WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya : BASTIAN TITO
EPISODE : BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG
**********
Kiai Bangkalan
menggeletak di lantai batu dalam Goa
Belerang. Sedikit pun tubuh itu tidak bergerak
lagi karena nafasnya sudah sejak lama
meninggalkan tubuh!
Orang tua itu menggeletak menelentang. Dua
buah keris kecil yang panjangnya hanya tiga
perempat jengkal berhulu gading menancap di
tubuh Kiai Bangkalan. Darah bercucuran
menutupi seluruh wajahnya.
Dalam jari-jari tangan kiri Kiat Bangkalan
tergenggam secarik kertas tebal empat
persegi. Sedang tepat di ujung jari telunjuk
tangan kanannya, yaitu pada lantai batu
tergurat tulisan:
TAMBUN TULANG Pendekar 212 Wiro Sableng
yang berdiri di dekat tubuh tak bernyawa Kiai
Bangkalan tidak mengetahui apa arti dua
buah kata itu. Apakah nama seseorang yaitu
manusia yang telah membunuh orang tua itu,
ataukah nama sebuah tempat. Yang
diketahuinya ialah bahwa si orang tua telah
menuliskan dua buah kata itu pada saat-saat
menjelang detik kematiannya karena ujung
jari tangan yang dipakai menulis masih
terletak kaku di atas huruf terakhir kata yang
kedua.
Diam-diam Wiro Sableng memaki dirinya
sendiri. Seharusnya dia datang lebih cepat ke
Goa Belerang itu sehingga nasib malang
begitu tidak terjadi atas diri si orang tua. Kiai
Bangkalan tempo hari telah menyuruhnya
datang dan menjanjikan akan memberi
pelajaran tentang ilmu pengobatan. Kini dia
datang terlambat Kiai Bangkalan hanya
tinggal tubuh kasarnya saja lagi!
Perlahan-lahan pendekar muda ini berlutut di
samping tubuh Kiai Bangkalan.
Diperhatikannya kertas tebal empat persegi
yang tergenggam di tangan kiri Kiai
Bangkalan. Ternyata kertas tebal ini adalah
robekan kulit sebuah buku. Dan pada kertas
itu tertulis: SERIBU MACAM ILMU
PENGOBATAN Wiro Sableng tarik nafas
panjang yang mengandung penyesalan. Satu
kesimpulan lagi dapat ditarik oleh pendekar
ini. Yaitu bahwa Kiai Bangkalan menemui
kematiannya dalam mempertahankan sebuah
buku ciptaannya. Buku tentang pengobatan
itu tentulah sebuah buku yang sangat
berguna bagi dunia persilatan hingga
seseorang telah mengambilnya dengan jalan
kekerasan. Dan Wiro lalu ingat kembali janji
Kiai Bangkalan yang hendak mengajarkan
ilmu pengobatan kepadanya. Rupanya orang
tua itu telah membukukan seluruh macam
cara pengobatan yang diketahuinya.
Sepasang mata Wiro Sableng kemudian
berputar memperhatikan dua buah keris kecil
yang menancap di tubuh Kiai Bangkalan.
Menurutnya kedua keris itu pasti mengandung
racun jahat karena seseorang yang ditusuk
bahkan yang dicungkil kedua matanya belum
tentu, menemui kematian. Tak pernah dia
sebelumnya melihat keris semacam itu. Kiai
Bangkalan bukan seorang berilmu rendah dan
melihat pada keanehan bentuk senjata yang
menancap itu Wiro sudah dapat menduga,
siapapun pembunuh Kiai Bangkalan adanya,
manusianya pastilah bukan orang
sembarangan! Dan siapakah kira-kira yang
telah melakukan perbuatan terkutuk ini?
Untuk beberapa lamanya Pendekar 212 masih
berlutut di situ. Akhirnya dia sadar bahwa dia
harus menguburkan jenazah Kiai Bangkalan:
Didukungnya tubuh tiada bernyawa itu dan
melangkah menuju ke pintu. Untuk terakhir
kalinya, sebelum meninggalkan ruangan itu,
Wiro memandang berkeliling. Dan saat itulah
sepasang matanya membentur sebuah benda.
Benda itu tadi tidak kelihatan karena tertindih
oleh tubuh Kiai Bangkalan yang menggeletak
di lantai. Wiro melangkah mendekatinya.
Benda yang mulanya disangkanya cabikan
pakaian ternyata adalah kulit harimau.
Bulunya bagus berkilat, kuning berbelang-
belang hitam. Apakah Kiai Bangkalan telah
bertempur melawan harimau? Mana mungkin
seekor harimau bisa menancapkan dua buah
keris aneh di mata orang tua itu? Atau
mungkin harimau siluman? Kulit Itu kering
dan bersih. Ini membawa pertanda,bahwa itu
bukan kulit harimau hidup! Pendekar 212 Wiro
Sableng masukkan robekan kulit harimau, itu
ke dalam saku pakaian lalu meninggalkan
ruangan batu tersebut dengan cepat.
Langit di ufuk timur mulai terang disorot sinar
merah kekuningan sang matahari yang
hendak ke luar dari peraduannya Katulistiwa
detik demi detik kelihatan dengan jelas. Di
bawah sorotan sinar matahari air laut laksana
hamparan permadani yang indah sekali.
Kemudian mataharipun ke luarlah tersembul
di ufuk timur itu merupakan sebuah bola
raksasa seolah-olah muncul dari dalam
lautan luasi
Sepasang mata Pendekar 212 tiada berkedip
memandang ke arah timur itu. Telah lima kali
dia melihat kemunculan sang surya di lengah
lautan. Betapa indahnya. Sukar dilukiskan
dengan kata-kata. Dan setiap dia mem
perhatikan keindahan alam ciptaan Yang
Maha Kuasa itu, teringatlah dia pada Si
Pelukis Aneh. Dengan keahliannya melukis,
tentu orang tua itu akan sanggup menuang
segala keindahan yang ada di depan mata itu
ke atas kain lukisannya.
Perahu besar itu meluncur laju di lautan yang
tenang, dihembus angin barat. Ke manapun
mata memandang hanya air laut yang
kelihatan. Itulah batas kemampuan
penglihatan manusia yang menandakan
bahwa sesungguhnya dia hanyalah makhluk
lemah belaka dibandingkan dengan kehebatan
alarn!
Angin dari barat bertiup lagi dengan keras.
Layar perahu besar menggembung dan perahu
meluncur lebih pesat. Di.kejauhan kelihatan
serombongan burung terbang di udara. Ini
satu pertanda bahwa terdapat daratan di
sekitar situ. Namun demikian daratan itu
agaknya masih terlalu jauh hingga pandangan
mata tak kuasa menangkapnya. Puas
memandangi keindahan laut di waktu pagi itu
maka Wiro Sableng memutar tubuh. Dia
melangkah ke buritan. Seorang laki-laki
berbaju hitam berdiri di buritan itu dan
memandang tajam-tajam ke arah langit di
sebelah tenggara, Wiro tak tahu apa yang
tengah diperhatikan laki-laki pemilik perahu
ini.
"Ada apakah, bapak?" tanya Wiro.
Tanpa alihkan pandangan matanya pemilik
perahu menjawab. "Orang muda, perhatikan
baik-baik. Adakah terlihat olehmu sekumpulan
awan kelabu dr kejauhan sana…?"
"Awan semacam itu biasanya membawa
pertanda tidak baik."
"Tidak baik bagaimana?" tanya Wiro yang tak
tahu apa-apa segala soal pelayaran ataupun
keadaan di laut.
"Akan timbul angin ribut," kata pemilik perahu
pula. Latu dia pergi kehaluan dan menyuruh
anak buahnya merubah arah menjauhi awan
kelabu itu.
Wiro Sableng angkat bahu. Awan kelabu itu
sangat jauh sekali. Udara sekitar mereka
bagus dan indah. Perlu apa dikhawatirkan
awan kelabu itu? Kalaupun terjadi angin ribut,
tentu terjadinya di sebelah tenggara itu! .
Maka karena, segala sesuatunya dianggap tak
perlu dikhawatirkan oleh Wiro, diapun duduk
di buritan itu sambil bersiul-siul. Tapi
menjelang tengah hari kecemasan mulai
membayangi hati pemuda ini.
Di sebetah tenggara, awan yang tadinya
kelabu kini kelihatan menjadi hitam dan
bergerak cepat sekali ke arah perahu. Dan
awan itu bukan hanya satu kelompok saja lagi
melainkan berkelompok-kelompok dan
menyebar di manamana. Pemandangan yang
serba indah kini menjadi diselimuti
kemendungan. Angin pun bertiup keras dan
tak tentu arahnya. Kelompok awan hitam
semakin banyak dan semakin lebaL Cuaca
semakin buruk. Air laut bergelombang dan
berputar-putar tak menentu. Jalannya perahu
tersendatsendat. Kemudian hujan rintik-rintik
mulai turun.
"Arahkan perahu ke pulau itu!" teriak pemilik
perahu pada pemegang kemudi.
Jauh di sebelah barat kelihatan sebuah titik
hitam. Kemudi diputar. Perahu menjurus ke
barat, ke arah titik hitam itu. Didahului oleh
sabungan kilat, yang disusul oleh gelegar
guntur maka hujan yang tadinya rintik-rintik
kini berubah menjadi hujan lebat yang
mendera seluruh perahu! Angin seperti suara
ribuan seruling yang ditiup bersama karena
derasnya, laut marah menyabung gelombang,
menghempaskan perahu kian ke mari semen
tara udara telah berubah laksana malam hari,
gelap pekat! Sekali-sekali kilat menyambar
menerangi perahu. Tapi ini hanya menambah
rasa ketakutan orang-orang yang ada di
dalam perahu itu.
"Gulung layar besar!" teriak pemimpin perahu.
Namun baru saja perintahnya itu diucapkan
satu angin dahsyat menerpa,perahu.,
"Kraak!" ,
Tiang layar utama perahu patah. Perahu
condong tajam mengikuti arah tumbangnya
bagian atas tiang layar. Dalam pada itu dari
samping datang pula satu gelombang yang
luar biasa besarnya. Perahu yang tidak
berdaya itupun ditelan bulat-bulat. Di antara
deru angin dan deru hujan, di antara
sambaran kilat dan di antara menggeledeknya
suara guntur, di antara semua itu maka
terdengarlah suara jerit pekik manusia yang
mengerikan. Tapi suara jerit pekik itu hanya
sebentar saja karena sedetik kemudian perahu
itu telah amblas digulung gelombang!
Sewaktu perahu itu muncul kembali maka
keadaannya hanya merupakan hancuran dan
kepingan-kepingan papan dan balok-balok
belaka yang tersebar kiah ke mari untuk
kemudian dipermainkan gelombang lagi
secara ganas.
Setiap manusia yang ada dalam perahu itu,
dengan segala, daya yang ada berusaha
menyelamatkan diri. Tapi apakah daya
manusia dalam melawan keganasan alam
yang maha dahsyat itu?!
Pendekar 212 Wiro Sableng bergulat sekuat
tenaga untuk ke iuar dari bencana maut yang
mengerikan itu. Dia berusaha berenang
mencapai kayu pecahan-pecahan perahu
namun mana mungkin berenang dalam
gelombang yang menggila seperti itu. Baru
saja kepalanya muncul telah disapu kembali
oleh air laut!
Wiro mulai megap-megap kehabisan nafas
sewaktu dia melihat sebuah papan besar kira-
kira dua belas tombak dihadapannya. Dengan
sisa-sisa tenaga yang terakhir pemuda ini
berusaha berenang mencapai benda itu. Baru
saja satu tombak, sebuah gelombang mendera
tubuhnya. Pendekar itu amblas lagi masuk ke
dalam laut.
Sewaktu kepalanya muncul lagi papan besar
tadi telah lenyap!
"Celaka! Tamatlah riwayatku!" kata Pendekar
212 dalam hati. Baru saja dia mengeluh
begitu sebuah gelombang datang dengan
ganas dari muka. Dia menyelam dengan cepat
untuk menghindarkan pukulan gelombang.
Namun tetap saja tubuhnya diterpa sampai
puluhan tombak membuat pemandangannya
menjadi gelap!
Ketika dia memunculkan kepalanya kembali di
permukaan air laut dalam keadaan setengah
hidup setengah mati, sesuatu melanda
keningnya dengan'keras. Kulit keningnya
robek dan mengucurkan darah! Wiro tak tahu
benda apa yang telah menghajar keningnya
itu karena dia tak bisa membuka kedua
matanya. Namun demikian otaknya masih
terang untuk berpikir. Apapun benda itu
adanya mungkin bisa dipakai untuk
menyelamatkan jiwanya! Maka dalam mata
terpejam dan muka berlumuran darah dengan
membabi buta Wiro Sableng gerakkan
tangannya untuk menangkap benda itu.
Pertama kali dia cuma menangkap angin.
Yang kedua kali dia cuma menampar air laut
di sampingnya. Ketiga kalinya juga tak
berhasil apa-apa namun kali yang keempat
baru dia berhasil menangkap benda itu dan
dipegangnya erat-erat.
Beberapa saat kemudian ketika kedua
matanya sudah bisa dibuka ternyata benda
itu adalah sebuah balok pendek yang terpaku
pada sepotong papan yang lumayan
besarnya.
Wiro Sableng bersyukur. Dengan benda itu dia
bisa mempertahankan diri agar tidak
tenggelam untuk kemudian berusaha berenang
mencari daratan. Belum lama pemuda ini
berpegang pada papan itu, terombang ambing
dipermainkan ombak, satu benda meluncur
dihadapannya, sebentar timbul sebentar
tenggelam. Ketika diperhatikan ternyata tubuh
seorang anak kecil. Wiro tahu betul anak kecil
itu adalah anak laki-laki yang dibawa oleh
seorang penumpang perahu, Ditangkapnya
tangannya. Sewaktu diperiksa ternyata anak
itu dalam keadaan pingsan, perutnya
gembung.
Wiro Sableng menyadari bahwa papan yang di
dapatnya tidak cukup besar untuk menolong
mereka berdua sekaligus! Berarti kalau dia
mau selamat terus, dia musti meninggalkan
anak kecil itu! Pertentangan terjadi di lubuk
hati Pendekar 212. Akhirnya pemuda itu
membuka bajunya. Dengan baju itu diikatnya
anak yang pingsan pada papan lalu
didorongnya ke tempat yang agak tenang.
"Mudah-mudahan kau selamat anak," kata
Wiro dalam hati.
Dia memandang berkeliling. Tak sepotong
papan atau balokpun yang kelihatan. Laut
yang tadi menggila kini mulai tenang sedikit.
Wiro mengeluh dalam hati. Rupanya sudah
ditakdirkan bahwa dia harus mati hari itu, di
tengah lautan! Berdiri bulu kuduknya! Inilah
untuk pertama kalinya dia merasa ngeri! Ngeri
menghadapi kematiannya sendiri! Ingin dia
memekik, berteriak setinggi langit. Namun
siapa yang akan mendengar? Siapa yang
akan menolongnya? Lagi pula mulutnya
serasa terkancing. Dicobanya berenang.
Namun kekuatannya sudah sampai ke batas
terakhir. Kaki dan tangannya kaku tak
sanggup digerakkan lagi. Sedikit demi sedikit,
perlahan-lahan tetapi pasti, tubuhnya mulai
tenggelam. Sebelum kepalanya lenyap ditelan
air laut pemuda ini merasa seperti melihat
sesuatu jauh dihadapannya, meluncur di atas
air laut menuju ke arahnya. Dia tak tahu
benda apa itu. Kelihatannya seorang, manusia
berjubah putih, tapi mungkin juga malaekat
maut yang hendak mencabut nyawanya! Pada
detik dia menyebut nama Tuhan dan
memanggil nama gurunya pada detik itupula
tubuh pendekar 212 lenyap keseluruhannya
dari permukaan air laut. Ketika dia siuman
tubuhnya terasa panas. Kepalanya berdenyut
sakit. Matanya berat sekali untuk dapat
dibuka. Di manakah aku sekarang, apakah
sudah berada di alam akhirat, berada di
neraka?!
Wiro Sableng membuka kedua matanya
dengan perlahan, Yang pertama sekali
dilihatnya ialah atap rumbia. Dia berusaha
memutar bola matanya dan memandang
berkeliling. Sesungguhnya sudah mati atau
masih hidup aku ini, pikir Wiro. Ingatannya
merayap pada saat dia berada di atas perahu
tengah menyeberangi Selat Sunda,
meninggalkan Pulau Jawa menuju ke Pulau
Andalas! Kemudian datang angin topan dan
hujan lebat. Perahunya amblas ditelan
gelombang. Lalu setelah mengikatkan seorang
anak laki-laki pada sebuah papan, tubuhnya
tenggelam di dalam laut dan tak tahu apa-
apa lagi!
Tapi kini dilihatnya atap rumbia itu.
Dilihatnya dinding kayu, dilihatnya isi pondok
kecil itu, bermimpikah dia?! Digigitnya
bibirnya. Terasa sakit. Tidak, dia tidak
bermimpi! Tapi sukar untuk bisa menerima
kenyataan yang ada dihadapannya saat itu.
Untuk memastikan dicobanya bangun dan
duduk di tepi balai-balai kayu dimana dia
terbaring. Tapi tubuhnya yang lemah tiada
berdaya itu terhempas kembali ke atas balai-
balai. Wiro mengeluh kesakitan: Dan dia
pingsan lagi.
Kedua kali dia sadarkan diri, hawa panas dari
demam yang menyerangnya telah berkurang
tapi tubuhnya masih lemas, tenggorokannya
kering dan sendat. Lapat-lapat didengarnya
suara anak kecil. Tapi mungkin itu cuma
desau angin yang meniup telinganya. Rasa
haus menyerarig tenggorokannya. Tapi kepada
siapa dia minta air, sedang untuk
mengeluarkan suarapun dia tiada sanggup?
Didengarnya suara berkeretekan di belakang
kepalanya. Dia lak bisa berpaling. Dia tak
tahu suara apa itu. Namun kemudian seorang
laki-laki tua berpakaian putih tahu-tahu
sudah berdiri di samping balai-balai.
Rambutnya jarang sekali hingga kulit
kepalanya kelihatan jelas. Orang tua ini
memelihara kumis dan janggut. Baik rambut
maupun kumis serta janggutnya, seluruhnya
berwarna putih. Yang membuat Wiro jadi
menahan nafas ialah sewaktu menyaksikan
keangkeran muka orang tua tak dikenal ini!
Manusia ini berpipi dan bermata yang sangat
lebar dan cekung. Mukanya tiada beda dengan
tengkorak karena tiada berdaging. Hanya
selembar kulit pucat saja yang menutupi
parasnya. Hidungnya kecil, panjang dan
bengkok seperti paruh burung kakak tua. Dia
tersenyum, tapi senyumnya ini justru lebih
menambah keangkeran pada parasnya. Diam-
diam Wiro Sableng merasa bulu kuduknya
berdiri. Manusia atau setankah yang berdiri
dihadapannya itu? Kalau manusia, tak pernah
dia menyaksikan yang seseram ini
tampangnya. Si orang tua mengedipkan
matanya yang lebar luar biasa dan
menyeringai.
"Sudah sadar hah?!" bentaknya menggeledek.
Wiro terkejut. Dirasakannya balai-balai di
mana dia terbaring bergetar hebat dan pondok
itu mengeluarkan suara berkereketan.
"Empat hari empat malam mendengkur terus-
terusan. Enak betul!" orang tua bermuka
angker itu berkata lagi.
Wiro membuka mulut hendak berkata. Tapi
tak sedikit suarapun yang sanggup
dikeluarkannya. Dalam kengerian melihat
orang tua itu dia masih terus berpikir siapa
adanya manusia ini. Dilihatnya timbul
kepastian bahwa orang tua itu adalah orang
yang telah menyelamatkan jiwanya. Tapi
setelah menolong mengapa sikapnya demikian
keras serta menunjukkan hati jahat?!
"Apa yang kau pikirkan!" tiba-tiba orang tua
itu membentak lagi. Balai-balai serta pondok
kembali bergetar. Hebat sekali tenaga dalam
orang tua ini.
Wiro buka lagi mulutnya. Kali ini dia bisa
bersuara meskipun perlahan; "Air…"
"Apa?!"
"Air.:." desis Wiro.
"Air?! Kau minta air?! Kau kira aku ini
pelayanmukah?! Sialan betul!" Kedua mata si
orang kelihatan tambah lebar.
Wiro terkesiap mendengar jawaban,orang tua
bertampang angker itu. Diam-diam dia
menggerutu dalam hati. Dicobanya meminta
air kembali. Dan kembali si orang tua
mendampratnya.
Tiba-tiba seorang anak kecil masuk ke dalam
pondok itu.
"Ah… anakku!" kata si orang tua seraya
mendukung anak yang baru masuk. Wiro
terkejut. Anak yang dalam dukungan orang
tua itu bukan lain daripada anak kecil yang
tempo hari ditolongnya di tengah laut sewaktu
badai mengamuk. Semakin jelas bahwa orang
tua itulah yang telah menolongnya dan juga
menolong anak laki-laki itu. Tapi mengapa
sikapnya demikian aneh dan galak?
"Anakku, apakah kau dengar si tukang tidur ini
minta air…? Gila betul dia! Disangkanya
bapakmu ini budaknya!" Habis berkata begitu
si orang tua tertawa gelak-gelak. Tibatiba dia
hentikan tawanya dan membentak si anak:
"Hai! Kau dengar apa tidak?!"
Dibentak keras begitu, si anak berumur dua
tahun menangis dan meluncur turun dari
dukungan si orang tua, lalu meninggalkan
tempat itu. Si orang tua kembali tertawa
gelak-gelak. "Orang gila," katanya kemudian
pada Wiro. "Kalau kau mau minum, itu di atas
meja ada kendi berisi air. Ambil sendiri. Aku
bukan pelayanmu! Bukan budak, bukan
kacung!" Lalu dia ke luar dari pondok. !
"Edan!" desis Wiro.
"Eh, apa?! Kau memakiku edan?! Kau yang
edan!" Tiba-tiba si orang tua bertampang
angker masuk kembali. Meskipun cuma
mendesis tapi ucapan Wiro tadi telah
didengarnya.
"Braak!"
Orang tua aneh itu tendang kaki balai-balai
yang ditiduri Wiro Sableng. Tak ampun lagi
balai-balai itu roboh dan Wiro terguling ke
lantai, lalu pingsan lagi! Si orang tua tertawa
gelak-gelak, lalu mendengus dan tinggalkan
pondok itu.
Pagi itu Wiro merasakan badannya berangsur
baik dan segar. Sesudah duduk bersila
mengatur jalan nafas serta darah dan
mengalirkan tenaga dalamnya ke bagian-
bagian tubuh yang perlu maka dia turun dari
balai-balai. Di atas meja reyot di sudut
pondok ada sebuah kendi berisi air putih.
Diteguknya air ini beberapa kali. Terasa dingin
dan segar. Dengan air itu juga dicucinya
mukanya. Kemudian sewaktu.rnelihat sepiring
ubi rebus di atas meja, tanpa pikir lagi Wiro
segera menyambarnya.
Mendadak di luar didengarnya suara si orang
tua.
"Ah… salah! Salah! Kaki kananmu majukan
lagi..: nah. Eee… itu tangan kananmu musti
begini. Bagus…. Sekarang coba memukul ke
muka… ah salah! Salah! Dasar bocah geblek!"
Sedang mengapa orang tua itu, pikir Wiro
Sableng. Dia bergerak ke pintu pondok.
Langkahnya berat dan pemandangannya
berkunang waktu dibawa berjalan itu. Di pintu
pondok dia berdiri dengan bersandar dan
memandang ke halaman. Orang tua berwajah
angker itu dilihatnya tengah berjongkok di
hadapan anak laki-laki yang berumur dua
tahun. Dari gerak gerik dan apa-apa yang
dikatakannya nyatalah bahwa dia tengah
mengajarkan ilmu pukulan tangan kosong
pada anak itu. Wiro Sableng tertawa geli.
Mana mungkin anak sekecil itu diajar ilmu
silat langsung disuruh memukul! Dan si anak
sendiri kelihatannya tidak senang dipaksa-
paksa seperti itu. Kelihatan dia menggeleng-
gelengkan kepala.
"Apa?!" bentak si orang tua, "Kau tak mau
diajar silat?! Bocah geblek! Kalau besar kau
mau jadi apa?! Mau jadi laki-laki banci
pengecut?!"
Si anak menangis. Dan Wiro bukan cuma
sekali itu mendengar anak itu menangis.
Sebaliknya melihat anak tersebut menangis si
orang tua menjadi marah dan memaki-maki.
Tapi kemudian dia sendiri ikut-ikutan nangis!
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. "Aneh
sekali orang tua ini," katanya dalam hati.
"Mungkin otaknya kurang waras. Tapi
agaknya kepandaiannya tinggi sekali. Dan
Wiro lantas ingat pada gurunya yaitu Eyang
Sinto Gendeng. Sifatnya hampir sama dengan
orang tua ini.
"Bocah tolol! Kalau kau tak mau belajar silat
pergilah sana main-main! Nanti kalau ada
yang mengatakan kau laki-laki pengecut
jangan salahkan aku!" Habis berkata demikian
si orang tua pukul-pukul keningnya sendiri
sambil membalikkan badan dan melangkah ke
pondok.
Mendadak dia hentikan langkahnya dan
memandang mendelik ke pintu pondok.
"Orang edan! Siapa yang suruh kau bangun
dan berdiri di situ?!" bentak si orang tua
begitu melihat Wiro Sableng. Dia marah sekali
dan banting-banting kedua kakinya di tanah.
Dan bukan main terkejutnya Wiro Sableng
sewaktu melihat bagaimana tanah yang kena
bantingan kaki orang tua itu amblas sampai
setengah jengkal!
Tiba-tiba Wiro ingat bahwa siapapun adanya
orang tua bertampang angker itu dia adalah
orang yang telah menyelamatkan jiwanya.
Maka dengan segera Pendekar 212 menjura
dalam-dalam.
"Betut-betut kau sudah gila!" sentak si orang
tua.
"Apa-apaan menjura segala?!"
"Orang tua aku berhutang nyawa padamu,
juga berhutang budi. Aku…."
"Hutang nyawa?! Hutang budi…?! Kau gila!"
"Bukankah kau yang telah menolongku
sewaktu perahu yang kutumpangi tenggelam
di tautan? Kemudian merawatku di sini?!"
Orang tua itu urut-urut keningnya. Mimiknya
seperti seorang yang tengah berpikir-pikir
atau mengingat-ingat.
"Tidak!" katanya kemudian dengan keras. "Aku
tak pernah menolong orang gila macam kau!"
Meski Wiro menjadi gusar karena dimaki
orang gila namun dia bertanya juga: "Lantas
bagaimana aku bisa berada di tempatmu ini?"
"Maha aku tahu! Tanya dirimu sendiri!"
menyahuti orang tua bertampang angKer.
"Meski kau tak mau mengakui terus terang
tapi aku yakin bahwa engkaulah yang telah
menyelamatkan diriku, juga anak kecil tadi.
Aku mengucapkan terima kasih. Di lain waktu
kuharap akan bisa membalas hutang jiwa dan
budi kebaikan itu. Sudilah kau
memberitahukan namamu, orang tua…."
"Buat apa?!"
"Agar dapat kuingat selama hidupku," jawab
Wiro pula.
"Hanya sekedar diingat?" tukas orang tua itu.
Wiro tak tahu harus berkata apa. Orang tua
itu kemudian dilihatnya duduk di bawah
sebuah pohon kelapa dan bernyanyi. Wiro tak
tahu apa yang dinyanyikannya, bahasanya
sama sekali tidak dimengerti. Bahkan suara
menyanyinya itu tak ubahnya seperti suara
orang mengigau!
Tiba-tiba orang tua itu hentikan nyanyiannya
dan pukulkan tangan kanan ke atas pohon
kelapa. Terdengar suara berkeresek lalu suara
benda meluncur. Ternyata pukulan tadi telah
menjatuhkan sebuah kelapa muda. Dua
tombak lagi kelapa itu akan jatuh menimpa
tubuh si orang tua, tiba-tiba orang tua ini
ambil sebutir kerikil dan melemparkannya ke
arah kelapa yang melayang turun! Buah
kelapa itu berlubang dan dari lubang itu
memancurlah airnya. Si orang tua buka
mulutnya. Air kelapa memancur masuk ke
mulut orang tua sampai akhirnya habis!
Wiro sampai ternganga dan, melotot melihat
hal ini. Luar biasa hebatnya apa yang
disaksikannya itu. Gurunya sendiri belum
tentu sanggup berbuat seperti itu. Dan
sementara itu buah kelapa yang airnya sudah
habis itu terkatung-katung di udara seperti
ada tangan yang tak terlihat memegangnya!
Orang tua itu gerakkan tangan kanannya.
"Wuuut!"
Kelapa itu tiba-tiba sekali melesat ke arah
pintu pondok dalam kecepatan yang luar
biasa! Wiro melompat ke samping. Tubuhnya
hampir tersungkur karena masih lemah.
Dan di dalam pondok didengarnya suara
pecah berantakan. Buah kelapa telah
menghantam kendi air terus membobolkan
dinding pondok!
Wiro memaki dalam hati habis-habisan.
Sebaliknya orang tua itu malah tertawa gelak-
gelak sampai ke luar air mata!
"Orang gila! Kemari kau!" Orang tua itu
memanggil Wiro. Dia melototkan mata
sewaktu Wiro dilihatnya tak bergerak di
tempatnya. Sebaliknya Wiro juga memandang
tak berkedip pada orang tu.a itu. Maka
menggeramlah si tampang angker ini. "Bah,
kau berani menantangku nah?!" Dari balik
pakaiannya orang tua ini mengambil sesuatu.
Saking cepatnya Wiro tak mengetahui benda
apa itu dan tiba-tiba benda itu sudah
dilemparkan ke, arahnya. Untuk kedua kalinya
Pendekar 212 dipaksa melompat dalam
keadaan tubuh, lemah demikian rupa. Kali ini
dia tak sanggup lagi mengimbangi dirinya.
Meski benda yang dilemparkan itu lewat di
atas kepalanya namun tubuhnya tersungkur di
tanah dan keningnya yang baru saja sembuh
lukanya kini berdarah kembali!
Pendekar 212 kaget sekali karena sewaktu dia
berpaling ternyata benda yang dilemparkan
orang tua tadi adalah senjata miliknya sendiri
yaitu Kapak Maut Naga Geni 212! Pantas saja
anginnya membuat tubuhnya laksana dilanda
badai! Senjata itu menancap di tiang pondok
sebelah kiri.
Sambil menyeka darah yang mengalir turun ke
dekat alisnya Wiro berdiri. Dia melangkah
untuk mengambil Kapak Naga Geni, tapi baru
saja tangan kanannya diulurkan dari samping
datang serangkum angin halus. Ketika dia
berpaling dilihatnya sebuah benang aneh
berwarna putih dan berkilauan melayang ke
arah tangannya. Wiro cepatcepat tarik tangan
kanannya tapi terlambat. Benang putih itu
telah melibat! lengannya!
Si orang tua tertawa gelak-gelak. Sekali dia
menyentakkan benang tersebut maka Wiro
tertarik keras ke arahnya. Wiro merasakan
tangannya seperti mau copot! Dia memaki
lagi. Kalau saja tidak mengingat bahwa orang
tua itu telah menyelamatkan jiwanya maulah
dia mengirimkan sebuah serangan biar si
orang tua tahu rasa!
"Ha… ha! Orang, gila macam begini yang
hendak membangkang kepadaku?!" ejek orang
tua itu begitu Wiro sampai dihadapannya.
Wiro coba lepaskan lipatan benang tapi sukar
sekali.
"Orang gila siapa namamu?!"
"Orang tua, kuharap kau jangan panggil aku
orang gila terus-terusan!" kata Wiro dengan
kesal.
"Ah… kau memang gila!" tukas si muka
angker.
"Ayo katakan siapa namamu!"
"Wiro," sahut Pendekar 212 meskipun dengan
hati agak gusar.
"Wiro apa?!" bertanya lagi si muka angker.
Pendekar 212 katupkan rahang rapat-rapat
menahan kesal.
"Hai! Apa kau tuli?! Wiro apa?!"
"Wiro Sableng," menyahuti juga pemuda itu
akhirnya.
"Wiro Sableng?! Nah… itu buktinya kau
memang orang gila. Kalau bukan orang gila
mana ada manusia yang memakai nama
Sableng! Sableng sama saja artinya dengan
edan alias gila!"
"Tapi itu bukan mauku memakai nama
demikian…."
"Aku tahu, orang tuamu yang memberikan
nama itu padamu…."
"Bukan, tapi guruku!" potong Wiro Sableng.
"Ah… kalau begitu berarti gurumu juga
Sableng alias keblinger!"
Marahlah Pendekar 212. Dia melangkah
kehadapan si muka angker dan menghardik:
"Orang tua, jangan hina guruku!" Wiro
kerahkan tenaga dalamnya dan menyentak
dengan keras. Selain tubuhnya masih lemah,
benang aneh yang melibat lengannya kuat
sekali hingga tak sanggup diputuskan oleh
sentakan itu!
Si muka angker sebaliknya tertawa mefihat
perbuatan Wiro dan berkata: "Jangankan kau!
Gurumu dan nenek gurumu sekalipun belum
tentu sanggup memutuskan benang kayangan
ini! Eh orang gila! Aku sudah tahu namamu,
sekarang lekas beri tahu kau punya gelar!"
"Aku tak punya gelar apa-apa," jawab Wiro.
Tangannya yang tadi disentakkan untuk
melepaskan libatan benang kayangan terasa
sakit dan pedas.
"Jangan berani dusta terhadapku orang gila!
Sekali kusentakkan benang ini dalam Jurus
Kilat Menyambar Puncak Gunung pasti
lenganmu akan putus!"
"Kalau hatimu memang jahat begitu rupa
mengapa tidak segera dilaksanakan?!" tukas
Wiro Sableng menantang.
Orang tua itu mendelikkan matanya sehingga
kelopaknya yang merah membuka lebar dan
tampangnya jadi tambah mengerikan! Tiba-
tiba dia tertawa gelak-gelak.
"Orang gila! Kau memang pandai bicara!
Pertanyaanku tadi anggap saja-tidak ada.
Tapi sebagai gantinya lekas kau beri tahu
nama gurumu!"
"Aku bukan seorang yang suka agul-agulkan
nama guru.,"
"Jadi kau tidak mau beri tahu?!"
"Tidak," jawab Wiro Sableng tegas.
Si muka angker mendelik, "Hidup delapan
puluh tahun, kau adalah orang yang kedua
yang pernah membangkang terhadap perintah
si Tua Gila ini!"
Habis berkata begitu si muka angker yang
menyebut dirinya Tua Gila itu goyangkan
benang kayangan yang dipegangnya.
Pendekar 212 menjerit kesakitan dan
tubuhnya mencelat ke atas sampai beberapa
tombak! Tua Gila tertawa gelak-gelak dah
diam-diam perhatikan gerakan jungkir balik
yang dibuat Wiro Sableng sewaktu melayang
turun dan menjejakkan kedua kakinya di
tanah.
"Ah gerakan kincir padi memutar yang belum
sempurna hendak dipamerkan di depan
hidungku!" ejek Tua Gila lalu tertawa lagi
gelak-gelak.
Wiro Sableng terkesiap kaget. Baru hari itulah
seseorang mengenali gerakan yang dibuatnya.
Memang sewaktu dia jungkir balik tadi dia
telah mengeluarkan gerakan yang dinamakan
kincir padi memutar yaitu yang dipelajarinya
dari Eyang Sinto Gendeng sewaktu dia
digembleng di puncak Gunung Gede.
Sebenarnya gerakan tersebut sudah dikuasai
Wiro dengan sempurna namun karena gugup,
terkejut dan ditambah dalam keadaan tubuh
lemah maka gerakannya itu menjadi tidak
sempurna. Jika sekiranya Tua Gila menyusul
dengan satu serangan lagi pastilah Pendekar
212 Wiro Sableng akan mendapat celaka.
Untung saja si muka angker itu hanya terus
duduk dan tertawa gelakgelak.
Wiro berdjri dengan nafas sesak dan muka
pucat. Matanya tiada berkesip memandang si
Orang tua. Jika dia diperlakukan begitu terus-
terusan, dicaci maki, diserang dan
ditertawakan, sampai berapa lama dia akan
sanggup menahan kesabarannya? Sampai
berapa lama dia akan menghormati orang tua
itu sebagai tuan penolongnya? Kepada siapa
dia telah berhutang budi dan nyawa?!
"Kau masih mau membangkang?!"
Wiro tak menjawab.
Tua Gila berkata: "Mengingat bahwa kau telah
menyelamatkan seorang anak laki-laki yang
bakal kuambil jadi muridku maka kuampuni
jiwamu, orang gila."
"Orang tua, aku tak bisa menerima
perlakuanmu yang keterlaluan…."
"Perlakuanku apa yang keterlaluan?!" bentak
Tua Gila marah sekali. "Manusia tidak tahu
diri! Sudah diampuni jiwanya malah
mengomel! Ayo lekas katakan siapa nama
gurumu!"
"Kau buhuhpun aku tak akan memberi tahu!"
"Apa kau tidak takut mati?!"
"Kenapa musti takut?!" jawab Wiro pula.
Tua Gila tertawa pendek dan berkata: "Apa di
dunia ini betul-betul ada manusia yang tidak
takut mati?!"
"Semua manusia akan mati, orang tua. Juga
kau!"
Tua Gila tersentak oleh ucapan Wiro Sableng
itu. Selama puluhan tahun hidup tak pernah
dia ingat tentang kematian sekalipun sudah
berpuluh kali melihat manusia-manusia lain
menemui ke matian. Ucapan Wiro tadi
menyentakkan hati dan mengingatkan
pikirannya pada hal kematian itu. Betapa
mengerikannya kematian itu dan tiada terasa
dua butir air mata menuruni kelopak matanya
yang lebar, turun menetes pipinya yang
cekung!
Wiro Sableng merasa heran melihaPhal ini! Si
orang, tua yang begitu keras adat, galak,
tertawa tak karuan dan aneh itu nyatanya
juga bisa menangis keluarkan air mata.
Suasana menjadi sunyi untuk beberapa
lamanya.
Tiba-tiba Tua Gila acungkan telunjuk tangan
kirinya
ke dada kanan Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Apa arti angka 212 di dadamu itu?!" '
Wiro baru sadar bahwa waktu itu dia cuma
mengenakan celana panjang saja sedang
tubuhnya bagian atas tiada berbaju karena
sewaktu peristiwa perahu terbalik dia telah
mempergunakan bajunya untuk mengikat anak
laki-laki yang ditolongnya.
"Guruku yang menuliskannya," kata Wiro.
"Dasar tolol! Aku tanya apa,arti angka itu!
Bukan siapa yang menulisnya.
Sekalipun,setan atau jin yang menulisnya aku
tak perduli!"
"Tak bisa kuterangkan orang tua," jawab Wiro.
Paras Tua Gila tampak kembali menjadi
marah.
"Pembangkanganmu sudah keterlaluan! Kau
betul-betul tidak memandang sebelah mata
terhadapku! Kau akan kubunuh saat ini juga."
Lalu Tua Gila tarik benang yang dipegangnya,
ffiro tersentak ke muka. "Bersiaplah untuk
mati, orang gila!"
Dan Tua Gila lalu angkat tangan kirinya.
Begitu tangan hendak dipukulkan, tiba-tiba
djtariknya kembali. Dia menyeringai. "Ah…
sebetulnya aku sudah muak melihat kematian!
Orang gila, jika kau bisa menjawab sebuah
pertanyaanku aku akan ampunkan jiwamu.
Tapi kalau kau tak bisa menjawabnya,
terpaksa kau kubunuh juga!"
Wiro Sableng kertakkan rahang.
Dan Tua Gila-lanfas ajukan pertanyaan"
"Menurutmu oang tua manakah yang paling
celaka hidupnya di dunia ini?!"
Wiro terkesiap dan merenung. Pertanyaan
aneh yang sukar dijawab kata hati pendekar
ini. Ditatapnya wajah angker orang tua itu. ,
"Kalau kau tak bisa menjawab kau akan
kubunuh!" Tua Gila menyeringai. Dia lalu
menunjuk ke atas pohon kelapa dan berkata:
"Aku akan jatuhkan sebuah kelapa. Sebelum
buah itu mencapai tanah kau musti sudah
bisa menjawab pertanyaanku tadi!"
Tua Gila memukul ke atas.
Wiro kerutkan kening.
Terdengar suara berkeresekan dan sebuah
kelapa lepas dari tangkainya lalu melayang
turun dengan cepat!
"Bumm!"
Buah kelapa jatuh dan pecah di atas tanah!
Tua Gila menghela nafas panjang dan tertawa
rawan. "Jiwamu kuampuni, orang gila,"
katanya. "Jawabanmu memang betul."
Kemudian dari balik pakaian putihnya Tua
Gila mengeluarkah sebuah benda dan
diacungkannya dihadapan Wiro. "Benda ini
kutemui di dalam saku pakaianmu yang
dibuat pengikat anak laki-laki yang kau
tolong itu. Dari mana kau dapatkan benda
ini?!"
Ketika diperhatikan ternyata benda itu adalah
potongan kulit harimau yang tempo hari
ditemui Wiro di Goa Belerang di mana Kiai
Bangkalan menemui ajalnya dibunuh. Saat itu
ternyatalah di hati Wiro untuk meminta
beberapa keterangan kepada Tua Gila. Maka
diapun menuturkan riwayat Kiai Bangkalan
sampai peristiwa terbunuhnya orang lua itu.
"Jadi perjalananmu itu adalah untuk mencari
buku Seribu Macam Pengobatan Ha?"
Wiro mengangguk.
"Kalau kau berhasil menemuinya apakah buku
itu akan kau ambil sebagai milikmu?! Berarti
kau maling besar karena Kiai Bangkalan tak
pernah mengatakan bahwa buku itu akan
diwariskannya kepadamu!"
"Aku tidak mengatakan hendak mengambil
atau memiliki buku itu. Tapi aku merasa
punya kewajiban untuk mencarinya dan
merampasnya kembali dari manusia yang
telah mencuri buku itu"
"Kau tak punya hak melakukan itu, orang gila.
Kau bukan muridnya Kiai Bangkalan!"
"Sekalipun demikian buku itu tidak layak
berada di tangan orang yang bukan
pemiliknya."
"Lalu kalau sudah kau temui kau mau bikin
apa dengan buku itu?"
"Aku akan pelajart isinya,…",
"Berarti kau mencuri ilmu kepandaian orang
lain!"
potong Tua Gila.
"Mana mungkin! Kiai Bangkalan pernah
mengatakan bahwa dia akan mengajarkan
ilmu pengobatan padaku. Kini dia sudah tiada
dan kalau aku mempelajari ilmu pengobatan
itu dari bukunya bukan berarti aku mencuri
kepandaian orang lain!"
Tua Gila tertawa.
"Apapun alasannya, mempelajari ilmu orang
lain dari buku tulisannya, tanpa izin orang itu
sama saja dengan mencuriKiai Bangkalan
berkata akan memberikan pelajaran ilmu
pengobatan padamu. Langsung dari dia
sendiri, bukan dari bukunya. Jangan
mengada-ada, orang gila!"
Wiro Sableng menjadi penasaran sekali.
Dalam pada itu Tua Gila berkata lagi:
"Karenanya kau lak usah teruskan
perjalananmu mencari buku itu. Pulang saja.
Kau akan sia-sia mengerjakan apa-apa yang
bukan jadi hakmu!"
"Apakah menjadi hakmu melarang aku?!"
tukas Wiro.
Tua Gila usut-usut janggutnya yang putih dan
panjang.
"Perjalananku semata-mata bukan cuma
untuk mencari buku itu. Tapi juga sekaligus
mencari manusia yang telah membunuh Kiai
Bangkalan!"
"Kau bukan muridnya. Kau tak berhak
menuntut balas! Kau dengar orang gila?!"
"Tapi aku berhutang budi yang besar
padanya. Hutang budi itu tak akan lunas
sebelum aku berhasil membekuk si pencuri
dan si pembunuh!"
"Kau mau membunuh orang yang telah
membunuh Kiai Bangkalan…?" ejek Tua Gila. '
"Kalau keadaan memaksa," sahut Wiro. Tapi
di hatinya dia yakin bahwa dia kelak betul-
betul akan membunuh manusia itu.
"Dasar gila! Apa kau kira nyawa orang lain itu
milikmu hingga kau bisa main bunuh
seenaknya?!"
Wiro sunggingkan senyum sinis dan.
menjawab:
"Tadi kaupun berniat membunuhku. Apa
nyawaku milikmu?!"
Tua Gila tertegun. Lalu tertawa membahak.
"Kau meskipun gila nyatanya pintar bicara!
Sekarang kau kembalilah masuk ke dalam
pondok. Lama-lama aku jadi muak melihat
tampangmu!"
Wiro mehggerendeng.
Tua Gila gerakkan tangan kanannya. Dan
hebat sekali, satu aliran angin aneh menjalar
di benang yang mengikat lengan Wiro terus
memukul tubuhnya dengan hebat! Laksana
sebuah bola yang diikat dan dilemparkan,
tubuh Pendekar 212 mencelat masuk ke dalam
pondok! Dari Tua Gila, Wiro berusaha
mendapat keterangan di mana letaknya bukit
Tambun Tulang. Dulu sewaktu berangkat
meninggalkan Pulau Jawa, dari seorang
pelaut dia mendapat tahu bahwa Tambun
Tulang adalah nama sebuah bukit yang
terletak di Pulau Andalas.
Namun Tua Gila mengejeknya, malah
mendamprat dan memaki-makinya.
"Orang gila! Bagusnya kau tak usah pergi ke
situ. Kalaupun kau berhasil sampai ke sana,
kau cuma datang mengantar nyawa…."
"Setiap bahaya maut adalah tantangan hidup
yang harus kita hadapi," kata Wiro pula.
Tua Gila tertawa sinis. "Jangan bicara
sombong. Orang gila, apa kau tahu artinya
Tambun Tulang? Kalau aku kasih tahu baru
bulu kudukmu merinding. Kalau tidak pingsan
pasti kau terkencing-kencing karena
ketakutan.
"Kalau aku begitu pengecutnya masakan aku
berani ambil keputusan untuk mengadakan
perjalanan," sahut Wiro karena merasa dihina
sekali.
Tua Gila membelai janggutnya sebentar lalu
berkata: "Nyalimu memangbesar, orang gila.
Tapi percuma Saja keberanian yang luar biasa
kalau kau tidak punya ilmu yang diandalkanl"
Wiro Sableng tertawa. Untuk kesekian kalinya,
meskipun Tua Gila marah-marah dan
mendampratnya, namun Wiro mengucapkan
terima kasih kepada orang tua aneh berwajah
angker itu dan minta diri.
"Apa?! Kau mau pergi?! Tidak bisa! Kau tetap
berada dipulau ini sampai kau ada
kemampuan untuk membuat urusan di
Tambun Tulang."
Dua hal membuat Wiro Sableng terkejut.
Yang pertama ucapan Tua Gila yang
mengatakan bahwa dia tak boleh
meninggalkan pulau itu. Selama berhari-hari
bersama si orang tua aneh, baru hari itu dia
tahu kalau dia berada di sebuah pulau.
Pantas saja seringkali didengarnya suara
menderu seperti ombak sedang angin keras
sekali. Hal kedua yang mengejutkan Pendekar
212 ialah bahwa dia musti tinggal di pulau itu
sampai dia ada kemampuan untuk ini, berarti
bahwa Tua Gila si orang aneh bertampang
angker itu hendak memberinya pelajaran ilmu
silat? Melihat sikap dan ucapan-ucapannya
agaknya Tua Gila mengetahui banyak hal
tentang Tambun Tulang!
Tengah Pendekar 212 Wiro Sableng berpikir-
pikir begitu rupa tiba-tiba Tua Gila
membentaknya: "Coba perlihatkan beberapa
jurus ilmu silatmu yang kau anggap paling
hebat!"
"Apa maksudmu sebenarnya, orang tua?"
tanya Wiro Sableng dengan hati meragu.
"Tak usah banyak tanya! Lekas perlihatkan!"
bentak Tua Gila.
Wiro Sableng yang saat itu sudah sembuh
dan berada dalam keadaan normal seperti
sedia kala segera maklum bahwa orang tua
aneh itu mempunyai maksud tertentu
terhadapnya. Maka dia segera mainkan
beberapa jurus ilmu silat tangan kosong yang
dipelajarinya dari Eyang Sinto Gendeng!
Mula-mula dikeluarkannya jurus yang
dinamakan "Segulung Ombak Menerpa
Karang", menyusul "Ular Naga Menggelung
Bukit", lalu Wiro balikkan badan dan
lancarkan jurus "Dibalik Gunung Memukul
Halilintar" dan yang keempat kalinya jurus
yang dinamai "Membuka Jendela Memanah
Rembulan". Semua gerakan itu dilakukannya
dengan cepat hingga dalam sesaat saja dia
sudah menyelesaikannya.
Tua Gila tertawa gelak-gelak. Sambil batuk-
batuk kemudian dia berkata: "Coba kau ulangi
lagi keempat jurus itu." Lalu dia mematahkan
sebatang ranting dan berdiri empat langkah
dihadapan Wiro Sableng.
Tahu kalau dirinya hendak diuji maka sewaktu
bergerak kembali Wiro Sableng sengaja lipat
gandakan tenaga dalam dan berkelebat
dengan ilmu mengentengi tubuh yang sudah
mencapai tingkat kesempurnaannya! Tubuh
Pendekar 212 Wiro Sableng lenyap ditelan
oleh gerakannya sendiri yang berkelebat
merupakan bayang-bayang!
Pada waktu Wiro Sableng mengeluarkan jurus
"Segulung Ombak Menerpa Karang" maka
kedua tangannya kiri kanan memukul sebat
sampai mengeluarkan suara angin yang
deras,, betul-betul laksana ombak dahsyat
memukul karang. Debu dan pasir serta batu-
batu kerikil beterbangan. Semak belukar
bergoyang-goyang!
Anehnya Si Tua Gila menyerangnya, Wiro
Sableng lipat gandakan daya gerakannya.
Jurus yang dinamai "Segulung Ombak
Menerpa Karang" itu mengeluarkan angin
pukulan yang laksana ganas mencari sasaran
di kepala dan dada Tua Gila.
Tua Gila mendengus. Ranting di tangan
kanannya lenyap dan gerakan memutar
sedang tubuhnya sendiri jingkrakjingkrakkan
tak menentu macam monyet terbakar ekor!
Anehnya meski gerakan si orang tua
bertampang angker jingkrak-jingkrakkan tak
karuan dan dilakukan sambil cengar-cengir
mengejek namun jurus "Segulung Ombak
Menerpa Karang" secara aneh dapat
dielakkannya dengan mudah!
Wiro Sableng penasaran sekali. Tak pernah
selama ini jurus yang dikeluarkannya itu
sanggup dielakkan lawan demikian mudahnya!
Karena dengan satu bentakan keras Wiro
susul dengan jurus "Ular Naga Menggelung
Bukit". Jurus ini didahului oleh satu
tendangan dahsyat ke arah bawah perut.
Namun ini hanyalah gerak tipu belaka. Bila
lawan menangkis atau mengelak akan
menyusul sambaran sepasang lengan ke al-ah
leher atau pinggang. Sekali leher atau
pinggang kena digelung oleh lengan yang
berisi kekuatan tenaga dalam luar biasa itu,
tak ampun lagi pasti akan putus dan
orangnya akan konyol!
Dengan gerakan gerabak-gerubuk Tua Gila
hindarkan tendangan,ke arah bawah perutnya.
Juga dengan gerakan aneh macam begitu dia
berhasil pula mengelakkan gelungan tangan
lawan yang mengincar leher lalu turun ke arah
pinggang!
"Edan!" maki Pendekar 212. Dalam lain kejap
dia sudah melompat ke muka dan lancarkan
jurus "Membuka Jendela Memanah
Rembulan".
Tapi dia cuma menyerang tempat kosong
karena si orang tua sudah lenyap
dihadapannya dan terdengar suara dengus
mengejeknya di belakang!
Wiro bersuit nyaring. Balikkan badan dengan
cepat sambil lancarkan serangan dalam jurus
"Dibalik Gunung Memukul Halilintar!"
Tapi lagi-lagi dengan gerakan aneh gerabak-
gerubuk macam monyet mabuk si orang tua
berhasil mengelakkan jurus serangan terakhir
yang dilancarkan Wiro Sableng itu!
Wiro melompat mundur.
"Orang tua, aku mengaku kalah!" kata Wiro
sejujurnya. Dia kagum sekali melihat
kelihayan orang tua ini.
Tua Gila tertawa mengekeh dan sambit
membuang ranting kering yang ditangannya
dia berkata: "Aku tidak memikirkan soal
menang atau kalah! Hanya tukangtukang
judilah yang memikirkan kalah menang!"
Kemudian dia duduk di bawah pohon kelapa
dengan masih tertawa mengekeh. "Dengan
ilmu silat picisan itu kau mau pergi ke
Tambun Tulang…? He… he… he… he…. Belum
sampai mungkin kau sudah kojor!"
Wiro Sableng panas sekali hatinya. Ilmu silat
warisan Eyang Sinto Gendeng yang selama ini
dianggapnya hebat dan lihay kini dikatakan
sebagai ilmu silat picisan! Betulbetul
Pendekar 212 jadi mengenas hatinya. Namun
demikian adalah satu kenyataan bahwa dia
tak sanggup menghadapi si orang tua dalam
keempat jurus tadi! Ini membuktikan bahwa
sepandai-pandainya manusia, masih ada
manusia lain yang lebih pandai dari dia.
Bahwa di luar langit ada langit lagi! Diam-
diam Wiro menggerendeng sambil tundukkan
kepala. Tapi ketika kepalanya ditundukkan,
astaga, membeliaklah matanya karena
terkejut!
Betapakah tidak! Baju putih yang
dikenakannya ternyata robek besar diempat
bagian! Wiro angkat kepala dan memandang
tak berkesip pada si orang tua! Kalau saja
benda di tangan Tua Gila tadi adalah
sebatang pedang dan benar-benar dipakai
untuk mencelakai dirinya, pastilah sudah sejak
tadi nyawanya melayang ke akhirat! Betul-
betul bahwa di luar langit ada langit lagi!
Tua Gila sementara itu tertawa terkekeh-kekeh
sambil usap-usap janggutnya yang putih
panjang.
"Sia-sia orang gila! Sia-sia kalau dengan ilmu
yang kau miliki sekarang iri i kau hendak pergi
ke Tambun Tulang! Kau akan mampus
percuma!"
"Kalau begitu aku mohon petunjukmu, orang
tua,"
kata Wiro Sableng pula.
"Apa? Siapa sudi kasih petunjuk pada orang
gila macam kau!" damprat Tua Gila membuat
Wiro untuk kesekian kalinya memaki dalam
hati!
"Aku sudah lihat jurus-jurus silatmu yang tak
berguna itu!" bicara lagi Tua Gila. "Sekarang
coba keluarkan ilmuilmu pukulan saktimu!
Aku mau lihat apakah juga tak ada artinya?!"
Penasaran sekali Wira menyurut mundur
delapan langkah. Kedua kakinya
direnggangkan. Tenaga dalam segera
dialirkan ke lengan kanan.
"Orang tua! Berdirilah)" seru Wiro Sableng
ketika dilihatnya Tua Gila masih duduk di
bawah pohon kelapa sambil cengar cengir
seenaknya.
"Ah, untuk menerima.pukulanmu yang tak
berguna kenapa musti berdiri segala?!
Silahkan memukul, orang gila!"
Wiro kertakkan rahang dan lipat gandakan
tenaga dalamnya. "Kalau kau mendapat
celaka, jangan salahkan aku!" gerendeng Wiro.
Tangan kanannya diangkat tinggitinggi ke
atas. Begitu tinju dihantamkan ke muka maka
kelima jari membuka dan satu gumpalan
angin keras menderu ke arah Tua Gila yang
masih saja duduk tertawatawa.
"Ah! Cuma pukulan kunyuk melempar buah!
Tak ada gunanya bagiku!" ejek tua Gila.
Tangan kirinya dilambaikan ke arah gumpalan
angin yang hendak melabraknya. Terdengar
suara berdentum, Wiro tersurut. tiga langkah
ke belakang! Ketika dia memandang ke muka,
si orang tua dilihatnya tertawa mengekeh dan
masih tetap duduk di bawah pohon kelapa
itu! .
Wiro merutuk setengah mati.
Kedua tangan diangkat ke atas.
"Tua Gila! Terima pukulanku yang kedua ini!"
Kemudian tanpa tunggu lebih lama Wiro
putar-putarkan kedua tangannya di udara.
Gelombang angin yang tiada tara dahsyatnya
menderu. Debu dan pasir beterbangan. Batu
batu kerikil mental. Semak belukar luruh,
daun-daun pohon berguguran bahkan banyak
cabang-cabang dan rantingnya yang patah!
Pakaian, rambut dan janggut Tua Gila
kelihatan berkibar-kibar! Tapi anehnya dia
tetap saja duduk di tempatnya, malah berkata'
"Ah, sejuknya pukulan angin puyuh ini.
Mataku sampai-sampai mengantuk!" Dia
menguap lalu letakkan kepalanya di atas lutut
seperti sikap orang yang hendak tidur
mencangkung!
"Edan!" maki Wiro Sableng. Pukulan angin
puyuh segera diganti dengan pukulan angin
es. Udara di atas pulau itu mendadak sontak
menjadi dingin tiada terperikan. Binatang-
binatang kecil seperti burung, jatuh
menggelepar kaku. Sebaliknya si orang tua
mendongak ke langit dan berkata seakan-
akan pada dirinya sendiri; "Ah, panas sekali
hari ini!.Tubuhku sampai keringatan!" Lalu
Tua Gila kibaskibaskan pakaian putihnya.
Dengan serta merta lenyaplah pengaruh
pukulan angin es yang telah dilepaskan oleh
Wiro Sableng!
"Orang gila! Apakah kau masih punya ilmu
simpanan yang lain?!" seru Tua Gila dengan
nada mengejek!
Wiro jambak-jambak rambutnya saking
gemas.
"Ayo! Pukulan sinar matahari belum kau
keluarkan! Sudah lama aku tidak melihat
pukulan itu!"
Sebenarnya susah sejak tadi Wiro Sableng
terkejut karena Tua Gila mengetahui setiap
jurus pukulan yang hendak dilepaskannya.
Bahkan kini kejutnya itu bertambah lagi
sewaktu Tua Gila menyuruhnya mengeluarkan
pukulan sinar matahari!1 Siapa sesungguhnya
orang tua aneh ini, pikir Wiro tiada henti!
"Ayo! Kenapa jadi macam orang pikun?!
Keluarkan pukulan sinar matahari!" berseru
lagi Tua Gila.
Penasaran sekati Wiro alirkan seluruh tenga
dalamnya ke tangan kanan. Mulutnya komat-
kamit. Sekejap kemudian tangannya itu mulai
dari siku sampai ke ujung-ujung jari berubah
menjadi putih sekali! Lima kuku-kuku jarinya
memijar menyilaukan laksana perak ditimpa
sinar matahari!
Tua Gila untuk pertama kalinya berdiri dengan
cepat. Matanya yang lebar memandang ke
muka tak berkedip. Tubuhnya sedikit
dibungkukkan dan pada saat dilihatnya Wiro
memukulkan tangan kanan ke muka, orang
tua ini dorongkah telapak tangan kanannya ke
depan!
Dari tangan Wiro Sableng menderu satu larik
besar sinar putih yang tiada terkirakan
panasnya! Sebaliknya dari tangan Tua Gila
berkiblat tujuh sinar pelangi yang menderu
ganas-dan memapasi sinar putih berkilau!
Terdengar suara berdentum yang teramat
dahsyat!
Langit laksana robek!
Pulau itu laksana tenggelam ke dasar laut!
Dunia seperti mau kiamat!
Wiro Sableng mencelat sampai tiga tombak.
Ketika dia berdiri mengimbangi badan,
dadanya terasa sakit. Tenggorokannya gatal.
Dia terbatuk lapi darah yang menyembur!
Cepat-cepat Wiro telan sebutir pil! Lalu atur
jalan darah dan nafasnya! Di seberangnya
dilihat sepasang kaki Tua Gila amblas ke
dalam tanah sedalam betis! Sambil batuk-
batuk dan tertawa-tawa, orang tua itu cabut
kedua kakinya.
"Ah… baru pukulanmu yang satu itu yang
agak berguna dimataku!" kata Tua Gila.
Perlahan-lahan dia duduk kembali di bawah
pohon kelapa. Tiba-tiba dia berpaling ke kiri
dan mendamprat keras: "Bocah sialan! Kau
berani mengintai urusan orang! Pergi!"
Ternyata yang dibentak dan diusirnya itu
adalah anak kecil yang tempo hari ditolong
oleh Wiro di tengah lautan. Si anak dengari
takut segera lari meninggalkan tempat itu.
Tua Gila mendongak ke langit. Saat itu sang
surya telah menggelincir ke arah barat.
"Hem… sudah rembang pelang. Tentu pasang
sudah naik"
Dia berpaling pada Wiro dan berdiri. Lalu
katanya:
"Mari ikut aku ke pantai!"
Mula-mula Wiro merasa bimbang dan tetap
berdiri di tempatnya. Tapi ketika Tua Gila
membentaknya dengan mata melotot marah,
maka dengan rasa ingin tahu apa yang
hendak diperbuat orarig tua aneh itu akhirnya
Wiro mengikut juga! Seperti yang dikatakan
Tua Gila tadi ternyata memang kini mereka
sampai di tepi pantai. Orang tua itu
melangkah sepanjang tepi pasir menuju ke
sebuah teluk sempit yang penuh dengan batu-
batu karang serta batu-batu cadas hitam.
Wiro memperhatikan bagaimana Tua Gila
melangkah seenaknya di atas pasir yang
basah tanpa meninggalkan sedikit jejak pun!
Se-baliknya ketika dia memandang ke
belakang, meski tak begitu kentara namun
tetap saja matanya bisa melihat bekas-bekas
telapak kedua kakinya! Bagaimana dia bisa
menganggap ilmunya sudah tinggi dan
sempurna? Wiro garuk-garuk kepalanya.
Dalam bati dia- merasa malu sendiri!
Di teluk sempit itu terdapat dua buah batu
karang yang menonjol tinggi. Lebih tinggi dari
batu-batu di sekelilingnya. Jika pasang naik
meskipun kedua batu karang itu tidak
terendam air laut namun hampir setiap saat
ombak yang sebesar-besar rumah
menderanya dengan dahsyat! Setiap pasang
naik, setiap hari, entah sudah berapa ratus
tahun, entah sudah berapa juta kali ombak
mendera kedua batu karang itu! Namun
sampai saat itu keduanya masih tetap berdiri
dengan kukuh dan megah laksana dua
raksasa yang tiada terkalahkan sepanjang
masa!
Dengan gesit dan sambil menyanyi-menyanyi
membawakan lagu tak menentu Tua Gila
melompat-lompat di atas batu-batu cadas,
sampai akhirnya dia berada di puncak salah
satu batu karang yang tinggi itu. Dia
memandang ke bawah dan berteriak pada
Wiro: "Kau melompatlah ke batu karang yang
di sebelah sana!"
"Kau gila!" teriak Wiro. "Kalau ombak dalang
kau pasti dihantam dan terpelanting ke batu-
batu karang yang runcing menonjol itu. Kira-
kira dua puluh tombak!"
Dan baru saja Wiro habis berteriak begitu
sebuah ombak sebesar rumah bergulung dan
menerpa ke arah puncak batu karang!
Wiro berseru memberi Ingat agar Tua Gila
lekas melompat turun! Tapi gilanya, malah
Tua Gila memutar tubuh menghadapi
datangnya ombak. Kedua tangannya diangkat
tinggi-tinggi dan dia berjingkrak-jingkrak di
atas puncak karang itu seperti seorang anak
yang gembira sekail di kala ke luar rumah
mandi hujan! Begitu ombak mendera begitu si
orang tua dorongkan kedua tangannya
menyongsong ke muka!
"Byuur!"
Ombak menerpa, Batu karang bergoyang
keras. Tapi Tua Gila masin berdiri di atas
puncak karang itu, Bajunya basah kuyup. Dan
dia berteriak-teriak gembira; "Ayo ombak! Ayo
ombak datanglah lagi! Datanglah lagi lebih
besari"
"Manusia aneh gili" desis Wiro. tapi diam-
diam dia kagum sekali! Sedangkan batu
karang itu waktu dilanda ombak kelihatan
jelas bergoyang hebat! Sebaliknya seorang
manusia yang berada di puncaknya tiada
sanggup disapu oleh ombak! Benar-benar tak
bisa dipercaya kalau dia tak menyaksikannya
sendiri.
"Hai! Melompatlah. Kau tunggu apa lagi?!"
teriak Tua Gila sewaktu dilihatnya Wiro
Sableng masih berdiri bengong melompong di
bawah sana.
"Tobat! Aku masih mau hidup orang tua!"
sahut Wiro.
Tua Gila memaki lalu gerakkan tangan
kanannya.
Wiro tak tahu apa yang dikerjakan orang tua
itu tahu tahu sebuah benda halus putih yang
berkilauan telah melibat pinggangnya. Benang
kayangan! Belum sempat Wiro berbuat suatu
apa tahu-tahu tubuhnya sudah tersentak dan
melesat ke atas puncak karang yang kedua.
Dengan kerahkan ilmu meringankan tubuh
Wiro menjejakkan kedua kakinya di atas
puncak karang yang sempit runcing, serta
licnin berlumut itu!
Bila dia memandang ke muka, Wiro terkejut.
Segulung ombak sebesar rumah menderu ke
arah kedua puncak batu karang di mana dia
berada bersama Tua Gila.
"Bagi dua tenaga dalammu ke kaki dan
tangani" teriak Tua Gila. "Begitu ombak
datang songsong dengan pukulan kedua
telapak tangan!"
Karena khawatir tubuhnya akan disapu dan
dihempaskan ombak ke batu-batu cadas di
teluk yang sempit itu, dengan sedapat-
dapatnya Wiro mengikuti ucapan Tua Gila!
Tapi percuma saja! Begitu ombak menyapu
begitu tubuhnya mencelat mental!
"Tobat! Tamatlah riwayatku!" keluh Wiro
Sableng. Satu tombak lagi tubuhnya akan
menghantam sebuah batu cadas Tiba-tiba
dirasakannya badannya tersentak membal dan
mencelat lagi ke udara! Kiranya Tua Gila telah
menyentakkan benang kayangan yang
menjerat pinggangnya. Untuk kedua kalinya
Wiro berdiri lagi di puncak batu karang itu!
"Ayo orang gila! Jangan takut!" seru Tua Gila
sambil tertawa gelak-gelak. "Nah ini ombak
besar datang lagi! Ayo, sambutlah!"
"Byuuur!"
Ombak menggulung menerpa bagian atas
puncakpuncak karang. Untuk kedua kalinya
tubuh Wiro Sableng mencelat mental. Seperti
tadi, sebelum jatuh ke atas batubatu cadas,
kembali Tua Gila menariknya dan
melemparkannya ke puncak karang! Berkali-
kali hal itu terjadi hingga Wiro merasakan
sekujur tubuhnya laksana tiada bertulang lagi,
laksana hancur lebur dan orang tua gila itu
masih juga melemparkannya ke atas batu
karang setiap ombak menerjangnya jatuh!
Tiada terasa senjapun datang. Senja segera
pula berganti dengan malam. Entah sudah
berapa puluh kali Wiro disapu ombak dan
"dipermainkan" oleh Tua Gila. ' Lambat laut
timbullah rasa penasaran di hati Wiro
Sableng, Dengan menguatkan diri dap
menabahkan hati, ketika untuk kesekian
kalinya ombak dalang lagi menderu maka
pemuda ini coba berbuat seperti yang
dilakukan Tua Gila. Sebagian tenaga
dalamnya dikerahkan ke kaki, sebagian lain ke
tangan. Begitu ombak datang tubuhnya
dibungkukkan sedikit dan kedua telapak
tangan didorongkan ke muka!
"Byuur!"
Wiro mencelat mental. Tapi kali ini tidak
sejauh seperti sebelumnya. Dan bila hal itu
dicobanya lagi berulang-ulang, maka
menjelang tengah malam akhirnya Wiro
sanggup juga beberapa kali tetap berdiri di
puncak batu karang itu meskipun tubuhnya
tergoyang gontai dengan hebat! Namun
karena kekuatannya telah habis, akhirnya
pemuda ini roboh pingsan! Dari mata, telinga,
hidung dan mulut ke luar darah. Ini adalah
akibat tubuh lemah yang dipaksakan
mengerahkan tenaga untuk melakukan
pekerjaan yang tak pernah dilakukan
sebelumnya! Sebaliknya. Tua Gila tertawa
gelak-gelak penuh gembira. Ditariknya benang
sakti di tangannya. Sekali menyentakkan
kemudian tubuh Wiro Sableng sudah berada di
atas bahu kirinya.
Tua Gila mendongak ke langit, memandang ke
arah bulan sabit. Sambil melompat turun dan
tertawa-tawa dia berkata: "Tidak percuma…
tidak percuma Si Sinto Gendeng itu punya
murid macam ini! Tidak percuma!"
Kalau saja Wiro Sableng tidak pingsan, kalau
saja Wiro Sableng mendengar ucapan Tuan
Gila itu, pastilah dia akan heran dan terkejut
sekali. Karena Eyang Sinto Gendeng adalah
guru Wiro Sableng yang telah menggembleng
pemuda ini selama tujuh belas tahun di
puncak Gunung Gede!
Ternyata Tua Gila dengan mengajak Wiro
Sableng ke puncak batu karang di teluk
sempit itu, telah mengajarkan sebuah ilmu
pukulan yang amat hebat kepada si pemuda.
Wiro sendiri begitu menyadari bahwa Tua Gila
memberikan pelajaran ilmu pukulan sakti
kepadanya segera hendak berlutut
mengucapkan terima kasih. Tapi dengan
tertawatawa Tua Gila berkata:
"Meski kau kuberi pelajaran satu ilmu pukulan
yang hebat, tapi jangan sangka bahwa aku
telah jadi guru dan kau telah jadi murid
antara kita tak ada hubungan apaapa…!"
"Terima kasih orang tua! Terima kasih!" kata
Wiro, "Tapi mengapakah kau sampai demikian
bermurah hati mengajarkan ilmu pukulan itu?"
Tua Gila tertawa gelak-gelak.
"Pertama sebagai ucapan terima kasihku
karena di tengah laut kau telah
menyelamatkan seorang anak yang bakal
menjadi muridku! Kedua karena mengingat…
ah…. Agaknya tak perlu kuteruskan…."
Wiro Sableng merasa tak enak.
"Karena mengingat apa, orang tua…?"
"Sudah! Tak usah banyak tanya!" kata Tua
Gila tak senang. "Ilmu pukulan yang telah kau
pelajar! itu bernama "Dewa Topan Menggusur
Gunung". Merupakan satu diantara tujuh
pukulan hebat yang ada di dunia persilatan!
Sekarang, untuk menambah bekalmu ke
Tambun Tulang, aku akan ajarkan padamu
beberapa jurus silat ciptaanku yang bernama
Ilmu Silat Orang Gila"
"Nah sekarang kau seranglah aku selama tiga
jurus," kata Tua Gila.
Wiro segera menyerang orang tua itu dengan
gencar! Bagaimanapun hebat dan cepat
gerakannya tetap saja dia tak bisa menyentuh
tubuh Tua Gila. Sebaliknya dia kena didesak
dan akhirnya dipaksa "makan" sebuah jotosan
pada dadanya! Padahal ilmu silat yang
dimainkan oleh Tua Gila kelihatannya
gerabak-gerubuk tidak teratur! Tapi justru
disitulah letak kehebatan ilmu silat orang gila
yang diciptakan oleh Tua Gila! Dalam waktu
yang singkat Wiro Sableng telah dapat
meyakinkan jurus-jurus silat itu.
Meskipun belum sempurna, tapi bila dia terus
melatih diri, pastilah kepandaiannya akan
mencapai tingkat kesempurnaan.
Di pagi hari keesokannya setelah bersemedi
hampir setengah malam Tua Gila memanggil
Wiro Sableng.
"Hari ini adalah hari yang paling memuakkan
bagiku untuk melihat tampangmu!" kata si
orang tua. Wiro terkejut. Belum sempat dia
bertanya Tua Gila sudah menyambung:
"Karenanya hari ini pula kau harus angkat
kaki! Nah berlalulah sebelum aku betul-betul
muntah melihatmu!"
Wiro berpikir sejenak lalu dengan tertawa
lebar dia duduk dihadapan Tua Gila. Dia tahu
orang tua ini bersifat aneh. Karenanya meski
disuruh pergi dia tak mau angkat kaki dari
situ.
"Sebelum pergi, pertama sekali aku akan
mengucapkan terima kasih sekali lagi, Terima-
kasih karena kau juga telah mewariskan ilmu
pukulan sakti dan menurunkan ilmu silat yang
hebat padaku…."
"Lalu apa lagi?" tanya Tua Gila. "Ah,
sudahlah! Perutku sudah mual melihatmu!
Ayo berlalu cepat!" Tua Gila lambaikan
tangannya. Angin yang hebat mendorong Wiro
hingga terjajar beberapa langkah ke pintu
pondok.
"Aku butuh beberapa petunjuk darimu, Tua
Gila," kata Wiro.
"Eh, petunjuk apa?!"
"Kau sudah tahu bahwa aku akan pergi ke
Tambun Tulang."
"Dan aku sudah berikan beberapa ilmu
sebagai bekalmu. Apa itu masih belum
cukup?!"
"Maksudku bukan minta ilmu lagi, tapi
beberapa keterangan."
"Keterangan apa?!" tanya Tua Gila cepat
seperti orang yang tidak sabar.
"Aku tak tahu banyak tentang letak dan apa
artinya Tambun Tulang itu…."
"Dan juga tidak tahu bahwa ajal mungkin
menantimu di situ?!" Tua Gila tertawa
mengekeh.
"Ajal menunggu manusia di mana-mana,
orang tua," sahut Wiro.
"Betul! Sedang tidurpun bisa mampus! Tapi
mati yang paling mengenaskan dan
mengecewakan ialah mati percuma dalam tak
berhasil melakukan sesuatu yang kita rasakan
sebagai kewajiban!" Orang tua itu tertawa lagi
seperti sebelumnya. Setelah memijit-mijit
kedua pipinya yang cekung. Tua Gila
membuka mulut lagi:
"Tempat tujuanmu itu terletak di sebelah
utara, kira-kira diperlengahan Pulau Andalas.
Cukup jauh dari sini! Tapi kau pasti bisa
sampai di situ karena bukankah kuburmu
memang terletak di sana?" Tua Gila tertawa
kembali. Lalu meneruskan lagi: 'Tambun
Tulang artinya Timbunan Tulang. Bukan
timbunan tulang binatang tapi timbunan
tulang ratusan, mungkin ribuan manusia!
Demikian banyak hingga merupakan sebuah
bukit yang kelihatan putih dari jauh! Bila
didekati, pemandangan di sana mengerikan
sekali! Bukit Tambun Tulang daerah
kekuasaannya Datuk Sipatoka, seorang jago
silat dan sakti mandraguna. Dia memiliki
anak buah dan pembantu-pembantu yang
lihay. Di samping itu memelihara puluhan
harimau! Sekali kau masuk ke daerahnya itu,
tipis harapan kau bakal keluar hidup-hidup,
orang gila! Nah, apa bukan lebih bagus kau
membatalkan saja niatmu pergi ke situ?!"
Wiro gelengkan kepalanya.
"Kau masih muda, orang gila. Mati muda mati
yang siasia!" kata Tua Gila pula.
Wiro tak menghiraukan ucapan orang tua itu,
Malah dia bertanya: "Menurutmu, apakah
mungkin manusia bernama Sipatoka itu yang
telah membunuh Kiat Bangkalan dan mencuri
kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan?"
"Dasar orang gila! Masakan hal itu kau
tanyakan padaku! Aku tidak tahu dan
kalaupun tahu belum tentu kuberi tahu
padamu!"
"Wiro mendumel dalam hati".
"Orang bernama Sipatoka itu, apakah dia
termasuk tokoh silat golongan hitam?"
"Itu urusanmu untuk menyelidikinya!" jawab
Tua Gila
"Mengenai bukit tulang manusia itu… apakah
itu manusia-manusia korban keganasan Datuk
Sipatoka dan
orang-orangnya?" tanya Wiro lagi.
Tua Gi|a tertawa dingin. "Kau akan melihat
dan mengetahuinya sendiri nanti, orang gila!
Kalau nasibmu baik, kau akan mati berkubur!
Tapi kalau tidak, tulang-tulangmu akan turut
menambah tingginya bukit Tambun Tulang
Ku! Nah sekarang kau tunggu apa lagi! Cepat
angkat kaki!"
Sekali lagi Wiro Sableng ucapkan terima kasih
lalu setelah menjura berulang kali pendekar ini
melangkah dengan cepat ke pintu.
"Orang gila! Tunggu dulu!" seru Tua Gila
memanggil.
Wiro Sableng membalikkan badan.
"Sampai hari ini, sudah sejak beberapa
lamakah kau turun meninggalkan puncak
Gunung Gede?!"
Kagetlah Wiro Sableng mendengar pertanyaan
orang tua itu. Bagaimana si Tua Gila tahu
kalau dia berasal dari Gunung Gede?!
"Jawab sejujurnya orang gila! Aku tahu
banyak tentang kau tapi tidak tentang orang
lain itu!"
"Orang lain siapa, Tua Gila?" tanya Wiro.
"Gurumu si Sinto Gendeng! Lebih empat puluh
tahun aku tak mendengar kabar beritanya!"
Keterkejutan Wiro Sableng makin bertambah-
tambah.
"Kau… kau kenal dengan guruku?!"
"Jawab dulu sudah berapa lama kau turun
gunung?!"
Wiro berpikir-pikir. "Kurasa ada satu tahun,"
sahutnya. "Ada apakah orang tua?"
"Sejak satu tahun itu tak pernah ketemu-
ketemu dengan si Sinto Gendeng?!"
Melihat Tua Gila menyebut nama gurunya
dengan "Si Sinto Gendeng" nyatalah bahwa
Tua Gila mempunyai hubungan akrab. Atau
mungkin sebaliknya?!
"Tidak," Wiro menjawab pertanyaan Tua Gjla
tadi. "Sebetulnya ada hubungan apakah kau
dengan guruku, Tua Gila?"
Orang tua itu tertawa rawan. Dia memandang
jauh-jauh ke muka seakan-akan sesuatu di
masa lampau kini terbayang di ruang
matanya.
Tiba-tiba Wiro Sableng melihat butiran-
butiran air mata menetes dan turun ke pipi
cekung si orang tua. Aneh, pikir Wiro.
Lalu tiba-tiba lagi sambil seka air mata itu
tua Gila tertawa gelak-gelak. "Kadang-kadang
orang yang sudah tua berlaku seperti anak
kecil. Menangis macam anak kecil!" Tua Gila
kemudian hela nafas panjang. "Sebenarnya
aku dan gurumu itu adalah saudara satu
guru…."
Tentu saja ini tak diduga sama sekali oleh
Wiro Sableng! Kagetnya bukan olah-olah!
Tapi begitu sadar cepat-cepat dia menjura
dalam-dalam dihadapan Tua Gila.
"Betul-betul aku tidak menduga kalau kau
adalah saudara seperguruan dari Eyang Sinto
Gendeng. Ah… pantas saja kau sakti dan lihay
sekali!"
Kembali Tua Gila tertawa rawan.
"Aku lima tahun lebih tua dari dia, orang
gila….". Dan dia memandang lagi jauh-jauh ke
muka. "Gurumu itu sekarang tentu sudah tua
renta, bungkuk dan buruk keriputan! Tapi dulu
dia seorang dara yang cantik sekali! Dan aku
yang kini begini buruk macam mayat hidup
dulupun punya tampang keren, tegap gagah!
Tapi itu dulu…! Semua yang dulu-dulu itu tak
bakal kembali lagi!"
Untuk kedua kalirjya Jua Gila menghela nafas
dalam. Lalu meneruskan, penuturannya.
"Orang gila, aku naksir pada gurumu di masa
kami muda-muda dulu. Dia juga senang
padaku. Kami saling mencintai! Bahkan
sewaktu turun gunung, guru kami merestui
kalau benar-benar kami hendak bergabung
dalam satu perkawinan! Tapi celakanya
sesudah turun gunung aku tertipu oleh
kecantikan dunia luar! Aku terjebak dan mati
kutu di tangan seorang janda muda anak
seorang Adipati di Plered! Aku kawin dengan
janda Itu dan meninggalkan gurumu! Gila!
Betul-betul gila perbuatanku!" Dan Tua Gila
memukul-mukul keningnya sendiri! "Ketika
janda itu sakit dan mati, baru aku sadar! Aku
cari gurumu dan bertemu. Tapi dia tak sudi
lagi padaku! Sekalipun aku menangis air mata
darah, dia tak bersedia menerimaku dan hidup
bersama! Gurumu patah hati, orang gila!
Memang aku yang salah! Gila! Aku jadi putus
asa lalu bertualang dan membuat keonaran di
manamana! Seluruh tokoh-tokoh, silat di
Pulau Jawa tunduk dan takut padaku! Dua
puluh tahun lebih aku merajai dunia
persilatan! Orang-orang menjulukiku berbagai
rupa. Ada yang memberi gelar "Pendekar Gila
Patah Hati". Ada pula yang menjuluki "Iblis
Gila Pencabut Jiwa"! Banyak lagi gelar-gelar
yang lain, tapi persetan dengan semua
gelaran itu! Di akhir hayatku ini aku memakai
gelar yang kuciptakan sendiri yaitu Tua Gila!
Orang tua yang gila! Kurasa itu cocok bagiku!
Dan selama bertualang membuat keonaran itu
tahukah kau sudah berapa manusia yang
menjadi korban di tanganku?"
Wiro angkat bahu.
Tua Gila hela nafas lagi. "Tiga ratus lebih,"
katanya mendesis. 'Tiga ratus lebih nyawa
manusia yang harus kupertanggung jawabkan
di akhirat nanti! Betul-betul gila! Tapi semua
mati dalam pertempuran yang jujur! Meski
demikian kurasa jtu tetap gila! Dan di hari tua
ini datanglah penyesalan. Tapi,apa gunanya
lagi? Sudah nasib!"
"Apakah selama bertualang itu kau tak pernah
bertemu dengan guruku?" tanya Wiro ingin
tahu..
"Pernah… memang pernah, orang gila! Waktu
itu keadaan diriku menyedihkan sekali.
Pakaian compangcamping penuh tambalan.
Rambut gondrong, lebih gondrong darimu dan
acak-acakan. Badanku kurus kering, muka tak
terpelihara dan kalau aku tak salah, waktu itu
aku tak pernah mandi-mandi! Dan waktu itu
kami berumur kira-kira empat puluh tahunan!
Rupanya gurumu kasihan juga melihat aku!
Lalu dia berkata kalau aku menghentikan
membuat keonaran, kembali ke jalan yang
benar, maka kelak di tiga puluh tahun
mendatang dia bersedia untuk kawin
denganku! Gila tidak?! Di tiga puluh tahun
mendatang aku dan dia sudah jadi kakek
nenek tua renta keriputan! Dan kawin di umur
setua macam begini, betulbetul gila dan tak
pantas sekali! Atau menurutmu pantaskah
orang setuaku dan setua gurumu itu,
melangsungkan perkawinan?!".
Wiro Sableng garuk-garuk'kepala. Hatinya geli
sekali.
"Aku tak tahu, Tua Gila. Kalau suka sama
suka kurasa tak ada halangannya…"
Tua Gila tertawa gelak-gelak sampai ke luar
air mata. "Memang tak ada halangan dan tak
ada yang melarangl Tapi semua orang tentu
akan mentertawai dan menganggap kami
berdua pada gila dan memang aku dan
gurumu itu memang sudah gila! Sesudah
bertemu dengan gurumu lantas aku
mengundurkan diri dari dunia persilatan dan
tinggal di sini selama tiga puluh tahun lebih,
mendalami ilmu silat ciplaanku dan
memperyakin beberapa ilmu pukulan sakti
sambil berharap-harap sebelum mampus bisa
mendapatkan seorang murid! Dan nyatanya
harapanku terkabul! Kau orang gila telah
menyelamatkan seorang anak yang telah
kuambil jadi murid!"
Lama kedua orang itu sama berdiam diri.
"Kalau kelak kau mengunjungi gurumu, jangan
lupa sampaikan salamku padanya," kata Tua
Gila. Wiro mengangguk."Tapi kurasa lebih
baik lagi bila kau sendiri yang datang
menyambanginya…." "Ah… hatiku memang
rindu! Tapi aku malu sekali! Kau tahu orang
gila, rasa malu lebih kukuh dari dinding baja!"
"Liku hidup ini banyak ragam dan
keanehannya," kata Wiro.
Dan Tua Gila menyambungi: "Segala liku
keanehan itu akan berakhir pada satu hal
yakni kematian…. Nah, Wiro sekarang kau
pergilah! Jangan tunggu sampai aku muntah!"
Wiro Sableng tertawa dan berkata: "Aku tetap
berharap kau sudi menyambangi guruku di
puncak Gunung Gede!"
Paras tua itu kelihatan memerah. Tua Gila
membentak: "Sialan! Aku tak butuh
nasihatmu! Ayo pergi!"
Wiro Sableng keluarkan suara bersiul. Setelah
menjura cepat-cepat dia tinggalkan tempat
itu. Di tepi pantai pulau ditemuinya dua buah
perahu lengkap dengan kayu pendayungnya.
Tanpa pikir panjang Wiro masuk ke dalam
salah satu perahu itu dan mulai mendayung
menuju ke utara! Di tengah pasar yang ramai
itu kelihatanlah banyak orang berkerumun
dalam bentuk lingkaran. Dalam lingkaran
berdiri dua orang, yang pertama seorang laki-
laki separuh baya berpakaian dan berdestar
hitam. Tampangnya gagah dan senyum
senantiasa terbayang di bibirnya. Orang kedua
seorang dara yang juga berbaju dan berikat
kepala hitam. Kulitnya putih rambutnya
menjulai panjang di punggung dan parasnya
jelita. Seperti laki-laki tadi, dibibirnya yang
segar juga selalu mengulum senyum yang
diberikan pada orang ramai di sekelilingnya.
Laki-laki berpakaian hitam, melangkah ke
tengah lingkaran, memandang berkeliling lalu
menjura ke segala penjuru. Suaranya keras
dan enak didengar ketika dia bicara.
"Saudara-saudara sekalian! Banyak terima
kasih yang saudara-saudara sudah, sudi
berkumpul di sini. Kita bukanlah orang-orang
yang baru berjumpa kali ini. Sudah seringkali
aku dan anakku berkunjung ke pasar ini
sekedar memberi hiburan tak berguna untuk
mencari uang. Hari ini kita berjumpa lagi.
Kuharap saja saudarasaudara tidak bosan
melihat pertunjukan kami! Juga tidak
keberatan bermurah hati memberi beberapa
ketip sebagai sumbangan. Kami ayah dan
anak mengucapkan terima kasih…."
Sampai di situ ucapan laki-laki ini terhenti
sejenak. Yang menghentikannya ialah karena
dua buah matanya melihat kedatangan
seorang penunggang kuda bertubuh tegap,
berkumis melintang, berpakaian dan berikat
kepala serba hitam. Dibagian dada
pakaiannya kelihatan lukisan kepala harimau
berwarna kuning! Penunggang kuda itu
berhenti dan ikut bergerombol di belakang
orang banyak. Laki-laki separuh baya yang
ada di lengah lingkaran merasa tak enak.
Demikian juga anaknya kelihatan berubah air
mukanya sewaktu melihat kemunculan si
penunggang kuda berkumis melintang. Sedang
orang banyak yang berjubalan, begitu
mengetahui kedatangan penunggang kuda ini
segera bersibak menjauh dengan muka yang
membayangkan ketakutan. Banyak diantara
mereka yang tak punya minat lagi untuk
meneruskan melihat pertunjukan kedua
beranak itu dan berlalu dengan cepat!
Laki-laki separuh baya meskipun dengan hati
tidak enak kembali meneruskan ucapannya.
"Saudara-saudara sekalian. Maksud kami
melakukan pertunjukan ini bukan untuk
memamerkan ilmu kepandaian kami yang tak
seberapa tapi semata-mata hanyalah untuk
mencari Uang guna membeli sesuap nasi.
Kami tahu pula, diantara saudara-saudara
yang hadir disini tentu ada yang memiliki
kepandaian dan kesaktian yang jauh lebih
tinggi, karenanya kami minta maaf terlebih
dahulu dan sudilah untuk tidak berlaku keras
terhadap kami dan menahan pertunjukan kami
nanti. Sekali lagi maaf. Sekarang kami akan
mulai…."
Laki-laki itu mencabut sebilah keris dari
pinggang-nya. Senjata itu dibawanya
berkeliling, diperlihatkannya dekatdekat pada
penonton. Lalu diambilnya sepotong kayu jati
dan kayu itu ditusuknya dengan keris! Kayu
itupun berlubanglah! Ini untuk menunjukkan
bahwa keris itu betulbetul senjata tajam
bukan keris palsu yang terbuat dari kayu atau
kertas tebali
Kemudian laki-laki ini menganggukkan
kepalanya pada si dara jelita. Anak gadis itu
mengambjl sebuah gendang dan mulai
memukulnya. Ayahnya membuka baju.
Kelihatanlah dadanya yang bidang dan
berbulu. Kemudian mengikuti irama pukulan
gendang, laki-laki ini menari sambil
menghunjam-hunjamkan keris di tangan
kanannya ke dada! Jelas sekali kelihatan
ujung senjata itu menusuk kulit daging
tubuhnya, namun kulit itu jangankan luka,
tergorespun tidak! Semakin cepat irama
pukulan gendang semakin cepat tar ia n yang
dimainkannya dan semakin gencar pula
tusukan-tusukan ujung keris ke dadanya!
Lewat sepeminum teh maka irama gendang
kembali perlahan dan akhirnya berhenti. Laki-
laki itu hentikan pula "permainannya lalu
menjura kepada orang banyak yang disambut
dengan tepuk sorak yang riuh!
"Saudara-saudara sekalian, pertunjukan,
berikutnya dilakukan oleh seorang yang bukan
lain adalah anak saya sendiri." Sementara itu
ayahnya mengeluarkan sebatang golok tajam,
putih berkilat ditimpa sinar matahari. Untuk
membuktikan bahwa benda itu sebenarnya
golok maka diambilnya kayu jati tadi lalu
dibacoknya. Kayu jati terbelah dua!
Gendang mulai dipalu. Dengan langkah ringan
si dara baju hitam menuju tengah lingkaran.
Dia tersenyum berkeliling lalu mulai menari
mengikuti irama gendang. Tariannya bagus
sekali dan lemah gemulai membuat, semua
orang terpesona. Ketika ayah sang dara
melangkah mendekati anaknya dengan golok
terhunus semua orang merasa ngeri meskipun
pertunjukkan demikian sudah sering mereka
saksikan. Laki-laki itu mulai pula menari
mengelilingi anaknya. Kemudian "wuut," golok
nya dibacokkan ke punggung si gadis.
Terdengar suara "buuk!" Gadis itu tersenyum!
Aneh! Hantaman mata golok yang tajam
bukan saja tidak melukai punggung sang dara
tapi bahkan juga tidak merobek pakaiannya!
Dan dengan senyum simpul si gadis terus
menari seakan-akan tak ada terjadi apa-apa
sementara golok menderu bertubi-tubi
membacok bagian atas tubuhnya dan suara
"Buuk… buuk… buuk." Terdengar tak kunjung
henti! Kengerian orang banyak berubah
menjadi tempik sorak kagum!
Lewat sepeminum teh pula maka pertunjukan
yang kedua itupun berakhirlah! Orang banyak
bertepuk riuh dan bersorak gembira. Beberapa
diantara mereka ada yang melemparkan uang
logam ke tengah lingkaran yang segera
dikumpulkan oleh anak laki-laki lalu di
masukkan ke dalam kotak.
"Sekarang pertunjukan yang ketiga, saudara-
saudara," kata laki-laki berpakaian hitam. Dia
melirik sekilas pada penumpang kuda
berkumis melintang yang sampai saat itu
masih berada di situ dan menyaksikan peri
tinjukan.
"Saudara-saudara sekalian," kata laki-laki itu
selanjutnya. "Saudara lihat kuati besardibela
kang itu? Kuali
itu berisi air yang dijerang hingga mendidih!
Saudarasaudara akan melihat bagaimana
saya akan masuk ke dalamnya dan mandi!"
Lalu laki-laki itu melangkah mendekati sebuah
kuali yang besar sekali. Bagian bawah kuali
yang ditopang oleh tiga buah batu besar itu
berkobar api besar. Air yang ada di dalam
kuali berbunyi mendidih dan mengepulkan
asap panas.
"Tapi!" berkata laki-laki tadi seraya palingkan
muka ke segala penjuru. "Mungkin saudara-
saudara mengira air yang mendidih dan api
yang berkobar ini hanyalah tipuan belaka! Aku
akan buktikan bahwa aku Pagar Alam
bukanlah seorang penipu!"
Dari dalam sebuah kolak laki-laki yang
mengaku bernama Pagar Alam itu
mengeluarkan seekor tikus. Tikus Hu
kemudian dimasukkannya ke dalam api!
Binatang itu mencicil dan meregang nyawa di
situ juga. Bau dagingnya yang terbakar
meranggas hidung! ", Pagar Alam
mengeluarkan seekor tikus lagi lalu di
cemplungkannya ke dalam air yang mendidih.
Tikus itu mencicil sebentar dan menggelepar-
gelepar lalu mati matang! Setelah
mengeluarkan tikus Hu dari dalam kuali Pagar
Alam berkata:."Sekarang saudara-saudara
saksikan sendiri bahwa aku tidak menipu
kalian! Nah, aku akan masuk ke dalam kuali
ini!"
Semua penonton menahan nafas penuh
tegang sebaliknya disudut bibir-penunggang
kuda berkumis melintang tersungging senyum
penuh arti!
Pagar Alam mencelupkan kaki kanannya ke
dalam air mendidih di kuali. Lalu kaki kirinya.
Dan kini dia berdiri di atas kuali berair
mendidih yang dibawahnya berkobar api
besar! Hebat dan aneh, kakinya tidak
melepuh, seakan-akan air di dalam kuali itu
adalah air dingin biasa! Bahkan laki-laki ini
memutar tubuhnya berkeliling sambil
tersenyum! Orang banyak bertepuk riuh
rendah!
"Saudara saudara sekarang aku akan duduk
dalam kuali Ini dan akan mandi! Sudah lama
badan buruk ini tak pernah mandi-mandi.
Daki telah tebal di sekujur tubuhku!"
Semua orang tertawa gelak-gelak. Mata
masingmasing dibentangkan lebih lebar.
Kemudian Pagar Alam membungkuk, siap
untuk duduk di dasar kuali. Tapi baru saja dia
bergerak sedikit tiba-tiba lakilaki ini menjerit
keras dan melompat ke luar dari kuali.
Tubuhnya terguling di tanah. Kedua kakinya
sebatas lutut kelihatan putih matang laksana
daging direbus! Semua orang menjerit dan
terbeliak kaget! Anak gadis Pagar Alam
memburu dengan cepat. Dari balik baju
hitamnya dikeluarkannya sejenis bubuk lalu
ditebarkannya dikedua kaki ayahnya yang
merintih kesakitan di tanah! Rupanya
seseorang berilmu lebih tinggi diam-diam
telah "menahan" dan "memunah" ilmu yang
dimiliki Pagar Alam dan akibatnya kedua kaki
itu terebus matang!
Setelah mengobati kaki ayahnya, sang dara
berdiri dan memandang beringas ke segala
penjuru.
"Saudara-saudara siapakah diantara kalian
yang begitu tega mencelakai ayahku? Ayah
tiada punya permusuhan dengan siapapun di
sini. Pertunjukan ini bukan untuk jual lagak
atau memamerkan kepandaian, tapi hanyalah
untuk mencari makan! Sungguh keterlaluan
kalau ada yang demikian jahatnya mencelakai
ayahku!"
Sekali lagi gadis itu memandang beringas
berkeliling.
Sepasang matanya-beradu pandang dengan
penunggang kuda berkumis melintang!
Hatinya berdetak! Kemudian dengan suara
lantang sambil memandang berkeliling gadis,
ini berteriak keras: "Siapa yang telah
mencelakai ayah silahkan maju kehadapanku!
Siapapun dia adanya aku tidak takut! Aku
Mayang akan mengadu jiwa padanya!"
Orang banyak memandang pula berkeliling.
Dan rata-rata pandangan mereka tertuju pada
satu sasaran yaitu laki-laki berpakaian hitam
yang duduk di atas punggung kuda!
"Bangsat yang telah mencelakai ayahku tapi
tak berani unjuk muka adalah pengecut
terkutuk!" teriak Mayang lantang!
Sementara itu dengan merintih kesakitan
Pagar Alam coba duduk dan bersandar ke
sebuah peti. Sepasang matanya menyorot
penuh amarah, memandang berkeliling. Bila
matanya itu menyapu paras laki-laki yang
duduk di atas kuda maka Pagar Alam pun
membuka mulut dengan suara bergetar:
"Gempar Bumi, kaukah yang melakukan
kejahatan ini?!"
Si penunggang kuda tertawa bergumam.
Sekali dia gerakkan badan maka .tubuhnya
ringan sekalj melesat dan tahu-tahu sudah
berdiri di hadapan Pagar Alam yang duduk di
tanah bersandar ke peti!
Dengan bertolak pinggang laki-laki bernama
Gempar Bumi ini berkata: "Sudah berulang kali
kuperingatkan bahwa kau tidak boleh
mengadakan pertunjukan dan minta
sumbangan rakyat dengan seenaknya! Tapi itu
tidak kau pedulikan! Dan pajak yang musti
kau berikan pada atasanku penguasa negeri
ini tak pernah kau serahkan!"
"Penghasilan kami tak ada artinya!" teriak
Mayang.
"Dan pajak yang kau minta melewati batas
besarnya!
Lagi pula hak apakah atasanmu memungut
pajak dari kami? Semua rakyat bebas mencari
penghasilan'. Rakyat tidak merasa atasanmu
itu sebagai pemimpin dan penguasa negeri
ini!" "Aha…. Mayang. Cakapmu terlalu berani.
Kalau Datuk mendengarnya pasti kau akan
celaka!" Mayang meludah ke tanah. "Aku tidak
takut pada Datukmu itu!"
Gempar Bumi menyeringaijdan puntir-puntir
kumisnya.
"Aku tahu Gempar Bumi!" tiba-tiba Pagar
Alam berkata. "Kau mencelakai diriku bukan
karena soal pajak ataupun soal yang lain!
Tapi karena aku dan anakku telah menolak
lamaranmu dua minggu yang lalu!"
Gempar Bumi tertawa dingin.
"Di negeri ini rupanya mulai ada keledai-
keledai tolol yang hendak coba-coba
menentang kekuasaan Datuk dan pembantu-
pembantunya! Dan ketika dia diberi babaran
baru menyesal!"
"Aku tidak menyesal telah menolak lamaran
manusia macammu!" sentak Pagar Alam.
Kalau saja dia bisa berdiri mungkin sudah
diserangnya laki-laki itu!
Gempar Bumi memandang berkeliling dan
berkata dengan suara nyaring. "Siapa-siapa
yang coba menantang kekuasaan Datuk dan
menghina pembantu-pembantunya sama saja
dengan mencari mati!"
"Bangsal terkutuk!" damprat Mayang. "Aku
lebih baik mampus daripada jadi isirimu. Aku
lebih baik mati berkalang tanah daripada
tunduk kepada Datuk keparatmu!" Habis
berteriak begitu anak gadis Pagar Alam ini
menyambar sebilah golok dan menyerang
Gempar Bumi! Suasana di pasar itu pun
hebohlah! Golok di tangan Mayang berkiblat
kian kemari dengan suara menderu. Dalam
tempo yang singkat kelihatanlah bagaimana
Gempar Bumi terbungkus sambaran golok
yang menyerangnya ke seluruh bagian tubuhl
Gempar Bumi sendiri tiada menyangka kalau
si gadis memiliki kehebatan begitu rupa. Tapi
dia tidak jerih. Dengan senyum mengejek
Gempar Bumi menghadapi si gadis dengan
tangan kosong dan buka jurus pertahanan.
Senjata lawan lewat di depan pinggangnya.
Jurus pertahanan diganti kini dengan jurus
serangan. Tangan kanan dengan cepat
menyelusup ke dada mayang, siap untuk
menjamah buah dadanya yang padat montok!
"Wuuut!"
Tersirap darah Gempar Bumi sewaktu golok di
tangan sang dara membatik laksana kilat!
Kalau saja dia tidak cepat-cepat menarik
pulang tangannya, pastilah akan terbabat
putus!
Mayang sendiri dengan gigih terus menyerbu.
Sambaransambaran goloknya laksana hujan
mencurah! Gempar Alam tidak mau main-
main lagi. Hatinya heran dari mana si gadis
memiliki ilmu kepandaian begini rupa! Jika
ditinjau jelas sekali ilmu silatnya lebih tinggi
satu dua tingkat dari ayahnya sendiri! Tentu
dia telah berguru pada seorang jago silat,
pikir Gempar Bumi.
Dalam waktu singkat sepuluh jurus telah
berlalu dan Gempar Bumi masih berada di
bawah angin. Laki-laki ini mengomel dalam
hati. Dia membentak keras dan sekejap saja
berubahlah jurus-jurus ilmu silatnya.
Tubuhnya berkelebat kian ke mari membuat
bayang-bayang hitam. Satu jurus kemudian
terdengar pekik Mayang.
Lengan kanannya kena dipukul oleh lawan.
Golok terlepas mental dan di saat itu pula,
dara ini merasakan tubuhnya kaku tegang tak
kuasa digerakkan. Ternyata sewaktu memukul
lengan kanan lawan, sekaligus Gempar Bumi
menotok dada Mayang dengan jari-jari
tangan kirinya!
"Manusia haram jadah! Beranimu hanya sama
perempuan!" bentak Pagar Alam yang
tergeletak duduk di tanah bersandar ke peti.
Gempar Bumi tertawa mengekeh!
"Anakmu hebat juga, Pagar Alam! Walau kau
menolak lamaranku tempo hari, tapi saat ini
terpaksa kau harus menyerahkan Mayang
bulat-bulat ke tanganku!" Laki-laki berpakaian
hitam ini tertawa lagi
"Keparat! Kau mau bikin apa?!" hardik Pagar
Alam seraya hendak berdiri. Tapi tubuhnya
terduduk kembali. Sepasang kakinya yang
terebus matang tak kuasa untuk ditegakkan!
Darah laki-laki ini bergejolak marah.
Pelipisnya mengembung!
"Bikin apa lagi kalau bukan mau
membawanya ketempatku!" jawab. Gempar
Bumi seraya melangkah ke arah Mayang.
"Anjing baju hitami Kalau kau berani
menjamah tubuhnya kupecahkan kepalamu!"
Gempar Bumi menyeringai!
"Berdiripun kau tak mampu! Bagaimana mau
membunuh aku?!" Dan dia melangkah lagi
mendekati Mayang.
Tapi begitu tangannya diulurkan untuk meraih
pinggang sang dara tiba-tiba "buuk!"
Punggungnya dihantam orang dari belakang
yang kerasnya cukup membuat Gempar Bumi
mengerenyitkan kulit kening kesakitan! Dia
berpaling dengan cepat dan berkeretekanlah
geraham-gerahamnya! Ternyata yang meninju
punggungnya tadi bukan lain anak laki-laki
kecil adik Mayang!
"Buyung! Berlalulah dari hadapanku kalau tak
ingin kena tempelak!" bentak Gempar Bumi.
"Orang jahat! Kalau kau berani membawa lari
kakakku, aku akan…." "Akan apa?!" tanya
Gempar Bumi seraya bertolak pinggang.
Si anak menjawab dengan menyerang marah.
Tinjunya yang kecil tapi cukup keras
dihantamkan ke perut Gempar Bumi. Tapi
tentu saja Gempar Bumi bukan tandingan si
buyung kecil ini. Ditangkapnya lengan anak
itu lalu dipuntirnya ke belakang hingga si
anak menjerit-jerit kesakitan dan coba
menendang paha Gempar Bumi dengan
tumitnya! Gempar Bumi mendorongnya ke
muka hingga hampir saja dia jatuh
menyungkur tanah!
Tiba-tiba si anak melihat golok yang dipakai
kakaknya untuk menyerang Gempar Bumi.
Dengan cepat dia membungkuk dan
mengambil senjata itu lalu membalik
menyerang Gempar Bumi kembali!
"Tikus cilik tak tahu diunlung!" maki Gempar
Bumi dan sebelum senjata itu sampai ke dekat
tubuhnya, tangan kanannya sudah bergerak.
"Plaak!
Si anak terpekik.
Bibirnya pecah dan berdarah. Dua buah
giginya mencelat mental Tubuhnya
terpelanting satu tombak dan menggelusur di
tanah tanpa sadarkan diri!
"Bangsat rendah! Terima ini!" teriak Pagar
Alam dengan amarah mendidih. Dijangkaunya
keris yang terletak di atas peti lalu
dilemparkannya ke arah Gempar Bumi. Senjata
itu melesat mencari sasaran di batang leher
Gempar Bumi!
Yang diserang ganda tertawa. Setengah
jengkal lagi ujung keris akan menembus
tenggorokannya, laki-laki ini gerakkan tangan
kanannya! Dan sesaat kemudian kelihatanlah
bagaimana dengan mudahnya senjata itu
dijepit di antara jari tengah dan jari telunjuk!
Itulah ilmu menjepit senjata yang lihay!
Semua orang yang menyaksikan hal ini sama
leletkan lidah kagum, tapi bila mereka ingat
siapa Gempar Bumi adanya, maka kekaguman
itu mendadak sontak berubah menjadi
kebencian!
Gempar Bumi timang-timang beberapa kali
keris itu. Tiba-tiba tangannya itu digerakkan
dan "cup!" Senjata itu menancap di peti di
mana Pagar Alam duduk bersandar, hanya
setengah senti dari telinga kirinya!
Gempar Bumi tertawa gelak-gelak!
"Jika tidak mengingat kau bapaknya Mayang
pasti sudah kutembus keningmu dengan
senjata itu!" katanya. Lalu dia menambahkan:
"Tapi dilain hari jika kau masih tidak tahu
tingginya Gunung Merapi dan dalamnya
Ngarai Sianok, aku tak akan ampuni jiwamu!"
Habis berkala demikian Gempar Bumi
melompat kehadapan Mayang. Dan kini tak
satu orangpun yang bisa atau berani
menolong gadis yang hendak dilarikan itu!
Tangan kanan bergerak meraih pinggang
Mayang dengan ketat! Tapi mendadak raihan
itu terlepas kembali. Dari balik gerombol
orang banyak di tepi jalan melesat sebuah
benda kecil menghantam sambungan siku
Gempar Bumi. Kulit di lengan siku itu lecet.
Sekujur lengan kanan Gempar Bumi tergetar
dan rasa sakit membuat dia melepaskan
raihannya! Tak seorangpun agaknya yang
mengetahui kejadian itu selain Gempar Bumi
sendiri! Laki laki ini memandang berkeliling
dengan geram, mencari-cari siapakah
manusia yang telah melemparkan benda itu!
Tapi siapa yang hendak diduga diantara
orang sebanyak itu?! Dan ketika ditelitinya
ternyata benda kecil yang dipakai untuk
menghantam tangannya itu adalah hanya
sebutir kerikil yang besarnya tak sampai
seujung jari kelingking! Nyatalah ada seorang
pandai yang telah turun tangan.
Sementara itu semua orang, termasuk Pagar
Alam dan Mayang sendiri merasa heran
kenapa Gempar Bumi tak jadi meneruskan
niatnya melarikan dara itu! Gempar bumi
berdiri bimbang seketika. Tiba-tiba laksana
kilat tubuh Mayang sudah disambarnya dan
dengan cepat membawa gadis itu ke atas
kuda! Dengan tangan kiri Gempar Bumi
menepuk pinggul binatang itu. Rasanya
sekali tepuk saja kuda itu akan segera
melompat dan lari! Tapi kali ini kuda itu
jangankan melompat dan lari, bergerakpun
tidak!
Gempar Bumi menepuk sekali lagi lebih keras.
"Ayo! Larilah!"
Tapi binatang itu tetap berdiri di tempatnya.
Keempat kakinya tak bergeser sedikitpun!
Hanya kepala dan lehernya saja yang digerak-
gerakkan. Kemudian binatang ini meringkik
beberapa kali!
"Ayo lari!" bentak Gempar Bumi.
Tetap saja kuda itu tegak di tempatnya! Di
samping rasa heran dan penasaran kekejutan
juga timbul di hati Gempar Bumi Ketika
diperiksanya dengan cepat ternyata keempat
kaki kudanya telah ditotok! Dan empat butir
kerikil kelihatan tak jauh dari kaki-kaki
binatang Ini! Tanpa tunggu lebih lama
Gempar Bumi melompat dari punggung kuda
terus lari. Namun sekali inipun dia tak
mampu lari jauh karena sebutir kerikil lagi
menyelusup menembus kaki pakaiannya terus
menghantam belakang lutut kaki kanannya!
Dengan serta meria kaki kanan itu ke semutan
dan lemas sukar digerakkan!
Gempar Bumi yang tahu gelagat bahwa dia
benar benar berhadapan dengan seorang lihay
yang tersem bunyi di antara manusia banyak
di tengah pasar itu perlahan-lahan turunkan
tubuh Mayang. Orang ramai masih tak tahu
apa yang telah terjadi. Sementara itu
sepasang mata Mayang memandang ke tanah.
Dilihatnya sebutir kerikil dekat kaki kanan
Gempar Bumi. Gadis bermata tajam dan
memiliki ilmu yang cukup tinggi ini untuk
pertama kalinya mengetahui apa yang
sebenarnya telah terjadi. Dan bila dia
memandang paras laki-laki itu sangat
berubah!
Gempar Bumi menyadari kalau diteruskannya
niat untuk melarikan Mayang, pasti orang
pandai yang ter sembunyi diantara manusia
banyak dipasar itu akan turun tangan dan
lebih mencelakainya lagi! Lemparan lemparan
batu kerikil tadi bukan lain merupakan
peringatan keras terhadapnya!
Perlahan-lahan Gempar Bumi berpaling pada
Pagar Alam dan berkata dengan suara
lantang: "Pagar Alam, biarlah hari ini aku
berlaku baik hati padamu! Anakmu
kubebaskan! Tapi ingat, aku akan datang
kembali untuk mengambilnya!"
Gempar Bumi lepaskan totokan pada keempat
kaki kudanya lalu naik ke punggung binatang
itu. Sebelum berlalu dilepaskannya totokan di
dada Mayang kemudian cepat-cepat
menghilang dari tempat itu.
Di jalan yang buruk penuh dengan lobang-
lobang demikian rupa bendi itu tak dapat
berjalan cepat. Apalagi barang-barang. Ketiga
penumpang itu bukan lain daripada Pagar
Alam, Mayang dan adik gadis ini. Mereka
dalam perjalanan pulang. Karena nasib buruk
yang menimpa Pagar Alam, orang-orang di
pasar telah bermurah hati memberi,
sumbangan uang lebih banyak kepadanya
hingga pendapatannya hari itu tiga kali lipat
lebih besar dari biasanya! Namun uang yang
sedemikian banyak tidak menggembirakan
hati Pagar Alam. Pikirannya risau bila dia
ingat si Gempar Bumi keparat itu. Cepat atau
lambat pasti dia akan datang kembali untuk
mengambil Mayang dengan paksa lalu
melarikannya! Dimakluminya bahwa Gempar
Bumi bukan tandingannya, juga bukan lawan
anaknya. Sekalipun mereka mengeroyok laki-
kaki itu tetap saja mereka tak akan mampu
mengalahkannya! Ini hal pertama yang
merisaukan hati Pagar Alam. Hal kedua ialah
keadaan kakinya itu. Meski sudah diobati oleh
anak gadisnya tapi dalam seminggu dua
minggu pasti tak akan sembuh! Sementara itu
bendi yang mereka tumpangi berjalan juga
menempuh jalan buruk dan sunyi Kedua tepi
jalan ditumbuhi semak belukar lebat dan di
belakang semak belukar itu berderetan pohon-
pohon besar tinggi.
Bendi bergerak terus dan mereka bicara-
bicara juga. Kusir bendi sudah sejak lama tak
mencampuri lagi pembicaraan kedua beranak
itu. Tali kekang kuda dipegangnya dengan
terkantuk-kantuk. Hembusan angin yang sejuk
ditengah hari itu memang menimbulkan rasa
kantuk. Tiba-tiba Pagar Alam dan Mayang
hentikan pembicaraan mereka.
Di kejauhan terdengar derap kaki kuda, makin
lama makin keras. Dari balik tikungan
dihadapan mereka muncul seorang
penunggang kuda berpakaian serba hitam.
Pada bagian dada bajunya terpampang
lukisan kepala harimau berwarna kuning.
Ketika penunggang kuda itu tambah dekat,
berubahlah paras seisi bendi itu! Pagar Alam
meraba hulu keris yang tersisip di
pinggangnya.
Mayang mengeluarkan golok dari dalam peti
sedang kusir bendi bersiap-siap dengan
sebatang besi yang tergeletak di lantai bendi
dekat kakinya! Si penunggang kuda bukan lain
dari Gempar Bumi adanya!
Gempar Bumi hentikan kudanya. Kusir bendi
pun telah pula menghentikan kendaraannya.
"Sekarang kuharap kau tak usah banyak rewel
Pagar Alam!" kata Gempar Bumi dengan nada
keren.
"Anakmu akan kuambil!"
"Kau manusia yang paling tidak bermalu di
dunia ini. Gempar Bumi! Pinanganmu ditolak!
Aku kau celakai dan kini kembali kau
memaksa untuk melarikan anakku!"
Gempar Bumi tertawa sinis. "Mulutmu masih
tetap besar! Aku hargai nyalimu! Tapi agar
tidak lebih celaka kuharap kau serahkan
anakmu secara baik-baik! Kalau tidak
terpaksa aku memberi hajaran yang lebih
keras padamu!"
"Kau boleh bawa anakku, Gempar Bumi," desis
Pagar Alam. "Tapi… langkahi dulu mayatku!"
Dan Pagar Alam menghunus kerisnya!
Gempar Bumi tertawa bergelak dan
menyentakkan tali kekang kudanya. Sesaat
kemudian kuda dan bendipun telah bersisi-
sisian.
"Turun dari bendi itu Mayang!" perintah
Gempar Bumi.
Pagar Alam beringsut ke samping kereta
sebelah kanan. Dalam jarak yang cukup dekat
itu tanpa banyak bicara lagi keris di tangan
kanannya dihunjamkan cepat cepat ke muka
Gempar Bumi!
"Manusia tolol!" maki Gempar Bumi. Sekali
dia gerakkan tangan kanan memukul lengan
Pagar Alam, mentallah keris laki-laki itu
sedang lengan yang kena dipukul kelihatan
bengkak matang biru! Pagar Alam merintih
kesakitan.
Dalam pada itu dari samping menderu satu
sambaran golok ke arah batok kepala Gempar
Bumi. Ternyata Mayang telah melancarkan
serangan yang pertama sambil melompat dari
bendi. Adiknya juga tak tinggal diam. Dengan
sebatang kayu anak laki-laki ini mengemplang
ke arah bahu kanan Gempar Bumi sementara
Pagar Alam mengambil sebuah lembing dari
dalam peti. Si Malin kusir bendi meski tak ada
sangkut paut dalam urusan itu, tapi memang
sudah sejak lama membenci terhadap Gempar
Bumi tak ayal lagi segera mengambil batang
besi dari lantai bendi dan menyerang Gempar
Bumi dari belakang!
Diserang begitu rupa Gempar Bumi marah
bukan main! Dia berteriak: "Jangan menyesal
kalau kalian kuhajar babak belur!" Lalu dia
melompat dengan cepat dan gerakkan kedua
tangannya.
Dua orang terpekik! Yang pertama anak laki-
laki Pagar Alam. Kayu di tangan anak itu
mental. Tangannya yang kecil laksana tanggal
dan persendiannya. Tubuhnya mencelat dan
terguling di tanah, kepalanya terbentur roda
kereta terus pingsan!
Orang kedua yang terpekik ialah Malin si kusir
bendi. Gempar Bumi yang merasakan
sambaran angin di belakangnya sudah
maklum kalau dia mendapat serangan dari
arah itu. Karenanya begitu melompat dari
punggung kuda Gempar Bumi laksana kilat
hantamkan sikut kanannya ke belakang!
"Kraak!"
Suara "Kraak" itu hampir tak kedengaran
karena pekik
setinggi langit yang ke luar dari tenggorokan
Malin! Tulang iganya sebetah kanan patah
dua buah. Tubuhnya mental sampai satu
tombak. Begitu jatuh dia sudah tak sadarkan
diri lagi! Pertempuran kini berjalan jauh dari
kereta. Meskipun Pagar Alam memegang
sebuah lem bing namun dia tak bisa berbuat
suatu apa karena dia tak bisa berdiri apalagi
berjalan dan turun dari kereta. Otomatis
pertempuran itu kini hanya berjalan satu
lawan satu yaitu Gempar Bumi menghadapi
Mayang. Tingkat kepandaian Mayang jauh
lebih rendah dari lawannya. Maka dalam
setengah jurus saja gadis berparas jelita yang
telah membuat Gempar Bumi tergila-gila itu
terdesak hebat.
"Gadis cantik!" kata Gempar Bumi dengan
senyum mengejek. "Kalau saja kau serahkan
dirimu secara baikbaik, pastilah…."
"Wuuut!"
Gempar Bumi tak bisa melanjutkan
ucapannya. Sebuah benda panjang berdesing
ke arahnya. Ternyata lembing yang
dilemparkan dengan sebat oleh Pagar Alam
dari atas bendi! Gempar Bumi rundukkan
kepala.
Lembing itu lewat di alas kepalanya. Pada
saat yang sama kaki kanan Mayang menderu
ke arah dadanya.
"Mayang! Terpaksa kuakhiri segala
kehebatannya ini!" kata Gempar Bumi.
Ditangkapnya kaki kanan dara itu. Dengan
kalap Mayting membacok ke bawah. Gempar
Bumi angkat kaki sang dara. Akibatnya
Mayang terpaksa tarik pulang bacokan
goloknya karena kalau diteruskan pasti akan
membabat kaki kanannya sendiri! Begitu se
rangan ditarik, begitu Gempar Bumi gerakkan
tangan kiri. Maka terampaslah golok di
tangan Mayang. Gempar Bumi lepaskan kaki
kanan lawan. Dengan tangan itu dia segera
hendak menotok tubuh Mayang. Tapi secepat
kilat si gadis jatuhkan diri di tanah lalu
berguling. Ketika bangun lagi di tangannya
sudah tergenggam lembing yang tadi
dilemparkan ayahnya!
"Batang lehermu dulu kutambus baru aku
larikan diri!" jawab Mayang lalu kirimkan satu
tusukan kilat ke leher lawannya!
Gempar Bumi bergerak untuk merampas
senjata itu tapi tusukan lembing kini berubah
menjadi satu kemplangan yang ganas ke arah
batok kepalanya! Penasaran Gempar Bumi
sambut hantaman lembing dengan pukulan
lengan kiri. Lembing patah dua! Bagian yang
runcing mental ke udara sedang yang lainnya
masih tergenggam di tangan Mayang dan
dengan patahan lembing itu si gadis bertahan
mati-matian. Tapi sampai beberapa lamakah
dia dapat mempertahankan diri?! Wiro
Sableng Si Pendekar 212 murid Eyang Sinto
Gendeng dari puncak Gunung Gede tengah
menempuh rimba belantara, mengambil jalan
memotong agar lebih lekas sampai di tempat
tujuan yaitu antara Gunung Merapi dan
Gunung Singgalang. Lapat-lapat didengarinya
suara orang membentak beberapa kali yang
diselingi suara seseorang yang tertawa gelak-
gelak. Wiro yang sudah banyak pengalaman
segera mengetahui bahwa biasanya bentakan-
bentakan itu ke luar dari mulut seseorang
yang marah dan geram. Sebaliknya tertawa
mengekeh ke luar dari mulut orang yang
mengejek kemarahan dan kegeraman orang
pertama tadi. Dan suasana seperti itu hanya
ditemui dalam satu perselisihan yang
kemudiannya akan berkelanjutan dengan
perkelahian atau pertempuran!
Karena pohon-pohon sangat rapat, semak
belukar sangat lebat, agak sukar bagi Wiro
untuk bergerak. Dalam pada itu didengarnya
dua jeritan sekaligus! Wiro mempercepat
langkahnya dan tak perduli lagi pakaiannya
yang cabik robek dikait ranting semak belukar!
Dia yakin bahwa di tempat yang hendak
didatanginya itu telah terjadi perkelahian.
Yang mengherankannya ialah karena satu dari
dua jeritan itu kedengarannya seperti jeritan
anak kecil!
Ketika dia sampai di satu tepi jalan kecil yang
sangat buruk terkejutlah pendekar ini
menyaksikan pemandangan yang terbentang
di depan matanya. Adalah tidak dinyananya
kalau yang bertempur adalah seorang lakilaki
tegap melawan seorang dara jelita. Keduanya
sama berpakaian hitam cuma pada bagian
dada baju laki-laki terpampang gambar
kepala harimau warna kuning! Yang lebih
mengejutkan Wiro Sableng ialah karena laki-
laki ftu bukan lain manusia berkumis
melintang yang tadi di pasar hendak
melarikan gadis itu. Dan si gadis sendiri
adalah orang yang telah ditolongnya secara
diam-diam ketika mau dilarikan! Rupanya si
kumis melintang yang bernama Gempar Bumi
flu sudah nefcad untuk membawa lari si jelita
hingga dalam perjalanan pulang, si gadis
telah dihadang!
Di tengah jalan kecil berhenti sebuah bendi.
Seorang anak kecil menggeletak dekat roda
bendi Kemudian seorang lainnya tak berapa
jauh dari situ, agaknya dia adalah kusir bendi.
Dan di atas bendi tampak duduk lakilaki
bernama Pagar Alam. Mukanya pucat dan
cemas sekali! Betapa kan tidak, anak
gadisnya tengah bertempur mati-matian
mempertahankan diri dari tangan laki-laki
yang hendak melarikannya, sedang dia sendiri
Pagar Alam -tak dapat berbuat suatu apa!
Diatas bendi tak ada lagi bendabenda yang
bisa dijadikan senjata untuk dilemparkan
kepada Gempar Bumi. Dalam kecemasan yang
memuncak melihat anaknya terdesak hebat itu
dan tak ada harapan lagi untuk
menyelamatkan diri maka tiba-tiba dia
melihat sesosok tubuh menyeruak dari semak-
semak. Ternyata yang muncul adalah se-
orang pemuda bertubuh tegap, bertampang
seperti anak-anak dan berambut gondrong!
"Hentikan pertempuran!" teriak Wiro Sableng.
Suara teriakannya yang menggeledek
mengiang anak telinga mengejutkan orang-
orang yang ada di situ, terutama mereka yang
sedang bertempur! Pagar Alam merasakan
dadanya bergetar karena kerasnya teriakan
itu. Kalau tidak memiliki ilmu kepandaian
tinggi pasti hal itu tak mungkin terjadi, pikir
Pagar Alam seraya menenangkan dirinya
kembali. Kemunculan pemuda ini memberikan
sekelumit harapan padanya. Tapi apakah
pemuda ini bukan seorang bangsa jahat
terkutuk pula?; Melihat kepada potongan
pakaian dan ciri-cirinya nyata sekali dia
bukan penduduk setempat!
Akan Gempar Bumi begitu mendengar
bentakan yang menggeledek tadi dengan
cepat melompat mundur padahal saat itu dia
sudah hampir dapat meringkus Mayang.
Ketika dia berpaling di depan semak belukar
dilihatnya seorang pemuda tak dikenal berdiri
dengan bertolak pinggang!
"Orang sinting! Siapa kau?!" hardik Gempar
Bumi.
"Siapa aku tak kau usah perduli! Lekas angkat
kaki dari sini atau kutekuk batang lehermu!"
Paras Gempar. Bumi membesi. Pelipisnya
mengembung.
"Sepuluh tahun malang melintang di Pulau
Andalas baru hari ini ada bangsa kucing
dapur yang bicara hendak menekuk batang
leherku!"
Mengetahui bahwa si pemuda menunjukkan
sikap demikian maka legalah sedikit hati
Pagar Alam dan Mayang. Jika berani
membentak demikian berarti dia memiliki ilmu
yang diandalkan. Namun Gempar Bumi
seorang yang berilmu sangat tinggi, akan
sanggupkah pemuda belia yang bertampang
tolol itu menghadapinya?! Diam-diam kedua
ayah dan anak itu jadi gelisah harap-harap
cemas!
"Manusia kumis melintang! Aku tidak main-
main. Lekas angkat kaki dari sini! Syukur aku
bersedia mengampuni kekejianmu! Lekas pergi
sebelum aku berubah pikiran!"
Gempar Bumi bertolak pinggang. Matanya
melotot meneliti Wiro Sableng dari kepala
sampai ke kaki. Lalu dia tertawa gelak-gelak.
"Kucing dapur, apakah kau lihat gambar
kepala harimau yang ada di dada bajuku
ini?!"
"Itu bukan gambar kepala harimau!" sahut
Wiro. Gempar Bumi beliakkan mata. Dan Wiro
menyambung : "Kalau kau mau tahu, itulah
gambar kepala kucing dapur!" Lalu Pendekar
212 tertawa gelak-gelak.
Marahlah Gempar Bumi. Seumur hidup baru
hari itu dia mendapat hinaan dan ejekan
demikian rupa!
"Anak setan! Tidak tahukah kau dengan siapa
berhadapan?"
"Buset kau bisa memaki aku anak setani"
jawab Wiro dengan sunggingkan senyum,,
"Kalau aku anak setan, apakah kau lantas
merasa jadi bapak moyangnya setan?!"
Mayang dan Pagar Alam meski geli
mendengar ucapan itu namun terheran-heran
melihat sikap dan tindak tanduk si pemuda
yang agak anehi Bicaranya seperti orang
mainmainan saja!
Sebaliknya dengan nada mendesis karena
mendidih
hawa amarah yang menggejolakkan darahnya
Gempar .Bumi berkata: "Melihat kepada
tampangmu agaknya kau bukah orang sini!
Pantas kau tak dapat membedakan mana
tikus dan mana singa jantan…."
"Oh… jadi kau adalah seekor singa jantan?
Pantas!
Pantas! Kau memang punya tampang seperti
singa jantan!" kata Wiro pula memotong
ucapan Gempar Bumi lalu tertawa gelak-gelak!
Kemarahan Gempar Bumi tak dapat
dikendalikan lagi. Dia melompat kehadapan
Wiro dan hantamkan tinju kanannya ke kepala
pemuda itu! Sekali menghantam dia berharap
akan menghancurkan kepala si pemudal
Karena itu sengaja dikeluarkannya jurus ilmu
silatnya yang hebat yang bernama "Palu Sakti
Memukul Genta"! Tapi tidak semudah itu
untuk menghancurkan kepala Pendekar 212
Pada saat serangan lawan baru bergerak
setengah jalan dia sudah menyingkir ke
samping dan dari samping kirimkan satu
tempelak untuk menanggalkan sambungan
sikut lawan!
Terkejutlah Gempar Bumi. Serangannya yang
hebat itu bukan saja dapat dielakkan lawan
tapi malah kebalikannya, kini dia sendiri yang
kena diserang! Kedua kakinya dijejakkan ke
tanah. Tubuhnya melesat ke atas membuat
tempelakan Wiro Sableng lewat. Dengan cepat
kemudian Gempar Bumi kirimkan satu
tendangan ke perut lawan sedang tangan
kanan untuk kedua kalinya turun menghantam
batok kepala Wiro Sableng!
Pendekar 212 bersiul! Meskipun gerakan ilmu
silat Gempar Bumi agak aneh lapi dasarnya
tiada beda dengan ilmu silat yang dimainkan
tokoh-tokoh silat di Pulau Jawa! Begitu
bersiul Wiro kelebatkan badannya! Untuk
kedua kalinya Gempar Bumi dibikin kaget. Dia
tak mengerti bagaimana pemuda bertampang
tolol, sanggup mengelakkan sekaligus kedua
serangannya. Sedangkan dalam pada saat itu
tahu-tahu tangan kirinya sudah menyelinap
menampar ke arah dada dalam satu gerakan
kilat yang mendatangkan angin keras!
Penuh penasaran Gempar Bumi pergunakan
lengan kanannya untuk memapasi serangan
lawan. Kalau ilmu silat lawan boleh
diandalkan, dalam tenaga dalam tentu si
pemuda tak akan menang, begitulah pikiran
Gempar Bumi!
Wiro sendiri yang melihat datangnya serangan
memapas ini, meski tamparannya pada dada
tadi pasti akan mengenai sasarannya, tapi
karena ingin menjajaki tenaga dalam lawan
sengaja melintangkan tangan kirinya!
"Buuk!" Maka beradulah kedua lengan itu!
Gempar Bumi keluarkan seruan tertahan!
Tubuhnya terjajar sampai tujuh langkah ke
belakang sedang lengannya yang beradu
dengan lengan lawan bukan saja tergetar
hebat tapi juga sakit bukan main! Ketika di
telitinya lengan itu tampak kemerah-merahan!
Menciutlah hati laki-laki berkumis melintang
ini. Nyatanya tenaga dalam si pemuda tidak
berada di bawahnya! Menurut taksiran
Gempar Bumi tenaga dalam lawan berada dua
atau tiga tingkat di atasnya! Sebenarnya
dugaan Gempar Bumi ini meleset Kalau waktu
bentrokan lengan tadi dia mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya maka Wiro Sableng
cuma mengandalkan tiga perlima bagian saja
dari tenaga dalamnya! Lengannya pedas
kesemutan sedang tubuhnya tergontai nanar
beberapa detik lamanya.
Menyadari bahwa lawan lebih unggul dalam
tenaga dalam maka Gempar Bumi segera
mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang
paling diandalkan, yang telah diyakininya
selama, delapan tahun yaitu "Ilmu Silat
Harimau", Kedua kakinya menjejak bumi
laksana batu karang. Tubuhnya setengah
merunduk sedang, kedua tangan terpentang ke
muka dengan jari-jari membuka. Pendekar
212 Wiro Sableng memperhatikan bahwa ke
sepuluh kuku jari laki-laki itu panjang-
panjang. Tubuh Gempar Bumi semakin
merunduk sedang dari mulutnya ke luar suara
menggerang macam harimau hendak me
nerkam mangsanya dan kedua matanya
menyorot ganas! Keseluruhan paras manusia
ini membayangkan maut!
Tiba-tiba gerangan dimulutnya berubah keras
menyeramkan! Dan dikejap itu pula tubuhnya
melesat ke muka persis seperti seekor
harimau lapar menerkam mangsanya! Dua
tangan yang tadi terpentang berkelebat tak
kelihatan saking cepatnya. Hanya suara
siurannya yang terdengar menyambar!
Wiro dengan mengandalkan setengah bagian
tenaga dalamnya bergerak ke muka
menyambut dengan Jurus "Segulung Ombak
Menerpa Karang". Jurus ini mengeluarkan
sambaran angin laksana topan prahara.
Kedua lengan Wiro menghantam ke depan
sekaligus!
Melihat lawan memapaki serangannya dengan
cara begitu rupa dan Sudah tahu kalau Wiro
memiliki tenaga dalam yang lebih tinggi,
maka Gempar Bumi tak berani bentrokan
untuk kedua kalinya! Dengan cepat dia mem
buyarkan Jurus serangannya tadi dan laksana
kilat pula menyerbu kembali dalam jurus yang
dinamakan "Harimau Sakti Melompati Gunung
Menukik Ngarai"! Tubuhnya mencelat ke
udara. Kedua kaki mencari sasaran di perut
dan dada lawan. Namun ini hanya serangan
sambilan saja karena begitu Wiro mengelak
dan begitu Gempar Bumi berada dua tombak
di udara tiba-tiba dia menukik ke bawah
dengan kedua tangan diacungkan siap untuk
mencengkeram kepala Wiro Sableng!
Wiro bersiul nyaring. Setengah merunduk dia
lepaskan pukulan Kunyuk Melehipar Buah ke
arah lawan diatasnya! Laksana berpegang
pada sebuah tiang yang tak kelihaian Gempar
Bumi berkelit ke samping. Angin pukulan
Kunyuk Melempar Buah lewat di sebelahnya
dan sedetik kemudian tubuhnya meliuk lalu
berputar dengan kedua kaki meluncur deras ke
dada serta kepala Wiro Sableng!
"Gerakanmu hebat juga, Gempar Bumi!" seru
Wiro. Sesaat kedua kaki lawan akan mendarat
di dada dan kepalanya, Pendekar 212
membentak keras. Tangan kanannya
didorongkan ke atas!
Angin sedahsyat badai mengamuk menggebu!
Inilah pukulan "Benteng Topan Melanda
Samudera" yang dilancarkan dengan
mengandalkan setengah bagian tenaga dalami
Mula-mula Gempar Bumi merasakan se
rangannya laksana ditahan oleh tembok baja
yang tak kelihatan. Dia terkejut sekali dan
belum habis kejutnya ini mendadak tubuhnya
terdorong keras ke udara, mencelat sampai
beberapa tombak! Sambil jungkir batik tiga
kali berturut-turut Gempar Bumi keruk saku
pakaiannya. Sebelum kedua kakinya
menginjak tanah maka dari tangan kanannya
melesat puluhan benda hitam yang berdesing
mendenging seperti suara nyamuk! Benda ini
bukan lain senjata rahasia jarum hitam yang
direndam dalam racun jahat! Sekali seseorang
kena dihantam sebuah saja dari jarum ini,
pasti dalam tempo dua puluh empat jam
nyawanya akan lepas ke akhirat!
Oari bunyi yang mendesing dan warna jarum-
jarum Wiro sudah maklum kalau itu adalah
senjata rahasia yang ampuh sekali! Tanpa
menunggu lebih lama dia pukulkan tangan
kanannya ke depan yang disusul dengan
pukulan tangan kiri. Dua angin deras menderu
susul menyusul. Inilah yang dinamakan ilmu
pukulan "Dinding Angin Berhembus Tindih
Menindih"! Bukan saja puluhan jarum-jarum
itu mental dan luruh ke tanah tapi beberapa
diantaranya kembali melesat menyerang
tuannya sendiri! Dengan kertakkan rahang
Gempar Bumi kebutkan lengan baju hitamnya!
Jarum-jarum yang menyerangnya luruh ke
tanah! Dan kedua lawan itu saling pandang
memandang. Yang satu dengan mata
membeliak beringas sedang yang lain dengan
cengar cengir seenaknya!
"Orang muda!" kata Gempar Bumi. "Antara
aku dan kau tidak saling mengenal! Urusanku
tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu!
Mengapa kau mau mencampurinya?"
Wiro tertawa dingin.
"Bagiku terhadap manusia jahat semacam kau
tentu ada urusan yang musti diperhitungkan!
Kecuali kalau kau mau angkat kaki dari sini
sekarang juga!"
Gempar Bumi mendengus.
"Apakah bukan lebih baik kau saja yang
cepat-cepat berlalu dari hadapanku sebelum
aku betul-betul menghajarmu? Ilmumu boleh
juga! Percuma kalau kau mampus dalam usia
muda begini rupa!"
Wiro keluarkan satu siulan.
"Terima kasih atas nasihatmu, Gempar Bumi!
Nah, kau pergilah!"
Sikap tenang Gempar Bumi tadi kini menjadi
marah yang mendidihkan darahnya. "Kau
orang rantau, sungguh mengenaskan mampus
di negeri orang! Belum tentu pula angin akan
membawa pulang namamu ke kampung
halaman!"
"Ah, jangan bersajak sobat!" tukas Wiro
Sableng.
"Aku tidak bersajak!" sahut Gempar Bumi."Aku
hanya akan mengukir nyawamu di pintu
akhirat!" Lalu laki-laki ini cabut sebilah keris
dari pinggangnya! Senjata itu berhulu gading,
bereluk dua belas dan berwarna sangat hitami
Sinar yang memancar dari keris ini
menggidikkan sekalil'
"Manusia yang akan mampus! Keris ini
bernama Keris Si Penyingkir Jiwa! Delapan
puluh dua jiwa telah musnah ditelannya!
Apakah kau berniat untuk menjadi korban
yang ke delapan puluh tiga…?!"
Wiro tertawa gelak-gelak.
"Apapun nama keris di tanganmu itu aku
tidak perduli! Juga berapa korban yang
dimakannya aku tidak tanya! Sebaliknya
bagaimana kalau keris Hu kurebut, lantas
kupergunakan untuk membuat konyol kau
sendiri…?!"
"Boleh, boleh kau coba untuk merebutnya!"
jawab Gempar Bumi dengan hati geram. "Nah
ini, kau rebutlah!" Secepat kilat Gempar Bumi
tusukkan senjata itu ke dada Wiro Sableng.
Sinar hitam terasa dingin menyambar dada
sang pendekar.
"Awas orang muda!" seru Pagar Alam dari
atas kereta. "Keris itu mengandung racun
jahat!" Diam-diam laki laki ini merasa cemas.
Jika Gempar Bumi sudah mengeluarkan
senjata itu, biasanya lawan tak akan sanggup
bertahan lama Sekali saja tergores kulit,
dalam tempo dua puluh empat jam pasti
menemui kematian.
"Terima kasih atas nasihatmu, bapak!" kata
Wiro sambit cepat-cepat berkelit. Ketika
kelihatannya serangan Gempar Bumi hanya
mengenai tempat kosong tiba-tiba Keris Si
Penyingkir Jiwa membelok ke iga kanan,
hampir-hampir akan melanda iga meliuk pula
ke perut dan tiba-tiba haik laksana kilat,
menusuk ke arah lekuk dagu dekat ujung
leher! Di samping itu angin yang keluar dari
Keris Si Penyingkir Jiwa dinginnya
menyembilui tulang-tulang sumsum, membuat
darah Pendekar 212 laksana beku dan
berhenti mengaliri Untuk mencegah agar
dirinya tidak terpengaruh oleh hawa jahat
senjata lawan cepat-cepat Wiro Sableng
alirkan hawa panas dari pusarnya ke seluruh
bagian tubuh! Sesudah itu diapun menghadapi
serangan lawan tanpa main-main lagi.
Tiga jurus yang berlalu Wiro tak bisa berbuat
apa-apa selain bertahan dengan gigih. Keris
di tangan lawan laksana curahan hujan dan
berubah jadi puluhan banyaknya. Menusuk,
menyambar dan memapak ke pelbagai bagian
tubuh Wiro Sableng. Jurus ke empat dan ke
lima Sampai seterusnya keadaan Wiro
semakin buruk. Bagaimanapun dia berkelebat
cepat tapi sia-sia saja! Sinar hitam senjata
lawan laksana Jaring atos yang tak sanggup
ditembusnya!
Pagar Alam yang menyaksikan pertempuran
Hu menjadi pusing karena tak dapat lagi
menyaksikan gerakan-gerakan mereka yang
bertempur saking cepatnya! Mayang sendiri
yang lebih tinggi ilmu kepandaiannya
mengedipkan matanya beberapa kali! Diam-
diam gadis ini leletkan lidah melihat hebatnya
pertempuran yang berjalan! Siapakah pemuda
berambut gondrong yang bersedia
mengorbankan keselamatan dan Jiwanya itu
untuk menolong dia bersama ayahnya?!
Ilmunya tinggi, tapi apakah sanggup bertahan
menghadapi Gempar Bumi yang ganas dari
bertubi-tubi itu? Setahunya tak satu orang
pun yang sanggup menghadapi Gempar Bumi
bila Keris Si Penyingkir Jiwa itu sudah berada
dalam tangannya! Dan melihat kenyataan
bagaimana si pemuda terdesak hebat maka
mengeluhlah sang dara. Pagar Alam sendiri
kembali menjadi cemas!
"Saudara! Ambil golok ini sebagai senjatamu!"
seru Mayang sambil melemparkan goloknya
yang tadi telah dirampas oleh Gempar Bumi
tapi kemudian oleh Gempar Bumi dibuang
begitu saja ke tanah.
"Terima kasih saudari, aku tak perlu senjata
menghadapi tikus berkumis melintang ini!"
jawab Wiro.
"Tapi kau terdesak saudara!! seru Pagar Alam
dari atas kereta.
"Dan pertempuran ini tidak adil!"
menyambungi Mayang. "Dia pakai senjata,
kau bertangan kosong!" Maka meski Wiro
tidak mau diberikan senjata namun sang dara
melemparkan juga golok itu kepadanya. Wiro
Sableng mau tak mau segera menyambut
senjata itu.
Tapi: "Traang!"
Keris Si Penyingkir Jiwa lebih cepat. Golok
yang dilemparkan mental ke udara dalam
keadaan patah dua!
"Sialan!" maki Wiro. Kalau tidak cepat-cepat
dia menarik tangannya pasti senjata lawan
menyambar tangan itu! Sesaat kemudian
terjadi lagi pertempuran seru dan Wiro makin
kepepet!
Tiba-tiba Pendekar 212 bersuit nyaring!
Tubuhnya lenyap dalam satu kelebatan yang
sukar dilihat mata. Dengan merobah jurus-
jurus ilmu silatnya maka dia mulai membuka
serangan. Dari sela bibirnya terus menerus
melesat suara siulan yang nyaring tak
menentu dan menyakitkan telinga! Permainan
silat Gempar Bumi agak mengendur sedikit
akibat pengaruh siulan Pendekar
212. Tapi begitu dia tutup jalan
pendengarannya maka pengaruh yang
mengacaukan itupun lenyap dan kembali
dengan gencar laki-laki ini mendesak
lawannya!
Di samping memaki habis-habisan Wiro juga
mengagumi keampuhan senjata sakti di
tangan lawan. Setiap serangannya selalu
kandas laksana menghadang tembok kukuh
yang tak kelihatan! Tubuh lawan seperti
terbungkus oleh satu kekuatan yang tidak
nampak! Dan Pendekar 212 dalam keadaan
kepepet itu mulai pikirpikir untuk keluarkan
Kapak Maut Naga Geni 212!
Tapi sebelum maksudnya itu kesampaian
tiba-tiba dia ingat! Bagaimana kalau dia
mengeluarkan jurusjurus silat yang diajarkan
Tua Gila kepadanya?! Ah, benar-benar tolol
sekali dia! Mengapa tidak dari tadi dia
mengeluarkan "Ilmu Silat Orang Gila" dan
sekaligus untuk menjajaki sampai di mana
kehebatan ilmu silat yang diajarkan oleh Tua
Gila itu?!
Pendekar 212 membentak nyaring. Tubuhnya
lenyap.
Gempar bumi mengiringi gerakan lawan itu
dengan tawa mengejek. "Keluarkan seluruh
ilmu kepandaianmu! Dalam tiga jurus di muka
nyawamu tak bisa diselamatkan lagi tikus
busuk!" Dan sebelum Wiro bergerak dia telah
menyerang lebih dulu dengan satu tusukan
yang ganas cepat!
Wiro Sableng gerakan kedua kakinya dalam
gerakan yang aneh dan tak teratur
kelihatannya. Tubuhnya diliukkan ke samping
laksana batang padi dihembus angin sedang
kedua tangan bergerak ke kiri ke kanan juga
dalam gerakan yang tak teratur! Tapi justru
gerakan yang acakacakan ini berhasil
melewatkan tusukan senjata lawan! Dengan
gemas Gempar Bumi kirimkan lagi satu
serangan yang lebih cepat dan lebih ganas!
Suara keris menderu. Sinar hitam berkiblat!
Wiro mencak-mencak kian ke mari! Wuut!
Ujung keris di tangan Gempar Bumi menderu
ke muka pemuda itu dan kelihatannya dalam
kejap itu juga akan menghunjam di wajahnya!
Pagar Alam mengeluarkan seruan tertahan.
Mayang menutup wajahnya, tak berani
menyaksikan bagaimana keris itu akan
menancap di muka pemuda yang diharapkan
bakal menolong dirinya!
Tapi aneh!
Sedetik lagi ujung senjata Gempar Bumi akan
menemui sasarannya, dalam satu gerakan tak
menentu kelihatan kepala Pendekar 212
seperti disentakkan oleh satu tenaga besar ke
belakang. Dan ini membuat tusukan keris
Gempar Bumi hanya menghantam tempat
kosong!
Gempar Bumi kertakkan rahang. Segera dia
lipat gandakan tenaga dalam serta keluarkan
seluruh tipu-tipu serangan ilmu silatnya! Wiro
bergerak cepat. Jingkrak kiri lompat kanan.
Mundur terhuyung-huyung dan maju laksana
babi celeng! Tangan dan kaki menyambar
tiada menentu dan tiada terduga!
Bagaimanapun Gempar Bomi percepat
serangan dan keluarkan segala jurus yang
terlihay dari ilmu silatnya, tetap saja dia tak
sanggup mendesak lawan seperti yang sudah-
sudah. Beberapa kali dia menusuk dengan
seluruh tenaga tapi Cuma menghantam
tempat kosong hingga tubuhnya tersaruk ke
muka dan beberapa kali hampir membuatnya
kena dihantam kaki dan tangan tawan!
Diam-diam sambil mundur Gempar Bumi
perhatikan ilmu silat aneh yang dimainkan si
pemuda.
"Buuk!"
Gempar Bumi tertatih-tatih sampai sembilan
langkah ke belakang diusapnya dadanya yang
kena dipukul lawan dengan tangan kiri dan
pada sela bibirnya kelihatan darah kental
berlelehan! Gempar Bumi seka darah itu
dengan ujung lengan baju. Nafasnya sesak,
cepat-cepat diaturnya jalan darah dan
pernafasan. Kedua matanya menyorot ganas.
"Tikus busuk! Kalau aku tidak salah lihat kau
telah memainkan jurus-jurus silat orang gila.
Apakah kau muridnya Tua Gila!"
"Kau tak ada hak bertanya, monyet berkumis!"
jawab Wiro Sableng!"
"Keparat! kau dengarlah! Hari ini kuampuni
jiwamu! Tapi jika kau berani muncul lagi di
depan hidungku jangan harap ada ampunan
yang kedua kalinya!"
Wiro tertawa mengejek.
Gempar Bumi berpaling pada Pagar Alam dan
berkata:
"Pada tanggal tiga bulan mendatang kudengar
kau akan meresmikan berdirinya perguruan
Kejora! Hari itu aku akan datang Untuk
mengambil anakmu! Dan jangan harap belas
kasihan dariku kalau kau berani berlaku
seperti yang sudah-sudah! Niscaya kau akan
mampus berdarah!"
"Manusia anjing tidak bermaki! Apakah
hajaran yang kau terima hari ini tidak
membuat kau insyaf?!' hardik Pagar Alam.
Gempar Bumi tidak menyahuti hardikan itu
tapi berpaling pada Wiro Sableng dan
berkata: "Apa yang kuterima hari ini kelak
akan kubayar berikut bunganya dalam waktu
singkat! Sekarang katakan kau punya nama
agar tidak susah aku mencarimu!"
"Mau tahu namaku? Baiklah. Ini…' Tiba-tiba
Wiro Sableng hantamkan tangan kanannya ke
muka.
Karena tiada menduga. Gempar Bumi tak
sempat berkelit Tapi anehnya pukulan jarak
jauh lawan itu tidak mencelakakannya
sekalipun dirasakannya angin itu menyambar
dadanya. Tapi sewaktu dia memandang ke
dadanya terkejutlah laki-laki ini. Pada dada
kiri baju hitamnya terpampang tiga buah
angka. Angka : 212!
Gempar Bumi tidak tahu apa artinya tiga
deretan angka tersebut. Namun kepandaian
untuk membuat angkaangka seperti itu dalam
jarak jauh demikian rupa bukan kepandaian
sembarangen. Nyali Gempar Bumi menciut
lumer. Tanpa banyak bicara lagi dia segera
berkelebat meninggalkan tempat itu! Begitu
Gempar Bumi lenyap maka Mayang segera
menjura di hadapan Wiro Sableng dan
mengucapkan terima kasih atas
pertolongannya. Wiro senyum-senyum malu
kemudian menganggukkan kepala pada Pagar
Alam.
"Orang muda," kata Pagar Alam,
"Pertolonganmu sangat besar terhadap kami
ayah dan anak! Kami mengucapkan terima
kasih. Boleh aku tahu nama dan dari mana
kau datang?"
"Namaku Wiro. Aku datang dari Pulau Jawa."
"Ah… ternyata kau orang perantauan. Pantas
permainan silatmu hebat! Tapi melihat kau
tadi mengeluarkan ilmu silat orang gila aku
jadi heran. Setahuku pencinta ilmu silat itu
adalah seorang tua aneh yang diam di satu
pulau di sebelah barat Pulau Andalas ini, jadi
bukan dari Pulau Jawa."
Wiro Sableng menuturkan riwayat
perjalanannya secara singkat.
Pagar Alam angguk-anggukkan kepala.
"Kau beruntung, Wiro. Tak sembarang orang
diberi anugerah ilmu kepandaian seperti itu
oleh Tua Gila si orang aneh. Bahkan jarang
sekali dia memperlihatkan diri, dicaripun
sukar!"
Wiro Sableng memandang ke kaki Pagar Alam
yang terebus air mendidih sewaktu
mengadakan pertunjukan mencari uang di
pasar tadi. Lalu dikeluarkannya sebutir pil dan
diberikannya pada laki-laki itu.
"Telanlah, mungkin bisa menolong lukamu
itu."
Pagar Alam menerima pil itu, menelitinya
sebentar lalu menelannya tanpa ragu-ragu.
Setengah menit kemudian rasa sakit pada
kedua kakinya lenyap sama sekali, meskipun
keadaan kedua kaki itu diluarnya tidak ada
perubahan apa-apa.
"Terima kasih Wiro," kata Pagar Alam
sementara Mayang mengangkat adiknya yang
mulai siuman ke atas kereta. Malin si Kusir
bendi juga sudah sadarkan diri dan duduk
menjelepok di tanah sambil mengurut-urut
tulang iganya yang patah dan merintih
kesakitan. Wiro memeriksa keadaan kusir
bendi ini, mengurut dadanya di beberapa
bagian lalu memberikan sebutir pil. Kalau saja
dia dulu sudah mempelajari ilmu pengobatan
pada Kiai Bangkalan pastilah dalam waktu
yang singkat dia sanggup mengobati
penderitaan Pagar Alam dan si kusir bendi.
'Kalau aku boleh tanya, urusan apakah yang
telah membuatmu sampai menginjakkan kaki
di Pulau Andalas ini?" tanya Pagar Alam.
"Hanya sekedar ingin berkelana saja," jawab
Wiro tak mau menerangkan maksud
perjalanannya. Tapi kemudian dia ingat tanpa
mencari keterangan dan penduduk setempat
tak mungkin perjalanannya mencari pembunuh
Kiai Bangkalan akan mudah dilakukan. Maka
bertanyalah Pendekar 212: "Aku berniat pergi
ke bukit Tambun Tulang. Mungkin kau bisa
memberi petunjuk jalan mana yang musti
kutempuh agar bisa lekas sampai disitu?!"
Pagar Alam, Mayang dan si kusir bendi sama-
sama terkejut.
"Kau mau pergi ke Tambun Tulang, Wiro…?"
"Ya. Menurut si Tua Gila, orang yang tengah
kucari mungkin berada di situ…" tanpa
disadari oleh Wiro walau tadi dia
menyembunyikan maksud perjalanannya tapi
kini diungkapkannya sendiri.
"Siapakah orang yang kau cari itu?" tanya
Pagar Alam.
"Aku sendiri tak tahu siapa orangnya. Tapi
dia telah membunuh seseorang dan mencuri
sebuah kitab penting!"
"Tambun Tulang adalah bukit maut bagi
penduduk sekitar sini," kata Malin.
Dan Pagar Alam menyambungi: "Tak ada
seorangpun yang berani berada dekat-dekat
ke bukit itu. Bukit Tambun Tulang dan daerah
sekitarnya di bawah kekuasaan Datuk
Sipatoka. Seorang manusia bermuka setan
berhati iblis! Sejak usia belasan tahun dia
telah menebar kejahatan dan membunuh
ratusan manusia tanpa dosa! Setiap manusia
yang jadi korbannya atau anak-anak buahnya
dikumpulkan di satu tempat hingga lambat
laun, bertahun-tahun kemudian tempat itu
telah menjadi sebuah bukit putih yang terdiri
dari timbunan tulang belulang manusia!"
"Tua Gila ada menerangkan hal itu padaku,"
ujar Wiro.
"Dan manusia yang kau hajar tadi adalah
tangan kanan pembantu utama Datuk
Sipatoka. Di samping dia Datuk Sipatoka
masih mempunyai beberapa pembantu ber
kepandaian tinggi, memiliki beberapa puluh
anak buah yang kerja mereka bukan lain
daripada merampok dan memeras penduduk,
melarikan perempuan-perempuan desa tak
perduli apakah istri orang, apalagi anak-anak
gadis! Kemudian dari itu Datuk Sipatoka
memelihara pula puluhan ekor harimau yang
taat dan tunduk pada segala perintahnya!
Beberapa tokoh dunia persilatan pernah turun
tangan dan datang ke sana. Sampai saat ini
mereka tidak kembali. Kabar beritapun tidak
diketahui. Apalagi kalau bukan meregang
nyawa di bukit Tambun Tulang? Dua buah
partai silat belum tiga bulan yang lalu, secara
serempak menyerbu ke Tambun Tulang.
Hasilnya? Ratusan manusia mati percuma di
sana! Kau saksikan sendiri kehebatan keparat
bernama Gempar Bumi itu! Dan Datuk
Sipatoka mungkin sepuluh kali dari itu tinggi
ilmunya! Kejahatan Datuk Sipatoka dan
orang-orangnya sudah lewat batas, tak bisa
dibiarkan lebih lama lagi. Tapi siapa
manusianya yang sanggup menghadapi dia
dan anakanak buah serta harimau-harimau
peliharaannya itu?! Kehidupan penduduk
sekitar sini selalu dicekam rasa ketakutan
setiap hari!"
Wiro Sableng menghela nafas dalam. Kalau
kejahatan di atas dunia sudah demikian
besarnya, mengapa tokoh utama seperti Tua
Gila tidak mau turun tangan atau mungkin
pernah tapi tidak membawa hasil?
Tengah Wiro berpikir-pikir begitu Pagar Alam
berkata: "Kurasa memang ada kemungkinan
bahwa Datuk Sipatoka pembunuh dan pencuri
yang kau maksudkan. Dan sesudah kau tahu
siapa dia, apakah kau masih hendak
meneruskan niat pergi ke Tambun Tulang?".
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya.
"Sekali pergi pantang bagiku untuk kembali
pulang."
Pagar Alam mengagumi keberanian pemuda
ini.
"Kami hendak meneruskan perjalanan.
Kuharap kau sudi ikut sama-sama dan
mampir di rumahku. Kita bisa bicara banyak
hal dan siapa tahu aku dapat membantumu
dalam usahamu pergi ke Tambun Tulang."
Wiro menimbang sebentar. Kemudian dia
ingat akan ucapan Gempar Bumi sebelum
pergi tadi yaitu bahwa laki-laki itu akan
kembali pada tanggal tiga bulan di muka
pada hari peresmian berdirinya Perguruan
Kejora. Maka diapun menerima permintaan
Pagar Alam lalu naik ke atas bendi. Karena
Maljn masih sakit, terpaksa Wiro yang pegang
tali kekang kuda penarik bendi. Seumur
hidupnya baru kafi itulah Pendekar 212
menjadi kusir bendi!
Ketika hari menjelang pelang, Wiro minta diri
pada Pagar Alam dan keluarganya untuk
meneruskan perjalanan. Sebenarnya Pagar
Alam ingin menahan pemuda ini sampai
tanggal tiga bulan di muka yaitu pada hari
dia meresmikan berdirinya Perguruan Kejora
yang dipimpinnya. Namun sebagai seorang
laki-laki berhati jantan yang tidak ingin
memaksakan diri untuk mengandalkan orang
lain, Pagar Alam membatalkan niatnya itu.
Pendekar 212 pun meneruskan perjalanan.
Belum lagi seratusan meter dia meninggalkan
rumah Pagar Alam, disadarinya bahwa dia
tidak sendirian. Telinganya yang tajam telah
sejak lama mendengar suara orang
mengikutinya dengan sembunyi-sembunyi.
Karena khawatir orang itu adalah Gempar
Bumi yang berniat hendak membokongnya
maka Wiro pun berhenti dan memutar tubuh
seraya berseru: "Manusia tukang kuntit, tak
usah sembunyi! Segera perlihatkan
tampangmu!"
Suara Pendekar 212 bergema di seanfero
rimba belantara. Tapi tak satu orang pun
yang muncul! Wiro jadi penasaran. Sekali
meneliti saja dia sudah tahu di mana si
penguntit berada yaitu di belakang sebatang
pohon jati yang besarnya tiga pemeluk
tangan.
"Ayo lekas keluar! Kalau tidak jangan
menyesali"
Tetap saja orang yang sembunyi di balik
pohon tidak mau keluar.
Tanpa menunggu lebih lama Wiro segera
hantamkan tangan kanannya ke pohon jati
itu. Satu gelombang angin besar menderu
laksana topan"
"Kraak!"
Batangjati yang besarnya tiga pelukan
tangan manusia itu patah lalu tumbang
dengan mengeluarkan suara dahsyat ribut!
Dan pada kejap patahnya pohon itu sesosok
tubuh melompat sebat!
"Ah… kau!" seru Wiro ketika dia melihat siapa
adanya orang itu. "Untung saja kau tidak kena
celaka!"
Nyatanya dia bukan lain dari Mayang, anak
gadis Pagar Alam.
"Kenapa kau ikuti aku?!" tanya Wiro.
Paras sang dara memerah jengah.
"Aku tidak mengikutimu, saudara Wiro " kata
Mayang.
"Lalu?!" tanya Wiro dan dia tahu kalau si
gadis berdusta "Aku ingin balas dendam pada
si keparat Gempar Bumi!"
Wiro angguk-anggukkan kepala macam orang
tua.
"Kau memang seorang gadis berhati jantan!
Kupuji keberanianmu! Tapi kau pergi dalam
keadaan ayahmu masih sakit begitu rupa…?"
"Ibu bisa merawat ayah sendirian. Lagi pula
lukanya tidak berat…" , '
"Soalnya bukan adanya ibumu atau luka
ayahmu yang tidak berat itu. Tapi apa kau
lupa bahwa walau bagaimanapun ilmu
kepandaianmu tak sebanding dengan Gempar
Bumi? Sekali kau mencarinya bukankah itu
sama saja dengan sengaja mengantarkan
diri?! Apalagi se: minggu dimuka ayahmu
akan meresmikan Perguruan Kejora! Kau tentu
sangat dibutuhkannya…!"
"Tapi… tapi…."
Wiro tertawa dan melangkah ke hadapan
gadis itu
"Kembalilah pulang…."
"Tapi apakah… apakah kau tidak akan kembali
lagi… maksudku tidak akan mampir lagi ke
rumah?"
Wiro kembali tertawa.
"Tentu aku akan mampir lagi," sahut Wiro. Dia
maklum akan perasaan gadis ini. Dan gadis
yang diamuk perasaan seperti Mayang bukan
baru sekali ini ditemui oleh Pendekar
212. Soalnya apakah dia bersedia melayani
dan menurutkan kata hatinya. Diam-diam
Wiro Sableng ingat pada Permani. Mayang
tidak kalah kecantikannya dengan Permani,
dan juga telah banyak Pendekar 212 menemui
gadis-gadis cantik tapi entah mengapa dia
tak bisa melupakan Permani!
"Aku berjanji akan kembali," kata Wiro
meyakinkan Mayang. Tapi dara itu tak
beranjak dari hadapannya. Wiro mengeluh
dalam hati. Kalau lama-lama berdiri ber
hadap-hadapan seperti ini bisa celaka
pikirnya. Ditepuknya bahu Mayang seraya
berkata: "Pulanglah. Di lain hari aku akan
mampir menyambangimu." Habis berkala be
gitu Wiro berkelebat dan lenyap dari hadapan
Mayang. Sang dara hela nafas panjang.
Gemuruh hatinya kini berubah menjadi satu
kekecewaan, namun juga satu harapan
Mulutnya terkatup rapat-rapat sehingga kedua
rahangnya menonjol dan pelipisnya
menggembung. Sepasang matanya
memandang menyorot tak berkedip ke bawah
bukit kecil, ke arah sebuah kampung yang kini
hanya tinggal musnahannya saja berupa rerun
tuhan rumah-rumah yang telah jadi debu!
Jelas dilihatnya mayat-mayat yang
bergelimpangan di sana sini, mayat-mayat
manusia dan binatang-binatang yang mati
tertambus hidup-hidup di dalam api! Dan
yang paling menusuk matanya ialah mayat
anak-anak yang menemui kematian mereka
secara mengenaskan dalam pelukan ibu
mereka!
Tak ada lagi tanda-tanda kehidupan dalam
landasan kemusnahan itu! Kemusnahan yang
telah dilakukan oleh manusia-manusia jahat
tanpa rasa belas kasihan sama sekali!
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro
Sableng ingat akan kampung-kampung yang
dimusnahkan Dewi Siluman di Pulau Madura
tempo hari. Dan kemusnahan kampung yang
hari ini disaksikannya tidak ada beda, malah
lebih membuat luapan amarah menggejolak,
darahnya laksana api disiram dengan minyak!
"Siapakah manusia-manusia keparat yang
membuat kebiadaban begini rupa?!" tanya
Wiro Sableng padadirinya sendiri. Untuk
menjawab pertanyaan itu, pemuda ini segera
menuruni bukit dan memasuki kampung yang
telah musnah itu. Penyelidikannya tak
membawa ' hasil apa-apa. Dan hati
kemanusiaannya memaksa dia untuk
menggali beberapa buah lubang lalu
menguburkan mayat-mayat yang bergeletakan
di sana sini. Ratarata semua menemui
kematian akibat tusukan atau bacokan
senjata tajam!
Wiro melanjutkan perjalanan sewaktu
matahari tergelincir ke Barat. Kalau daerah
sekitar situ berada di bawah kekuasaan Datuk
Sipatoka, pastilah yang berbuat ganas itu
Datuk Sipatoka atau anak-anak buahnya! Dan
ini mendorong Wiro Sableng untuk
mempercepat perjalanannya Menjelang senja
dia berhenti di sebuah anak sungai dangkal
berair jernih. Wiro membuka pakaian dan
langsung masuk ke dalam sungai. Betapa
sejuknya air sungai itu. Tengah dia asyik-
asyik mandi mendadak sepasang telinganya
mendengar suara hiruk pikuk pekik manusia
banyak sekali di kejauhan! Ketika dia
memandang ke arah datangnya suara itu
maka tampaklah langit di arah itu kemerahan-
merahan!
"Kebakaran," pikir Wiro. Disudahinya
mandinya lalu naik ke darat dan berpakaian
dengan cepat. Sesaat kemudian dia sudah
berlari sekencang angin ke jurusan langit
malam yang merah menyala!
Ketika Pendekar 212 sampai ke tempat
kejadian itu, yang dilihatnya bukan cuma
kebakaran! Beberapa orang berpakaian hitam
bertempur melawan penduduk kampung.
Perempuan dan anak-anak berpekikkan dan
lari menyelamatkan diri. Kira-kira setengah
lusin mayat telah bergelimpangan di tanah!
Wiro segera maklum apa yang terjadi.
Kebakaran itu adalah kebakaran yang
disengaja dan pelakunya adalah manusia-
manusia berseragam hitam. Mereka bukan
saja membakar rumah-rumah penduduk dan
membunuh sewenang-wenang tetapi juga
merampok! Dan ketika Wiro memandang
berkeliling, dari dalam sebuah rumah yang
telah setengahnya dimakan api kelihatan
seorang laki-laki berpakaian hitam tengah
menyeret seorang perempuan muda yang
meronta dan menjerit-jerit!
Mendidihlah amarah Pendekar 212!
"Keparat betul!" bentak Wiro. Dia melompat
dan menghantam dengan tinju kanan!
Laki-lakt berpakian hitam yang tengah
menyeret perempuan muda tiada menyangka
akan mendapat serangan begitu rupa!
Karenanya dia tak sanggup mengelak, sama
sekali! Tubuhnya mencelat! Pekiknya setinggi
tangit! Begitu jatuh di tanah dia tak berkutik
lagi sebab.
kepalanya yang kena hantam rengkah
bermandikan darah dan air otak!
Wiro menyerbu ke tengah-tengah manusia-
manusia berseragam pakaian hitam lainnya
yang tengah menempur habis-habisan
penduduk yang coba mempertahankan hak
dan harta serta nyawa dan keselamatan
pribadi serta keluarga mereka! Dua orang
tergelimpang dihantam tendangan dan tinju
kirinya. Yang lima orang lainnya terkejut!
"Bedebah! Siapa kau?!" teriak salah seorang
dari! mereka.
Begitu habis berteriak orang ini melihat
sesuatu menyambar di hadapannya.
"Awas!" teriak kawan-kawannya.
Tapi orang itu tak keburu berkelit ataupun
menangkis. Yang dilihatnya berkelebat ialah
pukulan tangan kanan Wiro Sableng yang
melayang tepat-tepat ke keningnya!
"Praak!"
Orang itu menjerit!
Keningnya pecah! Nyawanya lepas!
Bukan saja empat kawannya menjadi kaget
tapi juga tergetar hati masing-masing!
Setelah memberi tanda serempak mereka
menyerbu! Pendekar 212 Wiro Sableng
diserang dari empat penjuru!
"Setan-setan kesasar! Keganasan kalian
cukup sampai hari ini! Makan ini!"
Wiro kirimkan dua pukulan dua tendangan!
"Wutt… wutt… wutt… wutt!" Keempat
serangannya hanya mengenai tempat kosong!
Wiro terkejut! "Bangsat, apakah mereka ini
punya ilmu melenyapkan diri?!" maki Wiro dan
memandang berkeliling! Dalam pada itulah
empat angin pukulan tahu-tahu melanda ke
arahnya dengan ganas!
Pendekar 212 menggereng macam harimau
lapar!
Kedua tangannya kiri kanan menghantam
berkeliling! Dua gelombang angin pukulan
yang dahsyat membadai berputar! Dua orang
pengeroyok terpekik! Tubuh mereka
berpelantingan. Satu menghantam pohon,
pinggangnya patah, nyawanya lepas! Yang
satu lagi begitu jatuh di tanah coba berdiri
tapi terus muntah darah dan kojor di situ
juga! Dua orang lainnya seputih kertas pucat
paras mereka. Yang satu tanpa pikir panjang
segera ambil langkah seribu. Kawannya
melompat ke balik sebatang pohon dan
keluarkan satu suitan nyaringi
"Monyet hitam! Tempat larimu adalah ke
akhirat!" teriak Wiro seraya hantamkan tangan
kanannya ke arah laki-laki yang ambil
langkah seribu!
Belum lagi angin pukulan Wiro sampai orang
itu telah memekik macam dihadang setan!
Kemudian pekiknya lenyap dan tubuhnya
mencelat beberapa tombak. Terguling di tanah
tanpa nyawa lagi!
Wiro Sableng segera pula hendak kirimkan
pukulan maut ke arah laki-laki yang
bersembunyi di balik pohon. Sekaligus dia
hendak hantam pohon dan orangnya! Tapi
baru tangan kanan diangkat, tahu-tahu empat
bayangan hitam melompat di hadapannya dan
serentak mengurungnya.
Wiro memandang berkeliling dengan cepat. Ke
empat manusia berpakaian dan berdestar
serba hitam itu rata-rata berbadan tegap dan
bertampang ganas. Keempatnya memelihara
kumis melintang. Dan pada dada pakaian
masing-masing terpampang gambar kepala
harimau warna kuningi Wiro teringat pada
.manusia bernama Gempar Bumi, pembantu
utama Datuk Sipatoka. Ada perbedaan gambar
harimau yang terpampang di dada pakaian
keempat orang ini dengan yang dilihatnya
pada dada pakaian yang dikenakan Gampar
Bumi. Perbedaannya ialah pada besar
kecilnya. Gambar kepala harimau di pakaian
Gempar Bumi besar sedang pada keempat
manusia ini agak kecil! Ini mungkin berarti
bahwa keempatnya adalah pembantu-
pembantu Datuk Sipatoka juga tapi dari
tingkat yang lebih rendah dari Gempar Bumi!
"Pemuda keparat! Melihat tampangmu nyata
kau bu-kan penduduk sini! Lekas katakan
siapa kau?!" membentak salah seorang dari
empat manusia berkumis melintang.
Wiro mendengus.
"Kau tak layak bertanya! Lebih bagus kau
tanyakan bagaimana caranya cepat-cepat
pergi ke neraka!" Dan habis berkata begitu
Wiro pukulkan tangan kanannya dalam jurus
serangan Kunyuk Melempar Buah yang
diperbawa dua perlima tenaga dalamnya!
Yang diserang terkejut melihat datangnya
angin keras ke arahnya dan dengan serta
merta pukulkan pula tangan kanannya ke
depan memapasi serangan lawan!
Dalam pada itu ketiga kawannya tidak tinggal
diam.
Serentak ketiganya menyerbu Pendekar 212
dari tiga jurusan! Seorang diantaranya
mencengkeram dengan kedua tangan dari
belakang!
Sekali melihat bagaimana pukulan kunyuk
melempar buahnya sanggup dipapasi lawan
dan melihat pula gerakan tiga orang lainnya
dalam melancarkan serangan itu Wiro segera
maklum bahwa keempatnya berkepandaian
tinggi yang tak bisa dianggap remeh! Kalau
dinilai masing-masing setiap dua manusia
yang mengeroyoknya itu sebanding dengan
kepandaian Gempar Bumi. Dengan kata lain
saat itu dia menghadapi dua. lawan
berkepandaian setinggi Gempar Bumi.
Pertempuran hebat berkecamuk!
Wiro andalkan ilmu meringankan tubuhnya
untuk mengelit serangan-serangan lawan
yang sangat ganas dan bertubi-tubi.
Tubuhnya merupakan bayangan-bayang putih
yang coba didesak oleh keempat manusia
berpakaian hitam-hitam itu! Karena telah
pernah bertempur melawan Gempar Bumi
maka sedikit banyaknya Wiro mengerti,
gerakan-gerakan lawan! Dan ini banyak
menolongnya Meski pada empat jurus
pertamanya dia kena didesak namun jurus-
jurus selanjutnya dia mulai berada di atas
angin. Serangan-serangannya membuat
keempat pengeroyok mundur terus-terusan
dan dalam jurus ke delapan salah seorang
dari mereka terjungkal ke luar kalangan
pertempuran dengan tulang dada dan
beberapa tulang iga ringsek dilanda
tendangan kaki kanan Wiro Sableng! Nafasnya
sesak, mulutnya megap-megap. Dari
kerongkongannya terdengar suara seperti
orang tercekik dan sesaat kemudian tubuhnya
tak bergerak lagi!
Kematian seorang kawan mereka membuat
tiga manusia baju hitam lainnya menjadi
tergetar. Apalagi sesudah dalam jurus-jurus
selanjutnya mereka dipaksa bertahan mati
matian dalam desakan hebat serangan
berantai Pendekar 212!
Salah seorang berseru memberi tanda. Wiro
menyangka mereka hendak melarikan diri
maka dia siapkan pukulan jarak jauh untuk
melabrak ketiganya bila mereka benar-benar
hendak kabur! Tapi dugaannya meleset!
Ketiga anak buah Datuk Sipatoka itu dalam
gerakan yang aneh yaitu lompatan-lompatan
macam katak menyerbunya dari tiga jurusan!
Wiro pukulan kedua tangannya berkeliling!
Tiga lawan gerakkan kedua kaki dan dalam
keadaan tubuh melayang di udara mereka
membuat satu lompatan lagi, begitu-Wiro
hendak menghantam ke atas, ketiganya tahu-
tahu sudah melesat ke bawah dan entah
kapan mereka menggerakkan tangan mereka
tahutahu tiga bilah keris hitam menderu ke
arahnya! Satu menusuk ke kepala, yang dua
lainnya membabat dari dua jurusan yang
berlawanan!
Wiro terkesiap kaget melihat serangan yang
hebat ini! Dengan cepat segera dia keluarkan
jurus pertahanan yang terlihay dari "Ilmu Silat
Orang Gila" yaitu yang dinamakan jurus
"Orang Gila Melenggang ke Awan!"
Kedua tangannya dikembangkan ke atas
sedang kedua kakinya menjejak ke tanah
mengandalkan tenaga dalam dan ilmu
meringankan tubuh! Laksana panah lepas dari
busurnya, tubuh Wiro Sableng melesat
melenggang lenggok ke atas dua kembangan
tangan yang mendatangkan angin bukan saja
sanggup menangkis tusukan keris yang
datang dari atas tapi sekaligus membuat
lawan terpelanting laksana daun kering
dihembus angin!
Meskipun tubuhnya selamat namun tak urung
pakaiannya masih sempat dirobek oleh ujung
keris salah seorang lawan yang menyerang
dari samping!
"Edan!" maki Wiro. Segera dia siapkan jurus
serangan Kunyuk Melempar Buah yang
mengandalkan sete-, ngah bagian tenaga
dalamnya!
Sementara itu salah seorang dari lawan-
lawannya yang bermata awas berseru:
"Kawan-kawan! Kulihat bangsat Ini
mengeluarkan Jurus ilmu Silat Orang Gila!
Pastilah dia muridnya Si Tua Gila! Ingat
bahwa Datuk kita punya dendam kesumat
terhadap Tua Gila pada empat puluh tabun
yang lalu?! Kalau kita musnahkan muridnya
ini pasti kita mendapat pahala besar dari
Datuk! Mari!"
Serentak dengan itu dan diikuti oleh kedua
kawannya maka menyeranglah dia! Tapi kali
ini ketiganya dibikin terkejut. Karena begitu
mereka bergerak Wiro hantamkan tangan
kanannya ke depan! Dua orang berseru keras
dan melompat ke samping! Yang seorang lagi
terlambat untuk selamatkan diri. Kedua
tangannya ditelakkan ke muka dada laksana
seorang yang berusaha menahan tindihan
benda berat yang tak kelihatan di depan
dadanyal Wiroputar sedikit telapak tangannya!
Laki-laki di depan sana menjerit keras!
Tubuhnya mental dan ketika menggeletak di
tanah kelihatan bagaimana seluruh tubuh
laki-laki ini terutama dari bagian dada ke atas
hancur memar laksana buah pepaya
dibantingkan ke batu!
Pucat pasilah wajah dua anak buah Datuk
Sipatoka lainnya! Mereka saling memberi
isyarat. Lalu mengeruk satu. pakaian masing-
masing dan sedetik kemudian enam puluh
batang jarum hitam yang mengandung bisa
jahat beterbangan ke arah Pendekar 212!
Jarum-jarum ini bentuknya sama dengan
senjata rahasia milik Gem-par Bumi. .Wiro
gerakkan tangan kanannya! Sebagian dari
jarum-jarum itu mental yang sebagian lagi
berbalik ke arah pemiliknya! Salah seorang
dari mereka tiada menduga hal ini hingga
terlambat untuk selamatkan diri!
"Akhhh…." Jerit maut ke luar dari mulutnya.
Belasan jarum menembus tubuh dan
jantungnya. Nyawanya le-pas saat itu juga!
Yang seorang lagi masih untung! Begitu lolos
dari bahaya maut segera putar tubuh untuk
ambil langkah seribu! Tapi perbuatannya ini
sia-sia saja karena lebih cepat dari itu satu
totokan telah menyambar punggungnya,
membuat dirinya tegak kaku kejap itu juga!
"Monyet hitam, sekarang kau akan jadi
penunjuk Jalanku! Kau musti antarkan aku ke
sarang majikanmu yang bernama Datuk
Sipatoka Itu!"
Mendadak terdengar jerHan perempuan yang
disusul oleh teriakan seorang laki-laki.
"Tolong! Anakku… anakku!"
Wiro berpaling cepat! Masih sempat dilihatnya
sesosok bayangan hitam memboyong lari
seorang gadis dan lenyap dikegelapan malam!
Wiro kerenyitkan kening, gigit bibir. Hatinya
memaki. Dia berpaling pada laki-laki. di
hadapannya dan berkata: "Monyet hitam!
Keadaan memaksaku membuat nasibmu lebih
baik dari kambrat-kambratmu yang lain! Kau
kulepaskan hidup-hidup! Tapi jangan lupa
sampaikan pesanku pada Datukmu bahwa
disatu hari dalam waktu yang singkat aku
akan membuat perhitungan dengan dia! Bila
dia menanyakan siapa aku, ini kutuliskan
namaku di keningmu!" Kemudian dengan
ujung jarinya Wiro menggurat angka 212 di
kuIH kening laki-laki itu! Lalu tanpa tunggu
lebih lama dia berkelebat ke jurusan
lenyapnya laki-laki yang memboyong gadis
tadi!
Namun satu teriakan memanggil membuat dia
hentikan lari!
"Wiro!" Wiro Sableng membalik dengan cepat.
Terkejutlah dia! Yang berseru memanggil
namanya bukan lain daripada Pagar Alam.
Laki-laki ini berdiri terhuyung-huyung dengan
sebatang pedang pendek menancap di
dadanya! Wiro melompat dan dengan cepat
membopong tubuh laki-laki itu ke langkan
sebuah rumah. Darah membasahi pakaian
hitam Pagar Alam dan menodai pakaian Wiro
sendiri!
Melihat kepada keadaannya tak mungkin
tertolong lagi. Nafas Pagar Alam tinggal satu-
satu. Parasnya pucat tanpa darah. Sedang
kedua matanya mulai mengabur.
"Bagaimana kau bisa sampai di sini, bapak??"
tanya Wiro. Kemudian pendekar ini mengutuki
dirinya sendiri. Dalam keadaan begitu
masakan dia ajukan pertanyaan demikian
rupa.
"Wiro, tolonglah selamatkan anakku….
Mayang dilarikan oleh…. Gempar Bu… mi…."
"Bedebah itu lagi!" desis Wiro dengan
geraham-geraham bergemeletukan!
"Kej… kejar dia, Wiro…."
"Tapi kau sendiri, pak…."
Pagar Alam kumpulkan sisa-sisa tenaganya
yang ada untuk dapat membuka mulut dan
mengeluarkan suara.
"Diriku tak… usah kau pikirkan nak. Tak ada
harapan…. Yang perlu Mayang. Nasib dan…
dan dirinya kuserahkan padamu. Kuharap
kalian…."'
Pagar Alam tak dapat meneruskan kata-
katanya. Kepalanya terkulai. Kedua matanya
terbalik dan nafasnya lepas meninggalkan
tubuh. Perlahan-lahan Wiro membaringkan
jenazah Pagar Alam di langkan rumah. Dipan
danginya tubuh tanpa nafas itu beberapa
ketika. "Nasib dan dirinya kuserahkan
padamu. Kuharap kalian…." Meski Pagar Alam
tak sempat menyelesaikan ucapannya, tapi
Wiro tahu apa kelanjutan kata-kata yang
hendak disampaikan laki-laki itu. Tanpa
menunggu lebih lama pemuda ini segera
meninggalkan tempat itu dengan cepat,
lenyap di jurusan perginya manusia yang
telah melarikan Mayang!
Hampir satu jam lamanya Wiro melakukan
pengejaran. Tapi sia-sia belaka. Di malam
gelap begitu rupa mana mungkin mencari dan
mengejar seseorang yang tak diketahui ke
mana perginya! Akhirnya di satu pesawangan
yang gelap gulita Wiro menghentikan larinya.
Di sekitarnya hanya suara jangkrik yang
kedengaran, yang sekali-sekali ditimpali oleh
suara ketekung kodok. Lapat-lapat terdengar
pula suara burung hantu mengerikan semen
tara angin malam bertiup dingin mencucuk
sampai ke tulang-tulang sumsum.
Wiro Sableng garuk-garuk kepala, menghela
nafas kesal. Ke-mana dia harus meneruskan
pengejaran? Jika menunggu sampai siang
pasti Mayang sudah tertimpa celaka dan tak
ada artinya menyelamatkan dara itu! Mungkin
Gempar Bumi melarikan Mayang langsung ke
Tambun Tulang? Ini berarti dia musti lekas-
lekas melakukan pengejaran ke sana. Dan
sekaligus untuk membuat perhitungan dengan
Datuk Sipatoka. Tapi bagaimana kalau
Gempar Bumi tidak membawa gadis itu ke
sana? Dan merusak kehormatan Mayang di
tengah jalan?! Pendekar 212 banting-banting
kaki karena gemas! Gemas karena tak bisa
berbuat apa-apa, sedangkan dia tahu gadis
itu pasti akan mendapat celaka malam ini
juga! Dirusak kehormatannya oleh Gempar
Bumi! Pan apakah lagi yang lebih berharga
bagi seorang gadis kalau bukan
kehormatannya?!
Wiro Sableng memandang ke langit di atasnya
yang hitam gelap. Tak ada bulan, tak ada
satu bintang pun yang kelihatan. Dan tubuh
pemuda ini bergetar bila dia membayangkan
apa yang bakal dilakukan oleh Gempar' Bumi
terhadap Mayang. Atau apakah kebejatan itu
telah dilakukan oleh Gempar Bumi?!
"Kalau betul-betul Hu dilakukannya, akari
kupatahkan batang lehernya! Akan ku patah k
ani" kata Wiro dengan hati menggeram!
Dihantamkan tinjunya dan "Brak!" sebatang
pohon yang tak punya dosa apa-apa patah
tumbang ke bumi!
Di malam sunyi dan gelap itu sesosok tubuh
berlari laksana angin kencangnya. Di bahu
kanannya terpanggul seorang dara berpakaian
hitam dalam keadaan tak berdaya. Dara ini
bukan lain Mayang. Dan laki-laki yang tengah
memboyongnya lari itu adalah Gempar Bumi!
Beberapa jam berlari, menjelang tengah
malam baru dia berhenti hanya sekedar untuk
beristirahat kemudian dia lari lagi hingga
akhirnya memasuki sebuah lembah yang
dialiri sebatang anak sungai. Sepanjang anak
sungai ini penuh dengan pohon tembakau. Di
salah satu bagian tepinya kelihatan sebuah
pondok. Setengah dari dasar pondok ini
berada di tebing sungai, setengahnya lagi di
atas sungai, ditopang oleh dua buah tiang
yang terbuat dari kayu yang tahan air.
Gempar Bumi membawa Mayang ke pondok
ini. Dua puluh tombak dia akan mencapai
pondok, pintu pondok tiba-tiba terbuka. Dan
diterangi oleh sinar pelita yang ada di dalam
pondok, kelihatan sesosok tubuh berpakaian
hitam berdiri di am-bang pintu dengan
rangkapkan kedua tangan di muka dada.
Ketika melihat orang yang datang dengan
membawa sesosok tubuh pada bahunya, laki-
laki ini kerenyitkan kening.
"Gempar Bumi, siapakah yang kau bawa ini?!"
orang itu bertanya begitu Gempar Bumi
sampai di hadapannya.
Gempar Bumi menyeringai.
"Sati! Malam ini biarlah aku yang menghuni
pondokmu!"
Ketika mengetahui yang dipanggul Gempar
Bumi adalah tubuh seorang dara berparas
jelita, laki-laki bernama Sati menelan
ludahnya.
"Dari mana kau dapat, Gempar Bumi?" tanya
Sati dan matanya meneliti tubuh dan paras
Mayang penuh arti.
"Semprul! Dari mana aku dapat bukan
urusanmu! Lekas pergi!"
Mata Satj tidak berpindah dari paras Mayang.
Perintah Gempar Bumi tidak diperdulikannya
malah dia melangkah lebih dekat kemudian
membisikkan sesuatu ke
telinga Gempar B,umi,
Marahlah Gempar Bumi mendengar bisikan
Sati.
"Kalau kau tak lekas berlalu dari hadapanku,
kupatahkan batang lehermu!"
Sati menjadi takut. Dengan langkah berat
akhirnya ditinggalkannya tempat itu.
Gempar Bumi masuk ke dalam pondok yang
berlantai papan. Sebagian dari lantai ditutup
dengan tikar pandan. Mayang dibaringkannya
di atas tikar. Setelah menutup pintu dan
memeriksa isi pondok. Gempar Bumi duduk di
hadapan Mayang lalu membuka jalan suara
gadis ini. Begitu jalan suaranya dibuka maka
mendampratlah Mayang.
"Manusia keparat! Lepaskan totokan ku…!"
"Ah, kau masih saja bersikap galak," kata
Gempar Bumi.
"Bedebah! Lepaskan totokan ku!"
"Kalau kau masih keras kepala terpaksa
kutotok jalan suaramu kembali!" mengancam
Gempar Bumi dan diulurkannya tangan
kanannya.
"Jangan sentuh!" teriak Mayang.
Gempar Bumi ganda tertawa Dibelainya pipi
gadis itu. Mayang memaki habis-habisan
sampai suaranya serak. "Dengar Mayang,
kalau kau mau bersikap lunak aku akan
kawini kati secara baik-baik, tapi…' "Siapa
sudi kawin dengan manusia anjing
macammu!" potong Mayang. "Tapi kalau kau
berkeras kepala macam ini jangan menyesal
akan kuperlakukan Secara kasar!" "Manusia
anjing, lebih bagus kau bunuh aku siang
siang! Saat ini juga…."
"Eh, apakah kau tidak takut mati?!"
"Lebih baik mati daripada jadi korban
kebejatanmu!"
Gempar Bumi tertawa mengekeh.
"Mati muda adalah mati yang paling rugi!
Kalau kau inginkan mati biarlah nanti terserah
pada putusan Tuhan! Yang penting kau harus
hidup dulu bersama-samaku…. Kau akan
merasakan betapa indahnya hidup ini nanti.
Betapa nikmatnya… betapa…."
"Tutup mulutmu bedebah! Bila kau menyentuh
tubuhku lalu membiarkan aku hidup, niscaya
sampai kelautan api pun akan kucari kau!
Akan kupenggal batang lehermu!"
Gempar Bumi tertawa gelak-gelak.
"Kurasa nanti itu kau mencariku bukan untuk
membunuh tapi untuk mengajak kembali
menikmati segala keindahan hidup itu! Ha…
ha… ha… ha!"
"Keparat! Kalau aku betul-betul panjang umur
akan kupancung lehermu! Akan kucincang
seluruh tubuhmu sampai lumat!"
"Ilmu silatmu ilmu silat kampungan!" ejek
Gempar Bumi: "Menghadapiku beberapa jurus
saja sudah tak sanggup, bagaimana mungkin
kau hendak mencincangku?!"
"Kalau tidak aku ada orang lain yang akan me
lenyapkanmu dari muka bumi ini!"
"Aha… siapa kira-kira orangnya?!" tanya
Gempar Bumi sambil puntir-puntir ujung
kumisnya yang tebal melintang.
"Guruku!"
"Gurumu?!" Gempar Bumi tertawa membabak.
"Perempuan tua renta yang bernama Inyak
Nini itu? Kepandaiannya cuma lima enam kali
saja lebih tinggi dari kau! Dalam sepuluh
jurus, mungkin kurang, pasti sudah jadi mayat
dia kalau berani berhadapan denganku!"
Mayang mendengus.
"Kalaupun guruku kalah masih banyak orang-
orang. sakti berilmu tinggi yang sewaktu-
waktu sanggup membunuhmu! Juga melabrak
majikanmu yang bernama Datuk Sipatoka itu!"
"Begitu? Aku ingin tahu siapa saja orang-
orang sakti itu?!" ujar Gempar Bumi.
"Di antaranya pemuda berambut gondrong
yang mempecundangimu tempo hari!" sahut
Mayang.
Berubahlah paras Gempar Bumi. Dia memang
tak pernah melupakan pemuda itu. Selama
menjadi pembantu utama Datuk Sipatoka
yang ditakuti di delapan penjuru angin Pulau
Andalas belum pernah dia menghadapi lawan
yang setangguh itu, bahkan memaksa dia
untuk mengundurkan diri dengan muka tebal
karena malu.
"Ah, kalau cuma bangsat muda itu siapa
takutkan dia? Tempo hari aku sengaja
menghentikan pertempuran karena ada urusan
yang lebih penting! Kalau diteruskan niscaya
tidak kuampunkan jiwanya…."
"Justru pemuda itulah yang masih memberi
kelonggaran padamu untuk ambil langkah
seribu!"
Gempar Bumi menggeram dalam hati. Tiba-
tiba tangannya diulurkan kembali dan kali ini
dengan cepat menyelusup ke balik baju hitam
yang dikenakan Mayang! Gadis ini berteriak
dan memaki! Sebaliknya dengan seringai
nafsu yang mengembang kempiskan cuping hi
dungnya, jari-jari tangan Gempar Bumi
menggila di atas dada sang dara!
Bagaimana Mayang dan ayahnya sampai di
kampung yang tengah dimusnahkan anak-
anak buah Datuk Sipatoka itu? Dan sampai
Gempar Bumi berhasil melaksanakan niatnya
melarikan si gadis?
Seperti telah diceritakan sebelumnya. Pagar
Alam hendak meresmikan berdirinya satu
perguruan yang dinamakannya Perguruan
Kejora, Tapi karena adanya maksud Gempar
Bumi untuk datang pada hari peresmian itu
dan mengadakan kekacauan serta terutama
sekali hendak melarikan Mayang, mau tak
mau Pagar Alam mengundurkan peresmian
berdirinya Perguruan Kejora. Dia harus
mencari seorang yang dapat diandalkan yang
sanggup menghadapi Gempar Bumi dan
kawan-kawannya. Karena itu sesudah luka
pada kedua kakinya sembuh bersama Mayang
laki-laki ini dengan mengendarai dua ekor
kuda berangkat ke Danau Maninjau, tempat
kediaman Inyak Ninik, guru Mayang.
Di tengah jalan mereka berhenti dan menginap
di sebuah kampung. Justru pada malam itu
pula anak-anak buah Datuk Sipatoka di
bawah pimpinan Gempar Bumi mendatangi
kampung itu, merampok dan membakar serta
melarikan gadis-gadis dan istri penduduk kam
pung! Gempar Bumi tidak menduga kalau di
kampung itu terdapat pula Mayang dan Pagar
Alam di tengah-tengah penduduk. Tentu saja
ini sangat menggembirakan Gempar Bumi.
Gadis itu berada di depan matanya kini, tak
perlu dia menunggu berlama-lama! Ketika dia
hendak menyergap Mayang mendadak
didengarnya suara suitan nyaring di sebelah
Barat kampung! Gempar Bumi kaget, demikian
juga empat anak buahnya! Suitan itu adalah
tanda bahaya! Bersama keempat orang itu
Gempar Bumi cepat menuju ke Barat
kampung. Mayang bisa diringkusnya nanti. Itu
soal mudah. Dia ingin tahu bahaya apakah
yang tengah dihadapi anak-anak buahnya di
bagian Barat sana! Dan sewaktu dia sampai
di bagian Barat kampung, berubahlah
parasnya. Untung saja malam itu gelap
hingga keempat anak buahnya tak dapat
melihat perobahan parasnya itu!
Seorang pemuda berpakaian putih, berambut
gondrong tengah mengamuk dengan hebat.
Dan pemuda ini bukan lain pemuda yang
telah mempecundanginya tempo hari! Meski
dia membawa anak-anak buah yang
berkepandaian tinggi namun untuk
menghadapi Wiro Sableng saat itu Gempar
Bumi tidak mempunyai nyali! Dilain hal kalau
dia melibatkan diri menempur si pemuda,
mungkin tak akan kesampaian lagi sekali ini
niatnya untuk melarikan Mayang.
Maka tanpa tunggu lebih lama Gempar Bumi
segera perintahkan keempat anak buahnya
untuk menyerang Wiro Sableng.
"Bunuh bangsat itu!" demikian dia
memerintah! Dan dari tempat gelap dia
memperhatikan jalannya pertempuran. Dan
bukan main terkejutnya Gempar Bumi ketika
dalam tempo yang singkat Wiro berhasil
mempereteli anak-anak buahnya satu demi
satu! Padahal keempat anak buahnya itu
berkepandaian hanya dua tingkat saja di
bawah kepandaiannya! Nyali Gempar Bumijadi
tambah mencair! Ketika anak buahnya yang
ketiga jatuh menjadi korban Wiro Sableng
tidak tunggu lebih lama saat itu juga Gempar
Bumi segera tinggalkan tempat itu.
Mayang dan ayahnya ditemuinya tengah
bertempur melawan beberapa anak buahnya
dari tingkatan yang lebih rendah. Akan Pagar
Alam, begitu melihat kemunculan Gempar
Bumi, tersiraplah darahnya! Dia tahu apa
artinya ini, maka segera saja dengan sebilah
pedang pendek laki-laki ini melompat ke
hadapan Gempar Bumi dan menyerangnya
dengan satu tebasan yang dahsyat!
Walau bagaimanapun Gempar Bumi bukan
tandingan Pagar Alam, meski dia bersenjata
golok dan lawan bertangan kosong namun
Pagar Alam dalam dua jurus saja sudah kena
didesak oleh Gempar Bumi. Melihat ayahnya
terdesak. Mayang segera memberikan
bantuan! Tetapi saja pertempuran tidak
berjalan seimbang. Gem-par Bumi berhasil
merampas pedang di tangan Pagar Alam dan
dengan senjata itu dia mendesak kedua ber
anak!
Dalam satu gebrakan yang hebat Gempar
Bumi berhasil menyelundupkan pedangnya
dan menancap dengan tepat di dada Pagar
Alam. Sesaat kemudian Mayang berhasil
ditotoknya hingga tak bisa bersuara tak bisa
bergerak. Dengan memboyong Mayang.
Gempar Bumi kemudian meninggalkan tempat
itu. Pagar Alam dalam keadaan tak berdaya
dan bergumul dengan maut hanya bisa
berteriak minta tolong! Dan teriakannya ini
terdengar oleh Pendekar 212 Wiro Sableng
yang kemudian segera melakukan
pengejaran….
Darah di tubuh Gempar Bumi laksana air
mendidih bergejolak. Tangannya
menggerayang di sekujur tubuh Mayang yang
tak bisa berbuat suatu apa selain berteriak
dan menangis.
Sementara itu Sati yang disuruh meninggalkan
pondoknya berlari di kegelapan malam tanpa
tujuan. Ingatannya masih tertuju pada gadis
itu. Tak dapat dilupakannya parasnya yang
jelita, kulitnya yang mulus kuning langsat dan
potongan tubuhnya yang montok padati
Ingatan kepada Mayang membuat larinya
kadang-kadang tertegun-tegun. Hatinya
mendorong-dorong agar kembali ke pondok
itu. Siapa tahu Gempar Bumi berubah haluan
dan berbaik hati mau memberikan sedikit
bagian kepadanya! Kalaupun tak dapat bagian
mengintip pun jadilah. Dan semakin besar
rasa yang mendorong-dorong di hati Satt,
Akhirnya laki-laki ini memutar tubuhnya, dan
kembali lari menyusuri jalan yang sebelumnya
telah ditempuhnya. Kembali ke pondok di tepi
sungai itu!
Ketika sampai di pondok itu segera Sati
mencari sebuah lobang tempat mengintip
dengan hati-hati sekali.
Sekujur tubuhnya menggigil, lututnya goyah,
darahnya memanas dan seperti menyungsang
mengalirnya ketika dari lobang di dinding
pondok dia menyaksikan pemandangan yang
terpampang di depan matanya, di bawah
penerangan pelita.
Gadis itu terhampar di atas tikar, menangis
serak. Sebagian tubuhnya tak kelihatan,
tertutup oleh tubuh Gempar Bumi yang mandi
keringat! Dan keduanya tanpa selembar
pakaianpunl Berkali-kali Sati meneguk
ludahnya. Seperti hendak diterjangnya saja
dinding pondok di hadapannya dan menerobos
masuk ke dalam, menggulung tubuh gadis itu.
"Ah, tentu dia sudah tidak gadis lagi!" desis
Sati. "Keparat betul si Gempar Bumi ini!"
Mendadak Gempar Bumi menghentikan segala
gerak yang dibuatnya laki membalik dengan
cepat Sepasang matanya memandang liar
berkeliling dan tiba-tiba tangan kanannya
dipukulkan ke dinding pondok sebelah kanan.
"Braakl"
Dinding itu berlobang besar.
Di luar pondok seseorang terdengar berteriak:
"Keterlaluan kau Gempar Bumi! Kawan sendiri
diserang!"
"Sati keparat! Kau berani kembali dan
mengintip? Kau akan terima hukuman berat
dariku!" teriak Gempar Bumi marah sekali.
Dengan cepat dia mengenakan pakaian
hitamnya lalu melompat ke pintu. Namun
sebelum pintu itu sempat dibukanya, di
atasnya terdengar suara sesuatu yang ambruk
dan ketika Gempar Bumi memandang ke atap
pondok, sesosok tubuh melayang turun dan
satu sinar putih berkiblat melanda ke arahnya!
Terkejut Gempar Bumi bukan alang kepalang!
Dihadapannya berdiri seorang perempuan tua
renta berpakaian putih. Tubuhnya sangat
bongkok sedang di tangan kanannya
tergenggam sebilah pedang yang terbuat dari
perak dan berkilauan ditimpa sinar pelita.
Begitu melihat perempuan ini, Mayang
berseru:
"Guru!"
Si perempuan tua lemparkan sebuah mantel
untuk menutupi tubuh Mayang.
Mendengar seruan Mayang tadi Gempar Bumi
maklum kini bahwa perempuan tua di
hadapannya bukan lain Inyak Nini, guru gadis
yang barusan saja dirusak kehormatannya!
Nama Inyak Nini sudah sering didengarnya,
tapi baru kali ini dia berhadapan. Tak bisa dia
menduga sampai di mana kehebatan
perempuan ini walau sebelumnya di hadapan
Mayang dia telah menganggap Inyak Nini
seorang lawan enteng yang bisa dirobohkan
nya di bawah sepuluh jurus!
"Manusia bejat!" suara Inyak Nini bergelar.
"Kau harus bayar dengan kau punya jiwa atas
perbuatan yang kau telah lakukan terhadap
muridku!"
Gempar Bumi tertawa sedingin angin malam.
"Apa kau masih belum tahu berhadapan
dengan siapa, nenek-nenek bongkok?!"
Inyak Nini meludah ke lantai. Ludahnya merah
karena susur yang senantiasa menyumpal di
mulutnya.
"Nama Gempar Bumi terlalu sering kudengar!
Terlalu memuakkan untuk didengar! Dan
malam ini aku akan menumpas segala
kemuakan itu!"
Tanpa banyak cakap lagi, Inyak Nini
melompat ke muka. Pedang perak di tangan
kanannya berkiblat. Angin tebasan menderu!
Gempar Bumi mengelak dengan sebat lalu
selipkan satu serangan balasan, tapi senjata
lawan membalik ganas membuat dia
melompat mundur dan memasang kuda-kuda
baru! Ternyata Inyak Nini bukan lawan yang
bisa dibuat main-main.
Tiba-tiba sesosok bayangan hitam muncul di
ambang pintu.
"Gempar Bumi, biaraku yang hadapi setan tua
ini!" kata orang yang di ambang pintu. Dia
bukan lain daripada Sati.
"Sati keparat!" bentak Gempar Bumi- "Kau
tetap di tempatmu dan awas kalau berani lari!
Kau akan terima hukuman dariku!"
Menciut hati Sati. Maksudnya hendak
menghadapi Inyak Nini adalah sebagai
penebus kesalahannya. Ternyata Gempar Bumi
tidak mau ambil perduli dan tetap akan
menjatuhkan hukuman terhadapnya. Dia
berpikirpikir untuk Jari tapi itu tentu membuat
Gempar Bumi akan bertambah-tambah
kemarahannya! Karenanya Sati berdiri di
ambang pintu itu dengan hati yang tidak enak
dan serba salah!,
Pondok itu tidak seberapa besar karenanya
tanpa senjata agak sukar juga bagi Gempar
Bumi menghadapi amukan Inyak Nini. Pedang
perak bersiuran kian kemari, memapas dan
membacok, sedang tusukan-tusukan ganas
meluncur berulang kali! Namun mata Gempar
Bumi yang tajam segera melihat kelemahan-
kelemahan jurus ilmu pedang yang dimainkan
oleh lawannya. Segera dia menggempur
tempat-tempat pertahanan yang lemah ini
hingga pertempuran berjalan berimbang
beberapa lamanya!
"Tua renta sialan! Makan ini!" teriak Gempar
Bumi. Tangannya mengetuk saku, sedelik
kemudian puluhan jarum mendengung laksana
tawon, menyambar ke arah Inyak Nini! Inyak
Nini terkejut! Serta merta dia putar per
dangnya. Belasan jarum hitam mental dan
luruh ke lantai. Tapi beberapa di antaranya
tak sanggup dipapasinya dengan pedang, dan
terus menembus dagingnya!
Inyak Nini menggerung macam serigala dan
menyerbu dengan dahsyat! Dia sudah tahu
keganasan racun yang terendam di jarum
hitam itu. Meski dia telah kerahkan tenaga
dalamnya untuk menutup beberapa jalan
darah yang penting agar racun jahat itu tidak
merambas ke jantungnya namun tetap saja
rangsangan jarum bermembobolkan jalan
darah, terus mengalir menuju jantung! Inyak
Nini sadar bahaya besar yang mengidap
dalam dirinya. Dalam tempo dua puluh empat
jam jika tidak terdapat pertolongan pasti
jiwanya melayang!
Gempar Bg#i tertawa sewaktu mengetahui
senjata rahasianya berbasil menemui sasaran
di beberapa bagian tubuh lawan.
"Perempuan tua! Lebih baik kau bunuh diri
sebelum racun jarum itu menghancurkan kau
punya jantung!"
"Manusia dajal kau musti menyertaiku ke
akhirat!" teriak Inyak Nini lalu menggembor
dan menyerang dengan dahsyat.
"Braak!"
Sambaran pedang Inyak Nini mengenai tempat
kosong dan menghantam dinding pondok
hingga hancur bobol! Gempar- Bumi
pergunakan kesempatan ini untuk menyerang
dari samping! Tapi "Buuk!" Tahu-tahu ten
dangan kaki kanan Inyak Nini bersarang di
bahunya! Tubuhnya terhuyung-huyung
beberapa langkah dan bahunya sakit bukan
main!
"Perempuan bedebah!" maki Gempar Bumi.
Mulutnya komat kamit, tubuhnya
membungkuk hampir sebungkuk Inyak Nini
sedang kedua tangan terkembang kemuka
dengan sepuluh jari-jari menekuk!
Inyak Nini maklum kalau lawan hendak
keluarkan jurus ilmu silat yang hebat. Maka
tidak menunggu lebih lama dia mendahului
menyerang dengan pedang di tangan! Dalam
detik itu pula Gempar Bumi keluarkan suara
keras macam harimau meraung dan tubuhnya
berkelebat ke depan! Gerakan kedua
tangannya asing seka» bagi Inyak Nini, suara
seperti harimau meraung yang ke luar dari
mulut Gempar Bumi membuat perempuan tua
itu terkesiap dan bergidik!
Kemudian terdengarlah pekik perempuan tua
itu!
Dan menyusul pula pekik Mayang yang
melihat paras gurunya berlumuran darah
mengerikan!
Inyak Nini terhuyung-huyung sampai lima
langkah ke belakang. Kulit mukanya
terkelupas dalam lima guratan yang dahsyat,
parasnya berselomotan darah sedang pedang
perak di tangan kanannya sudah berpindah ke
dalam tangan kanan Gempar Bumi! Sungguh
dahsyat jurus "Mencakar Kepala Ular Naga,
Merampas Busur Pemanah", yang telah
dilancarkan Gempar Bumi tadi. Jurus itu
adalah salah satu jurus terhebat dari "Ilmu
Silat Harimau".
"Apakah masih belum mau bunuh diri?!" ejek
Gem-par Bumi.
Inyak Nini tidak menjawab. Lututnya menekuk
dan tubuhnya perlahan-lahan turun ke bawah
macam orang hendak roboh. Tapi mendadak
diiringi satu lengkingan dahsyat perempuan
ini melompat ke muka, hantamkan kedua tinju
kiri kanan dan lancarkan dua tendangan susul
menyusul! Ini adalah satu serangan percuma
saja. Rasa marah, dendam kebencian yang
bertumpuk di hati Inyak Nini membuat dia
lupa memperhitungkan bahwa lawannya tidak
lagi bertangan kosong saat itu, tapi
menggenggam pedang perak miliknya sendiri!
Sekali Gempar Bumi memutar pedang, maka
terdengarlah raungan Inyak Nini. Kedua
lengannya terbabat putus, salah satu kakinya
luka parah!
Mayang menjerit lalu menangis tersedu-sedu!
Inyak Nini terhampar di lantai pondok.
Tubuhnya berkelojotan beberapa detik
kemudian diam tak berkutik lagi
Gempar Bumi melangkah cepat-cepat ke
hadapan tubuh Mayang dan memanggul gadis
yang telah hilang keperawanannya itu.
"Bunuh aku! Bunuh aku keparat!"
"Kau terlalu banyak rewel!" hardik Gempar
Bumi dan menotok jalan darah di leher
Mayang hingga Mayang di samping, kaku tak
bisa bergerak kini juga tak dapat keluarkan
suara!
Di ambang pintu Gempar Bumi hentikan
langkahnya dan memandang dengan sorot
mata melotot pada Sati yang berdiri dengan
paras pucat.
"Kesalahanmu terlalu besar Sati…!"
Sati menjatuhkan dirinya dan menangis
macam anak kecil. "Harap kau sudi
mengampuni aku. Gempar Bumi," pintanya.
"Aku ampuni jiwamu! Tapi lekas korek salah
satu matamu yang suka mengintip itu!
Lekas!"
"Gempar Bumi!" Sati menggerung dan
bersujud.
"Keparat! Lekas korek matamu," bentak
Gempar Bumi. "Atau aku sendiri yang akan
mengorek keduaduanya sekaligus?!"
Sati maklum tak ada lagi keringanan baginya.
Daripada hilang dua mata atau hilang jiwa
lebih baik dia cepat-cepat mengorek salah
satu matanya! Dengan jarijari tangan kanan
Sati kemudian menusuk mata kirinya.
"Craas!"
Biji mata itu mencelat ke luar bersama
busaian darah. Sati terduduk di ambang
pintu; merintih-rintih menahan sakit yang
tiada taranya!
"Itu lebih bagus bagimu daripada mampus!"
kata Gempar Bumi pula. Lalu dengan tubuh
Mayang di bahunya dia segera hendak
tinggalkan tempat itu. Namun langkahnya
terhenti. Kedua kakinya laksana dipakukan ke
tanah! Di Timur pondok terdengar suara orang
membentak. "Manusia jahanam! Berani
bergerak satu langkah saja kupecahkan batok
kepalamu!"
Waktu suara teriakan orang di malam buta itu
belum habis gemanya ketika tahu-tahu
sesosok tubuh sudah berdiri tujuh langkah di
hadapan Gempar Bumi!
Paras Gempar Bumi mendadak sontak
berubah pucat putih laksana kain kafan!
Mayang dengan susah payah coba putar mata
memandang ke muka! Satu harapan muncul di
hatinya sewaktu melihat bahwa yang datang
itu benarlah orang yang diduganya. Kalau
saja mulutnya sanggup bersuara pastilah dia
akan berseru memanggil nama orang itu!
"Turunkan gadis itu…! Cepat!"
"Bangsat! Dia milikku! Kalau kau inginkan dia
silahkan ambil sendiri!" jawab Gempar Bumi.
Lalu tak ayal lagi segera dia cabut Keris "Si
Penyingkir Jiwa".
"Dajal bermuka manusia, kali ini jangan harap
ada
ampun bagimu!" Orang ini hantamkan tangan
kanannya ke arah kaki Gempar Bumi. Satu
gumpalan angin yang bertenaga tiga
perempat tenaga dalam menyambarde ngan
cepat! Gempar Bumi buru-buru melompat.
Tengkuknya terasa dingin ketika memandang
ke bawah dan melihat bekas angin pukulan
lawan! Tanah dan pasir ber muncratan.
Sebuah lobang besar kelihatan di tanah! Itu
lah akibat pukulan "Kunyuk Melempar Buah"
yang telah dilepaskan oleh si pendatang tadi
yang bukan lain Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 Wiro Sableng adanya!
Menghadapi lawan tangguh berkepandaian
tinggi dengan memanggul tubuh Mayang
tentu saja sangat berbahaya bagi Gempar
Bumi. Maka sebelam Wiro kembali lancarkan
serangan. Gempar Bumi sudah meletakkan
tubuh Mayang di tanah.
Sesaat kemudian terjadilah pertempuran yang
hebat! Kalau dalam pertempuran pertama
dulu kelihatannya agak seimbang itu adalah
karena Wiro masih memberi hati terhadap
Gempar Bumi. Tapi hati ini tak ada lagi
segala macam belas kasihan di hati Pendekar
212 Wiro Sableng. Melihat tubuh Mayang
yang hanya tertutup sehelai mantel dia sudah
tahu apa yang dilakukan Gempar Bumi
terhadap gadis itu!
Sebenarnya, di satu tempat pada malam itu
Wiro sudah berniat menghentikan
pengejarannya terhadap Gempar Bumi.
Sementara dia mencari tempat yang baik
untuk tidur tapi lapat-lapat didengarnya suara
teriakan, suara pekik raungan. Suara itu
didengarnya sampai berulang kali dan dari
arah yang sama! Penuh curiga, Wiro laksana
terbang segera lari ke jurusan sumber suara.
Dia berada beberapa puluh tombak, di satu
pedataran tinggi sewaktu di ambang pintu
sebuah pondok yang diterangi oleh pelita
dilihatnya berdiri seorang laki-laki berpakaian
hitam, memanggul sesosok tubuh! Meski
dalam jarak sejauh itu Wiro tak dapat melihat
jelas tampang manusia itu namun dia yakin,
orang ini pastilah Gempar Bumi!
Keris hitam di tangan Gempar Bumi laksana
puluhan buah banyaknya. Serangannya
mencurah seperti hujan deras! Tak jarang
sekaligus dia mengirimkan beberapa buah
tusukan dalam satu jurus serangan!
Betapapun hebatnya Gempar Bumi, namun
segala kehebatannya Hu hanya sepuluh jurus
saja sanggup diperlihatkannya. Jurusjurus
berikutnya dia telah kena didesak hebat oleh
permainan silat "Orang Gila" yang mulai
dikembangkan Wiro. Dalam keadaan terdesak
Gempar Bumi lepaskan… senjata rahasianya.
Tapi tiada guna Sekali Wiro hantamkan
telapak tangan kirinya ke muka jarum-jarum
hitam itu bermentalan kian ke mari!
"Aku minta tangan kirimu dulu, Gempar bumi!"
kata Wiro. Tubuhnya maju cepat ke muka
dalam gerakan yang terhuyung-huyung.
Gerakan ini bagi Gempar Bumi merupakan
suatu gerakan yang sangat mudah untuk di
serang! Segera dia tusukkan Keris Penyingkir
Jiwa ke dada lalu setengah jalan robah
menusuk ke kepala! Namun dalam gerakan
yang tak teratur Wiro berhasil mengelit
tusukan itu.
Dan Gempar Bumi memekik keras sewaktu
tahutahu tangan lawan telah mencengkeram
lengan kirinya!
Gempar Bumi menusuk lagi dengan kalap.
Tapi tubuhnya terbanting ke kanan dan
"Kraak!"
"Suara "kraak" itu disusul dengan suara
pekikan setinggi langit dari mulut Gempar
Bumi! Lengan kirinya sebatang bahu tanggal,
daging dan urat-urat berbusaian! Darah
memancur! Laki-laki ini menjerit-jerit
kesakitan!
"Berteriaklah memanggil majikanmu Datuk
Sipatoka!" ejek Wiro. Tiga jari tangan kirinya
menyusup ke depan.
"Kraak!"
Untuk kedua kalinya terdengar lagi pekik
Gempar Bumi. Dua buah tulang iganya yang
sebelah kanan patah!
"Kau akan mampus dengan menderita lebih
dulu, Gempar Bumi keparat! Kau akan terima
imbalan atas dosa-dosa kejimu!" Kembali
dengan mengeluarkan jurus-jurus silat Orang
Gila yang dipelajarinya dari Tua Gila, Wiro
tusukkan lagi dua jari tangan kanannya.
"Craas!"
, Gempar Bumi melolong.
Biji matanya yang sebelah kanan berbusaian
keluar. Tubuhnya terhuyung nanar.
"Sati! Bantu aku!" teriak Gempar Bumi.
Tapi Sati sudah sejak lama terhampar di muka
pintu pondok dalam keadaan pingsan!
"Kenapa tidak minta bantuan pada setan-
setan penghuni sekitar tempat ini?! Bukankah
kau manusia turunan iblis juga hah?!" bentak
Wiro dan melangkah mendekati Gempar Bumi.
Gempar Bumi mundur terus. Tiba-tiba kakinya
menginjak sesuatu dan tak ani pun lagi
tubuhnya tergelimpang jatuh punggung
menimpa sesosok tubuh. Muianya di
sangkanya, tubuh yang terhimpit badannya itu
adalah tubuh Sati tapi ketika ditolehnya
ternyata tubuh Mayang. Satu pikiran terlintas
di kepala Gempar Bumi. Meski bagaimanapun
dia tak ada harapan untuk hidup!
"Pemuda keparat! Kau inginkan perempuan
ini! Ambillah!" teriak Gempar Bumi dan
serentak dengan itu dihunjamkannya Keris Si
Penyingkir Jiwa ke dada Mayang!
Laksana orang kemasukan setan Wiro Sableng
meraung! Seantero bergetar! Sinar putih
melesat menyambar ke arah Gempar Bumi!
Laki-laki ini coba membuang diri ke samping
untuk menghindarkan Pukulan Sinar Matahari
itu tapi sia-sia saja! Sebagian dari tubuhnya
kena tersambar dan hangus hitam! Gempar
Bumi menjerit. Terguling di tanah sampai
enam tombak dan mengerang kesakitan.
Meski dalam beberapa kejap mata lagi Gem-
par Bumi akan segera menghembuskan nafas
penghabisan namun Wiro masih belum puas.
Dia melompat ke muka, mencengkeram
rambut dan dada Gempar Bumi. Terdengar
suara patahnya tulang leher manusia terkutuk
itu! Tamatlah riwayat kedurjanaan Gempar
Bumi!
Wiro Sableng lari menghampiri Mayang.
Dipangkunya gadis ini. Darah telah
membasahi dada yang tiada tertutup apa-
apa. Wiro tak mem perduIikan darah yang
membasahi pula pakaiannya.
"Mayang…" bisiknya.
"Mayang," panggil Wiro lebih keras. Diusapnya
kening dan rambut perempuan itu. Sepasang
mata Mayang membuka sedikit. Yang
kelihatan lebih banyak putihnya daripada
hitamnya.
"Wi… ro…." Mata yang sudah mengabur itu
masih sanggup juga mengenali wajah di
depannya. "Sakit sekali rasa… nya…."
"Kau… kau akan kuobati. Kau akan sembuh,"
kata Pendekar 212 tersendat-sendat karena
dia tahu katakatanya itu tak bakal menjadi
kenyataan.
Mayang juga tahu ajalnya akan sampai.
Seulas senyum muncul di bibirnya. Dan pada
kejap matanya ditutupkan, nafasnya berhenti.
Malaekat maut telah mengambil nyawanya.
Dia mati dengan senyum masih membayang
di bibirnya yang mungil dan agak membuka
sedikit. Wiro tak tahu entah sudah berapa
lama dia merangkuli tubuh yang tidak
bernafas dan mulai mendingin itu. Dia baru
sadar ketika di ufuk Timur kelihatan sinar te
rang. Ternyata fajar telah menyingsing.
Dipandanginya lagi wajah Mayang
dikeheningan pagi yang segar. Perlahan-
lahan ditundukkannya kepalanya dan
diciumnya bibir yang membuka itu dengan
segala rasa kasih dan mesra. Kemudian
diangkatnya tubuh Mayang, dibawanya ke
pondok. Di pintu pondok tergelimpang tubuh
Sati yang masih dalam keadaan pingsan.
Wiro gerakkan kaki kanannya. Tubuh Sati
mencelat mental, dadanya remuk. Dan kalau
tadi tubuhnya tak bergerak karena pingsan
maka kali ini tubuh itu tak berkutik lagi tanpa
nafas!
Di dalam pondok Wiro menemui mayat
seorang perempuan tua: Dia tak tahu siapa
perempuan tua ini adanya tapi sepintas lalu
saja Wiro sudah maklum bahwa perempuan
tua itu seorang yang berilmu tinggi dan dari
go-longan putih. Karenanya sesudah menggali
kubur untuk Mayang, digalinya lagi sebuah
kubur lain untuk perempuan tua itu. Dan bila
sang surya muncul menerangi jagad raya
maka di muka pondok di tepi sungai itu
kelihatanlah dua buah kuburan saling
berdampingan…. Matahari berada di titik
tertingginya tanda saat itu tengah hari tepat.
Angin dari barat bertiup keras, menggoyang
dan melambai-lambaikan segala daun-daun
pepohonan hingga menimbulkan suara
gemerisik yang keras. Pendekar 212 Wiro
Sableng berdiri di satu pedataran tinggi. Tak
d i perdu I ikannya keterjkan sinar matahari.
Tak diacuhkannya butirbutir keringat yang
turun mendekati alis matanya yang tebal.
Juga tak di perdulikannya hembusan angin
yang keras. Seperti tak terdengar di telinganya
suara gemerisik daun-daun pepohonan. .
Sepasang mata dan perhatian Pendekar 212
tertuju lurus-lurus ke muka. Jauh di
hadapannya menjulang sebuah bukit putih. Oi
sebelah Timur kaki bukit putih tampak sebuah
bangunan besar yang juga berwarna putih,
dikelilingi oleh pagar tinggi putih. Wiro
memandang lagi ke bukit putih itu. Dia tahu
bukit itu kalau didekati bukan lain dari
tumpukan tulang belulang dan tengkorak
manusia yang jadi korban Datuk Sipatoka dan
anak buahnya! Berapa ribukah manusia yang
telah menjadi korban keganasan itu?! Berapa
ribukah tulang belulang dan tengkorak
manusia ditumpuk demikian rupa hingga
kemudian menjadi sebuah bukit yang
mengerikan? Bukit Tambun Tulang?!
Wiro memperhatikan baik-baik rumah besar
dan sekitarnya. Rumah besar ini beratap
seperti tanduk kerbau. Pada masing-masing
ujung terdapat sebuah tangga sedang di
bagian samping terdapat lagi empat buah
tangga yang menghubungkan tanah dengan
pintu rumah besar.
Yang membuat Wiro Sableng merasa aneh
ialah karena matanya tidak melihat seorang
manusia pun baik di dalam atau di luar pagar
putih yang tinggi itu! Kenapa suasana begini
tenangnya di tempat yang dikabarkan paling
mengerikan dan membawa maut?! Atau
mungkin itu bukan bukit Tambun Tulang yang
di hadapannya?!
Wiro tak mau membuang waktu lebih lama
untuk tenggelam dalam Segala macam pikiran
begitu rupa. Diperbaikinya letak Kapak Maut
Naga Geni 212 yang tersisip di pingang di
balik baju putihnya. Kemudian diambilnya
buntalan yaag terletak dekat kakinya dan
sekali berkelebat dia sudah melompat sejauh
delapan tombak, terus lari laksana tiupan
angia menuruni lereng pedataran tinggi.
Ketika dia sampai ke pagar putih itu suasana
masih tenang-tenang saja seperti sediakala.
Dan waktu memandang ke muka terkejutlah
Wiro. Ternyata pagar putih itu terbuat dari
susunan tulang belulang dan tengkorak
manusia! Wiro tekaakaa telapak tangan
kirinya ke pagar tulang belulang dan
«jeodareng. Astaga! Pagar itu kokoh luar
biasa! Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya!
Tetap saja pagar itu tak bergerak apalagi
bobol!
Wiro memandang berkeliling lalu mendongak
ke atas. Menurut taksirannya pagar itu
setinggi dua puluh tombak lebih. Bagian
atasnya rata oleh susunan tengkorak kepala
manusia. Wiro melompat ke cabang sebuah
pohon besar. Dia melompat-lompat di atas
cabang itu beberapa kali untuk menambah
daya lenting cabang lalu dengah satu gerakan
yang lebih keras maka tubuhnya terlempar
melesat ke atas susunan tengkorak. Setelah
meneliti beberapa saat lamanya baru Wiro me
layang turun ke halaman dalam Begitu
kakinya menginjak tanah kembali dia meneliti
keadaan sekitarnya. Rasa ngeri menyelinap di
hati pendekar ini sewaktu mengetahui bahwa
rumah besar yang terletak tiga puluh tombak
di hadapannya ternyata dari tiang-tiang
sampai ke atapnya terbuat dari tulang
belulang dan tengkorak manusia!
Belum lagi Pendekar 212 sempat menindas
rasa ngeri ini mendadak semua pintu dan
jendela-jendela rumah besar terpentang lebar!
Terdengar suara mengaum dahsyat laksana
halilintar! Tanah yang dipijak Wiro Sableng
bergetar hebat! Sekejap kemudian dari pintu-
pintu dan jendela-jendela rumah besar
berserabutan ke luar puluhan ekor harimau
besar, mengaum memperlihatkan taringnya
yang besar runcing lalu serempak menyerbu
ke arah Wiro Sableng!
Wiro sadar kalau dia lelah masuk ke dalam
perangkap kematian! Segera dia songsong
serangan harimau itu sekaligus! dengan dua
pukulan "Kunyuk Melempar Buah!" Belasan
harimau terdorong dan terpelanting tapi
sesaat kemudian dengan serempak mereka
telah menyerang kembali! Dan sewaktu sekilas
Wiro memandang berkeliling kejutnya bukan
olah-olah! Seluruh halaman itu telah penuh
dengan harimau! Dia merasa laksana berada
di tengah lautan harimau! Dan kesemua
binatang itu sama-sama menyerbu, bersirebut
Cepat untuk merobek atau menerkam
tubuhnya!
Melihat gelagat maut ini Wiro segera cabut
Kapak Naga Geni 212. Kapak di tangan kanan
dan Pukulan Sinar Matahari siap di tangan
kiri maka Wiro Sableng mulai bergerak
menghadapi puluhan harimau!
Melihat kilauan dan angin deras ganas yang
keluar dari Kapak Naga Geni 212, binatang-
binatang itu tampak tertegun dan bersurut
mundur. Tapi cuma beberapa ketika saja.
Sesaat kemudian mereka sudah menggerung
dan menyerbu kembali. Wiro kiblatkan Kapak
Naga Geni 212 dan hantamkan tangan kiri!
Lima ekor harimau mengaum dahsyat dan
rebah bermandikan darah kena di-sambar
Kapak Naga Geni 212. Kira-kira selusin
lainnya mati hangus dilanda Pukulan Sinar
Matahari! Jika dia menghadapi seorang
manusia mungkin dia sudah bertempur
seratus jurus lebih! Puluhan ekor harimau
telah dttewaskannya! Namun yang masih
tinggal menyerang lebih ganas lagi laksana
kemasukan roh gaib karena melihat genangan
darah kawan-kawan mereka!
Wiro putar terus Kapak Naga Geni 212 dan
tangan kirinya tiada henti memukul ke depan
atau ke belakang. Akhirnya lima belas ekor
harimau yang masih hidup yang menjadi
ngeri melihat amukan pemuda ini bersurut
mundur. Setelah sama-sama menggerung
kesemuanya melompat masuk ke dalam
rumah besar dan di saat itu pula semua
jendela serta pintu tertutup kembali! Melihat
ini Wiro segera tahu bahwa seseorang telah
menggerakkan alat rahasia untuk membuka
dan menutup pintu!
Tapi di mana orangnya sembunyi dia tidak
tahu. Dan agaknya Wiro tidak memperdulikan
lagi hal itu. Tubuhnya terasa letih! Keringat
membasahi pakaiannya. Tulang-tulangnya
laksana bertanggalan dari persendian.
Kejurusan mana saja dia memandang hanya
bangkaibangkai harimau yang kelihatan. Dan
suasana yang diliputi kesunyian itu membuat
Wiro benar-benar jadi bergidik! Keletihan
membuat dia duduk terhenyak di tanah.
Sambil mengatur jalan nafas dan darah serta
mengembalikan tenaganya kedua matanya
senantiasa berlaku awas. Entah perangkap
apa lagi yang bakal menghadangnya!
Bila dirasakannya kekuatannya sudah putih
maka Wiro segera menyelidiki keadaan rumah
besar tempat sarang harimau-harimau itu.
Tak kelihatan tanda-tanda adanya manusia di
situ tapi Wiro yakin bahwa setiap gerak pasti
tengah diawasi orang dari tempat yang ter
sembunyi! Sementara itu kedua kakinya telah
kotor oleh genangan darah harimau dan tanah
yang sudah menjadi lumpur akibat darah
binatang-binatang itu!
Wiro Sableng akhirnya hentikan penyelidikan.
Dia mendongak ke atas, dengan kerahkan
tenaga dalam dia berteriak:
"Datuk Sipatoka! Beginikah caranya kau
menyambut tamu yang datang untuk
menyelesaikan urusan? Harap ke luar
perlihatkan dirimu…!"
Baru saja Wiro berteriak begitu tiba-tiba
dirasakannya tanah berlumpur yang
dipijaknya bergetar. Kedua kakinya laksana
disedot! Wiro melompat ke salah sebuah
tangga rumah besar yang terbuat dari tulang!
Kejutnya bukan alang kepalang. Halaman di
mana bergelimpangan puluhan harimau itu
kelihatan mencekung memanjang dari Utara
ke Selatan dan pada pusatnya membentuk
sebuah lobang besar. Telinganya menangkap
suara berkereketan. Astaga rumah besar di
mana dia berada sedikit demi sedikit amblas
sedang bangkai-bangkai harimau
bergelindingan ke pusat cekungan.
"Gendeng betul!" maki Wiro. Cepat-cepat dia
melompat ke atas atap rumah yang berbentuk
tanduk ker bau dan dari sini melompat lagi ke
puncak pagar tengkorak! Sewaktu dia sampai
di atas puncak pagar da memandang ke
bawah, seperti mimpi dia rasanya. Rumah
besar dan bangkaibangkai harimaa lenyap!
Yang kelihatan kini ialah sebuah halaman rata
yang tertutup rumput hijau! Wiro menggosok
matanya Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Dia
tidak bermimpi! Tapi bagaimana keanehan ini
bisa terjadi?!
Dalam selubungan rasa heran dan terkejut itu
tiba-tiba dia melihat sebuah pintu di kaki
pagar sebelah Timur. Tadi sama sekali tidak
dilihatnya pintu itu, kini kenapa tahu-tahu
sudah terpampang begitu rupa! Lagi-lagi,
keanehan yang tak bisa dimengerti oleh Wiro.
Dan mendadak pintu itu terbuka. Wira cepat
raba Kapak Naga Geni 212-nya. Ampun! Yang
muncal bukan bahaya yang dikhawatirkannya
tapi dua orang gadis jelita berpakaian kuning
bergemerlapan ditimpa sinar matahari.
Keduanya melangkah di halaman berumput
dan berhenti cepat di tengah-tengah. Mereka
mendongak ke arah ujung pagar tempat Wiro
berdirj dengan bantalan di tangan kiri lalu
salah seorang di antaranya berseru.
'Tamu berpakaian putih-putih silahkan turun!"
"Kalian siapa?!" tanya Wiro.
"Kami adalah pesuruh-pesuruh Datuk
Sipatoka!"
"Kalau begitu katakah padanya bahwa aku
hendak
bertemu dengan dia."
'Turunlah! Kami antarkan kau padanya!"
Wiro berpikir sejenak. Seruan dara jelita itu
kerasnya bukan main, menggetarkan pagar
tulang belulang di mana dia berada. Bukan
mastahil dengan mengandalkan kedua dara
berbaju kuning ini musuh hendak memasang
perangkap baru baginya!
"Suruh saja Datuk Sipatoka datang ke sini!"
ujar Wiro. Jelas kelihatan pembahan pada
wajah kedua dara berpakaian kuning.
"Nyalimu besar sekali! Tapi mengapa disuruh
turun untuk diantar menghadap Batak
Sipatoka kau tak mempunyai keberanian sama
sekali?!"
"Sialan! Kalau aku tak punya keberanian
masakan mau datang kemari?! Lekas panggil
Datukmu! Katakan aku membawa oleh-oleh
bagus untuknya!"
Kedua dara berpakaian kuning kerutkan
kening. Yang seorang, yang sejak tadi
berdiam diri saja tiba-tiba buka mulut
keluarkan suara:
"Sekali kau bisa datang ke sini jangan kira
sanggup ke luar hidup-hidup!"
Wiro Sableng tertawa. "Setiap ada datang
musti ada pergi! Setiap ada masuk musti ada
keluar!"
Si dara baju kuning mendengus.
"Apa matamu buta, tidak melihat keadaan
sekitarmu?!"
Wiro tersentak dan memandang berkeliling.
Tak ada hal-hal yang mencurigakan yang
dilihatnya. Tapi hidungnya mencium hawa
aneh yang membuat sendi-sendi di sekujur
tubuhnya menjadi linu kesemutan dan
jantungnya bergetar. Ditelitinya lagi keadaan
sekelilingnya. Dan kali ini terkejutlah dia!
Sekeliling pagar tinggi itu terselimut semacam
asap tipis yang tak akan kelihatan bila tidak
diperlihatkan sungguh-sungguh. Asap tipis
aneh inilah yang mengeluarkan hawa yang
tercium oleh Wiro.
Di bawahnya terdengar suara bergelak sang
dara baju kuning.
"Sekali kau berani melompat coba menerobos
Asap Seribu Tulang itu, kau akan lumpuh
cacat seumur hidup! Lekas turun!"
Wiro tahu bahwa ucapan itu bukan sekedar
untuk menakut-nakutinya. Dia telah rasakan
sendiri kehebatan asap itu. Pemandangannya
agak berkunang-kunang sedang debaran
jantungnya bertambah keras! Heran, padahal
dia telah digembleng demikian rupa hingga
kebal terhadap segala macam racun tapi
mengapa asap seribu tulang itu masih
sanggup mempengaruhinya?!
Dengan kertakkan rahang Wiro Sableng
melompat turun. Untuk beberapa detik
lamanya dia saling pandang memandang
dengan kedua dara baju kuning. Dan dalam
hatinya Wiro berkata: "Buset, gadis-gadis
begini cantik jadi pesuruh Datuk Sipatoka!
Geblek betul!" Agaknya kedua gadis pun lelah
terpesona melihat kegagahan tam-pang
Pendekar 212. Namun yang seorang segera
membentak:
"Lekas ikut kami!"
"Awas! Kalau kalian menjebakku, kalian akan
mampus percuma!" peringatkan Wiro.
Kedua gadis tak berkata apa-apa dan
melangkah menuju pintu di sebelah Umur,
Wiro mengikuti di belakang penuh waspada.
Tangan kanannya senantiasa siap dekat hulu
Kapak Naga Geni 212 untuk menjaga se-gala
kemungkinan yang ada! Mereka memasuki
pintu di sebelah Timur pagar tulang belulang.
Begitu masuk begitu pintu tertutup dengan
sendirinya. Wiro melipat gandakan
kewaspadaannya. Sepuluh langkah meninggal
kan pintu terdapat tangga tulang yang
menurun ke bawah, disusul oleh sebuah
lorong sepanjang dua puluh tombak. Lorong
itu kemudian bercabang dua. Kedua dara baju
kuning membelok ke kiri. Wiro mengikuti.
Tengkuknya terasa dingin sewaktu memasuki
lorong ini. Lorong ini baik bagian lantai
maupun atas serta samping dilapisi dengan
tulang-tulang manusia, dihias dengan
beberapa tengkorak kepala yang dibuat
sedemikian rupa hingga seperti bunga!
Lewat sepeminum teh Wiro merasa tambah
tidak enak.
"Ini ke mana?!" tanyanya.
"Jangan banyak tanya! Ikut sajalah!" sentak
dara baju kuning paling muka.
Tak lama kemudian lorong Hu sampai juga ke
ujungnya. Sebuah pintu gerbang kelihatan di
depan, dikawal oleh dua orang dara berbaju
kuning dan dua ekor harimau yang luar biasa
besarnya, jauh lebih besar dari harimau-
harimau yang telah dihadapi Wiro
sebelumnya! Ketika Wiro memandang ke
bagian atas pintu gerbang tulang belulang ilu,
di situ terdapat rentetan huruf-huruf yang
terbuat dari tulangtulang iga manusia yang
berbunyi : ISTANA SIPATOKA.
Pintu gerbang Hu diberi hiasa gaba-gaba
untaian tulang-tulang manusia. Kedua gadis
menyibakkan gabagaba ini laju memberi jalan
pada Wiro Sableng.
Pendekar 212 tak segera masuk. Dia
memandang ke dalam dengan mata
menyelidik dan terkesiap. Di hadapan pintu
gerbang itu terhampar sebuah halaman
berumput yang dihias arca-arca besar yang
terbuat dari tulang belulang! Di seberang
halaman berumput kelihatan bagian depan
sebuah bangunan yang sangat indah yang
atapnya berbentuk tanduk kerbau. Seluruh
bangunan terbuat dari tulang putih, diukir-
ukir. Meskipun indah tapi keindahan itu
dibayangi kengerian bagi Pendekar 212.
"Ayo masuk!" seru dara baju kuning.
Wiro menggigit bibir. Meski hatinya bimbang
untuk masuk tapi sudah terlambat untuk
kembali. Dengan kuatkan hati besarkan nyali
tapi juga penuh waspada Pendekar 212
memasuki pintu gerbang Istana Sipatoka.
Sampai di hadapan tangga gedung besar dari
tulang belulang kedua gadis baju kuning
hentikan langkahnya.
'Terus masuk ke ruang tengah. Datuk Sipatoka
telah menanti kedatanganmu!" kata salah
seorang dari daradara baju kuning.
"Kalian sendiri mau ke mana?"
"Apa urusanmu?!"
Wiro memaki dalam hati. Sepasang matanya
meneliti suasana sebentar lalu menaiki
tangga. Dilewatinya ruangan muka dan sesaat
kemudian dia sudah berada di satu ruangan
tengah yang amat luas. Kira-kira dua puluh
orang kelihatan duduk di ujung dalam
ruangan, di atas kursi-kursi yang terbuat dari
tulang-tulang kaki, tulang iga dan tulang
punggung manusia! Semuanya berpakaian
hitam, hanya seorang yang berpakaian lain
dari yang lain.
Orang yang berpakaian lain dari yang lain ini
duduk di deretan terdepan sebelah tengah.
Tubuhnya cebol sekali, demikian cebolnya
hingga kedua kakinya tidak mencapai lantai
ruangan! Tidak berpadanan dengan tubuhnya
yang cebol itu, kepalanya amat besar sekali,
demikian juga telinganya. Rambutnya panjang
menjulai bahu, kumis tebal melintang dan
janggut macam janggut kambing! Sepasang
matanya yang merah menyorot tajam,
keseluruhan air muka manusia ini
membayangkan kebengisan!
Inikah Datuk Sipatoka? Pikir Wiro. Kalau betul
maka melesetlah dugaannya. Sebelumnya dia
menduga manusia bernama Datuk Sipatoka
itu bertubuh tinggi kekar, tapi nyatanya cebol
begitu rupa.
Di samping potongan tubuh dan raut
wajahnya yang bengis itu ada beberapa hal
yang menjadi perhatian Wiro Sableng. Yang
pertama ialah pakaian manusia cebol ini. Dia
mengenakan jubah pendek macam rok
bertangan panjang yang terbuat dari kulit
harimau, kuning berbelang hitam. Di seluruh
pakaiannya ini bergantungan puluhan keris-
keris emas berhulu gading, tanpa sarung dan
panjangnya kira-kira tiga perempat jengkal!
Itulah hal kedua yang menarik perhatian Wiro.
Hal ketiga ialah kedua tangan manusia ini
yang berwarna hitam legam tanda dia
memiliki semacam ilmu pukulan yang hebat
dan mengandung racun jahat!
Wiro berdiri di tengah ruangan besar itu,
sejauh dua puluh tombak dari deretan kursi
terdepan. Suasana sesunyi di pekuburan. Tak
ada yang bergerak, tak ada yang buka suara.
Hanya pandangan-pandangan mata yang
saling bentrokan dengan pandangan mata
Wiro Sableng! Ketika hampir setengah
peminum teh suasana masih sunyi juga, Wiro
akhirnya berkata:
"Apakah aku berhadapan dengan Datuk
Sipatoka dari Tambun Tulang?!"
Si tubuh cebol kepala besar memandang
lekat-lekat pada Wiro lalu tengadahkan
kepala dan tertawa gelakgelak! Suara
tertawanya demikian dahsyat hingga meng
getarkan sekujur tubuh Wiro Sableng dan
menyendatnyendat jalan darahnya. Buntalan
di tangan kirinya kalau saja tidak
dipegangnya erat-erat pastilah akan terlepas!
Wiro kaget bukan main! Cepat-cepat dia
kuasai jalan darah dan kerahkan tenaga
dalam untuk menolak gempuran suara tawa
yang dahsyat itu.
"Istana Sipatoka di bawah bukit Tambun
Tulang! Siapa datang jangan harap bisa
pulang!" si cebol kepala besar tiba-tiba
keluarkan suara. Kata demi kata yang di
ucapkannya itu laksana genta yang memukul
jalan pendengaran Wiro Sableng hingga
kembali pendekar ini merasa tergetar sekujur
tubuhnya. Cepat-cepat pula Wiro lipat
gandakan tenaga dalamnya kembali.
Dan di hadapan sana Datuk Sipatoka kembali
buka suara. Ucapan-ucapannya laksana bait-
bait pantun.
"Delapan puluh lima harimau pengawal Istana
Sipatoka telah musnah! Halaman luar banjir
darah! Entah apa pangkal sebabnya. Hingga
tamu tak dikenal berbuat demikian rupa?!"
Wiro kerenyitkan kening mendengar ucapan-
ucapan berpantun ini. Setelah merenung
sejenak maka dia pun menjawab dengan
ucapan berpantun pula!
"Jauh berjalan menyeberangi samudera.
Mengarung maut mengadu jiwa. Kalau tidak
ada pangkal sebabnya. Masakan mau berbuat
sedemikian rupa?"
Semua orang kelihatan saling berpandangan
sedang Datuk Sipatoka sendiri naikkan
sepasang alis matanya. Dan saat itu Wiro
berkata pula:
"Delapan puluh lima harimau mati percuma!
Pemiliknya bertanya berpura-pura. Kenapa
tamu tak dikenal berbuat begitu rupa?
Padahal dia yang memulai silang sengketa?!"
Datuk Sipatoka berbatuk-batuk lalu
menjawab:
"Silang sengketa apa gerangan adanya!
Berhadapan pun baru hari ini! Kalau sudah
bosan hidup katakan saja! Mengapa datang
sengaja mencari mati?!"
Wiro tertawa mengekeh.
"Datuk Sipatoka! Aku muak bicara berpantun-
pantun macam orang main sandiwara tapi
untuk mengusut urusan yang telah kau buat
di Pulau Madura!"
"Urusan apa, hai orang gila?!" tanya Datuk
Sipatoka yang saat itu masih merah mukanya
karena ucapan Wiro tadi.
"Di Pulau Madura kau telah membunuh
seorang bernama Kiai Bangkalan dan mencuri
sebuah kitab miliknya!"
Paras Datuk Sipatoka berubah. Lalu dia
tertawa gelak-gelak untuk melenyapkan
perubahan paras itu!
"Jangan bicara tak karuan di sini! Apa kau
punya bukti atas tuduhanmu itu?!"
"Dua buah keris yang menancap di mata Kiai
Bangkalan sama dengan keris-keris yang
bergelantungan dipakaianmu!" sahut Wiro
Sableng.
"Ocehanmu bagus sekali!" tukas Datuk
Sipatoka.
Wiro menyeringai.
"Kita akan lihat aku yang mengoceh atau kau
yang berkicau macam burung kehilangan
sarang!" Habis berkata begitu Wiro keruk saku
bajunya dengan tangan kanan dan
melemparkan sebuah benda ke hadapan kaki
Datuk Sipatoka. Benda itu adalah robekan
kulit harimau yang ditemui Wiro
dipertapaannya Kiai Bangkalan di Pulau
Madura tempo hari.
"Itu adalah robekan pakaianmu yang kutemui
di tempat Kiai Bangkalan! Apakah kau masih
mau mungkir? Terlalu pengecut seorang
sepertimu mencoba untuk mungkir!"
Air muka Datuk Sipatoka membesi.
"Katakan siapa namamu dan apa sangkut
pautnya dengan Kiai Bangkalan?!"
"Namaku telah kusampaikan beberapa hari
yang lalu lewat seorang anak buahmu," sahut
Wiro seraya memandang berkeliling lalu
menunjuk pada seorang lakilaki yang di
keningnya tertera tiga buah angka 212. Laki
laki inilah yang memiliki pondok di tepi
sungai yang telah dipergunakan Gempar Bumi
untuk memperkosa Mayang."
Datuk Sipatoka tidak palingkan kepala. Dia
memang telah mendapat laporan dari anak
buahnya itu tapi tidak menyangka kalau inilah
pemudanya yang telah "mengukir" tiga buah
huruf itu di kening anak buahnya!
"Dan tentang sangkut pautnya dengan Kiai
Bangkalan, bukan urusanmu untuk
menanyakan!"
"Pemuda nyalimu setinggi gunung! Kau toh
tidak mempunyai tiga kepala enam tangan?!
Mungkin hendak mengandalkan ilmu silat dan
kesaktian? Jauh-jauh datang ke mari hanya
untuk mencari mati!"
Wiro tertawa dingin.
Ini membuat Datuk Sipatoka menjadi naik
darah. Dia memandang berkeliling. Namun
sebelum dia memerintah anak buahnya untuk
turun tangan Wiro Sableng memotong:
"Datang jauh-jauh aku tidak bertangan
kosong, Datuk. Sengaja aku membawa oleh-
oleh untukmu!"
Setelah berkata begitu Wiro lemparkan
buntalan yang sejak tadi dipegangnya di
tangan kiri.
"Apa ini?!".sentak Datuk Sipatoka.
"Silahkan buka sendiri!" jawab Wiro
seenaknya.
Meski hatinya teramat geram namun Datuk
Sipatoka berikan isyarat pada seorang anak
buahnya. Anak buahnya ini segera berdiri dari
kursi, melangkah dan membungkuk membuka
ikatan buntalan yang terletak dihadapan kaki
Datuk Sipatoka.
Begitu buntalan terbuka maka gemparlah seisi
ruangan!
Yang terbungkus dalam buntalan itu ternyata
adalah kepala manusia! Matanya sebelah
kanan hanya merupakan rongga besar yang
tergenang darah beku dan serabutan urat-
urat. Seluruh muka berselimutkan darah yang
mengering! Meski kepala itu sudah demikian
rusak dan busuk namun tak ada satu orang
pun di ruangan tersebut yang tak
mengenalinya! Kepala itu adalah kepala
Gempar Bumi! Pembantu utama Datuk
Sipatoka!
Datuk Sipatoka dikungkung pelbagai macam
rasa. Marah, heran, dan entah apa lagi!
Mungkin juga dirinya dirayapi rasa ketakutan!
Gempar Bumi adalah pembantu utamanya
yang berkepandaian sangat tinggi di antara
anak buahnya! Tapi tokh dia mati demikian
rupa! Dan siapa lagi kalau bukan pemuda di
hadapannya itu yang telah membunuh
Gempar Bumi!
"Bedebah bernama 212! Tak ada jalan lain!
Kematianmu terpaksa kupercepat!" Datuk
Sipatoka memandang berkeliling lalu
memerintah dengan suara menggeledek:
"Semua yang ada di sini serbu bedebah itu!
Hancur lumatkan tubuhnya hingga jadi debu!"
Maka dua puluh orang laki-laki berseragam
hitam berlompatan dari kursi masing-masing.
Enam orang di antaranya adalah pembantu-
pembantu kelas satu dengan gambar kepala
harimau kuning besar di dada pakaiannya.
Selebihnya pembantu-pembantu biasa tetapi
yang tingkat kepandaiannya tak bisa
dianggap sepele!
Ketika menyerbu pembantu-pembantu biasa
dan pembantu-pembantu kelas dua langsung
mencabut keris. Pembantu-pembantu kelas
satu hanya mengandalkan tangan kosong!
Melihat serbuan yang laksana air bah ini Wiro
Sableng bersuit nyaring dan cabut Kapak
Naga Geni 212 sedang tangan kiri sudah
memutih laksana perak oleh aji Pukulan Sinar
Matahari!
Begitu tawan menyerbu Wiro segera bergerak.
Terdengar suara pekikan! Dua orang
pembantu kelas satu terhuyung-huyung,
muntah darah dan rubuh! Tiga orang
pembantu kelas dua terduduk di lantai dan
rebah tak berkutik lagi. Empat orang
pembantu-pembantu biasa mencelat mental
dan jatuh bergelimpangan di lantai tanpa
nafas!
Datuk Sipatoka kaget luar biasa. Anak-anak
buahnya demikian juga bahkan Pendekar 212
Wiro Sableng ikut terkejut!
Waktu lawan-lawan menyerbu, Wiro memang
sudah gerakkan kedua tangan tapi sama
sekali belum menghantam! Dirasakannya satu
sambaran angin luar biasa dahsyatnya di atas
kepalanya lalu beberapa penyerangnya roboh!
Datuk Sipatoka keluarkan sebuah lonceng
kecil dan menggoyang-goyang nya beberapa
kali. Empat puluh daradara jelita berseragam
kuning muncul dengan pedang di tangan.
Mereka adalah pesuruh-pesuruh istana tapi
yang sekaligus merangkap peliharaan Datuk
Sipatoka!
"Lepaskan asap seribu tulang! Tutup semua
jalan keluar!" perinlah Datuk Sipatoka pada
dara-dara itu. Begitu perintah dikatakan
begitu keempat puluh gadis itu lenyap dari
pemandangan Wiro Sableng.
Datuk Sipatoka memandang ke langit-langit
ruangan di belakang Wiro lalu membentak:
"Orang yang sembunyi di atas loteng silahkan
turun perlihatkan diri!"
Wiro Sableng kerenyitkan kening sewaktu dari
atas loteng terdengar suara tertawa bergelak.
Dia rasa-rasa pernah mendengar tawa macam
begitu tapi tak bisa menduga dengan pasti
siapa orangnya!
"Sipatoka, kau belum layak melihat diriku!"
kata orang yang di atas loteng.
Datuk Sipatoka mendelik. Dia berpaling pada
keempat jago kelas satu dan memberi isyarat!
Keempat anak buahnya ini segera melompat
ke langit-langit. Tangan kanan memegang
keris sedang tangan kiri menghantam. Empat
larik angin pukulan yang dahsyat menderu ke
atas! Langit-langit yang terbuat dari tulang
bobol hancur berantakan! Tapi bersamaan
dengan jatuhnya hancuran tulang-tulang itu,
keempat jago kelas satu itupun terhempas ke
lantai, mengeluh panjang laki muntah darah
dan konyol!
Geraham-geraham Datuk Sipatoka bergeme
Makan. Anak-anak buahnya saling pandang
dengan muka pucat! Dan di loteng tepat di
atas Kepala Datuk Sipatoka kembali terdengar
suara tertawa bergelak!
"Kurang ajar!" geram Datuk Sipatoka. Tangan
kanannya bergerak mencabut sepuluh keris
emas kecil yang bergantungan di jubah kulit
harimaunya! Sekejap kemudian senjata-
senjata Hu laksana kilat melesat ke loteng di
atas kepalanya! Tapi betapa terkejutnya Datuk
Sipatoka. Masih setengah jalan tahu-tahu
laksana ranting-ranting kering dilanda angin
puting beliung ke sepuluh keris itu
berpelantingan ke bawah. Dua buah melesat
ke arah Datuk Sipatoka, selebihnya
bermentalan ke arah pembantu-pembantunya
yang duduk di kursi! Sekali mengebut kan
jubah kulit harimaunya maka mentallah kedua
keris yang menyerang Datuk Sipatoka. Tapi
tidak demikian dengan pembantu
pembantunya! Suara pekik melengking
raungan laksana hendak meruntuhkan langit-
langit. Delapan orang terkulai di kursi
masing-masing tanpa bisa bergerak lagi.
Mereka adalah dua orang pembantu kelas
satu, empat orang pembantu kelas dua dan
dua orang pembantu biasa! Tubuhtubuh
mereka ditancapi keris kuning milik Datuk
mereka sendiri! Ada yang menancap tepat di
ubun-ubun, ada yang di muka, di dada dan di
perut!
Paras Datuk Sipatoka kelam membesi.
Mulutnya berkomat kamit. Janggut dan
kumisnya laksana kawat meranggas karena
amarah! Kedua tangannya yang hitam saling
digosok-gosokkan satu sama lain. Sedetik
kemudian dari kedua tangannya itu
mengepullah asap hitam yang berbau busuk!
"Manusia di atas loteng tahukah kau pukulan
apa yang sebentar lagi hendak kulepaskan jika
kau tetap berkeras kepala tidak mau unjukkan
diri?!"
Orang di atas loteng tertawa gelak-gelak.
"Dari tempatku ini aku dapat melihat jelas,
Sipatoka! Cuma Ilmu Pukulan Hawa Neraka
siapa yang takutkan? Sayang ilmu itu adalah
ilmu kesaktian paling hebat yang terakhir kau
miliki Sayang…" dan orang itu tertawa lagi
gelak-gelak lalu menyambungi: "Tapi jika kau
mau mengadakan perjanjian aku bersedia
muncul unjukkan diri!"
"Perjanjian macam mana?!" tanya Datuk
Sipatoka seraya hentikan menggosok-gosok
kedua telapak tangannya. Sampai saat itu dia
masih tetap duduk di kursi kebesarannya!
"Kau bertempur sampai seratus jurus melawan
pemuda pakaian putih rambut gondrong itu…!"
Wiro Sableng tersentak kaget.
"Lalu?!" bentak Datuk Sipatoka.
"Jika pemuda itu menang, kau harus bunuh
diri! Sebelum bunuh diri kau harus pesankan
pada anak-anak buahmu, pada seluruh isi
Istana Sipatoka ini untuk memusnahkan
semua bangunan yang ada di sini dan agar
mereka semua kembali ke jalan yang benar!"
"Jika dia yang kalah apa imbalannya?" tanya
Datuk Sipatoka.
"Pertama kau boleh bunuh pemuda itu, juga
boleh tamatkan riwayatku. Kedua buku Seribu
Macam Ilmu Pengobatan yang kini ada
padaku silahkan kau miliki untuk selama-
lamanya!"
Berubahlah paras Datuk Sipatoka. Dia tidak
terkejut pada syarat-syarat perjanjian yang
dikatakan. Tapi begitu mengetahui bahwa
buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan berada
di tangan orang yang di atas loteng itu
kagetlah dia! Wiro Sableng sendiri terkesiap
karena justru kedatangannya ke Tambun
Tulang adalah untuk mencari buku itu!
"Kurang ajar!" terdengar makian Datuk
Sipatoka menggeledek. "Darimana kau ambil
buku itu?!"
"Dari dalam kamarmu tentu!" sahut orang di
atas loteng dan tertawa mengekeh.
"Bagaimana?!"
Dalam hati Datuk Sipatoka mengutuk habis-
habisan. Jika orang itu dapat masuk ke
dalam Istana Sipatoka dan mencuri kitab
Seribu Macam Ilmu Pengobatan dari dalam
kamarnya, nyatalah kepandaiannya luar biasa
sekali dan dia telah saksikan sendiri tadi!
Menurut pandangan Datuk Sipatoka kalau
bertempur melawannya belum tentu dia bisa
dikalahkan oleh orang sakti itu. Tapi untuk
mengalahkan lawan bukan hal yang mudah
pula bagi Datuk Sipatoka. Dan karena
menganggap Wiro Sableng seorang pemuda
yang tak perlu begitu ditakutkan maka dia
pun mendongak ke loteng dan berseru:
"Aku terima perjanjianmu!"
"Bagus! Tapi harap kau sampaikan dulu
pesanmu pada seluruh isi istana ini!" sahut
orang yang masih bersembunyi di balik
loteng.
"Kentut apa kati kira pemuda tengik itu pasti
akan mengalahkah aku?!" teriak Datuk
Sipatoka marah.
"Belum tentu memang! Tapi kalau kau tak
bersedia menerima persyaratan berarti
perjanjian balai. Dan terpaksa buku Seribu
Macam Ilmu Pengobatan kubawa pergi!"
"Kurang ajar!" maki Patuk Sipatoka geram.
Tapi dia kerahkan juga tenaga dalam dan
berteriak hingga mengumandang ke seluruh
pelosok Istana Sipatoka.
"Seluruh isi Istana Sipatoka. kalian dengarlah
pesan Datukmu ini! Aku akan bertempur
melawan seorang pemuda tengik yang kesasar
datang ke tempat kita! Jika aku kalah maka
kalian harus memusnahkan segala apa yang
ada di sini dan kalian kembali ke dunia luar,
ke dalam jalan yang benar. Sekian!" Datuk
Sipatoka memandang ke atas dan berseru:
"Nah orang di atas loteng, puaskah kati
sekarang?!"
"Puas… puasi" sahut orang itu. Sekejap
kemudian diiringi dengan suara tertawa gelak-
gelak maka bobollah langitlangit ruangan dan
sesosok tubuh berpakaian putih berkelebat
dan hampir tak dapat disaksikan oleh mata
saking cepatnya tahu-tahu orang ini sudah
duduk menjelepok seenaknya di sudut
ruangan! Di pangkuannya ada sebuah kitab.
Seisi ruangan terkejut. Wiro sampai ternganga
dan garuk-garuk kepala:
"Tua Gila-.." desis Pendekar 212 laki cepat-
cepat menjura hormat.
"Ah! Kau masih saja pakai segala macam
peradatan yang membikin muak perutku!"
kata orang yang duduk di sudut ruangan yang
memang Tua Gila adanya!
"Hadapi si cebol itu! Kalau nasibmu baik kau
menang tapi kalau tidak kau akan mampus,
aku akan konyol!" Sehabis berkata keras
begitu Tua Gila pergunakan ilmu
menyusupkan suara memberi bisikan pada
Wiro. "Kapak di tangan kanan. Pukulan Sinar
Matahari di tangan kiri! Sekalikali jangan
pukul bagian tubuhnya! Jika dia pergunakan
Ilmu Pukulan Hawa Neraka, tangkis dengan
Pukulan Sinar Matahari dan hantam dengan
Pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung yang
kuajarkan padamu!"
"Ayo Sipatoka kau tunggu apa lagi?!" Tua Gila
membentak.
Dan Datuk Sipatoka melompat turun dari
kursinya.
Gerakannya seringan kapas! Setelah meneliti
Wiro sejenak dia bertanya: "Maumu dengan
tangan kosong atau pakai senjata?!"
Wiro ingat nasihat Tua Gila. Maka dia pun
menjawab: "Kalau kau punya senjata silahkan
dikeluarkan!"
Datuk Sipatoka tertawa sinis dan cabut
sebilah keris hitam yang bercabang tiga! Sinar
senjata ini hitam menggidikkan!
"Mulailah!" kata Datuk Sipatoka.
Wiro tertawa. "Kau tuan rumah silahkan mulai
lebih dulu!" Lalu Wiro cabut Kapak Naga Geni
212.
Datuk Sipatoka sunggingkan seringai
mengejek. Meski dia belum bisa mengukur
ketinggian ilmu lawannya namun dia merasa
yakin akan membereskan si pemuda di bawah
dua puluh jurus! Tubuhnya dibungkukkan
hingga makin tambah cebol kelihatannya. Dari
mulutnya terdengar suara menggoreng macam
suara harimau. Mula-mula perlahan lalu
mendadak sontak keras menggedetek,
menggetarkan seantero ruangan! Baiknya Wiro
Sableng sudah kerahkan tiga perempat dari
tenaga dalamnya hingga suara bentakan
dahsyat itu tidak mempengaruhinya!
Tiba-tiba tubuh Datuk Sipatoka berkelebat
lenyap! Tahutahu keris hitam bercabang tiga
sudah berkelebat hanya tinggal satu jengkal
dari muka Wiro Sableng!
Wiro terkejut lekas-lekas melompat ke
samping. Meski tangan kirinya mempunyai
kesempatan leluasa menjotos tubuh lawan
tapi karena ingat akan ucapan Tua Gila tadi
maka hal itu tidak dilakukannya!
Hampir keris bercabang tiga itu lewat di
sampingnya tiba-tiba dengan sebal Datuk
Sipatoka menusuk ke perut sedang tangan kiri
lepaskan satu pukulan yang hebat! Wiro geser
kaki kanan. Sambit miringkan badan Kapak
Naga Geni 212 dibabatkan ke bawah! Meski
senjatanya adalah senjata mustika sakti
namun melihat Kapak lawan yang agaknya
bukan sembarang senjata pula maka Datuk
Sipatoka tak berani ambil keputusan untuk
adu senjata! Tarik pulang tangan kanan Datuk
Sipatoka lipat gandakan pukulan tangan
kirinya hingga angin pukulan yang ke luar
laksana topan prahara! Di lain pihak Wiropun
sudah menangkis dengan pukulan Kunyuk
Melempar Buah yang mengandalkan seluruh
bagian tenaga dalamnya!
Terdengar suara seperti letusan sewaktu
kedua angin pukulan itu saling beradu dengan
segala kehebatannya. Istana Sipatoka
bergetar. Wiro Sableng terhuyung-huyung
sampai tujuh langkah. Datuk Sipatoka jika
tidak lekas-lekas pergunakan ilmu
mengentengi tubuhnya, meski dia tak sempat
terhuyung ke belakang namun mungkin akan
terhenyak jatuh duduk di lantai tulang!
Terkejutlah manusia cebol ini. Tidak
disangkanya tenaga dalam lawan begitu
hebat, lebih tinggi sekitar satu dua tingkat
dari tenaga dalamnya sendiri! Dan diam-diam
dia mulai menyangsikan apakah dia akan
sanggup mengalahkan pemuda itu di bawah
dua puluh jurus sebagaimana yang dipastikan
semula!
Jurus kedua dibuka kembali oleh Datuk
Sipatoka dengan serangan yang lebih ganas
dari pertama tadi. Dia meraung macam
harimau ketika serangannya yang sekali ini
pun berhasil dielakkan lawan. Jurus ketiga,
Datuk Sipatoka keluarkan ilmu silat yang
pating diandaikannya yaitu ilmu Silat
Harimau! Wiro telah pernah menghadapi ilmu
Silat Harimau yang dimainkan Gempar Bumi.
Waktu itu kalau dia tidak mengeluarkan ilmu
Silat Orang Gila yang diajarkan Tua Gila
pastilah dia kena dicelakai. Dan kini Datuk
Sipatoka memainkan Ilmu Silat Harimau yang
jurusjurusnya aneh berbahaya dan lima kali
lebih hebat dari yang dimainkan Gempar
Bumi!
Dan dari mulut Pendekar 212 Wiro Sableng
keluar suara suitan keras yang disusul dengan
siulan tinggi tak menentu luar biasa Wiro
mulai keluarkah jurus-jurus pertahanan dari
ilmu Silat Orang Gila! Dalam tempo yang
singkat lima belas jurus sudah berlalu. Datuk
Sipatoka merutuk dalam hati dan perhebat
serangannya!
Tiba-tiba mengiang suara halus laksana
suara nyamuk di telinga Wiro Sableng.
"Goblok! Mengapa cuma bertahan? Apa tidak
mampu menyerang?!" Itulah dampratan yang
dilontarkan Tua Gila yang duduk enak-enak di
sudut ruangan.
Wiro juga sadar. Meski dia bisa bertahan tapi
kalau tak membalas serangan tawan lama-
lama dirinya bisa dicelakai juga. Dia pegang
hulu Kapak Naga Geni 212 di tangan kanan
lebih erat. Lalu memasuki jurus ke enam belas
untuk pertama kalinya dia menyerang dengan
mempergunakan Jurus Kepala Naga
Menyusup Awan.
Kapak Naga Geni 212 mendengus laksana
suara ribuan tawon. Sinar pulih berkiblat.
Kepala kapak menderu ke bawah lalu laksana
seekor naga yang memunculkan kepalanya
dari dalam lautan sen jala itu melesat ke arah
batang leher Datuk Sipatoka!
Sang Datuk sengaja tidak berkelit. Keris
cabang tiga ditusukkannya ke depan, ke arah
bawah ketiak tawan karena dia berkeyakinan
bahwa tusukan senjatanya akan lebih cepat
menemui sasarannya daripada senjata lawan!
Pendekar 212 tidak bodoh. Dia sudah
memperhitungkan kerugian posisinya bila dia
meneruskan serangannya. Karenanya dengan
cepat Wiro geser kedua kaki dan berkelit.
Begitu berkelit begitu dia susul dengan jurus
serangan baru yang dinamakan Kincir Padi
Memutari Kapak Naga Geni 212 mengaung
dahsyat dan berkiblat dalam bentuk putaran
yang sangat kecil!
Datuk Sipatoka berseru keras dan tundukkan
kepala untuk menghindarkan diri dari
sambaran senjata lawan. Tapi sedetik
kemudian mata kapak telah menyambar ke
bahu kirinya! Sang Datuk melompat ke kanan
dan dia memaki keras sewaktu sesaat
kemudian senjata lawan telah memapas ke
pinggul terus ke arah kedua kakinya! Satu-
satunya jalan untuk mengelakkan serangan
yang berputar itu ialah melompat ke luar dari
kalangan pertempuran. Meskipun ini akan
memberi pandangan pada orang-orangnya
bahwa dia mulai kewalahan menghadapi si
pemuda berambut gondrong tapi Datuk
Sipatoka terpaksa melompat ke luar dari
kalangan pertempuran. Bila dia sudah lepas
dari serangan yang berputar itu dia akan
segera balas menyerang. Tapi kejutnya bukan
alang kepalang karena ketika baru saja dia
keluar dari kalangan pertempuran tahu-tahu
senjata lawan memburu dalam jarak yang
sangat dekat dan sangat cepat. Mengelak
pasti kasip! Tiada jalan lain daripada
menangkis. Datuk Sipatoka palangkan keris
mustikanya
'Traang!"
Bunga api memercik.
Datuk Sipatoka tersurut tiga langkah. Salah
satu cabang kerisnya patah dan mental!
Tangannya tergelar hebat! Wiro sendiri
merasakan tangan kanannya yang memegang
gagang Kapak Naga Geni 212 menjadi pedal
sakti. Dia tidak perduli, malah dengan
mempergunakan tiga perempat tenaga
dalamnya dia lepaskan Pukulan Sinar
Matahari!
Beberapa orang anak buah Datuk Sipatoka
menyingkir seketika melihat selarik sinar pulih
yang silau dan luar biasa panasnya menderu
di depan mereka!
Meski dalam keadaan kepepet, Datuk Sipatoka
tidak kehilangan akal! Serta merta dia
jatuhkan diri sama rata dengan lantai dan
berbarengan dengan itu tangan kirinya cabut
sepuluh keris-keris emas yang; bergantungan
di pakaiannya lalu dilemparkan ke muka!
Pukulan Sinar Matahari menyambar ke atas
tubuh Datuk Sipatoka. Keris emas melesat di
bawah sinar pukulan yang dilepaskan Wiro
lalu menyambar dengan ganas ke arah
sepuluh bagian tubuh Pendekar 212.
Wiro Sableng kiblatkan Kapak Naga Geni 212
dalam Jurus Tameng Sakti Menerpa Hujan.
"Trang… trang… trang!"
Suara itu terdengar berturut-turut sampai
sepuluh kali. Dan ke sepuluh senjata mustika
yang dilemparkan Datuk Sipatoka mental
patah tersambar Kapak Naga Geni 212!
Oikejap yang hampir bersamaan Pukulan Sinar
Matahari yang tak berhasil menerpa tubuh
Datuk Sipatoka terus melanda dinding Istana
Sipatoka. Dinding yang terbuat dari tulang
yang kokoh itu bobol berkepingkeping. Atap
istana turun ke bawah hampir runtuh!
"Kurang ajar!" rutuk Datuk Sipatoka seraya
melompat bangun. Seluruh ilmu simpanannya
telah dikeluarkannya. Mereka telah bertempur
hampir enam puluh jurus dan ternyala dia tak
sanggup menumbangkan lawannya malah
nyawanya hampir saja dilalap mentah-
mentah!
"Kematianmu dalam saat ini juga, keparat!"
desis Datuk Sipatoka. Kerisnya dimasukkan ke
balik pinggang. Kedua tandannya yang hitam
digosok-gosokkan satu sama lain. Sedetik
kemudian asap hitam mengepul dari kedua
tangan itu. Asap hitam yang berbau busuknya
bangkai manusia! Wiro tutup indera
penciumannya. Sesuai dengan ucapan Datuk
Sipatoka. Kapak Naga Geni 212 dimasukkan
kembali ke dalam pakaiannya. Pukulan Sinar
Matahari disiapkan di tangan kiri sedang
telapak tangan kanan sudah terisi aji pukulan
"Dewa Topan Menggusur Gunung".
Kepulan asap hitam yang busuk luar biasa itu
semakin banyak memenuhi ruangan. Anak-
anak buah Datuk Sipatoka yang ada di tempat
itu sudah sejak tadi menyingkir karena mereka
maklum akan kedahsyatan Pukulan Hawa
Neraka yang hendak dilepaskan pemimpin
mereka. Kalaupun lawan tak sampai mati oleh
pukulan itu tapi tubuhnya akan berbau busuk
seumur hidup!
"Orang muda, sekalipun kau punya seribu
macam ilmu kesaktian, jangan harap kali ini
kau bisa larikan diri dari liang neraka!"
"Wiro berdiri dengan siap saja. Meski
kewaspadaan penuh tapi suara siulan tak
teratur dari sela bibirnya sampai saat itu
masih mengumandang, membuat Datuk
Sipaloka merasa dirinya dianggap sepi saja!
Suasana sehening di pekuburan sewaktu
perlahanlahan Datuk Sipatoka angkat kedua
tangannya ke atasi Kemudian suara
menggeledek keluar dari mulutnya. Serentak
dengan itu kedua tangan dipukulkan ke muka,
dua larik sinar hitam pekat yang busuk,
menggidikkan menyambar ke arah Pendekar
212 Wiro Sableng!
Sewaktu Datuk Sipatoka memukul ke depan,
Wiro juga telah memukulkan tangan kirinya ke
muka. Sinar putih menyilaukan melesat ke
depan, sekaligus memapasi dua sinar hitam.
Terdengar letupan yang dahsyat!
Masing-masing pihak tersurut lima langkah ke
belakang. Sinar putih dan sinar hitam masih
kelihatan di udara karena kedua orang yang
bertempur masih belum turunkan tangan
masing-masing. Tiga sinar itu laksana tiga
ekor naga yang berpalun-paiun, berkelahi dan
saling gempur dengan dahsyat! Masing-
masing sudah keluarkan keringat dingin dan
urat-uraft leher menegang biru!
Wiro membentak dam dorongkan lagi tangan
kirinya. Tubuh Datuk Sipatoka tergontai-
gontai. Wiro membentak lagi sampai beberapa
kali. Datuk Sipatoka laksana ditekan dinding
baja. Dia mundur terus menerus dan bertahan
dengan sekuat tenaga. Ketika untuk ke lima
kalinya Wiro membentak lagi dan dorongkan
kembali tangan kirinya Datuk Sipatoka tak
sanggup bertahan lebih lama. Tubuhnya
terhampar jatuh duduk di lantai. Ilmu Pukulan
Hawa Nerakanya buyar dan lenyap sedang
Pukulan Sinar Matahari Wiro terus
menyerampang salah satu kakinya! Datuk
Sipaloka meraung terguling-guling. Wiro tidak
memberi hati. Tangan kanan didorongkan kini.
Dan satu gelombang angin yang luar biasa
hebatnya menyapu tubuh Datuk Sipatoka
membuat tubuh itu terguling-guling di
halaman berumput Istana Sipatoka. Tangan
dan kaki tanggal dari persendiannya sedang
kepala hancur memar! Itulah kehebatan ilmu
Pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung yang
telah dilepaskan Wiro Sableng tadi!
Suasana yang hening menggidikkan itu
dirobek oleh suara tertawa Tua Gila. Orang
tua ini berdiri dari duduknya dan berkata:
"Pertempuran hebat! Luar biasa sekali untuk
disaksikan!" Kemudian Tua Gila memandang
berkeliling dan berseru: "Empat puluh
perempuan-perempuan muda yang ada di luar
Istana harap segera masuk!"
Sesaat kemudian ke empat puluh, pesuruh
Datuk Sipatoka yang terdiri dari perempuan-
perempuan muda belia itu masuk ke dalam,
istana. Melihat kolega-kolega mereka yang
ada di dalam istana, yaitu sisa-sisa
pembantu Datuk Sipatoka pada berlutut di
lantai maka ke empat puluh perempuan-
perempuan ini pun berlutut pula di hadapan
Tua Gila dan Wiro Sableng.
"Berdiri semua!" bentak Tua Gila.
Serempak semua orang itu berdiri.
"Kalian semua sudah dengar pesan perjanjian
Datuk keparat itu, . ?
Semua orang mengiyakan.
"Begitu kami pergi, kalian segera
memusnahkan istana bejat ini. Hancurkan
semua yang ada rata dengan tanah..Lalu
tinggalkan tempat ini dan pergi ke mana
kalian rnau asal saja menempuh jalan
kehidupan yang benar! Kalau kelak kutemui atau kudengar ada di antara kalian. Yang coba-coba untuk kembali jadi orang jahat atau memperhamba diri pada orang jahat, pasti tak ada ampunan bagi kalian!"
Tua Gila berpaling pada Pendekar 212 dan menyodorkan buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan, yang kulitnya sudah robek.
"Ambillah. Kau rupanya memang berjodoh dengan kitab ini,.."
Wiro menerima kitab itu lalu menjura sambil berkata "Banyak terima kasih atas segala, bantuan mu, Tua Gila?' Kemudian ketika dia angkat kepalanya ternyata si orang tua sudah lenyap dari hadapannya! Hanya kumadang suara tertawapya yang terdenga di kejauhan!
Wiro Sableng, hela nafas dalam dan garuk-garuk kepala.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar