adzab sang murid
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya :BASTIAN TITO
Episode :
AZAB SANG MURID ALAM Episode sebelumnya (Lentera Iblis) dituturkan kejadian perkelahian hebat antara dua nenek sakti dedengkot rimba persilatan yaitu Hantu Malam Bergigi Perak dengan Sinto Gendeng. Hantu Malam Bergigi Perak menemui ajal akibat hantaman ilmu sakti Sepasang Sinar Inti Roh yang dilepas Sinto Gendeng dari kedua matanya. Sementara Sinto Gendeng sendiri walau mampu bertahan hidup namun keadaannya babak belur dan menderita luka dalam yang cukup parah. Mata kiri lebam merah biru. Dalam keadaan setengah pingsan setengah sadar entah dari mana datangnya mendadak muncul satu cahaya bergemerlap. Sinto Gendeng yang hanya mampu melihat dengan satu mata, terkesiap kaget sewaktu satu makhluk aneh berbentuk bayang-bayang perempuan cantik sekali dengan rambut tergerai lepas melayang ke arahnya. Tangan kanan menyambar ke pinggang. Sinto merasa ada sesuatu yang lenyap dari tubuhnya. Dia hanya bisa berteriak. Lalu tersungkur roboh, tergeletak di tanah dalam keadaan pingsan. Akibat dentuman dahsyat beradunya pukulan-pukulan sakti Hantu Malam Bergigi Perak dan Sinto Gendeng yang terjadi sebelumnya, Setan Ngompol terpental dan menyangsrang di atas serumpunan semak belukar. Muka pucat, mata mendelik. Dada berdenyut sakit sedang kencing muncrat awur-awuran. Untuk beberapa lama kakek ini terpentang tak bergerak. Tubuhnya seolah lumpuh. Makhluk perempuan bayangan berkelebat ke arah Hantu Malam Bergigi Perak. Si nenek menatap dengan mata melotot. Tubuh terhuyung lemas akhirnya terguling di tanah. Pandangan mata sedikit demi sedikit menjadi kabur. “Nek, aku tahu kau inginkan Kitab Seribu Pengobatan. Kitab itu ada padaku. Kalau sudah kupergunakan, aku akan mencarimu dan menyerahkannya padamu…” “Kau siapa…” Tanya Hantu Malam Bergigi Perak dengan suara parau, dada sesak. Nafas megap-megap tinggal satu-satu. “Aku seorang sahabat.” Si nenek gelengkan kepala. “Kita tidak mungkin bertemu lagi. Luka di bahuku mengandung racun jahat. Selain itu aku kehabisan darah. Umurku tidak lama. Jika aku mati serahkan kitab itu pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia tahu masalah yang dihadapi dua muridku yang sangat memerlukan pertolongan. Hanya petunjuk dalam kitab yang bisa menyembuhkan mereka. Jika pendekar itu inginkan salah satu dari dua muridku, dia tinggal memilih. Aku tahu dia sebenarnya pemuda baik. Mudah-mudahan mereka berjodoh dan bahagia.” “Nek, kau tidak akan mati. Aku akan menolong.” Makhluk bayangan siap menotok urat besar di leher dan dada Hantu Malam Bergigi Perak. Namun kepala si nenek lebih dulu terkulai. Nyawanya lepas. Dia menemui ajal dengan sepasang mata nyalang terbuka. Makhluk bayangan usap dua mata si nenek hingga tertutup lalu melesat ke udara dan lenyap dari pemandangan. *** TAK selang berapa lama Sinto Gendeng mulai sadarkan diri. Dia ingat apa yang terjadi lalu begerak duduk di tanah. Meraba sekitar pinggang. Mencari-cari kian kemari. Dia tidak menemukan benda itu. Lenyap! Kaget si nenek laksana disambar petir. “Jahanam kurang ajar! Siapa mencuri kitab?!” Nenek ini melompat dari duduknya, berdiri terhuyung-huyung. Pandangan mata kanannya membentur sosok Hantu Malam Bergigi Perak. Dia dapatkan si nenek sudah tak bernyawa lagi. Sinto Gendeng memeriksa seluruh tubuh Hantu Malam namun tidak menemukan Kitab Seribu Pengobatan. Saking marahnya Sinto Gendeng tendang tubuh orang hingga terpental sampai beberapa tombak. Nenek sakti dari Gunung Gede ini kemudian putar tubuh. Pandangannya kini tertuju pada Setan Ngompol yang tergeletak tak berdaya, menyangsrang di atas rumpunan semak belukar. Sinto Gendeng melangkah mendatangi. “Setan tua keparat! Semua ini terjadi gara-gara kau! Mana kitab itu?! Kau pasti yang mengambil!” “Sinto, aku…” “Mana kitab itu?!” “Aku tidak mengambilnya. Aku…” Ucapan Setan Ngompol terputus. Plaaakkk! Satu tamparan mendarat di pipi Setan Ngompol membuat pecah bibir si kakek. “Sinto! Kenapa kau jadi kalap begini! Kau menghajarku teman sendiri!” “Siapa bilang kita berteman?! Aku memang sudah gila! Aku bukan cuma ingin menghajarmu tapi membunuhmu! Kau dengar?! Aku ingin membunuhmu!” Habis berteriak begitu Sinto Gendeng lalu hunjamkan satu jotosan ke tubuh Setan Ngompol. Kraakkk! Setan Ngompol menjerit. Tiga tulang iganya berderak patah. Kakek ini megamegap beberapa kali, kucurkan air kencing lalu tak berkutik lagi. Tak selang berapa lama setelah Sinto Gendeng pergi dan kegelapan malam mulai menyelimuti tempat itu, dua bayangan tampak berkelebat gesit. Ternyata mereka adalah dua gadis cantik, satu berpakaian merah satu lagi berpakaian biru. Gadis berpakaian biru yang berada di sebelah depan tiba-tiba keluarkan jeritan. “Kakak Liris Merah! Di sini! Lihat!” Lalu si biru ini melompat ke depan, jatuhkan diri di tanah di mana tergeletak sosok Hantu Malam Bergigi Perak yang telah jadi mayat. “Guru!” Liris Biru dan Liris Merah sama-sama terpekik lalu peluki jenazah sang guru. “Guru…” Tangis Liris Merah. “Kalau guru mengizinkan kami ikut bersamamu, hal ini tak mungkin terjadi. Tak mungkin!” “Guru kalau kau tidak ada bagaimana kami? Putus sudah usaha mencari Kitab Seribu Pengobatan.” Isak Liris Biru. “Lebih baik kami menyusul guru!” Lalu dengan nekad gadis cantik bernama Liris Biru benturkan keningnya ke tanah. Hanya setengah jengkal lagi kening itu akan menumbuk tanah, Liris Merah cepat melintangkan tangan kanan, tahan kening adiknya hingga tak sempat membentur tanah. “Liris Biru! Jangan bertindak bodoh! Guru sudah pergi! Kita tak bisa membuat kebajikan apa selain mencari siapa pembunuhnya!” Liris Biru menggerung panjang. Dua murid Hantu Malam Bergigi Perak itu menangis sambil berpelukan. “Sudah! Cukup! Tidak ada gunanya mengeringkan air mata,” ucap Liris Merah sambil usap kedua matanya yang basah. “Kita harus membawa jenazah guru ke Goa Cadasbiru. Kita makamkan di sana. Kita berangkat sekarang juga. Sebelum pagi mudah-mudahan kita sudah bisa menguburkan jenazah guru.” “Bagaimana kita membawa jenazah guru. Bergantian memanggulnya?” tanya Liris Biru. Liris merah berdiri. Memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur sosok Setan Ngompol yang masih tertelentang di atas semak belukar, mulai sadarkan diri. “Lihat!” Liris Merah berkata sambil menunjuk. Dua gadis itu segera mendatangi Setan Ngompol. “Kau rupanya!” seru Liris Merah begitu mengenali siapa adanya orang itu. “Jangan pura-pura pingsan! Kau mendekam di sini sengaja mendengarkan pembicaraan kami!” “Pasti dia yang membunuh guru! Kita habisi saja dia sekarang juga!” “Aku setuju!” sahut Liris Merah. Dua gadis angkat tangan kanan tinggi-tinggi. Satu diarahkan ke muka dan satu lagi ditujukan ke dada Setan Ngompol. Kalau hantaman dua tangan mendarat di sasaran, niscaya nyawa si kakek tidak tertolong lagi! Setan Ngompol delikkan mata. Terbatuk-batuk, kucurkan air kencing tapi cepat membuka mulut. “Tahan! Bukan aku yang membunuh guru kalian! Membunuhku tak ada gunanya!” “Kakek bau pesing! Kau hendak mencari kambing hitam menuduh orang lain yang membunuh guru kami?!” bentak Liris Merah. “Aku bersumpah mengatakan hal sebenarnya. Aku tidak membunuh guru kalian. Yang membunuhnya adalah. Ah, aku tak mungkin mengatakan…” Liris Merah dan Liris Biru jadi marah. “Buat apa bicara banyak! Kakak, ayo kita bunuh orang ini sekarang juga!” kata Liris Biru. “Sinto Gendeng! Nenek itu yang membunuh guru kalian!” kata Setan Ngompol setengah berteriak lalu kucurkan air kencing. “Siapa percaya ucapanmu! Kau menuduh orang lain untuk cari selamat!” Liris Biru pelintir telinga kanan Setan Ngompol hingga kakek ini meringis kesakitan dan pancarkan air kencing. Setan Ngompol jadi jengkel. “Kalian tidak percaya itu urusan kalian! Kalian tetap mau membunuhku silahkan! Namun kalian tidak bakal mendapat keterangan tentang Kitab Seribu Pengobatan!” Kakak beradik Liris Merah dan Liris Biru saling pandang. “Mengapa diam saja? Ayo silahkan bunuh aku sekarang juga!” Setan Ngompol menantang karena tahu dua gadis cantik itu berada dalam kebimbangan. “Kau tahu di mana beradanya Kitab Seribu Pengobatan itu? Apa guru sudah mendapatkannya, lalu…” “Aku akan ceritakan semua yang terjadi. Bantu aku turun dari semak belukar celaka ini!” Liris Merah dan Liris Biru walau agak jijik terpaksa bantu menurunkan Setan Ngompol dari atas semak belukar. Untuk beberapa lamanya kakek ini duduk bersila di tanah. Kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti ke bagian tubuh yang terluka yaitu tiga iga sebelah kanan yang patah! Dia mengerenyit kesakitan berulang-ulang. Di sebelah bawah kencingnya berkucuran. “Sinto Gendeng memukul patah tulang igaku! Dia hendak membunuhku! Untung Gusti Allah masih menyelamatkan selembar nyawa orang tua bobrok ini!” “Kami tidak mau mendengar celotehanmu! Katakan di mana Kitab Seribu Pengobatan!” “Sampai beberapa saat lalu kitab itu ada pada Sinto Gendeng. Aku tidak tahu dari mana dia mendapatkan. Lalu muncul gurumu. Dia berniat meminjam kitab secara baikbaik. Tentu saja Sinto Gendeng tidak mau memberikan. Terjadi perkelahian hebat. Aku berusaha mencegah agar keduanya tidak saling bunuh. Tapi gagal. Guru kalian menemui ajal. Sinto Gendeng luka parah. Kitab yang ada padanya dirampas satu makhluk aneh yang muncul secara mendadak. Makhluk ini berupa seorang perempuan cantik berambut hitam panjang berbentuk bayang-bayang…” “Kau mengarang cerita!” hardik Liris Merah sambil kepalkan tinjunya di depan hidung si kakek. Kencing Setan Ngompol langsung terpencar. “Terserah kau mau bilang apa!” kata Setan Ngompol sambil pegangi bagian bawah perut. “Kalau kau pukul kepalaku, aku tidak akan meneruskan cerita!” Si kakek lalu sengaja menantang dengan ulurkan kepala dekat-dekat ke wajah Liris Merah. Si gadis justru jauhkan mukanya lalu dorong kepala Setan Ngompol dengan tangan kiri. Setan Ngompol tertawa mengekeh merasa menang. Tiba-tiba tawanya berhenti. Liris Biru berdiri di hadapannya sambil pegang seekor kalajengking. “Eh… eh kau dapat dari mana binatang itu?!” Setan Ngompol bertanya sambil melangkah mundur. Tapi Liris Merah yang sudah berada di belakang menahan punggungnya. “Kakek kuping terbalik! Kalau kau tidak meneruskan cerita, berani mempermainkan kami, kalajengking ini akan aku masukkan ke dalam celanamu!” “Jangan! Aku tidak mempermainkan kalian! Buang dulu binatang sial itu! Lihat, kencingku mengucur terus. Aku mana bisa cerita kalau ditakut-takuti seperti ini?!” Liris Biru tersenyum. Kalajengking dibuang lalu dia berdiri sambil rangkapkan tangan di depan dada, menunggu si kakek melanjutkan ceritanya. “Eh, anu… sampai di mana tadi ceritaku?” “Sampai di anumu!” jawab Liris Biru saking kesal. “Ada makhluk aneh perempuan cantik berupa bayangbayang. Makhluk itu merampas Kitab Seribu Pengobatan…” Liris Merah mengingatkan walau dia ikutan jengkel. “Betul, makhluk aneh merampas kitab dari Sinto Gendeng. Sebelum pergi aku lihat dia mendekati guru kalian yang sedang sakarat. Makhluk itu berkata kalau dia sudah mempergunakan kitab, kitab akan diserahkan pada guru kalian. Tapi karena tahu ajalnya akan segera sampai, guru kalian menjawab agar kitab nanti diserahkan saja pada Pendekar 212 Wiro Sableng…” “Pemuda itu! Di mana dia sekarang?!” tanya Liris Merah. “Dia pergi ke Gunung Gede, menemui seorang kakek sakti.” jawab Setan Ngompol. “Apa dia masih ingat kami?” tanya Liris Biru. “Tentu saja. Apalagi kalian berdua dulu menghadiahkan ciuman padanya. Aku yang tidak kebagian. Ha… ha… ha!” Wajah dua gadis kakak adik itu tampak berubah merah. “Aku sedih melihat kematian guru kalian. Kalian harus mengurus jenazahnya baik-baik…” “Kami akan membawa jenazah guru ke Kaliurang. Akan kami kubur dekat goa Cadasbiru.” “Aku ingin mengantar kalian. Tapi keadaanku begini rupa. Dua mungkin tiga tulang igaku patah. Biar aku menyusul saja…” Setan Ngompol usap-usap barisan tulang iganya sebelah kiri. “Apa masih ada keterangan lain yang hendak kau sampaikan?” tanya Liris Biru. Setan ngompol usap-usap kepalanya yang setengah botak dengan tangan kiri. Enak saja. Padahal tangan itu basah oleh air kencing. “Aku ingat ucapan guru kalian sebelum menghembuskan nafas penghabisan. Waktu itu dia bicara pada makhluk perempuan bayangan. Katanya jika Pendekar 212 inginkan muridnya, dia bisa memilih salah satu dari kalian.” Dua gadis cantik kakak beradik jadi tercekat mendengar ucapan Setan Ngompol itu. “Apakah…” Liris Biru hendak bertanya tapi kakaknya memotong. “Kami tidak jelas apa ucapanmu bisa dipercaya. Saat ini kami akan segera membawa jenazah guru ke Kaliurang.” “Kalau saja aku tidak cidera patah tulang begini rupa, pasti aku yang akan memanggul guru kalian. Membawanya ke Kaliurang.” “Kau bisa menolong kami dengan cara lain,” kata Liris Merah pula. “Cari Pendekar 212. Katakan sangkut paut dirinya dengan kitab yang menurutmu kini berada di tangan makhluk perempuan bayangan.” Habis berkata begitu, dibantu adiknya, Liris Merah naikkan jenazah Hantu Malam Bergigi Perak ke bahu kanan. Setan Ngompol pejamkan dua mata, kepala ditengadahkan. Sikapnya menunggu sambil mengulum senyum. Plaakk! Liris Biru walau hanya pelan saja, tampar pipi kanan si kakek. “Oala! Mengharap diberi ciuman malah ditampar!” Setan Ngompol buka mata dan usap-usap pipinya yang kena ditampar tapi mulutnya menyeringai. “Tidak apa. Tangan yang menampar halus sekali. Hik… hik!” Sesaat kemudian dua kakak adik murid Hantu Malam Bergigi Perak lenyap di kegelapan malam. Setan Ngompol menarik nafas berulang-ulang lalu meringis karena bagian dadanya sebelah kiri terasa sakit seperti dicucuk. “Aku memang harus mencari anak setan itu! Tapi siapa sudi menyusul jauh-jauh ke Gunung Gede. Nanti dia akan muncul sendiri! Dari dulu dia membuat aku kebagian pekerjaan yang tidak enak terus!” *** DUA SEBUAH gerobak ditarik seekor kuda tua tersendatsendat mendaki jalan tanah berbatu-batu. Di atasnya selain kusir gerobak duduk dua penumpang yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng dan Nyi Retno Mantili. Hutan jati di mana pondok kediaman Ki Tambakpati berada hanya tinggal sepertiga hari perjalanan. Udara terasa panas. Siang itu matahari memancarkan sinar sangat terik. “Wiro, kita datang dari arah yang salah. Di sebelah depan jalan tambah sulit. Saya kasihan pada kuda penarik gerobak. Bagaimana kalau kita berhenti di sini saja. Kita bisa melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Imogiri di sebelah sana. Hutan-hutan jati di arah situ. Hanya tinggal dekat dari sini. Lewat jalan memintas dan mempergunakan ilmu lari kita bisa sampai lebih cepat.” Wiro perhatikan kuda tua penarik gerobak. Sekujur tubuh binatang yang kurus ini berkilat basah oleh keringat. Pada kedua sudut mulutnya tampak ludah membuih. Kepala termiring-miring dan kaki depan sering terserandung. Wiro menyuruh kusir gerobak berhenti. Dari balik pakaiannya dia mengeluarkan sekeping kecil perak berkilat. Kusir gerobak, seorang tua bermuka bopeng membungkuk berulang kali dan mengucapkan terima kasih tiada henti. Tapi dia tidak mengambil kepingan perak itu. “Terima kasih, saya tidak berani menerima pembayaran…” “Kami menyewa gerobakmu. Itu bayarannya. Apa kurang…?” tanya Wiro. “Tidak, tidak kurang. Malah lebih. Kita satu tujuan seperjalanan. Tidak disewa pun saya akan melalui tempat ini. Mana pantas saya minta bayaran.” Selagi Wiro dan Nyi Retno keheranan, kusir gerobak berkata lagi. “Den Mas dan Den Ayu, saya hampir kelupaan. Sewaktu kita singgah di desa Kemanten dua hari lalu ada seseorang menitipkan sesuatu pada saya. Orang itu berpesan agar benda tersebut diserahkan pada Raden berdua sesampainya di tujuan. Kalau Raden tidak berkeberatan, saya akan menyerahkan sekarang.” Wiro tatap wajah bopeng orang di hadapannya. Kusir gerobak membuka caping bambu. Dari dalam caping dia mengeluarkan sebuah benda bergulung. Setelah benda diserahkan pada Wiro sang kusir membungkuk mohon diri lalu melompat naik ke atas gerobak. Wiro tak sempat lagi menanyakan siapa adanya orang yang menyerahkan benda tersebut pada kusir gerobak. Begitu melewati tikungan jalan yang menurun, kusir gerobak lemparkan caping di atas kepala lalu jari-jari tangannya melepas satu lapisan tipis yang menempel menutupi wajah. Ternyata orang ini mengenakan sehelai topeng tipis. Orang yang tadi bermuka bopeng itu kini kelihatan tampangnya yang asli. Bulat berkumis dan berjanggut tebal. Dari balik lantai papan gerobak dia mengambil sebuah tarbus merah lalu dipakai di atas kepala. Pakaian lusuh dibuka. Kini tampak dia mengenakan baju dan celana hitam. Pada dada kiri baju hitam terpampang sulaman benang kuning bergambar rumah joglo serta dua keris bersilang. Lambang orangorang Keraton Kaliningrat. Orang berpakaian serba hitam dan mengenakan tarbus merah ini memang adalah anggota penting dalam Keraton Kaliningrat. Namanya Damar Sarka. Waktu pertemuan di Hutan Ngluwer yang diserbu oleh Wulan Srindi, dialah yang menyerahkan seperangkat pakaian hitam pada Wulan Srindi sebagai tanda bahwa gadis itu telah diangkat menjadi anggota penting orang-orang Keraton Kaliningrat (Baca Episode sebelumnya berjudul Nyi Bodong). Wiro dan Nyi Retno mencari tempat yang teduh untuk duduk. Disaksikan Nyi Retno Mantili, Wiro membuka benda bergulung yang ternyata adalah selembar daun lontar. Di atas daun lontar ini tergurat serangkaian tulisan berupa surat yang cukup panjang. Menemui sahabat Pendekar 212 Wiro Sableng, Tokoh rimba persilatan yang kami hormati, Kami tahu Pendekar dan Eyang Sinto Gendeng di masa lalu telah banyak menanam jasa pada kerajaan. Saat ini tahta dikuasai oleh orang yang tidak berhak. Pangeran Tua Sri Paku Jagatnata yang seharusnya menduduki tahta memegang kekuasaan dikucilkan. Jiwa dan keluarganya terancam. Dengan segala kerendahan hati kami mohon Pendekar sudi berbuat jasa sekali lagi demi kerajaan, ikut bersama kami menumpas penguasa yang tidak berhak dan serakah. Untuk itu perkenankanlah kami mengundang Pendekar dalam satu pertemuan yang akan diadakan pada Jum’at hari ke 15 bulan ini. Kami menunggu kedatangan Pendekar dengan segala harap dan hormat di Candi Pangestu di Plaosan tepat tengah malam. Kami para pucuk pimpinan Keraton Kaliningrat sudah sepakat untuk mempercayakan jabatan Panglima Balatentara Kerajaan pada Pendekar jika perjuangan kita berhasil dan tentu saja dengan bantuan Pendekar pasti berhasil. Salam perjuangan Keraton Kaliningrat Atas nama Pangeran Tua Sri Paku Jagatnata Tertanda, Pangeran Muda Brata Sukmapala Nyi Retno Mantili ambil surat daun lontar dari tangan Wiro, memperhatikan lalu membaca perlahan-lahan. Setelah itu perempuan bertubuh mungil ini tertawa. “Kenapa tertawa?” tanya Wiro. “Kita tertipu.” “Tertipu bagaimana?” “Kusir gerobak itu bukan kusir benaran. Pasti dia orang Keraton Kaliningrat yang menyamar. Dia telah mengenali dirimu sebagai Pendekar 212. Kalau tidak bagaimana mungkin surat daun lontar itu diberikannya padamu.” Wiro menggaruk kepala. Tersenyum lalu berkata. “Nyi Retno cerdik sekali.” “Ah, saya cuma perempuan kurang ingatan. Hik… hik… hik,” jawab Nyi Retno lalu tertawa cekikan. Wiro pegang lengan Nyi Retno “Keraton Kaliningrat. Saya rasa-rasa pernah mendengar nama keraton itu sebelumnya. Mungkin sekali…” “Apakah kau akan memenuhi undangan pertemuan itu? Hari Jum’at hari ke lima belas hanya tinggal dua hari dari sekarang. Plaosan kurang sehari perjalanan dari sini.” Wiro menggeleng. “Kenapa tidak mau?” tanya Nyi Retno sambil mengusap lengan Wiro yang ditumbuhi bulu-bulu hitam tebal. “Saya tidak mau terlibat urusan kerajaan. Saya tidak tahu siapa itu Pangeran Muda Brata Sukmapala. Permintaan bantuan dengan iming-iming jabatan besar biasanya mengandung hal yang tidak wajar. Ada beberapa perkara besar yang harus saya tangani. Usaha mendapatkan Kitab Seribu Pengobatan belum tuntas. Saya punya dugaan keras kitab itu sudah ada di tangan Eyang Sinto. Satu kali saya pernah memantau dengan mengerahkan ilmu Menembus Pandang. Saya tidak tahu bagaimana cara yang baik untuk memintanya. Mungkin saya tidak akan mendapatkan kitab itu untuk selamalamanya. Padahal banyak orang yang bisa ditolong dengan petunjuk pengobatan yang ada dalam kitab itu…” “Apakah di dalam kitab itu ada petunjuk pengobatan bagi orang yang sakit jiwa seperti saya?” Pertanyaan Nyi Retno membuat Wiro terdiam. Terdorong oleh perasaan kasihan dan haru Wiro peluk Nyi Retno Mantili seraya berbisik. “Saya belum pernah membaca isi kitab itu. Mudah-mudahan ada petunjuk yang Nyi Retno maksudkan. Tapi saya yakin jika Nyi Retno nanti bertemu dengan Ken Permata. Nyi Retno akan sembuh dari segala penyakit. Bersabarlah. Satu Suro hanya tinggal beberapa bulan lagi.” “Ken Permata, siapa itu?” tanya Nyi Retno. Wiro lepaskan pelukannya. “Ken Permata, puteri Nyi Retno yang ada di tempat kediaman Datuk Rao. Kakak Kemuning.” Jawab Wiro sambil tersenyum. Nyi Retno balas tersenyum, mengambil boneka kayu yang ada di pangkuannya lalu mencium boneka itu berulang-ulang. “Wiro, saya senang kau memeluk saya seperti tadi. Saya merasa ada kebahagiaan, perlindungan dan kasih sayang…” “Saya tidak bermaksud apa-apa. Saya merasa…” “Saya mengerti.” kata Nyi Retno pula sambil sandarkan kepalanya ke dada Pendekar 212 yang bidang dan berotot. Ketika salah satu tangannya mengusap punggung pemuda itu, dia menyentuh bagian yang robek. “Wiro, kau perlu baju pengganti…” “Saya kehilangan perbekalan. Lupa entah di mana.” Lalu Wiro melanjutkan ucapannya. “Selain berusaha mendapatkan kitab, saya juga punya tugas lain. Mencari Pangeran Matahari alias Hantu Pemerkosa.” “Siapa manusia satu itu?” tanya Nyi Retno. “Nyi Retno pernah bertemu. Di sebuah rimba belantara. Pernah berkelahi dan menghantamnya dengan sepasang sinar yang keluar dari mata Kemuning. Nyi Retno ingat?” Perlahan-lahan perempuan muda berwajah mungil cantik itu anggukkan kepala. “Saya ingat. Dia hendak memperkosa saya. Wiro, kalau kau mencarinya, saya harus ikut. Saya akan membunuh orang itu!” “Banyak orang yang ingin membunuhnya. Termasuk saya. Saya tidak tahu siapa yang kelak bakal mampu melakukan.” “Wiro, waktu di dalam telaga, kau berkata pada Kiai Gede Tapa Pamungkas bahwa kau akan meninggalkan rimba persilatan. Benar kau akan melakukan hal itu?” Wiro terdiam cukup lama. Menggaruk kepala akhirnya mengangguk perlahan. “Selama ini saya hanya melihat keculasan, ketidakadilan, kebejatan dan darah dalam rimba persilatan. Bahkan nyawa manusia terkadang lebih tidak berharga dibanding nyawa binatang. Apakah saya masih perlu ikut bergelimang di dalamnya?” Nyi Retno berdiri, menimang-nimang boneka kayu beberapa lama lalu berkata. “Kau tahu apa artinya pendekar, Wiro?” Wiro tak menjawab. Hanya menggaruk kepala dan menatap wajah cantik perempuan muda di depannya. “Menurutku, seorang pendekar diperlukan kehadirannya dalam rimba persilatan. Untuk menangani semua masalah yang kau sebutkan tadi. Kalau kau menghindar berarti kau tidak layak lagi menyandang sebutan pendekar. Kau lebih baik menjadi seorang petani atau nelayan…” Wiro menatap paras cantik Nyi Retno Mantili. Saat itu dia merasa tengah bicara dengan seorang yang sangat waras. Apakah perempuan muda ini sudah jernih pikirannya? Sudah sembuh dari sakit jiwanya? “Paling tidak saya akan menyelesaikan dulu semua tugas. Setelah itu…” “Termasuk tugas mencari gadis bernama Wulan Srindi dan mendapatkan kembali tusuk konde gurumu?” “Saya merasa tidak punya kewajiban mencari tusuk konde itu. Namun sebagai murid yang sudah diperintah saya tetap akan melakukan.” Wiro terdiam sebentar lalu bertanya. “Nyi Retno percaya kalau saya yang menghamili Wulan Srindi?” Nyi Retno tertawa panjang. “Kalau saya mempercayai hal itu, sejak semula saya tidak akan mau ikut ke mana kau pergi.” “Terima kasih Nyi Retno punya rasa percaya seperti itu. Saya merasa heran bagaimana Eyang Sinto percaya saya berbuat serong dengan Wulan Srindi tanpa menyelidiki lebih dulu. Selain itu saya merasa sangat sedih atas semua perlakuannya. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Karena saya sangat banyak berhutang budi padanya. Pertama, ketika saya masih orok Eyang Sinto yang menyelamatkan saya dari kobaran api sewaktu rumah orang tua saya dibakar orang-orang jahat. Kemudian selama belasan tahun Eyang Sinto merawat saya. Lebih dari itu dia mengambil saya jadi murid. Diajarkan ilmu silat, diberikan berbagai ilmu kesaktian termasuk dua senjata mustika kapak dan batu sakti. Sehingga saya menjadi orang sakti mandraguna, punya nama besar dan bisa berbakti pada kerajaan dan rimba persilatan. Namun setelah pertemuan kami yang terakhir dengan Eyang Sinto, yang Nyi Retno saksikan sendiri saya merasa adalah lebih baik jika saya tidak lagi mempergunakan semua ilmu silat serta ilmu kesaktian pemberian Eyang Sinto. Saya juga menyesalkan tindakan Kiai Gede Tapa Pamungkas yang memasukkan Kapak Naga Geni dan batu sakti begitu saja ke dalam tubuh saya tanpa memberi tahu lebih dulu. Padahal niat saya sudah bulat untuk mengembalikan dua senjata sakti itu pada Eyang Sinto.” “Kiai tidak ingin kau melakukan apa yang ada dalam hati dan pikiranmu. Ingat ucapan Kiai di dalam telaga? Rimba persilatan memerlukan para pendekar sepertimu. Tapi bagaimana kau mampu menghadapi kekerasan rimba persilatan kalau kau tidak mau mempergunakan semua ilmu serta dua senjata yang diberikan gurumu?” “Saya tidak tahu Nyi Retno, kita lihat saja nanti. Yang jelas saya akan minta perlindungan Tuhan yang Maha Pengasih Maha Kuasa.” Jawab Wiro. Dia tidak mau memberi tahu bahwa selain dari Eyang Sinto Gendeng dia juga menguasai berbagai ilmu kesaktian yang didapat dari beberapa tokoh rimba persilatan. “Jika Tuhan melindungimu, apakah kau juga akan melindungiku?” tanya Nyi Retno pula. Wiro tertawa. “Saya akan berusaha melindungi Nyi Retno. Tapi perlindungan Tuhan atas diri Nyi Retno lebih dari segalagalanya. Nyi Retno, saya senang bicara denganmu. Apakah kita bisa melanjutkan perjalanan sekarang. Matahari telah condong ke barat.” Nyi Retno gelungkan dua tangannya di leher Wiro. Berlaku manja minta tolong dibantu berdiri. “Kau orang baik, aku orang gila. Kau tidak risih dan malu berjalan bersama orang tidak waras dan buruk rupa seperti aku ini…” Bisik Nyi Retno ke telinga Pendekar 212 lalu tertawa cekikikan. Gulungan surat daun lontar diselipkannya ke pinggang Wiro. “Nyi Retno juga orang baik. Malah sangat baik. Nyi Retno cantik. Sebenarnya saya yang rikuh. Orang sableng seperti saya dipercaya jalan bersama Nyi Retno.” Nyi Retno tertawa panjang. Tiba-tiba perempuan muda ini melompat ke punggung Wiro. “Saya tak mau jalan. Saya kepingin digendong…” “Nyi Retno, jangan bersikap seperti ini. Kalau ada orang yang melihat pasti akan salah menyangka…” “Tadi kita saling berpelukan. Sekarang aku merangkulmu, begini mengapa takut? Perduli setan dengan orang lain! Saya suka padamu. Kemuning suka padamu! Ayo jalan! Hik… hik… hik.” Mau tak mau Wiro terpaksa menggendong perempuan bertubuh mungil itu di punggungnya. Mula-mula hanya berjalan biasa lalu berlari. Tidak disadari oleh Wiro, tidak diketahui oleh Nyi Retno, gulungan surat daun lontar yang terselip di pinggang Wiro jatuh ke tanah. “Wiro, jangan lari terlalu cepat. Aku dan Kemuning merasa gamang.” Wiro perlambat larinya. Saat itulah dia merasa tengkuk dan pipi kanannya dicium mesra oleh Nyi Retno. “Nyi Retno, saya mohon…” “Saya juga mohon,” jawab Nyi Retno. Rangkulannya di leher Wiro semakin kencang dan ciumannya kini pindah ke pipi kiri. “Nyi Retno, saya tidak bisa berlari kalau begini…” Nyi Retno tertawa. “Kalau begitu kita tak usah lari. Jalan biasa saja. Atau kita duduk saja di bawah pohon sana,” kata Nyi Retno sambil tangan kirinya menunjuk ke sebuah pohon besar di depan mereka. “Ah, bisa lebih celaka. Bisa lebih macam-macam nanti…” ucap Wiro dalam hati. Pendekar ini akhirnya lari sekencang yang bisa dilakukannya. Nyi Retno Mantili terpekik lalu tertawa tiada henti. “Wiro, saya suka padamu. Kemuning juga suka padamu.” *** TIGA TAK SAMPAI sepeminuman teh Wiro dan Nyi Retno Mantili meninggalkan tempat itu, satu bayangan hitam berkelebat. Orang ini tegak sebentar, memandang berkeliling lalu dudukkan diri di satu tempat teduh. Tongkat di tangan kiri ditekankan ke tanah. Kepala tertunduk, muka yang tinggal kulit pembalut tulang tercenung sementara empat tusuk konde perak bergoyang-goyang di atas kepala. “Oala, kenapa hidup ini jadi begini?” Orang yang duduk di tanah yang bukan lain adalah nenek sakti Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 berucap perlahan. Sepasang matanya yang cekung dan biasa angker kini tampak sayu. Apalagi mata sebelah kiri masih bengkak akibat perkelahian melawan Hantu Malam Bergigi Perak beberapa waktu lalu. “Tadi aku mendengar suara tawa perempuan itu. Kucari ke sini tak ada orangnya. Aku yakin anak setan itu sudah kembali dari Gunung Gede. Apakah dia bersama perempuan gembel berotak miring itu? Heh, jangan-jangan saat ini mereka tengah menuju ke pondok si Tambakpati.” Sinto Gendeng sengaja berada di sekitar kawasan di mana dia berada saat itu karena dia menyirap kabar dan menduga cepat atau lambat Wiro akan berada di hutan jati di Plaosan untuk menemui seorang bernama Djaka Tua yang akan menunggunya di pondok kediaman Ki Tambakpati. Seperti pernah diceritakan sebelumnya Ki Tambakpati adalah sahabat kental Sinto Gendeng semasa remaja. Sinto Gendeng julurkan dua kaki. Tubuhnya terasa letih. Mata dipejamkan namun saat itu kembali terbayang sosok makhluk bayangan berupa perempuan cantik. “Makhluk jahanam! Empat belas hari empat belas malam aku mencarimu. Kau sembunyi di mana?! Jangan kira aku tidak bisa menemuimu! Akan kukejar kau sekalipun sampai di pintu neraka!” Kutuk serapah menyembur tak habis-habisnya dari mulut si nenek. Lalu dia ingat lagi pada muridnya. “Perlu apa aku memikirkan anak setan itu. Semua sudah terjadi. Aku gurunya! Aku berhak berbuat apa saja termasuk menghukumnya jika dia salah!” Kata hati si nenek tiba-tiba ada yang menyahuti. “Kalau muridmu bersalah, katakan padaku apa salahnya?” Sinto Gendeng terkejut. Memandang berkeliling mulutnya berucap. “Siapa yang bicara?!” “Aku suara hatimu. Dari lubuk hati yang paling dalam.” Sinto Gendeng tersentak. Dia memandang sekujur diri sendiri. Dari dada sampai ujung kaki. “Suara hati jahanam! Kau tidak layak mencampuri urusanku!” Seperti orang gila Sinto Gendeng berdiri, kaki kiri dihentakkan ke tanah hingga tanah melesak sedalam setengah jengkal. Tongkat di tangan kiri dihantamkan ke samping. Kraakk! Batang pohon berderak patah dan tumbang! “Sinto, selama hidupmu kau hampir tidak pernah mempergunakan akal sehat disertai perasaan hati yang sejuk…” “Diam!” teriak Sinto Gendeng. “Tuhan memberikanmu umur panjang. Apa yang telah kau kerjakah selama ini?” “Apa yang aku kerjakan adalah urusanku sendiri! Tidak manusia tidak setan yang bisa mengatur!” “Hidupmu penuh kesombongan. Ucapanmu tidak pernah disertai timbang rasa. Segala perbuatanmu lebih banyak mudarat dari manfaat. Kau menghancurkan banyak orang. Tapi yang lebih menyedihkan kau menghancurkan diri sendiri! Apa kau tidak pernah menyadari bahwa selama ini kau hidup terkucil dari para sahabat dan tokoh rimba persilatan? Seseorang merampas Kitab Seribu Pengobatan dari tanganmu tanpa kau bisa mempertahankan. Bukankah itu sudah merupakan salah satu petunjuk Gusti Allah bahwa seharusnya kau bisa berbuat banyak sekali kebaikan dengan kitab itu? Tapi kau bertindak serakah, berlaku tinggi hati. Hanya mementingkan diri sendiri! Gusti Allah menghukummu, memutuskan bahwa kau tidak pantas menguasai kitab itu. Muridmu kau caci maki di hadapan orang banyak seolah dia lebih buruk dari comberan. Kau tuduh berbuat yang bukan-bukan. Bahkan kau buat dia menderita dengan cacat di punggung seumur-umur. Sinto, apakah kau bukan lagi seorang perempuan yang punya hati nurani dan welas asih? Iblis apa yang bersarang di hatimu? Setan mana yang mendekam di benakmu? Begitukah caramu menjalani sisa-sisa terakhir dari usia kehidupanmu? Atau mungkin kau punya nyawa cadangan. Sehingga kalau besok kau mati, lusa kau akan hidup kembali?” Sinto Gendeng merasa tubuhnya seperti terbakar. Teriakannya menggeledek. “Suara hati! Setan keparat! Siapa pun kau adanya pergi! Atau kupecahkan kepalamu!” Lalu nenek ini pukuli dadanya sendiri. Demikian kerasnya hingga darah menyembur dari mulutnya yang perot. Perlahan-lahan tubuhnya rebah ke tanah. Mata mendelik. Cuping hidung kembang kempis, dada turun naik, nafas menyengal. Nenek yang sedang marah dan kacau pikiran itu tidak tahu berapa lama dia tergeletak seperti itu. Dia baru bergerak dan duduk di tanah sewaktu udara mulai gelap. “Gila! Apa yang terjadi dengan diriku!” si nenek memaki lalu bangkit berdiri. Walau kakinya melangkah namun dia sama sekali tidak tahu mau menuju ke mana. Tiba-tiba kaki kirinya terasa menginjak sesuatu. Si nenek memperhatikan ke bawah. Sebuah benda bergulung berada diinjakan kaki kirinya. Sinto Gendeng membungkuk mengambil benda itu yang bukan lain adalah surat daun lontar yang dibuat orang-orang Keraton Kaliningrat, ditujukan pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Surat daun lontar itu diselipkan Nyi Retno di pinggang Wiro dan terjatuh di tengah jalan sewaktu Wiro berlari sambil mendukung Nyi Retno Mantili. Gulungan daun lontar dibuka. Karena udara sudah mulai gelap Sinto Gendeng tak segera dapat membaca tulisan yang tertera di atas daun lontar itu. Dia pergi ke tempat yang agak terang, yang masih ada pantulan cahaya matahari. Perlahan-lahan si nenek mulai membaca. Selesai membaca wajahnya tampak mengelam, sepasang mata seolah tambah tenggelam ke dalam rongga yang cekung. Lalu perlahan-lahan menyeruak seringai di mulutnya yang perot. Si nenek meracik tembakau, daun sirih yang sudah layu, kepingan pinang dan secuil kapur. Racikan dikepalkepal beberapa kali lalu dimasukkan ke dalam mulut yang tak bergigi. Sambil mengunyah si nenek bicara sendiri. “Tengah malam hari Jum’at. Orang-orang Keraton Kaliningrat. Candi Pangestu di Plaosan. Anak setan itu pasti akan muncul di tempat itu! Hik… hik! Dia akan kaget kalau aku lebih dulu menungguinya di sana!” Sinto Gendeng diam sejurus. Berpikir. “Kalau aku tidak salah, di dekat sini tinggal seorang sahabat lama. Tambakpati. Masih ada waktu. Belasan tahun tidak ketemu. Apa salahnya aku menyambangi dia dulu sebelum pergi ke Plaosan.” Sinto Gendeng selipkan gulungan daun lontar ke pinggang. Tongkat di tangan kiri ditancapkan ke tanah. Ketika tongkat dicabut kembali tubuhnya melesat sejauh dua tombak ke arah utara dan lenyap di kegelapan. *** LANGIT di sebelah barat tampak merah kekuningan. Saat-saat sang surya akan tenggelam terasa sunyi di hutan jati. Wiro dan Nyi Retno Mantili berlari cepat. Saat itu Nyi Retno tidak lagi digendong belakang melainkan sudah mau berlari sendiri di samping Wiro sambil sesekali memegang lengan pemuda itu. “Wiro, aku mencium bau busuk!” Nyi Retno berkata. “Ya, saya juga sudah mencium.” “Perasaanku tidak enak,” kata Nyi Retno lalu kembali memegang tangan kanan Pendekar 212. Tiba-tiba perempuan ini menjerit. Dia lebih dulu melihat sosok yang tergantung kaki ke atas kepala ke bawah di cabang sebatang pohon tak jauh dari pondok kediaman Ki Tambakpati. Wiro dan Nyi Retno sampai di dekat pohon. Nyi Retno kembali menjerit. Wiro keluarkan seruan tertahan. Orang yang digantung kaki ke atas kepala ke bawah itu adalah Djaka Tua! Wiro melesat ke udara. Sekali tangannya bergerak memukul, patahlah cabang pohon di mana Djaka Tua tergantung. Dengan cepat dia menyambar tali penggantung hingga mayat Djaka Tua tidak jatuh bergedebuk. Dari keadaan mayat yang rusak membusuk dan sudah dirubung belatung pastilah pembantu yang malang itu telah menemui ajal cukup lama. Mungkin sejak kepergian Wiro ke Gunung Gede. Nyi Retno jatuh terduduk di tanah menangis sambil menutupi hidung, tak tahan mencium busuknya mayat. Wiro memandang berkeliling, mencari tempat yang baik untuk segera mengubur jenazah Djaka Tua. Dia melihat tempat rimbun di dekat satu pohon jati. Wiro segera mendatangi tempat ini. Untuk membuat liang kubur dia hendak membongkar tanah dengan jurus pukulan Segulung Ombak Menerpa Karang. Hampir tangannya hendak menghantam tiba-tiba dia ingat apa yang telah diucapkannya di depan Nyi Retno. Pukulan Segulung Ombak Menerpa Karang adalah ilmu pukulan sakti yang didapatnya dari Eyang Sinto Gendeng. Padahal dia telah mengambil keputusan untuk tidak akan mempergunakan semua ilmu yang didapatnya dari nenek sakti itu. Wiro tarik tangan kanannya. Mulut hembuskan nafas panjang. Tangan itu kemudian diangkat kembali sambil kerahkan seperlima tenaga dalam. Lalu dia memukul ke bawah. Byaarr! Hantaman pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung yang didapatnya Dari Tua Gila membuat tanah terbongkar ke udara membentuk sebuah lobang cukup besar dan dalam untuk kuburan Djaka Tua. Karena keadaan jenazah Djaka Tua yang sangat rusak tak mungkin Wiro memanggul atau menggendong mayat itu untuk dimasukkan ke dalam lobang. Walau hatinya tidak tega namun dia terpaksa menarik tali yang masih mengikat kedua kaki Djaka Tua hingga akhirnya mayat pembantu itu terseret demikian rupa lalu terguling masuk ke dalam lobang. Sambil menangis Nyi Retno Mantili peluki boneka kayu, membantu Wiro menimbun tanah ke dalam lobang. “Wiro, siapa menurutmu yang begitu keji membunuh pengasuh anakku Kemuning?” tanya Nyi Retno Mantili. “Saya tidak dapat memastikan Nyi Retno. Namun saya menaruh curiga. Sebelum berangkat ke Gunung Gede, pada saat berpisah dengan Djaka Tua, saya minta dia pergi ke sini. Pondok ini milik Ki Tambakpati. Seorang ahli pengobatan patah tulang. Nyi Retno ingat orang bernama Cagak Lenting, orang keraton yang katanya mengemban tugas dari Patih Kerajaan untuk mencari Djaka Tua?” “Saya ingat.” Jawab Nyi Retno. “Orang itu mungkin melapor pada Patih Kerajaan lalu mendatangi tempat ini.” kotarajaJika terbukti dia yang membunuh pengasuh anak saya, saya akan cari dia sampai dapat dan membunuhnya.kotaraja Suara Nyi Retno penuh geram namun sepasang mata tampak berkaca-kaca. Wiro pegang bahu Nyi Retno. kotarajaNyi Retno, kita pasti akan mengetahui siapa pembunuh Djaka Tua.kotaraja Wiro lalu ingat sesuatu. Dia memandang ke arah pondok. kotarajaKi Tambakpati,kotaraja katanya. kotarajaJangan-jangan orang tua itu juga sudah jadi korban pembunuhankotaraja Diikuti Nyi Retno, Wiro masuk ke dalam pondok. Keadaan pondok itu kacau balau centang perenang. Tidak ada satu perabotan pun yang utuh. Seperti ada yang sengaja menghancurkan. Wiro dan Nyi Retno tidak menemukan Ki Tambakpati ataupun mayatnya kalau memang dia telah dibunuh. kotarajaSaya khawatir Ki Tambakpati ditangkap. Dibawa ke kotaraja…kotaraja kotaraja. Mungkin juga saat ini dia sudah dibunuh.kotaraja Kata Nyi Retno pula. kotaraja Kasihan. Kalau dia ikut jadi korban kekejaman orang-orang keraton, berarti satu kehilangan sangat besar bagi rimba persilatan tanah Jawa.kotaraja kotarajaWiro, mengapa manusia tega berbuat sekeji itu? Membunuh orang seperti membunuh binatang? Wiro menghela nafas dalam, menggaruk kepala. kotarajaSebelumnya saya sudah memberi tahu. Hal-hal semacam itulah yang membuat saya muak menjadi orang rimba persilatan. Di luar keadaan mulai gelap. Di dalam pondok lebih gelap lagi. kotarajaNyi Retno, kita harus segera tinggalkan tempat ini. Saya khawatir. Sewaktu-waktu orang-orang kerajaan muncul. Kalau mereka datang bukankah kita bisa membunuh mereka? Kita tak perlu susah mencari mereka. Wiro tersenyum. Nyi Retno juga tersenyum. Dengan kepala ditundukkan dia menyambung ucapannya tadi. “Tapi saya menurut saja apa yang kau katakan,” jawab Nyi Retno. “Nyi Retno, saya ingat mimpi tentang Djaka Tua yang Nyi Retno ceritakan. Dalam mimpi Nyi Retno melihat dia digantung kaki ke atas kepala ke bawah. Mimpi Nyi Retno menjadi kenyataan.” “Saat ini saya merasa takut. Saya takut tidur. Saya tidak mau bermimpi lagi,” kata Nyi Retno pula lalu melangkah lebih dulu ke pintu. Baru dua langkah berada di luar pondok Nyi Retno bersurut. “Wiro, ada orang mendatangi dari arah pohon. Mudah-mudahan manusia bernama Cagak Lenting itu. Biar kubunuh sekalian! Tapi lain… Bukan dia.” Wiro serta merta melompat keluar pondok. Apa yang dikatakan Nyi Retno benar. Dari jurusan sebuah pohon jati besar melangkah tertatih-tatih seorang bertubuh agak bungkuk. Dia berjalan menuju pondok. Sambil siapkan pukulan di tangan kanan Wiro berteriak, “Siapa?!” “Aku… Aku Ki Tambakpati. Wiro, apa kau tidak mengenaliku?” “Ah…” Wiro segera menyongsong. “Ki Tambak, apa yang terjadi? Pondokmu dirusak orang. Kau dari mana?” “Kami menemukan pengasuh anakku mati digantung di pohon sana. Siapa yang membunuhnya?!” Nyi Retno sambung ucapan Wiro. “Wiro, jangan bicara di sini. Aku khawatir ada yang datang. Sampai beberapa hari lalu tempat ini masih dimata-matai oleh orang-orang kerajaan. Ikuti aku…” Ki Tambakpati membawa mereka ke lereng menurun arah selatan hutan jati. Di kaki sebuah bukit mengalir sebuah kali kecil. Di salah satu tepian kali terdapat gugusan batu-batu hitam dan rata. Ketiga orang itu masingmasing mencari tempat yang enak dan duduk di atas batu. Ki Tambakpati langsung saja bercerita. “Saya tengah meramu obat sewaktu Djaka Tua muncul. Sekitar dua minggu lalu. Dia datang menjelang malam. Dia menyampaikan pesanmu dan Setan Ngompol. Aku tidak keberatan dia bermalam di gubukku, menunggu sampai kau datang. Djaka Tua sempat menceritakan apa yang terjadi. Dia menyebut nama Cagak Lenting. Setelah kuberi obat, dia aku suruh istirahat dan tidur sementara aku meneruskan meramu obat dalam belanga. Menjelang pagi, ketika aku bermaksud istirahat dan memicingkan mata tiba-tiba pintu pondok dilabrak orang dari luar. Dua orang menerobos masuk. Yang seorang berpakaian serba hijau, ikat kepala hijau, rambut sebahu. Aku pernah mendengar cerita tentang orang ini dan merasa pasti kalau dia adalah Cagak Lenting yang dijuluki Si Mata Elang. Pasti dia yang menuntun orang-orang kerajaan ke tempatku. Orang satunya tinggi besar, berpakaian bagus. Aku masih mengira-ngira siapa adanya orang ini. Aku baru tahu kalau dia adalah Patih Kerajaan, Raden Mas Wira Bumi, yaitu ketika Djaka Tua diseret keluar pondok. Di sekitar pondok puluhan prajurit kerajaan sudah mengurung. Cagak Lenting memaksa Djaka Tua memberi tahu di mana beradanya Nyi Retno Mantili dan bayinya. Cagak Lenting juga menanyakan dirimu dan Setan Ngompol…” “Mengapa orang ingin tahu di mana aku dan Kemuning berada?” Nyi Retno memotong ucapan Ki Tambakpati. “Aku tidak tahu,” jawab Ki Tambakpati. Nyi Retno memandang pada Wiro. “Kau pasti tahu.” “Orang-orang itu ingin berbuat jahat padamu. Nyi Retno.” “Menculik Kemuning, mau memperkosaku atau mau membunuh aku dan anakku?” “Nyi Retno, sabar. Biar Ki Tambakpati melanjutkan ceritanya dulu,” kata Wiro pula. Lalu Wiro memberi tanda dengan anggukkan kepala pada Ki Tambakpati. Orang tua ahli pengobatan tulang ini melanjutkan keterangannya. “Patih Kerajaan juga menanyakan di mana beradanya kau dan Setan Ngompol. Pembantu itu tidak mau membuka mulut. Malah dia minta dibunuh saat itu juga daripada membuka rahasia mengenai Nyi Retno. Setelah disiksa cukup parah Patih Kerajaan membujuk. Jika Djaka Tua mau memberi tahu keberadaan Nyi Retno bersama bayinya maka dia akan diberikan sejumlah uang, juga jabatan tinggi. Tapi Djaka Tua tetap tidak mau membuka rahasia. Patih habis kesabaran. Dia memerintah Cagak Lenting menggantung pembantu itu. Djaka Tua lalu digantung di pohon sana, kaki ke atas kepala ke bawah. Sebelum pergi Cagak Lenting masih berusaha membujuk namun Djaka Tua tetap pada pendirian. Tidak mau membuka mulut memberi tahu.” Nyi Retno Mantili keluarkan jeritan keras. “Cagak Lenting pembunuh terkutuk! Akan aku gorok batang lehermu! Akan aku sedot darahmu!” Nyi Retno bergerak, siap berkelebat tinggalkan tempat itu. Wiro cepat mengejar. “Nyi Retno, kau mau ke mana?!” Wiro segera menghadang lari Nyi Retno. “Wiro! Sekali ini jangan menghalangiku! Aku akan ke kotaraja! Aku akan mencari Cagak Lenting dan Patih Kerajaan! Aku akan membunuh mereka! Kau dengar Wiro?! Aku akan membunuh dua manusia terkutuk itu!” “Nyi Retno, tenang, sabar. Jangan bertindak kesusu menuruti hati yang sedang panas. Jika Nyi Retno akan ke kotaraja, saya akan menemani. Tapi saya masih perlu bicara dengan Ki Tambakpati.” “Wiro! Minggir!” teriak Nyi Retno. “Nyi Retno, ingat…” Nyi Retno berteriak marah lalu menerjang sambil tangannya ditinjukan ke dada Pendekar 212. Bukkk! Wiro terjungkal, jatuh terduduk di tanah. Dadanya mendenyut sakit. Walau tidak memiliki dasar tenaga dalam namun ilmu kesaktian yang telah didapatnya secara cepat dari Kiai Gede Tapa Pamungkas membuat pukulan Nyi Retno mempunyai daya jebol seberat lebih dari seratus kati. Apalagi serangan dilakukan secara tak terduga. Melihat Wiro terjatuh, Nyi Retno terpekik. Dia seolah baru sadar apa yang terjadi. Langsung jatuhkan diri dan memeluk Pendekar 212. Menangis. “Nyi Retno, kau akan pergi sendirian? Meninggalkan saya?” Nyi Retno menggerung mendengar kata-kata yang diucapkan dengan lembut itu. Dia menggelengkan kepala berulang kali. “Wiro… Kau, kau tak apa-apa. Saya menyesal sekali memukulmu. Mengapa kau tidak menangkis. Mengapa kau tidak mengelak? Wiro, pukul saya! Pukul!” Nyi Retno berteriak lalu sambil menangis dia usapi dada Wiro. “Nyi Retno, saya tahu perasaanmu. Sudahlah…” Wiro berdiri lalu berpaling pada Ki Tambakpati. “Ki Tambak, kau belum menceritakan bagaimana kau bisa menyelamatkan diri dari orang-orang kerajaan.” “Aku bersyukur karena semua itu terjadi dalam kuasa Tuhan. Sewaktu perhatian semua orang tertuju pada penggantungan Djaka Tua, aku berhasil menyelinap dan melarikan diri. Sampai matahari terbit orang-orang itu berusaha mencariku. Aku masuk ke dalam sebuah goa, tembus ke satu bukit. Aku sengaja mengarungi satu sungai dangkal agar jejakku tidak bisa dilacak oleh Cagak Lenting. Aku menghilang dalam rimba belantara kecil. Keesokan harinya aku kembali ke sini, ternyata Cagak Lenting dan sekitar selusin prajurit kerajaan masih ada di tempat ini. Beberapa hari kemudian aku datang lagi. Cagak Lenting memang tidak kelihatan, tapi prajurit kerajaan masih ada ditambah seorang perwira muda. Aku hampir putus asa. Terakhir sekali aku ke sini dua hari lalu. Orang-orang itu masih ada di sini…” “Mengapa Ki Tambak kembali ke sini padahal Ki Tambak tahu hal itu sangat berbahaya.” Bertanya Wiro. “Aku ingin mengambil beberapa peralatan pengobatan serta obat ramuan yang sangat langka dan sulit didapat. Selain itu aku punya niat untuk mengurus jenazah Djaka Tua yang sudah tergantung berhari-hari lamanya. Sore tadi aku keluar dari persembunyian, kembali ke sini. Aku lihat kau yang datang. Agaknya orang-orang kerajaan sudah kembali ke kotaraja.” “Ki Tambak, silahkan saja masuk ke dalam pondok. Jangan terlalu lama di sini. Orang-orang itu bisa saja muncul secara mendadak. Mungkin mereka sengaja sembunyi untuk memancing. Hati-hatilah. Rasanya Ki Tambak tak mungkin lagi diam di gubuk ini. Ki Tambak, kami terpaksa meninggalkanmu.” “Kalian hendak ke kotaraja?” tanya Ki Tambakpati. Wiro tak menjawab melainkan berpaling pada Nyi Retno Mantili. Perempuan ini membuka mulut, berkata, “Kami akan ke sana. Mencari pembunuh pengasuh anakku.” “Kalian harus berlaku waspada. Penjagaan di kotaraja saat ini sangat ketat. Mata-mata berkeliaran di manamana. Termasuk orang-orang Keraton Kaliningrat yang punya rencana hendak merebut tahta kerajaan.” Nyi Retno ingat pada gulungan surat daun lontar yang diselipkannya di pinggang Wiro. Benda itu tak ada lagi. Nyi Retno memperhatikan tanah sekitarnya. “Ada apa Nyi Retno?” tanya Wiro. “Surat dari Keraton Kaliningrat itu. Tadi saya selipkan di pinggangmu.” Wiro meraba seputar pinggang tapi tak menemukan gulungan daun lontar. “Mungkin jatuh di jalan. Sudahlah, tak perlu dipikirkan.” Wiro berpaling pada Ki Tambak. “Ki Tambak, kami pergi.” Orang tua ahli pengobatan itu mengangguk sambil sekali lagi mengingatkan agar kedua orang itu berhati-hati. *** EMPAT BELUM sempat Ki Tambakpati masuk ke dalam gubuk tiba-tiba dari empat penjuru hutan jati terlihat cahaya terang. Dalam waktu singkat gubuk kediaman ahli pengobatan tulang itu telah dikurung oleh puluhan orang berseragam prajurit kerajaan. Separuh dari mereka menyalakan obor hingga seantero tempat menjadi terang benderang. “Ki Tambakpati! Kami orang-orang kerajaan datang untuk menangkapmu! Jangan berani melawan atau coba melarikan diri!” Orang yang berteriak melompat ke hadapan Ki Tambakpati, ternyata dia adalah perwira muda yang sebelumnya sudah pernah dilihat kakek itu. “Perwira, apa dosa kesalahanku hingga kau hendak menangkapku?!” tanya Ki Tambakpati. “Kau melarikan diri sewaktu ditangkap beberapa waktu lalu. Kau juga dituduh menyembunyikan buronan kerajaan!” “Buronan kerajaan? Buronan yang mana?” tanya Ki Tambakpati heran. “Orang bernama Djaka Tua…” jawab Perwira “Astaga, orang itu sudah kalian bunuh! Apa masih belum puas?” “Djaka Tua boleh mati. Tapi itu tidak menghapus dosa kesalahanmu! Selain itu pimpinan kami juga ingin menanyaimu perihal bayi yang hilang dan tentang seorang perempuan muda membawa boneka.” “Aku tidak tahu menahu soal bayi yang hilang atau perempuan muda membawa boneka,” jawab Ki Tambakpati pula. “Tutup mulutmu Ki Tambak. Jangan berani bicara dusta! Kalau kau memang tidak bersalah mengapa malam dua minggu lalu kau melarikan diri dari sini.” “Siapa sudi mati konyol di tangan prajurit-prajurit kerajaan yang ternyata lebih kejam dari rampok Alas Roban!” Plaakkk! Satu tamparan keras mendarat di muka Ki Tambakpati hingga orang tua ini terhuyung-huyung kesakitan sambil pegangi pipi. Dari sudut bibir sebelah kiri mengucur darah kental. “Perwira Muda, apakah kerajaan mengajarkan ilmu menganiaya rakyat tidak berdaya seperti yang barusan kau lakukan?!” “Aku punya perintah dan wewenang lebih besar dari hanya menampar. Nyawamu berada di tanganku! Apa kau ingin mengikuti jejak Djaka Tua yang tolol itu?” “Djaka Tua tidak tolol! Kau yang bodoh!” jawab Ki Tambakpati pula. Pewira Muda itu ingin sekali menjotos muka Ki Tambakpati, tapi tangannya yang sudah bergerak ditarik kembali. Dia berteriak memberi perintah pada pasukannya agar segera meringkus Ki Tambakpati. Lima prajurit dengan cepat mengurung Ki Tambakpati. Salah seorang dari mereka melingkarkan seutas tambang ke leher ahli pengobatan itu lalu mendorong punggung orang tua itu, membentak menyuruh jalan. Pada saat itulah tiba-tiba meledak satu tawa bergelak. Selagi semua orang terkejut satu bayangan hitam berkelebat disertai bentakan keras. “Siapa berani menganiaya sahabatku!” Wuutt! Tali yang mengikat leher Ki Tambakpati putus. Empat prajurit terpental. Mereka menjerit keras sambil pegangi kening masing-masing. Di kening itu kelihatan guratan luka mengucurkan darah. Prajurit yang menjirat leher Ki Tambakpati dengan tali mencelat mental paling jauh. Darah menyembur dari satu luka besar yang melintang di tenggorokannya! Prajurit ini roboh ke tanah, menggeliat beberapa kali lalu diam tak berkutik. Nyawanya amblas! Perwira Muda Kerajaan dan seluruh pasukan menjadi kaget juga ngeri luar biasa. Di hadapan mereka, tegak melindungi Ki Tambakpati seorang nenek bermuka nyaris seperti tengkorak sambil melintangkan tongkat kayu di depan dada. Empat tusuk konde perak bergoyang-goyang di atas batok kepala. Mata menatap menyorot galak pada Perwira Muda. Tangan kiri menggamit memberi isyarat agar Perwira Muda mendekatinya. Selain takut dan juga sadar kalau saat itu dia tengah berhadapan dengan seorang sakti luar biasa, seperti orang bodoh si Perwira Muda segera mendatangi. “Kau telah menuduh tanpa bukti sahabatku Ki Tambakpati. Kau juga telah menganiayanya. Kau ingin aku buatkan satu lobang bagus di jidatmu?” Tongkat di tangan si nenek melesat dan tahu-tahu ujungnya telah menempel di pertengahan kening Perwira Muda. Orang ini merasa keningnya seperti ditindih batu besar hingga dia terbanting jatuh punggung ke tanah. Ujung tongkat bergerak mengikuti, masih terus menempel di keningnya. “He… he… Perwira Muda, apa jawabmu?!” “Nek, saya mohon maafmu kalau telah berlaku tidak menyenangkan dirimu. Saya dan semua prajurit yang ada di sini hanya menjalankan perintah kerajaan.” “Siapa orang kerajaan yang memberi perintah padamu?” bentak si nenek. “Patih Kerajaan dan Cagak Lenting.” Jawab Perwira Muda. “Hemm… Kalian kembali ke kotaraja. Katakan pada Patih Kerajaan dan Cagak Lenting. Siapa di antara mereka berdua yang ingin mampus duluan?! Katakan aku Sinto Gendeng yang mengeluarkan ucapan!” Si nenek tusukkan ujung tongkat ke telinga kiri Perwira Muda. “Kau dengar apa yang aku bilang?!” “Sa… saya dengar, Nek. Sekali lagi mohon maafmu. Saya tidak tahu kalau berhadapan dengan tokoh rimba persilatan Eyang Sinto Gendeng.” Sinto Gendeng semburkan ludah susur ke muka orang hingga Perwira Muda kucak-kucak mata menahan perih. “Sekarang bawa pasukanmu. Tinggalkan tempat ini. Jangan lupa membawa prajurit tolol yang sudah jadi mayat itu!” Perwira Muda bangkit berdiri, memberi perintah pada anak buahnya. Ketika dia hendak berlalu Sinto Gendeng berkata. “Tunggu!” Si nenek kemudian berpaling pada Ki Tambakpati. “Sahabatku, perwira ini tadi menamparmu. Apakah kau tidak ingin membalas?” Ki Tambakpati menyeringai. “Bagaimana kalau kau saja yang mewakilkan?” Sinto Gendeng tertawa bergelak. Tak terlihat oleh Perwira Muda itu tangan kiri si nenek berkelebat. Plaakk! Perwira Muda yang kena tampar terpelanting jatuh ke tanah. Dua prajurit cepat membantunya berdiri. Ketika bangkit kelihatan pipi kanan perwira ini bengkak merah, mata lebam. Orang-orang kerajaan itu akhirnya tinggalkan hutan jati diikuti pandangan dan gelak tawa Ki Tambakpati dan Sinto Gendeng. “Sinto! Belasan tahun tidak bertemu, tahu-tahu kau muncul di sini! Gusti Allah akan memberimu pahala atas pertolonganmu terhadap diriku!” Sinto Gendeng tertawa mengekeh, berbalik lalu dua sahabat lama itu saling berpelukan. “Sinto, kau tahu. Muridmu Wiro belum lama meninggalkan tempat ini.” Menerangkan Ki Tambakpati. Sinto Gendeng bersikap tenang-tenang saja walau sebenarnya dia merasa terkejut. “Anak setan itu sendirian?” Si nenek bertanya. “Bersama seorang perempuan muda berwajah cantik, membawa boneka perempuan dari kayu.” Menerangkan Ki Tambakpati. “Hemm… jadi anak setan itu masih saja bersama perempuan gembel tidak waras itu.” “Yang aku lihat, perempuan itu waras-waras saja. Pakaiannya bagus, dandanannya apik.” Walau merasa heran atas keterangan sahabat lamanya itu Sinto Gendeng bertanya lagi. “Ada keperluan apa muridku datang ke sini?” “Wiro menitipkan seorang pengasuh anak bernama Djaka Tua. Dia datang hendak menjemput.” Lalu Ki Tambakpati menceritakan apa yang telah terjadi. Mulai dari kemunculan Djaka Tua sampai akhirya pembantu itu menemui ajal digantung kaki ke atas kepala ke bawah. Sinto Gendeng terdiam sejurus. Lalu berkata. “Aku tidak megerti. Bagaimana petinggi kerajaan bisa berlaku kejam semena-mena seperti itu.” “Aku rasa ada satu perkara besar yang melatarbelakangi perbuatan mereka itu,” Ki Tambakpati berkata menduga-duga. “Bisa jadi, bisa jadi…” ucap Sinto Gendeng. Kemudan nenek ini bertanya. “Apakah anak setan itu menyebut nyebut rencana kepergian ke Candi Pangestu di Plaosan?” Ki Tambakpati menggeleng. “Setahuku dia bersama perempuan muda yang dipanggilnya Nyi Retno itu berencana pergi ke kotaraja. Mereka ingin mencari pembunuh Djaka Tua. Entah kalau kemudian mereka berubah pikiran.” “Mungkin sewaktu sampai di sini, anak setan itu belum mendapatkan surat,” pikir Sinto Gendeng. “Tambakpati, aku ingin berada lebih lama bersamamu. Tapi ada urusan penting yang harus aku lakukan. Lain kali aku datang lagi ke sini. Tapi… Dengar, sebaiknya kau tidak tinggal lagi di tempat celaka ini. Ingat gubuk di tikungan kali Progo. Gubuknya mungkin sudah rusak. Kau bisa memperbaiki. Paling tidak kau punya tempat tinggal yang aman. Nanti aku akan menyambangimu secepatnya di sana.” Ki Tambakpati angguk-anggukkan kepala. “Sudah, aku pergi sekarang.” “Sinto, kalau aku bertemu muridmu, ada pesan yang ingin kau sampaikan?” bertanya Ki Tambakpati. “Katakan pada anak setan itu! Kalau mau punya istri jangan kawin dengan perempuan gembel berotak tidak waras! Dan kalau punya anak jangan boneka kayu tapi bayi benaran!” “Sinto…” Si nenek sudah berkelebat pergi. “Heran,” kata Ki Tambakpati, “perempuan muda cantik, berpakaian bagus itu mengapa dikatakannya gembel tidak waras? Punya anak bayi benaran, bukan boneka. Ah, aku tidak mengerti. Apa muridnya itu memang sudah kawin dengan perempuan cantik bernama Nyi Retno itu?” Ki Tambakpati geleng-geleng kepala. Sebelum masuk ke pondok dia berkata. “Dari dulu sahabatku satu ini tak pernah berubah.” Ki Tambakpati tidak tahu kalau Sinto Gendeng pertama sekali bertemu Wiro dan Nyi Retno Mantili ketika perempuan ini masih dalam keadaan badan dekil pakaian kotor dan menunjukkan otak tidak waras. Setelah berada lebih dekat bersama Wiro dan pertemuan dengan Kiai Gede Tapa Pamungkas ternyata banyak perubahan atas diri Nyi Retno dan hal ini tidak diketahui oleh Sinto Gendeng. *** MALAM Jumat hari ke lima belas. Sejak sore mendung menggantung di langit namun hujan tak kunjung turun. Hembusan angin menderu keras, bergaung menimbulkan suara menakutkan. Seharusnya ada rembulan bulat di langit. Namun yang kelihatan saat itu hanyalah kegelapan menghitam. Candi Pangestu di kawasan Plaosan tak dapat lagi disebut candi. Bangunannya sudah runtuh rusak sejak belasan tahun silam. Kini bentuknya nyaris seperti gundukan tanah tinggi. Dalam suasana gelap dan angin bertiup kencang, reruntuhan candi itu terlihat menyeramkan. Dua ekor kelelawar tiba-tiba muncul dalam kegelapan malam. Terbang rendah ke arah Candi Pangestu. Suara kepak sayapnya seolah membendung deru tiupan angin malam. Sepasang mata cekung memperhatikan dari balik serumpunan semak belukar di samping reruntuhan tembok halaman candi sebelah barat. Tiba-tiba dua buah benda seukuran ujung jari kelingking melesat di udara. Plaakk! Plaakk! Dua kelelawar menguik keras lalu jatuh bergedebuk di tanah dengan kepala hancur. Terkapar tak jauh dari tangga rusak Candi Pangestu. Orang di balik semak belukar menyeringai, keluarkan susur dari dalam mulutnya, semburkan ludah merah lalu masukkan susur kembali ke dalam mulut. “Ada orang tolol sengaja menunjukkan kepandaian,” ucap orang ini yang bukan lain adalah si nenek sakti Sinto Gendeng. Dia memandang berkeliling. “Hebat juga cara sembunyi si tolol itu! Aku tak mampu mengetahui di mana dia berada.” Si nenek memperhatikan seantero tempat sekali lagi. Mendongak ke langit. “Saat ini kurasa sudah lewat tengah malam. Mengapa anak setan itu tidak muncul? Jangan-jangan dia tidak ke sini tapi ke kotaraja seperti keterangan Tambakpati. Atau mungkin surat itu jebakan orang-orang Keraton Kaliningrat? Sengaja dibuang di tempat yang hendak aku lalui? Berarti anak setan itu tidak pernah memegang dan membacanya.” Sinto Gendeng pukul-pukulkan tongkat kayu di tangan kirinya ke bahu. Mulut perot kembali sunggingkan seringai. “Siapa berani menjebak diriku akan tau rasa sendiri. Lihat saja!” Di arah belakang reruntuhan Candi Pangestu ada satu lembah kecil tapi terjal. Lembah ini dulunya adalah satu aliran anak sungai yang mengering karena terputus dari sumber airnya. Di bibir lembah tumbuh sederetan pohon bambu, demikian rapatnya hingga menyerupai pagar. Dalam kegelapan ada dua orang tegak berdekatan dan bicara saling bisik. “Kecik Turanggga, apa pendapatmu. Yang kita tunggu muridnya. Yang muncul sang guru. Bau pesingnya tercium santar sampai ke sini!” Yang barusan berbisik adalah seorang nenek berhidung bengkok seperti paruh burung kakak tua, mengenakan pakaian kuning ketat. Mulut bicara sementara sepasang matanya yang dingin kelabu menatap ke arah rumpunan semak belukar di mana Sinto Gendeng mendekam. Nenek ini adalah Ni Serdang Besakih. Bersama Kecik Turangga dia merupakan tokoh silat pentolan orang-orang Keraton Kaliningrat (Baca Episode sebelumnya berjudul “Nyi Bodong”). Kecik Turangga sendiri seorang tokoh silat yang dijuluki Hantu Buta Senja. Walau ilmunya tinggi namun dia memiliki satu kekurangan yakni kedua matanya menjadi rabun jika siang berganti malam. Itu sebabnya begitu senja datang dia segera mengenakan sebuah topeng. Jika topeng ini dikenakan, maka wajahnya berubah. Kedua matanya jadi menyembul bengkak. “Ni Serdang, biar kita bersabar barang sebentar. Jika Pendekar 212 tidak muncul juga baru kita keluar dan menyapa nenek itu. Apa keperluannya berada di tempat ini. Aku yakin bukan cuma satu kebetulan. Sambitan yang kau lakukan terhadap dua kelelawar tadi rasanya cukup memberi peringatan padanya untuk tidak berbuat macammacam.” Ni Serdang Besakih tidak menjawab. Dia rangkapkan dua tangan di atas dada. Setelah cukup lama menunggu, Ni Serdang Besakih tidak sabar lagi. “Kecik, kita keluar sekarang!” “Baik, tapi tunggu!” Sebuah benda berapi melayang di udara lalu jatuh di dekat dua ekor kelelawar. Ketika Ni Serdang Besakih dan Kecik Turangga memperhatikan, kedua orang Keraton Kaliningrat ini jadi heran. Yang barusan melayang dan jatuh di tanah adalah seonggok kayu menyala. Belum habis rasa heran mereka mendadak kesunyian malam dirobek oleh suara tawa cekikikan. Lalu satu bayangan hitam melesat dari balik semak belukar di arah runtuhan tembok sebelah barat. Di lain kejap satu tubuh tinggi hitam agak bungkuk telah berdiri di depan tangga candi lalu jongkok di muka onggokan kayu menyala. Itulah si nenek sakti Sinto Gendeng! *** LIMA DENGAN ujung tongkat Sinto Gendeng mengait satu persatu dua kelelawar yang tergeletak di tanah, lalu diletakkan di atas kayu menyala. Sebentar saja tempat itu dipenuhi oleh bau daging terpanggang. Sinto Gendeng tertawa mengekeh. Susur di dalam mulut diputarputar kian kemari. Sesekali lidahnya yang merah dijulurjulurkan. Air liur berkucuran. “Baru baunya saja sudah enak. Apalagi kalau disantap! Makan besar aku malam ini! Hik… hik… hik.” Tawa cekikikan Sinto Gendeng masih mengumandang sewaktu dua orang melesat dari kegelapan dan berdiri di hadapannya. Nenek dari puncak Gunung Gede sudah tahu kedatangan orang tapi dia berlagak seperti tidak melihat siapa-siapa. Dia ulurkan tongkat, membolak-balik dua ekor kelelawar yang dipanggang. Dari mulutnya kemudian keluar suara nyanyian lagu tak menentu. “Sahabatku Sinto Gendeng, apakah penglihatanmu sudah dimakan rayap hingga tidak tahu kami berdiri di sini?!” Ni Serdang Besakih menegur. Sinto Gendeng pura-pura kaget, terlonjak, bangkit berdiri, pandangi dua orang yang tegak di depannya. Tubuh terbungkuk-bungkuk, mata mendelik. “Astaganaga! Kalian berdua benar-benar mengejutkanku! Aku sedang sibuk menyiapkan santapan malam. Tahu-tahu kalian muncul! Apakah aku kenal kalian?” Sinto Gendeng panjangkan leher, memandang lekat-lekat pada lelaki berjubah coklat yang matanya tersembul bengkak. Si nenek gelengkan kepala. “Mata Bengkak, aku tidak kenal kau.” Sinto Gendeng lalu alihkan pandangan pada nenek berhidung seperti paruh burung kakak tua. “Hai! Kau rupanya! Mataku tidak lamur! Tidak dimakan rayap tidak dimakan belatung! Tiga puluh tahun lalu kau bernama Ni Serdang Besakih. Apakah sekarang masih memakai nama itu. Atau sudah ditukar sesuai perkembangan jaman? Tiga puluh tahun lalu waktu Raja Tua masih memerintah, kau adalah penyanyi keraton yang kesohor! Hik… hik. Apakah sekarang kau masih suka menyanyi? Hik… hik… hik.” “Sinto, aku tahu kau suka guyon. Tapi saat ini bukan tempatnya bicara konyol. Kami sedang menghadapi satu urusan besar. Tidak ada hujan tidak ada angin mengapa kau tahu-tahu muncul di sini?!” Ni Serdang Besakih bicara dengan suara bernada keras. “Kau keliru sobatku,” jawab Sinto Gendeng sambil sunggingkan seringai buruk mengejek. “Hujan bukannya tidak ada, tapi belum turun. Kalau angin sedari tadi sudah bertiup, apa kau tidak mendengar tidak merasa? Heh, kalau katamu kita bersahabat kau bisa menerangkan apa urusan besar yang tengah kalian hadapi.” “Kami akan mengatakan kalau ada jaminan darimu bahwa kau bukan mata-mata kerajaan!” yang bicara adalah Kecik Turangga alias Hantu Buta Senja. “Mata Bengkak! Keren amat bicaramu! Kalau aku jaminkan nyawa, kau mau menjaminkan apa? Dengkulmu?! Atau dua matamu yang bengkak menjijikkan itu? Ih! Amit-amit jabang tuyul! Hik… hik… hik!” Sinto Gendeng tertawa gelak-gelak. “Sekarang katakan apa urusan kalian!” “Kami tidak akan mengatakan!” jawab Kecik Turangga. Wajahnya di balik topeng merah mengelam. Lalu dia berbisik pada Ni Serdang Besakih. “Kalau rencana pertama batal, kita harus melakukan rencana kedua.” “Kau tak usah khawatir.” Jawab si nenek berhidung seperti paruh burung kakak tua. “Orang yang hendak membantu kita itu sudah ada di sini.” Sinto Gendeng tertawa. “Mata Bengkak gerunjulan! Omonganmu hebat juga! Kalau kalian tidak mau memberi tahu, biar aku yang memberi tahu apa urusanku berada di tempat ini! Aku mewakili muridku Pendekar 212 yang kalian undang datang ke tempat ini, malam ini! Betul begitu?!” Baik Ni Serdang Besakih maupun Kecik Turangga sama-sama sembunyikan rasa terkejut mereka. Setelah berdiam dan berpikir sejenak, nenek berhidung bengkok ajukan pertanyaan. “Bagaimana kau tahu kalau kami mengundang muridmu datang ke tempat ini.” Sinto Gendeng tertawa. “Ni Serdang Besakih. Kau terjebak oleh ucapanmu sendiri! Kalian tidak dapat mengelak kalau kalian adalah orang-orang Keraton Kaliningrat. Betul?! Kalian tak usah menjawab. Aku sudah menyirap kabar. Aku mewakili muridku karena kalian yang memintanya datang ke sini! Aku membaca lengkap surat cinta yang kalian kirimkan atas nama Pangeran Muda Brata Sukmapala. Surat cinta kataku! Hik… hik… hik! Uhh! Siapa itu Pangeran Muda Brata Sukmapala. Baru sekali ini aku mendengar namanya. Nah, aku berada di sini mewakili muridku Pendekar 212. Sekarang katakan apa keperluanmu meminta muridku datang ke sini! Dalam surat kalian minta agar muridku memberikan jasanya sekali lagi pada kerajaan. Kerajaan yang mana? Kalian juga menjanjikan jabatan tinggi untuk muridku. Kepala Balatentara Kerajaan! Ck… ck… ck!” Sinto Gendeng leletkan lidah. Ni Serdang Besakih bertanya. “Dari mana kau dapatkan surat itu? Muridmu sendiri yang menyerahkan padamu?” “Apa itu jadi persoalan?” balik bertanya Sinto Gendeng. Kecik Turangga berbisik. “Bagaimana baiknya? Kita katakan padanya terus terang. Jika dia memang mewakili muridnya, apa dia bisa kita ajak serta?” “Manusia satu ini sangat culas,” jawab Ni Serdang Besakih dengan berbisik pula. “Kita harus hati-hati. Biar aku yang bicara.” “Sinto, kau terlalu lama tenggelam dalam rimba persilatan hingga tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan kerajaan yang sering kau bantu di masa lalu. Saat ini yang berkuasa adalah seorang raja yang tidak berhak atas tahta. Kami orang-orang Keraton Kaliningrat telah menyusun kekuatan untuk menurunkan raja dari tahta dan memberikan tahta pada orang yang berhak yaitu Pangeran Tua Sri Paku Jagatnata. Aku tanya, apakah kau bersedia membantu perjuangan kami?” Sinto Gendeng tidak menjawab tapi langsung tertawa mengekeh hingga air susurnya jatuh berlelehan. “Ni Serdang Besakih, selama dunia terkembang, tahta, harta dan hawa akan selalu menjadi biang kerok segala macam urusan. Aku tahu semua cerita di balik urusanmu. Siapapun raja yang berkuasa sekarang, dia adalah sepantas-pantasnya manusia yang berhak menduduki tahta. Siapa yang tidak tahu. Pangeran Tua Sri Paku Jagatnata adalah adik dari Raja Tua, raja terdahulu. Sedang raja yang sekarang adalah putera sulung dari Raja Tua. Kau tahu jalan ceritanya Ni Serdang. Kau tahu Pangeran Tua tidak punya hak menduduki tahta kerajaan. Kau dan orang-orang yang tergabung dalam Keraton Kaliningrat berusaha menjungkirbalikkan kenyataan dan kebenaran. Kalian adalah orang-orang yang mengharapkan imbal jasa harta, uang dan kedudukan. Barusan aku coba mengingat-ingat. Kalau aku tidak keliru yang namanya Pangeran Muda Brata Sukmapala itu, bukankah dia putera Pangeran Tua Sri Paku Jagatnata? Nah, sekarang muncul satu tanda tanya. Siapa sebenarnya yang inginkan tahta. Pangeran Tua atau si Pangeran Muda? Aku tidak yakin Pangeran Tua punya hati seculas itu terhadap kakak kandungnya sendiri!” “Sinto Gendeng,” ucap Kecik Turangga. “Kau tidak kami mintakan segala macam penilaian, juga tidak perlu berbanyak tanya atau bicara panjang lebar tak karuan! Kami hanya ingin tahu apakah kau bersedia membantu perjuangan Keraton Kaliningrat atau tidak?!” “Kalau aku mau membantu kalian mau beri hadiah apa? Jabatan Panglima Balatentara Kerajaan seperti yang kau janjikan pada muridku tentu tidak pantas bagiku. Hik… hik… hik. Lalu kalau aku tidak bersedia membantu, kalian mau bikin apa?” “Sinto,” Ni Serdang menengahi. “Kami anggap saja kau tidak bersedia membantu. Maka dengan segala hormat kami minta kau meninggalkan tempat ini. Masih ada orang lain yang kami harapkan akan datang.” “Aku tidak akan pergi. Karena aku ke sini untuk menunggu kedatangan muridku.” Jawab Sinto Gendeng pula. “Kau tak boleh berada lebih lama di tempat ini, Sinto. Secepatnya kau pergi akan lebih baik.” Sinto Gendeng pelototi Ni Serdang Besakih. Lalu menjawab ucapan orang. “Kawasan Candi Pangestu, apalagi daerah Plaosan bukan milikmu. Siapa saja boleh datang dan berada di tempat ini. Mulai dari satu hari sampai hari kiamat! Hak apa kalian menyuruhku pergi?!” “Sinto Gendeng. Ada satu hal yang harus kau ketahui! Yang namanya Keraton Kaliningrat itu ada di mana-mana. Termasuk kawasan Plaosan ini! Jadi jangan heran kalau kami menyuruhmu pergi secara baik-baik!” Sinto Gendeng tertawa gelak-gelak. “Ucapan tolol!” maki si nenek. “Kalau Keraton Kaliningrat ada di mana-mana apa itu berarti juga ada di sorga dan di neraka? Hik… hik… hik!” Kecik Turangga keluarkan suara menggembor marah. Ni Serdang Besakih memberi isyarat dengan gerakan tangan agar sahabatnya itu berlaku tenang lalu berpaling pada Sinto Gendeng. “Kau membuang waktu berlama-lama di tempat ini. Padahal aku punya firasat. Muridmu tak akan muncul. Kami telah menyirap kabar apa yang terjadi antara kalian berdua. Muridmu sudah mengambil keputusan menjauhkan diri darimu, dunia akhirat!” Ni Serdang Besakih dan Kecik Turangga memang telah mendapat laporan dari Damar Sarka, anggota Keraton Kaliningrat yang menyamar jadi kusir gerobak yang pernah ditumpangi Wiro dan Nyi Retno. Dalam perjalanan semua pembicaraan kedua penumpangnya itu secara diam-diam didengar Damar Sarka, lalu diceritakan pada Pangeran Muda dan Ni Serdang Besakih. “Heh? Ni Serdang apa maksudmu dengan ucapan itu?” tanya Sinto Gendeng dengan mata mendelik. “Aku sudah membuka kitab, apakah kau ingin aku membaca isinya?” tanya Ni Serdang Besakih mempergunakan kata-kata sindiran. “Orang-orang Keraton Kaliningrat memang pandai bicara, tapi kurang pandai membujuk! Hik… hik!” Sinto Gendeng gerakkan tangan kirinya yang memegang tongkat. Membalikkan dua kelelawar yang dibakar di atas perapian. “Baunya sungguh sedap. Tapi aneh. Selera makanku tibatiba hilang! Kalian saja yang menyantap kelelawar ini. Kubagi seorang satu! Makanlah dengan lahap! Sampai kenyang!” Tangan kiri Sinto Gendeng bergerak. Dua kelelawar panggang mencelat ke udara. Bagaimana Sinto Gendeng memutar tongkatnya begitu pula dua kelelawar berputarputar di udara menebar sedap bau daging panggang. Ni Serdang Besakih dan Kecik Turangga tak sadar terpengaruh memperhatikan dua kelelawar panggang yang melayang-layang di udara. Tiba-tiba Sinto Gendeng sentakkan tongkat di tangan kiri. Mulutnya berseru. “Makanlah!” Dua kelelewar panggang yang melayang di udara tibatiba laksana kilat melesat ke arah dua tokoh Keraton Kaliningrat. Plukk! Plukk! Masing-masing kelelawar jatuh tepat di wajah Ni Serdang Besakih dan Kecik Turangga. Kedua orang ini berteriak marah dan juga kesakitan karena kelelawar panggang itu masih sangat panas. Kulit muka si nenek melepuh. Topeng yang menutupi wajah Kecik Turangga robek mengepulkan asap tepat di bagian dua mata yang menggembung bengkak. Akibat rusaknya topeng ini Kecik Turangga yang berjuluk Hantu Buta Senja ini benar-benar menjadi buta, tak mampu melihat apa-apa lagi selain bayang-bayang hitam ke manapun dia memandang. Sinto Gendeng berkacak pinggang dan tertawa gelak-gelak. “Hanya begitu saja kehebatan orang-orang Keraton Kaliningrat? Menghadapi kelelawar yang sudah mati saja tidak punya kemampuan selamatkan diri! Hik… hik… hik! Sudah pergi saja kalian! Cuci kaki dan tidur di keraton kalian yang ada di mana-mana. Jangan lupa cebok dulu! Hik… hik… hik!” “Sinto Gendeng tua bangka keparat! Kau mencari mampus!” teriak Ni Serdang Besakih. Didahului suara menggembor keras nenek berhidung bengkok ini melompat ke depan. Tangan kanannya melesat ke arah kepala Sinto Gendeng dalam jurus maut bernama Tangan Iblis Membongkar Berhala. Kalau serangan ini mengenai sasarannya maka kepala Sinto Gendeng akan terbongkar mengerikan. Meski tahu kehebatan serangan lawan, Sinto Gendeng tidak merasa jerih. Malah dia sambut dengan jurus Ular Naga Menggelung Bukit. Tangan kiri yang memegang tongkat kayu menggebuk ke arah tangan yang menyerang sementara tangan kanan laksana kilat menelikung ke arah tubuh lawan. Bersamaan dengan itu kepala dimiringkan ke samping. Kraak! Tongkat kayu di tangan kiri Sinto Gendeng patah. Ni Serdang Besakih mengeluh keras. Tangan kanannya yang beradu dengan tongkat kayu laksana dihantam pentungan besi. Walau sakit bukan main namun Ni Serdang Besakih masih teruskan jurus Tangan Iblis Membongkar Berhala. Kalau tadi serangan menjurus ke muka lawan, akibat gebukan tongkat arah yang dituju jadi melesat ke dada. Melihat serangan yang berubah arah, Sinto Gendeng cepat melompat ke belakang dan urungkan serangan Ular Naga Menggelung Bukit. Breett! Baju hitam yang dikenakan Sinto Gendeng robek besar di bagian dada kiri. Walau lima jari tangan lawan tidak sampai menyentuh kulit dadanya namun hawa sakti dan ganas yang terkandung dalam serangan itu membuat tubuh Sinto Gendeng tergoncang keras. Dia merasa tulangtulang iganya seperti remuk dan jantungnya seolah hendak terbongkar keluar! Dia coba bertahan. Tapi justru darah menyembur dari mulut. Didahului satu jeritan keras Sinto Gendeng tusukkan patahan tongkat ke bahu kanan Ni Serdang Besakih. Kini gantian nenek berhidung bengkok ini yang berteriak kesakitan lalu melompat jauhkan diri dari lawan sambil berteriak. “Keparat setan alas! Terima kematianmu!” Sinto Gendeng berteriak. Tangan kanannya diangkat ke atas. Sebatas siku ke bawah tangan itu berubah warna menjadi perak berkilat. “Pukulan Sinar Matahari!” teriak Ni Serdang Besakih dan cepat menyingkir. Wuss! Sinar putih menyilaukan disertai sambaran hawa panas luar biasa berkiblat. Ni Serdang Besakih yang sudah tahu bahaya dan cepat menyingkir selamat dari hantaman pukulan sakti. Namun nasib sial menimpa Kecik Turangga alias Hantu Buta Senja. Selagi dia bingung kelabakan karena tak dapat melihat, Pukulan Sinar Matahari datang menghantam. Tokoh Keraton Kaliningrat ini mencelat sampai dua tombak. Tubuh tergelimpang di tanah, mengepulkan asap. Begitu kepulan asap lenyap kelihatan sosoknya teronggok putih seperti gundukan kapur! Ni Serdang Besakih merinding pucat melihat apa yang terjadi dengan diri kambratnya itu. Rencana pertama gagal sudah! Rencana kedua harus dilaksanakan. Nenek ini berteriak. “Embah Bejigur! Kau tunggu apa lagi?!” Belum lenyap gema teriakan Ni Serdang Besakih, tibatiba dari arah Candi Pangestu kelihatan satu benda berkilat menebar dan melesat di udara. Sebelum Sinto Gendeng sempat melihat jelas benda apa itu adanya tahu-tahu tubuhnya sudah tenggelam dalam jiratan tali temali yang memancarkan cahaya bergemerlap! “Jaring Neraka!” teriak Sinto Gendeng begitu menyadari apa yang terjadi dengan dirinya. Dia berusaha loloskan diri. Kerahkan tenaga dalam untuk merobek jaring. Tapi tak berhasil. Entah apa yang terjadi dia tidak mampu mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti. “Jahanam! Apa yang terjadi padaku!” Rutuk Sinto Gendeng. Nenek ini kembali coba alirkan tenaga dalam. Kali ini ke arah kedua matanya karena dia bermaksud mengeluarkan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh. Tapi lagi-lagi bukan saja dia menemui kegagalan malah sekujur tubuhnya terasa lemas sementara tali temali yang memancarkan sinar dan menjerat tubuhnya mulai terasa panas. Sinto Gendeng menggeletar. Badannya seperti mau leleh! Dalam keadaan seperti itu satu tawa keras meledak. Memandang ke depan Sinto Gendeng melihat sosok katai seorang kakek berkepala botak, berkumis dan berjenggot putih panjang, mengenakan baju dan celana hitam gombrong! “Sinto Gendeng! Semakin kau mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti semakin lemas seluruh tubuhmu! Ha… ha… ha!” *** ENAM JAHANAM bertubuh katai! Kalau kau tidak segera mengeluarkan aku dari jaring ini, aku bersumpah akan membunuhmu!” Si katai botak yang dipanggil dengan sebutan Embah Bejigur keluarkan suara berdecak lalu berkata. “Nenek bau pesing! Kau sudah tidak punya daya! Di dalam Jaring Neraka semua ilmu kesaktianmu tidak bisa kau gunakan! Kalau kau tak mau berserikat dengan kami orang-orang Keraton Kaliningrat, silahkan menghitung hari. Ajalmu sudah di depan mata!” Sinto Gendeng berteriak dahsyat. Tubuhnya digulingkan ke arah kakek katai. Namun setengah jalan Ni Serdang Besakih menghadang dengan satu tendangan. Sinto Gendeng meraung! Tubuhnya terpental. “Itu hadiah dari sobatku Kecik Turangga yang kau bunuh!” ucap Ni Serdang Besakih. “Ini dariku!” Lalu nenek ini kembali hantamkan satu tendangan ke tubuh Sinto Gendeng hingga yang ditendang mencelat terguling-guling. Ni Serdang Besakih memburu. “Aku mewakili muridmu! Ini tambahan dari Pendekar 212 yang kau aniaya!” Untuk ke tiga kalinya Sinto Gendeng terpental. Tendangan Ni Serdang Besakih begitu keras. Namun kali ini tak terdengar lagi suara jeritan si nenek. Tubuhnya tak berkutik dalam Jaring Neraka. Lengan kiri patah. Dua tulang iga di sisi kanan remuk dan pipi kanan bengkak lebam. Masih sempat terdengar sesaat suara erangan si nenek lalu mulutnya terkancing. Belum merasa puas Ni Serdang Besakih kembali melompat ke arah tubuh di dalam jaring itu. Sewaktu dia hendak menendang kembali si katai Embah Bejigur cepat menarik tangannya. “Ni Serdang, jangan dihabisi sekarang. Biar Pangeran Muda nanti yang mengambil keputusan mau diapakan setan tua ini.” Ni Serdang masih penasaran. “Wajahku rusak karena ulah perbuatannya! Aku tidak yakin orang ini bisa diajak berserikat. Hatinya seribu culas, otaknya seribu kotor. Kalau kelak dia mengatakan ingin bergabung dan membantu kita, pasti dia menyimpan satu hal yang busuk. Dia akan menjadi musuh dalam selimut! Aku ingin Pangeran Muda menjatuhkan hukuman mati padanya. Dan aku akan minta pada Pangeran Muda agar aku yang menabas batang lehernya!” “Ni Serdang, kau tahu. Saat ini sebenarnya tanganku juga sudah gatal ingin membereskan nenek bau pesing ini. Empat puluh tahun silam dia membunuh seorang sahabatku,” kata Embah Bejigur pula. Lalu dia tarik ujung jaring. “Aku akan seret setan perempuan ini sampai ke tempat Pangeran Muda menunggu. Mudah-mudahan saja dia tidak mampus di tengah jalan!” Ketika diseret tak seorang pun tahu, gulungan daun lontar di pinggang Sinto Gendeng jatuh ke tanah. *** MALAM itu di Gedung Kepatihan ada pertunjukan kesenian berupa tari-tarian oleh rombongan penari berasal dari Temanggung. Selain tari-tarian juga ada banyolan empat pelawak. Pertunjukan diadakan di langkan gedung di mana dibangun sebuah panggung besar. Pengunjung luar biasa banyaknya. Selain para pejabat tinggi kerajaan, rakyat banyak juga diberi kesempatan untuk menikmati hiburan yang jarang-jarang diadakan itu. Selewat tengah malam pertunjukan semakin ramai karena ternyata juga ada permainan akrobat dilakukan oleh enam pemuda gagah dan dua gadis cantik. Dalam salah satu pertunjukan, seorang pemuda berbaring menelentang di lantai. Tangan kiri kanan masing-masing memegang balok besar tebangan batang pohon. Gong berbunyi. Dua gadis cantik menari berputar-putar. Seorang pemuda melompat ke atas balok sebelah kiri, seorang lagi naik ke atas balok sebelah kanan. Gong berbunyi. Dua pemuda melesat ke udara, jungkir balik satu kali lalu melayang turun dan tegak di atas bahu dua temannya yang berdiri di atas balok. Tepuk tangan memenuhi seantero tempat. Gong berbunyi lagi. Pemuda ke enam melompat ke sebuah bantalan karet yang sudah disiapkan. Tubuhnya yang membal melesat ke udara dan sesaat kemudian dia sudah berdiri di atas bahu kiri kanan dua temannya. Orang banyak bertepuk riuh luar biasa. Dua gadis cantik masih terus menari-nari, kini sambil berpegangan tangan. Di tangan mereka ada sebuah payung warna merah. Gong berbunyi lagi. Kali ini disertai suara tambur dan tiupan seruling. Dua gadis berteriak nyaring, melompat ke atas bantalan karet. Dua tubuh berpakaian ketat melesat ke udara. Semua orang menahan nafas. Dua payung merah terkembang. Sambil berpegangan tangan dua gadis perlahan-lahan melayang turun ke arah pemuda yang berdiri paling atas. Gadis sebelah kanan injakkan kaki kiri di bahu kanan, gadis di sebelah kiri injakkan kaki kanan di bahu kiri si pemuda. Suara gong dan tambur bertalu-talu. Tiupan seruling mencuat nyaring. Pemuda yang berada paling bawah yakni yang memegang dua buah balok, perlahan-lahan mulai memutar tubuhnya. Dua balok ikut berputar. Selanjutnya sosok pemain akrobat yang berada di sebelah atas ikut berputar. Dua gadis menari-nari. Luar biasa! Semua mata menyaksikan tak berkesip penuh kagum. Suara gong dan tambur terus menggema. Tiupan seruling melengking-lengking. Lalu ada suara suitan keras. Inilah tanda bahwa pertunjukan akrobat yang menegangkan itu berakhir. Dua gadis cantik berseru nyaring. Tubuh mereka melesat ke kiri dan ke kanan. Payung masih terkembang. Dengan gerakan-gerakan indah mereka meliuk-liukkan tubuh di udara dan perlahan-lahan turun ke panggung. Pemuda di paling atas menyusul turun dengan gerakan jungkir balik yang indah. Dua pemuda sebelah bawah berseru keras. Tangan masing-masing mengepal ke udara. Lalu keduanya melesat ke bawah, membuat gerakan jungkir balik satu kali dan melayang turun. Saat itulah satu sosok hijau entah dari mana datangnya ikut melesat ke bawah. Semua orang jadi terkejut. Kenapa orang yang turun jadi tiga? Sementara dua pemuda lagi masih ada di atas sana tengah bersiap-siap untuk melompat turun pula. Heboh besar melanda tempat pertunjukan itu sesaat kemudian. Dua orang pemuda yang melayang turun jejakkan kaki di lantai panggung dengan gerakan enteng. Sebaliknya sosok ke tiga yang mengenakan pakaian serba hijau jatuh terbanting dengan keras. Papan panggung patah. Bagian pinggang ke bawah orang berpakaian serba hijau ini amblas ke dasar panggung. Tubuh sebatas pinggang ke atas terhenyak di lantai papan. Darah mengucur dari kepalanya yang pecah. Dua gadis pemain akrobat menjerit dan lari ke bawah panggung. Hampir semua orang keluarkan seruan kaget. Patih Kerajaan Wira Bumi, seorang perwira tinggi dan beberapa orang tokoh silat istana segera melompat ke atas panggung. “Cagak Lenting!” Seru Patih Kerajaan. Walau kepala orang itu nyaris hancur namun Wira Bumi masih bisa mengenali siapa adanya orang yang sebagian tubuhnya tergelimpang di lantai panggung. Perwira Tinggi dan seorang tokoh silat segera menarik tubuh orang berpakaian serba hijau itu yang memang adalah Cagak Lenting alias Si Mata Elang. “Kanjeng Patih, ada sepotong kertas menempel di punggung mayat!” Seseorang berteriak. Orang ini langsung mengambil potongan kertas itu dan menyerahkannya pada Patih Wira Bumi. Sang Patih karuan saja jadi kaget besar karena di atas kertas itu ada tulisan yang ditujukan padanya. Patih Kerajaan, siapapun namamu adanya! Malam ini aku menyelesaikan sebagian dari hutang piutang di antara kita. Kau dan Cagak Lenting telah membunuh Djaka Tua secara keji. Cagak Lenting telah menerima bagiannya. Tak lama lagi giliranmu akan sampai. Rahang Patih Kerajaan menggembung. Gerahamnya bergemeletakan. Kertas di tangan diremas hingga jadi bubuk! “Jahanam! Setan mana yang punya pekerjaan ini! Siapa kau! Unjukkan diri!” Patih Wira Bumi berteriak marah membuat panggung besar bergetar. Tiba-tiba terdengar teriakan. “Ada orang di atas atap!” Perwira Tinggi Suko Daluh bersama dua orang tokoh silat yaitu Ki Genta Kemiling dan Ki Wulur Jumena serta merta melompat dan melesat ke atas wuwungan Gedung Kepatihan. Saat itulah dua larik cahaya putih berkiblat disusul dua jeritan. Tubuh Perwira Tinggi dan salah seorang tokoh silat terpental lalu menggelundung jatuh ke tanah. Tubuh tak berkutik lagi, kepala pecah, nafas minggat sudah! Semua terjadi begitu cepat. Patih Wira Bumi bersama beberapa orang segera berlari mendatangi. “Ki Genta Kemiling. Apa yang terjadi?!” tanya Wira Bumi pada tokoh silat yang masih hidup. “Kami melihat dua orang di atas atap gedung. Ketika kami hendak menyerbu ada dua kilatan cahaya putih. Perwira Tinggi Suko Daluh dan tokoh silat Ki Wulur Jumena langsung roboh lalu jatuh ke tanah. Saya coba mengejar. Dua orang di atas atap lenyap. Yang kelihatan hanya asap putih seperti halimun.” Patih Kerajaan memperhatikan sekali lagi keadaan dua korban. “Cara kematian mereka sama dengan Cagak Lenting. Kepala hancur. Berarti pembunuh Cagak Lenting orangnya sama dengan pembunuh Suko Daluh dan Wulur Jumena.” Pertunjukan di Gedung Kepatihan berakhir dalam suasana kacau balau dan sangat tidak enak. Orang banyak pulang ke rumah masing-masing dengan berbagai macam cerita. Sebelum meninggalkan tempat itu Patih Kerajaan berkata pada orang-orangnya. “Tambah penjagaan di sekitar Gedung Kepatihan dan juga Keraton. Perketat pengawasan pada pintu gerbang utara dan barat.” Wira Bumi masuk ke dalam gedung. Istri keduanya yang datang menyambut disuruhnya masuk ke dalam kamar. Wira Bumi sendiri kemudian masuk ke sebuah kamar khusus yang terletak di bagian belakang Gedung Kepatihan, terpisah dari bangunan utama. Empat dari lampu minyak yang ada di dalam kamar dipadamkan. Lalu dia menanggalkan seluruh pakaian. Dalam keadaan tidak selembar benang pun menutupi tubuhnya Wira Bumi berbaring di atas tempat tidur. Mata terpejam, mulutnya berucap. “Nyai Tumbal Jiwo. Datanglah. Saya memerlukan dirimu.” *** NYI Retno Mantili lari sambil pegangi lengan kiri Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia berusaha menahan lari pemuda itu sambil berkata. “Wiro, saya harus kembali ke Gedung Kepatihan. Saya harus membunuh patih itu. Malam ini juga!” Wiro tidak perdulikan ucapan Nyi Retno. Dia lari terus. Di satu tempat yang dirasakannya cukup aman dan jauh di pinggiran kotaraja baru dia berhenti. “Nyi Retno, saya ingin bicara,” kata Wiro pula. “Saya ingin kembali ke kotaraja. Saya harus membunuh patih jahanam itu!” “Nyi Retno, ingat. Sebelumnya kau sudah berjanji hanya akan membunuh orang bernama Cagak Lenting. Hal itu sudah kau lakukan.” “Tapi patih jahanam itu masih hidup. Dia ikut bertanggung jawab atas kematian Djaka Tua.” “Nyi Retno, bagaimanapun jahatnya patih itu kau tak mungkin dan tidak boleh membunuhnya.” Nyi Retno tarik lepas lengannya yang dipegang Wiro. “Mengapa saya tidak boleh membunuh manusia jahat itu, Wiro.” Pendekar 212 garuk-garuk kepala. Akhirnya dia jawab juga pertanyaan Nyi Retno. “Patih Kerajaan yang bernama Wira Bumi itu adalah suami Nyi Retno. Ayah dari puteri Nyi Retno sendiri. Ayah Ken Permata.” Nyi Retno tersurut dua langkah mendengar kata-kata Wiro. Mulutnya tersenyum lalu senyum berubah menjadi tawa memanjang. “Saya tidak pernah punya suami! Kalaupun kelak saya punya, orangnya adalah kau! Saya suka padamu! Kemuning suka padamu!” Nyi Retno lalu mendekap boneka kayu, menciuminya sementara sepasang matanya tampak berkaca-kaca. “Kalau kau tidak mau jadi ayah Kemuning, saya mohon pergilah. Tinggalkan kami di sini. Saya mengerti di matamu kami yang malang ini hanyalah sampah yang menjadi beban!” “Ah, kumat lagi penyakitnya,” keluh Wiro dalam hati. Wiro belai rambut hitam di kuduk Nyi Retno. “Nyi Retno, jangan punya pikiran atau perasaan seperti itu. Semua tindakan saya hanya untuk melindungi Nyi Retno dan Kemuning. Ingat ucapan Ki Tambakpati? Kotaraja saat ini dijaga ketat. Mata-mata berkeliaran di mana-mana. Masih untung kita bisa masuk dan keluar dengan selamat. Soal Patih Wira Bumi itu harap bersabar. Kita cari saat yang baik. Kalau kita kembali ke Gedung Kepatihan saat ini terlalu berbahaya. Pengawalan pasti sudah dilipat ganda. Di setiap pelosok para tokoh silat kerajaan pasti berjaga-jaga. Bagaimana pendapat Nyi Rento?” Perempuan muda bertubuh mungil itu pegang tangan Wiro yang mengusap kuduknya. Lama dia terdiam sebelum akirnya berkata dengan suara lirih. “Saya menurut apa katamu saja, Wiro. Saya letih. Saya ingin istirahat. Mari kita cari tempat yang aman. Maukah kau menggendong saya dan Kemuning?” Wiro tersenyum. Dia bungkukkan tubuh sedikit lalu menggendong Nyi Retno di depan dada. Dalam hati Wiro berkata. “Pada siapa aku harus minta tolong? Bagaimana menjernihkan dan membuka pikiran perempuan ini. Bahwa Wira Bumi itu adalah suaminya? Mungkin hanya dengan cara mempertemukan Nyi Retno dengan Ken Permata? Tapi malam Satu Suro yang dikatakan Datuk Rao Basaluang Ameh itu masih lama. Sementara itu segala sesuatunya bisa terjadi. Heran, kenapa Datuk memerlukan waktu demikian lama untuk mempertemukan ibu dan anak?” Satu tangan hangat mengusap dagu Wiro. Tangan Nyi Retno. “Wiro, kau memikirkan apa?” tanya perempuan itu. Sambil melangkah Wiro menatap wajah Nyi Retno. Wajah itu tampak cantik sekali. Mata yang menatap bercahaya, bibir yang mengulum senyum, semua memancarkan ketulusan hati. Tak ada yang disembunyikan. Tiba-tiba saja Wiro merasakan dadanya berdebar. Hatinya bicara. “Ya Tuhan, bagaimana ini. Mengapa aku menjadi begitu sayang pada perempuan yang malang ini” Wiro tundukkan kepala. Sesaat lagi ciuman Wiro akan sampai, Nyi Retno pejamkan mata. Tapi yang dicium sang pendekar adalah boneka kayu dalam pelukan Nyi Retno. “Wiro, saya sedih sekali…” Ucap Nyi Retno perlahan. “Sedih kenapa Nyi Retno?” tanya Wiro. “Kau mencium anakku. Tapi tak mencium diriku.” “Gila! Bagaimana aku mau mencium istri orang!” Ucap Wiro dalam hati. Lalu dia merasakan tangan Nyi Retno menarik tengkuknya. Perlahan-lahan Wiro merunduk. Ciumannya singgah di kening perempuan itu. Nyi Retno menggeliat dalam dukungan sang pendekar. Matanya terbuka nyalang. Memancarkan cahaya kehidupan penuh harapan dan juga hasrat penuh gairah. “Wiro, saya mau kau membaringkan saya di tanah…” bisik Nyi Retno. “Saya letih, saya ingin tidur dalam pangkuanmu.” Wiro hentikan langkah. Bingung. Apakah dia akan mengikuti permintaan Nyi Retno? Jika hal itu dilakukan jangan-jangan semua kemesraan ini akan berlanjut lebih jauh. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba di dalam gelap terdengar suara perempuan bernyanyi. *** TUJUH MALAM gelap dan sejuk Saat yang indah memadu cinta Tapi apa nikmatnya Bercinta dengan perempuan gila Suara nyanyian ditutup dengan tawa bergelak. Wiro tersentak kaget. Nyi Retno Mantili cepat meluncur turun dari dukungan sang pendekar. Di dalam gelap, hanya terpisah kurang dari sepuluh langkah Wiro dan Nyi Retno melihat seorang perempuan muda berwajah putih berambut kacau balau tak karuan, mengenakan pakaian biru gelap, tegak sambil rangkapkan dua tangan di depan dada. Di pinggang tergantung enam buah kendi hitam berisi minuman keras. Sebuah tusuk konde perak tersemat di dada kiri baju birunya. “Nyi Bodong… Ah, bukan dia!” Ucapan Wiro tertahan. “Nyi Bodong seorang nenek, yang ini masih muda belia.” “Wiro, apakah kau lupa pada istri sendiri?!” Gadis bermuka putih berpakaian biru bertanya dengan wajah didongakkan, mata memandang tak berkesip pada Wiro. Seruas senyum bermain di bibir. Kejut Wiro bukan alang kepalang. “Aku, kau… Ah, bukan. Kau bukan Nyi Bodong, betul?” Si muka putih tertawa. “Bukan, betul, bukan, betul! Kau ini bicara apa? Aku Wulan Srindi istrimu. Apa kau tidak mengenali istrimu lagi? Wiro, perkawinan kita telah membuahi seorang jabang bayi berusia hampir tiga bulan. Apa kau tidak gembira mendengar kabar ini?” “Wulan Srindi!” ucap Wiro. Kagetnya masih belum hilang. “Apa yang terjadi dengan dirimu. Mengapa wajahmu menjadi putih?” Wiro masih tidak yakin kalau perempuan muka putih di depannya itu adalah Wulan Srindi. Namun suara orang ini memang sangat mirip dengan gadis anak murid Perguruan Silat Lawu Putih yang pernah dekat dengan dirinya itu. Nyi Retno menatap tak berkesip. Dalam hati dia berkata. “Jadi inilah gadis yang menurut Sinto Gendeng telah dihamili Wiro. Apakah dia lebih cantik dariku? Wajahnya aneh, putih seperti kapur. Kelihatannya otaknya tidak lebih baik dari otakku. Hik… hik… hik.” Nyi Retno tertawa sendiri. “Perempuan gila! Kenapa kau tertawa?! Kau mentertawai diriku?!” bentak Wulan Srindi. Nyi Retno melangkah maju. Wiro cepat pegang tangannya. “Nyi Retno, biarkan saja dia mau bicara apa. Jangan dilayani.” Bisik Pendekar 212. Walau tidak jadi mendatangi Wulan Srindi, namun Nyi Retno tidak tinggal diam. “Perempuan sinting menyebut aku perempuan gila! Hik… hik… hik! Kalau kau tadi ketawa mengapa aku tidak boleh?” “Perempuan setan! Kau merampas suamiku!” Nyi Retno pura-pura berbangkis dua kali lalu tertawa gelak-gelak. “Nikah belum kawin juga tidak! Sungguh aneh kau mengatakan orang ini suamimu! Lebih aneh lagi karena kau menebar kabar ke mana-mana bahwa kau dalam keadaan hamil! Hik… hik! Apa tidak malu?! Bisa bunting tapi tidak punya laki! Katakan saja terus terang. Setan mana yang menghamilimu!” “Perempuan lacur! Pandai bicara! Lihat ini!” Dari balik pakaiannya Wulan Srindi keluarkan sehelai sapu tangan biru muda yang dulu pernah diberikannya kemudian dikembalikan oleh Wiro. “Suamiku, apa kau masih ingat sapu tangan tanda percintaan kita?” Wiro terperangah. Matanya memperhatikan sapu tangan itu sebentar lalu alihkan perhatian pada tusuk konde perak yang tersemat di dada kiri baju biru perempuan muka putih. “Dua benda itu membuktikan dia memang Wulan Srindi. Tapi apa yang terjadi dengan wajahnya?” Wulan Srindi cabut tusuk konde perak yang tersemat di dada kirinya. “Suamiku, apa kau berani membantah bahwa tusuk konde milik gurumu ini adalah mas kawin tanda pernikahan kita?” “Wulan, aku tidak mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi. Namun kau tahu antara kita…” “Antara kita saling mencinta. Dan buah percintaan kita berdua adalah seorang jabang bayi berusia hampir tiga bulan yang ada dalam kandunganku!” Wulan Srindi usapusap perutnya. “Kau mau anak lelaki atau anak perempuan Wiro? Aku mau anak lelaki. Biar bentuknya tampan dan gagah seperti dirimu.” “Wulan, kau keliru kalau…” “Aku tidak pernah keliru mencintaimu, Wiro. Bayi yang aku kandung tidak keliru adalah anakmu, darah dagingmu!” Wulan Srindi sematkan kembali tusuk konde ke dada kiri baju birunya. “Wulan, aku mohon…” Wiro tak tahu lagi mau bicara apa. Wulan Srindi ambil dua buah kendi tanah. Satu dilemparkan ke arah Wiro. “Wiro, mari kita minum bersama! Sebagai rasa suka cita atas pertemuan ini. Setelah minum kau ikut aku. Buat apa jalan bersama perempuan lacur itu. Gila pula!” Agar kendi tidak jatuh ke tanah Wiro terpaksa menyambuti dengan tangan kiri. Sebaliknya dihina seperti itu Nyi Retno Mantili berteriak marah. Wiro cepat merangkul pinggang perempuan itu sambil berulang kali membujuk menenangkan. Tak perduli teriakan marah Nyi Retno, tenang saja Wulan Srindi teguk minuman keras dalam kendi hingga wajahnya yang putih menjadi merah. Tangan kanan masih memegangi Nyi Retno, Wiro pegang kendi tanah dengan tangan kiri. Minuman itu sama sekali tidak diteguknya. “Kau tak minum Wiro? Ah, aku tahu kau dari dulu memang bukan tukang minum. Tapi mungkin kau takut pada perempuan gila di sampingmu itu. Jika kau suka boleh saja kau berikan minuman itu padanya. Aku lihat tenggorokannya turun naik tanda haus sekali!” “Wulan, terima kasih. Aku memang tak biasa meneguk minuman keras. Harap kau mau menerima kembali.” Wiro lalu lemparkan kembali kendi berisi minuman ke arah Wulan Srindi. Tapi gadis ini tidak menyambuti hingga kendi jatuh ke tanah, pecah dan isinya tumpah. Bau minuman keras menebar di tempat itu. Wulan Srindi pandangi kendi yang pecah serta minuman yang membasahi tanah. Wajahnya nampak sedih namun sesaat kemudian dia tertawa gelak-gelak. Habis tertawa dia teguk minuman dalam kendi. Tiba-tiba, byuurr! Minuman disemburkan ke arah Nyi Retno Mantili. “Nyi Retno awas!” teriak Wiro sambil melompat dan menarik tangan Nyi Retno Mantili. Perempuan ini selamat dari semburan yang bisa membuat wajahnya cacat berlubang. Namun beberapa percikan minuman keras mengenai bahu kanan Wiro. Empat lubang mengepul di baju yang sebelumnya telah robek besar di bagian punggung. Dua percikan minuman keras menembus baju melukai bahu kanan Wiro hingga pemuda ini mengeluh kesakitan. Melihat apa yang terjadi Nyi Retno marah besar. Sambil berteriak dia melompat ke hadapan Wulan Srindi. “Setan gila! Kau apakan Wiro!” Tangan kanan yang memegang boneka diangkat tinggi-tinggi, diarahkan pada Wulan Srindi. Wulan cepat teguk minuman keras dan kembali hendak menyembur. Wiro tahu bagaimanapun kehebatan minuman keras yang disemburkan Wulan Srindi, namun dua larik cahaya putih yang bakal keluar dari sepasang mata boneka jauh lebih dahsyat. Dia menyaksikan sendiri bagaimana Hantu Pemerkosa alias Pangeran Matahari yang luar biasa tinggi ilmu silat dan kesaktiannya tidak sanggup menghadapi ilmu kesaktian yang disebut Pukulan Sepasang Cahaya Batu Kumala itu. Jika nekad Wulan Srindi bisa mati konyol. “Wulan! Lekas menyingkir!” Wulan tidak perduli. Ketika dua sinar berkiblat dia hanya berjingkat sedikit lalu menyembur lagi. “Celaka!” seru Wiro. Dia berusaha menarik tangan Nyi Retno yang memegang boneka kayu. Namun dua larik sinar putih sudah lebih dulu berkiblat. Wiro tidak mungkin lagi menolong Wulan Srindi. Di saat yang sangat menentukan bagi keselamatan jiwa Wulan Srindi, tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat disertai deru sambaran angin. Menyusul empat semburan dahsyat. Wuuutt! Dess! Dess! Dua larik cahaya putih bertabur ke berbagai penjuru dan lenyap. Nyi Retno berseru kaget, cepat melangkah mundur. Di depan sana terdengar suara pecahnya kendi tanah disertai pekik Wulan Srindi lalu suara orang mengeluh pendek. Ketika memandang ke depan Wiro melihat Wulan Srindi berdiri dipegangi seorang lelaki gemuk pendek berwajah merah menyeramkan. Pada cuping hidung sebelah kiri menyantel sebuah anting akar bahar. Rambut hitam sebahu awut-awutan. Pakaian baju dan celana hitam gombrong. Di tangan kirinya dia memegang sebuah kendi besar hitam sementara di pinggang menggelantung sebelas kendi lagi. Orang yang memegangi Wulan Srindi tampak tegak terhuyung sambil pegangi dada. Dia merasa ada cairan asin dalam mulutnya. Darah! Tidak tunggu lebih lama dia segera teguk minuman keras dalam kendi. Lalu alirkan hawa sakti dari perut ke dada. Di sampingnya Wulan Srindi berdiri dengan muka lebih putih. Di sudut bibir darah meleleh. Wiro yang mengenali siapa adanya lelaki gemuk pendek berwajah seram yang membekal selusin kendi berisi minuman keras itu serta merta berseru. Lalu berlari mendatangi. Setelah membungkuk dalam-dalam memberi hormat, Wiro berkata. “Iblis Pemabuk! Kami berdua mohon maaf kalau telah bertindak lancang. Saya siap mewakilkan diri menerima hukuman!” Si gemuk bermuka merah berjuluk Iblis Pemabuk teguk minuman keras dalam kendi. Begitu isinya kosong kendi langsung dibanting ke tanah hingga pecah berantakan. Orang ini lalu tertawa gelak-gelak. “Pendekar 212 Wiro Sableng! Aku gembira kau masih mengenali si jelek tukang mabuk ini! Ha… ha… ha! Kami berdua tidak kurang suatu apa. Siapakah perempuan muda di sampingmu itu? Gebukannya boleh juga.” “Namanya Nyi Retno Mantili…” “Apa?!” Sepasang mata Iblis Pemabuk tampak melotot. “Nyi Retno Mantili. Bukankah dia…” Iblis Pemabuk walau tukang mabuk dan berkelakuan aneh tapi punya rasa kebijaksanaan yang dalam. Dia tidak melanjutkan kata-katanya walau sudah tahu siapa adanya Nyi Retno Mantili. “Panjang ceritanya, tak dapat saya beri tahu sekarang. Saya tengah berusaha mengobati kelainan…” Wiro coba memberi keterangan singkat. “Aku tahu… Aku tahu!” kata Iblis Pemabuk pula. “Ilmu yang dikeluarkannya melalui boneka tadi adalah ilmu langka yang sangat dahsyat. Kalau aku tidak keliru bernama Pukulan Sepasang Cahaya Batu Kumala. Pemiliknya hanya satu orang. Kakek sakti di puncak Gunung Gede. Apa hubungan perempuan muda itu dengan Kiai Gede Tapa Pamungkas?” “Nyi Retno murid Kiai Gede Tapa Pamungkas.” menerangkan Wiro. “Ah…” Iblis Pemabuk delikkan mata sesaat, lalu angguk-anggukan kepala dan akhirnya mengambil kendi baru lalu meneguk isinya. “Iblis Pemabuk, kalau saya boleh bicara empat mata denganmu. Saya…” “Tidak usah. Tidak perlu. Aku tahu apa yang ada di benakmu dan apa yang hendak kau sampaikan.” “Tapi ini urusan besar menyangkut…” “Urusan besar, urusan kecil semua aku sudah tahu. Urusanmu dan urusanku ada kesamaan. Tapi yang aku hadapi jauh lebih parah…” “Guru, aku tak suka kau bicara berlama-lama di tempat ini. Wiro suamiku, lebih baik kau ikut kami daripada ikut perempuan gila itu.” Wulan Srindi memotong ucapan Iblis Pemabuk. “Cah Ayu, kau betul. Kita harus segera melanjutkan perjalanan. Namun untuk saat ini kita belum perlu bergabung dengan Wiro…” “Aku tak suka kau bicara begitu! Kau guru jahat! Kau hanya memperhatikan kepentingan orang lain. Tidak mau memperhatikan kepentingan murid sendiri!” Dengan muka masam Wulan Srindi balikkan badan. “Wulan, tunggu dulu!” Wiro berseru. Wulan Srindi hentikan langkah. “Eh, kau mau ikut aku? Kalau Guru tak mau kita pergi berdua saja?” “Wulan, kuharap kau mau berbaik hati mengembalikan tusuk konde milik Eyang Sinto Gendeng. Aku akan sangat berterima kasih…” “Enak saja mulutmu bicara! Kau sengaja hendak menghilangkan tanda perkawinan kita?!” “Eyang Sinto menugaskan aku harus mendapatkan tusuk konde itu kembali.” “Katakan saja kau tak pernah bertemu dengan aku! Apa sulitnya berdusta dengan nenek culas itu?!” Wiro menggaruk kepala. “Kalau kau tak mau memberikan aku tak memaksa…” Kata sang pendekar dengan suara perlahan. Dengan apa yang telah dilakukan Sinto Gendeng terhadapnya, sebenarnya Wiro tak mau memaksa diri mendapatkan tusuk konde itu. Wiro berpaling pada Iblis Pemabuk. “Iblis Pemabuk, sebenarnya kau hendak menuju ke mana?” “Kami dalam perjalanan ke Plaosan. Tapi Cah ayu ini selalu berjalan duluan. Untung tadi aku tidak terlambat datang. Kalau tidak dia sudah konyol saat ini.” “Ada apa di Plaosan?” Wiro bertanya lagi. “Orang-orang Keraton Kaliningrat kabarnya ada di situ.” Lalu Iblis Pemabuk mendekati, menepuk bahu kanan Wiro yang terluka akibat percikan minuman keras yang tadi disemburkan Wulan Srindi. Saat itu juga dua lobang luka menjadi kering. Sambil menepuk Iblis Pemabuk berbisik pada Wiro. “Muridku diperkosa dua orang anggota Keraton Kaliningrat. Yang satu berhasil kami bunuh. Satunya saat ini mungkin berada di Plaosan. Kabarnya orang-orang Keraton Kaliningrat ada di sana. Sudah, aku pergi sekarang!” “Iblis Pemabuk, saya sangat berterima kasih.” Iblis Pemabuk tarik tangan Wulan Srindi. Yang ditarik berusaha berontak sambil berteriak-teriak. “Aku mau ikut suamiku! Aku mau ikut Wiro. Lepaskan! Lepaskan!” Namun akhirnya gadis muka putih itu terpaksa ikut juga bersama gurunya. “Guru mertuamu tampaknya sangat baik padamu.” Nyi Retno keluarkan ucapan ketika Wiro mendatanginya. “Guru mertua? Maksudmu?” Wiro tak mengerti namun begitu sadar meledak tawanya. “Kau kelihatan luar biasa gembira,” Nyi Retno kembali menggoda. “Apa karena mertuamu juga menyusupkan tusuk konde perak itu ke pinggang bajumu?” Wiro terkejut dan memeriksa bajunya. Astaga! Ternyata tusuk konde milik Eyang Sinto Gendeng yang tadi tersemat di dada kiri Wulan Srindi kini tersemat di pinggang baju yang dikenakannya. “Aku tidak tahu bagaimana kejadiannya…” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Sebelum Iblis Pemabuk mendekatimu, dia lebih dulu mengambil tusuk konde. Dia lalu menepuk bahumu, bicara denganmu. Saat itulah tanpa diketahui perempuan gila itu, tusuk konde disusupkan ke bajumu. Iblis Pemabuk juga menyembuhkan dua lubang luka di bahumu dengan tepukannya tadi. Walau ujudnya sangat menyeramkan tapi dia benar-benar orang baik.” “Kau betul Nyi Retno. Iblis Pemabuk orang baik. Tapi dia bukan guru mertuaku,” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Betul? Jangan-jangan kau berdusta,” kata Nyi Retno pula. Merasa digoda Wiro tertawa gelak-gelak, tangkap pinggang perempuan mungil berwajah cantik ini, dipanggul lalu dilarikan. “Hai! Mengapa kau lari ke jurusan sini? Ini arah larinya guru mertuamu!” teriak Nyi Retno Mantili. “Pasti kau mau mengejarnya! Atau mungkin juga mengejar anak muridnya! Hik… hik… hik!” Sambil lari Wiro gelitiki pinggang Nyi Retno berulang kali hingga perempuan ini tertawa keras kegelian. “Nyi Retno, jangan kau salah mengira. Ingat surat daun lontar yang diberikan kusir gerobak?” “Saya ingat. Memangnya kenapa?” “Orang-orang Keraton Kaliningrat meminta saya datang ke Candi Pangestu di Plaosan. Tadi Iblis Pemabuk mengatakan ingin ke Plaosan karena mau mencari pemerkosa muridnya yang orang Keraton Kaliningrat. Nyi Retno keberatan kalau kita mengikuti mereka?” Nyi Retno diam saja. “Ah, dia cemburu,” ucap Wiro dalam hati. Lalu berkata. “Kalau Nyi Retno tidak suka, saya tidak memaksa.” “Wiro, turunkan saya…” Wiro hentikan lari. Nyi Retno turun dari gendongan Wiro. Sambil mendekap boneka kayu ke dada dia berkata perlahan. “Wiro, jika kau ingin pergi ke mana kau suka silahkan saja. Saya tidak bisa melarang. Tinggalkan saya dan Kemuning di tempat ini.” “Nyi Retno. Maksud saya…” Wiro hendak berjongkok di samping perempuan itu. Namun tiba-tiba ada kabut aneh menutupi tubuh Nyi Retno. Wiro ulurkan tangan. Dia hanya menyentuh angin. Sosok Nyi Retno lenyap dari pemandangan. “Nyi Retno, kau ke mana?! Nyi Retno!” Wiro berteriak. Memanggil berulang kali sambil melangkah kian kemari. Namun Nyi Retno seperti lenyap ditelan bumi. “Dia mempergunakan ilmu melenyapkan diri. Pasti didapat dari Kiai Gede Tapa Pamungkas. Sampai pagi aku berteriak dan mencari akan sia-sia saja.” Wiro terduduk di tanah, geleng-geleng kepala lalu usap muka berulang kali. Setelah memandang berkeliling, sambil menekap wajah Wiro berkata. “Nyi Retno, saya tahu kau masih ada di sekitar sini. Saya tahu kau melihat saya tapi saya tidak bisa melihatmu. Saya ke Plaosan bukan karena apa. Saya merasa sesuatu akan terjadi di sana. Saya ingin bersamamu lagi dan Kemuning…” Mendadak ada suara orang tersedu menangis. “Nyi Retno… ?” Wiro berdiri. Memperhatikan berkeliling. Dia hanya melihat kegelapan. Udara malam terasa dingin. Perlahanlahan dia berdiri. Sebelum tinggalkan tempat itu sekali lagi dia memeriksa kalau-kalau Nyi Retno sudah mau menunjukkan diri. Namun perempuan mungil berwajah cantik itu tetap tak kelihatan. “Aku merasa berdosa. Seharusnya aku menjaga diri dan hatinya baik-baik…” Wiro tarik nafas dalam lalu dengan hati berat melangkah pergi. (Mengenai kisah Iblis Pemabuk silahkan baca episode berjudul “Kiamat Di Pangandaran”). *** DELAPAN WULAN Srindi yang berada di depan Iblis Pemabuk tiba-tiba hentikan lari. Mata memandang ke arah reruntuhan bangunan candi. Kepala mendongak, hidung menghirup dalam-dalam. “Guru, aku mencium bau daging panggang. Sedap sekali! Perutku jadi terasa perih, lapar.” Iblis Pemabuk berdiri di samping sang murid. Setelah meneguk minuman keras dalam salah satu kendi dia menunjuk ke arah candi. “Baunya datang dari arah candi sana. Kalau aku tidak salah itu Candi Pangestu. Ayo kita menyelidik. Siapa tahu orang-orang Keraton Kaliningrat sedang pesta daging panggang. Lumayan kalau kebagian.” Begitu memutari candi, walau guru dan murid itu tidak menemui siapa-siapa namun mereka melihat kayu bekas perapian yang masih menyala serta dua kelelawar panggang yang masih utuh tergeletak di tanah. “Aneh, ada orang memanggang dua kelelawar. Lalu dibuang begitu saja.” Wulan Srindi keluarkan ucapan. Rasa laparnya serta merta sirna. Tadinya dia menyangka paling tidak akan melihat ayam atau kambing hutan panggang. Ternyata kelelawar yang sudah berselomotan tanah. Iblis Pemabuk teguk lagi minuman keras dalam kendi. Dengan langkah terhuyung dia berjalan ke arah tangga candi yang sudah rusak. Manusia bertubuh gemuk pendek ini duduk di reruntuhan tangga. Dua tangan menopang dagu, mata memandang kian kemari. “Ada tanda-tanda bekas perkelahian di tempat ini.” Iblis Pemabuk berkata. Tiba-tiba dia bangkit berdiri. Melangkah mendekati sebuah benda yang tergeletak di tanah, lalu mengambilnya. “Patahan tongkat. Milik siapa?” Patahan tongkat yang ditemukan Iblis Pemabuk ini adalah milik Sinto Gendeng yang patah waktu menggebuk Ni Serdang Besakih. “Guru! Lekas ke sini!” Dari arah candi sebelah kiri Wulan Srindi berseru. Iblis Pemabuk buang patahan tongkat. Ketika dia mendatangi Wulan Srindi tengah berdiri di depan seonggok benda putih berbentuk tubuh manusia. Iblis Pemabuk membungkuk. Telapak tangan kanan dikembangkan lalu didekatkan pada onggokan benda putih. “Edan!” Si gemuk pendek yang memakai anting akar bahar di salah satu cuping hidungnya ini memaki sambil tarik tangannya. “Ada apa Guru?” tanya Wulan Srindi. “Bangkai manusia ini masih panas!” jawab Iblis Pemabuk. “Pasti dia menemui ajal di tangan musuh berkepandaian sangat tinggi. Pukulan sakti apa yang telah membuat tubuhnya menemui ajal mengerikan begini rupa?” “Guru, apakah tanda-tanda orang Keraton Kaliningrat yang kita cari ada di sini?” Iblis Pemabuk tak menjawab. Matanya kembali melihat sesuatu di tanah. “Cah Ayu, coba kau perhatikan tandatanda yang ada di tanah sebelah sini. Sepertinya ada satu benda diseret ke jurusan sana…” Wulan Srindi dan Iblis Pemabuk melangkah mengikuti tanda di tanah. “Guru, saya menemukan sesuatu!” Sekonyong-konyong Wulan Srindi berkata lalu membungkuk mengambil sebuah benda yang tergeletak di tanah. Benda ini ternyata adalah gulungan surat daun lontar yang terjatuh dari pinggang Sinto Gendeng. Iblis Pemabuk mengambil gulungan daun lontar itu lalu membukanya. “Ada tulisannya,” ucap Iblis Pemabuk. “Jangan-jangan petunjuk harta karun. Hik… hik… hik!” Kata Wulan Srindi lalu tertawa cekikikan. Karena keadaan gelap Iblis Pemabuk membawa surat daun lontar ke dekat perapian. Wulan Srindi ikut membaca apa yang tertulis di daun lontar. Guru dan murid samasama terkejut dan saling pandang. “Surat ini jelas ditujukan pada Wiro Sableng. Waktu bertemu, pemuda itu sama sekali tidak menceritakan perihal surat ini.” “Yang jadi pertanyaan, bagaimana surat ini bisa berada di sini?” ujar Wulan Srindi pula. “Mungkin Wiro belum menerima surat ini. Mungkin orang-orang Keraton Kaliningrat belum sempat menyerahkan padanya. Tapi surat ini sudah agak lecak. Tanda pernah dibuka dan digulung berulang kali.” Iblis Pemabuk berpikir terus lalu teguk minuman keras dalam salah satu kendi sampai mukanya menjadi sangat merah. Wulan Srindi memandang pada onggokan tubuh putih. Wajahnya berubah. “Guru, jangan-jangan yang jadi mayat putih di sana itu suamiku, Wiro.” “Mana bisa jadi. Wiro berada di belakang kita. Cukup jauh dari sini. Kalaupun dia ke sini memenuhi isi surat, tidak mungkin dia mendahului kita. Satu-satunya jawaban atas apa yang terjadi di sini, kita harus mengikuti tanda bekas seretan di tanah. Jika orang menyeret sesuatu, tak mungkin berjalan cepat. Kita bisa mengejar mereka Wulan. Ikuti aku.” “Tunggu dulu, Guru! Kita ke Plaosan mencari pemerkosaku. Orang Keraton Kaliningrat. Bukan mengejar orang yang diseret atau…” “Cah Ayu, aku rasa semua ini ada sangkut pautnya dengan orang-orang Keraton Kaliningrat. Kau lihat saja nanti!” Iblis Pemabuk lalu menarik tangan Wulan Srindi. Berlari hampir sepeminuman teh, di satu tempat Iblis Pemabuk memberi tanda lalu cepat menyelinap ke balik sebatang pohon besar. Dia memegang pundak muridnya dan berkata. “Lihat di depan sana. Ada orang menyeret sesuatu dalam jaring. Jaring itu bukan jaring biasa karena memancarkan cahaya bergemerlap dan mengepulkan asap. Aku pernah mendengar kabar tentang sebuah jaring yang luar biasa hebatnya. Jangankan manusia, hantu atau jin sekalipun jika kena dijaring tak bakal bisa lolos! Namanya Jaring Neraka. Pemiliknya seorang tokoh silat biasa dipanggil dengan sebutan Embah Bejigur. Di dalam jaring aku lihat meringkuk satu sosok manusia. Mungkin sudah mati, mungkin cuma pingsan. Orang yang menyeret jaring. Botak, cebol, kumis dan janggut putih panjang. Pasti dia si Embah Bejigur.” Yang diperhatikan Wulan Srindi saat itu bukanlah jaring begemerlap atau lelaki katai botak yang menyeret jaring, apalagi ingin mencari tahu siapa sosok yang ada dalam jaring. Gadis ini pelototkan mata ke arah perempuan tua berpakaian kuning ketat yang melangkah di samping lelaki botak cebol. “Guru, kau mengenali nenek berhidung bengkok itu? Aku tak bisa lupa. Dia adalah salah satu pentolan orang-orang Keraton Kaliningrat. Namanya Ni Serdang Besakih. Jahanam tua itu pernah menamparku dua kali sewaktu aku berada dalam keadaan tertotok. Saatnya aku membalaskan sakit hati!” Iblis Pemabuk teguk minuman keras dalam kendi. “Ya, aku mengenali. Dia ada di hutan Ngluwer waktu kita membunuh pemerkosamu yang bernama Kuntorandu.” “Aku akan membunuh tua bangka jahanam itu sekarang juga!” Habis berkata begitu Wulan Srindi langsung berkelebat. Iblis Pemabuk berusaha mencegah. Tapi terlambat. Sang murid telah melesat. Selagi tubuhnya melayang di udara Wulan Srindi ambil sebuah kendi yang tergantung di pinggang. “Nenek jahanam! Terima kematianmu!” Wulan teguk minuman keras dalam kendi lalu menyembur ke arah Ni Serdang Besakih. Yang diserang tentu saja kaget bukan main. Apalagi ketika mengenali si penyerang adalah gadis muka putih berkepandaian tinggi yang tempo hari pernah membuat kehebohan berdarah di hutan Ngluwer sewaktu ada pertemuan antara para tokoh Keraton Kaliningrat. Dengan melompat mundur sejauh empat langkah Ni Serdang Besakih berhasil selamatkan diri dari semburan minuman keras yang sangat berbahaya itu. “Gadis keparat muka putih! Kau datang mengantar nyawa! Mana gurumu si muka dedemit itu? Kalau kalian datang berdua biar kuhabisi sekaligus!” “Nenek jelek. Aku memang ada di sini!” Satu suara menyahuti. Di lain kejap Iblis Pemabuk sudah ada di depan Ni Serdang Besakih, teguk minuman keras dalam kendi sampai habis lalu jatuhkan kendi ke tanah hingga pecah. Sambil gosok-gosokkan telapak tangannya satu sama lain Iblis Pemabuk tertawa mengekeh. “Tidak dinyana kau masih ingat diriku! Memangnya kau kangen padaku?” “Wong edan! Kambing betina saja jijik padamu!” damprat Ni Serdang Besakih. Iblis Pemabuk kembali tertawa. Dalam tertawa dia melirik ke arah jaring. Kagetnya bukan alang kepalang. Di dalam gelap dia masih bisa mengenali orang yang mendekam di dalam jaring. Sinto Gendeng! “Ahai! Sudah lengkap rupanya orang yang minta mati!” Ni Serdang Besakih berucap. “Tapi sebelumnya aku akan minta petunjuk sahabatku ini dulu.” Ni Serdang Besakih berpaling pada lelaki botak katai yang tegak di sampingnya memegang buhul jaring. “Sobatku Embah Bejigur, pemilik Jaring Neraka. Menurutmu apakah guru dan murid ini kita masukkan saja dalam jaring, ditumpuk jadi satu dengan Sinto Gendeng nenek bau pesing itu. Atau mereka kita habisi sekarang saja!” Wulan Srindi terkejut besar. Dia baru tahu kalau orang yang disekap dalam jaring adalah Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro Sableng yang berarti adalah guru mertuanya! Iblis Pemabuk juga kaget, namun kagetnya berbeda dengan Wulan Srindi. Kalau sang murid terkejut begitu mengetahui siapa yang ada di dalam jaring, maka sang guru kaget mendengar disebutnya nama Embah Bejigur serta nama Jaring Neraka. Kakek muka merah ini sama sekali tidak menaruh jerih terhadap orang bernama Embah Bejigur. Yang membuatnya risau adalah ketika mengetahui jaring di mana Sinto Gendeng berada adalah Jaring Neraka. Hampir tidak ada ilmu dan senjata yang mampu membobol jaring itu! Orang yang terjebak di dalamnya jangan harap bisa lolos kecuali dilakukan oleh pemiliknya sendiri yaitu Embah Bejigur. Embah Bejigur usap-usap kepala botaknya. “Jaring Neraka terlalu kecil. Tidak cukup untuk menumpuk mereka bertiga. Jadi baiknya dua orang ini dibereskan saja sekarang juga! Aku…” Si botak tidak dapat teruskan ucapannya karena saat itu didahului bentakan dahsyat Wulan Srindi telah menerjang ke arahnya sambil semburkan minuman keras. Ni Serdang Besakih sendiri juga tidak bisa ayal-ayalan lagi karena saat itu dari depan Iblis Pemabuk mendatangi dengan mulut penuh cairan. Begitu mulut dibuka maka menyemburlah minuman keras ke arah muka dan dada. Si nenek yang sudah tahu dan melihat sendiri keganasan semburan minuman keras tersebut secepat kilat melompat satu tombak ke udara. Dia terpekik pucat karena salah satu ujung kaki celana kuningnya terkena sambaran minuman keras hingga berlobang besar dan kepulkan asap! Masih untung daging kakinya tidak terkena semburan. “Pemabuk keparat! Makan tanganku!” Ni Serdang Besakih berteriak marah. Sambil melayang turun dia lancarkan serangan Tangan Iblis Membongkar Berhala. Namun sebelum serangan itu melesat dia lebih dulu menghantam dengan dua tendangan berantai sebagai tipuan. Dan ternyata lawan memang kena ditipu! Ketika dua tendangan datang beruntun Iblis Pemabuk miringkan tubuh ke kanan. Tangan kiri dipukulkan ke atas dan mulut yang sudah diisi minuman keras menyembur. Didahului suara tawa melengking Ni Serdang Besakih liukkan tubuh. Pukulan tangan kiri Iblis Pemabuk lewat di samping kiri, semburan minuman keras menyambar udara kosong di sebelah pinggul kanan. Dua kaki si nenek yang menendang bergerak ke atas lalu tubuhnya menukik ke bawah, tangan kanan melesat menyambar ke arah batok kepala Iblis Pemabuk. Ini adalah jurus serangan dengan gerakan yang sulit namun luar biasa berbahaya. “Oala!” Iblis Pemabuk bukan tokoh silat kemarin. Begitu sadar kalau dirinya tertipu secepat kilat dia jatuhkan diri ke tanah. Kaki kanan membuat gerakan seperti kuda menendang. Dua orang yang berkelahi ini sama-sama menjerit. Iblis Pemabuk merasa kepalanya seperti terbongkar ketika serangan lima jari tangan maut Ni Serdang Besakih masih sempat menjambak rambutnya. Sebagian rambut di sebelah kanan batok kepala Iblis Pemabuk tercabut. Kulit kepala terkelupas. Lelehan darah mengucur ke kening dan pipi! Untuk beberapa lama tokoh silat ini hanya bisa tegak tertegun sementara pemandangan mata sebelah kanan menggelap sedang yang kiri berkunang-kunang! Meski berhasil menciderai lawan namun Ni Serdang Besakih sendiri menerima hajaran yang cukup keras. Tendangan kaki kanan Iblis Pemabuk mendarat tepat di tulang tunggirnya. Si nenek menjerit, tubuh mengapung sebentar di udara lalu jatuh menungging di tanah. “Ni Serdang Besakih, mengapa kau menungging?!” Iblis Pemabuk masih bisa balas mengejek walau tengah mengalami sakit luar biasa di bagian wajah dan kepala. “Mau menggodaku berbuat mesum? Ha… ha… ha. Aku tidak bergairah! Kambing jantan saja jijik melihatmu! Ha… ha… ha!” Iblis Pemabuk ambil lagi satu kendi minuman baru. Selagi dia meneguk minuman itu tiba-tiba masih dalam keadaan menungging di tanah Ni Serdang Besakih keluarkan suara menggerung. Seperti seekor harimau tubuhnya melesat ke depan. Lima jari tangan terpentang. Dua-duanya dalam gerak jurus serangan Tangan Iblis Membongkar Berhala. Saat itu pemandangan Iblis Pemabuk masih dipengaruhi cidera di kepalanya. Dia baru sadar kalau orang menyerang ketika dua tangan Ni Serdang Besakih hanya tinggal satu jengkal dari perut! “Tua bangka hidung bengkok! Kau mencari mampus!” Secepat kilat Iblis Pemabuk hantamkan kendi tanah di tangan kanannya ke kepala Ni Serdang Besakih. Praakk! Kendi dan kepala sama-sama pecah. Si nenek tewas saat itu juga! Tapi Iblis Pemabuk sendiri harus membayar mahal kematian lawannya itu dengan nyawa sendiri. Tangan kiri Ni Serdang Besakih berhasil menjebol perutnya hingga robek besar. Luar biasa mengerikan. Iblis Pemabuk menjerit satu kali lalu terguling ke tanah. Jatuh di samping mayat Ni Serdang Besakih! “Guru!” teriak Wulan Srindi. Dia segera tinggalkan Embah Bejigur yang tengah diserangnya habis-habisan. Ketika dia jatuhkan diri memeluki mayat Iblis Pemabuk, Embah Bejigur pergunakan kesempatan untuk membokong. Dari balik pakaian gombrongnya orang ini keluarkan sebilah senjata berbentuk tombak pendek bermata tiga. Pastilah ini sebuah senjata mustika sakti karena tiga ujung tombak memancarkan cahaya kuning terang di dalam kegelapan malam. Sesaat lagi tombak bermata tiga itu akan menancap di punggung kiri Wulan Srindi, siap menembus tubuh sampai ke jantung, tiba-tiba dari dalam gelap melesat satu bayangan putih. Disusul berkiblatnya dua larik sinar hijau laksana dua bilah pedang menyambar. Embah Bejigur berteriak kaget. Dia berusaha mencari selamat dengan melompat mundur sambil babatkan tombak bermata tiga ke arah dua larik sinar hijau untuk melindungi diri. Wuuttt! Wuuutt! Dua larik sinar hijau laksana sepasang pedang panjang memapas ganas mengerikan. Tombak bermata tiga terlepas mental terkutung jadi tiga bagian. Begitu jatuh tergeletak di tanah tiga patahan tombak langsung leleh! Keadaan Embah Bejigur jauh lebih buruk dan mengerikan dari tombaknya. Dada dan pinggang putus disambar dua larik sinar hijau. Tiga potongan tubuh terpental ke tiga arah, mengepul leleh berubah menjadi hijau kehitaman! “Wulan! Kau tak apa-apa?!” Wiro mendatangi Wulan Srindi, memegang bahu gadis ini dan mengangkatnya. “Nenek jahanam itu membunuh guruku!” teriak Wulan Srindi. Dia lepaskan dekapannya dari tubuh Iblis Pemabuk. Didahului satu teriakan keras Wulan tendang mayat Ni Serdang Besakih hingga mencelat jauh di samping candi. Lalu gadis ini merangkul Wiro dan menjerit-jerit tiada henti. Wiro coba menenangkan sambil menepuk-nepuk bahu Wulan Srindi. “Anak setan, syukur aku belum menemui ajal! Kalau tidak mana aku tahu kau memiliki ilmu Sepasang Pedang Dewa itu? Dari mana kau dapat ilmu langka itu?!” Astaga! Meski sekujur tubuh babak belur berkelukuran ternyata si nenek masih sadar, masih hidup! Kejut Wiro bukan alang kepalang. Menoleh ke kiri dia melihat satu onggokan jaring bercahaya dan di dalam jaring itu mendekam gurunya. Walau gelap namun Wiro dapat melihat keadaan si nenek. Mata kiri bengkak lebam. Lengan kiri terkulai tanda patah. “Eyang Sinto! Siapa yang berani berbuat keji seperti ini padamu?!” teriak Pendekar 212. Di dalam jala Sinto Gendeng tertawa kecut. “Orangnya yang barusan kau bunuh.” Jawab Sinto Gendeng. “Nek, sudah, jangan banyak bicara dulu. Kau cidera berat luar dalam. Saya akan membebaskanmu dari jaring celaka itu!” Wiro berusaha merobek jaring tapi sia-sia saja. Ketika dia memaksa dan lipat gandakan tenaga dalam jari-jari tangannya malah terkelupas! Dari dalam jaring Sinto Gendeng menarik nafas lalu berucap perlahan. “Di dunia ini hanya ada tiga senjata yang mampu memutus Jaring Neraka. Pertama Keris Naga Kopek pusaka kerajaan, ke dua Pedang Naga Suci 212 dan ke tiga Kapak Naga Geni 212…” Wiro terkesiap mendengar kata-kata si nenek. Sebelumnya dia sudah berbulat tekat. Apapun yang terjadi dia tidak akan mempergunakan senjata serta ilmu warisan sang guru. Namun dalam keadaan seperti itu apakah dia akan bertahan dan bertetap hati? Apakah dia akan membiarkan sang guru mendekam di dalam Jaring Neraka seumur-umur? Wiro raba pinggangnya. Kapak Naga Geni 212 tak ada lagi di tempat dia biasa menyisipkan. Diam-diam Sinto Gendeng memperhatikan Wiro. Tadi ketika pemuda ini membelakanginya dia sempat melihat cacat panjang pada punggung yang tersingkap. Sinto Gendeng pencongkan mulut. Dadanya seperti dipelintir. Hatinya mendadak perih. Setelah mampu menenangkan diri dalam hati nenek ini berucap. “Aku tidak melihat anak setan ini membekal kapak saktinya. Jangan-jangan sudah dibuang karena jengkel padaku. Ah, akupun tak meminta diselamatkan. Mungkin lebih baik kalau akhirnya aku menemui ajal dalam jaring celaka ini.” Wiro masih tegak terdiam di tempatnya. Mendadak muncul bayangan sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas. Orang sakti ini anggukkan kepala lalu lenyap. Wiro ingat apa yang terjadi dan telah dilakukan sang Kiai sewaktu dia berada di dalam telaga. Kapak Naga Geni 212 dan batu sakti telah dimasukkan orang tua itu ke dalam tubuhnya. Untuk beberapa lamanya sang pendekar merasa bimbang. Saat itulah tiba-tiba muncul bayangan Datuk Rao Basaluang Ameh. Seperti Kiai Gede Tapa Pamungkas orang tua ini juga memandang padanya dan anggukkan kepala. “Kapak Naga Geni 212!” Wiro berteriak sambil tangan kanan diangkat ke atas. Selarik cahaya putih seperti kilat kecil berkiblat di ujung tangan kanan Wiro. Di lain kejap Kapak Naga Geni 212 telah tergenggam di tangan kanan itu, menebar cahaya terang menyilaukan. Selagi Sinto Gendeng terbengong-bengong melihat apa yang terjadi, kapak sakti di tangan Wiro berkelebat tiga kali berturut-turut. Suara seperti ribuan tawon mengamuk melanda seantero tempat. Cahaya putih perak menyilaukan berkiblat angker dan hawa panas menghampar. Di dalam jaring Sinto Gendeng keluarkan suara mengerang. Craass! Craass! Craasss! Bunga api berletupan. Jaring Neraka mengepulkan asap dan robek besar di tiga tempat. Wiro sendiri terpental. Dada mendenyut sakit. Kapak Naga Geni 212 hampir terlepas dari pegangan. Dua lutut terasa goyah. Waktu dia jatuh berlutut di tanah Kapak Naga Geni 212 tidak ada lagi di tangan kanannya! “Wiro! Gurumu dalam keadaan terluka luar dalam! Biar saya merawatnya!” Tiba-tiba satu suara menggema di kegelapan malam. Wiro tersentak kaget dan cepat berdiri. “Nyi Retno?!” Memandang berkeliling Wiro tidak melihat perempuan itu. Tapi begitu dia membalik Sinto Gendeng tak ada lagi di tempatnya semula. Ketika dia memperhatikan ke depan, dalam kegelapan dia melihat kabut aneh mengambang di udara. Wiro mengejar namun kabut keburu lenyap. “Apa yang terjadi? Nyi Retno, apa yang kau lakukan? Kau bawa ke mana Eyang Sinto?” Wiro melangkah ke halaman depan Candi Pangestu. Di sini dua kakinya terpaku di tanah. Wulan Srindi tak ada lagi di tempat itu. Mayat Iblis Pemabuk ikut lenyap! Wiro terduduk di tanah. “Apa yang harus aku lakukan sekarang? Mengejar Nyi Retno? Ke mana…?” Wiro usap mukanya berulang kali. “Hanya ada satu cara. Aku harus mengerahkan ilmu Menembus Pandang.” Tiba-tiba Wiro angkat kepala, memandang berkeliling. Walau kaget dia tetap berlaku tenang. Di sekitarnya puluhan orang berseragam hitam telah mengurung tempat itu. Pada dada kiri baju hitam yang mereka kenakan ada sulaman rumah joglo dan keris bersilang. Sebagian dari mereka menghunus golok. Di samping kanan berdiri seorang lelaki muda bertubuh tegap berwajah gagah, diapit dua orang kakek bermuka hitam dan sama-sama mengenakan jubah merah. “Pendekar 212! Keraton Kaliningrat mengundangmu untuk bertemu dengan segala kehormatan. Kami menjanjikan jabatan tinggi dengan segala kemuliaan. Tapi kau membunuh orang-orang kami!” *** SEMBILAN KITA tinggalkan dulu Wiro yang telah dikurung oleh orang-orang Keraton Kaliningrat. Kita ikuti apa yang dilakukan Nyi Retno Mantili terhadap Sinto Gendeng. Si nenek berusaha memperhatikan wajah orang yang membawanya lari. Tapi malam begitu gelap, lari orang yang memanggulnya cepat sekali sementara salah satu matanya masih cidera. Dia tak mampu melihat jelas. Selain itu tangan kiri dan tulang rusuk yang patah mendenyut sakit tiada henti. “Heh… Kau siapa? Kau mau membawa aku ke mana?” Sinto Gendeng keluarkan ucapan, bertanya. “Nek, kau cidera berat luar dalam. Saya membawamu ke tempat kediaman Ki Tambakpati. Biar dia mengobatimu.” “Ki Tambakpati sudah meninggalkan gubuknya. Kau turunkan saja aku. Aku bisa mengobati diri sendiri.” Nyi Retno tak menjawab. Perempuan ini terus saja berlari. “Hai! Apa kau tuli atau budek? Tidak mendengar apa yang aku ucapkan?!” “Nek, kalau kau mau turun silahkan saja. Saya tidak mau memaksa.” Nyi Retno hentikan lari, mencari tempat yang baik lalu dudukkan Sinto Gendeng di tanah, bersandar pada sebatang pohon waru. Ketika dia memperhatikan wajah Nyi Retno, nenek ini kerenyitkan kening. “Heh, apakah aku mengenali dirimu?” “Kau lupa Nek? Aku gembel sinting sahabat muridmu yang tempo hari kau hina kau caci maki.” Jawab Nyi Retno. Sinto Gendeng mengerenyit. Dia tekap mata kirinya yang masih bengkak akibat hajaran Hantu Malam Bergigi Perak. Mata kanan memandang lekat-lekat. “Tak percaya aku! Kau tak seperti dia. Gembel perempuan itu berpakaian dekil, rambut awut-awutan, muka kotor…” “Kau ingat anakku ini Nek?” Nyi Retno keluarkan boneka kayu, diperlihatkan pada Sinto Gendeng. Karuan saja Sinto Gendeng jadi terkesiap. Dia pandangi lagi perempuan cantik bertubuh mungil di depannya, merasa bimbang. “Sulit kupercaya! Bagaimana kau bisa berubah seperti ini?” “Guruku yang menolong…” “Siapa gurumu?” “Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak Gunung Gede.” Kejut si nenek bukan olah-olah. “Kau jangan berani bergurau!” katanya setengah membentak. “Siapa bergurau. Kiai menyelamatkan diriku sewaktu hendak dibunuh makhluk jahat dari alam roh. Aku dibawa ke Gunung Gede. Diajarkan beberapa ilmu kepandaian…” “Lalu hubunganmu dengan anak setan itu?” “Dia sahabat baik yang sangat banyak menolongku. Aku suka padanya. Anakku Kemuning juga suka padanya.” Kulit kening Sinto Gendeng mengerenyit. “Boneka ini… Katanya bayimu. Hasil hubungan anehmu dengan muridku?” Nyi Retno tertawa. “Apa kau masih menganggap Wiro sebagai muridmu?” “Eh, mengapa kau bertanya begitu?” tanya Sinto Gendeng. Nyi Retno menceritakan kepergiannya ke telaga di puncak Gunung Gede bersama Wiro menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Juga semua yang terjadi di dalam gedung batu pualam di dasar telaga. Termasuk bagaimana Kiai Gede Tapa Pamungkas secara aneh memasukkan Kapak Naga Geni 212 dan batu sakti ke dalam tubuh Wiro. “Sebenarnya Wiro tidak suka atas apa yang telah dilakukan Kiai. Memasukkan dua senjata sakti ke dalam tubuhnya. Dia tahu maksud Kiai baik, namun dia sebelumnya sudah punya rencana lain…” “Rencana apa?” tanya Sinto Gendeng sambil usap barisan tulang iga di rusuk kanan. “Kau tahu Nek, Wiro sangat terpukul atas apa yang telah kau lakukan terhadapnya. Kau menoreh luka dan cacat panjang di punggungnya. Kiai Gede Tapa Pamungkas ingin mengobati luka itu. Tapi Wiro berkata akan membawa cacat itu seumur hidup ke mana dia pergi. Ternyata luka di hatinya lebih parah dari luka di tubuh.” Sinto Gendeng terdiam sejurus. “Kau belum mengatakan apa rencana anak setan itu.” “Nek, kau selalu menyebut dirinya dengan panggilan ‘anak setan’. Apa tak ada lagi panggilan yang lebih baik untuk seorang anak manusia yang selalu mencoba menghormati dan berbakti padamu?” Sinto Gendeng menatap tajam wajah Nyi Retno Mantili. Lalu membuang muka, memandang ke jurusan lain. “Katakan saja, apa rencana anak setan itu.” Walau sudah ditegur Sinto Gendeng masih saja menyebut Wiro dengan nama anak setan. Nyi Retno angkat tinggi-tinggi boneka kayu lalu mencium keningnya. “Anakku Kemuning, apakah kau ingin ibu juga memanggilmu anak setan? Hik… hik… hik!” Sinto Gendeng jadi beringas merasa diejek. Dia lalu membentak. “Perempuan setan! Aku tidak pernah minta tolong padamu! Jangan merasa kau telah menanam budi padaku! Jika kau tidak mau menerangkan rencana muridku, silahkan angkat kaki dari hadapanku! Dan jangan sekalikali berani lagi unjukkan diri!” Nyi Retno Mantili dekapkan boneka kayu ke dada, usapusap punggung boneka lalu berkata. “Nek, keangkuhan dan kesombongan, sifat kasar dan mau menang sendiri serta selalu berprasangka buruk pada orang lain sering membawa seseorang ke dalam hidup yang menyedihkan…” “Persetan ucapanmu! Aku hidup jauh lebih lama darimu! Jangan berani menasihati…” “Nek, orang yang tak pernah mau memperhatikan nasihat orang lain berarti dia melihat tapi buta, dia mendengar tapi tuli, hatinya berdenyut tapi lebih beku dari batu. Aku kasihan melihatmu Nek. Sisa hidupmu mungkin hanya tinggal menghitung hari!” “Perempuan setan! Lekas menyingkir dari hadapanku!” teriak Sinto Gendeng. Nyi Retno berdiri. “Sebelum pergi aku akan katakan apa rencana Wiro. Muridmu itu bermaksud menyerahkan dan mengembalikan Kapak Naga Geni 212 serta batu sakti pasangannya padamu. Selain itu dia sudah bertekad untuk tidak akan mempergunakan lagi semua ilmu yang didapatnya darimu. Lebih dari itu dia juga punya rencana untuk meninggalkan rimba persilatan untuk selama-lamanya.” “Apa?!” Sinto Gendeng setengah berteriak. Dia coba berdiri dengan bersitopang pada tangan kiri. Langsung mulutnya menjerit kesakitan. Sinto Gendeng tidak sadar kalau tangan kirinya patah. “Nek, sayang sekali. Di hari tuamu begini rupa seharusnya kau menempuh hidup tenang tenteram dan bahagia. Ternyata kau masih mencari musuh di manamana. Termasuk menanamkan rasa benci dalam diri muridmu sendiri! Wiro pernah berkata dia berhutang budi besar bahkan nyawa padamu. Tapi dengan kejadian di Candi Pangestu tadi, bagaimana dia menyelamatkanmu kurasa dia telah membalas semua hutang budi dan hutang nyawa itu. Kurasa saat sekarang ini kau bukan segalagalanya lagi bagi Wiro. Ingat itu baik-baik!” “Perempuan setan! Lancang sekali mulutmu! Kalau aku tidak cidera begini rupa sudah kurobek mulutmu!” Nyi Retno tersenyum. “Mungkin aku bermulut lancang. Tapi kalau aku pergi harap kau pergunakan pikiran sehat, duga serta selami hati dan perasaanmu sendiri.” Nyi Retno memutar badan. “Tunggu!” berseru Sinto Gendeng. Hanya palingkan kepala, tanpa hentikan langkah Nyi Retno Mantili berkata. “Nek, antara kita tidak ada urusan apa-apa lagi! Selamat tinggal.” Sinto Gendeng berusaha mengejar tertatih-tatih namun akhirnya terduduk di tanah. Dadanya turun naik. Beberapa kali dia menarik nafas dalam dan panjang. Lalu nenek ini pukul-pukul keningnya sendiri. Kepala didongakkan, mulut berucap. “Malaikat maut! Kalau kau ada di sini mengapa tidak segera mencabut nyawaku?!” Baru saja Sinto Gendeng keluarkan ucapan tiba-tiba dalam gelap berkelebat doa sosok gesit dan berdiri bertolak pinggang di hadapan si nenek. Sinto Gendeng tak dapat melihat jelas karena dua orang yang datang ini berada di bawah bayang-bayang gelap pohon besar. “Malaikat Maut? Tapi mengapa datang sekaligus berdua?!” Sinto Gendeng berucap perlahan. Kalau tadi dia berani bicara minta mati, kini si nenek merasa tengkuknya menjadi dingin. “Kami berdua bukan malaikat. Tapi kalau kau memang menyesal hidup dan minta mati sesungguhnya kami sudah beberapa hari ini menyiapkan kematian bagimu!” Di dalam gelap lalu terdengar suara riuh tawa cekikikan. “Bangsat kurang ajar! Siapa kalian?!” Sinto Gendeng membentak marah. Matanya yang cekung berkilat-kilat. Dua orang di depan sana melangkah keluar dari bayangan gelap pohon besar. Ternyata dia adalah dua orang gadis cantik kakak adik. Satu berpakaian biru, satu lagi berpakaian merah. “Siapa kalian?!” Sinto Gendeng membentak sekali lagi. “Kami Liris Merah dan Liris Biru. Dua kakak adik anak murid Hantu Malam Bergigi Perak. Kau membunuh guru kami beberapa hari lalu. Malam ini kami datang mewakili roh guru untuk minta nyawamu!” Sinto Gendeng mula-mula terperangah mendengar ucapan gadis berpakaian merah. Lalu nenek ini tertawa mengekeh. “Guru kalian pantas mampus! Dia telah merampas barang berharga milikku!” “Nenek bau! Kami tahu seumur hidup kau tak pernah punya barang berharga apapun. Bahkan muridmu yang berjuluk Pendekar 212 itu telah meninggalkanmu!” “Gadis kurang ajar! Mulut ember! Lekas minggat dari hadapanku. Kalau tidak sebelum matahari terbit kalian berdua sudah jadi bangkai!” Mulut memaki namun dalam hati Sinto Gendeng bertanya-tanya, apakah yang diucapkan gadis berpakaian biru di hadapannya itu benar? Wiro meninggalkannya? Begitu cepatnyakah kabar menebar? “Kami tidak akan pergi sebelum mengambil nyawamu!” jawab Liris Merah. “Gadis setan! Nafasmu masih bau tetek. Tubuhmu masih bau kencur! Beraninya bicara sombong mau mengambil nyawaku! Kau tahu apa tentang kematian gurumu! Kau punya bukti kalau aku yang membunuhnya?!” Sinto Gendeng memancing. Dia merasa sedikit heran dari mana dua gadis ini tahu kalau dia yang membunuh guru mereka. Padahal waktu dia membunuh Hantu Malam Bergigi Perak keduanya tidak ada di tempat kejadian. Liris Merah geleng-gelengkan kepala. “Tidak nyana tokoh rimba persilatan terkenal sepertimu bicara menjurus ke arah dusta! Kami berdua memang tidak punya bukti. Tapi kami punya saksi!” Sinto Gendeng merasa dua telinganya berdesing mendengar ucapan orang. “Kau jangan berani mengarang cerita!” “Sinto Gendeng! Ternyata kau seorang pengecut! Tidak berani mengakui perbuatanmu! Kau mau tahu siapa saksi kami malam itu?” Ujar Liris Merah pula. “Siapa?!” tanya Sinto Gendeng dengan suara menyentak. “Seorang kakek tukang ngompol. Sahabatmu sendiri. Namanya Setan Ngompol!” kata Liris Merah. Liris Biru lalu menyambungi ucapan kakaknya. “Kakek itu melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kau membunuh guru! Apa kau masih mau berdusta? Atau mencari kambing hitam?!” Mulut Sinto Gendeng terkancing. Rahang menggembung dan mata melotot pandangi dua gadis di hadapannya. Dalam hati dia memaki Setan Ngompol setengah mati. “Kalau kalian memang mau menghukumku, silahkan saja. Aku memang sudah lama mencari mati. Tapi sekali aku mati kalian tak akan tahu di mana beradanya Kitab Seribu Pengobatan. Bukankah kalian menginginkan kitab itu?” Dua gadis tertawa gelak-gelak. “Gadis setan! Kenapa kalian tertawa?!” “Kami lebih tahu dari kau di mana beradanya kitab itu. Tidak lama lagi kitab itu akan berada di tangan kami!” Kata Liris Merah. Sinto Gendeng benar-benar merasa terpojok. Mukanya mengelam hitam. Dia angkat kepala dan membentak. “Kalian tunggu apa lagi? Mau membunuhku lakukan sekarang! Cepat!” Sinto Gendeng lalu bersila di tanah. Tangan kiri terkulai ke samping. Tangan kanan diletakkan di depan dada. Kepala ditegakkan dan mata dipejamkan. Dia benar-benar menunjukkan kepasrahan untuk dibunuh saat itu juga! Liris Merah dan Liris Biru saling pandang seketika. Lalu sambil berpegangan tangan dua gadis ini melangkah mendekati Sinto Gendeng. Setengah jalan keduanya keluarkan pekikan keras. Tubuh melesat ke udara. Liris Merah hantamkan kaki kanan ke arah kepala sedang Liris Biru menendang ke jurusah dada Sinto Gendeng. Inilah jurus serangan maut bernama Hantu Malam Berbagi Pahala. “Tahan serangan!” tiba-tiba ada orang berteriak. “Apakah kalian begitu tega membunuh calon guru mertua sendiri?!” Tiga orang terkesiap kaget. Yaitu Liris Merah dan Liris Biru serta Sinto Gendeng! Dua gadis cepat batalkan serangan. Yang datang ternyata adalah Setan Ngompol. Kakek ini berlari dengan nafas megap-megap. Tangan kanan pegangi rusuk sebelah kiri yang terasa sakit. Seperti diketahui akibat hantaman Sinto Gendeng tiga tulang iga sebelah kiri si kakek patah. Sinto Gendeng buka sepasang mata, menatap tajam ke arah Setan Ngompol. “Aku kira kau sudah mampus!” Si nenek langsung saja jadi sengit. “Gusti Allah masih memanjangkan umurku,” jawab Setan Ngompol. “Kau mengkhianati diriku!” Damprat Sinto Gendeng. “Apakah kau lebih baik dariku Sinto?” tanya Setan Ngompol. “Kau berusaha membunuhku. Padahal apa kesalahanku? Sudahlah, aku tidak menyalahkanmu mencap aku sebagai pengkhianat. Namun saat itu aku tak bisa bicara lain. Aku dalam keadaan tak berdaya. Mereka hendak membunuhku! Yang penting aku tidak bicara bohong!” Sinto Gendeng semburkan ludah susurnya ke tanah. Lalu berpaling pada dua gadis kakak adik. “Kalian tidak jadi membunuhku?!” Ditanya dan ditantang seperti itu Laras Merah dan Laras Biru jadi marah. Ketika keduanya melangkah hendak mendekati Sinto Gendeng, Setan Ngompol cepat menghalangi. Dengan suara berbisik dia berkata. “Nenek itu sedang kalut pikirannya. Kurasa umurnya tak lama lagi. Tidak kalian bunuh pun kematian akan menjadi bagiannya cepat atau lambat. Aku akan berusaha mencari Wiro dan membawanya ke Kaliurang. Aku juga akan berusaha mendapatkan kitab pengobatan itu.” Lalu dengan suara dikeraskan Setan Ngompol berkata. “Kalian berdua kembalilah ke Kaliurang. Kalau ada kesempatan aku akan mengunjungi kalian di Goa Cadasbiru.” Dua gadis tampak bimbang. Setan Ngompol kedipkan mata memberi tanda. Tanpa bicara apa-apa lagi, Liris Merah dan Liris Biru kemudian tinggalkan tempat itu. “Luar biasa! Apa hubunganmu dengan dua gadis itu? Sampai keduanya mematuhi ucapanmu?” Sinto Gendeng bertanya lalu tertawa perlahan. “Sinto, lupakan mereka. Lupakan semua hal yang lain. Kita sama-sama dalam keadaan terluka. Kau lebih parah. Kita harus dapatkan pengobatan.” “Kita?” ucap Sinto Gendeng. “Setan Ngompol, setelah kau mengkhianati diriku, antara kita tidak ada lagi ikatan tali persahabatan. Pergilah sebelum aku sembur mukamu dengan ludah susur!” Setan Ngompol pancarkan air kencing. Tentu saja tidak mengira Sinto Gendeng akan bicara seperti itu. Lama dia menatap wajah si nenek. Ingin menyelidik apakah si nenek sungguh-sungguh atau hanya berseloroh dengan ucapannya tadi. Dari air muka yang tinggal kulit hitam pembalut tulang itu Setan Ngompol melihat kalau Sinto Gendeng tidak bergurau. Apa yang diucapkannya tadi keluar dari otak dan hati. Setan Ngompol usap-usap bagian bawah perutnya. Kalau orang tak mau lagi bersahabat, apa yang akan dilakukannya? Setelah merenung sejurus akhirnya si kakek bergerak pergi. Pada langkah ke tujuh Setan Ngompol berhenti lalu berpaling pada si nenek. “Sinto, jika kau membuang satu persatu orang-orang yang selama ini dekat dan bersahabat denganmu, di harihari terakhirmu dalam kehidupan ini kau akan merasa kesepian. Sangat kesepian. Perasaan itu lebih perih dari sayatan pisau di lubuk hatimu, akan lebih menyesakkan dari tindihan batu gunung di atas dadamu.” Sinto Gendeng terdiam lalu lambaikan tangan, menyuruh Setan Ngompol pergi lalu semburkan ludah susur ke tanah. Tak lama setelah kakek itu lenyap ditelan kegelapan Sinto Gendeng rebahkan diri, berbaring menelentang di tanah. Langit tampak gelap hitam. Tidak beda dengan keadaan pikiran dan hati si nenek. “Apa yang terjadi dengan diriku?” dia bertanya pada diri sendiri. Mata perlahan-lahan dipicingkan. Saat itu satu persatu mengiang semua suara hati yang pernah terucap dalam sanubarinya. “Kalau muridmu bersalah, katakan padaku apa salahnya? – Sinto, selama hidupmu kau hampir tidak pernah mempergunakan akal sehat disertai perasaan hati yang sejuk… – Tuhan memberimu umur panjang. Apa yang telah kau kerjakan selama ini? – Hidupmu penuh kesombongan. Ucapanmu tidak pernah disertai timbang rasa. Segala perbuatanmu lebih banyak mudarat dari manfaat. Kau menghancurkan banyak orang. Tapi yang lebih menyedihkan kau menghancurkan diri sendiri! Apa kau tidak pernah menyadari bahwa selama ini kau hidup terkucil dari para sahabat dan tokoh rimba persilatan? Seseorang merampas Kitab Seribu Pengobatan dari tanganmu tanpa kau bisa mempertahankan. Bukankah itu sudah merupakan salah satu petunjuk Gusti Allah bahwa seharusnya kau bisa berbuat banyak sekali kebaikan dengan kitab itu? Tapi kau bertindak serakah, berlaku tinggi hati. Hanya mementingkan diri sendiri! Gusti Allah menghukummu, memutuskan bahwa kau tidak pantas menguasai kitab itu. Muridmu kau caci maki di hadapan orang banyak seolah dia lebih buruk dari comberan. Kau tuduh berbuat yang bukan-bukan. Bahkan kau buat dia menderita dengan cacat di punggung seumur-umur. Sinto, apakah kau bukan lagi seorang perempuan yang punya hati nurani dan welas asih? Iblis apa yang bersarang di hatimu? Setan mana yang mendekam di benakmu? Begitukah caramu menjalani sisa-sisa terahir dari usia kehidupanmu? Atau mungkin kau punya nyawa cadangan. Sehingga kalau besok kau mati, lusa kau akan hidup kembali?” Menyusul mengiang ucapan Nyi Retno Mantili. “Kau tahu Nek, Wiro sangat terpukul atas apa yang telah kau lakukan terhadapnya. Kau menoreh luka dan cacat panjang di punggungnya. Kiai Gede Tapa Pamungkas ingin mengobati luka itu. Tapi Wiro berkata akan membawa cacat itu seumur hidup ke mana dia pergi. Ternyata luka di hatinya lebih parah dari luka di tubuh. – Nek, kau selalu menyebut dirinya dengan panggilan anak setan. Apa tak ada lagi panggilan yang lebih baik untuk seorang anak manusia yang selalu mencoba menghormati dan berbakti padamu? – Nek, keangkuhan dan kesombongan, sifat kasar dan mau menang sendiri serta selalu berprasangka buruk pada orang lain sering membawa seseorang ke dalam hidup yang menyedihkan… – Nek, orang yang tidak pernah mau memperhatikan nasihat orang lain berarti dia melihat tapi buta, dia mendengar tapi tuli, hatinya berdenyut tapi lebih beku dari batu. Aku kasihan padamu Nek. Sisa hidupmu mungkin hanya tinggal menghitung hari. – Sebelum pergi aku akan katakan apa rencana Wiro. Muridmu itu bermaksud menyerahkan dan mengembalikan Kapak Naga Geni 212 serta batu sakti pasangannya padamu. Selain itu dia sudah bertekad untuk tidak akan mempergunakan lagi semua ilmu yang didapatnya darimu. Lebih dari itu dia juga punya rencana untuk meninggalkan rimba persilatan untuk selamalamanya. – Nek, sayang sekali. Di hari tuamu begini rupa seharusnya kau menempuh hidup tenang tenteram dan bahagia. Ternyata kau masih mencari musuh di manamana. Termasuk menanamkan rasa benci dalam diri muridmu sendiri! Wiro pernah berkata dia berhutang budi bahkan nyawa padamu. Tapi dengan kejadian di Candi Pangestu tadi, bagaimana dia menyelamatkanmu kurasa dia telah membayar semua hutang budi dan hutang nyawa itu. Kurasa saat sekarang ini kau bukan segala-galanya lagi bagi Wiro. Ingat itu baik-baik! – Mungkin aku bermulut lancang. Tapi kalau aku sudah pergi harap kau pergunakan pikiran sehat, duga serta selami hati dan perasaanmu sendiri.” Selanjutnya mengiang pula kata-kata Liris Biru. “Nenek bau! Kami tahu seumur hidup kau tidak pernah punya barang berharga apapun. Bahkan muridmu yang berjuluk Pendekar 212 itu telah meninggalkanmu!” Yang terakhir adalah ngiangan ucapan Setan Ngompol sebelum kakek itu pergi. “Sinto, jika kau membuang satu persatu orang-orang yang selama ini dekat dan bersahabat denganmu, di harihari terakhirmu dalam kehidupan ini kau akan merasa kesepian. Sangat kesepian. Perasaan itu lebih perih dari sayatan pisau di lubuk hatimu, akan lebih menyesakkan dari tindihan batu gunung di atas dadamu.” Sinto Gendeng masih picingkan mata. Dinginnya udara malam menjelang pagi yang mencucuk seolah tidak terasa. “Apa yang terjadi dengan diriku?” suara hatinya kembali bertanya. “Azab apa yang jatuh atas diriku saat ini? Seumur-umur sampai tua bangka begini aku tidak pernah merasakan ketenangan hidup. Apalagi yang namanya kebahagiaan. Mengapa aku tidak mati dibunuh orang. Kalau saja ada yang mau membunuhku, selesai sudah semua azab derita batin ini. Atau mungkin aku harus mati bunuh diri saja?” Sinto Gendeng menarik nafas dalam. Tenggorokannya turun naik. Ada suara seperti sesenggukan menahan tangis. Dari sudut mata yang terpejam itu menetes keluar butir-butir air mata. “Ya Tuhan, aku menangis… Apakah masih ada air mata dalam kepala yang sudah kering ini?” Si nenek usapkan tangannya ke sudut mata kiri kanan. *** SEPULUH KEMBALI pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Jumat malam hari ke lima belas, menjelang pagi. Dalam bingungnya ditinggal Nyi Rento Mantili yang membawa lari Eyang Sinto Gendeng, Wiro tersentak ketika menyadari kalau saat itu tempat di mana dia berada telah dikurung puluhan orang. Dari seragam hitam dengan sulaman rumah joglo serta keris bersilang di dada kiri Wiro segera maklum kalau orang-orang itu adalah mereka yang menyebut diri kerabat Keraton Kaliningrat. Di sebelah kanan berdiri seorang lelaki berusia sekitar empat puluhan, bertubuh tegap mengenakan pakaian bagus. Wajahnya yang gagah dihias sepasang alis tebal. Di kiri kanan lelaki ini berdiri mengapit dua orang kakek bermuka hitam dan sama-sama mengenakan jubah merah. Mereka bernama Ki Demang Timur dan Ki Demang Barat. Konon merupakan dua tokoh silat yang disegani di tanah Jawa sebelah barat. “Pendekar 212! Keraton Kaliningrat mengundangmu bertemu dengan segala kehormatan. Kami menjanjikan jabatan tinggi dengan segala kemuliaan. Tapi kau membunuh orang-orang kami.” Wiro tak segera menjawab ucapan orang. Dia perhatikan keadaan sekelilingnya, lalu perlahan-lahan bangkit berdiri. Walau lelaki muda dan dua kakek berjubah merah menjadi pusat perhatiannya namun Wiro juga berlaku waspada terhadap puluhan pengurung berpakaian serba hitam karena dia mengetahui orang-orang ini memiliki semacam ilmu kebal yang sulit ditembus pukulan. Wiro pernah berkelahi dengan dua anggota Keraton Kaliningrat. Pukulannya tidak sanggup menciderai, apalagi merobohkan. Dua kakak adik Liris Merah dan Liris Biru tahu kelemahan ilmu orang-orang Keraton Kaliningrat itu. Hanya sayang dua gadis cantik anak murid Hantu Malam Bergigi Perak itu tidak mau memberi tahu. Wiro menatap ke arah lelaki berpakaian bagus yang barusan bicara. “Kau tahu siapa diriku, apa aku boleh mengetahui siapa dirimu?” Wiro ajukan pertanyaan pada lelaki bertampang gagah berpakaian bagus. Orang yang disapa tersenyum, rangkapkan dua tangan di atas dada. Dengan sikap penuh jumawa lalu berkata. “Dalam jajaran Keraton Kaliningrat, aku hanya mewakili Kanjeng Pangeran Sri Paku Jagatnata. Orang-orang memanggilku dengan sebutan Pangeran Muda.” Mengetahui siapa orang yang bicara padanya, Wiro cepat berkata. “Mohon maaf kalau barusan aku tidak tahu berhadapan dengan siapa. Pangeran Muda, satu kehormatan bagiku dapat bertemu denganmu.” Wiro berikan jawaban sambil balas tersenyum dan juga rangkapkan dua tangan di depan dada. Dia sudah maklum bahwa sebentar lagi sandiwara segala macam peradatan ini akan berubah menjadi pertengkaran dan perkelahian hebat. “Aku mengirim surat padamu melalui seorang kerabat. Damar Sarka, maju ke sini.” Seorang lelaki mengenakan topi merah seperti tarbus, berwajah bulat dan berkumis serta jenggot lebat mendatangi dan berdiri di samping Pangeran Muda. “Damar Sarka, kau tidak keliru memberikan surat daun lontar itu pada orang ini?” Si topi merah langsung saja mengangguk. Wiro menggaruk kepala. “Aku memang pernah menerima surat daun lontar. Tapi bukan dari dia.” Pangeran Muda tersenyum. “Damar, kau masih punya topeng samaran? Perlihatkan pada sahabat kita.” Dari kantong pakaiannya Damar Sarka keluarkan sebuah topeng tipis langsung dikenakan ke wajahnya. Saat itu juga Damar Sarka telah berubah menjadi seorang bermuka bopeng. Wajahnya kini menjadi wajah kusir gerobak yang disewa Wiro dan Nyi Retno, yang menyerahkan gulungan surat daun lontar. “Kau ingat sekarang, Pendekar 212?” “Tentu saja aku ingat.” Jawab Wiro pula. “Cuma aku punya pikiran begini. Jika orang Keraton Kaliningrat memata-mataiku, menguntit diriku lalu menyerahkan surat dengan cara seperti itu, jelas itu bukan cara yang wajar. Ada sesuatu yang tersembunyi. Mungkin hal baik, tapi bisa juga hal buruk dan jahat.” Pangeran Muda tersenyum. “Keadaan kerajaan saat ini tidak bisa diduga. Yang dianggap lawan bisa saja orang baik. Yang dikira sahabat ternyata musuh dalam selimut. Mata-mata kerajaan berkeliaran di mana-mana. Kami berkewajiban menjaga keselamatan diri kami sendiri dan orang yang kami hubungi.” Wiro garuk kepala. “Apapun cara yang kalian lakukan, aku tetap saja merasa ada satu hal tersembunyi di balik gerakan yang Pangeran Muda pimpin.” “Kau telah menerima surat dari kami. Mengapa kau tidak memenuhi undangan? Malah gurumu Sinto Gendeng yang muncul di tempat pertemuan. Bagaimana ceritanya?” Pangeran Muda alihkan pembicaraan. “Soal bagaimana ceritanya guruku datang ke Candi Pangestu, aku juga tidak tahu, tidak mengerti. Mengenai undangan yang tidak kupenuhi bukan aku tidak menghormati tapi karena aku punya urusan lain yang lebih penting.” “Urusan lain yang lebih penting!” mengulang Pangeran Muda. “Menurutmu apakah urusan kerajaan tidak penting?” “Bisa penting, bisa juga tidak. Tergantung seseorang menilai dan apa kepentingannya. Pangeran Muda bicara urusan kerajaan. Setahuku Pangeran dan para pengikut bukan orang kerajaan.” Pangeran Muda dan dua orang bermuka hitam mulai merasa jengkel. “Pendekar 212. Kalau kerajaan dikuasai orang yang tidak berhak memegang tahta, apakah itu bukan satu urusan penting bagi semua orang?” “Pangeran Muda, aku ingin bicara singkat-singkat saja. Saat ini aku tidak mau terlibat dengan segala macam urusan kerajaan. Kalian orang-orang pandai saja yang menyelesaikan kalau memang ada masalah.” Walau wajahnya tampak merah namun Pangeran Muda masih bisa sunggingkan senyum. Dia berpaling pada dua orang lelaki berwajah hitam di kiri kanannya. “Sahabatku Ki Demang Timur dan Ki Demang Barat, bagaimana pendapat kalian berdua?” “Aku Ki Demang Timur. Biar aku yang bicara,” kata lelaki wajah hitam di sebelah kanan. “Soal Pendekar 212 tidak mau terlibat dalam urusan kerajaan tidak jadi apa. Tapi dia punya satu dosa besar. Dia telah membunuh teman-teman kita orang Keraton Kalingrat.” “Ki Demang Timur, bisa kau memberi tahu teman kalian yang mana yang telah aku bunuh?” Tanya Wiro. Saat itu dilihatnya puluhan orang berseragam hitam bergerak maju mempersempit kurungan. Dalam hati Wiro berkata. “Kalau orang-orang itu kebal pukulan dan senjata tajam, apakah mereka bisa bertahan jika aku kubur hidup-hidup?!” “Kau membunuh sahabat kami Kecik Turangga alias Hantu Buta Malam.” Berucap Ki Demang Timur. “Aku tidak kenal manusia itu. Aku tidak membunuhnya!” “Iblis Pemabuk, guru istrimu yang bernama Wulan Srindi membunuh Ni Serdang Besakih, orang penting dalam jajaran Keraton Kaliningrat. Kau ikut bertanggung jawab atas kematian saudara kami itu.” Yang bicara kali ini adalah Ki Demang Barat. Wiro tertawa gelak-gelak. “Orang lain yang punya pekerjaan aku yang disuruh bertanggung jawab! Lagi pula siapa bilang Wulan Srindi istriku! Enak saja kau bicara!” “Pendekar 212. Jangan mencoba membela diri dengan bicara dusta. Perempuan itu sendiri yang pernah berkata di hadapan kami orang-orang Keraton Kaliningrat. Bahwa dia adalah istrimu!” Kata Pangeran Muda pula. “Pangeran Muda, jika Wulan Srindi mengaku sebagai istrimu, apakah kau dan semua orang di sini mau percaya?” “Kau mencari dalih. Jangan berlaku pengecut mengalihkan tanggung jawab!” Ki Demang Timur membentak dan pelototkan mata. Wiro ganda menyeringai. “Muka hitam, jangan terlalu bersemangat. Nanti kau kehabisan nafas sendiri dan bisa mati! Satu lagi, jangan melotot besar-besar. Kalau dua matamu melompat dari sarangnya kau bisa jadi setan mata buta! Ha… ha… ha!” “Pendekar kurang ajar!” teriak Ki Demang Timur seraya melangkah ke arah Wiro. Namun Pangeran Muda cepat memegang bahunya. “Sahabatku Ki Demang Timur, tidak perlu kesusu. Orang satu ini tidak akan bisa lolos. Masih ada tuduhan lain yang akan kita sampaikan padanya.” Pangeran Muda memandang ke arah Wiro. “Kau membunuh kerabat Keraton Kaliningrat bernama Embah Bejigur.” “Aku tidak kenal, tidak tahu yang mana orang bernama Embah Bejigur. Apa dia pedagang minuman bejigur atau cuma seorang yang sangat doyan minum bejigur?” Habis berkata begitu Wiro tertawa gelak-gelak. “Pendekar 212, orangnya sudah kau bunuh, masih juga berani memperhinakan!” Kata Pangeran Muda dengan suara datar. “Eh, biar aku mengalah. Kalau orang yang kau maksud itu adalah manusia katai yang menjaring guruku dan hendak membokong secara pengecut seorang perempuan sahabatku maka dia memang layak dibunuh! Keganasan dan kepengecutannya apa tidak membuat para kerabat Keraton Kaliningrat merasa dipermalukan?” Jawab Wiro pula. Lalu dia menambahkan. “Siapapun orang Keraton Kaliningrat yang tewas terbunuh antara hutan jati sampai kawasan Candi Pangestu di Plaosan, mereka semua wajar menemui ajal sesuai dengan dosa kesalahan masingmasing!” Pangeran Muda turunkan dua tangan yang sejak tadi dirangkapkan di atas dada. “Pendekar 212, sayang sekali kau dan juga gurumu tidak menghormati maksud baik kami. Tak ada jalan lain, kau harus menggantikan gurumu, menjadi tumbal satu ketololan!” Wiro menggaruk kepala. “Aku senang dicap orang tolol!” kata Wiro pula lalu tertawa gelak-gelak. “Kalian tahu, orang tolol matinya selalu tenang dan enak. Tidak seperti orang-orang pandai. Kadang-kadang mati dengan mata mendelik, mulut menganga, wajah mengkeret! Sedih sekali kalau kalian merasa jadi orang pandai! Ha… ha… ha!” “Guru dan murid mulutnya sama kurang ajar! Saudarasaudaraku bunuh orang ini!” Pangeran Muda habis kesabaran. Perintah Pangeran Muda diikuti dengan melompatnya dua puluh orang Keraton Kaliningrat berseragam hitam. Lima orang menerjang lebih dulu. Wiro segera keluarkan ilmu silat Orang Gila yang didapatnya dari Tua Gila. Tubuh huyung sana huyung sini seperti orang mabok. Tangan kanan ditiup lalu dihantamkan, lancarkan pukulan Harimau Dewa dari Datuk Rao Basaluang Ameh. Bukan cuma lima orang yang menyerang, tapi tujuh orang lain yang berada di kiri kanan dan sebelah belakang ikut tersapu mental, jatuh bergulingan di tanah. Mereka berteriak kesakitan. Namun luar biasa sekali. Sesaat kemudian ke dua belas orang itu bangun kembali tanpa ada tanda-tanda cidera sedikitpun! Padahal pukulan Harimau Dewa bukan pukulan sembarangan. Jangankan tubuh manusia, batu sebesar apapun bisa dibuat hancur berkeping-keping! “Ilmu kebal jahanam!” maki Wiro. “Bunuh!” teriak Ki Demang Timur. “Cincang!” teriak Ki Demang Barat. Dua orang bermuka hitam melesat ke arah Wiro, diikuti belasan orang berpakaian hitam dengan golok terhunus! “Mereka terlalu banyak. Aku tak mau konyol. Tak ada jalan lain,” pikir Wiro. “Aku terpaksa mengeluarkan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah. Akibatnya akan sangat mengerikan! Tuhan, ampuni saya karena terpaksa membunuh sekian banyak nyawa.” Ilmu yang tak pernah dikenal di rimba persilatan tanah Jawa ini seperti diketahui didapat Wiro dari Luhrembulan alias Hantu Satet Laknat dari Latanahsilam, negeri 1200 tahun silam. Begitu belasan orang menyerbu, dipimpin oleh Ki Demang Timur dan Ki Demang Barat, Wiro hentakkan kaki kanan ke tanah. Lalu tanah digurat dengan ujung kaki dan bleesss! Asap mengepul. Rrrrtttt! Tanah bergerak rengkah, terbelah panjang, lebar dan dalam. Tiga belas anggota Keraton Kaliningrat dan Ki Demang Timur keluarkan jeritan mengenaskan. Tubuh mereka amblas tersedot masuk ke dalam rengkahan tanah. Ki Demang Barat berusaha menolong sobatnya Ki Demang Timur namun kakinya tergelincir. Tak ampun dua manusia muka hitam ini sama-sama jatuh ke dalam rengkahan tanah! Belasan orang-orang Keraton Kaliningrat yang selamat, termasuk Pangeran Muda menjerit ngeri ketika tanah yang terbelah merapat mengatup kembali! Banyak di antara mereka yang leleh nyali dan langsung saja kabur ambil langkah seribu! Di udara yang mulai terang-terang tanah tiba-tiba melesat satu bayang hijau. Menyusul semburan hebat ke arah salah satu bagian tanah yang tengah mengatup. Tanah terbongkar. Bersamaan dengan itu bayangan hijau tadi menjambak rambut seorang berpakaian hitam, menariknya ke atas lalu membawanya kabur dari tempat itu. “Ada orang menyelamatkan Pekik Ireng!” seseorang berteriak. Wiro sendiri saat itu tegak tak percaya akan keganasan ilmu yang barusan dikeluarkannya. Seumur hidup baru kali itu dia melihat kematian sekian banyak orang dengan cara mengerikan. Tengkuknya terasa dingin. Seseorang berkelebat. Tahu-tahu Pangeran Muda telah berdiri di hadapan sang pendekar. Mukanya kelam membesi, rahang menggembung dan mata menyorot laksana bara menyala. Didahului satu teriakan dahsyat Pangeran Muda lancarkan serangan beruntun. Tiga jurus dihabiskan dalam waktu singkat. Kesemuanya dengan mengerahkan pukulan mengandung tenaga dalam tinggi. Setiap terjadi bentrokan lengan Wiro merasa sakit sekali seperti tangannya menghantam batu atos. Sebaliknya walau berhasil mendesak Wiro namun Pangeran Muda berkelahi dengan perasaan tidak tenang. Khawatir kalau sewaktu-waktu lawan kembali mengeluarkan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah. Dalam satu gebrakan hebat di jurus ke empat belas, bentrokan dua lengan untuk kesekian kalinya tak bisa dihindari. Baik Wiro maupun Pangeran Muda sama-sama terpental beberapa langkah. Sebelum dua kakinya menyentuh tanah Wiro lepas pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Pangeran Muda tersentak kaget ketika mendengar dan merasakan gemuruh angin luar biasa deras menerpa ke arah dirinya. Dia palangkan dua lengan di depan kepala sambil kaki menghentak. Dua larik sinar hitam berkiblat keluar dari lengan yang bersilang, memapas ganas ke arah Wiro. Inilah ilmu yang disebut Badai di Langit Gempa di Bumi. Ilmu ini bukan saja dipakai untuk menyerang tapi sekaligus membentengi diri dari serangan lawan. Jika saja yang ditangkis Pangeran Muda bukan pukulan Tangan Dewa Menghantam Karang yang didapat Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh, niscaya saat itu Wiro sudah terpental semburkan darah. Pangeran Muda berseru kaget ketika ada gelombang angin menindih dirinya. Dua tangan yang bersilang bergetar hebat lalu tubuhnya terbanting ke samping, jatuh berlutut di tanah. Muka pucat, darah mengucur dari sela bibir. “Pendekar 212, aku mengaku kalah…” Berkata Pangeran Muda. Lalu dia bersujud di tanah. “Kuharap kau mau mengampuni dosa kesalahanku.” Melihat pimpinan mereka bersujud di hadapan Wiro, anak buah Pangeran Muda yang masih ada di sana termasuk Damar Sarka ikut jatuhkan diri menyembah. Wiro geleng-geleng kepala. “Pangeran Muda, bangunlah. Semua yang ada di sini harap berdiri. Tak ada yang layak disembah selain Gusti Allah. Manusia hanya bersujud kepada Tuhan!” Mendengar ucapan Wiro orang-orang Keraton Kaliningrat segera berdiri termasuk Pangeran Muda. Dengan tubuh terhuyung-huyung, dua tangan dirapatkan di atas kepala orang ini melangkah mendekati Wiro. “Pendekar, aku sangat berterima kasih kau mau mengampuni kesalahanku. Terima penghormatanku.” Lalu Pangeran Muda tundukkan kepala, bungkukkan tubuh. “Pangeran Muda, semua yang terjadi bisa kita jadikan hikmah pelajaran. Bawa orang-orangmu meninggalkan tempat ini. Aku berharap kau punya kesadaran untuk membubarkan apa yang dinamakan Keraton Kaliningrat.” “Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih.” Kembali Pangeran Muda bungkukkan diri. Wiro hendak memegang bahu orang ini, namun tiba-tiba, sangat cepat dan sangat tidak terduga tangan kanan Pangeran Muda melesat ke depan dan, bukkk! Satu jotosan dahsyat mendarat di permukaan dada Wiro Sableng! Wiro jatuh terjengkang di tanah. Untuk beberapa jurus lamanya dia terhenyak kaku tak mampu bergerak. Anehnya saat itu dia tidak merasa sakit sedikitpun. Bahkan ketika memperhatikan dadanya sama sekali tidak ada tanda bekas pukulan. Perlahan-lahan Wiro berdiri. Saat itu hari mulai terang pertanda di timur sang surya sudah terbit dan malam segera berganti siang. Memandang ke depan Pangeran Muda dan sisa-sisa anak buahnya tak ada lagi di tempat itu. “Pangeran pengecut! Kau mau lari ke mana!” Wiro cepat berdiri, mengejar ke arah lenyapnya Pangeran Muda dan rombongan. Namun hanya lari sejauh delapan langkah tiba-tiba Wiro merasakan tubuhnya di bagian belakang sakit luar biasa. Dia coba melenyapkan rasa sakit aneh ini dengan kerahkan tenaga dalam serta alirkan hawa sakti. Namun rasa sakit bertambah hebat. Dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan Wiro melangkah terhuyung-huyung, berjalan sepembawa kakinya. *** WULAN Srindi membawa lari anggota Keraton Kaliningrat sejauh yang bisa dilakukannya. Di satu tempat dia hentikan lari dan banting orang itu ke tanah. Orang yang dibanting tanpa cidera sedikitpun cepat bangun, membungkuk di hadapan gadis bermuka putih itu dan berkata. “Terima kasih, kau telah menyelamatkan diriku dari liang neraka itu.” Buukkk! Wulan Srindi hantam muka orang dengan jotosan keras. Yang dihantam terjengkang di tanah tapi bangun lagi. Seperti tadi dia tidak mengalami luka sama sekali. “Kau menolongku, mengapa sekarang memukul menggebukku?!” “Kau manusianya yang bernama Pekik Ireng?” “Betul sekali. Sahabat muka putih kau siapa? Aku ingat peristiwa di hutan Ngluwer.” Tiba-tiba Pekik Ireng hentikan ucapan. Wajahnya berubah. Dia ingat kematian temannya bernama Kuntorandu. “Ingat kejadian di sebuah dangau sekitar tiga bulan lalu? Bersama temanmu bernama Kuntorandu kau memperkosa seorang gadis.” Lelaki bernama Pekik Ireng jadi pucat wajahnya. “Sahabat, kau keliru menuduh.” Wulan Srindi tertawa. Dia ambil sebuah kendi hitam lalu teguk isinya. “Manusia terkutuk! Aku mengenali tampangmu! Akulah orang yang kalian perkosa!” Walau melangkah mundur namun Pekik Ireng tidak perlihatkan rasa takut. Dia percaya pada kekuatan ilmu kebal Keraton Kaliningrat yang dimilikinya. Namun lelaki ini jadi terkejut ketika Wulan Srindi berkata. “Jangan kau kira aku tidak tahu kelemahan ilmu kebalmu. Beberapa temanmu sudah kubikin mampus sewaktu berlangsung pertempuran dengan awak kapal Cina yang mencari madat di hutan Ngluwer.” “Perempuan muka putih! Aku mengampuni selembar nyawamu jika kau mau minggat dari hadapanku saat ini juga!” Wulan Srindi tertawa. Dia teguk sisa minuman keras dalam kendi sampai habis. Kesempatan ini dipergunakan Pekik Ireng untuk mecabut sebilah golok dari balik pinggang lalu membabat ganas ke depan. Wuttt! Golok besar menabas satu jengkal di depan dada Wulan Srindi. Ketika Pekik Ireng kembali memburu dengan serangan kedua, Wulan Srindi melesat ke udara setinggi satu tombak. Pekik Ireng terkejut melihat gerakan lawan. “Dia tidak dusta! Dia tahu kelemahan ilmu kebalku! Kakinya tidak menginjak tanah!” Tidak pikir panjang Pekik Ireng segera melompat kabur. Namun dia cuma bisa lari enam langkah. Wulan Srindi melayang turun dengan cepat, semburkan minuman keras di mulutnya. Wusss! Pekik Ireng menjerit keras. Kepala sebelah belakang sampai ke pinggang kepulkan asap. Hangus! Begitu tubuhnya jatuh tertelungkup di tanah, nyawanya telah lepas. Puluhan lubang hangus mengerikan kelihatan di kepala dan punggung. Masih belum puas Wulan Srindi ambil golok yang tercampak di tanah lalu sambil berteriak-teriak seperti orang kemasukan setan dia membacok mencacah kepala dan tubuh Pekik Ireng. Habis melakukan itu dia lemparkan golok, melangkah mundur dan jatuhkan diri di tanah. Dari mulutnya keluar satu jeritan keras lalu gadis ini menangis memilukan. Mendadak tangis Wulan Srindi terhenti. Dia mendengar suara langkah kaki orang mendekati di samping kanan. Sebelum sempat berpaling, satu sosok berpakaian putih jatuh tergelimpang tertelungkup di tanah. Wulan Srindi terpekik. Dia menjerit ketika mengenali siapa adanya orang itu. “Wiro!” Wulan peluk Pendekar 212 lalu balikkan tubuh sang pendekar. “Suamiku, apa yang terjadi?!” Wiro bukan kedua matanya. Pandangannya agak kabur. Namun dia mengenali suara itu. “Wulan, aku terkena pukulan seorang bernama Pangeran Muda…” “Apa?!” Wulan Srindi terkejut besar. Dia membuka bagian depan baju Wiro lebar-lebar. “Wiro, beri tahu bagian mana yang terkena pukulan?” “Pertengahan dada. Tak ada tanda cidera…” Wulan Srindi balikkan lagi tubuh Wiro. Bagian belakang baju yang robek, dirobeknya lagi lebih besar. Di bawah cacat panjang di punggung Wiro Wulan melihat tanda merah besar dilingkari warna kebiruan. “Kau terkena pukulan Memukul Bukit Meremuk Gunung! Jika dalam beberapa hari kau tidak mendapatkan obat penangkal, nyawamu tidak tertolong lagi…” Wiro tertawa. Wulan Srindi tepuk-tepuk pipi Pendekar 212. “Kenapa kau masih bisa tertawa?” tanya Wulan Srindi. “Aku tidak tahu. Tapi jika mendengar kematian aku merasa lega…” “Gila!” teriak Wulan Srindi. “Dengar Wiro, dengar suamiku! Aku tidak mau anakku lahir tanpa ayah!” Wiro garuk kepala. Dalam hati dia setengah mengeluh setengah memaki. “Celaka! Bagaimana aku mau meyakinkan bahwa antara aku dan dia tidak ada ikatan perkawinan! Kalau dia hamil, itu bukan anakku. Tapi akibat perbuatan bejat orang-orang Keraton Kaliningrat!” “Wiro suamiku.” Wulan Srindi lanjutkan ucapannya. “Aku pernah dihantam pukulan yang sama. Iblis Pemabuk membawa aku menemui seorang yang mampu menyembuhkan. Wiro, apakah kau bisa berjalan sejauh setengah hari dari tempat ini?” “Wulan, aku sangat berterima kasih kau mau memikirkan keselamatan diriku. Kau mau menolong. Tapi rasanya aku tak akan sanggup berjalan sejauh itu. Dua kakiku seperti lumpuh. Pemandangan mataku terganggu.” “Kalau begitu aku akan mendukungmu!” “Kau tidak mampu melakukan itu…” “Harus mampu! Kau suamiku! Bagaimana aku bisa hidup tanpa dirimu?! Kalaupun kita harus mati bersama itu lebih baik dari membiarkan dirimu dalam keadaan seperti ini.” Wiro pejamkan mata. Hatinya sangat tersentuh. Begitu banyak orang yang baik dan rela berkorban bagi dirinya. Dia ingat Eyang Sinto Gendeng. Dia ingat pada Kapak Naga Geni 212 dan batu sakti yang ada di dalam tubuhnya. Dua senjata itu diketahui merupakan penangkal racun yang sangat ampuh. Mengapa kini tidak mampu memusnahkan racun pukulan Pangeran Muda? Mungkin dia telah berlaku kualat pada Eyang Sinto? Susah payah Wulan Srindi mengangkat Wiro. Sampai mandi keringat dia tak berhasil mencoba memanggul pemuda itu di atas salah satu bahunya. “Wulan, jangan memaksa diri. Pergilah. Tinggalkan aku sendirian di sini.” Gadis muka putih itu ingat apa yang dilakukan Iblis Pemabuk ketika dia mengalami cidera akibat pukulan Memukul Bukit Meremuk Gunung itu. Dia harus melakukan hal yang sama agar Wiro mampu bertahan lebih lama. Maka dengan cepat dia menotok beberapa bagian tubuh sang pendekar. “Apalagi yang harus aku lakukan?” Wulan Srindi terduduk di tanah. Tiba-tiba gadis ini berkata. “Wiro, aku akan menyeretmu!” Wulan Srindi belum putus asa. “Kau tidak perlu melakukan itu Wulan. Pergilah…” Tiba-tiba satu bayangan aneh melayang turun dari atas pohon besar. Disusul suara perempuan. “Pendekar 212 Wiro Sableng. Apakah kau berkenan menerima pertolonganku?” Wiro angkat kepalanya sedikit sementara Wulan Srindi memperhatikan dengan mata tak berkesip. “Siapa?!” Tanya Wiro. “Aku seorang sahabat.” “Bunga? Ah, kau bukan Bunga. Suaramu lain…” “Betul, aku memang bukan Bunga.” Bayangan itu berubah makin jelas, membentuk sosok seorang perempuan berwajah cantik sekali. “Bidadari Angin Timur!” Wiro setengah berseru dan mencoba bangkit namun jatuh terbaring kembali. Makhluk bayangan tersenyum.
Komentar
Posting Komentar