WIRO SABLENG
EPISODE : BENCANA DI KUTO GEDE
karya : BASTIAN TITO
**********
KUTO GEDE sudah jauh di belakang
mereka. Malam tambah gelap dan dinginnya udara semakin mencucuk. Di langit sebelah tenggara tampak kilat menyambar
beberapa kali.
"Turunkan aku di sini!" teriak gadis di atas panggulan bahu kanan
Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Tenang sajalah dan jangan banyak bicara. Berhenti di tempat ini
masih cukup besar bahayanya. Bukan mustahil orang-orang kerajaan membuntuti kita!"
"Aku tidak takut pada mereka!" sahut Nawang Suri. Dia adalah gadis yang baru saja diselamatkan Wiro Sableng ketika pecah perkelahian hebat di istana di awal malam. Di atas bahu sang pendekar, dara itu berada dalam keadaan tertotok sementara tangan kanannya patah dan mendenyut sakit tiada henti. Tapi sebagai seorang gadis nekad dan keras hati tak sedikit pun rintih kesakitan ketuar dari mulutnya.
Melihat si pemuda terus melarikannya, Nawang Suri berkata: "Jika kau tak mau menurunkan aku di sini, bawa aku ke lembah Maturwangi di selatan!"
"Eh, kenapa kau minta dibawa ke sana?" bertanya Wiro. Semula Nawang Suri tak mau menjawab. Ketika ditanya beberapa kali
akhirnya dia menerangkan: "Aku harus menemui pasukanku di situ. Paling tidak sebelum mereka
bergerak. Aku akan kembali ke Kota-raja dan memimpin penyerbuan.
Meskipun raja keparat itu sudah kubunuh, tapi sebelum tahta berada
di tanganku belum puas hatiku!" Mendengar kata-kata Nawang Suri,
Wiro Sableng hentikan larinya. Sang dara didudukkannya pada akar
sebatang pohon besar. "Lepaskan totokanku!" meminta Nawang Suri. Wiro Sableng gelengkan kepala. Dia duduk menjelepok di tanah di hadapan sang dara. Untuk beberapa saat sepasang mata mereka saling memandang tak berkedip.
"Seumur hidup baru kali ini aku menemui gadis nekad sepertimu!"
kata Wiro pula. Ucapan itu membuat sang dara jadi panas hatinya dan menjawab dengan suara keras.
"Aku bukan manusia nekad! Apa yang aku lakukan adalah demi
keadilan! Demi kedua orang tuaku yang mereka bunuh! Demi tahta
kerajaan yang mereka rampas! Demi masa depan negeri di mana aku dilahirkan. Dan kau jangan coba menghalangi!"
"Siapa bilang aku menghalangi!" sahut Wiro sambil garuk kepala.
"Kau sudah membunuh raja! Apa itu tidak cukup?!"
"Memang tidak cukup! Tujuan utamaku adalah tahta kerajaan!"
"Mungkin itu memang belum jadi rejekimu "Ini bukan soal rejeki atau apa! Tapi soal hak…"
"Dalam kehidupan di dunia ini, soal hak sama tipisnya dengan hembusan angin malam.
"Jangan bersyair di depanku!" bentak Nawang Suri. Wiro menyeringai kecut. Dan berkata:
"Dalam keadaan terluka begini, tangan patah, kau hendak menyerbu
Kuto Gede. Sia-sia saja. Apakah kau memiliki pasukan yang kuat
serta panglima perang yang tangguh?"
"Aku dan orang-orangku memiliki semangat…"
"Gadis nekad! Semangat saja tidak cukup untuk memenangkan
peperangan.
"Pemuda tolol macammu mana tahu soal perang! Sebagai puteri raja aku telah diberi pelajaran dan latihan untuk perang!"
"Tapi kau bukan mau perang!" kata Wiro dengan pandangan
mengejek.
"Maksudmu aku ini mau apa?"
"Mau bunuh diri!" Kalau saja tubuhnya tidak kaku karena totokan
mungkin Nawang Suri sudah memukuli atau menampar Wiro Sableng saat itu.
"Bunuh diri atau apapun aku tak takut mati…"
"Jika kau tetap keras kepala biar kutinggal saja kau sendirian di sini!"
kata Wiro seraya berdiri dan pura-pura hendak pergi.
"Kau boleh pergi! Tapi lepaskan dulu totokan di tubuhku!"
"Aku tak akan melakukan hal itu. Kudengar banyak binatang buas
sekitar sini. Biar kau dijadikan mangsa mereka!" Lalu Wiro
melangkah.
"Hai! Jangan tinggalkan aku!" seru Nawang Suri. Kecut juga hatinya.
"Nah, nah… Kau harus begitu. Harus mengikuti apa yang aku bilang.
"Tapi kau bukan ayah atau majikanku! Jangan anggap budi
pertolonganmu membuat dirimu merasa berkuasa atas diriku!"
kembali Nawang Suri keluarkan ucapan keras.
"Apa untungku menguasaimu…?"
"Kalau tidak ada maksud sesuatu mengapa kau melarikan diriku?"
"Eh… eh! Aku bukan melarikanmu. Apa yang kulakukan adalah
menolongmu. Heran, bicaramu mengapa ngacok melulu dan Wiro
hentikan kata-katanya. Disambarnya tubuh Nawang Suri lalu digotongnya ke balik serumpunan semak belukar lebat. Keduanya menelungkup sama rata dengan tanah.
"Jangan keluarkan suara" bisik Wiro yang mendengar suara orang
mendekat. Baru saja pendekar itu selesai bicara, dua tubuh tampak
berkelebat dalam kegelapan dan berhenti sejarak beberapa langkah
dari pohon besar di mana mereka sebelumnya berada.
"Heran!" terdengar salah seorang pendatang berkata pada temannya.
Dia mengenakan pakaian biru berikat pinggang putih. Di tangan
kanannya ada sebilah golok besar. Wiro maupun Nawang Suri segera
mengenali orang ini dari suara dan pakaiannya yakni bukan lain Ki
Rawe Jembor, hulubalang pertama keraton Kuto Gede.
"Aku yakin sekali mereka pasti kabur ke jurusan ini. Tapi mengapa
kita tidak menemukan keduanya?! Pemuda itu tak mungkin bisa lari
cepat dengan membawa beban sosok tubuh gadis pemberontak!"
Kawannya terdengar menarik nafas panjang lalu mengusap-usap
pipinya yang cekung. Dia adalah Imo Gantra, hulubalang kedua.
"Bagiku sama sekali tidak mengherankan. Pemuda itu bukan manusia sembarangan. Sosok tubuh manusia bagaimanapun beratnya bisa saja seperti sekantong kapas baginya. Sebaiknya kita kembali ke istana. Aku kawatir keadaan di sana tambah ricuh. Terus terang aku
tak perdaya pada si tua bangka Wulung Kerso. Keris Mustiko Geni
ada di tangannya!"
"Kita sama pendapat. Kakek itu bisa saja melakukan sesuatu. Ketika
kita berangkat mengejar kulihat dia menyelinap masuk ke dalam
istana.
"Ya, akupun melihat. Gerakannya agak mencurigakan".
"Ah, manusia satu itu pun sudah kuketahui belangnya. Ketika Sri
Baginda masih hidup dia tak lebih dari seorang penjilat nomer satu!
Dimas Imo Gantra, mari kita kembali!" Kedua tokoh silat istana itu berkelebat dan lenyap dalam kegelapan malam. Di balik rerumputan semak belukar Wiro membantu Nawang Suri duduk di tanah. Begitu duduk sang dara langsung bertanya setengah mendamprat.
"Kenapa tidak kau hantam kedua bangsat itu?" Wiro gelenggelengkan
kepala dan menjawab:
"Aku tak punya permusuhan dengan mereka."
"Gila!"
"Eh, siapa yang gila…?" tanya Wiro melotot tapi mulutnya
menyunggingkan senyum.
"Kowe!" sahut Nawang Suri setengah berteriak. Wiro tertegun sesaat lalu tertawa gelak-gelak.
"Hanya orang gila yang masih bisa ketawa dalam keadaan seperti
ini…!" menyentak Nawang Suri dengan pandangan mata dan air muka sangat jengkel.
"Sudahlah, sekarang katakan apa maumu?"
"Antarkan aku ke lembah Maturwangi! Aku harus bergabung dengan pasukanku sebelum terlambat!"
"Benakmu masih saja dipenuhi oleh kehendak balas dendam dan
pertumpahan darah. Apakah tidak cukup semua itu lunas dengan
kematian raja yang tanganmu sendiri membunuhnya?!"
"Tidak!", jawab Nawang Suri.
"Nawang Suri, kalau kau hanya mendasarkan jalan hidupmu pada
balas dendam dan darah, kau akan celaka!"
"Biar, aku memang sudah celaka!" suara sang dara tersendat lalu
terdengar sesunggukannya.
"Eh, tidak kusangka dara dengan hati sekeras batu sepertimu
ternyata pandai juga menangis…" ujar Wiro Sableng menggoda.
"Pemuda edan! Aku bersumpah menampar mulutmu seratus kali!"
"Sumpah edan!" tukas Wiro. Lalu dia beringsut mendekati, hingga
tubuh dan wajahnya hampir bersentuhan dengan gadis itu.
"Jangan berlaku kurang ajar! Apa yang hendak kau perbuat?!"
"Pertama, aku akan menolong mengobati lengan kananmu yang
patah. Setelah itu totokanmu akan kulepaskan. Setelah itu… terserah
padamu. Kau mau ke lembah Maturwangi atau ke lembah sontoloyo silakan pergi!"
"Lalu dengan gerakan cepat—yang membuat Nawang Suri terpekik—
Wiro Sableng merobek ujung kain yang dikenakan sang dara. Dia
mematahkan sebatang ranting besar, meletakkan batang kayu ini
pada bagian lengan yang patah lalu mengikatnya dengan sobekan
kain.
"Beres…" ujar Wiro. Lalu tangannya bergerak mengurut bagian bahu
dekat pangkal leher Nawang Suri beberapa kali mengurut gadis itu
merasakan totokan yang membuat tubuhnya kaku tegang menjadi
sirna.
"Nah, kau sudah bebas sekarang," kata Wiro. Lalu diangsurkannya
wajahnya dekat- dekat ke hadapan sang dara.
"Pemuda gila! Apa maumu…?"
"Eh, bukankah tadi kau hendak menamparku seratus kali? Mengapa tidak segera kau lakukan?!" Nawang Suri hampir menjerit saking gemasnya. Tangan kirinya sudah diangkatnya siap untuk menampar.
Namun tamparan itu tidak dilakukan. Entah mengapa hatinya tak kuasa untuk melakukan hal itu.
"Aku benci padamu. Tapi aku tak bisa menamparmu!" berkata
Nawang Suri sambil berdiri dan membalikkan tubuh membelakangi
Wiro.
"Benci itu ada dua arti…" terdengar suara sang pendekar.
"Benar-benar benci atau benar- benar cinta. Nah yang mana yang
kau pilih…?"
"Kau ternyata bukan saja sableng tapi juga ceriwis! Siapa yang cinta
padamu!" Habis berkata begitu Nawang Suri dorong dada si pemuda lalu dengan gerakan cepat dia tinggalkan tempat tersebut. Tinggal kini Pendekar 212 yang tegak tertegun sambil garuk garuk kepala.
Akan diikutinyakah gadis itu? Akhirnya dia memutuskan untuk
kembali ke Kuto Gede saja.
Dari rumah penduduk di tepi desa, Nawang Sari mencuri seekor
kuda. Dengan seekor kuda itu dia bergerak ke arah selatan. Dia
memacu bintang itu seperti dikejar setan, karena memang dia harus
sampai di lembah sebelum tengah malam. Namun gadis itu
terperangah ketika sampai di lembah Maturwangi yang dia dapati
hanya bekas-bekas perkemahan. Pasukan yang sebelumnya dia
ketahuai berkumpul di sana tak ada lagi disitu.
"Celaka, aku terlambat. Apakah Empu Soka Panaran berada di antara
mereka…?" Nawang Suri berpikir sesaat.
"Aku harus kembali ke Kotaraja…" katanya dalam hati mengambil
keputusan.
Lalu kuda yang sudah letih itu diputar dan dibedalnya menuju ke
utara. Sebelum masuk ke Kuto Gede dia harus kembali ke rumah
Empu Soka Panaran untuk berganti pakaian. Dia akan bergabung
dengan pasukan yang akan menyerbu istana, lalu mencari dan
mendapatkan kembali Keris Mustiko Geni lambang tahta Kerajaan.
Sebelum kita ikuti perjalanan Nawang Suri kembali menuju Kotaraja,
marilah kita kembali dulu pada kejadian beberapa waktu sebelumnya.
Sejak kerajaan ditumbangkan dan tahta kerajaan dirampas, Nawang
Suri yang sesungguhnya adalah putri kerajaan yang berkuasa
diselamatkan dan di pelihara oleh Empu Andiko Pamesworo. Mereka
bersembunyia di sebuah pondok kayu di hutan dekat teluk yang
sangat sepi. Di tempat itu sang Empu menurukan seluruh kepandaian silat dan kesaktian yang dimiliknya kepada Nawang Sari sehingga pada umur 19 jadilah dia dara yang memiliki kepandaian tinggi. Di samping itu secara diam-diam Empu Andiko Pamesworo menyusun perebutan kekuasaan.
Dengan mengandalkan kecantikan Nawang Suri, diatur untuk
mendekati orang-orang penting istana. Begitu mereka terjebak,
riwayat masing-masing akan segera dihabisi. Sasaran paling utama dan paling penting tentunya adalah Sri Baginda sendiri. Dengan
berbekal sebilah keris sakti bernama Mustiko Geni, Nawang Suri menyamar sebagai lelaki dan meninggalkan pondok Empu Andiko. Tak lama setelah dia pergi tiga orang tokoh silat istana muncul di situ dan berhasil membunuh sang empu. Di pihak penyerbu, satu orang menemui ajal. Dua lainnya yakni Gagak Celeng dan Buto Celeng berusaha mengejar sang dara dan berhasil menghadangnya di daerah pesawahan. Dengan keris sakti di tangan Nawang Suri menewaskan Gagak Celeng. Tapi pada saat itu muncul seorang tokoh silat istana lainnya yang berkepandaian tinggi bernama Sindu Kalasan, dikenal dengan julukan Datuk Tongkat Dari Selatan. Sang Datuk berhasil membuat mental keris di tangan Nawang Suri.
Penyamarannya terbuka. Nyawanya terancam.
Saat itulah muncul Pendekar 212 Wiro Sableng menolong dan
menyelamatkan Nawang Suri. Keris Mustiko Geni sempat pula
terhindar dari rampasan Datuk Tongkat. Sikap dan gerak-gerik Wiro yang seperti orang kurang waras itu membuat Nawang Suri tidak mempercayainya. Dara itu kemudian melanjutkan perjalanan menuju Kuto Gede.
Sesuai dengan petunjuk Empu Andiko dia akhirnya sampai ke tempat kediaman Empu Soka Panaran yang tinggal di pinggiran Kuto Gede dan menyamar sebagai juru ukir barang- barang perak dengan memakai nama Gama Manyar. Bersama Soka Panaran rencana dimatangkan. Sementara itu sisa-sisa balatentara kerajaan lama dikumpul dan disiapkan untuk sewaktu-waktu menyerbu Kota raja.
Orang yang pertama menjadi korban adalah Pangeran Onto Wiryo, Kepala Pasukan Kota Gede. Nawang Suri berhasil membunuhnya di sebuah telaga sepi. Ketika jenazah sang Pangeran dibaringkan di istana. Empu Soka Panaran dan Nawang Suri sengaja datang melayat. Perangkap mereka mengena. Sri Baginda terpikat melihat kecantikan dan kemulusan tubuh sang dara. Maka dia meminta patih Wulung Kerso untuk mengatur agar gadis itu bisa di jadikannya
gundik. Hal itu berlangsung begitu cepat, sama sekali tidak diduga
oleh Empu Soka Panaran. Maka diatur gerak cepat.
Sementera Nawang Suri dibawa ke istana malam harinya, sang Empu
ke luar kota untuk menyipakan pasukan penyerbu. Celakanya
kemunculan Nawang Suri di Istana terlihat oleh Datuk Tongkat yang
saat itu tengah berkelahi melawan sejumlah pasukan dang perwira
kerajaan, dipimpin oleh tokoh hulubalang tingkat satu yakni Ki Rawa
Jembor dan Imo Gatra. Akibat tipu muslihat Nawang Suri, Datuk
Tongkat dituduh sebagai penghianat yang berserikat dengan kaum
pemberontak. Sadar kalau rahasia dirinya sudah terbuka sementara
Datuk Tongkat menemui ajal di tangan para pengeroyoknya, Nawang
Suri melihat tak ada jalan lain dari pada harus membunuh Sri
Baginda saat itu juga. Begitulah, ketika Seri Baginda yang tergila-
gila padanya menyongsong kedatangannya di tangga istana Nawang
Suri mencabut Keris Mustiko Geni dan menikam Sri Baginda hingga
tewas saat itu juga! Istana heboh. Kini Nawang Suri menjadi bulan
bulanan, ditangkap hidup atau mati sedang Keris Mustiko Geni yang
terlepas mental akibat hantaman senjata Ki Rawe Jembor berhasil
dirampas oleh Patih Wulung Kerso. Dalam keadaan terdesak dan
tangan kanan patah, Nawang Suri lagi-lagi diselamatkan oleh
Pendekar 212 Wiro Sableng.
Untuk jelasnya kisah di atas baca serial Wiro Sableng berjudul Petaka
Gundik Jelita.
Kita kembali ke istana di kota Gede. Beberapa orang perwira
termasuk kepada Pasukan Kotaraja yakni Cokro Ningrat segera
menggotong jenazah Sri Baginda, membawanya ke dalam istana.
Namun Cokro Ningrat tampak memisahkan diri ketika melihat patih
Wulung Kerso bergegas masuk ke ruangan lain sambil membawa
Keris Mustiko Geni. Dengan cepat Kepala Pasukan ini mengikuti si
orang tua. Kejadian yang serba cepat ini masih sempat terlihat oleh
K i Rawe Jembor. Sebenarnya dia hendak mengajak kambratnya Imo
Gantra untuk mengintili kedua orang tersebut. Namun saat itu Imo
Gantra telah lari bergegas ke pintu gerbang istana untuk mengejar
Pendekar 212 Wiro Sableng yang membawa lari Nawang Suri. Karena
menangkap gadis pemberontak itu lebih penting akhirnya Ki Rawe
Jembor mengikuti Imo Gantra mengejar pendekar yang kabur bersama
boyongannya.
Patih Wulung Kerso memasuki ruangan khusus di mana disimpan
barangbarang dan senjata-senjata pusaka istana. Di situ dia mencari
sarung keris yang dapat dipergunakan untuk rumah Keris Mustiko
Geni yang telanjang dan masih berlumuran darah Sri Baginda. Karena
di situ memang banyak disimpan berbagai macam keris, dalam waktu
cepat sang patih telah mendapatkan sarung yang cocok untuk
Mustiko Geni. Tanpa membersihkan darah di badan keris, Wulung
Kerso menyarungkan senjata sakti itu. Lalu menyimpannya baik-baik
di balik pakaiannya.
"Paman Patih Wulung Kerso, apakah yang kau perbuat di sini?" Patih
Wulung Kerso tersentak kaget. Ketika membalik dilihatnya Raden
Cokro Ningrat tegak di ambang pintu ruangan dengan pandangan
mata penuh selidik.
"Raden Cokro, bukankah seharusnya kau menolong Sri Baginda?"
"Orang yang sudah mati tak mungkin lagi ditolong. Saya lihat tadi
Paman Patih membawa Keris Mustiko Geni….. Wulung Kerso merasa
tidak enak. Namun dia maklum, ketika berhasil menangkap Mustiko
Geni yang terlepas dari tangan Nawang Suri, puluhan mata
menyaksikannya. Jadi hampir semua orang tahu kalau senjata
mustika lambang tahta Kerajaan itu ada padanya. Dalam gugupnya
patih Wulung Kerso sekaligus coba menempelak.
"Raden, tak seharusnya kau berada dalam ruangan ini. Tugasmu di
luar sana. Bukankah mata-mata kita memberi tahu bahwa ada
serombongan pasukan tak dikenal bergerak menuju Kuto Gede. Pasti
mereka pasukan pemberontak yang datang untuk menyerbu. Atas
nama kerajaan kuminta agar Raden segera mengatur bala tentara
untuk menghadapi kaum pemberontak yang muncul setiap saat…"
Raden Cokro Ningrat tersenyum penuh arti.
"Soal pasukan musuh, pasukan pemberontak, apapun namanya tak
usah dikhawatirkan. Jika mereka berani muncul pasti lebur. Saya
ingin tahu kau kemanakan Keris Mustiko Geni itu, paman patih?"
"Ada kusimpan baik-baik. Kau tak usah khawatir…"
"Mengapa paman yang harus menyimpan senjata itu? Jika ada
musuh menyelinap dan merampasnya bisa berbahaya. Berikan keris
itu padaku. Aku bisa menyimpannya di tempat yang aman……" Patih
Wulung Kerso tersenyum tawar mendengar kata-kata Kepala Pasukan
Kerajaan itu.
"Kau tak usah kawatir Raden Cokro. Aku tahu bagaimana cara
menyimpannya. Senjata itu tak akan muncul sebelum Raja baru
diangkat!"
"Dengar paman patih," kata Cokro Ningrat pula.
"Saya tahu dengan kepandaian yang paman miliki, paman bisa
menyimpan dan menjaga keris sakti itu baik-baik. Tapi jangan lupa.
Istana penuh dengan musuh dalam selimut. Kaki tangan musuh
berkeliaran di mana-mana. Keselamatan paman dan senjata itu bisa
terancam… Saya tetap meminta agar Mustiko Geni diserahkan pada
saya….."
"Hal itu tak bisa ku-kabulkan Raden Cokro. Mustiko Geni tetap
kusimpan sampai ada Raja baru yang diangkat dan duduk di kursi
besar sana….." Raden Cokro Ningrat rupanya tidak senang. Namun
dengan cerdik mulutnya tetap menyunggingkan senyum. Dia
melangkah mendekati sebuah patung terbuat dari batu. Sambil
mengusap-usap kaki patung dia berkata :
"Baiklah, kalau paman menganggap mampu menjaga Mustiko Geni,
tak ada salahnya paman yang menyimpan…..". Lalu Kepala Pasukan
Kotaraja itu bersikap hendak berlalu. Namun tiba-tiba cepat sekali
tangan kanannya menangkap kaki patung batu. Benda itu
dihantamkan sekeras-kerasnya ke kepala Patih Wulung Kerso. Orang
tua itu tersungkur ke lantai. Tangan kanannya menggapai ke depan
sementara kepala dan mukanya berlumuran darah mengerikan.
"Keparat terkutuk. Kau… kau nyatanya juga seorang musuh dalam
selimut…" Dari balik pakaiannya patih tua ini keluarkan Mustiko Geni
lalu dia merangkak mendekati Cokro Ningrat. Keris yang
memancarkan sinar merah itu ditikamkannya ke arah Cokro. Namun
sasaran terpisah jauh. Dia hanya menusuk angin dan kembali
tersungkur. Saat itu kembali Cokro Ningrat menghantamkan patung
batu ke kepala Patih Wulung Kerso. Dalam keadaan terluka parah di
kepala, patih yang juga memiliki kepandaian silat dan kekuatan itu
ternyata tidak mau menyerah begitu saja. Sambil merundukkan
kepala menghindarkan hantaman patung batu, Wulung Kerso
memukul ke depan. Jotosannya tepat menghantam lambung Cokro
Ningrat. Meskipun tidak begitu telak dan keras akibat luka yang
dideritanya namun jotosan tersebut cukup membuat Kepala Pasukan
itu terhenyak ke belakan dengan perut mual dan dada terasa sesak
sakit. Patih Wulung Kerso maju merangsak. Kini dia kerahkan seluruh
tenaga dalam yang ada lalu menyergap dengan dua tangan
terpentang. Namun Keris Mustiko Geni yang ada di tangan kanannya
hanya mampu merobek pakaian kebesaran Raden Cokro Ningrat.
Diam-diam Kepala Pasuka Kerajaan ini merasakan tekuknya jadi
dingin. Sempat senjata sakti itu menggores kulit dadanya, nyawanya
tak akan tertolong! Darah yang membasahi kepala dan muka Wulung
Kerso menutup pemandangan kedua matanya. Berulang kali dia
mengusap wajah dan ini tentu saja merupakan kesempatan baik bagi
Cokro Ningrat. Selagi pemandangan patih tua itu terhalang secepat
kilat Cokro Ningrat gebukkan patung batu di tangannya ke tubuh
Wulung Kerso. Tepat menghantam bahu kiri hingga orang tua ini
terkapar di lantai ruangan. Dari mulut Wulung Kerso keluar suara
rintihan. Patih ini masih berusaha bangkit sambil mengacungkan
Keris Mustoko Geni yang memancarkan sinar merah angker itu.
Namun darah yang terlalu banyak tertumpah membuat Wulung Kerso
kehilangan tenaga. Lututnya goyah, pemandangannya semakin kabur,
tenaganya semakin sirna. Ketika patung batu menghajar keningnya,
dia tak punya daya lagi untuk mengelak. Tubuhnya roboh ke lantai,
darah dan cairan otak berceceran. Keris Mustoko Geni terlepas dari
genggamanya dan tercampak di lantai. Raden Cokro Ningrat cepat
mengambil senjata Mustika itu, memasukkannya ke dalam sarung
yang ditariknya dari pinggang Wulung Kerso, lalu meninggalkan
mangan itu. Pintu kamar sengaja dikuncinya dari luar. Ketika dia
sampai di bagian depan istana, Kepala Pasukan Kerajaan ini terkejut
Serombongan pasukan berjumlah sekitar tiga ratus orang tampak
berada di seberang sana, siap menyerbu. Ada tiga orang berkuda
yang bertindak sebagai pimpinan. Dua masih muda dan tak dikenal
sedang yang seorang lagi dikenalnya sebagai Manyar Gantra, orang
tua yang diketahui sebagai juru ukur barangbarang perak.
"Pemberontak keparat! Datang juga mereka akhirnya!" serapah Cokro
Ningrat. Pada beberapa orang perwira yang ada di situ dia segera
berteriak memberi perintah. Sejumlah pasukan segera dihimpun
dengan cepat untuk menyambut serangan. Namun karena pasukan
yang ada di situ hanya merupakan pengawal istana, jumlah mereka
dengan sendirinya lebih sedikit. Hal ini membuat serangan pasukan
pemberontak tidak tertahankan.
"Kurang ajar!" kertak Cokro Ningrat. Seorang perwira ditariknya ke
balik pilar istana.
"Cepat datangkan pasukan bantuan dari timur dan selatan. Paling
tidak jumlah kita harus dua kali lebih besar dari pemberontak
jahanam itu!"
"Siap Raden!" jawab si perwira lalu tinggalkan tempat itu.
Memandang berkeliling Raden Cokro menjadi beringas. Dia tak
melihat seorang pun tokoh silat istana ada di tempat itu. Karena tak
dapat menunggu lebih lama. Kepala Pasukan ini segera menuruni
tangga istana menyongsong serbuan pasukan dengan sebilah pedang
di tangan kanan. Ketika dia sampai di pertengahan taman istana, dua
penunggang kuda yang bertindak sebagai pimpinan pasukan
penyerbu menghadangnya.
"Bangsat pemberontak! Kalian mencari mampus!" teriak Cokro
Ningrat.
"Cokro Ningrat anjing pengkhianat! Darah rakyat yang pernah kau
tumpahkan harus kau ganti dengan darahmu sendiri!" Balas berteriak
salah seorang penunggang kuda. Sekali goloknya diayunkan, senjata
itu membabat ke arah kepala Cokro Ningrat.
3 Tampaknya lelaki muda yang menyerang Kepala Pasukan itu
memang memiliki kepandaian. Namun dibandingkan dengan
kepandaian yang dimiliki Raden Cokro Ningrat, meskipun dia
menggempur bersama seorang kawanya, agak sulit baginya untuk
merobohkan Kepala Pasukan itu. Hal itu menjadi kenyataan sewaktu
pedang Cokro Ningrat membacok kura tunggangan mereka hingga
kuda-kuda itu merangkak liar. Membuat keduanya terpaksa
melompat ke tanah. Perkelahian dua lawan satu ini berlangsung
sekitar empat jurus. Di jurus kelima, lelaki di sebelah kanan menemui
ajal oleh tusukan pedang Cokro Ningrat yang tepat menembus dada
kirinya. Jurus berikutnya lelaki kedua menyusul roboh akibat bacokan
pedang tepat pada pangkal lehernya.
"Bangsat pemberontak! Kalian mundur kalau tidak mau mampus
percuma! Letakkan senjata dan menyerah!" teriak Cokro Ningrat. Tapi
pasukan penyerbu yang tidak kenal rasa takut itu merangsak terus.
Puluhan di antara mereka sudah mendekati tangga istana sementara
puluhan prajurit di kedua belah pihak tampak berkaparan di taman
dan tangga istana. Saat itulah serombongan pasukan kerajaan yang
berjumlah hampir dua ratus orang muncul dari kiri kanan. Serta-
merta gerakan penyerbu tertahan. Semangat balatentara Kerajaan
yang tadi melemah kini pulih kembali. Raden Cokro terdengar kembali
berteriak.
"Jika kalian tidak menyerah kalian akan mampus percuma! Kalian
sudah terkurung!"
"Cokro Ningrat! Mulut besarmu sudah saatnya ditutup!" Terdengar
suara membentak. Satu bayangan putih berkelebat. Angin serangan
membuat Kepala Pasukan ini tergetar dan cepat bertindak mundur,
memandang ke depan dia melihat orang itu itu tegak dengan
sebatang tongkat besi kuning melintang di dada.
"Gama Manyar! Tidak sangka nyatanya kau adalah seorang gembong
pemberontak!" bentak Raden Cokro ketika mengenali siapa adanya
orang tua di hadapannya. Si orang tua menyeringai. Wajahnya tetap
dingin sedang sepasang matanya tidak berkedip.
"Namaku bukan Gama Manyar. Akulah yang dikenal dengan nama
Empu Soka Panaran!" berkata orang tua itu dengan suara lantang
lalu wut… wut! Tongkat besi kuning di tangannya diputar di depan
dada. Sesaat sosok tubuhnya hanya berupa baying-bayang kuning
yang terbungkus oleh putaran tongkat kuning yang amat cepat.
Raden Cokro Ningrat terkejut. Tapi dia tidak mau memperlihatkan
perubahan pada air mukanya. Siapa yang tak kenal Empu Soka
Panaran? Di masa Kerajaan lama dia dalah seorang ahli pembuat
barang-barang ukiran istana. Tapi lebih penting dari itu dikabarkan
orang tua ini memiliki kepandaian silat tinggi dan kesaktian
mengagumkan.
"Kau terkejut setelah mengetahui siapa aku? Takut…?! Lalu mengapa
tak lekas menyerah?!" mengejek Empu Soka Panaran.
"Tua bangka rakus kekuasaan! Kau sengaja mengorbankan orang-
orang tak berdosa untuk mencapai tujuan kotor!" Soka Panaran
tertawa mengekeh.
"Buka matamu lebarlebar, pasang telingamu baik-baik dan tanyai
hati sanubarimu! Siapa di antara kita yang kotor! Siapa di antara kita
yang telah menumpahkan darah rakyat untuk merebut tahta
kerajaan? Kau dan rajamu yang sudah mampus itu dan ratusan
pengkhianat lainnya yang gila kekuasaan! Dulu kau hanya perwira
kelas picisan! Tapi kau bersedia mengkhianati rajamu yang syah
hanya untuk mendapatkan kedudukan Kepala Pasukan! Apakah kau
sudah senang dan baik-baik saja dalam jabatanmu yang penuh
lumuran darah itu…?" Merah padam wajah Raden Cokro dan
berdesing panas telinganya mendengar katakata Empu Soka Panaran
itu.
"Tua bangka sinting! Ajal sudah di depan mata masih saja bicara tak
karuan!" Habis membentak begitu Cokro Ningrat menyerang dengan
pedangnya. Sementara itu pasukan Kerajaan yang datang semakin
banyak. Puluha prajurit dan beberapa perwira mengelilingi kalangan
pertempuran antara pemimpin mereka melawan Empu Soka Panaran.
Mereka maklum orang tua itu memiliki kepandaian tinggi karenanya
perlu berjaga-jaga agar jangan sampai lolos kalau seandainya
Kepala Pasukan mereka mengalami cidera atau sampai tumbang di
tangan orang tua itu. Ternyata memang Empu Soka Panaran bukan
tandingan Kepala Pasukan Kerajaan itu. Setelah menggempur habis-
habisan selama enam jurus tanpa membawa hasil, kini Cokro Ningrat
mendapat serangan balik yang gencar. Tongkat besi kuning di tangan
sang empu menderu laksana titiran, menekan dan mengemplang,
menggebuk dan menusuk, membuat Kepala Pasukan itu terdesak dan
berseru keras sewaktu akhirnya pedang di tangannya dihantam
mental oleh pukulan keras ujung tongkat. Raden Cokro Ningrat
melompat mundur. Tapi lebih cepat tongkat lawan datang mengejar
ke arah kepala. Masih untung Cokro Ningrat sempat membuang diri
ke samping kalau tidak kepalanya sudah remuk dihantam tongkat.
Meskipun selamat namun ujung senjata lawan menoreh pelipis dan
pipi kanannya hingga mendatangkan gorensan luka yang cukup
dalam dan mengucurkan darah. Melihat pimpinan mereka cidera,
beberapa perwira segera bertindak maju. Menyaksikan hal ini Empu
Soka Panaran cepat berteriak mengejek.
"Bagus! Kalian bangsa pengkhianat memang berjiwa pengecut!
Silakan bantu pimpinan kalian agar tidak mampus lebih cepat!"
Merasa malu Cokro Ningrat berteriak pada orang-orangnya.
"Semua mundur! Menghadapi tikus tua macam ini aku tak butuh
bantuan kalian!" Lalu dari balik pakaiannya Kepala Pasukan Kerajaan
itu cabut Keris Mustiko Geni. Sinar merah berkiblat dalam gelapnya
malam di taman istana itu. Terkejutlah Empu Soka Panaran alias
Gama Manyar. Bagaimana Keris sakti lambang tahta Kerajaan itu
berada di tangan Cokro Ningrat. Sejak tadi hatinya memang sudah
cemas karena tidak melihat Nawang Suri. Di mana gadis itu setelah
dia diketahui berhasil membunuh Sri Baginda? 'Tikus tua! Majulah!
Bukankah kau ingin mati lebih cepat?" membentak Cokro Ningrat.
"Pengkhianat busuk! Rajamu sudah tewas! Keris itu bukan milikmu!
Lekas serahkan padaku…!"
"Ha… ha…! Kau takut menemui kematian di tangan senjata sakti ini?!"
ejek Cokro Ningrat.
"Hidupku hanya sekali! Nyawa hanya satu dan aku tidak takutkan
mati!" Hardik Empu Soka Panaran. Wut!. Sinar kuning berkiblat ketika
tongkat besinya diputar sebat. Cokro Ningrat yakin sekali akan
keampuhan keris Mustiko Geni. Dia menyongson sambaran tongkat
lawan. Trang…!! Kliing…!! Empu Soka Panaran berseru kaget dan
melompat mundur. Tongkat besi kuningnya putung sewaktu keris
sakti itu membabat hampir sepertiga dari panjangnya! Tangannya
bergetar dan terasa panas.
"Ah, senjata sakti itu… Mengapa bisa berada di tangan musuh…"
keluh Empu Soka Panaran dalam hati. Dia sadar apapun senjata
yang dimilikinya tak bakal sanggup menghadapi Keris Mustiko Geni.
Berarti dia harus mengerahkan kemampuan tenaga luar dalam dan
akal untuk menghadapi lawan.
"Tua bangka pemberontak!" Cokro Ningrat berkata sambil acungkan
Keris Mustiko Geni tinggi-tinggi ke atas.
"Jika kau bersedia menyerah maka kau akan digantung secara
terhormat! Tapi jika terus melawan, tubuhmu akan gosong oleh keris
sakti ini!"
"Aku lebih suka mati di ujung Mustiko Geni!" jawab Soka Panaran
tegas. Tongkatnya yang hanya tinggal dua pertiga panjang semula
meluncur ke depan tapi cepat ditarik ketika keris Mustiko Geni
digunakan lawan untuk menangkis. Serangan tongkat yang tadi
berupa tusukan kini berubah menjadi sabetan kea rah pinggang dan
lagi-lagi berbahaya setelah Mustiko Geni dipakai untuk menangkis.
Gerakan yang serba cepat membuat Cokro Ningrat menjadi
kewalahan. Tapi orang ini cukup cerdik. Dia tak mau tenaga ikut
bergera cepat dalam menghadapi lawan. Yang dilakukan adalah tegak
di kalangan pertempuran dan melindungi diri dari setiap serangan
dengan Keris Mustiko Geni. Lalu pada setiap kesempatan yang ada
dia kirimkan serangan balasan. Setelah berkelahi lebih dari dua puluh
jurus, nafas Empu Soka Panaran mulai tersengal. Meskipun dia
sanggup untuk terus berkelahi sampai seratus jurus amun kekuatan
serangannya akan mengendur. Hal ini disadari sepenuhnya oleh
orang tua itu. Maka dia pun merubah sasaran serangan. Kalau tadi
dia berusaha menghantam tubuh, kepala atau bagian badan lain dari
Cokro Ningrat maka kini serangannya dipusatkan pada tangan kanan
lawan. Apapun yang terjadi dia harus dapat membuat Cokro Ningrat
melepaskan Keris Mustiko Geni dari genggamannya, celakanya apa
yang ada dalam benak si orang tua, diketahui pula oleh lawan! Kini
tampak Cokro Ningrat merobah sasaran serangan. Kalau sebelumnya
dia berusaha menghancurkan senjata lawan maka kini begitu berhasil
mengelakkan satu serangan dia langsung tusukkan keris ke arah
bagian tubuh lawan. Dia tak perlu memilih bagian tubuh lawan.
Karena sekali Keris Mustiko Geni dapat menoreh kulit atau daging
lawan, dalam beberapa saat hawa ganas yang ada pada senjata itu
akan menewaskannya. Pada jurus ke enam puluh dua Empu Soka
Panaran mulai lamban gerakannya. Beberapa kali Keris Mustiko Geni
hampir mendarat di tubuhnya. Keadaannya sangat terdesak.
Nyawanya tak tertolong lagi. Pasukan yang datang menyerbu
bersamanya, melihat kejadian ini jadi leleh semangat mereka. Semua
hanya tinggal menunggu saja. Jika si orang tua tewas di tangan
Kepala Pasukan Kerajaan itu maka mereka yang hidup hanya ada
satu pilihan. Menyerah atau melarikan diri! Dalam keadaan seperti
itu tiba-tiba seekor kuda menerjang masuk ke dalam» kalangan
pertempuran sambil meringkik keras. Dua orang prajurit tergelimpang
roboh kena terjangan kaki depan. Seorang perwira tersungkur ke
samping. Satu perwira lagi berseru kaget ketika pedang yang sejak
tadi dicekalnya tahu-tahu dibetot lepas. Dalam suasana yang
bertambah kacau terdengar seruan.
"Empu Soka Panaran! Mari kita musnahkan manusia-manusia
perampok tahta dan pengkhianat busuk!" Sekali lagi terdengar ringkik
kuda. Dari atas punggung binatang ini tampak menyambar sebilah
pedang, berkiblat kea rah leher Cokro Ningrat. Masih untung kepala
pasukan ini dalam kejutnya untuk melompat mundur. Begitu selamat
dari tebasa pedang dengan beringas dia menusukkan keris Mustiko
Geni ke arah penunggang kuda. Namun dari samping Empu Soka
Panaran datang membabatkan tongkat besi kuningnya hingga Cokro
Ningrat sekali lagi terpaksa melompat mencari selamat. Saat itulah
satu tendangan bersarang di bahu kirinya, membuat Cokro Ningrat
hamper roboh ke tanah kalau tidak di Bantu dua orang perwira.
Memandang ke depan Cokro Ningrat segera mengenali siapa adanya
penunggang kuda itu. Bukan lain Nawang Suri, puteri raja terdahulu.
Gadis ini tampak mengenakan pakaian ringkas dan ikat kepala warna
merah.
"Bagus! Aku tak perlu susah payah mencarimu! Kau ternyata datang
sendiri untuk menyerahkan nyawa!" kertak Cokro Ningrat. Dia
memberi isyarat pada para pembantunya. Dua perwira yang barusan
menolongnya bersama- sama tujuh prajurit segera mengurung
Nawang Suri yang masih tetap berada di punggung kuda. Tangan
kanan yang patah terbalut kain sedang tangan kiri memegang pedang
rampasan. Meskipun kehadiran Nawang Suri menyelamatkan dirinya
dari serangan lawan, namun Empu Soka Panaran merasa sangat
kawatir. Dia melihat sendiri keadaan Nawang Sari yang cedera
tangan kanan dan hanya mengandalkan tangan kiri. Sementara itu
jumlah pasukan kerajaan semakin banyak. Sulita bagi mereka untuk
memenangkan pertempuran. Bagi sang empu sendiri kematian
tidaklah menakutkan. Tapi kiri dia justru mengkhawatirkan
keselamatan putri junjungannya itu!.
"Den Ayu! Keadaan sangat berbahaya! Tinggalkan tempat ini!
Selamatkan dirimu! berseru Empu Soka Panaran.
"Tidak!" sahut Nawang Suri tegas dan tanpa takut.
"Bukankah kita sudah memilih mati dari pada hidup dinista?!" Cokro
Ningrat tertawa bergolak.
"Kalau sudah masuk ke sarang harimau mana mungkin keluar dengan
selamat?!
Bersiaplah menerima kematian!" Tangan kanannya bergerak. Sinar
merah Keris Mustiko Geni berkiblat ke arah sang empu sementara
Nawang Suri harus menghadapi serbuan dua perwira dan tujuh
prajurit.
4 "Bunuh dulu kudanya!" teriak salah seorang perwira. Lebih dari
selusin prajurit datang menyerbu. Sementara dua pimpinan mereka
melayani Nawang Suri. Prajuritprajurit itu memusatkan serangan
pada kuda tunggangan sang dara. Tombak dan pedang serta
kelewang berserabutan. Bagaimanapun Nawang Suri berusaha
menyelamatkan kudanya namun akhirnya binatang itu roboh
bergelimang darah, penuh luka
"Bangsat rendah! Mampus kalian semua!" teriak Nawang Suri. Dia
melompat dari punggung kuda sebelum binatang ini tergelimpang di
halaman istana. Pedangnya diputar deras. Dua prajurit menjerit dan
roboh mandi darah. Dua perwira cepat berteriak memberi aba- aba.
Sepuluh prajurit lagi datang membantu. Kini ada delapan belas
prajurit dan dua perwira mengurung Nawang Suri. Dengan pedang di
tangan kiri gadis ini terus mengamuk. Di jurusan lain Cokro Ningrat menggempur Empu Soka Panaran habishabisan. Orang tua yang kehabisan tenaga ini tak mampu berbuat banyak. Beberapa kali tongkat besi kuningnya buntung di babat keris Mustiko Geni hingga
potongan kecil yang masih tersisa di tangannya tak ada gunanya lagi
lalu di lempar kearah Cokro Ningrat. Dengan mudah Kepala Pasukan
itu mengelakkan lemparan besi itu meskipun potongan tongkat ini
melesat dan menancap di leher seorang perwira yang mengeroyok
Nawang Suri, yang membuatnya tak ampun lagi roboh ke tanah dan
menemui ajal saat itu juga!. Perwira yang kedua terkejur dan tercekat
melihat kematian kawannya yang berlaku lengah. Hal ini harus
dibayarnya dengan mahal. Pedang di tangan kiri Nawang Suri
menghujam di perutnya tanpa dapat dielakkan! Karena kehilangan
dua pemimpin mereka sekaligus, belasan prajurit yang mengeroyok
Nawang SUri menjadi leleh nyali mereka. Hal ini diketahui benar oleh
sang dara hingga dia dapat menebar serangan maut dengan leluasa.
Sebelum prajurit-prajurit kerajaan menjadi korban keganasan pedang
sang dara lebih banyak, dari arah pintu gerbang istana, dua orang
kakek tampak berkelebat dalam kegelapan. Dalam waktu singkat
keduanya telah berada di hadapan Nawang Suri. Gerakan kedua kakek
ini membuat sang dara seperti terdorong tembok keras sehingga dia
terpaksa melompat mundur dan memandang dengan beringa kearah
dua pendatang ini. Nawang Suri segera mengenali mereka yakni
bukan lain adalah Ki Rawe Jembor dan Imo Gatra, dua hulubalang
utama istana.
"Hemmm… kalian rupanya! Apa sudah siap untuk mampus?!"
mengejek Nawang Suri sementara sepasang matanya bergerak liar
memperhatikan gerakan belasan prajurit yang kini mengurungnya
dengan rapat. Imo Gantra tertawa buruk. Ki Rawe Jembor
memandang dingin tak berkesip.
"Gadis tolol!" mengejek Imo Gantra.
"Setelah lolos ditolong pendekar sableng itu, kau malah kembali
muncul mencari kematian!"
"Akan kita lihat siapa yang mampus duluan, kau atau aku!" sahut
Nawang Suri.
"Pasti kau! Bukankah kad ingin lekas-lekas menyusul kedua orang
tuamu…?!" mengejek Imo Gantra. Mendengar orang tuanya disebut-
sebut, Nawang Suri menjerit marah. Tubuhnya berkelebat ke depan.
Pedang di tangan kirinya menyambar deras ke kepala Hulubalang
Istana nomor dua itu. Saat itu keadaan pihak penyerbu boleh
dikatakan sudah kritis. Empu Soka Panaran yang sudah tak berdaya
apa-apa lagi hanya tinggal menunggu kematian di ujung Keris
Mustiko Geni. Bala tentara yang tadi hampir tidak tertahankan dan
sempat naik ke tangga istana kini terpukul dan didesak mundur
sampai ke pintu gerbang istana meninggalkan korban tewas
bergeletakan di berbagai penjuru. Dan nasib Nawang Suri jelas tidak
menguntungkan. Dengan tangan kanan patah, hanya dengan
mengandalkan pedang di tangan kiri sulit baginya untuk menghadapi
dua tokoh silat istana yang berkepandaian tinggi yakni Imo Gatra dan
Ki Rawe Jembor. Meskipun kedua kakek itu tidak memegang senjata
namun dalam beberapa jurus saja sudah berhasil mendesak sang
dara. Dalam satu gebrakan hebat Nawang Suri bertindak kenat yaitu
menerima gebukan tangan Ki Rawe Jembor asalkan dapat menusuk
mati Imo Gatra dengan pedang di tangan kirinya. Buk! Jotosan Ki
Rawe Jembor bersarang tepat di dada sang dara. Sebaliknya tusukan
pedang yang diharapkan akan menewaskan Imo Gantra ternyata
menemui kegagalan karena sambil menjotos dengan tangan kanan, Ki
Rawe Jembor pergunakan tangan kiri untuk mendorong Imo Gantra
hingga kakek satu ini selamat dari kematian! Nawang Suri terhuyung-
huyung ke belakang. Pedangnya terlepas dari tangan kiri dan terjatuh
ke tanah. Kedua tangannya kini dipergunakan untuk mendekap
dadanya yang sakit bukan kepalang. Tulang dadanya serasa melesak.
Iga-iganya seperti remuk berantakan. Darah mengucur di sela
bibirnya. Perlahan- lahan tapi pasti dara ini akhirnya jatuh terduduk
di tanah. Saat itulah dilihatnya di kejauhan, Empu Soka menemui
ajal, tewas di tangan Raden Cokro Ningrat. Tewas terkena tikaman
Keris Mustiko Geni. Senjata mustiko sakti lambang kerajaan yang
hendak dibelanya tapi justru dia sendiri yang menemui kematian di
ujung keris itu. Tubuh Empu Soka Panaran tergelimpang tak bergerak
lagi. Kulitnya tampak menghitam hangus!
"Bagus! Pemberontak tua sudah mampus! Sekarang giliran gadis
tolol ini menemui ajalnya!" teriak Ki Rawe Jembor. Sekali lompat saja
dia sudah berada di hadapan Nawang Suri yang terduduk di tanah
tak berdaya. Kakek ini angkat kaki kanannya dan kirimkan tendangan
maut ke arah kepala sang dara. Meskipun saat itu pemandangannya
menjadi kabur namun Nawang Suri masih sempat melihat datangnya
bahaya maut. Sambil jatuhkan diri ke tanah gadis ini angkat tangan
kanannya yang terbalut patah untuk menangkis. Terdengar jeritannya
ketika tendangan K i Rawe Jembor mematahkan tulang lengan itu
untuk kedua kalinya. Nawang Suri terguling di tanah beberapa kali.
Gulingan tubuhnya terhenti ketika satu kaki menahan dadanya. Kaki
yang menginjak ini tidak beda dengan batu besar hingga dadanya
yang sakit semakin terasa sakit seperti remuk berantakan. Dia tak
kuasa lagi menjerit. Nafasnya pun hanya tinggal satusatu. Dia
memandang ke langit gelap. Lalu pada orang yang menginjak
tubuhnya. Ternyata orang ini adalah Cakra Ningrat. Kepala Pasukan
Kerajaan yang barusan membunuh Empu Soka Panaran.
"Keparat! Pengkhianat busuk! Tunggu apa lagi? Bunuh aku saat ini
juga!" Suara sang dara bergetar. Perlahan, tapi karena di tempat itu
mendadak menjadi sunyi sementara pasukan penyerbu telah
melarikan diri, maka suara yang perlahan itu masih dapat terdengar
jelas.
"Mati cepat-cepat saat ini terlalu enak bagimu! Kau akan kami
gantung di tanah lapang! Biar semua orang menyaksikan hukuman
yang layak bagi setiap pemberontak!" berkata Cokro Ningrat.
"Dia sudah minta mati. Kenapa menunggu- nunggu? Bunuh saja saat
ini juga. Habis perkara. Semua urusan beres sudah!" Yang bicara
adalah Ki Rawe Jembor. Raden Cokro Ningrat menyeringai mendengar
ucapan itu. Dia melirik pada Imo Gantra seakan minta pendapat. Imo
Gantra yang mengerti maksud lirikan Kepala Pasukan Kerajaan itu
anggukkan kepala tanda setuju. Maka tanpa pikir panjang lagi Raden
Cokro Ningrat membungkuk dan tusukkan keris Mustiko Geni lurus-
lurus kea rah leher Nawang Suri. Saat itulah terdengar satu suitan
nyaring. Disusul dengan deru angin laksana topan prahara datang
menyambar dari langit malam
yang gelap. Semua orang yang ada di tempat itu merasakan tubuh
masing-masing bergetar. Pakaian dan rambut mereka berkibar-kibar.
Sekali lagi terdengar suitan keras dan tubuh Cokro Ningrat tiba-tiba
terpental. Keris Mustiko Geni hampir terlepas dari tangannya. Dengan
sigap Kepala Pasukan ini jatuhkan diri ke tanah sambil babatkan
keris sakti ke depan. Sinar merah berkiblat. Dia selamat dan bangkit
dengan cepat tapi bahu kanannya tampak bengkak besar. Seseorang
telah melepaskan tendangan kilat. Masih untung tendangan itu
meleset.
"Keparat! Dia lagi!" terdengar teriakan Imo Gantra.
"Kali ini tak ada ampun bagimu pendekar sinting!" menyusul suara
bentakan Ki Rawe Jembor. Memandang ke depan Raden Cokro
Ningrat melihat seorang pemuda berambut gondrong sebahu berikat
kepala kain putih tegak dengan kaki merenggang. Kedua tangannya
dirangkapkan di depan dada. Baju putihnya tidak dikancingkan. Pada
dadanya yang berotot tampak tersebul barisan tiga angka yang telah
menggetarkan rimba persilatan.
"Pendekar 212…" desis Cokro Ningrat. Lidah nya terasa kelu,
tengkuknya seperti disiram embun pagi!
"Aku sudah memberi peringatan pada semua Kalian di sini. Jangan
berani mengganggu gadis ini! Ternyata kalian mengabaikan
peringatan itu…" Ki Rawe Jembor tampak geram mendengar kata-kata
Pendekar 212 Wiro Sableng yang jelas-jelas menantang dan
sekaligus merendahkan dirinya dan kawan-kawan. Dia maju satu
langkah dan membuka mulut dengan suara lantang.
"Manusia sableng! Kau sendiri rupanya juga lupa akan peringatanku.
Kami telah melepaskan kau dan gadis itu sore tadi. Kini kalian
datang lagi membuat keonaran. Bahkan membunuh orang-orang
kami. Bukankah sudah kukatakan bahwa pembalasan kami lebih
kejam dari siksa neraka…?!"
"Soal siksa neraka mana aku tahu. Kukira kaupun tidak tahu! Kalau
aku kepingin tahu apakah kau bisa menunjukkan jalan ke neraka?!"
Habis berkata begitu Wiro Sableng lalu umbar tawa bergelak. Karena
suara tawanya disertai kekuatan tenaga dalam yang tinggi maka
semua orang yang ada di sana merasakan telinga masing-masing
mengiang memekakkan sedang jantung seperti berguncang! Wiro
melangkah mendekati Nawang Suri.
"Sahabat, kau tak apa-apa…?" Pendekar ini menegur. Dalam hatinya
sang dara memaki panjang
pendek.
"Aku sudah hampir mampus dikatakan tidak apa-apa! Pemuda edan!
Benar-benar sableng!" Walaupun dalam hati memaki, namun entah
mengapa gadis yang tadi sudah nekad dan siap menerima kematian,
kini muncul harapan untuk hidup kembali. Dan dia diam saja ketika
pemuda itu memegang tubuhnya lalu mengangkat dan meletakkannya
di bahu, seperti sebelumnya ketika dia memberi pertolongan. Wiro
memandang berkeliling. Saat itu terdengar Ki Rawe Jembor berkata.
"Jangan harap kali ini kami memberi ampunan dan membiarkan
kalian berdua pergi hidup-hidup!"
"Begitu…?" tukas Wiro.
"Kita akan lihat. Siapa berani bergerak dia akan mati duluan!" Lalu
murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini gerakkan tangan
kanannya ke pinggang di mana tersisip Kapak Maut Naga Geni 212.
Imo Gantra tegak tak bergerak. Dia sudah melihat keganasan Kapak
Naga Geni 212 itu. Ki Rawe Jembor diam meragu. Tapi Raden Cokro
Ningrat yang memegang Keris Mustiko Geni di tangan kanan, merasa
tidak ada yang perlu ditakutkan. Maka dia pun menyerbu dengan
satu tusukan ke arah kepala Wiro Sableng.
"Manusia tolol!" teriak Wiro. Tubuhnya dirun-dukkan. Keris Mustiko
Geni menukik mengikuti gerakannya, membeset dan menyusup di
antara rambutnya yang gondrong. Nawang Suri terpekik dan
semburkan darah dari mulutnya. Gadis ini sungguh luar biasa. Orang
lain menderita luka seperti itu mungkin sudah pingsan. Gerakan
tangan Wiro untuk mencabut Kapak Naga Geni 212 terhalang oleh
serangan tangan kosong Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor yang
datang dari kiri kanan. Dan terjadilah satu pemandangan yang luar
biasa. Dengan masih memanggul tubuh Nawang Suri di bahu
kanannya, mustahil bagi murid Sinto Gendeng itu untuk selamatkan
diri dari dua serangan tangan kosong dan satu tikaman keris yang
disusulkan oleh Raden Cokro Ningrat. Tanpa perdulikan keadaan
sang dara, Wiro lemparkan tubuh Nawang Suri ke udara. Tangan
kanannya menyikut ke arah jotosan Imo Gantra yang datang dari
sebelah kanan sedang tangan kiri menghantam ke depan, memukul ke
arah lambung Ki Rawe Jembor. Untuk Cokro Ningrat, dengan
miringkan tubuh ke samping kiri Wiro lesatkan kaki kanannya,
mtmendang ke bawah perut lawan. Selagi Cokro Ningrat melompat
mundur selamatkan selangkangannya dan Imo Gantra terpekik karena
tiga jari tangannya yang dipakai menjotos menjadi bengkak waktu
beradu keras dengan sikut Wiro sementarei Ki Rawe Jembor terhenyak
ke belakang dimakan tinju kiri, maka Pendekar 212 Wiro Sableng
berkelebat untuk menangkap sosok tubuh Nawang Suri, langsung
memanggulnya kembali di bahu kanan! Para prajurit kerajaan yang
menyaksikan kejadian itu mau tak mau sama leletkan lidah dan
berdecak kagum. Sesaat mereka terlupa bahwa pendekar yang mereka
kagumi itu adalah musuh besar mereka! Selagi Imo Gantra si kakek
muka cekung masih merintih kesakitan, Ki Rawe Jembor telah
berhasil memulihkan rasa sakit pada bagian tubuh yang kena dijotos
Wiro. Kakek ini tampak selusupkan tangan kanannya ke pinggang. Di
lain kejap dia telah menggenggam sebilah tombak pendek bermata
tiga terbuat dari perak berkilat. Dari samping kanan Cokro Ningrat
tampak bersiap-siap dengan Keris Mustiko Geni. Puluhan prajurit dan
beberapa orang perwira telah mengambil posisi mengurung. Imo
Gantra kemudian tampak pula meloloskan senjatanya dari balik
pakaian biru, yakni sebilah rantai besi pendek yang ujungnya
diganduli lima keping mata pisau. Kehebatan senjata ini terletak
pada kepingan pisau yang bisa menyerang serentak sekaligus pada
satu sasaran atau menebar menghantam lima sasaran! Melihat
kenyataan ini Wiro Sableng jadi menggerendeng. Ternyata orang-
orang itu tidak mungkin diajak berdamai. Maka sekali dia
menggerakkan tangan Kapak Naga Geni 212 sudah berada dalam
genggamannya. Sinar perak bertabur menyilaukan dalam gelapnya
malam.
"Kalian semua memang minta mampus! Majulah serentak agar lekas
kupesiangi!" teriak Wiro. Tombak bermata tiga menderu. Sinar putih
menyambar. Rantai besi berpisau lima mata bersiuran di udara. Lalu
sinar merah menabur hawa panas berkiblat ketika Keris Mustiko Geni
ikut masuk ke dalam kalangan pertempuran. Wiro maklum, apapun
kehebatan senjata di tangan dua kakek berkepandaian tinggi itu,
namun Keris Mustiko Geni tetap merupakan senjata paling berbahaya
yang harus diperhatikannya. Pendekar 212 sapukan Kapak Naga Geni
di depan dada. Suara seperti ribuan tawon mengamuk terdengar
menderu disertai kilauan sinar putih. Tiga seruan tertahan terdengar
hampir berbarengan sementara puluhan prajurit dan beberapa perwira
yang ada di dekat kalangan pertempuran menyingkir dengan perasaan
ngeri. Ki Rawe Jembor, Cokro Ningrat dan Imo Gantra sama
melompat mundur. Rantai besi berpisau lima bergoyang-goyang.
Tombak bermata tiga bergetar keras ketika terkena hantaman angin
kapak sakti. Hanya Keris Mustiko Geni yang tampak masih
membersitkan sinar merah angker. Satu pertanda ijahwa senjata ini
memiliki keampuhan luar biasa dan dapat diandalkan menghadapi
Kapak Nage Geni 212. Melihat tiga lawannya jelas bergeming
menghadapi senjatanya, Wiro Sableng melangkah mundur menjauh.
Dia memutuskan untuk mundur segera meninggalkan tempat itu
karena hati kecilnya tetap tak mau menumpahkan darah atas orang-
orang kerjaan. Tetapi celakanya ata perinta Cokro Ningrat, puluhan
prajurit dan beberapa perwira bergerak merapatkan kurungan
sementara itu Kepala Pasukan Kerajaan ini telah memberi isyarat
pada dua hulubalang istana. Bersama Imo Gatra dan Ki Rawe
Jembor, dia kembali menyerbu Wiro Sableng. Kali ini ketiganya
menyusun taktik yakni walaupun tampak bergerak berbarengan
namun serangan tidak dilancarkan secara bersamaan. Yang
menghantam pertama adalah Ki Rawe Jembor dengan tombak
berkepala tiganya. Ketika Wiro menangkis dengan kapaknya, orang
tua ini cepat melompat mundur, begitu hantaman kapak lewat Imo
Gantra meloncat ke depan sambil hantamkan rantai besi bergandul
lima pisau berkilat. Sekali lagi Pendekar 212 babatkan kapaknya
untuk menghantam serangan kedua ini. Seperti tadi Ki Rawe Jembor,
Imo Gantra pun cepat melompat mundur. Di saat itulah Cokro Ningrat
masuk ke dalam kalangan dengan menyusupkan satu tusukan ganas
ke arah dada Wiro Sableng. Sebenarnya serangan Cokro Ningrat
mempunyai dua sasaran. Pertama memang dada wiro, namun jika
terpaksa meleset maka ujung keris akan terus ditikamkannya ke
kepala Nawang Suri yang terkulai di atas bahu pendekar dari Gunung
Gede itu!
5 "Wong edan!" maki Pendekar 212. Terpaksa dia lepaskan
pegangannya pada tubuh Nawang Suri dan pergunakan tangan kiri
untuk melepaskan pukulan kunyuk melempar buah. Tinju kiri
dihantamkan luruslurus ke depan ke arah Cokro Ningrat. Begitu
lengan membentuk garis lurus lima jari terkembang membuka.
Serangkum angin dahsyat menggebu. Kepala Pasukan Kerajaan itu
merasakan seperti ada batu besar yang menggelinding menghantam
ke arah tubuhnya. Kalau tadi dia hendak nekad menruskan tusukan
ke arah kepala Nawang Suri, kini dalam keadaan tubuh hampir
terseret dia terpaksa menarik pulang tusukannya, melompat ke
samping menghindari angin pukulan. Selagi Cokro Ningrat mengusap
dadanya yang terasa sakit dan sesak, di belakang sana terdengar
pekik jerit menggemparkan. Enam prajurit dan seorang perwira yang
terkena hantaman pukulan kunyuk melempar buah mencelat
bermentalan. Ketika tubuh masing-masing tergelimpang di dekat
tembok depan halaman istana, empat orang diantaranya sudah tidak
bernafas lagi. Dua lainnya merintih berkelojotan, siap menyusul
empat kawannya, sementara si perwira terduduk sambil memuntahkan
darah kental Kejadian yang menggemparkan ini membuat Imo Gantra
dan Ki Rawe Jembor naik darah. Keduanya berseru keras. Kekuatan
serangan tombak dan lima pisau berantai mereka lipat gandakan
dengan pengerahan tenaga dalam penuh hingga lima pisau tampak
berpijar terang dalam gelapnya malam sedang tombak tiga mata
mengeluarkan deru angin dingin menggetarkan. Ketika Wiro dengan
kertakkan rahang memutar Kapak Naga Geni untuk menangkis dua
serangan yang datang, celakanya Nawang Suri yang dari atas bahu
Wiro melihat si pemuda berada dalam keadaan terdesak tiba- tiba
hantamkan tangan kirinya ke arah Ki Rawe Jembor, padahal saat itu
dari samping lima pisau di ujung rantai Imo Gantra membabat sebat
tepat membelintang di arah pertengahan lengan Nawang Suri yang
memukul! Pendekar 212 sadar meskipun dia dapat menangkis
tusukan tombak Ki Rawe Jembor namun ke dudukannya tidak
memungkinkan menolong Nawang Suri dari senjata Imo Gatra. Karena
tak ingin gadis itu mendapat celaka mau tak mau Wiro Sableng
mengambil keputusan menghamtam lima pisau terlebih dahulu, baru
selamatkan diri sendiri dari tombak tiga mata. Namun baru saja dia
menggerakkan kapak ke arah senjata di tangan Imo Gantra, Cokro
Ningrat kembali masuk ke dalam kalangan pertempuran dengan
tikaman Keris Mustiko Geni ke arah dadanya. Pendekar 212 Wiro
Sableng benar-benar menghadapi kesulitan yang membahayakan
jiwanya! Ki Rawe Jembor keluarkan suara tertawa ber-gelak.
"Pendekar sableng! Akhirnya kau harus tinggalkan nyawamu di sini!"
kata hulubalang istana itu karena sudah yakin betul pemuda itu akan
menemui kematian dihantam tusukan tombaknya atau tikaman Keris
Mustiko Geni. Wiro yang masih tetap ingin menyelamatkan gadis di
atas panggulannya, meski sadar nyawa terancam tapi tetap saja
menyahuti dengan nada menantang.
"Mana mau aku mati sendirian! Salah satu dari kalian harus ikut
bersama!" Lalu Kapak Naga Geni 212 dibabatkan ke atas. Tapi
tombak di tangan Ki Rawe Jembor sudah menusuk dekat sekali ke
wajah pendekar ini. Di saat yang menegangkan di mana Wiro sudah
siap mempertaruhkan jiwanya tiba-tiba murid Sinto Gendeng
merasakan ada yang berkelebat di belakangnya. Serentak dengan itu
tubuh Nawang Suri yang ada di bahunya tertarik ke atas tanpa dia
mampu menahannya. Mengira ada musuh ke empat yang muncul dan
bermaksud menangkap Nawang Suri hiduphidup, Wiro berusaha
menendang seperti seekor kuda menlenjangkan kaki belakangnya.
Justru saat itu terdengar suara seseorang seperti ngiangan nyamuk
di telinganya.
"Anak muda! Biar gadis ini kuselamatkan lebih dulu. Kutunggu kau di
Goa Selarong!" Begitu suara mengiang lenyap, mendadak bertabur
angin deras. Keris Mustiko Geni melesat di samping perut Wiro. Lima
pisau Imo Gantra yang seharusnya membabat lengan Nawang Suri
kini menderu hanya seujung ibu jari di depan hidung Pendekar 212
dan senjata ini hancur berantakan dihantam Kapak Naga Geni 212.
Akan tetapi tusukan tombak tiga mata yang sudah demikian
dekatnya, meskipun agak tergontai-gontai oleh tiupan angin deras
tadi, tetap saja salah satu matanya sempat mengiris pipi kanan
pemuda itu. Dengan pipi mencucurkan darah Wiro melompat
menjauhi tiga pengeroyoknya. Dia menoleh cepat ke belakang, tapi
tak melihat lagi sosok tubuh Nawang Suri ataupun orang yang tadi
muncul menarik gadis itu dari bahunya. Di samping kanan terdengar
teriakan Cokro Ningrat.
"Kejar bangsat penculik berpakaian hitam itu!" Hampir dua lusin
prajurit dipimpin oleh tiga orang kepala regu dan dua orang perwira
bergerak cepat, berlari ke arah lenyapnya Nawang Suri. Sesaat
kemudian di kejauhan, dalam kegelapan malam terdengar pekik jerit
kematian. Dari sekian banyak yang melakukan pengejaran, dua orang
kembali ke halaman istana. Yang pertama seorang kepala regu,
datang terseokseok karena salah satu tulang kakinya tampak remuk
hancur. Yang satu lagi perwira berwajah penuh darah karena sebuah
matanya tampak pecah!
"Kurang ajar! Aku harus mengejar bangsat itu!" kertak Imo Gantra
marah dan bertindak hendak mengejar meskipun tangannya masih terasa sakit dan panas akibat bentrokan senjata dengan Kapak Naga Geni 212 tadi. Ki Rawe Jembor cepat memegang bahu kawannya ini dan berbisik.
"Jangan dimas. Kalau lebih dibutuhkan di sini. Aku tidak bermaksud merendahkanmu tapi manusia berpakaian hitam itu memiliki kepandaian seperti dewa!"
"Aku tidak takut! Mana ada manusia seperti dewa di dunia ini!" tukas Imo Gantra.
"Kataku jangan dimas!" Ki Rawe Jembor Akhirnya membentak.
"Kau tahu siapa orang berpakaian hitam itu?!" Mesti jengkel
penasaran tapi Imo Gatra menjawab dengan menggelengkan kepala.
"Dia adalah Resi Mandra Gotama, sesepuh kerajaan terdahulu.
Mendengar keterangan itu Imo Gantra berubah parasnya dan menatap
tajam pada Ki. Rawe Jembor.
"Kangmas Jembor. Ternyata manusia itu masih hidup. Ini sangat
berbahaya bagi kita semua. Sebaiknya segera menyusun rencana
menumpasnya habis-habisan…"
"Soal itu lain kali saja kita bicarakan. Saat ini yang penting adalah
menamatkan riwayat pemuda sableng satu ini!" Wiro yang diam-
diam mendengarkan pembiaraan kedua orang itu tampak garuk-
garuk kepala. Setelah mengusap darah yang keluar dari luka di pipi
kanan dia mengangkat tangan kiri seraya berkata.
"Orang yang kalian ingin tangkap atau bunuh sudah tak ada. Kurasa
akupun tak ada urusan lagi di tempat celaka ini. Beri jalan, aku mau
pergi…" Cokro Ningrat dan dua kakek hulubalang istana saling
berpandangan sejenak lalu tertawa gelak-gelak.
"Enak saja bicaramu! Cepat atau lambat kami akan menangkap gadis
pemberontak itu. Tapi yang jelas saat ini kau kami bunuh lebih dulu!"
berkata Raden Mas Cokro Ningrat.
"Memang, kunyuk satu ini harus dibereskan dulu!" ujar Imo Gantra.
Dia penasaran sekali karena senjata rantai berpisau lima miliknya
musnah di hantam kappa Naga Geni 212. Meskipun diancam begitu
Wiro Sableng hanya menyeringai. Dia lepaskan pukulan angin puyuh
dengan tangan kiri. Pukulan ini sengaja dihantamkan ke tanah di
depannya. Tanah halaman istana berlobang besar. Bongkahan tanah
dan pasir beterbangan ke udara menutup pemandangan.
"Keparat! Jangan biarkan dia lolos!" teriak Imo Gantra. Tapi orang-
orang di situ tak dapat melihat Wiro. Selagi pemandangan tertutup
begitu rupa Wiro cepat berkelebat, namun di pintu gerbang halaman
puluhan prajurit coba menghadangnya. Ketika Wiro berlagak hendak
menghantam dengan Kapak Naga Geni 212, semuanya langsung
buyar ketakutan. Tapi dari sebelah belakang Imo Gantra tampak
mengejar. Sambil lari dia kelihatan mengerukkan tangan kanan ke
dalam sebuah kantong yang tersembunyi di balik bahu pakaiannya.
Ketika dia memukulkan tangannya ke depan maka berhamburanlah
lebih dari selusin senjata rahasia berbentuk paku hitam. Benda-
benda ini melesat di udara hampir tanpa suara dan mengandung
racun sangat jahat. Meskipun senjata rahasia itu tidak mengeluarkan
suara namun pendengaran Pendekar 212 Wiro Sableng tak dapat
ditipu. Dia putar Kapak Naga Geni di belakang kepala. Terdengar
suara berdentringan. Seluruh paku maut itu hancur dan luruh ke
tanah, beberapa di antaranya sempat menerpa anggota pasukan yang
ada di dekat situ. Meskipun mereka tidak terluka parah, tapi racun
senjata rahasia yang jahat membuat merasakan nyeri di seluruh
peredaran darah lalu akhirnya menemui ajal setelah terlebih dahulu
menjerit-jerit Karen tak kuat menahan rasa sakit. Sewaktu tadi
menghantam luruh serangan paku hitam yang dilepaskan Imo Gantra
dengan Kapak Maut Naga Geni 212, Wiro sekaligus menekan sebuah
tombol rahasia pada bagian hulu kapak yang berbentuk kepala naga.
Serta- merta dari lubang-lubang pada gagang kapak yang berjumlah
enam buah mencuat keluar enam buah jarum halus yang meskipun
malam masih pekat kelam tapi jarum-jarum itu memancarkan sinar
berkilauan. Keenamnya menyambar ke arah Imo Gantra.
"Dimas awas senjata rahasia!" teriak Ki Rawe Jembor memberi ingat.
Dia lepaskan pukulan tangan kosong. Imo Gantra sendiri cepat
membuang diri ke samping namun kasip. Hanya tiga jarum yang
berhasil dibuat mental oleh pukulan Ki Rawe Jembor, tiga lainnya
sudah keburu menyusup di bahu kiri, pinggang kiri dan perut Imo
Gantra. Kakek bermuka cekung ini merintih membeliak. Tubuhnya
sebelah kiri langsung lumpuh sedang perutnya seperti ada besi
menyala di sebelah dalam. Sebelum Imo Gantra tersungkur jatuh, Ki
Rawe Jembor cepat mendekap tubuh kawannya itu lalu berteriak agar
beberapa orang menolong menggotong Imo Gatra ke dalam istana.
Ketika dia memandang berkeliling Ki Rowo Jembor tidak melihat lagi
Raden Cokro Ningrat di tempat itu. Jelas Kepala Pasukan Kerajaan
itu mengejar Wiro Sableng. Lalu kemana dia lenyap bengitu saja ?
6 WIRO SABLENG tidak tahu di mana letaknya Goa Selarong. Tapi dia
ingat bahwa anta ra Muntilan dan kaki barat laut Gunung Merapi ada
sebuah lembah batu kapur bernama Selarong. Kemungkinan besar
itulah tempat yang disebutkan oleh orang yang telah melarikan dan
menyelamatkan Nawang Suri. Resi Mandra Botama. Ini satu nama
yang tak pernah didengar Wiro sebelumnya. Sayang tadi dia tak
sempat melihat wajah ataupun sosok tubuh orang itu. Gerakannya
begitu cepat. Sudah lenyap sebelum dia sempat membalik. Hanya
ada satu hal yang sangat pasti tentang orang itu. Yakni dia memiliki
kepandaian tinggi sekali. Orang-orang atau para tokoh silat istana
kelihatannya agak gentar terhadapnya. Benarkah dia sesepuh
kerajaan lama seperti yang disebut-sebut Ki Rawe Jembor ketika
berbisik-bisik dengan Imo Gantra dan sempat terdengar oleh Wiro?
Berarti sang resi mempunyai hubungan sangat dekat dengan Nawang
Suri. Tidak mengherankan kalau dia muncul menyelamatkan gadis itu.
Tetapi apakah maksud sang resi menunggunya di Goa Selarong? Wiro
berlari tidak terlalu cepat. Sambil lari dia berusaha mengobati luka
pada pipinya dengan obat bubuk yang selalu di bawanya.
Agaknya tombak Ki Rawe Jembor meskipun tampak angker ternyata
tidak mengandung racun jahat. Kalau tidak pada saat itu dia pasti
telah keracunan. Tapi untuk lebih meyakinkan pendekar itu menelan
sebutir obat lalu mempercepat larinya menuju kearah timur.
Menjelang tengah hari keesokannya Wiro sampai di lembah batu
kapur Selarong. Sejauh mata memandang yang tampak hanyalah
batu- batu kapur berwarna putih. Di beberapa bagian batu-batu itu
telah berubah coklat kehitaman di makan waktu. Tak ada bangunan,
tak ada pepohonan. Apalagi menemukan sebuah goa. Wiro menarik
nafas kesal. Kepalanya digaruk berulang kali.
"Gila! Di mana aku bisa menemukan goa di daerah begini rupa.
Jangan-jangan orang itu hanya berdusta. Tapi dia bicara dengan
ilmu luar biasa hingga orang lain tak dapat mendengar. Berarti
pesannya memang ditujukan padaku. Jelas dia tak bermaksud
mempermainkan…" Wiro memandang lagi berkeliling. Tenggorokannya
terasa kering. Bajunya basah oleh keringat dan perutnya terasa
keroncongan.
"Gila!" kata pendekar ini lagi. Lalu mendongak ke langit. Sinar
matahari menyilaukan mata. Batu kapur yang dipijaknya terasa
panas membakar telapak kaki. Akhirnya pemuda ini mendapat akal.
Dari pada susahsusah mencari mengapa tidak berteriak saja? Maka
Wiro pun kerahkan tenaga dalamnya dan berteriak keras-keras.
"Resi Mandra Botama! Aku Wiro, orang yang kau suruh datang!
Harap beri petunjuk di mana kau berada!" Suara teriakan Wiro
membahana di lembah batu kapur itu. Bergema panjang berulang
ulang membuat sang pendekar merasa ngeri sendiri mendengarnya.
Tak ada jawaban. Siliran angin pun tidak terdengar. Wiro berteriak
sekali lagi. Sekali lagi,terus berulang-ulang. Tetap saja tak ada
jawaban, tak ada sesuatu pun yang bergerak.
"Sialan!" maki pemuda ini. Dia memutuskan menunggu selama
sepeminuman teh di tempat itu. Jika tetap tak ada seseorang yang
muncul dia akan berteriak lagi. Dan jika masih tak ada tanda-tanda
orang yang dicarinya berada di situ maka lebih baik dia pergi saja.
Suatu ketika seekor burung tampak terbang di udara. Berputar-putar
beberapa kali di atas lembah batu kapur. Tiba-tiba binatang itu
menukik laksana sebuah anak panah, menghujam ke pertengahan
lembah dan lenyap tak kelihatan lagi.
"Aneh…" membatin Wiro.
"Bagaimana burung itu bisa lenyap seperti ditelan bumi? Mungkin…"
Wiro Melompat dari duduknya. Lalu pendekar ini lari ke pertengahan
lembah, ke arah mana tadi dilihatnya burung menukik turun dari
udara dan lenyap. Sesaat ketika dia sampai di tempat di mana
sebelumnya dengan pasti tampak burung menukik lenyap, Wiro. jadi
garuk-garuk kepala dan memaki. Di situ memang terdapat sebuah
lobang. Tapi hanya lobang kecil cukup untuk satu ekor dua ekor
burung. Dan burung tadi memang ada dalam lobang itu. Binatang ini
segera terbang ke udara ketika Wiro datang lebih dekat. Jengkel dan
kesal Wiro memandang berkeliling. Lobang kecil di tanah batu kapur
itu ditendangnya. Tiba-tiba tiga buah lobang seukuran tubuh
manusia menganga aneh di kiri kanan Wiro. Tiga sosok tubuh
melesat keluar. Ternyata ketiganya adalah anak-anak kecil, satu
perempuan dua lelaki. Ketiganya berusia sekitar tujuh sampai
delapan tahun. Masingmasing berpakaian seperti prajurit-prajurit
kerajaan, membawa tombak dan perisai. Tombak dan perisai itu
adalah yang biasa dipergunakan oleh prajurit-prajurit kerajaan dalam
ukuran sebenarnya hingga tampak terlalu besar bagi ketiga anak itu.
Tapi anehnya ketiganya tidak menunjukkan tanda-tanda keberatan
membawa tombak panjang dan perisai besar itu.
"Kalian bertiga keluar dari dalam tanah! Kalian ini bangsa tikus,
cacing tanah atau manusia benar ?!" bertanya Wiro keheranan. Anak
perempuan di samping kanan tampak membesarkan bola matanya.
"Tua bangka tidak tahu peradatan!" Anak perem–puan itu
membentak.
"Sebagai tamu kau tak layak bertanya tapi justru harus
memperkenalkan diri!"
"Aha… Ini baru hebat!" seru Wiro lalu dia berlutut hingga kepalanya
sama tinggi dengan si anak perempuan. Setengah melucu Wiro
berkata:
"Nah, sekarang kita sama-sama tinggi kawan! Bagaimana
pendapatmu?" Anak perempuan itu tidak menjawab apalagi tertawa.
Matanya memandang tak berkesip pada Wiro. Mulutnya terbuka
sedikit. Terdengar suaranya mendesis.
"Tamu sinting. Apakah sudah siap untuk menerima kematian?"
"Heh…?" Wiro berpaling dan jadi terkejut ketika dapatkan anak lelaki
yang satu sudah tegak di samping kanannya dengan ujung tombak
hampir melekat di batang lehernya!
"Gila! Bagaimana aku tidak sempat melihat gerakannya dan tahu-
tahu kini sudah membokong?"
"Tamu sinting! Coba lihat sebelah kiri!" Si anak perempuan berkata.
Wiro berpaling. Astaga! Anak lelaki kedua ternyata juga sudah
menodongkan ujung tombak besarnya ke batang leher bagian kiri!
"Hai! Apa-apaan ini?!" tanya Wiro Sableng. Dia menggerakkan tangan
untuk menggaruk
kepala. Namun dari kiri kanan, dua perisai atau tameng besar
dihimpitkan ke tubuhnya hingga dia tidak bisa bergerak. Benar-benar
mengherankan. Bagaimana dua anak kecil begitu rupa memiliki
kekuatan demikian hingga dia terjepit di tengah-tengah. Semula
hendak dicobanya meloloskan diri dengan kekerasan adu kekuatan.
Namun Wiro tak tega kalau dua anak lelaki itu sampai cidera. Maka
dia pun hanya diam dan berteriak bertanya. Anak perempuan di
depannya menunjuk tepat-tepat dengan jari kelingking kiri. Demikian
dekatnya hingga hidung Wiro Sableng hampir tersentuh.
"Lekas katakan siapa namamu. Datang dari mana dan apa
kepentinganmu datang ke lembah ini!"
"Gadis cilik, lagakmu hebat sekali. Tapi baik aku akan menjawab
pertanyaanmu!" sahut Wiro sambil menyengir.
"Namaku Wiro Sableng! Aku barusan datang dari Kuto Gede. Aku
datang kemari untuk mencari Goa Selarong. Aku haus dan juga lapar!
Nah, apa laporanku bisa diterima?!"
"Soal kau haus atau lapar bukan urusan krmi! Lekas katakan
mengapa kau mencari Goa Selarong?" Anak perempuan itu bertanya.
Suaranya keras dan tegas. Tampaknya dia memang tidak main-main.
"Seseorang menyuruhku datang ke goa itu," menjelaskan Wiro.
"Seseorang siapa? Setan? Hantu… Tuyul? Rampok atau pengemis?"
bertanya lagi si anak perempuan yang membuat Pendekar 212
mengulum senyum menahan tawa.
"Orang itu bernama Resi Mandra Botama…"
"Ada apa kau mencari resi itu? Urusan baik atau urusan jahat?"
"Mana aku tahu. Sang resi sendiri yang meminta aku datang."
Berdasarkan pertanyaan terakhir yang diajukan gadis kecil itu Wiro
segera maklum bahwa daerah sekitar situ, walaupun dia masih belum
melihat adanya goa, pastilah daerah kediaman orang yang telah
menyelamatkan dan melarikan Nawang Suri. Hatinya puas dan kini
dia akan mempermainkan dan mengganggu ketiga anak kecil itu.
Tertama si gadis yang di depannya. Maka diapun berkata
"Mengenai urusanku dengan sang resi kau anak-anak ingusan tak
perlu tahu. Tapi aku ada membawa tiga permainan dan tiga kotak
gula-gula. Pasti mainan dan gula-gula itu bukan untuk kalian!" Tiga
anak itu saling pandang sesaat. Wiro menyeringai.
"Kami harus menggeledah tubuhmu!" Si gadis tiba-tiba memutuskan.
"Boleh saja!" sahut Wiro.
"Tapi buat apa susah-susah. Biar kutanggalkan seluruh pakaianku.
Kalau aku sudah telanjang baru kalian puas!"
"Dan aku juga membawa tiga ekor tikus besar. Kotor dan bau!
Ketiganya pantas untuk kalian. Seorang satu!"
"Ih…!" Kini ketiga bocah itu sama-sama menunjukkan sikap jijik.
"Katakan, apakah kalian tahu di mana Goa Selarong? Di mana aku
bisa menemukan Resi Mandra Botama?"
"Kau membawa barang busuk dan kotor. Maksud kedatanganmu
terselubung tanda membawa itikad yang tidak baik. Lekas pergi dari
sini!"
"Begitu? Baiklah. Tapi sebelum pergi aku akan lepaskan tiga ekor
tikus besar busuk dan kotor itu. Biar kalian digigitnya satu persatu!"
"Ternyata maksudmu memang jahat! Biar kau kami bunuh saat ini
juga!" Habis berkata begitu si gadis memberi isyarat pada dua
kawannya. Dua anak lelaki yang ada di kiri kanan Wiro segera
tusukkan tombak masing-masing ke leher pendekar itu. Saat itulah
Wiro kerahkan tenaga. Tangan kiri kanan mendorong keras ke
samping, menekan tameng yang menjepitnya. Kedua anak lelaki itu
mencelat mental. Tapi mereka tidak jatuh atau terguling di tanah.
Begitu terpental, keduanya tampak jungkir balik, mendarat di tanah
dengan kedua kaki lebih dulu lalu langsung menyerbu. Si anak gadis
cilik tak tinggal diam. Dia pun telah menerkam dengan satu tusukan
tombak ke perut Wiro Sableng
"Hebat!" seru Wiro memuji polos karena kagum melihat gerakan
ketiga anak itu. Ternyata gerakan mereka bukan gerakan asal saja.
Tapi jelas gerakan jurus-jurus ilmu silat. Meskipun gerakan tersebut
belum disertai kekuatan tenaga dalam, namun jika berlku lengah
sedikit saja dapat menimbulkan bahaya. Wiro sendiri yang semula
hendak melayani secara asal-asalan kini harus bertindak hati- hati.
Pertama dia tidak ingin mendapat cidera , apalagi tertusuk tombak.
Kedua, jika menghadapi secara sungguhan dan membalasnya dengan
kekerasan, mana tega dia melukai tiga bocah yang bersikap tegas
tapi tetap bersikap dengan segala kelucuannya sebagai anak-anak.
Setelah mengelak kian kemari akhirnya Wiro dapat akal. Cara terbaik
menghadapi ketiga lawan cilik ini ialah menotok mereka terlebih
dahulu. Maka Wiro pun mempercepat gerakannya. Namun seolah-
olah tahu apa yang ada dalam benak pendekar tersebut, ketiga bocah
itu pergunakan tameng di tangan kiri masing-masing untuk
melindungi diri. Karena jengkel akhirnya Wiro memutuskan untuk
menghancurkan tameng kayu berlapis besi tipis itu. Hanya saja
sebelum hal itu sempat dilakukannya tiba-tiba terdengar suara keluar
dari tiga lobang di tanah batu kapur.
"Prajurit-prajuritku! Cukup sudah sambutan yang kalian berikan.
Antarkan tamu itu kedepanku!" Serta-merta tiga anak kecil itu
melompat keluar dari kalangan pertempuran. Ketiganya tegak
membentuk barisan dan menjura kepada Wiro Sableng.
"Ah! Pertunjukan atau sandiwara apa lagi yang hendak kalian
lakukan!" ujar Wiro sambil usap-usap luka di pipinya. Si gadis kecil
menjawab mewakili kawankawannya.
"Junjungan kami ternyata bersedia menemui paman raden. Silahkan
mengikuti kami….." Wiro Sableng karuan saja jadi tertawa terbahak
ketika dirinya dipanggil dengan sebutan paman raden. Sementara itu
dua bocah lelaki telah menyelinap masuk dan lenyap ke dalam dua
lobang di kiri kanan. Si gadis kecil menunjuk ke lobang yang di
tengah seraya berkata dengan sikap hormat:
"Silahkan paman raden. Kita masuk lewat lobang itu…"
"Lewat lobang sekecil itu? Dan masuk ke mana?" tanya Wiro heran.
"Lobangnya tidak kecil!" jawab si gadis.
"Lihat!" Lalu dengan ujung tombaknya pinggiran lobang ditusuk-
tusuk berulang kali hingga lobang itu menjadi besar dan dapat
dimasuki ukuran dua orang dewasa sekaligus. Ketika melihat Wiro
masih tegak terheran-heran si gadis berkata:
"Bukankah paman raden hendak bertemu junjungan kami. Resi
Mandra Bo- tama? Nah, mau menunggu apa lagi?"
"Hemmm… Jadi kau dan dua kawanmu tadi itu adalah prajurit-
prajurit sang resi." Wiro manggut-manggut.
"Baiklah. Aku percaya padamu." Lalu tanpa ragu-ragu pemuda ini
melompat turun ke dalam lobang. Begitu kakinya menginjak tanah
lobang, tubuhnya langsung merosot meluncur. Ternyata bagian dalam
lobang itu seperti sebuah tabung peluncur yang bagian bawah
dinding- dindingnya keras dan licin. Karen gelap Wiro tidak dapat
melihat apa-apa. Dia mendengar, gadis kecil telah ikut meluncur di
belakangnya. Terowongan di bawah tanah itu cukup panjang.
Beberapa saat kemudian Wiro melihat sinar terang di bawah sana.
Tak lama setelah itu tubuhnya meluncur melewati sebuah pintu aneh
lalu merosot terjun memasuki sebuah ruangan besar berwarna putih
yang diterangi banyak lampu minyak. Begitu dia masuk ke dalam
ruangan itu, disusul oleh gadis cilik tadi, pintu di belakangnya
terhempas keras dan menutup.
7 DUA ANAK lelak menyerang Wiro ternyata sudah berada dalam
ruangan itu, duduk bersila dihadapan seorang kakek bermuka kelimis
lonjong dengan janggut pendek di dagunya. Orang tua ini
mengenakan pakaian hitam, berikat kepala dan berikat pinggang kain
putih. Meski sudah lanjut tapi rambutnya yang panjang masih
berwarna hitam. Kakek ini duduk bersila diatas sehelai tikar kulit
harimau yang kepalanya telah dikeringkan dan menghadap ke arah
Wiro dengan mulut menganga. Di belakangnya tampak sebuah
pembaringan dimana tampak terbujur sesosok tubuh yang bukan lain
adalah tubuh Nawang Suri. Gadis cilik dibelakang Wiro cepat
melangkah ke hadapan si orang tua dan duduk bersila disamping dua
kawannya.
"Junjungan, tamu sudah kami antar kehadapanmu. Apakah kami
tetap berada di ruangan ini atau menunggu di taman…"
"Taman…?" Wiro memandang heran berkeliling. Dimana pula ada
taman di ruangan dibawa h tanah itu? Dan dia tidak melihat pentu
lain selain tiga pintu yang berhubungan dengan tiga terowongan
jalan masuk tadi. Sang junjungan menganggukkan kepala pada gadis
cilik itu tetapi sepasang matanya tetap mengarah pada Pendekar 212
Wiro Sableng. Pandangan mata itu begitu tajam dan sangat
berwibawa, membuat pendekar kita merasa risih.
"Kalian tetap berada disini sampai urusan kita dengan tamu ini
selesai. Harap kalian pindah duduk ke sebelah kanan. Beri tempat
pada tamu kita untuk duduk dihadapanku. Tiga anak itu beringsut ke
bagian kanan ruangan. Lalu kakek berpakaian hitam memberi isyarat
pada Wiro agar dia pindah duduk lebih dekat kehadapannya. Meski
merasa tidak enak, Wiro menurut saja dan berkata:
"Nah orang tua. Siapapun kau adanya, saya sudah datang memenuhi
permintaanmu. Harap terang kan segala maksud." Orang tua itu
tersenyum. Tapi hanya sedikit dan sekejap saja. Sesaat kemudian
wajahnya kembali serius.
"Kurasa aku tak perlu memperkenalkan diri lagi. Kau sudah tahu
pasti siapa diriku dari pembicaraan kasak kusuk orang-orang
kerajaan itu. Juga penjelasan dan perajurit-perajuritku di luar
lobang…"
"Saya tahu kau adalah Resi Mandra Botama. Tak lebih dari itu."
Menjawab Wiro. Si orang tua mengangguk. Lalu tanpa diminta dia
menjelaskan
"Dulu aku adalah pendamping dan penasihat raja. Dan raja saat itu
adalah ayah Nawang Suri, gadis yang telah beberapa kali kau
selamatkan. Untuk semua perbuatanmu itu aku mengucapkan banyak
terima kasih. Kelak hari ini juga akan kubalas semua jerih
payahmu…."
"Ah, apapun yang saya lakukan tidak ada niat untuk minta balas
jasa…" jawab Wiro. Dia memanjangkan leher memandang ke arah
pembaringan.
"Gadis itu…bagaimana keadaannya?"
"Tangannya yang patah sudah dibalut Luka dalam bekas pukulan
sudah diobati. Paling tidak membutuhkan waktu setengah bulan
untuk menyembuhkan luka dalam itu dan tiga bulan untuk
menyambung kembali tulang lengan yang patah…Kini dia tertidur
nyenyak".
"Kasihan dia. Saya sudah berkalikali menasihatkan agar jangan
berlaku nekad…"
"Gadis itu tidak nekad!" memotong Resi Mandra Botama.
"Apa yang diperlihatkannya adalah satu keberanian sejati, jiwa satria
membela hak dan demi kewajiban!." Wiro terdiam. Dia tak mau
berdebat soal urusan orang-orang ini. Jalan pikiran mereka jelas
berbeda. Setelah berpikir sejenak dia baru berkata memberi pendapat.
"Saya tidak ingin mencampuri urusan kalian, apalagi yang
menyangkut kerajaan. Hanya saja kalau saya boleh memberikan
pendapat, dan harap maaf kalau pendapat saya keliru, apapun yang
hendak kalian lakukan harus di piker masak-masak. Keadaan di luar
sana sudah sangat jauh berbeda. Kalian berjuang, tapi perjuangan
kalian akan sia-sia karena kalian tidak ada beda dengan sebuah
perahu kecil menyongsong badai gelombang yang dahsyat. Mengapa
persoalan hidup tidak di lupakan saja dan memilih jalan hidup yang
tenang tentram ?" Orang tua itu tersenyum lagi. Tapi segera pula
wajahnya menunjukkan keseriusan kembali.
"Pendapatmu mungkin benar. Tapi jangan lupa badai gelombang
yang bagaimanapun besarnya suatu saat pasti akan reda. Dan saat
itulah yang kami tunggu untuk bergerak kembali…"
"Berarti pertumpahan darah tak akan pernah berhenti!" ujar Wiro
pula.
"Itu memang sudah aturan kehidupan di dunia…" menyahuti sang resi.
Wiro menggeleng.
"Kenapa kau menggeleng?"
"Manusia hadir di dunia ini untuk mengatur dunia. Bukan dunia yang
harus mengaturnya!" Resi Mandra Botama terdiam tapi bibirnya
bergetar.
"Resi, sebaiknya urusan itu tidak usah kita bica-kan karena hanya
akan mengundang perdebatan yang tak putus-putusnya. Jika jalan
pikiranmu kau anggap betul, tak ada yang
melarangmu untuk melakukan apa saja. Tentunya segala akibat dan
tanggung jawab berada di pundakmu. Sekarang mungkin kau lebih
baik menerangkan mengapa meminta saya datang ke goa ini…."
"Pertama, seperti kukatakan tadi untuk mengu capkan rasa terima
kasih karena kau telah menolong puteri raja kami Nawang Suri.
Namun ada hal yang lebih penting lagi. Apakah kau bersedia kawin
dengan gadis itu?" Wiro Sableng melengak kaget dan ternganga
mendengar ucapan itu.
"Kau terkejut anak muda?" tanya si orang tua.
"Tentu saja," jawab Wiro.
"Pertanyaanmu gi…aneh!" Hampir saja pendekar ini hendak
mengucapkan kata gila. Tapi sang resi langsung menyambung
dengan pertanyaan:
"Apa yang menurutmu gila atau aneh?"
"Bagaimana kau enak saja menanyakan hal itu padahal kau bukan
orang tua gadis itu…"
"Saat ini kedudukanku lebih kurang sama dengan orang tuanya…."
"Lain dari pada itu, bagaimanapun juga Nawang Suri adalah puteri
raja sedangkan aku hanya seorang pemuda gelandangan yang dicap
orang sinting dimana-mana. Resi Mandra Botama tertawa lebar. Ini
pertama kali Wiro melihat orang tua itu tertawa
demikian. Keduanya duduk terpisah lebih dari tiga langkah. Tapi
seperti bisa memulur memanjang, tangan kana sang resi tahu-tahu
sudah menepuk-tapu bahu Wiro dengan sikap yang tampak ramah.
Tapi sebaiknya Wiro merasa bahunya seperti dijatuhi batu-batu
besar. Kalau dia tidak lekas-lekas kerahkan tenaga tubuhnya pasti
sudah terbanting ke lantai. Dia maklum kalau orang tengah
mengujinya
"Anak muda apa bedanya puteri atau putera raja dengan orang
kebanyakan? Ingat, tadi kau mengatakan bahwa kita lahir ke dunia
untuk mengatur dunia ini agar jangan sampai dunia mengatur kita.
Nah bukankah itu cocok dengan ujarujarmu itu…?"
"Mungkin tapi tidak untuk yang satu ini. Segala sesuatunya tentu ada
pengecualian. Bagaimanapun juga tak mungkin saya berani
menerima pemintaanmu itu. Saya mohon maaf. Kalau urusan sudah
selesai saya mohon diri Resi Mandra Botama menarik tangannya dari
bahu Wiro.
"Urusan yang satu itu kuanggap belum selesai. Aku memberi waktu
satu setengah tahun padamu untuk memberikan jawaban…"
"Ah…kenapa urusan jadi gila macam begini?!" membatin Wiro. Di
depannya kembali terdengar si orang tua berkata.
"Anak muda, sementara urusan perjodohanmu dengan puteri rajaku
ditunda dulu, aku ada satu permintaan. Entah kau sudi menolong
atau tidak…"
"Apakah itu?"
"Keris Mustiko Geni," sahut sang tesi Kini ha nya tinggal sarungnya
saja yang ada pada kami. Keris nya telah dirampas orang-orang
kerajaan. Dapatkah kau membantu mengembalikan senjata lambang
tahta kerajaan itu?"
"Saya tidak dapat memastikan. Tapi jika itu permintaanmu saya akan
mencoba," jawab Wiro. Lalu dia berdiri karena ingin cepat-cepat
meninggalkan tempat itu.
"Kau sangat kesusu anak muda?" bertanya Resi Mandra Botama.
Walau Wiro telah berdiri dia tetap saja duduk di atas tikar kulit
harimau.
"Maafkan, saya memang harus pergi. Saya gembira bisa bertemu
denganmu…"
"Jangan buruburu pergi dulu, anak muda. Ada sesuatu untukmu!"
"Resi, ingat, saya tidak meminta balas jasa apa-apa. Saya tidak
mengandung niat inginkan pamrih…"
"Ini tak ada hubungan dengan soal kebaikanmu menolong Nawang
Suri. Ini semata- mata pemberian dariku karena aku suka padamu…"
Lalu dari balik pakaian hitamnya Resi Mandra Botama mengeluarkan
dua buah benda.
Benda-benda itu diletakkannya diatas kulit harimau di hadapannya.
Besarnya sekira setelapak tangan, berbentuk bulat yang berlobang
dibagian tengahnya dan mempunyai sudut runcing sebanyak tujuh
buah. Satu berwarna merah satu lagi berwarna putih.
"Ini adalah Sepasang Cakra Dewa." berkata Resi itu.
"Yang berwarna merah Cakra Jantan dan yang putih Cakra Betina.
Kau boleh mengambil yang merah
"Terima kasih Resi Mandra. Mohon maaf, saya tak berani menerima
pemberianmu…" kata Wiro seraya membungkuk.
"Jangan membuat aku tersinggung anak muda: Aku tidak bermaksud
menyogokmu!" Sang resi tampak agak marah.
"Saya tidak mengatakan demikian atau bermaksud begitu," sahut
Wiro.
"Cakra ini bukan senjata sembarangan. Bila mengenai sasaran atau
serangan meleset dia akan berbalik kembali. Setiap sudut runcingnya
memiliki racun mematikan yang tidak luntur sampai seratus abad.
Ambillah yang merah ini. Aku berikan dengan tulus ikhlas…" Karena
Wiro Sableng masih tak mau menerima akhirnya Resi Mandra Botama
menyisipkan Cakra Dewa yang putih lalu berdiri dan melangkah
mundur ke sudut ruangan.
"Kau akan saksikan kehebatan senjata ini, anak muda!'" kata sang
resi. Lalu sekali tangan kanannya bergerak, Cakra Dewa putih melesat
ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Suaranya bergaung aneh.
Terkejut mendapat serangan tak terduga itu Wiro berseru kaget dan
cepat-cepat rundukkan kepala. Cakra Dewa berdesing dan membabat
putus rambut yang melingkar di bawah telinga kiri Pendekar 212.
Begitu serangan tidak mengenai sasaran, senjata itu berputardiudara
lalu membalik ke arah Resi Mandra Botama. Orang tua ini cepat
menangkapnya dan memasukkannya kembali ke balik pakaiannya.
"Orang tua, kau hendak membunuhku…" kata Wiro masih belum sirap
kaget dan bergetar suaranya. Sang resi tertawa. Tidak mudah
membunuh pendekar sepertimu, anak muda," katanya. Lalu dia
memberi isyarat pada ketiga
"prajuritnya". Tiga anak kecil yang duduk di sebelah kanan ruangan
cepat berdiri, melangkah ke dinding sebelah belakang. Menekan salah
satu bagian dinding. Secara aneh dinding itu menguak ke samping.
Sebuah pintu terbuka.
"Selamat jalan anak muda…" kata Resi Mandra Botama.
"Terima kasih Resi Mandra. Saya minta diri. Sekali lagi terima
kasih….." Sebelum keluar dari ruangan itu Wiro melangkah dulu
mendekati pembaringan.
Setelah menatap wajah Nawang Suri sebentar lalu dia melangkah ke
pintu. Di ambang pintu dengan tersenyum lebar dia menegur tiga
anak itu.
"Kalian bertiga benar-benar hebat. Aku kagum pada kalian. Kalau
ada kesempatan, lain kali apakah mau meneruskan permainan di
lembah batu kapur tadi….?"
"Tentu saja paman raden. Asalkan junjungan kami memberi izin"
jawab ketiga anak itu berbarengan. Lalu mereka menekan dinding
belakang dan menutup kembali.
"Aneh… dunia ini memang penuh keanehan!" katanya pada diri
sendiri. Ternyata lobang kediaman Resi Mandra Botama di sebelah
kiri berdampingan dengan bukit yang subur. Jika orang berada di
taman itu, tak satupun yang bakal mengetahui bahwa pada samping
batu yang tertutup rumput terdapat sebuah pintu rahasia.
"Pantas orang-orang Kerajaan tak pernah berhasil menemukan
tempat persembunyian ini…" Dari balik pinggangnya Wiro keluarkan
Cakra Dewa berwarna merah. Sesaat benda itu ditimang-timangnya.
Beberapa belas langkah dihadapannya ada sebatang pohon. Tanpa
pikir panjang Cakra Dewa itu dilemparkannya ke arah pohon.
Menancap tepat di pertengahan batang. Begitu menancap secara
aneh senjata ini melejit keluar dan kembali ke arah Wiro.
Cepat-cepat Wiro menangkap benda itu, memperhatikannya penuh
kagum lalu menyimpannya baik-baik kembali. Ketika dia hendak
melangkah pergi, sekilas dia memandang lagi ke arah pohon yang
tadi ditancapi Cakra Dewa. Tengkuknya merinding. Seluruh pohon itu
mulai dari batang sampai ke daun dilihatnya berubah membiru!
"Racun ganas! Benar-benar ganas!" Pendekar 212 geleng-geleng
kepala lalu tinggalkan tempat itu.
8 "Bagaimana keadaannya…?" tanya Ki Rawe Jembor. Ahli
pengobatan yang menjadi pimpinan gelengkan kepala. Wajahnya
murung.
"Saat ini kita hanya bisa mencegah tiga buah jarum yang menembus
tubuhnya tidak terbawa larut oleh aliran darah sampai ke jantung.
Kami melakukan beberapa totokan. Ki Rawe Jembor kepalkan tinju
kanannya.
"Kalian bertiga harus menemukan jalan menyembuhkannya. Jika ada
pihak lain yang bisa membantu jangan segan-segan minta tolong!"
"Akan kami perhatikan pesanmu itu, Ki Rawe."
"Apakah kalian ada melihat Raden Mas Cokro Ningrat?" Dua orang
menggelengkan kepala. Orang ketiga menjawab
"Tidak."
"Baiklah. Rawat sobatku itu baikbaik. Nanti aku segera kembali."
Keluar dari kamar Ki Rawa Jembor segera memeriksa seluruh istana
guna mencari Raden Mas Cokro. Setelah merasa pasti orang itu tak
ada di istana maka dia segera menuju ke tempat kediamannya.
Ternyata di rumah pun Cokro Ningrat tidak ada. Ketika dia hendak
meninggalkan tempat itu seorang lelaki berkuda tiba-tiba
mendatangi.
Sebelum Ki Rawe membentak orang ini sudah bicara.
"Saya diutus oleh Raden Cokro Ningrat. Hulubalang diminta datang
menemuinya di satu tempat. Harap mengikuti saya…." Pelipis Ki Rawe
Jembor bergerakgerak. Rahangnya menggembung. Walaupun Cokro
Ningrat adalah Kepala Pasukan Kerajaan dan dalam keadaan negeri
kacau seperti itu dia memegang kendali tertinggi, namun masih ada
Patih Wulung Kerso atasannya.
"Ada keperluan apa Raden Cokro memanggil aku? Dan mengapa ke
satu tempat rahasia, bukan ke istana?" bertanya Ki Rawe Jembor.
"Saya tidak tahu, Hulubalang. Saya hanya diperintahkan saja…"
"Baik, tapi kau ikut aku dulu ke istana. Ada sesuatu yang harus
kukerjakan. Baru nanti kita samasama menemui Raden Mas Cokro
Ningrat.
"Tidak bisa begitu Hulubalang. Raden Cokro meminta agar
Hulubalang ikut saya sekarang ju…" Plaak!! Satu tamparan mendarat
di wajah penunggang kuda itu. Bibirnya pecah. Dua giginya tanggal
dan tubuhnya terpental dari punggung kuda tunggangannya.
"Sekali lagi kau berani bicara sembrono, kupatah-kan batang
lehermu!!" sentak Ki Rawe Jembor. Lalu dia berangkat kembali
menuju istana. Utusan Raden Cokro terpaksa mengikuti sambil tiada
hentinya mengeluh kesakitan. Ketika ingat Patih Wulung Kerso, saat
itu juga Ki Rawe Jembor merasa perlu kembali ke istana. Dia
memang tidak suka pada sang patih namun lenyapnya Wulung Kerso
begitu saja membuat dia diam-diam merasa kawatir. Disusul dengan
menghilangnya Cokro Ningrat yang tahu-tahu kemudian mengirim
seorang utusan. Apakah yang terjadi di balik semua ini? Ada satu
lagi yang dikawatirkan hulubalang tertinggi istana ini. Yaitu
keselamatan Pangeran Purbaya. Pangeran inilah satusatunya yang
berhak dinobatkan jadi raja karena dia putra tertua dari istri pertama
Sri Baginda. Hanya saja otaknya kurang cerdas dan kegemarannya
berjudi dan menyabung ayam sangat tidak pantas bagi seorang
caloan raja. Tapi siapa pengganti yang lain? Belum lagi urusan
mengenai pemakaman Sri Baginda yang tewas di tangan Nawang
Suri. Sungguh banyak hal yang harus dihadapi Ki Rawe Jembor saat
itu. Disamping tanda tanya besar apakah bala tentara pemberontak
yang sudah cerai berai itu akan muncul kembali di bawah pimpinan
Nawang Suri, dibantu oleh Resi Mandra Botama? Lalu kalau pemuda
sableng itu ikutikutan muncul suasana pasti bertambah tak karuan.
Sesampainya di istana Ki Rawe Jembor
memerintahkan tiga puluh anggota pasukan pengawal istana untuk
mencari Pati Wulung Kerso. Tak lama kemudian dia menerima kabar
sang patih ditemui telah jadi mayat dalam kamar penyimpanan
barang-barang dan senjata pusaka istana. Ketika Ki Rawe Jembor
datang sendiri ke kamar itu untuk menyaksikan, hatinya tercekat.
Sekujur tubuh dan wajah Patih Wulung Kerso tampak hangus
kehitaman. Siapapun yang membunuh patih kerajaan itu pastilah
mempergunakan Keris Mustiko Geni. Karena hanya senjata itulah
satu-satunya yang memiliki kemampuan ganas seperti itu. Raja dan
Patih tewas! Sungguh satu malapetaka dan bencana besar bagi
Kerajaan! Terduduk di sudut ruangan, Ki Rawe Jembor ingat pada
utusan Cokro Ningrat yang berada dan menunggu di halaman istana.
Dia berpikirpikir apakah akan menemui Kepala Pasukan Kerajaan itu
atau menemui Pangeran Purbaya lebih dulu. Akhirnya Ki Rawe
Jembor memutuskan untuk menemui Pangeran Purbaya. Pangeran ini
berada di ruangan besar istana di mana jenazah Sri Baginda
dibaringkan. Dikelilingi oleh istri pertama. Istri-istri lainnya, para
selir, pejabat tinggi istana termasuk putra dan putrinya. Seratus
prajurit di bawah pimpinan lima perwira mengawal ruangan ruangan
besar itu. Ki Rawe Jembor melangkah ke belakang kursi di mana
Pangeran Purbaya duduk. Mendengar bisikan orang tua itu pangeran
berdiri dan melangkah mengikuti. Dalam sebuah kamar mereka
mengadakan pembicaraan empat mata. Pembicaraan itu adalah niat
Ki Jembor agar Pangeran Purbaya segera dinobatkan menjadi raja
sebelum Sri Baginda dimakamkan esok. Malam itu juga pengumuman
akan disampaikan ke seluruh kerajaan dan upacara resmi tapi singkat
akan diadakan di depan jenazah Sri Baginda. Pangeran Purbaya
menyetujui usul Ki Rawe Jembor. Keduanya keluar dari dalam kamar.
Pangeran Purbaya di sebelah depan, Ki Rawe mengikuti di sebelah
belakang. Antara kamar di mana sebelumnya kedua orang itu
berbicara dengan ruangan besar di mana jenazah Sri Baginda
disemayamkan berjarak sekitar dua ratus langkah. Mereka harus
melewati gang yang diapit kamar-kamar, membelok ke kanan baru
sampai di ruangan besar. Sesaat sebelum mencapai ujung gang tiba-
tiba pintu kamar di sebelah kiri terbuka. Seseorang berpakaian
ringkas aneh, bertopeng kain menghambur keluar. Di tangan
kanannya tergenggam sebuah senjata yang secara aneh pula
dibungkus dengan kain. Dengan senjata terbungkus ini orang tersebut
langsung menyerang Pangeran Purbaya!. Seperti dituturkan. Pangeran
Purbaya bukanlah seorang yang cerdas. Selain itu dalam usia muda
19 tahun dia tidak pula memiliki kepandaian silat, apalagi yang
namanya tenaga dalam atau kesaktian. Karenanya ketika mendapat
serangan itu dia hanya bisa berseru kaget, bersurut mundur sambil
dekap-kan kedua tangan di muka dada.
"Bangsat kesasar!" teriak Ki Rawe Jembor. Dia melompat ke depan
menyergap penyerang bertopeng dengan satu pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam tinggi. Si penyerang seolah-olah tersentak
kaget melihat Hulubalang istana kelas satu ada di situ. Serangannya
terhadap Pangeran Purbaya terpaksa dibatalkan dan kini dia
berusaha menyelamatkan diri dari pukulan ganas yang dilancarkan Ki
Rawe Jembor. Begitu berhasil menghindar si penyerang membalikkan
diri, masuk kembali ke dalam kamar dari mana tadi dia keluar dan
membantingkan pintu di belakangnya. Ki Rawe Jembor mengejar
sambil lepaskan sekali lagi pukulan tangan kosong. Pintu jati yang
kokoh itu hancur berkepingkeping. Ketika masuk ke dalam kamar,
ternyata kamar itu kosong. Di sebelah kanan kelihatan jendela
terpentang lebar. Ki Rawe Jembor mengejar ke jendela tapi di luar
sana hanya kegelapan yang menyambut.
"Hemm…" bergumam Ki Rawe Jembor.
"Seseorang menginginkah kematian diri Pangeran Purbaya. Keadaan
di istana ini semakin tidak karuan. Kutogede jelas-jelas dalam
cengkaman bencana….." Tanpa menutup jendela itu kembali, orang
tua ini keluar dari kamar. Didapatinya Pangeran Purbaya duduk
tersandar di lantai. Mukanya masih pucat. Ki Rawe tolong
membangunkan sang pangeran lalu mengantarkannya kembali ke
ruang besar tempat Sri Baginda disemayamkan. Setelah itu dia
memanggil perwira-perwira yang bertugas, menceritakan apa yang
barusan terjadi dan mengatakan sementara riaden Cokro Ningrat
belum diketahui berada di mana, dia sendiri yang akan mengambil
alih tugas pimpinan sebagai Kepala Pasukan Kerajaan. Dia
memerintahkan penjagaan di luar dan di dalam istana diperlipat
ganda. Keselamatan keluarga istana harus diperhatikan.
"Aku akan meninggalkan istana barang beberapa lama. Kalian atur
persiapan penobatan Pangeran Purbaya, termasuk pemberitahuan
pada seluruh lapisan rakyat. Sebentar lagi pagi akan tiba. Sebelum
matahari naik aku pasti sudah kembali!" Begitu Ki Rawe Jembor
memberikan pesan, lalu lewat jalan samping dia pergi menemui
utusan Cokro Ningrat yang menunggunya sejak tadi. Di sebelah timur
langit mulai tampak terangterang tanah tapi di tepi hutan yang
terletak di sebelah barat Kutogede keadaan masih diselimuti
kepekatan menghitam disertai udara dingin yang masih mencucuk.
Tak lama memasuki hutan, dalam kegelapan tampak sebuah rumah
kayu. Bangunan ini bertingkat dua. Bagian atas tampak gelap gulita
tapi cii sebelah bawah ada sinar lampu menyeruak di antara celah-
celah dinding papan. Ki Rawe Jembor berpaling pada orang di
sampingnya.
"Raden Cokro menungguku di bangunan itu?" tanya si orang tua.
Penunggang kuda disebelahnya mengangguk. Dia hendak
mengatakan sesuatu tapi tidak kesampaian karena saat itu juga Ki
Rawe Jembor telah menotok tubuhnya hingga tak dapat bicara, tak
dapat bergerak. Ki Rawe lemparkan sosok tubuh yang kaku itu ke
dalam semak belukar lalu mengusir kuda yang kini tak bertuan lagi
itu. Dia sendiri kemudian turun dari kuda, menyelinap dibalik-balik
pepohonan dan semak belukar, bergerak mendekati bangunan
bertingkat dua. Tinggal sejarak enam langkah dari dinding bangunan
sebelah kanan tiba-tiba dari tingkat atas berdesing belasan anak
panah. Ki Rowo Jembor mengutuk dalam hati. Dia cepat menyelinap
ke balik pohon besar.
"Kurang ajar! Jadi si Cokro Ningrat sengaja hendak menjebak dan
membunuhku di tempat ini! Kau tunggulah! Lehermu akan
kupatahkan lebih dahulu!" Habis memaki dalam hati begitu
hulubalang kelas satu ini berteriak;
"Cokro Ningrat keparat! Jika kau seorang jantan keluarlah! Tunjukkan
dirimu dan katakan apa maumu sebenarnya!" Sunyi sesaat. Tak ada
jawaban. Tapi tiba- tiba di dalam rumah sebelah bawah terlihat ada
gerakan gerakan. Lebih dari satu orang di tempat itu. Menyusul
terdengar seruan bertanya.
"Siapa di luar sana?!"
"Aku Ki Rawe Jembor! Hulubalang Pertama Kerajaan! Bukankah kau
meminta aku datang kemari. Dan tampaknya kau sengaja memasang
jebakan!"
"Ah…!" terdengar suara kaget dari dalam bangunan.
"Kami kesalahan! Kami kira kau seorang penyusup!" Pintu rumah
terpentang. Sesosok tubuh tampak tegak di ambang pintu dan
melangkah keluar. Ki Rawe Jembor segera mengenali. Orang itu
adalah Raden Cokro Ningrat. Sambil menyiapkan pukulan tangan
kosong yang dialiri tenaga dalam penuh Ki Rawe Jembor keluar dari
balik pohon. Dengan hati-hati dia menyongsong Raden Cokro yang
berjalan ke arahnya.
"Cokro! Mengapa Kau menyuruh orangorang di atas sana
memanahku?!" tanya Ki Rawe Jembor begitu tegak berhadap-hadapan
dengan Raden Cokro.
9 KAMI KELIRU!"Sahut Raden Cokro Ningrat.
"Mohon maafmu kangmas Jembor. Sebelumnya aku terlah memberi
perintah menyerang siapa saja yang mendekati tempat ini, kecuali
dua penunggang kuda. Maksudku kau dan utusanku itu. Ternyata kau
muncul sendirian. Kau tak apa-apa? Heran, apa utusanku tidak
menemuimu?"
"Orang itu memang menemuiku…."
"Nah, dimana dia sekarang?"
"Sudah kulemparkan ke dalam semak di belakang sana!" sahut Ki
Rawe Jembor.
"Raden Cokro! Terus terang aku tidak suka tindak tandukmu ini. Ada
apa sebenarnya?!"
"Mari kita bicara di dalam kangmas Jembor," sahut Raden Cokro.
Lalu tanpa menunggu jawaban lagi dia membalikkan tubuh dan
melangkah masuk ke dalam rumah. Meski hatinya semakin jengkel
namun Ki Rawe Jembor mengikuti langkah Kepala Pasukan itu. Tapi
tangan kanannya diam-diam tetap dialiri kekuatan tenaga dalam
penuh sedang tangan kiri siap selalu mencabut tombak bermata tiga
yang tersembunyi di balik pakaiannya. Begitu masuk di dalam rumah
Raden Cokro menutupkan pintu. Ki Rawe Jembor memandang
sekeliling ruangan. Di situ ada sebuah meja dengan lampu minyak
besar di atasnya. Lampu ini menerangi tiga wajah angker yang duduk
di belakang meja. Sekali lihat saja Ki Rawe Jembor segera mengenali
siapa ketiga manusia itu. Yang pertama seorang kakek bermuka tirus.
Sebelah mukanya berwarna putih sebelah lainnya hitam. Bagian putih
itu adalah akibat tumpahan air panas. Namanya Ronggo Sampenan,
dikenal sebagai seorang dukun jahat yang diam di Gunung Merbabu.
Orang kedua bertubuh tinggi besar berperut buncit. Mukanya bulat
berminyak tertutup oleh cambang bawuk serta kumis lebat. Sepasang
matanya sangat besar dan berwarna merah. Kepalanya ditutup
dengan kain warna merah. Dia membawa senjata secara aneh.
Senjatanya yakni sebilah golok bermata dua, diikatkan ke leher dan
digantung seperti memakai kalung. Inilah Warok Tumo Item, raja
diraja kaum perampok yang malang melintang di seantero Jawa
Tengah dan bermukim di sebuah hutan di kaki tenggara Gunung
Sumbing. Lelaki ketiga bermuka bopeng. Kedua matanya yang besar
tampak menyeramkan karena ada lapisan putih yang menutupi
bagian bola mata yang hitam. Sepintas orang ini seperti memiliki
mata putih tanpa bola mata. Dia mengenakan rompi tak berkancing
hingga dadanya yang berotot dan penuh di tumbuhi bulu selalu
dalam keadaan terbuka. Di lehernya tergantung sebuah lonceng yang
terbuat dari tembaga di sepuh emas. Manusia satu ini dikenal dengan
julukan Lonceng Maut.
"Raden Cokro… tidak sangka kalau kau ter nyata kenal dengan orang-
orang ini," berkata Ki Rawe Jembor. Hatinya mulai terasa tidak enak.
Tiga manusia itu jelas bukan orang baik-baik.
"Bukan hanya kenal kangmas Jembor. Justru mereka adalah kawan
kawanku sejak lama. Kawanku berarti kawanmu juga. Bukan begitu
para sobat?" Warok Tumo Item menyeringai mendengar ucapan Cokro
Ningrat. Lonceng Maut mengangyuk. Sebaliknya Ronggo Sampenan
hanya diam saja.
"Tak usah sungkansungkan kangmas Jembor. Silahkan ambil tempat
duduk. Malam ini kita akan mengadakan perundingan penting. Tetapi
satu hal harus diingat. Keputusan harus diambil cepat. Sebelum
matahari muncul di timur…" Perasaan Ki Rawe Jembor semakin tidak
enak… Dia berkata:
"Aku memang tak punya waktu Raden Cokro. Aku harus kembali ke
Kotaraja. Kurasa tempatmu pun di sana. Banyak masalah yang harus
kita pecahkan…"
"Kangmas Jembor betul. Banyak masalah di istana yang harus kita
pecahkan. Tapi masalah yang kita hadapi saat ini justru paling
penting.
Yang akan menetukan kelanjutan kehidupan kerajaan….." Hulubalang
istana itu menatap paras Raden Cokro sesaat. Lalu dia mengambil
tempat duduk di salah satu kursi yang kosong. Walaupun matanya
masih tetap menatap Raden Cokro namun ekor matanya melirik ke
sudut ruangan di mana tergantung sehelai kain berwarna gelap,
berukuran pendek dan berbentuk aneh.
"Silahkan kau memberi keterangan akan maksudmu Raden Cokro,"
kata Ki Rawe Jembor.
"Kangmas mengetahui, keadaan kerajaan saat ini dalam kekalutan.
Meskipun pasukan pemberontak berhasil kita hancurkan dan Empu
Soka Panaran tewas, tapi pasti bahaya tidak berhenti sampai di
sana. Apalagi Nawang Suri dan Resi Mandra Botama masih hidup.
Masalah yang paling besar adalah wafatnya Sri Baginda. Puncak
kekuasaan tak ada yang mengendalikan. Jika ini berlangsung berlarut
karut bencana besar akan muncul! Karena itu perlu segera diangkat
seorang pimpinan baru. Perlu sekali dinobatkan seorang raja baru…"
"Hal itu sudah kusadari benar Raden Cokro," berkata Ki Rawe Jembor.
"Aku bersyukur dan merasa gembira kalau kangmas menyadari hal
itu. Karenanya, mengingat Keris Mustiko Geni berhasil kuamankan
saat ini berada di tanganku, aku tidak merasa sungkan untuk
mengatakan bahwa besok pagi ke seluruh pelosok kerajaan akan
segera penobatan diriku sebagai raja…." Ki Rawe Jembor terkejut
bukan main mendengar kata-kata Kepala Pasukan Kerajaan itu. Tapi
orang tua yang cerdik ini tak mau memperlihatkan rasa terkejutnya
pada air mukanya.
"Kau tak memberi jawaban apa-apa kangmas…" berkata Cokro
Ningrat seraya melayangkan pandangan berarti pada Ronggo
Sampenan, Warok Tumo Item dan Lonceng Maut.
"Niatmu untuk mengatas namakan keselamatan kerajaan patut kupuji
Raden Cokro. Hanya saja Sekalipun Keris Mustiko Geni lambang
tahta kerajaan ada di tanganmu, namun menurut garis silsilah yang
berhak menjadi raja adalah Pangeran Purbaya…"
"Pangeran Purbaya?!" Membuka mulut dukun jahat Ronggo
Sampenan. Lalu dia tertawa gelak-gelak.
"Pemuda tolol berotak miring itu hendak dijadikan raja? Bisa kiamat
Kutogede!"
"Kangmas Jembor, kau dengar sendiri pendapat sobat kita Ronggo
Sampenan. Apa itu tidak cukup bagimu untuk menunjang diriku jadi
raja?"
"Lagi pula," ikut bicara si muka bopeng Lonceng Maut.
"Mengapa kita harus meributkan
soal silsilah. Ketika kita dulu menumbangkan kekuasaan raja lama
dan mengangkat raja baru soal keturunan hanyalah urusan orang
tolol dan gila…"
"Betul sekali," kata Cokro Mingrat.
"Aku percaya kangmas Jembor akan berada di pihak kami. Sebagai
balas jasa, kelak jabatan Kepala Pasukan Kerajaan akan kuberikan
pada kangmas Sebagai tokoh persilatan Ki Rawe Jembor tidak
tertarik akan segala macam jabatan. Terus terang dia tidak suka
sejak lama terhadap Raden Cokro Ningrat. Apalagi saat ini ada rasa
kecurigaan terhadap diri Kepala Pasukan itu sehubungan dengan
kematian Patih Wulung Kerso dan adanya usaha penyergapan dan
pembunuhan terhadap Pangeran Purbaya.
"Apakah Raden mengetahui kalau Patih Wulung Kerso telah
meninggal dunia?"
"Astaga? Bagaimana hal itu bisa terjadi?!" Raden Cokro tampak
terkejut tapi Ki Rawe Jembor tahu betul itu adalah satu kepura-
puraan belaka. Sementara itu tiga orang lainnya tampak tenang-
tenang saja.
"Dia tewas dibunuh seseorang yang mempergunakan senjata sakti!"
"Pembunuhan lagi!" seru Raden Cokro seraya berdiri dan menggebrak
meja dengan tangan kirinya.
"Apakah sudah diketahui siapa pembunuhnya?"
"Saat ini memang belum. Tapi nanti juga bakal ketahuan!" sahut Ki
Rawe Jembor.
"Nah, kangmas lihat sendiri betapa kacaunya keadaan di istana.
Kalau tidak lekas ditangani bencana besar akan menimpa Kutogede…"
"Bencana sebenarnya sudah jatuh. Hanya kiamat saja yang belum!"
menyahuti Ki Rawe Jembor.
"Kalau begitu kangmas saya mintakan tolong untuk menyusun
rencana pemberitahuan penobatan saya besok pagi. Upacara pun
akan kuserahkan padamu untuk mengaturnya."
"Hal itu tak mungkin dilakukan Raden. Sebelum pagi tiba Pangeran
Purbaya sudah dinobatkan jadi raja." Raden Cokro Ningrat terkejut.
Kali ini benar-benar terkejut. Sekali lagi dia tegak dari kursinya.
"Kalau begitu…" terdengar suara Lonceng Maut berkata sambil
permainkan lonceng kuning yang tergantung di lehernya.
"Sudah saatnya kita harus menyerbu istana sekarang juga!"
"Aku harap hal itu tidak kalian lakukan!" kata Ki Rawe Jembor
dengan tegas seraya berdiri dan melangkah ke pintu.
"Tunggu dulu, sampean mau pergi ke mana?" bertanya Ronggo
Sampenan.
"Aku akankembali ke Kutogede."
"Ah, jangan membuat tiga sahabat kita ini tersinggung kangmas
Jembor!" ujar Raden Cokro lalu menyusul ke pintu yang tengah
dibuka Hulubalang istana itu. Lonceng Maut, Ronggo Sampenan dan
Warok Tumo Item serentak bangkit dari kursi masing-masing lalu
bergerak menuju ke pintu. Cara mereka berdiri di sekitar Ki Rowo
Jember jelas mengambil sikap mengurung.
"Kurasa aku tidak menyinggung siapapun. Aku hanya minta jangan
ada yang melakukan hal-hal tidak pada tempatnya di saat kerajaan
mengalami kekacauan begini rupa. Dan khusus padamu Raden Cokro,
kuharap kau suka mengembalikan Keris Mustiko Geni padaku. Senjata
itu harus berada di istana." Raden Cokro Ningrat tersenyum.
"Jika begitu permintaan kangmas, baiklah!" katanya. Lalu dari balik
pakaiannya dikeluarkannya Keris Mustiko Geni. Senjata ini
terbungkus kain. Melihat hal ini berubalah paras Ki Rawe Jembor.
"Jadi, kaulah rupanya yang malam tadi mencoba menyergap dan
membunuh Pangeran ' Purbaya! Bukankah keris berselubung kain itu
juga yang kau pergunakan? Sengaja keris sakti kau bungkus dalam
kain agar tidak mudah diketahui senjata apa yang ada di tanganmu!"
"Pikiranmu cerdik, matamu sungguh tajam. Sudah mengetahui begitu
mengapa masih bersikap tidak bersahabat?!" berkata Lonceng Maut.
"Kalau kami tidak segan-segan membunuh seorang calon raja apa
artinya nyawa manusia seperti-mu!" menimpali dukun jahat Ronggo
Sampenan lalu mengambil sejumput tembakau dari dalam kantong
pakaiannya dan mulai mengunyahnya. Ki Rawe Jembor maklum kalau
orang ini memang suka mengunyah tembakau. Tapi dia juga tahu
benar bahwa tembakau itu kerap digunakan sebagai senjata. Bila di
sembur dapat menghancurkan bagian tubuh manusia dan kalau kena
mata pasti pecah dan buta.
"Kangmas Ki Rawe Jembor, kuminta agar kau berada di pihak kami.
Kita sama-sama ke istana." Raden Cokro berkata sedang tangannya
menahan daun pintu hingga Hulubalang utama kerajaan itu tak dapat
membukanya.
"Kita berada di pihak yang berlainan Raden. Beri aku jalan. Buka
pintu itu…" Melihat Ki Rawe Jembor sukar dibujuk maka Lonceng
Maut membuka mulut:
"Tak perlu kita meminta seperti pengemis pada manusia tak berguna
ini!"
"Betul!" Menimpali Ronggo Sampenan.
"Jikadia tak mau tinggal bersama kita, biar nyawanya saja yang
ditinggalkan di sini!" Habis berkata begitu dukun jahat ini semburkan
tembakau di dalam mulutnya ke arah muka Ki Rawe Jembor.
Hulubalang utama yang telah berjaga-jaga ini dengan sigap
rundukkan tubuh. Semburan tembakau lewat di atas kepalanya,
menancap di dinding papan. Ki Rawe Jembor tak tinggal diam,
tangan kanan yang sejak tadi sudah dialiri tenaga dalam
dihantamkan ke arah Ronggo Sampenan. Meleset dan angin pukulan
melabrak meja hingga terguling dan ambruk berantakan. Lampu
minyak di atas meja ikut terbalik segera membentuk kobaran api.
Perkelahian pecah sementar bangunan di mana mereka berada mulai
ikut terbakar. Bagaimanapun hebatnya Ki Rawe Jembor namun
menghadapi empat lawan tangguh begitu rupa, dalam keadaan tubuh
penuh luka, memar dan menghitam akibat racun Keris Mustiko Geni,
akhirnya dia menemui ajal. Tubuhnya kemudian ikut terbakar oleh
kobaran api yang memusnahkan seluruh bangunan kayu itu.
10 MENJELANG pagi. Sang surya masih belum terlihat menyembul
meski langit di sebelah timur mulai tampak kemerahan. Di ruangan
besar istana satu upacara besar siap dilangsungkan. Yakni
penobatan Pangeran Purbaya sebagai Raja. Di ruangan itu pula
dibaringkan dua jenazah. Yang pertama jenazah Sri Baginda dan
satunya lagi jenazah Patih Wulung Kerso. Pangeran Purbaya duduk di
sebelah kursi besar berukir kepala harimau pada dua lengannya dan
burung garuda pada sandarannya yang tinggi. Di kiri kanannya tegak
mengapit masing-masing seorang perwira berpakaian kebesaran
perang, lengkap dengan tameng dan tombak sedang pedang tersisip
di pinggang. Di kiri kanan duduk berderet-deret para pejabat dan
petinggi kerajaan. Sedang di belakang kursi Pangeran Purbaya duduk
ibundanya, saudara-saudaranya, para istri dan selir Sri Baginda. Di
sebelah belakang lagi serombongan pemain gamelan menembangkan
lagu-lagu sedih. Suara gamelan berangsur perlahan dan akhirnya
sirna ketika dari sebuah pintu muncul keluar seorang gadis membawa
baki emas, melangkah setindak demi setindak menuku tempat duduk
Pangeran Purbaya. Di sampingnya mengawal empat prajurit.
Menyusul dua orang tua berjubah putih. Keduanya adalah pejabat
pejabat Istana paling tua yang di percayakan utuk memimpin
upacara penobatan itu. Di atas baki yang dibawa gadis itu, terletak
sehelai kain merah putih terlipat rapi yang berumbai-umbai pada
keempat ujungnya. Di atas kain inilah terletak mahkota emas
bertahtakan intan mutu manikam. Seseorang di sudut ruangan
menyerukan kata-kata puji syukur dan Tuhan Yang Maha Esa. Gadis
pembawa mahkota sampai di hadapan Pangeran Purbaya. Bersama
seluruh rombongan dia menjura membungkukkan diri sementara
semua yang hadir di ruangan itu telah berdiri. Dua orang tua
berjubah putih maju ke depan. Yang di sebelah kanan mengulurkan
tangan menyentuh mahkota sedang yang sebelah kiri mendongak
seraya berkata lantang:
"Segala puji syukur untuk Allah Tuhan Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang. Tuhan Yang mempunyai semua kekuasaan di Kata-kata itu terputus mendadak karena dari ruangan sebelah depan
istana tiba-tiba menerobos tiga sosok tubuh. Yang satu berkelebat
cepat dan tanpa dapat dicegah langsung menyambar mahkota yang
ada di atas baki emas. Gadis pembawa baki terpekik dan
terdorong jatuh. Dua kakek berjuah ikut terpelanting.
Tentu saja suasan menjadi gempar. Pangeran Purbaya terduduk
pucat di kursi besar. Dua orang perwira yang mengawalnya segera
berindak cepat. Menerjang ke depan. Salah seorang ayunkan tombak
sambil membentak :
"Rampok-rampok dari mana yang berani berbuat kurang ajar!
Menganggu jalannya upcara penobatan!".
"Trang…" Tusukan tombak tertahan oleh sambaran golok bermata
dua. Tombak itu patah dua sedang sang perwira kemudian terdengar
menjerit ketika golok yang tadi menangkis kini menancap di perutnya!
"Kami bukan perampok!" salah satu dari tiga orang yang menerobos
masuk berteriak seraya melompat ke atas sebuah meja.
"Kalian semua dengar! Kami datang untuk menyelamatkan kerajaan
dari bencana! Musuh berada di mana-mana. Acara penobatan ini
tetap diteruskan tetapi yang akan jadi raja bukan Pangeran Purbaya!
Siapa yang berani menantang nasibnya akan sama dengan perwira
itu!" Sesaat suasana menjadi hening seperti di pekuburan.
Ketegangan menggantung di udara. Tapi hanya sesaat. Suasana
gempar tak terkendalikan lagi. Beberapa prajurit dan perwira-perwira
istana coba menyerbu. Tapi siasia. Sebagian orang yang hadir di
tempat itu menyingkir dengan suara gaduh. Belasan pejabat ikut
menjauh. Orang-orang perempuan termasuk ibunda Pangeran
Purbaya dilarikan ke ruangan lain. Pangeran itu sendiri berhasil
menyelinap dalam kekacauan dan lenyap dari ruangan. Orang yang
tegak di atas meja kembali berteriak.
"Kalian semua tetap di tempat! Kalian…" Sebatang anak panah
melesat dari arah jendela di samping kanan, mengarah ke dada orang
yang tegak di atas meja. Namun dengan hebat sekali dia
menggerakkan tangan. Anak panah itu mencelat mental. Lalu dia
menyambar sebilah tombak yang terus dilemparkan ke arah jendela.
Di belakang jendela terdengar suara memekik lalu sosok tubuh roboh.
Seorang perwira yang tadi melepaskah panah itu menemui ajalnya.
Orang di atas meja berteriak sambil berkacak pinggang.
"Ada lagi yang hendak coba membokong?!" Suasana kembali sunyi
tapi ketegangan semakin memuncak. Siapakah tiga manusia yang
barusan muncul mengacaukan jalannya upacara besar di istana itu?
Mereka bukan lain adalah Warok Tumo Item, Ronggo Sampenan
sedang yang tegak di atas meja adalah si Bopeng Lonceng Maut.
"Kalian semua dengar! Hari ini kerajaan akan mendapatkan seorang
raja baru! Seorang raja gagasi perkasa! Yang akan melindungi
kerajaan dari bencana keruntuhan dan peperangan. Lalu Lonceng
Maut mengembangkan tangannya ke arah langkan istana. Di situ
tampak berdiri Raden Cokro Ningrat dalam pakaian kebesaran
seorang raja. Dia melangkah menuju kursi besar di ruangan upacara.
Di tangan kanannya dia menggenggam Keris Mustiko Geni yang
memancarkan sinar merah, keris sakti mandraguna lambang tahta
kerajaan yang telah merenggut sekian banyak jiwa. Warok Tumo Item
yang tegak memegang mahkota di samping kursi, begitu Raden Cokro
sampai di hadapannya segera meletakkan mahkota itu di atas kepala
Raden Cokro. Saat itulah dari dalam menghambur seorang
perempuan sambil berteriak.
"Manusia-manusia rendah! Pengkhianat busuk!" Perempuan ini
ternyata adalah kanjeng ratu ibunda Pangeran Purbaya. Entah
bagaimana setelah tadi disingkirkan ke tempat aman, dia berhasil
meloloskan diri. Dan kini dia menghambur ke arah Raden Cokro
sambil menghunus sebilah pisau besar. Ronggo Sampenan cepat
datang menyongsong dan mendekap perempuan itu.
"Semua orang dengar!" teriak ibunda Pangeran Purbaya.
"Jangan berdiam diri saja! Tangkap, bunuh dan usir manusia-
manusia pengkhianat itu! Mereka bukan hendak menyelamatkan
kerajaan. Tapi perampok- perampok bejat!" Seperti mendapat
semangat maka sejumlah pejabat, prajurit dan perwira-perwira istana
segera menyerbu Raden Cokro Ningrat dan tiga kambratnya. Namun
semua itu tentu saja merupakan kesia-siaan. Dalam waktu yang
singkat ruangan besar Istana itu telah berubah menjadi ajang
kematian. Mayat bergeletakan dimana-mana. Darah membasahi
dinding dan lantai. Suara pekik kematian dan erangan mereka yang
meregang nyawa membuat tempat itu seperti neraka
11 PERMAISURI yang malang itu terbaring di tempat tidur kayu. Dia
masih saja sesenggukan walaupun kedua matanya telah belut dan
merah karena terus-menerus menangis sehri semalam.
"Tak pernah kusangka nasib kita akan seburuk ini, Purbaya"
terdengar suara perempuan itu di antara isakannya. Pangeran
Purbaya yang duduk di lantai di sudut ruangan batu yang merupakan
penjara itu tak memberi reaksi apa-apa. Tubuhnya tampak kuyu dan
wajahnya pucat seperti tidak berdarah.
"Ayahmu dibunuh. Tahta dirampas. Entah bagaimana nasib kita
dalam waktu sehari dua ini. Entah bagaimana pula dengan nasib
saudara-saudara kita lainnya. Raden Cokro benar-benar manusia
setan…" Pangeran Purbaya menghela nafas dalam.
"Mungkin semua ini sudah takdir Gusti Allah, ibunda…" katanya
kemudian. Sang ibunda bangkit dari tidurnya da menatap tajam pada
putranya.
"Ucapanmu hanya menunjukkan kelemahan hatimu. Seorang putra
mahkota tidak boleh berkata seperti itu….." Purbaya gelengkan
kepala.
"Saat ini aku bukan lagi putera mahkota. Kita berdua sudah jadi
orang tahanan. Tadi malam saya bermimpi bertemu ayah. Mungkin
itu satu pertanda bahwa dalam waktu dekat kita akan menyusulnya.
Para pengkhianat yang sekarang berkuasa pasti akan menggantung
kita cepat atau lambat Mendengar kata-kata puteranya itu sang
permaisuri semakin keras tangisnya.
"Kita tidak tahu, apakah ayahmu dikubur secara wajar atau
jenazahnya mungkin dibuang begitu saja ke dalam jurang …"
Terdengar rantai pintu besi ruangan batu itu digeser orang. Sesaat
kemudian pintu terbuka. Dua prajurit masuk ke dalam. Tapi tidak
masuk secara wajar karena tubuh keduanya kemudian dibantingkan
ke dinding hingga terkapar pingsan di lantai. Di ruangan itu muncul
orang ketiga yang membuat baik Pangeran Purbaya maupun bekas
permaisuri raja jadi terkejut. Pangeran Purbaya cepat berdiri.
"Mengapa kau berada di sini! Bukankah kau orangnya yang
membantu gadis pemberontak itu?!" Orang yang dibentuk
menyeringai.
"Kau benar Pangeran, dulu aku membantunya karena dia kuanggap
sahabat. Tapi pagi-pagi buta ini aku datang kemari untuk
menolongmu.
"Jangan percaya pada pemuda gila ini, Purbaya!" Permaisuri
memberi peringatan.
"Memang siapa yang percaya padamu. Kau tidak lebih baik dari
empat keparat yang kini menguasai istana dengan Cokro Ningrat
sebagai dedengkotnya!"
"Dengar kalian berdua. Kita tak punya banyak waktu. Di luar sudah
tersedia sebuah kereta yang akan membawa kalian ke satu tempat.
Dari tempat itu akan disebar pengumuman bahwa kalian berdua
masih hidup. Bilamana rakyat sudah mengetahui hal ini maka urusan
dengan empat manusia keparat itu serahkan padaku. Jika nasib kita
mujur dan Tuhan memberi perlindungan serta berkahNya,, kau akan
mendapatkan tahta Kerajaan yang menjadi hakmu itu… Tapi aku ada
syarat…" Ibu dan anak saling berpandangan. Keduanya tetap tidak
percaya pada pemuda gondrong yang ada di hadapan mereka, yang
bukan lain adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro
Sableng.
"Sampai saat ini orang-orang itu masih terlena dalam pesta pora. Ini
kesempatan baik untuk meninggalkan tempat ini. Mari!" Wiro
menepuk bahu Purbaya. Tepukan ini seperti memberi semangat pada
sang pangeran. Purbaya memegang lengan ibunya. Bertiga mereke
menyusup melewati lorong-lorong gelap di bawah istana dan
akhirnya sampai di tembok timur. Dua orang prajurit tampak tegak
dekat sepbuah pintu kecil. Ternyata keduanya adalah orang-orang
yang telah diatur oleh Wiro dan berlima mereka menyelinap menuju
kereta yang telah menunggu di luar tembok. Begitu masuk ke dalam
kereta. Pangeran Purbaya dan ibunya terkejut melihat sesosok tubuh
menggeletak di lantai kereta, ketika diamati ternyata orang ini adalah
Imo Gantra, bekas Hulubalang Kedua Kerajaan. Dia masih berada
dalam keadaan lumpuh akibat hantaman jarum.
"Sebelum menyusup ke tempat tahanan kalian, aku berhasil
menemukan dia dan membawanya ke dalam kereta lebih dulu. Seperti
dengan kalian, dengan dia pun aku mengikat sebuah syarat….."
Mendengar ucapan Wiro itu Pangeran Purbaya bertanya:
"Apa syarat yang kau maksudkan itu…?"
"Syarat enteng saja. Kalian kubantu mendapatkan tahta kerajaan
kembali, tapi Keris Mustiko Geni akan kubawa…"
"Mana mungkin begitu!" tukas ibunda Pangeran Purbaya sementara
kereta meluncur dengan cepat.
"Keris itu adalah lambang ikatan tahta kerajaan yang tak bisa
dipisah-pisahkan. Siapa pemiliknya dia yang berhak jadi raja…"
"Jangan tolol!" jawab Wiro.
"Jika seorang jembel kudisan di pasar Kliwon memiliki senjata itu,
apakah dia bisa jadi raja?!"
Ibu dan anak terdiam.
"Apa perjanjianmu dengan paman Imo Gantra?" bertanya Pangeran
Purbaya.
"Kalian harus mengatakan dulu, setuju atau tidak dengan syarat
tadi…"
"Aku setuju saja!" jawab Pangeran Purbaya tanpa pikir panjang.
Sang ibu hendak membuka mulut namun akhirnya memutuskan untuk
tidak membantah.
"Nah, perjanjianku dengan orang tua bermuka cekung ini ialah, aku
akan mengeluarkan tiga jarum yang mendekam di tubuhnya. Setelah
sembuh dia harus membantuku menggasak empat keparat yang
sekarang bercokol di istana!"
"Kau telah mencelakainya, apakah paman Imo Gantra menyetujui
syaratmu itu?" tanya Pangeran Purbaya. Dari lantai kereta terdengar
jawaban Imo Gantra. Suaranya perlahan saja karena tubuhnya yang
lumpuh memang berada dalam keadaan lemas.
"Aku memang sudah menyetujui syarat pemuda gila itu…." Kalian tak
perlu berdebat lagi. Segala sesuatunya didunia ini bisa diatur. Ingat
itu baik-baik…" Tapi ibunda Pangeran Purbaya msih belum puas. Dia
bertanya.
"Setelah kau mendapatkan Keris Mustiko Geni, apa yang hendak kau
lakukan dengan senjata itu?"
"Akan kuberikan pada seseorang. Tapi jangan ditanya siapa
orangnya. Yang jelas senjata itu tidak akan dipergunakan lagi untuk
menambah noda darah dalam Istana…."
"Aku percaya padamu. Jalan hidup manusia memang aneh. Terus
terang sebenarnya aku tidak berapa suka jadi Raja. Lebih enak jadi
perjaka yang bisa keluyuran ke manamana…"
"Anak tolol!" bentak bekas permaisuri ketika mendengar ucapan
puteranya itu.
"Sekali lagi kau bicara tak karuan akan kutampar mulutmu Purbaya!"
Wiro tertawa lebar dan berkata:
"Bagaimanapun, tidak sopan menampar seorang calon raja!" Dia
menjenguk keluar.
"Kita hampir sampai…" katanya. … MESKIPUN lobang tempat jarum
menyusup sangat kecil dan hampir tertutup, namun dengan
keahliannya Wiro Sableng dapat menemukan yakni pada bagian bahu
kiri, pinggang kiri dan perut Imo Gantra: Disaksikan oleh Pangeran
Purbaya dan ibundanya Wiro keluarkan Kapak Naga Geni 212. Badan
kapak yang berkilauan itu ditempelkannya pada setiap lubang bekas
jarum menembus di tubuh Imo Gantra. Kemudian Wiro kerahkan
tenaga dalam untuk menyedot. Inilah pekerjaan yang paling susah.
Sekujur tubuhnya bergetar dan mandi keringat. Biasanya tenaga
dalam dipergunakan untuk melancarkan pemindahan kekuatan dari
dalam keluar seperti memukul atau melepaskan pukulan tangan
kosong yang mengandung ajian kesaktian. Hal itu sudaha lumprah
bagi seorang jago-jago silat kelas tingkat tinggi. Tetapi adalah
jarang dan sulit sekali jika tenaga dalam itu dipergunakan secara
berkebalikan yakni menghimpun kekuatan untuk menarik atau
menyedot. Wiro Sableng terduduk di sudut ruangan dengan nafas
turun naik. Tiga buah jarum senjata rahasia yang sebelumnya
dihantamkannya ke tubuh Imo Gantra kini tampak melekat pada
badan kapak, berwarna merah karena terlapis darah. Di atas lantai
tanah yang dialasi jerami, Imo Gantra tampak menggerakkan
tubuhnya yang tadinya lumpuh. Lalu perlahan-lahan dia mencoba
duduk dan berhasil.
"Makan ini…" kata Wiro seraya melemparkan obat berbentuk butiran.
Imo Gantra cepat-cepat menelan obat itu. Wiro berpaling pada dua
prajurit yang tegak di pintu.
"Kalian sudah siap?" tanya Wiro.
"Kami akan pergi sekarang."
"Bagus! Sebarkan surat selebaran itu ke seluruh pelosok Kutogede.
Kalian tak perlu kembali kemari, tapi langsung bergabung dengan
siapa saja yang bersedia ikut di pihak kita. Jasamu tentu tak akan
dilupakan oleh Pangeran Purbaya…!" Dua prajurit itu menjura.
Keduanya naik ke punggung dua ekor kuda yang membawa masing
masing sekantong besar surat selebaran berisi pemberitahuan bahwa
Permaisuri dan Pangeran Purbaya masih hidup dan berada di tempat
yang aman. Orang-orang yang telah merampas takhta secara paksa
akan mendapat hukumannya. Rakyat dan seluruh pasukan yang setia
pada Pangeran Purbaya dan Permaisuri diminta bersiap-siap untuk
menyerbu istana.
12 SAMBUTAN rakyat terhadap surat selebaran itu ternyata tidak
terduga dan luar biasa sekali. Meskipun mereka tidak tahu dimana
Pangeran Purbaya dan Permaisuri dan juga belum ada yang
bertindak sebagai pimpinan, namun berbagai senjata di tangan,dalam
jumlah ratusn bahkan ribuan berbondong-bondong menuju Istana.
Pasukan kerajaan dan pasukan pengawal istana yang melihat
kejadian ini segera bersiap siaga. Ada yang langsung melapor ke
dalam, tetapi sebagian besar di antara mereka justru banyak yang
menyeberang dan bergabung, disambut dengan tempik sorak gegap
gempita oleh rakyat. Di dalam istana, di mana Raja dan tiga
konconya masih saja asyik berpesta pora, seorang prajurit datang
menemui Warok Tumo Item dan menceritakan apa yang sedang
terjadi di luar istana. Lalu kepada Warok itu diserahkannya surat
selebaran yang banyak bertebaran di kalangan rakyat sampai ke
pelosok-pelosok Kutogede. Oleh Warok Tumo Item, surat tersebut
diperlihatkannya pada Raden Cokro yang kini telah mengangkat diri
sebaga Raja dengan gelar Raden Mas Haryo Ing Alaga Cokro Ningrat.
Cokro Ningrat meneguk dulu segelas minuman keras,
pemandangannya berkunang- kunang tapi dia masih dapat membaca apa yang tertulis di surat sele baran itu. Selesai membaca dia tertawa mengekeh.
"Hanya sebuah surat edan! Apa yang ditakutkan?! Orang-orang yang penasaran itu tak punya kekuatan untuk melakukan apapun. Apalagi hendak menyerbu kemari…." 'Tapi di luar istana ribuan rakyat sudah siap dengan senjata di tangan!" kata Warok Tumo Item.
"Kalau begitu kau pimpin pasukan. Bunuh semua mereka yang berani
melawan!"
"Betul! Bunuh semua!" Yang bicara adalah si bopeng Lonceng Maut
yang duduk berdampingan dengan dukun jahat Ronggo Sampenan.
Keduanya juga sudah sama-sama terpengaruh oleh minuman keras.
"Kalian bertiga enakenakan di sini berpesta-pora. Aku disuruh
menghadapi para penyerbu. Puah! Biar saja orang lain yang
melakukan!" Lalu Warok Tumo Item memanggil seorang perwira dan
memerintahkan 'Tak mungkin dilakukan Warok…" kata sang perwira.
"Balatentara yang masih ada di istana tinggal beberapa belas orang
saja. Yang lain sudah menyeberang ke pihak musuh…."
"Perduli amat berapa kekuatanmu! Angkat senjata dan usir para
perusuh itu. Kalau mereka melawan cincang saja!" bentak Warok
Tumo Item. Dalam bingungnya perwira tadi pergi jua menemui sisa-
sisa prajurit yang ada di istana. Ternyata ada dua puluh satu orang
yang bisa dikumpulkan. Namun begitu mereka sampai di luar istana,
mereka bukannya menyerang melainkan bergabung dengan rakyat.
Praktis tak ada seorang prajuritpun lagi yang berada dalam
lingkungan istana. Para hamba sahaya dan petugas-petugas dalam
istana pun satu demi satu meninggalkan tempat itu karena kawatir mendapat celaka bila penyerbuan terjadi.
"Sepi! Mengapa sepi! Mana pelayan?! Mana minuman?!" teriak Cokro Ningrat. Mahkota emas tak pernah ditanggalkan sejak saat pertama diletakkan di atas kepalanya.
"Orang-orang gila itu agaknya sudah pergi semua!" berkata Ronggo Sampenan sambil memandang berkeliling.
"Tapi masih ada dua orang gila di sini!" Tiba-tiba terdengar suara
dari arah kiri ruangan besar. Serentak keempat orang itu sama
palingkan kepala… Dan di situ mereka melihat Pendekar 212 Wiro
Sableng tegak bersama Imo Gantra. Wiro dengan Kapak Maut Naga
Geni 212 di tangan kanan sedang Imo Gantra mencekal dua golok
besar di tangan kiri dan kanan.
"Dua orang gila kesasar!" teriak Cokro Ningrat. Meskipun terpengaruh
oleh minuman keras namun tiga orang lainnya yang berada bersama
sang raja cepat membaca situasi. Lonceng Maut segera loloskan
loncengnya yang tergantung di leher. Begitu juga Warok Tumo Item
cepat-cepat loloskan golok bermata duanya. Sedang Ronggo
Sampenan keluarkan tembakau, berkomat kamit mengunyah
tembakau itu sementara tangan kirinya memegang seutas tali aneh
sepanjang dua meter berwarna merah. Melihat ini Cokro Ningrat
segera pula keluarkan Keris Mustiko Geni dari pinggangnya.
"Jika kalian mau menyerah secara baikbaik, kerajaan akan
mengampunkan semua kesalahan kalian. Tapi jika kalian melawan
maka bersiaplah untuk mati!" Keempat orang itu tertawa gelak-gelak
mendengar kata-kata Imo Gantra tadi.
"Dia menyebutnyebut kerajaan. Kerajaan yang mana yang
dimaksudkannya?!" ujar Cokro Ningrat. Lalu sambungnya:
"Apakah kalian tidak sadar kalau saat ini tengah berhadapan dengan
Raja bergelar Raden Mas Haryo Ing Alaga Cokro Ningrat?! Lekas
berlutut minta ampun. Mungkin aku masih bersedia mengambil kalian
berdua menjadi jongos dan perawat kuda!" Keempatnya kembali
tertawa gelak-gelak.
"Kita serbu saja mereka sekarang. Selagi masih dipengaruhi minuman
keras…" Berbisik Imo Gantra. 'Tenang saja. Siapa di antara mereka
yang berbahaya?" balas berbisik Wiro Sableng.
"Si muka bopeng itu. Senjatanya yang berbentuk lonceng bisa
mengganggu pendengaran dan mengacaukan gerakan. Lalu tembakau
di mulut orang berpakaian biru-biru itu. Tapi tali di tangan kirinya
lebih berbahaya. Si Gendut berewokan itu memang hebat tapi
permainan goloknya tak usah ditakutkan. Yang penting hati-hati
terhadap Cokro Ningrat. Dia memegang Keris Mustiko Geni
"Kalau begitu dia yang harus kita bereskan lebih dahului" kata Wiro
pula. Tangan kirinya bergerak ke pinggang, di masa dia menyimpan
senjata aneh pemberian Resi Mandra Botama. Cakra Dewa! Inilah
saat yang tepat untuk menjajal kehebatan senjata itu.
"Astaga! Itu Cakra Dewa jantan!" ujar Imo Gantra ketika dia melihat
apa yang ada di tangan kiri Wiro Sableng.
"Dari mana kau dapatkan senjata itu?!"
"Bukan saatnya untuk bercerita…"
"Kalau begitu kenapa tidak lekas kau hajar mereka satu per satu?!"
"Sebentar. Tenang saja. Sebentar lagi Imo!" ujar Wiro. Lalu dia
bertanya pada keempat orang itu.
"Jadi kalian tak mau menyerah? Dan memilih mampus percuma?"
Cokro Ningrat tegak dari kursinya. Tubuhnya agak terhuyung walau
hanya sesaat.
"Sobat-sobatku! Bunuh dua monyet kesasar itu!" Sang Raja berteriak
berikan perintah.
"Diberi susu minta racun! Terimalah ini!" balas membentak Wiro.
Tangan kirinya bergerak. Cakra Dewa melesat mengeluarkan suara
bergaung menyambar ke arah Cokro Ningrat. Percuma pada kekuatan
Keris Mustiko Geni, Cokro Ningrat tidak merasa gentar mendapat
serangan itu. Dia tusukkan senjata mustika itu ke udara. Sinar merah
berkiblat disertai hawa panas menebar. Cakra dewa tampak bergetar.
Hawa sakti yang keluar dari Keris Mustiko Geni membuat senjata itu
mengapung ke atas namun selewatnya sambaran hawa, Cakra Dewa
kembali menukik. Cokro Ningrat membentak marah dan cepat run-
dukkan kepala. Cakra Dewa lewat di atas ubun-ubunnya,
menghantam tembok ruangan hingga membentuk lobang besar dan
berubah warna menjadi kebiruan. Sesaat senjata itu seperti hendak
tenggelam menembus tembok, namun di lain kejap melesat kembali ke
arah Wiro Sableng. Sang pendekar yang terkagum- kagum melihat
kehebatan senjata itu hampir terlupa menangkapnya kembali.
Lonceng Maut, Warok Tumo Item dan Ronggo Sampenan sementara
itu berlompatan menyerbu. Suara lonceng menggema luar biasa
nyaringnya diruangan yang besar itu. Gendanggendang telinga
hendak mau robek dan jantung berdenyut aneh dibuatnya. Dari mulut
Ronggo Sampenan keluar semburan tembakau menghantam ke arah
Wiro dan Imo Gatra. Lalu menyusul sambaran tali merah yang
dihantamkan. Ketika tali itu memukul di udara, terdengar suara petir
menyambar disusul dengan memerciknya api di ujung tali! Warok
Tumo Item sudah pula ayunkan golok bermata duanya hingga
lengkaplah kehebatan serbuan tiga tokoh silat itu.
"Imo, kau tahan dulu tiga bergajul ini!" ujar Wiro yang seenaknya
saja menyebut nama si kakek muda cekung yang jauh lebih tua dari
padanya. Imo Gantra memang sudah siap menunggu. Dua golok di
tangannya kiri kanan menderu membentuk dua lingkaran besar. Satu
menyabung ke arah semburan tembakau Ronggo Sampenan, satunya
lagi memapasi serangan golok tunggal Warok Tumo Item, Baik Wiro
maupun Imo Gantra begitu mendengar suara lonceng merobek telinga
masing-masing, keduanya segera menutup indera pendengaran
dengan aliran tenaga dalam. Suara lonceng tetap bergema, tetapi
tidak menyakitkan lagi.
"Bangsat-bangsat rendah! Kalian minta mampus!" Terdengar
bentakan Cokro Ningrat.
Dia memburu dengan Keris Mustiko Geni. Wiro Sableng segera
menyongsong. Tapi untuk membantu Imo Gantra, sebelum bergerak
dia lebih dulu sapukan Kapak Maut Naga Geni 212 ke arah Lonceng
maut. Kakek muka bopeng ini tersentak kaget ketika suara menderu
seperti ribuan tawon mengamuk yang keluar dari senjata lawan
menindih kehebatan lonceng kuningnya. Pakaian dan rambutnya
berkibar- kibar. Tubuhnya seperti ditindih batu besar. Ketika dia
nekat merangsek terus sambil hantamkan senjatanya yang berbentuk
lonceng itu, Wiro kirimkan satu tendangan keaarah tulang rusuknya.
Ronggo Sampenan pukulkan loncengnya ke bawah. Tapi Wiro sudah
tarik pulang kakinya dan kini kembali Kapak Maut Naga Geni 212
membalik menyapu setengah lingkaran.
"Edan!" teriak si bopeng ketika dia merasakan ada sinar putih perak
menyambar panas luar biasa. Kalau dia tidak lekas bertindak
mundur, perutnya sudah kena disambar mata kapak. Kleneng!
Longceng di tangan orang itu terbelah dua. Satu belahan mental dan
menancap di loteng ruangan. Sepotongnya lagi masih tergenggam di
tangan pemiliknya! Dan potongan ini terpaksa dilepaskan karena
loncengan itu seperti telah berubah laksana bara api akibat aliran
panas yang datang dari Kapak Naga Geni 212. Lonceng Maut kibas-
kibaskan tangannya yang tampak melepuh! Kejadian ini cukup
membuat Loneeng Maut-menjadi leleh nyalinya dan berpikir dua kali
apakah dia akan terus melanjutkan perkelahian itu. Sementara itu
Imo Gantra mendapat lawan seimbang yakni Warok Tumo Item.
Namun karena kepala rampok ganas itu berdua dengan si dukun
jahat Ronggo Sampenan maka sangat berat bagi Imo Gantra untuk
melayani keduanya sekaligus. Setelah berhasil melumpuhkan Lonceng
Maut, Pendekar 212 Wiro Sableng melompat ke arah Cokro Ningrat.
Tangan kirinya bergerak seperti hendak melemparkan Cakra Dewa.
Cokro Ningrat acungkan Keris Mustiko Geni ke depan untuk
melindungi diri. Namun gerakan Wiro hanya tipuan belaka. Selagi
bagian bawah lawan terbuka, murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede
itu baru benar-benar melakukan lemparan. Cakra Dewa membeset di
udara. Cokro Ningrat menjerit keras. Tubuhnya berputar. Cakra Dewa
menancap di perutnya, kemudian melesat kembali, membalik ke arah
Wiro. Tampak seperti ada asap tipis kebiruan mengepul di perut sang
raja. Wiro menangkap dan menyimpan Cakra Dewa lalu memburu ke
arah Cokro Ningrat yang saat itu jatuh berlutut di lantai. Sekujur
tubuhnya terutama di bagian bibir tampak membiru. Itulah jahatnya
racun Cakra Dewa. Sekali lagi bekas Kepala Pasukan Kerajaan ini
menjerit. Tubuhnya kemudian terkapar menelungkup. Keris Mustiko
Geni lepas dari genggamannya. Mahkota emas tanggal dari
kepalanya dan berguling ke arah kaki Wiro. Dengan tangan kirinya
Wiro mengambil mahkota sedang tangannya cepat memungut Keris
Mustiko Geni. Dengan hati- hati keris tak bersarung itu diselipkan ke
pinggang sedang mahkota emas dikenakan seenaknya di kepalanya.
"Kami menyerah!" teriak Ronggo Sampenan ketika tali merahnya
dibabat putus oleh Kapak Naga Geni 212. Sisa potongan tali yang
dipergunakannya sebagai senjata itu dibuang ke lantai. Warok Tumo
Item juga ikut-ikutan membuang goloknya namun nasibnya malang.
Gerakannya yang agak lamban keburu didahului tusukan golok Imo
Gantra. Ketika golok lawan menusuk dadanya, dia sendiri tak
memegang senjata lagi. Tubuhnya terhuyung. Darah mengucur
membasahi lantai. Kedua tangan Warok Tumo Item menggapaigapai
ke udara seperti berusaha berpegangan pada sesuatu: Tapi dia hanya
memegang angin. Tubuhnya jatuh.terduduk di atas kursi raja, tapi
belum sempat menyentuh kursi itu tendangan Wiro membuat dia
terpelanting dan terkapar di tanah. Melihat Ronggo Sampenan
mengambil sikap menyerah, Imo Gantra cepat menotok orang ini.
Sementara itu di luar istana terdengar suara gegap gempita. Ratusan
orang menyerbu masuk. Di depan sekali tampak Pangeran Purbaya
bersama ibundanya. Wiro masukkan Kapak Naga Geni 212 ke balik
pakaian lalu tinggalkan ruangan ini dan menyongsong Pangeran
Purbaya di tangga istana.
"Semuanya sudah berakhir Pangeran. Aku minta diri sekarang…."
"Apakah kau sudah mendapatkan Keris Mustiko Geni?" tanya sang
pangeran.
"Wiro mengangguk sambil menepuk pinggangnya. Lalu dia menjura
pada Pangeran Purbaya dan ibunya. Ketika dia hendak berkelebat
pergi Pangeran itu tiba-tiba berseru.
"Hai! Kau sudah kuberikan Mustiko Geni. Jangan ambil pula mahkota
emasku!" Wiro tersentak kaget.
"Astaga! Mohon maafmu Sri Baginda. Aku sampai kelupaan!" kata
Wiro lalu cepat-cepat mencopot mahkota yang masih berada di
kepalanya. Orang banyak tertawa lebar. Ibunda Pangeran Purbaya
membisikkan sesuatu pada puteranya. Sang pangeran lalu berkata:
"Pendekar, kau. tidak kami izinkan pergi. Kau harus menetap di
Kutogede karena kami memutuskan untuk mengangkatmu sebagai
Kepala Pasukan Kerajaan!"
Wiro Sableng garuk-garuk kepala.
"Terima kasih atas kepercayaanmu Sri Baginda… Tapi…" Wiro goyang
goyangkan tangan kanannya.
"Itu tidak termasuk dalam perjanjian kita sebelumnya!" Lalu sekali berkelebat dia telah lenyap di antara ratusan rakyat yang berkerumun di tempat itu.
"Pemuda itu aneh, kadang-kadang menjengkelkan!" ujar Pangeran
Purbaya.
"Dinobatkan pun aku belum. Enak saja dia menyebutku Sri Baginda…"
"Ya, dia memang seperti sinting. Tapi hatinya polos!" Memuji sang
ibunda.
"Tiba-tiba seseorang berteriak.
"Gotong raja kita ke singgasananya!" Lalu puluhan manusia bergerak berebutan untuk menggotong Pangeran Purbaya dan mendudukannya di atas kursi besar. Imo Gantra tegak menarik nafas lega. Kelak kakek ini diangkat menjadi Patih Kerajaan.
Komentar
Posting Komentar