Wiro Sableng. Pendekar kapak maut naga geni 212
Episode : Badai Parang Tritis
Karya : BASTIAN TITO
**********
SATU
SIANG ITU laut selatan tampak cerah. Ombak memecah tenang di pantai Parangtritis.
Burungburung laut terbang berkelompok-kelompok dan angin bertiup membendung teriknya sinar sang surya. Belasan perahu tampak berjejer di tepi pasir. Para nelayan
sibuk memperbaiki dan membenahi jaring masingmasing untuk persiapan turun ke laut
malam nanti. Di tepi pantai, dibawah jejeran pohon-pohon kelapa anak-anak ramai bermain-main. Baik nelayan-nelayan maupun anak-anak itu semuanya serta merta memalingkan kepala ketika telinga mereka menangkap suara tiupan seruling yang keras
dan merdu. Yang meniup seruling ternyata adalah seorang bocah bertelanjang dada.
Anak ini meniup suling bambunya sambil duduk di atas punggung seekor kerbau yang melangkah di sepanjang jalan di teluk.
"Anak si Kantolo itu pandai sekali meniup suling. Mengalahi kepandaian ayahnya...."
berkata salah seorang nelayan lalu menyedot rokok kawungnya dalam-dalam.
Ketika anak dan kerbau bergerak menjauhi tepi pasir seorang nelayan berseru, "Bocah pintar! Berhenti saja di bawah pohon kelapa sana! Teruskan meniup sulingmu agar kami terhibur!" Anak di atas punggung kerbau tertawa lebar.
Dia mengacungacungkan suling di tangan kanannya dan terus berlalu, tidak mengacuhkan permintaan orang. Saat itu tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda keras dan berkepanjangan. Dari arah
berlawanan jalannya kerbau, muncul sebuah delman ditarik seekor kuda coklat yang lari kencang seperti dikejar setan sambil tiada hentinya meringkik dan melejang-lejangkan kaki. Anak yang tadi meniup suling cepat-cepat membawa kerbaunya ke tepi jalan.
Ketika delman itu lewat di depannya si anak tiba-tiba keluarkan pekik ketakutan, melompat turun dari punggung kerbau dan lari sekencang-kencangnya ke arah nelayan-nelayan yang ada di sepanjang jejeran perahu.
Mukanya pucat dan nafasnya memburu. "Ada apa Kambali?!" bertanya seorang nelayan.
"Del.... delman itu " bocah bernama Kambali menunjuk dengan muka masih pucat dan tangan gemetar ke arah delman yang saat itu hampir lenyap di kelokan teluk. Semua orang memandang ke jurusan yang ditunjuk.
Memang ada keanehan. Di atas delman, dari kejauhan para nelayan sama sekali tidak melihat kusir ataupun penumpang.
Tetapi Kambali yang tadi sempat dilewati kendaraan itu melihat jelas tiga sosok tubuh bersimbah darah malang melintang di atas delman!
"Kenapa delman itu Kambali?" tanya nelayan yang lain. Nelayan Satunya ikut bicara, "Bukankah itu delman milik Ageng Lontar, juragan kita?"
"Eh, kau betul! Kambali katakan lekas! Kau melihat sesuatu!
Mengapa wajahmu pucat dan tubuhmu menggigil anak?!"
"Ada tiga orang.... ada tiga orang di atas delman itu," menerangkan Kambali.
"Semuanya rebah malang melintang. Tubuh mereka penuh luka bergelimang darah.... Saya
takut ...." "Anak ini tidak dusta! Sesuatu telah terjadi!"
"Jangan-jangan...." "Lebih baik kita berlari mengejar delman!
Kuda itu tampaknya lari ke jurusan rumah kediaman Ageng Lontar!"
Tanpa diberi aba-aba lagi, semua nelayan yang ada di teluk serta merta lari berhamburan ke arah lenyapnya kuda penarik delman tadi. Mereka lari menuju rumah kediaman Ageng Lontar, juragan ikan yang memiliki belasan
perahu sekaligus juragan ternak yang mempunyai puluhan kerbau dan sapi, belum lagi kambing itik dan ayam. Di kaki bukit sebelah timur sawahnya puluhan petak. Ageng Lontar memang dikenal sebagal orang kaya raya di pantai selatan. Dia terkenal bukan saja karena kekayaannya tetapi karena sikap pemurahnya kepada orang-orang yang bekerja untuknya, juga orang-orang lain yang sewaktu-waktu membutuhkan pertolongan apa saja. Karena itulah penduduk setempat telah sama-sama bersepakat umuk memilihnya sebagai Kepala Desa pada pergantian jabatan bulan di muka.
Ketika nelayan-nelayan teluk Parangtritis itu sampai di rumah kediaman Ageng Lontar, halaman rumah itu telah penuh dengan
kerumunan manusia. Selusin lelaki tampak menjirat leher dan empat kaki kuda coklat hingga binatang yang tadi seperti gila ini kini
angsrok ke tanah tak berkutik. Dan di dalam delman yang tersungkur miring ke tanah, tampaklah pemandangan yang mengerikan.
Seperti yang sebelumnya dilihat dan diterangkan bocah bernama Kambali, di dalam delman menggeletak tiga sosok tubuh
bersimbah luka dan darah mulai dari kepala hingga ke tubuh. Meskipun wajahwajah itu rusak mengerikan namun semua orang masih dapat mengenali dengan jelas siapa adanya ketiga orang itu.
Yang pertama, yang menggeletak paling bawah lantal delman adalah Ageng Lontar sendiri. Pakaiannya yang berwana kelabu tampak merah dan basah oleh darah. Pakaian itu robek-robek di beberapa tempat menyingkapkan luka-luka mengerikan. Muka Ageng Lontar seperti dicincang. Hancur mengerikan. Hidungnya hampir sumplung dan salah sebuah dari matanya tak ada lagi di rongganya!
Orang kedua yang bernasib malang di atas delman adalah istri Ageng Lontar. Luka-luka pada wajahnya tidak seberapa dan tubuhnya
hampir seperti tidak berpakaian lagi. Mungkin dirobek sebelum atau sesudah dia dibunuh.
Dan berat dugaan orang banyak, perempuan yang jauh lebih mudah dari Ageng Lontar ini telah diperkosa karena pakaiannya di sebelah bawah tersingkap menusuk mata!
Korban ketiga yang menggeletak di lantai delman sebelah depan adalah pemuda yang dikenal dengan nama Jajamat, orang yang telah bekerja lebih dari lima tahun sebagai
kusir kereta keluarga Ageng Lontar.
Semua orang yang berkerumun di tempat itu merasakan kuduk merinding dan tubuh menggeletar. Siapa yang telah melakukan
pembunuhan keji biadab seperti ini? Dan hampir tak dapat dipercaya ada orang yang mau membunuh orang sebaik Ageng Lontar, bahkan juga istri serta kusir delman! Siapa
pelaku jahanam itu? Gerombolan rampok? Tak ada rampok malang melintang di teluk Parangtritis bahkan di pantal selatan waktu
itu. Musuh? Semua orang tahu Ageng Lontar tak pernah punya musuh! Lalu siapa ?!
Pertanyaan itu belum lagi terjawab. Tiba-tiba dari arah rumah besar terdengar pekik perempuan. Seorang gadis menghambur lari ke arah delman sambil tiada henti berseru memanggil. "Ayah.... ayah!"
Tapi begitu sampai di depan delman dan menyaksikan pemandangan di dalam kereta, si
gadis langsung pingsan dan rubuh setelah lebih dahulu memekik dahsyat! Beberapa orang segera menggotongnya ke dalam rumah.
"Mayat-mayat ini harus diurus! Ambil usungan dan bawa ke dalam rumah!" terdengar seorang berbicara. Namun belum ada yang bergerak, satu suara laln terdengar
lantang.
"Menyingkir! Apa yang terjadi disini?" Orang banyak yang berkerumun di sekitar delman palingkan kepala. Mereka melihat
munculnya seorang laki-laki bertubuh kekar, berambut kelabu dan memegang sebuah tongkat sepanjang tiga jengkal. Orang ini
adalah Ki Demang Wesi, Kepala Desa Parangtritis.
"Ki Demang! Untung sampean datang!" seorang nelayan membuka mulut.
"Juragan Ageng Lontar dan istrinya dibunuh orang. Juga kusir Jajamat!"
Ki Demang Wesi mendorong dan menyeruak diantara kerumunan orang. Langkahnya terhenti didepan delman. Parasnya berubah
dan rahangnya menggembung.
"Hanya iblis yang bisa melakukan kekajaman seperti ini!" desis Kepala Desa itu. "Kalian semua harus membantu atau menemukan si
pembunuh!"
"Kami akan membantumu Kepala Desa!" jawab orang banyak. Ki Demang memandang
berkeliling. Sepasang matanya berhenti bergerak dan pandangannya tertancap pada
seorang pemuda bertampang tolol, berambut awut-awutan dan tegak memandang ke arah delman sambil tiada henti geleng-gelengkan
kepala. Pakaian putihnya yang lusuh di bagian dada lampak ada warna merah Percikan darah.
"Kurasa kalian tidak perlu bersusah payah membantuku! Aku sudah tahu siapa pembunuhnya!" ujar Ki Demang yang membuat semua orang terkejut dan memandang tak berkesip pada Kepala Desa
mereka itu. Ki Demang angkat tangan kanannya, menunjuk tepat-tepat pada pemuda
berpakaian putih lalu berseru, "Tangkap pemuda gondrong itu!"
Beberapa orang dengan cepat mencekal kedua tangan si pemuda. Ada yang menelikung lehernya, ada pula yang menjambak rambutnya. "Hai! Apa-apaan in?!" teriak si
pemuda sambil coba meronta untuk lepaskan pegangan orang banyak. Tapi tidak bisa, dan saat itu semakin banyak orang yang ikut
mencekalnya.
"Kepala Desa! Apa-apaan ini?!" pemuda itu kembali bertanya.
"Jangan banyak tanya! Kaulah pembunuh suami istri Ageng Lontar dan juga kusir delman!"
"Tuduhan gendeng!" teriak si pemuda tampak marah. "Aku barusan saja sampai di tempat
ini! Bagaimana enak saja kau menuduhku?!"
"Kau orang asing di sini! Siapa kau akan segera aku usut. Noda darah di pakaianmu menjadi bukti bahwa kau ada sangkut pautnya dengan kematian ketiga orang dalam
delman!"
Si pemuda memperhatikan percikan darah di pakaiannya. Lalu berkata, "Darah ini memang darah…"
"Nah apalagi! Kau sudah mengaku!" ujar Ki Demang.
"Kata-kataku belum habis! Darah ini
memercik dari lantai delman, tepat ketika delman rubuh dan aku sampal didekatnya!
Lihat saja, saat inipun masih ada darah yang menetes dari lantai delman!"
"Siapa percaya ucapanmu!" sahut Ki Demang ketus. "Sebagian dari kalian bawa pembunuh itu ke Balai Desa. Selebihnya segera mengurus
jenazah-jenazah ini!"
Melihat orang tetap menuduh, si pemuda jadi penasaran. Kaki kanannya bergerak. Dua orang yang mencekalnya jatuh tergelimpang.
"Pembunuh biadab! Sekali lagi kau berani melawan akan kusuruh semua orang di sini mencingcangmu!" Ki Demang Wesi berteriak marah dan mengancam.
"Aku tidak bersalah! Aku bukan pembunuh!
Siapa yang berani melarang aku membela diri!"
Mendengar ucapan itu KI Demang Wesi jadi beringas. Lalu berteriak, "Bunuh pemuda itu!"
Orang banyak berteriak ikut terangsang marah. Berbagai senjata dihunus.
"Kepala Desa, kalau kau tidak menyuruh orang-orang ini melepaskanku, jangan salahkan aku apa akibat yang terjadi!"
Ki Demang menyeringai. "Manusia biadab!
Lagakmu hebat sekali! Biar aku yang pertama sekali menghajarmu!" Habis berkata begitu Ki Demang Wesi tusukan tongkat di tangan
kanannya ke arah mata kiri pemuda yang berada dalam keadaan dicekal orang banyak.
Jauh sebelum menjadi Kepala Desa, Ki Demang Wesi adalah murid keempat seorang guru silat di Bukit Tunggul. Kabarnya guru silat itu juga memiliki berbagai kesaktian
yang kemudian diturunkan pada Ki Demang Wesi. Lalu ada pula kabar bahwa Ageng Lontar masih punya kaitan atau hubungan dengan guru silat tersebut karena Ageng Lontar pernah pula berguru pada adik guru di Bukit Tunggul. Dengan kata lain antara Ageng Lontar dan KI Demang Wesi ada hubungan dekat lewat guru masing-masing.
Pemuda yang diserang dengan tongkat ke arah mata kirinya tentu saja terkejut melihat bahaya yang mengancamnya. Apalagi dia
dapat merasakan adanya sambaran angin mendahului tusukan itu. Gerahamnya bergemelatakan menahan marah namun marah itu akhirnya meledak juga. Didahului
satu bentakan si pemuda menyikutkan kedua tangannya. Bersamaan dengan itu tubuhnya
dia jatuhkan ke belakang. Kaki kanannya menendang ke depan. Empat orang mencekal si pemuda terpelanting dan jatuh bergelimpangan di tanah. Meskipun mereka tidak cidera namun masing-masing mereka merasakan mereka seperti diserang demam panas.
Untuk beberapa lamanya ke empatnya terhampar ke liangan. Ki Demang Wesi sendiri yang tidak menyangka si pemuda dapat
loloskan diri dari begitu banyak orang yang mencekalnya jadi lebih terkejut ketika tusukan tongkatnya yang sanggup menembus mata
dan batok kepala si pemuda dapat dielakan bahkan kini satu tendangan mematikan menghantam ke arah selangkangannya!
Maklumlah kini Kepala Desa itu bahwa pemuda yang dituduhnya sebagai pembunuh suaml istri Ageng Lontar dan kusir delman
Jajatma bukanlah seorang pemuda
sembarangan, tapi pasti sekali memiliki "isi".
"Bagus! Rupanya kau mengusal ilmu silat! Jangan harap dengan kepandaianmu itu kau
bisa lolos dari tempat ini!" Lalu KI Demang Wesi susul ucapannya itu dengan teriakan agar semua orang yang ada di tempat itu melakukan pengurungan, jangan sampai si
pembunuh lolos.
"Kepala Desa, aku bilang sekali lagi padamu!"
sentak pemuda berpakaian putih itu. "Aku tidak melakukan pembunuhan!"
"Siapa percaya padamu!" tukas Ki Demang Wesi. Tongkat di tangan kanannya diputar seperti titiran dan mengeluarkan suara menderu. Dengan senjata ini kembali dia
menyerang pemuda itu. Yang diserang tak tinggal diam. Dia berkelebat beberapa kali.
Memasuki jurus kedua terdengar pemuda ini berseru, "Lihat tongkat!"
Ki Demang Wesi tidak perdulikan bentakan orang. Sebagai orang silat yang berpengalaman dia tidak mau tertipu oleh berbagai gerak ataupun ucapan lawan.
Tongkatnya menderu ke arah dada lalu menusuk ke arah leher. Tapi Kepala desa ini jadi kaget ketika dirasakan dan dilihatnya sendiri tangan kiri lawan tahu-tahu sudah
memegang ujung tongkatnya padahal ujung senjata itu hanya tinggal seujung kuku dari
tenggorakan lawan!
Kepala Desa Parangtritis coba selamatkan senjatanya dari rampasan lawan, tetapi si
pemuda telah lebih dulu membetot! Kini giliran si pemuda yang jadi kaget. Karena ketika dia merasa sudah berhasil merampas senjata lawan, ternyata yang dipegangnya
hanyalah bagian tongkat yang berupa sarung belaka. Sedang di tangan kanan Ki Demang saat itu tampak bagian lain dari tongkat yang berbentuk hulu lengkap dengan mata pisaunya yang panjang. Ternyata tongkat itu adalah sebuah golok pendek yang tajam berkilauan!
Ki Demang Wesi menyeringai mengejek.
"Pembunuh, kau telah tolong membukakan sarung senjataku. Berarti kau memang sudah
siap untuk menerima kematian sesuai dosamu!"
Si pemuda balas mengejek. "Lagakmu seperti malaikat maut saja! Aku tidak mau meneruskan perkelahian ini karena aku memang bukan pembunuh!" Habis berkata
begitu pemuda ini bantingkan sarung golok ke tanah. Benda itu menancap di tanah sampai
setengahnya.
"Kau kira aku takut dengan pertunjukanmu! Di tempat lain kau boleh pamer ilmu anak muda!
Tapi di hadapanku kau harus serahkan nyawa!" Ki Demang Wesi lalu menyerbu dengan golok pendeknya. Senjata ini mengeluarkan angin deras menebar hawa dingin. Pastilah ini sebuah senjata mustika andalan.
Lima jurus Kepaia Desa itu menyerbu dengan ganas. Goloknya menyambar dan menusuk ke
sana ke mari. Tetapi dia seolah-olah berkelahi sendiri karena setiap serangannya hanya mengenai tempat kosong. Lawannya
ternyata gesit sekali dan seperti dapat membaca serangannya, dia mendahului bergerak untuk menghindari tusukan atau sambaran golok. Kepala Desa itu jadi marah dan juga malu. Dia merasa dipermainkan di sekian banyak mata penduduk Parangtritis.
Didahului oleh bentakan garang dia rubah permainan silatnya. Tubuhnya kini melompat-lompat ke udara seperti bola karet yang
membal. Golok di tangan kanannya berkiblat secara aneh. Dua jurus berlalu terdengar suara brettt! Dada pakaian si pemuda robek besar. Pemuda ini berseru kaget dan
melompat mundur! Golok Ki Demang Wesi bukan saja merobek pakaiannya di bagian dada, tapi kulit dadanya juga ada yang ikut
tergurat!
"Kepala Desa sialan…" maki sipemuda. "Kau merobek pakaianku! Kau harus menelannya
sekalian!" Lalu semua orang melihat pemuda itu merobek sendiri pakaiannya di bagian depan.
Robekan kain pakaian dibuntalnya lalu dia melangkah mendekati Kepala Desa itu. Tentu saja Ki Demang Wesi kembali menyambutnya dengan serangan golok dalam gerakan melompat-lompat yang aneh seperti tadi.
Hanya saja kali ini dia kecele. Kehebatan dan keanehan ilmu silatnya itu menjadi tidak berguna karena pemuda lawannya kini telah
pula mengeluarkan jurus dan gerakan aneh.
Tubuhnya sepertl orang mabuk sempoyangan kian kemari. Bagi Ki Demang keadaan tubuh lawan seperli itu merupakan sasaran serangan yang empuk.
Tapi sungguh aneh, setiap dia menyerang, tubuh atau kepala lawan sudah bergerak ke jurusan lain sementara tangannya yang
memegang buntalan kain bergerak-gerak berusaha menggapai ke arah mulutnya!
Ki Demang merangsak sekali lagi. Inilah kali terakhir dia mampu menyerang. Karena sesudah itu terdengar suaranya seperti
tercekik. Sesaat kemudian halaman rumah Ageng Lontar jadi ramai oleh suara tawa orang banyak, padahal di situ masih tergelimpang tiga jenazah yang belum sempat diurus!
Apa yang terjadi dan apa yang kini disaksikan penduduk desa? Di depan mereka tampak Ki Demang Wesi berdiri dengan mata melotot
dan mulut tersumpal potongan kain. Lalu celana luar dan celana dalamnya kelihatan merosot sampai ke lutut hingga aurat terlarangnya tersingkap dengan jelas. Kepala Desa ini sadar penuh apa yang terjadi dengan dirinya, tapi dia tak bisa menggerakan tangan untuk menarik buntalan kain yang menyumpal mulutnya, juga tidak mampu untuk menarik
celananya ke atas. Kepala Desa ini ternyata berada dalam keadaan kaku tegang akibat satu totokan yang bersarang di pangkal lehernya. Karena perhatian orang banyak
hampir semuanya tertuju pada sang Kepala Desa, tidak satupun menyadari kalau pemuda
berpakaian putih dan berambut gondrong awut-awutan tadi tak ada lagi di tempat itu.
DUA
MESKIPUN HATINYA kini lega dapat meninggalkan desa di Parangiritis itu namun masih ada satu tanda tanya yang mengganjal hati si pemuda. Siapa yang telah membunuh Ageng Lontar dan istrinya serta kusir delman
secara biadab seperti itu. Ingin sekali ia menyingkap tabir rahasia pembunuhan itu.
Namun selama orang desa masih
mencurigainya sebagai pembunuh akan sulit baginya untuk bergerak. Apalagi dia masih ada satu keperluan penting di timur.
"Kepala Desa sialan! Enak saja dia
menuduhku!" Si pemuda memaki sendirian.
Diperhatikannya pakaian putihnya yang robek besar di bagian dada, kotor bernoda debu dan
darah sambil jalan akhirnya pakaian itu dibuka lalu dilemparkannya ke semak-semak
di tepi jalan. Pada saat itu pula tiba-tiba terdengar suara orang mendamprat.
"Manusia sial dangkalan! Siapa kau yang berani melemparkan pakaian busuk ke atas kepala orang!"
Sf pemuda yang telah berjalan beberapa langkah serta merta berhenti dan palingkan kepalanya. Astaga! Di pinggir jalan yang
barusan dilewatinya tampak berjongkok seorang berpakaian serba hitam. Tak dapat dia duga apakah orang ilu lelaki atau
perempuan karena sekujur kepalanya sampai ke wajah tertutup oleh pakaian putih yang tadi dilemparkannya!
"Aneh! Tadi waktu lewat di situ tak kulihat ada orang sama sekali! Mengapa tahu-tahu
dia muncul di situ dan gila betul! Masakan
aku mau-mauan mencampakkan bajuku
menutupi kepalanya begitu rupa!"
Buru-buru pemuda yang kini bertelanjanq
dada itu melangkah mendekati orang yang
jongkok di tepi jalan, lalu mengambil
pakaiannya. Begitu pakaian diangkat
tampaklah wajah orang itu. Ternyata dia
seorang nenek bermuka hitam yang ketika
menyeringai tampaklah deretan gigi-giginya
yang terbuat dari emas berwarna kuning
berkilat-kilat.
"Hai! Pendekar 212 Wiro Sableng rupanya!" si
nenek menegur, membuat si pemuda yang
memang Wiro Sableng menjadi terkejut karena
tidak menyangka nenek itu mengenal dirinya
sedang ia sendiri tidak pernah bertemu
perempuan tua itu sebelumnya. "Aku sudah
lama mendengar kekonyolanmu pendekar
muda. Hanya saja tidak menduga kalau begini
kurang ajar perilakunya terhadap orang tua!
Berani melemparkan pakalan busuk sampai-
sampai menutupi muka dan kepalaku!
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Dia
cepat-cepat duduk di hadapan si nenek,
memberi hormat membungkukkan tubuh lalu
berkata, "Aku terima salah nek! Bukan
maksudku berlaku kurang ajar. Tapi waktu
lewat tadi sama sekali tidak melihatmu di sini.
Kalau kau memang ada di sini masakan aku
berani berlaku sekurang ajar itu!"
Si nenek tertawa tergelak-gelak. Gigi-gigi
emasnya kembali tampak berkilat-kilat
terkena sinar matahari. Wiro sendiri tak habis
pikir bagaimana hal tersebut bisa terjadi.
Jangan-jangan si nenek sengaja
mempermainkannya dan tampaknya dia
memang bukan sembarang orang tua.
"Pendekar utama tidak memiliki mata tajam!
Sungguh tak bisa kupercaya!" berkata si nenek
sambil geleng-geleng kepala. Ucapannya
bernada keras tapi wajahnya yang keriput
terus saja mengumbar senyum. "Kalau golok
terbang atau panah beracun yang menyambar
dari balik semak belukar dan kau tidak
sempat melihatnya berarti kau akan mati
konyol anak muda."
Wiro yang tak mau berdebat dengan si nenek
dan menganggap diri merasa salah hanya
manggut-manggut saja lalu berkata, "Harap
maafkan diriku..."
Si nenek balas mengangguk. "Aku terima
maafmu, kulihat kau tidak berbaju, apa
sengaja hendak memamerkan senjata mustika
Kapak Maut Naga Geni 212 itu.... ?"
Astaga! Wiro baru sadar. Dengan membuang
pakaian dan setengah telanjang seperti itu dia
tidak menyadari senjata saktinya Kapak Maut
Naga Geni tersembul dari balik pinggang
celana. Karena tidak membawa bekal pakaian
mau tak mau dia harus mengenakan kembali
pakaiannya yang sudah kotor dan robek
besar. Ketika dia hendak mengambil pakaian
itu dari tanah, si nenek tertawa lalu berkata,
"Aku memiliki sehelai pakaian putih. Masih
baru. Ukurannya kurasa pasti cocok dengan
tubuhmu!" lalu perempuan tua itu
menggerakkan tangan kanannya ke balik
punggung. Sesaat kemudian dia menarik
sehelai pakaian putih yang memang ternyata
masih sangat baru. Pakaian itu
dilemparkannya ke pangkuan Wiro. "Pakailah!"
"Ah, pakaian bagus!" seru Wiro sambil
mengembangkan pakaian putih berlengan
panjang dengan potongan kerah yang
menarik. "Kau baik sekali nek. Terima kasih… "
Wiro segera berdiri dan kenakan pakaian putih
itu. Ternyata memang cocok sekali dengan
tubuhnya.
Pakaian putih itu terasa enak dipakai. Pada
bagian dada sebelah kiri tampak sulaman
benang merah bergambarkan mahkota dan
keris silang.
"Kau senang mengenakan pakaian itu
pendekar muda?" si nenek bergigi emas
bertanya.
"Senang sekali nek, sedap dipakainya. Tapi
kalau aku boleh bertanya apa arti sulaman
gambar mahkota dan keris bersilang ini?"
"Ah, itu hanya sekedar gambar yang disukai
pembuatnya. Apakah mahkota, keris atau
gambar ular tak ada bedanya…" Sambil bicara
si nenek mematahkan sepotong belukar kering
di samping jalan lalu dengan potongan kayu
itu dia menggurat-gurat di tanah. Ada garis
panjang, ada yang berbentuk bola, garis
bersilang dan terakhir sekali si nenek
membuat garis panjang mulai dari tepi jalan
di sebelah depannya sampai tepi jalan di
dekat dia duduk.
"Lukisan apa yang kau buat nek?" Wiro
bertanya.
"Ah, hanya iseng saja. Orang sepertiku mana
pandai melukis. Aih kulihat kau benar-bener
gagah dengan pakaian itu pendekar muda.
Aku jadi teringat pada Suto Engging. Wajah
dan potongan tubuhmu banyak kesamaannya
dengan dirinya di masa muda."
"Siapa orang bernama Suto Engging itu nek?"
"Kekasihku di masa muda, Lima tahun yang
lalu kami berpisah. Dia ke barat aku ke timur.
Tak pernah kudengar lagi kabar tentang
dirinya. Tapi aku yakin dia masih hidup!"
"Ah, pengalaman hidupmu tentu banyak sekali
nek. Dan aku yakin di masa muda kau pasti
memiliki paras cantik jelita. Sekarangpun kau
masih kulihat cantik."
Si nenek tampak merah mukanya. Tapi
hatinya berbunga-bunga mendapat pujian itu
dan tertawalah dia mengekeh. "Pendekar
muda, kau pandai menyenangkan hati orang.
Pangalaman hidup jadi bekal pelajaran masa
depan bagi setiap orang. Pengalaman hidup
itu pula yang mengajarku agar tidak
melakukan perkawinan dengan siapapun! Dan
percaya atau tidak anak muda sampai hari ini
aku yang tua renta masih seorang perawan
sejati! Hik… hik... hik...!"
Wiro merasa tenggorokannya seperti tercekik
dengan keterangan si nenek. Dia cepat-cepat
mengangguk dan berkata, "Aku percaya nek.
Dan aku melihat buktinya. Meskipun tua
kulihat tubuhmu masih kencang, tak banyak
guratan di wajahmu…"
Si nenek tertawa panjang sampai keluar air
mata.
"Nek, aku harus melanjutkan perjalanan. Kau
tahu namaku dan pasti tahu banyak tentang
diriku. Sebelum kita berpisah maukah kau
mengatakan siapa dirimu ini?"
"Waktu kecil aku diberi nama Tuwini Jenti.
Sudah tua begini orang-orang memanggilku
Nenek Hitam Bergigi Emas. Hik...hik..hik..."
"Terima kasih kau telah menerangkan siapa
dirimu. Juga terima kasih lagi atas pemberian
pakaian ini. Aku minta diri sekarang!" Wiro
menjura dua kali berturut-turut. Ketika dia
hendak melangkah pergi dan pada saat kaki
kanannya mendekati garis panjang yang tadi
dibuat si nenek dengan belukar kering,
mendadak Wino merasakan seperti ada satu
kekuatan yang mendorong kaki kanan itu
hingga dia tidak bisa meneruskan langkah,
malah kakinya terbanting ke belakang.
Dicobanya sekali lagi, sekali lagi, sekali lagi
lalu dengan mengerahkan seluruh tenaga
tetapi tetap saja dia tidak mampu melewati
garis di tanah itu! Maka diapun berpaling
pada nenek yang saat itu masih tetap jongkok
di tepi jalan sambil senyum-senyum.
"Kau memiliki ilmu kesaktian yang
mengagumkan, mataku jadi terbuka betapa
luas dan tingginya ilmu kepandaian dan
kesaktian di atas dunia ini. Dan apa yang aku
miliki sekarang hanya merupakan satu tetesan
kecil belaka! Nek, aku mau jalan. Mohon
diberikan petunjuk...."
Si nenek tersenyum. Dalam hati dia berkata,
"Pemuda ini begitu sopan penuh peradatan.
Mengapa banyak orang mengatakannya
kurang ajar, konyol dan bersifat seenaknya?
Ah, lama-lama aku bisa jatuh hati padanya"
"Nek, kau seperti melamun. Aku minta
petunjuk bagaimana harus melewati garis
aneh yang kau gurat di tanah ini..."
"Oh itu! Mudah saja anak muda. Pergunakan
tangan kirimu menghapus garis itu. Setelah
garis hapus kau bisa lewat.... " menjawab
Nenek Hitam Bergigi Emas.
Wiro lakukan apa yang dikatakan si nenek.
Dia membungkuk. Dengan telapak tangan
kirinya dihapusnya guratan garis yang
memanjang di tanah jalanan. Setelah hapus
dia coba melangkah. Ternyata dia kini bisa
melangkah. Kekuatan aneh yang tadi
mendorong tak ada lagi.
"Kau luar biasa nek!" memuji Wiro.
Si nenek tertawa. Dia gerakkan tangan
kanannya ke mulut. terdengar suara kraak.
Apa pula yang dilakukan perempuan ini, pikir
Wiro. Tiba-tiba si nenek ulurkan tangannya
seraya berkata, "Ambillah! Mungkin ada
gunanya di saat kau kesusahan..."
Wiro ulurkan tangannya. Si nenek letakkan
sesuatu ke telapak tangan si pemuda. Ketika
diteliti ternyata sebuah gigi emas yang masih
basah oleh ludah! Wiro kerenyitkan kening.
"Aku tidak berani menerima pemberianmu ini
nek," kata Pendekar 212.
"Kau jijik?!"
"Tidak..." jawab Wiro agak gagap karena
memang walau gigi palsu itu terbuat dari
emas namun ada rasa jijik dalam dirinya.
"Jika ini kau berikan berarti kau akan
kehilangan salah satu gigimu!"
"Ambil saja! Aku punya banyak persediaan
gigi seperti itu!" berkata si nenek. "Lihatlah!"
Lalu dari dalam sebuah kantung perempuan
tua ini mengeluarkan beberapa potong gigi
emas. Dia mengambil tiga buah lalu
mecocokkannya dengan baglan giginya yang
ompong. Gigi kedua ternyata bisa menempel
dengan baik. Dia tersenyum sambil
menunjukkan barisan gigi emasnya. "Lihat,
gigi-gigiku utuh kembali."
Wiro garuk-garuk kepala. "Terima kasih atas
pemberian gigi emas ini nek. Aku minta diri
sekarang!" Wiro menjura lalu melangkah pergi
sambil menggenggam gigi emas di tangan
kanannya.
TIGA HARI setelah suami isrti Ageng Lontar
dimakamkan, Kepala Desa Parangtritis Ki
Demang Wesi mendatangi rumah kediaman
orang kaya di daerah selatan itu bertemu dan
bicara dengan puteri yang merupakan anak
tunggal mendiang suami istri yang Malang
itu, yakni Winayu Tindi.
"Anakku Winayu...." Begitu Ki Demang Wesi
memulai pembicaraan. Dia memang biasa
memanggil gadis itu dengan sebutan anak
mengingat hubungannya dengan Ageng
Lontar yang terkait pada hubungan guru
mereka masing-masing. "Kedatanganku
malam ini guna menyambung pembicaraan
kita dua hari lalu."
"Apakah pakde Wesi sudah mengetahui siapa
pembunuh ayah dan ibu saya?" Winayu
langsung ajukan pertanyaan. Dan gadis ini
terbiasa memanggil Kepala Desa dengan
sebutan pakde begitu.
"Belum Winayu. Tapi kita akan
mengetahuinya. Ada orang atau kelompok
yang akan dapat membongkar rahasia
pembunuhan ayah dan ibumu. Namun kita
harus berlaku hati-hati serta bersedia
memberikan sesuatu sumbangan untuk
menunjang perjuangan kelompok tersebut..."
Sulit bagi Winayu untuk mencerna ucapan Ki
Demang Wesi itu. Maka diapun bertanya, "Apa
maksud Pakde? Kelompok mana yang pakde
katakan tadi? Lalu sumbangan bagaimana.
Pakde juga menyebut-nyebut perjuangan.
Saya tidak mengerti. Kepala saya pusing...."
"Jika kau merasa kurang sehat, pembicaraan
ini bisa kita tunda sampai beberapa hari di
muka."
"Tapi saya ingin mengetahui pembunuh
biadab itu pakde! Malam ini juga! Bahkan
saat ini juga kalau bisa!"
"Itu tidak mungkin aku lakukan, anakku.
Kelihatannya ada masalah besar di balik
kematian kedua orang tuamu. Dan satu-
satunya yang bisa membongkar tabir rahasia
ini lalu membekuk pembunuh itu adalah
kelompok yang aku katakan tadi. Aku akan
menerangkan siapa-siapa yang ada dalam
kelompok itu...."
"Tunggu dulu pakde. Hari ketika ayah dan ibu
ditemukan tewas di atas delman bukankah
pakde telah mencurigai seorang pemuda.
Pakde menyuruh tangkapnya tapi gagal.
Orang itu berhasil melarikan diri..."
"Memang berat dugaanku saat itu bahwa
pemuda tersebutlah yang melakukan
pembunuhan. Kepandaiannya terlalu tinggi
hingga aku tidak berdaya menghadapi-nya.
Namun aku yakin dia tidak bekerja seorang
diri. Aku telah menyebar mata-mata untuk
mencari tahu di mana pemuda itu berada.
Pimpinan pasukan wilayah juga telah
bersedia untuk mengirimkan sejumlah
pasukan guna membantu menangkap pemuda
itu."
Winayu Tindi menyeka peluh di keningnya.
"Sekarang ceritakan kelompok yang pakde
katakan tadi!"
Ki Demang Wesi mengangguk. "Aku akan
terangkan Winayu, asal kau mau berjanji
untuk merahasiakan apa-apa yang kita
bicarakan selanjutnya. Ini menyangkut
masalah Kerajaan...."
Bertambah tidak mengerti jadinya gadis itu.
Namun karena ingin mendapatkan keterangan
dan lebih dari itu ingin mengetahul siapa
pembunuh kedua orang tuanya maka Winayu
anggukkan kepala dan berkata, "Saya berjanji
akan merahasiakan apa-apa yang bakal kita
bicarakan."
"Baik kalau begitu. Aku akan mulai. Dengar
baik-baik dan jangan bertanya sebelum
keteranganku selesai," kata Ki Demang Wesi
pula.
"Seperti kau sendiri mengetahui anakku, saat
ini Baginda terbaring sakit. Raja kita sedang
gering. Di dalam keraton tersiar kabar bahwa
ada kemungkinan orang-orang tertentu tengah
menyiapkan calon pengganti yang sebenarnya
belum sampai haknya atau tidak syah
menurut jenjang usia maupun kedudukan
ibunya. Dikawatirkan Sri Baginda telah
membuat surat wasiat. Sebelum baginda
wafat, sebelum orang yang tidak berhak
menduduki tahta kerajaan, maka sekelompok
pejabat Kerajaan yang didukung oleh enam
orang Adipati bermaksud mencalonkan
pangeran Adi Bintang Sasoko sebagai pewaris
tahta. Menurut silsilah saat ini dialah yang
berhak memegang tampuk kerajaan karena
dia putera tertua meskipun bukan dari istri
pertama Sri Baginda
"Tetapi bukankah Pangeran itu diketahui
menderita penyakit kurang ingatan sejak dia
berusia empat belas tahun..?" ujar Winayu
pula.
"Itu hanya titnah yang sengaja disebar ke
mana-mana dan perjuangan kelompok yang
mendukung Pangeran Adi Bintang ini
mendapat dukungan pula dari Keraton Sura,
ditambah oleh banyak sekali tokoh-tokoh
rimba persilatan. Jika semua rencana berjalan
baik, kelompok itu bersama ribuan rakyat
yang menjadi pendukungnya akan masuk ke
Kotaraja. Begitu tahta jatuh ke tangan
Pangeran Adi, semua para pendukungnya
termasuk aku dan kau tidak akan dilupakan.
Jabatan tinggi apa saja bisa kau minta pada
Sri Baginda nanti..."
"Saya tidak menginginkan jabatan tinggi
pakde. Saya hanya ingin mengetahui siapa
pembunuh ayah dan ibu. Lalu menuntuk
balas. Itu saja!" Kata Winayu Tindi.
"Betul, betul… Aku juga tidak melupakan hal
itu anakku. Justru itulah sebabnya
kuterangkan panjang lebar mengenai
kelompok orang-orang penting ini. Hanya
mereka yang bisa membongkar rahasia
pembunuh orang tuamu!"
"Jadi pakde adalah salah seorang anggota
kelompok tersebut?"
"Ya, juga ayahmu. Begitu rencananya. Tapi
dia tewas sebelum masuk. Kini kaulah yang
menjadi penggantinya. Kau harus bergabung
dengan kelompok kami, Winayu!"
"Harus katamu pakde?"
"Harus. Demi meneruskan cita-cita ayahmu.
Jika kau sudah masuk kelompok banyak yang
akan membantu mencari tahu siapa
pembunuh ayah dan ibumu! Sebaliknya saat
ini kelompok sangat membutuhkan bantuan
dana. Baik dalam bentuk uang, senjata dan
makanan! Kau bisa menyumbangkan dua hal.
Uang dan makanan!"
Winayu tegak dari duduknya. Setelah
melangkah mundar-mandir gadis yang berusia
delapan belas tahun ini berkata, "Saya tidak
mau ikut campur urusan kelompok pakde itu.
Soal bantuan saya tidak keberatan...."
"Terima kasih anakku. Kalau kau bersedia
membantu kelompok kami sudah sama artinya
kau telah bergabung dengan kami...." Ki
Demang Wesi ikut berdiri. Dia menyerahkan
sebuah bungkusan pada Winayu.
"Apa ini pakde?"
"Kebaya dalam berwarna biru muda polos.
Budemu sendiri yang menjahitkannya
untukmu. Aku pergi sekarang Winayu. Jaga
dirimu baik-baik..."
Sesaat setelah Kepala Desa itu meninggalkan
rumahnya Winayu Tindi membuka Wungkusan
yang tadi diserahkan Ki Demang. Ketika
dibuka ternyata memang sehelai kebaya
panjang berwarna biru muda, polos dengan
renda-renda di bagian dadanya. Lalu ketika
kebaya itu dibentang, Winayu melihat sulaman
gambar mahkota dan keris bersilang dari
benang merah, terletak di bagian dada kiri
kebaya itu
TIGA
PENDEKAR 212 Wlro Sableng terheran-heran
sejak dia mulai memasuki pinggiran
Wonosari. Semua orang yang ditemuinya dan
dipapasinya pasti menjura hormat, paling
tidak menganggukkan kepala atau
merendahkan bahu.
"Eh, jadi siapa aku hari ini rupanya! Semua
orang member hormat. Seolah-olah aku ini
seorang pangeran!" begitu murid Sinto
Gendeng tak habis pikir dalam hati.
Ketika perutnya terasa lapar dan pendekar ini
memasuki sebuah kedai makanan,
penyambutan orang kedai dan tamu-tamu
yang ada di situ membuat Wiro jadi salah
tingkah. Semua orang yang sedang makan
langsung tegak berdiri begitu dia muncul di
pintu kedai.
Pemilik kedai bersama istri dan seorang
pelayannya buru-buru datang menyambut dan
mempersilahkannya duduk di kursi paling
bagus, di ujung meja besar.
"Raden, maafkan keadaan kedai yang sangat
sederhana ini. Orang seperti raden tidak
pantas makan di sini. Ini satu kehormatan
besar bagi kami suami istri mendapat
kunjungan raden..." begitu pemilik kedai
berkata.
"Raden...Aku dipanggil raden ...." ujar Wiro
dalam hati sambil garuk-garuk kepala dan
tertawa lebar. "Bintang apa yang jatuh di
kepalaku hari ini..."
"Raden, silahkan duduk menunggu. Tidak
lama. Kami akan hadiahkan makanan paling
enak dan segar. Apakah raden ingin minum
tuak nomor satu...?" bertanya istri pemilik
kedai.
"Terima kasih. Beri aku air putih biasa saja.
Uangku tak cukup banyak untuk membeli tuak
nomor satu..." Jawab Wiro polos.
"Ah, jangan berkata begitu raden, " kata
pemilik kedai. "Kami mana berani memungut
bayaran untuk orang seperti dan sepenting
raden. Semua demi perjuangan raden..."
Lalu suami istri pemilik kedal itu masuk ke
dalam menyiapkan hidangan. Wiro
memandang berkeliling. Setiap orang yang
kebetulan melihat kejurusannya buru-buru
menganggukkan kepala.
"Aku ini dikatakan orang penting...Gila! Apa
sebenarnya yang terjadi di kota ini. Jangan-
jangan mereka salah sangka. Jangan-jangan
ada seorang terhormat yang tampangnya
mirip wajahku yang jelek ini. Ha..ha..Eh, tadi
orang kedai itu mengatakan perjuangan!
Perjuangan apa...? Ah perduli setanlah!
Perutku lapar, makan dan bayar lalu pergi.
Tapi orang kedai itu bilang aku tak usah
bayar! Rejeki besar kalau begitu! Tapi
bagaimana semua ini bisa terjadi...?!"
Tak lama menunggu hidanganpun diletakkan
di atas meja. Mulai dari sebakul nasi putih
harum mengepul, dua potong ikan mas bakar,
satu panggang ayam, sayur semangkuk besar
lalu masih ada kerupuk tempe dan sayur segar
lengkap dengan sambal terasi di cobek besar.
"Silahkan makan raden, silahkan..." Kata
pemilik kedai berulang kali sambil
membungkuk-bungkuk sementara istrinya
meletakkan sebuah cangkir tanah dan buli-
buli berisi tuak harum. Tanpa tunggu lebih
lama Wiro menyantap makanan yang
dihidangkan. Selesai makan dia meneguk tuak
nikmat dan harum, lalu duduk terperangah
kekenyangan. Kedua matanya setengah
terpejam saking enaknya tapi juga
mengantuk.
Istri pemilik kedai mendatangi dan berkata,
"Raden, jika kau mengantuk dan ingin
istirahat, kami sudah menyiapkan kamar
untukmu... "
Wiro menguap lebar-lebar, tersenyum dan
menjawab, "Terima kasih, aku harus
melanjutkan perjalanan saat ini juga." Lalu
Wiro mengeruk saku celananya dan
meletakkan sejumlah uang di atas meja untuk
membayar makanan dan minuman yang telah
disantapnya.
Melihat hal ini suami istri pemllik kedai cepat
mendatangi dan berkata, "Raden, jangan!
Ambil kembali uang itu. Semua yang kau
telah makan dan minum tidak usah dibayar..."
Wiro geleng-geleng kepala. "Aneh...aneh..."
katanya dalam hati.
"Tidak usah bayar demi perjuangan. Begitu...?
"Betul sekali raden."
"Kalian keliru. Justru demi perjuangan aku
harus bayar!" Lalu Wiro cepat-cepat
tinggalkan kedai itu. Ketika dia pergi semua
orang berdiri dan membungkuk memberi
hormat. Suami istri pemilik kedai saling
pandang satu sama lain. Sang suami berkata,
"Baru sekali ini aku menemui yang seperti dia.
Benar-benar pejuang yang tidak mau
memberatkan rakyat. Simpan baik-baik uang
itu istriku. Jangan sampai terlihat dan
diketahui oleh orang-orang Pangeran Adi
Bintang Sasoko. Bisa-bisa kita dituduh
menghambat perjuangan!"
Di luar Wonosari terdapat sebuah bukit kecil.
Di sini tumbuh pohon-pohon jati muda.
Karena ingin mengambil jalan pintas agar
lebih cepat, Wiro sengaja mendaki bukit.
Perjalanan ini menarik sekali karena semakin
tinggi ke atas semakin bagus pemandangan
tampak di bawah bukit. Wiro berlari-lari kecil
sambil bersiul-siul. Suara siulannya bergema
di hutan jati itu. Tiba-tiba pendekar kita
hentikan siulannya. Ada suara derap kaki
kuda di belakangnya. Ketika berpaling, Wiro
melihat ada delapan penunggang kuda
mendaki bukit jati dengan cepat. Dalam waktu
singkat delapan orang itu sudah berada di
sekelilingnya. Dari sikap mereka jelas mereka
sengaja mengurung Wiro. Dan ternyata
mereka adalah tujuh orang prajurit kerajaan,
dipimpin oleh seorang perwira muda
Perwira itu memperhatikan Wiro sesaat.
matanya tertuju pada sulaman mahkota dan
keris bersilang di dada kiri pakaian putih sang
pendekar lalu diapun berkata, "Kami tidak
ingin membunuhmu, kecuali jika kau tidak
mau menyerah secara baik-baik'"
Seorang prajurit bersenjatakan kelewang maju
mendekati perwira Itu dan berkata, "Kenapa
tidak dibunuh saja bangsat yang satu ini?"
"Kelihatannya dia mempunyai kedudukan
yang tinggi. Kita bisa menguras banyak
keterangan darinya. Kembali ke tempatmu
prajurit!" Jawab sang perwira dengan suara
agak berbisik.
"Kalian ini mau mengapakan aku?" Wiro
bertanya sambil garuk-garuk kepala. Baru
saja beberapa waktu lalu mendapatkan
penghormatan dan perlakuan yang
membuatnya merasa seperti seorang
pangeran, kini tahu-tahu dia menghadapi
perlakuan yang jauh berlainan. Agaknya
bintang terangnya sedang redup!
"Karena kau masih bertanya dengan baik
maka aku akan menjawab dengan baik pula,"
menyahuti si perwira muda. "Kau kami
tangkap dan akan dibawa ke Kotaraja!"
"Eh, apa salahku sampai ditangkap? Aku tidak
membunuh, tidak mencuri dan merampok!"
Perwira di atas kuda tertawa lalu keluarkan
suara mendengus.
"Jangan berpura-pura tolol!" dia mulai
keluarkan suara keras.
"Perbuatanmu lebih jahat dari membunuh,
merampok atau mencuri! Kau mau menyerah
secara baik-baik atau terpaksa aku
menurunkan tangan kasar?!"
"Gila! Tidak bersalah tidak apa-apa disuruh
menyerah! Apa-apaan ini!"
"Kalau begitu kau minta digebuk dulu!"
Perwira muda itu tampak marah lalu berterlak
pada anak buahnya untuk menangkap Wiro.
Tujuh prajurit melompat turun dari kuda
masing-masing. Tiga orang menghunus
senjata untuk melindungi empat kawannya
yang ingin meringkus Wiro. Pendekar 212
tegak tak bergerak sambil bertolak pinggang.
"Perwira, suruh prajurit-prajurit ini mundur!
Kalian mungkin keliru menangkapku!"
"Tidak! Gerak-gerikmu sudah kami kuntit sejak
di Wonosari! Dan dari pakaianmu itu jelas kau
adalah salah seorang pentolan berbahaya
yang tengah dicari-cari!"
"Pentolan? Aku pentolan? Pentolan apa...?"
"Masih berani berpura-pura!" gertak perwira
muda tadi lalu sekali lagi dia berteriak
memberi perintah anak buahnya agar segera
menangkap Wiro. Maka tujuh prajurit itu
kembali bergerak. Kali ini mereka bergerak
dengan cepat. Empat orang berusaha
mencekalnya sementara yang tiga todongkan
senjata masing-masing.
"Gila!" Wiro mulai jengkel. Prajurit terdekat
yang hendak mencekal lehernya dihantamnya
dengan satu jotosan sehingga orang ini
terpental dan menjerit kesakitan. Dua
kawannya balas menggebuk, tapi mengalami
nasib sama karena lebih dahulu diterjang
jotosan pendekar 212. Melihat ini prajurit-
prajurit yang memegang senjata tanpa
menunggu perintah lagi langsung tusukkan
senjata masing-masing ke tubuh dan muka
Wiro!
Saat itu Wiro sudah mencekal tubuh salah
seorang prajurit yang tadi dihantamnya dan
kini mengerang kesakitan sambil pegangi
perutnya yang kena tonjok. Ketika tiga senjata
datang menusuk Wiro lemparkan prajurit yang
dicekalnya ke arah tiga prajurit bersenjata.
Melihat hal ini tentu saja mereka yang
menyerang dengan senjata terpaksa menarik
pulang serangan masing-masing agar tidak
melukai kawan sendiri.
"Kurang ajar! Kau berani melawan dengan
mengandalkan kepandaianmu!" Perwira muda
di atas kuda marah sekali. Dia melompat
turun dari atas kuda sambil menghunus
sebilah golok pendek yang menjadi
senjatanya. Belum lagi kakinya menjejak
tanah, senjata di tangan kanannya itu sudah
berkesiuran membabat ke arah kepala
Pendekar 212 Wiro Sableng. Ini satu pertanda
bahwa perwira ini memang terlatih dan
memiliki ilmu bela diri yang tinggi. Begitu
kedua kakinya menjejak tanah, perwira itu
kirimkan serangan susulan yang sangat ganas
tanda dia memang ingin membunuh lawannya
saat itu juga. Wiro berkelebat mengelak
dengan cepat. Lima jurus menempur habis-
habisan sang perwira hanya menghantam
tempat kosong.
"Perwira! Sebaiknya lekas pergi dari sini.
Bawa semua anak buahmu! Aku tidak ada
silang sengketa denganmu!"
"Kau memang tidak ada silang sengketa
denganku secara pribadi! Tapi kau punya
silang sengketa besar dengan Kerajaan!"
Menyahuti perwira itu lalu kembali mem-buru
dengan serangan-serangan gencar. "Gila!
Silang sengketa apa maksudmu?!" tanya Wiro.
"Kau yang gila! Berkomplot menjatuhkan Raja
kini bertanya pura-pura tidak tahu!"
Kagetlah murid Sinto Gendeng dari gunung
Gede itu. Dia hendak berseru ajukan satu
pertanyaan lagi namun terpaksa bungkam
karena di depannya kembali perwira muda itu
menyerbu. Gerakan goloknya tampak berubah
dan serangan senjata itu benar-benar
berbahaya kini.
Wiro sadar dia tak bisa bertahan dan
mengelak terus-terusan. Satu kali senjata
lawan pasti akan mencelakai dirinya. Ketika
dia bersiap untuk kirimkan serangan balasan
tiba-tiba seorang prajurit muncul
menunggang kuda dan berteriak.
"Perwira! Bahaya mengancam di bawah
bukit!"
Perwira muda itu melompat mundur,
melintangkan golok di depan dada dan
berpaling pada prajurit yang barusan datang.
"Ada apa?!"tanyanya.
"Serombongan pasukan musuh bersenjata
lengkap, berjumlah sekitar lima puluh orang
tengah menuju kemari. Mereka dipimpin oleh
dua orang tokoh silat dari timur. Kita harus
menyingkir dari sini. Kekuatan sangat tidak
berimbang!" Begitu prajurit yang datang
memberikan laporan.
"Kalian semua lekas menghadang di lereng
bukit. Aku akan bergabung dengan kalian
setelah menamatkan riwayat pemberontak
yang satu ini!" jawab Perwira muda itu.
"Perwira! Kita semua akan mati konyol jika
berani menghadapi kekuatan lawan yang
begitu besar!" jawab prajurit yang datang
melapor.
"Aku yang memerintah di tempat ini! Kalian
jangan berani menampik!"
Mendengar itu delapan prajurit yang ada di
tempat itu tidak berani membuka mulut lagi.
Mereka segera naik ke atas kuda masing-
masing, padahal beberapa di antaranya
berada dalam keadaan terluka di dalam akibat
gebukan Wiro tadi. Kedelapan prajurit itu
segera menuruni buklt, menyongsong gerakan
pasukan basar yang datang dari bawah.
"Perwira tolol! Kau menyuruh anak buahmu
bunuh diri!"
"Mereka memang pantas untuk mampus! Kau!
Mari hadapi golokku beberapa jurus lagi!"
"Edan! Perwira macam apa kau ini!" teriak
Wiro penasaran.
Dalam hatinya kini muncul niat untuk
menghajar perwira itu habis-habisan. Tapi
sebelum menghajarnya dia ingin
mempermainkan lebih dulu agar si perwira
benar-benar tahu rasa.
Dengan tangan kirinya Wiro patahkan
sebatang ranting. Lalu ranting ini dia
pergunakan sebagai senjata untuk
menghadapi golok lawan.
"Jika kau punya senjata sebaiknya
dikeluarkan saja agar kau tidak mati
percuma!"
Wiro menyeringai mendengar ucapan perwra
itu dan menjawab: "Menghadapi perwira tolol
sepertimu mengapa harus pakai segala
macam senjata. Ranting ini sudah lebih dari
cukup!"
"Bangsat! Kau akan menyesal sampai ke liang
kubur!"
"Mulutmu terlalu besar. Jangan menganggap
rendah semua orang!" sahut Wiro. Ranting di
tangan kirinya diputar berlawanan arah
dengan putaran golok si perwira. Perwira ini
merasakan adanya sambaran angin deras
mengepung gerakannya.
Angin yang keluar dari ranting bukan saja
membuat goloknya terbendung, tapi tubuhnya
sampai bergoyang keras.
"Lepas!" tiba-tiba Wiro membentak. Ranting
di tangan kirinya menusuk ke arah
tenggorokan lawan. Sewaktu si perwira
berkelit ke samping murid Sinto Gendeng cepat
pukulkan ranting ke kiri.
Terdengar suara sang perwira terpekik
kesakitan ketika ranting itu menghantam
belakang tangannya yang memegang golok.
Senjatanya benar-benar lepas mental. Dia
coba melompat untuk menyambar golok itu,
tapi kakinya tiba-tiba dihantam ranting. Untuk
kedua kalinya perwira itu menjerit kesakitan.
Sewaktu dia turun ke tanah kembali dilihatnya
Wiro sudali tegak dengan senyum mengejek
sambil bolang-bolangkan golok milik si
perwira yang kini berada di tangan kanannya.
"Memalukan! Perwira totol! Kalau aku jadi
Raja, manusia macammu tak akan terpakai!
Ini, ambil kembali golokmu!"
Habis berkata begitu Wiro lemparkan golok di
tangan kanannya ke tanah. Senjata ini
menancap satu jengkal di depan kaki sang
perwira dan menghujam tanah sampai
setengahnya.
Merasa malu dan marah karena dipermainkan
dan diejek begitu rupa, perwira muda itu cabut
goloknya dari tanah. Dengan senjata itu dia
hendak menyerbu lawannya habis-habisan.
Tetapi alangkah kagetnya dia ketika golok
yang menancap di tanah itu tak sanggup
dicabutnya. Dia kerahkan tenaga dalam
sekuat-kuatnya, lalu pergunakan pula tenaga
dalam. Sekujur tubuhnya mandi keringat.
Golok di tanah sama sekali tak bergeming!
Tak sanggup dicabutnya.
"Memalukan! Benar-benar memalukan! Ayo
kerahkan tenagamu lebih besar perwira muda!
Kalau mencabut golok saja tidak sanggup
bagaimana mau berperang melawan musuh!"
"Keparat kurang ajar!" maki si perwira. Dia
kerahkan seluruh tenaganya untuk mencabut
golok. Ternyata senjata itu kini mudah sekali
dicabut. Hingga tak dapat dicegah, begitu
golok tercabut perwira itu langsung jatuh
terjengkang di tanah. Wiro tertawa tergelak-
gelak. Merah padam muka si perwira. Golok
yang ada dalam pegangannya dilemparkannya
ke arah Wiro. Senjata ini menderu dengan
ujungnya yang runcing tajam menyambar ke
arah dada sang pendekar. Murid Sinto
Gendeng angkat tangan kirinya yang
memegang ranting. Begitu golok dan ranting
menempel, Wiro putar tangannya. Golok
membalik ke kanan, berputar di pertengahan
ranting seperti sebuah titiran.
"Manusia keparat, jangan kira aku sudah
kalah! Mari kita berkelahi dengan tangan
kosong!" teriak perwira muda itu lalu sekali
lompat dia sudah menerjang dengan
tendangan dan jotosan.
Untuk sesaat Wiro masih asyik memutar-
mutar golok di ujung ranting. Tiba-tiba
pendekar ini tarik ranting dari badan golok.
Senjata ini mental ke bawah, gagangnya
menghantam kening si perwira dengan keras.
Sang perwira menjerit kesakitan, mundur
terhuyung-huyung sambil pegangi keningnya
yang mengucurkan darah!
Pada saat itulah dua orang berpakaian hitam
menunggang kuda muncul di tempat itu
diikuti oleh hampir lima puluh penunggang
kuda lainnya yang kebanyakan berpakaian
kelabu. Dua penunggang kuda di sebelah
depan adalah dua orang kakek berwajah
hampir mirip satu sama lain. Pada dada
pakaian hitam yang mereka kenakan tampak
ada gambar mahkota dan keris bersilang yang
disulam dengan benang merah. Anggota
rombongan lainnya juga memiliki gambar itu
pada pakaian masing-masing tetapi terbuat
dari sulaman benang berwarna biru.
Dua kakek berpakaian hitam yang membekal
sebitah senjata berbentuk tombak pendek di
pinggangnya masing-masing, tampak sama
manggut-manggutkan kepala. Yang di sebelah
kanan keluarkan ucapan, "Ah..ah..ah...! Kalian
berdua baru saja selesai berlatih!"
Kakek yang satu menimpali, "Latihan kalian
pasti berat dan keras! Buktinya kulihat salah
satu dari kalian sampai-sampai mengucurkan
darah di kening!"
Perwira muda itu hanya berdiam diri. Sesaat
dia tampak masih sibuk menyeka luka darah
yang masih mengucur dari luka di keningnya.
Sementara Wiro bertanya-tanya dalam hati
siapa pula dua kakek yang datang membawa
rumbongan manusia begini banyak.
Tadi jelas dia mendengar sendiri bahwa
orang-orang yang baru datang ini adalah
serombongan pasukan musuh. Tetapi kini
setelah berhadapan satu sama lain dengan
perwira muda itu, mereka sama sekali tidak
nampak sebagai bermusuhan. Wiro
memandang berkeliling. Dia tidak melihat
delapan prajurit yang tadi dikirimkan untuk
melakukan penghadangan.
"Saudara-saudara, kita tidak punya waktu
banyak. Malam ini ada pertemuan penting.
Pangeran tidak ingin melihat ada yang datang
terlambat! Mari...."
"Eh, apakah kau bicara denganku juga?!"
tanya Wiro pada si kakek yang barusan
bicara.
"Apa kau kira aku bicara dengan penghuni
gaib bukit Jati ini?!" sahut si kakek.
Wiro perhatikan gambar mahkota dan keris
bersilang di dada pakalan si kakek. Untuk
pertama kali dia ingat akan gambar yang
sama di dada pakaiannya sebelah kiri.
"Eh ...apa artinya gambar-gambar itu.
Mengapa sulaman di dadaku sama dengan
sulaman di dada pakalan mereka. Apakah
mereka juga mendapat pakaian itu dari Nenek
Hitam bergigi Emas...?"
Wiro tak dapat menjawab pertanyaannya
sendiri. Untuk bertanyapun dia merasa tak
enak. Lalu mengapa kakek tadi mengajaknya
ikut serta? Melihat gambar-gambar yang
sama di dada pakaian mereka dan di dada
pakaiannya sendiri apakah ini berarti mereka
berada dalam satu kelompok yang sama?
Selagi Pendekar 212 Wiro Sableng berpikir-
pikir seperti itu dilihatnya perwira muda tadi
membuka pakaian seragam Kerajaannya.
Ketika pakaian itu dibuka dan dilemparkannya
ke tanah ternyata di balik pakalan itu kini
tampak sehelai pakaian biasa, berwarna hitam
yang juga ada sulaman benang merah
bergambar dan keris bersilang di dada kirinya!
Wiro jadi memandang lagi pada gambar yang
sama yang ada di dada pakaiannya.
"Berikan dua kuda pada sahabat-sahabat ini!"
Salah seorang kakek berseru. Dua orang lalu
maju menuntun dua kuda besar. Satu
diserahkan pada si perwira, satu lagi pada
Wiro. Sesaat Wiro dan si perwira saling
pandang.
"Kita berangkat!" terdengar kakek tadi
berteriak memberi aba-aba. Si perwira muda
langsung melompat ke atas punggung kuda.
Wiro masih tegak terheran-heran.
"Eh, kenapa kau tampak seperti orang
bingung, sahabat?!" bertanya si kakek hitman
di samping kiri.
"Kalian mau mengajakku kemana?!" tanya
Wiro sambil garukgaruk kepala.
"Kemana lagi kalau bukan ke Parangtritis,
markas Pangeran Adi Bintang Sasoko. Apakah
kau masih mau bertanya? Kita orang-orang
satu golongan! Aku sudah melupakan
kejadian tadi! Anggap benarbenar sebagal
latihan!" Yang bicara adalah perwira muda itu
"Gila!" desis Wiro sambil meinandang
berkeliling. "Apa yang sebenarnya terjadi saat
ini! Apa arti semua ini! Dan sulaman gambar
mahkota serta keris bersilang ini…! Gila !
Hanya ada satu cara mencari jawaban. Aku
harus ikut dengan mereka!" Wiro lalu
melompat ke atas kuda. Rombongan bergerak
menuruni bukit Jati. Di satu lereng bukit Who
melihat delapan sosok tubuh berseragam
prajurit kerajaan menggeletak di tanah.
Semuanya sudah meregang nyawa dengan
tubuh penuh luka. Wiro melirik ke arah
perwira muda yang kini mengenakan pakaian
hitam, yang menunggang kuda tak jauh di
sampingnya. Di saat yang sama perwira itu
juga berpaling ke arahnya, tersenyum kecil
dan kedipkan mata!
EMPAT
DALAM perjalanan ke Parangtritis tak satupun
anggota rombongan ada yang membuka
mulut atau bicara. Tampaknya mereka
diperintahkan untuk membungkam diri. Dua
kakek berpakaian serba hitam bergerak di
sebelah depan lalu menyusul perwira muda
yang ternyata adalah seorang pembelot. Di
belakang ke tiga orang ini bergerak puluhan
penunggang kuda berpakaian kelabu. Dan
Pendekar 212 Wiro Sableng sengaja menyatu
di tengah-tengah mereka. Walau ada hasrat
untuk menyelinap dan kabur dari rombongan
itu, namun lebih besar lagi niatnya untuk ikut
terus guna mengetahui siapa sebenarnya
orang-orang itu. Siapa pula Pangeran Adi
Bintang Sasoko. Lalu apakah dia akan
bertemu lagi dengan Nenek Hitam Bergigi
Emas yang memberikan pakalan putih
bersulam mahkota dan keris bersilang itu?
Karena rombongan tidak mau menempuh
jalan umum maka perjalanan menjadi satu
setengah kali lebih panjang dan lama. Maka
menjelang matahari tenggelam mereka baru
sampal di tujuan yakni bagian teluk
Parangtritis yang agak terpencil dan jarang
didatangi orang. Disini ternyata sudah
terdapat ratusan orang yang kebanyakan
berpakaian kelabu. Banyak pula yang
berseragam perajurit Kerajaan. Kelompok ini
tangsung memberi hormat ketika melihat
kemunculan perwira muda yang mereka kenal.
Semua kuda ditambatkan, ada yang dibawa ke
kandang darurat untuk diberi makan dan
minum. Angin laut bertiup kencang.
Salah seorang dari dua kakek berpakalan
hitam memandang berkeliling, mencari-cari
Wiro Sableng yang saat itu duduk
memencilkan diri di bawah sebatang pohon
kelapa. Kakek ini segera menghampirinya lalu
memberi isyarat untuk mengikuti. Bersama-
sama dengan perwira muda dan kakek yang
satu lagi, Wiro melangkah mengikuti orang
tua itu. Mereka bergerak ke bagian teluk yang
penuh ditumbuhl pohon-pohon bakau. Setelah
merancah air laut sebatas mata kaki dan
menyibak kelebatan pohon-pohon bakau
keempat orang itu sampai di sebuah
gundukan tanah keras bercampur batu yang di
bagian tengahnya merupakan sebuah lobang
besar atau mulut goa selebar dan setinggi
tiga tombak. Kakek yang memimpin
memandang sesaat pada perwira muda itu,
lalu pada Wiro dan akhirnya member isyarat
agar mengikutinya memasuki goa.
Bagian dalam goa merupakan satu tanjakan
yang terbuat dari batu, mulai dari bagian
bawah sampai dinding dan langit-langitnya.
Kira-kira sepeminuman teh berjalan Wiro
melihat ada cahaya terang di sebelah depan.
Tak lama kemudian mereka sampai pada
ujung goa yang ternyata tertetak pada sebuah
bukit kecil yang penuh ditumbuhi semak
belukar dan pepohonan rapat. Sinar matahari
yang hendak tenggetam masih sempat
menyeruak di antara dedaunan. Beberapa
belas tombak dari luas bukit kecil itu sengaja
dirambas dan di situ dibangun sebuah gubuk
panjang tanpa dinding.
Sepanjang gubuk terdapat meja papan kasar
yang diapit oleh bangku-bangku panjang
yang juga terbuat dari kayu hutan, setiap sisi
meja memiliki dua lapis bangku. Dan di situ
Wiro melihat kira-kira selusin orang duduk
memandang ke arah mereka sementara di
kepala meja sebelah kanan tampak duduk
seorang pemuda berpakaian sangat mewah,
bermuka agak pucat dan setiap saat selalu
tersenyum-senyum menyunggingkan gigi-
giginya yang tonggos.
Di samping pemuda itu duduk seorang lelaki
gemuk yang terus menerus menyedot
sebatang pipa panjang. Bau tembakau yang
terbakar memenuhi tempat itu. Di atas meja,
terutama di kepala meja terdapat banyak
makanan. Kendi-kendi tanah berisi tuak tak
terbilang banyaknya. Tampaknya makanan
dan tuak itu belum disentuh sama sekali.
Mungkin masih menunggu sesuatu.
Wiro memandang berkeliling, mencari-cari.
Namun orang yang dicarinya yakni si Nenek
Hitam Bergigi Emas tak tampak hadir di
tempat itu. Kakek berpakaian hitam memberi
isyarat pada Wiro dan perwira muda itu. Lalu
keempat orang yanog baru datang ini
mengambil tempat duduk. Dua kakek di kepala
meja sebelah kiri sedang Wiro dan si perwira
di bangku panjang lapis belakang bagian
tengah.
Lelaki gemuk yang menghisap pipa, sesaat
memangdang berkeliling lalu lepas pipanya,
berpaling pada pemuda berpakaian mewah
yang sebentar-bentar tertawa dan berkata,
"Semua yang ditunggu sudah hadti. Apakah
pertemuan penting ini bisa kita mulai
Pangeran Adi?"
Pemuda berpakaian mewah yang rupanya
adalah Pangeran Adi Bintang Sasoko
mengangguk lalu tertawa gelak-gelak. "Aku
sudah lama menunggu. Kalian juga! Sudah
lapar dan haus! Sebelum memulai
pembicaraan kita makan dan minum dulu
sekenyang-kenyangnya! Ha...ha...ha...! Eh,
kau setuju calon patih Kerajaan?!"
Si gemuk yang disebut sebagal calon patih
membuka mulut dan setengah berteriak
menjawab, "Setuju!"
Maka semua orang yang ada di situ langsung
menyambar hidangan dan meneguk minuman
yang ada di atas meja.
"Hai! Sampean tidak lapar dan haus?
Mengapa melongo seperti patung tolol?!"
seorang lelaki berpakaian penuh tambalan
menegur Wiro yang sampal saat itu masih
duduk berdiam diri.
"Atau mungkin dia menunggu sampai calon
patih kita marah?!" seseorang berseru. Lalu
orang itu tertawa gelak-gelak, diikuti tawa
beberapa orang lainnya.
Wiro akhirnya mengulurkan tangan juga
menjangkau piring besar berisi ketan kunlng
yang dihiasi goreng paha ayam. Sebentar saja
makanan itu sudah berpindah ke dalam
perutnya. Ketika dia hendak mengambil
cangkir dan menuang tuak ke dalamnya tiba-
tiba dia mendengar suara halus seperti
nyamuk mengiang di telinganya.
"Pendekar muda.... Kau boleh sumpal perutmu
dengan semua makanan yang ada di atas
meja! Tapi jangan sekali-kali kau minum tuak
itu! Minuman yang nikmat itu telah berubah
menjadi minuman celaka! Minuman itu
beracun!"
Wiro tersentak kaget. Kedua matanya berputar
memandang berkeliling. Siapa gerangan yang
barusan bicara jarak jauh dengannya itu?
Satu persatu dipandanginya wajah orang-
orang yang ada di tempat itu. Semua mereka,
termasuk Pangeran Adi Bintang Sasoko sibuk
menyantap makanan masing-masing. Wiro
memperhatikan terus sambil melahap paha
ayam. Semua orang termasuk Pangeran Adi
meneguk tuak yang dihidangkan, malah ada
yang begitu lahap hingga berceceran
menumpahi dagu dan pakaiannya. Wiro
melihat bahwa ada dua di antara orang-orang
yang ada di situ hanya berpura-pura minum.
Tuak yang diteguknya hanya dilelehkan ke
bawah dagu!
"Semua sudah kenyang dan puas mlnum?!"
tiba-tiba si gemuk yang disebut calon patih
berseru.
"Kenyang! Puas!" orang banyak menyahuti. Si
gemuk berpaling pada Pangeran Adi.
"Pangeran, saatnya kita mulai melakukan
pembicaraan!"
Pangeran Adi mengangguk, matanya
berputar-putar lalu Pangeran yang berotak
tidak waras ini tertawa gelak-gelak. Si gemuk
berdiri dari bangkunya. Ujung pipa
diselipkannya ke sela bibir. Dia memandang
berkeliling dengan sepasang matanya yang
sipit lalu berkata, "Sebelum pembicaraan
penting dimulai, tempat pertemuan ini harus
benar-benar dijaga kerahasiaannya! Pohon di
sekitar sini bisa jadi telinga musuh! Apalagi
manusia penyusup!"
Sekali lagi si gemuk memandang berkeliling.
Tatapan kedua matanya sesaat tak berkedip
ke arah Pendekar 212 membuat murid Sinto
Gendeng jadi menahan nafas.
"Sebelum pembicaraan dimulai setiap yang
hadir harus memperkenalkan diri agar kita
saling kenal satu sama lain!" Si gemuk
berteriak. "Pertama akan kuperkenalkan dulu
Pangeran Adi Bintang Sasoko. Beliau adalah
calon Raja kita semua, calon pemimpin
tunggal Kerajaan! Pangganti satu-satunya
Raja yang saat ini sedang gering! Bukan
begitu Pangeran Adi?!"
Pangeran Adi berdiri dari duduknya, menjura
dan berteriak.
"Betul! Aku yang bakal memegang kekuasaan
dan menduduki tahta Kerajaan! Hanya aku!
Ha… ha...hal…!"
Si gemuk kembali membuka mulut. "Aku
sendiri adalah Suto Gunoto, bergelar Si Tapak
Api. Sesuai dengan kehendak Pangeran Adi,
bakal menduduki jabatan Patih Kerajaan!"
Habis berkata begitu si gemuk usap-usapkan
kedua telapak tangannya satu sama lain.
Terdengar suara meletup dan lidah api
mencuat keluar dari celah dua telapak tangan
itu.
Semua orang berdecak kagum melihat hal itu
dan sambil tertawa mengakeh Suto Gunoto
kembali duduk. Dia memberi isyarat pada
orang di sebelahnya. Orang ini berdiri dari
duduknya, menjura lalu memperkenaikan diri.
"Aku Jaliteng Teguh, Adipati Klaten, siap
berjuang di pihak Pangeran Adi. Seratus orang
perajuritku siap sedia di timur Patrangtritis!"
Orang ketiga tegak pula dari bangku kayu.
Seperti Adipati Klaten tadi dia juga menjura,
mendongak sebentar lalu membuka mulut.
"Namaku jelek, tampangku jelek, pakaianku
jelek dan pekerjaanku juga jelek. Ha-ha-ha…!
Aku Sumo Kandil, diberi julukan Pengemis
Kaki Kayu! Aku berjuang bersama Pangeran
Adi! Di usia tua ini aku ingin menghabiskan
sisa hidup dengan tenang menjadi pejabat
Kerajaan!" Habis berkata begitu Pengemis
Kaki Kayu melompat ke atas meja. Ternyata
kaki kanannya memang terbuat dari kayu.
Dengan satu gerakan seperti asal-asalan saja
orang ini hantamkan kaki kayunya ke meja.
Papan meja yang terbuat dari kayu hutan
yang tebal dan kasar itu langsung hancur dan
berlobang besar! Orang banyak bertepuk
tangan. Sumo Kandil kembali ke tempat
duduknya.
Orang keempat berdiri dari bangkunya. Dia
seorang kakek bermuka cekung, mengenakan
baju hijau yang kebesaran dengan sulaman
mahkota dan keris bersilang di dada kiri.
Sulaman seperti ini juga terdapat pada semua
pakaian para yang hadir di tempat itu,
termasuk Wiro Sableng sendiri. Ketika orang
ini meletakkan kedua tangannya di atas meja,
tampaklah sepuluh jari tangan yang memiliki
kuku-kuku panjang berbentuk aneh seperti
seperti pisau-pisau kecil!
"Aku tua bangka jelek ini sudah lama lupa
nama sendiri. Tapi orang memanggilku. Si
Pengupas Kepala! Itu saja. Aku tidak mau
banyak cerita. Kelak kalian akan melihat
sendiri siapa aku ini adanya!" dengan tenang
lalu si kuku panjang ini duduk kembali ke
bangkunya.
Orang kelima sampai ke sembilan ternyata
adalah Adipati dari daerah utara dan barat.
Setelah menyebutkan nama masing-masing
dan berasal dari Kadipaten mana, sambil tak
lupa mengatakan bahwa desekia puluh atau
sekian ratus perajuritnya sudah bersiap sedia,
maka masing-masing kembali duduk di
bangku panjang.
Orang yang ke sepeluh adalah satu dari dua
kakek berpakaian hitam. "Aku juga ikut-ikutan
pikun. Lupa nama. Bersama adikku ini…" Si
kakek menunjuk pada kakek satunya yang
duduk di sebelahnya, "Kami dikenal dengan
julukan Sepasang Tombak Dewa!
Aku mendapat kepercayaan menjadi Panglima
Pasukan Kerajaan dan adikku menjadi
wakilnya. Panggil saja aku ini Tombak Dewa!
Kesatu dan adikku Tombak Dewa Kedua! Soal
kepandaian kami pernah merajai rimba
persilatan di pantai selatan ini. Tapi saat ini
kami tidak enak badan, tak mau pamer
kepandaian! Ha-ha-ha!"
Orang kedua belas adalah perwira muda yeng
duduk di samping Wiro Sableng. Setelah
mengerling sesaat pada Wiro, orang ini berdiri
dan memperkenalkan diri.
"Namaku Aryo Ladam. Jabatan terakhir
Perwira Muda pada pasukan kerajaan. Tapi
mulai detik ini jabatan itu tidak kupakai lagi
karena ingin menyumbangkan bakti pada
calon Raja kita yang baru yaitu Pangeran Adi
Bintang Sasoko. Soal kepandaian mungkin
banyak di antara para hadirin memiliki
kepandaian jauh lebih tinggi dariku. Sebelum
berangkat ke mari aku telah berhasii membina
sekitar enam puluh perajurit dan dua perwira
muda untuk berjuang di pihak kita. Mereka
semua berada di Kotaraja. Mereka akan
melakukan gerakan menyusup dan
menghantaan lawan di pusat Kota. Mereka
siap menunggu perintah!"
Suto Gunoro mengangguk-anggukkan kepala
sementara Pangeran Adi Bintang Sasoko
tersenyum-senyum sambil meneguk tuak.
Sambil mengangkat kendi tuak Pangeran itu
berkata, "Sesuai janji, kau akan aku angkat
sebagal Kepala Pengawal Raja. Pangkatmu
dinaikkan dua tingkat!"
"Terima kasih Pangeran," kata Aryo Ladam
dengan senang hati seraya menjura lalu
duduk ke tempatnya kembali. Kini giliran
Pendekar 212 Wiro Sableng memperkenalkan
diri. Setelah menggaruk kepala lebih dulu,
pendekar ini berdiri dan menjura ke arah
Pangeran Adi serta Si Tapak Api. Sikap ini
membuat kedua orang itu merasa senang
karena sebelumnya tidak ada seorangpun
yang memberikan penghormatan ketika
memperkenalkan diri.
"Mohon dimaaafkan kalau namaku jelek
didengar. Aku Wiro Sableng! Pendekar
pengangguran yang dicap berotak kurang
waras. Apa yang menjadi tujuan para tokoh
yang hadir di sini menjadi tujuanku pula! Kita
bersama-sama berjuang!" Wiro lalu duduk
kembali. Dalam hati dia menyumpah.
"Persetan dengan perjuangan gila ini? Aku
ingin buru-buru pergi dari sini! Edan,
mengapa aku sampai terdampar di antara
para pengkhianat ini!"
Terdengar suara batuk-batuk beberapa kali,
lalu disusul suara orang bicara. Yang bicara
adalah Sumo Kandil alias Pengemis Kaki
Kayu. "Sungguh luar biasa! Tidak disangka-
sangka kalau tokoh silat muda terkenal
sepertimu ikut berada di antara kita Pendekar
212, apakah keikutsertaanmu bersama kami
mendapat restu dari gurumu di puncak
Gunung Gede...?!"
"Ah, si kaki kayu ini rupanya tahu banyak
tentang diriku dan guruku," membatin Wiro.
Pendekar ini agak gugup mendapat
pertanyaan itu tapi cepat kuasai diri dan
menjawab, "Ketika aku melapor, guru sedang
tidak di tempat. Aku hanya meninggalkan
pesan tertulis memberitahu apa yang aku
lakukan..." Wiro berdusta.
"Bagus...bagus... Sebetulnya kau bisa
mengajak beberapa tokoh utama lainnya
menyertai kita. Tapi yang ada sekarangpun
sudah cukup!" kata Pengemis Kaki Kayu pula.
Orang ke empat belas yang duduk di samping
kiri Wiro memperkenalkan diri sebagai
Tumenggung Gandana Jipang. Seperti Aryo
Ladam dia juga menerangkan bahwa ada
sejurnlah besar pasukan kawal Istana yang
berhasil ditariknya.
Orang terakhir atau yang ke lima belas adalah
yang paling lucu, paling konyol gerak-
geriknya. Dia mengenakan baju merah
menyala yang sangat besar tetapi seperti
yang lainnya di dada pakaiannya juga
tersulam gambar mahkota dan keris bersilang.
Rambutnya yang panjang digulung ke atas
dan pada ujung gulungan diberi pita merah.
Mukanya dirias secara seronok yaitu bedak
tebal bertotol-totol, lalu gincu berlepotan dari
bibir sampai ke pipi dan dagu sedang alis
mata diberi jelaga hitam bercelemongan.
Orang ini berdiri dengan sikap malu-malu
seperti perempuan. Suaranya kecil ketika
memperkenalkan diri, "Namaku Tatata Tititi.
Aku tidak bergelar tidak berjuluk! Tidak punya
kepandaian silat! Tapi pandai bermain sulap,
kalau perlu menyihir. Lihaat!" Orang itu
menunjuk pada sepiring makanan di atas
meja. "Saat ini kalian melihat ada makanan di
alas piring itu! Tapi coba pejamkan mata
kalian sekejapan! Lalu buka dan lihat lagi ke
arah piring! Kalian tidak akan melihat
makanan lagi! Nah lakukanlah!"
Karena tertarik, hampir semua orang yang ada
di tempat itu termasuk Wiro pejamkan
matanya. Ketika kedua mata dibuka dan
mereka memandang ke arah piring! Astaga!
Memang diatas piring itu kini yang mereka
lihat bukan lagi makanan, tapi seonggok tahi
kerbau! Semua orang mengerenyit jijik. Tak
percaya pada pemandangan masing-masing
dan banyak yang mengusap-usap kedua
matanya!
"Jadi tadi kalian bukan bersantap enak. Tapi
makan tahi kerbau...hik…hik..hik!" orang
bermuka celemongan itu tertawa cekikikan.
"Aku hanya bergurau! Hanya bergurau. Lihat
sekali lagi. Apa yang ada di piring memang
makanan!"
Dan ketika semua orang memandang lagi ke
arah piring, memang di situ kini tampak
makanan seperti semula. Terdengar orang tadi
berkata, "Jika aku bisa merubah makanan jadi
tahi kerbau, aku juga bisa merubah wajah Sri
Baginda menjadi tahi kerbau! Hik...hik...hik!"
"Tukang sulap!" tiba-tiba Suto Gunoro alias Si
Tapak Api berseru. "Coba terangkan, kau ini
lelaki atau perempuan!"
"Hik..hik..hik! Aku bukan lelaki bukan
perempuan!" jawabnya Tatata Tititi.
"Maksudmu....?!" Pangeran Adi Bintang yang
kini ajukan pertanyaan.
"Aku banci! Hik..hik..hik!"
"Jangan melantur! Kau berhadapan dengan
calon Sri Baglnda!" Membentak SI Tapak Api.
"Hik..hik..hik! Aku tidak melantur. Aku
memang banci. Jika tidak percaya akan
kusingkapkan pakaianku! Mau melihat...?!"
Pangeran Adi Bintang tertawa gelak-gelak dan
goyanggoyangkan tangannya ketika Tatata
Tititi hendak menyingkapkan pakalannya yang
lebar.
"Sudah! Kami percaya padamu siapapun kau
adanya. Kau telah menjadi satu kelompok
dengan kami!" ujar Pangeran Adi sambil
senyum-senyum. "Silahkan duduk Tatiti...."
"Maaf, namaku Tatata Tititi, Pangeran. Bukan
Tatiti .... !"
"Oh, ya aku kesalahan!" Pangeran Adi tertawa
gelak-gelak. Lalu dia berpaling pada Suto
Gunoro dan berbisik, "Saatnya untuk
melakukan pembersihan, patih!"
Suto Gunoro mengangguk lalu cabut pipanya
dan berdiri. Sepasang matanya yang sipit
tampak tambah sipit ketika dia memandangi
satu persatu semua orang yang ada di tempat
Itu.
"Saudara-saudara satu perjuangan. Sebelum
pembicaraan amat rahasia kita mulai, tempat
ini harus dibersihkan darl penyusup mata-
mata musuh!"
"Eh…! Apakah ada mata-mata kerajaan
disini?!" angkat bicara Pengemis Kaki Kayu
alias Sumo Kandil.
Suto Gunoro menyeringal buruk. Dia berpaling
pada kakek bermuka cekung yang tadi
memperkenalkan diri dengan juiukan Si
Pengupas Kepala. Lalu Suto anggukkan
kepalanya.
Melihat isyarat ini Si Pengupas Kepala bangkit
dart kursinya. Kedua matanya memandang
menyorot satu persatu pada orang-orang
yang ada di sekitar meja. Kedua tangannya
sailing digosok-gosokkan. Kuku-kukunya
yang beradu satu sama lain mengeluarkan
suara bergemericik, tidak beda seperti pisau-
pisau saling bergesekan, menggidikkan
kedengarannya. Orang ini melangkah
memutari meja, mengitari lima belas orang
yang duduk laksana terpaku. Wiro merasakan
tengkuknya dingin ketika menyadari bahwa Si
Pengupas Kepala berhenti melangkah dan
tegak tepat dibelakangnya.
"Jangan-jangan orang ini mencurigaiku. Pasti
aku yang dimaksudkannya dengan mata-mata
musuh tadi! Celaka!" Wiro segera pusatkan
tenaga dalam ke tangan kanan, diam-diam
menyiapkan pukulan sakti "sinar matahari".
Kedua telinganya dipasang tajam-tajam.
Begitu terdengar orang bergerak maka serta
merta dia akan menghantam.
Dibelakangnya Si Pengupas Kepala dengan
gerakan sebat dan tiba- tiba mengangkat
tangannya, mencekal leher orang yang duduk
di sebelah kiri Wiro. Dia adalah Tumenggung
Gandana Jipang! Wiro menarik nafas lega.
"Mata-mata keparat! Berani kau menyusup ke
sarang harimau!" teriak Si Pengupas Kepala.
Tumenggung Gandana Jipang tampak kaku
sekujur tubuhnya. Mukanya seputih kertas.
Suaranya tercekik ketlka bicara. "Lepaskan!
Jangan! Kau salah tuduh! Aku bukan mata-
mata Kerajaan! Aku datang kemari justru
untuk bergabung! Bukankah aku yang
memberikan berita-berita rahasia tentang
sakitnya Raja....?!"
Si Tapak Api tertawa mengekeh. Si Pengupas
Kepala menimpali dengan suara menggereng.
Cekalannya mengencang. Tubuh Tumenggung
Gandana Jipang dilemparkannya ke atas meja
besar.
Begitu orang ini terpentang di atas meja,
sepuluh jari tangannya yang memillki kuku
sekuat dan setajam pisau bergerak cepat
seperti menggerlnda. Terjadilah satu
pemandangan luar biasa mengerikan.
Tumenggung Gandana Jipang menjerit
setinggi langit, melolong dan menghempas-
hempaskan tubuhhya sementara kepalanya
mulai dari kulit kepala sampai kulit muka
dikelupas oleh kuku-kuku maut itu! Hanya
beberapa kejapan mata saja kepala itu kini
tinggal tengkorak berselimut darah! Tubuh
Tumenggung Gandana Jipang tak berkutik
lagi.
"Gusti Allah…" bisik Wiro dalam hati dan
membuang muka ke jurusan lain.
Kesunyian yang dicengkam ketegangan
menggantung di tempat itu. Dan Kesunyian ini
dirobek oleh suara tawa mengekeh Pangeran
Adi Bintang dan Suto Gunoro alias Si Tapak
Api sementara Si Pengupas Kepala sibuk
membersihkan tangan dan kukunya yang
bersimbah darah. Sambil membersihkan
tangannya dia memandang berkeliling, lalu
berkata, "Manusia ini bukan Tumenggung
Gandana Jipang! Dia mata-mata Kerajaan
yang coba menyusup. Tumenggung Gandana
Jipang yang sebenarnya berada dalam
penjara!"
Wiro tidak perduli apa yang diucapkan oleh
orang itu. Ingin sekali dia meninggalkan
tempat itu. Ketika dia hendak bergerak
bangkit tiba-tiba Si Tapak Api berseru.
"Ada tamu datang! Bersihkan meja!"
Pengemis Kaki Kayu cepat berdiri. Kaki
kayunya bergerak ke atas meja. Tubuh
Tumenggung Gandana Jipang mencelat
mental dan lenyap diantara pohon-pohon
lebat yang mulal tenggelam dalam gelapnya
malam yang baru turun.
LIMA
YANG DATANG ternyata ada dua orang. Yang
pertama seorang lelaki tinggi kekar berambut
kelabu dan memegang sebuah tongkat
sepanjang tiga jengkal di tangan kanannya. Di
samping orang ini, agak ke belakang sedikit
berjalan seorang gadis berkebaya panjang
biru dangan sulaman gambar mahkota serta
keris bersilang di dada kirinya. Gadis ini
tampak agak ragu-ragu untuk melangkah
lebih dekat ke arah meja besar dimana
berkeliling belasan orang yang sama sekali
tidak dikenalnya. Tapi lelaki berambut kelabu
cepat berbisik dan memegang tangannya. "Tak
ada yang harus ditakutkan, anakku. Kita
berada di tengah-tengah teman
seperjuangan…"
"Aha! Ki Demang Wesi! Akhirnya kau datang
juga! Untung pembicaraan rahasia belum
dimulai!" Si Tapak Api berseru. Sesaat
matanya jelalatan menatap wajah cantik gadis
di samping lelaki berambut kelabu yang
ternyata adalah Ki Demang Wesi, Kepala Desa
Parangtritis.
"Harap maafkan.... "sahut Ki Demang Wesi
sambil menjura.
"Aku terlambat karena harus meyakinkan
anakku ini dulu bahwa perjuangan kita adalah
perjuangan yang besar. Bahwa masa
depannya akan seribu kali lebih baik begitu
perjuangan selesai! Aku perkenalkan putriku,
Winayu Tindi. Sebenarnya dia adalah puteri
almarhum Ageng Lontar, orang paling kaya di
Parangtritis. Tapi aku sudah menganggapnya
sebagai anak sendiri dan dia sudah
menganggap aku sebagal ayah! Dan yang
penting, Winayu Tindi telah memutuskan
untuk menyumbang kekayaannya bagi
perjungan kita!"
"Hebat!" seru Si Tapak Api.
Pangeran Adi Bintang Sasoko tiba-tiba
bangkit dari kursinya. Matanya memandang
tak berkesip pada Winayu Tindi. Tangan
kanannya diangkat. Jari telunjuknya
diarahkan tepat-tepat pada gadis itu,
tenggorokannya turun naik. "Cantik! Cantik
sekali puterimu ini Ki Demang! Sumbangannya
untuk perjuangan sangat besar! Apakah balas
jasa yang paling baik harus kita berikan pada
si cantik jelita ini...?!"
Tak ada yang menjawab. Mungkin tak ada
yang berani menjawab. Tapi tiba-tiba Wiro
berdiri. "Menurut pendapatku, dia pantas
menjadi istri pangeran. Menjadi permaisuri
begitu pangeran dinobatkan jadi Raja!"
"Hah?! Tepat! Tepat sekali!" teriak Pangeran
Adi lalu tetawa gelak-gelak.
Yang lain-lainnya ikut bertepuk tangan dan
mengatakan setuju. Di antara tepuk tangan
dan suara riuh itu tiba-tiba Wiro mendengar
ada suara seperti nyamuk mengiang dikedua
telinganya, "Anak tolol! mengapa mulutmu
selancang itu mengatur perjodohan orang?!
Sableng!"
Wiro merasakan mukanya jadi merah dan
panas. Dia memandang berkeliling, mencari-
cari siapa diantara yang hadir yang barusan
mengirimkan ucapan itu. Sulit baginya untuk
menduga. Mungkin Pengemis Kaki Kayu atau
mungkin Si Tapak Api. Atau mungkin pula
salah satu dari Sepasang Tongkat Dewa?
Ketika tepuk tangan dan suara riuh lenyap,
terdengar suara Winayu Tindi. Wajah gadis ini
tampak sangat merah.
"Sesuai janji, saya memberikan sumbangan
demi untuk mencari tahu siapa pembunuh
ayah dan ibu saya…!"
"Oh begitu? Urusan gampang!" sahut Si Tapak
Api.
"Calon permaisuriku! Kau tak usah kawatir!
Jangankan mencari tahu siapa pembunuh
orang tuamu! Mencari tahu beberapa banyak
bintang di langitpun akan kulakukan!" berkata
Pangeran Adi yang disambut dengan suara
riuh rendah oleh orang banyak. Ki Demang
Wesi membimbing Winayu lalu keduanya
duduk di bagian meja yang masih kosong ini
adalah di samping Wiro. Begitu melihat si
pemuda kening Ki Demang Wesi jadi berkerut.
"Eh, anak muda! Kau…"
"Rupanya kita orang-orang satu golongan.
Apakah kau masih menduga aku yang
melakukan…?" Wiro mendahului.
"Tidak, tentu saja tidak!" jawab Ki Demang
Wesi cepat.
Winayu Tindi tidak mengerti apa yang
dibicarakan kedua orang itu. Tapi sejak
mendengar ucapan Wiro tadi, gadis ini sudah
sempat sebal lebih dulu. Begitu Wiro
memandang padanya gadis ini segera
menempelak dengan ucapan, "Mulutmu
lancang benar! Apa keuntunganmu
mengatakan itu tadi…"
Untuk kedua kalinya Wiro merasa wajahnya
menjadi merah. Sadar kalau mulutnya
ketelepasan.
"Maafkan aku sahabat. Aku tidak bermaksud
lancang. Tapi kata-kataku tadi memang tidak
pada tempatnya. Kurang ajar! Aku tahu
jangankan gadis secantikmu, kambing betina
yang bengekpun tidak mau jadi istri Pangeran
gila itu…!"
Suto Gunoro sang calon patih Kerajaan
bangkit dari tempat duduknya. Setelah
menghisap pipanya panjang-panjang diapun
menyatakan bahwa pembicaraan rahasia
segera dimulai. Adapun pembicaraan itu
menyangkut rencana penyerbuan Kraton dari
tiga jurusan dengan kekuatan hampir seribu
orang. Lalu melakukan penculikan terhadap
Sri Baginda dan menculik atau membunuh
Pangeran Ikronegoro yakni Pangeran yang
diduga akan diangkat dan dinobatkan menjadi
Raja begitu Sri Baginda mangkat. Setelah itu
dilakukan penggantian terhadap pucuk
pimpinan Kerajaan, termasuk para Adipatl,
kecuali Adipati yang berpihak dan membantu
Pangeran Adi bintang Sasoko.
Diatur pula taktik bahwa penyerbuan akan
dilakukan dua hari dimuka, dinihari menjelang
subuh. Sebelum itu, pada permulaan malam
akan dilakukan pembunuhan terhadap para
tokoh silat Istana. Dan ini dilaksanakan oleh
tiga orang yaitu Si Pengupas Kepala,
Pengemis Kaki Kayu dan Pendekar 212 Wiro
Sableng!
Menjelang tengah malam pertemuan rahasia
itu berakhir, Ki Demang Wesi meneguk tuak
sampaii sekendi penuh. Winayu Tindi sama
sekali tidak menyentuh minuman ini, dan juga
tidak mencicipi makanan. Ini kelak
menyelamatkan dari racun mematikan yang
ada dalam minuman.
Selain bangunan panjang tanpa dinding yang
dijadikan tempat pertemuan itu, ternyata
masih ada tiga bangunan lain yang dibuat
berpencar di tiga tempat dan merupakan
rumah-rumah kecil. Salah Satu rumah itu
ditempatl oleh Pangeran Adi Bintang Sasoko
bersama Si Tapak Api. Rumah kedua dan
ketiga tadinya dibagi-bagi untuk para
anggota komplotan pemberontak itu namun
yang satu kemudian harus diberikan pada
Winayu Tindi karena sudah diputuskan bahwa
sejak kedatangan mereka malam itu ke tempat
itu, tidak satu orangpun diperkenankan
meninggalkan tempat rahasia itu. Penjagaan
ketat dilakukan di setiap sudut.
Malam itu Wiro pura-pura tidur mendengkur
di bangku panjang. Udara dingin sekali dan
suara deburan ombak di pantai terdengar
mengerikan. Setelah pertemuan berakhir tadi,
Wiro sempat melihat Pangeran Adi, Si Tapak
Api dan Ki Demang Wesi melakukan
pembicaraan singkat. Lalu ketiganya menuju
rumah kecil di sebelah kanan. Murid Sinto
Gendeng yakin sekali pasti ada pembicaraan.
Ketika dilihatnya gelagat baik, Pendekar 212
cepat mengendap-endap, menyelinap di
kegelapan malam lalu melompat ke atas
pohon yang salah satu cabangnya menjuntai
tepat di atas rumah di mana ketiga orang itu
berada. Dari atas pohon Wiro dapat
mendengar pembicaraan orang-orang itu
cukup jelas.
"Ki Demang Wesi, malam dingin begini aku
ingin berada dekat puterimu yang cantik itu.
Apa jawabmu Ki Demang?" terdengar suara
Pangeran Adi.
"Pangeran, gadis itu masih terguncang
jiwanya akibat kematian kedua orang tuanya.
Tunggulah beberapa hari. Dia akan menjadi
permaisuri Pangeran jika Pangeran memang
menyukainya…" Begitu jawaban Ki Demang
Wesi.
"Tentu saja aku menyukainya! Ha..ha...ha!
Seperti aku menyukai sarapan pisang goreng
dan kopi hangat pada pagi hari! Ha.. ha..
ha.. !"
"Ki Dernang, tadi aku mendengar gadis itu
menyatakan bahwa sumbangan diberikannya
dengan imbalan kita harus mencari tahu siapa
pembunuh kedua orang tuanya. Bukankah
persoalan itu sudah kuserahkan agar kau
selesaikan dengan tuntas?" Yang bicara
adalah Si Tapak Api.
"Telah aku usahakan Suto. Hanya sayang aku
salah menjatuhkan tuduhan. Aku tidak tahu
kalau pemuda asing yang aku tuduh itu
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, orang kita
sendiri.... "
"Terus terang aku menaruh curiga pada
pendekar satu itu. Meski orangnya keblinger
dan kepandaiannya tinggi namun sejak lama
dia dikenal sebagai tokoh bersih dari
golongan putih...."
"Dunia bisa berubah, apalagi manusia!" ujar
Ki Demang Wesi.
"Tapi tak ada salahnya untuk menyelidiki,
siapa yang membawanya masuk dalam
kelompok kita…"
Melihat hal ini Ki Demang Wesi minta diri
untuk meninggalkan tempat itu. Sebelum Ki
Demang membuka pintu terdengar Si Tapak
Api berkata, "Kau jaga baik-baik Winayu Tindi
itu, Ki Demang! Dia calon Permaisuri!"
"Akan aku lakukan Sumo. Tentu saja!"
"Satu hal lagi haruss kau jaga baik-baik, Ki
Demang!"
"Apa itu...?"
"Jangan sampai dara itu mengetahui kalau
kaulah pembunuh kedua orang tuanya…"
Ki Demang Wesi mengangguk perlahan. Ada
rasa tidak enak di hatinya mendengar kata-
kata Sumo Gunoro itu. Maka diapun berkata,
"Kalau bukan demi perjuangan, sebenarnya
aku tidak akan mau berlaku sekeji itu Sumo...
Lagi pula dia menolak untuk diajak serta.
Bahkan mengancam akan melaporkan
komplotan kita ke Istana!"
"Memang manusia seperti dia pantas
disingkirkan. Tapi kudengar istrinya telah
dirusak kehormatannya sebelum dibunuh! Apa
yang kau lakukan Ki Demang?"
"Ya, ceritakan apa yang kau lakukan Ki
Demang!" terdengar suara sang Pangeran.
Terdengar Ki Demang Wesi menarik nafas.
Lalu terdengar jawabannya. "Perempuan itu
terlalu cantik dan masih sangat muda untuk
dihabisi. Sayang dia banyak tahu dari
suaminya tentang komplotan kita. Juga kusir
kereta.... "
"Aku tidak bertanya si kusir delman itu! Tapi
apa yang situ lakukan terhadap istri Ageng
Lontar! Ha... ha...ha.... ! Ceritakan saja saja
Ki Demang.... "
"Aku memang dirasuk nafsu. Perempuan itu
kutiduri baru kubunuh. Untuk menutup rahasia
kusir delman terpaksa pula kubunuh!"
"Kau makan sendirian Ki Demang! Tidak
membagi-bagi kami! Ha...ha.... ha....!"
"Kau boleh pergl Ki Demang! Dan janjiku
padamu pasti akan kutepati! Kau bukan saja
akan terus jadi Kepala Desa Parangtritis, tapi
akan kuangkat jadi Adipati!"
"Terima kasih Pangeran. Aku minta izin
mengundurkan diri...."
Terdengar suara pintu dibuka lalu ditutupkan
kembali. Di atas pohon Pendekar 212 Wiro
Sableng tersentak kaget seperti disengat
kalajengking mendengar rentetan pembicaraan
yang terakhir.
"Manusia setan haram jadah! Jadi dia
pembunuh kedua orang tua gadis itu! Benar-
benar dajal!" Amarah membuat murid Sinto
Gendeng ini lupa berada dimana dia saat itu.
Begitu melihat sosok tubuh Ki Demang Wesi
keluar dari dalam rumah dia segera hendak
melompat turun guna menghajar manusia itu.
Tapi gerakannya tertahan ketika tiba-tiba ada
suara mengiang di telinganya.
"Jangan tolol! Kendalikan amarahmu! Belum
saatnya! Belum saatnya untuk memamerkan
kehebatan!"
"Sialan! Dia lagi!" maki Wiro. Matanya dibuka
lebar-lebar dan dia memandang berkeliling.
Tidak nampak seorangpun, kecuali Ki Demang
Wesi yang melintas dibawah pohon. Saat itu
pintu rumah terdengar terbuka kembali. Lalu
tampak Si Tapak Api keluar dan bergegas
menyusul Ki Demang. Kedua orang ini sama
berhenti di bawah pohon, tepat di atasnya
Wiro mendekam.
"Sumo, aku perlu bertanya. Apakah tuak itu
benar-benar kau campur racun?"
"Seperti yang kita rencanakan, sobatku! Dalam
waktu dua minggu yang minum akan
mampus! Putus dan hancur ususnya! Dan kita
memang tidak memerlukan mereka lagi! Juga
tidak Pangeran gila dan tolol itu!"
"Kalau begitu lekas berikan padaku obat
penawar racun itu! Aku tidak mau mati
konyol!"
S! Tapak Api tertawa mengekeh. Lalu
dikeluarkan sebutir benda putih dari dalam
saku pakalannya dan diserahkan pada Ki
Demang. Kepala Desa ini cepat menelan obat
penawar racun itu.
"Jadi kau tetap akan menghabisi Pangeran
Adi begitu tahta direbut?" terdengar Ki
Demang bertanya.
"Bukankah itu yang kita rencanakan? Aku jadi
Raja, kau menjadi Patih...! Nah, hari hampir
pagi. Kau pergilah tidur. Mudah-mudahan
mimpi enak..." Si Tapak Api menepuk bahu Ki
Demang Wesi.
Keduanya berpisah.
"Jahanam! Benar-benar manusia-manusia
jahanam! Jadi benar bisikan orang itu.
Minuman itu ternyata beracun!"
Wiro memandang lagi berkeliling. Sangat
halus, tapi dia masih sempat mendengar ada
suara bergeresek di belakangnya. Dia cepat
berpaling. Tapi terlambat. Dia hanya sempat
melihat bayangan dalam gelap. Dia coba
memburu. Bayangan itu lenyap! Tapi dari
sosok tubuh yang sekelebatan itu dia rasa
rasa bisa menduga siapa adanya orang itu.
Wiro memperhatikan suasana sekeliling
seolah-olah tengah meronda. Dilihatnya tokoh
silat yang mengaku banci dan bernama Tatata
Tititi tengah tidur mengorok dekat kaki meja
besar. Tadi dia tidak melihat orang itu tidur di
sana, Bagaimana kini tahu-tahu dia bisa ada
di situ? Wiro melangkah mendekati orang ini.
Memperhatikannya sejenak. Dia melihat ada
kotoran kehijauan pada pakaian merah Tatata
Tititi. Lalu diperhatikannya tangan sendiri.
Noda yang sama juga terdapat pada kedua
telapak tangannya. Kotoran Itu adalah lumut
pohon yang dipanjatnya. Pendekar 212
tersenyum. Dalam hati dia berkata,
"Hemmm... Jadi dia rupanya!" Wiro
manggutmanggut dan diam-diam merasa
lega.
Paling tidak dia tahu kalau dia tidak
sendirian ditempat yang sangat berbahaya
itu.Ada seorang teman bersamanya walau dia
masih tidak dapat memastikan siapa adanya
orang itu. Sambil garuk-garuk kepala Wiro
melangkah ke bangku panjang di mana dia
berbarlng sebelumnya. Dibelakangnya Tatata
Tititi yang masih keluarkan suara mengorok
tampak membuka mata kirinya. Ada sekelumit
senyum dimulutnya yang celemongan oleh
gincu itu. Dalam hati dia berkata,
"Ah, pemuda itu sudah tahu rupanya…"
ENAM
SEJAK SIANG hujan turun terus. Menjelang
sore reda sebentar tetapi begitu matahari
menggelincir ke ufuk tenggelamnya hujan
menderas menggila. Air laut bergelombang
menggemuruh. Suaranya menakutkan. Ombak
memecah di teluk bergulung-gulung setinggi
rumah. Di kejauhan terdengar suara angin
menderu mengerikan.
Tampak kilat sambar-menyambar lalu suara
guntur menggelegar seperti hendak
membalikan isi laut. Beberapa pohon kelapa
di tepi pasir patah berderak, tumbang ke laut.
Ringkik kuda yang ketakutan terdengar
berulang kali.
Di dalam rumah kecil Si Tapak Api tampak
melangkahi mundar mandir sementara
Pangeran Adi tegak di sudut sambil
tersenyum-senyum lalu menyanyi-nyanyi kecil
seolah-olah mengiringkan deru hujan dan
angin serta gemuruh air laut. Sepasang
Tombak Dewa berdiam diri sedang Pengemis
Kaki Kayu duduk manggut-manggut sambil
permainkan kaki kayunya. Tokoh aneh
bernama Tatata Tititi berdiri dekat pintu
rumah, memegang sehelai kapas berwana
merah. Tengah berhias rupanya si banci ini! Si
Tapak Api diam-diam memaki melihat tingkah
laku orang-orang yang ada disitu. Terutama
jengkel terhadap Pangeran Adi dan Tatata
Tititi.
"E… Hujan celaka !" akhirnya meledak
kejengkelan Si Tapak Api, alias Buto Gunoro
sang calon Patih Kerajaan. "Mengapa justru
turun saat pasukan kita siap bergerak!"
"Tenang saja Suto. Sebentar lagi hujan pasti
berhenti. Begitu berhenti kita segera bergerak
menuju Kotaraja," berkata Pengemis Kaki
Kayu.
"Kalau segera berhenti, kalau tidak…? Kita
bisa terlambat dan kesiangan sampai di
sasaran!"
"Kalaupun hujan tidak berhenti, apakah kita
takut menempuh malam dan hujan?" bertanya
Dewa Tongkat Kesatu.
"Tidak ada yang perlu kita takuti di dunia ini,
tapi jangan tolol. Cuaca bisa membuat kacau
gerakan kita!" kata Si Tapak Api tambah
jengkel. "Apa sebenarnya yang terjadi di luar
sana? Siapa yang pandai melihat cuaca?!
Tatata Tititi, kau pasti tahu soal cuaca. Coba
lihat keluar, apakah hujan akan reda atau
tidak?!"
Tatata Tititi tampak terkejut. Dia hentikan
membenahi wajahnya dengan bedak merah
itu, memandang Si Tapak Api dan tersenyum.
Lalu terdengar suaranya yang kecil.
"Kalau aku berhujan-hujan keluar, bedakku,
gincuku, alisku... semua akan luntur!
Hik...hik! Mukaku akan lebih buruk dari
pantat kuali! Suruh saja yang lain…"
Si Tapak Api menjadi sewot perintahnya
ditampik begitu rupa. Dia menjangkau sebuah
caping lebar dari bambu dan melemparkarnya
pada Tatata Tititi. "Pakai caping itu!
Wajahmu tak akan kehujanan! Ingat!
Kekuasaan dan perintah tertinggi ada pada
Pangeran Adi. Dan aku mewakilinya. Jadi
jangan ada yang berani menolak perintah…"
Tatata Tititi batuk-batuk beberapa kali.
Caping yang dilemparkan orang terpaksa
disambutnya dan dikenakannya di atas
kepalanya. Lalu dibukanya pintu rumah. Saat
itu udara di luar mulai gelap. Hujan lebat
seperti tidak bisa ditembus dengan
pandangan mata. Dengan langkah terhuyung-
huyung Tatata Tititi berjalan menuju bagian
bukit yang agak tinggi. Seharusnya dari situ
dia bisa melihat teluk dan laut. Tapi malam
yang mulai turun dan derasnya hujan
membuat pemandangannya terbatas hanya
sampal dua tombak saja. Sambil menggigil
kedinginan Tatata Tititi memandang
berkeliling, mencari-cari pohon yang baik dan
mudah untuk dipanjat. Dia menemukan
sebatang pohon yang tidak terlalu tinggi
dengan cabang-cabang yang berdekatan satu
sama lain. Sekali lagi orang yang mengaku
banci ini memandang berkeliling. Lalu sekali
dia menggenjot kaki maka tubuhnya pun
melayang ke atas cabang kedua. Walaupun
dia kini berada di atas pohon, tetap saja dia
tidak papat melihat jauh ke arah laut. Yang
kelihatan hanya sambaran-sambaran kilat
lalu suara Guntur yang seperti hendak
merobek langit. Namun sebenarnya bukan
untuk dapat melihat laut yang menjadi tujuan
si muka celemong ini untuk naik ke atas
pohon. Dari dalam sakunya dia mengeluarkan
sebuah benda bulat panjang sebesar ibu jari.
Bagian atas benda ini ada sumbunya sedang
sebelah bawah ditancapi sepotong bambu
kecil sebesar lidi. Dari sakunya yang lain dia
mengeluarkan sepasang batu api.
"Celaka, batu api ini basah…!" Lalu Tatata Titi
gosok-gosokkan dua batu api itu
kepakaiannya agar kering. Sementara itu di
dalam rumah kecil, Si Tapak Api terdengar
marah-marah karena sepasang batu apinya
lenyap entah kemana. Padahal yang kini
berada di tangan Tatata Tititi itulah batu api
miliknya, dicuri oleh si muka seronok!
Setelah sepasang batu api kering dan dia
berusaha sedapat mungkin melindungi benda
bulat bersumbu agar tidak terkena air hujan,
maka Tatata Tititi mulai menggosok sepasang
batu api itu satu sama lain. Karena dia
menggosok dengan ketakutan kuat dan keras
maka sebentar saja apipun memerclk. Tetapi
ketika lidah api didekatkan ke sumbu benda
bulat panjang, tiupan angin yang keras
mematikanya.
"Setan alas!" maki Tatata Tititi. Sampai
empat kali dia mencoba akhirnya baru sumbu
itu dapat dibakarnya dengan nyala api.
Karena terbuat dari sejenis kain yang cepat
dimakan api, sumbu itu serta merta terbakar.
Api menyulut ke bagian benda bulat.
Terdengar suara mendesis panjang. Tatata
Tititi lepaskan pegangannya pada bambu
kecil. Seperti didorong oleh sesuatu kekuatan
yang keras, dalam keadaan menyala benda
bulat panjang itu melesat ke udara. Siapapun
yang berada di delapan penjuru angin pasti
akan melihat nyala terangnya, walaupun
hanya seketika yakni sebelum padam diterpa
air hujan dan udara dingin. Tatata Tititi untuk
sesaat masih mendekam di atas pohon itu.
Dia lebih banyak mempergunakan ketajaman
telinganya dari pandangan mata.
"Ada badai yang bakal turun. Air laut akan
segera naik. Pasang pasti akan
menenggelamkan goa...."
Lalu dia turun dari atas pohon kembali ke
dalam rumah. "Bagaimana? Apa yang bisa
kau laporkan…?!" Si Tapak Api langsung
bertanya begitu Tatata Tititi muncul di pintu.
"Kita harus berangkat saat ini juga. Ada badai
besar berkecamuk di laut. Dalam waktu cepat
air laut akan pasang dan goa panjang satu-
satunya jalan menuju ke pantai akan
terendam air!"
Mendengar keterangan Tatata Tititi itu
Pangeran Adi Bintang Sasoko melompat dan
memegang lengan Si Tapak Api kuat-kuat.
Wajahnya menunjukkan ketakutan. "Aku tak
mau mati ditabrak badai! Aku tak mau
mampus tenggelam di tempat ini! Aku harus
hidup karena aku harus jadi Raja! Dan
permaisuriku itu.... Dia yang nomor satu
harus diselamatkan…!"
"Tenang Pangeran... tenang! Semua akan kita
atur dengan cepat. Kita akan segera
meninggalkan tempat ini!" Si Tapak Api lalu
memanggil semua tokoh silat dan para
Adipati yang ikut dalam pertemuan malam
tadi, termasuk Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kita semua akan beprangkat saat ini juga.
Kalian harus mengambil kedudukan dan
tanggung jawab sesuai yang sudah diberi
tahu. Aryo Ladam, kau dan Tongkat Dewa
Kedua serta dua orang Adipati bertugas
mengawal dan menjaga keselamatan
pangeran Adi dan Winayu Tindi! Ingat,
sebelum mencapai jembatan di dukuh
Sitomulyo, mereka harus kalian bawa ke
tempat rahasia yang sudah ditetapkan dan
menunggu di sana sampai ada utusan datang!
Aryo, cepat kau jemput gadis itu bersama Ki
Demang Wesi…"
Aryo Ladam cepat tinggalkan tempat itu,
berlari di bawah hujan menuju rumah kecil di
mana Winayu Tindi dan Ki Demang Wesi
berada. Tak lama kemudian calon Kepala
Pegawal Raja ini kembali dengan muka pucat.
"Ada apa.... ? Mana kedua orang itu...?!"
tanya Si Tapak Api.
"Gadis itu tak ada di dalam rumah sana. Ki
Demang Wesi kutemui dalam keadaan
tertotok. Aku berusaha melepaskan
totokannya tapi tidak bisa!"
Pangeran Adi Bintang Sasoso keluarkan suara
seperti meraung menangis lalu lari
menghambur keluar, diikuti oleh yang lain-
lain. Ketika sampai di rumah sebelah memang
di situ hanya ditemul Ki Demang Wesi tegak
kaku tak bergerak di tengah ruangan,
menghadap ke dinding membelakangi pintu.
Winayu Tindi sama sekali tak ada di tempat
itu.
Si Tapak Api memeriksa keadaan Ki Demang
Wesi sesaat lalu menusukkan dua ujung jari
tangan kanannya ke punggung untuk
melepaskan totokan di tubuh orang itu. Tapi
gagal. Totokan itu tidak musnah. Paras Si
Tapak Api tampak berubah.
"Ini bukan totokan sembarangan! Tak mungkin
gadis itu yang melakukannya lalu melarikan
diri! Ada pengkhlanat di antara kita! Musuh
telah menyusup di tempat ini!" kata calon
Patih itu dengan mata berapi-api lalu
menatap semua orang yang ada di situ satu
persatu.
"Kalau begitu pendapatmu, berarti calon
permaisuri telah diculik orang!" kata Dewa
Tongkat Kesatu.
Mendengar ini kembali Pangeran Adi Bintang
Sasoko meraung dan jatuhkan diri ke lantai
lalu menangis seperti anak kecil.
"Manusia gila! Sedeng!" maki Si Tapak Api
dalam hati. Dia sama sekali tidak
memperdulikan sang Pangeran. Beberapa kali
dia berusaha melepaskan totokan di tubuh Ki
Demang Wesi, tapi tetap saja tak berhasil.
"Biar aku yang tolol dan banci ini
mencobanya!" berkata Tatata Tititl. Dia maju
mendekati Ki Demang Wesi, menelitinya
sesaat lalu tiba-tiba sekali dia menarik celana
Kepala Desa Parangtritis itu hingga melorot
ke bawah. Di sebelah muka tampak perut dan
pusatnya yang penuh bulu, di sebelah
belakang tampak pantatnya yang jelek hitam.
"Manusia banci! Apa yang kau lakukan ini?!"
teriak Si Tapak Api sementara yang lain-lain
tampak senyum-senyum dan Wiro sendiri
hanya garuk-garuk kepala.
"Jangan berpikir yang bukan-bukan!" Sahut
Tatata Tititi. "Pusat pengunci totokan aneh ini
ada dipusarnya!" Lalu Tatata Tititi menusuk
pusar Ki Demang Wesi kuat-kuat dengan jari
telunjuk tangan kanannya. Ki Demang
menjerit.
Duuutttt!
Angin busuk keluar dari bagian bawah Ki
Demang Wesi membuat semua orang
menyumpah dan menekap hidung karena
baunya yang seperti hendak meruntuhkan
bulu hidung. Namun di saat itu pula Ki
Demang Wesi tampak bergerak lalu
menggeliat dan akhirnya membuat gerakan
seperti meronta. Ternyata dia kini telah bebas
dari totokan aneh luar biasa itu.
"Ki Demang! Ceritakan apa yang terjadi ?!"
tanya Si Tapak Api.
"Aku mendengar suara angin bersiur, lalu
tubuhku terdorong ke depan dan ketika aku
sadar, kudapati tubuhku sudah kaku, tak bisa
bergerak, tak bisa bersuara. Winayu Tindi
lenyap!"
"Kau sama sekali tidak melihat siapa yang
melakukan?" Tanya Dewa Tongkat Kedua.
Ki Demang Wesi menggeleng.
"Permaisuriku… Permaisuriku!" Kembali
terdengar raungan Pangeran Adi Sasoko.
"Pangeran tenanglah. Kita pasti menemukan
gadis itu...." kata Tatata Tititi. Tapi sang
Pangeran terus meraung seperti anak kecil.
Tiba-tiba seseorang muncul di pintu. Dia
adalah salah seorang yang ditugasi
memimpin satu kelompok pasukan.
"Ada apa?!" membentak Si Tapak Api.
"Saya datang untuk melaporkan keadaan di
luar. Air laut mulai menggenangi mulut goa.
Badai dari laut mulai menerjang tepi pantai.
Pohon-pohon bertumbangan. Banyak kuda
yang terlepas dan lari. Anggota pasukan
mulai resah…"
Si Tapak Api mendekati Sepasang Dewa
Tongkat. Ketiga orang ini bicara berbisik-
bisik. Lalu Si Tapak Api berkata pada orang
yang melapor. "Kembali ke tempatmu.
Beritahu semua orang untuk bersiap-siap.
Kita akan segera meninggalkan tempat ini.
Langsung menuju Kotaraja! Atur pasukan dan
siapkan senjata masing-masing! Aryo Ladam,
kuminta kau pergi bersama orang ini... "
Aryo Ladam mengangguk lalu tinggalkan
tempat itu, tetapi si pelapor masih tetap
berdiri di tempatnya. "Ada lagi satu hal
penting terjadi di luar sanal Dua orang
pengintai melihat ada tiga rombongan besar
pasukan Kerajaan. Mereka datang dari timur,
utara dan barat, menuju ke arah teluk,
mengurung semua jalan keluar!"
Terkejutlah semua orang yang ada di situ.
Suasana berubah tegang sementara Pangeran
Adi masih terus meraung-raung sambil
jambaki rambutnya sendiri.
"Kurang ajar! Bagalmana ini bisa terjadi kalau
tidak ada ponghianatan diantara kita! Musuh
dalam selimut! Penyusup keparat…!" teriak Si
Tapak Api sambil kepalkan kedua tangannya.
"Lekas mengaku! Siapa di antara kalian yang
jadi penghianat di tempat ini! Siapa di antara
kalian yang jadi mata-mata Kerajaan! Kalau
tidak ada, masakan pasukan Kerajaan tahu-
tahu sudah berada di sekitar teluk! Berarti
mereka paling tidak sejak satu hari lalu sudah
bersembunyi di luar sana!"
Tak ada yang bergerak. Tak ada yang
menjawab.
"Baik!" ujar Si Tapak Api dengan rahang
menggembung, mata berapi-api dan suara
bergetar saking marahnya. "Tidak apa kalau
tidak ada yang mau mengaku! Tapi dengar
kalian semua! Malam lalu kalian telah
berpesta pora dengan tuak harum! Tapi tuak
itu mengandung racun ganas. Dalam dua
minggu kalau tidak dapat obat penawarnya,
kalian akan mampus dengan usus hancur dan
rasa sakit luar biasa! Siapa yang ketahuan
menjadi pengkhianat, begitu Kotaraja jatuh
dan tahta Kerajaan direbut, jangan harap akan
kuberikan obat penawar racun!"
Mendengar kata-kata Si Tapak Api itu tentu
saja semua orang yang ada di situ jadi
terkejut dan marah. Beberapa di antaranya
segera melompat ke hadapan Si Tapak Api. Si
Pengupas Kepala angkat kedua tangannya. Si
Tapak Api mundur selangkah. Sambil
menyeringai dia berkata, "Aku tidak takut
mati! Kalian boleh membunuhku sekarang
juga! Tapi kalian sendiri akan mampus dua
minggu kemudian! Silahkan pilih! Ikut
bersamaku meneruskan rencana semula dan
kuberi obat penawar atau kalian memilih
bunuh diri sendiri-sendiri dengan racun yang
ada dalam perut dan darah kalian!"
"Jahanam kau Tapak Api!" mendamprat
Pengemis Kaki Kayu.
"Kami sudah percaya padamu dan ikut
bersamamu! Mengapa harus menipu dan
mencelakai kami dengan racun dalam
minuman?!"
"Manusia keparat! Pasti dia menyembunyikan
satu maksud yang tidak baik terhadap kita!
Jangan-jangan kita hanya dijadikan alat
belaka!" Membuka mulut Tatata Tititi.
"Tidak satupun di antara kalian yang akan
mati, kecuali para penghianat. Aku akan
memberikan obat penawar pada hari ke tiga
belas! Jabatan dan hadiah yang telah
dijanjikan tetap akan menjadi bagian kalian!
Sekarang bukan saatnya bicara panjang lebar.
Lekas tinggalkan tempat ini... "
Baru saja Si Tapak Api mengakhiri kata-
katanya, tiba-tiba angin dahsyat menderu.
Bangunan kecil di mana mereka berada
terdengar berderak. Lalu terdengar suara
gemuruh ketika atap rumah itu terbang
dihantam angin bersama sebagian dinding
bangunan. Beberapa pohon di sekitar tempat
itu terdengar berderak bertumbangan.
"Badai sudah sampai di sini!" teriak Tombak
Dewa Kesatu.
Semua orang melompat keluar darl runtuhan
rumah kecuali Pangeran Adi Bintang Sasoko.
Dia masih saja menjelepok di lantai dan
meraung. Si Tapak Api cepat angkat tubuhnya
namun sang Pangeran meronta sambil
berteriak-teriak. "Aku tidak mau pergi! Mana
permaisuriku! Cari dulu dia! Aku harus pergi
bersamanya!"
"Pangeran! Permaisurimu pasti akan kita
temui! Yang penting saat ini kita harus
tinggalkan tempat ini! Sebentar lagi badai
akan menghancurkan semua yang ada di
bukit ini! Air laut akan semakin naik dan jalan
menuju goa akan tertutup!" berkata Si Tapak
Api.
Tapi Pangeran berotak miring itu malah
menjerit, dan menggembor lalu menyerang Si
Tapak Api. Si Tapak Api tak dapat menahan
kejengkelannya lagi. Begitu sang Pangeran
sampai di hadapannya serta merta ditotoknya
hingga kaku dan gagu.
"Pendekar 212! Tugasmu memanggul tubuh
calon Raja kita!" memerintah Si Tapak Api.
"Bukankah tugasku bersama Pengemis Kaki
Kayu dan Si Pengupas Kepala berangkat
duluan menuju Kotaraja untuk menghabisi
tokoh-tokoh silat Istana?" menjawab Wlro.
"Jangan toloi! Jangan berani menampik
perintahku!" bentak Si Tapak Api dengan mata
mendelik. "Kalau pasukan Kerajaan sudah
muncul di Parangtritis apa kau kira para
tokoh itu masih buta tidak mengetahul apa
yang terjadi? Apa kau kira mereka enak-
enakan tidur dan ngorok?! Jalankan
perintahku!"
Wlro garuk-garuk kepala lalu memanggul
tubuh Pangeran Adi. "Bebanku berat! Aku tak
bisa berjalan cepat! Kalian berangkatlah
duluan!" ujar murid Sinto Gendeng pula.
Ketika orang-orang itu berjalan menuruni
bukit dan satu demi satu memasuki goa
panjang menuju ke pantai, Pandekar 212
dengan cepat turunkan beban sang Pangeran
lalu menyandarkannya ke sebuah pohon.
Dengan mempergunakan akar gantung Wiro
mengikat tubuh pangeran itu ke pohon
tersebut!
Selesai mengikat Pangeran Adi Wiro lari ke
bagian timur bukit, menyelinap ke balik
serumpun semak belukar. Sesosok tubuh
perempuan berpakaian biru yang basah kuyup
oleh air hujan, tampak dalam kegelapan
malam. Kedua matanya terpejam. Perempuan
ini ternyata adalah Winayu Tindi yang
sebelumnya telah dilarikan oleh Wiro untuk
diselamatkan lalu disembunyikan di semak
belukar itu. Dengan tangan kanannya Wiro
mengurut melepas totokan pada tengkuk
Winayu Tindi. Kedua mata gadis ini tampak
bergerak lalu membuka. Mulutnya terbuka dan
siap untuk menjerit. Wiro cepat menutup
mulut sang dara.
"Anak manis... jangan menjerit. Jangan takut.
Kita bisa selamat dari tangan-tangan
pemberontak itu asalkan kau mau menuruti
nasihatku..."
"Kau! Kau menyebut mereka pemberontak, kau
sendiri salah seorang dari mereka!" tukas
Winayu Tindi.
Wiro menyeringai. "Kau tidak beda dariku,
anak manis..."
"Jangan sebut aku anak manis! Aku bukan
anak-anak…"
Tapi kalau orang-orang Kerajaan tahu kau
membantu kaum pemberontak, nasibmu akan
lebih buruk dariku. Sekarang dengar baik-
baik! Aku tahu siapa pembunuh kedua orang
tuamu dan kusir delman itu!"
Paras Winayu Tindi berubah. Dia berdiri
dengan cepat. "Siapa?!" tanyanya menjerit di
antara deru hujan dan angin. Sementara
malam tambah gelap dan udara dingin bukan
main.
"Aku akan katakan itu nanti. Yang penting
mari tinggalkan tempat celaka ini!"
Gadis itu tidak menolak lagi ketika Wiro
menarik tangannya. Ketika melewati pohon di
mana Pangeran Adi terikat sang dara
berbunyi. "Apa yang terjadi dengan Pangeran
gila itu?!"
"Dia sedang mimpi jadi raja! Dan kau
permaisurinya!" jawab Pendekar 212.
"Kau sama saja saja sablengnya dengan
Pangeran itu! Dalam keadaan seperti ini
masih bisa bergurau! Keterlaluan!" Winayu
merengut jengkel tapi dalam hati dia merasa
geli juga melihat tingkah laku pemuda itu.
Di mulut goa dengan susah payah Wiro
berhasil mendapatkan dua ekor kuda yang
sebelumnya memang ditambatkan di sekitar
situ.
"Aku akan berangkat lebih dulu menyusul
orang-orang itu. Kau berjalan di sebelah
belakang. Tapi ingat, harus mengatur jarak.
Meski hujan dan gelap, tokoh-tokoh silat itu
punya mata setajam setan! Jangan sampai
kau terlihat oleh mereka!"
TUJUH
WIRO MEMACU kudanya meninggalkan Winayu
Tindi. Saat itu hujan mulai mereda tetapi
tiupan angin tambah menggila dan malam
semakin pekat. Air laut naik terus. Di bagian
tepi pantai yang tertinggi mencapai sebatas
kuku kuda. Di sebelah depan ratusan pasukan
pemberontak bergerak di bawah pimpinan
Aryo Ladam dan tiga orang Adipati. Menyusul
di sebelah belakang masing-masing
menunggang kuda adalah Si Tapak Api,
Sepasang Tombak Dewa lalu Ki Demang Wesi.
Di belakang ketiga orang ini bergerak
Pengemis Kaki Kayu dan Si Pengupas Kepala.
Sedang Tatata Tititi yang memakai caping
menunggang kuda agak jauh di ujung kanan
pasukan.
Pasukan pemberontak bergerak perlahan.
Bukan saja karena hujan dan angin badai
tetapi juga karena semuanya kini diliputi
kebimbangan. Rasa bimbang ini berasal pada
apa yang kini mereka katahui dan hadapi
yaitu munculnya tiga kelompok besar pasukan
Kerjaan secara tidak terduga dan menjepit
mereka dari tiga jurusan.
Padahal sebelumnya mereka penuh semangat
den harapan untuk menyerbu Kotaraja dengan
serangan mendadak di mana pasti lawan
berada dalam keadaan lengah. Kini sebaliknya
malah pasukan Kerajaan yang datang muncul
dan menyerbu di pusat markas mereka di teluk
Parangtritis. Dua badai harus mereka hadapi
kini. Badai alam berupa hujan dan angin serta
pasukan musuh!
Wiro mengusap mukanya yang basah oleh air
hujan lalu memacu kudanya mendekati Tatata
Tititi. Sejarak lima belas langkah dari banci
berbaju gombrang merah itu mendadak Wiro
mendengar suara mengiang. "Dalam setiap
urusan dan kesempatan, selalu perempuan
cantik saja yang jadi perhatianmu. Kau
lemparkan kemana Pangeran Gila itu?
Hik...hik...hik…"
"Eh, suara itu lagi..." desis Wiro. Dia
memandang ke arah orang bercaping itu lalu
bergerak mendekatinya. "Hanya dia tokoh silat
yang terdekat denganku..." Begitu berada di
samping Tatata Tititi. Wiro menegur. "Aku
sudah curiga sejak sehari lalu, kau pasti
orang yang mengirimkan ucapan jarak jauh
itu! Dan aku yakin kau bukan banci! Siapa kau
ini sebenarnya badut celemongan?!"
Orang yang ditegur tertawa haha-hihi. Kedua
tangannya bergerak lalu bret-bret-breettt dia
merobeki pakaian merah yang dikenakannya.
"Hai! Kau mau menelanjangi diri sendiri?!"
seru Wiro. Dalam hati dia berkata, "Lain pula
cara gila manusia satu ini!"
Tatata Tititi terus saja merobeki pakaiannya
lalu mencampakkan pakaian itu ke tanah yang
telah digenangi air laut. Ternyata di balik
pakaian merah yang ada sulaman mahkota
dan keris bersilang itu dia masih mengenakan
sehelai pakaian berwarna hitam. Selagi Wiro
keheranan melihat kelakuan orang ini, si muka
celemongan angkat capingnya dari atas
kepala lalu acuh tak acuh tapi lebar dari
bambu ini dilemparkannya ke arah kiri. Benda
ini melesat deras di udara, menembus hujan
dan angin lalu menghantam Adipati Klaten
Jaliteng Teguh. Ternyata lemparan caping itu
merupakan satu totokan yang hebat. Karena
begitu caping itu menghantam punggungnya,
serta merta Jaliteng Teguh menjadi kaku dan
gagu tanpa orang-orang di sekitarnya
menyadari kejadian itu. Mereka hanya melihat
sang Adipati tetap duduk di atas punggung
kuda yang terus bergerak.
Karena kepalanya tidak lagi memakai caping
maka air hujan mengguyur wajah Tatata Tititi
membuat luntur bedak tebal, gincu dan alis
yang celemongan itu. Kini kelihatanlah wajah
yang asli. Wajah itu berkulit hitam pekat!
"Hai!" Wiro berseru kaget."Jadi kau Nenek
Hitam Bergigi Emas! Tapi mengapa gigi-
gigimu tampak putih?!"
Si nenek tertawa pendek. Lalu buka mulutnya
lebar-lebar dan masukkan jari-jari tangannya
ke dalam mulut itu. Dia seperti menarik
sesuatu berbentuk lapisan kenyal tipis
berwarna putih. Begitu lapisan tipis itu
tanggal, kelihatan barisan gigi-giginya yang
terbuat dari emas.
Selagi Wiro tercengang-cengang, si nenek
berkata, "Anak muda, kalau orang-orang
Kerajaan melihatmu dalam pakaian
bersulamkan lambang pemberontak mahkota
dan keris bersilang itu, kau akan mereka
cincang habis-habisan! Lekas kau tanggalkan
pakaian itu!"
"Hem mm… Jadi itu sebabnya kau membuang
baju merahmu tadi, nek...!" Wiro berkata.
"Baju darimu ini cukup bagus, sayang kalau
dibuang. Biar sulamannya saja yang aku
robek!" Wiro angkat bagian dada kiri pakaian
ke mulutnya, lalu menggigit sulaman benang
merah dan sekalipus menariknya. Breeett!
Dada kiri pakaian itu kini bolong sebesar
telapak tangan. Sulaman mahkota dan keris
bersilang lenyap.
"Aku tak mau kedinginan...." kata Wiro. "Nek,
aku tak tahu banyak tentang dirimu. Tapi
karena kau yang memberikan pakaian
bersulam ini beberapa hari yang lalu, apakah
kau bukannya salah seorang dari pentolan
pemberontak itu?"
Nenek Hitam Bergigi Emas menyeringai. "Anak
muda, aku adalah salah seorang tokoh silat
Istana yang berhasil menyusup ke dalam
komplotan dan markas pemberontak. Kita
sama satu haluan. Apa salahnya aku
mengajakmu membantuku, berbakti kepada
Kerajaan!"
"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?
Sebentar lagi dua pasukan akan bertemu
muka dan beradu senjata!"
"Kita harus berusaha menangkap hidup-hidup.
Terutama Si Tapak Api. Dialah dalang dari
pemberontakan ini. Dia punya rencana keji.
Berpura-pura merebut tahta untuk Pangeran
gila itu, padahal begitu dia menang, Pangeran
itu akan dibunuhnya lalu mengangkat diri
sebagai Raja..."
"Aku sudah tahu hal itu. Apakah dua malam
yang lalu kau ikut mencuri dengar
pembicaraan rahasia antara Si Tapak Api
dengan Ki Demang Wesi?" bertanya Wiro.
Si nenek tertawa. "Aku berada di pohon
satunya ketika kau mendekam di pohon yang
lain .... Dengar, kita tidak punya waktu lama.
Usahakan Pengemis Kaki Kayu dan Si Tapak
Api. Yang lain-lainnya bagianku!"
Namun terlambat. Di depan sana dua ujung
tombak pasukan sudah saling bertamu.
Pertempuran hebat tidak dapat dielakkan lagi.
Dua pasukan yang berkekuatan hampir sama
baku hantam. Suara beradu senjata, pekik
kesakitan dan kematlan ditimpal oleh
ringkikan kuda serta deru hujan dan angin.
Darah mengucur, membuat genangan air laut
tampak merah dalam kegelapan malam.
Di ujung sebelah depan pasukan pemberontak,
Aryo Ladam dan tiga Adipati mengamuk
ganas. Belasan prajurit Kerajaan tewas di
tangan mereka. Seorang penunggang kuda
bertubuh tinggi besar merangsek ke depan
menghadang gerakan Aryo Ladam. Dia
membentak, "Manusia pengkhianat, kau kuberi
kesempatan menyerah, kecuali kalau
menginginkan mampus dengan noda
memalukan!"
Si tinggi besar itu adalah perwira tinggi
atasan langsung Aryo Ladam.
"Majurai! Jangan bicara besar di depan
malaikat mautmu! Aku tawarkan kau
menyebrang ke pihakku atau akan mampus
percuma!"
Majurai si perwira tinggi mendengus marah
lalu sabatkan kelewang di tangan kanannya.
Bekas bawahan dan atasan itu langsung
terlibat dalam pertempuran satu lawan satu
yang seru. Namun setelah beberapa kali
gebrakan Aryo Ladam tak dapat menandingi
kehebatan atasannya yang memang terlatih
dalam pertempuran di atas kuda. Kelewang
Majurai mercbek dada Aryo Ladam. Perwira
muda yang memberontak karena
mengharapkan jabatan dan pangkat yang
lebih tinggi ini terhuyung-huyung dengan
dada bersimbah darah lalu terjungkal ke
tanah. Terdengar sesaat suara erangannya,
sesudah itu nafasnyapun berhenti!
Majurai putar kudanya. Namun gerakannya
tertahan. Tiga Adipati bersenjata golok
panjang mengurungnya. Tanpa memberi
banyak kesempatan ketiga Adipati langsung
menyarang. Kali ini kehebatan Majurai tidak
sanggup menghadapi keroyokan salah
seorang dari tiga lawannya namun dirinya
sendiri kemudian menderita dua bacokan
parah, membuatnya menjadi korban pertama
berpankat tinggi di pihak Kerajaan.
Dari arah belakang barisan pasukan Kerajaan,
tiga penunggang melesat dengan sebat. Satu
di antaranya langsung menuju dua Adipati
yang tadi mengeroyok si perwira tinggi. Empat
prajurit pemberontak yang juga menunggang
kuda cepat menyongsong. Dua hantamkan
tombak, satu tusukkan pedang dan yang
keempat membabat dengan golok. Yang
dikeroyok tampak gerakkan tangan ke
pinggang. Dalam kegelapan berkilat sinar biru
hampir kehitaman. Terdengar suara menderu
lalu suara senjata berdentrangan dan terakhir
suara jeritan empat penyerang. Tubuh mereka
sesaat tergontai di atas punggung kuda
masing-masing. Senjata tak lagi tergenggam
di tangan. Ada luka yang mengeringkan di
dada, leher, perut dan kepala. Darah
mengucur. Satu demi satu tubuh yang
tergontai itu rubuh dan jatuh ke tanah yang
digenangi air laut.
"Iblis Pedang Biru!" desis Si Tapak Api dengan
suara bergetar ketika mengenali siapa adanya
penunggang kuda yang barusan membabat
empat prajurit dengan satu gebrakan saja!
"Dia bukan tokoh silat Istana! Bagaimana
tahu-tahu muncul dan berada di pihak
Kerajaan...?!"
Si Tapak Api berpaling ke kiri. Pada saat itu
dua penunggang kuda yang tadi melesat ke
depan bersama Iblis Pedang Biru sudah
berada pula di sekitar situ. Melihat dua orang
itu kembali Si Tapak Api jadi tergetar. Yang
muncul lagi-lagi bukan tokoh silat Istana,
tetapi dua datuk dunia persilatan golongan
putih yang sama sekali tidak diduga akan
muncul di pihak Kerajaan. Mereka adalah Si
Benang Malaikat lalu Pendekar Paku Beracun.
Seperti Iblis Pedang Biru, kedua datuk
persilatan inipun sudah tua renta dan sama-
sama berambut putih panjang. Ketika
memandang ke jurusan lain, Si Tapak Apt
melihat dua tokoh silat Istana muncul dengan
membawa senjata aneh di tangan yakni satu
berupa cakra besi yang diberi bertongkat
hingga berbentuk payung kecil dan satunya
lagi sebuah kelewang yang memiliki rantai-
rantai kecil. Pada setiap ujung rantai terdapat
potongan besi berbentuk mata tombak! Si
Tapak Api sama sekali tidak takutkan dua
tokoh silat Istana ini. Tapl kemunculan tiga
tokoh silat lainnya tadi benar-benar
membuatnya harus memutar akal dengan
cepat. Dia memandang ke arah Ki Demang
Wesi. Kepala Desa Parangtritis ini tak bakal
sanggup menghadapi salah satupun dari
tokoh silat Istana itu. Maka dia berseru dan
memberi isyarat pada Sepasang Tombak
Dewa, bahkan berteriak ke arah Si Pengupas
Kepala.
"Hadapi tiga orang di sebelah depan itu! Aku
akan menghadang dua tokoh silat Istana. Ki
Demang minta Pendekar 212 dan Pengemis
Kaki Kayu membantu! Cepat!"
Ki Demang Wesi segera menghambur ke arah
di mana Wiro Sableng berada. Tapi begitu dia
menghampiri pendekar ini, belum sempat
membuka mulut, satu totokan keras
menghantam pangkai lehernya. Kepala Desa
Parangtritis ini terhuyung lalu menelungkup
kaku di atas punggung dan leher kuda.
"Bagus!" memuji Tatata Tititi alias Nenek
Hitam Bergigi Emas. Lalu perempuan ini tarik
leher tunggangan Ki Demang Wesi hingga
binatang ini menghadap ke arah pantai.
"Pergi ke tepi pasir dan tunggu di sana!" Si
nenek usap kepala binatang itu, lalu tepuk
pinggulnya. Seolah-olah mengerti perintah itu,
si kuda berlari menuju ke pantai, tepat dari
arah mana Winayu Tindi mendatangi.
"Tapak Api, kulihat urusan bisa jadi kapiran
tidak karuan!" terdengar suara Pengemis Kaki
Kayu.
"Apa maksudmu?!" tanya Si Tapak Api.
"Aku tidak takut menghadapi lima musuh
kelas berat itu! Yang aku khawatirkan justru
dirimu! Jika kau mampus di tangan mereka,
bagaimana dengan obat penawar racun itu!
Kami tidak ingin mati konyol di hari ke tiga
belas sedangkan kau sudah mampus duluan!"
"Aku tidak akan mati lebth cepat darimu,
Pengemis Kaki Kayu! Mari kita serbu mereka!"
Terdengar suara bergemerincing. Ternyata itu
adalah suara kuku-kuku jari SI Pengupas
Kepala yang seperti potongan-potongan besi
tipis dan tajam.
"Kau saja yang menyerbu mereka sendirian
Tapak Api!" berkata Sf Pengupas Kepala.
"Tetapi berikan dulu obat penawar racun itu!
Aku mendapat kisikan dari Tatata Tititi bahwa
kau dan Ki Demang Wesi punya maksud busuk
tersembunyi. Perjuangan yang katamu untuk
menobatkan Pangeran Adi adalah sandiwara
keji belaka. Bila Kotaraja jatuh kau akan
membunuh Pangeran itu lalu mengangkat diri
jadi Raja. Dan kami yang membantumu dan
semua yang sudah kau racuni secara keji
akan kau biarkan mati konyol!"
Paras Si Tapak Api berubah. "Dusta keji!
Manusia banci itu ternyata seorang tukang
fitnah!"
Terdengar suara tertawa gelak. Semua orang
berpaling dan melihat Pendekar 212 beserta
seseorang yang sebelumnya tak pernah
mereka lihat.
"Sahabatku Tatata Tititi tidak pernah dusta
dan tidak pernah fitnah! Dua malam lalu aku
turut mencuri dengar rencana kejimu itu
waktu kau bicarakan dengan Ki Demang Wesi
seusai pertemuan!"
"Bangsat keparat! Ada komplotan busuk
dalam perjuangan ini! Mana manusia banci
Tatata Tititi itu!"
Si nenek di samping Wiro tertawa ngekeh. "Dia
bukan banci. Namanya bukan Tatata Tititi
tapi Nenek Hitam Bergigi Emas! Tokoh silat
Istana! Dan akulah orangnya"
"Penyusup pengkhianat! Sepasang Tombak
Dewa! Bunuh tua bangka keparat bermuka
hitam itu! Dan kau! Biar aku yang menghajar
Pendekar Sableng ini! Sejak semula aku
memang sudah curiga padanya!"
Sepasang Tombak Dewa serta merta menyerbu
Nenek Hitam Bergigi Emas sedang Si Tapak
Apt gosokkan kedua tangannya keras-keras.
Terdengar suara meletup. Lidah api keluar
dari sela kedua tangan yang digosokkan,
langsung menyambar ke arah Wiro Sableng!
Murid Sinto Gendeng itu melompat dari
punggung kuda sambil cabut Kapak Naga
Gent 212. Terdengar kuda yang tadi
ditungganginya meringkik keras, disusul bau
daging hangus terbakar. Kuda itu tampak
rebah ke tanah. Sebagian tubuhnya hangus
dihantam lidah api serangan Si Tapak Api!
Sepasang Tombak Dewa sebelumnya sudah
tahu betul siapa adanya Nenek Hitam Bergigi
Emas, maka begitu menyerang, keduanya
sudah pergunakan tombak pendek masing-
masing. Tiga tokoh silat yaitu Iblis Pedang
Biru, Si benang Malaikat dan Pendekar Paku
Beracun tampak terheran-heran ketika melihat
di antara sesama pentolan pemberontak saat
itu terjadi saling serang!
Lain halnya dengan dua tokoh silat Istana
yang membekal senjata aneh. Mereka sudah
mengetahui bahwa Nenek Hitam bergigi Emas
memang sengaja disusupkan ke dalam
komplotan pemberontak, namun mereka tidak
mengenal siapa adanya pemuda yang saat itu
diserang Si Tapak Api dengan lidah apinya
yang ganas. Iblis Pedang Biru mengambil
sebuah terompet yang tergantung di leher
kuda lalu meniupnya kuat-kuat. Mendengar
tiupan terompet itu, seluruh pasukan Kerajaan
hentikan pertempuran dan cepat mundur
sampai sejarak lima tombak dari pasukan
pemberontak, membuat pasukan pemberontak
terheran-heran.
"Kalian akan diberikan pengampunan jika
menyerah!" teriak Iblis Pedang Biru.
Teriakan ini dikumandangkan lagi oleh
beberapa perwira Kerajaan. Demiklah
sambung menyambung hingga seluruh
pasukan pemberontak mendengar dan diam-
diam mereka merasa gembira. Saat itu
sebenarnya kedudukan mereka telah terjepit
dari tiga arah. Semangat hampir patah,
apalagi ketika melihat para pimpinan mereka
kini malah baku hantam satu sama lain!
Setelah berhasil menguasai keadaan, Iblis
Pedang Biru memberi isyarat pada kawan-
kawannya. Tokoh-tokoh silat Kerajaan itu
bersama belasan perwira langsung
membentuk lingkaran, mengurung kalangan
pertempuran. Nenek Hitam Bergigi Emas
tertawa gelak ketika dapatkan dirinya diserang
oleh Sepasang Tombak Dewa.
"Pengkianat-pengkhianat tolol! Apakah kalian
tidak punya senjata lain hingga menyerangku
dengan ular-ular laut?!" Si nenek berseru.
"Jangan lihat pedang!" teriak Pengemis Kaki
Kayu.
Tapil terlambat. Sepasang Tombak Dewa
dalam keterkejutan mereka sama melihat pada
pedang masing-masing. Justru inilah
kesalahan mereka karena di situ kekuatan
sihir si nenek muka hitam.
Tombak itu sebenarnya tidak berubah, tetapi
di mata Tombak Dewa Kesatu dan adiknya
Tombak Dewa Kedua, senjata mereka tampak
benar-benar seperti seekor ular laut. Panjang
hijau dan licin berkilat! Keduanya sama
menjerit dan kepretkan senjata masing-
masing. Begitu senjata itu jatuh ke air laut
ternyata kini mereka melihat kembali bentuk
astinya. Sadarlah mereka kalau sudah tertipu.
Cepat-cepat keduanya melompat dari alas
kuda untuk mengambil senjata masing-
masing. Tetapi terlambat. Sebilah pedang biru
menempel di leher Tombak Dewa Kesatu
sedang Tombak Dewa Kedua dapatkan dirinya
tergulung oteh benang putih halus tapi
semakin dicobanya membebaskan diri,
semakin kencang tubuhnya teriris. Itulah
kehebatan senjata tokoh silat bergelar Si
Benang Malaikat! Dua pentolan pemberontak
itu jadi tak berdaya. Beberapa perwira
Kerajaan segera meringkusnya setelah Iblis
Pedang Biru menotok keduanya.
Kini semua mata tertuju pada pertempuran
yang terjadi antara Pendekar 212 Wiro
Sableng dengan Si Tapak Api. Iblis Pedang
Biru menanyakan pada Pendekar Paku
Beracun siapa adanya pemuuda tanpa
pakaian yang bersenjatakan kapak tengah
menghadapi SI Tapak Api itu.
"Apa kau buta?" sahut Pendekar Paku
Beracun. "Tadinya akupun tidak mengenali
siapa dia. Tapi coba kau lihat angka 212 di
kapak berkilat di tangan kanannya...!"
"Astaga! Jadi dia Pendekar 212! Murid nenek
sakti dari gunung Gede itu...!" berucap Iblis
Pedang Biru. "Tidak disangka dia muncul di
sini dan ikut berbakti pada Kerajaan...!"
Si Tapak Api menghujani Wiro dengan
serangan-serangan dahsyat. Setiap pukulan
atau jotosan atau gerakan apapun yang
dibuat tangannya maka lidah api yang panas
berkiblat. Wiro merasakan tubuhnya panas
seperti terpanggang. Setelah berkelebat kian
kemari dan menyadari kalau dia tak bisa
bertahan lebih lama maka pendekar ini segera
putar Kapak Naga Geni 212. Sinar putih
menyilaukan membelah kegelapan malam.
Terdengar suara bergaung seperti seribu lebah
mengamuk. Lidah api serangan SI Tapak Api
terpental dan membalik menghantam ke arah
Si Tapak Api sendiri. Orang ini berteriak kaget
dan kesakitan. Lidah api membakar muka dan
sebagian dadanya! Dia jatuhkan diri ke tanah
dan celupkan kepala serta tubuhnya ke air
laut saking tidak sanggup menahan panas.
Tapi begitu luka bakar itu terkena air lout,
rasa sakitnya malah semakin menggila.
Si Tapak Api meraung. Dia buka matanya
lebar-lebar, tapi dia tidak dapat melihat apa-
apa. Kedua matanya yang terbakar lidah
apinya sendiri ternyata kini telah menjadi
buta! Kembali orang ini meraung lalu lari
menghambur merancah air laut.
Iblis Pedang Biru berpaling pada Pendekar
Paku Beracun lalu anggukkan kepala. Melihat
isyarat ini Pendekar Paku Beracun segera
mengeruk saku pakalannya. Gerakan ini
terlihat oleh Si Pengupas Kepala dan Si
pengemis Kaki Kayu. Keduanya yang
kawatirkan ancaman maut yang bakal
merenggut nyawa mereka jika tidak
mendapatkan obat penawar, padahal obat itu
ada pada Si Tapak Api, Mereka sama-sama
berteriak, "Jangan bunuh dia!"
Namun terlambat. Dua buah paku beracun
sudah keburu melesat. Satu menacap di batok
kepala Si Tapak Api, satunya lagi menembus
pinggangnya. Orang ini tersungkur ke dalam
genangan air laut. Racun paku membuat
tubuhnya serta merta menjadi biru!
Pengemis Kaki Kayu dan Si Pengupas Kepala
sama-sama terbelalak. Keduanya melompat
ke arah mayat Si Tapak Api dengan
menggeledah pakaiannya. Tapi mereka tidak
menemukan obat itu! "Celaka!" seru Pengemis
Kaki Kayu.
"Apakah ini yang kalian cari...?" terdengar
orang bertanya disusul suara tawa mengekeh.
Si Pengupas Kepala dan Pengemis Kaki Kayu
sama berpaling. Dia melihat Nenek Hitam
Bergigl Emas menimang dua benda bulat
berwarna putih. Keduanya jadi beringas lalu
melompati si nenek. Tapi maksud mereka
mengambil obat-obat penawar itu tidak
berhasil karena si nenek cepat tarik
tangannya.
"Aku bersumpah membunuhmu jika kau tidak
berikan obat penawar racun itu!" teriak
Pengemis Kaki Kayu lalu angkat kaki kayunya
yang merupakan senjata.
"Tunggu dulu!" berteriak SI Pengupas Kepala.
"Bagaimana aku yakin itu memang obat
penawar?!"
Nenek Hitam Bergigi Emas tertawa. "Kalau
aku sanggup mencuri batu api milik Si Tapak
Api, apa susahnya mencuri obat ini? Dan
padaku bukan cuma ada dua! Tapi lima belas
butir! Hik..hik..hik...!
Aku akan berikan obat ini pada kalian, tapi
dengan satu syarat! Kalian harus
menyerahkan diri pada pasukan Kerajaan.
Dibawa ke Kotaraja dan diadili sesuai dengan
dosa-dosa kalian berkomplot memberontak
melawan Kerajaan!"
"Kalau begitu biar kami memilih mati
bersamamu!" teriak Si Pengupas Kepala. Lalu
dia menyerbu Nenek Hitam Bergigi Emas.
Begitu juga Pengemis Kaki Kayu.
Terdengar suara bergemerincing jari-jari kuku
Si Pengupas Kepala ketika berkelebat
menyambar ke arah batok kepala si nenek.
Sekali kena pastilah kulit kepala dan kulit
muka perempuan tua itu akan terkelupas dan
kepalanya akan berubah jadi tengkorak. Tapi
dari samping saat ituu menyambar sinar putih
yang sangat menyilaukan.
"Anjing kurap! Berani kau ikut campur!" teriak
Si Pengupas Kepala begitu melihat Wiro
menghantamkan kapaknya memapasi
serangannya. Sepuluh jari tangannya kini
diarahkan untuk menangkap tangan dan
lengan kanan Wiro. Murid Sinto Gendeng putar
kapaknya.
Tring-tring-tring.... Si Pengupas Kepala
berseru kaget dan melompat mundur. Tiga
kuku jarinya yang sekeras besi itu somplak!
"Pendekar gagah! Serahkan dia padaku!
Sudah lama aku ingin menjajal tukang kupas
kelapa ini! Ha…ha...hah....!" Yang berseru
adalah Si Benang Matalkat. Dia putar-putar
gulungan benang halus berwarna putih.
Melihat ada lagi yang hendak menyerangnya,
Si Pengupas Kepala jadi makin gusar. Dia
menggereng ketika melihat benang halus di
tangan Si kakek berambut putih bergulung-
gulung ke arahnya. Si Pengupas Kepala
menyambar ujung benang itu dengan tujuh
kuku jarinya yang masih utuh.
Des ...des...des...
Ujung benang sakti berputusan. Si Pengupas
Kepala menyeringai merasa menang dan yakin
dapat membunuh lawannya itu. Namun dia
kecele. Benang yang putus kini diulur dan
tampak makin panjang. Si Pengupas Kepala
kembali menggebrak dengan kedua
tangannya.
Sekali ini serangannya luput. Malah ujung
benang menyelinap ke bawah dan tahu-tahu
kedua tangannya sudah terlibat mulai dari
pergelangan tangan sampai ke bawah bahu!
"Setan haram jadah!" maki Si Pengupas
Kepala. Dia kerahkan tenaga untuk lepaskan
ikatan benang. Tapi kulitnya serta merta
teriris dan darah mulal mengucur. Sadar kalau
dirinya tak bisa lolos, tokoh silat sesat ini
jatuhkan diri dan duduk menjelepok di tanah
tanda menyerah!
"Hebat sekali kekuatan benang itu!" membatin
Wiro di dalam hati. Ini mengingatkannya pada
benang sutera halus yang menjadi senjata
Dewa Tuak.
Setelah berhasil meringkus Si Pengupas
Kepala yang merupakan tokoh silat sangat
berbahaya itu Si Benang Malaikat turun dari
kudanya. Maksudnya untuk menotok tubuh Si
Pengupas Kepala lalu menyerahkannya pada
pasukan untuk dibawa ke Kotaraja. Tapi tidak
diduga, begitu Si Pengupas Kepala berada di
hadapannya, tubuh yang duduk menjelepok di
tanah itu tiba-tiba melesat. Kaki kanannya
menendang dengan deras.
Dukk!
Tendangan keras itu menghantam dada si
Benang Malaikat tanpa pendekar tua ini
sempat mengelak. Tubuhnya terpental dan
lalu terjengkang di pasir. Dari mulutnya
menyembur darah segar.
"Pembokong jahanam!" teriak Iblis Pedang
Biru. Pedang mustikanya langsung membabat.
Sinar biru pekat berkiblat di gelapnya malam.
Sesaat kemudian kepala Si Pengupas Kepala
menggelinding di atas pasir.
Melihat kejadian itu Pengemis Kaki Kayu.
Merasakan tengkuknya dingin. Begitu banyak
tokoh-tokoh silat kelas satu di sekelilingnya.
Tak mungkin baginya untuk menghadapi
mereka semua. Tapi untuk menyerah begitu
saja tentu tak mungkin dilakukannya. Maka
diapun berpaling pada Nenek Hitam Bergigi
Emas.
"Jika kau berikan obat penawar racun itu
padaku, aku bersedia meninggalkan teluk ini
dan melupakan semua silang sengketa di
antara kita!"
"Silang sengketa katamu?!" si nenek tertawa
"Ini bukan silang sengketa kaki kayu! Kau
memberontak terhadap Kerajaan! Kau
berkomplot untuk merebut tahta Sri Baginda!
Memimpin pembunuhan terhadap prajurit dan
perwira serta kami tokoh-tokoh silat Kerajaan.
Dosamu setinggi langit sedalam lautan!"
"Jika kami berikan obat penawar racun itu,
apa yang bisa kau berikan kepada kami?!"
Iblis Pedang Biru bertanya.
Pengemis Kaki Kayu menggerendeng. "Apa
yang kau minta?!" sentaknya.
"Satu tanganmu dan satu matamu!" sahut
Iblis Pedang Biru. "Aku memilih bertempur
melawanmu sampai ada yang mati di antara
kita!"
Sebagal jawaban Iblis Pedang Biru
melintangkan pedangnya di depan dada
melompat turun dari kuda. Pengemis Kaki
Kayu susul melompat. Begitu berhadapan
dengan lawan, kaki kayunya yang terbuat dari
kayu yang merupakan senjata langsung
ditusukkan ke bawah perut Iblis Pedang Biru.
Yang diserang babatkan pedangnya ke bawah.
Traang!
Pedang dan kaki kayu beradu keras. Sungguh
hebat, pedang sakti dan tajam itu tidak
sanggup memutus ataupun merusak kaki kayu
itu! Sadarlah Iblis Pedang Biru kalau kaki
kayu lawan tidak bisa dianggap sepele. Maka
diapun mengirimkan serangan kilat pada titik
kelemahan lawan yakni tubuh sebelah kiri
yang menjadi tumpuan kekuatan Pengemis
Kaki Kayu. Berkelahi di alas pasir yang
digenangi air laut ternyata bukan hal yang
mudah bagi Pengemis Kaki Kayu.
Meskipun dia memiliki keentengan tubuh yang
tinggi namun tak jarang kaki kirinya yang
menjadi tumpuan bobot tubuhnya melesat ke
dalam pasir sedangkan kaki kayunya
beberapa kali terseok akibat lekatan pasir dan
genangan air. Ketika lawannya mengajak
bertempur berputar-putar, tokoh silat yang
ikut terbujuk memberontak ini jadi kerepotan
dan keteter. Lalu sewaktu satu tusukan
pedang melukai pinggul kirinya, Pengemis
Kaki Kayu mulai kehilangan akan kepercayaan
diri. Hal ini membuatnya menjadi nekat dan
coba menyerang dengan segala kekuatan dan
kemampuan yang ada. Akibatnya dengan
mudah dia dijadikan bulan-bulanan ujung
pedang oleh Iblis Pedang Biru.
Pengemis Kaki Kayu hanya sanggup bertahan
satnpai empat belas jurus di muka bahkan
sempat menggebuk kakek berambut putih itu
dengan kaki kayunya walau tidak tepat.
Namun untuk itu dia harus membayar mahal
dengan jiwanya sendiri. Ujung pedang
menembus dada kirinya, tepat di arah
jantung!
Teluk yang gelap kini diselimuti kesunyian.
Hujan telah berhenti, angin badai mulai
mereda. Pertempuran antara dua pasukan
juga sudah berhenti meninggalkan puluhan
korban. Mulai dari prajurit rendah sampal
perwira dan tokoh silat. Pendekar 212
melompat ke atas kuda. Dia menjura ke arah
Nenek Hitam Bergigi Emas dan para tokoh
silat Istana.
"Ada satu urusan lagi yang harus
kuselesaikan. Aku minta diri. Dan kau nek, aku
sangat berharap di lain waktu dapat bertemu
lagi denganmu...!"
"Hai! Kau mau ke mana pendekar gagah? Ikut
kami dulu ke Kotaraja!" berseru iblis Pedang
Biru. Namun Wiro telah menggebrak kudanya.
"Astaga! Aku baru ingat dia! Di mana
Pangeran pemberontak itu?!" berseru Iblis
Pedang Biru.
Yang menjawab adalah Nenek Hitam Bergigi
Emas. "Menurut Pendekar 212 tadi, dia telah
menotok lalu mengikat Pangeran itu pada
sebatang pohon di bukit tak berapa jauh dari
mulut goa sebelah selatan. Sebelum air
pasang naik lebih tinggi, sebelum goa
terendam, kita harus mengirimkan orang untuk
menyelamatkannya. Pangeran gila itu tidak
tahu apa-apa. Dia hanya dipakai sebagai alat
oleh Si Tapak Api dan Ki Demang Wesi...."
"Kepala Desa Pemberontak itu! Aku baru
ingat! Dia tidak kelihatan!" ujar Iblis Pedang
Biru.
Si nenek muka hitam mengangguk. "Justru
itulah yang hendak diurus oleh Pendekar 212.
Kewajlban kita saat ini adalah mengurus
jenazah kawan-kawan...."
Semula Winayu Tindi berniat hendak menjauh
ketika seekor kuda dengan penunggang yang
terbujur menelungkup bergerak mendekatunya.
Namun ketika tinggal beberapa langkah saja
lagi dan dia mengenali siapa orang yang
tertetungkup di atas punggung binatang itu,
kagetlah gadis ini.
"Pakde!" teriak si gadis. Dia melompat dari
atas kudanya, lalu lari ke arah orang di atas
kuda. "Pakde! Kau pingsan atau
bagaimana...?"
Tubuh dan wajah Ki Demang Wesi ditepuk-
tepuknya. Tapi tubuh itu tidak bergerak dan
dipanggil-panggil tetap tidak menjawab.
Dengan susah payah Winayu Tindi
menurunkan tubuh Ki Demang Wesi, Karena di
bagian itu air laut telah mencapai ketinggian
di atas mata kaki, gadis terpaksa menarik
tubuh lelaki yang dianggapnya sebagai ayah
sendiri itu ke bagian yang agak ketinggian,
lalu membaringkannya di situ. Kebetulan ada
sebatang pohon kelapa.
Punggung dan kepala Ki Demang Wesi
disandarkannya ke batang kelapa. Lalu
kembali dia berusaha membangunkan orang
yang disangkanya pingsan itu karena dia
tidak melihat adanya bekas-bekas luka.
Setelah berusaha berulang kali tak juga
berhasil akhirnya Winayu Tindi mulai
keluarkan suara sesenggukan menahan
tangis. Winayu Tindi tidak tahu entah berapa
lama dia tegak menangis di tempat itu ketika
di kejauhan dilihatnya ada seorang
penunggang kuda muncul dan memacu
kudanya ke arah tempat dia berada.
Yang datang ternyata adalah pemuda yang
dikenalnya sebagai penculik dirinya dan yang
sebelumnya juga telah menyuruhnya agar
menjauh dari daerah pertempuran. Wiro
melompat turun dari kuda lalu menghampiri
Winayu Tindi.
"Anak manis, kau kulihat menangis. Apakah
kau menangisi orang itu? Dia cuma pingsan
karena ditotok."
"Saudara lekas kau tolong dia. Lepaskan
totokannya!" berkata Winayu Tindi.
"Kecintaanmu pada Ki Demang Wesi besar
sekali, bukan?"
"Tentu saja! Dia adalah pakdeku! Orang yang
kuanggap seperti ayahku sendiri!" sahut sang
dara.
"Justru dia adalah manusia paling keji dan
paling terkutuk dalam hidupmu!" ujar Wiro.
"Maksudmu.... ?" tanya Winayu Tindi tak
mengerti.
"Ingat, aku berjanji akah menerangkan
padamu siapa pembunuh kedua orang tuamu
dan juga kusir delman itu? Dialah orangnya!"
Winayu Tindi seperti disambar petir. Tak
percaya pada apa yang didengarnya. "Aku
tidak percaya. Kau berdusta. Memfitnah. Dia
orang yang aku anggap seperti ayah sendiri?
Pakdeku!"
"Jika kau tidak percaya kau tanya sendiri!"
jawab Wiro lalu lepaskan jalan suara Ki
Demang Wesi tapi tubuhnya tetap dalam
keadaan tertotok.
"Pakde...Benar kau yang membunuh ayah dan
ibu...?" Winayu Tlndi bertanya begitu melihat
Ki Demang Wesi gerakkan mulut.
"Siapa yang mengatakan fitnah dan bohong
besar itu, anakku?"
Winayu Tindi menuding ke arah Pendekar 212
Wiro Sableng. Ki Demang Wesi meludahi
pemuda itu. "Bangsat! Kau memang tidak
kupercaya sejak semula! Dialah yang
membunuh ke dua orang tuamu Winayu! Dia
pemuda yang hendak kutangkap tempo hari
tapi berhasil melarikan diri!"
"Keparat kalau begitu...!"
"Tunggu dulu saudari, jangan mudah tertipu!"
kata Wiro cepat begitu dilihatnya sang dara
menjadi galak dan melangkah ke hadapannya.
"Aku punya saksi hidup jika kau tidak percaya
padaku.
Kedua orang tuamu dibunuh karena mereka
menolak untuk bergabung dengan
komplotannya, memberontak pada Kerajaan.
Ayahmu mengancam akan melaporiaan
kamplotan itu ke Kotaraja. Ki Demang Wesi
lalu membunuh ayahmu, juga ibumu dan kusir
delman itu untuk menutup rahasa. Bahkan
ibumu... dia merusak kehormatan Ibumu
sebelum membunuhnya!"
"Dusta! Fitnah!" teriak Ki Demang Wesi.
"Apa yang dikatakan sahabat mudaku itu
tidak dusta! Kau memang manusia paling
busuk di dunia ini Ki Demang Wesi. Aku
menjadi saksi atas apa yang diucapkan
Pendekar 212 tadi!" Tahu-tahu di tempat itu
telah muncul Nenek Hitam Bergigi Emas.
"Winayu anakku! Jangan percaya pada
omongannya. Dia juga sama dustanya dengan
pemuda itu!" teriak Ki Demang Wesi. Si nenek
ganda tertawa lalu lemparkan segulung kertas
pada Winayu Tindi seraya berkata, "Bacalah!
Itu surat Perintah dari Sri Baginda untuk
menangkap Ki Demang Wesi. Surat itu sudah
lama kusimpan. Hanya saja keadaan tidak
memungkinkan aku mengeluarkannya lebih
cepat!"
Winayu Tindi membuka gulungan kertas lalu
membaca tulisan yang tertera di situ. Di
sebelah bawah terdapat cap Kerajaan.
Perlahan-lahan surat itu terlepas dari tangan
Winayu Tindi, melayang jatuh ke dalam air
laut. Tiba-tiba gadis itu menjerit dan lari ke
hadapan Wiro. Sebelum pendekar itu sadar
apa yang dilakukan Winayu, Wiro merasa
Kapak Naga Gent 212 yang terselip tersibak di
pinggangnya ditarik lepas. Lalu ada sinar
putih berkiblat disertai gaungan keras.
"Winayu! Jangan!" seru Wiro ketika melihat
gadis itu menghantamkan kapak ke batok
kepala Ki Demang Wesi. Dia berusaha
melompat untuk menangkap tangan gadis itu.
Tapi Nenek Hitam Bergigi Emas memegang
bahunya hingga gerakannya tertahan.
Di depan sana terdengar pekik Ki Demang Wesi. Darah muncrat dari batok kepalanya yang hampir terbelah. Winayu Tindi menyusul menjerit ketika melihat dan menyadari apa yang barusan
dilakukannya. Lalu gadis ini berdiri terhuyung. Satu tangan menekap wajah, tangan yang lain melepaskan Kapak Naga Geni 212. Wiro cepat menyambut senjata mustika itu sebelum jatuh ke air lalu menopang tubuh sang dara agar tidak terjungkal.
Pasang semakin naik. Malam bertambah gelap dan udara dingin menusuk tulang. Wiro menuntun gadis itu lalu menaikkannya ke atas
punggung kuda. Jiwa yang tergoncang membuat Winayu menjadi lemas dan limbung.
Terpaksa Pendekar 212 ikut naik ke
punggungkuda dan duduk disebelah belakang sang dara, menjaganya agar jangan sampai jatuh.
Tiba-tiba ada suara mengiang. "Pendekar muda, aku merasa cemburu pada gadis cantik itu. Kapan kira-kira aku bisa naik kuda
berdua-dua denganmu! Hik...hik...hik...!"
Wiro berpaling. Astaga! Nenek Hitam Bergigi Emas tak ada lagi di tempat itu. Tapi pasti sekali dialah yang barusan mengirimkan ucapan jarak jauh itu. Murid Sinto Gendeng
hanya bisa menyerigai. Dan hidungnya jadi kembang kempis ketika Winayu Tindi menyandarkan kepalanya ke dadanya.
Selesai
Wak Tito menghayal sama nenek2
BalasHapus