WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya : BAS TITO
EPISODE : CINCIN WARISAN SETAN
**********
Hujan turun menggila malam itu. Bunyi
derunya menegakkan bulu roma. Apalagi
angin bertiup kencang, memukul daun
pepohonan, menambah seramnya
pendengaran. Sesekali kilat menyambar
seperti hendak membelah bumi di malam
gelap gulita itu. Kemudian menggelegar suara
guntur. Bumi bergoncang seperti mau amblas,
langit seolah-olah hendak runtuh!Nyanyian
itu dinyanyikan berulang kali oleh Ratu
Mesum. Dan WiroBanyu Abang banyu yang
sejukAir terjun Banyu Abang terletak di
gunung berapi yang telah mati.
"Hujan keparat!" maki pemuda berpakaian
putih yang lari di bawah
hujan lebat itu. Sekujur tubuh dan pakaiannya
basah kuyup. Karenanya
dia tak merasa perlu lagi mencari tempat
untuk berteduh. Lagi pula di
mana akan ditemukan tempat berlindung di
dalam rimba belantara lebat
itu. Daun-daun pepohonan besar tidak kuasa
membendung curahan air
hujan. Kilat menyambar, membuat orang ini
terkejut. Sesaat wajahnya
tampak jelas dalam terangnya sambaran
kilat. Kembali dia menyumpah
dalam hati. Baru saja menyumpah geledek
kembali menggelegar.
"Benar-benar gila!" makinya kembali.
Mendadak orang ini hentikan larinya. Lapat-
lapat, di kejauhan sepasang
telinganya yang tajam luar biasa mendengar
suara aneh. Suara hiruk
pikuk seperti teriakan manusia. Dia pejamkan
kedua matanya dan
mendongak ke langit.
"Setan atau ibliskah yang menjerit di malam
gila ini?" tanyanya pada diri sendiri.
"Kalau memang itu jeritan manusia mengapa
mereka menjerit. Dan manusia
macam mana pula yang hujan lebat begini,
berada dalam rimba belantara
pada malam buta…..?" Orang ini tidak
menyadari, dia sendiri secara aneh
berada di tempat itu!
Dia membalikkan tubuh, lalu lari ke jurusan
datangnya suara jeritan yang sangat ramai
itu. Beberapa pohon kecil
yang melintang di hadapannya dihantamnya
dengan tangan kiri atau tangan
kanan.
"Krak…..! Krak…..!"
Batang-batang pohon itu patah
bertumbangan!
Makin cepat dia berlari makin keras suara
jeritan itu tanda dia semakin
dekat ke sumber suara. Mendadak suara
jeritan lenyap. Orang yang tadi
berlari hentikan gerakannya, memandang
berkeliling, lalu menatap tajam
ke samping kanan. Samarsamar dalam
gelapnya malam dan lebatnya curahan
air hujan, sekitar sepuluh tombak dari
tempatnya berdiri dia melihat
sesosok tubuh tegak berkacak pinggang di
bawah hujan lebat. Hati-hati
sekali, hampir tidak mengeluarkan suara
pemuda tadi menyelinap di balik
pepohonan dan semak belukar, berusaha
mendekati sosok tubuh yang ada di
depannya. Ketika hanya tinggal empat tombak
saja lagi dari orang yang
tegak berkacak pinggang itu, tiba-tiba orang
itu keluarkan suara
tertawa bergelak. Lelaki berpakaian putih
yang coba mengintai tersentak
kaget dan cepat-cepat berlindung ke balik
sebatang pohon. Dari sini dia
meneruskan pengintaiannya. Orang yang
tertawa bergelak sambil bertolak
pinggang itu mengenakan pakaian serba
hitam yang basah kuyup. Rambutnya
terjurah panjang, semula disangka soerang
perempuan. Tapi setelah jelas
kelihatan raut wajahnya ternyata dia seorang
lelaki bermuka cekung,
berjanggut dan berkumis lebat. Pada masing-
masing lengannya terdapat
tiga buah gelang akar bahar.
Kilat menyambar dan! Orang yang
mengintai dari balik pohon merasakan
jantungnya seperti copot!
Betapakan tidak. Ketika rimba belantara itu
menjadi terang benderang
sekilas, pada saat itulah dia menyaksikan
puluhan tubuh manusia
berkaparan di tanah, di atas semak belukar, di
antara pohon-pohon.
Semua tergelimpang tak bergerak. Kepala
atau wajah masing-masing telah
hancur mengerikan. Rambut dan potongan-
potongan kepala serta otak
berhamburan di manamana. Air hujan yang
tergenang tampak merah
kehitaman.
"Pembunuhan masal! Siapa yang
melakukannya?!" membatin
pemuda yang mengintai. Tubuhnya terasa
dingin sekali, sepasang lututnya
terasa goyah. Selama hidupnya dia telah
melihat kematian, pembunuhan
bahkan dia juga telah berulang kali
melakukan pembunuhan. Tapi kematian
orang seperti itu dengan kepala atau muka
hancur, benar-benar satu hal
luar biasa. Dari pakaian yang dikenakan
manusiamanusia malang itu, dari
tombak, pedang dan perisai yang
bergelimpangan di selasela tubuh
manusia, jelas yang menemui kematian itu
adalah serombongan pasukan.
Entah pasukan dari kadipaten atau keraton
mana.
Di tengah tumpukan
mayat itu, orang yang tertawa semakin keras
tawanya. Sambil tertawa
kepalanya yang berambut panjang digoyang-
goyangkan hingga air hujan
yang membasahi rambutnya berdesing
melesat, menghantam pohon-pohon dan
dedaunan. Orang yang bersembunyi di balik
pohon melengak kaget ketika
menyaksikan begaimana tetesan-tetesan air
hujan yang dilesatkan rambut
itu menghantam rontok kulit pohon di
hadapannya dan meninggalkan lobang
dalam pada batang pohon!
"Dua puluh sembilan hari menguntit dan
mengurung!" Tiba-tiba orang berpakaian
hitam berambut panjang itu
hentikan tawa dan keluarkan ucapan. "Semua
berakhir pada kematian!
Manusia-manusia tolol! Pangeran kalian
hanya menyuruh kalian mengantar
nyawa di dalam rimba belantara ini!
Ha….ha…..ha…."
Orang di tengah
gelimpangan mayat itu kemudian tampak
tundukkan kepala. Seperti tengah
memperhatikan sesuatu yang ada di tangan
kanannya. Lalu kembali dia
tertawa gelak-gelak. Mendadak suara tawanya
lenyap, tubuhnya diputar ke
kiri. Tangan kanannya diangkat ke depan,
sama rata dengan bahu. Dari
jari telunjuknya yang diacungkan lurus ke
muka tiba-tiba melesat tiga
cahaya putih. Dua cahaya sebesar batang lidi,
satunya lagi sebesar
batang padi. Ketiga cahaya putih itu
mengeluarkan suara seperti
lengkingan seruling yang ditiup pada nada
tinggi dengan kekuatan tiupan
dahsyat.
"Siut….siut….siut! Brak!"
Batang pohon di depan hidung pemuda yang
mengintai hancur lebur. Pohon besar itu
roboh dengan suara bergemuruh!
"Keparat setan alas!" maki lelaki berpakaian
putih yang sembunyi di
balik pohon besar itu. "Bangsat berjangut itu
tahu kalau aku mengintai
di sini! Gila, ilmu pukulan sakti apa yang
dilepaskannya itu!" Secepat
kilat orang itu jatuhkan diri ke tanah,
menyusup ke dalam semak belukar
lalu melompat satu tombak ke samping kanan
dan berguling. Sepasang
telinganya kembali mendengar suara
melengking. Tanda orang berpakaian
hitam itu melepaskan lagi pukulan yang
memancarkan tiga garis cahaya
putih itu. Setumpuk semak belukar rambas,
sebatang pohon lagi hancur
dan tumbang. Tapi pemuda yang tadi berhasil
menyelamatkan diri saat itu
sudah berada jauh di tempat yang cukup
aman, yakni melesat ke atas dan
bersembunyi di atas cabang pohon, di antara
kerimbunan daun-daun.
Ternyata manusia yang menyerangnya tidak
mengetahui kalau kini dia ada
di atas pohon. Sebaliknya dari atas pohon dia
dapat melihat jelas gerak
gerik orang di bawah sana. Sesaat lelaki di
atas pohon ini
berpikir-pikir, apakah dia akan membalas
serangan maut tadi dengan
pukulan sakti yang dimilikinya. Tetapi setelah
menimbang akhirnya dia
memutuskan untuk menunda.
Di bawah pohon orang tadi kembali tertawa
gelak-gelak. Lalu berteriak "Ada yang lolos
rupanya! Tidak apa…. Biar
dia lari dan memberitahu pada pangerannya!
Ha…..ha…..ha…..!" Suara tawa
itu sirap. Orang di atas pohon memutuskan
inilah saatnya dia harus
melepaskan pukulan untuk melumpuhkan
orang di bawah sana. Tetapi.
Astaga! Ketika memandang lagi ke bawah
sambil siapkan pukulan, orang
berambut panjang berpakaian hitam itu sudah
lenyap entah ke mana!
"Sialan! Aku terlambat!" maki pemuda di atas
pohon.
Setelah meneliti keadaan di bawah pohon
sekali lagi sementara hujan
lebat masih terus turu maka diapun melompat
turun. Ketika masih
melayang di udara itulah mendadak
telinganya mendengar suara seperti
tiupan seruling. Tiga larik cahaya putih yang
sangat terang menyilaukan
berkiblat, menyambar ke arahnya.
"Celaka! Bangsat itu belum pergi
rupanya. Dan kini dia kembali menyerangku!"
Orang yang melompat turun
terkejut dan memaki. Secepat kilat dia jungkir
balik di udara lalu
membuang diri ke samping kanan. Namun
sambaran tiga cahaya datangnya
cepat luar biasa. Berkiblat deras dan
menghantam perutnya dengan telak.
Orang ini keluarkan seruan keras, mencelat ke
atas lalu jatuh ke tanah,
di antara gelimpangan mayat-mayat dan
genangan air hujan campur darah!
"Ha…ha….ha….!" Terdengar tawa bergelak dari
belakang batang pohon
besar. "Pengintai tolol! Kalau saja kau tadi
terus lari tentu tak akan
mampus percuma! Sayang! Kini tak ada yang
akan memberi laporan pada
sang pangeran! Ha…ha….ha….!"
Suara tawa lwnyap. Keadaan di tempat
itu kini hanya dihantui oleh deru air hujan,
desau angin dan gemerisik
daun-daun pepohonan. Tak selang berapa
lama, sosok tubuh yang tadi
dihantam tiga larik sinar dan terhempas ke
tanah, perlahan-lahan tapak
bergerak bahkan kini coba berdiri sambil
pegangi perutnya. Ternyata
manusia satu ini tidak mati. Dia tidak sampai
menjadi korban tiga larik
sinar maut yang dilepaskan oleh orang
berpakaian serba hitam tadi.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Jangankan
tubuh manusia. Btang pohon
yang besar dan keras hancur tumbang
berantakan oleh hantaman sinar itu.
Pemuda itu pegangi pakaiannya di bagian
perut yang tampak bolong besar.
Bagian tepi yang bolong itu seperti hangus
terbakar berwarna kehitaman.
Pada bagian pakaian yang berlubang itu
tampak tersembul sebuah benda
putih yang berkilauan setiap sinar kilat
menyambar terang. Mukanya yang
tadi pucat seperti kain kafan berangsur-
angsur berdarah kembali dan
dari mulutnya pemdua ini tak henti-hentinya
memaki. Dia pegangi benda
putih berkilat yang tersembul di depan
perutnya, garukgaruk kepalanya
dengan tangan yang lain lalu cepat
menyelinap ke balik semak belukar.
Ada rasa kawatir kalau-kalau orang yang tadi
menyerangnya masih berada
di tempat itu atau muncul kembali.
"Kapak ini telah menyelamatkan
nyawaku….." kata lelaki berakaian putih yang
kini pakaiannya penuh
lumpur bercampur darah. Tengkuknya masih
terasa dingin. Bukan oleh
karena dinginnya udara atau dinginnya air
hujan, tapi karena baru saja
menyadari, kalau senjata mustikanya itu tidak
tersisip melindungi
perutnya, pastilah perutnya akan bobol
amblas dihantam sinar ganas
tadi. Dia segera pula menyadari bahwa
senjatanya itu memiliki keampuhan
yang tinggi dan tak sanggup dihantam
pukulan sinar aneh dan mematikan
itu.
Ketika dipastikannya keadaaan di tempat itu
benar-benar telah
aman maka diapun segera keluar dari balik
rerimbunan semak belukar. Dia
coba meneliti sekian puluh mayat yang
terkapar mengerikan.
"Pasukan
yang malang….. Pangeran dari mana yang
mengutus kalian mencari mati di
tempat ini….?" Orang itu geleng-geleng
kepala. "Tak habis pikir
bagaimana orang berjanggut tadi sanggup
membunuh puluhan manusia ini.
dengan sinar mautnya itu…..? Sinar maut
hebat luar biasa, tapi ganas
mengerikan….. Heh, apa yang harus aku
lakukan? Tolol!" Orang itu memaki
dirinya sendiri. Lalu menjaab pertanyaan
sendiri. "Yang paling baik aku
harus pergi dari sini. Rimba belantara ini
lebih seram dari neraka!
Tempat celaka apa ini! Gila!"
Maka diapun bergerak pergi. Namun baru dua
kali menindak melangkahi mayat-mayat di
tanah, mendadak terdengar bentakan garang.
"Berhenti!"
Bangsat! Siapa pula yang membentak! Setan
rimba belantara?! Eh,
mungkin orang berjanggut tadi…..?!" Dengan
sikap waspada dan
mengerahkan tenaga dalam ke tangan kanan
siap untuk mengahantam, dia
memandang ke arah kegelapan dari mana
suara bentakan tadi datang. Dia
melihat sesosok tubuh dalam kegelapan. Lalu
sosok tubuh kedua. Ketiga
….keempat. Ketika dia memandang berkeliling,
ternyata dia telah
dikurung oleh enam orang berbadan besar.
Masing-masing memegang
kelewang panjang.
"Siapa kalian?!" Lelaki berpakaian serba putih
balik membentak.
"Randu Ireng! Dua kali bulan pernama kami
menguntitmu! Sekarang tak mungkin lepas!"
terdengar jawaban dari kegelapan.
"Randu Ireng….?" Desis orang yang dikurung.
"Siapa yang kalian maksudkan….."
Terdengar suara batuk-batuk di sebelah
kanan, menyusul suara berkata
"Kami tahu kelicikanmu. Kau bisa menyamar
seribu kali dalam semalam.
Tapi kami berenam tak mungkin kau tipu!"
"Gila! Malam-malam buta, hujan lebat begini
rupa dan disaksikan puluhan mayat celaka
kalian ini bicara apa sebenarnya?!"
"Dengar Randu Ireng…."
"Setan alas! Namaku bukan Randu Ireng….!"
Hardik orang yang dikurung.
Keluar jawaban. "Terserah kau mau memakai
nama apa. Tapi yang jelas kau
sudah kami kurung. Tak mungkin lolos
walaupun kau bisa merubah diri
menjadi seekor tuma! Kawan-kawan, apakah
kalian lihat benda itu di jari
telunjuk kanannya…..?"
Lima suara menyahut.
"Kami tidak melihatnya!"
"Dia a pasti menyembunyikannya di balik
pakaiannya!"
"Keparat! Benda apa yang dimaksudkan enam
jahanam gila ini?" ujar
pemuda yang dikurung lalu meneliti jari
telunjuk tangannya sendiri.
Jari telunjuk tangan kanan itu memang tidak
ada apa-apanya. Mengapa
orang-orang itu sengaja memperhatikan jari
telunjuk tangan kanannya?
Siapa mereka sebenarnya dan siapa pula
orang bernama Randu Ireng itu?
Selagi dia bertanya-tanya seperti itu, kembali
orang yang tegak di
hadapannya dalam kegelapan membuka suara
sementara hujan masih terus
turun walau sekarang mulai mereda.
"Radu Ireng! Serahkan cincin itu pada kami!"
"Betul! Serahkan lekas. Dan kami akan
mengampuni selembar nyawamu!" Orang di
samping kiri ikut bersuara.
Pemuda yang tegak di antara tebaran mayat
kembali memaki dalam hati.
Kemudian dia tertawa gelak-gelak. Namun
hatinya tetap saja jengkel.
"Kalian orang-orang gila kesasar! Buka
telinga kalian baik-baik dan
dengar ucapanku. Aku bukan Randu Ireng!
Aku tidak tahu menahu, tidak
mengerti cincin apa yang kalian minta. Aku
sama sekali tidak memiliki
cinicn, atau kalung atau gelang. Ha…
ha….ha….!"
"Dusta!"
"Bohong besar!"
"Rupanya dia tidak sayang nyawa!"
"Kalau begitu tunggu apa lagi? Kita bantai
saja!"
Enam sosok tubuh bergerak maju, mendekar
dan memperapat pengurungan.
Enam batang kelewang panjang tergenggam
erat dalan enam tangan kukuh,
melintang di depan dada.
Sejarak lima langkah, keenam orang itu
berhenti. Orang yang dikurung memandangi
wajah mereka satu persatu. Tak
seroangpun yang dikenalnya.
"Kami masih memberi kesempatan terakhir!"
kata orang di samping kanan.
"Lekas serahkan cincin itu!"
"Cincin apa?!" tanya lelaki yang pakaiannya
basah kuyup, penuh belepotan lumpur dan
darah.
"Jangan pura-pura tidak tahu!"
"Cincin apa lagi kalau bukan Cincin Kepala
Ular Kobra Baja!" jawab orang yang tepat
berdiri di depan lelaki tadi.
Kini berubahlah paras pemuda ini. dia pernah
mendengar tentang benda
itu, tapi tak pernah melihatnya. Cincin baja
yang merupakan senjata
mustika ganas. Tibatiba dia ingat pada orang
berpakaian serba hitam
yang tadi menyerangnya.
"Kalau begitu….." desisnya.
"Kalau begitu apa?!" ucapannya langsung
dipotong.
"Kalau begitu orang berjanggut dan berkumis
lebat tadi yang kalian maksudkan….."
"Jangan coba mengalihkan pembicaraan.
Siapa yang kau maksud dengan manusia
berjanggut dan berkumis itu?!"
"Manusia yang membunuh puluhan perajurit
ini! Kalau dia tidak memiliki
senjata ampuh luar biasa mana mungkin dia
sanggup membunuh lawan
sebegini banyak…."
"Dusta! Bukankah kau sendiri yang telah
membunuh
balatentara dari Demak ini? Dan tentunya
dengan mempergunakan cincin
keramat itu!"
"Aku tidak memiliki benda itu. bahkan aku
sendiri
tadi diserang bangsat itu. lihat pakaianku
yang hangus dan berlubang
besar di bagian perut ini….."
Enam orang di depannya menyeringai
mengejek. Tak percaya tentunya. Yang di
samping kiri berkata. "Kalau
diserang dengan cincin sakti itu, saat ini kau
bukan manusia lagi. Tapi
sudah jadi bangkai dengan perut bobol!"
"Mungkin! Tapi…… Ah,
percuma saja aku menerangkan. Kalian tentu
tak akan percaya….." kata
pemuda yang tegak di antara tebaran mayat.
Dia merasa tak perlu
menjelaskan bahwa senjata sakti yang
dimilikinya telah menyelamatkannya
dari hantaman tiga cahaya putih yang
melesat keluar dari jari telunjuk
orang berpakaian serba hitam itu.
"Ayo, mana cincin itu. Lekas serahkan!"
"Aku tak mau lagi bicara dengan kalian
orang-orang gila! Aku bukan
Randu Ireng. Aku tidak memiliki benda yang
kalian cari! Sekarang beri
jalan, kau mau lewat. Aku mau pergi dari
tempat celaka ini!"
"Ragamu boleh pergi tapi nyawamu
tinggalkan di sini!"
Enam kelewang. Bergerak naik ke atas.
"Kau akan mampus percuma! Cincin itu akan
kami ambil dari tubuhmu yang tercincang!"
Orang yang terkurung dan hendak dibantai
menyeringai lalu keluarkan
suara bersiul. Tangan kanannya bergerak ke
pinggang. Enam lelaki
bertubuh besar dan bermuka garang serentak
mundur dua langkah ketika
menyaksikan senjata berbentuk kapak yang
memiliki dua buah mata
terlihat tergenggam di tangan kanan orang
yang mereka sangka Randu
Ireng itu. yang membuat mereka jadi terkesiap
ialah melihat sinar
menggetarkan yang keluar dari badan dan
mata kapak, padahal keadaan di
situ gelap sama sekali tak ada kilatan sinar
yang memantul ke permukaan
kapak.
"Siapa kau sebenarnya?!" Salah seorang dari
enam pengurung bertanya.
"Kau pasti tuli! Tadi-tadi aku sudah bilang
aku ini bukan Randu Ireng!"
"Kalau begitu coba katakan siapa kau
adanya!"
"Kau tidak perlu tahu!"
"Jika tak berani memperkenalkan diri berarti
kau memang Randu Ireng!"
"Kentut busuk!"
"Senjata apa yang ada di tanganmu itu?!"
"Kapak Naga Geni 212!"
Enam pengurung tersentak kaget. Mereka
saling pandang.
"Kalau begitu kau adalah pendekar muda Wiro
Sableng, murid Sinto Gendeng nenek sakti dari
Gunung Gede!"
Orang yang memegang kapak tidak menjawab
meskipun apa yang diucapkan orang di
depannya memang benar adanya.
"Kalau begitu kami telah salah sangka. Harap
dimaafkan keteledoran ini.
hanya saja, apakah kau dapat menjelaskan
apa yang terjadi di tempat
ini…..?"
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, orang
yang tadi hendak
dikeroyok sebenarnya ingin lekas-lekas
meninggalkan tempat itu. Namun
diam-diam diapun ingin mengetahui siapa
adanya manusia bernama Randu
Ireng dan apa sebenarnya cincin baja
berkepala ular itu.
"Aku bersedia menerangkan apa yang kulihat
di sini walaupun tak banyak, tapi harap kalian
mau mengatakan siapa kalian adanya…."
"Kami berenam kakak beradik. Aku yang
tertua. Namaku Sebrang Lor. Kami dikenal
dengan julukan Enam Kelewang Maut…."
Wiro Sableng kernyitkan kening. Kapak Naga
Geni 212 disisipkannya
kembali ke pinggang lalu berkata "Setahuku
kalian adalah para pendekar
dari golongan putih. Tapi gerak gerik kalian
malam ini tidka beda
dengan bangsa gerombolan rampok atau
rombongan maling. Tidak disangka
kalian selama ini disenangi ternyata bertindak
tanduk memalukan…."
"Kami mengakui telah kesalahan tangan,"
kata Sebrang Lor. "Semua
terjadi karena kejengkelan kami sudah sampai
di puncaknya. Kami telah
menguntit manusia bernama Randu Ireng itu
hampir selama enam puluh
hari. Malam ini ternyata kami menemui
kegagalan lagi….. Nah, apakah kau
mau menerangkan apa yang kau ketahui….?"
Wiro menjelaskan tidak
banyak. Mulai dari dia mendengarkan suara
jeritanjeritan, sampai dia
mendapat serangan, lalu lenyapnya si
penyerang yakni lelaki berpakaian
serba hitam, berjanggut dan berkumis.
"Mungkin manusia yang menyerangku itulah
Randu Ireng, orang yang kalian cari……"
"Barangkali….. Manusia bernama Randu Ireng
ini sebenarnya dia tidak
memiliki kepandaian silat tinggi, apalagi ilmu
kesaktian. Namun ada
satu kehebatannya. Yaitu dapat menyamar
secara lihay dan cepat. Lalu
karena cincin keramat itu berada di
tangannya, maka tak ada satu
orangpun yang mampu mengahadapinya.
Jangankan satu orang, seluruh
pasukan kerajaan sanggup dihancurkannya
dengan benda keramat itu…… "
"Kau berulang kali menyebut cincin. Benda
bagaimanakah sebenarnya cincin itu…..?"
Sebrang Lor lalu memberi penuturan.
Dua belas tahun silam, seorang nelayan muda
yang diam di sebuah desa di
pantai selatan bermimpi. Dalam mimpinya itu
dia bertemu dengan sesosok
mahluk tinggi besar berjubah putih yang
berjalan tanpa menjejak bumi.
Wajah mahluk ini seram sekali. Memiliki
sepasang kuping panjang mencuat
ke atas, berambut gondrong dan bermata
cekung dengan sepasang bola mata
putih sedang bagian mayang seharusnya putih
tampak sangat merah seperti
api. Bagian hidungnya hanya merupakan
sebuah lobang menjijikkan.
Bibirnya mencuat oleh barisan gigi yang besar
serta bertaring panjang.
Semua gigi ini tampak basah oleh cairan
berwarna merah darah. Lidahnya
juga panjang dan selalu terjulur. Mahluk ini
menuding dengan jari
tangannya yang ternyata hanya merupakan
tulang belulang tapi berkuku
panjang.
"Nelayan muda….." kata mahluk dalam mimpi
itu. suaranya
membahana, bumi seolah-olah bergetar.
"Besok malam kau harus turun ke
laut!"
"Mana mungkin." Sahut nelayan itu ketakutan.
"Sudah sejak
seminggu ini hujan turun terus setiap malam.
Tak mungkin menangkap ikan
dalam hujan dan angin kencang……"
"Aku memerintahkan kau turun ke laut bukan
untuk menangkap ikan!"
"La…..lalu…..?"
Mahluk itu menyeringai. Saat demi saat
tubuhnya tampak bertambah besar
dan tinggi. Ketika si nelayan mendongak
mahluk itu sudah stinggi pohon
kelapa!
"Turun ke laut. Kayuh perahumu ke pulau
Pangiri dan
berhenti di sebelah timur, kira-kira seratus
kayuhan dari pulau. Kau
sama sekali tidak boleh membawa jala. Hanya
membawa sebuah pancingan
dan umpan tunggal seekor ikan teri basah.
Lemparkan kalimu ke dalam
laut dan tunggu sampai ada yang menyentuh.
Jika sudah terasa ada
sentuhan, sentak kail itu dan kau akan
mendapatkan seekor ikan aneh
berwarna hitam. Ikan itu kau belah perutnya.
Di dalam perut ikan akan
kau temui sebuah cincin terbuat dari baja
putih, berbentuk kepala ular
kobra. Jika cincin itu kau kenakan di jari
telunjukmu lalu jarimu kau
acungkan ke depan sambil menggigit bibirmu
sebelah bawah maka tiga
cahaya putih menyilaukan akan melesat
keluar dari sepasang mata dan
mulut cincin kepala ular. Tapi cahaya halus
itu merupakan kekuatan
dahsyat yang sanggup menghancurkan
gunung dan rimba belantara. Kau
boleh menyimpan dan memiliki cincin itu
sampai aku datang lagi memberi
petunjuk lebih lanjut. Cincin itu sekali-kali tak
boleh kau jual.
Karena selain merupakan warisan, tujuh
kerajaan dikumpulkan bersama tak
sanggup membayar nilainya! Kau dengar itu
nelayan muda……?"
"Kudengar tapi….."
"Tidak ada tetapi-tetapian. Besok malam
turun ke laut. Ada satu hal
harus kau ingat. Setelah cincin kau dapatkan
dari perut ikan, bakar
ikan itu sampai hancur dan cemplungkan abu
serta tulang belulangnya ke
dalam laut. Jika kau sampai melupakan hal
itu maka penjaga dan pemilik
lau selatan akan menelanmu lumat-lumat.
Kau tahu siapa penjaga dan
penguasa laut selatan itu…..?"
"Tahu….. Nyi Roro Kidul….."
"Hemmm….." Mahluk setan dalam mimpi
menyeringai. Lalu sosoknya lenyap.
Begitu mimpinya berakhir, nelayan muda itu
terbangun dari tidurnya lalu
terduduk di tepi balai-balai. Sesaat dia duduk
termangu. Apakah akan
dibangunkannya istrinya dan menceritakan
mimpinya pada perempuan yang
tengah hamil muda itu? Akhirnya setelah
menganggap mimpi itu hanya
mimpi biasa saja yang bisa terjadi pada diri
setiap orang, nelayan itu
kembali tidur. Keesokan harinya dia memang
teringat kembali pada mimpi
itu, namun karena tak mau memperdulikan
maka menjelang siang segera
saja dilupakannya. Dan pada malan harinya
dia sama sekali tidak turun
ke laut melainkan merangkuli tubuh mulus
istrinya dan tertidur sambil
berpelukan.
Lewat tengah malam dama kenyenyakan tidur
mendadak
mahluk berjubah putih berwajah setan itu
muncul kembali. Kedua matanya
berapi-api, taringnya mencuat, lidahnya
terjulur dan meneteskan cairan
merah darah. Lima jari tangannya menggapai
ke depan seperti hendak
merobek muka nelayan muda itu, membuat si
nelayan menjerit dalam
tidurnya hingga istrinya terbangun dan
mengguncang tubuhnya.
"Ada apa……?" tanya sang istri. "Kau
bermimpi……?'
"Entahlah….. Mungkin. Tapi aku tak ingat
mimpi apa….. Ah sudahlah.
Tidur saja kembali. Besok aku harus bangun
pagi-pagi. Sudah janji
dengan paklikmu untuk membantunya
mengolah ladang….."
Kedua suami istri itu tidur kembali.
Hampir menjelang pagi nelayan muda tadi
mimpi lagi. Mahluk setan itu
muncul lagi. Kali ini wajahnya tampak tambah
mengerikan. Dengan penuh
amarah mahluk ini bertanya "Malam ini
sesuai perintahku kau harus turun
ke laut. Mengapa tidak kau laksanakan…..?"
"Aku….aku lup…..lupa….." jawab si nelayan.
"Dengar, aku memberi kesempatan sekali lagi
padamu. Kesempatan
terakhir. Malam besok kau turun ke laut. Jika
tidak kau laksanakan maka
anakmu kelak akan lahir cacat. Wajahnya
akan seburuk wajahku…." Habis
berkata begitu mahluk berwajah setan itupun
lenyap. Kembali si nelayan
terbangun dan tak dapat tidur sampai
keesokan paginya. Sepanjang hari
sampai sore dia lebih banyak duduk melamun
sambil menghisap rokok,
duduk di bawah cucuran atap pondoknya dan
memandang ke tengah laut
sementara hujan turun gerimis. Ada rasa takut
dan ngeri kini dalam hati
nelayan ini. takut kalau dia tidak mengikuti
perintah mahluk seram itu,
kelak anaknya lahir benar-benar akan cacat.
Akhirnya malam itu,
meskipun istrinya bertanya tak kunjung henti
mengapa dia menyiapkan
perahu dan turun ke laut, nelayan itu
meninggalkan tepi pantai. Para
tetangganya juga tampak keheranan
menyaksikan. Tanpa peduli dia
mengayuhkan perahunya ke tengah laut. Pulau
Pangiri cukup jauh. Ombak
agak besar dan hujan rintik-rintik yang turun
saat itu setiap saat bisa
berubah menjadi hujan besar lalu kalau sudah
begitu badaipun datang
menyongsong!
Makin jauh ke tengah laut ombak terasa
makin besar dan
laut menjadi ganas. Perahu kecil itu laksana
sebuah sabut yang
dipermainkan dan dihantam gelombang tiada
henti. Air laut memenuhi
lantai perahu dan harus cepat ditimba keluar
kalau tak mau tenggelam.
Rasa takut menyamaki diri nelayan muda itu.
Dia mulai berpikirpikir
apakah tidak sebaiknya kembali saja sebelum
dia tenggelam di lanun
ombak dan mati jadi santapan ikan-ikan
buas. Namun rasa takut melihat
kenyataan kalau anaknya benar-benar lahir
cacat kemudian hari, membuat
nelayan ini lebih baik meneruskan merancah
laut menuju pulau Pangiri.
Hampir menjelang tengah malam, dalam
keadaan basah kuyup dan tubuh
letih kehabisan tenaga akhirnya dia sampai
juga ke pulau tujuan. Sesuai
pesan mahluk setan itu dia hentikan perahu
sekitar seratus kayuhan dari
pulau Pangiri. Anehnya saat itu laut di tempat
dia berhenti tampak
tenang sekali, tak ada ombak apalagi
gelombang. Sedang hujanpun
tiba-tiba saja berhenti. Dengan tanagn
gemetar nelayan itu mengambil
kailnya lalu memasang umpan pada mata kali
yakni seekor teri basah.
Lalu kail dilemparkannya ke dalam laut. Tali
pancingan diulur sampai
habis. Dan dia menunggu dengan hati
berdebar.
Nelayan muda itu tidak tahu entah sudah
berapa lama dia duduk di
atas perahunya memegangi pancing. Tapi
sampai tubuhnya jadi tambah
letih dan tanagnnya pegal serta matanya
terkantuk-kantuk masih belum
terasa ikan atau apapun yang menyentuh
mata kailnya. Dia mulai berpikir
mungkin mimpi yang dialaminya itu benar-
benar hanya mimpi biasa atau
mimpi gila! Dia memutuskan untuk menunggu
beberapa lama lagi dan
berusaha mempersabar diri. Jika sampai
sekian lama tak ada juga terjadi
apaapa maka dia akan kembali pulang. Tak
lama kemudian selagi
kesabarannya hampir habis dan dia siap
untuk pulang saja, mendadak
nelayan ini merasakan sesuatu menyambar
mata kailnya, keras sekali.
Secepat kilat kayu pancingannya disentakkan
lalu dibetot ke atas dengan
hati berdebar.
Seekor ikan berbentuk aneh berwarna hitam
yang tak pernah dilihatnya
sebelumnya menggelepar di mata kailnya.
Cepat ikan ini dijatuhkannya ke
dalam perahu, ditangkapnya dengan tangan
kiri agar jangan sampai
mencemplung lagi ke dalam laut. Diperhatikan
dekat-dekat, binatang ini
memiliki kepala yang seram. Kedua matanya
menonjol lebar, ada sebentuk
taring yang menonjol keluar. Lalu pada
bagian atas depan di antara
kedua mata terdapat lobang aneh. Di kedua
sisi kiri kanan di bawah mata
terdapat sirip tebal yang mencuat ke atas.
Kepala ikan hitam ini
mengingatkan nelayan itu pada kepala dan
wajah mahluk seram dalam
mimpinya. Jangan-jangan binatang ini
penjelmaan mahluk itu.
Ingat apa yang kemudian harus dilakukannya
maka dari balik pinggang
celananya dikeluarkannya sebilah pisau.
Dengan tangan gemetar
ditorehnya perut ikan itu. aneh, ternyata
badan ikan itu atos sekali.
Dengan susah payah bahkan sampai
keringatan baru dia akhirnya dapat
memotong bagian perutnya. Dengan ujung
pisau dikoreknya isi perut
binatang itu. Di antara isi perut yang
berbusaian terlihat sebuah benda
putih. Ternyata sebentuk cincin dengan ukiran
kepala ular sendok.
Tangannya gemetar ketika menyentuh cincin
itu. Sesuatu yang aneh
tiba-tiba terjadi. Si nelayan merasakan
tubuhnya menjadi sangat enteng.
Pemandangannya menjadi tajam dan
pendengarannyapun demikian pula.
Cepat-cepat cincin itu dimasukkannya ke
dalam saku celana dan saku itu
diikatnya dengan seutas tali.
Sesuai perintah dalam mimpi, ikan
hitam itu dibakarnya sampai hancur. Sisa
pembakarannya dibuangnya ke
dalam laut. Saat itu tiba-tiba kilat
menyambar, guntur menggelegar dan
hujan lebat turun. Laut mengganas, ombak
menggila. Ketakutan nelayan
itu segera kayuh perahunya meninggalkan
tempat tersebut. Menjelang pagi
dia sampai ke pantai. Di pantai dilihatnya
istrinya sudah menunggu
dengan cemas. Beberapa tetangga dan
teman-temannya ikut menjemput ke
pantai. Mereka semula heran ketika melihat
perahu miliki nelayan muda
muda itu penuh dengan ikan-ikan besar.
Padahal si nelayan sama sekali
tidak membawa jala. Tentu saja semuanya
bertanya bagaimana dia bisa
melakukan hal itu. Menangkap ikan demikian
banyaknya! Selain itu
bukankah udara sangat buruk dan hujan lebat
turun terus menerus
sepanjang malam? Yang lain
memperbincangkan keberaniannya pergi
melaut
seorang diri. Nelayan itu sama sekali tak bisa
menjawab apa-apa. Dia
juga merasa heran bagaimana tahu-tahu
dalam perahunya ada sekian banyak
ikan? Tanpa berniat untuk memunggah isi
perahunya, nelayan itu memegang
lengan istrinya langsung mengajaknya pulang
ke rumah.
Selama tiga
hari tiga malam nelayan itu jatuh sakit.
Diserang demam panas yang
membuatnya mengigau dan meracau
sepanjang saat. Hari keempat baru
sakitnya lenyap dan sepanjang hari dia duduk
di depan rumah, memandang
jauh ke tengah laut. Cincin baja putih
berkepala ular yang ada dalam
saku pakaiannya senantiasa digenggamnya
erat-erat. Dia menjenguk ke
dalam rumah. Istrinya sibuk di belakang. Dia
menoleh ke kiri dan ke
kanan, memandang berkeliling. Takut ada
seseorang atau istrinya
tiba-tiba muncul. Setelah pasti dia hanya
sendirian maka cincin ular
kobra itu dimasukkannya ke jari telunjuk
tangan kanannya. Jari ini
diacungkannya lurus-lurus ke depan. Lalu
dicobanya menggigit bibirnya
sebelah bawah. Mendadak terdengar suara
bersuit, seperti suara
seruling, kencang dan menusuk liang telinga.
Suara aneh itu disusul
dengan melesatnya tiga cahaya putih, dua
kecil, satu agak besar. Cahaya
ini menyambar ujung atap rumahnya.
Langsung atap rumah itu hancur
berantakan. Membuat bukan saja si nelayan
menjadi terkejut dan pucat
wajahnya tapi sang istri yang sedang bekerja
di belakang bergegas lari
ke depan rumah untuk melihar apa yang
terjadi.
Sore harinya dengan
alasan hendak memeriksa perahu, nelaayn itu
meninggalkan rumah.
Diam-diam dia pergi ke bukit yang terletak
tak jauh di selatan
perkampungan. Di hadapan sebuah pohon
besar dia berhenti dan
mengeluarkan cincin kepala ular kobra itu.
Cincin dimasukkannya ke jari
telunjuk. Jari ini diluruskannya, diarahkan ke
batang pohon besar.
Bersamaaan dengan itu digigitnya bibinya.
Terdengar suara bersuit. Tiga
cahaya putih berkiblat. Cahaya ini
mengahantam batang pohon. Batang
yang dua kali pemeluk manusia itu hancur
berantakan dan pohon tumbang
dengan suara gemuruh. Nelayan itu melompat
ketakutan saking rasa tidak
percayanya. Dengan perasaan campur aduk,
setangah berlari nelayan itu
menuruni bukit. Di tengah jalan dilihatnya
sebuah batu gunung besar
hitam. Dia ingin mencoba dan membuktikan
keampuhan cincin sakti itu
kembali. Cincin dikeluarkannya dipakainya
lagi pada jari telunjuk.
Ketika diacungkan ke arah batu sambil
menggigit bibir, melengking suara
seruling lalu sinar yang melesat keluar
menghancur leburkan batu besar
itu
Sejak dia memiliki cincin sakti tersebut si
nelayan menunjukkan
perubahan sikap. Hampir setiap hari dia
selalu mengurung diri dalam
rumah atau duduk termenung di bawah atap
memandang ke tengah laut.
Perubahan dirinya ini bukan saja
mengherankan istrinya, tetapi juga
para tetangga dan kawan-kawan. Namun
sampai sebegitu jauh tak
seorangpun mengetahui apa sebenarnya telah
terjadi dengan dirinya,
termasuk istrinya.
Pada masa itu umumnya kampung-kampung
nelayan
dan desa-desa di sekitar pantai banyak yang
berada dalam keadaan tidak
aman. Para perompak atau bajak laut, jika
tidak mendapatkan hasil
jarahan di laut banyak yang turun ke darat
melakukan perampokan,
merampas harta benda penduduk termasuk
bahan makanan serta melakukan
penculikan. Kampung di mana nelayan muda
tadi tinggal tak bebas dari
bencana itu. Sejak setahun belakangan ini
sudah dua kali bajak laut
mendarat melakukan perampokan,
perampasan penculikan dan pembunuhan.
Sore itu, menjelang malam hujan baru saja
mulai berhenti setelah turun
seharian. Laut tampak tenang tak seorangpun
nelayanpun berani turun
menangkap ikan. Menurut pengalaman
meskipun laut tampak tenang namun
sewaktu-waktu udara atau cuaca bisa
berubah mendadak. Selewatnya tengah
malam kampung yang diselimuti kesunyian
dan dibungkus udara dingin
berembun yang mengandung garam itu tiba-
tiba diramaikan oleh suara
kentongan. Mula-mula suara kentongan ini
terdengar dari pantai sebelah
timur. Lalu merambat ke barat dan bersahut-
sahutan dengan kentongan di
dalam kampung sampai ke kaki bukit. Di
mana-mana terdengar
teriakan-teriakan "Perompak…..perompak!"
"Bajak laut datang! Bajak laut datang!"
"Semua orang lekas lari! Tinggalkan rumah
kalian!"
"Selamatkan diri!"
Serta merta kampung nelayan itu menjadi
hiruk pikuk. Orang-orang
perempuan berpekikan. Anak-anak
bertangisan. Orang-orang lelaki segera
mengumpulkan anak istri mereka dan
melarikannya ke tempat yang aman
jauh di balik bukit. Beberapa pemuda
bersenjatakan golok, kelewang dan
tombak berkumpul membentuk barisan
pertahanan, siap berjibaku. Tapi
kepala kampung segera menemui mereka.
"Tak ada gunanya melawan
perompak itu. Jumlah mereka jauh lebih
banyak dari kita! Di samping itu
mereka banyak memilki senjata-senjata hebat.
Mungkin juga meriam besar!
Kalian semua ikut kami menyelamatkan diri!"
Salah seorang pemuda
menjawab. "Kami tahu mereka lebih banyak.
Tapi kami tidak takut! Kami
rela mati demi kampung halaman.kalau bajak
itu tidak diberi perlawanan,
mereka akan selalu datang mengganggu!"
"Soal perlawanan kita bicarakan nanti!
Sekarang lekas angkat kaki dari sini! Tak ada
artinya jadi pahlawan sia-sia….!"
Baru saja kepala kampung itu berkata begitu,
dari tengah laut tampak
kilatan api. Sesaat kemudian didahului oleh
letusan menggelegar sebuah
benda bulat bercahaya melayang menuju
perkampungan.
"Mereka menembakkan meriam!" teriak kepala
kampung. "Lekas menyingkir!"
"Bajak laut keparat! Dari mana mereka
mendapatkan senjata pemusnah itu!"
maki seorang pemuda. Tapi saat itu nyalinya
sudah lumer dan buru-buru
dia melarikan diri mengikuti kawan-kawannya
yang telah menyingkir lebih
dahulu bersama kepala kampung. Di tengah
laut tampak sebuah kapal kayu
besar menurunkan lebih dari selusin perahu
kecil yang masing-masing
berisi empat sampai lima orang. Bajak laut itu
serentak mulai mengayuh
menuju pantai perkampungan nelayan yang
kini telah sunyi senyap
ditinggalkan seluruh penduduknya.
Soma, nelayan muda itu memegang lengan
istrinya erat-erat.
Perempuan yang hamil muda ini tak bisa
berlari cepat karena takut
jabang bayi dalam kandungannya mengalami
cidera. Sekali dia terjatuh
bayi itu bisa cacat. Hal itu juga yang
dikhawatirkan Soma. Karenanya
mereka tertinggal jauh dari penduduk
kampung yang telah lari lebih
dulu. Pada saat mencapai kaki bukit
mendadak Soma ingat akan cincin
sakti baja putih berkapal ular sendok yang
ada dalam saku celananya.
Jika cincin itu sanggup menghancurkan
batang kayu dan batu besar,
berarti terlalu mudah baginya untuk
menghantam lumat tubuh manusia.
Selintas pikiran muncul dalam benak Soma.
Maka diapun berkata pada istrinya. "Istriku,
aku akan antarkan kau
sampai ke balik bukit itu bergabung dengan
orang-orang sekampung….."
"Lalu, kau sendiri hendak ke mana…..?" tanya
sang istri heran.
"Aku akan kembali ke kampung….."
"Kembali ke kampung? Perompak-perompak
itu akan membunuhmu!"
"Aku harus kembali. Ada sesuatu yang akan
kulakuan. Aku berjanji akan
menemuimu lagi dalam waktu cepat. Kau tak
usah kawatir….."
"Tentu saja aku sangat kawatir. Apa yang
hendak kau lakukan, Kakak Soma?"
"Tidak…..tidak apa-apa. Aku hanya sebentar."
Sang istri tetap tak mau ditinggal. Sebaliknya
Soma bersikeras untuk
kembali. Begitu sampai di bali bukit, nelayan
muda ini tinggalkan
istrinya. Telinganya seperti tidak perduli akan
jeritan sang istri yang
tiada henti memanggil.
Ketika Soma sampai di kampungnya kembali
dilihatnya puluhan bajak tengah menjarah isi
rumah penduduk. Mereka
membawa apa saja yang dianggap berharga
termasuk ternak. Bajak-bajak
laut ini tampaknya marah sekali tidak
menemukan seorang pendudukpun di
perkampungan itu. Padahal sebelumnya
mereka sudah berniat untuk
menculik anak gadis dan istri orang.
Kemarahan kini ditumpahkan pada
rumah-rumah penduduk yang segera mereka
bakar dan hancurkan.
Soma
bersembunyi di balik sebtang pohon yang
bagian bawahnya penuh dengan
semak belukar. Cincin baja putih dikeluarkan
dari saku dan cepat
dikenakan ke telunjuk tangan kanan.
Perompak yang terdekat berada
sekitar delapan tombak di seberangnya,
tengah melangkah sambil
menggiring seekor kambing. Soma kertakkan
rahang. Dia tahu betul
kambing itu adalah kambing mertuanya.
Nelayan muda ini gigit bibir
sebelah bawah. Suara seperti seruling
melengking tinggi. Tiga cahaya
putih melesat dari cincin baja berkepala ular
kobra itu. anggota bajak
yang tengah menggiring kambing tidak
sempat mengetahui apa yang terjadi
dalam dirinya. Tubuhnya terbanting ke tanah.
Dia mati tanpa
mengeluarkan jeritan dengan kepala hancur.
Kambing yang barusan
dicurinya mengembik tiada henti dan lari
dalam kegelapan malam.
Nelayan muda itu tegak dengan lutut goyah
tubuh gemetar serta tengkuk
dingin. Keringat mericik di keningnya.
Wajahnya seputih kertas. Seumur
hidup dia tak pernah membunuh manusia.
Malam itu dia melakukannya. Dan
dia menyaksikan kematian perompak itu
begitu mengerikan. Semula hendak
ditinggalkannya tempat itu dan lari ke bukit
saking takutnya. Namun
ketika di bagian lain dia menyaksikan para
anggota bajak menghancurkan
dan membakar rumah-rumah penduduk,
darahnya terbakar kembali. Soma
menyelinap dalam kegelapan. Dua bajak
ditemuinya dekat surau kampung,
siap membakar bangunan itu. Soma angkat
tangan kanannya, diacungkan
lurus-lurus ke arah punggung bajak yang siap
melemparkan obor ke atap
surau yang terbuat dari rumbia. Soma gigit
bibirnya. Dan suara seruling
melengking. Tiga cahaya putih berkiblat.
Bajak itu keluarkan pekikan
maut. Tubuhnya terpental menghantam
dinding surau lalu terkapar di
tanah tak berkutik lagi. Bajak yang satu lagi
tentu saja kaget bukan
kepalang.
"Hai! Kau kenapa?!" tanyanya berseru lalu
membungkuk
meneliti keadaan kawannya ini. Mukanya
kontan mengerenyit ngeri ketika
melihat punggung kawannya yang berlobang
hancur dan darah menyembur!
Dia berdiri kembali sambil memandang
berkeliling. Pada saat itulah ada
tiga larik cahaya putih menyilaukan menderu
ke arahnya. Cepat dia
melompat ke samping, tapi terlambat. Cahaya
itu menghantam lebih cepat,
tepat pada keningnya. Separuh kepalanya
sebelah atas hancur. Tubuhnya
tergelimpang tanpa nyawa!
Tiga orang kawannya yang kemudian muncul
di tempat itu sangat terkejut serta merta
melakukan pemeriksaan. Salah
seorang menyuruh kawannya memberi tahu
pemimpin mereka.
"Dia
dibokong dari belakang. Punggungnya hancur!
Tapi lukanya aneh. Ini
bukan seperti bekas tusukan pisau atau
pedang. Mungkin ditusuk dengan
tombak besar…..gila! Siapa yang melakukan."
Bajak yang satu berdiri
dengan muka tegang. Tiba-tiba dia
mendengar suara aneh. Seperti tiupan
suling yang sangat nyaring. Dia berpaling ke
kiri, arah datangnya suara
itu. Justru saat itu pula tiga larik sinar putih
menghantam perutnya.
Anggota bajak ini menjerit dan terlipat ke
depan. Perutnya ambrol.
Darah dan usus memberurai keluar. Kawannya
yang satu lagi berteriak
tegang dan melompat. Dia melihat jelas ada
cahaya putih yang menyambar,
menghantam perut kawannya. Namun dia
tidak tahu pasti cahaya apa. Dia
memandang ke arah kegelapan. Rasa takut
menggerayangi dirinya. Serta
merta dia putar tubuh tinggalkan tempat itu.
Namun dia baru lari tiga
langkah ketika suara seruling kembali
menggema dan sinar putih
menghantam pinggangnya sampai putus!
Soma kepalkan tangan kirinya.
Lima bajak laut yang ganas-ganas telah
dibunuhnya. Seperti kesetanan
dia menyelinap ke jurusan lain untuk mencari
anggotaanggota bajak
lainnya. Siap untuk membunuh mereka dengan
kekuatan sakti cincin baja
ular kobra yang ada di jari telunjuk tangan
kanannya.
Ketika Boga Damar, pemimpin bajak laut
sampai di tempat tersebut bersama dua orang
anak buahnya, membeliak matanya.
"Mereka….. Gila! Mereka mati…. Mereka
dibunuh!" teriaknya marah.
Baru saja dia berteriak, di kejauhan terdengar
jeritan beberapa kali berturutturut.
"Hai! Ada cahaya putih berkelebat di sebelah
sana!" seru salah seorang bajak.
"Mungkin sambaran petir…..!" kawannya
menduga.
"Jangan ngacok!" sentak Boga Damar, marah
dalam keterkejutannya. "Malam
ini memang mendung, tapi tak ada hujan yang
akan turun. Lagi pula mana
ada petir tanpa geledek?!"
Si anak buah terdiam tak berani menyahuti.
Namun dalam hatinya tetap saja dia heran
dan bertanya-tanya.
"Dengar….. Ada jeritan lagi! Susul menyusul!"
kata bajak satunya lagi.
"Setan alas! Apa yang sebenarnya terjadi!"
Boga Damar mendadak menjadi
tegang. Dia memberi isyarat agar dua anak
buahnya mengikuti. Ketiganya
meninggalkan empat bajak yang telah
menemui kematian itu tanpa
melakukan pemeriksaan. Mereka lari ke
jurusan timur kampung, dari arah
mana jeritan-jeritan itu tadi terdengar dan
cahaya-cahaya aneh tampak
berkiblat. Sampai di sebuah lapangan kecil di
mana para anggota bajak
mengumpulkan barang-barang jarahannya
sebelum diangkat ke atas kapal,
Boga Damar menyaksikan pemandangan yang
sangat mengejutkan dan hampir
tak dapat dipercayainya. Bulu kuduknya
merinding. Sembilan anak buahnya
menggeletak malang melintang di tanah.
Mereka menemui ajal dengan salah
satu bagian tubuh atau kepala hancur. Lalu
dua orang lagi terlihat mati
dengan cara sama dekat reruntuhan sebuah
rumah. Empat lainnya di bawah
pohon dan dua lagi di antara tumpukan
barang-barang rampasan.
Rahang menggelembung, pelipis bergerak-
gerak dan kedua tangan terkepal
serta merta mendelik Boga Damar
membentak. "Siapa yang melakukan ini
semua? Apa yang sebenarnya terjadi?!"
Tentu saja tak seorangpun anak buahnya
dapat memberikan jawaban.
"Ada yang tak beres di tempat ini…..!"
sentaknya lagi.
"Mungkin……mungkin ada setan atau jin……!"
"Aku tak percaya segala macam setan
ataupun jin!" memotong kepala bajak ketika
anak buahnya coba membuka mulut.
"Tapi Boga, kau tahu sendiri. Tak seorang
pendudukpun kelihatan di tempat ini. atau
mungkin seorang sakti….."
"Kalau memang ada akan kupatahkan batang
lehernya!" tukas Boga Damar garang.
Mendadak terdengar suara melengking.
"Hai! Tiupan seruling itu!" seru salah seorang
bajak. "Tadi kudengar
berulang kali sebelum disusul jeritan. Ada
cahaya menyambar ke mari……!"
bajak itu cepat melompat ke samping. Tiga
larik sinar putih melesat dan
di belakang sana seorang perompak tubuhnya
terpental jauh lalu
tergelimpang mati dengan dada berlubang
hancur!
Boga Damar dan yang
lain-lainnya lari memburu namun gerakan
mereka tertahan dan semuanya
terpaksa selamatkan diri cerai berai ketika
sinar puih aneh kembali
berkiblat dan dua orang di antara mereka
terdengar menjerit lalu roboh
tergelimpang. Satu menemui ajal dengan leher
hampir putus, satunya lagi
merintih sesaat sambil pegangi perutnya yang
memburai lalu kaku tak
bergerak lagi!
"Bangsat! Siapa yang melancarkan serangan
gelap
ini!" rutuk Boga Damar sambil bertiarap.
Namun mulutnya serta merta
terkancing dan lidahnya menjadi kaku ketika
anak buahnya yang ikut
bertiarap di sebelah kanannya kembali
menemui kematian dengan cara
mengerikan, batok kepala hancur disambar
tiga larik sinar putih
mengerikan itu!
Boga Damar adalah seorang kepala bajak
berhati
ganas dan tidak kenal takut. Membunuh
manusia sama mudahnya baginya
dengan membalikkan telapak tangan.
Berbagai lawan telah dihadapinya
tanpa rasa takut. Tapi saat itu rasa takutnya
tak dapat lagi
dikendalikan. Dia tidak tahu dengan lawan
atau kekuatan apa sebenarnya
dia tengah berhadapan. Dan musuh tanpa
kelihatan seperti itu, mana
mungkin dia menghadapinya.
"Kalian semua lari ke perahu!" kata Boga
Damar masih tetap tiarap. "Kembali ke kapal!
Bawa barang rampasan yang
bisa dibawa! Lekas!"
Enam anggota bajak yang tadi sama-sama
bertiarap di tanah cepat berdiri. Namun dua di
antaranya segera roboh
kembali ketika sinar putih aneh tiba-tiba
muncul lagi dan menyambar
tubuh mereka. Yang empat terus kabur
sementara Boga Damar yang melihat
kejadian itu dan semula hendak merangkak
bangun cepat jatuhkan diri
lalu berguling beberapa kali sampai akhirnya
dia dapat berlindung di
balik reruntuhan rumah. Dari sini dia
memandang tajam menembus
kegelapan di arah sederetan pohon waru di
ujung timur lapangan. Suara
lengkingan aneh seperti seruling serta
sambaran cahaya putih yang
menyebar maut itu datangnya dari balik
deretan pohon-pohon waru itu.
Kepala bajak ini hunus golok besarnya lalu
berkelebat cepat ke balik
rumah-rumah penduduk, melompat ke arah
semak belukar hingga akhirnya
dia sampai ke dekat pepohonan waru. Sejak
saat dia mulai melakukan
penyelinapan itu sampai akhirnya mencapai
deretan pohon-pohon waru lima
anak buahnya telah menemui ajal pula
dihantam tiga larik sinar maut.
"Ini pasti biang keparatnya!" serapah Boga
Damar ketika dia melihat
sesosok tubuh tegak di balik pohon waru
paling ujung kanan sambil
mengangkat tangan dan acungkan jari
telunjuk. Dari jari telunjuk inilah
kepala bajak itu mendengar ada suara
seruling aneh melengking menusuk
telinga yang disusul oleh semburan tiga larik
sinar terang. Lalu di
kajauhan sana terdengar suara anak buahnya
menjerit meregang nyawa.
Dengan golok besar di tangan, Boga Damar
melompati orang yang tengah
melakukan pembataian itu. Goloknya
berdesing, langsung menyambar batang
leher!
Seperti diketahui Soma adalah seorang
nelayan yang sama
sekali tidak memiliki ilmu kepandaian silat
apalagi kesaktian dan
tenaga dalam. Namun dengan adanya cincin
keramat baja putih erbentuk
kepala ular kobra atau ular sendok itu maka
dia berubah menjadi seorang
luar biasa. Matanya dan pendengarannya
menjadi sangat tajam. Karenanya,
sebelum Boga Damar membabatkan goloknya,
Soma telah mendengar
kedatangan kepala bajak itu. Cepat dia
membalikkan tubuh lalu jatuhkan
diri ke tanah ketika golok menyambar,
mengenai tempat kosong dan
menghantam pohon waru hingga batang
pohon ini hampir terbabat putus.
"Bangsat! Manusia atau jin! Kau tak akan
bisa lolos dari golokku!"
teriak Boga Damar. Dia menyergap ke arah
Soma. Golok besarnya meluncur
lebih dulu.
Senjata ini seperti buntut ikan yang
menggelepar,
bergetar kian ke mari seolah-olah berubah
menjadi banyak. Jelas kepala
bajak laut ini sengaja mengeluarkan
kepandaiannya memainkan golok
karena ingin mencincang Soma saat itu juga.
Melihat golok datang
menderu sedemikian rupa, kecut juga hati
nelayan muda itu. tetapi
cincin keramat yang ada dalam jari
telunjuknya membuat Soma percaya
diri sendiri dan tidak memandang sebelah
mata pada lawan. Ujung golok
hanya tinggal tiga jengkal dari kepala Soma
ketika nelayan ini acungkan
jari telunjuknya ke arah Boga Damar, lalu
menggigit bibirnya kuat-kuat.
Boga Damar seperti mendengar angin puting
beliung melabrak kedua
telinganya. Selagi serangan goloknya
mengendur karena terkejut dan
terpengaruh oleh bunyi yang nyaring tadi, saat
itu pula tiga sinar
halus menyilaukan datan menyambar dari
depan. Boga Damar tahu betul,
sinar aneh inilah yang telah membunuh lebih
dari dua lusin anak
buahnya. Maka kepala bajak ini lemparkan
goloknya ke arah dada Soma. Di
saat yang sama serentak dia menghantam
dengan tangan kiri.
Ternyata
golok Boga Damar tidak cukup ampuh.
Senjata ini terpental berantakan
disambar tiga larik sinar putih. Lalu sebelum
pukulan tangan kirinya
sempat mengenai Soma, tiga sinar yang
keluar dari dua mata dan mulur
cincin ular kobra menghantam mukanya
dengan telak. Kepala bajak ini
hanya sempat keluarkan pekik pendek.
Tubuhnya mental ke balakang.
Ketika tergelimpang di tanah, tubuh itu
tampak tanpa kepala lagi!
Puluhan anggota bajak yang masih hidup
menjadi gempar ketika mengetahui
pimpinan mereka telah menemui ajal. Enam
orang di antara mereka dengan
marah dan kalap, emmegang berbagai macam
senjata segera mengurung dan
menyerbu Soma. Namun mereka semuah
hanya menjadi sasaran empuk sambaran
tiga larik sinar putih, mati bergelimpangan
dengan badan dan kepala
hancur!
Melihat hal ini anggota bajak yang masih
hidup menjadi
lumer nyali masingmasing dan mereka
bersirebut cepat lari ke pantai
memasuki perahu-perahu kecil. Soma yang
sudah sejak lama mendendam oleh
keganasan para bajak itu mengejar sampai ke
tepi pasir. Dari sini,
dengan sinar putih yang keluar dari cincin
baja keramat itu
dihancurkannya satu persatu perahu-perahu
itu hingga tak ada satupun
yang tinggal utuh. Para bajak terjun
berhamburan ke dalam laut. Namun
mereka tidak menemukan selamat karena
sinar putih yang datang
menghantam mereka semua terjengkang mati
dalam air!
Ketika Soma kembali ke balik bukit di ujung
kampung, istrinya masih
menangis ditemani oleh kepala kampung
bersama istrinya. Begitu Soma
datang sang istri langsung memeluknya.
"Soma……! Dari mana kau?!" Kepala kampung
nelayan bertanya.
"Sa…..saya barusan dari kampung kita….."
"Kau mencari mampus Soma! Masih untung
kau bisa kembali selamat. Apa yang kau
lakukan di tempat itu…..?!"
"Melihat perampok itu mati terbunuh."
"Mati dibunuh? Jangan melantur Soma! Siapa
yang membunuh mereka…..?"
"Saya tidak tahu….." sahut Soma sementara
penduduk kampung nelayan itu
semakin banyak mengelilingi Soma dan kepala
kampung, mereka ikut
mendengarkan pembicaraan. "Perahu-perahu
mereka hancur. Saya lihat juga
banyak bajak itu yang menemui ajal di laut.
Kapal kayu milik mereka
melarikan diri dengan sisa-sisa bajak yang
tidak seberapa jumlahnya….."
Kepala kampung memandang berkeliling pada
penduduk yang mengungsi itu.
semua jelas menunjukkan rasa tidak percaya.
Soma memegang tangan
istrinya. Lalu berkata "Jika kalian tidak
percaya, lihat saja ke
kampung. Mayat-mayat perompak itu harus
disingkirkan sebelum menjadi
busuk. Aku dan istriku akan kembali ke
kampung…."
Sesaat setelah Soma dan istrinya pergi,
kepala kampung kembali memandang
berkeliling. "Bagaimana menurut kalian….?"
Tanyanya.
"Kami rasa Soma tidak berdusta….." seorang
nelayan menjawab. "Kalau
bajak masih gentayangan di kampung kita
masakan ia mau kembali bersama
istrinya…."
"Kalau begitu…." Kepala Kampung itu
berpikir-pikir
sejenak. "Kita kembali. Aku dan lima orang di
atara kalian pergi lebih
dahulu. Yang lain-lain mengikuti agak jauh di
belakang. Hingga kalau
terjadi apa-apa yang di belakang bisa cepat
menyelamatkan diri…."
Ketika kepala kampung dan lima orang
penduduk yang kemudian disusul
oleh seluruh pengungsi itu sampai dan
kembali ke kampung mereka, selain
sedih melihat rumah mereka banyak yang
dirusak serta dibakari sedang
harta benda juga banyak rusak dan hanyut di
laut, penduduk juga heran
bercampur gembira menyaksikan puluhan
anggota bajak menemui
kematiannya. Gembira karena kini manusia-
manusia jahat penimbul
malapetaka itu mendapat balasan dan
ganjaran. Heran karena sulit
menerka siapa yang telah melakukan itu
semua. Membunuh sekian banyak
anggota bajak laut bahkan pemimpinnya
sendiri. Lalu menghancurkan
belasan perahu. Di antara penduduk ada yang
menaruh wasangka bahwa
Somalah yang melakukan itu semua. Tetapi
tentu saja lebih banyak yang
tidak bisa mempercayainya. Soma, seoerang
nelayan muda yang masih harus
banyak belajar tentang bagaimana
menangkap ikan dengan segala
kesederhanaannya itu, mana mungkin dia
mampu melakukann itu. Seorang
diri pula? Ilmu silat dan kesaktian apa yang
pernah dimilikinya?
Sewaktu ditanyai dan didesak terus menerus
Soma akhirnya menjawab.
"Ketika saya kembali ke kampung, pemimpin
bajak dan anak buahnya itu
sudah bergelimpangan mati. Saya tidak tahu
siapa yang membunuh mereka.
Mungkin Tuhan telah mengirimkan uluran
tanganNya untuk menolong kita
yang selama ini selalu ditimpa bencana…."
Adapun Soma sendiri sejak
kejadian itu hampir selalu mengurung diri
dalam rumah. Cincin keramat
baja putih senantiasa disimpannya dalam
saku celanaya dan diikatnya
erat-erat. Setiap saat peristiwa mala itu
seolah-olah terbayang terus
di ruang kepalanya, membuatnya sulit tidur
dan sukar makan. Membunuh
sekian puluh manusia menimbulkan
kegoncangan hebat dalam jiwa nelayan
muda ini. Dia lebih banyak bermenung dan
jarang bicara dengan istrinya
sendiri, apalagi dengan para tetangga.
Perobahan sikap tabiat Soma
ini tentu saja membuat heran sang istri dan
juga tetangga-tetangga.
Hingga mau tak mau kembali penduduk
kampung berkesimpulan bahwa pasti
ada hubungan tertentu antara Soma dengan
peristiwa yang menggemparkan
malam itu. Peristiwa tersebut akhirnya tersiar
pula ke desa-desa dan
kampung-kampung terdekat. Banyak di antara
penduduk yang sengaja datang
untuk melihat sendiri sisasisa kejadian itu.
dan karena desas-desus
yang dipergunjingkan selalu membawabawa
nama Soma maka tentu saja
banyak orang datang mengunjunginya. Lama-
lama hal ini membuat nelayan
itu merasa sangat terganggu. Selain itu dia
khawatir rahasianya akan
terbongkar. Maka setiap hari dia lebih banyak
mengucilkan diri ke dalam
rimba belantara di balik bukit. Menjelang
malam dia baru kembali ke
rumah. Apa yang telah terjadi di kampung
nelayan itu sampai pula ke
telinga seorang abdi dalam keraton yang dia
di Bantul. Bersama beberapa
orang sahabatnya abdi dalem ini mendatangi
kampung nelayan guna mencari
keterangan lebih jelas. Atas saran penduduk
mereka juga berusaha
menemui Soma, tapi nelayan ini telah lebih
dulu melenyapkan diri ke
tempat persembunyiannya dalam hutan.
Selama berada dalam tempat
persembunyiannya di hutan, setiap saat Soma
merenung. Dengan memiliki
cincin keramat dan sakti itu kini dia telah
menjadi seorang
berkepandaian tinggi, berkemampuan luar
biasa. Kepandaian dan
kemampuan seperti itu mungkin tak satu
orang lainpun memilikinya. Bukan
saja para adipati atau tumenggung, atau
patih kerajaan, bahkan Sultan
sendiripun mungkin tidak mempunyai
kehebatan seperti itu. Kemudian
memikir kalau dia jadi nelayan terus menerus,
apa yang bakal didapatnya
dalam masa hidup mendatang? Apa salahnya
kalau dia kini berusaha
mencari kedudukan di kotaraja, menjadi
pasukan pengawal raja atau
kepala pengawal istana. Atau mungkin juga
kepala balatentara kerajaan?
Jadi tumenggung atau adipati atau mapatih
kerajaan? Membayangkan
kedudukan yang tinggi itu serta kemampuan
luar biasa yang dimilikinya,
bulatlah tekad Soma untuk pergi ke kotaraja.
Di sana dia kenal seorang
tumenggung yang ketika ayahnya masih hidup
mempunyai hubungan baik
dengan sang tumenggung. Malam harinya
begitu sampai di rumah Soma
segeramengatakan pada istrinya bahwa besok
dia akan berangkat ke
ktoaraja. Apa tujuannya sama sekali tidak
diceritakannya pada perempuan
itu. Tentu saja sang istri terheran-heran
mendengar maksud suaminya.
Namun menyadari bahwa Soma tak bisa
dicegah maka sang istri hanya bisa
meminta agar Soma lekas kembali. Yang
penting kalau dia melahirkan
beberapa bulan di muka Soma harus ada di
sampingnya. Soma berjanji akan
kembali sebelum istrinya melahirkan.
Tumenggung Cokro Buwono tentu
saja gembira mendapat kunjungan anak bekas
sahabatnya di masa muda.
Namun dia jadi terkejut ketika mendengar
permintaan Soma agar dia
membantu mendapatkan pekerjaan sebagai
kepala pengawal istana di
kotaraja.
"Soma," kata sang tumenggung. "Hidup dan
bekerja sebagai
nelayan hampir tidak ada bedanya dengan
seorang anggota pasukan
keraton. Malah bagiku yang sudah tua ini jika
harus memilih, aku akan
lebih suka jadi soerang nelayan. Hidup lebih
tenang, dekat dengan alam
ciptaan Tuhan dan tidak memiliki tanggung
jawab yang besar….."
Ketika Soma mendesak agar Cokro Buwono
membantunya mendapatkan
kedudukan yang diinginkannya itu, sebenarnya
tumenggung ini ingin
mengatakan bahwa untuk jadi kepala
pengawal, jangankan kepala pengawal,
kepala regu pengawal sajapun sangat berat
ujiannya. Dan dia tahu
sebagai seorang nelayan di sebuah kampung
pantai selatan Soma tidak
memiliki kepandaian apa-apa yang dapat
dijadikan dasar keprajuritan.
Dan jadi kepala pengawal bukan main-main
karena harus mempertanggung
jawabkan keselamatan raja beserta
keluarganya.
"Jika kau memang
sudah tidak suka jadi nelayan, dan ingin
merubah jalan hidup, aku bisa
memberikan pekerjaan padamu di sini Soma.
Asalkan jangan jadi
perajurit….."
"Terima kasih tumenggung. Saya tak ingin
cari
pekerjaan lain, selain jabatan seorang perwira
di istana. Kalau
tumenggung tak bisa menolong tak jadi apa.
Hanya bisakah tumenggung
membuat sepucuk surat untuk
memperkenalkan saya pada mapatih
kerajaan…..?"
Tentu saja Cokro Buwono tidak mau
meluluskan
permintaan Soma itu. dia tahu siapa adanya
Soma dan tak mau mendapat
malu mengirimkan soerang pemuda yang
mungkin bisa dianggap "kurang
waras" menemui patih kerajaan.
"Kau pulang sajalah Soma. Aku akan
memikirkan permintaanmu itu dan memberi
tahu kalau memang ada
kemungkinan satu jabatan bagimu dalam
lingkungan istana…." Kata Cokro
Buwono akhirnya.
"Saya tahu….." kata Soma dengan nada
kecewa sambil tundukkan kepala.
"Saya memang tidak memiliki kepandaian
apa-apa untuk jadi bekal seorang
perajurit. Tetapi jika saja tumenggung dapat
memberikan satu ujian,
niscaya saya akan dapat melakukannya…."
"Ujian untuk jadi seorang
perajurit, apalagi yang bertugas dalam
lingkungan istana tidak ringan.
Salah-salah bisa membawa celaka diri sendiri
bahkan kematian!"
"Apapun akibatnya akan saya tanggung,"
jawab Soma dengan masih terus
menundukkan kepala.
Tumenggung Cokro Buwono tak tahu apa lagi
yang harus diucapkannya.
"Apakah kau sanggup berkelahi empat puluh
jurus melawan perwira
penguji? Apakah kau sanggup menunggang
kuda dan membalap binatang ini
ke puncak bukit sambil melemparkan tombak
ke sasaran yang sudah
ditentukan dan harus kembali ke kaki bukit
pada hitungan ke seratus?
Apakah kau berani diuji mengahadapi seekor
raja hutan…..?"
"Menurut hemat saya yang bodoh ini, cara
menguji seorang kesatria seperti itu sudah
kuno……"
Terbelalak Tumenggung Cokro Buwono
mendengar ucapan Soma itu. "Lantas
ujian mana yang menurutmu lebih pantas?!"
Tumenggung ini mulai
kehilangan kesabaran. Apalagi saat itu dia
harus menghadiri satu
pertemuan penting.
"Mohon maafkan saya tumenggung," ujar
Soma yang
melihat kekesalan orang. "Kalau saya tidak
salah dengar saat ini para
pemberontak yang datang dari utara semakin
menunjukkan gerakan-gerakan
yang berbahaya. Terlebih setelah mereka
merasa mendapat dukungan dari
beberapa adipati di timur. Bagaimana kalau
menghancurkan sarang-sarang
pemberontak itu dipergunakan sebagai batu
ujian bagi saya……?"
"Maksudmu kau akan memimpin sejumlah
pasukan untuk menumpas mereka….?"
Soma menggeleng. "Saya hanya perlu
petunjuk di mana letak sarang
mereka, siapa-siapa pemimpin mereka. Lalu
saya akan menumpasnya seorang
diri!"
Tumenggung Cokor Buwono tertawa gelak-
gelak sampai kedua
matanya berair. Ingin sekali dia menampar
mulut pemuda yang lancang
itu. Kalau tidak ingat dia adalah putera
almarhum sahabatnya di masa
muda pasti itu sudah tadi-tadi dilakukannya.
Apa yang diucapkan Soma
tentu saja sangat menghina dan merendahkan
kewibawaan apra perwira
istana, para adipati dan tumenggung dan
mapatih kerajaan!
"Soma…..Soma. Kau tahu. Untuk melakukan
penumpasan, belasan adipati,
puluhan perwira kerajaan, mapatih dan para
tumenggung, bahkan dengan
petunjuk raja sendiri akan memakan waktu
lama untuk merundingkan apa
yang harus dilakukan dan bagaimana musti
melakukannya. Dan di hadapanku
kau berkata sanggup menghancurkan mereka
seorang diri. Dewa apa yang
masuk ke dalam tubuhmu hingga kau bicara
demikian kerennya?"
Soma tersenyum kecil.
"Tumenggung Cokro," katanya. "Tentu sudah
mendengar peristiwa
menggemparkan kematian puluhan bajak
berikut pemimpin mereka yang
bernama Boga Damar di kampung kami….."
Tumenggung berjanggut putih itu
mengangguk.
"Seorang abdi dalem dari Bantul
menceritakan padaku beberapa waktu
lalu. Hanya aku tidak tahu kalau ku berasa
dari kampung yang sama….
Sampai saat ini tidak satu orangpun yag
mengetahui apa sebenarnya telah
terjadi. Tidak satu orangpun tahu siapa yang
telah menghancurkan
gerombolan perompak itu!"
"Kalau saya mengatakan siapa sebenarnya
pelaku penghancur bajak itu, apakah
tumenggung mau merahasiakannya dan
berjanji tidak akan menceritakannya pada
siapapun….?" Bertanya Soma.
"Aha…. Rupanya kau mengetahui sesuatu di
balik keanehan yang
menggemparkan itu. Kau tahu rajapun telah
mendengar kisah itu…." kata
Tumenggung Cokro Buwono pula.
"Bagus kalau begitu….."
"Bagus bagaimana?"
"Tumenggung mau berjanji memegang
rahasia?"
Sesaat Cokro Buwono merengung, akhirnya
dia anggukkan kepala.
"Baik, aku berjanji akan memegang rahasia
dan tidak akan menceritakan pada siapapun!"
"Yang melakukannya adalah saya."
Tumenggung itu tertegak dari duduknya dan
memandang tak berkesip pada Soma.
"Soma, tahukan kamu apa hukumannya bagi
seorang yang berani mempermainkan petinggi
kerajaan……?'
"Saya tahu tumenggung. Dan saya sama
sekali tidak bermaksud
mempermainkan siapapun, apalagi
tumenggung sahabat ayah yang saya
hormati."
Jawab Soma pula. "Apa yang saya katakan
adalah benar dan
jujur. Saya yang membunuhi semua anggota
bajak itu. Termasuk pemimpin
mereka….."
"Seorang diri?!"
"Seorang diri tumenggung….."
"Tak dapat kupercaya. Kecuali jika otakmu
saat ini tidak waras Soma dan bicara yang
tidak-tidak…."
"Demi arwah ayah, saya bersumpah tidak
berdusta. Dan saat ini saya
berada dalam keadaan waras tumenggung.
Karena itulah saya minta diuji
untuk dapat menghancurkan kaum
pemberontak. Agar dapat membuktikan
bahwa saya tidak dusta. Bahwa saya benar-
benar waras danmampu untuk
melakukannya demi tantangan jabatan yang
saya pertaruhkan….."
Tumenggung Cokro Buwono geleng-geleng
kepala. Bagaimanapun sulit
baginya untuk mempercayai segala ucapan
Soma anak nelayan itu. tepai
orang ini kelihatannya bicara sungguhan.
Setelah berdiam diri sesaat
akhirnya dia memanggil pembantunya.
Dengan sang pembantu tumenggung ini
bicara berbisik-bisik di sudur ruangan besar
itu, kemudian pembantu itu
mengundurkan diri dan Cokro Buwono kembali
menemui Soma.
"Baiklah
Soma, aku akan memberikan satu ujian
padamu. Tapi tidak menghancurkan
kaum pemberontak. Di bukit Pangkurmanik,
tak berapa jauh dari utara
wates ada segerombolan perampok dipimpin
oleh Warok Grindil. Kejahatan
dan keganasan rampok ini tak kalah dengan
Boga Damar yang katamu
tanganmu sendiri yang telah membunuhnya.
Nah, kau hancurkanlah
gerombolan rampok itu jika memang kau
mampu. Setelah berhasil melakukan
ujian itu baru kita bicarakan lagi….."
"Terima kasih tumenggung….." kata Soma
seraya menjura hampir berlutut.
"Ujian akan saya lakukan. Berikan waktu satu
minggu. Saya akan kembali membawa kepala
Warok Grindil!"
Tidak sampai seminggu, hanya enam hari,
Soma kembali muncul di
gedung kediaman Tumenggung Cokro
Buwono. Pakaiannya lusuh dan tubuhnya
kotor penuh debu. Dia datang membawa
sebuah bungkusan. Dia menjura
dalam-dalam begitu tumenggung muncul di
ambang pintu sebelah dalam.
"Ujian telah saya jalankan tumenggung,
bungkusan ini buktinya," ucap Soma.
Saat itu Cokro Buwono diiringi oleh beberapa
pembantunya, termasuk seorang sahabat dari
kadipaten Sleman.
"Apa ini bungkusan itu Soma?" tanya sang
tumenggung sambil bersaling pandang
dengan orang-orang di sekitarnya.
Dengan cepat Soma membuka simpul
bungkusan. Ketika bungkusan terbuka
kelihatanlah sepotong kepala manusia yang
sebagian sudha hancur dan
tertutup darah yang telah mengering.
Potongan kepala itu membersitkan
bau busuk!
"Kepala siapa itu?!" tanya Tumenggung Cokro
Buwono dengan tenggorokan tercekik dan
sambil menutup hidungnya.
"Itu kepala Warok Grindil!"
Yang menjasab adalah salah seorang
pembantu sang tumenggung.
"Oo ladalah….!" Tumenggung Cokro Buwono
terduduk di kursinya. Seisi
gedung menjadi gempar. "Singkirkan kepala
tu. Buang jauh-jauh….."
perintahnya kemudian. Kini semua mata
tertuju pada Soma yang duduk
bersimpuh di lantai.
"Soma, benar kau yang membunuh kepala
rampok itu?" tanya tumenggung kemudian.
"Saya bersumpah, saya sendiri yang
melakukannya tumenggung. Kira-kira
selusin anak buahnya juga menemui
kematian. Mungkin ada dua atau tiga
orang yang berhasil lolos….."
Sesaat tumenggung itu tak bisa berkata apa-
apa lagi. Hatinya tidak percaya tapi matanya
menyaksikan sendiri.
"Kalau begitu…." Kata tumenggung kemudian,
"Sementara kau boleh tinggal
di sini. Aku akan menemui seseorang di
kotaraja. Kalau nasibmu memang
baik dan orang-orang di sana bisa
mempercayai, maksudmu menguji diri
dengan menghancurkan kaum pemberontak itu
tentu bakal dikabulkan."
"Terima kasih tumenggung. Terima kasih….."
jawab Soma berulang kali, haru dan gembira.
"Kalau aku boleh bertanya," Petinggi dari
Sleman tiba-tiba membuka
mulut, "Bagaimana caramu menghancurkan
gerombolan rampok itu bahkan
dapat membunuh pimpinannya?"
Soma terdiam sesaat. Lalu menjawab,
"Maafkan saya, hal itu tak mungkin saya
ceritakan."
Petinggi dari Sleman itu tampak kurang puas
dan tak enak. Namun
Tumenggung Cokro Buwono telah menyuruh
para pembantunya untuk membawa
Soma ke balakang dan memberikan sebuah
kamar untuk nelayan ini. Kalau
saja yang bicara bukan Tumenggung Cokro
Buwono sudah barang tentu apa
yang disampaikan dianggap bualan yang tak
dapat dipercaya. Setelah
mendapat petunjuk dari beberapa petinggi
tertentu dan juga dengan
sepengetahuan mapatih maka pada
tumenggung itu diberitahukan bahwa Soma
diizinkan untuk melakukan penumpasan
terhadap kaum pemberontak. Jika
dia gagal berarti dia akan menerima kematian
di tangan pemberontak.
Sebaliknya jika dia berhasil maka kalangan
istana akan memikirkan satu
jabatan untuknya. Paling tinggi sebagai
perwira muda dan bukan kepala
pengawal apalagi kepaa balatentara.
Selanjutnya jika ternyata nelayan
itu hanya omong besar dan dianggap
mempermainkan orang-orang penting
istana maka hukuman pancung akan
dijatuhkan atas dirinya. Dalam pada
itu tanpa setahu Tumenggung Cokro Buwono
pihak istana diam-diam
menugaskan beberapa orang di bawah
pimpinan seorang pangeran bernama
Arga Kusumo untuk mengikuti gerak gerik
serta apa yang akan dilakukan
nelayan bernama Soma itu.
Ketika kepada Soma disampaikan bahwa
istana menyetujui rencananya untuk menjalani
ujain dengan cara menumpas
kaum pemberontak, nelayan ini gembira
sekali. Sang tumenggung yang
masih mengawatirkan keselamatan anak
sahabatnya itu berkata "Soma, kau
boleh mengajak tiga orang pembantuku dan
sepasukan perajurit.
Percayalah bagaimanapun kau yakin akan
dirimu sendiri tapi mengahadapi
kaum pemberontak bukan merupakan urusan
main-main. Pucuk pimpinan
mereka terdiri dari orang-orang berotak cerdik
dan perkepandaian
tinggi….."
"Terima kasih tumenggung. Saya tidak
melupakan budi baikmu. Hanya saja, kalau
diizinkan biarkan saya pergi sendiri….."
"Terserah padamu……" jawab Cokro Buwono.
Pagi harinya ketika dia
menyuruh pembantunya memanggil Soma
agar menghadap sebelum pergi,
ternyata nelayan itu sudah tak ada lagi di
kamarnya.
Berdasarkan
peta yang diterimanya dari salah seorang
pembantu Tumenggung Cokro
Buwono, Soma berhasil mengetahui letak
markas persembunyian para
pemberontak. Juga mengetahui nama-nama
pimpinan mereka. Karena lebih
banyak mempergunakan perahu menyusur
sungai atau berjalan kaki (Soma tak pandai
menunggang kuda)
maka perjalanannya menuju ke utara cukup
memakan waktu lama. Hampir
tiga puluh jari kemudian baru dia sampai di
utara, di daerah di mana
para pemberontak menyusun kekuatan. Tanpa
diketahuinya Pangeran Arga
Kusumo dan orang-orangnya telah menguntit
perjalanannya.
Dengan
hati-hati Soma menyelinap di antara kaum
pemberontak. Selama tiga hari
dia melakukan penyelidikan siapa-siapa yang
menjadi pucuk pimpinan kaum
pemberontak itu dan pada kembah-kemah
mana mereka berdiam. Setelah
seluk beluk di tempat yang luas itu
dipelajarinya, pada malam hari
keempat Soma mengetahui bahwa di salah
sebuah kemah akan diadakan
perundingan penting antara pucuk pimpinan
para pemberontak. Malam itu
akan diputuskan kapan mereka mengatur
waktu untuk menyebar dan
mengurung lalu menaklukkan beberapa kota
kadipaten sebelum melancarkan
serangan besar-besaran ke kotaraja.
Ketika perundingan dilakukan
dalam kemah, Soma bersembunyi dalam
sebuah gerobak barang yang terletak
tak jauh dari kemah itu. Lebih dari selusin
pengawal tampak
berjaga-jaga sekitar kemah. Soma tak merasa
perlu menghantam para
pengawal itu terlebih dahulu. Dia yakin betul
sinar sakti yang mencuat
ke luar dari cincin ular kobra akan mampu
menerobos dinding kemah yang
hanya terbuat dari kain tebal, terus
mengantam pucuk pimpinan yang ada
di dalam. Membayangkan kedudukan tinggi
yang bakal didapatnya, Soma
bersemangat sekali mengeluarkan cincin baja
ular kobra dan cepat
memakainya di jari telunjuk. Lalu dia
membidik dengan hati-hati. Ketika
dia menggigit bibirnya suara seperti seruling
melengking. Tiga larik
sinar putih berkiblat. Soma telah membidik
sangat hati-hati, namun
salah seorang pengawal tiba-tiba bergerak
dari kedudukan tegaknya
semula. Akibatnya sinar ini mengahntam
bahu kirinya hingga putus!
Jeritan pengawal itu bukan saja membuat
para pengawal lainnya terkejut
dan datang berlarian, tetapi para pimpinan
pemberontak yang ada di
dalam kemah segera pula keluar
berhamburan.
"Ada apa……?" salah seorang bertanya.
Para pengawal tak ada yang bisa memberikan
jawaban. Mereka hanya
menunjuk dengan ketakutan pada kawannya
yang telah jadi mayat. Saat itu
pula tiga larik halus sinar putih datang
menyambar. Pemberontak yang
barusan bertanya keluarkan jeritan keras.
Tubuhnya terjengkang ke
belakang, perutnya berloang besar. Darah
mengucur, usus membusai!
Gemparlah markas pemberontak itu. terlebih
lagi ketika beberapa kali
tampaksinar putih menyambar dan tiga dari
enam pimpinan pemberontak
kembali menjadi korban! Puluhan bahkan
ratusan pasukan pemberontak
dengan senjata terhunus berdatangan, tapi
mereka tak tahu hendak
berbuat apa. Musuh yang telah membunuh
para pemimpin mereka sama sekali
tidak diketahui siapa dan di mana adanya.
Namun sesaat kemudian
seorang yang tadi berlaku sebagai pengawal
kemah perundingan secara tak
sengaja sempat melihat asal datangnya
sambaran sinar putih yang membawa
maut itu. Dia segera berteriak
"Lihat! Sinar maut itu datang dari arah
gerobak barang! Gerobak barang!"
"Kejar ke sana! Kurung gerobak itu!"
Puluhan perajurit segera menghambur.
Sadar kalau tempat persembunyiannya sudah
diketahui orang Soma jadi
gugup dan keluar dari dalam gerobak dan lari
ke tempat gelap.
Teriakan-teriakan para pengejar terdengar di
belakang. Berbagai macam
senjata berdesing ke arahnya.
Sebuah tombak, walaupun tidak telak
menyerempet bahu kiri Soma, menimbulkan
luka cukup parah. "Celaka!
Kalau mereka sampai menangkapku, celaka!"
kata Soma dalam hati dan
mengerenyit kesakitan. Jika lari terus dia
mungkin akan tertangkap.
Sebaiknya menunggu di tempat gelap lalu
memberondong para pengejarnya
dengan hantaman sinar putih.
Memikir sampai di situ Soma lantas
hentikan larinya dan cepat bersembunyi,
menunggu di balik kerapatan
semak belukar. Begitu para pengejar muncul
di kegelapan, dia segera
acungkan jari telunjuk dan gigit bibirnya terus
menerus. Sinar putih
berkiblat menyebar maut. Jerit pekik kematian
terdengar tiada henti.
Sosoksosok tubuh tanpa nyawa dengan
kepala atau badan hancur roboh
bergelimpangan setumpuk demi setumpuk.
Para pengejar sebelah belakang
hentikan pengejaran mereka dan lari atau
mencari perlindungan cerai
berai. Sampai Soma lari jauh meninggalkan
tempat itu tak seorangpun
yang berani bergerak.
Soma lari seperti dikejar setan. Darah yang
terus mengucu dari lukanya membuat tubunya
makin lama makin letih. Dia
tak tahu telah lari sejauh mana meninggalkan
markas kaum pemberontak
ketika kedua kakinya tak sanggup lagi
digerakkan. Tubuhnya roboh ke
tanah, setengah sadar setengah pingsan.
Pada saat itulah lima
penunggang kuda muncul. Yang di sebelah
depan terdengar berkata
"Naikkan dia ke atas kuda cadangan!"
Dua orang melompat turun dari
kuda masing-masing, mengangkat tubuh
Soma itu memacu kuda masing-masing
tinggalkan tempat tersebut.
"Kita sudah cukup jauh! Pemberontak itu tak
mungkin mengejar. Berhenti dulu di sini. Aku
harus memeriksa keadaan orang itu!"
Yang berkata ternyata adalah Pangeran Arga
Kusumo yang selama ini terus
mengikuti perjalanan Soma bahkan sampai
saat nelayan muda itu tadi
melakukan penyerbuan hebat luar biasa ke
perkemahan pihak pemberontak.
Dari kejauhan dia dan empat orang yang ikut
bersamanya telah melihat
bagaimana setiap Soma mengacungkan
telunujuk tangan kanannya tiba-tiba
saja terdengar suara lengkingan tinggi yang
disusul dengan melesatnya
tiga larik sinar putih berkekuatan luar biasa.
Apapun adanya ilmu
yang dimiliki nelayan ini kekuatannya pasti
terletak pada jari
telunjuknya itu. Maka begitu turun dari kuda
Arga Kusumo langsung
memeriksa tangan kanan Soma. Dia tidak
melihat kelainan apa-apa kecuali
sebentuk cincin putih yang melingkar di jari
telunjuk orang itu. Arga
Kusumo tidak dapat memastikan bahwa
kehebatan Soma terletak pada cincin
aneh berbentuk kepala ular itu. Namun dia
adalah seorang pangeran yang
cerdik. Pasti atau tidak benda itu harus
diselamatkan lebih dulu. Maka
dengan cepat dia meloloskan cincin baja
tersebut dari jari Soma. Soma
yang berada dalam keadaan sangat lemah,
karena terlalu banyak darah
yang keluar dan terbuang, jangankan untuk
menggerakkan tangan
menghindari rengutan Arga Kusumo,
bicarapun dia hampir tak sanggup.
"Ja….jangan am…..jangan ambil cin…..cincin
itu….." suara Soma perlahan dan tersendat.
"Aku tidak akan mengambilnya. Yang penting
kau perlu diselamatkan dulu
Soma. Dengar, kau akan menjadi pahlawan
besar. Kerajaan pasti akan
memberikan jabatan tinggi padamu….."
Paras Soma sesaat tampak
seperti tersenyum. Lalu ketika dia ingat pada
cincin itu, kembali dia
berkata "Kembalikan cin…..cin itu. Masukkan
ke…. ke jariku….."
"Soma, kau terluka parah. Kami akan
mengobatimu. Tapi lekas kau
terangkan bagaimana cara mempergunakan
cincin ini hingga bisa
mengeluarkan suara aneh dan melesatkan
sinar putih…. Katakan apa
manteranya….."
Soma tak menjawab.
Arga Kusumo tahu orang itu
sebentar lagi pasti akan mati. Dan dia kini
seperti yakin kalau memang
cincin baja itulah sumber kekuatan aneh yang
dimiliki Soma. Kalau tidak
mengapa dia begitu mementingkan benda
tersebut.
"Jangan kawatir
Soma. Kami tidak akan mengambil cincinmu
ini. tapi yang penting kau
harus diselamatkan. Nah, lekas kau katakan
apa manteranya…."
"Tak
ada mantera apa-apa…." Sahut Soma. Lalu
dia bungkam seribu bahasa.
Mati? Arga Kusumo mendekatkan telinganya
ke dada nelayan itu. Masih
terdengar degupan jantung meskipun
perlahan.
"Soma, dengar…. Kau
tak akan bertahan lama. Cincin milikmu ini
akan kami kembalikan pada
istrimu. Cincin ini tak akan ada manfaatnya
kalau tidak kau jelaskan
bagaimana menggunakannya…."
Soma seperti menyadari kalau ajalnya akan
segera sampai. Pendengarannya semakin
tertutup dan pemandangannya semakin gelap.
"Soma, lekas katakan! Kami akan memberi
hadiah besar dan jaminan hidup
pada istrimu. Tak ada gunanya kau
merahasiakan penggunaan cincin ini.
Tak ada gunanya rahasia itu kau bawa ke
liang kubur….."
Soma tetap diam.
Arga Kusumo menggoyang tubuh lelaki itu.
guncangan ini membuat Soma
mengeluh kesakitan. Sekujur tubuh dan tulang
belulangnya seperti
dicopot datu demi satu.
"Ayo Soma. Lekas katakan….."
Akhirnya Soma membuka mulut juga.
"Kau…..kau hanya memasukkan cincin itu ke
jari
telunjukmu. Lalu…..lalu mengacungkannya
dan menggigit bibir sebelah
bawah. Sesudah itu……ada suara melengking.
Lalu…..lalu….." Soma tak
sanggup lagi meneruskan kata-katanya.
Sebelum ajal datang terbayang
wajah istrinya. Tapi wajah sang istri tiba-tiba
lenyap danmendadak
digantikan oleh wajah setan, mahluk berjubah
putih yang pernah
dilihatnya dalam mimpi. Mahluk itu tampak
marah sekali.
Dia mengacung-acungkan jari jemarinya
seperti hendak mencekik Soma. Soma
terdengar mengeluh sekali lagi lalu tubuhnya
kaku. Ajalnya datang sudah!
Seringai tersungging di mulut Pangeran Arga
Kusumo menyambut kematian
nelayan itu. Dia berpaling pada keempat
pengikutnya dan berkata "Mari
kita tinggalkan tempat ini."
"Bagaimana dengan jenazah orang ini…..?'
tanya salah seorang pengikut.
"Bagaimana apa maksudmu?" balik bertanya
sang pangeran.
"Bukankah jenazahanya harus kita urus?
Bukankah dia layak mendapat penghargaan
karena telah menumpas kaum pemberontak?'
Kembali Pangeran Arga Kusumo menyeringai.
"Jika kau merasa begitu, kau
uruslah sendiri. Aku dan yang lain-lainnya
pergi lebih dulu!"
Pangeran menyentakkan tali kekang kudanya.
Begitu pula tiga orang
lainnya. Orang yang keempat mau tak mau
melakukan hal yang sama walau
di hati kecilnya dia merasa sedih melihat
nasib Soma.
Seringai yang
masih mengambang di mulut Pangeran Arga
Kusumo mendadak lenyap ketika
tiba-tiba terdengar bentakan garang dalam
kegelapan malam. Lima kuda
tunggangan meringkik keras, langsung
berhenti berlari dan
melonjaklonjak liar. Dari atas sebuah cabang
pohon besar yang melintang
tinggi melayang turun sesosok tubuh
berpakaian ringkas warna kuning. Di
pinggangnya melilit sehelai selendang merah
dan di balik punggungnya
orang ini membekal sebilah golok besar tanpa
sarung!
Hebat dan
ganasnya, sambil melayang turun dari atas
phon orang ini langsung
hantamkan kakinya dua kali berturut-turut.
Dua ekor kuda tunggangan
pengikut sang pangeran remuk. Binatang-
binatang ini meringkik keras,
melemparkan kedua penunggangnya lalu lari
liar tanpa arah untuk
kemudian roboh meregang nyawa! "Orang tak
dikenal! Siapa kau yang
berani menyerang kami!" teriak Pangeran Arga
Kusumo marah sekali.
Orang berpakaian kuning menjawab bentakan
itu dengan gelak tawa
berderai, membuat Arga Kusumo jadi naik
pitam dan berikan perintah pada
keempat pengikutnya "Bunuh pengacau itu!"
Empat orang anak buah Pangeran Arga
Kusumo segera menghunus senjata dan
mengurung orang berbaju kuning.
"Pangeran Arga! Tunggu dulu…..!" Si baju
kuning berseru sambil angkat tangannya.
"Hemmmm….. jadi kau tahu berhadapan
dengan siapa? Mengapa tidak lekas minta
ampun?!" memotong sang pangeran.
"Justru karena menghormati dirimulah aku
tidak bertindak lebih jauh.
Sebagian dari perjalanan kalian malam ini
telah diikuti. Apa yang
tejadi di markas pemberontak telah
kusaksikan. Aku juga mengetahui apa
yang kau lakukan dengan Soma……"
"Apa urusanmu dengan semua ini?!"
"Tentu saja ada…..! Pertama kau tidak
menyelamatkan nyawa nelayan itu.
Kedua sejak dari kotaraja kau membekal
maksud tidak baik. Ketiga kau
mencuri milik orang lain…..!"
"Mencuri milik orang lain?! Jangan
bicara lancang kalau tak mau kurobek
mulutmu!" Pangeran Arga Kusumo
tampak marah. Dia belum pernah bertemu
orang ini sebelumnya dan
berusaha menduga-duga siapa adanya. Si
baju kuning tertawa.
"Aku tak punya waktu bicara berpanjang
lebar. Aku muncul di sini hanya untuk
mengambil cincin milik Soma yang tadi kau
ambil!"
"Hemmm….. Jadi kau tidak lain ternyata
seorang perampok yang kesasar di
malam buta! Menyingkirlah sebelum kucerai
beraikan tulang belulangmu!"
Orang berbaju kuning itu batuk-batuk
beberapa kali. "Siapa yang tidak
kenal Pangeran Arga Kusumo yang membekal
ilmu silat tingkat tinggi.
Tapi malam ini adalah satu kesia-siaan jika
kau berani menentang
Kelelawar Kuning Lembah Blorok!"
Empat orang pengikut sang pangeran
menjadi pucat mendengar orang itu
memperkenalkan diri. Sedang sang
pangeran sendiri diam-diam merasa bergetar
hatinya ketika mengetahui
siapa adanya manusia berpakaian kuning
yang menghadang. Tapi dia tak
mau memperlihatkan rasa jerinya. Sambil
menyeringai pangeran muda yang
memang memiliki kepandaian silat tinggi ini
berkata "Orang lain mungkin
takut mendengar gelar angkermu. Tapi jangan
coba main-main dengan kami
orang-orang keraton. Aku memberi
kesempatan sekali lagi. Minggir dari
hadapanku!"
"Pangeran, jika kau tak mau mengerti
permintaanku
secara baik-baik, berarti kekerasan tak dapat
dihindarkan! Harap
maafkan kalau aku harus merampas cincin
keramat itu dari tanganmu
secara kurang ajar!"
"Bagus! Orang-orangku tak akan segan-segan
menjagal batang lehermu!"
Habis berkata begitu Pangeran Arga Kusumo
memberi aba-aba pada keempat
anak buahnya. Perlu diketahui keempat orang
ini adalah perajurit
pilihan, bukan saja merupakan kepercayaan
sang pangeran tetapi juga
rata-rata memiliki kepandaian silat dan ilmu
perang. Keempatnya
menyebar lalu serentak menerjang dari empat
jurusan. Empat senjata
berkelebat keempat bagian tubuh Kelelawar
Kuning Lembah Blorok,
termasuk satu yang membabat ke arah
kepalanya. Yang diserang umbar tawa
bergelak. Tangan kanannya bergerak cepat ke
punggung. Golok besarnya
yang ternyata sangat tipis berdesing aneh.
"Trang-trang-trang."
Tiga senjata di tangan anak buah Pangeran
Arga mental. Salah seorang
dari mereka melompat mundur sambil
menjerit karena pergelangan
tangannya menyebur darah, hampir putus
dibabat golok lawan. Anak buah
yang keempat terjajar sambil pegangi dada.
Senjatanya telah lebih dulu
lepas. Perlahan-lahan tubuhnya roboh ke
tanah. Ada darah keluar dari
sela bibirnya. Kemudian dua matanya
melotot. Orang ini mati karena
sebagian tulang dadanya hancur. Hancuran
tulang itu menjepit jantungnya.
"Kurang ajar!" bentak Pangeran Arga Kusumo
marah sekali. Tubuhnya
melayang ke bawah. Begitu menjejak tanah di
tangan kanannya dia sudah
memegang pedang pendek milik anak buahnya
yang barusan menemui ajal.
Dari gerakannya ini saja jelas pangeran muda
itu memiliki kepandaian
tinggi. Namun Kelelawar Kuning Lembah
Blorok tidak gentar.
"Pangeran, haruskah aku mengucurkan
darahmu atau kau mau menyerahkan
cincin itu secara baik-baik?" Kelelawar Kuning
ajukan pertanyaan sambil
melintangkan golok tipis di depan dada.
Sebagai jawaban sang
pangeran langsung saja menyerbu musuh
dengan tusukan berantai, deras
dan cepat. Kelelawar Kuning tak mau
bertindak ayal. Cepat dia merobah
kedudukan kakinya dan menyambut serbuan
lawan dengan golok tipis.
"Trang!"
Pedang pendek di tangan Pangeran Arga
Kusumo patah dua. Tapi sebaliknya
dia sempat menyusupkan satu jotosan ke
perut lawan. Kelelawar Kuning
merasakan sakit amat sangat pada perutnya
yang kena dipukul namun dia
masih tetap menyeringai.
"Untuk terakhir kali pangeran. Kau mau
menyerahkan cincin itu atau tidak?"
"Tidak!" sahut Arga Kusumo tandas. Dia
lemparkan patahan pedang ke
tanah lalu menyerang lawan dengan tangan
kosong. Ternyata Kelelawar
Kuning seorang yang memiliki jiwa kesatria
juga. Melihat lawan
menyerang dengan tangan kosong dia cepat
sisipkan goloknya ke balik
punggung lalu menyongsong serangan
Pangeran Arga. Setelah tujuh jurus
berkelahi ternyata memang tingkat
kepandaian sang pangeran masih jauh
di bawah lawannya. Setelah terdesak hebat
dan menjadi bulanbulanan
pukulan akhirnya pangeran itu jatuh
terbanting ke tanah. Ketika dia
berusaha bangkit kembali dia mendengar
suara kain robek. Kemudian
disadarinya yang robek itu adalah pakaiannya
sendiri, tepat di bagian
saku kanan di mana dia menyimpan cincin
baja putih berkepala ular kobra
itu. Ketika diperiksanya astaga! Ternyata
cincin itu tak ada lagi dalam
saku itu. Dia berteriak. Tapi Kelelawar Kuning
Lembah Blorok saat itu
telah lenyap!
Hujan lebat telah mulai reda. Pendekar 212
Wiro Sableng menatap wajah Sabrang Lor,
orang tertua dari Enam kelewang Maut.
"Setelah cincin keramat itu jatuh ke tangan
Kelelawar Kuning, tetntu
ada kelanjutan ceritanya. Kalau tidak
bagaimana kemudian kau muncul
mengatakan bahwa manusia bernama Randu
Ireng yang kini menguasai benda
itu….."
Lor Sebrang mengangguk. "Cincin itu
berpindah tangan
beberapa kali. Setiap pemiliknya yang terakhir
selalu menemui kematian.
Dan rata-rata setiap pemilik merenggut jiwa
manusia lebih dari dua
puluh orang….."
"Kalau kau mengetahui cincin itu
mengundang mau
bagi pemiliknya dan orang lain, mengapa kau
dan saudara-saudaramu ingin
memilikinya?" bertanya Wiro.
"Aku sudah menduga kau akan ajukan
pertanyaan berbau kecurigaan itu,"
menyahuti Sebrang Lor. "Ketahuilah, kami
menginginkan cincin itu bukan untuk
memilikinya….."
"Lantas?"
"Pada bulan Maulud yang lalu telah diadakan
pertemuan rahasia antara
orangorang pandai se-Jawa Tengah di Danau
Penin. Pertemuan itu dihadiri
juga oleh beberapa ulama terkemuka dari
pantai utara. Kami semua
menyetujui akan mencari cincin itu dan
mengembalikannya ke asalnya.
Dari laut kembali ke laut. Namun sebegitu
jauh tidak satupun di antara
kami berhasil…."
Wiro garuk-garuk kepalanya. "Sebenarnya
benda itu jika dipergunakan untuk kebajikan
pasti banyak manfaatnya….."
"Kau benar." Ujar Sebrang Lor pula. "Tetapi
lebih banyak malapetakanya
daripada manfaatnya. Setiap orang yang
memilikinya pada akhirnya
cenderung mempergunakan untuk kepentingan
sendiri, mencari keuntungan
pribadi walaupun jalan yang ditempuh
menimbulkan bencana bagi orang
lain. Kau bisa bayangkan kalau cincin sakti
itu jatuh ke tangan
manusia-manusia jahat seperti Randu
Ireng….."
"Tadi aku mendengar
manusia berpakaian serba hitam itu
menyebut-nyebut seorang pangeran.
Agaknya pangeran itulah yang telah
mengirimkan puluhan perajurit untuk
mengejar dan menangkapnya guna
mendapatka cincin itu. Menurutmu apakah
pangeran itu Pangeran Arga Kusumo yang
kau sebut-sebut dalam
penuturanmu tadi…..?'
"Besar kemungkinan memang dia. Hanya saja
yang aku tidak mengerti bagaimana dia bisa
mempergunakan pasukan Demak
untuk melakukan hal itu. Kemungkinan ada
hubungan tertentu antara Demak
dengan Kotagede. Atau sang pangeran
sengaja melakukan hal itu karena
dia tidak ingin orang dalam mengetahui
rahasia cincin sakti itu."
"Setelah cincin jatuh ke tangan Kelelawar
Kuning, bagaimana kisah
selanjutnya benda itu akhirnya jatuh ke
tangan manusia bernama Randu
Ireng….?" Bertanya Wiro.
"Kami tahu, tapi mungkin tak lengkap.
Kalau kau minta kami menuturkan lagi,
mohon maaf saja. Sebentar lagi
pagi segera datang. Orang yang dikejar
semakin jauh. Kami tak punya
waktu banyak. Hanya ada satu pesan atau
amanat yang harus kami
sampaikan….."
"Amanat apa?"
"Dalam pertemuan di danau Penin,
disepakati bahwa setiap bertemu dengan
orang segolongan wajib
memberitahu kejadian ini. Dan meminta agar
membantu mendapatkan cincin
itu kembali. Kalau tidak bumi Jawa ini akan
tenggelam dalam malapetaka
yang mengerikan….."
Wiro merenung sejenak sambil menggaruk
rambut. "Yang aku kawatirkan,"
katanya kemudian "Seseorang yang semula
ingin membantu, tapi begitu memiliki cincin
keramat itu jadi berubah pikiran!"
"Kau benar Pendekar 212," menyahuti Sebrang
Lor. "Karena itulah, begitu
bertemu cincin tersebut harus secepatnya
dibuang kembali ke dalam laut.
Nah kami harus pergi sekarang. Kau mau
membantu?"
Wiro menggaruk rambutnya lagi kemudian
mengangguk.
Nafsu makan Pendekar 212 Wiro Sableng
serta merta lenyap ketika
dalam rumah makan yang padat oleh
pengunjung itu pandangannya tertumbuk
pada sosok tubuh seorang tamu yang duduk
membelakangi. Orang ini
mengenakan pakaian serba hitam. Kedua
kakinya kotor oleh lumpur yang
telah mengering. Dari tempatnya duduk Wiro
tak dapat melihat wajah
orang ini, apalagi dia memakai caping lebar
sehingga kepala dan
keseluruhan wajahnya tertutup. Beberapa kali
Wiro sengaja menggeser
duduknya untuk dapat melihat paras si baju
hitam ini. Namun dia hanya
melihat sebahagian janggut yang memenuhi
dagu serta pipi orang
tersebut. Walaupun demikian dia sudah cukup
puas. Ciri-ciri orang ini
persis sama dengan orang yang ditemuinya
dua malam lalu dalam rimba
belantara. Orang yang telah menghabisi
riwayat puluhan perajurit Demak.
Yang menurut Sebrang Lor bernama Randu
Ireng. Manusia yang kini
memiliki cincin baja berkapal ular kobra itu.
Tapi di mana gelang bahar yang malam itu
kelihatan berjumlah tiga buah
di masing-masing tangannya? Wiro kemudian
ingat keterangan Sebrang Lor.
Randu Ireng tanpa cincin keramat itu tidak
memiliki kepandaian apa-apa.
Namun dia memiliki satu kelihaian. Yakni
dapat melakukan penyamaran
dalam waktu sangat cepat. Bukan mustahil si
baju hitam ini adalah Randu
Ireng, orang yang menyerangnya di bawah
hujan lebat, dalam rimba
belantara di malam buta dua hari lalu. Wiro
memutuskan untuk melakukan
apa saja agar dapat melihat paras orang itu.
kalaupun tenyata parasnya
tidak sama dengan paras Randu Ireng yang
dilihatnya malam itu, maka dia
akan menguntit ke mana orang ini pergi.
Jelas orang itu bertindak aneh.
Berada dalam rumah makan tanpa membuka
caping lebarnya. Kalau tidak
ingin menyembunyikan maka apa maksudnya?
Murid Sinto Gendeng itu hanya sempat
menghabiskan setengah makanannya
ketika dilihatnya orang berbaju hitam
membayar makanan yang habis
disantapnya lalu melangkah ke pintu rumah
makan. Melihat cara berjalan
orang ini, semakin curiga pendekar kita.
Janggutnya yang lebat jelas
menunjukkan ketuaannya. Tapi langkahnya
yang cepat dan sikapnya yang
sigap jelas menyatakan dia bukan seorang
sembarangan.
Di luar hujan
turun rintik-rintik. Orang yang diikuti Wiro
sampai di ujung jalan.
Sebelum menghilang di balik sebuah
bangunan tua mendadak dia memutar
kepalanya. Jelas sekali memperhatikan ke
arah Wiro. Ternyata dia sadar
kalau ada orang yang mengikutinya. Wiro
mempercepat jalannya. Bahkan
setengah berlari kini. Tetapi ketika dia sampai
di ujung jalan, lelaki
berpakaian hitam bertopi caping lebar itu tak
kelihatan lagi. Padahal
jalan yang ditempuh merupakan satu-satunya
jalan, lurus tanpa tikingan.
Sebelah kiri jalan daerah persawahan sedang
sebelah kanan sungai kecil
berair kuning.
Pendekar kita garuk-garuk kepala, Aneh, ke
mana
lenyapnya kampret hitam itu!" maki Wiro
dalam hati. Dia memandang
berkeliling. Mengawasi setiap tempat dengan
matanya yang tajam. Tetap
saja orang yang tadi dikuntitnya tidak
tampak. "Kalaupun dia
menyeberang kali, pasti masih sempat kulihat
dia akan berada di
seberang sana. Mungkin dia menyelam ke
dalam kali atau…..?"
Wiro memutar tubuhnya.
Pada saat itulah terdengar suara menegur.
Suara laki-laki tetapi sehalus suara
perempuan.
"Orang berambut gondrong, kau
mencariku……?!'
Wiro putar tubuhnya lebih cepat. Suara itu
datang dari dalam rumah tua.
Ketika dia memandng ke sana, ternyata
memang, lelaki bercaping dan
berpakaian hitam itu tegak di sana. Tubuhnya
jelas menghadap ke arah
Wiro, tapi kepalanya menunduk hingga
wajahnya tetap sulir dilihat.
Ingin sekali murid Sinto Gendeng membetot
lepas caping lebar itu.
"Kau tidak tuli. Mengapa tidak menjawab
pertanyaan orang….?!"
Didesak begitu Wiro jadi tertegun sesaat,
apalagi merasakan dirinya tertangkap basah
mengiuti orang.
"Aku tidak mencarimu!" sahut Wiro.
"Hemmm…." si baju hitam bergumam.
"Baiklah kalau kau tidak mencariku katamu.
Tapi jelas kau mengikutiku bukan…..?"
Wiro menyeringai.
"Kau menyeringai. Berarti kau membenarkan
ucapanku walau malu mengakui!"
Seringai lenyap dari wajah Pendekar 212.
"Terus terang, aku mencurigaimu….." kata
Wiro akhirnya.
"Sama! Akupun mencurigaimu!" sahut si baju
hitam bercaping lebar.
"Kenapa kau mencurigaiku?" tanya Wiro
penasaran.
Mulut di bali caping lebar itu tertawa.
"Kau menguntit orang. Gerak gerikmu
menunjukkan itikad tidak baik. Nah, apa itu
tidak cukup alasan untuk mencurigaimu?!"
"Aku bukan maling atau rampok. Kenapa
musti dicurigai?" tukas murid Sinto Gendeng.
"Mungkin kau lebih jahat dari maling atau
rampok!" ganti menukas si bajuhitam.
Mulut pendekar kita jadi terkancing tapi
hatinya memaki panjang pendek.
Namun akhirnya yang keluar dari mulutnya
adalah gelak tawa. Mula-mula
perlahan. Makin lama makin keras.
"Selain lebih jahat dari maling dan rampok
ternyata otakmu tidak waras. Kalau tidak
mengapa kau tertawa tanpa alasan?!"
Wiro hentikan tawanya. Matanya memandang
tak berkedip seperti hendak menembus caping
bambu itu.
"Sobat, kau membuat beberapa kesalahan.
Dan itu cukup alasan bagiku untuk
menghajarmu!"
"Hebat betul! Kesalahan apa yang telah
diperbuat tuan besarmu ini?!"
"Kentut busuk! Siapa yang mengatakan kau
tuan besarku!" maki Wiro. "Dua
malam lalu kau menyerangku bahkan hampir
membunuhku! Tadi kau menuduhku
maling rampok. Kemudian menganggapku
tidak waras! Benar-benar kentut
busuk! Tapi mungin aku bisa melupakan
semua kesalahanmu. Cuma ada
syaratnya sobat!"
"Kau yang kentut busuk! Bertemupun baru kali
ini
sudah menuduh aku menyerangmu, hendak
membunuhmu! Ke mana kau keluyuran
dua malam lalu hingga orang inginkan
jiwamu?! Kini hebatnya menawarkan
segala macam syarat! Lama-lama aku jadi
muak melihatmu. Menyingkirlah!
Aku harus melanjutkan perjalanan!"
"Melanjutkan perjalanan untuk membunuh dan
membunuh! Lalu menguasai dunia persilatan!
Bukankah itu tujuanmu….?"
Caping lebar itu terangkat sedikit. Hanya
sedikit hingga tetap saja Wiro tidak dapat
melihat wajah lelaki berjanggut ini.
"Mulutmu lancang benar! Aku tak pernah
membunuh manusia! Aku juga tidak pernah
mimpi hendak menguasai persilatan!"
Wiro menyeringai. "Kenapa kau tidak
mengakui bahwa kaulah yang telah
membunuh puluhan perajurit Demak dua
malam lalu? Kau hendak berdusta.
Padahal aku sendiri berada di tempat kejadian
itu….!"
"Ternyata otakmu memang tidak waras!
Dengar, apa yang kau ketahui tentang
perajurit-perajurit Demak itu!"
"Apa yang kuketahui…..?" Wiro tertawa
panjang.
"Kau membunuh habis mereka semua!"
"Aku tidak membunuh mereka. Aku belum
pernah membunuh manusia!"
"Nada pertanyaanmu tentang perajurit-
perajurit Demak itu tidak dapat
menyembunyikan bahwa kau memang punya
sangkut paut dengan kejadian
malam itu….."
"Ada sangkut paut atau tidak bukan
urusanmu! Katakan,
apakah perajuritperajurit Demak itu dipimpin
oleh seorang pangeran
bernama Pangeran Arga Kusumo?!"
"Heh….. Kau menyebut nama pangeran
itu!" ujar Wiro. Dia ingat pada kisah yang
dituturkan Sebrang Lor. "Apa
hubunganmu dengan Arga Kusumo?!"
"Justru aku harus tanya apa hubunganmu
dengan pangeran itu! Lawan atau kawanmu?!"
balik menyentak si caping lebar.
Pendekar 212 Wiro Sableng hampir habis
kesabarannya. Tapi dia menyahut
juga dengan kasar dan jengkel "Kenalpun aku
tidak dengan segala macam
pangeran. Sudahlah, pembicaraan kita habisi
di sini. Lama-lama aku bisa
menampar mulutmu orang tua!" Maka
Wiropun hendak berlalu. Tapi cepat
sekali tahu-tahu orang berjanggut berpakaian
hitam itu sudah
menghadangnya dalam jarak lima langkah.
Jelas gerakannya mengandung
kekuatan dan kesigapan yang bukan
sembarang orang bisa melakukannya.
"Berani menghadang berani menerima
hajaran!" mengancam Wiro.
"Bagus! Jika saat ii kau tak mau menjelaskan
tentang pangeran itu, mungkin kugebuk dulu
baru kau mau bicara!"
"Kampret hitam berjanggut buruk!" ujar Wiro
"Kau ini siapa sebenarnya?
Bukankah kau yang bernama Randu Ireng
yang dicari-cari Enam Kelewang
Maut? Bahkan dicari oleh hampir semua
orang dalam rimba persilatan?"
"Ah, semakin banyak nama-nama penting
yang kau singkapkan. Jelas kau
rupanya ada sangkut pautnya dengan cincin
baja putih yang diperebutkan
para tokoh itu!"
Sesaat Wiro kerenyitkan kening. Lalu
manggut-manggut. "Tidak ada kisikan tak ada
alasan tiba-tiba saja kau
menyebut benda keramat yang menggegerkan
itu. maksudmu tentunya untuk
menghilangkan jejak bahwa memang kau
sebenarnya Randu Ireng yang kini
memiliki cincin hasil rampasan itu!"
"Jangan menuduh sembarangan. Aku bukan
Randu Ireng!"
"Kalau begitu kau siapa?!"
"Siapa aku apa perdulimu!"
"Kampret brengsek!" semprot Wiro. Lalu dia
berkelebat cepat tinggalkan
tempat itu. Namun sekali lagi orang bercaping
lebar menghadang
gerakannya.
Kini murid Sinto Gendeng ini habis sabarnya.
Dengan
jengkel Wiro dorongkan tangan kirinya ke arah
dada orang. Maksudnya
hendak menyingkirkan dari hadapannya dan
sekaligus menjatuhkan. Karena
itu dorongan tangannya sengaja dilakukan
dengan tenaga luar yang keras,
ditambah sedikit tekanan tenaga dalam.
Namun hampir tangan kirinya
menyentuh lawan, si caping lebar cepat sekali
sudah berkelebat,
mengelak ke samping kiri. Dari arah ini dia
lepaskan serangna balasan
berupa tusukan dua jari ke arah leher Wiro.
Entah mau menotok entah mau
menusuk tembus batang leher pendekar muda
itu!
Perkelahianpun tak
dapat dihindari lagi. Setelah mengelakkan
tusukan jari yang ganas itu
Wiro hantamkan siku tangan kirinya ke rusuk
lawan namun lagi-lagi si
baju hitam berhasil mementahkan serangan
itu dengan satu kemplangan
deras ke arah batok kepala Wiro.
Setelah berkelahi sampai sepuluh
jurus murid Sinto Gendeng segera menyadari
bahwa dalam ilmu silat dan
tenaga dalam lawannya jauh berada di
bawahnya. Tetapi satu hal membuat
orang itu sulit dihantam. Dia memiliki
kecepatan gerakan yang luar
biasa. Tubuhnya ringan sekali, berkelebat kian
kemari, mengelak sebat
lalu balas menyusupkan serangan-serangan
kilat. Kalau saja yang
dihadapinya bukan Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212, mungkin sudah
beberapa kali si baju hitam ini berhasil
menggebuk sang pendekar.
Setelah berkelahi lebih dari enam belas jurus,
Wiro mulai dapat mencium
kelemahan lawannya. Ternyata manusia yang
disebutnya si kampret itu
merupakan seraong lawan yang masih mentah
dalam pengalaman. Maka
Wiropun mulai lancarkan serangan-serangan
tipuan. Ketika lawan kirimkan
pukulan ke arah dadanya Wiro langsung
pasang badan, tapi melindungi
diri dengan pengerahan tenaga dalam.
"Buk!"
Jotosan melanda
dada Wiro dengan tepat. Tubuhnya
bergoncang keras. Sambil menahan
sakit, Wiro lihat lawannya mundur selangkah.
Karena tidak dapat melihat
wajahnya sulit diduga apakah orang itu
merasakan sakit pada tangan
kanannya, tapi yang jelas tangan yang tadi
mengepal membentuk tinju
kini jari-jarinya melentik keluar tanda dia
dijalari rasa sakit. Di
saat itulah pendekar dari gunung Gede ini
menyergap ke depan.
Gerakannya seperti hendak membuntal
pinggang lawan, tetapi tidak
terduga tangan kirinya tiba-tiba melayang ke
atas menarik lepas caping
lebar di kepala si baju hitam!
Orang itu keluarkan seruan tertahan
ketika topi bambu lebar lepas dari kepalanya.
Kedua tangannya membuat
gerakan seperti hendak menutupi wajahnya.
Dan seruan tadi itu?! Sesaat
membuat Wiro tegak terheran sambil pegangi
topi.
"Sialan! Ternyata si kampret ini bukan
manusia itu!" ujar Wiro dalam hati.
Wajahnya meamang tertutup janggut dan
kumis, tapi jelas paras ini bukan
paras orang berbaju hitam yang telah
membunuh pasukan Demak itu.
rambutnya kelihatan telah memutih dan
digelung ke belakang sepert
rambut perajurit. Kulit mukanya klimis dan
sepasang matanya mengandung
daya tarik tersendiri. Tidak pantas untuk mata
seorang lelaki yang
berhati keji.
"Kembalikan caping bambuku!" seru si baju
hitam.
Wiro Sableng tersenyum menyeringai.
Bukannya mengembalikan malah caping itu
kini dipakainya.
"Jika kau mau mengatakan siapa kau
sebenarnya, akan kukembalikan capingmu.
Kalau tidak silahkan ambil sendiri!"
"Bedebah!" si Baju hitam marah sekali,
langsung menyerang Wiro. Tapi
anehnya, setengah jalan mendadak dia
melesat ke kanan lalu melarikan
diri.
"Hai!" seru Wiro mengejar. "Tunggu dulu!"
Si baju hitam
tambah mempercepat larinya. Namun dalam
hal berlari mana mungkin dia
akan mempecundangi Wiro. Dalam waktu
singkat Wiro berhasil mempersempit
jarak. Kemudian karena tidak sabar, dia
tanggalkan caping di kepalanya
dan lemparkan benda itu ke arah orang yang
lari di depannya. Entah
disengaja entah tidak caping bambu itu
memukul bagian belakang kepala
orang, tapat di gelungan rambut. Demikian
kerasnya hantaman caping
hingga bukan saja orang itu terhuyung hampir
jatuh terjerembab ke
depan, tetapi sanggul rambutnya ikut terlepas.
Anehnya rambut yang
berwarna putih terlepas jatuh ke tanah sedang
kepala itu kini hanya
tertutup rambut hitam panjang yang tergerai
sebatas pinggang.
Wiro Sableng jadi hentikan larinya saking
kaget dan heran melihat kejadian itu.
"Kampret apa ini yang berambut palsu putih
padahal memiliki rambut panjang hitam!" ujar
Wiro dalam hati.
Di depan sana dilihatnya orang yang tadi
dikejar, bukannya terus
melarikan diri tetapi membelok ke kiri dan
menyembunyikan diri di balik
rerumpunan semak belukar tinggi.
Kawatir orang hendak menipu lalu
membokongnya, Wiro dekati semak belukan
dengan hati-hati. Siap untuk
memukulkan tangannya yang kiri atau kanan
menjaga segala-segala
kemungkinan. Namun betapa kagetnya ketika
dia tiba-tiba mendengar suara
orang menangis sesenggukkan! Suara tangis
perempuan! Begitu sampai di
balik semak-semak dilihatnya yang menangis
ternyata adalah lelaki
berjanggut dan berkumis berbaju hitam
berambut panjang itu.
"Kampret jantan ini kenapa menangis seperti
betina?!" ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala
memandang keheranan.
"Hai! Kenapa kau menangis!" tanya Wiro.
Ditegur begitu orang tersebut semakin keras
sesenggukannya dan semakin
jelas kalau suara tangisnya itu adalah suara
tangis perempuan!
"Eh,
orang ini lelaki atau perempuan……?"
bertanya-tanya murid Sinto Gendeng
dalam hati. Dengan hati-hati karena tak
mungkin kalau orang hendak
menipunya, Wiro melangkah lebih mendekat.
"Kalau dia memang perempuan
mengapa berjanggut dan berkumis. Tapi
rambut putih palsu yang tadi
terlepas……Jangan-jangan manusia ini benar-
benar Randu Ireng! Si ahli
menyamar yang menguasai cincin baja kepala
ular kobra!" maka memikir
sampai ke situ Wiro tak mau lebih mendekat.
Dia berdiri sejarak tiga
langkah.
Karena tak sabaran mendengar tangisan yang
seperti tak
habis-habis itu, Wiro ajukan pertanyaan "Kau
ini, sebenarnya siapa?
Laki-laki atau perempuan….?"
"Pergilah! Buat apa mengurusi diriku
lagi!" kata si baju hitam. Suaranya kini jelas
sekali suara perempuan.
Keadaannya yang larut oleh perasaan
membuat dia tidak dapat lagi
menyaru suaranya sebagai suara lelaki.
"Hai! Jadi kau perempuan!" ujar Wiro.
Tak ada jawaban. Tegak tertegun seperti itu
lambat laun membuat Wiro
merasa hiba. Namun tanpa mengurangi
kewaspadaan dia kembali berkata.
"Walaupun tadinya aku mencurigaimu, tapi
jika kau memang bukan orang
yang hendak membunuhku dua malam lalu,
maka aku tak akan mengganggumu
lebih jauh. Ini capingmu…." Wiro ulurkan
caping milik orang tadi yang
telah dipungutnya. Uluran caping bambu itu
tidak disambut. Wiro lalu
menyangkutkan caping itu pada ujung sebuah
ranting.
"Sebaiknya aku
tidak mengganggumu lagi. Aku akan pergi.
Tapi kalu kau suka menerangkan
siapa kau sebenarnya. Dari mana dan dalam
perjalanan ke mana……?"
"Mungkin…..aku akan menjawab
pertanyaanmu, jika kau lebih dulu mau
menerangkan siapa dirimu dan mengapa tadi
mangaku mencurigaiku lalu
menguntit….." berkata perempuan itu di
antara sesenggukkannya.
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya.
Kemudian menjawab juga.
"Namaku Wiro. Semula aku mengira kau
adalah orang yang dua malam lalu hendak
membunuhku dalam rimba belantara….."
"Siapa orang itu. Mengapa dia inginkan
nyawamu…..?"
"Ah, pertanyaan kampret ini banyak benar.
Seperti mau menyelidik!" maki
Wiro dalam hati. Lalu dia menjawab
"Mengapa dia inginkan nyawaku, aku
tidak tahu. Juga aku tidak tahu mengapa dia
enak saja membantai puluhan
perajurit Demak itu. Siapa orang itu aku tidak
tahu pasti. Cuma ada
yang mengatakan dia adalah Randu Ireng.
Manusia terakhir yang menguasai
cincin keramat terbuat dari baja berkepala
ular itu….."
"Cincin itu…." kata si baju hitam, "Tak habis-
habisnya menimbulkan malapetaka….."
"Kau tahu banyak tentang cincin keramat
itu…..?" tanya Wiro.
Yang ditanya tak menjawab.
"Nah, sekarang kau mau mengatakan siapa
kau sebenarnya?" Wiro mendesak.
Lalu cepat menyambung "Tapi perlihatkan
dulu kau ini perempuan atau lelaki atau
apa….?!"
Tangan orang itu, yang sejak tadi menutupi
dan menyembunyikan wajahnya
tiba-tiba bergerak menanggalkan janggut dan
kumis lebatnya dan astaga!
Kini berubahlah wajah itu menjadi paras
seorang perempuan berusia
kurang dari tiga puluhan, bermata bening dan
teramat ayu. Sesaat
pendekar kita tegak terkesiap. Lalu sambil
senyum-senyum dia bertanya
"Apa perlumu melakukan penyamaran seperti
ini…..?"
"Jika kau
seorang dari rimba persilatan kurasa tak perlu
aku menjawab
pertanyaanmu. Dunia ini, terutama rimba
persilatan, penuh liku-liku dan
bahaya. Malapetaka mengancam setiap saat.
Apalagi bagi kami kaum hawa……"
"Ucapanmu mungkin banyak benarnya. Hanya
saja, tentu kau mempunyai
alasan tertentu. Tapi aku tak akan memaksa
kau harus menceritakan hal
yang kau tak ingin mengatakannya. Kau
belum mengatakan datang dari mana
dan dalam perjalanan ke mana….."
"Aku datang dari jauh dai sebuah kampung
nelayan di pantai selatan. Aku dalam
perjalanan ke Kotaraja….."
"Lalu namamu…….?"
"Ningrum….."
Wiro manggut-manggut sambil tak lupa
menggaruk kepalanya yang gondrong.
"Kotaraja masih jauh di sebelah timur. Ada
keperluan apa kau ke sana?"
"Mencari seorang pangeran bernama Arga
Kusumo……"
"Pangeran Arga Kusumo…..? Dia masih sanak
kerabatmu?'
"Justru aku ingin membunuhnya!"
Jawaban Ningrum itu membuat Wiro kaget.
"Membunuh seorang pangeran bukan soal
mudah. Belum sempat sampai ke
kediamannya, para pengawal berkepandaian
tinggi mungkin sudah
meringkusmu!"
Perempuan ayu itu menyeringai. "Jika kita
memakai otak, apapun pasti bisa
dilakukan….."
"Kenapa kau ingin membunuh pangeran itu?"
"Dia membunuh suamiku!"
"Ah, urusan dendam kesumat rupanya," kata
Wiro pula. "Tapi mengapa sampai pangeran
itu membunuh suamimu?"
"Dia merampas milik suamiku."
"Apa?"
Kelihatannya Ningrum tak mau menjawab.
Atau ragu-ragu menjawab.
"Kau tahu aku bukan orang jahat. Tapi kau
masih hendak menyembunyikan sesuatu
padaku…." Wiro berpura-pura kecewa.
Setelah membisu beberapa lamanya akhirnya
Ningrum membuka mulut.
"Cincin sakti itu. Benda itu mulanya adalah
milik suamiku….."
Terkejutlah pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kalau begitu suamimu adalah Soma!"
katanya.
Kini perempuan itu yang ganti terkejut.
"Bagaimana kau bisa tahu……?"
Wiro lalu menceritakan pertemuannya dengan
Sebrang Lor, kepala Enam
Kelewang Maut yang telah menuturkan kisah
luar biasa mengenai cincin
baja putih berkepala ular kobra itu.
"Menurut Sebrang Lor kau tidak
tahu banyak tentang cincin sakti yang dimiliki
suamimu itu. Soma tewas
dalam hutan, jauh dari kampungmu.
Bagaimana kemudian kau mengetahui
kematiannya….?" Bertanya Wiro.
"Sejak musnahnya gerombolan bajak
yang menyerang kampung, semua orang-
orang termasuk aku menaruh wasangka
bahwa Somalah yang melakukan itu semua.
Jika dia yang berbuat berarti
dia memiliki ilmu kepandaian atau kesaktian
luar biasa. Dalam pada itu,
tak lama setelah kematiannya. Tumenggung
Cokro Buwono dan seorang
pembantunya datang menemuiku. Ketika
kembali ke Kotaraja, Pangeran Arga
Kusumo mengabarkan Soma gugur di tangan
pemberontak. Dia sendirilah
yang telah menghancurkan pemberontak itu.
Arga Kusumo sengaja mencari
nama besar, hendak mengangkat diri jadi
pahlawan dengan memutar
balikkan kenyataan. Suamiku sengaja
dibiarkan mati dalam hutan padahal
dia dapat menolongnya. Bahkan mayatnyapun
tidak diurusnya……"
Sebagai seorang isteri nelayan Wiro
menganggap tentunya Ningrum tidak
memiliki kepandaian apa-apa dalam ilmu
silat ataupun kesaktian. Cukup
mengherankan kalau kini dia menjadi seorang
perempuan muda
berkepandaian tinggi. Ketika hal itu
ditanyakan pada Ningrum, perempuan
itu menuturkan lebih lanjut.
"Setelah berita itu kuterima, ditemani
oleh beberapa orang pembantu Tumenggung
Cokro Buwono aku coba mencari
jenazah Soma. Bagaimanapun jenazahnya
walau hanya tinggal tulang
belulang harus diurus dan dikubur. Tapi kami
tak berhasil menemukan
jenazah ataupun tulang belulangnya…."
"Tunggu dulu," ujar Wiro
ketika dia ingat sesuatu. "Menurut penuturan
Sebrang Lor, ketika Soma
pergi menemui Tumenggung Cokro Buwono,
kau sedang hamil tua…."
Ningrum mengangguk. "Kematian Soma
kuketahui sebulan sebelum aku
melahirkan. Ketika bayi itu lahir ternyata
nasibnya jelek. Anakku
meninggal setelah dilahirkan….."
Kedua mata Nignrum kembali tampak
basah. Setelah menyeka wajahnya beberapa
kali dia meneruskan "Dalam
perjalanan pulang ke kampung, ternyata
orangorang Tumenggung Cokro
Buwono bukan manusia-manusia baik-baik.
Mereka hendak memperkosaku
beramai-ramai. Pada saat itu entah dari
mana datangnya, muncul seorang
kakek aneh. Orang-orang itu dihajarnya. Tak
satupun dibiarkan hidup.
Aku sendiri kemudian dibawanya ke sebuah
goa di lereng bukit. Setelah
mendengar ceritaku, kakek itu memutuskan
untuk menurunkan beberapa ilmu
kepandaiannya. Lewat sepuluh tahun
kemudian baru aku meninggalkan goa
itu. Pertama sekali aku pergi mencari
Tumenggung Cokro. Tapi kemudian
kuketahui tumenggung itu telah meninggal.
Kematiannya tidak wajar.
Tewas celaka ketika berburu di dalam hutan.
Ada dugaan bahwa dia
dibunuh atas perintah Pangeran Arga Kusumo
yang tak ingin rahasia
kematian dan kepahlawanan Soma terbuka….."
"Lalu saat ini kau hendak ke Kotaraja guna
membalas dendam kematian suamimu…."
Walau tak menjawab tapi Wiro tahu
perempuan itu membenarkan ucapannya.
"Lebih baik bagimu kembali ke kampung dan
melupakan pangeran itu. Saat
ini tentu dia telah menduduki jabatan sangat
tinggi dalam kalangan
istana. Pasti sulit untuk melaksanakan
maksudmu. Salah-salah kau
sendiri yang akan celaka!"
"Aku memang sudah siap untuk menyusul
suamiku," sahut Ningrum.
Wiro garuk-garuk kepala.
"Apakah kau berniat mendapatkan cincin sakti
itu kembali?" tanya Wiro.
"Kalaupun aku mendapatkannya, akan
kukembalikan ke asalnya. Dibuang ke dalam
laut….."
Wiro ingat amanat yang dikatakan Sebrang
Lor. "Tidak mudah mendapatkan
cincin itu kembali. Tidak gampang mencari
Randu Ireng, manusia seribu
muka yang kini menguasainya…."
"Tapi orang-orang sepertimu tak bisa
berpangku tangan. Kecuali ingin melihat
ratusan korban lagi akan
menemui ajalnya!" kata Ningrum.
Apa yang dikatakan Ningrum itu diketahui
sekali kebenarannya oleh Wiro.
Setelah berpikir sebentar kemudian dia
berkata "Bagiku tugas kita
paling utama saat ini adalah mencari
manusia bernama Randu Ireng itu….."
"Kita katamu?" ujar Ningrum.
Wiro menyeringai. "Bukankah kau ingin
mendapatkan benda itu kembali?
Kurasa itu lebih penting dari pada kau
langsung nyelonong ke Kotaraja
mencari penyakit…."
"Kalau kau mau membantu, aku tak
keberatan. Kalau kita pergi bersama-sama
apakah tidak akan menyusahkanmu?'
"Berjalan dengan perempuan secantikmu
memang ada macam-macamnya. Kau
sebaiknya pakai kembali rambut, janggut dan
kumis palsumu itu….."
Ningrum menyetujui. Setelah melakukan apa
yang dikatakan Wiro, lengkap
memakai caping lebar, keduanya segera
meninggalkan tempat tersebut.
Karena tahu bagaimana sulitnya mencari dan
mengejar orang seperti
Randu Ireng maka Wiro memutuskan untuk
meminta bantuan dari orang yang
dianggapnya paling tepat dan paling tahu.
Orang ini bukan lain adalah
kakek aneh yang dikenal dengan panggilan Si
Segala Tahu.
Empat hari empat malam mengadakan
perjalanan tampaknya masih belum juga
sampai ke tujuan. Ningrum mulai
menunjukkan wajah suram. Entah karena
keletihan mengadakan perjalanan sejauh itu,
entah karena mulai merasa
tidak suka. Kalau saja mereka langsung ke
Kotaraja mungkin saat itu
sudah sampai, demikian dia berpikir.
Pada pagi hari kelima hujan turun rintik-rintik.
"Aneh, ada hujan turun. Tapi kenapa udara
terasa panas sekali!" kata Ningrum.
Wiro tersenyum. "Itu tandanya kita sudah
semakin dekat dengan tempat
tujuan. Kau lihat sesuatu yang memutih di
kejauhan sana….?" Wiro
menunjuk ke arah barat.
"Benda apa itu. kelihatannya seperti bukit.
Tapi kenapa berwarna putih…..?"
"Itulah bukit kapur. Tempat biasanya
berkeliaran orang yang kita cari."
"Sebenarnya siapa yang kita cari ini?" tanya
Ningrum.
"Kau lihat saja nanti. Pasang telingamu baik-
baik. Jika kau mendengar suara kerontangan
kaleng, beri tahu aku….."
Keduanya terus lari ke arah barat. Makin
dekat makin kentara besarnya
bukit kapur itu. Menjelang tengah hari mereka
mencapai kaki bukit dan
mulai menaiki lerengnya. Hawa di sini bukan
main panasnya. Pakaian
kedua orang itu bawah kuyup oleh keringat.
Sejauh sampai di pertengahan
lereng bukit yang tandus hampir tak ada
tumbuhan di situ masih belum
terdengar suara apapun, termasuk suara
kerontang kaleng.
"Aku tak
mendengar suara seperti yang kau katakan
itu. Jangan-jangan orang yang
kita cari tak ada di sini!" Ningrum mulai
merasa khawatir.
Wiropun
mulai merasa ragu. Namun dia diam saja.
Keduanya terus mendaki sampai
ke puncak bukit. Di kejauhan tampak sebuah
gubuk kecil tanpa dinding
dalam keadaan kosong.
"Aku tak tahan panasnya hawa di sini. Kalau
orang yang kita cari tak ada lebih baik
tinggalkan tempat ini….."
"Tenang saja. Dia pasti ada di sekitar sini,"
sahut Wiro.
"Siapa yang sanggup menetap di tempat ini
tanpa kehabisan air dalam tubuhnya, disedot
udara panas….?"
"Kita mungkin tidak bisa. Tapi Si Segala Tahu
tenyata menghabiskan puluhan tahun usianya
tinggal di bukit ini…."
Habis berkata begitu Wiro mendongak ke
langit, kerahkan tenaga dalam
lalu berteriak keras-keras dan panjang. Gaung
suaranya terdengar aneh
dan menyeramkan.
"Tak ada yang membalas teriakanmu, Wiro.
Berarti tak ada siapapun di bukit ini!"
Wiro menunggu sesaat. Lalu kembali
berteriak. Lebih keras dan lebih
panjang. Setelah ditunggu tetap saja tak ada
suara lain menyahuti.
"Kita pergi saja," mengajak Ningrum.
"Tunggu. Jika sampai matahari condong ke
barat orang itu belum muncul….."
Wiro hentikan kata-katanya. "Aku mendengar
sesuatu….."
"Aku tak mendengar apa-apa……" kata
Ningrum. Tentu saja karena tingkat
kepandaian dan ketajaman indera keduanya
berbeda. Wiro jauh lebih
tinggi.
"Dia muncul!" Wiro tertawa gembira. "Ikuti
aku…..!" katanya
lalu lari ke jurusan selatan bukit. Setelah lari
beberapa ratus tombak
baru Ningrum mendengar suara aneh itu.
Suara sesuatu berkerontangan.
Agaknya suara batu-batu yang dimasukkan
dalam kaleng, lalu
digoncang-goncang terus menerus.
"Lihat! Itu dia!" seru Wiro seraya menunjuk ke
depan.
Memandang ke muda Ningrum lihat seorang
kakek bertubuh agak kurus,
berpakaian penuh tambalan dan yang sudah
cabik-cabik, melangkah ke arah
mereka. Langkahnya seperti acuh tak acuh,
tetapi satu langkah yang
dibuatnya sama dengan lima langkah
manusia biasa. Sambil berjalan
dengan bantuan tongkat kayu di tangan
kirinya, dia tiada henti
menggoyang-goyang kaleng rombeng di
tangan kanannya.
"Kakek Segala Tahu!" panggil Wiro Sableng.
"Aku datang lagi! Apakah kau baik-baik saja
selama ini….?"
Kakek itu hentikan langkahnya. Mendongak ke
langit, lalu kerontangkan kalengnya dan
menyeringai.
"Aku memang baik-baik saja. Tapi urusan
persilatan di luar sana sedang
tidak baik bukan? Kudengar banyak para
tokoh di bunuh. Puluhan manusia
hidup berubah menjadi mayat!"
"Syukurlah kau sudah tahu kek! Karena itula
aku datang mencarimu ke mari!"
"Kalau kau muncul berarti ada yang bakal kau
tanyakan! Katakan, ini
soal dunia persilatan apa soal jodohmu…..?"
si kakek tertawa
gelak-gelak.
"Kek, kau tentu mendengar tentang cincin
keramat yang sanggup menebar maut itu…."
Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng
rombengnya. Sambil tersenyum
kempot dia berkata "Sebelum aku jawab
pertanyaanmu, siapa pula mahluk
aneh yang kau bawa ke mari ini….?'
Wiro garuk kepalanya dan memandang pada
Ningrum. Perempuan ini jelas tampak
kemerahan wajahnya.
"Aku tidak membawa mahluk aneh kek. Ini
sahabat seperjalanan," jawab Wiro.
"Perempuan biasanya memakai pupur dan
bergincu. Kalau perlu
menghitamkan sedikit alisnya, memerahkan
sedikitt pipinya. Tapi yang
aku rasakan saat ini sahabatmu ini memakai
kumis dan bercambang bawuk
palsu. Apakah ini bukan mahluk aneh
namanya? Atau mungkin dia pemain
wayang wong!" si kakek tertawa lagi
mengekeh.
Wajah Ningrum semakin
merah. Tapi dalamhati perempuan ini jelas
sangat terkejut. Kakek itu
jelas dilihatnya bermata buta. Bagaimana
mungkin dia tahu kalau dirinya
adalah seorang perempuan dan memakai
kumis serta janggut palsu segala?!
Kemudian didengarnya Wiro berkata
"Ningrum, kau jangan tersinggung.
Kakek ini memang suka bergurau. Walau
matanya buta tapi bisa lebih
tajam penglihatannya dari kita."
Ningrum tak menyahut hanya pandangi si
kakek dengan pandangan rasa kagum, meski
juga agak jengkel oleh kata-katanya tadi.
"Nah, kek sekarang bisakah kita bicara soal
cincin itu?"
Kakek Segala Tahu anggukkan kepala dan
kerontangkan kaleng bututnya.
"Terakhir sekali yang aku dengar cincin
warisan setan itu berada di
tangan seorang keroco yang dulunya tak
pernah terkenal. Namanya Randu
Ireng. Meski memiliki ilmu silat kampungan
dan tolol dalam pengalaman
namun menguasai cincin itu dia bisa menjadi
orang nomer satu dalam
dunia persilatan!"
"Terima kasih atas keteranganmu kek. Yang
ingin
kami ketahui ialah sekedar nasihatmu
bagaimana caranya mencari dan
menemui Randu Ireng….."
Si kakek geleng-geleng kepala dan tak lupa
goyang-goyangkan tangannya yang
memegang kaleng.
"Sulit sobat mudaku, sulit mencarinya. Dia
sudah merat atau bertukar rupa sebelum kau
dapat berhadapan dengan dia….."
Wiro garuk-garuk kepala. Sementara Ningrum
yang mendengar jawaban kakek
buta itu merasa sia-sia saja melakukan
perjalanan jauh kalau jawaban
yang mereka dapat hanya seperti itu.
"Betul, kek. Memang sulit. Karena itulah kami
datang minta petunjukmu…." Kata Wiro pula.
"Ya….ya….ya….! Akhir-akhir ini perubahan di
rimba persilatan berjalan
sangat cepat. Aku yang sudah tua renta dan
buta ini terkadang kedodoran
juga mengikutinya!" Si Segala Tahu
goyangkan kalengnya dua kali
berturut-turut lalu meneruskan "Mencari
langsung manusia bernama Randu
Ireng itu sulit sekali. Sampai kiamat kurasa
kalian tak akan berhasil.
Namun jika kalian terlebih dahulu bisa
mencari seorang perempuan cantik
berjuluk Ratu Mesum, ada harapan kalian bisa
menangkap Randu Ireng
hidup-hidup."
"Siapa Ratu Mesum ini kek?" membuka mulut
Ningrum untuk pertama kalinya.
"Ah, bagus kau bertanya begitu…." Sahut si
kakek. "Nah, membuat urusan
dengan si Ratu Mesum ini juga bukan
pekerjaan mudah. Dia seorang
perempuan cantik jelita, berkulit halus mulus
dan putih. Berpakaian
serba merah. Begitu tipis pakaiannya itu
hingga lekuk liku tubuhnya
bisa terlihat dengan jelas. Di samping itu
sekujur tubuhnya menebar bau
harum yang bisa merangsang dan
memabukkan lelaki. Akupun yang sudah tua
bangka ini kalau ketemu dia mungkin bisa
blingsatan…." kata Si Segala
Tahu lalu tertawa panjang.
"Di mana kami bisa mencari Ratu Mesum ini?"
bertanya Wiro setelah si kakek hentikan
tawanya.
"Ratu Mesum memiliki beberapa tempat
kediaman. Tapi dia lebih sering
berada di sebuah danau….." Si kakek
mengingat-ingat nama danau itu lalu
memberitahukannya pada Wiro. Lalu
menyambung "Satu hal yang membuat
sulit berurusan dengan perempuan itu ialah
nafsu badaniahnya yang luar
biasa. Setiap lelaki yang disukainya pasti
akan dipikatnya untuk dapat
tidur bersama. Lalu, jika sudah puas, lelaki itu
pasti dibunuhnya!" (Mengenai kisah Ratu
Mesum harap baca Mahesa Edan Pendekar
Dari Liang Kubur karangan Bastian Tito,
penerbit Lokajaya)
Wiro Sableng jadi garuk-garuk kepala
mendengar keterangan itu sementara
Ningrum melirik ke arahnya untuk melihat
reaksi si pemuda.
"Ingin sekali aku menemui sang ratu itu….."
kata Wiro perlahan.
"Jika kau terpaksa harus mencarinya untuk
minta bantuan, hati-hatilah.
Bukan saja kau akan dibunuhnya tapi besar
kemungkinan begitu
mendapatkan cincin keramat itu, benda itu
akan dirampasnya!"
"Sialan! Berabe juga urusan ini!" ujar Wiro.
"Apakah tak ada lain orang yang bisa
membantu selain Ratu Mesum, kek?" tanya
Ningrum.
Kakek Segala Tahu mendongak ke langit dan
kerontangkan kalengnya.
Begitu kerontangan kaleng berhenti diapun
berkata "Ratu Mesum adalah
yang paling mungkin memberikan bantuan.
Apalagi kalau lelaki muda
seperti sahabatmu itu yang memintanya. Lain
dari itu kukira Randu Ireng
hanya bisa dipikat dengan paras cantik dan
tubuh bagus. Selagi dia
lengah rampas cincin itu….. Hanya saja,
kalian harus dapat membaca
situasi…."
"Membaca situasi bagaimana?" tanya Wiro.
"Jika
cincin itu berada dalam jari telunjuk, sekali-
kali jangan dekati Randu
Ireng. Jadi kalian harus melakukan sesuatu
sebelum dia sempat memakai
cincin tersebut di jari telunjuk…. Nah, kurasa
aku sudah memberikan
semua keterangan yang kalian minta….."
"Kek," Wiro cepat berkata ketika dilihatnya Si
Segala Tahu hendak melangkah pergi.
"Apalagi anak muda?"
"Apakah tak ada cara lain menghadapi
pikatan Ratu Mesum? Maksudku
meminta bantuannya tanpa mau melayaninya
di atas ranjang….. lalu lolos
dari ancaman mautnya?!"
Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh.
"Selama dunia terkembang….."katanya
dibarengi dengan menggoyangi kaleng
rombengnya, "Belum pernah kudengar ada
kucing menolak daging. Begitu
juga kaum lelaki. Belum pernah kuketahui tak
ada lelaki yang tidak
tertarik pada wajah cantik dan tubuh mulus
merangsang. Nah…..
buntut-buntutnya hanya terserah padamu
anak muda. Putar otakmu
bagaimana menundukkan rangsangan yang
ada dalam dirimu sendiri. Sekali
kau jatuh di atas perutnya, berarti maut sudah
menunggu di puncak
hidungmu. Ha….ha…..ha…..!"
Wiro garuk-garuk kepala. Ningrum merasa
jengkel mendengar ucapan si kakek,
membuang muka memandang ke lain jurusan.
"Manusia bernama Randu Ireng ini, kek…."
Kata Wiro. "Mohon peunjukmu
bagaimana mengetahui dirinya sebenarnya
mengingat kepandaiannnya
menyamar."
"Soal samar menyamar kawan
seperjalananmu ini mungkin
bisa membantu. Hanya satu hal yang
kuketahui. Manusia bisa menyamar
sejuta rupa, seribu kali dalam semalam. Tapi
satu hal dia tidak bisa
merubah. Yakni sepasang matanya, nah, si
Randu Ireng itu menurut kabar
yang aku dengar dia memiliki tanda titik
hitam sebesar jagung pada
bagian putih matanya sebelah kanan! Dia bisa
merubah tampang dan
pakaiannya. Tapi dia tidak bisa
menghilangkan tanda pada matanya itu.
Jika kau bertemu Ratu Mesum, harus kau
terangkan hal itu…."
"Kek,
sekali lagi kau berhutang budi padamu. Entah
kapan dapat membayar. Kami
berdua mengucapkan ribuan terima kasih atas
segala petunjukmu….."
Kakek Segala Tahu cuma tertawa.
Mendeongak ke langit lalu
goyanggoyangkan tangan kanannya yang
memegang kaleng. Sebelum mereka
berpisah Ningrum tanggalkan caping lebarnya
dan berkata "Kek, kau
ambillah caping bambuku ini. Kulihat topi
pandanmu sudah banyak
lubangnya….." Lalu tanpa menunggu jawaban
apakah orang setuju atau
tidak, Ningrum sudah ambil topi pandan butut
dari kepala si kakek,
memakaikannya ke kepalanya sendiri sedang
caping bambunya dipakaikan ke
kepala orang tua itu.
Kakek Segala Tahu tertawa panjang.
"Terima kasih….terima kasih perempuan
cantik. Kelak kau akan
mendapatkan jodoh baru. Seorang suami
yang baik pengganti suamimu yang
hilang itu!"
"Kek!" Ningrum berseru seraya melirik pada
Wiro Sableng.
Si kakek buru-buru berkata "Jangan salah
sangka Ningrum. Calon
pengganti suamimu bukan pemuda tolol
bernama Wiro Sableng ini…..!
Ha….ha….ha!" Kaleng di tangannya kembali
berkerontangan.
Bulaksari merupakan kota pasar tempat
penduduk sekitarnya
mengirimkan hasil pertanian maupun ternak
untuk dijual pada setiap hari
Kamis. Karenanya kota ni lebih dikenal
dengan sebutan Pasar Kamis.
Sebagaimana biasa setiap Kamis pagi, di
tanah lapang yang menjadi pusat
pasar telah penuh dengan tumpukan sayur
mayur, padi, ternak dan lain
sebagainya yang siap menunggu pembeli.
Para tengkulak berkeliaran
menawar sana menawar sini. Bila harga cocok
barang daganganpun
diangkat, bertukar dengan uang. Para pemilik
barang biasanya adalah
para petani pulang dengan kantung penuh.
Sebelum pulang biasanya mereka
membeli dulu beberapa keperluan dapur.
Hari Kamis itu, pasar hampir usai ketika
sebuah gerobak besar ditarik
dua ekor kuda yang tampak keletihan dan
berhenti di tepi tanah lapang.
Siapa pula yang membawa barang dagangan
ketika pasar sudah bubar
seperti ini. Demikian banyak orang yang ada
di sekitar situ
bertanya-tanya.
Kusir gerobak, seorang lelaki muda beralis
tebal dan berbibir dower
turun dari gerobaknya. Sesaat dia
memandang berkeliling. Lalu seperti
tak acuh ditinggalkannya gerobaknya.
Seorang pedagang bertanya "Hai! Barang
dagangan apa yang kau bawa ke mari? Apa
tidak tahu kalau pasar sudah bubar?!"
Kusir yang ditanya hanya angkat bahu.
Sambil melangkah dia berkata
"Sebentar lagi majikanku yang punya barang
segera datang. Barang
dagangan yang dibawanya bukan barang
sembarangan. Walau pasar sudah
bubar pasti kalian semua akan tertarik…..!"
Kusir itu kemudian lenyap di tikungan jalan.
Orang banyak yang masih ada di pasar itu
dengan rasa ingin tahu tegak
di sekeliling kereta. Setelah lama ditunggu-
tunggu tak seorangpun
muncul. Baik yang katanya majikan pemilik
batang dalam gerobak, maupun
sang kusir. Orang-orang yang ada di tempat
itu kini jadi ingin tahu
barang dagangan apa yang ada dalam
gerobak tersebut. Mereka menyingkap
dua lapis karung tebal yang menutupi bagian
belakang gerobak. Ketika
karung itu tersibak, orang yang tadi
menyingkapkan terpekik dan
mencelat mental dengan muka pucat. Yang
lain-lainnyapun berseru kaget,
memandang ke dalam gerobak dengan mata
melotot. Yang berkerumun di
sebelah belakang coba mendesak ke depan.
Tapi begitu ada yang berteriak
"Mayat manusia!" mereka urung mendekat.
Dan pasar itupun menjadi
gempar! Kini tak ada yang berani mendekati
gerobak. Semua memandang
dari kejauhan denan perasaan takut dan ngeri.
Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ningrum
sampai ke Pasar Kamis justru ketika
kegemparan itu berlangsung.
"Hai! Jangan mendekat!" Seseorang berteriak
ketika Wiro melangkah menuju gerobak.
"Ada mayat di dalamnya!" seru seorang
lainnya.
Wiro tidak perduli. Dia melangkah terus
bersama Ningrum. Karung tebal
yang baru sebagian tersingkap ditariknya dan
dicampakkannya ke tanah.
Kini dalam gerobak, terpentang pemandangan
yang mengerikan. Bukan cuma
satu mayat yang ada di situ. Tapi enam!
Kalau tadi Wiro Sableng
tidak menunjukkan rasa takut, namun setelah
mengenali enam sosok mayat
dalam gerobak, pemuda ini mau tak mau
bersurut mundur dua langkah dan
berpaling pada Ningrum. Suaranya perlahan
sekali ketika berkata
"Mereka….. Enam Kelewang Maut…."
Kini Ningrum ikut terkejut. "Siapa yang
membunuh mereka. Aku curiga….."
"Pasti Randu Ireng. Kulihat mayat-mayat itu
berada dalam keadaan rusak.
Ada yang hancur kepalanya. Belubang dada
atau perutnya atau hampir
putus lehernya. Kematian dengan luka
mengerikan seperti itu hanya bisa
disebabkan oleh cincin baja putih ular kobra!"
"Kalau begitu orang yang kita cari tak berada
jauh dari sini….."
Wiro membenarkan. Lalu cepat mencari
keterangan dari orang-orang yang
ada di situ. Mereka mengejar ke arah
lenyapnya kusir gerobak. Namun tak
mungkin untuk menemukan orang itu lagi.
"Apa yang kita lakukan sekarang…..?' tanya
Ningrum.
"Kita harus segera meneruskan perjalanan ke
danau Karang Kates," sahut
Wiro. Dia memandang sekali lagi ke arah
mayat-mayat malan dalam gerobak
itu lalu cepat-cepat mengikuti Ningrum yang
sudah melangkah pergi lebih
dulu. Danau Karang Kates merupakan danau
luas tetapi sunyi. Anehnya tak
ada satu rumah pendudukpun terlihat di
sapanjang tepi danau. Tak ada
seorangpun dapat ditemui untuk mendapatkan
keterangan.
"Aneh," kata Ningrum. "Mengapa tak ada
rumah di sepanjang tepi danau.
Padahal menurutku danau ini pasti banyak
ikannya. Yang dapat dijadikan mata
pencaharian….."
"Tentu ada apa-apanya. Jika Ratu Mesum
memang tinggal di sini, siapa yang berani
ikut-ikutan diam di tempat ini….."
"Tapi di mana bangunan kediaman
perempuan itu. Kita sudah mengelilingi
tepi danau satu hari suntuk. Tak ada satu
bangunanpun yang kelihatan!"
kata Ningrum pula.
"Kalau saja aku tahu suasananya seperti ini,
pasti aku akan lebih banyak bertanya pada
Kakek Segala Tahu itu……"
keduanya lalu duduk di atas batang kayu
tumbang. Memandang ke tengah
danau. Tiba-tiba Ningrum menunjuk.
"Lihat! Ada orang berperahu di tengah
danau!"
Wiro cepat berdiri. Memandang ke tengah
danau memang dilihatnya ada
sebuah perahu meluncur cepat menuju tepi
sebelah timur. Dari kejauhan
terlihat hanya ada satu orang di atas perahu
itu. Orang ini mendayung
perahu dengan mempergunakan kedua
tangannya kiri kanan.
"Orang itu
mengenakan pakaian merah…." kataWiro.
"Kita kejar ke arah Timur! Pasti
itu Ratu Mesum!" maka kedua orang itupun
berkelebat menuju ke timur.
Ternyata perahu lebih cepat dan lebih dahulu
mencapai tepi danau
sebelah timur dari pada kedua orang itu. Dan
pada jurusan dari mana
sebelumnya mereka melihat perahu merapat,
justru mereka tidak menemukan
apa-apa.
"Aneh, kemana perginya orang tadi?!' uajr
Wiro Sableng sambil memandang berkeliling.
"Perahunyapun ikut lenyap!" menyahuti
Ningrum.
"Mungkinkah tadi kita hanya melihat
bayangan hantu…..?"
Keduanya memeriksa dengan teliti tepian
danau di jurusan mana tadi
mereka melihat perahu terakhir kali. Tepian
itu, tidak seperti tepian
lainnya penuh ditumbuhi rumput air, semak
beluka dan pohon-pohon lurus
tinggi seperti lalang.
"Aku akan turun ke air," kata Wiro. "Mungkin
ada sesuatu yang tidak terlihat dari darat."
Tanpa tunggu lebih lama
Wiro turun ke air. Air danau di bagian tepi itu
ternyata hanya sampai
sepinggang. Wiro menyibakkan rumput dan
alang-alang air, memperhatikan
setiap bagian tepi danau dengan teliti. Dekat
sebuah pohon waru yang
tumbuh menjorok miring ke danau tiba-tiba
Wiro dapatkan sebuah lobang
setinggi kepala dan cukup lebar untuk
dimasuki dua orang sekaligus.
Wiro lambaikan tangannya ke arah Ningrum,
memberi isyarat agar
perempuan itu turun ke air. Begitu Ningrum di
sebelahnya Wiro menunjuk
ke arah lobang.
"Apa pendapatmu….?" Tanya Pendekar 212.
"Orang dan perahu tadi kurasa pasti masuk ke
dalam lobang ini. Kalau tidak masakan bisa
lenyap begitu saja….."
"Kalau begitu mari kita menyelidik ke dalam."
Keduanya lalu masuk ke dalam lobang di tepi
danau itu. di sebelah dalam
ternyata lobang ini merupakan sebuah
terowongan panjang. Makin ke dalam
air yang mengalir dari danau semakin dangkal
dan bersibak ke arah dua
terowongan lain yang terletak di kiri kanan
terowongan utama. Di
persimpangan tiga terowongan ini mereka
menemukan sebuah perahu yang
masih basah. Wiro melangkah terus
memasuki terowongan utama diikuti
oleh Ningrum. Memasuki terowongan sejauh
dua puluh tombak, tanah
terowongan tampak kering dan makin ke
dalam makin menurun hingga
akhirnya mereka sampai di hadapan sebuah
pintu gerbang aneh terbuat
dari akar pohon bakau. Pada bagian atas
pintu gerbang ini terdapat dua
rangkaian tulisan berbunyi :
Pintu Sorga
Pintu Neraka
Dari sebuah belakang pintu gerbang tampak
lapisan asap tipis. Dari arah ini pula tercium
bau harum.
"Aku kawatir asap itu mengandung racun
berbahaya," bisik Wiro. "Bisakah kau berjalan
dengan menutup penciuman?"
Ningrum mengangguk. Sebelum melangkah
melewati pintu gerbang aneh itu
Wiro kerahkan tenaga dalamnya ke tangan
kanan lalu memberi isyarat agar
Ningrum segera mengikutinya. Selewat pintu
gerbang, tanah terowongan
itu ternyata dilapisi batu pualam berwarna
putih berkilat. Di kiri
kanan dinding, pada jarak-jarak tertentu
terdapat obor aneh yang
terbuat dari kayu hitam kecil tanpa minyak.
Tak lama kemudian asap
putih tipis yang menabur bau harum tadi
lenyap. Wiro dan Ningrum buka
jalan pernafasan dan penciuman masing-
masing. Keduanya sempat
tersenggalsenggal karena menutup pernafasan
begitu lama.
"Ada ruangan besar di depan sana…." Bisik
Wiro. "Hati-hatilah…." Katanya
kemudian memperingatkan. "Tulisan di pintu
kayu tadi mengundang
kesenangan berbau maut!"
Ruangan yang kemudian mereka masuki
keseluruhannya dilapisi batu pualam, mulai
dari lantai sampai dinding dan langit-langit.
Memandang berkeliling kedua orang itu
mendapati
ruangan tersebut tak ada jendela tak ada
pintu. Buntu?
"Aku merasa gerak-gerik kita diawasi…." Bisik
Wiro.
"Ya, aku juga merasa begitu. Pasti!" sahut
Ningrum. Lalu tanyanya
"Kemana lenyapnya orang berpakain merah
yang kita lihat di atas perahu
tadi?"
Tiba-tiba dari baigan ruangan arah mana
mereka masuk tadi
terdengar suara bersiur amat halus dan dari
atas mendadak turun sangat
cepat sebuah lapisan dinding yang langsung
menutup mulat ruangan!
"Kita terjebak!" bisik Ningrum tegang.
"Tenang saja. Pasang mata dan telinga baik-
baik," balas berbisik Wiro.
"Aku akan memanggil tuan rumah….." katanya
kemudian. Setelah memandang
berkeliling Wiro lantas beseru "Ratu Mesum
apakah kami berada di tempat
kediamanmu….?"
Tak ada jawaban. Suara seruan Wiro
menggema menggidikkan dalam ruangan batu
pualam itu.
"Ratu Mesum! Apakah kau ada di sini….?
Keluarlah. Kami datang membawa maksud
baik! Hanya untuk minta bantuan!"
Mendadak terdengar suara tawa cekikikan.
Mesti tegang namun kedua orang itu maklum
kalau mereka saat itu memang
memasuki tempat kediaman Ratu Mesum
karena suara tawa itu adalah suara
tawa perempuan.
Terdengar lagi suara bersiur seperti tadi.
Menyusul
secara tiba-tiba dinding di hadapan mereka
membuka dan kelihatan sebuah
lobang berukuran satu kali satu tombak.
Bagian dalam lobang ini
memiliki lantai yang meninggi di sebelah
belakang. Dari lantai yang
miring ke atas ini mendadak meluncur sebuah
benda. Ketika benda itu
jatuh dan tergelimpang di hadapan mereka,
kaget Wiro dan Ningrum bukan
kepalang. Perempuan ini malah sampai
membuang muka. Benda yang
tergelimpang di lantai itu ternyata adalah
sesosok tubuh lelaki dalam
keadaan tanpa pakaian sama sekali. Melihat
kepada wajahnya jelas dia
masih sangat muda dan berparas cakap. Pada
lehernya terdapat luka besar
yang masih mengucurkan darah segar!
Wiro Sableng memaki panjang pendek dalam
hati sementara Ningrum
seperti menyesali mengapa dia sampai berada
di tempat celaka seperti
itu. Mendadak terdengar lagi suara bersiur.
Lantai batu pualam dimana
mayat pemuda itu mengeletak bergeser ke kiri
dan ke kanan, meninggalkan
lobang di sebelah tengah. Sosok tubuh
telanjang itu jatuh ke dalam
lobang dan kedua sisi lantai menutup kembali.
Anehnya noda-noda darah
yang tadi jelas terlihat menggenangi lantai
kini lenyap bersih entah ke
mana! Di saat yang sama kembali terdengar
suara tertawa panjang. Begitu
tawa lenyap, dalam ruangan itu tercium bau
harum. Lalu langit-langit
yang terbuka secara aneh, melayang turun
sesosok tubuh berpakaian
merah. Dengan gerakan sangat ringan, tanpa
mengeluarkan bunyi sama
sekali, seolaholah menginjka kapas, sosok
tubuh ini memijakkan kedua
kakinya di atas lantai batu pualam.
Wiro Sableng terkesiap tak berkedip
menyaksikan orang yang tegak di
hadapannya sedang Ningrum merasakan
wajahnya menjadi merah. Meskipun
dia ingin memalingkan muka namun tetap
saja diapun ikut-ikutan
memandang lekat ke arah orang yang ada di
hadapannya itu. Orang ini
ternyata adalah seorang perempuan berparas
sangat cantik, berkulit
putih. Rambutnya disanggul ke belakang dan
pada bagian kepala di atas
keningnya ada sebentuk mahkota kecil. Dia
tersenyum smbail
memain-mainkan ujung lidah di sela bibir.
Lidah yang basah itu tampak
merah segar sedang deretan gigi-giginya
tampak putih rata. Si jelita
ini mengenakan sehelai pakaian panjang
menjela lantai berwarna merah,
terbuat dari kain tipis – mungkin sutera.
Demikian tipisnya pakaian ini
hingga tubuhnya di sebelah dalam yang tidak
berpenutup apa-apa terlihat
dengan jelas.
Wiro garuk-garuk kepala. Namun begitu ingat
dia segera menjura.
"Tentunya kami berhadapan dengan Ratu
Mesum yang terkenal itu….."
Yang ditegur tidak menjawab, malah terus
memainkan ujung lidahnya.
"Kami datang dari jauh untuk memohon
bantuan Ratu….." kata Wiro lagi.
Kini sepasang mata perempuan cantik itu
memperhatikan pemuda di
hadapannya mulai dari ujung rambut sampai
ujung jari. Dia sama sekali
tidak memperdulikan Ningrum yang sapai
saat itu masih mengenakan
pakaian serba hitam, bertopi pandan butut,
menutupi wajah perempuannya
dengan kumis dan janggut tebal.
Mendapatkan tegur sapanya tidak dibalas
orang diam-diam Wiro kembali memaku
dalam hati.
"Ah, kami tahu Ratu
barusan sampai. Tentunya masih letih dan tak
ingin diganggu. Kalau
memang begitu biar kami pergi saja. Nanti
baru kembali lagi……"
Perempuan berpakaian merah tipis itu usap
rambutnya, rapikan
pakaiannya. Tiba-tiba dia membuat gerakan
yang menyebabkan pahanya
sampai pinggul sebelah kiri tersingkap lebar,
memutih mulus berkilau.
"Sialan, apa sebenarnya yang diinginkan
perempuan ini!" kata Wiro dalam
hati. Meski sikap si jelita tidak menyenangkan
namun matanya tak
habisnya melirik paha dan pinggul yang putih
itu.
Tiba-tiba si jelita tertawa panjang sambil
mendongak ke langit-langit ruangan.
"Kalian baca tulisan di pintu masuk tadi….?!"
Perempuan itu bertanya.
"Kami membacanya," sahut Wiro.
"Bagus! Berarti kalian menyadari sepenuhnya
nasib kalian akan seperti
itu pula!" habis berkata begitu perempuan
berpakaian merah ini tertawa
panjang.
Karena sudah pasti sekali perempuna di
hadapannya itu
adalah Ratu Mesum maka Wiro segera
menyebut namanya "Ratu Mesum, kami
datang membawa persahabatan….."
"Seumur hidup aku tak punya sahabat. Dan
tak ingin punya sahabat! Kalian dengar itu?!"
"Susah juga bicara dengan manusia ini!" pikir
Wiro. Lalu dia menyahuti
"Jika Ratu tak mau menganggap kami
sahabat tak jadi apa. Hanya apakah
Ratu sudi membantu, itulah yang kami
harapkan…."
"Seumur hidup aku
tak pernah kedatangan tamu. Kecuali orang-
orang yang kubawa sendiri
untuk mendapatkan sorga dan menerima
neraka di tempat ini! bagaimana
kau bisa tahu tempat ini….?"
"Kami mendapat petunjuk dari Kakek Segala
Tahu…." Menerangkan Wiro.
"Hemmm….. tua bangka rongsokan itu. Belum
mampus dia rupanya! Kenapa
kalian mencariku….. Eh, kawanmu yang satu
itu apakah dia bisu. Atau
tuli? Dari tadi dia hanya menlengos-melengos
saja memandang ke jurusan
lain!"
"Kawanku ini sudah cukup lanjut usianya.
Jadi harap dimaklumi kalau dia merasa kikuk
menghadapi Ratu…."
"Rambut gondrong! Kau pandai bicara!
Katakan apa yang kalian mau?!" tanya sang
ratu.
"Kami perlu bantuanmu untuk menangkap
hidup atau mati seorang manusia
bernama Randu Ireng. Kami mewakili para
sahabat dari dunia persilatan.
Menurut Si Segala Tahu hanya kau yang
sanggup menghadapi Randu Ireng….."
"Mengapa kalian menginginkan orang itu?"
tanya Ratu Mesum.
Semula Wiro tak mau berterus terang. Dia
melirik pada Ningrum. Ketika
mendapat isyarat maka diapun menjawab
"Randu Ireng kini menguasai
sebuah cincin keramat. Jika benda itu tidak
segera dirampas dan
dilenyapkan dari atas dunia ini, rimba
persilatan akan dilanda bahaya
besar! Maut akan bertebaran di delapan
penjuru angin….."
"Kalau semua orang para mampus, apa
perduliku?" tukas Ratu Mesum.
"Kau betul. Apa perdulimu….!" Wiro mulai
jengkel.
"Gondrong! Apakah kau sadar kalau kau dan
kawanmu itu tak bakal keluar hidup-hidup
dari tempat ini…..?!"
Ningrum semakin tegang. Tenaga dalam
dilipat gandakannya ke tangan kanan.
Didengarnya Wiro berkata "Kalau takdir
mengatakan kami memang harus
mati di tempat ini ya, mau dikata apa? Tapi
apakah kau tak mau
memberikan sedikit keringanan. Kami
mendengar selain wajahmu yang
cantik luar biasa, tak ada duanya di dunia ini,
selain tubuhmu yang
bagus dan mulus tak ada perempuan lain
yang bisa menandinginya, tidak
juga permaisuri atau selir raja, tidak juga
Nyai Rara Kidul dari pantai
selatan, kami tahu kau juga seorang pemurah.
Nyawa kami berdua tentu
tak ada harganya di hadapanmu. Aku rela
mati setiap saat asal kau
berjanji mendapatkan cincin keramat itu dari
tangan Randu Ireng!"
"Cincin itu…. apakah yang terbuat dari baja
dan bergambar kepala ular sendok?" bertanya
Ratu Mesum.
"Betul sekali Ratu…." Sahut Wiro. Dia maklum
kalau ucapannya yang serba
memuji tadi kini berhasil melunakkan hati
sang ratu. Maka diapun
menambahkan "Semua para tokoh silat di luar
sana menganggap hanya Ratu
lah yang mampu melakukan hal itu…."
Ratu Mesum tertawa "Semua tokoh
silat itu tokoh tolol! Apakah mereka mengira
aku suka terhadap semua
lelaki….? Kudengar manusia bernama Randu
Ireng itu punya seribu muka…."
"Betul Ratu. Hanya saja menurut Kakek
Segala Tahu dia punya tanda hitam pada
matanya sebelah kanan…."
Ratu Mesum mengangguk beberapa kali
sambil tangan kirinya mengusapi pahanya
sendiri.
"Kita harus membuat perjanjian!" sang ratu
kemudian berkata.
"Perjanjian apa Ratu?"
"Pertama kau dan aku, kita berdua melakukan
perundingan di ruangan
dalam. Kedua, jika cincin itu berhasil didapat,
maka cincin itu akan
menjadi milikku…."
"Mana bisa begitu!" Ningrum membuka mulut
untuk pertama kali. "Benda itu adalah milik
mendiang….."
Wiro sodokkan sikutnya ke rusuk Ningrum
hingga perempuan yang menyamar sebagai
lelaki ini terhenti ucapannya.
"Hai, ternyata kawanmu itu tidak tuli dan
bisu!" kata Ratu Mesum.
"Bagamana, kau setuju dengan perjanjian
itu?!"
"Perjanjian kedua kami setuju," sahut Wiro.
"Mengenai perjanjian
pertama bagaimana kalau kita laksanakan
setalah cincin didapat.
Percayalah aku tidak akan mengingkari janji.
Aku tidak akan
mengecewakanmu."
Ratu Mesum menyeringai. "Siapa percaya
mulut lelaki!" katanya.
"Kalau begitu terpaksa kami mencari orang
lain yang dapat membantu.
Kami minta diri sekarang. Tempat ini panas
sekali……" kata Wiro lalu
kedua tangannya membua dada pakaiannya
lebar-lebar dan mengipas-ngipas
seperti orang sedang kepanasan. Sepasang
mata Ratu Mesum melirik ke
balik pakaian Wiro. Hatinya tercekat. Belum
pernah dia melihat lelaki
memiliki dada bidang penuh otot seperti
pemuda berambut gondrong itu.
"Ratu, sudikah kau membukakan pintu keluar
bagi kami…..?"
"Kalau kau sudi tidur denganku, segala
keinginanmu aku penuhi!" Tanpa malu-malu
Ratu Mesum berkata seperti itu.
"Bagaimana kalau temanku ini saja yang
melayanimu?" ujar Wiro pura-pura jual mahal.
"Si buruk itu? Janggut dan kumisnya
memuakkan. Tubuhnya kecil dan
parasnya pucat seperti kurang darah. Gerak
geriknya seperti ayam sakit!"
"Kalau kau memang tidak suka padanya
biarkan dia pergi….. Nanti kita bisa berunding
lebih leluasa!"
Mendengar kata-kata Wiro, Ratu Mesum
gerakkan tangan kanannya. Dinding
tipis yang tadi turun menutupi bagian depan
ruangan itu naik ke atas.
Wiro memegang bahu Ningrum dan berkata
"Kau tunggu kami di luar. Tak
usah kawatir. Ratu cantik ini akan menolong
kita. Cincin itu pasti akan
kita dapatkan kembali….."
Sejak tadi Ningrum sebenarnya ingin
meninggalkan tempat ini. Tapi kini disuruh
pergi sendirian dia ingin menolak.
"Pergilah," bisik Wiro. "Kurasa sesuai
petunjuk Si Segala Tahu aku sanggup
mengatur si cantik ganas ini….."
"Dia akan menipumu, lalu membunuhmu!"
kata Ningrum.
"Tidak. Aku bukan macam lelaki tolol yang
bisa disuguhinya sorga lalu
dihantamnya dengan neraka. Lihat saja nanti.
Nah, pergilah!"
Akhirnya terpaksa juga Ningrum meninggalkan
ruangan itu. Keluar dari terowongan dan
menunggu di tepi danau.
Begitu Ningrum keluar, dinding yang tadi naik
ke atas turun menutup
kembali. Kini tinggal Wiro Sableng dan Ratu
Mesum berduaan. Mengira
pemuda itu sudah terpikat, sang ratu
langsung saja hendak merangkulkan
kedua tangannya ke leher Wiro. Tapi murid
Sinto Gendeng cepat berkelit.
Sambil menjaga jarak dia berkata "Aku tahu
apa artinya sorga dan neraka
seperti tertulis di pintu masuk. Semua orang
mau sorga tapi tidak suka
neraka. Termasuk aku. Aku tidak menganggap
buruk kau mempunyai sifat
suka mencari kesenangan duniawi. Setiap
manusia sudah punya takdir
hidup sendiri-sendiri sejak dia dilahirkan.
Nah, bagaimana kalau kita
membuat perjanjian…."
"Perjanjian apa?" tanya Ratu Mesum.
Tubuhnya terasa panas keringatan.
Dadanya turun naik dan cuping hidungnya
kembang kempis. Sepasang
matanya memandang pada Wiro hampir tak
berkedip. Jelas perempuan cantik
ini tidak dapat menahan hasratnya yang
berkobar-kobar.
"Terus terang aku bukan manusia turunan
alim," kata Wiro Sableng. "Aku
bersedia memenuhi apa kemauanmu, tapi aku
tidak mau berakhir dengan
kematian…..!"
"Aku telah bersumpah! Setiap lelaki yang
jatuh dalam pelukanku harus mati!"
kata Ratu Mesum dan sepasang matanya
tetap tak berkedip, memandang tajam ke arah
Wiro.
"Sumpah teramat berat!" ujar Wiro. "Sumpah
seperti itu bisa membunuh
dirimu sendiri Ratu! Kenapa kau sampai
mengangkat sumpah seperti itu?"
"Kau tak berhak bertanya!"
Wiro garuk-garuk kepala.
"Lekas katakan apa perjanjian yag kamu
maksudkan tadi!"
"Aku mengikuti apa maumu, tapi kau juga
harus berjanji untuk membantu merampas
cincin keramat itu dari tangan Randu Ireng!"
"Jika aku tak sudi?!"
"Lebih baik aku angkat kaki dari sini sekarang
juga!"
"Tidak pernah satu lelakipun keluar hidup-
hidup dar ruangan ini!"
"Kalau begitu mari kita berkelahi sampai
salah satu dari kita menemui ajal!"
Ratu Mesum tertawa panjang mendengar
tantangan itu.
"Kulihat kau memang memiliki tenaga dan
otot. Kulihat kau memang ada
membekal senjata di balik pakaianmu. Tapi
kepandaian apa yang kau
miliki hingga berani menantang aku?!"
"Aku memang berani tapi kau?!" balas Wiro.
"Jangan kira aku pengecut!" teriak Ratu
Mesum marah. Begitu teriakannya
lenyap tubuhnya berkelebat menjadi bayang-
bayang merah. Wiro merasakan
ada angin deras menghantam ke arah
tenggorokan dan ke bawah
selangkangan. Ternyata sang ratu lancarkan
serangan berupa jotosan maut
ke leher dan tendangan mematikan ke bawah
perut. Perempuan itu yain
benar salah satu dari serangan kilatnya itu
pasti akan menemui sasaran.
Namun betapa kagetnya ketika dua-dua
serangannya hanya mengenai tempat
kosong. Sebaliknya jika dia tidak lekas
menyingkir, pinggangnya hampir
kena ditelikung si pemuda!
Ratu Mesum tegak di sudut ruangan. Matanya
berkilat-kilat memandang Wiro.
Pendekar 212 menyeringai. "Bagaimana, kau
kecapaian atau tak punya nyali lagi
meneruskan perkelahian ini?!"
"Mampuslah!" teriak Ratu Mesum. Tangan
kanannya dihantamkan ke depan.
Selarik sinar merah menderu. Meski baru
berkelahi dua jurus tetapi
saking marahnya perempuan ini langsung
keluarkan pukulan sakti pada
jurus ketiga.
Murid Sinto Gendeng yang memang sudah
berjaga-jaga
sambut pukulan dengan pukulan "dinding
angin berhembus tindih
menindih". Ratu Mesum tersentak kaget ketika
mendengar ada suara angin
menderu, menerpa ke arahnya. Dan dia jadi
lebih kaget lagi ketika
melihat sinar merah pukulannya buyar
berantakan dan tiba-tiba saja
tubuhnya seperti dilabrak angin punting
beliung, terbanting ke
belakang, terseret ke samping. Ketika dia
berhasil mengimbangi diri dan
melompat ke samping, dinding batu pualam di
belakangnya terdengar
mengeluarkan suara berderak! Ratu Mesum
berpaling. Dinding tebal itu
ternyata retak besar, sebagian batu
pualamnya hancur dan tanggal
berjatuhan.
"Pemuda keparat! Kau merusak tempat
kediamanku!" teriak
Ratu Mesum marah. Tubuhnya melesat ke
atas. Kedua tangannya bergerak
menyingkapkan pakaian merahnya tinggi-
tinggi. Saat itu pula bertabur
bau sangat harum yang menusuk hidung
Pendekar 212 Wiro Sableng. Sesaat
pendekar ini seperti gelagapan ketika bau
harum aneh itu merasuk jalan
pernafasannya. Namun tak selang beberapa
lama dia dapat mengatur jalan
nafasnya kembali dan cepat memasang kuda-
kuda baru. Turun ke lantai
Ratu Mesum terkejut bukan main. Ketika
melompat tadi dia telah
keluarkan hawa harum yang merupakan
senjata andalannya. Hawa harum itu
mengandung racun jahat yang dapat
membuat lawan menjadi lemas dan jatuh
pingsan. Selama ini tak satu orangpun
sanggup mempertahankan diri dari
kehebatan imunya itu. Namun sekali ini dia
melihat kenyataan yang
hampir tak dapat dipercaya. Jangankan
pingsan, lemaspun pemuda itu
tidak sama sekali. Perlahan-lahan kemarahan
sang ratu jadi mengendur
malah berubah menjadi kagum. Dalam hati
kecilnya dia berkata, kalau
saja pemuda lihay ini dapat menjadi kawan
hidupnya, mungkin dia mau
mempertimbangkan untuk meninggalkan jalan
sesat yang selama ini
ditempuhnya, hidup menjadi perempuan baik-
baik.
"Orang muda, siapa kau sebenarnya?!"
bertanya Ratu Mesum.
Wiro Sableng tersenyum.
"Penting sekalikah namaku bagimu…..?" tanya
Wiro.
"Aku bersedia membantu mendapatkan cincin
mustika itu." kata Ratu Mesum seperti tidak
acuh akan pertanyaan Wiro tadi.
Wiro yang maklum apa maksud kata-kata
perempuan tu tersenyum lebar dan
berkata "Kalau tadi-tadi kau jelaskan hal itu
tak perlu kita sampai
berkelahi segala….."
"Hebat berkelahi belum tentu hebat di tempat
lain. Aku perlu mengujimu. Jika kau nanti
mengecawakan sumpahku akan
berlaku!" Habis berkata begitu Ratu Mesum
tekan dinding di belakangnya
dengan siku kanan. Dinding batu itu terbuka.
Di belakang dinding kini
terpampang sebuah ruangan tidur yang
sangat indah. Ratu Mesum melangkah
berlenggak lenggok lalu merebahkan tubuhnya
di atas ranjang besar.
Tangan kanannya melambai memanggil Wiro.
"Ratu keparat!" kata Wiro
dalam hati, "Kau akan lihat. Aku bukannya
ayam aduan yang hebat dalam
persabungan, tapi keok di tangan ayam
betina!" Sekali lompat saja
pendekar ini sudah berada di atas tempat
tidur.
Ratu Mesum
menggeliat. Entah kapan tangannya bergeark
tahu-tahu buhulbuhul ikatan
pakaian merahnya di sebelah depan terbuka.
Wiro kini melihat sosok
tubuh yang sangat elok menakjubkan, yang
tak pernah dilihatnya
sebelumnya. Sesaat dia seperti mendengar
ucapan Kakek Segala Tahu :
"Mana ada kucing menolak daging….."
Ketika hari mulai gelap, Ningrum yang
menunggu di mulut lobang dekat perahu kayu
menjadi gelisah.
"Pemuda keparat! Aku disuruhnya menjadi
patung di sini! Dia sendiri
bersenang-senang di dalam sana!" maki
perempuan itu. dia tak tahu
hendak berbuat apa selain melangkah mundar
mandir. Sekali karena sangat
kesalnnya dia tendang perahu milik Ratu
Mesum. Untung tidak rusak.
Malam tiba. Udara dalam terowongan itu
ternyata dingin sekali.
Keletihan, Ningrum membaringkan tubuhnya
dalam perahu. Sampai tengah
malam Pendeakar 212 Wiro Sableng tak
kunjung muncul. Ningrum menunggu
terus terkantuk-kantuk. Akhirnya perempuan
ini jatuh tidur. Dia
terbangun ketika dirasakannya ada orang
yang menepuk-nepuk bahunya.
Dibukanya kedua matanya dan duduk. Di
hadapannya tegak pemuda itu yang
kini telah mengganti pakaian putihnya dengan
pakaian merah. Tegak
sambil tersenyum-senyum.
"Kukira kau sudah mati di dalam sana!" kata
Ningrum saking marahnya, lalu turun dari
perahu.
Ratu Mesum tampak tenang-tenang saja.
"Pakaian merah itu, tentu kau dapat dari
dia…." Ningrum membuka mulut kembali.
"Apa kauingin pakaian seperti itu?" Ratu
Mesum bertanya.
Ningrum tak menyahut.
Ratu Mesum menggelungkan tangannya ke
tangan Wiro. "Kita berangkat sekarang…..?"
tanyanya.
Wiro mengangguk "Makin cepat makin baik…."
"Tapi ingat janjimu. Setelah urusan kita
selesai, kau dan aku kembali kemari…."
Wiro garuk-garuk kepala dan melirik pada
Ningrum. "Itu bisa diatur Ratu,"
sahut Murid Sinto Gendeng. "Ke mana tujuan
kita yang pertama? Air terjun Banyu Abang
atau Bukit Merak Biru…..?"
"Bukit Merak Biru lebih dekat. Sebaiknya kita
menyelidik ke sana dulu.
Kalau orang yang kita cari tidak ada di situ,
kita baru ke air terjun
itu. Kita harus bergerak cepat. Bisakah
kawanmu yang seperti ayam sakit
ini berlari cepat?!"
Dikatakan ayam sakit membuat Ningrum
jengkel
sekali. Ingin dia menampar mulut perempuan
itu. Tapi sadar kalau dia
membutuhkan bantuannya maka dengan
menahan hati perempuan yang menyamar
jadi laki-laki ini berusaha mempersabar diri.
Sambil melangkah ke mulut
goa Wiro menerangkan pada Ningrum bahwa
menurut pengetahuan Ratu Mesum
orang yang mereka cari yakni Randu Ireng
sering berada di Bukit Merak
Biru atau air terjun Banyu Abang. Mereka
akan menyelidik di kedua
tempat itu.
Mereka tidak mempergunakan perahu,
melainkan langsung
naikke darat dan mengandalkan kepandaian
berlari cepat. Ratu Mesum
tampak agak heran juga ketika melihat
Ningrum mampu berlari walau
tertinggal beberapa langkah di belakang.
Kembali sang ratu membuka mulut mengejek
"Tidak sangka kawanmu yang jelek itu
memiliki ilmu lari….."
Ningrum berbuat seolah-olah tidak
mendengar. Yang saat ini
dikawatirkannya ialah kalau cincin baja putih
berhasil dirampas dari
tangan Randu Ireng, apa tidak mustahil Ratu
Mesum akan melarikannya?
Sementara itu pagi yang cerah menjadi panas
ketika sang surya mulai
menebarkan sinar teriknya. Menjelang sore
mereka sampai di tujuan
pertama yakni Bukit Merak Biru. Di puncak
bukit, di bagian yang
berbatu-batu terdapat sebuah rumah yang
keseluruhan dinding, lantai,
dan atap terbuat dari rotan. Setelah diperiksa
rumah itu ternyata
kosong.
"Dia tak ada di sini…. " kata Ratu Mesum.
"Kalau begitu kita terus ke air terjun Banyu
Abang." Berkata Ningrum.
"Betul." Menyetujui Wiro.
Ratu Mesum tertawa lebar sambil geleng-
gelengkan kepala.
"Mengapa kau menggeleng. Kau tidak suka
kita segera meneruskan perjalanan….?" Tanya
Wiro pula.
"Tidak kalian lihatkah matahari sudah hampir
lenyap, tenggelam di
sebelah barat sana? Sebentar lagi malam tiba.
Malam sepi dan dingin.
Aku tidak suka mengadakan perjalanan pada
malam hari. Malam adalah saat
untuk istirahat dan berhangat-hangat….."
Jijik sekali Ningrum
mendengar ucapan Ratu Mesum itu.
kejengkelannya semakin bertumpuk. Wiro
Sableng sendiri maklum apa maksud tujuan
kata-kata Ratu Mesum tadi.
Perempuan itu memandang sesaat padanya
lalu masuk ke dalam rumah rotan
tanpa menutupkan pintu.
"Mari kita masuk….." mengajak Wiro
Ningrum menggeleng. "Aku tak akan masuk.
Lebih baik mati kedinginan di luar sini!"
"Kenapa tak mau masuk?" tanya Wiro heran.
"Kalau kau mau masuk, masuklah. Bukankah
perempuan itu tadi jelas hendak mengajakmu
berhangat-hangat….?"
Menyadari bahwa orang yang menyamar
seperti laki-laki itu sebenarnya
adalah perempuan membuat Wiro tertawa.
Maka diapun berkata "Semua ini
terjadi karena maksudku menolongmu. Jika
kau memang tak ingin
mendapatkan cincin mustika itu serta tak ada
rencana hendak membalas
dendam terhadap Pangeran Arga Kusumo
lebih baik aku pergi saja dari
sini!"
Ningrum terdiam. Lalu pergi duduk di atas
sebuah batu besar.
"Jika sahabatmu itu tidak mau masuk, buat
apa dipaksa?!" Terdengar
suara Ratu Mesum dari dalam rumah rotan.
"Bukankah malah lebih baik
kalau dia tidak ikut masuk ke dalam sini….?"
Wiro hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia
memandang sekali lagi ke arah Ningrum lalu
masuk ke dalam rumah.
"Jangan lupa menutup pintu Wiro," kata Ratu
Mesum sambil lontarkan
senyum memikat. Sesaat setelah Wiro
menutup pintu perempuan ini
langsung memeluknya. Nafasnya terasa panas
tanda nafsunya
berkobar-kobar.
Tingginya sekitar empat tombak, tidak terlalu
lebar namun bentuknya
yang melengkung membuat indah sekali.
Apalagi bagian belakang air
terjun itu merupakan batu-batu padas
berwarna merah gelap hingga dari
depan dan dari samping jika diperhatikan air
terjun itu kelihatan
kemerah-merahan.
Suasana di tempat itu sunyi dan redup. Yang
terdengar hanya deru air
terjun yang mengalir dan jatuh di atas batu-
batu besar di sebelah
bawah, kemudian membentuk sungai kecil
dangkal berair sangat jernih.
Sesekali terdengar suara burung hutan
berkicau, lalu terbang dan
berkicau lagi di tempat lain.
"Aku tidak melihat sebuah bangunanpun di
sini….." kata Ningrum sambil
memandang berkeliling. "Apakah manusia
bernama Randu Ireng itu betul
bisa ditemui di sini….?"
"Kau tahu apa tentang orang itu…." kata
Ratu Mesum ketika jelas merasa orang tidak
mempercayainya. Perempuan
ini memegang lengan Wiro dan menunjuk ke
atas sebuah pohon tinggi besar
berdaun lebat. "Lihat rumah kayu di atas
sana……"
Di antara beberapa
cabang pohon besar yang ditunjuk Ratu
Mesum ternyata memang terdapat
sebuah rumah papan, lengkap dengan tangga
kecil. "Itu rumah Randu
Ireng…." Bisik Ratu Mesum.
"Sekarang bagaimana kita mengatur
rencana….?"
"Serahkan padaku!" jawab sang ratu. "Kalian
berdua harus bersembunyi.
Jangan terlihat Randu Ireng. Sekali dia
sempat melihat kalian
berantakan rencanaku…..!"
"Apa yang hendak kau lakukan?" tanya Wiro
Sableng ingin tahu.
Ratu Mesum pegang jari-jari tangan pemuda
itu lalu menciumnya seraya
berkata "Kau lihat saja. Jangan cemburu. Apa
yang aku berikan padamu
tak akan kuberikan pada manusia itu….."
"Kau harus hati-hati," ujar Wiro. "Dan yang
penting cincin itu harus kau dapat….!"
"Jangan kawatir!" jawab Ratu Mesum. Sekali
lagi dia mencium jari-jari
Wiro lalu dengan gerakan cepat
ditinggalkannya tempat itu, lari
menuruni tebing batu-batu cadas licin. Jika
tidak memiliki kepandaian
tinggi seseorang tak dapat menuruni tebing
itu apalagi sambil berlari
seperti yang dilakukan Ratu Mesum. Sekali
kaki terpeleset, tubuh akan
jatuh ke bawah, disambut batu cadas keras.
Beberapa saat lamanya
tubuh Ratu Mesum tak kelihatan. Tak lama
kemudian tampak sosok bayangan
merah di belakang air terjun. Ternyata
perempuan itu sudah ada di bawah
air terjun.
"Apa yang dilakukannya di situ. Mengapa dia
justru menuju air terjun. Bukan ke rumah di
atas pohon sana……?" bisik Ningrum.
"Akupun tidak mengerti. Kita lihat saja.
Manusia seperti dia punya
seribu satu akal. Berkepandaian tinggi, cerdik
dan berbahaya……"
"Dan memiliki nafsu menjijikkan!" sambung
Ningrum.
Wiro tak menjawab. Makian Ningrum yang
ditujukan pada Ratu Mesum sama
saja dengan makian yang ditujukan padanya.
Karena diapun telah menjadi
"korban"
nafsu sang ratu. Wiro memandang ke arah air
terjun. Ningrumpun tak berkata apa-apa lagi.
Ikut memandang ke jurusan yang sama.
"Eh…..?" Wiro berseru kecil. Di bawah sana,
Ratu Mesum dilihatnya
melangkah di atas batu-batu cadas basah,
keluar dari belakang air
terjun, menuju ke sebelah depannya. Dan saat
itu perempuan ini sama
sekali tidak mengenakan apa-apa lagi.
Tubuhnya yang bugil putih dan
mulus elok itu tampak seolah-olah berkilau
disiram sinar matahari.
"Gila! Ternyata dia mau enak-enakan mandi
di air terjun!" kembali terdengar suara
Ningrum.
"Diam sajalah!" tukas Wiro. "Terlalu keras
bicara, salah-salah suaramu akan terdengar
oleh Randu Ireng….."
Dari arah air terjun di mana Ratu Mesum saat
itu berada dan duduk di
sebuah batu besar sambil menjulurkan
sepasang kakinya yang bagus, lalu
menyiramnyiramkan air sungai sedikit-sedikit
ke tubuhnya, tiba-tiba
terdengar suara nyanyian merdu. Yang
menyanyi ternyata sang ratu
sendiri.
Air terjun Banyu Abang
Banyu Abang banyu yang sejuk
Nikmatnya mandi bersiram air dan matahari
Sayang hanya seorang diriTempat yang indah
untuk merajuk
Pesinggahan yang menyenangkan bagi
pengelana
Berpolos diri saling menggodamaklum kalau
perempuan tersebut telah mengerahkan
tenaga dalamnya.
Kalau tidak suara nyanyiannya tak mungkin
terdengar keras, menggema
sampai ke atas tebing, hampir mengalahkan
deru air terjun.
Sudut
mata Ningrum menangkap satu gerakan. Dia
cepat berpaling, menoleh ke
arah pohon besar lalu cepat-cepat menggamit
Wiro dan berbisik "Ada
orang keluar dari rumah di atas pohon!"
Wiro cepat berpaling,
memandang ke arah pohon. Memang benar.
Saat itu pintu rumah kayu di
atas pohon tampak sudah terbuka dan
seorang lelaki berpakaian putih
nampak tegak di atas cabang besar. Orang ini
mengenakan pakaian serba
putih dengan ikat pinggang kulit besar melilit
di pinggangnya. Di
kepalanya ada sapu tangan besar putih yang
dilipat berbentuk segitiga,
diikatkan membentuk topi. Orang ini tegak
bekacak pinggang, memandang
lurus-lurus ke arah iar terjun di mana saat itu
Ratu Mesum masih terus
duduk berselunjur, memain-mainkan air
sambil terus bernyanyi.
"Itu manusianya yang bernama Randu Ireng?"
tanya Ningrum.
Wiro tak segera bisa menjawab. Tampang dan
pakaian orang itu jauh
berbeda dengan manusia yang ditemuinya
pada malam hujan lebat di mana
terjadi pembunuhan atas puluhan perajurit
Demak.
"Tak dapat
kupastikan. Jarak kita dengan dia terlalu
jauh. Kalau pakaian dan
tampangnya jelas berbeda dengan orang yang
kulihat malam itu. Kalau
saja aku bisa melihat matanya….."
Tiba-tiba, seperti seekor burung
besar, orang di atas pohon melompat,
melayang turun dan menjejakkan
kedua kakinya di atas batu cadas sejauh
delapan tombak dari tempat Wiro
dan Ningrum bersembunyi. Pendekar ini cepat
memberi isyarat dengan
tangan pada Ningrum agar tidak bergerak dan
jangan bicara.
Di bawah
sana Ratu Mesum masih terus menyanyi.
Lelaki di atas batu cadas sekali
lagi tampak melompat, melompat dan
melompat. Tubuhnya kini seperti bola
karet. Empat kali lompatan akhirnya dia
sampai di depan Ratu Mesum.
Perempuan itu tampak terkejut. Mengeluarkan
pekik kecil lalu berusaha
menutupi auratnya dengan kedua tangannya.
Lelaki berpakaian putih terdengar tertawa.
"Bidadari dari mana yang kesasar turun ke
bumi dan mandi di air terjun Banyu
Abang…..!"
"Siapa kau! Laki-laki lancang! Barani
mengintip perempuan mandi!" teriak Ratu
Mesum. Wajahnya menunjukkan mimik marah.
"Aku adalah aku! Kau siapa bidadariku?!"
"Pergi!" Ratu Mesum cepat berdiri. Tapi orang
di depannya lebih cepat
menekan bahunya. Kedua matanya berkilat-
kilat. Seumur hidup belum
pernah dia melihat perempuan secantik ini.
dan dalam keadaan bugil
begini rupa. Sepasang payudara yang putih
kencang, pinggang ramping
yang berakhir pada pinggul yang besar. Perut
yang licin mulus, sepasang
paha dan kaki yang sangat indah. Sekujur
tubuh lelaki itu mendadak
menjadi kencang.
"Selain cantik kau juga pandai menyanyi!"
Lelaki
tadi memuji. "Aku senang sekali bila bisa ikut
mandi bersamamu!" Lalu
orang itu membuat gerakan hendak membuka
bajunya.
"Lelaki kurang ajar! Pergi atau aku akan
menjerit……!"
"Kalau kau menjerit lalu kenapa….."
"Tidak disangka. Aku sengaja lari dari rumah
karena hendak dipaksa
kawin dengan kakek-kakek tua keparat itu.
Tahu-tahu kini bertemu dengan
lelaki jahat….!"
"Ah, rupanya kau dewi yang minggat dari
rumah.
Dengar, aku bukan orang jahat. Dan aku
masih muda. Tampangku tentu
tidak sejelek kakek tua itu bukan? Ha…
ha…..ha….!"
"Pergi sana!
Lelaki gila!" teriak Ratu Mesum. Dia berusaha
meneliti mata kanan orang
di depannya. Untuk melihat apakah ada bintik
hitam pada bagian putih
mata itu. Tetapi karena dia duduk di bawah
sedang orang berdiri agak
sulit baginya untuk memperhatikan.
"Dewiku, mungkin benar hari ini
aku iba-tiba telah menjadi gila! Tergila-gila
padamu! Hai, tahukah kau
aturan kehidupan di tempat ini…..?"
"Tidak! Dan perduli amat segala macam
aturan! Memangnya kau yang memiliki tempat
ini….?!" tukas Ratu Mesum.
"Tentu saja memang aku yang menjadi
penguasa di tempat ini. aturanku,
siapa yang berani mandi di air terjun Banyu
Abang tanpa seizinku, jika
dia lelaki akan kubunuh. Jika dia seorang
perempuan yang aku tidak
berkenan juga akan kubunuh. Tetapi jika dia
soerang perempuan cantik
sepertimu maka dia harus tunduk pada
perintahku…..!"
"Tunduk pada
perintahmu…..Hik….hik…..hik…..!" Ratu Mesum
tertawa panjang sambil
mainkan lidahnya yang merah dan perlihatkan
barisan gigi-giginya yang
putih rata. Membuat orang di hadapannya
semakin blingsatan. "Tunduk
padamu katamu?! Memangnya kau sultan
atau raja…. Tampang adipatipun kau
tak punya!"
Diejek seperti itu orang tadi tidak tampak
marah malah
ikut-ikutan tertawa "Sultan atau Raja, apalagi
adipati bukan apa-apa
bagiku! Aku jauh lebih hebat dari pada
mereka semua…..!"
"Walah! Ternyata kau hanya seorang yang
tidak waras! Kau pasti turunan orang hutan.
Eh, apakah kau punya nama….."
"Kau boleh menyebut namaku apa saja!"
"Monyet, begitu! Atau lutung…..?!" ujar Ratu
Mesum. Kedua tangannya
masih menutupi dada sedang kedua paha
dilipat dan dinaikkan ke atas.
"Boleh-boleh saja kau menyebut aku begitu!"
"Kau betul-betul hebat," kata Ratu Mesum
pula. "Tapi aku tidak suka
pada lelaki berotak miring dan bicara ngacok
sepertimu. Menyingkirlah!"
"Tidak! Kau telah mandi di Banyu Abang.
Berarti kau berada dalam kekuasaanku. Kau
harus ikut aku!"
"Ikut kau? Ikut ke mana….?"
"Ke rumahku di atas pohon sana!"
"Ah, ternyata kau bangsa tikus pohon atau
tupai!"
"Jika kau menurut baik-baik kau akan
kuperlakukan dengan baik. Jika
membantah tubuh dan wajahmu yang cantik
akan kubuat cacat!" lelaki itu
mengancam.
"Aku mau lihat apakah kau sanggup dan
berani
melakukannya!" kata Ratu Mesum. Lalu dia
turunkan kedua tangannya,
busungkan dada, pejamkan mata dan
angsurkan wajahnya! Melihat ini tentu
saja lelaki itu menjadi salah tingkah,
bergeletar sekujur tubuhnya,
hampir tak dapat menahan rangsangan.
Kemudian dilihatnya mulut dengan
bibir yang basah itu mengeluarkan suara
"Jika kau memberitahu namamu,
mungkin aku mau ikut denganmu."
"Sebut saja namaku Danupaya….." kata lelaki
itu.
"Danupaya….?" Desis Ratu Mesum.
"Berlututlah biar dekat. Aku ingin
melihat wajahmu agar tahu apakah kau betul
bernama Daupaya…."
Seperti terkena sihir lelaki itu perlahan-lahan
berlutut di depan Ratu
Mesum. Sepasang mata sang ratu terbuka
sedikit. Senyum bermain di
mulutnya. "Kau berdusta. Namamu bukan
Danupaya….."
"Heh….. Lalu kau mau nama apa? Kau boleh
panggil Singgil Manik atau sebut aku Tunggul
Ambang atau….."
"Dengar, aku mulai suka padamu. Ternyata
wajahmu cukup tampan juga.
Tetapi aku tidak suka pada lelaki yang
berbohong. Hanya lelaki pengecut
yang sengaja menyembunyikan namanya!"
"Baiklah, kukatakan namaku sebenarnya. Aku
Randu Ireng….."
Kedua mata Ratu Mesum membuka lebih
lebar. Perhatiannya tertuju pada
mata kanan orang yang berlutut di depannya.
Dalam jarak sedekat itu
kini dia dapat melihat jelas lelaki itu memiliki
bintik hitam pada
matanya sebelah kanan. Tanda pasti yang
ditunjukkan oleh Kakek Segala
Tahu danyang telah disampaikan Wiro
padanya! Tanda bahwa orang itu
memang Randu Ireng!
"Kau masih saja mau berdusta. Kau bukan
Randu Ireng. Katakan namamu
sebenarnya….!" Kata Ratu Mesum pula.
"Demi segala setan penghuni air terjun ini,
aku bersumpah tidak berdusta. Aku memang
Randu Ireng!"
Ratu Mesum geleng-gelengkan kepala. Basahi
bibirnya dengan ujung lidah,
turunkan kedua kakinya yang membuat lelaki
di depannya tambah membeliak
tak berkesip. "Tidak mungkin….. tidak
mungkin kau Randu Ireng. Randu
Ireng yang sebenarnya lebih hebat dari raja,
lebih tinggi dari sultan.
Aku mendengar manusia bernama Randu Ireng
itu adalah turunan penguasa
laut selatan dan luat utara…. Memiliki
kekuatan hebat yang sanggup
menghancuran gunung dan meleburkan bukit.
Jangankan gunung dan bukit,
batu di depan sana itupun kau tak sanggup
menghancurkannya!"
Lelaki
yang berlutut di hadapan Ratu Mesum jadi
tercekat. Dengan tangan kosong
memang tak mungkin baginya menghancurkan
batu itu. Tapi…..
"Kau betul-betul mau melihat aku
menghancurkan batu itu…..?"
"Sudahlah! Jangan mimpi. Menyingkirlah. Aku
harus pergi…." Ratu Mesum
berdiri dan karena lelaki itu masih berlutut
perut perempuan itu tepat
di dapan kepalanya, hampir menempel ke
hidungnya. Tak sanggup lagi
menahan rangsangan yang membakar dirinya,
lelaki itu langsung memagut
pinggul Ratu Mesum, menciumi perutnya.
"Lelaki kurang ajar!" Ratu Mesum dorong
tubuh orang itu kuat-kuat hingga terjengkang
tapi tak sampai jatuh ke dalam air.
"Jangan pergi! Aku akan buktikan padamu
aku sanggup menghancurkan batu
itu. Kalau tidak jangan panggil aku Randu
Ireng!" lalu orang ini
susupkan tangannya ke balik pakaian. Dia
mengeluarkan sebuah kentong
kulit berwarna hitam yang diikat erat-erat ke
tali pinggang celananya.
Dari dalam kantong ini dikeluarkannya sebuah
benda putih berkilat-ilat
yang langsung disusupkannya ke jati
telunjuknya. "Lihat batu itu!"
katanya seraya menunjuk dengan jari telunjuk
tangan kanannya. Giginya
bergerak menggigit bibir sebelah bawah. Satu
suara aneh seperti
seruling mencuat menyakitkan telinga Ratu
Mesum. Detik itu juga tiga
larik sinar putih halus menyilaukan melesat,
menghantam batu besar,
membuat batu itu hancur berantakan.
"Sudah kau saksikan?!"
Ratu
Mesum kedip-kedipkan mata. "Mungkin kau
hanya menyihirku. Membalik
pemandangan mataku. Coba kau hancurkan
lagi batu yang disebelah sana
kalau bisa!"
"Kenapa tidak bisa!"
Seperti tadi orang itu
acungkan jari telunjuk tangan kanannya. Saat
itu Ratu Mesum segera
dapat melihat bahwa cincin yang dipakainya
memang adalah cincin keramat
yang tengah mereka cari. Cincin baja putih
dengan hiasan kepala ular
kobra. Cincin warisan setan yang telah
menggemparkan dunia persilatan,
dicari dan dikejar orang, mulai dari paar tokoh
silat sampai
orang-orang istana.
"Lihat!" kata lelaki itu lagi. Dia anggukkan
kepala sedikit, gigit lagi bibirnya.
Seperti tadi terdengar kembali bunyi seruling
melengking, disusul oleh
kiblatan tiga larik sinar menyilaukan. Sesat
kemudian batu besar yang
satu itupun hancur pula berkeping-keping.
"Ah, sekarang aku percaya
kau adalah Randu Ireng. Orang terhebat di
delapan penjuru angin. Kau
tidak berdusta bahwa kau memang lebih
hebat dari sultan maupun raja.
Cuma, aku minta bukti sekali lagi. Kau lihat
pohon besar di atas tebing
sana? Coba kau hancurkan bagian batang
sebelah bawah, dekat akarnya……"
Randu Ireng tertawa lebar. "Kalau batu saja
hancur lebur apalagi batang kayu. Lihat!"
Lelaki itu acungkan jarinya, gigit bibir. Dan
untuk ketiga kalinya
kembali terdengar suara bersuit. Sinar putih
berkiblat tiga larik.
Melesat ke arah pohon besar di atas tebing di
belakang mana Pendekar
212 Wiro Sableng dan Ningrum bersembunyi.
Ketika melihat datangnya
sinar maut menyambar ke arah pohon
Ningrum terpekik. Kaget dan marah.
Wiro cepat mendorong tubuh perempuan itu
keras-keras ke samping. Dia
sendiri menyusul berguling selamatkan diri.
"Blus!"
"Braak!"
Pohon besar hancur. Batangnya patah di
sebelah bawah dan akarnya terbongkar dari
tanah.
"Perempuan keparat itu hendak membunuh
kita!" ujar Ningrum.
Di bawah sana, Randu Ireng tersentak kaget.
Bukan karena tumbangnya
pohon, melainkan ketika mengetahui ada
orang di atas tebing.
"Hei! Ada orang di atas sana! Keparat! Siapa
mereka! Kawan-kawanmu?!"
"Aku datang ke mari sendirian. Sipapun
mereka pasti bermaksud tidak
baik!" jawab Ratu Mesum. "Mari kita
menyelidik ke atas sana. Tapi aku
berpakaian dulu!"
Lalu dia melangkah ke arah air terjun. Tapi
begitu sampai di belakang Randu Ireng,
perempuan ini hantamkan
pinggiran tangan kanannya ke leher orang itu.
"Kraak!"
Terdengar suara patanya tulang leher Randu
Ireng. Tubuhnya terhuyung
sesaat, tangan kirinya menggapai-gapai
mencari keseimbangan.
Perlahan-lahan Randu Ireng coba memutar
tubuh menghadapi ke arah Ratu
Mesum.
"Perempuan keparat! Penipu laknat!
Mampuslah!"
Randu
Ireng acungkan jari telunjuknya ke arah Ratu
Mesum. Tapi lehernya yang
patah membuat tubuhnya hilang kekuatan.
Tangan kanan itu bergetar
bergoyang-goyang. Randu Ireng gigit
bibirnya. Namun sebelum hal ini
sempat dilakukannya tendangan kaki kanan
Ratu Mesum mendarat tepat di
mukanya. Mulut dan hidung Randu Ireng
hancur. Darah kental mengucur.
Kepala dan tubuhnya mencelat dan segera
jatuh ke dalam air. Ratu Mesum
cepat menyergap untuk meloloskan cincin
baja putih dari telunjuk Randu
Ireng, namun saat itu entah dari mana
datangnya bekelebat sesosok
tubuh. Ketika sosok tubuh ini lenyap, tubuh
Randu Irengpun tak ada lagi
di tempat itu. Ratu Mesum berteriak hendak
mengejar. Namun segera
disadarinya orang yang berkelebat tadi telah
menotok jalan darahnya di
dada kiri hingga dia hanya mampu bersuara
tapi sama sekali tak sanggup
menggerakkan anggota tubuhnya!
Semula Ratu Mesum mengira yang
melakukan itu adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Namun ketika dia
memandang ke arah tebing batu di jurusan
tumbangnya pohon besar,
dilihatnya orang yang melarikan tubuh Randu
Ireng ternyata berpakaian
rombeng, memakai caping bambu lebar. Di
tangan kirinya ada sebatang
tongkat dan sebuah kaleng rombeng.
Di atas tebing, orang yang
melarikan tubuh Randu Ireng berhenti. Dia
menarik lepas cincin pembawa
malapetaka dari jari telunjuk Randu Ireng.
Lalu tubuh yang sudah tak
bernyawa itu dilemparkannya ke bawah
tebing, menggelinding ke bawah,
masuk ke dalam sungai. Mengambang lalu
hanyut ke hilir.
Wiro Sableng dan Ningrum yang melihat
kejadian yang serba cepat dan serba tak
terduga itu tegak terkesiap.
"Kakek Segala Tahu!" seru Wiro ketika dia
kenali orang tua di depannya.
Si kakek tertawa lebar. Dia pindahkan kaleng
butut ke tangan kanan lalu kerontang-
kerontangkan benda itu tiga kali.
"Tunggu apa lagi, lekas ikut aku!" katanya.
Ningrum, yang mengetahui cincin sakti milik
suaminya telah beada di
tangan si kakek, langsung saja melompat
mengikuti. Tapi Wiro sesaat
tampak bingung. Akan mengikuti orang tua
itu atau turun ke air terjun.
"Hai!" si kakek memanggil. Ketika Wiro masih
tegak tak bergerak, kakek
itu kembali, lalu menyeret lengannya. Wiro
berusaha mempertahankan
diri. Tapi astaga! Tenaga si kakek ternyata
tidak berada di bawahnya.
Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga luar
dalam tetap saja dia tertarik.
Akhirnya pendekar ini terpaksa mengikuti.
"Kek, apa yag kau lakukan dengan perempuan
itu…..!" tanya Wiro.
Yang ditanya tak menjawab. Di suatu tempat
akhirnya Kakek Segala Tahu
hentikan larinya dan memandang pada kedua
orang itu sambil acungkan
cincin baja putih.
"Kalian tahu, kalau cincin ini tidak kurampas
lebih dulu, perempuan bugil itu akan
menguasainya. Sekali benda ini
berada di tangannya kiamatlah dunia
persilatan!"
"Akupun sudah
menduga seperti itu kek," sahut Ningrum.
"Perempuan jahat itu tak bisa
dipercaya. Tapi kawanmu ini sudah tergila-
gila padanya hingga tak bisa
diingatkan!"
Wiro hanya garuk-garuk kepala.
Ningrum membuka
mulut kembali. "Mengingat cincin itu adalah
milik suamiku, berarti aku
harus menerimanya kembali." Tapi perempuan
yang mnyamar jadi laki-laki
ini jadi kaget ketika dilihatnya si kakek
gelengkan kepala.
"Tidak.
Tidak satu manusiapun di muka bumi ini
boleh memiliki cincin warisan
setan ini. benda ini harus dikembalikan ke
asalnya. Dari laut kembali
ke dalam laut. Aku akan membawanya ke
pantai selatan dan membuangnya di
sana…."
"Tapi….." potong Ningrum.
"Tidak ada tapi-tapian
perempuan berkumis! Sebaiknya kau
melupakan cincin ini. Dengan demikian
arwah suamimu akan tenteram di alam baka.
Kau kembalilah ke tempat
gurumu….."
"Aku harus ke Kotaraja!" jawab Ningrum.
"Mencari pangeran bernama Arga Kusumo itu
dan membalaskan dendam suamimu?" tanya
si kakek.
"Apalagi. Itu kewajibanku untuk
melakukannya."
"Dengar. Pangeran Arga Kusumo telah
meninggal satu bulan lalu. Mati
terkena penyakit menular. Penyakit sampar!
Nah, bukankah lebih baik
bagimu kembali ke tempat gurumu dari pada
memaksakan diri ke
Kotaraja…..?"
Ningrum terdiam. Kedua matanya tampak
basah. Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Ayo, buat apa berlama-lama di sini. Mari
kita pergi!" kata Si Segala Tahu.
"Kalau kalian mau pergi, pergilah," kata Wiro.
"Heh, apa yang ada dalam benakmu orang
muda?" tanya si kakek.
"Aku harus kembali ke air terjun itu. kulihat
kau telah menotok
perempuan itu! aku tidak tega membiarkannya
seperti itu. Paling tidak
baru besok pagi totokanmu lepas….."
Si kakek tertawa. "Pemuda
aneh," katanya. "Apa kau tidak sadar kalau
tadi perempuan itu sengaja
menyuruh Randu Ireng menghantam ke arah
pohon adalah karena dia
bermaksud membunuhmu dan kawanmu ini?!"
"Aku tidak tahu kek. Mungkin dia tidak tahu
kalau kami sembunyi di balik pohon…. Kini
aku harus menolongnya!"
"Pemuda tolol! Kau bukan cum ingin
menolong. Kau benar-benar telah jadi kucing
yang tak pernah menolak daging!"
"Kalau begitu biar kau saja yang
menolongnya. Siapa tahu dia tertarik padamu….."
Kakek Segala Tahu tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Wiro itu. "Aku cuma seekor kucing tua yang sudah tak bergigi lagi. Mana sanggup melahap daging….. Ha…..ha…..ha…..ha!"
Setelah puas tertawa kakek itu
menarik tangan Ningrum. Keduanya berlalu dari hadapan Wiro. Pendekar
212 Wiro Sableng menarik nafas panjang lalu berlari, kembali menuju air terjun Banyu Abang.
Selesai
Komentar
Posting Komentar