selesei berkata begitu Singgar Manik mengeruk ke balik pakaian.
Sesaat kemudian sebuah benda, yakni sebuah tusuk kundai dari perak
berbentuk sederhana berada dalam genggamannya. Dengan
mengandalkan tusuk kundai ini sebagai senjata diapun menyerang
Nyoka Putubayan.
Sinar putih yang disertai angin panas menyembur dari tusuk kundai!
Nyatalah benda yang biasanya menjadi hiasan di kepala perempuan
itu bukan benda biasa, tetapi sebentuk senjata mustika sakti. Karena
kesaktiannya inilah Sepasang Kobra Dewata menginginkannya. Ingin
merampas dari Singgar Manik yang mereka anggap sebagai pencuri
dan penipu besar.
Nyoka Putubayan yang sudah maklum kehebatan tusuk kundai itu tak
ayal lagi cepat menyingkir sambil kebutkan lengan jubahnya.
Sebaliknya Singgar Manik tidak tinggal diam. Dia teruskan
serangannya dengan membalikkan mata tusuk kundai ke arah tangan
lawan.
Bret!
Lengan jubah hijau Nyoka Putubayan robek besar direnggut bagian
runcing tusuk kundai! Nyoka Putubayan sendiri merasakan lengannya
menjadi ngilu panas. Masih untung hanya lengan jubahnya saja yang
robek. Jika daging tangannya sampai kena atau terluka oleh senjata
itu yang kabarnya menyerap racun jahat, niscaya celakalah dirinya!
"Adikku hati-hati!"
Nyoka Gandring memberi ingat. "Bangsat pencuri senjata itu tak usah
kita takutkan.
Tapi terhadap tusuk kundai itu kau harus waspada!"
Singgar Manik yang melihat kejerihan lawan tertawa mengejek.
"Jika kalian sudah tahu kehebatan tusuk kundai ini mengapa tidak
lekas-lekas minggat dari sini? Apa kalian tunggu sampai benar-benar
kena kucelakai!"
"Singgar Manik! Jangan keliwat sombong!" teriak Nyoka Putubayan.
"Coba kau terima pukulan ku ini!" Habis berkata begitu Nyoka
Putubayan hantamkan tangan kannya ke depan. Angin laksana badai
menggebu bu ke arah Singgar Manik.
Ketika merasa tubuhnya tergetar hebat bahkan hampir roboh oleh
angin pukulan lawan Singgar Manik serta merta sapukan tusuk
kundai yang dipegangnya ke depan. Hebat! Angin pukulan orang
kedua dari Sepasang Kobra Dewata itu musnah!
Kejut Nyoka Putubayan. bukan kepalang, juga kakaknya ketika
menyaksikan kejadian itu. Pukulan yang barusan dilepaskannya
adalah pukulan Kobra Sakti Mematuk. Merupakan salah satu pukulan
simpanannya. Dia bersama kakaknya telah meyakini ilmu pukulan itu
selama bertahun-tahun, ternyata sanggup dibikin punah oleh tusuk
kundai kecil itu!
Menyadari kehebatan tusuk kundai perak itu, semakin keraslah hasrat
Sepasang Kobra Dewata untuk memilikinya. Keduanya saling
kedipkan mata memberi isyarat. Lalu didahului dengan bentakan-
bentakan nyaring mereka menyerbu. Satu datang dari samping kiri,
satunya lagi dari sebelah kanan.
Singgar Manik hantamkan tusuk kundainya pada Nyoka Putubayan
yang menyerang lebih dulu dan lebih dekat di hadapannya. Sebelum
serangannya sampai brahmana dari Bali ini tahu-tahu sudah lenyap
dari pemandangan. Bersamaan dengan itu dari samping menderu
angin pukulan kencang luar biasa.
Sekali ini kembali Singgar Manik rasakan tubuhnya tergoncang keras
hendak roboh. Segera dia kiblatkan tusuk kundai perak ke samping.
Namun satu pukulan telak menghantam per gel angan tangan
kanannya hingga tulang lengannya patah dan tusuk kundai yang tadi
dipegangnya terlepas mental! Singgar Manik menjerit kesakitan.
Dia melompat untuk menyambar tusuk kundai yang mental di udara
dengan tangan kiri. Namun tubuhnya segera terbanting ke belakang
begitu satu jotosan melanda dadanya dengan keras!
Lelaki ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Dengan
mengandalkan kepandaiannya dia berjumpalitan dan cepat berdiri
sambil pasang kuda-kuda baru. Namun dadanya sudah terlanjur
sakit. Tenggorokannya terasa panas. Sesaat kemudian darah kental
mengalir keluar dari sela bibirnya. Memandang ke depan dia lihat
Nyoka Putubayan sudah berhasil menguasai tusuk kundai perak itu.
"Singgar Manik!" kata Nyoka Putubayan seraya acungkan tusuk
kundai di tangan kanannya. "Kami Sepasang Kobra Dewata masih
punya rasa kemanusiaan terhadapmu. Berlalulah dari hadapan kami
sebelum kami berubah pikiran dan minta nyawamu.
Singgar Manik semburkan darah dan ludah dari mulutnya.
"Sialan! Kau tunggu apa lagi? Dikasih hidup malah menantang!
"hardik Nyoka Gandring.
"Bangsat!" kertak Singgar Manik. "Aku mengadu jiwa dengan kalian!"
Lalu Singgar Manik menyerang ke depan.
"Manusia tolol!" teriak Nyoka Gandring.
"Benar-benar minta mampus!" berseru Nyoka Putubayan seraya
tusukkan tusuk kundai di tangan kanannya. Tanpa bisa mengelak
Singgar Manik keluarkan jeritan panjang. Tusuk kundai menghantam
tepat di keningnya hingga berlubang dalam dan darah mengucur.
Lelaki ini menjerit sekali lagi lalu tubuhnya terputar ke samping dan
roboh tak berkutik lagi, mati dengan mata melotot!
Nyoka Putubayan seka tusuk kundai yang bernoda darah dengan
ujung lengan jubahnya. Dia perhatikan Singgar Manik sebentar lalu
meludah dan berkata: "Diberi ampun minta racun! Diberi hidup minta
mampus!"
Orang kedua dari Sepasang Kobra Dewata ini memberi isyarat pada
kakaknya. Kedua brahmana itu kemudian berkelebat tinggalkan
tempat itu.
DI ATAS tempat tidur rotan itu duduk bersila seorang tua bermata
buta. Kedua kakinya buntung sebatas lutut sedang kedua tangannya
di rangkapkan di muka dada. Kepalanya menghadap lurus-lurus ke
pintu pondok yang terbuka. Rambutnya yang putih melambailambai
ditiup angin yang datang dari arah danau.
"Hentikan tangismu Lestari!" Tiba-tiba orang tua ini berkata dengan
nada keras. "Sampai kiamat kau menangis benda yang hilang itu tak
bakal bisa kembali!"
Dara berbaju putih yang duduk sesenggukan didepan si orang tua
menyusut air matanya dengan tepi pakaian. Bibirnya bergetar dan
tubuhnya bergoncang menahan tangis yang seperti hendak meledak.
"Tusuk kundai itu bukan benda biasa Lestari. Kau tahu hal itu !"
berkata lagi si orang tua.
Sekali ini Lestari menyahuti dengan suara gemetar: "Saya tahu eyang.
Saya tahu semua salah saya….Saya bersedia dihukum untuk kelalaian
ini!"
"Benda itu bukan hanya merupakan senjata sakti, tapi juga sebagai
tanda perjodohanmu-Kini ketika aku pergi tusuk kundai itu lenyap!
Amblas dicuri orang. Dan kau tidak tahu siapa pencurinya!"
Orang tua berambut putih itu diam sesaat lalu meneruskan kata-
katanya: "Bagaimana aku musti mempertanggung jawabkan nanti
pada Sinto Gendeng!
Tusuk kundai perak itu diberikannya padaku dua tahun yang lalu
sebagai tanda persetujuan ikatan jodoh antaramu dengan murid
tunggalnya yaitu Wiro Sableng, pemuda sakti bergelar Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212. Ayo, coba kau katakan bagaimana aku
musti mempertanggung jawabkannya! Jika saja kedua kakiku ini
tidak buntung pasti sudah sejak lama aku meninggalkan pondok gua
mengejar pencuri laknat itu!"
"Eyang, saya yang salah ini yang akan pergi mencari benda yang
hilang itu," Lestari membuka mulut "Saya tak akan kembali sebelum
dapat…."
Orang tua itu usap-usap dagunya. Dia tengah menimbang-nimbang.
Akhirnya dia berkata: "Terserah padamu apapun yang bakal kau
lakukan. Kau boleh pergi. Kuharap kau dapat menemukan tusuk
kundai itu kembali. Kalau tidak, aku tak tahu lagi bagaimana
menghadapi Sinto Gendeng nanti.
Gadis bernama Lestari berdiri. Dia masuk ke da-lam sebuah kamar.
Ketika keluar sudah berganti pakaian. Kini dia mengenakan pakaian
merah ringkas. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang merah.
Rambutnya yang tadi panjang tergerai kini diikat buntut kuda. Meski
wajahnya murung dan kedua matanya merah habis menangis namun
kecantikannya masih terlihat jelas.
"Eyang, saya sudah siap untuk berangkat," katanya pada si orang
tua.
Orang tua itu mengangguk dan memberi isyarat agar gadis itu datang
mendekat. Sambil menepuk-nepuk bahu Lestari dia berkata:
"Pergilah. Lekas kembali jika tusuk kundai itu kau temukan."
"Baik eyang."
"Ada baiknya jika kau hubungi beberapa tokoh persilatan golongan
putih. Mungkin kau dapat menyirap keterangan dari mereka. Jangan
lupa meminta bantuan mereka jika sewaktu-waktu kau ditimpa mara-
bahaya dan kau tak sanggup menghadapinya seorang diri."
"Semua nasihat eyang saya perhatikan.".
Setelah menjura tiga kali berturut-turut di hadapan gurunya Lestari
tinggalkan pondok itu.
Ratusan tombak meninggalkan danau Jembangan, di satu tempat
yang penuh dengan pepohonan rindang Lestari berhenti untuk
istirahat. Dia duduk di bawah sebatang pohon sambil memikirkan
kemana dia harus pergi dan bagaimana caranya dapat mengetahui
siapa pencuri tusuk kundai pertanda jodohnya dengan Wiro Sableng.
Ingat soal jodoh wajah sang dara jadi kemerahan. Sebelum peristiwa
besar penghancuran Istana Darah beberapa waktu yang lalu (baca
serial Wiro Sableng Hancurnya Istana Darah) gadis itu tak pernah
tahu kalau dirinya telah dijodohkan oleh gurunya dengan Wiro
Sableng. Wiro sendiri agaknya begitu pula ketika secara kebetulan
gurunya memberi tahu , mengenai urusan perjodohan itu. Bagi Lestari
dia tak akan menolak hal apapun yang dilakukan gurunya karena dia
percaya bahwa semua itu untuk kebaikan dirinya. Namun yang jadi
pertanyaan apakah Pendekar 212 Wiro Sableng bersedia mematuhi
ikatan jodoh yang tak pernah diketahuinya sebelumnya. Pemuda itu
telah menyelamatkan diri dan kehormatannya dari Hulubalang Istana
Darah. Hutang nyawa itu tak mungkin akan dibalasnya. Pembalasan
hanya bisa dilakukan dengan bersedia menjadi istri Wiro, setia dan
mengabdi pada suami. Tapi apakah dia mencintai pemuda itu?
Memandang ke langit Lestari melihat matahari telah tinggi. Hari telah
bertambah siang. Akhirnya sang dara lanjutkan perjalanan. Belum
sampai seratus tombak jauhnya murid silat dari danau Jembangan
ini lanjutkan perjalanan, mendadak bau amat busuk menyambar
hidungnya. Lestari hentikan langkah dan memandang berkeliling. Dia
dapatkan bau busuk itu datang dari jurusan tenggara. Segera dia
melangkah menuju sumber bau itu untuk mengetahui lebih jauh.
Mula-mula dia melihat burung-burung gagak hitam pemakan
bangkai, terbang berputar-putar lalu menukik turun, kemudian
terbang kembali ke udara, demikian berulang kali. Berjalan lima puluh
langkah lagi Lestari melihat benda yang menjadi sumber bau busuk
itu. Yakni sesosok tubuh manusia yang terbakar di tanah dalam
keadaan busuk dan rusak.
Lestari tak berani mendekat. Dari tempatnya berdiri dia melihat kedua
mata mayat itu hanya tinggal merupakan dua lobang besar
mengerikan. Hidung dan bibirnya, bahkan hampir keseluruhan daging
pada wajahnya telah habis berlubang-lubang digerogoti burung-
burung gagak. Demikian pula daging di bagian tubuh lainnya yakni
dada, perut dan kedua kaki serta tangan.
Tak dapat Lestari menduga siapa adanya orang yang telah jadi
mayat ini. Matanya yang tajam dapat melihat dua buah titik lobang
pada kening mayat serta darah yang telah keras membeku.
Mayat busuk yang dijumpai sang dara bukan lain adalah mayat
Singgar Manik yang dibunuh oleh Sepasang Kobra Dewata.
Karena tak tahan oleh bau busuk yang amat sangat Lestari segera
hendak tinggalkan tempat itu. Namun matanya masih sempat melihat
sepotong kain berwarna hijau. Lestari ambil potongan kain ini dan
menelitinya. Mungkin sekali ini sobekan ujung lengan
pakaian. Lengan pakaian siapa? Dia memandang pada mayat.
Mungkin lengan pakaian orang yang membunuh? Agaknya telah
terjadi perkelahian sebelumnya di tempat itu. Tanda-tanda memang
menyatakan demikian.
"Mungkin ada gunanya jika kusimpan," membatin Lestari. Robekan
kain hijau itu lalu dimasukkannya ke balik pakaian merahnya.
Dia memandang lagi berkeliling. Karena tak ada lagi yang bisa
ditemukannya di tempat itu sang dara segera berlalu.
SEBENARNYA TAMPANG pemuda itu cukup gagah asal kulit mukanya
tidak amat pucat dan tubuhnya tidak tinggi kerempeng macam tiang
bambu. Jika saja dia bukan putera seorang-bekas perwira kerajaan,
niscaya mulut-mulut usil di kota Jember akan menggelarinya "Si
Jangkung Kerempeng Muka Mayat" atau "Si Pucat Kerempeng" atau
lain sebagainya. Namun karena dia putera bekas perwira tinggi
kerajaan yang dulu dihormati rakyat maka tak ada penduduk yang
tega memberi gelar ejekan itu pada si pemuda.
Di samping itu pemuda ini juga memiliki ilmu pedang yang hebat,
yang dipelajarinya dari ayahnya; Sebagai seorang perwira tinggi yang
pernah mengabdikan diri selama dua puluh lima tahun pada kerajaan,
sang ayah memiliki ilmu pedang yang sangat tinggi hingga semasa
jayanya dia mendapat julukan "Raja Pedang Kotaraja".
Meski sang anak belum mewarisi seluruh kepandaian ayahnya namun
tingkat kepandaiannya cukup mengagumkan. Lima orang perwira
muda kerajaan yang mengeroyoknya sekaligus belum tentu dapat
mengalahkannya dalam perkelahian dua puluh lima jurus!
Kalaupun pemuda itu tidak sampai diberi julukan mengejek oleh
penduduk, namun rata-rata banyak penduduk yang tidak suka
padanya. Ini disebabkan kesombongannya. Dan kesombongan ini
berpangkal pada kepandaiannya memainkan pedang. Menurut dia
selain ayahnya maka dialah jago pedang kelas satu di tanah Jawa.
Karenanya semua orang harus hormat dan tunduk padanya. Harus
melakukan apa saja yang dimintanya!
Hari itu Ronggo Bogoseto, demikian nama putera bekas perwira
kerajaan itu, berada di rumah makan paling besar di kota Jember. Dia
duduk di meja besar bersama tiga orang kawan, asyik menyantap
hidangan. Di luar rumah makan terdapat sebuah tong sampah yang
telah dua hari tidak dibersihkan hingga isinya meluber dan bau busuk
menebar serta lalat datang bergerombolan. Binatang ini ternyata
tidak hanya mencari makanan pada tong sampah itu saja, tetapi juga
masuk dalam rumah makan, hingga di atas makanan yang terhidang
di meja.
Sejak tadi Ronggo Bogoseto dan kawan-kawannya terganggu dengan
adanya puluhan lalat ini. Lama-lama pemuda muka pucat ini jadi
jengkel. Sambil mengomel dia berteriak memanggil pelayan. Pelayan
datang dengan cepat dan ketakutan. Dengan mata melotot dan mulut
tersumpal makanan Ronggo Bogoseto membentak hingga sebagian
makanan dalam mulutnya tersembur mengenai muka dan pakaian si
pelayan.
"Lekas usir lalat-lalat celaka itu t Kalau tidak aku tak akan mau
membayar makananmu yang jadi kotor dihinggapinya!"
Tentu saja pelayan segera melakukan apa yang diperintahkan si
pemuda. Dia mempergunakan dua buah serbet sekaligus, mengusir
lalat. Namun baru saja diusir binatang-binatang ini kembali datang,
malah lebih banyak.
"Tolol! Coba kau pasang lampu di atas meja ini! Lalat takut dengan
lampu!" bentak Ronggo Bogoseto seraya menggebrak meja.
Sebuah lampu minyak lalu dinyalakan. Apinya sengaja diperbesar.
Tetapi lalat yang ada di atas dan sekitar meja terlalu banyak untuk
dapat ditakuti dengan lampu itu.
"Binatang sialan!" makin salah seorang kawan Ronggo Bogoseto. Dia
pergunakan kedua tangannya menepuki binatang itu. Dua kawannya
melakukan hal yang sama. Banyak lalat yang mati, tapi tangan
mereka jadi kotor sedang jumlah lalat tak banyak berkurang.
Ronggo Bogoseto jadi marah. Dia mendengus dan meludah
seenaknya di lantai rumah makan. Sambil memandang berkeliling
dengan mata mendelik dia berteriak.
"Kawan-kawan, melihat kalian menepuki binatang celaka itu aku jadi
ingat pada cerita tentang seorang yang mampu membunuh tujuh
lalat dengan sekali tepuk! Hai, apa kalian pernah dengar cerita itu?!"
Ketiga pemuda kawannya itu sama mengatakan pernah.
Ronggo tersenyum. Jelas adanya bayangan kesombongan di balik
senyumnya itu.
"Sekarang akan kuperlihatkan pada kalian bertiga. Juga pada semua
yang ada di rumah makan jorok ini! Dengan pedangku aku sanggup
membunuh lebih dari tujuh ekor lalat dalam sekali tebas saja!"
"Ah, ini bakalan hebat jadinya! "seru salah seorang pemuda kawan
Ronggo. "Aku benar-benar ingin melihat! Ayo Ronggo, kau perlihatkan
pada kami dan semua orang di sini!" menimpali kawannya yang
seorang lagi. Sedang pemuda yang ketiga ikut berkata: "Aku percaya!
Kau pasti mampu melakukan kehebatan itu Ronggo!" Ronggo berdiri
dari kursinya. Dia memandang dulu berkeliling lalu sret! Pemuda ini
cabut pedang yang selalu dibawanya. "Lihat! Kalian lihat semual"
katanya. "Jangan ada yang mengedip. Gerakannya sangat cepat
Kalau kalian mengedip, kalian tak akan sempat menyaksikan
kehebatanku!" Lalu wut!
Pedang di tangan kanan Ronggo Bogoseto mencuit di udara.
Sembilan ekor lalat terkaparan di lantai dan di meja. Semuanya mati
dalam keadaan tubuh belah dua!
"Luar biasa!"
"Hebat!"
"Gila! Aku hampir tak percaya!"
Begitu tiga kawan si pemuda berseru seraya berdiri.
Ronggo Bogoseto menyeringai dan lagi-lagi meandang berkeliling.
Memang mau tak mau semua yang ada dalam rumah makan itu dan
menyaksikan apa yang barusan dilakukan si pemuda memuji kagum.
Dan melihat semua orang mengaguminya bertambah sombonglah
Ronggo. Dia ingin semua orang benar-benar meyakini bahwa dialah
jago pedang nomor satu sesudah ayahnya di Jember dan seluruh
Jawa. Maka dia kiblatkan pedangnya kembali.
"Lihat lagi!"
"Lihat!"
"Inilagi!"
Tiga kali Ronggo Bogoseto berteriak. Tiga kali pedangnya menderu.
Masih belum puas dia susul lagi dengan lima kali gerakan. Ketika dia
menghentikan gerakannya, tak seekor lalat hidup pun bersisa di atas
meja makan itu,
Tiga kawan Ronggo Bogoseto tegak dari kursi masing-masing sambil
leletkan lidah.
Seorang dari mereka berkata: "Gila Ronggo! Kurasa ilmu pedangmu
jeuh lebih hebat dari ayahmu!"
Cuping hidung Ronggo tampak mengembang dan bergerak-gerak oleh
pujian itu. Sambil duduk kembali ke kursinya Ronggo berkata:
"Sekarang kalian saksikan sendiri kehebatanku! Mari kita teruskan
makan!"
Keempat pemuda itu duduk kembali. Salah seorang yang duduk
menghadap pintu meneguk minumannya, namun gelas minuman
buru-buru diletakkan seraya berkata: "Astaga ronggo! Bidadari dari
mana yang diutus dewa datang ke rumah makan ini?!"
Ronggo berpaling, memandang ke pintu. Semua orang kini ikut
memandang ke jurusan itu.
Seorang dara bertubuh tinggi semampai, berpakaian ringkas merah,
berambut hitam buntut kuda tampak memasuki rumah makan.
Parasnya cantik sekali. Jangankan para pemuda itu, lelaki-lelaki tua
yang ada di rumah makan itupun tak segan memandanginya dengan
hati kagum.
"Amboi!" Ronggo sandarkan punggungnya ke kursi dan lunjurkan
kedua kaki sedang sepasang mata menyipit. "Itu bukan bidadari
sobatku," katanya. "Tapi sekuntum bunga mawar merah segar yang
menebar harum semerbak, terbang dihembuskan angin untuk
menemui kita di sini!"
Tiga kawan Ronggo tertawa. Sementara dera yang baru masuk yang
bukan lain adalah Lestari mengambil tempat duduk tak jauh dari
meja mereka.
"Gadis cantik, jika kau tak keberatan sudilah duduk bersama kami di
sini. Jangan kawatir, kau tak usah membayar makanan dan
minuman. Kau boleh makan dan minum sepuasmu!"
Lestari melirik sesaat pada Ronggo Bogoseto.
Dilirik begitu si pemuda merasa mendapat perhatian dan berkata
pada ketiga temannya: "Lihat, dia melirik padaku. Ah, taksangka hari
ini aku bakal melihat bunga yang begini cantik!"
Tetapi setelah melirik Lestari tidak perdulikan lagi pemuda bermuka
pucat itu. Dia melambaikan tangan memanggil pelayan dan memesan
makanan.
"Ronggo,rupanya gadis itu malu duduk semeja dengan kita. Baiknya
kau saja yang pergi duduk ke mejanya!" berkata salah seorang kawan
Ronggo.
Putera bekas perwira tinggi itu tersenyum lebar.
"Kau betul sobatku. Tentu saja dia malu duduk di sini. Kita berempat
dia sendiri. Kalau sendiri lawan sendiri tentu lain lagi!" kata Ronggo
pula seraya berdiri dan melangkah ke meja Lestari lalu duduk di kursi
di hadapan sang dara. Setelah cengar cengir sebentar pemuda ini
memanggil pelayan.
"Hidangkan makanan lezat dan minuman kelas satu untuk kami
berdua! Lekas! "
Pelayan itu menjura lalu cepat-cepat masuk kedalam guna
menyiapkan pesanan.
"Darah manis, kau datang dari mana dan siapa namamu?" Ronggo
Bogoseto
bertanya sementara semua orang memperhatikan tanpa berani bicara
apa-apa. Lestari palingkan wajahnya. Sesaat keduanya saling
bertatapan.
"Aih, betapa bagusnya kedua matanya. Bening tapi berkilat seperti
bintang timur. Pipinya kemerahan, keningnya licin, hidungnya kecil
mancung. Bibirnya merah seperti delima merekah!" kata Ronggo
dalam hati memuji. Namun sesaat kemudian dia merasa terkesima
karena pandangan mata sang dara seperti menusuk.
"Kau sendiri siapa?" tiba-tiba Lestari balik bertanya. "Ah! Namaku
Ronggo Bogoseto!" sahut Ronggo dengan dada agak dibusungkan.
Dia merasa senang ditanya seperti itu. Baginya ini satu pertanda
bahwa sang dara juga menaruh perhatian terhadapnya. "Namaku
bagus bukan! Dan tampangku gagah! Ayahku adalah bekas perwira
tinggi kerajaan. Jago pedang kelas satu berjuluk Raja Pedang
Kotaraja. Tapi ada orang yang berpendapat sebenarnya kepandaianku
memutar balik pedang lebih tinggi dari ayahku!" "Betul, betul!" salah
seorang kawan Ronggo berkata sambil tegak dari kursinya. "Sayang
kau terlambat datang.Kalau kau muncul lebih tadi-tadi pasti kau
akan sempat menyaksikan kehebatannya membelah tubuh sembilan
ekor lalat hanya sekali membabatkan pedangnya!" "Ah, dia keliwat
memuji. Tapi apa yang dikatakannya memang benar!" ujar Ronggo
Bogoseta senang dan cuping hidungnya kembali tampak mekar. Lalu
dia berkata: "Kalau kau suka, di hadapan dara secantikmu ini aku
bersedia memperlihatkan kehebatan permainan pedangku!"
"Oo begitu . . . ?" ujar Lestari sambil angguk-anggukkan kepala. Lalu
dalam hati dia menambahkan: "Pemuda ini sombong sekali, Mungkin
ada yang tidak beres dengan otaknya!"
Menyangka orang kagum padanya Ronggo lantas berkata: "Jadi kau
mau melihat kehebatanku dengan mata kepala sendiri?!"
"Silahkan! Siapa yang tidak suka melihat tontonan gratis!" sahut
Lestari lalu meneguk minuman yang dihidangkan pelayan.
"Kau akan lihat! Kau akan saksikan!" Ronggo Bogoseto tegak dari
kursi sambil usapusap dada.
Lestari hampir tak melihat kapan-tangan pemuda itu bergerak tahu-
tahu dia merasakan ada sambaran angin di belakang kepalanya. Pita
kecil yang mengikat rambutnya putus. Rambut sang dara yang hitam
panjang terlepas dari ikatannya dan tergerai di bahunya. Di saat yang
sama pedang yang tadi berkelebat kini sudah kembali berada dalam
sarungnya. Sungguh satu gerakan ilmu pedang yang luar biasa
cepatnya.
"Hebat! Hebat luar biasa!" seru tiga kawan Ronggo seraya bertepuk-
tepuk memuji.
Meskipun jengkel melihat tingkah kesombongan pemuda bermuka
pucat itu namun sebagai orang yang tahu seluk beluk ilmu silat
Lestari harus mengakui bahwa ilmu pedang si pemuda memang luar
biasa.
"Saudari kau belum memberikan pendapatmu mengenai gerakan ilmu
pedangku tadi!" Ronggo berkata dan pandangi wajah Lestari dengan
sepasang bola mata meliar.
"Pantas dikagumi!" jawab Lestari sepolosnya.
Ronggo mendongak ke atas dan tertawa gelak-gelak.
"Tapi!" katanya kemudian. "Itu belum seberapa. Aku akan lihatkan
lagi kehebatan ilmu pedangku. Nah, kau duduklah tenang-tenang di
kursimu!"
Habis berkata begitu Ronggo Bogoseto kembali gerakkan tangan
kanannya ke pinggang. Sinar putih berkelebat di depan hidung Lestari
dari atas ke bawah dan terdengarlah suara tring . . . tring . . . tring ….
tiga kali berturut-turut.
Ketika Lestari memandang ke bawah ternyata tiga kancing pakaian
merahnya telah putus tanggai hingga dadanya yang putih tersingkap
lebar. Sepasang mata Ronggo Bogoseto dan juga semua mata lelaki
yang ada di situ menyaksikan satu pemandangan yang membuat
mata mereka mendelik dan dada bergetar. Lestari cepat-cepat
tutupkan pakaiannya dan melompat dari kursi sementara Ronggo
serta kawankawannya tertawa gelak-gelak.
"Pemuda keparat kurang ajar!" bentak Lestari.
"Benar! Pemuda kerempeng muka mayat! Kau manusia paling kurang
ajar yang perlu diberi pelajaran!" Satu suara menyambungi bentakan
Lestari tadi dan datang dari arah pintu rumah makan
BESIUR angin menderu keras. Meja tergeser tak karuan dan kursi
bermentalan. Kalau Ronggo Bogoseto tak lekas berkelit pastilah
tubuhnya akan kena disambar angin deras tersebut!
Semua orang yang ada di ruangan itu terkejut. Lebih-lebih pemuda
putera bekas perwira tinggi kerajaan yang sombong itu. Cepat dia
berpaling dan memandang ke pintu. Di situ tegak seorang pemuda
berpakaian serba putih. Tampangnya keren sikapnya gagah.
"Bangsat! Siapa kau!" Bentak Ronggo. Mukanya yang senantiasa
pucat sesaat tampak membiru.
"Siapa aku bukan urusanmu! Aku paling tidak suka pada manusia-
manusia kurang ajar yang pergunakan kepandaian untuk
mempermainkan dan menghina perempuan! Angkat kakimu dari sini.
Bawa kawan-kawanmu!"
"Ahoi! Ada pahlawan pembela hak-hak perempuan di tempat ini!"
seru salah seorang pemuda kawan Ronggo. Pemuda lainnya langsung
mendamprat. "Pemuda hina dina! Kau bicara keren amat! Apa tidak
tahu kautengah berhadapan dengan siapa?!"
"Siapa kau dan dua kawanmu itu tak lebih dari monyet-monyet! Lalu
kawanmu yang satu lagi, yang berpakaian mewah dan sesumbar
sebagai jago pedang kelas satu di Jawa itu, di mataku tak lebih dari
seekor kunyuk yang bertingkah aneh kalau melihat perempuan
cantik!"
Tanpa perdutikan keempat pemuda itu yang jadi mendelik dan marah,
si pemuda melangkah mendekati Lestari. Lestari sendiri yakin
sebelumnya pernah melihat pemuda ini tapi tidak ingat entah di
mana dan kapan.
"Lupa?" si pemuda menegur sambil tersenyum.
"Nggg . . . Bukankah kau Panji Kenanga? Murid brahmana Lokapala
dari gunung Raung?" tanya Lestari.
"Ah, ssyukur kau masih ingat padaku!" kata si pemuda tertawa lega.
(Baca serial Wiro Sableng berjudul Hancurnya Istana Darah. Di situ
dikisahkan bagaimana Panji Kenanga bersama gurunya serta Wiro
dan Lestari juga tersama gurunya menghancurkan Istana Darah. Juga
diceritakan Panji Kenangalah yang telah mengembalikan suling perak
milik Lestari yang dicuri oleh seorang tokoh silat jahat bernama
Tapak Biru).
Dimaki dan dihina begitu rupa membuat tiga pemuda kawan Ronggo
sakit hati dan marah bukan main. Namun karena mereka tak satupun
memiliki kepandaian silat maka mereka tak berani bergerak. Lain
halnya dengan Ronggo Bogoseto. Pemuda ini menghardik.
. "Bangsat baju putih! Urusanmu dengan aku belum selesai. Jangan
enak-enak bermesraan dengan gadis itu di depanku!" Dengan
tersenyum Panji Kenanga menjawab. "Oh, rupanya kau masih di situ.
Kukira sudah minggat bersama kawan-kawanmu!" "Keparat! Kau
belum tahu siapa aku!"
"Aih, namamu Ronggo Bogoseto bukan? Kau putera bekas perwira
tinggi kerajaan. Ayahmu berjuluk Raja Pedang Kotaraja. Mukamu
pucat seperti kain kafan, tingkahmu pongah! Kau jadi lebih sombong
jika melihat gadis cantik seperti kawanku ini!"
Oo . . . jadi gadis itu kawanmu! Bagus! Di depan kawanmu itu kau
akan kuhajar sampai babak balur!"
"Seharusnya kau yang layak mendapat hajaran karena tadi telah
menghina keji kawanku ini. Apa kau kira jika ayahmu bergelar Raja
Pedang lalu kau merasa tentunya kau Pangeran? Hik. . . hik!"
"Setan alas!"
Amarah Ronggo Bogoseto meledak.
Sret!
Ronggo hunus pedangnya.
"Cincang dia Ronggo! Tak seorang pun boleh menghinamu!" salah
seorang pemuda berteriak memberi semangat Ronggo luruskan
pedangnya di depan hidung. Lalu berkata pada Panji Kenanga.
"Kulihat kaupun membekal pedang. Lekas cabut jika tak ingin
mampus percuma!"
Panji Kenanga memang sudah mengetahui kehebatan ilmu pedang
pemuda muka pucat itu. Karenanya tidak sungkan-sungkan diapun
segera cabut pedangnya"Gajah Biru", sebuah senjata mustika
berwarna biru dan gagangnya terbuat dari gading gajah.
Ketika melihat badan pedang yang memancarkan sinar biru, diam-
diam Ronggo Bogoseto agak bergeming juga. Namun karena dia
terlalu yakin akan kepandaiannya maka dia menyimpan rasa takutnya
dan berganti dengan sikap percaya diri yang keterlaluan dan
menjadikannya pongah sombongi Dia melangkah mendekati Panji
Kenanga. Tiba-tiba didahului bentakan keras pedang di tangannya
menyambar. Demikian sebatnya hingga benda itu kini berubah
menjadi sinar putih yang bersiur deras dan bertabur ke arah kepala
Panji Kenanga.
Yang diserangcepat melompat ke belakang sambil tundukkan kepala,
lalu berkelebat ke kanan sapukan pedang Gajah Biru. Melihat gerakan
lawan seperti itu Ronggo Bogoseto tertawa mengejek.
"Pemuda yang mau jadi pahlawan! Keluarkan seluruh kepandaianmu!
Dalam waktu tiga jurus kepalamu akan ku belah dua!"
"Sombongnya!" balas mengejek Panji Kenanga. "Coba kau terima dulu
seranganku ini!" Lalu dia susupkan satu tusukan ke tenggorokan
lawan.
"Puah! Hanya tusukan tipuan! Siapa takut!" seru Ronggo.
Panji Kenanga terkesiap. Serangan yang dilancarkannya tadi memang
hanya merupakan satu tipuan. Bagaimana lawan bisa membaca?
Ilmu pedang pemuda muka pucat itu benar-benar bukan
sembarangan. Dari gerakan dan letak tangan musuh dia sudah
mengetahui mana serangan sungguhan, mana yang palsu!
Setelah mementahkan serangan lawan, Ronggo menerjang ke muka.
Pedangnya berkelebat bertubi-tubi. Ilmu pedangnya asing dan aneh di
mata Panji Kenanga. Untung dia memiliki ilmu meringankan tubuh
yang tinggi hingga dapat mengelakkan semua serangan. Di sini
tampaklah bahwa di satu pihak Ronggo Bogoseto memiliki ilmu
pedang yang jauh lebih tinggi tetapi rendah dalam ilmu meringankan
tubuh. Sebaliknya Panji Kenanga memiliki ilmu pedang yang lebih
rendah namun tingkat ilmu meringankan tubuhnya jauh melampaui
lawan.
Panji putar pedangnya dengan sebat hingga sinar biru tampak
bertabur bergulunggulung. Dia coba menerobos ke depan untuk
membuyarkan serangan pedang lawan yang seolah-olah membuntal
dirinya. Usahanya tak kunjung berhasil walaupun dia sudah
mengerahkan seluruh kepandaian. Di jurus ke sembilan Panji Keanga
mulai menyadari bahwa sambaran angin pedang lawan sama sekali
tidak mengandung tenaga dalam yang berbahaya. Nyata Ronggo
hanya mengandalkan tenaga luar atau tenaga kasar ditambah dengan
kecepatan yang memang luar biasa. Maka di jurus ke sepuluh Panji
ambil keputusan!
Ketika pedang Ronggo Bogoseto membacok laksana kilat ke arah
bahu kirinya tepat di pangkal leher. Panji Kenanga kiblatkan pedang
Gajah Biru menyongsong serangan.
Trang!
Dua pedang saling bentrokan mengeluarkan suara nyaring. Bunga api
memercik.
Ronggo Bogoseto keluarkan seruan tertahan. Mata pedangnya
gompal sedang pedang itu sendiri terlepas mental dari
genggamannya, menancap dilangit-langit rumah makan. Dengan
wajah yang tambah pucat pemuda ini melompat mundur. Matanya
membeliak tak percaya memandang pada Panji Kenanga lalu pada
pedangnya yang ada di langit-langit. Ketiga kawannya juga sama
terkesiap kaget. Semua orang yang ada di situ tidak menyangka jago
pedang kelas wahid putera Raja Pedang Kotaraja dapat dikalahkan
oleh seorang lawan muda yang tidak dikenal!
"Muka pucat! Kenapa kau diam saja!" seru Panji.
"Jika kau anggap urusan kita belum selesai silahka ambil pedangmu
di atas sana dan teruskan perkelahian!"
Mau rasanya Ronggo berteriak dan memukul kepalanya sendiri saking
marah dan malu. Dan yang membuatnya benar-benar terpukul saat
itu justru rasa malu dan seperti tak punya muka lagi saat itu!
"Keparat! Jika kau benar-benar punya nyali besar jangan lari! Tunggu
di sini!" ujar Ronggo Bogoseto. Lalu pemuda ini putar tubuh diikuti
ketiga kawannya. Mereka menuju; ke pintu. Namun satu bayangan
merah berkelebat dan menghadang.
"Pangeran sombong! Sebelum pergi aku akan balas dulu kekurang
ajaranmu tadi! "
"Betina sialan! Kau mau apa pula?!" bentak Ronggo begitu
mengetahui yang menghadangnya adalah Lestari.
"Mauku ini!" sahut Lestari. Lalu cepat sekali tangan kanannya
bergerak menampar muka pemuda itu. Bagaimanapun pucatnya
wajah Ronggo, tetap saja tamparan Lestari membekas merah di
wajahnya! Sudut bibirnya sebelah kiri pecah.
"Jahanam!" maki Ronggo. Lalu meninju dada Lestari. Namun
pukulannya ini dengan mudah dapat dielakkan Lestari malah kini
kembali tangan gadis itu bergerak ke atas. Kali ini menjambak
rambut si pemuda lalu menyentakannya keras-keras. Tak ampun
tubuh ronggo tertarik dan terlempar ke luar pintu rumah makan, jatuh
tersungkur di tanah. Mukanya berkelukuran, lecet dan bercelemong
tanah. Darah mengucur dari hidungnya.
Sambil mengerang kesakitan Ronggo berdiri dibantu oleh tiga
temannya. Kedua tangannya terkepal. Matanya berkilat-kilat oleh
hawa amarah.
"Gadis iblis! Kau tunggu pembalasanku!" mengancam Ronggo.
Bersama tiga temannya dia bergerak pergi.
"Pangeran! Pedangmu ketinggalan!" seru Panji Kenanga. Tapi
keempat pemuda itu tak menoleh lagi. Dari melangkah kini mereka
malah mulai berlari.
Panji geleng-gelengkan kepala sedang Lestari hanya tersenyum.
Pemuda itu kemudian dekati si gadis.
"Lestari, bagaimana kau sampai berada di Jember ini. Apakah
gurumu si Pemusnah Iblis itu ada dalam keadaan baik-baik?"
Lestari mengangguk. Sesaat dia sibuk membetulkan pakaiannya.
"Sambil menunggu hidangan ceritakan apa yang membuatmu
meninggalkan danau Jembangan.
"Panjang kisahnya. Tak dapat kuceritakan padamu di tempat ini "
sahut Lestari.
"Memangnya kenapa?"
"Sebaiknya kita tinggalkan rumah makan ini. Aku yakin pemuda muka
pucat itu akan datang bersama seseorang berkepandaian tinggi!"
"Lalu, apakah kau takut?" tanya Panji Kenanga pula.
"Jauh dari itu" sahut Lestari. "Yang aku kawatirkan adalah kalau-
kalau semua yang terjadi di sini bakal mempersulit urusan atau tugas
yang harus kujalani" .
"Hemm… tugas urusan apakah itu?"
"Aku sudah katakan, tak mungkin hal itu kuceritakan di sini. Hai
Pangeran sedang itu datang kembali!" seru Lestari ketika dia melihat
keluar pintu-rumah makan.
PANJI KENANGA memalingkan kepala ke arah pintu. Apa yang
dikatakan Lestari betul. Ronggo Bogoseto bersama tiga kawannya
muncul kembali, melangkah cepat ke arah rumah makan. Di depan
mereka melangkah seorang lelaki berpakaian bagus dan rapi,
berbadan tegap. Rambutnya yang tersembul di bawah blangkon
berwarna memutih. Menurut taksiran Panji, lelaki ini berusia paling
tidak sekitar enam puluh tahun. Dan pasti dia adalah ayah Ronggo,
manusia yang bergelar Raja Pedang Kotaraja itu!
Kelima orang itu sampai di hadapan Panji dan Lestari. Lelaki
berpakaian bagus sesaat menatap wajah kedua muda mudi itu lalu
melirik ke langit-langit rumah makan dimana dilihatnya menancap
sebilah pedang.
"Ayah!" Ronggo tiba-tiba maju dan buka suara. "Inilah monyet yang
berani membuat keonaran. Membuat malu dan menghina kita!"
Ronggo menunjuk tepat-tepat ke arah Panji Kenanga.
Panji Kenanga memutar duduknya sedikit lalu bertanya: "Apakah
kami berhadapan dengan bekas perwira tinggi berjuluk Raja Pedang
Kotaraja?"
'Tepat! Tidak meleset dugaanmu anak muda!" jawab orang tua
berambut putih.
Dari sikap dan nada bicaranya Panji maupun Lestari cepat menarik
kesimpulan bahwa orang inipun memiliki sifat sombong walau tidak
keterlaluan seperti puteranya.
Panji Kenanga tersenyum. Dia menoleh pada Ronggo dan berkata:
"Kau sudah membawa ayahmu kemari. Mengapa tidak membawa
ibumu sekalian?!" Merahlah paras Ronggo Bogoseto. Juga wajah
sang ayah.
"Keparat!" maki Ronggo. Dengan adanya ayahnya di situ dia
mendapat keberanian dan melompat untuk menendang Panji. Tapi
ayahnya bergerak mencegah dan mendorongnya ke samping.
"Orang muda! Apa yang telah kau lakukan terhadap pu teraku
merupakan penghinaan. Merupakan tindakan kejahatan dan
kekerasan. Dan kini di hadapanku kau masih berani bicara kurang
ajar! Apa kau punya segudang ilmu hingga berani berlaku begitu!"
"Orang tua, apa kau sudah menyelidik hingga menimpakan tuduhan
seenak perutmu sendiri?!" Lestari buka mulut.
Raja Pedang berpaling pada si gadis dan memandangnya sesaat.
"Wajahmu cantik, tapi rupanya kaupun bukan gadis baik-baik!"
Panaslah darah Lestari. Dia mengambil baskom kecil berisi air cuci
tangan.
"Kau ayah dan anak coba berkaca dulu dalam air cuci tangan ini.
Coba kalian lihat apakah kalian juga orang baik-baik?!"
Mendidih amarah Raja Pedang.
"Gadis lancang! Penghinaanmu melewati batas!" Secepat kilat orang
tua ini layangkan tamparan ke muka si gadis. Namun baru setengah
jalan sebuah benda keras membentur tangannya hingga tergetar
sakit. Ternyata Panji telah menepis dan menangkis tamparannya itu!
Raja Pedang Kota raja kaget. Tidak disangkanya kalau pemuda itu
memiliki kekuatan seperti itu. Dengan penasaran kini dia lancarkan
satu pukulan kemuka Panji. Namun serangannya hanya mengenai
tempat kosong karena si pemuda sudah berpindah tempat.
Di saat ayahnya menampar Panji, Ronggo pergunakan kesempatan
untuk melompat mengambil pedangnya dari langit-langit rumah
makan. Dengan senjata ini dia kemudian memburu ke arah Lestari.
"Gadis liar! Ayo keluarkan pedangmu! Jangan kira aku tidak tega
mencincang tubuhmu!"
"Rupanya hajaran kawanku tadi tidak membuatmu kapok! Kau ingin
aku ganti menghajarmu? Memang kalau tidak kuhajar kau sampai
babak belur belum puas hatiku!"
Wut! Pedang di tangan Ronggo berkelebat. Lestari angkat sebuah
kursi dan menangkis dengan benda ini. Dua kaki kursi putus dibabat
pedang.
"Sebentar lagi tanganmu . . . . "
Ronggo tak sempat teruskan ucapannya karena tiba-tiba kursi yang
masih dipegang oleh Lestari menusuk ke arah kepalanya. Kalau tidak
cepat dia mengelak, pasti mukanya akan cidera berat Dengan sebat
dia putar pedangnya. Sinar senjata itu bergulung-gulung menguning
Lestari.
Sebelumnya Lestari sudah melihat kehebatan ilmu pedang pemuda
itu. Namun dia juga mengetahui kalau Ronggo tidak memiliki ilmu
silat tangan kosong yang tinggi, apalagi ilmu meringankan tubuh
atau tenaga dalam. Maka Lestari memanfaatkan kelemahan lawan
dengan bergerak cepat sambil keluarkan jurus-jurus silat andalan
yang dipelajarinya dari gurunya Si Pemusnah Iblis. Setelah dua jurus
menyerang tanpa hasil, Ronggo putar pedangnya lebih sebat.
Rahangnya menggembung tanda marah. Namun kursi di tangan
lawan merupakan senjata yang sulit untuk dihadapinya. Berkalikali
dia berusaha menghancurkan kursi itu terlebih dulu. Setiap kali
serangannya tidak membawa hasil. Malah di jurus ketujuh tendangan
Lestari tepat menghantam lengan kanannya.
Trak! Ronggo menjerit kesakitan. Tulang lengannya patah. Pedangnya
mental jatuh bergrompyangan di lantai. Dengan sudut matanya Raja
Pedang Kotaraja dapat menyaksikan apa yang terjadi atas diri
puteranya tanpa dapat menolong. Karena saat itu dia sendiri tengah
mengeluarkan seluruh kepandaian menghadapi Panji Kenanga. Orang
tua ini memang lihay sekali memainkan pedangnya. Senjata yang
berat dan besar itu seperti sebuah tongkat enteng yang dapat
digerakkannya ke mana saja. Namun seperti anaknya, diapun kalah
dalam kegesitan dan tenaga dalam. Cuma orang tua satu ini memiliki
pengalaman luar biasa hingga dalam sepuluh jurus dia dapat
mengunci Panji Kenanga di salah satu sudut rumah makan. Panji
keluarkan keringan dingin. Kalau saja pedang Gajah Biru di
tangannya bukan senjata mustika pasti sudah sejak tadi-tadi dia
dapat dicelakai lawan. Selama sepuluh jurus lagi Panji bertahan
mati-matian.
"Kalau tidak ku barengi dengan pukulan, sulit membuyarkan serangan
yang mengurung ini!" kata Panji dalam hati. Karenanya memasuki
jurus ketiga puluh empat pemuda ini keluarkan bentakan garang dan
lepaskan satu pukulan tangan kosong dengan tangan kiri. Jago tua
itu terkejut ketika merasakan ada angin yang menyambar dan
membuatnya tergontai. Cepat dia sapukan pedang untuk melindungi
diri. Namun gerakannya ini membuat tubuhnya di sebelah bawah jadi
terbuka. Justru ke arah bagian tubuh inilah Panji membebatkan
pedangnya disertai tenaga dalam hingga senjata itu menaburkan
sinar biru.
"Celaka!" seru Raja Pedang Kotaraja. Buru-buru dia melompat
menjauhi serangan lawan. Karena kawatir masih akan terkena
sambaran Ujung pedang Panji, orang tua ini babatkan pedangnya ke
bawah. Trang!
Dua pedang beradu keras.
Apa yang diduga bekas perwira tinggi kerajaan itu benar-benar
terjadi. Pedangnya mental, tangannya terasa kaku seperti kesemutan.
Kedua matanya melotot. Kembali dia menyurut beberapa langkah.
Wajahnya gelap. Seumur hidup baru kali ini dia dipecundangi oleh
seorang lawan yang jauh lebih muda darinya.
"Gila! Aku betul-betul tak punya muka lagi!" kata Raja Pedang dalam
hati. Ketika dia berpaling ke kiri dilihatnya puteranya terduduk di
lantai dengan muka penuh benjut, dikelilingi oleh ketiga kawannya.
Panji Kenanga sarungkan pedang Gajah Biru kembali. Dia menoleh
pada Lestari. Dilihatnya gadis itu memberi isyarat. Lalu keduanya
melangkah ke pintu.
"Orang, muda tunggu dulu!" Tiba-tiba terdengar seruan Raja Pedang
Kotaraja memanggil.
"Ada apa?!! tanya Panji.
"Sebelum pergi harap kalian suka memberi tahu nama masing-
masing . . . . "
"Untuk apa?" Kini Lestari yang bertanya.
"Untuk sekedar jadi kenangan," jawab bekas perwira tinggi itu. Kalian
berdua telah membuka mataku bahwa kesombongan itu hanyalah
satu kepalsuan hidup yang bisa membawa bencana bagi diri sendiri!"
"Ah, aku yang tua ini benar-benar merasa mendapat pelajaran dari
kalian orang-orang muda. Mulai saat ini aku tak mau lagi memakai
gelar Raja Pedang Kotaraja!" Lalu orang tua itu memungut
pedangnya. Ketika dia hendak tinggalkan rumah makan pu teranya
yang mengalami patah tangan cepat menghadang seraya berseru.
"Ayah! Mereka mematahkan lenganku. Kau hendak pergi begitu saja
tanpa memberi hukuman pada mereka?!"
"Kaulah yang patut diberi hukuman!" bentak sang ayah dan plak!
Tamparannya melayang menghantam pipi Ronggo Bogoseto. Pemuda
ini mengeluh kesakitan. Tak tahan menanggung malu.dia lari lebih
dulu meninggalkan tempat itu. Tiga kawannya menyusul di belakang.
KUDA PUTIH polos bernama Angin Salju itu berlari cepat di kegelapan
malam. Di atas punggungnya di sebelah depan duduk Lestari dan di
belakangnya duduk Panji Kenanga. Semula sang dara menolak untuk
menunggangi kuda besar itu bersama-sama. Tapi akhirnya mau juga.
Di tepi sebuah telaga mereka berhenti.
"Kita bermalam di sini dan membuat perapian. Kau setuju?"
Lestari tak menjawab.
"Di samping itu kau bisa memberikan keterangan mengenai urusan
dan tugas yang harus kau jalankan itu. . . "
Setelah berpikir beberapa lamanya akhirnya Lestari menyetujui usul
Panji. Sementara Angin Salju merumput. Panji segera mencari kayu
untuk perapian.
Setelah api menyala, keduanya duduk berhadap-hadapan. Panji
menatap paras gadis di hadapannya itu. Paras yang tak pernah
dilupakannya sejak perjumpaan pertama dahulu. Sebenarnya sudah
sejak lama pemuda ini ingin mengunjungi Lestari di tempat kediaman
gurunya di danau Jembangan. Namun sebelum kesampaian malah
bertemu di Jember.
"Lestari…….. "
Dara itu mengangkat kepalanya.
Sesaat pandangan mereka saling beradu.
"Kau kedinginan? Duduklah lebih dekat ke perapian
"Cukup hangat di sini. Panji"
"Sekarang coba ceritakan apa urusanmu itu. Jika ada yang bisa ku
bantu, pasti akan kulakukan."
Lestari memandang nyala api yang melenggang-lenggok
dipermainkan hembusan angin malam.
"Seseorang telah mencuri senjata mustika milik guru. Hal itu terjadi
ketika guru tidak di rumah. Ini kelalaian ku sendiri. Guru amat marah.
Aku tahu sekali hal itu walau dia tidak memperlihatkannya padaku.
Tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain meninggalkan danau
Jembangan dan mencari senjata mustika itu sampai dapat. Sebelum
dapat aku tak akan kembali."
"Senjata apakah yang dicuri itu?" tanya Panji Kenanga.
"Sebuah tusuk kundai. Terbuat dari perak"
"Pencurinya pasti seorang berkepandaian tinggi."
"Pasti," membenarkan Lestari. "Guru menasihatkan agar aku
menghubungi beberapa tokoh silat golongan putih untuk mencari
keterangan. Sampai saat ini segala sesuatunya masih gelap bagiku
"Jelas yang melakukannya seseorang atau beberapa orang dari
golongan hitam. Kita akan menyelidikinya bersama-sama."
"Kita?" ulang Lestari.
"Ya ……. Kau tak suka aku bantu?"
"Terima kasih. Aku berterima kasih sekali. Tapi kau tahu. Ada
puluhan tokoh silat golongan hitam. Bagaimana kita bisa
menemukan pencurinya…."
"Itulah yang harus kita selidiki Lestari. . . . " Sang dara hanya
mengangguk pelahan. Dia telah menceritakan hilangnya tusuk kundai
sakti itu. Namun sama sekali tidak diberitahukannya kalau benda itu
adalah pertanda ikatan tali perjodohannya dengan murid Eyang Kunti
Kendil yang bernama Wiro Sableng.
Malam bertambah larut dan dingin. Panji Kenanga mengambil sehelai
tikar kulit dan selimut tebal dari kantong perbekalan di punggung
kudanya. Tikar itu lalu dibentangkannya dekat perapian.
"Kau tidurlah di sini. . . . " katanya pada Lestari.
"Aku belum mengantuk."
"Mengantuk atau tidak kau butuh istirahat Untuk mencari senjata
yang hilang itu mungkin kita harus mengadakan perjalanan jauh yang
menguras tenaga… ." Lestari menyadari bahwa apa yang. Dikatakan
Panji itu benar. Perlahan-lahan direbahkannya dirinya di atas tikar
kulit itu. Panji kemudian menyelimutinya.
'Terima kasih. Kau baik sekali. . . ."kata Lestari polos..
Panji tersenyum. Dengan bergelung sehelai kain sarung pemuda ini
membaringkan diri di seberang perapian. Sesekali dia melirik dan
melihat Lestari masih belum memejamkan mata.Kesunyian malam
kadang-kadang digemeretaki oleh suatu ranting kayu yang berderak
dimakan api.
"Ingat peristiwa di Istana Darah dulu .. ?" tiba-tiba Panji bertanya.
"Ya, kenapa?"
"Sejak peristiwa itu apa kau pernah bertemu Wiro ? "
"Tidak. Memangnya kenapa?" Lestari bertanya lagi.
"Pemuda itu ilmunya tinggi sekali. Ingin sekali aku bertemu dengan
dia. Selain bertukar pengalaman siapa tahu dia berbaik hati mau
memberikan sejurus dua ilmu baru"
Yang dipikirkan Lestari saat itu justru bukan ketinggian ilmu Wiro
Sableng melainkan hubungan jodohnya dengan pemuda itu, yang
ikatannya diatur oleh guru mereka. Apakah Wiro mengetahui hal itu?
Lama kesunyian menggantung. Sayup-sayup terdengar riak air telaga
terhembus angin.
"Lestari. . . "
"Hemm . . . Aku masih ingin ngobrol. Entah kalau kau sudah mau
tidur. . . . "
'Tubuhku memang agak letih. Tapi mata ini masih belum bisa
dipicingkan "
"Dalam kehidupanmu yang mencapai usia sekarang ini, apakah kau
pernah mencintai dan dicintai seseorang . . . . ? "
Pertanyaan Panji Kenanga ini membuat Lestari terkejut Dia sadar
wajahnya saat itu pasti menjadi merah. "Ada-ada saja yang kau
tanyakan. Kenapa kau bertanya begitu?"
"Hanya ingin tahu …… " "Soal cinta belum terpikir olehku . . . . "
"Lalu soal seseorang yang mencintaimu?"
"Mana aku tahu? Kalau ada yang mencintaiku dia tak pernah bilang
begitu Panji tertawa. "Bagaimana kalau andai kata kau kemudian
mengetahui bahwa ada seseorang yang mencintaimu dengan sepenuh
hati. . . . "
"Aku harus tahu yang jatuh cinta ini lelaki atau nenek-nenek. Atau
seekor kucing . . . . Aih, malam-malam begini bicara soal cintai Siapa
orangnya yang mau mencintaiku…..?"
"Ada!"
"Sudahlah. Aku tak mau membicarakan hal itu lagi . . . ." Kata
Lestari. Namun diamdiam dia ingin tahu juga siapa orang yang kata
Panji ada mencintainya itu. Wiro Sableng?
"Kau tak ingin tahu siapa orang yang mencintaimu itu Lestari?" tanya
Panji.
"Kalau kau tahu katakanlah."
"Orangnya saat ini dekat sekali denganmu," kata Panji pula.
'Tak ada orang lain di sini."
"Ada. Kau tak melihat? Atau lupa?"
"Siapa?"
"Akui" jawab Panji Kenanga.
Lestari palingkan kepalanya. Kedua matanya terbuka lebar dan
memandang tak berkedip pada Panji Kenanga. Sesaat kemudian
terdengar suara tawa dara itu.
"Kau tengah membanyol Panji!"
"Aku tidak melucu. Apa yang kukatakan adalah sebenarnya. Aku
mencintaimu!"
Lestari merasakah dadanya berdebar.
"Kau bodoh Panji!"
"Bodoh? Bodoh bagaimana?"
"Bodoh karena mau-mauan mencintaiku. Me mangnya aku ini apa
sih!"
"Cinta itu terkadang memang aneh Lestari. Kata orang cinta bisa
membuat buta. Lalu bodoh seperti katamu itu. Lalu perasaan bahwa
dunia ini hanya dia yang punya "
"Aih, pengalamanmu tentang cinta rupanya banyak juga "
"Seperti katamu, mungkin benar aku ini pemuda bodoh. Namun aku
tak mau menyembunyikan sesuatu yang aku rasakan "
Sunyi. Lestari tak bisa berkata apa-apa lagi. Panji juga terdiam.
Gadis itu akhirnya picingkan kedua matanya. Namun dia tidak tidur.
Mendadak dirasakannya ada hawa panas menghembus wajahnya.
Ketika kedua matanya dibuka dilihatnya sebuah wajah dekat sekali ke
mukanya. Wajah Panji.
"Lestari. . . ."bisik Panji.
"Dengarlah … " Sambil bicara dibelainya rambut gadis itu.
"Aku benar-benar mencintaimu . . . ." Lalu kepala si pemuda datang
lebih dekat. Satu ciuman menyapu kening Lestari.Si gadis merasakan
sekujur tubuhnya bergetar. Itulah pertama kali tubuhnya dibelai dan
parasnya dicium lelaki.
"Panji . . . jangan . . . . " bisik Lestari ketika ciuman kedua melembut
jatuh di pipinya.
"Jangan . . ." bisik Lestari lagi. Namun dia tak berusaha menjauhkan
wajahnya. Ketika bibir pemuda itu menempel di bibirnya. Lestari
merasakan nafasnya seperti terbang. Entah sadar entah tidak
kecupan Panji pada bibirnya dibalasnya dengan hangat. MENJELANG
dinihari baru Lestari bisa memejamkan matanya dan tidur. Panji
Kenanga masih duduk di sampingnya, memandang dan menjaganya
dengan perasaan penuh kasih sayang.
Ketika di timur kelihatan langit mulai terang barulah pemuda ini
berdiri dan melangkah ke telaga. Semalam suntuk dia tidak
memicingkan mata barang sekejappun. Namun tubuhnya sama sekali
tidak terasa letih. Kebahagiaan kasih sayang yang dirasakannya
laksana suatu kekuatan dalam dirinya. Dia maklum kalau sang dara
menyukainya, mungkin juga mengasihinya. Walaupun semua itu tidak
diucapkan dalam bentuk kata-kata.
Tak lama setelah Panji mandi di telaga Lestari terbangun. Dia duduk
di samping perapian yang telah padam. Kepalanya terasa agak berat.
Di telaga dilihatnya Panji berkecimpung di air telaga. Begitu melihat
pemuda ini berdebarlah dada sang dara.
Serta merta dia ingat apa yang terjadi malam tadi. Dia telah dipeluk
dan balas memeluk pemuda itu. Dia telah dicium dan balas mencium.
Bagaimana semua itu bisa terjadi?
Teringat Lestari akan tugas yang masih harus dijalankannya. Yaitu
menemukan kembali tusuk kundai perak yang telah dicuri orang.
Benda yang merupakan tanda perjodohannya dengan Wiro Sableng.
Guru Wiro dan gurunya telah mengadakan pengikatan jodoh bagi
mereka. Tapi semalam dia telah bercumbu berkasih mesra dengan
Panji Kenanga. Apakah ini berarti suatu dosa? Apakah ini merupakan
satu pengkhianatan terhadap calon suaminya yakni Wiro? Ada rasa
dosa dan malu dalam hati gadis ini. Lalu apakah dia akan
meneruskan perjalanan bersama Panji Kenanga? Bagaimana kalau
terulang lagi kejadian malam tadi. Terulang lagi malah mungkin lebih
jauh dari itu.
Lestari merapikan rambut dan pakaiannya. Tekadnya sudah bulat Dia
harus meninggalkan Panji Kenanga dan menempuh jalannya sendiri.
Tanpa menunggu lebih lama dia segera lari meninggalkan tempat itu.
Pada saat matahari pagi muncul di ufuk timur maka Lestari telah
berada jauh dari telaga. Dia sengaja memasuki rimba belantara
karena dia tak mengharapkan agar Panji Kenanga dapat
menyusulnya. Namun baru saja dia memasuki hutan itu beberapa
belas tombak mendadak di belakang terdengar suara bergemeresik
disusul satu teriakan keras.
"Randu Wongso! Lihat! Dara berbaju merah itulah yang tengah kita
cari-cari!"
LESTARI terkejut dan cepat Wpaling ke belakang. Kira-kira lima
tombak di belakangnya dilihatnya dua orang lelaki. Yang seorang
bertubuh tinggi langsing tak dikenalnya. Sedang orang kedua bukan
lain Ronggo Bogoseto, pemuda bermuka pucat sombong yang
kemarin dihajarnya di rumah makan Jember.
Sadar kalau kedua orang itu mengejarnya dengan maksud yang tidak
baik maka Lestari segera melarikan diri. Dia berhasil meninggalkan
Ronggo Bogoseto jauh di belakang. Namun si tinggi langsing ternyata
memiliki kepandaian lari. Karena dalam waktu dekat dia segera dapat
mendekati Lestari.
"Kalau mereka berani berbuat sesuatu kubunuh keduanya!" kata
Lestari dalam hati.
Sang dara tidak mengetahui kalau lelaki bertubuh tinggi langsing
yang dibawa Ronggo Bogoseto itu adalah seorang berkepandaian
tinggi. Siapakah adanya orang ini?
Mari kita ikuti apa yang dilakukan Ronggo setelah dia mendapat
hajaran di rumah makan itu.
Meskipun ayahnya sudah menganggap selesai pertikaian dengan
Panji Kenanga serta Lestari namun ronggo Bogoseto tak dapat
melenyapkan rasa sakit hati dendam kesumatnya terhadap kedua
muda mudi itu. Kini dia tak punya muka lagi di seluruh Jember.
Semua orang seperti memandangnya dengan mengejek.
Sebenarnya di samping sakit hati diam-diam pemuda bermuka pucat
sangat tertarik pada kecantikan Lestari. Telah banyak dia melihat
gadis cantik, namun tak ada yang secantik dan begitu menggiurkan
seperti yang satu ini
Setelah mengobati mukanya yang babak belur, dan tangannya yang
patah, dengan menunggangi seekor kuda pemuda ini meninggalkan
kota menuju ke arah timur. Tujuannya adalah sebuah candi tua yang
di diami oleh seorang tokoh silat berilmu
tinggi. Tokoh silat ini bukanlah seorang baik-baik. Sering sekali dia
mempergunakan kepandaiannya untuk maksud-maksud jahat Apalagi
jika seseorang mau memberikan hadiah padanya maka apapun akan
dilakukannya. Karena itu orang mencapnya sebagai tokoh silat
golongan hitam.
Hari telah malam ketika Ronggo, sampai di candi tua itu. Semula dia
kawatir kalau orang yang dicarinya tak ada di tempat. Tokoh silat itu
memang jarang ada di candi tersebut. Namun begitu melihat ada
nyala lampu, maka senanglah hati pemuda ini.
Di depan candi tua pemuda ini hentikan kuda, begitu turun langsung
masuk ke dalam candi. Sebagian besar bangunan itu sudah sangat
rusak dan kotor. Di salah satu sudut terletak sebuah lampu minyak.
Apinya bergoyang-goyang dipermainkan angin hingga membentuk
bayang-bayang yang mengerikan di dinding candi. Udara terasa
dingin.
Ronggo memandang berkeliling. Orang yang dicarinya tidak nampak.
"Randu . . . ." panggil si pemuda. "Randu Wongso . . . . Apakah kau
ada di sini. . . . ? "
Tak ada jawaban.
Tetapi telinga Ronggo tjba-tiba mendengar suara seseorang.
Suara perempuan merintih!
Dia memandang tak berkedip ke sudut kiri lalu melangkah ke arah
tumpukan balokbalok tua yang seperti membatas bagian depan candi
dengan bagian belakang. Ronggo sampai di susunan balok setinggi
dada dan menjenguk ke balik susunan balok itu. Kedua matanya
terpentang lebar ketika apa yang terpampang di depannya, di antara
kesuraman sinar lampu minyak.
Di sana, di lantai candi yang hanya dialasi tikar jerami butut
dilihatnya Randu Wongso dalam keadaan tanpa pakaian tengah
menggagahi seorang perempuan!
Perempuan ini masih muda. Parasnya tidak cantik, berkulit agak
hitam. Tetapi dia memiliki bagian-bagian tubuh yang kencang serta
serba besar.
"Sialan!" rutuk Ronggo Bogoseto.
"Randu!" serunya kemudian.
"Lekaslah! Aku ada urusan amat penting perlu dibicarakan!"
"Sompret anjing kurap!"
Lelaki bernama Randu Wongso itu memaki.
"Anak setan! Siapa kau yang berani mengganggu kesenanganku! Apa
mau kurengkahkan batok kepalamu?!"
"He . . . he . . . . Tenang Randu. Tenang. Aku Ronggo Bogoseto!"
Mendengar nama itu kemarahan Randu Wongso kontan lenyap.
Tetapi tentu saja dia tidak mau meninggalkan apa yang tengah
dilakukannya saat itu. Apa lagi dia menjelang akan sampai ke puncak
kenikmatannya.
"Sobat muda! Apa pun urusanmu bisa menunggu! Malah kalau kau
suka bisa kebagian! Eh, apakah kau membawa uang banyak?"
"Soal uang kau tak usah kawatir. Yang penting cepat sudahi
pekerjaan dajalmu itu!" Ronggo benar-benar tidak sabaran. Yang
dikawatirkannya adalah Panji dan Lestari jadi terlalu jauh untuk
dikejar. "Sialan! Perempuan mana yang digagahinya itu!" Ronggo
melangkah mundar-mandir di bangunan candi yang kecil sempit itu.
Telinganya terus menerus menangkap suara rintihan perempuan itu,
diseling oleh suara nafas Randu Wongso yang memburu.
Tiba-tiba terdengar suara Randu Wongso seperti mengerang.
"Bangsat!" maki Ronggo.
Beberapa saat kemudian baru Rando Wongso keluar dari balik
tumpukan balok.
Tubuhnya penuh keringat dan dia hanya mengenakan sehelai cawat
kumal.
"Kelakuan bejatmu masih belum berobah Randu! Perempuan mana
puja kali ini yang kau rusak kehormatannya? Sudah berapa lama kau
peram di tempat ini. Sudah berapa kali kau tiduri?!"
Randu Wongso tertawa gelak-gelak. Di sekanya keringat yang
mengucuri dahinya.
"Yang satu ini lain, Ronggo. Dia mau ikut denganku ke sini. Dan . . .
ha . . . ha . . . Sungguh luar biasa. Kau ada minat?"
"Gila! Aku kemari bukan untuk begituan!"
"Kau akan menyesal sobat. Yang satu ini benar-benar lain "
"Kentut! Kau selalu memberikan sisa padaku!"
"Sisa bukan sembarang sisa. Kau tahu, paling lama aku hanya
memeram perempuan dua hari. Tak lebih. Tapi dia . . . . sudah lima
hari berada di sini. . . "
Sekilas Ronggo melirik ke balik tumpukan balok. Perempuan muda itu
masih terbaring tanpa pakaian. Melihat keadaan tubuhnya yang
bagus memang Ronggo harus mengakui ucapan Randu tadi bahwa
yang satu ini lain.
"Hai sobat! Jangan memandang terlalu lama! Nanti kau tergiur!
Sekarang katakan apa urusan pentingmu itu!"
Dengan singkat Ronggo Bogoseto menuturkan apa yang telah dialami
dia dan ayahnya di Jember. Tak lupa dia memperlihatkan bibirnya
yang luka akibat tamparan Lestari, lalu tangannya yang dibalut.
"Lalu apa hubungan kejadian* jtu dengan kedatanganmu kemari?"
bertanya Randu Wongso.
"Kita harus cari kedua orang itu. Hajar si pemuda dan sang dara itu
urusanku…."
Ronggo tertawa gelak-gelak.
"Nyatanya kau sendiripun masih memiliki nafsu setan. Apakah gadis
itu cantik sekali hingga kau ingin mencarinya?"
"Cantik luar biasa. Tak pernah sebelumnya aku melihat gadis
secantik, itu. Ketika pedangku memutuskan kancing-kancing
pakaiannya hingga dadanya tersingkap . . . . Mau mati rasanya aku
ketika melihat dadanya. Putih dan kencang!"
"Ha . . . ha . . . hal Sifat kita tak jauh berbeda sobat! Aku suka hal
itu!" ujar Randu Wongso pula. "Kau tak usah kawatir. Kita cari
mereka sama-sama. Tapi…" Habis berkata begitu Randu kembangkan
telapak tangan kirinya dan mengangsurkannya kepada Ronggo.
Tanpa banyak bicara Ronggo keluarkan sebuah kantong kecil berisi
uang dan berikan pada Randu Wongso.
"Kita pergi sekarang?" tanya Randu. Ronggo mengangguk.
"Aku berpakaian dulu. Tunggu di sini. Tapi . .Heh, kau benar-benar
tidak berhasrat terhadap perempuan itu?"
"Urusanku lebih penting. Kita harus cepat…."
' 'Cepat . . . . cepat! Seperti waktu ini dikejar-kejar setan. Bersama
Randu Wongso kau pasti akan menemukan gadis itu. Kau sungguh
tak mau? Urusan beginian kan tidak lama Ronggo…."
Pemuda itu jadi bimbang. Dia melirik lagi ke balik tumpukan balok.
Memandangi tubuh perempuan yang gempal kencang itu lambat laun
terangsang juga nafsu Ronggo Bogoseto. Memang bukan satu. hal
baru dia melakukan hal seperti itu bersama-sama Randu Wongso.
Randu yang menculik lalu mereka gagahi bergantian.
Randu tepuk-tepuk bahu pemuda itu. Lalu mendorongnya ke balik
tumpukan balok.
"Pergilah, aku akan menunggumu sampai selesai . . . ." bisik Randu
Wongso. Akhirnya sambil melangkah ke balik susunan balok, Ronggo
tanggalkan pakaiannya. LESTARI berusaha mempercepat larinya.
Namun Randu Wongso cepat sekali gerakannya. Menyadari bahwa
dia tak mungkin lepas jika terus lari. Lestari akhirnya berbalik dan
menunggu dengan sikap siap menyerang.
"Aha! Akhirnya kami temui juga kau!" kata Ronggo dengan nafas
memburu sementara Randu Wongso tegak tolak pinggang,
memandang tak berkedip pada gadis berbaju merah di hadapannya.
"Apa maumu?!" sentak Lestari. ' 'Wah Ronggo! Gadismu ini galak
sekali!" kata Randu Wongso. "Brengsek! Enak saja kau mengatakan
aku gadisnya!" semprot Lestari dengan mata melotot. "Aih,melotot
marahpun kau malah tambah cantik!" ujar Randu Wongso semakin
menggoda. Diam-diam dia sudah terpikat pula pada kecantikan gadis
ini dan otak kotornya mulai bekerja. Tangannya diulurkan hendak
menjamah tubuh Lestari. "Berani kau menyentuh tubuhku akan
kubunuh!" mengancam Lestari seraya tangan kanannya bergerak ke
pinggang d i mana tersisip pedangnya. "Ah, mati di tanganmu pun
aku senang! Ha . . . ha. . . ha " ujar Randu Wongso lalu tertawa
gelak-gelak.
"Mana pemuda keparat kawanmu itu?!" bertanya Ronggo dengan
nada garang.
"Sebentar lagi dia datang. kau akan dihajarnya seperti kemarin!"
Kata-kata Lestari itu membuat wajah pucat Ronggo Bogoseto sesaat
jadi memerah.
"Gadis cantik, aku dan sobatku ini tidak tega melihat kau melakukan
perjalanan seorang diri. Jika terjadi apa-apa denganmu ah, kami
rasanya tak tega berlepas tangan. Kami bersedia menemanimu.
Bahkan aku mau mendukungmu sampai ke manapun kau pergi"
"Manusia edan! Mulutmu kotor! Kurang ajar! damprat Lestari.
Randu Wongso kembali tertawa gelak-gelak dan kali ini sambil kedip-
kedipkan matanya membuat Lestari tambah jijik melihatnya. Dengan
cepat gadis ini putar tubuh.
"Hai! Kau mau kemana gadisku cantik?!" seru Randu Wongso.
"Randu sebaiknya cepat kau ringkus dia!" berkata Ronggo yang
menjadi tidak sabaran.
"Meringkus burung molek ini perkara mudah sobatku. Lihat! Aku akan
tangkap pinggangnya! Ah, betapa nikmatnya merangkul tubuhnya!"
Setelah berkata begitu dengan satu gerakan Randu Wongso
berkelebat. Begitu cepatnya gerakan orang ini tahu-tahu tangan
kirinya sudah meraih pinggang Lestari sedang tangan kanan
menjamah dadanya!
"Bangsat kurang ajar!" teriak Lestari marah sekali.
Wut!
SINAR putih menyambar ke arah lambung Randu Wongso disertai
suara bersuit. Kaget lelaki ini bukan olah-olah. Sambaran angin yang
datang sangat berbahaya. Mau tak mau segera dia lepaskan
pegangannya di pinggang si gadis dan melompat mundur. Di
hadapannya kini Randu melihat Lestari berdiri memegang sebuah
seruling terbuat dari perak. Benda ini berkilat-kilat tertimpa sinar
matahari pagi. Randu berpaling pada Ronggo lalu bertanya.
"Sobatku, sebenarnya siapakah si cantik berbaju merah ini? "Kulihat
gerakan ilmu pedangnya boleh juga!" "Siapa dia nanti saja kita
bicarakan. Aku tak mau kau membuang waktu. Lekas tangkap dia!"
"Baiklah sobatku. Rupanya kau sudah tidak sabaran! 'Kembali Randu
Wongo bergerak.
"Majulah kalau ingin mampus!" kata Lestari ketika dilihatnya Randu
Wongo datang mendekat.
Sambil tertawa Randu Wongso melangkah menghampiri si gadis.
Tiba-tiba Randu menyergap ke depan. Lestari menghantamkan
sulingnya ke arah dada lawan.
Namun kali ini dia tertipu.
Serangan Randu Wongso hanya pura-pura saja karena sedetik
kemudian dia sudah berpindah kedudukan dan berkelebat ke jurusan
lain. Lestari tak kalah cepat. Dia putar gerakan tangannya dan
sulingnya kini justru menusuk ke muka lawan! Ketika Randu Wongso
berkelit untuk menghindarkan mukanya. Lestari lepaskan satu
pukulan tangan kosong dengan tangan kiri,
"Eh!"
Untuk kedua kalinya Randu Wongso dibuat terkejut. Dia benar-benar
sadar kini kalau dara berbaju merah yang tadi dianggapnya sepele itu
tak bisa dipandang enteng. Di balik wajahnya yang jelita, di belakang
gerakan tubuhnya yang halus gemulai itu, tersembunyi satu ilmu silat
tinggi!
"Kalau tak segera kuringkus gadis ini bisa berbahaya!' 'kata Randu
Wongso dalam hati. Dengan gerakan bernama pelangi menggelung
langit dia menyambar dari samping, kiri. Gerakannya aneh, perlahan
sekali, seperti acuh tak acuh dan sangat mudah untuk balas
dihantam. Namun Lestari walau tidak banyak pengalaman telah
digembleng oleh gurunya Si Pemusnah Iblis secara meyakinkan. Dia
tegak menunggu dengan waspada. Ketika lawan sampai di
hadapannya baru dia bersurut dua langkah: Betul saja apa yang
diduganya. Lawan tiba-tiba membuat gerakan susulan. Baru
serangan Randu bergerak setengah jalan Lestari sudah menyongsong
mendahului dengan satu tendangan ke arah ulu hati lawan. Tapi
serangan ini hanya mengenai tempat kosong karena Randu Wongso
berhasil mengelakkannya
Dengan penasaran Lestari lepaskan pukulan tangan kosong dengan
mengerahkan tenaga dalamnya.Randu Wongso juga tak kalah
jengkelnya. Dia ingin tahu sampai di mana ketinggian ilmu lawan.
Serangan Lestari disambutnya dengan pukulan tangan kosong pula.
Dua larik angin menderu, saling labrak satu sama lain.
Lestari rasakan tubuhnya bergoyang gontai. Serta merta dia lipat
gandakan tenaga dalamnya. Namun ternyata tenaga dalam lawan
jauh lebih tinggi. Sekali
mendorongkan tangan kanannya ke depan maka Lesta ri terjajar ke
belakang. Selagi dia coba mengimbangi diri Randu Wongso
menyergap.
"Celaka! "seru Lestari dalam hati ketika dilihatnya lawan berhasil
merampas suling peraknya. Dengan senjata ini Randu Wongso
kemudian berusaha menotok pundak sang dara. Sekali totokan itu
mengena maka akan lumpuhlah sekujur tubuh Lestari. Masih untung
gadis ini cepat mengelak hingga terhindar dari bahaya.
Ronggo Bogoseto yang sejak tadi menyaksikan perkelahian kedua
orang itu dengan berdebar kini mulai was-was apakah Randu Wongso
akan mampu menangkap sang dara. Sikapnya yang tertawa-tawa
cengengesan membuat pemuda ini jadi jengkel.
' Randu! Lakukan pekerjaanmu dengan cepat! Kau berhasil merampas
senjatanya. Masakan menangkapnya saja kau membutuhkan waktu
begitu lama! "
"Aku tahu apa yang aku kerjakan Ronggo!" Randu Wongso kini ber
balik nampak kesal. Lalu dia menghadapi Lestari kembali. "Gadisku
cantik," katanya. "Jika kau mau serahkan diri secara baik-baik, aku
berjanji tidak akan mencideraimu. Bagaimana . . . ? Kau tahu
pemuda sobatku ini putera orang terpandang, memiliki kekayaan.
Jika kau ikut dengan dia pasti kau bahagia. . . "
"Baiklah, aku akan menyerah saja . . . " kata Lestari. "Tapi makan
dulu ini! "
Hampir tak terlihat kapan Lestari menggerakkan tangannya tahu-tahu
lusinan senjata rahasia berbentuk jarum merah menderu ke arah
Randu Wongso!
"Wah hebat juga senjatamu ini!" memuji Randu Wongso. "Terpaksa
aku memakai suling perakmu untuk menghadapinya!' '
Randu Wongso sehatkan suling perak milik Lestari yang barusan
dirampasnya.
"Tring… tring… tring…
Semua senjata rahasia berbentuk jarum ini mental dan luruh ke
tanah. Berdebarlah Lestari ketika melihat kejadian itu.
"Manusia keparat ini tinggi sekali ilmunya! "Ada rasa takut di hati
sang dara kini. Dia menghantam dengan kedua tangannya lalu susul
dengan tendangan. Tapi orang yang diserang lenyap dari
hadapannya.
"Gadis cantik! Aku di sini! Mengapa menyerang tempat kosong?!" ejek
Randu. Suaranya datang dari sebelah kanan. Cepat Lestari memukul
ke arah ini.
"Hai! Lagi-lagi kau menyerang tempat kosong. Aku ada di sebelah
kirimu! " Kembali suara Randu Wongso terdengar dan sekali ini
memang datang dari kiri.
"Setan!" rutuk Lestari. Penasaran gadis ini menghantam ke kiri.
Justru di saat itu satu totokan tiba-tiba bersarang di punggungnya.
Lestari mengeluh pendek. Tubuhnya tak bisa digerakkan lagi. Kaku
tegang ditempatnya berdiri. Jalan suaranyapun tertutup!
Randu Wongso melangkah ke hadapan Lestari sambil tertawa gelak-
gelak. Ronggo Bogoseto pun tak kurang gembiranya. Dia berputar-
putar mengelilingi Lestari. Ketika berhenti di depan si gadis enak saja
dia mencuil dagu Lestari dengan tangan kirinya.
"Gadis cantik! Akhirnya kau kami ringkus saja! Kalau tadi-tadi kau
mau menurut secara baik-baik tentu tak begini jadinya. Nah sekarang
kau harus ikut aku ke Jember! Aku akan sediakan rumah bagus dan
tempat tidur mewah untukmu!" Ronggo berpaling pada Randu.
'Tolong naikkan dia ke bahu kiriku. "
"Ronggo, tangan kananmu yang patah itu membuatmu sulit
memanggul nya meski di bahu kiri. Biar aku yang mendukungnya!"
"Tidak bisa!" sentak Ronggo Bogoseto. Tentu saja pemuda ini tak
percaya pada lelaki itu.
"Kau tak usah cemburu padaku sobat Aku tahu kau ingin bersenang-
senang dengan gadis ini. Tapi kalau kau jadi tambah celaka sebelum
sempat melakukannya apa enak? Candi kediamanku lebih dekat dari
sini. Bagaimana kalau kita bawa ke sana saja? Nanti baru kau pindah
ke Jember. "
"Buset! Gadis secantik ini hendak dibawa ketempatmu yang kotor
buruk itu Jangan ngaco Randu!" Gadis ini bukan perempuan
sembarangan! Jika dia mau menuruti kemauanku aku akan ambil dia
jadi istri!' '
' WaIah! Jadi aku tidak akan kebagian?! "
' Aku tidak suka mendengar ucapanmu itu. Dia milikku sendiri! Kau
boleh kembali ke Candi dan meneruskan memuaskan nafsumu dengan
gadis berkulit hitam manis itu!"
' Tapi aturan macam begitu tak ada kita janjikan sebelumnya
sobatku! " ujar Randu Wongso pula.
"Sudahlah! Kau jangan bicara melantur terus. Nanti akan
kutambahkan uang untukmu! "kata Ronggo. Lalu tanpa bantuan
Randu Wongso pemuda ini panggul tubuh Lestari di bahu kirinya.
Baru saja tubuh Lestari melintang di bahunya tiba-tiba terdengar
satu bentakan.
"Pemuda keparat! Turunkan gadis itu! "
RONGGO terkejut. Rantu tak kalah kagetnya. Seorang pemuda
berpakaian putih-putih dari balik semak-semak. Di belakangnya
mengikuti seeko kuda putih polos tinggi dan kekar.
"Hemm . . . Ronggo siapa manusia ini?" bertanya Randu Wongso
tanpa melepaskan pandangannya dari pemuda berkuda putih itu.
"Dia kunyuk yang mengaku sahabat gadisku ini. Hebat benar
lagaknya. Seperti gadis ini miliknya. Ayo Randu. Menolongku jangan
kepalang tanggung. Hajar dia sampai mampus!"
Randu Wongso seorang yang banyak pengalaman. Walau jelas
pemuda dihadapannya itu tampak sederhana namun dari gerak-
geriknya jelas dia membekal ilmu yang tidak rendah. Apalagi suara
bentakannya tadi begitu keras menggetarkan liang telinga.
Sebelumnya diapun telah mendengar cerita Ronggo bahwa pemuda
ini memiliki ilmu pedang yang jauh lebih tinggi dari yang dikuasai
ayahnya. Padahal sang ayah bergelar Raja Pedang Kotaraja!
"Orang muda!" tegur Randu Wongso. "Kulihat tampangmu cukup
keren. Apa tak sayang kalau wajahmu yang cakap itu menjadi cacat
seumur hidup? Lebih baik lekas angkat kaki dari hadapan kami!"
Pemuda berkuda putih alias Panji Kenanga menyeringati.
"Bagusnya kalian berdua berlutut minta ampun. Jika itu kalian
lakukan aku bersedia membatalkan niatku untuk menghajar kalian
berdua!"
Randu Wongso tertawa gelak-gelak.
Tiba-tiba dia hentikan tawanya dan berkata. "Baiklah! Baiklah orang
muda. Jika itu maupun aku menurut saja. Aku akan berlutut di
depanmu. Lihat! "
Kedua lutut Randu Wongso menekuk. Tubuhnya perlahan-lahan turun
ke bawah seperti orang yang memang siap berlutut. Namun sesaat
sebelum kedua tempurung lututnya menyentuh tanah, di dahului oleh
bentakan yang menggetarkan Seantero belantara, tubuhnya mencelat
ke depan. Kaki kanannya kirimkan tendangan keras ke dada Panji
Kenanga!
Murid mendiang brahmana Lokapala itu untungnya telah bersiap
sedia. Dengan sigap dia berkelit ke samping. Tendangan lawan lewat.
Randu susul dengan pukulan, juga tidak berhasil. Sebagai balasan
Panji lepaskan dua jotosan. Satu menghantam ke salah satu
tempurung lutut, lainnya ke sambungan siku tangan kanan Randu
Wongso.
Serangan balasan itu membuat Randu kaget tapi tak dapat
membuatnya jadi kecut. Kaki kirinya yang masih menginjak tanah
digerakkan sedikit. Gerakan kaki kirinya yang masih menginjak tanah
digerakkan sedikit Gerakan kaki ini membuat tubuhnya miring ke
belakang dan meluncur ke bawah. Sekaligus dia berhasil
mengelakkan kedua serangan balasan Panji Kenanga.
Si pemuda tahu betul bahwa mengelak dengan cara seperti yang
dilakukan Randu Wongso adalah sangat berbahaya dan hanya bisa
dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar berilmu tinggi.
Kenyataan ini memberi bukti kepada Panji Kenanga bahwa Randu
Wongso siapapuri adanya, adalah seorang yang berkepandaian tinggi
serta berbahaya!
Karenanya begitu Randu Wongso kembali menerjang ke arahnya
pemuda ini segera menyambut dengan pukulan mega putih.
Sinar putih keabu-abuan melesat deras, bersiur menghantam ke
pertengahan tubuh Randu Wongso.
Yang diserang kaget bukan main. Dia sama sekali tidak menyangka
kalau lawan yang masih muda itu memiliki pukulan sakti begitu rupa.
Betapapun gesit dan cepatnya dia mengelak membuang diri ke
samping kanan namun tak urung bahu kirinya kena juga disambar
oleh sinar pukulan lawan. Masih untung kenanya tidak begitu tepat.
Inipun sudah cukup membuat Randu Wongso kesakitan setengah
mati. Bahu kirinya terasa seperti remuk sampai ke dalam.
Tampang Randu Wongso kelam membesi menahan sakit dan juga
oleh amarah yang menggelegak. Sebagai jago kelas satu tak pernah
dia mengalami hal seperti ini sebelumnya. Dihantam lawan hanya
dalam beberapa jurus!
'Pemuda bangsat! Apa yang kau lakukan terhadapku harus kau bayar
dengan nyawa anjingmu! " menyumpah Randu Wongso. Tangan
kanannya dipentang di depan dada. Bibirnya bergetar. Mulutnya
berkomat-kamit dan sepasang matanya memandang kedepan tak
berkedip. Panji Kenanga kemudian melihat bagaimana tangan kanan
lelaki itu mulai dari ujung jari sampai ke siku berubah menjadi hitam,
makin hitam dan gelap legam.
"Pukulan mengandung racun jahat! "kata Panji dalam hati dan
bersiap waspada. Tiga perempat tenaga dalamnya segera dialirkan ke
tangan kanan. Dia menunggu tak berkedip.
Randu Wongso berteriak garang. Tangan kanannya dipukulkan ke
arah Panji.
Murid Brahmana Lokapala itu sertamerta angkat pula tangan
kanannya dan menghantam sambuti pukulan lawan!
Dari tangan kanan Randu Wongso menyembur menggulung sinar
hitam yang menyebarkan bau amat busuk. Dari tangan Panji Kenanga
membersit sinar putih kelabu yang segera menghantam dan menyapu
sinar hitam pukulan lawan. Randu Wongso yang sadar kalau lawan
memiliki tenaga dalam ampuh yang dapat menghancurkan sinar
hitamnya.segera gerakkan tangan kanan membentuk setengah
lingkaran. Sinar hitamnya yang hampir musnah dihantam sinar mega
putih .Panji Kenanga menyusup ke bawah dan lolos dari hantaman
pukulan lawan. Begitu lolos Randu Wongso secepatnya kembali
menghantam dengan tangan kanan. Tangan kirinya juga ikut
dipukulkan, mendorong pukulan tangan kanan hingga kekuatannya
jadi berlipat ganda. Serangan ini sama sekali tidak terduga oleh Panji
Kenanga!
Sinar hitam lawan menghantam dada dan menerjang mukanya. Aneh,
tak terasa apa-apa seolah-olah sinar pukulan itu hanya merupakan
sapuan angin belaka. Namun begitu rongga hidung Panji Kenanga
mencium bau busuk, yang terkandung dalam sinar, mendadak sontak
sekujur tubuhnya seperti kaku, tak dapat lagi digerakkan. Bukan itu
saja, nafasnyapun menyesak. Akhirnya tubuhnya roboh terguling di
tanah!
'Celaka! Tamatlah riwayatku!" keluh Panji Kenanga. Di dalam
pemandangannya yang menjadi kabur dilihatnya Ronggo Bogoseto
sambil memanggul tubuh Lestari melangkah kehadapannya.
Pemuda ini tertawa mengejek.
"Bangsat! Hanya sampai disitu kehebatanmu! Masih untung aku tak
mau membunuhmu saat ini! Tapi belum puas hatiku sebelum
melakukan sesuatu terhadapmu!"
Ronggo gerakkan kaki kanannya. Tendangannya menghantam muka
Panji. Murid brahmana Lokapala ini merasakan kepalanya seperti
meledak. Tubuhnya mencelat mental dan dia tak ingat apa-apa lagi.
"Rasakan olehmu!" kata Ronggo Bogoseto seraya meludahi muka
Panji Kenanga.
Ketika dia hendak melangkah pergi Randu Wongso coba
membujuknya kembali.
' Bawa saja gadis itu ke candiku."
"Tadi aku sudah bilang, gadis ini milikku. Kau tak bisa mengaturku
Randu!"
Ronggo melangkah pergi. Saat itulah dilihatnya kuda putih milik
Panji Kenanga. Dari pada capai-capai jalan kaki atau berlari ke
Jember sambil memanggul tubuh Lestari, bukanlah lebih baik
memanfaatkan binatang itu. Segera Ronggo mendekati kuda ini dan
siap naik ke punggungnya. Namun baru saja dia mendekat, kuda
putih itu tiba-tiba menghentakkan kaki belakangnya dan tepat
mengenai pinggul Ronggo hingga pemuda ini terpekik kesakitan.
Tubuhnya melintir dan jatuh bersama Lestari yang dipanggulnya.
Kuda putih itu sendiri meringkik keras lalu lari.
"Binatang keparat!" maki Ronggo sementara Randu Wongso tertawa
membabak dan melangkah ke arah Lestari untuk menolong gadis itu.
"Randu! Awas! Jangan sentuh gadis itu. Bukan dia tapi aku yang
harus kau tolong dulu!" teriak Ronggo Bogoseto ketika dilihatnya
Randu Wongso hendak memegang lengan Lestari.
Mendengar ucapan Ronggo itu terpaksa Randu membatalkan niatnya
menolong Lestari. Kini dia membantu Ronggo berdiri.
"Nasibmu amat sial hari ini, Ronggo. Kudapun berani menyerangmu!"
"Tutup mulutmu!" tukas Ronggo kesal. Tangan kanannya yang patah
terasa sakit. Untung saja balutan kain dan kayu penopang lengan itu
cukup kuat, kalau tidak patahan tulang yang berusaha disambungkan
itu akan terbuka kembali. Dengan susah payah dia mengangkat tubuh
Lestari, lalu berlutut dan menaikkan kembali gadis itu ke bahu
kirinya.
"Aku akan ikut kau ke Jember!" Randu Wongo mengambil keputusan.
"Aku tak butuh kau lagi Randu. Kau boleh kembali ke candimu dan
meneruskan pekerjaanmu menggeluti tubuh perempuan hitam manis
itu!" kata Ronggo yang tak senang akan maksud Randu
mengikutinya.
"Sobatku! Apa kau lupa janji yang kau ucapkan? Kau akan memberi
tambahan uang karena aku telah bantu meringkus gadis itu . . .
"Mendengar kata-kata Randu itu Ronggo jadi jengkel.
"Tahumu hanya uang dan perempuan . . . "
"Eh, apakah ada hal lain yang diperlukan manusia di dunia ini selain
uang dan perempuan . . . ?" ujar Randu pula. Ronggo tak menjawab.
Dia juga tak melarang ketika dilihatnya Randu berlari mengikutinya.
DI LERENG bukit itu terdengar suara siulan membawa lagu tak
menentu. Suara siulan ini akan aneh terasa jika ada orang lain
mendengarkan. Bukan saja karena lagu serta irama yang
disiulkannya tidak menentu, tetapi suara siulan itu sendiri demikian
kencangnya hingga mengalahkan deru angin yang bertiup dari barat
ke timur.
Yang bersiul adalah seorang pemuda berpakaian putih dan agak
lusuh. Dia mengenakan ikat kepala putih dan saat itu sambil bersiul
dia berlari cepat menuju puncak bukit. Sampai di puncak bukit dia
hentikan lari, berdiri sambil memandang berkeliling. Rambutnya yang
gondrong menjela bahu melambai-lambai ditiup angin. "Sialan.' Tak
satu bangunanpun kulihat!' 'pemuda ini memaki pada dirinya sendiri.
"Di mana sebenarnya letak candi laknat itu . . . ?"
Pemuda ini menyelidik ke ujung puncak bukit sebelah timur. Dengan
penasaran sambil garuk-garuk kepala dia kemudian lari ke bagian
barat. Tetap saja tak satu bangunanpun yang tampak dari tempat itu.
Dia lantas berpikir-pikir. Apakah sebaiknya dia menuruni bukit itu
dan langsung menuju Jember. Mungkin di situ dia bisa mendapatkan
keterangan tentang letak candi tua tempat kediaman Randu Wongso,
seorang tokoh silat jahat dan mesum yang sudah lama dicarinya.
"Tapi kalau sampai di Jember, jauh-jauh aku tak bisa mendapatkan
secuil keterangan pun, berarti aku harus kembali ke sini!" Pemuda ini
kembali garuk-garuk kepalanya. "Padahal keterangan yang kudapat
candi itu terletak di bukit sialan ini! Bagusnya aku menyelidik dulu
Keputusan yang diambilnya ternyata tidak sia-sia. Setelah menyelidik
hampir sepenanakan nasi, candi yang dicarinya itu akhirnya
ditemuinya di lereng bukit sebelah timur, terletak di balik lindungan
pohon-pohon besar.
Pemuda ini tidak segera memasuki candi. Dia memutari bangunan
tua itu beberapa kali sambil memasang mata dan telinga. Tak ada
terdengar suara apa-apa, juga tak kelihatan tanda-tanda ada orang di
dalam sana.
"Jangan-jangan bangsat itu tak ada di sini," menduga si pemuda
dalam hati. Setelah mengelilingi candi itu sekali lagi, dia melangkah
ke bagian depan candi dan langsung masuk ke dalam bangunan tua
ini.
Sepi. Tapi di sudut candi sebelah sana dilihatnya sebuah lampu
minyak menyala, hampir padam karena minyaknya tinggal sedikit.
Lampu itu . . . " desis si pemuda. Baginya ini berarti si penghuni
candi tua tersebut tak ada di situ. Pergi tanpa mematikan lampu. Dan
perginya pasti sudah lama. Paling tidak sejak malam tadi.
"Sialan! Aku tunggu saja di luar. Kalau sampai sore dia tak muncul
baru aku ke Jember. . . "
Ketika hendak melangkah meninggalkan bangunan itu tiba-tiba
telinganya menangkap suara seperti tarikan nafas. Suara ini datang
dari balik tumpukan balok-balok kayu. Sekali lompat saja dia sudah
berada di atas tumpukan balok itu. Memandang ke bawah berubahlah
paras pemuda ini.
Di sana, di atas lantai candi yang beralaskan tikar jerami butut
terbaring sosok tubuh perempuan muda tanpa pakaian. Kedua
matanya terpejam, tubuhnya tak bergerak, dadanya turun naik sedang
wajahnya membayangkan seperti menahan rasa sakit yang amat
sangat. Sebagai seorang lelaki pemandangan itu mau tak mau
membuat darahnya jadi panas juga. Apalagi perempuan itu memiliki
tubuh yang sekal dengan sepasang payu dara yang besar kencang.
Pada kedua payudara itu tampak tanda-tanda merah seperti bekas
gigitan. Walaupun terangsang namun rasa kasihan lebih
mempengaruhi hati si pemuda. Dia turun dari atas balon kayu,
melangkah ke sudut ruangan. Di sini dilihatnya gulungan pakaian
perempuan. Diambilnya pakaian itu lalu ditutupkannya ke tubuh yang
terbaring itu.
Merasakan ada sesuatu diletakkan di atas auratnya, perempuan itu
buka kedua matanya. Mata itu kuyu sekali. Tiba-tiba membesar
sesaat, seperti ketakutan, lalu kuyu kembali.
"Jangan takut. Aku tak akan menyakitimu. Aku ingin menolong . . . "
berkata si pemuda.
"Ha .. . haus . . . Aku . . . minum . . . " lapat lapat terdengar suara
keluar dari sela bibir perempuan muda itu.
' Air, di mana akan kudapat air di tempat ini. . . ?" Pemuda itu
memandang berkeliling. Dilihatnya sebuah kendi. Diambilnya dan
diguncangnya. Terdengar suara air di dalam kendi itu. Segera
pemuda ini berlutut dan menempelkan bibir kendi ke bibir perempuan
itu. Setelah minum beberapa teguk dengan susah payah wajahnya
tampak agak segaran. Pemuda itu menunggu beberapa ketika lalu
berkata.
"Kalau kau bisa bicara, katakan apa yang terjadi…"
"Kau… kau… siapa?"
'Namaku Wiro Sableng. Kau tak usah takut. . . "
' Kalau bukannya orang jahat? Atau kawan lelaki yang
memperkosaku tadi malam? "
"Siapa yang memperkosamu . . . ?"
"Ada dua orang. . . "
"Ya, dua orang. Siapa mereka?"
"Aku tidak kenal. Aku tidak ingat. . . "
"Kau harus ingat. Kalau tidak bagaimana aku bisa menolongmu. . . "
"Kepalaku sakit. Sekujur badanku sakit . . . "
Perempuan itu meraba wajahnya, lalu meraba dada dan badannya.
Kemudian dia mulai terisak menangis. Si pemuda yakni murid Eyang
Sinto Gendong menggigit bibir den garuk-garuk kepala. "Kau mau
minum lagi?" tanyanya kemudian. Yang ditanya mengangguk. Wiro
memberinya beberapa teguk lagi air kendi yang sejuk itu. .
"Siapa namamu . . . "
"Warsih. . . "
Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan sebutir obat. Obat ini
diminumkannya pada perempuan itu. Lalu katanya: "Warsih, kau
harus bisa mengingat siapa mereka itu. Paling tidak keduanya satu
sama lain tentu saling memanggil nama . . . "
"Sulit sekali mengingatnya. Mereka…. Tunggu . . . Kudengar yang
datang belakangan itu menyebut satu nama. Randu . . . ya Randu . . .
"
"Bagus, kau ingat kini Warsih. Lalu siapa nama yang satu lagi?"
Perempuan itu pejamkan mata mengingat-ingat.
"Ronggo . . . " katanya kemudian sambil membuka mata."
"Di mana kedua orang itu sekarang …T'
"Pergi…"
"Kau tahu pergi ke mana . . ?" tanya Wiro lagi. "Dan kapan mereka
pergi. . . "
"Tadi malam. Ke mana mereka pergi aku tidak tahu…"
"Orang yang bernama Randu itu yang membawamu ke tempat ini?"
"Ya . . . Aku diculiknya dari desa . . . " "Di mana desamu?"
"Paritwangi."
"Aku akan tolong kau kembali ke desa itu."
"Tidak, aku tak mau kembali. Memalukan kembali ke rumah. Semua
orang desa akan tahu apa yang terjadi. Aku ingin mati saja. Lebih
baik mati!"
"Jangan berpikiran pendek begitu. Yang mati kalau bisa ingin hidup .
. . "
"Tapi hidup dengan menanggung malu besar begini siapa sudi.
Apalagi kalau sempat aku hamil . . . " Perempuan itu kembali
menangis.
"Dengar Warsih. Kau harus hidup. Paling tidak untuk melihat atau
mengetahui bahwa manusia bernama Randu serta kawannya yang
bernama Ronggo itu telah menerima pembalasan atas dosa-dosanya
. . . " kata Wiro pula.
"Pembalasan . . . Siapa yang akan membalaskan kejahatan terkutuk
mereka? Sejak dulu pejabat-pejabat kadipaten tak ada yang turun
tangan. Manusia bernama Randu itu pasti telah sering melakukan
perbuatan keji ini!" '
"Aku sudah bilang, aku akan menolongmu. Aku memang sudah lama
mencari manusia bernama Randu itu…"
"Kalau begitu kau temannya . . . " .
"Bukan. Justru aku mau menghajarnya. Kini menyaksikan
penderitaanmu aku bersumpah untuk menghajar manusia itu sampai
mati . . . Sekarang, kalau kau sudah cukup kuat berdirilah. Kenakan
pakaian mu kembali. Kita sama-sama ke Paritwangi."
Wiro lalu tinggalkan tempat itu untuk memberi kesempatan
padaWarsih berpakaian.
Tetapibaru sajadia berada dibalik tumpukan balok,mendadak
didengarnyasatusuara
benturan,disusul oleh suara jatuhnya sesosok tubuh kelantai.
Pendekar 212 melompat kebalik tumpukan balok.Namun
terlambat.Dilantai di lihatnya tubuh Warsih masih belum berpakaian
terkapar dengan kepala rengkah bedarah.Perempuan malang ini
memutuskan lebih baik mati dari pada hidup menanggung aib.Dia
telah membenturkan kepalanya sendiri kedinding candi!
Wiro tertegun beberapa saat. Mayat Warsih ditutupnya dengan tikar
jerami.Tak ada kesempatan baginya untuk mengurusi jenazah
itu.Cepat-cepat pendekar ini tinggalkan candi.
PENDEKAR 212 Wiro Sableng tak dapat memastikan berapa jauh dia
telah meninggalkan candi kediaman Randu Wongso ketika tiba-tiba
dia mendengar suara ringkikan kuda. Wiro segera lari ke jurusan
datangnya suara binatang ini.
Di tepi sebuah telaga berair jernih tampak seekor kuda putih polos
tegak tak bisa diam dan meringkik terus menerus. Di bagian lain dari
telaga kelihatan bekas perapian.
Murid eyang Sinto Gendeng ini berpikir-pikir. Sebetulnya dia merasa
pasti pernah melihat kuda putih itu. Tapi di mana dan kuda milik
siapa? Tiba-tiba pendekar ini tepuk keningnya. Dia ingat. Binatang
itu adalah milik Panji Kenanga, murid brahmana Lokapala dari
gunung Raung. Bersama pemuda itu dulu dia menghancurkan Istana
Darah. Kalau dia tidak salah ingat, kuda ini bernama Angin Salju.
Jika Angin Salju ada di situ pasti Panji Kenanga juga ada di tempat
itu. Sambil memandang berkeliling Wiro melangkah mendekati Angin
Salju. Binatang ini masih terus meringkik. Ketika didekati dia
merundukkan kepala dan men g gesergeserkan lehernya yang berbulu
tebal ke bahu Pendekar 212.
"Tenang sobat. Kau tampak gelisah. Mana tuanmu?" kata Wiro
sambil mengeluselus leher Angin Salju.
Binatang itu memutar-mutarkan ekornya. Kedua kakinya diangkat
tinggi-tinggi dan kembali dia meringkik. Wiro menyelidik lagi
berkeliling. Tak ada tanda-tanda adanya Panji Kenangan di situ. Ini
satu hal yang mengherankan.
Tingkah laku Angin Salju membawa firasat yang tidak enak bagi
pendekar itu. Dia memandang ke tengah telaga. Apakah Panji
tenggelam? . "Sesuatu telah terjadi dengan majikan binatang ini,"
pikir Wiro.
Tiba-tiba Angin Salju meringkik keras. Lalu berputar dan lari
meninggalkan telaga. Wiro Sableng segera mengikuti binatang ini.
Kuda putih itu lari masuk ke dalam hutan. Makin dalam dan makin
jauh. Di satu tempat dia jatuhkan diri, melosoh ke tanah. Tepat dekat
sesosok tubuh yang menggeletak tak bergerak.
Sekali lompat saja Wiro sudah berada dekat sosok tubuh itu. Ketika
ditelitinya terkejutlah pemuda ini.
"Panji Kenanga!" desisnya. Didukungnya pemuda itu dan
dipindahkannya ke tempat yang lebih baik.
Muka Panji Kenanga penuh oleh darah yang hampir mengering. Darah
itu tampaknya mengucur keluar dari hidung. Salah satu pipinya
bengkak membiru. Mungkin bekas pukulan keras. Dari sela bibir
membuih cairan hitam, Wiro mendekatkan hidungnya ke cairan itu.
Ada bau aneh. Dirabanya tubuh Panji Kenanga. Terasa tegang. Tapi
bukan tegang karena totokan.
"Dia keracunan . . . " ujar Wiro memastikan. Apa yang terjadi? Wiro
meneliti keadaan sekitar tempat itu. Jelas terlihat tanda-tanda
perkelahian. Setahunya Panji Kenanga memiliki ilmu silat dan
kesaktian tinggi. Jika dia dapat dikalahkan dan berada dalam
keadaan seperti ini pasti lawannya jauh lebih hebat. Bukan mustahil
dia dikeroyok.
Wiro pegang per gel angan tangan kiri Panji Kenanga. Masih ada
denyutan walaupun sangat perlahan. Dengan pengetahuan ilmu
pengobatan yang dimilikinya murid Sinto Gendeng itu segera menotok
tubuh Panji Kenanga di beberapa bagian. Adapun racun yang
menyerap dalam tubuh pemuda itu harus cepat-cepat dikeluarkan.
Jika sampai terlambat nyawanya tak akan tertolong lagi.
Dengan sehelai daun keladi hutan Wiro menampung air telaga. Air ini
dicampurnya dengan sejenis bubuk obat yang selalu dibawanya di
balik pakaian. Setelah diaduk, cairan obat itu sedikit demi sedikit
dituangkannya ke mulut Panji Kenanga. Sesudah menunggu beberapa
saat Wiro lantas keluarkan Kapak Naga Gen i 212. Mata kapak
ditempelkannya pada kedua ujung telapak kaki Panji Kenanga.
Sambil mengalirkan tenaga dalamnya Wiro mengusapi tubuh Panji
dengan mata kapak. Mulai dari kaki, betis, paha, keperut, ke dada,
lalu tenggorokan. Ketika mata kapak menyentuh mulut, dari mulut
Panji Kenanga mengalir cairan hitam banyak sekali. Wiro menekan
perut dan dada pemuda ini. Cairan hitam makin banyak keluar. Wiro
baru berhenti menekan setelah tak ada lagi cairan hitam yang keluar.
Tak lama kemudian kelihatan kepala Panji Kenanga bergerak. Kedua
matanya terbuka, tampak kuyu. Lama dia memandang ke langit, ke
arah cabang-cabang pohon dan dedaunan yang rapat. Kemudian
matanya beralih memandang Wiro.
"Di . . . dimana aku . . . Sakitnya kepala ini . . .Kau … . kau siapa?"
kata-kata itu meluncur dari mulut Panji Kenanga.
"Aku sobat lamamu. Panji. Aku Wiro Sableng," menyahuti murid Sinto
Gendeng.
Panji Kenanga menatap Pendekar 212 lama sekali.
Sesaat setelah pandangannya mulai jelas dan jalan pikirannya
menjadi jernih, perlahanlahan pemuda itu anggukkan kepala dan
kedipkan matanya.
"Ya . . . aku ingat kau. Apa yang terjadi dengan diriku . . . ?" Panji
meraba mukanya lalu memperhatikan tangannya. "Darah . . . "
desisnya kemudian. Dia mencoba bangkit. Tetapi terbaring kembali.
Tubuhnya terasa lemas seolah-olah tidak bertulang.
"Tenang dan berbaring sajalah . . . " kata Wiro Sableng. "Kau telah
melewati saatsaatgawat. . . "
"Bagaimana kau bisa muncul dr sini. Apakah . . apakah aku akan
menemui ajal seandainya kau tidak datang? Kau pasti menolongku . .
. "
"Soal nyawa adalah urusan Tuhan. Hanya manusia tidak boleh terima
nasib begitu saja. Harus berusaha. Aku tengah mencari sarang
mesum manusia dajal bernama Randu Wongso. Candinya kudapati
dalam keadaan kosong. . . "
"Ah! Kita berurusan dengan manusia yang sama. . . " ujar Panji
Kenanga. Kini dikumpulkannya seluruh tenaganya. Dengan susah
payah dia mencoba bangun. Wiro membantu dan menyandarkannya
kebatang pohon kelapa pendek. "Wiro . . kau tahu.
Manusia dajal bernama Randu Wongso itu ikut membantu Ronggo
Bogoseto menculik Lestari. . . "
Terkejutlah Pendekar 212 Wiro Sableng. Dadanya bergetar. Lestari!
Dara yang suka berbaju merah itu, yang dulu pernah
diselamatkannya dan kini ternyata diculik orang! Hampir dua tahun
dia tidak pernah bertemu dengan dara jelita itu.
Dalam kehidupannya Wiro telah menemui banyak sekali gadis-gadis
cantik. Namun entah mengapa dara yang satu ini begitu menarik
perhatiannya, tak pernah bisa pupus dari ingatannya. Berkali-kali
timbul hasrat dalam hatinya untuk menyambangi Lestari di tempat
kediaman gurunya, tetapi hal itu tak pernah dilakukannya karena
merasa malu. Gila! Biasanya dia selalu bersikap berani terhadap
setiap gadis atau perempuan yang ditemuinya. Hanya pada yang
satu ini dia seperti merasa takut. Bukan, bukan takut tetapi mati
kutu! Rasanya dia melakukan apa saja yang dikatakan gadis itu! Tak
dapat dipungkirinya bahwa dia telah terpikat pada Lestari. Diam-
diam ada rasa kawatir dalam dirinya akan kehilangan gadis itu.
Dan kini didengarnya dari Panji Kenanga gadis itu diculik oleh
seseorang, dibantu oleh Randu Wongso, tokoh silat yang terkenal
sebagai tokoh cabul bejat. Lestari berada dalam keadaan bahaya.
Jika dia sampai diapa-apakan hancurlah masa depannya..
"Siapa Ronggo Bogoseto itu?" tanya Wiro.
"Seorang pemuda brengsek, putera bekas perwira tinggi kerajaan yang
tinggal di Jember . . . "Dia memiliki jlmu pedang yang tinggi tetapi
tidak punya dasar ilmu silat yang dapat diandalkan . . . "
"Kau tahu ke mana kira-kira Lestari dilarikan?"
"Tak dapat kupastikan. Mungkin ke Jember atau candi tua di sebuah
lereng bukit. . . " "Aku sudah menyelidik ke candi itu. Kosong . . . "
Wiro tidak menceritakan pertemuannya dengan Warsih yang malang.
"Kalau begitu pasti Lestari dibawa ke Jember. Tidak sulit mencari
rumah bekas perwira tinggi itu. Semua orang di Jember pasti tahu
letak rumahnya."
"Kalau begitu aku harus ke sana saat ini juga. Hanya, bagaimana
dengan kau . . . ?"
"Tak usah pikirkan diriku!" ujar Panji Kenanga.
"Yang penting selamatkan gadis itu dari bencana. Demi Tuhan aku
harus berterus terang padamu Wiro. Aku mencintai Lestari. Aku tak
ingin terjadi apa-apa dengan dirinya.
Tolong selamatkan dia. Jasamu tak akan ku lupakan dunia akhirat!"
"Aku mencintai Lestari!"
"Tiga rangkai kata itu mengiang lama di kedua telinga Wiro Sableng.
Dadanya terasa
menyesak. Jika Panji Kenanga mencintai Lestari, apakah Lestari juga
mencintai pemuda ini?
"Katamu kau mencintai Lestari, Panji?" Wiro bertanya ingin
menegaskan.
"Ya…"
"Apakah Lestari juga mencintaimu?" tanya Wiro lagi.
"Aku tidak tahu. Tak pernah hal itu dikatakannya. Tapi aku yakin dia
juga menyayangiku. Aku bisa melihat dari gerak-geriknya . . . "
Wiro merasa dadanya makin sesak. Dia terduduk disamping Panji.
Untuk sesaat tak bisa berkata apa-apa. "Pemuda ini tidak tahu kalau
akupun mencintai gadis itu."
"Wiro, tolong. Selamatkan Lestari," terdengar suara Panji Kenanga.
"Jika terjadi apaapa dengan diri-nya, rasanya tak ada gunanya lagi
aku hidup di dunia ini…"
"Sahabatku Panji Kenanga . . . " sahut Wiro. Suaranya kali ini agak
bergetar karena menahan gejolak dalam dadanya. "Kau benar-benar
mencintai gadis itu. Maksudku dengan cinta murni, dengan setulus
jiwa ragamu . . . ?"
"Demi dia aku rela menyerahkan jiwa ragaku, Wiro. Aku bersumpah
jika memang itu baru dapat membuatmu percaya. . . "
Perlahan-lahan Wiro berdiri. Lututnya terasa goyah. Tak terpikir lagi
olehnya saat itu bagaimana Panji Kenanga dan Lestari bertemu di
tempat itu. Tak tertanyakan lagi bagaimana Panji dan Lestari sampai
bentrokan dengan Randu Wongso dan pemuda bernama Ronggo
Bogoseto itu.
"Pergilah Wiro. Kau harus bertindak cepat!" kata Panji Kenanga yang
tak dapat membaca apa sebenarnya terjadi dalam diri pemuda yang
tegak seperti linglung di hadapannya itu.
"Baik! Tentu Panji! Aku segera pergi. Semoga aku tidak terlambat.
Kau terpaksa kutinggalkan di sini. Hati-hatilah . . . "
Semua kata-kata itu diucapkan Wiro dengan peraaan bergalau.
Dia ingin menyelamatkan Lestari. Bukan karena permintaan yang
disampaikan Panji Kenanga. Tetapi karena diapun ingin melihat gadis
itu selamat. Karena diapun mencintai Lestari. Tetapi Panji
Kenangapun mencintai gadis itu. Bagaimana kalau kemudian diapun
mengetahui bahwa Lestari mencintai Panji? Akan sanggupkah dia
menghadapi kenyataan itu?!
Jika dia mengikuti bisikan setan yang mulai merasuk hatinya, maulah
dia saat itu mencelakakan Panji Kenanga. Mungkin juga
membunuhnya. Namun sebagai seorang pendekar berjiwa besar
pantaskah hal itu dilakukannya? Kalaupun dia berhasil mendapatkan
Lestari lalu kemudian mengetahui bahwa gadis itu tidak
mencintainya, apakah jadinya kelak kehidupan mereka?
"Wiro! Kau melamun!" seru Panji Kenanga yang sudah tidak sabaran.
"Ti… tidak! Aku segera pergi Panji!" sahut Wiro. Lalu segera
ditinggalkannya tempat itu, lari secepat yang bisa dilakukannya
menuju Jember.
SEPERTI yang dikatakan Panji Kenanga memang tidak sukar bagi
Wiro Sableng untuk mencari gedung kedi akan Ronggo Bogoseto.
Sekali bertanya saja dengan mudah dia menemukan gedung itu,
terletak tak berapa jauh dari pusat keramaian kota. Bagian depan
rumah besar yang berhalaman luas ini dibatasi dengan pagar besi
berwarna hitam.
Seluruh halaman ditumbuhi rumput dan aneka ragam bunga. Di
sebelah tengah terlihat sebuah kolam dengan hiasan patung
perempuan setengah telanjang memegang dua ekor burung merpati.
Di samping bangunan besar megah itu terdapat sebuah gedung kecil
beratap merah. Tepat di depan gedung besar behenti dua buah
kereta. Suasana di tempat itu tampak sunyi-sunyi saja. Lewat pintu
halaman yang tidak dikunci Wiro Sableng masuk ke dalam. Ketika dia
sampai di dekat dua buah kereta, muncullah seorang lelaki tua.
"Bapak, siapakah raden Ronggo ada di rumah?" tanya Wiro.
"Anak muda, kau siapakah . . .'?" tanya orangtua itu. Nada suaranya
tidak menunjukkan kecurigaan.
"Saya sahabat raden Ronggo," sahut Wiro berdusta.
"Ah, kalau begitu kau pergilah ke gedung kecil sebelah sana. Itu
tempat kediaman raden Ronggo."
Wiro tersenyum lalu malangkah tanpa terburu-buru agar tidak
menimbulkan kecurigaan. Seperti di rumah besar, gedung kecil inipun
tampak sunyi. Dia tegak meneliti sesaat. Terkadang kesunyian bisa
menipu seseorang. Matanya yang tajam melihat pintu depan gedung
kecil itu tidak dikunci, hanya ditutupkan dan itupun tidak rapat.
Lewat celah pintu, ketika Wiro mendekat dia melihat seorang lelaki
bertubuh tinggi kurus melangkah mundar mandir di ruangan depan.
Sikapnya jelas menunjukkan ketidak sabaran. Dan ternyata orang ini
memiliki pendengaran tajam.
Begitu Wiro sampai di langkan gedung, dia memburu ke pintu dan
keluar seraya membentak.
"Siapa kau?!"
Melihat pada pakaian yang terbuat dari jenis murahan, air muka yang
kusam serta sikap yang kasar Wiro segera menduga orang ini bukan
penghuni gedung itu, jadi bukan Ronggo Bogoseto. Tampaknya
diapun bukan penjaga atau pengawal gedung. Tetapi mengapa
sikapnya begini galak. Atau apakah ini ayah Ronggo yang berjuluk
Raja Pedang Kotaraja itu? Tak bisa jadi. Wiro segera mengatur
siasat.
Murid Sinto Gendeng itu cepat menjura lalu ber-kata: "Aku ingin
bertemu dengan Ronggo Bogoseto
"Hmm, Katakan dulu siapa kau!' '
"Aku sahabat lamanya. . . "
"Dia tak ada di rumah. Sedang keluar!' '
Wiro garuk kepalanya. "Lelaki tua di luar sana bilang Ronggo ada di
sini. Aku datang dari jauh. Ada urusan penting. Tolong beritakan
padanya."
'Tidak mungkin . . . " kata lelaki tinggi kurus yang bukan lain adalah
Randu Wongso.
"Kalau kedatanganku tidak diberitahu, aku kawatir dia nanti akan
marah, ini menyangkut urusan yang benar-benar penting," ujar Wiro.
' Justru Ronggo saat ini sedang ada urusan. Tak bisa diganggu oleh
siapapun!"
"Kalau begitu biarlah aku menunggu sampai urusannya selesai," kata
Wiro pula. Lalu seperti tak acuh enak saja dia hendak menyelinap
masuk ke dalam gedung.
"Eit! Orang muda! Jangan bertindak lancang seenakmu!" bentak
Randu Wongso.
"Lancang'bagaimana?" tanya Wiro lagi-lagi sambil garuk kepala.
"Meski kau mengaku kawan Ronggo Bogoseto, tapi kalau mau
menunggu bukan di sini tempatnya. Di sana, di luar pagar halaman! "
"Ah, di luar sana panas sekali. Bagaimana kalau aku menunggu di
langkan sini saja?!"
"Kurang ajar! Kau berani membantah perintahku .Mau kupuntir
kepalamu . ?!"ancam Randu
"Jangan! Jangan sobat. Jangan galak begitu . . . " Wiro pura-pura
ketakutan. Randu Wongso menyeringai.
"Kalau tak ingin kupuntir kepalamu lekas pergi!"
"Baik, tapi dengan siapakah sebenarnya aku yang bodoh ini
berhadapan?"
Yang ditanya tertawa lebar dan menjawab sambil berkacak pinggang.
"Apa kau tak pernah mendengar nama Randu Wongso? Tokoh silat
kelas satu yang ditakuti di delapan penjuru Jawa Timur?!"
"Ah! Inilah dia keparat yang kucari-cari!" kata Wiro dalam hati.
Tubuhnya bergetar. Jika diturutkannya hawa amarah yang merangsak
dirinya saat itu maulah dia menghajar Randu Wongso detik itu juga.
Namun tujuan utamanya datang ke situ adalah untuk menyelamatkan
Lestari. Dan kini dia yakin gadis itu pasti berada di gedung kecil itu,
berada dalam sekapan Ronggo Bogoseto di bawah pengawalan si
keparat ini!
"Aduh! Tak kusangka hari ini aku dapat berhadapan dengan tokoh
yang sangat terkenal ini. Harap maafkan kalau aku tadi berlaku
kurang hormat," kata Wiro lalu menjura sampai beberapa kali.
Padahal dalam hati dia menyumpah setengah mati!
"Nah, kalau sudah tahu siapa aku, lekas minggat. Tunggu di luar
pagar sana!"
"Baik . . . baik . . . ," kata Wiro. Sekali lagi dia menjura. Tetapi
gerakannya kali ini bukan gerakan menghormat sembarangan. Sambil
merunduk tangan kanannya menyusup ke depan dengan dua jari
terpentang lurus.
Randu Wongso tak sempat keluarkan seruan. Urat besar dipangkal
lehernya sebelah kanan telah ditotok pemuda yang mengaku sahabat
Ronggo Bogoseto itu. Kontan detik itu juga Randu Wongso tak dapat
bergerak lagi, juga tak bisa bersuara. Kedua matanya membeliak.
Seumur hidupnya baru hari itu dia bisa dibokong orang secara
berhadap-hadapan. Seribu caci maki kutuk serapah menggeru-geru
dalam dada lelaki ini.
Sambil tersenyum dan tepuk-tepuk pipi Randu Wongso, Pendekar 212
Wiro Sableng berkata.
"Monyet jangkung, sebetulnya ingin sekali aku mematahkan lehermu
saat ini. Kejahatanmu sudah lewat takaran. Kebejatanmu sudah
selangit tembus. Tapi biar kuberikan kesempatan beberapa saat lagi
bagimu untuk bernafas. . . "
Dengan ujung jari tangan kanannya yang dialiri tenaga dalam tinggi
serta hawa amat panas, Wiro menggurat tiga buah angka di kening
Randu Wongso: 212. Lelaki ini merasa seperti ditoreh dengan besi
panas. Kalau saja dia tidak ditotok saat itu pastilah dia akan
mengeluarkan jerit kesakitan luar biasa. Dalam hatinya dia
bersumpah: 'Pemuda haram jadah! Kelak kau bakal kucincang. Lalu
kubakar!"
"Randu! Sekarang kaulah yang harus menunggu di luar pagar sana!"
Habis berkata begitu enak saja Wiro jambak rambut Randu Wongso
dan seret lelaki itu ke luar pagar.
'Tubuhmu bau! Pakaianmu kumal! Kau lebih layak berada di sini!
"ujar Wiro lalu hempaskan Randu Wongso ke tepi jalan yang panas
dan berdebu. Kemudian dia segera masuk ke dalam gedung kecil
kembali. Setelah melewati ruangan depan dan ruangan tengah yang
penuh dengan berbagai macam perabotan dan lemari pajangan, Wiro
sampai di sebuah ruangan di mana berderet beberapa kamar dengan
pintu dalam keadaan tertutup. Di dalam kamar yang mana Lestari
disekap? Dia melangkah perlahan-iahan, memasang telinga serta
mata. Di hadapan pintu ke empat deretan sebelah kiri pendekar ini
hentikan langkah. Dari balik pintu jelas terdengar suara berisik. Wiro
tempelkan telinganya ke daun pintu. Setelah merasa pasti maka
sekali tendang pintu yang terbuat dari kayu jati itu hancur
berantakan. Secepat kilat Wiro melompat masuk ke dalam kamar.
Apa yang diperkirakannya tidak meleset. Di atas sebuah tempat tidur
besar bekelambu biru muda berseperai putih serta penuh keharuman
tampak seorang pemuda bermuka pucat yang tangan kanannya
dibalut, dan hanya mengenakan celana dalam tengah menggeluti
sesosok tubuh perempuan yang saat itu berada dalam keadaan tak
berdaya dan tidak mengenakan pakaian atau penutup apapun.
"Manusia keparat haram jadah!" teriak Wiro Sableng menggelegar.
Dia menerjang ke atas tempat tidur. "Wiro!" jerit Lestari. Namun
jeritan itu tependam di tenggorokannya karena sampai saat itu
tubuhnya masih tertotok, membuat dia tak bisa bergerak ataupun
bersuara. Sejak hancurnya pintu kamar kaget Ronggo bukan
kepalang. Apalagi ketika melihat seseorang melompat ke atas tempat
tidur. Tapi karena merasa berada di rumah sendiri ditambah di luar
sana ada Randu Wongso maka dengan marah pemuda ini
membentak.
"Bangsat! Maling atau pencuri kau?!"
"Aku memang maling yang hendak mencuri nyawamu!" teriak Wiro.
Kaki kanannya menyambar ke depan, tepat pada saat Ronggo
mencoba berdiri. Pahanya tepat dihantam tendangan. Terdengar
suara krak! Dibarengi jerit kesakitan dan mentalnya tubuh pemuda
bermuka pucat itu!
Seperti diketahui Ronggo Bogoseto meski memiliki ilmu pedang yang
tangguh namun tidak mempunyai dasar ilmu silat yang bisa
diandalkan. Apalagi saat itu dia diselimuti rasa terkejut hingga sama
sekali tak mampu membuat gerakan mengelak. Dia terbanting ke
lantai. Ketakutan setengah mati dia menggulingkan diri ke pintu
kamar sambil berteriak.
"Randu! Randu! Tolong . . . !" Tak ada jawaban,
Ronggo Bogoseto berdiri dengan susah payah. Baru saja dia
setengah membungkuk, satu cengkeraman mencengkam lehernya dari
belakang. Cekikan itu makin keras, makin keras. Ronggo Bogoseto tak
dapat bernafas. Matanya mendelik, lidahnya menjulur dan ludah
membuih keluar dari mulutnya.
Tiba-tiba dengan sekuat tenaga Wiro hantamkan muka pemuda itu ke
dinding kamar.
Prak!
Darah muncrat.
Muka Ronggo Bogoseto remuk. Batok kepalanya rengkah. Nyawanya
lepas sebelum tubuhnya mencium lantai.
Wiro tutup tubuh Lestari dengan seperai lalu lepaskan totokan di
tubuh gadis itu. Dia kemudian menghindar ke pintu seraya
membelakangi dan berkata: "Lekas cari dan kenakanan pakaianmu.
Kita harus segera pergi dari sini!"
Lestari menemukan pakaian merahnya di ujung kaki tempat tidur dan
segera mengenakannya.
"Bagaimana kau tahu aku ada di sini Wiro?" tanya Lestari. Ingin
sekali dia menjatuhkan tubuhnya ke dada pemuda itu, memeluk
bahkan menciumnya sebagai pernyataan terima kasih karena telah
menyelamatkan diri dan
kehormatannya. Namun sekejap bayangan wajah Panji Kenanga
muncul. Maksud si gadis tertahan.
"Nanti saja kuterangkan. Kita harus pergi. Mari!" sahut Wiro lalu
mendahului menuju keluar.
Di luar pagar di tepi jalan tampak beberapa orang mengerumuni
Randu Wongso yang terkapar di tanah.
'Orang ini gagu dan lumpuh!" seseorang berkata.
Lelaki disampingnya menyahuti: "Kurasa dia bukan lumpuh. Tapi
ditotok. Kalau tak salah dia kawannya Ronggo . . . "
"Kalau begitu beri tahu pada pemuda itu apa yang terjadi!" kata yang
lain.
Baru saja mereka ramai-ramai bicara begitu sesosok bayangan putih
dan merah berkelebat. Empat orang terpelanting. Ada yang berseru
kaget. Ketika memandang ke depan mereka lihat sosok tubuh Randu
Wongso telah dibawa lari oleh seorang lelaki berpakaian putih. Di
belakangnya mengikuti seorang perempuan berpakaian merah.
WIRO SABLENG membawa Randu Wongso ke candi tua tempat
kediamannya di mana sosok tubuh Warsih masih terkapar tak
bernyawa akibat bunuh diri karena tak sanggup hidup menanggung
malu setelah diperkosa oleh manusia bejat itu.
"Wiro, aku ingin membunuh keparat ini sekarang juga! Ketika
melarikanku ke Jember, sepanjang perjalanan dia berlaku kurang ajar!
"berkata Lestari begitu Wiro melemparkan tubuh Randu Wongso ke
lantai candi.
"Sabar Lestari. Jangan berikan kematian terlalu enak padanya. Kita
harus mengatur kematian paling bagus hingga dia benar-benar
merasakan pembalasan atas segala dosa-dosanya. Kau tunggu dulu
di sini."
"Kau mau ke mana?"
Wiro menerangkan pertemuannya dengan Panji Kenanga.
"Aku akan bawa pemuda itu kemari. Kau bisa merawat luka-lukanya .
. . "
Sesaat Wiro melihat wajah Lestari tiba-tiba menjadi merah. Namun
dia pura-pura tidak tahu malah berkata: "Dia mencintaimu Lestari.
Kurasa kau juga sudah tahu. Kau harus merawatnya baik-baik hingga
cepat sembuh. . . "
"Wiro, ada sesuatu yang perlu kujelaskan. Yaitu mengapa aku
mengadakah perjalanan ini… "
"Itu bisa kau terangkan jika Panji sudah ada di sini nanti. Dia sudah
terlalu lama kutinggalkan. Aku kawatir keadaannya akan lebih parah
kalau tidak lekas ditolong."
Lestari hendak bertanya lagi. Tapi Wiro sudah berkelebat
pergi.-"Heran, bagaimana dia tahu kalau Panji mencintaiku . . . ?"
membatin Lestari. "Apakah dia sudah tahu kalau antara aku dan dia
ada ikatan jodoh . . . ? Ah bagaimana jadinya ini . . . " Gadis itu
geleng-gelengkan kepalanya. Kemudian pandangannya membentur
sosok tubuh Randu Wongso. Rahang Lestari menggembung. Dia
melangkah besar-besar dan duk! Tendangannya menghantam muka
Randu Wongso hingga terpental ke dinding. Hidungnya remuk
mengucurkan darah. Tiga buah giginya tanggal dan bibirnya
pecah.
Jika diikutinya dendam kesumat sakit hatinya mau Lestari
menggorok leher Randu Wongso saat itu. Namun sebelum dia sempat
menjadi kesetanan Wiro Sableng telah muncul kembali mendukung
tubuh Panji Kenanga. Meski menanggung sakit dan masih
berceiomotan darah di bagian mukanya namun melihat Lestari tak
kurang suatu apa pemuda itu tampak lega. Sambil duduk bersandar
ke dinding dia coba tersenyum dan berkata: "Syukur kau selamat
Lestari. Kau . . . maksudku kita, harus berterima kasih padaWiro. .. "
Lestari tak menjawab. Jika saja saat itu tak ada Wiro di situ mungkin
dia telah melompat untuk merangkul tubuh Panji Kenanga dan
merawat lukanya.
"Kau ingin menyelesaikan urusan dengan Randu Rongso?" Wiro
bertanya.
"Dia harus mampus di tanganku!" jawab Lestari. Wiro melangkah. Dia
menggeledah pakaian Randu Wongso. Di situ dia menemui beberapa
buah kantong kain berisi uang dan juga sebatang suling perak. Wiro
menimang-nimang benda itu lalu menyerahkannya pada Lestari. Ini
adalah kali kedua pemuda itu mengembalikan senjata itu kepada si
gadis. Pertama sewaktu peristiwa penghancuran Istana Darah.
Setelah menyerahkan suling perak itu Wiro kemudian lepaskan
totokan di tubuh Randu Wongso.
Begitu totokannya lepas, tubuh Randu Wongso tiba-tiba laksana
seekor harimau mencelat dan mengirimkan serangan berupa
tendangan maut ke selangkangan Wiro Sableng!
Pendekar kita memang sudah menduga hal itu. Karenanya dia
bersikap penuh waspada dan ketika Randu Wongso membuat gerakan
yang mengawali serangan Wiro sudah lebih dulu menyingkir.
Tendangan lelaki itu mengenai tempat kosong.
Marah dan penasaran serangan mautnya gagal, Randu Wongso kini
berpaling pada Lestari.
'Satu di antara kalian layak mampus lebih dahulu" geram Randu
Wongso. Mulutnya komat-kamit. Tangan kanannya mendadak
berubah menjadi hitam. Melihat hal ini Wiro cepat melompat ke
hadapan Randu Wongso, sekaligus membelakangi Lestari.
"Wiro, awas!" memperingatkan gadis itu. "Dia hendak melepaskan
pukulan berbahaya! "
"Tak usah kawatir," jawab Wiro. "Manusia dajal! ini akan menemui
kematian di sarang mesumnya ini!"
"Kau yang mampus lebih dulu! "teriak Randu Wongso lalu pukulkan
tangan kanannya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sinar hitam menyambar dahsyat.
Wiro cepat tutup jalan pernafasannya. Serentak dengan itu tangan
kannya menghantam ke depan. Ruangan candi menjadi terang
benderang oleh sinar putih menyilaukan yang keluar dari telapak
tangan murid eyang Sinto Gelung itu.
"Pukulan sinar matahari!" seru Randu Wongso kaget sekali. Cepat-
cepat dia susupkan pukulan sinar hitamnya ke bawah hingga sinar
itu kini berbuntal-buntal seperti gurita yang hendak merobek-robek
tubuh Wiro.
Sebelumnya Wiro sudah mendengar kehebatan ilmu Randu Wongso
ini. Karenanya dia harus menghadapi tidak kepalang tanggung.
Dengan tangan kiri Wiro lepaskan pukulan pemagar diri sekaligus
merupakan serangan ganas yakni pukulan dewa topan menggusur
gunung!
Kembali Randu Wongso keluarkan seruan tegang. Cepat dia kerahkan
tenaga dalam. Namun tak urung tubuhnya mental ke luar candi
terseret hawa pukulan yang dilepaskan Wiro.
Dengan dada berdenyut keras Randu Wongso sesaat tegak untuk
mengatur jalan darahnya.
"Jadi kau adalah muridnya nenek busuk Sinto Gendeng itu hah!" ujar
Randu Wongso. Sret! Dia cabut sebilah golok yang terbuat dari
kuningan dan mengandung racun jahat sekali.
Mendengar nama gurunya disebut secara kurang ajar marahlah Wiro.
Entah kapan dia bergerak tahu-tahu Randu Wongso telah menerima
dua pukulan. Satu mendarat di dadanya, satu lagi di ulu hatinya.
Lelaki mesum ini keluarkan suara seperti mau muntah. Yang
menyembur dari mulutnya adalah darah kental. Tidak perduIikan
keadaan dirinya yang terluka parah di sebelah dalam Randu Wongso
membabat ganas ke arah Wiro. Golok besarnya bersiuran. Namun dia
hanya mampu membuat dua kali gerakan pulang balik. Di kali yang
ketiga terdengar suara krak! Tulang lengan kanannya patah disambar
tepi telapak tangan kiri Wiro. Golok kuningannya mental, langsung
disambar Wiro. Senjata ini dilemparkannya ke arah Lestari seraya
berkata: "Lestari, selesaikan urusanmu dengan manusia terkutuk itu! "
Lestari yang tahu apa maksud ucapan Wiro segera menangkap hulu
golok, lalu secepat kilat melompat ke arah Randu Wongso. Golok di
tangan kanannya menyambar ke arah leher lelaki itu.
Cras!
Lestari terpekik sendiri ketika menyaksikan hasil tabasannya. Kepala
Randu Wongso menggelinding dilantai candi. Darah muncrat dari
lehernya yang kutung. Tubuhnya terjungkal jatuh. Bergerak-gerak
beberapa ama lalu diam tak berkutik lagi. MALAM itu udara dingin
sekali. Untuk menolak hawa yang membuat tubuh menggigil ini Wiro
menyalakan api unggun. Saat itu mereka berada di sebuah mata air
kecil, di kaki sebuah bukit yang penuh ditumbuhi pohon jati.
Sebenarnya ingin sekali Lestari menuturkan persoalan yang tengah
dihadapinya kepada Wiro. Namun dia terpaksa menunggu sampai
Panji Kenanga tertidur. Lewat tengah malam setelah pemuda itu
kelihatan memejamkan mata. Lestari lalu duduk mendekati Wiro dan
menceritakan tentang hilangnya tusuk kundai perak. "Tusuk kundai
itu, bukan hiasan rambut biasa. Tapi sebuah senjata mustika.
Diberikan oleh gurumu pada guruku beberapa tahun yang silam . . . "
Wiro kaget mendengar keterangan ini. Setelah merenung sejenak
diapun menanggapi: "Kalau tak salah, gurumu dulu pernah bilang
bahwa dia adalah saudara angkat guruku. Eyang tidak akan
memberikan tusuk kundai itu pada sembarang orang. Pasti ada
tujuan tertentu . . . "
Lestari terdiam sejenak. "Harus kukatakan sekarang," dia membatin
mengambil keputusan. "Mungkin kau masih belum tahu Wiro."
"Belum tahu apa?" bertanya Wiro.
"Tusuk kundai itu diberikan gurumu pada guruku sebagai tanda
ikatan jodoh kita …" Wiro Sableng sampai terbangkit dari duduknya
mendengar ucapan Lestari yang tidak disangka-sangka ini.
"Kau tidak bergurau Lestari?"
Sang dara menggeleng. "Karena itulah guru sangat marah
terhadapku. Dan aku sudah bertekad tak akan kembali ke tempat guru
sebelum menemukan kembali tusuk kundaiitu… "
Perlahan-lahan Wiro duduk kembali di depan api unggun. Lama dia
termenung. "Ikatan jodoh itu memang tak pernah kuketahui. Mereka
menghubungkan kita secara diam-diam. . . "
Wiro memandangi wajah Lestari. Yang dipandang menunduk lalu
berpaling ke jurusan lain. Justru pandangannya membentur Panji
Kenanga yang tengah tertidur. Pada dasarnya Lestari lebih tertarik
pada Panji Kenanga yang wajahnya memang lebih tampan dari pada
Wiro. Namun mengingat dia telah dijodohkan dengan Wiro, apalagi
mengingat Wiro baru saja menyelamatkannya dari perbuatan terkutuk
Ronggo Bogoseto maka terpaksa dengan berat hati dipupuskannya
segenap rasa terhadap Panji Kenanga. Kini dicobanya untuk
menggantikan tempat Panji dengan Wiro.
Sebaliknya setelah mengetahui Panji Kenanga mencintai Lesdari dan
dari gerakgerik si gadis, Wiro meyakini bahwa Lestari lebih menyukai
Panji Kenanga dari dirinya, maka betapapun dia menyayangi gadis ini
dia harus melupakan perasaan itu. Dan ini merupakan satu hal yang
berat. Seolah-olah dia tengah menghancurkan dirinya sendiri!
"Kalau Lestari bisa lebih berbahagia dengan Panji, kenapa aku harus
berkeras kepala . . . ," pikir Wiro coba menghibur diri. "Itu mungkin
lebih baik bagi mereka. Tapi urusan jodoh yang diikatkan oleh para
guru? Ah, inilah akibat kalau pihak-pihak berkepentingan tidak diberi
tahu lebih dulu!"
Setelah berpikir dalam-dalam dan setenang mungkin akhirnya Wiro
berkata. "Lestari, soal ikatan jodoh kita sebaiknya kita tunda dulu
untuk dibicarakan. Yang penting sekarang adalah mencari tusuk
kundai itu. Kita bertiga harus mencari seorang kenalan lamaku. Aku
tak tahu namanya, dia berjuluk si Segala Tahu. Siapa tahu dia bisa
memberi keterangan siapa pencuri benda pusaka itu dan di mana bisa
ditemukan . . . "
"Orang saktikah dia atau tukang ramal atau dukun . . . ?" tanya
Lestari.
"Tak dapat kupastikan. Tapi dia punya semacam kepandaian aneh
yang dapat melihat kejadian di masa silam serta apa yang bakal
terjadi di masa mendatang. Nah, malam sudah larut. Kau tidurlah . . .
"
Baik Wiro maupun Lestari tak satupun dari mereka yang mengetahui
kalau sementara mereka bicara tadi sesungguhnya Panji Kenanga
hanya pura-pura tidur. Segala apa yang dibicarakan kedua orang itu
didengar jelas oleh Panji Kenanga. Betapa remuk hati pemuda ini
sewaktu mengetahui bahwa gadis yang dikasihinya itu ternyata telah
dijodohkan dengan Wiro Sableng. Dia mengeluh, meratap dalam hati.
Ingin sekali dia mati saat itu juga!
"Sebaiknya kalian segera saja berangkat tanpa menunggu
kesembuhanku . . . " kata Panji Kenanga keesokan harinya.
' Kau akan segera sembuh Panji. Kita berangkat sama-sama," jawab
Wiro.
"Aku hanya kawatir kalau-kalau tusuk kundai itu semakin jauh
dilarikan pencuri," ujar Panji Kenanga. Empat hari kemudian
kesehatan Panji Kenanga telah pulih kembali. Apalagi Wiro
membantunya dengan beberapa jenis obat dan aliran tenaga dalam.
Sebenarnya sejak dia tahu hubungan jodoh antara Lestari dan Wiro,
pemuda ini tak ada lagi semangat untuk meneruskan perjalanan
bersama-sama. Namun untuk pergi begitu saja dirasakannya kurang
enak. Pada hari ke lima mereka memulai perjalanan. Panji menolak
keras ketika disuruh menunggangi Angin Salju. Dia lebih suka
Lestarilah yang menaiki kuda itu. Karena Lestari juga menolak
akhirnya terpaksa Panji naik ke punggung kudanya.
Sesuai rencana mereka bergerak ke sekitar kaki gunung Lamongan.
Menurut perkiraan di situ kemungkinan bisa menemui Si Segala Tahu.
Karena sering-sering berhenti, hampir seminggu kemudian baru
mereka sampai di tujuan.
DI SEBELAH timur gunung Lamongan terdapat sebuah bukit kapur
yang dari jauh kelihatan memutih. Wiro, Lestari dan Panji Kenanga
segera menuju ke bukit kapur ini. Hawa sekitar bukit terasa panas.
Tiba-tiba Wiro memberi isyarat agar berhenti. Dia menunjuk ke
puncak bukit kapur. Di atas sana seseorang berjalan terbungkuk-
bungkuk. Di tangan kirinya ada sebuah tongkat. Dia mengenakan topi
lebar dan melenggang seenaknya menuju ujung bukit sebelah timur.
Sesekali terdengar suara berkerontangan.
"Itu dia! Pasti dia!" seru Wiro girang. Ketiga orang ini serta merta
menuju puncak bukit sebelah timur. Meskipun orang di atas bukit
melangkah bungkuk seenaknya, namun cukup memakan waktu lama
baru mereka berhasil mengejarnya.
"Bapak segaia Tahu! Tunggu! Berhenti dulu!" teriak Wiro. Dia sengaja
mengerahkan tenaga dalam agar suaranya dapat didengar. Namun
orang yang berjalan terus saja melangkah sambil kerontangan kaleng
buruk berisi batu kerikil di tangan kirinya. Terpaksa Wiro dan Lestari
mempercepat lari sementara Panji Kenanga membedal Angin Salju.
Sebelumnya Wiro telah pernah bertemu dengan Si Segala Tahu dan
tak heran melihat perangai orang tua ini. Orang berjuluk Si Segala
Tahu ini berpakaian compang camping dan memakai topi lebar. Di
kempitnya sebelah kanan ada sebuah buntalan. Tampak dia
memindahkan tongkat dari tangan kanan ke tangan kiri. Kaleng butut
kini berada di tangan kanannya dan terus menerus d ikerontang-
kerontangkannya. Kedua matanya buta. Tapi di manapun dia berada,
tongkatnya menjadi sepasang mata hingga dia tak pernah nyasar
ataupun terperosok.
"Bapak Segala Tahu! Tunggu! "seru Wiro kembali.
"Panas-panas begini siapa yang memanggil aku? Beraninya
mengganggu aku yang tengah menikmati pemandangan indah di
puncak bukit!" Hebat juga orang tua ini menggerutu. Menikmati
pemandangan katanya padahal kedua matanya buta!
Wiro sampai di hadapan si orang tua. Lestari dan Panji Kenanga
berada di sampingnya.
"Bapak Segala Tahu, harap manfaatkan kalau aku dan kawan-kawan
mengganggu tamasyamu. Kami betul-betul membutuhkan
pertolongan. Ada satu persoalan penting yang harus kami tanyakan.
Kuharap kau bisa menolong."
"Aih, panas-panas begini kau membicarakan soal penting. Soal
apakah . . . ? Hai tunggu dulu! Kalau tak salah ingat, delapan belas
bulan lalu kita pernah bertemu. Kupingku hafal suaramu!" berkata Si
Segala Tahu.
"Betul sekali! Kau belum lupa!" jawab Wiro.
"Waktu itu aku ramalkan kau bakal dapat banyak susah. Terutama
karena sifatmu yang mata keranjang, tidak boleh melihat jidat licin,
tak boleh melihat perempuan cantik . . . Betul?!"
Wiro Sableng tertawa. Tapi mukanya merah.
Si Segala Tahu kerontangkan kalengnya.
"Nah, saat ini apakah kau mau mendengar ramalan baru tentang
dirimu?"
"Tentu saja!" sahut Wiro Sableng.
"Ulurkan tangan kirimu!"
Wiro lantas ulurkan telapak tangan kirinya. Si Segala Tahu
kerontangkan kalengnya lalu meraba-raba telapak tangan pemuda
itu.
"Ah, nyatanya nasibmu kali ini pun masih malang, orang muda!"
"Malang bagaimana?" Wiro kepingin tahu.
"Kau tengah menghadapi persoalan pribadi yang pelik! "Si Segala
Tahu kembali kerontangkan kalengnya.
'Tersoalan pribadi apa maksudmu pak?" tanya Wiro berdebar.
"Aih, kau jangan berpura-pura anak muda. Kukatakan saja blak-
blakan! Persoalan pribadi menyangkut ihwal asmara!"
Berubahlah paras Pendekar 212. Dia tak berani memandang ke arah
Lestari ataupun Panji Kenanga. Si Segala Tahu melanjutkan.
"Kau mencintai seorang gadis. Tapi gadis rtu menyukai orang lain.
Lalu kau bertekad memperlihatkan pribadi dan jiwa besarmu yang
luhur. Mengundurkan diri demi kebahagiaan orang yang kau kasihi
itu. Betul…?!"
Wiro garuk-garuk kepala. Apa yang dikatakan orang tua itu betul.
Tapi mana berani dia membenarkan.
"Entahlah pak tua. Aku tak begitu mengarti persoalan yang kau
katakan itu!"
Si Segala Tahu tertawa.
"Kau pandai menyembunyikan rahasia hatimu orang muda. Aku
menghormati manusia-manusia berjiwa besar sepertimu! Rela
berkorban untuk kebahagiaan orang lain. Nah, sekerang katakan kau
hendak tanyakan apa padaku!"
Wiro lalu menuturkan peristiwa lenyapnya tusuk kundai perak
sebagaimana yang didengarnya dari Lestari sementara Panji Kenanga
sudah turun dari punggung Angin Salju.
"Karena gadis murid si Pemusnah Iblis itu ada di sini sebaiknya biar
dia saja yang menceritakan sekali lagi, biar jelas," kata Si Segala
Tahu sambil kerontang-kerontangkan kaleng bututnya. "Tapi
sebelumnya apakah kau mau kuramalkan nasib perjalanan hidupmu?
Kau boleh percaya boleh tidak pada apa yang nanti akan kukatakan."
"Terima kasih bapak segala tahu," jawab Lestari menolak secara
halus. Dia kawatir ramalan orang tua itu akan membuka rahasia
pribadinya di hadapan dua pemuda itu. "Lebih penting kalau aku
dapat menerangkan peristiwa lenyapnya tusuk kundai."
"Baik, baik . . . Sekarang terangkan kisah lenyapnya benda itu
termasuk perjalananmu sampai kemari. Jangan satu hal pun kau
lupakan."
Lestari lalu memberi keterangan. Baru setengah bagian mengenai
perjalanannya dituturkan Si Segala Tahu memotong dengan
kerontangkan kalengnya.
"Cukup. Sekarang coba keluarkan carikan kain hijau yang kau
temukan dekat mayat busuk pada petang hari pertama kau
meninggalkan danau Jembangan."
Lestari keluarkan secaraik kain hijau dari balik pakaiannya dan
menyerahkannya pada Si Segala Tahu.
Sambil meremas-remas robekan kain hijau itu dengan tangan kirinya
orang tua ini mendongak ke langit dan goyangkan kalengnya tiada
henti. Lama sekali, setelah mukanya keringatan baru dia hentikan
kerontangan kalengnya dan berpaling pada Lestari.
"Kalian bertiga dengarlah baik-baik. Tusuk kundai itu pada mulanya
memang dicuri oleh seorang yang punya kelihayan mencuri.
Katakanlah raja paling tingkat tinggi, Mayat yang ditemukan oleh
gadis ini itulah mayat si raja maling. Jika aku tidak salah hanya ada
satu raja maling di rimba persilatan masa ini yakni manusia bernama
Singgar Manik. Mengapa dia jadi mayat? Bukan mati karena sakit.
Dia dibunuh orang. Singgar Manik bukan seorang berkepandaian
rendah. Aku merasa pasti dia dihadang oleh lebih dari satu orang
yang juga menginginkan tusuk kundai itu. Terjadi perkelahian.
Singgar Manik jadi korban. Tusuk kundai dirampas oleh pencuri-
pencuri baru . . . "
'Apakah kau tahu siapa orang-orang itu . . . ?" tanya Lestari penuh
harapan.
"Siapa mereka itu? Hemm . . . Karena kejadian ini di wilayah timur,
ditambah bukti cabikan kain hijau, berat dugaanku tusuk kundai itu
kini berada di tangan dua bersaudara Nyoka Gandring dan Nyoka
Putubayan!"
"Siapa mereka ini?" tanya Wiro. 'Dua saudara kembar. Keduanya
brahmana sesat. Mereka berseragam pakaian hijau, Bermuka seperti
ular. Karena itu mereka diberi julukan Sepasang Kobra Dewata! Selain
berilmu tinggi juga diketahui gemar mengumpulkan senjata atau
benda-benda mustika!" "Terima kasih. K eter angan mu sangat,
berguna. Tanpa petunjukmu tak mungkin kami bisa menemukan
kembali kedua senjata itu," ujar Wiro. Lestari pun mengucapkan
terima kasih berulang kali. "Bapak Segala Tahu, berapa kami harus
membayarmu?1 tiba-tiba Lestari bertanya. Si orang tua tertawa
mengekeh. "Pertanyaanmu lucu sekali anak gadis. Selucu tindakanmu
menghadapi kenyataan yang menyangkut dirimu akhir-akhir ini. Kau
tak perlu menanyakan soal bayaran. Jika Sepasang Kobra Dewata
dapat kaliat tamatkan riwayatnya maka itu adalah lebih dari bayaran.
Manusia-manusia seperti mereka harus dilenyapkan agar dunia yang
indah permai ini menjadi tenang tenteram . . . " "Budi baik dan
pertolonganmu tak akan kulupakan," kata Lestari lalu menjura dalam
dalam. Si Segala Tahu angkat bahu, kerontangkan kalengnya lalu
tinggalkan tempat itu. Kelihatannya dia cuma melangkah biasa.
Namun sesaat kemudian dia sudah berada jauh di ujung bukit.
Astaga! Kita tidak menanyakan di mana harus mencari Sepasang
Kobra Dewata!" seru Panji Kenanga. "Tak usah kawatir. Aku tahu di
mana sarang mereka. Kita harus segera berangkat ke Banyuwangi!
jawab Wiro Sableng.
DUA BELAS hari mengadakan perjalanan baru ketiga orang muda itu
sampai ke Banyuwangi, kota paling ujung di timur pulau Jawa. Saat
itu Banyuwangi tengah menyambut dengan upacara besar-besaran
kedatangan Adipati Surabaya yang berkunjung untuk meresmikan
pengangkatan Adipati pembantu di Banyuwangi. Adipati Surabaya
datang dengan sebuah kapal layar. Karenanya suasana di pelabuhan
Banyuwangi ramai bukan main.
Di antara keramaian itu menyelinaplah Wiro, Lestari dan Panji
Kenanga. Menurut keterangan yang mereka peroleh dari beberapa
orang di tengah jalan, Sepasang Kobra Dewata berada di sebuah
rumah makan di tengah pantai. Rupanya kedua orang ini bermaksud
menyambut kedatangan Adipati Surabaya. Mungkin bukan sekedar
menyambut, tapi sambil mencari mangsa kalau-kalau ada benda
berharga yang bisa disikat.
Meskipun rumah makan itu ramai sekali namun tiga muda mudi yang
masuk segera dapat mengenali dua orang yang mereka cari. Dua
lelaki berkepala botak, bermuka angker dan mengenakan pakaian
hijau duduk di sebuah meja yang agak terpisah di tengah ruangan
besar. Agaknya para pengunjung yang lain merasa segan atau
mungkin takut duduk dekat-dekat meja mereka.
* Nyoka Gandring dan Nyoka Putubayan serta merta melayangkan
pandangannya pada dara berbaju merah yang barusan masuk
bersama dua pemuda.
Nyoka Putubayan menyentuh lutut kakaknya seraya berkata perlahan.
"Heh, lihat, gadis cantik berbaju merah itu seperti sengaja menuju ke
arah kita. Kau kenal dia?"
'Eh, betul. Siapa bidadari ini adanya? Aku bisa setengah mati tergila-
gila padanya!" sahut Nyonya Gandring.
Begitu sampai di hadapan kedua orang itu Wiro segera menegur.
"Apakah kami berhadapan dengan Sepasang Kobra Dewata?"
Baik Nyonya Gandring maupun Putubayan saat itu hanya
memandang ke pada Lestari. Tanpa mengalihkan pandangannya
Putubayan bertanya: "Kalian siapa?"
Seenaknya Nyoka Gandring menimpali. "Apa kalian datang untuk
mengantar gadis jelita ini?"
Wiro tertawa lebar. "Betul, dara jelita ini memang untuk kalian. Tapi
ada syaratnya …"
"Ah, katakan cepat syaratnya!" ujar Nyoka Gandring pula.
"Mudah saja!" yang menyahut Panji Kenanga. "Serahkan dulu tusuk
kundai perak yang kau curi dari tempat Si Pemusnah Iblis di danau
Jembangan . . . !"
"Ah!" Sepasang Kobra Dewata sama-sama terkejut. Nyonya Gandring
berkata: "Aku tidak begitu suka membicarakan persoalan itu. Aku
lebih suka kalian pergi dari sini tapi tinggalkan si cantik ini!"
"Kawan-kawan … . " kata Wiro sambil memandang pada Lestari dan
Panji Kenanga dan kedipkan matanya. "Agaknya terpaksa kita harus
meninggalkan gadis ini pada dua manusia botak ini. Tapi bagaimana
kalau kita minta tebusan nyawa mereka?!"
"Setuju!" jawab Lestari dan Panji Kenanga. Sang dara segera
keluarkan suling perak yang menjadi senjatanya. Melihat benda ini
Nyoka Putubayan menyeringai. "Hari ini rejeki kita besar sekali. Dapat
gadis cantik dan tambahan senjata baru . . . !"
"Manusia ular jelek . . . Kalian hanya ada satu pilihan!" membentak
Wiro. "Tusuk kundai itu atau nyawa kalian!"
"Bangsat kurang ajar!" teriak Nyoka Putubayan jadi marah. Tanpa
berdiri dari kursinya dia pukulkan tangan kanannya ke depan.
Seguluhg angin menerpa dahsyat. Tiga muda-mudi itu cepat
menyingkir. Namun seorang tamu yang duduk jauh di belakang
mereka menjadi korban. Tubuhnya mencelat dengan kepala kelihatan
membiru!
"Kalian memang minta racun!" teriak murid Sinto Gendeng lalu sekali
bergerak dia balikkan meja besar di hadapan kedua brahmana sesat
itu. Serta merta kacaulah rumah makan besar itu. Perkelahian tiga
lawan dua terjadi. Lestari tak mau mundur walau Wiro dan Panji
memperingati. Wiro menghadapi Nyoka Gandring sedang Panji dan
Lestari melayani Nyoka Putubayan.
Orang ramai yang ada di pelabuhan begitu mengetahui perkelahian di
rumah makan itu serta merta datang berlarian untuk menyaksikan
dan melupakan penyambutan terhadap Adipati Surabaya. Mereka
hanya berani menonton dari jauh karena takut akan terkena pukulan-
pukulan maut yang saling dilepaskan.
Semula Sepasang Kobra Dewata menganggap remeh tiga muda mudi
itu. Dua jurus paling banyak mereka pasti akan merobohkan Wiro
serta Panji dan melumpuhkan Lestari. Namun dua saudara kembar ini
jadi terkejut ketika setelah tujuh jurus tak satu serangan merekapun
yang berhasil. Malah tekanan lawan mulai dirasakan dan ini
membuat keduanya jadi penasaran.
Nyoka Putubayan keluarkan jurus-jurus simpanannya lebih dulu.
Didahului bentakan keras dia menyerbu dengan jurus kobra sakti
mengamuk. Sejak jurus ke delapan itu hamburan serangannya
membuat gerakan Lestari dan Panji Kenanga seperti terbendung.
Di lain pihak Nyoka Gandring yang berkelahi menghadapi Wiro
Sableng yang mulai terdesak hebat juga sejak tadi-tadi sudah
keluarkan jurus-jurus silat andalannya. Beberapa kali dia melepaskan
pukulan saktinya yang menebar sinar beracun. Namun Wiro yang
sudah mendapat peringatan dari Panji Kenanga berlaku waspada
hingga tak satu serangan lawanpun mampu mencelakainya. Melirik
ke kiri Nyoka Gandring melihat adiknya mengucurkan darah dari
pelipis kiri. Tusukan suling Lestari telah berhasil menyerempet
kepalanya. Hatinya jadi was-was. Sadar dia kini kalau tiga lawan
yang mereka hadapi bukan pemuda-pemuda biasa. Mereka pasti
murid-murid tokoh silat
tingkat tinggi.
Berada dalam was-was begitu membuat Nyonya Gandring menjadi
lengah. Akibatnya satu jotosan Wiro tak sempat dikelitnya.
Buk!
Nyoka Gandring terpental dan terguling di atas meja di belakangnya.
Sambil menahan sakit dia kirimkan tendangan untuk mencegah lawan
mendekat. Tenggorokannya terasa panas tanda-tanda darah yang
hendak mengalir keluar.
Baik Nyoka Gandring maupun Nyoka Putubayan adalah dua tokoh
silat yang hanya mengandalkan kehebatan ilmu silat tangan kosong
termasuk tenaga dalam dan pukulanpukulan sakti. Namun setelah
habis-habisan menghantam tak satu pun serangan mereka mengenai
sasaran malah kini mereka mulai terdesak hebat bahkan kena
digebuk, maka keduanya benar-benar jadi marah. Selama ini memang
tak satu lawanpun dapat bertahan lama menghadapi salah satu dari
mereka, apalagi jika turun berdua sekaligus. Hari ini mereka ternyata
bertemu tembok baja!
"Monyet gondrong!" maki Nyoka Gandring. "Jika kau inginkan benda
ini ambillah! " terdengar seruan Nyoka Gandring. Satu sinar perak
menyilaukan disertai semburan angin panas berkelebat ke arah Wiro
Sableng. Tusuk kundai perak mencari maut! Wiro sudah tahu
kehebatan benda rnilik gurunya itu cepat menyingkir. Dia tak mau
menunggu lebih lama. Senjata itu hanya bisa dihadapi oleh senjata
gurunya yang lain yakni Kapak Naga Geni 212. Maka Wiro segera
keluarkan senjata ini.
Ketika Kapak Maut Naga Geni 212 dikiblatkan ke depan terdengar
suara seperti seribu tawon mengamuk. Orang banyak yang menonton
tambah ketakutan dan tutup kuping mereka. Sinar putih
menggelombang menyongsong hantaman sinar perak. Rumah makan
besar itu seperti diguncang gempa. Dentuman dahsyat meruntuhkan
sebagian atap. Jeritan maut yang keluar dari mulut Nyoka Gandring
lenyap begitu tubuhnya tertimbun runtuhan atap. Tangan kanannya
yang terbabat putus oleh Kapak Maut Naga Geni 212 mental dan
jatuh di atas sebuah meja. Tusuk kundai masih tergenggam dalam
kutungan tangan itu. Wiro segera ambil senjata mustika itu. Setelah
memperhatikan sejenak dengan perasaan getir benda lambang
perjodohannya itu Wiro lalu masukkan ke balik pinggang pakaiannya.
Nyoka Putubayan seperti gila ketika menyaksikan kematian kakaknya.
Dia tinggalkan Lestari dan Panji Kenanga, langsung menyerbu Wiro
Sableng. Namun mengalihkan serangan kepada Pendekar 212 justru
hanya mempercepat kematiannya. Setelah membuat gerakan
mengelak dua kali berturut-turut, Wiro yang masih memegang Kapak
Naga Geni 212 segera hantamkan senjata itu ke kepala Nyoka
Putubayan. Tak ada rasa belas kasihan lagi di hati pemuda ini.
Baginya Nyoka Putubayan dan Nyoka Gandring disamping Singgar
Manik adalah manusia-manusia penimbul bencana hingga tali
perjodohannya dengan Lestari berantakan begitu saja. Kalau tusuk
kundai itu tidak mereka curi, tak akan Lestari meninggalkan tempat
kediaman gurunya, yang akhirnya membawa pertemuan kembali sang
dara dengan Panji Kenanga!
Nyoka Putubayan ajal dengan kepala hampir terbelah!
Rumah makan itu menjadi gempar. Bahkan seluruh pelabuhan jadi
geger. Diantara keramaian itu Panji berbisik. "Lestari, aku tak melihat
Wiro lagi. Kemana lenyapnya?"
Gadis itu terkejut dan memandang berkeliling. "Mungkin dia sudah
keluar lebih dulu. Kita cari ke tempat penambatan kuda . . . !"
Lestari dan Panji Kenanga segera meninggalkan rumah makan. Orang
banyak menyingkir memberi jalan. Di tempat Panji menambatkan
Angin Salju juga tak kelihatan orang yang mereka cari. Ada firasat
tak enak dalam hati Panji dan dikatakannya terus terang pada
Lestari. "Jangan-jangan Wiro sudah pergi. Sengaja meninggalkan
kita. . . " "Panji, ada kertas di leher kudamu . . . " Lestari berkata
sambil menunjuk pada secarik kertas yang digantungkan dengan sehelai benang ke leher Angin Salju. Panji Kenanga segera mengambil kertas itu, membuka lipatannya. Ternyata sepucuk surat yang kelihatannya sudah disiapkan Wiro selama sebelumnya.
"Sahabatku Panji dan Lestari,
Bagaimanapun ikatan jodoh tidak ada arti dan tuahnya dibanding
dengan kasih sayang murni yang kalian tanamkan dalam hati
masing-masing. Kudoakan kalian berbahagia dalam menghadapi
masa depan.
Cinta murni lebih agung dan suci dari ikatan jodoh yang diatur,
Karenanya tusuk kundai perak terpaksa kubawa untuk kuserahkan
kembali pada guruku. Selamat tinggal. Tuhan akan memberkahi
kalian".
Sahabat kalian,
Wiro Sableng
Panji menoleh dan menyerahkan surat itu pada Lestari.
Sang dara tak berani menerima surat itu. Kedua matanya berkaca-
kaca. Untuk beberapa lamanya tak satu pun diantara mereka bisa
bicara. Di pelabuhan kapal layar Adipati Surabaya telah merapat.
Tapi orang banyak masih saja berkerumun di dalam dan di luar
rumah makan. Akhirnya Panji memegang lengan Lestari dan berkata. "Kukira Wiro satu-satunya manusia berjiwa paling besar di dunia. ini. Mari kita tinggalkan tempat ini. Kita harus ke danau Jembangan menemui gurumu. Kita harus menceritakan apa yang telah terjadi . . . " .
Lestari hanya mengangguk perlahan lalu naik kepunggung Angin Salju, Panji duduk di belakangnya. Sesaat kemudian keduanya lenyap di tikungan jalan, meninggalkan kepulan debu yang diterjang kaki
kuda.
Selesai
Komentar
Posting Komentar